Lentera Hukum, Volume 3 Issue 2 (2016), pp.112-128 ISSN 2355-4673 (Print) 2621-3710 (Online) https://doi.org/10.19184/ ejlh.v3i2.8284 Published by the University of Jember, Indonesia Available online 21 July 2016 Diskresi Kepala Daerah dalam Menetapkan Penjabat Kepala Desa Vella Graita Widyasari University of Jember, Indonesia Vellagraita09@yahoo.com ABSTRACT Discretion is an authority owned by government officials in terms of performing an act that is deemed desperately needed by the community. The Government Administration Act Article 1 number 9 explains that discretion is a decision and action taken by government officials to overcome concrete problems which in the case of legislation provide a choice not to regulate, unclear, incomplete, and the existence of government stagnation. In terms of determining the position of the village head who had stopped and was dismissed the Law on Villages in 2014, stated that the replacement of the village head official was an interim official who was a civil servant in the regional government. This is deemed unclear in the regulations, besides being unclear or ambiguous, this rule has several judgments that will hamper the election of the acting village head. That way, the regional head who is obliged to still be able to carry out the duties of the public service and the application of the welfare state, thus can use the authority of discretion in terms of determining the village head official. The purpose of this discretion is done as a breakthrough and problem solver in society in general. The method of this research is juridical-normative. The approach used is the approach of legislation and conceptual approach. This is confirmed by the existence of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia opening of the fourth century, which states that every society needs to get welfare and elements of discretion which explains that discretion is aimed at public services, the public interest, and the needs of society. KEYWORDS: Head of Region, Discretion, Acting Head of Village. Copyright © 2016 by Author(s) This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. All writings published in this journal are personal views of the authors and do not represent the views of this journal and the author's affiliated institutions. Submitted: May 05, 2016 Revised: June 08, 2016 Accepted: July 10, 2016 HOW TO CITE: Wydiasari, Vella Graita. “Diskresi Kepala Daerah dalam Menetapkan Penjabat Kepala Desa “(2016) 3:2 Lentera Hukum 112-128 113 | Diskresi Kepala Daerah dalam Menetapkan Penjabat Kepala Desa I. PENDAHULUAN Setiap pejabat yang berwenang melakukan pengaturan diskresi harus berdasarkan atas syarat-syarat yang telah ditentukan. Pertama, harus berdasarkan atas demi kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, mengisi suatu kekosongan hukum, memberikan sebuah kepastian hukum serta mengatasi suatu stagnasi pemerintahan sebagai suatu kemanfaatan dan kepentingan umum. Kedua, tidak bertentangan dengan suatu peraturan prundang-undangan yang berlaku, sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), berdasarkan atas alasan-alasan yang objektif, keputusan tersebut tidak menimbulkan suatu konflik dan dilakukan atas dasar iktikad baik. Tolak ukur diskresi yang dilakukan pejabat pemerintahan dapat diuraikan, diantaranya tidak bertentangan dengan sistem hukum positif, diajukan sebagai kepentingan umum, keputusan atau tindakan yang dilakukan berdasarkan atas masalah- masalah yang krusial, tindakan serta keputusan yang dilakukan berdasarkan atas tanggung jawab moral kepada Tuhan Yang Maha Esa dan adanya rasa keadilan yang selalu berkembng di dalam kehidupan masyarakat. Seorang pejabat dalam tindakan pengambilan diskresi harus mendapatkan persetujuan, pemberitahuan serta pelaporan. Persetujuan sebagaimana dimaksud adalah tindakan di mana pejabat tersebut telah mendapatkan persetujuan dari atasannya. Pemberitahuan dilakukan jika suatu diskresi tersebut menimbulkan suatu keresahan, dalam keadaan darurat, mendesak dan adanya bencana alam. Pelaporan terhadap atasannya diberlakukan apabila pejabat tersebut sudah melakukan wewenang diskresi. Diskresi dalam aturan pelaksanaanya juga memiliki batasan. Hal ini dilakukan guna pejabat yang diberikan diskresi, tidak sewenang-wenang dalam pelaksanaannya. Ada beberapa pembatasan mengenai pelaksanaan diskresi. Pertama, adanya kekosongan hukum (recht vacum). Kekosongan hukum merupakan suatu relita kehidupan yang mana pergerakan masyarakat lebih cepat dibandingkan dengan peraturan perundangan- undangan yang ada. Dalam hal tersebut dibutuhkan hukum yang cepat pula dalam menangani kasus tersebut. Kedua, adanya kebebasan penafsiran (interprestasi). Hal ini dilakukan dalam suatu produk hukum atau suatu peraturan perundang-undangan yang mana peraturan tersebut memiliki makna tidak jelas, ambigu dan multitafsir. Ketiga, adanya delegasi undang-undang. Dengan adanya delegasi undang-undang, maka aparat pemerintahan dapat dengan mudah melakukan wewenang diskresi, misalnya hinder ordonantie dalam HO merupakan suatu perijinan yang diberikan kepala daerah asal tidak berakibat membahayakan. Artinya, undang-undang HO telah memberikan suatu delegsi terhadap setiap daerah untuk dapat membuat sendiri unsur-unsur berbahaya. Keempat, adanya pemenuhan kepentingan umum (public interest). Sebuah kepentingan umum idealnya adalah dibuat dengan suatu bentuk undang-undang. Dewasa ini peraturan tentang kepentingan umum dibuat dalam suatu bentuk seperti Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri, yang mana dikhawatirkan akan terjadi sebuah tindakan penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah dengan alasan sebagai kepentingan umum. 114 | LENTERA HUKUM Dengan demikian, wewenang diskresi merupakan suatu terobosan besar dan pemecahan masalah bagi masyarakat pada umumnya. Selain itu AUPB juga harus dituangkan dalam melaksanakan suatu wewenang diskresi, guna dapat menyejahterakan masyarakatnya. Jika wewenang diskresi ditujukan sebagai wewenang yang semata-mata hanya untuk kepentingan pribadi dan disalahgunakan, maka dapat digugat di dalam pengadilan tata usaha negara (PTUN). Kepala daerah dalam melaksanakan diskresi untuk menetapkan pejabat kepala desa dalam pengaturannya harus memenuhi beberapa unsur, batasan serta sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU DESA) telah menjelaskan bahwa pengganti kepala desa yang berhenti dan diberhentikan adalah seorang pegawai negeri sipil di kalangan pemerintahan daerah. Hal ini dapat diartikan, bahwa nantinya kepala daerah dengan bebas memilih siapa saja yang merupakan seorang pegawai negeri sipil, baik di dalam maupun di luar desa tersebut. Seperti yang diketahui bahwa selama ini, masyarakat desa dengan kebiasan mereka memilih kepala desa secara hati nurani mereka sendiri, bukan atas perintah orang lain. Melihat hal tersebut maka dengan adanya wewenang diskresi yang dilakukan kepala daerah merupakan terobosan dalam pemecahan masalah yang timbul di dalam masyarakat. II.PENILAIAN KEPALA DAERAH SAAT MENGGUNAKAN DISKRESI DALAM MENETAPKAN PENJABAT KEPALA DESA Sebuah negara kesejahteraan merupakan suatu konsep pemerintahan di dalam negara yang memiliki peran penting untuk perlindungan dan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakatnya. Negara kesejahteraan merupakan gabungan dari beberapa unsur, diantaranya demokrasi, kesejahteraan dan kapitalisme. Prinsip sebuah negara kesejahteraan biasanya tercermin dalam konstitusi dari negara tersebut. Di Indonesia konsep tersebut tercermin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) alenia keempat. Pada batang tubuh juga dituangkan ketentuan yang berhubungan dengan kesejahteraan rakyat. Pasal 33 yang mengatur tentang masalah ekonomi, cabang produksi bagi rakyat, bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. Setelah melalui amandemen kedua, maka pengaturan mengenai pasal-pasal yang mengatur ekonomi dan kesejahteraan rakyat ditambahkan dengan Pasal 28H. Pasal 28H ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan publik. Pasal 28H ayat (2), setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusuh untuk memperoleh kesempatan serta manfaat yang sama guna mencapai sebuah persamaan dan keadilan. Pasal 28H ayat (3) juga menyatakan bawha setaip orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secra utuh sebagai manusia bermartabat. Sedangkan pada Pasal 28H ayat (4), setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. 115 | Diskresi Kepala Daerah dalam Menetapkan Penjabat Kepala Desa Untuk itu dalam mewujudkan suatu tujuan bernegara maka pemerintah berkewajiban menyelenggarakan penyelenggaraan negara dengan baik dan bersih. Serta pencapaian masyarakat terhadap keadilan serta kemakmuran dapat tercapai. Dalam mencapai tujuan harus berdasar atas yuridis dan politis yang dibuat dan dilakukan dengan sedemikian rupa. Ada beberapa prinsip penting dalam pencapaian sebuah negara kesejahteraan yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Pertama, sebuah cabang-cabang produksi yang menyangkut hidup orang banyak akan dikuasai oleh negara. Kedua, setiap usaha-usaha seperti usaha swasta di luar sebuah cabang produksi yang bersangkutan dengan hidup orang banyak akan diperbolehkan, dengan catatan sebuah negara memberikan suatu pengaturan agar terhindar dari sebuah monopoli. Ketiga, negara harus terlibat langsung dengan usaha kesejahteraan rakyatnya seperti penyediaan layanan yang dibutuhkan masyarakat. Keempat, pengembangan pajak. Kelima, kebijakan publik yang dibuat harus berdasarkan sistem demokrasi. Jadi tugas pemerintah dalam mewujudkan kesejahateraan dan tujuan negara sesuai dengan pembukaan UUD 1945, merupakan sebuah tugas dengan cakupan yang luas. Karena begitu luasnya maka tugas administrasi pemerintahan, maka dibuat peraturan agar penyelenggaraan pemerintahan berjalan sesuai dengan harapan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP) telah mengatur tentang penjaminan hak-hak yang nantinya akan menjamin adanya sebuah perlindungan hukum terhadap masyarakatnya dan jaminan penyelenggaraan dalam tugas-tugas suatu negara. Undang-undang tersebut juga memungkinkan masyarakat untuk mengajukan sebuah ketidaksetujuan, keberatan mereka atas tindakan yang dilakuakan pejabat pemerintahan. Suatu negara kesejahteraan akan mengutamakan mengurusi secara langsung mengenai kesejahteraan masyrakatnya. Di mana negara kesejahteraan akan terdapat banyak sebuah hal-hal yang nantinya akan berada di luar aturan. Hal ini disebabkan karena adanya sebuah perkembangan masyarakat yang begitu pesat. Dengan demikian, akan diambil pula sebuah kebijakan pemerintah guna mengatasi permasalahan tersebut. Oleh karena itu, diskresi atau freies ermessen begitu diperlukan untuk menjamin semua aspek baik aspek sosial, kesehatan pendidikan dan lain-lain. Dilihat dari tujuan negara yang sesuai dengan konsep hukum dan unsur-unsur diskresi itu sendiri menyebutkan bahwa diskresi dapat dilaksanakan guna untuk kesejahteraan dan memenuhi kebutuhan publik. Maksud dari pelayanan publik adalah pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah untuk dapat memberikan suatu pelayanan terhadap masyarakatnya guna memuaskan dan menyejahterakan mereka. Seiring dengan berjalannya waktu, tuntutan yang dihadapi untuk menyejahterakan masyarakat dengan pelayanan publik yang mana persoalan-persoalan masyarakat semakin hari semakin kompleks. Sehubungan dengan adanya permasalahan tersebut, pemerintah daerah harus dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. Meskipun hingga saat ini permasalahan yang dilakukan pemerintah daerah belum bisa menyelesaikan keinginan masyarakatnya. Hal ini bisa dilihat dengan adannya banyak keluhan dan pengaduan dari masyarakat, baik itu pengaduan secara langsung maupun 116 | LENTERA HUKUM secara tidak langsung. Selain hal tersebut, pemerintah daerah juga dihadapkan dengan adanya suatu pemerintahan yang dirasa saat ini masih belum efektif serta sumber daya manusia yang masih belum dapat memadai. Adanya hal-hal tersebut maka wewenang diskresi atau freies ermessen secara tidak langsung akan menjadi sebuah tuntutan yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah. Di sisi lain, wewenang tersebut terkadang menimbulkan suatu persoalan dengan sisi hukum itu sendiri. Ini disebabkan karena beberapa faktor seperti belum adanya payung hukum, serta keragu-raguan pemerintah daerah untuk melakukan diskresi tersebut. Kepala daerah khawatir jika hal tersebut dilakukan maka akan dihadapkan dengan adanya suatu aturan hukum yang sedang berlaku. Selain kekhawatiran tersebut, kepala daerah cenderung melakukan dan mengikuti aturan-aturan hukum yang berlaku. Dari hal-hal tersebut, suatu daerah akan menjadi kurang efektif, efisien, dan responsif dalam melaksanakan suatu tugas pelayanan publik terhadap masyarakat. Sebenarnya istilah diskresi lebih dikenal di ranah hukum pidana, tetapi saat ini diskresi digunakan juga dalam hal administrasi negara. Seiring berjalannya waktu persoalan- persoalan masyarakat yang beragam serta tuntutan-tuntutan terhadap adanya pelayanan publik, maka perlu adanya pelaksanaan diskresi. Sebagaimana dikemukakan oleh Nata Saputra bahwa suatu kebebasan yang diberikan kepada alat administrasi negara yang mengutamakan keefektifan demi tercapainnya suatu tujuan daripada ketentuan umum”. Pelaksanaan diskresi yang diberikan kepada pemerintah harus didasari dengan batasan- batasan serta pertimbangan-pertimbangan yang berdasarkan atas peraturan perundang- undangan tidaklah cukup. Dalam penggunaan diskresi banyak ditemukan implikasi- impikasi baik itu imlikasi yang positif maupun implikasi yang negatif. Tanpa disadari dengan adanya pelaksanan diskresi, kepala daerah dihadapkan dengan situasi yang konkrit. Pada dasarnya setiap individu memiliki suatu karakteristik, pengalaman, pengetahuan dan kecedasan yang berbeda-beda. Jadi hal-hal inilah yang nantinya akan menuntut seorang kepala daerah guna tetap menjalankan diskresi tersebut secara baik dan profesional. Wewenang diskresi harus dilaksanakan berdasarkan norma hukum dan moral. Maksudnya norma moral adalah, kepala daerah dalam melakukan suatu tindakan yang dilakukan harus berdasarkan atas hati nurani dan untuk norma hukum sendiri maka tindakan yang dilakukan harus berdasarkan atas undang-undang. Diskresi dapat menjadi suatu jawaban terhadap adanya suatu pelayanan publik yang masih kaku, stagnan dan birokratis. Di sisi lain, diskresi juga dapat menimbulkan adanya suatu penyalahgunaan kewenangan dan penyimpangan-penyimpangan lain. Pengaturan diskresi jug harus diperhatikan dengan baik agar tidak terjadi hal-hal yang tidak merugikan masyarakat serta negara. Dalam hal tersebut, kepala daerah dalam wewenang diskresinya untuk dapat menetapkan penjabat kepala desa yang berhubungan dengan adanya tugas servis publik, dibutuhkan beberapa penilaian- penilaian yang harus diperhatikan. A. Adanya Perbedaan Ciri khas serta Karakteristik Di Setiap Desa 117 | Diskresi Kepala Daerah dalam Menetapkan Penjabat Kepala Desa Desa merupakan sekumpulan masyarakat yang berdasarkan atas adat dan hukum adat yang menetap pada suatu wilayah tertentu yang memiliki batas-batas tertentu dan memiliki sebuah ikatan lahir batin yang kuat. Hal ini dikarenakan adanya suatu keturunan yang sama maupun kepentingan yang sama. Secara etimologis desa berasal dari sebuah bahasa Sansekerta yaitu swadesi yang artinya adalah wilayah ataupun tempat. 1 Menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo bahwa desa ataupun dusun berasal dari kata Sanskrit yang berarti tanah kelahiran, tanah asal.2 Di Indonesia sebagian besar masyarakatnya bertempat tinggal di desa, dengan mata pencaharian yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi serta faktor alam yang mempengaruhi desa tersebut. Dengan ciri khas kehidupan yang homogen dan iktan kekeluargaan yang erat dan tidak diragukan lagi mengenai kebersamaan serta gotong royong yang terjalin dalam suatu desa. Faktor lingkungan geografis memberikan pengaruh besar terhadap terjalinnya gotong royong, antara lain faktor topografi, faktor iklim, dan faktor bencana alam. Selain hal tersebut faktor yang diperhatikan lagi mengenai unsur-unsur desa tersebut, diantaranya daerah, penduduk, dan tata kehidupan. Masyarakat desa memiliki beberapa karakteristik, seperti mengenal satu sama lain, memiliki kesamaan kesukaan maupun kebiasaannya, cara mereka berusaha yang agraris, tergantung dengan iklim, cuaca, kekayaan alam, keadaan alam, memiliki hubungan yang mendalam, sistem kehidupan yang berdasarkan atas kekluargaan (Gemeinschaft atau paguyuban), biasanya bekerja sebagi tani atau buruh dan sifat masyarakatnya yang homogen. Suatu desa memiliki komponen dan unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Salah satunnya adalah otonomi asli desa tersebut. Otonomi merupakan suatu tatanan suatu ketatanegaraan dan bukan hanya sekedar tatanan administrasi negara saja, maka dari itu otonomi memiliki kaitan yang cukup erat dengan dasar negara dan organisasi suatu negara. Selain itu otonomi memiliki sebuah arti yang bermakna sebagai kebebasan, yang bebarti bukan suatu kemerdekaan. Pemberian kebebasan ini merupakan pemberian yang harus dipertanggungjawabkan dengan baik. Beberapa unsur yang harus diberikan terhadap pertanggungjawaban tersebut adalah, tugas-tugas yang harus diselesaikan sesuai dengan kewenangannya dan suatu kepercayaan yang nantinya akan menjadi pemikiran bagaimana menyelesaikan tugas- tugas tersebut. Dilihat dari segi hukum, otonomi merupakan subsistem dari kesatuan- kesatuan yang lebih besar dari subsistem itu sendiri. Sebuah otonomi mencakup sebuah tugas pembantuan. Pada dasarnya sebuah otonomi dan tugas pembantuan memiliki unsur kebebasan. Kebebasan serta kemandirian ini yang mana dalam otonomi merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Tugas pembantuan dengan kebebasan kaitannya hanya sekedar bagaimana cara menjalankannya. 1 P.j Zoetmulder dan S.O Robson, Kamus Jawa Kuno Indonesia, PT. Gramedi Pustaka Utama, Jakarta, 2006, hlm. 212. 2 Soetardjo Kartohadikoesoemo, Desa, Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hlm. 1. 118 | LENTERA HUKUM Desa memiliki 3 posisi politik otonomi asli desa. Pertama, desa adalah suatu komunits yang memiliki pemerintahan sendiri. Kedua, desa merupakan suatu bentuk local self government. Artinya, suatu daerah akan membentuk sendiri pemerintahan daerahnya yang mana pemerintahan daerah tersebut memiliki kekuatan dan kebebasan untuk merencanakan anggaran serta pembangunan, pelayanan publik, dan bertanggung jawab atas masyarakatnya. Bentuk otonomi ini merupakan bentuk otonomi yang sudah modern. Ketiga, desa adalah suatu bentuk pemerintahan yang mana tingkatannya adalah tingkatan lokal. Seperti halnya, adanya kecamatan dan kelurahan. Self government dinilai merugikan, seperti adanya ketergantungan, ketimpangan politik dan ekonomi antara pusat maupun lokal dan menghilangnya suatu kedaulatan masyarakatnya. Sifat-sifat tersebut memiliki sifat yang absolut, yang harus dipilah dengan benar dan tegas. Desa ditempatkan tidak boleh digabung-gabungkan melebihi satu model, kaena akan menimbulkan ketidakjelasan suatu penyelenggaraan pemerintahan. Seperti halnya, posisi ganda di provinsi. Masyarakat terkadang akan menuding mengenai ketidakjelasan peran yang ada dalam provinsi dan pelayanan publik dalam penyelenggaraan pemerintahan. Semua ini terjadi dikarenakan adanya posisi ganda yang dimiliki provinsi, maka provinsi sebagai daerah otonom yang nantinya akan menerima sebuah desentralisasi dan provinsi juga akan menerima dekonsentrasi karena pada dasarnya provinsi merupakan kepanjangan tangan pusat (Self State Government). Jika ditinjau dari sudut pandang perspektif yuridis-politis, sebenarnya desa merupakan pemerintahan lapisan yang paling rendah di dalam suatu kesatuan hukum yang memiliki suatu identitas, batas wilayah dan etentitas yang berbeda-beda, yang berdasar kepada asal-usul serta adat istiadat yang telah diakui di Indonesia. Desa-desa yang beragam di indonesia pada dasarnya merupakan suatu basis penghidupan bagi masyarakat setempat, yang dapat mengatur tata kekuasaan dan pengelolaan penduduk pranata lokal serta sumber daya ekonominya. Dengan begitu, sebuah eksistensi di suatu desa dapat ditinjau dari berbagai pandangan dan perspektif baik itu secara epistimologi, antropologi, sosiologis historis ekonomis dan yuridis politis yang pada hakikatnya desa juga merupakan sebuah kelengkapan tradisi adat istiadat. Sejak dahulu desa merupakan bagian terkecil dari wilayah kenegaraan. Sejatinya suatu desa juga tidak dapat dipisahkan di dalam hierarki struktur kenegaraan. Semenjak kemerdekaan Republik Indonesia hingga sekarang desa merupakan bagian terkecil dari suatu wilayah Indonesia. Desa di dalam hierarki suatu negara merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Aristoteles mengatakan bahwasannya negara adalah persekutuan daripada keluarga dan desa, guna memenuhi hidup yang sebaik-baiknya3. Maksudnya adalah suatu negara terbentuk karena adanya manusia terlebih dahulu, kemudian manusia tersebut membentuk suatu keluarga. Di masing-masing keluarga tersebut mereka membentuk suatu desa. Desa-desa tersebut nantinya akan menjadi suatu negara, atau istilah Yunaninya disebut dengan polis. Hal ini ditujukan agar 3 Aristoteles dalam Sri Soemantri Martosoewignjo, Sistem – Sistem Pemerintahan Negara - Negara ASEAN, Tarsito, Bandung, 1976, hlm. 3. 119 | Diskresi Kepala Daerah dalam Menetapkan Penjabat Kepala Desa mereka para keluarga yang sudah bersatu membentuk desa-desa akan melindungi diri mereka dari suatu ancaman. Dengan demikian, isitilah sebuah republik dan istilah sebuah desa akan menjadi istilah negara. Oleh karena itu, sebuah desa merupakan cikal bakal dari terbentuknya sebuah negara. Dilihat dari demografisnya, penduduk desa merupakan orang-orang yang bertempat tinggal di dalam wilayah desa tertentu, tidak masalah di mana penduduk tersebut mencari nafkahnya. Dalam melaksanakan gotong-royong, kerjasama serta melaksanakan pembangunan desa, masyarakat begitu dibutuhkan guna dapat mencapai sebuah keberhasilan pembangunan desa. Pada dasarnya, pembangunan desa dilaksanakan untuk masyarakat desa tersebut. Setiap desa memiliki ciri khas dan karakteristik yang berbeda-beda, terutama masyarakatnya. Di dalam masyarakat desa dikenal dengan masyarakat yang riil dan konkrit, sedangkan di kota masyarakatnya dikenal dengan masyarakat yang abstrak dan fiktif.4 Di desa, persatuan, persekutuan, paguyuban, kerukunan, kebersamaan dan saling mengenal akrab adalah hubungan yang sudah mengakar pada masyarakatnya. Dilihat dari sebuah ciri geografis, demografis serta sosiologisnya, bisa dilihat bahwa desa biasanya dihuni oleh satu keturunan (Geneologi) sehingga desa memiliki kekerabatan yang erat. Berbeda dengan adanya masyarakat kota yang acuh dan tidak ada hubungan dengan orang lain, pada hakikatnya masyarakat seperti ini bukan seperti masyarakat melainkan masyarakat yang semu. Desa juga memiliki suatu pengurusan yang dipilih secara bersama-sama. Memiliki kekayaan dengan jumlah yang tiap desa memiliki kekayaan yang berbeda-beda, tergantung dengan faktor geografis dan demografisnya dan memiliki hak untuk dapat menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri. Secara sosiologis desa merupakan suatu bentuk satu-kesatuan yang masyarakatnya tinggal dalam lingkungan yang sama dan saling mengenal, dengan corak kehidupan yang umumnya homogen. Biasanya hidupnya tergantung pada alam dengan karakteristik yang sederhana dan ikatan sosial yang kuat, seperti halnya di Desa Trunyan, Kabupaten Bangli, Desa Tianyar Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali dan masih banyak lagi.5 Dilihat dari latar belakang lingkungan yang memiliki suatu corak kebiasaan adat istiadat maupun budaya yang dimiliki satu desa dengan desa lainnya yang beragam dan tidak sama dan adanya eksistensi hidup serta nilai estetika yang membuat adanya suatu desa memiliki karakteristik dan budaya yang berbeda-beda juga6. Kehidupan masyarakat desa memiliki pola interaksi yang horizontal. Hal-hal yang berperan di antara hubungan interaksi sosialnnya dalah motif sosial. Interaksi ini dibuat guna menghindari sebuah konflik di antara mereka. Kerukunn merupakan suatu prinsip yang harus dipegang teguh dalam masyarakat pedesaan. Masyarakat desa juga 4 Bayu Surianingrat, Pemerintahan Administrasi Desa dan Kelurahan, Rineka Cipta. 1992, Jakarta, hlm. 20. 5 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, edisi 12, Rajawali Press, Jakarta, 1990, sebagaimana dikutip oleh I Gede Agus Wibawa, Pengaruh Status Kelurahan Menjad desa Dalam Prepsektif Pemerintahan Daerah (Studi Perubahan Status Pemerintahan di kabupaten Tabanan, Bali), Program Pascasarjana FIA Universitas Brawijaya, 2011, hlm. 9-11. 6 Ibid. 120 | LENTERA HUKUM memiliki sebuah kepentingan yang rata-rata hampir sama. Seperti pelaksanaan kerja bakti yang dilakukan masyarakat desa. Kerja bakti sendiri memiliki dua macam bentuk, yaitu kerja bakti berdasarkan inisiatif mereka sendiri dan kerja bakti yang didasari oleh pekerjaan yang harus diselesaikan karena adanya perintah dari luar. Setiap desa juga memiliki kebudayaan tersendiri. Kebudayaan yang ada dalam suatu desa tidak dapat diwariskan secara biologis. Biasannya kebudayaan yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lain adalah dengan cara memperkenalkan sebuah kebiasaan. Kebiasaan yang sudah lama dan sudah menetap dalam diri masyarakat, dan kebiasaan tersebut sudah diikuti oleh masyarakat tersebut sejak lama. Adat istiadat biasanya sepeti cara bertingkah laku, di mana jika mereka melanggar akan mendapatkan sebuah sanksi. Terakhir adalah upacara peribadatan. Upacara ini biasanya dilakukan dengan serangkaian gerakan dan kata-kata yang dilakukan oleh orang-orang tertentu saja. Maka dengan cara-cara tersebut bermakna sebuah arti yang baik. Perbandingan antara lahan dengan penduduk desa memiliki perbedaan yang cukup menonjol. Di desa-desa yang khususnya berada pada dataran tinggi ataupun dataran rendah, kawasannya masih terpencil, lahan yang dimiliki lebih luas dari jumlah penduduk desa tersebut. Sehingga kepadatan penduduknya tidak sepadat kepadatan penduduk yang ada di kota, dan mata pencaharian yang penduduk desa lakukan biasanya masih bertumpu kepada mata pecaharaian dari segi sektor agraris saja. Dengan keadaan sarana dan prasarana yang masih sederhana, tetapi seiring dengan perkembangan zaman, sarana dan prasaran desa sekarang lebih sedikit maju dibandingkan dengan yang terdahulu. Berdasarkan hal-hal tersebut, struktur desa yang diperintah oleh masyarakat desa secara kekeluargaan, gotong royong dan berdasarkan atas kultur budaya maupun adat-istiadat memiliki tolak ukur sebagai berikut, diantaranya demokratisasi dalam pemerintahan desa, harmonisasi hukum adat dan hukum modern dalam regulasi desa, perlindungan hak asasi manusia masyarakat desa, kesejahteraan masyarakat desa dan ketertiban dan kedamaian masyarakat desa.7 Menurut Bintaro,8 ia mengemukakan bahwa desa memiliki 3 unsur yang salah satunya mengenai unsur tata kehidupan. Dalam tata kehidupan desa memiliki seluk beluk kehidupan di masyarakat desa (Rural Society). Tata kehidupan yang baik akan melahirkan suatu jaminan ketentraman dan keselarasan di dalam desa. Pemerintah desa sejatinya adalah suatu pemerintah yang dapat dikatakan yang paling dekat dengan masyarakatnya. Jadi serendah dan sekecil apapun sebuah pemerintahan desa, maka akan tetap memiliki suatu peran yang strategis dalam melayani masyarakat dan melaksanakan pemberdayaan masyarakatnya. Dengan demikian, guna memberdayakan masyarakat dan melaksanakan fungsi pelayanan publik, sebuah desa harus diberdayakan dalam segi sektor apapun. Selain memperhatikan karakteristik desa agar dapat memimpin suatu desa dengan baik dan benar. Perlu juga adanya penanganan konflik oleh kepala desa maupun pejabat kepala desa tersebut. Selain mengenai karakteristik suatu desa, dibutuhkan juga penilaian 7 Sajogyo dan Pujiwati Saajogyo, Sosiologi Pedesaan : Jilid 1, Gadjah Mada Press, Yogyakarta, 1982, hlm. 15. 8 Bintarto, Pengantar Geografi Kota, Yogyakarta: Spring, Yogyakarta, 1997, hlm. 15-17. 121 | Diskresi Kepala Daerah dalam Menetapkan Penjabat Kepala Desa terhadap diskresi kepala daerah tersebut tentang penanganan konflik yang harus dihadapi oleh kepala desa di dalam suatu desa. B. Konflik dalam Masyarakat yang Harus Ditangani oleh Kepala Desa Pasal 26 ayat 1 dan huruf f dan g serta ayat 4 huruf k UU DESA disebutkan bahwa kepala desa memiliki kewenangan dalam membina ketentraman dan kesejahteraan masyarakat desa Kepala desa juga berkewajiban untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di dalam desa tersebut. Suatu desa akan hidup tentram apabila masyarakat desa dengan pemimpinnya dapat menjalin hubungan baik, jadi tidak hanya hubungan baik terhadap sesama masyarakatnya saja tetapi terhadap pemimpin desa hubungan juga harus diperhatikan. Masyarakat merupakan sekumpulan kelompok yang memiliki suatu kesamaan yang berhubungan erat antara satu dengan yang lainnya.9 Masalah-masalah yang timbul di dalam masyarakat desa juga cukup kompleks. Dalam teorinya Schute Nordholt10 mengemukakan bahwa ada beberapa peranan seorang kepala desa dalam menangani konflik. Pertama, kepala desa merupakan motivator yang memberikan sebuah dorongan serta dukungan terhdap masyarakatnya agar dapat melakukan tindakan-tindakan positif. Hal ini diharapkan mampu mengembangkan dan menjamin sebuah stabilitas ketertiban serta keamanan masyarakat itu sendiri. Kedua, kepala desa juga berperan sebagai fasilitator maupun mediator dalam menangani sebuah konflik. Mediator dan fasilitator merupakan seseorang yang akan memberikan suatu bantuan dan sebagai narasumber yang baik guna dapat menyelesaikan suatu permasalahan dan sebagai penengah dalam sebuah konflik untuk dapat mencapai suatu kesepakatan. Peranan-peranan tersebut harus dapat terlaksana dengan baik oleh kepala desa maupun pejabat kepala desa dalam menangani konflik di dalam masyarakatnya. Sebagai seorang kepala desa yang memiliki sebuah kewenangan memimpin masyarakat, kepala desa juga harus menjadi seseorang yang dapat memecahkan suatu konflik permasalahan secara efektif. Dalam pemecahan permasalahan tersebut, perlu adanya sebuah kemahiran menggunakan suatu wewenang dan kekuasaanya tersebut. Selain kemahiran, kemampuan juga dinilai dibutuhkan dalam penanganan penyelesaian konflik yang ada di masyarakat. Konflik yang terjadi di dalam sebuah desa beragam macamnya. Konflik merupakan perselisihan antara pihak satu dengan pihak lainnya, kelompok maupun sebuah lembaga yang timbul dikarenakan adanya persaingan maupun perbedaan kepentingan yang bertujuan untuk mendapatkan suatu kekuasaan. Konflik secara etimologis berasal dari sebuah bahasa latin yang bernakna con adalah bersama dan fligere adalah sebuah tabrakan ataupun benturan.11 Konflik sosial merupkan suatu perjuangan 9 Doncar Mitchelti, Sosiologi Suatu Analisis Sistem Sosial, Cetakan 1, Bina Aksara, Jakarta, 1989, hlm. 40. 10 Schute Nordholt dan Gerry Van Klinken, Politkik Lokal di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 71. 11 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial : Teori Aplikasi serta Pemecahannya, Kencana Prenada Media Group, Jakarata, 2011, hlm. 345. 122 | LENTERA HUKUM terhadap sebuah nilai serta sebuah pengakuan terhadap status, yang kemudian kekuasaan serta sumber dari pertentangan tersebut langsung dinetralisir saingannya.12 Sebuah konflik sosial merupakan sebuah bentuk dari interaksi sosial yang terjadi di antara masyarakat dan anggota dengan adanya sifat mengancam, dan menekan. Konflik soial juga merupakan suatu pertemuan dua pihak atau lebih yang memiliki kepentingan yang sama terhadap sesuatu hal yang bersifat terbatas. Beberapa kasus konflik yang terjadi dapat dibedakan menjadi dua sifatnya, yaitu konflik yang bersifat destruktif dan konstruktif. Konflik destruktif adalah konflik yang muncul yang disebabkan karena adanya perasaan tidak suka, dendam dan benci seseorang terhadap pihak lain, yang sampai dilakukannya kontak fisik. Konflik konstruktif merupakan konflik yang sifatnya fungsional. Hal ini biasanya terjadi karena perbedaan pendapat. Yang mana perbedaan pendapat tersebut nantinya akan menghasilkan sebuah perbaikan.13 Beberapa kasus konflik yang dialami desa umumnya antara lain tentang adanya konflik dengan alam ser. Konflik dengan alam ser adalah konflik yang disebabkan oleh alam, seperti bencana alam banjir, gempa bumi, dan lain-lain. Dibutuhkan adanya kerja sama yang baik guna terciptanya gotong-royong dan kebersamaan dalam menghadapi konflik masyarakat dengan alam. Selanjutnya konflik antara masyarakat dengan sengketa keluarga, konflik ini biasanya dilatarbelakangi oleh adanya perceraian yang berakibat meninggalkan dan menelantarkan suami/istri serta anak-anaknya. Di mana suami/istri meninggalakan salah satunya serta anak-anaknya, didorong karena faktor perekonomian yang dirasa kurang dan memutuskan menjadi seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Konflik selanjutnya adalah konflik politik, konflik politik ini biasanya terjadi saat pemilihan kepala desa yang akan berlangsung. Persaingan-persaingan calon kepala desa yang akan dipilih menjadikan sebuah persaingan yang nantinya jika kepala desa yang terpilih bukan kepala desa yang didukungnya maka akan terjadi sebuah konflik antar masyarakat beda pendukung. Terakhir adalah konflik pertanahan, konflik pertanahan disebabkan karena adanya status dari kepemilikan tanah yang tidak jelas, batas-batas yang seharusnya bukan menjadi hak milik, akan dijadikan hak milik oleh masyarakat desa karena faktor ketidaktahuan mereka dalam memahami batas-batas tersebut. Jadi di saat rumah mereka akan dibuatkan sertifikat tanah, pertikaian akan terus selalu terjadi. C. Peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) BPD dalam sistem pemerintahan desa menduduki posisi yang cukup penting. Pasal 57 UU DESA menyebutkan beberapa persyaratan dipilihnya sebagai anggota BPD, antara lain bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memegang teguh dan mengamalkan pancasila, melaksanakan UUD 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan 12 Irving M. Zeilin, Memahami Kembali Sosiologi, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1998, hlm. 156. 13 Dr. Robert H. Lauer, Perspektif Tentang Perubahan Sosial, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2011, hlm. 98. 123 | Diskresi Kepala Daerah dalam Menetapkan Penjabat Kepala Desa Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhnineka Tunggal Ika, berusia paling rendah 20 tahun atau sudah pernah menikah, berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah pertama sederajat, bukan sebagai perangkat pemerintah desa, bersedia mencalonkan diri menjadi anggota BPD dan wakil penduduk desa secara demokratis. BPD juga berfungsi mengayomi adat istiadat di suatu desa, membuat peraturan desa, menampung dan menyalurkan suatu aspirasi masyarakat desa serta mengawasi penyelenggaraan pemerintahan desa.14 Hal ini juga tertuang dalam Pasal 55 huruf b UU DESA. BPD adalah lembaga serta organisasi yang memiliki fungsi sebagai badan yang dapat menetapakan suatu peraturan desa bersama-sama dengan kepala desa. Peran BPD dalam membantu seorang kepala desa memiliki peran yang cukup besar, apalagi dalam urusan penyusunan serta perencanaan pembangunan di suatu desa. BPD secara tidak langsung dituntut untuk dapat menjadi aspirator antara masyarakat desa dengan pejabat maupun istansi yang berwenang. BPD adalah suatu wujud demokrasi di dalam suatu desa. Maksudnya, dalam menyelenggarakan suatu pemerintahan di desa haruslah berdasarkan aspirasi dari masyarakat desa. Oleh karen itu, BPD disebut sebagai suatu wadah musyawarah yang berasal dari aspirasi-aspirasi masyarakat desa. Sebagai jembatan penghubung di antara masyarakat desa dengan kepala desanya. BPD seiring dengan berjalannya waktu fungsi dan tugasnya dapat berubah- ubah tergantung dengan demokrasi di desa tersebut. Desa merupakan suatu republik kecil yang setiap warganya memiliki hak untuk terlibat langsung serta ikut andil dalam setiap penyelenggaraan yang ada desa tersebut. Oleh karena itu, BPD menjadi lembaga demokrasi perwakilan di tingkat desa. Sesuai dengan kewenangannya, BPD memiliki tiga kewenangan yaitu, membahas serta menyepakati rancangan-rancangan peraturan desa yang dilakukan bersama kepala desa, menampung serta menyalurkan aspirasi masyarakat yang ada di desa dan melakukan pengawasan kinerja yang dilakukan oleh kepala desa. Dari beberapa kewenangan tersebut, tercipta hubungan yang baik dan saling bersimbiosis mutualisme antara BPD dengan kepala desa maupun antara BPD dengan masyarakatya. Hubungan BPD dengan kepala desa adalah sebagai mitra kerja yang harus terjalin dengan baik. Kedudukan mereka sejajar, maka untuk menentukan sebuah kebijakan desa, BPD dan kepala desa harus kompak dan sejalan. BPD memiliki suatu kewajiban yang dalam pelaksanaanya harus representatif. Maksudnya dalam menyalurkan aspirasi masyarakatnya harus sesuai dengan fungsi-fungsi yang ada. Kemitraan yang terjalin antara kepala desa dengan BPD harus berdasarkan filosofi seperti memiliki kedudukan yang sejajar/bermitra, kepentingan yang sama harus dicapai, prinsip saling menghormati antara satu dengan yang lainnya dan niat yang baik yang dipergunakan untuk saling membantu dan mengingatkan .BPD dan pemerintah desa jika dilihat lebih jauh memiliki kedudukan yang sama, karena sama-sama sebuah kelembagaan yang ada di desa. UU DESA juga tidak 14 H.A.W Widjaja, Pemerintah Desa serta Administrasi Desa, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, Hlm. 35. 124 | LENTERA HUKUM memisahkan kedudukan keduanya. Keduanya memiliki kedudukan yang sama tetapi tentunya dengan fungsi yang berbeda. Jika kepala desa memiliki fungsi sebagai seorang yang memimpin desa dan masyarakatnya dan diharuskan dekat dengan masyarakatnya, maka BPD yang akan menyiapkan suatu kebijakan pemerintah desa tersebut bersama- sama dengan kepala desa. BPD tentunya juga harus memiliki sebuah visi maupun misi yang berkesinambungan dengan kepala desa, sehingga BPD tidak akan menjatuhkan kepala desa yang telah dipilih secara demokratis oleh masyarakat desa tersebut. Untuk dapat menjadi anggota BPD sebenarnya perlu adanya pembekalan, bimbingan yang dilakukan oleh akademisi, pemerintahan daerah dan pihak-pihak yang ditunjuk. Dewasa ini banyak yang belum antusias dengan pekerjaan sebagai anggota BPD, hal ini dikarenakan permasalahan pendapatan yang diterima. Pendapatan yang diterima anggota BPD tidak sama selayaknya yang diterima oleh kepala desa beserta perangkatnya. BPD merupakan bentuk pergantian dan perubahan nama dari Badan Perwakilan Desa. Hal ini dikarenakan pada dasarnya melihat kondisi yang terjadi pada budaya yang berbasis pada filosofi musyawarah. Musyawarah merupakan suatu proses dan mufakat merupakan sebuah hasil dari sebuah musyawarah yang telah dilakukan. Hasil tersebut diperoleh dari proses musyawarah yang baik. Dengan begitu, konflik yang terjadi di desa akan terselesaikan dengan damai, sehingga tidak menimbulkan suatu gesekan maupun goncangan yang terjadi dalam masyarakatnya.15 Pasal 61 dan 62 UU DESA telah mengatur bahwa BPD serta anggota BPD memiliki hak, diantaranya mengawasi serta meminta keterangan tentang penyelenggaraan pemerintahan desa kepada pemerintah desa, menyatakan pendapat atas peyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan masyarakat desa dan pemberdayaan masyarakat desa dan mendapatkan biaya oprasional dari pelaksanaan tugas dan fungsinya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBD). Anggota BPD berhak untuk mengajukan usul rancangan peraturan desa, mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan/atau pedapat, memilih dan dipilih dan mendapat tunjangan dari APBD. BPD di dalam penetapan sebuah peraturan desa menampung aspirasi-aspirasi masyarakatnya, usulan-usulan baik yang dilakukan oleh BPD itu sendiri, maupun kepala desa. Di mana nantinya usulan dan aspirasi tersebut akan menjadi suatu kunci di dalam menjalankan suatu pemerintahan desa. Selajutnya usulan serta aspirasi tersebut akan dibahas bersama dan dievaluasi. Setelah mencapai suatu kesepakatan bersama maka dilakukan sebuah penetapan yang dibentuk menjadi suatu peraturan desa. Tidak semua aspirasi yang diberikan masyarakat desa dapat selalu ditetapkan ke dalam peraturan desa, karena harus dengan beberapa proses seperti artikulasi yang merupakan suatu penyerapan aspirasi-aspirasi masyarakat yang dilakukan oleh BPD, agregasi merupakan proses suatu pegumpulan-pengumpulan aspirasi yang nantinya 15 Ndraha Taliziduhu, Pembangunan desa dan Administrasi Pemerintahan Desa, Yayasan Karya Dharma, Jakarta, 1985, hlm. 23. 125 | Diskresi Kepala Daerah dalam Menetapkan Penjabat Kepala Desa akan dikaji sebagai peraturan desa, formulasi merupakan perumusan dari suatu perancngan peraturan desa yang nantinya akan dilakukan oleh BPD atau pemerintahan desa dan konsultasi merupakan dialog yang terjadi antara pemerintah desa, masyarakat serta BPD.16 Sudah dijelaskan di atas bahwa BPD dan anggota BPD memiliki hak untuk menyatakan pendapat, meyampaikan usul atas pendapatnya, serta berhak untuk memilih atau dipilih. Jadi sudah jelas bahwa keberdaan BPD di desa cukup dibutuhkan dalam urusan pemerintahan desa apalagi dalam urusan memilih. BPD yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa BPD merupakan DPRD nya desa, pada kenyataanya tidak memiliki kewenangan untuk memilih seorang pejabat kepala desa. Padahal diketahui bahwa peran BPD dalam melaksanakan tugas menyejahterakan masyarakat desa cukup berpengaruh. Dengan demikian, dapat diketahui bahwasannya dalam penilian-penilian tersebut peran kepala desa, BPD maupun pejabat kepala desa cukup diperlukan di dalam melaksanakan pemerintahan desa, agar pemerintahan desa tersebut dapat berjalan dengan baik. Jika dicermati lagi mengenai pemilihan pejabat kepala desa yang dilakukan kepala daerah yang sesuai dengan UU DESA, kepala desa yang terpilih merupakan seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang harus memiliki suatu kemampuan kepimpinan. Padahal seperti yang diketahui bahwa PNS yang terpilih tidak dibekali dasar-dasar kepimpinan, mereka hanya dibekali kemampuan administrasi. Sebagai seorang pejabat kepala desa maka akan mengemban beberapa tugas yang tidak sedikit. Tugas administrasi juga perlu diperhatikan, seperti halnya pengurusan surat dan pelayanan yang dilakukan terhadap masyarakat desa yang sedang sakit dan butuh surat admnistrasi dari pejabat kepala desa tersebut. Hari kerja PNS hanya senin sampai dengan jumat, sedangkan jika ada musibah mengenai masyarakat desa yang sedang sakit tidak mengenal waktu dan hari. Kemungkinan yang terjadi jika penjabat yang dipilih bukan termasuk masyarakat desa tersebut, tetapi bertempat tinggal di kota yang jauh dengan desa, maka hal ini secara tidak langsung akan menghambat tugas admnistrasi dan tugas melayani masyarakat dengan baik. Belum lagi dengan masyarakat yang kurang begitu setuju atas pemilihan yang dilakukan kepala daerah, karena pemilihannya bukan berdasarkan atas kemauan dan suara dari masyarakat desa tersebut. Hal-hal ini yang menurut penilaian akan menimbulkan konflik dan tidak sesuai lagi dengan adanya wewenang diskresi atau freies ermessen, yang menyebutkan bahwa wewenang tersebut salah satunya harus atas dasar kepentingan umum dan melaksanakan pelayanan publik berpotensi menimbulkan wewenang tersebut tidak akan berjalan dengan baik sesuai dengan kemauan masyarakatnya. III. PENUTUP 16 Ibid, hlm 23. 126 | LENTERA HUKUM Secara tidak langsung suatu diskresi dibutuhkan karena terdapat suatu hukum yang sudah melekat pada diri masyarakat. Dalam hal pengaturan dan pelaksanaan diskresi yang dilakukan oleh kepala daerah, harus dapat mengikuti serta mentaati aturan tolak ukur serta unsur yang ada dalam diskresi tersebut. Diskresi jika dilakukan dengan baik dan benar dan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, maka secara tidak langsung diskresi tersebut sudah dapat memberikan kesejateraan serta pelayanan yang baik kepada masyarakat. Kepala daerah dengan wewenang diskresinya dalam menetapkan pejabat kepala desa merupakan suatu pemecahan masalah yang memungkinkan terjadinya ketidaksejahteraan masyarakat desa. Jika suatu diskresi tidak dilakukan sesuai dengan aturan yang ada, maka diskresi tersebut tentunya akan berdampak merugikan. Penilaian Bupati dalam hal pelaksanaan diskresi dalam menetapkan pejabat kepala desa, merupakan suatu penilaian yang semata-mata bukan untuk kepentingan kepala daerah itu sendiri. Melainkan kepentingan masyarakat desa, yang mana dalam hal ini masyarakat desa juga membutuhkan suatu kesejahteraan, keharmonisan, ketentraman serta kepuasan dalam hal pemerintahan desa di desa mereka. DAFTAR PUSTAKA Aristoteles dalam Sri Soemantri Martosoewignjo, 1976. Sistem-Sistem Pemerintahan Negara- Negara ASEAN, Bandung: Tarsito. Bayu Surianingrat, 1992. Pemerintahan Administrasi Desa dan Kelurahan. Jakarta: Rineka Cipta. Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Efendi, 2015. Penelitian Hukum (Legal Research). Jakarta: Sinar Grafika. Dr. Robert H. Lauer, 2011. Perspektif Tentang Perubahan Sosial, Jakarta: PT. Rineka Cipta. Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, 2011. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori Aplikasi serta Pemecahannya, Jakarata: Kencana Prenada Media Group. H.A.W Widjaja, 1993. Pemerintah Desa serta Administrasi Desa. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. ____________, 2013. Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Indroharto, 2004. Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Irving M. Zeilin, 1998. Memahami Kembali Sosiologi, Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Jazim Hamidi,. 1999. Penerapan Asas – Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan yang Layak ( AAUPL ) di Lingkungan Peradilan Administrasi Negara. Bandung: Citra Aditya Bakti. John M. Echols dan Hasan Shadily, 1977. Kamus Indonesia inggris. Jakarta: Gramedia. 127 | Diskresi Kepala Daerah dalam Menetapkan Penjabat Kepala Desa Laica Marzuki, 1996. Peraturan Kebijaksanaan ( Beleidsregel ) Hakikat Beserta Fungsinya Selaku Hukum Pemerintahan, Makalah pada penataan nasional hukum acara dan hukum administrai negara1996. Ujung Pandang: Fakultas Hukum Universitas Hasanudin. Logemann, Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif. 1975. Jakarta: Ikhtiar Baru-Van Hoeve. Moh. Fadli, Jazim Hamidi, dan Mustafa Lutfi, 2011. Pembentukan Peraturan Desa Partisipatif. Malang: Universitas Brawijaya Press (UB Press). Muchsan, 1981. Beberapa Catatan Penting Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi Negara di Indonesia. Yogyakarta: Liberty. Nana Saputra, 1988. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali. Ndraha Taliziduhu, 1985. Pembangunan Desa dan Administrasi Pemerintahan Desa, Jakarta: Yayasan Karya Dharma. Olden Bidara, 1994 Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam teori dan Praktek Pemerintahan, dalam Paulus Effendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), Bandung: Citra Aditya Bakti. Peter Mahmud Marzuki, 2008. Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Kencana Prenada Group. Philipus M. Hadjon, 2015. Peraturan Tata Usaha Negara dalam konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan”, Jurnal Hukum No 1 Maret. P.j Zoetmulder dan S.O Robson, 2006. Kamus Jawa Kuno Indonesia, Jakarta: PT. Gramedi Pustaka Utama. Poerwasunata W.J.S, 2003. Kamus bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Prajudi Atmosudirjo, 1994. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia. _________________, 1988. Hukum Administasi Negara, Cetakan 9. Jakarta: Ghalia Indonesia. Ridwan, 2014. Diskresi dan Tanggung Jawab Pemerintah. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Press. ______, 2007. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Schute Nordholt dan Gerry Van Klinken, 2007. Politkik Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Siti Soetami, 2000. Hukum Administrasi Negara. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Sajogyo dan Pujiwati Saajogyo, 1982. Sosiologi Pedesaan: Jilid1, Yogyakarta: Gadjah Mada Press. Soehino, 2000. Asas – Asas Hukum Tata Usaha Negara. Yogyakarta: Liberty. Soerjono Soekanto, 1990. Sosiologi Suatu Pengantar, edisi 12, Jakarta: Rajawali Press, sebagaimana dikutip oleh I Gede Agus Wibawa, 2011. Pengaruh Status Kelurahan Menjad Desa dalam Prepsektif Pemerintahan Daerah (Studi Perubahan Status Pemerintahan di kabupaten Tabanan, Bali), Program Pascasarjana FIA Universitas Brawijaya. Soetardjo Kartohadikoesoemo, 1984. Desa, Jakarta: Balai Pustaka. Utrecht E. 1998. Penghantar Hukum Administrasi Negara Indonesia. Surabaya: Pustaka Tinta Mas 128 | LENTERA HUKUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494 ). Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495 ). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. ( Lembaran Negara Indonesia Tahun 2014 Nomor 244 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587 ). Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601 ).