Lentera Hukum, Volume 5 Issue 3 (2018), pp. 483-492 
ISSN 2355-4673 (Print) 2621-3710 (Online) 
https://doi.org/10.19184/ ejlh.v5i3.7731 
Published by the University of Jember, Indonesia 
Available online 31 December 2018 
 
 
 

Penyelesaian Sengketa Laut Antara Indonesia dan Malaysia di 

Wilayah Selat Malaka Menurut Hukum Laut Internasional 
 

Maulidya Yuseini  

Universitas Negeri Surabaya, Indonesia 

maulidyayuseini98@gmail.com 
 

Dian Rachmawati 

Universitas Negeri Surabaya, Indonesia 

dirar8025@gmail.com 
 

Fransiska Yuardini 

Universitas Negeri Surabaya, Indonesia 

yuardinidini@gmail.com 
 

Hafidh Lukmam Syaifuddin 

Universitas Negeri Surabaya, Indonesia 

hafidhls18@gmai.com 
 

ABSTRACT 

Dispute settlement between Indonesia and Malaysia in the Malacca Strait Region started with the 

unilateral claims of both countries. The prevailing these unilateral claims resulted in the area of Exclusive 

Economic Zone in the Malacca Strait to overlap. UNCLOS 1982 is the existing International Law of the 

Sea and both countries ratified to this Convention. The purpose of this article is to find out how to 

resolve sea border disputes between Indonesia and Malaysia in the Malacca Strait Region under the Law 

of the International Sea. This article is also aimed to provide a narrative to the factors underlying the 

existing maritime border dispute. 

KEYWORDS: Disputes settlement, Malacca Strait, Overlapping. 

 
Copyright © 2018 by Author(s) 
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 
International License. All writings published in this journal are personal views 

of the authors and do not represent the views of this journal and the author's affiliated institutions. 
 

 
 
 
 
  
 

Submitted: May 23, 2018    Revised: June 04, 2018     Accepted: December 31, 2018 
 

HOW TO CITE: 
Yuseini, Maulidya, Dian Rachmawati, Fransiska Yuardini  & Hafidh Lukman Syaifuddin. 
“Penyelesaian Sengketa Laut antara Indonesia dan Malaysia di Wilayah Selat Malaka Menurut Hukum 
Laut Internasional” (2018) 5:3 Lentera Hukum 483-492. 



484 | Penyelesaian Sengketa Laut Antara Indonesia dan Malaysia di Wilayah Selat Malaka Menurut Hukum Laut … 

 

I. PENDAHULUAN 

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki 

banyak kekayaan alam. Kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia tidak hanya 

terdapat di daratan, wilayah perairan pun juga memiliki banyak kekayaan alam 

diantaranya adalah terumbu karang, ikan, dan lain sebagainya. Adapun luas wilayah 

perairan NKRI mencapai 96.079,15 km dengan garis patai 81.000 km.
1
 

Letak Indonesia berbatasan dengan negara-negara lain, baik secara berhadapan 

maupun secara berdampingan, baik berbatasan dengan wilayah darat maupun wilayah 

laut. Perbatasan pada wilayah perairan dapat meliputi wilayah laut teritorial, zona 

tambahan maupun zona ekonomi eksklusif. Negara yang berbatasan dengan Indonesia 

salah satunya adalah Malaysia. Perbatasan antara wilayah Indonesia dengan wilayah 

Malaysia berdampingan dengan Pulau Kalimantan, sedangkan yang berhadapan 

dipisahkan dengan Selat Malaka. 

Pada tanggal 17 Oktober 1969 negara Indonesia dan Malaysia melakukan 

perjanjian untuk menentukan batas landas kontinen antara kedua negara tersebut. 

Perjanjian ini menghasilkan putusan persetujuan antara pemerintah Republik 

Indonesia dan Pemerintah Malaysia tentang penetapan garis batas landas kontinen 

antara kedua negara yang telah ditandatangani oleh delegasi-delegasi pemerintah 

Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia di Kuala Lumpur.
2
 Perjanjian ini, 

ditandatangani pada tanggal 27 Oktober 1969. Perjanjian ini diratifikasi oleh Indonesia 

dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 89 Tahun 1969. 

Landas Kontinen merupakan dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah di 

bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan 

alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen atau hingga suatu 

jarak 200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial, dalam 

hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut.
3
 Keberadaan landas 

kontinen ini memberikan hak-hak berdaulat untuk negara pantai yang wilayahnya 

meliputi landas kontinen tersebut. Hak berdaulat tersebut antara lain untuk 

mengeksploirasi dan mengeksploitasi sumber kekayaan alam di landas kontinen (Pasal 

77 UNCLOS ayat 1). 

Tiga belas tahun setelah adanya perjanjian antara Indonesia dengan Malaysia 

dilaksanakan tepatnya pada tahun 1982, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 

melaksanakan Konvensi Hukum Laut di Janewa. Konvensi ini diadakan karena 

kemajuan yang semakin pesat dalam bidang teknologi kelautan, seperti teknologi 

penambangan dasar laut dan tanah di bawahnya yang sudah menjangkau pada jarak 

dan kedalaman yang sangat jauh, dan masih banyak yang lainnya. Selain itu, Negara-

                                                           
1
  Ridwan Lasabuda, Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan Dalam Perspektif Negara Kepulauan Republik 

Indonesia, Jurnal Ilmiah Platax Vol.1-2 Januari 2013, diakses dari 
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/platax/article/download/1251/1019, pada tanggal 15 April 2018 
Pukul 12.10 WIB, hlm.3 

2
  Siahaan dan Suhendi, Hukum Laut Nasional (Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Kemaritiman), 

(Jakarta: Penerbit Djambatan, 1989), hlm. 259. 
3
  Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) 1982 Pasal 76 Ayat (1). 

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/platax/article/download/1251/1019


485 | LENTERA HUKUM 

 

negara di dunia saat itu, secara pribadi maupun bersama mulai memperkenalkan 

pranata hukum laut yang baru, seperti zona ekonomi ekslusif, zona ekonomi, zona 

perikanan, dan berbagai klaim lainnya. Keadaan tersebut membuat Negara-negara di 

dunia berlomba-lomba dalam menguasai lautan serta mengeksploitasi sumber daya 

alamnya.
4
 

Klaim-klaim sepihak yang dilakukan oleh negara-negara dunia ini disebabkan 

karena kurang jelasnya hukum laut internasional yang mengatur saat itu. Hukum laut 

tersebut adalah Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1958 dan 

1960. Adanya permasalahan dan ketidakpastian mengenai hukum laut tersebut menjadi 

dasar diselenggarakannya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa ketiga. Hasil dari 

adanya konvensi ini adalah lahirnya UNCLOS (United Nations Convention On The Law of 

The Sea) 1982 yang ditandatangani di Montego Bay, Jamaika, pada tanggal 10 Desember 

1982. Pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa ketiga ini, kemudian muncul wilayah 

perairan baru yaitu Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). 

Sebagai salah satu anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, Indonesia kemudian 

meratifikasi UNCLOS 1982 dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 

Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law of The Sea (Konvensi 

Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut). Dengan diratifikasinya UNCLOS 

1982 oleh Indonesia, maka Indonesia menyatakan tunduk pada peraturan-peraturan 

yang termuat di dalam UNCLOS 1982. Sama halnya dengan Indonesia, Malaysia sebagai 

salah satu anggota PBB juga turut meratifikasi UNCLOS 1982 Pada tanggal 14 Oktober 

1996. Diratifikasinya UNCLOS ini membuat Malaysia pun tunduk pada ketentuan-

ketentuan UNCLOS 1982. 

Tahun 2011, terjadi sebuah insiden di Selat Malaka. Insiden tersebut melibatkan 

dua negara yaitu Indonesia dan Malaysia. Kronologi insiden ini diawali dengan adanya 

dua kapal berbendera Malaysia yang menangkap ikan di Wilayah Zona Ekonomi 

Eksklusif Indonesia (ZEE) di wilayah Selat Malaka. Kedua kapal tersebut kemudian 

tertangkap oleh Kapal Pengawas Hiu 001 milik Dirjen Pengawasan Sumber Daya 

Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan Perikanan pada 7 April 2011. Kapal yang 

ditangkap Antara lain KM. KF 5325 GT 75, 80 dengan nahkoda berinisial KLA, dan 

kapal KM. KF 5195 GT 63, 80 yang dinahkodai NHOI. Kedua kapal ini ditangkap 

karena tidak memiliki SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan) dan SIPI (Surat Izin 

Penangkapan Ikan) dari Pemerintah Republik Indonesia. Keduanya juga menggunakan 

alat penangkap ikan terlarang, yaitu Trawl. Setelah tertangkapnya dua kapal tersebut, 

kemudian digiring ke Pelabuhan Belawan.
5
 

Penggiringan kedua kapal ini tidak berlangsung lancar, di tengah perjalanan 

terdapat tiga helikopter Malaysia yang menghalangi proses penangkapan tersebut. 

Petugas dalam helikopter itu, meminta Kapal Pengawas Hiu 001 untuk melepaskan dua 

                                                           
4
  I Wayan Phartiana, Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia, (Bandung: Penerbit Yrama 

Widya, 2014), hlm. 18-19. 
5
  Suryanto, Penangkapan Kapal Malaysia Karena Langgar Batas (Selasa 12 April 2011), diakses dari 

https://m.antaranews.com/berita/253839/penangkapan-kapal-malaysia-karena-langgar-batas, tanggal 
18 April 2018 pukul 17.05 WIB. 



486 | Penyelesaian Sengketa Laut Antara Indonesia dan Malaysia di Wilayah Selat Malaka Menurut Hukum Laut … 

 

kapal yang berbendera Malaysia, karena kedua kapal tersebut dianggap menangkap 

ikan di wilayah ZEE milik Malaysia. Permasalahan ini kemudian menjadi awal 

permasalahan perbatasan ZEE di wilayah Perairan Selat Malaka Antara Indonesia 

dengan Malaysia, sebab belum ada pengaturan yang disepakati oleh kedua belah 

pihak.
6
 

Perbatasan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) merupakan suatu daerah di luar dan 

berdampingan dengan laut teritorial, yang tunduk pada rezim hukum khusus yang 

ditetapkan dalam Bab ini berdasarkan mana hak-hak dan yurisdiksi negara pantai dan 

hak-hak serta kekebalan-kekebalan negara lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan yang 

relevan Konvensi ini.
7
 Dalam pengukuran lebar zona ekonomi eksklusif oleh negara 

pantai ini adalah 200 mil laut yang dilakukan dari garis pangkal dari mana laut 

teritorial itu diukur dan tidak boleh melebihi dari 200 mil yang telah ditentukan. 

Dengan adanya penentuan ZEE pada sebuah negara pantai, memunculkan hak-hak 

berdaulat dan yurisdiksi dari sebuah negara pantai. Hak-hak berdaulat yang dimiliki 

oleh suatu negara pantai antara lain, hak dalam keperluan eksplorasi dan eksploitasi, 

konservasi, pengelolaan sumber daya alam hayati dan non hayati. Sedangkan yurisdiksi 

dari suatu  negara pantai melakukan pembuatan dan pemakaian pulau buatan, 

instalansi, bangunan, untuk kepentingan penelitian ilmiah kelautan, serta untuk 

perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. 

Seperti yang dipaparkan pada penjelasan di atas tentang penangkapan dua buah 

kapal berbendara negara Malaysia, menyebutkan bahwa wilayah dimana Malaysia 

mengambil ikan  merupakan wilayah ZEE mereka, padahal pada wilayah ZEE tersebut 

merupakan salah satu bagian wilayah ZEE milik Indonesia. Maka dari tragedi kapal di 

atas dan klaim masing-masing dari dua negara tersebut menyebabkan sengketa laut 

Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka. 

Klaim-klaim yang dilakukan oleh dua negara ini tentunya tidak sembarangan, 

karena dua negara tersebut melakukan klaim berdasarkan pada sebuah perjanjian dan 

ketentuan khusus. Pada Malaysia melakukan klaim berdasarkan pada perjanjian 

dengan Indonesia tahun 1969 yang pada saat itu menetapkan mengenai landas kontinen 

kedua negara juga sebagai garis ZEE. Sedangkan pada klaim Indonesia sendiri pada 

wilayah ZEE, Indonesia tidak berdasarkan pada perjanjian seperti yang dilakukan 

Malaysia, melainkan Indonesia menggunakan atas dasar Konvensi Hukum Laut PBB 

1982 dengan menggunakan garis tengah (median line)  antara Indonesia (Sumatra) dan 

semenanjung Malaysia sebagai garis batas ZEE. Indonesia pun sudah dengan tegas 

menunjukkan klaimnya dengan menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Kelautan 

                                                           
6
  Kiki Natalia, Penyelesaian Permasalahan Batas Wilayah Antara Indonesia dan Malaysia Ditinjau dari UNCLOS 

1982, Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol. 2 No. 2 2013, Diakses dari 
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=134251&val=5636, pada tanggal 15 April 2018 
pukul 13.20 WIB. 

7
  Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) 1982 Pasal 35 ayat (1). 



487 | LENTERA HUKUM 

 

dan Perikanan Nomor 1 Tahun 2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP).
8
 

Sehingga dari perbedaan klaim oleh kedua negara ini mengakibatkan munculnya 

sengketa kelautan Indonesia dan Malaysia yang berupa overlapping claim area (kawasan 

tumpang tindih). Klaim-klaim ini juga yang menjadi faktor penyebab adanya sengketa 

perbatasan Zona Ekonomi Eksklusif di wilayah Selat Malaka antara Indonesia dengan 

Malaysia. 

Tumpang tindih atau overlapping berfokus pada airnya saja, tidak termasuk dasar 

laut, maka yang menjadi persolan disini adalah ikannya, bukan minyak gas dan bumi. 

Sehingga dapat dibenarkan apabila Indonesia melakukan tindakan penangkapan kapal 

milik Malaysia, karena pada saat itu Malaysia memasuki wilayah tumpang tindih milik 

Indonesia, sehingga dapat dikatakan bahwa Malaysia telah melakukan pelanggaran 

atas perbuatannya. Selain itu tumpang tindih yang terjadi antara Indonesia dan 

Malaysia juga diakibatkan karena kedua negara merupakan negara yang berhadapan 

dan berdampingan.  

 

 

II. PENYELESAIAN SENGKETA PERBATASAN LAUT ANTARA INDONESIA 

DAN MALAYSIA DI WILAYAH SELAT MALAKA 

Indonesia merupakan negara kepulauan yang di wilayah perairan negara Indonesia 

banyak terdapat selat. Salah satu selat yang terkenal yaitu Selat Malaka yang terletak 

diantara wilayah Indonesia, Malaysia dan Singapura. Selat Malaka ini merupakan 

sebuah jalur perdagangan dunia selain dari terusan Suez dan Terusan Panama. 

Konsekuensi dari hal tersebut membuat wilayah yang startegis sehingga ramai oleh 

aktivitas pedagangan dan pelayaran dari berbagai negara dipenjuru dunia.  Hal tersebut 

yang membuat selat ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi bagi negara yang berada di 

sekitar Selat Malaka. Dampak dari nilai ekonomi yang tinggi membuat wilayah 

tersebut rawan terjadi konflik. Seperti halnya permasalahan sengketa perbatasan laut 

antara Indonesia dengan Malaysia di wilayah Selat Malaka. 

Sengketa laut tumpang tindih yang terjadi pada Zona Ekonomi Eksklusif antara 

Indonesia dengan Malaysia dapat diselesaikan dengan cara damai. Kedua negara 

tersebut merupakan negara tetangga yang yang seharusnya memiliki hubungan 

kerjasama yang baik, akan tetapi belum ada kesepakatan mengenai batas ZEE antara 

negara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka menjadi faktor sengketa yang harus 

segera diselesaikan. Masing-masing negara memiliki klaim sendiri mengenai garis batas 

Zona Ekonomi Eksklusif di wilayah tersebut.
9
 

Sengketa antara Indonesia dengan Malaysia ini dapat diselesaikan menggunakan 

UNCLOS 1982 (United Nation Convention on the Law Of Sea 1982) atau biasa disebut 

Konvensi Hukum Laut Internasional. Indonesia dan Malaysia telah menjadi anggota 

                                                           
8
  I Made Arsana, Insiden Selat Malaka, 13 April 2011, diakses dari 

https://m.detik.com/news/kolom/1615124/insiden-selat-malaka, pada tanggal 18 April 2018 Pukul 
18.08 WIB. 

9
  Kiki Natalia, supra note 6, hlm. 5. 



488 | Penyelesaian Sengketa Laut Antara Indonesia dan Malaysia di Wilayah Selat Malaka Menurut Hukum Laut … 

 

Perserikatan Bangsa-Bangsa yang telah meratifikasi Konvensi Hukum Laut 

Internasional tersebut. Hal ini dapat dibuktikan dengan dikeluarkannya Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 oleh Pemerintah 

Republik  Indonesia, sedangkan Malaysia telah meratifikasi UNCLOS pada tanggal 14 

Oktober 1996 (United Nations,2009). Adanya peratifikasian Konvensi Hukum Laut 

Internasional oleh kedua negara yang bersengketa, menjadi faktor mengapa UNCLOS 

menjadi acuan dasar penyelesaian sengketa tumpang tindih di Selat Malaka ini.
10

 

Indonesia dengan Malaysia saling mempermasalahkan mengenai lebar Zona 

Ekonomi Eksklusif di Selat Malaka. Kedua negara tersebut hanya membuat perjanjian 

mengenai batas landas kontinen pada tanggal 27 Oktober 1969. Pengaturan Landas 

kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif itu tidak dapat disamakan, karena masing-

masing wilayah tersebut memiliki perbedaan dalam sistem pengaturannya.  Letak 

Indonesia yang berhadapan dan berdampingan dengan Malaysia membuat Pasal 15 

UNCLOS 1982 menjadi pengaturan yang tepat untuk menentukan perbatasan wilayah 

Zona Ekonomi Eksklusif. 

Pasal 15 UNCLOS mengatur tentang penetapan garis batas laut teritorial antara 

negara-negara pantainya berhadapan atau berdampingan yang pada Ayat (1) berbunyi, 

“Dalam hal pantai dua Negara yang letaknya berhadapan atau berdampingan satu sama 

lain, tidak satupun diantara berhak, kecuali ada persetujuan yang sebaliknya antara 

mereka, untuk menetapkan batas laut teritorialnya melebihi garis tengah yang titik-

titiknya sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis-garis pangkal dari mana lebar 

laut teritorial masing-masing Negara diukur.” Sedangkan pada ayat (2) yang berbunyi, 

“Tetapi ketentuan di atas tidak berlaku, apabila terdapat alasan hak historis atau 

keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial 

antara kedua Negara menurut suatau cara yang berlainan dengan ketentuan di atas.” 

Pada intinya dalam Pasal 15 UNCLOS 1982 menjelaskan bahwa lebar laut 

teritorialnya masing-masing negara dapat ditetapkan berdasarkan garis tengah kecuali 

terdapat alasan historis atau keadaan khusus lainnya. Di wilayah ZEE inilah Indonesia 

dan Malaysia mempermasalahkan mengenai penentuan batas wilayah, karena lebar 

wilayah terutama di Selat Malaka antara kedua negara tersebut yang letaknya saling 

berhadapan atau berdampingan, lebar dari ZEE kurang dari 400 mil.
11

 Oleh sebab itu, 

Indonesia mendesak Malaysia untuk merundingkan perjanjian mengenai perbatasan 

ZEE karena Indonesia dirugikan secara ekonomi, politik dan pertahanan keamanan di 

wilayah tersebut. 

Malaysia selama ini menganggap perjanjian batas kontinen dengan Indonesia 

pada tahun 1969 ( yang mana telah menyepakati 25 titik yang terdiri dari 10 koordinat 

di selat Malaka dan 15 titik koordinat di Laut Cina Selatan serta sudah sesuai dengan 

ketentuan dalam konvensi PBB 1 tahun 1958) sekaligus sebagai perjanjian mengenai 

lebar ZEE yang mana hal tersebut telah melanggar ketentuan dan prinsip yang ada pada 

UNCLOS 1982, karena pengaturan mengenai ZEE (tepatnya pada pasal 55,56,57 

                                                           
10

  Ibid. 
11

  Ibid, 6-7. 



489 | LENTERA HUKUM 

 

UNCLOS 1982) dengan batas kontinen (pasal 76 UNCLOS 1982) sangat berbeda, 

sehingga pernyataan Malaysia yang menyamakan bahwa perjanjian batas kontinen 

sama dengan perjanjian ZEE telah merugikan Indonesia secara ekonomi, politik dan 

pertahanan keamanan.
12

 

Penangkapan yang dilakukan Indonesia terhadap 2 kapal milik warga negara 

Malaysia di wilayah ZEE Indonesia menimbulkan sebuah protes dari Malaysia yang 

mana wilayah ZEE tersebut masih batas dari wilayah Malaysia yang mana hal ini 

menunjukkan bahwa lebar dari ZEE kedua negara belum jelas. Jika mengacu pada pasal 

74 UNCLOS 1982, penetapan batas ZEE negara yang pantainya berhadapan atau 

berdampingan harus berdasarkan persetujuan atas dasar hukum internasional 

sebagaimana sengketa yang dihadapi oleh Indonesia dengan Malaysia untuk mencapai 

pemecahan masalah yang adil. UNCLOS 1982 memberikan pengaturan bagi anggotanya 

dalam menyelesaikan suatu sengketa hukum laut, tepatnya pada pasal 279 UNCLOS 

1982 yang berbunyi, “negara-negara peserta harus menyelesaikan setiap sengketa antara 

mereka perihal interpretasi atau penerapan konvensi ini dengan cara damai sesuai 

dengan Pasal 2 ayat 3 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan, untuk tujuan ini, harus 

mencari penyelesaian dengan cara sebagaimana ditunjukkan dalam pasal 33 ayat 1 

Piagam tersebut”. Jadi berdasarkan bunyi pasal di atas dapat dikatakan bahwa setiap 

anggota UNCLOS 1982 wajib menyelesaikan sengketa internasional dengan cara damai. 

Kawasan yang diakui oleh kedua belah pihak disebabkan karena adanya 

perbedaan klaim yang disebut kawasan tumpang tindih atau overlapping claim area. 

Meskipun dalam kasus ini belum ada kesepakatan, namun Kedua negara yaitu 

Indonesia dengan Malaysia masih menganggap kawasan tumpang tindih sebagai Zona 

Ekonomi Eksklusif mereka. Indonesia menetapkan klaim perbatasan ZEE dengan garis 

tengah berdasarkan ketentuan dalam UNCLOS, sedangkan Malaysia mengklaim 

perbatasan ZEE di Selat Malaka dengan perjanjian landas kontinen 1969. 

Ada beberapa solusi yang dapat diterapkan dalam penyelesaian sengketa 

perbatasan ZEE di Selat Malaka antara lain:  pertama, dalam menyelesaikan kasus 

antara Indonesia dan Malaysia ialah penetapan batas maritim. Kedua, Indonesia dan 

Malaysia sama-sama telah meratifikasi UNCLOS maka kedua negara harus mengacu 

pada UNCLOS dalam menyelesaikan proses sengketa perbedaan penetapan garis batas 

Zona Ekonomi Eksklusif. Ketiga, usulan Malaysia yang mempunyai niat menggunakan 

garis batas landas kontinen 1969 tidak dapat diterima karena pengaturan perbatasan 

landas kontinen dan ZEE memiliki ketentuan yang berbeda, sedangkan Usulan 

Indonesia yang menggunakan garis tengah sebagai garis batas ZEE di Selat Malaka 

nampaknya lebih bisa diterima. Keempat, apabila usulan Indonesia diterima berarti 

garis batas landas kontinen berbeda dengan garis batas Zona Ekonomi Eksklusif akan 

ada kawasan di Selat Malaka dasar lautnya jadi milik Malaysia tetapi air di atasnya 

milik Indonesia. Kelima, menyepakati suatu konsensus penanganan kejadian yang sama 

dalam kawasan tumpang tindih sehingga petugas yang berada di lapangan bertindak 

sesuai dengan konsensus yang sudah dicapai oleh pihak yang lebih tinggi. Keenam, 

                                                           
12

  Ibid. 



490 | Penyelesaian Sengketa Laut Antara Indonesia dan Malaysia di Wilayah Selat Malaka Menurut Hukum Laut … 

 

apabila sebelum garis batas final dicapai kawasan tumpang tindih dibebaskan dari 

segala aktivitas dan memperhatikan dampak bagi para nelayan yang hidupnya 

bergantung pada sumberdaya laut di Selat Malaka.
13

 

Solusi yang telah disebutkan di atas dapat menjadi sebuah pertimbangan bagi 

kedua pihak dalam melakukan penyelesaian sengketa. Tidak adanya kejelasan 

perbatasan wilayah ZEE di Selat Malaka, membuat nelayan kesulitan dalam 

menentukan wilayah penangkapan ikan sehingga merugikan pihak nelayan. Dengan 

diberikan beberapa pendapat di atas diharapkan dapat mempermudah penyelesaian 

sengketa antara Indonesia dengan Malaysia. 

Adapun jalur penyelesaian untuk  sengketa perbatasan laut antara Indonesia 

dengan Malaysia di wilayah Selat Malaka antara lain: Yang pertama, batas maritim bisa 

diselesaikan dengan cara negosiasi, mediasi, arbitrasi dan pengajuan ke lembaga 

peradilan internasional seperti Mahkamah Internasional (ICJ) dan ITLOS. Yang kedua, 

sejauh ini Indonesia dan Malaysia masih menempuh cara negosiasi bilateral, kelebihan 

dari negosiasi ini yaitu kasus sepenuhnya berada dalam kendali para pihak yang 

bersengketa, berbeda jika diajukan ke pengadilan internasional. Yang ketiga, semua 

pihak harus memahami sifat negosiasi bahwa tidak ada satu pihakpun akan 

mendapatkan semua yang diinginkan, dengan demikian semua pihak akan mendapat 

bagian walapun lebih sedikit karena itulah intinya dari negosiasi. Dibandingkan 

dengan menggunakan jalur pengadilan internasional, yang dapat dimungkinkan satu 

pihak tidak mendapatkan hasil yang memuaskan sementara pihak lain mendapatkan 

semua yang diinginkannya. Jadi, nantinya apapun jalur yang akan ditempuh masing-

masing negara untuk menyelesaikan sengketa tersebut pastinya tetap saling 

menhormati serta menghargai dan juga menjunjung perdamaian sehingga antar kedua 

negara bisa menyelesaikan sengketa perbatasan laut sebagai dua bangsa yang saling 

menghargai dan menjunjung perdamaian, apapun jalur yang ditempuh, Indonesia dan 

Malaysia akan menyelesaikan persoalan ini dengan cara damai.
14

 

 

 

III. KESIMPULAN 

Indonesia dan Malaysia memiliki hak atas ZEE di Selat Malaka. Hal ini dikarenakan 

lebar ZEE kedua negara kurang dari 400 mil sebagaimana dijelaskan dalam pasal 56 

UNCLOS 1982 yang pada intinya kedua negara baik Indonesia maupun Malaysia 

memiliki hak berdaulat di wilayah tersebut baik untuk keperluan eksplorasi dan 

eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya alam baik hayati dan non hayati. 

Penyelesaian sengketa antara Indonesia dengan Malaysia dapat diselesaikan sesuai 

dengan apa yang diinginkan oleh kedua negara, baik menempuh jalur litigasi maupun 

non litigasi sebagaimana yang diatur dalam pasal 280 UNCLOS 1982. Dan penyelesaian 

tersebut harus diselesaikan dengan cara damai sebagaimana yang diatur dalam pasal 

279 UNCLOS 1982.   

                                                           
13

  I Made Arsana, supra note 8. 
14

  Ibid. 



491 | LENTERA HUKUM 

 

Saran dari kami, penyelesaian sengketa mengenai lebar ZEE dapat diselesaikan 

dengan cara negosiasi, mediasi, arbitrasi dan pengajuan ke lembaga peradilan 

internasional seperti Mahkamah Internasional (ICJ) dan ITLOS. Yang kedua dengan 

cara negosiasi bilateral, karena kelebihan dari negosiasi ini yaitu kasus sepenuhnya 

berada dalam kendali para pihak yang bersengketa, berbeda jika diajukan ke 

pengadilan internasional, yang memiliki kemungkinan satu pihak tidak mendapatkan 

hasil yang baik sementara pihak lain mendapatkan semua yang diinginkannya. Jadi, 

nantinya apapun jalur yang akan ditempuh masing-masing negara untuk 

menyelesaikan sengketa tersebut pastinya tetap saling menghormati serta menghargai 

dan juga menjunjung perdamaian sehingga antar kedua negara bisa menyelesaikan 

sengketa perbatasan laut sebagai dua bangsa yang saling menghargai dan menjunjung 

perdamaian, apapun jalur yang ditempuh, Indonesia dan Malaysia akan menyelesaikan 

persoalan ini dengan cara damai. 

 

 

DAFTAR PUSTAKA 

Arsana, I Made Andi. 2011. Insiden Selat Malaka. diakses dari 

https://m.detik.com/news/kolom/1615124/insiden-selat-malaka. pada tanggal 18 

April 2018 Pukul 18.08 WIB 

Bangun, Budi Hermawan. 2017. Konsepsi dan Pengelolaan Wilayah Perbatasan Negara: 

Perspektif Hukum Internasional. Tanjungpura Law Journal, Vol. 1, Issue 1, January 

2017: 52-63. 

Kusumo, Ayub Torry Satriyo dan Leksono, Handojo. 2013. Alternatif Penyelesaian Sengketa 

Wilayah Laut Indonesia-Malaysia. Yustisia Vol. 2 No. 1 Januari-April 2013.  

Lasabuda, Ridwan. 2013. Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan dalam Perspektif Negara 

Kepulauan Republik Indonesia. Jurnal Ilmiah Platax Vol. 1-2, Januari 2013.  

Natalia, Kiky. 2013. Penyelesaian Permasalahan Batas Wilayah Antara Indonesia dan Malaysia 

Ditinjau dari UNCLOS 1982. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas 

Surabaya Vol. 2 No. 2 2013.  

Palenewen, Rialindy Justitia. 2013. Eksistensi Garis Batas Landas Kontinen Antara Indonesia 

Dengan Malaysia Ditinjau Dari Hukum Laut Intenasional. Lex et Societatis, Vol. 1 No. 4 

Agustus 2013.  

Parthiana, I Wayan. 2014. Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia. Bandung: 

Penerbit Yrama Widya. 

Siahaan dan Suhendi. 1989. Hukum Laut Nasional (Himpunan Peraturan Perundang-Undangan 

Kemaritiman). Jakarta: Penerbit Djambatan. 

Purwaka, Tommy Hendra. 2014. Tinjauan Hukum Laut Terhadap Wilayah Negara Kesatuan 

Republik Indonesia. Mimbar Hukum Vol. 26, No. 3, Oktober 2014: 355-365.  

Sodik, Dikdik Muhammad. 2014. Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di 

 Indonesia (edisi revisi). Bandung: Refika Aditama. 

Subagyo, P. Joko. 2005. Hukum Laut Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. 



492 | Penyelesaian Sengketa Laut Antara Indonesia dan Malaysia di Wilayah Selat Malaka Menurut Hukum Laut … 

 

Suryanto. 2011. Penangkapan Kapal Malaysia Karena Langgar Batas. diakses dari 

https://m.antaranews.com/berita/253839/penangkapan-kapal-malaysia-karena-langgar-

batas, tanggal 18 April 2018 pukul 17.05 WIB 

Tirtamulia, Tjondro. 2011. Zona-Zona Laut UNCLOS. Surabaya: Brilian Internasional.