Lentera Hukum, Volume 5 Issue 1 (2018), pp. 145-158 ISSN 2355-4673 https://doi.org/10.19184/ ejlh.v5i1.6816 Published by the University of Jember, Indonesia Available online 08 May 2018 Analisis Pasal 43 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia: Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa Tahun 1997/1998 Satya Kumarajati Airlangga University, Indonesia kumarajatisatya@gmail.com ABSTRACT This paper examines problems as the result of the absence of statement on the establishment of Human Rights Ad hoc Court in the Human Rights Court Act Number 26 Year 2000. By highlingting the kidnapping of activists in the final days of New Order regime in 1997-1998, as Article 43 of Human Rights Court Act, the power to adjudicate is attached to the Human Rights Court. However, the absence of explicit provisions to the establishment of teh Ad hoc Court of Human Rights whether before or after the preliminary investigation to be made by the Indonesian Commission on Human Rights (Komnas HAM), Attorney General argues that no subsequent measures on the results of the investigation made by Komnas HAM into the process of investigation due to the Ad hoc Court of Human Rights was not established. The aim of this paper is to provide views on the establishment of the Ad hoc Court of Human Rights by using doctrinal research with statute and case approaces. As this paper shows, it concludes that the Ad hoc Court of Human Rights was established after premilinary investigation and full investigation as proposed by the House of Representatives which is assigned throug Presidential Resolution. KEYWORDS: Ad hoc Court of Human Rights, Preliminary Investigation, Investigation. Copyright © 2018 by Author(s) This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. All writings published in this journal are personal views of the authors and do not represent the views of this journal and the author's affiliated institutions. Submitted: January 29, 2018 Revised: March 06, 2018 Accepted: April 20, 2018 HOW TO CITE: Kumarajati, Satya. “Analisis Pasal 43 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia: Kasus Peghilangan Orang Secara Paksa Tahun 1997/1998” (2018) 5:1 Lentera Hukum 145–158. 146 | Analisis Pasal 43 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia I. PENGADILAN HAM AD HOC YANG MENYELESAIKAN PELANGGARAN HAM BERAT MASA LALU Hak Asasi Manusia merupakan hak yang diberikan langsung oleh Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena itu tidak ada kekuasaan apa pun didunia yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian bukan berarti dengan hak-haknya itu dapat berbuat semaunya. Sebab apabila seseorang melakukan sesuatu yang dapat dikategorikan melanggar hak asasi orang lain, maka ia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan dari sejarah peradaban manusia dari seluruh penjuru dunia. Konsepsi HAM dan demokrasi dalam perkembangannya sangat terkait dengan konsepsi negara hukum. Dalam sebuah negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin setiap orang untuk bebas dari perlakuan diskriminatif. Bahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara lengkap telah menjamin Hak Asasi Manusi dan juga hak-hak warga negara Indonesia. Hak-hak warga negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hak-hak konstitusionalis seluruh warga negara Republik Indonesia, sedangkan pemerintah seharusnya melaksanakan kehendak rakyat yang diatur dalam konstitusi. Dengan kata lain, setiap hak yang terkait dengan warga negara dengan sendirinya bertimbal balik dengan kewajiban negara untuk memenuhinya. Artinya, negara berkewajiban dan bertanggung jawab menjamin agar semua hak dan kebebasan warga negara dihormati dan dipenuhi sebaik-baiknya. Jaminan perlindungan atas terpenuhinya hak-hak konstitusional tersebut tentu harus dipahami sebagai hak dari setiap warga negara tanpa ada diskiminasi apapun. 2 Salah satu bentuk dari perlindungan Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur pada Pasal 104 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah bahwa seseorang yang melakukan pelanggaran HAM berat yang dapat diketahui harus diadili dan bila terbukti harus dihukum sesuai dengan aturan hukum yang ada. Pelaksanaan dari Pasal 104 tersebut adalah dengan terbentuknya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Pengadilan HAM. Draft RUU tentang Pengadilan Hak Asasi Manusa dalam membedakan jenis-jenis tentang pelanggaran HAM yang berat mengadopsi rumusan dalam Statuta Roma 1998 dengan hanya mengambil dua jenis kejahatan yakni kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida. Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak memadai, karena hanya membatasi tentang dua jenis kejahatan tersebut. 3 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 ini dibentuk dengan tujuan memelihara dan mempertahankan perlindungan HAM melalui Pengadilan HAM di Indonesia dan merupakan lembaga peradilan satu-satunya untuk memeriksa dan memutus kasus 1 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konsittusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hlm. 152 2 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm. 104-105 3 Ifdal Kasim, Elemen-Elemen Kejahatan dari “Crimes Againts Humanity”: Sebuah Penjelajahan Pustaka, Jurnal HAM, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2004, hlm. 147 | LENTERA HUKUM pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Undang-Undang ini juga menerapkan asas retroaktif atau asas hukum untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diberlakukannya Undang-Undang ini pada tanggal 23 Nopember 2000 atau di masa lampau dengan mekanisme melalui Pengadilan HAM ad hoc. Sedangakan untuk kasus pelanggaran HAM yang terjadi setelah Undang-Undang ini diundangkan maka diselesaikan di pengadilan HAM permanen. Pasal 43 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak menjelaskan mengenai mekanisme pembentukan Pengadilan HAM ad hoc, hanya berisi siapa yang membentuk Pengadilan HAM ad hoc dalam hal ini usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia merupakan wujud nyata yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam rangka perlindungan terhadap hak asasi manusia dari segala ancaman mengingat bahwa hak asasi manusia merupakan hak asasi yang bersifat fundamental yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Perlindungan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh Warga Negara Indonesia merupakan kewajiban konstitusional negara seperti yang diatur dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang mengatur bahwa Negara wajib melindungi hak asasi seluruh warganya guna terciptanya ketentraman, keadilan serta mewujudkan negara hukum yang sesungguhnya. Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum. Dalam setiap daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri maka terdapat pengadilan HAM. Suatu pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, selain itu pengadilan HAM juga berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas territorial wilayah Negara Republik Indonesia oleh warga Negara Indonesia. Bangsa Indonesia memiliki sejarah yang hingga kini mencatat berbagai kesengsaraan, penderitaan, dan kesenjangan sosial yang disebabkan oleh perilaku diskriminatif dan tidak adil atas dasar ras, warna kulit, etnik, bahasa, agama, budaya, golongan, jenis kelamin, dan status sosial lainnya. Perilaku diskriminatif dan tidak adil tersebut merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia, baik yang bersifat horizontal (antar warga negara sendiri) maupun vertikal (dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara atau sebaliknya) dan tidak sedikit yang masuk dalam kategori pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat (groos violation of human rights). Tuntuan agar adanya kepastian hukum terhadap korban-korban pelanggaran HAM masa lalu kian merebak, sementara pelanggaran-pelanggaran HAM terus berlangsung dalam berbagai pola, aktor dan bentuk yang berbeda. Isu hukum sering kali digunakan oleh kelompok masyarakat untuk kepentingan politik maupun ekonominya. 4 4 Denny Indrayana, Negara Hukum Indonesia Pasca Transisi Menuju Demokrasi VS Korupsi Jurnal Konstitusi Vol 1 No.1, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 106 148 | Analisis Pasal 43 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Hak Asasi Manusia dalam pasal 1 Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihomati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 1 Ayat 6 Tentang Hak Asasi Manusia “adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok termasuk aparatur negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku” Pada awalnya konsep atau definisi tentang pelanggaran hak asasi manusia yang berat muncul pada saat terbitnya Perpu No 1 Tahun 1999. Rumusan pelanggaran HAM yang berat dalam Perpu tersebut dianggap menguntungkan dari segi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dimana kejahatan yang dilakukan tidak harus mengandung elemen-elemen seperti sistematik atau meluas seperti yang disyaratkan dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan sepanjang kejahatan tersebut termasuk dalam pelanggaran ham yang berat dan/atau merupakan pelanggaran terhadap ius cogen. 5 Jika kita menelusuri sejarah Indonesia, dari zaman penjajahan dan sampai saat ini, ternyata begitu banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi, hanya saja sebagian besar orang yang melanggar HAM tersebut susah untuk terungkap karena kurangnya barang bukti, dan ada juga kasus yang terjadinya sudah sangat lama yang mengakibatkan korban maupun pelakunya sudah meninggal atau sudah tua bahkan ada yang hilang sehingga tidak dapat memberi keterangan di pengadilan. Akhir masa Orde Baru, tahun 1998 mahasiswa dan pemuda melancarkan aksi demonstrasi yang pada intinya menolak atas pencalonan Soeharto sebagai presiden periode berikutnya. Skenario-skenario politik mulai menempati porsi yang meningkat dalam wacana publik khususnya terhadap calon Wakil Presiden. Golkar sendiri telah bulat mencalonkan Soeharto sebagai Presiden periode 1998-2003. Sidang Umum MPR yang berlangsung pada 1-11 Maret 1998 berjalan tanpa hambatan berarti dan terpilihnya pemimpin baru yaitu Soeharto sebagai Presiden dan B. J. Habibie sebagai Wakil Presiden untuk periode 1998-2003. 6 Sejak memasuki tahun 1998 aksi demonstrasi semakin meningkat dan mendekati Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 1998 gelombang demonstrasi tersebut mulai membesar dan meluas dibanyak kota-kota besar di Indonesia. Dengan meningkatnya jumlah dan meluasnya aksi-aksi tersebut, isu yang digunakan mulai memasuki isu-isu politis seperti pertanggungjawaban pemerintah atas situasi sosial 5 Asmara Nababan, Penyelesaian Pelanggaran HAM yang Berat: Belajar dari pengalaman, Jurnal HAM, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2004, hlm. 6 Ringkasan Eksekutif, Laporan Penyelidikan Pelnggaran HAM berat, Komnas HAM, Jakarta, hlm. 241 149 | LENTERA HUKUM ekonomi rakyat, tuntutan reformasi hingga penolakan Soeharton sebagai presiden periode berikutnya. 7 Menyusul terjadinya kerusuhan Mei 1998, situasi kemanan yang tidak terkendali, tingginya aksi-aksi menentang Soeharto, krisis ekonomi dan mundurnya beberapa menteri serta menolaknya beberapa orang menteri, akhirnya Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya. 8 Menjelang pelaksanan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1997 dan Sidang Umum MPR tahun 1998 telah terjadi penghilangan orang secara paksa periode 1997-1998, berdasarkan data yang ada di Komnas HAM, sedikitnya tercatat sebanyak 13 (tiga belas) orang yang telah menjadi korban penghilangan orang secara paksa yang sampai dengn sekarang belum diketahui nasibnya yaitu Yani Afrie, Sony, Herman Hendrawan, Dedi Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Suyat, Petrus Bima Anugerah, Wiji Thukul, Ucok Munandar Siahan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Naser. Sedangkan dalam peristiwa penghilangan orang scara paksa terhadap aktivis pro demokrasi yang kemudian mereka dilepaskan, sedikitnya sebanyak 10 (sepuluh) orang yang menjadi korban adalah Mugiyanto, Aan Rusdianto, Nezar Patria, Faisol Riza, Raharja Wulyo Jati, Haryanto Taslam, Andi Arief, Pius Lustrilanang, Desmond J. Mahesa, “St”. 9 Dalam menjalankan tugasnya, Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat Peristiwa Pengilangan Orang Secara Paksa priode 1997-1998 mengalami berbagai hambatan, antara lain: 10 Ketidakmauan arau keengganan sebagai saksi korban untuk memenuhi panggilan penyelidik guna memberikan keterangan sebagai saksi sehubungan dengan peristiwa penghilangan orang secara paksa periode 1997-1998. Tertunda-tundanya jadwal pemeriksaan sebagian anggota dan purnawirawan POLRI dari jadwal yang sudah ditentukan oleh penyelidik, walaupun pada akhirnya semua hadir untuk memberikan keterangan. Tidak dipenuhinya permintaan penyelidik kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menghadirkan secara paksa sejumlah saksi yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komnas HAM. Penolakan TNI, penasehat hukum Personel TNI yang pada dasarnya telah menolak untuk menhadirkan personel TNI yang dipanggil dengan alasan bahwa merujuk Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ini diperuntukkan bagi pelanggaran HAM yang berat setelah diundangkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Mereka merujuk pula pada Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 bahwa Komnas HAM tidak serta merta berwenang melakukan penyelidikan proyustisia melainkan harus didahului pembentukan Pengadilan HAM ad hoc melalui Keppres atau usul DPR. 7 Ibid 8 Ibid 9 Ibid, hlm. 221 10 Ibid, hlm 222-223. 150 | Analisis Pasal 43 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Penolakan Jaksa Agung, Komnas HAM telah mengirimkan surat yang memberitahukan tentang dimulainya penyelidikan kepada Jaksa Agung. Komnas HAM juga telah mengirimkan surat perihal permohonan mendapatkan perintah untuk mengunjungi lokasi atau tempat penahanan dan surat permintaan utuk mendapatkan perintah menghadirkan ahli. Jaksa Agung, menyatakan bahwa kasus penghilangan orang secara paksa periode 1997-1998 terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 diundangkan sehingga diperlukan adanya keputusan DPR RI yang mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc. Oleh karena itu, Jaksa Agung belum dapat menindaklanjuti permintaan Komnas HAM. Penolakan dari Jaksa Agung yang tidak menindaklanjuti hasil penyelidikan dari Komnas HAM untuk kemudian dilakukannya penyidikan oleh Jaksa Agung dan juga penolakan dari pihak TNI untuk menghadirkan personel TNI sebagai saksi, mereka beralasan belum terbentuknya Pengadilan HAM ad hoc yang sesuai dengan Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dalam menyelesaikan kasus yang terjadi sebelum berlakunya Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2000 melalui mekanisme Pengadilan HAM ad hoc yang pembentukannya tidak dijelaskan sebelum atau sesudah dilakukannya proses penyelidikan. Latar belakang yang demikian penulis tertarik untuk menulis tentang “Analisis Pasal 43 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Dalam Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa Tahun 1997/1998”, karena dengan apa yang penulis telah sampaikan diatas menurut pendapat penulis, produk Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia khususnya dalam Pasal 43 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc belum mampu untuk menjangkau pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi di Indonesia. II. PEMBENTUKAN PENGADILAN HAM AD HOC Pelaksanaan perlindungan HAM dalam dunia peradilan di Indonesia mulai terwujud dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, disusul dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai perwujudan Pasal 104 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Hal ini bermakna secara positif bahwa keberadaan peraturan yang berhubungan dengan HAM patut diapresiasi sebagai bukti bahwa Bangsa Indonesia berkehendak baik (good will) dan menjunjung tinggi HAM dengan menyelesaikan sendiri dugaan pelanggaran HAM berat memalui Pengadilan HAM nasional. 11 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia bertujuan untuk menjain pelaksanaan HAM dan menciptakan perdamaian dunia, serta memberikan kepastian, keadilan, perlindungan dan perasaan aman kepada perorangan dan masyarakat. Dengan adanya pengadilan HAM ini apabila dilihat dari latar belakang 11 Halili, Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Pelanggengan Budaya Impunitas Vol 7 No. 1, Jurnal Civics, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, 2010, hlm. 3 151 | LENTERA HUKUM terbentuknya ada persitiwa politik yang juga menjadi faktor, tidak serta merta atas kehendak untuk memberikan perlindungan masyarakat agar mempunyai kedudukan yang terhormat di mata internasional, akan tetapi lebih kepada kepentingan politik Indonesia. 12 Berangkat dari perkembangan hukum baik dilihat dari kepentingan nasional maupun internasional maka untuk menyelesaikan masalah pelanggaran ham berat dan mengembalikan keamanan dan perdamaian di Indonesia, dibentuk Pengadilan HAM yang merupakan Pengadilan khusus bagi pelanggaran HAM yang berat. Dengan adanya Pengadilan HAM diharapkan dapat memberikan perlindungan terhadap HAM, baik perseorangan, maupun masyarakat dan dasar dalam penegakan, kepastian hukum, keadilan dan perasaan aman bagi perseorangan maupun masyarakat, terhadap pelanggaran HAM yang berat. Pembentukan Pengadilan HAM melalui penetapan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 didasarkan atas beberapa pertimbangan dibawah ini: 13 Pertama, pelanggaran HAM yang berat merupakan extra ordinary crime dan berdampak secara luas, baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau tindak pidana khusus serta menimbulkan kerugian, baik materiil maupun immateriil yang mengakibatkan perasaan tidak aman, baik perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Kedua, terhadap perkara pelanggaran HAM yang berat diperlukan langkah-langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan yang bersifat khusus. Kekhususan dalam penanganan pelangaran HAM yang berat ini adalah: (a) diperlukan penyidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut umum ad hoc dan hakim ad hoc; (b) diperlukan penegasan bahwa penyelidikan hanya dilakukan oleh Komnas HAM, sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), diperlukan ketentuan mengenai tenggan waktu tertentu untuk penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan, diperlukan ketentuan mengenai perlindungan saksi dan korban dan diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kadaluarsa bagi pelanggaran HAM yang berat. Indonesia sudah selayaknya dan bahkan sangat tepat memiliki Pengadilan HAM sendiri. Perjuangan perlindungan HAM juga harus masuk dalam proses peradilan pidana mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan sidang di pengadilan, bahkan pelakuan terhadap narapidana. 14 Dengan adanya Undang-Undang Nomor 26 12 Marcus Priyo Gunarto, Perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia dalam Dinamika Global Vol 19 No.2, Jurnal Mimbar Hukum Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2007, hlm. 267 13 B. Restu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Indonesia, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2009, hlm. 411-412 14 Todung Mulya Lubis, Menegakan Hak Asasi Manusia, Menggugat Diskriminasi Vol 39 No.1, Jurnal Hukum dan Pembangunan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. 71 152 | Analisis Pasal 43 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, pelanggaran HAM berat masa lalu dapat diselesaikan melalui jalur Pengadilan HAM ad hoc yang terdapat dalam Pasal 43 untuk menegakkan Hak Asasi Manusia. Pengadilan HAM bertujuan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu pada masa pemerintahan rezim Orde Baru. Pasal 43 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia hanya berisi tentang kewenangan Pengadilan HAM ad hoc yang memeriksa, mengadili dan memutus pelanggaran HAM berat masa lalu, siapa yang memiliki kewenangan untuk membentuk dan ruang lingkup dari Pengadilan HAM ad hoc itu sendiri. Tidak ada ketentuan yang menyebutkan atau mendefinisikan tentang Pengadilan HAM Ad hoc dan kapan terbentuknya, tidak seperti apa yang dimaksud dengan Pengadilan HAM yang oleh Pasal 1 ayat 3 ditentukan bahwa yang dimaksud Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat. Jika ketentuan yang ada dalam Pasal 1 ayat 3 tersebut, kemudian dikaitkan dengan Pasal 43 ayat (1) yang menyebutkan bahwa pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum diundankannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc, maka penulis berpendapat bahwa apa yang dimaksud dengan Pengadilan HAM ad hoc adalah Pengadilan HAM khusus yang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat, yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pada tanggal 23 November 2000. Pasal 43 ayat (2) menentukan bahwa pembentukan Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. Penjelasan Pasal 43 ayat (2) menyebutkan bahwa dalam hal DPR mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, DPR berdasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat yang dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkanya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Jaksa Agung yang berpendapat bahwa pembentukan Pengadilan HAM ad hoc harus dilakukan sebelum penyelidikan dan penyidikan terhadap pelanggaran HAM yang berat dimulai, seperti contoh kasus penculikan aktivis tahun 1997/1998 yang penulis ambil, dimana Jaksa Agung menolak untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan dari Komnas HAM karena beralasan belum terbentuknya Pengadilan HAM ad hoc. Pengalaman Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di Timor- Timur menunjukan bahwa mekanismenya adalah Komnas HAM melakukan penyelidikan lalu hasilnya diserahkan ke Kejaksaan Agung, yang kemudian Kejaksaan Agung melakukan penyidikan. Hasil Penyidikan diserahkan ke Presiden. Presiden mengirimkan surat kepada DPR lalu DPR mengeluarkan rekomendasi. Presiden 153 | LENTERA HUKUM selanjutnya mengeluarkan Keputusan Presiden tentang pembentkan Pengadilan HAM ad hoc. 15 Selain itu juga misalnya perpanjangan penahanan untuk kepentingan penuntutuan atau izin persetujuan penyitaan dalam perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 harus diajukan ke Pengadilan HAM ad hoc, bukan ke Pengadilan HAM. Tanggapan atas penolakan dan perpanjangan penahanan yaitu, dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak adanya perbedaan antara penyidik pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum dengan sesudah berlakunya Undang-Undang-Nomor 26 Tahun 2000 yang dilakukan oleh Kejaksan Agung, berbeda dengan pengadilan yang mempunyai wewenang untuk memberikan dan memutus pelanggran HAM yang berat yang terjadi sebelum dengan sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 . Pengadilan yang mempunyai wewenang untuk memutus perkara pelanggaran HAM yang berat sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 adalah Pengadilan HAM ad hoc, sedangkan yang mempunyai wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara perkara pelanggaran HAM yang berat sesudah berlakunya Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2000 adalah Pengadilan HAM. Oleh karena penyidik dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak dibedakan antara penyidik pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum dengan sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, maka wewenang dari penyidik termasuk pula wewenng untuk melakukan penyidikan pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Penyidikan pelangaran HAM yang berat yang terjadi sebelum dan sesudah diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dilakukan oleh Jaksa Agung, yang dalam melaksanakan tugasnya dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat (Pasal 21 ayat (1) jo (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000). Apabila penyidik berpendapat hasil penyelidikan kurang lengkap, maka penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut kepada penyelidik disertai petunjuk untuk dilengkapi, dalam waktu 30 hari sejak tanggal diterimanya hasil penyelidikan. Penyelidik wajib melengkapi kekurangan tersebut (Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000). Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan (3) wajib diselesaikan paling lambat 90 hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik. Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang oleh ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. Bila jangka waktu tersebut habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, penyidikan dapat diperpanjang 60 hari oleh Ketua Pengadilan HAM daerah hukum yang bersangkutan. Menurut Yusril Ihza Mahendra, proses terbentuknya Pengadilan HAM ad hoc dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 harus didahului oleh penyelidikan 15 Zainal Abidin, Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia: Regulasi, Penerapan dan Perkembangannya, Elsam, Jakarta, 2007, hlm. 8-9 154 | Analisis Pasal 43 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia proaktif oleh Komnas HAM sebagai lembaga satu-atunya yang berwenang melakukan penyelidikan terhadap kasus pelanggaran HAM berat. Kedudukan Komnas HAM dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 sangat kuat karena hasil penyelidian bersifat proyustisia. 16 Kedudukan sangat jauh berbeda dengan kedudukannya sebagai lembaga pemantau pelanggaran HAM di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tentang Hak Asasi Manusia. Kedudukan Komnas HAM dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 memiliki implikasi bahwa Komnas HAM tidak bersifat pasif dan menungu permintaan masyarakat atau menunggu pihak kepolisian untuk bertindak. Bahkan kedudukannya sebagai lembaga pemantau berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, merupakan modal dasar untuk meningkatkan kedudukan dan perannya sebagai lembaga satu-satunya yang dapat melaksanakan penyelidikan atas pelanggaran HAM berat. 17 Komnas HAM mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan dalam rangka melaksanakan penyelidikan yaitu memeriksa peristiwa yang berdasaran sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran HAM berat, menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran HAM yang berat, serta mencari keterangan dan barang bukti. Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan harus memberitahukan aktivitas ini kepada penyidik. Setelah penyelidik menyimpulkan bahwa telah ada bukti permulaan yang cukup adanya pelanggaran HAM yang berat maka hasil kesimpulan diserahkan ke penyidik. Jika penyidik menganggap bahwa hasil penyelidikan kurang lengkap, maka penyidik mengembalikan hasil penyelidikan disertai dengan petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 hari penyelidik wajib melengkapi. 18 Setelah fungsi penyelidikan selesai dilaksanakan, maka Komnas HAM bekerja sama dengan pihak Kejaksaan Agung untuk meneruskannya dengan penyidikan. Setelah fungsi penyidikan selesai dilaksanakan, maka Kejaksaan Agung melalui Presiden memberitahukan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk segera meminta pemerintah membentuk Pengadilan HAM ad hoc. 19 Pendapat dari Binsar Gultom, prosedur terbentuknya Pengadilan HAM ad hoc di Indonesia diawali dengan adanya hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) atas dugaan pelanggaran HAM yang berat untuk selanjutnya ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung selaku penyidik dan penuntut terhadap dugaan pelanggaran HAM yang berat tersebut. Dari hasil penyelidikan Komnas HAM dan penyidikan Jaksa Agung tersebut, lalu Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia memberikan “rekomendasi” kepada Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM ad hoc atas kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur dan Tanjung Priok. 20 16 Ibid 17 Ibid 18 Zainal Abidin, Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, ELSAM, 2007, Jakarta, hlm. 17 19 Ibid 20 Binsar Gultom, Pandangan Kritis Seorang Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2009, hlm. 60 155 | LENTERA HUKUM Ketentuan tentang adanya beberapa tahap untuk pembentukan Pengadilan HAM ad hoc terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat yang berbeda dengan Pengadilan HAM biasa. Hal-hal yang merupakan syarat adanya Pengadilan HAM ad hoc yaitu 21 :adanya dugaan pelanggan HAM yang berat atas hasil penyelidikan kasus masa lalu oleh Komnas HAM, adanya hasil penyidikan oleh Kejaksaan Agung, adanya rekomendasi DPR kepada pemerintah untuk mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc dengan tempos dan locus delitci tertentu, adanya Keputusan Presiden (Keppres) untuk berdirinya Pengadilan HAM ad hoc. Berdasarkan Penyelidikan dan Penyidikan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dan pendapat para ahli, tidak adanya ketentuan yang menjelaskan bahwa Komnas HAM sebagai Penyelidik sebelum melakukan penyelidikan harus didahului terbentuknya Pengadilan HAM ad hoc. Penyelidikan didahului dengan adanya laporan dari masyarakat atau sikap aktif dari Komnas HAM untuk mencari adanya pelanggaran HAM yang berat masa lalu. Tugas dan fungsi Jaksa Agung sebagai Penyidik tidak menjelaskan adanya bahwa sebelum Jaksa Agung menerima laporan dari Komnas HAM atau melakukan penyidikan harus didahului terbentuknya Pengadilan HAM ad hoc. Jaksa Agung hanya dapat melakukan penolakan atas hasil penyelidikan Komnas HAM berdasarkan penyelidikan tersebut belum lengkap dan Jaksa Agung memberikan petunjuk untuk dilegkapi, bukan melakukan penolakan atas hasil penyelidikan berdasarkan belum terbentuknya Pengadilan HAM ad oc. Penulis berpendapat, Komnas HAM terlebih dahulu melakukan penyelidikan, kemudian Jaksa Agung menindaklanjuti laporan penyelidikan Komnas HAM dengan penyidikan. Dari hasil temuan penyelidikan dan penyidikan baru Dewan Perwakilan Rakyat memberilan rekomendasi atau usul pembentukan Pengadilan HAM ad hoc kepada Presiden untuk mendapatkan Keputusan Presiden (Keppres). Penulis menggambarkan terbentuknhya Pengadilan HAM ad hoc pada gambar dibawah ini: Apabila terbentuknya Pengadilan HAM ad hoc sebelum dilakukannya penyelidikan oleh Komnas HAM, maka ketika hasil penyelidikan tidak menunjukan adanya bukti yang cukup mengenai pelanggaran HAM yang berat masa lalu, Pengadilan HAM ad hoc tersebut tidak memiliki fungsi sebagaimana yang diatur daam Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2000. Pengalaman Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus 21 Zainal Abidin, op. cit, hlm. 9 Penyelidikan Komnas HAM Penyidikan Jaksa Agung Dewan Perwakilan Rakyat Rekomendasi Keputusan Presiden Presiden Pengadilan HAM ad hoc 156 | Analisis Pasal 43 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pelanggaran HAM berat di Timor Timur menjelaskan bahwa mekanismenya adalah Komnas HAM melakukan penyelidikan lalu hasilnya diserahkan ke Kejaksaan Agung, oleh Jaksa Agung dilakukan penyidikan, hasil penyidikan diserahkan kepada DRP untuk membuat rekomendasi ke Presiden, kemudian Presiden mengeluarkan Keppres yang melandasi dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc. III. KESIMPULAN Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia masih banyak mengandung kelemahan khususnya dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat melalui Pengadilan HAM ad hoc yang mengakibatkan hambatan-hambatan dalam mencapai kepastian hukum. Belajar dari Pengadilan HAM ad hoc yang pernah dibentuk dalam kasus Timor Timur, kasus penculikan aktivis 1998/1999 seharusnya juga dapat terselesaikan melalui mekanisme yang sama agar menimbulkan kepastian hukum terhadap keluarga korban. Sehubungan dengan itu, Jaksa Agung harus segera melakukan terobosan hukum atas penanganan kasus tersebut demi tegaknya hukum serta terciptanya keadilan, dengan segera menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM seperti kasus yang pernah terjadi sebelumnya di Timor Timur. DAFTAR PUSTAKA Asmara Nababan, Penyelesaian Pelanggaran HAM yang Berat: Belajar dari pengalaman, Jurnal HAM, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2004 B. Restu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Indonesia, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2009 Binsar Gultom, Pandangan Kritis Seorang Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2009. Denny Indrayana, Negara Hukum Indonesia Pasca Transisi Menuju Demokrasi VS Korupsi Jurnal Konstitusi Vol 1 No.1, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2004 Halili, Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Pelanggengan Budaya Impunitas Vol 7 No. 1, Jurnal Civics, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, 2010 Ifdal Kasim, Elemen-Elemen Kejahatan dari “Crimes Againts Humanity”: Sebuah Penjelajahan Pustaka, Jurnal HAM, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2004 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konsittusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2005. Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2006.. Marcus Priyo Gunarto, Perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia dalam Dinamika Global Vol 19 No.2, Jurnal Mimbar Hukum Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2007 Ringkasan Eksekutif, Laporan Penyelidikan Pelnggaran HAM berat, Komnas HAM. 157 | LENTERA HUKUM Todung Mulya Lubis, Menegakan Hak Asasi Manusia, Menggugat Diskriminasi Vol 39 No.1, Jurnal Hukum dan Pembangunan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2009 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Zainal Abidin, Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, ELSAM, 2007, Jakarta Zainal Abidin, Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia: Regulasi, Penerapan dan Perkembangannya, Elsam, Jakarta, 2007 158 | Analisis Pasal 43 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia This page is intentionally left blank