Lentera Hukum, Volume 5 Issue 3 (2018), pp. 493-506 ISSN 2355-4673 (Print) 2621-3710 (Online) https://doi.org/10.19184/ ejlh.v5i3.6761 Published by the University of Jember, Indonesia Available online 31 December 2018 Tindak Pidana Kelalaian Dokter Gigi yang Menyebabkan Luka pada Pasien (Analisis Putusan Nomor: 257/Pid.B/2015/PN.Dps) Selly Ismi Qomariyah University of Jember, Indonesia sellyismi.qfh13@gmail.com Y.A Triana Ohoiwutun University of Jember, Indonesia anaohoiwutun@ymail.com Sapti Prihatmini University of Jember, Indonesia saptiprihatmini@yahoo.co.id ABSTRACT There is a substantial difference between the ordinary crime related to its results and that related to its causes. In order to classified as a crime, the negligence carried out by medical personnel needs to be previously described regarding the fulfillment of the elements of lawlessness. This paper analyzes whether there is medical malpractice and with the following lawlessness in the court decision number 257/Pid.B/2015/PN.Dps. Throughout the analysis, it will provide a comprehension to the qualification of whether malpractice, medical negligence or medical risk. The result of the study finds that such a crime can be qualified to medical malpractice, even though he did not fulfill the nature against formal law but it meets the element of nature against material law. KEYWORDS: Medical Malpractice, Lawlessness, Crime. Copyright © 2018 by Author(s) This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. All writings published in this journal are personal views of the authors and do not represent the views of this journal and the author's affiliated institutions. Submitted: January 24, 2018 Revised: January 31, 2018 Accepted: March 19, 2018 HOW TO CITE: Qomariyah, Selly Ismi, Y.A. Triana Ohoiwutun & Sapti Prihatmini. “Tindak Pidana Kelalaian Dokter Gigi yang Menyebabkan Luka pada Pasien (Analisis Putusan Nomor: 257/Pid.B/2015/PN.Dps)” (2018) 5:3 Lentera Hukum 493-506. 494 | Tindak Pidana Kelalaian Dokter Gigi yang Menyebabkan Luka pada Pasien … I. PENDAHULUAN Sejak tumbuhnya ilmu kedokteran, umat manusia telah mengakui keluhuran budi dokter sebagai manusia yang selalu memelihara martabat dan tradisi luhurnya. Para Ahli Kedokteran sejak jaman kuno seperti Hippocrates, Imhotep, Galenos, Ibnusina dan Pierre Vouchard telah mempelopori terbentuknya tradisi luhur tersebut dalam bentuk Kode Etik Kedokteran dengan tujuan untuk mengutamakan kepentingan pasien dan menjaga keluhuran profesi Kedokteran. 1 Demi melestarikan tradisi luhur tersebut, Indonesia memiliki Kode Etik Kedokteran yang diatur dalam Pedoman Organisasi dan Tata Laksana Kerja Majelis Kehormatan Etik Kedokteran. Perkembangan pelayanan kesehatan dan tuntutan masyarakat membawa dampak pada perubahan kebutuhan kompetensi pelayanan kesehatan primer yang menjadi salah satu tanggung jawab dokter. Namun, hingga sekarang Indonesia belum memiliki standar profesi medis yang berlaku secara nasional. Belum adanya standar profesi medis ini merugikan profesi dokter dan masyarakat, karena standar profesi bagi dokter dapat digunakan sebagai alat untuk mengadakan pembelaan diri atas tindakan medis yang dilakukannya, apalagi jika praktik kedokteran yang merugikan pasien. 2 Beberapa tahun terakhir ini sering kita dengar pasien yang menjadi cacat bahkan meninggal dunia setelah ditangani oleh dokter atau tenaga medis lain. Polemik yang muncul yakni petugas kesehatan telah melakukan malpraktik. 3 Kasus dokter Ayu yang terjadi pada April 2010 lalu telah menjadi salah satu contoh kasus malpratik yang sampai pengadilan. Pembuktian kasus malpraktik medis tidak mudah, karena ilmu kedokteran tidak banyak diketahui oleh orang awam. Untuk mendeteksi kejahatan menurut T.G Cooke, kadang-kadang diperlukan orang-orang terlatih, walaupun orang-orang ini tidak memerlukan pendidikan yang tinggi tetapi diperlukan kemampuan pendeteksian dengan ilmu dan sensasi-sensasi biasa saja. Kesalahan dokter merupakan kesalahan profesi, maka tidaklah mudah bagi siapa saja, termasuk penegak hukum yang tidak memahami profesi ini untuk membuktikannya di pengadilan, meskipun demikian tidak berarti kesalahan dokter tidak dapat dibuktikan. 4 Tenaga-tenaga ahli dan terlatih yang dimaksudkan dalam menangani malpraktik medis adalah Majelis Kehormatan Etik Kedokteran yang memiliki tugas menentukan ada tidaknya kesalahan penerapan disiplin ilmu kedokteran dan menjatuhkan sanksi etika atas kode etik yang dilanggar. Di dalam kasus yang penulis analisis, 5 bermula sekitar bulan Nopember 2012 saksi drg. PAMW mencari orang sebagai pasien untuk menyelesaikan tugas target profesinya yaitu mencari orang yang bisa dibuatkan gigi palsu penuh (gigi atas dan bawah). Sebelumnya saksi drg. PAMW dipertemukan oleh saksi drg. IPDP dengan saksi korban 1 Mukadimah Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia. 2 Adami Chazawi, Malpraktik Kedokteran: Tinjauan Norma dan Doktrin Hukum (Malang: Bayumedia, 2007) Hal. 33–34. 3 Muhammad Sadi, Etika dan Hukum Kesehatan:Teori dan Aplikasinya di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2015) Hal. 55. 4 Sutarno, Hukum Kesehatan: Eutanasia, Keadilan Dan Hukum Positif Indonesia (Setara Press, 2014) Hal. 42. 5 Lampiran Putusan Nomor 257/Pid.B/PN.Dps/2015 Hal. 01. 495 | LENTERA HUKUM (pasien), kemudian saksi drg. PAMW menawarkan kepada pasien untuk dibuatkan gigi palsu dan pasien menyetujuinya. Foto rontgen yang dilakukan tanggal 12 Nopember 2012 memperlihatkan ada 14 gigi (satu gigi sisa akar gigi nomor 14 dan satu gigi impaksi gigi nomor 13, selanjutnya 12 gigi saksi korban Denni Azhari Iradat yang terlihat dicabut dan saksi korban setuju). Karena pasien menyetujuinya, drg. PAMW mengindikasikan pasien kepada dosen pembimbing drg. Suhendra. Kemudian drg. Suhendra mengintruksikan untuk mencabut ke 12 gigi pasien, dan saksi drg. IPDP pun mencabut gigi pasien secara bertahap. Setelah pencabutan ke-12 gigi selesai, untuk memasang gigi palsu dibutuhkan waktu seminggu untuk jeda waktu proses kesembuhan. Setelah pemakaian gigi palsu, pasien merasa nyaman, namun setelah seminggu kemudian pasien merasa tidak nyaman. Terdapat sariawan di beberapa gusi. Selanjutnya pasien dibawa ke dokter Alit Budiasa. 6 Dokter Alit Budiasa melakukan pemeriksaan dan dikatakan bahwa timbul sariawan disebabkan adanya penonjolan tulang pada bagian rahang bawah depan dan rahang bawah kiri belakang. Sehingga menyebabkan gigi palsu tidak nyaman. Dokter Alit Budiasa mengintruksikan untuk melakukan tindakan Alveolektomi (pemotongan tulang gusi). Karena dokter Alit Budiasa tidak bisa, maka ia menyarankan kepada pasien untuk pergi ke dokter biasa. 7 Rasa tidak nyaman pasien atas rongga mulutnya sebenarnya telah terasa sejak setelah pemasangan gigi palsu, dikarenakan korban adalah pasien yang ditangani lebih dari satu dokter dan satu penanganan medis, ada kemungkinan luka pasien merupakan rentetan dari tindakan-tindakan sebelumnya. Dokter gigi PAMW dan drg. IPDP membawa pasien ke terdakwa untuk melakukan operasi Alveolektomi yaitu proses pengambilan atau pemotongan tulang yang tajam (exostosis) pada tulang gigi. Terdakwa melakukan operasi pengurangan tulang gigi yang menonjol pada rahang bawah pada tanggal 15 Januari 2013 di tempat praktek drg. Rudita di jalan Thamrin. Setelah melakukan Alveolektomi dilakukan penjahitan dan terapi obat, anti biotic calmoxiline, anti inflamasi dan vitamin B COM C, kemudian pasien disuruh kontrol setelah seminggu. Seminggu kemudian, terdakwa membersihkan luka dan melepaskan jahitan. Saat itu gigi impaksi terlihat lalu terdakwa menyarankan untuk mencabutnya di spesialis bedah mulut. Akibat dari pencabutan gigi impaksi, pasien merasakan panas dan tebal pada lidah bagian kiri. Kemudian pasien merasa kaku saraf lalu menghubungi drg. PAMW. Drg. PAMW melihat ternyata luka bekas pencabutan gigi Impaksi masih tampak merah, akhirnya drg. PAMW menelpon terdakwa. Terdakwa pun meminta drg. PAMW untuk membawa pasien ketempat praktek terdakwa. 8 Tujuan awal pasien di rujuk ke terdakwa adalah untuk dilakukan operasi Alveolektomi namun, setelah selesai operasi, terdakwa melihat ada mahkota gigi impaksi yang muncul pada bekas operasi sehingga dimungkinkan akan mengganggu 6 Lampiran Putusan Nomor 257/Pid.B/PN.Dps/2015, supra note 5. 7 Ibid Hal. 11. 8 Ibid Hal. 11. 496 | Tindak Pidana Kelalaian Dokter Gigi yang Menyebabkan Luka pada Pasien … pemasangan dan penggunaan gigi palsu. Terdakwa melakukan pencabutan gigi tanpa prosedur yang sesuai, dengan menggunakan tang cabut biasa. Padahal seharusnya pencabutan gigi impaksi harus melalui operasi bedah, sedangkan yang memiliki kewenangan untuk melakukann adalah dokter bedah mulut. Perbuatan terdakwa menimbulkan akibat yang tidak dikehendaki, sehingga pasien mengalami luka yang menyebabkan pasien tidak bisa menjalankan profesinya sebagai penyanyi. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, beberapa hal yang membuat penulis tertarik yaitu pasien ditangani lebih dari satu dokter gigi, dengan lebih dari satu tindakan medis tentunya. Sehingga kemudian penulis akan menganalisis, apakah perbuatan terdakwa dalam putusan 257/Pid.B/2015/PN.Dps dapat dikualifikasikan sebagai malpraktik medis? Dan apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa dalam kasus yang penulis analisi mengandung unsur melawan hukum? II. PERBUATAN TERDAKWA MERUPAKAN MALPRAKTIK MEDIS Seorang dokter atau dokter gigi dalam menjalankan profesinya dapat dimungkinkan melakukan suatu kesalahan yang berakibat tidak sesuai dengan yang dikehendaki, kemudian berujung dengan perbuatan tindak pidana. Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa ada perbedaan yang sangat mendasar antara tindak pidana biasa dan tindak pidana medis. Dimana tindak pidana biasa yang menjadi titik perhatian utama adalah akibat dari tindakan tersebut, sedangkan dalam tindak pidana medis justru kausa atau sebab serta proses dan bukan akibat tadi. 9 Hal tersebut dikarenakan dokter/dokter gigi dalam menjalankan profesinya mendasarkan pada usaha sebaik- baiknya (inspanningverbintenis) bukan berdasarkan hasil (resultaatverbintenis). 10 Terdakwa merupakan dokter gigi, yang dituntut untuk bekerja secara profesional dan selalu mengikuti perkembangan dunia medis untuk meminimalisir terjadinya malpraktik medis. Dokter/dokter gigi dalam menjalankan profesinya ketika melakukan suatu kesalahan yang menimbulkan akibat yang tidak dikehendaki, tidak bisa hanya dilihat dari akibat yang telah ditimbulkan melainkan juga harus melihat proses dari akibat itu muncul. Meski terkadang kesalahan tersebut terdapat adanya suatu kelalaian dengan menggunakan asas res ipsa loquitor, tetapi masih tetap harus mempertimbangkan suatu kondisi. Misalnya suatu operasi harus segera dihentikan mengingat kondisi pasien yang tidak memungkinkan untuk terus dilakukan operasi. Sehingga para tenaga medis juga tidak bisa mengecek lebih teliti seperti pasca operasi pada umumnya. Tindakan medis dokter/dokter gigi yang menimbulkan hal-hal yang tidak dikehendaki, memungkinkan untuk masuk dalam kualifikasi malpraktik medis, kelalaian medis atau resiko medis. Dalam mengambil kesimpulan atas perbuatan terdakwa dalam memenuhi klasifikasi dari salah satu dari tiga kemungkinan tersebut, penulis menggunakan teori kausalitas yang menggeneralisir. Yaitu teori yang dalam 9 Crisdiono M Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2007) hlm. 23. 10 Ibid hlm. 110. 497 | LENTERA HUKUM mencari sebab dari rangkaian faktor yang berpengaruh atau berhubungan dengan timbulnya akibat, yakni dengan melihat dan menilai faktor mana yang secara wajar dan menurut akal serta pengalaman pada umumnya dapat menimbulkan suatu akibat. Jadi, dalam mencari faktor penyebab dan menilainya tidak berdasarkan pada faktor setelah peristiwa terjadi beserta akibatnya, tetapi pada pengalaman pada umumnya menurut akal dan kewajaran manusia atau disebut secara abstracto, secara inconcreto. 11 Penulis mengkaji terlebih dahulu bagaimana akibat luka yang dialami pasien tersebut dapat ada. Jika dilihat dari Visum et Repertum Nomor: UK.01.15/IV.E.19/VER/143/2014 dalam Putusan Nomor 257/Pid.B/2015/PN.Dps, kesimpulan luka yang dialami pasien adalah timbunan nanah pada rahang bawah kiri (sub mentalis abses) yang mungkin disebabkan oleh gigi yang impaksi. Ditemukan juga rasa tebal pada bibir bawah yang disebabkan oleh gangguan syaraf yang melayani daerah tersebut. Visum et Repertum Nomor: UK.01.15/IV.E.19/VER/143/2014 tidak menyebutkan bahwa pasien sedang terluka. Hal ini disebabkan pengertian luka dalam sudut pandang hukum kedokteran gigi adalah terbukanya jaringan lunak di dalam rongga mulut yang biasanya diakibatkan oleh benda tajam. Seperti karena gerakan dari pisau bedah, tang cabut dan sebagainya. Luka dalam rongga mulut semisal seperti bekas luka pencabutan gigi, sedangkan yang dialami pasien bukanlah luka, melainkan infeksi. 12 Hukum kedokteran gigi memang membedakan luka, alergi dan infeksi. Sehingga dapat disimpulkan yang dialami pasien bukan merupakan luka, melainkan infeksi. Apakah Putusan Nomor: 257/Pid.B/2015/PN.Dps yang menyatakan bahwa unsur mengakibatkan luka dalam Pasal 360 ayat (2) KUHP tidak terpenuhi? Padahal dalam Pasal 360 ayat (2) KUHP disebutkan dengan jelas bahwa kelalaian tersebut menyebabkan “luka”. Ilmu hukum memiliki pengertian sendiri tentang luka, dalam ilmu hukum, luka memiliki beberapa kualifikasi. 13 Pertama, luka derajat pertama (luka golongan C), yaitu luka yang tidak memerlukan perawatan lebih lanjut terhadap korban. Dalam hal luka derajat pertama, korban tindak pidana hanya memerlukan pemeriksaan kedokteran forensik tidak memerlukan perawatan lebih lanjut di rumah sakit. Kedua, luka derajat kedua (luka golongan B), yaitu luka yang memerlukan perawatan terhadap korban tindak pidana untuk sementara waktu. Kesimpulan yang diberikan atas luka derajat kedua adalah luka yang menyebabkan terhalangnya melakukan jabatan/pekerjaan/aktifitas untuk sementara waktu. Ketiga, luka derajat ketiga (luka golongan A), yaitu luka yang mengakibatkan luka berat sehingga terhalang dalam menjalankan jabatan/pekerjaan/aktivitas. Berhubungan dengan luka berat, Pasal 90 KUHP menentukan, luka berat pada tubuh adalah penyakit atau luka yang tak dapat diharapkan akan sembuh lagi secara sempurna, atau luka yang dapat mendatangkan bahaya atau maut; terus menerus tidak cakap lagi melakukan jabatan 11 Ibid hlm. 222. 12 Hasil wawancara dengan drg Nunung Dwi Jayanti. 13 YA Triana Ohoiwutun, Ilmu Kedokteran Forensik: Interaksi dan Dependensi Hukum pada Ilmu Kedokteran (Yogyakarta: Pohon Cahaya, 2016) hlm. 19. 498 | Tindak Pidana Kelalaian Dokter Gigi yang Menyebabkan Luka pada Pasien … atau pekerjaan; tidak lagi memiliki salah satu pancaindera; kudung (rompong), lumpuh, berubah pikiran (akal) lebih dari empat minggu lamanya; membunuh anak dari kandungan ibu. Dalam kasus yang penulis analisis, luka yang dialami pasien adalah luka derajat kedua (luka golongan B), yakni luka yang menyebabkan terhalangnya melakukan jabatan/pekerjaan/aktifitas untuk sementara waktu. Luka yang dialami pasien, menghalanginya untuk melakukan profesi sebagai penyanyi. Melihat dari kedua fakta tersebut pengertian luka menurut ilmu hukum telah terpenuhi. Perlu diketahui bahwa pasien sebelumnya telah ditangani oleh beberapa dokter dengan beberapa tindakan medis, sehingga luka yang dihasilkan dari tindakan medis, menjadi tidak pasti. Karena bisa jadi luka muncul dalam hitungan jam, hari, bulan bahkan tahun, maka ada kemungkinan bahwa tindakan-tindakan sebelumnya mempunyai keterkaitan. Yang perlu dikaji lebih lanjut adalah apakah dokter-dokter gigi tersebut sudah melakukan sesuai dengan prosedur dan keahliannya. Penulis menganalisis, pertama, drg. IPDP: melakukan pencabutan ke-12 gigi, beberapa gigi tersebut letaknya di atas impaksi gigi. Sehingga memungkinkan memiliki potensi syaraf yang berhubungan dengan impaksi gigi. Otomatis memiliki potensi sebagai sumber terjadinya keluhan akhir yang dialami oleh pasien yang tidak disadari. Tindakan drg. IPDP telah mendapat persetujuan dosen pembimbing yaitu drg. Suhendra dan pencabutan tersebut dilakukan secara bertahap sesuai prosedur. Jadi, dapat dikatakan bahwa tindakan drg. IPDP memang berpotensi terhadap luka yang dialami pasien., Perlu diingat, dalam ilmu kedokteran lebih menekankan pada sebab dan proses daripada akibat luka yang dialami pasien, dan tindakan drg. IPDP dianggap telah sesuai prosedur serta telah disetujui pembimbing, maka tindakan drg. IPDP tidak bisa disalahkan. Kedua, drg. PAMW melakukan tindakan diantaranya pencetakan dan pemasangan gigi palsu. Pencetakan gigi palsu menurut dokter gigi yang penulis wawancara tidak mungkin menimbulkan luka, karena bahan pencetakan gigi lembut seperti pasta gigi. Jika mungkin ada resiko, yang terjadi biasanya pasien hanya muntah karena tidak tahan pada aroma bahan cetak. Lalu, untuk pemasangan gigi palsu, pada umumnya tidak terjadi luka. Hanya mungkin pasien akan merasa tidak nyaman karena memang membutuhkan adaptasi untuk menggunakan benda asing, terlebih rongga mulut adalah organ vital yang digunakan aktif dalam sehari-hari. Tindakan drg. PAMW dimungkinkan tidak akan menimbulkan luka karena setiap tindakan drg. PAMW selalu meminta persetujuan Pembimbing yaitu drg. Suhendra. Dalam faktanya, pertama, drg. INS sebagai terdakwa melakukan dua tindakan medis terhadap pasien, yaitu tindakan Alveolektomi (pemotongan tulang gusi berlebih) dan tindakan pencabutan gigi impaksi. Kedua, tindakan alveolektomi, dengan dirujuknya pasien ke terdakwa untuk dilakukan operasi alveolektomi oleh drg. IPDP dan drg. PAMW. Dapat disimpulkan terdakwa memang memiliki keahlian untuk melakukan tindakan tersebut. Semua saksi mengatakan bahwa tindakan terdakwa dalam hal ini sudah sesuai prosedur dan tidak terjadi masalah setelahnya. Dalam kesaksiannya terdakwa mengatakan bahwa karena dilakukan alveolektomi, korban bukan merasakan 499 | LENTERA HUKUM kaku pada lidah, tetapi merasakan sariawan yang disebabkan pemasangan gigi palsu. Sementara pasien melakukan operasi saat sariawan. Hal ini mungkin bisa menjadi salah satu indikasi penyebab luka akhir yang dialami pasien. Selanjutnya dalam kesaksiannya terdakwa mengatakan bahwa setelah itu dia melakukan pemeriksaan lengkap, dan hasilnya bagus. Kemudian Terdakwa melakukan pencabutan pada gigi yang muncul tadi, tetapi saat itu yang terjadi adalah patah mahkotanya, akar masih tertinggal. Maka Terdakwa melakukan penekanan tampon untuk menghentikan darah yang keluar. Dari kesaksian ini dapat dikatakan bahwa kondisi pasien dalam keadaan bagus dan bisa dilakukan tindakan selanjutnya. Kondisi area rongga mulut yang menjadi objek perlakuan medis setelah dilakukan tindakan alveolektomi tidak menyebabkan luka terhadap pasien. Perlu diketahui, terdakwa adalah dokter gigi umum non spesialis, dan tindakan yang memerlukan perusakan dalam rongga mulut adalah kewenangan dokter spesialis bedah mulut. Pencabutan gigi impaksi harus dilakukan pembedahan yaitu tindakan odontechtomi, dimana tindakan ini adalah pembedahan area tertentu dalam rongga mulut dan merupakan wewenang dari dokter spesialis bedah mulut. A. Malpraktik Medis Menurut Hermien Hadiati Koeswaji 14 , medical malpractice adalah suatu bentuk kesalahan profesional yang dapat menimbulkan luka-luka pada pasien sebagai akibat langsung dari suatu perbuatan atau kelalaian dokter. Lebih rinci lagi pengertian malpraktik medis di kemukakan oleh Adami Chazawi mengatakan bahwa malpraktik kedokteran adalah dokter atau orang yang ada di bawah perintahnya dengan sengaja atau kelalaian melakukan perbuatan (aktif atau pasif) dalam praktik kedokteran pada pasiennya dalam segala tingkatan yang melanggar standar profesi, standar prosedur, atau prinsip- prinsip profesional kedokteran, atau dengan melanggar hukum atau tanpa wewenang disebabkan: tanpa informed consent atau di luar informed consent, tanpa Surat Izin Praktik (SIP) atau tanpa Surat Tanda Registrasi (STR), tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien; dengan menimbulkan akibat (causal verband) kerugian bagi tubuh, kesehatan fisik maupun mental atau nyawa pasien, dan oleh sebab itu membentuk pertanggungjawaban hukum bagi dokter. 15 B. Mengenai kelalaian medis Dalam penjelasan malpraktik medis tersebut telah juga disebutkan perihal kelalaian, lalu apa yang membedakan malpraktik medis dan kelalaian medis? Pada hakikatnya kelalaian adalah kegagalan seorang profesional untuk bekerja sesuai dengan standar yang diharapkan profesinya itu. Kelalaian itu bisa terjadi karena ketidaksengajaan (culpa), kurang hati-hati, tidak peduli; sebenarnya akibat yang timbul itu bukan merupakan tujuan tindakan tersebut. Sedangkan malpraktik medis mencakup 14 Ibid Hal. 48. 15 Chazawi, supra note 2 Hal. v. 500 | Tindak Pidana Kelalaian Dokter Gigi yang Menyebabkan Luka pada Pasien … pengertian yang jauh lebih luas dari kelalaian karena intinya adalah tindakan-tindakan yang sengaja (intentional atau dolus) dan melanggar hukum yang merupakan tujuan dari tindakan tersebut. 16 Sebenarnya malpraktik medis dan kelalaian medis sama, Namun yang menjadi perbedaan mendasar antara malpraktik medis dan kelalaian medis yaitu terletak pada sikap batin dokter terhadap akibat tersebut dikehendaki atau tidak. C. Resiko Medis/Kecelakaan Medis Adalah sesuatu yang dapat dimengerti dan dimaafkan, tidak dipersalahkan dan tidak dihukum. Resiko medis merupakan lawan dari malpraktik medis dan kelalaian medis. Setiap tindakan medis, antara mana dibidang operasi dan anestesi selalu mengandung resiko. Ada resiko yang dapat dicegah dan diperhitungkan sebelumnya. Ada pula resiko yang tidak dapat diperhitungkan sebelumnya. Jika sudah dilakukan tindakan pencegahan tetapi masih juga terjadi dan hasilnya negatif, maka hal ini tidak dapat dipersalahkan kepada dokternya dan termasuk resiko yang harus ditanggung oleh pasien (inherent risks). 17 Penjelasan mengenai perbuatan terdakwa dan pengertian di atas diketahui bahwa terdapat satu kesalahan fatal yang dilakukan terdakwa yaitu melakukan pencabutan gigi impaksi menggunakan tang biasa padahal seharusnya dilakukan operasi odontechtomi, dikarenakan yang membedakan antara malpraktik medis dan kelalaian medis hanya ada pada unsur sikap batin dokter terhadap akibat yang timbul dikehendaki atau tidak, maka penulis menguraikan perbuatan terdakwa menggunakan syarat malpraktik kedokteran yang bisa dikualifikasikan dalam ranah hukum pidana oleh Adami Chazawi. Syarat pertama, dalam sikap batin dokter adalah syarat sengaja atau culpa dalam malpraktik kedokteran. Sebelum perlakuan medis diwujudkan oleh dokter, ada tiga arah sikap batin dokter, 18 pertama, sikap batin mengenai wujud perbuatan (terapi) yaitu sikap batin yang diarahkan pada perbuatan pada umumnya berupa kesengajaan, artinya mewujudkan perbuatan atau menjalankan terapi memang dikehendaki. Terdakwa memiliki sikap batin mengenai wujud perbuatan secara sengaja melakukan pencabutan gigi impaksi dengan tujuan mempermudah pemasangan gigi palsu. Kedua, sikap batin mengenai sifat melawan hukum perbuatan yaitu sikap batin yang ditujukan pada sifat melawan hukum perbuatan yang akan dijalankan bisa berupa kesengajaan dan juga bisa culpa. Ukuran salah atau benar perlakuan medis yang dijalankan terutama pada standar profesi kedokteran, standar prosedur dan atau kebiasaan umum yang wajar didunia kedokteran. Terdakwa merupakan dokter gigi umum non spesialis sehingga tidak mempunyai wewenang untuk melakukan tindakan terhadap pencabutan gigi impaksi yang merupakan wewenang dari dokter spesialis bedah mulut. Ketiga, sikap batin mengenai akibat dari wujud perbuatan yaitu sikap batin pada akibat yang merugikan kesehatan atau nyawa pasien pada umumnya malpraktek kedokteran tidak dikehendaki. Walaupun sangat jarang terjadi, namun 16 Achadiat, supra note 10 Hal. 56. 17 J Guwandi, Hukum dan Dokter (Jakarta: Sagung Seto, 2008) hlm. 60. 18 Chazawi, supra note 2 hlm. 85. 501 | LENTERA HUKUM tidak menutup kemungkinan, kehendak memang ditujukan pada akibat buruk bagi kesehatan dan nyawa pasien, misalnya dalam hal euthanasia dan aborsi. Dalam hal ini tujuan terdakwa melakukan tindakan medis adalah untuk mempermudah pemasangan gigi palsu yang akan dilakukan oleh drg. PAMW jadi tujuan akan luka yang dikehendaki tidak ada. Syarat kedua, dalam perlakuan medis yaitu perlakuan medis yang menyimpang. Perbuatan terdakwa yang menyimpang dari yang seharusnya adalah pencabutan gigi impaksi dengan menggunakan tang, sedangkan seharusnya dilakukan operasi odontechtomi. Jadi syarat dalam perlakuan medis terpenuhi, sedangkan terdakwa tidak mempunyai wewenang untuk melakukan tindakan tersebut. Syarat ketiga, mengenai hal akibat adalah syarat yang mengenai timbulnya kerugian bagi kesehatan atau nyawa pasien. Akibat dari tindakan menyimpang tadi adalah pasien mengalami luka yang tidak dikehendaki oleh terdakwa maupun pasien, yaitu pasien mengalami luka derajat kedua. Kesimpulannya luka tersebut mengakibatkan pasien terhalang untuk menjalankan profesinya sebagai penyanyi, maka syarat mengenai hak akibat pun terpenuhi. Dikarenakan ketiga syarat terpenuhi, maka tinggal dua kemungkinan lagi yang perlu diuraikan, yakni malpraktik medis dan kelalaian medis. Perbedaan keduanya terletak pada kehendak atau sikap batin dokter atas akibat yang ditimbulkan. Malpraktik medis murni sebenarnya tidak banyak dijumpai, misalnya melakukan pembedahan dengan niat membunuh pasien, atau dokter yang sengaja melakukan pembedahan tanpa indikasi medis, yang sebenarnya tidak perlu dilakukan namun semata-mata untuk mengeruk kepentingan pribadi. 19 Sikap batin culpa dalam malpraktik pidana harus berupa culpa lata (gross negligence, grote on-achtzaamheid) yakni suatu bentuk kelalaian berat. 20 Untuk mengetahui kehendak, sikap batin atau niat yang merupakan unsur subyektif seseorang, memang tidaklah mudah. Namun dalam kasus ini, penulis menggunakan teori kausalitas yang menggeneralisir. Penulis menghubungkannya dengan fakta-fakta yang ada di persidangan. Ada beberapa fakta-fakta utama persidangan yang penting, yakni ada gigi yang impaksi. Ada tindakan pencabutan gigi impaksi dengan menggunakan tang dan ada luka yang ditimbulkan serta terdakwa adalah dokter gigi umum non spesialis. Terdakwa dalam kesaksiannya mengatakan bahwa terdakwa tidak mengetahui bahwa gigi tersebut adalah gigi impaksi, sedangkan pada kesaksian sebelumnya terdakwa telah melakukan pemeriksaan dan menyarankan pasien ke ahli bedah mulut yang notabene adalah ahli dalam melakukan operasi bedah, salah satunya adalah operasi odontechtomi. Dalam kesaksian drg. PAMW, terdakwa sempat mengatakan bahwa pasien ini seharusnya tidak ditangani oleh drg. PAMW yang saat itu sedang menempuh 19 M Jusuf Hanafiah & Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan (Jakarta: Penerbit Buku Kesehatan, 2007) hlm. 98. 20 Chazawi, supra note 2 hlm. 99. 502 | Tindak Pidana Kelalaian Dokter Gigi yang Menyebabkan Luka pada Pasien … pendidikan profesi. Dapat dikatakan bahwa terdakwa menyadari tindakan tersebut seharusnya dilakukan oleh dokter spesialis bedah mulut. Selain itu, sebelum dilakukan pencabutan gigi impaksi, terdakwalah yang melakukan penanganan tindakan alveolektomy yaitu pemotongan tulang atau rahang, dengan tujuan untuk kenyamanan pemasangan gigi palsu yang akan pasien kenakan. Hal ini menunjukkan bahwa terdakwa sebenarnya mengetahui bahwa gigi tersebut adalah gigi impaksi. dan Padahal jika melihat pengetahuan umum seorang dokter gigi, pengertian, cara penanganan dan resiko medis pencabutan gigi impaksi seharusnya diketahui oleh terdakwa, namun terdakwa tetap melakukan pencabutan gigi impaksi tersebut menggunakan tang. Terdakwa sempat menyarankan pasien untuk dirujuk ke dokter bedah mulut, namun menurut keterangan terdakwa, pasien memohon agar dicabut saja karena tidak punya uang. Tetapi Terdakwa sebenarnya menyadari gigi tersebut adalah gigi impaksi, karena Terdakwa sebelumnya pernah melakukan pencabutan gigi impaksi dan belum pernah ada keluhan. Di sisi lain Terdakwa tidak memiliki wewenang untuk melakukan tindakan pencabutan gigi impaksi, namun Terdakwa tetap melakukan pencabutan gigi impaksi, apalahi dilakukan dengan menggunakan tang pencabut gigi. Dalam hal ini, jelas terdakwa telah melanggar standar prosedur operasional dan melanggar standar profesi kedokteran gigi, sehingga menimbulkan akibat yang tidak dikehendaki. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tindakan terdakwa dapat dikualifikasikan sebagai malpraktik medis. III. UNSUR MELAWAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERBUATAN YANG DILAKUKAN TERDAKWA Dalam hukum pidana istilah “sifat melawan hukum” atau wederrechtelijkheid adalah satu frasa yang memiliki empat makna. Keempat makna tersebut adalah sifat melawan hukum umum, sifat melawan hukum khusus, sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum materiil. Sifat melawan hukum umum adalah melawan hukum sebagai syarat umum perbuatan pidana. Tersimpul dalam pernyataan van Hamel bahwa sifat melawan hukum dari suatu perbuatan pidana adalah bagian dari suatu pengertian yang umum. 21 Sifat melawan hukum khusus adalah sifat melawan hukum khusus atau speciale wederrechtelijkheid, biasanya kata “melawan hukum” dicantumkan dalam rumusan delik. Dengan demikian sifat melawan hukum merupakan syarat terulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan. 22 Sifat melawan hukum formil (formeel wederrechtelijkheid) mengandung arti semua bagian (unsur-unsur) dalam rumusan delik telah dipenuhi. Jonkers dalam leerboek-nya menyatakan bahwa melawan hukum formal jelas adalah karena bertentangan dengan undang-undang. Tetapi tidak selaras dengan melawan hukum formal, juga melawan hukum materiil, diantara pengertian sesungguhnya, melawan hukum tidak didasarkan pada hukum positif tertulis, tetapi juga berdasarkan asas-asas hukum umum, dan berakar pada norma-norma yang tidak tertulis. 21 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana: Edisi Revisi (Jakarta: RajaGrafndo Persada, 2015) hlm. 237. 22 Ibid hlm. 238. 503 | LENTERA HUKUM Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, untuk dipidananya setiap perbuatan, harus menganut sifat melawan hukum formal. 23 Mengingat KUHP telah mengatur demikian, maka penulis akan menggunakan unsur pasal yang didakwakan oleh penuntut umum untuk menguraikan dan menganalisis perbuatan melawan hukum terdakwa. Sifat melawan hukum juga tidak lepas dari persoalan mengenai akibat yang selalu menyangkut hubungan kausal (causaal verband). Sebab tindakan medis yang menyebabkan akibat yang tidak dikehendaki akan menghilangkan sifat melawan hukum. Dalam hal ini, maka teori yang digunakan sebagai pisau analisa adalah ajaran kausalitas yang menggeneralisir. Akibat perbuatan pada penganiayaan ialah timbulnya rasa sakit pada tubuh, luka pada tubuh, mendatangkan penyakit/timbulnya penyakit, bahkan kematian. Akibat-akibat tersebut harus merupakan akibat langsung yang menurut akal secara layak disebabkan oleh wujud perbuatan. Jadi di dalam unsur akibat juga harus dapat dibuktikan rasa sakit, luka tubuh, timbulnya penyakit, atau kematian yang disebabkan langsung oleh wujud perbuatan penganiayaan. Ajaran kausalitas berlaku pula pada penganiayaan, terutama ajaran adekuat. Akibat perbuatan penganiayaan harus ada hubugan dengan sikap batin pembuat, yakni disadari. Yang artinya juga dikehendaki, karena tidak mungkin menghendaki sesuatu yang tidak disadari. Jika akibat tersebut tidak disadari atau tidak dikehendaki maka terjadi pidana lain, bukan penganiayaan. Kesengajaan sebagai kemungkinan tidak berlaku pada penganiayaan, tetapi berlaku pada pembunuhan. 24 Kesengajaan dalam kelalaian medis dapat dikualifikasikan sebagai malpraktik medis, meski sikap batin dokter akan akibat yang tidak dikehendaki tidak ada, untuk kesengajaan tindakan tertentu dapat dikualifikasikan sebagai malpraktik medis. Jika dokter/dokter gigi yang tidak mempunyai keahlian untuk melakukan suatu tindakan, tetapi memaksa untuk melakukannya karena merasa dirinya bisa, namun yang terjadi malah menyebabkan pasien mengalami hal yang tidak dikehendaki misalnya luka atau malah hilangnya nyawa pasien yang telah ditanganinya, maka hal ini juga disebut sebagai malpraktik medis. Terdakwa didakwa dengan dakwaan tunggal dengan hanya mendakwakan Pasal 360 Ayat (2) bahwa: “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.” Penulis menguraikan unsur-unsur yang terdapat dalam pasal tersebut, pertama, unsur barang siapa. Barang siapa dalam pertimbangan hakim dalam putusan No. 257/Pid.B/2015/PN.Dps adalah setiap orang yang dapat dijadikan sebagai subyek hukum yang dalam keadaan sehat jasmani dan rohani, cakap dan mampu untuk 23 Eddy OS Hiariej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, Edisi Revisi (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016) hlm. 240–241. 24 Ibid hlm. 107–108. 504 | Tindak Pidana Kelalaian Dokter Gigi yang Menyebabkan Luka pada Pasien … bertindak serta bertanggungjawab atas perbuatannya yang dilakukan. Terdakwa yang dihadapkan ke depan persidangan, sejak awal persidangan selalu menyatakan dirinya dalam keadaan sehat dan dapat dengan tegas menerangkan identitas dirinya sebagaimana yang terurai dalam surat dakwaan Penuntut Umum. Sehingga dengan memperhatikan fakta dan kondisi terdakwa sedemikian rupa tersebut, maka dapat disimpukan bahwa Terdakwa adalah orang yang sehat jasmani dan rohani, cakap dan mampu untuk bertindak serta bertanggungjawab, serta mengingat profesi Terdakwa adalah seorang dokter gigi maka dapat disimpulkan bahwa terdakwa memenuhi unsur barang siapa. Kedua, unsur kesalahan (kealpaannya). Pasal ini unsur kesalahan lebih ditekankan pada kealpaan atau culpa. Menurut Sudarto dalam menentukan kealpaan, harus ditentukan secara normatif, tidak secara fisik atau psikis. 25 Tidaklah mungkin diketahui bagaimana sikap batin seseorang yang sesungguhnya, maka haruslah ditetapkan dari luar bagaimana seharusnya ia berbuat. Terdakwa adalah dokter gigi umum non spesialis. sebagai seorang dokter gigi sudah kewajibannya mengetahui kewenangan yang dimilikinya dan tindakan apa yang tepat untuk diberikan kepada pasien. Ketiga, “orang pada umumnya” ini berarti bahwa tidak boleh orang yang paling cermat, paling hati-hati, paling ahli dan sebagainya. Ia harus orang biasa atau seorang ahli biasa. Untuk adanya pemidanaan perlu adanya kekurang hati-hati yag cukup besar, jadi harus ada culpa lata dan bukannya culpa levis. Pada kasus yang penulis analisis, dikarenakan terkait tindak pidana medis, maka pengertian orang pada umumnya lebih ditekankan pada keahlian dokter gigi pada umumnya dengan membandingkan terdakwa dengan dokter yang memiliki keahlian yang sama, jam terbang yang sama dan kondisi, situasi dan fasilitas peralatan yang sama. Terdakwa berpraktik di kota besar yaitu Denpasar jadi untuk alasan kurangnya fasilitas tidak berlaku bagi terdakwa. Kondisi atau situasi pasien saat itu juga bukan dalam keadaan yang memerlukan tindakan medis secepatnya, karena pasien tidak dalam kondisi yang nyawanya terancam. Maka untuk tindakan medis selanjutnya masih bisa dilakukan beberapa tahap pengecekan terhadap gigi dan gusi pasien. Terdakwa dari beberapa kesaksiannya mengetahui bahwa gigi tersebut impaksi, dan menyadari bahwa gigi tersebut seharusnya dirujuk kedokter spesialis bedah mulut, namun terdakwa dengan tanpa kewenangan, masih tetap melakukan tindakan tersebut. Lebih-lebih tindakan tersebut tidak sesuai dengan prosedur pencabutan gigi impaksi yang seharusnya dibedah, na- mun terdakwa mencabut menggunakan tang. Adami Chazawi mengatakan bahwa dalam kasus hukum medis, hal seperti itu dapat dikualifikasikan dalam kesengajaan. Sebab terdakwa menyadari tapi masih tetap melakukan. Lebih tepatnya dalam teori kesengajaan disebut dengan dolus eventualis yaitu melakukan perbuatan namun tidak menghendaki akibat yang ditimbulkan. Mengenai tindakan yang terdakwa lakukan secara keseluruhan dengan uraian diatas maka dapat 25 Ibid Hal. 193–194. 505 | LENTERA HUKUM disimpulkan perbuatan terdakwa tidak memenuhi semua unsur sifat melawan hukum formil yang didakwakan, lebih tepatnya pada unsur kealpaan. Namun memenuhi unsur melawan hukum materiil bila dilihat dari sudut perbuatannya. IV. KESIMPULAN Setelah penulis menguraikan dan mengaitkan antara unsur pasal dengan fakta-fakta persidangan dan pertimbangan hakim dalam putusan 257/Pid.B/2017/PN.Dps perbuatan terdakwa tidak memenuhi unsur melawan hukum formil yang didakwakan penuntut umum namun perbuatan terdakwa memenuhi sifat melawan hukum materiil dengan melanggar standar profesi dan standar prosedur operasional yang diatur dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Perbuatan terdakwa sebenarnya tidak tepat jika didakwakan dengan Pasal 360 ayat (2) KUHP, sebab kesalahan dalam Pasal tersebut berupa kealpaan sedangkan perbuatan terdakwa adalah kesengajaan. Perbuatan terdakwa lebih relevan didakwa dengan penganiayaan, karena malpraktik kedokteran dapat menjadi penganiayaan jika ada kesengajaan, baik terhadap perbuatan maupun akibat perbuatan ataupun pelanggaran standar profesi dan standar prosedur. Seharusnya terdakwa didakwakan dengan Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Dari kesimpulan tersebut maka pasal yang relevan dengan perbuatan terdakwa yang menyebabkan luka adalah Pasal 79 huruf c, dan Pasal 51 Undang-undang Praktik Kedokteran. Penulis juga mendapati bahwa salah satu unsur pasal yang penuntut umum dakwakan tidak terpenuhi, maka sesuai Pasal 191 Ayat (1) KUHAP seharusnya terdakwa diputus bebas. DAFTAR PUSTAKA Achadiat, Crisdiono M. 2007. Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Chazawi, Adami. 2007. Malpraktik Kedokteran: Tinjauan Norma dan Doktrin Hukum. Malang: Bayumedia. Guwandi, J. 2008. Hukum dan Dokter. Jakarta: Sagung Seto. Hanafiah, M Jusuf & Amri Amir. 2007. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kesehatan. Hiariej, Eddy OS. 2016. Prinsip-prinsip Hukum Pidana, Edisi Revisi. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka. Marzuki, Peter Mahmud. 2016. Penelitian Hukum (edisi revisi cetakan ke 12). Jakarta: Kencana. Mukadimah Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia Lampiran Putusan Nomor 257/Pid.B/PN.Dps/2015 Ohoiwutun, YA Triana. 2016. Ilmu Kedokteran Forensik: Interaksi dan Dependensi Hukum pada Ilmu Kedokteran. Yogyakarta: Pohon Cahaya. 506 | Tindak Pidana Kelalaian Dokter Gigi yang Menyebabkan Luka pada Pasien … Prasetyo, Teguh. 2015. Hukum Pidana: Edisi Revisi. Jakarta: RajaGrafndo Persada. Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor. 257/Pid.B/2017/PN.DPS Sadi, Muhammad. 2015. Etika dan Hukum Kesehatan:Teori dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: Kencana. Sutarno. 2014. Hukum Kesehatan: Eutanasia, Keadilan Dan Hukum Positif Indonesia. Setara Press.