Lentera Hukum, Volume 5 Issue 3 (2018), pp. 415-430 
ISSN 2355-4673 (Print) 2621-3710 (Online) 
https://doi.org/10.19184/ ejlh.v5i3.8291 
Published by the University of Jember, Indonesia 
Available online 31 December 2018 
 
 
 

Permohonan Tanah Ulayat di Minangkabau Menjadi Tanah 

Hak Milik 
 

Siti Raga Fatmi 

University of Jember, Indonesia 

ragafatmi2014@gmail.com 
 

ABSTRACT 
A communal land is an asset owned by customary law communities and jointly managed by members of 

customary law communities. Customary land in Minangkabau has been recognized in Indonesian law as 

mentioned in Article 3 of the Basic Agrarian Law Number 5 of 1960 (BAL) as long as it still exists and 

corresponding to the development. In fact, although a communal land in Minangkabau is administered 

collectively, the later development shows that such a communal land has been converted to the 

proprietary right by customary law communities due to the demand for legal recognition. BAL states that 

property rights are hereditary, strongest, and fulfilled rights owned by a person on a piece of land. Since 

there are no regulations governing the transfer of communal land to land ownership, the customary 

elders and regional apparatus make procedures for the transfer of communal land with certain conditions 

so that not everyone can submit an application for ownership of customary land into land owned. 

KEYWORDS: Customary Land, Proprietary Rights, Land Registration. 

 
Copyright © 2018 by Author(s) 
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 
International License. All writings published in this journal are personal views 

of the authors and do not represent the views of this journal and the author's affiliated institutions. 
 

 
 
 
 
 

Submitted: August 01, 2018    Revised: October 18, 2018     Accepted: December 22, 2018 
 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

HOW TO CITE: 

Fatmi, Siti Raga. “Permohonan Tanah Ulayat di Minangkabau Menjadi Tanah Hak Milik” (2018) 5:3 
Lentera Hukum 415-430. 



416 | Permohonan Tahan Ulayat di Minangkabau Menjadi Tanah Hak Milik 
 

I. PENDAHULUAN 

Berdasarkan penjelasan umum angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang 

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dijelaskan bahwa kata dikuasai tidak 

sama dengan dimiliki. Akan tetapi, artinya yaitu memberi wewenang kepada negara 

sebagai organisasi kekuasaan, untuk tingkatan yang tertinggi yaitu mengatur dan 

menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaannya, 

menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air 

dan ruang angkasa itu dan menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum 

antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan 

ruang angkasa. 

 Oleh sebab itulah negara hanya sebagai penguasa saja, bukan sebagai yang 

memiliki. Hak milik dari tanah Indonesia berada pada rakyat Indonesia itu sendiri yang 

secara umum disebut sebagai hak kolektif.
1
  Menurut perkembangan dari sejarah 

negara Indonesia, tanah Indonesia pada awalnya dikuasai oleh masyarakat hukum adat 

yang ada diseluruh wilayah Indonesia. Pada tahun 1602, penjajah datang ke Indonesia 

untuk berdagang, namun lama kelamaan mereka menguasai tanah-tanah di Indonesia 

dengan menerapkan sistem pemerintahan kolonial. Pemerintah kolonial menerapkan 

dualisme hukum pertanahan yaitu berlakunya dua stelsel hukum yang berbeda pada 

ruang dan waktu yang sama. Dualisme tersebut adalah berlakunya hukum agraria adat 

untuk orang pribumi dan hukum agraria barat untuk orang Eropa, Tionghoa, dan 

Timur Asing.
2
 Selain itu juga diberlakukan asas „domein verklaring’ pada aturan 

Agrarische Besluit/AB yang menyatakan bahwa siapapun yang tidak dapat 

membuktikan bahwa suatu tanah itu sebagai miliknya, maka tanah itu akan menjadi 

milik negara. Pada saat itu  hampir sebagian besar tanah rakyat Indonesia dimiliki oleh 

negara (yang dalam hal ini diatur oleh pemerintah kolonial), karena para rakyat ini 

tidak dapat memberikan pembuktian yang ditetapkan oleh negara yaitu pembuktian 

tertulis seperti sertifikat.   

 Walaupun hukum agraria nasional bersumber dari hukum adat, namun tetap 

harus tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan yang lebih tinggi 

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UUPA yaitu dengan mengingat ketentuan-

ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak-ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari 

masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, 

harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang 

berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-

undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. 

 UUPA memberi kebebasan kepada warga negara Indonesia untuk memiliki 

penguasaan hak-hak atas tanah, salah satunya yaitu hak milik. Hak milik dapat 

dimohon oleh warga negara Indonesia atas tanah yang dikuasai oleh negara. 

Permohonan hak milik tersebut dapat dilakukan atas dasar Pasal 8 sampai dengan Pasal 

16 Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara 

                                                           
1
  Fifik Wiryani,  Reformasi Hak Ulayat (Malang :  Setara Press, 200) at  4. 

2
  Samun Ismaya, Pengantar Hukum Agraria (Yogyakarta: Graha Ilmu 2011) at 17. 



417 | LENTERA HUKUM 
 

 

Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan (untuk 

selanjutnya disebut Permen Agraria No. 9 Tahun 1999).  

 Melihat kesempatan yang diberikan oleh negara terhadap tanah yang dikuasai 

oleh negara, beberapa masyarakat adat juga menginginkan hak milik atas tanah, namun 

yang menjadi permasalahan yaitu jika yang dimintai hak milik adalah tanah ulayat yang 

sebenarnya milik dari suatu kaum adat. Masyarakat Minangkabau merupakan suatu 

kelompok masyarakat hukum adat yang masih memegang teguh hukum adatnya. 

Dalam adat minangkabau tanah ulayat merupakan harta pusaka yang dikuasai secara 

komunal atau bersama-sama. Namun seiring dengan berjalannya zaman, banyak 

masyarakat adat Minangkabau yang kemudian melanggar ketentuan adat tersebut 

karena dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, salah satunya 

mengenai pengalihan tanah ulayat menjadi tanah hak milik. 

 

  

II. TANAH ULAYAT MASYARAKAT HUKUM MINANGKABAU  

SETELAH LAHIRNYA UUPA 

Pengakuan terhadap hukum adat di Indonesia telah diatur dalam Pasal 18B ayat (2) 

UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-

kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih 

hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan 

Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.  

 Dalam Pasal 5 UUPA juga dijelaskan bahwa hukum agraria yang berlaku atas 

bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan 

kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan 

sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam 

Undangundang ini dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatau 

dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. 

 Hukum adat sebagai hukum tidak tertulis bagi masyarakat berfungsi sebagai 

neraca yang dapat menimbang kadar baik atau buruk, salah atau benar, patut atau 

tidak patut, pantas atau tidak pantas atas suatu perbuatan atau peristiwa-peristiwa 

dalam masyarakat. Hukum adat merupakan pilar sosioanthroplologis yang penting dalam 

kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini membuat para legislatif, eksekutif dan 

yudikatif diharapkan untuk dapat menjaga dan mengambil langkah alternatif dan 

progresif terhadap hukum adat yang berada di Indonesia.
3
 

 

A. Sistem Kekerabatan 

Minangkabau merupakan salah satu kelompok etnis yang mendiami daerah Sumatera 

Barat yang mana merupakan suatu masyarakat hukum adat.
4
 Suku Minangkabau 

merupakan salah satu suku bangsa yang memiliki sistem kekerabatan berbeda, unik, 

                                                           
3
  Sujitpto Raharjo, Masyarakat Hukum Adat : Inventarisasi dan Perlindungan Hak (Diterbitkan oleh Komnas 

HAM , MK dan Departemen Dalam Negeri, 2005) at 52. 
4
  Soerojo wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat (Jakarta: Gunung Agung, 1994) at 197. 



418 | Permohonan Tahan Ulayat di Minangkabau Menjadi Tanah Hak Milik 
 

dan langka. Sistem kekerabatan di Minangkabau disebut dengan sistem kekerabatan 

Matrilineal atau Matriakhat.
5
 Matrilineal berasal dari kata “matri” yang artinya ibu dan 

“lineal” yang artinya garis. Jadi matrilineal berarti garis atau hubungan keturunan yang 

berdasarkan kerabat ibu. Dalam segala perbuatan hukum, setiap anak mengutamakan 

keturunan ibu.
6
 Matrilineal yaitu seseorang menjadi anggota suatu masyarakat hukum 

adat yang bersangkutan karena ia menjadi atau menganggap dirinya sebagai keturunan 

dari nenek moyang perempuan atau tunggal ibu yaitu ibu asal yang menurunkan anak 

cucu yang perempuan itu tidak meninggalkan kerabatnya dan tidak  pindah ke kerabat 

suaminya. 

 Saudara kandung disini adalah saudara perempuan yang akan melahirkan 

kemenakan mereka. Andaikata kemenakan yang mereka lahirkan tanpa punya tanah 

milik kaumnya, sama artinya kelahirannya tanpa tanah tumpah darah atau tanah air, 

yang akan menjadi kebanggan kelak. Oleh karena itu, tanah bukanlah semata-mata 

berfungsi ekonomi, melainkan lebih cenderung kepada fungsi sosial. Berdasarkan hal 

tersebut, A.A Navis berpendapat mungkin hal itulah yang mendorong orang 

Minangkabau tersebar dari kampung halamannya, baik mencari pemukiman baru 

ataupun merantau. Mencari pemukiman baru berarti memperoleh tanah, dan jika 

merantau untuk mencari rezeki yang akan dibawa pulang untuk mengurus sawah dan 

ladang. 

 

B. Sistem Penguasaan Tanah Ulayat dan Fungsinya 

1. Sistem Penguasaan Tanah Ulayat 

Pola kepemilikan tanah di Minangkabau tidaklah bersifat individual, melainkan milik 

komunal yaitu milik suku, kaum, dan nagari. Tanah ulayat adalah pusaka yang 

diwariskan turun-temurun, yang haknya berada pada perempuan, namun sebagai 

pemegang hak atas tanah ulayat adalah mamak kepala waris. Penguasaan dan 

pengelolaan tanah ulayat dimaksudkan untuk melindungi dan mempertahankan 

kehidupan serta keberadaan masyarakat (eksistensi kultural). Selain itu, tanah ulayat 

juga mengandung unsur religi, kesejarahan dan bahkan unsur magis serta bertujuan 

memakmurkan rakyat di dalamnya.
7
 

 Tanah ulayat adalah tanah milik komunal yang tidak boleh dan tidak dapat 

didaftarkan atas nama satu atau beberapa pihak saja. Penelitian Jamal et al menemukan 

bahwa seluruh tanah di wilayah Minangkabau, yang persis berhimpit dengan areal 

administratif Provinsi Sumatera Barat, merupakan "tanah ulayat" dengan prinsip 

kepemilikan komunal, yang penggunaan dan pendistribusian penggunaannya tunduk 

kepada pengaturan menurut hukum adat.
8
 Pendapat Singgih Praptodihardjo, tanah 

ulayat adalah warisan dari mereka yang mendirikan nagari, tanah tersebut bukan saja 
                                                           
5
  Yulfian Azrial, Budaya Alam Minangkabau (Padang. Angkasa Raya, 2003) at 5.  

6
  Yaswirman, Hukum Keluarga Adat Dan Islam (Analisis Sejarah, Karakteristik, Dan Prospeknya Dalam 

Masyarakat Matrilineal Minangkabau) (Padang:Universitas Andalas, 2006) at 17.   
7
  Ibid. at 151-152. 

8
  Erizal Jamal et al, Struktur dan Dinamika Penguasaan Lahan pada Komunitas Lokal (Bogor: Laporan 

Penelitian PSE, 2001) at 526.   



419 | LENTERA HUKUM 
 

 

kepunyaan umat yang hidup sekarang tetapi menjadi hak generasi yang akan datang, 

yang hidup kelak dikemudian hari. 

 Hak ulayat merupakan hak tertinggi di Minangkabau yang terpegang dalam 

tangan penghulu,
9
 nagari, suku, kaum atau beberapa nagari. Tanah ulayat diwarisi secara 

turun menurun, yang diwarisi dari nenek moyang ke generasi berikutnya dalam 

keadaan utuh, tidak terbagi-bagi. Sebagaimana dalam fatwa adat menyatakan bahwa
10

 

birik-birik tabang ka sawah (Birik-birik terbang kesawah), dari sawah tabang ka halaman (dari 

sawah terbang ke halaman), basuo ditanah bato (bertemu ditanah bata), dari niniak turun 

kamamak (dari ninik turun ke mamak), dari mamak turuk ka kamanakan (dari mamak terun 

kemanakan), patah tumbuah hilang baganti (patah tumbuh hilang berganti) dan pusako baitu 

juo (pusaka begitu juga ). 

 Ketentuan dari Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007 tentang 

Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari, Pasal 1 angka 7 menerangkan bahwa nagari adalah 

kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-batas wilayah tertentu, dan 

berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat 

berdasarkan filosofi adat Minangkabau (Adat Basandi Syarak, syarak Basandi 

Kitabullah) dan atau berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat dalam wilayah 

Provinsi Sumatera Barat. 

 Setiap nagari di Sumatera Barat mempunyai ulayat dengan batas batas sesuai 

situasi alam sekitarnya, seperti puncak bukit atau sungai. Luas wilayah nagari tidaklah 

sama, tergantung pada kehadiran nagari yang menjadi tetangganya. Jika tidak ada yang 

menjadi tetangganya, maka luasnya ditentukan batas kemampuan perjalanan 

seseorang, mungkin sampai dipuncak bukit, tebing yang curam, sungai yang airnya 

deras atau hutan lebat yang tidak dapat ditembus. Wilayah yang tidak dapat ditembus 

itu disebut hutan lareh ( hutan  lelas ), yang artinya hutan lepas yang tidak ada 

penghuninya. 
11

 

 Menurut A.A Navis dalam satu nagari ada dua jenis ulayat yaitu: ulayat nagari dan 

ulayat kaum. Ulayat nagari berupa hutan yang jadi cagar alam dan tanah cadangan 

nagari, yang disebut hutan tinggi. Ulayat ini berada dibawah kekuasaan penghulu andiko, 

yang juga disebut penghulu keempat suku. Sedangkan ulayat kaum adalah tanah yang 

dapat dimanfaatkan tetapi belum diolah penduduk, yang disebut hutan rendah. Ulayat 

ini dibawah kekuasaan penghulu suku yang jadi puncak atau Tuannya.
12

 

 Sasaran utama pemanfaatan tanah ulayat adalah untuk meningkatkan 

kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat adat. Pemanfaatan tanah ulayat dilakukan 

dengan prinsip saling menguntungkan dan berbagi resiko dengan kaedah “ adat diisi 

limbago dituang” melalui musyawarah  mufakat. 

                                                           
9
  Berdasarkan Pasal 1 angka 12 PERDA Sumatera Barat No. 16 Tahun 2008 penghulu adalah pemimpin 

dalam suku ataupun kaum, ia adalah pemegang hak ulayat atas sako (gelar kebesaran pemimpin) dan 
pusako (harta pusaka berupa tanah ulayat dan harta benda). 

10
   M. Narson,  Dasar Falsafah Adat Minagkabau. (Jakarta: Bulan Bintang, 1971) at 41. 

11
   A.A Navis, Alam Takambang jadi Guru (Jakarta: PT Grafiti Pers, 1986) at 151. 

12
   Ibid, at 152 



420 | Permohonan Tahan Ulayat di Minangkabau Menjadi Tanah Hak Milik 
 

 Tanah ulayat di Minangkabau disebut sebagai harta pusaka. Sistem pemilikan 

harta atau cara seseorang mendapatkan harta tersebut yaitu Pusako (pusaka), Tambilang 

Basi (tembilang besi), yaitu memperoleh harta dengan usaha sendiri, misalnya manaruko. 

Manaruko yaitu membuka lahan yang belum ada pemiliknya atau hutan yang belum 

mempunyai pemilik, hal ini merupakan salah satu usaha dan kebiasaan nenek moyang 

orang Minangkabau pada zaman dahulu, Tambilang Ameh (tembilang emas) yaitu 

memiliki harta dengan cara membeli dan Hibah (pemberian). 

Tanah ulayat di Minangkabau diatur pimpinan adat yang disebut ampek jinih, penghulu 

manti, dubalang dan malin yang berkedudukan di kaum dan atau di suku dan atau di 

nagari. Orang ampek jinih itu ibarat empat badan satu nyawa. Artinya, sistem 

kepemimpinannya satu atap atau satu kotak. Rusak satu  rusak yang lainnya. 

 

2. Fungsi Tanah Ulayat 

Tanah ulayat di Minangkabau dimanfaatkan untuk kesejahteraan anak kemenakan 

atau sebagai tanah cadangan bagi anak kemenakan yang makin bertambah di kemudian 

hari. Dimana mereka dapat mempergunakan tanah tersebut untuk keperluan 

membangun rumah tempat tinggal, tempat berdagang seperti membuat toko atau 

rumah dan toko dan untuk bercocok tanam. Menurut pendapat Prof. Van Vollenhoven 

bahwa fungsi dari ulayat atas tanah ada dua fungsi.
13

 Pertama, fungsi ke dalam daerah-

daerah persekutuan hukum dapat penjelmaannya antara lain anggota-anggota 

persekutuan hukum mempunyai hak-hak tertentu atas objek hak ulayat yaitu 1) Hak 

atas tanah adalah hak untuk membuka tanah, hak untuk memungut hasil, hak untuk 

mendirikan tempat tinggal, hak mengembala; 2) Hak atas air adalah hak untuk 

memakai air, hak untuk menangkap ikan dan Iain-lain dan 3) Hak atas hutan adalah 

hak berburu, hak-hak untuk mengambil hutan dan sebagainya. Kemudian, kembalinya 

hak ulayat atas tanah-tanah dalam hal pemiliknya pergi tak tentu rimbanya, meninggal 

tanpa waris atau tanda-tanda membuka tanah telah punah. Persekutuan menyediakan 

tanah untuk keperluan persekutuan umpamanya tanah perkuburan, jembatan dan 

lainnya. Bantuan kepada persekutuan dalam hal transaksi-transaksi tanah dalam hal ini 

dapat dikatakan kepada persekutuan bertindak sebagai pengatur. 

 Kedua, fungsi ke luar daerah-daerah persekutuan hukum tampak penjelmaannya 

antara lain melarang untuk membeli atau menerima atas gadai tanah (terutama dimana 

tanah ulayat itu masih kuat), untuk mendapat hak memungut hasil atas tanah 

memerlukan izin serta membayar retribusi dan tanggung jawab persekutuan atas reaksi 

adat, dalam hal-hal terjadinya suatu delik dalam wilayahnya yang sipembuatnya tidak 

diketahui. Dapat dilihat fungsi hak atas tanah menurut Pasal 6 UUPA, yang 

menerangkan bahwa: "semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial", sama atau sesuai 

dengan arti fungsi dari tanah ulayat. 

 Fungsi masyarakat hukum adat menurut hukum ulayat adalah sebagai badan 

yang menguasai dan mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan tanah bagi 
                                                           
13

  Van Vollenhoven dalam Syahmunir AM, Eksitensi Tanah Ulayat dalam Perundangundangan di Indonesia 
(Padang : Pusat Pengkajian Islam dan Minagkabau (PPIM), 2000) at 126. 



421 | LENTERA HUKUM 
 

 

kesejahteraan anggota warga masyarakat. Masyarakat hukum adat melalui para pejabat 

adat, berperan sebagai pemelihara dan penjaga yang menjamin keamanan serta 

kenyamanan penggunaan tanah maupun menikmati hasilnya. 

Berdasarkan maksud dan tujuan pencananggan tanah ulayat sebagaimana 

tersebut diatas, maka ajaran adat Minangkabau menetapkan bahwa tanah ulayat tidak 

boleh diperjual belikan dan atau digadaikan kepada orang lain. Komunitas masyarakat 

hukum adat dapat memetik hasil atas tanah ulayat tersebut. Hal ini sesuai dengan 

falsafah yang menyatakan "ainyo buliah diminum, buahnyo buliah dimakan, dijual indak dimakan 

bali, digadai indak dimakan sando". 

Namun demikian dalam beberapa hal tanah ulayat itu boleh digadaikan 

sepanjang tidak menyimpang dari "pusakosalingka suku". Maksudnya adalah bahwa tanah 

ulayat boleh digadaikan kepada anggota suku dengan memenuhi persyaratan tertentu. 

Pertama, Gadih gadang indak balaki (gadis yang sudah dewasa belum bersuami) atau rando 

dapek malu (janda yang mendapat malu). Gadai dapat dilakukan untuk mengawinkan 

kemenakan yang telah dewasa atau janda. Kedua, Rumah gadang katirisan (rumah besar 

bocor atau rusak). Gadai dapat dilakukan dengan maksud untuk memperbaki rumah 

besar yang bersangkutan. Ketiga, Mambangkik batang tarandam (membangkit batang 

terendam). Gadai dapat dilakukan dengan maksud untuk menghidupkan kembali gelar 

Penghulu yang telah lama tidak dipakai. Keempat, Mayiek tabujua di tangah runah (mayat 

terbujur diatas rumah belum dimakamkan). Gadai dapat dilakukan untuk 

menyelenggarakan pemakaman anggota kaum yang meninggal. 

Gambaran diatas dapat terlihat bahwa kepemilikan dan penguasaan tanah ulayat 

di Minangkabau bersifat "kolektif dan sekaligus tidak mengenal kepemilikan yang 

bersifat mutlak. Konsekuensi logisnya adalah tidak mungkin ada pengalihan hak atas 

tanah dari satu person kepada person lain, bahkan pengalihan hak dari satu kaum 

kepada kaum yang lain. Hal ini didasarkan atas kenyataan, bahwa tanah merupakan 

wujud dari ikatan lahir batinsuatu komunitas masyarakat hukum adat dan sekaligus 

sebagai asset bersama suatu komunitas masyarakat hukum adat di Minangkabau. Jika 

suatu kaum tidak mempunyai tanah ulayat lagi, maka runtuh atau hilanglah 

keutuhannya, karena tanah berfungsi sebagai pengikat (batin) antara sesama 

komunitas masyarakat hukum adat. Dengan kata lain tanah ulayat itu dipertahankan 

oleh masyarakat hukum adat Minangkabau tidak lain berdasarkan sifat hubungan yang 

"religio-magis-kosmis", sehingga mempertahankan pengusaan tanah ulayat adalah karena 

"marwah-nya".
14

 

Dalam hal pemanfatan tanah ulayat oleh pihak luar adalah prinsip keseimbangan 

dan keadilan, sebagai mana falsafah adat menyatakan "urang mandapek, awak indak 

kailangan" (orang mendapat, kita tidak kehilangan). Selain dari pemanfaatan tanah 

ulayat akan terkena "Sumpah Pasatiran", yaitu "kaateh indak bapucuak, kabawah indak 

baurek, ditangah digiriak kumbang (keatas tak berpucuk, kebawah tak berurat/berakar dan 

                                                           
14

  Menurut Narullah yang dimaksud dengan "marwah" itu adalah norma-norma dan nilai nilai yang 
paling esensil dari hukum adat itu sendiri. 



422 | Permohonan Tahan Ulayat di Minangkabau Menjadi Tanah Hak Milik 
 

ditengah digiri/dilobang kumbang)"
15

. Sehingga orang yang kena sumpah pasatiran ini 

hidupnya merana sepanjang masa. Sejalan dengan konsep tanah ulayat yang tidak boleh 

diperjual belikan dan digadaikan, maka setelah pemanfatan tanah ulayat dilakukan 

tanah tersebut kembali kepada pemiliknya. 

 

3. Macam-Macam Tanah Ulayat 

Menurut Pasal 1 Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008 tentang 

Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, tanah ulayat terdapat empat macam tanah ulayat, 

yaitu: tanah ulayat nagari, tanah ulayat suku, tanah ulayat kaum, dan tanah ulayat rajo. 

Pertama, adalah Tanah Ulayat Nagari, sebagaimana Pasal 1 angka 8 Peraturan Daerah 

Sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat Dan Pemanfaatannya, 

tanah ulayat nagari adalah tanah ulayat beserta sumber daya alam yang ada diatas dan 

didalamnya merupakan hak penguasaan oleh ninik mamak Kerapatan Adat Nagari 

(KAN) dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat nagari, 

sedangkan pemerintahan nagari bertindak sebagai pihak yang mengatur untuk 

pemanfaatannya. Masyarakat terikat pada hutan jauh baulangi hutan dakek bakundanoi 

(hutan jauh yang dilihat pada saat - saat tertentu untuk membuktikan kepemilikan, 

hutan dekat yang dipelihara) tanah yang pernah diolah (dikerjakan) tetapi ditinggalkan 

kembali (verlaten ground) oleh suku atau anggota suku dalam suatu nagari. Tanah yang 

selalu dihuni atau diolah terus menerus oleh anggota suku (baik dalam bentuk sawah, 

ladangatau arcal pemukiman), tanah yang digunakan sebagai pasar atau termpat 

bermusyawarah. 

 Kedua, adalah Tanah Ulayat Suku, sebagaimana Pasal 1 angka 9 Peraturan Daerah 

Sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat Dan Pemanfaatannya, 

tanah ulayat suku adalah hak milik atas sebidang tanah berserta sumber daya alam 

yang berada diatasnya dan didalamnya merupakan hak milik kolektif semua anggota 

suku tertentu yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh penghulu-penghulu 

suku. Ketiga, yaitu Tanah Ulayat Kaum, sebagaimana Pasal 1 angka 10 Peraturan Daerah 

Sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat Dan Pemanfaatannya, 

tanah ulayat kaum adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang 

ada diatas dan didalamnya merupakan hak milik semua anggota kaum yang terdiri dari 

jurai/paruik yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh mamak jurai/mamak 

kepala waris.  

 Keempat, yaitu Tanah Ulayat Rajo, sebagaimana dalam Pasal 1 angka 11 Peraturan 

Daerah Sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat Dan 

Pemanfaatannya, tanah ulayat rajo adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber 

daya alam yang ada diatas dan didalamnya yang penguasaan dan pemanfaatannya 

diatur oleh laki-laki tertua dari garis keturunan ibu yang saat ini masih hidup 

disebagian Nagari di Propinsi Sumatra Barat. Menurut pendapat Narullah Parpatiah 

Nan Tuo, dikatakan bahwa tanah ulayat rajo ada karena tanah ulayat yang dikuasai 

                                                           
15

  B. Nurdin Yakub, hukum kekerabatan minagkabau, (Jakarta : CV Pustaka Indonesia, 1994) at 13. 



423 | LENTERA HUKUM 
 

 

oleh beberapa nagari. Penguasaan oleh nagari-nagari dapat dilakukan dengan manaruko 

atau membuka lahan baru. 

 

4. Eksistensi Tanah Ulayat 

UUPA berpangkal pada pengakuan hak ulayat dalam huum tanah yang baru, tetapi 

pelaksanaannya dibatasi. Jika pemerintah akan memberikan sesuatu hak atas tanah, 

maka sebagai tanda pengakuan itu masyarakat hukum adat yang  bersangkutan akan 

didengar pendapatnya dan akan diberi “recognitie”, yang memang ia berhak 

menerimanya sebagai pemegang hak ulayat. Dari contoh ini dapat diketahui pula 

bahwa pendirian UUPA mengenai hubungan antara hak ulayat dengan tanah negara. 

Menurut Pasal 28 ayat (1) yang dapat diberikan dengan hak guna usaha ialah tanah-

tanah yang “dikuasai lansung oleh negara”. Tanah-tanah yang demikian itu disebut “tanah 

negara”.  

 UUPA dan hukum tanah nasional tidak menghapus hak ulayat, tetapi juga tidak 

akan mengaturnya. Mengatur hak ulayat dapat berakibat melanggengkan atau 

melestarikan eksistensinya. Padahal perkembangan masyarakat menunjukkan 

kecenderungan akan hapusnya hak ulayat tersebut melalui proses alamiah. Yaitu 

dengan menjadi kuatnya hak-hak perseorangan dalam masyarakat hukum adat yang 

bersangkutan. Kecenderungan tersebut tampak pada perkembangan tanah-tanah kaum di 

Minangkabau, yang dimintakan pendaftaran sebagai tanah milik-bersama. Setelah 

didaftar sebagai milik-bersama, maka diadakan pemecahan menjadi tanah-tanah hak 

milik para anggota kaum masing-masing. Padahal hak penguasaan oleh para anggota 

kaum menurut hukum adat bukan hak milik, melainkan ganggam bauntuak, yang dalam 

hukum tanah nasional dikonversi menjadi hak pakai. 
16

 

Hak ulayat diakui eksistensinya bagi masyarakat hukum adat tertentu, sepanjang 

menurut kenyataanya masih ada. Masih adanya hak ulayat pada suatu masyarakat 

hukum adat tertentu, antara lain dapat diketahui dari kegiatan sehari-hari kepala adat 

dan para tetua adat dalam kenyataannya, sebagai pengemban tugas kewenangan 

mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah ulayat, yang merupakan tanah 

bersama para warga masyarakat hukum adat, yang bersangkutan. Selain diakui, 

pelaksanaannya dibatasi, dalam arti harus sedemikian rupa sehingga sesuai 

kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak 

boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi. 

Demikian dinyatakan dalam Penjelasan Umum UUPA. Merupakan suatu kenyataan, 

bahwa jika dalam usaha memperoleh sebagian tanah ulayat untuk keperluan 

pembangunan, dilakukan pendekatan pada para penguasa adat serta warga masyarakat 

hukum adat yang bersangkutan menurut adat-istiadat setempat, yang hakikatnya 

mengandung pengakuan adanya hak ulayat itu. Tetapi instansi pemerintah atau 

penguasaha yang berusaha memperoleh tanah ulayat semata-mata berdasarkan surat 

                                                           
16

  Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan 
Pelaksanaannya (Jakarta: Djambatan. 1997) at 186. 



424 | Permohonan Tahan Ulayat di Minangkabau Menjadi Tanah Hak Milik 
 

keputusan pejabat atau instansi pemerintah yang diberikan kepadanya, pasti akan 

menghadapi kesulitan dalam pelaksanaannya.  

Hak ulayat yang pada kenyataanya tidak ada lagi, tidak akan dihidupkan kembali. 

Juga tidak akan diciptakan hak ulayat baru. Dalam rangka hukum tanah nasional tugas 

kewenangan yang merupakan unsur hak ulayat, telah menjadi tugas kewenangan 

negara Republik Indonesia, sebagai kuasa dan petugas bangsa. Pada kenyataannya 

kekuatan hak ulayat cenderung berkurang, dengan makin menjadi kuatnya hak pribadi 

para warga atau anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas bagian-

bagian tanah ulayat yang dikuasainya. Oleh karena itu hak ulayat tidak akan diatur dan 

UUPA juga tidak memerintahkan untuk diatur, karena pengaturan hak tersebut akan 

berakibat melansungkan keberadaannya.  

 Secara umum, ada empat syarat yuridis terkait dengan eksistensi hukum adat 

beserta komentar sebagaimana diuraikan oleh Sadjipto Rahardjo adalah sebagai 

berikut.
17

 Pertama, “Sepanjang masih hidup”. Maksud dari sepanjang masih hidup ini 

tidak semata-mata melakukan pengamatan dari luar, melainkan juga dengan menyelami 

perasaan masyarakat setempat (pendekatan partisipatif). Kedua, “Sesuai dengan 

perkembangan masyarakat”. Hal ini mengandung resiko untuk memaksakan (imposing) 

kepentingan umum atas nama “perkembangan masyarakat”, sehingga tidak memberi 

peluang untuk membiarkan dinamika masyarakat setempat berproses sendiri secara 

bebas. Ketiga, “Sesuai dengan prinsip NKRI”. Kelemahan dari paradigma ini adalah 

dengan melihat NKRI dan masyarakat adat sebagai dua antitas yang berbeda dan 

berhadap-hadapan. Keempat, “Diatur dalam undang-undang”. Indonesia merupakan 

negara hukum namun apabila hukum selalu ingin mengatur ranahnya sendiri dan 

merasa cakap untuk itu telah gagal (apabila tidak melibatkan fenomena sosial lainnya). 

 Pemanfaatan tanah ulayat di Minangkabau, sekarang ini sudah dapat 

dimanfaatkan oleh orang lain, bahkan oleh orang atau lembaga asing, asal saja "adat diisi 

limbago dituang" ,maksudnya yaitu dalam hal pemanfaatan oleh orang luar harus melalui 

proses musyawarah dan mufakat. Pemanfaatan tanah ulayat tidaklah berarti 

memilikinya, oleh karena itu dikenal pepatah adat "kabau pai kubangan tingga” artinya 

apabila pemanfaatan tanah ulayat sudah selesai atau tidak dipergunakan lagi akan 

kembali kepada pemilik ulayat. Seluruh peraturan adat itu haruslah diperhatikan dalam 

setiap pemanfaaatan tanah ulayat itu apakah untuk kepentingan masyarakat dalam 

persekutuan hukum adat atau untuk warga atau persekutuan di luar persekutuan. 

  Pemanfaatan tanah bagi warga luar persekutuan tidaklah mudah, sangat 

diperlukan musyawarah dan mufakat, karena telah berurat dan berakar pada 

masyarakat hukum adat, dan kalau diikuti dengan baik untuk pemanfaatan tanah 

ulayat akan memenimalkan kasus-kasus sengketa tanah ulayat yang ada dan yang akan 

ada. Dalam melaksanakan musyawarah dan mufakat haruslah dilakukan dengan 

mendudukan hak dan kewajiban secara seimbang antara kedua belah pihak dan tanpa 

                                                           
17

  Ibid. at 54. 



425 | LENTERA HUKUM 
 

 

tekanan oleh siapapun, apabila ini tidak dilakukan dengan baik, maka akan 

memunculkan kasus sengketa disebabkan ketidak puasan dari masyarakat hukum adat. 

 Ketentuan dalam adat Minangkabau melarang memindahtangankan tanah ulayat 

kaum, kecuali dalam keadaan mendesak, sebagaimana fatwa adat mengatakan "dijua 

indak dimakan budi, digadai indak dimakan sando". Apabila pemindahtanganan tersebut mesti 

terjadi, maka harus atas kepentingan bersama dan mendapat persetujuan dari seluruh 

anggota kaum dan izin dari mamak kepala waris serta diketahui oleh pucuk pimpinan 

adat. Terjadinya pemindahtangan hak ulayat kaum untuk selamanya (dijual) karena 

memang tidak dapat dipungkiri bahwa adat Minangkabau saat ini tengah mengalami 

perubahan yang secara berangsur-angsur dari sifat komunal mengarah kepada sifat 

individual terutama dalam kepemilikan tanah ulayat kaum. Hal ini lebih cenderung 

terjadi di pusat-pusat perkotaan atau daerah-daerah yang dekat dengan pusat kota. 

Seperti masyarakat nagari yang berdampingan dengan kota Bukititnggi yang sudah 

mulai mengarah kepada kehidupan individual, sehingga pemindahtangan tanah ulayat 

kaum tidak merupakan yang sakral lagi, tetapi telah berangsur-angsur merupakan hal 

yang biasa bagi masyarakat. Namun bukan berarti tidak semudah memindahtangankan 

tanah yang merupakan hasil pencaharian, akan tetapi masih memerlukan atau 

mendapatkan persetujuan dari seluruh anggota kaum, karena tanah ini merupakan 

kepunyaan bersama anggota kaum. 

 Pemindahtanganan tanah ulayat hanya bersifat sementara karena tanah di 

Minangkabau merupakan kekayaan yang dimiliki oleh sebuah kaum yang harus dijaga 

keberadaannya. Hal ini juga kerana adanya aturan adat yang menyatakan bahwa tidak 

membenarkan terjadinya alih kepemilikan tanah keluar kerabat matrilineal. Sedangkan 

pemindahtanganan tanah ulayat kaum untuk selamanya biasanya dilakukan oleh kaum 

yang hampir punah dan diupayakan kepada orang yang terdekat terutama orang masih 

dalam persukuan yang sama. Namun berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung 

Nomor: 1029K/Sip/l975 menyatakan bahwa pemindahtanganan tanah ulayat kaum yang 

hampir punah dapat diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki oleh kaum punah 

tersebut. 

 

 

III. PERMOHONAN TANAH ULAYAT MENJADI TANAH HAK MILIK 

Dalam Pasal 22 UUPA dijelaskan bahwa terjadinya hak milik menurut hukum adat 

diatur dengan peraturan pemerintah. Sebagaimana telah diketahui bahwa sampai 

sekarang peraturan pemerintah yang dimaksud dalam pasal tersebut masih belum 

dibentuk juga. Hal ini mengakibatkan permohonan tanah ulayat atau tanah adat 

menjadi tanah hak milik secara hukum masih belum memiliki regulasi yang jelas seperti 

permohonan tanah negara menjadi tanah hak milik.  

Menurut ajaran adat Minangkabau, pengertian tanah dan ulayat dipisahkan, 

pemisahan ini dilatar belakangi dengan dianutnya asas terpisah horizontal yang dalam 

bahasa Belanda disebut Horizontale Spitlsing. Yang dimaksud dengan asas terpisah 

horizontal adalah terpisahnya antara tanah dan ulayat. Masyarakat adat hanya dapat 



426 | Permohonan Tahan Ulayat di Minangkabau Menjadi Tanah Hak Milik 
 

menikmati hasil ulayat dan hak mendirikan banguna diatas tanah tersebut. Apabila 

pemilik bangunan ingin menjual bangunannya tidak serta merta dengan tanah ulayat. 

Adat menfatwakan tanah ulayat sebagai “"ayia nyo buliah diminum, buahnyo buliah dimakan, 

dijual indak dimakan bali, digadai indak dimakan sando“ artinya yaitu “airnya yang boleh 

diminum, buahnya yang boleh dimakan, tanahnya tetap tinggal air dan buah ialah 

ulayat”. Konsekuensi dari asas ini adalah bahwa tanah ulayat di Minangkabau tidak 

boleh dilepaskan kepada orang lain.  

Hukum Adat Minangkabau mempunyai hak dari tanah ulayat atau yang disebut 

harta pusaka tinggi, tidak boleh diperjual belikan, sesuai dengan pameo masyarakat 

Minangkabau, “Dijua ndak dimakan bali, digadai tak dimakan sando” artinya dijual tak 

dimakan beli, digadai tak dimakan sando (sandera). Ajaran adat Minangkabau 

menetapkan bahwa tanah ulayat tidak boleh diperjual belikan dan atau digadaikan 

kepada orang lain. Komunitas masyarakat hukum adat dapat memetik hasil atas tanah 

ulayat tersebut.  

Namun demikian dalam beberapa hal tanah ulayat itu boleh digadaikan 

sepanjang tidak menyimpang dari "pusako lingka suku". Maksudnya adalah bahwa tanah 

ulayat boleh digadaikan kepada anggota suku dengan memenuhi persyaratan tertentu.
18

 

Pertama, Gadih gadang indak balaki (gadis yang sudah dewasa belum bersuami) atau rando 

dapek malu (janda yang mendapat malu). Gadai dapat dilakukan untuk mengawinkan 

kemenakan yang telah dewasa atau janda. Kedua, Rumah gadang katirisan (rumah besar 

bocor atau rusak). Gadai dapat dilakukan dengan maksud untuk memperbaki rumah 

besar yang bersangkutan. Ketiga, Mambangkik batang tarandam (membangkit batang 

terendam). Gadai dapat dilakukan dengan maksud untuk menghidupkan kembali gelar 

Penghulu yang telah lama tidak dipakai. Keempat, Mayiek tabujua di tangah runah (mayat 

terbujur diatas rumah belum dimakamkan). Gadai dapat dilakukan untuk 

menyelenggarakan pemakaman anggota kaum yang meninggal. 

Tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum merupakan hak milik kolektif anggota 

suatu suku atau kaum. Sedangkan tanah ulayat rajo merupakan tanah ulayat yang 

penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh laki-laki tertua dari dari garis keturunan 

ibu. Tanah Ulayat Nagari di bawah pengawasan penghulu-penghulu yang bernaung 

dalam kerapatan nagari. Tanah ulayat nagari adalah milik bersamarakyat dalam nagari 

itu. Tanah ulayat nagari dapat berupa hutan-hutan, semak belukar maupun tanah-

tanah yang berada dalam lingkup dan pengelolahan nagari. Nagari merupakan 

gabungan dari beberapa koto, yang mempunyai suku serta menempati suatu wilayah 

tertentu. Pada umumnya di dalam suatu nagari dijumpai sedikitnya empat buah suku. 

Sebuah nagari dipimpin oleh seorang kepala nagari. Penggunaan tanah ulayat nagari, 

digunakan untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat umum, seperti pembangunan 

mesjid, pembuatan balai adat, dan untuk pasar atau kepentingan lainnya yang dapat 

dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Kepemilikan tanah ulayat nagari tidak 

dapat diubah, kecuali atas kesepakatyan seluruh wakil suku atau kaum yang ada dalam 

                                                           
18

  Yulfian Azrial, supra note 1 at 43-44 



427 | LENTERA HUKUM 
 

 

nagari itu. Karena berkembangnya anak kemenakan, kebiasaan tanah ulayat nagari itu 

diturunkan derajatnya menjadi tanah ulayat suku atau tanah ulayat kaum. 

Tanah ulayat kaum, adalah tanah-tanah yang dikelola oleh kaum secara bersama. 

Kaum adalah gabungan dari pada paruik (seibu) yang berasal dari satu nenek. Tanah 

ulayat kaum merupakan harta pusaka tinggi yang dimanfaatkan untuk kesejahteraan 

anak kemenakan, terutama untuk memenuhi ekonominya. Tanah ulayat kaum yang 

dimiliki secaral komunal itu merupakan harta yang diberikan haknya kepada anggota 

kaum untuk memungut hasilnya, sedangkan hak milik atas nama kaum tersebut. Harta 

ini jika digadaikan harus mendapat persetujuan dari kepala kaum dan seluruh anggota 

kaum lainnya. 

Pengawasan tanah ulayat kaum atau harta pusaka tinggi ini, merupakan tugas 

dari kepala kaum yang disebut tungganai (mamak rumah yang dituakan) dalam jurai dan 

dihormati seperti yang diungkapkan dalam pepatah adat didahulukan salangkah, 

ditinggikan sarantiang (didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting) oleh anggota 

kaumnya. Disamping dibebani dengan kewajiban-kewajiban terhadap anak 

kemenakannya, maka penghulu (mamak adat) juga diberi hak untuk memperoleh sawah 

kegadangan (sawah kebesaran) milik kaumnya. Disamping mempergunakan tanah ulayat 

kaum, ada juga masyarakat menggunakan tanah ulayat suku dan tanah ulayat nagari. 

Apabila pemakaiannya bersifat produktif seperti untuk dijual hasilnya maka di sini 

berlaku ketentuan adat yaitu : karimbo babunggo kayu, kasawah babunggo ampiang, kalauik 

babunggo karang (kerimba berbungga kayu, kesawah berbungga amping, kelaut 

berbungga karang). Dengan arti kata harus dikeluarkan sebagian hasilnya untuk 

kepentingan suku atau nagari. Tetapi tanah ulayat kaum bisa saja dimiliki oleh nagari 

apabila diperlukan untuk kepentingan suku atau nagari. 

Sesuai dengan perkembangan zaman dan bertambahnya jumlah penduduk serta 

kaum kerabat. Sehingga hidup dengan mengandalkan hasil ulayat tidak memungkinkan 

lagi bagi masyarakat kaum adat karena tanah yang dimiliki tidak mengalami 

peningkatan, sedangkan jumlah kerabat semakin berkembang. Hal ini menyebabkan 

adanya keinginan yang bertolak belakang dari anggota kaum yaitu sebagian 

sekelompok menginginkan tetap berpegang teguh pada adat dengan tidak membagi-

bagi tanah ulayat tapi mencari alternatif lain dalam pemecahannya seperti pergi 

merantau atau berdagang, sedangkan sebahagian lagi menginginkan pembagian 

terhadap tanah ulayat yang ada dan akhirnya tanah ulayat itu bisa habis atau hilang. 

Sedangkan tanah ulayat yang belum dibagi diperuntukkan dinyatakan sebagai tanah 

cadangan bagi anak kemenakan dikemudian hari. Tanah ulayat suku dan tanah ulayat 

nagari memiliki hubungan berjenjang dan pencadangan. Bila tanah ulayat suatu kaum 

habis, maka tanah ulayatnya menjadi tanah ulayat suku. Bila suatu tanah ulayat suku 

habis maka tanah ulayatnya beralih menjadi tanah ulayat nagari. Sehingga tanah ulayat 

tidak akan habis. Hal ini sesuai dengan pepatah yang menyatakan bahwa tanah ulayat 

itu bersifat samporono (sempurna) habis. Sementara tanah ulayat rajo, sudah tidak 

diketemukan lagi pada saat ini, karena sudah menjadi tanah cagar budaya yang 

pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah daerah. 



428 | Permohonan Tahan Ulayat di Minangkabau Menjadi Tanah Hak Milik 
 

Maka dari itulah, seseuai dengan perkembangan zaman maka tanah ulayat kaum 

kemudian dapat dijadikan sebagai tanah hak milik karena penguasaanya yang lebih 

sempit yaitu dikuasai oleh jurai atau keluarga, maka potensi untuk bisa dijadikan 

sebagai tanah hak milik lebih besar dibandingkan dengan tanah-tanah yang dikuasai 

oleh nagar, suku maupun oleh penghulu atau rajo. Sebagaimana telah dijelaskan diatas, 

bahwa regulasi mengenai permohonan tanah ulayat menjadi tanah hak milik memang 

belum ada, namun secara adat telah diatur sedemikian rupa dengan prosedur tersendiri.  

Pertama, prosedur pada internal kaum. Dalam mengalihkan hak atas tanah ulayat  

ada internal kaum maka dilakukan sebagai berikut, diantaranya a) anggota kaum 

melakukan musyawarah untuk mufakat. Di dalam muyawarah mufakat oleh seluruh 

anggota kaum atau yang mewakilinya dimana yang memimpin rapat tersebut adalah 

mamak kepala waris. Dalam rapat ini diputuskanlah apakah tanah tersebut dapat di 

jual atau tidak. Dalam mengambil keputusan ini harus mempunyai satu kesepakatan 

bulat, dimana apabila seorang saja tidak setuju untuk menjualnya maka penjualan atas 

tanah tersebut tidak dapat dilakukan; b) Melakukan pembagian atau memutuskan 

bagian mana yang akan dialihkan (dijual). Dalam hal ini setelah diputuskan oleh 

mamak kepala waris yang mana telah mendapat persetujuan dari anggota kaum untuk 

mengalihkan (menjual) sebahagian dari tanah ulayat tersebut, maka ditentukanlah 

pembagiaan atas tanah ulayat tersebut yang mana untuk di jual. Dalam memutuskan 

bagian tanah yang akan dialihkan (dijual) di putuskan sama dalam rapat tersebut dan 

juga dalam memutuskan tersebut harus dengan keputusan bulat atau keseluruhan 

rapat menyetujuinya; c) Hasil rapat diberi tahu kepada penghulu suku. Hasil rapat 

anggota kaum tersebut diberi tahu kepada penghulu suku pisang aur kuning. Dimana 

penghulu suku disini sebagai kepala suku pisang aur kuning berfungsi untuk 

mengetahui bahwa ada salah satu kaumnya akan menjual tanah ulayat kaum. Mamak 

kepala waris akan memberi tahu kepada penghulu suku apa penyebabnya mereka 

menjual sebahagian dari harta kaumnya dan bagian mana yang akan di jual. Setelah 

mendengar semua yang di katakan oleh mamak kepala waris maka barulah penghulu 

suku dapat menyetujuinya. d) Hasil rapat diberi tahu pada Kerapatan Adat Nagari 

(KAN). Hasil dari rapat dan disetujui oleh penghulu suku maka mamak kepala waris 

memberi tahu kepada Kerapatan Adat Nagari supaya ketua dari Kerapatan Adat Nagari 

menyetujui dan mengetahui bahwa ada sebahagian dari tanah ulayat tanah kaum di 

nagarinya ada yang di jual. 

Kedua, prosedur untuk melakukan jual beli kepada pihak pembeli. Tahapan 

prosedur yang dilakukan oleh kaum atau surat-surat yang harus dibuat oleh si penjual 

dalam hal ini anggota kaum adalah a) Ranji, ini yang dipakai adalah ranji kecil yaitu 

ranji anggota kaum. diamana ranji ini paling sedikit 4 (empat) tingkat golongan. Ranji 

yang dibuat oleh kaum dan diketahui dan ditandatangani oleh mamak kepala waris, 

mamak kepala suku, dan ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN). Dalam 

penandatanaganan ranji tersebut diberi materai pada tandatangan mamak kepala suku; 

b) Surat persetujuan anggota kaum, surat persetujuan dibuat oleh mamak kepala waris, 

yang mana isinya adalah pembagian atau harta kaum yang akan dijual harus mendapat 



429 | LENTERA HUKUM 
 

 

persetujuan keseluruhan dari anggota kaum, diamana disini seluruh anggota kaum 

harus dibuatkan namanya baik yang baru lahir, dan menandatangani. Yang 

menandatangani disini adalah umur 17 tahun keatas, sedangkan yang 17 tahun kebawah 

cukup ditulis BU (belum cukup umur). Disertai semua KTP (Kartu Tanda Penduduk); 

c) Surat pernyataan bahwa tanah tersebut akan diserahkan kepada siapa, di sini ditulis 

bahwa tanah tersebut sebelum di jual diserahkan kepada siapa (salah satu anggota 

kaum), diketahui dan ditandatangani oleh mamak kepala waris di beri meterai, mamak 

penghulu suku, Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN), lurah; d) Surat Keterangan, surat 

keterangan menerangkan bahwa letak dari tanah, dikuasai oleh sapa, diketahui dan 

ditandatangani oleh lurah, camat; e) Surat pernyataan pengusaan tanah, di sini 

menyatakan bahwa sebidang tanah yang telah dibagi yang akan di jual tersebut diatas 

namakan siapa, dan ditandatangani oleh bersangkutan, diketahui dan ditandatangani 

oleh mamak kepala waris, ninik mamak kepala suku, pemilik tanah yang berbatas 

dengan tanah tersebut, lurah, camat; f) Surat Pernyataan, di mana surat pernyataan ini 

menyatakan bahwa benar atau asli adalah tandatangan yang menguasai tanah tersebut, 

ditandatangani oleh yang bersangkutan memakai materai dan diketahui oleh mamak 

kepala waris. Dengan adanya kata sepakat dan mentaati prosedur prosedur yang telah 

dibuat maka kaum dalam melaksanakan peralihan hak tanah ulayat berupa jual beli 

akan berjalan lancer dan dikemudian harinya tidak mengakibatkan terjadi masalah atau 

sengketa terhadap status tanah yang telah berubah. 

Setelah prosedur diatas selesai, maka hak ulayat dapat dimohonkan sebagai hak 

milik serta dapat didaftarkan sebagai tanah hak milik sebagaimana sesuai dengan 

prosedur pendaftaran tanah. 

 

 

IV. KESIMPULAN 

Dari beberapa pembahasan di atas, maka dapat diambil beberapa poin penting. 

Pertama, eksistensi Tanah Ulayat Minangkaau dapat terlihat dari masih adanya 

penghormatan dari masyarakat hukum adat Minangkabau itu sendiri. Selain itu, 

pengakuan terhadap tanah ulayat Minangkabau juga telah diatur dalam peraturan 

daerah Sumatera Barat. Dengan demikian, secara tidak lansung, tanah ulayat 

Minangkabau  secara hukum telah diakui keberadaannya.  Kedua, Permohonan tanah 

ulayat menjadi tanah hak milik dalam  hukum adat khususnya di Minangkabau 

memang belum diatur dalam peraturan per-undang-undangan, namun peralihan dai 

tanah ulayat tersebut menjadi milik perorangan atau hak milik dapat dilakukan dengan 

syarat-syarat tertentu yang telah disepakati bersama dengan pemuka adat dan  instansi 

pemerintah.dalam hal ini yang berpotensi untuk bisa dijadikan sebagai tanah hak milik 

adalah tanah ulayat kaum. 

 Saran penulis, dalam rangka mempermudah terjadinya pemindahan maupun 

permohonan tanah ulayat menjadi tanah hak milik maka diperlukan suatu regulasi 

hukum baru yang mengatur bagaimana dan apa saja syarat dari pelepasan tanah ulayat 

tersebut agar tidak terjadi kesewenangan dalam pelepasan tersebut nantinya. Dalam hal 



430 | Permohonan Tahan Ulayat di Minangkabau Menjadi Tanah Hak Milik 
 

ini rancangan undang-undang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat 

hukum adat yang akan dibahas di DPR dalam hal prosedur pengakuan status 

masyarakat hukum adat dan hak ulayat agar dicantumkan menyangkut pendaftaran 

hak ulayat yang disesuaikan dengan peta tata ruangan wilayah dan tata cara hukum 

adat yang berlaku setelah mendapat persetujuan dari persekutuan hukum adatnya dan 

jika instansi pemerintah, badan hukum dan perorangan yang bukan warga masyarakat 

hukum adat memerlukan tanah ulayat dari masyarakat hukum adat tertentu, maka 

dalam hal hak atas tanah tersebut habis masa berlakunya maka tanah tersebut kembali 

menjadi tanah ulayat. 

 

 

DAFTAR PUSTAKA 

A.A Navis, Alam Takambang jadi Guru (Jakarta: PT Grafiti Pers, 1986)  

B. Nurdin Yakub, hukum kekerabatan minagkabau, (Jakarta : CV Pustaka Indonesia, 1994)  

Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, 

Isi Dan Pelaksanaannya (Jakarta: Djambatan. 1997) 

Erizal Jamal et al, Struktur dan Dinamika Penguasaan Lahan pada Komunitas Lokal (Bogor: 

Laporan Penelitian PSE, 2001)  

Fifik Wiryani,  Reformasi Hak Ulayat (Malang :  Setara Press, 200)  

M. Narson,  Dasar Falsafah Adat Minagkabau. (Jakarta: Bulan Bintang, 1971)  

Samun Ismaya, Pengantar Hukum Agraria (Yogyakarta: Graha Ilmu 2011)  

Sujitpto Raharjo, Masyarakat Hukum Adat : Inventarisasi dan Perlindungan Hak (Diterbitkan 

oleh Komnas HAM , MK dan Departemen Dalam Negeri, 2005)  

Soerojo wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat (Jakarta: Gunung Agung, 

1994)  

Van Vollenhoven dalam Syahmunir AM, Eksitensi Tanah Ulayat dalam Perundangundangan di 

Indonesia (Padang : Pusat Pengkajian Islam dan Minagkabau (PPIM), 2000)  

Yulfian Azrial, Budaya Alam Minangkabau (Padang. Angkasa Raya, 2003)  

Yaswirman, Hukum Keluarga Adat Dan Islam (Analisis Sejarah, Karakteristik, Dan Prospeknya 

Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau) (Padang:Universitas Andalas, 2006)