Lentera Hukum, Volume 6 Issue 1 (2019), pp. 163-172 
ISSN 2355-4673 (Print) 2621-3710 (Online) 
https://doi.org/10.19184/ ejlh.v6i1.9545 
Published by the University of Jember, Indonesia 
Available online 28 April 2019 
 
 
 

Menimbang Kewenangan DPR dalam Penggunaan Hak Angket 

Pada Kasus Korupsi KTP Elektornik 
  

Fahmi Ramadhan Firdaus 
University of Jember, Indonesia 

fhmiramadhan@gmail.com 
 
Bayu Dwi Anggono 
University of Jember, Indonesia 
bayu_fhunej@yahoo.co.id 
 

ABSTRACT 

In Indonesia, the control function of the House of Representatives (DPR) includes interpellation rights, 

inquiry rights and the right to express opinions. In 2017, the DPR's inquiry rights to the Corruption 

Eradication Commission (KPK) were considered unconstitutional because the law did not include the 

KPK as the object of the inquiry mechanism. However, the Constitutional Court (MK) in Decision 

Number 36 / PUU-XV / 2017 defined KPK as an executive so that this institution can be monitored 

through the inquiry mechanism. This court's decision, however, contradicts to the four previous 

decisions which classified KPK as an independent institution. This article examines the validity of the 

DPR's inquiry rights to the KPK by considering the DPR's inquiry rights as a form of a mechanism for 

mutual checks and balances to the other state institutions. In practice, there are both formal and material 

rules that must be fulfilled so that their implementation is legally valid and the DPR's inquiry rights to 

the KPK in cases of the electronic KTP corruption ignore these conditions. This article recommends that 

the DPR be careful when using inquiry rights as a monitoring mechanism. 

KEYWORDS: Inquiry rights, House of Representatives, Corruption Eradication Commission. 

 
Copyright © 2019 by Author(s) 

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 

International License. All writings published in this journal are personal views 

of the authors and do not represent the views of this journal and the author's affiliated institutions. 

 

 

 

 

 
 

Submitted: January 24, 2018    Revised: March 09, 2018     Accepted: March 18, 2018 
 

  

HOW TO CITE: 
Firdaus, Fahmi Ramadhan & Bayu Dwi Anggono. “Menimbang Kewenangan DPR dalam 
Penggunaan Hak Angket pada Kasus Korupsi KTP Elektronik” (2019) 6:1 Lentera Hukum 163-172. 

mailto:fhmiramadhan@gmail.com


164 | Menimbang Kewenangan DPR dalam Penggunaan Hak Angket pada Kasus Korupsi KTP Elektronik  

 

I. PENDAHULUAN 

Artikel ini akan membahas pertentangan mengenai keabsahan Hak Angket yang 

digulirkan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi yang 

dianggap salah sasaran. Dewan Perwakilan Rakyat termasuk kategori kekuasaan 

legislatif, di dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya seperti yang tercantum 

dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, konsep tersebut 

menganut teori Trias Politica yang dilahirkan oleh Montesquieu.
1
 DPR sebagai 

pelaksana kekuasaan legislatif, dalam menjalankan fungsi pengawasan, DPR 

mempunyai hak khusus yakni hak angket yang diatur pada pasal 20 A ayat (2) UUD 

1945. Hak tersebut diberikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat guna menjalankan 

mekanisme check and balances system. Tetapi, pelaksanaan hak angket ini seringkali 

dianggap sebagai hambatan dalam menjalankan penegakan hukum. Terakhir kali yang 

menyita perhatian publik adalah penggunaan hak angket yang ditujukan kepada 

Komisi Pemberantasan Korupsi yang disetujui oleh DPR di tahun 2017, yang 

dikhawatirkan pembentukan pansus angket tersebut digunakan untuk agenda tertentu 

yaitu mengintervensi bahkan cenderung melemahkan kewenangan serta fungsi KPK 

yang berkedudukan sebagai lembaga negara independen dan tidak bisa diintervensi 

oleh kekuasaan manapun
2
 dengan tujuan menjalankan fungsinya untuk mencegah dan 

memberantas korupsi di Indonesia. 

Hak  Angket  adalah  hak  DPR  dalam  melaksanakan  penyelidikan pada 

pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang mempunyai kaitan 

dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, 

berbangsa, bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang- 

undangan. Pengertian tersebut dijelaskan pada pasal 79 ayat (3) Undang-Undang No. 

17 tahun 2014. Menurut penjabaran pasal tersebut, Hak Angket yang dapat 

dilaksanakan DPR limitatif hanya pada penyelidikan atas pelaksanaan undang-undang 

atau kebijakan pemerintah yang bersifat penting, strategis, berdampak luas dan 

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Sekilas merujuk pada ketentuan 

tersebut, sesungguhnya KPK tidak dapat dijadikan objek angket oleh DPR, karena KPK 

merupakan lembaga independen dan tidak termasuk eksekutif. 

 

 

II. KEABSAHAN HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT  

TERHADAP KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI 

A. Keabsahan Hak Angket 

Kronologis bergulirnya hak angket KPK dimulai pada 18 April 2017, Bermula dari rapat 

dengar pendapat DPR bersama KPK. Dalam rapat dengar pendapat ini, Komisi III 

meminta KPK agar membuka rekaman proses pemeriksaan BAP Miryam S. Haryani dan 

KPK menolak membuka hasil rekaman tersebut walaupun untuk mengklarifikasi 

                                                           
1
  Charles De Montesquieu, Montesquieu: the Spirit of the Laws (Cambridge University Press, 1989). 

2
  Lihat Pasal 3 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana 

Korupsi. 



165 | LENTERA HUKUM 
 

adanya indikasi-indikasi dalam penyelesaian kasus korupsi KTP elektronik yang 

menyeret beberapa nama anggota DPR.
3
 

Keesokan harinya pada 19 April 2017, rapat dengar pendapat kembali dilanjutkan 

antara Komisi III dengan KPK. Dengan sikap yang sama, KPK tetap menolak untuk 

membuka rekaman pemeriksaan BAP Miryam. Benny K Harman selaku pimpinan 

Komisi III, mendorong komisinya untuk menggunakan upaya paksa melalui 

penggunaan hak angket. Beberapa fraksi setuju digunakannya hak angket, fraksi yang 

setuju diantaranya Gerindra, Golkar, PDIP, Demokrat, PPP dan, NasDem. Sedangkan, 

PAN, PKS, dan Hanura memilih untuk berkoordinasi terlebih dahulu dengan pimpinan 

fraksi dan PKB belum ada sikap resmi karena absen saat rapat berlangsung.
4
 

Pada 20 April 2017, Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menyatakan pihaknya 

tidak hanya akan menggulirkan hak angket terhadap KPK. Komisi III juga melakukan 

penyelidikan terhadap laporan hasil pemeriksaan (LHP) KPK oleh BPK yang diduga 

terdapat penyimpangan dan tidak wajar.
5
 Seminggu kemudian pada 26 April 2017, 

dalam sidang paripurna disebutkan surat masuk usulan mengenai hak angket belum 

dikirimkan oleh Komisi III. Untuk menindaklanjutinya pimpinan DPR beserta 

pimpinan fraksi melaksanakan rapat badan musyawarah dan memutuskan pembahasan 

hak angket KTP elektronik dilaksanakan dalam sidang paripurna esok hari. Fahri 

Hamzah menyebutkan 8 fraksi setuju terhadap pengusulan hak angket. Tetapi 

Demokrat, Gerindra dan PKB berubah sikap untuk menolak hak angket. Keesokan 

harinya PKS menolak keberadaan hak angket terkait kasus KTP elektronik. 

Puncaknya pada 28 April 2017, Rapat paripurna penutupan masa sidang sebelum 

masuk masa reses anggota DPR dengan agenda pembahasan pengajuan hak angket. 

Dinamika usulan hak angket ini membuat pimpinan DPR secara mendadak 

melangsungkan rapat informal menjelang sidang paripurna dimulai. Setelah sidang 

paripurna dimulai, perwakilan Komisi III DPR M. Taufiqulhadi, membacakan usulan 

hak angket tersebut. Kemudian timbul interupsi dari beberapa anggota DPR. Fraksi 

PKB, dan Demokrat sepakat untuk menolak hak angket. Masinton Pasaribu selaku 

anggota Fraksi PDIP mengkritik sejumlah fraksi yang tidak konsisten dari yang 

awalnya sepakat berubah menjadi menolak. Kemudian secara sepihak Fahri Hamzah 

yang merupakan pimpinan sidang saat itu mengetok palu yang berarti usulan hak 

angket disetujui dan tidak menanggapi interupsi dari anggota yang tidak sepakat. 

Akibat keputusan tersebut, tidak sedikit anggota DPR yang walk out, termasuk Fraksi 

Gerindra. Terkait pembentukan pansus hak angket KPK, akan dilaksanakan setelah 

masa reses berakhir.
6
 

Ada dua hal yang menjadi tolak ukur apakah keputusan suatu lembaga negara itu 

                                                           
3
  Elza Astari Retaduari, “Perjalanan Hak Angket KPK hingga Disetujui Paripurna DPR”, online: 

detiknews      <https://news.detik.com/read/2017/04/28/130354/3486565/10/perjalanan-hak-angket-
kpk- hingga-disetujui-paripurna-dpr>. 

4
  Ibid. 

5
  Ibid. 

6
  Ibid. 



166 | Menimbang Kewenangan DPR dalam Penggunaan Hak Angket pada Kasus Korupsi KTP Elektronik  

 

sah atau tidak, yaitu prosedur (formal) dan substansi (materi).
7
 Dalam konteks ini, 

adanya dugaan bahwa hak angket DPR terhadap KPK merupakan cacat hukum. Secara 

prosedur, menurut Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 ada 3 tahap pelaksanaan hak 

angket, yaitu: pengusulan, pembahasan, dan pengambilan keputusan. 

Dalam tahap pengusulan, hak angket diajukan oleh minimal 25 orang anggota 

DPR dan lebih dari 1 fraksi. Pengajuan wajib disertai dengan dokumen yang memuat 

materi kebijakan atau implementasi undang-undang yang akan diselidiki beserta alasan 

penyelidikan. Setelah diajukan oleh minimal 25 orang anggota DPR, kemudian 

perwakilan mengusulkan angket kepada Pimpinan DPR. Lalu Pimpinan DPR akan 

menindaklanjutinya dengan Rapat Paripurna dan membahas usulan tersebut. Jika 

Rapat Paripurna dihadiri lebih dari setengah jumlah anggota DPR kemudian usulan 

tersebut disetujui oleh mereka, maka usul akan ditindaklanjuti dalam pelaksanaan oleh 

DPR. 

Setelah disetujui dalam Rapat Paripurna, langkah selanjutnya DPR membentuk 

panitia angket yang merupakan panitia khusus untuk tahap pelaksanaan. Anggota dari 

Panitia Angket berasal dari semua unsur fraksi di DPR. Panitia angket memiliki waktu 

selama 60 hari untuk melaksanakan penyelidikan.
8
 Setelah waktu yang ditentukan 

maka pansus angket berkewajiban melaporkan temuannya dalam Rapat Paripurna. 

Kemudian tahap pengambilan keputusan. Kuorum dalam Rapat Paripurna untuk 

pengambilan keputusan hasil kerja Panitia Angket, jumlahnya sama dengan kuorum 

awal dalam pengajuannya, yaitu jika dihadiri lebih dari setengah jumlah keseluruhan 

anggota DPR dan disetujui oleh lebih dari setengah dari jumlah anggota DPR yang 

hadir. 

Dalam pelaksanannya prosedur tersebut tidak dilaksanakan oleh DPR, yang 

pertama dalam tahap pengusulan. Menurut Pasal 199 UU No. 17 tahun 2014 tentang 

MD3, Hak angket wajib diajukan minimal 25 anggota DPR dan lebih dari 1 fraksi (ayat 

1). Lalu harus disepakati dalam rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari setengah 

jumlah anggota DPR kemudian keputusan disepakati dengan persetujuan lebih dari 

setengah jumlah anggota DPR yang hadir (ayat 3). Sebagai ketua sidang paripurna yang 

dilaksanakan pada 28 April 2017 yang mengesahkan hak angket KPK. Nyatanya Fahri 

Hamzah tidak menjalankan mekanisme tersebut. Padahal hanya disetujui oleh 25 

anggota DPR dari 8 fraksi di DPR. Parahnya lagi Fahri Hamzah tidak memberikan 

ruang berpendapat bagi anggota yang menolak hak angket yang diusulkan sehingga 

terjadi walk out dan tidak mengikuti voting oleh 3 fraksi yaitu Fraksi PKB, Fraksi 

Demokrat, dan Fraksi Gerindra. Kesimpulannya, hak angket KPK oleh DPR RI dapat 

dikatakan cacat secara prosedural karena tidak sesuai dengan aturan yang tercantum 

dalam UU No. 17 Tahun 2014 sehingga keabsahan hak angket KPK masih menimbulkan 

pertanyaan. 

Kedua, bukti lain cacat prosedur penerapan Hak Angket KPK adalah panitia 

                                                           
7
  Koentjoro  Purbopranoto,  Beberapa  Catatan  Hukum  Tata  Pemerintahan  dan  Peradilan  Administrasi  Negara 

(Alumni, 1975) at 48–49. 
8
  Lihat Pasal 206 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,DPD dan DPRD 

(MD3). 



167 | LENTERA HUKUM 
 

angket harus diisi oleh seluruh fraksi yang ada di dalam DPR.
9
 Padahal sampai 

akhir,ada 3 fraksi yang tidak masuk dalam panitia angket, yaitu Fraksi Demokrat, PKB, 

dan PKS. Hal ini juga menunjukkan adanya penyimpangan prosedur lainnya. 

Ketiga, pengambilan keputusan persetujuan hak angket KPK tidak dijalankan 

menurut mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang 

MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Seperti yang disebutkan pada pasal 199 ayat 

(3) yang mengatur bahwa usul hak angket oleh pengusul (minimal 25 anggota DPR 

lebih dari 1 fraksi) dapat dikatakan sebagai hak angket DPR jika disetujui oleh lebih 

dari setengah jumlah anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna. 

Mekanisme pengambilan suara atau voting secara terbuka merupakan cara untuk 

dapat mengetahui bahwa lebih dari setengah jumlah anggota DPR yang hadir 

menyetujui pelaksanaan hak angket. Setiap anggota DPR yang hadir dalam rapat 

paripurna mempunyai hak suara (one man one vote) untuk memutuskan sikap setuju 

atau tidak setuju terhadap usulan penggunaan hak angket tersebut, dalam hal ini hak 

angket KPK.
10

 

Prosedur pengambilan keputusan persetujuan terhadap hak angket KPK yang 

dilaksanakan hanya melalui penjelasan pengusul hak angket, dan dilanjutkan 

pengambilan keputusan langsung secara sepihak oleh pimpinan sidang paripurna tanpa 

melalui mekanisme pengambilan suara terhadap seluruh anggota DPR yang hadir dalam 

rapat paripurna, jelas tindakan tersebut menyalahi ketentuan Pasal 199 ayat (3) UU 

MD3. Terdapat indikasi pelanggaran substansi terkait digulirkannya hak angket DPR 

terhadap KPK. Dalam rangka fungsi pengawasan DPR memliki 3 (tiga) hak antara lain 

hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Terkait pengertian dan 

siapa saja yang termasuk kedalam subjek angket diatur pada Pasal 79 ayat (3) UU MD3. 

Pengertian hak angket tercantum pada Pasal 79 ayat (3) UU MD3 yang berbunyi: 
“Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk 

melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan 

Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada 

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan 

peraturan perundang-undangan.” 
 

Lantas siapakah pemerintah yang disebutkan pada Pasal 79 ayat (3) UU MD3 

tersebut, hal ini sudah dituangkan dalam penjelasan Pasal 79 ayat (3) yaitu: 

Pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah dapat berupa 

kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, 

Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah 

nonkementerian. 

Jika merujuk pada penjelasan Pasal 79 ayat (3) UU MD3, jelas KPK tidak 

termasuk kedalam klasifikasi siapakah Pemerintah itu. Untuk mengetahui apakah KPK 

                                                           
9
  Lihat Pasal 201 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,DPD dan DPRD 

(MD3). 
10

  Bayu Dwi Anggono, “Angket DPR untuk KPK Langgar Konstitusi”, online: 
detiknews<https://news.detik.com/read/2017/05/04/130644/3491659/103/angket-dpr-untuk-kpk-
langgar- konstitusi>. 



168 | Menimbang Kewenangan DPR dalam Penggunaan Hak Angket pada Kasus Korupsi KTP Elektronik  

 

termasuk kedalam kualifikasi Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) dapat 

berpedoma kepada peraturan yang mangatur lembaga mana saja yang dapat 

dikategorikan sebagai LPNK. 

Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2013 tentang Perubahan kedelapan atas 

Keputusan Presiden Nomor 110 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I 

Lembaga Pemerintah Non Kementerian merupakan regulasi yang mengatur LPNK 

hingga saat ini. Sebagai catatan, pada Pasal 1 Perpres 4/2013 memberikan batasan dan 

mengkategorikan lembaga mana saja yang termasuk LPNK. Ada 14 lembaga yang 

termasuk kedalam LPNK antara lain: Lembaga Administrasi Negara (LAN); Arsip 

Nasional Republik Indonesia (ANRI); Badan Kepegawaian Negara (BKN); 

Perpustakaan Nasional Republik (PERPUSNAS); Badan Standardisasi Nasional (BSN); 

Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN); Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN); 

Lembaga Sandi Negara (LEMSANEG); Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana 

Nasional (BKKBN); Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN); Badan 

Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP); Lembaga Ilmu Pengetahuan 

Indonesia (LIPI); Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT); dan Badan 

Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). 

Jika melihat penjabaran Pasal 1 Perpres 4/2013 sudah sangat jelas KPK tidak 

masuk dalam LPNK. Karena KPK tidak dikategorikan sebagai LPNK dan juga dalam 

klasifikasi Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, atau Jaksa 

Agung sehingga KPK tidak memenuhi pengertian pemerintah menurut penjelasan Pasal 

79 ayat (3) UU MD3. Pihak yang mengusulkan hak angket berpandangan, jika hak 

angket DPR bukan hanya sebatas kebijakan pemerintah tetapi juga dapat digunakan 

sebagai pengawasan untuk penyelidikan terhadap pelaksanaan undang-undang yang 

dilaksanakan lembaga negara. Sehingga pihak pengusul berkesimpulan meski KPK 

tidak termasuk kedalam kategori pemerintah, namun KPK merupakan lembaga negara 

negara pelaksana undang-undang sehingga berdasarkan argumen tersebut KPK dapat 

dijadikan subjek angket. 

Namun, pandangan dari pengusul tidak dapat diterima begitu saja. Karena 

menurut ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 KPK memiliki kedudukan sebagai 

badan-badan lain yang berkaitan fungsinya dengan kekuasaan kehakiman. Menurut 

Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 mengatur bahwa badan-badan lain yang fungsinya 

berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Hal ini sesuai 

dengan Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang 

menjelaskan bahwa salah tugas KPK adalah untuk melakukan penyelidikan, 

penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, sehingga KPK masuk 

kedalam kategori Pasal 24 ayat (3) UUD 1945.
11

 

Sebagai badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Adanya 

KPK tidak dapat dipisahkan terhadap jaminan independensi kekuasaan kehakiman di 

Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: Kekuasaan kehakiman merupakan 

kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum 

                                                           
11

  Ibid. 



169 | LENTERA HUKUM 
 

dan keadilan. 

Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 memberikan jaminan kepada KPK berupa 

kemerdekaan dalam menjalankan wewenangnya, sama halnya jaminan kepada 

Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi 

sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh dan intervensi 

cabang kekuasaan mana pun dalam menjalankan kewenangannya. Independensi KPK 

juga diatur di dalam Undang-Undang KPK, tepatnya pada Pasal 3 yang berbunyi: 

Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas 

dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. 

Hal ini berkesinambungan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. 

Penggunaan hak angket DPR terhadap KPK selain tidak sesuai dengan subjek 

yang seharusnya dikenakan angket, juga sebagai upaya DPR untuk melakukan 

intervensi terhadap pelaksana kekuasaan kehakiman dan badan-badan lain yang 

fungsinya berkaitan dengan KPK. 

Adanya indikasi cacat formil dan cacat materiil dalam pelaksanaan hak angket 

DPR terhadap KPK, sehingga hak angket ini bisa dianggap batal demi hukum dan 

apapun hasil atau rekomendasi pansus angket KPK. KPK tidak mempunyai kewajiban 

untuk melaksanakan rekomendasi pansus. Namun apabila DPR tetap memaksakan 

kehendaknya agar KPK menindaklanjuti hasil pansus angket. Maka DPR sesungguhnya 

telah melanggar UUD 1945.
12

 DPR telah salah sasaran dan tidak pada tempatnya dalam 

menggunakan hak angket. 

 

B. Implikasi Pengajuan Hak Angket 

Ada  4  aspek  yang  menjadi  rekomendasi  pansus  angket  KPK  sebagai  hasil  mereka 

bekerja selama batas waktu yang ditentukan. Aspek yang dimaksud antara lain, aspek 

kelembagaan, aspek kewenangan, aspek tata kelola anggaran, dan aspek Sumber Daya 

Manusia (SDM).
13

  Pertama dalam aspek kelembagaan, KPK harus menyempurnakan 

struktural  organisasi  sehingga  sesuai  dengan  tugas  dan  kewenangannya  seperti 

tercantum dalam Undang-Undang KPK atara lain, koordinasi, supervisi, penindakan, 

pencegahan, dan monitoring. Kedua, KPK harus lebih meningkatkan upaya 

membangun kerjasama dengan lembaga penegak hukum serta lembaga lain yang 

berkaitan dengan tugas dan kewenangan KPK seperti BPK, LPSK, PPATK, Komnas 

HAM, dan pihak perbankan, sehingga pemberantasan korupsi berjalan maksimal 

karena integrasi antar lembaga negara. Ketiga, KPK diminta untuk membentuk 

lembaga pengawas independen yang  beranggotakan  unsur  internal  dan  eksternal  

KPK  dengan  kriteria  anggota merupakan tokoh-tokoh yang berintegritas. 

Pembentukannya diserahkan menurut mekanisme internal KPK. 

Dalam aspek kewenangan, pansus merekomendasikan yang   pertama, agar KPK 

lebih  meningkatkan  koordinasi  dan  melakukan  supervisi  dengan  Kepolisian  dan 
                                                           
12

  Ibid. 
13

  Joko Panji Sasongko, “Kerja Pansus Angket KPK Selesai dengan Empat Rekomendasi”, online: 
nasional <https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180214104633-32-276096/kerja-pansus-angket-
kpk- selesai-dengan-empat-rekomendasi>. 

http://www.cnnindonesia.com/nasional/20180214104633-32-276096/kerja-pansus-angket-kpk-
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20180214104633-32-276096/kerja-pansus-angket-kpk-
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20180214104633-32-276096/kerja-pansus-angket-kpk-
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20180214104633-32-276096/kerja-pansus-angket-kpk-


170 | Menimbang Kewenangan DPR dalam Penggunaan Hak Angket pada Kasus Korupsi KTP Elektronik  

 

Kejaksaan   sebagai   upaya   Trigger   Mechanism.   Kedua,   KPK   diharapkan   untuk 

mempertimbangkan prinsip HAM atau due process of law dalam menjalankan tugas 

penyelidikan,   penyidikan,   dan   penuntutan,   serta   berpedoman   pada   peraturan 

perundang-undangan lainnya, seperti Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban 

dan Undang-Undang tentang HAM. Ketiga, mendorong KPK agar membangun sistem 

pencegahan korupsi yang sistematis sehingga maksimal dalam usaha agar korupsi tidak 

terulang kembali yang akan menyelamatkan keuangan negara. Dalam segi anggaran, 

Pansus   Angket   merekomendasikan,   pertama,   agar   KPK   mengoptimalkan   dan 

memperbaiki tata kelola anggarannya menurut hasil rekomendasi dari BPK. 

Kedua,  DPR  mengupayakan  usaha  untuk  meningkatkan  anggaran  KPK  dalam 

penggunaan  anggaran  untuk  fungsi  pencegahan,  seperti  pendidikan,  sosialisasi,  dan 

kampanye  antikorupsi  sehingga  pemberantasan  korupsi  dapat  berjalan  optimal. 

Terakhir, dari aspek manajemen SDM, Pansus Angket menghasilkan rekomendasi KPK 

untuk,  pertama,  memperbaiki  menajerial  SDM  berdasarkan  peraturan  perundang- 

undangan di bidang SDM atau kepegawaian. Kedua, KPK diminta untuk transparan 

dan terukur dalam proses pengangkatan, promosi, mutasi, rotasi, sampai 

pemberhentian SDM di KPK berpedoman pada undang-undang yang mengatur tentang 

aparatur sipil negara,  Kepolisian,  dan  Kejaksaan.  Asosiasi  Pengajar  Hukum  Tata  

Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) dan Pusat Studi Konstitusi 

(PUSaKO) Fakultas Hukum  Universitas  Andalas  merilis  kajian  yang  ditandatangani  

oleh  sebanyak  132 Guru Besar Hukum dari berbagai universitas, mengenai hak angket 

DPR terhadap KPK yang menyatakan hal tersebut merupakan cacat hukum. Karena, 

DPR telah bertindak inkonstitusional dan salah sasaran.
14

 

 

 

III. KESIMPULAN 

Hak Angket DPR terhadap KPK melanggar prinsip independensi yang dimiliki oleh 

KPK, selain itu hak angket tesebut cacat hukum karena tidak memenuhi syarat formil 

dan materil, karena panitia angket dalam tahap pengusulan, pelaksanaan sampai 

pengambilan keputusan tidak sesuai dengan mekanisme ketentuan dalam Undang- 

Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dalam segi 

materiil, dinilai KPK bukan merupakan cabang kekuasaan eksekutif yang dapat 

diangket seperti yang disebutkan dalam penjelasan pasal 79 ayat (3) Undang-Undang 

No.17  tahun  2014.  Namun  KPK  mempunyai  kedudukan  independen  dalam 

perkembangan teori ketatanegaraan modern dan menjalankan fungsi yang berkaitan 

dengan kekuasaan kehakiman namun bukan pelaku kekuasaan kehakiman. Pasal 24 

ayat (3) UUD NRI 1945 juga mengatur mengenai badan-badan yang berkaitan dengan 

fungsi kekuasaan kehakiman dan KPK termasuk didalamnya apabila melihat fungsi dan 

kewenangannya, Berkaitan dengan fungsi kekuasaan kehakiman maka tidak dilepaskan 

                                                           
14

  Fachrur  Rozie,  “132  Guru  Besar  Hukum  Sebut  Hak  Angket  KPK  Cacat”,  online:  
liputan6.com<https://www.liputan6.com/news/read/2990852/132-guru-besar-hukum-sebut-hak-
angket-kpk- cacat>. 

http://www.liputan6.com/news/read/2990852/132-guru-besar-hukum-sebut-hak-angket-kpk-
http://www.liputan6.com/news/read/2990852/132-guru-besar-hukum-sebut-hak-angket-kpk-
http://www.liputan6.com/news/read/2990852/132-guru-besar-hukum-sebut-hak-angket-kpk-
http://www.liputan6.com/news/read/2990852/132-guru-besar-hukum-sebut-hak-angket-kpk-


171 | LENTERA HUKUM 
 

pada jaminan kemerdekaan dari intervensi kekuasaan manapun atau independen. 

Independensi KPK juga ditegaskan pada Pasal 3 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 

bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam 

melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh 

kekuasaan mana pun. 

Saran bagi Dewan Perwakilan Rakyat, agar lebih berhati-hati dalam 

menggunakan hak angket sebagai mekanisme pengawasan, harus ada kajian lebih 

komperehensif dan mempertimbangkan dampak kedepannya. Penggunaan hak angket 

harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku baik secara formil 

dan materiil. Mahkamah Konstitusi harus lebih konsisten dan taat asas dalam 

memutuskan sebuah perkara mengingat sifat putusannya yang final dan binding 

sehingga tidak dimungkinkan upaya hukum kembali serta harus mempertimbangkan 

putusan-putusan yang telah diputus sebelumnya. 

 

 

DAFTAR PUSTAKA 

Anggono, Bayu Dwi. Perkembangan Pembentukan Undang-Undang di Indonesia 

(Konstitusi Press, 2014).  

De Montesquieu, Charles. Montesquieu: The Spirit Of The Laws (Cambridge 

University Press, 1989). 

Mochtar, Zainal Arifin. Lembaga Negara Independen Dinamika Perkembangan dan 

Urgensi Penataannya Kembali Pasca-Amandemen Konstitusi (PT. Rajagrafindo 

Persada, 2016). 

Moh Mahfud M D. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, cet. 2, edisi revisi ed 

(Jakarta: Rineka Cipta, 2001). 

Purbopranoto, Koentjoro. Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan 

Administrasi Negara (Alumni, 1975). 

Anggono, Bayu Dwi. “Angket DPR untuk KPK Langgar Konstitusi”, online: detiknews 

<https://news.detik.com/read/2017/05/04/130644/3491659/103/angket-dpr-untuk-kpk- 

langgar-konstitusi>. 

Ibrahim, Gibran Maulana. “Ini Sederet Alasan DPR Gulirkan Hak Angket KPK”, online: 

detiknews <https://news.detik.com/read/2017/04/28/152648/3486828/10/ini-

sederet-alasan- dpr-gulirkan-hak-angket-kpk>. 

Jun 2017, Fachrur Rozie14 & 18:53 Wib. “132 Guru Besar Hukum Sebut Hak Angket 

KPK Cacat”,   online:   liputan6.com   

<https://www.liputan6.com/news/read/2990852/132-guru- besar-hukum-sebut-

hak-angket-kpk-cacat>. 

 

 

 

 

 

http://www.liputan6.com/news/read/2990852/132-guru-
http://www.liputan6.com/news/read/2990852/132-guru-
http://www.liputan6.com/news/read/2990852/132-guru-


172 | Menimbang Kewenangan DPR dalam Penggunaan Hak Angket pada Kasus Korupsi KTP Elektronik  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

This page is intentionally left blank