Lentera Hukum, Volume 3 Issue 1 (2016), pp.74-91 ISSN 2355-4673 (Print) 2621-3710 (Online) https://doi.org/10.19184/ ejlh.v3i1.9559 Published by the University of Jember, Indonesia Available online 21 April 2016 Transfer Pricing Terhadap Penerimaan Negara Pada Sektor Pajak Di Indonesia Aprilia Trisanti University of Jember, Indonesia aprilia.trisanti77@gmail.com ABSTRACT The development of the current globalization has made large companies throughout the world to plant their branch companies out of their country. Their companies are called Multinational Companies. The negative impact caused by this development is that with the presence of branches in various countries, a company in a country can move some or all of the profits they earn to other countries that are still in the same parent company. Transfer of profits is done from countries that have high tax rates to countries that have low tax rates between companies that have special relationships. This is done so that the income tax is reduced. This event can be called transfer pricing or transfer pricing between parties that have special relationships. This article examines how the process of transfer pricing and legal consequences arises from tax avoidance events through transfer pricing. Transfer pricing greatly affects the amount of state income, especially in the income tax sector because the tax burden paid by companies is not following the profits they earn. State losses resulting from transfer pricing events reach 1300 trillion annually. But the weakness of institutions in the Tax Directorate General makes transfer pricing events grow. This article concludes with a suggestion that the government further increase tax control by the subject of Permanent Business Forms tax so that taxpayers become law-abiding. KEYWORDS: Transfer Pricing, Tax Avoidance Practices, Income Tax. Copyright © 2016 by Author(s) This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. All writings published in this journal are personal views of the authors and do not represent the views of this journal and the author's affiliated institutions. Submitted: February 05, 2016 Revised: April 08, 2016 Accepted: April 21, 2016 HOW TO CITE: Trisanti, Aprilia. “Transfer Pricing Terhadap Penerimaan Negara Pada Sektor Pajak Di Indonesia“(2016) 3:1 Lentera Hukum 74-91 75 | LENTERA HUKUM I. PENDAHULUAN Perkembangan arus globalisasi membuat perusahaan-perusahaan besar diseluruh dunia dapat dengan mudah menanamkan anak atau cabang perusahaannya ke luar negaranya. Perusahaan-perusahaan itu disebut dengan perusahaan multinasional atau multinasional corporation.Tetapi perkembangan ini juga membawa dampak negatif yaitu perusahaan dapat memindahkan keuntungan dari negara yang memiliki tarif pajak tinggi (high tax countries) ke negara yang memiliki tarif pajak rendah (low tax countries). Hal ini terjadi karena perbedaan berlakunya tarif pajak penghasilan di setiap negara dan memanfaatkan ini sebagai praktik penghindaran pajak atau bisa dikenal dengan transfer pricing. Menurut ketentuan di dalam Pasal 1 angka 8 Peraturan Dirjen Pajak Nomor 32 Tahun 2011 menjelaskan pen gertian transfer pricing yaitu penetapan harga transfer antara pihak- pihak yang memiliki hubungan istimewa. Sedangkan menurut Gunadi menyimpulkan pengertian transfer pricing ke dalam dua pengertian yaitu pengertian secara netral dan pengertian secara pejorative. Pengertian secara netral yaitu pengertian yang bersifat positif sedangkan pengertian secara pejorative adalah pengertian yang bersifat negative. Pengertian transfer pricing secara netral adalah strategi dan taktik dalam dunia bisnis tanpa menggunakan motif pengurangan beban pajak. Sedangkan pengertian secara pejorative adalah penerapan harga transfer dengan cara menggeser laba perusahaan kepada negara yang memiliki tarif pajak rendah untuk memperkecil beban pajak yang harus dibayar kepada negara. Praktik penghindaran melalui transfer pricing banyak dilakukan oleh perusahaan – perusahaan multinasional salah satunya terjadi pada kasus PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia. Sebenarnya Transfer Pricing adalah hal yang wajar dilakukan oleh perusahaan- perusahaan multinasional apabila pelaksanaannya masih memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha antara perusahaan-perusahaan yang memiliki hubungan istimewa yang tertuang dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor 32 Tahun 2011. Apabila pelaksanaannya tidak memenuhi prinsip kewajaran usaha maka praktik transfer pricing dinilai melanggar aturan perpajakan di Indonesia. Faktor – faktor yang menyebabkan wajib pajak melakukan penghindaran pajak melalui transfer pricing yaitu pertimbangan beban pajak, perhitungan tarif, kepemilikian asing, mekanisme bonus, dan ukuran perusahaan. Faktor lain yang menyebabkan transfer pricing masih sering terjadi di negara ini adalah lemahnya pengetahuan petugas pemeriksa pajak di wilayah Direktorat Jendral Pajak (Dirjen Pajak). Petugas pemeriksa pajak masih sangat kurang dalam hal pemahaman mengenai transfer pricing. Sehingga apabila suatu perusahaan sudah di indikasi melakukan praktik penghindaran pajak melalui transfer pricing lalu kasus tersebut sudah masuk kedalam pengadilan pajak tetapi pihak Dirjen pajak akan kalah dengan kuasa hukum dari pihak perusahaan, karena masih terbatasnya pengetahuan mengenai praktik transfer pricing oleh pihak pemeriksa pajak. Perusahaan multinasional yang menggeser beban pajaknya melalui praktik transfer pricing, akan mempengaruhi penerimaan negara khususnya di bidang pajak penghasilan. Berdasarkan hasil analisa yang penulis lakukan, kerugian negara akibat 76 | Transfer Pricing Terhadap Penerimaan Negara Pada Sektor Pajak Di Indonesia peristiwa ini mencapai 1300 triliun per tahunnya. Pajak yang hasilnya akan dimasukkan ke dalam kas negara sangat diperlukan sebagai biaya segala bentuk aktivitas dan berjalannya roda pemerintahan. Dengan adanya rekayasa tersebut penerimaan negara otomatis akan berkurang dan mengakibatkan kas negara menurun. Lalu, apabila penerimaan keuangan negara menurun maka program pembangunan pemerintah menjadi terhambat dan mempengaruhi kesejahteraan rakyat di seluruh Indonesia. Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, rumusan masalah yang dapat diidentifikasi oleh penulis adalah sebagai berikut, pertama, bagaimanakah proses terjadinya Transfer Pricing serta keterkaitannya dengan penerimaan negara pada sektor pajak di Indonesia. Kedua, bagaimana akibat hukum dengan adanya Transfer Pricing terhadap penerimaan negara pada sektor pajak di Indonesia. Adapun jenis metode penelitian yang penulis gunakan yaitu metode penelitian yuridis normatif, suatu proses penelitian hukum untuk menemukan suatu aturan hukum, doktrin – doktrin hukum, serta prinsip – prinsip hukum guna menjawab isu atau permasalahan hukum yang timbul dan harus dihadapi. Penulis menggunakan pendekatan Undang – undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan Undang – undang (statute approach) yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaan semua peraturan perundang – undangan yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan atau isu hukum yang sedang dihadapi. Sedangkan pendekatan konseptual yaitu pendekatan yang bermula dari pandangan dan doktrin yang berkembang dalam bidang hukum. Sumber bahan hukum adalah suatu alat untuk memecahkan suatu permasalahan hukum atau isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang diperlukan sebagai sumber-sumber penelitian. Berkaitan dengan sumber bahan hukum yang digunakan terbagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim1. Adapun sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Peraturan Dirjen Pajak Nomor 32 Tahun 2011 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa. Bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi yang berkaitan dengan buku- buku teks (textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de herseende leer), pendapat para sarjana, jurnal – jurnal hukum, yurisprudensi, kasus-kasus hukum, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang masih berkaitan dengan topik pembahasan 1 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Bandung, 2006) hlm 181. 77 | LENTERA HUKUM penelitian.2 Sedangkan bahan non hukum merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan atau petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, encyclopedia, internet, dan lain-lain yang digunakan sebagai bahan pendukung.3 II. PROSES TERJADINYA TRANSFER PRICING SERTA KETERKAITANNYA DENGAN PENERIMAAN PADA SEKTOR PAJAK DI INDONESIA Transaksi yang dilakukan oleh perusahaan grup korporasi multinasional dapat dikategorikan dalam beberapa bentuk transaksi yaitu royalti, penjualan lisensi, paten, penjualan komponen, penjaminan utang, dan lain sebagainya.4 Dengan berkembangnya arus globalisasi dalam bidang ekonomi telah memunculkan berbagai bentuk perusahaan multinasional. Penentuan harga atas segala transaksi antara anggota grup perusahaan multinasional disebut dengan tarnsfer pricing (penentuan harga transfer). Di era globalisasi ini banyak sekali bentuk perusahaan multinasional, salah satu bentuk perusahaan multinasional terbesar di dunia adalah Toyota. Toyota adalah bentuk perusahaan otomotif yang induk perusahaannya berada di Jepang. Toyota memiliki banyak cabang perusahaan, anak perusahaan, dan perusahaan terafiliasi di berbagai negara di seluruh dunia. Salah satu anak perusahaan Toyota di adalah PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia yang berkedudukan di Indonesia. Sistem pengelolaan keuangan dalam perusahaan multinasional tentunya sangat berbeda dengan pengelolaan perusahaan nasional yang hanya berkedudukan di satu negara. Pengelolaan keuangan oleh perusahaan multinasional dilakukan dengan berbagai cara untuk memaksimalkan keuntungan yang di dapat dan meminimkan kerugian yang dihasilkan. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh perusahaan multinasional adalah transfer pricing, terutama dalam hal perencanaan pajaknya. Sebenarnya transfer pricing tidak sepenuhnya ilegal digunakan oleh perusahaan multinasional dalam perencanaan pajaknya asalkan telah memenuhi persyaratan yang diberikan oleh negara sesuai dengan ketentuan dalam Undang- undang. Penulis dalam hal ini akan memberikan contoh bagaimana proses terjadinya transfer pricing secara singkat supaya lebih mudah di pahami oleh pembaca. Contohnya yaitu : Perusahaan multinasional dengan melakukan mark down atas penghasilan yang diperoleh. PT X merupakan perusahaan di bidang industry beras. Misal seharusnya PT X dapat menjual produk berasnya ke pasar bebas dengan harga US$20/pcs tetapi PT X terlebih dahulu menjual produknya ke negara Y yang memiliki tariff pajak lebih rendah (tax heaven country) dengan nama perusahaan Y Co, perusahaan Y Co masih merupakan anggota grup perusahaan (memiliki hubungan istimewa). Produk berasnya dijual 2 Op.Cit., hlm 296. 3 Ibid, hlm 296. 4 Ayu Ida, Budi Ispriyarso, Henny Juliani, Analisis Yuridis Terhadap Transfer Pricing sebagai Upaya Penghindaran Pajak Tax Avoidance (Universitas Diponegoro, 2016) hlm 5. 78 | Transfer Pricing Terhadap Penerimaan Negara Pada Sektor Pajak Di Indonesia dengan harga US$12/pcs. Kemudian perusahaan Y Co baru menjual beras tersebut ke Z Corp dengan harga USD20/pcs yang merupakan pihak independen atau bukan merupakan anggota grup perusahaan dan tidak memiliki hubungan itimewa. Tetapi pada realitanya beras itu tidak dikirimkan oleh PT X ke Y Co melainkan dikirimkan langsung ke Z Corp sehingga transaksi yang dilakukan antara PT X dengan Y Co hanya berupa transaksi invoice saja. Apabila melihat dari laporan penjualan PT X bahwa mereka rugi karena telah menjual produknya dibawah harga pasar ke perusahaan Y Co, akibatnya PT X dianggap rugi oleh negara dan beban pajak penghasilan yang harus dibayar kepada negara akan berkurang atau bahkan hilang, tetapi pada kenyataannya PT X tidak menjual ke perusahaan Y tetapi langsung menjual ke Z Corp. Salah satu cara yang dilakukan oleh negara-negara dengan adanya transfer pricing adalah dibuatnya suatu kewenangan dimana pemerintah selaku fiskus diberikan wewenang untuk menghitung kembali jumlah biaya – biaya dan laba yang hasilkan oleh perusahaan multinasional yang memiliki beberapa divisi, sehingga transaksi antar divisi yang menimbulkan praktik transfer pricing yang dapat mengecilkan beban pajak yang terutang kepada negara dapat dicegah. Contoh diatas hanya merupakan penejalasan secara singkat proses terjadinya praktik penghindaran pajak melalui transfer pricing. Untuk selanjutnya akan dijelaskan mengenai kasus PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia atau selanjutnya disebut dengan TMMIN. Perusahaan Multinasional sangat berpotensi untuk melakukan praktik penghindaran pajak melalui transfer pricing. Salah satunya terjadi pada kasus PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia berdasarkan hasil pemeriksaan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh) PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia di Tahun Pajak 2005 sampai dengan Tahun Pajak 2008 dianggap telah melakukan transfer pricing yang ilegal karena beban pajaknya menjadi sangat kecil. Kasus PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia mulai dapat ditelusuri dari tahun 2003 karena pada saat itu PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan restruksi atau perbaikan perusahaan yang mendasar pada bisnisnya. Sebelumnya semua lini bisnis dalam produksi dilakukan bawah satu bendera yaitu PT Toyota Astra Motor. Kepemilikan saham pada PT Toyota Astra Motor terbagi menjadi dua yaitu sebanyak 51% dimiliki oleh PT Astra Internasional dan 49% dimiliki oleh Toyota Motor Corporation Jepang5. PT Astra International pada pertengahan tahun 2003 menjual sebagian besar dari kepemilikan sahamnya kepada Toyota Motor Corporation Jepang, hal ini dikarenakan PT Astra International memiliki hutang jatuh tempo yang memang harus dibayar saat itu juga dan tidak bisa ditangguhkan lagi. Maka dari itu, otomatis kepemilikan saham yang dimiliki PT Toyota Astra Motor menjadi sebesar 95%. Akibat dari peristiwa tersebut nama perusahaan yang awalnya PT Toyota Astra Motor menjadi PT Toyota Motor Manufacturing. 5 I Gede Yudi Henrayana, Makalah Analisis Kasus Transfer Pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (Politeknik Keuangan Negara, 2016) hlm.9. 79 | LENTERA HUKUM Sementara dalam hal fungsi distribusi di pasar domestik, Astra dan Toyota Motor Corporation Jepang mendirikan perusahaan agen tunggal pemegang merek atau bisa disebut ATPM. Perusahaan sepakat untuk mengambil nama agen tunggal dengan nama yang lama yaitu PT Toyota Astra Motor (TAM). Kasus PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia mulai terdeteksi karena Wajib Pajak melakukan restitusi atau permohonan pengembalian pajak untuk tahun pajak 2005, 2007, dan 2008. Atas permohonan restitusi itulah DJP memeriksa kembali SPT Toyota dan ditemukan beberapa kejanggalan. Misalnya pada tahun 2004, laba bruto Toyota turun lebih dari 30% dari yang awalnya senilai Rp 1,5 triliun di tahun 2003 menjadi Rp. 950 miliar ditahun 2004. Selain itu pada tahun itu juga terjadi penurunan pada perbandingan antara laba kotor dengan tingkat penjualan atau disebut rasio gross margin yang awalnya sebesar 14,59% pada tahun 2003 menjadi 6,58% pada tahun 2004. Sebelum perusahaan Toyota ini melakukan restrukturisasi gross margin yang dihasilkan selalu mengalami peningkatan dari 11%-14%. Namun setelah dilakukan restrukturisasi, gross margin PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia hanya sekitar 1,8% hingga 3% per tahun. Hal ini berarti laba margin sebelum dan sesudah dilakukan restrukturisasi mengalami penurunan. Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan oleh DJP pada SPT Toyota petugas dapat menyimpulkan bahwa penyebab turunnya gross margin adalah transfer pricing. Hal ini dianggap transfer pricing karena pelaksanaan pajaknya tidak sesuai dengan prinsip kelaziman dan kewajaran usaha serta pembayaran royalti yang dinilai tidak wajar. Tetapi pada pembahasan ini penulis hanya membahas perkara penurunan pembayaran pajak PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia dan tidak membahas perkara pembayaran royalti yang dinilai tidak wajar. Untuk perkara penjualan ekspor PT Toyota memiliki kebijakan bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia harus melakukan penjualan kepada unit bisnisnya Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd, yang berkedudukan di Singapura. Lalu Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd ini yang akan menyalurkan penjualan ke negara – negara lain seperti Thailand dan Filipina. Proses jual-beli melalui negara perantara semacam itu sebenarnya wajar saja dilakukan dalam perdagangan internasional, apalagi penjual dan pembelinya masih merupakan bagian dari induk perusahaan multinasional yang sama. Namun, yang menjadi permasalahan di bidang perpajakan adalah apabila transfer pricing dilakukan tidak berdasarkan pada prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang diatur dalam Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor 43 Tahun 2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa serta dilakukan untuk menghindari atau mengurani beban pajak yang seharusnya dibayar. Kebijakan Toyota memilih negara perantara penjualan ekspor yaitu negara Singapura menarik untuk diperhatikan. Singapura merupakan negara yang mempunyai tarif Pajak Penghasilan korporasi yang paling rendah di Asia Tenggara, yaitu sebesar 15% sampai dengan 17%.6 Untuk tahun pajak di tahun 2009 pada saat itu diduga terjadinya 6 Ibid, hlm 10. 80 | Transfer Pricing Terhadap Penerimaan Negara Pada Sektor Pajak Di Indonesia transfer pricing oleh PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia. Tarif Pajak Penghasilan korporasi Singapura yang diterapkan di Singapura jauh berada di bawah Indonesia sedangkan tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan Indonesia adalah progresif sebesar 10%, 15%, dan 30%. Hal ini tentunya memberikan peluang kepada perusahaan - perusahaan multinasional seperti Toyota, untuk memindahkan pendapatannya dari Indonesia sebagai negara yang menganut pajak tinggi (high tax countries) ke Singapura sebagai negara yang menganut pajak rendah (low tax countries), untuk meringankan beban pajaknya secara sebagian maupun keseluruhan. Petugas dirjen pajak menganggap PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia telah melakukan transfer pricing di luar prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang telah di atur dalam Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor 43 Tahun 2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa yang bertujuan untuk mengecilkan beban pajaknya di Indonesia. Dari pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh DJP pada SPT PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia Tahun Pajak 2007 menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2007, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia tercatat mengekspor 17.181 unit Fortuner ke Singapura. Dari pemeriksaan atas laporan keuangan Toyota, petugas pajak menemukan bahwa harga pokok penjualan atau cost of goods sold (COGS) Fortuner itu adalah Rp 161 juta per unit. Anehnya, dokumen internal Toyota menunjukkan bahwa semua Fortuner itu dijual 3,49% lebih murah dibandingkan nilai tersebut. Dengan demikian, Toyota Indonesia menanggung kerugian dari penjualan mobil-mobil itu ke Singapura. Petugas pajak juga melakukan pemeriksaan yang sama pada penjualan mobil Innova bensin dan Innova diesel. PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia menjual Innova bensin dan Innova diesel kepada Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd masing-masing dengan harga 5,14% dan 1,73% lebih murah dari biaya produksinya per unit. Sementara, pada ekspor Toyota Rush dan Terios, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia hanya memperoleh keuntungan yang minim dari biaya produksinya, yaitu hanya 1,15% dan 2,69% per unit. Temuan petugas pemeriksa pajak atas penjualan ekspor PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia menjadi semakin menarik apabila dibandingkan dengan penjualan domestiknya. Toyota Indonesia menjual produk-produk yang sejenis dengan harga yang berbeda kepada pembeli lokal di Indonesia. Toyota menjual mobil di dalam negeri dengan gross margin sebesar 3,43% sampai dengan 7,67%. Akan tetapi temuan petugas pemeriksa pajak dirasa masih belum cukup untuk menyimpulkan bahwa telah dilakukan praktek penghindaran pajak melalui transfer pricing oleh PT Toyota Manufacturing Indonesia. Sebenarnya kebijakan diskriminasi harga penjualan ekspor dengan harga penjualan domestik merupakan hal yang wajar apabila masih dalam ketentuan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Selain itu, mungkin saja produk yang ditemukan oleh petugas pemeriksa pajak dari PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia memproduksi merupakan produk yang tidak efisien sehingga perusahaan terpaksa menjual dengan harga di bawah biaya produksinya. Untuk membuktikan terjadinya praktek penghindaran pajak melalui transfer pricing maka petugas pemeriksa 81 | LENTERA HUKUM pajak harus melakukan pemeriksaan nilai kewajaran dari seluruh transaksi dari PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia ke Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd di Singapura. Adapun cara lain yang dapat digunakan Dirjen Pajak untuk menilai kewajaran dan kelaziman transfer pricing adalah dengan cara membandingkan harga yang ditetapkan pada ekspor PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia ke Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd di Singapura dengan perusahaan yang sejenis di luar negeri dan tentunya perusahaan yang bukan merupakan satu induk perusahaan yang sama. Cara ini disebut dengan Metode Perbandingan Harga antara pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP). Sebagai pembanding Toyota, petugas pemeriksa pajak menggunakan perbandingan dengan lima perusahaan otomotif yang dianggap memiliki karakteristik yang sama. Kelima perusahaan itu adalah Yulon Motor dari Taiwan, Dongan Heibao dari Cina, Hindustan Motors dari India, Hindustan Motors dari India, dan Shenyang Jinbei.7 Dari perbandingan atas transaksi afiliasi yang dilakukan oleh petugas pemeriksa pajak dari kelima perusahaan otomotif tersebut dengan Toyota menetapkan bahwa nilai rata – rata gross margin yang dapat dinilai wajar (arm’s length range) adalah 3,22% sampai dengan 13,58%. Karena kisaran gross margin dari transaksi antara PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia ke Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd di Singapura berada di bawah nilai wajar. Maka dari itu DJP menyimpulkan bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan praktik transfer pricing untuk penghindaran pajak. III.PENGARUH TRANSFER PRICING TERHADAP PENERIMAAN NEGARA PADA SEKTOR PAJAK DI INDONESIA Di beberapa negara, penerimaan negara di sektor pajak ditempatkan sebagai salah satu sumber pendapatan negara yang paling penting. Negara memberikan beban pajak kepada warga negaranya dan kepada orang pribadi atau badan yang bukan merupakan warga negaranya. Di Indonesia ketentuan mengenai pajak berada di Pasal 23A Undang – Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perencanaan perpajakan merupakan salah satu mekanisme yang digunakan oleh suatu badan atau perusahaan. Perencanaan pajak merupakan bagian yang kecil dari begitu banyak perencanaan yang dilakukan oleh perusahaan sehingga dibutuhkan penilaian atau evaluasi tersendiri untuk melihat sejauh mana hasil pelaksanaan perencanaan pajak terhadap beban pajak. Perencanaan pajak merupakan tindakan terstruktur yang berkaitan dengan konsekuensi potensi pajak, yang tekanannya berada pada pengendalian setiap transaksi yang ada konsekuensi pajaknya. Hal ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengendalian tersebut dapat mengefisiensikan jumlah beban pajak yang harus dibayar kepada pemerintah melalui apa 7 Ibid, hlm.11. 82 | Transfer Pricing Terhadap Penerimaan Negara Pada Sektor Pajak Di Indonesia yang disebut penghindaran pajak (tax avoidance) dan bukan merupakan penyelundupan pajak (tax evasion)8. Transfer pricing merupakan salah satu strategi perencanaan pajak oleh perusahaan – perusahaan multinasional untuk menggeser beban pajak kepada negara yang memiliki tarif pajak tinggi ke negara yang memiliki tarif pajak rendah sehingga akan menimbulkan keuntungan kepada anak perusahaan yang memiliki tarif pajak rendah. Transfer pricing tidak hanya dilakukan oleh perusahaan tingkat menengah tetapi juga di lakukan oleh perusahaan tingkat atas seperti pada kasus google dan Amazon. Google.co.uk adalah anak perusahaan yang memiliki induk perusahaan di Irlandia sehingga keuntungan dari Google di transfer ke Irlandia, tetapi cabang Google di Irlandia statusnya masih anak perusahaan maka dari itu perusahaan ini mentransfer lagi ke Belanda. Di Indonesia praktik transfer pricing juga sering dilakukan. Diperkirakan sekitar 4000 perusahaan multinasional tidak membayar beban pajaknya dalam tujuh tahun terakhir, salah satu kasus terbesar yang terjadi di Indonesia adalah transfer pricing oleh PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia. Saat memeriksa SPT Toyota, Dirjen pajak menemukan sejumlah kejanggalan, laba bruto perusahaan menurun hingga 30% yang awalnya Rp. 1,5 Triliun menjadi Rp 950 Miliar. Selain itu rasio gross margin atau perimbangan antara laba kotor dan tingkat penjualan menyusut yang awalnya 14,59 % ditahun 2003 menjadi 6,58% ditahun 2004.9 Abuse of transfer pricing atau penyalahgunaan penentuan harga transfer antara perusahaan yang memiliki hubungan istimewa ternyata dapat dilakukan dalam satu grup perusahaan atau satu induk perusahaan di negara yang memiliki tarif pajak yang lebih tinggi asalkan perusahaan dinegara tersebut sedang mengalami keugian atau banyak masalah yang dapat dimanfaatkan di negara tersebut. Tetapi, Abuse of transfer pricing hanya bisa dilakukan oleh perusahaan multinasional yang memiliki cabang perusahaan di berbagai negara (international transfer pricing). Sedangkan domestic transfer pricing tidak begitu berpengaruh terhadap potensi penerimaan negara pada sektor pajak pada suatu negara, karena pengurangan laba atau penghasilan di suatu perusahaan akan mengakibatkan penambahan laba atau penghasilan di perusahaan lainnya sehingga hasil dari penerimaan negara pada sektor pajak akan sama saja. Tetapi berbeda pada kasus perusahaan yang memiliki hak kompensasi kerugian maka domestic transfer pricing masih dapat digunakan. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa abuse of transfer pricing sangat berpotensi terhadap resiko berkurangnya penerimaan negara pada sektor pajak di Indonesia.10 8 Ayu Ida, Budi Ispriyarso, Henny Juliani, Analisis Yuridis Terhadap Transfer Pricing sebagai Upaya Penghindaran Pajak Tax Avoidance (Universitas Diponegoro, 2016) hlm 3. 9 Ibid, hlm.3. 10 Hadi setiawan, Transfer Pricing dan Risikonya Terhadap Penerimaan Negara,hlm.4. 83 | LENTERA HUKUM III. AKIBAT HUKUM YANG DITIMBULKAN DARI PRAKTIK PENGHINDARAN PAJAK MELALUI TRANSFER PRICING Berdasarkan penjelasan dalam Pasal 24 C Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas system konstitusi. Lalu pada kententuan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 menjelaskan bahwa Negara Indonesia merupakan negara hukum. Hal ini menjelaskan bahwa dalam setiap tindakan yang yang dilakukan harus memiliki dasar hukum yang jelas. Istilah akibat hukum merupakan istilah yang berkembang setelah adanya suatu peristiwa hukum. Masyarakat dalam kehidupan sehari – hari mengadakan suatu hubungan antara satu dengan lainnya dan akan menimbulkan peristiwa kemasyarakatan atau peristiwa hukum.11 Akibat hukum yaitu suatu akibat yang ditimbulkan oleh adanya suatu peristiwa hukum dan atau hubungan hukum12. Hal tersebut di karenakan suatu hubungan hukum melahirkan hak dan kewajiban yang telah ditentukan oleh Undang – Undang, dan apabila hak tidak diperoleh atau kewajiban tidak dilaksanakan maka akan menimbulkan suatu akibat hukum dan dapat dituntut dimuka pengadilan. Sedangkan pengertian akibat hukum dalam buku yang ditulis oleh Soeroso, Akibat hukum adalah suatu akibat yang diharapkan dari tindakan yang dilakukan oleh pelaku hukum untuk memperoleh suatu akibat. Akibat yang dimaksud merupakan akibat yang diatur oleh hukum, sedangkan tindakan yang dilakukan merupakan tindakan hukum yang sesuai dengan hukum yang berlaku yaitu tindakan yang sesuai dengan hukum yang masih berlaku.13 Akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh suatu peristiwa hukum, yang dapat berwujud :14 1. Lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu keadaan hukum. Contohnya : akibat hukum dapat berubah ketika seseorang telah berusia 21 tahun dari tidak cakap hukum menjadi cakap hukum. Apabila seseorang itu sudah berusia tua atau uzur sehingga berada dalam pengampuan, maka kecakapan hukum tersebut menjadi hilang dan diwakilkan oleh pengampunya. 2. Lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu hubungan hukum antara dua atau lebih subjek hukum, dimana hak dan kewajiban pihak yang satu berkaitan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain. Contohnya : A mengadakan perjanjian sewa - menyewa toko dengan B, maka lahirlah hubungan hukum antara A dan B, apabila semua perjanjian telah dipenuhi berarti sewa menyewa toko telah berakhir lalu setelah itu hubungan hukum akan lenyap. 3. Lahirnya sanksi dan penghargaan (Reward) apabila dilakukan tindakan yang melawan hukum. Contoh sanksi: seorang pencuri diberikan sanksi hukuman merupakan salah satu dari akibat hukum atas perbuatan yang dilakukan pencuri tersebut, yaitu mengambil barang orang lain secara melawan hukum dan bukan merupakan haknya. Contoh penghargaan : apabila ada seseorang yang mengendarai kendaraan dijalan lalu tidak sengaja dia hampir menabrak pengguna jalan. Lalu 11 C.S.T, Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, (Jakarta:PT. Rineka Cipta 2011) hlm.35. 12 Sudaryanto Agus, Pengantar Ilmu Hukum (Malang:Setara Press 2015) hlm 65. 13 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta:Sinar Grafika, 2013) hlm.295. 14 Ibid, hlm.66 84 | Transfer Pricing Terhadap Penerimaan Negara Pada Sektor Pajak Di Indonesia pengendara itu turun dari kendaraannya, menolong dan meminta maaf kepada pengguna jalan maka seseorang tersebut patut diberi penghargaan atas perilaku baiknya. Dari contoh diatas dapat disimpulkan mengenai pengertian akibat hukum. Akibat hukum adalah suatu peristiwa yang ditimbulkan dari suatu sebab, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum, baik perbuatan tersebut sesuai dengan hukum, maupun perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum. A. Akibat Hukum Bagi Perusahaan Yang Melakukan Praktik Penghindaran Pajak Melalui Transfer Pricing Akibat hukum memberikan pengertian bahwa suatu akibat akan terjadi apabila dilakukannya suatu hubungan hukum. Melaksanakan hubungan hukum harus memenuhi hak dan kewajiban yang telah disepakati antara para pihak. Maka dari itu apabila hak dan kewajiban tidak dipenuhi oleh salah satu pihak maka dianggap melanggar hukum sehingga dapat dikenai sanksi dan dapat dituntut dimuka pengadilan. Menurut Mardiasmo sanksi perpajakan adalah suatu bentuk jaminan bahwa ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan atau norma perpajakan akan dituruti, dipatuhi, dan ditaati oleh wajib pajak atau bisa dikatakan bahwa sanksi perpajakan adalah pencegahan preventif dan represif agar Wajib Pajak tidak melanggar norma perpajakan yang berlaku dalam Undang – undang.15 Ada dua bentuk sanksi perpajakan yaitu : 1. Sanksi Administrasi yang terdiri dari : a. Sanksi Administrasi Berupa Denda Sanksi denda merupakan jenis sanksi yang paling sering ditemukan dalam Undang – undang perpajakan. Mengenai jumlah besaran denda yang ditetapkan yaitu berupa jumlah tertentu, persentase dari jumlah tertentu, atau suatu hasil dari angka perkalian jumlah tertentu. Pada beberapa kasus pelanggaran tertentu, sanksi denda ini bisa ditambah dengan sanksi pidana. Pelanggaran pajak yang dapat dikenai sanksi pidana yaitu pelanggaran yang sifatnya disengaja atau alpa. b. Sanksi Administrasi Berupa Bunga Apabila terjadi pelanggaran pajak yang menimbulkan utang pajak menjadi lebih besar maka dapat diberlakukan sanksi administrasi berupa bunga. Cara menghitung besarnya bunga yaitu berdasarkan presentase tertentu dari suatu jumlah tertentu, mulai bunga itu menjadi hak dan kewajiban hingga saat diterima dan dibayarkan. Terdapat beberapa perbedaan dalam menghitung bunga utang pajak dengan bunga utang biasa. Penghitungan bunga utang pajak tidak dihitung berdasarkan bunga majemuk, sedangkan pada bunga utang biasa dihitung berdasarkan bunga majemuk (bunga berbunga). Besarnya bunga yang dikenakan dalam suatu pelanggaran akan dihitung secara tetap dari jumlah pokok pajak yang kurang atau tidak dibayar. Apabila 15 Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi Tahun 2016 (Yogyakarta:Penerbit Andi, 2016) hlm.62. 85 | LENTERA HUKUM wajib pajak tidak membayar atau hanya membayar sebagian dari jumlah bunga yang terdapat dalam surat ketetapan pajak yang telah diterbitkan, maka fiskus akan menagih kembali sanksi bunga tersebut dengan disertai bunga. Ada juga perbedaan lainnya yaitu sanksi bunga dalam perpajakan dihitung berdasarkan 1 (satu) bulan penuh dan tidak dihitung secara harian. c. Sanksi Administrasi Berupa Kenaikan Jika melihat dari bentuknya, sanksi administrasi berupa kenaikan adalah sanksi yang paling ditakuti oleh wajib pajak karena jumlah beban pajak bisa berlipat ganda apabila wajib pajak terkena sanksi ini. Pada dasarnya sanksi berupa kenaikan dihitung dengan jumlah angka persentase tertentu dari jumlah pajak yang kurang atau tidak dibayar. Penyebab sanksi bentuk ini diberlakukan apabila wajib pajak tidak memberikan informasi – informasi tertentu yang dibutuhkan fiskus dalam menghitung jumlah beban pajak yang terutang. 2. Sanksi Pidana Biasanya sanksi pidana hanya terdapat pada peradilan umum tetapi ternyata tidak, dalam perpajakan pun dapat dikenai sanksi pidana. Pada dasarnya menurut Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disingkat dengan UU KUP menyatakan bahwa pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir apabila sanksi administrasi tidak juga dilaksanakan oleh wajib pajak yang melanggar dan sanksi ini digunakan untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Pemerintah tidak serta merta menjatuhkan sanksi pidana terhadap wajib pajak, wajib pajak yang baru pertama kali melanggar ketentuan Pasal 38 UU KUP akan dikenai sanksi administrasi terlebih dahulu. Apabila sanksi itu dilanggar lagi maka pemerintah dapat mengenakan sanksi pidana kepada wajib pajak tersebut. Bentuk pelanggaran dalam Pasal 38 UU KUP yaitu menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, tidak menyampaikan SPT, dan melampirkan keterangan pada SPT yang isinya tidak benar sehingga berpotensi menimbulkan kerugian terhadap pendapatan negara. Hukum pidana diterapkan apabila terjadi tindak kejahatan dan tindak pelanggaran. Sehubungan dengan itu dalam bidang perpajakan, tindak kejahatan merupakan tindakan yang disengaja untuk tidak memenuhi kewajiban perpajakannya sehingga menimbulkan kerugian terhadap pendapatan negara. Sedangkan tindak pelanggaran merupakan tindakan tidak sengaja, kealpaan, tidak hati – hati, lalai dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sehingga dapat menimbulkan kerugian terhadap pendapatan negara. Tindak pidana dalam bidang perpajakan tidak dapat dituntut apabila telah terlampaui jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak saat terutangnya pajak. Mengapa ditetapkan 10 tahun, hal ini disesuaikan dengan daluarsa penyimpanan dokumen-dokumen perpajakan yang selama rentang waktu itu dijadikan sebagai dasar penghitungan jumlah pajak yang terutang, yaitu selama 10 (sepuluh) tahun. Maka dari itu Dirjen Pajak harus segera mengetahui pelanggaran pajak sebelum 10 tahun agar kerugian negara bisa kembali. 86 | Transfer Pricing Terhadap Penerimaan Negara Pada Sektor Pajak Di Indonesia Peristiwa penghindaran pajak melalui transfer pricing merupakan suatu akibat hukum yang berbentuk lahirnya sebuah sanksi dikarenakan perusahaan multinasional sebagai wajib pajak telah melanggar kewajibannya untuk membayar pajak kepada negara. Apabila wajib pajak melanggar ketentuan perpajakan maka wajib pajak tersebut harus diberikan sanksi. Sanksi perpajakan yang dapat diberikan kepada wajib pajak berupa sanksi administratif dan sanksi pidana. Menurut ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, apabila terjadi kecurangan dalam perusahaan yang memiliki hubungan istimewa maka Direktur Jenderal Pajak memiliki wewenang untuk menentukan atau menghitung kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya. Sebagai modal untuk penyesuaian dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan cara menggunakan metode harga penjualan kembali, metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode biaya-plus, dan metode lainnya. Pada kasus ini akibat hukum yang ditimbulkan yaitu Dirjen Pajak mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar Pajak Penghasilan Badan Tahun Pajak 2005 Nomor: 00060/406/05/092/07 tanggal 11 Oktober 2007, yang isinya menolak restitusi dan menambah pembayaran pajak oleh PT Toyota sebesar Rp 500 miliar. Surat pemberitahuan Pajak Tahunan PT Toyota mulai diperiksa setelah Toyota meminta untuk restitusi atau pengembalian uang atas kelebihan pembayaran pajak. DJP juga memeriksa SPT Toyota di tahun 2005-2008 dan menemukan banyak sekali keganjalan. Bahwa Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan menyebutkan bahwa: “Direktur Jendral Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa;” Penjelasan Pasal 18 ayat (3) Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak, yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Setelah SPT Toyota selesai diperiksa maka Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Dua menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar Nomor: 00060/406/05/092/07 dengan jumlah pajak yang lebih dibayar sebesar Rp. 37.396.960.962,00 dan dalam laporan pajaknya, Toyota menyatakan nilai penjualan mencapai Rp 32,9 triliun, namun Dirjen Pajak mengoreksi nilainya menjadi Rp 34,5 triliun atau ada koreksi sebesar Rp 1,5 triliun. Dengan nilai koreksi sebesar Rp 1,5 triliun, Toyota harus menambah pembayaran pajak sebesar Rp 500 miliar. Bahwa atas Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tersebut, Pemohon Banding dalam hal ini adalah PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia telah mengajukan keberatan dengan Surat Pemohon Banding Nomor: FDE/TGR/177/XII/2007 tanggal 19 Desember 2007 yang diterima oleh 87 | LENTERA HUKUM Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Besar tanggal 19 Desember 2007; Bahwa atas keberatan tersebut diatas, Terbanding telah mengeluarkan keputusan Nomor: KEP- 456/WPJ.19/BD.05/2008 tanggal 21 Oktober 2008 tentang keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar Pajak Penghasilan Badan Tahun Pajak 2005 Nomor: 00060/406/05/092/07 tanggal 11 Oktober 2007 dengan isi keputusan menerima sebagian permohonan keberatan Pemohon Banding, keputusan tersebut Pemohon Banding terima tanggal 22 Oktober 2008. Majelis berkesimpulan untuk mengabulkan sebagian permohonan banding Pemohon Banding atas koreksi penjualan ekspor Innova sebesar Rp2.678.124.104,00; dimana sebesar Rp2.562.694.825,00 tidak dapat dipertahankan, sedangkan sisanya sebesar Rp115.429.279,00 tetap dipertahankan. Sehingga perhitungan Pajak Penghasilan Badan Tahun 2005 menjadi sebagai berikut ; No. Uraian Jumlah (Rp) 1. Penghasilan Neto Rp. 334.264.929.978,00 2. Kompensasi Kerugian - 3. Penghasilan Kena Pajak Rp. 334.264.929.978,00 4. Pajak Terutang Rp. 100.261.978.700,00 5. Kredit Pajak Rp. 197.353.742.462,00 6. Pajak yang kurang/(lebih) dibayar (Rp. 97.091.763.762,00) Alasan lain yang menyebabkan Dirjen Pajak kalah pada putusan banding karena menurut Pasal 9 dari P3B tersebut dijelaskan, bahwa seharusnya yang dijadikan Pembanding adalah transaksi dengan pihak yang independen (yang tidak mempunyai hubungan istimewa); Bahwa koreksi Pemeriksa yang didasarkan pada harga jual kepada pihak lain yang juga merupakan pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Pemohon Banding adalah tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan manapun, baik ketentuan pajak domestic maupun internasional. Disini sudah terlihat kekeliruan yang di lakukan oleh Dirjen Pajak hal ini disebebkan karena kurangnya kemampuan sumber daya manusia yang khusus menangani persoalan pajak internasional dan susahnya mencari data pembanding untuk kasus PT Toyota dengan berbagai alasan. Sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.54374/ PP/M.XA/15/2014, Tanggal 18 Agustus 2014, diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada Tanggal 09 September 2014, kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali dengan perantara kuasanya berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-3329/PJ./2014 tanggal 19 November 2014, diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada Tanggal 02 Desember 2014, dengan diikuti alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada Tanggal 03 Desember 2014. Setelah Mahkamah Agung membaca surat-surat yang bersangkutan, ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor 88 | Transfer Pricing Terhadap Penerimaan Negara Pada Sektor Pajak Di Indonesia Put.54374/PP/M.XA/15/2014, Tanggal 18 Agustus 2014 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding. Belajar dari kesalahan pada banding maka didalam permohonan peninjauan kembali Dirjen Pajak memberikan 29 perusahaan pembanding sebagai pembanding harga wajar antara transaksi yang dilakukan oleh PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) dengan PT Toyota Motor Asia Pasific Singapura (TMAP), tetapi karena beberapa kriteria tertentu perusahaan pembanding yang dipilih hanya 16 perusahaan. Dalam putusan Peninjauan Kembali Nomor 572/B/PK/PJK/2016, Dirjen pajak juga mengalami kekalahan dengan alasan–alasan yang telah di uraikan oleh Majelis Hakim sebagai berikut : 1. Bahwa alasan-alasan permohonan Peninjauan Kembali dalam perkara a quo yaitu Koreksi Penghasilan Neto berupa Koreksi Penjualan sebesar Rp10.101.159.342,00 yang terdiri dari : Koreksi Penjualan Ekspor Kijang Innova sebesar Rp2.562.694.825,00 dan Koreksi Penjualan Ekspor Avanza sebesar Rp7.538.464.517,00 yang tidak dipertahankan Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak dapat dibenarkan, karena setelah meneliti dan menguji kembali dalil- dalil yang diajukan dalam Memori Peninjauan Kembali oleh Pemohon Peninjauan Kembali dihubungkan dengan Kontra Memori Peninjauan Kembali tidak dapat menggugurkan fakta- fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Pengadilan Pajak, karena dalam perkara a quo berupa substansi telah dilakukan pengujian atas bukti-bukti dan bukti pendukung berupa Laporan Keuangan Audited sudah benar dan olehkarenanya koreksi Terbanding sekarang Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku di bidang perpajakan. 2. Bahwa dengan demikian, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: Direktur Jendral Pajak, tersebut tidak beralasan sehingga harus ditolak; Menimbang, bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka Pemohon Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang kalah, dan karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali; Memperhatikan pasal-pasal dari Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-undangan yang terkait. Menurut penulis, peraturan perpajakan sebenarnya sudah cukup memadai mengenai transfer pricing tetapi pada prakteknya pengawasan dan pemeriksaan oleh dirjen pajak 89 | LENTERA HUKUM masih belum maksimal. Pada kasus ini perusahaan multinasional yang seharusnya kalah apabila Dirjen pajak bisa meyakinkan hakim mengenai praktik penghindaran pajak melalui transfer pricing. Memang sangat sulit apabila mencari perusahaan pembanding dalam bidang perdagangan otomotif karena setiap perusahaan memiliki spesifikasi tertentu, tetapi Dirjen pajak harus bisa memecahkan permasalahan ini agar kerugian akibat penyelewengan pajak bisa segera diatasi. Cara yang bisa dilakukan dengan memperkuat institusi perpajakan, meningkatkan kualitas sumber daya manusia (pengawasan pajak), memperketat koreksi pembayaran pajak dan meningkatkan pengawasan pajak oleh Bentuk Usaha Tetap. Apabila Dirjen Pajak sering mengalami kekalahan pada kasus sengketa pajak maka penerimaan perpajakan di Indonesia bisa semakin menurun karena peraturan perpajakan akan sering dilanggar dan hilang kewibawaannya di mata dunia. Hakim dalam memeriksa perkara transfer pricing juga harus terbebas dari penyogokan dari pihak manapun, agar terwujudnya tujuan pemberantasan praktik – praktik penghindaran pajak melalui transfer pricing. B. Akibat Hukum Bagi Negara Yang Melakukan Praktik Penghindaran Pajak Melalui Transfer Pricing Akibat hukum yang ditimbulkan dari peristiwa penghindaran pajak melalui transfer pricing bagi negara yaitu berkurangnya pendapatan negara yang diperoleh dari sektor pajak dan mengakibatkan berkurangnya juga kas negara yang digunakan untuk biaya pembangunan nasional. Bayangkan saja satu perusahaan multinasional bisa menimbulkan kerugian dalam jumlah miliar hingga triliun. Apabila terdapat 10 saja perusahaan multinasional yang melakukan penghindaran pajak sudah berapa triliun pendapatan negara yang hilang. Hal ini tentunya sangat merugikan negara apalagi pendapatan negara Indonesia terbesar berada pada sektor pajak. Negara sebagai fiskus harus segera mengatasi mengenai praktek penghindaran pajak melalui transfer pricing ini, sebenarnya perkembangan pemerintah saat ini sudah bagus karena telah membuat peraturan khusus mengenai transfer pricing dan memasukkan bab mengenai transfer pricing atau pajak dalam hubungan istimewa antara cabang perusahaan multinasional dalam Undang – Undang Nomor Tahun tentang Pajak Penghasilan. Menurut pengamat pajak Lira Iwan Piliang dalam seminar Lira di Hotel Sultan mengatakan bahwa kerugian negara akibat transfer pricing yang dilakukan oleh perusahaan – perusahaan mencapai Rp. 1300 triliun per tahun.16 Pengamatan ini dilakukan pada ditahun 2009. Beliau juga mengatakan bahwa 60% dari total transaksi yang dilakukan oleh perusahaan – perusahaan multinasional terindikasi transfer pricing. Mengapa demikian, hal ini dikarenakan kurangnya sumber daya manusia dalam lingkup perpajakan yang ahli dalam menangani kasus transfer pricing. Tentunya hal ini sangat merugikan bagi negara dan menjadi tugas yang harus diselesaikan oleh negara. Selain membuat peraturan yang mengatur mengenai transfer pricing tetapi negara juga wajib 16 Hadi setiawan, Transfer Pricing dan Risikonya Terhadap Penerimaan Negara, at 5. 90 | Transfer Pricing Terhadap Penerimaan Negara Pada Sektor Pajak Di Indonesia melatih sumber daya manusia agar banyak yang paham dan ahli dalam menangani kasus transfer pricing. IV. PENUTUP Transfer pricing digunakan oleh perusahaan multinasional sebagai salah satu cara untuk penghindaran pajak. Perusahaan multinasional di negara yang memiliki tarif pajak yang tinggi melimpahkan untuk sementara jumlah penghasilannya kepada perusahaan yang berada di negara tarif pajak rendah. Pelimpahan penghasilan dilakukan dengan memanipulasi penetapan harga jual beli produknya dan pelimpahan ini hanya dapat dilakukan oleh perusahaan yang memiliki hubungan istimewa. Menurut penulis berdasarkan dari hasil analisa yang telah dilakukan menyimpulkan bahwa kerugian negara akibat transfer pricing yang dilakukan oleh perusahaan – perusahaan multinasional mencapai Rp. 1300 triliun per tahun. Akibat hukum yang ditimbulkan dari peristiwa ini yaitu ada 2 diantaranya akibat hukum bagi perusahaan dan akibat hukum bagi negara. Akibat hukum bagi perusahaan adalah pengenaan sanksi oleh Dirjen Pajak kepada wajib pajak yang terbukti melakukan praktik penghindaran pajak. Sedangkan akibat hukum bagi negara yaitu berkurangnya penerimaan negara pada sektor pajak dan nantinya akan mempengaruhi jalannya roda pemerintahan karena sumber penerimaan negara terbesar berada di sektor pajak. Adapun saran yang penulis berikan kepada pemerintah dan wajib pajak. Saran kepada pemerintah selaku fiskus seharusnya memperbaiki kualitas sumber daya manusia yang khusus menangani persoalan transfer pricing dan meningkatkan pengawasan pajak pada wajib pajak Bentuk Usaha Tetap. Sedangkan untuk wajib pajak yaitu seharusnya wajib pajak selalu mentaati peraturan – peraturan perpajakan yang ada di Indonesia supaya hukum di Indonesia tidak turun kewibawaannya di mata dunia. DAFTAR PUSTAKA Arifin P. Soeria Atmaja, Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara: Suatu Tinjauan Yuridis (Jakarta: Gramedia, 1986). C.S.T, Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2011).Erly Suandy, Perencanaan Pajak Edisi Revisi, (Jakarta: Salemba Empat, 2003). H.Bohari, Pengantar Hukum Pajak , (Jakarta: Rajawali Pers, 2010). Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Bandung: PT Remaja: Rosdakarya, 2006). Ibnu Syamsi, Dasar-Dasar Kebijakan Keuangan Negara, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994). Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi Tahun 2016, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2016). Murtopo, Purno, Susunan Satu Naskah 8 (delapan) Undang – Undang Perpajakan, (Jakarta: Mitra Wavana Media, 2010). Peter Mahmud Marzuki, 2016, Penelitian hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2016). R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia jilid I, (Jakarta: Dian Rakyat, 1983). 91 | LENTERA HUKUM R. Soekardono, Abdulkadir Muhammad, (Hukum Perusahaan Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002). R. Soeroso, 2013, (Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta:Sinar Grafika, 2013). Sudaryanto Agus, (Pengantar Ilmu Hukum. Malang:Setara Press, 2015). Sumarsan Thomas, Perpajakan Indonesia Edisi 4, (Jakarta Barat: PT Indeks, 2015). Soemitro Rochmat, (Pajak Penghasilan, Bandung: Pt Eresco, 1993). Sri Redjeki Hartono, (Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Bandung: PT Mandar Maju, 2000). Y. Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak Edisi Revisi, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2008). Akbar, Rahmadian Ilham. “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Transfer Pricing pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia” (2015) Skripsi. Ayu Ida, Budi Ispriyarso, Henny Juliani. “Analisis Yuridis Terhadap Transfer Pricing sebagai Upaya Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)” (2016) Universitas Diponegoro Vol. 5. Deddy Arief Setiawan. “Penentuan Harga Transfer Atas Transaksi Internasional Dari Perpajakan Indonesia” (2018) Hadi setiawan. “Transfer Pricing dan Risikonya Terhadap Penerimaan Negara” (2014) Hartati, Desmiyati, Winda, dan Nur Azlina. “Analisis Pengaruh Pajak dan Mekanisme Bonus terhadap Keputusan Transfer Pricing” (2014) Simposium Nasional Akuntansi 17. I Gede Yudi Henrayana. “Makalah Analisis Kasus Transfer Pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia” (2016) Politeknik Keuangan Negara. Ika Nurjanah,Hj. Isnawati, Antonius G. Sondakh. “Jurnal Faktor Determinan Keputusan Perusahaan Melakukan Transfer Pricing” (2014) Universitas Lambung Mangkurat. Ita Salsalina Lingga. “Aspek Perpajakan Dalam Transfer Pricing dan Problematika Praktik Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)” (2012) Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Maranatha Bandung. Kiswanto, Nancy dan Anna Purwaningsih. “Pengaruh Pajak, Kepemilikan Asing, dan Ukuran Perusahaan terhadap Transfer Pricing pada Perusahaan Manufaktur di BEI tahun 2010- 2013” (2014) Jurnal Akuntansi Universitas Atma Jaya. Mangoting, Yenni. “Aspek Perpajakan Dalam Praktik Transfer Pricing” (2000), 2:1 Jurnal Akuntansi dan Keuangan. Paulina Permatasari. “Transfer Pricing Sebagai Salah Satu Strategi Perencanaan Pajak bagi Perusahaan Multinasional” (2004) , 8:l Bina Ekonomi. Jewel, Indah. “Wajib Pajak (WP) Badan”, online: . Julaikah, Nurul. “Hampir Semua Perusahaan Asing Akali Bayar Pajak”, online: Merdeka, . Yuniasih, Ni Wayan, Ni Ketut Rasmini dan Made Gede Wirakusuma. “Pengaruh Pajak dan Tunneling Incentive Pada Keputusan Transfer Pricing Perusahaan Manufaktur Yang Listing Di Bursa Efek Indonesia”,online: . http://indahjewel.blogspot.com/ http://m.merdeka.com/ http://ojs.unud.ac.id/