Medical and Health Science Journal, Vol.3., No.1, Februari 2019 ORIGINAL ARTICLE CASE STUDY EFFECTIVNESS OF AMYODARON USE IN PATIENTS WITH SUPRAVENTRICULAR TACHYCARDIA AND HYPOTHYROIDISM ,Ardyarini Dyah Savitri * Fakultas Kedokteran Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya, Surabaya, Indonesia *Correspondent Author: adsa.vitri@yahoo.com ARTICLE INFO Article history: Received 25 January 2019 Received in revised form February 2019 Accepted 4 February 2019 ABSTRACT A woman, 53 years of age, with recurrent supraventricular tachycardia (SVT) with hypothyroidism was thought to be associated with amiodarone use. Patients repeatedly get amiodarone for their arrhythmias, where amiodarone has a broad antiarrhythmic effect making it effective for the management of SVT. In addition, the low inotropic properties of amiodarone are low, making amiodarone the drug of choice in patients with heart failure. However, repeated use of amiodarone can cause many side effects, one of which is amiodarone Keywords: Amyodaron, Supraventricular- Tachycardia (SVT), Hypothyroidsm. Kata Kunci: Amyodaron, Supraventricular- Tachycardia (SVT), Hypothyroidsm. induced hypothyroidism (AIH). Patients are given thyroxine hormone substitution therapy during the use of amiodarone and the response to the therapy given is quite good, so the patient has a good prognosis. ABSTRAK Seorang wanita, 53 tahun, dengan takikardia supraventrikular berulang (SVT) dengan hipotiroidisme dianggap terkait dengan penggunaan amiodaron. Pasien berulang kali mendapatkan amiodaron untuk aritmia mereka, di mana amiodaron memiliki efek antiaritmia luas yang membuatnya efektif untuk pengelolaan SVT. Selain itu, sifat inotropik amiodarone yang rendah, membuat amiodaron obat pilihan pada pasien dengan gagal jantung. Namun, penggunaan berulang amiodaron dapat menyebabkan banyak efek samping, salah satunya adalah amiodaron diinduksi hipotiroidisme (AIH). Pasien diberikan terapi pengganti hormon tiroksin selama penggunaan amiodaron dan respons terhadap terapi yang diberikan cukup baik, sehingga pasien memiliki prognosis yang baik. @2019 Medical and Health Science Journal. 10.33086/mhsj.v3i1.927 PENDAHULUAN Takikardi supraventrikular (TSV) merupakan salah satu gangguan irama jantung yang sering terjadi, dengan tingkat insidensi mencapai 35 kasus per 100.000 populasi pertahun dan prevalensi 2,25 kasus per 1000 populasi. Walaupun pada umumnya tidak mengancam nyawa, akan tetapi TSV dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien dengan manifestasi episode takikardi berulang yang tidak menentu sehingga menimbulkan gangguan kecemasan (Medi, Kalman & Freedman, 2009). Takikardi supraventrikular dengan karakteristik kecepatan denyut jantung lebih dari 100 kali permenit sering menimbulkan keluhan Correspondence: Ardyarini Dyah Savitri @2019 Medical and Health Science Journal. 10.33086/mhsj.v3i1.927 Available at http://journal2.unusa.ac.id/index.php/MHSJ 55 mailto:adsa.vitri@yahoo.com http://journal2.unusa.ac.id/index.php/MHSJ Medical and Health Science Journal, Vol.3., No.1, Februari 2019 palpitasi atau bahkan sinkop serta hipotensi. TSV dapat terjadi akibat kelainan primer jantung ataupun sekunder akibat kelainan di luar jantung. Adapun tatalaksananya meliputi penanganan penyakit dasar serta memperlambat irama jantung, baik dengan terapi farmakologis maupun non- farmakologis (Marchlinski, 2008; Makmun, 2009). Amiodaron merupakan salah satu obat antiaritmia yang paling efektif digunakan untuk berbagai kondisi aritmia jantung, mulai dari fibrilasi atrial hingga takiaritmia ventrikuler yang mengancam nyawa. Namun demikian, amiodaron dapat menimbulkan banyak efek samping termasuk gangguan pada fungsi tiroid, baik hipertiroid ataupun hipotiroid. Dikatakan tingkat insidensi amiodarone induced hypothyroidism (AIH) mencapai 5% di Italia dan 22% di Amerika Serikat. Sedangkan di Belanda, insidensi AIH mencapai 6,9% (Padmanabhan, 2010). Berikut kami sampaikan kasus seorang pasien TSV berulang yang mengalami hipotiroid diduga terkait penggunaan amiodaron. TELAAH KASUS Seorang wanita, 53 tahun, menikah, suku Jawa, agama Islam, pendidikan SD, ibu rumah tangga, bertempat tinggal di Surabaya, datang ke IRD RSU Dr. Soetomo dengan keluhan utama dada berdebar. Anamnesis Dada berdebar dirasakan sejak 1 hari SMRS. Dada berdebar hilang timbul dan terutama dirasakan pasien saat merasa kelelahan dan banyak pikiran. 2 jam SMRS pasien sempat tidak sadarkan diri selama 5 menit, tanpa disertai kejang. Dada berdebar diikuti dengan sesak nafas dan bengkak pada kedua tungkai sejak 2 tahun lalu. Keluhan kaki bengkak berkurang dengan obat pelancar kencing. Selain itu, pasien juga mengeluhkan nafsu makan menurun, badan terasa cepat lelah, dan berat badan menurun. Buang air besar pasien masih dalam batas normal. Riwayat Penyakit Dahulu - Rutin kontrol di poli jantung RSU Dr.Soetomo sejak 10 tahun lalu karena jantung berdebar - Riwayat dirawat di ICCU sebanyak 4 kali sejak 3 tahun lalu karena keluhan yang sama (dada berdebar dan tak sadarkan diri): 1. Agustus 2011, pasien dirawat dengan diagnosis akhir TSV dan hipotensi. Selama perawatan memperoleh loading amiodaron dilanjutkan maintenance. Pasien memperoleh terapi tablet metoprolol saat keluar dari rumah sakit. 2. Januari 2012, pasien dirawat dengan diagnosis akhir TSV, bradikardi, gagal jantung kelas fungsional 4. Pemeriksaan faal tiroid FT4 1,03 ng/ dl (N: 0,89 – 1,76 ng/ dl), TSH 4,58 uIU/ mL (N: 0,35 – 5,50 uIU/ mL). Dilakukan pemeriksaan trans- esofageal ekokardiografi dengan kesimpulan akhir jantung masih dalam batas normal. Selama perawatan, pasien memperoleh loading amiodaron dilanjutkan maintenance. Pasien memperoleh terapi tablet propafenon saat keluar dari rumah sakit yang diminum bila ada keluhan. 3. September 2012, pasien dirawat dengan diagnosis akhir TSV, gagal jantung kelas fungsional 4. Selama perawatan memperoleh terapi loading amiodaron dilanjutkan maintenance dan pulang dengan terapi tablet amiodaron 1 x 100 mg. 4. Juni 2013, pasien dirawat dengan diagnosis akhir TSV, gagal jantung kelas fungsional 4, bronkitis akut, hipotiroid yang mungkin terkait 56 Medical and Health Science Journal, Vol.3., No.1, Februari 2019 penggunaan amiodaron. Pasien memperoleh terapi loading amiodaron dilanjutkan maintenance selama MRS. Pemeriksaan faal tiroid TSH 19,759 uIU/ mL (N: 0,35 – 5, 50 uIU/ mL). Satu minggu kemudian dilakukan pemeriksaan faal tiroid ulang dengan hasil TSH 29,010 uIU/ mL (N: 0,35 – 5,50 uIU/ mL), FT4 0,56 ng/dl (N: 0,89 – 1,76 ng/dl). Pasien pulang dengan terapi amiodaron tablet 1 x 100 mg dan levotiroksin 1 x 25 µg dan direncanakan kontrol ke poli jantung dan poli endokrin, namun ternyata pasien tidak kontrol ke poli endokrin setelah keluar dari rumah sakit. Pemeriksaan Fisik Keadaan umum lemah, GCS 456, tekanan darah 105/70 mmHg, nadi 188 x/ menit, teratur, pernafasan 32 x/menit, suhu aksila 36°C. Pada kepala leher tidak didapatkan anemis, ikterik, ataupun sianosis. Didapatkan peningkatan tekanan vena juguler disertai dispnea. Tidak didapatkan pembesaran kelenjar tiroid. Pada dada didapatkan bentuk simetris dengan retraksi pada otot bantu nafas, iktus kordis pada sela iga 6, terletak 1 cm lateral dari garis midklavikular kiri, suara jantung S1S2 tunggal, murmur sistolik grade II/VI di apeks yang menjalar ke aksila kiri. Suara nafas vesikuler, tanpa wheezing, terdengar ronkhi basah halus pada kedua lapangan paru. Pada abdomen didapatkan bising usus normal, supel, tanpa asites, teraba pembesaran hati ±2 cm bawah arkus kosta, tidak teraba limpa ataupun ginjal. Pada ekstremitas didapatkan edema pada tungkai bawah, akral hangat, kering, dan merah. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium: Hb 14,2 g/dl. Lekosit 5.600/mm 3 . Trombosit 165.000/mm 3 . Gula darah acak 103 mg/dL, BUN 14 mg/dL, Kreatinin Serum 0,51 mg/dL, SGOT 38 IU/L, SGPT 25 IU/L, Albumin 3,76 g/dL. Natrium 140 mEq/L, Kalium 4,3 mEq/L, Klorida 111 mEq/L, CKMB 17,6 U/L (normal: 7 – 25 U/L), Troponin T negatif, TSH 0,107 uIU/ mL (N: 0,35 – 5,50 uIU/ mL), FT4 1,74 ng/dl (N: 0,89 – 1,76 ng/dl). Urine lengkap: Glu -, Bil -, Ket -, SG > 1,030, Bld -, pH 5,0, Prot -, Uro 3,2, Nit -, Leu -, Erytrosit (mikroskopis) 0-2, Leukosit (mikroskopis) 2 – 5, Epitel (mikroskopis) sedikit Foto thoraks: kardiomegali dengan CTR 60,8% dengan vaskularisasi paru meningkat. Elektrokardiografi (EKG): irama takikardia supraventrikular 180 x/ menit, aksis normal. Diagnosis Pasien dirawat di ruang Intensive Cardiology Care Unit (ICCU) dengan diagnosis TSV, gagal jantung kelas fungsional 4, hipotiroid dalam terapi tiroksin (sejak 5 bulan yang lalu) dan terjadi overshoot terapi. Terapi Pasien disarankan untuk menghentikan penggunaan levotiroksin dan bila teman sejawat kardiologi setuju, mohon hindari penggunaan amiodaron. Disarankan juga untuk melengkapi pemeriksaan antibodi tiroid peroksidase (TPOAb) dan antibodi tiroglobulin (TGAb) Dari Kardiologi, pasien memperoleh terapi oksigen nasal 4 lpm, diltiazem pump mulai 0,5 µg/ kgBB/ menit bila tekanan darah sistolik lebih dari 100 mmHg, serta furosemid injeksi 10 mg tiga kali sehari. Perjalanan Penyakit Hari pertama, pasien tidak ada keluhan. GCS 456, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 60 x/menit, teratur dan kuat angkat, pernafasan 20 x/menit, suhu aksila 36,5°C. Pada pemeriksaan elektrokardiografi diperoleh hasil irama sinus 60 x/ menit, aksis normal. Pasien memperoleh terapi 57 Medical and Health Science Journal, Vol.3., No.1, Februari 2019 verapamil 40 mg dua kali sehari, diltiazem pump dan furosemid injeksi dihentikan, ISDN 5 mg dua kali sehari, serta furosemid tablet 10 mg tiga kali sehari. Hari ketiga, kondisi stabil dan pasien dipindahkan ke ruang jantung. Pasien direncanakan untuk pemeriksaan TPOAb dan TGAb tetapi menolak karena alasan biaya. Hari kelima, pasien dipulangkan. PEMBAHASAN Takikardia supraventrikular merupakan salah satu bentuk takiaritmia dengan fokus aritmia berasal dari atrial, termasuk nodus AV dan berkas His. Tiga bentuk TSV tersering adalah AV nodal reentrant tachycardia (AVNRT), atrioventricular reciprocating tachycardia (AVRT), dan takikardi atrial (AT), dimana ketiganya ditandai oleh laju denyut jantung reguler lebih dari 100 kali permenit. Pada gambaran EKG umumnya didapatkan kompleks QRS yang sempit, kurang dari 120 milidetik, dengan interval RR yang teratur. Gelombang P sering sukar dikenali, karena bertumpuk pada T atau terbenam di QRS (Medi, Kalman & Freedman, 2009; Muhadi, 2011; Almendral, Castellanos & Ortiz, 2012). Pada EKG didapatkan gambaran irama takikardia supraventrikular 180 x/ menit dengan kompleks QRS yang sempit dan interval RR yang teratur. Palpitasi, nyeri dada, pusing, rasa lelah, dan sesak nafas merupakan keluhan yang sering muncul pada pasien TSV. Tidak jarang pasien datang dengan keluhan tidak sadarkan diri dan pada beberapa kasus dapat didiagnosis sebagai gangguan kecemasan karena TSV sering bersifat paroksismal yang berawal tiba – tiba, demikian pula terminasinya. Pada kasus berulang, dapat disertai dengan tanda – tanda gagal jantung kronis (Medi, Kalman & Freedman, 2009; Colucci, Silver & Shubrook, 2010; Muhadi, 2011). Pada pasien didapatkan keluhan palpitasi, rasa lelah, sesak nafas, dan tidak sadar serta manifestasi klinis gagal jantung. Takikardia supraventrikular terjadi akibat gangguan pembentukan impuls dan atau gangguan hantaran impuls melalui mekanisme re-entry, automatisitas dan adanya aktivitas pencetus. Penyebab TSV dapat berasal dari kelainan primer jantung ataupun sekunder akibat kelainan luar jantung. TSV dapat terjadi pada pasien dengan penyakit arteri koroner, penyakit jantung katub, gagal jantung, dan penyakit paru obstruktif kronik. Hal lain yang dapat menstimulasi TSV adalah kelelahan atau stres emosional, infeksi, hipoksia, konsumsi obat yang mengandung agen adrenergik, digitalis ataupun teofilin, minuman yang mengandung kafein ataupun alkohol, gangguan elektrolit, serta hipertiroid (Delacretaz, 2006; Fogoros, 2007; Makmun, 2009; Colucci, Silver & Shubrook, 2010; Muhadi, 2011). Anamnesa riwayat penyakit serta pemeriksaan fisik yang teliti akan membantu untuk mengetahui etiologi serta faktor pencetus TSV. Pemeriksaan laboratorium hendaknya dilakukan untuk mengetahui adanya infeksi, gangguan elektrolit, kadar hormon tiroid dan kadar digitalis serta teofilin dalam darah. Selain itu, sebaiknya juga dilakukan pemeriksaan roentgen dada untuk mengetahui adanya penyakit paru obstruktif kronik serta pemeriksaan ekokardiografi dan elektrofisologi untuk mendeteksi adanya kelainan struktur jantung dan mekanisme TSV (Delacretaz, 2006; Colucci, Silver & Shubrook, 2010; Almendral, Castellanos & Ortiz, 2012). Pada anamnesa didapatkan bahwa kelelahan dan stres emosional mencetuskan timbulnya keluhan berdebar – debar pada pasien ini. Tidak didapatkan infeksi ataupun kelainan elektrolit dan fungsi tiroid pasien pada awalnya normal. Tidak didapatkan kelainan pada pemeriksaan foto thoraks dan ekokardiografi. Sedangkan pemeriksaan elektrofisiologi tidak 58 Medical and Health Science Journal, Vol.3., No.1, Februari 2019 dapat dilakukan karena peralatannya tidak tersedia di Surabaya. Manajemen TSV meliputi penanganan penyakit dasar serta tatalaksana terhadap aritmia. Aritmia sebaiknya segera dikendalikan terutama bagi pasien yang beresiko mengalami gangguan hemodinamik atau yang intoleran terhadap TSV sehingga mengakibatkan presinkop atau sinkop. Adapun hal tersebut dapat dicapai melalui manajemen jangka pendek atau urgent dengan farmakologis dan non-farmakologis serta manajemen jangka panjang menggunakan terapi farmakologis dan ablasi kateter (Makmun, 2009; Colucci, Silver & Shubrook, 2010). Tujuan manajemen jangka pendek pada TSV adalah menghentikan episode akut takikardi sesegera mungkin, yang sering dapat dicapai dengan manuver vagal. Bila gagal, maka dapat diberikan antiaritmia. Adenosin merupakan pilihan antiaritmia utama. Sebagai alternatif, dapat diberikan calcium channel blocker (CCB) seperti verapamil dan diltiazem atau beta-blocker seperti propanolol, metoprolol, atau esmolol. Bila gagal, maka obat – obat antiaritmia seperti flekainid, prokainamid, atau propafenon juga dapat diberikan pada pasien TSV dengan hemodinamik yang masih stabil. Kardioversi menjadi pilihan, apabila terjadi instabilitas hemodinamik atau gagal dengan terapi farmakologi yang diberikan (Delacretaz, 2006; Fox, Krahn & Yee, 2008; Medi, Kalman & Freedman, 2009). Manajemen jangka panjang diberikan berdasarkan frekuensi serta derajat keparahan aritmia yang terjadi. Bagi pasien dengan gejala yang jarang muncul, gejala yang dapat hilang sendiri tanpa terapi, ataupun gejala yang ringan, maka tidak dibutuhkan terapi jangka panjang. Bila tingkat rekurensi keluhan tinggi, maka ablasi kateter direkomendasikan sebagai terapi definitif TSV. Pasien yang menolak ataupun terdapat faktor komorbid sehingga ablasi kateter tak dapat dilakukan, maka diberikan pengobatan farmakologis yang bersifat profilaksis atau diberikan sewaktu – waktu bila terdapat gejala (“pill in the pocket approach”). Beta-blocker, CCB, atau digoksin merupakan obat pilihan utama. Bila gagal, maka dapat diberikan antiaritmia seperti flekainid, sotalol, propafenon atau amiodaron (Delacretaz, 2006; Fox, Krahn & Yee, 2008; Medi, Kalman & Freedman, 2009). Amiodaron merupakan obat antiaritmia dengan frekuensi pemakaian tertinggi sejak ditemukannya obat ini pada 3 dekade yang lalu, baik di benua Amerika, Eropa, dan Asia. Hal ini disebabkan karena amiodaron memiliki spektrum terapeutik yang luas yang efektif digunakan untuk terapi berbagai macam aritmia, baik aritmia ventrikuler, TSV, maupun fibrilasi atrial. Walaupun amiodaron termasuk dalam obat antiaritmia kelas III berdasarkan klasifikasi Vaughan Williams, tetapi amiodaron juga memiliki aktivitas antiaritmia kelas I, II, dan IV, sehingga amiodaron memiliki efek elektrofisiologi sebagai berikut (Connolly, 2000; Siddoway, 2003; Fogoros, 2007; Zimetbaum, 2007; Rampengan, 2011): 1. Memperpanjang fase repolarisasi sehingga interval QT memanjang 2. Menurunkan denyut jantung dengan menekan automatisasi nodus SA 3. Menurunkan kecepatan konduksi dan memperpanjang masa refrakter nodus AV Efek antiaritmia amiodaron yang luas, menjadikan amiodaron cukup efektif digunakan dalam manajemen TSV. Sifat inotropik negatif yang rendah, menjadikan amiodaron sebagai obat pilihan pada TSV yang disertai gagal jantung (Testa, et al., 2005). Untuk manajemen jangka pendek, pasien memperoleh amiodaron berulang kali. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien menderita gagal jantung. Sedangkan pada MRS kelima, pasien memperoleh diltiazem. Untuk manajemen jangka panjang, pasien memperoleh metoprolol pada MRS pertama, propafenon pada MRS kedua, 59 Medical and Health Science Journal, Vol.3., No.1, Februari 2019 amiodaron pada MRS ketiga dan keempat, serta verapamil pada MRS kelima. Namun demikian, pada pemakaian amiodaron perlu diwaspadai timbulnya beberapa efek samping, dimana pada pemakaian jangka pendek, amiodaron dapat mengakibatkan hipotensi dan bradikardi. Sedangkan pada pemakaian jangka panjang, dapat menimbulkan efek samping yang fatal yang melibatkan berbagai organ, seperti kulit, mata, hati, paru, syaraf, dan tiroid (Testa, et al., 2005; Vassallo & Trohman, 2007; Rampengan, 2011). Amiodaron dapat menimbulkan disfungsi tiroid, baik pada pasien dengan atau tanpa penyakit tiroid sebelumnya, dengan manifestasi klinis berupa amiodarone-induced thyrotoxicosis (AIT) atau amiodarone-induced hypothyroidism (AIH). Hal ini terjadi karena amiodaron mampu mempengaruhi sintesis hormon tiroid baik pada kelenjar tiroid atau jaringan perifer dan bahkan pada kelenjar pituitari melalui 2 mekanisme, yaitu (Loh, 2000; Cohen, et al., 2010; Padmanabhan, 2010; Rampengan, 2011): 1. Iodine-induced effects Amiodaron merupakan derivat benzofuran yang mengandung dua atom yodium pada tiap molekulnya, dimana berat yodium mencapai 37 % berat total amiodaron. Hal ini berarti, pemberian amiodaron pada dosis pemeliharaan sebesar 200 – 600 mg per hari akan melepaskan 6 – 21 mg yodium bebas per harinya, dimana beban yodium ini jauh melebihi rekomendasi World Health Organization (WHO) mengenai asupan optimal yodium per hari yang berkisar 0,15 – 0,3 mg per hari (Ursella, et al., 2005). Kandungan yodium yang tinggi dalam amiodaron akan menyebabkan inhibisi adaptif ambilan yodium oleh tiroid dan biosintesis hormon tiroid (efek Wolff – Chaikoff). Efek ini pada umumnya terjadi dalam dua minggu pertama, tetapi pada umumnya sintesis hormon tiroid akan kembali normal pada paparan selanjutnya. 2. Intrinsic drug effects Di jaringan perifer, terutama kelenjar tiroid dan hepar, amiodaron memiliki kemampuan spesifik menghambat aktivitas enzim 5’-deiodinase tipe I, yang berperan dalam proses konversi fraksional tiroksin (T4) menjadi triiodotironin (T3). Amiodaron juga secara tidak langsung dapat menghambat masuknya hormon tiroid ke jaringan perifer. Kedua hal tersebut mengakibatkan konsentrasi T3 di sirkulasi menurun dan konsentrasi T4 meningkat. Perubahan ini terjadi sekitar dua minggu setelah pemberian amiodaron dan dapat menetap selama beberapa bulan. Amiodaron dapat mempengaruhi sintesis dan sekresi Thyroid Stimulating Hormone (TSH) pada tingkat pituitari dengan menghambat kerja enzim 5’-deiodinase tipe II sehingga konsentrasi T3 pada kelenjar pituitari menurun dan sekresi TSH meningkat. Peningkatan kadar TSH dapat terdeteksi sejak hari pertama setelah pemberian amiodaron dosis tinggi intravena (loading dose), tetapi biasanya akan kembali ke nilai normal setelah 3 bulan terapi. Amiodaron dilaporkan memiliki efek sitotoksik terhadap sel tiroid. Dari studi yang dilakukan oleh Chivato et al. diperoleh adanya lisis pada folikel tiroid manusia akibat amiodaron. Walaupun masih dalam perdebatan, efek toksik amiodaron ini dikaitkan dengan terjadinya autoimunitas tiroid yang mengakibatkan pelepasan autoantigen, yang mana hal ini telah dibuktikan pada sebuah studi prospektif dengan didapatkannya antibodi tiroid peroksidase (TPOAb) pada 55% pasien yang memperoleh amiodaron (Rampengan, 2011). Gangguan metabolisme hormon tiroid akibat amiodaron akan mengubah profil hormon pasien. Perubahan kadar hormon diklasifikasikan menjadi dua berdasarkan lama pengobatan yaitu efek akut dan kronik. Efek akut bila durasi pengobatan amiodaron kurang dari 3 bulan dan kronik bila pengobatan berlangsung lebih dari 3 bulan, seperti yang tampak pada tabel 1. Namun demikian, kelenjar tiroid mampu mempertahankan kondisi 60 Medical and Health Science Journal, Vol.3., No.1, Februari 2019 eutiroid dengan beradaptasi terhadap beban yodium yang tinggi yang terkandung di dalam amiodaron (Ursella, et al., 2005; Rampengan, 2011). Tabel 1. Profil hormon tiroid setelah pemberian amiodaron pada pasien eutiroid (Rampengan, 2011) Amiodarone – induced hypothyroidism (AIH) memiliki tingkat insidensi bervariasi, namun AIH lebih sering terjadi di area dengan asupan yodium yang cukup. Resiko meningkat pada wanita, dengan rasio wanita dan laki – laki sebesar 1,5 : 1. Insiden juga meningkat pada populasi usia tua. Mekanisme AIH belum jelas, tetapi diduga akibat ketidakmampuan tiroid untuk melepaskan diri dari efek Wolff – Chaikoff setelah pemberian beban yodium tinggi yang terdapat pada amiodaron. Hal ini terutama terjadi pada pasien yang memang fungsi tiroidnya abnormal sebelum terapi, seperti tiroiditis autoimun, dimana adanya antibodi terhadap tiroid, baik TPOAb ataupun TGAb, akan meningkatkan resiko AIH sebesar 13,5. Di samping itu, adanya beban yodium ini juga mampu mempercepat perjalanan klinis tiroiditis autoimun sehingga mengakibatkan hipotiroid yang nyata. Pada pasien dengan fungsi tiroid yang normal, AIH diduga terjadi karena adanya gangguan proses organifikasi yodium intratiroidal sehingga sintesis hormon tiroid menurun (Ursella, et al., 2005; Antono & Kisyanto, 2009; Rampengan, 2011; Narayana, Woods & Boos, 2011). Hipotiroid akibat amiodaron dapat berlangsung sementara atau menetap dan hal ini tidak tergantung pada dosis harian atau kumulatif amiodaron yang diberikan. AIH biasanya terjadi pada awal terapi dan jarang timbul setelah 18 bulan, kecuali bila ada kelainan tiroid yang mendasari. Oleh karena itu, sebaiknya dilakukan pemantauan fungsi tiroid sejak awal terapi untuk memfasilitasi diagnosis, pemberian terapi dini terhadap disfungsi tiroid yang terjadi serta menghindari perburukan aritmia yang dialami pasien (Loh, 2000; Rampengan, 2011). Pasien memperoleh beberapa kali amiodaron akibat aritmia yang dialaminya. Pemantauan fungsi tiroid dilakukan pada saat MRS kedua dengan hasil fungsi tiroid masih dalam batas normal. Pasien adalah wanita dan berusia tua, sehingga memiliki resiko tinggi mengalami AIH. Namun demikian, pemeriksaan TPOAb dan TGAb tidak dilakukan karena alasan biaya. Gambaran klinis AIH biasanya tidak jelas dan menyerupai hipotiroidisme primer. Pasien biasanya mengeluhkan rasa lelah, letargi, tidak tahan dingin, konstipasi, dan kulit kering. Walaupun kadar TSH berfluktuasi setelah penggunaan amiodaron, tetapi diagnosis AIH dapat ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan peningkatan persisten konsentrasi TSH (biasanya > 20 mU/ l) disertai kadar T4 bebas (FT4) yang rendah (Loh, 2000; Narayana, 2011; Rampengan, 2011). Tatalaksana AIH meliputi penghentian amiodaron. Namun apabila tidak dimungkinkan, maka dapat diberikan terapi substitusi hormon menggunakan L-tiroksin (LT4) dimulai dosis awal 25 – 50 µg per hari dan ditingkatkan bertahap dalam interval 4 – 6 minggu dengan monitoring kadar TSH. Terlebih pasien AIH dengan antibodi tiroid yang positif disertai peningkatan TSH, maka sebaiknya substitusi hormon sesegera mungkin diberikan untuk mencegah hipotiroid (Ursella, et al., 2005; Narayana, Woods & Boos, 2011). Pemeriksaan loratorium setelah pemberian amiodaron berulang kali yaitu pada saat MRS keempat menunjukkan hasil peningkatan kadar TSH dari 19,759 uIU/ mL menjadi 29,010 uIU/ mL (N: 0,35 – 5,50 uIU/ mL) dan penurunan kadar FT4 0,56 ng/dl (N: 0,89 – 1,76 ng/dl). Pasien tetap memperoleh amiodaron untuk mengatasi 61 Medical and Health Science Journal, Vol.3., No.1, Februari 2019 aritmianya. Tiroksin 25 µg per hari diberikan sejak saat itu (5 bulan yang lalu). Namun, monitoring kadar TSH selama pemberian subtitusi hormon tidak dilakukan karena pasien tidak kontrol ke poli endokrin. Pada saat ini keluhan yang didapatkan hanya badan mudah terasa lelah. Pasien AIH pada umumnya memiliki prognosis yang baik. Penghentian amiodaron akan mengembalikan fungsi tiroid pada nilai normal dalam waktu 2 – 4 bulan, terutama pada pasien tanpa abnormalitas fungsi tiroid sebelumnya. Namun bila AIH terjadi pada pasien dengan tiroiditis autoimun, maka deteksi dan pemberian substitusi hormon secara dini, akan mengembalikan fungsi tiroid pada nilai yang normal, walaupun dosis LT4 yang dibutuhkan lebih tinggi daripada hipotiroid primer dan diberikan untuk jangka waktu yang lebih lama (Ursella, et al., 2005; Antono & Kisyanto, 2009; Narayana, Woods & Boos, 2011). Pasien memiliki prognosis yang baik, dimana terdapat respon yang cukup baik dengan pemberian substitusi hormon tiroksin selama kurang lebih 5 bulan, dengan tetap menggunakan amiodaron untuk mengatasi aritmianya. Kadar hormon tiroid kembali normal dan bahkan terjadi overshoot karena pasien tidak kontrol ke poli endokrin. DAFTAR PUSTAKA 1. Almendral, J., Castellanos, E., and Ortiz, M., 2012. Paroxysmal Supraventricular Tachycardia and Preexcitation Syndromes. Revista Espanola Cardiologia, 65 (5): 456 – 69. 2. Antono, D., & Kisyanto, Y., 2009. Penyakit Jantung Tiroid. Dalam: Sudoyo, A.W., eds. 2009. Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 2. Edisi Kelima. Jakarta: Interna Publishing. Bab 282. 3. Cohen, L., Dahl, P., Danzi, S., and Klein, I., 2010. Effects of Amiodarone Therapy on Thyroid Function. Natural Review Endocrionology, 6: 34 – 41. 4. Colucci, R.A., Silver, D.O., and Shubrook, J., 2010. Common Types of Supraventriculer Tachycardia: Diagnosis and Management. American Family Physician, 82 (8): 942 – 51. 5. Connolly, S.J., 2000. Evidence – Based Analysis of Amiodarone Efficacy and Safety. Circulation, 100: 2025 – 34. 6. Delacretaz, E., 2006. Clinical Practice Supraventricular Tachycardia. The New England Journal of Medicine, 354 (10): 1039 – 51. 7. Fogoros, R.N., 2007. Basic Principles in Arrhythmia. In: Almond, G., eds. 2007. Antiarrhythmic Drugs: A Practical Guide. 2nd edition. Pittsburgh: Blackwell Publishing. Part I. 8. Fox, D.J., Krahn, A.D., and Yee, R.K., 2008. Supraventricular Tachycardia: Diagnosis and Management. Mayo Clinic Proceedings, 83 (12): 1400 – 11. 9. Loh, K.C., 2000. Current Concept Amiodarone – induced Thyroid Disorders: A Clinical Review. Postgraduate Medical Journal, 76: 133 – 140. 10. Makmun, L.H., 2009. Aritmia Supra Ventrikular. Dalam: Sudoyo, A.W., eds. 2009. Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 2. Edisi Kelima. Jakarta: Interna Publishing. Bab 254. 11. Marchlinski, F., 2008. The tachyarrhythmias. In: Braunwald, eds. 2008. Harrison’s principles of internal medicine Volume 2. 17th edition. New York: Mc Graw-Hill, pp. 1425 - 43. 12. Medi, C., Kalman, J.M., and Freedman, S.B., 2009. Supraventricular Tachycardia. Medical Journal of Australia, 190 (5): 255 – 62. 13. Muhadi, 2011. Adult Cardiac Life Support. Dalam: Setyohadi, B., eds. 2011. EIMED PAPDI Kegawatdaruratan Penyakit Dalam (Emergency in Internal Medicine) Buku I. Edisi Pertama. Jakarta: Interna Publishing. Bab XVI. 14. Narayana, S.K., Woods, D.R., and Boos, C.J., 2011. Management of Amiodarone-related Thyroid Problems. Therapeutic Advances in Endocrinology and Metabolism, 2 (3): 115 – 26. 62 Medical and Health Science Journal, Vol.3., No.1, Februari 2019 15. Padmanabhan, H., 2010. Amiodarone and Thyroid Dysfunction. South Medical Journal, 103 (9): 922 – 30. 16. Rampengan, S.H., 2011. Amiodaron sebagai Obat Anti Aritmia dan Pengaruhnya Terhadap Fungsi Tiroid. Jurnal Biomedik, 3 (2): 84 – 94. 17. Siddoway, L.A., 2003. Amiodarone: Guidelines for Use and Monitoring. American Family Physician, 68 (11): 2189 – 95. 18. Testa, A., Ojetti, V., Migneco, A., Serra, M., Ancona, C., De Lorenzo, A., and Silveri, N.G., 2005. Use of Amiodarone in Emergency. European Review for Medical and Pharmacological Sciences, 9: 183 – 90. 19. Ursella, S., Testa, A., Mazzone, M., and Silveri, N.G., 2005. Amiodarone-induced Thyroid Dysfunction in Clinical Practice. European Review for Medical and Pharmacological Sciences, 10: 269 – 78. 20. Vassallo, P. & Trohman, R.G., 2007. Prescribing Amiodarone: An Evidence – Based Review of Clinical Indications. Journal American Medical Association, 298 (11): 1312 – 20. 21. Zimetbaum, P., 2007. Amiodarone for Atrial Fibrillation. The New England Journal of Medicine, 356 (9): 935 – 41. 63 Medical and Health Science Journal, Vol.3., No.1, Februari 2019 64