Lentera Hukum, Volume 2 Issue 3 (2015), pp. 159-178 
ISSN 2355-4673 (Print) 2621-3710 (Online)  
https://doi.org/10.19184/ ejlh.v2i3.8822 
Published by the University of Jember, Indonesia 
Available online 21 December 2015 
 
 
 

Mediasi Hubungan Industrial Yang Melebihi Batas Waktu 
 
 
Rigea Rima Nur Akni 
University of Jember, Indonesia 
shofieaghzs@gmail.com 
 
 
 

ABSTRACT 

The number of disputes that arise in industrial relations is something that cannot be avoided even though 
ultimately it can be resolved through deliberation, mediation, conciliation, arbitration or court. In the law 
number 2 of 2004 concerning the settlement of industrial relations disputes, it has been stipulated that in 
the event of a dispute between the worker/laborer and the employer, the bipartite settlement must first be 
attempted.  If the settlement through a bipartite fails, the an attempt is made to resolve the dispute through 
mediation. Mediatoin is a peaceful process whereby the disputing parties hand over the settlement to a 
mediator, namely someone who arrangers a meeting between two or more parties at odds to achieve a just 
outcome, without wasting too much money, but remains effective and fully accepted by the two the parties 
who have disputes voluntarily. 

 
KEYWORDS: Disputes, Meditation, Industrial Relations. 

 
Copyright © 2015 by Author(s) 
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 
International License. All writings published in this journal are personal views 

of the authors and do not represent the views of this journal and the author's affiliated institutions. 
 

 
 
 

 

 

Submitted: October 05, 2015   Revised: December 08, 2015     Accepted: December 20, 2015 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

HOW TO CITE: 
Nur Akni, Rigea Rima, Aries Harianto, Rosita Indrayanti. “Mediasi Hubungan Industrial 
Yang Melebihi Batas Waktu” (2015) 2:3 Lentera Hukum 159-178 

mailto:shofieaghzs@gmail.com


160 | Mediasi Hubungan Industrial Yang Melebihi Batas Waktu 
 

  

I. PENDAHULUAN 

Pembangunan nasional dilakukan dalam rangka pembangunan masyarakat Indonesia 

seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, 

baik materil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara 

Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam pelaksanaan pembangunan nasional, 

pekerja/buruh mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku 

dan tujuan pembangunan. Sesuai dengan peranan dan kedudukan pekerja/buruh, maka 

diperlukanlah pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga 

kerja dan peran sertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan 

pekerja/buruh dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. 

Manusia adalah mahkluk sosial (Zoon Politicon) yaitu mahluk hidup yang tidak 

dapat melepaskan diri dari berinteraksi atau berhubungan satu sama lain dalam rangka 

memenuhi kebutuhannya baik yang bersifat jasmani maupun rohani. Untuk dapat 

memenuhi semua kebutuhan tersebut manusia dituntut untuk bekerja, baik pekerjaan 

yang diusahakan sendiri maupun bekerja pada orang lain. Pekerjaan yang diusahakan 

sendiri maksudnya bekerja atas usaha modal dan tanggung jawab sendiri. Sedangkan 

bekerja pada orang lain maksudnya adalah bekerja dengan bergantung pada orang lain, 

yang memberi perintah dan mengutusnya karena harus tunduk dan patuh pada orang 

lain yang memberikan pekerjaan tersebut.1 Dalam hal ini untuk bekerja secara implisit 

diatur dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 

1945 yang mengatur bahwa tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan 

pengidupan yang layak bagi kemanusiaan.2 

Dalam ketenagakerjaan, hubungan kerja terjadi antara pekerja/buruh dengan 

pengusaha berdasarkan perjanjian kerja. Pekerja dan pengusaha mempunyai hubungan 

timbal balik yang mana saling menguntungkan satu sama lain. Dalam hal ini pekerja 

memberikan tenaganya untuk menghasilkan suatu produk ataupun jasa. Sedangkan 

pengusaha membayar upah atas jasa pekerja dalam menciptakan produk baik berupa 

barang dan/atau jasa. Dalam perjanjian kerja, akan muncul suatu hak dan kewajiban bagi 

pekerja dan pengusaha dalam melakukan suatu hubungan kerja. Adanya perlindungan 

terhadap pekerja/buruh dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh 

dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskrminasi atas dasar 

apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap 

memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. 

Upaya menciptakan hubungan industrial adalah dalam rangka mencari 

keseimbangan antara kepentingan pekerja, pengusaha dan pemerintah, karena ketiga 

komponen ini masing-masing mempunyai kepentingan. Bagi pekerja, perusahaan 

merupakan tempat untuk bekerja dan sekaligus sebagai sumber penghasilan dan 

penghidupan diri beserta keluarganya, dan bagi pengusaha perusahaan adalah wadah 

mengeksploitasi modal guna mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. 

                                                      
1 Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008, hlm. 1 
2 Siti Kunarti, Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Dalam Hukum Ketenagakerjaan, Jurnal Dinamika Hukum, 
Purwokerto: FH Unsoed, Vol. 9 No. 1, Januari 2009, hlm. 67  



161 | LENTERA HUKUM 

 

 

Sedangkan bagi pemerintah, perusahaan sangat penting artinya karena perusahaan 

bagaimanapun kecilnya merupakan bagian dari kekuatan ekonomi yang menghasilkan 

barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu 

pemerintah mempunyai kepentingan dan bertanggung jawab atas kelangsungan dan 

keberhasilan setiap perusahaan. Dengan demikian sudah sewajarnya apabila pemerintah 

mempunyai peranan yang besar dalam upaya menciptakan hubungan industrial yang 

selaras, serasi dan seimbang sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara 

Republik Indonesia Tahun 1945.3 

Dalam dunia kerja, tidak selamanya hubungan antara pekerja/buruh dan 

pengusaha berjalan dengan baik, dimana kadang kala pekerja dan pengusaha tidak selalu 

memiliki persamaan pendapat, sehingga perbedaan pendapat antara pengusaha dan 

pekerja/buruh dapat menyebabkan adanya perselisihan.4 Banyaknya perselisihan yang 

muncul dalam hubungan industrial, adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari. 

Perselisihan dapat dianggap sebagai penyakit yang membutuhkan banyak perhatian, 

biaya, dan waktu untuk menyelesaikannya. Walaupun akhirnya dapat diselesaikan 

melalui kompromi, konsiliator, pegawai mediator atau pengadilan. Perselisihan selalu 

meninggalkan bekas yang tidak menyenangkan dan ketidakpuasan, terutama bagi pihak 

yang merasa kalah atau dirugikan.5 Permasalahan yang menimbulkan konflik tentunya 

tidak selalu dapat diselesaikan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dengan hasil 

dari pemecahan masalah yang dapat diterima bagi pihak yang berselisih, bahkan tidak 

jarang berujung pada munculnya sengketa.6 

Perselisihan antara pekerja/buruh dengan pengusaha tidak dapat diselesaikan 

dengan pemutusan hubungan kerja atau pengunduran diri saja, hal ini dapat berakibat 

memperburuk kondisi hubungan pekerja dengan pengusaha. Jika hubungan antara 

pekerja/buruh dengan pengusaha ini tetap diserahkan sepenuhnya kepada para pihak 

yaitu pekerja/buruh dengan pengusaha, maka tujuan hukum perburuhan untuk 

menciptakan keadilan sosial di bidang perburuhan akan sulit tercapai, karena pihak 

yang kuat akan selalu ingin menguasai pihak yang lemah (homo homoni lopus). Atas dasar 

itulah, pemerintah secara berangsur-angsur turut serta dalam mengawasi dan 

menangani masalah.7 Perselisihan yang terpaksa melibatkan pihak ketiga pada dasarnya 

secara langsung dan tidak langsung menimbulkan beban biaya dan pengorbanan besar 

bagi pihak-pihak yang berselisih. 

Pengaturan mengenai mediasi dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 8 sampai 

dengan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian 

Perselisihan Hubungan Industrial. Ketentuan mengenai mediasi tersebut  menjelaskan 

bahwa penyelesian perselisihan secara wajib dimulai dengan cara penyelesaian bipartit 

                                                      
3 Ibid, hlm 236-237 
4 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm. 158 
5 Payaman J. Simanjuntak, Manajemen Hubungan Industrial, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi 
Universitas Indonesia, 2011, hlm. 4 
6 Riska Fitriyani, Proses Mediasi, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3 No. 1, Pekan Baru: FH Universitas Riau, 2013, 
hlm. 56 
7 Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2006, hlm.11 



162 | Mediasi Hubungan Industrial Yang Melebihi Batas Waktu 
 

  

yaitu perundingan antara kedua belah pihak yang berselisih. Jika perundingan tersebut 

gagal, baru dilanjutkan secara mediasi oleh seorang mediator yang bertanggung jawab di 

bidang ketenagakerjaan.8  

Mediasi merupakan suatu proses damai dimana para pihak yang bersengketa 

menyerahkan penyelesaiannya kepada seorang mediator yakni seseorang yang mengatur 

pertemuan antara dua pihak atau lebih yang bersengketa untuk mencapai hasil akhir 

yang adil, tanpa membuang biaya yang terlalu besar, akan tetapi tetap efektif dan 

diterima sepenuhnya oleh kedua belah pihak yang bersengketa secara sukarela. Dalam 

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan 

Industrial pengertian Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi 

adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan 

hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu 

perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang 

netral. 

Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediator adalah 

pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang 

memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas 

melakukan mediasi dan dan menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, 

perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat 

buruh hanya dalam satu perusahaan. Mediator yang diatur dalam Undang-Undang 

Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 

merupakan salah satu perwujudan intervensi pemerintah dalam hubungan industrial. 

Pengaturan mediasi yang ideal untuk penyelesaian perselisihan hubungan 

industrial adalah proses mediasi yang dapat memberikan jaminan anjuran dan/atau 

penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang adil dan objektif. Adapun 

mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi yaitu 

dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima 

pelimpahan penyelesaian perselisihan. Apabila dalam sidang mediasi tercapai 

kesepakatan, maka dibuat perjanjian bersama yang ditandatangai oleh para pihak 

dengan disaksikan oleh mediator untuk kemudian didaftarkan di pengadilan Hubungan 

Industrial pada pengadilan Negeri diwilayah hukum setempat. Namun apabila ternyata 

dalam mediasi tidak tercapai kesepakatan, maka mediator membuat anjuran tertulis 

selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah sidang mediasi dilaksanakan. Namun 

menjadi persoalan terlepas musabab yang timbul jika mediasi itu lebih dari waktu yang 

ditentukan. 

 

 

 

 

 

                                                      
8 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2007, hlm. 148 



163 | LENTERA HUKUM 

 

 

II.PENGATURAN TENTANG MEDIASI HUBUNGAN INDUSTRIAL 

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG 

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 

 

Hubungan Industrial atau disebut juga dengan industrial relation adalah hubungan yang 

terjadi antara semua pihak yang berkepentingan atas proses produksi barang atau jasa 

di suatu perusahaan. Pihak-Pihak tersebut antara lain adalah pihak yang langsung 

terkait dengan proses produksi atau pihak yang paling berkepentingan yaitu antara 

pekerja/buruh dan pengusaha. Selain itu ada pihak yang secara tidak langsung memiliki 

kepentingan dengan dunia usaha baik sebagai pemasok faktor produksi yaitu berupa 

barang dan jasa untuk kebutuhan perusahaan, atau sebagai konsumen atau pengguna 

hasil-hasil perusahaan tersebut. Pihak Ketiga adalah pemerintah yang berkepentingan 

atas pertumbuhan perekonomian secara umum dan dunia usaha khususnya.9 Mengingat 

sedemikian banyak kepentingan dari berbagai pihak terhadap perusahaan, maka sangat 

penting untuk menjamin keberlangsungan usaha yang di dukung oleh adanya Hubungan 

Indsutrial yang baik, terutama antara pengusaha dan pekerja. Diatas segalanya, haruslah 

dibangun kesadaran bahwa hubungan industrial harus didasarkan atas kepentingan 

bersama, kepentingan semua unsur atas keberhasilan dan keberlangsungan perusahaan. 

Hubungan tersebut harus dipelihara dan dikembangkan dalam rangka menjamin 

kepentingan semua pihak yang terkait. Tujuan pemeliharaan dan pengembangan 

hubungan tersebut adalah untuk memberikan pembinaan guna menciptakan hubungan 

yang nyaman, aman dan harmonis antara pihak-pihak tersebut sehingga dapat 

meningkatkan produktifitas usaha. Hubungan Industrial merupakan bagian yang tak 

terpisahkan dan sekaligus adalah seni pengembangan dari manajemen sumber daya 

manusia. Oleh karena manajemen Hubungan Industrial merupakan manajemen antar 

orang yang terkait dengan jalannya perusahaan maka sangat rentan terjadi perselisihan 

antara pihak dalam menjalankan roda perusahaan tersebut.10 

Perselisihan Hubungan Industrial yang dahulu disebut dengan perselisihan 

perburuhan terkadang tidak dapat dihindari. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 

tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengartikan perselisihan 

hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan 

antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja, buruh, atau serikat buruh 

karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan 

hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat buruh dalam satu persusahaan. Oleh 

sebab itu, semua pihak yang terlibat dalam perselisihan harus bersifat dan bersikap 

lapang dada serta berjiwa besar untuk menyelesaikan perselisihan yang sedang dihadapi 

tersebut. Dalam perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya 

terlebih dahulu melalui perundingan Bipartit dan jika perundingan mencapai 

kesepakatan maka dibuatkan Perjanjian Bersama dan apabila tidak tercapai kesepakatan 

                                                      
9 Muzni Tambusai, Hubungan Industrial Era Baru, Jakarta: Kantor Perburuhan Internasional. 2006, hlm. 43 
10 Aries harianto, Hukum Ketenagakerjaan, Makna Kesusilaan dalam Perjanjian Kerja, Yogyakarta: LaksBang 
Pressindo, 2016, hlm. 183 



164 | Mediasi Hubungan Industrial Yang Melebihi Batas Waktu 
 

  

maka dapat dilakukan upaya Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase. Perselisihan hubungan 

industrial yang bisa diselesaikan melalui mediasi adalah semua jenis perselisihan 

hubungan industrial yang dikenal dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang 

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Mediasi Hubungan Industrial yang 

selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan 

kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat 

pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi 

oleh seorang atau lebih mediator yang netral. 

Selanjutnya pada Pasal 1 angka 12 dijelaskan bahwa Mediator Hubungan 

Industrial yang selanjutnya disebut mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang 

bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai 

mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan 

mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih 

untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan 

pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya 

dalam satu perusahaan.11  

Pengaturan tentang mediasi hubungan industrial diatur dalam Pasal 8 sampai 16 

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan 

Industrial yakni pada Pasal 8 dijelaskan bahwa “Penyelesaian Perselisihan melalui 

mediasi dilakukan oleh mediator yang berada di setiap kantor instansi yang bertanggung 

jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.” Dari penjelasan Pasal tersebut sudah 

jelas mengatur bahwa mediator yang melakukan penyelesaian perselisihan melalui 

mediasi adalah pegawai mediator yang berada di Kantor Dinas Ketenagakerjaan 

setempat. Peran Mediator dalam proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial 

sangat menentukan bagi keberhasilan proses penyelesaian perselisihan, oleh karena itu 

mediator harus layak memenuhi pesyaratan tertentu dan mempunyai keterampilan serta 

berpengalaman dalam komunikasi dan negosiasi agar mampu mengarahkan para pihak 

yang berselisih.12  

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi mediator sebagaimana 

telah disebutkan dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang 

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial adalah sebagai berikut: Beriman dan 

bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; Warga Negara Indonesia; Berbadan sehat 

menurut surat keterangan dokter; Menguasai peraturan perundang-undangan; 

Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; Berpendidikan sekurang-

kurangnya Strata Satu (S1); dan Syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri. Sebagaimana 

yang dimaksud pada Pasal 9 huruf g bahwasanya syarat lain yang ditetapkan oleh 

Menteri yakni diatur lebih lanjut pada Pasal 2 ayat (1) h dan i Peraturan Menteri Tenaga 

Kerja dan Transmigrasi Nomor 17 Tahun 2014 tentang tentang Pengangkatan dan 

Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial Serta Tata Kerja Mediasi, yang 

                                                      
11 Lihat Pada Pasal 1 angka (11 dan 12) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian 
Perselisihan Hubungan Industrial 
12 Muzni Tambusai, Op Cit., hlm. 43 



165 | LENTERA HUKUM 

 

 

berbunyi:13 (h) memiliki sertifikat kompetensi; (i) memiliki surat keputusan 

pengankatan Menteri. 

Sedangkan pada ayat (2) dan (3) dijelaskan bahwa Peraturan Menteri Tenaga 

Kerja dan Transmigrasi Nomor 17 Tahun 2014 tentang tentang Pengangkatan dan 

Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial Serta Tata Kerja Mediasi yaitu: “Untuk 

memperoleh surat keputusan pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf 

i, harus memenuhi syarat: telah mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan Mediator 

yang dibuktikan dnegan sertifikat dari Kementerian; dan telah melaksanakan tugas di 

bidang hubungan industrial sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun atau ikut mendampingi 

dalam pembinaan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial paling sedikit 10 

kasus.” Persyaratan sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h 

dilaksanakan setelah pemberlakuan Standarisasi Kompetensi Kerja Nasional Indonesia 

Sektor Ketenagakerjaan Sub Sektor Hubungan Industrial ditetapkan oleh Menteri. 

 Berdasarkan penjelasan pasal diatas sudah cukup jelas mengatur tentang syarat-

syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi mediator. Mengenai Pengangkatan Mediator 

sebagaimana dimaksud Pasal 3 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi 

Nomor 17 Tahun 2014 yaitu diangkat oleh Menteri, yang mana Pengangkatan Mediator 

diusulkan oleh: Direktur Jenderal untuk Mediator pada Kementerian; Kepala Dinas 

Provinsi untuk Mediator pada Dinas Provinsi; Kepada Dinas Kabupaten/Kota untuk 

Mediator pada Dinas Kabupaten/Kota. 

Usulan pengangkatan Mediator sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu 

melampirkan: fotocopi surat keputusan pangkat terakhir; fotocopi surat keputusan 

penempatan atau penugasan pada unit kerja yang membidangi hubungan industrial; 

fotocopi ijazah pendidikan Strata Satu (S1) yang dilegalisir; fotokopi sertifikat kelulusan 

pendidikan dan pelatihan Mediator; Asli surat keterangan dokter sehat dari dokter; Foto 

berwarna terbaru ukuran 3x4 cm sebanyak 3 lembar berlatar belakang warna biru; dan 

Sasaran Kerja Pegawai (SKP) 1 tahun terakhir dengan nilai rata-rata baik. Usulan 

sebagaimana dimaksud pada pasal diatas ditembuskan kepada Kepala Dinas Provinsi. 

Berdasarkan penjelasan beberapa pasal diatas sudah cukup jelas mengatur bahwa 

pengangkatan mediator diusulkan oleh Direktur Jenderal untuk Mediator pada 

Kementerian, Kepala Dinas Provinsi untuk Mediator pada Dinas Provinsi dan Kepada 

Dinas Kabupaten/Kota untuk Mediator pada Dinas Kabupaten/Kota dengan 

melampirkan beberapa persyaratan tersebut diatas, dimana usulan tersebut harus 

ditembuskan kepada Kepala Dinas Provinsi 

Selanjutnya dalam pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang 

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menjelaskan bahwa: “Dalam waktu 

selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima pelimpahan penyelesaian 

perselisihan mediator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduknya perkara 

dan segera mengadakan sidang mediasi.” Berdasarkan isi pasal diatas sudah jelas 

                                                      
13 Lihat pada Pasal 2 ayat (1) huruf h dan i Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 17 
Tahun 2014 tentang tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial Serta Tata 
Kerja Mediasi 



166 | Mediasi Hubungan Industrial Yang Melebihi Batas Waktu 
 

  

mengatur mengenai tugas mediator akan pelaksanaan penelitian tentang duduknya 

perkara yang harus dilakukan dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima 

pelimpahan penyelesaian perselisihan.14 

Ketentuan dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang 

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menjelaskan bahwa: Mediator dapat 

memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang mediasi guna diminta dan 

didengar keterangannya; Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan mediator, 

berhak menerima penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya 

ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Pasal diatas sudah cukup jelas mengatur tentang 

saksi atau saksi ahli yang dipanggil oleh mediator guna diminta dan didengar 

keterangannya dalam sidang mediasi dan memberi penggantian biaya perjalanan dan 

akomodasi bagi saksi yang memenuhi panggilan mediator yang diatur lebih lanjut pada 

pasal 7 Peraturan Menter Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 18 Tahun 2014 tentang 

Honorarium/Imbalan Jasa Bagi Konsiliator dan Penggantian Biaya Bagi Saksi dan Saksi 

Ahli Dalam Sidang Mediasi atau Konsiliasi, yang berbunyi:15 Bagi saksi atau saksi ahli 

yang tidak berstatus pegawai negeri sipil, besarnya biaya perjalanan dan akomodasi 

disetarakan dengan biaya perjalanan dinas Pegawai Negeri Sipil Golongan III; Bagi saksi 

atau saksi ahli yang berstatus pegawai negeri sipil, besarnya biaya perjalanan dan 

akomodasi disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sudah 

cukup jelas bahwa Pasal tersebut mengatur mengenai besarnya biaya perjalanan dan 

akomodasi baik bagi saksi ataupun saksi ahli yang berstatus ataupun tidak berstatus 

sebagai pegawai negeri sipil. 

Ketentuan dalam pasal 12 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang 

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menjelaskan bahwa Barang siapa yang 

diminta keterangannya oleh mediator guna penyelesaian hubungan industrial 

berdasarkan undang-undang ini, wajib memberikan keterangan termasuk membukakan 

buku dan surat-surat yang diperlukan; Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh 

mediator terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, 

maka harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-

undangan yang berlaku; Mediator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta 

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Dari bunyi Pasal tersebut sudah jelas diatur 

bahwa dalam hal saksi atau saksi ahli memberikan keterangan kepada mediator dalam 

sidang mediasi, maka mediator wajib merahasiakan semua keterangan yang disampaikan 

oleh saksi ataupun saksi ahli.16 

Berdasarkan Ketentuan dalam pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 

tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menjelaskan bahwa Dalam hal 

                                                      
14 Lihat pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan 
Industrial 
15 pada pasal 7 Peraturan Menter Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 18 Tahun 2014 tentang 
Honorarium/Imbalan Jasa Bagi Konsiliator dan Penggantian Biaya Bagi Saksi dan Saksi Ahli Dalam Sidang 
Mediasi atau Konsiliasi 
16 Lihat pada Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian 
Perselisihan Hubungan Industrial 



167 | LENTERA HUKUM 

 

 

tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, 

maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan 

oleh mediator serta didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan 

Negeri di wiliayah hukum pihak-pihak mengadakan perjanjian bersama untuk 

mendapatkan akta bukti pendaftaran; Sedangkan dalam hal tidak tercapai kesepakatan 

penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka mediator 

mengeluarkan anjuran tertulis; Anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a 

dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sejak sidang mediasi pertama harus 

sudah disampaikan kepada para pihak. 

Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada mediator 

yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 

10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran tertulis; Pihak yang tidak memberikan 

pendapatnya, sebagaimana dimaksud pada huruf c dianggap menolak anjuran tertulis; 

dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a, 

maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sejak anjuran tertulis disetujui, 

mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat perjanjian bersama untuk 

kemudian didaftarkan di Pengadilan Hubungan Indsutrial pada Pengadilan Negeri di 

wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta 

bukti pendaftaran. 

Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan Hubungan Industrial pada 

Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf e dilakukan 

sebagai berikut: Perjanjian Bersama yang telah didaftarkan diberikan akta bukti 

pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama 

apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) huruf e tidak 

dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan 

permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Indsutrial pada Pengadilan Negeri 

di wilayah Perjanjian Bersama didaftarkan untuk mendapat penetapan eksekusi. Dalam 

hal pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran 

Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi 

melalui Pengadilan Hubungan Indsutrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili 

pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada 

Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi. 

Berdasarkan penjelasan Pasal 13 diatas, sudah cukup jelas mengatur mengenai 

langkah-langkah yang harus dilakukan mediator dalam hal menyelesaikan perselisihan 

hubungan industrial melalui mediasi, dimana juga diatur lebih lanjut mengenai tata kerja 

mediasi dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam mediasi yang diatur 

dalam pasal 13 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 17 Tahun 2014 

tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial Serta Tata 

Kerja Mediasi yaitu sebagai berikut:17 Melakukan penelitian tentang duduk perkara 

perselisihan hubungan industrial; Menyiapkan panggilan secara tertulis kepada para 

                                                      
17 Lihat Pada Pasal 13 Peraturan Menteri Tenakertrans Nomor 17 Tahun 2014 tentang Pengangkatan dan 
Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial Serta Tata Kerja Mediasi 



168 | Mediasi Hubungan Industrial Yang Melebihi Batas Waktu 
 

  

pihak untuk hadir dengan mempertimbangkan waktu panggilan secara patut sehingga 

seidang mediasi dapat dilaksanakan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima 

pelimpahan tugas untuk menyelesaikan perselisihan; Melaksanakan sidang mediasi 

dengan mengupayakan penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat; Mengeluarkan 

anjuran secara tertulis kepada para pihak apabila penyelesaian tidak mencapai 

kesepakatan dalam waktu pling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi 

pertama; Membantu membuat perjanjian bersama secara tertulis apabila tercapai 

kesepakatan penyelesaian, yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh 

mediator; memberitahu para pihak untuk mendaftarkan perjanjian bersama yang telah 

ditandatangani para pihak ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri 

tempat perjanjian bersama ditandatangani untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran; 

membuat risalah klarifikasi dan risalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial; 

dan membuat laporan hasil penyelesaian perselisihan hubungan industrial kepada 

Direktur Jenderal atau Kepala Dinas Provinsi atau Dinas Kabupaten/Kota yang 

bersangkutan. 

Dalam hal ini apabila salah satu pihak menggunakan kuasa hukum dalam sidang 

mediasi, maka mediator dapat meminta kuasa hukum menghadirkan pemberi kuasa. Jika 

para pihak telah dipanggil secara patut dan layak sebanyak 3 kali ternyata pihak 

pemohon yang mencatatkan perselisihan tidak hadir, maka pencatatan perselisihan 

hubungan industrial dihapus dari buku registrasi perselisihan. Namun apabila pihak 

termohon yang tidak hadir, maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis berdasarkan 

data yang ada. Yang dimaksud dengan anjuran tertulis adalah pendapat atau saran 

tertulis yang diusulkan oleh mediator kepada para pihak dalam upaya menyelesaikan 

perselisihan. Dengan adanya penjelasan Pasal diatas sudah cukup jelas bagi mediator 

untuk dijadikan pedoman dalam melaksanakan suatu penyelesaian perselisihan 

hubungan industrial.18 

Ketentuan dalam pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang 

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menjelaskan bahwa dalam hal anjuran 

tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a ditolak oleh salah satu 

pihak atau para pihak, maka salah satu pihak atau para pihak dapat melanjutkan 

penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri 

setempat; Penyelesaian Perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan 

dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak di Pengadilan Hubungan Industrial 

pada Pengadilan Negeri setempat. 

Dari penjelasan diatas juga sudah cukup jelas mengatur mengenai anjuran tertulis 

yang ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka salah satu pihak dapat 

melanjutkan perselisihannya dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan 

Industrial. Mengenai Anjuran tertulis yang dikelaurkan oleh mediator diatur lebih lanjut 

dalam Pasal 14 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 17 Tahun 2014, 

yakni memuat keterangan pekerja/buruh atau keterangan serikat pekerja/serikat buruh; 

keterangan pengusaha; keterangan saksi/saksi ahli apabila ada; pendapat dan 

                                                      
18  Lalu Husni, Op Cit., 2006, hlm.11 



169 | LENTERA HUKUM 

 

 

pertimbangan hokum dan Isi anjuran. Jadi berdasarkan Pasal diatas sudah jelas mengatur 

bahwa anjuran yang dikeluarkan mediator sekurang-kurangnya harus memuat 

keterangan pekerja/buruh atau keterangan serikat pekerja/serikat buruh, keterangan 

pengusaha, keterangan saksi/saksi ahli apabila ada, Pendapat dan pertimbangan hukum 

dan Isi anjuran. 

Selanjutnya dalam Ketentuan pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 

tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menjelaskan bahwa mediator 

menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja 

terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud 

dalam Pasal 4 ayat (4). Pada penjelesan Pasal diatas sudah jelas mengatur tentang jangka 

waktu yang diberikan kepada mediator untuk menyelesaikan perselisihan hubungan 

industrial melalui mediasi yaitu selambat-lambatnya 30 hari kerja yang terhitung sejak 

menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan.19 

Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian mediator serta 

tata kerja mediasi diatur dengan Keputusan Menteri diatur dalam Pasal 16 yang 

menyatakan bahwa dalam pasal diatas cukup jelas menyatakan bahwa ketentuan 

mengenai tata cara pengankatan dan pemberhentian mediator diatur lebih lanjut dalam 

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 17 Tahun 2014 tentang tentang 

Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial Serta Tata Kerja 

Mediasi yaitu pada Pasal 6 yang berbunyi,20 mediator yang menjabat sebagai pejabat 

struktural bidang hubungan industrial dapat melaksanakan tugas sebagai mediator, 

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengeluarkan dan menandatangai anjuran 

tertulis selaku mediator. Dari penjelasan Pasal diatas sudah cukup menjelaskan bahwa 

mediator yang menjabat sebagai pejabat struktural bidang hubungan industrial dapat 

melaksanakan tugas sebagai mediator dan dapat mengeluarkan dan menandatangai 

anjuran tertulis selaku mediator. 

Mediator dalam hubungan industrial bertugas untuk melakukan pembinaan 

hubungan industrial, pengembangan hubungan industrial dan penyelesaian perselisihan 

hubungan industrial di luar pengadilan. Hal ini diatur pada Pasal 7 Peraturan Menteri 

Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 17 Tahun 2014 tentang tentang Pengangkatan dan 

Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial Serta Tata Kerja Mediasi. Berdasarkan 

ketentuan Pasal diatas sudah jelas mengatur tentang tugas mediator yakni melakukan 

pembinaan hubungan industrial, pengembangan hubungan industrial dan penyelesaian 

perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan. Pembinaan hubungan industrial 

yang dimaksud pada huruf a yaitu dilakukan melalui serangkaian usaha yang 

dimaksudkan untuk mewujudkan kemampuan dan kesadaran para pihak yang terlibat 

dalam proses produksi barang dan/atau jasa yaitu bagi pekerja/buruh dan organisasinya, 

pengusaha dan organisasinya serta pemerintah terhadap norma-norma yang berlaku 

                                                      
19 Lihat pada ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan 
Hubungan Industrial 
20 Lihat pada Pasal 6 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 17 Tahun 2014 tentang 
tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial Serta Tata Kerja Mediasi 



170 | Mediasi Hubungan Industrial Yang Melebihi Batas Waktu 
 

  

sehingga menumbuhkan keserasian dan iklim usaha yang sehat serta kesejahteraan 

pekerja/buruh. 

Pengembangan hubungan industrial yang dimaksud dalam huruf b yaitu 

dilakukam melalui serangkaian usaha menciptakan, menyempurnakan, 

menegmbangkan sistem, metode, teknik hubungan industrial agar dapat memenuhi 

tuntutan perkembangan dan perubahan situasi serta kondisi ketenagakerjaan baik pada 

lingkup sektoral, regional, nasional, mapun internasional. Sedangkan penyelesaian 

perselisihan hubungan industrial yang dimaksud dalam huruf c yaitu dilakukan melalui 

mediasi penyelesaian perselisihan hubungan industrial.21 

Mediator dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial mempunyai 

kewajiban yaitu meminta kepada para pihak untuk berunding sebelum dilaksankan 

proses mediasi, memanggil para pihak yang berselisih, memimpin dan mengatur jalannya 

sidang mediasi, membantu para pihak membuat perjanjian bersama apabila tercapai 

kesepakatan, membuat anjuran secara tertulis apabila tidak tercapai kesepakatan, 

membuat risalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial, mejaga kerahasian 

semua keterangan yang diperoleh, membuat laporan hasil penyelesaian perselisihan 

hubungan indutsrial kepada Direktur Jenderal atau Kepala Dinas Provinsi atau Kepala 

Dinas Kabupaten/Kota yang bersangkutan dan mencatat hasil penyelesaian perselisihan 

hubungan industrial dalam buku registrasi perselisihan hubungan industrial. Penjelasan 

Pasal diatas juga cukup jelas mengatur tentang kewajiban mediator dalam 

menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui mediasi. 

Mediator dalam menyelesaiakan perselisihan hubungan industrial mempunyai 

kewenangan yaitu meminta para pihak untuk memberikan keterangan secara lisan dan 

tertulis, meminta dokumen dan surat-surat yang berkaitan dengan perselisihan dari para 

pihak,menghadirkan saksi atau saksi ahli dalam mediasi apabila diperlukan, meminta 

dokumen dan surat-surat yang diperlukan dari Dinas Provinsi atau Dinas 

Kabupaten/Kota atau lembaga terkait dan menolak kuasa para pihak yang berselisih 

apabila tidak memilik surat kuasa khusus. Berdasarkan Pasal diatas sudah cukup jelas 

dalam hal mengatur kewenangan yang dapat dilakukan mediator dalam penyelesaian 

perselisihan hubungan industrial melalui mediasi.22 Dalam Pasal 11 Peraturan Menteri 

Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 17 Tahun 2014 tentang tentang Pengangkatan dan 

Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial Serta Tata Kerja Mediasi mengatur 

tentang kedudukan mediator hubungan industrial yang dibagi menjadi tiga yaitu 

Kementerian, Dinas Provinsi dan Dinas Kabupaten/Kota. 

Mediator yang berkedudukan di Kementerian berwenang untuk melakukan 

mediasi terhadap Perselisihan Hubungan Industrial yang terjadi pada lebih dari 1 (satu) 

wilayah provinsi dan memberikan bantuan teknis, supervisi dan melakukan monitoring 

penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dilakukan mediator pada Dinas 

Provinsi dan/atau Dinas Kabupaten/Kota. Kemudian bagi Mediator yang berkedudukan 

di Dinas Provinsi berwenang untuk melakukan mediasi terhadap perselisihan hubungan 

                                                      
21 Payaman J. Simanjuntak, Op Cit., hlm., 36 
22 Koesparmono Irsan,  Armansyah., Op Cit., , 2016 



171 | LENTERA HUKUM 

 

 

industrial yang terjadi pada lebih dari 1 (satu) kabupaten/kota dalam satu provinsi, 

melakukan mediasi terhadap perselisihan hubungan industrial atas pelimpahan dari 

Kementerian atau Dinas Kabupaten/Kota, melakukan mediasi terhadap perselisihan 

hubungan industrial atas permintaan Dinas Kabupaten/Kota yang tidak memiliki 

mediator dan memberikan bantuan teknis, supervisi dan melakukan monitoring 

penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dilakukan mediator pada Dinas 

Kabupaten/Kota. 

Sedangkan mediator yang berkedudukan di Dinas Kabupaten/Kota berwenang 

untuk melakukan mediasi terhadap perselisihan hubungan industrial yang terjadi di 

kabupaten/kota yang bersangkutan, melakukan mediasi terhadap perselisihan 

hubungan industrial atas permintaan pelimpahan dari Kementerian atau Dinas Provinsi. 

Berdasarkan penjelasan Pasal diatas, sudah cukup jelas mengatur tentang kedudukan 

mediator dan masing-masing kewenangan mediator sesuai dengan wilayah yang 

ditentukan. 

Selain itu pada Pasal 18 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 

17 Tahun 2014 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Hubungan 

Industrial Serta Tata Kerja Mediasi ini juga mengatur mengenai hal-hal yang dapat 

memberhentikan mediator yaitu 23 Permintaan sendiri, tidak bertugas lagi pada 

Direktorat Jenderal atau Dinas Provinsi atau Dinas Kabupaten/Kota, Berhenti sebagai 

pegawai negeri sipil, pensiun atau meninggal dunia. Hal tersebut dijelaskan lebih lanjut 

pada Pasal 19 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 17 Tahun 2014 

yang menjelaskan bahwa pemberhentian Mediator karena permintaan sendiri 

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a diajukan oleh mediator yang 

bersangkutan kepada Direktur Jenderal untuk Mediator yang berkedudukan di 

Kementerian, Kepala Dinas untuk Mediator yang berkedudukan di Provinsi, Kepala 

Dinas Kabupaten/Kota untuk Mediator yang berkedudukan di Kabupaten/Kota. 

Direktur Jenderal atau Kepala Dinas Provinsi atau Kepala Dinas Kabupaten/Kota 

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meneruskan pengajuan pemberhentian mediator 

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a kepada Menteri. Pemberhentian Mediator 

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b, huruf c, huruf d dan huruf e diajukan 

Direktur Jenderal atau Kepala Dinas Provinsi atau Kepala Dinas Kabupaten/Kota kepada 

Menteri Menteri menerbitkan surat keputusan pemberhentian mediator berdasarkan 

pengajuan sebagaimana dimaksud pada ayat1 (1), ayat (2) dan ayat (3). 

Berdasarkan penjelasan Pasal 18 dan 19 diatas sudah cukup jelas mengatur 

tentang hal-hal yang dapat memberhentikan mediator yaitu antara lain permintaan 

sendiri, tidak bertugas lagi pada Direktorat Jenderal atau Dinas Provinsi atau Dinas 

Kabupaten/Kota, Berhenti sebagai pegawai negeri sipil, Pensiun, atau Meninggal dunia 

dan juga cukup jelas mengatur kepada siapa pengajuan pemberhentian itu diajukan 

sesuai dengan faktor pemberhentian yang di dapatkan oleh mediator. 

 

                                                      
23 Lihat Pada Pasal 18 Peraturan Menteri Tenakertrans Nomor 17 Tahun 2014 tentang Pengangkatan dan 
Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial Serta Tata Kerja Mediasi 



172 | Mediasi Hubungan Industrial Yang Melebihi Batas Waktu 
 

  

III. AKIBAT HUKUM JIKA MEDIATOR HUBUNGAN INDUSTRIAL 

MEMBERIKAN ANJURAN KEPADA PEKERJA DAN PENGUSAHA MELEBIHI 

BATAS WAKTU YANG DITENTUKAN BERDASRAKAN PERATURAN 

PERUNDANGAN-UNDANGAN YANG BERLAKU 

 

Pada dasarnya mediasi adalah cara penyelesaian perselisihan diluar pengadilan melalui 

perundingan yang melibatkan para pihak ketiga yang bersifat netral (non intervensi) dan 

tidak berpihak kepada pihak-pihak yang berselisih serta diterima kehadirannya oleh 

pihak-pihak yang berselisih untuk membantu para pihak dalam menyelesaikan 

perselisihannya dan tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan.24 

Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan 

pertentangan antara pengusaha dan pengusaha atau gabungan pengusaha dengan 

pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan pemutusan 

hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu 

perusahaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 

Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.  

Mediasi hubungan industrial yang selanjutntya disebut mediasi adalah 

penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan 

hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu 

perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang 

netral sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 2 

Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.25 

Perselisihan hak yang dimaksud adalah adalah perselisihan yang timbul karena 

tidak dipenuhinya hak yakni salah satu pihak tidak memenuhi isi perjanjian kerja, 

peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau ketentuan perundang-undang 

ketenagakerjaan. Perselisihan Kepentingan adalah perselisihan yang terjadi karena tidak 

adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan/atau perubahan syarat-syarat 

kerja dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 

Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah perselisihan yang timbul apabila 

tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pemutusan hubungan kerja yang dilakukan 

salah satu pihak. Sedangkan Perselisihan antara serikat pekerja atau serikat buruh dalam 

satu perusahaan karena tidak adanya kesesuaian paham mengenai keanggotaan, 

pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat pekerjaan. 

Peran mediator tidak memerlukan biaya yang mahal karena mediator berperan 

sebagai penengah yang memberikan solusi yang terbaik bagi pihak-pihak yang berselisih, 

sehingga mediator hanya bertindak sebagai fasilitator. Mediator hubungan industrial 

yang selanjutnya disebut mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang 

bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai 

mediator yang ditetapkan oleh menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan 

                                                      
24 Asri Wijayanti, Op Cit., 2010., hlm., 56 
25 Lihat pada Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan 
Hubungan Industrial. 



173 | LENTERA HUKUM 

 

 

mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih 

untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan 

pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya 

dalam satu perusahaan.26 

Pada dasarnya, dalam melakukan penyelesaian perselisihan melalui mediasi, 

mediator wajib mengupayakan agar terjadi kesepakatan diantara pihak yang berselisih. 

Dalam hal penyelesaian melalui mediasi tercapai kesepakatan, maka dibuat Perjanjian 

Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta 

didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat. 

Sedangkan dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan 

industrial melalui mediasi, maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis sebagaimana 

yang diatur dalam Pasal 13 ayat (1) dan (2) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 

tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.27 

Anjuran tertulis adalah pendapat atau saran tertulis yang diusulkan oleh 

mediator kepada para pihak dalam upaya menyelesaikan perselisihan melalui mediasi.28 

Dalam Pasal 14 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 17 

Tahun 2014 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial 

Serta Tata Kerja Mediasi, anjuran tertulis mediator yang dimaksud yaitu sekurang-

kurangnya memuat keterangan pekerja/buruh atau keterangan serikat pekerja/serikat 

buruh, keterangan pengusaha, keterangan saksi/saksi ahli apabila ada, pendapat dan 

pertimbangan hokum dan isi anjuran. 

Adapun aturan soal jangka waktu penyampaian anjuran tertulis dari mediator itu 

dijelaskan dalam Pasal 13 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang 

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang berbunyi “anjuran tertulis 

sebagaimana dimaksud pada huruf (a) dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) 

hari kerja sejak sidang mediasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak.” 

Ketentuan jangka waktu diatas dipertegas kembali dalam Pasal 13 ayat (1) huruf d 

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 17 Tahun 2014 tentang 

Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial Serta Tata Kerja 

Mediasi. 

Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan 

Hubungan Industrial maupun dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi 

Nomor 17 Tahun 2014 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Hubungan 

Industrial Serta Tata Kerja Mediasi, tidak mengatur mengenai upaya selanjutnya yang 

dapat ditempuh para pihak terkait lewatnya jangka waktu bagi mediator untuk 

mengeluarkan anjuran tertulis kepada para pihak. Yang diatur adalah dalam hal anjuran 

tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 

2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ditolak oleh salah 

                                                      
26 Eko Wahudi, Wiwin Yulianingsih, Moh. Firdaus Sholihin, 2016, Hukum Ketenagakerjaan. Jakarta: Sinar 
Grafika. 
27 Pasal 13 ayat (1) dan (2) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan 
Hubungan Industrial. 
28 Lalu Husni, Op Cit., hlm., 76 



174 | Mediasi Hubungan Industrial Yang Melebihi Batas Waktu 
 

  

satu pihak, maka dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan 

Industrial pada Pengadilan Negeri setempat (Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 

Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial). 

Akan tetapi ada pengaturan yang menyatakan bahwa mediator wajib 

menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja 

terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan sebagaimana yang 

diatur dalam ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang 

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Pasal 15 ayat (1) Peraturan Menteri 

Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 17 Tahun 2014 tentang Pengangkatan dan 

Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial Serta Tata Kerja Mediasi. 

Jika mediator tidak dapat menyelesaikan tugasnya dalam kurun waktu yang 

telah ditentukan diatas, maka ada sanksi administratif yang akan dikenakan kepada 

mediator, yakni diatur dalam Pasal 116 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 

tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Pasal 22 ayat (1) Peraturan 

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 17 Tahun 2014 tentang Pengangkatan 

dan Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial Serta Tata Kerja Mediasi, yang 

berbunyi: “Mediator yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial 

dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja tanpa alasan yang sah 

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dapat dikenakan sanksi administratif berupa 

hukuman disiplin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi 

Pegawai Negeri Sipil”.29 

Dalam hal ini, mediator hubungan industrial memberikan ajuran kepada pekerja 

dan pengusaha melebihi batas waktu yang ditentukan, maka mediator yang 

bersangkutan dapat dikenakan sanksi administratif berupa hukuman disiplin. 

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 21 ayat (2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan 

Transmigrasi Nomor 17 Tahun 2014 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator 

Hubungan Industrial Serta Tata Kerja Mediasi juga dijelaskan bahwa dalam hal mediator 

tidak melakukan tugas dan kewajibannya, maka Direktur Jenderal atau Kepala Dinas 

Provinsi atau Kepala Dinas Kabupaten/Kota dapat memberikan teguran lisan dan 

teguran tertulis kepada mediator.30 

Selain itu juga ada pengaturan mengenai sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 

122 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan 

Industrial yaitu “Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam 

Pasal 12 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 47 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 90 

ayat (2), Pasal 91 ayat (1) dan ayat (3), dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 

1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling sedikit Rp. 

10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000.00 (lima puluh 

juta rupiah). 

                                                      
29 Lihat pada Pasal 116 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan 
Hubungan Industrial 
30 Lihat ketentuan Pasal 21 ayat (2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 17 Tahun 
2014 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial Serta Tata Kerja Mediasi 



175 | LENTERA HUKUM 

 

 

Jika melihat dalam ketentuan Pasal 16 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi 

Nomor 17 Tahun 2014 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Hubungan 

Industrial Serta Tata Kerja Mediasi, yang berbunyi “Mediator dapat melakukan 

koordinasi dengan pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam menyelesaikan 

Perselisihan Hubungan Industrial”. Dari penjelasan Pasal diatas, pada dasarnya mediator 

dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dapat melakukan koordinasi 

dengan pegawai pengawas ketenagakerjaan yang lain, sehingga dalam hal ini para pihak 

yang berselisih dapat menyampaikan perselisihannya kepada pengawas pada dinas 

ketenagakerjaan setempat untuk kemudian ditindaklanjuti. 

Dengan tidak adanya surat anjuran yang tidak atau belum dikeluarkan oleh 

mediator tentu merugikan para pihak dalam mediasi, karena surat anjuran merupakan 

tiket bagi para pihak untuk dapat melanjutkan perselisihannya ke Pengadilan Hubungan 

Industrial. Dalam hal ini para pihak dapat menempuh upaya komunikasi atau konsultasi 

mengenai kinerja mediator yang bersangkutan melalui Lembaga Kerja Sama Tripartit 

selaku lembaga yang dapat melakukan pengawasan terhadap kinerja mediator. 

Menurut ketentuan Pasal 1 angka (19) Undang-Undang Nomor 3 tentang 

Ketenagakerjaan, Lembaga Kerja Sama Tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi, 

dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur 

organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah. Lembaga Kerja 

Sama Tripartit berfungsi untuk memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada 

pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah 

ketenagakerjaan. 

Berdasarkan data yang diperoleh (bukan wawancara) pada Kantor Dinas Tenaga 

Kerja Kabupaten Sukoharjo, menjelaskan bahwa selama kurun waktu dua tahun 

terakhir, tercatat ada 45 kasus yang masuk pada Kantor Dinas Tenaga Kerja Kabupaten 

Sukoharjo, yaitu pada tahun 2016 terdapat 18 kasus yang penyelesaiannya melalui 

mediasi, meskipun tidak semuanya berakhir dengan Pernjanjian Bersama. Dari 18 kasus 

yang diselesaikan melalui mediasi, terdapat 10 kasus yang tidak mencapai kesepakatan 

dan berakhir dengan anjuran tertulis dan 8 kasus diantaranya selesai dengan Perjanjian 

Bersama. Sedangkan pada tahun 2017 terdapat 27 kasus yang masuk pada Kantor Dinas 

Tenaga Kerja Kabupaten Sukoharjo, 10 kasus selesai dengan Bipartit, dan 17 kasus 

diantaranya diselesaikan melalui mediasi. Dari 17 kasus tersebut, terdapat 7 kasus selesai 

dengan Perjanjian Bersama dan 9 kasus berakhir dengan anjuran tertulis dan 1 kasus 

masih dalam proses. 

Dari data kasus diatas dapat diketahui bahwa cukup banyak kasus perselisihan 

hubungan industrial yang terjadi di Kabupaten Sukoharjo. Untuk itu sangat 

diperlukannya peran mediator dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial. 

Dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi yang melebihi 

batas waktu, tidak sepenuhnya disebabkan oleh kelalaian seorang mediator.31 Hal ini 

juga dapat disebabkan oleh pihak yang berselisih yaitu pekerja/buruh dan pengusaha. 

Seperti yang terjadi pada Kantor Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Sukoharjo dimana 

                                                      
31 Muzni Tambusai, Op Cit., hlm., 65 



176 | Mediasi Hubungan Industrial Yang Melebihi Batas Waktu 
 

  

mediator yang bersangkutan mendapatkan hambatan dalam menyelesaikan perselisihan 

hubungan industrial melalui mediasi.  

Berikut hambatan yang dihadapi Mediator Dinas Tenaga Kerja Kabupaten 

Sukoharjo dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi yaitu 

sulit mendatangkan pengusaha untuk hadir dalam pertemuan atau sidang yang diadakan 

oleh mediator. Hal ini bisa membuat proses penyelesaian perselisihan berlangsung lama, 

Risalah perundingan yang dilampirkan oleh pekerja pada saat mencatatkan perselisihan 

ke Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Sukoharjo bisa saja dipalsukan dengan alasan pihak 

pengusaha tidak mau menandatangani risalah perundingan, perselisihan yang diajukan 

oleh pekerja melalui Serikat Pekerja Nasional tidak dilengkapi dengan surat kuasa dari 

pekerja, sehingga proses tidak bisa dilanjutkan karena tertbi administrasi tidak 

dipenuhi, dan pengetahuan pekerja tentang aturan-aturan yang berlaku membuat 

sulitnya mediator untuk memberikan penjelasan kepada pekerja dalam penyelesaian 

perselisihan hubungan industrial serta Terbatasnya jumlah mediator dan staf 

administrasi mediator yang tidak seimbang dengan jumlah kasus yang ada. 

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa dalam penyelesaian perselisihan 

hubungan industrial melalui mediasi dibutuhkan keseimbangan berupa kerjasama 

antara mediator dan pihak yang berselisih yakni pekerja dan pengusaha untuk mencapai 

suatu keberhasilan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui 

mediasi. 

 

IV.PENUTUP 

Pengaturan tentang Mediasi Hubungan Industrial diatur pada Pasal 8 sampai dengan 

Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan 

Hubungan Industrial yakni penyelesaian melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang 

berada di kantor instansi yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan 

Kabupaten/Kota. Dalam hal ini penyelesaian melalui mediasi dilakukan dalam waktu 

selambat-lambatnya 30 hari sejak memerima pelimpahan penyelesaian perselisihan. Jika 

penyelesaian melalui mediasi mencapai kesepakatan maka dibuatkan Perjanjian Bersama 

oleh mediator, namun apabila penyelesaian perselisihan melalui mediasi tersebut tidak 

mencapai kesepakatan maka mediator memberikan anjuran tertulis kepada para pihak 

yang kemudian didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial untuk mendapatkan 

akta bukti pendaftaran yang selanjutnya dilampirkan bersama pengajuan gugatan. 

Mediator Hubungan Industrial yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan 

hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja tanpa 

alasan yang sah dapat dikenakan sanksi administratif berupa hukuman disiplin sesuai 

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil seperti 

yang diatur pada Pasal 116 Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian 

Perselisihan Hubungan Industrial. Namun dalam hal penyelesaian perselisihan melalui 

mediasi yang melebihi batas waktu, tidak semuanya disebabkan karena kelalaian 

mediator. Hal ini juga disebabkan karena pihak pekerja dan perusahaan yang kurang 

aktif dalam menerima panggilan dari mediator, kewenangan terbatas yang diberikan 



177 | LENTERA HUKUM 

 

 

pusat kepada perusahaan cabang yang juga dapat menghambat proses mediasi, banyak 

kasus-kasus perselisihan hubungan industrial yang harus ditangani mediator, serta 

terbatasnya jumlah mediator dan staf administrasi mediator yang tidak seimbang dengan 

jumlah kasus yang ada. 

Saran yang dapat diberikan adalah mengenai jangka waktu mengenai 

penyelesaian perselisihan melalui mediasi hubungan industrial yang dilakukan dalam 

jangka waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak penerimaan pelimpahan 

penyelesaian perselisihan seharusnya dalam hal ini pemerintah menambah menjadi 60 

hari kerja, karena jika melihat kasus yang terjadi pada Kantor Dinas Tenaga Kerja 

Kabupaten Sukoharjo, penyelesaian perselisihan melalui mediasi tersebut melebihi batas 

waktu sebagaimana yang ditentukan pada Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 

2004 tentang Peyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Selain itu, untuk menjamin 

pelaksanaan mediasi hubungan industrial berjalan dengan baik, maka diberikan 

pengarahan kepada para pihak baik pekerja atau pengusaha agar hadir langsung didalam 

mediasi dan/atau menyarankan untuk memberikan kuasa kepada orang yang 

berkompeten dibidang ketenagakerjaan dalam proses penyelesaian melalui mediasi. 

Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian 

Perselisihan Hubungan Industrial, belum diatur secara jelas mengenai akibat hukum atas 

mediasi yang melebihi batas waktu dari mediasi itu sendiri, untuk itu hendaknya 

pemerintah juga merevisi undang-undang tersebut agar memberi kejelasan atas 

keberadaan mediasi tersebut. Terkait jumlah mediator yang ada di setiap instansi yang 

bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan dinilai masih cukup minim apabila 

dibandingkan dengan kasus-kasus perselisihan dalam hubungan industrial, oleh karena 

itu hendaknya pemerintah menambah perekrutan dalam penerimaan pegawai mediator. 

 
DAFTAR PUSTAKA 
 
Aries Harianto, 2016, Hukum Ketenagakerjaan (Makna Kesusilaan dalam 

Perjanjian Kerja, Yogyakarta: LaksBang Pressindo. 
Asri Wijayanti, 2010, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta: Sinar Grafika. 
Danang Sunyoto, 2013, Hak dan Kewajiban Bagi Pekerja Dan Pengusaha, Yogyakarta: Pustaka 
Yustisia. 
Eko Wahudi, Wiwin Yulianingsih, Moh. Firdaus Sholihin, 2016, Hukum 

Ketenagakerjaan. Jakarta: Sinar Grafika. 
Johny Ibrahim, 2008, Teori Dan Metedologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia 
Publishing. 
Koesparmono Irsan, Armansyah, 2016, Hukum Tenaga Kerja (Suatu Pengantar), 

Jakarta:Erlangga. 
Lalu Husni, 2006, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada. 
Muzni Tambusai, 2006, Hubungan Industrial Era Baru, Jakarta: Kantor 

Perburuhan Internasional. 
Payaman J. Simanjuntak, 2011, Manajemen Hubungan Industrial, Jakarta: 

Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 



178 | Mediasi Hubungan Industrial Yang Melebihi Batas Waktu 
 

  

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan 

Hubungan Industrial. 
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor 17 tahun 2014 

Tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial 
Serta Tata Kerja Mediasi 

Siti Kunarti, Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Dalam Hukum Ketenagakerjaan, 
Purwokerto: FH Unsoed, Jurnal Dinamika Hukum, Vol.9 No.1, Januari 2009 

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/51719/Chapter%20 
I.pdf Universitas Sumatera Utara 

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt76813ce58924c/hukum 
ketenagakerjaan 

http://www.lawyer.fahrul-mediasi.com 
 

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/51719/Chapter%20%0dI.pdf
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt76813ce58924c/hukum%0dketenagakerjaan