116 Jurnal LINGUA CULTURA Vol.8 No.2 November 2014 FENOMENA MUENSHAKAI SEBAGAI AKIBAT POLA HIDUP INDIVIDUALISME SERTA DAMPAKNYA TERHADAP KEADAAN SOSIAL DAN EKONOMI DI JEPANG Roberto Masami Prabowo; Sheddy Nagara Tjandra Japanese Department, Faculty of Humanities, Bina Nusantara University Jln. Kemanggisan Ilir III No. 45, Palmerah – Kemanggisan, Jakarta Barat 11480 robertomasami@gmail.com ABSTRACT Article described capitalist social life of modern Japanesse that was having individualistic characteristic. This high indivialistic life affected the availability of disconnected family life called muenshakai (無縁社会). This phenomenon caused social and economic shifts in the Japanese family. This research used qualitative approach elaborated in descriptive analysis. The object of research or data corpus was the problem of a decline in Japan population in terms of the breakdown of the family. The research results indicated that muenshakai phenomenon has emerged in Japan caused by some sequential events, those are: the 2nd World War “legacy”, the availability of baby boom, the abolition of shūshinkoyō (終身雇用), the decreasing of marital rate, the increasing of divorce rate, the decreasing of bith rate (少子 化), and the lost of family relationship. It can be concluded that the urban individualistic life style is able to change the traditional thinking pattern into oportunistic one that becomes one of the causal factors of muenshakai phenomenon. Keywords: muenshakai, family, individualism ABSTRAK Artikel menggambarkan kehidupan masyarakat kapitalis Jepang modern yang individualistis serta dampaknya terhadap putusnya hubungan antarkeluarga yang disebut muenshakai (無縁社会). Fenomena ini membawa dampak pergeseran sosial dan ekonomi pada keluarga di Jepang. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dan analisis deskriptif. Fokus penelitian adalah menurunnya populasi Jepang karena faktor muenshakai. Analisis mengenai fenomena muenshakai (無縁社会) di Jepang terbentuk dari serangkaian kejadian yakni ‘warisan’ Perang Dunia II, baby boom, dihapusnya shūshinkoyō (終身雇用), berkurangnya angka pernikahan, bertambahnya angka perceraian, berkurangnya jumlah anak yang lahir (少子化), dan hilangnya hubungan kekeluargaan. Simpulan penelitian adalah gaya hidup individualisme perkotaan menyebabkan pola pikir tradisional menjadi masyarakat oportunitis sebagai salah satu sebab timbulnya muenshakai. Kata kunci: fenomena, individualisme, muenshakai 117Fenomena Muenshakai ….. (Roberto Masami Prabowo; Sheddy Nagara Tjandra) PENDAHULUAN Penduduk Jepang berjumlah sekitar 128 juta orang. Jumlah tersebut berada di peringkat ke-10 negara penduduk terbanyak di dunia. Jepang terdiri dari 6.852 pulau yang merupakan suatu kepulauan. Pulau utama dari Utara ke Selatan adalah Hokkaido, Honshu, Shikoku, dan Kyushu. Kota Tokyo adalah daerah metropolitan terluas di dunia dengan jumlah penduduk sekitar 30 juta orang. Beberapa tahun ini, di Jepang ada kasus yang tidak bisa dikategorikan dengan “bunuh diri yang tidak teridentifikasi”,「身元不明の自殺と見られる死者」 dan “mati dalam perjalanan”, 「行き倒れ死」, yakni dinamakan dengan “kematian yang Baru”, 「新たな死」. Kematian tersebut disebabkan oleh hilang atau terputusnya hubungan kekeluargaan dan sistem kerja seumur hidup ( 終身雇用). Keadaan ini membentuk muenshakai (無縁 社会) yang menyebabkan hilangnya chien (地縁) dan ketsuen (血縁), yakni hubungan antardaerah dan keluarga atau orang tua. Selain itu, ada pula fenomena yang terjadi beberapa waktu ini yakni hilangnya keterikatan sosial yang dinamakan dengan shaen (社縁). Hilangnya keterikatan sosial termasuk hubungan antara tetangga, sesama manusia di tempat umum, dan sebagainya (NHK Online, 2012-2013). Fenomena Muenshakai (無縁社会) adalah masyarakat Jepang yang hubungan relasinya terputus, selain itu bertambah banyaknya masyarakat yang hidup tinggal sendiri (primary individual). Di tahun 2010, istilah muenshakai dibuat oleh pusat televisi NHK di Jepang (NHK Online, 2012-2013). Survei Badan Pusat Statistik Jepang (Ministry of Internal Affairs and Communications) pada 2011 menunjukkan jumlah penduduk Jepang sebesar 127.799.000 orang, dengan masyarakat yang tinggal sendiri sebanyak 15.885.000 orang (32.1%). Sedangkan jumlah seluruh keluarga di Jepang adalah 50.928.000 unit keluarga, dengan demikian perbandingan masyarakat yang hidup sendiri kurang lebih sebanyak 2.46 orang (Ministry of Internal Affairs and Communications, 2011). Mereka yang tinggal sendiri ini bisa dikategorikan sebagai tanshinsetai (単身世帯), yakni orang yang tinggal sendiri, baik dia tidak menikah, cerai atau cerai mati, anaknya sudah ke luar dari rumah karena sudah hidup mandiri. Istilah lain disebut dengan tandokusetai (単独世 帯) atau single setai (シングル世帯) (NHK Online, 2012- 2013). Dahulu pernah ada beberapa fenomena yang mirip dengan muenshakai, seperti waktu Jepang kalah Perang Dunia II sekitar tahun 1945, dampak gempa bumi di Hansin pada 17 Januari 1995, dan gempa bumi di Sendai pada 11 Maret 2011. Di negara lain pun ada kejadian yang serupa, seperti di Rusia pada kejadian pasca bencana Chernobyl pada 26 April 1986. Istilah muenshakai yang dibuat oleh NHK ini menjadi bahasa umum yang sebenarnya belum ada di dalam kamus bahasa Jepang, jika diterjemahkan ke bahasa Inggris menjadi disconnected society (Hane, 2001). Pembahasan fenomena kematian yang tidak ditinggalkan oleh keluarganya ini awalnya dibahas di NHK (Nippon Housou Kyoku), sebuah stasiun televisi negara Jepang yang menayangkan pembahasan masalah masyarakat yang menjadi polemik sampai 2050. Pada acara News Watch 9 yang ditayangkan pada 10 Februari 2011 ini merupakan kampanye terhadap muenshakai, dan topik tersebut dimuat pada situs NHK Spesial dengan judul「無縁社会、新たなつながりを求めて」yang artinya mencari harapan baru sehubungan terputusnya hubungan sosial. Isi berita adalah sekilas info mengenai muenshakai dan jadwal penayangan acara. Pada malam harinya pukul 19:30-20:43, untuk pertama kalinya acara yang membahas fenomena muenshakai ini ditayangkan dan banyak pemirsa yang menanggapi. (NHK Online, 2011) Setelah Perang Dunia II banyak orang Jepang yang meninggal karena perang, terutama kaum lelaki. Setelah itu, di tahun 1947-1949 terjadi ledakan kelahiran bayi pertama dan yang kedua sekitar tahun 1971-1974 (Fukutake, 1989). Pemerintah Jepang mengumumkan sistem kerja jangka panjang yang bertujuan untuk membangun infrastruktur di segala bidang. Masa ini dikenal dengan Kōdokeizaiseichō (高度経済成長). Sistem kerja jangka panjang atau yang dinamakan dengan shūshinkoyō (終身雇用) adalah sistem kerja hingga pensiun tanpa pemecatan dan sistem upah berdasarkan senioritas (Naohiro, 2009). Kesuksesan dalam mengembangkan infrastruktur perekonomian masyarakat dan tingginya peminatan di bidang industri memicu masyarakat berhenti bertani dan berpindah tempat jauh dari keluarga besar. Masyarakat agraris yang beralih ke kota dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi ini banyak yang tidak menyadari bahwa dirinya sudah masuk dalam ranah kehidupan kapitalis yang tentu sangat kompleks. Para kaum urban mengganggap hidupnya dapat mengubah perekonomian dan mencapai tujuan tingkat kekayaan yang diinginkan, dengan demikian mereka memilih kerja di kota besar. Setiap orang memiliki prioritas dalam hidup, seperti meningkatkan keuntungan, kemakmuran, kemewahan, kenikmatan, kenyamanan, keharmonisan sosial, dsb. (Kottak, 2010). Artikel membahas beberapa kejadian perpecahan kekeluargaan. Hal ini diperkirakan dari gaya hidup individualisme yang mengarah ke indikasi muenshakai di Jepang. Gaya hidup individualisme perkotaan yang terjadi di Jepang kurang lebih sama seperti di negara- negara maju, seperti keluar dari keluarga inti, sibuk dengan pekerjaan, dan seks bebas. Meskipun demikian, Jepang sampai sekarang ini belum bisa menyelesaikan permasalahan dibanding dengan negara maju lain METODE Penelitian menggunakan metode kualitatif dan dijabarkan dengan deskriptif analitis melalui data kelompok manusia, situasi, kondisi, pemikiran maupun fenomena yang sedang berlangsung di Jepang. Objek penelitian atau korpus data yang diangkat adalah masalah penurunan jumlah penduduk di Jepang ditinjau dari perpecahan keluarga. Dalam pengumpulan data dan bahan yang berhubungan dengan topik penelitian, penulis melakukan studi pustaka untuk mencari pemecahan masalah sosial di Jepang, khususnya kekeluargaan. HASIL DAN PEMBAHASAN Fenomena Muenshakai (無縁社会), yaitu mengenai hilangnya hubungan kekeluargaan sebenarnya sudah pernah terjadi pada zaman perang, terutama setelah 118 Jurnal LINGUA CULTURA Vol.8 No.2 November 2014 Perang Dunia II. Muenshakai di Jepang atau terputusnya hubungan sosial di Jepang ini adalah ‘warisan’ Perang Dunia II. Setelah usai Perang Dunia II, banyak masyarakat Jepang yang kehilangan tempat tinggal, makanan, minum, dsb. yang akhirnya menimbulkan malnutrisi, wabah penyakit, cacat fisik, bahkan kematian. Apabila ada keluarga yang tidak terkena masalah tersebut, kebanyakan mereka tidak mau menolong karena masalah ekonomi, jarak yang jauh, sindrom perang, dan sebagainya. (Ukeru, 2012) Beberapa negara mengalami hal yang sama. Namun karena perbedaan perekonomian, letak geografis, budaya, dsb., dampaknya berbeda atau bahkan bertolak belakang. Contohnya adalah Amerika Serikat dengan jumlah populasi sekitar 318,968,000 jiwa dengan GDP nominal $53,001. Dalam kasus ini jumlah penduduknya tidak mengalami penurunan, tetapi beberapa peneliti mengasumsikan terjadi fenomena “loneliness” yang artinya kesepian atau kesendirian (Perlman & Peplau, 1984). Beberapa jurnal dan peneliti di seluruh dunia melihat fenomena muenshakai (無縁社会) terjadi karena perkembangan teknologi, contohnya pada abad XVIII di Amerika Serikat. Ketika itu industri otomotif berkembang pesat dan banyak masyarakat membeli kendaraan untuk keperluan dan kebutuhan sendiri. Selain itu, televisi sudah memiliki banyak channel yang membuat masyarakat akhirnya memiliki banyak pilihan acara yang ingin ditonton sehingga mereka diam di rumah berjam-jam, berhari-hari, atau bahkan terus menerus. Akhir-akhir ini masyarakat Jepang mempunyai permasalahan sosial, seperti masyarakat lanjut usia (高齢 化社会) dan kemiskinan pada masyarakat lanjut usia (老 後破産). Masalah ini masih sering dibicarakan di media massa maupun pemerintahan Jepang. Berikut ini adalah kejadian dan dampak muenshakai yang terjadi di Jepang (Miyamoto, 2012). Perang Dunia II dan baby boom menyebabkan fenomena muenshakai. Setelah Perang Dunia I, kondisi perekonomian seluruh dunia dan Jepang mengalami kehancuran, ditambah pada 1 September 1923 terjadi gempa bumi dahsyat di sekitar daerah Tokyo dan Yokohama (関東大震災) yang mengakibatkan 109.713 jiwa mengalami luka dan kehilangan tempat tinggal, sedangkan kematian dan korban hilang sebanyak 105.385 jiwa. Awal Perang Dunia II adalah ketika tanggal 1 September 1939 tentara Jerman menyerang ke negara Polandia, Inggris, dan Perancis. Di lain sisi, Jepang mengalami perang dengan Cina yang sudah berlangsung sejak 7 Juli 1937 (Barrett & Shyu, 2000). Jepang menyatakan menyerah pada tanggal 14 Agustus 1945, setelah Amerika menjatuhkan bom atom ke Hiroshima (6 Agustus 1945) dan Nagasaki (9 Agustus 1945). Dengan berakhirnya Perang Dunia II (termasuk Perang Pasifik) banyak para prajurit Jepang yang kembali ke negaranya. Mereka menikah dan mempunyai anak banyak. Pada awalnya banyak rakyat yang kehilangan pekerjaan, orang tua, tempat tinggal, dsb. Banyak wabah penyakit, malnutrisi, trauma, TBC, asma, kematian yang tidak teridentifikasi, kanker karena radiasi atom, dsb. (Hane, 2001). Dua tahun kemudian, angka kelahiran meningkat drastis, kejadian ini dikenal dengan baby boom atau dalam bahasa Jepang adalah Dankai no Sedai (団塊 の世代). Ledakan kelahiran bayi di Jepang terjadi pada dua generasi, pertama terjadi sekitar tahun 1947 – 1949 dan kedua pada tahun 1971 – 1974 (Fukutake, 1989). Jika mereka lahir sekitar tahun 1947–1949, orang-orang ini sekarang berusia sekitar 65 – 67 tahun. Mereka umumnya sudah tidak bekerja, ditinggal oleh pasangan hidup karena kematian atau perceraian, kondisi kesehatan menurun, dan tinggal sendiri. Pada 1950 jumlah penduduk Jepang sekitar 83.200.000 jiwa, terdiri dari laki-laki 40.812.000 jiwa dan perempuan 42.388.000 jiwa, sedangkan masyarakat lanjut usia pada waktu ini hanya sekitar 4.109.167 jiwa. Pada tahun 2013 jumlah masyarakat generasi baby boom yang sekarang menjadi masyarakat lanjut usia (di atas 65 tahun) adalah sekitar 31.900.000 jiwa dari 127.300.000 jiwa (Cabinet Office, Government of Japan; 2014). Jumlah masyarakat lanjut usia (di atas 65 tahun) sebanyak 31.900.000, kurang lebih 25.1% dari total penduduk Jepang. Jumlah laki-laki sebanyak 13.700.000 dan perempuan 18.200.000. Masyarakat generasi baby boom pertama (団塊の世代) ini yang menjadi penelitian para analis. Para analis memprediksikan gejala ini akan menurun sampai tahun 2060, tetapi angka kelahiran pun ikut berkurang dan akan dibahas pada shōshika (少子化). Salah satu penyebab muenshakai adalah dihapusnya shūshinkoyō (終身雇用). Di tahun 1900 pemerintah Jepang menetapkan sistem kerja untuk meningkatkan dunia industri yang baru berkembang sejak masa Restorasi Meiji (明治一身). Sistem kerja tersebut merupakan sistem kerja hingga pensiun tanpa ada pemecatan dan sistem upah berdasarkan senioritas. Dalam sistem kerja ini dikenal adanya perbedaan hak dan kewajiban antara perempuan, dinas atau penempatan keluar kota maupun daerah, kerja jangka panjang, dsb. (Naohiro, 2009). Setelah Perang Dunia II, pemerintah Jepang mengumumkan sistem kerja jangka panjang yang bertujuan untuk membangun infrastruktur disegala bidang, masa ini dikenal dengan Kōdokeizaiseichō (高 度経済成長). Sistem kerja jangka panjang atau lifetime commitment disebut Shūshinkoyō (終身雇用) (Abegglen, 2004). Akan tetapi, sejak tahun 1990 Jepang mengalami kemunduran pada saham dunia dan nilai mata uang Jepang mengalami kenaikan atau disebut dengan endaka (円高). Banyak perusahaan mengalami kerugian karena harga produknya terpaksa dinaikkan, yang dampaknya produk tersebut akhirnya tidak terjual dengan baik. Perusahaan menghadapi masalah seperti kenaikan suku bunga pinjaman jangka panjang dari bank negara (日本長期信用 銀行) dan ditambah pula dengan karyawan yang menuntut kenaikan upah. Karyawan yang sudah terikat kontrak dengan perusahaan akan menuntut uang pesangon jika diberhentikan. Akhirnya, pemerintah Jepang menetapkan langkah singkat untuk menutupi penyalahgunaan hak pekerja dengan menghapus shūshinkoyō (Sekiguchi, 1996). Negara Jepang mengalami inflasi besar yang dikenal dengan bubble economy (バブル崩壊). Kejadian ini menyebabkan banyak perusahaan di Jepang gulung tikar karena naiknya suku bunga peminjaman dari bank. Dengan kejadian tersebut, pemerintah mengambil langkah dengan menghapuskan sistim kerja shūshinkoyō sebab 119Fenomena Muenshakai ….. (Roberto Masami Prabowo; Sheddy Nagara Tjandra) pemerintah maupun perusahaan tidak bisa menjamin kompensasi kerja seumur hidup dan dana pensiun para pekerja. Beberapa perusahaan menengah – kecil mengalami kebangkrutan dan pemecatan sepihak tanpa pesangon. Sedangkan perusahaan besar yang masih bisa bertahan mengambil tindakan dengan pengurangan pekerja atau merumahkan pekerja sambil menunggu perubahan perekonomian atau sampai perusahaannya mulai stabil. Adapula pengurangan fasilitas karyawan, seperti tempat tinggal di apartemen, mobil operasional, pengurangan jumlah makan siang yang diberikan dari perusahaan, dsb. Dengan demikian, pemerintah Jepang melakukan penyesuaian perundang-undangan kerja terhadap karyawan tetap seperti upah lembur, relokasi, dinas luar kota, kerja paruh waktu, pemecatan karyawan baru, dan pensiun dini. Beberapa karyawan menyadari ketatnya persaingan kerja dan terpaksa menerima perubahan ini karena tidak ada pilihan lain (Sekiguchi, 1996). Setelah negara Jepang mengalami inflasi, banyak perusahaan gulung tikar dan pemerintah menghapus sistem kerja shūshinkoyō, sehingga banyak masyarakat Jepang (terutama laki-laki) kehilangan semangat kerja karena kehilangan jaminan masa tua atau pensiun. Setiap orang umumnya mengharapkan perkerjaan yang bisa menjamin kehidupan jangka pendek maupun panjang. Sistem kerja yang kebanyakan menjadi karyawan kontrak atau dalam bahasa Jepangnya keiyakushain (契約社員) menyebabkan kekhawatiran atau kecemasan pekerja. Pemecatan sepihak bisa terjadi karena masa kontrak habis, perusahaan gulung tikar, dsb. (Fukutake, 1989). Karyawan kontrak terpaksa bekerja keras supaya mampu bertahan di perusahaannya, jika tidak mereka akan dipecat. Kerasnya persaingan kerja membuat beberapa karyawan terpaksa lembur yang bisa mengakibatkan kematian karena kelelahan (過労死). Ada pula karyawan yang sudah tahu kondisi fisiknya sudah tidak sehat atau tidak layak lagi untuk bekerja, tetapi mereka terus memaksakan diri untuk bekerja sampai meninggal kelelahan (過労自殺) (Naohiro, 2009). Sepuluh tahun lebih setelah berakhirnya Perang Dunia II yang berkisar tahun 1960, negara Jepang telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat, industrialisasi dan urbanisasi yang telah memengaruhi seluruh komunitas, status, dan kelas dalam masyarakat kota. Pertumbuhan ekonomi ditandai dengan kebutuhan modal yang diutamakan dibandingkan dengan kesejahteraan sosial. Dampak perkembangan pembangunan di Jepang adalah beberapa keluarga tradisional di daerah atau yang umumnya memiliki pekerjaan di bidang agraris mengalami perubahan dan pergeseran. Umumnya keluarga tradisional Jepang atau kazoku, di dalam komunitas lokal dan kelompok keluarga kecil menjadi lemah yang diakibatkan oleh perpecahan anggota keluarga antar generasi, yakni antara generasi tua dengan generasi muda. Banyak generasi muda lebih memilih pergi ke kota untuk meningkatkan kualitasnya dan generasi tua lebih memilih tinggal di desa. Para generasi muda yang datang dari desa ke kota, setelah lama meninggalkan desa sering kali tidak memiliki keinginan untuk kembali lagi ke kampung halaman atau ke keluarga asal dengan beberapa alasan. Misalnya, orangtua sudah meninggal, saudara laki-laki dan perempuan telah menikah, dan keponakan yang akan menyusul bekerja ke kota. Persahabatan dan keanggotaan kelompok keluarga menjadi luntur dan komunikasi dengan teman dari kampung makin berkurang (Fukutake, 1989). Setelah mulai bekerja dan menjalani kesibukan di kota, generasi muda tersebut tinggal di daerah pinggiran kota dan hidup sendiri. Keinginan untuk mencari teman sebanyak-banyaknya di kota timbul, di antara teman yang akrab mereka bisa dianggap sebagai keluarga sendiri. Terkadang teman yang akrab ini bisa tinggal bersama dengan tujuan saling berbagi pembayaran sewa mansion atau apartment. Kehidupan semacam ini dinamakan kyōdōseikatsutai (共同生活対) yang mempunyai tiga indikasi (Fukutake, 1989), yaitu: (a) Jika bertemu dengan sesama jenis, mereka akan hidup bersama dengan tujuan saling membantu perekonomian; (b) Jika bertemu dengan lawan jenis dan menemukan kecocokan, mereka akan melanjutkan ke pernikahan; (c) Jika bertemu dengan pasangan lain jenis, mereka akan hidup bersama layaknya suami istri namun tidak dilanjutkan sampai ke pernikahan. Dengan demikian, jika generasi muda lepas dari aturan keluarga atau jauh dari keluarga maka akan sulit sekali anggota keluarga bisa memantau kehidupan mereka, apakah anak atau saudaranya menjalani kehidupan dengan baik atau tidak. Terlebih lagi, apabila tetangga atau pemilik apartemen tidak peduli dengan perbuatan mereka yang sering berganti pasangan dan tinggal bersama. Gaya hidup seks bebas memang di beberapa negara dianggap taboo atau amoral (不道), namun beberapa orang Jepang menganggap sebahal hal yang biasa. Beberapa orang lebih nyaman hidup dengan seks bebas dibandingkan menikah yang dipandang dapat merusak kebebasan hidup, karier, dan keuangan. Apabila sudah menikah, tentunya waktu harus lebih banyak dengan keluarga. Orang perkotaan lebih banyak menjalani hidup di luar rumah, baik itu untuk bekerja, bergaul, sekedar menyalurkan hobi, atau untuk hiburan. Terutama orang kota yang sibuk dengan kerja maupun kegiatan lain, mereka membutuhkan waktu untuk rekreasi yang mudah didapat, dikonsumsi, dan murah. Pola hidup yang mengacu pada “kemudahan” menjadi pemicu ke segala bidang kehidupan perkotaan, baik dari teknologi, makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, bahkan seks (Cabinet Office, Government of Japan; 2014). Kasus perceraian di Jepang merupakan salah satu dampak terbentuknya masyarakat muenshakai sebab dengan adanya percaraian maka kebanyakan hubungan kekeluargaan terputus. Pasangan suami istri yang belum memiliki anak lebih berpotensi menyebabkan terputusnya hubungan kekeluargaan karena tidak ada orang yang mau mengurus kehidupan mereka di kelak kemudian nanti (Miyamoto, 2012). Seiring dengan berkurangnya angka pernikahan, angka perceraian di Jepang meningkat secara perlahan-lahan dari tahun ke tahun. Jumlah rumah tangga yang terdiri dari ibu dan anak pada tahun 1995 berjumlah 625.904 rumah tangga. Kasus perceraian pada umumnya terjadi karena masalah ketidakcocokan dalam keluarga. Faktor ketidakcocokan ini pada umumnya adalah karena kurang berkomunikasi, yang akhirnya berakibat pada ketidakcocokan sifat, menentukan prioritas, mengurus anak, membantu urusan rumah, jarang memberikan nafkah batin (セックスレス夫婦), hingga perselingkuhan. Pasangan suami istri yang bercerai ada yang sudah 120 Jurnal LINGUA CULTURA Vol.8 No.2 November 2014 punya anak atau belum. Pasangan yang sudah memiliki anak dan bercerai di tahun 1980 sekitar 96.000 pasang, di tahun 2000 sekitar 157.000 pasang, dan tahun 2011 sekitar 137.000 pasang. Hampir 80% kasus perceraian hak asuh anak jatuh ke tangan ibu, hingga ada sebutan single mother (シングルマザー) yang pada 1983 berjumlah 353.000 orang; dan pada 2011 meningkat menjadi 1.332.000 orang (Ministry of Health, Labour, and Welfare, 2014). Sesuai dengan penelitian sebelumnya, fenomena shōshika atau degradasi angka kelahiran ini berawal dari dankai no sedai (団塊の世代), atau the baby boom generation, yang pertama terjadi sekitar tahun 1947– 1949 dan kedua pada tahun 1971–1974. Pada generasi baby boom kedua atau yang disebut Dankai Junior ( 団塊ジュニアー) sudah terlihat berkurangnya jumlah kelahiran yang disebabkan oleh (a) di keluarga pedesaan, yaitu perpecahan keluarga karena urbanisasi; (b) di keluarga perkotaan, yaitu kesibukan orang tua mencari nafkah hingga larut malam (Fukutake, 1989). Keluarga tradisional Jepang atau dento kazoku (伝統家族) biasanya merupakan keluarga besar yang terdiri dari tiga generasi, yakni kakek-nenek, ayah-ibu, dan anak-anak. Perpecahan bisa menimpa keluarga tradisional karena perbedaan pandangan antara generasi tua dan generasi muda. Banyak generasi yang muda lebih memilih pergi ke kota untuk meningkatkan kualitas perekonomian dan keterampilan, sedangkan generasi tua lebih memilih untuk tinggal di desa (Fukutake, 1989). Para remaja yang telah lama berada di kota sering kali tidak ada keinginan untuk kembali lagi ke keluarga asal. Beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah mereka segan untuk pulang kampung karena belum sukses, orangtua sudah meninggal, saudara laki- laki atau perempuan telah menikah, keponakan menyusul melakukan hal yang sama sehingga dia harus mengurus untuk peluang kerja, dsb. Dengan demikian, keanggotaan kelompok terputus dan karena perpisahan fisik ini menyebabkan hak dan kewajiban antara keluarga dan teman makin berkurang (Nakane, 1981). Negara Jepang telah mengalami proses penurunan jumlah kelahiran selama 40 tahun. Jumlah kelahiran yang ideal adalah apabila jumlah wanita di Jepang seluruhnya mengandung anak dengan perbandingan rasionya 2.07. Setelah tahun 1973 mulai mengalami penurunan kelahiran dengan rasio 2.14, tahun 2005 sebanyak 1.26, dan di tahun 2012 sudah menjadi 1.41. Anzō (2013) mengatakan bahwa apabila jumlah penduduk ini dibiarkan berjalan begitu saja, diperkiraan di tahun 2300 jumlah penduduk Jepang bisa sejumlah 3.600.000 jiwa. Hal ini dapat memengaruhi sumber daya manusia, sistem kekeluargaan, pajak, tunjangan pensiun, dsb. yang juga akan memengaruhi jaminan sosial di masa depan (Anzō, 2013). Shōgaimikonsha (生涯未婚者) juga berakibat pada muenshakai. Akhir-akhir ini di Jepang makin bertambah banyak masyarakat yang tinggal sendiri atau dalam bahasa Jepang disebut dokusinka (独身化). Apabila mereka berusia 50 tahun dan belum menikah, mereka dinamakan shōgaimikonsha (生涯未婚者). Dari hasil penelitian yang dilakukan sampai 2012, laki-laki yang termasuk shōgaimikonsha tercatat bertambah 20% atau bertambah 7 kali lipat dibanding tahun 1980. Apabila laki-laki yang sekarang berusia 30 tahun, 20 tahun kemudian mereka akan berusia 50 tahun, perbandingannya menjadi 3 banding 1. Dengan kata lain, di antara 3 orang yang menikah, 1 orang tidak menikah. Mereka adalah kelompok yang tinggal menyendiri karena masalah inflasi dan kesulitan pemenuhan ekonomi. Kehidupan sehari-hari para shōgaimikonsha bergantung pada nenkin (年金) dari pemerintah. Jika perekonomian anaknya mencukupi, ada beberapa manula yang ditempatkan di panti jompo atau di Jepang di sebut dengan roujin houmu (老人ホーム). Hal yang terburuk terjadi apabila para manula tidak bisa membiayai apartemen atau ada yang sengaja menjadi gelandangan di tempat umum, di Jepang disebut dengan furousha (浮 浪者). Beberapa fenomena ini disebut dengan manusia lanjut usia yang miskin (老後破産) (Anzō, 2013). Manusia lanjut usia yang miskin ini bisa terjadi karena beberapa kasus, misalnya ditinggalkan pasangan, khususnya suami lanjut usia yang ditinggalkan istrinya yang lanjut usia juga. Ketika menjelang pensiun, di antaranya ada yang jatuh sakit sehingga membutuhkan biaya banyak untuk penyembuhan. Dengan keterbatasan dana hasil pensiun dan tabungan, biaya untuk penyembuhan penyakit bisa saja habis dengan sia-sia karena faktor usia yang sulit untuk penyembuhan dan penyakit yang belum ada obatnya. Terutama suami yang ditinggalkan istri dan tidak terbiasa memasak, mereka akhirnya mengalami malnutrisi. Jika sakit, biasanya mereka tidak mau berobat dan cenderung mengharapkan meninggal agar bisa bertemu dengan pasangannya (Shūkan Gendai, 2014). Degradasi jumlah penduduk dan masa depan Jepang di tahun 2050 merupakan faktor timbulnya muenshakai. Beberapa instansi survei Jepang mencoba memprediksi jumlah penduduk Jepang. Perkiraan ini dibuat berdasarkan jumlah penduduk yang dihitung sejak ledakan kelahiran bayi yang pertama (1947–1949) dan kedua (1971–1974). Rangkaian kejadian hingga terbentuknya muenshakai ini tidak pendek, bahkan untuk ke luar dari masalah ini harus menunggu lewatnya generasi kedua baby boom, yaitu sekitar tahun 2050. Dengan dihapusnya jaminan kerja, banyak masyarakat kehilangan kesejahteraan dan jaminan sosial, hal ini menyebabkan berkurangnya angka pernikahan (晩婚化) dan angka kelahiran (少子化). Berkurangnya jumlah angka pernikahan dan bertambahnya perceraian menyebabkan muenshakai. Dengan terputusnya hubungan dengan relasinya, banyak manusia lanjut usia yang meninggal tanpa ada penanganan, bahkan tidak ada yang tahu jika sudah meninggal. Ada pula mereka yang putus asa karena masalah ekonomi maupun kejiwaan sehingga mereka bunuh diri di tempat tinggal atau di luar rumah. Sekali pun orang tua atau kakek-neneknya sudah meninggal, keluarga tidak mau mengurus biaya atau upacara pemakaman. Karena keluarga tidak memiliki biaya atau tidak mau menangani anggota keluarga yang meninggal, pemerintah terpaksa menindaklanjuti dengan memberi biaya minim untuk kremasi massal, dan jasad akan dimakamkan di pekuburan massal (Japan Eastday, 2012). Beberapa peneliti dan sosiolog Jepang mengatakan fenomena ini kemungkinan akan berakhir pada 2050 atau 2060, yakni ketika anak dari generasi Dankai no Sedai ( 団塊の世代) atau baby boomer pertama sudah meninggal namun cucu dari generasi tersebut mengalami degradasi 121Fenomena Muenshakai ….. (Roberto Masami Prabowo; Sheddy Nagara Tjandra) kelahiran. Apabila hal ini dibiarkan tanpa campur tangan sejak dini seperti sekarang ini, terutama peran media massa yang selalu membahas dan memberi info bahaya muenshakai bagi masa depan Jepang, jumlah penduduk Jepang di tahun 2010 yang berjumlah 128.057.352 jiwa di tahun 2050 bisa turun menjadi 97.000.000 jiwa (The Huffington Post, 2014). SIMPULAN Fenomena muenshakai (無縁社会) di Jepang terbentuk dari serangkaian kejadian yakni ‘warisan’ Perang Dunia II, baby boom, dihapusnya shūshinkoyō (終 身雇用), berkurangnya angka pernikahan, bertambahnya angka perceraian, dan berkurangnya jumlah anak yang lahir (少子化). Semua ini adalah serangkaian kejadian yang tidak bisa dihindari sejak Perang Dunia II. Dengan hilangnya hubungan kekeluargaan, kemudian terbentuklah tanshinsetai (単身世帯), yakni orang yang tinggal sendiri karena tidak menikah, cerai atau cerai mati, anak sudah ke luar dari rumah karena sudah hidup mandiri. Para tanshinsetai ini ada yang sudah tua dan mereka dinamakan dengan shōgaimikonsha (生涯未婚者). Masyarakat Jepang yang pernah bekerja seumur hidup atau dengan sistem shūshinkoyō tidak takut berkeluarga, bahkan memiliki banyak anak karena sistem shūshinkoyō sebagai jaminan sosial. Setelah sistem ini dihapus, banyak orang sulit dalam merancang perekonomian keluarga dan ada juga kemungkinan pemecatan sepihak (リストラ) bila perusahaan mengalami kerugian. Gaya hidup modern atau perkotaan yang selalu sibuk bekerja karena takut dipecat, menghindar pernikahan dan punya anak demi karier dan uang, pola hidup dan kebutuhan (sandang, pangan, dan papan) yang serba ‘siap saji’ atau ‘instant’ ini menjadikan masyarakat berubah pola pikir tradisional menjadi pola pikir momentum dan oportunitis. Beberapa media massa Jepang berupaya menciptakan istilah tertentu untuk memberikan pandangan umum kepada masyarakat Jepang yang sekarang mengalami berbagai masalah. Pihak media massa memberikan tanda tertentu, informasi, dsb. kepada pemirsa agar dapat menyadari dan bertindak untuk memulihkan situasi di Jepang. Istilah muenshakai (無 縁社会), shōgaimikonsha (生涯未婚者), shōshika (少 子化), dan sebagainya bertujuan untuk menyadarkan masyarakat Jepang yang jumlahnya kian berkurang, memberikan pandangan umum, dan bisa juga berarti sebuah sinyal kepada masyarakat Jepang yang dapat mengancam perekonomian, pajak, sumber daya manusia, dll. di masa mendatang. Berdasarkan waktu, urutan proses sejarah terbentuknya muenshakai adalah: (1) dibentuknya shūshinkoyō (終身雇用) di tahun 1900-1910; (2) kehancuran struktur keluarga (家庭崩壊) pertama; (3) Perang Dunia I dan II, tahun 1914-1918 dan 1939-1945; (4) baby boom pertama tahun 1947–1949; (5) Kehancuran struktur keluarga (家庭崩壊) kedua; (6) baby boom kedua tahun 1971–1974; (7) kehancuran struktur keluarga ( 家庭崩壊) ketiga; (8) krisis moneter tahun 1990-an, dihapusnya shūshinkoyō dan peralihan shūshinkoyō ke karyawan kontrak (正規社員・非正規社員), meliputi: degradasi angka pernikahan (未婚化) dan telat menikah (晩婚化), perceraian (離婚), shōshika (少子化), dan shōgaimikonsha (生涯未婚者) dan rōgohasan (老後破 産). DAFTAR PUSTAKA Abegglen, J. C. (2004). Shin-Nihon no Keiei (新・日 本の経営). Yōichi Yamaoka (山岡洋一) (Trans.). Japan: Nipponkeizaishinbunsha (日 本経済新聞社). Anzō, S. (September 2013). 「少子化問題を斬る―原 因は、未婚化・晩婚化・晩 産化にあり」. Meiji.net – Meiji University, Japan. Diakses dari http://www.meiji.net/publicitydata/ meijinet_images/2013/09/opinion09_birthrate.jpg Barrett, D. P., & Shyu, L. N. (Eds.). (2000). China in the Anti-Japanese War, 1937-1945: Politics, Culture, and Society. New York, NY: Peter Lang. Fukutake, T. (1989). The Japanese Social Structure: Its evolution in the modern century. R. P. Dore. (Trans), 2nd ed. Japan: University of Tōkyō Press. Hane, M. (2001). Modern Japan: A Historical Survey. Westview Press. Japan Eastday – 日本語 (2012, 27 Nov). 日本で深刻化 する「無縁社会」. Diakses dari http://jp.eastday. com/node2/home/xw/gjpl/userobject1ai72338. html J-Cast News. (2011). Diakses dari http://www.j-cast. com/2011/06/30099968.html Ministry of Health, Labour, and Welfare (2014). 人口動 態統計特殊報告・離婚に関する統計. Diakses dari http://www.mhlw.go.jp/toukei/saikin/ hw/jinkou/tokusyu/rikon10/01.html Ministry of Internal Affairs and Communications (2011) (総務省) h t t p : / / w w w. s o u m u . g o . j p / j o h o t s u s i n t o k e i / whitepaper/ja/h23/html/nc222220.html Miyamoto, M. (2012). Wakamono ga Muenkasuru (若者 が無縁化する-仕事・福祉・コミュニティで つなぐ). Japan: Chikuma Shinsho (ちくま新書). Nakane, C. (1981). Masyarakat Jepang. Bambang Kusriyanto (Trans.). Jakarta: Sinar Harapan. Naohiro, Y. (2009). Rōdōsijyōkaikaku no Keizaigaku (労働 市場改革の経済学). Japan: Tōyōkeizaisinpōsha ( 東洋経済新報社). NIRA – National Institute for Research Advancement (2009, Apr). Diakses 5 Januari 2014dari http://www.nira.or.jp/pdf/0901areport.pdf NTT Com research (2014). 団塊の世代のセカンドライ フ http://research.nttcoms.com/database/data/000561/ NHK – Japan Broadcasting Corporation Online (日本放 送協会) (2012-2013) http://www.nhk.or.jp/special/onair/100131.html http://www.nhk.or.jp/special/onair/100905.html Perlman, D., & Peplau, L. A. (1984). Loneliness Research: A survey of empirical findings. In L.A. Peplau & S. Goldston (Eds.), Preventing the Harmful Consequences of Severe and Persistence Loneliness (pp. 13–46). US Goverment Printing: DDH Publication. 122 Jurnal LINGUA CULTURA Vol.8 No.2 November 2014 Sekiguchi, I. (1997). Shūshinkoyōsei (終身雇用制). Japan: Bunshindō (文眞堂). Shukan Gendai (2014). 「老後破産」200万人の衝撃 第1部 普通のサラリーマン」だった私は、 定年からたった10年で破産した 70過ぎて、 食うモノに困るとは. Diakses dari http://gendai. ismedia.jp/articles/-/40603 The Huffington Post. (2014, 29 Mar). 日本の6割の地域 が無人に? 2050年、日本の人口は9700万人国 交省試算. Diakses dari http://www.huffingtonpost.jp/2014/03/29/population-of- japan_n_5053891.html Ukeru, M. (2012). Sengōshi no Shōtai (戦後史の正体). Japan : Sōgensha (創元社).