Lentera Hukum, Volume 5 Issue 2 (2018), pp. 277-292
ISSN 2355-4673 (Print) 2621-3710 (Online)
https://doi.org/10.19184/ ejlh.v5i2.6620
Published by the University of Jember, Indonesia
Available online 31 July 2018
Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pemenuhan Bantuan
Hukum bagi Masyarakat Miskin di Kabupaten Jember
Siti Maimunawaroh
University of Jember, Indonesia
stmaimunawaroh@gmail.com
Antikowati
University of Jember, Indonesia
antikowatifh@gmail.com
ABSTRACT
Law No. 16 of 2011 on Legal Aid provides a guarantee to the poor to obtain equal legal protection before the
Court on the basis of upholding the principle of equality before the law. Article 19 The Law on Legal Aid
provides the authority to local governments to provide legal assistance to the poor in the regions by allocating
budgets in the Regional Revenue and Expenditure Budgets, which are subsequently regulated by Regional
Regulations. However, some areas have not yet implemented the mandate of Article 19 of this Legal Aid Law
because there is still doubt that the fulfillment of legal aid for the poor is part of the absolute government affairs
relating to the justice sector, such as establishing a Judicial Institution, appointing Judges and Prosecutors,
Correctionality, establishing human rights and immigration policies, granting pardons, amnesty, abolition,
legislation, Substitutionary Rules of Law, Government Regulations and other national regulations. Unlike
Jember Regency which has legalized the Regional Regulation of Jember Number 6 Year 2016 regarding Legal
Aid for the Poor, but this Regulation of Jember Regency can not be implemented maximally because there is no
Regent Regulation that regulate the implementation of the Regional Regulation. This article discusses how to
regulate the authority of Local Government in fulfilling legal aid for the poor and how to fulfill legal aid for the
poor in Jember. This article aims to reviewing the absolute authority and concurrent authority of the Regional
Government in the fulfillment of legal aid for the poor in Jember and analyze how the form of legal aid
fulfillment for the poor in Jember especially those who have passed the Local Regulation on Legal Aid for the
Poor. This article concludes with a suggestion to the Local Government of Jember to immediately approve the
Regent's Regulation as the implementing regulation of Jember District Regulation No. 6 of 2016 on Legal Aid
for the Poor and provide opportunities for community participation in supervising the fulfillment of legal aid in
Jember.
KEYWORDS: Local Government Authority, Legal Aid, Legal Protection, Poor People.
Copyright © 2018 by Author(s)
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License. All writings published in this journal are personal views of the
authors and do not represent the views of this journal and the author's affiliated institutions.
Submitted: January 17, 2018 Revised: May 06, 2018 Accepted: July 14, 2018
HOW TO CITE:
Maimunawaroh, Siti & Antikowati. “Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pemenuhan Bantuan
Hukum bagi Masyarakat Miskin di Kabupaten Jember” (2018) 5:2 Lentera Hukum 277-292.
278 | Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pemenuhan Bantuan Hukum bagi Masyarakat Miskin di Kabupaten Jember
I. PENDAHULUAN
Para pendiri bangsa mencita-citakan Indonesia sebagai negara hukum.
1
Sebagai
implementasi dari sebuah negara hukum, maka Indonesia menempatkan hukum pada
tingkatan paling tinggi yang dalam pelaksanaannya harus menghormati Hak Asasi Manusia
(HAM). Adanya peradilan yang independen dan segala tindakan pemerintah yang
didasarkan pada undang-undang.
2
Sehubungan dengan hal itu, perlindungan terhadap HAM
harus dimuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945) sebagai konstitusi Indonesia. Terdapat beberapa pasal, di antaranya Pasal 27 ayat (1),
Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 34 ayat (1) mengatur tentang kesamaan kedudukan bagi setiap
warga negara, termasuk orang miskin dan anak terlantar yang dipelihara oleh negara dan
juga mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Pemberian bantuan hukum bagi masyarakat miskin merupakan manifestasi dari upaya
pemerintah dalam mengatur HAM di bidang hukum untuk menyamakan kedudukan di
hadapan pengadilan. Lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan
Hukum (UU Bantuan Hukum) telah menunjukkan komitmen pemerintah dalam
memberikan keadilan yang sama dihadapan hukum. Pasal 19 UU Bantuan Hukum juga
memberikan ruang kepada pemerintah daerah untuk ikut serta menyelenggarakan bantuan
hukum bagi masyarakat miskin secara gratis dan menganggarkannya dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang diatur dengan deraturan Daerah (perda).
Namun sampai akhir 2017 hanya ada 22 perda tentang bantuan hukum bagi masyarkat
miskin di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Secara kuantitas pemenuhan bantuan
hukum ini masih kurang memadai untuk menjangkau masyarakat miskin di seluruh daerah
mengingat Pemerintah Daerah sendiri masih belum memberikan perhatian khusus terkait
payung hukum pemenuhan bantuan hukum di daerah yang berupa perda. Pada tahun 2016
Yayasan Tifa bersama Badan Pembina Hukum Nasional (BPHN), Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (BAPPENAS), dan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
mengadakan konsultasi nasional tentang Perda Bantuan Hukum yang menghasilkan
keputusan bahwa lemahnya inisiatif Pemerintah Daerah dalam mengesahkan Perda Bantuan
Hukum. Penyelenggaraan kegiatan ini dikarenakan adanya keraguan dalam pembagian
urusan pemerintahan terkait dengan urusan pemerintah pusat dibidang yustisi.
3
Berbeda
dengan Pemerintah Kabupaten Jember yang telah mengesahkan Perda Nomor 6 Tahun 2016
tentang Bantuan Hukum bagi Masyarakat Miskin (Perda Bantuan Hukum bagi Masyarakat
Miskin). Permasalahanmya adalah bagaimana pengaturan tentang kewenangan
penyelenggaraan bantuan hukum di daerah dan bagaimana pemenuhan bantuan hukum di
Kabupaten Jember setelah disahkannya perda tersebut.
Artikel ini menggunakan tipe penelitian yuridis-normatif (legal research). Tipe penelitian
yuridis merupakan tipe penelitian yang dilakukan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah
1
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan AusAID, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014). hlm. 146.
3
Donny Ardyanto, “Peran Pemerintah Daerah dalam Pemenuhan Akses Terhadap Keadilan dan Bantuan
Hukum”, online: diakses pada tanggal 22 Agustus 2017.
279 | LENTERA HUKUM
atau norma-norma dalam hukum positif yang berlaku. Tipe penelitian normatif dilakukan
dengan cara mengkaji beberapa aturan hukum yang bersifat formil seperti undang-undang,
peraturan-peraturan serta literatur yang berisi konsep-konsep yang berkaitan dengan
permasalahan yang akan dibahas dalam artikel ini.
4
Berdasarkan uraian di atas permasalahan
yang dirumuskan antara lain bagaimana pengaturan tentang kewenangan Pemerintah
Daerah dalam pemenuhan bantuan hukum bagi masyarakat miskin dan bagaimana bentuk
pemenuhan bantuan hukum bagi masyarakat miskin di Kabupaten Jember.
II. KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN
BANTUAN HUKUM
UUD 1945 memang tidak menyebutkan secara tegas mengenai hak atas bantuan hukum,
namun terdapat beberapa pasal dalam UUD 1945 yang dapat dijadikan rujukan sebagai
jaminan atas hak bantuan hukum yang merupakan bagian dari HAM, yaitu Pasal 27 ayat (1),
Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 24 ayat (1). Pasal-pasal ini memberikan pernyataan bahwa
setiap warga negara tanpa terkecuali mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum
yang berhak atas suatu pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum, termasuk didalamnya yaitu fakir miskin dan anak-
anak terlantar. Jika dikaji kembali kepada substansi hukum, maka sebuah hukum harus
dibentuk secara demokratis dan demi kepentingan bersama dan memuat substansi HAM.
Suatu negara yang demokratis dan berdasarkan pada hukum, menyatakan bahwa hak atas
bantuan hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari HAM. Hal ini merupakan
bagian terpenting dari perwujudan persamaan kedudukan dihadapan hukum (equality before
the law).
Kenyataannya adalah hukum secara empiris banyak dinikmati oleh masyarakat yang
memiliki kemampuan sehingga mereka cenderung membayar seorang pengacara atau
advokat sebagai kuasa hukumnya. Sementara bagi masyarakat miskin ketika harus
berhadapan dengan berbagai kasus hukum cenderung pasrah dan menyerah pada keadaan
karena tidak sanggup membayar seorang pengacara atau advokat sebagai pembelanya,
sehingga mayoritas dari mereka menjadi korban dari banyak proses hukum yang sebenarnya
tidak mereka mengerti. Dengan demikian, prinsip equality before the law haruslah diimbangi
dengan perlakuan yang sama di hadapan hukum, yaitu dengan memberikan pelayanan
kepada masyarakat miskin untuk mendapatkan haknya dengan jasa bantuan hukum agar
dapat mengimbangi masyarakat yang mampu membayar jasa pembela hukum dalam
mendapatkan sebuah keadilan.
Bantuan hukum yang dimaksud dapat diterjemahkan dari dua istilah, yaitu “Legal Aid”
dan “Legal Assistance”. Istilah Legal Aid biasanya digunakan untuk pengertian bantuan hukum
dalam arti sempit berupa pemberian jasa-jasa di bidang hukum kepada seseorang dalam
suatu perkara secara cuma-cuma khususnya bagi mereka yang tidak mampu. Legal Assistance
dipergunakan untuk menunjukkan pengertian bantuan hukum kepada mereka yang tidak
mampu maupun pemberian bantuan hukum oleh para advokat yang menggunakan
4
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (edisi revisi) (Jakarta: Kencana, 2008). hlm. 129.
280 | Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pemenuhan Bantuan Hukum bagi Masyarakat Miskin di Kabupaten Jember
honorarium.
5
Bantuan hukum dalam pengertian yang luas dapat diartikan sebagai upaya
untuk membantu golongan yang tidak mampu dalam bidang hukum. Menurut Buyung
Nasution, upaya ini mempunyai tiga aspek yang saling berkaitan, yaitu aspek perumusan
aturan-aturan hukum, aspek pengawasan terhadap mekanisme untuk menjaga agar aturan-
aturan itu ditaati, dan aspek pendidikan masyarakat agar aturan-aturan itu dihayati.
6
Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Anton Soedjarwo, menjelaskan bahwa
pendidikan klinis sebenarnya tidak hanya terbatas untuk jurusan-jurusan pidana dan
perdata untuk akhirnya ditampilkan di muka pengadilan, tetapi juga untuk jurusan-jurusan
lain seperti jurusan Hukum Tata Negara, Hukum Adminitrasi Pemerintahan, Hukum
Internasional dan lain-lainnya. Bahkan memungkinkan juga pemberian bantuan hukum di
luar pengadilan, misalnya soal perumahan di Kantor Urusan Perumahan (KUP), bantuan di
Imigrasi atau Departemen Kehakiman, bantuan hukum kepada seseorang yang menyangkut
urusan internasional di Departemen Luar Negeri bahkan memberikan bimbingan dan
penyuluhan di bidang hukum termasuk sasaran bantuan hukum dan lain sebagainya.
7
Sementara itu, dalam arti sempit Jaksa Agung Republik Indonesia menyatakan bahwa
bantuan hukum adalah pembelaan yang diperoleh seorang terdakwa dari penasehat hukum
sewaktu perkaranya diperiksa dalam pemeriksaan pendahuluan atau dalam proses
pemeriksaan perkaranya di muka pengadilan.
8
Pengertian bantuan hukum menurut UU
Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara
cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum.
9
Dengan adanya UU Bantuan Hukum ini menunjukkan pemerintah telah berkomitmen
bahwa pemerintah mengupayakan perlindungan hukum bagi masyarakat miskin untuk
menegakkan persamaan dihadapan hukum (equality before the law). Ketetuan tentang bantuan
hukum ini bertujuan untuk menjamin dan memenuhi hak bagi penerima bantuan hukum
(fakir miskin) untuk mendapatkan akses keadilan, mewujudkan hak konstitusional warga
negara, menjamin kepastian penyelenggaraan bantuan hukum dilaksanakan secara
menyeluruh di Indonesia, dan mewujudkan peradilan yang efektif, efisien dan dapat
dipertanggungjawabkan.
10
Penyelenggaraan bantuan hukum berdasarkan Pasal 19 UU Bantuan Hukum,
memberikan ruang kepada pemerintah daerah untuk turut serta mewujudkan tujuan adanya
bantuan hukum bagi masyarakat miskin yang diatur dalam Pasal 3 UU Bantuan Hukum.
Terdapat beberapa pernyataan di dalam Pasal 19 UU Bantuan Hukum diantaranya daerah
dapat mengalokasikan anggaran penyelenggaraan bantuan hukum dalam APBD, ketentuan
lebih lanjut mengenai penyelenggaraan bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Perda.
Pada ayat (1) menggunakan kata “dapat” sehingga kata ini memberikan celah kepada
pemerintah daerah untuk tidak mengeluarkan APBD dalam penyelenggaraan bantuan
5
Abdurrahman, Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia (Jakarta: Penerbit Cendana Press, 1983). hlm. 17-18.
6
Bambang Sunggono & Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (Bandung: Penerbit Mandar
Maju, 2001). hlm. 23.
7
Soerjono Soekanto, Bantuan Hukum suatu Tinjauan Sosio Yuridis (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983). hlm. 22.
8
Ibid. hlm. 21.
9
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
10
Ibid. Pasal 3.
281 | LENTERA HUKUM
hukum. Hal ini dikarenakan kata tersebut mengandung arti bahwa ketentuan dalam pasal
ini memberikan sebuah pilihan bagi suatu daerah untuk mengalokasikan dana APBD dalam
penyelenggaraan bantuan hukum di daerah atau tidak mengalokasikan dana APBD untuk
menyelenggaraan bantuan hukum di daerah.
Pembahasan mengenai pembagian kekuasan antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah tidak dapat dipisahkan dengan kedudukan wewenang pemerintah
terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang berkaitan dengan penerapan asas legalitas
dalam sebuah konsepsi negara hukum. Asas legalitas yang ada dalam Pasal 1 Ayat (3)
UUDNRI 1945 menjadi legitimasi tindakan pemerintah, baik pemerintah pusat ataupun
pemerintah daerah. Faktanya, keseluruhan pelaksanaan dari wewenang pemerintahan
dilaksanakan oleh pemerintah. Tanpa adanya suatu wewenang, maka tentunya pemerintah
tidak akan dapat melakukan suatu tindakan pemerintahan. Dengan kata lain, pemerintah
tidak mungkin melakukan suatu kebijakan ataupun mengambil keputusan tanpa didasari
suatu wewenang pemerintahan. Jika hal tersebut terjadi, maka tindakan atau perbuatan
pemerintah yang dimaksud dapat dikategorikan sebagai sebuah tindakan tanpa dasar atau
perbuatan sewenang-wenang (cacat hukum). Oleh karena itu, konsep dari wewenang
pemerintahan perlu ditetapkan dan ditegaskan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang
ataupun tindakan perbuatan sewenang-wenang.
Indroharto berpendapat bahwa penerapan asas legalitas akan dapat menunjang
berlakunya kesamaan perlakuan dihadapan hukum serta kepastian hukum yang sesuai
dengan identitas bangsa Indonesia sebagai negara hukum.
11
Kesamaan perlakuan terjadi
dikarenakan setiap orang yang berada dalam situasi seperti yang ditentukan dalam suatu
ketentuan undang-undang itu berhak dan berkewajiban untuk berbuat sebagaimana
ditentukan dalam undang-undang tersebut. Adapun kepastian hukum akan terjadi karena
suatu aturan dapat membuat semua tindakan yang akan dilakukan pemerintah dapat
diramalkan atau diperkirakan terlebih dahulu. Dengan demikian, prinsip dasar negara
hukum menetapkan bahwa setiap tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah haruslah berdasarkan pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku atau berdasarkan pada adanya suatu legitimasi dan kewenangan baik
kewenangan atribusi, kewenangan delegasi ataupun kewenangan dengan mandat. Dengan
demikian, tindakan pemerintahan tersebut dipandang sah adanya.
H.D. Stout berpendapat bahwa wewenang, yaitu suatu pengertian yang berasal dari
hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan
yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek
hukum publik di dalam hubungan hukum publik.
12
Dalam hukum administrasi, Prajudi
Atmosudirjo membedakan antara wewenang (competence) dan kewenangan (authority), yaitu
dibedakan pengertiannya walaupun dalam prakteknya perbedaan itu tidak terlalu
dirasakan.
13
11
Aminuddin Ilmam, Hukum Tata Pemerintahan (Jakarta: Kencana). hlm. 97.
12
Ibid. hlm. 103.
13
Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981). hlm. 29.
282 | Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pemenuhan Bantuan Hukum bagi Masyarakat Miskin di Kabupaten Jember
“Kewenangan adalah apa saja yang disebut dengan kekuasaan formal yang berasal dari kekuasaan
legislatif yang diberikan oleh undang-undang. Sedangkan wewenang adalah pendelegasian
sebagian kekuasaan untuk melakukan tindakan hukum.”
Menurut pengertian secara yuridis dalam Pasal 1 huruf (c) Peraturan Pemerintah
Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Kewenangan Provinsi
sebagai Daerah Otonom, yaitu:
14
“Kewenangan pemerintah adalah hak dan kewajiban kekuasaan Pemerintah untuk menentukan
atau mengambil kebijakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.”
Dengan demikian, wewenang merupakan suatu kekuasaan untuk melakukan semua
tindakan yang berada pada kewenangannya. Dalam melaksanakan wewenang ini pemerintah
harus tetap memperhatikan asas desentralisasi, yaitu adanya penyerahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam penyelenggaraan
pemerintahan baik pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah dengan memberikan
kesempatan dan keleluasaan kepada daerah dalam menyelenggarakan otonomi daerah nya.
Melalui otonomi daerah ini diharapkan setiap daerah yang menjalankan otonomi daerah
akan mandiri dalam menentukan seluruh kebijakan dan kegiatan pemerintahan. Begitu juga
pemerintah pusat diharapkan mampu memainkan perannya dalam membuka peluang
kepada pemerintah daerah untuk memajukan daerahnya dengan melakukan identifikasi
potensi sumber-sumber pendapatannya juga mampu menetapkan APBD secara ekonomi
wajar, efisien, efektif termasuk kemampuan perangkat daerah meningkatkan kinerja untuk
dipertanggungjawabkan kepada pemerintah atasannya maupun kepada masyarakat.
15
Pengertian pemerintah daerah sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda) yaitu kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintah daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintah yang
menjadi kewenangan daerah otonom”.
16
Pemerintah daerah terdiri dari pemerintah daerah
provinsi dan pemerintah daerah atau kota.
17
Pemerintah daerah provinsi terdiri dari
Gubernur dan perangkat daerah provinsi sedangkan pemerintah daerah atau kota terdiri
dari Bupati atau Walikota dan perangkat daerah atau kota. HAW Widjaja memberikan
pengertian pemerintah daerah sebagai pelaksana fungsi pemerintahan daerah yang
dilakukan oleh lembaga pemerintah daerah yaitu pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD).
18
UU Pemda mengatur adanya pembagian urusan pemerintahan di daerah. Pasal 9 ayat
(1) mengatur mengenai pembagian urusan pemerintahan yang dibagi dalam 3 kategori, yakni
urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan
umum.
14
Pasal 1 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Kewenangan
Provinsi sebagai Daerah Otonom.
15
HAW Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013). hlm. 7.
16
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
17
Ibid Pasal 1 angka 3 .
18
Widjaja, supra note 15. hlm. 140.
283 | LENTERA HUKUM
Urusan pemerintahan absolut, adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi
kewenangan pemerintah pusat.
19
Urusan pemerintahan absolut ini terdiri dari 6 urusan.
Pertama, politik luar negeri, misalnya mengangkat pejabat diplomatik dan menunjuk warga
negara untuk duduk dalam jabatan internasional, menetapkan kebijakan luar negeri,
melakukan perjanjian dengan negara lain, menetapkan kebijakan perdagangan luar negeri.
Kedua, pertahanan, misalnya mendirikan dan membentuk angkatan bersenjata, menyatakan
damai dan perang, menyatakan negara atau sebagaian wilayah negara dalam keadaan bahaya,
membangun dan mengembangkan sistem pertahanan negara dan persenjataan, menetapkan
kebijakan untuk wajib militer, bela negara bagi setiap warga negara. Ketiga, keamanan,
misalnya mendirikan dan membentuk kepolisian negara, menetapkan kebijakan keamanan
nasional, menindak setiap orang, kelompok atau organisasi yang kegiatannya menggangu
keamanan negara. keempat, yustisi, misalnya mendirikan lembaga peradilan, mengangkat
hakim dan jaksa, mendirikan lembaga pemasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman
dan keimigrasian, memberikan grasi, amnesti, abolisi, membentuk undang-undang,
peraturan pemerintah pengganti undangundang, peraturan pemerintah, dan peraturan lain
yang berskala nasional. Kelima, moneter dan fiskal nasional, kebijakan makro ekonomi,
misalnya mencetak uang dan menentukan nilai mata uang, menetapkan kebijakan moneter,
mengendalikan peredaran uang, dan sebagainya. Keenam, agama, misalnya menetapkan hari
libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan
suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan, dan
sebagainya. Urusan agama, daerah dapat memberikan hibah untuk penyelenggaraan
kegiatan-kegiatan keagamaan sebagai upaya meningkatkan keikutsertaan daerah dalam
menumbuh kembangkan kehidupan beragama.
20
Urusan pemerintahan konkuren, merupakan urusan pemerintahan yang dibagi antara
pemerintah pusat, daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota.
21
Urusan Konkuren dalam
UU Pemda dibagi menjadi dua, yaitu wajib dan pilihan. Dalam urusan konkuren wajib
dibagi lagi menjadi dua, yaitu yang berkaitan dengan pelayanan dasar dan tidak berkaitan
dengan pelayanan dasar. Urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan
dasar meliputi tenaga kerja, pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak, pangan,
pertanahan, lingkungan hidup, administrasi kependudukan dan pencatatan sipil,
pemberdayaan masyarakat dan desa, pengendalian penduduk dan keluarga berencana,
perhubungan, komunikasi dan informatika, koperasi, usaha kecil, dan menengah,
penanaman modal, kepemudaan dan olah raga, statistik, persandian, kebudayaan,
perpustakaan, kearsipan.
22
Sedangkan urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan
pelayanan dasar adalah urusan pemerintahan wajib yang sebagian substansinya merupakan
pelayanan dasar,
meliputi
pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang,
perumahan rakyat dan kawasan permukiman, ketenteraman, ketertiban umum, dan
perlindungan masyarakat, sosial.
23
19
Supra note 16. Pasal 9 ayat (2).
20
Ibid. Penjelasan Pasal 10 ayat (1).
21
Ibid. Pasal 9 ayat (3) .
22
Ibid. Pasal 12 ayat (2).
23
Ibid. Pasal 12 ayat (1).
284 | Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pemenuhan Bantuan Hukum bagi Masyarakat Miskin di Kabupaten Jember
Pasal 15 UU Pemda juga mengatur mengenai pembagian urusan pemerintahan
konkuren antara pemerintah pusat dan daerah provinsi serta daerah kabupaten/kota, yaitu
pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah provinsi
serta daerah kabupaten/kota tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari undang-undang dan urusan pemerintahan konkuren yang tidak tercantum
dalam lampiran undang-undang ini menjadi kewenangan tiap tingkatan atau susunan
pemerintahan yang penentuannya menggunakan prinsip dan kriteria pembagian urusan
pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
Prinsip yang di atur dalam pasal 13 ayat (1) adalah prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan
eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional. Sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (4) pasal ini menyatakan bahwa kriteria urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah kabupaten/kota adalah urusan pemerintahan yang lokasinya dalam
daerah kabupaten/kota, urusan pemerintahan yang penggunanya dalam daerah
kabupaten/kota, urusan pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam
daerah kabupaten/kota, dan/atau urusan pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya
lebih efisien apabila dilakukan oleh daerah kabupaten/kota.
Untuk pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan
provinsi serta daerah kabupaten/kota, tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari UU Pemda, sehingga untuk bantuan hukum bagi masyarakat
miskin ini tidak tercantum dalam lampiran tersebut, sehingga mengenai pemenuhan
bantuan hukum ini merupakan urusan konkuren pemerintah daerah sebagai hak inisiatif
pemerintah daerah berdasarkan Pasal 15 UU Pemda. Bantuan hukum bagi masyarakat
miskin menjadi kewenangan tiap tingkatan atau susunan pemerintahan yang penentuannya
menggunakan prinsip dan kriteria pembagian urusan pemerintahan konkuren.
24
Dengan
demikian, kewenangan bantuan hukum ini merupakan urusan konkuren pemerintah daerah
yang tergantung pada komitmen pemerintah daerah untuk mengevaluasi lebih lanjut
manfaat dan kebutuhan dalam pelayanan dan pembangunan potensi yang ada di daerahnya
dengan adanya Perda bantuan hukum bagi masyarakat miskin di daerah tersebut.
Pelaksanaan pemberian layanan bantuan hukum bagi masyarakat miskin yang terdapat
dalam UU Bantuan Hukum tidak dilakukan langsung oleh pemerintah, melainkan oleh
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang merupakan sebuah organisasi kemasyarakatan
(Ormas). Penyelenggara bantuan hukum dalam UU Bantuan Hukum adalah pemerintah,
yaitu Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) yang secara teknis dilaksananakan
oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) sebagai pemerintah pusat. Peran
Kemenkumham dalam program bantuan hukum ini secara garis besar mencakup 3 (tiga)
aspek, yakni membuat aturan teknis bantuan hukum, pengelolaan penyaluran dana bantuan
hukum, serta pengawasan dan evaluasi pelaksanaan pemberian bantuan hukum.
Peraturan Pelaksana dari UU Bantuan Hukum yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 42
Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana
Bantuan Hukum. Menurut Peraturan Pemerintah ini anggaran bantuan hukum diberikan
untuk litigasi dan nonlitigasi, besaran anggaran bantuan hukum di tentukan oleh menteri
sesuai dengan Keputusan Kemenkumham Nomor M.HH-01.HN.03.03 Tahun 2015 tentang
24
Ibid. Pasal 13 ayat (4).
285 | LENTERA HUKUM
Besaran Biaya Bantuan Hukum Litigasi dan Non Litigasi. Berdasarkan keputusan tersebut,
biaya kegiatan bantuan hukum litigasi untuk pemberi bantuan hukum dalam satu perkara
pidana, perdata dan tata usaha negara, hingga perkara itu mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Selain itu, bantuan hukum juga diberikan untuk perkara nonlitigasi meliputi
penyuluhan hukum, konsultasi hukum, investiasi perkara, baik secara elektronik maupun
non elektronik, penelitian hukum, mediasi, negosiasi, pemberdayaan masyarakat,
pendampingan di luar pengadilan dan/atau drafting dokumen hukum.
Alokasi pembiayaan berdasarkan keputusan tersebut, maksimum biaya litigasi untuk
kasus pidana dan perdata dan tata usaha negara adalah Rp. 5.000.000, sementara untuk
kegiatan nonlitigasi seperti penyuluhan hukum, konsultasi hukum, mediasi dan negosiasi
biayanya bervariasi dari Rp. 140.000 hingga Rp. 3.740.000.
25
Penyaluran dana bantuan
hukum secara litigasi dapat diajukan setelah selesainya pemberian bantuan hukum oleh
pemberi bantuan hukum kepada penerima bantuan hukum pada setiap tahapan proses
beracara di pengadilan. Kemudian pemberi bantuan hukum dapat menyampaikan laporan
disertai dengan bukti pendukung yang perhitungannya sesuai prosentase tertentu dari tarif
per perkara. Dengan berdasarkan standar biaya pelaksanaan bantuan hukum secara litigasi
dengan tidak menghapuskan kewajiban kepada pemberi bantuan hukum untuk terus
memberikan bantuan hukum sampai dengan perkara yang ditangani pemberi bantuan
hukum selesai atau mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan untuk penyaluran dana
perkara nonlitigasi dapat dilakukan setelah pemberi bantuan hukum telah menyelesaikan
paling sedikitnya satu kegiatan bantuan hukum dalam paket kegiatan nonlitigasi. Kemudian
pemberi bantuan hukum menyampaikan laporan telah diadakannya bantuan hukum
nonlitigasi yang disertai dengan bukti pendukung pelaksanaan kegiatan bantuan hukum
tersebut. Penyaluran dana bantuan hukum yang secara nonlitigasi dihitung sesuai tarif per-
kegiatan berdasarkan standar biaya pelaksanaan bantuan hukum secara nonlitigasi.
26
Pengawasan dalam penyaluran dana bantuan hukum baik perkara litigasi ataupun
perkara nonlitigasi dilakukan oleh Kemenkumham melalui unit kerjanya. Di mana tugas dan
fungsinya terkait dengan pemberian bantuan hukum pada kementrian yang bertugas untuk
melakukan pengawasan atas pemberian bantuan hukum dan penyaluran dana bantuan
hukum, menerima laporan pengawasan yang dilakukan oleh panitia pengawas daerah,
menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan penyimpangan pemberian
bantuan hukum dan penyaluran dana bantuan hukum, melakukan klarifikasi atas dugaan
penyimpangan pemberian bantuan hukum dan penyaluran dana bantuan hukum yang
dilaporkan oleh panitiapengawas daerah/masyarakat, mengusulkan sanksi kepada Menteri
atas terjadinya penyimpangan pemberian bantuan hukum dan/atau penyaluran dana
bantuan hukum, serta membuat laporan pelaksanaan pengawasan kepada Menteri.
27
Lebih lanjut UU Bantuan Hukum ini berlaku hanya bagi LBH/Ormas yang
mengikatkan diri dengan menteri untuk menjadi pelaksanan bantuan hukum, dan tidak
25
Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.HH-01.HN.03.03 Tahun 2015 tentang Besaran Biaya Bantuan
Hukum Litigasi dan Nonlitigasi.
26
Badan Pembinaan Hukum Nasional. Implementasi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. 2016.
hlm. 8-9.
27
Ibid. hlm. 10-11.
286 | Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pemenuhan Bantuan Hukum bagi Masyarakat Miskin di Kabupaten Jember
mengikat LBH/Ormas lainnya. Hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya persyaratan bagi
pemberi bantuan hukum yang harus terverifikasi dan akreditasi. Bagi penerima bantuan
hukum, permohonan bantuan hukum dapat diajukan kepada LBH/Ormas yang ditunjuknya,
kemudian pemberi bantuan hukum memberikan layanan bantuan hukum secara gratis dan
mempertanggungjawabkan kepada menteri yang kemudian melaporkan kepada DPR di
setiap akhir tahun anggaran. Dalam mekanisme ini tidak terdapat peran serta masyarakat
untuk melakukan pengawasan terhadap menteri dan LBH/Ormas. Satu-satunya kontrol
adalah melalui DPR melalui laporan setiap akhir tahun anggaran. Sehingga, dalam hal ini
dikhawatirkan akan munculnya penyalahgunaan kewenangan dalam pemenuhan bantuan
hukum. Dengan demikian, adanya pengawasan langsung tinjau lapangan oleh penyelenggara
bantuan hukum diperlukan dalam hal meminimalisir kekhawatiran akan adanya
penyalahgunaan wewenang ini.
III. BENTUK PEMENUHAN BANTUAN HUKUM DI KABUPATEN JEMBER
Masyarakat miskin adalah orang perseorangan atau sekelompok orang yang kondisi sosial
ekonominya dikatagorikan miskin yang dibuktikan dengan Kartu Keluarga Miskin atau
Surat Keterangan Miskin dari lurah atau kepala desa.
28
Penyelenggara bantuan hukum
adalah pemerintah pusat, pemerintah provinsi atau pemerintah daerah kabupaten.
29
Pemberi
bantuan hukum adalah LBH/Ormas yang memberi layanan bantuan hukum berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
30
Dalam pelaksanaan bantuan hukum di Kabupaten Jember
harus memperhatikan beberapa asas dalam pemberian bantuan hukum. Asas-asas tersebut
diantaranya. Pertama, asas keadilan, artinya menempatkan hak dan kewajiban setiap orang
secara proporsional, patut, benar, baik, dan tertib. Kedua, asas persamaan kedudukan di
dalam hukum, bahwa setiap orang mempunyai hak dan perlakuan yang sama di depan
hukum serta kewajiban menjunjung tinggi hukum. Ketiga, asas keterbukaan dalam
memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi secara lengkap, benar,
jujur, dan tidak memihak dalam mendapatkan jaminan keadilan atas dasar hak secara
konstitusional. Keempat, asas efisiensi guna memaksimalkan pemberian bantuan hukum
melalui penggunaan sumber anggaran yang ada. Kelima, asas efektivitas untuk menentukan
pencapaian tujuan pemberian bantuan hukum secara tepat. Keenam, asas akuntabilitas,
bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan bantuan hukum harus
dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
31
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kabag Hukum Kabupaten Jember, dijelaskan
bahwa dalam upaya pemenuhan Perda Bantuan Hukum tersebut, Pemerintah Daerah
Kabupaten Jember telah mensosialisasikan program bantuan hukum kepada LBH/Ormas
agar mengajukan permohonan pemberian bantuan hukum kepada masyarakat yang tidak
mampu di Kabupaten Jember. Permohonan yang dimaksud dilengkapi dengan persyaratan-
persyaratan dari LBH/Ormas sebagai pemberi bantuan hukum yang berupa fotocopy
28
Pasal 1 angka 7 Peraturan Daerah Kabupaten Jember Nomor 6 Tahun 2016 tentang Bantuan Hukum bagi
Masyarakat Miskin. pdf.
29
Ibid. Pasal 1 angka 8.
30
Ibid. Pasal 1 angka 10.
31
Ibid. Pasal 2.
287 | LENTERA HUKUM
akreditasi, Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), keterangan domisili,
pernyataan tidak pernah menerima dana bantuan hukum dalam kasus yang sama yang
bersumber dari APBN dan APBD Provinsi, kartu tanda advokad, surat penunjukan
mendampingi penerima bantuan hukum, dan persetujuan atau penolakan memberikan
bantuan hukum, serta syarat lain yang diperlukan. Untuk penerima bantuan hukum,
melampirkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), surat keterangan tidak mampu, permohonan
bantuan hukum dan dokumen lain yang terkait perkara. Setelah diterima, pemerintah daerah
memverifikasi kesesuaian datanya. Kemudian diajukan kepada bupati untuk mendapat
disposisi atau persetujuan atas permohonan bantuan hukum tersebut. Jika disetujui, maka
anggaran dicairkan, dan demikian sebaliknya.
32
Setelah adanya Perda Kabupaten Jember maka secara otomatis dana yang dikeluarkan
dalam pemenuhan bantuan hukum dibebanban kepada daerah/APBD. Di Kabupaten Jember,
dana bantuan hukum adalah biaya yang disediakan tiap tahun oleh pemerintah daerah untuk
membiayai pelaksanaan bantuan hukum.
33
Sumber pendanaan penyelenggaraan bantuan
hukum dibebankan pada APBD Kabupaten Jember. Selanjutnya, pemberian dana bantuan
hukum oleh pemerintah kepada pemberi bantuan hukum dilakukan melalui perjanjian kerja.
Menurut Perda ini, ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian dana bantuan hukum melalui
perjanjian kerja diatur dalam Peraturan Bupati (Perbup).
34
Dikarenakan peraturan tersebut
belum disahkan maka penyaluran dana bantuan hukum dapat dilakukan sesuai dengan
peraturan perundangan yang telah berlaku. Dengan demikian, bantuan hukum secara litigasi
dapat dilakukan setelah pemberi bantuan hukum menyelesaikan pemberian bantuan hukum
kepada penerima bantuan hukum dan membuat laporan disertai bukti pendukung dari
kegiatan bantuan hukum yang telah terlaksana. Begitu juga untuk penyaluran dana bantuan
hukum yang secara nonlitigasi dapat dilakukan setelah pemberi bantuan hukum
menyelesaikan bantuan hukum nonlitigasi paling sedikitnya satu kegiatan dalam paket
kegiatan nonlitigasi tersebut.
Berdasarkan Dokumen Pelaksana Perubahan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah
Kabupaten Jember Tahun Anggaran 2017, masukan jumlah dana dalam pemenuhan bantuan
hukum bagi masyarakat miskin di Kabupaten Jember sebesar Rp.356.125.000 untuk 50
penerima bantuan hukum. Berdasarkan rincian tersebut, pemenuhan bantuan hukum di
Kabupaten Jember telah sesuai dengan amanat peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Namun jika diteliti lagi, anggaran dana untuk litigasi sebesar Rp.5.000.000 ini masih
termasuk kategori cukup bahkan cenderung kurang, karena dari dana tersebut masih ada
potongan pajak 2% dan potongan operasional Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang
bervariasi di masing-masing OBH, sampai dengan 40%. Dengan demikian, dana yang dapat
diterima pemberi bantuan hukum sekitar Rp.2.900.000.
35
32
A Zaenurrofik sebagai Kabag Hukum Kabupaten Jember, Hasil Wawancara dengan Pemerintah Daerah
Kabupaten Jember (2017).
33
Supra note 28. Pasal 1 angka 19.
34
Ibid. Pasal 27.
35
Dokumen Pelaksana Perubahan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Jember Tahun Anggaran 2017.
Nomor DPPA SKPD 4.01 01 03 14 04 5 2. Formulir DPPA SKPD 2.2.1.
288 | Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pemenuhan Bantuan Hukum bagi Masyarakat Miskin di Kabupaten Jember
Pemberian bantuan hukum oleh OBH memiliki peranan yang sangat besar untuk
mendampingi kliennya sehingga dia tidak akan diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh
aparat penegak hukum. Demikian juga untuk membela dalam hal materinya yang secara
ekonomi penerima bantuan hukum tidak mampu membayar jasa pembela hukum. Dengan
pemberian bantuan hukum ini, diharapkan dapat tercapainya keputusan yang mendekati
rasa keadilan dari pengadilan untuk setiap warga negara yang terlibat kasus hukum dengan
tidak ada perbedaan antara kedua belah pihak yang berperkara.
Pendanaan bantuan hukum bagi masyarakat miskin dibebankan kepada negara,
termasuk dalam APBN selama belum adanya Perda yang mengatur tentang bantuan hukum
di daerah dan pendanaan pemberian bantuan hukum dibebankan kepada daerah. Hal
tersebut dilakukan ketika daerah tersebut telah mengesahkan dan melaksanakan peraturan
daerah tentang bantuan hukum bagi masyarakat miskin. Alokasi APBN untuk
penyelenggaraan bantuan hukum adalah wujud kewajiban pemerintah dan disalurkan
melalui anggaran Kemenkumham sebagai penyelenggara bantuan hukum. Sumber
pendanaan bantuan hukum selain dari APBN, dapat diperoleh juga dari Pemerintah Daerah
tingkat I (Propinsi) dan Tingkat II (Kabupaten/Kota). Penerima belanja hibah dana bantuan
hukum atau LBH harus telah lulus verifikasi. Dalam proses pemberian akreditas dan
verifikasi tetap mengacu pada Kemenkumham. Untuk mengefektifkan pelaksanaan verifikasi
daerah, dibentuk Tim Verifikasi yang terdiri atas ketua, sekretaris dan anggota. Verifikasi
dimaksud meliputi aspek validasi atas benar atau tidaknya keberadaan subtansi kegiatan
yang akan dilaksakan.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor M.HH-01.HN.03.03 TAHUN 2016 tanggal 7 Januari 2016 tentang Bantuan
Hukum Lembaga/Organisasi Lulus Verifikasi dan Akreditasi untuk Periode 2016-2018 adalah
405 Organisasi Bantuan Hukum. Untuk Jawa Timur, ada 44 OBH dan 5 diantaranya adalah
OBH di Kabupaten Jember, yaitu Yayasan IKADIN Jember Akreditasi (B), BPBH Fakultas
Hukum Universitas Negeri Jember Akreditasi (B), Pusat Advokasi Hukum Dan Hak Asasi
Manusia Jember Akreditasi (C), Lembaga Konsultasi Dan Bantuan Hukum Islam Stain
Jember Akreditasi (C), Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum Persatuan Guru Republik
Indonesia Kabupaten Jember Akreditasi (C).
Pemberi bantuan hukum adalah LBH/Ormas yang memberi layanan bantuan hukum
berdasarkan Perda Bantuan Hukum bagi Masyarakat Miskin.
36
Memang tidak semua OBH
dalam konteks aturan ini bisa menjadi pemberi bantuan hukum. Pasal 6 Peraturan Daerah
Kabupaten Jember menyebutkan bahwa pelaksanaan bantuan hukum dilakukan oleh
pemberi bantuan hukum yang telah memenuhi syarat, diantaranya berbadan hukum,
terakreditasi Kemenkumham, memiliki kantor atau sekretariat yang tetap, memiliki
pengurus, dan memiliki program bantuan hukum. Sedangkan untuk memperoleh bantuan
hukum, pemohon bantuan hukum harus memenuhi syarat dengan mengajukan permohonan
secara tertulis yang berisi paling sedikit identitas pemohon bantuan hukum dan uraian
singkat mengenai pokok persoalan yang dimohonkan bantuan hukum, menyerahkan
dokumen yang berkenaan dengan perkara, dan melampirkan surat keterangan miskin dari
lurah atau kepala desa atau pejabat setingkat yang berwenang di tempat tinggal pemohon
36
Supra note 28. Pasal 10 ayat 1 .
289 | LENTERA HUKUM
bantuan hukum.
37
Apabila pemohon bantuan hukum tidak mampu menyusun permohonan
secara tertulis, permohonan dapat diajukan secara lisan.
38
Permohonan bantuan hukum diajukan secara tertulis kepada pemberi bantuan hukum,
diantaranya dengan menyertakan identitas pemohon bantuan hukum yang harus dibuktikan
dengan KTP dan/atau dokumen lain. Apabila pemohon tidak memiliki identitas, pemberi
bantuan hukum membantu pemohon bantuan hukum dalam memperoleh surat keterangan
alamat sementara dan/atau dokumen lain dari lurah atau kepala desa atau pejabat setingkat
yang berwenang sesuai domisili pemberi bantuan hukum, uraian singkat mengenai pokok
persoalan yang dimintakan bantuan hukum, Surat keterangan tidak mampu dari lurah atau
kepala desa atau pejabat setingkat yang berwenang di tempat tinggal pemohon bantuan
hukum. Jika pemohon bantuan hukum tidak memiliki surat keterangan tidak mampu,
pemohon bantuan hukum dapat melampirkan Kartu Indonesia Sehat atau Kartu Keluarga
Sejahtera atau Kartu Indonesia Pintar atau dokumen lain sebagai pengganti surat keterangan
miskin, dokumen yang berkenaan dengan perkara.
39
Jika pemohon bantuan hukum tidak
memiliki persyaratan dimaksud, pemberi bantuan hukum membantu pemohon bantuan
hukum dalam memperoleh persyaratan tersebut.
Pemberian bantuan hukum dapat dilakukan secara litigasi dan nonlitigasi. Secara
litigasi dilakukan dengan cara pendampingan dan/atau menjalankan kuasa yang dimulai dari
tingkat penyidikan, dan penuntutan, pendampingan dan/atau menjalankan kuasa dalam
proses pemeriksaan dipersidangan, atau pendampingan dan/atau menjalankan kuasa
terhadap penerima bantuan hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara.
40
Pemberian bantuan hukum secara litigasi dapat dilakukan oleh seorang advokat yang
berstatus sebagai pengurus pemberi bantuan hukum dan/atau advokat yang direkrut oleh
pemberi bantuan hukum. Apabila jumlah advokat yang terhimpun dalam LBH/Ormas tidak
memadai dengan banyaknya jumlah penerima bantuan hukum. Dengan demikian,pemberi
bantuan hukum dapat merekrut paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum dengan
melampirkan bukti tertulis pendampingan dari advokat. Khusunya untuk mahasiswa
fakultas hukum harus telah lulus mata kuliah hukum acara dan pelatihan paralegal.
Pemberian bantuan hukum secara nonlitigasi dapat dilakukan oleh advokat, paralegal,
dosen, dan mahasiswa fakultas hukum dalam lingkup pemberi bantuan hukum yang telah
lulus verifikasi dan akreditasi. Pemberian bantuan hukum secara nonlitigasi meliputi
kegiatan penyuluhan hukum, konsultasi hukum, investigasi perkara, baik secara elektronik
maupun nonelektronik, penelitian hukum, mediasi, negosiasi, pemberdayaan masyarakat,
pendampingan di luar pengadilan, dan/atau drafting dokumen hukum.
41
Namun program bantuan hukum gratis yang diatur dalam Perda Kabupaten Jember
tidak semua kasus bisa dilayani, ada pengecualian terhadap beberapa kasus diantaranya
tindak pidana dengan kualifikasi pengulangan atau residivis, penyalahgunaan narkoba,
37
Ibid. Pasal 13.
38
Ibid. Pasal 19 Ayat (1).
39
Ibid. Pasal 15.
40
Ibid. Pasal 24.
41
Pasal 16 Peraturan-Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan
Penyaluran Dana Bantuan Hukum. pdf.
290 | Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pemenuhan Bantuan Hukum bagi Masyarakat Miskin di Kabupaten Jember
kejahatan asusila, pedofilia, kekerasan terhadap perempuan dan anak, sengketa pertanahan
dengan obyek hukum tanah aset milik Pemerintah Kabupaten Jember, dan sengketa yang
timbul akibat ditetapkannya Perbup. Adanya pengecualian ini bisa menjadi suatu kendala
tersendiri bagi pemberi bantuan hukum karena tidak semua perkara hukum dapat mereka
bantu. Di sisi lain pengecualian tersebut merupakan kewenangan pemerintah daerah untuk
menjaga prinsip-prinsip dan beberapa peraturan daerah lainnya agar tidak terjadi
penyimpangan antara peraturan yang satu dengan lainnya.
42
Pemenuhan bantuan hukum bagi masyarakat miskin di Kabupaten Jember sebagian
telah dilaksanakan menggunakan dana APBD sesuai dengan Perda Bantuan Hukum bagi
Masyarakat Miskin. Pada tahun 2017 sudah ada 4 OBH yang mengajukan permohonan
pencairan dana di Kabupaten Jember untuk perkara litigasi dengan total perkara 29 perkara,
dengan perkara kasus perceraian, dan untuk nonlitigasi belum ada yang mengajukan.
Pemenuhan bantuan hukum dengan Perda Bantuan Hukum ini belum bisa dilaksanakan
secara keseluruhan mengingat Perbup tentang Perda Bantuan Hukum ini belum juga
disahkan, sehingga ada beberapa OBH yang belum dapat merasakan pendanaan dari APBD,
melainkan masih menggunakan pendanaan dari APBN.
43
Dari beberapa bentuk bantuan hukum yang telah terlaksana, pemenuhan bantuan
hukum bagi masyarakat miskin di Kabupaten Jember sampai sejauh ini belum maksimal
karena belum bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat khususnya masyarakat miskin
di desa terpencil. Penegak hukum nampaknya masih kurang tertarik melayani perkara yang
melibatkan orang miskin. Pihak penyelenggara bantuan hukum cenderung tidak
memberikan keterangan yang jelas dalam pelayanan pencairan dana kepada OBH yang
mengajukan permohonan pencairan dana, sehingga pencairan dana seringkali terlambat. Jika
dilihat dari penegak hukum dan penyelenggara bantuan hukum masih menunjukkan akses
masyarakat miskin untuk mendapatkan bantuan hukum secara gratis atau cuma-cuma di
Kabupaten Jember belum mencapai persamaan dihadapan hukum (equality before the law).
Jika dilihat dari penerima bantuan hukum, sosialisasi ketentuan bantuan hukum
kepada orang miskin kurang efektif karena masih banyak masyarakat miskin yang tidak
mengetahui hak-haknya dalam memperoleh bantuan hukum secara gratis. Begitu juga
prosedur prasyarat dalam mengajukan permohonan bantuan hukum termasuk sulit untuk
kalangan masyarakat miskin karena mayoritas dari mereka tidak terlalu memperdulikan
formalitas kependudukan, yang paling penting mereka bekerja dan menghasilkan uang
untuk bertahan hidup. Budaya masyarakat yang cenderung pasrah dan mengira akan
menghabiskan banyak biaya jika menggunakan jasa pemberi bantuan hukum juga menjadi
kendala tersendiri dalam pemenuhan bantuan hukum, karena dengan budaya ini masyarakat
enggan mengajukan permohonan bantuan hukum.
Lahirnya Perda Bantuan Hukum bagi Masyarakat Miskin memberikan jaminan hak
konstitusional bagi setiap masyarakat miskin di Kabupaten Jember untuk mendapatkan
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil untuk memberikan
perlakuan yang sama dihadapan hukum sebagai sebuah sarana perlindungan Hak Asasi
Manusia. Faktanya, equality before the law sulit untuk ditegakkan jika yang tersandung kasus
42
A. Zaenurrofik sebagai Kabag Hukum Kabupaten Jember, supra note 32.
43
Ibid.
291 | LENTERA HUKUM
hukum adalah golongan masyarakat miskin yang pada umumnya kategori masyarakat miskin
ini tidak hanya dalam perspektif ekonomi tapi juga dalam perspektif pengetahuan dibidang
hukum. Sebagian besar dari mereka tidak mengetahui adanya bantuan hukum gratis bagi
masyarakat miskin yang terlibat kasus hukum, mereka hanya terpaku dalam anggapan jika
ingin membela hak di depan hukum, maka mereka harus mengeluarkan biaya yang sangat
besar yang justru akan merugikan mereka dalam perspektif ekonomi. Hal ini
dilatarbelakangi adanya stigma masyarakat bahwa jasa advokat sangat mahal, hal ini juga
disebabkan kurangnya sosialisasi mengenai adanya bantuan hukum gratis bagi masyarakat
miskin. Tentunya merupakan tugas bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Jember dan pemberi
bantuan hukum untuk terus mensosialisasikan adanya pemberian bantuan hukum gratis
bagi masyarakat miskin yang telah dilindungi oleh undang-undang dan didukung penuh oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten Jember.
IV. KESIMPULAN
Penyelenggaraan pemberian bantuan hukum kepada masyarakat miskin adalah upaya dalam
memenuhi tanggung jawab negara sebagai implementasi dari negara hukum yang mengakui
dan melindungi serta menjamin hak asasi setiap warga negara untuk memiliki kedudukan
sama dihadapan hukum (equality before the law). Dalam hal ini, lahirlah UU Bantuan Hukum
yang didalamnya memberikan ruang kepada pemerintah daerah sebagai bagian dari asas
otonomi daerah yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah. Di manakewenangan urusan konkuren pemerintah daerah yang lokasi,
penggunaan, manfaat atau dampak serta sumber dayanya melihat dari efisiensi daerah yang
sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan dari masing-masing daerah.
Dengan adanya Perda Bantuan Hukum bagi Masyarakat Miskin di Kabupaten Jember
menunjukkan telah adanya komitmen pemerintah daerah dalam pemenuhan bantuan hukum
di Kabupaten Jember. Namun faktanya belum dapat dilaksanakan secara maksimal karena
belum ada Perbup sebagai peraturan pelaksananya, dan terkait dengan pengawasan terhadap
bantuan hukum tidak terdapat partisipasi masyarakat dalam pertanggungjawabannya,
sehingga terdapat celah bagi pemberi bantuan hukum dalam melakukan pelanggaran.
Berdasarkan uraian di atas, saran yang dapat diberikan penulis yaitu. Pertama, pemberi
bantuan hukum harus proaktif dalam memberikan bantuan hukum, misalnya bekerjasama
dengan penegak hukum untuk memberikan penyuluhan ataupun pendampingan bagi
masyarakat miskin yang perkaranya masih tahap penyelidikan. Kedua, melibatkan
partisipasi masyarakat sebagai pengawasan pemenuhan bantuan hukum dalam laporan
pertanggungjawaban kepada penyelenggara bantuan hukum, termasuk penerima bantuan
hukum harus ikut berpatisipasi dalam pengawasan pelaksanaan pemberian bantuan hukum
khususnya dalam laporan pertanggungjawaban yang akan diajukan kepada penyelenggara
bantuan hukum bagi masyarakat miskin agar tidak ada manipulasi ataupun pemalsuan data.
292 | Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pemenuhan Bantuan Hukum bagi Masyarakat Miskin di Kabupaten Jember
DAFTAR PUSTAKA
A Zaenurrofik sebagai Kabag Hukum Kabupaten Jember. Hasil Wawancara Dengan Pemerintah
Daerah Kabupaten Jember (2017).
Abdurrahman. Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia (Jakarta: Penerbit Cendana Press, 1983).
Ardyanto, Donny. “Peran Pemerintah Daerah dalam Pemenuhan Akses Terhadap Keadilan
dan Bantuan Hukum”, online: .
Atmosudirdjo, Prajudi. Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981).
AusAID, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan. Panduan Bantuan Hukum Di
Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014).
Badan Pembinaan Hukum Nasional. Implementasi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan
Hukum. 2016.
Dokumen Pelaksana Perubahan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Jember Tahun
Anggaran 2017. Nomor DPPA SKPD 4.01 01 03 14 04 5 2. Formulir DPPA SKPD 2.2.1.
Ilmam, Aminuddin. Hukum Tata Pemerintahan (Jakarta: Kencana).
Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.HH-01.HN.03.03 Tahun 2015 Tentang Besaran
Biaya Bantuan Hukum Litigasi dan Non Litigasi.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum (edisi revisi) (Jakarta: Kencana, 2008).
Peraturan Daerah Kabupaten Jember Nomor 6 Tahun 2016 Tentang Bantuan Hukum Bagi Masyarakat
Miskin.pdf.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Kewenangan
Provinsi Sebagai Daerah Otonom.
Peraturan-Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum
dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum. pdf.
Soekanto, Soerjono. Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosio Yuridis (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1983).
Sunggono, Bambang & Aries Harianto. Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (Bandung:
Penerbit Mandar Maju, 2001).
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang pemerintah Daerah.
Widjaja, HAW. Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013).