Lentera Hukum, Volume 3 Issue 3 (2016), pp. 210-218 ISSN 2355-4673 (Print) 2621-3710 (Online) https://doi.org/10.19184/ ejlh.v3i3.7636 Published by the University of Jember, Indonesia Available online 21 December 2016 Penegakan Hukum Atas Pembajakan Kapal Indonesia di Perairan Filipina Erika Reski Alifatul Muafidah University of Jember, Indonesia Erikareski.26@gmail.com ABSTRACT Ship hijacking is a maritime crime generally committed in territorial waters. It often happens in Indonesia and the Philippines especially border areas of both countries (Malaysia – Philippines) makes other ASEAN countries feeling worried because it is closely related to the aspect of security. Those cases had a serious impact on international shipping towards other foreign and domestic vessels. For that reason, we are going to analyze solving the problems mainly crimes committed onboard vessels such as boat piracy on the Indonesia-Philippines frontier. This becomes a very serious problem and has big impacts on the International society. Consequently, the main point of this journal is to find out efforts will be made to overcome these problems, jurisdiction which is used to solve the problems and the crew protection. KEYWORDS: Ship Hijacking,Piracy, Enforcement. Copyright © 2016 by Author(s) This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. All writings published in this journal are personal views of the authors and do not represent the views of this journal and the author's affiliated institutions. Submitted: October 05, 2016 Revised: November 08, 2016 Accepted: December 10, 2016 HOW TO CITE: Muafidah, Erika Reski Alifatul. “Penegakan Hukum Atas Pembajakan Kapal Indonesia di Perairan Filipina “(2016) 3:3 Lentera Hukum 210-218 211 | Penegakan Hukum Atas Pembajakan Kapal Indonesia di Perairan Filipina I. PENDAHULUAN Laut merupakan salah satu jalur lalu lintas transportasi utama sejak tahun Sebelum Masehi dalam kegiatan menyebarkan agama, pelayaran, maupun perdagangan, karena lebih dari 70% bumi terdiri dari air. Jalur air dinilai efisien dan murah untuk mengangkut barang seperti minyak, gas bumi, dan lainnya. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jalur utama pelayaran karena Indonesia merupakan negara Kepulauan. Hukum Maritim menurut kamus hukum “Black’s Law Dictionary”, adalah hukum yang mengatur pelayaran dalam arti pengangkutan barang dan orang melalui laut, kegiatan kenavigasian, dan perkapalan sebagai sarana atau moda transportasi laut termasuk aspek keselamatan maupun kegiatan yang terkait langsung dengan perdagangan melalui laut yang diatur dalam hukum perdata/perdagangan maupun yang diatur dalam hukum publik.1 Jaringan yang luas dengan kepentingan ekonomi mewujudkan integrasi antar negara dan hubungan timbul balik dengan negara lain. Luas laut yang tidak dapat diawasi sepenuhnya tidak memungkiri akan terjadinya kejahatan yang merugikan kepentingan seseorang. Tindak kejahatan di laut sudah terjadi sejak abad pertengahan bahwa terdapat praktik aksi di laut oleh pemerintah Inggris untuk menyerang kapal-kapal musuh selama masa perang yang disebut privateering atau buccaneers dan corsairs. Beberapa wilayah laut di dunia termasuk wilayah Asia Tenggara menjadi target kegiatan pelaku kejahatan seperti terorisme yang terjadi pada dua kapal Indonesia pengangkut 7000 ton batu bara menjadi korban pembajakan, bukan hanya itu 10 orang anak buah kapal yang berkewarganegaraan Indonesia juga disandera oleh sekelompok Islam Ekstrim warga Filipina Abu Sayyaf tahun 2016. Kelompok tersebut meminta tebusan sejumlah US$ 10 juta atau setara dengan Rp. 132 milliar. Kejadian ini terjadi di Perbatasan Malaysia-Filipina, Perairan Tawi-tawi. Dalam praktik pembajakan kapal dilaut, para pembajak tentulah tidak memikirkan tentang tempat melakukan pembajakan, apakah diperairan pedalaman, laut teritorial, zona ekonomi eksklusif, ataukah dilaut lepas. Yang dipikirkan olehnya adalah keamanan dan keberhasilan dalam melakukan aksinya. Memang semakin jauh dari daratan ataupun semakin jauh dan semakin longgar dari pengawasan dan pengintaian aparat penegak hukum Negara pantai, semakin amanlah aksi pembajakannya. Diantara keempat zona maritime tersebut yang relative paling aman adalah dilaut lepas. Sebab laut lepaslah yang paling jauh dari daratan Negara pantai maupun karena dilaut lepas diakui adanya kebebasan laut lepas, khususnya kebebasan pelayaran, termasuk kebebasan pelayaran bagi kapal-kapal yang digunakan oleh para pembajak.2 Terorisme maritim merupakan salah satu representasi dari bentuk peperangan antara negara dengan aksi teror oleh aktor non-negara. Selain untuk memenuhi kebutuhan pendanaan, adanya basis ideologi memberi kekuatan perlawanan yang lebih militan daripada kelompok penculik yang hanya berbasis ekonomi semata. Mereka juga lebih terlatih dan terorganisasi dalam bertindak dengan aksi-aksi teror. Aksi pendanaan 1 Maritimnews.com/pelayaran-dan-perdagangan-di-laut-merupakan-inti-dari-maritim/ 2 I Wayan Parthiana “Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia”, hlm. 199. 212 | LENTERA HUKUM dengan permintaan uang tebusan menandakan dukungan pendanaan bagi kelompok Abu Sayyaf dari simpatisannya semakin minim. Hal ini juga menunjukan upaya militer Pemerintah Filipina untuk memutus dukungan pendanaan ke kelompok tersebut telah menuai hasil.3 Aksi kelompok Abu Sayyaf menunjukkan bahwa kelompok teroris mulai melihat laut sebagai peluang mengumpulkan dana bagi perlawanan bersenjata mereka, sehingga persoalan keamanan laut sudah tidak bisa dilihat hanya sebagai persoalan satu negara saja. Lebih lanjut dalam kontak senjata terakhir dengan militer Filipina juga diketahui para militan asing telah masuk berpartisipasi ke dalam kelompok tersebut. Oleh karena itu, perlu penanganan luas dalam melawan kelompok terorisme di laut dengan gelar operasi pemberantasan bersama dengan negara-negara pihak.4 Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Filipina, kemudian Pemerintah Filipina menggerakkan Tentaranya untuk melakukan upaya penyelamatan sandera oleh kelompok Abu Sayyaf. Dilatar belakangi dengan hal yang kami paparkan diatas kami menemukan sebuah permasalahan tentang bagaimana pengaturan pembajakan menurut UNCLOS 1982, serta Yurisdiksi dan penyelesesaian atas pembajakan ini dan bagaimana dengan perlindungan terhadap anak buah kapal yang di dalam kronologi nya mereka juga di sandera oleh Kelompok Abu Sayyaf. Dalam Penelitian ini termasuk dalam kepustakaan yang bersifat normatif, yaitu penelitian yang menggunakan data sekunder. Data sekunder tersebut meliputi, Tipe penelitian, Data dan Sumber Data, Teknik Pengumpulan Data, Analisis Data. Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Langkah pertama dilakukan penelitian yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder yaitu peraturan- peraturan yang berkaitan dengan hukum internasional. Penelitian bertujuan untuk menentukan landasan hukum yang jelas dalam meletakkan persoalan ini dlam prespektif konflik hukum internasional. Dengan Bahan atau data yang dicari berupa data sekunder yang terdiri dari: Bahan hukum primer dan badan hukum sekunder. Badan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan mengikat. Dalam penelitian ini bahan hukum primer: subjek hukum internasional dan kejahatan pelayaran laut yang terkait dengan pembahasan. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang isinya menjelaskan mengenai bahan hukum primer. Dalam penelitian ini adalah buku, buku, makalah, artiker dari surat kabar, dan artiker dari internet. Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan jurnal, maka digunakan metode pengumpulan data dengan cara: studi kepustakaan, yaitu mempelajari dan menganalisis secara digunakan sistematis buku-buku, surat kabar, makalah ilmiah, internet, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam jurnal ini. Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian 3 Adrini Pujayanti. “Upaya Pembebasan WNI Sandera Kelompok Abbu Sayyaf”. Majalah Info Singkat Hubungan Internasional. Vol. 08 No. 07. 2016, hlm. 6. 4 Ibid. 213 | Penegakan Hukum Atas Pembajakan Kapal Indonesia di Perairan Filipina disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk jurnal. Metode ini dilakukan guna mendapatkan data yang bersifat deskriptif analisis, yaitu data-data yang akan diteliti dan dipelajari sesuatu yang utuh. II.PENGATURAN PEMBAJAKAN MENURUT UNCLOS 1982. Pembajakan di laut lepas baik yang dilakukan oleh kapal-kapal asing, maupun oleh kapal-kapal domestik di wilayah perairan internasional akhir-akhir ini telah menimbulkan keresahan bagi pelayaran internasional. Penindakan kejahatan pembajakan laut lepas tersebut, maka dari itu kami tinjau dari UNCLOS 1982 bahwa terdapat tindakan-tindakan yang dapat ditegakkan yang mengakibatkan menimbulkan keresahan bagi pelayaran internasional5. Pada UNCLOS 1982 sendiri telah diatur tindakan-tindakan pembajakan di laut yang mana diatur pada pasal 101 6yang berbunyi: a. Setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak syah, atau setiap tindakan memusnahkan, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu kapal atau pesawat udara swasta, dan ditujukan: (i) Dilaut lepas, terhadap kapal atau pesawat udara lain atau terhadap orang atau barang yang ada di atas kapal atau pesawat udara demikian. (ii) Terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang disuatu tempat diluar yurisdiksi Negara manapun. b. Setiap tindakan turut serta secara suka rela dalam pengoperasian suatu kapal atau pesawat udara dengan mengetahui fakta yang membuatnya suatu kapal atau pesawat udara pembajak. c. Setiap tindakan mengajak atau dengan sengaja membantu tindakan yang disebutkan dalam sub-ayat (a) atau (b). Dengan demikian UNCLOS 1982 menegaskan agar semua Negara wajib melindungi atau bekerja sama dalam hal menindas pembajakan dilaut yang mana diatur pada pasal 100 yang berbunyi : “Semua Negara harus bekerja sama sepenuhnya dalam penindasan pembajakan laut lepas di tempat lain maupun diluar yurisdiksi suatu Negara.” Dari pasal 101 ini tampak unsur-unsur dari suatu tindakan atau perbuatan untuk dapat dikategorikan sebagai pembajakan kapal (piracy) dilaut lepas. Satu hal yang patut dicatat adalah, pasal 101 ini berkenaan dengan pembajakan dilaut lepas yang semata-mata ditunjukan terhadap sipelaku yang sepenuhnya pihak swasta dan demikian juga korbannya. Pasal 100 mewajibkan setiap Negara untuk bekerja sama sepenuhnya dalam pemberantasan pembajakan dilaut lepas atau ditempat lain diluar yurisdiksi suatu Negara. Sebenarnya jika ditinjau dari sistematikanya, keduanya seharusnya dibalik. Pasal 100 menegaskan tentang pengertian dari pembajakan (piracy) dilaut lepas 5 Yudi Trianantha, Pembajakan kapal di Laut Lepas ditinjau dari Hukum Internasional. Hlm. 3. 6 Lihat UNCLOS 1982 1982 Pasal 101. 214 | LENTERA HUKUM sedangkan pasal 101 mengatur tentang kewajiban Negara-negara untuk bekerja sama dalam pemberantasannya.7 Suatu kapal perompak yang dimaksudkan dalam pasal 103 UNCLOS 19828, yakni yang melakukan tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak syah seperti pembajakan kapal dan dikendalikan oleh orang ataupun kelompok. III.YURISDIKSI DAN UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA. Permasalahan sengketa dapat diselesaikan berdasarkan yurisdiksi suatu negara. Menurut asas-asas yang dapat dikaitkan dengan kasus tersebut yakni, 1. Asas Teritorial, negara bendera kapal berhak untuk mengadili kasus yang terjadi berdasarkan tempat perbuatan dilakukan, pada kasus ini terjadi di Provinsi Tawi- tawi Filipina. Maka yang berhak mengadili adalah Filipina. Pasal 103 menegaskan tentang kapal atau pesawat udara perompak. Ditegaskan bahwa, suatu kapal atau pesawat udara dianggap sebagai kapal atau pesawat udara perompak apabila kapal atau pesawat udara itu dimaksudkan oleh pihak yang menguasai atau mengendalikannya digunakan untukn tujuan melakukan salah satu dari tindakan yang disebutkan didalam pasal 101. Hal ini juga berlaku dikapal atau pesawat udara tersebut telah digunakan melakukan kejahatan seperti pada pasal 101 selama kapal atau pesawat udara itu berada dibawah pengawasan atau pengendalian dari pihak yang telah melakukan tindakan tersebut.9 2. Asas Ekstra Teritorial, negara bendera kapal berhak untuk mengadili kasus yang terjadi berdasarkan tempat perbuatan dilakukan, pada kasus ini dilakukan diatas kapal, yakni kapal berbendera Indonesia. Maka yang berhak mengadili adalah Indonesia. Kapal atau pesawat udara yang telah digunakan sebagai alat melakukan perompakan atau pembajakan tersebut tetap memiliki kebangsaan atau kewarganegaraan dari negaranya. Dengan kata lain, kapal atau pesawat udara demikian itu tidak kehilangan kebangsaan atau kewarganegaraannya meskipun digunakan sebagai sara melakukan pembajakan atau perompakan. Patut diketahui bahwa apakah suatu kapal atau pesawat udara tetap memiliki ataukah kehilangan kebangsaan atau kewarganegaraan, ditentukan oleh hukum atau peraturan perundang-undangan nasional masing-masing Negara, khususnya hukum atau peraturan perundang-undangan nasional dari Negara yang telah memberi kebangsaan atau kewarganegaraan. Ini ditegaskan dalam pasal 104.10 3. Asas Personal Pasif, bahwa korban tindak kejahatan berasal dari Indonesia maka Indonesia berhak mengadili. 4. Asas Personal Aktif, pelaku tindak kejahatan ialah kelompok Abu Sayyaf yang berasal dari Filipina, maka Filipina ikut andil dalam menangani kasus tersebut. 5. Asas Universal, semua negara berhak mengadili kejahatan pembajakan kapal yang termasuk sebagai kejahatan. Selain itu, upaya penyelesaian permasalahan pada kasus pembajakan kapal Indonesia atas Filiphina sebagai berikut : 7 I Wayan Parthiana “Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia”. hlm. 200. 8 Lihat Pasal 103 UNCLOS 1982. 9 I Wayan Parthiana “Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia”. hlm. 201 10 Ibid. 215 | Penegakan Hukum Atas Pembajakan Kapal Indonesia di Perairan Filipina a. Upaya penyelesaian pembajakan di wilayah perairan filipina ditinjau dari UNCLOS 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea) dan Konvensi Roma 1988 Untuk definisi tcntang perompakan yang merniliki implikasi yuridis, kita dapat mengacu pada UNCLOS 1982 pasal 101, yakni : Perompakan kapal terdiri atas tindakan-tindakan sebagai berikut : 1. Setiap perbuatan dengan kekerasan secara tidak sah atau penahanan atau setiap perbuatan yang merusak yang dilakukan dengan maksud untuk memiliki barang berharga milik orang secara tidak sah yang dilakukan oleh kru atau penumpang dari suatu kapal dan dilakukan : 1) Di laut bebas terhadap kapal lainnya atau terhadap seseorang atau barang berharga yang ada diatas kapal. 2) Terhadap suatu kapal, seseorang atau barang berharga di luar juris diksi dari suatu negara tertentu. 2. Setiap perbuatan turut-serta yang dilakukan secara sukarela dalam suatu operasi dari kapal yang diketahui perilaku secara nyata sebagai kapal perompak. 3. Setiap perbuatan yang mendorong atau menfasilitasi suatu perbuatan melawan hukum sebagai tersebut dalam item a atau b di atas.” Selanjutnya pada pasal 102 diatur bahwa tindakan-tindakan perompakan kapal sebagaimana tersebut di atas, apabila dilakukan oleh kapal perang, kapal milik pemerintah atau pesawat milik pemerintah dimana krunya menguasai dan mengendalikan suatu kapal tertentu, disamakan dengan suatu tindakan perompakan yang dilakukan oleh kapal swasta. Sedangkan yang dimaksud dengan kapal perompak adalah suaru kapal yang dikuasai oleh orang-orang yang menggunakannya untuk tujuan melakukan salah satu tindakan melawan hukum sebagaimana tersebut dalam pasal 101 di atas. Hal ini berlaku juga atas kapal yang digunakan untuk tindakan perompakan tersebut, sepanjang kapal itu masih dikendalikan atau dikuasai oleh orang-orang yang diputuskan bersalah karena tindakan perompakan kapal. Pada pasal 100 UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa “Semua Negara harus bekerjasama sepenuhnya dalam penindasan pembajakan di laut lepas ditempat lain maupun di luar yurisdiksi sesuatu Negara”. Jadi, dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa kerjasama adalah kewajiban setiap Negara. Dalam hal pembajakan kapal yang terjadi di Filiphina yang memiliki tanggung jawab penuh adalah Filiphina. Namun, karena yang menjadi korban adalah WNI, maka pemerintah Indonesia cukup melakukan upaya penyelesaian dengan cara melakukan kerjasama dengan pemerintah Filiphina. 11 Sehingga Dalam mengatasi permasalahan pembajakan Indonesia di Filiphina terhadap kapal dan Anak Buah Kapal yang berbendera Indonesia, maka di perlukannya kerjasama yang melibatkan militer dari Negara Indonesia dan Filiphina. b. Upaya penyelesaian pembajakan di wilayah perairan filipina ditinjau dari ACCT (Asean Convention On Counter Terrorism) Hal ini Mengingat Semakin Dimungkinkannya Ancaman Aksi Terorisme seperti didalam kasus pembajakan yang terjadi antara Indonesia dan Filipina dilakukan dengan berbagai upaya berdasarkan ACCT (ASEAN Convention on Counter Terrorism) yang dapat dilihat dari Tujuan dibentuknya konvensi ini terdapat pada Pasal 1 menyebutkan bahwa: 11 Lihat Pasal 100 UNCLOS 1982. 216 | LENTERA HUKUM “Konvensi ini akan memberikan kerangka kerja sama kawasan untuk memberantas, mencegah, dan menghentikan terorisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan untuk mempererat kerja sama antar lembaga penegak hukum dan otoritas yang relevan dari para Pihak dalam memberantas terorisme.” 12 Sehingga upaya dalam ACCT ASEAN adalah dengan memulai dari soft diplomacy dengan pemerintah Filipina kemudian adanya pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Filipina. Indonesia dan Filipina menyepakati perjanjian bilateral dengan menandatangani perjanjian tersebut untuk menanggulangi masalah pembajakan di perairan perbatasan kedua negara, salah satu isi perjanjian bilateral tersebut yaitu mengenai ketentuan pengawalan oleh kekuatan militer terhadap kapal berbendera Indonesia yang akan menuju Filipina, dan sebaliknya. 13 Pembebasan para sandera merupakan hasil diplomasi total yang melibatkan berbagai elemen pemerintah selama enam bulan terakhir sejak kapal-kapal berbendera Indonesia di bajak oleh kelompok terorisme Abu Sayyaf. Penindakan pelaku dikembalikan kepada Otorita Filipina dan mengikuti peraturan nasional Filipina untuk meningkatkan kemampuan dalam upaya mengatasi kejahatan pembajakan tersebut, Sesuai dengan peraturan nasional Filipina pelaku akan dikenakan pidana 40 tahun penjara, sesuai dengan bunyi Section 3 yaitu: “there by sowing and creating a condition of widespread and extraordinary fear and panic among the populace, in order to coerce the government togive in to an unlawful demand shall be guilty of the crime of terrorism and shall suffer the penalty of forty (40) years of imprisonment, without the benefit of parole as provided for under Act No. 41 03, otherwise known as the Indeterminate Sentence Law, as amended.”14 maka dari kerjasama bilateral antara Indonesia dengan Filiphina menjadi kerjasama Trilateral. Selain kerjasama Bilateral yang dilakukan oleh Indonesia dengan Filiphina. Dimana sangat dimungkinkan bahwa aksi-aksi tersebut juga dilakukan di Laut Lepas, serta kapal-kapal di laut. Pengaturan pembajakan di Laut Lepas berdasarkan hukum internasional yakni berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Konvensi Jenewa juga senada dengan Pasal 105 UNCLOS 1982 yang menyatakan Di Laut Lepas, atau disetiap tempat lain di luar yurisdiksi Negara manapun setiap Negara dapat menyita suatu kapal atau pesawat udara pembajakan atau suatu kapal atau pesawat udara yang telah diambil oleh pembajakan dan berada di bawah pengendalian pembajakan dan menangkap orang-orang yang menyita barang yang ada di kapal.15 Perubahan atau peninjauan ulang (revisi) dapat dilakukan dengan cara memperluas yurisdiksi internasional dengan memberikan pengaturan tambahan mengenai mekanisme untuk mengadili para perompak, amandemen UNCLOS 1982 melalui ketentuan pasal 311 menambahkan pembajakan di laut sebagai salah satu tindak pidana yang dapat diadili dalam Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) dan membentuk pengadilan khusus yang menangani pembajakan di laut. 12 Lihat Pasal 1 ACCT (ASEAN Convention on Counter Terrorism). 13 Lihat selengkapnya dalam situs “Konflik Hukum Dalam Penegakan Hukum atas Kejahatan Perompakan Kapal di Laut “ , Online : 14 Safira Salsabila Annisa Musthofa . “Pemberantasan Pembajakan Kapal Di Perairan Filipina Berdasarkan Asean Convention On Counter Terrorism (ACCT)” Hal. 88. 15 Konvensi Jenewa Pasal 105 UNCLOS. 217 | Penegakan Hukum Atas Pembajakan Kapal Indonesia di Perairan Filipina IV. PERLINDUNGAN ANAK BUAH KAPAL Terdapat lima bentuk kasus utama yang dihadapi oleh ABK (Anak Buah Kapal) Indonesia di seluruh dunia. Diantaranya adalah: sengketa ketenagakerjaan, penyelundupan manusia, traficcking in persons, illegal fishing, dan penyalahgunaan narkoba 16 dan terorisme. Lima kasus tersebut merupakan kejahatan yang dikecam oleh masyarakat seluruh dunia namun kenyataannya masih ada oknum-oknum yang masih melakukannya. Diperlukan adanya Upaya pencegahan , perlindungan dan penyelesaian sengketa atas kejahatan tersebut. Di Indonesia sendiri, peraturan yang menyatakan perlindungan Anak Buah Kapal diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, mengenai kesejahteraan awak kapal. Empat pelaut Indonesia diculik kelompok bersenjata yang diduga Abu Sayyaf di perairan Filipina. Namun, enam anak buah kapal (ABK) asal Indonesia, termasuk satu yang terluka, berhasil melarikan diri ke Semporna, kawasan pantai timur Sabah, Malaysia. Satu di antara ABK yang lolos telah dikirim ke Semporna untuk perawatan medis.17 Aksi ini adalah terorisme maritime Abu Sayyaf, selain bermotif finansial juga berlandaskan perlawanan yang sifatnya politik ideologis, sehingga membutuhkan penanganan yang hati-hati. Indonesia pun telah menyiapkan pasukan khusus sejumlah 500 personil dari setiap matra di Tarakan, Kalimantan Utara. Dalam hal upaya pembebasan sandera yang dilakukan pemerintah Indonesia, sebagai sesama negara ASEAN, pendekatan politik sejak mula telah dikedepankan Pemerintah Indonesia dengan melakukan koordinasi dengan Filipina dan Malaysia.18 Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak bisa ikut serta di dalam pembebasan sandera 10 WNI ABK. Sebab, Filipina di dalam konstitusinya tidak mungkin adanya kekuatan militer asing untuk melakukan operasi di negaranya. Pemerintah dalam hal ini memberikan kepercayaan penuh terhadap Filipina agar dapat membantu membebaskan WNI tersebut19. Hal ini bentuk upaya penyelesaian sengketa melalui diplomasi. V. PENUTUP 16Lihat lebih lengkapnya : M Ambari “Sepenting Apakah Perlindungan Internasional untuk ABK Indonesia di Luar Negeri?“Online : 17 (Study Kasus Kapal Indonesia Dibajak di Perairan Filipina, 4 WNI Diculik) . Liputan 6.com. 2016. 18 Adrini Pujayanti. “Upaya Pembebasan WNI Sandera Kelompok Abbu Sayyaf”. Majalah Info Singkat Hubungan Internasional. Vol. 08 No. 07. 2016, 6. 19 Yudi Trianantha, Pembajakan kapal di Laut Lepas ditinjau dari Hukum Internasional https://www.liputan6.com/news/read/2471706/bebaskan-wni-sandera-abu-sayyaf-pasukan-elite-al-siapkan-kapal http://www.mongabay.co.id/byline/m-ambari-jakarta/ 218 | LENTERA HUKUM Laut yang luas tidak bisa diawasi dengan penuh dapat dipastikan terjadi banyak tindak kejahatan. Khususnya kejahatan pembajakan yang merugikan masyarakat dunia. Salah satu kejahatan yang terjadi di laut adalah terorisme maritim ASEAN seperti yang dilakukan oleh kelompok Abu Sayyaf warga Filipina dengan melakukan pembajakan dua kapal Indonesia dan menyandera beberapa Anak Buah Kapal. Alasan melakukan hal tersebut karena mereka melihat laut sebagai sumber peluang pengumpulan dana untuk hal perlawanan bersenjata. Didalam UNCLOS 1982 telah diatur tindakan pembajakan di laut pada pasal 100 dan pasal 101, yang mana upaya penyelesaian sengketa dalam kasus tersebut menggunakan asas territorial, asas ekstra teritorial, asas personal pasif, asas personal aktif, asas universal selain itu juga bisa ditinjau melalui ACCT (asean convention on counter terrorism). Bukan hanya itu, perlindungan pada awak kapal juga penting untuk dilakukan mengingat dalam UUD I945 disebutkan bahwa Indonesia melindungi segenap bangsanya. DAFTAR PUSTAKA Adrini Pujayanti. Upaya Pembebasan WNI Sandera Kelompok Abbu Sayyaf. Majalah Info Singkat Hubungan Internasional. Vol. 08 No. 07. 2016, 6. Anri Syaiful. Situs : Kasus Kapal Indonesia Dibajak di Perairan Filipina, 4 WNI Diculik, Online : https://www.liputan6.com/news/read/2484913/kapal-indonesia-dibajak-di- perairan-filipina-4-wni/diculik>. 2016. Diakses pada 27 April 2018 Herry, M misya . 2017. Efektivitas Joint Press Statement Dalam Menanggulangi Ancaman Abu Sayyaf Di Wilayah Perbatasan Indonesia-Filipina. vol. 4 no. 2 . 33 Kanal Hukum.id . situs Konflik Hukum Dalam Penegakan Hukum atas Kejahatan Perompakan Kapal di Laut , Online : http://kanalhukum.id/kanalis/konflik-hukum-dalam- penegakan-hukum-atas-kejahatan-perompakan-kapal-di-laut/12>. diakses pada 27 April 2018 Musthofa, Safira Salsabila Annisa . 2017. Pemberantasan Pembajakan Kapal Di Perairan Filipina Berdasarkan Asean Convention On Counter Terrorism (ACCT). 87 Pelayaran dan Perdagangan di Laut merupakan Inti dari Maritim http://Maritimnews.com/pelayaran-dan-perdagangan-di-laut-merupakan-inti- dari-maritim/> 2016. Diakses pada 27 April 2018 Trianantha, Yudi. 2007. Pembajakan kapal di Laut Lepas ditinjau dari Hukum Internasional. 3. UNCLOS 1982 Wayan, I Parthiana. 2014. Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia. Bandung: Yrama Widya ACCT (ASEAN Convention on Counter Terrorism)