Lentera Hukum, Volume 5 Issue 3 (2018), pp. 463-482 ISSN 2355-4673 (Print) 2621-3710 (Online) https://doi.org/10.19184/ ejlh.v5i3.8809 Published by the University of Jember, Indonesia Available online 31 December 2018 Perlindungan Hukum terhadap Pencipta atas Pencatatan Suatu Ciptaan yang Sama Riko Sulung Raharjo University of Jember, Indonesia rikosul22@gmail.com Khoidin University of Jember, Indonesia khoidin.fh@unej.ac.id Ermanto Fahamsyah University of Jember, Indonesia ermanto_fahamsyah@yahoo.co.id ABSTRACT Copyright recognizes a declarative system in which the state automatically protects a creation after it was born without having to be preceded by registration. Article 64 of Copyrights Act Number 28 of 2014 (Copyright Act) states the registration even though it is not a necessity for the creator. This study aims to examine and analyze the legal consequences, forms of legal protection, as well as the future conception of regulations relating to the recording of a work in common by using legal research as its method. The results of the study indicate that the legal consequences on the similar work to the registration, inter alia, the abolition of the power of law for the registration of works, compensation for the creator, and criminal threats. Based on the theory of legal certainty, a provision is a form of legal certainty provided by the Copyright Law. There is a form of legal protection against the creator of the registration of the similar creation, inter alia, the abolition of the power of the law for registration the work by the court, the creator has the right to compensation, and the creator has the right to sue criminal. Based on the theory of legal protection, a provision is a form of protection provided by the Copyright Law. Based on the theory of legal certainty and the benefits of law, change and renewal can provide legal certainty and legal benefit for the creator and his creation. KEYWORDS: Creator, Recording of Creations, Same Creations. Copyright © 2018 by Author(s) This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. All writings published in this journal are personal views of the authors and do not represent the views of this journal and the author's affiliated institutions. Submitted: October 24, 2018 Revised: October 25, 2018 Accepted: December 09, 2018 HOW TO CITE: Raharjo, Riko Sulung, M. Khoidin & Ermanto Fahamsyah. “Perlindungan Hukum terhadap Pencipta atas Pencatatan Suatu Ciptaan yang Ssama” (2018) 5:3 Lentera Hukum 463-482. 464 | Perlindungan Hukum terhadap Pencipta atas Pencatatan Suatu Ciptaan yang Sama I. PENDAHULUAN Hak kekayaan intelektual adalah hak yang timbul dari hasil pemikiran yang menghasilkan suatu produk yang berguna untuk orang lain. Supramono menjelaskan bahwa hak kekayaan intelektual atau Intellectual Property Rights adalah hak hukum yang bersifat eksklusif yang dimiliki oleh pencipta sebagai hasil aktivitas intelektual dan kreativitas yang bersifat khas dan baru. 1 Supramono menjelaskan bahwa untuk menciptakan sebuah karya cipta bukanlah pekerjaan yang mudah karena membutuhkan kreativitas dan pemikiran seseorang. Kreativitas akan memunculkan sebuah ide. Setelah ide muncul kemudian diikuti dengan pemikiran yang akan menentukan bentuk sebuah ciptaan. 2 Berbagai negara di dunia kini mulai menyadari akan pentingnya pengembangan industri kreatif berbasis hak kekayaan intelektual. Hal tersebut disebabkan perkembangan ekonomi modern yang cenderung mengarah pada perdagangan berbasis ilmu pengetahuan dan komoditi karya-karya intelektual sebagaimana dijelaskan di atas. Saat ini perekonomian dunia sedang memasuki era industri ekonomi kreatif yang disebabkan adanya era globalisasi. Dengan demikian, era globalisasi meniadakan sekat- sekat batas hubungan ekonomi antara negara yang satu dengan negara yang lain. Era globalisasi dan perdagangan bebas telah membawa dampak yang signifikan terhadap aktivitas di seluruh negara di dunia pada umumnya, khususnya negara berkembang. Adanya perkembangan perekonomian dunia yang begitu pesat pada dasarnya harus diikuti oleh perkembangan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Supramono menjelaskan bahwa diperlukan campur tangan negara dengan tujuan untuk menyeimbangkan antara kepentingan pencipta dengan kepentingan masyarakat dan kepentingan negara itu sendiri. 3 Dengan demikian, perlu dibentuk suatu undang- undang yang mampu mengatur tentang ciptaan, sehingga sejalan dengan paham negara hukum sebagaimana telah dijelaskan di awal. Salah satu perkembangan hukum yang terjadi di Indonesia yaitu diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta). Pasal 1 angka 1 UU Hak Cipta menyatakan bahwa hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Abdul Bari Azed dalam Hariyani menjelaskan bahwa bidang hak cipta mengenal sistem deklaratif, yaitu negara melindungi ciptaan secara otomatis setelah terlahir suatu ciptaan tanpa harus didahului pendaftaran atau pencatatan. 4 Pasal 64 UU Hak Cipta menyatakan adanya pencatatan ciptaan meskipun itu bukan suatu keharusan bagi pencipta. Berdasarkan pernyataan pasal tersebut, adanya pencatatan ciptaan mengesampingkan karya cipta yang tidak dicatatkan. Hal ini dikarenakan pada dasarnya pencipta mendapat 1 Gatot Supramono, Hak Cipta dan Aspek-Aspek Hukumnya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 16. 2 Ibid., hlm. 2. 3 Ibid., hlm. 3. 4 Iswi Hariyani, Prosedur Mengurus HAKI yang Benar, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010), hlm. 48. 465 | LENTERA HUKUM perlindungan hukum atas ciptaannya apabila telah mengumumkannya pertama kali di depan umum atau yang dimaksud dengan prinsip deklaratif. Di sisi lain, tidak semua pencipta mencatatkan ciptaannya, tetapi diakui oleh pihak lain dengan cara mencatatkan karya tersebut. Meskipun suatu pencatatan tidak menimbulkan hak, pihak yang mencatatkan karya tersebut dapat memanfaatkan karya tersebut untuk kepentingan ekonomi. Adanya fakta tersebut membuktikan kurangnya kepastian hukum bagi pencipta terkait adanya pencatatan suatu ciptaan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 64 UU Hak Cipta. Sebagaimana contoh kasus sengketa hak cipta yang dinyatakan dalam Putusan Nomor 855 K/Pdt.Sus-HKI/2016, Putusan Nomor 298 K/Pdt.Sus-HKI/2013 dan Putusan Nomor 444 K/Pdt.Sus/2012. Dari ketiga putusan tersebut terdapat pencatatan atas ciptaan yang sama dengan ciptaan yang dimiliki oleh pencipta sebenarnya dan ciptaan tersebut sah tercatat di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Berdasarkan fakta tersebut, pencipta sebagai pihak yang seharusnya mendapat perlindungan atas ciptaannya masih harus membuktikan di pengadilan bahwa karya ciptanya merupakan benar karya cipta miliknya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terjadi ketidakpastian hukum terkait perlindungan terhadap pencipta atas ciptaannya. Di sisi lain, konsideran Menimbang huruf b UU Hak Cipta menyatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan sastra, sudah demikian pesat sehingga memerlukan peningkatan pelindungan dan jaminan kepastian hukum bagi pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait. Berdasarkan penjelasan di atas, demi tercapainya kesejahteraan umum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) perlu dilaksanakan. Salah satu faktor tercapainya kesejahteraan umum yaitu adanya kepastian hukum dari suatu peraturan perundang- undangan yang diterima oleh masyarakat. Dengan demikian, permasalahan yang timbul yaitu akibat hukum atas pencatatan suatu ciptaan yang sama, bentuk perlindungan hukum terhadap pencipta atas pencatatan suatu ciptaan yang sama dan konsepsi kedepan mengenai pengaturan pencatatan suatu ciptaan sehingga dapat memberikan perlindungan hukum terhadap pencipta. Berdasarkan permasalahan tersebut, ada beberapa rumusan masalah dalam penelitian ini. Pertama, apakah akibat hukum atas pencatatan suatu ciptaan yang sama? Kedua, apakah bentuk perlindungan hukum terhadap pencipta atas pencatatan suatu ciptaan yang sama? Ketiga, bagaimana konsepsi ke depan mengenai pengaturan pencatatan suatu ciptaan sehingga dapat memberikan perlindungan hukum terhadap pencipta? Sebagai bentuk pertanggungjawaban secara ilmiah dan moral terhadap keaslian penelitian ini, perlu diuraikan beberapa penelitian-penelitian terdahulu mengenai topik penelitian yang sama dengan penelitian ini. Beberapa penelitian mengenai perlindungan hukum terhadap hak cipta telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya. Pertama, Perlindungan Hukum Karya Cipta Buku Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, pada Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro yang berbentuk tesis hukum dengan tahun 2007 466 | Perlindungan Hukum terhadap Pencipta atas Pencatatan Suatu Ciptaan yang Sama oleh Imam Sya’roni Dziya’urrokhman, Penelitian tentang “Perlindungan Hukum Karya Cipta Buku ditinjau dari Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta”. Hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa perlindungan hukum terhadap pencipta atau penerbit yaitu UU Hak Cipta telah memberikan perlindungan hukum terhadap pencipta maupun penerbit. Terkait pencegahan terjadinya pelanggaran terhadap hak moral dan hak-hak ekonomi pencipta buku, maka dalam penerbitan suatu buku harus diadakan perjanjian tertulis terlebih untuk melindungi hak-hak pengarang dan juga hak-hak penerbit. Kedua, Perlindungan Hukum Pemegang Hak Cipta Terhadap Pembajakan Hak Cipta Lagu atau Musik, pada Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang berbentuk tesis hukum tahun 2008 oleh Dwi Astuti. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa bentuk-bentuk pembajakan hak cipta lagu atau musik dalam terbagi atas beberapa kategori yaitu Pirate, Couterfeit, dan Bootleging. Pengaturan mengenai bentuk-bentuk dan upaya penegakan hukum terhadap pembajakan hak cipta lagu atau musik diatur dalam Pasal 72 ayat (1) sampai dengan ayat (9) UU Hak Cipta. Peranan pemerintah dalam penegakan hukum hak cipta guna menangani kasus pembajakan hak cipta lagu atau musik adalah dengan melakukan perampasan dan pemusnahan barang hasil pembajakan hak cipta. Metodologi merupakan cara kerja bagaimana menemukan atau memperoleh atau menjalankan suatu kegiatan, untuk memperoleh hasil yang konkrit. Adapun metodologi penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif yang berlaku. Pendekatan masalah yang digunakan penulis dalam penelitian ini terbagi menjadi tiga pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), pendekatan konseptual (Conceptual Approach) dan pendekatan kasus (Case Approach). Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach) yaitu suatu pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. 5 Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach) adalah suatu pendekatan yang berasal dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Sehingga dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum, penulis dapat menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. 6 Pendekatan Kasus (Case Approach) yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap. 7 5 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cetakan Ke-12, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2016), hlm. 133. 6 Ibid., hlm. 136-137. 7 Ibid., hlm. 134. 467 | LENTERA HUKUM II. AKIBAT HUKUM PENCATATAN SUATU CIPTAAN YANG SAMA Pelanggaran hak cipta yang hingga saat ini banyak dialami oleh pencipta di berbagai negara di dunia salah satunya adalah pembajakan. Pembajakan tersebut terjadi baik terhadap karya lagu, film, karya tulis dan lain-lain yang diperbanyak ataupun digandakan tanpa seizin pencipta itu sendiri. Pelanggaran hak cipta tersebut pada dasarnya terjadi atas keinginan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memperoleh keuntungan dari segi perekonomian. Hak tersebut disebabkan karena harga karya yang dibajak tersebut lebih terjangkau daripada harga asli karya cipta itu sendiri. Dengan demikian, karya cipta asli pencipta tidak laku terjual, sehingga bukan saja merugikan pencipta, tetapi pada dasarnya juga merugikan perekonomian. Adisumarto dalam Usman menjelaskan bahwa pelanggaran hak cipta atau karya buku sudah terjadi sejak berlakunya Auteurswet 1912 dan makin meningkat hingga berlakunya UU Hak Cipta 1982. Auteurswet pada hakikatnya tidak mempunyai dampak terhadap perlindungan hak cipta. Mengingat masyarakat Indonesia pada saat itu, yaitu masa berlakunya Auteurswet tersebut belum cukup mencapai tingkat pemahaman mengenai arti dan kegunaan hak cipta. Terdapat hambatan kultural atas perlindungan hak cipta pada masa itu. Perlindungan hak cipta secara individual pada hakikatnya merupakan hal yang tidak dikenal di Indonesia. Suatu ciptaan oleh masyarakat dianggap secara tradisional sebagai milik bersama. Tumbuhnya kesadaran bahwa ciptaan itu perlu perlindungan hukum setelah dihadapinya bahwa ciptaan itu mempunyai nilai ekonomi. 8 Menurut siaran pers IKAPI, 15 Februari 1984, pelanggaran hak cipta dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pembajakan dan plagiat. Pembajakan adalah perbuatan memperbanyak ciptaan orang lain sebagaimana aslinya tetapi tanpa izin. Plagiat adalah perbuatan mengambil atau mengutip ciptaan orang lain tanpa disebutkan sumbernya sehingga terkesan sebagai milik sendiri. 9 Jened menjelaskan lebih umum bahwa pada dasarnya pelanggaran hak cipta dapat dikategorikan menjadi pelanggaran langsung (direct infringement), pelanggaran atas dasar kewenangan (authorization of infringements) dan pelanggaran tidak langsung (indirect infringement). Dari uraian di atas maka dapat dijelaskan bahwa pelanggaran langsung dapat berupa tindakan memproduksi dengan meniru karya aslinya. Meski hanya sebagian kecil karya asli yang ditiru, jika merupakan substansial part jelas merupakan suatu pelanggaran, dalam hal ini ditetapkan oleh pengadilan. Contoh sebagaimana dikutip McKeough dalam kasus Walt Disney Productions vs H. John Edwards Publishing Co. P/L. Penggugat hak cipta atas gambar karakter tertentu, seperti “Donald Duck” dan tiga bebek yang bernama “Honey”, “Dewey”, dan “Louie”; seekor anjing “Goofy”; dan seekor keledai “Basil”. Tergugat menerbitkan komik anak-anak yang diberi nama sebagai Super Duck Comics yang menampilkan tokoh “Super Duck”, seekor bebek, seekor anjing, dan 8 Rachmadi Usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual: Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, (Bandung: Alumni, 2003), hlm. 158. 9 Abdukadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan ketiga, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 469-470. 468 | Perlindungan Hukum terhadap Pencipta atas Pencatatan Suatu Ciptaan yang Sama seekor keledai. Tergugat dinyatakan melanggar hak cipta Walt Disney. Pelanggran hak cipta secara langsung termasuk mengadakan pertunjukan atas karya sastra, karya drama dan karya musik tanpa izin pemilik hak cipta. Tindakan pelanggaran lain dalam bentuk pembajakan materi yang dilindungi hak cipta secara tanpa izin, contohnya membuat perbanyakan film dalam media Video Compact Disc (VCD) dan perbanyakan rekaman suara dalam media Compact Disc (CD). Pelanggaran atas Dasar Kewenangan (authorization infringement) tidak dipermasalahkan sisi pelanggaran (an sich) itu sendiri, tetapi penekanannya pada: “Siapa yang akan bertanggung gugat (Who is liable)?”. Pada hakikatnya hal ini untuk meyakinkan bahwa si pencipta atau pemegang hak cipta akan mendapat kompensasi yang layak. Bentuk pelanggaran atas dasar kewenangan ini membebankan tanggung gugat pada pihak-pihak yang dianggap mempunyai kewenangan atas pelaksanaan pekerjaan. Di mana pelanggaran hak cipta itu terjadi, antara lain pemasok pita kosong (supplier blank tape), pihak uneversitas atau kantor dan pihak penyedia jasa internet (internet service provider). Pelanggaran tidak langsung, timbul kerancuan antara pelanggaran langsung dan pelanggaran tidak langsung. Tolok ukur yang dipakai pada pelanggaran tidak langsung (indirect infringement) adalah bahwa “si pelanggar tahu” atau “selayaknya mengetahui” bahwa barang-barang yang terkait dengan mereka adalah hasil penggandaan yang merupakan pelanggaran. Pelanggaran tidak langsung dapat berupa memberikan izin suatu tempat hiburan sebagai tempat melakukan pertunjukan kepada masyarakat yang melanggar hak cipta karena pengelola tempat tersebut seharusnya tahu atau selayaknya mengetahui bahwa perbuatan tersebut merupakan pelanggaran.10 Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat beberapa kategori pelanggaran yang terjadi terkait dengan hak cipta. Berbagai pihak juga dapat menjadi salah satu pihak yang menjadi pelanggar tersebut baik disengaja maupun tidak disengaja, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Sebagaimana dijelaskan di atas, berbagai tindakan tersebut dikatakan sebagai pelanggaran karena pihak tertentu memanfaatkan ciptaan orang lain tanpa seizin pencipta untuk kepentingan ekonomi, sehingga perbuatan tersebut merugikan pencipta. Salah satu bentuk pelanggaran yang penulis teliti yaitu terkait dengan adanya suatu pencatatan atas ciptaan yang sama. Pada dasarnya, dalam hak cipta dianut suatu prinsip yang disebut dengan prinsip deklaratif. Berdasarkan prinsip tersebut, suatu ciptaan dimiliki oleh seorang pencipta apabila ciptaan tersebut pertama kali diumumkan atau dipublikasikan di depan khalayak umum. Dengan demikian, pencipta secara otomatis menerima hak eksklusif atas ciptaan tersebut. Di sisi lain, UU Hak Cipta mengatur mengenai pencatatan atas suatu karya cipta. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 64 UU Hak Cipta bahwa Kemekumham menyelenggarakan pencatatan dan penghapusan ciptaan dan produk hak terkait dan pencatatan ciptaan dan produk hak terkait bukan merupakan syarat untuk mendapatkan hak cipta dan hak terkait. 10 Rahmi Jened, Hukum Hak Cipta (Copyright’s Law), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014), hlm. 215-220. 469 | LENTERA HUKUM Berdasarkan beberapa contoh kasus yang dicantumkan digunakan sebagai penunjang dalam penelitian ini. Pertama, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 855 K/Pdt.Sus-HKI/2016 terkait sengketa hak cipta antara Jemmy Wantono melawan Diesel S.p.A dalam hal seni lukis motif abstrak berbentuk kepala orang dengan judul Diesel-Only-The-Brave yang dipublikasikan pertama kali oleh Diesel di Italia. Akan tetapi, karya tersebut justru dicatatkan oleh Jemmy Wantono di Kemenkumham. Kedua, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 298 K/Pdt.Sus-HKI/2013 terkait sengketa hak cipta antara Juwenda melawan PT. Tunisco Trading Investment dalam hal Seni Kaligrafi Taiba ataupun Taibati dengan kombinasi huruf Arab yang dipublikasikan pada tahun 2007 dan telah tercatat pada tahun 2012 dalam Sertifikat Hak Cipta Seni Kaligrafi Taibati + Huruf Arab dibawah Daftar Nomor 058298. Namun terdaftar pula Seni Logo dengan Judul Ciptaan Taibati + Huruf Arab di bawah Daftar Nomor 057058 tertanggal 17 Februari 2012 atas nama Juwenda. Ketiga, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 444 K/Pdt.Sus/2012 terkait sengketa hak cipta antara Indra Sjuriah melawan Arie Indra Manurung dalam hal sistem investasi dan transaksi jual beli emas/logam mulia dengan menggunakan media internet dalam bentuk karya tulis berjudul “Goldgram” yang terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan sebagaimana tertulis dalam Surat Pendaftaran Ciptaan Nomor 050094 tertanggal 15 Maret 2011. Namun, terdaftar juga karya yang menyerupai karya cipta tersebut atas nama Indra Sjuriah berdasarkan Surat Pendaftaran Ciptaan Nomor 053183 tertanggal 27 September 2011 dengan judul Investasi Cerdas Ala Rencana Emas “Cara Mudah dan Tepat Berinvestasi Emas”. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa adanya pencatatan atas suatu ciptaan memiliki beberapa kelemahan. Adanya pencatatan suatu ciptaan meskipun bukan merupakan suatu kewajiban memiliki arti seolah-olah pihak yang mencatatkan suatu karya cipta dianggap sebagai seorang pencipta. Dengan adanya pencatatan tersebut, pihak yang seharusnya bukan pencipta mendapat hak-hak atas hak cipta tersebut dengan mengesampingkan pencipta yang sebenarnya. Di satu sisi, UU Hak Cipta mengatur mengenai akibat hukum yang terjadi apabila terdapat pencatatan atas suatu ciptaan yang sama, yaitu pembatalan terhadap pencatatan ciptaan tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 74 UU Hak Cipta yang menyatakan bahwa penyebab kekuatan hukum pencatatan ciptaan hapus, diantaranya a) permintaan orang atau badan hukum yang namanya tercatat sebagai pencipta, pemegang hak cipta, atau pemilik hak terkait; b) lampaunya waktu; c) putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap mengenai pembatalan pencatatan ciptaan atau produk hak terkait dan d) melanggar norma agama, norma susila, ketertiban umum, pertahanan dan keamanan negara, atau peraturan perundang- undangan yang penghapusannya dilakukan oleh menteri. Berdasarkan Pasal 74 UU Hak Cipta, apabila dikaitkan dengan beberapa contoh kasus yang telah dijelaskan, maka dapat dikatakan bahwa terhadap pencatatan suatu ciptaan atas karya cipta yang sama dapat dilakukan pembatalan melalui putusan pengadilan. Hal tersebut terjadi apabila pihak yang mencatatkan suatu ciptaan terbukti 470 | Perlindungan Hukum terhadap Pencipta atas Pencatatan Suatu Ciptaan yang Sama oleh pengadilan bukan merupakan karya cipta asli pihak tersebut, melainkan milik orang lain yang lebih dulu mewujudkan karya tersebut. Pencipta yang mengetahui bahwa terjadi pelanggaran terhadap karya ciptanya dapat mengajukan gugatan ke pengadilan niaga terkait pelanggaran tersebut atau menyelesaikan sengketa hak cipta tersebut melalui alternatif penyelesaian sengketa dan arbitrase sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 95 UU Hak Cipta. Berdasarkan Pasal 96 UU Hak Cipta, apabila pencipta atau pemegang hak cipta mengalami kerugian hak ekonomi, maka pencipta berhak memperoleh ganti rugi. Pihak yang menyalahgunakan ciptaan milik orang lain juga dapat dipidana sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 112 sampai dengan Pasal 119 UU Hak Cipta dengan ancaman pidana penjara paling lama empat tahun dan pidana denda paling banyak empat miliar rupiah. Jened menjelasakan bahwa penerapan hukum pidana dalam aktivitas bisnis sebagai ultimum remedium atau the last resort. 11 Mertokusumo mengartikan ultimum remedium sebagai alat terakhir. 12 Dengan demikian, adanya ketentuan pidana terkait pelanggaran hak cipta dalam UU Hak Cipta sebagai ultimum remedium. Berdasarkan teori kepastian hukum sebagaimana dinyatakan Lili Rasjidi bahwa nilai kepastian hukum merupakan nilai yang pada prinsipnya memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga negara dari kesewenang-wenangan. Nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan instrumen hukum positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikannya dalam hukum positif. Dalam hal ini kepastian hukum berkedudukan sebagai nilai yang harus ada dalam setiap hukum yang dibuat dan diterapkan. Sehingga hukum itu dapat memberikan rasa keadilan dan dapat mewujudkan adanya ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 13 Teori kepastian hukum menurut Lili Rasjidi sebagaimana telah dijelaskan di atas, ditinjau dari akibat hukum atas pencatatan ciptaan yang sama, apabila dikaitkan dengan teori kepastian hukum, maka penulis berpendapat bahwa hapusnya kekuatan hukum pencatatan ciptaan melalui pembatalan oleh pengadilan dan pencipta berhak atas ganti rugi. Apabila mengalami kerugian yang berkaitan dengan hak ekonomi merupakan wujud tanggung jawab negara dalam memberikan kepastian hukum bagi pencipta. Dengan demikian, berkaitan dengan akibat hukum atas pencatatan suatu ciptaan yang sama, UU Hak Cipta telah memenuhi teori kepastian hukum. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa akibat hukum yang terjadi atas pencatatan suatu ciptaan yang sama berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 855 K/Pdt.Sus-HKI/2016, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 298 K/Pdt.Sus-HKI/2013 dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 444 K/Pdt.Sus/2012, yaitu hapusnya kekuatan hukum pencatatan ciptaan melalui pembatalan terhadap pencataan ciptaan oleh 11 Ibid., hlm. 230. 12 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hlm. 128. 13 Lili Rasjidi, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, (Bandung: Remaja Roesdakarya Offset, 1994), hlm. 27. 471 | LENTERA HUKUM pengadilan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 74 UU Hak Cipta. Pasal 96 UU Hak Cipta menyatakan bahwa harus ada pemberian ganti rugi kepada pencipta apabila pencipta mengalami kerugian yang berkaitan dengan hak ekonomi. Di samping itu, Pasal 112 hingga Pasal 119 UU Hak Cipta memberikan ancaman pidana penjara dan denda bagi pihak yang menyalahgunakan ciptaan milik pencipta yaitu ancaman pidana penjara paling lama empat tahun dan pidana denda paling banyak empat miliar rupiah. Berdasarkan penjelasan tersebut, apabila dikaitkan dengan teori kepastian hukum, maka adanya ketentuan penghapusan kekuatan hukum pencatatan ciptaan, ganti rugi terhadap pencipta yang mengalami kerugian terkait berbagai permasalahan dalam sengketa hak cipta dan adanya ancaman pidana penjara dan denda bagi pihak yang menyalahgunakan ciptaan milik pencipta merupakan wujud kepastian hukum yang diberikan oleh UU Hak Cipta terhadap pencipta dan ciptaannya terkait akibat hukum atas pencatatan suatu ciptaan yang sama. III. BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENCIPTA ATAS PENCATATAN SUATU CIPTAAN YANG SAMA Konsep dasar ciptaan dalam suatu hak cipta sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Angka 3 UU Hak Cipta yaitu setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang dihasilkan melalui inspirasi, pikiran maupun keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata. Pengertian nyata dalam pasal tersebut yaitu karya cipta diwujudkan dalam suatu bentuk karya cipta, bukan hanya ada diimajinasi dan pikiran seseorang. Dengan demikian, karya cipta tersebut dapat dilihat, didengar, maupun dibaca. Jika hanya ada dalam imajinasi seseorang, maka ciptaan tersebut tidak bisa diakui sebagai ciptaan seorang pencipta. Suatu ide tidak mendapatkan perlindungan dalam hak cipta dikarenakan ide tidak berwujud. Taylor dalam Djumhana dan Djubaedillah menjelasakan bahwa yang dilindungi hak cipta adalah ekspresi dari sebuah ide. Artinya, yang dilindungi hak cipta adalah sudah dalam bentuk nyata sebagai sebuah ciptaan, bukan masih merupakan gagasan. 14 Pasal 41 UU Hak Cipta menyatakan bahwa hasil karya yang tidak dilindungi hak cipta, diantaranya a) hasil karya yang belum diwujudkan dalam bentuk nyata; b) setiap ide, prosedur, sistem, metode, konsep, prinsip, temuan atau data walaupun telah diungkapkan, dinyatakan maupun digambarkan dalam sebuah ciptaan dan c) alat, benda atau produk yang diciptakan hanya untuk menyelesaikan masalah teknis atau yang bentuknya hanya ditujukan untuk kebutuhan fungsional. Pada dasarnya, tidak semua karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra dapat dilindungi hak cipta. Dalam suatu ciptaan, adanya suatu keaslian dalam karya cipta merupakan syarat mutlak diakuinya suatu karya cipta sebagai ciptaan yang dilindungi hak cipta. Kintner dan Lahr dalam Jened menjelaskan bahwa berdasarkan teori hukum dalam hak cipta yang mengatur suatu standar perlindungan hak cipta 14 M. Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual: Sejarah, Teori, dan Pratiknya di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 56. 472 | Perlindungan Hukum terhadap Pencipta atas Pencatatan Suatu Ciptaan yang Sama (standard of copyright’s ability), yaitu originality means the word “originality” ... or the test of “originality”, is not that the work to be a novel or unique. Even a work based upon something already in public domain may well be original. Creativity means creativity as a standard of copyright ability is to great degree simply measure of originality. Altoughh a work that merely copies exactly a prior work may be held not to be original, if the copy entails the independent creative judgement of the author in its productions, that creativity will render the work original. Fixation means a work is fixed in a tangible medium of expression when its embodiment in a copy or phone record by or under the authority of author, is sufficiently permanent or stable to permit to be perceived, reproduced or otherwise communicated for a period of more than transitory duration. A work consisting of sound imager or both, that are being transmitted is fixed for purpose of this title is a fixation of the work is being made simultaneously with its transmission". 15 Berdasarkan penjelasan di atas, perlindungan terhadap ciptaan didasarkan pada keaslian dan kreatifitas yang didasari dengan kemampuan pikiran dan imajinasi serta bentuk yang khas atas suatu karya cipta. UU Hak Cipta pada dasarnya belum mengatur secara rinci mengenai kriteria suatu karya cipta dianggap memiliki kemiripan dan persamaan dengan karya cipta yang lain. Berdasarkan penjelasan di atas, penilaian terhadap karya cipta dalam standar perlindungan hak cipta di Indonesia berdasarkan UU Hak Cipta yang berdasar pada keaslian, kreatifitas, dan perwujudan karya tersebut. Syarat mutlak adanya suatu perlindungan atas karya cipta itu sendiri adalah keaslian dan memiliki wujud nyata. Keaslian sebagaimana dijelaskan di atas memiliki pengertian bahwa ciptaan tersebut merupakan karya cipta yang benar-benar dari eksistensi pencipta. Ciptaan tersebut bukan merupakan karya cipta yang diperoleh dengan cara meniru karya cipta orang lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa pencipta merupakan pihak yang membuat suatu karya cipta tersebut dengan ide yang benar- benar muncul dari pikiran dan kemampuan pencipta sendiri. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa yang dilindungi oleh hak cipta adalah ekspresi dari ide yang diwujudkan dalam suatu karya cipta, sehingga karya cipta tersebut bisa dilihat, didengar, dan dibaca. Berdasarkan penjelasan tersebut, adanya syarat keaslian pada dasarnya memberikan kepastian perlindungan terhadap karya cipta itu sendiri. Ciptaan yang dilindungi oleh hak cipta sebagaimana dijelaskan dalam pengertian ciptaan dalam Pasal 1 Angka 3 UU Hak Cipta, ruang lingkupnya berada dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Berdasarkan Pasal 40 UU Hak Cipta, ciptaan yang dilindungi oleh hak cipta dalam ketiga bidang tersebut mencakup ciptaan yang meliputi buku, karya tulis, desain arsitektur, musik, tari, fotografi, alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan dan lain sebagainya. Pelindungan tersebut termasuk pelindungan terhadap ciptaan yang tidak atau belum dilakukan pengumuman tetapi sudah diwujudkan dalam bentuk nyata yang memungkinkan penggandaan ciptaan tersebut. Berdasarkan penjelasan pasal di atas, terdapat berbagai kriteria ciptaan yang mendapat perlindungan dari hak cipta. Di satu sisi, terdapat beberapa kriteria suatu karya cipta yang tidak dilindungi oleh hak cipta. Kriteria ciptaan tidak mendapat perlindungan dari hak cipta disebabkan ciptaan tersebut dibentuk demi kepentingan 15 Rahmi Jened, supra note 10., hlm. 79-80. 473 | LENTERA HUKUM umum yang mana penciptanya adalah lembaga pemerintahan dan lembaga negara. Dengan demikian, setiap orang dapat memperbanyak ciptaan tersebut tanpa perlu khawatir akan pelanggaran terhadap hak cipta. Berdasarkan Pasal 42 UU Hak Cipta, ciptaan yang tidak ada hak cipta atas hasil karya tersebut berupa hasil rapat terbuka lembaga negara, peraturan perundang-undangan, pidato kenegaraan atau pidato pejabat pemerintah, putusan pengadilan atau penetapan hakim dan kitab suci atau simbol keagamaan. Berdasarkan penjelasan di atas, adanya ketentuan mengenai kriteria ciptaan yang dilindungi dan tidak mendapat perlindungan hak cipta merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap ciptaan. Terdapat beberapa contoh kasus yang digunakan penulis sebagai penunjang dalam penelitian ini. Pertama, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 855 K/Pdt.Sus-HKI/2016 terkait sengketa hak cipta antara Jemmy Wantono melawan Diesel S.p.A dalam hal seni lukis motif abstrak berbentuk kepala orang dengan judul Diesel-Only-The-Brave yang dipublikasikan pertama kali oleh Diesel di Italia. Namun, dicatatkan oleh Jemmy Wantono di Kemenkumham. Kedua, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 298 K/Pdt.Sus- HKI/2013 terkait sengketa hak cipta antara Juwenda melawan PT. Tunisco Trading Investment dalam hal Seni Kaligrafi Taiba ataupun Taibati dengan kombinasi huruf Arab yang dipublikasikan pada tahun 2007. Adapun karya tersebut telah tercatat pada tahun 2012 dalam Sertifikat Hak Cipta Seni Kaligrafi Taibati + Huruf Arab di bawah Daftar Nomor 058298. Namun, terdaftar pula Seni Logo dengan Judul Ciptaan Taibati + Huruf Arab di bawah Daftar Nomor 057058 tanggal daftar 17 Februari 2012 atas nama Juwenda. Ketiga, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 444 K/Pdt.Sus/2012 terkait sengketa hak cipta antara Indra Sjuriah melawan Arie Indra Manurung dalam hal sistem investasi dan transaksi jual beli emas/logam mulia dengan menggunakan media internet dalam bentuk karya tulis berjudul “Goldgram” yang terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan. Sebagaimana tertulis dalam Surat Pendaftaran Ciptaan Nomor 050094 tanggal 15 Maret 2011. Namun, terdaftar juga karya yang menyerupai karya cipta tersebut atas nama Indra Sjuriah berdasarkan Surat Pendaftaran Ciptaan Nomor 053183 tanggal 27 September 2011 dengan judul Investasi Cerdas Ala Rencana Emas Cara Mudah dan Tepat Berinvestasi Emas. Berdasarkan uraian beberapa contoh kasus di atas, merujuk pada permasalahan pertama bahwa adanya pencatatan atas suatu ciptaan memiliki beberapa kelemahan. Adanya pencatatan suatu ciptaan meskipun bukan merupakan suatu kewajiban memiliki arti seolah-olah pihak yang mencatatkan suatu karya cipta dianggap sebagai seorang pencipta. Dengan adanya pencatatan tersebut, maka pihak yang seharusnya bukan pencipta mendapat hak-hak atas hak cipta tersebut dengan mengesampingkan pencipta yang sebenarnya. Pada contoh kasus pertama dan contoh kasus kedua di atas, karya cipta berbentuk seni lukis motif abstrak berbentuk kepala orang dengan judul Diesel-Only-The-Brave dan Seni Kaligrafi Taiba ataupun Taibati dengan kombinasi Huruf Arab memiliki bentuk dan tulisan yang sama persis dengan karya cipta aslinya. Pada contoh kasus ketiga yang berkaitan dengan sistem investasi dan transaksi jual beli 474 | Perlindungan Hukum terhadap Pencipta atas Pencatatan Suatu Ciptaan yang Sama emas/logam mulia dengan menggunakan media internet dalam bentuk karya tulis berjudul “Goldgram” dengan karya Investasi Cerdas Ala Rencana Emas “Cara Mudah dan Tepat Berinvestasi Emas” memiliki ide yang sama dalam perwujudannya. Berdasarkan penjelasan di atas, pihak yang mengklaim bahwa karya cipta milik pencipta sebenarnya merupakan miliknya tidak memperhatikan syarat ciptaan yang mendapat perlindungan dari hak cipta. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, syarat ciptaan mendapat perlindungan dari hak cipta yaitu apabila karya cipta itu asli dan memiliki bentuk yang khas. Pihak yang mengklaim bahwa karya cipta tersebut merupakan miliknya mendapat ide atas karyanya dengan cara meniru karya cipta orang lain dan dicatatkan pada Kemenkumham dengan atas namanya. Atas dasar hal tersebut, terjadi pelanggaran hak cipta terkait dengan pencatatan atas ciptaan yang sama. Sebagaimana Pasal 74 UU Hak Cipta menyatakan bahwa penyebab kekuatan hukum pencatatan ciptaan hapus, diantaranya a) permintaan orang atau badan hukum yang namanya tercatat sebagai pencipta, pemegang hak cipta, atau pemilik hak terkait; b) lampaunya waktu; c) putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap mengenai pembatalan pencatatan ciptaan atau produk hak terkait; dan d) melanggar norma agama, norma susila, ketertiban umum, pertahanan dan keamanan negara, atau peraturan perundang-undangan yang penghapusannya dilakukan oleh menteri. Berdasarkan Pasal 74 UU Hak Cipta di atas, dapat dikatakan bahwa terhadap pencatatan suatu ciptaan atas karya cipta yang sama dapat dilakukan pembatalan melalui putusan pengadilan. Hal tersebut terjadi apabila pihak yang mencatatkan suatu ciptaan terbukti oleh pengadilan bukan merupakan karya cipta asli pihak tersebut, melainkan milik orang lain yang lebih dulu mengumumkan atau mempublikasikan ciptaannya di depan umum. Pencipta yang mengetahui bahwa terjadi pelanggaran terhadap karya ciptanya dapat mengajukan gugatan ke pengadilan niaga. Dapat dengan alternatif lain misal dengan menyelesaikan sengketa hak cipta tersebut melalui alternatif penyelesaian sengketa dan arbitrase sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 95 UU Hak Cipta. Berdasarkan Pasal 96 UU Hak Cipta, apabila pencipta atau pemegang hak cipta mengalami kerugian hak ekonomi, maka berhak memperoleh ganti rugi. Adanya pembatalan terhadap pencatatan dan ganti rugi atas kerugian yang diperoleh merupakan bentuk perlindungan terhadap pencipta. Pasal 112 sampai dengan Pasal 119 UU Hak Cipta menegaskan bahwa akan dipidana seseorang yang menyalagunakan karya orang lain yaitu dengan ancaman pidana penjara paling lama empat tahun dan pidana denda paling banyak empat miliar rupiah. Sebagaimana telah dijelaskan di awal bahwa adanya ketentuan pidana dalam UU Hak Cipta sebagai ultimum remedium. Berdasarkan teori perlindungan hukum menurut Fitzgerald yang menjelaskan bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak. Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan 475 | LENTERA HUKUM kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi. Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum yang lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat. Pada dasarnya kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan perilaku antara anggota- anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat". 16 Berdasarkan teori perlindungan hukum menurut Fitzgerald di atas, maka hak- hak yang seharusnya dapat dinikmati masyarakat benar-benar diatur secara tegas oleh hukum itu sendiri. Ditinjau dari bentuk perlindungan hukum terhadap pencipta atas pencatatan ciptaan yang sama, apabila dikaitkan dengan teori perlindungan hukum, maka perlindungan berkaitan dengan pencatatan suatu ciptaan dengan cara membatasi kepentingan pihak lain yang mengklaim ciptaan orang lain. Hal ini dapat dalam bentuk penghapusan pencatatan suatu ciptaan yang sama dan pemberian ganti rugi apabila pencipta mengalami kerugian atas adanya pencatatan ciptaan yang sama. Dengan demikian, hukum yang dalam permasalahan ini adalah UU Hak Cipta memiliki otoritas tertinggi dalam mengatur dan melindungi kepentingan pencipta sebagai pemilik sah suatu ciptaan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bentuk perlindungan terhadap pencipta atas pencatatan suatu ciptaan yang sama berdasarkan Putusan MA Nomor 855 K/Pdt.Sus-HKI/2016, Putusan MA Nomor 298 K/Pdt.Sus-HKI/2013, dan Putusan MA Nomor 444 K/Pdt.Sus/2012, yaitu melalui penghapusan kekuatan hukum pencatatan ciptaan melalui pembatalan terhadap pencataan ciptaan oleh pengadilan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 74 UU Hak Cipta. Pasal 96 UU Hak Cipta menyatakan bahwa pencipta berhak memperoleh ganti rugi apabila mengalami kerugian yang berkaitan dengan hak ekonomi. Selain itu, Pasal 112 hingga 119 UU Hak Cipta juga menegaskan bahwa pencipta berhak untuk menuntut secara pidana pihak yang menyalahgunakan ciptaannya yaitu dengan ancaman pidana penjara paling lama empat tahun dan pidana denda paling banyak empat miliar rupiah. Berdasarkan penjelasan tersebut ditinjau dari teori perlindungan hukum, adanya ketentuan penghapusan kekuatan hukum pencatatan ciptaan, ganti rugi terhadap pencipta yang mengalami kerugian terkait berbagai permasalahan dalam sengketa hak cipta, dan adanya ancaman pidana penjara dan denda merupakan wujud perlindungan hukum yang diberikan oleh UU Hak Cipta terhadap pencipta atas karya cipta yang merupakan hasil dari pikiran, ide, kreatifitas, dan kemampuan yang dimiliki pencipta itu sendiri. IV. KONSEPSI KEDEPAN MENGENAI PENGATURAN PENCATATAN SUATU CIPTAAN Pengertian hak cipta sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Angka 1 UU Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi 16 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Cetakan Ke-5, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 53. 476 | Perlindungan Hukum terhadap Pencipta atas Pencatatan Suatu Ciptaan yang Sama pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan pasal tersebut, dapat dikatakan bahwa perlindungan terhadap hak cipta timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif. Konsep otomatis tersebut memiliki arti bahwa perlindungan terhadap hak cipta dimulai dan diberikan tanpa melalui proses pencatatan ataupun pendaftaran. Sebagaimana telah dijelaskan di awal bahwa prinsip deklaratif pada dasarnya pencipta mendapat perlindungan hukum atas ciptaannya apabila telah mengumumkan pertama kali ciptaannya di depan umum. Maksud dari pernyataan tersebut adalah ciptaannya mendapat perlindungan dari hak cipta apabila ciptaan tersebut sudah memiliki wujud yang nyata, sehingga orang lain dapat melihat, mendengar, dan membaca ciptaan tersebut. Sebagaimana ketentuan Article 5 (2) Berne Convention yang menyatakan bahwa the enjoyement and the exercise of this rights shall not be subject to any formality; such enjoyement and such exercise shall be independent of the existnce of protection in the country of origin of the work. Consequently, apart from the provisions ... the extend of protection ... shall be governed exclusive by the laws of the country where protection is claimed”. 17 Jened menjelaskan bahwa hak cipta merupakan perwujudan Hak Asasi Manusia yang lahir secara otomatis sejak suatu ciptaan memenuhi persyaratan hak cipta (standart of copyrights ability) diciptakan oleh Tuhan. 18 Adanya perlindungan otomatis yang dimiliki hak cipta dapat berlaku apabila suatu ciptaan telah memenuhi syarat keaslian dan memiliki wujud yang nyata. Dengan demikian, timbul suatu pengakuan atas ciptaan tersebut. Apabila suatu ciptaan belum memenuhi syarat-syarat tersebut, maka karya tersebut tidak dapat diberikan perlindungan dari hak cipta karena belum termasuk kriteria suatu ciptaan. Hal ini berbeda dengan bentuk kekayaan intelektual lain yang perlu suatu pencatatan atau pendaftaran untuk mendapat suatu pengakuan hak atas suatu karya. Pasal 64 UU Hak Cipta menyatakan adanya pencatatan ciptaan meskipun itu bukan suatu keharusan bagi pencipta. Berdaskan pasal tersebut, adanya pencatatan bukan merupakan suatu keharusan karena pada dasarnya hak cipta telah mendapat perlindungan dan pengakuan tanpa harus melalui pencatatan. Bintang dan Dahlan menjelaskan bahwa fungsi pendaftaran atau pencatatan hanyalah sebagai alat pembuktian bahwa pencipta berhak atas hak cipta. Pendaftar tetap dianggap sebagai pencipta sampai ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya di pengadilan. 19 Berdasarkan penjelasan di atas, penulis berpendapat bahwa meskipun adanya pencatatan suatu ciptaan bukan merupakan suatu keharusan bagi pencipta. Akan tetapi, timbul suatu kecenderungan bahwa pihak yang telah mencatatkan suatu karya cipta merupakan pihak yang secara sah memiliki hak atas ciptaan tersebut. Meskipun pada dasarnya pencatatan terhadap ciptaan tidak menimbulkan hak. Dengan sudah dicatatkannya suatu karya cipta tersebut, pihak yang mendapatkan surat pencatatan tersebut dapat menikimati hak moral dan dapat memanfaatkan hak ekonomi yang secara otomatis timbul dengan adanya pencatatan tersebut. Di sisi lain, belum tentu 17 Rahmi Jened, supra note 10., hlm. 103. 18 Ibid. 19 Sanusi Bintang dan Dahlan, Pokok-Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 88. 477 | LENTERA HUKUM pihak yang telah mencatatkan suatu karya cipta tersebut merupakan pencipta asli dari ciptaan tersebut, karena dimungkinkan bahwa pihak tersebut memperoleh karya tersebut dengan cara meniru dan menjiplak karya orang lain. Dengan demikian, pencipta asli dari ciptaan tersebut dirugikan dengan adanya pencatatan atas ciptaan. Hal inilah yang sejak awal menjadi dasar bagi penulis dalam memberikan pernyataan bahwa adanya pencatatan terhadap suatu ciptaan memiliki beberapa kelemahan dan mengesampingkan adanya prinsip deklaratif di dalam hak cipta. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa, pada dasarnya hak cipta diperoleh bukan karena adanya suatu pencatatan. Timbulnya perlindungan terhadap hak cipta dimulai sejak ciptaan itu terwujud dan bukan ditimbulkan karena adanya pencatatan. Dengan demikian, diperlukannya suatu pencatatan atas ciptaan bergantung pada kepentingan pencipta sendiri, karena UU Hak Cipta tidak mengharuskan pencipta mendaftarkan ciptaannya. Jened menjelaskan bahwa konsep pendaftaran ciptaan disebut dengan Stelsel Negatif Deklaratif. “Negatif” dalam arti bahwa semua permohonan pendaftaran ciptaan akan diterima tanpa penelitian keabsahan hak si pemohon, kecuali jelas-jelas ada pelanggaran. “Deklaratif” berarti bahwa pendaftaran tidak mutlak, pendaftaran berkaitan dengan kekuatan bukti. 20 Usman menjelaskan bahwa sistem pendaftaran atau pencatatan ciptaan yang dianut saat ini adalah sistem pendaftaran negatif deklaratif sebab pendaftaran ciptaan itu tidak mutlak harus dilakukan. Dalam hal ini pengumuman pertama suatu ciptaan diperlakukan sama dengan pendaftaran. Pendaftan ciptaannya pun dilakukan secara pasif, artinya semua permohonan pendaftaran ciptaan diterima dengan tidak terlalu mengadakan penelitian mengenai hak pemohon, kecuali jika sudah jelas ternyata ada pelanggaran hak cipta. Karena itu, kekuatan hukum dari suatu pendaftaran ciptaan dapat hapus dengan dinyatakan batal oleh putusan pengadilan.21 Berdasarkan beberapa contoh kasus yang digunakan penulis sebagai penunjang penelitian ini. Pertama, berdasarkan Putusan MA Nomor 855 K/Pdt.Sus-HKI/2016 terkait sengketa hak cipta antara Jemmy Wantono melawan Diesel S.p.A dalam hal seni lukis motif abstrak berbentuk kepala orang dengan judul Diesel-Only-The-Brave yang dipublikasikan pertama kali oleh Diesel di Italia. Namun, dicatatkan oleh Jemmy Wantono di Kemenkumham. Kedua, berdasarkan Putusan MA Nomor 298 K/Pdt.Sus- HKI/2013 terkait sengketa hak cipta antara Juwenda melawan PT. Tunisco Trading Investment dalam hal Seni Kaligrafi Taiba ataupun Taibati dengan kombinasi huruf Arab yang dipublikasikan pada tahun 2007. Dan karya tersebut telah tercatat pada tahun 2012 dalam Sertifikat Hak Cipta Seni Kaligrafi Taibati + Huruf Arab di bawah Daftar Nomor 058298. Akan tetapi, terdaftar pula Seni Logo dengan Judul Ciptaan Taibati + Huruf Arab dibawah Daftar Nomor 057058 tanggal daftar 17 Februari 2012 atas nama Juwenda. Ketiga, berdasarkan Putusan MA Nomor 444 K/Pdt.Sus/2012 terkait sengketa hak cipta antara Indra Sjuriah melawan Arie Indra Manurung dalam hal sistem investasi dan transaksi jual beli emas/logam mulia dengan menggunakan 20 Rahmi Jened, supra note 10, hlm. 104. 21 Rachmadi Usman, supra note 8, hlm. 138. 478 | Perlindungan Hukum terhadap Pencipta atas Pencatatan Suatu Ciptaan yang Sama media internet dalam bentuk karya tulis berjudul “Goldgram” yang terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan. Sebagaimana tertulis dalam Surat Pendaftaran Ciptaan Nomor 050094 tanggal 15 Maret 2011. Namun, terdaftar juga karya yang menyerupai karya cipta tersebut atas nama Indra Sjuriah berdasarkan Surat Pendaftaran Ciptaan Nomor 053183 tanggal 27 September 2011 dengan judul Investasi Cerdas Ala Rencana Emas “Cara Mudah dan Tepat Berinvestasi Emas”. Berdasarkan beberapa contoh kasus di atas, timbulnya permasalahan diakibatkan adanya pencatatan terhadap suatu ciptaan. Dalam kasus pertama terkait seni lukis motif abstrak berbentuk kepala orang dengan judul Diesel-Only-The-Brave. Kasus kedua terkait Seni Kaligrafi Taiba ataupun Taibati dengan kombinasi Huruf Arab. Kasus ketiga terkait sistem investasi dan transaksi jual beli emas/logam mulia dengan menggunakan media internet dalam bentuk karya tulis berjudul “Goldgram” diakui oleh pihak lain sebagai karyanya dan dicatatkan dengan atas namanya. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa timbul suatu kecenderungan bahwa pihak yang telah mencatatkan suatu karya cipta merupakan pihak yang secara sah memiliki hak atas ciptaan tersebut. Meskipun pada dasarnya pencatatan terhadap ciptaan tidak menimbulkan hak. Atas dasar kepemilikian surat pencatatan atau pendaftaran ciptaan tersebut, pihak lain yang pada dasarnya bukan merupakan pencipta asli dari karya cipta tersebut dapat menikmati hak-hak terkait karya cipta tersebut. Hal tentu akan merugikan pencipta asli dari karya cipta tersebut. Jened menjelaskan bahwa tidak dapat dipungkiri akan sangat sulit untuk membuktikan adanya hak cipta, lebih-lebih untuk karya cipta yang tidak dipublikasikan oleh penciptanya. Akan tetapi, tetap diakui oleh pihak lain sebagai karya ciptaanya. 22 Lebih lanjut Jened menjelaskan bahwa keuntungan apabila suatu ciptaan didaftarkan ialah bahwa orang yang mendaftarkan ciptaan tersebut dianggap sebagai penciptanya. Sebaliknya ciptaan yang tidak didaftarkan akan sangat sulit membuktikannya. Pencipta harus berupaya untuk mendayagunakan segala alat bukti untuk membuktikan keabsahan haknya. 23 Berdasarkan penjelasan tersebut, pencipta akan menjadi pihak yang akan dirugikan atas adanya pencatatan ciptaan, karena ciptaan yang tidak dicatatkan akan lebih sukar dan memakan waktu dalam pembuktian ciptaannya. Apabila pencipta melakukan gugatan, maka beban pembuktian ada di pencipta sebagai Penggugat. Berdasarkan beberapa contoh kasus di atas, ditinjau dari kasus kedua dan ketiga yang mana terdapat pencatatan ganda atas ciptaan yang sama menandakan bahwa kurangnya pemeriksaan yang dilakukan oleh menteri terhadap ciptaan yang akan dicatatkan. Seharusnya Kemenkumham melakukan pemeriksaan secara mendalam terhadap pemohonan pengajuan pencatatan suatu ciptaan. Sehingga tidak terjadi pencatatan ganda atas ciptaan yang sama. Dengan demikian, baik UU Hak Cipta ataupun lembaga pemerintah yang terkait dalam UU Hak Cipta dapat memberikan kepastian hukum bagi pencipta maupun ciptaannya. Berdasarkan teori kepastian 22 Rahmi Jened, supra note 10, hlm. 104. 23 Ibid., hlm. 106. 479 | LENTERA HUKUM hukum sebagaimana dinyatakan Lili Rasjidi bahwa nilai kepastian hukum merupakan nilai yang pada prinsipnya memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga negara dari kesewenang-wenangan. Sehingga hukum memberikan tanggung jawab pada negara untuk menjalankannya. Nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan instrumen hukum positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikannya dalam hukum positif. Dalam hal ini kepastian hukum berkedudukan sebagai nilai yang harus ada dalam setiap hukum yang dibuat dan diterapkan. Sehingga hukum itu dapat memberikan rasa keadilan dan dapat mewujudkan adanya ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 24 Berdasarkan teori kepastian hukum di atas, kepastian hukum berkedudukan sebagai nilai yang harus ada dalam setiap hukum yang dibuat dan diterapkan. Sehingga hukum itu dapat memberikan rasa keadilan dan dapat mewujudkan adanya ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. UU Hak Cipta memiliki kewajiban untuk memberikan kepastian hukum bagi pencipta dan ciptaannya. Dengan demikian, timbul rasa keadilan dan dapat mewujudkan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat. Apabila setiap hukum yang dibuat dan diterapkan belum mampu mewujudkan kepastian hukum, maka hukum yang dibuat dan yang diterapkan tersebut belum memenuhi unsur nilai sehingga perlu diperbaiki untuk dapat mewujudkan adanya ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Berkaitan dengan permasalahan pencatatan ciptaan yang sama sebagaimana diuraikan di atas. Hal ini disebabkan karena belum diwujudkannya kepastian hukum terkait pencatatan ciptaan yang mana masih menimbulkan permasalahan bagi pencipta, maka Pasal 64 UU Hak Cipta masih perlu diperbaiki untuk dapat mewujudkan adanya ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Demi kepentingan kepastian hukum bagi pencipta penulis menyarankan adanya perubahan dan pembaharuan atas pencatatan ciptaan dalam hak cipta. Ada beberapa pembaharuan yang perlu dilakukan. Pertama, penambahan wewenang dan prosedur dalam melakukan pemeriksaan bagi Kemenkumham dalam hal pencatatan suatu ciptaan. Hak cipta pada dasarnya menganut prinsip deklaratif, artinya suatu karya cipta mendapat perlindungan dari hak cipta apabila karya cipta tersebut menjadi karya asli pertama yang diwujudkan dan diumumkan sehingga dapat dilihat, didengar, dan dibaca orang lain. Deklaratif berarti bahwa adanya pencatatan bukan merupakan hal yang mutlak, sehingga tidak diharuskannya pencatatan suatu ciptaan oleh pencipta. Dengan demikian, perlindungan hak cipta sifatnya adalah otomatis. Dengan menitikberatkan pada ketentuan tersebut, hal yang perlu dilakukan untuk memberikan kepastian hukum kepada pencipta terkait pencatatan suatu ciptaan, yaitu dengan melakukan penambahan wewenang Kemenkumham. Wewenang yang dimaksud adalah terkait dengan wewenang pemeriksaan secara mendalam atas adanya suatu permohonan pencatatan suatu ciptaan. Pemeriksaan yang dimaksud adalah Kemenkumham tidak hanya melakukan pemeriksaan secara formalitas saja. Sebagaimana yang terjadi khususnya pada kasus kedua dan ketiga, terjadi pencatatan 24 Lili Rasjidi, supra note 13, hlm. 27. 480 | Perlindungan Hukum terhadap Pencipta atas Pencatatan Suatu Ciptaan yang Sama ganda atas ciptaan yang sama. Hal ini menunjukan bahwa kurangnya pemeriksaan atas adanya permohonan pencatatan suatu ciptaan. Dengan demikian, adanya penambahan wewenang dan prosedur dalam melakukan pemeriksaan terhadap permohonan pencatatan suatu ciptaan dapat mengurangi adanya pelanggaran di bidang hak cipta. Kedua, perubahan dan pembaharuan yang perlu dilakukan adalah semua ciptaan sejak pertama kali diwujudkan dan diumumkan. Wajib dicatatkan pada Kemenkumham, meskipun kurang sesuai dengan prinsip deklaratif. Hal ini bertujuan untuk menghindari adanya pengakuan ciptaan oleh pihak lain selain pencipta. Sehingga sejak awal pencipta dapat menikmati apa yang menjadi haknya dan dapat memanfaatkan ciptaanya untuk kepentingannya. Kewajiban pencatatan tersebut harus dibedakan dari pendaftaran yang dilakukan hak kekayaan intelektual lain selain hak cipta, yaitu yang menganut prinsip first to file. Kewajiban pencatatan tersebut harus masih menganut prinsip first to born. Berdasarkan penjelasan tersebut, isi pasal yang diperbaharui terkait pencatatan yaitu, demi terwujudnya kepastian hukum terhadap pencipta, setiap ciptaan wajib dicatatkan di Kemenkumham dengan tetap memperhatikan prinsip deklaratif. Dengan demikian, seseorang yang telah menciptakan suatu karya cipta tetap diakui sebagai pencipta dan diperkuat dengan adanya pencatatan pada kemenkumham. Sehingga pembuktian akan adanya suatu ciptaan tidak akan sulit sebagaimana yang saat ini terjadi. Berdasarkan hal tersebut, adanya kewajiban pencatatan tidak mengesampingkan adanya prinsip deklaratif dalam hak cipta. Perubahan dan penambahan pengaturan mengenai pencatatan suatu ciptaan sebagaimana dijelaskan di atas pada dasarnya bertujuan memberikan kepastian hukum sekaligus memberikan perlindungan bagi pencipta dan ciptaannya. Pada dasarnya nilai kepastian hukum merupakan nilai yang pada prinsipnya memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga negara tindakan yang sewenang-wenang. Sehingga hukum memberikan tanggung jawab pada negara untuk menjalankannya. Kepastian hukum berkedudukan sebagai nilai yang harus ada dalam setiap hukum yang dibuat dan diterapkan. Dengan adanya nilai kepastian hukum dalam setiap aturan yang dibuat dapat memberikan perlindungan dan rasa keadilan bagi setiap orang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian, perubahan dan penambahan pengaturan mengenai pencatatan atas suatu ciptaan juga dapat bermanfaat bagi pencipta maupun ciptaannya. Berdasarkan teori kemanfaatan sebagaimana dinyatakan Bentham dalam Latipulhayat bahwa kegunaan atau kemanfaatan (utility) sebagai sesuatu yang dapat dimiliki dan dapat mendatangkan manfaat, keuntungan dan kebahagiaan atau sesuatu yang dapat mencegah terjadinya kerusakan. Nilai kemanfaatan ini ada pada tingkat individu yang menghasilkan kebahagiaan individual (happiness of individual) maupun masyarakat (happiness of community). Moralitas suatu perbuatan ditentukan dengan mempertimbangkan kegunaannya untuk mencapai kebahagiaan segenap manusia, bukan kebahagiaan individu yang egois sebagaimana dianut oleh hedonisme klasik. 481 | LENTERA HUKUM Inilah yang kemudian melahirkan dalil klasik Bentham mengenai kebahagiaan, yaitu the greatest happiness of the greatest number (kebahagiaan terbesar untuk mayoritas.25 Berdasarkan teori kemanfaatan menurut Jeremy Bentham di atas, kemanfaatan di sini memiliki arti bahwa sesuatu yang dapat dimiliki dan dapat mendatangkan manfaat, keuntungan dan kebahagiaan atau sesuatu yang dapat mencegah terjadinya kerusakan. Dengan demikian, hukum barulah dapat diakui sebagai hukum, jika memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya terhadap sebanyak-banyaknya orang. Bentham juga menyatakan bahwa the greatest happiness of the greatest number (kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya orang). Berkaitan dengan adanya pencatatan suatu ciptaan, apabila suatu pencatatan atas ciptaan telah mendatangkan manfaat, keuntungan dan kebahagian bagi pencipta, maka pencatatan atas suatu ciptaan dapat mencegah adanya pelanggaran hak cipta. Dengan demikian, UU Hak Cipta dapat memberikan kebahagiaan bagi pencipta dan ciptaannya serta seluruh rakyat Indonesia. V. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan atas penelitian ini. Pertama, akibat hukum atas pencatatan suatu ciptaan yang sama yaitu ditinjau dari Putusan MA Nomor: 855 K/Pdt.Sus-HKI/2016, Putusan MA Nomor: 298 K/Pdt.Sus-HKI/2013 dan Putusan MA Nomor: 444 K/Pdt.Sus/2012. Berdasarkan Pasal 74, Pasal 96, dan Pasal 112 sampai dengan Pasal 119 UU Hak Cipta, yaitu hapusnya kekuatan hukum pencatatan ciptaan, pemberian ganti rugi kepada pencipta dan ancaman pidana. Dengan demikian, berdasarkan teori kepastian hukum, adanya ketentuan tersebut merupakan wujud kepastian hukum yang diberikan oleh UU Hak Cipta. Kedua, bentuk perlindungan hukum terhadap pencipta atas pencatatan ciptaan yang sama yaitu ditinjau dari Putusan MA Nomor: 855 K/Pdt.Sus-HKI/2016, Putusan MA Nomor: 298 K/Pdt.Sus-HKI/2013 dan Putusan MA Nomor: 444 K/Pdt.Sus/2012. Berdasarkan Pasal 74, Pasal 96, dan Pasal 112 sampai dengan Pasal 119 UU Hak Cipta, yaitu penghapusan kekuatan hukum pencatatan ciptaan oleh pengadilan, pencipta berhak atas ganti rugi, dan pencipta berhak untuk menuntut secara pidana. Dengan demikian, berdasarkan teori perlindungan hukum, adanya ketentuan tersebut merupakan wujud perlindungan yang diberikan oleh UU Hak Cipta. Ketiga, konsepsi kedepan mengenai pengaturan pencatatan suatu ciptaan sehingga dapat memberikan perlindungan hukum terhadap pencipta ditinjau dari Putusan MA Nomor: 855 K/Pdt.Sus-HKI/2016, Putusan MA Nomor: 298 K/Pdt.Sus-HKI/2013 dan Putusan MA Nomor: 444 K/Pdt.Sus/2012. Berdasarkan Pasal 64 UU Hak Cipta, yaitu perubahan dan pembaharuan terkait penambahan wewenang dan prosedur dalam melakukan pemeriksaan bagi menteri. Dalam hal pencatatan suatu ciptaan dan semua ciptaan sejak pertama kali diwujudkan dan diumumkan wajib dicatatkan di Kemenkumham. 25 Atip Latipulhayat, Khazanah: Jeremy Bentham, (Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015), hlm. 413. 482 | Perlindungan Hukum terhadap Pencipta atas Pencatatan Suatu Ciptaan yang Sama Dengan demikian, berdasarkan teori kepastian hukum dan kemanfaatan hukum adanya perubahan dan pembaharuan dapat memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan hukum bagi pencipta dan ciptaannya. Saran atas penelitian ini yaitu hendaknya pemerintah Indonesia selaku pembentuk peraturan perundangan-undangan melakukan pembaharuan terkait pencatatan suatu ciptaan di dalam UU Hak Cipta. Di samping itu, Kemenkumham hendaknya lebih cermat dalam mengabulkan adanya permohonan pencatatan ciptaan. DAFTAR PUSTAKA Bintang, Sanusi & Dahlan. 2000. Pokok-Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis. Bandung: Citra Aditya Bakti. Djumhana, M. & R. Djubaedillah. 1997. Hak Milik Intelektual: Sejarah, Teori dan Pratiknya di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. Hariyani, Iswi. 2010. Prosedur Mengurus HAKI yang Benar. Yogyakarta: Pustaka Yustisia. Jened, Rahmi. 2014. Hukum Hak Cipta (Copyright’s Law). Bandung: Citra Aditya Bakti. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Latipulhayat, Atip. Khazanah: Jeremy Bentham, (Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015). Mahmud Marzuki, Peter. 2016. Penelitian Hukum, Cetakan Ke-12. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Mertokusumo, Sudikno. 2006. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty. Muhammad, Abdukadir. 2006. Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan ketiga. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Raharjo, Satjipto. 2000. Ilmu Hukum, Cetakan Ke-5. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Rasjidi, Lili. 1994. Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya. Bandung: Remaja Roesdakarya Offset. Supramono, Gatot. 2010. Hak Cipta dan Aspek-Aspek Hukumnya. Jakarta: Rineka Cipta. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599). Usman, Rachmadi. 2003. Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual: Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia. Bandung: Alumni.