Lentera Hukum, Volume 2 Issue 3 (2015), pp.193-208 ISSN 2355-4673 (Print) 2621-3710 (Online) https://doi.org/10.19184/ ejlh.v2i3.9055 Published by the University of Jember, Indonesia Available online 21 December 2015 Perlindungan Buruh Atas Pemutusan Hubungan Kerja Karena Perusahaan Dinyatakan Pailit Ihsan Wahyudi University of Jember, Indonesia Ihsanwahyudi76@gmail.com Aries Harianto University of Jember, Indonesia ariesharianto@gmail.com Jayus University of Jember, Indonesia jayus@gmail.com ABSTRACT Workers are workers who have done work, either working for themselves or working in a working relationship or under the orders of employer and for their services in working laborers get wages or other forms of compensation. Workers are an inseparable part of national development based on the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. Labor has an important role in the position of national development actors and targets. That is why there must be labor rights stipulated in applicable Indonesian regulations which include protection of labor rights. Some labor rights receive compensation and proper treatment in carrying out work in the company or government agencies. The fulfillment of labor rights that are not fulfilled by these companies often creates employment cases in Indonesia. Especially what happened when the company experienced financial problems, namely bankruptcy by the Commercial Court, which caused the company to face difficulties in fulfilling labor rights and severing labor relations because the company had experienced pailit. KEYWORDS: Worker, Work Termination, Pailit. Copyright © 2015 by Author(s) This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. All writings published in this journal are personal views of the authors and do not represent the views of this journal and the author's affiliated institutions. Submitted: October 05, 2015 Revised: December 08, 2015 Accepted: December 20, 2015 HOW TO CITE: Wahyudi, Ihsan, Aries Harianto, Jayus. “Perlindungan Buruh Atas Pemutusan Hubungan Kerja Karena Perusahaan Dinyatakan Pailit” (2015) 2:3 Lentera Hukum 193-208 mailto:ariesharianto@gmail.com 194 | Perlindungan Buruh Atas Pemutusan Hubungan Kerja Karena Perusahaan Dinyatakan Pailit I. PENDAHULUAN Masalah pemutusan hubungan kerja selalu menarik dikaji dan ditelaah lebih mendalam. Tenaga kerja selalu menjadi pihak yang lemah apabila dihadapkan pada pemberi kerja yang merupakan pihak yang memiliki kekuatan. Sebagai pihak yang selalu dianggap lemah, tidak jarang para tenaga kerja selalu mengalami ketidakadilan apabila berhadapan dengan kepentingan perusahaan. Pemutusan hubungan kerja (PHK) telah memiliki pengaturan tersendiri. Namun undang–undang yang mengatur mengenai PHK tersebut juga memiliki beberapa kelemahan. Karena law inforcement yang terdapat di lapangan juga masih sangat rendah, sehingga infrastruktur penegakan hukum tidak mampu untuk melaksanakan apa yang sudah diatur dalam undang-undang. Tujuan utama hukum perburuhan adalah untuk melindungi kepentingan buruh. Tujuan tersebut dilandasi oleh filosofis dasar bahwa buruh selalu merupakan subordinasi dari pengusaha. Oleh karena itu, hukum perburuhan dibentuk untuk subordinasi tersebut, hal tersebut terjadi karena kegagalan secara substansi dan kepentingan di lapangan yang lebih berpihak kepada para pengusaha ketimbang buruh. Didalam Undang- Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,Pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak- hak dan kewajiban antara pekerja buruh dengan pengusaha. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan suatu peristiwa yang tidak diharapkan terjadinya khususnya dari pihak pekerja/buruh, karena dengan PHK tersebut, pekerja/buruh yang bersangkutan akan kehilangan mata pencaharian untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. Oleh karenanya pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan industrial (yakni pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah) hendaknya mengusahakan dengan segala upaya agar jangan terjadi PHK.Walaupun demikian, apabila segala upaya telah dilakukan dan PHK tidak dapat dihindari, maksud PHK tersebut wajib dirundingkan (membahas mengenai hak-hak atas PHK) oleh pengusaha dengan serikat pekerja/buruh atau tidak ada Serikat Pekerja/Serikat Buruh di perusahaan tersebut). Setelah perundingan benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja (PHK) setelah memperoleh penetapan (izin) dari lembaga PPHI. Dengan kata lain, PHK yang tidak terdapat alasan dan Normanya dalam undang- undang ketenagakerjaan, dapat dilakukan dengan besaran hak-haknya harus disepakati melalui perundingan. Secara Yuridis dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaaan, dikenal adanya beberapa jenis pengakhiran hubungan kerja (PHK)1, yaitu sebagai berikut: 1. Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha merupakan jenis pemutusan hubungan kerja yang kerap kali terjadi, hal ini disebabkan: a. perusahaan mengalami kemunduran sehingga perlu rasionalisasi atau 1 Zaeni Asyhadie. Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, 2007, Hlm 180. 195 | LENTERA HUKUM pengurangan jumlah pekerja; b. pekerja telah melakukan kesalahan baik kesalahan yang melanggar ketentuan yang tercantum dalam peraturan perusahaan, perjanjian kerja atau perjanjian kerja bersama (kesalahan ringan), maupun kesalahan pidana (kesalahan berat). c. Perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja. Dalam hal yang demikian, pekerja berhak atas uang pesangon sebesar satu kali. Sebaliknya, jika karena perubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja di perusahaannya maka pekerja berhak atas uang pesangon sebesar dua kali. d. Perusahaan tutup karena mengalami kerugian secara terus menerus selama dua tahun sehingga perusahaan terpaksa harus tutup atau keadaan memaksa (force majeur), pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja dengan ketentuan pekerja berhak atas uang pesangon satu kali. Kerugian perusahaan harus dibuktikan denagan laporan keuangan dua tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik. e. Karena rasionalisasi pengusaha juga dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja karena perusahaan bermaksud hendak melakukan efisiensi. Untuk itu, kepada pekerja yang diputuskan hubungan kerjanya berhak atas uang pesangon sebesar dua kali. Dalam hal rasionalisasi ini, pekerja yang akan diputuskan hubungan kerjanya harus diperhatikan: (a) masa kerjanya, (b) loyalitasnya, dan (c) jumlah tanggungan keluarganya. f. Pengusaha juga dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja karena perusahaan pailit dengan ketentuan pekerja berhak atas uang pesangon sebesar satu kali g. Pekerja yang mangkir selama lima hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha dua kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri. Keterangan tertulis dengan bukti yang sah harus diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja tidak masuk kerja. Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja mangkir maka pekerja berhak menerima uang penggantian hak namun dapat diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 2. Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan maksudnya bukanlah oleh 196 | Perlindungan Buruh Atas Pemutusan Hubungan Kerja Karena Perusahaan Dinyatakan Pailit pengadilan hubungan industrial tetapi oleh pengadilan negeri. Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja melalui pengadilan negeri dengan alasan pekerja telah melakukan kesalahan berat seperti pencurian, pembunuhan, penggelapan, melakukan perbuatan asusila, penganiayaan, dan lain sebagainya. Pekerja yang telah diputus hubungan kerjanya karena telah melakukan kesalahan berat hanya dapat memperoleh uang penggantian hak. Dalam hal pekerja ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha, pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan: (a) untuk satu orang tanggungan dua puluh lima perseratus dari upah, (b) untuk dua orang tanggungan tiga puluh lima perseratus dari upah, (c) untuk tiga orang tanggungan empat puluh lima perseratus dari upah, dan untuk empat orang tanggungan atau lebih lima puluh perseratus dari upah. Di samping karena kesalahan berat, pengusaha juga dapat melakukan pemutusan hubunga kerja karena kesalahan ringan seperti melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Pelanggaran-pelanggaran ringan yang biasanya dilakukan pekerja adalah indisipliner. Dalam hal pekerja melakukan kesalahan ringan pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja setelah pekerja yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut denagan selang jangka waktu enam bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan telah melakukan kesalahan ringan berhak memperoleh uang pesangon sebesar satu kali, dan uang penggantian hak. 3. Pemutusan hubungan kerja demi hukum Pemutusan Hubungan Kerja yang terjadi tanpa perlu adanya suatu tindakan, terjadi dengan sendirinya misalnya karena berakhirnya waktu atau karena meninggalnya pekerja.Pemutusan hubungan kerja demi hukum dapat terjadi dalam hal berikut: a) Habisnya hubungan kerja yang dilakukan dengan sistem/perjanjian kerja waktu tertentu. Hubungan kerja yang dilakukan dengan sistem perjanjian kerja watu tertentu dilakukan dengan cara apabila seseorang pekerja yang telah diterima oleh pengusaha sebagai karyawan dengan status pekerja kontrak dengan jangka waktu tertentu dengan batas waktu yang telah ditentukan sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Bila waktunya habis dan tidak diadakan perpanjangan maka demi hukum perjanjian kerja berakhir, dan masing-masing pihak tidak ada kewajiban yang harus dilaksanakan/diberikan pada mereka. b) Pekerja meninggal dunia dapat membuat hubungan kerja berakhir, kepada ahli warisnya diberikan uang sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan dua kali uang pesangon sesuai ketentuan. 197 | LENTERA HUKUM c) Pemutusan hubungan kerja karena pensiun, maksudnya pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha maka pekerja tidak berhak mendapatkan uang pesangon. Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun, pengusaha wajib memberikan kepada pekerja uang pesangon sebesar dua kali, uang penghargaan masa kerja satu kali ketentuan, dan uang penggantian hak sesuai ketentuan. d) Pekerja yag mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacar akibat kecelakaan kerja, dan tidak dapat melakukan pekerjaan setelah melampui batas dua belas bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang pesangon dua kali ketentuan, uang penghargaan masa kerja dua kali ketentuan, dan uang penggantian hak satu kali ketentuan. 4. Pemutusan hubungan kerja oleh pekerja. Meskipun dalam praktek pemutusan hubungan kerja oleh pekerja sangat jarang dimungkinkan. Pekerja dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada pengadilan hubungan industrial dengan alasan pengusaha melakukan perbuatan diantaranya: a) menganiaya, menghina secara kasar, atau mengacam pekerja; b) membujuk dan/atau menyuruh pekerja untuk melakukan perbuatan yang bertentangan denagan peraturan perundang-undangan; c) tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama tiga bulan berturut-turut atau lebih; d) tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja; e) memerintahkan pekerja untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau f) memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja, sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja. Pemutusan hubungan kerja dengan alasan-alasan tersebut pekerja berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali, uang penghargaan masa kerja satu kali, dan uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan yang sudah diuraikan. Pekerja mengundurkan diri, maksudnya pekerja yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri berhak memperoleh uang penggantian hak. Sementara itu, bagi pekerja yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang pengantian hak juga diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Pekerja yang 198 | Perlindungan Buruh Atas Pemutusan Hubungan Kerja Karena Perusahaan Dinyatakan Pailit mengundurkan diri harus memenuhi syarat: 1. Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat- lambatnya tiga puluh hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri 2. Tidak terikat dalam ikatan dinas; dan 3. Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal pengunduran diri. Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa mengajukan gugatan kepada pengadilan hubungan industrial. Undang-undang menyebutkan bahwa perusahaan dalam keadaan pailit, pembayaran upah didahulukan dari pada utang lainnya. Hal ini didukung pada Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor.13 Tahun 2003 tentang Keteenagakerjaan yang berbunyi “dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka upah dann hak-hak lainnya merupakan utang yang didahulukan pembayarannya”. Sedangkan Pasal 165 UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan pengusaha/perusahaaan dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap pekerja/buruh karena perusahaan pailit dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Pengganti Hak yang lebih rinci yaitu : 1. Uang Pesangon Uang Pesangon merupakan pembayaran dalam bentuk uang dari pengusaha/perusahaan kepada pekerja/buruh sebagai akibat adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang jumlahnya disesuaikan dengan masa kerja pekerja/buruh yang bersangkutan.2 Perhitungan uang pesangon diatur dalam Pasal 156 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai berikut: a. Masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1(satu) bulan upah. b. Masa Kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah. c. Masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah. d. Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah. e. Masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah. f. Masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah. g. Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah. h. Masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah. 2 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan. Hal.189. 199 | LENTERA HUKUM i. Masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.3 2. Uang Penghargaan Masa Kerja Perhitungan uang penghargaan masa kerja ditetapkan sebagai berikut: a. Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah. b. Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah. c. Masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah. d. Masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah. e. Masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah. f. Masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah. g. Masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah. h. Masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah. 3. Uang Pengganti Hak Uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh pekerja/buruh meliputi: a. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur. b. Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja. c. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari Uang Pesangon dan atau Uang Penghargaan Masa Kerja bagi yang memenuhi syarat. d. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.4 Dalam hal penghasilan pekerja/buruh yang dibayarkan atas dasar perhitungan harian, maka penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari.5 Sedangkan untuk upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, potongan/borongan atau komisi, makapenghasilan sehari adalah sama dengan pendapatan rata-rata perhari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimun provinsi atau kabupaten/kota.6 Bagi pekerjaan yang tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada upah borongan, maka perhitungan upah sebulan dihitung dari rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir.7 Pembayaran upah kepada pekerja/buruh merupakan hal yang diutamakan 3 Pasal 156 ayat (2) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 4 Pasal 156 ayat (3) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 5 Pasal 157 ayat (2) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 6 Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 7 Pasal 157 ayat (4) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 200 | Perlindungan Buruh Atas Pemutusan Hubungan Kerja Karena Perusahaan Dinyatakan Pailit meskipun pengusaha yang perusahaannya pailit menerima sanksi pidana penjara, kurungan, dan atau denda. Hal ini diperkuat bunyi pada Pasal 189 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu “sanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau denda tidak menghilangkan kewajiban pengusaha membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian kepada tenaga kerja atau pekerja/buruh”. II. UPAYA HUKUM YANG DILAKUKAN BURUH/PEKERJA JIKA PERUSAHAAN DINYATAKAN PAILIT TIDAK MEMBERIKAN KEWAJIBAN KEPADA PEKERJANYA Antara pekerja/buruh dan perusahaan tak jarang terjadi persilisihan, perselisihan yang umumnya terjadi adalah hal yang berkaitan dengan pemberian hak-hak pekerja/buruh di suatu perusahaan, dalam prakteknya dilapangan bahwasanya setelah terjadi penutupan perusahaan karena pailit dan mem-PHK pekerjanya, banyak perusahaan tidak memberikan kewajibannya yaitu hak-hak pekerja diperusahaan tersebut. Maka dari situlah banyak pekerja yang menuntut hak-haknya untuk segera dipenuhi oleh perusahaan. Dalam menyelelsaikan masalah diatas ada 2 jalur upaya hukum yang dapat ditempuh yaitu: 1. Upaya hukum diluar pengadilan (non litigasi) 2. Upaya hukum melalui pengaadilan (litigasi) yakni menyelesaikan melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Dijelaskan sebagai berikut:8 1. Penyelesaian Perselisihan diluar Pengadilan Hubungan Industrial (Non Litigasi) Penyelesaian perselisihan dalam permasalahan hubungan industrial khususnya terhadap terjadinya perselisihan pemutusan hubungan kerja diupayakan melalui penyelesaian di luar Pengadilan (non litigasi). Upaya penyelesaian perselisihan di luar jalur Pengadilan Hubungan industrial (non litigasi) ini dapat dilakukan dengan penyelesaian melalui bipartit, mediasi, dan konsiliasi. Penyelesaian melalui arbitrase tidak dapat digunakan sebagai upaya penyelesaian pemutusan hubungan kerja karena sebagaimana dalam ketentuan Pasal 1 ayat 15 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004, perselisihan hubungan industrial yang dapat diselesaikan melalui upaya arbitrase hanya mencakup perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, sehingga perselisihan pemutusan hubungan kerja tidak termasuk lingkup perkara arbitrase. a. Penyelesaian Melalui Bipartit Penyelesaian bipartit merupakan tahap awal yang dilakukan oleh pekerja dan pengusaha dalam hal terjadinya perselisihan hubungan industrial, khususnya perlindungan hukum pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja. Penyelesaian secara bipartit dalam kepustakaan mengenai Alternative Dispute Resolution (ADR) disebut sebagai penyelesaian secara negosiasi. Kata negosiasi berasal dari bahasa Inggris negotiation yang berarti perundingan dengan musyawarah, sedangkan yang dimaksud dengan perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja atau serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan 8 Asri Wijayanti, 2009. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Surabaya. 201 | LENTERA HUKUM hubungan industrial. Berkenaan dengan negosiasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa. Kedua pihak yang berselisih dalam upaya negosiasi ini masing-masing memiliki tuntutan yang berbeda, sehingga dengan proses negosiasi ini para pihak dapat saling berkompromi untuk mencapai kesepakatan terhadap permasalahan yang terjadi. b. Penyelesaian Melalui Mediasi Mediasi merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa dalam ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, Mediare yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak. Berdasarkan pada penjelasan mediasi tersebut, mediasi merupakan bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang dilakukan para pihak yang berselisih dengan mengikutsertakan pihak ketiga yang bersifat netral atau tidak memihak salah satu pihak untuk menengahi perselisihan yang terjadi antara para pihak. Upaya mediasi berkaitan dengan Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, perselisihan hubungan industrial, dalam ketentuan Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 menyatakan bahwa : “Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.” Berdasarkan pada pengertian mengenai mediasi sebagai penyelesaian perselisihan hubungan industrial, lingkup penyelesaian melalui mediasi meliputi 4 (empat) jenis perselisihan hubungan industrial, yaitu perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan. Mediasi dilakukan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial diupayakan agar para pihak yang bersengketa dapat menemukan jalan damai atau mendapatkan penyelesaian permasalahan yang sama-sama menguntungkan para pihak sehingga para pihak yang bersengketa tidak perlu melanjutkan sengketa melalui lembaga peradilan khususnya Pengadilan Hubungan Industrial. Berdasarkan Pasal 1 ayat (12) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004, menyatakan bahwa : “Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.” c. Penyelesaian Melalui Konsiliasi Pengertian Konsiliasi sebagaimana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu 202 | Perlindungan Buruh Atas Pemutusan Hubungan Kerja Karena Perusahaan Dinyatakan Pailit usaha untuk mempertemukan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan tersebut. menurut Oppenheim, konsiliasi adalah : “Suatu proses penyelesaian sengketa dengan menyerahkannya kepada suatu komisi orang- orang yang bertugas menguraikan/menjelaskan fakta-fakta dan (biasanya setelah mendengar para pihak dan mengupayakan agar mereka mencapai suatu kesepakatan), membuat usulan-usulan suatu penyelesaian namun keputusan tersebut tidak mengikat.” Upaya penyelesaian melalui konsiliasi pada permasalahan hubungan industrial merupakan upaya yang ditempuh oleh para pihak yang terjadi perselisihan hubungan industrial khususnya pemutusan hubungan kerja yang dilakukan perusahaan, setelah upaya bipartit dinyatakan gagal. Konsiliasi sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004, menyatakan bahwa : “Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral”. Konsiliasi berdasarkan ketentuan Undang-Undang tersebut dikhususkan sebagai upaya di luar pengadilan (non litigasi) yang dikhususkan terhadap permasalahan perselisihan hubungan industrial yang mencakup perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Berdasarkan pengertian konsiliasi tersebut, perselisihan hak tidak dapat diajukan upaya konsiliasi berdasarkan pada ketentuan Undang-Undang tersebut. Upaya konsiliasi dimaksudkan agar para pihak yang bersengketa dapat bermusyawarah untuk mencapai mufakat berkaitan dengan solusi yang tepat terhadap perselisihan antara para pihak sehingga para pihak dapat berdamai tanpa ada lagi salah satu pihak yang merasa dirugikan. Pada penyelesaian konsiliasi memiliki persamaan dengan upaya mediasi yakni terdapat pihak ketiga yang bersifat netral untuk menengahi perselisihan yang terjadi antara para pihak. Apabila para pihak setuju menyelesaikan perkaranya melalui mekanisme konsiliasi, maka perkaranya akan ditangani oleh konsiliator yang terdaftar di Disnakertran setempat. Para pihak dapat melihat daftar nama-nama konsiliator yang terdaftar dan memilihnya. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat (14) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 menyatakan bahwa: “Konsiliator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat- syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.” Menteri yang dimaksud dalam ketentuan tersebut adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Konsiliator merupakan seorang atau lebih yang telah memenuhi syarat sebagai konsiliator. Konsiliator harus terdaftar pada instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan diberi legitimasi oleh menteri atau 203 | LENTERA HUKUM pejabat yang ditunjuk. Berkaitan dengan segala hal mengenai konsiliator mencakup syarat-syarat, tugas dan wewenang, kewajiban hingga pemberhentian konsiliator diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: PER.10/MEN/I/2005 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Konsiliator serta Tata Kerja Konsiliasi. Konsiliator sebagaimana dalam ketentuan Pasal 25 Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 diharapkan agar dapat menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima permintaan penyelesaian perselisihan. Ini berarti tenggang waktu untuk upaya konsiliasi adalah selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja. 2. Penyelesaian Perselisihan Melalui Pengadilan Hubungan Industria( Litigasi) Pengadilan Hubungan Industrial dalam ketentuan Pasal 1 ayat (17) Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 menyatakan bahwa:“Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.” Berdasarkan hal tersebut, Pengadilan Hubungan Industrial merupakan lingkungan dalam Pengadilan Negeri yang khusus untuk menyelesaikan sengketa para pihak dalam hal perselisihan hubungan industrial, sehingga terhadap sengketa yang tidak termasuk dalam lingkup perselisihan hubungan industrial tidak dapat diajukan melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Perselisihan hubungan Industrial merupakan perselisihan perdata yang bersifat khusus antara para pihak, sehingga hukum acara yang berlaku dalam Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Berdasarkan ketentuan Pasal 56 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004, Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus: a. Tingkat pertama mengenai perselisihan hak; b. Tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan; c. Tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja; d. Tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perushaan. Berdasarkan pada ketentuan tersebut, terhadap permasalahan perselisihan kepentingan dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan hanya dapat diajukan pada Pengadilan Hubungan Industrial tanpa dapat diajukan upaya hukum lagi, sehingga Putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Hubungan Industrial tersebut bersifat final dan mengikat. Berkaitan dengan perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja, Pengadilan Hubungan Industrial hanya berhak mengadili pada tingkat pertama saja, sehingga masih dapat diajukan upaya hukum terhadap Putusan Pengadilan Hubungan Industrial.9 9 Gultom Sri Subiandini, 2008, Aspek Hukum Hubungan Industrial, ( Jakarta:Inti Prima Promo Sindo), Hlm.180 204 | Perlindungan Buruh Atas Pemutusan Hubungan Kerja Karena Perusahaan Dinyatakan Pailit Proses beracara pada Pengadilan Hubungan Industrial tidak mengenal upaya hukum banding, sehingga terhadap pihak yang keberatan dengan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial terkait permasalahan perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja, sebagaimana dalam ketentuan Pasal 110 dan Pasal 111 dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004, salah satu pihak atau para pihak dapat diajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung melalui Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja dengan ketentuan sebagai berikut : a. bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan dibacakan dalam sidang majelis hakim; b. bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan. Penyelesaian melalui pengadilan hubungan industrial merupakan upaya yang dapat ditempuh oleh para pihak yang mengalami perselisihan hubungan industrial khususnya perselisihan pemutusan hubungan kerja setelah dilakukan upaya bipartit dan mediasi maupun konsiliasi yang ditempuh dinyatakan gagal dalam menyelesaikan perselisihan diantara para pihak. Pada Pengadilan Negeri pada umumnya dalam hal permasalahan perdata, sebagaimana dengan dikeluarkannya Penyelesaian sengketa perdata melalui Pengadilan Negeri pada umumnya dipandang perlu untuk melakukan mediasi di Pengadilan, namun dalam Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008, mediasi di Pengadilan dikecualikan terhadap perkara yang diselesaikan melalui Pengadilan Niaga, Pengadilan Hubungan Industrial, keberatan atas Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dalam permasalahan perselisihan hubungan industrial, mediasi yang dilakukan oleh para pihak dengan pihak mediator yang berwenang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 sebagai penengah, mediasi tersebut sudah dipandang cukup untuk dilakukan dan tidak perlu lagi dilakukan upaya mediasi di Pengadilan Hubungan Industrial. Berkaitan dalam hal gugatan diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial tanpa dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, ataupun gugatan diajukan tanpa dilakukan upaya mediasi atau konsiliasi sebelumnya, maka sebagaimana dalam ketentuan Pasal 83 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004, Hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada penggugat. Pemeriksaan isi gugatan (dismissal process) sebenarnya hanya dikenal dalam beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), tetapi pemeriksaan seperti ini juga dilakukan di Pengadilan Hubungan Industrial sebagai kekhususan dalam beracara. Hakim Pengadilan Hubungan Industrial dalam hal ini memiliki kewenangan untuk memeriksa isi gugatan dan meminta pihak penggugat untuk menyempurnakan gugatannya. Gugatan perseisihan hubungan industrial sebagaimana dalam Pasal 81 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004, diajukan oleh pihak penggugat ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah 205 | LENTERA HUKUM hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja. Berkaitan dengan gugatan yang diajukan, penggugat memiliki hak untuk mencabut gugatannya. Penggugat sewaktu- waktu dapat mencabut gugatannya sebelum tergugat memberikan jawaban, kemudian apabila tergugat sudah memberikan jawaban, pencabutan gugatan oleh penggugat akan dikabulkan oleh Pengadilan Hubungan Industrial apabila disetujui tergugat. Hal ini sama dengan proses pencabutan gugatan pada permasalahan perdata pada umumnya. Atas gugatan yang telah diajukan oleh pihak yang bersengketa ke Pengadilan Hubungan Industrial, sebagaimana dalam ketentuan Pasal 88 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004, Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima gugatan harus sudah menetapkan Majelis Hakim yang terdiri atas 1 (satu) orang Hakim sebagai Ketua Majelis dan 2 (dua) orang Hakim Ad-Hoc sebagai Anggota Majelis yang memeriksa dan memutus perselisihan, serta 1 (satu) orang Panitera Pengganti yang berperan membantu tugas Majelis Hakim. Berkaitan dengan Hakim Ad-hoc, pengangkatan Hakim Ad-Hoc dilakukan atas usul serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha. Hakim Ad-Hoc yang diusulkan tersebut kemudian diseleksi oleh Panitia Pelaksanaan Seleksi Calon Hakim Ad-Hoc yang dibentuk oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan (yakni Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi). Menteri menetapkan daftar nominasi calon hakim Ad-Hoc dan kemudian diajukan kepada Ketua Mahkamah Agung. Hakim Ad-Hoc diangkat dan diberhentikan dengan keputusan presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. Proses bersengketa dalam Pengadilan Hubungan Industrial mengenal pemeriksaan dengan acara biasa dan pemeriksaan dengan acara cepat. Pemeriksaaan cepat dilakukan sebagaimana dalam ketentuan Pasal 98 Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004. Apabila terdapat kepentingan para pihak atau salah satu pihak yang cukup mendesak yang harus disimpulkan dari alasan- alasan permohonan dari yang berkepentingan, para pihak atau salah satu pihak dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Hubungan Industrial agar penyelesaian sengketa dipercepat. Atas permohonan tersebut, dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya permohonan, Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan tentang permohonan dikabulkan atau tidak. Apabila permohonan untuk pemeriksaan cepat dikabulkan, dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya penetapan, Ketua Pengadilan Negeri menentukan Majelis Hakim, hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan, serta tenggang waktu yang diberikan untuk jawaban dan pembuktian para pihak yang bersengketa ditentukan tidak melebihi 14 (empat belas) hari kerja. Pemeriksaan dengan acara cepat dimohonkan oleh pihak dengan mendasarkan alasan mendesak, sehingga terhadap gugatan yang diajukan dengan pemeriksaan cepat, maka permohonan dari yang berkepentingan sepatutnya harus disertai dengan bukti pendukung agar pemeriksaan dengan acara cepat dikabulkan seperti: a. pemberitahuan adanya rencana mogok kerja; b. pemberitahuan rencana penutupan perusahaan (lock out); c. keterangan polisi berkaitan dengan kerusakan atau tindakan huru- hara atau 206 | Perlindungan Buruh Atas Pemutusan Hubungan Kerja Karena Perusahaan Dinyatakan Pailit tindakan anarkis yang berhubungan dengan gugatan; dan d. putusan pengadilan atau pengumuman yang menyatakan perusahaan pailit atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial pada Pengadailan Hubungan Industrial, sebagaimana dalam ketentuan Pasal 103 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004, “Majelis Hakim wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejaksidang pertama.”Sedangkan dalam penyelesaian perselisihan hak dan pemutusan hubungan kerja dalam proses kasasi sebagaimana dalam ketentuan Pasal 115 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004, “Penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan kerja pada Mahkamah Agung Republik Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan.” Adanya batas atau tenggang waktu yang jelas diatur dalam Undang-Undang ini dimaksudkan agar proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial khususnya dalam hal perselisihan pemutusan hubungan kerja tidak menghabiskan waktu lama sehingga permasalahan yang terjadi antara para pihak cepat terselesaikan. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial khususnya perselisihan pemutusan hubungan kerja melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri dan pada tingkat kasasi melalui Mahkamah Agung Republik Indonesia, hal ini berbeda dengan penyelesaian perselisihan pada upaya non litigasi. Apabila pada upaya non litigasi menekankan prinsip perdamaian yakni para pihak yang bersengketa dapat menemukan solusi yang sama-sama menguntungkan terhadap perselisihan yang terjadi, namun pada proses litigasi dilakukan untuk membuktikan pihak mana yang benar dan pihak mana yang salah, sehingga pada Putusan yang telah dikeluarkan yang bersifat final dan berkekuatan hukum tetap, pihak yang dikalahkan wajib untuk memenuhi isi dari putusan tersebut secara sukarela. Pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.05/PK/N/2005 Kasus PT.Starwin yang telah pailit memiliki suatu permasalahan yang permasalahan tersebut adalah dalam PHK yang dilakukan kepada pekerja/buruhnya tersebut sama sekali tidak diberikan pesangon. Pekerja/buruh PT.Starwin hanya menerima uang pengganti jasa saja, sedangkan hak yang diminta para pekerja/buruh tersebut kepada manajemen PT.Starwin adalah pesangon, uang jasa, dan uang THR tahun 2003. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 165 menyebutkan bahwa perusahaan/pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon satu kali, ketentuan Pasal 156 ayat (2) yang mana uang pernghargaan masa kerja sebesar satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). Dari kasus ini Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengambil putusan yaitu, Menolak permohonan Pemohon/Eks karyawan PT.Starwin Indonesia (dalam pailit) yang berjumlah 3.625 orang untuk seluruhnya yang berisi agar hasil penjualan gedung PT.Starwin Indoensia (dalam pailit) dapat dibagikan kepada kreditur 207 | LENTERA HUKUM istimewa Eks karyawan PT.Starwin Indonesia (dalam pailit) yang berjumlah 3.652 orang terlebih dahulu. III.PENUTUP Kesimpulan penelitian yang diperoleh antara lain adalah, Pertama, Secara umum perlindungan hukum hak-hak buruh/pekerja terhadap pemutusan hubungan kerja karena perusahaan dinyatakan pailit, dalam pemberian hak-hak buruh/pekerja harus sesuai dengan ketentuan yang ada dalam pasal 156-157 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yaitu pemberian Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, dan Uang Penggantian Hak. Dan hak-hak buruh/pekerja harus didahulukan karena mempunyai hak privilage seperti yang termuat dalam Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Kedua, upaya hukum yang dilakukan buruh/pekerja yang menuntut hak- haknya karena perusahaan mengalami kepailitan ada 2 cara yaitu : 1.) Penyelesaian perselisihan dalam permasalahan hubungan industrial khususnya terjadinya perselisihan pemtusan hubungan kerja diupayakan melalui penyelesaian diluar pengadilan (non litigasi). Upaya penyelesaian perselisishan diluar jalur Pengadilan Hubungan Industrial ini dapat dilakukan dengan cara yaitu Bipartit, Mediasi dan Konsiliasi. 2) Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial. Berdasarkan hal tersebut, penyelesaian melalui pengadilan hubungan industrial merupakan upaya yang ditempuh oleh para pihak yang mengalami perselisihan hubungan industrial khususnya perselisihan pemutusan hubungan kerja setalah upaya (non litigasi) Bipartit dan Mediasi maupun Konsiliasi yang dinyatakan gagal dalam menyelesaikan perselisihan antara para pihak. Saran yang diberikan bahwa, Pertama, Perlunya perhatian terhadap pekerja mengenai perlindungan hukum dalam pemberian hak-haknya atas pemutusan hubungan kerja karena perusahaan mengalami kepailitan, sehingga diperlukannya kesadaran dan ketaatan hukum bagi pihak perusahaan/pengusaha dalam pemberian hak-hak pekerjanya.Kedua, Dalam penyelesaian segala perkara terutama dalam hukum ketenagakerjaan yang mengenai hak-hak pekerja, perlunya penyelesaian yang digunakan adalah jalur hukum non litigasi yang bertujuan untuk tetap terjalin hubungan baik antara kedua belah pihak yaitu perusahaan/pengusaha dan pekerja/buruh. Sehingga pihak perusahaan/pengusaha lebih memperhatikan lagi aturan-aturan yang berlaku mengenai hak-hak pekerjanya. DAFTAR PUSTAKA Asri Wijayanti. 2009, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Surabaya. Gultom Sri Subiandini, 2008, Aspek Hukum Hubungan Industrial, (Jakarta:Inti Prima Promo Sindo), Zaeni Asyhadie. Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, 2007 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan. (Jakarta : Raja Grafindo, 2007) 208 | Perlindungan Buruh Atas Pemutusan Hubungan Kerja Karena Perusahaan Dinyatakan Pailit Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 6)