Lentera Hukum, Volume 2 Issue 1 (2015), pp. 12-23 ISSN 2355-4673 (Print) 2621-3710 (Online) https://doi.org/10.19184/ ejlh.v2i1.7436 Published by the University of Jember, Indonesia Available online 06 March 2015 Perlindungan Hukum Pemegang Hak Atas Tanah Dalam Sengketa Sertipikat Ganda Audina Sintasira University of Jember, Indonesia sintasari_audina@yahoo.com ABSTRACT Land use without rights is prohibited. Therefore, the issuance of land titles certificate. However, in practice, there is still a circulation of land rights that are not in accordance with the provisions of the law and one of them is the circulation of double certificates in the community. The issuance of the double land title certificate by the land office has resulted in a double certificate of land, which is contrary to the principle of legal certainty and certainty of land rights controlled by individuals, legal entities or institutions. This article examines the form or form of protection and legal remedies for holders of land rights concerning multiple certificate disputes. Based on the literature review, in practice, the legal protection of the holder of land rights is regulated in Article 32 of Government Regulation Number 24 of 1997 concerning Land Registration whereas the legal remedies for land dispute settlement which can be taken by the holder of the aggrieved dual-rights land rights can take the path outside the court / non litigation and judicial/litigation lines. This article concludes with suggestions for real reform of the National Defense Agency's bureaucracy and the enhancement of the quality of its human resources and should know in advance the status of land ownership rights in the event of transactions in the case of transfer of ownership of land so as not to cause problems in the future. KEYWORDS: Legal Protection, Land Dispute, Multiple Certificate. Copyright © 2015 by Author(s) This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. All writings published in this journal are personal views of the authors and do not represent the views of this journal and the author's affiliated institutions. \\ Submitted: December 05, 2014 Revised: January 20, 2015 Accepted: February 07, 2015 HOW TO CITE: Sintasira, Audina. “Perlindungan Hukum Pemegang Hak Atas Tanah dalam Sengketa Sertipikat Ganda” (2015) 2:2 Lentera Hukum 12-23 13 | LENTERA HUKUM I. PENDAHULUAN Suatu sertifikat hak atas tanah dapat digugat oleh pihak lain yang berkepentingan yang merasa dirinya dirugikan. Apabila terjadi sertifikat ganda hak atas tanah, maka akan timbul suatu tumpang tindih dan ketidakpastian mengenai siapakah yang berhak untuk memegang hak atas tanah. Hal ini melahirkan pertanyaan yaitu sampai sejauh manakah perlindungan hukum yang dapat diberikan oleh Negara terhadap pemegang hak atas tanah. Sebagaimana dipahami bahwa hak untuk mendapat perlindungan hukum ini menyangkut bagaimana tugas, peran sekaligus tanggung jawab yang harus diemban kekuasaan beridentitas negara. Sebagai warga negara yang berhimpun dalam suatu identitas Negara tentu mempunyai hak yang bersifat asasi, yaitu hak keselamatan, keamanan dan perlindungan hukum. Konsekuensi dari diakuinya hak-hak tersebut, maka tidak diperbolehkan satupun anggota masyarakat sebagai warga negara mendapat pelayanan yang tidak adil dari kekuasaan negara. Dengan demikian harus ada bentuk perlindungan hukum agar menjadi pasti siapa sebenarnya pemegang yang sah suatu hak atas tanah yang telah disertifikasikan. Philipus M. Hadjon1 membedakan 2 (dua) sarana perlindungan hukum yakni perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif, jika perlindungan hukum tersebut dikaitkan dengan sengketa sertipikat ganda maka bentuk perlindungan hukumnya, yakni : A. Perlindungan Hukum Preventif Menurut M. Hadjon, pada perlindungan hukum yang preventif kepada rakyat diberikan kesempatan mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Dengan demikian perlindungan hukum yang prefentif bertujuan mencegah terjadi sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat signifikan bagi tindakan pemerintah yang didasarkan pada ketentuan aturan yang berlaku. Dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan diskresi.2 Perlindungan terhadap pemegang hak-hak atas tanah dalam perkara sertipikat ganda yang bersifat preventif berupa sosialisasi dalam bentuk penyebarluasan melalui media cetak, partisipasi masyarakat dalam penataan ruang, maupun sistem publikasi yang berlaku di Indonesia Perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah berkaitan dengan perkara sertipikat ganda memperhatikan pula ketentuan dalam Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, yang menyatakan: Dalam hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak lagi 1 Philipus M. Hadjon. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia. Sebuah Studi Tentang Prinsip- Prinsipnya. Surabaya. PT Bina Ilmu. hlm. 20. 2 Ray Pratama Siadari. 2012. Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang. diakses di http://raypratama.blogspot.co.id/2012/02/perlindungan-hukum-terhadap-pemegang.html. pada hari Sabtu. 20 Januari 2018 pukul 16.03. http://raypratama.blogspot/ 14 | Perlindungan Hukum Pemegang Hak Atas Tanah Dalam Sengketa Sertipikat Ganda menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu telah tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan atau tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut. Ketentuan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah telah memberikan perlindungan, dimana seseorang yang tercantum namanya dalam sertifikat tidak dapat diajukan gugatan oleh pihak lain yang mempunyai hak atas tanah setelah 5 tahun dan statusnya sebagai pemilik hak atas tanah akan terus dilindungi sepanjang tanah itu diperoleh dengan itikad baik dan dikuasai secara nyata oleh pemegang hak yang bersangkutan.3 B. Perlindungan Hukum Represif Perlindungan terhadap pemegang hak-hak atas tanah dalam perkara sertipikat ganda yang bersifat represif erat kaitannya dengan peran hakim. Peran hakim sangat dibutuhkan dalam memeriksa dan memastikan kebenaran dari keterangan dalam sertifikat. Hakim harus membuktikan, meneliti dan memeriksa asal-usul sertifikat.4 Harus diselidiki bahwa orang yang mengajukan pendaftaran hak atas tanah memang berhak atas tanah tersebut, maksudnya bahwa ia memperoleh hak atas tanah secara sah dari pihak yang berwenang yang mengalihkan hak atas tanahnya, dan kebenaran dari keterangan lainnya yang tercantum dalam sertifikat. Sehingga nantinya dapat ditentukan siapa pemegang sah hak atas tanah dan ia bisa mendapatkan kepastian hukum dari kepemilikan sertifikat hak atas tanah tersebut. Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa Sertipikat merupakan tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan. Ketentuan tersebut mengandung makna bahwa selama belum dibuktikan yang sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang dicantumkan dalam sertipikat harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam perbuatan hukum sehari- hari maupun dalam sengketa di Pengadilan, sepanjang data tersebut sesuai dengan apa yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan. Pembuktian adalah memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim dalam pemeriksaan suatu perkara agar dapat memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan, oleh sebab itulah pembuktian dalam hukum acara (persidangan) sangat penting. Selanjutnya mengenai pertimbangan hakim yang merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan dan mengandung kepastian hukum, disamping itu juga harus mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik dan cermat. 3 Adrian Sutedi. 2014. Sertifikat Hak Atas Tanah. Sinar Grafika. Jakarta. hlm. 194. 4 Adrian Sutedi. Op.cit. hlm. 13. 15 | LENTERA HUKUM Pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat-alat bukti tersebut dipergunakan, diajukan ataupun dipertahankan, sesuai hukum acara yang berlaku, sedangkan alat-alat bukti adalah suatu hal yang ditentukan oleh undang-undang yang dapat di pergunakan untuk memperkuat dakwaan, tuntutan atau gugatan, manapun guna menolak dakwaan, tuntutan atau gugatan.5 Untuk pembuktian dengan saksi dalam hukum tanah dipergunakan apabila bukti tertulis atas kepemilikan sebidang tanah tidak lengkap atau tidak ada. Pembuktian tersebut dapat dilakukan dengan pernyataan si pemegang hak atas tanah dan keterangan yang dapat dipercaya dari sekurang- kurangnya 2 (dua) orang saksi dari lingkungan masyarakat setempat yang tidak mempunyai hubungan keluarga atau darah dengan pemegang hak atas tanah sampai derajat kedua baik dalam garis keatas, kebawah maupun kesamping yang menyatakan bahwa pemegang hak adalah benar pemilik bidang tanah tersebut.6 Penerbitan sertipikat hak atas tanah diatas tanah pihak lain sebagai akibat hukum dari kesalahan prosedur yang mengakibatkan sertipikat menjadi cacat hukum. Cacat hukum administratif maksudnya bahwa data tersebut betul-betul melanggar administrasi, jika seseorang atau badan hukum tersebut tetap bertahan (tidak mau direvisi atau dibetulkan oleh instansi Badan Pertanahan Nasional), maka perlu pembatalan hak atas tanah. Jika seseorang atau badan hukum tersebut tidak mau dibatalkan (secara sukarela), sedangkan ada pihak lain yang merasa dirugikan dengan penerbitan sertipikat hak atas tanah yang mengandung cacat hukum tersebut, maka pihak yang merasa dirugikan tersebut dapat menggugat atau mohon pembatalan hak atas tanah lewat Peradilan Tata Usaha Negara, maka tanahnya akan dikembalikan statusnya semula. Ada 2 (dua) tata cara pembatalan hak atas tanah, yaitu :7 1. Pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum administrasi yang diterbitkan karena permohonan; 2. Pembatalan hak atas tanah karena melaksanakan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Bila pengadilan memutuskan bahwa orang yang paling berhak adalah yang namanya tidak tersebut dalam sertipikat hak atas tanah, maka atas putusan itu juga memerintahkan kepada BPN untuk membatalkan hak yang namanya tersebut dalam sertipikat. 5 Bambang Waluyo. 1996. Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta. hlm. 3. 6 Ahmad Chulaemi. 1996. Hukum Agraria Perkembangan. Macam-macam Hak Atas Tanah dan Pemindahannya. Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Semarang. hlm. 124. 7 Kiki Ratna Patricia Siregar. 2014. Perlindungan Hukum Terhadap Pemilik Hak Atas Tanayang Telah Diterbitkan Sertipikatnya Atas Nama Pihak Lain (Studi Pada Sertipikat Hak Milik Nomor 1.022 Di Kecamatan Tarutung. Kabupaten Tapanuli Utara) 16 | Perlindungan Hukum Pemegang Hak Atas Tanah Dalam Sengketa Sertipikat Ganda II. BENTUK UPAYA HUKUM PENYELESAIAN PERKARA SERTIPIKAT GANDA Upaya hukum penyelesaian sengketa pertanahan yang dapat ditempuh oleh pemegang hak atas tanah yang bersertipikat ganda yang dirugikan dapat menempuh beberapa cara. Langkah yang ditempuh dapat melalui dua cara, yaitu melalui jalur diluar peradilan/non litigasi dan jalur peradilan/litigasi. A. Upaya Non Litigasi Secara normatif, Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya disebut BPN) adalah satu-satunya lembaga atau institusi di Indonesia yang diberikan kewenangan untuk mengemban amanat dalam mengelola bidang pertanahan, sesuai dengan Perpres Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional yang menyatakan bahwa BPN melaksanakan tugas dibidang pertanahan secara nasional regional dan sektoral. Begitu juga dalam sengketa sertifikat ganda, BPN juga berwenang melakukan penyelesaian terhadap pihak-pihak yang bersengketa dan menggagas suatu kesepakatan di antara para pihak. Terkait sengketa tanah, ada peraturan terbaru terkait kasus pertanahan yaitu Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan (Permen Agraria 11/2016). Permen Agraria No. 11/2016 sendiri membedakan antara sengketa, konflik, dan perkara pertanahan. Sengketa tanah merupakan perselisihan antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas. Sementara konflik tanah adalah perselisihan pertanahan baik orang, kelompok, organisasi, badan hukum yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas. Sedangkan, perkara tanah adalah perselisihan pertanahan yang penanganan perkara dan penyelesaiannya melalui lembaga peradilan. Jika kasus pertanahan belum sampai ke lembaga peradilan, maka penyelesaian sengketa tanah dilakukan berdasarkan Pasal 4 Permen Agraria 11/2016 yang menyatakan penyelesaian sengketa dan konflik dilakukan berdasarkan: a. Inisiatif dari Kementerian; atau b. Pengaduan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 5 Permen Agraria 11/2016 menjabarkan mengenai penyelesaian sengketa dan konflik berdasarkan inisiatif dari kementerian (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a). Kementerian melaksanakan pemantauan untuk mengetahui Sengketa dan Konflik yang terjadi dalam suatu wilayah tertentu. Pemantauan sebagaimana dimaksud ini dilakukan secara rutin oleh Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah BPN atau Dirjen terhadap pengaduan atau pemberitaan pada surat kabar terkait Sengketa dan Konflik. Kepala Kantor Pertanahan melaporkan hasil pemantauan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN setiap 4 (empat) bulan sekali dan ditembuskan kepada Menteri. Apabila hasil pemantauan perlu ditindaklanjuti, Menteri atau Kepala Kantor Wilayah BPN memerintahkan Kepala Kantor Pertanahan untuk melakukan kegiatan penyelesaian sengketa dan konflik. Pelaksanaan penyelesaian sengketa atau konflik berdasarkan pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b Permen Agraria 11/2016, kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim/pengaduan/keberatan dari masyarakat 17 | LENTERA HUKUM (perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tersebut. Dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta merta dari Pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Kasus pertanahan meliputi beberapa macam antara lain mengenai masalah status tanah, masalah kepemilikan, masalah bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya.8 Jika terjadi sengketa tanah pengaduan disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan secara tertulis, melalui loket pengaduan, kotak surat atau website Kementerian. Jadi, dapat disimpulkan apabila dalam hal di atas satu bidang tanah terdapat kasus tumpang tindih sertifikat hak atas tanah (Sertifikat Ganda) dapat dilakukan upaya hukum melalui BPN yang diselesaikan berdasarkan inisiatif dari kementerian atau pengaduan masyarakat. Bentuk penyelesaian perkara sertifikat ganda oleh BPN didasarkan pada laporan, hasil pengumpulan data, dan analisis pihak yang diberi kewenangan untuk itu. Pasal 13 pada ayat (1) huruf b Permen Agraria 11/2016 menyatakan bahwa, Kepala BPN/Mentrei menerima dari Kepala Kantor Pertanahan dan/atau Kepala Kantor Wilayah BPN berupa laporan, hasil pengumpulan data, dan analisis, dalam hal: 1) keputusan pemberian hak, konversi/penegasan/ pengakuan, pembatalan hak atas tanah atau penetapan tanah terlantar yang menjadi objek sengketa dan konflik diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN atau Menteri; dan/atau 2) Sengketa dan Konflik termasuk dalam karakteristik tertentu. Penyampaian hasil pengumpulan data dan analisis kepada Menteri sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 ayat (1) huruf b angka 1) Permen Agraria 11/2016, dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan dengan tembusan Kepala Kantor Wilayah BPN. Apabila penyelesaian Sengketa dan Konflik berupa penerbitan Keputusan Pembatalan Hak Atas Tanah atau Keputusan Pembatalan Sertifikat, pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan kewenangan pembatalan. Kewenangan pembatalan yang dapat dilakukan oleh BPN atau Mentri terdiri atas pemberian hak yang keputusannya diterbitkan oleh Menteri atau Kepala Kantor Wilayah BPN, dan Sengketa dan Konflik dengan karakteristik tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) Permen Agraria 11/2016, yaitu : a. melibatkan banyak pihak; b. mempunyai nilai yang tinggi baik dari segi sosial, budaya, ekonomi, kepentingan umum, pertahanan dan keamanan; dan/atau 8 Yunirawati. 2017. Pembatalan Sertifikat Yang Tumpang Tindih Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan (Studi Di Badan Pertanahan Kabupaten Kubu Raya). Jurnal Masalah Hukum. 18 | Perlindungan Hukum Pemegang Hak Atas Tanah Dalam Sengketa Sertipikat Ganda c. permintaan instansi yang berwenang atau penegak hukum. d. menjadi perhatian masyarakat; Bentuk penyelesaian perkara sertifikat ganda oleh Kantor Pertanahan didasarkan pada penerbitan keputusan pembatalan sertifikat, keputusan perubahan data pada sertifikat, surat ukur, buku tanah dan/atau daftar umum, ataupun surat pemberitahuan bahwa tidak terdapat kesalahan administrasi oleh Kepala Kantor Wilayah BPN atau Menteri. Hal tersebut berdasarkan pada ketentuan Pasal 24 Permen Agraria 11/2016 yang menyatakan: Setelah menerima Laporan Penyelesaian Sengketa dan Konflik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (5), Kepala Kantor Wilayah BPN atau Menteri menyelesaikan Sengketa dan Konflik dengan menerbitkan: a. Keputusan Pembatalan Hak Atas Tanah; b. Keputusan Pembatalan Sertifikat; c. Keputusan Perubahan Data pada Sertifikat, Surat Ukur, Buku Tanah dan/atau Daftar Umum lainnya; atau d. Surat Pemberitahuan bahwa tidak terdapat kesalahan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3). Sedangkan dikhususkan mengenai sengketa seripikat ganda berdasarkan Pasal 24 ayat (7) Permen Agraria 11/2016, apabila suatu bidang tanah terdapat tumpang tindih sertifikat hak atas tanah, Menteri atau Kepala Kantor Wilayah BPN sesuai kewenangannya menerbitkan Keputusan pembatalan sertifikat yang tumpang tindih ataupun terjadinya sertipikat ganda, sehingga di atas bidang tanah tersebut hanya ada 1 (satu) sertifikat hak atas tanah yang sah. Keputusan tersebut disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan disertai dengan Berkas Penyelesaian Sengketa dan Konflik sesuai dengan kewenangan pembatalan. Keputusan penyelesaian Sengketa atau Konflik tersebut dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pertanahan. Penerbitan atau peralihan hak atas tanah sebagai tindak lanjut pelaksanaan pembatalan hak atas tanah, pembatalan sertifikat atau perubahan data, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pembatalan keputusan tata usaha negara (KTUN) di bidang pertanahan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan adanya cacat hukum/administrasi di dalam penerbitannya. B. Upaya Litigasi Pengertian mengenai Peradilan Tata Usaha Negara sesuai dengan ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU 5/1986”) sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU 9/2004”) dan telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU 51/2009”) adalah sebagai berikut: 19 | LENTERA HUKUM Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 10 UU 51/2009 dijelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan sengketa Tata Usaha Negara : Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut ketentuan undang-undang di atas dapat diketahui bahwa PTUN merupakan wadah bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara. Objek sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keputusan tata usaha negara (“KTUN”). Berkaitan dengan sertifikat tanah, sertifikat tanah dikeluarkan oleh pemerintah, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional selaku Badan Tata Usaha Negara ditujukan kepada seseorang atau badan hukum (konkret, individual) yang menimbulkan akibat hukum pemilikan atas sebidang tanah yang tidak memerlukan persetujuan lebih lanjut dari instansi atasan atau instansi lain (final).9 Dengan demikian berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka angka 9 UU 51/2009 dan dari segi muatan (isi), pejabat yang mengeluarkan, maksud dan kepada siapa ditujukan serta apa yang ditetapkan di dalamnya, maka sertifikat tanah merupakan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Jika dalam kasus perkara sertifikat ganda atas tanah, yang terjadi adalah warga telah memiliki sertifikat namun mengalami masalah, maka karena sertifikat tanah adalah penetapan tertulis terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, maka dengan demikian, sertifikat hak atas tanah merupakan: 1) Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, yakni keputusan Kepala Kantor Pertanahan; 2) Maksud isi tulisan sertifikat intinya berisi jenis hak (misal hak milik atau hak guna bangunan), lokasi/alamat tanah, luas tanah, batas tanah, nomor sertifikat, surat ukur, dan nomor surat ukur dan sebagainya; 3) Tulisan itu ditujukan kepada orang, sekumpulan orang atau badan hukum sebagai pemegang hak atas tanah. Penyelesaian perkara sertifikat ganda yang terjadi seperti ini jika dilakukan dalam peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), maka diselesaikan dengan dua cara, yakni: 1) Melalui upaya administrasi (Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986) 9 Z.A. Sangaji. 2003. Kompetensi Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Gugatan Pembatalan Sertifikat Tanah. Bandung. Citra Aditya Bakti. hlm. 36. 20 | Perlindungan Hukum Pemegang Hak Atas Tanah Dalam Sengketa Sertipikat Ganda Cara ini merupakan prosedur yang dapat ditempuh seseorang atau badan hukum perdata apabila tidak puas terhadap suatu keputusan tata usaha negara. Jadi jika dalam hal perkara kepemilikan sertifikat ganda, ada pihak yang tidak puas dengan keputusan tata usaha negara, maka upaya administrasi bisa diajukan. Bentuk upaya administrasi adalah:10 a) Banding administratif, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan. b) Keberatan, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan sendiri oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan itu. 2) Melalui Gugatan Subjek atau pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara ada dua pihak, yaitu: a) Penggugat, yaitu seorang atau badan hukum perdata yang merasa dirugikan dengan dikeluarkannya keputusan tata usaha negara oleh badan atau pejabat tata usaha negara baik di pusat atau di daerah; b) Tergugat, yaitu badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, dalam hal ini BPN. Berdasarkan uraian di atas maka yang jadi obyek di perkara yang diadili di Pengadilan Tata Usaha Negara yang menjadi obyek adalah KTUN mengenai sertipikat ganda yang merugikan pihak lain yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan atau asas-asas umum pemerintahan yang baik dan atau terdapat cacat wewenang dan atau subtansi dan atau prosedur dalam penerbitannya. Dengan demikian maka Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang dalam amar putusannya menyatakan sertipikat hak atas tanah yang tumpang tindih tersebut tidak sah dan/atau membatalkan sertipikat hak atas tanah, karena hal tersebut merupakan kewenangan. Berdasarkan praktiknya untuk menyiasati hal tersebut, biasanya para pihak dalam petitum gugatannya meminta kepada majelis hakim untuk memerintahkan kepada Badan Pertanahan Nasional dan atau Kepala Kantor Pertanahan untuk mencabut dan atau membatalkan hak atas tanah.11 Permohonan pembatalan hak atas tanah berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap diawali dengan timbulnya sengketa tanah yang terdapat adanya benturan kepentingan yang melibatkan pemegang hak dengan pihak lain yang merasa dirugikan, sedangkan sengketa tanah yang terdapat adanya cacat administrasi biasanya hanya melibatkan pemegang hak atas tanah dengan Badan Pertanahan Nasional. Berdasarkan Pasal 49 ayat (2) pelaksanaan putusan pengadilan merupakan tindak lanjut atas putusan lembaga peradilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Amar putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang berkaitan dengan penerbitan, peralihan, pembatalan hak atas tanah dan/atau pembatalan penetapan tanah terlantar antara lain: 10 Ibid 11 Ibid 21 | LENTERA HUKUM a. perintah untuk membatalkan hak atas tanah; b. menyatakan batal/tidak sah/tidak mempunyai kekuatan hukum hak atas tanah; c. menyatakan tanda bukti hak tidak sah/tidak berkekuatan hukum; d. perintah dilakukannya pencatatan atau pencoretan dalam Buku Tanah; e. perintah penerbitan hak atas tanah; f. perintah untuk membatalkan penetapan tanah terlantar; dan g. amar yang bermakna menimbulkan akibat hukum terbitnya peralihan hak atau batalnya peralihan hak. Dengan kata lain, jika terjadi adanya sengketa hak atas tanah maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan keberatan langsung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Demikian pula dengan permohonan pembatalan sertipikat hak atas tanah yang didasarkan adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap diajukan oleh yang bersangkutan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional atau melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan diteruskan melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi yang bersangkutan. Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang berkaitan dengan penerbitan, peralihan, pembatalan hak atas tanah dan/atau pembatalan penetapan tanah terlantar dilaksanakan berdasarkan permohonan pihak yang berkepentingan melalui Kantor Pertanahan setempat. Pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan sesuai dengan kewenangan pembatalan. Kewenangan tersebut tertuang dalam Pasal 56 ayat (2) Permen Agraria 11/2016, yaitu: Kewenangan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Kepala Kantor Pertanahan, dalam hal keputusan konversi/penegasan/ pengakuan, pemberian hak, pembatalan hak yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan; b. Kepala Kantor Wilayah BPN, dalam hal keputusan konversi/penegasan /pengakuan, pemberian hak, pembatalan hak yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN; c. Menteri dalam hal keputusan pemberian hak, keputusan pembatalan hak, keputusan penetapan tanah terlantar yang diterbitkan oleh Menteri. Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap wajib dilaksanakan kecuali terdapat alasan yang sah untuk tidak melaksanakannya. Alasan yang sah ini tertuang dalam Pasal 58 ayat (2), yakni: Alasan yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain: a. terhadap obyek putusan terdapat putusan lain yang bertentangan; b. terhadap obyek putusan sedang dalam status diblokir atau sita oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan/atau lembaga penegak hukum lainnya; c. alasan lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. 22 | Perlindungan Hukum Pemegang Hak Atas Tanah Dalam Sengketa Sertipikat Ganda III. PENUTUP Sertipikat ganda terjadi karena diterbitkannya lebih dari satu sertipikat untuk sebidang tanah yang sama oleh kantor pertanahan yang dimiliki orang yang berbeda dan merasa dirugikan. Suatu sertifikat hak atas tanah dapat digugat oleh pihak lain yang berkepentingan yang merasa dirinya dirugikan. Hal ini melahirkan pertanyaan yaitu sampai sejauh manakah perlindungan hukum yang dapat diberikan oleh Negara terhadap pemegang hak atas tanah. Berdasarkan permasalahan tersebut, perlu perlindungan hukum yakni perlindungan hukum preventif dilakukan dengan sosialisasi dalam bentuk penyebarluasan melalui media cetak, partisipasi masyarakat dalam penataan ruang, maupun sistem publikasi pendaftaran atas tanah yang berlaku di indonesia, dan perlindungan hukum yang diatur dalam Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Sedangkan, perlindungan hukum secara represif terhadap pemegang hak-hak atas tanah dalam perkara sertipikat ganda erat kaitannya dengan peran hakim. Sertifikat hak atas tanah adalah suatu alat bukti yang kuat sebagaimana disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Upaya hukum awal yang dapat dilakukan oleh pemilik tanah dalam penyelesaian sengketa diatas tanah milik orang lain/sertifikat ganda yaitu dengan cara mengajukan pembatalan sertipikat hak atas tanah kepada Kantor Pertanahan. Apabila usaha musyawarah tersebut tidak menemukan kesepakatan maka yang bersangkutan/pihak yang bersengketa dapat mengajukan perkara ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Maka dari itu, untuk menghindari adanya sertipikat ganda, para pihak apabila akan melakukan transaksi dalam hal pengalihan hak milik atas tanah hendaknya mengetahui terlebih dahulu mengenai status hak kepemilikan atas tanahnya sehingga tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari. Serta, perlu adanya reformasi birokrasi Badan Pertahanan Nasional secara nyata, salah satunya dengan cara dilakukan pembenahan sistem pendataan tanah secara online dengan sistem dan teknologi yang canggih diseluruh kabupaten sehingga tanah-tanah masyarakat terdata dan terdaftar kepemilikannya sehingga dapat menghindari kemungkinan terjadinya sertipikat ganda. DAFTAR PUSTAKA Adrian Sutedi. 2014. Sertifikat Hak Atas Tanah. Jakarta: Sinar Grafika. Ahmad Chulaemi. 1996. Hukum Agraria Perkembangan. Macam-macam Hak Atas Tanah dan Pemindahannya. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Bambang Waluyo. 1996. Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Philipus M. Hadjon. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia. Sebuah Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya. Surabaya: PT Bina Ilmu. Z.A. Sangaji. 2003. Kompetensi Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Gugatan Pembatalan Sertifikat Tanah. Bandung: Citra Aditya Bakti. 23 | LENTERA HUKUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2015 tentang Badan Pertanahan Nasional. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Kiki Ratna Patricia Siregar. 2014. Perlindungan Hukum Terhadap Pemilik Hak Atas Tanahnyang Telah Diterbitkan Sertipikatnya Atas Nama Pihak Lain (Studi Pada Sertipikat Hak Milik Nomor 1.022 Di Kecamatan Tarutung. Kabupaten Tapanuli Utara) Ray Pratama Siadari. 2012. Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Hak Atas Tanah. diakses di http://raypratama.blogspot.co.id/2012/02/perlindungan-hukum-terhadap pemegang.html. pada hari Sabtu. 20 Januari 2018 pukul 16.03. Yunirawati. 2017. Pembatalan Sertifikat Yang Tumpang Tindih Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan (Studi Di Badan Pertanahan Kabupaten Kubu Raya). Jurnal Masalah Hukum.