120 Jurnal LINGUA CULTURA Vol.9 No.2 November 2015 DAMPAK PSIKOLOGIS TOKOH PRIA DAN WANITA DALAM FILM TANGSHAN DA DIZHEN Andriani Sinarsih1; Yuvina Handani2; Cendrawaty Tjong3 1,2,3 Chinese Department, Faculty of Humaniora , Binus Univesity Jl.Kemanggisan Ilir III no.45, Kemanggisan/Palmerah, Jakarta Barat 11480, +62-21-5327630 1theblue_DoLphin88@yahoo.com; 2yuvi_handani20@yahoo.com; 3cencen_zzz@yahoo.com ABSTRACT “Tangshan Da Dizhen” directed by Feng Xiaogang began filming in 2010, is a film based on a true story. The article focuses on the story of a mother who must choose to save one of her twins (daughter and son) when Tangshan earthquake happened in 1976. This causes psychological trauma to the three main actors, Yuanni, Fang Deng and Fang Da. The purpose of this study was to indicate the gender inequality in society might cause deep psychological trauma. The article applied qualitative methods with the help of literature, such as books, journals, and research results related to the research topic author. The research finds out that gender inequality in Tiongkok’s traditional society is mainly a social problem, which can cause a psychological trauma especially in women. Keywords: gender inequality, disaster, trauma ABSTRAK “Tangshan Da Dizhen “ yang disutradarai oleh Feng Xiaogang mulai melakukan syuting di 2010, adalah film yang berdasarkan pada kisah nyata. Artikel berfokus pada kisah seorang ibu yang harus memilih untuk menyelamatkan salah satu dari anak perempuan atau anak laki-lakinya (kembar) saat gempa Tangshan terjadi pada tahun 1976. Hal ini menyebabkan trauma psikologis pada ketiga aktor utama, yaitu Yuanni, Fang Deng, dan Fang Da. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan bahwa ketidaksetaraan gender dalam satu masyarakat dapat menyebabkan trauma psikologis yang mendalam. Artikel ini menerapkan metode kualitatif dengan bantuan kajian literatur, seperti buku, jurnal, dan hasil penelitian yang berkaitan dengan topik penelitian penulis. Penelitian ini menemukan bahwa ketidaksetaraan gender dalam masyarakat tradisional Tiongkok merupakan masalah sosial yang dapat menyebabkan trauma psikologis terutama pada wanita. Kata kunci: ketidaksetaraan gender, bencana, trauma 121Dampak Psikologis Tokoh Pria dan Wanita .... (Andriani Sinarsih; dkk) PENDAHULUAN Film Tangshan Da Dizhen yang disutradarai oleh Feng Xiaogang pada tahun 2010 merupakan film yang didasarkan pada kisah nyata mengenai gempa berskala besar yang terjadi di kota Tangshan pada tanggal 28 Juli 1976. Gempa tersebut menimbulkan kehancurkan seluruh kota dalam kurun waktu 32 detik. Kisah tersebut menceritakan seorang Ibu muda bernama Li Yuanni yang menghadapi dilema karena harus memilih satu diantara kedua anaknya untuk diselamatkan. Keputusan Li Yuanni untuk mengorbankan anak perempuannya demi menyelamatkan anak laki-lakinya ini mengubah nasib seluruh keluarga. Walaupun Fang Deng, anak perempuannya berhasil bertahan hidup dan selamat dari kematian, tetapi jiwanya sudah mati. Fang Deng terpukul karena ia merasa telah dibuang oleh ibunya. Hal ini menyebabkan Fanf Deng membenci ibunya dan tidak pernah mencari kesempatan untuk bertemu dengan ibunya. Meskipun pada masyarakat Tiongkok era modern telah menganjurkan kesetaraaan bagi semua orang, namun pada kenyataannya masih banyak orang yang lebih memilih anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Penulis berpendapat bahwa ketidaksetaraan gender di dalam film mewakili munculnya masalah sosial di dalam masyarakat. Banyak orang tua yang lebih mementingkan anak lelaki daripada perempuan, sehingga membawa penderitaan yang menyakitkan bagi anak perempuan. Hal ini disebabkan oleh adanya kebudayaan tradisional Tiongkok. Yang Hui (2005) menunjukkan ketidaksetaraan gender yang disebabkan karena laki-laki lebih kuat daripada wanita di masyarakat dan wanita selalu membutuhkan perlindungan dari laki-laki. Selain itu, hal tersebut juga dipengaruhi oleh pandangan masyarakat selama ribuan tahun mengenai dasar genetik serta status wanita yang lebih rendah. Menurut penelitian Yang Zhihui dan Wang Jianping (2007), bencana alam akan menimbulkan masalah psikologis pada seseorang. Gangguan stress pasca-trauma psikologis yang luar biasa berasal dari gangguan traumatis yang berulang. Menurut DSMI—kriteria diagnostik diklasifikasikan sebagai penyakit yang mengancam jiwa merupakan salah satu sumber stress yang disebabkan oleh gangguan stres pasca-trauma. Penulis menemukan bahwa tokoh utama dalam film ini mengalami masalah psikologis yang cukup berat karena dihadapkan pada pilihan saat gempa terjadi. Selain itu, dia juga mengalami masalah psikologi pada kehidupan pasca gempa akibat dampak dari pilihan tersebut. Penelitian ini difokuskan kepada dampak psikologis yang dialami oleh tokoh utama ketika gempa dan pasca gempa terjadi. Selain itu, bagaimana tokoh utama menyelesaikan konflik yang terjadi akibat gempa yang mengubah kehidupannya. Ruang lingkup penelitian ini lebih difokuskan kepada perasaan Fang Deng, Fang Da, dan ibunya dalam film Tangshan Da Dizhen pada saat gempa dan pasca gempa. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk memberikan pemahaman kepada pembaca bahwa perilaku ketidaksetaraan gender yang sengaja maupun tidak sengaja dilakukan anggota masyarakat dapat membawa luka batin yang mendalam bagi orang lain. METODE Metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan bantuan studi pustaka yaitu buku, jurnal, dan hasil penelitian yang berhubungan dengan topik penelitian penulis. Dikarenakan penelitian ini berdasarkan pada film Tangshan Da Dizhen, maka penulis memakai film ini sebagai objek penelitian dari dampak psikologis yang terjadi pada tokoh utama pria dan wanita. Penulis menganalisis dampak dari ketidaksetaraan gender pada tokoh utama dengan menggunakan teori psikologis bencana. Penelitian dibagi menjadi tiga tahap penelitian yaitu (1) Keadaan psikologis tokoh utama pada saat gempa, (2) Dampak gempa terhadap kehidupan tokoh utama, (3) Pemulihan trauma akibat ketidaksetaraan gender. HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku ketidaksetaraan gender adalah hal yang sering dijumpai dalam masyarakat. Walaupun pemikiran modern mengenai emansipasi wanita sudah banyak beredar di masyarakat, tetapi pada saat tertentu masyarakat partriarki cenderung menunjukkan perilaku atau pandangan yang mendukung ketidaksetaraan gender tersebut. Hal ini terlihat di dalam film “Tangshan Da Dizhen”. Yuanni yang berperan sebagai ibu tokoh utama adalah wanita yang bertumbuh di masyarakat pemikiran modern. Pada saat Yuanni dihadapkan pada pilihan mempertahankan anak laki-laki atau perempuan, ia memilih untuk mempertahankan anak laki-laki dengan berbagai pertimbangan budaya. Hal ini menyebabkan tokoh utama wanita (Fang Deng) mengalami trauma. Ia merasa dibuang oleh ibunya sejak kecil hingga dewasa. Trauma ini diperkuat oleh keadaan alam yang memang mendukung yaitu terjadinya gempa berskala besar yang mematikan banyak orang. Cheng Li dan Liu Di (2008) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa ciri umum orang yang mengalami trauma pasca gempa adalah hilangnya kesadaran, timbulnya rasa bersalah, dan suka mengalami kilas balik. Li Ming (2012) dalam penelitiannya membahas masalah ketidaksetaraan gender yang masih terjadi di budaya Tiongkok. Hal ini disebabkan oleh pengaruh pandangan tradisional Tiongkok dan kurangnya kesadaran diri dari wanita. Ketidaksetaraan gender di masyarakat tradisional Tiongkok tercermin dalam pembagian kerja dalam keluarga dan sistem stratifikasi dalam masyarakat. Masyarakat berpendapat seorang pria hendaknya bekerja di luar rumah, sedangkan wanita mengurus anak dan keluarga di rumah. Pandangan tradisional yang menekankan budaya patriarki menyebabkan wanita Tiongkok memiliki kedudukan yang rendah selama ribuan tahun. Hal ini membuat wanita menjadi kurang percaya diri di hadapan pria. Wanita Tiongkok dituntut untuk patuh dan tunduk kepada pria, sehingga mereka kurang memiliki kesadaran akan nilai diri sendiri. Mereka memiliki ketergantungan psikologis yang kuat kepada pria, kurangnya kemandirian, kurang kesadaran politik dan hukum, serta kurang kesadaran pendidikan tinggi. Semua hal tersebut tercermin dalam film “Tangshan Da Dizhen.” 122 Jurnal LINGUA CULTURA Vol.9 No.2 November 2015 Keadaan Psikologis Tokoh Utama Pada Saat Gempa Gempa besar Tangshan yang terjadi hanya dalam beberapa detik pada tanggal 28 Juli 1976 mengubah seluruh kehidupan masyarakat di Tangshan. Ayah dan Ibu Fang Deng dan Fang Da yang pada saat itu berada di luar segera berlari ke gedung tempat tinggal mereka untuk menyelamatkan kedua anak kembarnya. Namun, ketika Ayah Fang deng dan Fang Da melihat reruntuhan rumah yang akan menimpa Li Yuanni (ibu Fang Deng dan Fang Da), tanpa berpikir panjang ia mendorong istrinya dan mengorbankan dirinya demi keselamatan istrinya. Li Yuanni sangat sedih dan kehilangan motivasi untuk hidup. Ketika Li Yuanni berpikir bahwa suaminya kehilangan nyawa demi menolong anak-anaknya, Ia pun memiliki kekuatan untuk bangkit dan segera mencari anak-anaknya di tengah reruntuhan tempat tinggalnya. Pada saat Yuanni hampir menyerah, ia mendengar teriakan seseorang yang mengatakan bahwa anak-anaknya ada di tengah reruntuhan (00:19:35). Dia segera berlari dan menemukan anak-anaknya tertindih lempengan reruntuhan bangunan. Para pria segera bekerja untuk mengeluarkan anak-anaknya, tetapi jumlah tenaga dan peralatan yang terbatas menyebabkan kerja mereka tidak maksimal. Sebagai seorang ibu, ia tahu anak-anaknya yang masih kecil tidak sanggup untuk bertahan hidup karena lamanya bantuan yang diberikan. Ia memohon pada para relawan untuk menolong anak-anaknya, dia berkata: “Saya mohon pada kalian, selamatkan anak-anak ini, ayah mereka sudah meninggal…” (00:20:37) Pada saat itu Yuanni mendapat desakan dari para relawan untuk memilih menyelamatkan salah satu dari anaknya. Sebagai seorang ibu, ia berkata: “Semuanya diselamatkan, dua-duanya harus diselamatkan.” (00:21:31). Hal ini disebabkan karena para relawan tidak dapat dalam waktu yang sama menyelamatkan kedua anaknya, dan kembali memaksa Yuanni untuk memilih salah satu dari anaknya untuk diselamatkan. Jika Yuanni tidak segera mengambil keputusan, maka hal ini akan berakibat fatal yaitu kedua anaknya akan meninggal. Dalam keadaan terpaksa, ia akhirnya memilih menyelamatkan anak laki-lakinya, Fang Da. Yuanni berkata: “Saudara, selamatkan si adik” (00:22:41). Jika pada awalnya Yuanni mengatakan dengan suara gemetar, kemudian dia bertekad dan mengatakan dengan tegas: “Selamatkan adik.” (00:22:51) Yuanni yang lebih memilih anak laki-lakinya dibanding anak perempuan ini dipengaruhi oleh budaya partriarki yang sudah mendarah daging di dalam budaya Tingkok tradisional. Budaya patriarki pada masyarakat Tiongkok tradisional ini memiliki peranan penting di dalam pemilihan gender tersebut (Sun, 2009). Hal ini kemudian akan dibuktikan dengan harapan sang ibu kepada anak laki lakinya tersebut untuk menuntut ilmu setinggi-tinggi agar mendapatkan pekerjaan yang memuliakan negara. Selain itu, sang ibu juga berharap anak laki-lakinya tersebut bisa memberikan keturunan yang dapat mengharumkan nama keluarga. Sebagai perempuan Tiongkok yang lahir di generasi baru, Fang Deng sejak kecil sudah merasakan bahwa adik laki-lakinya yang selalu diutamakan oleh ibunya. Hal ini menyebabkan pemberontakan pada diri Fang Deng. Hal ini dapat dilihat saat Fang Deng memberontak ketika ibunya memberikan jeruknya kepada adiknya dan membiarkan adiknya menikmati kipas angin terlebih dulu, karena pada saat itu kipas angin masih merupakan barang yang mewah. Pada saat gempa terjadi, ia dan adiknya sedang tidur. Mereka tertindih reruntuhan bangunan dan tidak ada harapan untuk bertahan hidup. Fang Deng adalah anak perempuan yang kuat dan memiliki tekad hidup yang kuat. Dalam keadaan tidak berdaya, ia terus menyemangati adiknya yang sudah kehilangan semangat hidup untuk terus bertahan hingga bantuan dating. Fang Deng mencari batu dan terus mengetuknya untuk memberikan tanda keberadaan mereka hingga tim penyelamat datang dan menolong mereka. Pada awalnya, Fang Deng masih terus mengetuk batu untuk memberikan tanda kepada tim penyelamat. Tetapi ketika ia mendengar ibunya memilih menyelamatkan adiknya dan mengorbankan dirinya, ia kecewa dan menangis. Fang Deng berseru dengan suara lirih: “Ibu.” (00:22:57). Semangat hidupnya hancur dalam sekejap. Dampak pasca bencana pada kehidupan tokoh utama Kehilangan suami yang dicintai dan mengorbankan anak perempuannya membuat hidup Yuanni tenggelam dalam kesedihan dan penyesalan. Ia menyatakan bahwa gempa 1976 tersebut memecah belah keluarganya, yang awalnya berjumlah 4 orang menjadi 2 orang (01:09:10) . Penyesalan dan trauma psikogis tersebut menyebabkann tekanan berlebihan kepada Fang Da. Fang Da dituntut untuk mengikuti ujian masuk universitas yang pada masa itu dianggap hal yang belum terlalu umum di masyarakat Tiongkok. Hal ini menyebabkan pemberontakan pada diri Fang Da. Yuanni mengingatkan bahwa hanya dengan berkuliah, Fang Da dapat memperoleh kehidupan karir dan istri yang layak. Dengan demikian Yuanni memiliki muka ketika nantinya bertemu dengan suaminya di akhirat. Budaya tradisional Tiongkok menekankan pada kesuksesan keluarga berada di tangan anak lelaki, sehingga sejak jaman dahulu setiap keluarga menutut putranya untuk berprestasi tinggi dan bekerja sebagai pejabat negara. Dengan demikian keluarga tersebut akan memiliki muka bila bertemu dengan leluhurnya di akhirat nanti. Fang Da terus menerus membuat ibunya kecewa. Selain tidak memiliki keinginan untuk berkuliah, bahkan pelajaran di sekolah pun Fang Da seringkali absen dan kabur dari sekolah. Hal ini terlihat dari perkataan guru Fang Da, guru Jiang. Beliau berkata: “Sekolah punya kebijakan bagi murid yang melebihi setelah 15 kali tidak masuk. Fang Da sudah 3 kali tidak masuk sekolah , apakah dia masih berencana mengikuti ujian masuk universitas ?” (00:49:29) Yuanni menghukum dirinya dengan tidak mencari kebahagiaan lagi. Hidupnya dihabiskan untuk membesarkan anak laki-lakinya, Fang Da. Dia ingin membuat Fang Da berhasil. Keberhasilan itu ditandai dengan kelulusan Fang Da masuk universitas. Tetapi kekecewaan demi kekecewaan yang didapatnya setiap hari. Ketika tetangganya ingin menikahinya, Yuanni menolak dengan halus karena ia beranggapan ia tidak pantas memperoleh kebahagiaan lagi. Ia selalu hidup 123Dampak Psikologis Tokoh Pria dan Wanita .... (Andriani Sinarsih; dkk) dalam penyesalan dan beranggapan bahwa dirinya lah yang membunuh anak perempuannya. Ia menyatakan pemahaman barunya mengenai kehilangan orang yang dicintainya: “Kehilangan, baru mengetahui apa yang dimaksud dengan kehilangan.” (01:24:12) Yuanni mempercayai kehidupan setelah kematian. Roh manusia akan memasuki dunia akhirat, tetapi masih sering mendatangi, menjaga, dan memperhatikan keluarganya. Hal ini menyebabkan Yuanni tidak ingin pindah dari rumah bobroknya. Ia khawatir apabila roh suami dan putrinya tidak dapat pulang ke rumah. Ia berkata kepada Fang Da: “ Ayah dan kakakmu berada di sini, ke manapun aku tidak mau pergi. Ini adalah rumah kita, arah tujuan roh ayah dan kakakmu untuk kembali ke rumah…” (01:23:39). Dengan mengorbankan anak perempuannya, hati Yuanni tidak pernah mengalami ketenangan, kebahagiaan, dan sukacita lagi. Fang Deng adalah gadis yang beruntung. Ia berhasil diselamatkan oleh tim penyelamat gempa. Walaupun fisiknya selamat, tetapi psikisnya mengalami trauma yang berat. Pada saat Fang Deng dikeluarkan dari reruntuhan gedung, ia menjadi gadis yang benar-benar berbeda dengan gadis yang sebelumnya. Trauma pasca gempa yang dialaminya disebabkan oleh pengalaman hidup dan mati yang belum sanggup dihadapi oleh gadis kecil sepertinya dan juga trauma akibat penolakan gender dari ibu yang dicintai, dipercayai, dan diandalkannya. Ia mulai menghindar dari masyarakat, kehilangan keinginan untuk berbicara, tidak memiliki nafsu makan, kehilangan semangat hidup, dan menolak identitas dirinya sendiri. Setiap kali orang bertanya tentang keluarganya, ia akan berkata: “Aku ini yatim piatu” atau “Aku sudah tidak ingat lagi”. Orang berpikir bahwa hal itu adalah akibat dari trauma pasca gempa yang dialami Fang Deng yang masih kecil dan belum cukup kuat menghadapi kenyataan hidup. Hal ini membuat banyak orang merasa kasihan kepadanya, dan mendorong sepasang tentara pembebasan rakyat yang tidak memiliki keturunan mengadopsinya. Ayah dan ibu angkatnya sangat mengasihinya, memberikannya cinta secara penuh, memperlakukannya seperti anak kandung sendiri. Ayah angkatnya mengira ia mengalami lupa ingatan karena trauma pasca gempa. Ayah angkatnya mengatakan bahwa apabila pada suatu hari nanti ingatannya pulih kembali, datanglah kepada ayah dan dia akan membantu Fang Deng kembali kepada keluarganya (00:43:29). Trauma yang dihadapi oleh Fang Deng sangatlah berat untuk gadis kecil seusianya dan ia hanya ingin melupakan semua yang diingatnya. Dia seringkali berpikir apabila ia seorang anak laki-laki, maka hidupnya tidak akan seperti ini. Fang Deng tidak dekat dengan ibu angkatnya, walaupun ibu angkatnya tersebut sudah sepenuhnya memberikan cinta kepadanya. Bagi Fang Deng, memiliki seseorang yang dipanggil “ibu” membuatnya kembali teringat pada ibu kandung yang telah membuangnya. Ayah dan ibu angkatnya mengetahui ia masih belum pulih dari trauma pasca gempanya. Maka pada saat Fang Deng kuliah, ayah angkatnya yang mendapat tugas di Tangshan, mengajak Fang Deng untuk ikut. Fang Deng menolak dan berkata: “Saya tidak ingin pergi” (00:57:16). Ayah angkatnya walaupun tidak menyetujui keputusannya tetap menghormati dan menerima keputusan Fang Deng. Lepas dari maut membuat Fang Deng sangat menghargai setiap aspek dalam kehidupannya. Ketika ia hamil di luar nikah, ia tahu aib dan penghinaan yang akan dipikulnya bila ia terus mempertahankan janinnya. Ia akan dikeluarkan dari kampus dan memikul tanggung jawab yang tidak ringan. Kekasihnya tidak ingin menanggung aib tersebut dan membujuk Fang Deng untuk melakukan aborsi. Kekasih Fang Deng menganggap remeh sebuah kehidupan. Kekasih Fang Deng berkata: “Kita sedang jatuh cinta bukan menikah. Bagaiman mungkin kamu bisa begitu mudah untuk hamil, Deng? Hamil bukanlah sebuah masalah besar, ini hanya sebuah kecelakaan, sangat mudah untuk diperbaiki”. (01:16:26) Mendengar pacar yang dicintainya menghina sebuah kehidupan kecil di rahimnya, ia sangat marah, dan berkata: “Orang lain mungkin bisa, tapi aku tidak bisa. Aku adalah orang Tangshan. Aku terbangun dari atas mobil mayat dan melihat ayahku berbaring di sampingku. Kamu tidak mengerti apa itu kehidupan”. (01:17:55). Hal ini adalah proses pulihnya keberanian Fang Deng. Walaupun mendapatkan rasa cinta yang cukup dan merasa diperlakukan setara secara gender dari orang tua angkatnya, tapi ia masih tidak dapat memaafkan ibunya. Ia berkata kepada ayah angkatnya: “Ibu saya berkata, selamatkan adik. Tiga kata ini tergiang terus di telingaku. Ayah, aku tidak ingat. Aku buka tidak melupakan.” (01:37:32) Selain itu, Fang Da juga mengalami trauma pasca gempa. Ia terus menyesali keputusan ibunya yang mengorbankan kakaknya dan memilih dirinya. Sejak kecil ia tahu bahwa ia mempunyai tanggung jawab yang sangat besar karena ia adalah satu-satunya harapan hidup ibunya dan penerus keluarga Fang. Ibunya berharap ia dapat kuliah di universitas, tetapi nilai Fang Da tidak terlalu bagus. Fang Da yang tidak sanggup menghadapi tuntutan ibunya tersebut membuat Fang Da memilih untuk pergi mengadu nasib ke kota besar. Mengetahui anak laki- laki yang menjadi tumpuan harapannya akan pergi jauh, Yuanni sangat khawatir. Keinginan tinggal berdekatan dengan anak laki-lakinya melebihi keinginannya untuk memaksa anaknya masuk universitas. Yuann : “Ibu tidak akan memaksa kamu untuk kuliah lagi, kamu jangan pergi”. Fang Da :“Bukankah sudah dibicarakan, terlebih aku tidak sendirian”. Yuanni : “Tidak ada orang yang dapat menjagamu seperti ibu. Di luar sana berbeda dengan rumah” Fang Da : “Karena itu aku ingin mencoba kemampuanku. Bila tidak, seumur hidup aku tidak akan mengetahui kemampuanku.”. Yuanni : “Tangshan sebesar ini tidakkah cukup? Fang Da : “Tangshan besar? Tidakkah ibu melihat di televisi bahwa semua orang-orang yang di desa sudah pergi ke Shenzhen. Hanya tinggal Shijiazhuang saja tidak pernah pergi”. (00:57:30) Sebagai seorang anak, Fang Da sangat sedih melihat ibunya tidak dapat melupakan masa lalu. Selian itu, ia juga sedih karena tidak dapat memenuhi harapan ibunya. Ia sering berpikir seandainya pada saat gempa itu ibunya memilih kakaknya, mungkin keadaan akan lebih 124 Jurnal LINGUA CULTURA Vol.9 No.2 November 2015 baik. Fang Da berpikir bahwa kakaknya setelah dewasa pasti akan masuk ke perguruan tinggi, dan tidak akan membuat ibu khawatir. Ia yakin pasti kakaknya dapat membuat ibu bahagia. Yuanni : “ Sulit mengharapkanmu untuk kuliah di universitas. Kamu benar-benar sudah membuat saya kecewa.” Fang Da : “Kecewa? Jika tahu seperti itu, ibu harusnya dari dulu menyelamatkan kakakku.” (00:51:02) Selain itu, Fang Deng sangat membenci dan tidak dapat menerima perlakuan ibunya. Hal ini menyebabkan trauma yang tidak mudah dipulihkan. Fang Deng juga sering mengalami mimpi buruk dan menyebabkan dirinya takut untuk kembali ke Tangshan. Kembali ke Tangshan mengingatkannya akan pilihan gender yang tidak adil tersebut. Pemulihan psikologis Fang Deng memerlukan waktu yang cukup lama, berikut adalah faktor yang membantu pemulihan trauma dari Fang Deng: a. Kasih Sayang dari Orang Tua Angkat Awalnya Fang Deng tidak dapat menerima kasih sayang orang tua angkatnya. Trauma yang diakibatkan pilihan ibunya membekas di dalam hati dan pikirannya. Seiring berjalannya waktu, Fang Deng dapat membuka hati dan menerima kasih sayang dari orang tua angkatnya. Ia merasakan diperlakukan seperti anak kandung sendiri. Orang tua angkatnya tidak pernah menganggap remeh identitasnya sebagai perempuan. Ia dihormati dan mendapatkan perlakukan setara. Di mata kedua orangtua angkatnya, Fang Deng sudah seperti anak kandung mereka sendiri. Walaupun demikian, Fang Deng sulit untuk dekat dengan ibu angkatnya. Ia membatasi diri dan menutup hatinya terhadap cinta ibu angkatnya. Ini merupakan dampak dari kehilangan rasa sayang dari seorang ibu. Ibu angkat : “Seumur hidup orang yang paling aku sayangi adalah kalian berdua, tetapi kalian tidak bersedia melakukan hal bersama saya.” Fang Deng : “Ibu” Ibu angkat : “Jangan membenci saya..... ” (01:12:15) Ibu angkat Fang Deng terus memikirkan cara agar Fang Deng dapat terlepas dari traumanya. Ibunya berpikir bahwa Fang Deng seharusnya pulang ke Tangshan sekali lagi untuk mencari keluarganya dan berkumpul kembali bersama mereka. “Kamu sudah dewasa, kamu dapat pulang ke Tangshan mencari keluargamu. Hal yang ayahmu katakan benar, kamu tidak mungkin tidak memiliki keluarga di sana. Bagaimanapun keluarga itu, selamanya tetap adalah keluarga.” (01:11:41) Fang Deng selalu menutup dirinya dan tidak bersedia menerima kasih sayang dari ibu angkatnya. Pada saat ibu angkatnya jatuh sakit dan meninggal, Fang Deng baru menyadari bahwa dirinya benar-benar menyayangi kedua orangtua angkatnya. Perasaan kehilangan inilah yang juga membuat Fang Deng menyadari akan luka psikologis yang dia dapatkan ketika terjadi gempa di Tangshan. Hal ini membuat ia mampu menghadapi kondisi psikologis karena ibu kandungnya lebih memilih adiknya pada saat itu. b. Perasaan Empati Meskipun hati Fang Deng tersentuh karena kasih sayang dari orangtua angkatnya karena dapat membuatnya merasakan kebahagiaan. Tetapi trauma yang disebabkan oleh ibu kandungnya itu tidak dapat dipulihkan hingga 32 tahun kemudian. Gempa berskala besar di Wenchuan menimbulkan perasaan empati dan senasib pada diri Fang Deng. Ia tidak ragu-ragu untuk memutuskan ke Wenchuan sebagai tim sukarela. Ia teringat pengalaman masa kecilnya. Melalui tim penyelamat ini, ia ingin menyelamatkan hidup banyak gadis kecil. Ia tidak ingin melihat lebih banyak perempuan dikorbankan nyawanya karena perlakuan keluarganya yang tidak memperlakukan kesetaraan gender. Fang Deng : “Saya harus kembali untuk membantu.” (01:45:25) Suaminya : “Ya, tidak masalah” Fang Deng : “Saya akan pergi membantu mereka” Suaminya : “Saya mengerti.” Penelitian Lukita dan Oktaviani (2013) membuktikan perasaan empati mendorong seseorang untuk membantu sesamanya tanpa mengharapkan imbalan apapun. Batson (2010) menyebutkan bahwa alasan kita dapat membantu orang lain karena adanya perasaan empati yang tidak terpengaruh oleh sifat egois dan melakukannya tanpa pamrih. Hubungan antara pribadi dengan sesama ketika berasosiasi akan menghasilkan empati. Hoffman (2010) menyebutkan bahwa ketika kita memiliki rasa empati, kita akan lebih peduli kepada perasaan hati kita sendiri dan mefokuskan perhatian kepada korban. Simpati yang tulus dan kasih sayang mendorong kita memberikan bantuan tanpa pamrih kepada mereka. Perasaan empati ini terjadi secara alami. Trauma yang dialami oleh Fang Deng, perasaan empati kepada korban gempa, dan keinginan untuk menolong lebih banyak nasib gadis kecil mendorongnya kembali ke China. Tempat yang tidak pernah diinjaknya lagi selama 32 tahun. c. Pengalaman Kembali ke Wenchuan China Sejak menginjakan kakinya di Wenchuan, Fang Deng telah mempersiapkan diri untuk pemulihan trauma psikologisnya. Demi menolong para korban, ia berani menghadapi rasa takut di dalam hatinya. Ia bertekad menyelamatkan lebih banyak korban untuk menebus penyesalan pada masa kecilnya itu. Di Wenchuan ia melihat seorang anak perempuan kakinya tertindih batu yang besar. Dokter tidak memiliki cara lain untuk menyelamatkan anak tersebut selain melakukan amputasi pada kakinya. Demi anaknya dapat diselamatkan tepat pada waktunya, sang ibu memutuskan agar kaki anaknya dapat diamputasi. Ia tahu keputusannya tersebut tidak akan disukai putrinya, tapi ia lebih memilih dirinya dibenci putrinya daripada putrinya kehilangan nyawa. “Putriku pada suatu hari nanti pasti akan membenciku, tapi biarkanlah ia membenci saya” (01:50:30). Melihat kondisi psikologis sang ibu yang membiarkan putrinya diamputasi kakinya begitu menyakitkan dan menyedihkan, Fang Deng akhirnya menyadari bagaimana hati seorang ibu. Ia mulai menyadari bagaimana hati ibunya ketika memilih mengorbankannya 125Dampak Psikologis Tokoh Pria dan Wanita .... (Andriani Sinarsih; dkk) dan memilih adiknya. Trauma yang sering menghantui korban gempa bumi adalah kenangan saat bencana terjadi. Sedangkan pengalaman yang dialami oleh Fang Deng adalah luka psikologis ketika diabaikan pada saat bencana. Ibunya lebih mimilih adik laki-lakinya dibanding dirinya. Tetapi ketika melihat betapa seorang ibu memilih untuk dibenci anaknya daripada harus kehilangan nyawanya menyadarkan Fang Deng bahwa ibu itu harus mengambil satu keputusan yang tepat walaupun terkadang sulit. d. Membuka Pintu Pengampunan Bagi Ibunya Gempa Wenchuan yang terjadi di tahun 2008 memberikan Fang Deng sebuah pengalaman yang baru. Ia sekali lagi menyadari tipisnya batas antara hidup dan mati. Pada kondisi inilah, Fang Deng bertemu dengan adiknya kembali. Fang Da. Fang Da yang kala itu sudah sukses berbisnis usaha pariwisata memberikan banyak bantuan kepada para korban gempa. Fang Da juga tidak ingin orang lain mengalami penyesalan dan rasa sakit yang dialami oleh keluarganya. Fang Da berkata kepada temannya bahwa gempa bumi pada tahun 1976 menghancurkan seluruh hidup ibunya. Bangunan-bangunan yang porak poranda akibat gempa dapat dengan mudah dibangun kembali, tetapi hati ibunya selamanya tidak akan dapat dipulihkan. Selama 32 tahun ini, hati ibunya ibarat selalu ditimbun oleh reruntuhan gempa. ( 01:53:57) Fang Deng mendengar pembicaraan Fang Da, akhirnya menyadari Fang Da adalah adik kembarnya. Akhirnya Fang Deng mengerti bahwa bukan ibunya tidak menyanyanginya dan bukan sengaja ingin meninggalkannya, tetapi karena kondisi yang terdesak dan harus mengambil keputusan saat itu juga. Hal ini membuat Fang Deng akhirnya mengerti tindakan ibunya pada saat itu. Selain itu, Fang Deng juga mengerti ibunya tidak dapat menghindari ketidaksetaraan gender yang terjadi pada masyarakat Tiongkok pada saat itu. Fang Deng akhirnya dibawa Fang Da untuk menemui ibu yang 32 tahun tidak pernah ingin ditemuinya. Kehadiran Fang Deng membuat ibu mereka terkejut karena selama ini ibunya menganggap Fang Deng sudah meninggal. Sang ibu segera membungkuk dan berlutut memohon ampun di depan anak perempuannya tersebut. Hal ini membuat Fang Deng sadar luka psikologis yang dialami oleh ibunya. Fang Da yang tiap hari melihat ibunya berada dalam bayangan masalalu membuatnya juga mengalami luka psikologis. Fang Deng telah mengalami trauma selama 32 tahun baru dapat membuka hatinya untuk memaafkan ibunya. Fang Deng menyadari bahwa luka psikologis dampak gempa yang selama ini dia rasakan ternyata juga mengakar pada adiknya Fang Da dan juga ibunya. Ketika kehadiran Fang Deng dan permohonan maaf terucap dari ibunya, maka luka yang selama ini ada didalam hati ketiganya perlahan memudar. Mereka menyadari arti dari kata “Hidup” dan berusaha untuk lebih menghargai apa yang ada saat ini. Fang Deng pada akhirnya mampu melepaskan kebencian yang menghantuinya selama 32 tahun dan karena kasih sayang dari orangtua angkatnya dan kembali merasakan ikatan emosi. Orang tua angkatnya berkali-kali mengatakan kepada Fang Deng: “Keluarga, selamanya akan tetap keluarga, ikatan keluarga selamanya tidak akan pernah berubah”. Keutuhan keluargalah yang membuat luka ketiganya mencair dan belajar saling menghargai kehidupan yang masih bisa mereka rasakan. SIMPULAN Tragedi yang dialami oleh Fang Deng dan Fang Da pada masa kanak-kanak tidak dapat dikatakan murni kesalahan ibunya. Dalam hal ini masyarakat juga mempunyai tanggung jawab. Teman yang dikenal Fang Da juga menyakini bahwa pemilihan anak laki- laki dan mengorbakan anak perempuan adalah sesuai dengan pandangan masyarakat pada saat itu karena garis keturunan dipegang oleh anak laki-laki. Hal ini mengakibatkan trauma berat pada Yuanni, Fang Deng dan Fang Da. Pandangan masyarakat yang beranggapan bahwa anak laki-laki lebih penting daripada anak perempuan disebabkan oleh kurangnya kesadaan akan nilai diri wanita. Selain itu anggapan bahwa laki-laki adalah prioritas utama di dalam kehidupan berkeluarga juga mempengaruhi pandangan masyarakat Tiongkok saat itu. Keputusan yang diambil oleh Yuanni ketika dihadapkan pada pilihan diantara kedua anaknya bukan saja berdasarkan dari pandangan masyarakat terhadap kedudukan pria dan wanita, tetapi lebih kepada keputusan cepat yang harus dia ambil demi menyelamatkan anaknya. Pada masa itu perempuan juga kurang mendapatkan pendidikan, sehingga menimbulkan sebuah pandangan bahwa pria adalah penghidup ekonomi keluarga. Penulis berharap agar semua pembaca dapat menyayangi setiap anak mereka dengan seimbang, agar tidak menimbulkan rasa ketidaksetaraan gender dalam hidup mereka. Karena hal ini dapat mempengaruhi perkembangan psikologi anak seperti yang dialami oleh Fang Deng. DAFTAR PUSTAKA 蔡寶瓊,陳潔華.教育的性別視角:課室與教學實 證研究[M].香港:香港城市大學出版社,2012 陈丽,刘娣.震后人均常见的心理困扰及应对策略[J]. 西南交通大学学报(社会科学版),2008,9(4) :10-11. 東方仁.四川大地震[M].香港:中華書局出版有限 公司,192,2008. 冯小刚.唐山大地震 [电影] [Z].中国:中国电影集 团公司.2010 孙伊.中国女性在家庭中的地位和权利[J],2009 , 下 载 于 h t t p : / / w w w. d o u b a n . c o m / g r o u p / topic/8124755/ .2009-09-25 / 2014-04-12 李 银 河 . 女 性 主 义 [ M ]. 济 南 : 山 东 任 命 出 版 社,2005. 李银河.妇女:最漫长的革命:当代西方女性主义 理论精远[M].北京:中国妇女出版社,2005. 刘泗翰.性/别:多元时代的性别角力[M].台北:书 林出版. 216,2004. 罗慧兰.女性学 [M].北京:中国国际广播出版 社.3 : 23-25,62-63,2003. 南 储 鑫 . 扭 转 男 女 不 平 等 观 念 的 重 要 举 措 [ J ] , 2 0 1 3 , 下 载 于 h t t p : / / w w w. w s i c . a c . c n / academicnews/84838.htm.2013-12-03/ 2014-03- 25 妥 立 明 . 浅 谈 现 价 段 我 国 男 女 不 平 等 的 问 题 [ J ] , 2 0 1 2 , 下 载 于 h t t p : / / w w w. d o c 8 8 . com/p-7085489587527.html . 2012/2014-06-16 126 Jurnal LINGUA CULTURA Vol.9 No.2 November 2015 郭爱妹.女性主义心理学[M].三上海:上海教育出 版社,2006 王圭宁.中国女性的定位与女性权利的走向,2007 ,下载于http://article.chinalawinfo.com/Article_ Detail.asp?ArticleID=44246 . 2007/2014-04-17 杨慧.“男女平等的不同认识及其成因剖析——从社 会性别理论视角” [J].安徽大学(哲学社会科 学版),2005,5:2-7,2005下载于 http://www. docin.com/p-705033710.html . 2005-09 / 2014-03- 26 杨智辉,王建平.205 名癌症病人创伤后应激障碍 症状分析 [J].北京师范大学心理学院,2007 ,1 : 1,下载于 http://wenku.baidu.com/view/ e5958abd65ce0508763213f3.html. 2007/2014-07- 05 张海盈.地震后心理援助应该分五个阶段,2008 ,下载于 http://news.eastday.com/c/20080523/ u1a3608793.html.2008-5-23 /2014-06-25 Lukita, N, Oktaviani. (2013). Prilaku Altruistik Pada Tokoh Yumo Dalam Film The Flowers Of War. Diakses 20 Juli 2014 dari http://library.binus.ac.id/ eColls/eThesisdoc/Bab4/2012-2-00953-MD%20 Bab4001.pdf Martam. S.I. (2009). Mengenali Trauma Pasca Bencana. Diakses 26 Juni 2014 dari http://www.pulih.or.id/ res/publikasi/news_letter_14.pdf Nio, J.L. (2013). Peradaban Tionghoa Selayang Pandang. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia Soetjipto, A dan Pande Trimayuni (ed.). (2013). Gender dan Hubungan Internasional. Yogyakarta: Jalasutra