author statement form mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan (mmjkk) issn: 2614-0101 (online) & 1411-8033 (print) https://journal.umy.ac.id/index.php/mm/index name of corresponding author* desi rahmawaty address of corresponding author* ulin general hospital jalan a. yani no.km. 2, rw.5, sungai baru, banjarmasin tengah, banjarmasin city, south kalimantan telephone* 08971136199 e-mail* rahmawatydesi@hotmail.com all author(s) name* haryati desi rahmawaty date of submitted* juni 13, 2022] manuscript title* the clinical characteristics of different sars-cov-2 variants in south kalimantan i hereby declare that the below statements are true: 1. the manuscript is originally written by the author and contains no plagiarism. 2. it contains no material previously published or currently not in the process of other journal publications. 3. mentioning other author names along with the first author (if the research involves more than one author). 4. the manuscript has received all authors’ consent to be published (if the manuscript involves more than one author). 5. no conflict of interest. 6. the manuscript has received the consent of the research protocol ethics committees. if any statement specified above is found to be incorrect, i am disposed to be given legal sanctions in a later time. desi rahmawaty june 13, 2022 editorial office mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan journal room, g1 (biomedic) building, ground floor, faculty of medicine and health science, universitas muhammadiyah yogyakarta, jalan lingkar selatan (brawijaya), tamantirto, kasihan, bantul, daerah istimewa yogyakarta, indonesia 55183. phone: +62 274 387 656 (ext: 231) email: mmjkk@umy.university 83 mutiara medika edisi khusus vol. 8 no. 2: 83 88, oktober 2008 pengaruh hubungan orang tua dan anak remaja terhadap pengetahuan sikap perilaku tentang seks bebas dan narkoba the influence relation between parents and teenager to knowledge, attitude, behavior of free sex and napza miftakhul muslichah1, orizaty hilman2 1fakultas kedokteran, universitas muhammadiyah yogyakarta, 2bagian ilmu kesehatan masyarakat fakultas kedokteran, universitas muhammadiyah yogyakarta abstract knowledge, attitude, behavior of free sex and napza of teenager in indonesian needs serious attention of various circles of society. the knowledge derived from family particulary from parent is more importance since family is the principal key in establishing attitude and behavior of teenager in socialization. in connection with this matter, the unhealthy reproduction behavior of teenager like having sexual intercourse in extra marital status or keep on changing partner freely, can result in the infection of sexual infection disease including hiv/aids, unwanted pregnancy, abortion, and use substance that lead into criminality. the objective of this study is to fine the influence relation between parents and teenager to knowledge, attitude, behavior of free sex and napza. this research is descriptive analytic and using quantitative method by cross sectional. the subject of this study were 115 respondent from the 2nd class in the students senior high school muhammadiyah three of yogyakarta. data collected from primary data with questionnaire method directly from the students. the data analysis used in the study was corelation product moment of pearson. the result of the study showed that: there is significant relationship between perception of teenager with her parents to knowledge and attitude about free sex and napza. the knowledge of helth reproduction influenced the free sexual behavior of teenager. key words : knowledge, attitude, behavior, free sex, napza, teenager abstrak pengetahuan, sikap, perilaku seks bebas dan napza remaja di indonesia membutuhkan perhatian yang serius dari seluruh lapisan masyarakat. pengetahuan yang diperoleh dari keluarga khususnya dari orang tua lebih penting lagi karena keluarga adalah kunci utama dalam menegakkan sikap dan perilaku remaja dalam bermasyarakat. oleh karena itu, perilaku remaja dalam reproduksi yang tidak sehat seperti hubungan seks di luar nikah, berganti-ganti pasangan secara bebas, dapat berakibat penyakit infeksi seksual misalnya hiv/aids, hamil diluar nikah, aborsi, dan perilaku yang mengarah ke kriminalitas. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara orang tua dan remaja tentang pengetahuan, sikap dan perilaku seks bebas dan napza. miftakhul muslichah, orizaty hilman, pengaruh hubungan orang tua .............................. 84 penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan metode kuantitatif secara cross sectional. subyek penelitian adalah 115 siswa sma muhammadiyah 3 yogyakarta kelas 2. data yang dikumpulkan adalah data primer yang diperoleh langsung dari responden menggunakan metode kuesioner. data dianaisis dengan uji korelasi product moment pearson. hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara persepsi remaja dengan orang tuanya terhadap pengetahuan dan sikapnya tentang sseks bebas dan napza. pengetahuan tentang reproduksi yang sehat mempengaruhi sikap remaja tentang seks bebas. kata kunci : napza, pengetahuan, perilaku, remaja, seks bebas, sikap pendahuluan remaja merupakan kelompok masyarakat yang masih mengalami pertumbuhan, perkembangan dan proses reproduksi. sikap perilaku berganti-ganti pasangan yaitu melakukan hubungan seksual diluar nikah yang dilakukan secara bebas, dapat mengakibatkan infeksi penyakit menular seksual termasuk hiv/ aids, kehamilan yang tidak diinginkan, kelahiran anak diluar nikah, aborsi dan tindakan kekerasan yang menjurus ke arah kriminalitas. seks bebas di kalangan remaja dapat disebabkan oleh faktor lingkungan, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan pergaulan. lingkungan keluarga yang dimaksud adalah cukup tidaknya pendidikan agama yang diberikan orang tua terhadap anak, cukup tidaknya kasih sayang dan perhatian yang diperoleh anak dari keluarganya, dan cukup tidaknya keteladanan yang diterima anak dari orang tua. jika tidak, maka anak akan mencari tempat pelarian di jalan-jalan serta di tempat-tempat yang tidak mendidik mereka, anak akan dibesarkan di lingkungan yang tidak sehat bagi pertumbuhan jiwanya, serta anak akan tumbuh di lingkungan pergaulan bebas.1 dalam melakukan hubungan seks pranikah pada remaja putra terjadi pada usia yang lebih awal dari pada remaja putri. remaja yang melakukan seks pranikah dapat dikarenakan rendahnya pengetahuan norma-norma, kurangnya komunikasi dengan orang tua, keluarga yang tidak harmonis, pengguna obat-obat terlarang dan alkohol, pengaruh dari teman sebaya, dan lain-lain.2 di yogyakarta pada tahun 1987, 8,53% responden dari 461 siswa pernah melakukan senggama, di bali tahun 1989 4,9% responden dari 324 siswa pernah melakukan hubungan seks pranikah, dan di manado tahun 1991, dari remaja berumur 14-24 tahun, 151 pria dan 145 wanita, 26,6% diantaranya pernah melakukan hubungan seks pranikah.3 narkotika dan psikotropika merupakan obat yang dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan, sehingga ketersediaannya perlu dijamin. dilain pihak narkotika dan psikotropika dapat menimbulkan ketergantungan apabila disalah gunakan, sehingga dapat mengakibatkan gangguan fisik, mental, sosial, keamanan dan ketertiban masyarakat. penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza) yang sering juga disebut dengan istilah narkoba tidak hanya melibatkan pelajar sekolah lanjutan atas dan mahasiswa, namun telah merambah pelajar setingkat sekolah lanjutan pertama dan sd.4 penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba telah terjadi di tengah-tengah masyarakat bahkan sangat memprihatinkan karena penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba dulunya hanya dilakukan oleh orang-orang broken home/ frustasi dan orang-orang yang menyenangi kehidupan malam, namun saat ini telah memasuki seluruh strata sosial masyarakat yang semakin berkembang dan disalahgunakan oleh kalangan mahasiswa dan pelajar, selebritis, bisnisman bahkan 85 mutiara medika edisi khusus vol. 8 no. 2: 83 88, oktober 2008 dari kalangan eksekutif, legislative, polri/tni dan lain-lainnya. penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba didominasi oleh usia produktif antara umur 16 tahun sampai umur 24 tahun. perkembangan dan peredaran gelap narkoba semakin hari semakin meningkat, hal ini dapat kita amati dan saksikan di berbagai media cetak maupun elektronik. penggunaan narkoba terjadi oleh interaksi antara faktor-faktor predisposisi (kepribadian, kecemasan, depresi), faktor kontribusi (kondisi keluarga, keutuhan keluarga, kesibukan orang tua), dan faktor pencetus atau pengaruh teman sebaya dan zat itu sendiri.5 hubungan antar anggota keluarga yang hangat, harmonis, serta sikap perlakuan orang tua terhadap anak positif atau penuh kasih sayang, maka remaja akan mengembangkan identitasnya secara realistik dan stabil (sehat). namun apabila sebaliknya, yaitu hubungan keluarga penuh konflik, tegang, dan perselisihan, serta orang tua bersikap keras dan kurang memberikan kasih sayang, maka remaja akan mengalami kegagalan dalam mencapai identitasnya secara matang, mengalami kebingungan, konflik atau frustasi. hal tersebut cenderung menggambarkan banyaknya remaja yang akrab dengan alkohol dan obat-obat terlarang, senjata yang kaitannya dengan kematian, dan hubungan seksual yang menyebarkan penyakit hiv.6 tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara orang tua dan remaja tentang pengetahuan, sikap dan perilaku seks bebas dan napza. bahan dan cara penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik untuk memeperoleh gambaran mengenai bagaimana hubungan orang tua dan anak remaja terhadap pengetahuan sikap perilaku tentang seks bebas dan napza di smu muhammadiyah tiga yogyakarta. penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. penelitian ini dilaksanakan di kota yogyakarta pada bulan desember 2007 – pebruari 2008, tepatnya di smu muhammadiyah tiga kecamatan wirobrajan kotamadya yogyakarta. subyek dalam penelitian ini adalah 115 siswa-siswi yang sedang duduk dikelas 2 smu muhammadiyah tiga kecamatan wirobrajan kotamadya yogyakarta. adapun variabel dalam penelitian ini sebagai berikut: a. variabel bebas: hubungan orang tua dan anak remaja, b. variabel terikat: pengetahuan sikap perilaku tentang seks bebas dan napza, c. variabel pengganggu: pendidikan orang tua, sosial ekonomi, adat istiadat, sumber informasi kesehatan reproduksi. jenis data yang dikumpulkan adalah data primer yang diperoleh langsung dari responden. penelitian menggunakan metode kuesioner kepada responden untuk mengumpulkan data. dari hasil yang diperoleh data akan dianalisis menggunakan uji korelasi product moment dari pearson untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara orang tua dan anak remaja terhadap pengetahuan sikap perilaku seks bebas dan napza. hasil responden paling banyak berumur 15 21 yaitu sebanyak 115 responden dengan prosentase 100%. jenis kelamin terbanyak perempuan yaitu 61 responden dengan prosentase 53,04%. bertempat tinggal terbanyak satu rumah dengan orang tua yaitu 102 responden dengan prosentase 88,70%. responden terbanyak pernah mendapatkan informasi kesehatan reproduksi yaitu 99 responden dengan prosentase 86,09%. responden terbanyak pernah mendapatkan informasi tentang napza yaitu 103 responden dengan prosentase 89,57%. 35 responden (30,44%) mendapat informasi dari banyak sumber yaitu 7-10 sumber informasi. penghasilan keluarga remaja terbesar sekitar antara 1-3 juta/bulan pada 46 responden dengan prosentase 40,00%. miftakhul muslichah, orizaty hilman, pengaruh hubungan orang tua .............................. 86 tabel 1. distribusi frekuensi berdasarkan pengetahuan responden tentang seks bebas dan napza. tabel.2. distribusi frekuensi berdasarkan sikap responden tentang seks bebas dan napza tabel 3. distribusi frekuensi berdasarkan perilaku responden tentang seks bebas dan napza tabel 4.distribusi frekuensi responden berdasarkan peran orang tua 1 .9 .9 .9 24 20.9 20.9 21.7 90 78.3 78.3 100.0 115 100.0 100.0 rendah sedang tinggi total valid frequency percent valid percent cumulative percent 11 9.6 9.6 9.6 6 5.2 5.2 14.8 98 85.2 85.2 100.0 115 100.0 100.0 kurang cukup baik total valid frequency percent valid percent cumulative percent 9 7.8 7.8 7.8 5 4.3 4.3 12.2 101 87.8 87.8 100.0 115 100.0 100.0 kurang cukup baik total valid frequency percent valid percent cumulative percent 26 22.6 22.6 22.6 10 8.7 8.7 31.3 79 68.7 68.7 100.0 115 100.0 100.0 kurang cukup baik total valid frequency percent valid percent cumulative percent 87 mutiara medika edisi khusus vol. 8 no. 2: 83 88, oktober 2008 tabel 5. distribusi frekuensi responden berdasarkan tingkat kepuasan remaja terhadap orang tua tabel 6.distribusi frekuensi responden berdasarkan persepsi remaja tentang hubungan dengan orang tuanya tabel 10.matriks korelasi persepsi remaja dengan orang tuanya terhadap pengetahuan sikap dan perilaku diskusi pengetahuan tentang seks bebas dan napza dari 115 responden, diperoleh 90 responden (78,3%) termasuk dalam kategori tinggi. menurut pkbi remaja yang memiliki pemahaman secara benar dan proposional tentang kesehatan reproduksi cenderung memahami resiko perilaku serta alternatif cara yang dapat digunakan untuk menyalurkan dorongan seksual secara sehat dan bertanggung jawab. sikap terhadap seks bebas dan napza didapatkan bahwa dari 115 responden, diperoleh 98 responden (85,2%) termasuk dalam kategori baik. dengan mengingat dampak seksual bebas dan napza dan dengan pengetahuan yang sudah didapat mereka cenderung memiliki sikap yang baik terhadap seks bebas dan napza. perilaku terhadap seks bebas dan napza didapatkan dari 115 responden, diperoleh 101 responden (87,8%) termasuk dalam kategori baik. dimana perilaku merupakan faktor terbesar kedua setelah faktor lingkungan yang mempengaruhi individu, kelompok dan masyarakat. peran orang tua dalam pendidikan kesehatan reproduksi remaja didapatkan dari 115 responden, diperoleh 79 responden (68,7%) termasuk dalam kategori baik. hal ini disebabkan oleh berbagai faktor antara 25 21.7 21.7 21.7 18 15.7 15.7 37.4 72 62.6 62.6 100.0 115 100.0 100.0 kurang cukup baik total valid frequency percent valid percent cumulative percent 56 48.7 48.7 48.7 45 39.1 39.1 87.8 14 12.2 12.2 100.0 115 100.0 100.0 kurang cukup baik total valid frequency percent valid percent cumulative percent persepsi remaja dengan orang tuanya variabel korelasi signifikasi pengetahuan 0,298 0,001 sikap 0,251 0,007 perilaku 0,170 0,069 miftakhul muslichah, orizaty hilman, pengaruh hubungan orang tua .............................. 88 lain karena kurangnya pengetahuan orang tua, orang tua yang sibuk dan kurang mendukungnya keluarga terhadap norma agama atau budaya. tingkat kepuasan remaja terhadap orang tua yang didapatkan dari 115 responden, diperoleh 72 responden (62,6%) termasuk dalam kategori baik. persepsi remaja tentang hubungan dengan orang tuanya yang didapatkan dari 115 responden, diperoleh 14 responden (12,2%) termasuk dalam kategori baik. dengan hasil tersebut dapat kita katakan bahwa persepsi remaja tentang hubungan dengan orang tuanya, ternyata masih rendah terbukti dengan cukup rendahnya persentase pada remaja yang mempunyai hubungan dekat dengan orang tuanya. dari tabel 10, matriks pengetahuan tersebut didapatkan signifikasi 0,001 < alpha 0,05 maka hipotesis penelitian ditolak, artinya ada hubungan antara persepsi remaja dengan orang tuanya terhadap pengetahuan tentang seks bebas dan napza. matriks tentang sikap diperoleh signifikasi 0,007 < alpha 0,05 maka hipotesis penelitian ditolak, artinya ada hubungan antara persepsi remaja dengan orang tuanya terhadap sikap remaja tentang seks bebas dan napza. matriks tentang perilaku diperoleh signifikasi 0,069 > alpha 0,05 maka hipotesis penelitian diterima, artinya tidak ada hubungan antara persepsi remaja dengan orang tuanya terhadap perilaku remaja tentang seksual bebas dan napza. sehingga dapat disimpulkan bahwa dekatnya hubungan remaja dengan orang tuanya berpengaruh terhadap pengetahuan dan sikap remaja, namun tidak berpengaruh terhadap perilaku remaja. kesimpulan peran orang tua dalam keluarga masih kurang dalam pembentukan perilaku remaja terhadap seksual bebas dan napza. terdapat hubungan antara persepsi remaja dengan orang tuanya terhadap pengetahuan dan sikap remaja secara bermakna (p<0,05), tetapi tidak terdapat hubungan antara persepsi remaja dengan orang tuanya terhadap perilaku remaja (p>0,05) secara umum sebagian besar pengetahuan responden tentang seksual bebas dan napza perlu ditingkatkan. daftar pustaka 1. fajar. 2006. mengatasi perilaku seksual bebas. http://www.fajar.co.id. diakses tanggal 31 maret 2006. 2. griensven van frits., alice liu., chomnad manopaiboon., peter kilmarx., philip a. mock., richard a., jenkins., at al., (2006). sexual initiation, substance use, and sexual behavior and knowledge among vocation students in northern thailand, international family planning perspective. 3. anonim. 2005. pendidikan seks dan kesehatan harus melibatkan orang tua. 4. http://www.serojasatu.com, diakses tanggal 10 agustus 2005. 5. hurloch, e. b. 1994. psikologi perkembangan (suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan). edisi 5, erlangga: jakarta. 6. sarwono, wirawan, sarlito. 2004. psikologi remaja. raja grafindo persada: jakarta. 77 mutiara medika vol. 13 no. 2: 77-83, mei 2013 hubungan pengetahuan ibu dan tingkat ekonomi keluarga terhadap perkembangan motorik balita correlation mother’s knowledge and economic level of the family with motor development of under 5 year old children prandy novi prima pratama1, ekorini listiowati2* 1program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta 2bagian ilmu kesehatan masyarakat, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta *email: ekorini_santosa@yahoo.com intisari perkembangan motorik pada balita terdiri atas perkembangan motorik kasar dan motorik halus. banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik balita. pengetahuan ibu terhadap perkembangan motorik balita dan tingkat ekonomi keluarga diduga dapat mempengaruhi perkembangan motorik balita. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu dan tingkat ekonomi keluarga terhadap perkembangan motorik balita. penelitian ini menggunakan metode observational dengan disain cross sectional. populasi yang digunakan adalah balita yang ada di puskesmas kraton, yogyakarta pada periode waktu mei – juni 2012. sampel yang diambil berjumlah 54 orang dengan perhitungan rumus untuk uji korelasi spearman. penelitian menunjukkan pengetahuan ibu tentang perkembangan motorik balita baik (53,7%) dan tingkat ekonomi sedang 44,4%, tinggi 9,3%. hasil analisis hubungan tingkat pengetahuan ibu terhadap perkembangan motorik balita bermakna dengan p=0,03. hubungan tingkat ekonomi keluarga dengan perkembangan motorik balita bermakna dengan p=0,038. disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan ibu dan tingkat ekonomi keluarga terhadap perkembangan motorik balita. kata kunci: pengetahuan ibu, tingkat ekonomi, perkembangan motorik, balita abstract motor development in infants consists of the development of gross motor and fine motor skills. many factors influence infant motor development. knowledge of mother to infant motor development might and level of economic family impact on infant motor development. this study aimed to determine the relationship between mother’s knowledge and level of economic family on motor development toddlers. this study uses cross-sectional observational method design. the population is under five years old in the clinic kraton, yogyakarta on may – june 2012. sampels taken around 54 people with the calculation formula for the spearman correlation test. this reaseach show a relationship between mother’s knowledge and toddler motor development is significan with p=0,03. and the relationship between level of economic family income to the toddler motor fdevelopment is significan with p=0,038. the conclusion is there is relationship between mother’s knowledge and level of economic family income to the toddler motor fdevelopment key words: mother’s knowledge, economic level, motor development, under 5 year old artikel penelitian 78 prandy novi prima pratama, hubungan pengetahuan ibu dan tingkat ekonomi keluarga ... pendahuluan ringkasan kajian unicef indonesia oktober 2012 menyatakan meskipun indonesia telah menunjukkan penurunan kemiskinan secara tetap, tetapi masalah gizi pada anak-anak balita menunjukkan sedikit perubahan. dari tahun 2007 hingga 2011, proporsi penduduk miskin di indonesia mengalami penurunan, tetapi masalah gizi tidak menunjukkan penurunan secara signifikan. prevalensi anak pendek sangat tinggi, mempengaruhi satu dari tiga anak balita.1 sejak terjadinya krisis multidimensi yang melanda indonesia, hingga saat ini masalah gizi penduduk masih cukup memprihatinkan, bahkan 75% dari total kabupaten di indonesia berada dengan kondisi masalah gizi kurang pada balita di atas 20%. hal ini akan berpengaruh terhadap perkembangan sumber daya manusia indonesia di masa yang akan datang.2 dampak krisis yang ditimbulkan gizi buruk menyebabkan biaya subsidi kesehatan semakin meningkat. gizi buruk juga menyebabkan lebih dari separo kematian bayi, balita dan ibu, serta human development indeks (hdi) menjadi rendah.3 salah satu strategi kementerian kesehatan ri adalah meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu dan berkeadilan serta berbasis bukti dengan mengutamakan pada upaya promotif dan preventif. sesuai riskesdas 2010, status gizi menurut indikator bb/u secara nasional prevalensi berat kurang adalah 17,9% yang terdiri dari 4,9% gizi buruk dan 13,0% gizi kurang. menurut tb/u sebanyak 15 propinsi di indonesia memiliki prevalensi kependekan di atas angka prevalensi nasional.4 hasil riskesdas 2010 menunjukkan bahwa pemeriksaan kehamilan dan pengelolaan bayi sampai dengan usia 5 tahun dipengaruhi oleh pemeriksaan oleh tenaga kesehatan, umur ibu pada saat melahirkan, jarak antar kelahiran, tingkat pendidikan dan pengetahuan serta status ekonomi. prosentase tertinggi yang tidak pernah memeriksakan kehamilan ke tenaga kesehatan adalah tidak berpendidikan dan pengetahuan rendah (14%) serta status ekonomi pada kuartil 1 (5,7%).4 penelitian hetra, 2014 menunjukkan lebih dari 50% orang tua dengan pendidikan rendah mengalami perkembangan anak yang bermasalah.5 upaya peningkatan kualitas sdm sangat terkait dengan pembangunan kesehatan. pembangunan kesehatan sebagai bagian dari upaya membangun manusia seutuhnya antara lain diselenggarakan melalui upaya kesehatan anak yang dilakukan sedini mungkin sejak masih dalam kandungan. upaya kesehatan ibu yang dilakukan sebelum dan selama masa kehamilan hingga melahirkan, ditujukan untuk menghasilkan keturunan yang sehat dan lahir dengan selamat. upaya kesehatan yang dilakukan sejak anak masih di dalam kandungan sampai lima tahun pertama kehidupannya, ditujukan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya sekaligus meningkatkan kualitas hidup anak agar mencapai tumbuh kembang optimal baik fisik, mental, emosional maupun sosial serta memiliki intelegensi majemuk sesuai dengan potensi genetiknya.6 anak memiliki ciri khas selalu tumbuh dan berkembang sejak saat konsepsi sampai berakhirnya masa remaja. hal ini yang membedakan anak dari orang dewasa. mempelajari tumbuh kembang mempunyai tujuan umum menjaga agar anak dapat tumbuh dan berkembang melalui tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan, baik secara fisik, 79 mutiara medika vol. 13 no. 2: 77-83, mei 2013 mental, emosi dan sosial sesuai dengan potensi yang dimilikinya agar menjadi manusia dewasa yang berguna.7 manusia terus berkembang selama hidupnya, pada umumnya perkembangan adalah spesifik dan berbeda antara anak-anak dan dewasa. perkembangan anak merupakan hasil maturasi organ-organ tubuh terutama susunan saraf pusat. perkembangan dipengaruhi oleh lingkungan biofisikopsikososial dan faktor genetik. dalam perkembangannya terdapat berbagai tahapan yang harus dilalui anak untuk menuju dewasa. tahapan yang terpenting adalah pada masa 3 tahun pertama, karena pada 3 tahun pertama tumbuh kembang berlangsung dengan pesat dan menentukan masa depan anak. salah satu gangguan tumbuh kembang anak adalah gangguan motorik.9 pada saat ini berbagai metode deteksi dini untuk mengetahui gangguan perkembangan anak telah dibuat. demikian pula dengan skrining untuk mengetahui penyakit-penyakit yang berpotensi mengakibatkan gangguan perkembangan anak. deteksi dini kelainan perkembangan anak sangat berguna agar diagnosis maupun pemulihannya dapat dilakukan lebih awal sehingga tumbuh kembang anak dapat berlangsung optimal. .9 denver development screening test adalah (ddst) salah satu metode skrining terhadap kelainan/gangguan perkembangan motorik anak, bukan tes diagnostik atau tes iq. ddst memenuhi semua persyaratan yang diperlukan untuk metode skrining yang baik. tes ini mudah dan cepat (1520 menit), dapat diandalkan dan menunjukkan validitas yang tinggi. hasil beberapa penelitian yang pernah dilakukan ddst secara efektif 85-100% bayi dan anak-anak prasekolah yang mengalami keterlambatan perkembangan.10 penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu dan tingkat ekonomi keluarga terhadap perkembangan motorik balita. bahan dan cara penelitian ini menggunakan jenis penelitian observational dengan disain cross sectional. pada penelitian ini populasinya adalah semua ibu yang mempunyai balita di puskesmas kraton, yang mengikuti posyandu pada periode waktu mei – juni 2012. dengan sampel minimal 35 orang. kriteria inklusi adalah ibu balita yang datang di posyandu mempunyai balita dan bersedia sebagai responden. kriteria eksklusi balita dalam kondisi sakit atau dengan kelainan kongenital. pengukuran tingkat ekonomi, dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang berisi pertanyaan tentang pendapatan perbulan. penggolongan tingkat pendapatan merujuk pada bps tahun 2008.11 tingkat pengetahuan ibu tentang perkembangan motorik balita diukur dengan menggunakan kuesioner. penggolongan tingkat pengetahuan ini merujuk pada arikunto 2008.12 pengukuran perkembangan motorik didapatkan dari ddst (denver development screening test).13 analisis data dilakukan dengan uji korelasi spearman.11 hasil berdasarkan tabel 1. terlihat bahwa pengetahuan ibu tentang perkembangan motorik balita 53,7% baik dan lainnya sedang atau kurang. data ini diambil berdasarkan nilai kemudian digolongkan menjadi tiga kategori yaitu pengetahuan ibu kurang 80 prandy novi prima pratama, hubungan pengetahuan ibu dan tingkat ekonomi keluarga ... apabila nilai kurang dari 4, sedang apabila nilai antara 4 7, dan tinggi apabila nilai lebih dari 7. sesuai dengan penggolongan tingkat pendapatan menurut badan pusat statistik yogyakarta tahun 2008, pendapatan dikategorikan dalam 1) sangat tinggi di atas rp 3.500.000, 2) tinggi rp 2.500.000 – rp 3.500.000, 3) sedang rp 1.500.000 – 2.500.000 dan 4) rendah bila kurang dari rp 1.500.000. berdasarkan penggolongan tersebut, tingkat ekonomi keluarga, tingkat ekonomi rendah sedang yaitu dengan persentase 75,9%.10 berdasarkan tabel 1. diketahui bahwa sebagian besar 88,9% balita mengalami perkembangan motorik yang normal dan hanya 11,1% yang tidak normal. pada tabel 2. korelasi antara pengetahuan ibu dan tingkat ekonomi terhadap perkembangan motorik balita dengan penghitungan spearman rho didapatkan hasil p=0,003 yang berarti bahwa hubungan antara perkembangan motorik dan pengetahuan ibu bermakna (p<0,05) dan kekuatan korelasinya adalah 0,397 yang berarti ada, sedangkan hubungan antara perkembangan motorik dengan pendapatan dengan perhitungan spearman rho, didapatkan p=0,038 yang berarti terdapat hubungan bermakna antara perkembangan motori k bal ita dengan tingkat ekonomi keluarga (p>0,05). kekuatan korelasinya 0,283 yang berarti cukup kuat untuk membuktikan hubungan antara keduanya. diskusi hasil penelitian didapatkan bahwa pengetahuan ibu tentang perkembangan motorik pada balita usia bawah 5 tahun di posyandu wilayah kerja puskesmas kraton yogyakarta adalah 53,7% dan termasuk kategori baik (tabel 1). hal ini menunjukkan bahwa ibu sudah cukup mengerti tentang perkembangan motorik pada balita . menurut notoatmojo (2007),14 pengetahuan merupakan pemahaman seseorang akan sesuatu hal yang didapat baik secara formal maupun infortabel 2. hubungan pengetahuan ibu dan tingkat ekonomi keluarga terhadap perkembangan motorik balita perkembangan motorik pengetahuan ibu spearman's rho perkembangan motorik correlation coefficient 1.000 -.397 (**) sig. (2-tailed) . .003 n 54 54 pengetahuan ibu correlation coefficient -.397 (**) 1.000 sig. (2-tailed) .003 . n 54 54 spearman's rho perkembangan motorik correlation coefficient 1.000 -.283 (*) sig. (2-tailed) . .038 n 54 54 tingkat ekonomi correlation coefficient -.283 (*) 1.000 sig. (2-tailed) .038 . n 54 54 tabel 1. distribusi responden berdasarkan pengetahuan ibu tentang perkembangan motorik balita, tingkat ekonomi keluarga dan perkembangan motorik balita distribusi responden jumlah % pengetahuan ibu kurang 6 11,1 sedang 19 35,2 baik 29 53,7 jumlah 54 100 tingkat ekonomi keluarga rendah 17 31,5 sedang 24 44,4 tinggi 8 14,8 sangat tinggi 5 9,3 jumlah 54 100 perkembangan motorik balita normal 48 88,9 tidak normal 6 11,1 jumlah 54 100 81 mutiara medika vol. 13 no. 2: 77-83, mei 2013 mal. pengetahuan dipengaruhi oleh pendidikan dari individu itu sendiri.11 pada penelitian ini pengalaman dan informasi didapat dari penyuluhan dari petugas kesehatan. informasi yang didapat tersebut mempengaruhi pengetahuan ibu dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. pada tabel 1. didapatkan 53,7% pengetahuan ibu dengan kategori baik. hal ini mencerminkan bahwa pengetahuan ibu sudah cukup memadai tentang perkembangan motorik balita yang dibuktikan dengan adanya hubungan antara pengetahuan ibu dengan perkembangan motorik balita dengan nilai (p=0,003) yang berarti signifikan (tabel 2). penelitian christiari (2014) menunjukkan ada hubungan bermakna antara pengetahuan ibu tentang stimulasi dini dengan perkembangan motorik anak, di mana anak dengan ibu pengetahuan rendah akan beresiko mengalami dugaan keterlambatan motorik.15 penelitian di kecamatan pangkalan koto baru kabupaten 50 kota tahun 2013 menunjukkan 66,67% sampel mempunyai pengetahuan rendah tentang perkembangan motorik.16 penelitian di desa kolam kecamatan pecut sei tuan medan tahun 2012 menunjukkan ada hubungan antara pengetahuan dan sikap ibu dalam memantau perkembangan motorik.17 berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa proporsi tingkat ekonomi keluarga di puskesmas kraton yogyakarta sebagian besar dengan tingkat ekonomi sedang yaitu sebesar 44,4 % dan rendah 31,5%. kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan gizi antara lain tergantung pada besar kecilnya pendapatan keluarga, harga bahan makanan itu sendiri, serta tingkat penggelolaan sumber daya lahan dan pekarangan. keluarga dengan pendapatan terbatas kemungkinan besar akan kurang dapat memenuhi kebutuhan akan makanannya terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya. tingkat pendapatan dapat menentukan pola makan, pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas hidangan. semakin banyak mempunyai uang berarti semakin baik makanan yang diperoleh dengan kata lain semakin tinggi penghasilan, semakin besar pula prosentase dari penghasilan tersebut untuk membeli buah, sayuran dan beberapa jenis bahan makanan lainnya.18 dengan adanya program posyandu yang diadakan setiap bulan, balita dapat dipantau tingkat pertumbuhan dan perkembangannya. berat badan balita juga harus selalu diperhatikan karena berat badan juga merupakan indikator ketercukupan asupan gizi. jika asupan gizi terpenuhi maka perkembangan motorik akan berkembang dengan baik.3 hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian cicih, 2010 yang menyatakan ada hubungan antara tingkat ekonomi dengan pertumbuhan fisik balita dengan p=0,001.19. penelitian susanty dan margawati (2012) menunjukkan ada hubungan antara pendapatan perkapita rumah tangga dengan perkembangan motorik halus dan kasar.20 simpulan terdapat hubungan antara pengetahuan ibu dan tingkat ekonomi keluarga terhadap perkembangan motorik balita. semakin baik tingkat pengetahuan ibu maka semakin baik perkembangan motorik balita. semakin baik tingkat ekonomi ke82 prandy novi prima pratama, hubungan pengetahuan ibu dan tingkat ekonomi keluarga ... luarga maka semakin baik perkembangan motorik balita. pada penelitian selanjutnya agar menggali lebih dalam tentang pekerjaan dan tingkat pendidikan responden karena berhubungan dengan tingkat ekonomi dan pengetahuan. daftar pustaka 1. unicef indonesia, ringkasan kajian oktober 2012. diakses dari www.unicef.org/indonesia 2. gemari, k.b. kemiskinan terjadi akibat gizi buruk. 2008. di akses tanggal 4 januari 2012. dari http://kbi.gemari.or.id/beritadetail.php?id= 715 3. ekawati. gizi buruk di indonesia kian memburuk. 2009. di akses tanggal 4 februari 2012, dari http://www.uinjkt.ac.id/index.php/arsipberita-utama/485-gizi-buruk-di-indonesia-kianmemburuk.html 4. depkes. riset kesehatan dasar. jakarta: depkes. 2010. 5. hetra, r., hubungan status sosial ekonomi orang tua balita dengan perkembangan motorik anak usia 4-5 tahun di taman kanakkanak tanjungsari pertenian pasaman barat, stikes prima nusantara, bukittinggi, diakses di ejurnal.stikesprimanusantara.ac.id/index. php pada tanggal 6 januari 2014 6. depkes. sistem kesehatan nasional. jakarta: depkes. 2005. 7. tanuwidjaja, s. konsep tumbuh dan kembang. in m.b. narendra, t.s. sul aryo, soetjiningsih, & i.n. gde ranuh, tumbuh kembang anak dan remaja (p. 1). jakarta: cv. sagung seto. 2002. 8. soetjingi ngsih. tumbuh kembang anak. jakarta: egc. 1990. 9. soetjiningsi h. perkembangan anak dan permasalahannya. in m.b. narendra, t.s. sularyo, soetjiningsih, h. suyitno, & i.n. gde ranuh, tumbuh kembang anak dan remaja (p. 86). jakarta: cv. sagung seto. 2000. 10. hurlock, eb. perkembangan anak. jakarta: erlangga. 1998. 11. badan pusat stati stik yogyakarta, data strategi s bps 2008 di akses dari www. yogyakarta.bps.go.id 12. arikunto. prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. jakarta: rineka cipta, 1998. 13. hurlock, perkembangan anak, jakarta, erlangga, 1998. 14. notoatmojo, s. promosi kesehatan & ilmu perilaku. jakarta: rineka cipta. 2007. 15. christiari ay dkk, hubungan pengetahuan ibu tentang stimulasi dini dengan perkembangan motorik anak pada usia 6-24 bulan di kecamatan mayang kabupaten jember, jurnal pustaka kesehatan, vol 1, no 1, september 2013. 16. mhaznarino, s., gambaran pengetahuan dan sikap ibu tentang perkembangan motorik balita 3-5 tahun di kenagarian manggilang kecamatan pangkalan koto baru kabupaten 50 kota, 2013, diakses di ejurnal.stikes primanusantara.ac.id/index.php pada tanggal 6 januari 2014 17. ginting, t., hubungan pengetahuan dengan sikap ibu dalam memantau perkembangan motorik pada balita (1-5 tahun) di dusun viii desa kolam kecamatan pecut sei tuan 83 mutiara medika vol. 13 no. 2: 77-83, mei 2013 medan, 2012, diakses www.uda.ac.id/jurnal/ files/judul pada tanggal 6 januari 2014 18. fkm ui. gizi dan kesehatan masyarakat. jakarta: pt. raja grafindo persada. 2007. 19. cicih, hubungan tingkat pendidikan ibu dan tingkat ekonomi keluarga terhadap pertumbuhan balita di desa untoro kecamatan trimurjo, lampung tengah. skripsi strata 1. politeknik tanjungkarang, 2011 20. susanty, nm dan margawati, a, hubungan derajat stunting, asupan zat gizi dan sosial ekonomi rumah tangga dengan perkembangan motorik anak usia 24-36 bulan di wilayah kerja puskesmas bugangan semarang, 2012, diakses di ejurnal-s1. undip. ac.id.home.vol1no1 pada tanggal 6 januari 2014 75 vulvodinia, diagnosis dan penatalaksanaan vulvodinia, diagnose and management devi artami susetiati bagian ilmu penyakit kulit dan kelamin, program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakartaa email: dephieart@yahoo.com ala abstract vulvodynia is often described as discomfort or burning pain in the vulvar area, occurring in the absence of visible pathology or a specific, clinically identifiable disorder. the aim of this this article is to give more information about vulvodinia, diagnose and management with literature study method. the diagnosis of vulvodynia is made after taking a careful history, ruling out infectious or dermatologic abnormalities, and eliciting pain in response to light pressure on the labia, introitus, or hymenal remnants. several treatment options have been used, although the evidence for many of these treatments is incomplete. treatments include oral medications that decrease nerve hypersensitivity (e.g., tricyclic antidepressants, selective serotonin reuptake inhibitors, anticonvulsants), pelvic floor biofeedback, cognitive behavioral therapy, local treatments, and (rarely) surgery. most women experience substantial improvement when one or more treatments are used. it can be concluded that vulvodinia’s management until right now has not been standardized yet because of its etiology. keywords : diagnose, management, vulvodinia, abstrak vulvodinia merupakan rasa tidak nyaman pada vulva, kebanyakan pasien merasa nyeri terbakar, stinging, iritasi, dan lecet pada daerah tersebut, keluhan berlangsung kronik tanpa disertai gambaran klinis yang spesifik atau gangguan neurologis. tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan tentang vulvodinia, diagnosis dan penatalaksanaannya dengan metode studi pustaka. diagnosis vulvodinia ditegakkan berdasarkan anamnesis yang teliti dengan menyingkirkan infeksi atau kelainan kulit dan pemeriksaan rasa nyeri terhadap rangsang tekanan ringan pada labia, introitus, atau sisa-sisa himen. beberapa pilihan terapi telah digunakan meskipun belum cukup terbukti efektivitasnya. terapi oral dengan menggunakan obat-obatan yang dapat menurunkan hipersensitivitas saraf (misal antidepresan trisiklik, selective serotonin reuptake inhibitors, antikonvulsan), pelvic floor biofeedback, cognitive behavioral therapy, terapi lokal, dan yang jarang dilakukan adalah terapi bedah. kebanyakan wanita penderita vulvodinia mengalami perbaikan yang berarti ketika menggunakan salah satu atau kombinasi terapi. disimpulkan bahwa sampai saat ini belum ada standarisasi terapi vulvodinia, hal ini karena vulvodinia merupakan suatu penyakit dengan berbagai kemungkinan etiologi yang belum pasti. kata kunci : diagnosis, manajemen, vulvodinia mutiara medika vol. 10 no. 1:75-79, januari 2010 76 pendahuluan vulvodinia menurut international society for the study of vulvovaginal disease (issvd) merupakan rasa tidak nyaman pada vulva, kebanyakan pasien merasa nyeri terbakar, stinging, iritasi, dan lecet pada daerah tersebut, keluhan berlangsung kronik tanpa disertai gambaran klinis yang spesifik atau gangguan neurologis.1-6 dahulu vulvodinia mempunyai sebutan sindrom vulvar vestibulitis. akan tetapi karena adanya akhiran –itis ini maka istilah sindrom vulvar vestibulitis tidak lagi dipergunakan oleh issvd.1,2,3,4,5,6 gatal bukan merupakan gejala vulvodinia. seringkali hanya ditemukan eritem pada vulva. sehingga jika ditemukan rasa gatal pada vulva, vulvodinia dapat disingkirkan. vulvodinia tidak disebabkan oleh infeksi (kandidiasis, herpes), inflamasi (liken planus, kelainan imunobulosa), neoplasia (paget’s disease, karsinoma sel skuamosa), atau kelainan neurologis. issvd mengklasifikasikan vulvodinia menjadi nyeri lokal dan generalisata. kedua kategori ini selanjutnya dibagi menjadi nyeri yang terprovokasi, spontan, dan campuran.1,2,3,4,5,6 rasa nyeri pada vulva ini berkisar dari ringan sampai berat hingga sangat mengganggu. diagnosis tergantung pada riwayat penyakit, tidak ditemukannya infeksi atau kelainan dermatologis lainnya. kebanyakan wanita akan merasa nyeri apabila disentuh ringan dengan lidi kapas pada vulva, introitus vagina, atau selaput dara. nyeri biasanya muncul selama dan setelah berhubungan seksual. faktorfaktor lain yang dapat mencetuskan nyeri seperti celana yang ketat, naik sepeda, insersi tampon, duduk lama, atau sentuhan oleh pasangannya. beberapa wanita dapat merasakan nyeri secara spontan tanpa pencetus. sedangkan faktor-faktor yang dapat meredakan nyeri yaitu pemakaian celana yang longgar, tidak memakai celana dalam, kompres es, atau berbaring.3 vulvodinia jarang dijumpai. prevalensi vulvodinia sampai sekarang masih belum banyak diketahui. di amerika serikat diperkirakan sebanyak 200.000 perempuan menderita vulvodinia atau sekitar 1520% dari seluruh populasi perempuan.1,2,3 perempuan dengan vulvodinia kebanyakan merupakan perempuan usia reproduktif (umur 21-50 tahun, rata-rata berumur 32 tahun), bangsa berkulit putih, dan nulipara. perempuan amerika latin 80% berisiko menderita nyeri vulva kronik daripada bangsa caucasian dan afrika-amerika.2,3,7 tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan tentang vulvodinia, diagnosis dan penatalaksanaannya dengan metode studi pustaka. diskusi vulva merupakan bagian luar genitalia perempuan. tepi luar dan dalam vulva disebut labium mayus dan labium minus. vestibulum mengelilingi pintu masuk vulva dan uretra. muara kelenjar skene dan bartholin berada didalam vestibulum.8 etiologi vulvodinia masih belum diketahui. dahulu vulvodinia dianggap murni merupakan penyakit psikosomatik saja.1,9 vulvodinia bukan merupakan infeksi menular seksual.3 penelitian terakhir mengajukan beberapa kemungkinan penyebab vulvodinia seperti abnormalitas embriologis, faktor hormonal, faktor genetik yang berhubungan dengan kerentanan terhadap inflamasi vestibular kronik, peningkatan densitas serabut saraf c-afferent nosiseptor pada mukosa vestibular, peningkatan sel mast pada mukosa vestibular, spasme otot dinding pelvis, dan faktor psikologis atau disfungsi seksual.2,4,10,11 faktor psikologis seperti kekerasan seksual di masa kecil mempunyai kecenderungan lebih besar untuk menderita vulvodinia.9 riwayat infeksi genital sebelumnya, riwayat pembedahan pada daerah vulva, dan riwayat melahirkan dapat meningkatkan risiko vulvodinia.7 anamnesis mengenai lama dan onset nyeri, faktor-faktor yang dapat mencetuskan atau menghilangkan nyeri, terapi yang pernah dilakukan, riwayat alergi, riwayat terapi bedah, dan riwayat seksual diperlukan dalam menegakkan diagnosis vulvodinia. pada vulva perlu dilakukan pemeriksaan fisik untuk mencari apakah terdapat inflamasi, indurasi, ekskoriasi, devi artami susetiati, vulvodinia, diagnosis dan .... 77 fisura, ulserasi, likenifikasi, hipopigmentasi, hiperpigmentasi, skar, atau perubahan bentuk vulva. apabila ditemukan gambaran klinis seperti tersebut di atas maka diagnosis vulvodinia dapat disingkirkan.2 pemeriksaan dengan menggunakan lidi kapas untuk menentukan lokasi nyeri dan menggolongkan rasa nyeri menjadi ringan, sedang, berat atau tidak nyeri. tekanan lidi kapas akan menyebabkan rasa nyeri pada hampir semua perempuan dengan vulvodinia. lokasi yang perlu dipalpasi dengan menggunakan lidi kapas yaitu labium mayus, labium minus, sulkus intralabial, perineum, klitoris, dan vestibulum vulva. daerah yang paling sering terjadi peningkatan sensitivitas yaitu introitus posterior dan bagian posterior sisa hymen.2,3,4 apabila nyeri hanya terasa pada vestibulum posterior maka hal ini merupakan indikasi adanya hipertonus muskulus levator ani.2 pemeriksaan vagina dengan ph, pemeriksaan jamur untuk mencari infeksi kandida vulvovaginal, dan pengecatan gram sesuai dengan indikasi. pada vulvodinia dapat juga ditemukan kandidiasis, sehingga perlu diberikan anti jamur. meskipun begitu eliminasi kandida atau pemberian anti jamur saja tidak dapat mengurangi gejala-gejala vulvodinia.3,4,7 selain pemeriksaan di atas, maka perlu dilakukan palpasi pada uretra dan kandung kemih untuk menyingkirkan adanya interstitial cystitis; lalu pemeriksaan uterus, adneksa, dan septum rektovaginal untuk memeriksa apakah terdapat massa, skar, atau endometriosis. terakhir perlu dilakukan palpasi pada spina ischiaka untuk mengetahui adanya neuropati pudendal atau pudendal nerve entrapment.2 masheb dkk telah menguji kriteria friedrich untuk menegakkan diagnosis vulvodinia. eduard friedrich pada tahun 1987 mengajukan tiga kriteria subyektif dan obyektif yaitu (1) nyeri sentuhan pada vestibulum atau pintu masuk vagina, rasa nyeri ini berdasarkan pemeriksaan dengan menggunakan spekulum; (2) nyeri tekan lokal menggunakan lidi kapas pada vestibulum vulva; serta (3) gambaran klinis hanya hanya terbatas eritema pada vestibulum dengan derajat eritema yang bervariasi, termasuk tidak ditemukannya gambaran klinis masuk ke dalam kriteria inklusi vulvodinia. diagnosis vulvodinia dapat ditegakan apabila terdapat dua kriteria friedrich.12,13 penatalaksanaan vulvodinia sebaiknya tidak hanya penderita saja yang memperoleh terapi akan tetapi perlu pendekatan terhadap pasangan seksualnya. anamnesis penderita apakah terdapat kemungkinan-kemungkinan faktor psikologis. selanjutnya penderita diajak untuk merencanakan terapi. penderita dan pasangan seksual diberikan tanggung jawab bersama untuk keberhasilan terapi.14 pasien perlu diberikan edukasi untuk mengurangi rasa nyeri seperti pemakaian celana dalam yang terbuat dari 100% katun dan tidak menggunakan celana dalam sewaktu tidur di malam hari.2 hindari penggunaan sabun keras yang dapat menimbulkan iritasi, pembalut, pantyliners, atau vaginal douching.2,14 gunakan pembalut yang tidak berwarna, tidak berparfum, serta terbuat dari katun. lubrikasi yang kurang sewaktu berhubungan seksual dapat mencetuskan rasa sakit oleh karena itu diperlukan lubrikan. sebaiknya dipilih lubrikan yang tidak mengandung propilen glikol yang bisa menyebabkan alergi atau iritasi.2 setelah penanganan non medikasi dilakukan, dapat dipertimbangkan pemberian terapi topikal. terapi topikal yang paling banyak diresepkan adalah salep lidokain 5%. salep ini dioleskan seperlunya bila terasa nyeri atau 30 menit sebelum berhubungan seksual.2,3,4 emla (eutectic mixture of local anesthesia) merupakan kombinasi lidokain dan prilokain. cara penggunaan emla sama dengan salep lidokain.2,4 apabila penderita menggunakan anestesi topikal, pasangan seksual sebaiknya menghindari seks oral.2 terapi topikal yang lain yaitu estradiol vaginal cream 0,01% intravagina atau topikal, capsaicin, atropin, kombinasi topikal amitriptilin 2% dengan baclofen 2% dalam basis air, testosteron, nitrogliserin, doxepin, dan gabapentin.2,4 mutiara medika vol. 10 no. 1:75-79, januari 2010 78 terapi oral lini pertama yaitu antidepresan trisiklik seperti amitriptilin, nortriptilin, imipramin, paroxetine, dan desipramin. mekanisme kerja obat ini diperkirakan melalui penghambatan reuptake transmitter norepinefrin dan serotonin, meskipun kemungkinan sebenarnya disebabkan oleh efek antikolinergik. dosis awal amitriptilin 5-25 mg malam hari (5-10 mg untuk pasien lansia) dengan peningkatan dosis 1025 mg/minggu. dosis maksimal 150 mg malam hari. sebaiknya obat diminum 2 jam sebelum tidur.2,15 obat antidepresan golongan lain yang mempunyai kelas terbaru selective norepinephrine reuptake inhibitors yaitu venlafaxine. dosis awal diberikan 37,5 mg, dapat ditingkatkan sampai 225 mg / hari.15 obat antikonvulsan seperti gabapentin dan karbamazepin pernah digunakan sebagai terapi vulvodinia. gabapentin dimulai dengan dosis 300 mg/hari selama 3 hari, meningkat menjadi 2x300 mg/hari selama 3 hari kemudian 3x300 mg/hari. dosis maksimal yang diperbolehkan 3600 mg dalam sehari.2,3,4 dosis karbamazepin untuk nyeri 2x200-400 mg sehari, dengan dosis maksimal 1200 mg/hari.4 terapi oral lain yang masih kontroversial yaitu pemberian diet rendah oksalat dengan suplementasi kalsium sitrat. oksalat merupakan bahan iritan dan diperkirakan adanya kandungan oksalat yang tinggi didalam urin dapat menyebabkan nyeri pada vulva. bukti-bukti yang menyokong keberhasilan terapi ini sedang diperdebatkan para ahli.4 selain terapi topikal dan oral di atas, dapat diberikan injeksi intralesional dengan menggunakan triamsinolon asetonid 0,01% dan bupivakain. dosis tidak boleh melebihi 40 mg/bulan. injeksi intralesional yang lain seperti interferon-alpha (ifn-α) pernah dilaporkan sebagai terapi vulvodinia. perbaikan jangka lama dengan menggunakan ifnα sangat bervariasi.2,4 baru-baru ini dikembangkan penggunaan botulinum toxin a (botox) sebagai terapi vulvodinia. botox merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh organisme gram positif anaerob, clostridium botulinum. efek injeksi botox melalui penurunan hipertonus otot dinding pelvis karena adanya paralisis otot. efek yang kedua melalui terikatnya neurotoksin pada terminal sinaptik kolinergik dari neuromuskular junction dan menghambat pelepasan asetilkolin.11 apabila pasien telah gagal mencoba berbagai terapi di atas maka bedah merupakan pilihan terapi terakhir. akan tetapi terapi ini sebaiknya dilakukan pada penderita vulvodinia yang mengeluh nyeri berat yang sangat mengganggu kualitas hidup. terapi bedah dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu eksisi lokal, vestibulektomi total, serta perineoplasti.3,4 biofeedback dan terapi fisik umum digunakan sebagai terapi vulvodinia. kedua terapi ini efektif untuk menurunkan dan menormalkan hipertonus muskulus levator ani, meningkatkan kekuatan dinding pelvis, serta meningkatkan elastisitas vulvovaginal.2,3,4 selain terapi di atas, penderita perlu diberikan cognitive behavioral therapy. penderita vulvodinia umumnya mempunyai pengalaman hidup yang tidak menyenangkan seperti perceraian orang tua, dipecat dari pekerjaan, berkabung, kekerasan di dalam keluarga, dan lain-lain. terapi ini telah terbukti berhasil mengobati vulvodinia.16 meskipun begitu terapi vulvodinia diperlukan kombinasi antara terapi medikasi dengan terapi psikologis serta kerjasama antara dokter, sexual therapists, psikolog, dan terapi pasangan penderita vulvodinia. kesimpulan sampai saat ini belum ada standarisasi terapi vulvodinia. hal ini karena vulvodinia merupakan suatu penyakit dengan berbagai kemungkinan etiologi yang belum pasti. oleh karena itu perlu dilakukan pendekatan terapi yang komprehensif tidak hanya terapi medikasi saja akan tetapi perlu pendekatan secara psikologis dan dari aspek seksual pasien. devi artami susetiati, vulvodinia, diagnosis dan .... 79 daftar pustaka 1. torgerson r.r., edwards l. 2008. diseases and disorders of the female genitalia. in wolff k, goldsmith la, katz si, gilchrest ba, paller as, leffell dj. fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 7 ed: 675-83. 2. goldstein a.t., burrows l. 2008. vulvodynia. j sex med. 5:5–15. 3. reed b.d. 2006. vulvodynia: diagnosis and management. am. fam. physician. 73:1231-38. 4. haefner h.k., collins m.e., davis g.d., edwards l., foster d.c., hartmann e.h., et al. 2005. the vulvodynia guideline. j. lower genital tract disease. 9:40-51. 5. mroczkowski t.f., et al. 1998. vulvodynia-a dermatovenereologist’s perspective. int j. dermatol. 37:567-69. 6. byth j.l. 1998. understanding vulvodynia. australia. j. dermatol. 98;39:139-50. 7. smart o.c., maclean a.b. 2003. vulvodynia. curr. opin. obstet. gynecol. 15:497-500. 8. anonym. 2008. national vulvodynia association. www.nva.org. diakses pada tanggal 16 juni 2008. 9. leppert p., turner m. 2003. vulvodynia: toward understanding a pain syndrome. proceedings from the workshop. april 14-15, 2003. 10. tympanidis p., terenghi g., dowd p. 2003. increased innervation of the vulval vestibule in patients with vulvodynia. br j. of dermatol. 148:102127. 11. yoon h., chung w.s., shim b.s. 2007. botulinum toxin a for the management of vulvodynia. int. j. impot. res.19:8487. 12. masheb r.m., lozano c., richman s., minkin m.j., kerns r.d. 2004. on the reliability and validity of physician ratings for vulvodynia and the discriminant validity of its subtypes. pain medicine. 5:349-58. 13. arnold l.d., bachmann g.a. 2006. idiopathic vulvodynia. in: farage ma, maibach hi. the vulva, anatomy, physiology, and pathology. new york, informa health care. 85-97. 14. schultz w.w., basson r., binik y., et al. 2005. women’s sexual pain and its management. j sex med. 2:301-16. 15. reed b.d., caron a.m., gorenflo d.w., haefner h.k.. 2006. treatment of vulvodynia with tricyclic antidepressants: efficacy and associated factors. j. low. genit. tract. dis. 10:245-51. 16. plante a.f., kamm m.a. 2008. life events in patients with vulvodynia. bjog. 115:509-14. mutiara medika vol. 10 no. 1:75-79, januari 2010 16 aktivitas antibakteri ekstrak cacing tanah (lumbricus sp) terhadap berbagai bakteri patogen secara invitro the antibacterial activity of earthworm (lumbricus sp) extract against several pathogen bacteria invitro lilis suryani bagian mikrobiologi, program studi pendidikan dokter fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta. email: lilis_fkumy@yahoo.co.id abstract in the modern society now, the active compound of earthworm is used as medical materials. in fact, many cosmetic products utilize that active materials as softened skin substrate, facial moisturizer, and antiseptic. as herbal products, there has been a lot of branded tonic that used earthworms extracts as a mixture of active material. earthworms have mechanic immunity against pathogen organism by producing extracellulair hyaline, granular amoebocytes and chloragocytes. hyaline and granular amoebocytes have the ability to phagocyte, chloragocyte producing cytotoxic extracellulair and antibacterial substance. this research is an experimental laboratory to observe the effect of antibacterial earthworm (lumbricus sp) against the pathogenic bacteria invitro. the antibacterial activity extract earthworm (lumbricus sp) has been tested by the determination of the minimal inhibitory consentration (mic) and minimal bactericidal concentration (mbc) using tube dilution method . the bacteria test used staphylococcus aureus, streptococcus beta hemolyticus, vibrio cholerae and shigella flexneri wild strain. the results of this study shows that the mic earthworm extract against staphylococcus aureus is 4.17 g%, against streptococcus beta hemoliticus is 12.5 gr%, against vibrio cholerae is 16.7 gr% and shigella flexneri is 2.08 gr%. it is concluded that earthworm (lumbricus sp) extract possess an antibacterial activity against staphylococcus aureus and shigella flexneri as bactericidal and against streptococcus beta hemolyticus and vibrio cholerae as bacteriostatic. key words: antibacterial activity, earthworm (lumbricus sp.) extract, mic, mbc abstrak dalam dunia moderen sekarang ini, cacing tanah digunakan sebagai bahan obat. bahkan, tak sedikit produk kosmetik yang memanfaatkan cacing tanah sebagai substrat pelembut kulit, pelembab wajah, dan antiinfeksi. sebagai produk herbal, telah banyak merek tonikum yang menggunakan ekstrak cacing tanah sebagai campuran bahan aktif. cacing tanah memiliki mekanisme imunitas terhadap organisme pathogen dengan cara menghasilkan hyaline, granular amoebocytes dan chloragocytes. hyaline dan granular amoebocytes punya kemampuan fagositosis , chloragocytes menghasilkan zat ekstraseluler yang sitotoksik dan antibakterial. penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik yang bertujuan untuk mengetahui efek antibakteri ekstrak cacing tanah (lumbricus sp) terhadap bakteri patogen secara in vitro. penentuan daya antimikroba ekstrak cacing tanah (lumbricus sp) dengan metode pengenceran tabung (tube dilution methode) untuk melihat kadar hambatan minimal (khm) dan kadar lilis suryani, aktivitas antibakteri ekstrak ... 17 mutiara medika vol. 10 no. 1:16-21, januari 2010 bakterisidal minimal (kbm). bakteri uji yang digunakan adalah bakteri staphylococcus aureus, streptococcus beta hemoliticus, vibrio cholerae dan shigella flexneri strain lokal. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa khm ekstrak cacing tanah terhadap staphylococcus aureus sebesar 4,17 gr%, terhadap streptococcus beta hemoliticus sebesar 12,5 gr%, terhadap vibrio cholerae sebesar 16,7 gr% dan terhadap shigella flexneri sebesar 2,08 gr%. disimpulkan bahwa ekstrak cacing tanah (lumbricus sp) memiliki efek bakterisid terhadap staphylococcus aureus dan shigella flexneri, sedangkan terhadap streptococcus beta hemoliticus dan vibrio cholerae bersifat bakteristatik kata kunci : daya antibakteri, ekstrak cacing tanah, khm, kbm. pendahuluan cacing tanah bukan merupakan hewan yang asing bagi masyarakat kita, terutama bagi masyarakat pedesaan. namun hewan ini mempunyai potensi yang sangat menakjubkan bagi kehidupan dan kesejahteraan manusia. di rrc, korea, vietnam, dan banyak tempat lain di asia tenggara, cacing tanah terutama dari jenis lumbricus sp, digunakan sebagai obat sejak ribuan tahun yang lalu. cacing tanah telah dicantumkan dalam “ben cao gang mu”, buku bahan obat standar (farmakope) pengobatan tradisional cina. di cina, cacing tanah akrab disebut ‘naga tanah’. nama pasaran cacing tanah kering di kalangan pedagang obat-obatan tradisional cina adalah ti lung kam.1 dalam dunia modern sekarang ini, senyawa aktif cacing tanah digunakan sebagai bahan obat. bahkan, tak sedikit produk kosmetik yang memanfaatkan bahan aktif tersebut sebagai substrat pelembut kulit, pelembab wajah, dan antiinfeksi. sebagai produk herbal, telah banyak merek tonikum yang menggunakan ekstrak cacing tanah sebagai campuran bahan aktif.2 menurut do tat loi dan ba hoang dari vietnam, praktisi pengobatan konvensional dan pengobatan tradisional cina, telah membuktikan efektivitas cacing tanah untuk mengobati pasien-pasiennya yang mengidap strok, hipertensi, penyumbatan pembuluh darah (aterosklerosis), kejang ayan (epilepsi), dan berbagai penyakit infeksi. resep-resepnya telah banyak dijadikan obat paten untuk pengobatan alergi, radang usus, dan strok.2 cacing tanah memiliki mekanisme imunitas terhadap organisme patogen dengan cara menghasilkan hyalin, granular amoebocytes dan chloragocytes.3 hyaline dan granular amoebocytes mempunyai kemampuan dalam proses fagositosis, chloragocytes menghasilkan produk ekstraseluler yang bersifat sitotoksik dan antibakteri.4 cacing tanah juga menghasilkan enzim lysosomal (lisozim) yang penting untuk melindungi dari serangan mikroba patogen. 5,6 selain itu juga menghasilkan enzim fosfatase, glukoronidase, peroksidase dan beberapa enzim yang lain. sehubungan dengan adanya khasiat antibakteri yang terdapat di dalam tubuh cacing tanah (lumbricus sp.) yang dapat membunuh bakteri, maka penting dilakukan penelitian tentang aktivitas antibakteri ekstrak cacing tanah (lumbricus sp.) dalam menghambat pertumbuhan kuman patogen selain e.coli baik dari golongan bakteri gram positif maupun gram negatif. bakteri gram positif yang sering menyebabkan infeksi di indonesia diantaranya adalah bakteri staphylococcus aureus dan streptococcus beta hemoliticus. kuman gram negatif patogen diantaranya salmonella typhi, shigella flexneri dan vibrio cholerae. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas ekstrak cacing tanah dalam menghambat/membunuh kuman staphylococcus aureus, streptococcus beta hemoliticus, shigella flexneri dan vibrio cholerae. 18 bahan dan cara bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: medium agar mac conkey, nutrien agar, media agar darah, brain heart infusion cair, larutan nacl fisiologis, larutan aquades steril, ekstrak cacing tanah . alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini ialah cawan petri diameter 10 cm, tabung reaksi, rak tabung reaksi, lampu spiritus, ose, pipet ukur, glassfirm, erlemeyer, autoklaf jericho je-350a, oven memmert, laminar air flow nuare tipe ii, inkubator memmert, timbangan sartorius bp 160p, waterbath, termometer, kapas, kain flanel, panci infus. adapun cara penelitian pembuatan ekstrak cacing tanah pada penelitian ini, cacing tanah yang masih hidup dicuci bersih dan dan dijemur di bawah sinar matahari selama beberapa hari, dikeringkan dengan mesin pengering sampai kering dan dibuat serbuk dengan cara digiling. 7 cara pembuatan ekstrak cacing tanah dengan konsentrasi 50 gr% adalah dengan melarutkan 50 gr serbuk cacing tanah dengan akuades steril 100 ml. disaring dengan menggunakan kain flanel, ditambahkan air secukupnya melalui ampas sehingga volume menjadi 100 ml kembali. 8 pemeriksaan sterilitas ekstrak cacing tanah. ekstrak cacing tanah yang diperoleh setelah disaring dengan filter bakteri diuji kesterilannya dengan cara diteteskan sebanyak 5 ml larutan ekstrak kedalam 2 tabung pembenihan yang mengandung brain heart infusion cair. kemudian diinkubasi pada suhu 37°c selama 24 jam. jika tidak terjadi kekeruhan pada tabung pembenihan maka ekstrak cacing tanah dinyatakan steril. penyiapan bakteri uji. bakteri uji yang digunakan berupa staphylococcus aureus, streptococcus beta hemoliticus, shigella flexneri dan vibrio cholerae strain lokal. masing-masing biakan bakteri disubkultur dalam lempeng agar darah (untuk kuman gram positif) dan mac conkey (untuk kuman gram negatif) selama 24 jam pada 37°c. koloni yang tumbuh dipilih 4-5 koloni dengan menggunakan ose steril, diinokulasikan pada 2 ml media cair bhi, lalu diinkubasikan pada 37°c selama 2-5 jam sampai pertumbuhan bakteri tampak. kemudian dibuat suspensi bakteri dengan cara diencerkan dengan larutan nacl fisiologis steril sampai kekeruhan sama dengan suspensi larutan standar brown iii yang diidentikkan dengan konsentrasi kuman sebesar 108 cfu/ml. selanjutnya kuman tersebut diencerkan lagi dengan medium cair bhi sehingga konsentrasi bakteri menjadi 106 cfu/ml . 9 penentuan kadar hambatan minimal ekstrak cacing tanah dengan metode seri pengenceran tabung (macro broth dilution), yaitu : a). disediakan120 tabung volume 5 ml steril untuk 4 seri pengenceran dengan 3 kali pengulangan, dimana setiap seri pengenceran dalam satu ulangan menggunakan 10 buah tabung; b). untuk setiap satu seri pengenceran disediakan 10 tabung, ke dalam tabung ke-2 sampai tabung ke-10 dimasukkan 1 ml aquades steril; c). selanjutnya dimasukkan 1 ml larutan ekstrak cacing tanah ke dalam tabung ke-1 dan ke-2, sehingga tabung ke-1 berisi larutan ekstrak dengan konsentrasi 50 gr% dan tabung ke-2 berisi larutan ekstrak dengan konsetrasi 25 gram%; d). kemudian dilakukan pengenceran secara seri dari tabung ke-2 sampai dengan tabung ke-10, dengan cara memindahkan 1 ml larutan ekstrak pada tabung ke-2 ke dalam tabung ke-3. tabung ke-3 digojog sampai homogen diambil 1 ml kemudian dipindahkan ke tabung nomor 4., demikian seterusnya sampai tabung ke-10 dipindahkan ke tabung ke-11. dengan demikian tabung dari nomor 1. sampai dengan tabung ke-10 memiliki konsentrasi sebagai berikut: tabung ke-1 50 gr%, ke-2 25 gr%, ke-3 12,5gr%, ke-4 6,25 gr%, ke-5 3,125 gr%, ke-6 1,563 gr%, ke-7 0,783 gr%, ke-8 0,391 gr%, ke-9 0,195 gr%, dan ke-10 0,098 gr%. tabung ke-11 berisi sisa pengenceran sebagai kontrol sterilitas ekstrak cacing tanah (kontrol negatif); e). ke dalam tabung ke-1 sampai tabung ke-10 selanjutnya diisi masingmasing 1 ml larutan brain hearth infusion cair yang berisi suspensi bakteri uji dengan konsetrasi 106 cfu/ml. volume akhir dari tabung ke-1 sampai tabung ke-10 sebesar lilis suryani, aktivitas antibakteri ekstrak ... 19 mutiara medika vol. 10 no. 1:16-21 januari 2010 2 ml. maka konsentrasi akhir dari ekstrak cacing tanah adalah sebagai berikut. tabung ke-1 25 gr%, ke-2 12,5 gr%, ke-3 6,25 gr%, ke-4 3,125 gr%, ke-5 1,563 gr%, ke-6 0,781 gr%, ke-7 0,391 gr%, ke-8 0,195 gr%, ke-9 0,098 gr%, dan ke-10 0,049 gr%; f). selanjutnya seluruh tabung dari nomor 1 sampai nomor 10 diinkubasikan pada suhu 37° c, selama 24 jam. sebagai kontrol sterilitas bahan dan kontrol pertumbuhan kuman , juga ikut diinkubasikan tabung ke11 dan tabung yang hanya berisi suspensi bakteri uji (kontrol positif); g). diamati ada tidaknya pertumbuhan kuman dengan cara membandingkan kontrol positif; h). kadar hambatan minimal diperoleh dengan mengamati tabung subkultur yang tidak menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri pada konsetrasi terendah; i). selanjutnya tabung subkultur tersebut ditanam pada media nutrien agar, diinkubasi pada 37° c, selama 24 jam untuk menentukan kadar bakterisidal minimal. hasil dari penelitian yang meliputi penentuan kadar hambat minimal dan kadar bunuh minimal dari ekstrak cacing terhadap berbagai kuman patogen, sebagai upaya untuk mendapatkan obat antibakteri terhadap bakteri penyebab berbagai infeksi, diperoleh hasil sebagai berikut. hasil rata-rata kadar hambat minimal dan kadar bunuh minimal dari ekstrak cacing terhadap berbagai bakteri uji dapat dilihat pada tabel 1. dari tabel di atas dapat dilihat bahwa aktivitas antibakteri ekstrak cacing tanah yang paling kuat adalah terhadap shigella flexneri sebesar 2,08 gr%, dan paling lemah terhadap vibrio cholerae sebesar 16,7 gr%. aktivitas antibakteri ekstrak cacing tanah terhadap staphylococcus aureus dan shigella flexneri bersifat bakterisid dan terhadap streptococcus beta hemoliticus dan vibrio cholerae bersifat bakteristatik. diskusi penelitian ini membuktikan bahwa cacing tanah memiliki efek antibakteri terhadap bakteri patogen gram positif maupun gram negatif yang bersifat bakteristatik dan bakterisid. adanya efek antibakteri pada cacing tanah disebabkan karena cacing tanah memiliki senyawa aktif antara lain golongan senyawa alkaloid. cacing tanah memiliki mekanisme imunitas terhadap organisme patogen dengan cara menghasilkan hyalin, granular amoebocytes dan chloragocytes.3 hyalin dan granular amoebocytes mempunyai kemampuan dalam proses fagositosis, chloragocytes menghasilkan produk ekstraseluler yang bersifat sitotoksik dan antibacterial.4 cacing tanah juga menghasilkan enzim lysosomal (lisozim) yang penting untuk melindungi dari serangan mikroba patogen.5,6 selain itu juga menghasilkan enzim fosfatase, glukoronidase, peroksidase dan beberapa enzim yang lain. lisozim adalah suatu enzim proteolitik yang mempunyai aktivitas hidrolase dan transglikosidase. peptidoglikan dinding sel bakteri merupakan substrat lisozim untuk aktivitasnya. 10 lisozim merupakan protein atau polipeptida yang bersifat basa dengan titik isoelektrik pada ph 10,5-11. susunan kimia lisozim adalah rangkaian 120-121 tabel 1. hasil rerata khm dan kbm dari ekstrak cacing tanah terhadap bakteri uji no bakteri uji khm (gr %) kbm (gr%) 1 staphylococcus aureus 4,17 25 2 streptococcus beta hemoliticus 12,5 >25 3 vibrio cholerae 16,7 >25 4 shigella flexneri 2,08 16,7 20 asam amino dengan berat molekul berkisar 14.000. larut dalam air dan garam fisiologis. namun tidak larut dalam eter, klorofom maupun alkohol. lisozim tidak mempunyai koenzim atau ion-ion logam, katalisis, kespesifikan dan struktur tiga dimensi ditentukan oleh residu asam-asam amino. selain itu mempunyai struktur lembaran melipat, alfa heliks kecil dan terdapat bagian yang disebut random coil. molekulnya mempunyai celah sentral yang dalam, memberi tempat pada suatu sisi katalitik dengan 6 subsites yang berikatan dengan berbagai substrat atau inhibitor. residu yang bertanggung jawab atas hidrolisis ikatan beta 1,4 asam asetil muramat pada peptidoglikan dinding sel bakteri, terletak antara site d dan e. polisakarida dinding sel bakteri terdiri dari dua jenis gula, yaitu n-asetil muramat dan n-asetil glukosamin yang dihubungkan melalui ikatan glikosida beta (1,4) dan nam tersusun selang-seling dengan nag. lisozim menghidrolisis hanya ikatan antara c1 (nam) dan c4 (nag).11 kandungan senyawa kimia cacing tanah sangat kompleks. kadar protein cacing tanah sangat tinggi, yaitu 58 persen hingga 78 persen dari bobot keringnya (lebih tinggi daripada ikan dan daging) yang dihitung dari jumlah nitrogen yang terkandung di dalamnya. selain itu, cacing tanah rendah lemak, yaitu hanya 3 persen hingga 10 persen dari bobot keringnya. protein yang terkandung dalam cacing tanah mengandung asam amino esensial dan kualitasnya juga melebihi ikan dan daging. dari serangkaian pengujian kimia diketahui bahwa senyawa aktif sebagai antipiretik dari ekstrak cacing tanah adalah golongan senyawa alkaloid. golongan senyawa alkaloid mempunyai ciri mengandung atom nitrogen (dibandingkan dengan struktur parasetamol yang juga memiliki atom nitrogen) dan bersifat basa (ph lebih dari 7). contoh alkaloid yang paling terkenal adalah nikotin dari tembakau. seperti umumnya senyawa aktif, jika dikonsumsi berlebihan, dapat menjadi racun juga. golongan alkaloid memang sudah banyak ditemukan dari ekstrak tumbuhan maupun hewan dan sebagian besar di antaranya memiliki efek farmakologis. ekstrak tumbuhan yang dikenal dapat menurunkan gejala demam seperti kina juga mengandung alkaloid sebagai senyawa aktifnya. adanya senyawa alkaloid yang aktif dari cacing tanah ini juga sesuai dengan kadar n yang sangat tinggi dari cacing tanah seperti disebut di atas. kesimpulan ekstrak cacing tanah (lumbricus sp.) memiliki aktivitas antibakteri terhadap staphylococcus aureus 4,17 gr%, streptococcus beta hemoliticus 12,5 gr% vibrio cholerae 16,7 gr%, dan shigella flexneri 2,08 gr%. ekstrak cacing tanah memiliki efek antibakteri yang bersifat bakterisid terhadap staphylococcus aureus dan shigella flexneri. ekstrak cacing tanah memiliki efek antibakteri yang bersifat bakteristatik terhadap streptococcus beta hemoliticus dan vibrio cholerae. ucapan terima kasih peneliti mengucapkan banyak terima kasih kepada lp3m umy yang telah membiayai penelitian ini, juga laboran mikrobiologi saudara jamhari yang telah banyak membantu penelitian ini. daftar pustaka 1. anonim, 2000. budidaya cacing tanah lumbricus, kantor deputi menristek, bidang pendayagunaan dan pemasyarakatan iptek, http:www. ristek.go.id. 2. anonim, 2005. cacing tanah sebagai obat, http:/www.terussehat.com/kiat alami/cacing tanah.shtml. 3. cooper e.l. 1996. earthworm immunity. prog mol subcell biol 16:10–45 4. dales r.p., kalaç y. 1992 phagocytic defense by the earthworm eisenia foetida against certain pathogenic bacteria. comp biochem physiol 101a:487–490 5. marks d.h., stein e,a,, cooper e.l. lilis suryani, aktivitas antibakteri ekstrak ... 21 mutiara medika vol 10 no. 1:16-21, januari 2010 1981. acid phosphatase changes associated with response to foreign tissue in the earthworm lumbricus terrestris. comp biochem physiol 68a:681–683 6. cikutovic m.a., fitzpatrick l.c., goven a.j., venables b.j., giggleman m.a., cooper e.l. 1999. wound healing in earthworms lumbricus terrestris: a cellular-based biomarker for assessing sublethal chemical toxicity. bull environ contam toxicol. 62:508–514 7. departemen kesehatan ri, 1985, cara pembuatan simplisia, direktorat jenderal penelitian obat dan makanan, jakarta. 8. departemen kesehatan ri. 1979. farmakope indonesia, edisi iii, depkes ri, jakarta: 780-784. 9. william.j dan hansler. jr. 1991. manual of clinical microbiology, fifth ed., american society for microbiology. washington: 1059-1063. 10. inoue,m., okubo,t., oshima,h., mitsuhashi. 1980. isolation and characterization of lysozyme sensitive mutant of s aureus. j. bacteriology. 144(3). 1186-1189. 11. stryer,l. 1995. biochemistry 4thed. wh freeman and co, new york. 127 mutiara medika vol. 13 no. 2: 127-131, mei 2013 keluhan mata silau pada penderita astigmatisma dibandingkan dengan miopia ambient lighting on astigmatisma compared by miopia sufferer fitri permatasari1, yunani setyandriana2* 1program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta 2bagian patologi klinik, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta *email: dr_nanaspm@yahoo.co.id abstrak astigmatisme merupakan kelainan refraksi dimana pembiasan pada meridian yang berbeda tidak sama akibat kelainan kelengkungan di kornea. pada mata dengan astigmatisme lengkungan jari-jari pada satu meridian kornea lebih panjang daripada jari-jari meridian yang tegak lurus dimana dalam hal ini keluhan silau bisa terjadi jika kecerahan dari suatu bagian dari inferior jauh melebihi kecerahan yang berlebihan, baik yang terlihat langsung atau melewati pantulan. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keluhan mata silau pada penderita astigmatisma dibandingkan dengan miopia. desain penelitian ini adalah penelitian cross sectional dengan metode deskriptif untuk membandingkan ada atau tidaknya kesilauan pada penderita astigmatisma dibandingkan dengan penderita miopia. sebanyak 68 orang mahasiswa dengan 34 orang penderita miopia dan 34 orang penderita astigmatisma. hasil penelitian menunjukkan responden astigmatisma yang mengeluh silau berjumlah 28 orang (82,4%) dan yang tidak mengeluh silau berjumlah 6 orang (17,6%), sedangkan responden dengan karakteristik miopia yang mengeluh silau berjumlah 12 (35,3%) dan yang tidak mengeluh silau berjumlah 22 orang (64,7%), sehingga didapatkan kejadian silau 8,167 kali lebih besar pada astigmatisma dibandingkan dengan miopia. prevalensi astigmatisma yang mengeluh silau (82,4%) dan miopia yang mengeluh silau (35,3%). disimpulkan bahwa didapatkan keluhan mata silau yang lebih banyak pada astigmatisma dibandingkan dengan miopia. kata kunci: mata silau, miopia, astigmatisma abstract astigmatisma is refraction disorder where deviation in the meridient is different because of curve disorder in cornea. in astigmatisma, half diameter of curve in one miridian cornea is longer than upright vertical of half diameter miridian. ambient lighting can be hapened in astigmatisma is the bright inferior has been over lighting either direk vision or reflaktion. this research aims to know ambient lighting on astigmatisma compared by miopia suffere. the design in this reasearch is cross sectional by descriptive method to compare the ambient lighting in astigmatisma patient by myopia patient. the respondent is 68 students and 34 respondent are myopia patient, 34 respondent are astigmatisma patient. the result shows female respondents is 38 students (55,9%) and male respondent is 30 students (44,1%). the astigmatisma respondent are 34 students (50,0%) and myopia respondent are 34 students (50,0%), ambient lighting respondents are 40 students (58,8%) and the respondents who don’t have ambient lighting are 28 students (41,2%). astigmatisma respondent who have ambient lighting are 28 students (82,4%) and astigmatisma respondents who don’t have ambient lighting are 12 students (35,3%) and the respondents by myopia characteristic who don’t have ambient lighting are 22 students (64,7%). astigmatisma prevalents by ambient lighting is 82,4 % and myopia by ambient lighting is 35,3%. it can be concluded that there is ambient lighting in astigmatisma more than myopia. key words: ambient lighting, myopia, astigmatisma artikel penelitian 128 fitri permatasari, keluhan mata silau pada penderita astigmatisma ... pendahuluan miopia adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar sejajar yang masuk ke mata jatuh didepan retina pada mata yang istirahat (tanpa akomodasi). gambaran kelainan pemfokusan cahaya di retina pada miopia, dimana cahaya sejajar difokuskan didepan retina.1 miopia terjadi karena bola mata tumbuh terlalu panjang saat bayi. dikatakan pula, semakin dini mata seseorang terkena sinar terang secara langsung maka semakin besar kemungkinan mengalami miopia. ini karena organ mata sedang berkembang dengan cepat pada tahuntahun awal kehidupan.2 menurut konstantopoulor dkk, (2008),3 prefelensi terjadinya miopia akan meningkatkan berdasarkan bertambahnya usia penderita namun, telah diketahui bahwa batas usia untuk tingkatan miopia adalah 25 tahun, hal ini terlepas dari faktor yang berpotensi menyebabkan miopia seperti kebiasaan membaca dan membiarkan kondisi miopia yang semakin meningkat. astigmatisma ialah suatu kelainan refraksi yang terjadi karena berkas sinar tidak difokuskan pada satu titik dengan tajam pada retina, akan tetapi pada 2 garis titik api yang saling tegak lurus yang terjadi akibat kelainan kelengkungan di kornea.4 pada nilai koreksi astigmatisma kecil, hanya terasa pandangan kabur, tapi terkadang pada astigmatisma yang tidak dikoreksi, menyebabkan sakit kepala atau kelelahan mata (silau), dan mengaburkan pandangan kesegala arah.5 beberapa keluhan miopia antara lain penglihatan kabur jika melihat pada jarak jauh, pusing, cepat lelah saat membaca, kadang disertai sakit kepala, mata mudah berair, dan cepat mengantuk, sedangkan keluhan pada astigmatisma kecil, hanya terasa pandangan kabur. terkadang pada astigmatisma yang tidak dikoreksi atau tidak terkontrol, menyebabkan sakit kepala atau kelelahan mata (silau), dan mengaburkan pandangan ke segala arah.5 tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keluhan mata silau pada penderita astigmatisma dibandingkan dengan miopia. bahan dan cara penelitian ini adalah penelitian cross sectional dengan metode deskriptif dengan membandingkan ada atau tidaknya kesilauan pada penderita astigmatisma dibandingkan dengan penderita miopia. populasi yang digunakan adalah seluruh mahasiswa program studi pendidikan dokter fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta angkatan 2008 dan 2009 yang menderita astigmatisma dan miopia. penelitian telah dilakukan di fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta pada bulan mei juni 2012. sampel yang diuji adalah 68 mahasiswa program studi pendidikan dokter fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta angkatan 2008 dan 2009 usia 20 hingga 22 tahun yang menderita astigmatisma dan miopia. penelitian ini dilakukan serentak dalam satu kali pengambilan. sebagai kriteria inklusi adalah siswa program studi pendidikan dokter fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta angkatan 2008 dan 2009 berusia 20 hingga 22 tahun yang menderita miopia dan astigmatisma, tidak menderita penyakit mata lain selain miopia dan astigmatisma, tidak pernah menjalani operasi 129 mutiara medika vol. 13 no. 2: 127-131, mei 2013 mata atau tindakan laser pada mata, bersedia berpartisipasi sebagai objek penelitian dan mengisi informed consent dan kuesioner secara kooperatif. pelaksanaan penelitian diawali dengan meminta responden mengisi informed consent dan kuesioner. responden dikelompokkan menjadi 4 bagian yaitu responden astigmatisma yang mengeluh mata silau, responden astigmatisma yang tidak mengeluh silau, responden miopia yang mengeluh silau dan responden miopia yang tidak mengeluh silau. analisis data yang digunakan adalah regresi logistic untuk membandingkan kejadian keluhan mata silau pada penderita astigmatisma dan miopia dari data yang diperoleh. uji dilanjutkan dengan uji wald untuk mengetahui signifikasi perbedaan antar kelompok penelitian. hasil pada tabel 1. menunjukkan jumlah total responden adalah 68 orang dengan jenis kelamin wanita 38 orang (55,9%) dan laki-laki 30 orang (44,1%). responden yang berkarakteristik astigmatisma sejumlah 34 (50,0%) dan miopia sejumlah 34 (50,0%) (tabel 1). responden yang menderita miopia astigmatisma dan miopia murni diklasifikasikan dengan keluhan mata silau sebanyak 40 orang (58,8%) dan yang tidak mengeluh mata silau sebanyak 28 orang (41,2%). responden yang mengeluh mata silau pada penelitian ini berjumlah 40 orang (58,8%) dan responden yang tidak mengeluh mata silau pada penelitian ini berjumlah 28 (41,2%). responden dengan karakteristik astigmatisma yang mengeluh silau berjumlah 28 orang (82,4%) dan yang tidak mengeluh silau berjumlah 6 orang (17,6%), sedangkan responden dengan karakteristik miopia yang mengeluh silau berjumlah 12 (35,3%) dan yang tidak mengeluh silau berjumlah 22 orang (64,7%). pada penelitian ini, uji signifikan menunjukkan nilai p 0,000 (< 0,050) yang berarti h1 di terima dan h0 di tolak, sedangkan r2 menjelaskan besar pengaruh dengan ketentuan kejadian mata silau 27,7% (0,277 x 100%) di pengaruhi oleh variabel astigmatisma dan sisanya 73,3% dipengaruhi faktor lain. or 8,167 menjelaskan angka kejadian astigmatisma yang mempunyai keluhan mata silau 8,167 kali lebih besar dibandingkan dengan miopia dengan keluhan mata silau. diskusi miopia adalah suatu kondisi di mana sinar – sinar sejajar yang masuk ke bola mata titik fokusnya jatuh di depan retina,6 sedangkan astigmatisma adalah keadaan dimana sinar yang masuk ke dalam mata tidak dipusatkan pada satu titik akan tetapi tersebar atau menjadi sebuah garis akibat dari kelainan kecembungan kornea.7 kecembungan kornea yang lebih berat akan mengakibatkan pembiasan lebih kuat sehingga bayangan dalam mata difokuskan di depan bintik kuning sehingga mata ini akan menjadi mata miopia atau rabun jauh.8 pada responden dengan karakteristik astigmatisma yang mengeluh silau berjumlah 28 orang responden dengan presentasi 82,4% dan yang tidak mengeluh silau berjumlah 6 orang responden dengan presentasi 17,6%, sedangkan responden dengan karakteristik miopia yang mengeluh silau berjumlah 12 orang responden dengan presentasi 35,3% dan yang tidak mengeluh silau berjumlah 130 fitri permatasari, keluhan mata silau pada penderita astigmatisma ... 22 orang responden dengan presentasi 64,7%. sebagian besar keluhan silau terdapat dapat pada responden dengan karakteristik astigmatisma sejumlah 28 orang responden dengan presentasi 82,4% dibandingkan dengan miopia. penelitian dilakukan pada bulan mei sampai juni dengan memberikan informed consent dan pengisian kuesioner pada mahasiswa program studi pendidikan dokter angkatan 2008 dan 2009. jumlah kuesiner yang dibagikan 68 koesiner dibagikan kepada responden yang memenuhi kreteria inklusi yaitu siswa fakultas pendidikan dokteran angkatan 2008 dan 2009 universitas muhamadiyah yogyakarta yang menderita miopia dan astigmatisma, tidak menderita penyakit mata lain selain miopia dan astigmatisma, tidak pernah menjalani operasi mata atau tindakan laser pada mata, bersedia berpartisipasi sebagai objek penelitian dan mengisi informed consent dan kuesioner secara kooperatif. pada r2 menjelaskan besar pengaruh dengan ketentuan kejadian mata silau dengan rumusan 0,277 x 100% menjadi 27,7% sehingga dapat disimpulkan besar pengaruh kejadian mata silau 27,7% dipengaruhi oleh variabel astigmatisma dan sisanya 73,3% di pengaruhi vaktor lain, sedangkan pada or dengan angka 8,167 menjelaskan angka kejadian astigmatisma yang mempunyai keluhan mata silau 8,167 kali lebih besar dibandingkan miopia dengan keluhan mata silau. pada uji signifikan penelitian ini didapatkan nilai p 0,000 / < 0,050 yang berarti h1 di terima dan h0 di tolak atau bisa dikatakan astigmatisma berpengaruh terhadap kejadian mata silau. salah satu tanda dan gejala astigmatisma adalah kelelahan. kelelahan mata adalah ketegangan pada mata dan disebabkan oleh penggunaan indera penglihatan dalam bekerja yang memerlukan kemampuan untuk melihat dalam jangka waktu yang lama dan biasanya disertai dengan kondisi pandangan yang tidak nyaman.9 pada astigmatisma bayangan jatuh di depan, belakang dan menyebar tidak di satu titik maka penglihatan akan kabur sehingga mata dipaksa agar bayangan jatuh tepat di retina dan pada satu titik terus menerus yang menyebabkan mata menjadi lelah. gejala kelelahan mata yang sering muncul antara lain adalah kelopak mata terasa berat, terasa ada tekanan dalam mata, mata sulit dibiarkan terbuka, merasa enak kalau kelopak mata sedikit ditekan, bagian mata paling dalam terasa sakit, perasaan mata berkedip, penglihatan kabur, tidak bisa difokuskan, penglihatan terasa silau, penglihatan seperti berkabut walau mata difokuskan, mata mudah berair, mata pedih dan berdenyut, mata merah, jika mata ditutup terlihat kilatan cahaya, kotoran mata bertambah, tidak dapat membedakan warna sebagaimana biasanya, ada sisa bayangan dalam mata, penglihatan tampak double, mata terasa panas dan mata terasa kering.10 berdasarkan penjelasan di atas terdapat keluhan penglihatan yang terasa silau dan ini banyak di keluhkan pada penderita astigmatisma di masyarakat luas namun belum banyak penelitian yang meneliti tentang hal tersebut karenanya peneliti ingin meneliti keluhan mata silau pada penderita astigmatisma dibandingkan dengan miopia. simpulan keluhan silau pada astigmatisma 8,167 kali lebih besar dibandingkan dengan miopia yang mengeluh silau. 131 mutiara medika vol. 13 no. 2: 127-131, mei 2013 daftar pustaka 1. judarwanto, w. penyakit mata pada anak. 2009. di akses dari http://childrencli ni c. wordpress.com/2009/08/20/penyakit-matapada-anak/ pada 1 maret 2010. 2. curtin. b., j. the myopia. philadelphia: harper & row. 348-381. 2002. 3. konstantopoulos a, yadegarfar g, elgohary m. near work, education, family history, and myopia in greek conscripts. eye (lond). 2008; 22 (4): 542-6. 4. ilyas, s. kedaruratan dalam ilmu penyakit mata. jakarta: balai penerbit fkui. 2009. 5. williams w. corneal and refractive anomali. dalam: wright k, head md, editor. textbook of ophthalomology. london: waverly company. 1997. p. 767 6. optik nisna. penyebab mata butuh kacamata (1). 2008. diakses pada 29 april 2012 dari http://www.optiknisna.info/myopia.html 7. ilyas, s. masalah kesehatam mata anda dalam pertanyaan-pertanyaan, jakarta: fakultas kedokteran universitas indonesia. 1989. 8. ilyas, s. kelainan refraksi dan kacamata, edisi kedua, jakarta: fakultas kedokteran universitas indonesia. 2006. 9. pheasant, s. ergonomic work and health. maryland usa: aspen publisher inc. 1991. 10. pusat hyperkes dan keselamatan kerja, penelitian pengaruh komputer pada mata. departemen tenaga kerja. pusat hyperkes dan keselamatan kerja. 1995. sukmaningrum, akil baehaqi, titik kuntari, perbandingan nilai apgar bayi pada kelahiran ................ 20 perbandingan nilai apgar bayi pada kelahiran presentasi bokong secara pervaginam dan perabdominal di rsud kebumen tahun 2007 the comparation of the apgar score among neonatal with breech presentation in pervaginam and perabdominal delivery history in rsud kebumen during 2007 sukmaningrum1, akil baehaqi2, titik kuntari3 1fakultas kedokteran universitas islam indonesia 2departemen ilmu kesehatan anak fakultas kedokteran universitas islam indonesia 3departemen ilmu kesehatan masyarakat fakultas kedokteran universitas islam indonesia abstract infant morbidity and mortality was higher in breech presentation than cephalic presentation. it is because of prematurity, asphyxia or trauma more often happening in breech presentation. maternal morbidity rate was increased, which is caused of postpartum bleeding. the higher major caused of breech presentation perinatal mortality is asphyxia, which is can be identified by apgar score. the objectives of this study are to compare the apgar score among delivery history with breech presentation in pervaginam and perabdominal delivery. this research is a non experimental study using cross sectional study design. the subjects are patient with breech presentation and infant which is taking care in rsud kebumen during 2007. there is a significant infant apgar score differences between pervaginam and perabdominal breech presentation delivery history (p value=0,00, ik95%). infant apgar score with breech presentation history wich is delivery by perabdominal is better than wich is delivery by pervaginam. keyword: apgar score, breech presentation, pervaginam, sectio secaria abstrak angka kematian bayi sangat dipengaruhi oleh kematian perinatal. pada presentasi bokong morbiditas dan mortalitas bayi lebih besar bila dibandingkan dengan presentasi letak kepala. hal ini disebabkan karena pada presentasi bokong lebih sering terjadi prematuritas, asfiksia, atau trauma. angka morbiditas ibu juga meningkat yang disebabkan oleh perdarahan pasca persalinan. penyebab kematian perinatal pada presbo yang tertinggi umumnya adalah karena asfiksia, yang bisa diidentifikasikan dengan nilai apgar. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan nilai apgar pada persalinan dengan riwayat presbo secara pervaginam dengan perabdominal. penelitian ini merupakan rancangan penelitian cross sectional dan data diambil secara retrospektif dibagian rekam medis. subjek penelitian berasal dari pasien dengan presbo dan bayinya yang dirawat di rsud kebumen selama tahun. ada perbedaan yang bermakna antara nilai apgar pada bayi riwayat persalinan presentasi bokong pervaginam dengan perabdominal (nilai p=0,00, ik95%). nliai apgar bayi dengan riwayat presbo yang dilahirkan secara perabdominal lebih baik dibandingkan dengan yang dilahirkan secara pervaginam. kata kunci : nilai apgar, pervaginam, presbo, sectio secaria 21 mutiara medika vol. 9 no. 1:20-25, januari 2009 pendahuluan indeks pembangunan manusia (ipm) yang antara lain dipengaruhi tingginya aki (angka kematian ibu) hamil dan melahirkan serta akb (angka kematian bayi), menunjukkan bahwa pada tahun 2004 indonesia menduduki peringkat 111 dari 177 negara yang disurvey. pada penelitian tahun 2004, di indonesia terjadi setidaknya 120.000 kematian bayi setiap tahunnya dan mempunyai rerata angka kematian bayi sebesar 35 per 1000 kelahiran hidup. angka kematian ibu dan bayi di indonesia memang masih tinggi meskipun ada penurunan jika dibandingkan dengan tahun 1993 dan sampai saat ini upaya penurunannya masih cukup sulit.1 zupan mengungkapkan bahwa asia menduduki peringkat kedua dengan tingkat kematian perinatal tertinggi di dunia setelah sub sahara afrika.2 pada presentasi bokong morbiditas dan mortalitas bayi lebih besar bila dibandingkan dengan presentasi letak kepala. hal ini disebabkan karena pada presentasi bokong lebih sering terjadi prematuritas, asfiksia, atau trauma (perdarahan intrakranial, paresis, dan fraktur). angka morbiditas ibu juga meningkat yang disebabkan oleh perdarahan pasca persalinan atau trauma jalan lahir. 3 tinggi rendahnya angka kematian perinatal tergantung pada pengawasan antenatal, pengawasan janin selama proses persalinan dan penatalaksanaan bayi baru lahir. penyebab kematian bayi adalah asfiksia, bayi berat lahir rendah (bblr) dan infeksi, dan salah satu penyebab asfiksia adalah persalinan presentasi bokong. asfiksia dapat dideteksi saat berada di dalam kandungan dengan bio physical profil janin yaitu gerakan pernafasan, tonus, frekuensi, jantung, reaktivitas dan volume cairan ketuban, sedangkan untuk mengetahui derajat asfiksia digunakan nilai apgar.4 sectio cesarea pada presentasi bokong dianggap sebagai cara untuk mengurangi masalah perinatal dan di banyak negara amerika utara dan daerah eropa selatan sectio caesarea menjadi pilihan yang normal untuk persalinan pada presentasi bokong. bedah caesar umumnya dilakukan ketika proses persalinan normal melalui vagina tidak memungkinkan karena beresiko kepada komplikasi medis lainnya. usaha pencegahan kematian perinatal maupun maternal dapat dilakukan apabila dapat diidentifikasi faktor-faktor prognosis yang berhubungan dengan kejadian kematian perinatal pada presbo. salah satu penyebab kematian perinatal pada presbo adalah asfiksia, yang bisa diidentifikasikan dengan nilai apgar.5 penelitian ini bertujuan untuk perbedaan nilai apgar bayi dengan riwayat presbo yang dilahirkan secara pervaginam dan perabdominal. bahan dan cara rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian non eksperimental, yaitu cross sectional. data diambil dari data rekam medis rsud kebumen. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan nilai apgar bayi dengan riwayat presentasi bokong yang dilahirkan secara pervaginam dan perabdominal di rsud kebumen. populasi penelitian ini diambil dari seluruh bayi yang terlahir dari kehamilan presentasi bokong yang dirawat di rsud kebumen. subjek penelitian ini adalah bayi yang terlahir dari kehamilan presentasi bokong di rsud kebumen dari tanggal 1 januari – 31 desember 2007 yang memenuhi kriteria inklusi: bayi dilahirkan di rsud kebumen sehingga diketahui nilai apgar bayi tersebut, bayi lahir tunggal dan bayi dilahirkan pada umur kehamilan 37-42 minggu /aterm. adapun kriteria eksklusinya adalah: bayi yang mempunyai kelainan kongenital dan ibu memiliki riwayat penyakit jantung, ginjal, hipertensi (preeklamsia berat / eklampsia), diabetes mellitus dan penyakit hati. subjek penelitian dibatasi dengan kriteria tersebut di atas untuk mengendalikan faktor-faktor pengganggu. nilai apgar bayi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nilai apgar pada menit pertama kelahiran yang diperoleh dari catatan medik, ditentukan dengan kriteria apgar yaitu dengan menggunakan skor 0-10. sukmaningrum, akil baehaqi, titik kuntari, perbandingan nilai apgar bayi pada kelahiran ................ 22 hasil penelitian ini dilakukan di rsud kebumen pada periode 1 januari sampai dengan 31 desember 2007 dan diperoleh 48 subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi penelitian, terdiri dari 32 subyek bayi presentasi bokong (presbo) yang dilahirkan pervaginam dan 16 subyek bayi presbo yang dilahirkan perabdominal. pada penelitian ini, umur ibu termuda 19 tahun dan umur tertua 40 tahun dengan umur rerata ibu 28 tahun. secara lengkap, karakteristik ibu disajikan pada tabel 1. tabel 1. karakteristik ibu dengan persalinan presentasi bokong di rsud kebumen 2007 karakteristik jumlah persentase (%) paritas 0 1-2 >2 24 20 4 50,0 41,7 8,3 pekerjaan irt tani swasta pns 20 10 14 4 41,7 20,8 29,2 8,3 pendidikan terakhir sd smp sma pt (perguruan tinggi) tidak sekolah 12 10 8 4 14 25,0 20,8 16,7 8,3 29,2 penilaian apgar dilakukan pada menit pertama setelah lahir, nilai ini memberikan petunjuk mengenai keberhasilan adaptasi neonatal. penilaian apgar menggunakan skoring 1-10. neonatus yang beradaptasi dengan baik mempunyai nilai apgar antara 7 sampai 10, nilai 4 sampai 6 menunjukkan keadaan asfiksia ringan sampai sedang, sedangkan nilai 0 sampai 3 menunjukkan derajat asfiksia berat.6 pada penelitian ini, bayi dikatagorikan tidak asfiksia jika nilai apgar >7, dan dikatakan asfiksia jika apgar kurang dari 7. berdasarkan batasan tersebut diperoleh hasil bahwa 93,75 persen bayi presentasi bokong yang dilahirkan pervaginam mengalami asfiksia, baik asfiksia ringan, sedang maupun berat. sebaliknya, dari 16 bayi presentasi bokong yang dilahirkan secara perabdominal hanya 12,5 persen yang mengalami asfiksia. hasil rerata nilai apgar bayi pada persalinan presbo perabdominal lebih tinggi dibandingkan rerata nilai apgar bayi pada persalinan presbo pervaginam yakni masing-masing sebesar 7,56 dan 4,88. nilai apgar bayi terendah pada persalinan presbo perabdominal 6 dan nilai tertingginya 8 sedangkan nilai apgar bayi terendah pada persalinan presbo pervaginam 3 dan nilai terendahnya 7. hasil selengkapnya disajikan pada tabel 2. 23 mutiara medika vol. 9 no. 1:20-25, januari 2009 tabel 2. perbandingan nilai apgar pada persalinan presentasi bokong pervaginam dan perabdominal apgar pervaginam perabdominal mean median variance std. deviation minimum maximum 4,88 5,50 2,18 1,48 3,00 7,00 7,56 8,00 0,40 0,63 6,00 8,00 berdasarkan hasil yang diperoleh, kemudian dilakukan pengujian statistik untuk melihat perbedaan nilai apgar bayi pada persalinan presentasi bokong secara pervaginam dengan perabdominal dengan uji statistik mann whitney. dengan uji mannwhitney, diperoleh angka significancy 0,00. karena nilai p<0.05, sehingga hipotesis yang menyatakan ada perbedaan nilai apgar bayi riwayat persalinan presentasi bokong pervaginam dengan perabdominal dapat diterima. hasil uji komparatif tersebut menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara nilai apgar bayi kelompok presbo perabdominal dan nilai apgar bayi kelompok presbo pervaginam. diskusi presentasi bokong merupakan keadaan janin berada dalam cavum uteri dengan cephalic pool berada di fundus dan caudal (podalic) pool berada di segmen bawah. angka kejadian kehamilan dengan janin tunggal dengan presentasi bokong berkisar antara 3-4%, sedangkan pada kehamilan ganda berkisar antara 25-50%. ada 3 tipe utama presentasi bokong yaitu frank breech presentation (janin fleksi di paha dan ekstensi di lutut), complete breech presentation (ekstensi di paha dan fleksi di lutut) dan footling breech presentation.7 manajemen persalinan presentasi bokong secara umum banyak dilakukan dengan berbagai cara seperti external cephalic version, sectio caesarea elektif dan percobaan pervaginam. secara umum telah disepakati bahwa kehamilan presentasi bokong aterm lebih baik dilakukan persalinan secara section caesaria bila janin dalam keadaa presentasi bokong kaki, dengan janin fetal compromize, janin besar, janin dengan anomali sehingga dikhawatirkan kesulitan saat persalinan vaginal. pada penelitian ini sebagian besar (66,7%) bayi dengan presentasi bokong dilahirkan pervaginam, sedangkan sisanya (33,3%) dilahirkan perabdominal. hal ini berbeda dengan data yang diperoleh di us tahun 2000, bayi dengan presentasi bokong sebagian besar (83,1%) dilahirkan secara perabdominal.8,9 proses persalinan presentasi bokong relatif sulit bila dibandingkan dengan partus normal presentasi kepala. after coming head, tangan menjungkit dan tali pusat menumbung merupakan bagian dari penyulit persalinan yang sering menyertai persalinan presentasi bokong10. angka mortalitas perinatal berhubungan dengan adanya presentasi bokong yang berkisar antara 9-25%, atau tiga sampai lima kali dibandingkan janin presentasi kepala cukup bulan. adanya angka mortalitas tinggi pada kasus ini disebabkan oleh karena adanya kelainan kongenital yang bersifat lethal, dan komplikasi prematuritas.3 berdasarkan variabel kelompok umur ibu, hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah jumlah presentasi bokong lebih sering terjadi pada ibu dengan rerata umur 28 tahun. pada rentang umur tersebut, seorang wanita tergolong umur reproduktif, sedangkan pada kelompok umur ibu yang lainnya, yaitu umur < 20 dan umur > 35 tahun sukmaningrum, akil baehaqi, titik kuntari, perbandingan nilai apgar bayi pada kelahiran ................ 24 didapatkan angka kejadian yang kecil. pada umur tersebut, kejadian wanita hamil masih lebih rendah dibandingkan umur yang reproduktif. umur ibu dianggap penting karena ikut menentukan prognosis dalam persalinan yaitu dapat mengakibatkan angka kesakitan pada ibu maupun janin. umur ibu memiliki kontribusi terhadap terjadinya partus lama.11 pada janin akan terjadi infeksi, cedera dan asfiksia yang dapat meningkatkan kematian bayi. ibu berusia 40 tahun atau lebih dapat melahirkan bayi dengan kecenderungan terjadi komplikasi seperti asfiksia dan perdarahan otak pada bayi. hal ini bisa saja terjadi mengingat seiring dengan bertambahnya umur maka beberapa macam komplikasi yang terjadi akibat kehamilan-kehamilan yang terdahulu seperti preeklampsia dapat meningkatkan insidensi asfiksia.12 rachatapantanakorn et al pada penelitiannya tahun 2005 juga menyatakan insidensi asfiksia secara tidak langsung diakibatkan oleh umur ibu. begitu juga yang terjadi pada penelitian di rumah sakit khonkaen, thailand, yang menunjukkan bahwa asfiksia memiliki hubungan yang signifikan terutama pada ibu dengan umur lebih dari 30 tahun. penelitian yang dilakukan sebelumnya menyatakan bahwa nulipara dan umur ibu merupakan faktor resiko yang sangat signifikan untuk terjadinya nilai apgar dibawah 7.12 penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai apgar bayi riwayat persalinan presentasi bokong pervaginam dengan perabdominal (p<0,05). nilai apgar pada bayi presentasi bokong yang dilahirkan secara pervaginam mempunyai rerata yang lebih rendah yaitu 4,88 sedangkan nilai apgar pada bayi presentasi bokong yang dilahirkan secara perabdominal mempunyai rerata yang lebih tinggi yaitu 7,56. hal ini sejalan dengan penelian yang dilakukan oleh heija et al, ia meneliti 264 nulipara dengan presentasi bokong cukup bulan dan mendapatkan bahwa nilai apgar pada menit pertama dan pada menit ke lima lebih buruk pada bayi yang dilahirkan pervaginam. penelitian tersebut juga menyatakan bahwa mortalitas neonatal secara signifikan lebih sering terjadi setelah persalinan pervaginam (p<0,01) dan bayi yang dilahirkan pervaginam lebih banyak menderita trauma non-neurologi dan tanda-tanda patologik neurologis (p<0,01).13 berbeda dengan hasil penelitian oleh aji, yang menunjukkan bahwa nilai apgar pada persalinan presentasi bokong baik secara pervaginam maupun peabdominal di rsu kardinah sebagian besar memiliki nilai apgar antara 7-10, yang berarti bayi yang dilahirkan tersebut normal atau vigorous baby, sedangkan bayi yang memiliki nilai apgar antara 4-6 hanya 0,43% saja yang berarti bayi mengalami asfiksia sedang.14 pada penelitian ini juga ditemukan bayi yang dilahirkan dengan apgar score 03 dengan asfiksia berat. rudolph menyatakan bahwa nilai apgar dipengaruhi oleh faktor ibu dan janin. faktor janin diantaranya adalah prematuritas, hipoksia, asidosis, lilitan tali pusat, tali pusat menumbung, kelainan letak seperti letak sunsang dan lain-lain. sedang faktor ibu adalah kehamilan (infeksi, preeklamsia/eklamsia, diabetes, penyakit jantung) dan proses persalinan (seksio sesaria, vakum ekstraksi, forcep ekstraksi). bayi dengan nilai apgar rendah mempunyai risiko kesakitan dan kematian yang besar. nilai apgar ini berhubungan erat dengan perubahan keseimbangan asam basa serta memberikan gambaran beratnya perubahan kardiovaskuler yang digunkan untuk mengetahui apakah bayi menderita asfiksia atau tidak pada saat lahir.15 keberhasilan pemilihan cara persalinan pada presentasi bokong dapat dilihat dari outcomes bayi yang dilahirkan. penilaian dapat dilakukan berdasarkan nilai apgar dan berat badan sewaktu lahir, serta ada atau tidaknya faktor penyulit persalinan. keterbatasan penelitian ini ialah bahwa penelitian ini hanya menilai keadaan bayi pada menit pertama tanpa memperhatikan morbiditas bayi jangka panjang (keterlambatperkembangan, defisit neurologik, kemungkinan menjadi cacat). selain itu hasil luaran maternal (maternal outcome) juga tidak dinilai. 25 mutiara medika vol. 9 no. 1:20-25, januari 2009 kesimpulan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai apgar bayi presentasi bokong yang dilahirkan perabdominal lebih baik daripada yang dilahirkan secara pervaginam. saran hasil ini bisa menjadi rekomendasi bahwa pada persalinan presentasi bokong disarankan untuk dilakukan secara perabdominal daripada pervaginam. daftar pustaka 1. departemen kesehatan, 2004. profil kesehatan indonesia 2004. depkes. jakarta 2. zupan, j., 2005, perinatal mortality in developing countries, nejm, volume 352: 2047-2048. 3. oxorn, harry., ilmu kebidanan: fisiologi dan patologi persalinan, edisi kedua, yayasan essentia medica, jakarta, 2003, hal. 195-231. 4. bagazi, umar f., sofoewan, s., siswosudarmo, r., 2002, perbandingan luaran janin presentasi bokong antara persalinan bracht dan manual aid. http//:www.obgin_ugm.com/ ?hal=articles_detail.php&no=21 5. hofmeyr, 2006. the management of breech presentation. journal of obstetricsad gynecology. rcog guideline no. 20b 6. matondang, s.c., wahidayat, i., sastrasmoro, s. 2003. diagnosis fisis pada anak. edisi 2, cv sagung seto. jakarta. 7. soedarto., 2000. pemilihan tehnik persalinan presentasi bokong pada kehamilan aterm di rs dr. sardjito. lancet: 2000:356: 1375-83 8. wiknjosastro, h., 2000, ilmu bedah kebidanan, edisi pertama, yayasan bina pustaka sarwono prawirohardjo, jakarta, hal. 104-122. 9. wiknjosastro, h., 2000, cesarean section, history development and clinical implications.http://alarm/ indonesia.net/id/ 1324511.htm 10. cunningham, f.g., gant, n.f., leveno, k.j., 2001, obstetri williams (21st ed). hartono, a., suyono, y.j dan pendit, b.u., 2004 (alih bahasa), egc, jakarta. 11. amiruddin, r., 2007. faktor resiko kejadian partus lama di rsia siti fatimah makasar tahun 2006. http// :www.ridwanamiruddin.wordpress.com 12. jerneck, k.t., herbst, a., 2001. low 5minute apgar score: a populationbased register study of 1 million term births. journal of obstetrics and gynecology. 98. 65-70. 13. heija, a, a., muhammed, a., 2001. is breech presentation in nuliparous women at term an absolute indication for cesarean section? annuals of saudi medicine, vol 21, nos 3-4: 190192 14. aji, p., 2005. karakteristik ibu dengan persalinan presentasi bokong berdasarkan usia ibu, paritas, umur kehamilan, cara persalinan, berat badan bayi lahir, apgar score, dan faktor penyulit persalinan di rumah sakit umum kardinah tegal. karya tulis ilmiah. fakultas kedokteran universitas islam indonesia. yogyakarta. 15. rudolph, m., hoffman, e.j., rudolph, d.c., 2006. buku ajar pediatrik. edisi 20. egc. jakarta. 37 mutiara medika vol. 13 no. 1: 37-42, januari 2013 potensi adp dan katalase dalam ekstrak air lidah buaya (aloe vera) sebagai antiinflamasi pada model tikus luka terkontaminasi enzymatic activity of water extracts of aloe vera and it’s potential as an anti-inflammatory in rats model of a wound contaminated agung biworo,1 windy yuliana budianto,2 rismia agustina,2 eko suhartono3* 1bagian farmakologi fakultas kedokteran universitas lambung mangkurat 2program studi ilmu keperawatan fakultas kedokteran universitas lambung mangkurat 3bagian kimia/biokimia fakultas kedokteran universitas lambung mangkurat *email: ekoantioksidan@yahoo.com abstrak lidah buaya (aloe vera) mengandung enzim antioksidan yang dapat menghambat kerja dari mediator inflamasi dan penghilang rasa sakit. pada penelitian ini akan diukur aktivitas enzim antioksidan askorbat dependent peroksidase dan katalase ekstrak air aloe vera serta potensinya sebagai antiinflamasi pada tikus yang mengalami luka terkontaminasi. penelitian ini menggunakan rancangan post test only control group dengan simple random sampling pada 36 ekor tikus yang terbagi atas 2 kelompok, yaitu kelompok kontrol (p0) dan perlakuan (p1) merupakan kelompok tikus dengan luka terkontaminasi yang diberikan balutan dengan menggunakan ekstrak air lidah buaya 0,2 mg/g bb. hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas enzim antioksidan askorbat dependent peroksidase dan katalase masing-masing 37,8 menit-1 dan 3,145 menit-1 dan rata-rata penurunan intensitas warna kemerahan dari eritema pada kelompok yang diberi ekstrak air lidah buaya (aloe vera) lebih cepat daripada kelompok kontrol. diismpulkan bahwa ekstrak air lidah buaya berpotensi sebagai antiinflamasi pada model tikus luka terkontaminasi. kata kunci: katalase, askorbat dependent peroksidase, eritema, aloe vera, luka terkontaminasi abstract aloe vera contained an antioxidant enzyme that can inhibit the work of the mediators of inflammation and pain. with this research, however, will be measured the antioxidant enzyme activity of ascorbic dependent peroxidase and catalase on water extract aloe vera and its potential as an anti-inflammatory on rat model wound contaminated. this research uses the post test only control group with simple random sampling techniques, with 36 rats were divided into two groups, namely the control and treatment groups. the control group (p0) is a control group and treatment group (p1) is a group of mice with wounds contaminated given the wrap by using water extracts of aloe vera 0.2 mg/g bb. in this study it was concluded that the antioxidant enzyme activity of activity of ascorbic dependent and catalase each 37.8 seconds-1 minute-1 and 3,145. in addition, the decrease in intensity of redness of erythema on the group that was given a water extract of aloe vera (aloe vera) is faster than the control group. it can be concluded that the water extract of aloe vera as anti-inflammatory potential in a mouse model of contaminated wounds. key words: catalase, ascorbic dependent peroxidase, erythema, aloe vera, wound contaminated artikel penelitian 38 agung biworo, aktivitas enzimatik ekstrak air lidah buaya dan potensinya ... pendahuluan antioksidan adalah senyawa yang dapat memutus rantai radikal bebas, serta menghambat oksidasi substrat secara bermakna. antioksidan dapat ditemukan pada manusia, hewan, maupun tanaman.1,2,3,4 pada tanaman, sebagaian besar senyawa antioksidan ditemukan pada kayu, kulit kayu, akar, biji, batang dan daun. senyawa tersebut dibentuk oleh tanaman dalam rangka mempertahankan hidupnya terhadap senyawa oksigen reaktif.2 lidah buaya (aloe vera) adalah tanaman asli dari afrika yang termasuk famili liliaceae dan memiliki kandungan senyawa antioksidan.5 berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh medonca et al. (2009)6 menunjukkan bahwa sejumlah vitamin yang terkandung dalam lidah buaya memiliki efek antioksidan yang dapat menyehatkan kulit dan mempercepat perbaikan jaringan kulit yang rusak. sementara itu, hasil penelitian junianto dkk. (2006)7 menunjukkan bahwa dengan adanya kandungan enzim-enzim pada ekstrak air lidah buaya dapat menghambat kerja dari mediator inflamasi dan penghilang rasa sakit. pada setiap tanaman terkandung enzim antioksidan yang berperan sebagai scavenger dari radikal bebas yang reaktif. enzim-enzim tersebut bekerja sebagai respon perlindungan dari radikal bebas sebagai hasil reaksi metabolik.8 enzimenzim tersebut antara lain enzim askorbat dependent peroksidase dan katalase.2 enzim askorbat dependent peroksidase (ec 1.11.1.11) adalah enzim yang mengkatalisis substrat askorbat dan peroksida menjadi monodehidroaskorbat. sementara itu, enzim katalase (ec 1.11.1.6) merupakan enzim yang bekerja dengan cara mengkatalisis perubahan peroksida menjadi air dan oksigen.8 pemanfaatan ekstrak lidah buaya sebagai antiinflamasi sudah banyak dilakukan, tetapi kemungkinan peranan enzim di dalam ekstrak lidah buaya sebagai antiinflamasi belum banyak dikaji. untuk mengkaji hal tersebut, pada penelitian ini akan dibuat model inflamasi pada tikus yang mengalami luka terkontaminasi. parameter inflamasi yang digunakan adalah warna kemerahan dari eritema. hal ini didasarkan bahwa eritema merupakan salah satu penanda inflamasi, selain panas (calor), nyeri (dolor), bengkak (tumor) dan kehilangan fungsi (functiolesa).9 penelitian ini bertujuan untuk mengukur aktivitas enzim antioksidan askorbat dependent peroksidase dan katalase ekstrak air aloe vera serta potensinya sebagai antiinflamasi pada tikus yang mengalami luka terkontaminasi. bahan dan cara penelitian ini menggunakan rancangan post test only control group dengan teknik pengambilan sampel simple random sampling. penelitian ini dilaksanakan di laboratorium kimia/biokimia fakultas kedokteran universitas lambung mangkurat pada bulan juni – juli 2012. penelitian ini menggunakan 36 ekor tikus yang terbagi atas 2 kelompok, yaitu kelompok kontrol dan perlakuan. kelompok kontrol (p0) adalah kelompok tikus putih dengan luka terkontaminasi tanpa diberikan perlakuan, kelompok perlakuan (p1) merupakan kelompok tikus dengan luka terkontaminasi yang diberikan balutan dengan menggunakan ekstrak air lidah buaya 0,2 mg/g bb. masingmasing kelompok terdiri atas 18 ekor tikus yang dihitung menggunakan rumus federrer. lidah buaya diperoleh dari pekarangan rumah 39 mutiara medika vol. 13 no. 1: 37-42, januari 2013 di daerah banjarbaru. ekstrak lidah buaya dibuat dengan cara maserasi. aktivitas askorbat dependen peroksidase ditentukan dengan metode yang dikembangkan oleh candan (2003).8 sebanyak 1 ml 25 mm pbs (ph=7) ditambahkan dengan 1ml 0,1 mm edta, 1ml 1mm h202, 1 ml 0,25 mm asam askorbat, dan 1 ml ekstrak sampel 250c, kemudian dicampur dan diukur absorbansi (a0). campuran yang sudah dibiarkan selama 5 menit, setelah itu diukur absorbansi (a1). aktivitas dinyatakan sebagai unit enzim, yakni perubahan absorbansi substrat dalam satuan waktu. aktivitas katalase. aktivitas askorbat dependen peroksidase ditentukan dengan metode yang dikembangkan oleh candan (2003).8 sebanyak 1 ml larutan 25 mm pbs (ph=7) ditambahkan 1 ml 10,5 mm h2o2, dan 1 ml ekstrak sampel 250c kemudian dicampurkan dan diukur absorbansi (a0). campuran yang sudah dibiarkan selama 5 menit, setelah itu diukur absorbansi (a1). aktivitas dinyatakan sebagai unit enzim, yakni perubahan absorbansi substrat dalam satuan waktu. percobaan ini menggunakan tikus putih (rattus norvegicus) jantan dengan berat badan antara 200-250 gr dan berumur 2,5 – 3 bulan yang diperoleh dari universitas gadjah mada. sebelum diberikan perlakuan, tikus diadaptasikan selama 7 hari. selama dalam proses adaptasi, tikus putih ditempatkan pada kandang terpisah berdasarkan pembagian kelompok, diberi pakan dan minum yang sama, yaitu pelet dan air pdam. setelah proses adaptasi, selanjutnya tikus dianastesi dengan eter secara inhalasi. kemudian dilakukan pencukuran bulu tikus sepanjang 3-5 cm pada bagian punggung yang akan dilakukan insisi. setelah itu dilakukan anestesi inhalasi kembali dengan eter dan desinfeksi pada area kulit tikus yang akan dilakukan insisi dengan alkohol. insisi dilakukan dengan scalpel steril, panjang luka 2,5 cm dengan kedalaman luka sampai area subkutan. luka yang dihasilkan dipaparkan terhadap kontaminan berupa pasir dan didiamkan selama 8 jam. setelah itu, luka dibersihkan menggunakan nacl 0,9% dan luka ditutup dengan menggunakan kasa lembab dan dibalut sesuai kelompok penelitian. pengukuran eritema. eritema diukur dengan cara memfoto obyek luka menggunakan kamera digital. hasil foto diolah untuk mengetahui intensitas warna kemerahan dari eritema pada area dekat luka dan kulit normal dengan menggunakan aplikasi program corel photopaint suit graphic 12. hasil yang didapatkan berupa rata-rata dari intensitas warna kemerahan. data yang diperoleh dilakukan uji normalitas dengan menggunakan uji shapiro-wilk. diperoleh data berdistribusi normal, sehingga dianalisis dengan menggunakan uji independent sample t test (± = 0,05). hasil berdasarkan hasil pengukuran aktivitas antioksidan enzimatik yang terkandung dalam ekstrak air lidah buaya, yakni askorbat dependent peroksidase (adp) dan katalase disajikan pada gambar 1. gambar 1. hasil pengukuran enzim yang terkandung dalam ekstrak air lidah buaya 40 agung biworo, aktivitas enzimatik ekstrak air lidah buaya dan potensinya ... potensi antiinflamasi ekstrak air tanaman lidah buaya dapat ditentukan dengan mengukur derajat eritema sebagai penanda inflamasi yang terjadi di sekitar daerah luka. hasil pengukuran rerata eritema dapat dilihat pada gambar 2. hasil uji normalitas dan homogenitas data dengan menggunakan uji shapiro wilk dan levene’s test, didapatkan bahwa data berdistribusi normal dan bersifat homogen (p>0,05). selanjutnya dengan menggunakan uji independent sample t test, dihasilkan nilai p=0,015 (p-value<0,05). hal ini berarti rata-rata penurunan intensitas warna kemerahan dari eritema pada kelompok yang diberi ekstrak air lidah buaya (aloe vera) lebih cepat daripada kelompok kontrol. diskusi puncak warna kemerahan dari eritema pada kelompok kontrol terjadi pada hari ke-3 yaitu sebesar 67,45% sedangkan pada kelompok perlakuan adalah 64,29%. penurunan warna kemerahan dari eritema pada kelompok kontrol terjadi dalam waktu 7 hari 19 jam 12 menit, sedangkan pada kelompok perlakuan terjadi dalam waktu 5 hari 19 jam 12 menit. penurunan intensitas warna kemerahan dari eritema pada kelompok perlakuan berlangsung lebih cepat secara bermakna daripada kelompok kontrol. hal ini terjadi karena fase inflamasi pada proses penyembuhan luka berlangsung secara alami. fase inflamasi ini berlangsung sesaat setelah terjadinya perlukaan, sehingga menimbulkan rangsangan untuk dilepaskannya zat kimia (kinin, prostaglandin, histamin), dan mediator inflamasi lain yang akan menstimulasi terjadinya perubahan jaringan pada reaksi radang.10 pada fase inflamasi ditandai oleh adanya eritema, edema, rasa hangat pada kulit, rasa sakit, dan kehilangan fungsi.11 reaksi peradangan diawali dengan terjadinya vasokontriksi sesaat yang segera diikuti oleh vasodilatasi pada arteriol yang akan menyebabkan peningkatan aliran darah sehingga terjadi pembukaan mikrovaskuler baru seperti arteriol kecil, pembuluh kapiler, dan vena.12 vasodilatasi tersebut akan menyebabkan terjadinya hiperemi disekitar daerah luka yang secara klinis akan tampak sebagai warna kemerahan dan rasa hangat. tahapan selanjutnya adalah peningkatan permea0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 r at ara ta e ri te m a (% ) waktu (hari) kontrol aloe vera gambar 2. perbandingan rerata penurunan intensitas warna kemerahan dari eritema pada tikus yang mengalami luka terkontaminasi antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan yang diberi ekstrak air aloe vera. 41 mutiara medika vol. 13 no. 1: 37-42, januari 2013 bilitas pembuluh darah, sehingga terjadinya peningkatan eksudat tinggi protein yang menimbulkan edema di daerah perlukaan.10 fase inflamasi berjalan alami karena tidak adanya komponen agen antiinflamasi yang dapat menghambat kerja dari mediator inflamasi.7 meskipun demikian, lama terjadinya fase inflamasi pada proses penyembuhan luka pada setiap tikus berbeda-beda, dapat dikarenakan adanya faktor pengganggu yang tidak dapat dikendalikan oleh peneliti misalnya sirkulasi.9 pemberian ekstrak air lidah buaya (aloe vera) menyebabkan penurunan intensitas warna kemerahan dari eritema yang lebih cepat daripada kontrol. hal ini diduga karena adanya enzim askorbat dependent peroskidase dan katalase yang terlibat didalam penurunan kemerahan dari eritema. aktivitas enzimatik askorbat dependent peroksidase dan katalase diduga berperan sebagai inhibitor di jalur siklooksigenase. jalur siklooksigenase merupakan rangkaian reaksi perubahan asam arakhidonat menjadi prostaglandin, yakni senyawa mediator munculnya nyeri.2,13 senyawa peroksida diperlukan pada saat tahap awal konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin. pada tahap tersebut, terjadi abstraksi satu atom hidrogen pada atom karbon 13 asam lemak. reaksi ini, akan membentuk radikal arakhidonil. apabila tersedia dua molekul oksigen, radikal arakhidonil akan diubah menjadi radikal prostaglandin, yang kemudian akan diubah menjadi prostaglandin.2 kehadiran enzim askorbat dependent peroksidase dan katalase akan mengkatalisis perubahan senyawa peroksida menjadi air. jika peroksida terkatalisis menjadi air, pembentukan radikal arakhidonil akan terhambat. disamping itu, pengikatan oksigen oleh askorbat oksidase juga akan menghambat pembentukan radikal arakhidonil. lebih jauh lagi, penghambatan pembentukan arakhidonil menyebabkan tidak terbentuknya prostaglandin.2,14 selain enzim askorbat dependent peroksidase dan katalase, pada lidah buaya (aloe vera) mengandung b-sitosterol dan lupeol.8,15 b-sitosterol merupakan sterol yang memiliki efek antiinflamasi seperti obat steroid yang dapat merangsang penyembuhan luka.9,16 sementara itu, senyawa lupeol yang terkandung berfungsi sebagai antiinflamasi antiseptik dan analgesik.8 hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yagi dan takeo (2003)16 yang menyatakan bahwa kandungan lidah buaya (aloe vera) memberikan efek antitumor, dan antiinflamasi.16 penelitian lain yang dilakukan oleh davis pada tahun 199417 juga membuktikan bahwa lidah buaya memiliki aktivitas faktor pertumbuhan dengan cara menghambat nyeri, inflamasi, menstimulasi fibroblast untuk menghasilkan kolagen dan proteodoglikan, serta meningkatkan daya rentang luka sehingga dapat memperbaiki kerusakan jaringan.17 simpulan aktivitas enzim antioksidan askorbat dependent peroksidase dan katalase pada ekstrak air aloe vera masing-masing 37,8 menit-1 dan 3,145 menit-1. terdapat penurunan intensitas warna kemerahan dari eritema tikus pada kelompok yang diberi ekstrak air lidah buaya (aloe vera) lebih cepat daripada kelompok kontrol. dengan demikian dapat dismpulkan bahwa ekstrak air lidah buaya berpotensi sebagai antiinflamasi pada model tikus luka terkontaminasi. 42 agung biworo, aktivitas enzimatik ekstrak air lidah buaya dan potensinya ... daftar pustaka 1. suhartono e., setiawan b. kapita selekta biokimia: radikal bebas, antioksidan dan penyakit. banjarmasin: pustaka banua, 2006. 2. bi woro a., qamariah n., suhartono e., suhartono, e., setiawan, b., ulfah, a. aktivitas antioksidan enzimatik perasan buah mengkudu dan potensinya sebagai analgesik. jurnal obat bahan alam, 2006; 5 (2): 56-63. 3. kikuzaki h, hisamoto m, hirose k, akiyama k, taniguchi h. antioxidants properties of ferulic acid and its related compound. j agric food chem, 2002; 50 (7): 2161-2168. 4. suhartono e., ella viani, mustaqim apriyansa rahmadhan, imam syahuri gultom, muhammad farid rakhman and danny indrawardhana. screening of medicinal plant for total flavonoid and antioxidant activity in south kalimantan of indonesian. int j chemical engineering and applications, 2012; 3(4): 297-99 5. yohdian lf. efek analgesik sari buah mengkudu (morinda citrifolia l.) pada tikus putih jantan galur wistar dengan tes “hotplate analgesia meter”. jkk, 2003; 55: 510-15. 6. mendonça fa, passarini junior jr, esquisatto ma, mendonça js, franchini cc, santos gm. effect of the aplication of aloe vera (l.) and microcurrent on the healing of wounds surgically induced in wistar rats. acta cirurgica brasileria, 2009; 24 (2): 150-55. 7. junianto v, prasetyo bm. aktivitas sediaan gel dari ekstrak lidah buaya (aloe barbadensis mill) pada persembuhan luka mencit (mus muculus albinus). j. ii. pert. indon, 2006; 11(1): 18-23. 8. candan n. changes in chlorophyll-carotenoid contents, antioxidant enzyme activities and lipid peroxidation levels in zn-stressed mentha pulegium. turk j chem, 2003; 27 ( : 2130. 9. kozier b. fundamental of nursing, conceps, process, and practice. 4th edition. addison wesley: publishing company inc, 2000. 10. price sa, wilson lm. patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. edisi 6. jakarta: egc, 2005. 11. postaver me, becky d, collins n. nutrition: a critical component of wound healing. wound care journal, 2010; 23 (12): 560-572 12. gifford, l. pathophysiology: an essential text for the allied health prosfession. oxford philadelphia st louis sydney toronto.isbn 07506 52349. 2005. 13. kulmacz rj. regulation of cyclooxigenase catalysis by hydroperoxide. biochem. biophys. res.com, 2005; 388: 25-33. 14. nishikawa f., kato m., hyodo h., ikoma y., sugiura m. and yano m. ascorbate metabolism in harvested broccoli. j. exp. botany, 2003; 54 (392): 2439-48. 15. seongwon c, myung-hee c. relationship between aloe vera component and their biologic effect. seminar in integrative medicine, 2003; 1 (1): 53-62. 16. yagi a, s takeo. anti inflammatory constituents, aloesin, and aloemannan in aloe specieas and effects of tanshion vi in salvia miltiorrhiza on heart. yakugaku zasshi, 2003; 123 (7): 517-532. 17. davis rh, di donanto jj, hartman gm, haas rc. anti-inflammatory and wound healing of a growth substance in aloe vera. j am podiatr med assoc, 1994; 84 (2): 77-81. sartika puspita, goeno subagyo, dewi agustina, sebaran geographic tongue ... 116 sebaran geographic tongue pada mahasiswa fakultas kedokteran gigi universitas gadjah mada yogyakarta distribution of geographic tongue on dentistry student gadjah mada university of yogyakarta sartika puspita1, goeno subagyo2, dewi agustina2 1program studi kedokteran gigi universitas muhammadiyah yogyakarta 2 bagian penyakit mulut fakultas kedokteran gigi universitas gadjah mada email: tikadentist@yahoo.co.id abstract tongue is barometer of health and sytemic condition. geographic tongue hasn’t been dangerous and asymptomatic lesion in papilla of the tongue. the aim of this study is to know geographic tongue distribution on dentistry student of gadjah mada university of yogyakarta. the study was descriptive research. limitation of the population are student of the faculty of dentistry, gadjah mada university in the academic year 1999-2003. the samples were 362 people. the method were clinical examination of dorsum of the tongue and oral hygiene index (ohi). the result were analyzed with chi-square test. the result of this study are 8 (2,21%) from 362 samples are geographic tongue, 5 male (6,25%) and 3 female (1,06%). eight cases of geographic tongue are distributed in the each academic year, they are 3 cases (4,17%) on academic year of 1999, 1 case (1,32%) on academic year of 2000, 2 cases (2,82%) on academic year of 2001, 1 case (1,43%) on academic year of 2002 and 1 case (1,37%) on academic year 2003. the conclution is that gender is significant but oral hygiene and academic year aren’t significant in case of geographic tongue. distribution of geographic tongue on dentistry student of gadjah mada university have variation. key words : geographic tongue, distribution, gender, academic year, oral hygiene. abstrak lidah adalah barometer kesehatan yang mencerminkan kondisi sistemik. geographic tongue adalah kondisi yang tidak membahayakan biasanya merupakan kondisi asimtomatik dengan etiologi tidak diketahui yang menyangkut epitel lidah. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran sebaran geographic tongue pada mahasiswa fakultas kedokteran gigi universitas gadjah mada yogyakarta. jenis penelitian adalah penelitian deskriptif. batasan populasi adalah mahasiswa fakultas kedokteran gigi universitas gadjah mada yogyakarta angkatan 1999 – 2003. jumlah sampel berjumlah 362. cara penelitian yaitu dengan melakukan pemeriksaan klinis pada permukaan dorsal lidah dan status kebersihan mulut (oral hygiene index/ohi). hasil penelitian dianalisis dengan uji chi-square. hasil penelitian menunjukkan dari 362 mahasiswa yang diperiksa ditemukan 8 kasus (2,21%) geographic tongue yang terdiri dari 5 pria (6,25%) dan 3 wanita (1,06%). delapan penderita geographic tongue tersebar di tiap tahun angkatan akademik, terdiri dari 3 orang (4,17%) angkatan 1999, 1 orang (1,32%) angkatan 2000, 2 orang (2,82%) angkatan 2001, 1 orang (1,43%) angkatan 2002 dan 1 orang (1,37%) angkatan 2003. semua penderita geographic tongue memilki status kebersihan mulut baik. disimpulkan bahwa sebaran geographic tongue di fakultas kedokteran gigi universitas gadjah mada bervariasi, jenis kelamin berpengaruh terhadap kejadian geographic tongue, 117 mutiara medika vol. 10 no. 2: 116-122, juli 2010 papila fungiformis tetap ada sehingga tampak menonjol.3 pada penelitian terhadap 23.616 orang kulit putih di amerika serikat yang berumur lebih dari 35 tahun, geographic tongue merupakan lesi pada lidah yang paling sering muncul pada urutan ke-3 setelah varicosis tongue dan fissured tongue.4 pemahaman akan distribusi, etiologi, riwayat perjalanan penyakit dan faktor-faktor resiko untuk penyakit atau kelainan jaringan lunak mulut akan sangat berguna dalam upaya pencegahan, diagnosis awal maupun perawatan yang tepat untuk kelainan atau lesi yang bersangkutan. sampai saat ini semua kelainan di mukosa mulut belum sepenuhnya mendapat perhatian atau dapat diatasi secara optimal.3 lebih dari 200 kondisi lesi mukosa mulut telah didokumentasikan, dan masing– masing mempunyai etiologi dan gambaran klinik yang berbeda.5 faktor etiologi lesi mukosa mulut pada mahasiswa kedokteran dan kedokteran gigi di amerika menunjukkan adanya variasi yang meliputi stress emosional, status sosial ekonomi, penggunaan gigi tiruan dan merokok. walaupun prevalensi masing-masing kelainan tersebut kecil, diperkirakan penyakit atau kelainan pada jaringan lunak mulut ini melibatkan hampir 25% dari populasi yang diperiksa dan dapat menimbulkan dampak yang serius.3 data dasar mengenai geographic tongue pada mahasiswa fakultas kedokteran gigi universitas gadjah mada yogyakarta belum tersedia, sehingga timbul permasalahan, bagaimana sebaran geographic tongue pada mahasiswa fakultas kedokteran gigi universitas gadjah mada yogyakarta. sedangkan tahun angkatan akademik dan status kebersihan mulut tidak berpengaruh terhadap kejadian geographic tongue. kata kunci: geographic tongue, sebaran, jenis kelamin, tahun akademik, kebersihan mulut pendahuluan penyakit mulut adalah penyakit yang paling banyak menyerang umat manusia. namun karena sifat penyakit ini antara lain prosesnya yang lambat serta tidak mematikan sering tidak mendapatkan perhatian yang memadai bahkan para perencana kesehatan juga menganggap penyakit ini bukan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama.1 mahasiswa kedokteran gigi adalah komunitas terpelajar yang memiliki pengetahuan tentang kesehatan, khususnya gigi dan mulut. pengetahuan tersebut mempengaruhi perilaku dalam memelihara keadaan kesehatan badan pada umumnya dan kesehatan gigi dan mulut pada khususnya. semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang persepsi mengenai pengetahuan semakin mendekati kebenaran. sehingga akan mempengaruhi perilaku dalam memelihara kesehatan badan dan kesehatan gigi dan mulut lebih baik.2 terdapat beberapa studi yang menyangkut lesi di lidah, salah satu kondisi yang penting untuk diselidiki adalah geographic tongue. geographic tongue adalah kondisi yang tidak membahayakan biasanya merupakan kondisi asimptomatik dengan etiologi yang tidak dikenal yang menyangkut epitel lidah, penampilan klinis bervariasi, ditandai dengan lesi yang khas terdiri dari area erithematous pada dorsum lidah dengan disertai desquamasi papila filiformis dikelilingi oleh batas tegas sedikit menonjol berwarna putih kekuningan dengan tepi yang ireguler (gambar 1). sartika puspita, goeno subagyo, dewi agustina, sebaran geographic tongue ... 118 a b gambar 1. geographic tongue pada anak balita (a)6 dan geographic tongue tahap awal disertai fissure tongue pada wanita usia 18 tahun (b)7 bahan dan cara jenis penelitian adalah penelitian deskriptif. batasan populasi adalah mahasiswa fakultas kedokteran gigi universitas gadjah mada yogyakarta tahun akademik 1999 sampai dengan 2003. jumlah sampel sebanyak 362 orang dengan masing-masing pada tahun akademis 1999, 2000, 2001, 2002 dan 2003 sebanyak 72, 76, 70, 71, dan 73 orang. cara penelitian yaitu dengan melakukan pemeriksaan klinis rongga mulut pada permukaan dorsal lidah dan status kebersihan mulut (oral hygiene index/ohi), dengan sebelumnya dilakukan persetujuan tindakan pemeriksaan medis (informed consent). hasil penelitian dilakukan analisa data dengan uji chi-square. hasil sebanyak 362 mahasiswa yang diperiksa terdapat 8 kasus geographic tongue. distribusi geographic tongue disajikan dalam 5 bagian yaitu distribusi penderita geographic tongue tiap tingkat akademik (tabel 1), distribusi geographic tongue berdasarkan jenis kelamin (tabel 2), rasio geographic tongue terhadap jenis kelamin berdasarkan uji analisis chi-square (tabel 3) dan rasio geographic tongue terhadap angkatan berdasarkan uji analisa statistik chi-square (tabel 4) serta kondisi kebersihan mulut pada penderita geographic tongue terdapat pada tabel 5. berdasarkan tabel 1. diketahui bahwa dari 362 sampel ditemukan 8 orang menderita geographic tongue (2,21%), dan tingkat akademik 1999 merupakan paling banyak ditemukan kasus geographic tongue yaitu 3 orang (4,17%). rasio penderita geographic tongue berdasarkan jenis kelamin pada mahasiswa fakultas kedokteran gigi universitas gadjah mada yogyakarta angkatan 1999 – 2003 lebih banyak pada pria yaitu sebesar 6,25 %, sedangkan pada wanita sebesar 1,06% (tabel 2). untuk mengetahui apakah ada hubungan antara pengaruh jenis kelamin terhadap frekuensi terjadinya geographic tongue, maka dilakukan uji analisis chisquare (tabel 3). hipotesis nol (h0) adalah tidak ada pengaruh jenis kelamin terhadap frekuensi terjadinya geographic tongue dan hipotesis alternatif (ha) adalah ada pengaruh jenis kelamin terhadap frekuensi terjadinya geographic tongue. 119 mutiara medika vol. 10 no. 2: 116-122, juli 2010 tabel 1. distribusi penderita geographic tongue pada mahasiswa fakultas kedokteran gigi universitas gadjah mada yogyakarta angkatan jumlah sampel jumlah penderita prosentase penderita geographic tongue geographic tongue (%) 1999 72 3 4,17 2000 76 1 1,32 2001 71 2 2,82 2002 70 1 1,43 2003 73 1 1,37 total 362 8 2,21 tabel 2. distribusi geographic tongue berdasarkan jenis kelamin pada mahasiswa fakultas kedokteran gigi universitas gadjah mada yogyakarta tahun jumlah sampel jumlah penderita geographic tongue akademik pria wanita total pria wanita total 1999 19 53 72 3 (15,79%) 0 (0,00%) 3 (4,17%) 2000 18 58 76 0 (0.00%) 1 (1,72%) 1 (1,32%) 2001 12 59 71 2 (16,67%) 0 (0,00%) 2 (2,82%) 2002 20 50 70 0 (0,00%) 1 (2,00%) 1 (1,43%) 2003 11 62 73 0 (0,00%) 1 (1,61%) 1 (1,37%) total 80 282 362 5 (6.25%) 3 (1,06%) 8 (2,21%) tabel 3. hasil uji statistik chi-square pada geographic tongue terhadap jenis kelamin jenis kelamin totalpria wanita menderita geographic tongue fo fh 5 1,768 3 6,232 8 tidak menderita geographic tongue f0 fh 75 76,232 279 275,76 354 total 80 282 362 keterangan : ( ) 756,7 2 2 = − = ∑ h ho hitung f ff χ f 0 = frekuensi kasus yang diamati fh = frekuensi kasus yang diharapkan 841,305,02 =χ , dengan db = 1 dan α = 5 % hitung 2 05,0 2 χχ < , maka h o ditolak atau h a diterima. sartika puspita, goeno subagyo, dewi agustina, sebaran geographic tongue ... 120 hipotesis nol (h0) ditolak apabila hitung 22 χχ α < dan h0 diterima apabila hitung 22 χχ α > ,maka uji analisis tersebut dapat dilihat pada tabel dan keterangan dibawah ini. berdasar tabel 3. di atas dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh jenis kelamin terhadap frekuensi terjadinya geographic tongue. untuk mengetahui apakah ada hubungan antara tingkat akademis terhadap kejadian geographic tongue, maka dilakukan uji analisis chi-square. hipotesis nol (h0) adalah tidak ada pengaruh tingkat akademik terhadap frekuensi terjadinya geographic tongue dan hipotesis alternatif (ha) ada pengaruh tingkat akademik terhadap frekuensi terjadinya geographic tongue. hipotesis nol (h0) ditolak apabila hitung 22 χχ α < dan h0 diterima apabila hitung 22 χχ α > ,maka uji analisis tersebut dapat dilihat pada tabel dan keterangan dibawah ini. berdasarkan analisa chi-square di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh tingkat akademis terhadap frekuensi geographic tongue. semakin tinggi tingkat pengetahuan kesehatan gigi dan mulut diharapkan mempengaruhi perilaku dalam memelihara kesehatan gigi dan mulut lebih baik. hal ini akan tercermin dalam status kebersihan mulutnya (oral hygiene index/ ohi). kondisi status kebersihan mulut pada penderita geographic tongue ditunjukkan pada tabel 5. berdasarkan tabel 5., semua penderita geographic tongue memiliki indeks kebersihan mulut baik dan hasil penelitian ini dapat dikatakan geographic tongue tidak dipengaruhi oleh status kebersihan mulut. diskusi geographic tongue bersifat asimptomatis tetapi pasien kadang-kadang merasakan simptom yaitu pada permukaan yang erithematous merasakan sensitif pada makanan yang terlalu panas, dingin atau pedas. pada penelitian di fakultas kedokteran gigi ugm, semua kasus geographic tongue yang ditemukan bersifat asimtomatis. geographic tongue mempunyai kecenderungan sembuh di beberapa area dan desquamasi di tempat lainnya dengan perubahan pola yang berperiode harian atau mingguan sehingga tampak berpindah, menyeberang, mengelilingi permukaan lidah.11 lesi yang hampir sama (stomatitis areata migran/erythema migrans) dapat muncul terutama pada mukosa labial atau bukal, tetapi hal ini sangat jarang terjadi. secara mikroskopis geographic tongue dan stomatitis areata migran memperlihatkan pemanjangan rete ridge dan akumulasi neutrofil pada epithelium superfisial. geographic tongue menghasilkan kemiripan histologis yang mencolok dengan lesi oral psoriasis. psoriasis merupakan penyakit kulit yang dapat mempengaruhi mulut walaupun jarang terjadi, tetapi beberapa peneliti menjelaskan bahwa pasien dengan psoriasis mengalami geographic tongue 4 kali dan stomatitis areata migran 5 kali daripada kontrol.12 penemuan ini kemudian menduga bahwa geographic tongue dan stomatitis areata migran adalah manifestasi mulut atau mungkin sebuah forme fruste dari psoriasis.9 rasio penderita geographic tongue berdasarkan jenis kelamin pada mahasiswa fakultas kedokteran gigi universitas gadjah mada yogyakarta angkatan 1999 – 2003 lebih banyak pada pria yaitu sebesar 6,25 % sedangkan pada wanita sebesar 1,06% (tabel 2). hal ini tidak sesuai penelitian yang mengatakan bahwa prevalensi geographic tongue pada wanita 2 kali lebih banyak dibanding pria8,9, namun beberapa penelitian melaporkan bahwa prevalensi geographic tongue tidak selalu wanita lebih banyak daripada pria, seperti survey yang dilakukan di malaysia prevalensi geographic tongue lebih banyak pada pria (6,6%) dibanding wanita (6,3%) dan di swedia prevalensi geographic tongue pada pria 8,6% dan pada wanita 8,2%.10 di amerika prevalensi geographic tongue pada pria lebih banyak daripada wanita yaitu 3,4% pada pria dan 3,0% pada wanita4. berdasarkan perhitungan statistik pada penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara jenis kelamin dan frekuensi terjadinya geographic tongue. 121 mutiara medika vol. 10 no. 2: 116-122, juli 2010 tabel 4. rasio geographic tongue terhadap tahun akademik berdasarkan uji analisa statistik chi-square tahun akademik total 1999 2000 2001 2002 2003 menderita geographic tongue tidak menderita geographic tongue fo f h fo f h 3 1,591 69 70,408 1 1,68 75 74,32 2 1,57 69 69,43 1 1,547 69 69,453 1 1,613 72 71,387 8 354 total 72 76 71 70 73 362 ( ) 881,1 2 2 = − = ∑ h ho hitung f ff χ keterangan : fo = frekuensi kasus yang diamati fh = frekuensi kasus yang diharapkan 488,905,02 =χ , dengan db = 4 dan α = 5% hitung 2 05,0 2 χχ > , maka ho diterima atau ha ditolak tabel 5. kondisi status kebersihan mulut pada penderita geographic tongue angkatan jenis kelamin umur (tahun) ohi 1999 laki-laki 22 0,6 1999 laki-laki 24 0,8 1999 laki-laki 22 0,9 2000 perempuan 21 0,5 2001 laki-laki 19 0,3 2001 laki-laki 19 0,3 2002 perempuan 20 1,1 2003 perempuan 18 0,41 mahasiswa kedokteran gigi adalah komunitas terpelajar yang memiliki pengetahuan tentang kesehatan, khususnya gigi dan mulut. pengetahuan tersebut mempengaruhi perilaku dalam memelihara keadaan kesehatan badan pada umumnya dan kesehatan gigi dan mulut pada khususnya. semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang persepsi mengenai pengetahuan semakin mendekati kebenaran. sehingga akan mempengaruhi perilaku dalam memelihara kesehatan sartika puspita, goeno subagyo, dewi agustina, sebaran geographic tongue ... 122 badan dan kesehatan gigi dan mulut lebih baik.2 berdasarkan hasil penelitian tidak ada hubungan antara tingkat akademik dan kondisi kebersihan mulut (ohi) mahasiswa fakultas kedokteran gigi universitas gadjah mada yogyakarta dengan kejadian geographic tongue. lebih dari 20% kasus fissure tongue mengalami geographic tongue.9 dalam penelitiannya ditemukan penderita fissure tongue sebanyak 7 orang dan dari 7 orang penderita lesi ini, 2 orang diantaranya juga menderita geographic tongue (28,5%). pada mahasiswa fakultas kedokteran gigi universitas gadjah mada yogyakarta angkatan 1999 – 2003 ditemukan 60 orang penderita fissure tongue dan 5 orang diantaranya juga menderita geographic tongue (8,3%). bouquot & gunlach4 mengatakan 8% penderita geographic tongue akan menderita fissure tongue, sedangkan menurut pindborg, 40% penderita geographic tongue juga akan mengalami fissure tongue.7 hubungan antara geographic tongue dengan fissure tongue maupun sebaliknya berdasarkan analisa terkini tidak dapat dikatakan berhubungan maupun tidak4 dan hal ini membutuhkan penelitian lebih lanjut.3 kesimpulan sebaran geographic tongue pada mahasiswa fakultas kedokteran gigi universitas gadjah mada bervariasi, rasio penderita geographic tongue lebih banyak ditemukan pada pria dibanding wanita, jenis kelamin berpengaruh terhadap kejadian geographic tongue, sedangkan tahun angkatan akademik dan status kebersihan mulut tidak berpengaruh terhadap kejadian geographic tongue. daftar pustaka situmorang, n. 2001, penyakit gigi 1. dan mulut serta pengaruhnya terhadap kualitas hidup, dentika dental journal, 6 : 184 – 188. pamardiningsih, y. 1996, pengaruh 2. pengetahuan, perilaku dan persepsi kesehatan gigi dan mulut terhadap status kesehatan gigi dan mulut pada masyarakat pedesaan dan perkotaan di yogyakarta, ceril v, ed. khusus, lustrum viii fkg ugm, yogyakarta, h.541-554. kleinman, d.v., swango, p.a. & 3. niessen, l.c. 1991. epidemiologic studies and oral mucosa conditions methodologic issues, community dental oral epidemiol., 19:129-140. bouquot, j.e. & gundlach, k.h. 1986, 4. odd tongue: the prevelence of common tongue lesions in 23.616 white americans over 35 years of age, quintenssence international, 17(11):719-730. beck, j.d. & watkins, c. 1992, 5. epidemiology of non dental oral disease in the elderly. dental clinic of the north america. w.b. saunders co., america, h. 461 – 467. kay l.w. & haskell r., 1971, 6. wolf medical athlases a colour athlas of orofacial diseases 4th ed., year book medical publisher inc., england, h.188. pindborg, j.j. 1994, 7. atlas penyakit mukosa mulut (terj.), 4th ed., binarupa aksara. jakarta. h. 216, 222. kelsch, r. 2003, www. emedicine-8. geographic tongue article by robert kelsch, dmd.htm. cawson, r.a, binnie, w.h. & everson, 9. j.w. 1994, colour atlas of oral disease clinical and pathologic correlation, 2nd ed., wolfe, london, h.1.14, 12.22. axéll, t., zain, r.b, siwamogstham, 10. p., tantiniran, d. & thampipit, j. 1990, prevalence of oral soft tissue lessions in out – patients at two malaysian and thai dental schools, community dental oral epidemiol., 18 : 95 – 99. mitchell, d.f., standish, s.m. & 11. fast, t.b. 1969, oral diagnosis oral medicine, lea & febiger. philadelphia. h. 108, 109, 300. leeson, c.r., leeson, t.s. & paparo, 12. a.a. 1995, buku ajar histologi (terj), egc. jakarta. h. 327 – 331. | 38 mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 22 no 1 page 38-43, january 2022 the anti-proliferative ability of the ethanol extract of annona muricata leaves on widr cancer cells yoni astuti1*, agus suharto2, sabtanti harimurti3, wahyu joko priambodo4 1 department of biochemistry, school of medicine, faculty of medicine and health sciences, universitas muhammadiyah yogyakarta, yogyakarta, indonesia 2 department of pathology anatomi, school of medicine, faculty of medicine and health sciences, universitas muhammadiyah yogyakarta, yogyakarta, indonesia 3pharmacy school, , faculty of medicine and health sciences, universitas muhammadiyah yogyakarta, yogyakarta, indonesia 4medicinal plant and traditional medicine research and development center, tawangmangu, surakarta, indonesia date of article: received: 06 nov 2021 reviewed: 20 dec 2021 revised: 02 jan 2022 accepted: 18 jan 2022 correspondence: yonia@umy.ac.id doi: 10.18196/mmjkk.v21i2.13345 type of article: research abstract: soursop (annona muricata) leaves are widely distributed in the tropics, including indonesia. soursop leaves are known to contain many anticancer compounds. research from various countries using soursop leaves provides a different picture of the size of the dose. this research is qualitative research to determine the antiproliferative properties of soursop leaf alcohol extract on widr cells as a model of colon cancer cells. the soursop leaves were provided from medicinal plant and traditional medicine research and development center intawangmangu. the thinlayer chromatography method was used to analyze the profile of soursop leaf extract. microtetrazolium (mtt) proliferation test was used to analyze antiproliferative effects. the result showed that the essence quality of soursop leaves in aquoes solution was (20.65 ±0.07) % ; in ethanol solution was (19.22±0.34 ) %. the profile of ingredient soursop leaves was more visible in 366 than in 254. the ethanol extract of soursop leaves showed an antiproliferation effect at ic 50 at a dose 450 ug/ml. in conclusion, the ethanolic extract of annona muricata showed antiproliferative properties at a dose of 450 ug/ml and having a half cell dose of ic 50. keywords: antiproliferative; annona muricata leaves; widr cancer cell introduction annona muricata l, known as graviola, soursop, or corossol, belongs to the annonaceae family. the tree's shape is small to medium, which is widespread and comes from central america.1,2 annona is a tropical tree with heart-like and edible, and widespread in most tropical countries. all parts of the a. muricata tree can be included in twigs, leaves, roots, fruits, and seeds. it is used for various treatments in the tropics. generally, fruit and fruit juices are taken to get rid of worms and parasites, cool fever, increase breast milk after childbirth, and so on astringent for diarrhea and dysentery.3,4 phytochemical investigation of the leaf of a. muricata showed the presence of alkaloids,3 essential oils,5 and acetogenins.6 these acetogenins were demonstrated to be selectively toxic against various types of cancerous cells without harming healthy cells.6 acetogenin 1 was reported to exhibit cytotoxic activities against the human pancreatic tumor cell line (paca-2), human prostate adenocarcinoma (pc-3), and human lung carcinoma (a-549), while acetogenin 2 was reported to exhibit cytotoxicity against human hepatoma carcinoma cell line (hep g2).7,8 seven isoquinoline alkaloids were isolated from the leaves, including reticuline, coclaurine, coreximine, atherosperminine, stepharine, anomurine, annomuricine root, and stem barks of a. muricata.9,10 the essential oil of the fresh fruit pulp of a. muricata contains 2-hexenoic acid methyl ester (23.9%), 2-hexenoic acid ethyl ester (8.6%), 2-octanoic acid methyl ester (5.4%), 2-butenoic acid methyl ester (2.4%), β-caryophyllene (12.7%), 1,8cineole (9.9%), linalool (7.8%), α-terpineol (2.8%), linalyl propionate (2.2%), and calarence (2.2%).11,12 therefore, the researchers attempted to investigate the growth-inhibitory and 39| vol 22 no 1 january 2022 apoptotic effects of extracts from leaf, twigs, and roots from a. muricata against human promyelocytic leukemia (hl-60 cells). this study was carried out to explore the antiproliferation of ethanol extract a. muricata from tawangmangu against widr cancer cell due to the model of colon cancer as data showed that colon cancer is the third cancer-causing mortality. materials and method preparation for ethanol extract and aquadest extract annona muricata principally, the sample was extracted with ethanol extract and water-chloroform (ch3cl), precipitated, and then separated between the filtrate and residue through a filtering process. the extract was obtained through the solvent evaporation process and was applied to calculate the water-soluble extract content. determination of water-soluble juice content carefully 5 g of medicinal plant simplicia powder was weighed and put in a closed laboratory bottle. 100 ml of water chloroform was added, then shaken using a shaker for 6 hours. it was set aside for 18 hours, and the entire filtrate was filtered. 20 ml is taken and put in a porcelain cup; the filtrate was evaporated to dryness, the residue was heated at 105 oc, and was put in a desiccator, frozen, and weighted to a constant weight. the calculation of water-soluble extract content in the sample is: % = final weight (g)−previous weightl (g) 5.0 gram x 5 x 100% note that the final weight is extracted weight + porcelain cup. the initial weight is the weight of the initial porcelain dish after heating determination of ethanol-soluble juice content the sample was extracted with 96% ethanol, precipitated, and then separated between the filtrate and residue through a filtering process; the extract was obtained through the solvent evaporation process, then the data obtained was applied in the formula for calculating the ethanol-soluble extract content. % = final weight (g)−previous weightl (g) 5.0 gram x 5 x 100% note that the final weight is extracted weight + porcelain cup, and the initial weight is the weight of the initial porcelain dish after heating. soursop leaf profile analysis the sample was 100mg, dissolved with @10ml ethanol pa, sonicated for 15 minutes; then the sample was set (overnight). thin layer chromatography (tlc) preparation included; 5 microliters of clear parts were spotted on a 60 f254 silica gel plate with silica plate was eluted in the mobile phase of chloroform: methanol = 9:1. the silica plate was dried in the air, followed by a reading with a tlc-scanner at a wavelength of 254 nm, 366 nm, and visible light. proliferation assay microtetrazolium was used to calculate the population that had twice the population number of widr cancer cells. this assay was based on production formazan from the destruction of 3-[4,5dimethylthiazol-2-yl]-2,5 diphenyltetrazolium bromide by succinate tetrazolium. results soursop leaf extract content with chcl3 and ethanol solvent. anonna leaf simplicia in this study came from matesih, tawangmangu, central java, indonesia, a provider of simplicia for research. to compare the levels of annona leaf extract, two solvents were used, namely aquadest and 96 % ethanol. the quality of the contents of the essence of both can be seen in table 1. |40 tabel 1. quality of essence annona muricata leaves based on the solvents preparation form solvents weight (g) level (%) average powder aquadest + chcl3 2.0004 20.70 20.65 ±0,07 2.0003 20.60 ethanol 96% 2.0006 19.47 19.22±0,34 2.0000 18.98 in the treatment using aquadest, the starch extract was higher than ethanol. however, the use of aqua dest did not last long. the risk of exposure to fungi due to high water concentrations was a consideration for using aqua dest as a solvent for annona leaf extract. in alcohol solvent, the soluble starch was more durable and resistant to fungal contamination. thus, in future research, alcohol extract is used. visible light ʎ 254 ʎ 366 figure 1. profile of ethanol extract of soursop leaves by using tlc tlc profiling is shown in figure 1. in use with a wavelength of 366, the essence is more clearly depicted than at a wavelength of 254. in alcoholic solvents, the starch extract is lower than that of aquadest solvents. chromatogram profiling showed a higher peak in ʎ 366 than ʎ 254, as shown in figure 2 and figure 3. ʎ 366 showed more peaks than ʎ 254, so more substances appeared using ʎ 366. figure 2. chromatogram profile (tlc) ethanol extract of soursop leaves on the wavelength of 254 41| vol 22 no 1 january 2022 figure 3. chromatogram profile (tlc) ethanol extract of soursop leaves on the wavelength of 366 proliferation of widr cancer cell during induction with serial dose of extract ethanol soursop leaves from tawangmangu. figure 4 demonstrates the equation based on population cells in a dose-dependent manner. the equation was y = -0.1087x + 98.921 with r2 = 0.7934. the half population after induced eecl was around 450ug/ml. meanwhile, the serial dose showed the proliferation capacity reduction in table 2. antiproliferation dose is the dose that increases the population number to be twice of population number. figure 4. linear regression of percentage widr cell population based on a dose of ethanol extract of soursop leaves tabel 2. antiproliferation dose of ethanol extract of soursop leaves on population widr cell dose (ug/ml) widr cell population 450 0.5 ic 50 225 0.25ic50 112.5 0.125 ic50 66.25 0.0625 ic 50 33.125 0.03125ic50 |42 discussion the essence of ethanolic and aqueous extract on soursop leaf in this study showed that polar agent was higher than non-polar agent as shown in table 1. a previous report showed that the primer and secondary metabolites contained polysaccharide, protein, glikosaponin, alkaloids, saponins, terpenoids, flavonoids, and coumarins lactones, anthraquinones, tannins, cardiac glycosides, phenols and phytosterols, and most were polar agents.13,14 the presence of alkanes, ester, aromatic ring, and hydroxyl groups constructed the annonaceous acetogenins from soursop.12 this study showed that the leaf of a. muricata exhibited antiproliferative effects at the widr cancer cell. the effect was dose-dependent manner as shown in table 2. the antiproliferative effect was also shown in hl-60 cells by inducing loss of cell viability, morphology changes, loss of membrane mitochondrial potential, and g0/g1 phase cell arrest. it confirmed the potential of a. muricata as an agent of chemotherapeutic and cytostatic activity in hl-60 cells. the values of ic50 of the extract after 48 h was between 6–12 μg/ml, which was lower than 20 μg/ml.10,15 in line with this finding, ethanol extract a. muricata from tawangmangu exhibits antiproliferation on widr cancer cells. it showed the 1/2 ic 50, especially in dose 450,05ug/ ml. in this study, the value of ic 50 was much bigger than the previous study due to the different locations that influenced the quality of essence of soursop leaf. meanwhile, on hepg2 cells of a liver cancer cell line, the incubation during 24 and 48 h showed ld50 values of annona muricata, which was approximately 180 and 80 µg/ml, respectively.16 proliferating cells had the choice of go phase. entering the g0 phase of g1 is an important choice in cell development. in in v itro research, adequate growth factors are needed to enter g1 to the s phase. this point is also called the restriction point. when the cellular environment is insufficient to pass the restriction point, it will return to the g0 phase.17 soursop leaf also showed the ability in reducing index proliferation of breast cancer in rat.18 furthermore, the ethanol extract of annona had antiproliferative properties. however, it still requires further investigation to use this extract as an alternative or preventive activity. besides, the opportunity to use raw extract due to the availability of this plant in our near area, such as in our yard, still needs further investigation. the kind of extract sample as infusa or as a powder is possible to use, especially to prevent cancer, and alternatively, to reduce the metastasis of malignancies. conclusion ethanol extract of annona muricata leaves had antiproliferative potential in widr cells. the dose of antiproliferative ability to inhibit half the widr cell population was 450ug/ml. acknowledgement the researchers would like to thank drpm (dikti) for providing grants for this research (number 3279.4/ll5/pg/2021). conflict of interest there is no conflict of interest in this research. references 1. wélé a, zhang y, caux c, brouard jp, pousset jl, bodo b. annomuricatin c, a novel cyclohexapeptide from the seeds of annona muricata. c r chimie 2004, 7:981–988. https://doi.org/10.1016/j.crci.2003.12.022 2. ibrahim aa, sandhika w, budipramana vs. the effect of annona muricata’s leaf ethanolic extract against the breast cancer cell line mcf-7. jurnal manajemen kesehatan yayasan rs.dr.soetomo. april 2020: 6(1): 6472. https://doi.org/10.29241/jmk.v6i1.289 3. george d, pamplona r. encyclopedia of medical plants. editional safelize spain 1999, 1:38 4. foster k, oyenihi o, rademan s, erhabor j, matsabisa m, barker j, langat mk, kendal-smith a, and delgoda ahr. selective cytotoxic and anti-metastatic activity in du-145 prostate cancer ceinduced by annona muricata l. bark extract and phytochemical annonacin. bmc complementary medicine and therapies. 2020: 20:375 5. leboeuf m, cavé a, bhaumik pk, mukherjee b, mukherjee r. the phytochemistry of the annonaceae. phytochem 1982, 21:2783–2813. https://doi.org/10.1016/j.crci.2003.12.022 http://dx.doi.org/10.29241/jmk.v6i1.289 43| vol 22 no 1 january 2022 6. yajid ai, rahman hs, pak kai mw , wan zain wz. potential benefits of annona muricata in combating cancer: a review. malays j med sci. jan–feb 2018; 25(1): 5–15. https://doi.org/10.21315/mjms2018.25.1.2 7. kossouoh c, moudachirou m, adjakidje v, chalchat jc, figuérédo g. essential oil chemical composition of annona muricata l. leaves from benin. j ess oil res 2007, 19:307–309. https://doi.org/10.1080/10412905.2007.9699288 8. chang fr, liaw cc, lin cy, chou cj, chiu hf, wu yc. new adjacent bis-tetrahydrofuran annonaceous acetogenins from annona muricata. planta med 2003, 69:241–246. https://doi.org/10.1055/s-2003-38485 9. ragasa cy, soriano g, torres ob, don mj, and shen cc. acetogenins from annona muricata. phcog j 2012, 32(4):32–37. 10. rieser mj, kozlowski jf, wood kv, mclaughlin j. muricatacin: a simple biologically active acetogenin derivative from the seeds of annona muricata (annonaceae). tetrahedron lett. 1991, 32:1137–1140. 11. sulaiman h, roslida ah, fezah o, tan kl, tor ys, tan ci: chemopreventive potential of annona muricata l leaves on chemically-induced skin papillomagenesis in mice. asian pac j cancer prev 2012, 13:2532–2533. https://doi.org/10.7314/apjcp.2012.13.6.2533 12. daud nnnnm, ya’akob h, and rosdi mnm. acetogenins of annona muricata leaves: characterization and potential anticancer study. integrative cancer science therapy. 2016:3(4): 543-551. https://doi.org/10.15761/icst.1000202 13. jirovetz l, buchbauer g, ngassoum mb. essential oil compounds of the annona muricata fresh fruit pulp from cameroon. j agric food chem 1998, 46:3719–3720. 14. pieme ca, khumar sg, dongmo ms, moukette bm, boyoum ff, yonkeu jn and saxena ak. antiproliferative activity and induction of apoptosis by annona muricata (annonaceae) extract on human cancer cells. bmc complementary and alternative medicine (2014), 14:516. https://doi.org/10.1186/1472-6882-14-516 15. kuetev, dzotam jk , voukeng ik, fankam ag and efferth t. cytotoxicity of methanol extracts of annona muricata, passiflora edulis and nine other cameroonian medicinal plants towards multi-factorial drugresistant cancer cell lines . springerplus. 2016:5:1666 pp; 1-12 16. yang h, liu n and lee s. ethanol extract of annona muricata. l induces liver cancer cell apoptosis through ros pathway. biomed. & pharmacol. j. 2016:9(3):919-925. https://dx.doi.org/10.13005/bpj/1030 17. m-othman l, k-hassan ak, elbaky aeb, and mahmoud ma. anticancer effect of the ethanol extract of annona muricata l. leaves and fruit in cancer induced mice. int’l of advanced biochemistry research 2018; 2(1): 25-29. https://doi.org/10.33545/26174693.2018.v2.i1a.12 18. sulistyoningrum e, rachmani epn, baroroh hn, and rujito l. annona muricata leaves extract reduce proliferative indexes and improve histological changes in rat’s breast cancer. journal of applied pharmaceutical science. 2017:7(01):149-155. https://doi.org/10.7324/japs.2017.70120 https://dx.doi.org/10.21315%2fmjms2018.25.1.2 https://doi.org/10.1080/10412905.2007.9699288 https://doi.org/10.1055/s-2003-38485 https://doi.org/10.7314/apjcp.2012.13.6.2533 http://dx.doi.org/10.7324/japs.2017.70120 http://dx.doi.org/10.7324/japs.2017.70120 https://dx.doi.org/10.13005/bpj/1030 http://dx.doi.org/10.33545/26174693.2018.v2.i1a.12 http://dx.doi.org/10.7324/japs.2017.70120 mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 22 no 2 page 124-128, july 2022 interactions of heavy metals on enzymes in carbohydrate metabolism: in silico study on glucokinase and pyruvate kinase akmal rizky harun1, siti ratna jinan f1, bambang setiawan2, dona marisa3, noer komari4* 1faculty of medicine, universitas lambung mangkurat, jl. veteran sungai bilu no.128, melayu, central banjarmasin, banjarmasin, south kalimantan, indonesia 2department of biochemistry and biomoleculer, faculty of medicine, universitas lambung mangkurat, jl. veteran sungai bilu no.128, melayu, central banjarmasin, banjarmasin, south kalimantan, indonesia 3department of biomedic, faculty of medicine, universitas lambung mangkurat, jl. veteran sungai bilu no.128, melayu, central banjarmasin, banjarmasin, south kalimantan, indonesia 4department of chemsitry, faculty of mathematics and natural science, universitas lambung mangkurat, jl. veteran sungai bilu no.128, melayu, central banjarmasin, banjarmasin, south kalimantan, indonesia date of article: received: 06 june 2022 reviewed: 04 july 2022 revised: 25 july 2022 accepted: 31 july 2022 *correspondence: nkomari@ulm.ac.id doi: 10.18196/mmjkk.v22i2.14904 type of article: research abstract: cadmium (cd2+) and mercury (hg2+) are heavy metals, which can cause chronic inflammation, oxidative stress, obesity, hyperglycemia, and diabetes. exposure to heavy metals cadmium and mercury can interfere with glycolysis metabolic functions through the inactivation of two key enzymes: glucokinase (gk) and pyruvate kinase (pyk). however, pathomechanism is unknown. based on the background, this research was conducted. enzyme structures were obtained from the rcsb protein data bank (http://www.rcsb.org) with the following codes, gk (gdp id: 3idh) and pyk (gdp id: 4ip7). the interaction between cd and hg with this enzyme was used via the mib site: metal ion binding site prediction and docking server (http://bioinfo.cmu.edu.tw/mib/). next, the target protein's interaction between metal ions and amino acids was visualized on ucsf chimera 1.15. based on the research results, the metal ion bond of mercury was more reactive than cadmium based on the number of amino acid residues bound. the bond was stronger based on a lower distance with pyk and gk enzymes. therefore, mercury and cadmium metal ions were considered to inhibit the glycolysis process by causing the inactivation of the two enzymes. keywords: cadmium; mercury; carbohydrate metabolism; glucokinase; pyruvate kinase introduction cadmium (cd) and mercury (hg) belong to the types of heavy metals that are toxic to the human body despite their low concentrations.1 cadmium is a heavy metal with atomic number 40 group 12 period 5 on the periodic table.2 this metal may interfere with calcium absorption, affect glucose homeostasis and induce hyperglycemia.3,4 in addition to cd, hg metal is a heavy metal that is still used as a material for making thermometers, amalgam products, and making fluorescent lamps. mercury has been shown to harm the development and function of pancreatic beta cells (β), forming free radicals, binding enzymes and structural proteins, and thus causing diabetes.2,5,6 experimental-based animal studies revealed that exposure to cadmium positively causes an increase in glucose concentrations in the liver.7 in addition, epidemiological studies in suzhou city in china also mentioned that metals, manganese, copper, zinc, arsenic, selenium, and cadmium in plasma are associated with the morbidity of diabetes.8however, the mechanism of occurrence of diabetes remains unclear. | 125 previous research stated that cd and hg could be covalently bound to glycolysis enzymes to interfere with glucose oxidation.9 the protein models used in the previous study were the catalytic complex of human glucokinase (pdb: 3fgu) and pyruvate kinase (gdp: 1zjh). meanwhile, in this study, human pancreatic glucokinase in complex with glucose (pdb: 3idh) and structure of the s12d variant of human liver pyruvate kinase in complex with citrate and fbp (pdb: 4ip7) were used. the two heavy metals interact by binding to the active and allosteric sides of the enzyme and forming a bond with the amino acid residues contained in the enzyme.10 nevertheless, the pathomechanism of the involvement of cd and hg as the cause of diabetes is still not fully known.11 therefore, this study aims to explore the interaction of cd and hg on the enzymes involved in carbohydrate metabolism, namely glucokinase and pyruvate kinase. material and method ligand and protein preparation the interaction between cadmium and mercury ligands against enzymes was performed using mib: metal ion-binding site prediction and server docking (http://bioinmfo.cmu.edu.tw/mib/). the enzymes were obtained from the rcsb protein data bank (https://www.rcsb.org/search), namely glucokinase enzyme with pdb code: 3idh and pyruvate kinase enzyme with pdb code: 4ip7. proteins were prepared by removing the natural ligand residues in the protein. ligand and protein preparations were used by the chimera 1.15 program (https://www.cgl.ucsf.edu/chimera/downl oad.html). enzyme active site prediction the active site of enzymes is where they react between enzymes and ligands. the interaction of amino acid residues contained in the active site causes the inactivation of the enzyme. the active site can be predicted using a server with a link http://sts.bioe.uic.edu/castp. analysis and visualization analysis and visualization of docking results used the chimera 1.15 program (https://www.cgl.ucsf.edu/chimera/downlod.html). visualization was used to explain the interaction between ligands and receptor protein residues, namely the interacting amino acids, the type of the interaction, and the bond distance between the receptor protein ligands.4,9 result the interaction between cd and hg on the enzymes glucokinase (3idh) and pyruvate kinase (4ip7) can be seen in table 1. table 1. interaction of cd and hg on the enzymes glucokinase (3idh) and pyruvate kinase (4ip7) meanwhile, the active site area of the pyruvate kinase (pdb code: 4ip7) and glucokinase (pdb code: 3idh) can be seen in figure 1. metals enzyme amino acid residue distances (å) interaction binding score cadmium pyruvate kinase (4ip7) glu 297 1,589 coordination covalent bonds 7.178 glu 294 7,556 hydrophobic bonds 7.178 glucokinase (3idh) glu 14 4.413 hydrophobic bonds 1.745 glu 17 4.696 hydrophobic bonds 1.745 mercury pyruvate kinase (4ip7) cys 329 2,041 coordination covalent bonds 6.993 val 336 2,398 coordination covalent bonds 4.057 ile 302 3,253 hydrophobic bonds 2.653 glucokinase (3idh) ser 411 2.612 coordination covalent bonds 1.389 https://www.cgl.ucsf.edu/chimera/downl%20oad.html 126 | vol 22 no 2 july 2022 (a) (b) figure 1. active site of (a) pyruvate kinase (pdb code: 4ip7) and (b) glucokinase (pdb code: 3idh) the red color in figure 1 shows the enzyme's active site, where the reaction occurs.12 discussion carbohydrate metabolism includes glycolysis, glycogenesis, glycogenolysis, and gluconeogenesis. glycolysis is the pathway of breaking glucose into pyruvate in an aerobic state or lactic acid in an anaerobic consisting of ten interconnected reaction sequences in providing a substrate and producing products from each series of reactions.13,14 based on table 1, hg interacts more with pyruvate kinase than cd. cadmium and mercury are bound to the other side, outside the active site (figure 2) (a) (b) figure 2. binding of pyruvate kinase enzymes by (a) cd and (b) hg cadmium and mercury bind to amino acid residues located on the allosteric site of the enzyme pyruvate kinase. the enzyme pyruvate kinase plays a role in glycolysis's final stages, converting phosphoenolpyruvate into pyruvate. through the computational method that has been carried out by schorman et al.,15 this enzyme structure is known to have three main domains called "lid domains", namely domains a, b, and c. as a former of the active side of the pyruvate kinase enzyme, it consists of two arginine residues (arg) and one lysine residue (lys), as well as two aspartate residues (asp) and two glutamate residues (glu). meanwhile, the other side is called the effector side, which can bind allosterically to enzymes. in this study, cd and hg interacted with residues outside the active site of the enzyme pyruvate kinase, which has been known to involve five active residues that bind to hydrogen, namely arg50, lys239, thr297, gly264, and asp265 residues in the gap formed by domains a and b of the pyruvate kinase enzyme. thus, the interaction of cd and hg will bind the allosteric side of enzymes containing the sulfhydryl group of cysteine residues covalently with metals. the high affinity of cd and hg for the sulfhydryl group of the enzyme catalytic site is the main motive commonly known in enzyme inactivation due to exposure to hg. according to the research of sabir et al.,10, metals have a high affinity for electrons, so they can affect the structure of enzymes.16 in addition to the enzyme pyruvate kinase, cd and hg interact with the enzyme glucokinase, as seen in figure 3. | 127 (a) (b) figure 3. glucokinase enzyme binding by (a) cd and (b) hg glucokinase enzyme converts a glucose substrate into its product, namely glucose – 6 – phosphate.17 glucoskinase has one active side for glucose and one for atp. this side is on the small domain and the main domain.17 the active side circle of glucokinase is at residue 151-180, an irregular structure.19 in this study, cd and hg were known to interact with residues which were the inactive sides of the glucokinase enzyme. it has been known that the active residue of the glucokinase enzyme was residue 151 180. thus, the interaction of cd and hg would bind to the allosteric site of the enzyme. cd would bind t o glutamate residues hydrophobically with the metal. meanwhile, hg would bind to serine residues covalently with the metal. the interaction of glucokinase and metal enzyme residues results in enzyme inactivation. according to the research of sabir et al.,10 interactions with metals can change the configuration of enzymes resulting in active sites changing and then no enzymatic activity.15 previous studies also concluded that cd and hg could affect carbohydrate metabolism by inactivating hexokinase,20 glycogen synthase, and phospofructokinase.21 conclusion based on the study's results, it can be concluded that cd and hg interacted with amino acid residues outside the active site of the enzyme pyruvate kinase and the enzyme glucokinase. the two metals interacted with the structure of the proteins constituting the enzyme and bind allosterically to change the conformation structure of the active site of the enzymes glucokinase and pyruvate kinase, which were thought to inhibit enzyme performance. the interaction by hg metal was stronger in binding to both enzymes, as evidenced by the presence of three different amino acid residual bonds at a low distance compared to cd metal. conflict of interest the authors declare no conflict of interest. references 1. engwa ga, ferdinand pu, nwalo fn, unachukwu mn. mechanism and health effects of heavy metal toxicity in humans. poisoning mod world new tricks an old dog? epub ahead of print 2019. https://doi.org/10.5772/intechopen.82511 2. jaishankar m, tseten t, anbalagan n, mathew bb, beeregowda kn. toxicity, mechanism and health effects of some heavy metals. interdiscip toxicol 2014; 7: 60–72. https://doi.org/10.2478/intox-2014-0009 3. sharma h, rawal n, mathew bb. the characteristics, toxicity, and effects of cadmium. int j nanotechnol nanosci 2015; 3: 1–9. 4. suhartono e, komari n, charles s, siahaan pt. interaksi merkuri dan kadmium terhadap enzim kunci pada glikolisis in silico interaction of mercury and cadmium on key enzymes in glycolysis in silico. jurnal ilmiah kedokteran wijaya kusuma 10(2):253-260 2021; 2071: 253–260. 5. rice km, walker em, wu m, gillete c, blough er. environmental mercury and its toxic effects. j prev med public heal 2014; 47: 74–83. https://doi.org/10.3961/jpmph.2014.47.2.74 6. schumacher l, abbot lc. effects of on, methyl mercury exposure cell, pancreatic beta j, development and function. appl toxicol 2017; 1: 12. https://doi.org/10.1002/jat.3381 https://doi.org/10.5772/intechopen.82511 https://doi.org/10.2478/intox-2014-0009 https://doi.org/10.3961/jpmph.2014.47.2.74 https://doi.org/10.1002/jat.3381 128 | vol 22 no 2 july 2022 7. halim v, suhartono e, biworo a. cadmium impact on liver glucose level in white rat ( rattus norvegicus) in vitro. j ilm kedokt wijaya kusuma 2018; 7(2): 189–195. https://doi.org/10.30742/jikw.v7i2.456 8. xing y, xia w, zhang b, zhou a, huang z, zhang h, et al. relation between cadmium exposure and gestational diabetes mellitus. environ int 2018; 113: 300–305. https://doi.org/10.1016/j.envint.2018.01.001 9. komari n, suhartono e. cadmium binding to antioxidant enzymes: in silico study. iop conf ser mater sci eng; 980. epub ahead of print 2020. https://doi.org/10.1088/1757-899x/980/1/012038 10. sabir s, akash msh, fiayyaz f, saleem u, mehmood mh, rehman k. role of cadmium and arsenic as endocrine disruptors in the metabolism of carbohydrates: inserting the association into perspectives. biomed pharmacother 2019; 114: 108802. https://doi.org/10.1016/j.biopha.2019.108802 11. palm d, hofmyer j. regulation of glycogen synthase from mammalian skeletal muscle a unifying view of allosteric and covalent regulation. . febs j 2013; 280:2–27. https://doi.org/10.1111/febs.12059 12. tian w, chen c, lie x, zhao j, liang j. castp 3.0: computed atlas of surface topography of proteins. nucleic acids research. 46(w1): w363–w367https://doi.org/10.1093/nar/gky473 13. guo x, li h, xu h, woo s, dong h, lu f, et al. glycolysis in the control of blood glucose homeostasis. acta pharm sin b 2012; 2: 358–367. https://doi.org/10.1016/j.apsb.2012.06.002 14. timson dj. fructose 1,6-bisphosphatase: getting the message across. biosci rep; 39. epub ahead of print 2019. https://doi.org/10.1042/bsr20190124 15. schormann n, hayden kl, lee p, banerjee s, chattopadhyay d. an overview of structure, function, and regulation of pyruvate kinases. protein sci 2019; 28: 1771–1784. https://doi.org/10.1002/pro.3691 16. xu x, mathieu c, boitard se, dairou j, dupret jm, agbulut o, et al. skeletal muscle glycogen phosphorylase is irreversibly inhibited by mercury: molecular, cellular and kinetic aspects. febs lett 2014; 1: 138–42. https://doi.org/10.1016/j.febslet.2013.11.021 17. ighodaro om. molecular pathways associated with oxidative stress in diabetes mellitus. biomed pharmacother 2018; 108: 656–662. https://doi.org/10.1016/j.biopha.2018.09.058 18. kamata k, mitsuya m, nishimura t, eiki ji, nagata y. structural basis for allosteric regulation of the monomeric allosteric enzyme human glucokinase. structure 2004; 12: 429–438. https://doi.org/10.1016/j.str.2004.02.005 19. beck t, miller bg. structural basis for regulation of human glucokinase by glucokinase regulatory protein. biochemistry. epub ahead of print 2013. https://doi.org/10.1021/bi400838t 20. pratidina ea, suhartono e, setiawan b. impact of heavy metals on hexokinase isoforms: an in silico study. berkala kedokteran 2022; 12(2): 29-35. https://doi.org/10.20527/jbk.v18i1.12801 21. lahdimawan a, bulan sa, suhartono e, setiawan b. dampak kadmium dan merkuri terhadap metabolisme karbohidrat: kajian in silico pada enzim glikogen sintase dan fosfofruktokinase. jurnal ilmiah ibnu sina 2022; 7(1): 109-115. https://doi.org/10.36387/jiis.v7i1.836 https://doi.org/10.30742/jikw.v7i2.456 https://doi.org/10.1016/j.envint.2018.01.001 https://doi.org/10.1088/1757-899x/980/1/012038 https://doi.org/10.1016/j.biopha.2019.108802 https://doi.org/10.1111/febs.12059 javascript:; javascript:; javascript:; javascript:; https://doi.org/10.1093/nar/gky473 https://doi.org/10.1016/j.apsb.2012.06.002 https://doi.org/10.1042/bsr20190124 https://doi.org/10.1002/pro.3691 https://doi.org/10.1016/j.febslet.2013.11.021 https://doi.org/10.1016/j.biopha.2018.09.058 https://doi.org/10.1016/j.str.2004.02.005 https://doi.org/10.1021/bi400838t https://doi.org/10.36387/jiis.v7i1.836 1 mutiara medika vol. 13 no. 1: 1-6, januari 2013 korelasi gambaran ultrasonografi hepar dengan kadar alkali fosfatase pasien klinis hepatitis the correlation of liver ultrasound imaging with alkaline phosphatase levels in clinical hepatitis patient herti sakinah1, adang muhammad gugun2* 1program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta, 2bagian patologi klinik fakulas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta *email: adang_patklin@yahoo.com abstrak hepatitis adalah penyakit peradangan atau infeksi hati, dengan penyebab virus, bakteri, jamur, parasit dari obat-obatan. pemeriksaan penunjang diagnostik hepatitis adalah tes fungsi hati, salah satunya adalah alkali fosfatase, yaitu enzim yang berhubungan dengan penanda adanya penyumbatan pada kantung empedu (kolestasis) dan sensitif untuk mendeteksi beragam jenis penyakit parenkim hati. pemeriksaan ultrasonografi (usg) dilakukan untuk mendeteksi adanya kelainan organ seperti gambaran ekhostruktur, ukuran, permukaan hepar dan vesika felea. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi antara gambaran usg hepar dengan kadar alkali fosfatase pada pasien klinis hepatitis. jenis penelitian ini observasional analitik dengan desain cross sectional, menggunakan data rekam medis. data penelitian berjumlah 35. analisis data menggunakan uji spearman dan uji lambda. hasil penelitian menunjukkan terdapat korelasi antara kadar alkali fosfatase dengan gambaran usg hepar yang meliputi: ekhostruktur (r=0,094, p=0,590), ukuran (r=0,333, p=0,050) dan permukaan hepar (r=0,324, p=0,057), vesika felea (r=0,615, p=0,001). disimpulkan bahwa tidak terdapat korelasi yang bermakna antara gambaran ekhostruktur, permukaan, dan ukuran hepar dengan kadar alkali fosfatase, tapi terdapat korelasi yang bermakna antara gambaran vesika felea dengan kadar alkali fosfatase pada pasien klinis hepatitis. kata kunci: hepatitis, ultrasonografi hepar, alkali fosfatase. abstract hepatitis is the inflammation or infection of the liver. the causes viruses, bacteria, fungi, parasites and drugs. additional examination a diagnostic of hepatitis are liver function test, such as alkaline phosphatase, alkaline phosphatase is an enzyme associated with markers of the blockage of the gallbladder (cholestasis) and sensitive for the detection of various types of liver parenchymal disease. ultrasonography (usg) is to see a imaging ekhostruktur, size, surface liver and vesica felea. the aim of research to know the correlation between liver ultrasound imaging with alkaline phosphatase level in clinical hepatitis patient. this study was observational analytic cross-sectional design, using medical records. research data 35. the analyzes were conducted using spearmen test and lambda test. the results showed a correlation between levels alkaline phosphatase with an ultrasound image of the liver include: echostructure (r= 0.094, p= 0.590), size (r= 0.333, p= 0.050) and the surface of the liver (r= 0.324, p= 0.057), vesica felea (r= 0.615, p= 0.001). it can concluded that there was no significant correlation between the image echostruktur, surface, and the size of the liver with levels of alkaline phosphatase, but there is a significant correlation between the vesica fellea features with alkaline phosphatase levels in patients with clinical hepatitis. key words: hepatitis, liver ultrasound, alkaline phosphatase. artikel penelitian 2 herti sakinah, korelasi gambaran utrasonografi hepar dengan ... pendahuluan hepatitis atau lazim dikenal sebagai sakit kuning adalah peradangan pada organ hati yang disebabkan oleh berbagai faktor. sekelompok virus ditemukan sebagai virus hepatitis yang menyebabkan hampir semua kasus hepatitis, yaitu: virus hepatitis a (hav), virus hepatitis b (hbv), virus hepatitis c (hcv), virus hepatitis d (hdv), virus hepatitis e (hev), virus hepatitis f (hfv) dan virus hepatitis g (hgv). manifestasi penyakit hepatitis yang disebabkan oleh virus bisa akut yaitu hepatitis a, bisa juga kronis yaitu hepatitis b dan c dan ada yang berlanjut menjadi kanker hati yaitu hepatitis b dan c.1 penyebab hepatitis selain virus juga bisa disebabkan oleh efek obat-obatan, alkohol, penyakit autoimun.2 pemeriksaan kimia darah digunakan untuk mendeteksi kelainan hati, menentukan diagnosis, mengetahui berat ringannya penyakit, mengikuti perjalanan penyakit dan penilaian hasil pengobatan. pengukuran kadar aminotransferase, bilirubin serum, alkalin fosfatase, ³gt dan albumin sering disebut sebagai tes fungsi hati atau liver function tests (lfts).3 alkali fosfatase dihasilkan oleh sel-sel epithelial kanalikuli biliaris. peningkatannya terjadi pada keadaan kolestasis intrahepatik (misalnya obatobatan seperti klorpromasin, kolangitis, sirosis bilier primer), ikterus obstruktif (misalnya batu, karsinoma), hepatitis fase obstruktif.4 nilai normal alkali fosfatase, yaitu 30-130 iu/l. nilai tinggi (>10x normal) biasanya pada sirosis biliare, obstruksi saluran empedu oleh tumor. nilai sedang (3-10x normal) pada obstruksi saluran empedu oleh batu. nilai rendah (<3x normal) pada penyakit hati karena alkohol, hepatitis kronis aktif dan hepatitis virus.5 usg merupakan pemeriksaan dengan memanfaatkan gelombang suara untuk menggambarkan hati, kandung empedu dan saluran empedu.6 hal-hal penting yang harus diperhatikan waktu melakukan usg hepar, antara lain: permukaan hati yang dapat bersifat rata (smooth), tidak rata (fine irregular) dan nodular. ukuran hati yang bisa normal, membesar atau mengkerut. ekhostruktur yang bisa hipoekhoik (ekho rendah) atau sering disebut dark liver, isoekho (ekho normal), slight hiperekhoik (ekho agak meningkat), hiperekhoik (ekho tinggi) sering juga disebut bright liver. dark liver didapatkan pada hepatitis akut karena edema hati sehingga mudah meneruskan gelombang suara. brigth liver didapatkan pada fatty liver. perubahan ekhostruktur pada hati sering juga dinyatakan sebagai liver kidney contrast. perbedaan ekhopatern hati dibandingkan dengan ginjal. ekhopatern normal, kasar, diffuse atau homogen dan heterogen.7 penelitian yang mengkorelasi antara gambaran usg hepar dengan kadar ast dan alt pada pasien suspek hepatitis telah dilakukan, namun belum ada penelitian yang melihat korelasi antara gambaran usg hepar dengan kadar alkali fosfatase. penelitian ini bertujuan untuk mengkaji korelasi antara gambaran usg hepar dengan kadar alkali fosfatase pada pada pasien klinis hepatitis. bahan dan cara penelitian ini adalah penelitian observasional dengan desain cross sectional untuk mengetahui korelasi antara gambaran usg hepar yang meliputi ekhostruktur hepar, ukuran hepar, permukaan hepar dan vesika felea dengan kadar alkali fosfatase pada pasien klinis hepatitis. subyek penelitian berasal dari data sekunder 3 mutiara medika vol. 13 no. 1: 1-6, januari 2013 (rekam medis) pada pasien klinis hepatitis dan didapatkan data sebanyak 35 yang memenuhi kriteria inklusi, yaitu dilakukan pemeriksaan usg dan pemeriksaan kadar alkali fosfatase yang terdapat pada data rekam medis pasien hepatitis, pasien dengan klinis hepatitis yang berusia 18-60 tahun. variabel bebas adalah kadar alkali fosfatase dan variabel terikat adalah gambaran usg hepar yang terdiri dari ekhostruktur, ukuran, permukaan dan vesika felea. bahan dan alat yang digunakan pada penelitian ini adalah data pemeriksaan ultrasonografi hepar penderita hepatitis, data laboratorium kadar alkali fosfatase pada penderita hepatitis, komputer untuk entry data. pengambilan data dilakukan di rumah sakit panti rapih yogyakarta. data yang diperoleh kemudian diuji dengan korelasi spearman untuk mengetahui kolerasi antara gambaran ekhostruktur, permukaan dan ukuran hepar dengan kadar alkali fosfatase, selanjutnya dilakukan uji korelasi lambda untuk mengetahui korelasi antara gambaran vesika felea dengan kadar alkali fosfatase. hasil persentase pasien hepatitis berdasarkan jenis kelamin, dari 35 pasien yang didapatkan, pasien hepatitis yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 26 orang (74%) dan pasien yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 9 orang (26%). hasil tersebut menunjukkan bahwa pasien hepatitis yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan yang berjenis kelamin perempuan. persentase pasien hepatitis berdasarkan rentang usia, dari 35 pasien yang didapatkan, pasien hepatitis pada rentang usia 15-30 tahun didapatkan sebanyak 17 orang (49%), rentang usia 31-45 tahun didapatkan sebanyak 6 orang (17%), rentang usia 46-60 tahun didapatkan sebanyak 12 orang (34%). hasil tersebut menunjukkan bahwa pasien hepatitis lebih banyak didapatkan pada usia remaja dan dewasa. persentase pasien hepatitis berdasarkan jenis hepatitis, dari 35 pasien yang didapatkan, pasien hepatitis yang menderita hepatitis a didapatkan sebanyak 13 orang (37%), pasien yang menderita hepatitis b didapatkan sebanyak 13 orang (37%), pasien yang menderita undetermined didapatkan sebanyak 8 orang (23%) dan pasien yang menderita non hepatitis a dan non hepatitis b didapatkan sebanyak 1 orang (3%). hal tersebut menunjukkan bahwa pasien yang menderita hepatitis a dan hepatitis b lebih banyak dibandingkan dengan jenis hepatitis yang lain. hasil analisis data dengan uji spearman dan uji lambda, didapatkan untuk hubungan kadar alkali fosfatase dengan ekhostruktur hepar nilai korelasi (r) sebesar 0,094 dan nilai signifikansi (p) sebesar 0,590. hubungan kadar alkali fosfatase detabel 1. persentase pasien hepatitis di rumah sakit panti rapih yogyakarta berdasarkan jenis kelamin, usia dan jenis hepatitis jumlah persentase jenis kelamin laki-laki 26 74 % perempuan 9 26 % total 35 100% rentang usia 15-30 tahun 17 49 % 31-45 tahun 6 17 % 46-60 tahun 12 34 % total 35 100% jenis hepatitis hepatitis a 13 37% hepatitis b 13 37% undetermined 8 23% lupoid hepatitis 1 3% total 35 100 % 4 herti sakinah, korelasi gambaran utrasonografi hepar dengan ... ngan ukuran hepar nilai korelasi (r) sebesar 0,333 dan nilai signifikansi (p) sebesar 0,050. hubungan kadar alkali fosfatase dengan permukaan hepar nilai korelasi (r) sebesar 0,324 dan nilai signifikansi (p) sebesar 0,057. hubungan kadar alkali fosfatase dengan vesika felea nilai korelasi (r) sebesar 0,615 dan nilai signifikansi (p) sebesar 0,001. hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara kadar alkali fosfatase dengan gambaran vesika felea, namun tidak terdapat korelasi antara kadar alkali fosfatase dengan gambaran ekhostruktur, ukuran dan permukaan hepar. diskusi hasil penelitian berdasarkan jenis kelamin didapatkan bahwa pasien hepatitis yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan yang berjenis kelamin perempuan. hal ini didukung oleh tsay, et. al. (2009),8 pada penelitiannya tentang pengaruh umur, penularan virus dan penuaan dalam prevalensi hepatitis b yang hasilnya menyatakan bahwa prevalensi hepatitis b tinggi pada lakilaki. selain itu isselbacher (2000),9 menyatakan angka infeksi hav dan hbv yang tinggi adalah lakilaki homoseksual promiskus (bersetubuh dengan siapa saja). hasil penelitian berdasarkan prevalensi rentang usia didapatkan bahwa pasien hepatitis lebih banyak didapatkan pada usia remaja dan dewasa. hal ini didukung oleh lindseth (2006),10 yang menyatakan bahwa hav lazim terjadi pada anak dan dewasa muda, infeksi hbv terutama terjadi pada usia dewasa. cdc memperkirakan bahwa sejumlah 200.000 hingga 300.000 orang (terutama dewasa muda) terinfeksi oleh hbv setiap tahunnya, sedangkan infeksi hev paling sering menyerang usia dewasa muda sampai pertengahan dengan angka mortalitas sebesar 1 hingga 2% dalam populasi umum dan memiliki angka mortalitas yang sangat tinggi (20%) pada wanita hamil. lakshmi et al. (2011),11 pada penelitiannya tentang prevalensi serologi penanda virus yang menyebabkan hepatitis akut, hasilnya menyatakan bahwa infeksi hav pada dewasa (di atas 16 tahun) untuk hav sebanyak 12,76%, hbv sebanyak 42,5% dan non a non b sebanyak 44,6%, sedangkan pada anak-anak (0-15 tahun) untuk hav sebanyak 48,5%, hbv sebanyak 3,03% dan non a non b sebanyak 48,5%. hasil penelitian ini didapatkan prevalensi berdasarkan jenis hepatitis didapatkan bahwa pasien yang menderita hepatitis a sebanyak 37% dan hepatitis b sebanyak 37% lebih banyak dibandingkan dengan jenis hepatitis yang lain. hal ini didukung oleh sanityoso (2009),1 yang menyatakan bahwa prevalensi hepatitis a menempati urutan pertama sebanyak 39,8%-68,3%, diikuti oleh hepatitis c sebanyak 15,5%-46,4% dan hepatitis b sebanyak 6,4%-25,9%. menurut data dari the centers of disease control and prevention (cdc) menyatakan bahwa hepatitis virus a (hav) adalah penyebab terbanyak dari kasus hepatitis yang dilaporkan, ditabel 2. hubungan kadar alkali fosfatase dengan kadar usg hepar pasien hepatitis di rumah sakit panti rapih yogyakarta uji korelasi hubungan r p spearman kadar alkali fosfatase dan ekhostruktur hepar 0,094 0,590 kadar alkali fosfatase dan ukuran hepar 0,333 0,050 kadar alkali fosfatase dan permukaan hepar 0,324 0,057 lambda kadar alkali fosfatase dan vesika felea 0,615 0,001 5 mutiara medika vol. 13 no. 1: 1-6, januari 2013 ikuti dengan hepatitis c dan hepatitis b sebagai penyebab ketiga. selain itu lakshmi et al. (2011),11 pada penelitiannya tentang prevalensi serologi penanda virus yang menyebabkan hepatitis akut yang hasilnya menyatakan bahwa prevalensi hepatitis a sebanyak 36,8% diikuti hepatitis b sebanyak 26,25%. pada penelitian yang dilakukan di rumah sakit panti rapih ini menggunakan metode observasional analitik dengan desain cross sectional, untuk mencari korelasi antara gambaran usg hepar yang meliputi ekhostruktur hepar, ukuran hepar, permukaan hepar dan vesika felea dengan kadar alkali fosfatase pada pasien klinis hepatitis. hasil penelitian berdasarkan data rekam medis didapatkan hubungan antara kadar alkali fosfatase dengan ekhostruktur hepar, ukuran hepar, dan permukaan hepar yang tidak signifikan, yaitu dengan nilai korelasi ekhostruktur hepar 0,094, ukuran hepar 0,333, dan permukaan hepar 0,324. akan tetapi apabila dilihat dari hubungan kadar alkali fosfatase dengan vesika felea didapatkan hasil korelasi yang signifikan dengan nilai korelasi 0,615. hal ini didukung oleh penelitian ebrahimi, et al. (2001)12, tentang perubahan hati dan kandung empedu pada sonografi hepatitis virus akut yang hasilnya menyatakan bahwa terdapat gambaran usg berupa hepatomegaly pada 33,3%, penebalan dinding empedu 45,2%, penurunan ekhostruktur parenkim hati 19,3 % pada pasien dengan akut viral hepatitis.12 selain itu, penelitian ini juga menyebutkan bahwa hubungan antara kadar alkali fosfatase dan gambaran usg hepar yang meliputi hepatomegaly, penurunan ekhostruktur parenkim hati tidak signifikan. hasil penelitian didapatkan hubungan antara kadar alkali fosfatase dengan vesika felea yang signifikan yaitu dengan nilai korelasi 0,615. hal ini didukung oleh smith, et al. (2009)13, pada penelitiannya tentang gambaran akut dan kronik pada penyakit inflamasi kandung empedu yang menyatakan terdapat korelasi langsung antara peningkatan kadar enzim transaminase hepar dengan peningkatan penebalan kandung empedu pada usg.13 simpulan tidak terdapat korelasi yang bermakna antara gambaran ekhostruktur, permukaan dan ukuran hepar dengan kadar alkali fosfatase pada pasien klinis hepatitis namun terdapat korelasi yang bermakna antara gambaran vesika felea dengan kadar alkali fosfatase pada pasien klinis hepatitis. daftar pustaka 1 sanityoso, a. hepatitis virus akut. in a. w. sudoyo, b. setiyohad, i. alwi, m. simadibrata & s. setiati (eds.). buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid i, edisi v. jakarta: interna publishing. 2009. pp 644-652. 2 sari, w. hepatitis. 2011. diakses dari http:// databaseartikel.com/kesehatan/penyakitkesehatan/20115744-hepatitis.html. 3 amirudin, r. fisiologi dan biokimia hati. in a. w. sudoyo, b. setiyohad, i. alwi, m. simadibrata & s. setiati (eds.). buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid i, edisi v. jakarta. internal publishing. 2009. pp 627-633. 4. rubenstain, d. kedokteran klinis. edisi 6. jakarta: erlangga. 2007. 5. sutedjo, ay. buku saku: mengenal penyakil melalui hasil pemeriksaan laboratorium. edisi revisi. yogyakarta. amara books. 2009. 6. rahmawati, y. perbandingan efek samping ekstrak kunir dan natrium diklofenak terhadap 6 herti sakinah, korelasi gambaran utrasonografi hepar dengan ... fungsi hati pada pasien osteoartritis lutut. karya tulis ilmiah, yogyakarta. universitas gadjah mada. 2006. 7. soemohardjo, s. beberapa catatan tentang ultrasonografi hati. group of medical and biomedical scientists. 2009. diakses dari http:// biomedikamataram.wordpress.com/2009/10/ 05/beberapa-catatan-tentang-ultrasonografihati/. 8. tsay, pk., tai, di., chen, ym., yu, cp., wan, sy., shen, yj., et al. impact of gender, viral transmission and aging in the prevalence of hepatitis b surface a ntigen. chang gung med j. 2009; 32 (2): 155-64. 9. isselbacher, k. j. penyakit hati dan saluran empedu. in isselbacher, braunwald, wilson, martin, fauci, et al. (eds.). harrison prinsipprinsip ilmu penyakit dalam, ed. 13, vol.4, editor edisi bahasa indonesia ahmad h. asdie. jakarta: egc. 2000. 10. lindseth, g. gangguan hati, kandung empedu, dan pankreas. in price, sylvia a., wilson, lorraine m. (eds.). patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. ed. 6, vol.1. jakarta: egc. 2006. 11. laksmi, mt., vaithilingam, a., fanklin, a., reddy, prabhakar, e. the prevalence of serological markers of viruses causing acute hepatitis in south indian population. int j biol med res. 2011; 2(4): 925 – 928. 12. ebrahimi, d.n., ghenaati, n., moosavi, m. sonographic changes of liver and gallbladder in acute viral hepatitis. tehran university medical journal, 2001; 59 (2): 45-48. 13. smith, e.a., dillman, j.j., elsayes. k.m., menias, c.o., bude, r.o. cross sectional imaging of acute and choronic gallbladder inflammatory disease. ajr am j roentgenol. 2009; 192 (1): 188-96. 117 mutiara medika edisi khusus vol. 8 no. 2: 117 121, oktober 2008 pengaruh bekam (al hijamah) terhadap kadar kolesterol ldl pada pria dewasa normal the effect of wet cupping (al hijamah) to ldl cholesterol level in healthy man alfian fahmy1, adang muhammad gugun2 1fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta, 2bagian patologi klinik fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta abstract cupping is an arabian traditional method of treatment in which a jar is attached to the skin surface to cause local congestion through the negative pressure created. cupping is a therapeutic process of removing unclean blood from the body. blood letting has been a recommended method to reduce serum lipoprotein concentrations. there are many testimony which cupping can affects a large group of blood related disorders. the aim of this research is to investigate the effect of cupping on ldl cholesterol. reduction in ldl cholesterol, is a preventive approach against atherosclerosis. in a quasi experimental with pre test and post test, 30 men, 20-24 year old, without chronic disease, no history of hyperlipidemia and also not anti-hyperlipidemic drug consumption, were admitted. all of subjects were treated with cupping in one time. to know the serum concentrations of lipids we collect the blood from cubiti at the time of cupping and an hour after that. the data were analyzed using pair ttest.and pearson correlation. a significant ldl cholesterol increase (p < 0.0000) was found in almost subjects. there was strong positive correlation between ldl cholesterol pre and an hour post cupping (r= 0.987). cupping will increase the number of ldl cholesterol an hour after treatment. key words : cholesterol, ldl, wet cupping abstrak bekam adalah metode pengobatan tradisional arab dengan melekatkan tabung pada permukaan kulit yang menyebabkan kongesti lokal melalui tekanan negatif. bekam adalah proses terapeutik dari tubuh untuk mengeluarkan darah kotor. membiarkan darah keluar telah menjadi metode yang dianjurkan untuk mengurangi konsentrasi lipoprotein serum. ada banyak testimoni bahwa bekam dapat menyembuhkan sebagian besar penyakit yang berhubungan dengan darah. tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan efek bekam terhadap kolesterol ldl. penurunan kolesterol ldl dapat mencegah aterosklerosis. penelitian ini bersifat eksperimental kuasi dengan model pre dan post test. subyek sebanyak 30 orang berumur 20-24 tahun tanpa penyakit kronis, tidak ada sejarah hiperlipidemia atau mengkonsumsi obat anti-hiperlipidemia, dan telah menyetujui. semua subyek diperlakukan sama pada satu waktu. untuk mengetahui konsentrasi lipid serum, darah diambil dari vena cubiti pada awal bekam dan satu jam setelahnya. data dianalisis menggunakan korelasi pearson pasangan dan t-test. alfian fahmy, adang muhammad gugun, pengaruh bekam ( al hijamah ) .............................. 118 terdapat peningkatan kolesterol ldl yang signifikan (p=0,000) pada hampir semua subyek. ada korelasi positif yang kuat antara ldl sebelum dan satu jam setelah bekam (r=0.987). disimpulkan bahwa bekam meningkatkan jumlah kolesterol ldl satu jam setelah perawatan. kata kunci : bekam, kolesterol, ldl pendahuluan penduduk indonesia apabila dibandingkan dengan penduduk di negaranegara industri mempunyai diit rendah lemak mirip dengan orang jepang, cina, thailand dan filipina. namun setelah dilakukan survey perbandingan kolesterol, orang indonesia mempunyai kadar kolesterol yang paling tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga tersebut. 1 kolesterol merupakan bahan utama pada membran sel. kolesterol dapat disintesis oleh tubuh dan bukan merupakan nutrisi esensial. diet yang mengandung kolesterol dalam jumlah besar akan menghambat sebagian dari sintesis kolesterol endogen. 2 kadar kolesterol ldl yang tinggi dalam jangka waktu yang lama merupakan faktor resiko terkena penyakit jantung iskemik dan stroke. berdasarkan data who tahun 19903, penyakit jantung iskemik dan stroke merupakan penyebab utama kematian di dunia dan pada tahun 2000 menunjukkan terdapat peningkatan jumlah kematian akibat kedua penyakit tersebut.4 bekam (al hijamah) atau cupping adalah suatu proses mengeluarkan darah melalui permukaan kulit. teknik pengobatan ini disunnahkan oleh rasulullah seperti dalam hadist riwayat bukhari : “kesembuhan itu ada pada 3 hal : dengan minum madu, pisau hijamah dan besi panas. dan aku melarang umatku dengan besi panas.” (h.r. bukhari). pada beberapa pengalaman klinis penghusada bekam dilaporkan adanya penurunan ldl kolesterol dengan terapi bekam. tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan apakah bekam (al hijamah) dapat menurunkan kadar kolesterol ldl. bahan dan cara penelitian ini menggunakan pendekatan quasi experimental dengan desain pre-test post-test. penelitian ini dilaksanakan di kecamatan suronatan, kotamadya yogyakarta pada bulan desember 2007 pebruari 2008. subyek yang diteliti adalah 30 orang pria dewasa sehat, tidak menderita gangguan metabolisme lipid secara klinis dan berusia sekitar 2024 tahun. dilakukan bekam pada dengan prosedur standar meliputi: (1) desinfeksi area pembekaman (2) dipilih ukuran gelas bekam sesuai dengan ukuran postur tubuh (3) gelas bekam dilakukan dipompa (3 kali tarikan) (4) dibiarkan selama 3 menit, selanjutnya gelas bekam dilepas (5) dilakukan sayatan dengan lanset steril (6) dilakukan pemasangan gelas bekam dan dilakukan pemompaan (3 tarikan). (7) ditunggu 3 menit sampai darah keluar dan menumpuk pada gelas bekam (8) gelas bekam dilepas dan darah yang keluar dibuang dan didesinfeksi area pembekaman. pembekaman pada 6 titik standar pada punggung (lihat gambar). variabel bebas dalam penelitian ini adalah perlakuan bekam (al hijamah), sedangkan variabel tergantungnya adalah kadar ldl kolesterol. jenis data yang dikumpulkan adalah data primer yang diperoleh langsung setelah pengambilan sampel darah subyek. peneliti mengambil sampel darah vena dari subyek sebelum dan satu jam setelah perlakuan bekam di enam titik. pemeriksaan kolesterol dilakukan dengan metode kromatografi. 119 mutiara medika edisi khusus vol. 8 no. 2: 117 121, oktober 2008 gambar 1. enam titik bekam untuk menurunkan kolesterol data dianalisis menggunakan pair t test untuk mengetahui signifikansi data dan uji korelasi (pearson correlation) )untuk mengetahui hubungan antara kadar kolesterol ldl sebelum dan satu jam setelah pembekaman. hasil subjek paling banyak berumur 21 tahun yaitu sebanyak 13 subjek dengan prosentase 43,3%. berat badan terbanyak 5059 kg yaitu sebanyak 13 subjek dengan prosentase 43, 3%. tinggi badan terbanyak 160169 cm yaitu sebanyak 19 subjek dengan prosentase 63,3%. bmi terbanyak 18,525 (normal) yaitu sebanyak 26 subjek dengan prosentase 86,67%. tabel 1. data kadar kolesterol ldl sebelum dan sesudah perlakuan dengan bekam kadar kolesterol ldl kadar kolesterol ldl sebelum sesudah sebelum sesudah rata-rata 95.8 100 92 96 diskusi kadar kolesterol ldl pasien diperiksa sebelum melakukan terapi bekam. pengukuran kolesterol setelah terapi bekam dilakukan 1 jam setelah pembekaman. hasil pengukuran kolesterol ldl setelah bekam menunjukkan peningkatan kadar kolesterol ldl yang signifikan (p = 0.0000). peningkatan kolesterol ldl pada sebagian besar pasien belum diketahui secara pasti penyebabnya. terapi bekam selalu dilakukan sesuai titik pola yang digunakan dalam terapi akupuntur standar dengan penekanan pada titik di punggung. punggung merupakan tempat yang mudah untuk dilakukan bekam dan memiliki titik yang dapat mempengaruhi metabolisme kolesterol. 5 alfian fahmy, adang muhammad gugun, pengaruh bekam ( al hijamah ) .............................. 120 prinsip kerja dari terapi bekam dengan mengeluarkan darah kotor pada dasarnya sama dengan prinsip metode oxidant drainage therapy (odt). odt merupakan suatu cara untuk mengeluarkan oksidan atau radikal bebas dari dalam tubuh. apabila oksidan ini dapat dikeluarkan dari dalam tubuh maka sistem imun pasien akan meningkat sehingga akan lebih resisten terhadap penyakit-penyakit karena faktor imunitas. 6 menurut american cancer society tidak ada bukti ilmiah yang mengatakan bahwa bekam memiliki keuntungan terhadap kesehatan. namun menurut solih dan amir 7 terapi bekam terbukti bermanfaat karena orang yang melakukan pengobatan dengan bekam dirangsang pada titik saraf tubuh seperti halnya pengobatan akupuntur. tetapi dalam akupuntur yang dihasilkan hanya perangsangan, sedangkan bekam selain dirangsang juga terjadi pergerakan aliran darah. 7 di bawah kulit dan otot terdapat banyak titik saraf yang saling berhubungan antara organ tubuh satu dengan lainnya sehingga bekam dilakukan tidak selalu pada bagian tubuh yang sakit namun pada titik simpul saraf terkait. pembekaman biasanya dilakukan pada permukaan kulit dan mengakibatkan vasodilatasi yang dipaksakan sehingga jaringannya akan memproduksi beberapa zat peradangan seperti histamin, prostaglandin dan bradikinin. bekam juga menjadikan mikrosirkulasi pembuluh darah sehingga timbul efek relaksasi pada otot sehingga dapat menurunkan tekanan darah. 8 bekam secara klinis dapat menurunkan kolesterol ldl dan meningkatkan kadar hdl walau tidak bermakna secara statistik. perbedaan hasil ini mungkin karena perbedaan dalam waktu pengambilan sampel setelah perlakuan bekam, frekuensi pembekaman dan metode penelitian. 9 pemantauan kadar ldl idealnya tidak dapat dilakukan dalam waktu pendek, hal ini disebabkan karena mekanisme penurunan kolesterol ldl adalah sesuatu yang kompleks dan sistemik. pengambilan darah untuk pemeriksaan kolesterol dalam penelitian ini dilakukan satu jam setelah bekam dimaksudkan untuk menghindari faktor perancu seperti asupan nutrisi dan aktivitas fisik dari pasien. peningkatan kolesterol ldl pada penelitian ini kemungkinan karena terjadinya hemokonsentrasi akibat hilangnya sebagian volume darah. kesimpulan bekam tidak dapat menurunkan kadar kolesterol ldl pada pria sehat dalam satu jam pasca pembekaman, tetapi bekam menaikkan kadar kolesterol ldl satu jam setelah perlakuan bekam daftar pustaka 1. boedhi dan r. darmojo, (1994). cardiovascular disease in indonesia in bunga rampai karangan ilmiah prof. dr. r. boedi darmojo. 2nd ed. bag upf ilmu penyakit dalam fk undip/ rs. dr. kariadi dan boehringer manheim. semarang 2. baron and robert, (2006). mcgraw current medical diagnosis and treatment (45th ed). san francisco: lange 3. mason w freeman, and christine junge, 2005. the harvard medical school guide to lowering your cholesterol, mcgraw-hill, new york, 4. tony smith and dorling kindersley, 2000. the british medical association complete family health guide, london, 5. dharmananda and subhuti, 2007 cupping. institute of traditional medicine. http://www.itmonline.org/ arts/cupping.htm 6. salindeho, 2006. netralkan oksidan dengan oxidant drainage therapy. http://www.halamansatu.net 7. sholih dan amir. (2007). bekam. diakses 11 september 2007, dari http://tutor-tips-info.blogspot.com/ 121 mutiara medika edisi khusus vol. 8 no. 2: 117 121, oktober 2008 8. umar dan wadda, (2006). pengobatan alternatif bernuansa religi. diakses 11 september 2007, dari http:// budiboga.blogspot.com/2006/05/ b e k a m s e m b u h k a n h i p e r t e n s i migrain.html 9. niasari, m., kosari, f., and ahmadi, a. (2004). the effect of wet cupping on serum lipid concentration of clinically healthy young man : a randomized controled trial. iranian journal of pharmaceutical research abstract, 2, 4040. mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 23 no 1 page 21-27, january 2023 antimicrobial activity of pecut kuda leaf extract (stachytarpheta jamaicensis (l. vahl) against mycobacterium smegmatis putri nadia ramadhani1, ika dyah kurniati2, maya dian rakhmawatie2* 1faculty of medicine, universitas muhammadiyah semarang, semarang, indonesia 2department of biomedical sciences, faculty of medicine, universitas muhammadiyah semarang, semarang, indonesia date of article: received: 25 july 2022 reviewed: 20 dec 2022 revised: 03 jan 2023 accepted: 07 jan 2023 *correspondence: mayadianr@unimus.ac.id doi: 10.18196/mmjkk.v22i2.15599 type of article: research abstract: mycobacterium smegmatis infrequently causes infection, but it is easy to be pathogenic in immunosuppressed patients. many reported that m. smegmatis resistance to several antibiotics became an impetus for searching for new antimicrobials. therefore, this study aims to prove the effect of pecut kuda leaf extract (stachytarpheta jamaicensis (l.) vahl) on the growth of m. smegmatis mc2 155. this research is an experimental study with a post-test control group design. the susceptibility test was carried out using the two-fold microdilution method and resazurin staining. the concentration of pecut kuda leaf ethanol extract was prepared in the concentration range of 10000.0 – 625.0 µg/ml. phytochemical analysis of the content of saponins, tannins, flavonoids, and alkaloids was also carried out on pecut kuda leaf ethanol extract. pecut kuda leaf ethanol extract can inhibit the growth of m. smegmatis with a minimum inhibitory concentration (mic) of 5000 µg/ml (very weak activity) because, at the highest concentration of 10000 µg/ml, m. smegmatis still cannot be killed. furthermore, pecut kuda leaf ethanol extract contains saponins, tannins, flavonoids, and alkaloids which are known to have antibacterial activity. however, further evaluation is needed to maximize the antibacterial activity of pecut kuda leaf extract, for example, by fractionating the extract. keywords: antibacterial agent; mycobacterium smegmatis; phytochemical analysis; stachytarpheta jamaicensis (l.) vahl introduction mycobacterium smegmatis is an acid-fast bacillus classified as a rapidly growing (rgm) nontuberculosis mycobacteria.1 these bacteria infrequently cause infection but can easily infect immunosuppressed patients. infections due to m. smegmatis are non-tuberculous infections and have broad clinical manifestations such as hypersensitivity, pneumonitis, asthma and bronchitis, skin infection, wounds, and glands.2 the prevalence of non-tuberculous infections in indonesia has increased since 2000. the incidence of these infections in soetomo hospital from 2014 to 2015 reached 5.78%. these infections increased in 2017, reaching 25% of patients.3 the most common clinical manifestation caused by m. smegmatis is pulmonary infection.4 treatment of non-tuberculous infection consists of prophylaxis and medication.5 in terms of drug therapy, antibiotics such as erythromycin, clarithromycin, rifampin, rifabutin, and ethambutol can be used to treat this infection.6 however, there have been many reports of resistance of m. smegmatis to several antibiotics such as ampicillin, amoxicillin, linezolid, erythromycin, streptomycin, and tetracycline.7 it has become an impetus for searching for new antimicrobials, especially those from natural products. one source of natural products that can be explored is medicinal plants. pecut kuda leaves (stachytarpheta jamaicensis (l.) vahl) is a plant that has the potential as an antibacterial. the antibacterial activity of pecut kuda extract has been tested against several bacteria. pecut kuda leaf ethanol extract with a concentration of 12.5% is known to inhibit the growth of escherichia coli. in addition, pecut kuda leaf extract with a concentration of 22 | vol 23 no 1 january 2023 80% can also inhibit the growth of gram-positive bacteria streptococcus pyogenes, with an average inhibition zone diameter of 29.2 mm. the extract is known to contain compounds that have the potential as antimicrobials, including flavonoids, tannins, saponins, and alkaloids.8,9 research on the effect of pecut kuda leaf (s. jamaicensis (l.) vahl) extract on m. smegmatis has not been carried out until now. therefore, this research was conducted to identify the potential of pecut kuda leaf extract to inhibit the growth of m. smegmatis. in addition, phytochemical analysis was carried out to qualitatively identify the content of chemical compounds in the pecut kuda leaves. material and method the test bacteria used in this study was m. smegmatis mc2 155 (atcc 700084), obtained from the microbiology laboratory, faculty of medicine, universitas muhammadiyah semarang. this research has been approved by the health research ethics commission of the medical faculty of universitas muhammadiyah semarang under the number 160/ec/fk/2021. secondary metabolites extraction of pecut kuda leaves (stachytarpheta jamaicensis (l.) vahl) first, pecut kuda leaves were dried under the sun with a covered cloth for approximately three days. furthermore, 1 kg of pecut kuda leaves was prepared in the form of dried simplicia. the simplicia powder of pecut kuda leaves was soaked with 96% ethanol solvent for five days and stirred occasionally. after five days, the final result of the maceration process of dried pecut kuda simplicia was filtered, and the supernatant was concentrated using a rotary evaporator (ika® rv 10) at a temperature of 70 c and a speed of 100 rpm. phytochemical analysis of pecut kuda (stachytarpheta jamaicensis (l.) vahl) leaves ethanol extract phytochemical analysis was carried out to identify the content of chemical compounds in pecut kuda leaf ethanol extract. the test was conducted to qualitatively identify the presence of tannins, saponins, flavonoids, and alkaloids. in the tannin test, a total of 0.5 g of pecut kuda leaf extract was put into a test tube. 20 ml of distilled water was then added to the test tube and heated to boiling. the boiling solution was filtered and added with 1% fecl3. the positive presence of tannins is indicated by a change in color to green or blue-black ink.10-12 furthermore, in the saponins test, 100 mg of extract was mixed with 5 ml of water and shaken vigorously. if the solution forms a stable foam, it indicates the presence of saponins. to determine the presence of flavonoids, 0.5 ml of the extract was added with 5 ml of dilute ammonia and 2 ml of concentrated sulfuric acid. flavonoid compounds can be seen from the appearance of a maroon color in the solution. meanwhile, to identify alkaloid compounds, as much as 1 ml of pecut kuda leaf extract was added with 1% hcl in a test tube. the test tube was heated slowly, and the solution was filtered. 3 drops of mayer and wagner reagent can be added to the filtered supernatant. if a precipitate is formed in the solution, it is confirmed that the presence of alkaloids in the pecut kuda leaf extract is confirmed.10-12 antibacterial activity test of pecut kuda leaves (stachytarpheta jamaicensis (l.) vahl) ethanol extract against mycobacterium smegmatis to determine the minimum inhibitor concentration (mic) of pecut kuda leaf ethanol extract, the susceptibility test was carried out using the two-fold microdilution method. the concentration of pecut kuda leaf extract was prepared in the concentration range of 10000.0 – 625.0 µg/ml. the concentration of the m. smegmatis suspension in each well of the microplate was 1 × 105 cfu/ml. furthermore, to determine the activity of pecut kuda leaf extract in inhibiting m. smegmatis, the microplate was incubated at 37 c for 24 hours. after incubation, 0.0025% resazurin (sigma aldrich), as much as 20 µl, was added to each test well. the color change of resazurin from blue to pink became a parameter for the growth of m. smegmatis.13 as an antibiotic control, rifampicin (phapros tbk) was used to determine the resistance pattern of m. smegmatis. the susceptibility test method of rifampicin against m. smegmatis was done using the same method to test the activity of pecut kuda leaf extract, but the concentration of rifampicin was prepared in the range of 2.0 – 0.0625 µg/ml. after obtaining the mic value, the research continued to determine the minimum bactericidal concentration (mbc). the test suspension in each well of various concentrations of | 23 pecut kuda leaf extract/rifampicin was taken as much as 10 µl. furthermore, the suspension was grown in mueller hinton agar (merck millipore) using the streak method. the petri dishes were then incubated at 37 c for 24 hours. the mbc value was determined from the smallest pecut kuda leaf extract/rifampicin concentration that caused the absence of m. smegmatis growth. result the mic value was determined from the smallest concentration of the microplate wells that did not change their color to pink. based on the result of the susceptibility test, the mic value of pecut kuda leaf (stachytarpheta jamaicensis (l.) vahl) extract in inhibiting the growth of m. smegmatis was 5000 µg/ml (figure 1). figure 1. the result of the minimum inhibitory concentration of pecut kuda leaf (stachytarpheta jamaicensis (l.) vahl) extract against m. smegmatis carried out with two-fold microdilution and resazurin staining note: b-e2 until b-e6 is a well containing pecut kuda leaf extract with a concentration range of 10000 625 𝜇𝑔/𝑚𝑙; b-e7 are well of pecut kuda leaf extract sterility control; b-e10 are m. smegmatis growth control; and b-e11 are media sterility control. furthermore, for the results of the susceptibility testing of rifampicin against m. smegmatis, the mic value was 0.0625 µg/ml (figure 2). based on the mic value, it can be concluded that m. smegmatis is still sensitive to rifampicin.14 figure 2. the result of the minimum inhibitory concentration of rifampicin against m. smegmatis carried out with two-fold microdilution and resazurin staining note: b-e2 until b-e7 is a well-containing rifampicin with a concentration range of 2 – 0.0625 μg/ml; b-e8 are well of rifampicin sterility control; b-e11 are m. smegmatis growth control. 24 | vol 23 no 1 january 2023 both pecut kuda leaf (stachytarpheta jamaicensis (l.) vahl) extract and rifampicin were still able to inhibit the growth of m. smegmatis. therefore, the test was continued to determine the mbc value. based on the results of m. smegmatis growth on agar media, it can be concluded that pecut kuda leaf extract was still unable to kill m. smegmatis. meanwhile, at the smallest concentration used for the test, rifampicin had no m. smegmatis growth. therefore, it can be concluded that the mbc value of rifampicin against m. smegmatis is 0.0625 µg/ml. because pecut kuda leaf extract had the potential to be developed as an antibacterial, a phytochemical analysis was carried out to determine the compound content. according to the results of the phytochemical analysis, it can be concluded that the pecut kuda leaf extract contained saponins, tannins, flavonoids, and alkaloids (table i). table i. result of phytochemical analysis of pecut kuda (stachytarpheta jamaicensis (l.) vahl) leaf extract compound phytochemical test observation result saponins stable foam + tannins dark blue + flavonoids maroon + alkaloids dissolving precipitation + discussion determination of the mic value of pecut kuda (stachytarpheta jamaicensis (l.) vahl) leaf extract and rifampicin was carried out using the resazurin microplate assay (rema) method. this method is known to be utilized for the rapid screening of natural product compounds' antimycobacterial activity compared with the crystal violet decolorization assay (cvda) method. in addition, the change in resazurin color from blue to pink due to m. smegmatis growth can simplify the interpretation of the test results.13 based on the results of this study, pecut kuda leaf extract was able to inhibit m. smegmatis growth with a mic value of 5000 µg/ml. however, pecut kuda leaf extract could still not kill the m. smegmatis at the highest test concentration of 10000 µg/ml. there has never been a study reporting the activity of pecut kuda leaf extract against m. smegmatis. however, pecut kuda leaf extract has been known to have antibacterial activity against other gram-positive bacteria. pecut kuda leaf extract was able to inhibit the growth of s. pyogenes, and it has been developed into an antiseptic candy dosage form.9,15 in addition, pecut kuda leaf extract can inhibit the growth of staphylococcus aureus16 and several other pathogenic bacteria such as e. coli, klebsiella pneumoniae, pseudomonas aeruginosa, and salmonella typhimurium.17 the ability of pecut kuda leaves extract to inhibit the growth of m. smegmatis can be categorized as very weak compared to its activity against other gram-negative and positive bacteria. the mic value of 5000 µg/ml was also very high compared to the mic value of the control drug, rifampicin. furthermore, according to another study, an extract can be developed as an antibacterial if the mic value is less than 100 µg/ml.18 mycobacterium smegmatis mc2 155 used in this study was a wild-type isolate, and it was proven that rifampicin could inhibit the growth and kill m. smegmatis at a concentration of 0.0625 µg/ml. although the majority of m. smegmatis strains are not susceptible to tuberculosis drugs such as rifampicin, isoniazid, and ethambutol, the result is relevant to other research, which states that m. smegmatis strain atcc 607 was reported to be susceptible to rifampicin with a mic value of 0.97 1.6 µg/ml.19 mycobacterium smegmatis resistance pattern to rifampicin has been widely reported. the mic value of rifampicin can reach 20 µg/ml in m. smegmatis resistant. mycobacterium smegmatis itself can become resistant to rifampicin due to the mechanism of cellular permeability, enzymatic modification, and efflux system.20 furthermore, according to the results of phytochemical tests, pecut kuda leaf extract contained saponins, tannins, flavonoids, and alkaloids. all of these compounds are known to have the potential as antibacterial. flavonoids have antibacterial activity, as most phenols can inhibit protein synthesis and cause protein denaturation in cell walls. this activity is then followed by a disruption in the permeability of the bacterial cell wall.21 in particular, flavonoids' effect on mycobacteria inhibits mycolic acid synthesis. molecular docking tests of several flavonoids (quercetin and taxolin) showed their activity to inhibit mycobacterium dna gyrase, preventing bacterial cells from dividing.22 the effect of flavonoids on mycobacteria cell walls was also demonstrated by inhibiting the glutamate racemase enzyme, which inhibited peptidoglycan synthesis.23 meanwhile, saponins can have antibacterial activity by inhibiting cell membrane function, ultimately changing cell membrane permeability and damaging cell walls.24 until now, the mechanism of saponins against mycobacteria has never been reported. furthermore, alkaloids have a mechanism to inhibit cell wall | 25 synthesis and interfere with peptidoglycan components, so bacterial cell walls are not formed properly. 25 alkaloid activity in mycobacterium mainly depends on the ease of transporting substances through the cell membrane. alkaloids are lipophilic compounds that can easily penetrate the walls of mycolic acid. the berberine derivative is an example of an alkaloid with antimycobacterial activity.26,27 the last compound, tannin, has antibacterial activity related to its ability to activate microbial cell adhesion, inactivate enzymes, and interfere with protein transport in the inner layer of cells.28 when viewed from the mechanism of action of flavonoids, saponins, and alkaloids, pecut kuda leaf extract has the potential to be bactericidal. however, this study did not isolate compounds, so the type and amount of flavonoids, saponins, and alkaloids contained in pecut kuda leaf extract are unknown. therefore, it cannot be ascertained why pecut kuda leaf extract identified in this study could not kill the m. smegmatis. another possible reason for the lack of bactericidal effect of pecut kuda leaf extract is that m. smegmatis has n-acetylmuramic acid (murnac) and n-glycolylmuramic acid (murnglyc), which can increase drug efflux.29 in addition, the cell wall of mycobacteria is different from that of gram-positive and negative bacteria in general. mycobacterial cell walls may consist of the mycoyl-arabinnogalactan-pg (magp) complex. peptidoglycan is bound covalently to arabinogalactan, which is esterified with mycolic acid and becomes a lipid barrier in mycobacteria. it is very useful for controlling the cell wall's osmotic pressure and reduces the effectiveness of pecut kuda leaf extract as an antibacterial.30 despite all that, pecut kuda leaf (stachytarpheta jamaicensis (l.) vahl) still has the potential to be developed into antibacterial dosage forms. however, prior evaluation is needed to maximize the activity of the pecut kuda leaf extract, such as by fractionating the extracts to obtain purer active compounds. conclusion pecut kuda leaf (stachytarpheta jamaicensis (l.) extract could inhibit the growth of mycobacterium smegmatis with minimum inhibitory concentration (mic) of 5000 µg/ml (very weak activity), and at the highest concentration of 10000 µg/ml, they were still not able to kill the m. smegmatis. furthermore, pecut kuda leaf extract contained saponins, tannins, flavonoids, and alkaloids which were known to have antibacterial activity. conflict of interest none of the conflicts of interest references 1. alqurashi mm, alsaileek a, aljizeeri a, bamefleh hs, alenazi th. mycobacterium smegmatis causing a granulomatous cardiomediastinal mass. idcases. 2019;18:e00608. https://doi.org/10.1016/j.idcr.2019.e00608 2. moghim s, sarikhani e, esfahani bn, faghri j. identification of nontuberculous mycobacteria species isolated from water samples using phenotypic and molecular methods and determination of their antibiotic resistance patterns by etest method, in isfahan, iran. iran j basic med sci. 2012;15(5):1076–82. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/23493797 3. mertaniasih n, kusumaningrum d, koendhori e, soedarsono, kusmiati t, dewi dss. nontuberculous mycobacterial species and mycobacterium tuberculosis complex coinfection in patients with pulmonary tuberculosis in dr. soetomo hospital, surabaya, indonesia. int j mycobacteriology. 2017;6(1):9–13. https://www.ijmyco.org/text.asp?2017/6/1/9/201894 4. sousa s, borges v, joao i, gomes jp, jordao l. nontuberculous mycobacteria persistence in a cell model mimicking alveolar macrophages. microorganisms. 2019;7(113). https://doi.org/10.3390/microorganisms7050113 5. restiawati nm, burhan e. diagnosis dan penatalaksanaan mycobacterium othe than tuberculosis ( mott ). j respir indo. 2011;31(3):156–64. 6. juita lr, fauzar f. diagnosis dan tatalaksana penyakit paru nontuberculous mycobacteria. j kesehat andalas. 2018;7(supplement 3):141. https://doi.org/10.25077/jka.v7i0.858 7. best ca, best tj. mycobacterium smegmatis infection of the hand. hand. 2009;4(2):165–6. https://doi.org/10.1007%2fs11552-008-9147-6 https://doi.org/10.1016/j.idcr.2019.e00608 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/23493797 https://doi.org/10.3390/microorganisms7050113 https://doi.org/10.25077/jka.v7i0.858 https://doi.org/10.1007%2fs11552-008-9147-6 26 | vol 23 no 1 january 2023 8. kumala s, bekti ndp. aktivitas antibakteri dan antioksidan daun pecut kuda (stachytarpheta jamaicensis l .) secara in vitro. j farm indones. 2016;8(2):137–43. 9. novitasari d, mahtuti e, ibaadillah a. uji daya hambat perasan daun pecut kuda (stachytarpheta jamaicensis l. vahl) terhadap pertumbuhan bakteri streptococcus pyogenes secara in vitro. garuda. 2017;8(2). 10. thangiah as. phytochemical screening and antimicrobial evaluation of ethanolic-aqua extract of stachytarpheta jamaicensis (l.) vahl leaves against some selected human pathogenic bacteria. rasayan j chem. 2019;12(1):300– 7. http://dx.doi.org/10.31788/rjc.2019.1215042 11. indarto i. uji kualitatif dan kuantitatif golongan senyawa organik dari kulit dan kayu batang tumbuhan artocarpus dadah miq. j ilm pendidik fis al-biruni. 2015;4(1):75–84. https://doi.org/10.24042/jipfalbiruni.v4i1.82 12. rijayanti rp, luliana s, trianto hf. uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun mangga bacang. univ tanjungpura. 2014;1(1):13–4. 13. rakhmawatie md, wibawa t, lisdiyanti p, pratiwi wr, mustofa. evaluation of crystal violet decolorization assay and resazurin microplate assay for antimycobacterial screening. heliyon. 2019;5(8):1–7. https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2019.e02263 14. clsi. appendix j. agar disk elution method for mycobacterium haemophilum. susceptibility testing of mycobacteria, nocardia spp., and other aerobic actinomycetes. 2011. 57 p. 15. wahyudi va, seqip p, sahirah n. formulasi permen pereda radang tenggorokan dari daun pecut kuda (stacytarpheta jamaicensis) sebagai pangan fungsional. j pangan dan agroindustri. 2020;7(4):31–41. https://doi.org/10.21776/ub.jpa.2019.007.04.4 16. sufitri ra, nurdiana n, krismayanti l. uji ekstrak daun pecut kuda (stachytarpheta jamaicencis l) sebagai penghambat bakteri staphylococcus aureus. biota. 2015;8(2):199–210. https://doi.org/10.20414/jb.v8i2.69 17. ololade zs, ogunmola oo, kuyooro se, abiona oo. stachytarpheta jamaicensis leaf extract: chemical composition, antioxidant, anti-arthritic, anti-inflammatory, and bactericidal potentials. j sci innov res. 2017;6(4):119–25. https://doi.org/10.31254/jsir.2017.6401 18. ramos df, leitão gg, costa fdn, abreu l, villarreal jv, leitão sg, et al. investigation of the antimycobacterial activity of 36 plant extracts from the brazilian atlantic forest. rev bras ciencias farm j pharm sci. 2008;44(4):669–74. https://doi.org/10.1590/s1516-93322008000400013 19. lelovic n, mitachi k, yang j, lemieux m, ji y, kurosu m. application of mycobacterium smegmatis as a surrogate to evaluate drug leads against mycobacterium tuberculosis. physiol behav. 2020;11(73):780–9. https://doi.org/10.1038/s41429-020-0320-7 20. chatterji d, dey a. tracing the variation in physiological response to rifampicin across the microbial spectrum. j bacteriol virol. 2012;42(2):87–100. http://dx.doi.org/10.4167/jbv.2012.42.2.87 21. sintha suhirman. kandungan kimia pecut kuda. pros semin nas. 2015:93–7. https://doi.org/10.25181/prosemnas.v0i0.516 22. rabaan aa, alhumaid s, albayat h, alsaeed m, alofi fs, al-howaidi mh, et al. promising antimycobacterial activities of flavonoids against mycobacterium sp. drug targets: a comprehensive review. molecules. 2022;27(5335):1–15. https://doi.org/10.3390/molecules27165335 23. pawar a, jha p, chopra m, chaudhry u, saluja d. screening of natural compounds that targets glutamate racemase of mycobacterium tuberculosis reveals the anti-tubercular potential of flavonoids. sci rep. 2020;10(1):1– 12. https://doi.org/10.1038/s41598-020-57658-8 24. arabski m, wȩgierek-ciuk a, czerwonka g, lankoff a, kaca w. effects of saponins against clinical e. coli strains and eukaryotic cell line. j biomed biotechnol. 2012;2012. https://doi.org/10.1155/2012/286216 25. saifudin a. senyawa alam metabolit sekunder. edisi 1. deepublish. 26. nyambuya t, mautsa r, mukanganyama s. alkaloid extracts from combretum zeyheri inhibit the growth of mycobacterium smegmatis. bmc complement altern med. 2017;17(1):1–11. https://doi.org/10.1186%2fs12906-017-1636-0 27. wijaya v, jand’ourek o, křoustková j, hradiská-breiterová k, korábečný j, sobolová k, et al. alkaloids of dicranostigma franchetianum (papaveraceae) and berberine derivatives as a new class of antimycobacterial agents. biomolecules. 2022;12(844):1–13. https://doi.org/10.3390/biom12060844 28. cowan mm. plant products as antimicrobial agents. clin microbiol rev. 1999;12(4):564–82. https://doi.org/10.1128/cmr.12.4.564 29. t jas, j r, rajan a, shankar v. features of the biochemistry of mycobacterium smegmatis, as a possible model for mycobacterium tuberculosis. j infect public health. 2020;13(9):1255–64. https://doi.org/10.1016/j.jiph.2020.06.023 http://dx.doi.org/10.31788/rjc.2019.1215042 https://doi.org/10.24042/jipfalbiruni.v4i1.82 https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2019.e02263 https://doi.org/10.21776/ub.jpa.2019.007.04.4 https://doi.org/10.20414/jb.v8i2.69 https://doi.org/10.31254/jsir.2017.6401 https://doi.org/10.1590/s1516-93322008000400013 https://doi.org/10.1038/s41429-020-0320-7 http://dx.doi.org/10.4167/jbv.2012.42.2.87 https://doi.org/10.25181/prosemnas.v0i0.516 https://doi.org/10.3390/molecules27165335 https://doi.org/10.1038/s41598-020-57658-8 https://doi.org/10.1155/2012/286216 https://doi.org/10.1186%2fs12906-017-1636-0 https://doi.org/10.3390/biom12060844 https://doi.org/10.1128/cmr.12.4.564 https://doi.org/10.1016/j.jiph.2020.06.023 | 27 30. handayani fw, muhtadi a, farmasi f, padjadjaran u, dara t, manis k, et al. review artikel: aktivitas lipofilik protein lysb dari beberapa mikobakteriofaga. farmaka suplemen. 2013;14(1):1–15. https://doi.org/10.24198/jf.v16i2.17627.g8706 https://doi.org/10.24198/jf.v16i2.17627.g8706 | 124 mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 21 no 2 page 124-129, july 2021 foot arch and plantar pressure in the age of 17-21 years arcus pedis dan tekanan plantar pada usia 17-21 tahun arif wicaksono1*, sasanthy kusumaningtyas2, angela bm tulaar3 1 department of anatomy, medical faculty, universitas tanjungpura pontianak 2 department of anatomy, medical faculty, universitas indonesia jakarta 3 department of physical medicine and rehabilitation, cipto mangunkusumo hospital jakarta data of article: received: 08 jan 2021 reviewed: 14 june 2021 revised: 05 july 2021 accepted: 07 july 2021 *correspondence: drarifwicaksono@gmail.com doi: 10.18196/mmjkk.v21i2.10799 type of article: research abstract: research on the plantar segment has not been widely carried out in indonesia’s population, even though the plantar segment data will be essential in further research and therapy of plantar-related problems. therefore, this research intends to describe the plantar profile: the foot arch and the plantar pressure difference between the right and left foot. this research applied a cross-sectional study. subjects were recruited from the faculty of medicine students, universitas indonesia, class 2012, with inclusion criteria aged 17-21 years and normal gait. meanwhile, the exclusion criteria consisted of having postural abnormalities, a history of neuromusculoskeletal disorders in the lower limbs, a history of fractures in the spine and legs, a history of surgery on the spine and legs, and refusing to participate in the study. research subjects stood on a plantar scanner, conducted at the anatomy laboratory, the faculty of medicine, universitas indonesia. the mann-whitney test was then used to analyze the difference in plantar pressure between the right and left foot. the results revealed that a hundred research subjects had a proportion of a low foot arch of 4%, a normal foot arch of 89%, and a high foot arch of 7%. the median right plantar pressure was 273.5 kpa, while the median left plantar pressure was 253.5 kpa. the mann-whitney test showed a p-value of 0.954 for the pressure difference between right and left foot. there was no plantar pressure difference between the right and left foot. keywords: foot arch; plantar pressure; normal gait abstrak: penelitian mengenai segmen plantar belum banyak dilakukan pada populasi di indonesia. data segmen plantar akan sangat penting dalam penelitian selanjutnya dan untuk terapi masalah yang berkaitan dengan plantar. penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan profil plantar yaitu arcus pedis dan perbedaan tekanan plantar kanan dan kiri. penelitian ini merupakan penelitian potong lintang. subjek direkrut pada mahasiswa fakultas kedokteran universitas indonesia angkatan 2012 dengan kriteria inklusi berusia 17-21 tahun dan memiliki gaya berjalan normal. kriteria eksklusi adalah memiliki kelainan postur, memiliki riwayat kelainan neuromuskuloskeletal pada tungkai bawah, riwayat fraktur pada tulang belakang dan tungkai, riwayat operasi pada tulang belakang dan tungkai, dan menolak untuk ikut dalam penelitian. subjek penelitian berdiri pada alat pindai plantar, yang dilakukan di laboratorium anatomi fakultas kedokteran universitas indonesia. uji mann whitney digunakan untuk analisis perbedaan tekanan plantar. seratus subjek penelitian dengan hasil proporsi arcus rendah 4 %, arcus normal 89 % dan arcus tinggi 7 %. median tekanan plantar kanan adalah 273,5 kpa dan median tekanan plantar kiri adalah 253,5 kpa. uji mann-whitney menunjukkan p 0, 964. proporsi arcus rendah 4 %, arcus normal 89 % dan arcus tinggi 7 %. tidak ada perbedaan tekanan yang bermakna pada kedua plantar. kata kunci: lengkung kaki; tekanan plantar; gaya jalan normal https://doi.org/10.18196/mmjkk.v21i2.10799 125 | vol 21 no 2 july 2021 introduction data on the plantar segments of the population is vital as epidemiological support and can be used as a basis for further research or therapy if there are any abnormalities in the plantar segment.1 the data can also provide education, treatment, or rehabilitation for problems with pressure differences in the two feet.2,3 research on the plantar segment will show a low, normal, and high foot arch.4,5 in other countries, research on the plantar segment has found many characteristics in sports and has turned to the making of the plantar insoles. however, data in indonesia is still low, people do not know their foot arch, and particular research tools are still limited. in addition, the plantar segment has several characteristics, mainly foot arch and pressure. the pressure received by the two plantar is not the same. it will lead to problems, such as pain in the legs when standing and walking.6 the magnitude of the pressure difference also allows for pain and changes in gait.7 this difference can be treated or rehabilitated anatomically by reducing pressure on one foot or providing footwear with a particular shape.8 a study has shown that decreased pressure can provide comfort to the feet, reduce walking pain, and increase the duration and distance of running than before.9 moreover, the foot can be checked and profiled. the profile obtains the foot arch and can assess foot pressure or surface area directly with the soil or ground. in this regard, advances in technology affect the type of tests that can be performed. manual measurement with computer technology is now available. several tests in anthropology profile measurements include os navicular height measurements,3,10 longitudinal arch angle measurements,11 measurements using calipers,12 measurements using digital photography and radiographic,13 digital scanning and neutral suspension casting techniques,14 rgb-d cameras,15 flexible membrane pressure sensors,16 and 3d foot shapes.17 compared with other methods, matscan [tekscan, us] has several advantages. matscan is a noninvasive instrument that can provide data about the plantar, including the exact number (in this case, pressure in detail) compared with the plantar print that gives a little discomfort after testing caused by the ink or powder, and in plantar prints, one cannot get the pressure. however, other plantar systems are high cost and require very careful maintenance; yet, it is often used in studies exploring the walking mechanisms and the walking disorders. in hongkong, a study on the plantar profile was intended to consider insole or shoe factories to make more comfortable shoes,18 similar to a study in high school students in bandung, indonesia.19 in addition, research on indonesian pilgrims showed that foot arch type was correlated to walking endurance.20 nevertheless, there is still no research based on the population and use of plantar scanners in indonesia. therefore, the general objective of this study was to obtain a foot segment profile, with the specific objective of obtaining data on the foot arch and plantar pressure on the right and left foot. materials and method this research had passed ethical approval from the health research ethics committee of the medical faculty ui-rscm number 256/h2.f1/etik/2013 on 29th april 2013. this study is an analytical study at the department of anatomy, faculty of medicine, universitas indonesia. the research was conducted in apriljune 2013. subjects were individuals at the end of bone fusion who met the inclusion and exclusion criteria. the inclusion criteria for this study were individuals aged 17-21 years and who had a normal gait. a normal gait has the following characteristics: walking in a straight line, walking in a still posture (no deviation), and no pain while walking. subjects were asked to walk about six meters, which were then assessed for their gait. meanwhile, the exclusion criteria in this study consisted of having postural defects, such as lordosis, kyphosis, and scoliosis, a history of neuromusculoskeletal disorders in the limbs, a history of fractures in the lower back and/leg, a history of lower back surgery and/leg, and those who refused to participate in the study. then, the sample size was determined by the relative deviation of the estimated proportion using the following formula: p pz n 2 2 2/1 )1(   − = − | 126 figure 1. foot arch measurement the calculation result of the n-value was 98. in this study, subjects were chosen using the consecutive sampling method. then, the authors rounded up the sample to 100 and decided to get the same number of male and female subjects. the tools utilized in this research were weight scales and height measuring health o meter, plantar scanner matscan, and demographic data questionnaire. the data obtained from the matscan was a plantar image, which then the arch could be determined. matscan was used to show the appearance of the plantar arch and give a significant number of plantar pressures. the plantar arch can be divided into normal, low, and high according to this way. first, the plantar pressure image was saved as (a) in figure 1 (a), then a center point was made on the heel (fig. 1 (b)), and a foot axis line was drawn between the center point of the heel and the second metatarsal (fig.1 (c)). normal arch is when the median segment of the foot is contiguous to the foot axis line. the low arch is when the median segment of the foot crosses the foot axis line, or all median parts of the median segment touch the ground. meanwhile, the high arch is when the median segment of the foot is far from the foot axis line, or there is no median part of the median segment that touches the ground. figure 2 shows the appearance of the foot arch based on matscan after the foot line was added. besides, the other data were the pressures. the pressure differences between the right and left foot were analyzed utilizing the mann-whitney test. moreover, in the early examination, subjects were interviewed about demographic data and pain or discomfort while standing and walking. figure 2. foot arch based on matscan results the study subjects' characteristics are as follows: 50 (50%) subjects were male, and 50 (50%) subjects were female. the age, height, weight, and body mass index (bmi) were normally distributed, as presented in table 1. 127 | vol 21 no 2 july 2021 table 1. characteristics of the subjects no. characteristic mean sd range 1. age (years) 18.88 0.83 17 21 2. height (cm) 162.83 8.88 142 182 3. weight (kg) 60.59 11.55 38.20 98 4. bmi (kg/m2) 22.79 3.56 17.07 – 24 figure 3. matscan result on plantar pressure for the plantar research subjects’ characteristics, a total of 89 subjects (89%) had a normal foot arch, seven subjects (7%) had a high foot arch, and four subjects (4%) had a low foot arch. normally, the foot arch was the same in the right and left foot, as proven in this study. the median right plantar pressure was 273.5 kpa and 314 kpa in mode. the median left plantar pressure was 253.5 kpa and 310 kpa in mode. the median difference between right and left plantar pressure was 27 kpa to 18 kpa and 27 kpa in mode. the appearance of pressure (colors) and the value (kpa) can be seen in figure 3. in addition, a total of 56 subjects (56%) had a higher mean on the right plantar pressure, and 44 subjects (44%) had a higher mean on the plantar left. the median point of the highest right plantar pressure was 513 kpa with modes 445 and 642 kpa. besides, the mann-whitney test showed p=0.954; statistically, there was no difference between right and left plantar pressure. discussion the subjects in this study had undergone the end of bone fusion, known as the bones of the foot's arch. in this research, if there were no external injury to the foot, the foot arch would barely remain as its nature. the subject’s age group can minimize the bias from the foot arch changes based on the bone growth process. in this regard, a history of absence in several deformities or injuries strengthens the foot arch form. a person's foot arch can be classified into a normal foot arch, a high arch (pes cavus), and a low arch (pes planus). a person with normal arches has no complaints. in high arches, the midfoot region is not in contact with the surface, and there is no or minimal inversion or eversion when standing. this type of arch has poor pressure absorption. meanwhile, the low arch type is the opposite of the high arch type. this type of arch tends to move excessively, where most of the plantar surface touches the surface and weakens the medial side. this type of arch causes excessive pronation, especially during the support phase of walking.21 moreover, foot abnormalities can occur due to many causes, such as congenital bone malformations, muscle paralysis or spasticity, chronic stress and strain, improper shoes, or a combination of these. abnormalities can also be congenital and acquired disorders.22 this study obtained foot arch prevalence: normal foot arch of 89%, high arch of 7%, low foot arch of 4% in 100 study subjects, with the age range of 17-21 years utilizing a matscan. no study has specifically discussed the plantar profile in indonesia with matscan. in australia, a study showed foot arch prevalence: normal foot arch of 38 %, low arch of 33.7%, and high arch of 28.3% in 92 study subjects, with the age range of 18-45 years.4 in america, a study resulted: normal foot arch of 44.3 %, low arch of 36.1%, and high arch of 19.6 % in 61 study subjects, with the age range of 18-77 years.6 there are several similar findings in this study. first, the subject’s age group started in 17 to 18 years old, adult population at the end of bone fusion. second, the number of subjects in each study was 100 or below (range 61 to 100 subjects). third, most foot arches were normal foot arch. | 128 some foot arch studies in children definitely intended to research the changing form of foot arch during their growth period, including bones and muscular growth, activities, and insole use. at the age of 17, there will be no more changes in bone and muscular to affect the foot arch’s form. furthermore, the number of subjects depends on the researcher's goals, the method, the instrument, and the research place. different places, regions, cities, or even countries might offer different research subject’s characteristics. the use of instruments can also give different perspectives and experiences both for the researcher and the subjects. all studies uncovered that most of the subjects had normal foot arch. subjects with normal foot arch usually had no problem and no complaint regarding their foot. besides, this study is an initial study of foot arch that can be developed further to seek the relationship between foot arch and gender, foot arch and the foot problems, foot arch and body mass index, and foot arch and plantar pressure. study to the different populations can add foot arch database in indonesia and the world, making people start thinking about their body’s health from the foot. in this study, plantar pressure examined normal subjects without any interruption or neuromusculoskeletal posture. the mean of right plantar pressure was 313.83 kpa, the highest mean of right plantar pressure reached 1344 kpa, and the lowest range was 52 kpa to 1293 kpa. the mean of left plantar pressure was 307.18 kpa, the highest mean of left plantar pressure reached 1182 kpa, and the lowest range was 48 kpa-1134 kpa. thus, there was a big difference in right and left plantar pressure with a mean of 14.6% and a range of 0.01-14.86 %. this difference should be resulted in pain or discomfort feeling while standing and walking. however, from the interview, later after examination, none of the subjects felt pain or discomfort. earlier, research was conducted in 2012 by sanghan et al. in one of the hospitals in sangkhla, thailand, in patients suffering from stroke and those who did not suffer a stroke as a control. thirty subjects aged 40-55 years consisted of 24 control subjects, and eight subjects studied stroke patients using a pedar-x insole plantar pressure system. it showed a difference of 4.28 to 4.59 % in the control group and 25.06 to 29.85 % in the stroke patients. it indicated that stroke could reduce plantar pressure on the plantar side of the pain by 20-25 % of the normal plantar pressure difference.7 however, there is no specific research exploring plantar pressure in normal populations or the child or elderly population; therefore, the current authors could only compare the data with the pathological disease. statistically, there was no plantar pressure difference between the right and left foot. plantar pressure was likely more explored in populations with handicaps or diseases. how about in a normal population? research can be conducted in normal populations to search plantar pressure and its relations with daily activities, physical activities, problems when standing, walking, running, and using shoes in their daily lives. this study’s limitation was that it was only conducted in the age of 17-21 years, so that it could not describe childhood, adult, and older population. this research was also conducted on a normal population; then, it could not be compared with a person with a handicap or disease. conclusion in conclusion, this research obtained the prevalence of a normal arch of 89 %, followed by a high arch of 7% and a low arch of 4 %. besides, there was no difference between right and left plantar pressure. conflict of interest there are no conflicts of interest in this research. references 1. menz hb, dufour ab, riskowski jl, hillstrom hj, hannan mt. foot posture, foot function and low back pain: the framingham foot study. rheumatol (united kingdom). 2013; 52(12): 2275–82. https://doi.org/10.1093/rheumatology/ket298 2. rogati g, leardini a, ortolani m, caravaggi p. validation of a novel kinect-based device for 3d scanning of the foot plantar surface in weight-bearing. j foot ankle res. 2019; 12(1): 1–8. https://doi.org/10.1186/s13047-019-0357-7 https://doi.org/10.1093/rheumatology/ket298 https://doi.org/10.1186/s13047-019-0357-7 129 | vol 21 no 2 july 2021 3. nilsson mk, friis r, michaelsen ms, jakobsen pa, nielsen ro. classification of the height and flexibility of the medial longitudinal arch of the foot. j foot ankle res [internet]. 2012; 5(1): 3. 1 https://doi.org/10.1186/17571146-5-3 4. buldt ak, forghany s, landorf kb, murley gs, levinger p, menz hb. centre of pressure characteristics in normal, planus and cavus feet. j foot ankle res. 2018; 11(1): 1–9. https://doi.org/10.1186/s13047-018-02456 5. wong ck, weil r, de boer e. standardizing foot-type classification using arch index values. physiother canada. 2012; 64(3): 280–3. https://doi.org/10.3138/ptc.2011-40 6. hillstrom hj, song j, kraszewski ap, hafer jf, mootanah r, dufour a, et al. foot type biomechanics part 1: structure and function of the asymptomatic foot. gait posture. 2013; 37(5): 445–51. https://doi.org/10.1016/j.gaitpost.2012.09.007 7. sanghan s, chatpun s, leelasamran w. plantar pressure difference: decision criteria of motor relearning feedback insole for hemiplegic patients. 4th international conference on bioinformatics and biomedical technology. singapore: iacsit press; 2012. 29–33. 8. mckeon po, hertel j, bramble d, davis i. the foot core system: a new paradigm for understanding intrinsic foot muscle function. br j sports med. 2015; 49(5): 290. https://doi.org/10.1136/bjsports-2013092690 9. wu sc, jensen jl, weber ak, robinson de, armstrong dg. use of pressure off loading devices in diabetic foot ulcers. do we practice what we preach? diabetes care. 2008; 31(11): 2118–9. https://doi.org/10.2337/dc08-0771 10. roth s, roth a, jotanovic z, madarevic t. navicular index for differentiation of flat foot from normal foot. int orthop. 2013; 37(6): 1107–12. https://doi.org/10.1007/s00264-013-1885-6 11. roy h, bhattacharya k, deb s, ray k. arch index: an easier approach for arch height (a regression analysis). al ameen j med sci. 2012; 5(2): 10. 12. pohl mb, farr l. a comparison of foot arch measurement reliability using both digital photography and calliper methods. j foot ankle res. 2010; 3(1): 1–6. https://doi.org/10.1186/1757-1146-3-14 13. cobb sc, james cr, hjertstedt m, kruk j. a digital photographic measurement method for quantifying foot posture: validity, reliability, and descriptive data. j athl train. 2011; 46(1): 20–30. https://doi.org/10.4085/1062-6050-46.1.20 14. carroll m, annabell me, rome k. reliability of capturing foot parameters using digital scanning and the neutral suspension casting technique. j foot ankle res [internet]. 2011; 4(1): 9. https://doi.org/10.1186/1757-1146-49 15. chun s, kong s, mun kr, kim j. a foot-arch parameter measurement system using a rgb-d camera. sensors (switzerland). 2017;17(8). https://doi.org/10.3390/s17081796 16. zheng t, yu z, wang j, lu g. a new automatic foot arch index measurement method based on a flexible membrane pressure sensor. sensors (switzerland). 2020; 20(10). https://doi.org/10.3390/s20102892 17. stanković k, booth bg, danckaers f, burg f, vermaelen p, duerinck s, et al. three-dimensional quantitative analysis of healthy foot shape: a proof of concept study. j foot ankle res. 2018; 11(1): 1–13. https://doi.org/10.1186/s13047-018-0251-8 18. xiong s, goonetilleke r, witana c, lee au e. modelling foot height and foot shape-related dimensions. ergonomics. 2008; 51(8): 1272–89. https://doi.org/10.1080/00140130801996147 19. abdurrahman ir, tahid a, fathurachman. foot anthropometric profile of high school students in bandung. althea med j. 2018; 5(2): 93–7. https://doi.org/10.15850/amj.v5n2.1418 20. lutfie sh. hubungan antara derajat lengkung kaki dengan tingkat kemampuan endurans pada calon jemaah haji. cermin dunia kedokteran. 2010; 178: 343–6. 21. hamill j, knutzen km, derrick tr. biomechanical basis of human movement. 4th ed. lippincott wiliams & wilkins. philadelphia: wolters kluwer; 2013. 506. 22. houglum pa, bertoti db. brunnstrom’s clinical kinesiology. 6th ed. brunnstrom’s clinical kinesiology. philadelphia: f.a. davis company; 2012. 745. https://doi.org/10.1186/1757-1146-5-3 https://doi.org/10.1186/1757-1146-5-3 https://doi.org/10.1186/s13047-018-0245-6 https://doi.org/10.1186/s13047-018-0245-6 https://doi.org/10.3138/ptc.2011-40 https://doi.org/10.1016/j.gaitpost.2012.09.007 https://doi.org/10.1136/bjsports-2013-092690 https://doi.org/10.1136/bjsports-2013-092690 https://doi.org/10.2337/dc08-0771 https://doi.org/10.1007/s00264-013-1885-6 https://doi.org/10.1186/1757-1146-3-14 https://doi.org/10.4085/1062-6050-46.1.20 https://doi.org/10.1186/1757-1146-4-9 https://doi.org/10.1186/1757-1146-4-9 https://doi.org/10.3390/s17081796 https://doi.org/10.3390/s20102892 https://doi.org/10.1186/s13047-018-0251-8 https://doi.org/10.1080/00140130801996147 https://doi.org/10.15850/amj.v5n2.1418 44 tri wahyuliati, hubungan antara status ... hubungan antara status ekonomi, status pendidikan dan keharmonisan keluarga dengan kesadaran adanya demensia dalam keluarga the relation between economic status, educational status and family harmony to awareness of dementia in family tri wahyuliati bagian ilmu syaraf, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta email: tri.wahyuliati@yahoo.com abstract dementia in the elderly are often not realized because the onset is not clear and progressive history of their illness but slowly. patients and families often assume that the decline in cognitive function that occurred in early dementia is a natural thing. overall status of economic, education and family harmony allegedly had a role to knowledge of the incidence of dementia on family members. the study aims to determine the relationship between economic status, education and family harmony to the knowledge of the incidence of dementia on family members. this study used cross sectional method. research subjects were 51 elderly people, one of whom were excluded because of severe hearing loss, making it hard communication time of the study. the method of guided interviews undertaken to obtain the status of education and economic status. apgar score is used to determine the level of family harmony and the mmse (score minimental examination) are used to diagnose dementia. chi squares analysis used to determine the relationship between variables. the results showed a significant correlation between educational status of the family with awareness of dementia in the family (p = 0.007). apgar economic status and family values are not significantly related to awareness of dementia in the family, with a value of p in sequence are 0.427 and 0.231. key words: dementia, economic status, educational status, family-apgar, mmse abstrak demensia pada usia lanjut sering tidak disadari karena awitannya tidak jelas dan perjalanan penyakitnya progresif namun perlahan. pasien dan keluarga sering menganggap bahwa penurunan fungsi kognitif yang terjadi pada awal demensia merupakan hal yang wajar. status ekonomi, pendidikan dan keharmonisan keluarga diduga mempunyai peran terhadap pengetahuan adanya kejadian demensia pada anggota keluarganya. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara status ekonomi, pendidikan dan keharmonisan keluarga terhadap pengetahuan adanya kejadian demensia terhadap anggota keluarga. penelitian ini menggunakan metode cross sectional. subyek penelitian sebanyak 51 orang lansia, satu diantaranya dieksklusi karena adanya gangguan pendengaran yang berat sehingga menyulitkan komunikasi saat dilakukan penelitian. metode wawancara terpimpin dilakukan untuk mendapatkan data status pendidikan dan status ekonomi. nilai apgar digunakan untuk menentukan tingkat keharmonisan keluarga dan mmse (minimental score examination) digunakan untuk menegakkan diagnosis demensia. analisis chi squares digunakan untuk menentukan keeratan hubungan antar variabel. hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan bermakna antara status pendidikan keluarga dengan 45 mutiara medika vol. 10 no. 1:44-48, januari 2010 kesadaran adanya demensia dalam keluarga (p=0,007). status ekonomi dan nilai apgar keluarga tidak berhubungan yang bermakna kesadaran adanya demensia dalam keluarga, dengan nilai p secara berurutan adalah 0,427 dan 0,231. kata kunci: demensia, status ekonomi, status pendidikan, apgar keluarga, mmse pendahuluan meningkatnya taraf ekonomi, pendidikan dan kesadaran hidup sehat di masyarakat telah memberi dampak pada peningkatan angka harapan hidup. pada tahun 2005 di kawasan asia pasifik dilaporkan penderita demensia berjumlah 13,7 juta orang, dan diperkirakan akan meningkat pada tahun 2050 sebanyak 64,6 juta orang. 1 biro pusat statistik di indonesia menunjukkan, warga usia lanjut bertambah dari tahun ke tahun. pada tahun 1980 jumlah usia lanjut hanya 6,6 juta jiwa. sepuluh tahun kemudian meningkat menjadi 11,57 juta jiwa. satu dekade kemudian yaitu tahun 2000 jumlah warga berusia 65 – 70 tahun meningkat 100% menjadi 22,7 juta jiwa. tahun 2020 diperkirakan jumlah itu meningkat menjadi 30,1 juta jiwa atau sekitar 10% total penduduk indonesia.1,2,3,4 permasalahan kesehatan pada usia lanjut sangat kompleks, diantaranya adalah demensia. demensia merupakan suatu sindroma yang kerap terjadi pada usia lanjut. menurut dsm-iv demensia adalah suatu sindroma yang diakibatkan oleh berbagai kelainan dan ditandai oleh gangguan fungsi intelektual yaitu gangguan memori dan gangguan kognitif lain termasuk berbahasa, orientasi, kemampuan konstruksi, berpikir abstrak, pemecahan masalah dan ketrampilan, yang cukup berat sehingga mengganggu kemampuan okupasional atau sosial atau keduanya.5 secara klinis, munculnya demensia pada seorang usia lanjut sering tidak disadari karena awitannya tidak jelas dan perjalanan penyakitnya progresif namun perlahan. selain itu pasien dan keluarga sering menganggap bahwa penurunan fungsi kognitif yang terjadi pada awal demensia merupakan hal yang wajar pada seseorang yang sudah menua. akibatnya penurunan fungsi kognitif tersebut akan terus berlanjut sampai akhirnya mulai mempengaruhi status fungsional pasien dan pasien akan menjadi tergantung pada sekitarnya.6 deteksi dini terhadap munculnya demensia sangat diperlukan. penelitian menunjukkan, jika gejala penurunan fungsi kognitif dikenali sejak awal maka dapat dilakukan berbagai upaya meningkatkan atau setidaknya mempertahankan fungsi kognitif agar tidak menjadi demensia.6 peran keluarga dalam menemukan kasus demensia secara dini sangat penting. adanya laporan dari keluarga yang mampu memberikan perhatian terhadap munculnya tanda dan gejala demensia akan sangat membantu penegakan diagnosis dini serta penanganan yang lebih mudah, karena taraf demensia dini tentu mempunyai prognosis lebih baik daripada demensia taraf lanjut atau berat. berbagai faktor dalam keluarga diduga mempengaruhi kemampuan anggota keluarga tersebut dalam melakukan pengenalan kejadian demensia yang mungkin diderita anggota keluarganya.7,8,9 penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara status ekonomi, pendidikan dan keharmonisan keluarga terhadap pengetahuan adanya kejadian demensia terhadap anggota kieluarga. bahan dan cara jenis penelitian adalah penelitian cross sectional. penelitian dilaksanakan selama 3 bulan, yaitu pada bulan september sampai dengan november 2008. penelitian dilakukan di dusun ngebel – bantul diy. subjek dalam penelitian ini adalah seluruh orang lanjut usia (lansia), pria dan wanita yang berusia 60 tahun atau lebih dan tinggal di wilayah dusun ngebel bantul daerah istimewa yogyakarta, yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memiliki kriteria eksklusi yang ditetapkan dalam penelitian 46 ini, yaitu mereka yang memiliki anggota keluarga yang berusia 18 tahun atau lebih dan tinggal dalam satu rumah dengan lansia tersebut. subjek akan dieksklusi jika ditemukan adanya penurunan kesadaran, terdiagnosis menderita gangguan jiwa oleh dokter, mengalami gangguan pendengaran yang berat sehingga sulit berkomunikasi atau terjadi gangguan berkomunikasi. variabel dalam penelitian ini adalah status sosial yang meliputi tingkat pendidikan, status ekonomi dan tingkat keharmonisan keluarga yang dinilai melalui nilai agpar keluarga, sebagai variabel dependen. pengetahuan kejadian demensia dalam keluarga sebagai variabel bebas. pengetahuan kejadian demensia dalam keluarga yaitu anggota keluarga yang berusia di atas 18 tahun dan tinggal serumah dengan lansia mengetahui bahwa lansia tersebut mengalami demensia. hal ini didapat melalui wawancara terpimpin. demensia adalah suatu sindroma klinik yang meliputi hilangnya fungsi intelektual dan ingatan/memori sedemikian berat sehingga menyebabkan disfungsi hidup sehari-hari. pada penelitian ini demensia diukur dengan instrumen mmse. status pendidikan adalah tingkat pendidikan tertinggi anggota keluarga, status ekonomi adalah rata-rata penghasilan anggota keluarga perbulan, dan keharmonisan keluarga adalah nilai apgar keluarga. hal tersebut diidentifikasi dari jawaban atas pertanyaan pertanyaan pada formulir status pendidikan, ekonomi dan nilai apgar keluarga. pengumpulan data dilakukan dengan mendatangi subjek dan memberikan wawancara terpimpin. data yang diambil merupakan data primer. instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah formulir untuk wawancara terpimpin, formulir mmse untuk menegakkan diagnosis demensia, formulir apgar keluarga dan formulir untuk menilai status ekonomi. penelitian ini dimulai dengan mencari warga lansia melalui data di kantor kepala dusun ngebel, kecamatan kasihan, bantul, kabupaten daerah istimewa yogyakarta. selanjutnya penelitian dilakukan dengan mendatangi rumah lansia tersebut untuk menilai apakah memenuhi kriteria penelitian ini. sejumlah lima puluh satu subjek memenuhi kriteria inklusi namun satu subjek dieksklusi karena terdapat gangguan pendengaran yang berat sehingga menyulitkan komunikasi saat dilakukan wawancara. data dianalisis secara deskriptif maupun analitik untuk mencari hubungan antara masing – masing variabel yang diteliti. hasil hasil deskriptif disusun berdasarkan data karakteristik subjek penelitian, seperti tercantum dalam tabel 1. di bawah ini. tampak dalam tabel 1. bahwa keluarga subjek paling banyak berpendidikan menengah, yaitu smp 30% dan sma 34% (total pendidikan menengah 64%) dan paling sedikit berpendidikan perguruan tinggi. faktor pendidikan adalah tingkat pendidikan formal yang dikategorikan menjadi 4 kelompok, sesuai dengan tingkat pendidikan formal di indonesia yaitu tidak tamat sd atau lulus sd, smp, sma dan perguruan tinggi. subjek pada penelitian ini paling banyak hidup dalam keluarga dengan status ekonomi rendah (56%) dan hanya 16% yang mempunyai status ekonomi tinggi. meskipun demikian, kebanyakan subjek hidup dalam keluarga yang cukup harmonis yang tercermin dari angka apgar keluarga yaitu sekitar 74% mempunyai fungsi keluarga yang baik. jumlah subjek yang mempunyai disfungsi keluarga sedang hanya 26% dan tidak satupun subjek yang mempunyai disfungsi keluarga berat. hasil selengkapnya tercantum dalam tabel 1. dibawah ini. data yang didapat dalam penelitian ini diolah dengan analisis chi-square untuk menentukan keeratan hubungan pada setiap variabel bebas dan variabel tergantung. hasilnya dapat dilihat pada tabel 2. tri wahyuliati, hubungan antara status ... 47 mutiara medika vol. 10 no. 1:44-48, januari 2010 diskusi tampak dalam tabel 2. diatas, bahwa tingkat pendidikan keluarga mempunyai hubungan yang bermakna terhadap pengetahuan keluarga pada timbulnya demensia dalam anggota keluarganya. hal itu tercermin dari nilai p = 0,07 atau < 0,05. hubungan tersebut bermakna, yaitu makin tinggi tingkat pendidikan keluarga maka makin banyak jumlah yang mengetahui bahwa anggota keluarganya menderita demensia. demikian pula sebaliknya, makin rendah tingkat pendidikan anggota keluarga, maka makin sedikit pengetahuan terhadap timbulnya demensia dalam keluarga. penelitian yang dilakukan hall pada tahun 2007 menyatakan bahwa tingkat pendidikan yang semakin tinggi akan memudahkan proses pembelajaran. hal itu disebabkan karena proses yang didapatkan dalam masa pendidikan formal akan meningkatkan pembentukan jaringan neuronal.10 faktor pendidikan adalah tingkat pendidikan formal yang dikategorikan penulis menjadi 5 kelompok, sesuai dengan tingkat pendidikan formal di indonesia yaitu tidak tamat sd, lulus sd, smp, sma dan perguruan tinggi. penelitian yang dilakukan hall pada tahun 2007 menyatakan bahwa tingkat pendidikan subjek yang semakin tinggi akan memperlambat onset terjadinya demensia. hal ini dikarenakan proses pembelajaran yang didapatkan dalam masa pendidikan formal akan meningkatkan pembentukan jaringan neuronal sehingga ketika terjadi degenerasi neuronal secara fisiologik pada usia lanjut neuron – neuron yang lain akan mengambil alih fungsi neuron yang mati tersebut. 10 variabel yang lain tidak mempunyai hubungan yang bermakna, yaitu status ekonomi dan apgar keluarga. keduanya mempunyai nilai p=0,427 dan p=0,231. keduanya mempunyai nilai p > 0,05 jadi tidak bermakna. subjek paling banyak hidup dalam keluarga dengan status ekonomi rendah yaitu 56 %, status ekonomi sedang 28% tabel 1. data deskriptif variabel penelitian tingkat n=50 % pendidikan < sd 11 22 smp 15 30 sma 17 34 akademi/univ 7 14 status ekonomi rendah 28 56 sedang 14 28 tinggi 8 16 apgar keluarga disfungsi berat 0 0 disfungsi sedang 13 26 fungsi keluarga baik 37 74 tabel 2. data analitik hubungan variabel variabel bebas variabel terikat p analisis tingkat pendidikan kesadaran adanya demensia dalam keluarga 0,007 tingkat pendidikan mempengaruhi kesadaran adanya demensia dalam keluarga status ekonomi 0,427 status sosial tak mempengaruhi kesadaran adanya demensia dalam keluarga apgar keluarga 0,231 keharmonisan keluarga tak mempengaruhi kesadaran adanya demensia dalam keluarga 48 dan hanya 16% yang mempunyai keluarga dengan status ekonomi tinggi. status ekonomi tidak menjadi penghalang bagi anggota keluarganya untuk mengetahui bahwa anggota keluarganya menderita demensia. demikian pula halnya dengan apgar keluarga. indonesia selama ini mempunyai stereotype sebagai bangsa yang mengedepankan nilai-nilai kekeluargaan dan keharmonisan rumah tangga, seperti penelitian yang dilakukan oleh nurulita (2007), kebanyakan subjek mempunyai keluarga yang cukup harmonis yang tercermin dari angka apgar keluarga yaitu sekitar 74% mempunyai fungís keluarga yang baik. jumlah subjek yang mempunyai disfungsi keluarga sedang hanya 26% dan tidak satupun subjek yang mempunyai disfungsi keluarga berat. keharmonisan keluarga atau ada tidaknya disfungsi dalam keluarga tidak menghalangi anggota keluarga untuk mengetahui adanya anggota keluarga menderita demensia, terlihat dari nilai apgar keluarga mempunyai nilai p=0,231 (> 0,05). 11 kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : (1) tingkat pendidikan keluarga mempunyai hubungan yang bermakna terhadap pengetahuan keluarga pada timbulnya demensia dalam anggota keluarganya; (2) tingkat pendidikan keluarga yang semakin tinggi akan makin banyak yang mengetahui bahwa anggota keluarganya menderita demensia. sebaliknya, makin rendah tingkat pendidikan anggota keluarga, maka makin sedikit pengetahuan terhadap timbulnya demensia dalam keluarga; (3) status ekonomi dan apgar keluarga tidak mempunyai hubungan yang bermakna terhadap pengetahuan keluarga tentang adanya demensia dalam keluarganya. daftar pustaka 1. cherubini, a. 2007. hypertension and cognitive function in the elderly. p u b m e d . 1 4 ( 6 ) : 5 3 3 5 4 . h t t p : / / w w w. n c b i . n l m . n i h . g o v / s i t e s / e n t r e z ? d b = p u b m e d & d b f r o m = p u b m e d & c m d = l i n k & l i n k n a m e = p u b m e d _ med&linkreadablename=related%20 articles&idsfromresult=18090879& ordinalpos=1&itool=entrezsystem2. pentrez.pubmed.pubmed_resultspanel. pubmed_rvabstractplusdrugs1 2. anonim. 2006. demensia di kawasan asia pasifik: sudah ada wabah. ringkasan eksekutif laporan access e c o n o m i c s . h t t p : / / w w w. a l z . c o . u k / research/files/apreportindonesian.pdf. 3. anonim. 2007. alzheimer’s disease. diakses tanggal 4 mei 2007, dari www. mmf.umn.edu 4. anonim. 2007. dementia. diakses tanggal 4 mei 2007, dari www.mja.com 5. lumbantobing s.m. 2004. neurogeriatri. fakultas kedokteran universitas indonesia. jakarta. 62-73 6. rochmah, w dan kuntjoro. 2006. demensia. ilmu penyakit dalam. jilid i. fakultas kedokteran universitas indonesia, jakarta. 1374-1378. 7. safithri, f. 2005. demensia tipe alzheimer, proses menua di otak. saintika medika, jurnal kesehatan dan kedokteran keluarga. vol.2. no.2. 225238.. 8. martono dan hadi. 2004. pelayanan sosial kesejahteraan pada usia lanjut. dalam h.hadi martono & r.boedhi darmojo (eds). geriatri. fakultas kedokteran universitas indonesia 9. noegroho. 2003. mengasuh dan merawat usia lanjut. penatalaksanaan pasien geriatri dengan pendekatan interdisiplin. prosiding temu ilmiah geriatri. pergemi jaya. fakultas kedokteran universitas indonesia. jakarta. 48-54. 10. hall. 2007. education delays accelerated decline on a memory test in persons who develop dementia. american academy of neurology. 69:1657-1664. www.neurology.com 11. nurulita, r. 2007. perbedaan tingkat depresi antara lansia yang memiliki keluarga dengan yang tidak memiliki keluarga di panti sosial trisna werdha kasongan bantul. kti. universitas muhammadiyah yogyakarta. tri wahyuliati, hubungan antara status ... | 71 mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 21 no 2 page 71-78, july 2021 differences in mmp-2 expression in highand low-grade mpnst and its correlation with prognostic factors perbedaan ekspresi mmp-2 pada mpnst derajat tinggi dan rendah serta hubungannya dengan faktor prognostik niniek hardini1*, nurjati chairani siregar2, puspita eka wuyung2 1 department of anatomical pathology, faculty of medicine, universitas pembangunan nasional veteran jakarta 2 department of anatomical pathology, faculty of medicine, universitas indonesia data of article: received: 16 jan 2021 reviewed: 15 mar 2021 revised: 01 july 2021 accepted: 08 july 2021 *correspondence: ninieksabar@gmail.com doi: 10.18196/mmjkk.v21i2.10882 type of article: research abstract: malignant peripheral nerve sheath tumor (mpnst) is a soft tissue sarcoma, which is difficult to distinguish from other spindle cell sarcomas. mpnst is hostile, with a high recurrence, and tends to metastasize hematogenously, especially to the lungs. a phase of the metastasis is a degradation of the extracellular matrix, where matrix metalloproteinase (mmp) plays an essential role in this process. gelatinasetype mmp, mmp-2 and mmp-9, can degrade basal membrane and fibrillar collagen to open the invasion pathway. mmp-2 can degrade more collagen and non-collagen extracellular matrix than mmp-9. therefore, the study aimed to see the relationship between mmp-2 overexpression and histopathological malignancy grading and other clinical prognostic variables. the study was conducted by immunohistochemical staining of mmp-2 in 39 cases, consisting of 19 cases of low-grade mpnst and 20 cases of high-grade mpnst. subsequently, an analysis of the relationship between mmp-2 overexpression and the malignancy grading and clinical variables was performed, such as age, sex, and tumor size and location. mmp-2 overexpression was seen in 19 (95%) cases of high grade and three (15.8%) cases of low-grade mpnst (p 0.000). the study also found a significant relationship between mmp-2 overexpression and histopathology grading, which may be helpful to define the prognosis. keywords: mmp-2; low-grade mpnst and high-grade mpnst; prognostic factors abstrak: malignant peripheral nerve sheath tumor (mpnst) adalah sarkoma jaringan lunak yang sulit dibedakan dengan jenis sarkoma sel epitel spindel lainnya. mpnst bersifat agresif dengan angka rekurensi yang tinggi dan cenderung bermetastasis terutama ke paru. salah satu tahap metastasis dengan cara mendegradasi matriks ekstraseluler dimana matrix metalloproteinase (mmp) berperan penting dalam proses ini. mmp tipe gelatinase yaitu mmp2 dan mmp-9 memiliki kemampuan dalam mendegradasi membran basal dan kolagen fibrillar sehingga dapat membuka jalur invasi. mmp-2 mampu mendegradasi lebih banyak matriks ekstraseluler kolagen dan non kolagen dibandingkan mmp-9. penelitian bertujuan menilai hubungan antara peningkatan ekspresi mmp-2 dengan derajat keganasan histologik dan variabel prognostik klinis lainnya. penelitian dilakukan dengan pulasan imunohistokimia mmp-2 pada 39 kasus yang terdiri atas 19 kasus mpnst derajat rendah dan 20 kasus mpnst derajat tinggi. selanjutnya analisis hubungan antara peningkatan ekspresi mmp-2 dengan derajat keganasan dan variabel klinis seperti usia, jenis kelamin, ukuran dan lokasi tumor. peningkatan ekspresi mmp-2 ditemukan pada 19 (95%) kasus mpnst derajat tinggi dan 3 (15,8%) kasus mpnst derajat rendah (p 0,000). penelitian ini menemukan hubungan yang kuat antara peningkatan ekspresi mmp-2 dengan derajat keganasan mpnst. peningkatan ekspresi mmp-2 sejalan dengan peningkatan derajat histologik, sehingga dapat digunakan dalam menilai progresivitas mpnst. kata kunci: protein mmp-2; mpnst derajat tinggi dan mpnst derajat rendah; faktor prognostik https://doi.org/10.18196/mmjkk.v21i2.10882 72 | vol 21 no 2 july 2021 introduction malignant peripheral nerve sheath tumor (mpnst) is an ectomesenchymal tumor that is difficult to diagnose because of its identical morphology to other spindle cell sarcoma.1 the diagnosis of soft tissue tumor refers to the grading system of the french federation of cancer centre against cancers (fnclcc), while histological type alludes to who soft tissue and musculoskeletal. the prominent role in determining tumor grading is to measure the possibility of distant metastasis, which correlates with the patient’s prognosis.1,2 mpnst has a poor prognosis and is one of the most aggressive sarcomas, with a high recurrence rate and a tendency to metastasize to the lungs.3 in this regard, matrix metalloproteinase (mmp) takes an important role in matrix degradation and contributes to tumor invasion and metastasis. many types of mmp, namely gelatinase types such as mmp-2 and mmp-9, are essential for the development of malignant tumors.4,5 gelatinase is the main enzyme to degrade the basal membrane and fibrillar collagen to pave the way for cell invasion.6-8 mmp-2 can degrade type i-iv collagen and extracellular matrix (ecm) non-collagen compared to mmp-9 that cannot degrade type i-iii collagen and ecm non-collagen. in addition, metastasis of malignant cells produces a large amount of mmp-2 by stimulating the surrounding stromal cells to produce mmp-2. mmp-2 overexpression can be found in cell migration, invasion, and metastasis.9 moreover, mmp inhibitors can impede mmp activity, especially mmp-2 activity, in tumor growth and spread. one of the mmp inhibitors that can be used as a potential target of cancer therapy is batimastat. batimastat is a synthetic mmp inhibitor that functions as an antineoplastic and antiangiogenic.9 besides, mmp inhibitors can be a potential therapy in several pathological conditions, including inflammatory processes and cancer.10 research conducted by carrying out matrix metalloproteinase-2 for mpnst cases was first performed at the anatomical pathology laboratory, faculty of medicine, university of indonesia, cipto mangunkusumo hospital jakarta. it is expected that mmp-2 can be used as a prognostic factor for mpnst progression and provide hope for a new treatment method in cases where total resection is not possible by providing an additional therapy in the form of targeted therapy.10 targeted therapy works by preventing extracellular matrix damage caused by mmp-2.11 thus, this research assessed the differences in mmp-2 expressions in lowand high-grade mpnst with tumor’s ability to metastasize and the patient’s prognosis. materials and method this research worked on a descriptive-analytical cross-sectional design and was approved by the institutional review board. this study registered 39 cases, consisting of 19 cases of low-grade mpnst and 20 cases of high-grade mpnst from our hospital from july 2007 to november 2014. for mmp-2 immunostaining, 4-mm-thick paraffin sections were cut and mounted on poly-l-lysine glass slides. the slides were deparaffinized in xylene and rehydrated with ethanol. endogenous peroxidase was blocked using 95 ml of methanol plus 5 ml of 3% hydrogen peroxide solution. heat-based antigen retrieval was carried out for ten min. primary antibodies used were from biocare medical for mmp-2 (dilution 1:25). slides were incubated for an hour with the primary antibodies, followed by staining with streptavidin-biotin peroxidase. slides were then revealed in a diaminobenzidine solution for two min and stained with hematoxylin for five min. further, a placenta tissue was used as a positive control for mmp-2. meanwhile, negative controls were acquired by discarding the primary antibodies. a cut-off point of >25% moderate to strong cytoplasmic immunoreactivity on the tumor cells was explained as a positive mmp-2 overexpression. mmp-2 expression was then scored. after that, the correlation between mmp-2 expression and histopathology grading and other clinical variables, such as age, gender, and tumor size and location, were analyzed. the descriptive data were presented in the frequency table. besides, categorical variables were compared using chi-square, with the alternative of fisher's exact test. in this case, p<0.05 was considered statistically significant. statistical analysis was then executed utilizing spss statistics for windows, version 17.0. results the characteristics of 39 patients were summed up, as presented in table 1, either overall or according to the histopathological grade. thirty-nine samples consisted of low-grade (n=19) and high-grade (n=20) mpnst. the number of samples in this study was <50 samples; therefore, to measure the normality | 73 of data distribution, the shapiro-wilk normality analysis was used. if the p-value is >0.05, the data distribution shows normal. five patients (13%) had disease associated with nf-1 syndrome, and the other 34 patients (87%) had no association with nf-1 syndrome, with age ranging from 27 until 66 years old. there were two cases for males and three cases for females. then, high-grade mpnst differentiation was reassessed, and found three cases of rhabdomyoblast differentiation (15%) of all cases (fig 2c). in addition, lymph node removal was found in four cases, consisting of two low-grade cases and two high-grade cases of mpnst, and there was only one case of metastasis to the lymph nodes with high-grade malignancy (fig 1a and fig 2a). table 1. the main characteristic according to the histopathological grade characteristic mpnst low grade n=19 (%) high grade n=20 (%) gender male 16 (84) 12 (60) female 3 (16) 8 (40) age <40 years old 8 (42) 7 (35) ≥ 40 years old 11 (58) 13 (65) tumor site extremity 9 (47.4) 6 (30) head and neck 5 (26.3) 8 (40) trunk 5 (26.3) 6 (30) size (cm) 11.53 + 6.8 12.6 + 5.6 margin status negative 11 (58) 8 (40) positive 1 (5) 4 (20) biopsy 5 (26) 4 (20) no data 2 (10) 4 (20) moreover, there was an increased mmp-2 expression in twenty-two cases (56.4%) but not in seventeen cases (43.6%). at low-grade mpnst (fig 1c), mmp-2 expression increased in three cases (15.8%) (fig 1b), but it did not exist in the other 16 cases (84.2%) (fig 1d). meanwhile, at high-grade mpnst, there were 19 cases (95%) of increased mmp-2 expression, but it was absent in one case (5%). furthermore, mmp-2 expression either in male or female patients neither indicated a significant difference (p 0.083) nor mmp-2 expression in patients aged over or under 40 years old (p 0.261). the same results were also obtained for mmp-2 expression in extremities, head, neck, and trunk, which did not indicate a significant difference. in addition, a statistical test comparing two unpaired groups, the fisher test, was employed to measure mmp-2 expression for tumor location, and there was no significance (p 0.363). 74 | vol 21 no 2 july 2021 table 2. mmp-2 expression concerning the histopathological grade and clinical variables characteristic mmp-2 expression p-value positive n (%) negative n (%) mpnst low grade (n=19) 3 (15.8) 16 (84.2) 0.000 a high grade (n=20) 19 (95) 1 (5) gender male 14 (63.6) 15 (36.4) 0.083 a female 8 (88.2) 2 (11.8) age <40 years old 7 (31.8) 8 (47.1) 0.261 a ≥40 years old 15 (68.2) 9 (52.9) tumor site extremity 8 (53.3) 7 (46.7) 0.363b head and neck 7 (53.8) 6 (46.2) trunk 7 (63.6) 4 (36.4) size (cm) ≤ 5 cm 1 (33.3) 2 (66.7) 0.884 a >5 cm 21 (58.3) 15 (41.7) total 22 (56.4) 17 (43.6) a= unpaired categorical comparative test of chi-square b= unpaired categorical comparative test of fisher table 2 shows a significant difference between mmp-2 expression at low and high grades at p 0.000. the odds ratio value was 101, and it indicates that the high-grade patients had a possibility (odds) of 101 times to provide positive results for mmp-2 expression compared with low-grade patients (fig 2b and fig 2d). figure 1. low-grade mpnst (a, c) he staining; (b) focal mmp-2 protein; (d) negative mmp-2 protein; a, b, c, and d original magnification of 400x a c b d | 75 figure 2. (a) high-grade mpnst, he staining; (b) diffuse mmp-2 protein; (c) high-grade mpnst with rhabdomyoblast differentiation, he staining; (d) diffuse mmp-2 protein; a, b, c, and d original magnification of 400x discussion in this study, the ratio of male and female patients was 2.5:1. this data is not in accordance with the literature, which stated that there was no gender preference for mpnst.12 however, in the sporadic mpnst cases (de novo), females were more slightly higher than males.13 conversely, the gender ratio in this study is consistent with the study of schmidt et al, of 35 mpnst cases, there were 27 males (77.1%) and eight females (22.9%). it also supports several other studies, which suggested no difference in prognosis between males and females.12 the age of patients ranged from 13-66 years, and the majority was in the age of 41-50 years old for 12 cases (31%). this data is similar to the literature in which mpnst is usually found in the fourth decade.13-16 concerning this, children rarely suffer from mpnst; however, if there is historical radiation and the presence of nf1, it can also happen in children until young adults.6,12,17 the presence of a historical case of plexiform neurofibroma and nf-1 type is considered a precursor lesion of mpnst.18 in this study, we found five cases with nf-1, in which one case was found in low grade and the other four cases in high grade, sized more than 5 cm for all. based on the literature, patients with a history of nf-1 have multiple neurofibromatoses, so that the transformation towards malignancy is difficult to identify clinically, and most are high-grade tumors and larger than 5 cm. the presence of nf-1 in patients also increases the risk of metastasis by 15 % compared to the inexistence of nf-1 by 9%.17 in addition, most cases were high-grade malignancies (53.5%). in this regard, stucky obtained the same result, in which 61% of cases were high grades.19 hence, it is crucial to determine the grade of soft tissue tumor because the high-grade tumor has a greater tendency to metastasize than the low-grade tumor, associated with poor prognosis.19-21 likewise, a high-grade mpnst has a 1.8-fold risk of death and a 2-fold risk of metastasis compared with a low grade.22 we also found three cases (7%) with rhabdomyoblastic differentiation in high-grade mpnst.23 based on the literature study, there are 15% mpnst differentiation cases, such as rhabdomyoblastic, epithelioid, glandular, osteogenic, and neuroendocrine components, but rhabdomyoblastic is the most common and well known as malignant triton tumor (mtt). in the fnclcc grading system, mtt is categorized as a high-grade tumor (grade 3).24 besides, in some cytogenetic studies, mtt occurred because of lesions on chromosome a c b d 76 | vol 21 no 2 july 2021 11p15 and the c-myc gene amplification, leading to acting more aggressive in mtt compared to classic mpnst.14 if a tumor is larger than 5 cm, it is increasingly prominent and painful, which should be considered sarcoma. in this study, 36 cases (95%) were larger than 5 cm. meanwhile, three cases (16%) tumors were measured less than 5 cm and found in low-grade mpnst. besides, all high-grade tumors (100%) were larger than 5 cm. the average size of tumors with low-grade malignancy was 11.53 cm, and high-grade malignancy was 12.6 cm. these results are slightly different from grimer’s study, with the average sarcoma size was 10.7 cm.25 according to grimer, patients with tumors larger than 25 cm have a risk of death 8.5 times greater than patients with tumors less than 5 cm at first diagnosed. the larger the tumor size, the worse the prognosis because it is related to local recurrence and distant metastasis, thereby increasing the risk of death. 19,22 moreover, most of mpnst was located in extremities by 38%, followed by the head and neck by 33%, and in the trunk area by 29 %. it aligns with the reference, stating that 45% of mpnst are located in the extremities, 34% in the trunk, and 19% in the head and neck. 20 in the peripheral areas, extremities have a better survival rate than the central area, such as in the trunk, head, and neck, because the tumor in extremities can be detected earlier and are more convenient for resection.17,22 however, tumors in the trunk, head, and neck have a three-fold risk of local recurrence than those in the extremities. it is due to the difficulty of total resection due to its deep location and adjacent to the vital organs in the head and neck.22,26 in addition, tumors located in the retroperitoneum, thorax, head, and neck have a low survival rate (15%) since they tend to be slowly detected so that the tumor has reached a large size and is difficult to excise extensively.26 the risk of death increases 2.5-fold if it is located in the trunk and retroperitoneum. some cases are also located in rare areas, such as in the prostate, external genitalia, and orbita. based on the literature, mpnst can occur in all parts of the body containing peripheral nerves. 27 the data showed a significant difference between the increased mmp-2 expression with a histopathological grade of mpnst. mmp-2 expression increased in high grade than in low grade (p 0.000). this study supports the reference statement that high-grade tumors showed increased mmp-2 expression compared to low grades.28 besides, two variables for this study, histopathology grading and mmp-2 expression, were strongly related to the odds ratio 101, meaning that mpnst patients with high grades were 101 times more likely to give positive results for mmp-2 expression compared to the low-grade patients. based on the literature, high-grade mpnst can metastasize because the mmp-2 protein supports tumor growth, invasion, and metastasis.26 stucky et al. revealed a significant association between high-grade tumors and tumors larger than 5 cm with a risk of distant metastasis. 19 meanwhile, there was no significant correlation between mmp-2 expression on female (p 0.083), age (p 0261), tumor size (p 0.363), and tumor location (p 0884). similar results have been reported by benassi et al., stating a non-significant relationship between mmp-2 expression with the clinical variables of gender, age, and tumor size and location.29 in this study, we also found four cases of lymph nodes removal and only one case of lymph node metastasis with high-grade malignancy. in this regard, hematogenous metastasis occurs in the lungs and bones by 65%, while local recurrence occurs in 54% of cases. furthermore, three low-grade mpnsts showed positive results on mmp-2 staining. this result proves that tumors with low-grade malignancies also have the potential to metastasize, even a bit similar to the research conducted by benassi et al. that there was one case of low-grade mpnst experiencing metastasis.29 one protein that functions in the invasion and metastasis process is mmp-2, usually found in tumors with high-grade malignancies. it supports the results of our study, in which mmp-2 overexpression was found by 95% in high-grade mpnst. thus, it can be concluded that the high-grade mpnst had a greater risk of metastasis than low grade. therefore, identifying potential metastasis with mmp-2 staining is vital to see if the patient has a high risk of metastasis; then, the appropriate treatment for the patient can be decided.29 conclusion our study revealed that mmp-2 expression was greater in high-grade mpnst than in low grade, correlated with histopathology grading, but did not correlate with clinical variables, such as gender, age, and tumor size and location. mmp-2 overexpression can be used as a prognostic factor in mpnst development. in addition, mmp-2 expression should be assessed in high-grade mpnst cases to predict metastasis; then, the targeted therapy for the patient may be performed. | 77 conflict of interest we declare that there is no conflict of interest of this paper. references 1. kar m, deo svs, shukla nk, malik a, gupta sd, mohanti bk, et al. malignant peripheral nerve sheath tumors (mpnst)clinicopathological study and treatment outcome of twenty-four cases. world j surg oncol. 2006; 4: 55. https://doi.org/10.1186/1477-7819-4-55 2. fletcher cdm, gronchi a. tumours of soft tissue: introduction. in: fletcher cdm, bridge ja, hogendoorn pcw, mertens f, eds. world health organization classification of tumours of soft tissue and bone. lyon: iarc; 2013. p.14-8. 3. srinivas sp, rao l, nayak dr. widely infiltrating epiteloid malignant peripheral nerve sheath tumors of skull base. malays j med sci. 2013; 20: 82-5. 4. al gharibi kn. mmp family protein expression as prognostic biomarkers in human soft tissue sarcoma of extremities [ph.d. thesis]. uk: university of manchester; 2012. [cited 2014 april 9]. 5. koga k, nabeshima k, aoki m, kawakami t, hamasaki m, toole bp et al. emmprin in epitheloid sarcoma: expression in tumor cell membrane and stimulation of mmp-2 production in tumor-associated fibroblasts. int j cancer. 2006; 120; 761-8. https://doi.org/10.1002/ijc.22412 6. kahari vm, reunanen n. matrix metalloproteinases in cancer cell invasion. in: kahari vm, heino j, editors. cell invasion. texas: eurekah; 2002. p. 1-11. 7. nagase h, visse r. matrix metalloproteinases and tissue inhibitors of metalloproteinases: structure, function and biochemistry. circ res. 2003; 92: 827-39. https://doi.org/10.1161/01.res.0000070112.80711.3d 8. nelson ar, fingleton b, rothenberg m, matrisian lm. matrix metalloproteinases: biologic activity and clinical implication. j clin oncol. 2000; 18: 1135-49. https://doi.org/0.1200/jco.2000.18.5.1135 9. giavazzi r, garofalo a, ferri c, lucchini v, bone ea, chari s et al. batimastat, a synthetic inhibitor of matrix metalloproteinases potentiates the antitumor activity of cisplastin in ovarian carcinoma xenografts. clinic cancer res. 1998:4:985-92. 10. botos i, scapozza l, zhang d, liotta l, meyer ef. batimastat, a potent matrix metalloproteinase inhibitor, exhibits an unexpected mode of binding. proc natl acad sci. 1996: 93: 2749-54. https://doi.org/10.1073/pnas.93.7.2749 11. hojilla cv, mohammed ff, khokha r. matrix metalloproteinases and their tissue inhibitors direct cell fate during cancer development. br j cancer. 2003; 89: 1817-21. https://doi.org/10.1038/sj.bjc.6601327 12. schmidt rf, yick f, boghani z, eloy ja, liu jk. malignant peripheral nerve sheath tumors of the trigeminal nerve: a systematic review of 36 cases. neurosurg focus. 2013; 34. 13. abdul kfw, antonescu cu, dal cin p, folpe al, geisinger km, gown am, et al. malignant tumors of the peripheral nerves, in: weiss sw, goldblum jr, eds. soft tissue tumors. mosby: elsiever; 2008. 903-44. 14. stasik cj, tawfik o. malignant peripheral nerve sheath tumor with rhabdomyosarkomatous differentiation (malignant triton tumor). arch pathol lab med. 2006;130: 1878-80. https://doi.org/10.5858/2006-130-1878-mpnstw 15. friedrich re, hartmann m, mautner vf. malignant peripheral nerve sheath tumors (mpnst) in nf1affected children. anticancer res. 2007; 27: 1957-60. 16. fisher c, montgomery ea, thway k. spindle cell sarkomas. in: epstein ji, eds. biopsy interpretation of soft tissue tumors. wolters kluwer: lippincott williams & wilkins; 2011. 195-207. 17. porter de, prasad v, loster l, dall gf, birch r, grimer rj. survival in malignant peripheral nerve sheath tumors: a comparison between sporadic and neurofibromatosis type 1-associated tumors. sarcoma. 2009;10. 18. nielsen g.p, antonescu c.r, lothe r.a. malignant peripheral nerve sheath tumour. in: fletcher cdm, bridge ja, hogendoorn pcw, mertens f, eds. world health organization classification of tumours of soft tissue and bone. lyon: iarc; 2013. 187-9. https://doi.org/10.1177/1066896917709580 19. stucky ch, johnson kn, gray rj, pockaj ba, ocal it, rose ps et al. malignant peripheral nerve sheath tumor (mpnst): the mayo clinic experience. ann surg oncol. 2012:19: 878-85. https://doi.org/10.1245/s10434-011-1978-7 20. abdul kfw, antonescu cu, dal cin p, folpe al, geisinger km, gown am, et al. general consideration. in: weiss sw, goldblum jr, eds. soft tissue tumors. mosby: elsevier; 2008.1-14. 21. alford sh, vrana ms, waite l, heim-hall j, sylvia vl, williams rp. matrix metalloproteinase expression in high degree soft tissue sarcomas. oncol rep. 2003; 18; 1529-36. https://doi.org/10.1186/1477-7819-4-55 https://doi.org/10.1002/ijc.22412 https://doi.org/10.1161/01.res.0000070112.80711.3d https://doi.org/0.1200/jco.2000.18.5.1135 https://doi.org/10.1073/pnas.93.7.2749 https://doi.org/10.1038/sj.bjc.6601327 https://doi.org/10.5858/2006-130-1878-mpnstw https://doi.org/10.1177%2f1066896917709580 https://doi.org/10.1245/s10434-011-1978-7 78 | vol 21 no 2 july 2021 22. anghileri m, miceli r, fiore m, mariani l, ferrari a, mussi c. malignant peripheral nerve sheath tumors. cancer. 2006; 107: 1065-74. https://doi.org/10.1002/cncr.22098 23. guo a, liu a, wei l, song x. malignant peripheral nerve sheath tumors: differentiation patterns and immunohistochemical featuresa mini review and our new findings. j cancer. 2012: 3: 303-9. https://doi.org/10.7150/jca.4179 24. coindre jm. grading of soft tissue sarcoma: review and update. arch pathol lab med. 2006: 130: 1448-53. https://doi.org/10.5858/2006-130-1448-gostsr 25. grimer rj. size matters for sarcomas. ann r coll surg engl; 2006: 88: 519-24. https://doi.org/10.1308/003588406x130651 26. minovi a, basten o, hunter b, draf w, bockmuhl u. malignant peripheral nerve sheath tumors of the head and neck: management of 10 cases and literature review. wiley periodicals, inc. head neck. 2006; 29: 439-45. https://doi.org/10.1002/hed.20537 27. benassi ms, gamberi g, magagnoli g, molendini l, ragazzini p, merli m, et al. metalloproteinase expression and prognosis in soft tissue sarcomas. ann oncol. 2001; 75-80. https://doi.org/10.1023/a:1008318614461 28. aydin md, yildirim u, gundogdu c, dursun o, uysul hh, ozdikici m. malignant peripheral nerve sheath tumor of the orbit: case report and literature review. skull base. 2004;14:109-13. https://doi.org/10.1055/s-2004-828705 29. yang hk, jeong kc, kim yk, jung sk. role of matrix metalloproteinases (mmp)2 and mmp-9 in soft tissue sarcoma. clinic orthoped surg. 2014; 6: 443-54. https://doi.org/10.4055/cios.2014.6.4.443 https://doi.org/10.1002/cncr.22098 https://doi.org/10.7150/jca.4179 https://doi.org/10.5858/2006-130-1448-gostsr https://doi.org/10.1308/003588406x130651 https://doi.org/10.1002/hed.20537 https://doi.org/10.1023/a:1008318614461 https://doi.org/10.1055/s-2004-828705 https://doi.org/10.4055/cios.2014.6.4.443 69 mutiara medika vol. 9 no. 1:69-73, januari 2009 perawatan pembesaran gingiva dengan gingivektomi treatment gingival enlargement by gingivectomy ika andriani periodonsia, prodi kedokteran gigi fakultas kedokteran, universitas muhammadiyah yogyakarta abstract the purpose of this article is to report a case of treatment gingival enlargement by gingivectomy the inflammatory enlargement is clinically called hyperthropic gingivitis or gingival hyperplasia and generally related to local or systemic factors. they could be edematous or fibrous. the former is treated by scaling,curettage and root planing, but the latter could not be treated by scaling, curettage and root planing and only has to be removed by gingivectomy a 13-year-old female presented with a complaint of swelling of the gingiva with bled when brushed the teeth in the maxillary and mandibulary anterior region for a period of three mounts. a clinical examination revealed the existence of poor oral hygiene and bleeding spontaneously. by scaling, curettage and root planning this disease could not be treated and only has to be removed by gingivectomy. after gingivectomy, the patient had a better clinical appearance and good gingival esthetic. key words: edematous, fibrous, gingival enlargement abstrak tujuan penulisan naskah ini adalah melaporkan kasus perawatan pembesaran gingiva dengan gingivektomi pembesaran gingiva karena peradangan secara klinis disebut gingivitis hipertropi atau hiperplasi gingival dan disebabkan karena faktor lokal ataupun sistemik. bisa karena odematus atau fibrotik., jika tidak bisa dirawat dengan scaling, curettage dan root planing maka hanya dilakukan gingivektomi. pasien wanita 13 tahun datang ke bagian periodonsi rs sudomo universitas gadjah mada yogyakarta dengan keluhan, sudah tiga bulan gigi-gigi anterior rahang atas dan bawah membesar dan berdarah ketika menyikat gigi. pemeriksaan klinis kelihatan bahwa kebersihan mulut yang buruk dan berdarah spontan. ketika pembesaran gingiva tidak dapat dirawat dengan scaling, curettage dan root planing maka hanya bisa dihilangkan dengan gingivektomi. sesudah gingivektomi, pasien secara klinis dan estetik lebih baik kata kunci: edematous, fibrosis, pembesaran gingival ika andriani, perawatan pembesaran gingiva ............ ................ 70 pendahuluan pembesaran gingiva adalah suatu peradangan pada gingiva yang disebabkan oleh banyak faktor baik faktor lokal maupun sistemik, yang paling utama adalah faktor lokal yaitu plak bakteri. tanda klinis yang muncul yaitu gingiva membesar, halus, mengkilat, konsistensi lunak, warna merah dan pinggirannya tampak membulat. hal ini menimbulkan estetik yang kurang baik, sehingga memerlukan perawatan yaitu gingivektomi.1 kasus pembesaran gingiva dengan gingivektomi. tinjauan pustaka gingiva adalah jaringan lunak yang menutupi gigi. gingiva yang sehat berwarna merah muda dengan tepi yang tajam menyerupai krah baju, konsistensi kenyal dengan adanya stipling. pertambahan ukuran gingiva adalah hal yang umum pada penyakit gingiva. terminologi kondisi tersebut adalah : gingival enlargement. gambaran klinisnya disebut hipertropi gingivitis atau hiperplasi gingiva.dengan warna merah, konsistensi lunak, tepi tumpul dan tidak adanya stipling (halus).1 pembesaran gingiva merupakan hasil dari perubahan inflamsi akut atau kronis. perubahan kronis lebih umum terjadi. gambaran klinis inflamasi kronis pembesaran gingiva adalah pada tahap awal merupakan tonjolan sekitar gigi pada papila dan marginal gingival. tonjolan tersebut dapat bertambah ukurannya sampai menutup mahkota. bisa secara lokal ataupun general dan progresnya lambat dan tidak sakit, kecuali pada infeksi akut atau trauma . penyebabnya plak gigi yang terekspos dalam jangka lama.2 klasifikasi pembesaran gingival menurut faktor etiologi yaitu: (1) inflamatory enlargement kronis dan akut; (2) obatobatan penyebab pembesaran gingiva, misalnya phenythoin (dilantin), cyclosporine, calcium chanel blokers; (3) pembesaran pada kondisi tertentu misalnya penyakit sistemik kehamilan, pubertas; (4) defisiensi vitamin c; (5) non spesifik (pyogenik granuloma); (6) penyakit sistemik misalnya leukimia dan penyakit granulomatous ( wegner ’s granuloma, sarcoidosis); (7) neoplasma enlargement (tumor gingiva) berupa tumor benigna atau tumor maligna; dan (8) false enlargement. gingivektomi diindikasikan pada pembesaran gingiva yang tumbuh berlebih, jaringan yang fibrosis dan poket supraboni. pembesaran gingiva yang tidak mengecil sesudah dilakukan scaling, curettage, root planing dan polishing maka perlu dilakukan gingivektomi.8 definisi gingivektomi adalah pemotongan jaringan gingiva dengan membuang dinding lateral poket yang bertujuan untuk menghilangkan poket dan keradangan gingiva sehingga didapat gingiva yang fisiologis, fungsional dan estetik baik. keuntungan gingivektomi adalah teknik sederhana, dapat mengeliminasi poket secara sempurna, lapangan penglihatan baik, morfologi gingiva dapat diramalkan sesuai keinginan.2.3.4 suatu penelitian menunjukkan adanya faktor lokal sebagai pemicu terjadinya kekambuhan pada proses penyembuhan setelah dilakukan gingivektomi.5 kontrol plak yang tidak optimal menyebabkan terjadinya penumpukan bakteri plak supragingiva yang menimbulkan keradangan pada gingiva didekatnya. keradangan yang terjadi menyebabkan terjadinya kekambuhan atau pembesaran gingiva, oleh karena itu selama masa penyembuhan diperlukan oral hygiene yang baik. 5.6 bakteri plak merupakan penyebab utama penyakit keradangan pada jaringan periodontal sehingga tanpa kontrol plak, kesehatan periodontal tidak akan pernah tercapai. pada gigi yang crowded memudahkan terjadi akumulasi plak dan menyulitkan pembersihan plak. sebenarnya aspek keberhasilan perawatannya tergantung pada kontrol plak.7 penulisan naskah ini bertujuan untuk melaporkan kasus pembesaran gingiva karena peradangan yang harus dirawat dengan gingivektomi pada gigi anterior yang berjejal. kasus ini sering ditemui tetapi jarang dokter gigi melakukan perawatan 71 mutiara medika vol. 9 no. 1:69-73, januari 2009 pada gigi yang berjejal, plak dan sisa makanan mudah terakumulasi. penghilangan plak dan pembersihan sisa makanan pada gigi yang berjejal sulit dilakukan dengan baik dan kontrol plak tidak bisa dilakukan dengan baik sehingga akan bisa menimbulkan kekambuhan hiperplastik gingivitis. 5 laporan kasus seorang pasien perempuan berusia 13 tahun, datang ke bagian periodonsa fakultas kedokteran gigi universitas gadjah mada pada tanggal 20 oktober 2008 untuk memeriksakan gusinya yang membesar dan berdarah ketika menggosok gigi. setahun yang lalu juga mengalami hal demikian kemudian oleh dokter gigi hanya dibersihkan karang giginya (scaling), pasien merasa gusi tidak mengecil tetapi karena tidak diinstruksikan untuk kontrol kembali pasien tidak memeriksakan kembali. tiga bulan terakhir pasien merasa mulai terganggu dengan gusi yang bertambah besar dan mudah berdarah. pemeriksaan klinis peradangan gingiva pada semua gigi. gigi anterior rahang atas dan rahang bawah berjejal. terjadi pembesaran gingiva pada elemen 13,12,11,21,23,24,33, 32,31, 41,42, dan 43 pada bagian bukal. gingiva tampak membesar, halus, warna merah, permukaan mengkilat, tepi gingiva tumpul dan konsistensi lunak. pada pemeriksaan probing depth (pd) positif atau mudah berdarah dengan kedalaman 4 mm. terdapat banyak kalkulus supra dan subgingiva. oral hygiene dengan skor 6 (jelek), plak kontrol dengan skor 85%. gingival indeks 2,2 (sedang) perawatan pada kunjungan ke-1 dilakukan pemeriksaan oral hygiene indeks ,gingival indeks dan plaque control indeks 85% . pada pemeriksaan plaque control indeks digunakan disclosing agent. tampak plak menutupi hampir seluruh permukaan gigi, gingiva membesar berwarna merah dengan tepi membulat dan mudah berdarah. dental health education (dhe) dilakukan dengan memperlihatkan pada pasien daerah gigi yang masih banyak plaknya, ditandai warna merah dari disclosing yang tidak hilang setelah kumurkumur. pasien diberi instruksi cara menyikat gigi yang benar, kemudian dilakukan scaling , root planing dan curettage untuk membersihkan plak, kalkulus supra dan subgingiva. pada kunjungan ke-2 gingiva terlihat masih besar tetapi tidak berwarna merah lagi, perdarahan mulai berkurang. plaque control index 50% maka dilakukan kembali dental health education (dhe) lebih ditekankan pada pasien untuk menyikat gigi lebih teliti dan memotivasi pasien untuk menjaga kebersihan gigi dan mulut dengan baik dan dilakukan lagi scaling, root planing, curettage dan polishing. pada kunjungan ke-3 gingiva masih terlihat besar, warna merah muda dan tidak terjadi perdarahan. plaque control index 25%. dental health education (dhe) dan motivasi lebih ditekankan lagi dan dilakukan scaling, root planing, curettage dan polishing. pada kunjungan ke-4 g i n g i v a masih terlihat besar, warna merah muda dan tidak terjadi perdarahan. plaque control index 15%. dilakukan gingivektomi pada rahang bawah dahulu, atas permintaan pasien: a. mukobukal dan daerah sulkus gingival dari 33 sampai 43 dianastesi b. memakai poket marker untuk mengetahui bleeding point dari 33 sampai 43 pada bagian interdentalnya. c. gingiva dipotong memakai scalpel dengan sudut 45 derajat mengikuti kontur gingiva pada sebelah apikal bleeding point dari interdental gigi 33 sampai 43 dengan arah bevel scalpel kearah incisal gigi (secara eksisi) secara continue (tidak putus-putus) ika andriani, perawatan pembesaran gingiva ............ ................ 72 d. setelah gingiva terpotong seluruhnya dan bagian yang terpotong diangkat, terlihat tepi gingiva belum terbentuk baik secara fisiologi maka dilakukan gingivoplasti yaitu membentuk tepi gingiva sehingga tepi gingiva menjadi tajam dan sesuai dengan kontur gingiva. e. gigi-gigi pada didaerah yang dilakukan gingivektomi di scaling kemudian daerah gingiva dispuling dengan larutan salin dan dikeringkan dengan kassa kemudian ditutup dengan periodontal peck f. pasien diberi obat antibiotik dan anti inflamasi g. pasien diminta kontrol 1 minggu kemudian, dan peck dilepas diskusi scaling, root planing, curettage dan polishing merupakan initial phase therapy dalam prosedur perawatan penyakit periodontal. tindakan ini secara nyata dapat meredakan peradangan gingiva,dan menghilangkan mikroorganisme patologi yang terdapat pada daerah subgingiva sehingga tidak lagi terjadi perdarahan ketika menyikat gigi. scaling adalah suatu tindakan penghilangan plak, kalkulus dan stain yang terdapat pada permukaan mahkota gigi. root planing adalah pembuangan jaringan sementum nekrotik dan atau lunak, dentin, kalkulus serat eliminasi bakteri dan toksin dari permukaan akar gigi untuk memperoleh permukaan akar yang halus. pada permukaan yang halus diharapkan plak tidak melekat sehingga tidak terjadi akumulasi plak dan kalkulus. curettage adalah tindakan untuk menghilangkan atau membersihkan jaringan granulasi atau jaringan yang meradang dari gingiva yang merupakan dinding poket. dengan dilakukannya curettage diharapkan jaringan periodontal akan sehat terjadi regenerasi dan perlekatan kembali dengan dinding gigi.1,2,3,8 pada pembesaran gingiva, apabila gingiva terdiri dari komponen fibrotik yang tidak bisa mengecil setelah dilakukan perawatan scaling, root planing, curettage dan polishing atau ukuran pembesaran gingiva menutupi deposits pada permukaan gigi, dan mengganggu akses pengambilan deposits, maka perawatannya adalah pengambilan secara bedah (gingivektomi).5 penyebab dari pembesaran gingiva pada kasus diatas adalah plak yang merupakan faktor lokal dan gigi yang berjejal atau tidak teratur terutama pada anterior rahang atas dan bawah. plak kontrol adalah cara sederhana untuk mencatat adanya plak pada permukaan gigi geligi perorangan. catatan ini dapat juga digunakan pasien untuk melihat kemajuan dalam melakukan kontrol plak, serta juga digunakan untuk memberi motivasi pasien. kontrol plak merupakan salah satu kunci keberhasilan perawatan periodontal yang bertujuan menghilangkan plak dan mencegah terjadinya akumulasi plak pada permukaan gigi dan gingiva. kontrol plak dapat dilakukan dengan cara menyikat gigi. pada pasien ini akumulasi plak pada saat dilakukan kontrol plak sangat tinggi kunjungan-1 (85%) dan pada waktu kontrol berikutnya kunjungan-2 ada sedikit penurunan (50%), kunjungan-3 (25%) dan kunjungan-4 (15%) sehingga untuk bisa dilakukan gingivektomi diperlukan waktu yang lama. gingivektomi atau tindakan bedah periodontal hanya bisa dilakukan ketika indeks plak sekitar 10%, sehingga akan memperoleh penyembuhan yang optimal dan mencegah terjadinya kekambuhan pembesaran gingiva. dental health education (dhe) dan motivasi harus lebih ditingkatkan sehingga pasien betul-betul sadar agar bisa menjaga kebersihan mulutnya dan tidak terjadi kekambuhan.5 satu minggu setelah gingivektomi, periodontal peck dilepas. gingiva terlihat masih terlihat agak merah karena terjadi proses epitelisasi, proses ini terjadi pada hari ke 5-14.7 kontur gingiva bagus, konsistensi kenyal, pinggir gingiva tajam. secara estetik gingiva terlihat lebih baik. pada kasus ini gigi pasien yang berjejal atau tidak teratur susunannya, sesudah dilakukan gingivektomi harus dirawat dengan kawat gigi orthodonsi sehingga memudahkan pasien untuk menjaga kebersihan giginya dan tidak terjadi kekambuhan pembesaran gingiva. 73 mutiara medika vol. 9 no. 1:69-73, januari 2009 gingivektomi yang dilakukan berulang akan menimbulkan resesi gingiva sehingga akan menimbulkan masalah yang berlanjut. kesimpulan pembesaran gingiva adalah peradangan yang terjadi pada gingiva karena faktor lokal yaitu bakteri plak. perawatan pembesaran gingiva yang tidak mengecil setelah dilakukan scaling, root planing, curettage dan polishing maka harus dilakukan gingivektomi yang akan menghasilkan morfologi dan estetik gingiva yang baik. plak kontrol merupakan kunci keberhasilan gingivektomi sehingga tidak terjadi kekambuhan pembesaran gingiva. pada kasus ini gigi pasien yang berjejal atau tidak teratur susunannya sesudah dilakukan gingivektomi harus dirawat dengan kawat gigi orthodonsi, sehingga memudahkan pasien untuk menjaga kebersihan giginya. daftar pustaka 1. newman mg, takei hh, caranza fa., 2006, clinical periodontology, 10 th ed. philadelphia: wb saunders co; p.7494, 263-9,432-53, 631-50, 749-61 2. goldman hm, cohen dw, 1980, periodontal therapy,. 6 th ed. the cv. mosby company, p. 640-90, 773-93 3. cohen es, 1989, atlas of cosmetic an reconstructive periodontal surgery, 2nd ed, philadelphia: lea & febiger, 31 4. lies zbs, 1997, gingivektomi sebagai tindakan bedah prostetik (laporan kasus). jurnal kedokteran gigi universitas indonesia, 4:295-301 5. iwan r., izzatul a., 2005, kekambuhan gingivitis hiperplasi setelah gingivektomi, majalah kedokteran gigi unair (dent. j), vol 38, no. 3. juliseptember, 108111 6. shahrohisham, widowati w., 2005, the efficacy of chlorhexidine 0.2 % after scaling in marginal gingivitis, maj. ked. gigi (dent. j). vol. 38. no. 4 oktoberdesember, 173-175 7. trijani s, 1996, evaluasi kesembuhan klinis setelah tindakan gingivektomi dengan atau tanpa peck periodontal pada kasus gingivitis pubertas. timnas ; 416-23 8. chapple i dan gilbert a., 2002, understanding periodontal diseases: assessment and diagnostic procedures in practice, quitessentials publishing co.ltd,.p.1-10 177 mutiara medika vol. 12 no. 3: 177-187, september 2012 pengaruh kitosan secara topikal terhadap penyembuhan luka bakar kimiawi pada kulit rattus norvegicus the influence of topical chitosan on chemical burn healing in skin rattus norvegicus aditiya pramudya wardono1, barii hafidh pramono1, rizqi afrian jamaludin husein1, sri tasminatun2* 1program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta, 2bagian farmakologi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta *email: tasmi_a@yahoo.co.id abstrak kontak antara kulit dengan zat kimia iritatif seperti asam sulfat dapat menyebabkan luka bakar kimiawi. senyawa yang telah diteliti efektif mempunyai kemampuan mengakselerasi proliferasi sel, migrasi sel pmn, daya antiinfeksi, dan bersifat basa adalah kitosan. penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kitosan secara topikal terhadap penyembuhan luka bakar kimiawi pada kulit tikus putih terinduksi asam sulfat. penelitian eksperimental invivo, sebanyak 30 ekor tikus dibagi enam kelompok (kontrol tanpa perlakuan, kontrol vaselin, kontrol bioplacenton®, salep kitosan dosis 1,25%, 2,5%, dan 5%). luka bakar kimiawi diinduksi dengan 0,1 ml asam sulfat 75%. data dianalisis dengan metode anava dilanjutkan uji tuckey. waktu sembuh paling cepat adalah kelompok salep kitosan dosis 2,5% (20,2±2,9 hari) dan yang paling lama adalah kelompok kontrol tanpa perlakuan (30,4±4,8 hari). pemberian salep kitosan dosis 1,25%, 2,5%, dan 5% signifikan mempercepat waktu sembuh dibandingkan kontrol tanpa perlakuan dan vaselin. salep kitosan 2,5% paling signifikan mempercepat waktu sembuh dibandingkan kontrol tanpa perlakuan dan vaselin (p=0,003; p=0,006). persentase penyembuhan kelompok salep kitosan 1,25%, 2,5%, dan 5% mempunyai kurva peningkatan persentase lebih tinggi dari semua kelompok kontrol. salep kitosan 2,5% signifikan meningkatkan persentase penyembuhan dibandingkan semua kelompok kontrol termasuk kontrol positif® (p=0,008). disimpulkan bahwa kitosan mempunyai pengaruh terhadap penyembuhan luka bakar kimiawi. kata kunci: kitosan, luka bakar kimiawi, penyembuhan luka, persentase penyembuhan, waktu sembuh abstract contact between skin with chemicals substance such as sulfuric acid can cause chemical burns. a compound that had been researched effective have ability to accelerate cell proliferation, migration of pmn cells, the anti-infective, and the base ph is chitosan. the aims is to determine the effect of topical chitosan on chemical burn healing in skin rat induced sulfuric acid. experimental in-vivo with 30 female rats divided into six groups (control without treatment, vaseline control, bioplacenton® control, chitosan ointment 1.25%, 2.5%, and 5% dose). chemical burn was induced with 0.1 ml of 75% sulfuric. data were analyzed by anova method continued with tuckey test. the results of healing time which fastest was chitosan ointment 2.5% (20.2±2.9 days) and which longest was control without treatment group (30.4±4.8 days). chitosan ointment 1.25%, 2.5%, and 5% dose significantly accelerated healing time compared with without treatment and vaseline control groups. chitosan ointment 2.5% most significantly accelerated the healing time compared with without treatment and vaseline control (p=0.003 p=0.006). the healing percentage of chitosan ointment 1.25%, 2.5%, and 5% dose have higher percentage increasing curve than all control groups. chitosan ointment 2.5% dose significantly increased the healing percentartikel penelitian 178 aditiya pramudya wardono, pengaruh chitosan secara topikal ... pendahuluan kulit merupakan suatu struktur pembungkus tubuh dan pelindung organ-organ yang ada di dalamnya.1 kulit merupakan pelindung utama yang menghalangi masuknya zat-zat kimia, mikroba dan material asing lain yang mempunyai sifat iritatif, toksigenik, dan patogenik.2 kerusakan kulit dikarenakan oleh banyak hal, salah satu diantaranya adalah terjadinya kontak antara kulit dengan zat kimiawi. semakin kuat daya iritasi dari zat kimia maka semakin tinggi tingkat kerusakan jaringan kulit. zat yang mempunyai daya iritasi kuat adalah asam kuat seperti asam sulfat.3 keseluruhan hasil proses kerusakan jaringan kulit itu menyebabkan luka bakar kimiawi.4 luka bakar kimiawi adalah kerusakan atau kehilangan jaringan pada kulit yang disebabkan kontak dengan bahan kimia.5 insidensi luka bakar di indonesia adalah sebesar 2,2%. insidensi tertinggi terdapat di provinsi nad dan kepulauan riau sebesar 3,8%.6 kerusakan jaringan kulit menyebabkan kemampuan kapiler untuk berfungsi sebagai sawar difusi hilang, cairan keluar dari sistem vaskular dan memicu proses peradangan yang disebabkan oleh peran mediator peradangan histamin dan prostaglandin.7 penatalaksanaan medis luka bakar kimiawi dikategorikan penanganan darurat (emergency). penanganan luka derajat pertama adalah dengan irigasi air mengalir untuk mencegah penumpukan sel radang dan cairan filtrat. luka derajat dua dan tiga memerlukan pembersihan luka secara bedah, pemberian obat anti inflamasi, pemberian antibiotik, dan apabila mungkin penanaman (kultur) kulit dari bagian tubuh lain. pemberian obat secara khusus untuk luka bakar kimiawi selama ini belum ada.8 salah satu zat yang perlu untuk dikaji adalah kitosan. kitosan adalah suatu turunan dari kitin yang diolah dari kulit kepiting, udang, atau kerang dengan proses demineralisasi, deproteinisasi, dan deasetilisasi. kitosan yang merupakan konstituen organik penting pada skeleton adalah suatu kopolimer molekuler tinggi dengan acetiloglukosamin dan glu­kosamin pada rantai­nya. pada bidang kesehatan kitosan digunakan sebagai agen antiobesitas, antikanker, antibakteria, antifungi, antiperdarahan dan penyembuh luka. kitosan telah diteliti mampu memacu proliferasi sel, meningkatkan kolagenisasi, dan mengakselerasi regenerasi sel (reepitelisasi) pada kulit yang terluka.9,10,11,12,13 kitosan dapat memacu migrasi sel pmn, mengaktivasi makrofag, dan memediasi proses fagositosis pada jaringan yang terluka.13,14,15 kitosan mempunyai daya antiinfeksi yaitu kemampuan anti bakteria dan antifungi.16,17 kitosan mampu menghentikan perdarahan pada fase awal luka.13,18 kitosan juga mempunyai sifat kimia dari polimernya yang cenderung basa sehingga dimungkinkan terjadi proses penetralan dari asam sulfat penyebab luka bakar kimiawi pada fase awal paparan.19 age than all control groups including positive control (p=0.008). it was concluded that chitosan have an influence on the healing of chemical burn. key words: chitosan, chemical burn, wound healing, healing percentage, healing time 179 mutiara medika vol. 12 no. 3: 177-187, september 2012 kitosan dalam berbagai bentuk sediaan telah diteliti mempunyai pengaruh terhadap percepatan proses penyembuhan luka insisi, sehingga diduga pemberian salep kitosan juga bisa berpengaruh terhadap proses penyembuhan luka bakar kimiawi. tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh kitosan secara topikal terhadap penyembuhan luka bakar kimiawi pada kulit tikus putih terinduksi asam sulfat. bahan dan cara jenis penelitian eksperimental in vivo dengan hewan uji. 30 ekor tikus putih (rattus norvegicus) betina galur sprague dawley (umur 6-8 minggu dan berat +180-230 gram), serbuk kitosan murni yang diperoleh dari pt. ultratrend biotech indonesia, vaselin golongan album, bioplacenton®, asam sulfat 75%, aether, kapas dan alkohol 70%. dengan menggunakan modifikasi metode morton dibuat luka bakar kimiawi. luka bakar kimiawi pada penelitian ini adalah luka bakar derajat tiga dengan penyembuhan sekunder. parameter penilaian penyembuhan luka adalah berdasarkan waktu sembuh dan persentase penyembuhan. kriteria makroskopis luka bakar derajat tiga adalah tidak dijumpai bula (penumpukan cairan infiltrat), permukaan kulit terlihat berlemak, kerusakan meliputi epidermis, dermis, subkutan, folikel rambut, kelenjar keringat dan kelenjar sebasea, kulit yang terluka berwarna merah atau pucat abu-abu. penyembuhan lukanya termasuk dalam kategori penyembuhan sekunder karena tidak dilakukan intervensi untuk merapatkan tepi luka dengan penjahitan atau jenis intervensi lain. indikator kesembuhan adalah pengamatan luka secara makroskopis dengan data diameter luka dan persentase penyembuhan yang dihitung dari waktu ke waktu telah mencapai diameter 0 mm (persentase 100%),20 dan ditunjang dengan tandatanda luka bakar derajat tiga yang menghilang tergantikan jaringan parut sebagai penanda kesembuhan serta tanda-tanda radang yang menghilang. dengan menggunakan dasar pijakan di atas maka luka bakar kimiawi dapat dianalisis penyembuhan lukanya. penelitian dilakukan dengan mencukur rambut pada punggung kanan bawah tikus hingga bersih. tikus dibagi dalam 6 kelompok yaitu kelompok kontrol negatif tanpa perlakuan, kontrol negatif vaselin, kontrol positif bioplacenton®, perlakuan salep kitosan dosis 1,25%, perlakuan salep kitosan dosis 2,5%, dan perlakuan salep kitosan dosis 5%. pembuatan salep kitosan dilakukan dengan menformulasikan kitosan dengan bahan pembawa vaselin golongan album pada dosis 1,25%, 2,5% dan 5%. salep kitosan sebanyak 0,125 ml dioleskan pada kulit punggung tikus setelah induksi asam sulfat. tikus dianastesi dan diinduksi luka bakar kimiawi dengan meneteskan sejumlah 0,1 ml asam sulfat 75% pada kulit yang telah diberi cincin pembatas luka berbentuk lingkaran berdiameter 15 mm. luka ditunggu selama 10 menit kemudian diukur diameter awal dan diberi perlakuan bahan uji sesuai kelompoknya masing-masing. tikus diberi perlakuan bahan uji, diamati penyembuhan, dan dicatat waktu sembuhnya setiap hari. pengukuran diameter luka dilakukan dalam berbagai arah seperti pada gambar 1. dengan metode morton 20 dan dihitung diameter rata-ratanya dengan rumus sebagai berikut: 180 aditiya pramudya wardono, pengaruh chitosan secara topikal ... dx (1) + dx (2) + dx (3) + dx (4) dx = 4 keterangan: dx : diameter luka hari ke-x (dalam mm) dx(1),(2),(3) dan (4) : diameter luka diukur dalam berbagai arah hasil pengukuran diameter kemudian dirubah menjadi persentase penyembuhan (dalam %) dengan menggunakan ”rumus konversi persentase”: d1 2 dx2 px = x 100 % d1 2 keterangan: px : persentase penyembuhan hari ke-x (dalam %) d1 : diameter luka hari pertama dx : diameter luka hari ke-x pada akhir penelitian didapatkan data meliputi waktu sembuh (dalam hari) dan persentase penyembuhan (dalam %). data dianalisis dengan metode anava dilanjutkan uji tuckey. hasil pada akhir penelitian telah dibuat suatu model luka bakar kimiawi pada kulit tikus putih yang diinduksi dengan asam sulfat 75%. hasil akhir luka bakar kimiawi memenuhi kriteria makroskopis luka bakar derajat tiga pada pengamatan setelah sehari tanpa perlakuan apapun. luka bakar derajat tiga pada subyek tikus penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2. tabel 1. menunjukkan bahwa kelompok salep kitosan dosis 1,25%, 2,5% dan 5% signifikan mempercepat waktu sembuh dibandingkan kontrol negatif tanpa perlakuan dan kontrol negatif vaselin. menyusul di urutan kedua dan ketiga yang mempunyai perbedaan bermakna adalah salep kitosan 5% dan salep kitosan 1,25%. kontrol positif (bioplacenton®) tidak memiliki perbedaan yang bermakna terhadap kelompok manapun. pada uji tuckey diketahui bahwa salep kitosan 2,5% terhadap waktu sembuh mempunyai perbedaan paling signifikan dibandingkan kontrol gambar 1. cara mengukur diameter luka 20 a b gambar 2. luka bakar kimiawi terinduksi asam sulfat 75% a. luka bakar kimiawi setelah 10 menit b. luka bakar kimiawi setelah sehari tabel 1. rata-rata waktu sembuh luka bakar kimiawi kelompok perlakuan rata-rata waktu sembuh kontrol negatif (tanpa perlakuan) 30,4 ± 4,83 a kontrol negatif (vaselin) 29,8 ± 5,31 a kontrol positif (bioplacenton®) 24,4 ± 2,70 a, b salep kitosan 1,25 % 22,2 ± 3,96 b salep kitosan 2,5 % 20.2 ± 2,95 b salep kitosan 5 % 20.4 ± 1,82 b keterangan: angka yang diikuti huruf berbeda (a, b, c) memiliki perbedaan yang signifikan (p<0,05) 181 mutiara medika vol. 12 no. 3: 177-187, september 2012 negatif tanpa perlakuan dan kontrol negatif vaselin dengan nilai p masing-masing yaitu p=0,003 dan p=0,006. perbandingan rata-rata waktu sembuh luka bakar kimiawi antar kelompok dapat dilihat pada gambar 3. pada gambar ditampilkan lebih jelas manakah kelompok yang mencapai waktu sembuh lebih cepat dibandingkan kelompok perlakuan lain. hasil rata-rata persentase penyembuhan luka bakar kimiawi dari semua kelompok pada penelitian ini diolah dan dianalisis dengan menggunakan dua factor list yaitu, data waktu (hari) dan kelompok perlakuan. oleh karena itu, dalam pengolahan dan penyajiannya terdiri dari 3 komponen yaitu, data rata-rata persentase penyembuhan, waktu dan kelompok perlakuan. perbandingan perkembangan rata-rata persentase penyembuhan luka bakar kimiawi dari semua kelompok selama 37 hari dapat dilihat pada kurva yang disajikan pada gambar 3. pada gambar 3. ditampilkan lebih jelas tentang kelompok yang mempunyai peningkatan persentase penyembuhan lebih baik dan cepat dibandingkan kelompok perlakuan lain. kurva yang lebih baik dan cepat pada peningkatan persentase penyembuhan adalah yang memiliki posisi disebelah kiri dan mencapai persentase 100% dengan waktu (hari) yang lebih cepat. data rata-rata persentase penyembuhan luka bakar kimiawi dari semua kelompok, kemudian dianalisis dengan metode anava dua arah dilanjutkan uji tuckey. hasil analisis anava dua arah dilakukan untuk melengkapi dan memperkuat analisis dari kurva di gambar 4. hasil anava dua arah tersebut menampilkan bahwa pemberian salep kitosan 2,5% signifikan meningkatkan persentase penyembuhan dibandingkan semua kelompok, kecuali salep kitosan 5% dengan detail lengkap nilai p yaitu, terhadap kelompok kontrol negatif tanpa perlakuan sebesar 0,001; kelompok kontrol negatif vaselin sebesar 0,000; kontrol bioplacenton® sebesar 0,008; salep kitosan dosis 1,25% sebesar 0,006 dan salep kitosan dosis 5% sebesar 0,431. uji tuckey juga menampilkan bahwa pemberian salep kitosan 2,5% adalah yang paling signifikan meningkatkan persentase penyembuhan. diskusi pada tabel 1. terlihat bahwa kelompok salep kitosan 2,5% memiliki rata-rata waktu sembuh yang paling cepat yaitu 20,2 ±2,9 hari jika dibandingkan -60 -40 -20 0 20 40 60 80 100 120 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 waktu sembuh (hari) p e rs e n ta s e p e n y e m b u h a n ( % ) kontrol negatif (tanpa perlakuan) kontrol negatif (vaselin) kontrol positif (bioplacenton) salep chitosan 1,25 % salep chitosan 2,5 % salep chitosan 5 % gambar 4. grafik rata-rata persentase penyembuhan luka bakar kimiawi 182 aditiya pramudya wardono, pengaruh chitosan secara topikal ... dengan kelompok lainnya. waktu sembuh yang paling lama adalah pada kelompok kontrol negatif (tanpa perlakuan) yaitu 30,4±4,8 hari (lihat tabel 3). ilustrasi lebih jelas bisa dilihat pada histogram rata-rata waktu sembuh. urutan waktu sembuh semua kelompok dari yang tercepat adalah salep kitosan dosis 2,5%, salep kitosan 5%, salep kitosan 1,25%, kontrol positif bioplacenton®, kontrol negatif vaselin dan terakhir kontrol negatif tanpa perlakuan. berdasarkan analisis statistik antara kelompok perlakuan terhadap data waktu sembuh didapatkan hasil yaitu distribusi normal, variasi yang sama dan independensi data maka selanjutnya bisa dilakukan uji hipotesis parametrik dengan metode anava satu arah (one way anova). hasil analisis tuckey menyatakan bahwa salep kitosan 2,5% mempunyai perbedaan waktu sembuh paling bermakna (signifikan) dibandingkan kontrol negatif tanpa perlakuan dan kontrol negatif vaselin (p=0,003 dan p=0,006). menyusul di urutan kedua dan ketiga yang mempunyai perbedaan bermakna adalah salep kitosan 5% dan salep kitosan 1,25%. kontrol positif (bioplacenton®) tidak memiliki perbedaan bermakna terhadap semua kelompok. gambar 4. menyatakan bahwa kelompok salep kitosan 2,5% mempunyai peningkatan persentase penyembuhan tertinggi dari hari ke hari sampai luka menjadi sembuh (persentase 100%). hal ini dikarenakan kelompok perlakuan ini memiliki garis kurva di posisi paling kiri dan mencapai nilai persentase penyembuhan 100% dengan waktu sembuh yang lebih cepat (hari ke-26), sedangkan kelompok yang mempunyai peningkatan persentase penyembuhan terendah adalah kelompok kontrol negatif (tanpa perlakuan) dan kontrol negatif (vaselin) karena keduanya memiliki garis kurva di posisi paling kanan dan mencapai nilai persentase penyembuhan 100% dengan waktu sembuh yang paling lama (hari ke-37). kelompok lainnya mempunyai kurva yang terletak diantaranya dengan urutan sebagai berikut: salep kitosan 5%, salep kitosan 1,25% dan kontrol positif (bioplacenton®). pada kurva di gambar 4. terlihat bahwa pada hari pertama sampai keempat semua kelompok mengalami pelebaran luka yang ditandai dengan penurunan persentase sampai nilainya minus. kelompok yang memiliki pelebaran luka paling besar adalah kontrol vaselin dan salep kitosan 1,25%, namun setelah hari keempat keatas, terjadi pemulihan luka yang ditandai dengan peningkatan persentase penyembuhan. hal ini dikarenakan luka bakar kimiawi pada fase awal masih terjadi reaksi erosif dari zat asam tersisa yang terus menerus masih mendenaturasi lapisan epitel dan keratin kulit sehingga luka semakin melebar. pada fase awal ini juga masih terjadi reaksi inflamasi yang menyebabkan pelebaran luka tersebut.3 mengenai kelompok vaselin dan salep kitosan 1,25% yang melebar paling besar adalah dikarenakan bahwa pemberian vaselin saja tidak mampu menetralkan asam sulfat dibandingkan pemberian perlakuan kelompok yang lain. pemberian vaselin juga tidak mempunyai daya sembuh karena peranannya hanya sebatas bahan pembawa, sedangkan mengapa pemberian salep kitosan dosis 1,25% juga melebar paling besar sama seperti kelompok vaselin, diduga karena dosis 1,25% tidak cukup untuk menetralkan asam sulfat pada fase awal, tetapi setelah hari keempat, salep kitosan 1,25% ini mampu menyembuhkan luka yang telah melebar secara lebih baik dibandingkan semua kelompok kontrol karena salep kitosan 183 mutiara medika vol. 12 no. 3: 177-187, september 2012 1,25% mempunyai agen penyembuh yaitu kadar kitosan sejumlah 1,25% tersebut. dengan kata lain kemampuan salep kitosan adalah pada fase awal tidak mampu menetralkan asam sulfat lalu setelah hari keempat kitosan mampu m empercepat penyembuhan luka.10, 19 hasil dari uji tuckey hsd diketahui bahwa kelompok salep kitosan 2,5% mempunyai perbedaan yang bermakna pada persentase penyembuhannya jika dibandingkan terhadap semua kelompok perlakuan kecuali terhadap salep kitosan 5%, sedangkan salep kitosan 5% hanya memiliki perbedaan bermakna terhadap kontrol negatif vaselin (p=0,012), selain kelompok tersebut tidak terdapat suatu perbedaan bermakna. nilai p dari salep kitosan 2,5% terhadap setiap kelompok adalah kelompok kontrol negatif tanpa perlakuan sebesar 0,001; kelompok kontrol negatif vaselin sebesar 0,000; kontrol bioplacenton® sebesar 0,008; salep kitosan dosis 1,25% sebesar 0,006; dan salep kitosan dosis 5% sebesar 0,431. nilai p tersebut membuktikan bahwa pemberian salep kitosan 2,5% signifikan meningkatkan persentase penyembuhan dibandingkan semua kelompok kontrol termasuk bioplacenton®, kecuali dibandingkan dengan salep kitosan 5%. berdasarkan hasil penelitian secara keseluruhan didapatkan hasil bahwa kelompok tikus yang diberi salep kitosan kadar 2,5% adalah yang mempunyai perbedaan paling signifikan dibandingkan kelompok lain. ini berarti kelompok salep kitosan 2,5% paling berpengaruh terhadap persentase penyembuhan dan waktu sembuh luka bakar kimiawi. kelompok 1,25% dan 5% mempunyai nilai signifikan yang berada dibawah salep kitosan 2,5%. kemampuan kitosan 2,5% yang lebih baik daripada salep kitosan 1,25% adalah kemungkinan sesuai dengan pembahasan sebelumnya yang menyatakan bahwa kitosan 1,25% mempunyai kemampuan menetralkan asam sulfat pada fase awal yang kurang dibandingkan kitosan 2,5%, karena prinsipnya semakin tinggi kadar zat yang bersifat basa (kitosan) maka semakin tinggi sifat basa pada campuran salep tersebut.19 luka yang sangat lebar pada kitosan 1,25% menjadikan penyembuhan lukanya lebih lama dan lebih lambat dalam kenaikan persentase penyembuhan luka dibanding luka pada kitosan 2,5% yang lebih kecil lukanya pada fase awal. jadi, kemampuan penetralan asam pada kitosan pada dosis 2,5% yang lebih tinggi adalah yang membuat salep kitosan dosis 2,5% lebih baik dibanding 1,25% dalam menyembuhkan luka dengan berbagai jalur penyembuhan luka. kemampuan kitosan 2,5% persen yang lebih baik daripada salep kitosan 5% adalah kemungkinan karena kadar kitosan yang terkandung dalam salep kitosan 5% terlalu tinggi sehingga kurang mampu untuk memacu berbagai proses dalam jalur penyembuhan luka. sesuai penelitian sebelumnya bahwa kitosan semakin kecil kadarnya semakin memiliki kemampuan daya sembuh dalam memacu jalur-jalur penyembuhan. kadar kitosan yang telah diteliti adalah dalam rentang antara 0,1%–5% untuk dosis topikal. dosis yang lebih kecil pada kitosan 2,5% lah yang memiliki kemampuan lebih baik dibanding dosis 5%. 20 jadi, dapat dikatakan bahwa salep kitosan 2,5% memiliki dosis yang optimum dalam penyembuhan luka bakar kimiawi. dosis topikal 2,5% adalah pertemuan dosis paling optimum pada kombina184 aditiya pramudya wardono, pengaruh chitosan secara topikal ... si kemampuan penetralan asam-basa dan kemampuan memacu jalur-jalur penyembuhan pada luka bakar kimiawi. penjelasan terjadinya proses penyembuhan luka bakar kimiawi yang lebih baik dan lebih cepat dengan pemberian salep kitosan 2,5% dapat dibagi kedalam 7 jalur penyembuhan luka bakar kimiawi. jalur penyembuhan luka bakar kimiawi yang pertama adalah penetralan zat kimia iritatif penyebab luka yaitu asam sulfat. sifat kimia alami dari kitosan yang berupa polimer yang cenderung basa dengan ph>5 membuat kitosan mempunyai kemampuan untuk menetralkan asam sulfat 75% pada fase-fase awal paparan luka bakar kimiawi.19 jalur penyembuhan luka bakar kimiawi yang kedua adalah menghentikan perdarahan pada fase awal luka. ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh masami dkk. (2002),18 yang menyatakan bahwa larutan kitosan mampu menghentikan perdarahan secara komplet sehari setelah pembuatan luka dengan menumbuhkan sejumlah besar fibrin pada permukaan luka, dan setelah itu luka dengan cepat akan mengkerut. kitosan adalah hemostat yang membantu pembekuan darah alami dan memblok akhiran saraf untuk mengurangi nyeri.9 jinab dkk. pada tahun 2006 melakukan penelitian tentang perbandingan kitosan dan heparin pada luas awal luka bakar dengan hasil derajat luka bakar pada kelompok kitosan lebih ringan daripada kelompok kontrol dan kitosan sangat baik untuk mencegah meluasnya luka bakar pada fase awal, sedangkan heparin tidak berpengaruh sama sekali. 21 jalur penyembuhan luka bakar kimiawi yang ketiga adalah dengan memacu (akselerator) sel pmn (polymorphonuclear) pada fase awal luka (fase inflamasi). hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa mekanisme penyembuhan luka dapat dipercepat oleh kitin dan kitosan dengan memacu aktivitas dan akumulasi sel pmn. hal ini terjadi karena aktivasi komplemen melalui alternative pathway atau jalur alternatif. pada jalur ini, sejumlah tinggi anaphylatoxins (c3a dan c5a) akan diproduksi dan mengaktivasi pmn, sel mononuclear (mn), dan endotelium. migrasi pmn dan mn terjadi segera setelah pemberian kitosan atau kitin pada luka.15 jalur penyembuhan luka bakar kimiawi yang keempat adalah dengan memediasi proses fagositosis atau mengaktivasi makrofag. kitosan dan derivatnya menginduksi apoptosis pada peritoneal makrofag setelah pemberian low-molecular soluble chitosan. kitosan adalah makrofag aktivator yang memediasi fagositosis dan mempercepat penyembuhan luka.14,22 jalur penyembuhan luka bakar kimiawi yang kelima adalah menstimulasi proliferasi sel (reepitelisasi) dan penyedia matriks non protein untuk pertumbuhan jaringan. ketika fase proliferasi seluler yaitu fase terbentuknya granulasi jaringan baru dengan memproduksi kolagen dan protein matriks ekstraseluler yang lain, serta meningkatkan vaskularisasi ke luka untuk memberikan nutrisi yang dibutuhkan oleh sintesis protein. kitosan menyediakan matrik non protein untuk pertumbuhan jaringan 3d dan mengaktivasi makrofag untuk aktifitas tumorisidal. kitosan menstimulasi proliferasi sel dan mengorganisasi jaringan histoarchitectural. epitelisasi merupakan pembentukan epitelium diatas permukaan kulit, epitelisasi dari luka melibatkan migrasi sel di pinggir luka dalam jarak kurang dari satu milimeter, luka diepitelisasi lebih dari 48 jam setelah terjadi luka.21,23 hasil penelitian oka185 mutiara medika vol. 12 no. 3: 177-187, september 2012 moto dkk. (2003),13 menunjukkan reepitalisasi cenderung lebih besar pada kelompok kitin dan ki tosan daripada kelompok kontrol. kitosan mempunyai efek positif pada reepitalisasi dan regenerasi lapisan granular.10 jalur penyembuhan luka bakar kimiawi yang keenam adalah meningkatkan kolagenisasi, fibroblas dan vaskularisasi (pembuluh darah). hal ini berdasarkan penelitian chiba dkk. pada tahun 2006 yang menyatakan bahwa hewan yang diberi perlakuan chitosan oligosaccharide menunjukkan resolusi yang lebih cepat pada pembentukan pembuluh darah baru, induksi fibroblas yang lebih besar, dan berikut produksi serat kolagen dibandingkan dengan kontrol.20 penelitian lain juga menunjukkan bahwa proliferasi fibroblas dan peningkatan jumlah kapiler diobservasi pada kelompok kontrol dan perlakuan, namun granulasi jaringan lebih banyak terdapat pada kelompok kitosan. hasil ini menjelaskan bahwa kitosan sendiri memfasilitasi penyembuhan luka.24 kitosan akan melepas n-acetyl-b-d-glucosa-mine yang menginisiasi proliferasi fibroblast, membantu mengatur deposisi kolagen dan menstimulasi peningkatan level dari sintesis asam hialuronik alami pada luka. ini membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah bekas luka. pada fase awal proses penyembuhan luka, makrofag mengeluarkan kolagenase dan elestase yang memproduksi kolagen dan melepaskan sitokin.21 selanjutnya pada fase remodeling, jaringan granulasi digantikan oleh kolagen dan serat elastik yang membentuk bekas luka. 9 jalur penyembuhan luka bakar kimiawi yang ketujuh adalah efek kitosan sebagai antiinfeksi (antibakteri dan antifungi). menurut penelitian, kitosan memberikan hasil efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri secara in vitro pada spesies pseudomonas aeruginosa, escherichia coli, proteus mirabilis, salmonella paratyphi dan bakteri gram positif staphylococcus aureus. kitosan juga efektif menghambat pertumbuhan jamur candida albicans, trichophyton mentagrophytes dan microsporum canis. pada penelitian secara in vivo dengan model luka infeksi pada tikus, kitosan memberikan hasil lebih efektif dibandingkan kontrol antibiotik silver sulfadiazine dan kontrol negatif tanpa perlakuan karena kitosan mampu secara cepat membunuh bakteri pada luka sebelum bakteri tersebut menyebar sistemik.16,17 simpulan salep kitosan 1,25%, 2,5% dan 5% mempunyai pengaruh mempercepat waktu sembuh dan meningkatkan persentase penyembuhan luka bakar kimiawi. pengaruh paling signifikan adalah pada kelompok salep kitosan 2,5%. daftar pustaka 1. wasitaatmadja, s.m. ilmu penyakit kulit dan kelamin: anatomi kulit. jakarta: balai penerbit fkui. 2007. 2. corwin, e.j. buku saku patofisiologi, edisi 1. jakarta: egc. 2001. 3. sularsito, s.a. dan djuanda, s. ilmu penyakit kulit dan kelamin: dermatitis. jakarta: balai penerbit fkui. 2007. 4. moenajat, s.b. luka bakar dan penanganannya. jakarta: balai penerbit fkui. 2003. 5. american college of surgeons. advance trauma life support® for doctors 7th edition. chicago, usa. 2004. 186 aditiya pramudya wardono, pengaruh chitosan secara topikal ... 6. departemen kesehatan ri. riset kesehatan dasar (riskesdas) 2007: laporan nasional. jakarta. 2008. 7. cox, r.d. chemical burns. 2008. diakses 12 januari 2009, dari http://emedicine.medscape. com/article/769336-overview 8. khasim, b. trauma wajah, luka bakar dan luka avulsi. cermin dunia kedokteran, edisi khusus. 1992; 80: 31-34. 9. shelma r., paul, w. and sharma c.p. chitin nanofibre reinforced thin chitosan films for wound healing application. trends biomaterials and artificial organs, 2008; 22 (2): 111115. 10. kojima, k., okamoto, y., kojima, k., miyatake, k., fujise, h., shigemasa, y., dkk. effects of chitin and chitosan on collagen synthesis in wound healing. j vet med sci, 2004; 66 (12): 1595-1598. 11. sezer, d.a., hatipoglu, f., cevher, e., ogurtan, z., bas, a.l. & akbuga, j. chitosan film containing fucoidan as a wound dressing for dermal burn healing: preparation and in vitro/in vivo evaluation. aaps pharmscitech, 2007; 8 (2): article 39. 12. paul, w. and sharma, c.p. chitosan and alginate wound dressings: a short rev iew. trends biomaterial, 2004; 18 (1): 18-23. 13. okamoto, y., shibazaki, k., minami, s., matsuhashi, a., tanioka, s. and shigemasa, y. evaluation of chitin and chitosan on open wound healing in dogs. j vet med sci. 2003; 57 (5): 851-4. 14. mori, t. study on the mechanisms of wound healing acceleration by chitin and chitosan. jpn j vet res, 1998; 46 (2-3): 113-114. 15. minami, s. mechanisms of wound healing acceleration by chitin and chitosan. jpn. j vet res, 1997; 44 (4) 218-219. 16. burkatovskaya, m., tegos, g.p., swietlik e., demidova, t.n, sactano a.p. and hamblin m.r. use of chitosan bandage to prevent fatal infections developing from highly contaminated wounds in mice. biomater. 2006; 27 (22): 4157-4164. 17. ramisz, a.b., pajak, a.w., pilarczyk, b., ramisz, a., laurans, l. antibacterial and antifungal activity of chitosan. isah 2005 warsaw, poland, 2005; 2: 406-408. 18. masami, i., hiromichi, o., rui, i., masahiro, n., kiyotaka, w., seiichi, k., dkk. effect of liquid chitosan in wound healing of cattle. j clin vet med, 2002; 20 (2):46-49. 19. park, j.w., choi, k.h. and park, k.k. acid base equilibria and related properties of chitosan. bulletin of koreans chemical society, 1983; 4 (2): 68-72. 20. chiba, y., kamada, a., sugashima, s., taya, k., matsubuchi, s., saito, t., dkk. effects of intravenous administration of chitosan oligosaccharide on the wound healing process of oral mucosal injury in mice. ohu university dental journal. 2006; 33 (4): 207-213 21. jinab, y., lingab, p.x., heb, y.l. and zhangab, t.m. effects of chitosan and heparin on early extension of burns. burns. 2006; 33 (8): 10271031. 22. rom o t, pearson jm, yal am anchi l i h, zoumalan ra. wound healing, skin. medscape web site. emedicine.medscape.com/ article/884594-overview. accessed january 5, 2009. 187 mutiara medika vol. 12 no. 3: 177-187, september 2012 23. azad, a.k., serm si ntham , n., chandrkrachang, s. and stevens w.s. chitosan membrane as a wound healing dressing: characterization and clinical application. j biomed mat res. 2004; 69 (2): 216-22. 24. mizuno, k., yamamura, k., yano, k., osada, t., saeki, s., takimoto, n., dkk. effect of chitosan film containing basic fibroblast growth factor on wound healing in genetically diabetic mice. j. of biomed mat res. 2002; 64a (1): 177-181. yoni astuti, hubungan antara asupan ... 172 hubungan antara asupan protein, zat besi dan vitamin c dengan kadar hb pada anak umur (7-15) tahun di desa sidoharjo, samigaluh, kulon progo the relation between intake protein, ferrous and vitamin c with hb in children (7-15) year old at sidoharjo village, samigaluh, kulonprogo yoni astuti bagian biokimia, program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta. email : yoni_astuti@yahoo.co.id abstract the high risk age of malaria infection in kulonprogo is 5-14 year old. anemia is a common condition that caused by chronic infection of malaria. anemia worse for patient with malnutrition. this research aims to reveal how dietary intake of children, especially protein, vitamin c and iron intake on the incidence of anemia in aged 7-15 years in malaria endemic malaria. this study use cross sectional retrospectif design. the research subjects were 61 children (class 4-6 elementary school) from 6 hamlets. they are healthy children, no history of chronic illness other than malaria or kongenita disease. children fill list of food intake for 7 days. after that weight and height were measured and blood hb was deternined by sahli method. food intake was analyzed using food proseccor i. to analyze the relationship between protein intake, vitamin c and iron and hemoglobin concentration were used pearson test.the result showed that the average of protein, iron and vitamin c were 25.064 ± 10.055 g (38.9% rda (recommmended daily allowance), 6.523 ± 2.635 mg (56.33% rda), 69.5% o rda consecutively. the mean of hemoglobin level was 10.3 ± 1.2 grams / dl. the statistical analysis showed that there were linear relationship between vitamin c and iron (r = 0,765), between iron intake and hemoglobin (r = 0.675). it can be concluded that the low of intake of protein, iron and vitamin c associated with incidence of anemi. key words : protein, ferrous, vitamin c, endemic malaria abstrak kelompok usia risiko tinggi infeksi malaria di kulonprogo adalah 5-14 thn. anemia merupakan kondisi umum yang terjadi akibat infeksi kronis malaria. anemia akan makin berat bila penderita menderita kekurangan gizi dan protein. penelitian ini bertujuan untuk mengungkap hubungan antara asupan makanan anak terutama protein, vitamin c, zat besi terhadap kejadian anemia pada usia 7-15 tahun di daerah endemik malaria. penelitian menggunakan rancangan cross sectional retrospectif pada sampel terpilih. subyek penelitian sebanyak 61 anak (kelas 4-6 sekolah dasar) berasal dari 6 dusun. anak sehat tidak memiliki riwayat penyakit menahun selain malaria atau penyakit kongenital. anak mengisi daftar asupan makanan selama 7 hari, setelah itu diukur berat dan tinggi badan, darah diperiksa kadar hbnya dengan metoda sahli. asupan makanan dianalisis dengan food proseccor i, untuk mengetahui persen asupan makanan perhari. analisis hubungan asupan protein, vitamin c, zat besi terhadap kadar hemoglobin digunakan uji korelasi pearson. hasil penelitian menunjukkan rerata asupan 173 mutiara medika vol. 10 no. 2: 172-179, juli 2010 protein, zat besi dan vitamin c berturut-turut adalah sebesar 25,064 ± 10,055 gram (38,9% rda (recommended daily allowance), 6,523 ± 2,635 mg (56,33% rda), dan 69,5% rda. rerata kadar hemoglobin sebesar 10,3 ± 1,2 gram/dl. hasil analisis statistik menunjukkan terdapat hubungan linier antara asupan vitamin c dengan asupan zat besi (r= 0,765), dan antara asupan zat besi dengan kadar hemoglobin( r=0,675). disimpulkan asupan protein, besi dan vitamin c rendah berhubungan dengan kejadian anemia. kata kunci : asupan protein, zat besi, vitamin c, malaria, hemoglobin pendahuluan malaria merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di indonesia yang mempengaruhi angka kematian bayi, anak, dan ibu hamil serta menurunkan angka produktivitas kerja. diantara 5 kabupaten/ kota di provinsi daerah istimewa yogyakarta, kabupaten kulon progo sampai sekarang masih memiliki daerah endemis malaria yang tersebar di kawasan pegunungan menoreh yaitu di kecamatan kalibawang, samigaluh, girimulyo, dan kokap. sejak kejadian luar biasa pada tahun 1993, sampai sekarang angka kejadian malaria di kawasan bukit menoreh bersifat fluktuatif. pada tahun 1995 tercatat rata-rata api (annual paracite incidence) sebesar 15 per seribu pemeriksaan, akhir tahun 1998 sebesar 98 per seribu pemeriksaan. pada tahun 1999 meningkat 2 kali lipat dari tahun 1998. tahun 2000 terdapat 37.967 penderita dengan kematian 13 orang, tahun 2001 terdapat 37.163 kasus dengan kematian 9 orang. tahun 2002 terdapat 28.267 kasus dengan kematian 5 orang. desa sidoharjo mempunyai tingkat api (72, 84 %) tertinggi diantara desa di seluruh kabupaten kulon progo.1 kelompok yang berisiko tinggi terkena malaria di kulonprogo adalah kelompok umur 5-14 tahun.2 anemia merupakan salah satu kondisi akibat infeksi malaria. anemia berat akibat malaria antara lain ditandai dengan hb < 5% atau hmt < 15% dengan hitung parasit > 10.000/µl. hal itu lebih sering dijumpai pada anak di daerah holoendemik dan dalam kondisi tersebut, kadar hemoglobin dapat turun 2 gr% setiap harinya. intensitas anemia juga berkolerasi dengan tingkat parasitemia (skizontemia). anemia pada penderita malaria dapat berakibat lebih kompleks, antara lain menyebabkan gejala serebral pada anemia berat dan malaria akut, atau meningkatkan risiko infeksi sekunder bakterial karena kemungkinan penurunan daya tahan tubuh. anemia pada penderita malaria dapat semakin berat bila mengalami kekurangan gizi. penderita malaria dengan status gizi kurang dan menderita anemia akan berisiko lebih tinggi memperberat penyakit. berbagai studi di lapangan membuktikan bahwa angka kejadian anemia di masyarakat indonesia rata-rata masih tinggi, apalagi di daerah endemik malaria.2 kurangnya pengetahuan ibu terhadap strategi penyusunan menu sehat dan keterbatasan kemampuan sosial ekonomi merupakan faktor tersering penyebab anemia di masyarakat.3 asupan makanan yang diperlukan untuk menghindari terjadinya anemia antara lain protein, vitamin c, zat besi, asam folat . senyawa – senyawa ini sebenarnya cukup mudah dan banyak tersedia di indonesia. pada darah penderita malaria terdapat plasmodium yang membutuhkan makanan berupa protein dari sel darah merah ( dari haemoglobin), sehingga sel darah merah banyak yang pecah (lisis) hal ini dapat menyebabkan berkurangnya sel darah merah sehingga terjadi anemia. oleh karena itu untuk memulihkan jumlah sel darah merah penderita anemia, sangat penting untuk mengkonsumsi asupan makanan tinggi protein, untuk meningkatkan jumlah globin, dan untuk meningkatkan jumlah heme, maka membutuhkan asupan besi, asupan besi dapat efektif apabila mudah diserap di intestinum. agar besi mudah diserap maka memerlukan vitamin c yang yoni astuti, hubungan antara asupan ... 174 cukup, dikonsumsi bersama – sama dengan asupan besi. penelitian ini ingin mengungkap bagaimana hubungan asupan makanan anak terutama protein, vitamin c dan besi terhadap kejadian anemia pada anak usia 7-15 tahun di daerah endemic malaria, terutama di desa sidoarjo di bandingkan dengan kebutuhan yang seharusnya terpenuhi untuk usia mereka. hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi dasar untuk masyarakat dan pemerintah di desa sidoarjo untuk mengatasi masalah gizi dan kesehatan pada anak usia 7-15 tahun. bahan dan cara penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional design pada sampel terpilih. bahan yang digunakan antara lain : sampel darah, giemsa, nacl. alat yang di gunakan adalah, kuesioner, hb sahli, obyek glass, pengukur tinggi badan, timbangan berat badan, cara kerja dimulai dengan menentukan subyek penelitian dengan kriteria anak usia 7-15 tahun, tinggal di desa sidoharjo meliputi dusun bleder, keweron, sebo, gebang, kedokan. anak dalam keadaan sehat dan tidak memiliki riwayat penyakit menahun selain malaria atau penyakit kongenital, telah mendapat ijin wali keluarga dan bersedia mengisi lembar kesanggupan sebagai peserta penelitian tabel 1. kriteria subyek penelitian kriteria rerata ± sd usia (tahun) 10,6 ± 1,98 berat badan (kg) 28,4 ± 7,84 tinggi badan (cm) 132,38 ± 13,12 tabel 2. asupan protein anak usia 7-15 tahun di desa sidoharjo berdasarkan nilai persentase rda (recommended daily allowance) range persentase rda jumlah(n) persentase (%) ≥ 1,00 1 1,64 0,700,99 3 4,92 < 0,70 57 93,44 total 61 100 (informed consent). anak – anak dengan bantuan wali murid mengisi form recall gizi selama 7 hari. recall makanan keluarga dilakukan dengan wawancara mendalam dipandu dengan kuesioner. data dari recall makanan dianalisis menggunakan program food processor i, untuk memperoleh data asupan protein, vitamin c dan zat besi. data ditampilkan sebagai rerata asupan perhari. serta berupa persentase asupan makanan terhadap rda (recommended daily allowance) masing – masing anak. sampel darah digunakan untuk pemeriksaan haemoglobin menggunakan metode sahli. untuk menganalisis ada tidaknya hubungan antara asupan protein, vitamin c dan besi terhadap anemia pada anak digunakan uji korelasi pearson. hasil subyek yang berhasil dianalisis sebanyak 61 orang, yang berasal dari dusun sulur sebanyak 13 orang, dari dusun bleder sebanyak 9 orang, dari dusun keweron sebanyak 8 orang, dari dusun sebo sebanyak 17 orang, dari dusun gebang sebanyak 9 orang, dan dari dusun kedokan sebanyak 5 orang. subyek yang akhirnya dapat dianalisis berusia antara 7 tahun sampai 14 tahun, kondisi badan secara klinis sehat. kriteria subyek penelitian dapat dicermati pada tabel 1. 175 mutiara medika vol. 10 no. 2: 172-179, juli 2010 tabel 3. asupan zat besi anak usia 7-15 tahun di desa sidoharjo berdasarkan nilai persentase rda (recommended daily allowance) range persentase rda jumlah (n) persentase ≥ 1,00 2 3,27 0,700,99 13 21,31 < 0,70 46 75,41 total 61 100 tabel 4. asupan vitamin c anak usia 7-15 tahun di desa sidoharjo berdasarkan nilai persentase rda (recommended daily allowance) range persentase rda jumlah (n) persentase ≥ 1,00 11 18,03 0,700,99 10 16,39 < 0,70 40 65,57 total 61 100 tabel 5. persentase kadar hemoglobin anak usia 7-15 tahun di desa sidoharjo kisaran kadar hb jumlah (n) persentase (%) ≥13 2 3,28 10 – 12,9 37 60,65 8 9,99 22 36,07 total 61 100 rerata asupan protein subyek penelitian adalah di bawah 50% rda masing – masing. dapat dilihat pada tabel 2. atau gambar 1. data pada tabel 2. menunjukkan bahwa rerata asupan protein perhari kurang dari 0,70 rda sebanyak 93,44 % , rerata asupan protein sebesar (25,064 ± 10,055) gram. nilai ini termasuk sangat rendah untuk pemenuhan yang disesuaikan dengan rdanya, yaitu kira kira sebesar 38,9% dari rda. rerata asupan zat besi subyek penelitian sebesar 6,523 ± 2,635 mg (56,33 %) dari rdanya. subyek yang asupan zat besi sesuai dengan rdanya berjumlah 3,27 %, sedangkan subyek yang asupan zat besi sebanyak ≥ 70 %, berjumlah 21,31 % dan subyek yang asupan zat besinya kurang dari 70 % rda sebanyak 75,41 %. hal ini menunjukkan bahwa masih banyak subyek penelitian yang kekurangan zat besi. rerata asupan vitamin c subyek penelitian berdasarkan nilai persentase rda tersaji dalam tabel 4. berikut ini. rerata kadar hemoglobin subyek penelitian sebesar (10,3 ± 1,2) gram/dl, nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan rerata kadar hemoglobin untuk anak – anak dengan umur (7-14) tahun yaitu sebesar 13 g/dl 3. subyek yang memiliki kadar hb sesuai standart sebanyak 3,28 %. sedangkan kategori subanemia sebanyak 60,65 % dan dikategori anemia 36,07%, sebagaimana terlihat pada tabel 5. berikut. tabel 6. menampilkan rerata asupan protein, besi , vitamin c dan kadar hb. setelah dilakukan uji korelasi pearson menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara asupan vitamin c dengan asupan besi ( r= 0,765) dan asupan besi dengan hb (r= 0, 675). hal ini kemungkinan terjadi karena pembentukan hb membutuhkan zat besi yang penyerapannya membutuhkan vitamin c. yoni astuti, hubungan antara asupan ... 176 diskusi rerata asupan protein subyek penelitian adalah sebesar 25,064 ± 10,055 g/hari (38,89 % dari kebutuhan rda nya). secara teori, asupan protein didapatkan dari sumber – sumber protein nabati seperti tempe, tahu, santan cair dan kacang panjang. sedangkan sumber protein hewani berasal dari telur, susu, sate ayam, ikan pindang. asupan protein hewani ini sangat jarang dikonsumsi. asupan protein yang seharusnya dipenuhi adalah sebesar 64,3 gr/ hari yang berasal dari sumber protein yang lengkap, mudah dicerna dan mudah di absorbsi. protein seperti ini banyak terkandung dalam putih telur.3 pada kenyataannya, mereka jarang mengkonsumsi telur ayam, bahkan asupan protein dari tempe, tahu dan sumber protein nabati lainnya jarang mereka konsumsi. alasan yang mereka berikan adalah masalah ekonomi, disamping alasan operasional karena sulit mendapatkan bahan tersebut setiap hari. pasar hanya buka pada hari – hari tertentu seminggu dua kali. sedangkan untuk memenuhi kebutuhan sayuran dan kelapa, kebanyakan masyarakat tidak membeli tetapi mengambil di ladangnya. pada usia 7-14 tahun anak – anak memerlukan protein sebagai senyawa pembangun untuk tumbuh kembang sel – sel serta jaringan maupun untuk memyempurnakan sistem organ, juga diperlukan untuk pembentukan protein struktural yang berperan dalam regenerasi sel dan sebagai protein fungsional untuk aktivitas ensim, imunitas humoral dan seluler, dan pembentukan haemoglobin.4 di khawatirkan apabila zat gizi tidak tercukupi maka anak – anak rentan terhadap infeksi penyakit, termasuk malaria, apalagi jika tabel 6. rerata asupan protein, zat besi dan vitamin c, dan kadar hb anak usia 7-15 tahun di desa sidoharjo jenis asupan rerata ± sd rerata persentase rda protein (gram) 25,064 ± 10,055 38,89 ± 16,81 fe (milligram) 6,523 ± 2,635 56,33 ± 25,71 vitamin c (miligram) 32,72 ± 32,898 69,50 ± 71,37 hb (g/dl) 10,3 ± 1,2 tidak ada mereka tinggal di daerah endemik. hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa subyek rata – rata pernah menderita malaria lebih dari satu kali. asupan protein yang adekuat sangat diperlukan untuk meningkatkan sistem imunitas tubuh terhadap parasit atau infeksi lain, apalagi mereka tinggal di daerah endemik malaria. mereka memerlukan imunitas yang lebih baik untuk menghadapi paparan infeksi malaria.5 protein diperlukan untuk sintesis sel – sel darah merah agar tidak mengalami anemia. protein dalam sel darah merah sebagai hemoglobin, yang menjalankan peran utama sel darah merah yaitu mengangkut gas o2 untuk dilepaskan ke sel-sel dan mengangkut gas co2 dari sel ke paru2 untuk dikeluarkan dari tubuh. rerata asupan zat besi dari makanan subyek penelitian adalah sebesar 6,523 ± 2,635 mg/hari. kebutuhan asupan zat besi yang adekuat untuk anak – anak adalah sebesar sebesar (8-15 mg) perhari.2 nampak bahwa asupan zat besi masih kurang mencukupi. sumber-sumber asupan zat besi kebanyakan berasal dari bahan makanan jagung, beras, ubi ketela pohon, sayuran misalnya kacang panjang, bayam, kangkung, santan dan lauk pauk misalnya tempe, tahu, daging ayam, telur, ikan, teri. sumber zat besi dari buah-buahan misalnya papaya, mangga dan pisang. susu, dan teh juga merupakan sumber zat besi dari minuman.3 sebenarnya sumber zat besi yang berasal dari sayuran, buah-buahan, bahan makanan dan sebagian lauk-pauk tersedia di daerah sidoharjo, namun keluarga kurang memaksimalkan untuk mengkonsumsinya, sehingga jumlah zat besi yang dikonsumsi menjadi kurang dari yang seharusnya dapat mereka konsumsi. zat besi sangat tinggi 177 mutiara medika vol. 10 no. 2: 172-179, juli 2010 terkandung dalam sayuran seperti daun kacang panjang, daun ubi jalar, daun cipir, daun talas, daun mlinjo. rata-rata sayuran tersebut mengandung zat besi lebih dari 4 mg/ 100 gram bahan, banyak terdapat di daerah tersebut. namun kenyataannya asupan zat besi yang mereka konsumsi sehari-hari sebagian besar masih kurang dari jumlah yang seharusnya dikonsumsi. hal ini kemungkinan disebabkan karena kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai sumber zat besi yang murah dan mudah didapatkan di daerah setempat. kemungkinan juga disebabkan karena rendahnya pengetahuan dan kemampuan mengkombinasikan berbagai bahan makanan yang ada agar dapat mengoptimalkan manfaat senyawa – senyawa yang ada. ketersediaan sumber bahan makanan harus didukung oleh kemampuan diabsorbsi oleh tubuh. asupan zat besi yang ada pada bahan makanan terutama sayuran dapat digunakan jika mudah diserap. dalam hal ini sayuran tersebut harus dikombinasi dengan bahan yang tinggi kandungan vitamin c nya.3 zat besi dalam bahan sayuran kebanyakan berupa ion fe3+ sehingga membutuhkan vitamin c sebagai reduktornya agar mudah diserap oleh dinding intestinum setelah berubah menjadi ion fe2+.5 penyerapan zat besi dihambat oleh phytat, serat, oksalat dan tannin, yang banyak terdapat pada sayuran tertentu. penyerapan zat besi oleh tubuh hanya sebesar 10-15% karena dipengaruhi oleh beberapa hal berikut: 1). keseimbangan zat besi dalam tubuh diatur dan dikendalikan oleh penyerapan intestinal, sedangkan ekskresi zat besi kurang berpengaruh; 2). pengaturan penyerapan intestinal tergantung dari kebutuhan badan; 3). penyerapan juga ditentukan oleh bentuk zat besi, sebagai heme atau non heme, dan 4). ada tidaknya vitamin c, asam, atau gula.2 rata – rata kebutuhan vitamin c anak usia 4-10 tahun adalah 45 mg perhari, dan umur 11-14 tahun sebesar 50 mg/hari,6 sedangkan rerata asupan vitamin c subyek penelitian sebesar 32,72 ± 32,898 mg. hal ini menunjukkan bahwa asupan vitamin c masih kurang. hal ini sangat disayangkan karena sebenarnya sumber vitamin c yang berasal dari sayuran, buah–buahan dan polong–polongan yang cukup banyak tersedia di daerah tersebut. berdasarkan survei diet yang dilakukan terhadap subyek penelitian, terlihat bahwa keluarga kurang mampu menyusun menu sehingga asupan vitamin c kurang terpenuhi. di samping itu, dalam pengolahan bahan makanan mulai dari pemilihan dan pengolahan masih belum benar untuk mempertahankan kandungan vitamin c. vitamin c merupakan senyawa yang larut dalam air, sehingga kemungkinan selama pencucian, perendaman dan perebusan vitamin c dapat hilang. vitamin c juga bersifat mudah rusak pada temperatur yang tinggi dalam jangka lama serta rusak oleh logam (pengirisan oleh pisau).3 rendahnya asupan vitamin c berisiko pada kerentanan terhadap infeksi, terlebih jiks berada di daerah endemic malaria. jika seseorang sedang menderita malaria, ia membutuhkan asupan vitamin c yang lebih tinggi karena terjadi peningkatan katabolisme vitamin c untuk pertahanan tubuh.3 penyerapan vitamin c terhambat oleh karena keadaan achlorhydria, yaitu sekresi hcl lambung rendah atau tidak ada. infeksi pada saluran pencernaan juga menghambat penyerapan vitamin c. tubuh dapat menyimpan cadangan vitamin c, jika masukan vitamin c lebih besar dari kebutuhannya. lokasi penyimpanan cadangan vitamin c ada pada setiap sel tubuh dengan konsentrasi yang berbeda. jaringan yang memilikai konsentrasi vitamin c dari tertinggi ke rendah berturutturut adalah sebagai berikut: jaringan retina, kelenjar pituitari, korpus luteum, korteks adrenal, timus, hepar, otak, testis, ovarium, lien, kelenjar tiroid, pankreas, kelenjar ludah, paru–paru, ginjal, dinding usus, jantung, cairan serebro spinal, leukosit, eritrosit, dan plasma darah.7 jika cadangan tubuh jenuh, kelebihan vitamin c yang diserap akan dimetabolisme atau diekskresikan melalui urin, keringat dan tinja. ekskresi melalui urin merupakan bagian yang terbesar. sebagian besar (96,72 %) subyek penelitian mengalami sub anemia dan anemia. hal ini wajar karena berdasarkan rata – rata asupan protein, besi dan vitamin c masih sangat kurang dari rdanya. yoni astuti, hubungan antara asupan ... 178 kebanyakan asupan protein subyek penelitian berasal dari protein nabati, dan jarang dari sumber hewani. protein hewani sangat mudah diabsorbsi sehingga sangat efektif untuk meningkatkan ketersediaan globin, sedangkan protein nabati memiliki asam amino pembatas, sehingga tidak efektif dalam menyediakan globin, suatu protein yang diperlukan untuk sintesis haemoglobin.6 haemoglobin (hb) penting untuk transport o2 dari udara inspirasi ke paru–paru dan mengeluarkan co2 dari sel atau jaringan ke paru–paru sebagai udara ekspirasi. oksigen diperlukan untuk bermacam–macam metabolisme dan katabolisme berbagai senyawa yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh. hal inilah yang sebenarnya menjadi tugas dari sel darah merah secara umum. rendahnya nilai hb menggambarkan defisiensi besi, selain itu juga menggambarkan rendahnya asupan protein, karena sintesis hb memerlukan kecukupan globin dan heme. ketersediaan globin dapat dicukupi dari asupan protein yang cukup pula. untuk sintesis heme memerlukan kecukupan fe. fe dapat digunakan bila terdapat vitamin c yang memudahkan penyerapan fe.sehingga untuk sintesis heme memerlukan kecukupan besi dan vitamin c. anemia defisiensi besi umum terjadi di berbagai negara. hampir lebih dari 50% populasi di banyak negara mengalami anemia defisiensi besi. 8 tabel 6. menampilkan rerata asupan protein, besi , vitamin c dan kadar hb. setelah dilakukan uji korelasi menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara asupan vitamin c dengan asupan besi (r= 0,765) dan asupan besi dengan hb (r=0,675) kemungkinan hal ini terjadi karena pembentukan hb membutuhkan zat besi, sedangkan absorbsinya membutuhkan vitamin c. uji korelasi pearson menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara asupan protein dengan kadar hb (r=0) kemungkinan hal ini terjadi karena hampir semua subyek penelitian baik yang anemia maupun yang tidak anemia sama– sama kekurangan protein. persentase penderita anemia ringan pada subyek penelitian cukup besar ( 60,65%) sedangkan anemia berat (36,07%) . tercukupinya makanan untuk tumbuh sesuai dengan usia, jenis kelamin dan aktivitas pada anak akan meningkatkan tumbuh kembang anak, sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh neumannce, dkk. (2006) yang membuktikan bahwa asupan makanan tambahan susu meningkatkan pertumbuhan, kemampuan kognitif, dan aktivitas fisik pada anak-anak di kenya.9 kesimpulan berdasarkan dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan : asupan protein, besi dan vitamin c pada 1. subyek penelitian kurang dari rdanya. sebagian besar kadar hemoglobin 2. subyek penelitian kurang dari 13 g/dl. asupan besi dan vitamin c berkolerasi 3. secara bermakna dengan kadar hemoglobin subyek penelitian. asupan besi berkorelasi secara 4. bermakna dengan vitamin c. tidak ada hubungan yang signifikan 5. antara kadar protein dengan kadar hb ucapan terimakasih penelitian ini dilakukan atas kerjasama dengan pemerintah daerah kulon progo dinas pembangunan daerah. daftar pustaka anonim. 2001. laporan tahunan. 1. puskesmas kalibawang harijanto, p.n. 2000. 2. malaria, epidemiologi, patogeneisi, manifestasi klinis & penanganan, egc, jakarta husaini, m.a. 19903. . keadaan gizi besi dan kekebalan tubuh, persatuan ahli gizi indonesia, jakarta soediaoetama, a.d. 1997. 4. ilmu gizi, masalah gizi indonesia, perbaikannya. jilid i. jakarta : dian rakyat. camitta, b.m. 1996. anemia, nelson 5. : ilmu kesehatan anak, ,edisi 15 vol 2, egc. jakarta. 179 mutiara medika vol. 10 no. 2: 172-179, juli 2010 gregor mc., i.a. 1982. reviews of 6. infection diseases. malaria: nutritional implications. university of chicago. 4:798-804 rama, k. 2001, nutritional anemias. 7. boca raton, fl. crc press. weigley, e.s. 1997. 8. basic nutrition and diet theraphy. prentice-hall inc. united states of america. paul, r., curdy mc., m..d., raymond, j., 9. and dern, m.d. 2004. some therapeutic implications of ferrous sulfate-ascorbic acid mixtures. food chemistry. juli. 86: 369-379. 29 mutiara medika vol. 9 no. 2:29-36, juli 2009 efikasi ekstrak daun srikaya (annona squamosa) terhadap kutu beras (tenebrio molitor) the efficacy of srikaya (annona squamosa) leaf extract to mealworm (tenebrio molitor) tri wulandari kesetyaningsih1, widha puspadhica2, wirdasari2 1bagian parasitologi fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta; 2fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta abstract leaf extract of annona squamosa potentially to be a botanical insecticide that more save to the environment. the aim of this research is to know the efficacy of leaf extract of a. squamosa to the adult and larvae of t. molitor. this research is pure experimentally using posttest only control group design. the research is devided in two parts, adult and larvae examination. each of part consist of 9 groups, there are 7 treatment groups of 100%, 75%, 50%, 25%, 10%, 5%, 0,1% leaf extract, 1 of positive control group (k+) with malathion 0,5% (adult); 5% (larvae) and 1 of negative control (k-) with aquadest. the data compute to determine the mortality rate (%) and then analyzed by one way anova and probitt to know the significancy of difference and to determine the value of ld50 (lethal dose 50) dan lt50 (lethal time 50). the result of the examination to the adult t. molitor show that 5%, 10%, 25%, 50%, 75% dan 100% of leaf extract a. squamosa are more effective than kgroup, but less effective than k+. in 0,1% concentration there is not effective. the examination to the larvae stage show that 25% leaf extract most effective among the leaf extract series groups, and not significantly different with k+. all of the leaf extract series groups are significantly different with k-. the value of ld50 is 0,51%; lt50 is 8,10 hours in adult and ld50 2,26% ; lt50 16,10 hours in larvae. the conclution is the leaf extract of a. squamosa is more effective against adult stage of t. molitor than larvae stage. in adult stage, the effectivity of leaf extract preference that high concentration is more effective. but in larvae stage, the most effective concentration is 25% of leaf extract. key words: anona squamosa, insectisida, ld50, lt50, tenebrio molitor, abstrak daun annona squamosa berpotensi sebagai insektisida botani, bersifat lebih ramah lingkungan. penelitian ini bertujuan untuk mengungkap efikasi insektisida ekstrak daun a. squamosa terhadap dewasa dan larva t. molitor. jenis penelitian ini adalah eksperimental murni untuk mengetahui efikasi insektisida ekstrak daun a. squamosa terhadap dewasa dan larva t. molitor. desain penelitian adalah posttest only control group design. penelitian terdiri atas 9 kelompok yaitu kelompok perlakuan berdasarkan konsentrasi bahan uji 100%, 75%, 50%, 25%, 10%, 5%, 0,1%, kontrol positif (k+) dengan malathion 0,5% (dewasa); 5% (larva) dan kontrol negatif (k-) dengan akuades. tri wulandari kesetyaningsih, widha puspadhica, wirdasari, efikasi ekstrak daun srikaya .......................... 30 dihitung angka kematian yaitu % kematian subyek penelitian: jumlah subyek mati/ jumlah subyek tiap kelompok x 100%, hasilnya dianalisis statistik dengan anova satu jalur dan probit untuk mengetahui ld50 (lethal dose 50) dan lt50 (lethal time 50). hasil uji terhadap stadium dewasa t. molitor menunjukkan bahwa ekstrak daun 5%, 10%, 25%, 50%, 75% dan 100% a. squamosa terbukti efektif jika dibandingkan dengan dengan k-, namun kurang efektif jika dibandingkan dengan k+. konsentrasi 0,1% tidak efektif dibandingkan dengan kelompok k-. uji terhadap larva menunjukkan bahwa ekstrak daun 25% tampak paling efektif, tidak berbeda signifikan dengan kontrol positif. semua konsentrasi ekstrak daun srikaya berbeda signifikan dibandingkan dengan k-. nilai ld50 adalah 0,51%; lt50 adalah 8,10 jam untuk dewasa dan ld50 2,26% dan lt50 16,10 jam untuk larva. kesimpulannya adalah ekstrak daun srikaya terbukti lebih efektif terhadap stadium dewasa t. molitor daripada terhadap larva. efektifitas terhadap stadium dewasa menunjukkan kecenderungan lebih tinggi konsentrasi, lebih efektif, namun pola ini tidak terjadi pada uji terhadap larva. konsentrasi paling efektif membunuh larva adalah 25%. kata kunci: anona squamosa, ld50, lt50, insektisida, tenebrio molitor, pendahuluan tenebrio molitor adalah sejenis kumbang yang banyak ditemui di bahanbahan makanan berkarbohidrat tinggi, seperti tepung, beras, jagung, gaplek dan lain-lain. serangga ini dianggap penting tidak hanya di dunia pertanian namun juga di dunia kesehatan. selain merusak bahanbahan makanan berkarbohidrat, serangga ini berlaku sebagai hospes perantara dalam siklus hidup hymenolepis diminuta, sehingga serangga ini berperan dalam penularan cacing pita pada manusia.1 menurut laporan jeebhay et al. pada tahun 2005 serangga ini juga sebagai penyebab alergi pada pekerja gudang yang menunjukkan gejala asma. 2 pemberantasan t. molitor selama ini dilakukan dengan menggunakan insektisida kimia. meskipun insektisida sintetik terbukti efektif membunuh serangga, namun penggunaan yang terlalu sering akan menimbulkan kerusakan lingkungan dan masalah kesehatan baik karena terhirup atau tertelannya insektisida, juga karena residunya di makanan. insektisida tumbuhan sekarang banyak dikembangkan karena lebih ramah lingkungan daripada insektisida sintetik. ada beberapa spesies tumbuhan anggota famili meliaceae, rutaceae, asteraceae, labiatae, canellaceae dan annonaceae yang berpotensi mempunyai efek sebagai insektisida. ekstrak etanolik baik daun maupun biji golongan annonaceae telah banyak diteliti efikasinya terhadap beberapa serangga yang penting dalam kedokteran, terutama nyamuk vektor.3 berdasarkan laporan penelitian leatemia and isman pada tahun 2004, diantara ekstrak etanolik spesies golongan annonaceae, a. squamosa mempunyai efek insektisida paling baik terhadap ulat dan larva nyamuk.4 namun sampai saat ini belum ada penelitian mengenai efikasi ekstrak a. squamosa terhadap kutu beras (t. molitor). masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah efikasi ekstrak daun a. squamosa terhadap larva maupun kumbang dewasa t. molitor? penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengungkap efikasi ekstrak biji a. squamosa terhadap larva maupun kumbang dewasa t. molitor. secara khusus, penelitian ini betujuan 1). mengetahui ld50 (lethal dose 50) dan ld90 (lethal dose 90) ekstrak daun a. squamosa terhadap larva dan dewasa t. molitor; 2). mengetahui lt50 (lethal time 90) dan lt90 (lethal time 90) ekstrak daun a. squamosa terhadap larva dan dewasa t. molitor dan 31 mutiara medika vol. 9 no. 2:29-36, juli 2009 3). membandingkan angka kematian antara kelompok perlakuan (ekstrak daun a. squamosa terhadap larva dan dewasa t. molitor) dengan kelompok kontrol. bahan dan cara penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan desain penelitian posttest only control group design. alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain cawan petri sebagai tempat pendedahan kumbang tepung dengan bahan uji ekstrak daun srikaya, pinset untuk memegang kumbang tepung, dan pencatat waktu. adapun bahan yang digunakan adalah ekstrak daun a. squamosa, larva dan dewasa t. molitor, malathion 5gram/l, dan akuades untuk mengencerkan bahan uji ekstrak daun srikaya. cara penelitian diawali dengan tahap persiapan yaitu koleksi larva dan dewasa t. molitor, pembuatan bahan uji dan penentuan konsentrasi bahan uji. larva dan kumbang dewasa didapatkan dari tepung gaplek yang sudah terinfeksi. identifikasi dilakukan di laboratorium parasitologi fk umy. daun srikaya dalam penelitian ini diambil dari daerah pegunungan di sepanjang pantai selatan bantul dan gunung kidul. pembuatan bahan uji ekstrak daun srikaya dilakukan di laboratorium ppot ugm. uji pendahuluan dilakukan untuk menentukan waktu pengamatan dengan mencari waktu terlama hidup subyek penelitian diluar habitatnya. uji ini dilakukan dengan cara : subyek penelitian (larva dan dewasa t. molitor) dibiarkan hidup di cawan petri dan dicatat waktu sampai matinya. tahap berikutnya adalah tahap perlakuan. penelitian ini terdiri atas 9 kelompok yaitu kelompok kontrol negatif, kelompok kontrol positif dan 7 kelompok perlakuan (p1-p8). tiap kelompok penelitian terdiri atas 10 ekor subyek uji. masingmasing perlakuan diulang sebanyak 3 kali. tiap kelompok dipaparkan dengan bahan uji, sesuai dengan kelompok penelitian (ktanpa perlakuan; k+ dengan insektisida organophosphate (malathion 0,5% untuk stadium dewasa dan 5% untuk larva); p1p7 dengan bahan uji berturut-turut pada konsentrasi 100%, 75%, 50%, 25%, 10%, 5%, 0,1%). uji ini dilakukan baik pada kumbang tepung dewasa maupun larva. pengamatan berupa jumlah subyek penelitian yang mati setelah waktu tertentu pengamatan (angka kematian dalam %). lamanya waktu pengamatan ditentukan dari uji pendahuluan. data dianalisis dengan probit untuk menentukan ld50 dan ld90.5 analisis varians untuk mengetahui signifikansi perbedaan diantara kelompok penelitian. jika angka kematian k5-10%, maka angka kematian kelompok perlakuan dikoreksi dengan rumus abbott. 5 hasil uji pendahuluan menunjukkan bahwa rata-rata waktu hidup terlama t. molitor dewasa di luar habitatnya adalah lebih dari 4320 menit (> 48 jam). rata-rata lama hidup pada kelompok perlakuan berturut-turut adalah 560 menit, 720 menit, 740 menit, 760 menit, 800 menit, 880 menit, dan 960 menit pada konsentrasi 100%, 75%, 50%, 25%, 10%, 5%, dan 0,1%. tampak bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak dari daun srikaya (a. squamosa) maka semakin singkat lama hidup t. molitor, sebagaimana terlihat pada gambar 1. tri wulandari kesetyaningsih, widha puspadhica, wirdasari, efikasi ekstrak daun srikaya .......................... 32 data dianalisis dengan analisis probit untuk menentukan ld50 dan lt50 dan kemudian dilanjutkan dengan uji one way anova untuk mengetahui signifikansi perbedaan antar kelompok penelitian. berdasarkan hasil uji analisis probit, diketahui bahwa ld50 adalah 0,51% dan lt50 adalah 485,9 menit untuk kumbang dewasa t. molitor. tabel 1. rata-rata lama hidup t. molitor segera setelah pemaparan dengan bahan uji: kelompok kontrol negatif (akuades); kontrol positif (malathion 5%) dan perlakuan (ekstrak daun a. squamosa pada konsentrasi 100%, 75%, 50%, 25%, 10%, 5% dan 0,1%) keterangan: i: replikasi 1; ii: replikasi 2; iii: replikasi 3 lama hidup (menit) kelompok penelitian nomer keterangan i ii iii rata-rata 1 malathion 120 120 180 140 sd ± 28.28 kontrol 2 akuades 4320 4320 4320 4320 sd ± 0.00 3 100% 540 540 600 560 sd ± 34.64 4 75% 780 660 720 720 sd ± 60.00 5 50% 780 720 720 740 sd ± 34.64 6 25% 840 720 720 760 sd ± 69.28 7 10% 840 720 840 800 sd ± 69.28 8 5% 960 840 840 880 sd ± 69.28 perlakuan 9 0,1% 960 960 960 960 sd ± 0.00 gambar 1. grafik rata-rata lama hidup t. molitor (setelah perlakuan) 33 mutiara medika vol. 9 no. 2:29-36, juli 2009 ekstrak daun srikaya (a. squamosa) terhadap larva (t. molitor) pada tabel 4. tampak bahwa pada rangkaian konsentrasi 25%; 10%; 5%; dan 0,1% terjadi kecenderungan semakin tinggi konsentrasi bahan uji, semakin tinggi persentase kematian larva. pola ini mengulang dari pola yang ditunjukkan oleh rangkaian konsentrasi 100%; 75% dan 50%. gambar 2. grafik rata-rata kematian larva t. molitor per 6 jam setelah pemaparan dengan ekstrak daun a. squamosa konsentrasi 100%, 75%, 50%, 25%, 10%, 5%, 0,1% (kelompok perlakuan), malathion 5% (kontrol +), dan akuades (kontrol -) berdasarkan hasil analisis probit, diketahui nilai ld50 adalah 2,26% dan lt50 adalah 16,10 jam untuk uji terhadap larva t. molitor. diskusi dari uji pendahuluan didapatkan ratarata lama hidup t. molitor dewasa pada kontrol negatif (akuades) adalah > 48 jam dan kontrol positif (malathion 0,5 %) 2,33 jam. rata-rata lama hidup pada kelompok perlakuan berturut-turut adalah 9,33 jam, 12 jam, 12,33 jam, 12,67 jam, 13,33 jam, 14,67 jam, dan 16 jam pada konsentrasi 100%, 75%, 50%, 25%, 10%, 5%, dan 0,1%. tiaptiap kelompok perlakuan tetap mempunyai daya bunuh terhadap t. molitor tetapi berbeda dalam efektifitasnya, dimana semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun srikaya (a. squamosa) maka semakin singkat lama hidup t. molitor. pada tabel 1. menunjukkan rata-rata lama hidup t. molitor pada kelompok kontrol positif lebih singkat dari rata-rata lama hidup t. molitor pada kelompok ekstrak 100 %. berdasarkan uji statistik probit, diketahui bahwa ld50 adalah pada konsentrasi 0,51% dengan lt50 pada 8,1 jam. tri wulandari kesetyaningsih, widha puspadhica, wirdasari, efikasi ekstrak daun srikaya .......................... 34 tabel 5. di atas menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara kelompok perlakuan ekstrak konsentrasi 100%, 75%, 50%, 25%, 10%, dan 5% terhadap kelompok k-, dengan kecenderungan konsentrasi paling tinggi memiliki daya bunuh paling tinggi dan konsentrasi 0,1% tidak berbeda signifikan dengan k-. tampak pula bahwa tidak berbeda signifikan (p>0,05) antara konsentrasi 100% dan 75% dan antara 50%, 25%, 10%, dan 5% sehingga dapat diambil kesimpulan pada konsentrasi tersebut, potensi daya bunuhnya sama. tabel tersebut juga menunjukkan bahwa pada pengamatan di menit ke 180 (3 jam), kematian t. molitor kelompok kontrol positif mencapai 10, sedangkan pada kelompok ekstrak 100 % kematian t. molitor hanya mencapai 5,33. malathion sebagai kontrol merupakan insektisida golongan organophospat. 6 malathion membunuh insekta dengan cara mengganggu system saraf dengan mekanismenya adalah menghambat enzim cholinesterase. malathion tidak hanya berefek pada sistem saraf hewan saja, melainkan juga berefek pada sistem saraf manusia dalam efek yang lebih ringan.7 srikaya merupakan tanaman dari famili annonaceae yang berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber insektisida nabati. senyawa aktif utama yang terkandung dalam srikaya adalah squamosin yang termasuk senyawa nomor kelompok perlakuan kelompok penelitian mean nomor hasil analisis anova 1 malathion 0,5 % (k+) 10 1 3 ekstrak 100 % 5,33 2 4 ekstrak 75 % 4,33 2 5 ekstrak 50 % 3,67 3 6 ekstrak 25% 3,67 3 7 ekstrak 10 % 3,67 3 8 ekstrak 5 % 3 3 9 ekstrak 0,1 % 1 4 2 akuades (k-) 0 4 tabel 5. hasil analisis anova antar kelompok penelitian asetogenin, yang memiliki efek kontak cukup baik terhadap serangga.8 terjadi kecenderungan semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun srikaya, semakin cepat daya bunuhnya terhadap t. molitor. hal ini dimungkinkan karena semakin tingginya konsentrasi ekstrak daun a. squamosa, semakin tinggi pula kadar zat aktif squamosin dan asetogenin. penelitian terhadap a. squamosa pernah dilakukan oleh amrita dan singh pada tahun 2001 yang menguji efek molluscidal srikaya terhadap lymnaea acuminata.9 dalam penelitiannya, bagian tumbuhan srikaya yang diuji yaitu bagian kulit kayu, biji, dan daun untuk mengetahui keefektifannya sebagai moluscidal. hasilnya adalah bahwa biji srikaya lebih efektif dibandingkan daunnya, dan kulit kayu adalah yang paling tidak efektif, dengan ld50 pada pengamatan 24 jam setelah perlakuan yaitu 37,8 % , 38,1 % , dan 45,8 % untuk biji, daun, dan kulit kayu secara berurutan. sedangkan ld50 yang didapatkan pada penelitian ekstrak daun srikaya terhadap t. molitor ini adalah 0,51 %. sehingga jika dibandingkan dengan penelitian uji molluscisidal yang dilakukan oleh peneliti tersebut, ternyata ekstrak daun lebih efektif sebagai insektisida daripada digunakan sebagai molluscisida. pada tabel 4 di atas tampak bahwa konsentrasi 100% memberikan efek kematian larva paling cepat (6 jam i) namun kematian 100% baru dicapai pada 35 mutiara medika vol. 9 no. 2:29-36, juli 2009 pengamatan ke-vi (36 jam). efek kematian tampak menurun pada konsentrasi 75% dan 50%. hal ini menunjukkan bahwa 100% adalah konsentrasi yang paling cepat menyebabkan kematian larva tetapi lambat dalam mencapai 100% kematian larva. dan pola ini diikuti oleh konsentrasi 75% dan 50%, sedangkan pada konsentrasi 25%, meskipun kematian larva dimulai pada pengamatan ke-ii, namun mencapai kematian 100% larva pada waktu pengamatan paling cepat (ke-v). dari data tersebut tampak bahwa konsentrasi 25% adalah yang paling cepat menyebabkan kematian 100% larva t. molitor. hal ini mungkin terjadi karena konsentrasi ekstrak 100%; 75%; 50% yang dioleskan ke kertas saring lebih pekat daripada konsentrasi lainnya, sehingga lebih cepat kering yang mungkin menyebabkan bahan aktif dalam ekstrak menjadi tidak aktif dan waktu kontak bahan aktif dengan tubuh larva menjadi lebih singkat. berdasarkan analisis probit, diketahui nilai ld50 adalah 2,26%, lt50 adalah 16,10. jika dibandingkan dengan ld50 dan lt50 terhadap t. molitor dewasa, tampak bahwa ekstrak daun srikaya lebih efektif terhadap stadium dewasa daripada larva. untuk mengetahui signifikasi perbedaan efektifitas ekstrak daun srikaya (a. squamosa) sebagai larvasida terhadap t. molitor antara kelompok penelitian, digunakan uji statistik one way anova. uji anova dilakukan atas hasil pengamatan pada 6 jam ke-iii (18 jam) yang didapatkan sebagai waktu dimana semua kelompok penelitian sudah menyebabkan kematian pada larva t. molitor. tabel 6. analisis anova pada kelompok penelitian ekstrak daun srikaya terhadap larva t. molitor. nomor kelompok kelompok penelitian mean nomor hasil analisis perlakuan anova 9 malathion 5% (k+) 5 1 4 ekstrak 25% 4,33 1 3 ekstrak 50% 3 2 5 ekstrak 10% 3 2 1 ekstrak 100% 2,67 3 2 ekstrak 75% 2,33 3 6 ekstrak 5% 2,33 3 7 ekstrak 0,1% 1 4 8 akuades (k-) 0,33 5 hasil analisis anova menunjukkan bahwa kelompok kontrol positif (k+) tidak berbeda secara signifikan dengan konsentrasi ekstrak 25% (p>0,05). mean untuk kontrol positif adalah 5, sedangkan mean untuk konsentrasi ekstrak 25% adalah 4,33. hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak daun srikaya (a. squamosa) 25% sama efektifnya dengan malathion 5% dalam membunuh larva t. molitor. semua kelompok perlakuan terdapat perbedaan signifikan (p<0,05) dengan k-. hal ini berarti rangkaian konsentrasi 100%, 75%, 50%, 25%, 10%, 5%, dan 0,1% memiliki potensi sebagai larvasida t. molitor. herminanto et al (2004) 10 melakukan penelitian tentang efektifitas ekstrak biji srikaya (a. squamosa) terhadap larva dan dewasa c. pavonanae. hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ekstrak biji srikaya (a. squamosa) pada tri wulandari kesetyaningsih, widha puspadhica, wirdasari, efikasi ekstrak daun srikaya .......................... 36 konsentrasi yang lebih tinggi tidak efektif untuk mengontrol c. pavonanae. ekstrak biji srikaya pada konsentrasi 15cc/l baru menyebabkan kematian 25% larva setelah 72 jam pemaparan. pada konsentrasi tersebut, aktifitas makan larva menjadi berkurang dan perkembangan larva menjadi terhambat. jika dibandingkan dengan hasil penelitian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa ekstrak biji maupun daun srikaya pada dosis yang lebih tinggi menjadi tidak efektif untuk membunuh larva, baik t. molitor maupun c. pavonane. kesimpulan uji efikasi ekstrak daun a. squamosa terhadap dewasa dan larva t. molitor menunjukkan hasil yang hampir sama, dalam hal dibandingkan dengan kelompok kontrol positif (malathion) dan kelompok kontrol negatif (air), ld50 adalah 0,51% dan 2,26% ; lt50 adalah 8,1 jam dan 16,10 jam berturut untuk dewasa dan larva, kontrol positif (malathion 0,5%) paling efektif membunuh dewasa dan ekstrak 25% paling efektif terhadap larva t. molitor. saran 1. perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengungkap dosis optimal ekstrak daun srikaya yang memiliki efek larvasida dan adultisida. 2. perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengmbangkan potensi ensektisida a. squamosa dari bagian yang lain, dalam bentuk sediaan yang berbeda, dan pada jenis serangga yang lainnya dan diikuti dengan uji toksisitas terhadap hewan dan manusia. daftar pustaka 1. shea, f.j., 2005. sex differences in frass production and weight change in t. molitor (coleoptera) infected with cysticercoids of the tapeworm hymenolepis diminuta (cestode). j insect sci.2005; 5:31. 2. jeebhay,m., r.baatjies and a. lopata. 2005. allergies in the workplace: work related respiratory allergy associated with sensitization to storage pests and mites among grain-mill workers. current allergy & clinical immunology. june 2005 vol 18, no.2.hal. 72-76 3. chorge, m., 2000. aedes aegypti embryogenesis and inhibitory effect of leaves extract of a. squamosa. diakses tanggal 22 januari 2008 di http:// ezinearticles.com/expert=mangesh chorge 4. leatemia, j.a and isman, m.b., 2004. insecticidal activity of crude seed extracts of annona spp., lansium domesticum and sandoricum koetjape against lepidopteran larvae. phytoparasitica 32(1):30-37 5. sundari, s. dan t.w. kesetyaningsih., 2002. ekstrak biji srikaya (a. squamosa,l.): efikasi fase air sebagai larvisida terhadap larva nyamuk aedes aegypti. laporan penelitian. unpublished. yogyakarta. 6. chamber, h.w. 1992. organophosporus compounds: an overview. in organophosphate: chemistry, fate and effects. san diego, ca,;pp 3-17 7. anonim, 2000. malathion. diakses tanggal 27 desember 2008. di http:// en.wikipedia.org/wiki/malathion 8. sarjan, m. 2007. potensi pemanfaatan insektisida nabati dalam pengendalian hama pada budidaya sayuran organik. diakses pada 11 april 2008, dari ntb.litbang.deptan.go.id/2007/tph/ potensipemanfaatan.doc 9. amrita s. and singh, d.k., 2001. molluscisidal activity of custard apple (a. squamosa l.) alone and its combination with other plant derived molluscicides. journal of herbs spices and medicinal plants, 8:2329. 10. herminanto, wiharsi, and sumarsono, t. (2004). potensi ekstrak biji srikaya (a. squamosa l.) untuk mengendalikan ulat krop kubis (crocidolomia pavonana f.). fakultas pertanian unsoed. 57 mutiara medika vol. 9 no. 1:57-62, januari 2009 cardivascular reactivity to earthquake reaktivitas kardiovaskular terhadap gempa bumi ikhlas muhammad jenie department of physiology, faculty of medicine, muhammadiyah university of yogyakarta abstrak gempa bumi merupakan suatu stressor mental yang terjadi secara alamiah. belum diketahui bagaimana respon kardiovaskular terhadap gempa bumi, berapa lama respon tersebut berlangsung, dan seberapa jauh akibat yang ditimbulkan oleh gempa bumi terhadap sistem kardiovaskular. tujuan penulisan naskah ini adalah untuk mengetahui gambaran dan durasi serta potensial dari pengaruh reaktivitas kardiovaskuler terhadap gempa bumi. metode penelitian dilakukan dengan studi literatur terhadap penelitian-penelitian mengenai efek gempa bumi terhadap sistem kardiovaskular yang telah dipublikasikan pada medline. tekanan darah dan frekuensi denyut jantung mulai berubah pada awal gempa bumi, dan kemudian naik sebesar 20% untuk tekanan darah sistolik, 46% untuk tekanan darah diastolik, dan 79% untuk frekuensi denyut jantung. tingginya tekanan darah tersebut bertahan 1-2 minggu pasca gampa bumi, kemudian turun secara bertahap dalam kurun waktu 2 minggu. peningkatan tekanan darah memanjang hingga 2 bulan pada pasien-pasien dengan mikroalbuminuria. sementara itu, peningkatan tekanan darah tidak begitu tajam pada pasien-pasien yang mengkonsumsi obat-obat αdan β-bloker. frekuensi denyut jantung kembali ke nilai awal lebih cepat daripada tekanan darah. kejadian infark miokard meningkat 3 kali lipat penduduk yang tinggal dekat dengan pusat gempa daripada penduduk yang tinggal jauh dari pusat gempa. terdapat hiperreaktivitas kardiovaskular terhadap gempa bumi. hiperreaktivitas kardiovaskular terhadap gempa bumi tersebut bersifat akut dan berpotensi menimbulkan komplikasi infark miokard. kata kunci: frekuensi denyut jantung, gempa bumi, infark miokard, reaktivitas kardiovaskular, tekanan darah abstract earthquake is a naturally occurring mental challenge. it potentially exerts adverse effects on the cardiovascular system, thus may contribute to the development of cardiovascular diseases. to know pattern and duration of the effect of earthquake on cardiovascular reactivity, and to know the potential effect of earthquake on the cardiovascular system. we did literature search on studies published in medline database that reported changes in cardiovascular parameters among subjects lived in earthquake affected area. . the result of blood pressure and heart rate started to change at the initial trembling preceded the earthquake. then at the strongest shock, systolic blood pressure increased 20%, diastolic blood pressure rose 46%, and heartbeat was up to 79%. blood pressure remained high in 1-2 weeks after the quake. it then gradually returned to the baseline by 4 weeks (3 – 5 weeks) after the disaster. this increased blood pressure was prolonged for at least until 2 ikhlas m. jenie, reaktivitas kardiovaskular terhadap gempa bumi ................ 58 months aftermath in patients with microalbuminuria. however, it was less pronounced in patients who treated with αand β-blocker. the heart rate returned to the baseline level more promptly than the blood pressure. the events of myocardial infarction increased 3-fold in people who lived close to the epicentre. the conclution is cardiovascular hyperreactivity to earthquake has cardiac and vascular pattern. exaggerated cardiovascular reactivity to earthquake is short term response. cardiovascular reactivity to earthquake potentially leads to myocardial infarction. keywords: blood pressure, cardiovascular reactivity, heart rate, myocardial infarction, natural disaster introduction cardiovascular reactivity is a set of changes in blood pressure, heart rate, and other hemodynamic parameters in response to a stimulus. 1 basically, cardiovascular reactivity is a reflex. 2 therefore, it depends on condition of the structures along the reflex arc as well as on the nature and strength of the stimulus.3 cardiovascular reactivity can be used as a non-invasive method to identify the pre-clinical state of cardiovascular disease. pre-clinical cardiovascular disease state is the pathogenic change in the cardiovascular structure and function that, if continued, will often progress to manifestations of cardiovascular disease, such as hypertension, myocardial infarct, and stroke.4 cardiovascular reactivity to a variety of mental stress was correlated to subsequent hypertension. a study in among 3364 normotensive young adults total (comprised of 910 white men, 909 white women, 678 black men, and 867 black women) showed that increased systolic blood pressure (sbp) reactivity to video game – a laboratory mental test – was significantly associated (p < .0001) with subsequent 5-year sbp, independent of resting sbp.5 a study done in among 206 middle-aged adults showed that larger systolic and diastolic blood pressure responses to a combination of mental and physical challenges were associated with higher subsequent resting diastolic blood pressure 6.5 years later, after adjustment for age, resting blood pressure, and body mass index at study entry.6 earthquake is a naturally occurring mental stressor. therefore, it potentially exerts adverse effects to the cardiovascular system and thus may contribute to the development of cardiovascular diseases. material and methods the objectives of this study are to know the pattern and the duration of the cardiovascular reactivity to earthquake, and also to know the potential effect effects of earthquake on the cardiovascular system. published studies in medline database, that is maintained by the united states national library of medicine at the national institutes of health, that reported changes in cardiovascular parameters among subjects lived in earthquake affected area was collected. most evidences were found came from the earthquake that struck the hanshin-awaji district, kobe, japan at 5.46 am on january 17, 1995 (magnitude 7.2 on the richter scale), that trembled the marche and umbria region, central italia, at 5.26 pm on march 26, 1998 (magnitude 4.7 on the richter scale), and that affected los angeles county, usa, at 4.31 am on january 17, 1994. results in the case when initial trembling preceded the earthquake, blood pressure and heart rate were started to change, even if it was only of mild-to-moderate intensity. at the strongest shock, blood pressure and heart rate rose up markedly. as reported by parati et al. systolic blood pressure rose from 130 mmhg to 150 mmhg (20% increase), diastolic blood pressure rose from 85 mmhg to 122 mmhg (46%), and 59 mutiara medika vol. 9 no. 1:57-62, januari 2009 figure 1. a record from 24-hour ambulatory blood pressure monitoring in a borderline hypertensive patient during an earthquake in the marche and umbria region, central italia, on march 26, 1998 (the seismograph recording is below the abpm recording).7 based on literature review showed that abnormal blood pressure persisted for 1 hour after the quake.7 throughout the following 6 hours, blood pressure variability was enhanced.7 blood pressure remained high in 1-2 weeks aftermath, as shown by office blood pressure 8, home blood pressure9 and 24-hour ambulatory blood pressure.10 it was still high in the first to second week after the quake.8-10 the blood pressure then gradually returned to the baseline by 4 weeks (range 3 to 5 weeks) after the quake9-10, but it returned to the baseline within 6 weeks after the disaster.11 as compared to the blood pressure, the heart rate returned to the baseline more promptly.7 the heightened blood pressure response was prolonged for at least until 2 months after the quake in patients with microalbuminuria. 10 however, blood pressure increase related to earthquake was less pronounced in patients who had been treated with ?-blocker 10 and ?blocker.11 after earthquake, blood viscosity is increased due to hemoconcentration. hemostasis mechanism also changed as fibrinogen level, von willebrand factor, tissue-type plasminogen (tpa) activator and d-dimer were increased.12 lipid profile was reported either increased for short-term period13 or did not change significantly.14 factors associated with increased blood pressure due to earthquake were age, body mass index10, and gender.14 for heart rate reactivity, the influenced factors were financial loss, distance from relatives/ friends, and decreased visiting after the quake.15 it was reported that women exerted greater blood pressure response to earthquake than men.14 distance from the centre of the quake was also affects cardiovascular reactivity to earthquake. people who lived in the severe affected area had increased blood pressure greater than those who lived in the surrounding area.11 the events of myocardial infarction increased 3-fold in people who lived close heartbeat rose from 83 bpm to 150 bpm (79%) in a borderline hypertensive patient measured using a 24-hour ambulatory blood pressure monitoring.7 ikhlas m. jenie, reaktivitas kardiovaskular terhadap gempa bumi ................ 60 to the epicentre14, whereas home blood pressure did not change significantly in hypertensive patients who lived farther than 50 kilometres from the epicentre.9 incidence of fatal heart attack was increased on the day of earthquake, and it was decreased 6 days aftermath .15 discussion in response to mental challenge, cerebral cortex stimulates nucleus tractus solitarius in the medulla oblongata. nucleus tractus solitarius in turn will activate cardiacacceleratory centre and inhibits cardiacinhibitory centre. therefore, sympathetic activity to the heart increases, vagal inhibition to the heart decreases, and as the consequence, heart rate is increased. sympathetic tone to the blood vessels will also increase, resulted in vasoconstriction and venoconstriction. vasoconstriction occurs in the kidneys, splanchnic organs, and skin. venoconstriction will raise central venous pressure; consequently, diastolic filling and stroke volume are increased. thus, during mental challenge, as heart rate and stroke volume increase, cardiac output is increased. 16 as sympathetic activity to adrenal medulla is enhanced, epinephrine is released to portal vein. epinephrine will bind to â1 adrenergic receptors on the heart to enhance cardiac contractility and beat, thus increases further stroke volume and cardiac output. epinephrine will bind also to the â2 adrenergic receptors on the blood vessels of the skeletal muscle to cause vasodilatation.17 vasodilatation will also occur in the brain and heart as the result of metabolic hyperaemia. blood is redistributed from the kidneys, splanchnic organs, and skin to the heart, brain, and skeletal muscle. indeed, redistribution of the blood flow also occurs among skeletal muscles. blood flow to the skeletal muscle in the arm is greater than that in the leg whereas the sympathetic activity to the skin of the arm is less than that of the leg.18 in response to mental stress, vasodilatation outweighs vasoconstriction, resulting in no changes or even slightly decreases in total peripheral resistance. thus, mental challenge is a cardiac stimulator, but not a vascular stimulator, since it increases heart rate, stroke volume, and cardiac output but decreases total peripheral resistance. overall, it elevates blood pressure.16 aftermath, blood pressure will suddenly drop and then almost immediately reach a plateau at a level that is somewhat higher than the baseline level.19. earthquake is natural mental challenge, thus its nature is a cardiac stimulator. therefore, as well as other mental challenges, it increases heart rate and elevates blood pressure. however, earthquake is also a vascular stimulator, in which diastolic blood pressure rises markedly than systolic blood pressure. the marked increase in diastolic blood pressure may indicate a pronounced peripheral vasoconstriction. moreover, patients who had been treated with ?-blocker10 and ?blocker11, the blood pressure reactivity to earthquake was less pronounced. frightening, depression and anxiety accompanying the people who suffered from the quake disrupt the noradrenergic system to cause vascular hyperresponsiveness.20 marked increase in diastolic blood pressure may also reflect a reaction to immobile confrontation. immobile confrontation is a condition when the subject is confronted by a challenge without any possibility of either attacking or escaping, thus without any chance of to fight or flight.7 the “bi-faces” of earthquake, i.e. as cardiac and vascular stimulator, differentiates it with other mental challenges, i.e. cardiac stimulators only. the nearest the people lived from the epicentre, the greater the prevalence myocardial infarction after the quake.14 it was reported that exaggerated blood pressure reactivity correlates with intimamedia thickness, the extent and progression of atherosclerosis in carotid artery, and left ventricular mass.4 mental challange increases oxygen demand but decreases oxygen supply. oxygen demand is increased as systolic blood pressure and heart rate rises to cause an increase in rate 61 mutiara medika vol. 9 no. 1:57-62, januari 2009 pressure product, which is a surrogate marker for cardiac oxygen demand21. oxygen supply to cardiac muscle is decreased as epicardial coronary artery constricts and small resistance vessels in the heart fail to dilate. acute psychological stress and imbalance of the autonomic nerve system to the heart contributes to the heart attack. the increased sympathetic activity and decreased parasympathetic activity to the heart contributes to cardiac arrhythmia. anxiety and depression is related with regulatory failure of the serotoninergic system, which in turn exerts influence to vasoconstriction.20,22 the increased hematocrit, fibrinogen level, vwf, tpa activator and d-dimer12 will lead to thrombosis, which in turn is responsible for acute coronary syndrome. mental challenge increases sympathetic activity, which in turn attenuates blood flow, resulting in platelet activation and thrombi formation.22 the increased blood pressure dropped gradually after the quake.8-10 cardiovascular reactivity varies on the magnitude of the responses & also in the extent to which it continues after the stressor is stopped (carryover effect).23 after mental challenge, blood pressure should drops suddenly, although it reaches a plateau at a level higher than the baseline.19 stress and depression will impair depressor mechanism and delay cardiovascular recovery. 20 delayed cardiovascular recovery itself was associated also with future hypertension.4,19 conclusion cardiovascular reactivity to earthquake has cardiac and vascular pattern, includes in the increase in heart rate, blood pressure, peripheral resistance, and cardiac work. exaggerated cardiovascular reactivity to earthquake is short term responses. cardiovascular reactivity to earthquake potentially leads to cardiac events and hypertension in the long run for people who had survived from the earthquake. references 1. falkner b. the role of cardiovascular reactivity as a mediator of hypertension in african americans. seminars in nephrology. 1996;16(2),117-125. 2. engel bt. cardiovascular reactivity as behaviour. american journal of cardiology. 1987;60(18),3j-8j. 3. konradi g. activity of the nervous system. in k.m. bykov. (ed.). text book of physiology. (2 nd edn.). moscow: peace publishers. 1953. 4. treiber fa, kamarck t, schneiderman n, sheffield d, kapuku g, taylor t. cardiovascular reactivity and development of preclinical and clinical disease state. psychosomatic medicine. 2003;65(1),46-62. 5. markovitz jh, raczynski jm, wallace d, chettur v, chesney ma. cardiovascular reactivity to video game predicts subsequent blood pressure increases in young men: the cardia study. psychosomatic medicine. 1998; 60(2),186-91. 6. matthews ka, woodall kl, allen mt. cardiovascular reactivity to stress predicts future blood pressure status. hypertension. 1993;22(4),479-85. 7. parati g, antonicelli r, guazzarotti f, paciaroni e, mancia g. cardiovascular effects of an earthquake: direct evidence by ambulatory blood pressure monitoring. hypertension. 2001;38(5),1093-5. 8. kario k, matsuo t, kobayashi h, yamamoto k, shimada k. earthquakeinduced potentiation of acute risk factors in hypertensive elderly patients: possible triggering of cardiovascular events after a major earthquake. journal of the american college of cardiology. 1997;29,(5),926-33. 9. minami j, kawano y, ishimitsu t, yoshimi h, takishita s. effect of the hanshin-awaji earthquake on home blood pressure in patients with essential hypertension. american journal of hypertension. 1997;10(2),222-5. ikhlas m. jenie, reaktivitas kardiovaskular terhadap gempa bumi ................ 62 10. kario k, matsuo t, shimada k, pickering tg. factors associated with the occurrence and magnitude of earthquake-induced increases in blood pressure. american journal of medicine. 2001;111(5),379-84. 11. saito k, kim ji, maekawa k, ikeda y, yokoyama m. the great hanshin-awaji earthquake aggravates blood pressure control in treated hypertensive patients. american journal of hypertension. 1997;10(2),217-12. 12. matsuo t, kobayashi h, kario k, suzuki s, matsuo m. role of biochemical and fibrinolytic parameters on cardiac events associated with hanshin-awaji earthquake-induced stress. japanese journal of clinical pathology. 1998;46(6);593-8. 13. trevisan m, jossa f, farinaro e, krogh v, panico s, giumetti d, mancini m. earthquake and coronary heart disease risk factors: a longitudinal study. american journal of epidemiology. 1992;135(6),632-7. 14. kario k, mcewen bs, pickering tg. disasters and the heart: a review of the effects of earthquake-induced stress on cardiovascular disease. hypertension research clinical & experimental. 2003;26(5),355-67. 15. leor j, poole wk, kloner ra. sudden cardiac death triggered by an earthquake. the new england journal of medicine. 1996;334(7),413-9. 16. hjemdahl p. cardiovascular system and stress. in g. fink. (ed.). encyclopedia of stress. (vol. 1: a-d). london: academic press. 2000. 17. kjeldsen se, petrin j, weder ab, julius s. contrasting effects of epinephrine on forearm hemodynamics and arterial plasma norepinephrine. american journal of hypertension, 1993;6,36975. 18. bedi m, varshney vp, babbar r. role of cardiovascular reactivity to mental stress in predicting future hypertension. clinical and experimental hypertension, 2000;22(1),1-22. 19. gerin w, pickering tg. association between delayed recovery of blood pressure after acute mental stress and parental history of hypertension. journal of hypertension. 1995;13(6),603-10. 20. schulman jk, muskin pr, shapiro pa. psychiatry and cardiovascular disease. journal of lifelong learning in psychiatry. 2005;iii(2),208-24. 21. levick jr. cardiovascular physiology. london. 2000. 22. national heart, lung, and blood institute. report of the task force on behavioral research in cardiovascular, lung, and blood health and disease. us department of health and human services. 1998. 23. schwartz ar, gerin w, davidson kw, pickering tg, brosschot jf, thayer jf, christenfeld n, linden w. toward a causal model of cardiovascular responses to stress and the development of cardiovascular disease. psychosomatic medicine. 2003;65,22-35. author statement form: manuscript originality and copyright transfer agreement mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan (mmjkk) issn: 2614-0101 (online) & 1411-8033 (print) https://journal.umy.ac.id/index.php/mm/index name of principal/corresponding author* nita damayanti address of principal/corresponding author* department of dermatology and venereology, faculty of medicine, public health, and nursing, universitas gadjah mada, yogyakarta, indonesia gedung radiopoetro lantai 3, jl. farmako sekip utara, senolowo, sinduadi, kec. mlati, kabupaten sleman, daerah istimewa yogyakarta 55281, indonesia telephone* 082332919995 e-mail* nitadamayanti91@gmail.com fax* all author(s) name* nita damayanti niken indrastuti date of submitted* 10 juli 2021 manuscript title* cutaneous manifestations of breast cancer patients in combination capecitabine and lapatinib chemotherapy (1) declare that the article above is original. my own thoughts not translated, and has not been published elsewhere or currently not in the process of other journal publications. i am willing to be responsible if there are parties who feel disadvantaged privately and/or based on a lawsuit in the future by the publication of this article. (2) i also declare that any and all rights in and to the article including, without limitation, all copyrights are transferred to mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan (mmjkk). therefore, the copyright transfer hands it the power and authority to edit, reproduce, distribute copies, and to publish the article partly or fully. corresponding author’s name & signature date 10 july 2021 editorial office mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan journal room, g1 (biomedic) building, ground floor, faculty of medicine and health science, universitas muhammadiyah yogyakarta, jalan lingkar selatan (brawijaya), tamantirto, kasihan, bantul, daerah istimewa yogyakarta, indonesia 55183. phone: +62 274 387 656 (ext: 231) email: mmjkk@umy.university 143 mutiara medika vol. 12 no. 3: 143-149, september 2012 perbedaan hubungan antara ibu bekerja dan ibu rumah tangga terhadap tumbuh kembang anak usia 2-5 tahun relationship between working mother and the housewife with the growth and development of 2-5 years children dixy febrianita titi pratama putri1, kusbaryanto2* 1program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta 2bagian ilmu kesehatan masyarakat, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta *email: koesbary@yahoo.co.id abstrak terdapat hubungan antara wanita yang bekerja dengan tumbuh kembang anaknya. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara profesi ibu sebagai pegawai di perusahaan dan ibu rumah tangga dengan pertumbuhan dan perkembangan anak usia 2-5 tahun. jenis penelitian ini adalah analytic observational dengan pendekatan cross sectional. subyek penelitian adalah pasangan ibu seorang pegawai di perusahaan dan ibu rumah tangga (istri pegawai pria yang tidak bekerja) dengan anaknya yang berusia 2-5 tahun. sampel yang digunakan sebanyak 80. data dianalisis menggunakan uji chisquare. hasil uji statistik didapat nilai p=0,012 rr=0,38 (ci 95%: 0,16–0,86) untuk hubungan antara profesi ibu dengan perkembangan anak, sedangkan dengan pertumbuhan anak nilai p=0,330 rr=1,75 (ci 95%: 0,55–5,51). hubungan antara profesi ibu dengan pola asuh makan (p=0,120) dan pola asuh stimulus (p=0,172). penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara profesi ibu dengan perkembangan anak, namun tidak terdapat hubungan yang bermakna antara profesi ibu dengan pertumbuhan anak, pola asuh makan, dan pola asuh pemberian stimulus. kata kunci: pertumbuhan, perkembangan, ibu pegawai, ibu rumah tangga, anak usia 2-5 tahun abstract there is any relationship between working mother with growth and development her child. the objectives of this study are to determine the relationship between mother profession as an employee in the company and the housewife with the growth and development of 2-5 years children. this study is observational analytic with cross sectional approach. the subjects in this study are the mother of an employee in the company and housewife (wife of male employees who are not working) with their children aged 2-5 years. the samples used for as many as 80. the data were analyzed using chi-square test. results from statistical tests obtained the p=0.012 rr=0.38 (ci 95%: 0.16-0.86) for the relationship between mother’s profession with child development, while with child growth, p=0.330 rr=1,75 (ci 95%: 0.55-5.51). relationship between mother’s profession with ate parenting (p=0,120) and stimulation parenting (p=0,172). based on the result above shows there are significant relationships between mother’s professions with child development, but there’s no significant relationships between mother’s professions with child growth, ate parenting, and also with stimuli parenting. key words: growth, development, mother as an employee, housewife mother, 2-5 years children artikel penelitian 144 dixy febrianita titi pratama putri, perbedaan hubungan antara ibu bekerja ... pendahuluan tahun-tahun pertama kehidupan merupakan periode yang sangat penting yaitu pertumbuhan fisik, perkembangan kecerdasan, ketrampilan motorik dan sosial emosi berjalan demikian pesatnya.1 untuk mencapai keberhasilan di tahun-tahun tersebut, dibutuhkan peran pengasuh anak, terutama ibu.2 jika peran tersebut dapat dimainkan dengan baik oleh ibu maka pertumbuhan dan perkembangan anak dapat mencapai titik optimal. pada saat ini banyak ibu-ibu yang bekerja dengan alasan untuk menambah penghasilan ekonomi keluarga. berdasarkan data statistik biro pusat statistik (bps) tahun 2003 menunjukkan bahwa dari 100% wanita didapatkan 82,68% adalah perempuan bekerja dan sisanya sebanyak 17,31% adalah perempuan tidak bekerja. dengan bekerja maka semakin sedikit pula waktu dan perhatian yang mereka curahkan untuk anaknya. keadaan ini dikhawatirkan akan berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan anak.3 pertumbuhan dan perkembangan anak merupakan proses yang berkesinambungan dan berlangsung terus menerus dimulai dari masa pembuahan hingga dewasa. istilah tumbuh kembang sendiri mencakup dua peristiwa yang sifatnya berbeda, namun saling berkaitan dan sulit dipisahkan satu dengan lainnya.2 pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai bertambah banyak dan besarnya sel seluruh bagian tubuh yang bersifat kuantitatif dan dapat diukur,4 sedangkan definisi perkembangan anak berhubungan dengan perubahan kualitatif yang meliputi beberapa dimensi perkembangan anak yaitu perkembangan motorik kasar, motorik halus, bahasa, sosialisasi, kognitif, dan hubungan keluarga.5 faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak merupakan hasil interaksi dari banyak faktor, yakni: faktor genetik (keturunan) dan faktor lingkungan. faktor lingkungan tersebut terdiri dari faktor lingkungan biologis, faktor fisik, faktor psikososial serta faktor keluarga dan adat istiadat (pekerjaan, pendidikan ayah/ibu, jumlah saudara, adat istiadat dan norma-norma).6 ibu sebagai salah satu faktor lingkungan keluarga yang berpengaruh pada tumbuh kembang, memainkan peran di dalam mendidik anak, terutama pada masa balita. peranan ibu tersebut dibedakan menjadi tiga tugas penting, yaitu ibu sebagai pemuas kebutuhan anak, ibu sebagai teladan atau “model” peniruan anak dan sebagai pemberi stimulasi bagi perkembangan anak.7 peran lain ibu dalam menunjang pertumbuhan anak adalah memberikan pola asuh makan yang baik. praktek pola asuh makan terdiri dari pemberian makan yang sesuai umur dan kemampuan anak, kepekaan ibu atau pengasuh mengetahui saat anak perlu makan, upaya menumbuhkan nafsu makan anak, dan menciptakan situasi makan yang baik seperti memberi rasa nyaman saat makan.7 selain pola asuh makan, pemberian stimulus oleh ibu juga tidak kalah penting. rangsangan stimuli berguna dalam pertumbuhan dan perkembangan organ-organ yang belum lengkap pada waktu lahir, khususnya rangsangan yang diberikan oleh ibu. selain itu pula rangsangan yang diberikan oleh ibu, akan memperkaya pengalaman dan mempunyai pengaruh yang besar bagi perkembangan kognitif, visual, verbal serta mental anak.6 anak membutuhkan interaksi positif dengan ibunya atau pengasuhnya. pengaruh budaya yang 145 mutiara medika vol. 12 no. 3: 143-149, september 2012 mendukung interaksi antara ibu dan anak perlu dilestarikan. perilaku eksplorasi dan learning melalui interaksi ini perlu dicermati, dan anak membutuhkan dorongan dari orangtua untuk mengembangkan kemampuannya.8 interaksi timbal balik antara anak dan orang tua dapat menciptakan keakraban dalam keluarga. anak akan terbuka kepada orang tuanya, sehingga komunikasi bisa dua arah dan segala permasalahan dapat dipecahkan bersama karena adanya kedekatan dan kepercayaan antara orang tua dan anak. interaksi tidak ditentukan oleh seberapa lama kita bersama anak (kuantitas) namun lebih ditentukan oleh kualitas dari interaksi tersebut. kualitas adalah pemahaman terhadap kebutuhan masingmasing dan upaya optimal untuk memenuhi kebutuhan tersebut yang dilandasi oleh rasa saling menyayangi.4 penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara profesi ibu sebagai pegawai di perusahaan dan ibu rumah tangga dengan pertumbuhan dan perkembangan anak usia 2-5 tahun. bahan dan cara jenis penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan menggunakan rancangan penelitian potong lintang (cross sectional). penelitian ini dilakukan di pt. safarijune textile industry boyolali. besar sampel yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 80 responden, 40 responden merupakan ibu pegawai perusahaan beserta anaknya dan 40 responden lainnya adalah ibu rumah tangga beserta anaknya. pemilihan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling. kriteria sampel balita adalah balita berumur 2-5 tahun, sedangkan kriteria responden ibu adalah ibu yang berprofesi sebagai pegawai perusahaan, ibu yang beprofesi sebagai ibu rumah tangga, dan bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini. dalam penelitian ini terdapat 3 variabel yang diidentifikasi. variabel tergantung yaitu pertumbuhan dan perkembangan anak usia 2-5 tahun, variabel bebas yaitu ibu sebagai pegawai di perusahaan dan ibu rumah tangga, serta variabel antara yaitu pola asuh makan dan stimulus. pengumpulan data dilakukan dengan wawancara kepada ibu masing-masing anak untuk mendapatkan sampel dengan kriteria inklusi dan mengeluarkan sampel dengan kriteria eksklusi pada kedua sampel. kedua adalah dengan menggunakan alat-alat observasional untuk mendapatkan nilai tentang tumbuh kembang, antara lain data mengenai tinggi badan yang diukur dengan meteran dan berat badan yang diukur dengan timbangan. ketiga adalah dengan menggunakan kuesioner untuk mengukur pertumbuhan anak, pola asuh pemberian makan dan pola asuh pemberian stimulus. data disajikan mengunakan distribusi frekuensi dan prosentase dan diolah menggunakan uji chi square. analisis univariat digunakan untuk mengetahui distribusi frekuensi dari masing-masing variabel. analisa bivariat dengan menggunakan uji chi square untuk mengetahui hubungan antara profesi ibu dengan tumbuh kembang anak, serta hubungan profesi ibu dengan pola asuh makan dan stimulus. hasil pada tabel 1. terlihat bahwa proporsi umur ibu terbanyak adalah umur produktif antara 21-35 tahun (61,3%). dilihat dari tingkat pendidikan, sma/ sederajat memiliki proporsi tingkat pendidikan 146 dixy febrianita titi pratama putri, perbedaan hubungan antara ibu bekerja ... terbanyak (46,3%). proporsi umur terbanyak pada kedua kelompok adalah pada kelompok dengan ibu seorang pegawai adalah antara 49-60 bulan (21,3%), sedangkan pada kelompok dengan ibu rumah tangga adalah antara 24-36 bulan (18,8%). jenis kelamin terbanyak pada kedua kelompok adalah laki-laki sebanyak 58,8%. pada tabel 2. dapat dilihat bahwa pertumbuhan anak sebagian besar adalah normal (86,3%) dan 13,8% tidak normal. tingkat perkembangan anak dalam kategori normal sebanyak 72,5%, sedangkan kategori tidak normal sebanyak 27,5%. pola asuh ibu dalam pemberian makan kepada anaknya termasuk kategori baik (53,8%), kategori cukup baik (41,3%) dan kategori kurang baik (5%). sebagian besar ibu (78,8%) memiliki tingkat kebiasaan pemberian stimulus baik kepada anaknya dan 21,3% memiliki tingkat yang cukup baik. pada tabel 3. menunjukkan pertumbuhan anak yang tidak normal lebih banyak pada kelompok ibu dengan profesi sebagai pegawai di perusahaan (17,5%), sedangkan pada ibu rumah tangga pertumbuhan anak yang tidak normal sebesar 10%. hasil analisis dengan menggunakan chisquare diperoleh nilai p=0,330 sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik antara profesi ibu sebagai pegawai di perusahaan dan ibu rumah tangga dengan pertumbuhan anak. hasil penelitian hubungan antara profesi ibu pada tabel 3. dengan perkembangan anak menunjukkan proporsi anak yang mengalami perkembangan tidak normal sebagian besar terdapat pada anak dengan ibu yang berprofesi sebagai ibu rutabel 1. distribusi responden ibu dan anak berdasarkan karakteristik karakteristik profesi ibu ibu rumah tangga pegawai perusahaan jumlah % jumlah % karakteristik ibu umur (tahun) < 20 7 8,8 0 0 27 33,8 22 27,5 > 35 6 7,5 18 22,5 tingkat pendidikan sd 5 6,3 3 3,8 smp 15 18,8 6 7,5 sma/ sederajat 17 21,3 20 25 s1 3 3,8 11 13,8 jumlah 80 karakteristik anak umur (bulan) 24 36 15 18,8 7 8,8 37 48 13 16,3 16 20 49 60 12 15 17 21,3 jenis kelamin laki-laki 24 30 23 28,8 perempuan 16 20 17 21,3 jumlah 80 tabel 2. di stri busi frekuen si berdasarkan t ingkat pertumbuhan dan perkem-bangan anak dan pola asuh ibu terhadap anak frekuensi prosentase tingkat pertumbuhan dan perkembangan pertumbuhan normal 69 86,3% tidak normal 11 13,8% total 80 100% perkembangan normal 58 72,5% tidak normal 22 27,5% total 80 100% pola asuh pemberian makan baik 43 53,8% cukup baik 33 41,3% kurang baik 4 5% total 80 100% pemberian stimulus baik 63 78,8% cukup baik 17 21,3% total 80 100% tabel 3. hub ungan an tara pro fesi ibu den gan pertumbuhan dan perkembangan anak profesi ibu tidak normal normal total f (%) f (%) f (%) pertumbuhan pegawai perusahaan 7 17,5 33 82,5 40 100 ibu rumah tangga 4 10 36 90 40 100 jumlah 11 13,8 69 86,3 80 100 p = 0,330 perkembangan pegawai perusahaan 6 15 34 85 40 100 ibu rumah tangga 16 40 24 60 40 100 jumlah 22 27,5 58 72,5 80 100 p = 0,012 147 mutiara medika vol. 12 no. 3: 143-149, september 2012 mah tangga sebesar 40%. sementara pada ibu yang berprofesi sebagai pegawai di perusahaan hanya 15% anak yang mengalami perkembangan tidak normal. hasil penelitian hubungan profesi ibu dengan pola asuh makan pada tabel 4. menunjukkan bahwa pada ibu rumah tangga yang memiliki pola asuh makan baik dan kurang baik adalah berimbang. pada ibu dengan profesi sebagai pegawai di perusahaan yang memiliki pola asuh kurang 42,5% dan yang memiliki pola asuh baik baik 57,5%. analisis chi square diperoleh nilai p sebesar 0,501 dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara profesi ibu sebagai pegawai di perusahaan dan ibu rumah tangga dengan pola asuh dalam pemberian makan. hasil penelitian hubungan antara profesi ibu dengan pola asuh stimulus menunjukkan bahwa ibu yang berprofesi sebagai pegawai di perusahaan memiliki pola asuh stimulus yang baik terhadap anaknya sebesar 85%, sedangkan pada ibu rumah tangga sebesar 72,5%. analisis menggunakan chi square diperoleh nilai p sebesar 0,172 sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik antara profesi ibu sebagai pegawai di perusahaan dan ibu rumah tangga dengan pola asuh pemberian stimulus. diskusi berdasarkan uji statistik yang telah dilakukan, ternyata tidak ditemukan hubungan yang bermakna secara statistik antara profesi ibu dengan pertumbuhan anak, dengan nilai p=0,330 rr=1,75 (ci 95%: 0,55–5,51). anak dengan ibu seorang pegawai di perusahaan memiliki risiko 1,75 kali mengalami pertumbuhan tidak normal dibanding dengan anak yang ibunya seorang ibu rumah tangga. ibu, baik yang berprofesi sebagai pegawai ataupun ibu rumah tangga sudah memiliki kesadaran yang sama untuk memenuhi kebutuhan gizi pada anaknya yang pada akhirnya dapat berpengaruh terhadap partumbuhan. meskipun pada ibu yang bekerja tidak memiliki waktu banyak bersama anaknya, namun dia dapat meluangkan waktu untuk memberikan perhatian terhadap pemberian makan sang anak, sehingga pemenuhan gizi dapat tetap terpenuhi dan pertumbuhan yang normal dapat dicapai. berdasarkan uji statistik yang telah dilakukan, terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara profesi ibu sebagai pegawai di perusahaan dan ibu rumah tangga dengan perkembangan anak, dengan nilai p=0,012 rr 0,38 (ci 95%: 0,16– 0,86). anak dengan ibu seorang pegawai di perusahaan memiliki 1,4 kali pencapaian perkembangan normal dibanding dengan anak yang ibunya seorang ibu rumah tangga. peran ibu dalam perkembangan anak di tahuntahun awal kehidupan memang sangat penting. namun, peran tersebut masih dapat ditolerir dan digantikan oleh orang dewasa lainnya ketika ibu sedang pergi bekerja.9 hal yang terpenting adalah orang tersebut bisa menggantikan figur seorang tabel 4. hubungan antara profesi ibu dengan pola asuh makan dan pola asuh stimulus profesi ibu kurang baik baik total f (%) f (%) f (%) pola asuh makan pegawai perusahaan 17 42,5 23 57,5 40 100 ibu rumah tangga 20 50 20 50 40 100 total 37 46,3 43 53,8 80 100 p = 0,501 pola asuh stimulus pegawai perusahaan 6 15 34 85 40 100 ibu rumah tangga 11 27,5 29 72,5 40 100 total 17 21,3 63 78,8 80 100 p = 0,172 148 dixy febrianita titi pratama putri, perbedaan hubungan antara ibu bekerja ... ibu yang memiliki kemampuan mendidik anak. artinya dia memahami bagaimana menanggapi perkembangan anak sesuai dengan tahap perkembangan yang seharusnya sudah dicapai pada seorang anak,9 sehingga perkembangan anak pada ibu yang bekerja tetap dapat berkembang normal. interaksi yang dapat memaksimalkan perkembangan anak bukan dilihat dari kuantitas (seberapa lama kita bersama anak) melainkan kualitas interaksi tersebut,2 sehingga bisa saja seorang ibu yang bekerja dan hanya memiliki waktu sedikit dengan anaknya mempunyai anak dengan perkembangan lebih baik daripada ibu rumah tangga yang fisiknya selalu ada di rumah asalkan ibu yang bekerja tadi bisa lebih pintar mengolah waktu yang sedikit tersebut menjadi berkualitas. berdasarkan uji statistik yang telah dilakukan ternyata tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara profesi ibu sebagai pegawai di perusahaan dan ibu rumah tangga dengan pola asuh dalam pemberian makan (p= 0,120). hal ini sesuai dengan penelitian wayanti (2002),10 yang menyatakan bahwa pola asuh makan pada ibu yang bekerja sama baiknya dengan ibu yang tidak bekerja. hasil penelitian hubungan antara profesi ibu dengan pola asuh makan ini ternyata sejalan dengan hasil penelitian sake dan rahma (2005),11 tentang profesi ibu dan pertumbuhan anak, dimana tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kedua variabel tersebut. pola asuh pemberian makan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi status gizi anak.12 pola asuh makan yang responsif, termasuk dorongan dari orang tua untuk menyuruh anak makan, memperhatikan nafsu makan anak, waktu pemberian makan, hubungan yang baik selama pemberian makan merupakan perilaku yang mempengaruhi asupan gizi pada anak yang akhirnya akan mempengaruhi status gizi anak. setelah dilakukan uji statistik ternyata tidak terdapat hubungan yang bermakna antara profesi ibu dengan pemberian stimulus pada anak (p= 0,172). hasil pada tabel 4. menunjukkan kedua kelompok ibu sebagian besar memiliki pola asuh pemberian stimulus yang baik. hasil tersebut sesuai dengan penelitian dewi (2010)13 yang menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan kualitas stimulasi ibu di lingkungan rumah pada usia anak pra sekolah ditinjau dari status bekerja dan tidak bekerja. anak yang mendapat stimulasi yang terarah akan lebih cepat berkembang dibandingkan anak yang kurang bahkan tidak mendapat stimulasi.14 namun, dapat kita lihat dalam penelitian ini meskipun dua kelompok ibu sama-sama memberikan pola asuh stimulus yang baik pada anaknya tetapi terdapat perbedaan pada perkembangan anak masing-masing kelompok. perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor antara lain: kurangnya kesempatan anak untuk mempelajari ketrampilan motorik, perlindungan orang tua yang berlebihan atau kurangnya motivasi anak untuk mempelajarinya,15 sehingga walaupun stimulus yang diberikan ibu sudah baik, belum menjamin perkembangan anak akan berjalan normal. simpulan tidak ada hubungan yang bermakna antara profesi ibu sebagai pegawai di perusahaan dan ibu rumah tangga dengan pertumbuhan anak usia 2-5 tahun. ada hubungan yang bermakna secara sta149 mutiara medika vol. 12 no. 3: 143-149, september 2012 tistik antara profesi ibu sebagai pegawai di perusahaan dan ibu rumah tangga dengan perkembangan anak usia 2-5 tahun. anak dengan ibu yang berprofesi sebagai pegawai di perusahaan memiliki perkembangan yang lebih baik daripada anak dengan ibu yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga. tidak ada hubungan bermakna antara profesi ibu dengan pola asuh makan maupun pemberian stimulus pada anak usia 2-5 tahun. daftar pustaka 1. hariweni, t. pengetahuan, sikap dan perilaku ibu bekerja dan tidak bekerja tentang stimulasi pada pengasuhan anak balita. karya tulis ilmiah strata satu, universitas sumatra utara, sumatra utara. 2003. 2. soetjiningsih. tumbuh kembang anak (2nd ed). jakarta: egc. 1998. 3. badan pusat statistik (bps). survei demografi dan kesehatan indonesia (sdki) 2002-2003. 2003. 4. departemen kesehatan republik indonesia. pola pemberian asi dan makanan. jakarta. 2005. 5. wong, l.d. dan whaleys. pedoman klinis asuhan keperawatan anak (m. ester, penerjemah). jakarta: egc. 2004. 6. susilo, y.h. problema kualitas anak indonesia. banjarmasin post, 2001. p. a10. 7. noor, s.r. peran perempuan dalam keluarga islami. 2002. diakses 3 april 2009, dari sofiapsy.staff.ugm.ac.id 8. anwar, hm. peranan gizi dan pola asuh dalam meningkat kualitas tumbuh kembang anak. medika; 2000. 26 (2): 104-111. 9. mamesah, m. ibu bekerja hambat kecerdasan anak. 2004. diakses 6 may 2010, dari http:// portal.cbn.net.id/cbprtl/cyberwoman/detail. aspx?x=mother+and+baby&y=cyberwoman |0|0|8|775 10. wayanti, s. perbedaan pola asuh ibu bekerja dan ibu tidak bekerja dalam pencapaian tumbuh kembang anak 4-6 tahun di tk al hasanah yogyakarta. karya tulis ilmiah strata satu, universitas gadjah mada, yogyakarta. 2002. 11. sake, r. dan rahman, t. hubungan interaksi anak, emotional bounding, konsumsi makanan dam penyakit infeksi dengan status gizi anak usia 3-5 tahun pada keluarga miskin di kota kendari. risbinkes poltekes kendari. 2005. 12. erlina, t.n. hubungan antara pola asuh makan dengan status gizi anak balita usia 2 sampai 5 ttahun di desa banjarmangu kecamatan banjarmangu kabupaten banjarnegara. karya tulis ilmiah strata satu, universitas gadjah mada, yogyakarta. 2007. 13. dewi, k.a. perbedaan kualitas stimulasi ibu pada anak usia pra sekolah ditinjau dari status bekerja dan tidak bekerja [abstrak]. universitas airlangga, surabaya. 2010. 14. kania, n. stimulasi tumbuh kembang anak untuk mencapai tumbuh kembang yang optimal. 2006. diakses tanggal 7 mei 2010, dari http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/ uploads/2010/02/stimulasi_tumbuh_ kembang_ anak_optimal.pdf 15. cahyani, p.b., hubungan pengetahuan ibu dengan perkembangan motorik kasar anak usia 3-5 tahun di boyolali. skripsi strata satu, universitas muhammadiyah surakarta, surakarta. 2009. 75 mutiara medika edisi khusus vol. 9 no. 2: 75 80, oktober 2009 peran imunisasi dalam pencegahan hepatitis b pada pegawai universitas muhammadiyah yogyakarta the role of immunization into prevention of hepatitis b on university of muhammadiyah yogyakarta employee adang muhammad gugun, suryanto bagian patologi klinik, fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta abstract the purpose this research is to know endemicity level and prevention hepatitis b. this is a descriptif observational research. subjects are 87 medical faculty of umy employee. screening to hbsag, anti-hbs and anti-hbc are performed by enzyme-linked immunosorbent assay (elisa) method and investigating about history of ilness and imunisation of hepatitis b by questionnaire. the result showed that one case positive hbsag (1,1%) included as low endemicity and not found clinical manifestasion. the history showed that 14 person (16 %) have performed hepatitis b immunization, and 73 person (74 %) have never done. six subject (43%) immunizationed showed positive anti-hbs with low titer. hepatitis b history are experienced by two person (2,3%), and they have been health based on clinic and laboratory. one of them has anti-hbc negative. anti-hbs examination showed 18 (21%) positively, 6 person (33%) have immunization history and 12 person (67%) are never. there are 8 person who have immunization history are negative anti-hbs. anti-hbc examination showed that 25 person (29%) positively, only one person (4%) has hepatitis b illness history and 24 person (96%) have no illness history. concluded that hepatitis endemicity in medical faculty umy is low. key words: anti-hbs, anti-hbc, hbs ag, immunization, hepatitis b abstrak tujuan penelitian ini untuk mengetahui tingkat endemisitas dan upaya pencegahan hepatitis b di fk umy. jenis penelitian adalah observasional deskriftif. sampel penelitian adalah 87 pegawai fakultas kedokteran umy. skrining hbsag, anti hbs dan anti hbc dilakukan dengan metode enzymelinked immunosorbent assay (elisa), riwayat sakit dan imunisasi hepatitis b dilacak dengan kuesioner. hasil penelitian menunjukkan terdapat satu kasus hbsag positip (1,1%) sehingga termasuk endemis rendah dan anamnesanya menunjukkan tidak ada gejala klinis. riwayat menunjukkan 14 orang (16%) pernah melakukan imunisasi hepatitis b lengkap dan 73 orang (74%) tidak pernah divaksin. enam orang (43%) dari yang melakukan imunisasi, memiliki anti-hbs positip dengan titer rendah. riwayat pernah mengalami sakit hepatitis b terjadi pada 2 orang (2,3%) dan telah sembuh secara klinis dan laboratorik. salah satu subyek dengan riwayat sakit hepatitis b memiliki hasil antihbc negatif. pemeriksaan anti-hbs menunjukkan 18 orang (21%) positip, 6 orang (33%) diantaranya adang muhammad gugun, suryanto, peran imunisasi dalam pencegahan hepatitis b ................................... 76 memiliki riwayat imunisasi dan 12 orang (67%) tidak pernah imunisasi. delapan orang dengan riwayat imunisasi memiliki anti-hbs negatif. pemeriksaan anti-hbc menunjukkan 25 orang (29%) positip, 1 orang (4%) diantaranya memiliki riwayat sakit hepatitis b, dan 24 orang (96%) tidak memiliki riwayat sakit hepatitis b. disimpulkan bahwa endemisitas hepatitis b di fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta rendah. kata kunci: anti-hbs, anti-hbc, hbs ag, imunisasi, hepatitis b pendahuluan infeksi virus hepatitis b masih merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. diperkirakan lebih dari 2 milyar manusia telah terinfeksi virus hepatitis b. tiga ratus lima puluh juta orang merupakan pengidap hbsag dengan angka kematian sekitar 0,5-2 juta pertahun. di seluruh dunia, hepatitis b merupakan penyebab terbesar penyakit hati kronik dan keganasan hati. dampak morbiditas dan mortalitas hepatitis b merupakan beban penyakit global yang penting 1,2,3. angka prevalensi hepatitis b di beberapa negara asia pasifik berkisar antara 2,5 – 10%. indonesia termasuk kelompok prevalensi sedang sampai tinggi, yaitu antara 10 – 15%. prevalensi hepatitis b di indonesia berkisar antara 2,5% di banjarmasin sampai 36% di dili. diperkirakan 5 – 70 juta penduduk indonesia terinfeksi oleh virus hepatitis b.4,5 di negara yang sedang berkembang, populasi yang memiliki risiko pajanan tinggi adalah pengguna obat-obatan injeksi, heteroseksual dengan multipartner, homoseksual, petugas yang bekerja di lembaga cacat mental, petugas hemodialisis, petugas atau mahasiswa di institusi pelayanan kesehatan 3. etiologi hepatitis b adalah virus jenis dna hepadnavirus. virus hepatitis b ditularkan melalui darah atau cairan tubuh lainnya dari individu yang terinfeksi virus hepatitis b. infeksi terjadi melalui pajanan perkutan (parenteral) atau permukosal.3 contoh pajanan perkutan adalah penggunaan jarum suntik, penggunaan bergantian alat-alat medis atau bedah, transfusi, hemodialisis, tato dan tindik. pajanan permukosal terjadi pada penularan perinatal atau aktifitas seksual. pajanan perkutan dan permukosal dapat terjadi di laboratorium maupun sarana pelayanan kesehatan lainnya. penularan tersebut mendukung penularan horisontal di masyarakat 6. penularan hepatitis b dapat terjadi melalui kontak erat atau penggunaan alatalat rumah tangga secara bersama-sama yang dikenal dengan household contact atau close familiy contact. penularan melalui kontak secara tidak langsung dimungkinkan terjadi oleh karena virus hepatitis b dapat bertahan pada temperatur dan lingkungan yang stabil selama beberapa hari 6. penularan virus hepatitis b terutama melalui jalur parenteral seperti tusukan jarum pada kulit dan transfusi. penularan jalur non perenteral melalui sekret seseorang seperti air liur, semen, secret vagina, air susu ibu (asi) dan lainlain. pola penyebaran jalur non perenteral dimungkinkan melalui kontak seksual atau kontak erat. risiko tinggi dialami individu dengan profesi yang memungkinkan terjadinya pajanan parenteral maupun non parenteral melalui kontak kerja 7. risiko kontak kerja dialami tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit maupun institusi kesehatan lainnya. kontak kerja dapat menimbulkan perlukaan perkutan yang memungkinkan penularan jalur parenteral secara tidak langsung. secara langsung terpajan sekret penderita hepatitis b yang dirawat di rumah sakit memungkinkan penularan jalur non parenteral. tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit memiliki risiko lebih besar dibanding populasi umum 7. 77 mutiara medika edisi khusus vol. 9 no. 2: 75 80, oktober 2009 riwayat terpajan virus hepatitis b dapat diketahui melalui pemeriksaan virus, serologis antigen maupun serologis antibodi virus hepatitis b. pemeriksaan antigen permukaan (hbsag) merupakan salah satu petanda adanya virus hepatitis b. individu yang memiliki seropositip hbsag merupakan petanda terinfeksi hepatitis b. pemeriksaan antibodi seperti anti-hbs maupun anti-hbc merupakan petanda adanya riwayat terinfeksi hepatitis b. imunisasi hepatitis b dapat dievaluasi melalui pemeriksaan serologi anti-hbs 7. tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit merupakan pekerja dari berbagai profesi yang memiliki aktifitas kontak kerja dengan pasien ataupun spesimen pasien. darah maupun sekret tubuh lain seperti sekret vagina, semen, air liur, cairan serebrospinal, cairan sendi, cairan pleura, cairan peritoneal dan cairan amnion merupakan potensi pajanan infeksi virus hepatitis b terhadap petugas kesehatan 7,8,9. tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit memiliki potensi atau risiko tertular penyakit berkaitan dengan pekerjaannya, termasuk virus hepatitis b. sebagai individu dari populasi masyarakat, mereka memiliki pula risiko penularan virus hepatitis b dari berbagai sumber 10. obat yang efektif terhadap virus hepatitis b belum ditemukan sampai saat ini, sehingga upaya pencegahan merupakan jalan terbaik. upaya pencegahan di rumah sakit bagi tenaga kesehatan telah banyak dilakukan. upaya ini antara lain adalah penetapan prosedur keamanan dan keselamatan kerja dan program vaksinasi. program imunisasi meliputi aktif dan pasif. imunisasi pasif dilakukan melalui pemberian hepatitis b immune globulin (hbig) 11. pelaksanaan upaya pencegahan masih banyak mengalami hambatan. hambatan yang timbul disebabkan oleh sikap, perilaku dan biaya. informasi yang jelas mengenai profil infeksi virus hepatitis b pada tenaga kesehatan di rumah sakit maupun institusi yang bergerak di bidang kesehatan seperti fakultas kedokteran perlu diketahui. hal ini untuk menilai sejauh mana kemajuan upaya-upaya pencegahan yang telah dijalankan 11 fakultas kedokteran umy merupakan sebuah intitusi yang bergerak di bidang penyelenggaraan pendidikan tenaga kesehatan yang memiliki staf maupun karyawan yang bekerja di dalamnya. profesi pegawai fakultas kedokteran umy terdiri atas berbagai profesi, baik tenaga medis, paramedis, laboran maupun tenaga administrasi maupun penunjang yang lain. berkaitan dengan hepatitis b, masing-masing profesi memiliki faktor risiko kontak kerja maupun kontak seperti populasi umum. fakultas kedokteran umy sebagai institusi yang memberikan kontribusi dalam pelayan kesehatan memiliki peran dan tanggung jawab besar dalam usaha pencegahan penyakut termasuk hepatitis b. salah satu pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan imunisasi sebagaimana yang telah direkomendasikan. imunisasi diharapkan dapat menjadi pencegah penularan virus hepatitis b kepada tenaga kesehatan, yang pada akhirnya mencegah pula penularan pada populasi umum. identifikasi dan deskripsi upaya pencegahan yang telah dilakukan merupakan sumber data yang dapat menjadi dasar kebijakan pencegahan hepatitis b meupun penyakit menular lainnya bagi perlindungan pegawai. riwayat imunisasi dan parameter serologi hbsag serta respon imunitas seperti anti-hbs dan anti-hbc dapat dijadikan sebagai acuan gambaran upaya pencegahan dalam penyakit hepatitis b. penelitian ini ditujukan untuk mengetahui: (1) berapa besar prevalensi seropositip hbsag pegawai fakultas kedokteran umy, (2) berapa besar prevalensi respon imunitas anti-hbs dan anti-hbc pegawai fakultas kedokteran umy, (3) berapa besar jumlah pegawai fakultas kedokteran yang melaksanakan imunisasi hepatitis b serta kesinambungannya. dari hal tersebut di atas akan diketahui tingkat endemisitas hepatitis b dan hasil upaya pencegahannya. adang muhammad gugun, suryanto, peran imunisasi dalam pencegahan hepatitis b ................................... 78 tujuan penelitian ini untuk mengetahui tingkat endemisitas dan upaya pencegahan hepatitis b di fk umy. bahan dan cara jenis penelitian ini adalah observasional deskriftip mengenai hubungan respon imunitas infeksi hepatitis b dengan riwayat imunisasi. penelitian ini dilakukan di fakultas kedokteran umy pada bulan agustus 2009 sampai dengan september 2009. sampel penelitian ini adalah cuplikan dari pegawai fakultas kedokteran umy yang telah menjadi pegawai tetap di fk umy. penelitian dilakukan di fk umy dengan melakukan pemeriksaan skrining hbsag, anti hbs dan anti hbc. subyek yang diteliti keseluruhannya diberikan kuesioner untuk melacak riwayat sakit dan imunisasi hepatitis b. pegawai fakultas kedokteran umy yang tenaga kesehatan yang menjadi subyek terjangkau dilakukan pengambilan specimen darah vena, selanjutnya sampel darah yang diperoleh dilakukan pembuatan serum. segera setelah membeku darah disentrifus pada 2000 rpm selama 15 menit, kemudian serum dipisahkan dan dimasukkan ke dalam tabung eppendorf. selanjutnya serum disimpan dalam freezer dengan suhu -200c sampai saat analisis hbsag, anti-hbs dan anti-hbc. semua tabung sampel diberi label identitas subyek penelitian. pemeriksaan hbsag, anti-hbs dan antihbc dilakukan dengan metode metode enzyme-linked immunosorbent assay (elisa) di laboartorium penelitian fk umy dengan kit dari hepanostika hbsag uniform ii (microelisa system). pemeriksaan didahului dengan uji kalibrasi alat dan uji akurasi analitik maupun kajian validitas pemeriksaan sehingga mutu hasil pemeriksaan dapat dipertanggungjawabkan. uji kalibrasi pada alat pembaca elisa (microwell )dilakukan secara automatik. uji ketepatan (akurasi) dilakukan dengan cara menganalisa hasil kualitatif dari serum kontrol positip tersedia dalam kit reagen. validitas pemeriksaan didasarkan atas sensitifitas dan spesifisitas diagnostik yang telah ditentukan oleh produsen kit seperti yang tertulis pada brosur. penentuan hbsag, anti-hbs dan antihbc dinyatakan secara kualitatif dari nilai absorben yang didapat dari sampel. nilai tersebut dibanding dengan nilai cut off yang telah ditentukan. subyek yang diteliti keseluruhannya diberikan kuesioner untuk melacak riwayat sakit dan imunisasi hepatitis b. riwayat sakit hepatitis b meliputi pernah mengalami sakit secara klinis dan dibuktikan secara laboratoris. riwayat imunisasi meliputi pernah mendapat imunisasi atau tidak. waktu dilakukannya imunisasi dan boster yang pernah dijalani. analisis data hasil penelitian dilakukan melalui metode deskriptif. dalam analisis deskripsi ini akan dikaji mengenai prevalensi hbsag, anti-hbs dan anti-hbc positip pada pegawai fk umy. hasil serologi ditinjau dari berbagai aspek meliputi jenis kelamin, umur, profesi, serta kerakteristik subyek lain yang berhubungan. selanjutnya masing-masing individu dievaluasi riwayat imunisasinya. riwayat imunisasi menjadi tinjauan utama yang dihubungkan dengan respon imunitas terhadap hepatitis b. hasil penelitian dilakukan di fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta pada bulan agustus 2009 sampai dengan september 2009. selanjutnya didapatkan subyek penelitian sebanyak 87 orang . dari 87 subyek, didapatkan laki-laki sebanyak 63 orang (72,4 %) dan perempuan sebanyak 24 orang ( 27,6 %). umur subyek 21-54 tahun. mean: 36 (sd ±7,9) th. riwayat pendidikan meliputi sd (1.1 %), smpn (17.2 %), sma (36.8 %), diploma (8.0,%), s1 (24.1 %), dan s2 (12.6 %). pekerjaan subyek berturut-turut meliputi: bagian administrasi (36,8%) , laboratorium (34,4%), cleaning service (14%), parkir (5,7%), satpam (4,5 %), pengemudi. (2,3%), 79 mutiara medika edisi khusus vol. 9 no. 2: 75 80, oktober 2009 pada 87 subyek didapatkan pegawai yang pernah melakukan imunisasi hepatitis b lengkap sebanyak 14 orang (16 %) dan sisanya tidak pernah vaksin sebesar 73 orang (74 %). riwayat pernah mengalami sakit hepatitis b terjadi pada 2 orang (2,3%). hasil pemeriksaan serologi hepatitis b didapatkan satu kasus hbsag positip (1,1%). dari 87 subyek didapatkan 18 hasil anti-hbs positip (21 %). dari 18 orang tersebut 6 orang ( 33 %) memiliki riwayat imunisasi, sedangkan 12 orang (67%) sisanya tidak pernah imunisasi hepatitis b, sedangkan 8 orang dengan riwayat imunisasi memiliki anti-hbs negatif. pada 87 subyek didapatkan 25 hasil anti-hbc positip (29 %). terdapat satu individu (4%) dengan anti-hbc positip yang memiliki riwayat sakit hepatitis b, sedangkan sisanya 24 orang (96%) tidak memiliki riwayat sakit hepatitis b. terdapat satu orang dengan riwayat sakit hepatitis b namun memiliki hasil anti-hbc negatif. diskusi dari 87 subyek didapatkan hanya 1 orang (1,1 %) yang memiliki hbsag positip, jadi dari populasi pegawai fk umy dapat dikategorikan dalam tingkat endemis ringan 3. dari anamnesa terhadap individu dengan serologi hbsag positip tidak didapatkan gejala klinis yang sesuai dengan hepatitis b. kasus tersebut perlu tindak lanjut pemeriksaan fisik maupun laboratorik yang mendukung hepatitis b. riwayat sakit hepatitis b didapatkan pada 2 orang subyek yang memiliki riwayat klinis-laboratorik. saat dilakukan penelitian keduanya telah sembuh secara klinis dan laboratorik. hasil serologi pada satu penderita menunjukkan anti-hbs dan anti hbc negatif, sedang yang lainnya memiliki antihbs negatif dan anti hbc positip. pada individu pertama menunjukkan adanya ketidak sesuaian antara riwayat hepatitis b dengan kelanjutan perjalanan penyakitnya. individu yang kedua memiliki hasil yang sesuai meskipun belum memunculkan antihbs. diperlukan pelacakan lanjutan antihbs untuk memastikan kesembuhan yang adekua 12.13.14. pegawai yang melakukan imunisasi hepatitis b lengkap sebesar 16 %. hal ini menujukkan rendahnya angka imunisasi hepatitis b. hal tersebut dipengaruhi terutama oleh faktor kesadaran dan biaya. dari 14 orang yang telah melakukan imunisasi tersebut hanya 6 orang (43%) yang memiliki anti-hbs positip. anti-hbs negatif yang terdapat pada pegawai pasca imunisasi dimungkinkan adanya kelompok non-responder atau rendahnya titer antihbs. dari 18 hasil anti-hbs positip didapatkan 6 orang ( 33 %) memiliki riwayat imunisasi, sedangkan 12 orang (67%) sisanya tidak pernah imunisasi hepatitis b. kemunculan anti-hbs menunjukkan bahwa kekebalan muncul dari proses infeksi alamiah. hal tersebut menunjukkan bahwa respon kekebalan terhadap hepatitis b lebih dominan karena infeksi alamiah 12.13.14.. dari 24 hasil anti-hbc positip, terjadi karena infeksi yang disadari sebesar 4 %, sedangkan sisanya (96 %) kemunculannya terjadi melalui infeksi alamiah yang tidak disadari. infeksi alamiah yang terjadi dapat ditularkan melalui berbagai cara (faktor risiko). pegawai yang bekerja di institusi kesehatan dapat tertular melalui parenteral maupun non parenteral, baik terkait dengan profesi maupun non-profesi 15,16. kesimpulan tingkat endemisitas hepatitis b di fk umy tergolong rendah. masih rendahnya kesadaran untuk melakukan imunisasi hepatitis b. imunisasi hepatitis b yang dilakukan, memberi respon imunitas pada 43% pegawai yang pernah melakukan imunisasi. serologi anti-hbc positip dominan terjadi karena infeksi yang tidak bermanifestasi secara klinis. imunitas antihbs positip maupun antihbc positip lebih banyak diperoleh melalui infeksi natural. perlunya penyuluhan pentingnya upaya penyaring penyakit dan imunisasi hepatitis b. perlunya penyuluhan cara-cara adang muhammad gugun, suryanto, peran imunisasi dalam pencegahan hepatitis b ................................... 80 penularan hepatitis b dalam pergaulan maupun pekerjaan. penyebarluasan informasi mengenai penyaring beberapa penyakit menular dan imunisasinya daftar pustaka 1. lee, w.m., 1997. hepatitis b infection. n engl j med. 337 :1733-1745. 2. mahoney, f.j., 1999. update on diagnosis, management, and prevention of hepatitis b virus infection. clin microbiol rev. 12 :351-366 3. chin, j., 2000. control of communicable disease manual. 17th edition. washington dc, american public health association, 4. hernomo, k. 1999. perkembangan baru pengobatan hepatitis virus b. simposium perkembangan mutakhir di bidang gastro-hepatologi. surabaya.23 oktober. 5. sulaiman, a., 1995. virus hepatitis a-e di indonesia, ikatan dokter indonesia jakarta, 16-37 6. cdc. 1997. immunization of healthcare workers: recommendation of the advisory committee on immunization practise (acip) and the hospital infection control practise advisory committee (hicpac). mmwr.;46:rr18 7. jagger, j., bentley, m., juillet, e., 1998. direct cost of follow-up for percutaneous and mucocutaneous exposures to at-risk body fluids: data from two hospitals. adv exposure prev;3:25, 34-5. 8. husa, p., husova, l., 2004. what risk is a health care worker infected with hepatitis b or c virus for his patients?vnitr lek. oct;50(10):771-6. 9. azap, a., ergonul, o., memikoglu, k.o., yesilkaya, a., altunsoy, a., bozkurt, g.y., tekeli, e., 2005.occupational exposure to blood and body fluids among health care workers in ankara. turkey.american journal infection control feb;33(1):48-52. 10. cdc, 1988. update: universal precautions for prevention of transmission of human immunodeficiency virus, hepatitis b virus, and other bloodborne pathogens in health-care settings. mmwr;37:377—82,387—8. 11. shapiro, c.n., tokars, j.i., chamberland, m.e., et al, 1996. use of the hepatitis b vaccine and infection with hepatitis b and c among orthopaedic surgeons. j bone joint surg;78-a:1791-1800. 12. suwignyo, nurul, a., 1987. hepatitis virus b dalam ilmu penyakit dalam. edisi kedua, suparman editor. 593-601 13. kaniawati, 1997. gambaran serologis dan biokimia pada infeksi virus hepatitis b. forum diagnosticum laboratorium klinik prodia yogyakarta. seri issn 0854-7516, no 4 14. don ganem & alfred m., 2004. hepatitis b virus infection — natural history and clinical consequences. nejm 350(12) :1119-29). 15. diel, r., helle, j., gottschalk, r., 2005. transmission of hepatitis b in hamburg, germany, 1998-2002: a prospective, population-based study. med microbiol immunol (berl). mar 15; 16. sagliocca, l.t., stroffolini, p., amoroso, et al, 1997. risk factors for acute hepatitis b: a case-control ctudy . viral hepat, january 1,; 4(1): 63-6. muhamad aminudin, inayati habib, pengaruh lamanya penyimpanan terhadap .............................. 18 pengaruh lamanya penyimpanan terhadap pertumbuhan bakteri pada nasi yang dimasak di rice cooker dengan nasi yang dikukus the influence of storage duration on bacterial growth in cooked rice in rice cooker with steamed rice muhamad aminudin1, inayati habib2 1fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta 2bagian mikrobiologi fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta abstract rice is an essential food for the indonesian people, therefore its security must being important. among different kind of cooking rice there are by using electronic rice cooker and by steamed. the temperature influences profoundly against bacterial growth and its physiological activity. the endurance to temperature is different for each bacterial species. it is worth to investigate the different time storing of rice between being steamed and cooked electronic rice cooker against bacterial growth. the aim of this study is to know the storing time between rice cooked by steamed and by electronic rice cooker against bacterial growth which is still proper to be consumed the research uses time series design method, with 0 hours, 2 hour, 4 hours, 6 hours and 8 hour depository. rice counted 10 gram which taken from top, middle, and basic, left and right side. then given 10 cc nacl and diluted until 10000 times, then included to petridis which contain jell count. the kind of bacteria made preparation smear colored with gram staining. the counting of bacterial amount after petridis incubated in temperature ±37° c during 24 hours. the result of preparation smear got 2 bacteria type that is gram (-) bacillus bacteria and of gram (+) coccids bacteria. growth of germ number compare diametrical with improvement of time storing. at rice cook with rice cooker still competent up to standard consumed during 8 hour, while steamed rice during 6 hour. it can concluded that from growth of germ aspect, rice better cooked with rice cooker than steamed. key word: germ number, growth, rice cooker, steamed abstrak suhu sangat mempengaruhi pertumbuhan dan kegiatan fisiologi bakteri suatu mikroba atau bakteri. daya tahan terhadap suhu berbeda bagi tiap spesies mikroba, sehingga perlu diteliti perbedaan lama penyimpanan nasi yang dimasak di rice cooker dan yang dikukus terhadap pertumbuhan kuman. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lamanya waktu penyimpanan nasi yang dimasak dengan rice cooker dan nasi yang dikukus terhadap pertumbuhan bakteri yang masih memenuhi syarat untuk dikonsumsi. metode penelitian dengan metode time series design dengan waktu 0 jam, 2 jam, 4 jam, 6 jam dan 8 jam. nasi ditimbang sebanyak 10 gram diambil dari bagian atas, tengah, bawah, samping kanan dan bagian samping kiri, kemudian diberi nacl sebanyak 10 cc dan diencerkan sampai 19 mutiara medika vol. 9 no. 2:18-22, juli 2009 pendahuluan bahan pangan pokok penduduk indonesia sebagian besar adalah beras yang termasuk golongan serealia. bahan makanan ini mengandung karbohidrat atau pati sebesar 50-60 % 1 sehingga berperan sebagai sumber tenaga.2 dalam setiap 100 gram berat beras terkandung komposisi seperti energi atau kalori 360 kalori; protein 6,8 gram; lemak 0,7 gram; karbohidrat 78,9 gram; kalsium 6 mg; fosfor 140 mg; besi 0,8 mg; vitamin b1 0,12 mg dan air 13 gram.3 untuk mendapatkan keuntungan tersebut, maka beras yang dimasak harus beras yang baik. beras yang baik adalah beras yang jika dimasak akan memberikan aroma yang harum dan menghasilkan nasi yang empuk (pulen ).4 di dalam proses pemasakan nasi banyak digunakan cara yang dipakai seperti dikukus, ditanak, dan semakin berkembang dengan diciptakan rice cooker yang saat ini banyak digunakan oleh masyarakat. nasi sebagai makanan hasil olahan kadangkala tidak habis dalam sekali konsumsi. untuk itu sisanya perlu disimpan agar terlindung dari faktor perusak, baik yang bersifat fisik, kimia maupun biologis sehingga nasi awet untuk dikonsumsi lagi. pertumbuhan mikroorganisme pada nasi dapat mempengaruhi angka kuman dan jenis kuman. pertumbuhan suatu bakteri dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, antara lain nutrien berupa zat organik seperti garam-garam yang mengandung na, k, ca, mg, fe, cl, s dan p. selain itu, mikroba juga memerlukan sumber makanan yang 10000x dan dimasukkan ke piring petri yang berisi count agar. untuk melihat jenis kuman dibuat preparat apus yang diwarnai dengan cat gram. penghitungan jumlah angka kuman setelah piring petri diinkubasi pada suhu ±37° c selama 24 jam. hasil pengamatan preparat apus didapatkan 2 jenis kuman yaitu bakteri batang gram (-) dan kokus gram (+). pertumbuhan angka kuman berbanding lurus dengan peningkatan lama penyimpanan. pada nasi yang dimasak dengan rice cooker masih memenuhi syarat layak dikonsumsi selama 8 jam, sedangkan nasi yang dikukus selama 6 jam. dapat disimpulkan bahwa dari segi angka kuman, nasi lebih baik jika dimasak dan disimpan di rice cooker daripada nasi yang dikukus. kata kunci: angka kuman, dikukus, nasi, pertumbuhan, rice cooker mengandung c, h, o, n yang diambil dalam bentuk senyawa organik, seperti karbohidrat, protein, lemak dan sebagainya5. selain itu suhu juga sangat mempengaruhi pertumbuhan dan kegiatan fisiologi suatu mikroba atau bakteri. kebanyakan mikroorganisme perusak bahan pangan atau makanan mempunyai suhu pertumbuhan optimal seperti suhu pertumbuhan mikroorganisme mesofilik, yaitu pada kisaran temperatur 25° c-30° c. dalam suhu ruangan nasi yang disimpan dapat mengalami kerusakan karena pertumbuhan mikroorganisme mesofilik. kerusakan yang terjadi ini bisa dimungkinkan ketika nasi diambil dari rice cooker atau tempat nasi biasa. daya tahan terhadap suhu berbeda bagi tiap spesies.6 berdasarkan surat keputusan direktorat jendral pom no. 03726/b/sk/vii/1989 tentang batas cemaran mikroba dalam makanan yang berasal dari tepung dan hasil olahnya serta produk akhir serealia maksimum 106 koloni/gram.7 kebanyakan mikroorganisme perusak bahan pangan atau makanan mempunyai suhu pertumbuhan optimal seperti suhu pertumbuhan mikroorganisme mesofilik, yaitu pada kisaran temperatur 25° c-30°c 8. untuk mengendalikan pertumbuhan dan kegiatan mikroba dapat dilakukan dengan menggunakan perlakuan suhu tinggi. pada perlakuan tersebut, suhu maksimum pertumbuhan mikroba akan bersifat mematikan dan semakin tinggi suhunya akan semakin tinggi laju kematiannya.8 muhamad aminudin, inayati habib, pengaruh lamanya penyimpanan terhadap .............................. 20 tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh lama waktu penyimpanan nasi yang dimasak rice cooker dengan dikukus terhadap pertumbuhan kuman yang masih memenuhi syarat. bahan dan cara penelitian dilakukan dengan menggunakan design “time series design”. bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian adalah beras, air, plate count agar dan pengencer steril, rice cooker, kantong plastik, tempat nasi (baskom), thermometer, penutup nasi, lampu spiritus, labu erlenmeyer steril, timbangan/neraca, tabung reaksi steril, inkubator, sendok steril, alat penggerus/mortir, piring petri steril, koloni counter, kapas dan alkohol, stopwatch. sampel penelitian terdiri dari 2 kelompok nasi yaitu nasi dimasak dengan rice cooker dan nasi dimasak dengan dikukus. tiap kelompok dibagi lagi menjadi 5 kelompok dengan perbedaan waktu pengambilan yaitu 0 jam, 2 jam, 4 jam, 6 jam dan 8 jam. pengambilan sampel nasi dengan menggunakan sendok steril sebanyak 10 gram secara merata, kemudian dibuat suspensi dengan 10 larutan garam fisiologis (nacl), selanjutnya dilakukan pengenceran 10.000x. setelah pengenceran 10.000x, suspensi dituangkan sebanyak 1 cc ke piring petri yang telah berisi count agar dengan posisi terbalik. setelah diinkubasi selama 48 jam pada suhu 37º c, dilakukan penghitungan jumlah angka kuman dan dibuat preparat apus dengan pengecatan gram. hasil hasil pemeriksaan angka kuman pada nasi yang dimasak dengan rice cooker dan pada nasi yang dimasak dengan dikukus menunjukkan bahwa jumlah angka kuman berbanding lurus dengan lama penyimpanan. jumlah kuman lebih cepat dan lebih banyak tumbuh pada nasi yang dimasak dengan cara dikukus seperti terlihat pada tabel 1. tabel 1. hasil pemeriksaan angka kuman pada nasi yang dimasak rice cooker dan dikukus (dalam koloni/gram) rice cooker kukus waktu simpan nasi i ii i ii 0 jam 92.000 268.000 180.000 320.000 288.000 304.000 2 jam 132.000 292.000 212.000 700.000 348.000 524.000 4 jam 340.000 360.000 350.000 856.000 424.000 640.000 6 jam 600.000 620.000 610.000 1.080.000 1.016.000 1.048.000 8 jam 928.000 980.000 954.000 1.896.000 1.068.000 1.482.000 xx 21 mutiara medika vol. 9 no. 2:18-22, juli 2009 rata-rata angka kuman nasi yang dimasak dengan rice cooker pada perlakuan : 0 jam (180x103 koloni/gram), 2 jam (212x103 koloni/gram), 4 jam (350x103 koloni/gram), 6 jam (610x103 koloni/gram), 8 jam (954x103 koloni/gram). rata-rata angka kuman nasi yang dimasak dengan dikukus pada perlakuan : 0 jam (304x103 koloni/gram), 2 jam (524x103 koloni/gram), 4 jam (640x10 3 koloni/gram), 6 jam (1.048x103 koloni/gram), 8 jam (1.482x103 koloni/gram). dari hasil pemeriksaan di atas menunjukkan bahwa nasi yang dimasak dengan rice cooker masih memenuhi syarat layak dikonsumsi sampai pada penyimpanan selama < 8 jam, sedangkan nasi yang dikukus sampai pada penyimpanan selama < 6 jam. diskusi kebanyakan mikroorganisme perusak makanan atau bahan pangan mempunyai temperatur pertumbuhan optimum seperti temperatur dari pertumbuhan mikroorganisme mesofilik 9 , sehingga nasi yang dimasak dalam rice cooker dapat mengalami kerusakan oleh pertumbuhan mikroorganisme mesofilik. demikian juga yang dimasak dengan dikukus, dimana suhu nasi dari mikroorganisme termofilik berubah menjadi suhu mikroorganisme mesofilik setelah nasi diambil dari tempat pengukusan. ketika nasi dikukus, bakteri dalam bentuk spora ini tidak mati tetapi berubah bentuk untuk melindungi diri terhadap factor-faktor luar yang tidak menguntungkan. segera setelah keadaan luar baik maka pecahlah bungkus spora dan tumbuhlah bakteri aktif lagi. hal ini sesuai dengan pengertian spora bakteri adalah bentuk bakteri yang sedang dalam usaha mengamankan diri terhadap pengaruh buruk dari luar9. perlakuan suhu tinggi (pemanasan) dalam waktu cukup lama dapat menyebabkan mikroba dan sporanya mati.10. waktu generasi adalah selang waktu yang dibutuhkan bagi sel untuk membelah diri atau untuk populasi menjadi dua kali lipat. mikroorganisme berkembang biak dengan cara membelah diri dari 1 sel tunggal menjadi dua, dua menjadi empat, empat menjadi delapan dan seterusnya. waktu yang diperlukan untuk pembelahan tersebut berbeda-beda pada tiap-tiap jenis bakteri, tetapi biasanya berkisar antara 1530 menit pada kondisi yang ideal untuk pembelahan.11 karakteristik pertumbuhan bakteri atau mikroba pada makanan masak dipengaruhi oleh kadar air makanan dimana bakteri akan tumbuh subur dalam makanan yang tingkat airnya tinggi dan dipengaruhi oleh jenis makanan dimana makanan yang diperlukan oleh bakteri untuk hidup dan berkembang biak adalah yang mengandung protein dan air. sedangkan makanan yang tidak disukai oleh bakteri adalah karbohidrat seperti nasi, ubi, talas, jagung dan olahannya, sehingga lebih awet dari pada makanan protein. 11 lama penyimpanan dan memasak nasi yang berbeda mempengaruhi besarnya angka kuman yang ditemukan. terdapat batas minimal jumlah angka kuman pada makanan yang masih layak untuk dikonsumsi dan batas lama penyimpanannya. hal tersebut sangat penting diperhatikan mengingat adanya beberapa sumber kuman yang bisa menimbulkan infeksi terutama infeksi pada saluran pencernaan apabila makanan yang dikonsumsi sudah tidak layak . dari hasil pengamatan preparat apus dibawah mikroskop didapatkan 2 jenis bakteri yaitu bakteri batang gram (-) dan kokus gram (+). tidak dilakukan pemeriksaan patogenitas bakteri yang ditemukan . kesimpulan jumlah angka kuman meningkat berbanding lurus dengan peningkatan lama penyimpanan, jumlah angka kuman lebih banyak pada nasi yang dikukus daripada dengan rice cooker. pada nasi dengan rice cooker masih memenuhi syarat layak dikonsumsi sampai pada penyimpanan < 8 jam, sedangkan nasi yang dikukus masih memenuhi syarat layak dikonsumsi sampai pada penyimpanan < 6 jam. muhamad aminudin, inayati habib, pengaruh lamanya penyimpanan terhadap .............................. 22 saran berdasarkan hasil penelitian diatas dapat dilakukan penelitian lebih lanjut yaitu penelitian dengan menggunakan berbagai jenis beras yang berbeda-beda dan pengambilan sampel nasi langsung pada beberapa keluarga dalam lingkungan masyarakat tertentu. daftar pustaka 1. tarwotjo, c. soejoeti, dasar-dasar gizi kuliner, jakarta, pt. dramedia, widiasarana indonesia, 1998. 2. marliyati, sri anna, dkk, pengolahan pangan tingkat rumah tangga, cetakan v, depdikbud direktorat jendral pendidikan tinggi pusat antar universitas pangan dan gizi ipb, 1992. 3. anonim , undang-undang no. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, jakarta, sinar grafika, 1992. 4. moehy, sjahmien, penyelenggaraan makanan institusi dan jasa boga, cetakan i, jakarta, bhratara, 1992. 5. surendra, nyoman, dkk, buku pedoman mata ajaran, mikrobiologi lingkungan, jakarta, depkes,1991 6. gardjito, murdijati, dkk, ilmu pangan, pengantar ilmu pangan, nutrisi dan mikrobiologi, edisi ii, yogyakarta, gadjah mada university press, 1992. 7. anonim, surat keputusan dirjen pom no. 03726/b/sk/vii/1989 tentang batasan maksimum cemaran mikroba, 1989. 8. susanto, tri dan budi saneta, teknologi pengolahan hasil pertanian, cetakan ii, surabaya, pt. bina ilmu offset, 1994. 9. dwidjoseputro, d, dasar-dasar mikrobiologi, cetakan xii, jakarta, djambatan, 1998. 10. nurwantoro dan abbas siregar djarijah, mikrobiologi pangan hewan-nabati, cetakan v, yogyakarata, kanisius, 2001. 11. purnawijayanti, hiasinta a, sanitasi higiene dan keselamatan kerja dalam pengolahan makanan, cetakan i, yogyakarta, kanisius, 2001. 86 peningkatan mutu rumah sakit dengan akreditasi increasing hospital quality by accreditation kusbaryanto bagian ilmu kesehatan masyarakat, program studi pendidikan dokter fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta email: kusbar@yahoo.co.id abstract hospital accreditation is a recognition by the government for hospitals that have met the standards set. the general objective of accreditation is to get a description about the level of compliance with the standards established by the hospitals in indonesia, so the quality of hospital services can be accounted for. accreditation is beneficial to both the hospital itself, the community and hospital owner. accreditation of hospitals in indonesia conducted by the commission on accreditation of hospitals (kars). hospital accreditation is one way to assess the quality of hospital services. improved quality of hospital services is very important, because the hospital provides the most critical and dangerous in the system of care for activities of the target is the human soul. the goal of this paper is to better understand that accreditation is very important to improve the quality of the hospital. key words: hospital quality, hospital accreditation, service quality abstrak akreditasi rumah sakit adalah pengakuan pemerintah kepada rumah sakit yang telah memenuhi standar yang telah tetapkan. tujuan umum akreditasi adalah untuk mendapatkan gambaran sejauh mana pemenuhan standar yang telah ditetapkan oleh rumah sakit-rumah sakit di indonesia, sehingga mutu pelayanan rumah sakit dapat dipertanggungjawabkan. akreditasi sangat bermanfaat baik bagi rumah sakit itu sendiri, masyarakat maupun pemilik rumah sakit. akreditasi rumah sakit di indonesia dilakukan oleh komisi akreditasi rumah sakit (kars). akreditasi rumah sakit merupakan salah satu cara untuk menilai mutu pelayanan rumah sakit. peningkatan mutu pelayanan rumah sakit merupakan hal yang sangat penting, karena rumah sakit memberikan pelayanan yang paling kritis dan berbahaya dalam sistem pelayanan dan sasaran kegiatannya adalah jiwa manusia. tujuan penulisan makalah ini adalah agar lebih dipahami bahwa akreditasi sangat penting bagi peningkatan mutu rumah sakit. kata kunci: mutu rumah sakit, akreditasi rumah sakit, mutu pelayanan. pendahuluan pemerintah mempunyai peran yang sangat besar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, diantaranya adalah penyediaan pelayanan kesehatan termasuk penyediaan rumah sakit.1 penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dalam rangka meningkatkan dan memelihara kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan, selain merupakan tanggung jawab pemerintah juga merupakan hak bagi masyarakat untuk ikut berperan serta.2 diperlukan regulasi agar peran ini dapat berjalan optimal. aktifitas regulasi secara umum ialah kusbaryanto, peningkatan mutu rumah sakit... 87 pemberian izin, akreditasi dan sertifikasi. hal tersebut merupakan tiga cara utama dalam aktifitas regulasi pelayanan kesehatan yang dilaksanakan oleh dinas kesehatan. tujuan penulisan makalah ini adalah agar lebih dipahami bahwa akreditasi sangat penting bagi peningkatan mutu rumah sakit. diskusi akreditasi rumah sakit ialah suatu pengakuan yang diberikan oleh pemerintah pada rumah sakit karena telah memenuhi standar yang disyaratkan. 3 akreditasi rumah sakit merupakan salah satu cara pemantauan bagi pelaksanaan pengukuran indikator kinerja rumah sakit. pengembangan penilaian terhadap kinerja rumah sakit merupakan tugas dari pemerintah dalam hal ini adalah departemen kesehatan. di dalam buku ”pedoman penyelenggaraan rumah sakit” disebutkan bahwa rumah sakit diharuskan mempunyai program peningkatan mutu baik internal maupun eksternal, untuk mengevaluasi seluruh kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan bagi pasien. program peningkatan mutu internal dapat dilakukan dengan metode dan teknik yang dipilih dan ditetapkan oleh rumah sakit. program peningkatan mutu eksternal dapat dilakukan melalui akreditasi, sertifikasi iso dan lain-lain. 4 di dalam undang-undang nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit bagian ketiga pasal 40 disebutkan bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit wajib dilakukan akreditasi secara berkala minimal 3 (tiga) tahun sekali.5 program akreditasi rumah sakit di indonesia dimulai pada tahun 1996 merupakan pelaksanaan dari sistem kesehatan nasional (skn). pada skn dijelaskan bahwa akreditasi rumah sakit adalah penilaian terhadap mutu dan jangkauan pelayanan rumah sakit secara berkala yang dapat digunakan untuk penetapan kebijakan pengembangan atau peningkatan mutu. tujuan penulisan ini adalah agar lebih dipahami bahwa akreditasi adalah penting bagi peningkatan mutu rumah sakit terutama bagi stakeholder rumah sakit. tujuan pengembangan rumah sakit. misi pengembangan rumah sakit ditujukan untuk hal-hal sebagai berikut : 1). melindungi masyarakat dalam bentuk akuntabilitas publik; 2). memacu perbaikan internal rumah sakit melalui feedback ke rumah sakit dan internal benchmark; 3). sebagai mekanisme pemberian reward dan penyediaan konsultan; 4). menciptakan iklim transparansi dan kompetisi yang sehat dalam mencapai misi kesehatan prima; 5). tujuan benchmark antar rumah sakit. 6 tujuan akreditasi rumah sakit. tujuan umum akreditasi adalah mendapat gambaran seberapa jauh rumah sakit-rumah sakit di indonesia telah memenuhi standar yang telah ditetapkan sehingga mutu pelayanan rumah sakit dapat dipertanggung jawabkan. sedangkan tujuan khususnya meliputi: (1) memberikan pengakuan dan penghargaan kepada rumah sakit yang telah mencapai tingkat pelayanan kesehatan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, (2) memberikan jaminan kepada petugas rumah sakit bahwa semua fasilitas, tenaga dan lingkungan yang diperlukan tersedia, sehingga dapat mendukung upaya penyembuhan dan pengobatan pasien dengan sebaik-baiknya, (3) memberikan jaminan dan kepuasan kepada customers dan masyarakat bahwa pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit diselenggarakan sebaik mungkin. 7 manfaat akreditasi bagi rumah sakit ialah: 1). akreditasi menjadi forum komunikasi dan konsultasi antara rumah sakit dengan lembaga akreditasi yang akan memberikan saran perbaikan untuk peningkatan mutu pelayanan rumah sakit; 2). melalui self evaluation, rumah sakit dapat mengetahui pelayanan yang berada di bawah standar atau perlu ditingkatkan; 3). penting untuk penerimaan tenaga; 4). menjadi alat untuk negosiasi dengan perusahaan asuransi kesehatan; 5). alat untuk memasarkan (marketing) pada masyarakat. 6). suatu saat pemerintah akan mensyaratkan akreditasi sebagai kriteria untuk memberi ijin rumah sakit yang menjadi tempat pendidikan tenaga medis/ keperawatan; 7). meningkatkan citra dan kepercayaan pada rumah sakit. mutiara medika vol. 10 no. 1:86-89, januari 2010 88 manfaat akreditasi rumah sakit bagi masyarakat adalah: 1). masyarakat dapat memilih rumah sakit yang baik pelayanannya; 2). masyarakat akan merasa lebih aman mendapat pelayanan di rumah sakit yang sudah diakreditasi. manfaat akreditasi bagi karyawan rumah sakit ialah: 1). merasa aman karena sarana dan prasarana sesuai standar; 2). self assessment menambah kesadaran akan pentingnya pemenuhan standar dan peningkatan mutu. manfaat akreditasi bagi pemilik rumah sakit ialah pemilik dapat mengetahui rumah sakitnya dikelola secara efisien dan efektif. sesuai dengan surat keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor 1165 a tahun 2004 tentang komisi akreditasi rumah sakit, akreditasi rumah sakit di indonesia dilakukan oleh komisi akreditasi rumah sakit (kars). kars adalah organisasi penyelenggara akreditasi yang bersifat fungsional, non struktural, independen dan bertanggung jawab kepada menteri. 8 tugas kars ialah melakukan perencanaan, pelaksanaan, pengembangan dan pembinaan di bidang akreditasi rumah sakit sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan perkembangan akreditasi internasional. dalam melaksanakan tugasnya, kars menjalankan fungsi: (1) perumusan kebijakan dan tata laksana akreditasi rumah sakit, (2) penyusunan rencana strategi akreditasi rumah sakit, (3) mengangkat dan memberhentikan tenaga surveyor, (4) menetapkan statuta kars dan dan aturan internal pelaksanaan survei akreditasi, (5) penetapan status akreditasi dan penerbitan sertifikasi akreditasi, (6) penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan di bidang akreditasi dan mutu layanan rumah sakit, (7) pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang akreditasi. metode yang digunakan pada program akreditasi ialah sebagai berikut: (1) survei pra akreditasi, rumah sakit menilai diri sendiri (self assessment) setelah menerima kuesioner pra akreditasi, (2) survei akreditasi, survei dilakukan oleh surveyor yang ditugaskan oleh kars. survei ini dilakukan di lokasi rumah sakit setelah kuesioner pra akreditasi dievaluasi oleh kars. namun pada pelaksanaannya rumah sakit diminta menyusun rencana kegiatan akreditasi dan dari rencana kegiatan rumah sakit tersebut direktur jendral pelayanan medik menentukan jadwal pelaksanan survei, dan rumah sakit harus mengirimkan self assessment. kars mempunyai surveyor yang bertugas mengadakan kunjungan lapangan (site visit). ada tiga kategori surveyor, yaitu (1) surveyor administrasi, melakukan survei terhadap administrasi dan manajemen, rekam medik, pelayanan farmasi dan k3 (keselamatan dan kesehatan kerja), (2) surveyor medik, melakukan survei terhadap pelayanan medis, pelayanan gawat darurat, pelayanan radiologi, pelayanan laboratorium dan pelayanan kamar operasi, (3) surveyor keperawatan, melakukan survei pada pelayanan keperawatan, pengendalian infeksi nosokomial dan pelayanan perinatal risiko tinggi.8 status akreditasi ditetapkan oleh direktur jendral pelayanan medik departemen kesehatan atas usulan dari kars. ada empat kemungkinan status akreditasi yaitu: (1) tidak terakreditasi, yaitu bila rumah sakit belum mampu memenuhi standar yang ditetapkan, (2) akreditasi bersyarat, yaitu apabila nilai total lebih dari 65 % tapi kurang dari 75 %, tidak ada nilai di bawah 60 %, dalam waktu satu tahun akan dinilai lagi, (3) akreditasi penuh, yaitu bila nilai total lebih dari 75 %, tidak ada nilai di bawah 60 %, masa berlaku tiga tahun, (4) akreditasi istimewa, untuk 5 tahun masa berlaku, didapat setelah tiga kali berturutturut mendapat akreditasi penuh. penjaminanan mutu dan akreditasi. akreditasi rumah sakit merupakan salah satu cara untuk menilai mutu pelayanan rumah sakit. kegiatan akreditasi adalah penilaian sendiri (self assessment) yang dilakukan oleh rumah sakit dan proses penilaian dari luar (external peer review) untuk menilai mutu layanan dihubungkan dengan standar dan cara penerapannya. pada tahun 1989 telah dilaksanakan suatu survei terhadap 11 rumah sakit pemerintah dari pelbagai jenis dan ukuran (kelas) di indonesia. tujuan survei ini adalah mencari sebab rendahnya mutu pelayanan kusbaryanto, peningkatan mutu rumah sakit ... 89 rumah sakit. asumsi yang ada pada saat itu adalah rumah sakit pemerintah memperoleh peralatan medik dari pemerintah, maka kinerja rumah sakit menjadi lebih baik sehingga mutu pelayanan juga meningkat. hasil survei menemukan terdapat sembilan defisiensi di rumah sakit yang perlu diperbaiki karena menjadi penyebab rendahnya kinerja atau mutu pelayanan di rumah sakit. diantara defisiensi tersebut, yang menarik adalah ketidak tahuan staf rumah sakit belum mengenai konsep peningkatan mutu. hasil survei tersebut kemudian dijadikan dasar dalam program peningkatan mutu pelayanan di rumah sakit. 9 peningkatan mutu pelayanan rumah sakit merupakan hal yang sangat penting, karena rumah sakit memberikan pelayanan yang paling kritis dan berbahaya. hal tersebut dikarenakan yang menjadi sasaran kegiatan adalah jiwa manusia, maka semua bentuk pelayanan di rumah sakit harus bermutu tinggi. sejak saat itu diperkenalkan berbagai upaya peningkatan mutu seperti quality assurance, gugus kendali mutu, akreditasi, isqua, dan lain-lain kepada rumah sakit. 10 pada saat ini, seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi, maka pendekatan peningkatan mutu lebih dikaitkan dengan penilaian output/outcome dari pelayanan, terutama dikaitkan dengan kepuasan pasien, aspek klinik, efisiensi dan lain sebagainya. paradigma mutu yang mengutamakan kepuasan pasien lebih mengutamakan luaran atau dampak dari suatu pelayanan. kesimpulan 1. pelayanan rumah sakit merupakan pelayanan yang paling kritis dan berbahaya karena sasaran kegiatannya adalah jiwa manusia, maka semua bentuk pelayanan di rumah sakit harus bermutu tinggi. 2. akreditasi rumah sakit adalah pengakuan dan penghargaan kepada rumah sakit yang telah mencapai tingkat pelayanan kesehatan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. 3. tujuan umum akreditasi adalah mendapat gambaran rumah sakit-rumah sakit di indonesia yang telah memenuhi standar sehingga mutu pelayanannya dapat dipertanggungjawabkan. daftar pustaka 1. brenan dan berwick. 1996. new rules: regulation, markets, and the quality of amerika health care,jossey-bass publishers, san francisco. 2. departemen kesehatan republik indonesia. 2008. legalitas pendirian rumah sakit swasta, jakarta, departemen kesehatan. 3. departemen kesehatan republik indonesia. 1994. pedoman akreditasi rumah sakit, jakarta, departemen kesehatan. 4. departemen kesehatan republik indonesia. 2007. pedoman penyelenggaraan rumah sakit, jakarta, departemen kesehatan; 1314. 5. undang-undang republik indonesia nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit. 6. supari, s. f. 2010. kebijakan pengembangan rumah sakit di indonesia diakses dari http://tiopenta. wordpress.com/2008/05/29/kebijakanarah-pengembangan-rumah-sakit-diindonesia 7. soepojo. 2002. benchmarking system akreditasi rumah sakit oleh komisi gabungan akreditasi rumah sakit (indonesia) dan australia council on healthcare standards (australia). tesis. program pasca sarjana universitas gadjah mada, yogyakarta. 8. departemen kesehatan republik indonesia. 2004. surat keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor 1165 a tahun 2004 tentang komisi akreditasi rumah sakit, jakarta, departemen kesehatan; hal: 2. 9. departemen kesehatan republik indonesia. 2004. indikator kinerja rumah sakit, jakarta, departemen kesehatan; hal: 2. 10. mulyadi dan bagus. 2001. petunjuk pelaksanaan indikator mutu pelayanan rumah sakit jakarta, departemen kesehatan. mutiara medika vol. 10 no. 1:86-89, januari 2010 96 nur hayati, embriologi acardiac twin embriologi acardiac twin acardiac twin embryology nur hayati bagian anatomi, program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta email: hayati_arisk@yahoo.com abstract acardiac twin is a rare congenital malformation of monochorionic twin, often result from extensive abnormal placental anastomose. this leads to twin reversed-arterial-perfusion (trap) syndrome in the recipient twin, causing hypoxia to the cephalic pole leading to abnormalities of the upper body. this condition is always fatal for the recipient twin and carries a high mortality for the pump twin. purpose of this article is to review the embryology of acardiac twin. case reported a 25 years old secundigravida was referred to tirtonegoro hospital, klaten at 30 weeks of gestation with ultrasound report performed by an obstetrician as a single pregnancy with intraabdominal cystic mass. at 33 weeks of gestation the patient was labour a twin. the first was spontaneous, vertex presentation, female, 1600g without any external malformation and no sign for cardiomegaly. the second, by cesarean delivery, female, acardiac-anceps, stillborn, 1950g. monoplacenta, diamnionic and monochorionic with second twin’s umbilical cord 3 cm. this acardiac twin was not diagnosed in antenatal care. the conclusion is a rare case of acardiac twin has been reported and discussed embryologically. acardiac twin is resulting from extensive abnormal placental vascular anastomosis between twins in monochorionic multiple pregnancies. knowing the embryologic sequence is important to understanding the mechanism of twin placentation due to this unique syndrome. key words : acardiac twin, twin reversed-arterial-perfusion (trap), monochorionic twin, embryologic sequence abstrak acardiac twin adalah suatu bentuk malformasi kongenital langka pada kembar monochorion, akibat anastomosis ekstensif pada pembuluh darah plasenta, menyebabkan terjadinya twin reversed-arterial-perfusion (trap) syndrome pada kembar “resipien” yang mengakibatkan hipoksia pada kutup kepala fetus dan selanjutnya terjadi abnormalitas pada badan bagian atas. keadaan ini fatal bagi kembar resipien dan menyebabkan tingginya mortalitas dan morbiditas bagi kembar donor. tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menelaah embriologi kasus acardiac twin. dilaporkan kasus seorang sekundigravida umur 25 tahun dirujuk ke rsu tirtonegoro klaten, pada umur kehamilan 30 minggu, hasil usg janin tunggal dengan masa kistik di abdomen. pada umur kehamilan 33 minggu pasien melahirkan bayi kembar. bayi i lahir spontan, presentasi kepala, perempuan, bb 1600 g, tidak ada malformasi eksternal dan tidak ada tanda cardiomegali. bayi kedua lahir secara sectio sesaria, perempuan, acardiacanceps, lahir mati, bb 1950 g. plasenta monoplasenta, diamnion, monochorion dengan tali pusat janin ii hanya 3 cm. acardiac twin kasus ini tidak terdiagnosis pada saat anc. disimpulkan bahwa kasus yang jarang yaitu acardiac twin dan dibahas aspek embriologisnya. acardiac twin terjadi karena adanya anastomosis abnormal pembuluh darah placenta pada kehamilan 97 mutiara medika vol. 10 no. 1:96-101, januari 2010 kembar monochorion. memahami urutan embriologis penting untuk mengetahui mekanisme pembentukan plasenta yang berperan dalam kasus unik ini. kata kunci: acardiac twin, twin reversed-arterial-perfusion (trap), kembar monochorion, urutan embryologis. pendahuluan acardiac twin adalah suatu anomali kongenital langka yang ditandai dengan malformasi fetus tanpa jantung atau jantungnya mengalami rudimentasi dan nonfungsional1, disebut juga twin reversed arterial perfusion (trap) syndrome.2 istilah ini pertama kali didefinisikan oleh gruenwald pada tahun 1942, dan merupakan salah satu bentuk twin to twin transfusion syndrome (ttts).3 kondisi ini merupakan komplikasi pada 1/35.000 kehamilan dan terjadi pada 1/100 kehamilan kembar monochorion dan 1/30 kehamilan triplet monochorion.1 walaupun anomali ini umumnya terjadi pada kembar monochorion, namun ada beberapa laporan yang menyebutkan beberapa kembar dichorion dengan fusi plasenta yang mengalami kelainan ini. kasus ini juga lebih sering terjadi pada fetus perempuan, dan karena kelainan ini terjadi pada kembar monozigot, kedua fetus kembar ini memiliki jenis kelamin yang sama.1 acardiac twin diklasifikasikan berdasarkan derajad kegagalan perkembangan kepala dan truncus. ada 4 jenis acardiac twin, yaitu: (1) acardiacacephalus, kepala fetus tidak berkembang; (2) acardiac-anceps, fetus memiliki struktur kepala dan jaringan sarafnya berkembang; (3) acardiac-acormus, fetus mempunyai struktur kepala namun perkembangan truncusnya terbatas atau tidak berkembang; dan (4) acardiac-amorphus, fetus mengalami malformasi berat di mana kepala dan truncus hampir tidak mengalami diferensiasi.1 tujuan tulisan ini melaporkan kasus acardiac twin dan tinjauan dari aspek embriologi. laporan kasus seorang sekundigravida, umur 25 tahun, umur kehamilan 30 minggu datang ke rs tirtonegoro klaten karena saat anc didapatkan hasil usg janin tunggal dengan masa kistik intraabdomen, dari anamnesis didapatkan bahwa riwayat kehamilan sekarang baik, kontrol teratur di bidan dan spog. tidak ditemukan adanya riwayat keluarga kembar, tidak menggunakan obat penyubur kandungan dan tidak menggunakan obat-obatan dan sakit selama kehamilannya. pemeriksaan fisik, secara umum tidak menunjukkan adanya kelainan, demikian halnya dengan parameter laboratorium. pada umur kehamilan 33 minggu pasien melahirkan bayi kembar. bayi i lahir spontan, presentasi belakang kepala, perempuan, bb 1600 g, pb 40 cm, as 7/8, tidak ditemukan malformasi kongenital eksterna dan tidak ada tanda cardiomegali (gambar 1). bayi ke ii lahir secara sectiosesaria atas indikasi retensi janin ii, iufd, syarat embriotomi tidak terpenuhi. bayi ii acardiac-anceps, perempuan, bb 1950, pb 35 cm, lk cm, panjang ektremitas bawah dari lipat paha sampai ujung jari 10 cm, terdapat odem di kedua ekstremitas dan laserasi bekas ekstraksi kaki. di bagian kepala tampak tumbuh rambut dengan kedua mata dan mulut yang tidak sempurna. tidak terdapat badan dan kedua ekstremitas atas. tali pusat rapuh dan terputus dipangkal. plasenta monoplasenta, monochorion, diamninon dengan tali pusat janin ii hanya 3 cm (gambar 2). diskusi kehamilan kembar terjadi pada 1,5% kehamilan. komplikasi malformasi kongenital dua kali lipat lebih sering terjadi pada kehamilan ini dibandingkan pada kehamilan tunggal. acardiac twin atau twin reversed-arterial perfusion (trap) sequence terjadi pada 1% kehamilan kembar monochorion, di mana kedua fetus hanya memiliki satu plasenta.1 98 nur hayati, embriologi acardiac twin gambar 1. bayi i: bayi ”donor” gambar 2. bayi ii: acardiac twin etiopatogenesis anomali ini adalah karena adanya anastomosis ekstensif pembuluh darah plasenta abnormal pada fetus kembar tersebut, yang mengakibatkan ketidakseimbangan sirkulasi interfetal. fetus “donor” akan memompa darah deoksigenasi kepada fetus “resipien” atau acardiac twin. pembalikan arah aliran darah arteri umbilicalis pada acardiac twin menyebabkan atrofi jantung dan berbagai organ lainnya.4 pola aliran darah ini diistilahkan sebagai “twin reversed-arterial-perfusion” (trap) syndrome, di mana bagian badan bawah fetus menerima darah yang saturasi oksigennya lebih tinggi dan kandungan nutrisi yang lebih baik dibandingkan bagian badan atas, yang menyebabkan gangguan perkembangan kepala, leher dan anggota gerak atas. kembar donor atau fetus yang memiliki aktivitas cardiac 9% di antaranya 99 mutiara medika vol. 10 no. 1:96-101, januari 2010 juga mengalami malformasi. fetus ini juga berisiko tinggi mengalami kegagalan jantung kongestif akibat meningkatnya kebutuhan cardiovascular. mortalitas perinatal kembar donor diperkirakan mencapai 55% dan bagi kembar acardiac adalah fatal.5 supaya bisa memahami kejadian acardiac twin pada kembar monochorion, perlu dijelaskan plasentasi pada kehamilan kembar. kehamilan kembar terjadi akibat fertilisasi dua ova (kembar dizigot) atau dari fertilisasi satu ovum dengan pembelahan subsekuen (kembar monozigot). pembelahan subsekuen dapat terjadi sebagai akibat pemisahan pada blastomere awal atau pemisahan sel massa dalam (inner cell mass) dalam satu blastocyst yang sama.6 blastocyst adalah stadium saat embrio implantasi dalam dinding uterus. setiap blastocyst akan berkembang menjadi semua komponen kehamilan, termasuk plasenta dan membran chorion (dari trofoblas), amnion, fetus, chorda umbilicalis, yolk sac dan yolk stalk (dari sel massa dalam)7. (6.3) kejadian kembar dizigot lebih sering (70%) dibandingkan monozigot (30%). semua kembar dizigot memiliki plasenta dichorion dan semua kembar dichorion adalah diamnion. kembar monozigot bisa dichorion (25%) ataupun monochorion (75%) tergantung pada stadium embrio saat pembelahan subsekuen terjadi.8 jumlah blastocyst yang implantasi di dinding uterus menentukan jumlah plasenta yang akan berkembang. oleh karena itu, untuk semua kembar dizigot, dua blastocyst masuk ke dalam cavitas uteri dan implantasi, kembar ini secara universal memiliki plasenta dichorion. jaringan chorion dari plasenta embrionik berkembang untuk membentuk amnion. selanjutnya, semua kehamilan dichorion adalah diamnion. namun dua plasenta ini tidak selalu dapat diidentifikasi secara makro pada inspeksi setelah persalinan kembar dichorion. jika kedua blastocyst tersebut implantasinya pada endometrium berjauhan satu dengan yang lainnya (misalnya di dinding uterus anterior dan posterior), maka akan tumbuh plasenta yang terpisah. akan tetapi bila implantasinya di tempat yang berdekatan (misalnya keduanya di dinding anterior dinding uterus), maka plasenta yang tumbuh akan bertemu dan kemudian bersatu. dengan demikian, pada saat persalinan hanya ada satu plasenta yang dapat diidentifikasi. penyatuan kedua plasenta adalah peristiwa yang umum terjadi pada lebih kurang separuh kehamilan kembar dichorion. pada kembar monozigot, stadium embrio saat terjadinya pembelahan menentukan chorionisitas dan amnionisitas kehamilan (lihat gambar 3). dichorionisitas pada kembar monozigot merupakan hasil pembelahan zigot pada stadium sebelum pembentukan blastocyst. selanjutnya dua blastocyst akan masuk ke dalam cavitas uteri dan nidasi. dengan demikian plasenta yang terbentuk merupakan plasenta dichorion, seperti halnya pada kembar dizigot. bila kedua blastocyst tersebut implantasi pada tempat yang berdekatan pada endometrium, maka kedua plasenta yang terbentuk akan bertemu dan menyatu. dichorionisitas terjadi pada sekitar 23% kembar monozigot. jika pembelahan embrio terjadi pada stadium setelah pembentukan blastocyst, maka blastocyst tunggal akan masuk ke cavitas uteri dan implantasi, dan selanjutnya hanya satu plasenta yang akan berkembang. bagian embrio yang membelah pada situasi ini adalah sel massa dalam. supaya kembar dizigot yang terbentuk adalah dichorion, pembelahan harus terjadi sebelum hari ke-4 setelah fertilisasi. jika pembelahan terjadi pada hari ke-4 sampai ke-8 setelah fertilisasi (pada saat ini blastocyst sudah terbentuk, tapi amnion belum berkembang), maka yang terjadi adalah kembar monochorion diamnion. kejadian ini lebih sering terjadi pada kembar monozigot, yaitu lebih kurang pada 75% kasus. bila pembelahan terjadi setelah hari ke-8 setelah fertilisasi, maka chorion dan amnion sudah terbentuk, sehingga kembar yang terjadi akan berbagi baik plasenta maupun cavitas amnion. jika pembelahan terjadi setelah pembentukan amnion, maka struktur yang membelah adalah discus embryonicus. jika pembelahan discus embryonicus ini inkomplit, maka akan terjadi kembar siam.5 100 nur hayati, embriologi acardiac twin gambar 3. diagram berbagai pembelahan embrio kembar monozigot dan pembentukan plasenta6 pada kembar monochorion di atas, fetus i menjadi “donor” yang akan memompakan darah ke fetus ii (fetus resipien/acardiac twin) melalui anastomosis arteri ke arteri pada plasenta dan terjadi pembalikan arah aliran darah di mana darah dari arteri umbilicalis yang saturasi oksigennya rendah mengalir pada fetus resipien. sebagai akibatnya, terjadi hipoksia pada fetus ii yang seterusnya menyebabkan kegagalan perkembangan kepala dan truncus, dalam kasus ini menyebabkan acardiac-anceps. acardiac twin dapat didiagnosis pada pemeriksaan antenatal dengan usg, yang ditandai dengan tidak adanya denyut jantung, tidak berkembangnya badan bagian atas, ekstremitas superior dan kepala serta deformasi ekstremitas bawah. akan tetapi misdiagnosis acardiac twin dapat terjadi pada usg prenatal karena fetus acardiac sering disangka sebagai anencephaly, higroma kistik, kembar siam, ataupun tumor plasenta intra-amniotik. pada kasus ini acardiac twin didiagnosis sebagai janin tunggal dengan masa kistik intraabdomen. kesimpulan acardiac twin adalah malformasi kongenital langka pada kembar monochorion. pada kasus ini tidak terjadi perkembangan jantung dan fatal akibatnya bagi fetus yang mengalaminya. pengetahuan mengenai urutan embryologis sangat penting untuk memahami manifestasi plasentasi, pembentukan amnion dan kejadian sindrom unik pada kehamilan kembar ini. pembelahan subsekuen blastocyst yang terjadi pada hari ke-4 sampai ke8bertanggung jawab pada kejadian kembar monochorion ini. hanya kembar monozigot yang mempunyai plasenta monochorion. karena pembentukan plasenta juga diikuti oleh pembentukan amnion, maka semua kembar monoamnion pasti monochorion. tidak ada mekanisme embriologis lain yang mungkin. kejadian acardiac twin tidak bisa dicegah, oleh karena itu diagnosis dini kelainan pada kehamilan kembar identik ini sangat diperlukan untuk menyelamatkan salah satu fetus. 101 mutiara medika vol. 10 no. 1:96-101, januari 2010 daftar pustaka 1. rohilla m., chopra s., suri v., anggarwal n., vermani n. 2008. acardiacacephalus twins: a report of 2 cases and review of literature. medscape j med. 10 (8):200 2. hanafy a., peterson c.m. 1997. twinreversed arterial perfusion (trap) sequence: case reports and review of literature. aust n z j obstet gynaecol. 1997; 37:187-191 3. moore t.r., gale s., benirschke k. 1990. perinatal outcome of forty-nine pregnancies complicated by acardiac twinning. am j obstet gynaecol. 1990;163:907-912 4. filly r.a., goldstein r.b., callen p.w. 1990. monochorionic twinning: sonographic assessment. ajr.154:459469 5. dalton m.e., newton e.r., cetrulo c.l. 1984. intrauterine fetal demise in multiple gestation. acta genet med gemellol (aoma). 33:43-49 6. moore k.l. 1988. the developing human: clinically oriented embryology, 4th ed. philadelphia: saunders. 7. perveen s., quddusi h., faiz s.a.. 2008. twin reversed arterial perfusion sequence/sequence acephalus acardiac fetus. pak j med sci. 24(6):869-71 8. wu c.j., ding d.c., ren s.s., chang c.c., weng j.t., hwang k.s. 2008. prenatal diagnosis and management of twin reversed arterial perfusion (trap) syndrome. taiwan j obstet gynecol. 47:1 | 130 mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 21 no 2 page 130-137, july 2021 antioxidant and chemoprevention activity of camelia sinensis-annona muricata extract combination against widr cells line aktivitas antioksidan dan kemoprevensi kombinasi ekstrak camelia sisnensis-annona muricata pada sel widr nazariah putri1, iwan dewanto2, rifki febriansah1* 1 school of pharmacy, faculty of medicine and health sciences, universitas muhammadiyah yogyakarta 2 school of dentistry, faculty of medicine and health sciences, universitas muhammadiyah yogyakarta data of article: received: 16 feb 2021 reviewed: 08 april 2021 revised: 10 june 2021 accepted: 09 july 2021 *correspondence: rifki.febriansah@umy.ac.id doi: 10.18196/mmjkk.v21i2.11158 type of article: research abstract: antioxidant compounds have an essential role in inhibiting the process of cell proliferation and have a chemopreventive effect. this study aims to trace the presence of antioxidant compounds allegedly contained in tea leaves (camelia sinensis l.) and soursop leaves (anonna muricata l.) and investigate their potency as chemopreventive agents. research steps include (1) identify the active compounds using thin-layer chromatography (tlc); (2) find out the potential compounds against cancer cells by molecular docking using autodock vina; (3) conduct a potential antioxidant test using free radicals dpph (1,1-diphenyl-2-pikrihidrazil); and (4) identify the cytotoxic effect on widr colon cancer cells test using mtt assay method. the results showed that the ethanolic extract of camellia sinensis-annona muricata leaf combination was suspected of containing flavonoid compounds with rf values of 0.66 and 0.68. besides, the dpph antioxidant test showed an ic50 value of 26.9 μg/ml. cytotoxic potential against widr cells resulted in an ic50 value of 41 μg/ml. furthermore, the molecular docking test of epigallocatechin gallate (egcg) and acetogenin compounds against bcl-xl target proteins showed the docking score of -8.1 kcal/mol and -6.7 kcal/mol, respectively. it concluded that the extract combination of camelia sinensis-annona muricata leaf had strong potency as an antioxidant and chemopreventive agent against the widr colon cancer cells line. keywords: annona muricata l; antioxidants; cytotoxic; camelia sinensis l; widr cell abstrak: senyawa antioksidan memiliki peranan penting dalam menghambat proses terjadinya proliferasi sel dan memiliki efek kemopreventif. penelitian ini bertujuan untuk menelusuri senyawa antioksidan yang terkandung pada daun teh (camelia sinensis l.) dan daun sirsak (anonna muricata l.) dan potensinya sebagai agen kemopreventif. langkahlangkah penelitian: (1) mengidentifikasi senyawa antioksidan menggunakan metode klt; (2) menemukan potensi senyawa antikanker sel kanker kolon, dengan penambatan molekul menggunakan autodock vina; (3) menguji potensi antioksidan menggunakan radikal bebas dpph (1,1-diphenyl-2-pikrihidrazil); dan (4) mengkaji efek sitotoksik pada sel kanker kolon dengan metode mtt assay. hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi ekstrak etanol daun camelia sinensis l.-anonna muricata l. mengandung senyawa flavonoid dengan nilai rf sebesar 0,66 dan 0,68. hasil uji antioksidan dpph, menunjukkan nilai ic50 sebesar 26,9 µg/ml. potensi sitotoksik terhadap sel kanker kolon widr menunjukkan nilai ic50 sebesar 41 µg/ml. pada uji penambatan molekuler terhadap senyawa egcg dan acetogenin pada protein target bcl-xl diperoleh hasil nilai skor docking berturut-turut sebesar -8,1 dan -6,7 kkal/mol. disimpulkan bahwa kombinasi ekstrak daun camelia sinensis l.-anonna muricata l. mempunyai aktivitas antioksidan yang tinggi dan sitotoksik yang kuat terhadap sel kanker kolon widr. kata kunci : camelia sinensis l; annona muricata l; antioksidan; sitotoksik; sel widr https://doi.org/10.18196/mmjkk.v21i2.10975 131 | vol 21 no 2 july 2021 introduction cancer ranks 2nd after cardiovascular disease. it is estimated that cancer-induced deaths by 2030 will be as many as 12 million people and will continue to increase annually.1 in a more specific case, colon cancer in indonesia ranks 3 with a total case of 15.9% and caused mortality with a total of 10.8% in 2012.2 in normal cells, there is a suppressor gene serving as control of cell growth. if cell growth occurs, the gene will be activated, leading to a harmonious balance.3 however, cancer causes cells to have abnormal growing abilities. it comes from organ cells or body cells that have the ability to inhibit cell growth.4 many factors cause the cell to develop abnormally, one of which is the presence of free radical compounds in the body. the compound is highly reactive and has one free electron that looks for a partner by bonding with electrons nearby and causes the cell to break down.5 meanwhile, antioxidant compounds have an essential role in preventing the adverse effects of free radical compounds in the body. antioxidants can come from natural and synthetic sources. tea leaves (camellia sinensis l.) have many benefits, including anticancer, antioxidant, antibacterial, etc.6 the leaves contain active compounds, including polyphenols, caffeine, and theobromine compounds.7 epigallocatechin gallate (egcg) is the primary polyphenol found in tea leaves that is effective as an antioxidant and has a bitter taste. polyphenols on tea leaves are considered to suppress the proliferation of cancer cells and have a chemopreventive effect. meanwhile, soursop leaves (annona muricata l.) contain compounds including tannins, phytosterols, calcium oxalate, alkaloids, flavonoids, and acetogenin.8 the purpose of this study was to find out the potential combination of ethanol extract of tea leaves and soursop leaves, antioxidant activity in both combinations of plants in warding off free radicals, knowing the potential of egcg and acetogenin compounds with molecular docking analysis on bcl-xl proteins, and knowing cytotoxic ability against widr colon cancer cells. materials and method sample and extract preparation tea leaf simplisia powder (camellia sinensis l.) was obtained from tawamangu, while soursop leaves (annona muricata l. ) were obtained from the bantul district. tea leaves and fresh soursop leaves were washed clean with running water and then dried in the sun by covered using a black cloth. the drying process was done for 10 days or until the tea leaves and soursop leaves were brittle. it was then blended until smooth and sifted until it became simplisia powder. each pollen of simplisia leaf tea and soursop leaf was weighed as much as 500 grams of extracted by maceration method using solvent ethanol 70%, soaked for 5 days with the stirring process every day. re-maceration was conducted and soaked for 2 days which would then be retrieved to extract liquid. the following process was evaporation using a rotary evaporator with a temperature between 40-50°c. analysis of flavonoid compounds with tlc method to identify the content of flavonoids or polyphenols in tea leaf extract and soursop leaves, it used the phase of motion that was n-butanol: acetic acid: water (baw) in a ratio of 7:2:1. meanwhile, the stationary phase used was silica gel gf254. once in the exclusion, the tlc plate was removed from the chamber and was dried in the oven temperature of 60°c for 10 minutes. the plate was later observed under a uv lamp with a wavelength of 254 nm to identify the results (rf value). after that, in identifying a color reaction, ammonia vapor was vapor to detect the presence of flavonoids. antioxidant activity test with dpph method 1. production of raw dpph solution a number of 15.8 mg powder dpph was already weighed, then was measured out with methanol with as much as 100 ml of the solution. it was then obtained a dpph concentration of 0.4 mm. furthermore, the solution was mixed for 30 seconds then wrapped using aluminum foil. 2. the production of the samples solution 20 mg of ethanolic extracts of tea leaves and soursop leaves were dissolved in 20 ml methanol. the concentration of the sample solution obtained was 1000 µg/ml. next, 5 levels of concentration of 7.5; 10; 15; 20, and 30 µg/ml were created. 3. making a solution of rutin compound | 132 rutin analysis of 5 mg was inserted into the 50 ml measuring flask and then reconstituted using methanol to mark boundaries. next parent solution made the series levels of concentration that were 0.5; 1; 5; 10; 20 and 30 µg/ml. 4. determination of operating time the rutin concentrations of 3; 4 and 5 µg/ml by as much as 1 ml were put into a 5 ml measuring flask. dpph solution was then added as much as 1 ml into each pumpkin measure, subsequently added methanol to mark boundaries. each solution was moved into test tubes and then did the vortex for 30 seconds. the absorbance of the solution was read at λ 514 nm every 5 minutes during the last 45 minutes. replication was done 3 times. 5. maximum wavelength assignment as many as 1 ml solutions of dpph were put into a 10 ml measuring flask, and methanol was added to mark boundaries. the solution was then moved into test tubes, vortex for 30 seconds. the operating time was set, and the absorption was observed at a wavelength of 200-800 nm. 6. measurement of absorbance of dpph solution as much as 2 ml solution of dpph was put into a 10 ml measuring flask, and methanol was added to mark boundaries. the operating time was then set. the absorption was read at λ maximum, performed replication as much as 3 times. 7. measurement of the absorbance of the sample solution and rutin the 2 ml measuring flask of dpph solution measured a 10 ml sample solution, then the rutin of 2 ml concentration on the series have been made. next, methanol was then added to mark boundaries in vortex solution for 30 seconds during the operating time. the absorbance of the solution was later observed at λ maximum, and the replication was performed 3 times. the sample of absorbance data in the form of the antioxidant formula using percent: % 𝐼𝑛ℎ𝑖𝑏𝑖𝑡𝑖𝑜𝑛 = 𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑐𝑒 𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘 − 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑙𝑒 𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑐𝑒 100% 𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑐𝑒 𝑥100% the calculation of the ic50 can be carried out by inserting the value of 50 as a linear regression equation of y. x is a relationship, and y is % of antioxidants. molecular docking test 1. preparation of protein the target of proteins was sought from pdb (protein data bank) and gdp to bcl-xl: 1ysg as the target in the form of active protein that will bind to the native ligand. the native ligand was then removed by the yasara process to provide space (pocket/cavity). this space was later used in the analysis of the interaction of ligand and protein. 2. preparation of the test compound egcg and acetogenin optimization of the structure of the test compound was carried out using the marvin sketch program. the 3d structure of egcg and acetogenin was fully drawn with a hydrogen atom, then optimization of conformation was carried out. 3. validation of molecular docking method native ligand reattached to proteins that have been removed is native ligand using the autodock vina program. the difference in coordination between the two ligands was seen from the rmsd value (root mean square distance). if the rsmd value is < 2.0 amstrom (a), the protocol is accepted, and the test compound's docking process on the target protein can be carried out. in contrast, if the rsmd value is > 2.0 a, another protein with code (gdp id) is used. 4. docking egcg and acetogenin on protein targets the test compound of egcg or acetogenin was already eliminated the native ligand using autodock vina. the analysis results showed the compounds with the conformation of the lowest energy that has to bind to a protein target—visualization of the amino acid residues that interact with the ligand using ds visualizer. mtt assay widr cells were planted in a microplate of 96 wells with a density of 5x103 cells/well and incubated for 48 hours to obtain good growth. after that, the medium was replaced with a new one with a dmso cosolvent and incubated at 37°c in a 5% co2 incubator for 48 hours. at the end of incubation, the media and extract were discarded then the cells were washed with pbs. in each well, 100 μl of cultural media and 10 μl mtt of 5 mg/ml were added. cells were re-incubated for 4-6 hours in a 5% 37°c co2 incubator. the mtt 133 | vol 21 no 2 july 2021 reaction was stopped with hcl 4n-isopropanol (1:100), rocked on top of the shaker for 10 minutes. absorption was read with elisa reader (benchmark bio-rad) at the wavelength of 595 nm. result extraction result 500 grams of tea leaves and 500 grams of soursop leaves obtained liquid extract as much as 2,450 ml of tea leaves and 2,550 ml of soursop leaves. the liquid extract was evacuated with a rotary evaporator and obtained 27.3 grams of thick extract of tea leaves and 28.7 grams of thick extract of soursop leaves. tlc test result the experiments carried out in the mobile phase resulted in a good comparison which was n-butanol: acetic acid:water (7:2:1) compared to other mobile phases. to identify the presence of flavonoid content followed by color testing, the method used was evaporation with ammonia compounds, rutin chromatogram plates, ethanol extract tea leaves, and ethanol extract soursop leaves steamed with ammonia for a few moments until discoloration occurred in the spots (figure 1). next, the detection using visible rays and uv rays of 254 nm produced 2 spots on chromatograms of ethanol extract of tea leaves and 2 spots on chromatograms of soursop leaf ethanol extract, which was also compared to the same rutin standard. the rf value of each spot can be seen in table 1. figure 1. spots on chromatograms from tlc analysis of the samples and standard before and after evaporated with ammonia reagen detected under uv 254 nm and visible light table 1. rf value from tlc analysis of the samples and standard before and after evaporated with ammonia compound detected under uv 254 nm and visible light spotting number rf color before ammonia color after ammonia visible uv 254 nm visible uv 254 nm 1 0.66 colorless attenuation yellow darker damping 2 0.89 colorless attenuation crimson yellow darker damping 3 0.68 colorless attenuation yellow darker damping 4 0.91 colorless attenuation crimson yellow darker damping 5 0.66 colorless attenuation yellow darker damping the result showed that ethanolic extract of tea leaves and soursop leaves contained flavonoids in both spots. it is evidenced by yellow discoloration after steaming ammonia and blue color (damping) at uv 254 nm with an rf value of 0.66. antioxidant activity result with dpph method the dpph (1,1-diphenyl-2-pikrihidrazil) suppression method was based on reducing dpph-colored free radical methanol solution due to inhibition of free radicals. when the purple solution of dpph met the electron donor material, the dpph would be reduced, causing the purple color to fade to yellow from the pikril group.9 | 134 based on experiments, the sample levels i.e., 5 series; 7.5; 10; 15; 20; 30 µ g/ml were each replicate d 3 times. while the series of levels for rutin that is 0.5; 1; 2; 5; 10; 20 µg/ml was replicated 3 times. absorbance reading of respective series samples and rutin levels was done at a wavelength of maximum dpph. based on the screening results, dpph's maximum absorption reading using a spectrophotometer was 514 nm. the result of the percentage of the inhibition can be seen in table 2. table 2. the average absorbance of the rutin standard compound (a) and combination of ethanol extracts of tea leaves and soursop leaves (b) no concentratio n (µg/ml) the average absorbance standard deviation absorbance blank percent inhibition (%) a b a b a b a b a b 1 0.5 5 0.641 0.661 0.026 0.016 0.7023 0.7023 8.73 5.88 2 1 7.5 0.638 0.598 0.006 0.022 0.7023 0.7023 9.11 14.90 3 2 10 0.625 0.532 0.034 0.003 0.7023 0.7023 11.01 24.30 4 5 15 0.557 0.488 0.013 0.017 0.7023 0.7023 20.76 30.56 5 10 20 0.402 0.476 0.021 0.061 0.7023 0.7023 42.76 32.27 6 20 30 0.189 0.298 0.063 0.018 0.7023 0.7023 73.04 57.53 7 30 40 0.055 0.186 0.014 0.022 0.7023 0.7023 92.22 73.54 absorbance data above can calculate % inhibition using the formula control absorbance reduced with further positive results and divided by negative control absorbance. negative control absorbance was derived from dpph absorbance readings. the readings of average dpph absorbance was 0.7023. the ic50 value was obtained by connecting the percentage of inhibition with concentration and then creating a linear regression. the graph of a linear regression relationship between the percentage of concentration with inhibition rutin and the combination of ethanol extracts of leaves of tea and soursop leaf can be seen in figure 2. figure 2. linear regression of rutin standard (a) and combination of ethanolic extracts of tea and soursop leaves (b) linear regression results from the data can be done by modifying the ic50 value calculations of y being 50. from the calculation result, it was obtained that rutin showed a very strong antioxidant effect with an ic50 value of 14.20 µg/ml, while the extract combination of eedt and eeds also showed a very strong antioxidant effect with an ic50 value of 26.20 µg/ml. according to mardawati et al, the ic50 value of antioxidants below 50.0 µg/ml was included in the category of very strong effect.10 molecular docking result molecular docking is a computational method that aims to mimic the interaction events of a ligand molecule with a target receptor or protein.11 thus, this method can predict the strength of the relationship or the affinity of the bonds between the two molecules. whether or not a docking is successful is determined by two components: algorithmic search and scoring function.12 molecular docking test aims to find out the interaction of a ligand with the protein molecules of the target upon the in-vitro testing. molecular docking was used to test applications, i.e., autodock vina and some supporting applications such as open babel were used to convert each file as gdp to pdbqt to visualize using other applications. the ds visualization was used to view the structure and form of the interactions between the ligand and the protein molecular basis. the proteins tested in this study were the receptors of bcl-xl, obtained by molecular docking score. the docking % in h ib it io n 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 0 10 20 30 40 50 % i n h ib it io n concentration (µg/ml) b 120,00 100,00 80,00 60,00 40,00 20,00 0,00 y = 2,9913x + 7,5307 r² = 0,9859 0 10 20 30 40 concentration (µg/ml) a 135 | vol 21 no 2 july 2021 score is the value of the free energy needed by the ligand for the protein interaction to get smaller. it indicates that it is increasingly easy to interact. rmsd value and score of the test compounds between docking and protein bcl-xl can be seen in table 3. table 3. docking score of egcg and acetogenin compounds against protein bcl-xl active compound protein rmsd value docking score conformation native ligand bcl-xl (pdb id: 1ysg) 0.992 -6.4 2 egcg 0.284 -8.1 2 acetogenin 1.567 -6.7 5 doxorubicin 1.207 -3.6 2 5-fluorouracil 1.439 -4.9 2 mtt assay result this test was conducted to determine the ability of a compound to inhibit 50% of cell growth. cytotoxic activity test in this study was conducted to find out the toxicity of test material that was a combination of ethanol extract of tea leaves and soursop leaves against cancer cells. the cancer cells used in this study were widr colon cancer. the sample absorbance, % of living cells, and cytotoxic ic50 value can be seen in table 4. table 4. data of sample of absorbance, % of living cells and cytotoxic ic50 value on widr cells line after ethanol extract treatment of tea leaves and soursop leaves concentration log sample of absorption average living cells (%) standard deviation 37.5 0.543 0.912 0.085 75 0.662 0.695 0.126 112.5 0.694 0.804 0.131 150 0.659 0.706 0.225 average absorption cell control 0.758 media 0.432 equation y = -0.0000x+0.864 r2 = 0.896 ic50 = 41 µg/ml discussion green tea and green tea polyphenols have been shown to have anti-cancer activity in several laboratory studies, which could be mediated through antioxidant or pro-oxidant mechanisms. green tea polyphenols such as egcg inhibit cell viability and induce apoptosis in several cancer cell lines such as osteogenic sarcoma13, lymphoblastoid cells14, leukemia cells15, melanoma cells16, t lymphocytes17, and larynx carcinoma18. egc can inhibit breast cancer cell viability through induction of apoptosis, yet not in normal breast cells19. apoptosis by green tea polyphenols may occur independently in caspase-3 induction through activation of p5318. moreover, evidence for cell cycle modulation also exists. egcg in green tea causes a reduction in cell viability through g1 growth arrest in human breast cancer cells20,21, which is likely to occur through the suppression of cyclin d116. green tea polyphenols can even cause differentiation of cancer cells into slower proliferating cells22. based on the identification results using the tlc test, samples of ethanol extract of tea leaves with spots number 1 and 2 that have rf 0.66 and 0.89 and samples of ethanol extract soursop leaves with spotting numbers 3 and 4 that have rf respectively 0.68 and 0.91 were suspected of containing flavonoid compounds. all four spots experienced blue damping at uv 254 nm and were colorless in visible light before being fed with ammonia. according to the rf comparing value after being infused with ammonia in the light, it appeared dim yellow patches indicating the content of flavonoids,23 in the form of glycoside flavonoids in patches 1 and 3, indicating in spot number 5 with a value of rf 0.66. it aligns with previous research that rutin compound rf values ranged between 0.625 and 0.75 with baw mobile phase and the rutin compound.24 furthermore, quercetin is one of the flavonoid derivatives classified into flavonols and catechins found in tea leaves and soursop leaves included in the flavonol flavonoids group.25 thus, the rutin compound used as a comparison is appropriate to detect the presence of flavonoid content. in spots number 2 and 4, it was not a flavonoid glycoside compound as it had a different and higher rf value. it was | 136 suspected that this flavonoid compound was a type of genistein since genistein is a less polar flavonoid. 26 the rf values of both samples were almost identical, indicating that the flavonoid compounds found in the ethanol extract sample of tea leaf and soursop leaf ethanol extract had a similar type of compound. the linear regression equation obtained from the antioxidant test can be calculated ic50 value. the combination of ethanol extract of camellia sinensis leaf and annona muricata l. leaves had an ic50 value of 26.90 μg/ml. besides, the antioxidant activity test result from a combination of ethanol extract of tea leaves and soursop leaves showed that its activity falls into a very strong category as an antioxidant. the ic50 value obtained from the test solution was more significant when compared to the rutin comparison solution that had an ic50 value of 14.20 μg/ml. it indicated that rutin as a positive control had higher antioxidant activity when compared to the combination of ethanol extract of tea leaves and soursop leaves. furthermore, based on molecular docking tests, docking scores obtained from egcg compounds were -8.1, and acetogenin was -6.7. compared to doxorubicin and 5-fu, both compounds had smaller docking scores. the smaller the docking score is, the better the ligand and protein bond will be. in addition, the analysis of egcg and acetogenin compounds had a stronger bond than doxorubicin to the target protein bcl-xl. based on the cytotoxic result, the ic50 value was 41.375 μg/ml. the ic50 value is considered potent if the value is less than 100 μg/ml. it indicated that the combination of the tea leaf extract and soursop leaves had very strong potential in killing widr cancer cells. conclusion the combination of tea leaf ethanol extract (camellia sinensis l.) and soursop leaves (annona muricata l.) was proven to contain flavonoid group compounds and have very strong antioxidant activity with ic50 values of 29.90 µg/ml. in in silico molecular docking between acetogenin compound in soursop leaves with bcl-xl protein, it had a strong affinity with a docking score of -6.7. in contrast, the compound egcg on tea leaf had fairly strong potential with bcl-xl with a docking score of -8.1. furthermore, the combination of tea leaf and soursop leaves ethanolic extract had strong cytotoxic activity on the widr colon cancer cells line with an ic50 value of 41 μg/ml. acknowledgement we would like to thank lp3m umy and the indonesia ministry of education and culture for funding this research. conflict of interest we stated that there is no conflict of interest between the authors. references 1. nci. cancer treatment. 2017. available from: http://www.cancer.gov/cancertopics/treatment.html. 2012. [cited 2017 may 9] 2. iarc. tumours of the colon and rectum. 2012 [cited 2017 may 9]. https://www.iarc.fr/en/publications/pdfsonline/pa. 3. aziz m, andrijono, saifuddin, a b. buku acuan nasional onkologi ginekologi. jakarta: yayasan bina pustaka sarwono prawirohardjo. 2006. 4. as t, as m. facing cancer: a complete guide for people with cancer, their families, and caregivers (cls education). in: 1st ed. united states of america; 2004: 2–3. 5. yuhernita, juniarti. analisis senyawa metabolit sekunder dari ekstrak metanol daun surian yang berpotensi sebagai antioksidan. makara sci ser. 2011; 15(1): 48–52. https://doi/org/10.7454/mss.v15i1.877 6. alamansyah a. taklukkan penyakit dengan teh hijau. jakarta: agro media pustaka; 2006: 34–36. 7. fulder s. khasiat teh hijau in 1st ed., jakarta: prestasi pustaka. 2004. 8. wulan j. dahsyatnya khasiat sirsak untuk banyak penyakit yang mematikan. yogyakarta: andi. 2012. 9. prayoga e. perbandingan efek ekstrak daun sirih hijau (piper betle l.) dengan metode difusi disk dan sumuran terhadap pertumbuhan bakteri staphylococcus aureus. skripsi. uin syarif hidayatullah. 2013. 10. mardawati e, achyar c, marta h. kajian aktivitas antioksidan ekstrak kulit manggis (garcinia mangostana l) dalam rangka pemanfaatan limbah kulit manggis di kecamatan puspahiang kabupaten tasikmalaya. teknotan j ind teknol pertanian. 2008; 2(3). 11. motiejunas d, wade rc. structural, energetic, and dynamic aspects of ligand-receptor interactions. compr https://doi.org/10.7454/mss.v15i1.877 137 | vol 21 no 2 july 2021 med chem ii. 2006; 4:193–214. 12. mukesh b, rakesh k. molecular docking: a review. int j res ayurveda pharm. 2011; 2(6): 1746–1751. 13. sang jj, dong hh, jeong hk. inhibition of proliferation and induction of apoptosis by egcg in human osteogenic sarcoma (hos) cells. arch pharm res. 2006; 29(5): 363–368. 14. noda c, he j, takano t, tanaka c, kondo t, tohyama k, et al. induction of apoptosis by epigallocatechin-3gallate in human lymphoblastoid b cells. biochem biophys res commun. 2007;362(4):951–957. https://doi.org/10.1016/j.bbrc.2007.08.079 15. nakazato t, ito k, miyakawa y, kinjo k, hozumi n, ikeda y, et al. catechin, a green tea component, rapidly induces apoptosis of myeloid leukemic cells via modulation of reactive oxygen species production in vitro and inhibits tumor growth in vivo. haematologica. 2005;90(3):317–325. 16. nihal m, ahmad n, mukhtar h, wood gs. anti-proliferative and proapoptotic effects of (-)-epigallocatechin-3 gallate on human melanoma: possible implications for the chemoprevention of melanoma. int j cancer. 2005;114(4):513–521. https://doi.org/10.1002/ijc.20785 17. li hc, yashiki s, sonoda j, lou h, ghosh sk, byrnes jj, et al. green tea polyphenols induce apoptosis in vitro in peripheral blood t lymphocytes of adult t-cell leukemia patients. japanese j cancer res. 2000;91(1):34–40 https://doi.org/10.1111/j.1349-7006.2000.tb00857.x 18. lee jh, jeong yj, lee sw, kim d, oh sj, lim hs, et al. egcg induces apoptosis in human laryngeal epidermoid carcinoma hep2 cells via mitochondria with the release of apoptosis-inducing factor and endonuclease g. cancer lett. 2010; 290(1): 68–75. https://doi.org/10.1016/j.canlet.2009.08.027 19. vergote d, cren-olivé c, chopin v, toillon ra, rolando c, hondermarck h, et al. (-)-epigallocatechin (egc) of green tea induces apoptosis of human breast cancer cells but not of their normal counterparts. breast cancer res treat. 2002; 76(3): 195–201. https://doi.org/10.1023/a:1020833410523 20. kavanagh kt, hafer lj, kim dw, mann kk, sherr dh, rogers ae, et al. green tea extracts decrease carcinogen-induced mammary tumor burden in rats and rate of breast cancer cell proliferation in culture. j cell biochem. 2001; 82(3): 387–398. https://doi.org/10.1002/jcb.1164 21. lin jk, liang yc, lin-shiau sy. cancer chemoprevention by tea polyphenols through mitotic signal transduction blockade. biochem pharmacol. 1999; 58(6): 911–5. 22. zhou b, pan j, dai f, zhao c, zhang l, wei q, et al. redifferentiation of human hepatoma cells induced by green tea polyphenols. res chem intermed. 2004; 30(6): 627–36. 23. aminah s, pramono s. isolasi flavonoid daun murbei (morus alba l.) serta uji aktivitasnya sebagai penurun tekanan darah arteri pada anjing teranestesi. maj farm. 2017; 9(1): 235–42. https://doi.org/10.22146/farmaseutik.v9i1.24103 24. suhendi a, sjahid r, hanwar d. isolasi dan identifikasi flavonoid dari daun dewandaru (eugenia uniflora l.) isolation and identification of flavonoids from dewandaru (eugenia uniflora l.) leaf. 73 pharmacon. 2011; 12(2): 73–81. https://doi.org/10.23917/pharmacon.v12i2.36 25. neldawati, ratnawulan, gusned. analisis nilai absorbansi dalam penentuan kadar flavonoid untuk berbagai jenis daun tanaman obat. pillar of physics,. 2013; 2: 76–83. 26. andersen o, markham k. flavonoids: chemistry, biochemistry, and applications. crc, taylor & francis, boca raton, fl; 2006. https://doi.org/10.1016/j.bbrc.2007.08.079 https://doi.org/10.1002/ijc.20785 https://doi.org/10.1111/j.1349-7006.2000.tb00857.x https://doi.org/10.1016/j.canlet.2009.08.027 https://doi.org/10.1023/a:1020833410523 https://doi.org/10.1002/jcb.1164 https://doi.org/10.22146/farmaseutik.v9i1.24103 https://doi.org/10.23917/pharmacon.v12i2.36 yulida zakiyana, supriatno, ana medawati, efek ekstrak etanol ... 160 efek ekstrak etanol daun keladi tikus (typhonium flagelliforme lodd.) pada invasi sel kanker lidah manusia (sp-c1) in vitro effects of ethanol extracts of leaves keladi tikus (typhonium flagelliforme lodd.) on human tongue cancer cell invasion (sp-c1) in vitro yulida zakiyana1, supriatno2, ana medawati3 1program studi kedokteran gigi fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta, 2departemen ilmu penyakit mulut fakultas kedokteran gigi universitas gadjah mada, 3bagian biomedik program studi kedokteran gigi fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta abstract the aim of study was to examine the anti invasion potency ethanolic extract of typhonium flagelliforme lodd. leaves toward the growth inhibition of human oral tongue cancer cell supri’s clone-1 (sp-c1). the design of this study was pure laboratory experimental research with the sample of human oral tongue cancer cell (sp-c1). sp-c1 invasion was inhibitad by ethanolic extract of typhonium flagelliforme lodd. leaves in some concentrations (0, 25, 50, 75, 100, 125 µg/ml). the samples were then incubated in 24 hours. as a control sp-c1 was grown in rosswell park memorial institute 1640 (rpmi-1640). boyden chamber kit were used in the study. result of the study showed that ethanolic extract of typhonium flagelliforme lodd. leaves was markedly inhibit the invasion of sp-c1 cell. the concentration of 125 µg/ml was found ethanolic extract of typhonium flagelliforme lodd. leaves has more to inhibit potency the invasion of sp-c1 cell. the conclusion ethanolic extract of typhonium flagelliforme lodd. leaves has significant invasion to inhibit potency the invasion of human oral tongue cancer cell line (sp-c1). key words: invasion, the human oral tongue cancer cell, typhonium flagelliforme lodd. leaves, boyden chamber abstrak penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efek ekstrak etanol daun tanaman keladi tikus (typhonium flagelliforme lodd.) terhadap invasi sel kanker lidah manusia (sp-c1). jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratoris murni terhadap sel kanker lidah manusia (sp-c1) yang diberi perlakuan dengan ekstrak etanol daun tanaman keladi tikus. biakan sel sp-c1 diinkubasikan dengan ekstrak etanol daun keladi tikus dalam berbagai konsentrasi (0, 25, 50, 75, 100, 125 µg/ml) selama 24 jam, sebagai kontrol negatif digunakan biakan sel sp-c1 dalam rosswell park memorial institute 1640 (rpmi-1640). alat ukur yang digunakan untuk mengetahui aktivitas invasi sel sp-c1 setelah diberi perlakuan ekstrak etanol daun tanaman keladi tikus menggunakan alat boyden chamber. berdasarkan hasil penelitian menunjukkan penurunan jumlah biakan sel sp-c1 secara signifikan terlihat pada perlakuan dengan ekstrak etanol daun keladi tikus konsentrasi 125 µg/ml dibandingkan kontrol maupun kelompok perlakuan. disimpulkan bahwa ekstrak etanol daun keladi tikus mempunyai pengaruh signifikan dalam menghambat invasi sel sp-c1. kata kunci: invasi, kanker lidah manusia, daun keladi tikus, boyden chamber 161 mutiara medika vol. 10 no. 2: 160 166, juli 2010 pendahuluan kanker merupakan proliferasi sel abnormal, yang menghasilkan invasi ke jaringan normal di sekitarnya dan penyebaran ke organ jauh.1 salah satu dari sepuluh lokasi tubuh yang paling sering terserang kanker di dunia adalah rongga mulut. kanker rongga mulut sering kali baru terdeteksi dalam stadium lanjut setelah timbul gejala klinis yang dirasakan penderita. stadium lanjut dari kanker rongga mulut pada umumnya menginvasi ke jaringan sekitar.2 lebih dari 90% kanker rongga mulut merupakan karsinoma sel skuamosa.3 daerah yang mempunyai frekuensi tinggi terhadap karsinoma sel skuamosa di rongga mulut adalah lateral dan ventral lidah. bagian 2/3 posterior lidah dan dasar lidah jika sudah terkena karsinoma sel skuamosa, maka prognosis menjadi memburuk karena sulit mencapai daerah lesi dan lokasinya dekat dengan organ vital. tindakan yang tepat sangat diperlukan karena menurut data statistik 2/3 dari seluruh pasien karsinoma sel skuamosa di rongga mulut meninggal.4 tindakan perawatan pada penderita kanker rongga mulut dilakukan dengan pembedahan, radioterapi, kemoterapi, dan kombinasi atau biasa disebut pengobatan konvensional.4,5 selain pengobatan konvensional, dapat dilakukan pengobatan non konvensional dengan memanfaatkan potensi alam. melihat kenyataan yang ada, pengobatan dengan cara non konvensional lebih dipilih. beberapa faktor yang melatar belakangi pengobatan non konvensional lebih dipilih, seperti takut atau trauma dengan pengobatan konvensional terutama pembedahan, kondisi sosial ekonomi yang tidak mendukung, tidak tahan terhadap efek dari kemoterapi dan radioterapi.5,6 meninjau uraian-uraian sebelumnya maka perlu menemukan obat yang tepat untuk mengobati penyakit karsinoma sel skuamosa pada lidah manusia. pengobatan non konvensional dengan pemanfaatan potensi alam salah satunya dengan terapi tanaman obat. salah satu tanaman obat yang menarik diteliti sebagai pengobatan penyakit kanker adalah keladi tikus (typhonium flagelliforme lodd.).7 kandungan kimia pada keladi tikus diantaranya alkaloid, saponin, steroid, glikosida.8 adanya kandungan saponin pada tanaman keladi tikus membuktikan bahwa saponin paling banyak ditemukan pada daun-daunan dan dapat digunakan sebagai antikanker9. hasil penelitian mohan dkk. pada tahun 2008 juga menunjukkan ekstrak daun tanaman keladi tikus memperlihatkan adanya kandungan senyawa aktif fenol.10 senyawa fenol merupakan golongan dari polifenol yang dapat berfungsi sebagai antikanker.9 tujuan penelitian ini adalah untuk untuk mengkaji efek ekstrak etanol daun tanaman keladi tikus (typhonium flagelliforme lodd.) terhadap invasi sel kanker lidah manusia (sp-c1). bahan dan cara pembuatan ekstrak etanol daun tanaman keladi tikus. pertama daun tanaman keladi tikus dikeringkan dalam almari pengering pada suhu 45o c. daun tanaman keladi tikus yang sudah kering dijadikan serbuk dengan menggunakan blender sampai halus. pembuatan ekstrak ini menggunakan cara maserasi, yaitu dengan merendam 1000 mg bubuk simplisia daun tanaman keladi tikus dalam 1000 ml etanol 70% selama 1 minggu. selanjutnya dilakukan pemisahan zat aktif dan etanol menggunakan vaccum evaporator. zat aktif dibuat stok 1 gr/ml, selanjutnya diencerkan menjadi konsentrasi 0, 25, 50, 75, 100 dan 125 µg/ml. persiapan biakan sel sp-c1. sel spc1 dibiakkan dalam larutan rpmi-1640, fbs 10% dan antibiotik (penisilin-streptomisin 0,1%) dalam cawan petri dengan diameter 100 mm. sel diinkubasi pada suhu 37o c dengan kelembaban udara 95% dan co2 5%. uji hambatan invasi sel skuamosa kanker lidah manusia. aktivitas ekstrak etanol daun tanaman keladi tikus terhadap invasi sel skuamosa kanker lidah manusia (sp-c1) dievaluasi menggunakan alat boyden chamber. sel kanker yang tumbuh dipanen menggunakan tripsin-edta 0,25%. membran polyvinyl-pyrrolidone yulida zakiyana, supriatno, ana medawati, efek ekstrak etanol ... 162 tabel 1. rerata jumlah dan standar deviasi sel sp-c1 yang mengalami invasi pada membran polyvinyl-pyrrolidone (pvp). konsentrasi ekstrak rerata jumlah invasi standar deviasi 0 µg/ml 25,25 1,7 25 µg/ml 27,75 1,3 50 µg/ml 24,50 1,3 75 µg/ml 23,00 1,8 100 µg/ml 19,50 2,1 125 µg/ml 15,00 2,2 (pvp) berpori 8 µm diinkubasi dalam gelatin 0,1 mg/ml selama 30 menit. ruang bawah boyden chamber diisi rpmi-1640, fbs 10% dan berbagai konsentrasi ekstrak etanol daun tanaman keladi tikus (0, 25, 50, 75, 100 dan 125 µg/ml). lapisi ruang bawah boyden chamber menggunakan membran pvp. ruang atas boyden chamber diisi sel sp-c1. setelah inkubasi selama 24 jam, membran pvp diambil dan dicuci menggunakan aquades. fiksasi membran pvp yang telah dicuci menggunakan alkohol 96% dan cuci kembali dengan pbs. selanjutnya dilakukan pewarnaan dengan merendam membran pvp dalam hematoxylin selama 24 jam. cuci membran pvp setelah direndam dalam hematoxylin dengan menggunakan aquades sebanyak 2x. terakhir cuci membran pvp dengan pbs dan kemudian diusap pada kertas saring yang telah ditetesi dengan aquades. invasi sel kanker pada membran pvp sudah dapat dihitung di bawah mikroskop cahaya dengan pembesaran 100x. pengukuran konsentrasi ekstrak etanol daun keladi tikus (mg/ml) r er at a ju m la h in va si se ls p -c 1 * 0 10 20 30 40 50 0 25 50 75 100 125 sel sp-c1 *** * ** * gambar 1. grafik rerata jumlah invasi sel sp-c1 setelah perlakuan dengan ekstrak etanol daun keladi tikus konsentrasi 25, 50, 75, 100, dan 125 µg/ml selama inkubasi 24 jam. dilakukan pada 4 bidang berbeda untuk setiap sampel. hasil data rerata jumlah dan standar deviasi sel sp-c1 yang mengalami invasi setelah perlakuan dengan menggunakan ekstrak etanol daun keladi tikus dapat dilihat pada tabel 1. tabel 1 memperlihatkan rerata jumlah invasi sel sp-c1 setelah perlakuan dengan menggunakan ekstrak etanol daun keladi tikus yang mengalami peningkatan tidak bermakna pada konsentrasi 25 µg/ ml dengan rerata 27.75 ± 1.3. hal tersebut terjadi karena media pertumbuhan sel spc1 lebih kuat berefek dibandingkan ekstrak etanol daun keladi tikus pada konsentrasi 25 µg/ml, sehingga invasi sel sp-c1 masih terlihat lebih kuat. konsentrasi selanjutnya menurun dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak etanol daun keladi tikus. 163 mutiara medika vol. 10 no. 2: 160 166, juli 2010 tabel 2. uji normalitas data konsentrasi ekstrak shapiro-wilk statistic df sig. 0 µg/ml 0,971 4 0,850 25 µg/ml 0,895 4 0,406 50 µg/ml 0,993 4 0,972 75 µg/ml 0,950 4 0,714 100 µg/ml 0,998 4 0,995 125 µg/ml 0,927 4 0,577 tabel 3. uji homogenitas varians levene statistic df1 df2 sig. 0,368 5 18 0,864 tabel 4. hasil uji anava satu jalur sum of squares df mean square f sig. between groups 418,500 5 83,700 27,146 0,000 within groups 55,500 18 3,083 total 474,000 23 konsentrasi ekstrak etanol daun keladi tikus pada tabel 1 yang menunjukkan hasil paling efektif dalam menghambat invasi sel sp-c1 adalah 125 µg/ml dengan rerata jumlah invasi sel sp-c1 15.00 ± 2.2. hasil penelitian lebih jelasnya dapat di lihat pada gambar 1. invasi sel sp-c1 pada gambar 5 diketahui mulai mengalami penurunan dari konsentrasi 50 µg/ml sampai konsentrasi tertinggi (125 µg/ml). perbedaan paling bermakna terdapat pada konsentrasi 125 µg/ml dengan rerata jumlah invasi sel spc1 15,00. rerata jumlah invasi sel sp-c1 paling banyak adalah 27,75 pada sel sp-c1 yang diberi perlakuan menggunakan ekstrak etanol daun keladi tikus dengan konsentrasi 25 µg/ml. analisis statistik hasil penelitian daya hambat ekstrak etanol daun keladi tikus terhadap invasi sel kanker lidah manusia (sp-c1) dilakukan dengan menggunakan uji normalitas shapiro-wilk untuk mengetahui data terdistribusi normal atau tidak. selanjutnya dilakukan uji analisis varian (anava) satu jalur dan uji lsd dengan nilai signifikansi p<0,05. pada tabel 2 terlihat angka signifikansi shapiro-wilk p>0,05, maka data tersebut dikatakan terdistribusi normal. langkah selanjutnya adalah melakukan uji varians data. pada tabel 3 terlihat angka signifikansi 0,864 (p>0,05), maka data tersebut dikatakan mempunyai varians sama, sehingga untuk menilai tingkat signifikansi invasi sel sp-c1 dilakukan uji parametrik anava (analisis varian) satu jalur. hasil uji anava satu jalur pada tabel 4 menunjukkan nilai signifikansi 0,000 (p<0,05), maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat perbedaan yang sangat bermakna dari jumlah sel sp-c1 yang mengalami invasi setelah diberi berbagai konsentrasi ekstrak etanol daun keladi tikus. yulida zakiyana, supriatno, ana medawati, efek ekstrak etanol ... 164 tabel 5. uji lsd kelompok konsentrasi 0 µg/ml 25 µg/ml 50 µg/ml 75 µg/ml 100 µg/ml 125 µg/ml 0 µg/ml -----0,059 0,553 0,087 0,000(*) 0,000(*) 25 µg/ml 0,059 ----- 0,017(*) 0,001(*) 0,000(*) 0,000(*) 50 µg/ml 0,553 0,017(*) ----- 0,243 0,001(*) 0,000(*) 75 µg/ml 0,087 0,001(*) 0,243 -----0,011(*) 0,000(*) 100 µg/ml 0,000(*) 0,000(*) 0,001(*) 0,011(*) -----0,002(*) 125 µg/ml 0,000(*) 0,000(*) 0,000(*) 0,000(*) 0,002(*) -----keterangan : * perbedaan rerata signifikansi pada tingkat kepercayaan 95%. hasil dari uji lsd pada tabel 5 memperlihatkan adanya tanda (*) dibelakang angka berarti terdapat perbedaan rata-rata antara masing-masing konsentrasi ekstrak etanol daun keladi tikus, jika nilai signifikansi menunjukkan p<0,05. diskusi tanaman keladi tikus adalah tanaman sejenis talas setinggi 25 cm hingga 30 cm, termasuk tumbuhan semak, menyukai tempat lembab yang tak terkena sinar matahari langsung. tanaman keladi tikus ini berbatang basah, biasanya tumbuh di tempat terbuka pada ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut. bentuk daun dari tanaman keladi tikus bulat dengan ujung runcing berbentuk jantung, berwarna hijau segar. umbi tanaman keladi tikus berbentuk bulat rata sebesar buah pala. habitat hidup dari tanaman keladi tikus di malaysia, korea bagian selatan, dan indonesia. di indonesia penyebaran tanaman keladi tikus terdapat di sepanjang pulau jawa, sebagian kalimantan dan sumatra dan papua.11 berdasarkan laporan dari lembaga penelitian di malaysia membuktikan bahwa sari tanaman keladi tikus dapat menghambat pertumbuhan sel kanker, menghancurkan sel kanker dan menghilangkan efek buruk kemoterapi.5 bagian dari tanaman keladi tikus yang paling banyak digunakan sebagai obat antikanker adalah daun, batang, dan umbi. senyawa aktif yang terkandung dalam tanaman keladi tikus mampu memacu mekanisme alamiah tubuh, sehingga memperkuat daya tahan tubuh untuk menghambat pertumbuhan sel kanker. 7 penelitian lain tentang ekstrak daun tanaman keladi tikus oleh mohan dkk. pada tahun 2008 menyatakan bahwa seyawa aktif pada daun tanaman tersebut terbukti efektif sebagai antioksidan.10 antioksidan merupakan zat dengan kemampuan mematikan secara langsung sel-sel kanker.7 hasil penelitian hambatan invasi sel kanker lidah manusia (sp-c1) menggunakan ekstrak etanol daun keladi tikus in vitro menunjukkan rerata jumlah invasi sel spc1 mengalami peningkatan tidak bermakna pada konsentrasi 25 µg/ml dengan rata-rata jumlah invasi sel sp-c1 27,75 ± 1,3. hal tersebut terjadi karena media pertumbuhan sel sp-c1 lebih kuat berefek dibandingkan konsentrasi ekstrak etanol daun keladi tikus 25 µg/ml, sehingga invasi sel sp-c1 masih terlihat lebih kuat. penurunan rerata jumlah invasi sel sp-c1 mulai terlihat pada konsentrasi ekstrak etanol daun keladi tikus dari 50 µg/ml sampai konsentrasi tertinggi (125 µg/ml). penelitian ini sejalan dengan laporan choon et al. pada tahun 2008 yang membuktikan bahwa konsentrasi tertinggi (100 µg/ml) dari ekstrak tanaman typhonium flagelliforme lodd. mempunyai kemampuan dalam menghambat pertumbuhan sel kanker paru-paru manusia (ncl-h23) >85%.12 mohan dkk. juga melaporkan kemampuan ekstrak daun typhonium flagelliforme lodd. sebagai antikanker sel darah manusia (sel 165 mutiara medika vol. 10 no. 2: 160 166, juli 2010 t4-lymphoblastoid) dengan konsentrasi yang paling berpotensi adalah 10,8 dan 5,8 µg/ ml.13 sesuai data hasil perhitungan statistik dari penelitian hambatan invasi sel sp-c1 menggunakan ekstrak etanol daun keladi tikus yang paling efektif adalah konsentrasi 125 µg/ml dengan rata-rata jumlah invasi sel sp-c1 15,00 ± 2,2. hasil penelitian ini yang diperoleh dengan perhitungan statistik menggunakan analisis varian (anava) satu jalur menunjukkan adanya perbedaan yang sangat bermakna antara konsentrasi 25, 50, 75, 100, dan 125 µg/ml dengan p=0,000. invasi sel kanker di rongga mulut merupakan suatu proses pertumbuhan yang kompleks, yang melibatkan interaksi spesifik antara sel kanker dengan matriks ekstraseluler.2 matriks ekstraseluler merupakan penghalang utama bagi invasi sel kanker. invasi sel kanker dengan mencerna dan berinteraksi dengan matriks ekstraseluler untuk menembus membrana basalis. matriks ekstraseluler terdiri dari kolagen, proteoglikan dan glikoprotein seperti laminin, fibronektin dan elastin. sebelum sel kanker melepaskan diri dari matriks ekstraseluler, protein adhesi dari matriks ekstraseluler akan didegradasi terlebih dahulu oleh enzim protease.14 faktor penting dalam pertahanan terhadap daya invasi dari sel kanker di rongga mulut adalah keutuhan membrana basalis. mekanisme penetrasi awal dari invasi kanker rongga mulut melalui membrana basalis terjadi dalam 3 tahap. tahap pertama adalah pengikatan dengan matriks ekstraseluler. ikatan awal sel kanker di rongga mulut dengan matriks ekstraseluler melibatkan integrin dan komponen matriks jaringan seperti fibronektin, laminin, proteoglikan, dan kolagen yang bertindak sebagai barier. tahap kedua terjadi kerusakan matriks ekstraseluler dan dilanjutkan sekresi enzim matrix metalloproteinase (mmp) oleh sel kanker rongga mulut yang merusak komponen matriks jaringan. tahap ketiga adalah pergerakan melalui jaringan interstisial. begitu sel kanker terlepas dari matriks ekstraseluler, sel kanker menembus sistem sirkulasi darah dan limfatik dengan menembus membrana basalis terlebih dahulu. sel kanker di rongga mulut menembus barier membrana basalis dan menyebar melalui jaringan ikat subepitel di bawahnya dengan dibantu oleh enzim matrix metalloproteinase (mmp). terjadinya pengulangan pengikatan dan lisis matriks ekstraseluler mengakibatkan sel kanker di rongga mulut dapat berpenetrasi lebih jauh ke jaringan ekstraseluler sekitarnya.2 hasil penelitian ini menyatakan bahwa ekstrak etanol daun keladi tikus mempunyai efek farmakologis antikanker terhadap invasi sel sp-c1 yang dapat digunakan sebagai alternatif pengobatan. hasil penelitian ini juga telah menjawab hipotesis yang dikemukakan di tinjauan pustaka, yaitu ekstrak etanol daun tanaman keladi tikus (typhonium flagelliforme lodd.) dapat menghambat invasi sel kanker lidah manusia (sp-c1). kesimpulan daya hambat ekstrak etanol daun keladi tikus (typhonium flagelliforme lodd.) terhadap invasi sel sp-c1 menunjukkan : ekstrak etanol daun keladi tikus (typhonium flagelliforme lodd.) mempunyai kemampuan menghambat invasi sel kanker lidah manusia (sp-c1) dengan konsentrasi yang paling berpotensi adalah 125 µg/ml. saran penelitian ini dilakukan secara in vitro, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut dengan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut : perlu adanya penelitian sifat antikanker 1. ekstrak etanol daun keladi tikus terhadap sel sp-c1 secara in vivo pada hewan coba sebelum digunakan sebagai obat berstandar pada manusia. perlu dilakukan penelitian lebih lanjut 2. untuk menentukan senyawa aktif yang berfungsi sebagai antikanker pada ekstrak etanol daun keladi tikus. penelitian lebih lanjut mengenai 3. pengaruh ekstrak etanol daun keladi tikus terhadap sel kanker rongga mulut di tempat lainnya. yulida zakiyana, supriatno, ana medawati, efek ekstrak etanol ... 166 daftar pustaka rose, l.f., & kaye., d. 1997. 1. buku ajar penyakit dalam untuk kedokteran gigi (w. kusuma, penerjemah). jilid 1. edisi 2. jakarta: binarupa aksara. h. 503, 511512. (buku asli diterbitkan 1996). sudiono, j. (2008). 2. pemeriksaan patologi untuk diagnosis neoplasma mulut. cet. 1. jakarta: egc. h. vi, 1, 1014, 32-38. scully, c. 2004. 3. oral and maxillofacial medicine, the basis of diagnosis and treatment. edinburgh: elsevier limited. pp. 231. mansjoer, a., triyanti, k., savitri, r., 4. wardhani, w.i., & setiowulan, w. 1999. kapita selekta kedokteran. jilid 1. edisi 3. cet. 1. jakarta: media aesculapius. h. 172-173. mangan, y. 2005. 5. cara bijak menaklukkan kanker. cet. 1. jakarta: agro media pustaka. h. iii & 58-59. sonis, s.t., fazio, r.c., & fang, l. 6. shu-tung. 2003. oral medicine secret. philadelphia: hanley & belfus, inc. pp. 228-229. mardiana, l. 2008. 7. kanker pada wanita: pencegahan dan pengobatan dengan tanaman obat. cet. 6. jakarta: penebar swadaya. h. vi, 5 & 55-56. syahid, s.f., & kristina, n.n. 2007. 8. induksi dan regenerasi kalus keladi tikus (typhonium flagelliforme. lodd.) secara in vitro. jurnal littri, 13(4), h. 142-146. daris, a. 2008. fitokimia mencegah 9. penyakit degeneratif (versi elektronik). majalah medisina, 2 (4). mohan, s., abdul, a.b., wahab, s.i.a., al-10. zubairi, a.s., elhassan, m.m., & yousif, m. 2008. investigations of antioxidant and antibacterial activities of typhonium flagelliforme (lodd.) blume leaves. research journal of pharmacology, 2 (4), pp. 47-51. harfia, m. 2006. uji aktivitas ekstrak 11. etanol 50% umbi keladi tikus (typhonium flagelliforme (lood.) bl) terhadap sel kanker payudara (mcf-7 cell line) secara in vitro. puslitbang biomedis dan farmasi. badan litbang kesehatan. choon, s.l., rosemal., h.m.h. nair, n.k. 12. majid, m.i.a. mansor, s.m. & navaratnam, v. 2008. typhonium flagelliforme inhibits cancer cell growth in vitro and induces apoptosis: an evaluation by the bioactivity guided approach. journal of ethnopharmacology, 118, pp.14-20. mohan, s., bustamam, a., ibrahim, 13. s., al-zubairi, a.s., & aspollah, m. 2008. anticancerous effect of typhonium flagelliforme on human t4-lymphoblastoid cell line cem-ss. research journal of pharmacology, 3, pp 449-456. 14.aziz, m.f., andrijono., & saifuddin, a.b. 2006. onkologi ginekologi. edisi 1. cet. 1. jakarta: yayasan bina pustaka sarwono prawirohardjo. h. 64-72. mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 22 no 2 page 96-102, july 2022 diagnostic value of gynecologic ultrasonography as a malignancy predictor in children's ovarian tumor ni made putri suastari1*, pande putu yuli anandasari1, putu patriawan1, ni nyoman margiani1, firman parulian sitanggang1, i gde raka widiana2 1 departement of radiology, faculty of medicine, universitas udayana, kampus bukit, jl. raya kampus unud jimbaran, south kuta, badung, bali, indonesia 2 departement of internal medicine, faculty of medicine, universitas udayana, kampus bukit, jl. raya kampus unud jimbaran, south kuta, badung, bali, indonesia date of article: received: 01 april 2022 reviewed: 20 june 2022 revised: 21 june 2022 accepted: 29 june 2022 *correspondence: putrisuastari@yahoo.co.id doi: 10.18196/mmjkk.v22i2.14389 type of article: research abstract: the incidence of ovarian malignancy is rare in children, with proportions between 16-55%. a gynecologic ultrasonography score is expected to increase accuracy and be able to diagnose malignancy earlier. by using a retrospective crosssectional study design, this study is a diagnostic test to assess ultrasonography examination as a predictor of malignancy with histopathological examination as the gold standard. the study subjects were 45 children admitted from july 2017 to december 2020. characteristics of the subjects were obtained from medical records, gynecologic ultrasonography images were accessed from pacs, and histopathological results were obtained from simars. the gynecologic ultrasonography images were scored by two observers using a scoring table. variables assessed consisted of inner wall structure, wall thickness, septa, morphology, tumor vascularization and ascites. the data will then be analyzed, determining the optimal cut-off score, sensitivity, specificity, accuracy, and positive and negative predictive value. auc value of 0.92 using a cut-off ≥14 obtained 15 malignant subjects and 1 benign subject and resulted in a sensitivity of 78.9%, specificity of 96.2%, a positive predictive value of 93.8%, a negative predictive value of 86.2%, and accuracy of 88.89%. it can be concluded that the diagnostic value of gynecologic ultrasonography examination as a predictor of malignant ovarian tumors in children was remarkable. keywords: children; gynecologic ultrasonography score; malignant ovarian tumor; malignancy predictor introduction ovarian malignancy is the world's third most common gynecologic malignancy after cervical cancer and uterine corpus.1 this tumor can affect women of all ages, including children, although the incidence is rare. worldwide, the incidence of ovarian tumors in children is about 2.6 cases per 100,000 girls per year, of which 50% are malignant masses.2 the proportion of malignant ovarian tumors in children varies between 1655% in different series. to this date, the exact cause of ovarian cancer is still unknown, especially in children.3 most ovarian cancer patients seeking medical care are at an advanced stage and are referred to as the silent killer. this delay in diagnosis will certainly cause various problems; hence it is important to detect malignant ovarian tumors as early as possible.4 thus far, histopathological examination results are still used as the gold standard for detecting malignancy of ovarian tumors. this examination is an invasive procedure involving examining intact tissue taken by biopsy or surgery. the examination uses a standard technique, paraffin cutting or frozen section, which has long been used and accepted and has high accuracy for clinical use, including gynecological disorders.5 one of the most appropriate preoperative diagnostic imaging modalities in children is ultrasonography. this examination is a non-invasive technique with high accuracy, relatively low cost, easy to | 97 find, real-time, mobile device, without radiation exposure and can be useful as a guide for action. however, in most cases, the extreme variation in the macroscopic characteristics of ovarian tumors sometimes makes it quite difficult to make a precise diagnosis from ultrasonography images and is highly operator-dependent. to overcome this limitation, it is recommended to use a scoring system based on ultrasonography images with values according to defined features and cut-off scores to categorize tumors as benign or malignant. in adult patients, many studies have been carried out on ultrasonography examination and scoring in determining the grade of malignant ovarian tumors.6 4 however, to date, similar data in children are still limited, and no scoring system has been developed through ultrasonography images. this study aims to seek the diagnostic value of gynecologic ultrasonography examination as a predictor of malignancy in pediatric ovarian tumors at sanglah hospital denpasar. with the ability to diagnose malignancy earlier, the referral process to more specialized fields is expected to be faster and have higher accuracy for optimal treatment to reduce morbidity and mortality rates and increase child life expectancy. material and method this research is a diagnostic test study to assess ultrasonography examination as a predictor of malignancy in pediatric ovarian tumors and histopathological examination as the gold standard, using a retrospective cross-sectional study design. the research subjects were 45 children gathered by consecutive sampling techniques and were sent to the radiology installation of sanglah hospital denpasar to undergo a gynecologic ultrasonography examination from july 2017 to december 2020. subject characteristics data were obtained from medical records in the form of child's age, age of menarche (categorized <12 years, 12 years, not menarche yet), nutritional status (categorized as undernourished, normal, overweight, obese), and family history of malignancy (categorized as yes or no). the gynecologic ultrasonography images were scored by two observers using a scoring table. each component of the scoring table indicates whether it is present or not, then given a value (yes = 1 and none = 0) multiplied by score weight based on references from several studies and literature to get a score and then add up each component so that a total score is obtained. variables assessed consisted of inner wall structure, wall thickness, septa, morphology, tumor vascularization and ascites. the findings of gynecologic ultrasonography examination and the weight of each score were as follows: the score of the structure of the inner wall of the tumor: regular or smooth (1), irregular with a thickness of ≤3 mm (2), papillary with a thickness of >3 mm (3) and could not be assessed because the tumor is almost entirely solid; tumor wall thickness score: thin ≤ 3 mm (2), >3 mm thick (3), and cannot be assessed because the tumor is almost completely solid (4); tumor septa score: no septa (1), thin septa ≤3 mm (2), and thick septa >3 mm (3); tumor morphology scores: unilocular cyst (1), unilocular solid (2), multilocular cyst (1), multilocular solid (2), and solid (3); tumor vascularity score: no vascularity (1), at the periphery of the mass (1), and mass internal vascularity (4); ascites score: no ascites (1) and with ascites (3). the results of the histopathological examination were categorized into malignant and benign. the data were then analyzed, namely the interobserver agreement with bland-almant, roc analysis, determining the optimal cut-off of the score as well as sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value and accuracy. interobserver agreement with bland-almant can be used to assess consistency and conformity in the visual assessment of quantitative data at two rates. afterward, a receiver operating characteristic (roc) analysis was performed to assess a diagnostic test's ability to detect the disease using the roc curve. assessment of the ability of a test was carried out using the area under curve (auc). the auc covers the entire area under the curve formed from all the sensitivity and 1-specificity coordinates. the auc value ranges from 0-1; the wider the auc is, the better the ability of a test to detect disease will be. the good ability of a test will be reached if the auc ≥ 0.7. in addition, roc analysis was also used to determine the cut point to determine the value of sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value and accuracy. result 45 pediatric patients with suspected malignant ovarian tumors were found during the study period. in subjects with malignant pa results, the dominant age of menarche was under 12 years old (57.9%), good nutritional status (79%) and no history of malignancy in the family (100%) with radiological findings including inner wall structure of the tumor was papillary with thickness >3 mm (52.6%), tumor wall thickness >3 mm (73.6%), septa thickness >3 mm (68.4%), solid tumor morphology (26.2%), internal vascular mass (73.6%) and ascites (84.2%). characteristics of research subjects and radiological features based on gynecologic ultrasonography scores can be seen in table 1. 98 | vol 22 no 2 july 2022 interobserver reliability test was obtained from the results of gynecologic ultrasonography scores as a predictor of malignancy by two radiologists. with the pearson correlation, an identical positive correlation value of 0.99 (p = <0.001) was obtained. using the bland-almant plot, the mean of observer a was 11.51 (sd±5.08), the mean of observer b was 11.51 (sd±5.07), and the mean difference was: 0.00 (sd±0.3); 95% ci: 0.59 0.59. in pitman's test, r: 0.04 and p: 0.77 (> 0.05). the distribution of the interobserver plots can be seen in figure 1, showing a good match between observers a and b. table 1. characteristics of research subjects and radiological features based on gynecologic ultrasonography scores with malignant (n=19) and benign (n=26) pa result characteristics malignant pa result n (%) benign pa result n (%) age of menarche <12 y.o ≥12 y.o not menarche yet 11 (57,9%) 6 (31,6%) 2 (10,5%) 17 (65,4%) 5 (19,2%) 4 (15,3%) nutritional status undernourished normal overweight obese 1 (5,3%) 15 (79%) 3 (15,8%) 0 (0%) 1 (3,9%) 25 (96,1%) 0 (0%) 0 (0%) history of malignancy in family yes none 0 (0%) 19 (100%) 2 (7,7%) 24 (92,3%) radiological findings inner wall structure regular or smooth irregular with thickness ≤3 mm papillary with thickness >3 mm it cannot be assessed because the tumor is almost completely solid 0 (0%) 4 (21%) 10 (52,6%) 5 (26,4%) 9 (34,6%) 11 (42,3%) 6 (23,1) 0 (0%) tumor wall thickness thin (≤3 mm) thick (>3 mm) it cannot be assessed because the tumor is almost completely solid 0 (0%) 14 (73,6%) 5 (26,4%) 2 (7,7%) 24 (92,3%) 0 (0%) tumor septa no septa thin septa (≤3 mm) thick septa (>3 mm) 5 (21%) 2 (10,5%) 13 (68,4%) 5 (19,2%) 14 (53,8%) 7 (27%) tumor morphology unilocular cyst unilocular solid multilocular cyst multilocular solid tumor solid 4 (21,1%) 3 (15,8%) 4 (21,1%) 3 (15,8%) 5 (26,2%) 12 (46,2%) 1 (3,8%) 12 (46,2%) 1 (3,8%) 0 (0%) tumor vascularization no vascularization at the periphery of the mass mass internal vascularization 4 (21,1%) 1 (5,3%) 14 (73,6%) 13 (50%) 10 (38,5%) 3 (11,5%) ascites no ascites with ascites 3 (15,8%) 16 (84,2%) 21 (80,8%) 5 (19,2%) | 99 figure 1. graph of difference and mean of observations between observers a and b (interobserver agreement bland-almant) based on the analysis using the roc curve, it was found that the area under the curve (auc) was wide, which was 0.92 (figure 2). furthermore, there is a report on each cut-off value's sensitivity and specificity, which can be seen in table 2. the optimal cut-off value is 14. figure 2. roc curve of gynecologic ultrasonography score as a predictor of malignant ovarian tumor in children (auc: 0.92; se: 0.04; ci 95% auc: 0.83-1.00). table 2. sensitivity dan specificity value, npp, npn, lr+, lrand accuracy on each cut-off for gynecologic ultrasonography score cut off sensitivity specificity npp npn lr+ lraccuracy ≥ 3 100.00% 0.00% 42.22% 0 1.00 42.22% ≥ 4 100.00% 7.69% 44.19% 100% 1.08 0 46.67% ≥ 5 100.00% 15.38% 46.34% 100% 1.18 0 51.11% ≥ 7 100.00% 19.23% 47.5% 100% 1.23 0 53.33% ≥ 8 100.00% 34.62% 52.78% 100% 1.52 0 62.22% ≥ 10 89.47% 61.54% 60.71% 88.23% 2.32 0.17 73.33% ≥ 11 84.21% 76.92% 66.67% 85.71% 3.64 0.20 80% ≥ 12 78.95% 88.46% 83.33% 85.12% 6.84 0.23 84.44% ≥ 13 78.95% 92.31% 88.23% 85.71% 10.26 0.22 86.67% ≥ 14 78.95% 96.15% 93.8% 86.2% 20,52 0.21 88.89% ≥ 15 73.68% 100.00% 100% 83.87% 0.26 88.89% ≥ 17 68.42% 100.00% 100% 81.25% 0.31 86.67% ≥ 18 52.63% 100.00% 100% 74.29% 0.47 80% ≥ 21 10.53% 100.00% 100% 60% 0.89 62.22% 100 | vol 22 no 2 july 2022 by using a cut-off ≥14, the number of patients with radiologically malignant ovarian tumors was 16, and 29 patients were benign. the validity test performed on the gynecologic ultrasonography score as a predictor of ovarian tumor malignancy in children showed a sensitivity of 78.9% (95% ci 54.4-93.9%), specificity of 96.2% (95%ci 80.4-99 .9%), the positive predictive value of 93.8% (95%ci 69.8-99.8%), the negative predictive value of 86.2% (95%ci 68.3-96.1%), and accuracy of 88.89% (table 3). table 3. validity analysis result of gynecologic ultrasonography score using optimal cut off as a predictor of malignant ovarian tumor in children discussion decision-making of the diagnosis of malignancy of ovarian tumors in children is still a challenge. a study stated that there was no difference in age between patients with benign ovarian tumors (16.3 ± 2.1 years) and malignant ovarian tumors (15.7 ± 2.5 years).7 in the group with malignant pa results, the majority of the age of menarche was at the age <12 years old, which is in line with the theory stating that earlier age of menarche can increase the risk of ovarian malignancy associated with the duration of exposure to the estrogen hormone.6 patients with good nutritional status dominated this study. it is supported by the study stating that there was no relationship or negative relationship between obesity and the risk of ovarian malignancy.7 in the results of this study, it was found that only 4.4% of subjects had a family history of malignancy. recent epidemiological studies have shown an interaction between genetic, environmental, and lifestyle factors that might significantly influence the pattern and trend of the incidence and mortality of ovarian tumor malignancies in children.2 in this study, the number of malignant histopathological results was less than benign. malignant ovarian tumors originating from germ cells were rare in children, with the proportion of malignancies only being 3-5%.8-11 the study findings supported the notion that the subjects with pa results of malignant ovarian tumors, the radiological findings based on gynecologic ultrasonography scores included: papillary inner wall structure with thickness >3 mm, tumor wall thickness >3 mm, septa thickness >3 mm, morphology solid tumor, internal vascular mass and ascites. ovarian tumors, including malignant lesions, are large lesions with a maximum diameter of 10 cm or larger, with or without solid components; solid lesions with irregular edges; solid components with papillary projections ≥3 mm originating from the cyst wall or septation; papillary projections ≥4, septal thickness >3 mm, color doppler with the flow in a solid component, presence of ascites, peritoneal mass or enlarged lymph nodes which are high-risk findings of malignancy.12-14 in another study, risks were grouped based on high-risk sonographic features, including masses with internal blood flow using the color doppler (76.5%), thick walls, thick septa, solid components or irregular or nodular areas in it 0(61.8%).15-18 based on the interobserver reliability test results between observers a and b, the mean difference in the results of gynecologic ultrasonography screening was 0.00 (sd±0.3) with 95% ci: -0.59 – 0.59, the r value was 0, 05 and a p-value of 0.77. this analysis found evidence for good conformity and high consistency between observers a and b in interpreting gynecologic ultrasonography images; an account of the interpretation was carried out by two radiology specialists who worked at the same institution, namely at the tertiary level, which was a tertiary hospital where referral of patients with difficult and complex cases. the roc curve showed an auc value of 0.92, classified as very good. it indicated that the accuracy of gynecologic ultrasonography scores as a predictor of malignant ovarian tumor in children was very good. the closer the auc value to 1 is, the better the performance of the diagnostic test will be. in this study, the optimal cut-off value of gynecologic ultrasonography scores as a predictor of ovarian tumor malignancy in children was 14 with a sensitivity of 78.9%, specificity of 96.2%, a positive predictive value of 93.8%, a negative predictive value of 86.2%, lr (+) 20.52, lr (-) 0.21 and accuracy of 88.89%. high specificity and good sensitivity resulted in high positive and negative predictive values. in a scoring system using ultrasonography examination in children aged <19 years old, a depriest score <7 (based on the components of lesion volume, cyst wall, and septal structure) had a sensitivity of 88% and a specificity of 95%. while an variable pa result sensitivity specificity npp npn lr+ lraccuracy malignant benign (95%ci) (95%ci) (95%ci) (95%ci) score ≥ 14 15 1 78.9% (54.493.9%) 96.2% (80.499.9%) 93.8% (69.899.8%) 86.2% (68.396.1%) 20.52 0.21 88.89% < 14 4 25 | 101 ueland index score <7 (based on the component of lesion volume and tumor morphology) had a sensitivity of 90% and a specificity of 92%, suggesting a benign lesion.19-21 the pretest probability in this study found that the prevalence of malignant ovarian tumors in children was 42%. after using the ultrasonography score, the ability to diagnose malignant ovarian tumor (posttest probability) increased to 93.8%. based on this result, it was found that the diagnosis rate of malignant ovarian tumors in children increased after using an ultrasonography score with a difference of 50%. this research has several limitations. first, as it is carried out at a tertiary level hospital center which is the highest referral center, it is indicative that this study cannot describe the diagnostic function of ultrasound examinations in other health care units. second, this research is a retrospective study, indicating that the data and results of gynecological ultrasound examinations taken from existing medical record data may not describe all the predictors needed to evaluate the presence of malignancy in ovarian tumors. suggestions from this research are as follows; first, this gynecological ultrasound score can be used accurately as a predictor of malignancy of ovarian tumors in children, and second, with a cut-off value of 14, this gynecological ultrasound score can be used to confirm the diagnosis of malignancy of ovarian tumors in children. conclusion gynecologic ultrasonography score included inner wall structure, tumor wall thickness, tumor vascularization and ascites with the best cut-off value at ≥14, which resulted in a very good diagnostic ability as a predictor of malignant ovarian tumor in children. conflict of interest the authors declare that there is no conflict of interest regarding the publication of this paper. references 1. ferlay j, soerjomataram i, ervik m, dikshit r, eser s, mathers c, et al. cancer incidence and mortality worldwide: iarc cancer base [internet]. 2018. [cited 2020 september 4]. available from: http://globocan.iarc.fr 2. mahadik k. childhood ovarian malignancy. the journal of obstetrics and gynecology of india. 2014;64(2):91–94. https://doi.org/ 0.1007/s13224-014-0533-4 3. taskinen s, fagerholm r, lohi j, taskinen m. pediatric ovarian neoplastic tumors: incidence, age at presentation, tumor markers and outcome. 2015; 94:425–429. https://doi.org/10.1111/aogs.12598 4. rasjidi i, muljadi r, cahyono k. imaging ginekologi onkologi. 2012. jakarta: sagung seto. 5. zhang z, zohre m, azita t, safoura t, hamid s. ovarian cancer in the world: epidemiology and risk factors. international journal of women's health. 2014; 11:287-299. http://doi.org/10.2147/ijwh.s197604 6. geomini p, kruitwagen r, bremer gl, cnossen j. the accuracy of risk scores in predicting ovarian malignancy: a systematic review. obstet gynecol. 2015; 113: 384-94. http://doi.org/10.1097/aog.0b013e318195ad17 7. hatzipantelis es, dinas k. ovarian tumors in childhood and adolescence. european journal of gynaecological oncology. 2017; 31(6):616-620. 8. ameye l, valentin l, testa ac, van holsbeke c, domali e , van huffel s, et al. a scoring system to differentiate malignant from benign masses in specific ultrasonography-based subgroups of adnexal tumors. ultrasonography obstet gynecol. 2012; 33(1): 92-101. http://doi.org/10.1002/uog.6273 9. daniilidis a, karagiannis v. epithelial ovarian cancer, risk factors, screening and the role of prophylactic oophorectomy. hippokratia. 2012;11(2):63-66 10. potdar n, rekha n, christina a. management of ovarian cysts in children and adolescents. royal college of obstetricians and gynaecologists. 2019; 22: 107-114. https://doi.org/10.1111/tog.12648 11. renaud ej, islam s, danielle, cameron, robert lg, regan fw. ovarian masses in the child and adolescent: an american pediatric surgical association outcomes and evidence-based practice committee systematic review. journal pediatric surgery; 2018: 1-9. http://doi.org/10.1016/j.jpedsurg.2018.08.058 12. timmerman d, testa ac, bourne t, ameye l, jurkovic d, van holsbeke c, et al. simple ultrasonography based rules for the diagnosis of ovarian cancer. ultrasonography obstet gynecol. 2008; 31: 681-90. http://doi.org/10.1002/uog.5365 13. twickler dm, moschos e. ultrasound and assessment of ovarian cancer risk. american roentgen ray society. 2012;194:322-329. http://doi.org/10.2214/ajr.09.356 http://globocan.iarc.fr/ https://doi.org/%200.1007/s13224-014-0533-4 https://doi.org/10.1111/aogs.12598 http://doi.org/10.2147/ijwh.s197604 http://doi.org/10.1097/aog.0b013e318195ad17 http://doi.org/10.1002/uog.6273 https://doi.org/10.1111/tog.12648 https://doi.org/10.1016/j.jpedsurg.2018.08.058 https://doi.org/10.1002/uog.5365 http://doi.org/10.2214/ajr.09.356 102 | vol 22 no 2 july 2022 14. depoers c, martin fa, timoh kn, morcet j, proisy m, henno s, et al. a preoperative scoring system for adnexal mass in children and adolescents to preserve their future fertility. american society for pediatric and adolescent gynecology. 2019;32:57-63. https://doi.org/10.1016/j.jpag.2018.08.009 15. stankovic zb, bjelica a, djukic mk, savic d. value of ultrasonographic detection of normal ovarian tissue in the differential diagnosis of adnexal masses in pediatric patients. ultrasound obstet gynecol 2012; 36: 88–92. https://doi.org/10.1002/uog.7557 16. jung si. ultrasonography of ovarian masses using a pattern recognition approach. korean society of ultrasound in medicine. 2015;34(3):173-182. https://doi.org/10.14366/usg.15003 17. justyna lj, baglaj m. selecting treatment method for ovarian masses in children – 24 years of experience. journal of ovarian research. 2017,1-9. https://doi.org/10.1186/s13048-017-0353-0 18. heo sh, kim jw, shin ss, jeong si, lim hs, choi yd, et al. review of ovarian tumors in children and adolescents: radiologicpathologic correlation. radiographics. 2014; 34:2039–2055. https://doi.org/10.1148/rg.347130144 19. ertas s, vural f, tufekci ec, ertas ac, kose g, aka n. predictive value of malignancy risk indices for ovarian masses in premenopausal and postmenopausal women. asian pacific journal of cancer prevention. 2016;17(4):2177-2183. http://doi.org/10.7314/apjcp.2016.17.4.2177 20. zhou l, xuan z, wang y. diagnostic value of ultrasound score, color doppler ultrasound ri and spiral ct for ovarian tumors. oncology letters. 2019;17:5499-5504. http://doi.org/10.3892/ol.2019.10215 21. asavoaie c, fufezan o, cosarca m. ovarian and uterine ultrasonography in pediatric patients. pictorial essay. med ultrason. 2014;16(2):160-167. http://doi.org/10.11152/mu.2013.2066.162.ca1of2 https://doi.org/10.1016/j.jpag.2018.08.009 https://doi.org/10.1002/uog.7557 file:///c:/users/user/downloads/%20https:/doi.org/10.14366/usg.15003 https://doi.org/10.1186/s13048-017-0353-0 https://doi.org/10.1148/rg.347130144 http://doi.org/10.7314/apjcp.2016.17.4.2177 http://doi.org/10.3892/ol.2019.10215 http://doi.org/10.11152/mu.2013.2066.162.ca1of2 5 mutiara medika edisi khusus vol. 8 no. 1: 05 10, april 2008 efek penggunaan minyak kelapa murni yang beredar di pasaran terhadap nafsu makan tikus (rattus norvegicus) effect of marketed virgin coconut oil related to rat (rattus norvegicus) appetite febri akhmad belinda1, sri nabawiyati nurul makiyah2 1fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta, 2bagian histologi fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta abstract recently, obesity being public’s enemy which makes people try to against it effectively, one of the way is by consuming virgin coconut oil to press on appetite. whether virgin coconut oil can press on rat’s appetite, needs to be studied. objectives of this research is to determine effect of market products of virgin coconut oil related to white rat appetite design of this research is an experimental research in vivo on animal test which uses 20 rats winstar strain 2 months age, 138-212 gram body weight as subject. rats divided into 4 groups ; 3 groups as treatment and 1 group as control. treatment group given virgin coconut oil from 3 different products per oral in 30 days in converse dosage of human 50cc/hari x 0,018 x rats bodyweight / 200 gr. then measuring the bodyweight each 5 days and measuring the pigswill everyday in 30 days. result of this research showed that the bodyweight in totally and specially the feed intake in treatment groups lower than control group. it could concluded that virgin coconut oil can decrease the appetite of white rat (rattus norvegicus) which can be measured from the bodyweight in totally and specially the feed intake. keywords: appetite, virgin coconut oil, abstrak akhir-akhir ini obesitas menjadi musuh masyarakat, dimana kemudian masyarakat berlombalomba untuk melawannya dengan berbagai cara, salah satunya dengan mengkonsumsi minyak kelapa murni untuk menekan nafsu makan. apakah minyak kelapa murni dapat menekan nafsu makan pada tikus putih perlu diteliti. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek penggunaan minyak kelapa murni (vco) yang beredar di pasaran desain penelitian adalah eksperimental laboratori in vivo pada hewan uji, menggunakan 20 ekor tikus putih (rattus norvegicus) galur wistar usia ± 2 bulan dengan berat antara 138-212 gram. dibagi menjadi 4 kelompok dengan 3 kelompok perlakuan dan 1 kelompok kontrol. kelompok perlakuan diasup minyak kelapa murni dengan 3 merek berbeda per oral setiap hari selama 30 hari dengan dosis konversi dari manusia 50cc/hari x 0,018 x berat badan tikus/ 200 gr. kemudian ditimbang berat badannya tiap 5 hari sekali dan ditimbang sisa pakannya setiap hari. setelah 30 hari kemudian dianalisa. febri akhmad belinda, sn nurul makiyah, efek penggunaan minyak kelap murni .............................. 6 pendahuluan obesitas atau kegemukan merupakan masalah yang berkaitan dengan banyak nilai dalam kehidupan seseorang. obesitas dianggap hal yang menggambarkan buruknya tingkat kepedulian seseorang terhadap dirinya sendiri serta dianggap menggambarkan nilai yang tidak estetik dalam hal penampilan. oleh karena itu banyak hal yang dilakukan masyarakat untuk menghindari atau bahkan mengurangi kegemukan tersebut, meskipun pandangan obesitas antara masyarakat awam dengan bidang kesehatan tidaklah sama, dari olahraga yang teratur, pantangan makan, diet, hingga yang akhir – akhir ini sedang menggejala yaitu menggunakan makanan tambahan untuk mengurangi nafsu makan dan salah satu suplemen makanan yang digunakan adalah minyak kelapa murni atau sering disebut dengan vco (virgin coconut oil). minyak kelapa murni saat ini banyak dianjurkan dan dipromosikan sebagai supplemen yang sehat untuk menurunkan berat badan meskipun memiliki kadar lemak jenuh yang tinggi. alasan rasionalnya adalah bahwa lemak dalam minyak kelapa murni adalah dalam bentuk trigliserida rantai sedang (mct : medium-chain triglyceride). mct tidak disimpan dalam tubuh kita sebagai lemak seperti halnya minyak pada trigliserida rantai panjang (lct : long-chain triglyceride). mct juga berguna untuk meningkatkan metabolisme basal dan bersifat mengenyangkan sehingga mempercepat turunnya berat badan pada waktu mct dipakai untuk menggantikan lct pada waktu diet. hasil penelitian menunjukkan bahwa tikus yang diberi perlakuan dengan minyak kelapa murni mempunyai intake pakan dan berat badan lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol. dapat disimpulkan bahwa minyak kelapa murni dapat menurunkan nafsu makan tikus putih (rattus norvegicus) diukur dari intake pakan dan berat badan secara menyeluruh. kata kunci : minyak kelapa murni, nafsu makan namun beberapa ahli juga menyatakan bahwa diet minyak kelapa murni mungkin baik untuk penurunan berat badan tapi secara pesimis mereka menyangsikan keberhasilannya disamping itu diet minyak kelapa juga berarti konsumsi terhadap kolesterol bertambah dan meningkatkan resiko terjadinya penyakit jantung koroner, terlebih bila digunakan dalam jangka waktu lama.1 meskipun demikian banyak opini masyarakat yang menyatakan bahwa setelah menggunakan minyak kelapa murni dalam jangka waktu lama mereka menyatakan bahwa mereka berhasil menurunkan berat badan mereka, dengan asumsi menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi karena rasa kenyang. oleh karena itu perlu diteliti tentang pengaruh penggunaan minyak kelapa murni yang beredar di pasaran terhadap nafsu makan dan berat badan tikus putih. bahan dan cara alat infusa, alat-alat gelas, kandang tikus, timbangan, sonde oral tikus. bahan penelitian adalah minyak kelapa murni (vco : virgin coconut oil) dari 3 produsen. subyek penelitian adalah duapuluh ekor tikus putih (rattus norvegicus) galur winstar jantan berumur 2 bulan dengan berat 138-212 gram variabel bebas adalah infusa minyak kelapa murni (vco : virgin coconut oil). variabel tergantung adalah jumlah pakan tikus, berat badan. variabel terkendali adalah subyek penelitian, 20 ekor tikus putih (rattus norvegicus) galur winstar jantan berumur 2 bulan dengan berat 138-212 7 mutiara medika edisi khusus vol. 8 no. 1: 05 10, april 2008 gram, faktor genetik menggunakan tikus satu galur yaitu galur winstar dan dilakukan randomisasi dalam menentukan sampel, kondisi kandang dan pakan yang sama. lokasi penelitian adalah di laboratorium farmakologi fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta dan laboratorium histologi fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta. hewan uji dibagi menjadi 4 kelompok, masing-masing kelompok ekor tikus kelompok a adalah kelompok perlakuan vco merek a dengan cara hewan uji diberi vco merek a dengan dosis konversi dari manusia 50cc/hari x 0,018 x berat badan tikus/ 200 gr 2, per oral setiap hari selama 30 hari. kelompok b adalah kelompok perlakuan vco merek b dengan cara hewan uji diberi vco merek b dengan dosis konversi dari manusia 50cc/hari x 0,018 x berat badan tikus/ 200 gr 2, per oral setiap hari selama 30 hari. kelompok c adalah kelompok perlakuan vco merek c dengan cara hewan uji diberi vco merek c dengan dosis konversi dari manusia 50cc/ hari x 0,018 x berat badan tikus/ 200 gr 2, per oral setiap hari selama 30 hari. kelompok d adalah kelompok kontrol negatif tanpa perlakuan sebelum diberi perlakuan masingmasing tikus diaklimatisasikan dengan kondisi penelitian selama 1 minggu. pada awal percobaan tikus ditimbang dan dikandangkan sesuai kelompoknya. kelompok 1 yaitu kontrol negatif tanpa perlakuan apa-apa, sedangkan tikus kelompok 2, 3 dan 4 diberi minyak kelapa murni (vco) dari 3 produsen sesuai dengan kelompoknya dengan dosis konversi dari penggunaan pada manusia sehat dengan berat badan 70 kg sebanyak 50cc/hari . minyak kelapa murni diberikan setiap hari berturut-turut selama 30 hari. pemberian pakan ditimbang 30 gram per tikus setiap hari. sisa pakan ditimbang setiap hari. berat badan tikus ditimbang setiap 5 hari sekali selama percobaan. setelah 30 hari perlakuan, berat badan tikus dievaluasi beserta berat sisa pakan selama perlakuan. hasil gambar 1: perbandingan berat badan tikus putih (rattus norvegicus) antara kontrol dengan perlakuan (p1, p2, p3) menggunakan vco dari 3 merek yang berbeda 0 50 100 150 200 250 300 350 1 2 3 4 5 6 7 5 hari kebe ra t r at ara ta (g r) p1 p2 p3 kontrol febri akhmad belinda, sn nurul makiyah, efek penggunaan minyak kelap murni .............................. 8 gambar 2: perbandingan selisih berat badan tikus putih (rattus norvegicus) antara kontrol dengan perlakuan ( p1, p2, p3 ) menggunakan vco dari 3 merek yang berbeda gambar 3: perbandingan intake pakan tikus putih (rattus norvegicus) antara kontrol dengan perlakuan ( p1, p2, p3 ) menggunakan vco dari 3 merek yang berbeda uji dalam darah (mg/dl) kode sampel ldl hdl kolesterol p1 17.4 9.9 60.98 p2 17.42 11.32 64.58 p3 17.58 10.98 67.84 kontrol 13.98 11.9 57.02 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 1 2 3 4 5 6 5 hari ke b er at s el is ih ( g r) p1 p2 p3 kontrol 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00 18.00 20.00 1 2 3 4 5 6 5 hari ke-in ta ke p ak an (g r) kontrol p1 p2 p3 tabel 1: perbandingan kadar (mg/dl) ldl, hdl, dan kolesterol tikus putih (rattus norvegicus) antara kontrol dengan perlakuan ( p1, p2, p3) menggunakan vco dari 3 merek yang berbeda 9 mutiara medika edisi khusus vol. 8 no. 1: 05 10, april 2008 diskusi hasil dari percobaan dan penghitungan diatas menunjukkan bahwa meskipun antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan sama-sama mengalami kenaikan berat badan namun tetap dapat dililihat bahwa kelompokkelompok perlakuan, mengalami kenaikan berat badan serta konsumsi pakan yang lebih terkendali daripada kelompok kontrol yang tidak diberi asupan virgin coconut oil dan dari kelompok – kelompok perlakuan tersebut didapatkan bahwa kelompok p2 merupakan kelompok yang paling kecil berat badan maupun intake pakannya namun tidak demikian dengan kadar kolesterolnya serta selisih berat badannya. di lain pihak kelompok p1 yang seharusnya diunggulkan untuk mendapatkan angka terkecil baik dalam kenaikan berat badan maupun intake pakan ternyata berada di bawah kelompok p2, namun demikian kadar kolesterolnya merupakan yang terendah diantara kelompok – kelompok perlakuan yang lain. sedangkan kelompok p3 menunjukkan hasil berat badan tertinggi namun selisih berat badan terendah diantara kelompok lainnya serta intake pakannya menduduki peringkat kedua dalam kenaikannya dan kadar kolesterolnya menduduki peringkat pertama dalam hal tingginya kandungan dalam darah. virgin coconut oil dapat menurunkan nafsu makan akibat dari kandungan rantai minyaknya yang berupa mct (medium chain triglyseride), dimana mct dapat menimbulkan sensasi rasa kenyang. beberapa penelitian menunjukkan bahwa asam laurat (lemak yang paling banyak terkandung dalam vco dan berupa mct) memiliki efektivitas yang sangat tinggi dalam menstimulasi pelepasan peptida yy dan menekan sekresi ghrelin. penekanan ghrelin biasanya akan menyebabkan penurunan tingkat rasa lapar sehingga nafsu makan menjadi berkurang atau bahkan menurun.3 dari data diatas terlihat bahwa hasil pengukuran dan analisa data kelompok p2 yang menggunakan vco merek b mengungguli kelompok p1 yang menggunakan vco merek a yang dipasaran sangat diunggulkan. banyak hal yang dapat menyebabkan hal ini terjadi, diantaranya adalah proses pengolahannya. kemungkinan terbesar adalah pada virgin coconut oil kelompok b dalam proses pengolahannya mengalami hidrogenasi sehingga minyak yang terkandung dalam virgin coconut oil berubah stabilitasnya. hidrogenasi adalah proses sintetik yang menyebabkan stabilitas tetapi menghasilkan trans-asam lemak (asam lemak palsu) yang berbahaya. trans fatty acid dapat terbentuk secara alamiah karena proses penyulingan dari minyak.lemak jenuh berpotensi untuk meningkatkan kadar kolesterol dalam darah.4 hal ini dapat terjadi akibat kurang terjaganya kualitas vco dalam pengolahannya terutama dalam fase pemanasannya serta penyimpanannya sehingga mengakibatkan vco menjadi terhidrogenasi. standar produk akhir dari kopra adalah minyak kelapa, sehingga harus melalui proses-proses refinery / pembersihan / penyulingan / penyaringan, pemutihan / bleaching dan deodorisasi (menghilangkan bau). proses-proses tersebut membutuhkan panas tinggi dan juga senyawa kimia (misalnya larutan untuk ekstraksi).5 peningkatan kadar kolesterol dalam hewan uji dapat disebabkan pula karena kurangnya kandungan asam linoleat dalam tubuh hewan uji disamping selain karena hidrogenasi. dari percobaan – percobaan terhadap hewan uji yang diteliti, 27% dari 119 penelitian yang diobservasi mengalami kenaikan kadar kolesterol akibat terhidrogenasinya minyak kelapa dan kurangnya suplementasi asam linoleat yang mengakibatkan defisiensi asam lemak yang esensial.6 dari hal – hal tersebut dapat kita ambil pemikiran utamanya bahwa ketika mengalami hidrogenasi maka vco menjadi rantai yang stabil dan rantai ini memegang peranan dalam penekanan rasa lapar yang menjdi lebih kuat daripada rantai yang tidak mengalami hidrogenasi, namun efek sampingnya adalah vco yang mengalami hidrogenasi ini akan menyebabkan kadar febri akhmad belinda, sn nurul makiyah, efek penggunaan minyak kelap murni .............................. 10 kolesterol darah pengkonsumsinya meningkat. kemungkinan terjadinya hidrogenasi juga dapat terjadi ketika vco berada dalam laboratorium, penyimpanan yang kurang tepat ataupun penutupan tempat yang kurang sempurna dapat pula menyebabkan vco secara lambat laun akan mengalami hidrogenasi. hasil hasil percobaan tersebut kemudian diuji data dengan pengolahan anova dan uji t, baik dari berat badan maupun asupan makanan yang telah diolah menjadi konsumsi rata-rata tiap tikus dalam tiap kelompok. hasil dari pengolahan data tersebut menunjukkan bahwa ada perbedaan efek vco terhadap nafsu makan tikus putih (rattus norvegicus) bila dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak diberi vco dan diantara kelompok perlakuan sendiri juga terdapat perbedaan efek yang berpengaruh pada nafsu makan hewan uji dimana masing – masing kelompok perlakuan diberi vco dari 3 merek yang berbeda yang selama ini beredar di pasaran dan dikonsumsi oleh banyak konsumen. kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa nafsu makan tikus putih (rattus norvegicus) setelah mengkonsumsi vco dari 3 merek yang berbeda mengalami penurunan, diukur dari intake pakan yang dikonsumsi dan kenaikan berat badan yang dilihat secara menyeluruh daftar pustaka 1. nazario, b. (2006). coconut oil : diet miracle or fat? diakses 27 juli 2006,dari http:// www.webmd.com 2. ngatidjan, (1991). petunjuk laboratorium: metode laboratorium dalam toksikologi. yogyakarta: pusat analisa bioteknologi universitas gadjah mada 3. anonim. (2006). appetite. wikipedia. diakses 5 september 2006, dari http:// en.wikipedia.org/wiki/appetite 4. anonim. (2006a). kelapa. wikipedia. diakses 9 september 2006, dari http:// id.wikipedia.org/wiki/kelapa 5. weil,a. (2003). is coconut oil good for you? diakses 31 juli 2006, dari http:// health.yahoo.com/ate/drweil/alldaily/ 2 0 0 3 / 1 2 / 316479_ylt=av_uebfpv.ukdrun9 6. dayrit, c.s., (2003). coconut oil: atherogenic or not? philipine journal of cardiology. diakses 15 desember 2006, dari http:// w w w.coconutresearchcenter.org/ article%20032305.pdf mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 22 no 2 page 115-123, july 2022 analysis of post-immunization incidence of covid-19 vaccine in health personnel in mataram city yul khaidir*, sastrawan sastrawan, lalu sulaiman health administration, universitas qamarul huda badaruddin bagu, turmuzi badrudin, bagu, praya, central lombok regency, west nusa tenggara, indonesia date of article: received: 23 december 2021 reviewed: 20 june 2022 revised: 22 july 2022 accepted: 26 july 2022 *correspondence: yunk.kh@gmail.com doi: 10.18196/mmjkk.v22i2.13466 type of article: research abstract: this study aims to analyze the post-immunization co-occurrence or side effects of the covid-19 vaccine on health personnel in mataram city. this study is qualitative descriptive research. the informants in this study were 39 health personnel in the city of mataram. the number of samples was determined using snowball sampling, which stopped when the data were completed. the inclusion criteria included health personnel who had received the covid-19 vaccination. primary data were obtained from direct interviews and questionnaires using google forms. the results of this study indicated that not all health personnel experienced side effects after vaccination. in the 1st vaccine, 26 (56.41%) people experienced side effects, while 13 (43.59%) did not. the side effects experienced included drowsiness in 19 (37.25%) people, aches in 12 (23.53%) people, dizziness in 4 (7.84%) people, and mild fever in 7 (13.73%) people. in the 2nd vaccine, only 18 (50%) people experienced side effects. 11 (44.00%) felt drowsy, 4 (16.00%) had aches, and 5 (20.00%) had dizziness. the side effects experienced were classified as mild, so they did not require intensive and self-limited treatment. keywords: adverse incidence; covid-19; health personnel; post-immunization, vaccines introduction the world health organization (who) has declared the covid-19 outbreak a pandemic1. until february 28, 2021, there were 1,334,634 cases recorded in indonesia, 36,166 of which died, 1,142,703 cases were declared cured, and 155,765 were active or still being treated.2 since it was declared a pandemic, various steps and efforts have been taken to control the spread of this outbreak, one of which is the discovery of covid-19 drugs and vaccines that various countries have intensified.3 there are at least 12 types of covid-19 vaccines currently conducting phase three clinical trials worldwide.4 the latest technology has been prepared to accelerate vaccine production.5 clinical trials of vaccine effectiveness and safety involve thousands of volunteers. as a result, several vaccine seeds have received emergency use authorization. the indonesian government has taken various steps to tackle and prevent the further spread of covid19 cases.6 the government's concrete steps include forming a task force (satgas), limiting community social activities, limiting community activities, socializing health protocols (prokes), spraying disinfectants and various other efforts, including the latest one is to carry out vaccinations in stages by bringing in the covid19 vaccine from abroad as a measure to protect the public. the vaccination process must be accelerated because the virus has infected many respondents, including children.7 the government plans to have four stages of giving vaccines to priority groups. at least the four stages will be completed in fifteen months. in the first stage, the main targets are health personnel.8 this group is a top priority because they are considered the most vulnerable to contracting covid-19. the second priority in the vaccination program is public servants and the elderly. in the third and fourth stages, the targets are respondents with a high risk of infection or vulnerability to covid-19 transmission regarding geospatial and socio-economic aspects. at this stage, the availability of vaccines and the cluster approach become one of the main considerations.9 116 | vol 22 no 2 july 2022 based on the mataram city health office records, 7,053 health personnel are the priority targets of phase i vaccination activities starting on january 14, 2021. this number also includes supporting staff working in health facilities. however, amidst the government's incessant efforts to carry out covid-19 vaccination as a step to protect the community from the covid-19 pandemic, not a few respondents are still hesitant and even raise anti-vaccination respondents.10 it includes health personnel themselves. moreover, the public has more doubts about several positive confirmed cases after receiving the vaccine.11 one of the causes of the emergence of the rejection of vaccination is the number of inaccurate news or hoaxes about covid-19.12 the emergence of this rejection cannot be separated from the role of the media in disseminating information related to the covid-19 vaccine.13 it needs serious attention because most of them are hoax information.14 of course, this information cannot be accounted for and cannot be trusted.15 moreover, the corona virus is still new, and the vaccine that will be given is also new, making it easier for the public to be led through the incorrect information.16 undeniably, most immunization actions have side effects, or post-immunization adverse events (aefi).17 this includes follow-up events after the covid-19 vaccination. according to one study, each individual has different side effects after vaccination.18 some experience severe, moderate or mild side effects, and others even experience no side effects. based on this description, researchers as health personnel working at the mataram ntb city health office are interested in researching post-immunization adverse events or the side effects of the covid-19 vaccine that may arise in health personnel and supporting staff working in health care facilities (fasyankes) ) which is a priority target for phase i vaccination in mataram city. the research results are expected to be positive information for the community and can be used as a reference in future research. in particular, this study aims to discover how and what side effects are felt by health personnel in mataram city after receiving the covid-19 vaccine. material and method this research is descriptive and qualitative. it is included in the qualitative type because it seeks to explore the phenomena that occur in a society. the phenomenon explored in this study was a side effect on health personnel in the city of mataram. the research design used a descriptive survey method. through descriptive surveys, the picture of phenomena that occur in a society can be described clearly. this research was conducted in february-march 2021 in mataram city, west nusa tenggara. this research has been approved by the research and community service institution number: 25/lppm/uniqhba/ii/2021. the number of samples was determined using snowball sampling stopped when the data had reached the saturation point (repeated data). the inclusion criteria in this study were health personnel who had received the covid-19 vaccination. in this study, there were no categories that differentiated gender. men and women have equal opportunities to become research respondents. initially, 10 health personnel were interviewed, then expanded to other health personnel until comprehensive information was found on the studied problems. there were 39 participants in this study. the research procedure began with problem identification, determining research samples, compiling instruments, collecting data, processing data, presenting data, and drawing conclusions. the data obtained in the form of descriptive data were then grouped according to predetermined criteria. data analysis was carried out interactively and continuously until complete so that the data were saturated. this analysis consisted of 3 main aspects: data reduction, data presentation, and conclusion/verification. result the informants in this study were 39 health personnel who had received the covid-19 vaccine. each health agency personnel was randomly selected to be a respondent. these health agencies included health office (16 people), puskesmas (16 people), uptd health pharmacy installation (5 people), and uptd health laboratory (2 people). based on gender, the informants consisted of 16 males and 23 females. there were two types of data used in this study. the first data was primary, and the second data was supporting data. primary data were obtained from direct interviews at the vaccination site and a questionnaire with an open-ended question format using google form. supporting data or secondary data were obtained from the mataram city health office. supporting data were obtained from the health office in the form of data on health personnel who had received vaccinations. this data was crucial because it determined the credibility of health personnel as research respondents. health personnel who had not been vaccinated could not be selected as research respondents. | 117 the first stage of this research was to collect data from informants who had received both complete vaccines (vaccine i and ii) and incomplete vaccines (only vaccine i). in the following, the informant's vaccination status can be presented. table 1. informant vaccination status category total % complete vaccine* incomplete vaccine 36 3 92.31 7.69 total 39 100.00 * have received 2 vaccinations table 1 shows that the number of informants who have not received the complete vaccine is 3 participants, while the number of informants who have received the complete vaccine is 36. the consequence is that as many as 3 informants did not take their vaccination experience data because they had not participated in the second vaccine. therefore, data on vaccination ii was only taken from 36 health personnel/informants. the experience of vaccines from health personnel was obtained through the surveys and interviews presented in figure 1. figure 1. the percentage of respondents experiencing side effects of vaccination based on figure 1, 56.41% or 26 health personnel experienced side effects after vaccination, while 43.59% or 13 respondents did not experience side effects. in the second vaccine, the number of health personnel who experienced side effects is the same as those who did not experience side effects. each of them is 50% or 18 respondents. the figure shows that not all respondents experienced side effects after vaccination. side effects are more common after the first vaccine. however, the number of respondents who experienced side effects was insignificant. most respondents admitted that they were anxious before the vaccine, which impacted the emergence of post-vaccination side effects. in addition, some respondents claimed to be unwell before the vaccine, so they experienced the first post-vaccine reaction. after the vaccine, both respondents experienced fewer side effects. the decrease in respondents experiencing side effects after the second vaccine was caused by the increased immunity after the first vaccine and the decreased level of anxiety experienced by respondents. each informant experienced a different effect after vaccination. figure 2 shows the types of side effects felt by the informants after vaccination i. 118 | vol 22 no 2 july 2022 figure 2: types of side effects in vaccine i based on figure 2, there are 9 types of side effects experienced by health personnel after the vaccination i. the most common side effects experienced were drowsiness (37.26%), aches (23.53%), mild fever (13.73%), dizziness (7.74%), flu and hunger 5.88% each, nausea, fatigue and eye pain 1.96% each. the types of side effects experienced by health personnel in vaccine ii were not as many as in vaccine i. only 6 types of side effects were found in vaccine ii. figure 3 shows the percentage of side effects experienced by health personnel on vaccine ii. based on figure 3, types of side effects experienced by health personnel include drowsiness (44%), dizziness (20%), aches (16%), nausea (12%), flu and fatigue 4% each. figure 3. types of side effects in vaccine ii each informant takes a different time to feel the side effects after vaccination. figure 4 shows the duration of the appearance of symptoms of side effects from the time of getting vaccinated. | 119 figure 4. the duration between vaccines and symptoms of side effects based on the diagram in figure 4, it can be seen that there are 30.77% of health personnel who have experienced side effects 30 minutes after the vaccine. 53.85% of health personnel only experienced side effects after 30 minutes in 24 hours after the vaccine, and there are 15.38 % who just felt the side effects after 24 hours. a follow-up interview was conducted to determine how long the respondents felt the side effects. the interviews showed variations in time related to how long the side effects lasted. the average side effects felt lasted between one to three days. however, in some sensitive people, these side effects can appear more severe, which was up to seven days. it depends on the type of vaccine given. however, if these side effects are treated properly, these side effects are not dangerous and can be cured in a short time unless other medical conditions make them worse. respondents who experienced severe post-vaccination symptoms were health personnel whose health condition was not good when vaccinated, so they experienced reactions when vaccinated. there are various ways to eliminate the side effects of vaccination. the informants did overcome the side effects by taking rest, taking medicine, and compressing. in addition, some informants only allowed side effects to heal by themselves. table 3 presents a survey of informants' behavior to overcome post-vaccination side effects. table 2. the way to deal with side effects form of treatment total percentage rest 17 65.38 take medicine 4 15.38 compress 1 3.85 sport 1 3.85 no treatment 3 11.54 26 100 table 3 shows that not all informants gave special treatment to eliminate the side effects of vaccination. at least 11.54% of informants only let these side effects. however, most informants gave special treatment to eliminate the perceived side effects, including taking rest (65.38%), taking medicine (15.38%), giving compresses and exercising each at 3.85%. discussion health and support personnel for health care facilities are the front lines in dealing with various health problems during the current coronavirus (covid-19) pandemic. the role of health personnel is crucial in overcoming health problems, especially problems that can potentially cause outbreaks. health personnel plays an important role in preventing, controlling and eradicating infectious diseases, health promotion activities, case finding and risk factor control. the health and safety of health personnel in overcoming covid19 must be prioritized so that the response effort can run quickly and effectively.19 it aligns with the statement by ayunda et al. (2021) that health personnel is the main priority for phase i covid-19 vaccination.8 120 | vol 22 no 2 july 2022 all targets must receive 2 doses in the vaccination process, namely vaccine i and vaccine ii. the recommended distance between vaccines i and ii is at least 14 days. of the 39 informants, it was found that all of them had received the first dose of the vaccine, while 36 respondents (92.31%) received the second vaccine. a total of 3 respondents (7.69%) of health personnel have not received the second dose of the vaccine as it has not reached 14 days since receiving the first dose of vaccine. a sinovac vaccine is injected 2 times after 14 days in the recipient's body to get the complete vaccine.20 the officers who received the first and second doses of the vaccine were the same personnel. the difference in the number of respondents in the first and second vaccines is because some respondents have not received the second vaccine. one of the causes was having certain diseases that made it impossible to receive the vaccine, one of which was high blood pressure. in terms of gender differences, female respondents experienced more side effects than men. the number of female respondents who experienced side effects reached 61%, while only 39% of male respondents received the side effects. the difference in reactions experienced by male and female respondents can be caused by several factors, including differences in hormones, a history of allergies, and anxiety. this study follows previous research which stated that there was a difference between side effects after the covid-19 vaccination, in which women were more likely to experience side effects than men. it occurred because women have a higher antibody response than men. it is why women are more likely to experience side effects when vaccinated.20 based on the data collected, information was obtained that in the first vaccine of 39 informants, 26 respondents (56.41%) experienced side effects, and 13 respondents (43.59%) did not experience side effects after vaccination. in vaccine ii, of 36 respondents (92.31%) who received the complete vaccine, there were 18 respondents (50.00%) who experienced side effects, and 18 respondents (50.00%) did not experience side effects. the covid-19 vaccine has side effects and routine vaccines that have been implemented so far. the ministry of health calls this event the term post-immunization follow-up event. adverse event following immunization can be regarded as a medical event related to vaccination.21 events that arise are usually in the form of vaccine reactions, coincidences, anxiety reactions, procedural errors, or undetermined causal relationships. in general, vaccines do not cause a reaction in the body. if a reaction occurs, it is only a mild reaction.22 vaccines stimulate the formation of immunity because the immune system reacts to the antigens in the vaccine. reactions can be local and systemic reactions, such as pain at the injection site or fever that can occur as part of the immune response.23 the types of side effects encountered by the informants were quite diverse. of the 26 informants who experienced side effects from vaccine i, the types of side effects included drowsiness experienced by 19 respondents (37.25%), aches experienced by 12 respondents (23.53%), mild fever experienced by 7 respondents (13.73%), dizziness experienced by 4 respondents (7.84%) and other side effects. of the 18 informants who experienced side effects from vaccine ii, the types of side effects included: drowsiness experienced by 11 respondents (44.00%), dizziness experienced by 5 respondents (20.00%), aches experienced by 4 respondents (16.00%), nausea experienced by 3 respondents (12.00) and the side effects of flu and fatigue were experienced by 1 respondent (4.00%). however, it should be noted that some informants experienced more than one side effect, and all perceived side effects were still in the mild category. the results of this study indicated that the side effects experienced by health personnel in mataram city after receiving the covid-19 vaccine are classified as mild post immunization adverse events (aefi) and do not require serious treatment; just rest and take fever medicine (if needed) and the side effect will disappear by itself. it aligns with the statement of dr. gde bayu (doctor of the vaccination team at karang pule public health center, mataram city), during an interview on february 3, 2021, stating that aefi is divided into three, namely mild, moderate and severe, which are monitored for 30 minutes after vaccination. if there is a mild aefi, it will be included in the report only, while a moderate aefi will be given medication, and a severe aefi will be referred to the emergency department (igd). of the 100 respondents who have been vaccinated at the karang pule health center, there has been no aefi incident. according to data from the mataram city health office, as of february 28, 2021, the target for vaccination i (dose 1) has reached 7,122 respondents and vaccine ii (dose 2) has reached 4,974 respondents with a mild aefi report of 19 respondent. the side effects experienced by the informants were classified as mild aefis, not much different from the findings from 287 reports of aefis that existed until february 2021; 283 cases (98.6%) were classified as aefis that were not serious.24 the results of this study are also in line with the report the national commission for post-immunization adverse events received. the reports received until january 20, 2021, were 30 aefi reports, all of which were classified as mild (no serious reactions), so they did not require intensive care. according to dr. muhammad fajri adda`i as the doctor and the covid-19 handling team, after receiving the first vaccine, he did not feel an excessive reaction and felt biased. it is slightly different from what other | 121 health personnel felt. there are those who experience fever, pain, weakness, feel hungry all the time, and are sleepy. the various types of reactions above are still quite reasonable and are included in the mild category.25 according to komnas kipi chairman hindra irawan satari, he conveyed through the ministry of health's youtube channel (23/02/2021) that the covid-19 vaccine used in indonesia is certain to be safe. based on reports from 22 provinces, 5 out of 10,000 aefis are in the moderate category, while 42 out of 1,000,000 aefi reports are in the serious category. based on the analysis of incoming data, the symptoms are generally mild, and the aefi symptoms can recover without and using treatment. in addition, 64 percent of respondents who took vaccinations experienced an immunization-related response or self-anxiety due to the immunization process, not because of the content of the covid-19 vaccine.26 the benefits of the covid-19 vaccine are far greater than the side effects or aefis it causes. in addition, vaccines can protect the public from the spread of the virus compared to side effects. research by lidiana et al. (2021) did not find any aefis that were categorized as serious22. aefis were only felt by 10.5% of respondents and were mild, such as fever 10.5%, diarrhea 2.1%, coughing 2.1% and shortness of breath 2.1%. it shows that the side effects received are only mild and do not cause serious reactions. in other words, this vaccine is safe, and there is no need for doubt by the public. some of these side effects were experienced by the informants for some time which the authors divided into 3 categories such as 30 minutes after the vaccine was experienced by 8 respondents (30.77%), 30 minutes in 24 hours after 14 respondents experienced the vaccine (53.85%) and 4 respondent (15.38%) experienced side effects within 24 hours. although side effects can be experienced more than 30 minutes after the vaccine or even more than 24 hours, they can be categorized as mild side effects. furthermore, the informants used several ways to deal with various side effects, including resting (65.38%), taking medicine (15.38%), compressing around the injection site and doing exercise (3.85% each) and no treatment (11.54%). ). it indicates that the post-vaccination side effects/aefis felt by health personnel in the city of mataram, which are included in the mild category, do not require serious treatment. it is enough to rest and take medicine or continue to do activities as usual. after vaccination, respondents are expected to remain vigilant. vaccination does not attack a person's immune; it only forms antibodies that increase immunity and body resistance. the respondents who have been vaccinated are still potentially exposed to covid-19, because the vaccine stimulates the body to form immunity, not kill the virus. the difference is that when vaccinated, the body forms antibodies so that the body's resistance increases, even though later, when people are exposed to covid-19, the symptoms are not severe.27 based on the description submitted, the government, various stakeholders, and the community must work hand in hand to disseminate the benefits of vaccination. it is an effort to succeed and accelerate the response to the covid-19 pandemic.16 socialization about the benefits and side effects of the covid-19 vaccine must continue to be carried out by providing the public with correct information to prevent hoax information currently circulating through various existing media, especially online media and social media as information references by the public. it must be consistent in implementing the programs and issuing policies 28. therefore, the attitude of doubt and rejection by the community can be replaced by a sense of optimism to accelerate the implementation of this pandemic prevention program. having an optimistic attitude is important to mental health.29 an optimistic attitude can affect a person's physical health, while positive thinking can improve the immune system.30 conclusion the side effects felt in the first vaccine were drowsiness, aches, low fever, dizziness, flu and hunger, nausea, tiredness and sore eyes. the types of side effects experienced with the second vaccine included drowsiness, dizziness, pain, nausea, flu and fatigue. the side effects were classified as mild and would disappear in a few days. acknowledgement the authors would like to thank the university of badaruddin bagu, central lombok and the mataram city health officials who have assisted in this research process. conflict of interest conflicts of interest may occur because parties feel uncomfortable with the publication of this research. researchers will be responsible for all losses that this publication will cause. 122 | vol 22 no 2 july 2022 references 1. cucinotta d, vanelli m. who declares covid-19 a pandemic. acta biomed. 2020;91(1):157-160. https://doi.org/10.23750/abm.v91i1.9397 2. kpcpen. data vaksinasi covid-19 (update 28 february 2021). satuan tugas penanganan covid-19. published 2021. https://covid19.go.id/berita/data-vaksinasi-covid-19-update-28-februari-2021 3. huang c, wang y, li x, ren l, zhao j, hu y, et al. clinical features of patients infected with 2019 novel coronavirus in wuhan, china. lancet. 2020;395(10223):497-506. https://doi.org/10.1016/s01406736(20)30183-5 4. khairani r. strategi mix-and-match vaksin covid-19, seberapa efektifkah? j biomedika dan kesehat. 2021;4(3):87-89. https://doi.org/10.18051/jbiomedkes.2021.v4.87-89 5. sari ip, sriwidodo s. perkembangan teknologi terkini dalam mempercepat produksi vaksin covid-19. maj farmasetika. 2020;5(5):204-217. https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v5i5.28082 6. tamara t. overview of covid-19 vaccination in indonesia in july 2021. med prof j lampung. 2021;11(1):180183. https://doi.org/10.53089/medula.v11i1.255 7. zimmermann p, curtis n. coronavirus infections in children including covid-19. pediatr infect dis j. 2020;39(5):355-368. https://doi.org/10.1097/inf.0000000000002660 8. ayunda r, kosasih v, disemadi hs. perlindungan hukum bagi masyarakat terhadap efek samping pasca pelaksanaan vaksinasi covid-19 di indonesia. nusant j ilmu pengetah sos. 2021;8(3):194-206. http://dx.doi.org/10.31604/jips.v8i3.2021.194-206 9. ritunga i, lestari sh, santoso jl, effendy lv, siahaan scpt, lindarto ww, et al. penguatan program vaksinasi covid-19 di wilayah puskesmas made surabaya barat. j abdinus j pengabdi nusant. 2021;5(1):45-52. https://doi.org/10.29407/ja.v5i1.15953 10. rachman ff, pramana s. analisis sentimen pro dan kontra masyarakat indonesia tentang vaksin covid19 pada media sosial twitter. heal inf manag j. 2020;8(2):100-109. https://doi.org/10.47007/inohim.v8i2.223 11. yulita w, nugroho ed, algifari mh. analisis sentimen terhadap opini masyarakat tentang vaksin covid19 menggunakan algoritma naïve bayes classifier. jdmsi. 2021;2(2):1-9. https://doi.org/10.33365/jdmsi.v2i2.1344 12. yanuarti r. analisis media sosial twitter terhadap topik vaksinasi covid-19. justindo (jurnal sist dan teknol inf indones. 2021;6(2):121-130. https://doi.org/10.32528/justindo.v6i2.5503 13. ezalina e, malfasari e, deswinda d. knowledge education about covid 19 vaccination in nurse student. jces (journal character educ soc. 2021;4(3):698-707. https://doi.org/10.31764/jces.v4i3.5664 14. arina e. strategi dan tantangan dalam meningkatkan cakupan vaksinasi covid-19 untuk herd immunity. j med hutama. 2021;3(1):1265-1272. 15. yunus m, zakaria s. sumber informasi berhubungan dengan pengetahuan masyarakat tentang covid19. j keperawatan. 2021;13(2):337-342. https://doi.org/10.32583/keperawatan.v13i2.1002 16. bavel jj van, baicker k, boggio ps, et al. using social and behavioral science to support covid-19 pandemic response. nat hum behav. published online april 30, 2020:1-12. https://doi.org/10.1038/s41562020-0884-z 17. zheng h, jiang s, wu q. factors influencing covid-19 vaccination intention: the roles of vaccine knowledge, vaccine risk perception, and doctor-patient communication. patient educ couns. published online september 2021. https://doi.org/10.1016/j.pec.2021.09.023 18. hersi msms. the identification process & tools for gifted and talented students. published online 2016. https://pdfs.semanticscholar.org/95e9/90bed8a61a2f8c00f9284c3af8fb906b70e4.pdf 19. nurhayani n, hidayat w, silitonga e. analisis studi kasus penolakan tenaga kesehatan terhadap pemberian vaksin covid 19 di lingkungan kerja rumah sakit umum daerah munyang kute redelong kabupaten bener meriah tahun 2021. j healthc technol med. 2021;7(2). https://doi.org/10.33143/jhtm.v7i2.1722 20. indanah, uf, yuli s, deby k. faktor-faktor yang berhubungan dengan reaksi kipi pasca pemberian vaksin covid-19 pada siswa smp x kabupaten kudus. jurnal perawat vol.7 no.1 (2022) 14-22 21. hadinegoro srs. kejadian ikutan pasca imunisasi. sari pediatr. 2000;2(1):2-10. https://doi.org/10.14238/sp2.1.2000.2-10 22. lidiana eh, mustikasari h, pradana ka, permatasari a. gambaran karakteristik kejadian ikutan pasca vaksinasi covid-19 pada tenaga kesehatan alumni universitas ‘aisyiyah surakarta. j ilm kesehat. 2021;11(1):11-17. 23. darussyamsu r, yuniarti e, ardi a, selaras gh. reinforcement knowledge for ulama in padang city to https://doi.org/10.1016/s0140-6736(20)30183-5 https://covid19.go.id/berita/data-vaksinasi-covid-19-update-28-februari-2021 https://doi.org/10.1016/s0140-6736(20)30183-5 https://doi.org/10.1016/s0140-6736(20)30183-5 https://doi.org/10.18051/jbiomedkes.2021.v4.87-89 https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v5i5.28082 https://doi.org/10.53089/medula.v11i1.255 https://doi.org/10.1097/inf.0000000000002660 http://dx.doi.org/10.31604/jips.v8i3.2021.194-206 https://doi.org/10.29407/ja.v5i1.15953 https://doi.org/10.47007/inohim.v8i2.223 https://doi.org/10.33365/jdmsi.v2i2.1344 https://doi.org/10.32528/justindo.v6i2.5503 https://doi.org/10.31764/jces.v4i3.5664 https://doi.org/10.32583/keperawatan.v13i2.1002 https://doi.org/10.1038/s41562-020-0884-z https://doi.org/10.1038/s41562-020-0884-z https://doi.org/10.1016/j.pec.2021.09.023 https://pdfs.semanticscholar.org/95e9/90bed8a61a2f8c00f9284c3af8fb906b70e4.pdf https://doi.org/10.33143/jhtm.v7i2.1722 https://doi.org/10.14238/sp2.1.2000.2-10 | 123 anticipate hoax about covid-19 vaccination. pelita eksakta. 2021;4(2):129-133. https://doi.org/10.24036/pelitaeksakta/vol4-iss2/155 24. hafizzanovian h, oktariana d, apriansyah ma, yuniza y. peluang terjadinya immunization stressrelated response (isrr) selama program vaksinasi covid-19. j kedokt dan kesehat publ ilm fak kedokt univ sriwij. 2021;8(3):211-222. https://doi.org/10.32539/jkk.v8i3.13807 25. kurniawan m. ivermektin: dari antiparasit hingga covid-19. j med hutama. 2021;3(1):1251-1259. 26. puspasari a, achad a. pendekatan health belief model untuk menganalisis penerimaan vaksinasi covid19 di indonesia. syntax lit j ilm indones. 2021;6(8):3709-3721. http://dx.doi.org/10.36418/syntaxliterate.v6i8.3750 2548-1398 27. sari sp, lestiyadi ap, dewi ks, indraswari t. sosialisasi pencegahan penularan virus covid-19 pada kelurahan ciputat, ciputat tangerang selatan. j lokabmas kreat. 2021;2(3):31-38. https://doi.org/10.32493/jlkklkk.v2i3.p31-38.14323 28. ali my, gatiti p. the covid‐19 (coronavirus) pandemic: reflections on the roles of librarians and information professionals. heal inf libr j. 2020;37(2):158-162. https://doi.org/10.1111/hir.12307 29. setyowati dl, sahaja ka, alisya z, syahputra fd, lawinata ls. edukasi protokol isolasi mandiri di masa pandemi covid-19. jmm (jurnal masy mandiri). 2021;5(5):2563-2572. https://doi.org/10.31764/jmm.v5i5.5800 30. rosada a, partono p. sikap optimis dimasa pandemi covid-19. al-insyiroh j stud keislam. 2020;6(2):112126. https://doi.org/10.35309/alinsyiroh.v6i2.3889 https://doi.org/10.24036/pelitaeksakta/vol4-iss2/155 https://doi.org/10.32539/jkk.v8i3.13807 http://dx.doi.org/10.36418/syntax-literate.v6i8.3750%202548-1398 http://dx.doi.org/10.36418/syntax-literate.v6i8.3750%202548-1398 https://doi.org/10.32493/jlkklkk.v2i3.p31-38.14323 https://doi.org/10.1111/hir.12307 https://doi.org/10.1111/hir.12307 https://doi.org/10.35309/alinsyiroh.v6i2.3889 98 indriastuti cahyaningsih, pengaruh penyuluhan terhadap tingkat ... pengaruh penyuluhan terhadap tingkat pengetahuan masyarakat tentang analgetik di kecamatan cangkringan sleman effect of education on the level of community knowledge about analgesic in cangkringan, sleman regency, yogyakarta indriastuti cahyaningsih1*, chairun wiedyaningsih2, susi ari kristina2 1 bagian farmakologi dan farmasi klinik, program studi farmasi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta 2bagian manajemen dan farmasi komunitas, fakultas farmasi, universitas gadjah mada *email: ndree_chy@yahoo.com abstrak banyaknya pilihan obat bebas golongan analgetik menyebabkan masyarakat kesulitan memilih obat yang tepat dan cenderung memilih tanpa mengetahui kesesuaian khasiat dan mutu obat dengan penyakitnya. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penyuluhan dengan metode ceramah dan leaflet terhadap tingkat pengetahuan masyarakat tentang penggunaan analgetik di kecamatan cangkringan, kabupaten sleman, yogyakarta. jenis penelitian ini adalah eksperimental kuasi dengan one-group pretest-postest design. pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling dengan mengikutsertakan 33 responden. tingkat pengetahuan diperoleh melalui pengisian kuesioner pada saat pre-test dan post-test. pre-test dilakukan sebelum penyuluhan, sedangkan post-test dilaksanakan 1 bulan setelah penyuluhan. penyuluhan dilaksanakan satu kali dengan metode ceramah dan alat bantu leaflet. uji perbedaan tingkat pengetahuan sebelum dan sesudah penyuluhan dianalisis menggunakan paired sample t-test. hasil penelitian menunjukkan tingkat pengetahuan responden sebelum dilakukan penyuluhan sebagian besar tergolong sedang (48,48%) dan setelah dilakukan penyuluhan sebagian besar tergolong tinggi (84,84%). hasil analisis menunjukkan terdapat peningkatan pengetahuan tentang analgetik yang bermakna sebelum dan sesudah penyuluhan (p = 0,000) dengan kenaikan sebesar 26,36%. disimpulkan bahwa penyuluhan dengan metode ceramah dengan alat bantu leaflet dapat meningkatkan pengetahuan tentang analgetik. kata kunci : analgetik, leaflet, pengobatan sendiri, penyuluhan abstract a large number of analgesic nonprescription drugs make people difficult to choose the right medication and tend to choose without knowing the suitability between the efficacy and quality of medicines and their diseases. this study aims to determine the effect of the education with the lecture method and leaflet toward the level of public knowledge about the use of analgesics in cangkringan, sleman regency, yogyakarta.this research was quasi-experimental research design with one-group pretest-posttest design. sampling method was purposive sampling with 33 respondens. level of knowledge were obtained through questionnaires at pretest and posttest. pretest was measured right before education session, while postest was conducted a month after education session. education session was given once with the lecture method and leaflet. the differences in the level of knowledge between before and after education session were analyzed using paired sample t-test. the results showed that the prior level of knowledge were largely classified as moderate (48.48%) and after education session most of the respondent categorised high (84.84%). the analysis showed that there was an increase as 26.36% in the knowledge about analgesics after the education session concluded that the education with the lecture method and leaflet can improve knowledge of analgetic. key words: analgesic, leaflet, self-medication, education artikel penelitian 99 mutiara medika vol. 13 no. 2: 98-104, mei 2013 dengan umur), dan lama pengobatan terbatas (apabila sakit berlanjut segera hubungi dokter).4 pengetahuan untuk melakukan pengobatan sendiri oleh masyarakat masih rendah dan kesadaran masyarakat untuk membaca label pada kemasan obat juga masih kecil.1 masyarakat pedesaan yang melakukan pengobatan sendiri dengan benar masih rendah, karena pada umumnya masyarakat membeli obat secara eceran, sehingga tidak dapat membaca keterangan yang tercantum pada kemasan obat.5 peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang kesehatan dan obat perlu lebih mendapat perhatian. informasi terutama yang menyangkut efek samping, kontraindikasi dan interaksi sangat diperlukan.4 jumlah tenaga kesehatan di kabupaten sleman belum memadai namun tersedianya tempat untuk melakukan pengobatan sendiri seperti toko obat, warung, dan apotek semakin memberi peluang masyarakat sleman untuk melakukan pengobatan sendiri.6 penyuluhan merupakan proses belajar psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif manusia dengan lingkungannya dan menghasilkan perubahanperubahan dalam pengetahuan, ketrampilan dan sikap.7 melalui penyuluhan kesehatan seseorang akan belajar dari tidak tahu menjadi tahu. 3 pengetahuan (knowledge) merupakan domain penting dalam terbentuknya tindakan seseorang.8 peningkatan pengetahuan dapat meningkatkan sikap dan tindakan pengobatan sendiri yang sesuai aturan.4 penyuluhan dapat dilakukan dengan berbagai metode, diantaranya metode ceramah, metode diskusi, metode demonstrasi serta gabungan dari ketiga metode tersebut. oleh karena itu, penependahuluan pengobatan sendiri dengan obat tanpa resep (over the counter) yang tersedia di apotek maupun toko obat saat ini terus meningkat. meskipun obatobat ini terbukti aman dan memiliki efikasi, penggunaan yang tidak tepat dapat mengakibatkan konsekuensi yang serius, terutama pada anak-anak, lansia dan ibu menyusui.1 analgetik merupakan golongan obat bebas yang paling banyak dikonsumsi masyarakat meskipun banyak golongan obat lain yang dapat digunakan dalam pengobatan sendiri. ada berbagai jenis golongan merek dagang analgetik yang dapat digunakan dan tersedia di apotek maupun toko obat. parasetamol merupakan obat yang paling banyak tersedia pada era modern ini. sistem regulasi yang ada memungkinkan analgetik dapat tersedia bebas dan dapat diserahkan tanpa keberadaan dan intervensi tenaga kesehatan.2 pasien yang melakukan pengobatan sendiri harus dapat mengenali gejala dan gangguan yang akan diobati atau dicegah, memilih produk yang tepat, memperhatikan dan mentaati informasi penggunaan pada label obat dan memonitor efek terapi dan efek samping yang mungkin terjadi. selain itu pasien juga harus mengetahui interaksi obat-obat maupun obat-penyakit yang berbahaya dari obat yang digunakan.3 pengobatan sendiri yang sesuai dengan aturan mencakup 4 kriteria yaitu tepat golongan (menggunakan obat yang termasuk golongan obat bebas atau bebas terbatas), tepat obat (menggunakan obat yang sesuai dengan kelas terapi yang sesuai dengan keluhannya), tepat dosis (menggunakan obat dengan dosis sekali dan sehari pakai sesuai 100 indriastuti cahyaningsih, pengaruh penyuluhan terhadap tingkat ... litian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh apakah pengaruh penyuluhan dengan metode ceramah dengan alat bantu leaflet terhadap tingkat pengetahuan masyarakat tentang penggunaan analgetik di kecamatan cangkringan kabupaten sleman. bahan dan cara penelitian merupakan eksperimen semu dengan one-group pretest-postest design. teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling dengan kriteria inklusi responden adalah seorang ibu, bukan tenaga kesehatan, pernah melakukan pengobatan sendiri untuk keluhan ringan dengan obat, berdomisili di kecamatan cangkringan sleman. wanita lebih banyak melakukan pengobatan sendiri dibandingkan dengan pria dan biasanya menjadi penentu pemilihan obat di keluarga9 sehingga responden pada penelitian ini adalah ibu-ibu. data dikumpulkan menggunakan kuesioner yang terlebih dahulu diuji validitas dan reliabilitasnya pada 30 responden. uji validitas menggunakan product moment spearman dan uji reliabilitas menggunakan teknik alpha cronbach. item pertanyaan yang belum memenuhi syarat validitas dan reliabilitas dimodifikasi sebelum diaplikasikan pada responden penelitian. dipilih desa wukirsari sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa wilayah ini memiliki wilayah terluas dan jumlah penduduk yang terbesar di kecamatan cangkringan sleman. diambil 33 responden yang mewakili 24 pedukuhan yang terdapat di wilayah desa wukirsari. responden diminta mengisi kuesioner untuk mengukur tingkat pengetahuan tentang analgetik (pre-test) sebelum dilakukan penyuluhan. satu bulan setelah penyuluhan, responden diukur kembali tingkat pengetahuannya (post-test). penyuluhan dilakukan satu kali dengan metode ceramah dan pembagian leaflet. tingkat pengetahuan responden sebelum penyuluhan menunjukkan gambaran pengetahuan dan pemahaman awal responden terhadap analgetik. analisis signifikansi pengaruh penyuluhan digunakan paired sample t-test serta analisis deskriptif untuk menggambarkan keadaan sosiodemografi. hasil kuesioner yang diuji validitasnya berjumlah 45 pertanyaan yang menyangkut beberapa kisi-kisi terkait analgetik pada 30 responden. hasil uji validitas menunjukkan bahwa dari 45 item pertanyaan yang diuji hanya 21 item yang valid, sedangkan 24 item lainnya tidak valid. kisi-kisi kuesioner menyangkut definisi pengobatan sendiri, definisi obat bebas dan bebas terbatas, definisi analgetik dan penyakit-penyakit ringan yang dapat diobati dengan analgetik, aturan pakai analgetik, dan efek samping serta interaksi analgetik dengan obat tradisional atau obat yang lain. uji reliabilitas menunjukkan nilai alpha cronbach sebesar 0,837. hasil ini menunjukkan bahwa pertanyaan yang akan digunakan dalam kuesioner dinilai reliabel sebagai alat ukur pengetahuan. pada awal penelitian ini terdapat 43 responden dari perwakilan pedukuhan sewilayah desa wukirsari. setelah dilakukan penyuluhan obat dan pengumpulan data akhir satu bulan kemudian terdapat 33 responden karena 10 responden drop-out. tabel 1. memperlihatkan karakteristik responden penelitian. sebelum dilakukan penyuluhan terlihat bahwa sebagian besar responden memiliki pengetahuan se101 mutiara medika vol. 13 no. 2: 98-104, mei 2013 dang dengan nilai antara 13-16 (dari 21 pertanyaan) sebesar 48%, berpengetahuan rendah (dengan nilai 9-12) mencapai lebih dari 27% dan berpengetahuan tinggi (dengan nilai 17-21) mencapai 24%. post-test dilaksanakan dengan membagikan kuesioner yang sama dengan kuesioner yang dipakai saat evaluasi awal (pretest) satu bulan setelah dilakukan penyuluhan. menurut teori burtt dan dobell tenggang waktu satu bulan merupakan waktu yang cukup untuk mencamkan, menyimpan dan menilai kemampuan seseorang untuk mengingat kembali informasi yang telah diperoleh.10 setelah dilakukan penyuluhan persentase responden yang tergolong berpengetahuan rendah sebesar 3,03%, berpengetahuan sedang mencapai kisaran 12,12%, sedangkan yang memiliki pengetahuan tinggi mencapai 85%. hal ini menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan responden mengalami kenaikan yang cukup besar setelah dilakukan penyuluhan. skor rerata tingkat pengetahuan responden sebelum penyuluhan adalah 14,15, sedangkan rerata tingkat pengetahuan setelah penyuluhan adalah 17,88. hasil analisis menunjukkan bahwa peningkatan pengetahuan responden adalah sebesar 3,73 atau sebesar 26,36% yang dinyatakan bermakna ditinjau dari segi statistik yang ditunjukkan dengan p value atau tingkat signifikansi 0,000. hal ini mengindikasikan bahwa metode penyuluhan dengan metode ceramah dengan alat bantu leaflet dapat meningkatkan tingkat pengetahuan responden. tabel 2. menunjukkan tingkat pengetahuan berdasarkan faktor sosiodemografi. tabel 1. karakteristik responden penelitian no keterangan karakteristik n persentase (%) 1. usia < 20 tahun 1 3,03 21 – 30 tahun 4 12,12 31 – 40 tahun 22 66,67 41 – 50tahun 4 12,12 >50 tahun 2 6,06 2. pendidikan terakhir sd 1 3,03 smp 7 21,21 sma 23 70,00 perguruan tinggi 2 6,06 3. pekerjaan ibu rumah tangga/ 26 78,79 buruh/tukang/petani/ 4 12,12 wiraswasta 3 9,09 4. jarak dengan fasilitas kesehatan <1 km 8 24,24 1 – 5 km 20 60,60 6 – 9 km 2 6,06 tabel 2. nilai pretest, post-test dan peningkatan pengetahuan serta nilai signifikansi berdasarkan faktor sosiodemografi faktor sosiodemografi rerata pretest p value rerata post-test p value rerata peningkatan pengetahuan p value umur dewasa (< 40) 14,31 0,490 18,19 0,249 3,88 0,546 dewasa (> 40) 13,57 16,71 3,14 pendidikan tinggi 14,28 0,545 18,20 0,239 3,92 0,444 rendah 13,75 16,87 3,12 pekerjaan bekerja 13,43 0,359 17,00 0,106 3,57 0,870 tidak 14,35 18,11 3,77 jarak < 1 km 15,63 0,046 18,13 0,653 2,50 0,105 > 1 km 13,68 17,80 4,12 102 indriastuti cahyaningsih, pengaruh penyuluhan terhadap tingkat ... diskusi penyuluhan merupakan proses belajar psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif manusia dengan lingkungannya dan menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, ketrampilan dan sikap.6 melalui penyuluhan kesehatan seseorang akan belajar dari tidak tahu menjadi tahu.3 hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metode penyuluhan dengan alat bantu leaflet dapat meningkatkan pengetahuan responden sebesar 26,36%, sehingga dapat dijadikan alternatif metode promosi kesehatan untuk masyarakat. faktor sosiodemografi merupakan faktor yang dapat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan masyarakat dan dapat pula berpengaruh terhadap respon penyuluhan yang diberikan. umur merupakan salah satu faktor sosiodemografi yang dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang. umur dapat berpengaruh terhadap pemikiran, daya tangkap dan daya ingat seseorang terhadap informasi tertentu.11 rerata umur responden yang rendah (dapat menjadi hambatan dalam peningkatan pengetahuan karena lebih lambat dalam menangkap informasi.5 pada umur sebelum 40 tahun diasumsikan kemampuan seseorang untuk menangkap dan mengingat informasi semakin tinggi sejalan dengan bertambahnya umur, sedangkan umur di atas 40 tahun telah dimulainya degenerasi organ sehingga kemampuan daya ingat justru mengalami penurunan sejalan dengan bertambahnya umur.12 pada penelitian ini rerata umur responden adalah antara 31-40 tahun. rerata peningkatan pengetahuan responden usia >40 tahun lebih tinggi dibandingkan usia <40 tahun namun tidak berbeda secara statistika ditunjukkan dengan p value > 0,05. pendidikan merupakan faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang. pendidikan dapat berpengaruh terhadap pola pikir dan tingkat pemahaman terhadap informasi. pendidikan yang lebih tinggi diharapkan mendapatkan informasi yang lebih banyak, dapat lebih memahami dan mengolah informasi dengan lebih baik.11 pada penelitian ini rerata peningkatan pengetahuan responden yang berpendidikan tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang berpendidikan rendah, walaupun tidak berbeda secara statistika, ditunjukkan dengan nilai p value> 0,05. hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan dapat berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan seseorang.5 dalam penelitian kristina, dkk (2008) menyatakan bahwa rerata peningkatan pengetahuan pada responden dengan tingkat pendidikan tinggi sebesar 4,77, sedangkan responden dengan tingkat pendidikan rendah sebesar 3,55 dengan p value 0,000 yang berarti berbeda secara statistik.5 seseorang yang berpendidikan rendah memiliki hambatan dalam peningkatan pengetahuan karena kemampuan untuk mengadopsi pesan lebih lambat.10 jarak tempat tinggal dengan fasilitas kesehatan adalah salah satu faktor yang kemungkinan secara tidak langsung dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang tentang kesehatan.11 adanya sarana kesehatan yang letaknya dekat memungkinkan seseorang melakukan tindakan pengobatan jika diperlukan, sehingga dari penggunaan pelayanan kesehatan secara tidak langsung memperoleh informasi kesehatan.5 pada penelitian ini rerata peningkatan pengetahuan responden yang bertem103 mutiara medika vol. 13 no. 2: 98-104, mei 2013 pat tinggal < 1 km sebesar 2,5 sedangkan > 1 km sebesar 4,12 dengan nilai p value >0,05 sehingga tidak berbeda secara statistika. hal ini kemungkinan disebabkan pada penelitian ini lokasi puskesmas relatif dekat yakni antara 1-3 km dengan pemukiman responden. dengan demikian kesenjangan tindakan pengobatan sendiri pada lokasi yang jauh dan dekat dengan puskesmas tidak terjadi. pekerjaan merupakan faktor sosiodemografi yang juga dapat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang. lingkungan pekerjaan dapat mempengaruhi kehidupan sosial seseorang. faktor lingkungan pekerjaan dapat mempengaruhi banyaknya paparan informasi yang diterima seseorang.11 responden yang bekerja umumnya memiliki latar belakang pendidikan yang cukup tinggi, sering berhubungan dengan dunia luar ataupun berinteraksi dengan rekan kerjanya. proses yang dijalani selama bekerja dapat mempengaruhi pola pikir responden.5 hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden yang tidak bekerja memiliki rerata peningkatan pengetahuan sebesar 3,77 dan responden yang bekerja sebesar 3,57. perbedaan ini tidak bermakna secara statistik ditunjukkan dengan nilai p value sebesar 0,870. hal ini dapat disebabkan pekerjaan yang dijalani responden adalah buruh, petani, tukang maupun wiraswasta sehingga kemungkinan paparan informasi tentang kesehatan sangat kecil sehingga tidak jauh berbeda dengan responden yang tidak bekerja. berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa penyuluhan tentang analgetik dengan metode ceramah dengan alat bantu leaflet yang dilakukan memiliki tendensi meningkatkan pengetahuan responden ditinjau dari semua faktor sosiodemografi. keterbatasan dalam penelitian ini diantaranya adalah hanya menggunakan satu kelompok saja, artinya tidak terdapat kelompok kontrol atau pembanding sehingga tidak dapat dibandingkan tingkat pengetahuan responden yang menerima intervensi dan yang tidak menerima intervensi. simpulan penyuluhan dengan metode ceramah dan tanya jawab dengan alat bantu leaflet dapat meningkatkan pengetahuan responden tentang analgetik sebesar 26,36% dan dinyatakan bermakna dengan p value (0,000). metode pendidikan kesehatan dengan metode ceramah dengan alat bantu leaflet yang dilakukan memiliki tendensi meningkatkan pengetahuan responden ditinjau dari semua faktor sosiodemografi. daftar pustaka 1. ali a.n., kai j.t.k., keat c.c.,dhanaraj s.a. self-medication practice among health care profesional. int curr pharmaceut j, 2012; 1 (10): 302-310 2. stosic r., dunagan f.,palmer h., fowler t., adams i. responsible self medication : perceived risk and benefits of over the counter analgetic use. int j pharm pract, 2011;19 (4): 236-245 3. wilbur k., el salam s., mohammad e. patient perceptions of pharmacist roles in guiding self-medication of over the counter therapy in qatar. dove press journal : patient preference and adherence. 2010; 4: 87-93 104 indriastuti cahyaningsih, pengaruh penyuluhan terhadap tingkat ... 4. notoatmodjo s. ilmu kesehatan masyarakat. jakarta: rineka cipta. 2004; 1:103-108 5. kristina s.a., prabandari y.s., sudjaswadi r. perilaku pengobatan sendiri yang rasional pada masyarakat kecamatan depok dan cangkringan kabupaten sleman. majalah farmasi indonesia, 2008; 19(1): 32-40 6. departemen kesehatan ri. pedoman penggunaan obat bebas dan bebas terbatas. jakarta. 2006. p. 71-75. 7. badan pusat statistik kabupaten sleman. penduduk kabupaten sleman, hasil registrasi penduduk pertengahan tahun 2005, kerjasama bps dengan bappeda kabupaten sleman. sleman: bps sleman. 2005. 8. azwar s. sikap manusia teori dan pengukurannya. edisi ke-3. yogyakarta: pustaka pelajar offset. 2005. p. 35-46. 9. worku s, abebe g. practice of self-medication in jimma town. the ethiopian j health development. 17 (2): 111-116. 2003. 10. walgito b. pengantar psikologi umum. cetakan kelima. yogyakarta: andi offset. 2004. p. 105-113. 11. ismiyati. penggunaan obat secara bebas oleh masyarakat di beberapa daerah kota madya yogyakarta dan kabupaten sleman. skripsi. yogyakarta: fakultas farmasi universitas gadjah mada. 2000. p. 39-43. 12. hidayah. tingkat pengetahuan serta kebutuhan informasi masyarakat kota yogyakarta mengenai penyakit epilepsi. skripsi. yogyakarta: fakultas farmasi universitas gadjah mada. 2005. p. 45. adie fitra favorenda, sri nabawiyati nurul makiyah, pengaruh pajanan gelombang telepon seluler......... 122 pengaruh pajanan gelombang telepon seluler terhadap struktur histologi testis pada mencit (mus musculus) the effect of the exposure of telephone celluler wave toward testes histology to mice (mus musculus) adie fitra favorenda1, sri nabawiyati nurul makiyah2 1fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta, 2bagian histologi fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta absract objectives of this researchis to know the effect of the exposure of telephone celluler wave toward fertility in mice (mus musculus) by measuring the diameter of tubulus seminiferi and counting the percentage of spermatogenic cells. this research use mice (mus musculus) strain balb-c, 3 months age, ± 30 gram body weight. this mice divided into 4 groups, they are k (control), p1 (exposure of telephone celluler wave type gsm monophonic), p2 (exposure of telephone celluler wave type gsm polyphonic), p3 (exposure of telephone celluler wave type cdma). these mice were given exposure of telephone celluler wave by placing them near telephone celluler which active telephone condition. duration of the exposure is ± 120 minutes in a days. these mice were sacrificed by decapitation, its testes were taken and make the histological preparation. microscopic observation was done by measuring the diameter of tubulus seminiferi and counting the percentage of spermatogenic cells, such as spermatogonium, spermatocyt, and spermatidium. the results was analyzed by one way anova continued by tukey test. results of this research showed that comparing with the control group, the measurement of diameter tubulus seminiferi and the number of spermatogenic cells especially spermatidium in treatment groups were decreasing. it can conclude that telephone celluler wave can cause the decreasing of fertility by inhibiting the spermatogenesis process. key words : fertility, mice, spermatogenesis, telephone celluler wave abstrak tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pajanan gelombang telepon seluler terhadap fertilitas mencit (mus musculus) dengan mengukur diameter tubulus seminiferi dan menghitung prosentase sel-sel spermatogenik. desain penelitian adalah eksperimental in vivo pada hewan uji. penelitian ini menggunakan sampel berupa mencit (mus musculus) jantan galur balb-c 20 ekor, berumur 3 bulan, dan berat badan ± 30 gram. mencit dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok k (kontrol), p1(terpajan gelombang telepon seluler jenis gsm monophonic), p2(terpajan gelombang telepon seluler jenis gsm polyphonic), dan p3(terpajan gelombang telepon seluler jenis cdma). hewan uji tersebut diberi pajanan gelombang telepon seluler dengan cara meletakkan hewan uji di dekat telepon seluler yang sedang aktif menelpon. lama pemajanan ± 120 menit perhari selama 30 hari. pembedahan hewan uji dilakukan untuk mengambil testisnya dan kemudian dibuat preparat. pengamatan preparat dilakukan dengan mengukur diameter tubulus seminiferi dan menghitung prosentase sel-sel spermatogenik, antara lain spermatogonium, spermatocyt, dan spermatidium. hasil dianalisis dengan metode anova 1 jalan kemudian dilanjutkan dengan uji tukey. 123 mutiara medika edisi khusus vol. 8 no. 2: 122 128, oktober 2008 hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran diameter tubulus seminiferi dan jumlah prosentase sel-sel spermatogenik khususnya spermatidium pada kelompok perlakuan mengalami penurunan dibandingkankelompok kontrol. jadi dapat disimpulkan bahwa gelombang telepon seluler dapat meyebabkan terjadinya penurunan tingkat ferilitas dengan cara mengganggu proses spermatogenesis. kata kunci: fertilitas, gelombang telepon seluler, mencit, spermatogenesis. pendahuluan kemajuan teknologi komunikasi pada saat ini terasa begitu cepat, hal ini tampak dari terus berkembangnya berbagai macam jenis telepon seluler yang ada dipasaran. hadirnya teknologi komunikasi berupa telepon seluler atau hand phone (hp) yang semakin pesat dan maju tidak dapat kita hindari. kuatnya pancaran gelombang dan letak hp yang menempel di kepala akan mengubah sel-sel otak hingga berkembang abnormal dan potensial menjadi sel kanker. jadi, efek radiasi hp sedemikian berbahaya jika sering digunakan. pengukuran kadar radiasi sebuah telepon seluler umumnya disebut dengan specific absorbtion rate (sar). pengukur energi radio frekuensi atau rf yang diserap oleh jaringan tubuh pengguna telepon seluler bisa dinyatakan sebagai unit dari watts perkilogram (w/kg). batas sar yang ditetapkan oleh international commision on non-ionizing radiation protection (icnirp) adalah 2.0 w/kg. sementara the institute of electrical and electronics engineers (ieee) juga telah menetapkan sebuah standar baru yang digunakan oleh negara amerika dan negara lain termasuk indonesia dengan menggunakan batas 1.6 w/kg.1 pengamatan lebih jauh mengenai dampak radiasi elektromagnetik telepon seluler terhadap tubuh manusia, ternyata mempunyai kemiripan dengan dampak radiasi elektromagnetik yang ditimbulkan oleh radar. dampak tersebut adalah kemampuan radar mengagitasi molekul air yang ada dalam tubuh manusia. agitasi yang ditimbulkan oleh radiasi elektromagnetik tergantung intensitasnya, jika intensitasnya cukup kuat maka molekulmolekul air terionisasi. peristiwa agitasi oleh gelombang mikro yang perlu diperhatikan adalah yang berdaya antara 4 mw/cm2-30 mw/cm2. agitasi bisa menaikkan suhu molekul air yang ada di dalam sel-sel tubuh manusia dan ini dapat berpengaruh terhadap kerja susunan syaraf, kerja kelenjar dan hormon serta berpengaruh terhadap psikologis manusia.2 sebuah penelitian di finlandia membuktikan bahwa radiasi elektromagnetik serupa telepon seluler selama satu jam dapat mempengaruhi produksi sel.3 secara tidak langsung memang teknologi komunikasi membawa berbagai keuntungan bagi penggunanya, namun dibalik keuntungan yang menggiurkan tersebut ternyata terselip banyak kerugian yang menyebabkan dampak buruk bagi psikologis dan kesehatan pengguna teknologi komunikasi itu sendiri. secara psikologis kerugian yang diakibatkan dari penggunaan telepon seluler atau hp adalah manusia menjadi malas untuk bersosialisasi dengan teman dan lingkungan sekitar. dampak penggunaan telepon seluler dari segi kesehatan juga tak kalah mengerikan. berbagai penyakit serta kemungkinan terburuk hadir dalam tubuh manusia melengkapi kerugian atas penggunaan telepon seluler bagi penggunaanya. penelitian di amerika membuktikan bahwa kaum pria yang membawa hp di saku celana dapat menurunkan 70% produktivitas sperma dan lebih parah lagi sperma yang dihasilkan tidak akan dapat membuahi sama sekali alias mandul karena telah rusak akibat radiasi yang dipancarkan oleh hp yang ditaruh di saku celana.4 spermatogenesis adalah proses pembentukan spermatozoa, yang meliputi tiga fase yaitu spermatositogenesis, dimana selama fase ini spermatogonium adie fitra favorenda, sri nabawiyati nurul makiyah, pengaruh pajanan gelombang telepon seluler......... 124 membelah, menghasilkan generasi sel baru yang nantinya akan menghasilkan spermatosit; meiosis, selama fase ini spermatosit mengalami dua kali pembelahan secara berurutan dengan mereduksi sampai setengah jumlah kromosom dan jumlah dna per sel menghasilkan spermatid; dan spermiogenesis, selama fase ini spermatid mengalami proses sitodeferensiasi rumit yang akan menghasilkan spermatozoa.5 tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh intensitas pajanan gelombang telepon seluler terhadap fertilitas mencit (mus musculus) dengan mengukur diameter tubulus seminiferi dan menghitung prosentase sel-sel spermatogenik. bahan dan cara jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni. subjek penelitian ini menggunakan hewan uji berupa mencit (mus musculus) galur balbc sebanyak 20 ekor, berumur 3 bulan, dan berat badan + 30 gram. variabel bebas adalah pajanan gelombang telepon seluler global system for mobile telecomunications (gsm) dan code division multiple acces (cdma) sedangkan sebagai variabel terikat adalah diameter tubulus seminiferi dan prosentase sel-sel spermatogenik. alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alat pajanan gelombang telepon seluler yang terdiri dari telepon seluler jenis gsm (monophonic dan polyphonic) dan cdma, alat dan bahan pembedahan hewan uji berupa seperangkat alat bedah untuk membuat preparat serta alat dan bahan pengamatan histologi yang terdiri dari mikrometer, mikroskop, dan preparat. pada penelitian ini mencit dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok k (kontrol), p1 (terpajan gelombang telepon seluler jenis gsm monophonic), p2 (terpajan gelombang telepon seluler jenis gsm polyphonic), dan p3 (terpajan gelombang telepon seluler jenis cdma). hewan uji tersebut diberi pajanan gelombang telepon seluler dengan cara meletakkan hewan uji di dekat telepon seluler yang sedang aktif menelfon. lama pemajanan ± 120 menit perhari selama 30 hari. pembedahan hewan uji dilakukan untuk mengambil testisnya dan kemudian dibuat preparat. pengamatan preparat dilakukan dengan mengukur diameter tubulus seminiferi dan menghitung prosentase sel-sel spermatogenik, antara lain spermatogonium, spermatocyt, dan spermatidium pada penelitian ini tingkat pengukuran untuk diameter tubulus seminiferi dan jumlah sel-sel spematogenik adalah rasional dengan 4 kelompok, sehingga analisis statistik yang digunakan adalah anova 1 jalan, sedangkan untuk menentukan letak perbedaan pada masingmasing kelompok digunakan uji tukey. hasil dari penelitian ini ingin diketahui pengaruh pajanan gelombang telepon seluler terhadap gambaran histologi testis pada mencit (mus musculus). pengamatan yang dilakukan yaitu pengukuran diameter tubulus seminiferi dan prosentase sel-sel spermatogenik yang meliputi spermatogonium, spermatocyt, dan spermatidium. tabel 1. hasil pengukuran diameter tubulus seminiferi (μm) setelah pemajanan gelombang telepon seluler pada mencit (mus musculus) no. kelompok diameter tubulus seminiferi (μm) 1 k 405,64 ± 34,52a 2 p1 355,60 ± 30,59b 3 p2 347,20 ± 33,94b 4 p3 341,04 ± 33,32b 125 mutiara medika edisi khusus vol. 8 no. 2: 122 128, oktober 2008 keterangan : k : kelompok kontrol tanpa perlakuan p1 : kelompok perlakuan terpajan gelombang telepon seluler jenis gsm monophonic selama 30 hari. p2 : kelompok perlakuan terpajan gelombang telepon seluler jenis gsm polyphonic selama 30 hari. p3 : kelompok perlakuan terpajan gelombang telepon seluler jenis cdma selama 30 hari. angka-angka dalam tabel yang diikuti oleh huruf yang sama berarti kelompok tersebut tidak berbeda secara nyata dalam tabel 1 dapat dilihat bahwa semua mencit (mus musculus) pada kelompok p1, p2, dan p3 menunjukkan perbedaan ukuran diameter tubulus seminiferi jika dibandingkan dengan kelompok k. tabel 2. hasil analisis statistik pengukuran diameter tubulus seminiferi setelah pemajanan gelombang telepon seluler pada mencit (mus musculus) sum of squares df mean square f sig (p) between groups within groups total 129297.3 215098.2 344395.5 3 196 199 43099.093 1097.440 39.272 .000 hasil analisis statistik pada tabel 2 menunjukkan pada tingkat signifikansi (p) dapat diketahui bahwa ukuran diameter tubulus seminiferi masing-masing kelompok perlakuan berbeda bermakna (p<0,05) dibandingkan kelompok kontrol (k), yang berarti ha diterima (terdapat perbedaan antar variabel). tabel 3. hasil perhitungan prosentase sel-sel spermatogenik setelah pemajanan gelombang telepon seluler pada mencit (mus musculus) no kelompok spermatogonium (%) spermatocyt (%) spermatidium (%) 1 k 24,08±4,55a 33,52±6,96a 42,40±7,41a 2 p1 22,64±3,26ab 45,94±7,57b 31,48±5,86b 3 p2 20,92±4,64b 48,90±4,62bc 30,98±4,23bc 4 p3 21,08±3,18b 50,88±5,89c 28,16±4,61c keterangan : k : kelompok kontrol tanpa perlakuan p1 : kelompok perlakuan terpajan gelombang telepon seluler jenis gsm monophonic selama 30 hari. p2 : kelompok perlakuan terpajan gelombang telepon seluler jenis gsm polyphonic selama 30 hari. p3 : kelompok perlakuan terpajan gelombang telepon seluler jenis cdma selama 30 hari. angka-angka dalam tabel yang diikuti oleh huruf yang sama berarti kelompok tersebut tidak berbeda secara nyata adie fitra favorenda, sri nabawiyati nurul makiyah, pengaruh pajanan gelombang telepon seluler......... 126 dalam tabel 3 dapat dilihat bahwa mencit (mus musculus) pada kelompok p1 menunjukkan jumlah spermatogonium yang sama dengan kelompok k, p2 dan p3, sedangkan pada kelompok p2 dan p3 menunjukkan perbedaan jumlah spermatogonium jika dibandingkan dengan kelompok k. jumlah spermatocyt kelompok k berbeda jika dibandingkan dengan kelompok p1, p2, dan p3, sedangkan jumlah spermatocyt kelompok p1 sama dengan kelompok p2 tapi berbeda dengan kelompok p3, sedangkan kelompok p3 jumlah spermatocytnya sama dengan kelompok p2. jumlah spermatidium kelompok k berbeda jika dibandingkan dengan kelompok p1, p2, dan p3, sedangkan jumlah spermatidium kelompok p1 sama dengan kelompok p2 tapi berbeda dengan kelompok p3, sedangkan kelompok p3 jumlah spermatidiumnya sama dengan kelompok p2. tabel 4. hasil analisis statistik perhitungan prosentase spermatogonium setelah pemajanan gelombang telepon seluler pada mencit (mus musculus) sum of squares df mean square f sig (p) between groups within groups total 330.960 3084.560 3415.520 3 196 199 110.320 15.738 7.010 .000 hasil analisis statistik pada tabel 4 menunjukkan pada tingkat signifikansi (p) dapat diketahui bahwa prosentase spermatogonium masing-masing kelompok perlakuan berbeda bermakna (p<0,05) dibandingkan kelompok kontrol (k), yang berarti ha diterima (terdapat perbedaan antar variabel). tabel 5. hasil analisis statistik perhitungan prosentase spermatocyt setelah pemajanan gelombang telepon seluler pada mencit (mus musculus) sum of squares df mean square f sig (p) between groups within groups total 9115.700 7935.080 17050.780 3 196 199 3038.567 40.485 75.054 .000 hasil analisis statistik pada tabel 5 menunjukkan pada tingkat signifikansi (p) dapat diketahui bahwa prosentase spermatocyt masing-masing kelompok perlakuan berbeda bermakna (p<0,05) dibandingkan kelompok kontrol (k), yang berarti ha diterima (terdapat perbedaan antar variabel). tabel 6. hasil analisis statistik perhitungan prosentase spermatidium setelah pemajanan gelombang telepon seluler pada mencit (mus musculus) sum of squares df mean square f sig (p) between groups within groups total 5895.815 6290.180 12185.995 3 196 199 1965.272 32.093 61.237 .000 127 mutiara medika edisi khusus vol. 8 no. 2: 122 128, oktober 2008 hasil analisis statistik pada tabel 6 menunjukkan pada tingkat signifikansi (p) dapat diketahui bahwa prosentase spermatidium masing-masing kelompok perlakuan berbeda bermakna (p<0,05) dibandingkan kelompok kontrol (k), yang berarti ha diterima (terdapat perbedaan antar variabel). diskusi fertilitas (kesuburan) individu jantan (pria) ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain produksi sperma melalui proses spermatogenesis. dalam penelitian ini beberapa parameter fertilitas mencit (mus musculus) jantan yang menggambarkan berlangsung normal atau tidaknya proses spermatogenesis diamati setelah pemajanan gelombang telepon seluler. dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa setelah pemajanan gelombang telepon seluler, diameter tubulus seminiferi dan jumlah sel-sel spermatogenik mengalami penurunan. penurunan ukuran diameter tubulus seminiferi dan jumlah sel-sel spermatogenik merupakan indikator bahwa proses spermatogenesis berlangsung tidak normal. hasil pengukuran diameter tubulus seminiferi pada penelitian ini menunjukkan bahwa penurunan ukuran diameter tubulus seminiferi yang bermakna terjadi pada kelompok p1, p2, dan p3. tubulus seminiferi merupakan saluran tempat belangsungnya proses spermatogenesis yang terjadi di dalam testis. tubulus seminiferi terdiri dari epitel seminiferi dan jaringan ikat membentuk membran basalis yang elastis sifatnya.6 berkaitan dengan pernyataan di atas, terjadinya penuruan ukuran diameter tubulus seminiferi diduga disebabkan oleh penurunan jumlah sel-sel spermatogenik, penurunan jumlah sel-sel spermatogenik diduga dapat menimbulkan terjadinya pergeseran sel-sel epitel di sekitarnya dan membran basalis memadat untuk mengisi kekosongan yang terbentuk sehingga ukuran diameter tubulus seminiferi semakin mengecil.7 sel-sel spermatogenik yang diamati pada penelitian ini adalah spermatogonium, spermatocyt, dan spermatidium. hasil penelitian menunjukkan bahwa pajanan gelombang telepon seluler dapat menyebabkan penurunan jumlah sel-sel spermatogenik secara bermakna (p<0,05), terutama spermatidium. terjadinya penurunan jumlah sel-sel spermatogenik diduga karena pajanan gelombang telepon seluler mengganggu proses spermatogenesis melalui poros hipotalamus-hipofisis-testis, misalnya penekanan hormon gonadotropin. hormon gonadotropin merupakan hormon yang mempunyai peran penting dalam perkembangan sel-sel spermatogenik melalui proses spermatogenesis.8 dengan demikian dapat dipahami jika dugaan gelombang telepon seluler dapat menekan produksi hormon gonadotropin tersebut benar, maka dapat dipastikan jumlah selsel spermatogenik akan menurun. sperma merupakan hasil akhir dari proses spermatogenesis, yaitu proses pembentukan sperma melalui beberapa tahap perkembangan dari sel-sel spermatogenik. jika pada salah satu tahap perkembangan mengalami hambatan maka tahapan perkembangan selanjutnya juga akan akan mengalami hambatan. pada penelitian ini jumlah spermatidium mengalami penurunan secara bermakna sehingga memungkinkan tahapan perkembangan spermatidium menjadi sperma terhambat yang akhirnya akan menyebabkan produksi sperma juga mengalami penurunan. fertilitas salah satunya ditentukan oleh jumlah sperma sehingga jika produksi sperma mengalami penurunan maka dapat dipastikan bahwa tingkat fertilitas juga mengalami penurunan.. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian pengaruh pajanan gelombang telepon seluler terhadap struktur histologi testis pada mencit (mus musculus) diperoleh kesimpulan bahwa gelombang telepon seluler dapat mengganggu proses spermatogenesis pada mencit (mus adie fitra favorenda, sri nabawiyati nurul makiyah, pengaruh pajanan gelombang telepon seluler......... 128 musculus). hal ini ditandai dengan adanya penurunan ukuran diameter tubulus seminiferi dan juga penurunan jumlah prosentase sel-sel spermatogenik, terutama spermatidium. daftar pustaka 1. suroso. 2006. pengaruh gelombang elektromagnetik ponsel pada kesehatan. diakses 12 maret 2008, dari h t t p : / / w w w . g l o r i a n e t . o r g / a r s i p / b3723.html 2. wardhana, w.a. 2000. dampak radiasi elektromagnetik ponsel. diakses tanggal 03 april 2008, dari http// www.elektroindonesia.com/elektro/ ut32.html 3. nurudin. 2005. sistem komunikasi indonesia. diakses 12 maret 2008, dari http//www.kompas.com 4. kompas. 2003. dampak penggunaan telepon seluler (handphone). diakses 12 maret 2008, dari http// www.kompas.com 5. junqueira, l.c., carneiro, j. kelley, r.o. 1997. histologi dasar. cetakan ke1, edisi 8. egc.jakarta, 418-432 6. junqueira, l.c., carneiro, j. kelley, r.o. 1997. histologi dasar. cetakan ke1, edisi 8. egc.jakarta 7. ghufron, m. & herwiyati, s. 1995. gambaran histologik spermatogenesis tikus putih (rattus norvegicus) setelah diberi makan terong tukak (solanum torvum). jurnal kedokteran & kesehatan yarsi. fk yarsi .jakarta. 8. purwaningsih, e. 2001. pengaruh pemberian ekstrak bunga hibicus rosa sinensis, l terhadap proses spermatogenesis mencit jantan strain aj. jurnal kedokteran & kesehatan yarsi. fk yarsi. jakarta. 129 mutiara medika edisi khusus vol. 9 no. 2: 129 135, oktober 2009 pola penyebab dan rekurensi dermatitis numularis causes and recurrence patterns of numular dermatitis siti aminah tri susila estri1 1bagian ilmu kesehatan kulit dan kelamin prodi pendidikan dokter fkik umy abstract the prevalence of nummular dermatitis (nd) was increased and varies from one region to another. numular dermatitis was associated with a suspected causes of bacterial colonization, contact dermatitis to nickel, and cobalt khromat; physical trauma or chemical, environmental, and emotional stress. the study would report the pattern of causes and factors that may affect the relapse cases nd. the case consists of 9 people, 6 women and 3 men, aged between 15-73 years. frequency of visits to the clinic varied between 0-6 times. the time between initial and subsequent visits varied between 1 until 22 months. the main complaint was an itching and rash. the diagnosis nd established based on anamnesis and dermatological examination with the characteristic lesion and appropriate areas. the cause or recurrence of cases of dn in this report associated with low air humidity (in all cases), the colonization of s. aureus (in the case of the 6th, 7th and 9th), age or skin xerotic (in the case of the 1, 2, 3) and contact history (in the case of the 2 and 4), without ignoring the possibility of other factors. key words: bacteria, contact dermatitis, nummular dermatitis, humidity, xerotic skin, abstrak prevalensi dermatitis numularis (dn) semakin meningkat dan berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain. penyebab dn diduga berhubungan dengan kolonisasi bakteri, dermatitis kontak terhadap nikel, khromat dan kobalt; trauma fisik atau kimia, lingkungan, serta stres emosional. pada tulisan ini dilaporkan pola penyebab dan faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi kekambuhan kasus dn. kasus terdiri atas 9 orang, terdiri atas 6 wanita dan 3 orang laki-laki, umur antara 15-73 tahun. frekuensi kunjungan ke poliklinik bervariasi, antara 0-6 kali. waktu antara kunjungan awal dan berikutnya bervariasi antara 1 minggu sampai 22 bulan. keluhan utama rasa gatal dengan bercak merah. diagnosis dn ditegakkan berdasarkan gambaran klinisnya yaitu anamnesis, ujud kelainan kulit dengan daerah predileksi yang sesuai. penyebab atau rekurensi berbagai kasus dn pada tulisan ini berhubungan dengan kelembaban udara yang rendah (pada semua kasus), kolonisasi s. aureus (pada kasus ke-6, 7 dan 9), usia atau xerotic skin (pada kasus ke-1, 2, 3) dan riwayat kontak (pada kasus ke-2 dan 4), tanpa mengabaikan kemungkinan faktor lainnya. kata kunci: bakteri, dermatitis kontak, dermatitis numularis, kelembaban udara, xerotic skin siti aminah tri susila estri, pola penyebab dan rekurensi .............................. 130 pendahuluan dermatitis numularis (dn) atau discoid eczema merupakan dermatitis dengan gambaran klinis plak eksematous, berbentuk koin, batas tegas, terdapat papul dan vesikel di bagian atasnya, dengan ekskoriasi dan impetiginized.1 dn sering disertai rasa gatal sedang sampai berat,2 dan kadang-kadang rasa panas.1-3 daerah predisposisi pada tungkai bawah, ekstremitas atas (terutama bagian dorsal tangan) dan badan.1-3 wujud kelainan kulit cenderung meluas secara simetris.1,3 dermatitis numularis lebih sering terjadi pada usia dewasa daripada anakanak, dan lebih sering pada laki-laki daripada wanita dengan perbandingan 2:1.13 insidensi dn meningkat pada usia 55-65 tahun pada kedua jenis kelamin, dan 15-25 tahun pada wanita.3 prevalensi dn yang merupakan satu bentuk eksem endogen semakin meningkat pada 3 dekade terakhir dan berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain.4 insidensi dn di amerika serikat sekitar 2 per 1000 penduduk2, sedangkan frekuensi dn di sebuah klinik di arab saudi 25,7% dari seluruh dermatitis atau urutan ke-2 setelah dermatitis atopik.4 frekuensi kasus dn di poliklinik kulit dan kelamin rs dr. sardjito (pkk-rss) pada tahun 2000, 2001 dan 2002 berturut-turut adalah 2,99%, 3,22% dan 3,65% dari seluruh kunjungan pasien. penyebab dn yang sebenarnya belum diketahui, namun terdapat beberapa hipotesis yang diajukan sebagai faktor penyebab. kolonisasi bakterial (staphylococci) dan micrococci, dermatitis kontak terhadap nikel, khromat dan kobalt, trauma fisik maupun khemis, lingkungan (kelembaban yang rendah, udara panas) serta stress emosional berhubungan dengan timbulnya maupun kambuhnya dn.1-5 pada tulisan ini akan dilaporkan pola penyebab dan rekurensi atau faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi kekambuhan sembilan kasus dn. kasus kasus terdiri atas 9 kasus dn seperti terlihat pada tabel, terdiri atas 6 wanita dan 3 orang laki-laki, umur bervariasi antara 15-73 tahun. status pekerjaan penderita adalah pelajar/mahasiswa 4, pensiunan 3, pns 1 dan swasta 1 kasus. frekuensi kunjungan ke poliklinik bervariasi, ada yang dalam 1 th tidak berkunjung (3), 1 kali (4,5,7) sampai 6 kali (2) kunjungan/th, sedangkan semua kasus pernah berkunjung antara 2-5 kali/th. waktu antara kunjungan awal dan berikutnya bervariasi antara 1 minggu (kasus 8, 9) sampai 22 bulan ( kasus 4). keluhan utama penderita adalah timbulnya rasa gatal dengan bercak-bercak merah sampai kehitaman. pada anamnesis semua kasus disebutkan timbulnya rasa gatal kadang-kadang disertai panas, tidak disebutkan adanya riwayat kontak atau pemakaian/oles bahan tradisional atau obat, kecuali pada kasus 4 terdapat riwayat dermatitis kontak alergika kontak kemungkinan karena salep 88. riwayat alergi terhadap obat atau makanan maupun riwayat atopi tidak ada. hasil pemeriksaan fisik disebutkan: pada daerah lengan (kasus 6,8,9), badan (kasus 3,8,9) atau tungkai bawah (kasus 1,2,4,5,6,7,8,9) tampak papul dan plak atau patch eritem sampai hiperpigmentasi, berbentuk koin atau bulat, multipel, tersebar, sebagian dengan eksudasi atau ekskoriasi, sebagian dengan skuamasi. pemeriksaan gram hanya dikerjakan pada kasus 9 dengan hasil ditemukan leukosit polimorfonuklear dan bakteri kokus gram (+), sedangkan pemeriksaan penunjang lainnya tidak dikerjakan. diagnosis dn ditegakkan berdasarkan gambaran klinisnya yaitu anamnesis, ujud kelainan kulit dengan daerah predileksi yang sesuai. adanya infeksi sekunder ditegakkan berdasarkan pemeriksaan gram pada kasus 9, sedangkan pada kasus 6 dan 7 hanya berdasarkan ujud kelainan kulit berupa plak 131 mutiara medika edisi khusus vol. 9 no. 2: 129 135, oktober 2009 ta be l 1 . k ar ak te ris tik k as us d er m at iti s n um ul ar is . k et er an ga n : d n : de rm at iti s nu m ul ar is , d es ok : sa le p de so ks im et as on , m eb h : m eb hi dr ol in n ap ad is ili ta t, a sa l : a sa m s al is ila t 2 -3 % , v as : va se lin a lb um , kl ob : kl ob et as ol p ro pi on at , e ry t : e rit ro m is in 5 00 m g, m et il 320 : m et il pr ed ni so lo n 12 m g6 m g0, p ov i : p ov id on e io di ne 1 0% , c et r : ce tir iz in e, a m ok : am ok si si lin 5 00 m g, p ar : pa ra se ta m ol , g en ta : ge nt am is in , fu sa : na tr iu m fu si da t. n o u m ur (t h) je ni s k el am in pe ke rj aa n d ia gn os is t em pa t p re di le ks i t er ap i 1. 73 l pe ns iu n d n k ed ua tu ng ka i b aw ah k r h k 2, 5% s l d es ok , m eb h 2. 62 p pe ns iu n d n t un gk ai b aw ah k an an , k ed ua tu ng ka i ba w ah k r h k 2 ,5 % s l d es ok , + a sa l 2 -3 % +v a c t m m eb h 3. 66 p pe ns iu n d n pu ng gu ng & d ad a sl d es ok + a sa l 3 % +v as , c t m , m eb h 4. 47 l pn s 94 :d k a (s al ep 88 ), 9 5: l sk , 9 601 :d n ,0 2: l sk , 0 3: d n t un gk ai b aw ah k ir i k ed ua tu ng ka i e ri tr , p re d 20 , sl d es ok , + a sa l, kr b et as n +g en ta c t m m eb h 5. 23 p m ah as is w a d n t un gk ai b aw ah k an an ? k lo b, p ov 1 % m eb h 6. 20 p m ah as is w a d n d g in fe ks i s ek un de r k ed ua le ng an & tu ng ka i b aw ah e ry t, m et il 320 po vi kr k lo b c et r m eb h 7. 59 p sw as ta d n , d n d g d a d ew as a, in fe ks i s ek un de r, pu ng gu ng k ak i k ir i k ed ua k ak i (p un gg un g, li pa t t an ga n) pr ed 3 -1 -0 , a m ok , p ar , po vi , r a g o i, sl d es ok +a sa l 3 % + v a 8. 18 l pe la ja r d n k ed ua le ng an b aw ah , b ad an & tu ng ka i ba w ah sl d es ok k r kl ob +g en ta m eb h c et r 9. 21 l m ah as is w a d n d g in fe ks i s ek un de r k ed ua le ng an , b ad an & tu ng ka i e ry t, m eb h fu sa + kr d es ok siti aminah tri susila estri, pola penyebab dan rekurensi .............................. 132 eritem dengan erosi atau pustulasi dengan eksudasi di atasnya. diagnosis lain yang ditemukan pada kasus adalah likhen simpleks kronik terdapat pada kasus 4 dan dermatitis atopik dewasa terdapat pada kasus ke-7. diskusi diagnosis dn ditegakkan berdasar gambaran klinis yaitu adanya rasa gatal sedang sampai berat, dan kadang-kadang rasa panas,2,3 dengan ujud kelainan kulit berupa plak eksematous, berbentuk koin, batas tegas, terdapat papul dan vesikel di bagian atasnya, terdapat ekskoriasi dan impetiginized, serta cenderung meluas secara simetris.1-,3 daerah predileksi dn pada tungkai bawah, ekstremitas atas (terutama bagian dorsal tangan) dan badan. ujud kelainan kulit pada 9 kasus dn berupa papul dan plak atau patch eritem sampai hiperpigmentasi, berbentuk koin atau bulat, multiple, tersebar sebagian dengan eksudasi atau ekskoriasi, dengan daerah predileksi pada kedua lengan, badan dan tungkai. adanya infeksi sekunder ditegakkan berdasarkan pemeriksaan gram pada kasus 9, sedangkan pada kasus 6 dan 7 hanya berdasarkan ujud kelainan kulit berupa plak eritem dengan erosi, pustulasi atau eksudasi di atasnya. penyebab terjadinya atau rekurensi dn yang sebenarnya belum diketahui, mungkin dipengaruhi banyak faktor, antara lain kolonisasi bakterial (staphylococci), dermatitis kontak, trauma fisik maupun khemis, kelembaban yang rendah atau udara panas, serta stress emosional. patogenesis faktor-faktor ini juga belum diketahui pasti.1-5 salah satu hipotesis yang banyak disebutkan adalah kolonisasi bakteri. staphylococcus aureus merupakan bakteri gram (+) yang banyak ditemukan pada daerah lesi penderita dermatitis atopik maupun dn.6 kolonisasi staphylococci dan micrococci diduga sebagai salah satu pencetus atau faktor yang memperberat dn1,3,5, yaitu dengan mengsekresikan berbagai superantigen untuk menginduksi reaksi inflamasi.6 injeksi intradermal antigen dari s. aureus dan micrococci menimbulkan immediate skin test reactions. 3 superantigen dari s. aureus dapat menstimuli pelepasan sitokin dari ikatan non-spesifik antara major histocompability complex class ii (mhc ii) pada antigen presenting cell dan regio vb pada sel t.6 peneliti lain menyebutkan terjadiny reaksi inflamasi pada eczema karena aktivasi limfosit t, pelepasan sitokin dan degranulasi sel mast.7 faktor lain yang sering berhubungan dengan terjadinya dn adalah kulit yang kering.1-3,5 insidensi dn diperkirakan meningkat pada musim kering yang berhubungan dengan rendahnya kelembaban. 1-3,5 lingkungan dengan kelembaban rendah menyebabkan peningkatan hilangnya kandungan air dalam kulit (tewl) sehingga terjadi xerosis (kulit kering).8,9 pada kulit yang kering mudah terjadi mikrofisura dan celah, yang dapat berfungsi sebagai pintu masuk kuman patogen, bahan-bahan iritan atau allergen.8,9 masuknya kuman patogen atau bahan-nahan tersebut menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi pada kulit.9,10 sebagian kasus dn berhubungan dengan adanya kontak dengan bahanbahan tertentu seperti nikel, khromat atau kobalt.1-3,5 penelitian fleming pada 48 orang penderita dn, menghasilkan tes tempel positif sebanyak 50%, dengan bahan alergen karet buatan, formaldehid, neomisin, krom dan nikel. delapan dari 13 penderita yang kontrol menyatakan tes tempel ini bermanfaat bagi mereka.11 tes tempel yang dilakukan khurana dkk menunjukkan 56% dari 50 penderita discoid eczema mempunyai reaksi positif terhadap 1 atau lebih alergen. alergen yang paling sering menimbulkan hasil tes positif adalah potassium dichromat, nikel, coblat chloride, dan fragance.12 trauma fisik maupun khemis juga dapat mempengaruhi terjadinya dn, terutama dn pada tangan, misalnya gigitan binatang atau bahan kimia lain yang menyebabkan iritasi.5 dermatitis numularis yang terjadi pada daerah skar atau bekas 133 mutiara medika edisi khusus vol. 9 no. 2: 129 135, oktober 2009 luka lama juga pernah dilaporkan, namun belum diketahui pasti mekanismenya.5 stress emosional mungkin juga berpengaruh pada perkembangan kasus dn, namun bukan sebagai kausa pertama.13,5 substansi lain yang berhubungan dengan kekambuhan dn adalah kain wool, sabun, air pada penderita yang sering mandi dan obat-obatan topikal. obat sitemik yang diduga terlibat pada timbulnya dn antara lain gold, metildopa, streptomisin, isoniasid dan aminosalysilic acid, tetapi hubungan ini juga belum dapat dibuktikan.1,3,5 pada penelitian dn yang diikuti selama 2 tahun, menunjukkan 22% kasus tidak pernah kambuh, 25% kambuh dalam waktu mingguan-tahunan dan 53% kambuh setiap kali obat topikalnya habis.3 erupsi pada dn yang kambuh cenderung lebih ringan daripada erupsi awal sehingga steroid yang kurang poten dapat diberikan dalam waktu lebih pendek.5 kunjungan pada kesembilan kasus ini bervariasi, ada yang dalam 1 th tidak berkunjung (kasus 3), 1 kali (kasus 4,5,7) sampai 6 kali (kasus 2) kunjungan/th, sedangkan semua kasus pernah berkunjung antara 2-4 kali/th. waktu antara kunjungan awal dan berikutnya bervariasi antara 1 minggu (kasus 8, 9) sampai 22 bulan ( kasus 4). kekambuhan sebenarnya yang dialami penderita pada kasus ini tidak diketahui, karena mungkin penderita pernah kambuh tetapi tidak berobat ke rss. penderita yang berkunjung atau kontrol 1-2 minggu setelah kunjungan sebelummnya biasanya disebabkan obat habis, tetapi keluhan masih ada meskipun sudah berkurang, seperti tampak pada kasus 2, 5, 8 dan 9. kunjungan setelah beberapa bulan setelah kunjungan pertama disebabkan adanya kekambuhan dan lesi lama sudah pernah sembuh, terdapat pada kasus 1 sampai 7. penyebab atau faktor yang mendasari kekambuhan atau timbulnya dn pada kesembilan kasus ini belum diketahui pasti. salah satu faktor yang berpengaruh terutama pada kasus 6, 7 dan 9 adalah kolonisasi s. aureus. sebagai bakteri gram (+), s. aureus banyak ditemukan pada daerah lesi penderita dermatitis atopik maupun dn. pada pemeriksaan gram (kasus 9) ditemukan leukosit pmn (+) dan kokus gram positif (+). pemberian eritromisin atau amoksisilin dengan hasil membaik, menyokong hipotesis bahwa timbulnya dn pada kasus ini kemungkinan karena kolonisasi atau infeksi oleh bakteri gram (+), seperti s. aureus. namun untuk memastikannya perlu dilakukan, pengecatan gram, uji penempelan koloni s. aureus pada kulit6 atau dengan injeksi intraepidermal antigen s. aureus.3 diagnosis kunjungan ke-7 pada kasus 7 adalah dn dengan dermatitis atopik dewasa. pada anamnesis tidak dituliskan adanya riwayat atopi, dengan ukk pada daerah badan dan lipat siku tampak xerotik skin dengan ekskoriasi. pada kasus ini ditemukan xerosis skin, yang mungkin berhubungan dengan penyakit yang menyertai, usia atau faktor lingkungan. namun pada kunjungan sebelum maupun sesudahnya tidak disebutkan adanya xerotic skin. pada waktu ditemukan gejala tersebut (april, 2002) kelembaban di yogyakarta sekitar 83% (rata-rata 74%), sehingga bisa dikatakan lingkungan cukup lembab. penegakkan diagnosis da pada kasus ini meragukan karena ditemukan 3 (pruritus, bentuk ukk & daerah predileksi yang khas, dermatitis kronis atau kambuh-kambuhan) dari 4 kriteria mayor dan hanya 1 (xerosis) dari kriteria minor. faktor lain yang mungkin berpengaruh pada kasus ini, juga pada kasus 1, 2 dan 3 adalah usia. usia penderita kasus 2 (62 th) dan kasus 7 (59 th) termasuk usia lanjut dini, sedangkan pada kasus 1 (73 th) dan 3 (66) termasuk kelompok usia lanjut. pada kulit orang yang sudah tua terjadi peningkatan epidermal turnover time dan penurunan adesi korneosit interseluler sehingga timbul gambaran xerotic skin11,12 pada permukaan kulitnya. keadaan xerosis skin dapat mecetuskan timbulnya dn.2,5 rekurensi atau terjadinya dn pada kasus 4 tampaknya berhubungan dengan bahan kontak atau alergen, yaitu dengan adanya dka dengan penyebab siti aminah tri susila estri, pola penyebab dan rekurensi .............................. 134 kemungkinan salep 88. pada kunjungan ke2 penderita didiagnosis likhen simpleks kronik, dan baru pada kunjungan berikutnya dn ditegakkan. riwayat kontak pada penderita ini perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan tes tempel untuk memastikannya, karena sebagian kasus dn memang disebabkan adanya kontak dengan bahan-bahan tertentu seperti karet buatan, formaldehid, neomisin, krom, nikel, potassium dichromat, coblat chloride, dan fragance.11,12 para peneliti menyarankan pemeriksaan tes tempel untuk kasus dn yang berat atau persisten, karena pada kasus tersebut kemungkinan besar terjadi dermatitis kontak alergi dan penanganan yang paling bermanfaat adalah menghindari alergen tersebut.11,12 jumlah kunjungan pada kasus 2 antara 2 sampai 6 kali/th. seringnya pasien ini mengalami kekambuhan, mungkin disebabkan adanya dermatitis kontak, karena itu perlu dievaluasi riwayat kontaknya dengan bahanbahan alergen tersebut. kunjungan kasus dn di poloklinik meningkat pada bulan januari, agustus dan september, yang merupakan pertengahan musim hujan dan kemarau. pada bulan agustus dan september yang merupakan musim kemarau, kelembaban udara di yogyakarta rendah (grafik 2). hal ini menyebabkan peningkatan hilangnya kandungan air dalam kulit sehingga timbul xerosis (kulit kering).8,9 kesimpulan telah dilaporkan berbagai faktor yang mungkin menjadi penyebab atau factor yang mempengaruhi rekurensi sembilan kasus dermatitis numularis. penyebab atau rekurensi berbagai kasus dn pada tulisan ini berhubungan dengan kelembaban udara yang rendah (pada semua kasus), kolonisasi s. aureus (pada kasus ke-6, 7 dan 9), usia atau xerotic skin (pada kasus ke-1, 2, 3) dan riwayat kontak (pada kasus ke-2 dan 4), tanpa mengabaikan kemungkinan faktor lainnya. daftar pustaka 1. clark, raf., hopkins tt., the other eczemas, dalam dermatology (ed by) sl. moschella, hj. hurley, wb saunders company, 1992, 482-484. 2. sams, hh, king l,. nummular dermatitis, dalam e medicinejournal, 2002, jan, vol 3, n0. 1. 3. soter,an., nummular eczematous dermatitis, dalam freedberg i.m., eisen a.z., wolff k., austen k.f.. dermatology in general medicine, 5th ed. new york, mc graw-hill inc. 1999 : 1480-1482. 4. kubeyinje, ep., the pattern of endogenous eczema in the northern frontier, kingdom of saudi arabia, dalam annals of saudi medicine, 1995, vol 15, no 4, 416-418 5. burton, jl., holde, ca., eczema, lichenification and prurigo, dalam champion, rh., burton, jl., burns, da., breathnach, sm., rook/ wilkinson/ebling -textbook of dermatology, ed 6, vol 1, bab 17, 629-648. 6. noble, wc., skin bacteriology and the role of staphylococcus aureus in infection, dalam br j dermatol, 1998, 139 : 9-12. 7. hill, va., wong, e., corbett, mf., menday, ap., comparative efficacy of b e t a m e t h a s o n e / c l i o q u i n o l (betnovate-c) cream and betamethasone/fusidic acid (fucibet) cream in the treatment of infected hand eczema, dalam j of dermatol treatment, 1998, 9 : 15-19. 8. loden, m., olsson, h., axell, t., linde, yw., friction, capacitance and transepidermal water loss (tewl) in dry atopic and normal skin, dalam br j dermatology, 1992, 126 : 137141. 9. leung, dym., tharp, m., boguniewicz, m., atopic dermatitis (atopic eczema), dalam freedberg i.m., eisen a.z., wolff k., austen k.f.. dermatology in general medicine, 5th 135 mutiara medika edisi khusus vol. 9 no. 2: 129 135, oktober 2009 ed. new york, mc graw-hill inc. 1999 : 1464-1475. 10. aoyama h, tanaka m, hara m, tabata n, tagami h. nummular eczema: an addition of senile xerosis and unique cutaneous reactivities to environmental aeroallergens, dalam dermatology (abstract), 1999;199(2):135-9. 11. fleming,c., parry,e., forsyth, a., kemmett, d., patch testing in discoid eczema. dalam contact dermatitis (abstract), may 1, 1997; 36(5): 261-4. 12. khurana, s., jain vk., aggrawal, k., gupta, s., patch testing in discoid eczema, dalam j dermatol (absctract), 2002, 29!12) : 763-767 13. molloy, hf., gregory, el., idzikowski, c., ryan, tj., overheating in bed as an important factor in many common dermatoses, dalam int j dermatol, 1993, 32 : 668-672. | 110 mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 21 no 2 page 110-116, july 2021 the relationship between sex education and sexual behaviour in adolescents hubungan antara pendidikan seksual dengan perilaku seksual pada remaja nofi susanti, reinpal falefi*, tri bayu purnama public health faculty, universitas islam negeri sumatera utara data of article: received: 10 may 2021 reviewed: 8 june 2021 revised: 3 july 2021 accepted: 8 july 2021 *correspondence: reinpal.falefi@uinsu.ac.id doi: 10.18196/mmjkk.v21i2.11744 type of article: research abstract: adolescent sexual behavior remains a global problem with high reports of cases of adolescents behaving freely. the lack of knowledge about sexuality is caused by limited information, services, and advocacy. there has not been a reproductive health curriculum for adolescents in schools. therefore, this study aims to determine the relationship between sex education and sexual behavior in adolescents. this research is a quantitative study with a cross-sectional design. the sampling was taken using a total sampling technique. the sample included all students of class x and xi, with a total of 102 people. the research instrument used a questionnaire. data were analyzed using chi-square and multiple logistic regression. bivariate analysis results showed that there was a relationship between sex education by parents, teachers, peers, and social media and sexual behavior. the results of multivariate analysis with logistic regression tests showed that sex education provided by parents was the most substantial relationship with sexual behavior. the study concluded that parents, teachers, and social media were associated with sex education. extensive sex education from other trusted information could reduce pre-marital sexual activity among adolescents. elaborating on external factors would implicate a good attitude and behavior in students. keywords: adolescent; sex education; sexual behavior abstrak: perilaku seksual remaja masih menjadi masalah dunia dengan tingginya laporan kasus remaja berperilaku seksual bebas. minimnya pengetahuan seksualitas disebabkan oleh informasi, pelayanan dan advokasi yang terbatas serta belum memiliki kurikulum kesehatan reproduksi pada remaja di sekolah. oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pendidikan seks dengan perilaku seksual pada remaja. penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross-sectional, teknik pengambilan sampel secara total sampling, yang menjadi sampel adalah seluruh siswa-siswi kelas x dan xi, berjumlah 102 orang serta instrumen penelitian menggunakan kuesioner. analisis data menggunakan chi-square dan regresi logistik berganda. hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan pendidikan seks oleh orang tua, guru, teman sebaya dan media sosial dengan perilaku seks. hasil analisis multivariat dengan uji regresi logistik menunjukkan bahwa pendidikan seksual yang diberikan oleh orang tua merupakan yang paling kuat hubungannya dengan perilaku seks. disimpulkan bahwa orang tua, guru, dan sosial media berhubungan dengan pendidikan seksual. pendidikan seksual secara luas dari informasi yang terpercaya dapat mengungari aktivitas seksual pada remaja. elaborasi faktor eksternal dapat berimplikasi pada sikap dan perilaku yang baik pada siswa.. kata kunci: remaja; pendidikan seks; perilaku seksual mailto:reinpal.falefi@uinsu.ac.id https://doi.org/10.18196/mmjkk.v21i2.11744 111 | vol 21 no 2 july 2021 introduction in 2014, the number of cases of sexually transmitted infections in indonesia reached 5608 cases. the incidence of sexually transmitted infections and symptoms is experienced by 12% of women aged 15-49 reported to have active sexual intercourse.1 sexually transmitted diseases in adolescents are very likely to be caused by unhealthy sexual behavior.2 sex education is defined as information about humans in the sexual context conveyed in formal and informal ways at the target education level. this information includes explanations of the process of fertilization, pregnancy, childbirth, behavior, sexual intercourse, and other aspects.3 limited information about sex education impacts the information around the community to be scientifically proven.4 the majority of teenagers obtain invalid information in terms of reference sources.5 that information can be obtained from the source of friends in a school environment (45%), teachers (16.3%), health workers (12.8%), parents (8.7%), and obtained from religious leaders (6.8%). according to the women's protection agency and the family planning area (badan perlindungan perempuan dan keluarga berencana daerah (ppkbd)) in 2015, 40% of junior and senior high school students have been having intercourse before marriage. moreover, some of them have been accustomed to or often have intercourse with their girlfriends or friends, so that the intervention of sexual education in adolescence is essential. the number of teenagers in indonesia that amounted to 46 million is very potential for future investment in indonesia.6 adolescence is defined as the transition period to the maturity process commencing from the time of the children who began since the age of twelve, which then ended in the early twenty years.7 meanwhile, anna freud stated that the psychosexual development process and the progression of change to people in the crowd and life goals and ideals could signify a youth change.8 adolescent sexual behavior is influenced by knowledge. knowledge of misperception and lack of knowledge will ignite curiosity and tend to prove self-proving.9 preliminary study results showed that several students held hands at school even though the school had already applied the prohibited dating rules. based on these variables, poor premarital behavior is associated with sex education in adolescents. understanding the sex education relationship with sexual behavior in adolescents might trigger problems. it could contribute to determining the dominant role in sexual education in adolescents. based on this background, this study aims to identify the relationship between sex education and sexual behavior in adolescents. materials and method research settings the study used a quantitative research method with a cross-sectional design to identify a dynamic correlation of sex education risk factors in adolescents at the same time. a cross-sectional design is in line with the research purpose, which aimed to identify the role of sex educational relationship with sexual behavior in high school teenagers. this research was conducted in high school by considering the population and exact location and never had the exact research-related location. this research was conducted after receiving ethical research permission from the institution and approved by the site of high school research. this study was conducted for 3 months. population and samples the population in this study was all students of class x (ten) and class xi (eleven). this research used two proportion sample sizes to measure the total sampling in this study. 102 samples were recruited, and 12 students were excluded due to the national examination. the inclusion criteria included students in grades x, xi, and xii, willing to be participants, and high school students. data collection method the research was conducted after researchers obtained approval from the principal as a person in charge of educational institutions and informed consent to students as an agreement to be the research subject. information about the objectives, benefits, and procedures of implementing research was explained by the enumerator prior to the research. in this study, all subjects were willing to participate in the data collection using an anonymity questionnaire and only using initials. the researchers defined sex behavior in this study as an impaling about sex, watching pornographic films, and other sexual acts such as kissing cheeks, lip kissing, holding hands, hugs, fingering sensitive and | 112 intimate body parts. as predictors, the researchers used parental sex education, peer education, teacher education, and social media exposure. research instruments the study used a questionnaire to collect data from the students—the questionnaire made by the researchers was based on theory and has passed the validity and reliability (r=0.734). several questions consisted of 22 questions with closed types to measure sexual education. parents education considered no internal problem among parents, dating prohibition, education on sexuality, attention to child behavior, directing behavior such as worship, freedom of opinion, and provision of time to family quality. good peer education was categorized as using time with peers, delivering fatigue with peers, accepting information, and making decisions with peers. teacher education was categorized as school activities, religious activities and educational media, associations, and information about sexual education and problem-solving. education by social media was categorized well as the source of information obtained from radio, television, newspapers, magazines, videos, etc. data analysis this study deployed a chi-square test to prove the hypothesis. logistic regression for multivariate analysis was used to estimate the model by using an odd ratio. ethical clearance this research was approved by the health research ethics committee, islamic university of north sumatra, no.121/ec/kepk.uinsu/iii/2021. result there are 102 students participated in this study and ultimately finished the whole question in the questionnaire. table 1 shows the characteristics of respondents of the study. there were more female participants (55.9%) than males (44.1%), and the majority of participants were 16-17 years old (67.7%) from the exact sciences department (45.1%). the rest were students from the social sciences (28.4%) and none of both (26.5%). the students in the ‘none of both’ group were the student from the first level in the school (basic level). table 2 shows that students with deviating sex behaviors like impaling about sex, watching pornographic films, and other sexual acts such as kissing cheeks, lip kissing, hugs, holding hands, fingering sensitive and intimate body parts occurred in students with a percentage of 88.2%. it contrasts with the findings on the role of education of parents, teachers, peers, and social media that were of good majority. table 1. characteristics of participants variable n % gender male 45 44.1 female 57 55.9 age 15 19 18.6 16 38 37.3 17 31 30.4 18 11 10.8 19 1 1.0 20 2 2.0 department science 46 45.1 sosial 29 28.4 none of both 27 26.5 113 | vol 21 no 2 july 2021 table 2. distribution of sex behavior in students by educator variable n % sex behavior good 12 11.8 bad 90 88.2 education by parents good 96 94.1 bad 6 5.9 education by teachers good 98 96.1 bad 4 3.9 education by peers good 84 82.4 bad 18 17.6 education by social media good 88 86.3 bad 14 13.7 in table 3, it is revealed that the influence of social media did not significantly affect risky sex behavior (pr 1.647 (0.854-2.030)). the risky sex behavior triggered by the influence of sex education in adolescents is more widely gained indirect education such as sex education is not risky in parents, teachers, and peers. multivariate logistic regression analysis we see in table 4 revealed that the sex education which parents conducted as the most protective sex education against sex behavior in students is 6.8 times compared with sex education in teachers of 1.3 times. tabel 3. the relationship of sex education with sexual behaviour in adolescents variable sex behavior p-value pr (95% ci) not risky (%) risky (%) education by parents good 88 (90.7) 9 (9.3) 0.01 2.250 bad 2 (40.0 ) 3 (60.0) (1.021-2.527) education by teachers good 89 (89.9) 10 (10.1) 0.03 2.696 bad 1 (33.3) 2 (66.7) (2.003-3.006) education by peers good 78 (91.8) 7 (8.2) 0.02 3.119 bad 12 (70.6) 5 (29.4) (2.087-3.875) education by social media good 85 (91.4) 8 (8.6) 0.01 1.647 bad 5 (55.6) 4 (44.4) (0.854-2.030) table 4. multivariate analysis of sex risk behavior in students variable b p pr 95 % ci lower upper sex education by parents 1.179 0.000 6.836 2.051 13.762 sex education by teacher 1.425 0.038 1.241 1.002 6.300 | 114 discussion in this study, it is known that parents role in sex education will influence risky sexual behaviors. parents as a role to give good sex education will protect adolescents from behaving sexually at risk by six times higher than parents not providing good sex education. the results of this study are in line with the research of sari10 showing that 62.1% had good sex education from the family and did not risk sexual behavior. theoretically, aspects that cause sexual behavior in adolescents include loose parental supervision and attention, free social patterns, and a free environment. furthermore, other aspects that provide sexual stimuli include facilities such as television, mobile phones, computers, and mass media that families often provide without realizing the effects of their use. in this case, the critical role of parents is to be an effective managers, who can provide information, help make choices and provide guidance to the adolescents.11 meanwhile, teachers play a role in providing the adolescents with correct information in a way that will positively affect their lives.12 parents who teach about sex education to their children are more protective two times higher compared to parents whose children are at risk for sexual education furthermore, this study is based on variables related to sexual behavior, which is in line with the study by masni,14 sujarwati,11 ulfah,15 and sari.16 the role of sex education from parents affects adolescents sexual behavior so that adolescents will not have misperception in addressing their sexuality.17 increased knowledge of sex education in youth guided by parents is essential in strengthening existing sexual education.18 adolescent sex education counseling, adolescent sex education from adolescent health professionals, and adolescent counseling for parents are essential in the sex education approach.19 besides, instilling religious values also need to be improved in the family to prevent poor teenage sexual behavior.20 the study's findings showed that there was a relationship between sexual education by teachers and sexual behavior in adolescents in high school. it is in line with those discovered by usman & puar 21 on teacher roles in the sex education process in adolescents. the teacher served as a director coordinator (educating, teaching, guiding, coaching, advising, and becoming an innovator), pilot, researcher encouraging creativity and proper perspective direction, actors, emancipators, and evaluators. according to rahman and fachrudin 22 treatments of sex education included aspects of consciousness conducted systematically from family, school, and the community to provide information about sexuality on the scope of the adolescents development. furthermore, it can include sexual and social behavior, personal ability, family roles, school roles, community roles, and government roles and discussing issues and challenges to its development. besides, the role of parents is essential to prevent the occurrence of risks.23 the better the parent's relationship with his or her children is, the better the sexual behavior of the adolescent will be.24 a teacher is a role model exemplified by students in the school.25 teachers should also provide the religious understanding and sexual education through interpersonal communication to adolescents to avoid premarital sex behavior.26 thus, sex education in school should be carried out to receive pertinent information in terms of good sex behavior.27 moreover, training is also required by providing precise information on sex education and correct sex behavior provided by the youth health expert.28 learning about sexuality and adolescent sexual behavior should be put into the learning curriculum to get the correct information and avoid the wrong education and sex behavior in teenagers.29 with the training and the proper delivery of information to teachers as educators and tailored to the existing curriculum on adolescent sex education, it could prevent incorrect sex behavior in adolescents and avoid other sexual cases. the importance of parents, teachers, and social media becomes the basis for the elaboration of external factors that impact adolescent sexual behavior. conclusion based on the result of this study, it can be concluded that parents, teachers, and social media were associated with sexual education. extensive sexual education from other trusted information could reduce pre-marital sexual activity among adolescents. furthermore, elaborating external factors would implicate the good attitude and behavior in them. conflict of interest the researchers declared no conflict of interest that might injure due to publicity, academic interests and competition, personal, religious, or political beliefs relevant to the topic discussed. 115 | vol 21 no 2 july 2021 references 1. kementerian kesehatan ri. survei demografi dan kesehatan indonesia. jakarta. 2013. 2. purwaningtyas b, wulandari rf. analisis pengaruh pengetahuan penyakit menular seksual terhadap pola berpacaran remaja di wilayah kecamatan pare kedir. health care media. 2018; 3(4): 1–7. 3. luthfie r. fenomena perilaku seksual pada remaja (sexual behaviour phenomena on young people). ceria. 2009: 1(1). 4. gaol smml, stevanus k. pendidikan seks pada remaja. fidei j teol sist dan prakt. 2019; 2(2): 325–43. https://doi.org/10.34081/fidei.v2i2.76 5. rochadi nw. peran teman sebaya dan media informasi terhadap perilaku seks pranikah remaja. j heal stud. 2019; 3(1): 53–63. https://doi.org/10.31101/jhes.384 6. badan pusat statistik. survei sosial ekonomi nasional (susenas) tahun 2010). jakarta; 2015. 7. mahmudah, yaunin y, lestari y. faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku seksual remaja di kota padang. j kesehat andalas. 2016; 5(2): 448–55. https://doi.org/10.25077/jka.v5i2.538 8. ali am, asrori m. psikologi remaja perkembangan peserta didik. 7th ed., jakarta: bumi aksara; 2011. 9. sunaryo d. community development service on educational and health sciences. abdidas. 2020; 1(3): 88– 94. 10. sari dje. hubungan pendidikan seks dalam keluarga dengan perilaku seksual remaja di sma n 3 bukit tinggi tahun 2012. kesehat masy stikes prima nusant bukit tinggi. 2012; 3(2): 27–31. http://dx.doi.org/10.35730/jk.v3i2.169 11. sujarwati s, yugistyowati a, haryani k. peran orang tua dan sumber informasi dalam pendidikan seks dengan perilaku seksual remaja pada masa pubertas di sman 1 turi. j ners dan kebidanan indonesia. 2016; 2(3): 112. http://dx.doi.org/10.21927/jnki.2014.2(3).112-116 12. oluwatoyin e, modupe o. risky sexual behaviour among secondary school adolescents in ibadan north local government area, nigeria. iosr j nurs heal sci. 2014; 3(4): 34–44. https://doi.org/10.9790/195903343444 13. nursal, a dg. faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku seksual. jurnal kesehatan masyarakat. 2008; 2(2). https://doi.org/10.24893/jkma.v2i2.29 14. masni, hamid sf. determinan perilaku seksual berisiko pada remaja makassar (studi kasus santri darul arqam gombara dan sman 6). media kesehatan masyarakat indonesia. 2018; 14(1): 68. 15. ulfah m. faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pranikah pada remaja smp dan sma di wilayah eks-kota administratif cilacap. medisains. 2019; 16(3): 137-42. http://dx.doi.org/10.30595/medisains.v16i3.3733 16. sari dn, darmana a, muhammad i. pengaruh faktor predisposisi, pemungkin, dan pendorong terhadap perilaku seksual di sma asuhan daya medan. jurnal kesehatan global. 2018; 1(2): 53-60. https://doi.org/10.33085/jkg.v1i2.3943 17. gunarsa sd. psikologi praktis: anak, remaja dan keluarga. jakarta: gunung mulia; 2008. 18. sarwono, wirawan s. psikologi remaja. jakarta: rajawali press; 2013. 19. lubis nl. psikologi kespro “wanita & perkembangan reproduksinya” ditinjau dari aspek fisik dan psikologinya. jakarta: kencana; 2013. 20. athar s. bimbingan seks bagi kaum muda muslim. jakarta: pustaka zahra; 2004. 21. usman, puar ay. bimbingan sex untuk remaja. jakarta: pustaka antara; 1996. 22. rahman a, fachrudin. pendidikan seks di sekolah. jakarta: fasco; 2000. 23. yuhanah y. analisis faktor yang berhubungan dengan perilaku kespro remaja pada siswa sma i samaturu kabupaten kolaka. jurnal penelitian dan pengabdian masyarakat unsiq. 2020; 7(1): 48–54. https://doi.org/10.32699/ppkm.v7i1.1015 24. karlina d, mardjan, taufik m. hubungan antara pengetahuan, peran guru bimbingan konseling (bk) dan peran orang tua dengan perilaku seks pranikah pada remaja sma di desa sungai ringin kecamatan sekadau hilir kabupaten sekadau tahun 2013. 2013; 35. http://dx.doi.org/10.29406/jjum.v2i2.336 25. nurzaman ew. pengetahuan dan perilaku seksual beresiko remaja terhadap kesehatan reproduksi di smk x kecamatan kebon jeruk jakarta barat. indonesia jurnal kebidanan. 2018; 2(1): 37-44. http://dx.doi.org/10.26751/ijb.v2i1.447 26. otta lt, rembang m, harilama sh. peranan komunikasi interpersonal orang tua dan guru dalam mencegah perilaku seks pranikah siswa kelas xi di smk negeri 1 modoinding. acta diurna komun. 2018; 7(3): 1-15. 27. maimunah s. implementasi pendidikan seks berbasis sekolah. jurnal ilmu psikologi terapan. 2019; 7(2): 41– 57. https://doi.org/10.22219/jipt.v7i2.8989 https://doi.org/10.34081/fidei.v2i2.76 https://doi.org/10.25077/jka.v5i2.538 http://dx.doi.org/10.31101/jhes.384 https://doi.org/10.25077/jka.v5i2.538 http://dx.doi.org/10.35730/jk.v3i2.169 http://dx.doi.org/10.21927/jnki.2014.2(3).112-116 https://doi.org/10.9790/1959-03343444 https://doi.org/10.9790/1959-03343444 https://doi.org/10.24893/jkma.v2i2.29 http://dx.doi.org/10.30595/medisains.v16i3.3733 https://doi.org/10.33085/jkg.v1i2.3943 https://doi.org/10.32699/ppkm.v7i1.1015 http://dx.doi.org/10.29406/jjum.v2i2.336 http://dx.doi.org/10.26751/ijb.v2i1.447 https://doi.org/10.22219/jipt.v7i2.8989 | 116 28. muninjaya, gde a. aids di indonesia : masalah dan kebijakan penangulanggannya. cetakan ke 1. jakarta: egc; 1999. 29. miron m, g a miron, d c. bicara soal cinta, pacaran, dan seks kepada remaja panduan guru & orang tua. jakarta: esensi; 2006. 135 mutiara medika vol. 10 no. 2: 135-141, juli 2010 distribusi prevalensi infestasi parasit usus pada balita penderita gizi buruk di kasihan, bantul, yogyakarta berdasarkan faktor risiko prevalence distribution of intestinal parasite infestation in under five years children with severe malnutrition in kasihan, bantul, yogyakarta based on risk factors tri wulandari kesetyaningsih1, rizki ardana riswari 2, ririd tri pitaka2 1bagian parasitologi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta, 2program studi pendidikan dokter fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta email : kesetyaningsih@yahoo.com abstract malnutrition is still a public health problem in indonesia. severe malnutrition increasing susceptibility to the infection, and the infection is the direct factor influencing nutrition status. intestinal parasite infestation make worse the sufferer and inhibit the elimination programme. the research purpose is to know the prevalence of intestinal parasite infestation in under five year children with severe malnutrition, and express to its risk factor of intestinal parasite infestation. the subject is all of under five children with severe malnutrition recorded in primary health care in kasihan, bantul, yogyakarta. questionnaire and medical record data used to find the risk factors: acces to primary health care, parent’s formal education, history of chronic infection and social-economic status. direct and indirect method of faeces examination were carried out by two persons to find cysts or nematode’s eggs. the prevalence of intestinal protozoa infestation are entamoeba histolytica (56,2%), entamoeba coli (43,48%), giardia lamblia (21,74%) and balantidium coli (4,35%). infestation of intestinal nematodes are ascaris lumbricoides (52,17%), hook worm (13,04%) and enterobius vermicularis (8,96%). the protrude condition of subject family are 84% low social-economic status; 96% low and medium category of parent’s formal education degree; 40% have no sanitation facilities and 64% subject with chronic disease. key words : intestinal parasite, under five year old, malnutrition, risk factors abstrak gizi buruk merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di indonesia. gizi buruk menyebabkan penderita rentan terhadap infeksi. infeksi merupakan faktor langsung yang mempengaruhi gizi buruk. infestasi parasit usus mengakibatkan penderita gizi buruk menjadi lebih buruk lagi, sehingga menghambat usaha pemberantasan gizi buruk di masyarakat. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi infestasi parasit usus pada balita penderita gizi buruk dan distribusi prevalensinya berdasarkan faktor risiko. subyek penelitian adalah semua balita gizi buruk di puskesmas kasihan i dan ii, bantul, yogyakarta. kuesioner dan catatan medik untuk mendapatkan data faktor risiko yaitu akses dengan pelayanan kesehatan, tingkat pendidikan orang tua, riwayat infeksi kronis dan tingkat sosial ekonomi. pemeriksaan feses dengan metode langsung dan tidak langsung untuk menemukan sista atau telur cacing, dilakukan sebanyak dua kali dengan pemeriksa berbeda. prevalensi infestasi protozoa usus tri wulandari kesetyaningsih, rizki ardana riswari, ririd tri pitaka, distribusi prevalensi infestasi ... 136 pada balita penderita gizi buruk adalah entamoeba histolytica (56,52%), entamoeba coli (43,48%), giardia lamblia (21,74%), dan 4,35% balantidium coli. infestasi cacing usus: ascaris lumbricoides (52,17%), cacing tambang (13,04%) dan enterobius vermicularis (8,69%). kondisi yang menonjol pada keluarga balita gizi buruk adalah 84% berstatus sosial ekonomi rendah, 96% orang tua berpendidikan rendah dan sedang serta 40% mempunyai sarana sanitasi memadai; 64% terinfeksi penyakit kronis. kata kunci: parasit usus, balita, gizi buruk, faktor risiko pendahuluan gizi buruk (severe malnutrition) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting terutama di negara-negara berkembang, termasuk indonesia. menurut nency, pada tahun 2003 di indonesia terdapat sekitar 3,5 juta anak (19,2%) mengalami gizi kurang dan 1,5 juta anak (8,3%) menderita gizi buruk dan cenderung meningkat pada tahun-tahun berikutnya.1 sepuluh persen di antara penderita gizi buruk termasuk kategori tingkat berat (marasmus, kwashiorkor dan marasmus kwashiorkor). masalah gizi kurang dan gizi buruk terjadi di hampir semua kabupaten dan kota di seluruh indonesia. gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. kondisi gizi buruk akan mempengaruhi banyak organ dan sistem karena gizi buruk sering disertai dengan defisiensi asupan mikro maupun makronutrien yang sangat diperlukan oleh tubuh. gizi buruk juga menyebabkan penderita menjadi rentan terhadap infeksi karena kondisi gizi buruk akan mengganggu sistem pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme. gizi buruk dapat mempengaruhi sistem tubuh seperti sistem digesti, sistem kardiovaskuler, sistem respirasi, sistem reproduksi, sistem syaraf, sistem otot, metabolisme, sistem hematologis, dan sistem imun.2 dalam kondisi akut, gizi buruk dapat mengancam jiwa karena disfungsi beberapa organ, seperti hipotermia karena tipisnya jaringan lemak, hipoglikemia dan kekurangan alektrolit penting dan cairan tubuh. kondisi gizi buruk akut yang dapat tertangani tetapi jika tidak diikuti dengan perbaikan-perbaikan dapat berdampak buruk terhadap pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya, baik secara fisik maupun mental.2) hal ini tentu dapat berakibat hilangnya generasi penerus yang berkualitas pada jangka lama, suatu hal yang sangat tidak kita inginkan. menurut nemer, et al.(2001) banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya gizi buruk yang saling berkaitan.3 faktor yang secara langsung mempengaruhi gizi buruk adalah kurangnya asupan gizi dan adanya penyakit infeksi, sedangkan faktor yang tidak langsung mempengaruhi tetapi sangat berkaitan dengan gizi buruk adalah ketersediaan pangan di rumah, pola asuh dan pola makan yang kurang baik, sanitasi/ kesehatan lingkungan yang tidak baik dan akses terhadap pelayanan kesehatan yang terbatas. secara individual, kebutuhan tubuh akan zat gizi berbeda tergantung pada beberapa variabel, antara lain adalah jenis kelamin, umur, berat dan tinggi badan, aktivitas, suhu sekitar dan kehamilan dan menyusui pada wanita dewasa. salah satu upaya penanggulangan gizi buruk di masyarakat adalah dengan pengobatan terhadap penyakit.4 deteksi dini penyakit yang kemungkinan berperan terhadap status gizi menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan dalam rangka mengatasi masalah gizi buruk. infeksi parasit usus, meskipun ringan akan mengakibatkan kehilangan nitrogen, menggangu absorbsi zat gizi dari rongga usus dan mengurangi nafsu makan. apabila hal ini terjadi pada anak-anak yang mengalami kekurangan gizi maka akan menambah risiko terjadinya gizi buruk pada anak-anak tersebut. ada berbagai jenis parasit usus, protozoa maupun cacing, baik yang komensal maupun patogen. beberapa spesies protozoa usus yang patogen bagi 137 mutiara medika vol. 10 no. 2: 135-141, juli 2010 sampel feses yang kemudian diperiksa secara laboratoris dan data tambahan dari kuesioner. pemeriksaan laboratorium dilakukan di laboratorium parasitologi fkik umy dengan metode langsung (sediaan basah) dan konsentrasi floatasi zink sulfat cara faust 7) untuk mengetahui infestasi protozoa usus (sista), dan nacl jenuh untuk mengetahui infestasi cacing usus (telur cacing). pemeriksaan pada setiap sampel dilakukan sebanyak dua kali, dilakukan oleh dua orang. kuesioner diisi oleh peneliti melalui wawancara terstruktur dan pengamatan langsung untuk mendapatkan data beberapa faktor risiko yang diteliti yaitu tingkat pendidikan orang tua, tingkat sosial ekonomi dan fasilitas sanitasi keluarga. riwayat infeksi kronis didapatkan dari cacatan medik di puskesmas. data prevalensi infestasi parasit usus pada balita penderita gizi buruk dikaji kaitannya dengan faktor-faktor risiko secara deskriptif. hasil di wilayah kecamatan kasihan, kabupaten bantul, yogyakarta sebagai lokasi penelitian terbagi menjadi dua wilayah puskesmas, yaitu puskesmas kasihan i dan puskesmas kasihan ii. data dari puskesmas kasihan i terdapat 12 balita penderita gizi buruk dan di puskesmas kasihan ii terdapat 14 balita penderita gizi buruk. namun dari jumlah tersebut, hanya 10 sampel yang dapat diperiksa dari subyek puskesmas kasihan i dan 13 sampel dari subyek puskesmas kasihan ii karena tinja terlalu sedikit. dari sampel yang terkumpul, kemudian diperiksa secara mikroskopis secara langsung untuk menemukan sista protozoa usus dan telur cacing usus. apabila pemeriksaan secara langsung didapatkan hasil negatif, pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan secara konsentrasi dengan metode floatasi zink sulfat cara faust.7 untuk pemeriksaan sista protozoa usus atau cara konsentrasi dengan nacl jenuh untuk pemeriksaan telur cacing usus. hasil pemeriksaan tersaji dalam tabel 1. berikut ini: manusia adalah entamoeba histolytica dan giardia lamblia. jenis lain yang dianggap komensal adalah entamoeba coli, endolimax nana, iodamoeba buetschlii, dan lain-lain. protozoa usus yang patogen dapat menyebabkan kesakitan bahkan kematian.5 jenis cacing usus umumnya tergolong dalam soil transmitted helminth yaitu cacing yang penularannya melalui tanah, seperti ascaris lumbricoides, trichuris trichiura, dan hook worm. enterobius vermicularis termasuk cacing usus yang bukan soil transmitted helminth.6 penelitian-penelitian yang berkaitan dengan infestasi parasit usus sudah banyak dilakukan pada anak-anak sekolah dan prasekolah dan dikaitkan dengan kemampuan inteligensia dan status gizi siswa sekolah. namun penelitian mengenai parasit usus pada penderita gizi buruk belum pernah dilakukan. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi prevalensi infestasi parasit usus pada balita penderita gizi buruk berdasarkan faktor-faktor risiko. hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai infestasi parasit usus pada balita penderita gizi buruk sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan dalam program pemberantasan gizi buruk di indonesia. selain itu informasi hasil penelitian dapat menambah khasanah ilmu kesehatan masyarakat dan epidemiologi parasitologi. bahan dan cara penelitian ini termasuk non eksperimental dan pembahasan dilakukan secara deskriptif dari data yang didapatkan. subyek penelitian adalah semua balita penderita gizi buruk yang tercatat di puskesmas kasihan i dan ii. variabel bebas penelitian ini adalah prevalensi gizi buruk pada balita, variabel tergantungnya adalah infestasi parasit usus dan beberapa variabel lain diambil sebagai data tambahan adalah tingkat sosial ekonomi orang tua, tingkat pendidikan orangtua, fasilitas sanitasi keluarga dan riwayat infeksi kronis. peneliti mengadakan kunjungan ke rumah penderita untuk mendapatkan tri wulandari kesetyaningsih, rizki ardana riswari, ririd tri pitaka, distribusi prevalensi infestasi ... 138 tabel 1. prevalensi infestasi parasit usus pada balita penderita gizi buruk di wilayah puskesmas kasihan i dan puskesmas kasihan ii, kecamatan kasihan, kabupaten bantul, yogyakarta. jenis parasit usus puskesmas kasihan i (n=10) puskesmas kasihan ii (n=13) total (n=23) protozoa usus n (%) n (%) n (%) e. histolytica 5 (50%) 8 (61,54%) 13 (56,52%) e. coli 3 (30%) 7 (53,85%) 10 (43,48%) g. lamblia 2 (20%) 3 (23,08%) 5 (21,74%) b. coli 1 (10%) 0 (0%) 1 (4,35%) nematoda usus a. lumbricoides 3 (30%) 9 (69,23%) 12 (52,17%) cacing tambang 1 (10%) 2 (15,38%) 3 (13,04%) e. vermicularis 2 (20%) 0 (0%) 2 (8,69%) infeksi campuran 8 (80%) 11 (84,62%) 19 (82,61%) coli. cacing usus yang menginfeksi balita penderita gizi buruk terdapat 3 jenis dengan urutan infestasi terbesar berturut-turut adalah ascaris lumbricoides (52,17%), cacing tambang (13,04%) dan enterobius vermicularis (8,69%). tabel 2. distribusi prevalensi infestasi parasit usus berdasarkan faktor-faktor risiko terjadinya infestasi parasit usus pada penderita gizi buruk. faktor risiko n = 25 prevalensi infestasi parasit usus total rata-rataprotozoa usus nematoda usus inf. campuran status ekonomi n (%) n (%) n (%) n (%) (%) tinggi 1 (4%) 1 (100%) 1 (100%) 1 (100%) 100% sedang 3 (12%) 3 (100%) 3 (100%) 3 (100%) 100% rendah 21 (84%) 18 (85,71%) 9 (42,85%) 14 (66,67%) 65,08% pendidikan org tua tinggi 0 (0%) sedang 13 (52%) 13 (100%) 8 (61,53%) 10 (76,92%) 79,48% rendah 12 (48%) 9 (75%) 5 (41,67%) 8 (66,67%) 61,11% sanitasi memadai 15 (60%) 13 (86,67%) 8 (53,33%) 10 (66,67%) 68,89% tidak memadai 10 (40%) 9 (90%) 5 (50%) 8 (80%) 73,33% infeksi kronis positif 16 (64%) 14 (87,5%) 8 (57,14%) 11 (68,75%) 71,13% negatif 9 (36%) 9 (100%) 6 (66,67) 7 (77,78%) 81,48% data tabel 1. memperlihatkan bahwa diantara protozoa usus yang teridentifikasi, prevalensi terbesar adalah entamoeba histolytica (56,52%) diikuti entamoeba coli (43,48%), giardia lamblia (21,74%), dan terdapat 4,35% balita terinfeksi balantidium 139 mutiara medika vol. 10 no. 2: 135-141, juli 2010 diskusi hal yang menarik dari tabel 1. di atas adalah tingginya angka prevalensi infestasi campuran pada balita penderita gizi buruk (82,61%). infestasi campuran dalam penelitian ini adalah infestasi lebih dari satu macam jenis (spesies) parasit usus. hal ini mengisyaratkan bahwa infestasi parasit usus pada penderita gizi buruk harus diwaspadai dan menjadi suatu hal yang perlu menjadi salah satu pertimbangan dalam upaya menurunkan angka penderita gizi buruk di indonesia umumnya dan di bantul, yogyakarta khususnya. sebagaimana diketahui infestasi parasit usus, apabila terjadi secara simultan secara langsung dapat berpengaruh pada fungsi absorbsi zat-zat makanan yang diperlukan tubuh. risiko yang terjadi akan bertambah pada anak dalam masa pertumbuhan apalagi terjadi pada anak dengan problem status gizi, maka infestasi parasit usus menjadikan kondisi status gizi menjadi lebih buruk. interaksi antara keadaan gizi dengan infeksi parasit berpokok pangkal pada kebutuhan (tubuh) manusia dan (organisme) parasit akan zat-zat gizi, serta respons imun yang efektivitasnya antara lain tergantung dari tersedianya zat-zat gizi. respons imun tubuh seseorang tergantung dari tersedianya zat anti, sel-sel khusus dll., yang semuanya memerlukan zat-zat gizi. adapun efek interaksi tersebut dapat bermacammacam, seperti yang mungkin terjadi pada suatu hubungan antara host dengan agen.8 secara umum, hubungan keadaan gizi dengan infeksi dibagi menjadi dua golongan, yaitu pengaruh infeksi terhadap keadaan gizi dan pengaruh keadaan gizi terhadap resistensi tubuh jika mengalami infeksi.8 kedua hal tersebut saling berkaitan dan dapat berjalan secara bersamaan sehingga dapat memperburuk keadaan gizi anak yang kurang baik. menurut budiono, et al.9 terdapat hubungan antara infestasi cacing usus dengan kadar hb pada anak-anak sekolah. kadar hb dalam darah merupakan salah satu indikator penentuan status gizi secara biokimiawi.10 adapun distribusi prevalensi infestasi parasit usus berdasarkan faktor-faktor risiko yang kemungkinan berkaitan dengan infestasi parasit usus pada balita penderita gizi buruk ditampilkan pada tabel 2. pada tabel 2. tersebut tampak bahwa 84% balita penderita gizi buruk berasal dari keluarga dengan status ekonomi rendah dan 65,08% diantaranya terinfestasi parasit usus. status ekonomi pada penelitian ini ditinjau dari jumlah penghasilan orang tua tiap bulan, yaitu rendah (< rp. 400.000,-), sedang (rp. 400.000 rp. 700.000,-) dan tinggi (>700.000,-). pada faktor tingkat pendidikan orang tua, terlihat bahwa rata-rata pendidikan orang tua adalah rendah (48%) dan sedang (52%). infestasi parasit usus pada tingkat pendidikan sedang (smp-sma) sedikit lebih tinggi (79,48%) daripada kelompok dengan pendidikan rendah (s/d sd) yaitu 61,11%. tingkat sosial ekonomi orang tua balita penderita gizi buruk yang rata-rata rendahsedang merupakan hal yang menonjol dari hasil penelitian ini. keterbelakangan dan ketidak berdayaan ekonomi tampaknya menjadi penyebab yang cukup penting untuk dipertimbangkan dalam menangani masalah gizi buruk pada balita, khususnya di kecamatan kasihan, bantul, yogyakarta. dari faktor ketersediaan sarana sanitasi, sebenarnya 60% keluarga balita dengan gizi buruk mempunyai sarana sanitasi yang memadai dan hanya 40% yang tidak memadai. pada penelitian ini tampak bahwa ketersediaan sarana sanitasi tidak terlalu berkaitan dengan infestasi parasit usus pada balita penderita gizi buruk. dalam penelitian ini fasilitas terbatas dipandang dari ketersediaan kamar mandiwc keluarga dan sumber air dari sumur atau pam. ketersediaan fasilitas sanitasi, apabila tidak didukung oleh perilaku hidup bersih pada orang tua dan orang-orang terdekat termasuk pengasuh ternyata tidak berpengaruh terhadap kejadian infeksi protozoa usus pada balita penderita gizi buruk. namun untuk mengungkap perilaku hidup bersih pada orang tua atau pengasuh tidaklah mudah karena umumnya responden menjawab tidak sesuai dengan kenyataan yang dikerjakan tetapi disesuaikan dengan yang seharusnya dikerjakan ketika mengisi kuesioner atau diwawancara. metode yang baik harus digunakan untuk mengungkap faktor yang sebenarnya sangat berperan tri wulandari kesetyaningsih, rizki ardana riswari, ririd tri pitaka, distribusi prevalensi infestasi ... 140 pada infeksi parasit usus pada balita penderita gizi buruk. pada faktor adanya infeksi kronis, penelitian ini menunjukkan 64% balita penderita gizi buruk juga menderita infeksi kronis dan 71,13 % diantaranya terinfestasi parasit usus. infeksi kronis pada penelitian ini meliputi tuberkulose 46%, retardasi tumbuh kembang 30,76% dan lain-lain 7,69%. menurut markell et al.6 anak-anak merupakan golongan berisiko tinggi terinfeksi cacing usus, dan sejumlah penelitian menunjukkan bahwa infestasi cacing ini mempengaruhi status gizi penderita, meskipun ada yang mereview bahwa penelitian tersebut salah dalam desain atau gagal menunjukkan efek yang dimaksud. juga ditemukan di banyak daerah endemik, anemia akibat infeksi cacing kait berkaitan dengan penderita retardasi mental dan fisik yang didukung kondisi jelek yang lain seperti masalah gizi dan penyakit lain. fenomena ini sangat berkaitan dengan kondisi yang terjadi pada balita penderita gizi buruk yang diteliti, yaitu bahwa antara gizi buruk, infeksi kronis dan infestasi cacing usus merupakan faktor yang saling mendukung untuk memperjelek kondisi penderita. kesimpulan berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan kondisi balita penderita gizi buruk di kecamatan kasihan, bantul, yogyakarta sebagai berikut: 1. prevalensi infestasi parasit usus cukup tinggi yaitu entamoeba histolytica (56,52%), ascaris lumbricoides (52,17%), dan infestasi campuran (82,61%). 2. prevalensi infestasi parasit usus berdasarkan faktor risiko : a. status sosial ekonomi: 84% berasal dari keluarga dengan status ekonomi rendah dan 65,08% diantaranya terinfestasi parasit usus. b. pendidikan orang tua: 48%-52% pendidikan orang tua rendah dan sedang dan 61,11%-79,48% terinfestasi parasit usus. c. kepemilikan sarana sanitasi: 60% keluarga mempunyai sarana sanitasi yang memadai, namun ketersediaan sarana sanitasi tidak berkaitan dengan infestasi parasit usus. d. infeksi kronis: 64% menderita infeksi kronis dan 71,13 % terinfestasi parasit usus. daftar pustaka 1. nency, y., dan m.t. arifin. 2005. perkembangan dan penanggulangan gizi buruk di indonesia. semarang. 2. garrow, j.r. 2000. malnutrition. child welfare league of america. diakses 21 maret 2007. http://www.cwla.org/ programs/health/healthtipsmalnutrition. htm 3. nemer, l., gelband h. and jha, p. 2001. the evidence base for intervensions to recude malnutrition in chidren under five and school-age children in low and middle-income countries. cmh working paper series, paper no.wg5:11. diakses 18 mei 2006. http://www.who. int./en/ 4. depkes. 2005. perkembangan penanggulangan gizi buruk di indonesia tahun 2005. diakses 9 maret 2006. http://www.depkes.co.id 5. garcia, l.s., and bruckner, d.a. 1996. diagnostik parasitologi kedokteran. egc. jakarta. hal. 5-51. 6. markell, e.k., voge, m., and john, d.t. 2006. medical parsitology 9th. ed. philadelphia, london, toronto, mexicocity, riodejaneiro, sydney, tokyo, hongkong. pp. 20-78. 7. gillespie, s.h. and hawkey, p.m. 1995. medical parasitology. a practical approach. oxford university press. oxford. new york. tokyo. pp 84. 8. sastroamidjojo, s. 1980. hubungan keadaan gizi dengan infeksi parasit. cermin dunia kedokteran. nomor khusus. diakses tanggal 20 oktober 2010 dari http://www.kalbe.co.id/files/ cdk/files/25hubungangiziparasit020. pdf/25hubungangiziparasit020.html 9. jamil, m.d. dan francisca, e. 2009. hubungan antara infestasi cacing usus, status haemoglobin dengan prestasi 141 mutiara medika vol. 10 no. 2: 135-141, juli 2010 relajar anak sd inpres sereh sentani, jayapura. diakses tgl 20 oktober 2010 dari http://dawamjamil.blogspot.com/ 10. mutalazimah. 2005. hubungan lingkar lengan atas (lila) dan kadar hemoglobin (hb) ibu hamil dengan berat bayi lahir di rsud dr. moewardi surakarta. jurnal penelitian sains & teknologi, vol. 114 ol. 6, no. 2, 2005: 114 – 126. 101 mutiara medika edisi khusus vol. 8 no. 2: 101 106, oktober 2008 deteksi kuman salmonella pada ayam goreng yang dijual di warung makan dan pola kepekaan terhadap berbagai zat antibiotika salmonella detection on fried chickens sold at food stores and its sensitivity pattern on antibiotics syuriati wulandari1, lilis suryani 2 1fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta, 2bagian mikrobiologi fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta abstract there are many types of bacteria that cause food poisoned. one of the bacterias is salmonella typhi. this type of bacteria mostly inhabit the farm animals or wild animals. mostly bacterias on cats, dogs, rats, flies and cockroaches defile chickens, meat, eggs and raw milk. salmonella typhi defiles riped foods during storage and serving. researches meant to detect salmonella presence on foods sold at restaurants in yogyakarta are rarely conducted. this research was in demand to find out the safety of the restaurant foods. this research is a retrospective research. the 5 ( five ) samples tested were fried chickens sold at restaurants along the patang puluhan street, wirobrajan, yogyakarta. the identification process was proceeded at laboratorium mikrobiologi fakultas kedokteran umy on august 2007. the process included bacteria quantity determination, salmonella typhi and salmonella paratyphi identification and sensitivity pattern of both bacteria on antibiotics. the bacteria count test result shows 6612 organism/ml. and that 60% of the fried chicken sample is contaminated with salmonella typhi, 20% contaminated with salmonella paratyphi, and 20% contaminated with e. coli. the antibiotics that still can be used to exterminate salmonella typhi are cotrimoxazol and ciprofloxacin, for salmonella paratyphi are amoxicillin, cotrimoxazol, seftriaxon and ciprofloxacin. key words: antibiotic, food stores, salmonella typhi, salmonella paratyphi abstrak banyak jenis kuman yang dapat menyebabkan keracunan makanan dan salah satunya adalah salmonell typhi. kuman ini didapat dari hewan peliharaan atau hewan liar. biasanya pada kucing, anjing, tikus, lalat dan kecoa yang mencemari ayam, daging, telur dan hasil telur, susu mentah. salmonella typhi mencemarkan makanan melalui makanan yang telah dimasak ketika penyediaan dan penyimpanan. penelitian ini dilakukan untuk deteksi salmonella pada makanan ayam goreng yang dijual pada warung makan di yogyakarta, dengan tujuan untuk mengetahui keamanan makanan yang dijual para pedagang. penelitian ini bersifat retrospektif. sampel yang diuji berupa ayam goreng yang dijual di warung makan di sepanjang jalan patang puluhan wirobrajan yogyakarta sejumlah 5 sampel. syuriati wulandari, lilis suryani, deteksi kuman salmonella pada ayam .............................. 102 identifikasi dilakukan di laboratorium mikrobiologi fk umy pada bulan agustus 2007. identifikasi meliputi penentuan jumlah kuman, identifikasi salmonella typhi dan salmonella paratyphi, serta pola kepekaan kedua kuman tersebut terhadap berbagai zat antiboitika. hasil penelitian menunjukan bahwa hasil penentuan angka kuman diperoleh 6612 organisme/ ml. 60% sampel ayam goreng yang dijual di warung makan terkontaminasi salmonella typhi. 20% sampel ayam goreng yang dijual di warung makan terkontaminasi salmonella paratyphi. 20% sampel ayam goreng yang dijual di warung makan terkontaminasi e.coli. zat antibiotika yang masih poten untuk membunuh kuman salmonella typhi adalah kotrimoksazol dan ciprofloksasin. salmonella paratyphi adalah amoksisilin, kotrimoksazol, seftriakson, dan ciprofloksasin. kata kunci: warung makan, salmonella typhi, salmonella paratyphi , zat antibiotika pendahuluan banyak jenis kuman yang dapat menyebabkan keracunan makanan dan salah satunya adalah salmonella typhi. kuman ini didapat dari hewan peliharaan atau hewan liar. biasanya pada kucing, anjing, tikus, lalat dan kecoa yang mencemari ayam, daging, telur dan hasil telur, susu mentah. kuman ini mempunyai waktu inkubasi 6 hingga 72 jam dan timbul tanda diare, sakit perut, muntah, dan demam dalam waktu 12 hingga 36 jam setelah terjangkiti. salmonella typhi mencemarkan makanan melalui tangan pengendali yang tercemar (akibat memegang hewan dan tidak cuci tangan dengan bersih) dan pencemaran melalui makanan yang telah dimasak ketika penyediaan dan penyimpanan.1 salmonella typhi adalah kuman batang bergerak, gram negatif, fakultatif anaerob yang secara khas meragikan glukosa atau sukrosa. kuman ini sering bersifat patogen untuk manusia atau binatang bila masuk melalui mulut. terdapat lebih dari 1600 serotipe salmonella typhi.2 penelitian yang dilakukan oleh noer endah pracoyo yang dilakukan pada tahun 1993 mengenai kuman-kuman patogen dalam makanan katering yang dilakukan di jakarta. didapatkan hasil bahwa sampel makanan yang diambil ditemukan kuman e.coli.3 penelitian yang dilakukan oleh gabriela jenikova yang dilakukan pada tahun 2000 tentang deteksi kuman pada makanan di checzh republik dengan menggunakan metode pcr dan pemisahan imunologis didapatkan hasil kuman salmonella enteridis, klebsiella pneumonia, e.coli, citrobacter freundii dan enterobacter cloacae.3 penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi salmonella pada makanan yang dijual pada warung makan dalam rangka mengetahui keamanan makanan yang dijual di warung makan di sepanjang jalan patang puluhan yogyakarta. tujuan penelitian ini adalah untuk mendeteksi kuman salmonella typhi dan salmonella paratyphi pada ayam goreng yang dijual di warung makan di sepanjang jalan patang puluhan wirobrajan yogyakarta dan mengketahui pola kepekaan kuman salmonella typhi dan salmonella paratyphi yang terdapat pada ayam goreng terhadap berbagai zat antibiotika. bahan dan cara penelitian ini merupakan penelitian retrospektif tentang deteksi kuman salmonella pada ayam goreng yang dijual di warung makan di sepanjang jalan patang puluhan wirobrajan yogyakarta dan pola 103 mutiara medika edisi khusus vol. 8 no. 2: 101 106, oktober 2008 kepekaannya terhadap berbagai zat antibiotika. pengambilan sampel ayam goreng dilakukan di 5 warung makan di sepanjang jalan patang puluhan wirobrajan yogyakarta dan pemeriksaan dilakukan di laboratorium mikrobiologi fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta. alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pipet ukur, penggaris, cawan petri, timbangan, blander, kertas steril, ose, kapas lidi, lampu spritus. bahan-bahan yang digunakan adalah ayam goreng, zat antibiotika (amoksisilin, korimoksasol, kloramfenikol, seftriakson, dan ciprofloksasin), agar standar method, media mac.conkey, media lia,kia,sss,mio, media bhi, tabel nccls, air steril. penentuan angka kuman dari sampel dengan cara ditimbang 20 gram ayam goreng dengan menggunakan kertas steril. tambahkan 180 ml air steril hancurkan dengan blender selama 5 menit. ambil 0,1 ml larutan tersebut dan tuangkan ke cawan petri no 1 yang berisi media mac.conkey. ambil 1 ml larutan dan masukkan ke dalam 99 ml air steril. aduk sampai homogen selama 7 detik. ambil 0,1 ml larutan yang sudah homogen, tuangkan ke cawan petri no.2 dan 1 ml larutan yang sudah homogen ke dalam cawan petri no.3. kemudian ketiga petri tersebut inkubasikan pada suhu 37oc selama 24 jam. hitung jumlah koloni yang tumbuh. identifikasi koloni kuman yang tumbuh. identifikasi kuman salmonella dengan cara koloni hasil isolasi kuman salmonella pada ayam goreng digores pada media mac.conkey. inkubasikan selama 24 jam pada suhu 37o c. amati koloni kuman yang tumbuh pilih koloni yang tidak memfermentasi laktosa yang ditandai dengan warna koloni transparan dan cembung. tanam koloni pada media kia, lia, sss, dan mio. inkubasikan pada suhu 37oc selama 24 jam. amati hasil dengan mencatat ada tidaknya gas h2s pada media kia dan lia, dan ada tidaknya kekeruhan pada media sss dan mio. salmonella typhi ditandai pada media kia tidak adanya gas h2s dan pada salmonella paratyphi media kia adanya gas h2s. uji sensitivitas kuman salmonella terhadap berbagai zat antibiotika dengan metode kirby bauer dengan cara digores koloni salmonella pada seluruh permukaan media agar bhi. biarkan 3 5 menit agar media kering. letakkan beberapa disk antibiotika (amoksisilin, kotrimoksasol, kloramfenikol, seftriakson dan ciprofloksasin ) di atas media agar yang telah berisi kuman. inkubasikan pada suhu 37oc selama 24 jam . ukur diameter zona hambat yang terbentuk di sekitar disk antibiotika dalam satuan milimeter. cocokkan hasil pengukuran diameter zona hambat dengan tabel nccls untuk mengketahui sensitif atau resisten. hasil ayam goreng yang diambil menjadi sampel di warung makan di sepanjang jalan patang puluhan berjumlah 5. koloni kuman dapat ditentukan dengan melihat hasil biakan kuman dari media mac.conkey. pada media akan tampak koloni-koloni kuman dan dihitung jumlah kuman pada sampel ayam goreng. hasil dari jumlah kuman pada sampel ayam goreng dapat dilihat pada tabel 1. syuriati wulandari, lilis suryani, deteksi kuman salmonella pada ayam .............................. 104 tabel 1. rata-rata jumlah kuman pada sampel ayam goreng dari hasil tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa dalam suspensi yang berisi 20 gram ayam goring di tambah 180 ml air steril didapatkan sejumlah 6612 organisme/ml. hasil identifikasi kuman yang diambil dari koloni kuman yang tumbuh pada media mac.conkey, dipilih koloni yang bulat, cembung dan transparan yang dicurigai kuman salmonella. hasil identifikasi kuman salmonella typhi dan salmonella paratyphi dapat dilihat pada tabel 2. table 2 hasil identifikasi kuman salmonella pada ayam goreng pada tabel 2 dapat dilihat dari 5 sampel yang diperiksa terdapat 60% kuman salmonella typhi, 20% kuman salmonella paratyphi, dan 20% kuman e.coli. uji biokimia no morfologi makroskopik morfologi mikroskopik kia lia sss mio kesimpulan 1 batang, gram(-),dan menyebar bulat, cembung dan transparan slant:alkali butt: asam h2s:0 slant:alkali butt:normal h2s:0 tidak ada perubahan reaksi:asam mott:(+) indol:0 s.typhi 2 batang, gram(-),dan menyebar bulat, cembung dan transparan slant:alkali butt: asam h2s:0 slant:alkali butt:normal h2s:0 tidak ada perubahan reaksi:asam mott:(+) indol:0 s.typhi 3 batang, gram(-),dan menyebar bulat, cembung dan transparan slant:alkali butt: asam h2s:0 slant:alkali butt:normal h2s:0 tidak ada perubahan reaksi:asam mott:(+) indol:0 s.typhi 4 batang, gram(-),dan menyebar bulat, cembung dan transparan slant:alkali butt: asam h2s: (+) slant:alkali butt:normal h2s:0 tidak ada perubahan reaksi:asam mott:(+) indol:0 s.paratyphi 5 batang , gram(-) dan menyabar bulat , cembung dan merah slant:asam butt: gas asam h2s: 0 slant:alkali butt:alkali h2s:0 tidak ada perubahan reaksi:alkali mott:(+) indol:0 e.coli no sampel satuan (organisme/ml) 1 10.977 2 16.840 3 115 4 4210 5 920 rata-rata 6612 disk antibiotika no jenis kuman amc sxt c cro cip 1 salmonella typhi s s s s s 2 salmonella typhi s s s s s 3 salmonella paratyphi s s i s s 4 salmonella typhi r s r s r tabel 3 pola kepekaan kuman salmonella terhadap bebagai zat antibiotika keterangan: amc = amoksisilin, sxt= kotrimoksazol, c= kloramfenikol, cro= seftriakson, cip= ciprofloksasin 105 mutiara medika edisi khusus vol. 8 no. 2: 101 106, oktober 2008 dari tabel 3 dapat dilihat dari hasil pemerikaan pola kepekaan kuman salmonella typhi dan salmonella paratyphi terhadap zat antibiotika amoksisilin, kotrimoksazol, kloramfenikol, seftriakson, dan ciprofloksasin. pola kepekaan salmonella typhi terhadap beberapa zat antibiotika diperoleh hasil 66,6% sensitive terhadap amoksisilin, kloramfenikol, dan ciprofloksasin. 100 % sensitive terhadap kotrimoksazol dan seftriakson dan 33,3% resisten terhadap amoksisilin, kloramfenikol dan ciprofloksasin. pola kepekaan salmonella paratyphi terhadap beberapa zat antibiotika diperoleh hasil 100% sensitive terhadap amoksisilin, kotrimoksazol, seftriakson, ciprofloksasin dan intermediate terhadap kloramfenikol. diskusi jumlah kuman pada sampel ayam goreng yang didapat dari warung makan yang dijual di sepanjang jalan patang puluhan wirobrajan yogyakarta didapatkan kuman sebesar 6612 organisme/ml. kuman yang terdapat pada ayam goreng ini masih dikatakan dibawah dari 3x105 karena jika makanan mengandung kuman yang melebihi ketentuan tersebut bahwa makanan ini tidak dapat dikonsumsi. menurut peraturan menteri kesehatan no.172/menkes/per/x/1986 tanggal 6 oktober 1986 tentang persyaratan kesehatan jasa boga, kuman e.coli pada makanan olahan harus tidak ada. sedangkan angka kuman pada permukaan alat yang digunakan untuk tempat makan ataupun yang kontak dengan makanan sebnyak-banyaknya 100%m2 dan jumlah angka kuman pada makanan tidak lebih dari 3x105 dan hasil olahan tidak mengandung kuman patogen lainnya. pada pemeriksaan ini diperoleh hasil kuman di bawah dari 3x105 maka makanan dapat dikonsumsi. namun karena dari hasil pemeriksaan didapatkan juga kuman e.coli makanan ini tidak dapat dikonsumsi, karena ada peraturan menteri bahwa jika pada makanan mengandung e.coli makanan tersebut tidak dapat dikonsumsi. salmonella merupakan pathogen pada binatang yang merupakan reservoir infeksi pada manusia. organisme hampir selalu masuk melalui jalan oral, biasanya dengan mengkontaminasi makanan atau minuman.2 dan salmonella dapat mencemarkan makanan melalui tangan manusia yang tercemar (akibat memegang hewan dan tidak mencuci tangan dengan bersih) dan pencemaran dari makanan mentah ke yang masak ketika penyediaan dan penyimpanan.1 kuman gram negative memiliki selubung sel yang berlapis-lapis dan kompleks. selaput sitoplasma (membrane dalam) dikelilingi oleh lapisan pipih tunggal peptidoglikan, dimana melekat lapisan kompleks yang disebut selaput luar (membrane luar). kapsul yang paling luar atau lapisan s (molekul glikoprotein) mungkin juga ada. di bagian terluar, juga terdapat simpai yang bervariasi. rongga antara selaput luar dan selaput dalam disebut rongga periplasma.2 dinding sel salmonella yang merupakan bakteri gram negative mengandung tiga komponen yang terletak pada lapisan luar peptidoglikan: lipoprotein, lipopoliskarida, dan selaput luar. selaput luar merupakan selaput ganda; bagian dalamnya menyerupai komposisi selaput sitoplasmik, sedangkan fosfolipid lapisan luar diganti dengan molekul lipopolisakarida (lps) sehingga lapisan dari selaput ini bersifat asimetris. karena sifat lipidnya, selaput luar diharapkan dapat mengeluarkan molekul hidrofilik dengan baik sehingga zat-zat yang bersifat hidrofilik akan lebih sukar menembus dinding sel bakteri. selaput luar memilki saluran khusus yang terdiri dari molekul protein yang disebut porin. porin dapat meloloskan difusi pasif dari beberapa molekul hidrofilik dengan molekul rendah. hal ini menyebabkan molekul antibakteri yang besar akan menembus selaput luar dengan sangat lambat, sehingga salmonella relative resisten terhadap antibakteri.2 amoksisilin dan seftriakson merupakan antibiotika golongan betalaktam. obat beta-laktam mempunyai mekanisme kerja anti bakteri yang secara syuriati wulandari, lilis suryani, deteksi kuman salmonella pada ayam .............................. 106 umum menyebabkan kerusakan dinding sel bakteri. mekanisme dari beta-laktam (1) perlektan pada protein mengikat penisilin yang spesifik (pbps) yang berlaku sebagai obat reseptor pada bakteri,(2) penghambatan sintesis dinding sel dengan menghambat transpeptidasi dari peptidoglikan, dan (3) pengaktifan enzim autolitik di dalam dinding sel, yang menghasilkan kerusakan sehingga akibatnya bakteri mati.5 kotrimoksazol dan ciprofloksasin merupakan golongan antibiotika yang kerjanya melalui menghambat sintesis asam nukleat. kotrimosazol adalah gabungan dari trimetropim dan sulfametoksazol. trimetropim menghambat asam dihidrofolat reduktase bakteri kira-kira 50.000 kali lebih efisien daripada enzim yang sama dari sel mamalia. asam dihidrofolat reduktase adalah enzim yang mengubah asam dihidrofolat menjadi asam tetrahidrofolat, suatu langkah yang mengarah ke sintesis purin dan akhirnya menjadi dna.5 kloramfenikol merupakan antibotika golongan yang bekerja menghambat sintesis protein. kloramfenikol adalah suatu penghambat sintesis protein mikroba dan mempunyai efek yang kecil pada fungsi metabolisme mikroba lainnya. kloramfenikol terikat secara reversible pada tempat reseptor subunit 50s ribosom bakteri. obat ini sangat mengganggu penggabungan asam amino ke peptide baru yang dibentuk dengan menghambat kerja peptidil transferase.5 kesimpulan hasil penentuan angka kuman diperoleh 6612 organisme/ml. 60% sampel ayam goreng yang dijual di warung makan terkontaminasi salmonella typhi. 20% sampel ayam goreng yang dijual di warung makan terkontaminasi salmonella paratyphi. 20% sampel ayam goreng yang dijual di warung makan terkontaminasi e.coli. zat antibiotika yang masih poten untuk membunuh kuman salmonella typhi adalah kotrimoksazol dan ciprofloksasin. zat antibiotika yang masih poten untuk membunuh kuman salmonella paratyphi adalah amoksisilin, kotrimoksazol, seftriakson, dan ciprofloksasin. pada ayam goreng yang dijual di warung makan di sepanjang jalan patang puluhan wirobrajan yogyakarta mengandung kuman salmonella typhi, salmonella paratyphi dan e.coli. daftar pustaka 1. jamaluddin, norlaila hamima. (2007). keracunan makanan. diakses 20 juli 2007 dari http://www.hmetro.com.my/ current_news/hm/sunday/ kesihatan/ 20070325105858/article/indexs_html 2. jawetz.,melnick.,adelbergs.(2001). mikrobiologi kedokteran. jakarta : salemba medika 3. pracoyo, noer e.,harjtning s., pujarwoto t., (1993).penelitian kumankuman pathogen dalam makanan catering di jakarta.cermin dunia kedokteran 4. gabriela j., jarmila p., katerina d. (2000).detection of salmonella in food samples by the combination of immunomagnetic separation and pcr assay. czech republic: internatl microbiol 5. katzung, bg.(1998).farmakologi dasar dan klinik ed:vi jakarta:egc 55 mutiara medika vol. 10 no. 1:55-61, januari 2010 gambaran strategi koping keluarga dalam merawat pasien skizofrenia di wilayah kecamatan kasihan bantul description family coping strategy in treating schizofrenia patient in sub-district of kasihan, bantul shanti wardaningsih1, elya rochmawati2, puji sutarjo3 1departemen jiwa dan komunitas, program studi ilmu keperawatan, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, 2program studi ilmu keperawatan, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, 3rumah sakit grhasia daerah istimewa yogyakarta email: shantiwardaningsih@gmail.com abstract family coping strategy remains important method that implemented by member of family, even treating the mentality disorder patient among family members becomes necessity because of the increasing number of mentality disorder relapse, which predicted to get setback into the patient, as much as 95% of patients become chronic along their lives. this research attempts at investigating and identifying general description of family coping strategy in treating psychological disorder patient in puskesmas, kasihan bantul yogyakarta. it is qualitative research using in-depth interview. determining of participant by using purposive sampling. number of participants is five person particularly members whose closed relationship, staying at the same place and interacting with patient for at least years. with range of age is 17-65 years old. the result of this research is referred to previous researches which seeking for determinant faktors for instances, internal family coping strategy and external family coping strategy. this research concludes that description of family coping strategy in treating patient with mentality disorder can be seen through several factors for instance factor of faith, financial, knowledge, type of communication, and social support. key words: family coping strategy, schizofrenia, primary health care abstrak strategi koping keluarga merupakan upaya penting yang harus dilakukan oleh anggota keluarga, bahkan dalam merawat penderita gangguan jiwa dikalangan keluarga menjadi hal paling pokok. angka kekambuhan gangguan jiwa semakin meningkat, diperkirakan sebesar 95% pasien menjadi kronik dengan gejala-gejala sepanjang hidupnya. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran strategi koping keluarga dalam merawat penderita gangguan jiwa di wilayah kecamatan kasihan bantul. penelitian ini menggunakan rancangan fenomologi dengan metode wawancara mendalam (indeepth interview) merupakan penelitian kualitatif. pengambilan partisipan menggunakan purposive sampling. jumlah partisipan 5 orang yaitu keluarga yang masih ada hubungan darah dengan penderita gangguan jiwa yang mengalami gangguan jiwa minimal 5 tahun dan tinggal satu rumah serta berinteraksi langsung dengan penderita, umur 17-65 tahun. hasil penelitian menunjukkan gambaran strategi koping keluarga dalam merawat pasien skizofrenia dapat dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhinya dan tipe-tipe strategi koping yang sering digunakan oleh keluarga yaitu strategi koping keluarga 56 internal dan strategi koping keluarga eksternal. disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi strategi koping adalah yaitu faktor keyakinan, keuangan, pengetahuan, polapola komunikasi, dukungan sosial. strategi koping yang sering digunakan dapat dilihat dari tipe-tipe strategi koping keluarga yaitu strategi koping keluarga internal berupa mengandalkan kelompok keluarga, pengontrolan makna dari masalah, pemecahan masalah bersama-sama dan pengungkapan bersama. kata kunci: strategi koping keluarga, skizofrenia, puskesmas pendahuluan keluarga secara konstan akan terus mengalami perubahan demi perubahan sesuai dengan persepsi dan hidup keluarga. perubahan ini dipengaruhi oleh stimulus dari internal keluarga maupun dari eksternal keluarga.1 dalam teori stress keluarga dijelaskan mengenai sebuah krisis timbul karena sumber-sumber dan strategi adaptif tidak secara efektif mengatasi ancamanancaman stressor, sehingga keluarga tidak dapat terampil dalam memecahkan masalah dan keluarga menjadi kurang bermanfaat.2 krisis atau stress keluarga dicirikan oleh ketidakstabilan dan kesemerawutan keluarga, pada saat stress muncul biasanya keluarga merasa tidak nyaman dan biasanya bersifat reseptif terhadap nasehat-nasehat dan informasi.3 strategi koping keluarga merupakan strategi positif dari adaptasi keluarga secara keseluruhan dengan melakukan upayaupaya pemecahan masalah atau mengurangi stress yang diakibatkan oleh masalah atau peristiwa. kasus gangguan jiwa terutama skizofrenia akan menjadi beban yang berat bagi keluarga dan akan mempengaruhi anggota keluarga yang lain secara keseluruhan karena karakteristik skizofrenia yang sangat kompleks. skizofrenia ditandai dengan penyimpangan perilaku yang tidak wajar sehingga anggota keluarga merasa malu dan menyembunyikannya, ditambah dengan lingkungan masyarakat yang kurang mendukung terhadap proses penyembuhannya sehingga muncul stigma negatif terhadap penderita gangguan jiwa dan keluarganya. selain itu, faktor keuangan yang kurang memadai juga dapat menjadi faktor penghambat dalam kesembuhan gangguan jiwa. data yang diperoleh dari hasil studi pendahuluan pada bulan oktober-november 2009 menunjukkan bahwa angka gangguan jiwa terutama pasien skizofrenia di wilayah puskesmas kecamatan kasihan, kabupaten bantul masih sangat tinggi yaitu (143 pasien). peningkatan angka gangguan jiwa di wilayah puskesmas kecamatan kasihan dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kurangnya pengetahuan cara merawat penderita gangguan jiwa di lingkungan keluarga nya dan usahausaha yang dilakukan oleh keluarga berupa koping positif untuk membantu proses penyembuhan. strategi koping keluarga merupakan upaya penting yang harus dilakukan oleh anggota keluarga. bahkan dalam merawat penderita gangguan jiwa pada anggota keluarga menjadi hal yang paling pokok, karena angka kekambuhan gangguan jiwa semakin meningkat. diperkirakan sepenuhnya akan mengalami serangan ulang, yaitu 95% pasien menjadi kronik dengan gejala-gejala sepanjang hidupnya.4 strategi koping keluarga diperlukan dalam merawat penderita gangguan jiwa, karena strategi koping merupakan upaya positif yang dilakukan oleh keluarga untuk mengatasi atau mencegah terjadinya kekambuhan pada penderita gangguan jiwa. strategi koping keluarga dapat dilakukan dengan menggunakan dua tipe yaitu: 1) pertama, tipe strategi koping keluarga internal dapat dilakukan melalui tujuh cara, yaitu mengandalkan kelompok keluarga, menggunakan humor, pengungkapan bersama yang semakin meningkat (memelihara ikatan), mengontrol arti atau makna masalah, pemecahan masalah shanti wardaningsih, elya rochmawati, puji sutarjo, gambaran strategi koping ... 57 mutiara medika vol. 10 no. 1:55-61, januari 2010 bersama-sama, fleksibilitas peran dan normalisas; 2) tipe strategi koping eksternal, dilakukan dengan mencari informasi, memelihara hubungan aktif dengan komunitas, mencari dukungan sosial dan mencari dukungan spiritual. tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran strategi koping keluarga dalam merawat pasien skizofrenia di wilayah kecamatan kasihan, bantul. bahan dan cara penelitian ini menggunakan rancangan penelitian fenomologi, menggunakan metode wawancara mendalam (indeepth interview) yang merupakan penelitian kualitatif.5 penelitian ini untuk mengetahui bagaimana gambaran strategi koping keluarga dalam merawat pasien skizofrenia di wilayah kecamatan kasihan bantul. pengambilan partisipan menggunakan purposive sampling. partisipan penelitian ini memenuhi kriteria sebagai berikut: keluarga dari pasien skizofrenia di wilayah kerja kecamatan kasihan bantul, masih ada hubungan darah dengan pasien yang mengalami skizofrenia minimal 5 tahun dan tinggal satu rumah serta berinteraksi langsung dengan penderita. partisipan berumur 17 ≤ 65 tahun. sebelum dilakukan penelitian, diajukan permohonan izin penelitian kepada pihak-pihak dan instansi yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. untuk mendapatkan informasi dari partisipan, peneliti menanyakan kesediaannya terlebih dahulu sebelum diwawancarai. sebelum wawancara dilaksanakan, terlebih dahulu diutarakan tujuan, jaminan kerahasiaan responden, dan hak-hak serta kewajiban partisipan. hasil wawancara dikonfirmasikan kembali kepada partisipan yang bersangkutan untuk mendapatkan kejelasan tentang apa yang sudah disampaikannya sebelum wawancara berakhir. dalam pelaksanaan pengambilan data menggunakan metode wawancara mendalam yang telah dibuat oleh peneliti sehingga data yang didapatkan merupakan data primer. proses wawancara berlangsung secara fleksibel, namun tetap menggunakan pedoman wawancara. wawancara direkam menggunakan tape recorder setelah sebelumnya memperoleh persetujuan dari partisipan. selain itu, peneliti juga membuat catatan-catatan lapangan untuk menjamin keabsahan data yang diperoleh khususnya pada saat peneliti melakukan survei pendahuluan. hasil hasil penelitian ini menggambarkan tentang; faktor-faktor yang mempengaruhi strategi koping keluarga dalam merawat pasien skizofrenia, terdiri dari faktor keuangan (status ekonomi), faktor dukungan sosial, faktor keyakinan (spiritual), faktor pengetahuan keluarga, faktor pola-pola komunikasi keluarga. strategi koping keluarga yang sering digunakan dalam merawat pasien skizofrenia, yaitu; 1) strategi koping keluarga internal meliputi ketergantung an pada kelompok keluarga, pemaknaan masalah, pemecahan masalah bersamasama dan pengungkapan bersama; 2) strategi koping keluarga eskternal meliputi mencari dukungan spiritual dan mencari dukungan sosial. diskusi faktor-faktor yang mempengaruhi strategi koping keluarga dalam merawat pasien skizofrenia adalah faktor keluarga, faktor dukungan sosial, faktor keyakinan (spiritual), faktor pengetahuan keluarga dan faktor pola-pola komunikasi keluarga. faktor keuangan (status sosial ekonomi). sebagaimana diungkapkan oleh p4 berikut ini: “kami ini bukan orang yang mampu mbak, ga punya biaya lebih makanya kami bawa ke pondok rehabilitasi, disana biayanya murah cuma semampu kami berapa bisa bayarnya, ya seikhlasnya gitu lah mbak..”. ungkapan partisipan di atas menunjukkan bahwa faktor keuangan menjadi faktor yang berpengaruh dalam mengatasi masalah pengobatan. terbukti dengan pernyataan p3 yang berasal dari kalangan keluarga tidak mampu, “dulu pernah mba diobatin ke pakem tapi malah 58 anak saya ga sembuh-sembuh, tambah biayanya juga mbak kami nggak mampu bawa anak saya lagi ke rumah sakit, ya sudah akhirnya kami rawat di rumah aja mbak, yang penting anak saya sudah nggak ngamuk-ngamuk…”. ketidakteraturan penghasilan dan pekerjaan dapat menjadi faktor yang berpengaruh bagaimana keluarga dalam pengambilan keputusan terutama dalam perawatan kesehatan.6 “bapaknya kerja buruh bangunan, kalo pas ada kerja bangunan ya kerja, kalo pas nggak ada ya nganggur mba di rumah. semenjak anak saya sakit ini mba saya coba bantu suami dengan jualan sayur matang keliling perumahan sekitar sini. kalo nggak kayak gitu nggak cukup mba untuk biaya pengobatan, ini aja masih kurang mba..” p5. ungkapan partisipan di atas, menunjukkan bahwa status sosial ekonomi rendah akan mempengaruhi pola berfikir dalam usaha penyembuhan pasien gangguan jiwa, seperti mencari tahu informasi tentang penyakit, gejala-gejala, dan cara pengobatan yang efektif karena keluarga terfokus untuk mencari penghasilan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. faktor dukungan sosial. sesuai dengan ungkapan dari p4 dan p5, dukungan dari keluarga yang memberikan support system untuk mencari pertolongan ketika pertama kali partisipan mengetahui adasalah satu anggota keluarganya mengalami gangguan jiwa.“ ada saudara adiknya suami saya yang bekerja di rumah sakit jiwa, dia yang bantu mengarahkan kami harus kemana-mana dan alhamdulillah keluarga besar juga mendukung, kami selalu diskusi bareng keluarga yang lain.”(p5). keluarga besar (extended family) dapat menjadi faktor pendukung bagi keluarga dalam memecahkan masalah dengan mencari pengobatan dan informasi akan memudahkan bagi keluarga menemukan solusi yang tepat, seperti ungkapan p4 berikut ini: “pertama kali diberitahu sama keponakan saya mbak, terus diarahkan kemana-mana, dia juga yang menemani kami mencari bantuan ke kecamatan mengurus jamkesmas dan askes, sampai ke tempat pondok rehabilitasi di kulonprogo.”. ungkapan p3 menunjukkan bahwa ia lebih banyak dibantu oleh lingkungan sosial masyarakat: “ pertama kali dulu pak rt yang membantu mencari informasi bantuan, dibantu urus surat-surat ke rumah sakit.”. masyarakat menjadi pusat informasi yang penting terhadap cara atau upaya yang akan dilakukan oleh keluarga, baik keluarga inti maupun keluarga besar dalam mengambil keputusan, seperti ungkapan p1 berikut ini: “..... dapat bantuan dari pedukuhan desa ini, sama pak rt dibantu cari askes dan jamkesmas untuk tebus obat, dan masyarakat disini juga sudah memaklumi keadaan ibu, sudah paham gitulah mbak, kadang ibu sering diajak sama tetangga-tetangga kalau ada acara hajatan, kumpulan arisan, acaraacara besar di masyarakat.” faktor keyakinan (spiritual). ungkapan dari p4 dan p5 menunjukkan bahwa mereka lebih mengutamakan nilai kepasrahan diri kepada tuhan menjadikan mereka lebih tenang dan optimis untuk merawat penderita gangguan jiwa. “kami cuma bisa berdoa mbak, pasrah saja sama allah, dia yang tahu hidup kita tho mbak, insyaallah jadi nilai ibadah kan mbak…” (p4). terbukti bahwa semua partisipan berada pada rentang respon adaptif, yaitu keluarga memandang masalah yang sedang dihadapi pada kasus gangguan jiwa memiliki makna dan nilai-nilai positif. dengan demikian koping yang dilakukan oleh keluarga juga bernilai positif yaitu dengan mendukung dan terus melakukan upaya penyembuhan pada anggota keluarganya, seperti ungkapan p5 berikut ini: “..... apa sih mbak yang bisa kami lakukan kecuali berdoa, pasrah sama gusti allah, semoga diberi kesabaran dan kekuatan terus sama umur yang panjang untuk merawat anak saya. alhamdulillah nggak terasa sudah merawat selama 15 tahun. insyallah allah lebih tahu dari kita ya mbak, lha anak itu kan titipan dari gusti allah tho mbak, ya tinggal dijalani ajalah…insyaallah jadi tambah nilai ibadah.” faktor pengetahuan keluarga. ungkapan dari p3 ketika diwawancarai mengenai pengetahuan gangguan jiwa. “.....nggak tahu mbak apa itu gangguan shanti wardaningsih, elya rochmawati, puji sutarjo, gambaran strategi koping ... 59 mutiara medika vol. 10 no. 1:55-61, januari 2010 jiwa, yang saya tahu ya sakit pikirannya gitu lah mbak, orang gila ya mbak susah ngobatinnya. katanya orang-orang itu karena gangguan dedemit gitu lah mbak, terus tak bawa ke pak kiayi ke orang pinter, katanya memang diikuti sama makhluk halus. jadi kayak gitu mbak sekarang sering ngomong sendiri.” keluarga memandang bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh makhluk halus dan sejenisnya sehingga keluarga akan mencari pengobatan kepada dukun atau paranormal sebagai bentuk proses penyembuhannya. berbeda dengan partisipan lainnya mengatakan bahwa gangguan jiwa yang diderita karena faktor lingkungan, sehingga tindakan yang dilakukan juga akan mempengaruhi keluarga. ungkapan p4 menunjukkan bahwa partisipan sudah mengetahui tentang gangguan jiwa: “....kalau gangguan jiwa itu setahu saya ya ada yang tidak beres dengan pikirannya, terganggu jiwanya gitulah mbak. penyebabnya macam-macam. kalau anak saya ini karena lingkungan kerjanya, baru pulang dari kerja itu anak saya jadi diam terus, kalau diajak ngomong jawabnya ituitu aja, saya tanya tentang pekerjaannya, malah ngamuk-ngamuk. terus sama bapaknya coba menanyakan ke tempat kerjanya ada masalah apa disana, sudah ketemu masalahnya langsung kami bawa ke pakem mbak..”. faktor pola-pola komunikasi keluarga. sebuah keluarga yang fungsional menggunakan pola-pola komunikasi dengan karakteristik pola-pola interaksi sirkular dari keluarga, sehingga akan ada umpan balik dengan komunikasi yang terbuka antara satu dengan yang lain. pola komunikasi yang dibentuk oleh keluarga dapat memudahkan keluarga untuk mengambil keputusan dalam proses penyembuhan, seperti ungkapan p4 berikut ini: “ ...kami selalu diskusi terus, cari solusi terus bagaimana baiknya, alhamdulillah sekarang sudah 2 tahun nggak pernah kumat lagi.” dalam pengkajian masalah perawatan dalam family health care disebutkan bahwa salah satu faktor masalah dalam keluarga adalah hubungan suami istri yang tegang, hubungan orang tua dan anak yang tegang, serta hubungan antar anggota keluarga tidak harmonis. hal ini menunjukkan bahwa ada komunikasi yang disfungsional dalam keluarga. seperti ungkapan p3 berikut ini: “ ...bingung mbak, mau ngomong sama siapa, mau minta tolong ke siapa, keluarga saya pada nggak peduli, ya pada mikir sendiri-sendiri lah mbak dengan urusan sendiri-sendiri.” pola komunikasi yang disfungsional dapat menghambat keluarga dalam berinteraksi satu dengan yang lain. strategi koping keluarga yang sering digunakan dalam merawat pasien skizofrenia dapat digolongkan menjadi dua yaitu strategi koping keluarga internal dan strategi koping keluarga eksternal. strategi koping keluarga internal meliputi beberapa hal yaitu: 1) bergantung pada kelompok keluarga. seperti ungkapan p4, keluarga besar ikut serta dalam mencari informasi bantuan untuk setiap masalah yang dihadapi keluarga. “....ada saudara adiknya suami saya, kebetulan kerja dipakem bantu urusan kami, ngasih arahan-arahan sama kami jadi kami nggak bingung-bingung lagi.” melalui kekuatan internal keluarga besar pula keluarga tidak merasa khawatir terhadap masalah yang dihadapinya. seperti ungkapan p5 berikut ini: “alhamdulillah mbak, keluarga besar sangat membantu kami. mencarikan bantuan pengobatan, jadi kami nggak bingung-bingung lagi. sekarang anak saya sudah di pondok diobatin disana.” 2) pemaknaan masalah. dalam rentang respon kecemasan, keluarga cenderung berada pada rentang respon adaptif, yaitu menerima keadaan salah satu anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. salah satu ungkapan p4 berikut ini mendukung hal tersebut: “....kami yakin kok mbak, meskipun 20 tahun kami merawatnya dan belum sembuh sampai sekarang, semoga dengan jalan ini menjadikan kami lebih dekat sama allah”. 3) pemecahan masalah secara bersama-sama. semua partisipan menggunakan strategi koping ini sebagai salah satu strategi yang sering dilakukan oleh keluarga. ungkapan dari “...kami diskusi terus sama keluarga besar kalau anak saya ini kambuh lagi, cari solusi bagaimana baiknya. kadang mereka membantu masalah biaya pengobatan 60 kalau pas kami nggak punya biaya.” ungkapan menunjukkan bahwa diskusi bersama keluarga menjadi strategi yang sering dilakukannya, sebagai berikut: “ .....pada awal mbak saya ini sakit, semua keluarga ngumpul disini, kebetulan mbak saya ini paling tua jadi kami adik-adiknya diskusi bersama mencari pengobatan untuk menyembuhkan mbak. kebetulan di puskesmas juga sudah ada obatnya, jadi kami putuskan untuk pengobatannya di puskesmas aja mbak lebih dekat, jadi kami nggak bingung-bingung lagi mikirin biaya.” 4) pengungkapan bersama, seperti yang diungkapkan oleh p1: “....kalau ibunya ini agak bingung-bingung sering melamun, saya coba selalu tanya apa yang dipikirkannya, dari sana saya jadi tahu mbak apa yang ibunya ini rasakan. terus saya coba kasih masukan mbak, jangan sering melamun, buat kerja apa aja. yang penting jangan melamunlah mbak.” pengungkapan perasaan dan persoalanpersoalan sangat menguntungkan dan mengurangi ketegangan-ketegangan keluarga, sehingga terjalin ikatan keluarga yang kuat. hal ini sangat membantu ketika keluarga mengalami trauma karena anggota keluarga sangat membutuhkan dukungan. disamping itu, pengungkapan bersama dapat juga dilakukan dengan mengikuti kegiatan-kegiatan dalam waktu luang. seperti yang diungkapkan oleh p2 berikut ini: “...saya sering menasihati mbak saya ini, kalau mau sembuh jangan sering melamun, tapi cari aktivitas di rumah. terus itu yang kasih pakan ternak setiap hari ya mbak saya ini. saya sering juga ngajak mbak ipar saya nonton kuda lumping di sini kalau pas ada, kebetulan dulu sebelum sakit dia hobi nonton itu”. strategi koping keluarga eskternal meliputi 1) mencari dukungan spiritual. mencari dukungan spiritual keluarga dapat dilakukan dengan melakukan pendekatan kepada tuhan melalui sholat seperti yang diungkapkan p1: “....saya sudah mencari kemana-mana waktu ibu pergi dari rumah dan saya bawa sholat tahajud mbak tiap malam, zikir, berdoa sama allah. alhamdulillah setelah 3 hari ibu pulang dengan sendiri setelah itu mbak saya yakin allah itu akan nolong orang-orang yang susah”. zikir dan bacaan dalam sholat membuat hati seseorang menjadi tenang, sesuai dengan riset hawari yang menyimpulkan bahwa keadaan psikologis yang tenang serta motivasi hidup yang tinggi memiliki kontribusi sampai 50% untuk mendukung kesembuhan pasien yang sakit.7 ungkapan p1 dan p5 sebagai berikut : “kami cuma bisa berdoa mbak sama gusti allah…pasrah dan sabar sajalah mbak….” sabar dan kepasrahan diyakini merupakan salah satu bentuk motivasi dan kekuatan yang dapat dilakukan oleh keluarga ketika menghadapai suatu masalah. hal ini dibuktikan oleh p4 dalam melakukan perawatan anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa selama 20 tahun lamanya. seperti ungkapannya sebagai berikut: “….kuncinya berdoa mbak, sabar dan pasrah sama gusti allah. kami yakin kok mbak, 20 tahun bukan waktu yang lama merawatnya buktinya kami bisa menjalaninya.” 2) mencari dukungan sosial. mencari dukungan sosial yaitu mencari bantuan dari lingkungan sekitarnya, dengan keluarga besar, tokoh masyarakat dan pemerintah sekitar. p1 mengungkapakan bahwa ia mendapat bantuan dari pedukuhan dan rt sekitar, seperti ungkapannya berikut ini : “...ya mbak….saya cari bantuan dari pedukuhan desa disini dikasih surat pengantar buat askes untuk tebus obat, terus dapat bantuan dari bapak rt juga”. dukungan sosial juga dapat diberikan melalui keluarga besar, seperti ungkapan p2 dan p5 berikut ini : “...ada keluarga adiknya suami saya kebetulan kerja di pakem, ia yang memberi arahan ini harus bagaimana dan dibawa kemana…dari sana kami dapat bantuan jadi kami tidak perlu bingung lagi…” kesimpulan 1. faktor-faktor yang dapat mempengaruhi strategi koping keluarga dalam merawat penderita gangguan jiwa yaitu terdiri faktor keuangan (status sosial ekonomi), faktor keyakinan (agama), faktor dukungan sosial, faktor pengetahuan keluarga, dan faktor polapola komunikasi. shanti wardaningsih, elya rochmawati, puji sutarjo, gambaran strategi koping ... 61 mutiara medika vol. 10 no. 1:55-61, januari 2010 2. strategi koping keluarga yang digunakan keluarga dalam merawat penderita gangguan jiwa terdiri dua tipe yaitu: a. strategi koping keluarga internal terdiri atas mengandalkan kelompok keluarga, pengontrolan makna masalah, pengungkapan bersama dan pemecahan masalah bersamasama. b. strategi koping eksternal meliputi mencari dukungan spiritual dan mencari dukungan sosial. daftar pustaka 1. friedman, m.m. 1998. keperawatan keluarga teori dan praktik. edisi 3. egc. jakarta 2. friedmen, m. 2003. family nursing research theory and practice. fifth edition. prentice hall 3. nurjanah, i. 2004. pedoman penanganan gangguan jiwa. mocomedia. yogyakarta 4. stuart and s.1998. keperawatan jiwa. edisi 3. egc. jakarta 5. moleong, l.j. 2007. metodologi penelitian kualitatif remaja. rosdakarya. bandung 6. potter, a.p. and perry, g.a. 1992. fundamental of nursing; concepts, process and practice. 3rd ed. london. mosby year book. st louis 7. yosep, i. 2007. keperawatan jiwa. cetakan 1. refika aditama. bandung 33 mutiara medika vol. 9 no. 1:33-41, januari 2009 pengaruh pemberian vco (virgin coconut oil) terhadap berat badan tikus putih (rattus norvegicus) the influence of vco (virgin coconut oil) to body weight in rat (rattus norvegicus) gustrin oktaviayu cendhikalistya1, sri nabawiyati nurul makiyah2 1fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta 2bagian histologi dan biologi fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta abstract obesity can cause many kinds of health problems, such as hypertension, etc. one of dietary alternative which can be used for overcoming the obesity is by consuming vco (virgin coconut oil). this study want to know the efficacy of vco, due to decrease the body weight. this study is a preclinical unrandomized control trial design. twenty five male spraquedawley strain rats (rattus norvegicus), 4 months age and ± 300 grams body weight are used for subjects. these rats are divided into 5 groups : positive and negative control, and three groups for treatment groups which are given by fat first. the dosage given is the conversion of human dosage, they are 50 cc/day, 25 cc/day, and 12,5 cc/day. vco given orally everyday for 28 days then the body weight were measured every 7 days as long as 28 days, the pigs will also measured everyday. body weight and food intake data are analyzed with kruskal-wallis test continued with mann-whitney test and also paired t-test for intragroup (before and after). based on this study, it could be known that vco can decrease body weight. dose ii (25 cc/ day) is the best in decreasing body weight although in between groups analyzing it has no differences with dose i (50 cc/days). the decreasing of rat’s body weight is not influence by appetite because the food intake is constant. key words: body weight, obesity, rat, vco abstrak obesitas dapat menyebabkan banyak masalah kesehatan, hipertensi misalnya. salah satu alternatif diet yang dapat dipertimbangkan untuk mengatasi obesitas adalah dengan mengkonsumsi vco (virgin coconut oil). penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manfaat vco dalam membantu menurunkan berat badan. penelitian ini berjenis eksperimental praklinik dengan rancangan unrandomized control trial. sampel dalam penelitian ini berjumlah 25 ekor tikus putih galur spraque-dawley jantan, umur 4 bulan dan berat badan rata-rata 300 gram. tikus dibagi menjadi 5 kelompok yaitu kontrol positif dan negatif serta tiga kelompok perlakuan yang digemukkan terlebih dahulu. dosis yang diberikan adalah hasil konversi dosis manusia, yaitu 50 cc/hari, 25 cc/hari, dan 12,5 cc/hari. vco diberikan peroral setiap hari selama 28 hari kemudian ditimbang sisa pakannya selama itu sedangkan berat badannya dicatat setiap 7 hari sekali. data selisih berat badan dan intake pakan dianalisis dengan uji kruskal-wallis dilanjutkan dengan uji mann-whitney untuk menganalisa hasil antarkelompok. uji t berpasangan dilakukan untuk menganalisa hasil intrakelompok (sebelum dan sesudah perlakuan). dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa vco dapat menurunkan berat badan tikus putih yang telah digemukkan terlebih dahulu. dosis ii (25 cc/hari) adalah dosis terbaik dalam menurunkan berat badan walaupun pada analisis antarkelompok tidak terdapat perbedaan bermakna dengan gustrin oktaviayu cendhikalistya, sri nabawiyati nurul makiyah, pengaruh pemberian vco ................ 34 kelompok dosis i (50 cc/hari). penurunan berat badan tikus putih ini tanpa dipengaruhi oleh nafsu makan karena intake pakan stabil. kata kunci : berat badan, obesitas, tikus putih, vco pendahuluan obesitas merupakan salah satu permasalahan besar yang muncul di dunia, bahkan world health organization (who) telah mendeklarasikannya sebagai epidemik global. prevalensinya meningkat tidak saja di negara-negara maju, tetapi juga di negara-negara berkembang, termasuk indonesia. masalah kesehatan yang berkaitan erat dengan obesitas adalah terjadinya hipertensi1, diabetes mellitus tipe 2 2, penyakit jantung koroner, dan aterosklerosis terutama akibat penumpukan ldl (low density lipoprotein) pada dinding pembuluh darah.3 dengan memperhatikan prinsip utama penyebab kegemukan sebagai akibat ketidakseimbangan antara energi yang masuk dan yang digunakan, maka kegemukan dapat diatasi sebelum komplikasi terjadi. pengurangan energi atau kalori yang masuk dapat dilakukan dengan cara diet (mengatur jumlah dan jenis makanan yang akan dikonsumsi) atau berpuasa teratur. salah satu alternatif diet yang dapat dipertimbangkan untuk mengatasi kegemukan terlebih obesitas adalah dengan konsumsi vco (virgin coconut oil). vco merupakan salah satu minyak olahan murni dengan atau tanpa pemanasan yang mengandung lemak rantai sedang dan mudah diserap oleh tubuh. penggunaan vco sebagai alternatif pengobatan telah banyak dipublikasikan dan diakui keberhasilannya oleh beberapa konsumen. vco dipilih sebagai alternatif terapi selain karena alasan manfaat juga sebagai pendukung ide kembali ke alam (back to nature). ide tersebut merupakan suatu proses untuk mendayagunakan alam indonesia yang kaya akan keanekaragaman hayati (mega center of biodiversity). salah satu kekayaan alam indonesia adalah kelapa yang dapat diolah menjadi minyak kelapa murni (vco). hal yang mendukung diajukannya judul penelitian ini adalah penelitian terdahulu oleh nevin dan rajamohan (2004) terhadap tikus jenis sprague-dawley yang diberi vco peroral selama 45 hari berturutturut kemudian diukur parameter lemak dan level lipoprotein yang hasilnya menunjukkan bahwa vco bermanfaat dalam menurunkan komponen lemak, yaitu level kolesterol total, trigliserid, fosfolipid, ldl (low density lipoprotein), dan vldl (very low density lipoprotein), serta meningkatkan hdl (high density lipoprotein) dalam serum darah dan jaringan tubuh.4 penelitian yang diajukan hanya selama 30 hari atau 15 hari lebih cepat dibanding penelitian di atas. hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah dengan waktu yang lebih singkat dapat memberikan efek pada penurunan komponen lemak tubuh sehingga berat badan juga menurun. penelitian yang sejenis dengan penelitian ini pernah dilakukan sebelumnya oleh makiyah (2006).5 perbedaannya adalah pada penelitian ini dilakukan pemberian intake pakan yang diperkaya lemak dan jenis vco yang digunakan hanya satu jenis terbaik dari penelitian sebelumnya dengan dosis diragamkan. peragaman dosis ini mempunyai maksud agar dosis optimal dari jenis tersebut dapat terlihat. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek vco sebagai obat alternatif terhadap penurunan berat badan tikus putih. bahan dan cara jenis penelitian ini adalah eksperimental praklinik dengan rancangan unrandomized control group. subyek yang digunakan adalah tikus putih (rattus norvegicus) galur spraque-dawley jantan dengan umur 4 bulan dan berat badan ratarata 300 gram yang dibeli dari kandang laboratorium farmakologi fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta. 35 mutiara medika vol. 9 no. 1:33-41, januari 2009 variabel yang terlibat meliputi variabel bebas, yaitu vco berbagai dosis, berat badan tikus putih sebagai variabel tergantung, dan variabel terkendali berupa hewan uji dengan galur yang sama, berat badan, dan umur setara serta kondisi kandang dan pakan sama. alat yang digunakan antara lain kandang tikus 5 buah, kawat kassa, neraca berat badan, sonde tikus, botol minum, tempat pakan, sarung tangan, dan spuit injeksi. bahan yang digunakan terdiri dari vco, sumber makanan kaya lemak, air minum, dan pellet (br2). penelitian dilakukan pada bulan juli sampai agustus 2006 di kandang laboratorium farmakologi fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta tiap siang hari. cara penelitian meliputi langkah-langkah persiapan alat dan bahan, pelaksanaan yaitu membagi tikus menjadi 5 kelompok (kontrol negatif, kontrol positif, vco dosis optimal (lemak+vco i), vco dosis sedang (lemak+vco ii), vco dosis rendah (lemak+vco iii), menggemukkan tikus dengan memberi makanan kaya lemak (75 g/hari selama 7 hari), dan memberi vco dengan sonde selama 28 hari. vco yang diberikan menurut hasil konversi dengan ketentuan : manusia 70 kg setara dengan tikus 200 gram dan satuan konversi 0,018.6 sehingga kadar yang diberikan dapat dihitung sebagai berikut : (1). dosis i (kadar optimal) 50 cc 50 cc x 0,018 = 0,9 cc/ 200 g; (2). dosis ii (kadar sedang) 25 cc 25 cc x 0,018 = 0,45 cc/200 g; (3). dosis iii (kadar rendah) 12,5 cc 12,5 cc x 0,018 =0,225 cc/200 g. penimbangan berat badan dilakukan tiap minggu untuk mengetahui perubahan berat badan tikus sedangkan sisa pakan dihitung setiap hari untuk mengetahui nafsu makan tikus putih. selanjutnya, pengolahan data dan pelaporan dilakukan menggunakan paket program analisis data dengan uji t berpasangan untuk mengetahui pengaruh pemberian vco intrakelompok dan varians satu jalan (one way anova) untuk mengetahui pengaruh antarkelompok dilanjutkan dengan uji tukey untuk mengetahui perbedaan pengaruh antarperlakuan. jika didapatkan distribusi data tidak normal atau variasi tidak homogen maka dilakukan uji kruskalwallis dilanjutkan uji mann-whitney sebagai pengganti uji tukey. hasil penelitian ini dilakukan selama 35 hari (28 hari perlakuan ditambah dengan proses penggemukan selama satu minggu) mulai tanggal 9 juli 2006 hingga 28 agustus 2006 pukul 12.00 wib – 14.00 wib. proses penggemukan tidak berhasil dilakukan selama 1 minggu sehingga persyaratan bahwa tikus nonkontrol negatif harus naik hingga 20% sebelum pemberian vco dilakukan tidak dapat tercapai. hal ini dapat dilihat pada tabel 4. pemberian vco dilakukan peroral dengan tiga dosis yang berbeda. dosis yang diberikan merupakan dosis konversi dari manusia dengan berat badan 70 kg sebanyak 50cc/hari (alamsyah, 2005)7 ke tikus putih dengan berat 200 g dikalikan 0,018 (ngatidjan, 1991)6. dosis berikutnya adalah 25 cc/hari dan 12,5 cc/hari. dosis 50 cc/hari adalah dosis i (di), dosis 25 cc/ hari adalah dosis ii (dii), dan dosis 12,5 cc/ hari adalah dosis iii (diii). dari ketiga dosis tersebut dibandingkan pengaruh terbaik pada penurunan berat badan tikus, serta dibandingkan pula dengan 2 kelompok kontrol (negatif dan positif). pengukuran berat badan menggunakan penera digital dilakukan tiap 7 hari sekali dan dosis pemberian minyak kelapa murni menyesuaikan dengan perubahan berat badan tiap 7 hari tersebut. sisa pakan ditimbang tiap kelompok/kandang setiap hari untuk mengetahui konsumsi pakan masingmasing tikus sehingga nafsu makan dapat diketahui secara relatif. selain pengawasan dan pengukuran berat badan, juga dilakukan penggantian dan penimbangan pakan, penggantian air minum, serta pembersihan kandang setiap hari. gustrin oktaviayu cendhikalistya, sri nabawiyati nurul makiyah, pengaruh pemberian vco ................ 36 tabel 4. selisih berat badan kelompok kontrol negatif (kn), kelompok perlakuan dengan vco dosis 50 cc/hari (di), vco dosis 25 cc/hari (dii), vco dosis 12,5 cc/hari (diii), dan kontrol positif (kp) sebelum dan sesudah proses penggemukan serta persentase kenaikan berat badan. kelompok selisih berat badan persentase kenaikan berat badan kn kp di dii diii 58,22 17,3 29,68 49,84 52,86 23,40 5,52 8,47 15,86 14,34 vco (virgin coconut oil) yang digunakan untuk penelitian ini mengacu pada hasil penelitian makiyah (2006)5 yang menyimpulkan bahwa satu merk dagang vco berlabel b memiliki kecenderungan yang baik dalam menurunkan kadar kolesterol ldl serta berat badan tikus putih. oleh karena itu, dalam penelitian tentang pengaruh pemberian vco terhadap penurunan berat badan tikus putih ini menggunakan vco b untuk diuji pada berbagai dosis. kandungan vco yang digunakan dalam netto 100 ml terlihat dalam tabel 5. tabel 5. kandungan vco merk b yang digunakan dalam netto 100 ml parameter nilai gizi energi 6.8 kalori/gram saturated fat 92% polyunsaturated fat 2% monounsaturated fat 6% komposisi lauric acid 48.83% miristic acid 19.97% caprilic acid 8.86% palmitic acid 7.84% capric acid 6.17% stearic acid 3.06% berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, hasil penghitungan berat badan dan sisa pakan selama penelitian menunjukkan bahwa dalam kelompokkelompok tersebut terdapat perbedaanperbedaan baik dalam penghitungan hasil sisa pakan maupun berat badan yang diukur. hasil yang didapat kemudian dianalisis signifikansinya. uji normalitas data dilakukan sebelum analisis signifikansi dilakukan. hasil uji yang didapat dengan menggunakan shapiro-wilk karena jumlah sampel kecil (n<50) menunjukkan data terdistribusi normal untuk seluruh parameter (p>0,05) sehingga data berat badan dapat dianalisis lebih lanjut dengan uji t berpasangan untuk mengetahui perbedaan sebelum dan sesudah perlakuan. data kenaikan berat badan tidak dapat dilanjutkan dengan uji anova karena variansinya berbeda walaupun data terdistribusi normal. uji kruskal-wallis dilakukan sebagai pengganti uji anova. hasil analisis berat badan sebelum dan sesudah pemberian vco dapat dilihat pada tabel 6. berat badan sebelum yang dimaksud adalah berat badan tikus putih setelah digemukkan selama 7 hari. 37 mutiara medika vol. 9 no. 1:33-41, januari 2009 tabel 6. berat badan sebelum dan sesudah pemberian vco kelompok kontrol negatif (kn), kelompok perlakuan dengan vco dosis 50 cc/hari (di), vco dosis 25 cc/hari (dii), vco dosis 12,5 cc/hari (diii), dan kontrol positif (kp). kelompok mean ± standar deviasi signifikansi (p value) kn kp di dii diii -35,14±3,96 -39,72±37,59 -0,86±16,26 -21,82±6,84 1,04±7,51 <0,001 0,077 0,912 0,002 0,772 terlihat dari signifikansi data uji intrakelompok (sebelum dan sesudah perlakuan) tersebut bahwa setelah proses penggemukan berat badan tikus kontrol positif tidak turun secara bermakna hingga 28 hari kemudian. hal itu terjadi pula pada tikus yang diberi vco dosis i dan iii. hanya tikus yang diberi vco dosis ii yang menunjukkan penurunan berat badan bermakna (p<0,05) selain kontrol negatif. jika berat badan sebelum pemberian vco dosis ii tidak berbeda dengan berat badan setelah 28 hari pemberian vco dosis ii, maka faktor peluang dapat menerangkan 0,02% untuk memperoleh perbedaan rerata sebesar -21,82. pengukuran berat badan kemudian dilanjutkan dengan pengukuran selisih berat badan rata-rata masing-masing kelompok per 7 hari. hasil yang diharapkan adalah adanya penurunan berat badan pada kelompok perlakuan. dari hasil penghitungan rata-rata selisih berat badan (mean±sd) yang diukur dengan cara mengurangi berat badan pada hari ke-7 (penggemukan) dikurangi berat badan pada hari ke-0, berat badan pada hari ke-14 dikurangi berat badan pada hari ke-7, berat badan pada hari ke-21 dikurangi berat badan pada hari ke-14, berat badan pada hari ke-28 dikurangi berat badan pada hari ke-21, dan berat badan pada hari ke-35 dikurangi berat badan pada hari ke-28 tikus putih pada masing-masing kelompok yaitu 3 kelompok perlakuan (di, dii, dan diii) dan 2 kelompok kontrol (kn dan kp) diperoleh hasil seperti terlihat pada tabel 7 dan gambar 8. data pada tabel 7 menunjukkan hasil yang bermakna (pd”0,05) sehingga paling tidak terdapat perbedaan selisih berat badan tiap kali pengukuran antara 2 kelompok. untuk mengetahui kelompok mana yang mempunyai perbedaan, maka harus dilakukan analisis post hoc mannwhitney sebagai uji lanjutan kruskalwallis. uji ini dilakukan antara kelompok kn dengan kp, kn dengan di, kn dengan dii, kn dengan diii, kp dengan di, kp dengan dii, kp dengan diii, di dengan dii, di dengan diii, dan dii dengan diii tiap 7 hari. gustrin oktaviayu cendhikalistya, sri nabawiyati nurul makiyah, pengaruh pemberian vco ................ 38 no hari p (kruskalwallis) kelompok kn di dii diii kp 1 p-0 0,001 58.22± 10.89ac 52.86± 12.25a 49.84± 8.55c 29.68± 5.93d 17.3± 18.66de 2 14-p 0,002 6±3.5 bce -3.14± 8.09b 2.22± 1.87c -10.12± 6.46bd 21.14± 30.47e 3 21-14 0,006 9.96± 4.58a -7.18± 11.82de -7.96± 5.42c 2.08± 4.58d -10.42± 3.79ce 4 28-21 0,050 14.38± 4.12ab 7.02± 7.17bd 21.08± 56.03ac 6.34± 4.93cd 5.86± 3.06bcde 5 35-28 0,034 4.80± 2.69abc 4.16± 6.27b 6.48± 57.32c 0.66± 4.57abce 23.14± 7.19ce tabel 7. hasil penghitungan rata-rata selisih berat badan tikus putih (mean±sd) pada kelompok kontrol negatif (kn), kelompok perlakuan dengan vco dosis 50 cc/hari (di), 25 cc/hari (dii), 12,5 cc/hari (diii) dan kontrol positif (kp) tiap 7 hari sekali keterangan: 0 = berat badan awal; p=penggemukan. angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan bermakna. jika dibandingkan antarkelompok perlakuan saja, di dengan dii sama sekali tidak ada perbedaan berat badan di tiap kali pengukuran berat badan begitu pula antara di dengan diii selama vco diberikan. perbedaan bermakna hanya terlihat antara kelompok dii dengan diii pada pengukuran berat badan 2 minggu pertama pemberian vco. setiap kelompok perlakuan memiliki perbedaan selisih berat badan yang bermakna jika dibandingkan dengan kp. kelompok diii memiliki perbedaan bermakna hampir pada tiap kali pengukuran. kelompok dii hanya pada 2 minggu pertama sedangkan kelompok di pada minggu terakhir pemberian vco. gambar 8. rata-rata selisih berat badan tikus putih (meansd) pada kelompok kotrol negatif (kn), kelompok perlakuan dengan vco dosis 50 cc/hari (di), 25 cc/hari (dii), 12,5 cc/hari (diii) dan kontrol positif (kp) tiap 7 hari sekali. 39 mutiara medika vol. 9 no. 1:33-41, januari 2009 dilakukan pula pengukuran jumlah pakan yang dikonsumsi tikus pada masingmasing kelompok, seperti terlihat pada tabel 8 dan gambar 10. tabel 8. rata-rata jumlah pakan tikus putih (x ± sd) pada kelompok kontrol negatif (kn), kelompok perlakuan dengan vco dosis 50 cc/hari (di), 25 cc/hari (dii), 12,5 cc/ hari (diii) dan kontrol positif (kp) tiap 7 hari sekali. minggu ke hari p (kruskalwallis) kelompok kn di dii diii kp 1 0-14 0,406 17.51± 4.34 14.0± 1.87 16.17± 2.69 13.62± 3.30 18.29± 3.55 2 15-21 0,406 17.92± 3.33 14.57± 0.95 14.36± 4.87 17.9± 1.60 17.68± 3.71 3 22-28 0,406 15.02± 3.05 13.46± 1.68 16.13± 1.6 14.95± 2.02 15.33± 3.06 4 29-35 0,406 15.57± 2.58 15.15± 2.33 15.68± 2.8 15.15± 1.42 17.08± 1.39 keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan bermakna. karena nilai p>0,05 maka dapat disimpulkan tidak terdapat perbedaan intake pakan antara 5 kelompok pada tiap minggunya. gambar 9. rata-rata jumlah pakan tikus putih (x ± sd) pada kelompok kontrol negatif (kn), kelompok perlakuan dengan vco dosis 50 cc/hari (di), 25 cc/hari (dii), 12,5 cc/ hari (diii) dan kontrol positif (kp) tiap 7 hari sekali. gustrin oktaviayu cendhikalistya, sri nabawiyati nurul makiyah, pengaruh pemberian vco ................ 40 diskusi penelitian ini berdurasi 35 hari dengan dilakukan penggemukan terlebih dahulu agar tikus mengalami obesitas atau setidaknya terdapat timbunan lemak dalam sel adiposa tikus kemudian diberikan vco sebagai upaya menurunkan berat badan yang telah dinaikkan tersebut. beberapa parameter terhadap kelompok perlakuan dan kontrol yang diamati yaitu rerata berat badan, rata-rata selisih berat badan, dan intake pakan. hasil pengukuran berat badan dengan penera digital ini memiliki beberapa kelemahan, antara lain berat badan terpengaruh dengan variasi harian tikus serta peneraan yang kurang teliti dan seragam dari masing-masing anggota tim peneliti. proses penggemukan selama 7 hari kurang memberikan hasil yang memuaskan, hal ini mungkin karena waktu yang kurang lama atau cara yang kurang efektif. sesuai dengan percobaan yang terangkum dalam buku fisiologi manusia (sherwood, 2001) 8 bahwa proses penggemukan yang efektif dilakukan dengan perusakan pusat rasa kenyang di daerah ventromedial hipotalamus. setelah dirusak, tikus dibiarkan selama 3 bulan dengan pemberian asupan makan yang sama dengan tikus kontrol sehingga tikus perlakuan mengalami penambahan berat badan yang bermakna akibat makan berlebihan dibandingkan dengan tikus normal (kontrol). penulis menyimpulkan bahwa waktu penelitian selama 35 hari sebagai usaha penyempitan waktu atas penelitian yang pernah dilakukan oleh rajamohan (2003)4 yang berdurasi 45 hari kurang efektif sebab penelitian ini baru memberikan efek positif pada 2 minggu terakhir. terdapat penurunan berat badan yang bermakna pada pemberian vco dosis ii (25 cc/hari). tikus kontrol negatif juga menunjukkan penurunan berat badan yang bermakna. penurunan tersebut mungkin karena variasi harian tikus sehingga hal ini dapat diabaikan sebab kelompok tersebut tidak mengalami proses penggemukan. jika dilakukan analisis penurunan berat badan tiap 7 hari maka kelompok yang diberi dosis iii (12,5 cc/hari) adalah yang terbaik dibandingkan kelompok yang lain. terhadap intake pakan, dapat disimpulkan bahwa vco tidak mempengaruhi nafsu makan tikus sebab diantara semua kelompok tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p>0,05) sehingga dapat dikatakan nafsu makan tikus putih stabil dan tidak terpengaruh oleh pemberian vco. hal ini tidak sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh belinda (2003)9 yang menyimpulkan bahwa vco mempengaruhi nafsu makan dengan cara menurunkan nafsu makan. vco dapat menurunkan berat badan karena kandungan rantai minyaknya yang berupa mcfa (medium chain fatty acids) yang terdiri dari 8-16 atom karbon. mcfa langsung diubah menjadi energi sehingga dapat mengurangi tumpukan lemak dan mendorong pembakaran lemak (termogenesis) dengan cara menaikkan laju metabolik tubuh (bach ac., 1996).10 vco yang digunakan dalam penelitian ini memberikan hasil yang kurang terlihat nyata. hal ini mungkin karena proses pengolahannya yang kurang baik selain pemberian yang kurang lama seperti yang telah dibahas di atas. seperti diketahui bahwa vco adalah produk industri rumah tangga yang memiliki banyak kelemahan, antara lain kurangnya proses standarisasi, kontaminasi dalam pembuatan, terlibatnya proses hidrogenasi akibat fase pemanasan dan penyimpanan yang kurang baik, dan lain-lain. kesimpulan penelitian ini menyimpulkan bahwa vco dapat menurunkan berat badan tikus putih yang telah digemukkan terlebih dahulu. dosis ii (25 cc/hari) adalah dosis terbaik dalam menurunkan berat badan walaupun pada analisis antarkelompok tidak terdapat perbedaan bermakna dengan kelompok dosis i (50 cc/hari). penurunan berat badan tikus putih ini tanpa dipengaruhi oleh nafsu makan karena intake pakan stabil. 41 mutiara medika vol. 9 no. 1:33-41, januari 2009 saran untuk penelitian selanjutnya, diharapkan pemberian vco (perlakuan) diberikan dalam durasi yang lebih lama dan dengan cara yang benar, seperti memperhatikan proses penyondean, penyimpanan vco, ketelitian pengukuran berat badan serta sisa pakan agar dapat memberikan efek yang lebih nyata. selain itu agar pengaruh terhadap sel adiposa dapat terlihat juga, sebaiknya dihitung berat simpanan lemak di bawah kulit. daftar pustaka 1. moran, r. (1999). evaluation and treatment of childhood obesity. diakses tanggal 18 april 2007 dari http:/ /www.aafp.org/afp/990215ap/861.html 2. dean-pierre, f. (1993). from obesity to diabetes. england: wiley. 3. kumar, v., abbas ak., fausto n. (2005). robbins pathologic basis of disease 7th ed. elsevier saunders 4. nevin, kg, rajamohan, t. (2004). beneficial effects of virgin coconut oil on lipid parameters and in vitro ldl oxidation [abstract]. clin biochem. sep;37(9):830-5. diakses tanggal 26 desember 2005 dari www.nlm.nih.gov 5. makiyah, snn. (2006).. laporan penelitian: pengaruh pemberian virgin coconut oil yang beredar di pasaran terhadap penurunan berat badan dan sistem pertahanan tubuh tikus putih (rattus norvegicus). yogyakarta : lp3 umy. 6. ngatidjan. (1991). petunjuk laboratorium : metode laboratorium dalam toksikologi. yogyakarta : pusat analisa bioteknologi universitas gadjah mada. 7. alamsyah. (2005). vico. jakarta : gramedia pustaka utama 8. sherwood, l. (2001). fisiologi manusia dari sel ke sistem edisi 2. jakarta: egc penerbit buku kedokteran. p 593-597. 9. belinda, fa. (2003). laporan penelitian: efek penggunaan minyak kelapa murni yang beredar di pasaran terhadap nafsu makan tikus putih (rattus norvegicus). yogyakarta: fakultas kedokteran umy 10. bach ac., ingenbleek, f. (1996). the usefulness of dietary medium-chain triglycerides in body weight control: fact or fancy? [abstract]. journal of lipid research, vol 37, 708-726. diakses tanggal 28 desember 2005, dari http:// www.jlr.org/cgi/content/abstract/37/4/ 708 | 69 mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 22 no 1 page 69-74, january 2022 anticoagulant therapy in moderate to severe covid-19 patients agus fitriyanto achmad1*, yuni iswati raharjani2, zidni setyaningrum3, bagus andi pramono4, dita ria selvyana5, sri pramesthi wisnu bowo negoro6 1haematologist and medical oncologist, internal medicine department of panembahan senopati hospital, bantul, yogyakarta, indonesia 2pulmonologist, internal medicine department of panembahan senopati hospital, bantul, yogyakarta, indonesia 3internist, internal medicine department of panembahan senopati hospital, bantul, yogyakarta, indonesia 4cardiologist, internal medicine department of panembahan senopati hospital, bantul, yogyakarta, indonesia 5internist, internal medicine department of medical faculty of universitas muhammadiyah yogyakarta, bantul, yogyakarta, indonesia 6general practitioner, emergency department of ‘aisyiyah hospital, nganjuk, east java, indonesia date of article: received: 06 nov 2021 reviewed: 20 dec 2021 revised: 02 jan 2022 accepted: 18 jan 2022 correspondence: agusfachmad@yahoo.com doi: 10.18196/mmjkk.v21i2.11634 type of article: case report abstract: coronavirus disease-19 (covid-19) has a spectrum of severity from no symptoms to serious complications. coagulopathy is a serious complication of covid-19, and that condition is a marker of poor prognosis. anticoagulant drugs are often used as prophylaxis and thrombosis therapy to treat covid-19 patients. anticoagulant therapy is indicated for moderate-severe covid-19 patients. low molecular weight heparin (lmwh) and unfractionated heparin (ufh) are anticoagulant drugs of choice for prophylaxis and thrombosis therapy in covid-19 patients. when administering anticoagulant drugs, monitoring bleeding, renal function, and platelet count needs to be done, even if only as thromboprophylaxis. lmwh and ufh have good clinical efficacy with minimal side effects in managing covid-19 patients. keywords: anticoagulant; coagulopathy; covid-19; low-molecular-weight heparin; unfractionated heparin introduction covid-19 (coronavirus disease 19) is caused by the new coronavirus known as sars-cov-2 (severe acute respiratory syndrome coronavirus 2). currently, covid-19 is a worldwide pandemic that emerged at the end of 2019. 1 the disease has a spectrum of severity from no symptoms, mild, moderate, severe with multiorgan failure conditions to mortality.2,3 coagulopathy is a form of thromboembolism of the veins or arteries, a serious complication of covid-19. this coagulopathy is a marker of poor prognosis in covid-19 patients.4,5 there have been many reports regarding the incidence of thrombosis in covid-19, the use of anticoagulant drugs as prophylaxis and thrombosis therapy, and the pathophysiology of thrombosis in covid-19.6,7 this case report reports a series of anticoagulant therapy in moderate to severe covid-19 patients with different comorbidities, including diabetes mellitus, hypertension, coronary heart disease, chronic heart failure, diabetic ketoacidosis, acute kidney failure injury, and chronic kidney disease. this report can be considered in administering anticoagulants to covid-19 patients regarding indications, dosage, side effects, and clinical efficacy in the clinical setting of treatment for covid-19 patients. cases case 1 mrs. a was 62 years old, with complaints of cough, shortness of breath, and fever for 5 days. she had comorbidities of hypertension, diabetes mellitus, and coronary heart disease. the patient was confirmed 70 | covid-19 from a positive rt-pcr nasopharyngeal swab with chest x-ray bronchopneumonia. mrs. a had moderate clinical symptoms with the d-dimer result of 1.08 µg/dl, 3.6 times normal value (0.3 µg/dl ). the patient was given enoxaparin (low molecular weight heparin / lmwh) 0.4 ml per 24 hours with a d-dimer evaluation result of 0.91 µg/dl (day 3 of lmwh), 0.63 µg/dl (day 4 of lmwh), 0.61 µg/dl (day of 6 lmwh), 0.38 µg/dl (day 9 of lmwh), then stopped lmwh therapy. there was no bleeding during lmwh administration, even in combination with aspilet. the patient went home with clinical and radiological improvement and a negative swab evaluation. table 1. case-1 d-dimer progression after using enoxaparin day of enoxaparin use day-1 day-3 day-4 day-6 day-9 d-dimer (µg/dl) 1.08 0.91 0.63 0.61 0.38 dosage 0.4ml/24h 0.4ml/24h 0.4ml/24h 0.4ml/24h stop case 2 mr. b was 35 years old, complaining of shortness of breath for 3 days preceded by cough and fever. there was no previous history of other diseases. mr. b confirmed covid-19 from a positive rt-pcr nasopharyngeal swab with chest x-ray bilateral pneumonia, especially the right side. the clinical symptoms were moderate severity with a d-dimer result of 1.29 µg/dl (4.3 times the normal value). the patient was given enoxaparin 0.4 ml per 24 hours. the evaluation result of d-dimer was 2.16 µg/dl (day 3 of lmwh), then the dose was increased to 0.4 ml per 12 hours. the evaluation result of d-dimer was 0.86 µg/dl (day 5 of lmwh), then reduced the dose to 0.4 ml per 24 hours. evaluation result d-dimer on day 7 was lmwh 0.3 µg/dl, and he then stopped. the clinical and radiological evaluation results finally improved. table 2. case-2 d-dimer progression after using enoxaparin day of enoxaparin use day-1 day-3 day-5 day-7 d-dimer (µg/dl) 1.29 2.16 0.86 0.3 dosage 0.4ml/24h 0.4ml/12h 0.4ml/24h stop case 3 mr. d was 45 years old, complaining of shortness of breath and cough for 3 days. he had comorbidity of hypertension and diabetic ketoacidosis. the diagnosis of covid-19 was confirmed by a positive rt-pcr nasopharyngeal swab with chest x-ray bronchopneumonia. the patient had severe clinical symptoms with a d-dimer result > 4.00 µg/dl (>13.3 times the normal value). the patient was given enoxaparin 0.4 ml per 24 hours. the evaluation result of d dimer was 3.36 µg/dl (day 2 of lmwh), then the dose was increased to 0.4 ml per 12 hours. the evaluation result of d dimer was 2.48 µg/dl (day 10 lmwh), then the dose was decreased to 0.4 ml per 24 hours. the patient was clinically improved and could be active in mobilization. the evaluation result of d dimer was 1.78 µg/dl (day 13 lmwh), then enoxaparin was stopped. table 3. case-3 d-dimer progression after using enoxaparin day of enoxaparin use day-1 day-2 day-10 day-13 d-dimer (µg/dl) > 4.00 3.36 2.48 1.78 dosage 0.4ml/24h 0.4ml/12h 0.4mi/24h stop case 4 mr. e was 77 years old, complaining of shortness of breath for one day. he had comorbidity of chronic heart failure nyha 3, hyperglycemia, and acute kidney injury. the diagnosis of covid-19 was confirmed by a positive rt-pcr nasopharyngeal swab with chest x-ray pulmonary edema mixed pneumonia and cardiomegaly. creatinine serum was 2.61 mg/dl then improved to 1.64 mg/dl. the patient had severe clinical symptoms with a d-dimer result of > 4.00 µg/dl (> 13.3 times the normal value). the patient was given enoxaparin 0.6 ml per 24 hours. the evaluation result of d dimer was still > 4.00 µg/dl (day 5 of lmwh), and enoxaparin was given with the same dose. the evaluation result of d-dimer was 2.89 µg/dl (day 10 lmwh), and the dose of enoxaparin was 0.4 ml per 12 hours. the last evaluation result of d-dimer was 1.76 µg/dl (day 12 lmwh). the clinical and radiological evaluation results improved; there was no bleeding during the administration of lmwh. the patient went home with clinical improvement. table 4. case-4 d-dimer progression after using enoxaparin | 71 vol 22 no 1 january 2022 day of enoxaparin use day-1 day-5 day-10 day-12 d-dimer (µg/dl) > 4.00 > 4.00 2.89 1.76 dosage 0.6 ml/24h 0.6ml/24h 0.4ml/12h stop case 5 mrs. f was 60 years old, complaining of shortness of breath and cough. she had chronic kidney disease stage v comorbidity, anemia, hypertension, and diabetes mellitus. the diagnosis of covid-19 was confirmed by a positive rt-pcr nasopharyngeal swab with chest x-ray pulmonary edema mixed pneumonia and cardiomegaly. the patient had moderate clinical symptoms with a d-dimer result of 1.39 µg/dl (4.6 times the normal value) and was given unfractionated heparin (ufh) 5000 iu per 12 hours. the evaluation result of d-dimer was 1.34 µg/dl (day 4 of ufh), then ufh was given with the same dose. the last evaluation result of the d-dimer was 0.97 µg/dl (day 6 ufh). the clinical and radiological evaluation results improved; there was no bleeding during the administration of ufh. the patient went home with clinical improvement. table 5. case-5 d-dimer progression after using enoxaparin day of unfractionated heparin (ufh) use subcutaneously day-1 day-4 day-6 d-dimer (µg/dl) 1.39 1.34 0.97 dosage 5000 iu/12h 5000 iu/12h stop discussion coagulopathy is a term that refers to any homeostasis problem that results in excessive bleeding or clotting and is commonly known as a clot formation problem.8 the international society of thrombosis and homeostasis (isth) has established and validated a sepsis-induced coagulopathy (sic) score in addition to diagnostic criteria for overt dic.9–11 chinese covid-19 outbreak reports already used both isth definitions. 12,13 coagulopathy is common in sars-cov-2 infection and is marked by an increase of d-dimer.14 guan et al. reported their large studies with 560 cases in which 260 cases have increased d-dimer (46.4%). their studies found that conditions happened 60% in icu patients and 43% in non-severe patients. 5 increased ddimer levels are possibly due to inflammation caused by covid-19 and subsequent activation of coagulation, as elevated levels have been related to several conditions other than thromboembolism, with infection being the main cause.15–17 in these cases, the researchers found that all patients have high d-dimer above the normal levels. zhou et al. 4 found that poor prognosis and increased mortality were related to elevated d-dimer. zhang et al. 18 examined 343 cases and found that d-dimer levels over 2.0 mg/l could predict mortality with a sensitivity of 92.3% and a specificity of 83.3%. consequently, based on the disease's progression, maximizing a particular treatment may be the best choice.19,20 in mild to serious covid-19 patients, interim advice from the international society on thrombosis and haemostasis (isth) suggests prophylactic low-molecular-weight heparin (lmwh).21,22 low-molecular-weight heparins (lmwhs) are a new class of anticoagulants made from unfractionated heparin (ufh) and depolymerized chemically or enzymatically to yield fragments around onethird the size of heparin.23 they have some benefits over ufh, which has led to increased use for a range of thromboembolic indications.24 lmwhs activate antithrombin (at) like ufh to create their key anticoagulant effect.23 anticoagulants are low-molecular-weight heparins (lmwhs), such as dalteparin and enoxaparin. these medications are used to prevent venous thromboembolic disease (vte) during an acute or elective hospital stay, to treat deep vein thromboses (dvt), pulmonary embolism (pe), and unstable angina, and are now prescribed in mild to serious covid-19 with symptoms of coagulopathy.22,23,25 the researchers used enoxaparin with prophylaxis dose to treat the patients in this case report, and unfractionated heparin was used in one case. if there is no contraindication, such as platelet less than 25 x 109/l, isth suggested giving a prophylactic dosage of lmwh to all covid-19 who needed to hospitalize.21 in another systematic review and meta-analysis, lmwh was safe as ufh. as a result, their efficacy is also debatable, owing to the possibility of bioaccumulation in patients with renal problems.26 our case-5 showed the use of unfractionated heparin (ufh) in chronic kidney disease patients, then gave good results that d-dimer level response became normal level without any complication happened. furthermore, ning tang et al. recently investigated the advantage of lmwh use in sepsis-induced coagulopathy and discovered that lmwh tends to be correlated with an improved prognosis in terms of 72 | mortality (40.0% vs. 64.2%, p=0.029). those with d-dimer >6-fold of the average upper limit had a comparable gain (32.8 % vs. 52.4%, p =.017).13 since the evidence indicates that genetic risk factors and vte prevalence differ significantly among ethnic groups, and since the incidence of vte in asian populations is low,27,28 a higher dose of lmwh may be recommended in the non-asian population with severe covid-19. on the other hand, anticoagulant treatment for sepsis-associated dic is still debatable.29,30 the isth created the sic guidelines to direct anticoagulant therapy as platelet counts decrease and prothrombin time prolongation is connected to increased mortality, and hypofibrinogenemia is rare in sepsis. the utility of this simple score has already been shown. 31 in case 2 and 5, lmwh was given for one week or less, and the d-dimer profile showed improvement, while in case 1,3 and 4, lmwh was given for more than one week. case 3 and 4 had incoming d-dimer levels > 4 µg/dl with severe covid-19. improvements in d-dimer levels were related to the improvement in the condition of covid-19 itself and the improvement of inflammation in covid-19 patients. severe covid-19 requires a longer time to repair inflammation than moderate covid-19.32 the three most serious drug-related complications associated with heparin and lmwh treatment are thrombocytopenia, bleeding, and osteopenia.33 heparin-induced thrombocytopenia (hit) affects 3% to 5% of patients administered unfractionated heparin intravenously, compared to 0.5 percent of patients receiving subcutaneous lmwh, catheter flushes, or even small levels of heparin that leach from coated catheters. heparin-induced thrombocytopenia with thrombosis (hitt) is a severe prothrombotic diathesis that can result in venous or arterial thromboembolism in 50% of cases. under timely and successful care, approximately 20% of patients will have their limbs amputated, up to 30% will die, and survivors will have residual deficits that can lead to myocardial infarctions, strokes, and pulmonary emboli. heparin should be stopped as soon as platelet counts drop dramatically (usually 50% of baseline), and lepirudin or argatroban (direct thrombin inhibitors) should be started if anticoagulation is needed.34,35 five patients in this report had normal thrombocyte levels before and after using enoxaparin and ufh. furthermore, bleeding is the most common side effect of anticoagulant therapy, and lmwh has a lower risk than ufh. since lmwh is completely excreted by the kidneys, renal activities and creatinine clearance (crcl) should be controlled in elderly and frail patients rather than only serum creatinine. for patients in this indication group, the lowest crcl ratio is likely to be various lmwhs, although a reasonable threshold is likely to be 30 ml/min. the lower crcl ratio can cause hemorrhaging and should not be used. 33 intermittent intravenous (iv) heparin causes more major bleeding than continuous iv heparin; however, continuous iv heparin and subcutaneous heparin cause almost the same amount of bleeding.33 in this report, all of the patient’s hemoglobin was still at the same level after using enoxaparin or ufh. there were not any symptoms associated with bleeding. protamine can be used to counteract the effects of heparin when bleeding happens during ufh treatment. on the other hand, protamine tends to neutralize just about 60% of lmwh's anti-factor xa activity.33 in case4, the researchers calculated the patient's crci (cockcroft-gault equation), which was approximately 20 ml/min. close observation of this patient found no complications such as bleeding. osteopenia and osteoporosis associated with heparin are linked to long-term treatment (usually more than one month). they are uncommon but often occur during breastfeeding and the postpartum phase, leading to fractures spontaneously. in this report, all cases were only short-term therapy; thus, this complication did not happen. balance disruption of osteoclasts and osteoblasts, abnormal collagen activation, and vitamin d synthesis disruptions can all induce heparin-associated osteopenia.33 conclusion the conclusion is that anticoagulants had been widely recommended to be given to covid-19 patients, especially with moderate to severe degrees, to reduce mortality from coagulopathy. in this report, either patient who used enoxaparin lmwh or heparin ufh responded well; all d-dimer levels gradually became normal and experienced clinical improvement without any complication. conflict of interest there are no conflicts of interest declared by either of the contributors. references | 73 vol 22 no 1 january 2022 1. zhu h, wei l, and niu p. the novel coronavirus outbreak in wuhan, china. glob health res policy. 2020 dec;5(1):6. https://doi.org/10.1186/s41256-020-00135-6 2. emami a, javanmardi f, pirbonyeh n, and akbari a. prevalence of underlying diseases in hospitalized pa tients with covid-19: a systematic review and meta-analysis. arch acad emerg med. 2020; 8(1): e35: 114 3. yi y, lagniton pnp, ye s, and li e, xu r-h. covid-19: what has been learned and to be learned about the novel coronavirus disease. int j biol sci. 2020;16(10):1753–66. https://doi.org/10.7150/ijbs.45134 4. zhou f, yu t, du r, fan g, liu y, liu z, et al. clinical course and risk factors for mortality of adult inpatients with covid-19 in wuhan, china: a retrospective cohort study. the lancet. 2020;395(10229):1054–62. https://doi.org/10.1016/s0140-6736(20)30566-3 5. guan w, ni z, hu y, liang w, ou c, he j, et al. clinical characteristics of coronavirus disease 2019 in china. new england journal of medicine. 2020;382(18):1708–20. https://doi.org/10.1056/nejmoa2002032 6. klok fa, kruip mjha, van der meer njm, arbous ms, gommers dampj, kant km, et al. incidence of thrombotic complications in critically ill icu patients with covid-19. thrombosis research. 2020;191:145–7. https://doi.org/10.1016/j.thromres.2020.04.013 7. llitjos jf, leclerc m, chochois c, monsallier jm, ramakers m, auvray m, et al. high incidence of venous thromboembolic events in anticoagulated severe covid-19 patients. journal of thrombosis and haemostasis. 2020;18(7):1743–6. https://doi.org/10.1111/jth.14869 8. vanderwerf jd, and kumar ma. management of neurologic complications of coagulopathies. 1st ed. vol. 141, handbook of clinical neurology. elsevier b.v.; 2017. 743–764 p. 9. suzuki k, wada h, imai h, iba t, thachil j, and toh ch. a re-evaluation of the d-dimer cut-off value for making a diagnosis according to the isth overt-dic diagnostic criteria: communication from the ssc of the isth. journal of thrombosis and haemostasis. 2018;16(7):1442–4. https://doi.org/10.1111/jth.14134 10. iba t, levy jh, warkentin te, thachil j, van der poll t, and levi m. diagnosis and management of sepsisinduced coagulopathy and disseminated intravascular coagulation. journal of thrombosis and haemostasis. 2019;17(11):1989–94. https://doi.org/10.1111/jth.14578 11. toh ch, and hoots wk. the scoring system of the scientific and standardisation committee on disseminated intravascular coagulation of the international society on thrombosis and haemostasis: a 5year overview. journal of thrombosis and haemostasis. 2007;5(3):604–6. https://doi.org/10.1111/j.15387836.2007.02313.x 12. tang n, li d, wang x, and sun z. abnormal coagulation parameters are associated with poor prognosis in patients with novel coronavirus pneumonia. journal of thrombosis and haemostasis. 2020;18(4):844–7. https://doi.org/10.1111/jth.14768 13. tang n, bai h, chen x, gong j, li d, and sun z. anticoagulant treatment is associated with decreased mortality in severe coronavirus disease 2019 patients with coagulopathy. journal of thrombosis and haemostasis. 2020;18(5):1094–9. https://doi.org/10.1111/jth.14817 14. iba t, levy jh, levi m, connors jm, and thachil j. coagulopathy of coronavirus disease 2019. critical care medicine. 2020;48(9):1358–64. https://doi.org/10.1097/ccm.0000000000004458 15. iba t, levy jh, wada h, thachil j, warkentin te, and levi m. differential diagnoses for sepsis‐induced disseminated intravascular coagulation: communication from the ssc of the isth. journal of thrombosis and haemostasis. 2019 feb 7;17(2):415–9. https://doi.org/10.1111/jth.14354 16. levi m, and scully m. how i treat disseminated intravascular coagulation. blood. 2018;131(8):845–54. https://doi.org/10.1182/blood-2017-10-804096 17. lippi g, bonfanti l, saccenti c, and cervellin g. causes of elevated d-dimer in patients admitted to a large urban emergency department. european journal of internal medicine. 2014;25(1):45–8. https://doi.org/10.1016/j.ejim.2013.07.012 18. zhang l, yan x, fan q, liu h, liu x, liu z, et al. d-dimer levels on admission to predict in-hospital mortality in patients with covid-19. journal of thrombosis and haemostasis. 2020;18(6):1324–9. https://doi.org/10.1111/jth.14859 19. iba t, levy jh, thachil j, wada h, and levi m. the progression from coagulopathy to disseminated intravascular coagulation in representative underlying diseases. thrombosis research. 2019;179(january):11–4. https://doi.org/10.1016/j.thromres.2019.04.030 20. delabranche x, helms j, and meziani f. immunohaemostasis: a new view on haemostasis during sepsis. annals of intensive care. 2017;7(1):1–14. https://doi.org/10.1186/s13613-017-0339-5 21. thachil j, tang n, gando s, falanga a, cattaneo m, levi m, et al. isth interim guidance on recognition and management of coagulopathy in covid-19. journal of thrombosis and haemostasis. 2020;18(5):1023–6. https://doi.org/10.1111/jth.14810 https://doi.org/10.1016/j.crci.2003.12.022 https://doi.org/10.1016/s0140-6736(20)30566-3 https://doi.org/10.1016/s0140-6736(20)30566-3 https://doi.org/10.1111/jth.14817 https://doi.org/10.1016/j.thromres.2020.04.013 https://doi.org/10.1111/jth.14869 https://doi.org/10.1111/jth.14134 https://doi.org/10.1111/jth.14578 https://doi.org/10.1111/j.1538-7836.2007.02313.x https://doi.org/10.1111/j.1538-7836.2007.02313.x https://doi.org/10.1111/jth.14768 https://doi.org/10.1111/jth.14817 https://doi.org/10.1097/ccm.0000000000004458 https://doi.org/10.1111/jth.14354 https://doi.org/10.1182/blood-2017-10-804096 https://doi.org/10.1016/j.ejim.2013.07.012 https://doi.org/10.1111/jth.14859 https://doi.org/10.1016/j.thromres.2019.04.030 https://dx.doi.org/10.1186%2fs13613-017-0339-5 https://doi.org/10.1111/jth.14810 74 | 22. godino c, scotti a, maugeri n, mancini n, fominskiy e, margonato a, et al. antithrombotic therapy in patients with covid-19? -rationale and evidence-. int. j. cardiol. 324: 261–266. https://doi.org/10.1016/j.ijcard.2020.09.064 23. hirsh j. low-molecular-weight heparin: a review of the results of recent studies of the treatment of venous thromboembolism and unstable angina. circulation. 1998;13:98(15):1575–82. https://doi.org/10.1161/01.cir.98.15.1575 24. weitz j. low-molecular-weight heparin. the new england journal of medicine. 1997;688–98. 25. dong k, song y, li x, ding j, gao z, lu d, et al. pentasaccharides for the prevention of venous thromboembolism. cochrane database of systematic reviews. 2016;2016(10). https://doi.org/10.1002/14651858.cd005134.pub3 26. lazrak hh, rené é, elftouh n, leblanc m, and lafrance jp. safety of low-molecular-weight heparin compared to unfractionated heparin in hemodialysis: a systematic review and meta-analysis. bmc nephrology. 2017;18(1):1–12. https://doi.org/10.1186/s12882-017-0596-4 27. stein pd, kayali f, olson re, and milford ce. pulmonary thromboembolism in asians/pacific islanders in the united states: analysis of data from the national hospital discharge survey and the united states bureau of the census. american journal of medicine. 2004;116(7):435–42. https://doi.org/10.1016/j.amjmed.2003.11.020 28. zakai na, and mcclure la. racial differences in venous thromboembolism. journal of thrombosis and haemostasis. 2011;9(10):1877–82. https://doi.org/10.1111/j.1538-7836.2011.04443.x 29. aikawa n, shimazaki s, yamamoto y, saito h, maruyama i, ohno r, et al. thrombomodulin alfa in the treatment of infectious patients complicated by disseminated intravascular coagulation: subanalysis from the phase 3 trial. shock. 2011;35(4):349–54. https://doi.org/10.1097/shk.0b013e318204c019 30. liu xl, wang xz, liu xx, hao d, jaladat y, lu f, et al. low-dose heparin as treatment for early disseminated intravascular coagulation during sepsis: a prospective clinical study. experimental and therapeutic medicine. 2014;7(3):604–8. https://doi.org/10.3892/etm.2013.1466 31. iba t, di nisio m, levy jh, kitamura n, and thachil j. new criteria for sepsis-induced coagulopathy (sic) following the revised sepsis definition: a retrospective analysis of a nationwide survey. bmj open. 2017;7(9):1–7. http://dx.doi.org/10.1136/bmjopen-2017-017046 32. yu b, li x, chen j, ouyang m, zhang h, zhao x, et al. evaluation of variation in d-dimer levels among covid-19 and bacterial pneumonia: a retrospective analysis. j thromb thrombolysis. 2020 oct;50(3):548–57. https://doi.org/10.1007/s11239-020-02171-y 33. krishnamurthy m, and freedman ml. complications of anticoagulation with heparin. ethics journal of the american medical association. 2005:7(4). https://doi.org/10.1001/virtualmentor.2005.7.4.cprl1-0504 34. warkentin te, and greinacher a. heparin-induced thrombocytopenia: recognition, treatment, and prevention the seventh accp conference on antithrombotic and thrombolytic therapy. chest. 2004;126(3 suppl.):311s-337s. https://doi.org/10.1378/chest.126.3_suppl.311s 35. rice l. heparin-induced thrombocytopenia: myths and misconceptions (that will cause trouble for you and your patient). archives of internal medicine. 2004;164(18):1961–4. https://doi.org/10.1001/archinte.164.18.1961 https://doi.org/10.1161/01.cir.98.15.1575 https://doi.org/10.1161/01.cir.98.15.1575 https://doi.org/10.1002/14651858.cd005134.pub3 https://doi.org/10.1016/j.crci.2003.12.022 https://doi.org/10.1016/j.amjmed.2003.11.020 https://doi.org/10.1111/j.1538-7836.2011.04443.x https://doi.org/10.1097/shk.0b013e318204c019 https://doi.org/10.3892/etm.2013.1466 http://dx.doi.org/10.1136/bmjopen-2017-017046 https://doi.org/10.1007/s11239-020-02171-y https://doi.org/10.1378/chest.126.3_suppl.311s https://doi.org/10.1378/chest.126.3_suppl.311s https://doi.org/10.1001/archinte.164.18.1961 yoni astuti, selly fitriana, nunuk siti rahayu, pengaruh pemberian ekstrak pare ................ 26 pengaruh pemberian ekstrak pare (momordica charantia l) terhadap motilitas dan morfologi sperma mencit the effect extract of bitter melon ( momordica charantia ) consumption on the motility and morphology of sperm cells in mice yoni astuti1, selly fitriana2 , nunuk siti rahayu 3 1bagian biokimia fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta 2fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta 3fakultas pertanian universitas widyadarma klaten abtract the role of man in family planning extend o the birth space is rare. therefore, improvement efforts to create the family planning tools that have characteristic safe and reversible for man’s reproductive system are needed.it is wellknown that pare (momordica charantia,l) showed the effect of spermatogenesis inhibition. the aim of this study is to reveal the influence of bitter melon extract on mice sperm activity. this experimental study used male mice which were given bitter melon extract by oral intubations. twenty mice were divided into 2 groups. group a was treated with bitter melon extract for 4 weeks and group b for 6 weeks. each group were further divided into 5 subgroups which were treated with different dose 500, 600, 700, 800 mg/kg body weight/day and control subgroups were treated with aquadest. after this, mice were decapitated , and the left and right terminals of the epididymis were sectioned . then the motility and morphology of the sperms cells were examined cupically. the results showed that there was a correlation between dose of extract, motility and morphology of sperms. the anova analysis showed that there were significants differenced, at motility a(r = 0,583), b(r = 0,839) p = 0,27, normal morphology a(r = 0,946), b(r = 0,962) p = 0,000, abnormal morphology a( r = 0,930), b(r = 0,962) p = 0,000. it is concluded that the decreasing of motility and normal morphology of sperms were liniar with the increasing of dose and duration of extract treatment for sperm motility. the most minimally effective dosage were : 500 mg/weight/day during 4 weeks. key words: bitter melon extract, contraception, motility, spermatogenesis, sperm, sperm morphology abstrak peran pria dalam mengikuti program keluarga berencana (kb) untuk menjaga jarak kelahiran anak masih sangat sedikit. sehingga perlu usaha untuk menciptakan alat kb yang aman dan bersifat sementara bagi pria. pare (momordica charantia,l) diketahui memiliki efek penghambatan spermatogenesis. penelitian ini menggunakan metode eksperimental. mencit sebanyak 20 ekor terbagi dalam 2 kelompok. kelompok a (kelompok diberi perlakuan selama 4 minggu dan kelompok b (kelompok yang diberi perlakuan selama 6 minggu). tiap kelompok terdiri dari 5 sub kelompok dengan dosis berbeda, yaitu 500, 600, 700, 800 mg ekstrak pare/kg bb/hari dan sub kelompok kontrol yang diberi aquadest. setelah masa perlakuan, mencit didekapitasi, epididimis bagian akhir dari saluran reproduksi sebelah kanan dan kiri diambil, dibuat suspensi dengan nacl 0,9%. dihitung motilitas sperma ,dihitung morfologi normal dan morfologi tidak normal. 27 mutiara medika vol. 9 no. 1:26-32, januari 2009 hasil penelitian ini menunjukkan adanya korelasi antara dosis ekstrak dengan motilitas pada kelompok a : (r = -0,583) sedang pada kelompok b : (r = -0,839) dan korelasi dosis dengan morfologi sel sperma normal pada kelompok a : (r = -0,946), pada kelompok b : (r = -0,962) dan korelasi dosis dengan kelompok abnormal pada kelompok a : (r = 0,930) , pada kelompok b : (r = 0,962).sedangkan uji anova menunjukkan adanya beda nyata , yaitu antara dosis dengan pada motilitas p = 0,27 antara dosis dengan p = 0,000, morfologi abnormal p = 0,000. disimpulkan bahwa penurunan motilitas dan morfologi sperma berbanding lurus dengan peningkatan dosis dan lama perlakuan. dosis efektif minimal adalah 500mg/bb/hari selama waktu 4 minggu. kata kunci: ekstrak pare, kontrasepsi, motilitas, morfologi spermatozoa, spermatogenesis, sperma pendahuluan berdasarkan survey demografi dan kesehatan indonesia tahun 2002-2003, peserta keluarga berencana (kb) pria di indonesia hanya berada pada kisaran 1,3 % (0,4% menggunakan alat kontrasepsi vasektomi dan 0,9% menggunakan kondom). padahal jumlah total pengguna kb di indonesia adalah 58,3% . untuk itu diperlukan suatu kajian baru mengenai kontrasepsi pria . upaya mencari obat kontrasepsi pria dengan memanfaatkan bahan dari tanaman telah banyak dilakukan oleh para ahli tetapi belum bamyak dilakukan secara intensif dan hasilnya belum dapat digunakan secara luas oleh masyarakat. oleh karena itu eksplorasi dan penelitian obat kontrasepsi yang berasal dari tanaman masih perlu diintensifkan lagi karena indonesia memiliki banyak jenis flora.bahan obat-obatan untuk kontrasepsi yang berasal dari tanaman memiliki berbagai keuntungan, antara lain toksisitasnya rendah,mudah diperoleh, murah harganya, dan kurang menimbulkan efek samping.1 tanaman pare (momordica charantia, l) merupakan salah satu tanaman yang mempunyai efek spermisid. pemberian ekstrak pare dapat menurunkan kadar testoesteron mencit.2 penelitian yang lain membuktikan ekstrak pare dapat menurunkan kualitas spermatozoa dan jumlah anak yang dilahirkan akibat perkawinan mencit jantan perlakuan dengan betina normal.3 ekstrak pare berpengaruh pada penurunan kualitas sperma dan jumlah sel spermatogenik. dengan dosis 250, 350, 450, 550 mg/kg bb/hari selama satu bulan belum berpengaruh terhadap kualitas spermatozoa dan jumlah sel spermatogenik. pengaruh tersebut tampak nyata pada perlakuan selama dua bulan.4 penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak pare pada dosis 500, 600, 700, 800 mg/kg bb/hari terhadap motilitas dan morfologi spermatozoa. bahan dan cara subyek penelitian ini adalah 20 ekor mencit jantan (berat 40-50gram, umur 3-4 bulan) yang diperoleh dari unit pengembangan hewan percobaan ugm. mencit jantan dikelompokkan menjadi 2 kelompok. kelompok a dengan perlakuan selama 4 minggu, kelompok b dengan perlakuan selama 6 minggu selanjutnya masing-masing kelompok dibagi lagi menjadi 5 subkelompok dengan perbedaan dosis perlakuan yaitu: 500, 600, 700, 800 mg/kg bb/hari, dan 1 kelompok kontrol dengan diberi aquadest. bahan yang dipergunakan adalah ekstrak daging buah pare, giemsa, nacl,alkohol sedangkan alat yang dipakai hemositometer nauber, petridish steril, mikroskop. prosedur penelitian ini adalah pengamatan motilitas dan morfologi setelah 4 minggu dan 6 minggu setiap kelompok yoni astuti, selly fitriana, nunuk siti rahayu, pengaruh pemberian ekstrak pare ................ 28 percobaan dan kontrol yang diambil dari terminal epididymis. pengamatan morfologi setelah dicat dengan pewarnaan giemsa. data yang diperoleh dianalisis dengan uji korelasi dan anova yang dilanjutkan dengan uji lsd. hasil dari uji motilitas spermatozoa didapatkan tiga kriteria yaitu persentase motilitas spermatozoa aktif, lincah, bergerak lurus kedepan yang selanjutnya disebut motilitas motil maju, motilitas teratur dan spermatozoa tidak motil. dari ketiga hasil tesebut yang memberikan arti penting adalah spermatozoa motil maju. hasil rerata motilitas spermatozoa per bidang pandang pada masing – masing dosis dapat dilihat pada tabel 1. tabel 1. rerata motilitas spermatozoa per bidang pandang lama pemberian dosis kontrol (1) dosis 500 (2) dosis 600 (3) dosis 700 (4) dosis 800 (5) 4 minggu (a) 16±1,41 7,5±3,54 9±2,83 8,5±4,95 7±4,24 6 minggu (b) 16,5±3,54 8±4,24 4,5±0,7 5,5±2,12 3,5±2,12 dari hasil uji korelasi antara dosis yang diberikan terhadap motilitas dapat dilihat pada tabel 2. tabel 2. nilai korelasi antara motilitas terhadap kelompok dosis pare motilitas terhadap nilai r dosis kelompok a -0,583 dosis kelompok b -0,839 nampak pada kelompok a didapatkan r = -,583 yang jika diinterpretasikan berarti terdapat hubungan negatif yang agak rendah antara pemberian dosis ekstrak selama 4 minggu dengan penurunan motilitas spermatozoa, uji korelasi pada kelompok b r = -,839 yang menunjukkan hubungan sangat erat antara pemberian dosis ekstrak selama 6 minggu dengan penurunan motilitas spermatozoa. ini berarti dengan memperpanjang waktu perlakuan ternyata akan semakin menurunkan motilitas spermatozoa tetapi perbedaannya tidak bermakna. hal ini dapat ditunjukkan dari uji anova ( tabel 3) didapatkan nilai p = 0,27 (p>0,05) yang berarti tidak didapatkan beda yang signifikan antara pemberian ekstrak pare selama 4 dan 6 minggu, karena tidak adanya beda nyata maka analisis data tidak dilanjutkan dengan uji lsd. tabel 3. hasil anova motilitas dan morfologi bormal dan abnormal kriteria nilai p motilitas 0,027 morfologi normal 0,000 morfologi abnormal 0,000 29 mutiara medika vol. 9 no. 1:26-32, januari 2009 penurunan motilitas telah terlihat pada kelompok a2. dari hasil pengamatan, didapatkan gerakan-gerakan abnormal yaitu gerak di tempat dan gerak melingkar pada pemberian ekstrak buah pada kelompok a2. hasil uji korelasi antara dosis pare terhadap morfologi spermatozoa normal dan abnormal dapat dicermati pada tabel 5. terlihat bahwa ada korelasi yang kuat antara dosis pare terhadap morfologi spermatozoa. pada dosis kelompok a tabel 5. nilai korelasi antara morfologi normal dan abnormal terhadap kelompok dosis pare terhadap morfologi normal sebesar r -0,946, sedangkan pada kelompok b sebesar 0,962. nilai korelasi antara dosis pare terhadap morfologi abnormal pada dosis kelompok a sebesar 0,930 sedangkan pada kelompok b sebesar :0,962. dosis pare morfologi normal morfologi abnormal kelompok a -0,946 0,930 kelompok b -0,962 0,962 sedangkan uji korelasi pada spermatozoa abnormal didapatkan nilai r = 0,930 untuk kelompok a dan r = 0,962 untuk kelompok b. ini menunjukkan adanya hubungan yang sangat erat antara pemberian ekstrak pare dengan penurunan morfologi normal dan peningkatan jumlah morfologi abnormal. pada uji anova didapatkan nilai p = 0,000 ( tabel 3) pada morfologi normal ataupun abnormal dan akan dilanjutkan dengan uji lsd yang berarti terlihat ada beda yang bermakna (p,0,05) antara perlakuan selama 4 minggu dan perlakuan selama 6 minggu. penurunan morfologi spermatozoa normal dan peningkatan spermatozoa abnormal telah tampak pada kelompok a2. penurunan spermatozoa normal berbanding lurus dengan peningkatan dosis begitu juga sebaliknya didapatkan peningkatan morfologi spermatozoa abnormal. morfologi spermatozoa yang abnormal menunjukkkan beberapa gambaran diantaranya, spermatozoa dengan abnormal kepala, leher, bagian tengah, ekor. rerata jumlah spermatozoa abnormal pada masing masing kelompok percobaan dapat dilihat pada tabel 6. tabel 6. rerata morfologi spermatozoa abnormal lama pemberian dosis kontrol (1) dosis 500 (2) dosis 600 (3) dosis 700 (4) dosis 800 (5) 4 minggu (a) 4±1,41 17±1,41 24,5±0,7 29,5±9,19 37±4,24 6 minggu (b) 11±2,83 41,5±3,54 56±5,66 69±5,66 85,5±4,95 tabel 4. rerata morfologi spermatozoa normal lama pemberian dosis kontrol (1) dosis 500 (2) dosis 600 (3) dosis 700 (4) dosis 800 (5) 4 minggu (a) 96±1,41 83±1,42 75,5±0,7 68,5±6,36 63±4,24 6 minggu (b) 89±2,83 58,5±3,53 44±5,66 31±5,66 14,5±4,95 morfologi yang diamati dari spermatozoa menunjukan adanya morfologi normal dan morfologi abnormal. pada morfologi normal ditunjukkan dengan keadaan spermatozoa yang utuh dan soliter. rerata jumlah spermatozoa dengan morfologi normal pada masing – masing kelompok percobaan dapat dilihat pada tabel 4. yoni astuti, selly fitriana, nunuk siti rahayu, pengaruh pemberian ekstrak pare ................ 30 morfologi spermatozoa merupakan paramater yang mempunyai nilai diagnostik, sehingga parameter ini penting artinya sebagai salah satu uji antifertilitas sebab bentuk spermatozoa terutama bentukbentuk yang abnormal dapat menunjukkan letak kelainan androloginya. hal ini tentunya mempunyai arti penting pada penerapan terhadap spermatozoa manusia, sebab dengan mengetahui kelainan letak andrologi diharapkan adanya terapi ke arah perbaikan dari morfogi yang abnormal tersebut. telah diketahui bahwa semen individu yang normal dan fertil dijumpai sejumlah spermatozoa dengan abnormalitas morfologi. hal ini wajar saja, tetapi bila dalam jumlah besar maka dapat menurunkan kualitas semen dan berhubungan dengan fertilitas yang rendah, karena setiap sperma yang mempunyai morfologi abnormal tidak dapat membuahi ovum. selama abnormalitas itu belum mencapai 20% maka individu itu masih bisa dianggap fertil. dari hasil pengamatan diperoleh morfologi spermatozoa normal dan abnormal. kedua hasil morfogi tersebut mempunyai arti seimbang dalam uji antifertiltas. kelainan morfologi yang dijumpai meliputi : abnormalitas kepala: yaitu kepala makro, kepala mikro, kepala ganda, kepala tanpa kait, kepala tumpul, kepala terlipat, kepala patah. abnormalitas bagian tengah: yaitu bagian tengah pendek, bagian tengah menebal, bagian tengah menipis, bagian tengah melipat, bagian tengah bergelombang. abnormalitas ekor: yaitu ekor melipat, ekor melingkar, ekor bengkok, ekor bergelombang, ekor patah. aglutinasi: yaitu aglutinasi kepalakepala, aglutinasi kepala-ekor, aglutinasi ekorekor, aglutinasi rantai, aglutinasi palsu. diskusi pada pemberian ekstrak pare terlihat adanya gangguan, motilitas, dan morfologi oleh karena adanya kukurbitasin (momordikosida k dan l) yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan sel. hambatan ini mungkin disebabkan oleh terhambatnya sumber energi dengan demikian sel spermatogenik tidak dapat berkembang membentuk spematozoa. dibuktikan dalam penelitan dixit bahwa konsentrasi rna total dan konsentrasi protein testis menurun sangat nyata pada anjing yang diberi ekstrak pare. dari ke2 parameter tersebut (motilitas, morfologi) saling berkaitan karena jika ada salah satu parameter yang terganggu akan menyebabkan pergerakan yang tidak normal. kecepatan spermatozoa merupakan manifestasi bahwa spermatozoa tersebut mempunyai daya motilitas. motilitas merupakan alat atau sarana untuk memindahkan spermatozoa karena harus melalui saluran reproduksi hewan betina. jadi penting artinya dalam transport spermatozoa ke dalam reproduksi hewan betina.5 adanya gangguan motilitas ini kemungkinan disebabkan oleh abnormalitas sperma. motilitas juga dipengaruhi oleh hambatan enzim, aktifitas membran, aktifitas permukaan sedangkan pare juga merupakan kontrasepsi yang berbentuk surfaktan karena dapat mengganggu permiabilitas membran. motilitas sperma diatur oleh aktifitas enzim, hambatan terhadap enzim dapat menyebabkan imobilisasi. sekalipun demikian semua aktivitas agen imobilisasi sperma secara langsung menghambat enzim tersebut. aktifitas agen spermisid meningkatkan permeabilitas lipid permukaan sel sperma ini berakibat rusaknya enzim-enzim dan komponen sel-sel lain.antara lain menhambat sitokrom oxidase dan enzim glikolitik. dengan bertambahnya hambatan enzim-enzim tersebut berarti pemberian energi atp di mitokondria yang digunakan sebagai energi bergeraknya spermatozoa akan terganggu.6 energi untuk motilitas bersumber pada bagian tengah sperma, karena dibagian tersebut terdapat mitokondria yang memecah bahan-bahan tertentu untuk menghasilkan energi. selanjutnya energi 31 mutiara medika vol. 9 no. 1:26-32, januari 2009 tersebut disalurkan ke bagian distal yaitu ekor, yang berakibat timbulnya gerakan pada ekor. jadi bagian tengah merupakan sumber untuk pergerakan spermatozoa. energi yang keluar tersebut menyebabkan dua macam gerakan. pertama gerakan ke ujung ekor yang makin lama makin melemah. gerakan kedua adalah sirkular dengan arah melingkari batang tubuh bagian tengah terus ke ujung ekor. hasil dari dua gerakan tersebut menyebabkan motilitas spermatozoa yang bergerak lurus kedepan, lincah, aktif. dari hal ini dapat disimpulkan bahwa hanya spermatozoa normal yang dapat bergerak secara normal, karena gerakan tersebut memerlukan keseimbangan dari semua bagian-bagian sperma. pada uji morfologi didapatkan morfologi sperma normal mengalami penurunan (gangguan) akibat perlakuan dengan ekstrak pare. kebalikan dari hal tersebut adalah meningkatnya spermatozoa abnormal. perubahan morfologi spermatozoa ini sangat berhubungan dengan kemungkinan terjadinya peristiwa mutagenik, non mutagenik, selama spermatogenesis atau terjadinya gangguan pemasakan spermatozoa selama perkembangan posttestikuler.7 abnormalitas spermameliputi abnormalitas primer dan abnormalitas sekunder.8 abnormalitas primer dapat terjadi karena kelainan-kelainan pada tubulus seminiferus maupun adanya gangguan testikuler. sedangkan abnormalitas sekunder dapat terjadi setelah spermatozoa meninggalkan tubulus seminiferus selama ejakulasi dan perjalanannya melalui urethra atau manipulasi terhadap ejakulat. dengan adanya hal tersebut, kemungkinan bahwa aglutinasi sperma merupakan suatu abnormalitas sekunder. aglutinasi dalam penelitian ini termasuk aglutinasi yang disebabkan oleh faktor imunologis. aglutinasi ini berasal dari antigen-antigen permukaan spermatozoa. terbentuknya macam-macam aglutinasi merupakan hasil reaksi antara antigen-antigen akrosomal, post akrosomal, dan flagelar.9 adanya pengambilan sperma cauda epididimis dalam uji terdapat kekurangan, karena spermatozoa yang diamati bukan berasal dari spermatozoa ejakulat. pola motilitas antara sperma epididymal berbeda bila dibandingkan dengan spermatozoa ejakulat.7 walaupun demikian sperma cauda epididimis dapat memberikan sedikit gambaran dalam uji antifertilitas. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. terdapat hubungan antara dosis dan lama pemberian ekstrak pare terhadap penurunan motilitas dan morfologi normal. 2. perlakuan dengan ekstrak buah pare terlihat menghambat aktivitas spermatozoa pada mencit yang meliputi motilitas dan morfologi normal. efek hambatan telah tampak pada dosis 500 mg/kgbb/hari selama 4 minggu. 3. penurunan morfologi normal berbanding lurus dengan peningkatan dosis dan penambahan lama perlakuan kecuali untuk motilitas sperma. 4. adanya sifat spermisida, senyawa pada ekstrak buah pare telah semakin banyak dukungannya, sehingga ada kecenderungan terhadap pemanfaatan buah pare sebagai salah satu obat kontrasepsi pria. daftar pustaka 1. tadjudin, m.k., (1984), tujuan kontrasepsi pada pria : oligozoospermia, azoospermia, asepermia?. mki. vol 34. no. 11. 30 nopember 1984. 2. wuryantari (1990), pengaruh ekstrak pare terhadapo testosterone mencit. fakultas biologi ugm. 3. harminani (1990), pengaruh ekstrak pare terhadap kualitas spermatozoa. fakultas biologi ugm. 4. nunuk, s.(1991). pengaruh ekstrak pare (momordica charantia l.) terhadap spermatogenesis pada mencit jantan (mus musculus) jantan. yoni astuti, selly fitriana, nunuk siti rahayu, pengaruh pemberian ekstrak pare ................ 32 skripsi fakultas biologi universitas gadjah mada yogyakarta, yoogyakarta. 5. salisbury, g.w dan vandemark, n.l (1985). fisiologi reproduksi dan inseminasi buatan pada sapi. diterjemahkan oleh djanur, r. gadjah mada university press. 6. fransworth, n.r. and d.p. waller, (1982). current status of plant product reported to inhibit sperm, research frontiers in fertility regulation, vol 2. no 1 june. 7. hafes, e.s.e. (1987). reproduction in farm animal. 5th ed. lea and febiger. philadelphia 8. toelihere. mr. (1985). fisiologi reproduksi pada ternak. penerbit angkasa. bandung. 9. moeloek, n. (1987), standarisasi analisis semen manusia, perkumpulan kontrasepsi mantap indonesia, jakarta. 49 mutiara medika vol. 13 no. 1: 49-54, januari 2013 pengaruh lama hipoksia terhadap angka eritrosit dan kadar hemoglobin rattus norvegicus effect of hypoxia duration to the erythrocyte and hemoglobin rattus norvegicus hidayati fitrohtul uyun1, ratna indriawati2* 1program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta 2bagian fisiologi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta *email: r_indriawatiwibowo@yahoo.com abstrak oksigen berperan penting dalam proses metabolisme tubuh. kekurangan oksigen menyebabkan metabolisme berlangsung tidak sempurna. hipoksia merangsang sistem hematologi dan sirkulasi untuk meningkatkan fungsi oksigenasi. penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh lama hipoksia terhadap angka eritrosit dan kadar hemoglobin rattus norvegicus. penelitian ini merupakan penelitian eksperimental, pre and post control group design. perlakuan hipoksia menggunakan modifikasi hypoxia chamber dengan pemberian kadar oksigen sebesar 10% dari total volume kandang. pengukuran eritrosit menggunakan manual haemositometer dan hemoglobin menggunakan spektrofotometer. analisis data menggunakan uji t test dan oneway anova, kruskall wallis dengan tingkat kepercayaan 95%. hasil rerata ± sd hemoglobin (gr/dl) dari seluruh kelompok kontrol, 12, 24 dan 36 jam hipoksia sebelum dan sesudah secara berturut-turut yakni 10,89 ± 0,755 dan 8,74 ± 0,762. hasil rerata ± sd eritrosit (juta/¼l) seluruh kelompok kontrol, 12, 24 dan 36 jam sebelum dan sesudah yakni 5,63 ± 0,74 dan 4,19 ± 0,523. hasil uji t-test hemoglobin dari kelompok kontrol, 12, 24 dan 36 jam hipoksia secara berturut-turut dengan nilai p = 0,227, p = 0,492, p = 0,000, p = 0,000 dan hasil uji t-test eritrosit dari kelompok kontrol, 12, 24, 36 jam hipoksia secara berturut-turut dengan nilai p = 0,004, p = 0,243, p = 0,001, p = 0,003. hasil oneway anova kadar hb (p = 0,000) dan hasil kruskall wallis angka eritrosit (p = 0,018). disimpulkan bahwa terjadi peningkatan angka eritrosit dan kadar hemoglobin pada perlakuan 12 jam dan penurunan pada perlakuan 24 dan 36 jam hipoksia pada rattus norvegicus. kata kunci: eritrosit, hemoglobin, hipoksia, oksigen abstract oxygen have an important role in body metabolism. lack of oxygen caused uncomplete metabolism. hypoxia can stimulate the circulatory system and hematology to improve oxygenation function. this research purpose to knows effect of hypoxia duration to the erythrocyte and hemoglobin on rattus norvegicus. this is experimental research, pre and post control group design. hypoxia condition made from modification of hypoxia chamber with 10% oxygen level from total volume of chamber. measuring of erythrocyte used manual hemocytometer and the hemoglobin use spektrofotometer. data analysis used t test and oneway anova, kruskall wallis with ci 95 %. the result from all of group control, 12, 24 and 36 hour pre and post hemoglobin median ± sd (gr/dl) were 10,89 ± 0,755 and 8,74 ± 0,762 and median ± sd of erythrocyte (106/ ¼l) were 5,63 ± 0,74 and 4,19 ± 0,523. the result t test showed the correlation of pre and post hemoglobin from control, 12, 24, and 36 hour duration hypoxia were p = 0,227, p = 0,492, p = 0,000, p = 0,000 and the erythrocyte from control, 12, 24, and 36 hour duration hypoxia were p = 0,004, p = 0,243, p = 0,001, p = 0,003. result from oneway anova from haemoglobin (p = 0,000) and result of kruskall wallis from erythrocyte (p = 0,018). it can concluded that there is increasing erythrocyte and hemoglobin on 12 hour and decreasing on 24 and 36 hour hypoxia on rattus norvegicus. key words: erythrocyte, hemoglobin, hypoxia, oxygen artikel penelitian 50 hidayati fitrohtul uyun, pengaruh lama hipoksia terhadap angka ... pendahuluan oksigen memegang peranan penting dalam semua proses tubuh secara fungsional serta kebutuhan oksigen merupakan kebutuhan yang paling utama dan sangat vital bagi tubuh. kekurangan oksigen dapat menyebabkan metabolisme berlangsung tidak sempurna, adanya kekurangan o2 ditandai dengan keadaan hipoksia, yang dalam proses lanjut dapat menyebabkan kematian jaringan bahkan dapat mengancam kehidupan.1,2 hipoksia merupakan kondisi tidak tercukupinya pemenuhan kebutuhan oksigen dalam tubuh akibat defisiensi oksigen atau peningkatan penggunaan oksigen dalam tingkat sel, begitu keadaan hipoksia bertambah parah, pusat batang otak terkena. sifat hipoksia ada 2 yakni tidak terasa datangnya dan tidak terasa sakit. penyebab awal kegawatdaruratan medis pada pasien di rumah sakit st elisabeth semarang adalah kondisi hipoksia. menurut hasil riset kesehatan dasar tahun 2007, tiga penyebab utama kematian perinatal di indonesia adalah gangguan pernapasan/respiratory disorders (35,9%), prematuritas (32,4%) dan sepsis neonatorum (12,0%). di indonesia angka kejadian asfiksia neonatorum kurang lebih 40 per 1000 kelahiran hidup, secara keseluruhan 110.000 neonatus meninggal setiap tahun karena asfiksia. 3,4,5 pemeliharaan oksigenasi jaringan tergantung pada 3 sistem organ yaitu sistem kardiovaskuler, hematologi, dan respirasi. saat terjadi perubahan oksigen akan terjadi perubahan hematokrit, angka eritrosit dan hemoglobin karena fungsi dari ketiganya adalah mengangkut oksigen.6,7 hemoglobin merupakan protein respiratori yang bertanggungjawab menjalankan fungsi utama mengangkut oksigen ke jaringan dan membawa karbondioksida kembali ke paru. hemoglobin diangkut oleh eritrosit kedalam sirkulasi. dalam darah sebagian besar o2 bergabung dengan hemoglobin (97%) dan sisanya larut dalam plasma (3%).8,9,10 penelitian ini bertujuan untuk untuk mengkaji pengaruh hipoksia terhadap angka eritrosit dan kadar hemoglobin pada rattus norvegicus pada setiap lama perlakuan yang diberikan. bahan dan cara jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental. rancangan penelitian yang digunakan adalah pre and post control design. penelitian ini dilakukan di laboratorium pusat antar universitas universitas gadjah mada (ugm) yogyakarta. waktu yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian ini sekitar 3 bulan sejak juni sampai dengan agustus 2012. variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah hipoksia hipoksik. variabel tergantung adalah angka eritrosit dan kadar hemoglobin rattus norvegicus. hewan uji adalah rattus norvegicus jantan galur spraque dawley berumur 2 bulan dengan berat rata-rata 200 gram yang tampak bergerak aktif. hewan uji dikelompokkan secara acak (simple random sampling) menjadi 4 kelompok, yaitu 1 kelompok kontrol, 1 kelompok induksi hipoksia selama 12, 24, dan 36 jam dengan tiap kelompok terdiri dari 6 ekor rattus norgicus. penelitian dilakukan dengan memberikan perlakuan hipoksia pada kelompok perlakuan, penginduksian hipoksia dilakukan dengan mengatur volume oksigen yang masuk dalam kandang tertutup yang digunakan sebagai pengganti hypoxia chamber sebesar 10% dari volume kandang. pemberian 51 mutiara medika vol. 13 no. 1: 49-54, januari 2013 pakan dan minum pada rattus norvegicus dilakukan secara ad libitum. pengambilan sampel dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan hipoksia. data dianalisis dengan uji korelasi t test yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara angka eritrosit sebelum dan sesudah serta kadar hemoglobin sebelum dan sesudah perlakuan hipoksia pada masing-masing kelompok perlakuan, kemudian untuk mengetahui perbedaan pada keempat kelompok perlakuan dilakukan uji oneway anova jika data normal dan krusskal wallis jika data tidak normal. hasil telah dilakukan penelitian pada rattus norvegicus yang diberikan perlakuan hipoksia pada 4 kelompok penelitian. pola perubahan kadar hemoglobin sebelum dan sesudah yang terjadi pada 4 kelompok penelitian diamati pada gambar 1. berdasarkan gambar 1. terlihat bahwa kadar hemoglobin kelompok kontrol (0 jam) mengalami peningkatan, kelompok yang diberi perlakuan hipoksia 12 jam terlihat mengalami peningkatan sedangkan kelompok perlakuan hipoksia 24 jam dan 36 jam mengalami penurunan. pola perubahan angka eritrosit sebelum dan sesudah yang terjadi pada 4 kelompok percobaan diamati pada gambar 2. berdasarkan gambar 2. dapat dilihat bahwa jumlah eritrosit kelompok kontrol (0 jam) mengalami penurunan, kelompok yang diberi perlakuan hipoksia 12 jam dapat terlihat mengalami peningkatan sedangkan kelompok perlakuan hipoksia 24 jam dan 36 jam mengalami penurunan. hasil pengukuran kadar hemoglobin dan eritrosit sebelum dan sesudah hipoksia kemudian dilakukan analisis data. hasil sebelum dan sesudah dilakukan uji t test kemudian pada selisih kadar hemoglobin sebelum dan sesudah menggunakan oneway anova karena nilai normalitas menunujkan data normal (n > 0,05), sedangkan selisih angka eritrosit sebelum dan sesudah menggunakan kruskall wallis karena uji normalitas menunjukkan data yang tidak normal (n < 0,05). hasil uji t test kadar hemoglobin kelompok kontrol dan hipoksia 12 jam didapatkan hasil yang tidak bermakna (p > 0,05), sedangkan perlakuan hipoksia selama 24 jam dan 36 jam didapatkan hasil yang bermakna (p < 0,05). analisis data kadar hemoglobin menggunakan oneway anova menun kontrol 12 jam 24 jam 36 jam sebelum sesudah 0 5 10 15 kelompok k ad ar h b (g r/ dl ) gambar 1. perbandingan rerata kadar hemoglobin rattus norvegicus sebelum dan sesudah perlakuan hipoksia selama 0, 12 jam, 24 jam dan 36 jam 52 hidayati fitrohtul uyun, pengaruh lama hipoksia terhadap angka ... jukkan adanya perbedaan yang bermakna dari keempat kelompok. hasil post hoc menggunakan lsd menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol tidak memiliki perbedaan yang bermakna dibandingkan dengan kelompok 12, 24 dan 36 jam. perbedaan paling terbesar ada pada kelompok 24 jam perlakuan. jumlah eritrosit berdasarkan uji t test kelompok kontrol memiliki hasil yang bermakna (p < 0,05) dan 12 jam tidak bermakna (p > 0,05), sedangkan perlakuan hipoksia selama 24 dan 36 jam didapatkan hasil yang bermakna (p < 0,05). analisis data jumlah eritrosit menggunakan kruskall wallis didapatkan adanya perbedaan yang bermakna dari keempat kelompok. hasil posthoc menggunakan mann whitney menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol memliki perbedaan yang bermakna terhadap kelompok 24 jam sedangkan terhadap kelompok 12 dan 36 jam tidak bermakna dan kelompok 12 jam terhadap 24 dan 36 jam memiliki perbedaan yang bermakna, 24 jam terhadap 36 jam tidak bermakna. diskusi kadar hemoglobin kelompok kontrol memperlihatkan hasil yang meningkat namun uji t test menunjukkan penurunan yang tidak bermakna secara statistik (p > 0,05). hal ini menunjukkan kelompok kontrol tidak terganggu oleh faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan perubahan yang bermakna. kadar hemoglobin kelompok tikus hipoksia 12 jam menunjukkan hasil yang cenderung meningkat sebanyak 1,05 gr/dl dari rerata hemoglobin sebelum dan sesudah perlakuan. peningkatan yang dialami pada 12 jam pertama sesuai dengan yang dikehendaki yakni menunjukkan adanya suatu peningkatan eritropoetin sebagai kompensasi hipoksia. ginjal dan otak merupakan dua organ yang memiliki sistem autoregulasi yang efisien di tubuh. organ ini berperanan sebagai sensor terhadap kondisi kekurangan oksigen. sebagai contoh ialah peranan ginjal dalam memproduksi eritropoetin pada kondisi hipoksia.11 kadar hemoglobin kelompok tikus hipoksia 24 dan 36 jam mengalami penurunan yang bermakna (p < 0.05) dengan perbedaan rerata sebelum dan kontrol 12 jam 24 jam 36 jam sebelum sesudah 0 2 4 6 8 kelompok ju m la h e ri tr o si t ( ju ta /µ l) gambar 2.rerata jumlah eritrosit tikus (rattus norvegicus) sebelum dan sesudah perlakuan hipoksia selama 0 jam, 12 jam, 24 dan 36 jam 53 mutiara medika vol. 13 no. 1: 49-54, januari 2013 sesudah pada 24 jam perlakuan yakni 1,71 gr/dl dan perlakuan 36 jam yakni 1,35 gr/dl. penurunan yang terjadi sesuai dengan penelitian lain tentang “rentang waktu terjadinya saturasi oksigen 85% sebagai tanda hipoksia awal pada keyinggian 18.000 kaki dalam ruang udara bertekanan rendah serta faktor-faktor yang mempengaruhi pada calon siswa penerbangan tni au” oleh nugraha (2007),12 menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar hemoglobin maka semakin panjang rentang terjadinya hipoksia, hipoksia awal akan terjadi salah satunya dengan penurunan kadar haemoglobin. sintesis hemoglobin dalam darah berlangsung dari perkembangan eritroblas sampai retikulosit, meskipun eritrosit muda meninggalkan sumsum tulang dan masuk ke dalam aliran darah, mereka akan terus membentuk hemoglobin dalam jumlah kecil selama hari-hari berikutnya. penurunan oksigen dapat mengakibatkan perubahan struktur dan fleksibilitas sel darah merah yang mengangkut haemoglobin, akibatnya akan menyebabkan sirkulasi aliran darah ke jaringan akan tersumbat, sehingga kemampuan sel darah merah untuk mengangkut haemoglobin akan berkurang.13 angka eritrosit kelompok tanpa perlakuan hipoksia (0 jam) memperlihatkan adanya penurunan yang bermakna (p < 0,05). pada kelompok kontrol ini belum ada intervensi hipoksia, maka hal ini dapat dikarenakan oleh faktor internal karena adanya infeksi dalam tubuh seperti perdarahan dari gaster, infeksi pada tubuh tikus, kurangnya nutrisi. hal ini berhubungan dengan proses pembentukan eritrosit dari dalam tubuh. faktor eksternal yang mungkin terjadi adalah eritrosit banyak yang lisis saat pemeriksaan. angka eritrosit kelompok tikus hipoksia 12 jam menunjukkan hasil yang cenderung meningkat sebanyak 0,850 juta/ml namun tidak bermakna, seperti halnya hemoglobin bahwa peningkatan yang terjadi karena proses pembentukan eritropoetin. respon kompensasi ini untuk meningkatkan transport oksigen ke jaringan agar suplai oksigen ke jaringan adekuat. eritrosit kelompok tikus hipoksia 24 dan 36 jam mengalami penurunan yang bermakna dengan perbedaan rerata sebelum dan sesudah pada 24 jam perlakuan yakni 1,713 juta/ml dan perlakuan 36 jam yakni 1,358 juta/ml. penurunan yang terjadi sesuai dengan penelitian lain oleh sartika (2008)14 dijelaskan tentang eritropoetin secara aktif yang terlibat pada eritropoesis janin, pada keadaan kekurangan oksigen, kadar hemoglobin dan sel darah merah akan turun secara bertahap terus menerus sampai diperbaikinya suplai oksigen dan kembalinya sirkulasi oksigen dalam darah dengan pemberian terapi eritropoetin rekombinan atau transfusi darah. penelitian lain yang menerangkan tentang penurunan eritrosit oleh manoe (2003),15 menerangkan tentang lamanya paparan hipoksia yang diberikan, akan mengakibatkan kekurangan oksigen yang akan memacu tubuh untuk mensuplai oksigen yang lebih pada organ – organ vital, tanpa adanya perbaikan suplai oksigen dari luar ini dapat mengakibatkan turunnya sel darah merah dalam tubuh tikus. simpulan terjadi peningkatan angka eritrosit pada 12 jam hipoksia dan penurunan pada perlakuan 24 jam, 36 jam hipoksia rattus norvegicus. kadar 54 hidayati fitrohtul uyun, pengaruh lama hipoksia terhadap angka ... hemoglobin terjadi peningkatan pada perlakuan 12 jam hipoksia dan penurunan pada 24 jam, 36 jam hipoksia rattus norvegicus. daftar pustaka 1. imelda, f. oksigenasi dan proses keperawatan, universitas sumatera utara. 2009. (http:// ocw.usu.ac.id, diakses tanggal 2 april 2012). 2. brooker, c. ensiklopedia keperawatan. jakarta. egc. 2009. p. 426-427. 3. isselbacher, braunwald, wilson, martin, fauci, & kasper. prinsip – prinsip ilmu penyakit dalam. edisi 13. jakarta: egc. 2008. p. 229-230. 4. guyton, a.c., & hall, j.e. fisiologi kedokteran. jakarta: egc. 2007. 532, 676-677. 5. sunarto, suparji & ayu a.k. hubungan antara hipertensi, proteinuria ibu preeklampsia dengan kejadian asfiksia neonatorum di rsud dr. harjono s. ponorogo. jurnal penelitian kesehatan suara forikes, 2010; 1 (4): 289-294. 6. sudoyo, a.w., setyohadi , b., al wi , i., simadibrata, m., & setiati, s. ilmu penyakit dalam. edisi 5. jakarta: internet publishing. 2009. p. 161-162. 7. affonso eg, polez vl, corrêa cf, mazon af, araújo mr, moraes g, et al. blood parameter and metabolites in the teleost fish colossoma macropanum exposed to sulfide or hypoxia. comp biochem physiol c toxicol pharmacol. 2002; 133 (3): 375-82. 8. ward, j.p.t., ward, j., leach, m., & wiener., c.m. at a glance sistem respirasi. edisi 2. jakarta: erlangga medical series. 2008. p. 2427. 9. abidin, sbz. hubungan menstruasi dengan konsentrasi hemoglobin pada mahasiswa fk usu-acms angkatan 2007 dan fk ukmacms angkatan 2009 tahun 2010. medan: universitas sumatera utara. 2011. diakses dari http://repository.usu.ac.id, pada tanggal 2 april 2012. 10. ganong, w.f. buku ajar fisiologi kedokteran, edisi 20. jakarta: egc. 2003. 657. 11. asni, e., harahap, i.p., prijanti, a.r., wanandi, s.i., jusman, s.w., & sadikin, m., pengaruh hipoksia berkelanjutan terhadap kadar malondialdehid, glutation tereduksi dan aktivitas katalase ginjal tikus. maj kedokt indon. 2009; 59 (12): 595-598. 12. aleida, n. rentang waktu terjadinya saturasi oksigen 85% sebagai tanda hipoksia awal pada keyinggian 18.000 kaki dalam ruang udara bertekanan rendah serta faktor-faktor yang mempengaruhi pada calon siswa penerbangan tni au. jakarta: universitas indonesia. 2007. 13. handayani, w. asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem. jakarta: salemba medika. 2008. p. 60 – 61. 14. sartika, i.n., retayasa, w., kardana, m., mudita, i.b. peran eritropoetin pada anemia prematuritas. sari pediatrik, 2008. 9 (6): 37580. 15 manoe, v.m. & amir, i. gangguan fungsi multi organ pada bayi asfiksia berat. sari pediatrik, 2003; 5 (2): 72-78. 9 mutiara medika vol. 8 no. 1:09-18, januari 2008 gambaran kejadian wabah diare dan faktor-faktor terkait di dusun senden desa sidorejo kecamatan lendah kabupaten kulon progo tahun 2005 description of the occurence of diarrhea epidemic and its related factors in senden, sidorejo, subdistrict of lendah kulon progo yogyakarta in 2005 kusbaryanto dan titik hidayati bagian ilmu kesehatan masyarakat, fakultas kedokteran, universitas muhammadiyah yogyakarta abstract in indonesia diarrhea is still a leading health problem because it causes extraordinary occurrence of illness followed by death. thus, epidemiological study of diarrhea needs to be conducted. this study aimed to obtain a description of extraordinary occurrence of diarrhea and its related factors in senden hamlet, sidorejo, lendah, kulon progo. this study was a total survey with an epidemiological explorative approach. definite diagnosis was based on clinical symptoms found during detection and the etiology was confirmed by laboratory analysis of the water sample used by patients and patients’ stools. primary data of patient was obtained through a total sur vey to find cases using a questionnaire. case finding was done based on the report from a local community health center, followed by new cases finding consisting of name, sex, age, address, occupation, factors related with the occurrence of disease and history of illness. secondary data was taken from the report of patient visit to community health center. data was analyzed descriptively. the study was conducted in senden hamlet, sidorejo, lendah, kulon progo on 20 november to 5 december 2005. fifty patients were diagnosed to have diar rhea in senden. from 50 diarrhea patients, 98% had nausea and vomiting, 96% with headache, 90% with epigastric pain, 72% with fever, 66% with mucous diarrhea, 56% with cold sweats and 26% with bloody mucous diarrhea. attack rate of diarrhea was 22.6%. the highest occurrence of diarrhea was at age of 45-59 years old (33.93%) and the lowest occurrence at 0-4 years old (1.78%). the area having most cases was sub-hamlet 57 (r t 57) (82%). based on the time of extraordinary occurrence of illness, the epidemic curve developed was a common source type. the cause of diarrhea was coliform bacteria. the most possible source and mode of transmission of diarrhea was drinking water contaminated with coliform bacterium through faeces. factors related with the extraordinary occurrence of diarrhea in senden included poor environmental sanitation and unhygienic people’s behavior such as defecating in any places and not washing hands before eating. key words : coliform bacteria, diarrhea, environmental sanitation, extraordinary occurrence of illness abstrak di indonesia penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan utama karena masih sering menimbulkan klb dengan disertai kematian. untuk itu perlu dilakukan suatu penelitian epidemiologi penyakit diare. penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran kejadian luar biasa diare beserta faktor-faktor yang terkait di dusun senden, sidorejo, lendah, kulon progo. kusbaryanto dan titik hidayati, gambaran kejadian wabah diare dan faktor-faktor terkait ........................ 10 penelitian ini merupakan survei total dengan pendekatan epidemiologis eksploratif. kepastian diagnosis didasarkan atas gejala klinis yang didapat selama pelacakan dan untuk mengetahui etiologi dilakukan pemeriksaan laboratorium terhadap sampel air yang digunakan maupun tinja penderita. data primer penderita diperoleh dengan menggunakan kuesioner. pelacakan kasus dicari berdasarkan láporan puskesmas setempat dilanjutkan dengan mencari kasus baru, meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, pekerjaan, faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya penyakit dan riwayat penyakit. data sekunder diambil dari catatan data kunjungan puskesmas. data dianalisis secara deskriptif. penelitian dilaksanakan di dusun senden, sidorejo, lendah, kulon progo pada 20 november 5 desember 2005. penduduk dusun senden yang didiagnosis diare sebanyak 50 orang. dari 50 penderita diare, 98% mempunyai keluhan mual muntah, 96% dengan pusing, 90% dengan nyeri perut, 72% dengan demam, 66% dengan diare lendir, 56% dengan keringat dingin dan 26% dengan diare lendir darah. attack rate diare 22,6%. kejadian diare paling banyak pada usia 45-59 tahun (33,93%) sedangkan yang terkecil pada golongan umur 0-4 tahun (1,78%). daerah yang paling banyak mengalami daerah adalah rt 57 (82%). berdasarkan waktu kejadian klb menunjukkan bahwa kurva epidemik yang terbentuk adalah tipe common source. penyebab diare adalah bakteri koliform. sumber dan cara penularan diare kemungkinan besar melalui sumber air minum yang terkontaminasi oleh bakteri coliform. faktor–faktor yang berhubungan dengan kejadian klb diare di dusun senden antara lain sanitasi lingkungan yang belum baik dan perilaku penduduk yang kurang menjaga higienis misalnya buang air besar di sembarang tempat, tidak cuci tangan sebelum makan. kata kunci: bakteri coliform, diare, klb, sanitasi lingkungan pendahuluan diare adalah penyakit yang ditandai oleh perubahan bentuk dan konsistensi tinja melembek sampai cair dengan frekwensi lebih dan 3 kali sehari.1 diare dapat disebabkan oleh agent penyebab (virus, bakteri, parasit),2 , 3 keracunan makanan, kekurangan gizi, dan sebagainya.4 penyakit ini sering terjadi pada masyarakat dengan iingkungan sanitasi yang kurang baik dan sumber air bersih yang tidak memenuhi syarat kesehatan.5 penularan diare disebabkan oleh agent melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh tinja atau muntahan yang mengandung kuman penyebab.6 di indonesia penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan utama karena masih sering menimbulkan klb dengan disertai kematian. 4 program sarana air minum dan jamban keluarga (samijaga) telah digalakkan sejak tahun 1974, sehingga diharapkan angka kesakitan dan kematian akibat diare akan berkurang, namun hingga kini penyakit diare rnasih tetap merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian terutama untuk bayi dan balita.7 selama periode 2000 – 2003 dalam klasifikasi wabah di wilayah kerja puskesmas lendah ii kabupaten kulon progo, penyakit diare termasuk urutan ke2 terbanyak setelah ispa, dengan jumlah kasus berturut – turut sebesar 557,528, 345 dan 221 kasus. meskipun diare bukan penyakit ganas namun begitu tidak jarang dapat berakibat fatal. disamping itu kejadian diare juga dapat mencerminkan aspek perilaku hidup sehat masyarakat dan sanitasi lingkungan. perilaku hidup masyarakat yang kurang higienis sering merupakan faktor pencetus timbulnya wabah diare, disamping faktor-faktor yang lain. kejadian diare di wilayah kerja puskesmas lendah ii biasanya terjadi pada musim-musim penghujan yaitu pada bulan november – januari. puskesmas lendah ii merupakan salah satu puskesmas yang berada di wilayah kecamatan lendah kabupaten kulon progo. dari 3 desa yang merupakan 11 mutiara medika vol. 8 no. 1:09-18, januari 2008 wilayah kerja puskesmas lendah ii sampai saat ini masih merupakan daerah tertinggal dengan angka kemiskinan yang masih tinggi dan tingkat pendidikan masyarakat yang rendah. dusun senden desa siderejo merupakan salah satu dusun yang memiliki angka kemiskinan tinggi dengan tingkat pendidikan masyarakat yang rendah. kemiskinan dan rendahnya pendidikan sangat berkaitan dengan perilaku hidup bersih dan sehat dimana hal itu sangat berkaitan dengan kejadian diare di masyarakat. dusun senden merupakan dusun yang keberadaannya jauh dari puskesmas lendah ii dan secara geografis sulit terjangkau karena terletak di daerah perbukitan. sebagai daerah tertinggal, sarana transportasi dan kondisi jalan yang menghubungkan puskesmas lendah ii dengan dusun senden juga masih kurang dan memprihatinkan. sulitnya transportasi dan kurangnya sarana komunikasi semakin membuat dusun senden semakin kurang mendapatkan paparan informasi dan edukasi kesehatan yang akan meningkatkan tingkat kesadaran masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat. dari kondisi geografis dan sosiokultural masyarakat seperti tersebut maka sangat dimungkinkan dusun senden mengalami wabah sebagai mana yang terjadi saat ini. dari latar belakang tersebut di atas maka rumusan permaslahan penelitian ini adalah bagaimana gambaran kejadian wabah diare di dusun senden desa sidorejo kecamatan lendah kabupaten kulon progo dan faktor – faktor yang terkait dengan kejadian wabah diare tersebut. penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran kejadian wabah diare di dusun senden desa sidorejo kecamatan lendah kabupaten kulon progo tahun 2005 dan faktor-faktor yang terkait dengan kejadian wabah tersebut. bahan dan cara penelitian deskriptif ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan epidemiologis eksploratif. batasan wilayah pelacakan dilakukan di dusun senden desa sidorejo kecamatan lendah kabupaten kulon progo tahun 2005 dimana telah terjadi wabah diare sesuai laporan dari puskesmas lendah ii. kepastian diagnosis didasarkan atas gejala klinis yang di dapat selama pelacakan dan untuk mengetahui etiologi dilakukan pemeriksaan laboratonum terhadap sampel air yang digunakan maupun tinja penderita. pengumpulan data. data primer penderita meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, pekerjaan, faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya penyakit dan riwayat penyakit (tanggal mulai sakit dan gejala penyakit). data lainnya adalah hasil pemeriksaan laboratorium baik terhadap sampel air bersih maupun tinja yang telah diambil pada saat dilakukan pelacakan kasus. data primer ini diperoleh di lapangan dengan cara survei total untuk mencari kasus dengan menggunakan kuesioner. pelacakan kasus dicari berdasarkan láporan puskesmas setempat dilanjutkan dengan mencari kasus baru. data sekunder diambil pada catatan data kunjungan puskesmas maupun puskesmas pembantu, kepala dusun dan kepala desa sidorejo. pengolahan dan analisis data. data diolah dengan menggunakan komputer dan dianalisis secara deskriptif. untuk penyajian data disajikan dalam bentuk tabel grafik dan gambar/peta. kesimpulan penelitian diwujudkan dengan prosentase, gambaran klinis, gambaran kondisi sosio ekonomi (pendidikan, pekerjaan) dan gambaran perilaku hidup bersih dan sehat (kondisi dan pemakaian sumber air minum, jamban, tempat sampah, cuci tangan sebelum makan, cuci piring/sendok). hasil geografi dan demografi penduduk : desa sidorejo merupakan salah satu desa yang berada dalam wilayah kecamatan lendah. upaya kesehatan di desa ini merupakan tanggung jawab puskesmas lendah ii. desa sidorejo dengan luas wilayah dataran 261.000 ha dan perbukitan 582.520 ha, dengan ketinggian dari permukaan laut 33m. kusbaryanto dan titik hidayati, gambaran kejadian wabah diare dan faktor-faktor terkait ........................ 12 salah satu dusun dari 14 dusun yang ada di desa sidorejo adalah dusun senden. dusun senden dengan mayoritas penduduk petani. batas wilayan dusun senden adalah sebelah utara berbatasan dengan dusun tubin, sebelah selatan berbatasan dengan dusun ngeden, sebelah timur berbatasan dengan dusun tubin, dan sebelah barat berbat asan dengan dusun karang. kondisi demografis : jumlah penduduk desa sidorejo adalah 7.391 jiwa yang terbagi dalam 2.062 kk. penduduk laki-laki berjumlah 3.629 jiwa dan perempuan 3.762 jiwa. pada dusun senden jumlah penduduk adalah 500 jiwa yang terdiri dari 252 jiwa laki-laki dan 248 jiwa perempuan yang berasal dari 123 kk. jumlah penduduk desa sidorejo menurut kelompok umur dapat dilihat pada tabel 1, sedangkan jumlah penduduk dusun senden menurut jenis kelamin dan rt dapat dilihat pada tabel 2. tabel 1. jumlah penduduk desa sidorejo menurut kelompok umur tahun 2005 jenis kelamin kelompok umur laki-laki perempuan jumlah < 1 tahun 1-4 tahun 5-15 tahun 16-45 tahun 46-60 tahun > 61 tahun 57 136 490 1.763 795 388 63 161 519 1.687 869 463 120 297 1009 3.450 1.664 851 3.629 3.762 7.391 sumber : kantor desa sidorejo kecamatan lendah tabel 2. jumlah penduduk dusun senden menurut rt tahun 2005 jenis kelamin jumlah rt laki-laki perempuan rt 48 rt 49 rt 50 rt 51 rt 52 rt 53 rt 54 rt 55 rt 56 rt 57 26 33 17 24 26 22 35 20 34 15 25 32 23 21 25 26 33 19 31 13 51 65 40 45 51 48 68 39 65 28 252 248 500 sumber : kantor desa sidorejo kecamatan lendah mata pencaharian utama penduduk adalah bertani. hal ini sesuai dengan kondisi geografis desa sidorejo yang terdiri dari dataran dan perbukitan. kondisi lingkungan pemukiman kurang memenuhi syarat kesehatan sehingga memungkinkan untuk terjadinya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan lingkungan terutama penyakit diare. 13 mutiara medika vol. 8 no. 1:09-18, januari 2008 tabel 3. diskripsi kasus berdasarkan gejala klinik pada klb diare di dusun senden desa sidorejo kecamatan lendah tanggal 23 oktober 2005 s/d 30 nopember 2005 no. gejala klinik jumlah kasus persentase (%) 1. diare 50 100 2. diare dengan lendir 33 66 3. diare dengan lendir + darah 13 26 4. diare encer seperti cucian beras 0 0 5. mual/muntah 49 48 6. sakit perut 45 90 7. pusing/sakit kepala 48 96 8. demam 36 72 9. keringat dingin 28 56 memperhatikan gejala klinik dari beberapa penyakit diare, maka penyebab diare pada klb tersebut adalah kuman patogen. hal ini didukung oleh hasil pemeriksan laboratorium terhadap sampel air bersih yang menunjukkan positif coliform dan coliform tinja yang mengidentifikasikan telah terjadi pencemaran tinja pada air bersih. (hasil terlampir). penetapan klb : kasus diare yang terjadi di dusun senden desa sidorejo kecamatan lendah adalah merupakan kejadian luar biasa. hal ini didasarkan pada laporan w1 (laporan klb/wabah/24 jam) dan didukung dengan laporan mingguan w2 puskesmas lendah ii. berdasarkan hasil investigasi memasuki minggu ke 44 adalah berjumlah 6 orang, kasus diare mencapai puncaknya pada minggu ke 47 berjumlah 25 orang. pada minggu ke 48 jumlah kasus mulai menurun dan hanya ditemukan sebanyak 2 orang. situasi kasus diare perminggu selama klb dapat ditunjukkan pada gambar 1. sumber : hasil penyidikan pemastian diagnosis klb diare didasarkan pada gejala klinik dan hasil pemeriksaan laboratorium. berdasarkan hasil penyidikan di lokasi klb dusun senden desa sidorejo kecematan lendah, sampai dengan tanggal 30 nopember 2005 telah ditemukan kasus diare sebanyak 50 orang. dari hasil penyidikan, maka gejala klinik terbanyak adalah diare encer, mual/ muntah, pusing/sakit kepala, sakit perut, demam, diare bercampur dengan lendir. diskripsi kasus berdasarkan gejala klinik disajikan pada tabel 3. kusbaryanto dan titik hidayati, gambaran kejadian wabah diare dan faktor-faktor terkait ........................ 14 0 0 0 2 25 20 2 6 1 0 5 10 15 20 25 30 41 42 43 44 45 46 47 48 49 m inggu ke gambar 1. distribusi kasus diare di dusun senden desa sidorejo kecamatan lendah menurut minggu tahun 2005 deskripsi klb : deskripsi kasus menurut variabel waktu. hasil penyidikan di lapangan diketahui bahwa klb diare yang terjadi di dusun senden desa sidorejo kecamatan lendah dimulai pada tanggal 4 nopember 2005 dengan ditemukannya 3 kasus diare. penderita makin bertambah pada tanggal 17 nopember 2005 dan mencapai puncaknya pada tanggal 24 nopember sebanyak 7 orang, dan sejak tanggal 30 nopember 2005 sudah tidak ditemukan adanya kasus. deskripsi klb : deskripsi kasus menurut variabel tempat : tujuan penyusunan deskripsi kasus berdasarkan tempat adalah untuk memperoleh petunjuk populasi yang rentan kaitannya dengan tempat. untuk dusun senden diskripsi berdasarkan tempat dibuat berdasarkan lokasi rukun tetangga. tabel 4. deskripsi kasus diare berdasarkan rukun tetangga temp at tinggal. jumlah no. lokasi rt penduduk kasus attack rate (%) 1. 53 48 3 6,2 2. 54 68 5 7,4 3. 55 39 6 15,4 4. 56 65 19 29,2 5. 57 28 23 82,1 jumlah 248 56 22,6 sumber : hasil penyidikan berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa attack rate (ar) terbesar ada di rt 57 sebesar 82,1 % sedangkan yang terendah di rt 53 sebesar 6,2 %. deskripsi kasus menurut variabel orang dapat diuraikan berdasarkan golongan umur seperti terlihat pada tabel 5. 15 mutiara medika vol. 8 no. 1:09-18, januari 2008 tabel 5. diskripsi kasus diare berdasarkan golongan umur penderita no. golongan umur jumlah % 1. 0-4 tahun 1 1,78 2. 5-14 tahun 9 16,07 3. 15-44 tahun 17 30,36 4. 45-59 tahun 19 33,93 5. > 60 tahun 10 17,86 jumlah 56 100,00 sumber : hasil penyidikan berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa prosentase terbesar kejadian diare pada usia 45-59 tahun sebesar 33,93 %, sedangkan yang terkecil pada golongan umur 0-4 tahun sebesar 1,78 %. sarana air bersih : keseluruhan penduduk desa senden mempergunakan sarana air bersih berupa sumur gali dengan kedalaman antara 15 – 25 meter dengan tingkat resiko pencemaran bervariasi dari rendah sampai dengan amat tinggi. berdasarkan gambar berikut ini terlihat bahwa keadaan sarana air bersih di dusun senden terbanyak mempunyai tingkat risiko terhadap pencemaran sedang yaitu sebesar 45 %. re ndah 23 % s edang 4 5% t ing gi 27% a mat t i nggi 5% gambar 2. tingkat risiko pencemaran sarana air bersih penduduk di dusun senden tahun 2005 identifikasi sumber dan cara penularan diare kemungkinan besar melalui sumber air minum yang terkontaminasi oleh coliform tinja dan didukung oleh adanya tradisi saling menjenguk orang sakit yang ada di dusun senden. adapun hal-hal yang memperkuat dugaan tersebut adalah (1) adanya kebiasaan masyarakat buang air besar di sembarang tempat, sehingga memudahkan pencemaran sumber air minum, (2) riwayat penderita sebelum sakit dimana sebagian besar setelah mereka menjenguk tetangganya yang sedang sakit. kondisi ini potensial untuk penularan penyakit, (3) adanya pemeriksaan laboratorium terhadap sampel air bersih yang digunakan ternyata positip mengandung coliform dan coliform tinja yang melebihi ambang batas air bersih. berdasarkan hasil penyidikan yang dilakukan pada tanggal 26 nopember 2005 -10 desember 2005 diketahui bahwa klb yang dilaporkan oleh kepala dusun senden terjadi sejak minggu ke 44 yakni tanggal 12 kusbaryanto dan titik hidayati, gambaran kejadian wabah diare dan faktor-faktor terkait ........................ 16 nopember 2005. puncak kasus terjadi pada minggu ke 48 yaitu tanggal 25 nopember 2005. sampai dengan akhir penyidikan jumlah kasus diare yang berhasil dilacak sebanyak 56 kasus. tidak ada kematian (cfr = 0 %). peningkatan kasus ini dapat diketahui dari laporan mingguan (w2) puskesmas lendah ii. sebelumnya di desa sidorejo hanya dilaporkan 1 kasus diare per minggu. mulai minggu ke 44 terjadi 6 kasus diare. hal ini menunjukkan telah terjadi peningkatan lebih dari 2 kali lipat. apabila sistem kewaspadaan dini berjalan dengan baik kemungkinan terjadinya peningkatan kasus diare dapat diantisipasi. namun kelemahan sistem pelaporan menyebabkan sistem kewaspadaan dini tidak berjalan secara baik. akibatnya peningkatan kasus diare di dusun senden terlambat diketahui. pelaporan ke puskesmas lendah ii juga jadi terlambat. kondisi ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat yang sakit tidak berobat langsung ke puskesmas lendah ii atau ke polindes yang ada di dusun tubin. mereka mencari pengobatan ke praktek suasta ataupun ke puskesmas lain. pencaran pencarian pengobatan penderita diare ini menyamarkan kasus yang sebenarnya sudah banyak. sarana kesehatan tempat penderita diare mencari pengobatan tidak segera menginformasikan ke puskemas lendah ii. sistim informasi yang tidak berjalan dengan baik ini mengakibatkan peningkatan kasus diare di dusun senden ini tidak cepat terdeteksi. kondisi sanitasi lingkungan dan perilaku penduduk yang belum mengikuti syarat kesehatan diduga merupakan faktor risiko terjadinya diare. perilaku seperti buang air besar di sembarang tempat, sampah bertebaran, tidak mencuci tangan dengan sabun sebelum makan, tidak mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar adalah merupakan faktor pencetus terjadinya klb diare di dusun senden. sumber dan cara penularan kemungkinan melalui air yang digunakan untuk minum sudah terkontaminasi kuman koliform tinja yang berasal dari kotoran manusia. hal ini dibuktikan dari sampel air bersih yang diperiksa di laboratorium. semua sampel masih mengandung kuman total coliform dan coliform tinja yang melewati ambang batas. hal ini menunjukkan telah teradi pencemaran sumber air bersih oleh tinja manuasia. kemungkinan lainnya adalah adanya pola / tradisi untuk saling berkunjung pada orang sakit di dusun senden. setiap adanya kunjungan biasanya diberikan hidangan makanan dan minuman dan tidak disediakan perlengkapan cuci tangan. biasanya mereka saling bersalaman dengan penderita. penyebaran kuman dapat terjadi melalui tangan. kemungkinan penularan juga dapat terjadi melalui makanan dan minuman yang dihidangkan yang dihinggapi lalat. asumsi bahwa sebelumnya lalat tersebut telah hinggap pada kotoran penderita. berdasarkan gejala klinik hasil penyidikan ditemukan bahwa gejala terbanyak adalah diare, pusing/sakit kepala, sakit perut, demam, diare dengan lendir. gejala ini sesuai dengan gejala diare yang disebabkan oleh escherichia coli. kuman lain sebagai penyebab tidak dapat dikonfirmasikan dengan hasil laboratorium karena keterlambatan pengambilan sampel. keterlambatan menerima informasi adanya klb sehingga tidak diperoleh spesimen yang tepat untuk diperiksa di laboratorium. berdasarkan diskripsi kasus menurut waktu menunjukkan bahwa kurva epidemik adalah type common source. type kurva ini menunjukkan bahwa sumber paparan adalah sama, namun hal ini tidak mutlak terjadi karena tidak menutup kemungkinan ada kasus sekunder yang tertular dari kasus primer. berdasarkan diskripsi kasus menurut tempat tinggal, terlihat bahwa di rt 57 mempunyai attack rate tertinggi yaitu 82,1 %. hal ini didukung oleh sanitasi yang kurang dan kebiasaan buang air besar di sembarang tempat. golongan umur yang banyak menderita diare adalah kelompok umur produktif, yaitu kelompok umur 45-59 tahun 17 mutiara medika vol. 8 no. 1:09-18, januari 2008 sebesar 33,93 % dan kelompok umur1544 tahun sebesar 30,36 %. hal ini mungkin disebabkan karena pada kelompok umur ini mempunyai tingkat mobilitas yang tinggi sehingga peluang untuk kontak dengan penderita lebih besar dan mempunyai peluang untuk mengkonsumsi makanan yang telah terkontaminasi di luar rumah yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok umur lainnya. klb diare hanya terjadi di dusun senden dan berdasarkan pengamatan ke dusun sekitarnya tidak terjadi perluasan kasus, sehingga penyidikan epidemiologi hanya dilakukan di dusun senden. tindakan penanggulangan dan pencegahan : upaya yang telah dilakukan oleh penyidik klb sebagai tindakan penanggulangan kasus diare dan pencegahan meluasnya kasus adalah sebagai berikut : penyuluhan kesehatan lingkungan dilakukan di rumah kepala dusun pada tanggal 2 desember 2005. kegiatan ini dilakukan sebagai upaya agar masyarakat memahami pentingnya kesehatan lingkungan dalam upaya pencegahan penyakit diare. penyuluhan dihadiri oleh kepala desa, aparat dusun senden serta sebanyak ± 46 orang warga. tenaga penyuluh berasal dari petugas kesehatan lingkungan dan petugas pencegahan dan pemberantas penyakit menular (p2m) puskesmas lendah ii. pengobatan massal dilakukan mulai tanggal 25 nopember 2005 terhadap penduduk yang masih sakit dan baru sembuh tetapi belum pulih kesehatannya. sedangkan pada anggota keluarga yang belum sakit diberikan persiapan obat-obatan berupa oralit untuk persiapan apabila sakit. kegiatan pengobatan massal ini disamping dilakukan dengan membentuk pos di mesjid dan di rumah ketua rt juga petugas secara proaktif mengunjungi rumah-rumah penduduk. kegiatan kaporisasi dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi kualitas air bersih yang dipergunakan oleh masyarakat dusun senden dengan cara mematikan kuman-kuman patogen yang ada pada air bersih dengan pemberian chlor melalui suatu alat chlorin difuser (cd) pada sumur penduduk. chlorin difuser ini berasal dari pengadaan dinas kesehatan kabupaten kulon progo. kesimpulan 1. telah terjadi klb diare di dusun senden desa sidorejo kecamatan lendah kabupaten kulon progo. 2. faktor-faktor yang diduga kuat berhubungan dengan terjadinya klb diare adalah keadaan sanitasi lingkungan yang jelek dan perilaku kebiasaan masyarakat yang kurang higienis. 3. sumber dan cara penularan kemungkinan melalui : a. air minum yang telah terkontaminasi tinja manusia. b. makanan dan minuman yang telah terkontaminasi dengan perantara lalat. c. perilaku masyarakat yang kurang higeinis. 4. gejala utama yang ditemukan adalah diare, pusing/sakit kepala, sakit perut, demam, diare dengan lendir. 5. attack rate teringgi di wilayah rt 57 dan pada prosentase terbesar pada golongan umur 45 – 59 tahun dan 15 – 44 tahun. 6. kuman penyebab diare berdasarkan gejala spesifik mengarah pada diare escherichia coli. daftar pustaka 1. benensons, a.s., 1990, control communicable disease in man, fifteenth. an official 2. bres, p., 1995, tindakan darurat kesehatan masyarakat pada kejadian luar biasa, (terjemahan), gadjah mada university press, yogyakarta. 3. djoehari, 1998, peran air bersih dalam penanggulangan diare pada masyarakat pantai utara, jawa tengah, maj. kedoki. indon. volum : 48, nomor :6, 249 — 253. kusbaryanto dan titik hidayati, gambaran kejadian wabah diare dan faktor-faktor terkait ........................ 18 4. depkes., ri., 1992, keputusan seminar nasional pemberantasan diare, jakarta. 5. firdaus, 1997, etiologi diare karena infeksi di indonesia, medika, no. 1,35— 40. 6. sutoto, indriyono, 1996, kebijaksanaan pemberantasan penyakit diare dalam pelit a v, majalah kesehat an masyarakat indonesia, xxiv, no.7,439— 446. 7. pradono, j., budiarso, ri., 1999, prevalensi dan perawatan diare pada balita sedki 1991, 1994 dan 1997, bul. penelit. kesehat., 26(4), 145 — 152. | 6 mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 22 no 1 page 6-13, january 2022 overview of gadget utilization and its effect on growth and development in preschool children rini andriani departement of child health, faculty of medicine, universitas tanjungpura, pontianak, west kalimantan, indonesia data of article: received: 05 apr 2021 reviewed: 20 apr 2021 revised: 06 july 2021 accepted: 05 nov 2021 correspondence: rini@medical.untan.ac.id doi: 10.18196/mmjkk.v21i2.11435 type of article: research abstract: the gadget utilization among preschoolers in connection with technological advances is known to have positive and negative effects on growth and development. this study aims to identify the overview of gadget utilization and its effect on growth and development in preschool children. an analytic survey with a cross-sectional design was conducted by filling out questionnaires carried out by parents. the anthropometric measurements and developmental assessments were carried out using indonesia developmental pre-screening questionnaire (idpq). a hundred children and their parents participated in this study. it was found that 82% of parents lent their gadgets, and 89% taught their children to use gadgets. there were similarities in gadget utilization between parents and children, namely watching videos (73% and 90%) and communicating (92% and 40.4%). the duration of the gadget utilization by children was high, 3.7±2.2 hours/day. however, no significant correlation in the analysis between the duration of smartphone usage and nutritional status (p: 0.599). in children with different idpq values, there was no significant difference in the duration of device usage (p: 0.991). it can concluded the duration of the gadget utilization in children carried out by their parents did not affect the growth and development of the children. keywords: development; gadgets; growth; preschool children introduction the use of gadgets is a necessity in this era of globalization. gadgets are widely used in various fields, including education. in general, gadgets are used to communicate, find information about various things, as well as entertainment and games. current gadget users include all ages, young and old, including teenagers (12-20 years), school children (6-12 years) and even preschool children (2-6 years) .1,2 a gadget is a small and practical electronic device with a special function and is designed with sophisticated technology, such as laptops, handphones or smartphones, notebooks, and tablets/ipad.3 gadgets are also defined as electronic devices that have certain practical purposes and functions, especially to help and facilitate human work.3,4 the age of preschool children is the age where the process of child development continues after the golden period in the first 1000 days of life (from conception to the age of 2 years); thus, this phase is also very important for the basis of subsequent child development.5, 6 preschool age is children aged three to six years, but currently, many children have started school at the age of 2 years to accelerate the introduction of the environment and socialization as well as increasing the stimulation to children, especially for children whose parents both work.1,2 growth, which includes increased body weight, height and head circumference, will run simultaneously with basic development such as gross motor skills, fine motor skills, speech, and social personality. the growth of a child can be assessed using existing growth curves, such as the growth curves from the who and cdc.7 as for the development of a child, it can be assessed using various developmental screening tools available for various ages, such as indonesia developmental pre-screening questionnaire (kpsp), denver ii test, the bayley scales of infant and toddler development / bayley iii, and many more that can be used according to the age of the child being tested for development.8 global developmental delay is a state of significant developmental delay in two or more developmental domains. about 5 to 10% of children are estimated to have developmental delays. the biggest https://doi.org/10.18196/mmjkk.v21i2.10882 7| vol 22 no 1 january 2022 complaint about the delay in global development is "not walking and talking". the data on the incidence of general developmental delays are not known with certainty, but it is estimated that about 1-3% of children under 5 years of age experience general developmental delays.9, 10 in indonesia, the development index of children aged 36-59 months for literacy aspect is 64.6%, the physical aspect is 97.8%, social-emotional aspect is 69.9%, and learning aspect is 95.2 %; thus, the total development index of indonesia in 2018 was 88.3%.11 the data of pelangi kasih growth and development clinic in pontianak city from 2013-2017, with a total of 302 visits, found that the main complaint was speech delay (80.8%) and the most common age of children who were brought for development consultation was 40 months old even though the parents had worried about the existence of developmental disorders from the age of 21 months, where the age of 40 months is the age of preschool children.12 research by tjandrajani et al. stated that speech delay is a common delay in children aged 2-5 years and found 46.8% of speech disorders in children with general developmental delays.13 the most common etiologies of developmental delay are cerebral dysgenesis, cerebral palsy, torch infection, genetic syndromes, and endocrine metabolic disorders.10 recently, excessive use of gadgets was found to cause physical growth and development disorders in children, such as gross motor development, fine motor skills, language speaking, personal social interaction, emotional, mental, and academic achievement. 14, 15 physical disorders that can occur are in the form of growth disorders, such as malnutrition or overnutrition was caused by undisciplined eating and drinking patterns, limited movement, and excessive sensory stimulation and sleep disturbances.9 the use of gadgets, especially handphones, continues to increase in children aged 0-8 years. in 2011, 52% of children aged 0-8 had access to a gadget, increasing to 75% in 2013. on average, children aged 3-8 use a gadget for 1 hour or more per usage at a time. 1, 16 preschool children are frequently allowed to use gadgets by their parents as a medium to provide education to children. however, in its use, children often use gadgets for entertainment such as playing games, which in turn causes them to lose their desire to interact socially with the environment as they are more interested in the gadgets.14, 17, 18 according to the 2017 information and communication technology (ict) utilization survey, 15.3% respondents aged 9-19 years old were found with an education level of 23% for elementary school, 24% for junior high school, and 39% for high school. 19 another study found that 98 percent of children and adolescents (10-19 years) knew about the internet and that 79.5 percent of them were internet users.20 however, until now, there has been no data on the use of ict equipment by preschool children. there is a considerable amount of debate about the effects of using gadgets on children, especially preschoolers who are still in a rapid phase of growth and development. excessive gadget utilization in preschool children can cause obesity due to a sedentary lifestyle, inhibiting children's ability to interact with people around them, leading to developmental disorders such as delays in expressive speech.15, 21-23 the introduction of gadgets is expected to introduce many new technologies as well as new educational and teaching methods to children. however, a good introduction process and adequate monitoring from parents must be made a guideline so that the positive impact obtained by the child exceeds the negative impact that may arise from the use of this device. in a 2015 study by trinika et al. on 166 children in kindergarten at a school in pontianak city, it was found that there was an effect of using gadgets on the psychosocial development of preschoolers (3-6 years), where it was found that children preferred to play with gadgets compared to playing with their peers. specifically, this study found that preschoolers use gadgets for about half to 5 hours per day.24 however, this study only assessed psychosocial development without other developmental domains. based on this background, the researcher considered it is important to conduct research on the overview of gadget utilization and its effect on growth and development, including gross motor, fine motor, language speech, and personal social domain in preschool children in kindergarten in pontianak. materials and method this research was an analytical survey using a cross-sectional design intended to identify the correlation between variables. this research was conducted from april to august 2018 in kindergarten in pontianak city. the population in this study were preschool children of 2-6 years old in kindergarten in pontianak city, while the subjects in this study were preschoolers of 2-6 years old in kindergarten in pontianak city who met the research criteria with their parents. the sample in this study was taken with probability sampling, namely cluster sampling. this research instrument used primary data with data collection methods using a questionnaire as a measuring tool. the parents of the preschool children were requested to fill out a questionnaire, which |8 consisted of parents' data (age, education, occupation, and income), the introduction of gadgets, ownership of gadgets, duration of using gadgets, and usage of gadgets). the gadgets in this study included handphones/smartphones, laptops, notebooks, and tablets / ipad. in preschool children, measurements of body weight, height and circumference of the head were carried out by a research team trained on measuring children's anthropometry when the parents filled out the questionnaire. the child's nutritional status was determined by plotting the child's anthropometric values (weight, height) on the who curve. the assessment of child development was carried out using the indonesian developmental pre-screening questionnaire (idpq) at the same time as the anthropometric data were collected. the kpsp tools used in this study had been widely used in indonesia as a screening tool in assessing child development, with a sensitivity of 95%. the researchers worked with the same team of field research officers to collect data in three different schools in different regions. this research was conducted after passing the ethical review no. 4230 / un22.9 / dt / 2017. the data processing was carried out using a computer through editing, coding, data entry or data processing and cleaning with the statistical products and service solutions (spss) computer program for windows20. results the subjects were 100 children and their respective parents (59 boys and 41 girls). the sample age group was divided into 3 groups, namely <3 years as many as 9 children (9%), 3-4 years as many as 36 children (36%), and 5-6 years as many as 55 children (55%). the description of the characteristics of the subject's father and mother can be seen in table 1. the average of the children was 45.9 ± 10.4 months. meanwhile, the mean age of the subject's father and mother were 35.0 ± 4.2 years and 32.1 ± 3.1 years, respectively. table 1. subject characteristics (children and parents) characteristics total percentage (%) children’s caretaker(n=100) parent 100 100 maternal education junior high school senior high school diploma undergraduate postgraduate 2 32 18 45 3 2 32 18 45 3 maternal job housewife government employee private employee entrepreneur etc. 75 5 10 8 2 75 5 10 8 2 paternal education junior high school senior high school diploma undergraduate postgraduate 2 34 19 40 5 2 34 19 40 5 paternal job government employee private employee entrepreneur etc. 4 23 63 10 4 23 63 10 the examination of the nutritional status of the subject was carried out by direct measurement of weight and height of the children 3 times at the same time, and the average value obtained was taken, then 9| vol 22 no 1 january 2022 the results were plotted on the who curve. the who curve of weight-for-height was found in the normal category as many as 63 subjects (73.3%), followed by overnutrition and obesity in 22 subjects (25.6%). in the kpsp examination carried out on children, it was found that 67% of children had developed according to their age, 8% of children with developmental disorders and as many as 25% of children with questionable developmental results. the distribution of children's nutritional status based on the curve and the distribution of developmental disorders and based on the developmental domains divided into the gross motor, fine motor, language speech, and personal social can be seen in table 2. table 2. distribution of subjects according to the nutritional status of subjects and status of development nutritional status and development total percentage nutritional z-score weight for height (n=86) wasting normal overweight obesity 1 63 16 6 1.2% 73.3% 18.6% 7.0% nutritional bmi/age (n=14) overweight normal 10 4 71.4% 28.6% nutritional z-score weight for age normal moderate underweight severe underweight 78 20 2 78.0% 20.0% 2.0% nutritional z-score height for age normal stunting 94 6 94.0% 6.0% gross motor development interference was found no interference was found 16 84 16.0% 84.0% fine motor development interference was found no interference was found 5 95 5.0% 95.0% language development interference was found no interference was found 13 87 13.0% 87.0% autonomy development interference was found no interference was found 22 78 22.0% 78.0% kpsp development deviation dubious none interference 8 25 67 8.0% 25.0% 67.0% based on the results of filling out the questionnaire by the parents, it was found that most of the gadgets were available at home (92% of respondents) and that most of the gadgets used by children were borrowed by their parents (82%) and only about 10% were purchased devices by their parents. parents were the trainers for gadgets for their children (89%), and only about 11% knew gadgets from other families or schools. there is a similarity in using gadgets between parents and children, namely watching videos (73% of parents and 90% of children) and communicating (92% of parents and 40.4% of children). however, there is a major difference in parents using gadgets for work (51%) and children playing games (53%). the comparison of the use of devices for children and parents can be seen in figure 1. |10 figure 1. utilization of gadgets in children and parents the average duration of children's gadgets was 3.7 hours/day with an sd value of 2.2, and the child's longest use of the device was 10 hours/day. in children with different kpsp results, there was no significant difference in the duration of the use of the gadget (p 0.991, table 3.). analysis of the correlation between nutritional status and the usage duration of the gadget by the children did not find a significant correlation (p 0.599). furthermore, in the analysis of the correlation between the nutritional status of children and the results of the kpsp examination, no significant correlation was found (table 4). table 3. variable usage duration of the gadget (hour / day) variables mean sd median min max p value * deviation dubious no interference 3.55 3.73 3.67 2.11 2.55 2.14 3.00 3.50 3.00 0.42 0.00 0.50 7.00 9.00 10.00 0.991 note: *kruskal wallis rank test table 4. distribution of subjects according to nutritional status and development of kpsp risk factors kpsp development total p-value conform dubious deviate nutritional status of weight for age normal moderate underweight severe underweight 52 15 0 21 3 1 5 2 1 78 20 2 0.103 nutritional status of weight for height wasting-normal overweight-obesity 43 24 20 5 5 3 68 32 0.599 discussion gadgets are electronic devices that have practical purposes and functions, especially to assist and facilitate human work. the categories of gadgets that are often found in indonesia are smartphones, handphones, tablets, and computers.3 the use of gadgets nowadays can no longer be avoided; therefore, the role of parents and adults in taking care of children is very important. according to the asian parent insights survey in the southeast asia region, in 5 countries, namely singapore, thailand, philippines, malaysia, and indonesia, most parents allowed gadgets for their children where 77.0% of parents monitored what a child consumed and saw on their device. only 11.0% allowed other family members to monitor their children's gadgets, while 2% did not monitor the use of children's gadgets at all. parents in thailand are the biggest percentage of parents’ monitoring of gadgets use (89.0%), while parents in singapore have the least monitors (74.0%).16 research by yulia at immanuel christian kindergarten, pontianak, found that 97.65% of students aged 3-6 years used gadgets with gadget usage duration ranging from 30 minutes to 5 hours per day.24 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0 other assignment game video information communication children parent 11| vol 22 no 1 january 2022 parents play an important role in the growth and development of children. in using children's gadgets, parents play a role in monitoring, guiding, and directing. it is hoped that the implementation of this role will remain under the supervision of parents so that the duration and content accessed on the internet /social media through gadgets are appropriate to the children's age and have a positive impact on the children's growth and development. the results showed similarity in the usage of gadgets by parents and children, namely watching videos (73% of parents and 90% of children) and communicating (92% of parents and 40.4% of children). however, there is a major difference in parents using gadgets for work (51%) and children playing games (53%). the usage of the gadgets as game media and video media players between parents and children had similar percentage values that showed most parents accompanied their children when using the gadgets. gadgets have a positive impact on children's growth and development. gadgets can be used as a physical skill training tool for fine motor skills (small muscles such as wrists, fingers, feet, lips and tongue) at an early age.25, 26 as early childhood plays on smartphones or tablets and other gadgets, they will learn to coordinate finger movements and use their hands more quickly and efficiently. information processing, memory abilities, simple reasoning, and communication of children can also develop through gadgets. 25, 26 when children play games available on the device, the child's brain will think and process information and continue to analyze. children can also learn new knowledge from their learning of various pictures, writing, and colors. games can also train their mentality and attitude towards competition.26 children will be familiar with the terms win and lose when playing games, introducing them to difficulties and effort. children are expected to be more enthusiastic about getting the desired results through their efforts. however, gadgets also harm children's growth and development. children can become addicted to the use of gadgets, so that the length of the screen time causes children’s physical activity to be reduced. inadequate physical activity can increase the risk of obesity in children.26-28 in addition to the increased risk of obesity, developmental disorders can also form. radiation from gadgets can interfere with children's eye health. children's concentration can also be disturbed, causing delays in understanding lessons. 25, 26 according to research conducted by roopadevi et al. (2020), 30% of 240 preschool children were sleepy during the day, and there was a correlation between device use and children's personal and social development (p 0.022), in where 11.7% experienced delays.29 yuniarti et al. also stated that parents were expected to be more selective in granting permission to use gadgets because the majority (56.7%) of preschool-aged children experienced dubious development, with the chi-square results showing a p-value of 0.008, which indicated that there was a correlation between the duration of the use of the gadgets and the development of the child.21 the results of the kpsp study found that 67% of the subjects were categorized as having no disorders. in addition, there was no difference between the ownership of a child's gadgets and the kpsp results category. based on the data on the distribution of gadgets used by parents and children in this study, it is determined that most of the parents accompanied their children when using the gadgets. it can be seen from the similar proportion of using gadgets to watch videos and communicate with parents and children. in addition, it is also known from the existence of 82% of parents who lent gadgets to their children, and there were 89% of parents who taught their children using gadgets. the use of gadgets in preschool children under the supervision and control of parents can minimize negative impacts. it is in line with research by gusti ayu and ni nyoman30 stating that there was a significant correlation between parental guidance on speech and language development of early childhood; that is, almost all subjects who received parental guidance experienced normal development. furthermore, laini et al. 31 stated that there was a correlation between the use of gadgets and the interaction of parents on children's prosocial behavior, where the child's prosocial behavior was better for parents who involved themselves in the use of children's gadgets. the total duration of gadgets use in one day is categorized into two, namely light user (≤ 2 hours) and heavy user (> 2 hours) in several previous studies.17, 32, 33 the average duration of gadgets use by preschool children in this study included in the category of heavy user (3.7 hours/day) with usage duration ranging from 0 hours/day to 10 hours/day. tanjung et al. 23 stated that preschool children with a high duration usage of gadgets have a risk of obesity by 1.3 times. however, in this study, there was no significant correlation between the duration of the use of the device and the nutritional status of the child. conclusion the duration of the gadget utilization in children carried out by their parents did not affect the growth and development of the children. |12 conflict of interest there is no conflict of interest. references 1. ameliola s, nugraha h. perkembangan media informasi dan teknologi terhadap anak dalam era globalisasi. in: moeliono i, universitas indonesia. fakultas ilmu pengetahuan b, editors. proceeding international conference on indonesian studies : ethnicity and globalization / editor, irmayanti moeliono. depok: fakultas ilmu pengetahuan budaya, universitas indonesia; 2013. 2. hsin c-t, li m-c, tsai c-c. the influence of young children's use of technology on their learning: a review. educational technology & society. 2014;17:85-99. 3. hariyanto kd, naryoso a. pengaruh intensitas mengakses fitur-fitur gadget dan tingkat kontrol orang tua terhadap kesehatan mental remaja. interaksi online. 2016;4(2):12. 4. iswidharmanjaya d, agency b. bila si kecil bermain gadget: panduan bagi orang tua untuk memahami factor-faktor penyebab anak kecanduan gadget. bogor: bisakimia; 2014. 5. soetjiningsih, gde ranuh in. tumbuh kembang anak edisi 2. jakarta: egc; 2013. 6. kliegman r, behrman r, nelson w. nelson textbook of pediatircs. philadepia: elsevier; 2016. 7. grummer-strawn lm, reinolf c, krebs nf. use of world health organization and cdc growth charts for children aged 0--59 months in the united states. mmwr. 2010;59(09):1-15. 8. aisah s, siregar kn. the cognitive screening in chlidren under five years old in developing countries: a systemtic literature review. proceedings of international conference on applied science and health. 2018;3:218-27. 9. medise be. mengenal keterlambatan perkembangan umum pada anak: idai; 2013 [available from: https://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/mengenal-keterlambatan-perkembangan-umumpadaanak#:~:text=keterlambatan%20perkembangan%20umum%20atau%20global,%2c%20dan%20pers onal%20sosial%20%2f%20kemandirian. 10. suwarba ign, widodo dp, handryastuti ras. profil klinis dan etiologi pasien keterlambatan perkembangan global di rumah sakit cipto mangunkusumo jakarta. sari pediatri. 2008;10:255-61. http://dx.doi.org/10.14238/sp10.4.2008.255-61 11. tim riskesdas 2018. laporan nasional riskesdas 2018. jakarta: badan penelitian dan pengembangan kesehatan; 2018. 12. andriani r. karakteristik anak berkebutuhan khusus di klinik tumbuh kembang pelangi kasih, pontianak, tahun 2013-2017. j indon med assoc. 2019;69(6):218-24. 13. tjandrajani a, dewanti a, burhany a, widjaja j. keluhan utama pada keterlambatan perkembangan umum di klinik khusus tumbuh kembang rsab harapan kita. sari pediatri. 2012;13(6):373-7. http://dx.doi.org/10.14238/sp13.6.2012.373-7 14. rowan c. a research review regarding the impact of technology on child development, behavior, and academic performance.: zone'in; 2018 [available from: http://www.zonein.ca/zoneinworkshop/factsheet/zonein-fact-sheet/. 15. madigan s, browne d, racine n, mori c, tough s. association between screen time and children’s performance on a developmental screening test. jama pediatrics. 2019;173(3):244-50. https://doi.org/10.1001/jamapediatrics.2018.5056 16. samsung kidstime. mobile device usage among young kids: a southeast asia study. singapore: tickled media pte ltd; 2014. 17. council on communications and media. children, adolescents, and the media. pediatrics. 2013;132(5):95861. https://doi.org/10.1542/peds.2013-2656 18. common sense media. zero to eigth: children’s media use in america 2013. common sense media; 2013. 19. kementerian komunikasi dan informatika republik indonesia. survey penggunaan tik 2017 serta implikasinya terhadap aspek sosial budaya masyarakat. jakarta: pusat penelitian dan pengembangan aplikasi informatika dan informasi dan komunikasi publik; 2017. 20. gayatri g, rusadi u, metningsih s, mahmudah d, sari d, kautsarina., et al. digital citizenship safety among children and adolescents in indonesia. jurnal penelitian dan pengembangan komunikasi dan informatika. 2015;6(1):1-16. 21. yuniarti, burhan r, yorita e, lagora r, dewi i, editors. use of gadget duration and development of preschool children in bengkulu city 2018. 1st international conference on inter-professional health collaboration (icihc 2018); 2018; bengkulu: atlantis press; 2019. https://dx.doi.org/10.14238/sp10.4.2008.255-61 https://dx.doi.org/10.14238/sp13.6.2012.373-7 https://doi.org/10.1542/peds.2013-2656 13| vol 22 no 1 january 2022 22. calorina l, pawito, prasetya h. the effect of gadget use on child development: a path analysis evidence from melawi, west kalimantan. journal of maternal and child health 2020;5(1):110-9. https://doi.org/10.26911/thejmch.2020.05.01.12 23. tanjung f, huriyati e, ismail d. intensitas penggunaan gadget dan obesitas anak prasekolah. bkm journal of community medicine and public health. 2017;33(12):789-804. 24. trinika y, nurfianti a, abror i. pengaruh penggunaan gadget terhadap perkembangan psikososial anak usai prasekolah (3-6 tahun) di tk swasta kristen immanuel tahun ajaran 2014-2015. jurnal proners. 2015;3(1):19. http://dx.doi.org/10.26418/jpn.v3i1.11001 25. sihura f. the role of parents "generation of z" to the early children in the using of gadget. advances in social science, education and humanities research. 2018;249:55-9. 26. srinahyanti s, wau y, manurung ifu, arjani n, editors. influence of gadget: a positive and negative impact of smartphone usage for early child. the 2nd annual conference of engineering and implementation on vocational education (aceive 2018); 2018; north sumatra, indonesia: eai. 27. syahidah z, wijayanti h. perbedaan aktivitas fisik, screen time, dan persepsi ibu terhadap kegemukan antara balita gemuk dan non-gemuk di kota semarang. jnc. 2017;6(1):11-8. https://doi.org/10.14710/jnc.v6i1.16886 28. danari a, mayulu n, onibala f. hubungan aktivitas fisik dengan kejadian obesitas pada anak sd di kota manado. e-kp. 2013;1(1):1-4. https://doi.org/10.35790/jkp.v1i1.2162 29. roopadevi v, sharavanti b, aravind k. exposure to electronic gadgets and its impact on developmental milestones among preschool children. international jounal of community medicine and public health. 2020;7(5):1884-8. https://doi.org/10.18203/2394-6040.ijcmph20202000 30. gusti ayu mw, ni nyoman dw. the correlation between the dialogic parental guidance and the intensity of gadget utilization with the development of speaking and linguistic aspect of children at tadika puri early childhood education. int j res med sci. 2019;7(7):2512-8. https://doi.org/10.18203/23206012.ijrms20192876 31. laini a, fridani l, hartati s. influence of gadget usage and parent involvement to children's prosocial behavior. jurnal ilmiah pendidikan dan pembelajaran. 2018;2(2):174-9. http://dx.doi.org/10.23887/jipp.v2i2.15366 32. sari tp, mistalia aa. pengaruh penggunaan gadget terhadap personal sosial anak usia pra sekolah di tkit al mukmin. profesi (profesional islam): media publikasi penelitian 2016;13(2):72-8. https://doi.org/10.26576/profesi.124 33. dalle j, mutalib a, saad a, ayub m, wahab a, amh n. usability considerations make digital interactive book potential for inculcating interpersonal skills. jurnal teknologi (sciences & engineering. 2015;01(9):1495-9. https://doi.org/10.11113/jt.v77.6837 https://doi.org/10.26911/thejmch.2020.05.01.12 http://dx.doi.org/10.26418/jpn.v3i1.11001 https://doi.org/10.14710/jnc.v6i1.16886 https://doi.org/10.35790/jkp.v1i1.2162 http://dx.doi.org/10.18203/2394-6040.ijcmph20202000 http://dx.doi.org/10.18203/2320-6012.ijrms20192876 http://dx.doi.org/10.18203/2320-6012.ijrms20192876 http://dx.doi.org/10.23887/jipp.v2i2.15366 https://doi.org/10.26576/profesi.124 https://doi.org/10.11113/jt.v77.6837 ana majdawati, peran pemeriksaan barium enema .............................. 64 peran pemeriksaan barium enema pada penderita megacolon congenital (hirschprung diseases) the role of barium enema examination in patients with congenital megacolon (hirschprung diseases) ana majdawati bagian radiologi, fakultas kedokteran, universitas muhammadiyah yogyakarta abstract hircshprung diseases (hd) occurred in a ratio of 1:5000 live births with the objective of this literature review mortality of infant 80%, while that handled can reduce up to 30%. this literature review have goal to early diagnose of hd with introduce sign and symptom, the apperance of hd in imaging radiology examination. hd diagnosis is confirmed by signs and symptoms, i.e. the fail use of issuing meconium at a newborn more than 24 hours, followed by bilious vomit, abdominal distention, and advanced condition or for older infant undergo irritable, grunting, and because of abdominal distention with darm contour, darm steifung appearances. result of the study indicates that the supporting examination with a role of directing the hd diagnosis was radiological imaging. in the smooth photographs of anteroposteriorsupine, lateral-erect, and left lateral decubitus (lld) positions, luminal dilatation of the colon appeared, while intestinal air was not seen at pelvic region with obstructive signs of low position. the barium enema examination was a selected one for hd with a diagnostic accuracy of approximately 90%. the exercise of hd diagnosis was made as a scoring system of eight radiological signs on the barium enema examination. a scoring of the scoring system in the determination of hd diagnoses was: 1) scores 1-3, possibility of hd was 40% with low assessment criteria; 2) scores 4-5: possibility of hd 66% with moderate assessment criteria; and 3) scores 6-8: possibility of hd 100% with high assessment criteria. it is concluded that hd diagnosis was made as a scoring system of eight radiological signs on the barium enema examination can reduce morbidity and mortality rate. key words: hirschprung diseases, aganglionic zone, barium enema, scoring system abstrak hirschprung diseases (hd) adalah kelainan kongenital tidak adanya sel-sel saraf parasimpatetik, yaitu aganglion intramural dan submucosa yang umumnya terjadi pada bagian distal colon yaitu rectum dan sebagian colon sigmoid. hd terjadi 1 kasus pada 5000 kelahiran hidup dengan angka mortalitas pada bayi yang tidak ditangani segera berkisar 80%, sedang yang ditangani dapat menurun sampai 30%. tujuan penulisan literature review ini adalah mempelajari tanda dan gejala hd dan menentukan gambaran radiologi hd dari penelusuran beberapa jurnal penelitian, penegakan diagnosis hd dari tanda dan gejala klinik yaitu kegagalan pengeluaran meconeum pada bayi baru lahir lebih 24 jam diikuti muntah bilous, distensi abdomen dan pada keadaan lanjut atau pada bayi yang lebih tua dapat berakibat iritable, nafas cepat (grunting) karena adanya distensi abdomen dengan gambaran darm contour, darm steifung. 65 mutiara medika vol. 9 no. 2:64-72, juli 2009 pendahuluan hirschprung’s disease (hd) adalah salah satu penyakit yang paling sering dijumpai pada kasus bedah anak dan sebagai penyebab tersering obstruksi usus pada neonatal, yaitu sekitar 33,3% dari seluruh kasus .1,2 hd terjadi 1 kasus pada 5000 kelahiran hidup dengan perbandingan pada laki-laki 4 kali lebih banyak dari perempuan.3,4,6 sekitar 25% hd disebabkan karena faktor genetik (inherited) dan 75% penyebabnya tidak diketahui.2,5 sembilan puluh persen hd terdiagnosis pada periode neonatal yang ditandai dengan gagalnya pengeluaran meconeum dalam 24 – 48 jam setelah lahir.3,5 angka mortalitas hd pada bayi yang tidak ditangani segera berkisar 80%, sedang pada kasus yang ditangani angka ini dapat menurun sampai 30% dan biasanya terjadi akibat komplikasi sebelum dan sesudah operasi. 2,3 penegakan diagnosis hd didapatkan dari klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, yaitu pemeriksaan radiologi (foto polos abdomen dan barium enema dengan akurasi 90%). melihat tingginya angka mortalitas hd, penanganan seawal mungkin dengan penegakan pemeriksaan penunjang yang berperan untuk mengarahkan diagnosis hd adalah pencitraan radiologi. foto polos abdomen posisi anteroposterior-supine, lateral-errect dan left lateral decubitus (lld), tampak dilatasi lumen colon dan tak tampak udara usus pada regio pelvic dengan tanda-tanda obstruksi letak rendah. pemeriksaan barium enema merupakan pemeriksaan pilihan pada hd dengan akurasi diagnostik sekitar 90%. penelitian tahun 1996 oleh a.n.o’donovan, et al penegakan diagnosis hd dibuat sistem skoring dari 8 tanda radiologi pada pemeriksaan barium enema, yaitu: 1). zona transisional, 2). kontraksi irreguler, 3). index rectosigmoid ( lebar maximum rectum dibagi lebar maximum sigmoid ; abnormal jika kurang dari 1, 4). spasmus, 5). adanya gambaran cobble stone mukosa pada wsce (water soluble contrast enema), 6). mukosa irreguler, 7). mukosa yang bergerigi dan 8). retensi kontras (evakuasi lambat setelah 24 jam). penilaian sistem skoring dalam menentukan diagnostik hd adalah: 1). nilai 1-3 : kemungkinan hd 40% dengan kriteria penilaian rendah; 2). nilai 4-5 : kemungkinan hd 66% dengan kriteria penilaian sedang; 3). nilai 6-8 : kemungkinan hd 100% dengan kriteria penilaian tinggi. kesimpulannya bahwa penegakan diagnosis hd dengan mengenali tanda dan gejala serta gambaran pemeriksaan barium enema dengan sistem skoring dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian penderita hd kata kunci : hirschprung diseases, zona aganglionic, barium enema, sistem scoring diagnosis yang baik akan menurunkan angka mortalitas maupun komplikasi yang terjadi. hirschsprung’s disease (hd) disebut juga megacolon congenital atau aganglionic megacolon congenital adalah suatu kelainan kongenital ditandai tidak adanya sel-sel saraf yang disebut sel-sel parasimpatetik ganglion intramural pada lapisan otot (pleksus myenteric) dan lapisan submucosa (pleksus auerbach dan meissner) yang umumnya terjadi pada bagian distal colon yaitu rectum dan sebagian colon sigmoid.1,3,4,5,7,8,9,10,11,12 aganglionic pada dinding colon bagian distal menyebabkan berkurangnya kemampuan relaksasi dan motilitas yang optimal sehingga menimbulkan konstriksi dan colon bagian proksimalnya menjadi dilatasi, sisa makanan terjebak dan tidak dapat didorong ke bagian distal untuk dikeluarkan. bagian colon yang mengalami dilatasi inilah yang menyebabkan megacolon.3,5,9 secara umum ada 2 tipe hd berdasar letak segmen aganglionik pada rectum dan colon : tipe i : segmen aganglionik pada daerah distal sigmoid dan rektum disebut short segmen. tipe ii: segmen aganglionik dapat sampai colon dan terminal ileum ana majdawati, peran pemeriksaan barium enema .............................. 66 yang disebut long segmen. daerah perbatasan antara segmen ganglion dan aganglion disebut zona transitional. 3,7,10,12 zona transitional ini biasanya terdapat pada regio rectosigmoid atau colon sigmoid (65%), colon descendens (14%), rectum (8%), colon yang lain (10%) dan dapat terjadi pada usus halus (3%).2 sedang menurut tipenya, hd klasik (umum) terdapat pada 75% kasus, long segmen disease pada 15%, ultra short segmen (5%) dan variable length pada 5% kasus.10 gambar 1. skema gambaran segmen aganglionik megacolon a. tipe short segmen rectosigmoid, b. tipe long segmen colonic (warna hitam mengindikasikan segmen aganglionik dan stenosis. a a’ : subdivisi anal canal normal (1). lower rectum, (2). upper rectum, (3). rectosigmoid junction (4) bagian di proksimal no.3; b d’: segmen aganglionik pada rectum dan colon dan b e’: aganglionik dari anus sampai duodenum termasuk seluruh colon, ileum dan jejunum. b,f’: aganglionik dimulai dari flexura lienalis sampai ileum terminal. a, c’ : gambaran klasik, yaitu zona aganglionik pada rectum dan rectosigmoid junction.8 gambar.2. tipe zona aganglionik . tipe 1: zona aganglionik pada rectosigmoid dan segmen yang menyempit adalah pada bagian proksimalnya; tipe 2: zona aganglionik adalah bagian yang seluruhnya mengalami penyempitan; tipe 3: segmen stenosis anular pada batas antara segmen yang berganglion dan yang aganglionik; tipe 4: slight anular stenosis pada batas segmen yang berganglion dan aganglionik tanpa perubahan kaliber colon; tipe v: double aganglionic contracted segments dengan segmen yang berganglion tampak dilatasi8 67 mutiara medika vol. 9 no. 2:64-72, juli 2009 sekitar 20% penderita hd biasanya disertai dengan kelainan kongenital yang lain, seperti down syndrome (8%), cardiac defects (8%), genitourinary abnormalities (6%) dan gastrointestinal anomalies (4%). gastrointestinal anomalies termasuk atresia colon, anus imperforata, neurocristopathy syndrome 2,3 diagnosis pasti hd adalah pemeriksaan histopathologi, pemeriksaan imunohistokimia, yaitu ditemukannya bagian atau segmen yang aganglionik pada biopsi rectal dengan irisan 3,4 dan 5 cm.13 pemeriksaan penunjang yang sangat berperan untuk penegakan diagnosis hd adalah pencitraan radiologi. pemeriksaan foto polos abdomen posisi anteroposterior-supine, lateral-errect dan left lateral decubitus (lld) tampak dilatasi lumen colon dan tak tampak udara usus pada regio pelvic dengan tanda-tanda obstruksi letak rendah. untuk menegakkan diagnosis lebih lanjut diperlukan lagi pemeriksaan barium enema. 7,12,13 pemeriksaan barium enema pada hd sangat tergantung pada teknik pemeriksaan, yaitu: 1). kateter lunak dimasukkan lewat anus kedalam rectum sampai ujung kateter terletak persis di atas sfingter anal (tidak lebih 2,5 cm). kateter tidak perlu dioles dengan pelicin, balon kateter tidak usah dipasang dan kateter difiksasi dengan cara kedua pantat saling dirapatkan atau kateter diplester pada paha atau bokong. ukuran kateter no.8 untuk neonatus dan no.10 untuk anak lebih 1 tahun. 2). bahan kontras yang digunakan larutan barium enema dengan pengenceran 30% dengan cairan nacl fisiologis. kontras dimasukkan melalui kateter dengan menggunakan spuit 5-10 ml. 3). pada posisi pronasi kontras barium dimasukkan dengan kontrol fluoroskopi, kemudian posisi pasien dirubah menjadi lateral atau oblique. bila rectosigmoid terisi kontras dan zona transitional telah terlihat, maka larutan barium tidak dimasukkan lagi. kateter dilepas dan dibuat foto ulang (foto pasca evaluasi). pasca evaluasi rectosigmoid kembali kebentuk semula tak terpengaruh tekanan larutan barium yang dimasukkan. hati-hati memasukkan larutan barium karena pengisian yang terlalu banyak dan tekanan yang terlalu kuat akan menyebabkan segmen distal colon teregang dan menghilangkan zona transitional yang seharusnya diperlihatkan pada foto.9,12 terdapat beberapa tanda atau gambaran yang khas pada kasus hd pada pemeriksaan barium enema yang penting, yaitu: 1). zona transitional (sering pada rectosigmoid), biasanya ditemukan pada periode pertama kehidupan. gambaran ini paling jelas pada posisi lateral. terdapat 3 jenis gambaran zona transitional yang dijumpai pada foto barium enema (abrupt: perubahan mendadak; cone: bentuk seperti corong atau kerucut; funnel: seperti cerobong). 2). adanya segmen aganglionik dengan kontraksi yang tampak irreguler 3). penebalan dan nodularitas bagian mukosa pada colon bagian proksimal zona transitional. 4) perlambatan evakuasi barium. campuran antara fecal material dengan bahan kontras (mottled sign) 5). perbandingan kaliber rectosigmoid kurang dari 1. dengan cara mengukur diameter terlebar rectum dan dibandingkan dengan diameter terlebar colon sigmoid. batas rectum bagian proksimal setinggi sacral 3. disebut hd bila rectosigmoid index kurang dari 1. 5). penyempitan segmen bagian distal seperti kontraksi muskuler. 6). spasme daerah yang aganglionik. 7). gambaran mukosa coble stone, bergerigi dan ireguler 7,8,12,14 penatalaksanaan kasus hd yang tidak ditangani akan menyebabkan kematian sekitar 80%, sedang pada kasus yang ditangani angka kematian dapat ditekan sehingga akan jauh berkurang. mortalitas terbanyak adalah akibat enterokolitis, yaitu sekitar 30% dari seluruh penyebab kematian. 12 pada sebagian besar kasus, pembedahan dilakukan pada bulan pertama setelah kelahiran. selama pembedahan, bagian usus yang aganglionik dipotong. ada 2 teknik pembedahan yang biasa dilakukan: 1). pembedahan i, pengangkatan segmen ana majdawati, peran pemeriksaan barium enema .............................. 68 usus aganglion dan pembuatan kolostomi pada colon berganglion normal yang paling distal. untuk sementara feses keluar lewat lubang kolostomi sampai bagian usus yang normal di bagian distal pulih (menjadi baik); 2). setelah beberapa minggu atau beberapa bulan, kolostomi ditutup dan usus yang normal disambung lagi dengan bagian proksimalnya. feses diharap dapat keluar melalui anus.12,13 prognosis secara umum prognosis hd baik, hampir semua neonatus setelah operasi berhasil mengontrol defekasinya. hanya sedikit prosentase yang bermasalah dalam defekasi seperti konstipasi atau buang air besar secara spontan. beberapa neonatus berisiko tinggi terhadap adanya bakteri tumbuh lampau dalam usus termasuk enterokolitis. angka kematian (mortalitas akibat enterokolitis maupun komplikasi bedah pada neonatus berkisar 20%).4 komplikasi pasca bedah yang sering terjadi diantaranya kebocoran anastomosis, stenosis dan enterokolitis.12 diskusi diagnosis hd ditegakkan berdasar riwayat sakit, pemeriksaan klinis, pemeriksaan radiologis dan sebagai final untuk menentukan bagian colon yang aganglionik yaitu pemeriksaan histopatologi (termasuk rectal myomectomi).12,15 bila diagnosis meragukan, selama memungkinkan penderita diobservasi dan dilakukan pemeriksaan radiologis ulang 1-2 bulan kemudian.12 menurut evans dan mc donald, secara klinis pada hd kegagalan pengeluaran meconeum lebih 24 atau 48 jam, yaitu pada beberapa saat setelah kelahiran (periode neonatal). hasil penelitian dapat kita lihat penderita hd terbanyak pada usia 0-1 bulan (42,9%) diikuti usia 1 bulan1 tahun (29,1%), usia 1-5 tahun (17,7%), usia 6-9 tahun (6,9%), usia 10-12 tahun (3,4%). 12 pada pemeriksaan fisik abdomen, paling sering didapatkan distensi abdomen dengan gambaran darm contour/darm steifung (gambar 3). pemeriksaan radiologi sebagai pemeriksaan penunjang hd mempunyai peran yang sangat penting dan mempunyai akurasi yang cukup tinggi. 8 pada foto polos abdomen (gambar 4) akan didapatkan tanda-tanda yang berhubungan dengan hd yang tersering yaitu distensi sistema usus (95,3%) diikuti air fluid level (75,0%), feses (47,6%), udara dalam rectum negatif (48,2%) dan udara bebas (1,1%).12. gambar 3. gambar distensi abdomen dengan gambaran darm contour, darm steifung12 69 mutiara medika vol. 9 no. 2:64-72, juli 2009 gambaran obstruksi usus letak rendah dapat ditemukan juga pada penyakit atau kelainan lain seperti atresia ileum, sindroma sumbatan meconeum (meconeum plug syndrome), sepsis 8,12,13,14. melihat data di atas dapat dilihat bahwa pada hd dapat terjadi komplikasi perforasi yaitu adanya udara bebas pada foto polos abdomen tetapi jumlahnya relatif sedikit12. pemeriksaan barium enema adalah pemeriksaan radiologi pilihan pada kasus hd dan mempunyai akurasi yang cukup tinggi, yaitu sensitifitas (neonatus ± 59,5%, anak yang lebih tua ± 68,5%) dan spesifisitas (neonatus 82,75%, anak yang lebih tua 85%); akurasi (neonatus 90% anak yang lebih tua 94,2%).16 gambar 4. foto polos abdomen penderita hirschsprung disease posisi ap-supine: gb a tampak dilatasi pada sistema usus dan gambaran feses (mottled appearance di proksimal) dan tak tampak gambaran udara/feses di bagian distal (di rongga pelvis-rektum dan sigmoid). gb.c. posisi setengah duduk: gambaran air fluid level (kadang-kadang ada) gb.d. posisi left lateral decubitus (lld): air fluid level (+), multiple a. b. c. hasil semua enema (be dan wsce) wsce sensitivitas% spesifisitas% sensitivitas% spesifitas% zone transisi kontraksi treguler index rectosigmoid spasme cobblestone mucosa mukosa ireguler mukosa bergerigi evakuasi lambat 65 22 77 33 5 22 50 66 60 90 65 85 100 95 90 20 80 20 80 40 20 50 71 64 100 71 93 100 93 33 nilai % kemungkinan hd penilaian 6 8 4 5 1 – 3 100 66 40 tinggi sedang rendah tabel 1. sensitivitas dan spesifisitas kriteria diagnostik tabel. 2 nilai untuk gabungan kelompok-kelompok pasien ana majdawati, peran pemeriksaan barium enema .............................. 70 penelitian oleh a.n.o’donovan, et al pada tahun 1996 tanda-tanda hd pada pemeriksaan barium enema ada 8 tanda, yaitu: 1). zona transisional, 2). kontraksi irreguler, 3). index rectosigmoid ( lebar maximum rectum dibagi lebar maximum sigmoid ; abnormal jika kurang dari 1, 4). spasmus, 5). adanya gambaran cobble stone mukosa pada wsce (water soluble contrast enema), 6). mukosa irreguler, 7). mukosa yang bergerigi dan 8). retensi kontras (evakuasi lambat setelah 24 jam) (gambar 5). tabel 3 menunjukkan diantara 8 tanda tersebut terdapat empat tanda radiologis yang mempunyai spesifisitas yang tinggi, yaitu kontraksi yang ireguler, spasme, mukosa irreguler dan mukosa bergerigi. 19 pada penelitian ini untuk penegakan diagnosis hd dibuat sistem skoring dari 8 tanda radiologi tersebut untuk membuat keputusan ada tidaknya hd (tabel 1,2). sistem skoring ini bermanfaat khususnya menginformasikan kemungkinan diagnostik hd. tiap tanda diberi nilai 1 sehingga maksimal nilai skor yang didapat adalah 8. penilaian sistem skoring 2). nilai 4-5 : kemungkinan hd 66% dengan kriteria penilaian : sedang; 3). nilai 6-8 : kemungkinan hd 100% dengan kriteria penilaian : tinggi1. ada beberapa kasus hd yang tidak mempunyai tanda-tanda klasik seperti disebutkan di atas, yaitu hd segmen ultrashort (lower segment disease / anal achalasia) adalah segmen aganglionik yang berukuran sangat pendek. gejala klinik yang mencolok adalah obstipasi kronik yang berat. pada pemeriksaan barium enema tampak dilatasi rectum sampai colon bagian proksimalnya. tak tampak zona transisional maupun penyempitan pada gambar 5: beberapa gambaran hd pada pemeriksaan barium enema: zone transisi dan spsme (no.2), kontraksi irreguler, mucosa irreguler & bergerigi dan cobblestone mucosa (no.4), index rectosigmoid (no 3) dan evakuasi lambat 71 mutiara medika vol. 9 no. 2:64-72, juli 2009 bagian distal segmen colon yang dilatasi. hal ini terjadi karena ekstensi segmen aganglioniknya berukuran sangat pendek dan hanya beberapa centimeter dari linea dentata. diagnosis pasti hd tipe ultrashort ini adalah pemeriksaan histopatologi.12,13 diagnosis banding hd harus selalu dipikirkan bila kita menghadapi neonatus dengan gejala dan tanda hambatan passase usus letak rendah. obstruksi usus letak rendah pada neonatus dapat disebabkan oleh : hirschsprung’s disease, anorectal malformations, meconeum plug syndrome, small left colon syndrom, hypoganglionosis, neuronoral intestinal dyplasia dan megacystic-microcolon intestinal hypoperistaltis syndrome. 12,14 beberapa diagnosis banding hd dapat disingkirkan dengan pemeriksaan radiologi, yaitu foto polos abdomen, pemeriksaan barium enema dan beberapa test spesifik seperti pemeriksaan magnetic resonance imaging (mri) pelvic dan pemeriksaan penunjang lain yaitu manometri anorectal dan biopsi yang penting sebagai pemeriksaan untuk memberikan diagnosis pasti. 14 kesimpulan kesimpulan literature review ini adalah untuk menegakkan diagnosis hd diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan colok dubur serta beberapa pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan radiology dan diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologi atau imunohistokimia. pemeriksaan radiologi yang meliputi pemeriksaan foto polos abdomen dan barium enema mempunyai peran yang penting untuk penegakan diagnosis hd serta mempunyai akurasi sekitar 90100%.1,16 beberapa kriteria penting untuk diagnosis hd, yaitu: 1. anamnesis dan pemeriksaan fisik : kegagalan pengeluaran meconeum pada bayi baru lahir lebih 24 jam diikuti muntah bilous, distensi abdomen dengan gambaran darm contour/darm steifung. pada pemeriksaan colok dubur, canalis analis dan rectum sama sekali tidak didapatkan fecal material dan dirasakan adanya penyempitan. 2. pemeriksaan radiologi tanda-tanda pada foto polos abdomen adalah seperti gambaran obstruksi usus letak rendah, yaitu distensi sistema usus, air fluid level, gambaran mottled sign, udara dalam rectum negatif. 12 sistem skoring dari 8 tanda, yaitu: 1). zona transisional, 2). kontraksi irreguler, 3). index rectosigmoid ( lebar maximum rectum dibagi lebar maximum sigmoid ; abnormal jika kurang dari 1, 4). spasmus, 5). adanya gambaran cobble stone mukosa pada wsce (water soluble contrast enema), 6). mukosa irreguler, 7). mukosa yang bergerigi dan 8). retensi kontras (evakuasi lambat setelah 24 jam). penilaian sistem skoring dalam menentukan diagnostik hd adalah: 1). nilai 1-3 : kemungkinan hd 40% dengan kriteria penilaian : rendah; 2). nilai 4-5 : kemungkinan hd 66% dengan kriteria penilaian : sedang; 3). nilai 6-8 : kemungkinan hd 100% dengan kriteria penilaian : tinggi.19 3. pemeriksaan biopsi (histopathologi) dan imunohistokimia daerah yang diduga aganglionik. pemeriksaan ini mempunyai akurasi 95-100% dan dikatakan hd bila tidak didapatkan sel-sel ganglion pada jaringan hasil biopsi .1,12 daftar pustaka 1. harjai, m.m., 2000, hirschsprung disease, http://www.jpgmonline.com/ article.asp. 2. naria, d.l dan hingsbergen, e.a,m.d. 2000, case 22: total colonic a g a n g l i o n i o n o s i s l o n g s e g m e n hirschsprung disease, rsna, 215: 391-394. 3. lee, s.l,m.d dan puapong, d.p,m.d. 2006, hirschsprung disease, emedicine 4. lombay,b., 2000, hirschsprung disease in ghanaian children, paediatric radiology 5. anonim, parasympathetic ganglion cell, this article © 2002 the gale group inc. ana majdawati, peran pemeriksaan barium enema .............................. 72 6. anonim, hirschsprung’s diasease, core factsheet 12, march 2001: 1-1 7. silverman, n.f, m.d dan kuhn, j.p,m.d. 1993, caffey’s pediatric x-ray diagnosis: an integrated imaging approach, vol 2, mosby, st louis baltimore, boston, chicago , london, philadelphia, sydney, toronto. 8. caffey, j,a.b, m.d. 1961, pediatric xray diagnosis, 4th ed, year book medical publisher.inc. 200 east illinois street, chicago. 9. amiel, j dan lyonett, s. 2001, hirschsprung disease, associated syndromes, and genetics: a review, j med gnet 2001; 38: 729-739. 10. harjai, m.m., 2000, hirschsprung’s disease revisited, vol 46, issue 1: 452. 11. anonim, file://f:\microanatomy of the digestive tube.htm. 12. kartono, d. 2004, penyakit hirschsprung, cetakan ke-1, sagung seto, jakarta. 13. kempe, h.c, m.d; silver, k.h, m.d dan o’brien d, m.d. 1976, current pediatric diagnosis and treatment, , 4th ed, lange medical publications, los altos, california. 14. pochaczevsky, r,m.d dan leonidas, j.c, 1975, the recto-sigmoid index, a measurment for the early diagnosis of hirschsprung diasease, vol 123, no.4, new york, kansas city, missouri. 15. baucke, v.l dan kimura, k. 1999, failure to pass meconeum: diagnosing neonatal intestinal obstruction, family physician, vol 60, no.7: 1-8. 16. rosenfield, n,s, m.d; ablow, r.c,m.d; markowitz, r.i, m.d; dipietro, m, m.d; seashore, j,h,m.d; touloukian, r.j, m.d, et al., 1984, hirschsprung disease: accuracy of the barium enema examination, radiology 1984; 150: 393-400. 17. sutton, d., 2003, the paediatric abdomen in textbook of radiology and imaging, vol.1, 7 th ed, churchill livingstone. 18. grainger, r.g dan allison, d., 1997, the newborn and young infant in the textbook of medical imaging diagnostic radiology, , vol.2, 3rd ed, churchill livingstone. 19. donovan, a.n; habra, g; somers, s; malone, d.e; rees, a; et al, 1996, diagnosis of hirschsprung’s diasease, ajr:167, august, 1996. 20. siegel, m.j,m.d; sackelford, g,d,m.d; 1981, the rectosicmoid index, radiology 139: 497-4 137 mutiara medika vol. 13 no. 2: 137-142, mei 2013 parental practice and problem video game playing in adolescents praktik pengasuhan orangtua dan masalah permainan video game pada remaja romdzati1*, nilawan chanthapreeda2 1master of nursing science (international program), faculty of nursing, khon kaen university; dosen, program studi ilmu keperawatan, universitas muhammadiyah yogyakarta 2assistant professor, faculty of nursing, khon kaen university *email: romdzati@gmail.com abstrak: penelitian kuantitatif dengan desain deskriptif ini dilakukan untuk mendeskripsikan data demografi, praktik pengasuhan, dan masalah permainan video game pada remaja. data dikumpulkan dari 224 orangtua dan 224 remaja yang bersekolah di sd, smp dan sma di kota yogyakarta, provinsi daerah istimewa yogyakarta, indonesia. pengumpulan data berlangsung pada bulan april dan mei 2013 menggunakan kuesioner praktik pengasuhan orangtua pada permainan video game remaja dan kuesioner problem video game playing (pvp). hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar orangtua berada pada level bagus. sebanyak 42 orangtua (18,8%) termasuk kategori sedang dan sisanya (81,2%) termasuk pada level bagus. pada penelitian ini tidak ditemukan orangtua yang dikategorikan ke dalam level buruk. sebagian besar remaja juga tidak masuk ke dalam permainan problematik. terdapat 15,6% (n=35) remaja masuk dalam kagetori permainan problematik, sedangkan sisanya permainan no problematik kata kunci: permainan video game, remaja, praktik pengasuhan orangtua abstract: the descriptive design study was conducted to describe demographic data, parental practice, and problem video game playing in adolescents. data was collected from 224 parents and 224 adolescents who study in one primary, one secondary, and one high school in yogyakarta municipality, yogyakarta province, republic of indonesia. it was collected using parental practice in video game playing adolescents’ questionnaires and problem video game playing (pvp) scale during april to may 2013. the results showed that the majority of parents were in good practice level. parental practice in video game playing in adolescents was at a moderate practice (18.8%, n=42) and good practice (81.2%, n=182). there were no parents in bad practice level. the majority of adolescents were non problematic playing. there were 84.4% (n=189) non problematic playing, while 15.6% (n=35) were problematic playing. key words: video game playing, adolescent, parental practice artikel penelitian 138 romdzati, parental practice and problem video game playing ... background nowadays, video game playing has become a popular activity for all ages.1 the growth of video games as an entertainment form is larger than hollywood movies.2 people can play almost anywhere since there are a range of devices that can be played including console, personal computers (pc), and handheld dev ices such as mobile phones. based on a press release from the interactive software federation of europe,3 in the uk, 37% of population aged between 16 and 49 describe themselves as “active gamers”. adolescents clearly are part of that group. moreover, the number of american children aged 2 to 17 years playing video games had increased up to nine percent when compared to 2009.3 asian countries also have high numbers of adolescents playing video games. more than three quarters of video game players in japan, korea and china are children and adolescents.4 the exact numbers are 84.7%, 94.8% and 78.1% in each country, respectively. one research conducted in america and also nationally representative sample showed the prevalence of pathological video gaming among american youth. in this research, it was found that 8.5% of video gamers age 8-18 exhibit pathological pattern of videogame play.2 in thailand, 23.1% of adolescents were computer game addicted.5 four adolescents in one district of indonesia were brought to a psychiatric hospital because of video game addiction. many of the most popular video games have a negative impact.1 children and adolescents may become overly involved and even obsessed with video games. adolescents will display aggressive thoughts, feelings and behaviors after too much exposure to video games, especially violent video games. actually, during adolescence, the parental practice is important. parents can influence on adolescent’s life. according to resnick et al. (1997),6 there is a connection between parent and adolescent relationship with less violent behavior. to illustrate, parental support has positive correlation with positive mental and physical health.6 in terms of video game playing, a parental practice is needed to prevent or protect adolescents from adverse effects of video games. they may involve checking video game contents, controlling when or where the adolescents can play,7 monitoring gaming behavior, reading content description, banning certain video games, gathering information on games, pointing out bad or good things in games, explain what happens in games and evaluating game contents. based on above explanation, parental practice in controlling video games impact is noteworthy, in indonesia, some parents do it well, but some do not. parents just know that their child plays video games, but some of them do not know what kind of video games they play. this research was done to identify parental practice and problem video game playing in adolescents. 139 mutiara medika vol. 13 no. 2: 137-142, mei 2013 methods the research design of this study was a descriptive study. data were collected from 224 adolescents who study in yogyakarta municipality and also 224 parents of those adolescents. multi stage random sampling was used to determine the sample size. a parental practice in video game playing questionnaire and problem video game playing (pvp) short scale were used in this study. the data was analyzed using the statistical package for social sciences (spss) pc +16. results table 1. the frequency of demographic characteristics of parents (n=224) demographic characteristics non problematic playing problematic playing age (year) 20-40 50 7 41-65 138 28 >65 1 0 gender male 68 9 female 121 26 religion moslem 174 32 christian/catholic 15 3 marital status married 174 34 divorced 4 0 widowed 11 1 education level high school 86 10 diploma 28 4 bachelor degree 53 15 master degree 9 3 doctoral/phd 1 1 others 12 2 occupation civil servant 30 6 teacher/lecturer 13 5 private employee 80 11 others 66 13 giving money for playing game yes 37 10 no 152 25 based on table 1. most of parents were middle adulthood age (74.1%, n=166). the gender of parents mostly was female. parents’ religions were two types: moslem and christian/catholic. there were 208 (92.0%) and 16 (8.0%), respectively. most of parents had marital status (92.9%, n=208. educational level of parents were dominated with parents graduated from high school (42.9%). based on parents’ information, most of parents gave information that they did not give money for playing video game to their child. most of adolescents aged 13-15 year old (46.5%, n=145). among those three groups, female were bigger amount of number compared with male. similar with parents’ characteristic, moslem was the majority in adolescents group. most of students studied in secondary school (44.7%, n=100). from table 2. also can be identified that most of students were in the first grade of secondary school, there were 68 adolescents (26.8%). about family structure, most of adolescents came from nuclear family. table 2. the frequency of demographic characteristics of adolescents (n=224) demographic characteristics non problematic playing problematic playing age (year) 10-12 33 2 13-15 16-18 90 66 14 19 gender male 78 22 female 111 13 religion moslem 179 32 christian/catholic 10 3 education level primary school 33 2 secondary school 86 14 high school 70 19 family structure nuclear family 133 25 single parent family 14 1 extended family 42 9 140 romdzati, parental practice and problem video game playing ... table 3. the level of parental practice in video game playing in adolescents parental practice in video game playing in adolescents freque ncy percent age (%) bad practice 0 0 average practice 42 18.8 good practice 182 81.2 the data showed that there is no bad practice level. most of them was in the good practice (81.2%, n=182), meanwhile average practice level is about 18.8% (n=42). table 4. the level of problem video game playing problem video game playing frequency (n=224 ) percentage (%) non problematic 189 84.4 problematic 35 15.6 the results shown that there were 189 (84.4%) adolescents non problematic playing and 15.6% (n=35) problematic playing. discussion parental practice in video game playing in adolescents parental practice in video game playing in adolescents had four domains. in general, the result showed that most of parents were in good practice. one hundred and eighty two parents (81.2%) did good practice, while 42 parents (18.8%) did average practice. there was no presented parental practice in bad practice level. in this study, the percentage of female parents was more than male. it was 65.6% female (n=147), while the rest of them were male. females could be better in taking care of family include their child.8 the majority of respondents were also middle adulthood age (74.1%, n=166). compared with other stages, the development of middle adulthood gave more support to adolescents. one of middle adulthood task was helping teenage to become responsible adults.8 moreover, all respondents had religion. most of them were moslem. in this religion, parents had responsibility to educate and take care of them.9 it contributed to help parents be good practice. problem video game playing in adolescents the finding of whole data analysis showed that problematic video game playing had fewer percentage compared by non problematic video game playing. there were 15.6 % problematic video game playing (n=35) and 84.4% non problematic video game playing (n=189). it meant that most of adolescents answered no in each item. it was relevant with salguero and moran (2002).10 this also matched with former studies. phillips et al. (1995),11 found that 7.5% of adolescents within age 11-16 year old scored addictive level. supaket et al. (2008),5 and srisuwan (2010),12 also had the similar found. they conducted study in thailand. there were 23.1% secondary students addicted with video game playing, while 20.7% school age children also had the same problem. this result can be supported by some reasons. it was available at table 3. most of adolescents played video game not so frequently. most of them spent not so long time a day. most of them played about 1 to 2 hours per day (68.3%, n=153). it was consistent with hauge and gentile (2003),13 study result that addicted adolescents spent more amount of time for playing video game. besides that, all adolescents were still students. they spent large amount of time at school. it could help adolescents to minimize time for playing automatically. they played video game mostly not during school hours. these were weekday afternoon (42%, n=96) and holiday afternoon (30.8%, n=69). moreover, more than three quarter (79.5%, n=178) of adolescents 141 mutiara medika vol. 13 no. 2: 137-142, mei 2013 played video game in their home. from this, parents could monitor them. it was different with the occasion that adolescents played video game outside such as in game center. in game center, adolescents had free choice to play video game without any limitation from the owner. conclusion the conclusions of this study are thus; the majority parents were in good practice level (81.2%, n=182), the majority of adolescents were non problematic playing (84.4% n=189). acknowledgement the researcher was in receipt of an indonesian government scholarship (directorate general of higher education, ministry of education and culture, indonesia) at the time of this study and research. the authors would like to thank you to the faculty of medicine and health sciences, universitas muhammadiyah yogyakarta for support throughout the duration of completing this research. references 1. american academy of child and adolescent psychiatry. children and video games: playing with violence. retrieved november 18, 2012 from http://www.aacap.org/cs/root/ facts_for_fam ili es/chil dren_and_ v ideo_ games_playing_with_violence 2. national institute on media and the family. video game addiction. minneapolis: 2007. 3. reisinger, d. 91 percent of kids are gamers, research says. october 11, 2011. retrieved january 14, 2013, from http://news.cnet.com/ 8301-13506_3-20118481-17/91-percent-ofkids-are-gamers-research-says/ 4. wei, r. effects of playing violent videogames on chinese adolescents’ pro-violence attitudes, attitudes toward others, and aggressive behavior. cyberpsychology&behavior, 2007; 10(3): 371-380 5. supaket, p., munsawaengsub, c., nanthamongkolchai, s., apinuntavetch, s. factors affecting computer game addiction and mental health of male adolescents in muang district, si sa ket province. j public health, 2008; 38(3): 317-330. 6. resnick, m.d., bearman, p.s., & blum, r.w. protecting adolescents from harm: findings from the national longitudinal study of adolescent health. the journal of the american medical association (jama), 1997; 278 (10), 823831. 7. nikken, p. [n.d.]. parental mediation of children’s video game playing: a similar construct as television mediation. ascor university of amsterdam. retrieved january 16, 2013, from http://www.digra.org/dl/db/05150.50493 8. blieszner, r. and mancini, b.a. enduring ties: older adults’ parental role and responsibilities. national council on family relations, 1987; 36 (2): 176. 9. thalib, m. praktik rasulullah saw mendidik anak bidang akhlaq dan pergaulan 2000. bandung: irsyad baitus salam. 10. salguero, r.a.t. & moran, r.m.b. measuring problem video game in adolescents. addiction, 2002; 97, 1601-1606. 11. phillips, c.a., rolls, s., rouse, a., griffiths, m.d. home video game playing in schoolchildren: a study of incidence and patterns of play. journal of adolescence, 1995. 18: 687-691. 142 romdzati, parental practice and problem video game playing ... 12. srisuwan, p. computer game playing, family functioning and health promotion behavior among the school-aged children in khon kaen municipality. thesis of master student. faculty of nursing. khon kaen university. 2010. 13. hauge, m.r. & gentile, d.a. video game addiction among adolescents: associations with academic performance. 2003. retrieved november 18, 2012 from http://www.psychology. iastate.edu/faculty/dgentile/srcd%20video %20game%20addiction.pdf indri kurniasih, permasalahan-permasalahan yang menyertai erupsi gigi 52 permasalahan-permasalahan yang menyertai erupsi gigi emerging problems associated with tooth eruption indri kurniasih ilmu kedokteran gigi dasar, program studi kedokteran gigi, fakultas kedokteran, universitas muhammadiyah yogyakarta abstract tooth eruption process is an normal physiological process. it may become abnormal there disturbances intervered within the process. several disturbances such as trauma, hereditary factors, and pathological disorders can cause some problems which may leads to dental disorders if it were remain untreated. these matters have to become a serious concern of the dentists. there are several problems which are frequently associated with tooth eruption process such as ankylosis, eruption cyst, eruption hematoma and ectopic eruption. each of these problems has their own specific clinical characteristic . moreover, some of the problems needs special treatments to assure that dental anomaly resulted will not develop fur ther and dental eruption is not disturbed. the aim of the writing is to elaborate the etiology, sign and clinical symptoms, and also treatment of problems during tooth eruption. keyword : dental anomaly, eruption tooth abstrak proses erupsi gigi merupakan suatu proses fisiologis yang normal. bisa menjadi tidak normal ketika terjadi gangguan pada proses tersebut. beberapa gangguan berupa trauma, faktor herediter, kondisi patologis terkadang menimbulkan permasalahan yang jika dibiarkan akan berlanjut menimbulkan kelainan pada gigi. hal ini perlu menjadi perhatian serius oleh dokter gigi. ada beberapa permasalahan yang sering menyertai proses erupsi gigi diantaranya ankylosis, eruption cyst, eruption hematoma dan ectopic eruption. permasalahan-permasalahan tersebut mempunyai karakteristik yang khas. beberapa diantaranya bahkan memerlukan penanganan khusus agar kelainan gigi tidak berlanjut dan proses erupsi gigi tidak terganggu. penulisan ini bertujuan untuk menguraikan tentang etiologi, tanda dan gejala klinis serta perawatan dari permasalahan-permasalahan yang timbul selama proses erupsi gigi. kata kunci : erupsi gigi, kelainan gigi 53 mutiara medika vol. 8 no. 1:52-59, januari 2008 pendahuluan erupsi gigi mungkin mendapat perhatian yang besar bagi para orang tua, terutama bagi para orang tua baru. seringkali orang tua berfikir bahwa ada sesuatu perkembangan yang salah pada anak mereka jika gigi tidak tampak pada saat yang semestinya. padahal waktu erupsi gigi sangatlah bervariasi. banyak faktor yang mengkontribusi terjadinya variasi ini. termasuk diant aranya adalah riwayat keluarga, etnik/ras, vitalitas selama perkembangan janin, posisi gigi di dalam lengkung rahang, ukuran dan bentuk dari lengkung gigi itu sendiri dan dalam proses erupsi gigi permanen ketika tanggalnya gigi desidui.1 proses erupsi gigi bagi anak-anak seringkali terasa menggangu. pada masa ini anak terkadang mengalami demam ringan, kerewelan, gangguan waktu tidur, pengeluaran air liur, dan cenderung memasukkan jarinya ke dalam mulut. hal ini merupakan sesuatu yang wajar dan bukan berhubungan dengan gangguan sistemik. hubungan antara demam dan erupsi dapat terjadi hanya jika terjadi percepatan jumlah erupsi gigi. gusi pada tempat erupsi dapat meradang dan sangat sensitif bila disentuh. peradangan biasanya mereda dengan erupsinya gigi. terbukanya gusi pada waktu erupsi gigi jarang menjadi berbahaya ataupun mengalami infeksi. namun fase erupsi gigi menjadi fase rentan untuk terjadinya suatu anomali gigi jika pada tahap ini terjadi gangguan pada proses erupsi. tulisan ini bermaksud menguraikan berbagai konsep yang berhubungan dengan terjadinya permasalahan selama proses erupsi berlangsung. manfaat yang diharapkan adalah menambah pengetahuan mahasiswa kedokteran gigi dan klinisi kedokteran gigi untuk mengenali tanda dan gejala berbagai permasalahan yang dapat timbul selama proses erupsi gigi, agar dapat menentukan tindakan/ perawatan yang tepat sehubungan dengan hal tersebut. diskusi mekanisme erupsi gigi : erupsi gigi adalah suatu proses berpindah atau bergeraknya gigi yang sedang berkembang di dalam dan melalui tulang alveolar serta mukosa yang menutupi rahang menuju ke dalam rongga mulut dan mencapai dataran oklusal gigi.2 erupsi gigi adalah kombinasi pergerakan seluruh bagian gigi, baik sebelum dan sesudah mahkota muncul ke dalam rongga mulut. erupsi gigi dimulai ketika pembentukan mahkota gigi telah lengkap dan akar gigi mulai terbentuk dan berlanjut dengan keseluruhan kelangsungan gigi tersebut di dalam rongga mulut.3 munculnya gigi melewati gingiva menjadi tanda klinis dari erupsi gigi. mengikuti kemunculan ini, gigi bererupsi pada jarak maksimal untuk mencapai dataran oklusal.2 proses erupsi gigi terdiri atas 3 tahap: 1. tahap pre erupsi : pada tahap ini pergerakan gigi merupakan tahap persiapan tahap erupsi. pada tahap ini terjadi proses pertumbuhan dan perkembangan benih gigi di dalam tulang alveolar sebelum terbentuknya akar gigi. selama tahap ini gigi tumbuh pada berbagai arah untuk mempertahankan posisinya di dalam rahang yang juga berkembang. ini dapat terjadi dengan pertumbuhan yang eksentrik dan pergerakan seluruh benih gigi (bodily movement ). bodily movement adalah suatu pergeseran keseluruhan benih gigi, dimana hal ini akan mengakibatkan terjadinya resorbsi tulang pada arah gigi itu bergerak dan pembentukan tulang pada tempat sebelumnya.2 2. tahap erupsi prefungsional tahap ini dimulai dengan inisiasi pembentukan akar gigi dan akan berakhir ketika gigi mulai mencapai kontak oklusal. ada 5 kejadian utama selama tahap ini, yaitu: a) tahap sekretoris dari amelogenesis telah lengkap, tepat sebelum pembentukan akar dimulai. indri kurniasih, permasalahan-permasalahan yang menyertai erupsi gigi 54 b) tahap intraoseus terjadi ketika pembentukan akar dimulai sebagai hasil dari proliferasi epitel pelindung akar dan jaringan mesenkim dari papila dan folikel gigi. c) tahap supraoseus dimulai ketika bagian oklusal gigi yang sedang bererupsi bergerak melalui bagian bawah tulang dan jaringan ikat dari mukosa mulut. d) ujung mahkota melewati rongga mulut dengan cara merusak pusat lapisan ganda sel epitel. terobosan ini kemudian dipenuhi oleh ujung mahkota. e) gigi yang sedang erupsi kemudian bergerak ke oklusal pada jarak yang maksimal dan terlihat paparan secara berangsur-angsur dari munculnya mahkota klinis.2 3. tahap erupsi fungsional pada tahap ini mahkota gigi telah tumbuh maksimal dan telah terjadi penyesuaian kontak maksimal dengan gigi yang berada pada rahang yang berlawanan. gigi telah bererupsi sempurna dan dapat berfungsi secara normal.2 erupsi fungsional gigi sangat bervariasi setiap individu. namun sebagai pedoman hubungan erupsi fungsional gigi desidui dengan umur , dapat dilihat pada gambar 1. pada gambar 2 dan 3 memaparkan tentang hubungan proses pembentukan gigi dengan waktu erupsi pada gigi permanen. kronologis erupsi gigi pada manusia gambar 1. usia rata-rata erupsi fungsional gigi desidui gambar 2. usia rata-rata proses erupsi gigi permanen rahang atas 55 mutiara medika vol. 8 no. 1:52-59, januari 2008 gambar 3. usia rata-rata proses erupsi gigi permanen rahang bawah pada proses erupsi baik pada gigi desidui maupun gigi permanent berhubungan erat dengan perkembangan akar gigi. ketika mahkota muncul melalui gingival, akar gigi biasanya sudah mencapai 2/3 dari panjang akar seluruhnya. keseluruhan proses erupsi gigi berlangsung rata-rata sejak usia 7 1/2 bulan sampai usia 13 tahun, tidak termasuk erupsi gigi molar 3. 4 pada proses erupsi gigi permanen dikenal juga suatu istilah exfoliation yaitu suatu proses eliminasi gigi desidui yang dihubungkan dengan erupsi gigi permanent pengganti yang berada di ujung apeks dan sekitarnya dari gigi desidui. exfoliation dari gigi desidui adalah suatu proses fisiologi yang normal.2 proses erupsi menstimulasi perkembangan osteoclast yang bertanggung jawab pada terjadinya suatu resorbsi progresif pada akar gigi, dentin dan sementum. waktu exfoliation sangat variasi pada setiap individual gigi. exfoliation normal menunjukkan pertumbuhan gigi secara simetris bilateral dari rahang, dimulai dengan gigi pada rahang bawah lebih dahulu daripada rahang atas dan gigi anterior terlebih dahulu sebelum gigi posterior.5 ketika erupsi gigi terhambat hal ini seringkali disebabkan oleh suatu kerusakan lokal sehingga menimbulkan gigi-gigi yang impaksi. terlambatnya erupsi gigi biasanya tidaklah rumit, kecuali jika terjadi pericoronitis, caries ataupun terbentuknya kista.6 masalah-masalah yang sering timbul/ dihubungkan dengan fase erupsi gigi diantaranya: 1. ankylosis : adalah suatu penggabungan jaringan keras antara tulang dan gigi. ini kemungkinan terjadi sebagai hasil dari suatu kerusakan dalam interaksi antara resorbsi normal dan perbaikan jaringan keras selama proses penggantian gigi desidui dengan gigi permanen.2 ankylosis secara khas terjadi setelah erupsi parsial gigi ke dalam rongga yang digambarkan sebagai suatu fusi dari cementum atau dentin ke tulang alveolar selama perubahan selular dalam ligamen periodontal yang disebabkan oleh trauma dan penyakit lain. 7 pada gigi desidui prevalensi terjadinya antara 7-14 %. dan paling sering terjadi pada gigi molar pertama desidui rahang bawah, gigi molar kedua desidui rahang bawah, gigi molar pertama desidui rahang atas dan molar kedua desidui rahang atas. indri kurniasih, permasalahan-permasalahan yang menyertai erupsi gigi 56 gambar 4. gigi premolar ke-2 permanen kanan pada rahang bawah yang mengalami ankylosis. ankylosis dapat memicu terjadinya (a) kehilangan panjang lengkung, (b) ekstrusi pada gigi yang berada dilengkung yang berseberangan, (c) gangguan terhadap urutan erupsi gigi.8 2. eruption cyst merupakan suatu variasi dari kista dentigerous yang mengelilingi gigi yang sedang erupsi. kista ini seringkali terlihat secara klinis sebagai suatu lesi kebiru-biruan, translusen, elevasi, dapat ditekan, asymptomatik, lesi berbentuk kubah (dome-shape) dari alveolar ridge yang dihubungkan dengan suatu erupsi gigi permanen ataupun erupsi gigi desidui. kista erupsi memperlihatkan suatu pembengkakan yang halus menutupi gigi yang erupsi, dengan warna berbeda dari gingival normal. terkadang sakit , tidak mengalami infeksi, lembut dan berfluktuasi. kista bisa seringkali pecah secara spontan pada saat erupsi gigi, namun trauma pada kista ini bisa menghasilkan perdarahan sehingga terjadi perubahan warna dan timbul rasa sakit. 9 gambar 5. eruption cyst yang menyertai proses erupsi gigi insisivus lateral permanent kanan rahang atas. 57 mutiara medika vol. 8 no. 1:52-59, januari 2008 3. eruption hematoma adalah suatu lesi kebiru-biruan, buram, lesi asymptomatic yang melapisi gigi yang sedang erupsi. bengkak terjadi dalam kaitannya dengan terjadinya akumulasi darah, cairan jaringan, yang terjadi dalam follicular kantung yang meluas di sekitar erupsi mahkota.10 gambar 6. eruption hematoma yang menyertai proses erupsi gigi insisivus lateral permanen kiri rahang atas. 4. ectopic eruption: suatu keadaan yang biasanya terlihat ketika gigi permanent mulai menggantikan gigi desidui pada usia sekitar 6 tahun. merupakan erupsi yang abnormal dari suatu gigi permanen dalam hal ini gigi ke luar dari jalur normal dan menjadi penyebab resorbsi abnormal suatu gigi desidui yang akan diganti. sering terlihat adanya dua jalur gigi pada area anterior rahang bawah. gigi incisivus permanent tumbuh dibelakang gigi insisivus desidui.10 ectopic eruption mungkin berhubungan dengan salah satu dari tiga proses yang berbeda : gangguan perkembangan, proses patologis, dan aktifitas iatrogenic. etiologi dari gigi ektopik tidaklah diketahui. interaksi jaringan yang abnormal selama perkembangan mungkin berpotensi mengakibatkan perkembangan gigi dengan erupsi ektopik.7 gambar 7. gigi insisivus lateral permanent kiri rahang bawah tumbuh di belakang gigi insisivus lateral desidui kiri rahang bawah indri kurniasih, permasalahan-permasalahan yang menyertai erupsi gigi 58 etiologi dari erupsi ektopik suatu maxillary permanen geraham pertama tidaklah dengan jelas dipahami meskipun demikian satu atau lebih kondisi-kondisi berikut mungkin terkait dengan hal tersebut: a) akibat dari ukuran molar pertama permanen dan atau gigi molar kedua desidui lebih besar dari normalnya b) gigi bererupsi pada suatu sudut abnormal terhadap dataran oklusal c) pertumbuhan tuberositas terlambat, menghasilkan panjang lengkung yang abnormal d) morfologi dari permukaan distal mahkota gigi molar kedua desidui dan akar memberikan hambatan erupsi sehingga terjadi abnormalitas kemiringan gigi permanen molar pertama.8 perawatan 1. perawatan pada ankylosis mungkin melibatkan penempatan suatu mahkota stainless steel di atas gigi yang mengalami ankylosis untuk mempertahankan dimensi mesio-distal dan mencegah supra erupsi dari gigi yang berada pada lengkung yang berlawanan. gigi desidui yang mengalami ankylosis haruslah diobservasi dengan seksama dan diekstraksi jika terjadi over retensi dan menyebabkan terlambatnya erupsi gigi penggantinya.10 2. kista erupsi seringkali paling baik dibiarkan agar pecah secara spontan. pembedahan hanya diindikasikan jika gigi mengalami kegagalan erupsi.6 3. erupsi hematoma : dapat dibedakan dari suatu eruption cyst dengan pemeriksaan transilumination. perawatan tidaklah diindikasikan, selama eruption hematoma dapat pecah dan keluar pada saat gigi menembus gingiva. walaupun incisi kadang-kadang dilakukan untuk memudahkan erupsi.10 4. ectopic eruption : self-corrective (jump-type), 66% dari kasus ectopic eruption gigi molar akhirnya dapat erupsi pada posisi seharusnya tanpa melalui perawatan korektif. metode perawatan dapat bervariasi berdasarkan pemeriksaan klinis, tergantung dari hambatan dan analisa ruang. perawatan pada ectopic eruption gigi molar permanen bertujuan untuk membebaskan gigi molar permanen dari hambatan dan memberikan pedoman erupsi bagi gigi tersebut. pada beberapa kasus, gigi molar kedua desidui diekstraksi; gigi molar permanen dapat erupsi dan kemudian bergerak ke distal menuju posisi normal. beberapa metode yang digunakan adalah dengan brass ligature wire, stainless steel crown , humphrey appliance , dan helical spring.10 kesimpulan erupsi gigi merupakan suatu proses yang melibatkan banyak faktor . erup si gigi merupakan salah satu fase kritis dari kelangsungan pertumbuhan dan fungsi gigi di dalam rongga mulut. selama proses erupsi terjadi pengrusakan dan perbaikan jaringan sebagai suatu proses fisiologis yang normal. namun bukan berarti tidak akan ada permasalahan yang timbul dari proses tersebut. ankylosis, eruption cyst, ectopic eruption , dan eruption hematoma merupakan permasalahan-permasalahan yang sering menyertai proses erupsi gigi. berdasarkan uraian di atas seorang dokter gigi perlu memiliki pemahaman yang mendalam tentang proses erupsi dan permasalahan yang sering menyertai proses tersebut. mengenali penyebab dan gejala klinis suatu problem/penyakit merupakan salah satu pedoman untuk dapat menetapkan diagnosa dan membuat keputusan yang tepat terhadap tindakan perawatan yang diperlukan bagi pasien. 59 mutiara medika vol. 8 no. 1:52-59, januari 2008 daftar pustaka 1. gomella, l. g., and haist, s. a.,2003, clinician’s pocket reference, mcgrawhill professional, p. 13 2. avery, j. k., et.al., 2001, oral development and histology, thieme, pp. 123, 125, 127, 138 3. melfi, r. c., and alley, k. e., 2000, permar ’s oral embryology and microscopic anatomy, tenth edition, lippincott williams & wilkins, p.265 4. david, c.,2003, rudolph’s pediatric, mcgrawhill professional, p.1283 5. mc.donald re,dds.ms.lld and avery dr,dds,msd, 1994, dentistry for the child and adolescent, 6th ed., mosby st.louise, missouri. 6. shear, m and speight, p, 2007, cyst of the oral and maxillofacial region , blackwell publishing, pp. 76-77 7. wise, g. e,, et al., 2002, cellular, molecular, and genetic determinats of tooth eruption 13(4):323-335 crit rev oral biol med http:// crobm.iadrjournals.org/misc/ 8. sculy, c., et. al., 2002, a color atlas of orofacial health and disease in children and adolescent : diagnosis and management, taylor & francis, pp. 173, 193 9. lalwani, a. k., 2007, current diagnosis and treatment in otolaringology: head and neck surgery, lippincott williams & wilkins, p. 378 10. baker, r. c., 2001, pediatric primary care : iiichild care , lippincott williams & wilkins, pp. 59-60 7 pengaruh ekstrak etanol bawang merah (allium cepa l) terhadap kadar kolestrol total tikus (rattus norvegicus) effect of ethanol extracts of onion (allium cepa l) against total cholesterol levels of the rat (rattus norvegicus) cita auli nisa1, linda rosita2 1 fakultas kedokteran universitas islam indonesia 2 departemen patologi klinik fakultas kedokteran universitas islam indonesia email : lindarosita25@yahoo.co.id abstract the purpose of this study was to determine the optimal dosage of 70% ethanol extract of red onion bulbs that effectively lower total cholesterol rats given high fat diet. this study is an experimental laboratory. thirty male wistar rats with 170-250gr weight divided five groups, group i: control, group ii: 30mg/200g bw dose of garlic extract, group iii: 60mg/200g bw dose of garlic extract, group iv: 120mg/200g bb dose of garlic extract, and group v: positive control, were given doses of 0.72 mg/200g bw simvastatin suspension. all groups were given high fat diet alone for 7 days to increase total cholesterol. measurement of serum total cholesterol by chod-pap method performed before treatment on day 0, on the 8th day after administration of high-fat diet for 7 days, and on the 16th day after administration of high-fat diet and ethanol extract of red onion over 7 days from the 9th until the 15th day. the results were tested statistically by paired t test. concluded that 70% ethanol extract of red onion (allium cepa l.) with a dose of 600 mg / kg or 120 mg/200 gbb equivalent statistically significant lower serum total cholesterol levels of rats (rattus norvegicus) wistar male. key words : red onion, total cholesterol level, rattus norvegicus abstrak tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dosis ekstrak etanol 70% umbi bawang merah yang efektif menurunkan kadar kolesterol total tikus diberi diet lemak tinggi. penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorium. tigapuluh tikus wistar jantan dengan 170250gr berat badan dibagi lima kelompok, kelompok i: kontrol, kelompok ii: 30mg/200g bb dosis ekstrak bawang, kelompok iii: 60mg/200g bb dosis ekstrak bawang, kelompok iv : 120mg/200g bb dosis ekstrak bawang, dan kelompok v: kontrol positif, diberi dosis 0,72 mg/200g bb suspensi simvastatin. semua kelompok diberi diet lemak tinggi saja selama 7 hari untuk meningkatkan kadar kolesterol total. pengukuran kadar kolesterol total serum dengan metode chod-pap dilakukan sebelum perlakuan pada hari ke-0, pada hari ke-8 setelah pemberian diet lemak tinggi selama 7 hari, dan pada hari ke-16 setelah pemberian diet lemak tinggi dan ekstrak etanol bawang merah selama 7 hari dari hari ke-9 sampai hari ke-15. hasil penelitian diuji statistik dengan uji t berpasangan. disimpulkan bahwa ekstrak etanol 70% bawang merah (allium cepa l.) dengan dosis sebesar 600 mg/kg bb atau setara 120 mg/200 gbb secara statistik bermakna menurunkan kadar kolesterol total serum tikus (rattus norvegicus) galur wistar jantan. kata kunci: bawang merah, kadar kolestrol total, rattus norvegicus 1 2 mutiara medika vol. 10 no. 1:07-15, januari 2010 8 pendahuluan sebagai dampak positif dari pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam kurun waktu 60 tahun merdeka, pola penyakit di indonesia mengalami pergeseran yang signifikan. perubahan pola penyakit tersebut diduga berhubungan dengan gaya hidup masyarakat sekarang yang juga berubah. 1 perubahan gaya hidup menjadi pola hidup berisiko menyebabkan kekerapan manusia untuk terjangkit gangguan metabolisme. salah satu bentuk gangguan metabolisme adalah dislipidemia yang didefinisikan sebagai peningkatan salah satu atau lebih jenis lipid yaitu kolesterol ataupun ester kolesterol, trigliserid, fosfolipid, dan asam lemak. diantara jenis lipid serum, kolesterol adalah yang paling sering dianggap sebagai lipid yang bertanggung jawab dalam pembentukan aterosklerosis.2 data dari penelitian percobaan intervensi berbagai faktor risiko (multiple risk factor intervention trial) dan penelitian framingham menunjukkan bahwa risiko cad mulai naik secara agak tajam dan linear dengan kadar kolesterol darah total diatas 200mg/dl. data epidemiologis terkini juga menyebutkan bahwa hipekolesterolemia merupakan faktor risiko untuk stroke iskemik sehingga advokasi untuk terapi penurunan kadar lipid secara agresif kini digalakkan guna mencegah peningkatan kejadian stroke.3 pilihan terapi untuk dislipidemia adalah perubahan gaya hidup yang diikuti medikasi. namun, perubahan diet dan latihan jasmani saja tidak cukup berhasil mencapai target sehingga disarankan untuk memberi obat bersama dengan perubahan gaya hidup.4 namun mahalnya harga obat membuat orang pasrah karena tidak mampu membelinya. selain mahal, obat kimia juga memiliki efek samping yang tidak ringan. maka dipilih cara yang lebih murah yaitu pengobatan alternatif secara tradisional dengan obat herbal melalui pemanfaatan bahan alam yang relatif tidak memiliki efek samping dan mudah dibudidayakan sendiri.5 salah satu tanaman herbal yang dipercaya berkhasiat obat adalah bawang merah (allium cepa l.). hasil penelitian membuktikan bahwa hampir 80 persen dari total antioksidan dalam buah dan sayuran berasal dari flavonoid. bawang merah merupakan sumber yang baik dari polifenol antioksidan karena kandungan flavonoidnya yang tinggi. senyawa flavonoid yang terdapat pada sayuran dan buah dipercaya sebagai antioksidan yang berfungsi sebagai penangkap anion superoksida, lipid peroksida radikal, kuensing oksigen singlet, dan pengkelat logam. dalam sebuah penelitian, efek ekstrak etanol daun sambung nyawa (gynura procumbens) secara signifikan menurunkan kadar kolesterol total dan trigliserida serum tikus karena kandungan flavonoidnya.6,7,8 bawang merah yang merupakan spesies alium cepa l. adalah nama tanaman dari familia lilliaceae. tanaman ini termasuk sayuran golongan umbi dan merupakan herba semusim. bawang merah menyediakan sekitar 29% dari flavonoid yang diperlukan tubuh sekaligus membuktikan bahwa bawang merah merupakan sumber polifenol antioksidan yang baik. dalam survey terhadap 29 sayuran dan buah-buahan, bawang merah menduduki peringkat tertinggi kandungan kuersetin. kuersetin (3’,4’-dihidroksiflavonol) merupakan senyawa flavonoid dari kelompok flavonol dan diindikasikan sebagai fitokimia flavonoid yang mempunyai kemampuan antioksidan paling kuat.6,9,10 agar dapat digunakan dalam praktek sehari-hari maka obat herbal perlu diekstraksi dan dibuat sediaan fitofarmaka atau dimurnikan agar diperoleh zat murni untuk meningkatkan keselektifan pengobatan, memudahkan standardisasi bahan obat, serta mengurangi pengaruh musim tempat asal terhadap efeknya. ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dari mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau hewani dengan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang ditetapkan.11 cita auli nisa, linda rosita, pengaruh ekstrak etanol ... 9 mutiara medika vol. 10 no. 1:07-15, januari 2010 farmakope indonesia menetapkan untuk proses penyarian, larutan penyari yang digunakan adalah air, eter, dan etanol. metode dasar penyarian yang dapat digunakan adalah maserasi, perkolasi, dan penyarian dengan soxhlet. maserasi adalah cara ekstraksi yang paling sederhana dan paling tepat terutama untuk zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari.12 tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ekstrak etanol 70% umbi bawang merah mempunyai efek menurunkan kadar kolesterol total dan mengetahui dosis ekstrak etanol 70% umbi bawang merah yang efektif dalam menurunkan kadar kolesterol tikus diberi diet lemak tinggi. bahan dan cara jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimental murni dengan desain penelitian pretest-posttest dengan kelompok kontrol (pretest-posttest with control group) yaitu dilakukan randomisasi pada kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. dilakukan pengukuran awal (baseline) pada kedua kelompok, diikuti oleh intervensi pada kelompok uji coba. setelah beberapa waktu dilakukan posttest atau pengukuran setelah intervensi pada kelompok tersebut.13 subjek penelitian adalah tikus putih galur wistar (rattus norvegicus) jantan umur 2-3 bulan dengan berat badan antara 170250 gram, yang diperoleh dari laboratorium farmakologi jurusan farmasi fakultas mipa universitas islam indonesia. jumlah hewan percobaan adalah 30 ekor. bahan uji yang digunakan adalah ekstrak etanol 70% bawang merah (allium cepa l.) dengan konsentrasi 14,5 mg/2 ml, 29 mg/2 ml, dan 58 mg/2 ml yang pembuatannya dilakukan di laboratorium biologi jurusan farmasi fakultas mipa universitas islam indonesia. obat antikolesterol oral yang digunakan sebagai bahan pembanding yaitu tablet simvastatin yang merupakan obat generik dengan dosis,72 mg/2 ml larutan na-cmc 0,5% atau 0,36 mg/ml larutan na-cmc 0,5%. sampel berupa serum yang berasal dari darah tikus galur wistar (rattus norvegicus) yang diambil dengan cara menusukkan tabung mikrohematokrit ke bagian medial mata (sinus orbitalis) tikus. tikus yang akan diambil darahnya dipuasakan terlebih dahulu selama 12 jam, dengan cara tidak diberi makan tetapi masih diberi minum ad libitum. bawang merah diambil dari kecamatan rejondani, kabupaten sleman, yogyakarta. umbi bawang merah yang digunakan adalah umbi yang siap panen yakni yang telah cukup umur berusia sekitar 60 hst (hari setelah tanam) ditandai dengan daun yang telah menguning. terlebih dahulu dilakukan determinasi terhadap umbi bawang merah dengan berpedoman pada buku ‘flora of java’. pembuatan ekstrak etanol 70% bawang merah dilakukan dengan metode maserasi. determinasi dan ekstraksi dilakukan di laboratorium biologi farmasi fakultas mipa universitas islam indonesia. hewan coba dipelihara dalam kandang plastik dengan tutup kawat strimin, tiap kandang berisi 1 ekor tikus, diberi makan pakan br ii dicampur lemak sapi 10% dan minum secukupnya. pembuatan diet lemak tinggi dilakukan di laboratorium teknologi farmasi fakultas mipa uii dengan cara lemak sapi cair ditimbang +100 gram dicampur dengan pakan standar hingga mencapai 1 kg pakan, kemudian diaduk hingga homogen. pemberian minum tikus dilakukan secara ad libitum. tiap kelompok terdiri dari 6 ekor tikus jantan galur wistar (rattus norvegicus) dan secara keseluruhan terdiri dari 5 kelompok. perlakuan terhadap kelompok adalah : kelompok i: kelompok tikus diet lemak tinggi dengan pemberian aquadest saja sebagai kontrol negatif, dengan pemberian aquadest sebanyak 1 kali. kelompok ii: : kelompok tikus diet lemak tinggi dengan fraksi etanol bawang merah dosis 14,5 mg/2 ml (setara dengan dosis 30 mg/200 gbb). kelompok iii: kelompok tikus diet lemak tinggi dengan fraksi etanol bawang merah dosis 29 mg/2 ml (setara dengan dosis 60 mg/200 gbb). kelompok iv: kelompok tikus diet lemak tinggi dengan fraksi etanol bawang merah dosis 58 mg/2 ml (setara dengan dosis 120 mg/200 gbb). kelompok v: kelompok tikus diet lemak tinggi dengan 10 suspensi simvastatin dosis 8,7 mg/2 ml (setara dengan dosis 0,72 mg/200 gbb) sebagai kontrol positif. sebelum pemberian perlakuan ekstrak tikus diberi diet lemak tinggi saja selama 7 hari untuk meningkatkan kadar kolesterol total. data-data yang diambil selama proses penelitian berupa berat badan tikus, berat sisa pakan, serta kondisi feses untuk mengontrol kondisi kesehatan tikus. penimbangan berat badan tikus dilakukan setiap minggu sedangkan penimbangan berat sisa makanan dan kondisi feses dilakukan setiap hari. pengukuran kadar kolesterol total serum dengan metode chod-pap dilakukan sebelum perlakuan pada hari ke-0, pada hari ke-8 setelah pemberian diet lemak tinggi selama 7 hari, dan pada hari ke-16 setelah pemberian diet lemak tinggi dan ekstrak etanol bawang merah selama 7 hari dari hari ke-9 sampai hari ke-15. hasil hewan uji dalam penelitian ini adalah tikus galur wistar jantan. pemilihan galur menggunakan galur wistar karena galur wistar tergolong lebih stabil juga lebih murah dibandingkan galur lain. tikus jantan digunakan karena secara biologis lebih menguntungkan dan tikus jantan tidak terkait faktor hormonal sehingga tidak mengalami daur estrogen, periode kehamilan, dan menyusui yang dapat mengganggu aktivitas penelitian. tikus yang digunakan berusia 2-3 bulan karena pada usia tersebut pertumbuhan tikus masih dalam tahap optimal yaitu dengan kemampuan metabolisme dan fungsi organ masih normal sehingga diharapkan mempermudah dalam proses penggemukan dan peningkatan serta pengamatan kadar kolesterol total. hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 30 ekor yang dibagi menjadi 5 kelompok, tiap kelompok terdiri atas 6 ekor tikus. pengelompokan dilakukan dengan metode acak, lengkap, dan searah. acak artinya hewan uji dipilih secara acak, lengkap berarti setiap hewan uji mendapatkan kesempatan yang sama, sedangkan searah artinya hewan uji mendapat satu perlakuan. kelompok i hanya diberi aquades dan digunakan sebagai kontrol negatif untuk melihat respon normal tikus akibat pemberian diet lemak tinggi. kelompok ii, iii, dan iv diberi ekstrak etanol 70% bawang merah, masing-masing dengan dosis 30 mg/200 gbb, 60 mg/200 gbb, dan 120 mg/200 gbb. kelompok v diberi suspensi simvastatin dosis 0,72 mg/200 gbb dan digunakan sebagai kontrol positif untuk melihat pengaruh obat pembanding terhadap kadar kolesterol total serum tikus. berat badan diukur secara berkala untuk melihat dan mengontrol status kesehatan tikus. pada penelitian ini digunakan tikus dengan rentang berat badan antara 170-250 g. rata-rata berat badan tikus setelah pemberian diet lemak tinggi selama 7 hari tanpa pemberian perlakuan ekstrak mengalami kenaikan. rata-rata berat badan tikus sebelum perlakuan (hari ke0) pada masing-masing kelompok dari kelompok i sampai v adalah 225; 201,67; 206,83; 209,5; 195,67 gram. rata-rata berat badan tikus setelah pemberian deit lemak tinggi selama 7 hari pada masing-masing kelompok secara berurutan dari kelompok i hingga v adalah 271,33; 248,5; 241,33; 259,5; 237,67 gram. rata-rata berat badan tikus pada hari ke-16 meningkat dibandingkan ratarata berat badan tikus pada hari ke-8. penurunan hanya terjadi pada kelompok i yaitu kelompok kontrol negatif, tetapi penurunannya hanya sedikit. rata-rata berat badan tikus pada hari ke-16 yaitu setelah pemberian bahan uji berupa ekstrak adalah 269,33; 263,83; 255; 282,83; 257,33 gram. selain berat badan, kontrol terhadap status kesehatan hewan uji juga berdasarkan indikator kesehatan tikus yang mudah dilakukan yaitu dengan mengamati feses dan menimbang berat sisa makanan. pengamatan dilakukan terhadap konsistensi dan warna feses. baik pengamatan terhadap feses maupun penimbangan berat sisa makanan dilakukan setiap hari. setiap tikus diberi pakan berupa campuran lemak sapi 10% dan pakan standar dengan berat 30 gram setiap harinya sejak hari pertama hingga hari ke-15. ratarata berat sisa makanan tikus setiap harinya dapat dilihat pada tabel 1. cita auli nisa, linda rosita, pengaruh ekstrak etanol ... 11 mutiara medika vol. 10 no. 1:07-15, januari 2010 tabel 1. rata-rata berat sisa pakan tikus selama 15 hari (gram) kontrol negatif ekstrak 30mg/200gbb ekstrak 60mg/200gbb ekstrak 120mg/200gbb kontrol positif sisa pakan 19,01±1,72 11,88±4,03 14,55±1,68 11,36±5,19 9,94±2,98 rata-rata berat sisa pakan selama 15 hari tertinggi ada pada kelompok i yang merupakan kelompok kontrol negatif dengan rata-rata berat sisa pakan sebesar 19,01 gram. disusul oleh kelompok iii, ii, iv, dan v dengan rata-rata berat sisa pakan masing-masing sebesar 14,55; 11,88; 11,35; 9,94 gram. hasil pengamatan terhadap warna dan konsistensi feses menunjukkan bahwa selama proses penelitian semua tikus tidak mengalami diare. kondisi feses tikus hingga akhir penelitian pada hari ke-16 tampak normal dan tidak ada yang mengeluarkan feses cair. warna hitam kecoklatan terjadi akibat pengaruh pemberian diet lemak tinggi. bisa dikatakan bahwa pemberian diet lemak tinggi dan ekstrak etanol 70% bawang merah ini tidak mengganggu metabolisme dan pencernaan tikus, sehingga dapat disimpulkan bahwa semua tikus setelah perlakuan tetap dalam keadaan sehat. kadar kolesterol total serum tikus diukur sebanyak 3 kali yaitu pada hari ke-0 sebelum diberi perlakuan apapun, pada hari ke-8 setelah pemberian diet lemak tinggi selama 7 hari, dan pada hari ke-16 setelah perlakuan dengan pemberian ekstrak etanol 70% umbi bawang merah untuk kelompok perlakuan serta suspensi simvastatin untuk kelompok kontrol positif. tabel 2. kadar kolesterol total serum tikus pada hari ke-0, hari ke-8, dan hari ke-16 (mg/dl) hari kekontrol negatif ekstrak 30mg/200gbb ekstrak 60mg/200gbb ekstrak 120mg/200gbb kontrol positif 0 119,17 ±28,35 88,33±25,56 108,00±22,57 63,00±12,20 62,67±9,71 8 151,83±56,73 128±27,25 142,83±25,86 135,50±20,42 131,67±22,17 16 88,33±22,24 102,67±14,07 116±27,70 97±17,38 80,67±11,50 gambar 1. rerata kadar kolesterol total serum tikus pada hari ke-0, hari ke-8, dan hari ke-16 pada kelompok i (kontrol negatif), ii (ekstrak bawang 30mg/200g bb, iii (ekstrak bawang 60mg/200g bb), iv (ekstrak bawang 120mg/200g bb dan v (kontrol positif dengan simvastatin) ka da r ko le st er ol to ta l ( m g/ dl ) kelompok penelitian 12 cita auli nisa, linda rosita, pengeruh ekstrak etanol ... warna merah menggambarkan besarnya penurunan rata-rata kadar kolesterol total serum tikus setelah perlakuan ekstrak. kelompok i mengalami penurunan rata-rata kadar kolesterol total paling besar yaitu sebesar 63,5 mg/dl, diikuti oleh kelompok v, iv, ii, ii, dan i. kadar kolesterol total pada keempat kelompok tersebut masing-masing turun sebesar 51; 38,5; 26,83; 25,33 mg/dl. perubahan kadar kolesterol total kemudian diuji secara statistik dengan menggunakan uji t berpasangan (paired t-test) untuk mengetahui apakah perubahan kolesterol total pada masing-masing kelompok signifikan. syarat untuk uji ini adalah sebaran data harus normal sehingga tahap pertama dilakukan uji normalitas dengan menggunakan kolmogorov-smirnov untuk menentukan apakah data tersebar normal. sebaran data dikatakan normal bila nilai p lebih besar dari 0,05 (p>0,05). hasil uji normalitas menujukkan bahwa distribusi data baik untuk selisih kadar kolesterol total hari ke-8 dan ke-0 serta selisih kadar kolesterol total hari ke-16 dan hari ke-8 adalah normal dengan nila p >0,05. oleh karena itu, dapat digunakan uji t berpasangan (paired t-test). perubahan kadar kolesterol total dikatakan signifikan gambar 1. menggambarkan perbedaan kadar rata-rata kolesterol total serum masingmasing kelompok pada hari ke-0, hari-8, hari16. diagram paling kiri menunjukkan kadar sebelum diberi perlakuan apapun, tengah menunjukkan kadar setelah pemberian diet lemak tinggi selama 7 hari, sedangkan paling kanan menunjukkan kadar setelah perlakuan ekstrak. pemberian diet lemak tinggi menyebabkan peningkatan kadar kolesterol total pada seluruh kelompok, sedangkan pemberian perlakuan ekstrak menyebabkan penurunan kadar kolesterol total serum tikus. penurunan tersebut juga terjadi pada kelompok i yang merupakan kelompok kontrol negatif yang tidak diberi apapun. -80 -60 -40 -20 0 20 40 60 80 i ii iii iv v d1 d2 gambar 2. perubahan kadar kolesterol total serum tikus setelah pemberian diet lemak tinggi dan setelah perlakuan ekstrak (mg/dl). keterangan = d1: selisih ratarata kadar kolesterol total hari ke-8 dan hari ke-0 (rata-rata kadar kolesterol total hari ke-8 dikurangi rata-rata kadar kolesterol total hari ke-0), d2: selisih rata-rata kadar kolesterol total hari ke-16 dan hari ke-8 (rata-rata kadar kolesterol total hari ke-16 – rata-rata kadar kolesterol total hari ke-8) ka da r ko le st er ol to ta l ( m g/ dl ) kelompok penelitian gambar 2. di atas menggambarkan seberapa besar perubahan rata-rata kadar kolesterol total serum tikus pada semua kelompok. warna abu-abu menunjukkan seberapa besar peningkatan kolesterol setelah pemberian diet lemak tinggi. peningkatan rata-rata kadar kolesterol total setelah pemberian diet lemak tinggi paling tinggi terjadi pada kelompok iv, yakni kadarnya meningkat sebesar 72,5 mg/ dl. selanjutnya berturut-turut diikuti oleh kelompok v, ii, iii, dan i masing-masing sebesar 69; 39,67; 34,83; 32,67 mg/dl. 13 mutiara medika vol. 10 no. 1:07-15, januari 2010 apabila nilai p<0,05. hasil uji t berpasangan untuk perubahan kadar kolesterol total hari ke-0 dan ke-8 (d1) hasil uji t berpasangan untuk perubahan kadar kolesterol total hari ke-8 dan ke-16 (d2) dapat dilihat pada tabel 3. kelompok nilai p d1 d2 kontrol negatif 0,086 0,016* perlakuan 30mg/200g bb 0,078 0,075 perlakuan 60mg/200g bb 0,007* 0,102 perlakuan 120mg/200g bb 0,001* 0,016* kontrol positif 0,003* 0,008* keterangan = * signifikan (p<0,05) rata-rata kadar kolesterol total hari ke-8 tersebut meningkat pada seluruh kelompok bila dibandingkan dengan rata-rata kadar kolesterol total hari ke-0. peningkatan ini signifikan secara statistik dengan nilai p sebesar 0,004 (p<0,05). hal ini menunjukkan bahwa peningkatan ratarata kadar kolesterol dengan pemberian diet lemak tinggi berupa lemak sapi 10% yang dicampurkan ke dalam pakan standar untuk seluruh kelompok signifikan. setelah dilakukan uji t berpasangan untuk selisih kadar kolesterol total hari ke-8 dan hari ke-0 pada setiap kelompok maka peningkatannya hanya signifikan pada kelompok iii, iv, dan v, sedangkan kelompok i dan ii tidak meningkat dengan signifikan. hasil uji oneway anova untuk peningkatan kadar kolesterol total hewan uji setelah pemberian diet lemak tinggi selama 7 hari adalah sebesar 0,101 (p>0,05) artinya tidak signifikan. dengan kata lain peningkatan kadar kolesterol dengan pemberian lemak sapi 10% selama 7 hari tidak berbeda signifikan. hal ini dimungkinkan karena jumlah pakan yang dikonsumsi setiap hewan uji setiap harinya bervariasi. oleh karena itu, metode pemberian lemak seharusnya dilakukan secara per oral dengan penyondean untuk memastikan hewan uji mengkonsumsi lemak dengan jumlah yang sama setiap hari. diskusi rata-rata kadar kolesterol tikus hari ke-16 menurun secara signifikan bila dibandingkan dengan rata-rata kadar kolesterol tikus hari ke-8. namun penurunan paling besar terjadi justru pada kelompok i yang merupakan kelompok kontrol negatif yang tidak diberi pengobatan apapun dan hanya diberi aquades. penurunan pada kelompok kontrol negatif dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. kondisi dari tikus itu sendiri maupun faktor lingkungan juga bisa berpengaruh. misalnya selama perlakuan hewan coba, tikus mengalami stress atau telah mengalami kelelahan dalam mengikuti jalannya penelitian yang mempengaruhi metabolisme hewan uji. keadaan kandang hewan uji yang tidak kondusif juga mungkin bisa menimbulkan masalah bagi hewan coba sehingga mempengaruhi kadar kolesterol dalam darah. penurunan kadar kolesterol kelompok i juga dapat diakibatkan hewan uji pada kelompok tersebut yang berhenti atau hanya sedikit memakan diet lemak tinggi bila dibandingkan kelompok lain. hal ini dapat dilihat pada tabel berat sisa pakan per hari, hewan uji pada kelompok i ratarata menyisakan 19,01 gram per harinya. rata-rata sisa pakan ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata sisa pakan hewan uji pada kelompok lain. penurunan kadar kolesterol total untuk masing-masing kelompok secara statistik hanya signifikan pada kelompok i, iv, dan v. kelompok ii dan iii tidak tabel 3. hasil uji t berpasangan untuk perubahan kadar kolesterol total hari ke-0 dan ke-8 (d1) dan hari ke-8 dan ke-16 (d2) 14 signifikan. penurunan masing-masing kelompok tidak signifikan bila dibandingkan kelompok kontrol positif dan kelompok kontrol negatif. kemungkinan ini diakibatkan waktu pemberian perlakuan ekstrak yang kurang lama sehingga penurunan yang terjadi belum terlihat nyata. oleh karena itu, mungkin dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk menimbulkan efek terapi yang berbeda signifikan antar dosis. terlebih bila melihat efek penurunan kadar kolesterol total simvastatin sebagai kontrol positif yang tidak berbeda signifikan bila dibandingkan dengan kelompok lain. padahal simvastatin merupakan obat antikolesterol yang telah terbukti mampu menurunkan kadar kolesterol darah. dari hasil uji statistik tersebut didapatkan hasil hanya perlakuan ekstrak dengan dosis terbesar yaitu 120 mg/200 gbb atau setara dengan 600 mg/kg bb yang secara signifikan berhasil menurunkan kadar kolesterol total serum. dosis ini berbeda dengan penelitian ozougwu and eyo (2010).14 dari afrika selatan yang meneliti efek hipolipidemik ekstrak air allium cepa, allium sativum, dan zingiber officinale pada tikus diabetik yang terinduksi aloksan monohidrat. selama 6 minggu, tikus diabetik diberi ketiga ekstrak tersebut. hasilnya ketiga bahan uji efektif menurunkan kadar lipid serum pada dosis 300 mg/kg bb atau setara dengan 60 mg/200 gbb. allium cepa dengan dosis tersebut merupakan bahan uji yang paling efektif dalam menurunakan kadar lipid total serum diikuti oleh allium sativum dengan dosis yang sama. keduanya lebih efektif menurunkan kadar lipid total serum pada tikus diabetik bila dibandingkan glibenklamid 5 mg/kg bb. hasil penelitian menunjukkan bahwa allium cepa mampu menurunkan kadar lipid total serum sebesar 44%. kadar kolesterol total serum hewan uji paling efektif diturunkan oleh allium sativum yang mampu menurunkan kadar kolesterol total sebesar 39,8%. disusul oleh allium cepa dan zingiber officinale yang berhasil menurunkan kadarnya sebesar 27,2% dan 16,1%. peneliti menyimpulkan bahwa ekstrak air ketiganya mempunyai efek hipolidemik yang mampu memberikan mekanisme proteksi terhadap perkembangan aterosklerosis dan komplikasi hiperlipidemia pada kondisi diabetik. namun dalam penelitian ini tidak diteliti jenis kandungan dalam ketiga agen tersebut yang mempunyai efek hipolipidemik. efek protektif allium cepa dalam mencegah lesi aterosklerosis juga diteliti oleh lata et al.(1991). dari india.15 para peneliti tersebut membagi tikus ke dalam 5 kelompok yang masing-masing diberi aquades saja sebagai kontrol normal, diet aterogenik saja sebagai kontrol negatif, diet aterogenik dan ekstrak petroleum eter allium sativum dengan dosis 1 gram/kg bb, diet aterogenik dan ekstrak petroleum eter allium cepa dengan dosis 2 gram/kg bb, serta diet aterogenik dan ekstrak etil asetat commiphora mukul dengan dosis 200 mg/kg bb. semuanya diberikan selama 5 hari. ketiga ekstrak mampu mencegah peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida serum juga memiliki efek protektif terhadap perkembangan lesi aterosklerotik pada tikus yang diinduksi oleh diet aterogenik. secara statistik, potensi sebagai profilaksis hiperlipidemia dan aterosklerosis tersebut paling besar dimiliki oleh allium sativum kemudian allium cepa dan commiphora mukul. peneliti dari universitas padjadjaran menemukan kandungan antioksidan yang tinggi dalam bawang merah. soebagio dkk membuktikan bahwa bawang merah atau allium cepa mempunyai aktivitas antioksidan sebesar 1/17 kali dibandingkan vitamin c dengan ic50 sebesar 95,995 bpj. antioksidan merupakan senyawa yang secara nyata dapat memperlambat oksidasi walaupun dengan konsentrasi lebih rendah dibandingkan dengan substrat yang dioksidasi sekalipun. senyawa-senyawa antioksidan, baik endogen maupun eksogen, dapat mencegah oksidasi lipid dan biomolekul tubuh lain yang merupakan titik awal berkembangnya berbagai macam penyakit degeneratif . soebagio dkk juga melakukan skrining fitokimia ekstrak etanol 70% umbi bawang merah. dari hasil skrining tersebut diketahui bahwa ekstrak allium cepa mengandung senyawa flavonoid, alkaloid, polifenol, seskuiterpenoid, monoterpenoid, cita auli nisa, linda rosita, pengeruh ekstrak etanol ... 15 mutiara medika vol. 10 no. 1:07-15, januari 2010 steroid, triterpenoid, dan kuinon. flavonoid merupakan senyawa yang dapat berfungsi sebagai penangkap anion superoksida, lipid peroksida radikal, kuensing oksigen singlet, dan pengkelat logam.7 kesimpulan ekstrak etanol 70% bawang merah (allium cepa l.) dengan dosis 600 mg/kg bb atau setara 120 mg/200 gbb secara statistik bermakna menurunkan kadar kolesterol total serum tikus putih (rattus norvegicus) galur wistar jantan. daftar pustaka 1. suyono, s. 2006. diabetes melitus di indonesia. dalam: sudoyo, dkk. buku ajar ilmu penyakit dalam jilid iii. jakarta: departemen penyakit dalam fkui. 2. murray, r. k., granner, d. k., mayes, p. a., dan rodwell, v. w. 2003. biokimia harper. ed 25. jakarta: egc. 3. gorelick, p. b., schneck, m., berglund, l.f., feinberg, w., and goldstone j.,. 1997. status of lipids as a risk factor for stroke. neuroepidemiology. volume 16. 107-115. 4. soegondo dan gustaviani. 2006. sindrom metabolik. dalam: sudoyo, dkk. buku ajar ilmu penyakit dalam jilid iii. jakarta: departemen penyakit dalam fkui. 5. winarto, w. p. 2003. sambung nyawa. jakarta : penebar swadaya. 6. vinson, j. a. 1998. flavonoids in foos as in vitro and in vivo antioxidants. dalam: ma, b (ed). flavonoids in the living systems. new york: plenum press. 7. sibuea, p. 2004. kuersetin, senjata pemusnah radikal bebas. diakses 27 desember 2009 . 8. zhang dan tan. 2000. effects of an ethanolic extract of gynura procumbens on serum glucose, cholesterol and triglyceride levels in normal and streptozotocin-induced diabetic rats. singapore med j. 41(1) : 1-6. 9. hertog, m. g. l., hollman, p. c. h, katan, m. b. 1996. content of potentially anticarcinogenic flavonoids of 28 vegetables and 9 fruits commonly consumed in the netherlands. journal of agricultural and food chemistry. 40: 2379-2383. 10. de groot. 1994. reactive oxygen species in tissue injury. j hepatogastroenterology. 41:328-332. 11. depkes ri. 1995. farmakope indonesia edisi iv. jakarta: departemen kesehatan republik indonesia. 12. ansel, h. 1989. pengantar bentuk sediaan farmasi. edisi iv. jakarta: ui press. 13. notoatmodjo, s. 2002. metode penelitian kesehatan. jakarta: rineka cipta. 14. ozougwu, j.c. and eyo, j.e. 2010. studies on the antidiabetic activity of allium sativum (garlic) aquaeous extracts on alloxan-induced diabetic albino rat. pharmacologyonlinez: 1079-1088. diakses 10 februari 2010 dari http://www.unisa.it/download/ 1966_11255_1355984443_107.eyo.pdf 15. lata, s., saxena, k.k., bhasin, v., saxena, r.s., kumar, a. and v.k. srivastava. 1991. beneficial effects of allium sativum, allium cepa and commiphora mukul on experimental hyperlipidemia and atherosclerosis-a comparative evaluation. journal of postgraduate medicine, vol. 37:2 hal. 132-5. titih huriah, lisnawati nur farida, gambaran kesiapsiagaan perawat ... 128 gambaran kesiapsiagaan perawat puskesmas dalam manajemen bencana di puskesmas kasihan i bantul yogyakarta the description of community health nurses preparedness on disaster management in puskesmas kasihan i bantul yogyakarta titih huriah1, lisnawati nur farida2 1bagian jiwa komunitas, program studi ilmu keperawatan, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta, 2program studi ilmu keperawatan fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta email : titih_psikumy@yahoo.com abstract this study offers exploration about nurses’ role on disaster preparedness in sub district level and provides implementation strategies for health care professionals to adopt in preparation for and in response to disaster. a qualitative-study with phenomenological approach was chosen to guide this study. in-depth interview and observation was used in data collection. the in-depth interview narrative was transcribed verbatim and thematically analyzed. nurses’ preparedness in sub district level in puskesmas kasihan i bantul remains low. in this study, most of the participants were not implement their role in disaster preparedness, since there was no institutional preparation facing disastrous event. although all of the participants have been prepared with emergency training, there were no family preparedness that can greatly inhibit the ability and willingness of participant to be available in emergency response. puskesmas in the basic level area of disaster risk reduction effort should be prepared with the disaster plan and supported with nurses’ preparedness in disaster management. key words: nurses’ preparedness, puskesmas, disaster management abstrak penelitian ini memberikan gambaran tentang peran perawat pada kesiapsiagaan bencana di tingkat kecamatan dan memberikan informasi terkait strategi implementasi yang dapat dilakukan tenaga kesehatan baik dalam persiapan maupun merespon bencana. jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. data dikumpulkan dengan metode in-depth interview dan teknik observasi kemudian dianalisis berdasarkan tema-tema yang muncul. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kesiapsiagaan perawat di tingkat kecamatan khususnya di puskesmas kasihan i bantul masih rendah. dalam penelitian ini, sebagian besar peran tidak dijalankan sebagaimana mestinya, dikarenakan belum adanya persiapan dari pihak institusi dalam persiapan bencana. meskipun seluruh partisipan telah dibekali pelatihan penanganan kegawatdaruratan, tidak adanya perencanaan bencana dalam keluarga akan menjadi faktor penghambat kesiapan perawat dalam merespon bencana. puskesmas sebagai pusat layanan kesehatan pada tingkat dasar dalam upaya pengurangan resiko bencana harus disiapkan dengan disaster plan yang didukung dengan peran serta perawat dalam manajemen bencana. kata kunci: kesiapsiagaan perawat, puskesmas, manajemen bencana 129 mutiara medika vol. 10 no. 2: 128-134, juli 2010 kabupaten/kota dikoordinir oleh unit yang ditunjuk oleh kepala dinas kesehatan dengan surat keputusan. penanggulangan bencana di lokasi kejadian bencana adalah kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dan pelaksana tugas pelayanan kesehatan dalam penanggulangan bencana di lokasi kejadian adalah kepala puskesmas. selain organisasi pemerintahan terdapat organisasi non-pemerintah yang turut serta dalam penanggulangan bencana.4 perawat sebagai lini depan pada suatu pelayanan kesehatan mempunyai tanggung jawab dan peran yang besar dalam penanganan pasien gawat darurat sehari-hari maupun saat terjadi bencana. prosentase yang pasti mengenai jumlah perawat yang terlibat dalam manajemen bencana di masyarakat belum diketahui secara pasti. sampai saat ini kebutuhan tenaga perawat untuk menangani korban bencana di masyarakat merupakan kebutuhan terbesar yaitu sebanyak 33 % dari seluruh tenaga kesehatan yang terlibat.5 fenomena inilah yang membuat peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana kesiapsiagaan perawat puskesmas dalam manajemen bencana di daerah rawan bencana seperti daerah kecamatan kasihan, bantul yogyakarta. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kesiapsiagaan perawat puskesmas dalam manajemen bencana di puskesmas kasihan i bantul yogyakarta. bahan dan cara penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan fenomenologi, dimana peneliti ingin menjelaskan atau mengungkap makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu. penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 19 juli sampai 26 juli 2010. cara pemilihan partisipan dilakukan secara non-probability sampling dengan teknik purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang dianggap sesuai dengan kriteria tertentu.6 lima partisipan yang berpartisipasi dalam pendahuluan indonesia merupakan negara yang tergolong rawan terhadap kejadian bencana alam, hal tersebut berhubungan dengan letak geografis indonesia yang terletak diantara dua samudera besar dan terletak di wilayah lempeng tektonik yang rawan terhadap gempa bumi.1 daerah istimewa yogyakarta dan sekitarnya terletak pada jalur tektonik dan vulkanik, pada sisi utara terdapat vulkanik merapi yang sangat aktif, dan pada sisi selatan (samudra hindia) terdapat palung jawa yang merupakan jalur subduksi lempeng indo-australia-eurasia. pertemuan lempeng indo-australia eurasia adalah penyebab utama terjadinya gempa tektonik pada kawasan ini. sebanyak 14 kecamatan di yogyakarta termasuk dalam kawasan beresiko tinggi terhadap gempa bumi. berdasarkan peta resiko bencana, 11 kecamatan berada di kabupaten bantul, dan masing-masing satu kecamatan di kota yogyakarta, dan kabupaten gunungkidul serta sleman. keempat belas kecamatan itu adalah kasihan, sewon, bantul, pandak, bambanglipuro, pundong, imogiri, jetis, pleret, banguntapan, piyungan, kotagede, nglipar, dan berbah.2 mengevaluasi dari pelaksanaan the yokohama strategy, pada tahun 2005 world conference on disaster reduction di hyogo, jepang, menghasilkan hyogo framework for action 2005-2015 yang mengidentifikasikan bahwa tantangan utama untuk masa mendatang adalah memastikan sebuah sistem penanggulangan bencana yang lebih sistematis sesuai dengan konteks sustainable development, dan membangun ketahanan nasional dengan meningkatkan kemampuan lokal dan nasional dalam mengelola dan mengurangi risiko bencana.3 di tingkat kabupaten/kota penanggung jawab kesehatan dalam penanggulangan bencana adalah kepala dinas kesehatan kabupaten/kota bila diperlukan dapat meminta bantuan ke provinsi dibawah koordinasi satuan pelaksana penanggulangan bencana (satlak pb) yang diketuai bupati/walikota, dan pelaksanaannya di lingkungan dinkes titih huriah, lisnawati nur farida, gambaran kesiapsiagaan perawat ... 130 lebih tinggi memungkinkan partisipan memiliki pengetahuan manajemen tentang bencana yang lebih baik. berdasarkan hasil wawancara dengan partisipan mengenai pengetahuan perawat dalam mendefinisikan dan mengklasifikasikan bencana, pengetahuan perawat akan bencana di kecamatan kasihan, pengalaman perawat dalam manajemen bencana sebelumnya, serta pengalaman atau keterlibatan perawat dalam upaya persiapan menghadapi bencana disajikan dalam tabel 2. seluruh partisipan dalam penelitian ini mampu mendefinisikan dan mengklasifikasikan bencana dengan baik, akan tetapi tidak semua partisipan mengetahui resiko bencana yang mungkin terjadi di wilayah kerjanya. bahkan dua partisipan menganggap wilayah mereka tidak berisiko bencana. pengalaman partisipan dalam manajemen bencana sebelumnya juga cukup baik, dimana keseluruhan partisipan pernah terlibat dalam upaya tanggap darurat bencana dan satu partisipan yang terlibat dalam upaya pemulihan bencana. pengetahuan dan pengalaman dalam manajemen bencana sebelumnya akan mempengaruhi aspek sosial dan kognitif seseorang dalam mengantisipasi bencana berikutnya.8 tabel 1. karakteristik identitas partisipan perawat puskesmas kasihan i bantul yogyakarta pada bulan juli 2010. no kode partisipan umur jenis kelamin pendidikan terakhir lama kerja tempat kerja 1 k-1 32 th perempuan diii keperawatan 5 th pusk. kasihan i 2 k-2 36 th perempuan d iv keperawatan gadar 5 th pusk. kasihan i 3 k-3 26 th perempuan diii keperawatan 4 bulan pusk. kasihan i 4 k-4 31 th perempuan diii keperawatan 11 th pusk. kasihan i 5 k-5 53 th perempuan spk 16 th pusk. kasihan i penelitian ini adalah perawat yang bekerja di puskesmas kasihan i bantul yogyakarta, yaitu wilayah yang berisiko bencana, memiliki pengalaman dalam manajemen bencana sebelumnya, dan bersedia memberikan informasi yang dibutuhkan peneliti. pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan teknik wawancara mendalam (in-depth interview) dengan menggunakan recorder dan teknik observasi. wawancara dilakukan secara terstruktur dengan menggunakan pedoman wawancara yang disusun oleh peneliti berdasarkan teoriteori yang relevan dengan masalah dalam penelitian. data dianalisis berdasarkan tema-tema utama yang muncul. hasil berdasarkan angket data karakteristik partisipan dalam penelitian ini, diperoleh hasil sebagai berikut: dilihat dari pendidikan terakhir partisipan homogen karena sebagian besar didominasi oleh lulusan diii keperawatan sebanyak 3 orang, 1 orang lulusan d iv keperawatan gawat darurat, dan 1 orang lulusan spk. jenjang pendidikan erat kaitannya dengan pengetahuan yang dimiliki seseorang, semakin tinggi pendidikan memungkinkan pengetahuannya semakin baik.7 ini berarti jenjang pendidikan yang 131 mutiara medika vol. 10 no. 2: 128-134, juli 2010 tabel 2. pengetahuan dan pengalaman perawat puskesmas dalam manajemen bencana di puskesmas kasihan i bantul yogyakarta. kode partisipan pengetahuan pengalaman mendefinisikan dan mengklasifikasikan bencana mengidentifikasi kemungkinan bencana di kasihan keterlibatan dalam manajemen bencana sebelumnya keterlibatan dalam upaya persiapan bencana k-1 mampu mendefinisikan dan mengetahui jenisjenis bencana tidak beresiko terlibat dalam tahap respon dan pemulihan tidak terlibat k-2 mampu mendefinisikan dan mengetahui jenisjenis bencana gempa bumi terlibat dalam tahap respon tidak terlibat k-3 mampu mendefinisikan dan mengetahui jenisjenis bencana gempa bumi terlibat dalam tahap respon tidak terlibat k-4 mampu mendefinisikan dan mengetahui jenisjenis bencana tanah longsor, dan kekeringan terlibat dalam tahap respon tidak terlibat k-5 mampu mendefinisikan dan mengetahui jenisjenis bencana tidak beresiko terlibat dalam tahap respon tidak terlibat tabel 3. peran perawat dalam beberapa aspek kesiapsiagaan bencana kode partisipan disaster plan pengkajian resiko tindakan pencegahan pendidikan masyarakat pelatihan kegawatdaruratan perencanaan pribadi dan keluarga k-1 x x x x ppgd dan gladi lapang tidak ada k-2 x x x ppgd untuk awam ppgd tidak ada k-3 x x x x ppgd tidak ada k-4 x x x x ppgd tidak ada k-5 x x x x ppgd tidak ada keterangan = x : peran tidak dijalankan titih huriah, lisnawati nur farida, gambaran kesiapsiagaan perawat ... 132 diskusi berdasarkan hasil pengamatan peneliti ternyata puskesmas kasihan i tidak memiliki disaster plan. kenyataan ini selaras dengan pernyataan yang diberikan oleh partisipan k-1 yaitu tidak adanya prosedur tetap dalam menghadapi bencana berikut alur komunikasinya menjadikan perawat di puskesmas kasihan i belum terlibat dalam pembuatan disaster plan. partisipan k-2 menambahkan bahwa untuk merencanakan disaster plan itu harus dilakukan kerjasama lintas sektoral yaitu dari tingkat kecamatan hingga tingkat nasional. dalam merencanakan disaster plan pihak-pihak yang terlibat tidak hanya rumah sakit tetapi juga puskesmas, dinas kesehatan kabupaten dan provinsi serta provider kesehatan lainnya baik swasta maupun pemerintah. untuk itu, semua organisasi atau unit kerja tersebut harus memiliki disaster plan masing-masing.9 pengkajian risiko pada masyarakat berhubungan dengan adanya bencana dapat dilakukan dengan membuat peta bahaya dan analisis kerentanan pada komunitas. langkah dalam mengevaluasi risiko adalah dengan mengestimasi probabilitas terjadinya bahaya. jika memungkinkan, sangat penting untuk memperoleh peta-peta bahaya ganda (biasanya dapat diperoleh dari komunitas ilmiah, industri, pers, otoritas politik dan sumber lain) atau kita dapat membuatnya sendiri. langkah kedua adalah mengestimasi kerentanan setiap daerah atau area. data tersebut dapat dikumpulkan dari lembaga pengelolaan bencana nasional dan lembaga lainnya dan dapat dikonsultasikan bersama insinyur, arsitek, perencana, staf pertahanan sipil, dan lainnya.10 berdasarkan hasil wawancara dengan partisipan, tidak satupun partisipan yang pernah melakukan pengkajian resiko dan menganalisis kerentanan wilayah kecamatan kasihan. hal ini disebabkan karena efek bencana sebelumnya yang tidak besar, sehingga wilayah kasihan dianggap aman dari ancaman bencana. belum adanya prosedur tetap untuk mengorganisir upaya ini juga menjadi faktor penghambat lainnya. pencegahan bencana merupakan suatu cara yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan adanya bencana. tindakan yang dapat dilakukan dalam pencegahan bencana antara lain memindahkan populasi yang beresiko terkena dampak bencana, menumbuhkan kewaspadaan masyarakat dan system peringatan dini. sebagian besar partisipan menyatakan belum pernah terlibat dalam upaya pencegahan bencana. partisipan k-5 menjelaskan bahwa upaya pencegahan yang selama ini dilakukan berorientasi pada upaya pencegahan penyakit seperti demam berdarah dengan melakukan pemberantasan sarang nyamuk dan melakukan penyuluhan. pada tahap preparedness, perawat berperan dalam memberikan edukasi kepada masyarakat sehubungan dengan adanya resiko bencana dan memberikan simulasi menghadapi ancaman bencana. namun dalam penelitian ini sebagian besar partisipan belum pernah memberikan edukasi dan simulasi kepada masyarakat sehubungan dengan ancaman bencana. partisipan k-2 menyatakan pernah memberikan penyuluhan kepada kader tentang penanganan gawat darurat untuk awam. meskipun demikian, berdasarkan hasil observasi tidak ada perencanaan dalam melakukan penyuluhan karena konteks penyuluhan bukan khusus ditujukan dalam rangkaian penyuluhan mengantisipasi bencana. menurut partisipan k-2 penyuluhan mengenai antisipasi bencana sudah dirasa cukup melalui media televisi. program promosi kesehatan untuk meningkatkan kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana seharusnya merupakan bagian dari perencanaan perawat komunitas.11 seluruh partisipan pernah mengikuti pelatihan penanganan bencana yaitu ppgd (penanggulangan penderita gawat darurat) dan hanya satu partisipan yang pernah mengikuti gladi lapang. seluruh partisipan menyatakan bahwa pelatihan penanganan bencana tidak diadakan di tempat kerja. puskesmas kasihan i belum pernah mengadakan pelatihan penanganan bencana, dikarenakan keterbatasan biaya. perawat yang bekerja di puskesmas minimal memiliki kompetensi bls (basic life support) dan als (advanced life support). kompetensi tersebut meliputi 133 mutiara medika vol. 10 no. 2: 128-134, juli 2010 pengetahuan, sikap dan keterampilan yang harus ditingkatkan atau dikembangkan dan dipelihara sehingga menjamin tenaga keperawatan dapat melaksanakan peran dan fungsinya secara professional.12 survey yang dilakukan menunjukkan bahwa ketergantungan keluarga akan menjadi penghambat bagi para pekerja untuk merespon terhadap bencana. pada akhirnya, mendistribusikan informasi mengenai family emergency planning pada setiap pelatihan akan sangat membantu dalam personal emergency planning.13 meskipun pernah terpapar bencana sebelumnya, seluruh partisipan tidak memiliki family emergency planning maupun personal emergency planning. partisipan k-1 mengatakan bahwa yang bersangkutan tidak memiliki persiapan khusus, karena pengalaman bencana yang lalu dirasa cukup memberi gambaran. dalam keluarga yang paling penting adalah kekompakan sehingga anggota keluarga tidak akan terpencar ketika terjadi bencana. setiap keluarga dalam masyarakat perlu dimotivasi untuk memiliki personal preparedness plan. perencanaan personal ini meliputi nomor telepon gawat darurat, radio portabel, obat-obatan, bahan makanan khusus, alamat dan nomor telepon tenaga medis, dan orang yang dapat dihubungi saat bencana terjadi.11 meskipun demikian, riset mengenai socialcognitive model of disaster preparedness, mengemukakan bahwa strategi partisipatif dan pemberdayaan masyarakat akan lebih tepat dalam mengembangkan kesiapsiagaan masyarakat dari pada sekedar dimotivasi.8 kesimpulan perawat di puskesmas kasihan i bantul yogyakarta belum menjalankan perannya sebagai perawat dalam upaya kesiapsiagaan bencana meskipun mereka memiliki pengetahuan dan pengalaman terlibat dalam penanganan bencana. peran yang dapat mereka jalankan dalam upaya kesiapsiagaan bencana antara lain: 1) membuat, memperbaharui, dan mengimplementasikan disaster plan, 2) melakukan pengkajian risiko pada komunitas seperti membuat peta bahaya dan analisis kerentanan, 3) melakukan tindakan pencegahan bencana seperti menumbuhkan kewaspadaan masyarakat dan sistem peringatan dini, 4) memberikan penyuluhan dan simulasi persiapan menghadapi ancaman bencana kepada masyarakat, 5) mengikuti program pelatihan penanganan bencana, dan 6) memiliki personal preparedness plan, dan family preparedness plan. daftar pustaka departemen kesehatan republik 1. indonesia. 2005. pedoman puskesmas dalam penanggulangan bencana. depkes ri. jakarta. cahyana, b. 2009. 2. 14 kecamatan resiko tinggi lindu. diakses 24 maret 2010 dari http://jogjainfo.net/14kecamatan-risiko-tinggi-lindu.html international strategy for disaster 3. reduction (un/isdr). 2005. hyogo framework for action 2005-2015: building the resilience of nations and communities to disaster. switzerland. kepmenkes. 2007. 4. keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor 145/menkes/sk/i/2007 tentang pedoman penanggulangan bencana bidang kesehatan. depkes ri. jakarta. departemen kesehatan republik 5. indonesia. 2006. pedoman manajemen sumber daya manusia (sdm) kesehatan dalam penanggulangan bencana. depkes ri. jakarta. dempsey, a., dempsey, a.d. 2002. 6. riset keperawatan: buku ajar dan latihan (palupi widyastuti, penerjemah). egc. jakarta. (buku asli diterbitkan 1996). hidayati, l.n. 2008. 7. pengetahuan perawat instalasi rawat darurat rsup dr. sardjito dalam kesiapan menghadapi bencana pada tahap preparedness. skripsi strata satu, universitas gadjah mada yogyakarta, yogyakarta. paton, d. 2003. disaster preparedness: 8. social-cognitive perspective. disaster prevention and management, 12 (3) 210-216.utas. australia titih huriah, lisnawati nur farida, gambaran kesiapsiagaan perawat ... 134 wartatmo, h. 2008. 9. kesiagaan dan respon akut sektor kesehatan pada penanggulangan bencana (preparedness and acute responsive health sector in disaster relief). diakses 4 agustus 2010 dari http:// www.desentralisasi-kesehatan.net pan american health organization. 10. 2006. bencana alam: perlindungan kesehatan masyarakat. jakarta: egc. santamaria, b. 1995. 11. nursing in a disaster. in smith, claudia m& frances a. maurer. community health nursing: theory and practice. wb. saunders company. departemen kesehatan republik 12. indonesia. 2004. pedoman pelayanan keperawatan dalam penanggulangan bencana pada kesehatan matra. depkes ri. jakarta. morse, s. 2000. 13. disater preparedness. in gorin, s. sheinfeld & joan arnold (eds.), health promotion in practice. wiley: san francisco. 93 mutiara medika vol. 12 no. 2: 93-101, mei 2012 identifikasi pola kepekaan dan jenis bakteri pada pasien infeksi saluran kemih di rumah sakit pku muhammadiyah yogyakarta identification of bacteria type and its sensitivity pattern from urinary tract infections patient in pku muhammadiyah yogyakarta hospital fergiawan indra prabowo1, inayati habib2* 1program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta 2bagian mikrobiologi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta *email: inaythabib@yahoo.co.id abstrak angka kejadian infeksi saluran kemih (isk) di indonesia masih terbilang tinggi. resistensi bakteri pada penggunaan antibiotika merupakan salah satu masalah yang berkembang di seluruh dunia. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis bakteri dan pola kepekaannya pada penderita isk di rumah sakit pku muhammadiyah yogyakarta. jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratorium. pengukuran dan pengambilan data dilakukan secara cross sectional dan hasilnya dianalisis menggunakan analisis deskriptif. hasil penelitian menunjukkan 20 pasien yang menderita isk, didapatkan 25 bakteri antara lain escherichia coli (72%), salmonella parathypi (4%), enterobacter aerogenes (4%), staphylococcus aureus (8%), streptococcus sp (12%). hasil uji sensitivitas terhadap antibiotik didapatkan escherichia coli sensitif terhadap antibiotik meropenem (88,89%). salmonella parathypi sensitif terhadap meropenem (100%). enterobacter aerogenes sensitif terhadap meropenem (100%). staphylococcus aureus sensitif terhadap meropenem (100%), ciprofloxacin (100%), trimetophrim-sulfomethoxazole (100%), dan gentamicin (100%). streptococcus sp sensitif terhadap meropenem (66,67%) dan gentamicin (66,67%). disimpulkan bahwa jenis bakteri yang menjadi penyebab terbesar isk adalah escherichia coli. antibiotik yang memberikan hasil sensitif terbesar terhadap bakteri penyebab isk adalah meropenem. kata kunci: bakteri, pola kepekaan kuman, infeksi saluran kemih abstract in indonesia the prevalence of urinary tract infections (utis) remains high. bacteria resistance in antibiotic-using is one of the problems that happen in the world. this research aims to know the type of bacteria and its sensitivity pattern in utis patient at pku muhammadiyah yogyakarta hospital. type of this research is laboratory experimental research. the measurement and data collection done by cross sectional and its result is analyzed by descriptive analyses. this research shows 20 utis patients. from 20 samples of utis patients, founded 25 bacterium which are escherichia coli 18 bacterium (72%), salmonella parathypi (4%), enterobacter aerogenes (4%), staphylococcus aureus (8%), streptococcus sp (12%). the result from sensitivity test toward antibiotic, founded escherichia coli sensitive toward meropenem antibiotic (88,89%). salmonella parathypi sensitive toward meropenem (100%). enterobacter aerogenes sensitive toward meropenem (100%). staphylococcus aureus sensitive toward meropenem (100%), ciprofloxacin (100%), trimetophrim-sulfomethoxazole (100%), and gentamicin (100%). streptococcus sp sensitive toward meropenem (66,67%) and gentamicin (66,67%). it was concluded that the most bacteria cause of utis is escherichia coli. antibiotic that gives the most sensitive result toward the bacteria caused utis is meropenem. key words: bacteria, sensitivity pattern, urinary tract infections artikel penelitian 94 fergiawan indra prabowo, identifikasi jenis bakteri dan pola kepekaannya ... pendahuluan infeksi saluran kemih (isk) merupakan penyakit yang perlu mendapatkan perhatian serius dikarenakan angka kejadian kasus ini masih terbilang tinggi. di amerika dilaporkan setidaknya 6 juta pasien datang ke dokter setiap tahunnya dengan diagnosis isk.1 isk merupakan masalah kesehatan yang serius dan memiliki kecenderungan yang terus meningkat jumlah penderitanya. di indonesia sendiri tingkat prevalensi kejadian isk masih cukup tinggi.2 keadaan ini tidak terlepas dari tingkat dan taraf kesehatan masyarakat indonesia yang masih jauh dari standar dan tidak meratanya tingkat kehidupan sosial ekonomi, yang mau tidak mau berdampak langsung pada kasus infeksi saluran kemih di indonesia.2 isk dapat menyerang mulai dari anak–anak, remaja, dewasa hingga lansia. pada bayi laki–laki dan perempuan memilki tingkat prevalensi kejadian isk yang sama. insiden akan menurun pada laki– laki dan meningkat pada perempuan pada saat usia 6 bulan. isk rata–rata 5 kali lebih sering terjadi pada perempuan dari pada laki–laki pada usia 1 tahun pertama. insiden isk tertinggi pada bayi perempuan yang terlahir prematur dan berat badan lebih rendah.3 melihat angka kejadian infeksi saluran kemih yang sangat tinggi yang mana infeksi tersebut disebabkan faktor kebersihan, maka sebaiknya untuk menghindari infeksi tersebut kita harus menjaga kebersihan. adapun sesuai dengan surah al baqarah ayat 222 yang berbunyi: “sesungguhnya allah menyukai orang-orang yang taubat dan orang-orang yang menyucikan diri”. mikroorganisme yang paling sering menyebabkan isk adalah mikroorganisme gram negatif seperti eschericia coli, proteus mirabilis, klebsiela, citrobacter, enterobacter dan pseudomonas. penyebab utama isk (sekitar 85%) adalah bakteri eschericia coli.4 mikroorganisme gram positif seperti enterococcus faecalis, staphylococcus saprophyticus dan group b streptococci dapat juga menyebabkan isk. chlamydia dan mycoplasma juga diketahui dapat menyebabkan isk yang sering ditularkan secara seksual.5 permasalahan resistensi bakteri pada penggunaan antibiotika merupakan salah satu masalah yang berkembang di seluruh dunia. who dan beberapa organisasi telah mengeluarkan pernyataan mengenai pentingnya mengkaji faktor-faktor yang terkait dengan masalah tersebut, termasuk strategi untuk mengendalikan kejadian resistensi dengan memilih antibiotik yang sesuai dengan berdasarkan pola kepekaan kuman yang didapat.6 semua hal ini dilakukan untuk mendapatkan hasil diagnosis dan terapi maksimal yang kemudian akan berpengaruh pada pasien isk. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis bakteri dan pola kepekaannya pada pasien infeksi saluran kemih di rs pku muhammadiyah yogyakarta. bahan dan cara jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorium. pengukuran dan pengambilan data dilakukan secara cross sectional. pengambilan sampel penelitian dilakukan di rs pku muhammadiyah yogyakarta pada bulan juni sampai oktober 2011 dan hasil penelitian ini dianalisis menggunakan analisis deskriptif. pengambilan sampel dilakukan secara aseptis dengan cara mengambil urin pancar tengah 95 mutiara medika vol. 12 no. 2: 93-101, mei 2012 (midstream) pada pasien infeksi saluran kemih. pancaran urin dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu: 1/3 bagian adalah urin yang pertam keluar, merupakan pendorong atau pembersih kuman yang ada di uretra, bagian ini tidak diambil, 1/3 bagian berikutnya ditampung dalam kontainer steril, dan 1/3 bagian adalah urin akhir – dibuang. pada proses transportasi semua spesimen urin dimasukkan lemari pendingin segera atau langsung diperiksa dalam waktu tidak melebihi 2 jam. jika urin harus ditranspor untuk jarak jauh urin dipak dalam es kering atau dipreservasi dengan cara: penambahan 0,5 gram boric acid pada kontainer steril kemudian diisi dengan urin (kira–kira 28 ml, atau konsentrasi 1,8%). penggunaan boric acid untuk menghambat pertumbuhan bakteri tanpa menurunkan jumlahnya dan bekerja sebagai buffer untuk mencegah kerusakan leukosit. peneliti memakai sarung tangan dan masker untuk menghindari terjadinya kontaminasi flora normal pada pembiakan bakteri. seluruh panjang kawat ose dipijarkan di atas lampu bunsen tidak lupa melewatkan juga tangkainya di atas api, didinginkan beberapa saat, kemudian dicelupkan ose pada urin penderita infeksi saluran kemih sampai mengisi lingkaran ose kemudian digoreskan urin pada media tanam macconkey dan agar darah yang telah disediakan. diberi nomor pada media tanam sesuai dengan nomor urut penderita. diinkubasi dalam suhu 370c selama 24 jam kemudian diamati karakteristik bakteri secara makroskopis. identifikasi bakteri dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu: pemeriksaan makroskopis yang dapat diamati pada hasil kultur urin dan pemeriksaan mikroskopis terdiri dari pengecatan gram, dan yang ketiga uji biokimia. proses pengecatan gram dimulai dengan pembakaran obyek glass di atas lampu bunsen untuk menghilangkan lemak dan organisme-organisme yang mungkin terdapat pada obyek glass, kemudian diteteskan satu tetes larutan formalin untuk mensterilkan obyek glass. selanjutnya, dipijarkan seluruh panjang kawat ose di atas lampu bunsen tidak lupa melewatkan juga tangkainya di atas api lalu dianginkan beberapa saat. diambil satu atau dua koloni bakteri pada media tanam dengan menggunakan ose, diletakkan pada obyek glass lalu diratakan dan dibiarkan kering dan diletakkan di atas lampu bunsen. pada sediaan yang telah tersedia, dituang cat gram a dibiarkan 1 menit, kemudian, zat warna dibuang dan segera diberi cat gram b (tanpa dicuci terlebih dahulu), dibiarkan 1 menit kemudian dibuang dan sediaan dicuci dengan cat gram c sampai tidak ada lagi zat warna yang terlarut. sediaan dicuci air bersih dan ditetesi cat gram d dan dibiarkan 1 menit lalu dicuci dengan air kran sampai bersih dan dikeringkan, kemudian dilihat di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 1000 kali yang terlebih dahulu ditetesi minyak imersi. pada penelitian ini terdapat uji biokimia untuk bakteri gram positif dan negatif. pada bakteri gram positif menggunakan uji katalase dan uji koagulase dan pada bakteri gram negatif menggunakan uji deret biokimia uji katalase dimulai dengan mengambil beberapa koloni pada media agar darah menggunakan ose bulat dan diletakkan pada obyek glass, kemudian ditambahkan 1 tetes reagen h2o3 3% lalu diamati dalam waktu kurang dari 30 detik. uji katalase positif ditandai dengan pembentukan gelembung udara (o2). 96 fergiawan indra prabowo, identifikasi jenis bakteri dan pola kepekaannya ... uji koagulase dimulai dengan mengambil beberapa koloni pada media agar darah dengan menggunakan ose bulat, dibuat emulsi pada obyek glass sehingga menyerupai suspense susu, kemudian ditambahkan satu mata sengkelit plasma kelinci dan dicampur dengan baik. tes koagulase positif apabila terjadi aglutinasi. uji deret biokimia dilakukan pada media klieger iron agar (kia), semi solid sucrose (sss), luminescence immuno assay (lia) dan motilitas indole ornithine (mio). pertama dipanaskan ose di atas lampu bunsen kemudian dibiarkan dingin, kemudian diambil 1-2 koloni dari media tanam lalu digoreskan pada 4 media uji deret biokimia. diinkubasi media 24 jam pada suhu 370c. identifikasi dilakukan dengan mengamati reaksi biokimia dan motilitas. uji kepekaan kuman dilakukan dengan metode difusi disk/cakram dengan cara kirby bauer, pemeriksaan dimulai dengan mengambil beberapa koloni kuman dari pertumbuhan 24 jam pada agar dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan nacl hingga kekeruhan tertentu sesuai dengan standar konsentrasi kuman mac farlan >108. setelah itu kapas lidi steril dicelupkan ke dalam suspensi kuman lalu ditekan-tekan pada dinding tabung hingga kapasnya tidak terlalu basah, kemudian dioleskan pada permukaan media agar hingga rata, kemudian diletakkan disk/cakram yang mengandung antibiotika di atasnya dan diinkubasi pada 370c selama 19-24 jam. pembacaan hasil diukur dengan penggaris millimeter, diukur lebar diameter zone hambatan pada cakram/disk dan diinterpretasikan hasilnya (sensitif, resisten, atau intermediet). untuk masing-masing antibiotik dan jenis kumannya, mempunyai diameter yang berbeda-beda untuk dinilai sebagai antibiotik yang sensitif atau resisten. penentuan kepekaan kuman berdasarkan pada tabel national committee on clinical laboratory standards (nccls). hasil pada tabel 1. menunjukkan dari 20 pasien yang didapatkan, pasien infeksi saluran kemih yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 11 orang (55%) dan pasien yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 9 orang (45%). berdasarkan usia, dari 20 pasien yang didapatkan, pasien infeksi saluran kemih pada rentang usia 15-30 tahun didapatkan sebanyak 5 orang (25%), rentang usia 31-45 tahun didapatkan sebanyak 2 orang (10%), rentang usia 4660 tahun didapatkan sebanyak 6 orang (30%) dan rentang usia 61-75 tahun didapatkan sebanyak 7 orang (35%). pada tabel 2. persentase jenis bakteri pada pasien infeksi saluran kemih di rs pku muhammadiyah yogyakarta didapatkan 25 bakteri. 25 bakteri yang didapatkan, ditemukan escherichia coli sebanyak 18 bakteri (72%), salmonella parathypi sebanyak 1 bakteri (4%), enterobacter aerogenes sebanyak 1 bakteri (4%), staphylococcus aureus sebanyak 2 bakteri (8%) dan streptococcus sp sebanyak 3 bakteri (12%). tabel 1. persentase pasien isk berdasarkan jenis kelamin dan usia jumlah persentase jenis kelamin laki-laki 11 55% perempuan 9 45% total 20 100% usia 15-30 5 25% 31-45 2 10% 46-60 6 30% 61-75 7 35% total 20 100% 97 mutiara medika vol. 12 no. 2: 93-101, mei 2012 tabel 3. persentase hasil uji sensitivitas pada pasien isk di rs pku muhammadiyah yogyakarta bakteri jumlah amoxicillin meropenem sensitif % resisten % sensitif % resisten % gram negatif escherichia coli 18 3 16,67 15 83,33 16 88,89 2 11,11 salmonella parathypi 1 0 0 1 100 1 100 0 0 enterobacter aerogenes 1 0 0 1 100 1 100 0 0 gram positif staphylococcus aureus 2 1 50 1 50 2 100 0 0 streptococcus sp 2 1 33,33 2 66, 67 2 66,67 1 33,33 cefixime ciprofloxacin gram negatif escherichia coli 18 2 11,11 16 88,89 8 44,44 10 55,56 salmonella parathypi 1 0 0 1 100 0 0 1 100 enterobacter aerogenes 1 0 0 1 100 0 0 1 100 gram positif staphylococcus aureus 2 0 0 2 100 2 100 0 0 streptococcus sp 3 1 33,33 2 66,67 1 33,33 2 66,67 gentamicin cothrimoxazole gram negatif escherichia coli 18 6 33,33 12 66,67 4 22,22 14 77,78 salmonella parathypi 1 0 0 1 100 0 0 1 100 enterobacter aerogenes 1 0 0 1 100 0 0 1 100 gram positif staphylococcus aureus 2 2 100 0 0 2 100 0 0 streptococcus sp 3 2 66,67 1 33,33 1 33,33 2 66,67 diskusi berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan secara eksperimental laboratorium dengan pengambilan sampel urin secara cross sectional pada pasien isk yang rawat jalan dan rawat inap di rs pku muhammadiyah yogyakarta pada bulan juni sampai oktober 2011 didapatkan 20 pasien yang menderita isk yang ditandai dengan angka kuman >105 cfu pada kultur urin. sampel tersebut didapatkan 25 bakteri yang kemudian dilakukan uji kepekaan kuman (uji sensitivitas). pada tabel 1. persentase pasien infeksi saluran kemih di rs pku muhammadiyah yogyakarta berdasarkan jenis kelamin, dari 20 pasien yang didapatkan, pasien infeksi saluran kemih yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 11 orang (55%) dan pasien yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 9 orang (45%). hasil tersebut menunjukkan bahwa pasien infeksi kelamin yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan yang berjenis kelamin perempuan, tetapi, perbandingan persentase antara keduanya tidak berbeda jauh. pada tabel 1. persentase pasien infeksi saluran kemih di rs pku muhammadiyah yogyakarta berdasarkan usia, dari 20 pasien yag didapatkan, pasien infeksi saluran kemih pada rentang usia 1530 tahun didapatkan sebanyak 5 orang (25%), rentang usia 31-45 tahun didapatkan sebanyak 2 orang (10%), rentang usia 46-60 tahun didapatkan sebanyak 6 orang (30%), dan rentang usia 61-75 tahun didapatkan sebanyak 7 orang (35%). hasil tersebut menunjukkan bahwa pasien infeksi saluran kemih lebih banyak didapatkan pada remaja, dewasa muda, dan lanjut usia. hal tersebut kemungkinan bisa terjadi karena faktor kebersihan diri dan faktor imunitas dari pasien. tabel 2. persentase jenis bakteri pada pasien isk jenis bakteri jumlah % escherichia coli 18 72% salmonella parathypi 1 4% enterobacter aerogenes 1 4% staphylococcus aureus 2 8% streptococcus sp 3 12% total 25 100% 98 fergiawan indra prabowo, identifikasi jenis bakteri dan pola kepekaannya ... pada tabel 2. persentase jenis bakteri pada pasien infeksi saluran kemih di rs pku muhammadiyah yogyakarta, dari 25 bakteri yang didapatkan, ditemukan escherichia coli sebanyak 18 bakteri (72%), salmonella parathypi sebanyak 1 bakteri (4%), enterobacter aerogenes sebanyak 1 bakteri (4%), staphylococcus aureus sebanyak 2 bakteri (8%), dan streptococcus sp sebanyak 3 bakteri (12%). hasil tersebut menunjukkan bahwa bakteri escherichia coli merupakan bakteri yang banyak ditemukan pada pasien infeksi saluran kemih di rs pku muhammadiyah yogyakarta. penelitian lainnya yang dilakukan di laboratorium mikrobiologi fk ugm tahun 2002-2004 didapatkan escherichia coli adalah bakteri yang paling banyak diisolasi.7 pada penelitian helmansyah yang dilakukan pada periode 2003-2006 di rs pku muhammadiyah yogyakarta didapatkan bakteri penyebab infeksi saluran kemih terbanyak yaitu escherichia coli (25%), pseudomonas aeroginosa (22,5%), enterococcus (15%), staphylococcus aureus (7,5%), enterobacter aerogenes (2,5%).8 pada tabel 3. hasil uji sensitivitas terhadap antibiotik didapatkan bakteri gram negatif escherichia coli sensitif terhadap antibiotik meropenem (88,89%), tetapi resisten terhadap antibiotik lainnya yaiitu: ciprofloxacin (55,56%), gentamicin (66,67%%), trimetophrim-sulfomethoxazole (77,78%%), amoxicillin (83,33%%) dan cefixime (88,89%). hasil ini tidak jauh berbeda bila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh helmansyah pada periode 2003-2006 didapatkan hasil escherichia coli sensitif terhadap meropenem (89%) dan resisten terhadap amoxicillin (100%), ciprofloxacin (80%), trimetophrim-sulfomethoxazole (70%), cefixime (50%).8 bakteri salmonella parathypi didapatkan sensitif terhadap antibiotik meropenem (100%), tetapi bakteri tersebut resisten terhadap antibiotik lainnya yaitu amoxicillin (100%), cefixime (100%), ciprofloxacin (100%), gentamicin (100%) dan trimetophrim-sulfomethoxazole (100%). bakteri gram negatif yang lainnya yaitu enterobacter aerogenes sama seperti pada bakteri salmonella parathypi didapatkan sensitif terhadap antibiotik meropenem (100%), tetapi bakteri tersebut resisten terhadap antibiotik lainnya yaitu amoxicillin (100%), cefixime (100%), ciprofloxacin (100%), gentamicin (100%) dan trimetophrim-sulfomethoxazole (100%). hasil ini ada sedikit perbedaan apabila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh helmansyah pada periode 2003-2006 didapatkan hasil enterobacter aerogenes sensitif terhadap meropenem (100%), ciprofloxacin (100%), cefixime (100%), dan gentamicin (100%) dan resisten terhadap amoxicillin (100%), trimetophrim-sulfomethoxazole (100%).6 hasil lainnya, bakteri gram positif staphylococcus aureus sensitif terhadap antibiotik meropenem (100%), ciprofloxacin (100%), trimetophrim-sulfomethoxazole (100%), gentamicin (100%) disusul amoxicillin (50%), tetapi bakteri tersebut resisten terhadap antibiotik cefixime (100%). bakteri gram positif yang lainnya yaitu streptococcus sp didapatkan sensitif terhadap antibiotik meropenem (66,67%) dan gentamicin (66,67%), tetapi resisten antibiotik lainnya yaitu amoxicillin (66,67%), cefixime (66,67%), ciprofloxacin (67%) dan trimetophrim-sulfomethoxazole (66,67%). penelitian lainnya yang dilakukan di laboratorium mikrobiologi fk ugm tahun 2002-2004 didapatkan antibiotik pilihan pertama untuk bakteri gram negatif penyebab infeksi saluran kemih pada tahun 99 mutiara medika vol. 12 no. 2: 93-101, mei 2012 2002 dan 2003 adalah amikasin, sedangkan pada tahun 2004 adalah meropenem. antibiotik pilihan pertama untuk bakteri gram positif penyebab infeksi saluran kemih pada tahun 2002 adalah amoksisislin-asam klavunalat, pada tahun 2003 adalah kloramfenikol, dan pada tahun 2004 adalah amikasin.7 antibiotik tidak selamanya selalu efektif membunuh bakteri atau menghambat pertumbuhannya. hal ini kemungkinan disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik tertentu. resistensi kuman adalah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel bakteri oleh antibiotik. terdapat 5 mekanisme yang menyebabkan mikroorganisme bersifat resisten terhadap obat, yaitu pertama, menghasilkan enzim yang menghancurkan obat aktif contohnya staphylococcus yang resisten terhadap penisilin g menghasilkan ²-lactamase yang menghancurkan obat. ²-laktamase lain dihasilkan oleh bakteri batang gram negatif. kedua mengubah permeabilitas terhadap obat, contohnya tetrasiklin menumpuk pada bakteri yang rentan tetapi tidak pada bakteri resisten. resistensi terhadap polimiksin juga dikaitkan dengan permeabilitas terhadap obat. streptococcus mempunyai sawar permeabilitas alami terhadap aminoglikosida. resistensi terhadap amikasin dan beberapa aminoglikosida lain dapat bergantung pada kurangnya permeabilitas terhadap obat-obatan. ketiga dengan mengubah target struktural untuk obat, contohnya organisme resisten eritromisin mempunyai reseptor yang berubah pada subunit 50s ribosom, disebabkan oleh metilasi rna 23s ribosom. keempat dengan mengubah jalur metabolik yang dilintasi oleh reaksi penghambatan obat, contohnya beberapa bakteri yang resisten terhadap sulfonamid tidak memerlukan paba ekstraseluler tetapi, seperti sel mamalia, dapat menggunakan asam folat yang telah dibentuk sebelumnya. kelima dengan mengubah enzim yang masih dapat melakukan fungsi metaboliknya tetapi kurang dipengaruhi obat, contohnya pada bakteri yang resisten trimetropim, asam dihidrofolat reduktase dihambat kurang efisien daripada pada bakteri yang rentan trimetropim.9 pada penelitian ini didapatkan hasil sebagian besar bakteri penyebab isk sensitif terhadap meropenem. meropenem merupakan antibiotik yang bersifat bakterisidal dengan menghambat pembentukan dinding sel bakteri. kemampuannya yang tinggi mempenetrasi dinding sel, dan sangat stabil terhadap berbagai serine enzim beta lactamase serta ditandai dengan afinitas yang tinggi terhadap penicillin-binding proteins (pbps) menjelaskan aktivitas poten yang dimiliki meropenem sebagai antibiotik spektrum luas baik terhadap bakteri aerob maupun anaerob.8 pada penelitian ini juga didapatkan hasil sebagian besar bakteri penyebab isk resisten terhadap cefixime dan amoxicillin. tingginya angka resistensi terhadap golongan beta laktam ini diakibatkan oleh kemampuan bakteri membentuk enzim beta lactamase. untuk mengatasi masalah resistensi kuman ini, telah disintesa dua jenis senyawa, yaitu derivate yang tahan beta lactamase dan yang memblok beta lactamase.8 turunan sefalosporin masih tahan terhadap bermacam-macam lactamase yang dibentuk oleh berbagai kuman, namun kenyataannya bakteri penyebab infeksi saluran kemih, sebagian besar menunjukkan angka resistensi yang cukup tinggi terhadap sefalosporin. tingginya angka resistensi 100 fergiawan indra prabowo, identifikasi jenis bakteri dan pola kepekaannya ... terhadap sefalosporin diakibatkan oleh penggunaan sefalosporin secara luas dan tidak rasional.8 ciprofloxacin biasanya digunakan sebagai kemoterapika cadangan untuk pengobatan infeksi yang disebakan oleh bakteri yang resisten terhadap obat-obat standar, namun kini memperlihatkan angka resisten tinggi terhadap berbagai bakteri penyebab infeksi saluran kemih. terjadinya resistensi pada kuman diakibatkan oleh kemampuan kuman melakukan mutasi pada dna atau membran sel kuman.8 resistensi terhadap sulfonamida dapat terjadi sebagai hasil mutasi, menyebabkan produksi paba yang berlebihan, suatu perubahan struktur dalam enzim folat sintetase dengan penurunan afinitas terhadap sulfonamida atau kehilangan permeabilitas.9 gentamicin merupakan antibiotik spektrum luas golongan aminoglikosida. kebanyakan bakteri streptococcus resisten terhadap gentamisin karena kegagalan obat ini untuk mencapai ribosom di dalam sel kuman.10 berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, maka antibiotik yang direkomendasikan untuk infeksi saluran kemih secara umum dan infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh bakteri gram negatif adalah meropenem. antibiotik yang direkomendasikan untuk infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh bakteri gram positif adalah gentamicin, ciprofloxacin, dan trimethoprim-sulfomethoxazole. antibiotik yang tidak direkomendasikan sebagai pengobatan infeksi saluran kemih adalah cefixime dan amoxicillin karena memiliki resistensi yang tinggi terhadap bakteri penyebab infeksi saluran kemih. simpulan escherichia coli merupakan bakteri yang paling sering ditemukan pada pasien infeksi saluran kemih. meropenem merupakan antibiotik dengan sensitivitas terbesar terhadap bakteri penyebab infeksi saluran kemih. daftar pustaka 1. who. (2005). urinary tract infections in infants and children in developing countries in the context of imci. who: department of child and adolescent health and development. 2. wilianti, n.p. rasionalitas penggunaan antibiotika pada pasien infeksi saliran kemih pada bangsal penyakit dalam di rsup dr. kariadi semarang tahun 2008. laporan akhir penelitian karya tulis ilmiah. semarang: fakultas kedokteran universitas diponegoro. 2009. 3. o’donovan, d, j. (2010). urinary tract infections in newborns. epidemiology urinary tract infection in newborn. 4. coyle, ea & prince, ra. urinary tract infection, in dipiro j.t., et al, pharmacotherapy a pathophysiologic approach, 6 th , apleton & lange, stamford. 2005. 5. hasibuan, h. pola kuman pada urin penderita yang menggunakan kateter uretra di ruang perawatan intensif dan bangsal bedah. medan: sub departemen bedah urologi departemen ilmu bedah fakultas kedokteran universitas sumatera utara. 2007. 6. saepudin, sulistiawan r,y., hanifah s,. perbandingan penggunaan antibiotika pada pengobatan pasien infeksi saluran kemih yang menjalani rawat inap di salah satu rsud di yogya101 mutiara medika vol. 12 no. 2: 93-101, mei 2012 karta tahun 2004 dan 2006. 2006. diakses pada 5 mei 2011 dari http://www.lintas.me/article/journal.uii.ac.id/perbandingan-penggunaan-antibiotika-pada-pengobatan-pasieninfeksi-saluran-kemih-yang-menjalani-rawatinap-di-salah-satu-rsud-di-yogyakarta-tahun2004-dan-2006/1 7. paramita, l. pola kepekaan bakteri penyebab infeksi saluran kemih terhadap beberapa antibiotika di laboratorium mikrobiologi fakultas kedokteran universitas gadjah mada. karya tulis ilmiah. yogyakarta: fakultas kedokteran universitas gadjah mada. 2006. 8. helmansyah, r. pola kepekaan bakteri isolat urin di rsu pku muhammadiyah yogyakarta tahun 2003-2006. karya tulis ilmiah. yogyakarta: fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah. 2006. 9. jawetz, m & adelberg. mikrobiologi kedokteran edisi 23 alih bahasa hartanto, huriawati, dkk. jakarta: penerbit buku kedokteran ecg. 2004. 10. katzung, g.b. farmakologi dasar dan klinik edisi iv. jakarta: egc. 1995. alfaina wahyuni, endometriosis dan infertilitas ................................ 62 endometriosis dan infertilitas endometriosis and infertility alfaina wahyuni bagian ilmu obstetri dan ginekologi, program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta abstract endometriosis is a gynecological disease that often occurs in at least 10% of women of reproductive age. there are 25-50% infertile women with endometriosis and 30-50% of them are infertile. mechanism of how endometriosis affects fertility can not be fully explained so that the management of patients with infertility problems is still controversial. the purpose of writing this article is to discuss the relationship management of endometriosis with infertility by using of literature study. it can be concluded that the mechanism of infertility because of endometriosis remains unclear, there are several factors that allegedly plays a role in the mechanism of distortion of anatomy, impaired peritoneal function, immunological disorders, endocrine disorders and ovarium as well as disruption of implantation. endometriosis infertility management is very complex and must consider the aspect of age, duration of infertility, family history of endometriosis, pelvic pain and endometriosis staging. medical therapy was effective to reduce the complaints of endometriosis but did not increase fecundity and fertility, whereas the laparoscopic surgical therapy significantly increased pregnancy rate and live birth rate. the combination of medical and surgical therapy is theoretically beneficial but not enough evidence to show effectiveness in improving fertility. key words : endometriosis, infertility, laparoscopy abstrak endometriosis adalah suatu penyakit ginekologis yang sering terjadi pada sedikitnya 10% wanita usia reproduksi. sebanyak 25-50% wanita infertil menderita endometriosis dan 30-50% wanita endometriosis adalah infertil. mekanisme bagaimana endometriosis mempengaruhi fertilitas belum dapat dijelaskan secara lengkap sehingga manajemen pasien dengan problem infertilitas masih kontroversial. tujuan penulisan artikel ini adalah untuk membahas endometriosis kaitannya dengan infertilitas berikut penatalaksanaannya dengan cara studi kepustakaan. dapat disimpulkan bahwa mekanisme terjadinya infertilitas karena endometriosis masih belum jelas, beberapa faktor diduga berperan dalam mekanisme tersebut yaitu distorsi anatomi, gangguan fungsi peritoneal, gangguan imunologis, abnormalitas endokrin dan ovarium serta gangguan implantasi. penatalaksanaan infertilitas endometriosis sangat komplek dan harus mempertimbangkan aspek usia, lama infertilitas, riwayat keluarga endometriosis, nyeri pelvis dan stadium endometriosis. terapi medikal cukup efektif untuk mengurangi keluhan endometriosis tetapi tidak meningkatkan fekunditas dan fertilitas, sedangkan terapi bedah laparoskopi secara signifikan meningkatkan angka kehamilan dan angka kelahiran hidup. kombinasi terapi medikal dan bedah secara teoritis menguntungkan tetapi belum cukup bukti yang menunjukkan efektifitasnya dalam meningkatkan fertilitas. kata kunci : endometriosis, infertilitas, laparoskopi 63 mutiara medika edisi khusus vol. 8 no. 1: 62 71, april 2008 pendahuluan endometriosis adalah suatu penyakit ginekologis yang sering terjadi pada sedikitnya 10% wanita usia reproduksi. pada wanita dengan keluhan nyeri panggul, infertilitas atau massa adneksa 35-50% diantaranya adalah penderita endometriosis. endometriosis dan unexplain infertility terjadi pada ± 25% pasangan infertil yang tidak ditemukan masalah dalam menstruasi, faktor tuba maupun faktor sperma. dalam penelitian lain dikatakan bahwa 25-50% wanita infertil menderita endometriosis dan 30-50% wanita endometriosis adalah infertil.1 data di poliklinik infertilitas rsud dr. soetomo surabaya tahun 1999 menunjukkan bahwa dari 1018 kasus infertilitas yang dikerjakan laparoskopi mendapatkan angka kejadian endometriosis sebesar 50,49% 2. mekanisme bagaimana endometriosis mempengaruhi fertilitas belum dapat dijelaskan secara lengkap sehingga manajemen pasien dengan problem infertilitas masih controversial. dalam tulisan ini dibahas endometriosis kaitannya dengan infertilitas berikut penatalaksanaannya. diskusi endometriosis adalah pertumbuhan jaringan endometrium baik kelenjar maupun stromanya di luar kavum uteri atau miometrium dan merupakan kelainan ginekologi yang berhubungan dengan infertilitas. manifestasi lesi endometriosis sangat bervariasi mulai dari lesi minimal sampai timbulnya kista endometriotik pada ovarium yang merusak anatomi tuba dan ovarium dan menimbulkan perlengketan hebat dengan jaringan sekitarnya. secara umum pertumbuhan dan pemeliharaan implant endometriotik tergantung pada steroid ovarial sehingga endometriosis lebih banyak terjadi pada wanita usia reproduktif dan jarang pada pre/post menarche maupun postmenopause.1 diagnosis endometriosis ditegakkan berdasarkan anamnesis adanya keluhan nyeri panggul kronis, dismenore, dispareuni, infertilitas dan riwayat keluarga endometriosis. dari pemeriksaan fisik bisa ditemukan adanya uterus retrofleksi, massa adneksa, nodul di cul-de-sac, dan penebalan ligamentum uterosacaral. pemeriksaan usg bisa membantu adanya keterlibatan ovarium. pemeriksaan laparoskopi merupakan pemeriksaan baku serta dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologi. diagnosis laparoskopi mempunyai senssitivitas 97%, spesifisitas 95% dan akurasi 96%. 36% hasil diagnostik laparoskopi digugurkan dengan pemeriksaan histopatologi.1,3,4 implant endometriotik yang klasik adalah berwarna gelap, biru kehitaman, mempunyai gambaran khas yang disebut powder-burn like lesi. lesi bahkan bisa hampir tak terlihat. lesi yang tidak khas bervariasi dalam warna dari merah ke coklat, hitam, putih atau kuning, lesi dapat pula terlihat jernih atau seperti vesikel berwarna kemerahan. penampakan lesi ini tergantung pada lokasi, suplai pembuluh darah lokal, jumlah perdarahan dan atau fibrosis yang terjadi.1,3 endometriosis bisa dilihat sebagai proses inflamasi pelvis dengan perubahan fungsi sel yang berkaitan dengan kekebalan dan jumlah makrofag aktif yang meningkat dalam cairan peritoneum yang mensekresi berbagai produk lokal seperti faktor pertumbuhan dan sitokin. kondisi ini diikuti dengan peningkatan faktor serupa seperti crp, saa, tnf-á, mcp1, il-6 dan ccri dalam darah tepi. ini menunjukkan bahwa endometriosis merupakan penyakit lokal dengan manifestasi sistemik.5 berdasarkan konsep ini sekarang banyak dilakukan penelitian untuk mencari serum biomarker endometriosis sebagai alat diagnostik. essam et al(2007) telah membuktikan bahwa kadar il-6, monocyt chemotactic protein-1 dan interveron gamma penderita endometriosis lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan wanita yang tidak endometriosis. diduga il-6 bisa digunakan sebagai biomarker endometriosis.6 berdasarkan sistem klasifikasi dari american society for reproductive medicine (revised american fertility society classification of endometriosis), alfaina wahyuni, endometriosis dan infertilitas ................................ 64 endometriosis terbagi menjadi 4 stadium. stadium i dan ii ditunjukkan dengan lesi yang tersebar, superfisial berimplantasi pada uterus, tuba atau ovarium dan tidak ada jaringan parut atau perlengketan. stadium sedang (iii) dicirikan oleh adanya implan multipel atau endometrioma d” 2cm yang melibatkan satu atau kedua ovarium, terdapat perlengketan minimal di sekitar tuba atau ovarium. stadium berat (iv) ditandai dengan adanya endometrioma besar pada ovarium, terdapat perlengketan pada tuba atau ovarium yang berat, obstruksi tuba, obliterasi cavum douglass, serta keterlibatan jaringan uterosakral, traktus urinarius maupun usus.1,3 endometriosis dan infertilitas. fekunditas wanita dengan endometriosis menurun dibandingkan dengan wanita yang tidak endometriosis. fekunditas adalah probabilitas seorang wanita untuk melahirkan bayi hidup setiap bulannya. pada pasangan normal, fekunditas berkisar antara 0,15-0,20 per bulan dan angka ini menurun sesuai dengan bertambahnya usia. pada wanita dengan endometriosis yang tidak diterapi angka fekunditas bulanan adalah 0,02 – 0,10.7 penelitian pada wanita yang ditemukan lesi endometriotik pada laparoskopi diagnostik yang secara acak diterapi secara bedah atau dilakukan menejemen ekspektatif menunjukkan rerata kehamilan kumulatif yang meningkat secara signifikan pada pasien yang menjalani terapi. hal ini menunjukkan bahwa lesi yang ringan sekalipun dapat mempengaruhi proses reproduksi7. penelitian eksperimental pada primata, kelinci dan tikus yang dibuat endometriosis, juga menguatkan argumen bahwa endometriosis menyebabkan infertilitas, tidak tergantung dari lokalisasi dan ekstensifitas dari lesi endometriosis. menurut barnhart (2002) dalam sebuah metanalisis pada ivf mendapatkan bahwa angka kehamilan wanita endometriosis hampir setengah dari angka kehamilan ivf dengan indikasi lain. selain itu pada wanita endometriosis juga menunjukkan hasil yang rendah pada angka fertilisasi, implantasi maupun jumlah oocyt yang didapat. angka kehamilan ivf akan meningkat apabila digunakan oocyt donor dari wanita yang bukan endometriosis, sebaliknya jika oocyt wanita endometriosis ditanamkan pada wanita yang tidak endometriosis, tetap saja mempunyai angka kehamilan yang rendah. hal ini menunjukkan kualitas oocyt yang kurang baik pada wanita endometriosis. diduga buruknya kualitas oocyt ini terjadi sejak masih dalam folikel sebelum terlepas ke cavum abdomen dan tercampur dengan cairan peritoneal. kualitas oocyt ini tampaknya tidak bisa diperbaiki dengan pemicu ovulasi gonatropin sekalipun mengingat kenyataannya bahwa angka kehamilan ivf wanita endometriosis tetap rendah.2 hipotesis yang menerangkan bahwa endometriosis menyebabkan infertilitas atau penurunan fekunditas masih kontroversi dan banyak diperdebatkan meskipun sudah banyak penelitian yang berusaha menjawab pertanyaan tersebut. the practice committee of the american society for reproductive medicine (2006)7 dan beberapa literatur menjelaskan bahwa beberapa mekanisme yang diduga berkaitan dengan infertilitas pada wanita endometriosis adalah sebagai berikut: distorsi struktur anatomi organ pelvis. terjadinya adesi pelvis berperan penting dalam infertilitas melalui mekanisme gangguan pelepasan ovum, blokade transpor sperma ke cavum peritonei dan menghambat tubal pickup oocyt, motilitas tuba dan patensi tuba.1 peningkatan inflamasi peritoneum diikuti peningkatan sitokin pada cairan peritoneum terjadi pada endometriosis. sitokin mempunyai peran yang besar dalam memicu pembentukan serta progesivitas penyakit. sitokin dapat menstimulasi perlekatan sel endometrial ke mesotelial peritoneum secara invitro sebaik stimulasi oleh protein matrik ekstraseluler spesifik8. hiperaktivitas makrofag dalam cairan peritoneum diduga ikut berperan dalam patogenesis endometriosis dan infertilitas dengan mensekresi growth factor dan sitokin . peningkatan jumlah makrofag pada endometriosis tingkat lanjut juga diikuti 65 mutiara medika edisi khusus vol. 8 no. 1: 62 71, april 2008 dengan peningkatan jumlah limfosit t pada cairan endometrium. sitokin merupakan mediator imunitas spesifik maupun non spesifik. sitokin diproduksi oleh makrofag, limfosit, eosinofil, sel mast dan sel endotel berperan sebagai mediator komunikasi interseluler yang sangat poten dengan berbagai efek seperti memacu proliferasi, sitostatik, chemoattractant atau efek diferensiasi.8 tumor necrosis factor (tnf-á) merupakan sitokin produk utama makrofag teraktifasi yang akan mengaktifkan lekosit inflamasi sehingga memicu produksi sitokin yang lain seperti interleukin-1 (il-1), il-6 dan tnf-á sendiri. tnf-á berperan penting dalam patogenesis endometriosis8. fungsi tnf adalah untuk menginisiasi kaskade sitokin dan faktor lain yang berhubungan dengan respon inflamasi. pada endometrium manusia, tnf-ü berperan pada fisiologi proliferasi endometrium. in vitro, sekresi tnf-ü dimodulasi oleh il-1, progesteron dan pp14. tnf-ü juga terlihat meningkatkan produksi prostaglandin pada jaring endometrium yang dikultur dan memacu perlekatan antara sel stroma dan mesotelial pada kultur. penemuan ini menegaskan kehadiran tnf-ü pada cairan peritoneum dapat memicu perlengketan jaringan endometrium ektopik dengan peritoneum.8 perubahan fungsi peritoneal. beberapa penelitian menunjukkan bahwa wanita dengan endometriosis mengalami peningkatan cairan peritoneum, peningkatan aktivitas makrofag, peningkatan konsentrasi prostaglandin, il1, tnf dan protease. perubahan pada cairan peritoneum ini diduga menghambat interaksi cumulus dan fimbria serta memberikan efek negatif pada oocyt, sperma, embryo maupun fungsi tuba uterina. dari penelitian yang dilakukan tzeng et al (1994) diperoleh bukti bahwa ada korelasi antara efek embritoksik antara cairan peritoneal dan serum penderita endometriosis. ini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang bersifat embriotoksik masuk dan beredar dalam sirkulasi sistemik dan mempengaruhi embriogenesis awal pada organ reproduksi.9 perubahan fungsi imunobiology. iga, igg dan limfosit pada endometrium wanita endometriosis meningkat. hal ini diduga menurunkan reseptivitas endometrial dan mengganggu proses implantasi embryo. autoantibodi terhadap antigen endometrium meningkat pada wanita endometriosis. seperti pada penyakit autoimun lainnya, endometriosis berhubungan dengan aktivasi sel b poliklonal, abnormalitas imunologis pada fungsi sel t dan b, peningkatan apoptosis, kerusakan jaringan, keterlibatan multiorgan, kejadian familial, kemungkinan keterlibatan faktor genetik dan lingkungan serta hubungannya dengan penyakit autoimun lainnya. endometriosis berhubungan dengan abortus berulang dan infertilitas yang kemungkinan karena adanya autoantibodi abnormal.8 interleukin-1 (il-1) berperan pada regulasi inflamasi dan respon imun, yaitu menyebabkan aktivasi limfosit t dan diferensiasi limfosit b. konsentrasi il-1 meningkat pada cairan peritoneum wanita dengan endometriosis. peranan il-1 dalam memacu angiogenesis pada lesi endometriotik diduga karena induksi pada faktor angiogenik (vascular endothelial growth factor and interleukin-6) pada jaringan endometriosis tetapi tidak pada endometrium normal. sitokin il-1 meningkatkan sicam-1 pada sel endometriotik dimana sicam-1 dapat mempengaruhi sistem imun yang menyebabkan jaringan endometriotik tidak dirusak di kavum peritoneum. interleukin-6 (il-6) merupakan regulator inflamasi dan imunitas yang berperan sebagai jembatan antara sistem endokrin dan sistem imun. il-6 memacu sekresi sitokin yang lain, mengaktivasi limfosit t, diferensiasi limfosit b, dan menghambat pertumbuhan beberapa jenis sel. il-6 berperan menghambat proliferasi sel stroma endometrium, sehingga diduga estrogen menghambat sintesis il-6 selama fase proliferasi pada uterus yang normal. il-6 ditemukan rendah selama fase proliferasi dimana estrogen dalam kadar yang tinggi sebaliknya il-6 ditemukan tinggi pada fase sekretori dimana kadar enstrogen rendah alfaina wahyuni, endometriosis dan infertilitas ................................ 66 saat itu. pada percobaan in vitro diduga terdapat disregulasi respon dari il-6 pada makrofag peritoneal, sel stroma endometrium dan makrofag dalam darah pada pasien endometriosis5,8. abnormalitas endokrin dan ovarium. diduga terdapat perubahan hormonal dan fungsi ovarium pada wanita endometriosis yang meliputi the luteinized unruptured follicle syndrome, luteal phase dysfunction dan abnormal follicular growth. namun dugaan ini tidak didukung dengan bukti yang valid. banyak kemungkinan yang dapat dimunculkan, mulai dari pengaruh folikulogenesis, disfungsi ovulasi, hiperprolaktinemia, defek fase luteal, accelereratad ovum transport, spermphagocytosis, impaired fertilization sampai embriotoksisitas pada saat awal perkembangan embrio7. sebuah penelitian menunjukkan adanya kelainan proses steroidogenesis diidalam folikel wanita endometriosis. didalam cairan folikel preovulasi wanita endometriosis ringan terdapat kadar endothelin-1 yang tinggi dan kadar receptor lh yang rendah di sel granulosa selama fase folikuler. dampaknya adalah adanya gangguan proses steroidogenesis folikuler.2 gangguan proses implantasi. beberapa peneltian sudah dilakukan untuk mempelajari kaitan endometriosis dengan implantasi. berkurangnya ekspresi ávâ integrin suatu molekul adesi selama implantasi terjadi pada beberapa wanita endometriosis. pada penelitian lainnnya, pada wanita infertil dengan endometriosis terdapat penurunan kadar enzim yang terlibat dalam endometrial ligand. pada penelitian lain dikatakan bahwa reseptivitas endometrial pada pasien endometriosis tidak ada gangguan, diduga menurunnya angka implantasi berhubungan dengan kualitas oocyt dan embrio serta menurunkan kualitas zona pellucida sehingga sehingga menghambat proses hatching.7 penatalaksanaan infertilitas endometriosis. penatalaksanaan infertilias endometriosis sangat komplek, mempunyai banyak masalah dan masih banyak silang pendapat. masalahnya sudah muncul mulai dari diagnosis, pengobatan bahkan sampai dengan evalusi selanjutnya. pengobatan infertilitas endometriosis dapat berupa pembedahan, medikamentosa, atau kombinasi keduanya. terapi medikamentosa. terapi medikamentosa untuk mengatasi nyeri pada endometriosis cukup efektif, namun belum ada bukti ilmiah bahwa terapi ini bisa meningkatkan fekunditas. beberapa pilihan obat yang bisa digunakan adalah danazol, gnrh agonis, gnrh antagonis, progestin dan kombinasi estrogen-progesteron. beberapa penelitian rct membuktikan bahwa danazol, gnrh analog maupun progestin tidak efektif sebagai terapi infertilitas endometriosis ringan sampai sedang. pada 2 penelitian rct yang mengikutsertakan 105 wanita infertil yang menderita endometriosis ringan sampai sedang, menunjukkan bahwa dengan terapi danazol, angka kehamilan tidak meningkat dibandingkan dengan menejemen ekspektatif. selanjutnya dalam penelelitian rct yang diikuti 71 wanita infertil dengan endometriosis ringan sampai sedang, angka kehamilan selama pengamatan 1 dan 2 tahun tidak menunjukkan perbedaan antara terapi gnrh agonis selama 6 bulan dibandingkan dengan terapi ekspektatif. penelitian rct serupa dengan menggunakan terapi progestin menunjukkan hasil yang sama. pada penelitian rct yang hanya diikuti 31 wanita infertil endometriosis, angka kehamilan dengan terapi progestin dibandingkan dengan ekspectatif menejemen adalah 41% dan 43%. dalam sebuah metanalisis dari 7 penelitian yang membandingkan terapi medikal dan tanpa terapi atau plasebo menunjukkan bahwa odds ratio kehamilan adalah 0,85 (95%ci 0,95-1,22). jadi terapi hormonal tidak memperbaiki fekunditas wanuta infertil yang menderita endometriosis grade i-ii 7. alastair et al (2001) telah melakukan metaanalisis pada beberapa penelitian tentang efek terapi medimentosa terhadap angka kehamilan. tabel berikut menunjukkan bahwa terapi dengan progestogen, gnrh agonis dan oral kontrasepsi dibandingkan dengan danazol 67 mutiara medika edisi khusus vol. 8 no. 1: 62 71, april 2008 tidak meningkatkan angka kehamilan (or 1,2 95%ci 0,9-1,7), demikan halnya antara terapi danazol, gnrh agonis, progestagen dibandingkan dengan placebo atau tanpa terapi juga tidak menunjukkan peningkatan angka kehamilan (or 0,8 95%ci 0,5-1,4).10 terapi operatif. prinsip pembedahan yang dilakukan pada endometriosis adalah ablasi sebanyak mungkin sarang-sarang endometriosis dan meninggalkan jaringan yang sehat. disamping itu juga melakukan perbaikan dengan melepaskan perlengketan yang terjadi dan pencucian rongga peritoneum7,10. pada endometriosis stadium i dan ii, ablasi laparoskopik sarang endometrium sedikit meningkatkan angka kelahiran hidup secara bermakna. 2 penelitian rct melaporkan efektivitas laparoskopi sebagai managemen infertilitas endometriosis. penelitian di italia, 20% subyek penelitian berhasil hamil dalam 1 tahun post alfaina wahyuni, endometriosis dan infertilitas ................................ 68 laparoskopi dan 22% diantaranya melahirkan bayi hidup. studi di canada, 29% hamil dalam waktu 36 bulan post laparoskopi dan 17% diantaranya berhasil hamil sampai umur kehamilan 20 minggu. dari penelitian tersebut kemungkinan angka kehamilan hidup 2,7x lebih tinggi dengan terapi ablasi atau reseksi diandingkan dengan yang tanpa terapi, dengan nnt 12 artinya untuk menimbulkan 1 kehamilan pada penderita endometriosis grade i atau ii harus dilakukan ablasi laparoskopik pada 12 orang pasien. tidak ada bukti bahwa outcome penelitian dipengaruhi oleh metode ablasi baik dengan electro-surgery maupun dengan laser11. penelitian lain melaporkan bahwa, dari 216 pasien infertil dengan endometriosis berat yang dilakukan laparoskopi atau laparotomi kemungkinan terjadi kehamilan 45%, selanjutnya meningkat 63% setelah 2 tahun. scenken (1998) dalam studi pustakanya mengatakan bahwa wanita endometriosis grade iii/iv tanpa memperhatikan faktor infertilitas yang lain, terapi bedah dengan laparoskopi dan laparotomy meningkatkan fertilitas 7. metaanalisis yang dilakukan jascobson et al (2002) menunjukkan bahwa dari 2 rct membuktikan terjadi peningkatan fertilitas yang berhubungan dengan endometriosis ringan sampai sedang dengan terapi bedah laparoskopi. laparoskopi meningkatkan angka kehamilan dan angka kelahiran hidup (or 1,64, 95%ci 1,05-2,57)11. kombinasi terapi medik dan terapi bedah. terapi medik bisa dilakukan preoperatif maupun postoperatif. meskipun secara teoritis menguntungkan, tetapi tidak ada bukti ilmiah yang mengatakan bahwa kombinasi terapi medik dan terapi bedah meningkatkan fertilitas wanita endometriosis bahkan terapi kombinasi ini akan menghabiskan waktu lama sehingga akan terjadi keterlambatan dalam pengelolaan infertilitas lebih lanjut. terapi medik preoperatif diduga dapat menurunkan vascularisasi pelvik dan mengurangi ukuran implant endometriotik sehingga akan mengurangi jumlah darah yang hilang. terapi medik postoperatif secara teoritis akan mengeradikasi residu implant endometriotik yang tidak bisa dihilangkan pada saat tindakan operatif 7. menurut metaanalisis yang dilakukan adamson dan pasta (1994) salah satu hasilnya adalah terapi medikamentosa pra pembedahan dengan danazol atau gnrh agonis memberikan hasil dalam meningkatkan kehamilan dan kemungkinan memberikan hasil operasi yang baik dengan mengurangi ukuran lesi dan mengurangi potensial perlekatan serta mengurangi perdarahan selama operasi dengan berkurangnya aliran darah dan inflamasi12. superovulasi dan inseminasi intrauterin. superovulasi dengan gonadotropin dan inseminasi intrauterin banyak dikerjakan pada wanita infertil. sebuah penelitian rct skala besar yang dilakukan oleh nih reproductive medicine network mengikutsertakan 932 pasangan infertil dengan endometriosis grade i/ii atau unexplained infertility. pasangan ini dibagi menjadi beberapa kelompok dan mendapat intracervical insemination (ici), iiu, gonadotropin-ici dan gonadotropin-iiu kemudian dilihat fekunditas bulanan. pada kelompok gonadotropin-iiu menunjukkan angka fekunditas bulanan yang tinggi secara signifikan yaitu 0,09 dibandingkan dengan iui (0,05), gonadotropin-ici (0,04) dan kelompok ici (0,02)7. tabel berikut melaporkan keberhasilan terapi dengan superovulasi dilanjutkan dengan iiu dalam menejemen infertilitas endometriosis . deaton et al (1990) melaporkan bahwa angka fekunditas meningkat pada wanita infertilitas endometriosis post koreksi bedah maupun unexplained infertility yang mendapat clomifen citrat dilajutkan dengan iiu dibandingkan dengan kontrol (0,095 vs 0,033). sedangkan chafkin et al (1991) membandingkan antara wanita infertil endometriosis yang diterapi bedah laparoskopik dan selanjutnya mendapat gonadotropin saja dengan yang mendapat gonadotropin dan iiu. angka fekunditas meningkat pada kelompok gonadotropin-iiu (0,129 vs 0,066). penelitian lain oleh fedele 69 mutiara medika edisi khusus vol. 8 no. 1: 62 71, april 2008 et al (1992) membandingkan efek pemberian gonadotropin 3 siklus dilanjutkan iiu dengan terapi expectative. fekunditas pada kelompok gonadotropin-iiu lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan terapi ekspektatif (0,15 vs 0,045; p<0,05). kemmann et al (1993) melaporkan efek dari menejemen ekspektatif, clomifen citrat, gonadotropin dan ivf-et terhadap fekunditas wanita endometriosis grade i /ii. fekunditas pada terapi gonadotropin lebih tinggi daripada tanpa terapi apapun (0,073 vs 0,028). assisted reproductive technology. angka keberhasilan ivf dalam menejemen infertilitas di amerika 29,4%. tidak terdapat penelitian rct skala besar yang menbandingkan efektivitas ivf dalam mengatasi problem infertilitas endometriosis. dalam satu rct yang diikuti 21 wanita infertilitas endometriosis dibagi secara random menjadi kelompok tanpa terapi dan kelompok ivf, menunjukkan bahwa kehamilan pada kelompok tanpa terapi 0% sedangkan pada ivf 33%, namun secara statistik tidak bermakna7. beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi jangka panjang dengan gnrh-analog sebelum ivf meningkatkan fekunditas. terapi gnrh-analog selama 6 bulan akan meningkatkan jumlah oocyt, embryo transfer dan kehamilan. disamping itu, terapi jangka panjang gnrh menurunkan abortus preklinik pada wanita endometriosis berat yang mengikuti ivf-et. surrey et al (2002) meneliti tentang keuntungan prolonged down-regulation dengan gnrh-a sebelum ivf pada wanita endometriosis. angka pregnancy meningkat pada terapi dengan prolonged downregulation gnrh-a sebelum ivf-et7. pendekatan klinis wanita endometriosis infertil. keputusan klinis dalam menejemen infertilitas endometriosis masih banyak menemui kesulitan dan merupakan masalah yang rumit. faktor usia, lama infertilitas, riwayat keluarga endometriosis, nyeri pelvis dan stadium endometriosis harus dipertimbangkan dalam merencanakan menejemen infertilitas7. secara umum, manajemen infertilitas endometriosis seperti dalam skema berikut10. alfaina wahyuni, endometriosis dan infertilitas ................................ 70 pada wanita infertil endometriosis grade i/ii harus dipertimbangkan apakah perlu dilakukan laparoskopi sebelum dilakukan terapi dengan clomifen citrat, gonadotropin atau ivf-et. yang jelas faktor usia, lama infertilitas, riwayat keluarga endometriosis dan adanya nyeri pelvis harus dipertimbangkan. jika dikerjakan laparoskopi, harus dilakukan ablasi atau eksisi impalant endometriotik secara aman. jika keluhan nyeri menonjol, terapi laparoskopi dan bedah lebih sesuai. menejemen ekspektatif setelah laparoskopi pada wanita muda merupakan pilihan, alternatif lain dengan superovulasi dilajutkan dengan iiu. jika usia lebih dari 35 tahun menejemen agresif lebih dianjurkan dengan pertimbangan bahwa fekunditas menurun secara bermakna dan angka abortus meningkat. pilihan yang dianjurkan adalah superovulasi dilanjutkankan dengan iiu atau ivf-et. pada wanita infertil endometriosis grade iii/iv, tanpa disertai faktor infertilitas lainnya dianjurkan untuk menjalani terapi bedah konservatif berupa laparoskopi maupun laparotomi . dari beberapa penelitian diduga terapi bedah meningkatkan fertilitas. manejemen ekspektatif bukan terapi yang dianjurkan untuk endometriosis grade iii/iv. pada wanita infertil endometriosis grade iii/iv yang sudah menjalani satu atau lebih terapi bedah, ivfet merupakan terapi terbaik dibandingkan terapi bedah lainnya. tidak ada bukti ilmiah yang membandingkan efek terapi bedah dan terapi bedah yang dilajutkan ivf-et terhadap luaran kehamilan. kemman et al melaporkan bahwa, angka kehamilan setelah 2 siklus ivf pada wanita infertil endometriosis stadium iii/iv adalah 70%, sedangkan angka kehamilan kumulatif dalam waktu 9 bulan pada wanita infertil endometriosis grade iii/iv yang menjalani terapi bedah berulang adalah 24%. jika terapi bedah gagal memperbaiki fertilitas pada endometriosis sedang sampai berat, dianjurkan untuk ivf-et. demikian pula jika usia lebih dari 35 tahun 7. kesimpulan mekanisme terjadinya infertilitas karena endometriosis masih belum jelas, beberapa faktor diduga berperan dalam mekanisme tersebut yaitu distorsi anatomi, gangguan fungsi peritoneal, gangguan imunologis, abnormalitas endokrin dan ovarium serta gangguan implantasi. penatalaksanaan infertilitas endometriosis sangat komplek dan harus mempertimbangkan aspek usia, lama infertilitas, riwayat keluarga endometriosis, nyeri pelvis dan stadium endometriosis. terapi medikal cukup efektif untuk mengurangi keluhan endometriosis tetapi tidak meningkatkan fekunditas, sedangkan terapi bedah laparoskopi secara signifikan meningkatkan angka kehamilan dan angka kelahiran hidup. kombinasi terapi medikal dan bedah secara teoritis menguntungkan tetapi belum cukup bukti yang menunjukkan efektifitasnya dalam meningkatkan fertilitas. 71 mutiara medika edisi khusus vol. 8 no. 1: 62 71, april 2008 daftar pustaka 1. arya p, shaw r., endometriosis: current thinking. current obs.gyn 2005:15:191-198 2. samsulhadi, endometriosis dan infertilitas, kursus penangan infertilitas dasar dan tehnologi reproduksi bantuan, prakongres obstetri ginekologi xii, 2003 3. prentice a, endometriosis, current obs.gyn 2002:12:155-160 4. west cp, endometriosis and gonadothropin releasing hormone analogues in luesley dm & baker pn eds: obstetrics and gynaecology an evidence-based text for mrcog, arnold, london 2004. 5. hadisaputra w. endometriosis: tinjauan perangai imunopatobiologi sebagai modalitas baru untuk menegakkan diagnosis endometriosis tanpa visualisasi laparoskopi (kajian pustaka). maj obstet ginekol indones 2007;31(3):180-4 6. tzeng cr.,chien lw., chang sr., chen ac. effect of peritoneal fluid and serum from patients with endometriosis on mouses embryo invitro development. zhongsua yi xue zaa zhi, 1994:54(3):145-8 7. lebovic d, mueller m, robert t. immunobiology of endometriosis. fertil steril, 2001;75: 1-10 8. adamson dg, pasta dj. surgical treatment of endometriosis associated infertility: meta analysis compared with survival analysis. am j obstet gynecol 1994;171:1488-505 9. lessey ba. medical management of endometriosis and infertility. fertil steril 2000;73:1488-505 80 vitrektomi pada pasien dengan retinopati diabetik vitrectomy in patients with diabetic retinopathy yunani setyandriana bagian ilmu penyakit mata fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta email: dr_nanaspm@yahoo.co.id abstract retinopathy is a primary morbidity occurring in retinopathy diabetic patients and may cause blindness. the failure of laser treatment to stop the new neovascularization may result in severe vision damage. vitrectomy is indicated in severe vision patients to improve their vision. the aims of the study were to discuss vitrectomy in diabetic retinopathy patients, refresh the knowledge on how and when vitrectomy should be performed, and to understand the side effect in order to obtain optimal vision improvement. the method is literature study. progressive fibrovascular proliferation in diabetic retinopathy patients may lead to retinal detachment. the detachment of posterior retinal without involvement of fovea can be observed. however, if fovea is involved, vitrectomy is indicated. if adequate laser fails due to media opacity, cataract surgery may be performed. laser photocoagulation can be conducted a few days postsurgery. alternatively, both vitrectomy and endolaser may be recommended along with lensectomy and intraocular lens implantation. diabetic retinopathy vitrectomy study(drvs) concluded:1) in severe vitreous bleeding eyes, early vitrectomy may result in improved vision despite the high risk of vision loss which needs to be considered.2)in the iddm patients, especially those with severe vitreous bleeding, early vitrectomy is more beneficial and may have a good result. postoperative complications may occur including retinal detachment, vitreous bleeding, rubeosis iridis, and other types of complications, which require further considerations for optimal result.the prognosis after vitrectomy depends on the macular function. surgery for vitreous bleeding without macula detachment generally brings a good result. key words: diabetes mellitus, diabetic retinopathy, drvs, iddm, vitrectomy, rubeosis iridis. abstrak retinopati merupakan penyebab morbiditas utama pada pasien diabetes dengan akibat akhir yang paling ditakuti adalah kebutaan. kegagalan terapi laser untuk menghentikan proliferasi pembuluh darah baru dapat menyebabkan kerusakan penglihatan yang parah. pada pasien dengan kerusakan penglihatan yang berat, vitrektomi merupakan terapi yang dapat diharapkan untuk memperbaikinya. kajian ini membahas tentang vitrektomi pada retinopati dm, menyegarkan pengetahuan kita tentang bagaimana dan kapan vitrektomi dilaksanakan serta mengerti efek yang terjadi supaya didapatkan perbaikan penglihatan yang seoptimal mungkin. proliferasi fibrovaskular yang progresif pada diabetes dapat mengakibatkan lepasnya retina. lepasnya bagian posterior tanpa melibatkan fovea dapat tetap stabil dan harus diobservasi, namun begitu fovea terlibat, vitrektomi merupakan indikasi. jika fotokoagulasi panretinal yang adekuat tidak dapat dilakukan karena opasitas media, pembedahan katarak dapat dilakukan, dan fotokoagulasi laser dapat dilakukan setelah beberapa hari pasca pembedahan. sebagai alternative, vitrektomi dan endolaser dapat dilakukan bersama dengan lensektomi dengan pemasangan lensa yunani setyandriana, vitrektomi pada pasien ... 81 intraocular. penelitian drvs menyimpulkan: 1) untuk mata dengan perdarahan vitreus berat, vitrektomi awal menghasilkan tajam penglihatan yang lebih baik, meskipun risiko lebih banyak kehilangan visus sampai tidak didapatkan persepsi cahaya harus dipikirkan. 2) pasien dengan iddm, khususnya dengan perdarahan vitreus berat, vitrektomi awal lebih menguntungkan dan menghasilkan pemulihan tajam penglihatan yang baik. komplikasi post operasi dapat terjadi, diantaranya yaitu pelepasan retina, perdarahan vitreus, rubeosis iridis, dan komplikasi lain harus pula dipikirkan lebih lanjut supaya didapatkan hasil yang optimal. disimpulkan bahwa prognosis penglihatan setelah vitrektomi tergantung pada fungsi macula. pembedahan untuk perdarahan vitreus tanpa pelepasan macula biasanya menghasilkan ketajaman penglihatan yang baik. kata kunci: diabetes melitus , retinopati diabetik, drvs, iddm, vitrektomi, rubeosis iridis. pendahuluan diabetes mellitus adalah sekelompok kelainan metabolik dengan satu manifestasi umum, yaitu hiperglikemia. hiperglikemia yang kronis dapat menyebabkan kerusakan pada mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.1 retinopati diabetes merupakan respon target organ terhadap penyakit sistemik dan hanya merupakan salah satu dari berbagai komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular dari diabetes mellitus.2 retinopati diabetes disebabkan oleh mikroangiopati yang berefek pada arteriol prekapiler, kapiler, dan venula pada retina. kerusakan disebabkan oleh kebocoran mikrovaskular karena rusaknya barier dalam darah-retina dan sumbatan mikrovaskular.3 retinopati merupakan penyebab utama morbiditas pasien dengan diabetes. dalam 20 tahun, retinopati terjadi pada hampir semua pasien dengan diabetes tipe i dan 50-80% pada pasien diabetes tipe 2.4 pasien dengan retinopati diabetik akan dapat mengalami gejala penglihatan kabur sampai kebutaan.5 insidensi kebutaan karena diabetes telah dilaporkan 64 per 100.000 populasi diabetik/tahun.6 faktor risiko bagi perkembangan dan progresivitas retinopati diabetik adalah: 1) durasi diabetes, 2) kontrol gula darah, 3) keterlibatan ginjal, 4) proteinuria, 5) mikroalbuminuria, 6) hipertensi sistemik, dan 7) kehamilan.7 retinopati diabetik secara umum diklasifikasikan sebagai retinopati diabetik non proliferative (rdnp) dan retinopati diabetik proliferative (rdp). sangatlah penting untuk mendapatkan diagnosis yang akurat mengenai tingkat retinopati diabetik pasien, supaya dapat menentukan terapi yang tepat pada pasien.8 penanganan pada pasien dengan retinopati diabetika diantaranya adalah dilakukannya fotokoagulasi laser, yang merupakan terapi primer untuk retinopati lanjut. laser ini dilakukan dalam keadaan pasien sadar dan nyaman, membutuhkan waktu sekitar 30 menit dan pasien dapat segera pulang.9 efikasinya telah dibuktikan dalam penelitian retinopati diabetik dimana 1758 pasien diabetes yang mengalami retinopati lanjut secara acak dilakukan fotokoagulasi panretinal pada satu mata. risiko kumulatif hilangnya penglihatan yang parah dalam 6 tahun berkurang lebih dari 50% pada mata yang diterapi.6 beberapa pasien dengan retinopati proliferative yang parah dapat mengalami perdarahan yang luas atau lepasnya retina yang dapat menyebabkan kebutaan. pembedahaan vitrektomi dapat dilakukan untuk memulihkan penglihatan dengan mengambil perdarahan dan jaringan yang mengalami perdarahan.9 pengambilan cairan vitreus yang opak diikuti fotokoagulasi retina dapat memulihkan beberapa fungsi penglihatan, namun waktu yang tepat untuk intervensi ini sangatlah kritis. untuk melakukan pembedahan sebaiknya tidak menunggu traksi dari macula dan berkembangnya perdarahan vitreus yang merupakan indikasi vitrektomi yang paling banyak. pada pasien dengan kerusakan mutiara medika vol. 10 no. 1:80-85, januari 2010 82 panglihatan yang berat, vitrektomi merupakan terapi yang dapat diharapkan untuk memperbaikinya.6 tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk membahas tentang vitrektomi pada retinopati diabetic, menyegarkan pengetahuan kita tentang bagaimana dan kapan vitrektomi dilaksanakan serta mengerti efek yang terjadi supaya didapatkan perbaikan penglihatan yang seoptimal mungkin. diskusi vitrektomi diperkenalkan pertama kali oleh machemer pada tahun 1970an sebagai metode untuk mengambil perdarahan vitreus.8 pada saat itu indikasi utama dilakukan vitrektomi adalah mata dengan perdarahan vitreus yang parah yang tidak dapat hilang spontan setelah 1 tahun dan lepasnya retina pada macula sentral. namun dengan berkembangnya teknik dan instrument, indikasi vitrektomi menjadi semakin luas.10 tujuan utama pembedahan vitrektomi secara khusus pada retrinopati diabetik adalah mendapatkan ketajaman penglihatan yang berguna. tujuan penting lainnya adalah mencegah perkembangan lebih lanjut proses neovaskular diabetik sehingga mendapat keberhasilan secara fungsional maupun anatomikal dalam jangka panjang.10,11 diabetic vitrectomy study group mempelajari waktu vitrektomi dan efeknya pada penglihatan serta komplikasinya. dalam penelitian ini dimasukkan pasien dengan perdarahan vitreus yang parah (visus <5/200) dan membandingkan vitrektomi dini (setelah 1 bulan) dengan vitrektomi lambat (setelah 1 tahun). pada pasien dm tipe 1, vitrektomi dini menawarkan kesempatan pemulihan penglihatan yang lebih baik. pada pasien dm tipe 2 dan tipe campuran, hasil penglihatan sama saja antara vitrektomi dini dan lambat. penelitian ini dilakukan tanpa standarisasi manajemen fotokoagulasi endolaser sehingga validitas kesimpulannya masih dipertanyakan. meskipun demikian, vitrektomi dini memberikan kesempatan pemulihan penglihatan secara cepat, yang sangat penting pada pasien yang tidak memiliki penglihatan baik pada mata lainnya.8 proliferasi fibrovaskular yang progresif pada pasien diabetes dapat mengakibatkan lepasnya retina. jika lepasnya bagian posterior tanpa melibatkan fovea, dapat kita lakukan observasi. namun begitu fovea terlibat, vitrektomi harus dilakukan secepatnya, karena perubahan degenerasi yang terjadi pada retina yang lepas dapat menghalangi pulihnya penglihatan setelah terapi. tarikan vitreus dan kontraksi membran dapat mengakibatkan lubang pada retina dan lepasnya retina kombinasi traksi dan rhegmatogen. pada kondisi seperti ini perlu dilakukan tindakan vitrektomi pars plana.8 beberapa pasien bisa mengalami katarak dan penyakit proliferative. jika fotokoagulasi panretinal yang adekuat tidak dapat dilakukan karena opasitas media, maka pembedahan katarak dapat dilakukan, dan fotokoagulasi laser dapat dilakukan dalam beberapa hari setelah pembedahan katarak. harus diingat bahwa proliferasi justru bisa berkembang cepat setelah pembedahan katarak. sebagai alternative dapat dilakukan vitrektomi pars plana dengan endolaser bersama dengan lensektomi (melalui pars plana atau limbus) dengan pemasangan lensa intraocular.8 seiring dengan berkembangnya teknik vitrektomi dan berkurangnya frekuensi kejadian komplikasi yang serius, ada beberapa indikasi yang ditambahkan. indikasi yang disarankan tersebut meliputi traksi diskus, peripapilari retina, atau macula yang mengubah struktur ini sehingga menyebabkan pengurangan tajam penglihatan yang substansial, proliferasi fibrous opak di depan makula, dan perdarahan preretinal yang luas.10 dua teknik utama dalam melakukan vitrektomi adalah :1)teknik segmentasi, dan 2) teknik delaminasi dan reseksi en bloc. pada kedua teknik ini vitreus diambil untuk visualisasi dan untuk menciptakan ruang berisi cairan di posterior lensa. harus diingat bahwa masing-masing teknik mempunyai kelebihan dan kekurangan. teknik yunani setyandriana, vitrektomi pada pasien ... 83 segmentasi tidak disukai karena tidak dapat mengambil jaringan proliferative dari retina secara lengkap sehingga memungkinkan terjadinya perdarahan rekuren atau proliferasi membran. sedangkan teknik diseksi horizontal (delaminasi) tidak disulkai karena sering terjadinya perubahan retina dan peningkatan perdarahan intraocular.8 diatermi dapat digunakan untuk mempertahankan homeostatis, dan perdarahan yang banyak dapat dikontrol dengan memasukkan cairan. cairan ataupun gas dapat didrainase pada subretinal, digunakan pada kasus ablasio retina dengan robekan di posterior. panretinal endofotokoagulasi dilakukan bila terdapat neovaskularisasi aktif atau neovaskularisasi iris preoperative atau jika panretinal fotokoagulasi tidak dilakukan sebelum pembedahan, dan dapat pula dilakukan untuk menterapi ablasi retina iatrogenic. kriopexi transcleral masih tetap merupakan alat yang bermanfaat bila terdapat ablasio retina ekstensiva atau jika penglihatan fundus hilang. tampon intraocular dengan udara, gas, atau minyak silikon digunakan pada kasus-kasus ablasio retina.8 minyak silikon pertama kali digunakan pada vitrektomi diabetik primer pada era 1979-84 sebelum endolaser diperkenalkan. minyak silikon sebagai tamponade intraocular memudahkan retina menempel kembali. minyak silikon mengkompartementalisasi mata dan berperan dalam menghambat neovaskularisasi progresif pada segmen anterior dengan mencegah difusi substansi angiogenik, serta mencegah hipotoni dan ptisis bulbi subsekuent. oleh karena itu pemakaian minyak silikon dianjurkan pada ablasio retina yang kompleks dan rdp berat.8,12,13 selain minyak silikon, pemakaian cairan perfluorokarbon (pfc) mulai diperkenalkan pada tahun 1987oleh chang untuk terapi giant retinal tears, rd dengan proliferative vitreo retinopathy (pvr), dan ablasio retina traumatik. imamura dkk. melaporkan tentang penggunaan pfc pada operasi vitrektomi pada rdp, disimpulkan bahwa pfc berguna selama vitrektomi pada rdp berat, khususnya untuk meratakan retina yang mengkerut. komplikasi yang dapat terjadi adalah nvg, perdarahan ekspulsive, oklusi arteri retina, dan migrasi pfc subretina. namun demikian injeksi yang dilakukan dengan hati-hati dapat mencegah komplikasi tersebut.14 keberhasilan vitrektomi pada rdp telah mengalami peningkatan dalam 2 dekade terakhir. hasil pembedahan pada pasien dengan perdarahan vitreus saja menunjukkan bahwa 71-78% pasien mengalami perbaikan penglihatan dalam 6 bulan setelah vitrektomi, dan 76% pasien memiliki ketajaman penglihatan 5/200 atau lebih. untuk pasien dengan pelepasan retina traksi yang melibatkan fovea, 57-75% pasien mengalami perbaikan visus, dengan 20/200 atau lebih dalam 6 bulan pada 4054% pasien.8 sebuah percobaan pada 370 mata yang mengalami perubahan retina lanjut menunjukkan bahwa jika vitrektomi ditunda sampai pelepasan retina sentral terjadi, maka hanya 28% mata memiliki tajam penglihatan 10/20 atau lebih baik dalam 4 tahun. angka keberhasilan meningkat sampai 44% jika vitrektomi dilakukan pada stadium awal.4 penelitian pertama yang dilakukan oleh diabetic retinopathy vitrectomy study (drvs), meneliti tentang tajam penglihatan pada rdp berat dengan terapi konfensional selama 2 tahun, dilakukan pada 744 mata. penurunan tajam penglihatan lebih sering dialami pada tahun pertama follow up dibanding tahun kedua. setelah 2 tahun, visus kurang dari 5/200 didapatkan pada 45% mata dengan pembuluh darah baru lebih dari 4 disc area dan hanya 14% visus 10/30-10/50 dengan ablasio retina traksional tanpa melibatkan macula dan tidak didapatkan pembuluh darah baru yang aktif. vitrektomi dilakukan hanya jika terdapat ablasio retina yang melibatkan macula sentral atau jika perdarahan vitreus berat gagal diserap dalam waktu 1 tahun, yang dialami oleh 25% mata setelah 2 tahun follow up.15 suatu penelitian dilakukan pada 223 pasien (153 pasien perdarahan vitreus, 58 pasien ablasio retina traksional, dan 12 dengan macula traksional) dilakukan kombinasi fakoemulsifikasi dengan pars plana vitrektomi pada pasien rdp, mutiara medika vol. 10 no. 1:80-85, januari 2010 84 dilakukan follow up selama 10 bulan. tajam penglihatan dan komplikasi dilaporkan. didapatkan kesimpulan bahwa operasi kombinasi tersebut dapat meningkatkan tajam penglihatan dan dapat mencegah operasi ulangan untuk katarak post vitrektomi.16 vitrektomi pada retinopati diabetik dilakukan pada 9 pasien (6,9%) dari 129 pasien di rs mata dr yap. ablasio retina terjadi pada 2 pasien dan laser dilakukan pada 7 pasien. setelah dilakukan operasi, 2 pasien dilakukan ekstraksi katarak dan 2 pasien dilakukan facoemulsifikasi. visus post operasi meningkat pada 4 pasien (44,4%), tidak berubah pada 2 pasien (22,2%), dan 3 pasien (33,3%)mengalami penurunan visus. pada penelitian case series ini dinyatakan bahwa separuh pasien yang menjalani operasi vitrektomi menunjukkan peningkatan tajam penglihatan.17 komplikasi operasi vitrektomi dapat terjadi dini (dalam minggu pertama) atau lambat (beberapa minggu atau bulan kemudian). komplikasi mayor yang dihadapi setelah vitrektomi diabetic adalah perdarahan vitreus, lepasnya retina, katarak, dan rubeosis iridis. reoperasi dibutuhkan pada 10-30% kasus. indikasi reoperasi yang terpenting adalah perdarahan vitreus, yang biasanya nampak pada hari-hari awal setelah operasi pertama.18,19,20 komplikasi lain yang jarang namun dapat terjadi yaitu peningkatan tekanan intraocular, katarak,hifema, defek kornea,lepasnya retina total, dan kebocoran minyak silicon di bawah retina. infeksi seperti endoftalmitis dan oftalmia simpatika dapat pula terjadi dan harus segera terdiagnosis dan ditangani secara darurat.18 kesimpulan retinopati merupakan penyebab morbiditas utama pada pasien diabetes dengan akibat akhir yang paling ditakuti adalah kebutaan. pembedahan vitrektomi secara khusus pada retinopati diabetik bertujuan mendapatkan ketajaman penglihatan yang berguna. mata dengan perdarahan vitreus berat, vitrektomi awal menghasilkan perbaikan tajam penglihatan. pasien dengan iddm, khususnya dengan perdarahan vitreus berat, vitrektomi awal lebih menguntungkan, yang menghasilkan pemulihan tajam penglihatan yang baik. operasi kombinasi fakoemulsifikasi dengan insersi pciol dan pars plana vitrektomi dapat dilakukan untuk pasien dengan pdr dan dapat mencegah operasi ulangan untuk katarak postvitrektomi, disamping dengan meningkatkan/ memperbaiki tajam penglihatan awal . komplikasi utama vitrektomi yang bisa terjadi yaitu perdarahan vitreus, pelepasan retina, katarak, dan rubeosis iridis, dan komplikasi lain harus pula dipikirkan untuk mendapatkan hasil akhir yang memuaskan. daftar pustaka 1. mayfield j. 1998. diagnosis and classification of diabetes mellitus: new criteria, american familly physician. 2. aillo l., cahill m.m.j. 2001. systemic consideration in the management of diabetic retinophathy; american journal of ophthalmology. 132:760-776 3. watkins, peter j. 2003. abc of diabetes retinophathy: clinical review, british madical journal. 326:924-926 4. mcculloch, david k. 2004. up to date, screening for and treatment of diabetic retinopathy. 12;1. 5. waspadji, s. 1996. buku ajar ilmu penyakit dalam, edisi 3, jakarta, balai penerbit fakultas kedokteran universitas indonesia. 6. guzey, mustafa, muftuoglu, gulipek. 2001. pars plana vitrectomy for high risk severe proliferative diabetic retinopathy: anatomical and functional outcomes, turkish journal of endocrinology and metabolism, 1:31-38 7. prasad, s. 2004. screening for diabetic retinopathy: an overview. 8. alberd, daniel m. 1988. jakobiec, frederick a, robinso. 2004. principles and practice of ophthalmology. w.b. yunani setyandriana, vitrektomi pada pasien ... 85 saunders company; vol.2. 9. anonim. 2004. what you should know about diabetic retinopathy. http:// www.nei.nih.gov. 10. anonym. 2004. eye procedures http:// www.nlm.nih.gov/medicineplus. 11. meredith t.a.1994. current indications for diabetic vitrectomy in medical and surgical retina, st. louis, mosby, 290303 12. castelarin, grigorian, bhagat, zarbin. 2003. vitrectomy with silicon oil infusion in severe diabetic retinopathy, british journal of ophthammology. 87:318-321 13. mc leod. 2003. silicon oil in diabetic vitrectomy. british journal of ophthalmology. 87:1300-07 14. imamura, minami, ueki, satoh, ikeda. 2003. use of perfluorocarbon liquid during vitrectomy for severe proliferative diabetic retinopat:563-66 15. the diabetic retinopathy vitrectomy study research group: two years course of visual acuity in severe prliferative diaabetic retinopathy with conventional management. 1985. diabetic retinopathy vitrectomy study repord number 1, ophthalmology journal 92:494-502. 16. laney j.m., francis r.r., kearney j.j. 2003. combining phacoemulsification with pars plana vitrectomy in patiens with proliferative diabetic retinopathy:a series of 223 cases. ophthalmology 110(7):1335-9. 17. afifudin m., saraswati d.d., agni a.n. 2005. the outcome of vitrectomy in patients with diabetic retinopathy. proceeding of the 31st annual meeting indonesian ophthalmologist association. jakarta. 18. bouchard o., zech j.c., trepsad c. 1997. vitrectomy and proliferative diabetic retinopathy, j fr ophthalmol. 20:263-270. 19. west j.f., gregor z.j. 2002. fibrovascular ingrowth and recurrent hemorrhage following diabetic vitrectomy, british journal of ophthalmology. 84:822-825 20. helbig, h., kellner, u., bornfeld, n., foester, m.h. 1998. rubeosis iridis after vitrectomy for diabetic retinopathy, grafe’arch clin exp ophthalmol.236:730-33 mutiara medika vol. 10 no. 1:80-85, januari 2010 73 mutiara medika vol. 8 no. 2: 73 82, oktober 2008 pemilihan terapi pada alopesia areata the choice of therapy in alopecia areata siti aminah tri susila estri bagian ilmu kesehatan kulit dan kelamin fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta abstract alopecia areata (aa) is a chronic inflammatory disease of the hair and nails. this paper will discuss the modalities of therapy and how the selection of therapy in aa. pathogenesis of aa is still unknown, but it can be ascertained the role of t lymphocytes, especially cd4 and ifn. etiopathogenesis factors in aa are genetic, immunological, neurological, emotional stress and abnormality of keratinocytes and melanocytes. various modalities of therapy are corticosteroids, imunoterapi contacts, phototherapy, minoksidil, antralin/ditranol, or use a wig. selection of aa treatment modality needs to consider the clinical course, evolution and response to therapy and medication side effects. based on this, one option of treatment is to let aa. the one choice of treatment of aa without medication is using a wig. while based on research, the most effective therapy for aa is contacts imunotherapy and corticosteroids, but still needed further research to determine the dose and how administered. keywords: alopecia areata, corticosteroids, imunoterapi, therapy abstrak alopesia areata (aa) adalah penyakit inflamasi kronis yang mengenai rambut dan kadangkadang kuku dan cukup sering terjadi. patogenesis aa belum diketahui dengan pasti, namun dapat dipastikan peran limfosit t terutama cd4 dan ifng pada terjadinya aa. faktor etiopatogenesis pada aa adalah genetik, imunologi, neurologi, stres emosional dan abnormalitas keratinosit dan melanosit. makalah ini akan membahas modalitas terapi dan cara pemilihan terapi pada aa. berbagai modalitas terapi yang tersedia untuk aa adalah kortikosteroid, imunoterapi kontak, fototerapi, minoksidil, antralin/ditranol, maupun pemakaian rambut palsu. pemilihan modalitas terapi aa perlu mempertimbangkan perjalanan klinis, evolusi dan respon terapi serta efek samping pengobatan. berdasar hal ini, salah satu pilihan penanganan aa adalah membiarkan aa tanpa pengobatan atau menggunakan rambut palsu. sedangkan berdasar penelitian yang ada, terapi yang paling efektif untuk aa adalah imunoterapi kontak dan kortikosteroid, namun masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan dosis maupun cara pemberiannya. kata kunci: alopesia areata, imunoterapi, kortikosteroid, terapi endang sulistyawati, sarah ayu budi asmi, merita arini, arlina dewi, evaluasi pelayanan kesehatan............. 74 pendahuluan alopesia areata (aa) adalah penyakit inflamasi kronis yang mengenai rambut dan kadang-kadang kuku.1 alopesia areata termasuk penyakit autoimun terhadap organ spesifik yang diperantarai limfosit t terhadap folikel rambut. 1-3 gangguan ini ditandai dengan patch oval non skar disertai kerontokan rambut, terdapat pada kepala atau daerah berambut lainnya.1 penyakit ini sering terjadi mendadak dengan gambaran klinis bervariasi, sebagian terjadi remisi spontan, sebagian berlanjut menjadi kerontokan rambut di seluruh kepala bahkan seluruh tubuh.2 alopesia areata cukup sering terjadi, prevalensi aa sekitar 0,1-0,2% dari populasi umum dan 2% dari seluruh penderita rawat jalan yang berkunjung ke klinik dermatologi di inggris dan amerika serikat.3 pada populasi umum 1,7% pernah mengalami serangan aa sekali selama hidup. 4 frekuensi aa pada wanita dan laki-laki sama dan dapat menyerang semua umur, namun 60% penderita terjadi pada umur kurang dari 20 tahun.1-3 dari catatan medis rs dr sardjito frekuensi rata-rata kunjungan penderita aa di poliklinik penyakit kulit dan kelamin tahun 2000-2004 adalah 0, 27%. penyebab pasti dan patogenesis aa sampai sekarang belum diketahui dengan jelas. berbagai penelitian memperlihatkan genetik sebagai faktor predisposisi dan lingkungan sebagai faktor pencetus aa. faktor lain yang mempengaruhi terjadinya aa antara lain stres emosional, riwayat atopi dan penyakit autoimun lain. ketidakjelasan patogenesis aa, gambaran klinis dan perjalanan penyakit yang bervariasi mengakibatkan bervariasinya pengobatan terhadap aa, apalagi penderita aa sering mengalami pertumbuhan rambut spontan. berbagai terapi yang pernah dicoba antara lain dengan steroid topikal dan sistemik, minoksidil, antralin dan imunoterapi.1,2 penelitian yang ada masih terbatas, paling banyak sebagai penelitian tanpa kontrol atau plasebo kontrol, belum banyak penelitian randomized control-trial.1-5 dampak aa paling besar dan sangat mengganggu penderita adalah permasalahan kosmetik. selain itu, aa menimbulkan permasalahan psikologis, seperti hubungan sosial dan aktivitas sehari-hari, meskipun tidak mengganggu kesehatan umum.1,3,6 penderita aa membutuhkan terapi dengan efikasi sebesar mungkin dan efek samping sekecil mungkin, sehingga beban penderita dapat berkurang.1 makalah ini akan memaparkan berbagai modalitas terapi serta cara pemilihannya untuk mengobati aa. fisiologi pertumbuhan rambut secara anatomi folikel rambut matur dari atas ke bawah tersusun atas infundibulum, isthmus, stem dan bulbus. bulbus rambut terdiri atas sel epitel matriks yang tidak berdiferensiasi namun aktivitas metabolisme tinggi dan melanosit. sel epitel matriks menyusun diri menjadi batang rambut di bagian dalam dan inner root sheath di bagian luar. pada saat rambut tumbuh ke atas, kedua bagian ini bersamasama naik ke atas, sedangkan outer root sheath tetap diam di dalam folikel rambut. stem merupakan bagian terpanjang dari folikel rambut. stem terdiri dari luar ke dalam: outer root sheath, inner root sheat, dan batang rambut.7-9 sel pada outer root sheath mengekspresikan keratin 6 , 16 dan 17, molekul adesi, sitokin dan reseptor growth factor dan mengandung sel langerhans, melanosit dan sel merkel.7 folikel rambut mempunyai keistimewaan imunologik yang berbeda dengan daerah sekitarnya, berupa kurangnya ekspresi major-histocompatibility complex (mhc) i pada sel matriks atau inner root sheath dan keberadaan makrofag, sel mast dan imunosit lain di daerah perifolikuler yang berfungsi sebagai efector arm pada sistem imun.7 folikel rambut mengalami siklus pertumbuhan terus menerus yang terbagi dalam 3 fase, yaitu: fase anagen, ditandai mitosis matriks rambut; katagen atau masa involusi, ditandai dengan terminal rambut membentuk club-shaped yang relatif tidak berpigmen; dan telogen, ditandai club hair 75 mutiara medika vol. 8 no. 2: 73 82, oktober 2008 dengan bulbus yang relatif tidak berpigmen terbungkus di dalam sac.8 fase anagen pada rambut kepala ditentukan secara genetik dan bervariasi antara 2-8 tahun.7,9 pelepasan rambut yang mati terjadi pada fase telogen akhir atau awal anagen. jumlah folikel rambut pada orang dewasa sekitar 100,000 dan kerontokan rambut secara normal sebesar 100 helai/hari, namun tidak menimbulkan kebotakan.8,9 pertumbuhan rambut dipengaruhi berbagai faktor, baik sistemik dan lokal, endogen dan eksogen. faktor sistemik yang berpengaruh adalah hormon androgen dan estrogen, sedangkan faktor lokal antara lain luka, inflamasi, faktor pertumbuhan dan inervasi. 8 faktor endogen yang berpengaruh pada siklus rambut adalah hormone androgen, estrogen, pertumbuhan, prolaktin dan tiroksin, sedangkan faktor eksogen adalah anabolik steroid, siklosporin, estrogen, finasterid, minoksidil, kontrasepsi oral, fenitoin, dan retinoid.7 estrogen, hormon pertumbuhan, prolaktin, anabolik steroid, siklosporin, finasterid, minoksidil dan fenitoin memacu pertumbuhan rambut pada fase anagen maupun memperbesar diameter rambut.8,9 hormon androgen mampu meningkatkan ukuran folikel rambut pada beard area pada masa adolesen. testosteron dan metabolik aktifnya beraksi melalui reseptor androgen pada papila dermis. tiroksin mampu memacu kerontokan rambut pada telogen effluvium.9 etiopatogenesis alopesia areata patogenesis aa belum diketahui sepenuhnya, berbagai faktor yang diduga berhubungan dengan aa, antara lain genetik, imunologi, infeksi, stres emosional, neurologi dan abnormalitas melanosit atau keratinosit. berikut ini akan dibahas berbagai faktor tersebut lebih lengkap. genetik. alopesia areata sebagai penyakit yang cenderung diturunkan dibuktikan dengan adanya riwayat keluarga pada penderita. laporan tentang hal ini bervariasi, antara 10-50% penderita aa mempunyai riwayat keluarga dengan aa.1-3 riwayat keluarga pada aa terbukti lebih tinggi pada penderita aa dengan onset kurang dari 30 tahun (37%) dibandingkan dengan yang lebih dari 30 tahun (7,1%).6 alopesia areata berhubungan dengan berbagai gen, termasuk hla (human leucocyte antigen) dqb1*03, hla-dr, hla-b18 dan kemungkinan hla-a2.3,10 berbagai hasil di atas menunjukkan bahwa aa termasuk penyakit poligenik dengan pewarisan yang bervariasi.10-11 imunologi. alopesia areata termasuk pada penyakit autoimun karena berbagai laporan yang menunjukkan hubungan antara aa dengan terapi imunosupresif atau penyakit autoimun lain. alopesia areata dilaporkan membaik dengan imunosupresif (kortikosteroid) atau imunoterapi (contact sensitizer). kasus aa lebih banyak ditemukan pada kelompok penderita tiroiditis dan vitiligo daripada populasi normal. hal ini didukung adanya peningkatan prevalensi antibodi antitiroid dan antibodi mikrosom tiroid pada pasien aa.2,3 laporan lain menunjukkan terdapat hubungan antara aa dengan penyakit autoimun, seperti anemia pernisiosa, diabetes, lupus eritematosus, miastenia gravis, artritis reumatoid, kolitis ulseratif dan likhen planus.3 berikutnya dilaporkan bahwa aa merupakan penyakit autoimun terhadap organ spesifik, antara lain dengan penemuan antibodi terhadap folikel rambut berpigmen, meskipun hal ini juga ditemukan pada populasi normal.3,10 struktur rambut yang paling sering menjadi target adalah outer root sheath, matriks, inner root sheath dan batang rambut. komponen utama pada bulbus rambut yang merupakan sasaran reaksi imun adalah melanosit.11 bukti lain bahwa aa termasuk penyakit autoimun adalah berkurangnya fungsi immune privileged pada matriks atau inner root sheath.3 pada aa juga tampak peningkatan sitokin il-1a dan il-1b dan tnfa yang berasal dari keratinosit yang merupakan inhibitor pertumbuhan folikel rambut.3 perbaikan penyakit dengan pemberian siklosporin dan steroid sistemik mendukung bukti bahwa patogenesis aa diperantarai oleh system imun.3 endang sulistyawati, sarah ayu budi asmi, merita arini, arlina dewi, evaluasi pelayanan kesehatan............. 76 infeksi. infeksi yang pernah dilaporkan berhubungan dengan kejadian aa adalah infeksi virus sitomegalovirus (cmv), namun peneliti lain melaporkan hal yang bertentangan.3 stres emosional. penderita aa sering dilaporkan mempunyai riwayat kesulitan emosional jangka lama, psikotrauma akut sebelum onset aa, kejadian penuh sres selama 6 bulan sebelumnya, gangguan psikiatri dan trauma fisik. 3 evaluasi secara obyektif memperlihatkan lebih dari 90% penderita aa mempunyai keadaan jiwa yang abnormal dan 29% dengan faktor psikologi dan keluarga yang mungkin mempengaruhi onset dan perjalanan penyakit. penulis lain membuktikan tidak ada hubungan antara aa dengan faktor emosional pada 125 penderita aa.9,12 neurologi. sistem saraf perifer pada papila dermis mampu mengeluarkan neuropeptid yang mengatur proses inflamasi dan proliferasi. hordinsky (1995) dan meyronet dkk (2003) menunjukkan penurunan ekspresi calcitonin gene related peptide (cgrp) sebagai antiinflamasi dan substansi p (sp) yang mampu memacu pertumbuhan rambut.3 peran cgrp pada aa berhubungan dengan sistem vaskuler dan imun, yaitu diinduksi oleh cd10 (neural endopeptidase), enzim peptidase yang terikat pada membran. pada folikel rambut lesi aa (tepi lesi, bagian dalam dan sel paling tepi dari outer root sheath) terdapat peningkatan ekspresi cd10.13 bukti lain menunjukkan, aplikasi capsaicin yang menyebabkan inflamasi neurogenik dan pelepasan sp pada seluruh kepala penderita aa mampu memacu pertumbuhan rambut velus.3 abnormalitas melanosit atau keratinosit. pada aa terjadi perubahan regresif pada bulbus folikel rambut anagen, abnormalitas melanogenesis dan melanosit. perubahan tersebut didukung penemuan antibodi terhadap rambut berpigmen. bukti lain menunjukkan bahwa terjadi gangguan pigmentasi pada aa akut dan aa lebih sering mengenai rambut berpigmen.3 pada aa juga terjadi degenerasi keratinosit prekortikal pada folikel lesi aa yang aktif. nuthbrown dkk. (1995) menunjukkan bahwa abnormalitas melanosom dan perubahan degenerasi pada outer root sheath dapat terjadi pada daerah nonlesi.3 gambaran klinis gambaran klinis aa yang khas adalah patch kebotakan total yang berbentuk oval atau bulat, kulit tampak halus, meliputi daerah kepala atau daerah pertumbuhan rambut lain pada tubuh. pada bagian tepi lesi terdapat exclamatioon hair, yaitu rambut yang tampak pendek, terputus atau rusak yang meruncing ke bagian proksimal. banyak penderita yang asimtomatis, namun beberapa mengeluhkan rasa gatal ringan sampai sedang, terbakar atau nyeri sebelum terjadi kebotakan. kerontokan rambut terjadi dalam waktu 3-6 minggu atau beberapa bulan kemudian dengan interval waktu, luas dan pola bervariasi.12 secara klinis aa diklasifikasikan berdasar pola atau beratnya penyakit. berdasar pola kebotakan, aa dapat diklasifikasikan menjadi: aa tipe patchy, kebotakan berbentuk oval atau bulat; aa retikularis, dengan pola jaring-jaring; ophiasis bandlike aa, kebotakan pada daerah parietal temporo-oksipital; ophiasis inversus (sisapho), kebotakan membentuk pita di daerah frontal parieto-temporal; dan aa difus, kerontokan rambut pada seluruh kepala.3 berdasar luas daerah yang terlibat, aa terbagi menjadi: aa, kerontokan rambut kepala sebagian; alopesia totalis (at), kerontokan pada 100% rambut kepala; alopesia universalis (au), kerontokan 100% rambut pada seluruh kepala dan tubuh.3 alopesia areata dikatakan berat apabila luas kebotakan lebih dari 25%,5 penulis lain menyebutkan lebih dari 40% luas permukaan rambut kepala.14 kelainan fisik lain yang sering menyertai aa adalah kelainan kuku (10-66%) dan mata seperti katarak, terutama 77 mutiara medika vol. 8 no. 2: 73 82, oktober 2008 menyertai penderita at. 3,12 berdasar beberapa penelitian epidemiologi, diketahui riwayat atopi lebih sering ditemukan pada penderita aa daripada populasi umum.12 pertumbuhan kembali rambut pada aa sering dimulai dengan rambut yang tipis dan tanpa pigmen, selanjutnya sedikit demi sedikit ukuran dan warna menjadi normal.3,12 pertumbuhan rambut bisa terjadi pada satu sisi, sementara sisi yang lain terjadi kerontokan rambut.12 remisi spontan sering terjadi pada aa, ditemukan pada 80% penderita aa tipe patchy dengan durasi kurang dari 1 tahun.1 aa tipe patchy dengan luas kurang dari 40% biasanya membaik dengan spontan dalam waktu 1 tahun.3 vestey dan savin (1986) menemukan bahwa pertumbuhan rambut yang hampir atau menyeluruh dengan spontan terjadi pada 24% penderita aa berat dalam waktu 3-3,5 tahun,12 namun pada aa juga sering terjadi kekambuhan, terutama pada aa berat.14 berbagai jenis terapi untuk alopesia areata pemberian terapi pada aa sampai saat ini tidak bisa menyembuhkan, namun bersifat paliatif untuk mengurangi beratnya penyakit.1,14 berikut ini akan dibahas beberapa modalitas terapi pada aa. kortikosteroid (ks) kortikosteroid merupakan salah satu pilihan terapi untuk aa karena kerjanya sebagai imunosupresan dengan cara menghambat aktivasi limfosit t 5, menurunkan produksi il1, jalur inflamasi maupun presentasi antigen oleh apc sehingga secara keseluruhan mampu menghambat proses penyakit.1 kortikosteroid topikal. berbagai penelitian aplikasi ks topikal poten pada aa menunjukkan efek yang tidak berarti dibandingkan placebo,16 bahkan pada au/ at tidak efektif dan sering timbul folikulitis sebagai efek samping.1 vehikulum yang pernah dicoba pada aa antara lain solusio, krim atau salep, namun tidak memberikan hasil yang memuaskan. 5 hal ini kemungkinan karena penetrasi ketiga vehikulum ke dalam bulbus rambut yang tidak baik. peningkatan penetrasi dengan cara oklusi juga tidak memberikan hasil memuaskan. mengingat respon terapi yang tidak memuaskan dan kemungkinan timbulnya efek samping, maka ks topikal tidak efektif pada terapi aa.1,5 kortikosteroid intralesi. kortikosteroid diijeksikan di daerah lesi pada dermis bagian atas. dengan cara ini diharapkan dapat menstimuli pertumbuhan rambut pada tempat injeksi. efek injeksi berlangsung sampai 9 bulan. pemberian ks intralesi paling sesuai untuk aa tipe patchy dan yang terbatas luasnya5 serta daerah yang sensitif seperti alis mata.1 jenis ks yang bisa diberikan adalah triamcinolone acetonide 5-10 mg/ml dan hydrocortisone acetate (25 mg/ml). injeksi 0,05-0,1 ml menghasilkan pertumbuhan rambut dengan diameter 0,5 cm. efek samping yang sering terjadi berupa atropi yang akan membaik dalam waktu beberapa bulan.1,5 kortikosteroid sistemik. penggunaan ks sistemik setiap hari dalam jangka lama akan menghasilkan pertumbuhan rambut pada beberapa pasien. pemberian prednisolon 40 mg dengan tappering dalam waktu 6 minggu memperlihatkan pertumbuhan rambut > 25% pada 30-47% penderita. pemberian pulsed dose cs secara oral atau intravena (iv) dengan dosis bervariasi pada beberapa kasus seri: prednisolone 2 gr iv, metilprednisolon iv 250 mg 2 kali sehari selama 3 hari berturut-turut, dan deksametasom 5 mg 2 kali seminggu, memberikan efikasi yang serupa. namun hasil studi klinis tersebut tidak bisa dibandingkan karena adanya perbedaan protokol penelitian dan pemilihan pasien.1,5,13 kar dkk (2005) telah menguji prednisolon 200 mg oral secara random dengan kontrol plasebo, menunjukkan pertumbuhan rambut bermakna sebesar 40% pada kelompok terapi dibandingkan 6,25% dengan pertumbuhan sedang pada kontrol.17 hasil yang memuaskan secara kosmetik pada uji klinis tanpa kontrol ditemukan pada 60% penderita aa berat, endang sulistyawati, sarah ayu budi asmi, merita arini, arlina dewi, evaluasi pelayanan kesehatan............. 78 10% aa tipe ophiasis dan at/au.1 sejauh ini efek samping yang bermakna pada pemberian pulsed dose cs belum ditemukan,1,17 sehingga ks sistemik dapat menjadi salah satu pilihan terapi pada aa.1,5,12,17 imunoterapi kontak alergen kontak yang dapat dipakai pada terapi aa, antara lain dncb (1-chloro2,4-dinitrobenzene), squaric acid dibutylester (sadbe) dan 2,3diphenylciclopropenone (dpcp). penelitian summer dan guggelmann menunjukkan dncb bersifat mutagenik terhadap s. typhimurium, sehingga sekarang tidak digunakan lagi. sadbe dan dpcp tidak bersifat mutagenik dan dpcp menjadi pilihan terapi imunoterapi kontak.1 bahan contact sensitizer atau imunoterapi kontak ini diduga menghambat interaksi spesifik antara cd8/cd4 dengan dendritic cell dan mhc i/ ii pada keratinosit folikel rambut.5 cara penggunaan dpcp, pertama kali dilakukan sensitisasi dengan cairan dpcp 2% yang diaplikasikan pada kepala. dua minggu kemudian pada daerah kepala dioleskan dpcp dengan konsentrasi mulai 0,001%. pengulangan aplikasi dilakukan setiap minggu dengan konsentrasi ditingkatkan sedikit demi sedikit sampai terjadi reaksi dermatitis ringan berupa rasa gatal dan eritem tanpa disertai vesikel atau oozing.5 aplikasi dpcp diteruskan sampai terlihat pertumbuhan rambut, biasanya dalam waktu 8-12 minggu.5 jika respon pengobatan sudah memuaskan frekuensi pengobatan dapat diturunkan, dan terapi dihentikan bila pertumbuhan rambut sudah maksimal.1 apabila dalam waktu 6 bulan tidak ada respon yang memuaskan, terapi sebaiknya dihentikan. sadbe digunakan pada penderita yang toleran terhadap dpcp.5 aplikasi dpcp selama 6 bulan memberikan respon terapi memuaskan pada 30% penderita, dan respon meningkat sampai 78% setelah pemakaian 32 bulan.18 pada berbagai penelitian respon imunoterapi kontak bervariasi antara 9-87% pada 50-60% penderita,19 sementara review yang dilakukan freyschimdt-paul dkk. (2003) menemukan respon terapi yang bermakna bervariasi antara 29-78%, karena perbedaan berat dan durasi penyakit serta metode pengobatan. median respon terapi imunoterapi kontak adalah 51%.5 aplikasi pada anak-anak memberikan respon terapi sebesar 32-33%.20 respon terapi terhadap imunoterapi kontak menurun pada aa berat, penderita dengan kelainan kuku, onset dini dan riwayat aa pada keluarga.19 pada penderita at/au respon terapi menurun sampai17% setelah 9 bulan aplikasi.20 efek samping yang sering ditemukan pada imunoterapi kontak adalah reaksi dermatitis berat, namun efek ini dapat dicegah atau dikurangi dengan menurunkan konsentrasi bahan kontaktan.1 efek samping lain adalah relaps selama atau setelah terapi dihentikan, ditemukan pada 62% penderita dengan respon terapi memuaskan,18 serta pembesaran limfonodi servikal atau oksipital selama terapi.5 limfadenopati ini dapat bersifat sementara atau permanen selama terapi. efek samping yang jarang ditemukan adalah urtikaria21, perluasan dermatitis kontak alergi (dka) atau erythema multiforme-like reaction5 dan vitiligo22. pada ras kulit berpigmen banyak ditemukan reaksi hiper/hipopigmentasi (vitiligo), tetapi sebagian besar kasus akan membaik dalam waktu 1 tahun setelah penghentian terapi.23 efek samping jangka panjang pada aplikasi sadbe selama 21 tahun dan dpcp 18 tahun pada 10000 penderita termasuk anak-anak belum ditemukan.1,5 sehingga imunoterapi kontak menjadi salah satu terapi yang efektif untuk aa.5 fototerapi dan fotokemoterapi terapi sinar ultraviolet b (uvb) sudah sering digunakan, namun belum ada penelitian yang melaporkan efektivitasnya, sehingga tidak direkomendasikan untuk terapi aa.1,5 terapi puva dengan 8methoxypsoralen (8-mop) oral dengan radiasi uva lokal pada kepala atau seluruh tubuh atau 8-mop topikal dengan radiasi pada kepala, termasuk aplikasi psoralen topikal dengan puva-turban menunjukkan respon terapi yang bervariasi, antara 6065%.1 penelitian retrospektif lain menunjukkan respon yang rendah atau 79 mutiara medika vol. 8 no. 2: 73 82, oktober 2008 serupa dengan perjalanan penyakit aa.24 efek samping yang sering terjadi adalah kekambuhan, terdapat pada 30-50% penderita dengan respon terapi memuaskan. 5 efek samping lain, puva membutuhan terapi dalam jangka lama untuk mempertahankan pertumbuhan rambut, sehingga dosis kumulatif penyinaran besar dan meningkatkan risiko keganasan kulit.1,5 berdasar hal tersebut paul, dkk (2003) tidak merekomendasikan puva sebagai terapi aa. minoksidil minoksidil merupakan obat antihipertensi dengan efek samping hipertrikosis, sehingga digunakan sebagai terapi aa. terapi aa dengan minoksidil !% pada tipe patchy menghasilkan pertumbuhan rambut yang bermakna dibandingkan kontrol,1 namun pemberian minoksidil 1% atau 3% pada aa berat tidak menunjukkan hasil yang bermakna.25 penelitian fiedler-weiss (1987) menunjukkan pertumbuhan rambut lebih sering terjadi pada terapi aa berat dengan minoksidil 5% dibandingkan 1%. minoksidil tidak efektif pada at dan au.1 enam penelitian plasebo-kontrol menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna antara kelompok minoksidil dan kontrol, bahkan pada 3 penelitian diantaranya menunjukkan tidak ada pertumbuhan rambut yang bermakna secara kosmetik.5 berdasar patofisiologi aa, hal ini dapat dimengerti karena minoksidil tidak berpengaruh pada luas dan komposisi infiltrat perifolikuler. setiap kali terjadi aksi nonspesifik minoksidil yang memacu pertumbuhan folikel rambut anagen, akan diserang kembali oleh respon imun sehingga tidak terjadi pertumbuhan rambut yang bermakna.5 berdasar hal tersebut minoksidil tidak direkomendasikan sebagai terapi aa.5 ditranol ditranol/antralin atau bahan iritan lain belum banyak dilaporkan. pada kasus seri menunjukkan ditranol menghasilkan pertumbuhan rambut pada 18% penderita aa berat.1 penelitian half-side controlled menggunakan antralin 0,1% menghasilkan dermatitis kontak iritan (dki) ringan yang tidak berbeda antara daerah terapi dan kontrol. berdasar hal tersebut antralin tidak direkomendasikan sebagai terapi aa.1,5 terapi lainnya siklosporin sebagai obat imunosupresan dan hipertrikhotik menjadi salah satu pilihan terapi aa. uji coba tanpa kontrol menunjukkan siklosporin memacu pertumbuhan rambut pada penderita aa secara meyakinkan. gupta dkk (1988) menyatakan efikasi siklosporin pada aa berat rendah.26 siklosporin hanya dapat diberikan secara oral, sehingga perlu dipertimbangkan efek sampingnya.1,5,12 terapi lain yang pernah diuji-coba namun tidak memberikan hasil yang bermanfaat adalah: seng secara oral dan isoprinosin. aromaterapi memberikan efek positif yang berarti pada aa dengan uji random buta ganda. pada wanita dengan aa berat salah satu pilihan terapi yang paling efektif adalah wig.1,5,12 pembahasan aa termasuk penyakit yang sulit diterapi dan penelitian randomized controlled trial sebagai uji standar untuk pemilihan terapi belum banyak dikerjakan. beberapa hal yang perlu dipertimbangkan pada pemilihan modalitas terapi aa adalah perjalanan klinis, evolusi dan respon terhadap terapi yang sulit diperkirakan14 serta kemungkinan efek samping pengobatan.1 berdasar pada hal ini, salah satu pilihan penanganan aa adalah membiarkan aa tanpa pengobatan atau menggunakan rambut palsu. pemberian terapi baik topikal maupun sistemik tergantung pada luas lesi dan umur penderita. pertumbuhan rambut diharapkan terjadi minimal 3 bulan setelah terapi.1 menurut freyschmiidt-paul dkk. (2003) berdasar kausa aa yang merupakan penyakit autoimun yang diperantarai sel t, maka terapi yang paling sesuai sampai saat ini adalah imunoterapi kontak seperti sadbe dan dpcp. pemberian ks sistemik dengan pulse dose masih memerlukan penelitian lebih lanjut yang sesuai dengan standar evidence based medicine.5 buldoc dkk (2001) mengajukan algoritma penanganan aa berdasar umur dan gambaran klinis sebagai berikut: endang sulistyawati, sarah ayu budi asmi, merita arini, arlina dewi, evaluasi pelayanan kesehatan............. 80 gambar 1. algoritma terapi alopesia areata. keberhasilan terapi pada aa diukur dengan berbagai cara, antara lain dengan melihat pertumbuhan rambut velus, pertumbuhan rambut terminal atau pertumbuhan rambut secara keseluruhan. sebagian besar penelitian menggunakan pertumbuhan rambut terminal sebagai indikator keberhasilan terapi. cara pengukuran pertumbuhan rambut bervariasi dengan membandingkan kebotakan atau pertumbuhan rambut sebelum dan setelah terapi. pengukuran secara subyektif, dengan menanyakan kepuasan secara kosmetik19; cara obyektif dengan mengevaluasi hasil foto, pertumbuhan 76-100%: sangat baik, 5175%: baik dan < 50%: tidak memuaskan.26 cara lain adalah dengan sistem penggolongan: tingkat 1. pertumbuhan rambut velus, 2. pertumbuhan rambut terminal yang tipis, 3. pertumbuhan rambut terminal dengan patches of alopecia, 4. pertumbuhan rambut terminal pada seluruh kepala.27 cara terbaru yang diajukan olsen dkk. dengan melihat luas kebotakan yang ada atau tersisa dengan severity of alopecia tool (salt). menurut cara ini, batok kepala dibagi menjadi 4 bagian dengan persentase luas sebagai berikut: 2 bagian lateral, masing-masing sebesar 18%; 1 bagian dorsal 24% dan 1 bagian atas 40%. selanjutnya dilihat persentase luas kebotakan di masing-masing bagian dan dijumlah secara keseluruhan. keberhasilan terapi merupakan hasil pengurangan persentase luas kebotakan sebelum dengan setelah pengobatan.28 kesimpulan patogenesis aa belum diketahui dengan pasti, namun dapat dipastikan peran limfosit t terutama cd4 dan ifng pada terjadinya aa. faktor etiopatogenesis pada aa adalah genetik, imunologi, neurologi, 81 mutiara medika vol. 8 no. 2: 73 82, oktober 2008 stres emosional dan abnormalitas keratinosit dan melanosit. gambaran klinis aa bervariasi, meliputi aa tipe patchy, at dan au. berbagai modalitas terapi yang pernah dipakai antara lain: ks, imunoterapi kontak, fototerapi, minoksidil, antralin/ditranol, maupun terapi lain seperti pemakaian rambut palsu. pemilihan modalitas terapi aa perlu mempertimbangkan perjalanan klinis, evolusi dan respon terapi yang sulit diperkirakan serta efek samping pengobatan. berdasar pada hal ini, salah satu pilihan penanganan aa adalah membiarkan aa tanpa pengobatan atau menggunakan rambut palsu. berdasar penelitian yang ada, terapi yang paling efektif untuk aa adalah imunoterapi kontak dan kortikosteroid, namun masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan dosis maupun cara pemberiannya. daftar pustaka 1. macdonald hull sp, wood ml, hutchinson pe, ladden ms, messenger ag, guidelines for the management of alopecia areata. br j dermatol, 2003, 149: 692-99. 2. mitchell aj dan krull ea, alopecia areata: pathogenesis and treatment, j am acad dermatol.1984, 11: 763-75. 3. madani s dan shapiro j, alopecia areata update, j am acad dermatol. 2000, 42: 549-66. 4. olsen ea, hair disorder, dalam freedberg i.m., eisen a.z., wolff k., austen k.f.. dermatology in general medicine, 5th ed. new york, mc grawhill inc. 1999 : 729-50. 5. freyschmidt-paul p, happle r, mcelwee j, hoffmann r, alopecia areata: treatment of today and tomorrow, jid symposium proceedings., 2003, 8: 12-17. 6. gulec at, tanriverdi n, durii c, saray y, akcah c. the role of psychological factors in alopecia areata and the impact of the disease on the quality of life. int j dermatol, 2004, 43: 352-6. 7. paus r dan cotsarelis g. the biology of hair follicles. new england j medicine, 1999, 341(7): 491-7. 8. dawber rpr, the hair follicle structure, keratinization and physical properties of hair. dalam rook a and dawber r. diseases of the hair and scalp, 2 ed. oxford, blacwell scientific publications, 1991: 18-40. 9. harrison s dan sinclair r. telogen effluvium. clin dermatol, 2002, 27: 38995. 10. kalish rs dan gilhar a, the immunology of alopecia areata and potential application to novel therapy, dermathologic therapy. 2001, 14: 32228. 11. price vh dan colombe bw, heritable factors distinguish two types of alopecia areata, dermatol clinic.1996, 14: 679-89 (abstrak). 12. simpson nb, alopecia areata, dalam rook a and dawber r. diseases of the hair and scalp, 2 ed. oxford, blacwell scientific publications, 1991: 296-330. 13. meyronet d, jaber k, gentil-perret a, cambazard f, misery l. decreased cgrp staining in alopecia areata. b j dermatol, 2003, 149: 422-23. 14. buldoc c dan shapiro j, the traetment of alopecia areata. dermatologic therapy, 2001, 14: 306-16. 15. wolverton se. systemic corticosteroid. dalam wolverton se, comprehensive dermatologic drug therapy (ed. wolverton, se.), wb saunders company, 2001, 109-42. 16. charuwichitratana s, wattanakrai p, tanrattanakorn s. randomized-double blind placebo-controlled trial in the treatment of alopecia areata with 0,25% desoximethason cream. arch dermatol, 2000, 136: 1276-7 (abstrak). 17. kar br, handa s, dogra s, kumar b. placebo-controlled oral pulse prednisolone therapy in alopecia areata. j am acad dermatol, 2005, 52: 287-90. endang sulistyawati, sarah ayu budi asmi, merita arini, arlina dewi, evaluasi pelayanan kesehatan............. 82 18. van der steen ph, baar hm, happle r dkk. prognostic factor in the treatment of alopecia areata with diphenylcyclopropenone. j am acad dermatol, 1991, 24: 227-30. 19. rokhsar ck, shupack jl, vafai jj, dkk. efficacy of topical sensitizers in the treatment of alopecia areata, j am acad dermatol. 1998, 39:751-61. 20. hchuttelaar ml, hamstra jj, plinck ep dkk. alopecia areata in childre: response to the treatment of diphencyprone, br j dermatol, 1996, 135: 581-5. 21. alam m, gross ea, savin rc. severe urticaria during topical immunotherapy for alopecia areata, j am acad dermatol. 1999, 40:110-12. 22. henderson ca, ilchyshyn a, vitiligo complicating diphencyprone sensitization therapy for alopecia universalis, br j dermatol. 1995, 133:496-7. 23. hoffmann r, happle r. topical immunotherapy in alopecia areata: what, how and why? dermatol clin, 1996, 14: 739-44. 24. taylor cr, hawk jl, puva treatment of alopecia areata partialis, totalis and ubiversalis: audit of 10 years experience at st john’s institute of dermatology. br j dermatol, 1995, 133: 914-18. 25. price vh. double-blind placebocontrolled evaluation of topical minoxidil in extensive alopecia areata. j am acad dermatol. 1987, 16:730-36. 26. shapiro j, lui h, tron v, dkk. systemic cyclosporin and low dose prednisone in the treatment of chronic severe alopecia areata: a clinical and immunopathologic evaluation. j am acad dermatol. 1997, 36:114-17. 27. cotellessa c, peris k, caracciolo dkk. the use of topical diphenylcycloprophenone for the treatment of extensive alopecia areata, j am acad dermatol, 2001; 44; 73-76. olsen ea, hordinsky mk, price vh, dkk,. alopecia areata investigational assessment guidelinespart ii, j am acad dermatol, 2004; 51; 440-447. 7 mutiara medika vol. 13 no. 1: 7-12, januari 2013 perbandingan kembalinya siklus menstruasi normal pada akseptor injeksi progestogen dan akseptor iud the comparison normal menstruation cycle return in progestogen injection acceptor and iud’s acceptor astri kartika sari1, alfaina wahyuni2* 1program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta 2bagian obstetri dan ginekologi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta *email: alfaina_umy@yahoo.com abstrak jumlah populasi di indonesia mengalami peningkatan yang sangat signifikan setiap tahunnya. pemerintah membuat kebijakan mengenai perencanaan keluarga atau yang disebut dengan keluarga berencana (kb) untuk menanggulangi jumlah penduduk. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kecepatan kembalinya siklus menstruasi normal pada akseptor injeksi progestogen dan akseptor iud. jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik menggunakan desain cross sectional. pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara pada 81 akseptor iud dan 81 akseptor injeksi progestogen 3 bulanan di puskesmas kedungwuni i kabupaten pekalongan. setiap ibu diberi pertanyaan yang sama mengenai identitas diri, metode kb yang digunakan, tahun awal pemakaian metode tersebut, lama pemakaian, siklus menstruasi pasca penghentian metode kb dan parietas. analisis data menggunakan independent t test. selain itu, sebagai data sekunder, peneliti juga mencari pengaruh antara lama pemakaian dengan kembalinya siklus menstruasi pada masing-masing metode kb dengan menggunakan uji korelasi pearson. hasil penelitian menunjukkan kembalinya siklus menstruasi normal pada akseptor iud lebih cepat 3 bulan dibandingkan dengan akseptor injeksi progestogen (p=0.000; ci=95%) dengan waktu kembali rata-rata 1.02±0.16 bulan. rata-rata waktu kembalinya siklus menstruasi normal pada akseptor injeksi progestogen adalah 7.43±3.73 bulan. disimpulkan bahwa tidak terdapat pengaruh lama pemakaian dengan kecepatan kembalinya siklus menstruasi pada akseptor injeksi progestogen dan akseptor iud. kata kunci: kembalinya siklus menstruasi normal, injeksi progestogen, iud abstract the amount of indonesia population is getting significantly increase every year. the government made a policy about family planning or keluarga berencana (kb) to overcome the population. this research aims to know the comparison normal menstruation cycle return in progestogen injection acceptor and iud’s acceptor. this is a descriptive analysis research with cross sectional design by doing an interview with 81 iud’s acceptors and 81 progestogen injection’s acceptors in work area of puskesmas kedungwuni i pekalongan regency. every acceptor was given the same questions such as identity, contraceptive method, year when she start using that method, the duration of use, her normal menstruation cycle after stop the method, and parity. the data analyzed using independent t test. in addition, as secondary result, researcher also looking for the impact of duration of use and the return of normal menstruation cycle in both of the method by using bivariate pearson correlation. the result showed that the return of normal menstruation cycle of iud’s acceptors is faster than progestogen injection’s acceptor (p=0.000; ci=95%) with 1.02±0.16 month on an average, and 7.43±3.73 months in progestogen artikel penelitian 8 astri kartika sari, perbandingan kembalinya siklus menstruasi normal pada ... pendahuluan jumlah populasi di indonesia mengalami peningkatan yang sangat signifikan setiap tahunnya. menurut badan pusat statistik (bps) pada tahun 2010 jumlah penduduk indonesia telah mencapai 238 juta jiwa, sedangkan menurut badan kependudukan dan keluarga berencana nasional (bkkbn) jumlah penduduk indonesia telah mencapai 240 juta jiwa pada awal tahun 2012. dengan adanya jumlah tersebut indonesia menempati urutan keempat dengan jumlah penduduk terbanyak setelah china, india dan amerika serikat.1 untuk mencapai masa depan yang lebih baik melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dan peningkatan kemampuan untuk bersaing dalam era globalisasi, maka pemerintah menggalakkan perencanaan jumlah dan susunan anggota keluarga harus dilaksanakan sehingga tercapai suatu “norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera (nkkbs)”. masalah kemiskinan dan keterbelakangan yang sebagian disebabkan karena tidak terkendalinya serta tidak terencananya kelahiran.2 selain dalam rangka penanggulangan jumlah penduduk, mengikuti program kb bertujuan dalam mencapai reproduksi sehat, mencegah kehamilan yang tidak diinginkan dan mengurangi insiden kehamilan berisiko.3 program kb adalah bagian yang terpadu (integral) dalam program pembangunan nasional dan bertujuan untuk ikut serta dalam menciptakan kesejahteraan penduduk indonesia, untuk mencapai keseimbangan yang baik.4 terdapat berbagai metode kb yaitu metode efektif seperti suntik (progestogen dan kombinasi), oral (pil kombinasi dan progesterone only pill), mekanis (iud dan implan) dan metode sederhana (kondom, diafragma, spermisida, koitus interuptus dan pantang berkala). berdasarkan hasil penelitian longitudinal survailan pada laboratorium penelitian kesehatan dan gizi masyarakat (lpkgm), fakultas kedokteran, universitas gajah mada yogyakarta di kabupaten purworejo jawa tengah sejak tahun 1984-2002 menunjukkan insiden pemakai kontrasepsi baru berdasarkan jenis alat kontrasepsi yang paling banyak dilayani adalah suntikan (66,05%), pil (16,1%), iud (8,7%), susuk kb (2,5%), serta jenis lainnya (6,8%).5 berdasarkan data di wilayah kerja puskesmas kedungwuni i kabupaten pekalongan sepanjang tahun 2011 tercatat akseptor kb injeksi progestogen sebanyak 683 akseptor dan 102 akseptor iud. pemilihan dalam penggunaan kontrasepsi harus diperhatikan dalam sisi keamanan, keefektivitasan, ketersediaan (termasuk mudah didapat, persyaratan pemakaian resep dan ketersediaan biaya), daya terima (keyakinan agama, tanggung jawab pribadi dan “perasaan alami”) dan ketergantungan koitus (misalnya penggunaan kontrasepsi oral, iud dan sterilisasi kebanyakan terlepas dari pengalaman koitus).6 injection’s acceptors. it can concluded that duration of use has no impact on return of normal menstruation cycle in progestogen injection acceptor and iud’s acceptor. key words: return of normal menstruation cycle, progestogen injection, iud 9 mutiara medika vol. 13 no. 1: 7-12, januari 2013 pada pasca penggunaan kb hormonal sering ditemukan perubahan siklus menstruasi berupa ketidakteraturan siklus sedangkan pada iud jarang ditemukan perubahan siklus. pada pengguna kb hormonal, masa subur dapat kembali antara 4-9 bulan setelah penghentian penggunaan kb hormonal sedangkan pada akseptor iud, masa subur dapat langsung kembali segera setelah pelepasan alat.7,8 puskesmas kedungwuni i merupakan puskesmas dengan akseptor iud dan injeksi progestogen yang memiliki jumlah yang cukup banyak dan para akseptor tersebut rutin datang ke puskesmas untuk sekedar kontrol atau berkonsultasi dengan bidan setempat. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kecepatan kembalinya siklus menstruasi normal pada akseptor injeksi progestogen dan akseptor iud di wilayah kerja puskesmas kedungwuni i kabupaten pekalongan. bahan dan cara penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik yang menggunakan desain cross sectional. pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara pada 81 akseptor iud dan 81 akseptor injeksi progestogen 3 bulanan di puskesmas kedungwuni i kabupaten pekalongan yang telah memenuhi kriteria inklusi. setiap ibu diberi pertanyaan yang sama mengenai identitas diri, metode kb yang digunakan, tahun awal pemakaian metode tersebut, lama pemakaian, siklus menstruasi pasca penghentian metode kb dan parietas. data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan independent t test untuk mengetahui perbandingan kecepatan kembalinya siklus menstruasi normal pada akseptor kb injeksi progestogen 3 bulan dengan akseptor iud. selain itu, sebagai data sekunder, peneliti juga mencari pengaruh antara lama pemakaian dengan kembalinya siklus menstruasi pada masing-masing metode kb dengan menggunakan uji korelasi pearson. hasil tabel 1. menunjukkan bahwa karakteristik subyek berdasarkan lama pemakaian kurang dari 5 tahun terdapat 70 responden (43.2%) pada akseptor iud dan 69 (42.6%) pada akseptor injeksi progestogen. berdasarkan jumlah paritas, responden akseptor iud terbanyak memiliki 2 anak yaitu 29 (17.9%), sedangkan pada akseptor injeksi progestogen sebanyak 36 (22.2%). berdasarkan umur 3040 tahun, terdapat 55 (34.0%) akseptor iud dan 52 (32.1%) akseptor injeksi progestogen. rata-rata kembalinya siklus menstruasi normal pada akseptor iud yaitu 1.02±0.16 sedangkan pada akseptor injeksi progestogen didapatkan ratarata 7.43±3.73 dengan nilai t hitung sebesar 15,45 dan nilai signifikansi 0,000 (p=0,000). tabel 1. karakteristik subyek kb denngan iud dan suntik di puskesmas kedungwuni i kabupaten pekalongan karakteristik subyek akseptor kb totaliud suntik lama pemakaian (tahun) < 5 tahun 70 (43.2%) 69 (42.6%) 139 (85.8%) 5-10 tahun 11 (6.8%) 11 (6.8%) 22 (13.6%) > 10 tahun 0 (.0%) 1 (.6%) 1 (.6%) total 81 (50%) 81 (50%) 162 (100%) paritas 1 9 (5.6%) 10 (6.2%) 19 (11.7%) 2 29 (17.9%) 36 (22.2%) 65 (40.1%) 3 25 (15.4%) 21 (13.0%) 46 (28.4%) 4 10 (6.2%) 9 (5.6%) 19 (11.7%) 5 7 (4.3%) 5 (3.1%) 12 (7.4%) 6 1 (.6%) 0 (.0%) 1 (.6%) total 81 (50%) 81 (50%) 162(100%) umur 20-29 tahun 18 (11.1%) 21 (13.0%) 39 (24.1%) 30-40 tahun 55 (34%) 52 (32.1%) 107 (66%) > 40 tahun 8 (4.9%) 8 (4.9%) 16 (9.9%) total 81 (50%) 81 (50%) 162 (100%) 10 astri kartika sari, perbandingan kembalinya siklus menstruasi normal pada ... uji statistika menggunakan uji korelasi pearson didapatkan nilai signifikansi pada akseptor iud 0.779 (p>0.05) dan pada akseptor injeksi progestogen 3 bulan 0.577 (p>0.05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara lama pemakaian dengan kembalinya siklus menstruasi normal. diskusi kontrasepsi telah dilaksanakan di inggris selama berabad-abad, penggunaan paling banyak yaitu metode barier dan intrauterine device (iud). pada tahun 1970, keluarga berencana gratis tersedia dari pelayanan kesehatan nasional. hal ini mengakibatkan kenaikan dalam penyediaan dan penggunaan semua metode dalam segala kelompok umur, jenis kelamin, atau status perkawinan.9 kontrasepsi merupakan suatu usaha dalam mencegah kehamilan. kehamilan terjadi apabila sel telur yang dilepaskan tersebut dibuahi oleh sperma dan hasil pembuahan tersebut tertanam pada endometrium.10 suntikan medroxy progesterone acetat 150 mg setiap 3 bulan menghambat terjadinya ovulasi. kadar estradiol mencapai puncak pada 3-4 hari pasca injeksi dengan nilai yang setara dengan lonjakan praovulasi dalam siklus menstruasi ovulaorik normal. kadar estradiol menetap setinggi ini selama sekitar 10 sampai 14 hari.11 penurunan kadar estradiol selanjutnya menyebabkan menstrual loss 10 sampai 20 hari setelah penyuntikan memiliki efek umum yang ditimbulkan oleh progestogen pada endometrium dan mukus serviks yaitu dengan mengentalkan lendir serviks sehingga menurunkan kemampuan penetrasi sperma.7,11,12 adapun sumber lain menerangkan mekanisme kerja suntikan progestogen antara lain pada sistem sentral menghalangi terjadinya lh surge dan menghindari terjadinya ovulasi, sedangkan pada sistem perifer terjadi atropi pada endometrium sehingga tidak menerima nidasi, mengentalkan serviks sehingga menghalangi kemampuannya dalam penetrasi spermatozoa, lendir endometrium mengalami perubahan sehingga menghalangi kapasitasi spermatozoa, menurunkan peristaltik tuba sehingga mengganggu spermatozoa dalam melakukan konsepsi, mengubah metabolisme lemak darah dan daya pembekuan darah.13 angka kehamilan umumnya kurang dari 1 persen. tampak adanya reduksi hdl-c yang signifikan pada sistem metabolik. hal ini juga dapat terjadi pada progestogen oral.12 formula ini cocok digunakan pada pasien yang mungkin menghindari konsumsi progesteron-only pill. efek samping penggunaan suntik progestogen antara lain ketidakteraturan menstruasi, amenorrhoea dan penambahan berat badan.9,12 iud merupakan suatu alat yang disisipkan ke dalam kavum endometrium melalui kanula plastik yang sempit dan dapat diambil melalui traksi dengan suatu tali yang diikatkan pada ujung bagian bawah alat tersebut.7 iud yang ideal harus mudah dipasang, mudah dikeluarkan, sedikit menimbulkan efek samping dan mempunyai derajat efisiensi tinggi dalam mencegah kehamilan.3 mekanisme kerja iud yaitu dengan mencegah terjadinya implantasi. reaksi peradangan akan terjadi di endometrium dan terjadi peningkatan imunglobulin serum yang diduga karena adanya reaksi imun. pola endokrin tidak mengalami perubahan, akan tetapi fase luteal 11 mutiara medika vol. 13 no. 1: 7-12, januari 2013 akan memendek dalam 2 hari, mungkin karena adanya sekresi prostaglandin.12 kontraindikasi pemasangan iud, antara lain sudah dipastikan hamil atau diduga sedang hamil, memiliki riwayat penyakit peradangan pelvik (pid), mempunyai riwayat kehamilan ektopik, mengalami pendarahan traktus genitalis abnormal, mempunyai kelainan uterus kongenital atau mioma yang dapat mengubah bentuk rongga uterus.3 pemasangan iud dapat menimbulkan efek samping berupa perforasi dinding uterus, terjadi ekspulsi (usia muda, nulliparity dan banyaknya pendarahan merupakan faktor risiko terjadinya ekspulsi),8 kram dan pendarahan terjadi dengan frekuensi bervariasi dari 410 per 100 wanita pada iud yang mengandung tembaga, timbulnya penyakit peradangan pelviks (pid) dan terjadi infertilitas tuba.3 pemilihan dalam penggunaan kontrasepsi harus diperhatikan dalam sisi keamanan, keefektivitasan, ketersediaan (termasuk mudah didapat, persyaratan pemakaian resep dan ketersediaan biaya), daya terima (keyakinan agama, tanggung jawab pribadi dan “perasaan alami”), dan ketergantungan koitus (misalnya penggunaan kontrasepsi oral, iud dan sterilisasi kebanyakan terlepas dari pengalaman koitus).6 hasil penelitian menunjukkan kembalinya siklus menstruasi normal pada akseptor iud lebih cepat dibandingkan dengan akseptor injeksi progestogen dengan nilai signifikansi (p) 0.000. berdasarkan data yang didapatkan miller and callander (1989),12 kembalinya siklus menstruasi normal pada akseptor injeksi progestogen rata-rata akan kembali 8-9 bulan setelah penghentian injeksi. adapun sumber lain yang menyebutkan kembalinya siklus menstruasi normal akan kembali 49 bulan setelah penghentian injeksi. pada pengguna kb hormonal, masa subur dapat kembali antara 4-9 bulan setelah penghentian penggunaan kb hormonal sedangkan pada akseptor iud, masa subur dapat langsung kembali segera setelah pelepasan alat.7,8 hubungan antara lama pemakaian dengan menstruasi kembali didapatkan hasil 0.779 pada iud dan 0.577 pada injeksi progestogen. kedua nilai tersebut menunjukkan nilai p>0,05 yang memiliki arti bahwa lama pemakaian metode kontrasepsi tidak mempunyai pengaruh pada kembalinya siklus menstruasi normal. dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan, antara lain tidak dapat diketahui pasti kapan ovulasi terjadi melainkan hanya dihitung berdasarkan rentang waktu awal penghentian metode kontrasepsi dengan kembalinya siklus menstruasi normal dan faktor-faktor yang menyebabkan tertundanya siklus menstruasi normal seperti stres. simpulan kembalinya siklus menstruasi normal pada akseptor injeksi progestogen (7 bulan) lebih lama dibandingkan pada akseptor iud (1 bulan). tidak terdapat pengaruh antara lama pemakaian metode kb dengan kembalinya siklus menstruasi normal. penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan dengan metode kohort prospektif. variabel penelitian juga dapat diganti dengan metode kontrasepsi lain misalnya kontrasepsi oral dengan implant. daftar pustaka 1 badan kependudukan dan keluarga berencana nasional. prediksi pertumbuhan pendu12 astri kartika sari, perbandingan kembalinya siklus menstruasi normal pada ... duk meleset, bkkbn genjot kb. 2012. diakses tanggal 28 maret 2012 dari http://www. b k k b n . g o . i d / b e r i t a / p a g e s / p r e d i k s i pertumbuhan-penduduk-meleset,-bkkbngenjot-kb.aspx 2. manuaba, ibg. operasi kebidanan, kandungan dan keluarga berencana untuk dokter umum (edisi 1). jakarta: egc. 1999. 3. llewellyn, d. dasar-dasar obstetri dan ginekologi (edisi 6) (hadyanto, penerjemah). jakarta: hipokrates. 2001. 4. departemen kesehatan republik indonesia. profil kesehatan provinsi kepulauan riau 2006. tanjung pinang. 2006. 5. panuntun, s., wilopo, sa., kurniawati, l. juni. hubungan antara akses kb dengan pemilihan kontrasepsi hormonal dan non hormonal di kabupaten purworejo. berita kedokteran masyarakat, 2009; 25: 88-95. 6. hacker, n., moore, jg. esensial obstetri dan ginekologi (ed.2). jakarta: hipokrates. 2001. 7. saifuddin, ab., affandi, b., baharuddin, m., soekir, s. buku panduan praktis pelayanan kontrasepsi (ed.2.). jakarta: ayasan bina pustaka sarwono prawirohardjo. 2010. 8. scott, j.r., gibbs, r.s., karlan, b.y., haney, a.f. danforth’s obstetrics and gynecology (9th ed.). philadelphia: lippincott w illiams & wilkins. 2003. 9. firley, d.h. lecture notes on obstetric and gynaecology (2nd ed.). massachusetts: blackwell. 2004. 10. american collage of obstetricians and gynecologist. tool kit for teen care (2nd ed). washington. 2010. 11. oriowo ma, landgren bm, stenström b, diczfalusy e.. a comparison of the pharmacokinetic properties of three estradiol esters. contraception. 1980; 21 (4): 415-24. 12. miller, a.w.f. & callander, r. obtetrics ilustrated (4th ed).new york: churchill livingstone inc. 1989. 13. manuaba, ibg. kapita selekta penatalaksanaan rutin obstetri ginekologi dan kb. jakarta: egc. 2001. 49 mutiara medika vol. 10 no. 1:49-54, januari 2010 pengaruh serbuk cabai rawit (capsicum frutescens l) terhadap nafsu makan dan berat badan anak tikus putih (rattus norvegicus l) the influence of capsicum frutescens l powder to appetite and weight of baby rats (rattus norvegicus l) ratna sari ritonga 1, ratna indrawati 2 1program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta, 2bagian fisiologi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta email: r_indriawatiwibowo@yahoo.com abstract lost of appetite factor in children approxiantely between 25% and can increase until 40-70% especially in chonic infection and premature infants. it has consequence to reduce their body weight. the aim of this study is to find out the influence of capsicum frutescens l to appetiteand body weight of rattus norvegicus l. the samples consisted of 24 rattus norvegicus l, male and female, devided into 4 groups. every group was given capsicum frutescens l powder such with 60 mg, 90 mg, 120 mg and one group used for control. such group was being adapted for one week and then was given the treatment for three weeks. the analized result using anova test showed that there was significant different between the amount rest of food and body weight increasing of rattus norvegicus l given capsicum frutescens l to each treatment group. among various groups of treatment the most effective dosis is 120 mg.it is concluded that capsicum frutescens l has the potential effect to stimulate the rattus norvegicus l appetite and to increase body weight. key words: appetite, capsicum frutescens l., weight, rattus norvegicus abstrak faktor kesulitan makan pada anak dialami sekitar 25% usia anak, dan jumlah akan meningkat sekitar 40 70% pada anak yang lahir prematur atau dengan penyakit kronik. faktor yang paling banyak menimbulkan kesulitan makan yaitu kurangnya nafsu makan. kesulitan makan akan menyebabkan berat badan menurun. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari serbuk cabai rawit (capsicum frutescens l) terhadap nafsu makan dan berat badan anak tikus putih (rattus norvegicus l). sampel adalah 24 ekor tikus, jantan dan betina, dan dibagi menjadi 4 kelompok. masing-masing kelompok diberikan serbuk cabai rawit dengan dosis 60 mg/hari/ekor, 90 mg/hari/ekor, 120 mg/hari/ekor, dan kelompok kontrol. sampel diadaptasikan selama seminggu, kemudian diberi perlakuan selama 3 minggu. hasil penelitian menunjukkan terdapat penurunan sisa makanan yang bermakna secara statistik antara jumlah sisa makanan dan peningkatan berat badan rattus norvegicus l. serbuk cabai rawit (capsicum frutescens l) dapat meningkatkan nafsu makan dan berat badan anak tikus putih (rattus norvegicus l) dengan dosis efektif yaitu 120 mg/hari/ekor untuk meningkatkan nafsu makan dan lebih efektif pada jantan. disimpulkan bahwa pemberian capsicum frutescens l dapat meningkatkan nafsu makan dan berat badan rattus norvegicus l. kata kunci: nafsu makan, capsicum frutescens l., berat badan, rattus norvegicus 50 pendahuluan kesulitan makan pada anak merupakan permasalahan anak yang paling banyak dijumpai dan sering dikeluhkan oleh orangtua. kesulitan makan bukanlah diagnosis atau penyakit, tetapi merupakan gejala atau tanda adanya penyimpangan, kelainan dan penyakit yang sedang terjadi pada tubuh anak. pengertian kesulitan makan adalah jika anak tidak mau atau menolak untuk makan, atau mengalami kesulitan mengkonsumsi makanan atau minuman dengan jenis dan jumlah sesuai usia secara fisiologis (alamiah dan wajar), yaitu mulai dari membuka mulutnya tanpa paksaan, mengunyah, menelan hingga sampai terserap di pencernaan secara baik tanpa paksaan dan tanpa pemberian vitamin dan obat tertentu.1 kesulitan makan sering disebabkan kurangnya nafsu makan yang dapat menyebabkan penurunan berat badan. nafsu makan merupakan suatu proses dalam tubuh yang dapat menyebabkan seseorang mempunyai keinginan makan. perubahan pada saat memulai makan, lamanya makan, periode dan jumlah asupan makanan didasari oleh perubahan nafsu makan, sedangkan berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh. massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. upaya yang sering dilakukan orangtua untuk mengatasi kesulitan makan pada anak, yaitu dengan pemberian suplemen vitamin makanan dan obat penambah nafsu makan.2,3,4 selain suplemen vitamin dan obat penambah nafsu makan, masih ada cara untuk menangani kesulitan makan pada anak yang tidak memiliki efek samping, yaitu dengan memakai tanaman obat. pada saat ini, sudah terdapat banyak ragam tanaman obat yang dipergunakan untuk meningkatkan nafsu makan anak, salah satunya yaitu cabai rawit. cabai rawit mempunyai kandungan capsaisin yang dapat merangsang produksi hormon endorphin yang mampu membangkitkan sensasi kenikmatan.5 oleh sebab itu penulis akan melakukan penelitian lebih jauh, tentang pengaruh dari cabai rawit dalam meningkatkan nafsu makan dan berat badan. bahan dan cara penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan desain pre dan post test control group. alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat penggilingan (blender), alat-alat gelas, timbangan tikus, kandang tikus, pot makanan, botol minuman, dan kertas untuk menampung sisa makanan tercecer. subyek 24 ekor tikus putih rattus norvegicus l galur sprague dawley yang diperoleh dari labolatorium hewan uji fk umy. tikus berjenis kelamin jantan dan betina, berumur kurang lebih 5 minggu dengan berat badan antara 100 sampai 180 gram. subyek dikelompokkan secara random ke dalam 4 kelompok, masing-masing kelompok 6 ekor terdiri dari 3 ekor jantan dan 3 ekor betina. penelitian dilaksanakan di laboratorium fisiologi fk umy dan labolatorium hewan uji fk umy. penelitian ini menggunakan serbuk cabai rawit varietas cengek leutik. serbuk cabai rawit dibuat dari cabai rawit varietas cengek leutik yang telah dikeringkan. cabai rawit yang sudah kering dihaluskan dengan menggunakan alat penggiling (blender) sehingga diperoleh bubuk cabai rawit. sebelum penelitian, disiapkan 24 buah kandang tikus lengkap dengan pot makanan dan botol minuman. pada setiap alas kandang diletakkan satu lembar kertas untuk menampung sisa makanan tercecer, feses tikus dan air kencing tikus. dua puluh empat ekor tikus putih terdiri dari 12 ekor jantan dan 12 ekor betina berusia sekitar 5 minggu dengan berat badan rata-rata 100 sampai 180 gram, dikelompokkan secara random ke dalam 4 kelompok, masingmasing 6 ekor, terdiri dari 3 ekor jantan dan 3 ekor betina. tikus ditimbang berat badannya dan kemudian ditempatkan ke dalam kandang, masing-masing berisi 1 ekor dan diadaptasikan selama 7 hari. setiap hari disediakan makanan sebanyak 20 gram dalam pot dan air minum ratna sari ritonga, ratna indrawati, pengaruh serbuk cabai ... 51 mutiara medika vol. 10 no. 1:49-54, januari 2010 secukupnya. setelah masa adaptasi, selama 7 hari tikus diamati berat badan dan nafsu makannya tanpa perlakuan apaapa. setelah itu, selama 3 minggu tikus kelompok eksperiment diberi perlakuan. bahan uji diberikan dengan disondekan pada tikus, setiap dosis serbuk cabai rawit dicampur dengan akuades menghasilkan 2 ml dosis yang kemudian disondekan setiap hari 1 kali pada waktu yang sama. berikut ini adalah jumlah dosis perkelompok: kelompok a serbuk dosis i 60 mg/hari/ekor, kelompok b serbuk dosis ii 90 mg/hari/ekor, kelompok c serbuk dosis iii 120 mg/hari/ekor dan kelompok d kontrol negatif tanpa perlakuan. pada setiap kali pengamatan, dalam satu hari sisa makanan dalam pot dan berat badan tikus ditimbang dan dicatat. kertas yang menampung sisa makanan, feses dan air kencing tikus dibiarkan selama 1 hari agar kering. keesokan harinya feses kering dipisahkan secara teliti, dan makanan tercecer ditimbang serta dicatat. pada setiap kali pengamatan, pot makanan selalu diisi kembali dengan makanan baru sebanyak 20 gram. hasil pada penelitian ini, diperoleh data sebelum dan sesudah pemberian cabai rawit, dan pengaruh perbedaan jenis kelamin terhadap berat badan dan nafsu makan. data kenudian akan dianalisis dengan menggunakan anova. data rerata jumlah sisa makanan dan berat badan sebelum dan sesudah pemberian serbuk cabai rawit secara lengkap disajikan pada tabel 1. dari hasil analisis dengan uji anova, menunjukkan terdapat penurunan sisa makanan yang bermakna secara statistik antara sisa makanan rattus norvegicus l sebelum dan sesudah pemberian serbuk cabai rawit (p<0,05). hasil analisis yang bermakna ini dilanjutkan dengan analisis post hoc untuk mengetahui dosis serbuk cabai rawit yang paling berpengaruh, hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan dosis serbuk cabai rawit secara bermakna pada semua kelompok perlakuan (p>0,05). uji analisis dengan anova juga dilakukan untuk mengetahui pengaruh jenis kelamin terhadap pemberian serbuk cabai rawit. hasil analisis menunjukkan bahwa perbedaan jenis kelamin tidak berpengaruh dalam meningkatkan nafsu makan pada semua kelompok perlakuan (p>0,05). dengan demikian, pemberian serbuk cabai rawit dapat meningkatkan nafsu makan dengan jumlah dosis dan jenis kelamin yang tidak berpengaruh terhadap peningkatan nafsu makan setelah pemberian serbuk cabai rawit (capsicum frutescens l), sehingga secara statistik, tidak ada perbedaan yang bermakna secara pada peningkatan nafsu makan antara rathus norvegicus l betina dan jantan setelah pemberian serbuk cabai rawit (capsicum frutescens l). tabel 1. rerata jumlah sisa makanan tikus sebelum dan sesudah disonde serbuk cabai rawit pada masing-masing kelompok perlakuan no. kelompok rata-rata sisa makan rattus norvegicus l + sd sebelum (gr) sesudah (gr) 1. serbuk cabe 60 mg 8.85 + 1.38 7.68 + 2.28 2. serbuk cabe 90 mg 8.52 + 2.63 7.5 + 2.31 3. serbuk cabe 120 mg 8.89 + 1.07 7.62 + 2.62 4. serbuk cabe kontrol 8.99 + 1.80 7.40 + 3.29 52 0 50 100 150 200 250 300 350 k e lompok a k e lompok b k e lompok c k e lompok d b e t ina j a nt a n gambar 1. selisih rata-rata jumlah sisa makanan rattus norvegicus l sebelum dan sesudah pemberian serbuk cabai rawit pada masing-masing kelompok perlakuan berdasarkan jenis kelamin tabel 2. berat badan rattus norvegicus l sebelum dan sesudah pemberian serbuk cabai rawit pada masing-masing kelompok perlakuan no. kelompok rata-rata berat badan rattus norvegicus l + sd sebelum (gr) sesudah (gr) 1 serbuk cabe 60 mg 143.67 +19.75 189.98 + 38.54 2 serbuk cabe 90 mg 132.60 + 21.11 201.80 + 51.93 3 serbuk cabe 120 mg 133.20 +16.81 189.72 + 37.62 4 serbuk cabe kontrol 123.67 + 19.92 193.42 + 53.00 gambar1.menunjukkan perbandingan neraca selisih rerata sisa makanan sebelum dan sesudah pemberian cabai rawit, peningkatan nafsu makan lebih terlihat pada jenis kelamin jantan dan pada pemberian serbuk cabai rawit dengan dosis 120 mg/ hari/ekor. pada gambar terlihat adanya perbedaan yang besar antara jumlah sisa makan jantan dan betina. hal ini disebabkan oleh hormon seks antara tikus betina dan tikus jantan yang diduga menyebabkan perbedaan dalam jumlah konsumsi makan (nafsu makan). 6 data rerata jumlah sisa makanan dan berat badan sebelum dan sesudah pemberian serbuk cabai rawit secara lengkap disajikan pada tabel 2. dari hasil analisis dengan uji anova, menunjukkan terdapat peningkatan berat badan yang bermakna secara statistik antara berat badan tikus sebelum dan sesudah pemberian serbuk cabai rawit (p<0,05). hasil analisis yang bermakna ini dilanjutkan dengan analisis post hoc untuk mengetahui dosis serbuk cabai rawit yang paling berpengaruh, hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan dosis serbuk cabai rawit secara bermakna pada semua kelompok perlakuan (p>0,05). uji analisis dengan anova juga dilakukan untuk mengetahui pengaruh jenis kelamin terhadap pemberian serbuk cabai rawit. hasil analisis menunjukkan bahwa perbedaan jenis kelamin tidak berpengaruh ratna sari ritonga, ratna indrawati, pengaruh serbuk cabai ... 53 mutiara medika vol 10 no. 1:49-54, januari 2010 dalam meningkatkan berat badan pada semua kelompok perlakuan (p>0,05). dengan demikian, pemberian serbuk cabai rawit dapat meningkatkan berat badan rattus norvegicus l dengan jumlah dosis serbuk cabai rawit dan jenis kelamin yang tidak berpengaruh terhadap peningkatan berat badan setelah pemberian serbuk cabai rawit (capsicum frutescens l), sehingga secara statistik, tidak ada perbedaan yang bermakna pada peningkatan berat badan antara rathus norvegicus l betina dan jantan setelah pemberian serbuk cabai rawit (capsicum frutescens l). gambar 2. menunjukkan bahwa berdasarkan perbandingan selisih rerata berat badan sebelum dan sesudah pemberian cabai rawit, peningkatan berat badan lebih terlihat pada jenis kelamin jantan dan pada pemberian serbuk cabai rawit dengan dosis 90 mg/hari/ekor. diskusi peningkatan nafsu makan tidak berkorelasi dengan penambahan berat badan, dikarenakan faktor luar yang berpengaruh terhadap berat badan tiap individu, yaitu keseimbangan antara kalori yang masuk dan energi yang dikeluarkan. kedua kondisi ini diatur setiap hari dan dalam jangka panjang banyak faktor yang mempengaruhi misalnya lingkungan, stress dan genetik.7 akan tetapi pada penelitian ini, faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan telah dikendalikan. seperti keseimbangan antar kalori sama pada setiap makanan tikus, energi yang dikeluarkan, lingkungan, stress, sama dikarenakan tikus ditempatkan pada kondisi dan lingkungan yang sama. dan genetik tikus sama yaitu jenis tikus rattus norvegicus l galur sprague dawley, sehingga memungkinkan untuk adanya hubungan peningkatan nafsu makan yang dapat menyebabkan peningkatan berat badan. hasil uji analisis correlation dari data penelitian yang diperoleh memang menunjukkan bahwa terdapat korelasi bermakna antara nafsu makan dan berat badan. pengaruh serbuk cabai rawit (capsicum frutescens l) pada penelitian ini dari hasil uji analisis menunjukkan bahwa secara bermakna serbuk cabai rawit (capsicum frutescens l) dapat meningkatkan nafsu makan dan berat badan anak tikus putih (rattus norvegicus l). peningkatan nafsu makan ini terjadi oleh karena kandungan kapsaisin pada cabai rawit yang dapat meningkatkan nafsu makan. adanya kandungan kapsaisin dalam cabai rawit ini berdasarkan pada penelitian sukrasno pada tahun 2006 yang menjelaskan bahwa buah capsicum frutescens mengandung kapsaisin, sedangkan beberapa jenis buah capsicum annuum sama sekali tidak mengandung kapsaisin. penelitian utami pada tahun 2008, menjelaskan bahwa cabai 0 2 0 0 4 0 0 6 0 0 8 0 0 1 0 0 0 k e l o mp o k a k e l o mp o k b k e l o mp o k c k e l o mp o k d b et ina j a nt a n gambar 2. rerata selisih berat badan rattus norvegicus l sebelum dan sesudah pemberian serbuk cabai rawit pada masing-masing kelompok perlakuan berdasarkan jenis kelamin 54 rawit mempunyai kandungan kapsaisin yang dapat merangsang produksi hormon endorphin yang mampu membangkitkan sensasi kenikmatan. pada penelitian ini, kandungan kapsaisin pada cabai rawit (capsicum frutescens l) sangat diperhatikan. untuk pembuatan serbuk cabai rawit, cabai dikeringkan dengan dijemur di bawah sinar matahari, untuk menghindari panas yang dapat menyebabkan menjadi rendahnya kandungan kapsaisin. untuk penyondean, serbuk cabai rawit ini diencerkan dengan menggunakan aquades. hal ini dikarenakan kapsaisin merupakan zat nonpolar yang tidak bisa dicampur air, sehingga kapsaisin tidak larut, dan dapat langsung masuk ke tubuh tikus (rattus norvegicus l).7 perasaan yang ditimbulkan oleh kapsaisin, mempunyai jalur impuls yang sama ke otak seperti saat terkena nyeri. proses yang terjadi yaitu pada saat cabai rawit di makan, kandungan cabai akan diserap oleh usus dalam tubuh. setelah itu zat kapsaisin dalam cabai akan terbawa oleh aliran darah dan dapat menstimulasi pengeluaran endorphin dari kelenjar pituitari.5 endorphine merupakan suatu hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar pituitary yang dapat memberikan sensasi nikmat, bahagia, nyaman, dan tidak merasa sakit. setelah zat kapsaisin ini mengalir di aliran darah dan menstimulasi kelenjar pituitary untuk mengeluarkan hormon endorphin, hormon endorphin akan mengalir dan memasuki nociceptive afferent. nociceptive afferent berfungsi untuk mengantar rangsang nyeri ke otak. jadi pada saat ada nyeri, akan ada stimulus nyeri (substansi p) yang menstimulasi nociceptive reseptor ini untuk mengantar rangsang nyeri ke otak. tetapi pada saat memakan cabai rasa nyeri yang di stimulasi oleh substansi p ini tidak sampai ke nociceptive afferent karena terhalang oleh endorphin yang terlebih dahulu telah menempel di opoid reseptor nociceptive afferent, yang kemudian memblok pengeluaran neurotrasmitter molekul dari nerve terminal, sehingga rangsang nyeri tidak sampai ke otak, dan rangsangan dari endorphin yang memberikan sensasi nikmat, bahagia, nyaman, dan tidak merasa sakit ini yang sampai di otak.5 endorphine ini dapat menyebabkan sensasi nikmat, perbaikan suasana hati, perasaan sejahtera dan nyaman. dengan demikian, setiap memakan cabai rawit, kapsaisin dalam cabai rawit akan memberikan rasa nikmat sehingga bisa meningkatkan nafsu makan. peningkatan nafsu makan ini pula yang memungkinkan dapat menyebabkan peningkatan berat badan pada penelitian ini. kesimpulan terdapat peningkatan nafsu makan dan berat badan pada anak tikus putih (rattus norvegicus l ) setelah pemberian serbuk cabai rawit (capsicum frutescens l) dengan dosis 60 mg/ hari/ ekor, 90 mg/ hari/ ekor, 120 mg/ hari/ ekor, tetapi secara statistik tidak bermakna. jenis kelamin secara statistik tidak berpengaruh terhadap peningkatan nafsu makan dan berat badan pada anak tikus putih (rattus norvegicus l). peningkatan nafsu makan lebih terlihat pada kelompok perlakuan tikus jantan dengan dosis 120 mg/ hari/ ekor. peningkatan berat badan lebih terlihat pada kelompok perlakuan tikus jantan dengan dosis 90 mg/ hari/ ekor. daftar pustaka 1. judarwanto, w. 2007. gangguan proses makan pada anak. picky eaters clinic. jakarta pusat. 2. widhowati, r.d. 2007. optimasi suppositoria ekstrak etanol buah cabai rawit (capsicum frutscens,l ) menggunakan basis gelati gliseri dengan metode simplex lattice design. repository archieve center uii. yogyakarta. 3. guyton, a.c. & hall, j.e. 2007. fisiologi kedokteran. penerbit buku kedokteran egc. jakarta . 4. meutia, n. 2005. peran hormone ghrelin dalam meningkatkan nafsu makan. bagian fisiologi fk usu. sumatera utara. 5. utami. 2008. capsaicin. diakses 14 april 2009 dari http://food.com/capsaicin.sp 6. olson. 1987. differentiation energy metabolism of rattus. diakses 3 nopember 2009 dari www.cellinfo.com 7. kandungan dan struktur kimia kapsaisin. 2007. diakses 3 nopember 2009 dari http://www.wikipedia.ind.com/ dave/capcaisin.sp ratna sari ritonga, ratna indrawati, pengaruh serbuk cabai ... 37 mutiara medika vol. 10 no. 1:37-43 januari 2010 evaluasi kesejahteraan sekolah dengan pendekatan model sekolah sejahtera di smp 24 malang evaluation of school well-being with the school well-being model approach in smp 24 malang yoyok bekti prasetyo korespondensi: bagian keperawatan komunitas program studi ilmu keperawatan fakultas ilmu kesehatan universitas muhammadiyah malang. email: yybekti_pras@yahoo.com abstract one of model that can be developed on school health programs is the school well-being model. indicators prosperous school includes four dimensions: school conditions (having), social relationships (loving), the mean self-fullfiment (being), and health status. this study aims to evaluate the condition of smp 24 malang based welfare indicators of the school wellbeing model. descriptive research design was to determine the school prosper with school welfare conditions. data collection using the school health promotion survey (shps). the condition of smp 24 malang is a dusty (73.3%) and noise (61.9%). there are difficulties in doing the task group students (71.3%) and interact with friends (55.5%). there are difficulties in preparing for the exam students (51.8%) and homework (32.8%). perceived health problems in the past month is feeling tired and weak (42.1%), headache (36.8%) and, insomnia (23.9%). health promotion schools that need it suggests the hearing conversation program, counseling programs, measures to reduce physical and psychological stress. key words: health status, school prosperity, schooll well-being factor, social relationship. abstrak salah satu model yang dapat dikembangkan pada program kesehatan sekolah adalah model sekolah sejahtera (the school well-being model). indikator sekolah sejahtera meliputi empat dimensi yaitu: school condition (having), social relationship (loving), mean self-fullfiment (being), dan health status. penelitian ini bertujuan mengevaluasi kondisi kesejahteraan smp 24 malang berdasarkan indikator model sekolah sejahtera. desain penelitian adalah deskriptif untuk menentukan sekolah sejahtera dengan kondisi kesejahteraan sekolah. pengumpulan data menggunakan survei promosi kesehatan sekolah (school health promotion survey/shps). kondisi sekolah di smp 24 malang adalah berdebu (73,3%) dan suara bising (61,9%). ada kesulitan siswa dalam mengerjakan tugas kelompok (71,3%) dan berinteraksi dengan teman (55,5%). ada kesulitan siswa dalam mempersiapkan ujian (51,8%) dan mengerjakan pekerjaan rumah (pr) (32,8%). masalah kesehatan yang dirasakan dalam sebulan terakhir adalah merasa lelah dan lemas (42,1%), sakit kepala (36,8%), sulit tidur (23,9%). promosi kesehatan sekolah yang perlu disarankan adalah hearing conversation program, program konseling, tindakan untuk mengurangi stres fisik dan psikologis. kata kunci: status kesehatan, sekolah sejahtera, faktor kesejahteraan sekolah, hubungan sosial. 38 pendahuluan sekolah sebagai sebuah organisasi dituntut untuk dapat memecahkan: (1) masalah tentang bagaimana memperoleh sumber daya yang mencukupi dan dapat menyesuaikan dengan tuntutan lingkungannya, (2) masalah tentang upayaupaya pencapaian tujuan pendidikan di sekolah, (3) masalah pemeliharaan solidaritas, dan (4) masalah upaya menciptakan dan mempertahankan keunikan nilai yang dkembangkan di sekolah. keempat hal di atas menjadi kerangka acuan dalam mengembangkan sekolah sehat. sekolah sehat pada dasarnya merupakan bagian dari kajian tentang iklim sekolah atau budaya sekolah, yang di dalamnya membicarakan tentang kemampuan sekolah untuk mempertahankan kelangsungan hidup organisasi sekolah dan kemampuan sekolah dalam mengatasi berbagai tekanan eksternal yang dapat mengganggu terhadap pencapaian tujuan pendidikan di sekolah. promosi kesehatan sekolah dikarakteristikan dengan kekuatan sekolah secara menetap untuk mempertahankan kapasitas sehat dalam kehidupan sekolah. tujuan promosi kesehatan sekolah adalah: menguatkan kemampuan advokasi dalam mengembangkan program sekolah sehat, menciptakan kerjasama dalam mengembangkan program sekolah sehat, penguatan kapasitas penelitian dalam mengembangkan program sekolah sehat. health promoting school adalah sekolah yang telah melaksanakan uks dengan ciri-ciri melibatkan semua pihak yang berkaitan dengan masalah kesehatan sekolah, menciptakan lingkungan sekolah yang sehat dan aman, memberikan pendidikan kesehatan di sekolah, memberikan akses terhadap pelayanan kesehatan, ada kebijakan dan upaya sekolah untuk mempromosikan kesehatan dan berperan aktif dalam meningkatkan kesehatan masyarakat.1 upaya untuk mencapai generasi sehat sekolah dikenal dengan program promosi kesehatan sekolah. salah satu program promosi kesehatan sekolah ini melalui upaya kesehatan sekolah (uks). health promoting school adalah sekolah yang telah melaksanakan uks dengan ciriciri melibatkan semua pihak yang berkaitan dengan masalah kesehatan sekolah, menciptakan lingkungan sekolah yang sehat dan aman, memberikan pendidikan kesehatan di sekolah, memberikan akses terhadap pelayanan kesehatan, ada kebijakan dan upaya sekolah untuk mempromosikan kesehatan dan berperan aktif dalam meningkatkan kesehatan masyarakat.1 akar dari sekolah sehat adalah pendidikan kesehatan dan lingkungan sekolah sehat.2 salah satu model yang dapat dikembangkan pada program kesehatan sekolah adalah model sekolah sejahtera (the school well-being model). the school well-being model memberikan indikator sekolah sejahtera meliputi empat dimensi yaitu: school condition (having), social relationship (loving), mean self-fullfiment (being), dan health status. mean selffullfiment meliputi kemungkinan siswa untuk belajar sesuai kapasitas dan sumber yang dimilikinya. health status melihat siswa dari tanda dan gelaja penyakit dan kondisi sakit.3 penelitian ini bertujuan mengevaluasi sekolah yang ada di malang untuk menentukan kondisi sejahtera sekolah tersebut. bahan dan cara desain penelitian ini adalah deskriptif. penelitian ini dilaksanakan di smp 24 wilayah kota malang. waktu penelitian dilakukan selama satu bulan mulai tanggal 10 januari s/d 30 mei 2009. faktor-faktor sekolah sehat yang memiliki 4 indikator meliputi: 1) kondisi sekolah: kondisi kelas, suara bising, cahaya, ventilasi, debu, fasilitas yang minim, ruang santai, kekerasan, kejadian beresiko, tekanan waktu, 2) hubungan sosial: perhatian guru, pelayanan guru, hubungan dengan teman, kejadian marah, 3) pencapaian diri: dorongan guru, masalah dalam menemui guru, menghadapi ujian, mengerjakan pr, dsb., 4) status kesehatan: riwayat kesehatan (ispa), nyeri leher, nyeri punggung, nyeri perut, iritasi, sulit tidur, sakit kepala, merasa lelah, mrasa gemetar, pelayanan perawat dan konseling. alat ukur yang digunakan adalah survei promosi kesehatan sekolah (school health promotion survey/shps) yoyok bekti prasetyo, evaluasi kesejahteraan sekolah ... 39 mutiara medika vol. 10 no. 1:37-43, januari 2010 hasil karakteritik responden penelitian ini dikaji berdasarkan proporsi dari usia dan jenis kelamin siswa. dari 247 siswa peserta penelitian, rata-rata usia siswa di smp 24 malang adalah 13, 68 tahun dengan standart deviasi 1,11 tahun. usia paling muda adalah 12 tahun dan tertua 17 tahun. tabel 1. menunjukkan bahwa siswa laki-laki memiliki proporsi yang lebih banyak (56,7%), dari pada siswa perempuan yaitu (43,3%). tabel 1. distribusi frekuensi jenis kelamin siswa smp 24 malang tahun 2009 (n = 247) karakteristik responden frekuensi prosentase jenis kelamin : f % laki-laki 140 56,7 perempuan 107 43,3 total 247 100 tabel 2. distribusi frekuensi faktor kondisi sekolah di smp 24 malang tahun 2009 (n = 247) karakteristik faktor frekuensi prosentase kekacauan dalam kelas tidak ada 8 3,2 sedikit 83 33,6 ada 156 63,2 suara bising tidak ada 12 4,9 sedikit 82 33,2 ada 153 61,9 cahaya kurang terang tidak ada 126 51 sedikit 85 34,4 ada 36 14,6 udara pengap tidak ada 85 34,4 sedikit 104 42,1 ada 58 23,5 debu tidak ada 2 0,8 sedikit 64 25,9 ada 181 73,3 fasilitas yang minim tidak ada 23 9,3 sedikit 76 30,8 ada 148 59,9 ruang santai tidak ada 110 44,5 sedikit 49 19,8 ada 88 35,6 kekerasan tidak ada 125 50,6 sedikit 72 29,1 ada 50 20,2 40 di smp 24 malang, terdapat hal yang menonjol yang perlu diperhatikan, antara lain 63,2% kekacauan dalam kelas, 61,9% suara bising dan 73,3% berdebu. selain kondisi tersebut, kekerasan yang terjadi di sekolah (school bullying) dapat mengakibatkan gejala kesehatan fisik seperti sakit kepala, sakit tenggorokkan, flu, batuk, bibir pecah-pecah, dan sakit dada. bagi korban yang mengalami perilaku agresif juga mungkin mengalami luka-luka pada fisik siswa. tabel 3. distribusi frekuensi faktor hubungan sosial di smp 24 malang tahun 2009 (n = 247) karakteristik faktor frekuensi prosentase guru perhatian pada sesuatu yang dikerjakan siswa sangat setuju 60 24,3 setuju 147 59,5 tidak setuju 34 13,8 sangat tidak setuju 5 2 guru melayani siswa dengan baik sangat setuju 89 36 setuju 125 50,6 tidak setuju 19 7,7 sangat tidak setuju 14 5,7 merasa santai dengan teman di dalam kelas untuk belajar bersama sangat setuju 64 25,9 setuju 140 56,7 tidak setuju 28 11,3 sangat tidak setuju 13 5,3 masalah saat mengerjakan tugas di sekolah dengan bekerja kelompok tidak pernah 22 8,9 sesekali 176 71,3 sering 45 18,2 selalu 3 1,2 masalah saat mengerjakan tugas di sekolah untuk berhubungan dengan teman tidak pernah 58 23,5 sesekali 137 55,5 sering 37 15 selalu 13 5,3 yoyok bekti prasetyo, evaluasi kesejahteraan sekolah ... 41 mutiara medika vol. 10 no. 1:37-43, januari 2010 tabel 4. distribusi frekuensi faktor pencapaian diri di smp 24 malang tahun 2009 (n = 247) karakteristik faktor frekuensi prosentase guru mendorong siswa untuk mengekspresikan pandangan selama pelajaran*) tidak setuju 24 9,7 setuju 143 57,9 sangat setuju 42 17 pandangan siswa sekolah terhadap pengembangan peningkatan sekolah**) tidak setuju 8 3,2 setuju 164 66,4 sangat setuju 41 16,6 *) data missing 15,4%, **) data missing 13,8% tabel 6. distribusi frekuensi faktor pencapaian diri di smp 24 malang tahun 2009 (n = 247) karakteristik faktor frekuensi prosentase menemui guru saat pelajaran a) tidak pernah 52 21,1 sesekali 133 53,8 sering 28 11,3 selalu 32 13 mengerjakan pekerjaan rumah (pr) atau tugas sekolah yang lain b) tidak pernah 21 8,5 sesekali 56 22,7 sering 77 31,2 selalu 81 32,8 persiapan ujian c) tidak pernah 10 4 sesekali 42 17 sering 61 24,7 selalu 128 51,8 menemukan teman belajar d) tidak pernah 19 7,7 sesekali 69 27,9 sering 95 38,5 selalu 48 19,4 memulai tugas yang memerlukan aktivitas fisik e) tidak pernah 36 14,6 sesekali 94 38,1 sering 71 28,7 selalu 21 8,5 mengerjakan tugas yang memerlukan membaca (dari buku, perpustakaan) f) tidak pernah 16 6,5 sesekali 67 27,1 sering 117 47,4 selalu 27 10,9 mengerjakan tugas yang memerlukan menulis g) tidak pernah 14 5,7 sesekali 33 13,4 sering 125 50,6 selalu 70 28,3 data missing: a) 0,8% b) 4,9% c)2,4% d)6,5% e)10,1% f)8,1% g)2,0% 42 tabel 7. distribusi frekuensi faktor status kesehatan siswa di smp 24 malang tahun 2009 (n = 247) karakteristik faktor frekuensi prosentase riwayat penyakit infeksi pernapasan selama 6 bulan terakhir a) tidak pernah 168 68 jarang 68 27,5 sering 5 2 selalu 3 1,2 riwayat keluhan selama 6 bulan terakhir: 1. nyeri leher b) tidak pernah 131 53 satu kali dalam sebulan 82 33,2 beberapa kali dalam sebulan 31 12,6 2. nyeri punggung c) tidak pernah 177 71,7 satu kali dalam sebulan 49 19,8 beberapa kali dalam sebulan 20 8,1 3. nyeri perut tidak pernah 126 51 satu kali dalam sebulan 73 29,6 beberapa kali dalam sebulan 48 19,4 4. iritasi d) tidak pernah 191 77,3 satu kali dalam sebulan 24 9,7 beberapa kali dalam sebulan 25 10,1 5. sulit tidur tidak pernah 136 55,1 satu kali dalam sebulan 52 21,1 beberapa kali dalam sebulan 59 23,9 6. sakit kepalae) tidak pernah 70 28,3 satu kali dalam sebulan 85 34,4 beberapa kali dalam sebulan 91 36,8 data missing a) 1,2%; b)1,2%; c)0,4%; d)2,8%; e)0,4% diskusi tabel 2. menunjukkan bahwa kondisi kelas di smp 24 malang yang memiliki prosentase tinggi adalah adanya debu (73,3%) dan suara bising (61,9%). selain itu, data yang terkait dengan adanya tekanan waktu sebanyak 35,2%, kekerasan sebanyak 20,2%, adanya kejadian berisiko sebanyak 19,8%. kekerasan pada siswa, menurut riauskina, djuwita, soesetio 4 didefinisikan sebagai school bulyying yaitu perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seseorang atau kelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa lain yang lebih lemah. korban school bulyying akan cenderung mengalami berbagai macam gangguan yang meliputi kesejahteraan psikologis yang rendah, penyesuaian sosial yang buruk, gangguan psikologis, dan kesehatan yang buruk. tabel 3. menunjukkan bahwa hubungan sosial di smp 24 malang ditinjau dari perhatian guru terhadap apa yang dikerjakan siswa, pelayanan guru terhadap siswa, hubungan antar teman dikelas dalam kategori baik. hal ini ditunjukkan dengan tingginya proporsi siswa yang menyatakan setuju dengan hal tersebut. namun demikian masih ada kesulitan yoyok bekti prasetyo, evaluasi kesejahteraan sekolah ... 43 mutiara medika vol. 10 no. 1:37-43, januari 2010 siswa dalam mengerjakan tugas kelompok (71,3%) dan berinteraksi dengan teman (55,5%). selain itu, terdapat masalah siswa saat mengerjakan tugas yang berhubungan dengan guru (37,2%), situasi sangat marah siswa selama belajar yang terjadi ratarata sekali dalam seminggu (41,7%), dan melihat teman marah selama belajar di sekolah yang terjadi rata-rata sekali dalam seminggu (35,2%). tabel 4. menunjukkan bahwa 57,9% guru berupaya mendorong siswa berekspresi dalam perpendapat di dalam kelas. sebanya 66,4% siswa menyatakan setuju dengan upaya pengembangan sekolah. tabel 5. menunjukkan bahwa siswa di smp 24 malang sebanyak sebanyak 51,8% siswa kesulitan mempersiapkan ujian, 32,8% siswa menemui kesulitan dalam mengerjakan pr. fahrial 5 mengatakan bahwa ujian bagi siswa dapat menjadi pemicu terjadinya stress sehingga dapat mengakibatkan keluhan fisik seperti migrain, sakit kepala, nyeri ulu hati, sakit yang tidak jelas dan nafsu makan berkurang. tabel 6. menunjukkan bahwa gejala yang dirasakan beberapa kali dalam sebulan oleh siswa smp 24 kota malang adalah merasa lelah dan lemas (42,1%), sakit kepala (36,8%) dan sulit tidur (23,9%). pelayanan kesehatan di sekolah ini tergolong cukup baik, yaitu 67,2% mudah menemui perawat dan 68% puas terhadap layanan konseling. gejala sulit tidur pada siswa dapat disebabkan oleh berbagai kondisi yang menyebabkan stress, misalnya adanya konflik orang tua dan anak. konflik antara orang tua dengan remaja yang berlarutlarut dapat menimbulkan berbagai hal yang negatif, baik bagi remaja itu sendiri maupun orang-tuanya. kondisi demikian merupakan stresor bagi remaja yang akhirnya dapat menimbulkan permasalahan yang lebih kompleks baik fisik, psikologik maupun sosial termasuk pendidikan. permasalahan tersebut antara lain adalah keluhan fisik yang tidak jelas penyebabnya, permasalahan psikologis yang berdampak sosial seperti malas sekolah, membolos, terlibat perkelahian antara pelajar dan menyalahgunakan napza. kebutuhan tidur bagi siswa adalah kebutuhan dasar yang penting dan harus dipenuhi mengingat dampak merugikan yang bisa ditimbulkan. menurut samiudin6, kekurangan tidur jangka panjang dan pendek menyebabkan gangguan pada pikiran, bicara, daya ingat, konsentrasi, dan pertimbangan. sifat lekas marah meningkat dan waktu untuk bereaksi menurun. kekurangan tidur jangka panjang dapat berakibat paranoia dan halusinasi pandangan, taktil dan pendengaran. kesimpulan hasil evaluasi kesejahteraan sekolah di smp 24 malang adalah sebagai berikut: 1. kondisi fisik sekolah yang perlu mendapat perhatian adalah adanya debu (73,3%) dan suara bising (61,9%). 2. kondisi hubungan sosial adalah kesulitan siswa dalam mengerjakan tugas kelompok (71,3%) dan berinteraksi dengan teman (55,5%). 3. kondisi pencapaian diri bagi siswa adalah masih ada kesulitan siswa saat mempersiapkan ujian (51,8%) dan mengerjakan pr (32,8%). 4. status kesehatan yang dirasakan beberapa kali dalam sebulan oleh siswa adalah merasa lelah dan lemas (42,1%), sakit kepala (36,8%) dan sulit tidur (23,9%). daftar pustaka 1. depkes ri. 2004. kualitas sumber daya manusia ditentukan pendidikan dan kesehatan http://202.155.5.44/ index.php?option=news&task=viewartic le&sid=701&itemid=2, diakses tanggal 5 agustus 2008 2. konu a. & rimpela m. 2002. factor structure of the school well-being model. health education research. vol.17,no.6.2002. oxford university press. 3. konu a. & rimpela m. 2002. wellbeing in schools: a conceptual model. health promotion international. vol.17,no.1.2002. oxford university press 4. riauskina, djuwita, dan soesitio. 2005. school bulyying. http://www.rileks.com/ community/artikelmu/blogger.html. diakses tanggal 7 mei 2009 5. fahrial, 21 april, 2009. waspadai ujian picu stress. sriwijaya post. 6. samiudin. 2000. insomnia pada hiv dan penatalaksanaannya. research initiative treatment action. warta aids. yayasan spiritia | 44 mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 22 no 1 page 44-49, january 2022 nanotechnology in metformin delivery: fasting blood glucose and neutrophil-lymphocyte ratio of diabetic rat model david pakaya1*, laurents christovel iban demen2, haerani harun3, sarifuddin anwar4, gabriella bamba ratih lintin4 1department of histology faculty of medicine universitas tadulako, palu city, central sulawesi, indonesia 2medical student of faculty of medicine universitas tadulako, palu city, central sulawesi, indonesia 3department of clinical pathology faculty of medicine universitas tadulako, palu city, central sulawesi, indonesia 4department of anatomy faculty of medicine universitas tadulako, palu city, central sulawesi, indonesia date of article: received: 18 nov 2021 reviewed: 31 dec 2021 revised: 24 jan 2022 accepted: 26 jan 2022 correspondence: david_pakaya@untad.ac.id doi: 10.18196/mmjkk.v21i2.13358 type of article: research abstract: diabetes mellitus (dm) is a chronic inflammatory disease characterized by hyperglycemia and increasing the neutrophil-lymphocyte ratio (nlr). metformin has been widely used to treat hyperglycemia. metformin nanoparticles can improve bioavailability and may reduce inflammation. this study aims to analyze the effectiveness of metformin nanoparticles delivery through fasting blood glucose (fgb) level and nlr in the diabetic rat model. this study used 16 white male wistar rats, 8 weeks of age, and body weight (bw) 250-350 grams. the streptozotocin (stz) 40 mg/kg bw were injected i.p. rats were divided into 4 groups; k1: normal control; k2: negative control (diabetes model); k3: diabetes model treated with metformin 100mg/kg bw; k4: diabetes model treated with nanoparticle metformin 100mg/kg bw. blood analysis tests were conducted using the pentra hematology analyzer. data were analyzed using the graphpad prism program with the nonparametric kruskal wallis test. the k3 group showed a periodical decrease in fbg level from day 7 to day 28 by 122 ± 11.31 mg/dl, and the mean nlr value was 0.48 ± 0.3 x 103/ul. group of k4 periodically decreased in fbg level, indicating that it was closer to normal than k3. the result showed that at day 28.79 ± 15.39 mg/dl, the mean nlr value slightly increased compared to the k3 group by 0.54 ± 0.3 x103/ul. the statistical tests showed a significant difference between the level of fbg (p 0.0089) but no significant difference in nlr (p 0.347). metformin nanoparticles could decrease fbg levels and effectively reduce the nlr in the diabetic rat model. keywords: diabetes mellitus; metformin; nanoparticles; neutrophil-lymphocyte ratio introduction diabetes mellitus has attracted global attention. based on data from the international diabetes federation (idf), the prevalence of diabetes mellitus in the world is 1.9%. dm has become the seventh leading cause of death globally. in 2012, diabetes mellitus globally reached 371 million people, with 95% of it being caused by type 2 diabetes mellitus and the rest being caused by type 1 diabetes mellitus.1 according to the world health organization (who), in 2012, there were 1.5 million deaths caused by diabetes mellitus. who estimates that about 422 million people over the age of 18 suffer from diabetes mellitus, with the largest distribution in southeast asia and the western pacific. this condition is chronic and characterized by hyperglycemia, leading to chronic inflammation. several studies on the relationship of white blood cells as a biomarker of inflammation have found an important role for white blood cell counts in the pathogenesis of insulin resistance.2 the leukocyte count is frequently performed to evaluate inflammatory conditions. however, the neutrophil-lymphocyte ratio (nlr) is a new marker of inflammation that offers a more potential marker for https://doi.org/10.18196/mmjkk.v21i2.10882 45 | vol 22 no 1 january 2022 chronic inflammation. the neutrophil count will increase in chronic inflammatory conditions while the lymphocyte count will decrease. various studies have also shown that nlr is better than the total leukocyte count.3 the high incidence of diabetes mellitus in various regions in indonesia has raised awareness of the importance of rational treatment in the appropriate management of diabetes mellitus and its complications. treatment rationales include the accuracy of therapy based on diagnosis, choice of therapy, mode of administration, and evaluation of therapy. the rational use of anti-diabetes mellitus drugs has allowed patients to receive treatment according to clinical needs and in the right timeframe at a minimum cost.4 the use of metformin in clinical medicine began in 1957 when it was first prescribed as a therapy for diabetes in humans, while watanabe carried out trials of the effectiveness of the guanide hydrochloride in animal models in early 1918. although metformin has been on the uk market since 1958, metformin was only approved by the us food and drug administration (fda) in late 1995. although this drug has been used regularly for half a century, the exact mechanism of action is still not fully understood. the mechanism of action of metformin is at the complex molecular level. it is known that the main action of metformin is through the intracellular route activation of the amp protein kinase (ampk pathway).5 most oral hypoglycemic drugs are available in tablet and capsule form. this conventional dosage has many disadvantages, such as short duration of action due to short half-life, protein binding, gastric irritation, low bioavailability, diarrhea, and water-insoluble. to overcome this limitation, some authors use nanotechnology with the help of a nano-sized package. the application of nanotechnology in medicine is called "nanomedicine". nanoparticles are structures that have a size of 1-100 nanometers. it makes the nanoparticles easily penetrate the cell wall so that they are best used as a preparation for bioactive drugs.6 the development of a drug delivery system (e.g., nanoparticles) for metformin can reduce the therapeutic dose. materials and method this research was a quasi-experimental study with a quantitative approach with a posttest-only control group design. this study aims to assess the effect of metformin nanoparticles in a diabetic rat model by comparing the negative control group, positive control group, and metformin-hcl therapy group. in this research, the researchers use gdp and rnl as variables. the gdp level is the fasting blood glucose level of rats. the dm model uses a glucometer, which is done before and during the treatment period in all groups. neutrophil lymphocyte ratio (nlr) of diabetic rat model is comparison value between the neutrophil count and the lymphocyte count obtained from the results of the analysis of rat blood samples carried out in a clinical laboratory using a hematology analyzer. this study was conducted for 28 days, using 16 male wistar strain white rats (rattus norvegicus) aged 8 weeks with 250-300 grams of body weight in good health, normal activity, and behavior. rats were divided into 4 groups; k1: normal control; k2: negative control (diabetes model); k3: diabetes model treated with metformin 100mg/kg bw; k4: diabetes model treated with nanoparticle metformin 100mg/kg bw. analysis of blood samples was performed using pentra hematology analyzer. the data were processed using the statistical program graphpad prism for windows, with the kruskal wallis non-parametric test and the mann-whitney post hoc test. this study has received permission from the ethical committee of the faculty of medicine universitas tadulako number 6507/un 28.1.30/kl/2020. result characteristics of animal models the samples in this study were male wistar strain white rats (rattus norvegicus), 8 weeks old, and weighing 200-250 grams, in good health, with normal activity and behavior. treatment was carried out by placing the study animal at room temperature, with 12 hours of bright and 12 hours of dark lighting and adequate ventilation. the study animals were fed with standard food and drank water orally. sixteen rats were used in this study, all of which met the criteria and could be analyzed. three rats were not analyzed further, 2 died during treatment and 1 did not experience hyperglycemia on the 7th day after stz induction. mice that had been induced by stz and experienced hyperglycemia had several physical characteristics such as dull, matted, glossy hair, less active, and there were signs of inflammation in the orbital area. based on observations during treatment, the drinking water bottles in hyperglycemic mice seemed to run out more quickly, indicating an increase in drinking water consumption (polydipsia). rat cages always looked wet, so they must be cleaned every day. it also indicated that the rats have polyuria. | 46 body weight in diabetic rat model in the calculation of body weight per treatment group, the mean body weight was 331.29 ± 35.76 grams in k1, 279.83 ± 35.67 grams in k2, 289.4 ± 27.96 grams in k3, and 286.75 ± 13.4 grams in k4. the total mean of all treatment groups was 298.11 ± 35.76 grams. the normality of data distribution was carried out with shapiro wilk. as the data were not normally distributed, the kruskal wallis non-parametric test was carried out, which showed significant differences between treatment groups (p 0.0001). the body weights results are illustrated in figure 1. figure 1. mean body weight of models d-7 to d+28 per treatment group note: k1: normal control; k2: negative control (diabetes model); k3: diabetes model treated with metformin 100mg/kg bw; k4: diabetes model treated with nanoparticle metformin 100mg/kg bw. kruskal wallis test p 0.0001. post hoc mann whitney test: k1 vs k2 (p 0.0001), k1 vs k3 (p 0.0001), k1 vs k4 (p 0.0001), k2 vs k3 (p 0.4192), k2 vs k4 (p 0.5396), k3 vs k4 (p 0.2432). * p < 0.005 vs k1 further tests on body weight of models per group were carried out using mann whitney with significant differences between k1 and k2 (p 0.0001), k1 and k3 (p 0.0001), and k1 and k4 (p 0.0001). these results indicated significant differences between the bodyweight of the normal group compared to other diabetic groups. further tests also showed that there were no significant differences between k2 and k3 (p 0.4192), k2 and k4 (p 0.5396), and k3 with k4 (p 0.2432), indicating that diabetic-induced rat who did or did not receive therapy, either metformin or nano-metformin, did not experience improvement in body weight to normal values during the study period. fasting blood glucose levels in diabetic rat model this study was conducted by inducing stz intraperitoneally in wistar rats assigned to k2, k3, and k4 groups. streptozotocin is a diabetogenic substance that damages the pancreatic cells directly on the nitrosourea group and induces an increase in reactive oxygen species (ros).10 the stz is widely used in animal tests as it increases blood glucose levels by triggering excessively free radical production. the mean fbg of models per treatment group was 82.75 ± 6.7 to 90.5 ± 12.79 gram in k1. it indicated that all groups had normal fbg levels (<126 mg/dl). at the end of the study, the mean fbg levels of models ranged from 79 ± 15.39 to 184.75 ± 76.02 gram. it meant that the fbg level of k1, k3, and k4 changed during the test, but they fell back to the normal limit. however, for k2, the mean value was still above the normal limit. the fbg level results are illustrated in figure 2. the fbg level measurement was carried out to evaluate the effect of metformin therapy by a statistical test of fbg data accumulation from one-week post-therapy (h+7) until the end of the study (h+28) per treatment group. the normality test results using shapiro wilk showed that the data distribution was not normally distributed. the kruskal wallis non-parametric test revealed significant differences between treatment groups (p 0.0002). 47 | vol 22 no 1 january 2022 figure 2. fasting blood glucose of models h+7 to h+28 per treatment group note: k1: normal control; k2: negative control (diabetes model); k3: diabetes model treated with metformin 100mg/kg bw; k4: diabetes model treated with nanoparticle metformin 100mg/kg bw. kruskal wallis test showed p 0.0002, post hoc mann whitney test: k1 vs. k2 (p 0.0005), k1 vs. k3 (p 0.1089), k1 vs. k4 (p 0.2223), k2 vs. k3 (p 0.0629), k2 vs. k4 (p 0.0001), k3 vs. k4 (p 0.0089). *= p<0.05 vs k2, #=p<0.05 vs k4. further, the mann whitney test showed significant differences in fbg levels between k1 and k2 (p 0.0005), k2 and k4 (p 0.0001), and k3 and k4 (p 0.0089). it indicated that the group given with nanometformin therapy (k4) showed an improvement in levels close to the normal limit, with a significant difference between the diabetic group (k2) and metformin therapy group (k3). no significant difference was found between the k3 and normal rat groups (k1). there was a significant difference in the nano-metformin therapy group (k4). it can be concluded that both metformin dosages had a good antihyperglycemic effect, especially the nano-metformin. neutrophil lymphocyte ratio the nlr measurement results showed an effect of metformin administration, both in general and nanoparticle dosage, on the reduction of nlr. it was shown by the total leukocytes and the differential neutrophils and lymphocytes from each group. the range of normal hematologic values varied in individual male and female mice and age groups.13 the mean nlr results are illustrated in figure 3. figure 3. mean nlr of models between treatment groups note: k1: normal control; k2: negative control (diabetic model); k3: diabetes model treated with metformin 100mg/kg bw; k4: diabetes model treated with nanoparticle metformin 100mg/kg bw. kruskal wallis test p 0.0002. post hoc mann whitney test: k1 vs k2 (p 0.0005), k1 vs k3 (p 0.1089), k1 vs k4 (p 0.2223), k2 vs k3 (p 0.0629), k2 vs k4 (p 0.0001), k3 vs k4 (p 0.0089). *=p<0.05 vs k2, #=p<0.05 vs k4 based on the analysis of rat blood samples in the normal control rat group (k1), the mean leukocytes were 3.8 ± 1.7 x103/mm3, absolute neutrophils were 1.94 ± 0.16, and absolute lymphocytes were 1.57 ± 1.2. in the positive control rat group (k2), the mean leukocytes were 3.5 ± 0.3 x103/mm3, absolute neutrophils were 1.51 ± 0.35, and absolute lymphocytes were 1.91 ± 0.64. in the metformin therapy group (k3), the mean leukocytes | 48 were 10.45 ± 12.09 x103/mm3, absolute neutrophils were 2.16 ± 1.97, and absolute lymphocytes were 7.29 ± 8.75. in the nano-metformin therapy group (k4), the mean leukocytes were 6.17 ± 4.24 x103/mm3, absolute neutrophils were 1.7 ± 1.16, and absolute lymphocytes were 4.11 ± 3.53. discussion this study was conducted by inducing stz intraperitoneally in wistar rats assigned to k2, k3, and k4 groups. streptozotocin is a diabetogenic substance that damages the pancreatic cells directly on the nitrosourea group and induces an increase in reactive oxygen species (ros). the stz is widely used in animal tests as it increases blood glucose levels by triggering excessively free radical production. in this research, the researchers used metformin due to its ability to reduce blood glucose levels without causing weight gain and less incidence of hypoglycemia.9 another study also stated that metformin therapy in obese patients with metabolic syndrome only experienced a weight loss of up to 2.5%. these results fall short of the fda-mandated limit of the minimum 5% weight loss that obesity therapy drugs should yield.10 the results on the fbg level test align with the theory that the minor mechanism of action of metformin as a biguanide drug is to inhibit gluconeogenesis in the kidneys, slow down glucose absorption in the digestive tract, increase the conversion of glucose to lactate by enterocytes, direct stimulation of glycolysis in tissues, increase glucose uptake from the blood, and decrease plasma glucagon levels. the effect of biguanide in lowering blood glucose is independent of pancreatic beta cells. patients with type 2 diabetes will show a significant reduction in fasting hyperglycemia and postprandial hyperglycemia after biguanide administration.11,12 the nlr values in the k1 group were 0.85 2.53, with a mean nlr of 1.69. the result of k1 was higher than other treatment groups as one of the mice in the group had a high neutrophil count value. it could be influenced by several factors, such as the amount and type of feed, cleanliness of the cage, the stress conditions of the animals, the possibility of an early infection, thus influencing the increase in the mean nlr. meanwhile, in the k2 group, the nlr values were 1.21 0.53 with a mean nlr of 0.87, which according to our assumptions, was still within the normal range, where hyperglycemia conditions should trigger inflammation characterized by an increase in the number of neutrophils as a mediator of inflammation. hence, an increase in nlr is equal to or possibly more than the k1 group. it occurred due to the unknown initial nlr value and the possibility of neutropenia in study models. in the k3 group, the nlr values were 0.69 0.26, with a mean nlr of 0.48. in the k4 group, the nlr values were 0.22 0.81, with a mean nlr of 0.54. the mean nlr between k3 and k4 only showed a slight difference, and both of them had the lowest mean nlr compared to other treatment groups. the result of the kruskal-wallis test showed no significant differences in the mean rnl of each group (p 0.347). in the evidence, metformin could reduce subclinical inflammation as measured by nlr. it is noteworthy that supported previous reports that metformin could suppress markers of inflammation such as hscrp in prediabetic individuals and tnf in insulin-resistant individuals. the nlr had recently been identified as a biomarker and the predictor of all-cause mortality and cardiovascular events, while previous studies demonstrated a substantial beneficial effect of metformin therapy on cardiovascular outcomes.14,15,16 in this research, the researchers found that suppressing chronic inflammation by metformin might contribute to the difference in diabetic rat model outcomes. metformin directly affects inflammation, including effects on nf-κb signaling and differentiation of monocytes into macrophages,17,18, as well as suppressing proinflammatory cytokines from these macrophages. in line with this, metformin suppresses the nlr in type 2 diabetes.19-20 the test's limitation was the absence of the initial (pre-test) value of the nlr of each treatment group so that the hematological value of each rat in each group at the beginning of the study and whether there were any previous infections remained unidentified. furthermore, the short study period of 28 days is also a limitation, where the results may be different if further tests are carried out with a longer study time. conclusion the conclusion is that metformin nanoparticles could reduce fasting blood glucose levels periodically to below normal limits, could maintain the nlr value but are not significantly different, and has a better antihyperglycemic effect than metformin-hcl preparations. both metformin preparations could reduce the neutrophil-lymphocyte ratio through an antihyperglycemic effect. acknowledgment the researchers would like to thank lembaga penelitian dan pengabdian masyarakat (lppm) universitas tadulako and faculty of medicine universitas tadulako for the financial support from dipa fk 2020. 49 | vol 22 no 1 january 2022 conflict of interest there are no conflicts of interest in this research. references 1. international diabetes federation. 2013. idf diabetes atlas sixth edition. idf: brussels. 2. world health organization. (2014). diabetes mellitus. who news: fact sheet. who: geneva. 3. wibisana ka, subekti i, antono d, dan nugroho p. hubungan antara rasio neutrofil limfosit dengan kejadian penyakit arteri perifer ekstremitas bawah pada penyandang diabetes melitus tipe 2. jurnal penyakit dalam indonesia. 2018:5(4)184-188. http://dx.doi.org/10.7454/jpdi.v5i4.227 4. hongdiyanto a, dan yamlean pvy. evaluasi kerasionalan pengobatan diabetes melitus tipe 2 pada pasien rawat inap di rsup prof. dr. r. d. kandou manado tahun 2013. pharmacon. 2014:3(2):77-86. https://doi.org/10.35799/pha.3.2014.4775 5. janić m, volčanšek š, lunder m, and janež a. 2017. metformin: from mechanisms of action to advanced clinical use. zdrav vestn. 2017:86:138-1457. https://doi.org/10.6016/zdravvestn.1503 6. alhalmi a, alzubaidi n, and abdulmalik w. current advances in nanotechnology for delivery of anti-diabetic drugs: a review. int j pharmacog. 2018:5(1):1-7. https://doi.org/10.13040/ijpsr.0975-8232.ijp.5(1).1-07 7. pereira a, brito g, lima m, silva júnior a, silva e, de rezende a, et al. metformin hydrochloride-loaded plga nanoparticle in periodontal disease experimental model using diabetic rats. int j mol sci. 2018:19(11)3488. https://doi.org/10.3390/ijms19113488 8. hasanah a. efek jus bawang bombay (alium cepa linn.) terhadap mortalitas spermatozoa mencit yang diinduksi streptozotocin (stz). saintika medika: jurnal ilmu kesehatan dan kedokteran keluarga. 2015;11(2):92101. https://doi.org/10.22219/sm.v11i2.4203 9. putra rjs, achmad a, dan rachma h. kejadian efek samping potensial terapi obat anti diabetes pasien diabetes melitus berdasarkan algoritma naranjo. pharmeceutical journal of indonesia. 2017:2(2):45-50. 10. zufry h. terapi farmakologis pada obesitas. jurnal kedokteran syiah kuala. 2010:10(3):157-168. 11. saputra tn, suartha n, dan dharmayudha ogaa. agen diabetogenik streptozotocin untuk membuat tikus putih jantan diabetes melitus. buletin veteriner udayana. 2018;10(2):116-121. https://doi.org/10.24843/bulvet.2018.v10.i02.p02 12. katzung b.g. farmakologi dasar dan klinik. egc: jakarta. 2016. 13. fitria l, dan sarto m. profil hematologi tikus (rattus norvegicus berkenhout, 1769) galur wistar jantan dan betina umur 4, 6, dan 8 minggu. biogenesis. 2014:2, 2(2):94–100. https://doi.org/10.24843/bulvet.2018.v10.i02.p02 14. cameron ar , morrison vl, levin d, mohan m, forteath c, beall c, et al. antiinflamatory effect of metformin irrespective of diabetes status. circ res. 2016. 1(19):652-665. https://doi.org/10.1161/circresaha.116.308445 15. wang x, zhang g, jiang x, zhu h, lu z, and xu l. neutrophil to lymphocyte ratio in relation to risk of allcause mortality and cardiovascular events among patients undergoing angiopraphy or cardiac revascularization: a meta-analysis of observational studies. atherosclerosis. 2014: 234:206-213. https://doi.org/10.1016/j.atherosclerosis.2014.03.003 16. ip b, clifone n, zhu m, kuchibhatla ra, zer m, mcdonnell m, et al. an inflammatory t cell signature predicts obesity associated type 2 diabetes. j. immunol, 2015; 1-94: 121-122. 17. wong akf, symon r, alzadjali ma, ang dsc, ogston s, choy am, et al. the effect of metformin on insulin resistance and exercise parameters in patients with heart failure. eruopean journal of heart failure. 2012:14:13031310. https://doi.org/10.1093/eurjhf/hfs106 18. vasamsetti sb, karnevewar s, kanugula ak, thatipali ar, kumar jm, kotamraju s. metformin inhibits monocyte to macrophage differentiation via ampk mediated inhibition of stat3 activation: potential role in atherosclerosis. diabetes. 2015; 64:2028-2041. https://doi.org/10.2337/db14-1225 19. rena g, hardie g, and pearson er. the mechanism of action of metformin. diabetologia. 2017; 601:15771585. https://doi.org/10.1007/s00125-017-4342-z 20. griffin sj, leaver jk, irving gj. impact of metformin on cardiovascular disease: a meta-analysis of randomised trials among people with type 2 diabetes. diabetologia. 2017; 60(9):1620-1629. https://doi.org/10.1007/s00125-0174337-9 http://dx.doi.org/10.7454/jpdi.v5i4.227 https://doi.org/10.35799/pha.3.2014.4775 https://doi.org/10.6016/zdravvestn.1503 http://dx.doi.org/10.13040/ijpsr.0975-8232.ijp.5(1).1-07 https://doi.org/10.3390/ijms19113488 https://doi.org/10.22219/sm.v11i2.4203 https://doi.org/10.24843/bulvet.2018.v10.i02.p02 https://doi.org/10.24843/bulvet.2018.v10.i02.p02 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=cameron+ar&cauthor_id=27418629 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=morrison+vl&cauthor_id=27418629 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=levin+d&cauthor_id=27418629 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=mohan+m&cauthor_id=27418629 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=forteath+c&cauthor_id=27418629 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=beall+c&cauthor_id=27418629 https://doi.org/10.1161/circresaha.116.308445 https://doi.org/10.1016/j.atherosclerosis.2014.03.003 https://doi.org/10.1093/eurjhf/hfs106 https://doi.org/10.2337/db14-1225 https://doi.org/10.1007/s00125-017-4342-z https://doi.org/10.1007/s00125-017-4337-9 https://doi.org/10.1007/s00125-017-4337-9 89 mutiara medika vol. 13 no. 2: 89-97, mei 2013 perbandingan efek terapi gabapentin dan amitriptilin pada pasien stroke dengan nyeri neuropati comparison between gabapentin and amitriptylin therapeutic effect on stroke patients with neuropathic pain pinasti utami1*, zullies ikawati2, setyaningsih3 1bagian farmakologi dan farmasi klinik, program studi farmasi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta 2bagian farmakologi dan farmasi klinik, fakultas farmasi, universitas gadjah mada 3bagian poli saraf, rumah sakit jogja *email: pipin_alice@yahoo.com; pinasti.wicaksana@gmail.com abstrak stroke merupakan masalah bagi negara berkembang. insidensi stroke di indonesia 234 per 100.000 penduduk dan sekitar 2 8 % pasien stroke yang mengalami lesi serebrovaskular akan mengalami nyeri neuropati. beberapa penelitian sudah membuktikan gabapentin dan amitriptilin dapat digunakan sebagai terapi nyeri neuropati namun belum ada yang membandingkan secara langsung pada pasien stroke dari segi efek dan efek samping. tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbandingan penggunaan gabapentin dan amitriptilin terhadap efek terapi pada pasien stroke iskemik dengan nyeri neuropati di rumah sakit jogja. metode yang digunakan pada penelitian ini adalah quasi experimental dengan consequtive sampling dengan sampel 23 pasien pada kelompok gabapentin dan 18 pasien pada kelompok amitriptilin serta dievaluasi skor nyeri selama 1 bulan dengan menggunakan visual analog scale (vas) setiap 2 minggu. hasil penelitian menunjukkan pemakaian gabapentin dan amitriptilin selama 4 minggu menurunkan skor nyeri yang diukur dengan vas, masing-masing 2,87±1,33 dan 2,44±0,78 dengan nilai p= 0,24 yang artinya tidak berbeda signifikan. disimpulkan bahwa penggunaan gabapentin dan amitriptilin sebagai terapi nyeri neuropati pasien stroke perbedaannya tidak bermakna. kata kunci: stroke, gabapentin, amitriptilin, skor nyeri, vas abstract stroke becomes significant problem for developing countries. in indonesia, data show 234 incidents per 100,000 citizensand around 2 8 % stroke patients who suffer from cerebrovascular lesion will also suffer from central neuropathic pain. some studies have showed that gabapentin and amitritilin can be used as neuropathic pain therapy but so far there has been no studies that directly compares the effectiveness and side effects in stroke patients. the objective of the research is to investigate the therapeutic effect comparison of gabapentin and amitriptylin patients as neuropathic pain relief therapy in outpatient ischemic in jogja hospital. the method used in this research is quasi experimental with consequtive sampling with 23 patients in gabapentin group and 18 patients in amitriptilin group, and then they were evaluated pain scores in 1 month by visual analog scale (vas) every two weeks. the results of the research that use of gabapentin and amitriptyline for 4 weeks showed a decrease in pain scores measured by vas, respectively 2.87 ± 1.33 and 2.44 ± 0.78 with a p-value 0,24. it can be concluded that effectiveness in gabapentin and amitriptilin users as pain relief was not statistically different. key words: stroke, gabapentin, amitriptilin, pain scores, vas artikel penelitian 90 pinasti utami, dkk., perbandingan efek terapi gabapentin dan amitriptilin ... pendahuluan stroke merupakan masalah bagi negara-negara berkembang. di dunia penyakit stroke meningkat seiring dengan modernisasi. di amerika serikat, stroke menjadi penyebab kematian yang ketiga setelah penyakit jantung dan kanker. diperkirakan ada 700.000 kasus stroke di amerika serikat setiap tahunnya dan 200.000 diantaranya dengan serangan berulang. menurut who, ada 15 juta populasi terserang stroke setiap tahun di seluruh dunia dan terbanyak adalah usia tua dengan kematian ratarata setiap 10 tahun antara 55 dan 85 tahun.1,2,3 data di negara berkembang seperti indonesia menunjukkan insidensi 234 per 100.000 penduduk,4 sedangkan menurut data riskesdas depkes ri (2007),5 dalam laporan nasionalnya mendapatkan bahwa kematian utama untuk semua usia adalah stroke (15,4%), tb (7,5%), hipertensi (6,8%). sekitar 2 8% pasien stroke yang mengalami lesi serebrovaskular akan mengalami nyeri neuropati pusat hal ini terjadi akibat kerusakan otak/ kelainan sensorik sesudah stroke sehingga otak tidak sepenuhnya mengirimkan info ke tubuh dengan benar. nyeri tersebut dinamakan sindrom nyeri talamik yang memiliki tingkatan ringan, sedang dan berat. karakteristik nyeri dapat seperti terbakar, sakit, nyeri pedih, menusuk, mengoyak dan mempengaruhi kualitas hidup pasien.6 perawatan medis untuk nyeri post stroke di indonesia sebenarnya sudah mulai menggunakan golongan antridepresen trisiklik seperti amiriptilin dan golongan antikonvulsan seperti gabapentin. respon pasien menggunakan kedua obat ini cukup baik namun sejak tahun 2013 kedua obat tersebut tidak lagi masuk dalam daftar dan plafon harga obat (dpho) sebagai terapi nyeri jejas karena lemahnya bukti ilmiah obat tersebut pada penggunaan nyeri post stroke sehingga pengelolaan terapi nyeri post stroke menjadi kurang maksimal. berikut beberapa penelitian evidence based medicine (ebm) obat amiriptilin dan obat gabapentin sebagai antinyeri: penelitian lamphl et al. (2002),7 menunjukkan hasil pada kelompok plasebo mengalami tingkat nyeri 21% dan 17% pada kelompok pengobatan profilaksis dengan amitriptilin dalam waktu 1 tahun setelah diagnosis nyeri post stroke. penelitian yang dilakukan ter ong et al. (2003),8 menyebutkan antara 1998 dan 2001 terdapat 684 pasien, dimana 52 dari mereka dengan usia ratarata 58 tahun, berpartisipasi dalam penelitian dua tahap. tahap pertama diamati tanpa pengobatan khusus untuk parestesia hanya diberikan obat antiplatelet atau antikoagulan selama 6 bulan kemudian memasuki tahap kedua 44 pasien menerima terapi amitriptilin dan hasilnya 14 pasien (31,8%) melaporkan tidak mengalami parestesia lagi. data tersebut menunjukkan bahwa amitriptilin berguna dalam pengelolaan poststroke paresthesia. penelitian attal n et al. (1998),9 yang menyebutkan efek dari gabapentin dengan dosis rendah dan dinaikkan secara bertahap hingga maksimal 2.400 mg/hari menunjukkan bahwa gabapentin mempunyai efek antiallodinia dan antihiperalgesia meskipun terjadi efek samping namun ringan serta tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. pemaparan di atas membuktikan gabapentin dan amitriptilin dapat digunakan sebagai terapi nyeri namun untuk membandingkan secara langsung efektivitas obat yang berbeda, harus mencakup pertimbangan efek terapi, efek samping, dan biaya. penelitian yang membandingkan amitriptilin dan 91 mutiara medika vol. 13 no. 2: 89-97, mei 2013 gabapentin sejauh ini hanya 2 penelitian yaitu diabetic peripheral neurophaty pain (dpn) dan spinal cord injury).10,11 hasi l peneli tian morello (1999),10 melaporkan dalam 52% (11 dari 21) pasien diobati dengan gabapentin (dosis harian ratarata 1.565 mg) dan 67% (14 dari 21) dengan amitriptilin (dosis harian rata-ratadari 59 mg). penelitian yang membandingkan amitriptilin dan gabapentin sejauh ini hanya 2 penelitian yaitu diabetic peripheral neurophaty pain (dpn) dan spinal cord injury).10,11 hasil penelitian morello (1999),10 melaporkan dalam 52% (11 dari 21) pasien diobati dengan gabapentin (dosis harian rata-rata 1.565 mg) dan 67% (14 dari 21) dengan amitriptilin (dosis harian rata-ratadari 59 mg). penelitian belum mampu mencerminkan apakah efek gabapentin akan lebih efektif daripada amitriptilin. namun dari segi biaya ada perbedaan yang signifikan untuk gabapentin ($ 200 $300 dengan kisaran dosis 1800 2.700 mg/ hari) dan amitriptilin generik ($ 3) dan nortriptyline ($ 12), sedangkan di indonesia belum pernah ada yang melakukan penelitian membandingkan kedua obat tersebut, namun dari segi harga obat gabapentin (epiven) yang digunakan untuk terapi nyeri berkisar pada rp 3.500,00 rp 10.500,00 dengan kisaran dosis 100 mg-300mg dan amitriptilin generik berkisar pada rp 400,00 dengan dosis 25 mg sehingga perlu dilakukan penelitian untuk melihat dari segi efektivitas, efek samping dan biaya. tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbandingan efek terapi penggunaan gabapentin dan amitriptilin pada pasien stroke dengan nyeri neuropati di rumah sakit jogja yang diukur dengan menggunakan instrumen visual analog scale (vas). bahan dan cara jenis penelitian adalah eksperimental dengan rancangan penelitian quasy experimental design yang dilakukan terhadap pasien stroke iskemik yang mengalami nyeri post stroke yang datang berobat ke poli saraf di rumah sakit jogja. sampel pada penelitian ini terdapat 2 kelompok pasien nyeri iskemia pasca stroke, dimana kelompok pertama diberi perlakuan pemberian amitriptilin 12,5 mg 2 kali sehari dan kelompok kedua diberikan pemberian gabapentin 100 mg 2 kali sehari. pengambilan sampling berdasarkan consecutive sampling yaitu semua subyek yang memenuhi subyek penelitian diambil sampai besar sampel terpenuhi. penelitian dimulai dengan penderita yang secara klinis didiagnosa oleh dokter terkena nyeri iskemia pasca stroke di rumah sakit jogja diberikan informed consent. untuk intensitas nyeri dinilai pada saat pemeriksaan awal kemudian setiap 2 minggu sekali setelah diberikan pengobatan amitriptilin tunggal atau gabapentin tunggal dilakukan kembali dan dievaluasi hingga minimal bulan ke 1 penelitian dengan menggunakan visual analog scale (vas). vas terdiri dari skala 0-10, dimana 0 pasien tidak mengalami nyeri dan 10 pasien mengalami sangat nyeri sekali. pemeriksaan vas akan dibantu oleh peneliti yang sebelumnya pasien diperkenalkan mengenai vas, untuk tidak nyeri ujung sebelah kiri dan untuk paling nyeri di ujung kanan lalu pasien menentukan sendiri kualitas nyeri yang dirasakan pada setiap kali di evaluasi dan setelah mengalami terapi (minggu ke-2 dan ke-4) dievaluasi juga mengenai karakteristik nyeri post stroke dan efek samping obat yang terjadi. data vas dari pasien akan diolah dan dianalisis mengunakan ttest tingkat kepercayaan 95% sedangkan data 92 pinasti utami, dkk., perbandingan efek terapi gabapentin dan amitriptilin ... karakterisitk dan efek samping dianalisis secara deskriptif. hasil subyek penelitian ini adalah pasien nyeri iskemia pasca stroke yang berjumlah 57 pasien. pasien selanjutnya dialokasikan menjadi 2 kelompok yaitu kelompok gabapentin (n=31) dan kelompok amitriptilin (n=26). selama penelitian terdapat 16 pasien yang tidak meneruskan/mengundurkan diri dari penelitian terdiri dari kelompok gabapentin 8 orang dan kelompak amitriptilin 8 orang. tabel 1. menunjukkan karakteristik subyek penelitian yang dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan dan pekerjaan. hasil analisis statistik menggunakan uji chi square didapatkan hasil berturut-turut p= >0,05 yaitu 0,105; 0,436; 0,283; 0,151, hal ini menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna pada tiap karakteristik subyek penelitian, sehingga subyek penelitian ini dikatakan homogen. tabel 2. menunjukkan efek terapi gabapentin untuk mengurangi intensitas nyeri post stroke dari minggu ke-0, ke-2 dan ke-4 berefek dalam menurunkan tingkat nyeri post stroke. pemakaian gabapentin selama 2 minggu yang diukur dengan vas menunjukkan penurunan sebesar 1,31±0,97 dengan nilai p=<0,05 yang berarti ada perbedaan secara signifikan, sedangkan pengukuran pada minggu ke-4 menunjukkan penurunan intensitas nyeri yang diukur dengan vas 2,87±1,33 dengan nilai p=<0,05 yang berarti ada perbedaan secara signifikan. tabel 2. menunjukkan efek terapi amitriptilin untuk mengurangi intensitas nyeri post stroke dari minggu ke-0, ke-2 dan ke-4 berefek dalam menutabel 1. karakteristik demografi pasien nyeri iskemia pasca stroke karakteristik responden gabapentin amitriptilin p n % n % jenis kelamin pria 16 69,6 8 44,4 0,105 wanita 7 30,4 10 55,6 usia < 40 tahun 0 0 1 5,6 0,436 40 tahun – 60 tahun 10 43,5 9 50 >60 tahun 13 42,5 8 44,4 pendidikan sekolah dasar 7 30,4 9 50 0,283 sekolah menengah pertama 4 17,4 5 27,8 sekolah menengah atas 9 39,1 3 16,6 diploma 3 13,1 1 5,6 pekerjaan tidak bekerja 17 74 12 66,7 0,151 wiraswasta 3 13 6 33,3 swasta 3 13 0 0 tabel 2. hasil analisis perbandingan skor nyeri sebelum pemberian, 2 minggu dan 4 minggu setelah pemberian gabapentin dan amitriptilin pada pasien iskemia pasca stroke pengukuran vas n mean±sd gabapentin sebelum pemberian 23 6,83±1,61 2 minggu setelah pemberian 23 5,52±1,65 4 minggu setelah pemberian 23 3,96±1,52 amitriptilin sebelum pemberian 18 6,00±1,65* 2 minggu setelah pemberian 18 4,72±1,78* 4 minggu setelah pemberian 18 3,56±1,72* 93 mutiara medika vol. 13 no. 2: 89-97, mei 2013 runkan tingkat nyeri post stroke. pemakaian amitriptilin selama 2 minggu yang diukur dengan vas menunjukkan penurunan sebesar 1,28±0,75 dengan nilai nilai p=<0,05 yang berarti ada perbedaan secara signifikan, sedangkan pengukuran pada minggu ke-4 menunjukkan penurunan intensitas nyeri yang diukur dengan vas 2,44±0,78 dengan nilai nilai p=<0,05 yang berarti ada perbedaan secara signifikan. tabel 3. menunjukkan perbandingan efek terapi gabapentin dan amitriptilin pada minggu ke-2 dan minggu ke-4. kedua obat mengalami penurunan nilai vas, secara matematis gabapentin lebih besar menurunkan intensitas nyeri dibandingkan amitriptilin namun bila diukur secara statistik didapatkan nilai p=>0,05 yang berarti tidak berbeda secara signifikan. tabel 4. menunjukkan efek samping yang muncul selama pemberian terapi gabapentin dan amitriptilin berturut-turut 35,3% dan 42,2% sehingga kelompok amitriptilin cenderung mengalami efek samping obat dibandingkan kelompok gabapentin. diskusi karakteristik subyek yang dapat mempengaruhi nilai vas yaitu jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan dan pekerjaan. jenis kelamin karena pada umumnya wanita lebih dapat menunjukkan ekspresi emosional yang lebih kuat sehingga dapat menentukan skala skor vas dibandingkan pria. usia juga merupakan variabel yang penting dalam merespon nyeri. cara lansia merespon berbeda dengan orang yang berusia lebih muda. lansia cenderung mengabaikan nyeri atau menahannya meskipun mengalami perubahan neurofisiologis dan mungkin mengalami penurunan persepsi sensorik stimulus serta peningkatan ambang nyeri.12 pekerjaan dapat membuat tekanan tersendiri sehingga dapat mempengaruhi kualitas hidup. tingkat pendidikan berpengaruh dalam memberikan respon terhadap segala sesuatu yang datang dari luar, dimana pada seseorang dengan pendidikan tinggi akan memberikan respon lebih rasional daripada yang berpendidikan menengah atau rendah. pada penelitian ini dapatkan hasil kedua kelompok memiliki distribusi yang homogen. tabel 4. monitoring efek samping obat penggunaan amitriptilin dan gabapentin pada pasien iskemia pasca stroke keterangan gabapentin amitriptilin n=31 % n=26 % mengantuk 5 16,1 5 19,2 pusing 1 3,2 0 0 mulut kering 1 3,2 2 7,7 lemas 1 3,2 3 11,5 lelah dan pusing 1 3,2 0 0 lelah dan konstipasi 1 3,2 0 0 mulut kering dan konstipasi 1 3,2 0 kantuk dan mulut kering 0 0 1 3,8 total yang terkena eso 11 35,3 11 42,2 tabel 3. perbandingan penurunan skor nyeri antara sebelum dan setelah pemberian gabapentin dan amitriptilin pada pasien iskemia pasca stroke waktu gabapentin mean±sd amitriptilin mean±sd p 0-2 minggu 1,31±0,97 1,278±0,75* 0,779 0-4 minggu 2,87±1,33 2,444±0,78 0,239 94 pinasti utami, dkk., perbandingan efek terapi gabapentin dan amitriptilin ... karakteristik nyeri dilakukan untuk melihat jenis dari rasa nyeri tersebut. klasifikasi nyeri dibagi menjadi 3: nyeri nosiseptif, nyeri neuropati dan nyeri fungsional. nyeri yang dialami post stroke merupakan nyeri neuropati sentral karena menyerangnya di otak.13 pada penelitian ini menunjukkan karakteristik nyeri pada pasien stroke iskemik lebih dirasakan kaku, berat, ngilu dan cekot-cekot yang dapat menganggu aktivitas sehari-hari. hal ini disebabkan adanya lesi pada sistem saraf sentral maupun periperal dimana bersifat konstan dan hilang muncul serta bersifat epikritik (tajam dan menyetrum) yang ditimbulkan oleh serabut a´ yang rusak dengan lokalisasi tak jelas yang disebabkan oleh serabut c yang abnormal.14 nyeri neuropati dapat menghasilkan disestesia (ketidaknyaman dan sensasi berbeda dari sensasi nyeri biasa). karakteristik nyeri disestesia seperti sensasi terbakar, kesemutan, rasa kebal, sensasi seperti ditekan, diperas, tajam seperti disengat listrik. 15 nyeri neuropati kurang responsif pada obat analgesik golongan nsaid dan opioid sehingga dicoba diberikan obat antikonvulsan dan antidepresant trisiklik sebagai terapi nyeri neuropati. penelitian ini mengambil gabapentin dari golongan obat antikonvulsan dan amitriptilin dari golongan antidepresant trisiklik.16 gabapentin merupakan obat yang biasa digunakan sebagai terapi epilepsi dengan mekanisme kerja meningkatkan konsentrasi gaba pada cairan cerebrospinal pasien dan sejak 1998 gabapentin mulai digunakan untuk terapi nyeri neuropati dengan mekanisme gabapentin mampu masuk ke dalam sel untuk berinteraksi dengan reseptor ±2´ yang merupakan subunit dari ca2+-chanel.13 pada penelitian ini dapat menunjukkan bahwa penggunaan gabapentin 100mg sehari 2 kali selama 1 bulan berefek dalam menurunkan tingkat nyeri, hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan gabapentin dapat dirasakan efeknya setelah 1-2 minggu pemakaian dan membantu mengurangi nyeri bila digunakan setidaknya 2-3 bulan. 17 amitriptilin merupakan obat dari golongan antidepresan trisiklik (tca) dengan mekanisme aksi menghambat re-uptake 5-ht dan norepineprin (ne) selain itu juga menurunkan reseptor 5-ht sehingga dapat meningkatkan konsentrasi 5-ht dicelah sinaptik. hambatan re-uptake ne jg meningkatkan kosnsentrasi ne dicelah sinaptik. peningkatan ne menyebabkan penurunan jumlah reseptor adrenergik beta yang mengurangi aktivitas adrenergik yang otomatis mengurangi adenosum monofosfat dan mengurangipembukaan sinapsna. penurunan sinaps-na yang membuka berarti depolarisasi menurun dan nyeri berkurang. 18 pada penelitian ini dapat menunjukkan bahwa penggunaan amitriptilin 12,5 mg sehari 2 kali selama 1 bulan berefek dalam menurunkan tingkat nyeri, hal ini senada dengan penelitian lamphl c et al. (2002),7 yang menunjukkan hasil terapi profilaksis kelompok amitriptilin dapat mengurangi insidensi nyeri stroke lebih rendah daripada kelompok placebo dan penelitian ter ong c et al. (2003),8 menunjukkan bahwa amitriptilin berguna dalam pengelolaan poststroke paresthesia. perbadingan efek terapi gabapentin dan amitriptilin masih terbatas, sepengetahuan peneliti terdapat dua randomized control trial yang mengkaji mengenai perbandingan efek terapi gabapentin dan amitriptilin yaitu pada penelitian morello et al. 95 mutiara medika vol. 13 no. 2: 89-97, mei 2013 (1999),10 pada penderita diabetic peripheral neurophaty (dpn). hasilnya menyatakan tidak ada perbedaan signifikan gabapentin dan amitriptilin dalam mengurangi nyeri sedangkan pada penelitian rintala et al. (2007),11 pada penderita dengan spinal cord injury dinyatakan bahwa amitriptilin lebih efektif dibandingkan difenhidramin dan gabapentin tidak berbeda secara statistik dari difenhidramin pada penderita spinal cord injury. penelitian ini menunjukkan perbandingan gabapentin dan amitriptilin terhadap efek terapi pada pasien stroke dengan nyeri neuropati tidak berbeda secara signifikan. untuk monitoring efek samping menurut literatur pemakaian gabapentin memang memiliki efek samping berupa rasa mengantuk, pusing dan yang jarang adalah gastrointestinal dan edema perifer ringan. data dari mgh pain center menunjukkan 48,3% yang terkena efek samping terdiri dari mengantuk (15,2%) pusing (10,9%), asthenia (6%), sakit kepala (4,8%), mual (3,2%) ataksia (2,6%) dan berat badan naik (2,6%), sedangkan penelitian backonja et al. (1998),19 melaporkan efek samping penggunaan gabapentin paling utama pusing (24%), mengantuk (23-2&%), bingung (8 %) dan ataksia (7%). apabila efek samping terjadi yang dilakukan adalah penyesuaian dan monitoring dosis tidak sampai pada penghentian dosis, sedangkan pemakaian amitriptilin harus digunakan secara hatihati pada lansia karena resiko terjatuh dan gangguan kognitif, selain itu amitriptilin juga dikontraindikasikan pada penyakit kardiovaskular. efek samping yang sering dilaporkan pada penggunaan amitriptilin adalah mengantuk, efek antikolinergik (mulut kering dan konstipasi), hipotensi dan penambahan berat badan. data penelitian ini menunjukkan adanya korelasi efek samping yang dialami pasien dengan teori efek samping kedua obat tersebut. pada penelitian ini, kelompok gabapentin dan kelompok amitriptilin memiliki jumlah yang sama yaitu 11 pasien yang mendapatkan efek samping obat namun setelah dibagi dengan total pasien dalam kelompok didapatkan sebesar 42,2% pada kelompok amitriptilin dan 35,3% pada kelompok gabapentin. dari pemaparan di atas gabapentin memiliki tolerabilitas yang baik, aman dan sedikit berinteraksi dengan obat lain dibanding obat nyeri lainnya.20 sejauh pengamatan dan data penelitian yang didapatkan kelompok gabapentin dan amitriptilin memiliki efikasi untuk menurunkan rasa nyeri pada pasien stroke iskemik dan pengaruh kualitas hidup yang sama sehingga harapannya kedua obat tersebut dapat masuk kembali ke daftar dan plafon harga obat sebagai terapi jejas saraf atau karena tahun 2014 indonesia semua masyarakat mendapatkan jaminan kesehatan maka kedua obat tersebut dapat masuk dalam daftar jaminan, tidak hanya pada penderita diabetec periperal neuropathy dan post herpetic neuralgia. selain efek terapi perlu dipertimbangkan dari aspek biaya dan efek samping. dari segi biaya amitriptilin rp. 400,00 (dosis 12,5mg x 2) lebih murah dibandingkan biaya gabapentin rp 7000,00 (dosis 100mg x 2) namun farmako ekonomi tidak hanya mempertimbangkan harga obat namun ada beberapa komponen salah satunya efek samping obat dimana amitriptilin dihindarkan pada usia lanjut sedangkan dari data demografi data yang berusia >60 tahun cukup banyak pada kelompok gabapentin 42,5% dan kelompok amitriptilin 44,4 %. 96 pinasti utami, dkk., perbandingan efek terapi gabapentin dan amitriptilin ... simpulan perbandingan penggunaan gabapentin dan amitriptilin terhadap efek terapi pada pasien stroke dengan nyeri neuropati tidak berbeda secara signifikan. daftar pustaka 1. goldstein lb, adams r, alberts mj, appel lj, brass lm, bushnell cd, et al. primary prevention of ischemic stroke: guideline from the american heart association/american stroke association stroke council. stroke, 2006; 37 (6): 1583-1633. harrison’s manual of medicine, 16th ed, mcgraw-hill, medical publishing division, new york. 2. kollen b, kwakkel g, lindeman e. functional recovery after stroke: a review of current dev elopments in stroke rehabilitation research. reviews on recent clinical trials; 2006. 1 (1): 75-80. 3. lloyd-jones d, adams r, carnethon m, de simone g, ferguson tb, flegal k, et al. heart disease and stroke statistics—2009 update: a report from the american heart association statistics committee and stroke statistics subcommittee. circulation, 2009; 119 (3): 480-6. 4. misbach j., 2001. stroke morbidity in bogor area: a prospective observational analysis. the journ of the indonesian med assoc.; ii (vi); 16. 5. riset kesehatan dasar. 2007. laporan nasional 2207. badan penelitian dan pengembangan kesehatan, departemen keshatan ri 6. boivie j. central pain from brain lesions. in: in: max m (ed), pain 1999 -an updated review: refresher course syllabus. seattle; iasp press. 1999. p: 77-85 7. lampl c, yazdi k, roper c. 2002. amitriptilin in the prophylaxis of central poststroke pain: preliminary results of 39 patients in a placebo-controlled, long-term study. stroke, 2002; 33 (12): 3030-2. 8. ter-ong c, feng sung s, shun wu c, ning lo can open-label study of amitriptilin in central poststroke paresthesia. acta neurol taiwan, 2003; 12: 177-180. 9. attal n, brasseur l, parker f, chauvin m, bouhassira d. effects of gabapentin on the different components of peripheral and central neuropathic pain syndromes: a pilot study. eur. neurol. 1998; 40 (4): 191-200. 10. morel l o cm, leckband sg, stoner cp, moorhouse df, sahagian ga. randomized double blind study comparing the efficacy of gabapentin with amitriptilin on diabetic peripheral neurophaty pain. arch intern med, 1999; 159 (16): 1931-1939. 11. rintala dh, holmes sa, courtade d, fiess rn, tastard lv, loubser pg. 2007. comparison of the effectiveness of amitriptilin and gabapentin on chronic neurophatic pain in persons with spinal cord injury. arch phys med rehabil, 2007; 88 (12): 1547-1560. 12. brunner dan suddarth. keperawatan medikal bedah edisi 8 volume 2. jakarta : penerbit buku kedokteran egc. 2001. 13. nicholson b. 2006. differential diagnosis: nociceptive and neuropathic pain. am j manag care, 2006; 12 (9):s256-62. 14. argoff ce. managing neurophatic pain: new approaches for today’s clinical practise. 2002. cited 2013 nov em ber f rom http://www. medscape.org/viewprogram/2361 97 mutiara medika vol. 13 no. 2: 89-97, mei 2013 15. respond, rm. 2008. terj. lyrawati, d. 2009. penilaian nyeri. hal 141-152. diakses dari http://lyrawati.files.wordpress.com/2008/07/ pemeriksan-dan-penilaian-nyeri.pdf 16. mao j, chen l. gabapentin in pain management. massachusetts general hospital. harvard medical school. boston. anesth analg, 2000; 91: 680-7 17. anonim. faqs about gabapentin for pain relief, cambridege unviversity hospitals nhs foundati on trust. 2010. http://www.lb7. uscourts.gov/documents/12-11345.pdf 18. richeimer s. understanding neurophatic pain. 2007. (cited 2013 november). available from url: http://www.spineuniverse.com 19. backonj a m, beydoun a, edwards kr, schwartz sl, fonseca v, hes m. et al. gabapentin for the sympotomatic treatment of painful neuropathy in patients with diabetes mellitus: a randomized controlled trial. jama, 1998; 280 (21): 211-4. 20. dworkin rh, backonja m, rowbotham mc, allen rr, argoff cr, bennett gj, et al. 2003, advances in neurophatic pain: diagnosis, mechanisms and treatment recommendations. arc neurol, 2003; 60 (11): 1524-34 195 mutiara medika vol. 12 no. 3: 195-200, september 2012 perbedaan tingkat endurance antara pria bertipe kepribadian a dan pria bertipe kepribadian b the differences of endurance level between personality type a male and personality type b male in university of muhammadiyah yogyakarta lutfia putri bastian1, tri pitara mahanggoro2* 1program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta 2 bagian fisiologi fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta *email: mastripitara@yahoo.com abstrak endurance atau daya tahan menyatakan keadaan yang menekankan pada kapasitas kerja secara terus menerus. diartikan sama dengan kebugaran jasmani yaitu kemampuan seseorang menyelesaikan tugas sehari-hari tanpa mengalami kelelahan yang berarti. daya tahan kardiorespirasi merupakan faktor utama dalam kebugaran jasmani. pengukuran daya tahan kardiorespirasi untuk kapasitas aerobik dapat dilakukan dengan cara mengukur konsumsi oksigen maksimal (vo2max). penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat perbedaan tingkat endurance antara pria bertipe kepribadian a dan pria bertipe kepribadian b. penelitian menggunakan metode astrand 6 minutes cycle test pada nilai vo2max dengan subyek sebanyak 60 pria yang terdiri dari 30 pria bertipe kepribadian a dan 30 pria bertipe kepribadian b. data dianalisis menggunakan independent sample t test. hasil penelitian didapatkan rerata nilai vo2max pada kelompok pria bertipe kepribadian a sebesar 31,8393 ± 2,14534 ml/ kg/ menit dan rerata nilai vo2max pada kelompok pria bertipe kepribadian b sebesar 36,3470 ± 3,15498 ml/ kg/ menit. didapatkan perbedaan yang bermakna antara pria bertipe kepribadian a dan pria bertipe kepribadian b (p=0,000). disimpulkan terdapat perbedaan tingkat endurance antara pria bertipe kepribadian a dan pria bertipe kepribadian b. pria bertipe kepribadian a memiliki tingkat endurance yang lebih rendah dibandingkan pria bertipe kepribadian b. kata kunci: endurance, vo2 max, tipe kepribadian a dan b abstract endurance is a condition that is showed continuous work capacity. interpreted same as physical fitness is the ability of someone to complete everyday tasks without experiencing significant fatigue. cardiorespiratory endurance is a main factor in physical fitness. measurement of cardiorespiratory endurance for aerobic capacity can be done by measuring the maximal oxygen uptake (vo2max). the research aims to see if there are differences of endurance level between personality type a male and personality type b male. research using the astrand 6 minutes cycle test on the value of vo2max by as many as 60 male subjects consist of 30 male with personality type a and 30 male with personality type b. data were analyzed using independent sample t test. results showed the mean value of vo2max in the group personality type a male is 31.8393 ± 2.14534 ml/ kg/ min and the mean value of vo2max in the group personality type b is 36.3470 ± 3.15498 ml/ kg /min. found significant differences between personality type a male and personality type b male (p = 0.000). the conclusion there are different levels of endurance between personality type a male and personality type b male. male with personality type a have lower levels of endurance than male with personality type b. key words: endurance, vo2 max, personality type a and b artikel penelitian 196 lutfia putri bastian, perbedaan tingkat endurance ... pendahuluan endurance atau daya tahan diartikan sama dengan kebugaran jasmani yaitu kemampuan seseorang menyelesaikan tugas sehari-hari tanpa mengalami kelelahan yang berarti, dengan pengeluaran energi yang cukup besar guna memenuhi kebutuhan geraknya dan menikmati waktu luang serta untuk memenuhi keperluan darurat bila sewaktu-waktu dibutuhkan.1 seseorang yang mempunyai kebugaran jasmani memiliki syarat-syarat fisik seperti syarat anatomis dan atau syarat fisiologis yang dapat ditingkatkan dengan latihan fisik. latihan fisik merupakan salah satu cara untuk mengembangkan tubuh secara fisiologis sekaligus mengembangkan tubuh secara anatomis.2 daya tahan kardiorespirasi merupakan komponen terpenting dalam kebugaran jasmani.3 daya tahan kardiorespirasi yaitu kesanggupan jantung, paru dan pembuluh darah untuk berfungsi secara optimal pada keadaan istirahat dan latihan untuk mengambil oksigen dan mendistribusikan ke jaringan yang aktif untuk metabolisme tubuh.4 daya tahan kardiorespirasi dipengaruhi oleh berbagai faktor fisiologis, antara lain: keturunan/genetik, usia, jenis kelamin dan aktivitas fisik.4 terdapat dua macam daya tahan kardiorespirasi, yaitu daya tahan aerobik dan daya tahan anaerobik. ketahanan aerobik adalah kemampuan untuk melakukan aktivitas jangka panjang (dalam hitungan menit sampai jam) yang bergantung pada sistem o2-atp untuk memasok persediaan energi yang dibutuhkan selama aktivitas. aktivitas yang dilakukan dalam jangka waktu yang lebih singkat membutuhkan sistem yang dapat menyediakan atp lebih cepat dari sistem o2-atp. digunakan sistem energi anaerobik, yaitu glikolisis parsial untuk menyediakan energi yang dibutuhkan. aktivitas semacam ini disebut dengan ketahanan anaerobik.5 kemampuan aerobik antara lain dapat diketahui dari kemampuan sistem kar-diorespirasi untuk menyediakan kebutuhan oksigen sampai ke dalam mitokondria, sedangkan kemampuan anarobik dapat diketahui dari kekuatan kontraksi otot.6 sistem transportasi oksigen erat hubungannya dengan vo2max. vo2max adalah jumlah maksimal oksigen yang dapat dikonsumsi selama aktivitas fisik yang intens sampai akhirnya terjadi kelelahan. vo2max dianggap sebagai indikator terbaik dari ketahanan aerobik.7 vo2max digunakan sebagai parameter untuk menentukan kebugaran jasmani.8 besar vo2max dinyatakan dalam ml/kg/menit, digolongkan pada kelompok umur dan jenis kelamin, dan besaran tersebut kemudian dimasukkan dalam kategori amat baik, baik, rata-rata, sedang dan kurang.9 pengukuran kemampuan maksimal sistim kardiorespirasi dapat secara langsung menggunakan spirometer sirkuit terbuka atau tertutup selama latihan dengan treadmill dan ergocycle di laboratorium dan cara tidak langsung menggunakan estimasi vo2max dengan uji submaksimal menggunakan ergocycle, treadmill atau bangku harvard.10 nilai vo2max dapat diketahui melalui denyut jantung dan nilai vo2max memakai prediksi normogram astrand atau tabel astrand, dengan menarik garis lurus dari beban kerja atau berat badan ke skala vo2 kemudian dihubungkan dengan denyut jantung untuk mendapatkan vo2max. 11 friedman dan rosenman membedakan tipe kepribadian menjadi dua, yaitu tipe kepribadian a dan tipe kepribadian b.12 ciri-ciri orang yang memiliki tipe kepribadian a yaitu selalu bergerak, berjalan dan makan dengan cepat, merasa tidak sabar, ber197 mutiara medika vol. 12 no. 3: 195-200, september 2012 juang untuk berpikir atau melakukan dua hal atau lebih secara terus menerus, tidak dapat meluangkan waktu untuk bersantai, terobsesi dengan angka-angka, kesuksesan diukur dengan seberapa banyak hasil yang telah dicapai.12 kebalikan dari orang berkepribadian a adalah tipe kepribadian b. ciri-ciri orang yang memiliki tipe kepribadian b yaitu tidak pernah merasa tertekan dengan perasaan terburu-buru karena keterbatasan waktu, merasa tidak perlu memperlihatkan atau mendiskusikan keberhasilan mereka kecuali dalam keadaan terpaksa karena adanya permintaan dari situasi yang ada, bermain untuk bersenang-senang dan bersantai, dibandingkan memperlihatkan superioritas mereka, dapat bersantai tanpa merasa bersalah.12 penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat apakah terdapat perbedaan tingkat endurance atau daya tahan kebugaran antara pria bertipe kepribadian a dan pria bertipe kepribadian b. bahan dan cara penelitian ini dilakukan dengan beberapa cara, pertama dilakukan pengumpulan data primer dari hasil kuisioner untuk mendapatkan subyek penelitian, kemudian dilakukan survey terhadap data yang didapatkan dari hasil pengukuran nilai vo2max dengan metode astrand 6 minutes cycle test. subyek penelitian adalah mahasiswa universitas muhammadiyah yogyakarta sejumlah 60 orang terdiri dari 30 mahasiswa bertipe kepribadian a dan 30 mahasiswa bertipe kepribadian b. data penelitian terdiri atas 60 orang subyek penelitian berjenis kelamin laki-laki. data tersebut terdiri atas umur, berat badan dan rata-rata denyut nadi pada dua menit terakhir. tingkat endurance diukur menggunakan metode astrand 6 minutes cycle test untuk mengetahui kemampuan/nilai vo2max. selanjutnya dihitung dengan statistik deskriptif. uji normalitas data dilakukan dengan statistik non param etri k menggunakan kolmogorovsmirnov untuk subyek besar e” 50 atau saphirowilk untuk subyek kecil d” 50. nilai vo2max dianalisis menggunakan uji independent sample t test. hasil tabel 1. menunjukkan bahwa kelompok tipe kepribadian a dengan subyek 30 orang, nilai minimal vo2max = 28.56 ml/kg/menit, nilai maksimal vo2max = 36.40 ml/kg/menit, nilai mean atau ratarata vo2max=31.84 ml/kg/menit, dengan standard eror mean= 0.39 dan nilai standard deviasi= 2.14. tipe kepribadian b jumlah subyek= 30, nilai minimal vo2max = 29.43 ml/kg/menit, nilai maksimal vo2max = 46.75 ml/kg/menit, nilai mean atau ratarata vo2max = 36.35 ml/kg/ menit, dengan standart eror mean = 0.58 dan nilai standard deviasi = 3.15. tabel 2. menunjukkan nilai rata-rata vo2max pada kelompok tipe kepribadian a= 31.84 ± 2.14 ml/ kg/menit termasuk dalam kategori sedang, sedangkan nilai rata-rata vo2max pada kelompok tipe kepribadian b=36.35±3.15 ml/kg/menit masuk dalam kategori rata-rata. hipotesis yang hendak diuji yaitu terdapat perbedaan tingkat endurance antara pria bertipe kepribadian a dan pria bertipe kepribadian b. tabel 1. rangkuman hasil perhitungan data statistik deskripsi variabel tipe kepribadian n m x ± sdean max. min. vo2max a 30 31.8393±2.14 36.40 28.56 b 30 36.3470±3.15 46.75 29.43 198 lutfia putri bastian, perbedaan tingkat endurance ... pada tabel 3. dapat diketahui bahwa nilai t hitung vo2max yang diperoleh sebesar –6.471 dengan nilai signifikansi 0.000 atau p < 0.05 maka h0 ditolak dan h1 diterima atau vo2max antara pria bertipe kepribadian a dan pria bertipe kepribadian b secara statistik berbeda. kondisi ini menggambarkan terdapat perbedaan tingkat endurance yang bermakna antara pria bertipe kepribadian a dan pria bertipe kepribadian b. diskusi hasil penelitian ini menunjukkan rata-rata nilai vo2max pria bertipe kepribadian a=31.84 ± 2.14 ml/kg/menit termasuk dalam kategori sedang, sedangkan nilai rata-rata vo2max pada kelompok tipe kepribadian b= 36.35 ± 3.15 ml/kg/menit masuk dalam kategori rata-rata. uji statistik ditemukan perbedaan nilai vo2max yang bermakna antara pria bertipe kepribadian a dan pria betipe kepribadian b. artinya terdapat perbedaan tingkat endurance antara pria bertipe kepribadian a dan pria bertipe kepribadian b. perbedaan tingkat endurance ini disebabkan karena pria bertipe kepribadian a dianggap memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan pria bertipe kepribadian b.12 sifat agresif, lekas marah dan bermusuhan yang ada pada tipe kepribadian a memicu terjadinya stres. orang stres mengalami peningkatan denyut jantung. denyut jantung yang meningkat ini mengakibatkan nilai vo2max menjadi lebih rendah. artinya stres dapat menyebabkan penurunan tingkat kebugaran. stres juga dianggap sebagai salah satu faktor yang dominan terhadap faktor risiko penyakit jantung koroner. hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh friedman dan rosenman pada tahun 1974. mereka melakukan studi selama 9 tahun menggunakan 3000 pria sehat berusia 35-39 tahun. hasilnya kepribadian tipe a memiliki dua kali lipat resiko jantung koroner dibandingkan dengan tipe kepribadian b.13 williams (2001),14 juga menyatakan bahwa sifat pemberang dan mudah marah yang ada pada orang dengan tipe kepribadian a yang menjadi faktor risiko signifikan terhadap penyakit jantung koroner. kebugaran jasmani yang baik dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya yang terpenting adalah aktivitas fisik atau latihan fisik. latihan dapat meningkatkan nilai konsumsi oksigen maksimum (vo2max) yang dicetuskan oleh olahraga. vo2max dapat berubah sesuai tingkat dan intensitas aktivitas fisik. vo2max akan lebih rendah pada orang yang tidak aktif. vo2max adalah hasil dari curah tabel 2. kategori kebugaran kardiorespirasi berdasarkan vo2max cardiorespiratory fitness categories according to vo2max (ml/ kg/ minute) jenis kelamin usia buruk sedang rata-rata baik sangat baik pria < 29 < 24.9 25 33.9 34 43.9 44 52.9 > 53 30 39 < 22.9 23 30.9 31 41.9 42 49.9 > 50 40 49 < 19.9 20 26.9 27 38.9 39 44.9 > 45 50 59 < 17.9 18 24.9 25 37.9 38 42.9 > 43 60 69 < 15.9 16 22.9 23 35.9 36 40.9 > 41 > 70 < 12.9 13 20.9 21 32.9 33 37.9 > 38 adapted from i. astrand. acta physiologica scandinavica 49 (1960). suplementum 169: 45-60. tabel 3. rangkuman hasil perhitungan uji t independent sample test vo2max t hitung sig. (2-tailed) keterangan equal variances assumed 6.471 .000 h0 ditolak dan h1 diterima 199 mutiara medika vol. 12 no. 3: 195-200, september 2012 jantung maksimum dan ekstraksi o2 maksimum oleh jaringan, dan keduanya dapat meningkat dengan latihan.15 berkebalikan dengan tipe kepribadian a, orang dengan tipe kepribadian b dapat dengan mudah mengurangi dan menghindari stres antara lain melalui pola makan yang sehat dan bergizi, memelihara kebugaran jasmani, melakukan aktivitas yang menggembirakan, bersantai, menjalin hubungan yang harmonis, menghindari kebiasaan yang jelek, merencanakan kegiatan harian secara rutin, meluangkan waktu untuk diri sendiri dan keluarga, serta menghindari diri dalam kesendirian.16 orang dengan tipe kepribadian b memiliki waktu untuk bersantai, melakukan aktivitas yang menyenangkan dan berolah raga sehingga terhindar dari stres. loehr (1993),17 mengatakan individu yang terhindar dari stres akan memiliki kebugaran jasmani yang baik. hal ini menjelaskan bahwa tipe kepribadian b memiliki tingkat kebugaran (endurance) yang lebih tinggi dibanding tipe kepribadian a. simpulan disimpulkan terdapat perbedaan tingkat endurance antara pria bertipe kepribadian a dan pria bertipe kepribadian b. pria bertipe kepribadian a memiliki tingkat endurance yang lebih rendah dibandingkan pria bertipe kepribadian b. perlu penelitian lanjut mengenai tingkat endurance dan kaitannya dengan dosis emosional seseorang serta tingkat endurance pada peminum kopi. daftar pustaka 1. sajoto, m. peningkatan dan pembinaan kekuatan kondis fisik dalam olahraga. semarang: dahara prize. 1988. 2. giriwidjojo, s. arti dan fungsi physical. bandung: universitas padjadjaran. 1970. 3. ichsan. pendidikan kesehatan dan olahraga. jakarta: ditki. 1988. 4. yunus, f. faal paru dan olahraga. jurnal respirologi indonesia, 1997; 17: 100 – 105. 5. thomas, g. theory of physical preparation for volleyball. in: coaches manual 1. lausanne: federation international de volleyball. 1989. hlm : 400. 6. fox, e.l., mathew, d.k. the physiology basis of education and athletics. philadelphia: saunders college publishing. 1981. 7. astorin, t.a., robergs, r.a., ghiasvand, f., marks, d., burns, s. incidence of the oxygen plateauat vo2max during exercise testing to volitional fatigue. j. of the amer soc of exerc physiol, 2000; 3 (4): 1-12. 8. astrand. text book of work physiology. new york: mcgraw-hill. 1970. 9. ogawa, t., spinna, r.j., martin, w.h., kohrt, w.m., schechtman, k.b., holloszy, j.o., ehsani, a.a. effects of aging sex and physical taining on cardiovascular responses to exercise. circul. 1992; 86 (2): 494 503. 10. astrand, p.o., rodhahl, k. textbooks of work physiology. 3rd edition. new york: mc grawhill. 1986. 11. kartawa, h. kumpulan diktat kuliah kedokteran olahraga. semarang: fakultas kedokteran universitas diponegoro, 2003. hlm : 29 – 41. 12. robbins, s.p. organizational behavior. new jersey: prentice hall. 2003. 13. friedman, m. type a behavior: its diagnosis and treatment. new york: plenum press (kluwer academic press). 1996. 200 lutfia putri bastian, perbedaan tingkat endurance ... 14. williams, r.b. hostility: effects on health and the potential for successful behavioral approaches to prevention and treatment. in baum, a., revenson, t.a., singer, j.e. (eds.) handbook of health psychology. mahwah, nj. 2001. 15. sukadiyanto. stres dan cara menguranginya. fkik uny, yogyakarta. cakrawala pendidikan. februari 2010. th xxix. 16. ganong, w.f. buku ajar fisiologi kedokteran. edisi 20. alih bahasa: widjajakusumah d., irawati d., siagian m., moeloek d., pendit b.u. jakarta: egc. 2002. 17. loehr, j. toughness training for life. new york: penguin books ltd. 1993. sri sundari, antibiotik linkomisin m sebagai antimalaria .............................. 52 antibiotik linkomisin m sebagai antimalaria terhadap mencit swiss terinfeksi plasmodium berghei lincomycine as antimalarial drug on swiss mice infected by plasmodium berghei sri sundari bagian parasitologi fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta abstract malaria is one among the most important public health problems in tropical countries like indonesia. several actions have been taken to overcome this problem, however its prevalence is still high. parasite resistance to antimalarial drug and vector resistance to insecticide are the major constrains in controlling the disease. to overcome this problem an alternative drugs are essentially need to be found. the antibiotic lincomycine is an example of alternative drug, and has been used in combination with chloroquine.. this aim of this study is to assess the effect of linkomycine on swiss mice infected by plasmodium berghei and will be compared to antimalarial drug of chloroquine. fibe groups, each consisted of 5 female swiss mice were used and plasmodium berghei were inoculated. group 1 is positive control who reseiving 100 mg/kg bw, 200 mg/kg bw and 300 mg/kg bw oall drugs were given twice daily for 5 days. the degree of parasitemia were examinated daily using thin blood smears up to 5 days from inoculation and were analyzed by log-probit metod. the study showed that linkomycine 200 mg/kg bw and linkomycine 300 mg/kg bw were cured on swiss mice infected by plasmodium berghei. effective dosage 50 of linkomycine is 3,707 mg/kg bw and effective dosage 90 is 39,125 mg/kg bw. key words: inhibition, linkomycine, plasmodium berghei abstrak malaria sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting terutama di negara-negara tropis termasuk indonesia. berbagai upaya telah dilakukan untuk pemberantasan malaria tetapi prevalensi malaria masih tetap tinggi disebabkan berbagai hambatan diantaranya adanya resistensi vektor terhadap insektisida dan resistensi parasit terhadap obat antimalaria. adanya permasalahan tersebut mendorong untuk mencari alternatif obat yang dapat diperoleh dengan mudah dan telah dikenal oleh masyarakat luas bahkan mungkin telah lama digunakan, salah satunya dengan menggunakan antibiotika. diantara antibiotika tersebut adalah linkomisin yang pernah digunakan sebagai antimalaria dengan cara dikombinasi dengan obat-obat yang lain yang termasuk dalam antimalaria sendiri. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek linkomisin terhadap mencit swiss yang terinfeksi plasamodium berghei jika dibandingkan dengan klorokuin. lima kelompok perlakukan yang masing-masing terdiri dari 5 ekor mencit betina yang diinokulasi plasmodium berghei. kelompok i sebagai kontrol positif mendapatkan pengobatan klorokuin 25 mg/kg bb, 53 mutiara medika vol. 9 no. 2:52-57, juli 2009 kelompok ii sebagai kontrol negatif tidak mendapatkan pengobatan apapun. kelompok iii, iv, dan v masing-masing mendapatkan pengobatan linkomisin 100 mg/kgbb, 200 mg/kgbb, dan 300 mg/kgbb. setiap kelompok mencit diberikan pengobatan secara oral 2 kali sehari selama 5 hari. pemeriksaan angka parasitemia dilakukan setiap hari dengan pemeriksaan apus darah tipis yang diambil dari ekor mencit. dosis efektif (ed) 50, ed-90 dihitung dengan analisis probit. hasil penelitian menunnjukkan bahwa linkomisin 200 mg/kgbb dan 300 mg/kgbb mampu menekan pertumbuhan parasit sehingga mencit bebas parasit. dari hasil analisis probit ed-50 linkomisin 3,707 mg/kgbb, dan ed-90 adalah 39,125 mg/kgbb. kata kunci : hambatan, linkomycine, plasmodium berghei pendahuluan malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting terutama di negara-negara tropis. tiga ratus juta orang di dunia ini menderita malaria dan antara 1.000.000 sampai 1.500.000 orang meninggal tiap tahunnya karena malaria.1.2 berbagai upaya telah dilakukan untuk penanggulangan malaria tetapi prevalensinya masih tetap tinggi oleh karena adanya berbagai hambatan diantaranya karena resistensi vektor terhadap insektisida maupun resistensi parasitnya sendiri terhadap obat antimalaria terutama kloroquin.3.4 di indonesia penyebaran malaria falciparum resisten kloroquin dan malaria resisten multidrug merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius dan menjadi tantangan dalam pengobatan. demikian pula kehadiran malaria vivaks resisten kloroquin menimbulkan masalah baru yang lain. oleh karena itu perlu dicari alternatif obat-obat malaria yang lain yang bisa digunakan sebagai terapi maupun pencegahan, antara lain dengan antibiotik. antibiotik yang pernah digunakan untuk pengobatan malaria dengan cara kombinasi dengan antimalaria sendiri adalah rifampisin, klindamisin, eritromisin dan azitromisin.5.6.7.8.9 kerangka dasar linkomisin adalah trans-1-metil-4-propil-l-prolin dan a-metiltioglikosida aminooktosa yaitu linkosamin yang terikat dengan ikatan amida. linkomisin berikatan dengan subunit 50s ribosom bakteri dan mensupresi sintesis protein. meskipun linkomisin, klorampenikol, dan eritromisin memiliki struktur yang berbeda tetapi mempunyai titik tangkap yang sama, sehingga ikatan dengan salah satu obat di atas akan menghambat aktivitas pengikatan dengan obat yang lain.10 strain bakteri dikatakan sensitif jika terhambat pertumbuhannya oleh linkomisin pada mic(minimal inhibition concentration) kurang atau sama dengan 0,5 mg/ml. aktivitas in vitro linkomisin sama dengan eritromisin terhadap pneumokokus. linkomisin lebih aktif daripada eritromisin atau klaritromisin dalam melawan bakteri anaerob. linkomisin juga memperlihatkan efek yang baik terhadap model eksperimental pneumocystis carinii dan toxoplsma gondii. klindamisin yang merupakan derivat linkomisin memiliki aktivitas melawan p. falciparum dan p. vivax yang sensitif maupun yang resisten kloroquin meski angka kesembuhannya hanya 50% pada satu penelitian. 7.8.12 linkomisin dengan cepat diabsorbsi secara komplit setelah pemberian peroral, dan konsentrasi puncak sebesar 2-3 mg/ml akan didapatkan 1 jam setelah minum 150 mg. makanan di dalam lambung tidak mempengarui proses penyerapan. half-life antibiotik kira-kira 2,9 jam. linkomisin didistribusi secara luas di seluruh cairan dan jaringan, termasuk kepala. obat dapat melewati barier plasenta. sembilan puluh persen linkomisin terikat protein plasma. linkomisin terakumulasi pada lekosit polimorfonuklear, makrofag alveolus dan abses. sri sundari, antibiotik linkomisin m sebagai antimalaria .............................. 54 linkomisin diinaktivasi dengan cara mengubah linkomisin menjadi n-dimetillinkomisin dan linkomisin sulfoksid selanjutnya akan diekskresi lewat urin dan empedu. akumulasi linkomisin dapat terjadi pada pasien dengan kegagalan hepar. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek linkomisin yang digunakan secara tunggal terhadap pertumbuhan plasmodium berghei pada mencit sehingga diharapkan nantinya dapat dikembangkan sebagai obat antimalaria. bahan dan cara bahan yang diperlukan: hewan coba yang terdiri dari 15 ekor mencit swiss betina dari unit pemeliharaan hewan percobaan (uphp) ugm umur 7-8 minggu pada saat mulai percobaan yang telah diadaptasikan selam 2 minggu di laboratorium, plasmodium berghei yang diperoleh dari laboratorium hayati ugm, obat antibiotika linkomisin diperoleh dari otto pharmaceutical indonesia, bahan pemelihara mencit berupa makan dan minuman, antikoagulan berupa acd, kapas alkohol, pemeriksaan angka parasitemia yang terdiri dari metanol, akuades dan cat giemsa. alat penelitian yang digunakan meliputi: alat pemelihara mencit yang terdiri dari kandang, tempat makan dan minum, inokulasi mencit berupa spuit injeksi 1 ml dan vakutainer, perlakuan berupa kanul dan pemeriksaan parasitemia yang terdiri dari gelas objek, rak preparat dan mikroskop cahaya. mencit yang telah diinokulasi dengan plasmodium berghei secara intraperitoneal dipelihara dalam kandang yang sama dan diberi perlakuan yang sama. mencit dikelompokkan berdasarkan perlakuan yang diterimanya. masingmasing kelompok terdiri dari 5 ekor. tiaptiap kelompok mencit diberikan pengobatan sesuai dengan obat yang diterimanya antara lain : linkomisin 100 mg/kg bb, 200 mg/kg bb, 300 mg/kg bb. kontrol positif terdiri dari 5 ekor mencit yang diberi pengobatan klorokuin 25 mg, sedangkan kontrol negatif diberikan akuades sebanyak 0,5 ml. semua obat diberikan 2x perhari selama 5 hari mulai hari ke-1 setelah infeksi (d+1 sampai d+5). setiap hari setiap mencit diperiksa angka parasitemianya dengan sediaan darah tipis yang diambil dari ekornya mulai harike-1 sampai mati (d+1 sampai mati). hasil pemeriksaan parasitemia pada hari keempat dibandingkan dengan analisis varian satu jalan dilanjutkan dengan tes tukey’s hsd. hasil pemeriksaan parasitemia masing-masing kelompok mencit yang diberi linkomi-sin secara oral dapat dilihat pada tabel 1. tabel 1. parasitemia hari keempat tiap kelompok mencit pada pemberian linkomisin secara oral parasitemia (%) hari sesudah infeksi kontrol negatif (tanpa obat) kontrol positif (klorokuin 25 mg/kg bb) linkomisin 100 mg/kg bb linkomisin 200 mg/kg bb linkomisin 300 mg/kg bb 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 0,32±0.47 10,67±1,20 18,5±2,71 38,45±0,9 49,0±0,74 mati 0,0±0,0 0,25±0,05 1,3±0,10 5,25±0,30 7,86±0,86 10,62±2,07 13,78±3,523 20,8±6,66 28,5±11,287 35,675±8,03 45,3±4,69 mati 0,18±0,21 1,95±0,5 3,40±1,03 2,33±1,80 3,28±1,32 4,35±1,07 7,6±2,86 11,35±4,55 13,98±6,01 28,35±11,15 41,05±12,604 2,75±5,59 mati 0,15±0,19 1,28±0,35 2,65±0,27 1,85±0,31 0,88±0,74 0,42±0,49 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 sembuh 0,10±0,20 1,10±0,62 1,38±1,08 1,30±1,08 0,3±0,48 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 0,0±0,0 sembuh 55 mutiara medika vol. 9 no. 2:52-57, juli 2009 hasil pemeriksaan parasitemia selama 5 hari menunjukkan bahwa kelompok kontrol positif dan negatif mengalami pertumbuhan yang terus meningkat sampai hewan coba mati, sedangkan kelompok perlakuan menunjukkan bahwa selama 4 hari pertama angka pertumbuhan parasit meningkat meski tidak terlalu tinggi tetapi memasuki hari kelima angka pertumbuhan parasit mulai menunjukkan penurunan. perkembangan parasit pada masingmasing kelompok hewan coba bisa dilihat pada gambar 1 : gambar 1. perkembangan parasitemia pada kelompok mencit yang diberi linkomisin secara oral. keterangan: kontrol negatif (1), kontrol positif (2), linkomisin 100 mg (3), linkomisin 200 mg (4) dan linkomisin 300 mg (5) diskusi dari hasil penelitian terlihat bahwa lama hidup mencit yang diberikan pengobatan linkomisin 100 mg/kg bb (12 hari) lebih baik dari mencit yang diberikan klorokuin 25 mg/kg bb (11 hari) meskipun perbedaannya tidak bermakna. mencit yang memperoleh pengobatan linkomisin 200 mg/kg bb dan linkomisin 300 mg/kg bb dapat bebas dari infeksi p. berghei. uji statistis yang dilakukan dengan analisis varian satu jalan menunjukkan perbedaan rerata parasitemia masingmasing kelompok pada hari keempat hasilnya sangat bermakna (p<0,01). hasil uji statistis yang dilanjutkan dengan membandingkan perbedaan masingmasing kelompok perlakuan menggunakan tes tukey,s hsd akan diperoleh hasil bahwa antara kelompok control pembanding sri sundari, antibiotik linkomisin m sebagai antimalaria .............................. 56 dengan kelompok perlakuan linkomisin menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna (p>0,05), antara kelompok kontrol negatif dan kelompok perlakukan linkomisin menunjukkan hasil yang sangat bermakna (p<0,05), antara masing-masing kelompok perlakukan linkomisin menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna (p>0,05). perhitungan effective dose linkomisin dari data yang diperoleh adalah sebagai berikut: ed-50 = 3,7077 mg, ed90 = 39,1255 mg dan ed-95 = 135,3352 mg. uji statistis yang dilakukan pada pemberian linkomisin secara peroral menunjukkan hasil bahwa linkomisin mulai dosis 100 mg/kg bb sampai dosis 300 mg/ kg bb mampu menghambat pertumbuhan plasmodium berghei secara bermakna. hasil tersebut jika dibandingkan dengan hambatan yang diberikan oleh klorokuin dengan dosis 5 mg/kg bb hampir sama bahkan lebih baik seperti hasil penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa klindamisin yang dikombinasi dengan klorokuin maupun dengan kuinin mampu menyembuhkan pasien yang menderita malaria 8.9.12.14. hasil yang lebih baik akan dicapai apabila klindamisin dikombinasi dengan kuinin jika dibandingkan dengan klindamisin yang dikombinasi dengan klorokuin. klindamisin yang diberikan pada pasien mengalami resistensi terhadap klorokuin juga akan memperoleh sensitifitasnya kembali. 8.9 linkomisin merupakan antibiotik golongan pertama, sedangkan klindamisin merupakan derivat linkomisin turunan kedua. kedua antibiotik yang termasuk dalam satu golongan tersebut memiliki susunan kimia yang hampir sama hanya pada klindamisin salah satu tangannya yang mengikat co digantikan dengan nitrogen. efek hambatan linkomisin diperkirakan dengan cara menghambat proses sintesis protein yang terjadi pada ribosom mitokrondria sehingga pembentukan protein terhambat yang mengakibatkan kelangsungan hidup plasmodium terganggu. 9.10.15 kesimpulan kesimpulan penelitian ini adalah linkomisin dosis 200 mg/kg bb mampu menghambat pertumbuhan p. berghei sehingga mencit bisa bebas dari infeksi, sedangkan linkomisin 100 mg/kg bb hanya mampu menghambat sementara sehingga hanya menunda kematiannya. saran penelitian selanjutnya meliputi perlunya diteliti lebih lanjut efek antibiotik tersebut terhadap manusia yang terinfeksi plasmodium falciparum secara langsung untuk pengembangan obat-obat tersebut sebagai antimalaria serta mengetahui dosis yang paling efektif jika diberikan kepada manusia. daftar pustaka 1. who, 2000. malaria control. who plan of action 2000-2001, world health organization representative to indonesia . internet. 2. who, 2001. malaria in indonesia: prevention and treatment. internet. 15. 3. marwoto h.a. 1988. penelitian pemberantasan malaria. cermin dunia kedokteran. 54:7-9. 4. simanjuntak c.h., arbani p.r. 1989. status malaria di indonesia. cermin dunia kedokteran. 55:3-7. 5. gingras b.a. and jensen j.b. 1993. antimalarial activity of azithromycin and erithromycin against plasmodium berghei. am. j. trop. med. hyg. 49(2) : 101-5. 6. freerksen e., kanthunkumva e.w.and kholowa a.r. 1996. cotrifazid an agent against malaria. chemotherapy. 42 (6): 391-401. 7. freerksen e., kanthunkumva e.w. and kholowa a.r. 1995. malaria therapy and prophylaxis with cotrifazid, a multiple complex combination consisting of rifampicin + isoniazid + sulfamethoxazole + trimethoprim. chemotherapy. 41(5): 396-8. 57 mutiara medika vol. 9 no. 2:52-57, juli 2009 8. kremsner, p.g, radloff, p., metzger, w., wildling, e., mordmuller, b., philipps j., jenne, l., nkeyi, m., prada, j., bienzle, u., et al. 1995. quinine plus clindamicyne improves chemotherapy of severe malaria in children. antimicrob.agents chemother. jul: 39(7) : 1603-5 9. kremsner p.g., 1990. clindamycin in malaria treatment. j. antimicrob. chemother. 10. gilman a.g., rall t.w., nice a.s and taylor p., 1992. the pharmacological basic of therapeutics. 8th ed. mcgraw hill. international editions. new york. 11. subbaya i.n., ray s.s., balaram p. and balaram h. 1997. metabolic enzymes as potential drug targets in plasmodium falciparum. indian j. med. res. 106:79 94. 12. vaillant m., millet p., luty a., tshopamba p., lekoulou f., mayombo j., georges a.j. and deloron p. 1997. therapeutic efficacy of clindamycin in combination with quinine for treating uncomplicated malaria in a village dispensary in gabon. trop. med. in. health. 2(9):9179. 13. strath m., finnigan s.t., gardner m., williamsons d. and wilson i. 1993. antimalarial activity of rifampicin in vitro and in rodent models. trans. r. soc. trop. med. hyg. 87(2): 211-6 14. salazar n.p., sanile m.c., estoque m.h., talao f.a., bustos d.g., palogan l.p. and gabriel a.i. 1990. oral clindamycin on the treatment of acute uncomplicated falciparum malaria. southeast asian j. trop. med. public health. 21(3): 397-403. 15. geary t.g., & jensen, j.b., 1983. effects of antibiotics on plasmodium falciparum in vitro. american journal of ropical medicine and hygiene. 32:221-25. 63 mutiara medika vol. 9 no. 1:63-68, januari 2009 terapi antibodi ige pada rinitis alergi ige antibody therapy in alerrgic rhinitis asti widuri bagian ilmu penyakit telinga hidung dan tengggorokan (tht) fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta abstract allergic rhinitis is a highly prevalent respiratory disease, affecting up to 40% of the population in some countries, and has an important impact on quality of life. although a number of different drug types are available for treating allergic rhinitis, antihistamines are currently considered first line therapy. most current treatments only relieve symptoms and do not modify the course of the disease. ige may play a role in allergic sensitization, interaction between allergens and ige leads to activation of mast cell, with consequent release of histamine andother pro-allergic mediators. ige therefore potentially represents an important target for pharmacological intervention in allergic rhinitis. keywords: allergic rhinitis, antibody ige, therapy abstrak rinitis alergi adalah penyakit saluran pernafasan yang tinggi prevalensinya, mengenai sampai 40% populasi di beberapa negara, dan menimbulkan dampak yang serius pada kualitas hidup. meskipun bermacam-macam obat dapat digunakan untuk mengobati rinitis alergi, antihistamin yang merupakan pilihan obat pertama. hampir seluruh pengobatan rinitis alergi hanya ditujukan untuk mengurangi gejala tetapi tidak merubah perjalanan penyakitnya. ige kemungkinan berperan pada proses sensitisasi, interaksi antara alergen-alergen dengan ige akan mengaktivasi sel mast yang akan mengeluarkan histamin dan mediator-mediator alergi yang lain. sehingga ige memiliki potensi sebagai target intervensi pengobatan secara farmakologis yang penting dalam penanganan rinitis alergi. kata kunci: antibodi ige, rinitis alergi, terapi pendahuluan rinitis alergi didefinisikan sebagai suatu gangguan hidung yang disebabkan oleh reaksi peradangan mukosa hidung diperantarai oleh imunoglobulin e (ige), setelah terjadi paparan alergen (reaksi hipersensitivitas tipe i gell dan comb). gangguan hidung dapat berupa gejala gatalgatal pada hidung yang dapat meluas ke mata dan tenggorok, bersin-bersin, beringus, dan hidung tersumbat.1 rinitis alergi menjadi masalah kesehatan global, yang mempengaruhi sekitar 10 hingga 25% populasi. pada negara maju prevalensi rinitis alergi lebih tinggi seperti di inggris mencapai 29%, di denmark sebesar 31,5%, dan di amerika berkisar 33,6%.3 prevalensi di indonesia belum diketahui secara pasti, namun data dari berbagai rumah sakit menunjukkan bahwa rinitis alergi memiliki frekuensi berkisar 10-26%.2 rinitis alergi umumnya asti widuri, terapi antibodi ige pada rinitis alergi............ ................ 64 bukan penyakit yang fatal tetapi gejalanya dapat mempengaruhi status kesehatan seseorang dan menurunkan kualitas hidup penderita. penyakit ini juga menurunkan produktifitas kerja, waktu efektif kerja, dan prestasi sekolah. dampak secara ekonomi di amerika mencapai 3 juta dolar dan tambahan 4 juta dolar akibat komplikasi yang terjadi seperti otitis dan asma.3 terapi rinitis alergi dilakukan pendekatan bertahap sesuai dengan berat ringan penyakit dan respon terhadap pengobatan yang diberikan. prinsip terapi rinitis alergi meliputi penghindaran terhadap alergen, edukasi, farmako terapi (antihistamin, kortikosteroid, dekongestan, antikolinergik), operasi, maupun imunoterapi.2 pada kenyataannya tidak semua pasien mempunyai respon yang baik terhadap terapi rinitis alergi yang secara umum ditujukan mengontrol respon imun yang terlibat dalam reaksi alergi, sehingga diperlukan modifikasi terapi dengan mengidentifikasi target baru untuk intervensi pengobatan. salah satu molekul yang terlibat dalam respon alergi adalah ig e dan dikembangkan terapi antibodi ige yang berfungsi mengikat ige sehingga tidak dapat berikatan dengan alergen yang ada. tujuan penulisaan makalah ini adalah untuk memberikan wacana tentang terapi antibodi ige sebagai salah satu alternatif dalam penanganan rinitis alergi. pembahasan rinitis alergi dapat terjadi bila didahului pembentukan ige spesifik dalam tubuh yang dipengaruhi faktor genetik dan lingkungan. faktor genetik akan menentukan apakah seseorang akan menderita penyakit alergi atau tidak, sedang spesifisitas terhadap suatu jenis alergen ditentukan oleh faktor lingkungan meskipun sebagian peneliti berpendapat spesifisitas tertentu juga diturunkan oleh faktor genetik.2,3 patogenesis rinitis alergi meliputi tahap sensitisasi, tahap efektor fase cepat, fase lambat serta tahap hiper-responsif. 3 diagnosis rinitis alergi ditegakkan dengan anamnesis riwayat adanya alergi, pemeriksaan fisik dan pemeriksaanpemeriksaan penunjang khusus, yaitu pemeriksaan penunjang secara invivo atau invitro. dengan pemeriksaan tersebut diagnosis rinitis alergi dapat ditegakkan lebih akurat, walaupun dalam hal ini tidak semua bentuk tes bisa dilakukan karena pemeriksaannya mahal. 1,3 pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda obyektif yaitu allergic shiners adalah warna kehitaman pada daerah infraorbita disertai dengan pembengkakan. perubahan ini mungkin adanya statis dari vena yang disebabkan edema dari mukosa hidung dan sinus.4 sekret hidung serus atau mukoserus, konka pucat atau keunguan (livide) dan edema, faring berlendir. 1,3 tanda lain yang sering timbul adalah munculnya garis tranversal pada punggung hidung (allergic crease) dan karena gatal penderita rinitis alergi sering menggosok-gosokkan hidung, dikenal istilah allergic salute biasanya timbul setelah gejala diderita lebih dari 2 tahun. 3,5 penunjang diagnosis invivo antara lain adalah: tes kulit yaitu tes kulit epidermal (skin prick test), tes kulit intradermal ( single dilution dan multiple dilution ) serta tes provokasi. tes provokasi hidung yaitu dengan memberikan alergen langsung ke mukosa hidung, kemudian respon dari target organ tersebut diobservasi. 1,6 diagnosis invitro yaitu: 1) usapan lendir hidung terdapat eosinofil, atau netrofil dan eosinofil. belum ada konsensus berapa nilai cut off yang dipakai secara internasional, 2) pemeriksaan ige total (paper radioimmunosorbent test) yaitu prist > 350 iu dan 3) ig e spesifik rast (radioallergosorbent test) positif. 1 klasifikasi rinitis alergi berdasarkan periode terjadinya serangan. pembagian rinitis menjadi tipe musiman dan tipe sepanjang tahun tidak memadai lagi sekarang dikembangkan oleh bousquet1 klasifikasi baru sebagai berikut: 1) rinitis alergi intermiten, apabila serangan : kurang dari 4 hari dalam seminggu atau secara kumulatif kurang dari 4 minggu dalam satu tahun; 2) rinitis alergi persisten, apabila serangan lebih dari 4 hari dalam satu 65 mutiara medika vol. 9 no. 1:63-68, januari 2009 minggu atau secara kumulatif lebih dari 4 minggu dalam satu tahun; 3) rinitis alergi karena pekerjaan. 1 klasifikasi rinitis alergi berdasarkan berat ringannya penyakit. bousquet membagi klasifikasi rinitis alergi berdasarkan berat-ringannya penyakit dibedakan: 1) ringan, apabila penyakit tersebut: tidak mengganggu pola tidur, tidak mengganggu aktivitas pekerjaan, tidak mengganggu aktivitas penggunaan waktu luang, tidak mengganggu aktivitas sosial; 2) rinitis alergi sedang-berat, apabila penyakit tersebut telah: mengganggu pola tidur, mengganggu aktivitas pekerjaan, mengganggu aktivitas penggunaan waktu luang, mengganggu aktivitas sosial; 3) rinitis alergi dengan komplikasi, misalnya apabila rinitis alergi disertai: sinusitis, polip hidung, gangguan fungsi tuba auditiva dan telinga tengah.1 terapi rinitis alergi harus mempertimbangkan gejala utama, derajat, kualitas hidup, dan cost effectiveness. terapi rinitis alergi meliputi kontrol lingkungan, farmakoterapi, dan immunoterapi. farmakoterapi meliputi pemberian antihistamin, kortikosteroid, nasal dekongestan, antileukotrin, mukolitik. bila secara farmakoterapi mengalami kegagalan bisa dilanjutkan dengan imunoterapi 1,2 dan sebagai wacana baru adalah terapi anti ig e antibodi yang merupakan alternatif dalam penatalaksaan pasien dengan penyakit alergi 7. kontrol lingkungan : salah satu penanganan rinitis alergi yang penting adalah menghindari alergen. sementara ini tidak ada keraguan bahwa menghindari alergen efektif dapat memberikan perbaikan klinis, hanya dalam prakteknya banyak kesulitan. misalnya pada seseorang yang alergi kucing dia tetap memelihara kucing dan membiarkan gejala alerginya berlanjut, demikian juga seseorang yang alergi tepung sari walaupun dia tidak masuk taman tetapi tetap terkena paparan karena tingginya kadar tepung sari di udara 7,8. farmakoterapi dengan (1). antihistamin. pemberian antihistamin oral dosis tunggal merupakan first line terapi untuk kasus rinitis alergi ringan. gejala – gejala alergi (gatal,bersin, pilek dan hidung tersumbat) disebabkan interaksi antara mediator dengan saraf, pembuluh darah dan kelenjar yang berada di rongga hidung. histamin melalui interaksinya dengan reseptor h1 mempunyai peran dalam mediator inflamasi yang terlibat dalam proses ini. aktivitas antihistamin disebabkan peran antagonis hiatamin pada reseptornya 7,8. antihistamin generasi pertama efektif menekan respon alergi tetapi kemampuannya menembus sawar darah otak menimbulkan efek samping sentral yang dibagi dalam 3 kategori yaitu depresif, stimulatori dan neuropsikiatri. juga terdapat efek antikolinergik perifer seperti mata kabur, dilatasi pupil, mulut kering dan gangguan berkemih 7,8. sebagian besar antihistamin generasi kedua tidak mampu menembus sawar darah otak karena perubahan sifat lipophobisitis dan elektrostatis tetapi pada dosis tinggi terdapat efek sedasi. fexofenadine antihistamin generasi terbaru merupakan sediaan tanpa efek sedasi walaupun dalam dosis tinggi direkomendasikan pemakiannya oleh royal air force pada pilot karena tidak ada efek sedasi dan gangguan psikomotor. terfenadine dan astemizole penggunaannya terbatas karena dapat menimbulkan aritmia jantung sehingga dengan alasan keamanan obat tersebut ditarik dari peredaran 7,8. farmakoterapi dengan (2). steroid intranasal. pemakaian steroid intranasal direkomendasikan untuk rinitis alergi sedang-berat, secara efektif dapat mengatasi gejala-gejala elergi pada anakanak dan dewasa. walaupun availabilitas dan dosis obat rendah pada pemakaian steroid intranasal harus diwaspadai efek supresinya terhadap aksis hpa, dan resiko gangguan pertumbuhan pada anak-anak 7,8. farmakoterapi dengan (3). dekongestan. dekongestan sering ditambahkan sebagai kombinasi terapi untuk menghilangkan keluhan hidung tersumbat, pemakaian topikal lebih efektif asti widuri, terapi antibodi ige pada rinitis alergi............ ................ 66 tetapi ada resiko tachyphilaxis dan rebound phenomen jika pemberiannya dihentikan. sedangkan sediaan oral ada kecenderungan terjadi insomnia dan kenaikan tekanan darah 7,8. imunoterapi memberikan kemungkinan kesembuhan yang permanen, tetapi memerlukan waktu terapi jangka lama sehingga memiliki keterbatasan hanya dapat diterapkan pada pasien tertentu, pemberiannya harus dilakukan oleh dokter spesialis dan tidak dianjurkan pada pasien multipel alergi 7,8. anti ige antibodi : sebagian besar terapi yang ada sekarang hanya mengurangi gejala, tidak mempengaruhi perjalanan penyakit, diketahuinya patofisiologi penyakit alergi membuka kesempatan untuk mengembangkan terapi baru. semakin besar pengetahuan mekanisme keseimbangan antara sel-sel th1 dan th2 dan sitokin-sitokin yang diproduksi dikembangkan target penghambatan efek bradikinin, substansi p, leukotrin, antibodi ige, triptase, plateletactivating factor dan prostaglandin. ige tampaknya memiliki peran kunci pada reaksi alergi sehingga menjadi pusat perhatian dalam modifikasi terapi 8,9 reaksi inflamasi alergi pada saluran pernafasan disebabkan kegagalan kontrol respon imunologi yang dimediasi oleh ige. sehingga kenaikan kadar imunoglobulin bebas dalam darah dianggap sebagai petanda penyakit atopi. aktifitas biologi ige dimediasi melalui reseptor dengan afinitas tinggi (fcåri) dan reseptor afinitas rendah (fcårii atau cd23), sedangkan sel mast pada penderita atopi memiliki peningkatan jumlah reseptor fcåri sehingga berhubungan dengan peningkatan pengikatan ige dan mudah terjadi degranulasi 10. sejarah antibodi monoklonal : saat awal antibodi menerima perhatian sebagai mekanisme utama proses allograf, fokus obat imunosupresi berkembang pada obatobat yang menghambat jalur t sel. obat tersebut dapat mengurangi kecepatan rejeksi secara signifikan. sekarang dengan perkembangan transplantasi darah silang grup abo yang berbeda perhatian kembali pada b sel dengan menghambat mekanisme melalui hambatan/ deplesi antibodi, memblok antibodi atau interferensi mekanismenya 12. antibodi monoklonal diperoleh dengan menyuntikkan rsfcåri yang dihasilkan p pastoris kemudian 3 hari setelah penyuntikan lien tikus didifusi dengan p3-nsi-ag4-1, hibridoma supernatan dideteksi dengan ig anti mouse kemudian sel line yang positif dikloning dengan dilusi terbatas menghasikan mab 47 dan mab 54 12 mekanisme aksi : antibodi ige akan mengikat ige bebas dalam serum pada tempat ikatan dengan fcåri pada c3 domain sehingga mencegah interaksinya dengan fcåri yang merupakan reseptor ige dengan afinitas tinggi. kadar ige bebas dalam serum menurun sampai > 90 % dari kadar dasar sebelum terapi dalam 24 jam setelah pemberian antibodi ige (omalizumab) 9. karakteristik penting lain dari anti ige antibodi ini adalah sifatnya nonanafilaktik karena antibodi tersebut tidak mengaktifasi sel mast atau basofil. karakteristik ini terjadi karena antibodi mengikat ige pada tempat yang sama normalnya dikenal dengan reseptor dengan afinitas tinggi dan rendah 11,12,13. gambaran pokok pada terapi anti ige ini dengan mengenali dan mengikat ige dalam serum tetapi tidak pada igg dan iga, menghambat ikatan ige dengan fcåri serta mencegah ikatan ige dengan mast sel sehingga tidak terjadi degranulasi 14. omalizumab mengikat ige bebas dalam serum membentuk kompleks yang menysun trimer dalam 2:1 atau 1:2 tergantung konsentrasi molekul atau membentuk cyclic hexamers antara omalizumab dengan ige 3:3 jika konsentrasinya hampir sama. cyclic hexamer omalizumab-ige tersebut kira-kira berukuran 1000 kda yang ukurannya hampir sama dengan igm alami yang terjadi, bersifat mudah larut dan tidak menimbulkan masalah dalam mekanisme clearance melalui sistem retikuloendotelial 10. salah satu faktor keamanan yang diperhatikan pada omalizumab ini apakah pemakaiannya akan menurunkan 67 mutiara medika vol. 9 no. 1:63-68, januari 2009 mekanisme pertahan terhadap infeksi parasit, tetapi hasil penelitian justru menunjukkan reduksi ige karena pemberian anti ige ini mengakibatkan penurunan jumlah cacing dan jumlah telur cacing 15. pemakaian klinis pada pasien rinitis alergi : ig e memiliki peran kunci dalam terjadinya reaksi alergi terutama pada fase respon awal, sehingga antibodi humanized monoclonal anti-ige (omalizumab) yang mencegah ikatan ige dengan reseptor pada sel mast dan basofil diteliti kegunaan klinisnya pada beberapa penyakit alergi antara lain asma, dermatitis atopi, alergi lateks dan makanan dan rinitis alergi, setelah diberikan secara intravena atau subkutan omalizumab dalam plasma memiliki waktu paruh eliminasi yang panjang (1-4 minggu) dan menurunkan kadar ige bebas di dalam serum 15. penelitian tentang pemakaian anti ige antibodi ( omalizumab) dilakukan terhadap 47 pasien rinitis alergi dengan hasil skin tes positif terhadap tungau debu, diberikan omalizumab 0,015 atau 0,030 mg/ kg/iu/ml secara intravena setiap 2 minggu selama 26 minggu dan diteruskan sampai 20 minggu dengan pengurangan dosis. hasil penelitian menunjukkan penurunn kadar ige serum > 98 % dibanding data dasar pada kedua dosis dan secara signifikan pada minggu ke 26 terjadi penurunan jumlah diameter hasil skin tes 15. penelitian lain pada kasus rinitis alergi dengan memberikan omalizumab 300 mg,150 mg dan plasebo dimulai 2 minggu sebelum musim semi dan diteruskan sampai 12 minggu, omalizumad diberikan subkutan setiap 3 atau 4 minggu tergantung kadar ige serum. penilaian dilakukan terhadap gejala nasal, gejala mata dan jumlah obat yang digunakan. hasil penelitian menunjukkan hubungan dosis dan respon dimana kedua dosis yang lebih tinggi memberikan perbaikan gejala lebih nyata. analisis lebih jauh diperkirakan efikasi klinis atau perbaikan gejala berhubingan dengan kemampuan menurunkan jumlah ige bebas dalam serum.dari kuesioner yang diberikan dapat dianalisa perbaikan kualitas hidup pada kedua kelompok yang diberikan omalizumab dibanding plasebo 15. kesimpulan rinitis alergi sebagai suatu gangguan hidung yang disebabkan oleh reaksi peradangan mukosa hidung diperantarai oleh imunoglobulin e (ige), setelah terjadi paparan alergen (reaksi hipersensitivitas tipe i gell dan comb). rinitis alergi seperti penyakit alergi yang lain terjadi akibat dominasi th-2 dibandingkan th-1 sehingga produksi ige meningkat. ige berperan penting dalam proses inflamasi yang diinduksi alergen dengan berikatan dengan reseptor afinitas tinggi (fcåri ) di sel mast atau basofil sehingga terjadi pelepasan mediator-mediator inflamasi. diferensiasi sel b ke dalam ige yang disekresi ke dalam plasma paling tidak melalui 2 signal yang berbeda, pertama diperantarai il-4 dan il-13 dan yang kedua dikirim melalui interaksi cd40l pada permukaan sel t dengan cd40 sebuah kostimulator pada mermukaan membran sel b. meskipun penelitian terbaru memperlihatkan bahwa antigen yang menaktivasi sel mast juga bisa diinduksi sintesis ige pada sel b. humanized monoclonal antibody atau omalizumab secara klinis bermanfaat dalam terapi rinitis alergi dengan mekanisme mengenali dan mengikat ige pada tempat untuk berikatan dengan reseptor afinitas tinggi (fcåri ) sehingga ige membentuk kompleks omalizumab-ige dan diekskresi melalui sistem retikoloendotelial. dengan demikian ige tidak berikatan dengan sel mast atau basofil dan mencegah terjadinya reaksi degranulasi. daftar pustaka 1. bousquet j., cauwenberge v.p.and khaltev p. allergic rhinitis and its impact on asthma. j. allergy clin immunol 2001 ; 108 : s148-s195. 2. sudarman k dan soekardono s. penatalaksanaan rinitis alergika. simposium penatalaksanaan asti widuri, terapi antibodi ige pada rinitis alergi............ ................ 68 penyakit-penyakit alergi secara rasional yogyakarta 1996. 3. sudarman k. pengelolaan penyakit rinitis alergi. simposium pengelolaan penyakit alergi secara rasional, yogyakarta 2001: 49-65. 4. baratawidjaja k., molekul adhesi pada inflamasi tantangan baru untuk para klinikus. majalah kedokteran indonesia 1996; 46 : 223-228. 5. suprihati, madiadipura t, sumarman i. penatalaksanaan rinitis alergi sesuai who-aria. dalam konas perhati xiii bali 2003: 1-14. 6. van cauwen berge p, de-belder t, vermeiren j, kaplan a. global resources in allergy (gloria) : allergic rhinitis and allergic cunjunctivitis. clin exp all rev 2003;3:46-50. 7. naclerio r, rosenwasser l, ohkubo k. allergic rhinitis : current and future treatments. clin exp all rev 2002;2:137-147 8. holgate st. today’s sciencetomorrow’s practice: basic mechanisms of allergy and their clinical implication. clin exp all rev 2002;2: 4854. 9. babu ks, arshad sh, holgate st. antiige treatment: an up date. j all 2001;56:1121-1128. 10. pescovitz md. rituximab, an anti cd20 monoclonal antibody : history and mechanism of action. am j of transp 2005. 11. rigbi lj, trist h, sunder j, hulet md, hogarth pm. monoclonal antibody and synthetic peptides define the active site of fcåri and a potential receptor antagonist. allergy 2000;55:609-619. 12. holgate st, djukanovic r, casalet t, bousqet j. anti-immunoglobulin e treatment with omalizumab in allergic disease: an update on anti-inflammatory activity and clinical efficacy. clin exp all 2005;35:408-416. 13. hamelmann e, rolinc-wernighans c, wahn u. from ige to anti-ige: where do we stand? allergy 2002;57: 983-994. 14. fahy jv, boushey ha. targetting ige with monoclonal antibodies : the future is now. clin exp all rev 1998;28: 664667. 15. arshad sh, holgate s. the role of ige in allergen-induced inflammation and the potential for intervention with a humanized monoclonal anti ige antibody. clin exp all 2001;31:13441351 | 138 mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 21 no 2 page 138-143, july 2021 the presence of house dust mites in residences and classrooms of students with allergic rhinitis keberadaan tungau debu rumah di tempat tinggal dan ruang belajar mahasiswa dengan rhinitis alergi suri dwi lesmana1*, harianto2, reyza octarient3 1 department of parasitology, faculty of medicine, universitas riau 2 department of ear, nose, and throat clinic, faculty of medicine, universitas riau 3 faculty of medicine, universitas riau data of article: received: 05 april 2021 reviewed: 19 april 2021 revised: 26 may 2021 accepted: 12 july 2021 *correspondence: suri.dwi@lecturer.unri.ac.id doi: 10.18196/mmjkk.v21i2.10975 type of article: research abstract: allergy is still a health problem in indonesia. one of the manifestations of allergies is allergic rhinitis. many factors can trigger the recurrence of rhinitis, including exposure to house dust mites. this study aims to identify the population of house dust mites in the classrooms and student residences. this study was participated by 74 fk unri students with allergic rhinitis. the samples included dust collected from residences and classrooms consisting of four large classrooms, three small classrooms, four laboratories, two examination rooms, 12 skills lab rooms, and 15 tutorial rooms. detection of dust was performed using the direct method. the results showed that no classroom (0%) was found with house dust mites. however, there were 37.8% of residences were positive. based on the result, it can be concluded that the high population of house dust mites in the students’ residences becomes an essential factor as a chronic stressor for allergic rhinitis. keywords: allergic rhinitis; house dust mites; residence abstrak: alergi merupakan salah satu masalah kesehatan di indonesia. salah satu manifestasi alergi adalah rhinitis alergi. banyak faktor pencetus kambuhnya rhinitis alergi, salah satu faktor penting adalah paparan tungau debu rumah. penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi keberadaan populasi tungau debu rumah pada ruang belajar dan tempat tinggal mahasiswa . penelitian ini diikuti oleh 74 mahasiswa fk unri dengan rhinitis alergi. sampel yang diambil adalah debu dari tempat tinggal dan ruang kelas yang terdiri dari empat kelas besar, tiga kelas kecil, empat laboratorium, dua ruang ujian, 12 ruang skill lab dan 15 ruang tutorial. deteksi debu menggunakan metode langsung. hasil identifikasi didapatkan bahwa di ruang belajar menunjukkan negatif (0%) tungau debu rumah, akan tetapi 37,8% tempat tinggal positif dengan tungau debu rumah. sebagai kesimpulan, tingginya populasi tungau debu rumah di tempat tinggal merupakan faktor penting pencetus kekambuhan rhinitis alergi. kata kunci: rhinitis alergi; tungau debu rumah; tempat tinggal https://doi.org/10.18196/mmjkk.v21i2.10975 139 | vol 21 no 2 july 2021 introduction allergy is still a health problem in indonesia. an allergic condition is a hypersensitivity disorder in which the immune system reacts to substances in the environment that are typically considered harmless. these chronic diseases are common worldwide, with a high prevalence reported in all age groups.1 in general, the prevalence of allergic disease in the tropics is high, as it is observed in temperate countries and is even higher in some regions. the most common manifestation is an allergy, including allergic rhinitis.2,3 one of the most striking epidemiologic differences is the exposure to house dust mites.4 according to the world health organization (who), the prevalence of allergic rhinitis varied between 0.8 to 14.9% in 6-7 years old and 1.4 to 39.7% in 13-14 years old worldwide.5 the prevalence of allergic rhinitis in indonesia is also relatively high at 5%.6 in terms of age, patients with allergic rhinitis grow since an infant, increasing at the age of 5-10 years old. it will reach the age of 20 years and decrease at the age of 30 years. 5 based on rafi's research, the prevalence of allergic rhinitis in fk unri students was 25.25 %.7 in relation to that, one of the triggers of allergic diseases is house dust mites.8 dermatophagoides pteronyssinus is the most species of house dust mites.9 it is the major allergenic component and has allergens from the cuticles, sex organs, digestive tract, and feces.10 antigen from dermatophagoides pteronyssinus enters the human body through skin penetration, while those from feces enter humans through inhalation. dermatophagoides pteronyssinus life in many places that are rarely cleaned and contain dust, such as mattresses, carpets, air conditioners, fans, and others.11 other studies found that 85% of patients with atopic dermatitis have a high prevalence of allergic rhinitis associated with house dust mites.12 based on research in tangerang and jakarta, subahar et al., examined house dust and found 66.9% house dust mites positive and identified as dermatophagoides pteronyssinus, dermatophagoides farina, and glyciphagus destructor.13 based on research in pekanbaru found all of the atopic dermatitis patients’ residences were house dust mites positive.14 house dust mites are found all over the world. various house dust mites are found in house dust, but the dominant mite is the family pyroglyphidae. another important mite is blomia tropicalis which lives in tropical and subtropical climates. other species of mites found in food products, dry grass, and need high humidity to live are the genus glycyphagus, tyrophagus, acarus, lepidoglyphus, and tarsonemus.15 in sundaru’s study16 in jakarta, it revealed that from 32.6 grams of house dust originating from 20 houses of people with asthma, 1,480 mites comprised 10 genera. the most commonly found genus is glycyphagus for 582 mites. manan et al.17 reported that in 10 houses of people with asthma, 9 genera were found, and the most mites were glycyphagus. the most common house dust mites were in the bedroom furniture (582 individual), and the least was in the house decoration (186 individual mites). on house furniture, namely chairs, bookshelves, and cabinets, 349 mites were found, while on the house floor, it found 363 mites. the presence of mites in bedroom furniture is closely related to food mites. squama is a staple food of dermatophagoides pteronyssinus. in bed, there are lots of squamae available because humans produce squads of 0.5 g 1 g per day so that dermatophagoides pteronyssinus can flourish. besides bedroom furniture consisting of mattresses, blankets, and curtains, the bedspreads also contain many fibers that can easily accommodate dust than other home furniture. therefore, it is understandable if dermatophagoides pteronyssinus is most commonly found in the bedroom.15 physical factors such as temperature and humidity affect the growth and development of organisms in house dust. mites are susceptible to relative humidity. at a humidity of 60% or less, the house dust mites population will be found to be very little or even dead.15 in general, the range optimal temperature for house dust mite populations is 25 oc-30oc and 70-80% of relative humidity. dermatophagoides pteronyssinus required an optimal temperature of 25oc and humidity of 80% with critical humidity of 60-65%. likewise, for warehouse products (store product mites) such as glycyohagus destructor, the optimum temperature is 23oc-25oc, and humidity is 80-90%. in contrast, for tyrophagus putrescentae and acarus siro, the optimum temperature is 23oc, and humidity is 87%. the temperature suitable for the life of dermtophagoides farinae is 25oc-30oc with 50-60% of relative humidity, and the critical humidity is 47-50%. the development of dermatophagoides pteronyssinus will be disrupted at temperatures above 32oc, and it will die after being heated for 6 hours at 51oc with 60% air humidity.18 riau province, especially pekanbaru city, with a relatively high population density, varying socioeconomic levels, and relatively low levels of knowledge and self-awareness and the environment, will significantly affect the existence of this parasite. the fk unri is on the edge of a highway that is exposed to road dust. classrooms that are used as a learning process are constantly cleaned by cleaning staff. however, dust remains in places that are difficult to reach. the condition of the maintenance of the air conditioner is | 140 not regularly carried out. in addition to classrooms at fk unri, house dust mite exposure can also come from student residences, especially in places with potential dust. however, there was a lack of information on the diversity of house dust mites in allergic people’s residences. based on this reason, the authors conducted research on the detection of house dust mites in the study room and residence of fk unri students with allergic rhinitis. materials and method this study used a descriptive study design with a cross-sectional approach. the study location was in fk unri study room and student residences with allergic rhinitis. the examination was conducted at the fk unri parasitology laboratory. the population in this study were 74 fk unri students from first until third grade who suffered from allergic rhinitis based on rafi's research physical examination and skin prick test. the samples were taken using the total sampling technique. dust collection and detection dust from each room was taken using tweezers or a spoon. the dust was put into a petri dish disk labeled by each room. some amount of dust was put on the water's surface and examined with a magnification of 20 times. dead and living mites were seen floating on the surface of the water. the house dust mites were identified using a mite needle to remove mites; then, the mites were placed on a glass object to be made preparations using lactic acid staining. data processing of the research results was carried out manually and computerized, displayed based on the frequency distribution of tables and percentages. the data were later displayed univariately to describe the frequency distribution of each variable. results the study was conducted at 40 study rooms at the fk unri, consisting of four large classrooms, three small classrooms, four laboratories, two examination rooms, 12 skills lab rooms, and 15 tutorial rooms. the dust mite population can be seen in table 1. table 1. distribution of house dust mite population in the fk unri study room classroom number the dust mite population large classroom 4 0 small classroom 3 0 laboratorium 4 0 examination room 2 0 skills lab room 12 0 tutorial room 15 0 table 1 showed that there were no house dust mites in the fk unri study room. house dust mites can be found at the 74 student residences. the house dust mites can be seen in figure 1, and the distribution of house dust mites is shown in table 2. table 2. distribution of house dust mite from student's residences (n = 74) student’s grade number sr positive % negative % i 31 6 8.1 25 33.8 ii 43 22 29.7 21 28.4 total 74 28 37.8 46 62.2 141 | vol 21 no 2 july 2021 figure 1. house dust mites from the fk unri students’ residences with allergic rhinitis (40x 10 magnification) discussion the amount and presence of mites in a place depend on the temperature, humidity, and food available. house dust mites can live as omnivores. home dust mite food is 0.5-1 g squama, which is enough to meet their food needs. one mg of squama can meet the needs of one mite for 20 months.18 a warm, moist, and dark place is a suitable medium for house dust mite growth. mites require a room temperature of 25-30oc and 70-80% humidity for their lives. in the house of life, mites are mixed with dust in mattresses, carpets, sofas, and other household appliances. the mattress is the most preferred place because there is a major food source in the form of the epithelium of human skin and fungus.15 the temperature and humidity in pekanbaru with 24-27oc temperature and 70-80% humidity are very supportive for the life of house dust mites.19 however, the available food may not be sufficient for the mite's life in the fk unri students' classroom. it is because every morning and evening, all the rooms used for teaching and learning are always cleaned and mopped so that there is no scale left over for the food of the mites. besides that, every air conditioner in each room in fk unri is regularly cleaned every two months to clean the air filter from dust. furthermore, the student classrooms at fk unri do not use carpets, sofas made of cloth, or equipment made of wool. in each study room, there is also no pile of items that become a den of dust. the classrooms are maintained at the 22-24oc temperature and 40% humidity. this condition will inhibit the existence and development of house dust mites.19 in relation to mites, this study showed house dust mites but did not identify the species. the low population of house dust mites in fk unri's study room is beneficial for allergic rhinitis sufferers. house dust mites are complex organisms with many protein variations that can stimulate ige antibodies in potential individuals. one of these allergens is der p 1 and der f 1, possibly proteolytic, and der p 1 and der f1 cause tight junction damage in the transmembrane occludin and claudin groups attached to the cd23 and cd25 receptors.20 it causes the epithelial defenses to leak and increase the likelihood of allergen contact with antigen-presenting cells.21 research by sudaru showed that house dust mite exposure caused asthma sensitization in 77% of the respondents studied.16 in certain countries such as korea, house dust mites are the most important inhalant allergen and have a significant exposure level. more than 31 allergens are extracted from house dust mites. it indicates house dust mites is one of the crucial causes of allergies.22 furthermore, based on table 2, it can be seen that a positive population of house dust mites is 37.8%, and more are found in the residences of second-grade students. the population is classified as high proportion and is one of the critical factors in allergic triggers in allergic rhinitis sufferers. the bedroom is the central location of house dust mites. the presence of mites in bedroom furniture is closely related to food mites. squama is a staple food of house dust mites, and it is commonly available in beds. humans produce squads of 0.5-1 grams per day so that house dust mites can flourish. further, physical factors such as temperature and humidity affect the growth and development of organisms in house dust. mites are susceptible to relatively high humidity. at humidity of 60% or lower, the house dust mites population is found to be very little or dead.17 many factors cause the high presence of house dust mites in the bedroom; among others, house residents pay less attention to the house's condition in terms of cleanliness, temperature, and humidity.18 fk unri students suffering from allergic rhinitis generally stay at a dormitory and do not have the time to clean the room regularly due to busyness in their lectures. rooms that are rarely cleaned will accommodate dust, especially in locations that contain fiber, such as mattresses, blankets, sheets, carpets, and others. cleaning dust is not like cleaning with a feather duster as it also does not reduce the density of house dust mite population in the room. based on interviews, it was found that the student room is generally equipped with | 142 air conditioning. however, the condition of air conditioners is still rarely cleaned where air conditioning services should be done at least once every three months. it is likely to increase the risk of gathering house dust into house dust mite food. in relation to the mites, the best way to prevent allergic disease is to avoid allergens by reducing exposure to house dust mites, and further will reduce the risk of asthma and rhinitis. avoidance of dermatophagoidespteronyssinus can reduce asthma symptoms and drugs used by sufferers as long as the avoidance of dermatophagoides pteronyssinus is done aggressively. in patients with rhinitis, atopic dermatitis, and atopic asthma, avoiding exposure to the allergen dermatophagoides pteronyssinus can reduce the frequency of asthma attacks, bronchial hyperactivity, and allergen capacity to provoke asthma. 23 plat-mills et al.,24 isolated asthma sufferers who were allergic to house dust mites in the dermatophagoides pteronyssinus-free ward and had improved asthma symptoms and decreased bronchial reactivity. avoidance efforts also worked well in patients with atopic dermatitis who were allergic to dermatophagoides pteronyssinus. allergic rhinitis is an inflammatory disease that begins with the stage of sensitization and is followed by the stage of elicitation or allergic reactions. in the sensitization phase, the human nasal mucosa is exposed to particles such as pollen, dust, animal skin flakes, and other proteins inhaled with inhalation of breath.23 this is where the role of house dust mites particles plays to cause the next phase of the elicitation phase.10 conclusion based on the result of this study, it can be concluded that there was a high population of house dust mites in the fk unri student’s residences with allergic rhinitis. the research results suggest that patients with allergic rhinitis should be more aware and discipline to keep their living areas clean. conflict of interest there is no conflict of interest in this paper. acknowledgement the author would like to thank the faculty of medicine, universitas riau, students who become research respondents, as well as the laboratory of parasitology, faculty of medicine, universitas riau. references 1. joseph n, palagani r, shradha nh, jain v, kowshik k, manoharan r, et al. prevalence, severity and risk factors of allergic disorders among people in south india. afr health sci. 2016; 16(1): 201–9. https://doi.org/10.4314/ahs.v16i1.27 2. irawati n, kasakeyan e, rusmono n. buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorokan, kepala dan leher. 6th ed. jakarta: fakultas kedokteran universitas indonesia; 2007. 128–34. 3. tjokronegoro a. dasar dasar alergi. jakarta: biologi universitas indonesia; 2006. 4. caraballo l, zakzuk j, lee bw, acevedo n, soh jy, sánchez-borges m, et al. particularities of allergy in the tropics. world allergy organ j [internet]. 2016; 9(1): 1–44. https://doi.org/10.1186/s40413-016-0110-7 5. chong sn, chew ft. epidemiology of allergic rhinitis and associated risk factors in asia. world allergy organ j. 2018; 11(1). https://doi.org/10.1186/s40413-018-0198-z 6. dierick bjh, van der molen t, flokstra-de blok bmj, muraro a, postma mj, kocks jwh, et al. burden and socio economics of asthma, allergic rhinitis, a topic dermatitis and food allergy. expert rev pharmacoeconomics outcomes res [internet]. 2020; 20(5): 437–53. https://doi.org/10.1080/14737167.2020.1819793 7. muhammad r. gambaran rinitis alergi pada mahasiswa fakultas kedokteran universitas riau angkatan 2013 dan 2014. universitas riau; 2015. 8. carswell f. house dust allergy. aci int. 1999; 11: 43–8. 9. djakaria s, sungkar s. entomologi. in: sutanto i, suhariah ismid i, sjarifuddin pk, sungkar s, editors. parasitologi kedokteran. keempat. jakarta: badan penerbit fakultas kedokteran universitas indonesia; 2008: 265. 10. arlian lg, platts-mills tae. the biology of dust mites and the remediation of mite allergens in allergic disease. j allergy clin immunol. 2001; 107(3 suppl.): 406–13. https://doi.org/10.1067/mai.2001.113670 https://dx.doi.org/10.4314%2fahs.v16i1.27 https://doi.org/10.1186/s40413-016-0110-7 https://doi.org/10.1186/s40413-018-0198-z https://doi.org/10.1080/14737167.2020.1819793 https://doi.org/10.1067/mai.2001.113670 143 | vol 21 no 2 july 2021 11. natalia d. peranan alergen tungau debu rumah (der p1 dan der p2). reaksi alergi. 2015; 42(4): 251–5. 12. sujudi y. prevalensi dermatitis atopik anak dan populasi tungau debu rumah di kelurahan ceger, kecamatan cipayung, jakarta timur. universitas indonesia; 2003. 13. subahar r, widiastuti w, aulung a. prevalensi dan faktor risiko tungau debu rumah di pamulang (tangerang) dan pasar rebo (jakarta). j profesi med j kedokteran dan kesehatan. 2017; 10(1). http://dx.doi.org/10.33533/jpm.v10i1.4 14. lesmana sd, putra dp, widiawaty a. identifikasi tungau debu rumah di tempat tinggal pasien dermatitis atopik rsud petala bumi pekanbaru j ilmu kedokt. 2019;12(2): 89. 15. hart bj. house dust mites. exp appl acarol. 1992; 16(1–2): 1–202. 16. sundaru h. house dust mite allergen level and allergen sensitization as risk factors for asthma among student in central jakarta. med j indones. 2006; 15(1): 55–9. https://doi.org/10.13181/mji.v15i1.213 17. manan w. pengaruh penjemuran kasur kapuk terhadap populasi house dust mites. universitas indonesia; 1996. 18. wilson jm, platts-mills tae. home environmental interventions for house dust mite. j allergy clin immunol pract [internet]. 2018; 6(1): 1–7. https://doi.org/10.1016/j.jaip.2017.10.003 19. arlian lg, neal js, morgan ms, vyszenski-moher dal, rapp cm, alexander ak. reducing relative humidity is a practical way to control dust mites and their allergens in homes temperate climates. j allergy clin immunol. 2001; 107(1): 99–104. https://doi.org/10.1067/mai.2001.112119 20. pernas m, sanchez-ramos i, sanchez-monge r, lombardero m, arteaga c, castañera p, et al. der p 1 and der f 1, the highly related and major allergens from house dust mites are differentially affected by a plant cystatin. clin exp allergy. 2000; 30(7): 972–8. https://doi.org/10.1046/j.1365-2222.2000.00845.x 21. susanto aj, rengganis i, rumende cm, harimurti k. the differences in serum quantitative specific ige levels induced by dermatophagoides pteronyssinus, dermatophagoides farinae and blomia tropicalis sensitization in intermittent and persistent allergic asthma. acta med indones. 2017; 49(4): 299–306. 22. jeong ky, park jw, hong cs. house dust mite allergy in korea: the most important inhalant allergen in current and future. allergy, asthma immunol res. 2012; 4(6): 313–25. https://doi.org/10.4168/aair.2012.4.6.313 23. milian e, diaz am. allergy to house dust mites and asthma. puerto rico heal sci j. 2004; 23(1): 47–57. 24. tae pm, thomas wr, aaberse rc. dust mite allergens and asthma: report of a second international workshop. j allergy clin immunol. 1992; 89(5): 1046–60. https://doi.org/10.1016/0091-6749(92)90228-t http://dx.doi.org/10.33533/jpm.v10i1.4 https://doi.org/10.13181/mji.v15i1.213 https://doi.org/10.1016/j.jaip.2017.10.003 https://doi.org/10.1016/j.jaip.2017.10.003 https://doi.org/10.1067/mai.2001.112119 https://doi.org/10.1016/j.jaip.2017.10.003 https://doi.org/10.1046/j.1365-2222.2000.00845.x https://doi.org/10.1016/j.jaip.2017.10.003 https://doi.org/10.4168/aair.2012.4.6.313 https://doi.org/10.1016/j.jaip.2017.10.003 https://doi.org/10.1016/0091-6749(92)90228-t 29 mutiara medika vol. 10 no. 1:29-36, januari 2010 kemampuan membaca pada anak tuna rungu di slb-b karnnamanohara yogyakarta reading ability of deaf children at slb-b karnnamanohara yogyakarta asti widuri bagian telinga hidung tenggorok program studi pendidikan dokter fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta email: astiwiduri@gmail.com abstract reading activity is an important factor in almost all aspects of life and is significantly correlated with gaining information and knowledge. speech perception, production and the development of language are closely associated as well as become the key of learning to reading process. deaf children who received early intervention at slb-b karnnamanohara, actually to improve verbal communication ability at the optimal age of speech and language development were expected to have optimal language quotient in order to support their learning to read process and gain normal reading ability. the aim of this study is to identify the reading ability of deaf children at slb-b karnnamanohara yogyakarta. the design of this study was descriptive. the subjects were all student at slb-b karnnamanohara yogyakarta who met the inclusion and exclusion criteria. reading skill test was conducted when the subjects had received 1 year training minimally. the average of reading ability score of deaf children at slb-b karnnamanohara yogyakarta is 11, 89 or 74%. the deaf children that reach over the average score were 63%. higher average score was found in early training, higher class, feminin, hearing aid wearing children. key words : deaf children, early education, reading ability score abstrak kegiatan membaca merupakan faktor yang penting dalam hampir seluruh aspek kehidupan dan berhubungan secara signifikan dengan pencapaian informasi dan pengetahuan. persepsi suara, produksi suara dan perkembangan bahasa berhubungan sangat erat bahkan menjadi kunci dalam proses belajar membaca. anak tuna rungu yang mendapatkan intervensi awal di slb-b karnnamanohara secara nyata meningkatkan kemampuan komunikasi verbal pada masa optimal perkembangan bicara dan bahasa sehingga mencapai kecerdasan bahasa yang optimal yang mendukung kegiatan belajar membaca pada anak tuna rungu sehingga dapat mencapai kemampuan membaca yang normal. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui skor kemampuan membaca pada anak tuna rungu yang bersekolah di slb-b karnnamanohara yogyakarta. penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, sampel diambil dari seluruh siswa slb-b karnnamanohara yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. tes kemampuan membaca diberikan pada siswa yang telah mendapatkan minimal 1 tahun pendidikan. rata-rata hasil skor tes kemampuan membaca pada anak tuna rungu di slb-b karnnamanohara adalah 11,89 atau 74%. anak tuna rungu yang mempunyai skor kemampuan membaca diatas rata-rata adalah 63%, skor lebih tinggi diperlihatkan pada anak dengan pendidikan awal, kelas yang lebih tinggi, anak dengan jenis kelamin wanita, dan anak yang memakai alat bantu dengar. kata kunci : anak tuna rungu, pendidikan awal, skor kemampuan membaca 30 pendahuluan aktivitas membaca merupakan sarana yang dibutuhkan oleh hampir semua bidang kehidupan. membaca merupakan salah satu fungsi tingkat tinggi dari otak manusia, sebagai suatu interaksi antara pikiran dan bahasa. kegiatan membaca merupakan salah satu tugas belajar yang sangat penting dalam kaitannya dengan memperoleh pengetahuan tambahan. hanya dengan kemampuan membaca yang memadai manusia dapat mencari, menemukan, dan memanfaatkan informasi, data, hasil penelitian, pengetahuan dan ilmu untuk berbagai keperluan dalam hidupnya.1 dalam kehidupan seseorang pendidikan mempunyai peran sangat penting dalam mengembangkan diri dan melangsungkan kehidupannya, demikian juga anak tuna rungu pendidikan sangat penting untuk mengembangkan kemampuannya sehingga dapat melangsungkan kehidupannya secara layak. beberapa tujuan yang penting dari pendidikan anak tuna rungu meliputi pencapaian kemampuan bahasa yang adekuat, penegakan kesehatan mental suara, kemampuan bicara yang dapat dimengerti dan mudah berkomunikasi dengan orang lain. apabila tujuan diatas tercapai maka dapat digunakan untuk mencapai kesuksesan hidupnya.2 the conference of executive of american school for the deaf memberikan pengertian mengenai istilah deaf (tuli) sebagai kehilangan pendengaran sampai 70 dbhl atau lebih, sementara hard hearing (pekak) sebagai kehilangan pendengaran 35-69 db. pengertian anak tuna rungu pada penelitian ini sesuai dengan deaf dimana anak cacat pendengaran berat yang menghalangi keberhasilan proses bicara sehingga mengalami kesulitan memperoleh informasi bahasa melalui pendengaran dengan atau tanpa amplifikasi.3 kegiatan membaca bagi anakanak merupakan bekal yang penting dan mendukung penemuan terhadap berbagai hal yang baru. mereka belajar mengenali lingkungannya melalui gambar-gambar dan buku. pada masa sekarang kemajuan teknologi pendidikan anak tuna rungu berkembang dengan pesat, pendidikan awal memungkinkan dilakukan karena adanya alat diagnostik yang obyektif dan akurat untuk mendeteksi gangguan pendengaran meskipun pada bayi baru lahir. penggunaan teknologi pendengaran yang modern seperti alat bantu dengar digital atau implant kohlea memungkinkan anak tuna rungu mendapat rangsangan akustik secara maksimal sejak awal.4 slb-b karnnamanohara merupakan salah satu sekolah yang mendidik para penyandang tuna rungu sejak usia awal, menyediakan sarana pendidikan untuk anak tuna rungu saat mereka masih berusia dibawah 3 tahun sebelum masa optimal perkembangan bicara dan bahasa terlampaui. slb-b karnnamanohara mengembangkan program khusus yang disebut bina persepsi bunyi dan irama dengan tujuan akhir seorang anak tuna rungu dapat berbicara/berbahasa, berkomunikasi secara verbal.5 kemampuan berbicara/ bahasa ini diharapkan mendukung kegiatan belajar membaca pada anak tuna rungu sehingga dapat integrasi ke sekolah umum dan dapat berprestasi setara dengan anak umumnya. tuna rungu memiliki 2 macam definisi sesuai dengan tujuannya yaitu 1) definisi untuk tujuan medis, tuna rungu berarti kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar disebabkan oleh kerusakan dan disfungsi sebagian atau seluruh alat-alat pendengaran. 2) definisi untuk tujuan pedagogis, tuna rungu adalah kekurangan atau kehilangan pendengaran yang mengakibatkan hambatan dalam perkembangan sehingga memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus.6 tuna rungu pada umumnya dibagi menurut letak kelainannya yaitu : a) tuli sentral, yaitu ketidakmampuan memahami atau mengerti arti suara pada telinga normal, dan b). tuli perifer yaitu ketulian yang disebabkan oleh adanya kelainan pada telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam.7 tuli perifer dibagi menjadi 3 jenis yaitu : (1). tuli hantaran yang disebabkan adanya gangguan transmisi gelombang suara ke telinga dalam, (2). tuli saraf asti widuri, kemampuan membaca pada ... 31 mutiara medika vol. 10 no. 1:29-36, januari 2010 yang disebabkan kerusakan sel-sel organ corti atau serabut saraf, traktus auditorius atau nukleinya dan (3) tuli campuran yang disebabkan kelainan jenis hantaran dan saraf pada telinga yang sama.8,9 american joint commiteon infant hearing pada tahun 1982 menguraikan kriteria risiko tinggi untuk terjadinya gangguan pendengaran pada bayi baru lahir bila didapatkan satu atau lebih adanya : 1) riwayat keluarga menderita tuli kongenital 2) ibu menderita riwayat infeksi kehamilan trimester i (rubella, cytomegalovirus, herpes, toxoplasma), 3) malformasi anatomi daerah kepala dan leher, 4) bblr, 5) hiperbilirubinemia, 6) asfiksi berat, 7) meningitis bakterial, 8) pemberian obat ototoksik.10 bayi-bayi yang mempunyai faktor risiko tersebut sedapat mungkin segera dilakukan penjaringan setelah proses kelahirannya atau idealnya sebelum keluar dari rumah sakit, saat optimal pada usia 3 bulan tetapi tidak boleh lebih dari 6 bulan. slb-b karnnamanohara merupakan sekolah yang mendidik para penyandang tuna rungu sejak dini, penanganan secara dini dipandang penting karena : a). pendidikan dini anak tuna rungu dipandang penting karena sejak dini sudah dapat ditanamkan perilaku berbahasa (menerima dan mengungkapkan). maksudnya jika orang normal menerima bahasa secara otomatis lewat pendengaran maka anak tuna rungu menerima bahasa melalui mata. pada usia dini saat paling tepat memulai mengarahkan gerakan mata sehingga lambat laun gerakan matanya menjadi insting untuk berbahasa. dalam hal ini penanaman kebiasaan bahwa mata harus selalu melihat gerakan mulut orang dan bahwa mulut itu bergerak dengan berbagai pesan bahasa. secara lambat laun anak dibimbing untuk menyadari bahwa pesan bahasa dalam gerakan mulut itu perlu dipahami dan direspon, b). kepentingan lain pendidikan/habilitasi awal adalah seawal mungkin memberikan rangsangan terhadap otot-otot pita suara, latihan pernafasan yang wajar agar tidak bermasalah dalam memproduksi suara dalam berbicara seperti suara tinggi rendah, tidak keluar suara, seperti ditahan dan terbata-bata. agar trampil berbahasa secara oral dan tertulis maka juga dilatih artikulasi dan motorik tangan untuk menulis.5 usia mulai pendidikan sejak anak berumur 2 tahun dengan kurikulum pencapaian dibidang bahasa : mengarahkan mata dengan memperbanyak bercakap, mengarahkan suara/pernafasan, mengarahkan konsentrasi motorik besar (senam, makan, mck), mengarahkan konsentrasi motorik kecil (menulis, membaca), dan merangsang sisa pendengaran (deteksi dan diskriminasi). penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberhasilan metode pendidikan dini di slb-b karnnamanohara dengan melakukan tes kemampuan membaca, disamping itu dilakukan penilaian faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan membaca untuk digunakan sebagai masukan dalam perbaikan sistem pendidikan. bahan dan cara rancangan penelitian pada penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dengan populasi penelitian semua anak tuna rungu. yang bersekolah di slb-b karnnamanohara yogyakarta. subyek yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diberikan informed consent dan kuesioner untuk diisi. kriteria inklusi pada penelitian ini adalah: (1) anak-anak tuna rungu yang bersekolah di slb karnnamanohara yogyakarta dengan data yang lengkap, (2) telah memasuki fase belajar membaca awal. sementara kriteria eksklusinya adalah (1) menderita cacat yang lain yang mempengaruhi kognitif (retardasi mental), (2) subyek/ keluarga menolak bekerjasama dengan peneliti, (3) ketulian unilateral. penelitian ini dilakukan di slb karnnamanohara yogyakarta pada bulan april 2007. cara penelitian dengan mengambil sampel yang merupakan bagian dari populasi anak tuna rungu yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi kemudian dilakukan tes kemampuan membaca. pengolahan data berdasar hasil tes kemampuan membaca yang disajikan secara deskiptif. 32 hasil penelitian dilakukan pada 27 anak tuna rungu siswa slb-b karnnamanohara yang memasuki fase belajar membaca, kelas 1 sebanyak 8 siswa, kelas 2 sebanyak 9 siswa, kelas 4 sebanyak 7 siswa, dan kelas 5 sebanyak 3 siswa ( gambar 1.). berdasar karakteristik jenis kelamin, anak laki-laki berjumlah 17 (63%) sedangkan anak wanita berjumlah 10 (37%) seperti terlihat pada gambar 2. anak-anak tuna rungu di slb-b karnnamanohara sebagian besar mendapatkan pendidikan awal saat berumur < 6 tahun yaitu 24 anak (88%) dan hanya 4 anak (12%) yang masuk sekolah setelah berumur 6 tahun seperti terlihat pada gambar 3. asti widuri, kemampuan membaca pada ... 23 4 0 5 10 15 20 25 jumlah 1 2 katagori umur usia masuk gambar 3. diagram karakteristik anak tuna rungu berdasar usia saat masuk sekolah. jenis kelamin laki-laki 63% wanita 37% gambar 2. diagram karakteristik anak tuna rungu berdasar jenis kelamin. 8 9 0 7 3 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 jumlah 1 2 3 4 5 6 kelas kelas gambar 1. diagram karakteristik anak tuna rungu berdasar kelas. 33 mutiara medika vol. 10 no. 1:29-36, januari 2010 pentingnya pemakaian alat bantu dengar untuk memberikan rangsangan akustik pada anak tuna rungu sudah dipahami oleh orang tua sehingga 15 anak (55%) diberikan fasillitas alat bantu dengar oleh orang tuanya. rata-rata skor kemampuan membaca pada anak-anak tuna rungu adalah 11, 889 (skor maksimum 16) atau 74 %. sebanyak 17 anak (63%) mempunyai skor kemampuan membaca diatas rata-rata (baik) dan 10 anak (37%) mempunyai skor kemampuan membaca dibawah rata-rata (kurang) seperti terlihat pada tabel 1. kemampuan membaca pada anak tuna rungu yang mendapatkan pendidikan secara dini pada umur kurang dari 6 tahun memperlihatkan hasil yang baik. menurut jenis kelamin kemampuan membaca lebih tinggi prosentasenya pada anak wanita dimana 70% memiliki kemampuan membaca diatas rata-rata sedangkan pada anak laki-laki hanya 58% seperti terlihat pada tabel 2. tabel 1. hasil skor tes kemampuan membaca berdasar usia masuk sekolah membaca baik membaca kurang total < 6 tahun 16 (69.5%) 7 (30.5%) 23 < 6 tahun 1 (25%) 3 (75%) 4 total 17 10 tabel 2. hasil skor tes kemampuan membaca berdasar jenis kelamin membaca baik membaca kurang total laki-laki 10 (58%) 7 (42%) 17 wanita 7 (70%) 3 (30) 10 total 17 10 tabel 3. hasil skor tes kemampuan membaca berdasar kelas membaca baik membaca kurang total kelas 1 3 (37.5%) 5 (62.5%) 8 kelas 2 5 (55%) 4 (45%) 9 kelas 4 7 (100%) 0 (0%) 7 kelas 5 2 (67 %) 1 (23%) 3 17 10 34 kemampuan membaca diatas ratarata lebih besar prevalensinya pada anak dengan pendidikan awal (<6 tahun), anak dengan jenis kelamin wanita, anak yang diberikan fasilitas alat bantu dengar dan anak dengan pertambahan waktu pendidikan (kelas lebih tinggi). pemakaian alat bantu dengar merupakan faktor yang dapat menunjang proses belajar pada anak tuna rungu, hal ini ditunjukkan dengan peningkatan kemampuan pada anak yang memakai alat bantu yaitu 80 % memiliki kemampuan membaca di atas rata-rata pada tabel 4. pemakaian alat bantu dengar juga merupakan faktor yang menguntungkan untuk proses belajar anak tuna rungu yang merupakan salah satu alternatif mengingat terapi implan kokhlea belum memungkinkan di indonesia, sedangkan dengan pertambahan waktu belajar tentu saja pada anak dengan kelas lebih tinggi (waktu belajar lebih lama) akan memiliki kemampuan yang lebih baik, walaupun kadang-kadang terjadi bias jika anak mengalami pindah sekolah. diskusi data penelitian diambil dari siswa slb-b karnnamanohara pada fase membaca atau tingkat sekolah dasar dengan jumlah pada masing-masing kelas bervariasi seperti terlihat pada gambar 1., secara prosentase jenis kelamin cukup seimbang. semakin besar pengetahuan masyarakat tentang gangguan pendengaran pada anak, semakin besar anak dideteksi sejak dini dan mendapatkan pendidikan sejak usia dibawah 6 tahun. mayoritas anak tuna rungu tersebut, bersekolah di slb-b. asti widuri, kemampuan membaca pada ... kemampuan membaca merupakan faktor yang sangat penting dalam proses pendidikan, terutama sebagai gerbang ilmu pengetahuan, siswa tunarungu di slb-b karnnamanohara memiliki kemampuan membaca yang cukup baik hal ini ditunjukkan dari tabel 1., meskipun masih ada kemungkinan hasil tersebut dibawah pencapaian anak-anak normal. pada anak yang masuk sekolah awal saat berumur < 6 tahun memiliki prosentase yang lebih tinggi yang mempunyai kemampuan membaca diatas rata-rata (69 %) dibanding yang masuk sekolah di atas 6 tahun (25 %). pentingnya pendidikan dini diteliti juga oleh yoshinaga-itano pada tahun 1998 dimana hasil menunjukkan skor kemampuan berbahasa yang lebih tinggi pada anak tuna rungu yang diberikan intervensi lebih awal.11 hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian robertson & flexer pada tahun 1993 yang meneliti 54 anak tuna rungu prelingual yang mendapatkan pendidikan metode auditory verbal therapy didapatkan hasil 85% anak mempunyai kemampuan membaca setara dengan anak normal. 12 kemampuan membaca pada anak wanita yang lebih tinggi sesuai dengan penelitian mashari pada tahun 2000 yang mendapatkan hasil prestasi belajar anak tuna rungu wanita secara signifikan lebih baik daripada anak laki-laki, perbedaan prestasi tersebut bukan karena intelegensi anak wanita lebih tinggi tetapi karena perkembangan anak wanita secara mental lebih cepat dewasa sehingga lebih mudah diatur, diarahkan dan berkonsentrasi. hal ini sesuai dengan pendapat geers (2003) yang meneliti kemampuan membaca anak tuna rungu yang diberikan terapi implan kokhlea tabel 4. hasil skor tes kemampuan membaca berdasar pemakaian abd membaca baik membaca kurang total memakai abd 12 (80%) 3 (20%) 15 tidak memakai abd 5 (42%) 7 (58%) 12 total 17 10 35 mutiara medika vol. 10 no. 1:29-36, januari 2010 didapatkan pengaruh yang menguntungkan pada anak dengan status ekonomi tinggi, jenis kelamin wanita dan onset ketulian lambat.13 faktor lain yang menunjukkan hasil kemampuan membaca lebih baik pada anak tuna rungu yang memakai alat bantu dengar, dengan demikian perlu diberikan edukasi pada orangtua untuk memberikan fasilitas alat bantu yang mendukung proses belajar anak untuk mencapai hasil yang lebih optimal.faktor lain yaitu semakin lama anak belajar semakin baik hasil kemampuan membaca dengan ditunjukkan dari hasil yang signifikan lebih baik pada anak dengan kelas yang lebih tinggi. pemakaian alat bantu dengar juga merupakan faktor yang menguntungkan untuk proses belajar anak tuna rungu yang merupakan salah satu alternatif mengingat terapi implan kokhlea belum memungkinkan di indonesia, sedangkan dengan pertambahan waktu belajar tentu saja pada anak dengan kelas lebih tinggi (waktu belajar lebih lama) akan memiliki kemampuan yang lebih baik, walaupun kadang-kadang terjadi bias jika anak mengalami pindah sekolah. kesimpulan kemampuan membaca pada anak tuna rungu di slb-b karnnamanohara dalam penelitian ini mencapai nilai 11.89 dari nilai maksimal 16 atau mencapai 74%. sebanyak 63 % anak memiliki kemampuan membaca diatas rata-rata dengan faktor-faktor yang menguntungkan yaitu usia masuk pendidikan awal, jenis kelamin wanita, memakai alat bantu dengar dan masa pendidikan yang lebih lama. saran penelitian ini akan lebih berkembang jika dilakukan dengan metode cohort sehingga dapat mengikuti perkembangan anak dalam jangka waktu yang cukup signifikan. dengan demikian faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan membaca dapat dianalisis secara pasti dan sebagai perbaikan dalam sistem pendidikan anak tuna rungu. daftar pustaka 1. widyana r. 2006. faktor-faktor kognitif yang mempengaruhi kemampuan membaca anak-anak kelas 1 dan 2 sekolah dasar. disertasi. sekolah pasca sarjana universitas gadjah mada. yogyakarta. 2. mashari. 2000. faktor-faktor prognostik yang mempengaruhi prestasi belajar anak tuna rungu di sdlb-b kalibayem. karya akhir ppds tht. fakultas kedokteran universitas gadjah mada, yogyakarta. 3. northern j.l., downs mp. 1991. hearing in children. 4th eds. williams & wilkins. baltimore.325-328. 4. lim s.y.c. & simser j. 2005. auditoryverbal therapy for children with hearing impairment. annals academy medicine singapore; 34: 307-312. 5. darmawan g. 2004. pre-school slb-b karnnamanohara. dalam seminar pengembangan potensi anak-anak tuna rungu. yogyakarta. 6. gamayanti i.l. 2004. aspek psikososial tunarungu pada anak. dalam seminar pengembangan potensi anak-anak tuna rungu. yogyakarta. 7. ziring p.r. 1993. the child with hearing impairment. in md levine & wb carey eds. developmental-behavioral pediatrics. wb saunders co philadelpia london, 770-777. 8. flint e.f. 1983. severe childhood deafness in glasgow 1965-1979. the journal of laryngology and otology,;97,421-583. 9. hijanosa r. & lindsay j.r. 1980. profound deafness, associated survey and neural degeneration. arch otolaryngol,106,193-209. 10. bess f.h. & paradise j.l. 1994. in reply to letters concerning universal screening for infants and younger children. pediatrics, 94, 959-963. 11. yoshinaga-itano.1998. language of early and later identified children with hearing loss. pediatrics.102:1168-1171. 12. robertson & flexer. 1993. reading development: a parent survey of children with hearing impairment 36 who learned developed speech and language through the auditory-verbal therapy method. the volta review ; 95:253-261. 13. geers a.e. 2003. predictors of reading skill development in children with early cochlear implantation. ear & hearing;24:59s-68s. asti widuri, kemampuan membaca pada ... | 102 mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 21 no 2 page 102-109, july 2021 the correlation between islamic spirituality and distress in type 2 diabetes mellitus patients korelasi antara spiritualitas islam dan distres pada pasien diabetes melitus tipe 2 adang muhammad gugun1*, yusuf alam romadhon2, gina nidaulfalah3, suci aprilia4 1 clinical pathology department, faculty of medicine and health science, universitas muhammadiyah yogyakarta 2 family medicine department, faculty of medicine, universitas muhammadiyah surakarta 3 faculty of medicine and health science, universitas muhammadiyah yogyakarta 4 faculty of medicine, public health and nursing, universitas gadjah mada data of article: received: 05 jan 2021 reviewed: 29 june 2021 revised: 05 july 2021 accepted: 08 july 2021 *correspondence: adang_patklin@yahoo.com doi: 10.18196/mmjkk.v21i2.10848 type of article: research abstract: more than half of people with diabetes mellitus experience distress. spirituality-religiosity strengthens mental health status through coping mechanism for handling distress in type 2 dm patients. the majority of the population in indonesia is muslim; therefore, this study aims to determine the correlation between islamic spirituality and distress in type 2 dm patients. this research is an analytic observational study with a cross-sectional approach conducted at pku muhammadiyah gamping hospital. subjects were type 2 dm patients, both outpatient and inpatient, diagnosed at least more than six months. interviews about spirituality used the holistic health care (hhc) questionnaire, while distress used the diabetes distress screening scale (ddss) questionnaire. the data analysis was carried out using the spearman test and somers'd test. forthy six subjects were obtained with an age range between 45 to 75 years old. based on the data analysis, it showed that there was a positive correlation (p 0.020; r -0.343) between psychospiritual and dm distress scores. furthermore, there was a moderate correlation between islamic spirituality and distress in type 2 dm patients. keywords: diabetes mellitus; distress; dm type 2; islamic spirituality abstrak: lebih dari separuh pasien diabetes melitus mengalami distres. spiritualitasreligiusitas mengokohkan status kesehatan mental melalui mekanisme koping penanganan distres pada pasien dm tipe 2. mayoritas penduduk di indonesia beragama islam, oleh karenanya tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan spiritualitas islam dan distres pada pasien dm tipe 2. penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan potong lintang yang dilakukan di rs pku muhammadiyah gamping. subyek merupakan pasien dm tipe 2 baik rawat jalan maupun rawat inap yang didiagnosis minimal lebih dari 6 bulan. wawancara mengenai spiritualitas menggunakan kuesioner holistic health care (hhc) dan distres menggunakan kuesioner the diabetes distress screening scale (ddss). analisis menggunakan uji spearman dan uji somers’d. didapatkan 46 subyek dengan rentang umur antara 45 sampai dengan 75. hasil analisis uji spearman antara skor psychospiritual dan skor distres dm, didapatkan nilai r -0,343 dengan p 0,020. terdapat korelasi sedang antara spiritualitas islam dan distres pada pasien dm tipe2. kata kunci: distres; diabetes melitus; dm tipe 2; spiritualitas islam mailto:adang_patklin@yahoo.com https://doi.org/10.18196/mmjkk.v21i2.10848 103 | vol 21 no 2 july 2021 introduction the prevalence of people with diabetes mellitus (dm) worldwide is very high and tends to increase every year. according to the results of the indonesian ministry of health, it was found that the prevalence of diabetes mellitus increased by 2.6% compared to 2013 and reached 14 million people.1 risk factors associated with type 2 dm include anxiety and a history of distress.2 the state of distress continues when a person is diagnosed with dm. more than a third of diabetes patients suffer from distress and depression. more than half of dm sufferers experience anxiety.3 patients with dm have an anxiety level 20% higher than people without dm. anxiety disorders have a close relationship with hyperglycemia in people with diabetes.4 high blood sugar levels and the risk of complications make every dm sufferer experience anxiety.5 the management strategy for type 2 diabetes that has been recommended is basically only using a biological approach. on the other hand, the holistic approach is a broader and fundamental approach, covering bio-psychospiritual aspects.6 spirituality / religiosity can strengthen mental health status through coping mechanisms in dealing with stress.7 increasing spirituality is a determinant of the successful management of type 2 diabetes control.8 the basic effort to increase spirituality is to increase awareness of spirituality. increasing awareness of spirituality also includes supporting religious ritual activities.9 according to soudagar and rambod, there is a relationship between spirituality and levels of anxiety and depression.3 indonesia is a country that has a majority muslim population. the holistic approach to managing type 2 diabetes mellitus through islamic spirituality is very relevant. according to islamic spirituality is the embodiment and expression of the awareness of allah swt, knowledge, worship practices and various values established in islam. chen et al. stated that the subject of islamic spirituality is love and closeness to god related to dedication to individual limitations.10 this closeness is accompanied by love as the essence of subjective experience which will motivate further devotion in a cycle to deepen the belief over time.10 holistic health management is a healing effort that takes into account biological, psychological, social and spiritual aspects carried out by health workers who are used in an integrated and comprehensive service management system. broadly speaking, the goal of holistic health management is to obtain information and descriptions related to aspects of psychospiritual, etiological, interrelationships, therapy and patient-focused care so that needs are met and get a healthier life.11 a study of the correlation between islamic spirituality and distress in type 2 dm patients needs to be done to further strengthen the basis for its application. many studies related to spirituality in dm have been carried out, especially regarding the role of spiritual needs in the management of dm patients.12,13 while research on the correlation between islamic spirituality and distress in type 2 dm patients has never been done. the aims of this research to determine the correlation between islamic spirituality and distress in type 2 dm patients. materials and method this research is an analytic observational study with a cross sectional approach. this study had received approval from the health research ethics commitee of the faculty of medicine and health science, universitas muhammadiyah yogyakarta with the number 167/ec-kepk fkik umy/vi/2020. the study was conducted in three months from september to november 2020. the research subjects were type 2 diabetes mellitus patients who were treated at pku muhammadiyah gamping hospital. subjects were obtained through concecutive sampling based on inclusion and exclusion criteria and gave consent through informed concent. subjects were type 2 dm patients both outpatient and inpatient diagnosed at least more than 6 months in 2020. the inclusion criteria of this study were type 2 dm patients with composmentis awareness, type 2 dm patients who were inpatient and outpatient at pku muhammadiyah hospital, gamping, yogyakarta and were cooperative and participated in the study. while the exclusion criteria were type 1 dm patients, gestational dm, specific type dm related to other causes, type 2 dm patients who were not hospitalized and/or outpatient at pku muhammadiyah hospital, gamping, yogyakarta and respondents who were not involved in the study. subjects were interviewed about spirituality using the holistic health care (hhc) questionnaire and distress using the the diabetes distress screening scale (ddss) questionnaire. the dds questionnaire has a validity of 0.534-0.607 and a reliability of 0.87.14 the data collected is primary data. furthermore, the data were analyzed using spss 15 program. univariate test is used to determine the description of respondents. bivariate analysis using the spearman test to determine the relationship between islamic spirituality scores and distress scores and the sommers'd test to determine the relationship between islamic spirituality and distress with categorical data. | 104 result the study was followed by 46 participants with the characteristics as presented in table 1. the research subjects consisted of 28 female and 18 male with an age of 45 75 years in range. table 1. subject characteristic total % gender male 18 39.1 female 28 60.9 age 45-50 years old 6 13.0 51-55 years old 8 17.4 56-60 years old 9 19.6 61-66 years old 14 30.4 66-70 years old 6 13.0 71-75 years old 3 6.5 acceptance acceptance positive 37 80.4 acceptance negative 9 19.6 obbidient obbidient positive 33 71.7 obbidient negative 13 28.3 psychospiritual status sorrow 6 13.0 guide 8 17.4 revive 2 4.3 nirvana 30 65.2 distress dm not depressed/mild depression 30 65.2 moderate depression 13 28.3 severe depression 3 6.5 total 46 100 table 1 shows that the respondents were more male than female. most of them are aged 61-66 years as many as 14 respondents (30%). most of the respondents had received acceptance of the dm disease (80.4%), while the rest had not received it (19.6%). thirty three people (71.7%) performed obedience in carrying out the prayers, whereas 13 people (28.3%) did not. the psychospiritual status category obtained consecutive results nirvana (full of meaning) 30 people (65.2%), guide (guidance) 8 people (17.4%), sorrow (miserable) 6 people (13%) and revive (awakening) 2 people (4.3%). the most distress category experienced by respondents was no depression / mild depression (65.2%), followed by moderate depression (28.3%) and the last severe depression (6.5%). table 2 shows some of the items on the reception desk. most respondents thought that their current state was sick (45.7%). the most respondents (43.5%) expressed the perception of pain as a trial, warning and grace. the most respondent item response to respondents is that most of them receive (60.9%). the last item regarding the hope of the respondent is optimistic about allah swt (45.7%). table 2 also shows several items on the obedience in worship. half of the respondents reported always praying when they were healthy or sick (50%). effort / prayer and support were the most expressed by respondents in helping healing (63%). god / religion is in a sick condition, the most respondents expressed the meaning of being full of love (71.7%). 105 | vol 21 no 2 july 2021 table 2. holistic health care score of subjects total % holistic health care (acceptance) what is currently thinking sick 21 45.7 problems in the family 3 6.5 cost 8 17.4 others 14 30.4 perseption of the disease sick as normal 11 23.9 sick as the injustice of allah swt 2 4.3 sick as fate 13 28.3 sick as a trial, a warning and a grace 20 43.5 the feeling illness not accept 2 4.3 angry 3 6.5 sad 13 28.3 acceptance 28 60.9 views on the future pessimist 2 4.3 silent 3 6.5 doubt 20 43.5 optimistic because of allah swt 21 45.7 holistic health care (obbidient) pray as long as healthy and sick never pray 2 4.3 sometimes 13 28.3 when healthy pray, when sick do not pray 8 17.4 always pray 23 50.0 things that can help healing do not know 1 2.2 family motivation 11 23.9 doctor 5 10.9 efforts, prayers and support from all parties 29 63.0 the meaning of allah swt unfair 4 8.7 tie and organize 9 19.6 protect lovingly 33 71.7 total 46 100 table 3. results of the analysis of the difference between psychospiritual status with age and gender psychospiritual status total p sorrow guide revive nirvana n % n % n % n % n % age 45-50 years old 1 2.2 3 6.5 0 0 2 4.3 6 13 0.544* 51-55 years old 1 2.2 1 2.2 1 2.2 5 10.9 8 17.4 56-60 years old 2 4.3 0 0 1 2.2 6 13 9 19.6 61-66 years old 2 4.3 2 4.3 0 0 10 21.7 14 30.4 66-70 years old 0 0 2 4.3 0 0 4 8.7 6 13 71-75 years old 0 0 0 0 0 0 3 6.5 3 6.5 gender male 3 6.5 2 4.3 2 4.3 11 23.9 18 39.1 0.709** female 3 6.5 6 13 0 0 19 41.3 28 60.9 total 6 13 8 17.4 2 4.3 30 65.2 46 100 *kruskal-wallis ; ** mannwhitney | 106 table 4. results of the analysis of the difference between distress with age and gender distress dm total p not depressed/mild depression moderate depression severe depression n % n % n % n % age 45-50 years old 3 6.5 2 4.3 1 2.2 6 13 0.322* 51-55 years old 7 15.2 1 2.2 0 0 8 17.4 56-60 years old 6 13 3 6.5 0 0 9 19.6 61-66 years old 8 17.4 5 10.9 1 2.2 14 30.4 66-70 years old 5 10.9 1 2.2 0 0 6 13 71-75 years old 1 2.2 1 2.2 1 2.2 3 6.5 gender male 12 26.1 5 10.9 1 2.2 18 39.1 0.851** female 18 39.1 8 17.4 2 4.3 28 60.9 total 30 65.2 13 28.3 3 6.5 46 100 *kruskall wallis; **mannwhitney table 5. correlation between psychospiritual and distress median minimum maximum r p psychospiritual score 21 12 24 -0.343 0.020 distress score 1.74 1 4.35 table 6. correlation between psychospiritual status and distress distress dm total r p not depressed/mild depression moderate depression severe depression n % n % n % n % psychospiritual status sorrow 0 0 4 8.7 2 4.3 6 13.0 -0.497 0.001 guide 4 8.7 4 8.7 0 0 8 17.4 revive 2 4.3 0 0 0 0 2 4.3 nirvana 24 52.2 5 10.9 1 2.2 30 65.2 total 30 65.2 13 28.3 3 6.5 46 100 table 3 contains results of the analysis of the difference between psychospiritual status with age and gender. the results of the test for different psychospiritual status between the age groups obtained p 0.544 (p>0.05), which means that there is no significant difference in psychospiritual status between age groups. the results of the psychospiritual status difference test between the sex groups obtained p 0.709 (p>0.05), which means that there is no significant difference in psychospiritual status between the sex groups. table 4 contains the results of the analysis of the difference between distress with age and gender. the results of the distress difference test between age groups obtained p 0.322 (p> 0.05), which means that there is no significant difference in distress between age groups. the results of the distress difference test between the gender obtained p 0.851 (p>0.05), which means that there is no significant difference in distress between the gender groups. table 5 contains the correlation between psychospiritual score and distress score. the correlation test between psychospiritual scores and distress scores used the spearman test because the data were not normally distributed. correlation test obtained p 0.020 (p<0.05) and r -0,343, it can be concluded that there is a correlation between the two. there is a weak correlation strength which is inversely proportional, the higher the psychospiritual score, the lower the distress score. table 6 contains the correlation between psychospiritual status and distress. psychospiritual and dm distress were also used as categorical data and analyzed the correlation test using the sommers'd test. the analysis results showed the value of p 0.001 (p<0.05) and the value of r -0.497. these results can be concluded that there is a correlation between psychospiritual and distress with the strength of a moderate correlation that is inversely proportional, meaning that the higher the subject's psychospiritual, the lower they dm distress. discussion the proportion of the number of subjects in this study was more in women than men in line with the prevalence of dm patients more in women.15 according to irawan an increase in risk for women is related to an increase in the body mass index.16 in the study, this age range group was more in the 61-66 age group as 107 | vol 21 no 2 july 2021 much as 30.4%. the incidence of insulin resistance and decreased insulin products increases with age. 17 increased risk of diabetes with increased age, especially at the age of 4564 years.18 the dominance of the 61-66 years age group in this study is related to the volunteerism of the subjects participating in this study. most of the respondents had received acceptance of the dm disease (80.4%), while the rest had not received it (19.6%). the subject's perception of the illness that they suffer shows that their appreciation of the faith (islam) is not yet complete. the impact of this phenomenon is seen that less than half of the subjects (43.5%) think that their illness is a warning and a blessing. the majority of subjects thought that illness was believed to be just fate, an ordinary event even as a form of god's injustice. subjects who had an optimistic attitude towards allah regarding their illness recovery were only 45.7%. the majority of subjects were doubtful, silent and pessimistic. only 60.9% of the moods related to diabetes mellitus suffered were already fielded, while the rest were sad, angry and rejected. the admission condition is an important thing to pay attention to, because it involves a basic psychological condition and becomes a foothold in managing long-running type 2 dm patients. from the research of krause & hayward it is proven that economic difficulties that affect low health, increased depression, and low life satisfaction can be overcome with high trust in god.19 research conducted by jamil proved that being ridho with destiny reduces stress on post-traumatic victims.20 ridho is in line with the concept of acceptance and commitment therapy in overcoming distress. the rct study conducted by gregg et al. proved the effectiveness of the intervention "acceptance" against dm in increasing dm selfmanagement and reducing hba1c.22 thirty three people (71.7%) performed obedience in carrying out the prayers, while the rest had no awareness of the importance of worship. furthermore, in the sick condition, only half of the subjects continued to pray, while the other half prayed occasionally and some made sickness an excuse not to perform worship. with regard to the belief that the main determinant of healing, those who answered prayer were accompanied by 63% effort, while the rest stated that the main factors were doctors, medicine and fam ily motivation. regarding the meaning of god's presence in a sick condition, the majority (71.7%) were of the opinion that god was protective and full of compassion, while the rest stated that god's injustice or god was binding and controlling. basically, this form of obedience has great benefits for the perpetrator because it will have an impact on dependability and calmness. worship regulates how humans can relate to god.23–25 prayer (as the peak of worship) has an important impact in coping distress.2 the holistic approach through prayer significantly improves diabetes self-care efforts.27 based on the category of psychospiritual status, it was found that the majority of subjects (65.2%) had an optimal state, namely nirvana (full of meaning), while the rest (34.8%) had a psychospiritual status that needed attention and support. the condition of the guide (guidance) as much as 17.4% were patients who were not psychologically problematic but needed spiritual guidance regarding obedience. sorrow conditions (miserable) as much as 13%, patients need psychological and spiritual support. the condition of revive (awakening) as much as 4.3% needed psychological support and spiritual strengthening.11 in this study, there was no difference in psychospiritual status between age groups and gender. this finding is in line with the statement of taylor et al., where spirituality is not influenced by gender or age group.28 although this is different from research conducted by rita hadi which found that female have a higher level of spirituality .29 it is also different from the results of research from wika hanida which found that male have a higher level of spirituality.30 this study was found that there was no difference in score or level of distress for gender or age group. this result is different from the research of saad et al., which states that more female experience distress than male.31 dm type 2 patients experienced moderate depression were 28.3% while severe depression was 6.4%. this is in line with the research of na et al., which states that 40% of dm sufferers experience distress.32 even saad et al., got even more, where 73.3% occurred in female and 61.4% in male.31 in detail the research conducted by derek et al., found that distress in type 2 diabetes mellitus patients, severe stress as many as 38 respondents (50.7%) moderate stress as much as 36.0% and mild stress as much as 13.3%.33 there is a correlation between spirituality and distress. the correlation that occurs is a negative correlation, meaning that the higher the score or level of spirituality, the lower the score or level of distress. this finding is in line with achour et al., that religiosity is the best way for believers to overcome life's problems.34 the approach of religiosity through worship (e.g prayer) and other religious practices becomes a coping strategy that focuses on managing emotions. the results of this study strengthen the foundation of holistic patient management, especially through a spirituality approach. | 108 conclusion there is a negative correlation between spirituality and dm distress. the higher the spirituality of the dm patient, the lower the distress and vice versa. acknowledgement we thanks to lp3m universitas muhammadiyah yogyakarta, faculty of medicine and healt science universitas muhammadiyah yogyakarta as funder dan pku muhamamdiyah gamping hospital for research area and data provider. conflict of interest none declared references 1. kementrian kesehatan ri. hasil utama riskesdas 2018. badan penelitian dan pengembangan kesehatan. 2018. 2. virtanen m, ferrie je, tabak ag, akbaraly tn, vahtera j, singh-manoux a, et al. psychological distress and incidence of type 2 diabetes in high-risk and low-risk populations: the whitehall ii cohort study. diabetes care. 2014 aug; 37(8): 2091–7. https://doi.org/10.2337/dc13-2725 3. soudagar s, rambod m. prevalence of stress, anxiety and depression and their associations with spiritual well-being in patients with diabetes. sadra med sci j. 2018; 6(1): 1–10. 4. tsenkova vk, albert ma, georgiades a, ryff cd. trait anxiety and glucose metabolism in people without diabetes: vulnerabilities among black women. diabet med j br diabet assoc. 2012 jun; 29(6): 803–6. https://doi.org/10.1111/j.1464-5491.2011.3534.x 5. semiardji g. stres emosional pada penyandang diabetes, in soegondo s., soewondo p., subekti i., ed., penatalaksanaan diabetes melitus terpadu. 2013. 337–346. 6. popoola m. living with diabetes: the holistic experiences of nigerians and african american. holist nurs pr. 2005; 19(1): 10–6. https://doi.org/10.1097/00004650-200501000-00006 7. koenig hg. religion, spirituality, and health: the research and clinical implications. isrn psychiatry. 2012;2012:1–33. https://doi.org/10.5402/2012/278730 8. oakley ld, aekwarangkoon s, ward ec. successful holistic management of type 2 diabetes with depression: a very personal story. holist nurs pract. 2011; 25(2): 88–96. https://doi.org/10.1097/hnp.0b013e31820de840 9. casarez rlp, engebretson jc, ostwald sk. spiritual practices in self-management of diabetes in african americans. holist nurs pract. 2010 jul; 24(4): 227–37. https://doi.org/10.1097/hnp.0b013e3181e903c6 10. chen z, ghorbani n, watson pj, aghababaei n. muslim experiential religiousness and muslim attitudes toward religion: dissociation of experiential and attitudinal aspects of religiosity in iran. studia religiologica 46 (1) 2013, s. 35–44 doi: https://doi.org/10.4467/20844077sr.13.003.1224 11. ahmad j. holistic health care (psychospiritual health care). buku pendamping panduan dakwah rumah sakit muhammadiyah ’aisyiyah. majelis tabligh dan majelis pku pimpinan pusat muhammadiyah. 2015. 12. darvyri p, christodoulakis s, galanakis m, avgoustidis ag, thanopoulou a, chrousos gp. o n the role of spirituality and religiosity in type 2 diabetes mellitus management—a systematic review. psychology. 2018 apr 8; 9(4): 728–44. https://doi.org/10.4236/psych.2018.94046 13. putri asn. gambaran kebutuhan spiritual pada pasien diabetes melitus [undegraduate thesis]. fakultas ilmu keperawatan, universitas islam sultan agung semarang. 2017. 14. putri mr. hubungan religiusitas dengan diabetes mellitus tipe 2 di wilayah kerja puskesmas patrang kabupaten jember. universitas jember. 2017. 15. imelda s. faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya diabetes melitus di puskesmas harapan raya tahun 2018. sci j. 2019 may 22; 8(1): 28–39. https://doi.org/10.35141/scj.v8i1.406 16. irawan d. prevalensi dan faktor resiko kejadian diabetes mellitus tipe 2 di daerah urban indonesia (analisa data sekunder riskesdas 2007) (thesis). universitas indonesia. 2010. 17. hartini s. diabetes siapa takut, panduan lengkap untuk diabetes, keluarganya dan profesional medis. qanita: jakarta; 2009. 90–93. 18. jelantik igmg, haryati e. hubungan faktor risiko umur, jenis kelamin, kegemukan dan hipertensi dengan kejadian diabetes melitus tipe 2 di wilayah kerja puskesmas mataram. 2013. https://doi.org/10.2337/dc13-2725 https://doi.org/10.1111/j.1464-5491.2011.3534.x https://dx.doi.org/10.5402%2f2012%2f278730 https://doi.org/10.1097/hnp.0b013e3181e903c6 https://doi.org/10.4467/20844077sr.13.003.1224 https://doi.org/10.4236/psych.2018.94046 https://doi.org/10.35141/scj.v8i1.406 109 | vol 21 no 2 july 2021 19. krause n, hayward rd. assessing whether trust in god offsets the effects of financial strain on health and well-being. int j psychol relig. 2015 oct 2; 25(4): 307–22. https://doi.org/10.1080/10508619.2014.952588 20. jamil a. pengaruh ridha akan takdir dan tipe kepribadian terhadap stres pascatrauma bencana gempa yogyakarta tahun 2006. program studi timur tengah dan islam, kekhususan kajian islam dan psikologi, universitas indonesia. 2008. 21. arch jj, craske mg. acceptance and commitment therapy and cognitive behavioral therapy for anxiety disorders: different treatments, similar mechanisms?: act and cbt for anxiety disorders • arch & craske. clin psychol sci pract. 2008 oct 23; 15(4): 263–79. https://doi.org/10.1111/j.1468-2850.2008.00137.x 22. gregg ja, callaghan gm, hayes sc, glenn-lawson jl. improving diabetes self-management through acceptance, mindfulness, and values: a randomized controlled trial. j consult clin psychol. 2007; 75(2): 336– 43. https://doi.org/10.1037/0022-006x.75.2.336 23. ilyas y. ihsan dan akhlak mulia [internet]. 2019. available from: www.suaramuhammadiyah.id/2019/07/09/ihsan-dan-akhlak-mulia/ 24. marzuki. kerangka dasar ajaran islam [internet]. pkn dan fis uny; 2014 [cited 2019 nov 16]. available from: https://docplayer.info/36429026-dr-marzuki-m-ag-dosen-pkn-dan-hukum-fis-uny-bab-v-kerangka-dasar-ajaranislam.html 25. masroom mn, muhamad sn, panatik sa. the influence of iman, islam and ihsan towards the self wellbeing. j hadhari. 2017;9(1):63–74. 26. levine m. prayer as coping: a psychological analysis. j health care chaplain. 2008 aug 29;15(2):80–98. 27. deatcher j, aprn, bc, cde. spiritual self-care and the use of prayer how to manage your diabetes [internet]. diabetes self-management. 2015 [cited 2021 jul 1]. available from: https://www.diabetesselfmanagement.com/managing-diabetes/emotional-health/spiritual-self-care-and-theuse-of-prayer/ 28. taylor c, lilis c, lemone p, lynn p. fundamentals of nursing: the art and science of nursing care. philadelphia: lipincot; 2010. 29. hadi rw. perbedaan pengalaman spiritual sehari-hari pada lansia di panti wreda dan di masyarakat. j keperawatan komunitas. 2014 nov; 2(2): 64–9. 30. hanida w, mudjaddid e, nasution hh, shatri h. korelasi aspek spiritual dengan kadar interleukin-6 serum pada pasien hemodialisis kronik. j penyakit dalam indones. 2017 jan 16; 3(1): 3. http://dx.doi.org/10.7454/jpdi.v3i1.2 31. saad nes. the effectiveness of foot care education on patients with type 2 diabetes at family medicine outpatient clinics , cairo university hospitals. egypt j community med. 2014 apr; 32(2): 73–85. 32. hamed ms, ibrahim na, ali hm, and kheir cg. study of the effect of glycemic control on the diabetes related distress in a sample of egyptian patients with diabetes mellitus. diabet updates: 2019 (5) 1-4. https://doi.org/10.15761/du.1000134 33. derek mi, rottie jv, kallo v. hubungan tingkat stres dengan kadar gula darah pada pasien diabetes melitus tipe ii di rumah sakit pancaran kasih gmim manado. e-j keperawatan e-kp. 2017; 5(1): 6. 34. achour m, grine f, mohd nor mr, mohdyusoff myz. measuring religiosity and its effects on personal well-being: a case study of muslim female academicians in malaysia. j relig health. 2015 jun 1; 54(3): 984– 97. https://doi.org/10.1007/s10943-014-9852-0 https://doi.org/10.1080/10508619.2014.952588 https://doi.org/10.1111/j.1468-2850.2008.00137.x https://psycnet.apa.org/doi/10.1037/0022-006x.75.2.336 http://dx.doi.org/10.7454/jpdi.v3i1.2 https://psycnet.apa.org/doi/10.1037/0022-006x.75.2.336 http://dx.doi.org/10.15761/du.1000134 https://psycnet.apa.org/doi/10.1037/0022-006x.75.2.336 https://doi.org/10.1007/s10943-014-9852-0 habbatul haqiqoh, sri nabawiyati nurul makiyah, pengaruh pemberian vco ........................ 30 pengaruh pemberian vco (virgin coconut oil) terhadap gambaran histologi tiroid tikus putih (rattus norvegicus) the effect of vco (virgin coconut oil) to thyroid histology on rat (rattus norvegicus) habbatul haqiqoh1 , sri nabawiyati nurul makiyah2 1mahasiswa fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta, 2bagian histologi & biologi fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta abstract one of dietary alternative which can be used for overcoming thyroid dysfunction is by using virgin coconut oil (vco). the aim of this research is to know the efficacy of alternative medicine, especially vco to improve thyroid function which can be seen from histology appearance on rat. this research is preclinical posttest only experiment with randomized control group design. the subject of this research are 25 male spraque-dawley strain rattus norvegicus, 4 months and ± 300 grams body weight. rats were divided into 5 groups : negative and positive control, and three treatment groups. positive control group and treatment groups will given fat first until them obese. after that, the vco is given to three treatment groups. the dosage given was conversion of human dosage, 50 ml/day, 25 ml/day and 12,5 ml/day and will be converse in the end of week. vco given orally everyday for 28 day, after that surgical were done to the rat, then histological thyroid object are made. the observation is seen from its follicular epithel height, follicular diameter and the colloid mass on its lumen. the data was analyzed using anova test continued with tukey test. the significant result just only shown from the diameter of follicular cells. the magnificent differences were between negative control group and treatment group which get 50 ml/day of vco; and among positive control group with in all treatment groups. based on this research we can conclude that vco has significant role to improved the thyroid gland activities in white rats. key words: dose, histology, rattus norvegicus, tiroid, vco abstrak salah satu alternatif pengobatan alami untuk mengatasi masalah gangguan tiroid adalah vco (virgin coconut oil). penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manfaat vco dalam membantu meningkatkan kerja kelenjar tiroid, dilihat dari gambaran histologi tiroid pada tikus putih. metode penelitian adalah eksperimental praklinik dengan rancangan posttest randomized control group. sampel penelitian berjumlah 25 ekor tikus putih (rattus norvegicus) galur spraquedawley jantan, umur 4 bulan dan berat badan rata-rata 300 gram. tikus dibagi menjadi 5 kelompok yaitu kontrol positif dan negatif serta tiga kelompok perlakuan yang diberi vco. kelompok kontrol positif dan ketiga kelompok perlakuan digemukkan terlebih dahulu hingga mengalami obesitas. setelah itu diberikan vco peroral, dengan dosis hasil konversi dari dosis manusia, yaitu 50 ml/hari, 25 ml/hari, dan 12,5 ml/hari. vco diberikan peroral setiap hari selama 28 hari kemudian tikus diterminasi dan dibuat preparat histologi tiroid. pengamatan preparat dilakukan dengan melihat tinggi 31 mutiara medika vol. 8 no. 1:30-39, januari 2008 epitel sel folikel tiroid, diameter folikel, serta persentase massa koloid dalam lumen sel folikel. untuk analisis data digunakan uji anova dilanjutkan dengan uji tukey. hasil signifikan hanya terdapat pada gambaran diameter folikel sel kelenjar tiroid. perbedaan tampak nyata antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok perlakuan dosis 50 ml/hari dan kelompok kontrol positif, serta antara kelompok kontrol positif terhadap semua kelompok perlakuan yang diberi vco. berdasarkan penelitian ini disimpulkan bahwa minyak kelapa murni dapat membantu meningkatkan kerja kelenjar tiroid pada tikus putih. kata kunci : dosis, histologi, rattus norvegicus, tiroid, vco pendahuluan di amerika serikat diperkirakan 65% penduduknya mengalami overweight dan 2,7 diantaranya mengalami obesitas yang nyata. menurut penelitian, penyebab utama masalah berat badan ini adalah akibat kelenjar tiroid yang tidak begitu aktif bekerja, terutama pada wanita. pada tahun 1995 di colorado diadakan penelitian (the colorado thyroid disease prevalence study diterbitkan di the archives of internal medicine) terhadap 25.862 orang partisipan menunjukkan bahwa 8,9% partisipan yang tidak mengkonsumsi obat-obat tiroid mengalami hipotiroid dan 1,1% yang lain mengalami hipertiroid. ini mengindikasikan bahwa kemungkinan 13 juta orang di amerika mengalami gangguan tiroid yang tidak terdiagnosis, atau salah diagnosis.1 banyak minyak yang berefek negatif terhadap kelenjar tiroid, padahal minyak merupakan barang yang selalu digunakan hampir setiap hari. minyak yang bersifat unsaturated (yang dimiliki oleh sebagian besar minyak sayuran) akan menghambat sekresi hormon tiroid, peredarannya di aliran darah, dan respon jaringan terhadap kebutuhan tiroid itu sendiri. penurunan sekresi hormon tiroid dapat menyebabkan menurunnya sekresi hormon yang bersifat melindungi (protective hormone, misalnya progesterone dan pregnenolone ), sehingga organ tubuh yang berhubungan dengan hormon tersebut akan terganggu pula. hormon tiroid diperlukan untuk menggunakan energi dan mengeliminasi lemak sehingga kolesterol akan meningkat bila ada sesuatu yang menghalangi ataupun menghambat fungsi tiroid. peningkatan kadar kolesterol menyebabkan kegemukan, aterosklerosis dan masalah kesehatan lainnya.2 asam lemak tak jenuh (unsaturated fat) akan membahayakan jaringan dan berdampak negatif bagi tiroid dan juga kesehatan seseorang, karena asam lemak rantai panjang akan terdeposit/tersimpan lebih banyak di dalam sel sebagai lemak yang teroksidasi, hal tersebut menganggu konversi t4 menjadi t3. vco bukan hanya bersifat stabil, namun juga diolah secara berbeda di dalam tubuh, sehingga ini menyebabkan tiroid bekerja dengan lebih efisien untuk selanjutnya menjaga metabolisme tetap berjalan baik.1 tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk membuktikan keefektifan obat alternatif / tradisional yakni vco. tujuan khusus penelitian adalah untuk mengetahui efektifitas berbagai dosis vco terhadap gambaran histologi tiroid tikus putih. bahan dan cara bahan yang dipakai antara lain adalah vco, pellet (br2), air minum, pakan kaya lemak, dan formalin 10% sebagai pengawet preparat histologi. alat yang digunakan antara lain kandang tikus 5 buah, kawat kassa, neraca berat badan, sonde tikus, spuit injeksi, botol air minum, tempat pakan, sarung tangan, neraca berat badan, label, spektrofotometer, sedangkan alat tambahan yang digunakan untuk meneliti histologi tiroid adalah pot r, label, object glass, mikroskop, dan mikrometer. jenis penelitian ini adalah eksperimental praklinik dengan rancangan posttest randomized control group. subyek yang digunakan adalah tikus putih (rattus norvegicus) galur spraque-dawley jantan habbatul haqiqoh, sri nabawiyati nurul makiyah, pengaruh pemberian vco ........................ 32 dengan umur 4 bulan dan berat badan ratarata 300 gram yang dibeli dari kandang laboratorium farmakologi fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta. variabel yang terlibat meliputi variabel bebas, yaitu vco berbagai dosis, berat badan tikus putih sebagai variabel tergantung, dan variabel terkendali berupa hewan uji dengan galur yang sama, berat badan, dan umur setara serta kondisi kandang dan pakan sama. penelitian dilakukan pada bulan juli sampai agustus 2006 di kandang laboratorium farmakologi fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta tiap siang hari. penelitian diawali dengan pembagian tikus menjadi 5 kelompok, kemudian diberi pakan kaya lemak agar gemuk, yaitu : kelompok kontrol negatif/kn (tanpa perlakuan), kontrol positif/ kp (diberi makan lemak), kelompok perlakuan vco dosis tinggi/di (lemak + vco i), diberi vco dosis sedang/dii (lemak + vco ii), diberi vco dosis rendah/diii (lemak + vco iii). penggemukan tikus dengan memberi makanan kaya lemak sampai berat badan tikus selain kontrol negatif naik kira-kira 20% dari berat badan rata-rata awal. dilanjutkan dengan pemberian vco merk b yang dijual di pasaran dengan kandungan sebagai berikut seperti yang tercantum dalam tabel 1. untuk keseragaman maka pemberian vco dilakukan setiap hari selama 28 hari setiap jam 12.00-13.00 wib siang. tabel 1. kandungan vco merk b yang dipakai per 100 ml keterangan nilai nilai gizi energi asam lemak jenuh asam lemak poli-tak jenuh asam lemak mono-tak jenuh 6.8 kalori/gram 92% 2% 6% komposisi asam laurat asam miristat asam kaprilik asam palmitat asam kaprik asam stearat 48.83% 19.97% 8.86% 7.84% 6.17% 3.06% vco yang diberikan menurut hasil konversi dengan ketentuan manusia 70 kg setara dengan tikus 200 gram dengan satuan konversi = 0,018.4 sehingga dosis vco yang diberikan pada tikus kelompok perlakuan dapat dihitung sebagai berikut : dosis i (kadar maksimal) 50 ml 50 ml x 0,018 = 0,9 ml/200 gram; dosis ii (kadar sedang) 25 ml 25 ml x 0,018 = 0,45 ml/200 gram; dosis iii (kadar rendah) 12,5 ml 12,5 ml x 0,018 =0,225 ml/200 gram. vco diberikan selama 28 hari dan setiap 7 hari sekali dilakukan penimbangan berat badan tikus untuk kemudian disesuaikan dosis pemberian minyak kelapa murni tersebut sesuai dengan perubahan berat badan tiap 7 harinya. 5 setelah pemberian vco lengkap, dilakukan terminasi tikus dan pembuatan preparat oleh para teknisi ahli, kelenjar tiroid tikus diambil kemudian dimasukkan ke dalam pot r yang telah diisi formalin 10% kemudian dilakukan pembuat preparat. 33 mutiara medika vol. 8 no. 1:30-39, januari 2008 pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop dan mikrometer untuk mengukur struktur histologi sel tiroid (epitel dan diameter folikel). analisis data dilakukan dengan untuk mengetahui histologis tiroid tiap kelompok secara statistik dengan uji varians satu jalan (one way anova) dilanjutkan dengan uji tukey untuk mengetahui perbedaan pengaruh antarperlakuan. hasil setelah 28 hari pemberian vco, dilakukan terminasi terhadap semua tikus kemudian tiroid diambil dan dibuat preparat histologinya. namun, akibat kesalahan teknis dalam pengerjaan pembuatan preparat, sediaan histologi kelenjar tiroid yang dapat diamati hanya 24 buah saja, karena salah satu tikus kelompok kontrol negatif tidak ditemukan gambaran kelenjar tiroidnya. diharapkan kondisi ini tidak mempengaruhi hasil analisis penelitian. gambaran histologi kelenjar tiroid tikus putih seluruh kelompk tikus percobaan secara statistik (ukuran tinggi epitel folikel, diameter folikel dan persentase nassa koloid dalam lumen) diperlihatkan pada tabel 2. tabel 2. rerata hasil pengukuran histologi kelenjar (x ± sd) tiroid tikus putih kelompok kontrol negatif (kn), kelompok perlakuan vco dosis 50 ml/hari (d i), vco dosis 25 ml/hari (dii), vco dosis 12,5 ml/hari (d iii) dengan kontrol positif (kp) secara garis besar, perbandingan antara tinggi epitel folikel tiap kelompok dapat digambarkan dalam gambar 1 berikut ini. dari gambar dapat dilihat bahwa rata-rata tinggi epitel folikel secara umum tidak banyak berbeda antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol, baik kelompok kontrol negatif ataupun kontrol positif. kelompok kontrol negatif memiliki ukuran tinggi sel epitel folikel yang paling besar dibandingkan dengan kelompok lain. 0 2 4 6 8 tinggi epitel tinggi epitel 6.75 6. 28 5.7 4.96 5 1 2 3 4 5 gambar 1: rerata panjang epitel folikel kelenjar tiroid (x ± sd) tiroid tikus putih kelompok kontrol negatif (1), kelompok perlakuan vco dosis 50 ml/hari (2), vco dosis 25 ml/hari (3), vco dosis 12,5 ml/hari (4) dengan kontrol positif (5) parameter no. kelompok tinggi sel epitel diameter folikel persentase massa koloid 1. 2. 3. 4. 5. kn di dii diii kp 6.75± 2.75 6.28± 1.05 5.7± 2.7 4.96± 1.97 5± 2.70 34.25± 14.1 79 ± 24.39 83 ± 12.61 58.88 ± 28.15 20.6 ± 5.41 60.58± 4.99 64.92± 18.8 55.92± 8.39 76.54± 17.47 63.8± 24.63 habbatul haqiqoh, sri nabawiyati nurul makiyah, pengaruh pemberian vco ........................ 34 dari hasil analisis menggunakan anova menunjukkan bahwa signifikansi data tinggi epitel folikel nilai á-nya sebesar 0,693 (> 0,05), yang artinya tidak terdapat perbedaan signifikan antar kelompok kontrol baik kontrol positif ataupun negatif terhadap kelompok perlakuan manapun, jadi pemberian vco selama masa penelitian tidak memberi efek yang bermakna terhadap tinggi folikel kelenjar tiroid. 0 50 100 diameter folikel diameter folik el 34.25 83 58.88 79 20.6 1 2 3 4 5 gambar 2. rerata diameter folikel kelenjar tiroid (x ± sd) tiroid tikus putih kelompok kontrol negatif (1), kelompok perlakuan vco dosis 50 cc/hari (2), vco dosis 25 cc/hari (3), vco dosis 12,5 cc/hari (4) dengan kontrol positif (5) pada gambar 2 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan jelas antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. diameter folikel terendah dimiliki oleh tikus kelompok kontrol positif, kemudian kelompok kontrol negatif. diameter paling kecil dari kelompok perlakuan dimiliki oleh kelompok vco dosis sedang, sedangkan yang memberi hasil diameter tiroid paling tinggi adalah vco kadar tinggi. analisis dat a anova memberikan nilai signifikansi sebesar <0,001 yang berarti pemberian vco memberi efek yang bermakna/perbedaan bermakna antara kelompok kontrol negatif terhadap kelompok tikus yang diberi dosis vco 50 ml dan 12,5 ml; antara kelompok kontrol positif dengan kelompok tikus yang diberi vco dosis 50 ml, 25 ml dan 12,5 ml. 0 50 100 persentase koloid persentase k oloid 60.58 55.92 76. 54 64.92 63.8 1 2 3 4 5 gambar 3. rerata persentase massa koloid dalam lumen sel folikel kelenjar tiroid (x ± sd) tiroid tikus putih kelompok kontrol negatif (1), kelompok perlakuan vco dosis 50 ml/hari (2), vco dosis 25 ml/hari (3), vco dosis 12,5 ml/hari (4) dengan kontrol positif (5) 35 mutiara medika vol. 8 no. 1:30-39, januari 2008 persentase massa koloid pada sel folikel kelenjar tiroid dapat digambarkan pada gambar 3. persentase koloid dalam folikel juga tidak memberikan hasil yang signifikan berbeda seperti yang terlihat pada gambar. angka yang dimiliki oleh kelompok yang diberi vco tidak jauh berbeda dengan kelompok kontrol. data dari anova juga menunjukkan bahwa persentase koloid ini nilai signifikansinya adalah 0,425, menunjukkan bahwa persentase koloid antar kelompok juga tidak berbeda secara nyata antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. pada gambar 4, 5 dan 6 berikut ini diperlihatkan gambaran histologi folikel kelenjar tiroid secara mikroskopis dengan perbesaran 400 kali. dapat dilihat perbandingan ukuran folikel dan massa koloid kelompok kontrol negatif dengan kontrol positif. kelenjar tiroid pada kelompok kontrol negatif memiliki ukuran diameter folikel yang lebih kecil dibanding ukuran diameter folikel kelompok kontrol positif. ukuran tinggi folikel kelompok kontrol pada kelompok kontrol negatif relatif lebih pipih dibandingkan kelompok kontrol positif. massa koloid pada kelompok kontrol positif jauh lebih banyak dibandingkan pada kelompok kontrol negatif. gambar 4: gambaran histologi folikel kelenjar tiroid tikus putih kelompok kontrol negatif dengan perbesaran 400x habbatul haqiqoh, sri nabawiyati nurul makiyah, pengaruh pemberian vco ........................ 36 gambar 5: gambaran histologi folikel kelenjar tiroid tikus putih kelompok kontrol positif dengan perbesaran 400x gambar 6: gambaran histologi folikel kelenjar tiroid tikus putih kelompok perlakuan vco dosis 50 ml/hari dengan perbesaran 400x 37 mutiara medika vol. 8 no. 1:30-39, januari 2008 gambar 7: gambaran histologi folikel kelenjar tiroid tikus putih kelompok perlakuan vco dosis 25 ml/hari dengan perbesaran 400x secara umum kelompok perlakuan yang diberi vco memiliki ukuran tinggi folikel yang relatif sama terhadap kelompok kontrol negatif, dengan ukuran diameter folikel yang relatif lebih besar dibandingkan kelompok kontrol negatif dan persentase massa koloid yang jauh lebih banyak dibandingkan kelompok kontrol negatif. gambar 8: gambaran histologi folikel kelenjar tiroid tikus putih kelompok perlakuan vco dosis 12,5 ml/hari dengan perbesaran 400x habbatul haqiqoh, sri nabawiyati nurul makiyah, pengaruh pemberian vco ........................ 38 diskusi aktivitas kelenjar tiroid secara histologi dapat dinilai dari ukuran panjang epitel folikel (menunjukkan seberapa aktif sel folikel dalam mensekresi t 3 dan t 4 untuk ditimbun sebagai massa koloid dalam lumen folikel, semakin aktif kelenjar tiroid maka semakin tinggi epitel folikelnya), diameter folikel tiroid (menunjukkan ukuran ruang yang disiapkan folikel untuk menampung koloid), dan persentase koloid yang dihasilkan. sebagai respon adanya aktifitas epitel folikel dalam mensekresi t 3 dan t 4 yang disimpan sebagai tiroglobulin dalam lumen sel folikel, maka folikel akan mengatur besar ruangnya (diameternya) agar tiroglobulin dapat disimpan untuk nantinya diubah menjadi t 3 dan t 4 yang dikirimkan ke sirkulasi darah. pasokan simpanan ini tergantung pada kadar permintaan tubuh, bila tubuh dihadapkan pada suasana yang mengharuskan tubuh untuk mempertahankan suhu atau menghasilkan lebih banyak energi, maka tiroid akan menimbun lebih banyak tiroglobulin untuk digunakan sewaktu-waktu. ini ditandai dengan adanya peningkatan tinggi epitel tiroid, pengecilan diameter folikel serta persentase koloid yang penuh pada lumen.7 sebaliknya bila suasana sekitar tubuh tidak memerlukan energi terlalu banyak atau tidak memerlukan panas terlalu banyak, maka folikel tiroid tidak akan bekerja seaktif tubuh yang membutuhkan metabolisme. dari hasil analisis terlihat bahwa terdapat perbedaan bermakna hanya terdapat pada gambaran diameter folikel sel kelenjar tiroid. perbedaan tampak nyata antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok tikus yang diberi vco dosis tinggi dan rendah, serta antara kelompok kontrol positif terhadap semua kelompok tikus yang diberi vco. gambaran diameter yang berbeda ini dipengaruhi oleh aktivitas dari kelenjar itu sendiri. seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa jumlah koloid yang disimpan dapat mempengaruhi seberapa besar folikel akan melebar. semakin banyak koloid yang disimpan dalam folikel, maka akan semakin kecil ukuran diameter folikel. sebaliknya, semakin sedikit koloid yang disimpan maka akan semakin besarlah diameter folikel agar dapat menyediakan ruang lebih banyak untuk koloidnya agar koloid cukup tersedia bagi metabolisme tubuh. gambar diameter folikel tiroid menunjukkan bahwa diameter folikel kelompok kontrol lebih rendah nilainya dibanding kelompok perlakuan. ini mungkin terjadi karena faktor lingkungan luar, karena tiroid sangat dipengaruhi oleh aktifitas, kebiasaan makan (jumlah makanan yang dikonsumsi) dan aktifitas lain yang memerlukan energi. vco dapat membantu kerja kelenjar tiroid, karena vco mengandung mcfa yang dap at menghasilkan energi lebih banyak dibanding dengan makanan biasa yang dikonsumsi tikus kontrol. mcf a menyebabkan kerja kelenjar tiroid menjadi lebih ringan sehingga folikel kelenjar tiroid menjadi lebih lebar diameternya akibat dari sel epitel yang kerjanya tidak terlalu berat. inilah alasan mengapa folikel kelenjar tiroid kelompok tikus yang diberi vco dosis tinggi dan rendah memiliki diameter yang relatif lebih lebar dibandingkan kelompok kontrol. bila dibandingkan secara statistik antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok kontrol positif, maka dapat dilihat bahwa kelompok kontrol positif memiliki diameter folikel yang lebih kecil. kemungkinan ini terjadi akibat tumpukan lemak pada tubuh tikus karena pemberian pakan kaya lemak yang dahulu pernah dilakukan. tumpukan lemak ini memaksa kelenjar tiroid tikus untuk bekerja lebih keras sehingga memberi gambaran diameter folikel yang kecil ukurannya. namun bila keadaan ini terjadi terus menerus dapat menyebabkan disfungsi kelenjar tiroid, sehingga lama kelamaan tikus dapat mengalami obesitas. dosis vco yang paling bermanfaat adalah dosis tinggi (dosis 50 ml/hari) yang 39 mutiara medika vol. 8 no. 1:30-39, januari 2008 menunjukkan selisih ukuran yang paling besar. berarti pemberian vco yang paling baik dipakai untuk membantu tiroid adalah dosis maksimal. vco dosis rendah juga memberi gambaran dapat membantu kelenjar tiroid namun tidak seefektif vco dosis tinggi. vco dosis sedang hanya sedikit mempengaruhi kerja kelenjar tiroid. epitel folikel dan persentase koloid yang tidak berbeda secara signifikan mungkin akibat dari adanya selang 2 hari dimana tikus kelompok perlakuan tidak diberi vco sehingga menyebabkan kelenjar tiroid berkurang keaktifannya, tidak seaktif sebelumnya. tiroglobulin sendiri dapat disirkulasikan ke pembuluh darah dalam jangka waktu beberapa menit setelah tsh merangsang kelenjar ini 7, rangsangan menyebabkan ukuran epitel berubah untuk mengambil tiroglobulin lebih banyak lagi sehingga kebutuhan energi untuk metabolisme terpenuhi. begitu pula sebaliknya jika energi tidak digunakan terlalu banyak, maka epitel juga tidak akan bekerja terlalu aktif bahkan dapat memendek. selain itu, nilai yang tidak signifikan ini dapat pula disebabkan oleh vco yang digunakan kurang memenuhi standar minyak kelapa murni yang sesungguhnya. banyak industri rumah tangga yang membuat vco dan dijual ke pasaran, namun kita sebagai konsumen pun tidak mengetahui secara pasti apakah vco yang digunakan untuk penelitian memenuhi syarat vco yang benar-benar murni. kesimpulan vco dapat membantu kerja kelenjar tiroid, ditandai oleh adanya perubahan ukuran diameter folikel tiroid. dosis vco yang paling baik digunakan adalah dosis tinggi (50 ml/hari), karena menunjukkan perbedaan secara signifikan dibandingkan kelompok vco yang diberi dosis lain. daftar pustaka 1. calbom, c., shilhavy, b. (2003). how to help your thyroid with v irgin coconut oil. diakses pada tanggal 10 april 2007 dari http://www.mercola.com/ 2003/nov/8/thyroid_health.htm 2. peat, r. (1997). ray peat’s newsletter. issue, p.2-3 3. nevin, k.g., rajamohan, t. (2004). beneficial effects of virgin coconut oil on lipid parameters and in vitro ldl oxidation [abstract]. clin biochem. sep;37(9):830-5. diakses tanggal 26 desember 2005 dari www.nlm.nih.gov. 4. ngatidjan. (1991). petunjuk laboratorium: metode laboratorium dalam toksikologi. yogyakarta: pusat analisa bioteknologi universitas gadjah mada. 5. alamsyah. (2005). vco . jakarta : gramedia pustaka utama 6. junqueira, c., carneiro, j., kelley, r. (1998). histologi dasar (edisi ke 8). jakarta: penerbit buku kedokteran egc. 409-415. 7. buf fenstain, r., w oodley , r., thomadakis, c., daly, gray, d. (2001). cold-induced changes in thyroid function in a poikilothermic mammal, the naked mole-rat. am j physiol regul integr comp physiol . jan; 280 (1): r149-r155. diakses tanggal 8 mei 2007 dari http://jcem.endojournals.org/cgi/ content/full/90/9/5317 8. murray, k., granner, d., mayes, a., rodwell, v. (2003). biokimia harper (edisi 25). jakarta: penerbit buku kedokteran egc. 236-244. 23 mutiara medika vol. 9 no. 2:23-28, juli 2009 pengaruh ekstrak-etanol biji jinten hitam (nigella sativa l.) terhadap mortalitas larva aedes aegypti the infuence of blackcumin seed (nigella sativa l.) ethanolic extract on aedes aegypti larvae mortality akhmad edy purwoko1, titiek hidayati2 1bagian farmakologi dan toksikologi fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta, 2bagian ilmu kesehatan masyarakat, fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta abstract the various type of plant used as the biological resource which is necessary for human being. many kind of plan was exploited as an insecticidal, because of the active ingredient which present in the plant. nigella sativa was one of the plants which relatively peaceful and not dangerous to the environment, but its potential to restrain insect specifically for mosquito have never been studied. the purpose of this research is to know the influence of ethanol extract of nigella sativa to the ae. aegypti larvae mortality. this research conducted the mortality test of mosquito according the who techniques for susceptibility of insecticide on mosquitoes use 9 concentration of nigella sativa extract: 1%; 0,8%; 0,6%; 0,4%; 0,3%; 0,2%; 0,1%; 0,05%; 0,025% and 0%. the larva mortality data analyzed with anava and analyze with probit analysis to determine the value lc50 (in 24 hour). the result of mortality test shows that the excelsior of ethanol extract of nigella sativa concentration caused larva death especially in 24 hour first. at highest concentration that is 1% more than 95% larva was dead. the probit analysis gave the lc50 for 24 hours at 0,47%. it can be concluded that ethanol extract of nigella sativa had an aedes aegypti larvacide effect. keyword: aedes aegypti, larva, mortality, nigella sativa abstrak berbagai jenis tumbuhan berlaku sebagai sumber daya hayati yang penting bagi manusia, karena kandungan bahan aktif dalam tumbuhan tersebut dapat dimanfaatkan diantaranya sebagai insektisida. jinten hitam (nigella sativa) adalah salah satu tumbuhan yang relative aman dan tidak berbahaya bagi lingkungan, namun pemanfaatannya untuk pengendalian serangga belum pernah digunakan. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol nigella sativa terhadap mortalitas larva aedes aegypti. pada penelitian ini dilakukan uji mortalitas dengan cara menurut who dengan 9 konsentrasi ekstrak nigella sativa 1%; 0,8%; 0,6%; 0,4%; 0,3%; 0,1%; 0,05%; 0,025% and 0%. mortalitas larva dianalisis menggunakan anava dan analisis probit untuk menentukan nilai lc50 (24 jam). akhmad edy purwoko, titiek hidayati, pengaruh ekstrak-etanol biji jinten hitam .............................. 24 pendahuluan bermacam macam jenis penyakit yang ditularkan oleh serangga (vektor), terutama nyamuk masih menjadi masalah kesehatan utama di indonesia. nyamuk merupakan salah satu golongan serangga yang dapat menimbulkan masalah pada manusia baik karena gigitannya maupun sebagai perantara berbagai penyakit, misalnya nyamuk culex yang merupakan vektor dari filariasis, anopheles vektor dari malaria dan aedes vektor dari demam berdarah.1,2 nyamuk aedes aegypti adalah anggota filum arthropoda, famili culicidae. nyamuk mempunyai siklus hidup sempurna (metamorfosis sempurna), dari telur-larvapupadewasa. telur aedes aegypti berwarna hitam, berukuran sekitar 50 mikron, berbentuk oval menyerupai torpedo, pada eksocharion (kulit luar) tampak adanya garis-garis yang membentuk gambaran menyerupai sarang lebah. di alam bebas telur nyamuk ini menempel pada dinding, tempat bertelurnya sedikit di atas permukaan air. pada stadium larva, tubuh nyamuk ini memanjang tanpa kaki dengan bulu-bulu sederhana yang tersusun bilateral simetris. pada stadium ini larva akan mengalami 4 kali pergantian kulit, yang disebut ecdysis, dan larva akan memakan makanan yang ada di dasar (bottom feeder). stadium pupa merupakan stadium istirahat, berbentuk seperti ‘koma’, dan setelah 2 hari akan berwarna hitam. perkembangan larva selanjutnya adalah dewasa, dengan tubuh tersusun atas kepala, toraks dan abdomen. mardihusodo dkk. menyatakan bahwa pada suhu air 27,2° sampai 31,2° c, lama perkembangan telur sampai dewasa adalah 9 – 12 hari. nyamuk jantan yang keluar pertama dalam 1 hari hasil penelitian uji mortalitas menunjukkan bahwa ekstrak etanol nigella sativa semakin tinggi konsentrasi akan semakin tinggi pula kematian larva terutama untuk 24 jam pertama. pada konsentrasi tertinggi yaitu 1% didapati lebih dari 95% larva mati. hasil analisis probit diperoleh nilai lc50 dalam 24 jam adalah kadar 0,47%. dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol nigella sativa mempunyai efek larvasida pada nyamuk aedes aegypti. kata kunci : aedes aegypti, larva, mortalitas, nigella sativa siap untuk melakukan kopulasi dengan nyamuk betina. tempat hidup larva ae. aegypti adalah di tempat penampungan air bersih yang digunakan oleh manusia, yaitu dapat berupa tempayan, bak mandi, akuarium yang tidak terpakai, vas bunga, tempt minum burung dan lain sebagainya. selain di dalam rumah juga dapat ditemukan tempat-tempat peindukan di luar rumah, yaitu misalnya di wadah terbuka yang berisi air (kaleng bekas, potongan bambu dll.).3 penyakit demam berdarah dengue (dbd) merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di kota/kabupaten di indonesia, mempunyai potensi menimbulkan kematian dan kejadian luar biasa.4 hal ini terjadi karena penyakit ini pada dasarnya belum ditemukan obatnya. pengobatan lebih banyak dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan meningkatkan daya tahan tubuh. oleh karena itu penanggulangan masalah ini lebih ditekankan pada pencegahan penyebaran penyakit dengan mengendalikan populasi nyamuk yang menjadi vektor. upaya penanggulangan dan pengendalian vektor bertujuan untuk memutus rantai penularan telah banyak dilakukan, akan tetapi hasilnya belum optimal. untuk itu sampai saat ini satusatunya cara untuk mencegah dan tehindar dari penyakit tersebut adalah dengan menghindari kontak dengan vektor. upaya pengendalian vektor yang telah dilakukan adalah bertujuan untuk menekan kepadatan populasi vektor, banyak cara dilakukan diantaranya adalah penggunaan larvasida misalnya penggunaan bakteri bacillus thuringiensis israeliensis (bti), bahan aktif yang dimakan larva mengeluarkan toksin yang 25 mutiara medika vol. 9 no. 2:23-28, juli 2009 menyebabkan kematian larva dalam satu hari tetapi tidak membahayakan ikan atau organisme hidup di air lainnya, tanaman maupun manusia.5 penggunaan insektisida dan larvasida dari bahan alami tumbuhan (botani) tak lepas dari perhatian peneliti. kardinan pada tahun 2007 meneliti potensi selasih sebagai repelen aedes aegypti dan mendapatkan daya repelennya di bawah deet.6 astuti pada tahun 2004 menyampaikan hasil penelitiannya tentang pengaruh ekstrak etanol daun mindi (melia azedarach l.) terhadap daya tetas telur, pekrkembangan dan mortalitas larva ae. aigypti.7 berdasarkan hal itu peneliti berlomba mencari senyawa lain yang bersifat insektisida namun aman bagi manusia dan juga ramah lingkungan dari bahan tumbuhan. penggunaan insektisida botani yang lebih alami dirasa lebih aman karena memiliki residu yang pendek. memperhatikan kandungan aktif dari biji jinten diantaranya mengandung glukosida beracun melantin, zat pahit nigelon, dan timokinon yang informasi mengenai penggunaan senyawa dalam tumbuhan ini masih sangat terbatas. elmahdi, 2005 melaporkan timokinon menunjukkan efek antiproliferatif, induksi apoptosis dan mengganggu potensial membran mitokondria. untuk itu maka dilakukan penelitian ini untuk menguji penggunaan bahan alami dari tumbuhan yaitu biji jinten hitam sebagai larvasida. penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol biji jinten hitam terhadap mortalitas larva aedes aegypti. bahan dan cara pada penelitian ini digunakan alat – alat meliputi petridis, labu takar, gelas ukur, corong, pipet eppendorf, pipet tetes, phmeter,termometer, aspirator, bak plastik, kaleng, botol selai, gelas aqua, kandang marmut, dan kandang nyamuk. bahan – bahan yang digunakan yaitu ekstrak biji jinten hitam (n. sativa) 100%, telur aedes aegypti hasil kolonisasi laboratorium parasitologi fakultas kedokteran universitas gadjah mada, akuades, air sumur, kertas saring, kloroform, air gula, kapas, kain kasa, cat hitam dan marmut. penelitian ini dilakukan di 2 tempat yaitu di laboratorium biologi farmasi fakultas farmasi universitas gadjah mada untuk pembuatan ekstrak etanol biji jinten hitam dan di laboratorium parasitologi fakultas kedokteran universitas gadjah mada untuk uji anti larvasida. adapun langkah – langkah yang dilakukan dalam penelitian adalah 1) ekstraksi biji jinten hitam (n. sativa l.), 2) pembuatan larutan stok, dan 3) uji larvasida. uji mortalitas larva mengacu pada uji bioassay untuk larva nyamuk menurut who tahun 1981. untuk uji mortalitas larva digunakan larutan stok dengan konsentrasi 1%; 0,8%; 0,6%; 0,4%; 0,3%; 0,2%; 0,1%; 0,05%; 0,025% dan 0%. telur hasil kolonisasi laboratorium parasitologi fakultas kedokteran universitas gadjah mada ditetaskan dalam baki berisi air sumur sampai diperoleh larva instar iii akhir atau iv awal, kemudian larva dimasukkan ke dalam petridis berisi larutan ekstrak dengan variasi konsentrasi uji masing-masing 25 ekor, kemudian diamati jumlah larva yang mati dalam waktu 24 jam.7 data hasil penelitian mortalitas larva dianalisis menggunakan anava dan analisis probit untuk menentukan nilai lc50 ( 24 jam ). uji mortalitas kematian larva pada kontrol tidak boleh lebih dari 20%. nilai kematian pada uji mortalitas larva dikoreksi dengan formula abbot. hasil hasil pengujian ekstrak etanol biji jinten hitam sebagai anti larvasida dengan berbagai kadar konsentrasi ditunjukkan dalam tabel 1 di bawah ini. akhmad edy purwoko, titiek hidayati, pengaruh ekstrak-etanol biji jinten hitam .............................. 26 lebih jelas berapa besarnya lc50 dapat dilihat pada gambar di bawah ini yang memperlihatkan korelasi besarnya konsentrasi ekstrak n. sativa yang dapat 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 konsentrasi n. sativa dlm % observed linear k e m a ti a n _ l a r v a _ d l m _ % tabel 1. hasil uji antilarvasida ekstrak etanol jinten hitam mengakibatkan kematian 50 % jentik nyamuk dalam waktu 24 jam dalam larutan tersebut. gambar 1. grafik hubungan konsentrasi ekstrak etanol jinten hitam (n. sativa) dengan kematian larva kadar ekstrak etanol n rerata larva hidup (±sd) rerata % kematian larva 1% 3 1.00± 1.00 96 % 0,8% 3 5.67± 2.10 80 % 0,6% 3 8.33± 1.15 78 % 0,4% 3 12.00± 2.65 59 % 0,3% 3 13.33± 1.53 49 % 0,1% 3 20.67± 1.15 20 % 0,05% 3 24.00± 1.00 4 % 0,025% 3 25.00± .000 0 % kontrol 3 25.00 ±.000 0 % 27 mutiara medika vol. 9 no. 2:23-28, juli 2009 diskusi telah dilakukan uji pengaruh ekstrak ethanol biji jinten hitam (nigella sativa) terhadap motalitas larva nyamuk aedes aegypti. pembuatan ekstrak ethanol biji jinten hitam (nigella sativa) dilakukan di laboratorium biologi farmasi fakultas farmasi universitas gadjah mada. telur dan larva nyamuk aedes aegypti yang digunakan dalam penelitian diambil dari laboratorium penangkaran nyamuk laboratorium parasitologi fk-ugm. penelitian pengaruh ekstrak etanol bji jinten hitam terhadap motalitas larava nyamuk ae.aegypti dilakukan di laboratorium parasitologi fakultas kedokteran universitas gadjah mada yogyakarta. pada uji pendahuluan dilakukan pada kisaran konsentrasi 0% (kontrol), 0,05%; 0,1%; 0,2%; dan 0,4%) sedangkan pada uji akhir ditambahkan uji pada konsentrasi 0,6%; 0,8%; dan 1,0%. hasil uji mortalitas larva menunjukkan perbedaan yang bermakna untuk masing masing kelompok dosis konsentrasi larutan n. sativa (p<0,05) lihat tabel . hasil uji mortalitas menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi akan semakin tinggi pula kematian larva terutama untuk 24 jam pertama. pada konsentrasi tertinggi yaitu 1,0%, lebih dari 95% larva mati, sedangkan pada kisaran konsentrasi dibawahnya menunjukkan variasi, namun hasilnya masih memberikan nilai mortalitas yang cukup tinggi. sehingga dapat diartikan bahwa ekstrak etanol biji jinten hitam bersifat efektif menghambat kehidupan larva nyamuk aedes aegypti. kematian larva uji sangat dimungkinkan adalah pengaruh dari bahan aktif yang diberikan. dijelaskan bahwa kandungan zat aktif dalam jinten hitam bersifat antifeedant, yang berarti menyebabkan larva kehilangan selera makan, selain itu bersifat racun saraf dan mengganggu produksi ekdison. zat aktif yang masuk secara perlahan melalui seluruh permukaan tubuh larva akan menyebabkan aktivitas menurun, lemah dan tidak mampu berkembang ke stadium lebih lanjut. selain itu ditunjukkan pula bahwa secara alami-pun terdapat seleksi, terutama bagi telur dan larva yang lebih kuat dan tahan maka akan mampu berkembang ke stadium selanjutnya, sedangkan untuk larva yang lemah tidak akan mampu bertahan hidup dan akhirnya mati. hasil analisis probit menunjukkan bahwa nilai lc50 – 24 jam adalah 0,47 %. hasil penelitian di atas secara keseluruhan menunjukkan bahwa ada pengaruh ekstrak etanol biji jinten hitam terhadap mortalitas larva aedes aegypti. kesimpulan hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol biji jinten hitam mempunyai efek sebagai larvasida. sebagai larvasida ditunjukkan pada uji mortalitas larva dengan nilai lc50 – 24 jam pada konsentrasi 0,47%. saran masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruhnya pada nyamuk vektor yang lain terutama yang dikoleksi dari alam, juga kemungkinannya jinten hitam digunakan sebagai insektisida botani di rumah. daftar pustaka 1. munif,bs. dan sutarno 1994. efektivitas ekstrak biji bengkuang pachyrrhyzus erosus terhadap larva culex quenquefasciatus di laboratorium. majalah parasitologi indonesia. vol. 7 (1). diterbitkan oleh perkumpulan pemberantasan penyakit parasit indonesia. 2. gandahusada, s., w. pribadi, dan h. ilahude. 1998. parasitologi kedokteran. ui press. jakarta. 3. mardihusodo, sj., ca. baidowi, dan mardhijah. 1987. pengamatan segisegi biologi aedes aegypti di laboratorium. prosiding konggres entomologi ii. perhimpunan entomologi indonesia. jakarta. 15 hal. 4. hardini, 2008, gambaran manajemen program penanggulangan penyakit demam berdarah dengue (p2dbd) di puskesmas kecamatan pasar minggu tahun 2008, www.digilib.ui.ac.id/opac/ akhmad edy purwoko, titiek hidayati, pengaruh ekstrak-etanol biji jinten hitam .............................. 28 themes/libri2/detail.jsp?id=123537 &lokasi=lokal 5. supartha, i.w., 2008, pengendalian terpadu vektor virus demam berdarah dengue, aedes aegypti (linn.) dan aedes albopictus (skuse)(diptera: culicidae), http:// dies.unud.ac.id/wp-content/uploads/ 2008/09/makalah-supartha-baru.pdf 6. kardinan, a., 2007, potensi selasih sebagai repellent terhadap nyamuk aedes aegypti. jurnallitri. 13 (2) 39-42 7. astuti,rr.,u.n.w, 2004, pengaruh ekstrak-etanol daun mindi melia azedarach l. terhadap daya tetas telur , perkembangan dan mortalitas larva aedes aegypti, seminar peringatan hari nyamuk iv. tropical disease center – universitas airlangga. surabaya. 8. el-mahdi, ma., 2005, thymoquinone induces apoptosis through activation of caspase-8 and mitochondrial events in p53-null myeloblastic leukemia hl-60 cells. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ 15906362?itool=entrezsystem2.p entrez.pubmed.pubmed_resultspanel. pubmed_rvdocsum&ordinalpos=5 adie fitra favorenda, sri nabawiyati nurul makiyah, pengaruh pajanan gelombang telepon seluler......... 122 pengaruh pajanan gelombang telepon seluler terhadap struktur histologi testis pada mencit (mus musculus) the effect of the exposure of telephone celluler wave toward testes histology to mice (mus musculus) adie fitra favorenda1, sri nabawiyati nurul makiyah2 1fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta, 2bagian histologi fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta absract objectives of this researchis to know the effect of the exposure of telephone celluler wave toward fertility in mice (mus musculus) by measuring the diameter of tubulus seminiferi and counting the percentage of spermatogenic cells. this research use mice (mus musculus) strain balb-c, 3 months age, ± 30 gram body weight. this mice divided into 4 groups, they are k (control), p1 (exposure of telephone celluler wave type gsm monophonic), p2 (exposure of telephone celluler wave type gsm polyphonic), p3 (exposure of telephone celluler wave type cdma). these mice were given exposure of telephone celluler wave by placing them near telephone celluler which active telephone condition. duration of the exposure is ± 120 minutes in a days. these mice were sacrificed by decapitation, its testes were taken and make the histological preparation. microscopic observation was done by measuring the diameter of tubulus seminiferi and counting the percentage of spermatogenic cells, such as spermatogonium, spermatocyt, and spermatidium. the results was analyzed by one way anova continued by tukey test. results of this research showed that comparing with the control group, the measurement of diameter tubulus seminiferi and the number of spermatogenic cells especially spermatidium in treatment groups were decreasing. it can conclude that telephone celluler wave can cause the decreasing of fertility by inhibiting the spermatogenesis process. key words : fertility, mice, spermatogenesis, telephone celluler wave abstrak tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pajanan gelombang telepon seluler terhadap fertilitas mencit (mus musculus) dengan mengukur diameter tubulus seminiferi dan menghitung prosentase sel-sel spermatogenik. desain penelitian adalah eksperimental in vivo pada hewan uji. penelitian ini menggunakan sampel berupa mencit (mus musculus) jantan galur balb-c 20 ekor, berumur 3 bulan, dan berat badan ± 30 gram. mencit dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok k (kontrol), p1(terpajan gelombang telepon seluler jenis gsm monophonic), p2(terpajan gelombang telepon seluler jenis gsm polyphonic), dan p3(terpajan gelombang telepon seluler jenis cdma). hewan uji tersebut diberi pajanan gelombang telepon seluler dengan cara meletakkan hewan uji di dekat telepon seluler yang sedang aktif menelpon. lama pemajanan ± 120 menit perhari selama 30 hari. pembedahan hewan uji dilakukan untuk mengambil testisnya dan kemudian dibuat preparat. pengamatan preparat dilakukan dengan mengukur diameter tubulus seminiferi dan menghitung prosentase sel-sel spermatogenik, antara lain spermatogonium, spermatocyt, dan spermatidium. hasil dianalisis dengan metode anova 1 jalan kemudian dilanjutkan dengan uji tukey. 123 mutiara medika edisi khusus vol. 8 no. 2: 122 128, oktober 2008 hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran diameter tubulus seminiferi dan jumlah prosentase sel-sel spermatogenik khususnya spermatidium pada kelompok perlakuan mengalami penurunan dibandingkankelompok kontrol. jadi dapat disimpulkan bahwa gelombang telepon seluler dapat meyebabkan terjadinya penurunan tingkat ferilitas dengan cara mengganggu proses spermatogenesis. kata kunci: fertilitas, gelombang telepon seluler, mencit, spermatogenesis. pendahuluan kemajuan teknologi komunikasi pada saat ini terasa begitu cepat, hal ini tampak dari terus berkembangnya berbagai macam jenis telepon seluler yang ada dipasaran. hadirnya teknologi komunikasi berupa telepon seluler atau hand phone (hp) yang semakin pesat dan maju tidak dapat kita hindari. kuatnya pancaran gelombang dan letak hp yang menempel di kepala akan mengubah sel-sel otak hingga berkembang abnormal dan potensial menjadi sel kanker. jadi, efek radiasi hp sedemikian berbahaya jika sering digunakan. pengukuran kadar radiasi sebuah telepon seluler umumnya disebut dengan specific absorbtion rate (sar). pengukur energi radio frekuensi atau rf yang diserap oleh jaringan tubuh pengguna telepon seluler bisa dinyatakan sebagai unit dari watts perkilogram (w/kg). batas sar yang ditetapkan oleh international commision on non-ionizing radiation protection (icnirp) adalah 2.0 w/kg. sementara the institute of electrical and electronics engineers (ieee) juga telah menetapkan sebuah standar baru yang digunakan oleh negara amerika dan negara lain termasuk indonesia dengan menggunakan batas 1.6 w/kg.1 pengamatan lebih jauh mengenai dampak radiasi elektromagnetik telepon seluler terhadap tubuh manusia, ternyata mempunyai kemiripan dengan dampak radiasi elektromagnetik yang ditimbulkan oleh radar. dampak tersebut adalah kemampuan radar mengagitasi molekul air yang ada dalam tubuh manusia. agitasi yang ditimbulkan oleh radiasi elektromagnetik tergantung intensitasnya, jika intensitasnya cukup kuat maka molekulmolekul air terionisasi. peristiwa agitasi oleh gelombang mikro yang perlu diperhatikan adalah yang berdaya antara 4 mw/cm2-30 mw/cm2. agitasi bisa menaikkan suhu molekul air yang ada di dalam sel-sel tubuh manusia dan ini dapat berpengaruh terhadap kerja susunan syaraf, kerja kelenjar dan hormon serta berpengaruh terhadap psikologis manusia.2 sebuah penelitian di finlandia membuktikan bahwa radiasi elektromagnetik serupa telepon seluler selama satu jam dapat mempengaruhi produksi sel.3 secara tidak langsung memang teknologi komunikasi membawa berbagai keuntungan bagi penggunanya, namun dibalik keuntungan yang menggiurkan tersebut ternyata terselip banyak kerugian yang menyebabkan dampak buruk bagi psikologis dan kesehatan pengguna teknologi komunikasi itu sendiri. secara psikologis kerugian yang diakibatkan dari penggunaan telepon seluler atau hp adalah manusia menjadi malas untuk bersosialisasi dengan teman dan lingkungan sekitar. dampak penggunaan telepon seluler dari segi kesehatan juga tak kalah mengerikan. berbagai penyakit serta kemungkinan terburuk hadir dalam tubuh manusia melengkapi kerugian atas penggunaan telepon seluler bagi penggunaanya. penelitian di amerika membuktikan bahwa kaum pria yang membawa hp di saku celana dapat menurunkan 70% produktivitas sperma dan lebih parah lagi sperma yang dihasilkan tidak akan dapat membuahi sama sekali alias mandul karena telah rusak akibat radiasi yang dipancarkan oleh hp yang ditaruh di saku celana.4 spermatogenesis adalah proses pembentukan spermatozoa, yang meliputi tiga fase yaitu spermatositogenesis, dimana selama fase ini spermatogonium adie fitra favorenda, sri nabawiyati nurul makiyah, pengaruh pajanan gelombang telepon seluler......... 124 membelah, menghasilkan generasi sel baru yang nantinya akan menghasilkan spermatosit; meiosis, selama fase ini spermatosit mengalami dua kali pembelahan secara berurutan dengan mereduksi sampai setengah jumlah kromosom dan jumlah dna per sel menghasilkan spermatid; dan spermiogenesis, selama fase ini spermatid mengalami proses sitodeferensiasi rumit yang akan menghasilkan spermatozoa.5 tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh intensitas pajanan gelombang telepon seluler terhadap fertilitas mencit (mus musculus) dengan mengukur diameter tubulus seminiferi dan menghitung prosentase sel-sel spermatogenik. bahan dan cara jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni. subjek penelitian ini menggunakan hewan uji berupa mencit (mus musculus) galur balbc sebanyak 20 ekor, berumur 3 bulan, dan berat badan + 30 gram. variabel bebas adalah pajanan gelombang telepon seluler global system for mobile telecomunications (gsm) dan code division multiple acces (cdma) sedangkan sebagai variabel terikat adalah diameter tubulus seminiferi dan prosentase sel-sel spermatogenik. alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alat pajanan gelombang telepon seluler yang terdiri dari telepon seluler jenis gsm (monophonic dan polyphonic) dan cdma, alat dan bahan pembedahan hewan uji berupa seperangkat alat bedah untuk membuat preparat serta alat dan bahan pengamatan histologi yang terdiri dari mikrometer, mikroskop, dan preparat. pada penelitian ini mencit dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok k (kontrol), p1 (terpajan gelombang telepon seluler jenis gsm monophonic), p2 (terpajan gelombang telepon seluler jenis gsm polyphonic), dan p3 (terpajan gelombang telepon seluler jenis cdma). hewan uji tersebut diberi pajanan gelombang telepon seluler dengan cara meletakkan hewan uji di dekat telepon seluler yang sedang aktif menelfon. lama pemajanan ± 120 menit perhari selama 30 hari. pembedahan hewan uji dilakukan untuk mengambil testisnya dan kemudian dibuat preparat. pengamatan preparat dilakukan dengan mengukur diameter tubulus seminiferi dan menghitung prosentase sel-sel spermatogenik, antara lain spermatogonium, spermatocyt, dan spermatidium pada penelitian ini tingkat pengukuran untuk diameter tubulus seminiferi dan jumlah sel-sel spematogenik adalah rasional dengan 4 kelompok, sehingga analisis statistik yang digunakan adalah anova 1 jalan, sedangkan untuk menentukan letak perbedaan pada masingmasing kelompok digunakan uji tukey. hasil dari penelitian ini ingin diketahui pengaruh pajanan gelombang telepon seluler terhadap gambaran histologi testis pada mencit (mus musculus). pengamatan yang dilakukan yaitu pengukuran diameter tubulus seminiferi dan prosentase sel-sel spermatogenik yang meliputi spermatogonium, spermatocyt, dan spermatidium. tabel 1. hasil pengukuran diameter tubulus seminiferi (μm) setelah pemajanan gelombang telepon seluler pada mencit (mus musculus) no. kelompok diameter tubulus seminiferi (μm) 1 k 405,64 ± 34,52a 2 p1 355,60 ± 30,59b 3 p2 347,20 ± 33,94b 4 p3 341,04 ± 33,32b 125 mutiara medika edisi khusus vol. 8 no. 2: 122 128, oktober 2008 keterangan : k : kelompok kontrol tanpa perlakuan p1 : kelompok perlakuan terpajan gelombang telepon seluler jenis gsm monophonic selama 30 hari. p2 : kelompok perlakuan terpajan gelombang telepon seluler jenis gsm polyphonic selama 30 hari. p3 : kelompok perlakuan terpajan gelombang telepon seluler jenis cdma selama 30 hari. angka-angka dalam tabel yang diikuti oleh huruf yang sama berarti kelompok tersebut tidak berbeda secara nyata dalam tabel 1 dapat dilihat bahwa semua mencit (mus musculus) pada kelompok p1, p2, dan p3 menunjukkan perbedaan ukuran diameter tubulus seminiferi jika dibandingkan dengan kelompok k. tabel 2. hasil analisis statistik pengukuran diameter tubulus seminiferi setelah pemajanan gelombang telepon seluler pada mencit (mus musculus) sum of squares df mean square f sig (p) between groups within groups total 129297.3 215098.2 344395.5 3 196 199 43099.093 1097.440 39.272 .000 hasil analisis statistik pada tabel 2 menunjukkan pada tingkat signifikansi (p) dapat diketahui bahwa ukuran diameter tubulus seminiferi masing-masing kelompok perlakuan berbeda bermakna (p<0,05) dibandingkan kelompok kontrol (k), yang berarti ha diterima (terdapat perbedaan antar variabel). tabel 3. hasil perhitungan prosentase sel-sel spermatogenik setelah pemajanan gelombang telepon seluler pada mencit (mus musculus) no kelompok spermatogonium (%) spermatocyt (%) spermatidium (%) 1 k 24,08±4,55a 33,52±6,96a 42,40±7,41a 2 p1 22,64±3,26ab 45,94±7,57b 31,48±5,86b 3 p2 20,92±4,64b 48,90±4,62bc 30,98±4,23bc 4 p3 21,08±3,18b 50,88±5,89c 28,16±4,61c keterangan : k : kelompok kontrol tanpa perlakuan p1 : kelompok perlakuan terpajan gelombang telepon seluler jenis gsm monophonic selama 30 hari. p2 : kelompok perlakuan terpajan gelombang telepon seluler jenis gsm polyphonic selama 30 hari. p3 : kelompok perlakuan terpajan gelombang telepon seluler jenis cdma selama 30 hari. angka-angka dalam tabel yang diikuti oleh huruf yang sama berarti kelompok tersebut tidak berbeda secara nyata adie fitra favorenda, sri nabawiyati nurul makiyah, pengaruh pajanan gelombang telepon seluler......... 126 dalam tabel 3 dapat dilihat bahwa mencit (mus musculus) pada kelompok p1 menunjukkan jumlah spermatogonium yang sama dengan kelompok k, p2 dan p3, sedangkan pada kelompok p2 dan p3 menunjukkan perbedaan jumlah spermatogonium jika dibandingkan dengan kelompok k. jumlah spermatocyt kelompok k berbeda jika dibandingkan dengan kelompok p1, p2, dan p3, sedangkan jumlah spermatocyt kelompok p1 sama dengan kelompok p2 tapi berbeda dengan kelompok p3, sedangkan kelompok p3 jumlah spermatocytnya sama dengan kelompok p2. jumlah spermatidium kelompok k berbeda jika dibandingkan dengan kelompok p1, p2, dan p3, sedangkan jumlah spermatidium kelompok p1 sama dengan kelompok p2 tapi berbeda dengan kelompok p3, sedangkan kelompok p3 jumlah spermatidiumnya sama dengan kelompok p2. tabel 4. hasil analisis statistik perhitungan prosentase spermatogonium setelah pemajanan gelombang telepon seluler pada mencit (mus musculus) sum of squares df mean square f sig (p) between groups within groups total 330.960 3084.560 3415.520 3 196 199 110.320 15.738 7.010 .000 hasil analisis statistik pada tabel 4 menunjukkan pada tingkat signifikansi (p) dapat diketahui bahwa prosentase spermatogonium masing-masing kelompok perlakuan berbeda bermakna (p<0,05) dibandingkan kelompok kontrol (k), yang berarti ha diterima (terdapat perbedaan antar variabel). tabel 5. hasil analisis statistik perhitungan prosentase spermatocyt setelah pemajanan gelombang telepon seluler pada mencit (mus musculus) sum of squares df mean square f sig (p) between groups within groups total 9115.700 7935.080 17050.780 3 196 199 3038.567 40.485 75.054 .000 hasil analisis statistik pada tabel 5 menunjukkan pada tingkat signifikansi (p) dapat diketahui bahwa prosentase spermatocyt masing-masing kelompok perlakuan berbeda bermakna (p<0,05) dibandingkan kelompok kontrol (k), yang berarti ha diterima (terdapat perbedaan antar variabel). tabel 6. hasil analisis statistik perhitungan prosentase spermatidium setelah pemajanan gelombang telepon seluler pada mencit (mus musculus) sum of squares df mean square f sig (p) between groups within groups total 5895.815 6290.180 12185.995 3 196 199 1965.272 32.093 61.237 .000 127 mutiara medika edisi khusus vol. 8 no. 2: 122 128, oktober 2008 hasil analisis statistik pada tabel 6 menunjukkan pada tingkat signifikansi (p) dapat diketahui bahwa prosentase spermatidium masing-masing kelompok perlakuan berbeda bermakna (p<0,05) dibandingkan kelompok kontrol (k), yang berarti ha diterima (terdapat perbedaan antar variabel). diskusi fertilitas (kesuburan) individu jantan (pria) ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain produksi sperma melalui proses spermatogenesis. dalam penelitian ini beberapa parameter fertilitas mencit (mus musculus) jantan yang menggambarkan berlangsung normal atau tidaknya proses spermatogenesis diamati setelah pemajanan gelombang telepon seluler. dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa setelah pemajanan gelombang telepon seluler, diameter tubulus seminiferi dan jumlah sel-sel spermatogenik mengalami penurunan. penurunan ukuran diameter tubulus seminiferi dan jumlah sel-sel spermatogenik merupakan indikator bahwa proses spermatogenesis berlangsung tidak normal. hasil pengukuran diameter tubulus seminiferi pada penelitian ini menunjukkan bahwa penurunan ukuran diameter tubulus seminiferi yang bermakna terjadi pada kelompok p1, p2, dan p3. tubulus seminiferi merupakan saluran tempat belangsungnya proses spermatogenesis yang terjadi di dalam testis. tubulus seminiferi terdiri dari epitel seminiferi dan jaringan ikat membentuk membran basalis yang elastis sifatnya.6 berkaitan dengan pernyataan di atas, terjadinya penuruan ukuran diameter tubulus seminiferi diduga disebabkan oleh penurunan jumlah sel-sel spermatogenik, penurunan jumlah sel-sel spermatogenik diduga dapat menimbulkan terjadinya pergeseran sel-sel epitel di sekitarnya dan membran basalis memadat untuk mengisi kekosongan yang terbentuk sehingga ukuran diameter tubulus seminiferi semakin mengecil.7 sel-sel spermatogenik yang diamati pada penelitian ini adalah spermatogonium, spermatocyt, dan spermatidium. hasil penelitian menunjukkan bahwa pajanan gelombang telepon seluler dapat menyebabkan penurunan jumlah sel-sel spermatogenik secara bermakna (p<0,05), terutama spermatidium. terjadinya penurunan jumlah sel-sel spermatogenik diduga karena pajanan gelombang telepon seluler mengganggu proses spermatogenesis melalui poros hipotalamus-hipofisis-testis, misalnya penekanan hormon gonadotropin. hormon gonadotropin merupakan hormon yang mempunyai peran penting dalam perkembangan sel-sel spermatogenik melalui proses spermatogenesis.8 dengan demikian dapat dipahami jika dugaan gelombang telepon seluler dapat menekan produksi hormon gonadotropin tersebut benar, maka dapat dipastikan jumlah selsel spermatogenik akan menurun. sperma merupakan hasil akhir dari proses spermatogenesis, yaitu proses pembentukan sperma melalui beberapa tahap perkembangan dari sel-sel spermatogenik. jika pada salah satu tahap perkembangan mengalami hambatan maka tahapan perkembangan selanjutnya juga akan akan mengalami hambatan. pada penelitian ini jumlah spermatidium mengalami penurunan secara bermakna sehingga memungkinkan tahapan perkembangan spermatidium menjadi sperma terhambat yang akhirnya akan menyebabkan produksi sperma juga mengalami penurunan. fertilitas salah satunya ditentukan oleh jumlah sperma sehingga jika produksi sperma mengalami penurunan maka dapat dipastikan bahwa tingkat fertilitas juga mengalami penurunan.. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian pengaruh pajanan gelombang telepon seluler terhadap struktur histologi testis pada mencit (mus musculus) diperoleh kesimpulan bahwa gelombang telepon seluler dapat mengganggu proses spermatogenesis pada mencit (mus adie fitra favorenda, sri nabawiyati nurul makiyah, pengaruh pajanan gelombang telepon seluler......... 128 musculus). hal ini ditandai dengan adanya penurunan ukuran diameter tubulus seminiferi dan juga penurunan jumlah prosentase sel-sel spermatogenik, terutama spermatidium. daftar pustaka 1. suroso. 2006. pengaruh gelombang elektromagnetik ponsel pada kesehatan. diakses 12 maret 2008, dari h t t p : / / w w w . g l o r i a n e t . o r g / a r s i p / b3723.html 2. wardhana, w.a. 2000. dampak radiasi elektromagnetik ponsel. diakses tanggal 03 april 2008, dari http// www.elektroindonesia.com/elektro/ ut32.html 3. nurudin. 2005. sistem komunikasi indonesia. diakses 12 maret 2008, dari http//www.kompas.com 4. kompas. 2003. dampak penggunaan telepon seluler (handphone). diakses 12 maret 2008, dari http// www.kompas.com 5. junqueira, l.c., carneiro, j. kelley, r.o. 1997. histologi dasar. cetakan ke1, edisi 8. egc.jakarta, 418-432 6. junqueira, l.c., carneiro, j. kelley, r.o. 1997. histologi dasar. cetakan ke1, edisi 8. egc.jakarta 7. ghufron, m. & herwiyati, s. 1995. gambaran histologik spermatogenesis tikus putih (rattus norvegicus) setelah diberi makan terong tukak (solanum torvum). jurnal kedokteran & kesehatan yarsi. fk yarsi .jakarta. 8. purwaningsih, e. 2001. pengaruh pemberian ekstrak bunga hibicus rosa sinensis, l terhadap proses spermatogenesis mencit jantan strain aj. jurnal kedokteran & kesehatan yarsi. fk yarsi. jakarta. 129 mutiara medika edisi khusus vol. 8 no. 2: 129 135, oktober 2008 persepsi dan sikap dokter dalam pemberian surat keterangan cuti sakit di rs pku muhammadiyah yogyakarta perception and behaviour of doctor in giving of sick retirement letter in pku muhammadiyah hospital of yogyakarta dirwan suryo soularto1, ayu azhimsari2 1bagian forensik fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta 2 fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta abstract doctor statement letter is a letter which is given by doctor professionally about a certain situation which is known and can be proven it’s truth. the aim of this research is to know the factors which influent the perception and behavior of doctor to give the sickness permission letter. the design of the research is non experimental. the subject of research is some doctors who work in pku m uhammadiyah hospital of yogyakarta are 35 people. responden who fulfill questioner about perception and attitude of doctor to give sickness permission letter. the analysis descriptive which is used with cross-sectional approach. the result of research is 63% agree every patient get a sickness permission letter, 60% disagree about the relation of friendship which influent the doctor to give sickness permission letter, 94% agree about the giving of period of sickness is a right of doctor absolutely, 71% disagree if doctor always give sickness permission letter to every patient who asked it, 74% doctor never give sickness permission letter which isn’t suitable with the patient’s condition, 60% doctor agree to give period of retirement sickness sometimes thinks the patient’s requirement, 97% doctor disagree to ask a certain free to give sickness permission letter. the conclusion of this research is perception and attitude of doctor in muhammadiyah hospital of yogyakarta still suitable with etic of indonesion medical. key word: attitude, perception, sickness permission letter abstrak surat keterangan dokter adalah surat yang diberikan oleh seorang dokter secara profesional mengenai keadaan tertentu yang diketahuinya dan dapat dibuktikan kebenarannya. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yangmempengaruhi persepsi dan sikap dokter dalam pemberian surat keterangan cuti sakit. desain penelitian ini adalah non-eksperimental dengan pendekatan cross-sectional. subyek penelitian adalah 35 orang dokter yang bekerja di rs pku muhammadiyah yogyakarta. responden mengisi kuesioner mengenai persepsi dan sikap dokter dalam memberikan surat keterangan cuti sakit. hasil kuisioner dianalisa secara deskriptif. hasil penelitian didapatkan 63% setuju setiap pasien mendapatkan surat keterangan cuti sakit, 60% tidak setuju hubungan kekerabatan mempengaruhi dokter dalam memberikan surat keterangan cuti sakit, 94% setuju pemberian lama cuti sakit merupakan hak/ kewenangan mutlak dokter, 71% tidak setuju jika dokter selalu memberikan surat keterangan cuti sakit kepada setiap pasien yang meminta, 74% dokter tidak pernah memberikan surat keterangan cuti sakit yang tidak dirwan suryo soularto, ayu azhimsari, persepsi dan sikap dokter dalam pemberian ..................... 130 sesuai dengan kondisi pasien, 60% dokter setuju dalam memberikan lama cuti sakit kadang-kadang mempertimbangkan permintaan pasien, 97% dokter tidak setuju menarik biaya tersendiri dalam pemberian surat keterangan cuti sakit. disimpulkan bahwa persepsi dan sikap dokter di rs pku muhammadiyah yogyakarta masih sesuai dengan kode etik kedokteran indonesia. kata kunci : persepsi, sikap, surat keterangan sakit pendahuluan etika kedokteran diartikan sebagai nilai-nilai luhur dan pedoman yang harus digunakan dalam pengambilan keputusan di bidang kedokteran. sanksi terhadap pelanggaran etik sangat tergantung dari bobot pelanggaran yang dapat dikategorikan menjadi ringan, sedang, dan berat. pelanggaran etik dapat berbagai bentuk, antara lain kurang mendengarkan pasien atau tidak berkomunikasi, memberikan keterangan sehat, cuti atau sakit tanpa disertai pemeriksaan. seorang dokter harus waspada terhadap kemungkinan sandiwara (simulation), melebih-lebihkan (agravation) pada waktu memberikan keterangan mengenai cuti sakit seorang karyawan. adakalanya cuti sakit disalahgunakan untuk tujuan lain, misalnya unuk mengunjungi keluarga di luar kota, tidak bersedia menghadiri sidang pengadilan atau sesuatu kegiatan di kantor, terlambat kembali bekerja dari cuti tahunan dan sebagainya. surat keterangan cuti sakit palsu dapat menyebabkan seorang dokter dituntut menurut pasal 263 dan 267 kuhp. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan sikap dokter dalam pemberian surat keterangan cuti sakit. bahan dan cara jenis penelitian ini adalah studi deskriptif yaitu penelitian yang menggambarkan atau memaparkan variable, fenomena atau gejala tertentu. penelitian ini dilaksanakan di rs pku muhammadiyah yogyakarta pada bulan desember 2008. populasi pada penelitian ini, yaitu semua dokter yang bekerja di rs pku muhammadiyah yogyakarta. besar sampel yang digunakan sebanyak 35 orang responden. cara pengambilan sampel dilakukan dengan cara convenient. populasi penelitian ini adalah semua dokter di rs pku muhammadiyah yogyakarta. kriteria inklusi subyek ini adalah dokter umum dan dokter spesialis di poliklinik dan ugd rs pku muhammadiyah yogyakarta, bersedia menjadi responden dan menjawab kuisioner penelitian. variabel bebas dalam penelitian ini adalah: faktor masa kerja seorang dokter, pengalaman, usia, dan lingkungan. kuisioner ini berisi daftar pertanyaan mengenai variable yang penulis teliti. kuisioner digunakan untuk mengetahui persepsi dan sikap dokter. jumlah pertanyaan sebanyak 15 yang terdiri dari 8 pertanyaan tentang persepsi dan 7 pertanyaan tentang sikap dengan cara menyilang sesuai urutan tingkat ss (sangat setuju), s (setuju), ts (tidak setuju), sts (sangat tidak setuju). hasil responden penelitian adalah 35 dokter yang terdiri dari dokter spesialis dan dokter umum di rs pku muhammadiyah yogyakarta. berdasarkan jenis kelamin responden didapatkan responden wanita sebanyak 51,42% (18 responden), sedangkan responden pria 48,57% (17 responden). 131 mutiara medika edisi khusus vol. 8 no. 2: 129 135, oktober 2008 tabel 1. karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin. wanita (n) pria (n) jenis kelamin 18 17 karakteristik responden berdasarkan umur diatas 30 tahun sebanyak 77,1% (27 responden), dan umur kurang dari 30 tahun sebanyak 22,85% (8 responden). tabel 2. karakteristik responden berdasarkan umur. <30 tahun (n) >30 tahun (n) umur 8 27 karakteristik responden berdasarkan pengalaman lama berprofesi lebih dari 2 tahun sebanyak 82,9% (29 responden), dan pengalaman lama berprofesi kurang dari 2 tahun sebanyak 17,1% (6 responden). tabel 3. karakteristik responden berdasarkan lama berprofesi. < 2 tahun (n) > 2 tahun (n) lama berprofesi 6 29 data persepsi dan sikap dokter tentang pemberian surat keterangan cuti sakit di rs. pku muhammadiyah yogyakarta disajikan dalam bentuk gambar dari hasil penelitian didapatkan data pasien berhak mendapatkan surat keterangan cuti sakit seperti terlihat pada gambar 1. gambar 1. data pasien berhak mendapatkan surat keterangan cuti sakit dirwan suryo soularto, ayu azhimsari, persepsi dan sikap dokter dalam pemberian ..................... 132 data pasien berhak mendapatkan surat keterangan cuti sakit pada gambar 1 menunjukkan 63% responden setuju setiap pasien berhak mendapatkan surat keterangan cuti sakit. dari hasil penelitian didapatkan data hubungan kekerabatan mempengaruhi dalam memberikan surat keterangan cuti sakit seperti terlihat pada gambar 2. gambar 2. data hubungan kekerabatan dapat mempengaruhi dokter dalam memberikan surat keterangan cuti sakit data gambar 2 menunjukan 60% responden tidak setuju hubungan kekerabatan dapat mempengaruhi dokter dalam memberikan surat keterangan cuti sakit. dari hasil penelitian didapatkan data pemberian lama cuti sakit merupakan hak/ kewenangan mutlak dokter seperti terlihat pada gambar 3. gambar 3. data pemberian lama cuti sakit merupakan hak/ kewenangan mutlak dokter. 133 mutiara medika edisi khusus vol. 8 no. 2: 129 135, oktober 2008 data pada gambar 3 menunjukkan 94% responden sangat setuju pemberian lama cuti sakit (waktu cuti sakit) merupakan hak/ kewenangan mutlak dokter. dari hasil penelitian didapatkan data dokter selalu memberikan surat keterangan cuti sakit seperti terlihat pada gambar 4. gambar 4. data dokter selalu memberikan surat keterangan cuti sakit. data gambar 7 menunjukkan, 71% responden tidak setuju atas sikap dokter yang selalu memberikan surat keterangan cuti sakit, kepada setiap pasien yang meminta surat keterangan cuti sakit. dari hasil penelitian didapatkan data dokter pernah memberikan surat keterangan cuti sakit, yang tidak sesuai dengan kondisi pasien seperti terlihat pada gambar 5. gambar 5. data dokter pernah memberikan surat keterangan cuti sakit, yang tidak sesuai dengan kondisi pasien dirwan suryo soularto, ayu azhimsari, persepsi dan sikap dokter dalam pemberian ..................... 134 data gambar 5 menunjukkan, 74% responden dokter tidak pernah memberikan surat keterangan cuti sakit, yang tidak sesuai dengan kondisi pasien. dari hasil penelitian didapatkan data dalam menuliskan lama cuti sakit, kadangkadang mempertimbangkan permintaan dari pasien seperti terlihat pada gambar 6. gambar 6. data dokter setuju dalam menuliskan lama cuti sakit, kadang-kadang mempertimbangkan permintaan dari pasien data gambar 6 menunjukkan, 60% responden dokter setuju dalam menuliskan lama cuti sakit, kadang-kadang mempertimbangkan permintaan dari pasien. dari hasil penelitian didapatkan data dokter selalu menarik biaya tersendiri dalam memberikan surat keterangan cuti sakit seperti terlihat pada gambar 7. gambar 7. data dokter selalu menarik biaya tersendiri dalam memberikan surat keterangan cuti sakit data gambar 7 menunjukkan, 97% responden sangat tidak setuju menarik biaya tersendiri dalam pemberian surat keterangan cuti sakit. diskusi menurut walgito (1981), persepsi merupakan kesan yang pertama untuk mencapai keberhasilan. persepsi merupakan proses psikologis dan hasil penginderaan serta proses terakhir dari kesadaran, sehingga membentuk proses berpikir. persepsi, menurut polak (1976), akan membentuk sikap, yaitu suatu kecenderungan yang stabil untuk berlaku 135 mutiara medika edisi khusus vol. 8 no. 2: 129 135, oktober 2008 atau bertindak secara tertentu di dalam situasi yang tertentu pula persepsi seseorang dalam menangkap informasi dan peristiwa-peristiwa menurut muhyadi (1989) dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: 1) orang yang membentuk persepsi itu sendiri, khususnya kondisi intern (kebutuhan, kelelahan, sikap, minat, motivasi, harapan, pengalaman masa lalu dan kepribadian), 2) stimulus yang berupa obyek maupun peristiwa tertentu (benda, orang, proses dan lain-lain), 3) stimulus dimana pembentukan persepsi itu terjadi baik tempat, waktu, suasana (sedih, gembira dan lain-lain). sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorangterhadap suatu stimulus atau objek. sikap tidak dapat dilihat secara langsung, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup (notoadmojo, 2003). diantara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu (azwar, 2003). kesimpulan sesuai hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa persepsi dokter atas pasien berhak mendapatkan surat keterangan cuti sakit sesuai dengan kodeki pasal 52, persepsi dokter atas hubungan kekerabatan tidak mempengaruhi dalam memberikan surat keterangan cuti sakit sesuai dengan kodeki pasal 7, pesepsi dokter atas pemberian lama cuti sakit merupakan hak/ kewenangan mutlak dokter sesuai dengan kodeki paragraf 6 pasal 50, sikap dokter tidak setuju apabila selalu memberikan surat keterangan cuti sakit sesuai dengan kodeki pasal 7, sikap dokter tidak pernah memberikan surat keterangan cuti sakit yang tidak sesuai dengan kondisi pasien sesuai dengan kodeki pasal 7 dan kuhp pasal 267, sikap dokter setuju dalam menuliskan lama cuti sakit terkadang mempertimbangkan permintaan pasien, sikap dokter tidak setuju apabila menarik biaya tersendiri dalam pemberian surat keterangan cuti sakit sesuai dengan kodeki pasal 3. dalam memberikan surat keterangan cuti sakit hendaknya dokter tetap memperhatikan kode etik kedokteran (kodeki). daftar pustaka 1. walgito, b., (1981). psikologi sosial. yogyakarta: penerbit andi. 2. notoadmojo, s. (2003). pendidikan dan perilaku kesehatan. jakarta: pt. rineka cipta. 3. polak, m., (1976). sosiologi suatu pengantar ringkas,. jakarta : pt ichtiar. 4. muhyadi. (1989). organisasi teori, struktur dan proses. jakarta : depdikbud. 5. azwar, s. (2003). sikap manusia teori dan pengukurannya. yogyakarta: pustaka pelajar. 6. arikunto, s. (2002). prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. jakarta : rineka cipta. 7. hanafiah, j. m. & amir, a. (1999). etika kedokteran dan hukum kesehatan. jakarta: egc. 8. kozier, b. (1995). fundamental of nursing consepts and prosedures. addison weshley publishing company. california. 9. muchlas, m. (1996). perilaku organisasi. yogyakarta: program pendidikan pascasarjana mmr_ugm. 10. mulyana, d. (2005). ilmu komunikasi suatu pengantar. bandung: pt. remaja. 11. rakhmat. j, (2005). psikologi komunikasi, bandung: rosdakarya. 12. sarwono, s. w. (1998). teori-teori psikologi sosial. edisi 4. jakarta: raja grafindo persada. 13. sears, p. o., freedmen, j. l., peplau, l. a. (1999). psikologi sosial. edisi 5. jilid 1. , jakarta: erlangga 155 mutiara medika vol. 12 no. 3: 155-162, september 2012 kajian secara in vitro ekstrak etanolik buah morinda citrifolia l. sebagai agen khemopreventif kanker payudara yang potensial in vitro study fruit of morinda citrifolia l. ethanolic extract as potential chemopreventive agent for breast cancer treatment rifki febriansah1*, desy bintang2, dwi susilo hardika3, dita prabaningrum4, dzilqi bustanul hadi5, nur oktafiyani6 1program studi farmasi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta 2,3,4,5,6 program studi farmasi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta *email: briansyah_rifki@yahoo.com abstrak kanker payudara merupakan kanker terbanyak di indonesia yang menyebabkan kematian sampai 4,3 juta orang per tahun. sampai saat ini pengobatan yang biasa dijalani oleh penderita kanker payudara adalah dengan melakukan kemoterapi, tetapi karena efek sampingnya yang relatif besar, banyak pengobatan alternatif mulai dikembangkan. pengobatan menggunakan bahan herbal menjadi populer untuk menggantikan pengobatan kimiawi tidak hanya karena memiliki efek yang serupa, tetapi juga karena keamanannya. salah satu agen khemopreventif dari bahan alam adalah menggunakan buah mengkudu (morinda citrifolia l.). tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek ekstrak etanolik buah mengkudu dalam menghambat pertumbuhan sel kanker payudara melalui uji sitotoksik dan uji apoptosis. sebanyak 300 gram serbuk mengkudu diekstraksi dengan 2 liter etanol kemudian diujikan terhadap sel kanker payudara mcf-7. uji sitotoksik dilakukan dengan metode mtt untuk mendapatkan nilai ic50. uji induksi apoptosis dilakukan dengan metode double staining menggunakan reagen etidium bromida-akridin oranye. hasil penelitian menunjukkan nilai ic50 adalah sebesar 1117 ¼g/ml dan dari hasil pengamatan uji apoptosis menunjukkan adanya kenaikan apoptosis sel dengan peningkatan dosis pemberian ekstrak etanolik. disimpulkan bahwa ekstrak etanolik buah mengkudu berpotensi sebagai agen kemopreventif melalui mekanisme induksi apoptosis pada sel mcf-7. kata kunci: morinda citrifolia l., mcf-7, uji sitotoksik, induksi apoptosis abstract the incidence of breast cancer is the biggest one that causing a huge number of deadly in indonesia until 4,3 million per years. until this time, the common medication to threat the cancer by chemotherapy still popular, but because of the negative effect, many alternative herbal medicine was developed faster not only because the safety but also the effectivity to treat. one of the natural substance which can be used as chemopreventive agent is fruits morinda citrifolia l. the purpose of the research is to know the effects of noni’s extract as chemopreventive agent for breast cancer by inhibitory cell proliferation and the ability for apoptotic induction. three hundred grams noni’s flour extracted with 2 liters 70% ethanol then tested to mcf-7 breast cancer cell lines. cytotoxic test was done by mtt assay method to get ic50 value. apoptotic assay was analyzed by double staining method used ethidium bromide-acrydine orange reagent. the result showed that ic50 value of noni’s extract was 1117 mg/ml and the result of apoptotic assay showed that in higher concentration of ethanolic extract could increased apoptotic induction. the conclusion of the research is noni’s etanolic extract having potency as chemopreventive agent by increased apoptotic induction of mcf-7 cell lines. keywords: morinda citrifolia l, mcf-7, cytotoxicity assay, apoptotic induced artikel penelitian 156 rifki febriansah, dkk., kajian secara in vitro ekstrak etanolik ... pendahuluan kanker merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan sel-sel jaringan tubuh yang tidak normal dan tidak terkontrol.1 kanker payudara adalah kanker yang terjadi pada jaringan payudara dan umumnya diderita oleh wanita. kanker payudara merupakan kanker terbanyak kedua setelah kanker leher rahim di indonesia.2 diperkirakan, kematian akibat kanker di dunia mencapai 4,3 juta per tahun dan 2,3 juta di antaranya ditemukan di negara berkembang.3 kanker payudara merupakan penyebab utama kematian pada wanita pada berbagai belahan dunia, disebabkan oleh metastasis dari kanker tersebut.4 oleh karena itu, perlu dilakukan pencegahan terhadap penyakit kanker sedini mungkin mengingat resiko yang ditimbulkannya cukup besar. pencegahan kanker dapat dilakukan dengan cara menghindari faktor pencetus kanker dan memperbaiki pola makan yang lebih sehat. khemoterapi merupakan salah satu terapi yang digunakan untuk mengobati kanker selain dengan metode pembedahan, radioterapi, dan pengobatan dengan hormone.5 tetapi kebanyakan orang lebih memilih untuk tidak memeriksakan ataupun mengobati kanker tersebut menggunakan terapi medis seperti obat-obatan dan penyinaran dengan berbagai alasan, seperti takut akan adanya efek samping obat, biaya terapi yang cukup mahal serta takut akan ketergantungan terhadap obat-obat tersebut karena harganya yang relatif mahal. oleh karena itu, pengobatan alternatif yang lebih minim efek samping dan lebih murah terus dikembangkan, salah satunya adalah dengan pengembangan tanaman obat yang berkhasiat sebagai agen khemopreventif. salah satu bahan alam yang dipercaya memiliki khasiat sebagai agen khemopreventif adalah buah mengkudu (morinda citrifolia l.). kandungan buah mengkudu di antaranya adalah golongan senyawa antrakuinon seperti damnachantal, alizarin dan proxeronine yang diduga sebagai senyawa yang bertanggung jawab atas aktivitasnya sebagai agen khemopreventif.6 pada penelitian ini akan dilakukan uji sitotoksik dan pengamatan pemacuan apoptosis dari ekstrak etanolik buah mengkudu terhadap sel kanker payudara mcf-7. uji dilakukan secara in vitro melalui uji sitotoksik dengan metode mtt dan uji apoptosis dengan metode double staining untuk mengetahui potensi antikanker dari ekstrak tersebut. penelitian ini diharapkan mampu membuktikan ekstrak etanolik buah mengkudu sebagai agen khemopreventif kanker payudara yang potensial yang berasal dari bahan alam. tujuan penelitian adalah untuk mengetahui efek ekstrak etanolik buah mengkudu dalam menghambat pertumbuhan sel kanker payudara melalui uji sitotoksik dan uji apoptosis. bahan dan cara penelitian dilakukan di laboratorium fitomedicine program studi farmasi fkik umy dan laboratorium parasitologi fk ugm pada bulan februari mei 2012. metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian eksperimental laboratorium, yang meliputi metode ekstraksi dan in vitro. alat penelitian yang digunakan di antaranya adalah seperangkat alat ekstraksi, alat gelas, lampu uv, laminar air flow (laf), mikropipet, cawan petri, timbangan, oven, inkubator, mikroskop, well plate, 157 mutiara medika vol. 12 no. 3: 155-162, september 2012 cover slip dan sebagainya. bahan penelitian yang digunakan di antaranya adalah buah mengkudu, etanol 70%, media kultur dmem, tripsin-edta, reagen mtt, etidium bromida, akridin oranye, dan sebagainya. ekstraksi buah mengkudu (morinda citrifolia l.) dilakukan dengan cara buah mengkudu yang sudah berwarna kuning dipanen di daerah kotagede, yogyakarta. sebanyak 5 kg buah mengkudu yang sudah dipanen dan dipilih berdasarkan keseragaman kekerasan dan warna dicuci bersih dengan air mengalir sebanyak tiga kali untuk memastikan bahwa buah mengkudu sudah benar-benar bersih dari kotoran yang menempel, kemudian buah mengkudu dipotong tipis-tipis dan dikeringkan pada oven dengan suhu 60oc sampai benar-benar kering. simplisia yang sudah kering kemudian diserbuk dengan menggunakan blender. penyerbukan dilakukan untuk memperkecil ukuran dan mempermudah penarikan zat aktif dari simplisia. serbuk halus yang didapat sebanyak 300 gram. setelah didapatkan serbuk halus kemudian dilakukan ekstraksi dengan metode maserasi. pada proses maserasi, pelarut yang digunakan adalah etanol teknis 70%. sebanyak 300 gram serbuk mengkudu dibagi ke dalam 2 bejana. masing-masing bejana berisi 150 gram serbuk yang dimaserasi dengan 700 ml etanol. kemudian bejana ditutup dengan kain hitam agar terhindar dari kontak langsung dengan sinar matahari. maserasi dilakukan selama 5 hari. selama proses maserasi bejana digojog setiap hari. setelah 5 hari kemudian dilakukan penyaringan. sisa penyaringan di remaserasi selama 2 hari tanpa penggojogan. maserat hasil penyaringan yang pertama disimpan dalam erlenmeyer dan ditutup dengan kain hitam. setelah 2 hari, dilakukan penyaringan hasil remaserasi. hasil dari seluruh penyaringan kemudian dievaporasi agar didapatkan ekstrak kental. dari hasil evaporasi didapatkan ekstrak kental sebanyak 85 gram. uji sitotoksik ekstrak etanolik buah mengkudu pada sel mcf-7. uji sitotoksik dilakukan menurut metode yang dilakukan oleh meiyanto et al., 2009.7 dalam uji sitotoksik hal pertama yang dilakukan adalah persiapan media. larutan dmem dibuat dengan melarutkan dmem dalam aquadest, lalu ditambah 2,0 gram nahco3 dan 2,0 gram hepes. larutan selanjutnya di-stirer sampai homogen kemudian di-buffer dengan hcl encer 1n hingga ph 7,2-7,4 diukur dengan ph meter. selanjutnya larutan disaring dengan filter polietilen sulfon steril 0,2µm secara aseptis. media kultur dibuat dengan cara mencampurkan larutan dmem steril dengan fbs 10%, dan penisilin-streptomisin 1% secara aseptis di dalam laf. setelah media kultur disiapkan, kemudian disiapkan sel kanker yang akan digunakan untuk uji sitotoksik. sel diambil dari inkubator co2 kemudian diamati terlebih dahulu, untuk dapat memanen sel harus dipastikan terlebih dahulu bahwa sel telah 80% konfluen. media tempat tumbuh sel kemudian dibuang dan sel dicuci dengan pbs sebanyak 2 kali. selanjutnya ditambahkan tripsin-edta 1x dan diinkubasi di dalam inkubator selama 3 menit. setelah itu ditambahkan media ± 5 ml dan diresuspensi untuk kemudian dimasukkan ke dalam conical steril. kemudian dilakukan preparasi sampel. preparasi sampel diawali dengan penimbangan sampel kurang lebih 5 mg dalam ependorf dan ditambahkan 50 µl dmso dan dilarutkan dengan vortex. kemudian dibuat seri kadar sampel dengan 158 rifki febriansah, dkk., kajian secara in vitro ekstrak etanolik ... pengenceran stok dalam dmso manggunakan media kultur. setelah itu dilakukan perhitungan sel. sel diambil dari inkubator co2 kemudian media tempat tumbuh dibuang dan sel dicuci dengan pbs sebanyak 2 kali. selanjutnya ditambahkan tripsin-edta 1x dan diinkubasi dalam inkubator selama 3 menit. setelah itu ditambahkan 2-3 ml media dan diresuspensi kemudian dimasukkan ke dalam conical steril dan diresuspensi kembali dengan menambahkan 2-3 ml media kultur. selanjutnya diambil 10 µl sel yang sudah dipanen dan dimasukkan ke dalam hemositometer kemudian sel dihitung di bawah mikroskop. untuk sel yang akan diberi perlakuan dilakukan transfer sejumlah sel yang diperlukan ke dalam conical yang lain dan ditambahkan media kultur sesuai dengan konsentrasi yang diinginkan. uji sitotoksik dilakukan dengan mengambil sel dari inkubator co2 kemudian sel dipindahkan ke dalam sumuran masing-masing 100 µl dan disisakan 3 sumuran kosong. selanjutnya sel diinkubasi kedalam inkubator kemudian dibuat seri konsentrasi sampel untuk perlakuan. setelah terbentuk seri konsentrasi sampel kemudian sel diambil dari inkubator dan media sel dibuang. selanjutnya dimasukkan 100 µl pbs ke dalam semua sumuran yang terisi sel kemudian dibuang dengan membalikkan plate dan sisa cairan ditiriskan dengan tissue. selanjutnya seri konsentrasi dimasukkan ke dalam sumuran kemudian diinkubasi selama 24 jam. setelah diinkubasi sel dikeluarkan dari inkubator dan media sel di buang dan di cuci dengan pbs 1x kemudian ditambahkan reagen mtt 100 µl ke dalam tiap sumuran termasuk kontrol media dan diinkubasi selama 2-4 jam sampai terbentuk formazan. setelah terbentuk formazan ditambahkan stopper 100 µl sds 10% dalam 0,1 n hcl. selanjutnya plate dibungkus alumunium foil dan diinkubasi di tempat yang gelap pada suhu kamar selama satu malam. hasil kemudian dibaca dengan elisa reader dengan panjang gelombang 595 nm untuk mendapatkan data absorbansinya. selanjutnya data absorbansi yang telah didapatkan diolah dengan software excel untuk mendapatkan regresi linear yang kemudian digunakan untuk menghitung persentase sel hidup dan analisis harga ic50. uji apoptosis ekstrak etanolik buah mengkudu pada sel mcf-7. uji sitotoksik dilakukan menurut metode yang dilakukan oleh da’i et al., 2007.8 pengamatan apoptosis dilakukan dengan menggunakan metode double staining. sel diambil dari inkubator co2 kemudian dilakukan panen sel dan perhitungan sel. selanjutnya membuat pengenceran suspensi sel sehingga didapatkan konsentrasi sel akhir 5x104 sel/1000 ¼l mk kemudian disiapkan 24 well plate dan cover slip. selanjutnya 1000 ¼l suspensi sel dipindahkan ke atas cover slip yang telah dimasukkan ke dalam sumuran untuk kemudian diinkubasi dalam inkubator selama semalam. selanjutnya dibuat satu konsentrasi sampel yaitu pada ic50 untuk perlakuan dan satu kontrol sel, masing-masing sebanyak 1000 ¼l. kemudian sel yang telah diinkubasi diambil dan buang semua mk secara hati-hati dan dicuci dengan pbs masing-masing 500 µl dan kemudian pbs dibuang perlahan. selanjutnya sampel dengan konsentrasi tertentu dimasukkan sebanyak 1000 µl ke dalam sumuran. untuk kontrol sel digunakan media dan untuk kontrol pelarut digunakan pelarut dmso kemudian plate diinkubasi dalam inkubator selama 10 jam. setelah inkubasi selesai plate dikeluarkan dari inkubator dan semua media dikeluarkan dari 159 mutiara medika vol. 12 no. 3: 155-162, september 2012 sumuran secara perlahan. selanjutnya sel dicuci dalam sumuran dengan pbs masing-masing 500 µl kemudian pbs dibuang dengan hati-hati. setelah pbs dibuang cover slip diambil menggunakan pinset dengan bantuan ujung jarum dengan hatihati. selanjutnya di atas object glass diletakkan cover slip dan diberi label. selanjutnya sel ditetesi dengan reagen campuran etidium bromida-akridin oranye di atas cover slip dan digoyang perlahan untuk meratakan. selanjutnya hasil diamati di bawah mikroskop flouresen. hasil dalam uji aktivitas antikanker ini digunakan ekstrak etanolik buah mengkudu di mana yang diduga memiliki aktivitas antikanker adalah senyawa antrakuinon yang ada di dalamnya yakni senyawa damnachantal, alizarin dan proxeronine.6 ekstraksi dilakukan menggunakan penyari etanol 70% karena senyawa-senyawa tersebut bersifat relatif polar, sehingga diharapkan senyawa tersebut akan tersari pada ekstrak yang diperoleh. hasil uji pendahuluan analisis kandungan senyawa kimia pada ekstrak menggunakan metode kromatografi lapis tipis (klt) diketahui bahwa ekstrak mengandung senyawa antrakinon ditunjukkan dari adanya bercak khas yang menunjukkan adanya senyawa tersebut. selanjutnya untuk menguji aktivitas ekstrak etanolik buah mengkudu sebagai agen kemopreventif kanker payudara yang potensial dilakukan dua uji yaitu uji sitotoksik menggunakan metode mtt dan uji induksi apoptosis menggunakan metode double staining dengan pengecatan etidium bromide-akridin oranye.7 hasil perhitungan uji sitotoksik, diketahui bahwa ekstrak etanolik buah mengkudu memiliki potensi cukup rendah dalam menghambat pertumbuhan sel kanker payudara mcf-7 ditunjukkan dari harga ic50 sebesar 1,17 mg/ml (tabel 1). menurut penelitian ueda et al. (2002) disebutkan bahwa suatu ekstrak dinyatakan aktif dan memiliki potensi besar untuk dijadikan agen antikanker apabila nilai ic50-nya kurang dari 100 ¼ g/ml.9 nilai tersebut menunjukkan bahwa dengan konsentrasi yang diujikan masih belum mampu menghambat 50% pertumbuhan dari sel kanker mcf-7 (gambar 1). tetapi bukan berarti dengan nilai ic50 yang sangat kecil, ekstrak tersebut segambar 1. grafik hasil uji sitotoksik ekstrak buah morinda citrifolia l. pada sel mcf-7 160 rifki febriansah, dkk., kajian secara in vitro ekstrak etanolik ... makin berpotensi. hal tersebut disebabkan kekhawatiran dari sifat toksisitas yang berlebihan akan menyebabkan kematian pada sel jaringan yang lain sehingga ekstrak tersebut bukan hanya menghambat pertumbuhan sel kanker tetapi juga menghambat pertumbuhan sel normal. pengamatan kematian sel dapat dilihat dari hasil uji induksi apoptosis. apoptosis merupakan kematian sel yang terprogram yang tidak menyebabkan terjadinya inflamasi dan luka pada jaringan. uji induksi apoptosis ekstrak etanolik buah mengkudu terhadap sel mcf-7 dilakukan dengan penambahan etidium bromida dan akridin oranye (double staining). ekstrak etanolik buah mengkudu diberikan dalam dua variasi dosis yakni dosis 500 ¼g/ml dan dosis 1000 ¼g/ml. dosis yang diujikan lebih besar dari dosis uji sitotoksik sehingga diharapkan mempunyai efek apoptosis yang lebih tinggi. sel yang hidup akan berfluorosensi hijau dengan penambahan etidium bromida, hal ini disebabkan karena enzim di dalam mitokondria tidak mengalami kerusakan, sel yang tidak rusak akan dapat bereaksi dengan reagen etidium bromida yang berwarna hijau, sedangkan sel yang rusak akan dapat menyerap reagen akridin oranye sehingga sel yang mati akan berfluorosensi oranye dengan pengamatan dibawah mikroskop fluorosence. hasil pengamatan dapat dinyatakan bahwa ekstrak etanolik buah mengkudu dapat menginduksi apoptosis sel mcf-7 dan aktivitasnya meningkat dengan semakin tingginya pemberian dosis ekstrak (dose dependent) (gambar 2). diskusi buah mengkudu merupakan salah satu obat tradisional yang sudah cukup dikenal masyarakat. beberapa khasiat dari penggunaan buah mengkudu di antaranya sebagai anti diabetes, menurunkan tekanan darah, kanker, artritis, aterosklerosis, mengurangi rasa nyeri dan sebagainya. penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa buah mengkudu mempunyai aktivitas antitumor yang cukup potensial pada hewan uji dengan menghambat pertumbuhan tumor dengan potensi perbaikan yang cukup tinggi.6 pada penelitian sebelumnya disebutkan bahwa jus buah mengkudu tidak bersifat sitotoksik pada beberapa sel kultur (sel kanker paru-paru lewis, sel sarkoma 180, normal sel nih/3t3), tetapi secara tidak langsung dapat mematikan sel kanker melalui aktivasi sistem imun seluler dengan menstimulasi aktivitas makrofag, sel natural killer (nk kontrol sel dosis 500 g/ml dosis 1000 g/ml gambar 3. hasil uji apoptosis ekstrak buah morinda citrifolia l. pada sel mcf-7 (tanda menunjukkan sel hidup, tanda menunjukkan sel apoptosis) 161 mutiara medika vol. 12 no. 3: 155-162, september 2012 cells), dan sel t. oleh karena itu, jus buah mengkudu merupakan salah satu imunostimulator yang kuat sebagai antitumor tanpa efek toksik yang membahayakan pasien.6 kandungan senyawa antrakuinon, skopoletin, flavonoid dan alkaloid yang terdapat dalam buah mengkudu yang bersifat relatif polar diharapkan dapat tersari dengan menggunakan penyari etanol 70%, sehingga diharapkan mempunyai efek sitotoksik yang lebih kuat dibandingkan dengan jus buah mengkudu.10 hal ini dikarenakan penyari etanol 70% bersifat semi polar dan sesuai dengan polaritas senyawa flavonoid yang terkandung di dalam buah mengkudu, sehingga diharapkan kandungan senyawa flavonoid dalam ekstrak tersebut akan semakin besar. kemungkinan mekanisme ekstrak etanolik buah mengkudu terutama dari kandungan senyawa flavonoid di dalamnya adalah dengan menghambat sintesis dna dan protein serta mampu menghambat sintesis rna sehingga menyebabkan replikasi pada sel kanker payudara mcf-7 menjadi terganggu. terganggunya proliferasi sel akan menghambat biosintesis membran sel sehingga mengakibatkan gangguan fungsi sel. selanjutnya sel akan mengalami lisis dan kemudian mati.6 hasil kedua uji tersebut dapat dilihat bahwa ekstrak etanolik buah mengkudu memiliki potensi sebagai agen khemopreventif melalui mekanisme induksi apotosis, karena dari hasil apoptosis terlihat kematian sel yang cukup tinggi seiring dengan kenaikan dosis uji yangdigunakan. senyawa yang diduga berpotensi adalah golongan senyawa antrakuinon antara lain damnachantal, alizarin dan proxeronine yang pada penelitian sebelumnya telah terbukti memiliki khasiat sebagai antioksidan dan antibakteri.6 hal ini memberikan harapan yang besar terhadap pemanfaatan tanaman khususnya buah mengkudu sebagai agen khemopreventif pada kanker payudara, sehingga dari hasil tersebut dapat disimpulkan buah mengkudu akan dapat dijadikan salah satu alternatif terapi untuk mencegah, menghambat, mengobati dan merehabilitasi pertumbuhan sel kanker payudara. simpulan ekstrak etanolik buah mengkudu morinda citrifolia l. mempunyai aktivitas sitotoksik yang lemah pada sel kanker payudara mcf-7 dengan nilai ic50 sebesar 1117 ¼ g/ml. pada hasil uji apoptosis diketahui bahwa pada pemberian ekstrak dosis 500 dan 1000 ¼ g/ml mampu meningkatkan induksi apoptosis pada sel kanker payudara mcf-7. daftar pustaka 1. hanahan d. dan weinberg, ra. hallmarks of cancer: the next generation. cell. 2011; 144 (5): 646-674. 2. tjindarbumi, d. and mangunkusumo, r. cancer in indonesia, present and future. jpn. j. clin. oncol. 1995; 32 (supplement 1): 517-521. 3. parkin dm, bray f., ferlay j., pisani p. global cancer statistic, 2002. ca cancer j. clin. 2005; 55 (2):74-108. 4. walker, r.a., jones, j.l., chappel, s., walsh, t. and shaw, j.a. molecular pathology of breast cancer and its aplication to clinical management. cancer and metastatis rev. 1997; 16 (1-2): 5-27. 5. dalimartha, s. atlas tumbuhan obat indonesia. volume 3. jakarta : niaga swadaya. 1999. 6. furusawa, e. anticancer activity of noni fruit 162 rifki febriansah, dkk., kajian secara in vitro ekstrak etanolik ... juice againts tumors in mice. proceedings of the 2002 hawaii noni conference. usa: university of hawaii at manoa. 2002. 7. meiyanto, e., handayani s., setisetyani, e.p., susidarti, r.a. synergistic effect of areca catechu l. ethanolic extract and its chloroform fraction with doxorubicin on mcf-7. jurnal ilmu kefarmasian indonesia. 2009; 7 (1): 1318. 8. dai m., supardjan am., meiyanto e., jenie ua., and masashi k. potensi proliferatif analog kurkumin: pentagamavunon terhadap sel kanker payudara t47d, artocarpus, 2007; 7 (1):1420. 9 ueda, j.y., tezuka, y., banskota., a.h., tran, q.l., tran, q.k., harimaya, y., et al. antiproliferative activity of vietnamese medicinal plants, biol. pharm. bull. 2002; 25 (6): 753760. 10 febriansah, r., aditya asyhar, rosana anna a., ratna asmah s., muthi’ ikawati, dan edy meiyanto. ekstrak etanolik rumput mutiara (hedyotis corymbosa) berefek antiproliferasi terhadap sel hepar tikus galur sprague dawley terinduksi 7, 12 dimetil benz(a)antra zena melalui penghambatan ekspresi protein c-myc, proceeding kongres ilmiah xvi ikatan sarjana farmasi indonesia. 2008. pp. 88–93. 7 mutiara medika vol. 9 no. 2:07-12, juli 2009 hubungan antara prevalensi stroke akut pada wanita perokok pasif dari anggota keluarga dan lingkungan association between prevalence of acute stroke among passive smoker women exposed by family member and environment tri wahyuliati bagian ilmu saraf, fakultas kedokteran, universitas muhammadiyah yogyakarta abstract the potentially harmful health effects of environment tobacco smoke have received considerable attention in recent years. unfortunately, education about the health consequences is still limited in indonesia. the purpose of reseach as to determine the association between smoking by family member and environment with the prevalence of acute stroke among nonsmoker women in stroke unit of sardjito general hospital yogyakarta the study included 62 cases of passive smoker women with acute stroke matched to 62 free controls in sex and group of age to determine odds ratio. compare with other sources of environment tobacco smoke, exposed by husbands have the most potentially risk to increase the incident of acute stroke among passive smoker women. the adjusted odds ratio for acute stroke among women passive smokers by husbands was 5,814 (95% ci, 2,645-12,776) ; by children was 3,526 (95% ci, 1,284-9,681); by brothers was 1,000 (95% ci, 0,061-16,353 ); by other persons out of house member and co-worker was 1,000 (95% ci, 0,274-3,643 ). the study showed a strongest positive association between passive smoking and acute stroke in women exposed to environment tobacco smoke by husband compare with the other source of pollutans. key words : matched case control, passive smoking, stroke abstrak dampak buruk terhadap kesehatan akibat polusi asap rokok banyak mendapat perhatian pada beberapa tahun terakhir. sayangnya, di indonesia pengetahuan tentang dampak buruk ini masih sangat terbatas. penelitian ini dilakukan untuk menentukan hubungan antara pajanan asap rokok oleh anggota keluarga dan lingkungan dengan stroke akut pada wanita bukan perokok di unit stroke rs. sardjito – yogyakarta. penelitian ini melibatkan 62 kasus stroke akut pada wanita yang terpajan asap rokok dan 62 kontrol, yang dilakukan pencocokan dalam hal jenis kelamin dan kelompok umur, untuk menentukan odds ratio. hasil penelitian menunjukkan bahwa dibandingkan dengan wanita bukan perokok dan bukan perokok pasif, odds ratio untuk menderita stroke akut pada wanita perokok pasif yang terpajan oleh suami adalah sebesar 5,814 (95% ci, 2,645-12,776) ; oleh anak atau menantu sebesar 3,526 (95% ci, 1,284-9,681); oleh saudara dan anggota keluarga selain anak 1,000 (95% ci, 0,06116,353 ), oleh orang lain diluar rumah atau teman kerja 1,000 (95% ci, 0,274-3,643 ). penelitian ini menunjukkan adanya suatu hubungan positif yang paling kuat antara wanita perokok pasif dari suami dengan angka kejadian stroke akut, dibandingkan dari sumber polusi asap rokok yang lain. tri wahyuliati, hubungan antara prevalensi stroke akut .............................. 8 pendahuluan merokok aktif merupakan faktor risiko utama untuk penyakit jantung koroner dan stroke, baik stroke perdarahan maupun stroke iskemik. 1–5 lebih jauh ditemukan adanya data yang menunjukkan bahwa pajanan asap rokok terhadap lingkungan si perokok aktif yang dihirup secara tidak sengaja oleh orang disekitarnya sebagai perokok pasif, juga memberikan dampak buruk pada sistem kardiovaskular.6– 1 2 beberapa penelitian epidemiologi telah meng-hubungkan pajanan asap rokok dilingkungan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular tersebut.13 sejauh ini masih sedikit penelitian yang menghubungkan merokok pasif dengan stroke. 14–16 saat ini indonesia merupakan negara keempat di dunia dengan jumlah perokok terbanyak setelah amerika serikat, cina, dan jepang. hasil survei tahun 2000 menunjukkan, terdapat sekitar 60 – 70 % perokok aktif pada laki laki indonesia diatas 15 tahun.. upaya penanggulangan masalah rokok dengan cara penyebaran informasi tentang bahaya merokok terhadap si perokok maupun lingkungannya merupakan salah satu kunci utama. guna mempelancar penyebaran informasi tersebut, departemen pendidikan nasional antara lain telah meluncurkan website bebas rokok. sejauh ini hasilnya masih belum memuaskan terlihat dari tetap adanya peningkatan kebiasaan merokok dari tahun ke tahun termasuk dikalangan remaja dan anak – anak 17-19. bahan dan cara penelitian dilakukan pada wanita usia 35 – 74 tahun yang dikelompokkan per 10 tahun periode umur dengan stroke akut dan perokok pasif yang dirawat di unit stroke rsup dr. sardjito yogyakarta. penelitian dilakukan selama satu tahun sejak 1 maret 2008 sampai 1 maret 2009. diagnosa ditegakkan secara klinis dan pemeriksaan fisik menurut kriteria who 1977. stroke adalah gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak berupa tanda klinis baik fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali akibat pembedahan atau kematian), tanpa tandatanda penyebab non vaskuler, termasuk didalamnya tanda-tanda perdarahan subarachnoid, perdarahan intraserebral, infark serebri. gangguan peredaran darah otak sepintas, tumor otak, stroke sekunder, trauma serta infeksi tidak termasuk dalam kriteria ini. kelompok kasus akan dieksklusi jika terdapat afasia, penurunan kesadaran atau menolak mengikuti penelitian. kelompok kontrol diambil dari penderita bukan stroke, tanpa gangguan yang mengakibatkan patologi serebrovaskuler (misalnya : low back pain, cervical pain, epilepsi, cephalgia, vertigo, myasthenia gravis, guaillain barre syndrome, dll) yang dirawat di bangsal saraf rsup. dr. sardjito yogyakarta baik melalui instalasi rawat darurat maupun poliklinik pada periode yang sama dan dilakukan pencocokan (matching) dengan kelompok kasus dalam hal jenis kelamin dan umur yang dikelompokkan per 10 tahun periode usia. satu kontrol diseleksi untuk setiap satu kasus. kriteria eksklusi kelompok kontrol sama dengan kelompok kasus. daftar pertanyaan tentang riwayat merokok adalah sama, baik untuk kelompok kasus maupun kontrol. wawancara dilakukan secara langsung oleh residen saraf yang telah mendapat pelatihan sebelumnya. merokok aktif yang dilakukan oleh suami atau pasangan hidup adalah aktivitas merokok secara rutin minimal 1 batang per hari selama minimal 1 tahun terakhir. mantan perokok adalah seorang yang sebelumnya merupakan perokok namun telah berhenti merokok. lama berhenti merokok minimal 3 tahun sebelum wawancara dilakukan akan dimasukkan sebagai perokok aktif, jika sudah berhenti selama lebih dari 3 tahun digolongkan sebagai bukan perokok aktif. subjek dimasukkan dalam kriteria merokok pasif jika tidak pernah merokok atau pernah merokok namun telah berhenti selama minimal 3 tahun, dan terpajan asap rokok dari perokok aktif yaitu anggota keluarga yang tinggal serumah selama minimal 1 tahun dalam 10 tahun terakhir atau oleh teman kerja/organisasi satu ruangan. 9 mutiara medika vol. 9 no. 2:07-12, juli 2009 hiperkolesterolemia diperiksa saat masuk rumah sakit, jika kadar kolesterol dalam darah > 200. hipertensi diukur pada saat masuk rumah sakit, jika tekanan sistolik > 140 mm hg dan atau tekanan diastolic > 90 mm hg. riwayat hipertensi jika subjek pernah didiagnosa atau mendapat terapi hipertensi. diabetes diukur pada saat masuk rumah sakit dengan kadar gula darah acak > 200/100 ml. riwayat diabetes jika subjek pernah didiagnosa atau mendapat terapi diabetes. sakit jantung diperiksa pada saat masuk rumah sakit, jika hasil rekama eeg menunjukkan adanya salah satu atau lebih gambaran st depression, t inverted, sinus tachycardi, atrial fibrilasi, myocard infarc, iskemik myocard atau lvh. riwayat sakit jantung jika penderita pernah didiagnosa atau mendapat terapi jantung. riwayat stroke jika penderita pernah didiagnosa stroke atau dari gejala sisa. penelitian ini menganalisis 62 kasus yang dicocokkan dengan 62 kontrol dalam hal kelompok umur dan jenis kelamin. odds ratio (or) dan 95% confidence intervals (95% ci) untuk stroke dihubungkan dengan merokok pasif dari pajanan asap rokok oleh suami atau teman hidup, anak kandung atau angkat maupun menantu, anggota keluarga lain yang tinggal serumah, serta dari orang diluar rumah termasuk teman kerja satu ruangan. variabel bebas dihubungakan dengan stroke antara lain untuk hipertensi, riwayat hipertensi, diabetes, riwayat diabetes, sakit jantung, riwayat sakit jantung dan hiperkolesterolemia. analisis dilakukan dengan rumus x 2-mantel-haenszel. ketepatan odds rasio diperhitungkan dengan tingkat kemaknaan 95% dengan a 5 % dan kekuatan penelitian sebesar 80 % dengan b 20 %. odds rasio dianggap signifikan jika 95% ci tidak melewati angka 1. hasil selama periode waktu satu tahun didapatkan 62 kasus dan 62 kontrol yang memenuhi sarat. karakteristik dasar subjek terlihat dalam tabel 1 dibawah ini. selanjutnya dilakukan perhitungan odds rasio masing – masing variabel untuk menentukan hubungan dengan angka kejadian stroke. terlihat bahwa diluar variabel merokok pasif, dari 7 variabel yang dihitung terdapat 3 variabel yang bermakna. ketiga variabel tersebut adalah hiperkolesterolemia, hipertensi dan riwayat hipertensi, sedangkan sakit jantung, riwayat sakit jantung, diabetes dan riwayat diabetes tidak bermakna sebagai faktor risiko stroke pada wanita dengan perokok pasif. hal itu tampak dari angka signifikansi yaitu p 0.05 dan ci 95 % tidak melewati angka 1. data odds rasio secara keseluruhan tampak dalam tabel 2 dibawah ini. variabel merokok pasif dirinci sesuai dengan sumber pajanan asap rokoknya, yaitu terbagi dalam kelompok sebagai berikut : 1. suami / teman hidup, 2. anak / menantu, 3. anggota keluarga lain serumah, 4. orang di luar rumah termasuk teman kerja. dari keempat sumber tersebut terlihat bahwa suami atau teman hidup merupakan sumber yang paling potensial untuk meningkatkan risiko stroke akut pada wanita perokok pasif. selanjutnya diikuti sumber pajanan dari anak / menantu. anggota keluarga lain yang tinggal serumah dan orang diluar rumah termasuk teman kerja bukan merupakan sumber yang potensial untuk meningkatkan risiko stroke akut. diskusi penelitian ini menunjukkan bahwa suami yang perokok aktif secara signifikan berhubungan dengan peningkatan prevalensi stroke akut pada wanita bukan perokok. selanjutnya perlu diperhitungkan lebih terperinci dosis pajanan yang bermakna untuk peningkatan risiko tersebut. perlu diperhitungkan jumlah rokok yang dihisap suami serta lama merokok yang tidak dianalisa pada penelitian ini yang merupakan suatu kelemahan. pajanan asap rokok dari berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan yang positif untuk meningkatkan penyakit kardio dan serebro vaskular. mekanisme tri wahyuliati, hubungan antara prevalensi stroke akut .............................. 10 tabel 1. karakteristik dasar subjek tabel 2. odds rasio masing – masing variabel variabel kasus n=62 kontrol n=62 total n=124 umur : 35 – 44 th 45 – 54 th 55 – 64 th 65 – 74 th 4 17 23 18 4 17 23 18 8 34 46 36 pekerjaan : pelajar / mahasiswa pns/bumn/pegawai swasta wiraswasta/pengusaha pedagang petani tukang/buruh tni/polri pensiunan pns/tni/polri ibu rumah tangga tenaga profesi / dosen 0 11 3 6 13 1 0 4 23 1 0 10 5 5 6 3 0 5 26 2 0 21 8 11 19 4 0 9 49 3 pendidikan : sd sltp slta perguruan tinggi tidak sekolah 24 12 12 5 9 12 18 20 5 7 36 30 32 10 16 hypercholesterolemia : ya tidak 33 29 19 43 52 72 hypertensi : ya tidak 49 13 29 33 78 46 riwayat hypertensi : ya tidak 42 20 25 37 67 57 penyakit jantung : ya tidak 23 39 15 47 38 86 riwayat sakit jantung : ya tidak 11 51 6 56 17 107 diabetes : ya tidak 12 50 8 54 20 104 riwayat diabetes : ya tidak 12 50 6 56 18 106 merokok pasif, paparan dari : 1. suami / teman hidup 2. anak / menantu 3. anggota keluarga lain serumah 4. diluar rumah termasuk teman kerja 62 39 17 1 5 26 14 6 1 5 88 53 23 2 10 variabel : or ci 95 % p hipercholesterolemia 2.575 1.235 5.371 0.011 hipertensi 4.289 1.948 9.443 0.001 riwayat hipertensi 3.108 1.489 6.485 0.002 sakit jantung 1.848 0,850 4.018 0.119 riwayat sakit jantung 2.013 0.649 5.837 0.192 diabetes 1.620 0.612 4.290 0.329 riwayat diabetes 2.240 0.784 – 6.411 0.126 merokok pasif pajanan dari : 1. suami / teman hidup 2. anak / menantu 3. anggota keluarga lain serumah 4. diluar rumah termasuk teman kerja 5.814 3.526 1.000 1.000 2.645-12.776 1.284 -9.681 0.061-16.353 0.274 -3.643 0.001 0.011 1.000 1.000 11 mutiara medika vol. 9 no. 2:07-12, juli 2009 kerjanya, baik bagi perokok aktif maupun pasif pada dasarnya adalah sama, karena material yang dihisap adalah juga sama. meka nisme tersebut meliputi multifaktorial. secara ringkas bisa dikatakan, bahwa zat yang terkandung dalam asap rokok mampu meningkatkan ketebalan tunika intima dan media arteri sehingga terjadi kekakuan atau sklerosis yang merupakan dasar timbulnya penyakit kardio vascular dan serebrovaskular atau stroke. selain itu juga ditemukan hubungan dengan peningkatan kadar c-reactive protein, fibrinogen, homocysteine, dan oxidized low density lipoprotein cholesterol, peningkatan agreagasi platelet dan kemunduran fungsi endotel 6, 7, 10, 11, 12, 20, 21, 22. kesimpulan penelitian ini menunjukkan, bahwa asap rokok yang ditimbulkan oleh suami atau teman hidup merupakan sumber yang paling potensial bagi wanita yang tidak merokok untuk mendapatkan risiko stroke dibandingkan dari sumber yang lain, misalnya anak, menantu, anggota keluarga yang lain, maupun teman kerja. pendidikan dan pengetahuan tentang dampaknya terhadap kesehatan perlu disebarluaskan, khususnya di indonesia dengan angka prevalensi merokok yang tinggi dan meningkat dari tahun ke tahun. daftar pustaka : 1. ockene is, miller nh. cigarette smoking, cardiovascular disease, and stroke: a statement for healthcare professionals from the american heart association. american heart association task force on risk reduction. circulation 1997;96: 3243–7 2. bolego c, poli a, paoletti r. smoking and gender. cardiovasc res 2002;53:568–76 3. bronner ll, kanter ds, manson je. primary prevention of stroke. n engl j med 1995;333:1392–400 4. aldoori mi, rahman sh. smoking and stroke: a causative role. heavy smokers with hypertension benefit most from stopping. bmj 1998;317:962–3 5. humphries se, morgan l. genetic risk factors for stroke and carotid atherosclerosis: insights into pathophysiology from candidate gene approaches. lancet neurol 2004;3:227–35 6. panagiotakos db, pitsavos c, chrysohoou c, et al. effect of exposure to secondhand smoke on markers of inflammation: the attica study. am j med 2004;116:145–50 7. valkonen m, kuusi t. passive smoking induces atherogenic changes in lowdensity lipoprotein. circulation 1998;97:2012–16 8. howard g, wagenknecht le, burke gl, et al. cigarette smoking and progression of atherosclerosis: the atherosclerosis risk in communities (aric) study. jama 1998;279:119–24 9. mack wj, islam t, lee z, et al. environmental tobacco smoke and carotid arterial stiffness. prev med 2003;37:148–54 10. otsuka r, watanabe h, hirata k, et al. acute effects of passive smoking on the coronary circulation in healthy young adults. jama 2001;286:436–41 11. celermajer ds, adams mr, clarkson p, et al. passive smoking and impaired endothelium-dependent arterial dilatation in healthy young adults. n engl j med 1996;334:150–4 12. woo ks, chook p, leong hc, et al. the impact of heavy passive smoking on arterial endothelial function in modernized chinese. j am coll cardiol 2000;36:1228–32 13. he j, vupputuri s, allen k, et al. passive smoking and the risk of coronary heart disease—a metaanalysis of epidemiologic studies. n engl j med 1999;340:920–6 14. you rx, thrift ag, mcneil jj, et al. ischemic stroke risk and passive exposure to spouses’ cigarette smoking. melbourne stroke risk factor study (merfs) group. am j public health 1999;89:572–5 tri wahyuliati, hubungan antara prevalensi stroke akut .............................. 12 15. donnan ga, mcneil jj, adena ma, et al. smoking as a risk factor for cerebral ischaemia. lancet 1989;2:643–7 16. bonita r, duncan j, truelsen t, et al. passive smoking as well as active smoking increases the risk of acute stroke. tob control 1999;8:156–60 17. anonim ngerokok ngapain juga!!! koalisi untuk indonesia sehat 28 februari 2003 18. anonim – pusat statistik pendidikan balitbang – departemen pendidikan nasional 2001. 19. atika walujani m perlu program penanggulangan penyakit kardiovaskular – kompas 2002 20. bazzano la, he j, muntner p, et al. relationship between cigarette smoking and novel risk factors for cardiovascular disease in the united states. ann intern med 2003;138: 891–7 21. benjamin ej, larson mg, keyes mj, et al. clinical correlates and heritability of flow-mediated dilation in the community: the framingham heart study. circulation 2004;109:613–19 22. targonski pv, bonetti po, pumper gm, et al. coronary endothelial dysfunction is associated with an increased risk of cerebrovascular events. circulation 2003;107:2805–9 mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 22 no 2 page 81-88, july 2022 independent tendency of ace2 and grp78 expression in sars-cov2 infection arya adiningrat1*, sekar hasna khairunnisa2 1 department of oral biology and biomedical sciences, school of dentistry, faculty of medicine and health sciences, universitas muhammadiyah yogyakarta, jl. brawijaya, tamantirta, kasihan, bantul, yogyakarta, indonesia 2 clinical program, school of dentistry, faculty medicine and health sciences, universitas muhammadiyah yogyakarta, jl. brawijaya, tamantirta, kasihan, bantul, yogyakarta, indonesia date of article: received: 18 may 2022 reviewed: 30 may 2022 revised: 05 june 2022 accepted: 20 june 2022 *correspondence: adiningrat@umy.ac.id doi: 10.18196/mmjkk.v22i2.14731 type of article: research abstract: severe acute respiratory syndrome-coronavirus 2 (sars-cov2) is a virus that attacks the respiratory tract and causes the covid-19 pandemic. this virus utilizes the host receptor as a cellular entry. angiotensin-converting enzyme 2 (ace2) has been assumed to be the essential host receptor for sars-cov2 infection. furthermore, another costimulatory molecule, such as glucose-related protein 78 (grp78), has also been reported. however, there are several inconsistent clinical data that could be observed regarding these molecules' involvement during sars-cov2 infection. this study aims to observe the possible involvement of ace2 and grp78 during the infection phase through gene expression profile analysis. clinical specimens used in this study were taken in positive and negative clinical samples after the standard swab sampling procedure from both oropharyngeal and nasopharyngeal swabs. subsequently, nucleic acid samples were proceeded by conventional reverse-transcriptase polymerase chain reaction (rt-pcr) to analyze the expression of ace2 and grp78. agarose gel electrophoresis was then performed before the densitometric analysis. statistical analysis using mann-whitney test and independent sample t-test was applied to justify the gene profile difference between ace2 and grp78. our study suggested the enhancement tendency while they were not statistically significant in both ace2 and grp78 expression from the positive sars-cov2 samples. keywords: gene expression; ace2; grp78; sars-cov2 introduction coronavirus disease 2019 (covid-19) has been a global issue these days. the disease with pneumonialike characteristics was first reported in wuhan, china, in december 2019. it was declared a pandemic in march 2020.1 originally, it attacks the respiratory tract and causes acute respiratory disease with clinical manifestations such as fever, cough, shortness of breath, and myalgia.2 some other symptoms such as sputum production, headache, hemoptysis, and diarrhea are also reported.3 furthermore, the existence of collective symptoms could be assumed to a person whom sars-cov2.4 infects severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (sars-cov2) as a cause of covid-19 is a human coronavirus (hcov) that belongs to the betacoronaviridae family.4 sars-cov2 is an enveloped virus and composed of several structural proteins, including membrane (m), envelope (e), nucleocapsid (n), and also spike (s).5 considering the viral genetic background, including its identity, sars-cov2 has been reported to have around 79,5% similarity in its nucleotide sequence against to the previous sars-cov which also has 96% similarity to the bat coronavirus.6 despite both nucleotide sequence similarities, sars-cov2 tends to be transmitted easily with less severity.3 infection of sars-cov2 is initiated through the attachment of viral spike (s) protein to the responsible receptor in the host cell.7 sars-cov2 receptor believed to be responsible for the infection is angiotensinconverting enzyme 2 (ace2), which is then similar to the previous sars-cov receptor.5,8 further reports also 82 | vol 22 no 2 july 2022 concerned the involvement of other molecules during sars-cov2 infection since there are some complexities in determining only a single causative related cell surface receptors.9 structural analysis performed on sars-cov2 spike protein shows that this protein could also bind to the cell surface's glucose-related protein (grp78).9 glucose-related protein (grp78) is a chaperone molecule abundantly found in the eucaryote endoplasmic reticulum.10 normally, grp78 is located in the endoplasmic reticulum lumen area. however, when the cell is undergoing stress, this molecule escapes and translocates to the cell membrane. thus, it is easily reached by the virus and initiates the viral infection.11 sars-cov2 can be detected in upper and lower respiratory tracts, including throat, nasal, nasopharyngeal, sputum, and bronchial fluid. practically, a nasopharyngeal swab is a common procedure to obtain sars-cov2 containing specimens in combination with an oropharyngeal swab.12 recently, there has been a screening study reporting about gene expression patterns in both the upper and lower respiratory tract, which shows that ace2 is the most varied expression while grp78 is the highest level of expression in human respiratory epithelial cells.8 therefore, there are other possibilities for the involvement of other molecules in sars-cov2 infection besides the ace2 receptor. this study was performed using sars-cov2 positive and negative nasopharyngeal and oropharyngeal swab specimens collected from rs asri medical center yogyakarta. it was purposed for the gene expression analysis in positive and negative sars-cov2 conditions to observe other functional viral receptors. therefore, both gene expression discrepancies and alterations may suggest the direct involvement of grp78 along with ace2 during the sars-cov2 infection. material and method this research was an observational analytic laboratory study and applied 26 positive samples(n=26) and 16 negative samples (n=16) following the sample size equation: (𝑍1− 1 2 𝛼)2 𝑥 𝑝 𝑥 (1−𝑝) 𝐷2 = (1,96)2 𝑥 0,12 𝑥 (0,88) 0,12 = 41 the healthcare professionals collected the specimens from patients who came to the asri medical center hospital, yogyakarta. it was provided by mmt laboratory with the population, which ranged from november 2020 to january 2022 and had ct value smaller than 25 for each of all three sars-cov2 target genes (n, e, and rdrp) that covered around 12% of the population. all samples were taken according to the consecutive blinded sampling principles. this study was conducted under the ethical approval of the ethics committee of the faculty of medicine and health sciences, universitas muhammadiyah yogyakarta (no. 029/ec-exem-kepk fkik umy/iv/2021). the obtained specimens were further extracted by the laboratory technical support from the molecular medicine and therapy (mmt) laboratory. the rt reaction was performed by adding 6 μl rna into the pcr tube as a total initial mixture. then, rna denaturation was performed using a thermocycler (scilogex, usa) for 5 minutes at 65ºc. subsequently, 2 μl mix a (gdna remove solution) was added, then vortex and spindown for 2-3 seconds prior to gdna removal for 5 minutes at 37ºc. 2 μl 5x master mix ii (bioline, london, uk) was sequentially added to the mixture, then vortex and spindown for 2-3 seconds. the rt reaction was conducted under the conditions of 37ºc for 15 minutes, 50ºc for 5 minutes, and 98ºc for 5 minutes. the pcr amplification was proceeded by mixing 25 μl 2x my taq hs mix (bioline, london, uk), 20 μl nuclease-free water (bioline, london, uk), and 3 μl template cdna previously prepared. 1 μl forward and reverse primer of each gene target was used.13,14 pcr amplification steps were performed following the conditions of 95ºc for 4 minutes, 94ºc for 30 seconds, 42ºc for 30 seconds, and 65ºc for 30 seconds in 35 cycles. followed by 65ºc for 4 minutes and hold at 4ºc for ace2. similar conditions were applied for grp78 with modification in cycling and extension as follows, 95ºc for 30 seconds, 56ºc for 20 seconds, and 72ºc for 30 seconds in 36 cycles followed by 72ºc for 4 minutes and hold at 4ºc. the pcr products were undergone electrophoresis with 1% agarose gel (vivantis, selangor, malaysia), 1x tae running buffer (vivantis, selangor, malaysia), and 1 μl gel red (biotium, california, usa). 2 μl novel juice (genedirex, usa) were added into 10 μl pcr product for loading preparation. 5 μl of ladder marker (vivantis, selangor, malaysia) was subsequently loaded as an indicator marker. electrophoresis analysis was performed for 20-30 minutes using minirun ge (bioer, hangzhou, china). the running result was analyzed | 83 using a uv transilluminator (genedirex, usa) and a 48-megapixel mobile camera galaxy a51 (samsung, seoul, korea) for image detection. the expressions of signals were then quantified under densitometric analysis using imagej version 1.52 (wayne rasband, national institute of health, usa). the data were then analyzed with shapiro-wilk for data normality test and followed by independent sample t-test for the parametric data and mann-whitney test for the nonparametric data using spss version 20.0 (ibm, new york, usa). result the expression profile of ace2 and grp78 in each sample is shown in figure 1 to figure 6. β-actin was considered an internal control. normality statistical data indicated that ace2 data were not normally distributed (p 0.049 for positive & p 0.048 for negative, p<0.05), while grp78 data were normally distributed (p 0.248 for positive & p 0.067 for negative, p>0.05). figure 1. the density of ace2 in positive samples figure 2. the density of ace2 in negative samples figure 1 and figure 2: each graphic bar indicated the individual independent signal density of the ace2 gene in both positive and negative clinical samples, respectively, at 238bp, while the black line within the bars indicated the normalized density signal toward each correspond -actin 0 100000 200000 300000 400000 500000 600000 700000 9 8 5 (+ ) 1 0 3 9 (+ ) 1 0 4 9 (+ ) 1 0 6 6 (+ ) 1 1 1 8 (+ ) 9 9 2 (+ ) 1 0 4 7 (+ ) 1 0 5 0 (+ ) 1 0 9 1 (+ ) 1 1 2 4 (+ ) 1 0 2 1 (+ ) 1 0 4 8 (+ ) 1 0 5 9 (+ ) 1 1 0 5 (+ ) 1 1 8 3 (+ ) 1 1 5 1 (+ ) 1 1 5 2 (+ ) 1 1 6 7 (+ ) 1 1 6 6 (+ ) 1 1 8 2 (+ ) 2 0 7 9 (+ ) 2 0 9 7 (+ ) 2 1 0 3 (+ ) 8 3 8 (+ ) 8 0 1 (+ ) 8 4 7 (+ ) density density (normalized with β-actin) 0 50000 100000 150000 200000 250000 density density (normalized with β-actin) 84 | vol 22 no 2 july 2022 figure 3. the mean density of ace2 figure 3: the graph shows a comparison between the average expression of ace2 in positive and negative conditions of sarscov2. the average expression of ace2 in positive conditions is higher than in negative conditions, with standard error in positive conditions also higher than in negative conditions. statistical analysis showed that ace2 expressions in positive and negative conditions are not significantly different. *p > 0.05 figure 4. the density of grp78 in positive samples 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 (+) (–) 0 500000 1000000 1500000 2000000 2500000 9 8 5 (+ ) 1 0 3 9 (+ ) 1 0 4 9 (+ ) 1 0 6 6 (+ ) 1 1 1 8 (+ ) 9 9 2 (+ ) 1 0 4 7 (+ ) 1 0 5 0 (+ ) 1 0 9 1 (+ ) 1 1 2 4 (+ ) 1 0 2 1 (+ ) 1 0 4 8 (+ ) 1 0 5 9 (+ ) 1 1 0 5 (+ ) 1 1 8 3 (+ ) 1 1 5 1 (+ ) 1 1 5 2 (+ ) 1 1 6 7 (+ ) 1 1 6 6 (+ ) 1 1 8 2 (+ ) 2 0 7 9 (+ ) 2 0 9 7 (+ ) 2 1 0 3 (+ ) 8 3 8 (+ ) 8 0 1 (+ ) 8 4 7 (+ ) density density (normalized with β-actin) n.s * | 85 figure 5. the density of grp78 in negative samples figure 4 and figure 5: the bar graph shows the density of grp78 in both the positive sample (n=26) and the negative sample (n=16) at 278bp. meanwhile, the histogram graph shows the grp78 density of each sample normalized with -actin. figure 6. the mean density of grp78 figure 6: the graph shows a comparison between the average expression of grp78 in positive and negative sars-cov2. the average expression of grp78 in positive conditions is higher than in negative conditions, while standard error in positive conditions is also higher than in negative conditions. statistical analysis showed that the expression of grp78 under positive and negative conditions was not significantly different. *p > 0.05 the signal density showed the gene expression of ace2 and grp78, which could be observed at 238bp and 278bp, respectively. the higher the density is, the higher the expression accordingly will be. statistical analysis of ace2 gene expression had a p-value of 0.489 (p>0.05), indicating no significant difference between both positive and negative samples. similarly, no significant difference could be observed in grp78, which had a p-value of 0.811 (p>0.05). in the positive group, the mean density of ace2 was 6121.77 with a standard of error of 719.572, while the negative group showed 5261.93 with a standard of error of 1049.489. as for grp78, the positive group 0 200000 400000 600000 800000 1000000 1200000 1400000 1600000 1800000 2000000 density density (normalized with β-actin) 0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 (+) (–) n.s * 86 | vol 22 no 2 july 2022 showed 25085.79 with a standard error of 2931.446, while the negative group was 23879.62 with a standard error of 4275.094. discussion this study showed relative gene expression related to ace2 and grp78, which were previously reported as a part of responsible genes in covid-19 infection. since our data showed quite similar expression levels in both samples, it suggested that the sars-cov2 infection had no effects on the expression level of ace2 and grp78. however, the result also suggested an enhancement tendency in the sars-cov2 positive samples, as shown in figure 3 and figure 6. figure 7. jak/stat signaling pathway (modified from lodhi et al. (2021)) jak1: janus kinase 1. tyk2: tyrosine kinase 2. stat1: signal transducers and activators of transcription 1. stat2: signal transducers and activators of transcription 2. isgf3: interferon stimulating gene factor 3. irf9: interferon related factor 9. isre: interferon stimulating regulatory elements. these results align with gutiérrez-chamorro et al. study, which reported that the ace2 expression was not significantly different in both positive and negative sars-cov2.15 however, a study by zhuang et al. stated that ace2 had an enhancement in sars-cov2 patient.16 this disagreement in the ace2 expression profile could be related to the multisignaling pathway in the upstream mechanism of ace2 promoter activity, such as the interferon-stimulated gene (isg) complex. in general, interferon is a host antiviral responsive molecule that can be induced by viral infection. the enhancement of interferon expression, particularly type i, may increase ace2 expression through the janus kinase/signal transducers and activators of transcription (jak/stat) pathway. janus kinase 1 (jak1) and tyk2 will phosphorylate stat1 and stat2, which subsequently form ifnstimulated gene factor 3 (isgf3) complex. this complex may access the interferon stimulating regulatory elements (isre) on the ace2 promoter region, thus controlling ace2 expression. regarding the cell environment signaling, this mechanism may lead to the enhancement of ace2 regulation, as seen in figure 7.17 furthermore, similar to ace2, grp78 also showed a similar tendency of enhancement in the positive samples. in the positive samples, sars-cov2 replicated in the host cell using host translational machinery, subsequently interfering endoplasmic reticulum and inhibiting protein synthesis from producing viral proteins. this condition could lead to endoplasmic reticulum stress (er stress).18 according to carlos et al., er stress activates the unfolded protein response (upr) in the endoplasmic reticulum and enhances the grp78 expression level.19 the enhancement tendency in both genes expression in positive samples could be observed through the biological traits of the data, following the data distributions and central tendency since the value of standard error would be reduced by increasing the number of data.20 the non-significant expression difference from our data was also consistent with the previous result by aguiar et al., demonstrating the most expressed genes in the upper respiratory tract, grp78 and ace2, in | 87 the sars-cov2 positive condition. this condition also happened in the lower respiratory tract. furthermore, chaudry et al. also explained that ace2 expression in the upper respiratory tract was lower than in the lower respiratory tract. ace2 expression is commonly abundant to be found in type ii alveolar cells. meanwhile, grp78 is most abundantly expressed by bronchus, bronchial, and alveolus cells.11 although the oropharynx and nasopharynx are not ideal sites to evaluate precisely the expression of ace2 and grp78 in sars-cov2 infection, the specimen collection for sars-cov2 detection was performed by oropharyngeal and nasopharyngeal swab method. furthermore, this study's limitations include the fewer samples analyzed and the possible variation during preanalytical procedures. however, the analyzed samples were also normalized with human β-actin as a housekeeping gene. conclusion based on the result of this study, it can be concluded that the expression of ace2, as the putative recognized sars-cov2 functional receptor, and the grp78 as a potential co-receptor for sars-cov2 infection, tended to be independent of the sars-cov2 existence. meanwhile, it also needs to consider the cellular and tissue environment signaling condition since there was an enhancement profile. acknowledgement this study had been funded by lembaga riset dan inovasi (lri) (research and innovation institute) universitas muhammadiyah yogyakarta with research grand number no. 550/pen-lp3m/2/2020. the authors also would like to thank molecular medicine and therapy (mmt) laboratory universitas muhammadiyah yogyakarta for facilitating the research procedures. conflict of interest the authors declare that there is no conflict of interest. references 1. ludwig s, zarbock a. coronaviruses and sars-cov-2: a brief overview. anesth analg. 2020;131(1):93–6. https://doi.org/10.1213/ane.0000000000004845 2. li m-y, li l, zhang y, wang x-s. expression of the sars-cov-2 cell receptor gene ace2 in a wide variety of human tissues. infect dis poverty. 2020;9(1):45. https://doi.org/10.1186/s40249-020-00662-x 3. peng x, xu x, li y, cheng l, zhou x, ren b. transmission routes of 2019-ncov and controls in dental practice. int j oral sci. 2020;12(1):9. https://doi.org/10.1038/s41368-020-0075-9 4. wang l, wang y, ye d, liu q. review of the 2019 novel coronavirus (sars-cov-2) based on current evidence. int j antimicrob agents. 2020;55(6):1–8. https://doi.org/10.1016/j.ijantimicag.2020.105948 5. rossi ga, sacco o, mancino e, cristiani l, midulla f. differences and similarities between sars‑cov and sars‑cov‑2 spike receptor‑binding domain recognition and host cell infection with support of cellular serine proteases. infection. 2020;(48):665–9. https://doi.org/10.1007/s15010-020-01486-5 6. lukassen s, chua rl, trefzer t, kahn nc, schneider ma, muley t, et al. sars‐cov‐2 receptor ace2 and tmprss2 are primarily expressed in bronchial transient secretory cells. embo j. 2020;39(10):1–15. https://doi.org/10.15252/embj.20105114 7. hoffmann m, kleine-weber h, schroeder s, krüger n, herrler t, erichsen s, et al. sars-cov-2 cell entry depends on ace2 and tmprss2 and is blocked by a clinically proven protease inhibitor. cell. 2020;181(2):271–80. https://doi.org/10.1016/j.cell.2020.02.052 8. aguiar ja, tremblay bj-m, mansfield mj, woody o, lobb b, banerjee a, et al. gene expression and in situ protein profiling of candidate sars-cov-2 receptors in human airway epithelial cells and lung tissue. eur respir j. 2020;56(3):2001123. https://doi.org/10.1183/13993003.01123-2020 9. aoe t. pathological aspects of covid-19 as a conformational disease and the use of pharmacological chaperones as a potential therapeutic strategy. front pharmacol. 2020;11:1095. https://doi.org/10.3389/fphar.2020.01095 88 | vol 22 no 2 july 2022 10. ibrahim im, abdelmalek dh, elfiky aa. grp78: a cell’s response to stress. life sci. 2019;226:156–63. https://doi.org/10.1016/j.lfs.2019.04.022 11. gelman r, bayatra a, kessler a, schwartz a, ilan y. targeting sars-cov-2 receptors as a means for reducing infectivity and improving antiviral and immune response: an algorithm-based method for overcoming resistance to antiviral agents. emerg microbes infect. 2020;9(1):1397–406. https://doi.org/10.1080/22221751.2020.1776161 12. loeffelholz mj, tang y-w. laboratory diagnosis of emerging human coronavirus infections – the state of the art. emerg microbes infect. 2020;9(1):747–56. https://doi.org/10.1080/22221751.2020.1745095 13. jia hp, look dc, shi l, hickey m, pewe l, netland j, et al. ace2 receptor expression and severe acute respiratory syndrome coronavirus infection depend on differentiation of human airway epithelia. j virol. 2005;79(23):14614–21. https://doi.org/10.1128/jvi.79.23.14614-14621.2005 14. shi-chen ou d, lee s-b, chu c-s, chang l-h, chung b, juan l-j. transcriptional activation of endoplasmic reticulum chaperone grp78 by hcmv ie1-72 protein. cell res. 2011;21(4):642–53. https://doi.org/10.1038/cr.2011.10 15. gutiérrez-chamorro l, riveira-muñoz e, barrios c, palau v, massanella m, garcia-vidal e, et al. sars-cov2 infection suppresses ace2 function and antiviral immune response in the upper respiratory tract of infected patients [internet]. immunology; 2020 nov [cited 2022 jan 11]. available from: http://biorxiv.org/lookup/doi/10.1101/2020.11.18.388850 16. zhuang mw, cheng y, zhang j, jiang x-m, wang l, deng j, et al. increasing host cellular receptor— angiotensin‐converting enzyme 2 expression by coronavirus may facilitate 2019-ncov (or sars-cov-2) infection. j med virol. 2020(92):2693–701. https://doi.org/10.1002/jmv.26139 17. lodhi n, singh r, rajput sp, saquib q. sars-cov-2: understanding the transcriptional regulation of ace2 and tmprss2 and the role of single nucleotide polymorphism (snp) at codon 72 of p53 in the innate immune response against virus infection. int j mol sci. 2021 aug 12;22(16):1–28. https://doi.org/10.3390/ijms22168660 18. ha dp, van krieken r, carlos aj, lee as. the stress-inducible molecular chaperone grp78 as potential therapeutic target for coronavirus infection. j infect. 2020;81(3):452–82. https://doi.org/10.1016/j.jinf.2020.06.017 19. carlos aj, ha dp, yeh d-w, van krieken r, tseng c-c, zhang p, et al. the chaperone grp78 is a host auxiliary factor for sars-cov-2, and grp78 depleting antibody blocks viral entry and infection. j biol chem. 2021;296:100759. https://doi.org/10.1016/j.jbc.2021.100759 20. ma’unah s, mariani s, sugiman. estimasi skewness (kemiringan) dengan menggunakan metode bootstrap dan metode jackknife. unnes j math. 2017;6(2):10. https://doi.org/10.15294/ujm.v6i2.11828 | 79 mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 21 no 2 page 79-85, july 2021 the correlation between position and duration use of laptops with musculoskeletal disorders (msds) korelasi posisi dan durasi penggunaan laptop dengan muskuloskeletal disorders (msds) raden ayu tanzila1*, thia prameswarie2, miranti dwi hartanti3, talitha denaneer4 1 department of physiology, faculty of medicine, universitas muhammadiyah palembang 2 department of parasitology, faculty of medicine, universitas muhammadiyah palembang 3 department of pharmacology, faculty of medicine, universitas muhammadiyah palembang 4 faculty of medicine, universitas muhammadiyah palembang data of article: received: 25 mar 2021 reviewed: 25 may 2021 revised: 02 july 2021 accepted: 07 july 2021 *correspondence: ratanzila247@gmail.com doi: 10.18196/mmjkk.v21i2.11375 type of article: research abstract: the pandemic period forces all learning processes to be carried out online by utilizing internet facilities with a laptop. the position of using a laptop that is not ergonomic can cause musculoskeletal disorder. this study aims to determine the correlation between position and duration of student use of laptops during online learning with musculoskeletal disorders (msds). this research is analytic observational with a cross-sectional approach. the research was conducted on active students of the medical study program, muhammadiyah palembang university, with 416 respondents. primary data collection was taken using a questionnaire with a nordic body map score. the analysis technique used the chisquare test. the results showed that the respondents had a high duration of laptop use (48.8%), with a not good position (42.3%).most musculoskeletal disorders were felt in the neck (75.5%). there was a correlation between the position of using a laptop and musculoskeletal disorders (p 0.652). however, there was no correlation between the duration of laptop use and musculoskeletal disorders (p 0.002). it can be concluded that the position of using a laptop that is not ergonomic caused musculoskeletal disorders. keywords: ergonomic; muskuloskeletal disorders; pandemic; online learning abstrak: masa pandemi memaksa semua proses pembelajaran dilakukan secara daring memanfaatkan fasiltas internet dengan media laptop. posisi penggunaan laptop yang tidak ergonomis dapat menyebabkan muskuloskeletal disorder. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan posisi dan durasi penggunaan laptop pada mahasiswa dengan keluhan muskuloskeletal. jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. penelitian dilakukan pada mahasiswa aktif program studi kedokteran universitas muhammadiyah palembang dengan total sampel sebanyak 416 responden. pengumpulan data primer diambil dengan menggunakan kuesioner nordic body map. teknik analisis dengan menggunakan uji chi-square. hasil penelitian didapatkan responden menggunakan laptop dengan durasi tinggi (48,8%), posisi tidak baik (42,3%), keluhan musculoskeletal paling banyak dirasakan pada daerah leher (75,5%). terdapat hubungan posisi penggunaan laptop dengan keluhan musculoskeletal (p 0,652) dan tidak terdapat hubungan durasi penggunaan laptop dengan keluhan musculoskeletal (p 0,002). dapat disimpulkan bahwa posisi penggunaan laptop yang tidak ergonomis menyebabkan terjadinya musculoskeletal disorders (msds) kata kunci: ergonomis; pandemi; pembelajaran daring; keluhan muskuloskeletal https://doi.org/10.18196/mmjkk.v21i2.11375 80 | vol 21 no 2 july 2021 introduction the pandemic period forces all activities to be carried out remotely from home. activities, including student learning, were carried out online by utilizing internet facilities. students use laptops by utilizing internet facilities as a learning tool.1 the use of laptops, which have only been used in tracing the learning literature, is now the primary medium for learning at home. the duration of using laptops increases during online learning. using a laptop that is not ergonomic can cause complaints to the back, shoulders, or other organs that lead to musculoskeletal disorders. according to riskesdas, the prevalence of msds disease based on the diagnosis of health workers mainly was in bali 19.3%, east java 26.9%, while the highest one was ntt 33.1%. the prevalence of msds can occur with increasing age. at productive age, the risk of experiencing msds complaints is generally among students whose age range is 15-24, namely 1.5-7%.2 based on research conducted by wicaksono et al., 91.7% of architectural engineering students have experienced msds due to the use of laptops. meanwhile, the results of work posture of 78.3% made changes in posture while working. it revealed that 6.7% of students used laptops> 2 hours every day and 63.3% used laptops with a frequency of> 5 days.3 the use of a laptop makes the space for the hands to type narrow, wrists that do not fit, the position of the elbows is not suitable, the wrong sitting position is bent, and the head is bent forward. when sitting using a laptop, the body position is an upright chest and not bending over; the laptop is placed on a table with an inappropriate table height and a chair without a backrest.4 it can lead to health problems of msds. if the muscles continue to receive static loads repeatedly, there will be musculoskeletal complaints in muscles, joints, tendons, intervertebral discs, peripheral nerves, and the acute to the chronic vascular system. the frequent complaints include mild to severe pain, swelling, redness, tingling, heat, soreness, numbness, muscle and joint stiffness, weakness and loss of hand coordination.5 according to some experts, several factors cause msds, namely occupational factors, work factors, environmental and psychosocial factors. work factors include work posture, duration, workload, frequency, and coupling tools. meanwhile, worker factors include age, gender, working time, years of service, exercise habits, and body mass index.6 based on the research by sari, age is associated with musculoskeletal disorders in laundry workers with a p value < 0.005. in addition, the work is done using high muscle strength and repetitive movements. it is similar to the research from prawira revealing a relationship between age and musculoskeletal complaints in students in bali. the complaints were primarily felt in the back and waist because they had to sit for 5-6 hours a day. 7,8 a study on students of the department of informatics found no significant relationship between the duration of using a laptop and the musculoskeletal complaints experienced. thus, based on the results of previous studies, researchers are interested in conducting research to identify the correlation between the position and duration of using laptops with musculoskeletal disorders in medical students during online learning. methods this research is analytic observational with a cross-sectional approach. the study has received approval from the research ethics committee in unit bioetika dan humaniora kedokteran islam (ubhki) faculty of medicine universitas muhammadiyah palembang. the research was conducted on students of the medical study program, faculty of medicine, muhammadiyah palembang university, who met the inclusion and exclusion criteria with a total sample of 416 respondents in february-march 2021. the inclusion criteria were active students of the medical study program and willing to participate in research with informed consent. meanwhile, exclusion criteria included having a history of and suffering from musculoskeletal diseases such as rheumatoid arthritis, osteoarthritis, and spinal disorders (kyphosis, lordosis, scoliosis). primary data collection was carried out using a questionnaire. the process of distributing questionnaires was carried out by giving questionnaires to respondents online through a google form. the research variables in the form of the duration of using the laptop and the laptop's position were determined by using a questionnaire of using the laptop and its body position. musculoskeletal complaints were measured using a nordic body map questionnaire, including scoring of complaints in the neck, shoulders, elbows, upper and (nbm) lower backs and arms, thighs, knees, hands, and feet which were categorized into 4, namely; no pain got a score of 0, a mild pain got a score of 1, moderate pain get a score of 2, and severe pain get a score of 3. the level of msds complaints was considered non-existent if the total nbm score was less than 28 and mild if the total nbm score was 28-49. moreover, it was moderate if the nbm score is 50-70 | 81 and severe if the nbm score is 71-111.6. the collected data were processed in univariate form with the frequency distribution and bivariate analysis using the chi-square test with a significance level of 0.05. result there were a total of 429 respondents who filled out the questionnaire and obtained 416 respondents who met the inclusion and exclusion criteria with the characteristics of the respondents as shown in table 1. table 1. subject characteristics characteristics frequency (n=416) percentage (%) gender male 87 20.9% female 329 79.1% age 17-18 years old 107 25.7% 19-20 years old 259 62.3% 21-22 years old 50 12.0% body mass index underweight 21 5.0% normal 366 88.0% overweight 29 7.0% table 1 shows that the majority of respondents were females (79.1%), with the most dominant age group of 19-20 years old (62.3%) and having a normal body mass index (90.4%). table 2. distribution of respondents based on characteristics of laptop use characteristics frequency (n=416) percentage (%) duration low 24 5.8% moderate 189 45.4% high 203 48.8% position not good 176 42.3% enough 130 31.3% good 110 26.4% table 2 shows that most respondents, namely 203 people (48.8%), used laptops with high duration, and most respondents, namely 176 people (42.3%), used laptops in a not good position. table 3. distribution of respondents based on the complaints in musculoskeletal disorders body organ with complaints no complaints f % f % neck 314 75.5 102 24.5 shoulder 209 50.2 207 49.8 elbow 62 14.9 354 85.1 upper arm 103 24.8 313 75.2 upper back 247 59.4 169 40.6 lower arm 73 17.6 343 82.4 lower back 327 78.7 89 21.3 wrist/hand 96 23.1 320 76.9 hip/thight 195 46.9 221 53.1 knee 86 20.6 330 79.4 heel/feet 73 17.6 343 82.4 table 3 shows that the body organs most frequently complained about were: the lower back of 327 respondents (78.7%); neck of 314 respondents (75.5%); upper back of 247 respondents (59.4%); shoulders of 82 | vol 21 no 2 july 2021 209 respondents (50.2%) and hips/thighs of 195 respondents (46.9%). meanwhile, the body organs with the minor complaints included the elbows, arms, wrists/hands, knees, and heels/feet. table 4. distribution of respondents based on the level of complaints in musculoskeletal disorders body organ level of complaints no pain mild pain moderate pain severe pain neck 24.5 56.9 16.7 1.9 shoulder 49.8 37.3 10.6 2.3 elbow 85.1 12.5 2.4 0 upper arm 75.2 19.9 4.6 0.3 upper back 40.6 42.2 15.1 2.1 lower arm 82.4 15.5 1.6 0.5 lower back 21.3 49.1 25.7 3.9 wrist/hand 76.9 19.2 3.0 0.9 hip/thight 53.1 32.1 13.2 1.6 knee 79.4 16.2 3.7 0.7 heel/foot 82.4 14.1 2.8 0.7 table 4 shows the frequency distribution of respondents based on the severity of the musculoskeletal disorders felt in each body part due to using a laptop. the mildest complaints were felt in the neck (56.9%), while the most moderate and severe pain complaints were felt by respondents in the lower back, with a total of 25.7% and 3.9%, respectively. table 5. distribution of respondents based on the level of complaints in musculoskeletal disorders (msds) as calculated by the nordic body map muskuloskeletal disorders frequency (n-416) percentage (%) no complaint 162 38.9 complaint 254 61.1 table 5 shows the frequency distribution of respondents based on the presence or absence of complaints based on the calculation of the total score. if the total score is <28, it is categorized as no complaints. moreover, if it is > 28, which is included in moderate and severe complaints, it is included as the complaint category. based on the results of the study, it was found that the majority of respondents of 254 people (61.1%) had musculoskeletal disorders. table 6. results of bivariate analysis of the relationship between duration of use of laptops and musculoskeletal disorders variable muskuloskeletal disorders p* no complaint with complaint duration high 147 56 0.652 moderate 99 90 low 8 16 position poor 139 37 0.002 moderate 67 63 good 48 62 * chi-square analysis table 6 shows that the respondents with a high duration of laptop use had musculoskeletal disorders. statistically, the results showed a p-value of 0.652 (p > 0.05), indicating that there was no significant relationship between the duration of laptop use and musculoskeletal disorders. in the case of respondents with a poor laptop usage position, the majority had musculoskeletal disorders, and statistically, | 83 the results showed a p-value of 0.002 (p < 0.05), indicating that there was a significant relationship between the position of laptop use and musculoskeletal disorders. discussion many factors influence musculoskeletal complaints, including unnatural work attitude, long and static sitting, repetitive activities, and individual factors such as age, gender, body size, and body organization. noor's research showed a correlation between age and years of service with musculoskeletal complaints in brick craftsmen. putri also mentioned a relationship between age, work period, and work posture with complaints of musculoskeletal disorders. furthermore, fathoni et al. (2009) also stated there was a relationship between age and length of work with low back pain for nurses in purbalingga district hospital. 9-12 based on the research results, it was found that the duration of student use of laptops was high during the pandemic. in addition to making lecture assignments, laptops are a routine activity in supporting the learning process online. moreover, the study also revealed that the musculoskeletal disorders experienced by students of the faculty of medicine, muhammadiyah university of palembang, were not related to the duration of using a laptop. the results of this study are in line with research conducted by wijaya, kurniasari, lahdji, and ali on students of the department of informatics, yogyakarta state university, denoting that there was no significant relationship between the duration of using a laptop and the musculoskeletal complaints experienced. besides, lahdji's research also found no relationship between the length of work and musculoskeletal disorders in laundry workers. ali's research found that there was no significant relationship between the duration of using a laptop and the health complaints that were felt due to the use of a laptop.13-15 in addition, tjahayuningtyas's research (2019) showed work period has a relationship with the musculoskeletal disorder (p 0.019). 16 the maximum duration of each laptop use is two hours. in theory, a longer duration can lead to greater exertion, abnormal posture, and static posture. the duration of work for a person determines the level of work efficiency and productivity.5,6 based on the study results, the musculoskeletal disorders experienced by students of the faculty of medicine, muhammadiyah university of palembang were related to the position of using a laptop. the results of this study are in line with what was done by ali to the employees of the subang district health office. 14 it was found a significant relationship between body position when using a laptop and perceived health complaints. furthermore, the results of this study are also in line with the results of research by wicaksono et al. on students of the faculty of engineering, department of architecture, diponegoro university, who found a relationship between work posture and musculoskeletal complaints with a p-value of 0.030.3 besides, complaints on the lower and upper back are common complaints. it can occur due to bad sitting posture, such as an unstable body position, forming an angle of 90-1000. in addition, it can also be caused by sitting without leaning on a chair, and the respondent rarely stretches the two parts of the body.6 many respondents also felt complaints about the neck. the position of the head when using the laptop is looking down or looking up, which also causes the muscles to become tense quickly. this bowing position can be caused by the low table position so that it is not under the anthropometry of the body. the position with the high table also causes the neck to be raised more so that it is not under the anthropometry of the body.7 in addition, neck pain was also caused by the respondent not stretching his body every two hours for 15 minutes while using a laptop. these results are in line with situmorang's research where there is a relationship between overall posture and use of the neck with complaints of neck pain in education personnel from the faculty of public health, diponegoro university.5 furthermore, there are also many complaints about the shoulder. it can happen as the respondent does not lean on the chair when using the laptop. the position of the table is too high so that the elbows do not form 900 and do not stretch the body, causing the shoulder muscles to become tense and sore.18 the subsequent most common complaint is on the hips/thighs. it can occur since the position of the respondent's feet when using the laptop is not under ergonomic principles such as hanging one thigh to another, hanging legs (not tread on the floor), folding the legs, both on the floor and in the chair while sitting. these positions cause the unsmooth flow of blood to the lower body. thus, to prevent a static body position, stretching the body is necessary. it functions to improve blood circulation in the body so that the oxygen supply throughout the body is fulfilled.19,20 in dinar's research, there was a significant relationship between the ergonomics of the chairs used when working and musculoskeletal complaints, namely the length of the chair and buttocks-popliteal (p 0.04). in line with the research, jalajuwita and indriyati's research in 2015 also found a significant relationship between the work position and musculoskeletal complaints in welding workers and showed a moderate level 84 | vol 21 no 2 july 2021 of correlation. daika's research also concluded that the working postures have a mild correlation (r 0.407) with musculoskeletal disorder complaints.21-23 based on the explanation above, respondents who used laptops for more than six hours and in improper positions had the possibility of experiencing moderate to severe musculoskeletal complaints. in static muscle work, blood vessels are compressed by the increased pressure in the muscles due to contraction, causing blood circulation in the muscles to be disturbed. in dynamic muscle work, it increases 10-20 times of the static muscle work. muscles need energy when they contract. the energy comes from the breakdown of atp (adenosine triphosphate) molecules into adp (adenosine diphosphate) in the muscles. if the contraction continues, energy is taken from glucose compounds due to the obstruction of blood circulation that channels oxygen, food materials, and metabolic waste. glucose will undergo glycolysis into pyruvic acid and atp, which will be used for muscle contraction. pyruvic acid in muscle cells can be converted into lactic acid. lactic acid built up in muscles can cause soreness, pain, or fatigue.6,24 in terms of limitation of this study, there is no measurement of the ergonomics of the chairs used so that it cannot simultaneously assess the correlation of chair ergonomics and musculoskeletal disorders. conclusion based on the result of this study, it is concluded that there was no correlation between the duration of using laptops during online learning and musculoskeletal disorders. however, there was a correlation between the position of using laptops during online learning and musculoskeletal disorders. conflict of interest there is no conflict of interest. references 1. desy e. 2020. efektifitas pembelajaran melalui metode daring (online) dalam masa darurat covid-19. diakses tanggal 16 desember 2020 di www.stit-alkifayahriau.ac.id 2. balitbang kemenkes ri. 2013. riset kesehatan dasar (riskesdas). jakarta: balitbang kemenkes ri.. diakses tanggal 18 januari 2021 di www.litbang.kemkes.go.id 3. wicaksono re, suroto, baju w. hubungan postur, durasi dan frekuensi kerja dengan keluhan muskuloskeletal akibat penggunaan laptop pada mahasiswa fakultas teknik jurusan arsitektur universitas diponegoro. jurnal kesehatan masyarakat. juli 2016; 4(3): 568-80. 4. wahyuningtyas s, laili i, solihatul m. hubungan antara perilaku penggunaan laptop dengan keluhan muskuloskeletal disorder (msds) pada mahasiswa teknik informatika. prosiding 1st seminar nasional arah kebijakan dan optimalisasi tenaga kesehatan menghadapi revolusi industri 4.0. fakultas ilmu kesehatan universitas muhammadiyah ponorogo. 2019. 196-206. 5. situmorang ck, baju w, ida w. hubungan antara durasi dan postur tubuh penggunaan komputer terhadap keluhan neck pain pada tenaga kependidikan fakultas kesehatan masyarakat universitas diponegoro. jurnal kesehatan masyarakat. september 2020; 8(5); 672-8. 6. tarwaka. ergonomi untuk keselamatan, kesehatan kerja dan produktivitas. surakarta: uniba press; 2014. 7. sari en. hubungan antara umur dan masa kerja dengan keluhan musculoskeletal disorders (msds) pada pekerja laundry. jurnal kedokteran dan kesehatan. 2017; 13(2): 183-93. 8. prawira. faktor yang berhubungan terhadap keluhan musculoskeletal pada mahasiswa universitas udayana. journal of industrial hygiene and occup health. 2017; 1(2):101-18. http://dx.doi.org/10.21111/jihoh.v1i1.748 9. kuswara. ergonomi dan k3 (kesehatan dan keselamatan kerja). bandung; remaja rosdakarya; 2014 10. noor ih, zairin nh, ratna s. the correlation between age, tenure and height with musculoskeletal disorders complaint (observational study among brick craftsman in lok buntar village sungai tabuk district). proceedings international seminar and workshop on public health action “building healthy community”. faculty of health sciences dian nuswantoro university. dec 2015. 167-75. 11. putri ba. the correlation between age, years of service and working postures and the complaints of muskuloskeletal disorders. the indon journal of occupational safety and health 2019 august; 8(2);187-96. http://dx.doi.org/10.20473/ijosh.v8i2.2019.187-196 12. fathoni, h., handoyo & swasti k.g. hubungan sikap dan posisi kerja dengan low back pain pada perawat di rsud purbalingga. jurnal keperawatan soedirman. 2009; 4(3): 131-39. http://dx.doi.org/10.20884/1.jks.2009.4.3.242 http://dx.doi.org/10.20473/ijosh.v8i2.2019.187-196 http://dx.doi.org/10.20473/ijosh.v8i2.2019.187-196 http://dx.doi.org/10.20884/1.jks.2009.4.3.242 | 85 13. wijaya at, darwita rr, dan bahar a. the relation between risk factors and musculoskeletal impairment in dental students; a preliminary study. journal of dentistry indonesia. 2011;18 (2); 33-7. https://doi.org/10.14693/jdi.v18i2.61 14. kurniasari nd, siti hi, lilik i. hubungan durasi, frekuensi dan posisi penggunaan serta ukuran laptop dengan keluhan muskuloskletal pada mahasiswa jurusan pendidikan teknik informatika di universitas negeri yogyakarta. sanitasi, jurnal kesehatan lingkungan. 2015 mei; 6(4): 165-75. 15. lahdji a, hema da. effects of age, work period and work duration on musculoskeletal disorders in laundry workers. advances in health sciences vol 24. 5th university ahmad dahlan public health conference uphec. 2019. https://doi.org/10.2991/ahsr.k.200311.034 16. muslimin a. hubungan perilaku penggunaan laptop dengan keluhan kesehatan akibat penggunaan laptop. jurnal kesehatan. 2018; 9(1): 26-33. https://doi.org/10.38165/jk.v9i1.75 17. tjahayuningtyas. faktor yang mempengaruhi keluhan muskuloskeletal disorders (msds) pada pekerja informal. the indonesian jour of occup safety and health. 2019; 8(1): 1-10. http://dx.doi.org/10.20473/ijosh.v8i1.2019.1-10 18. agusdianti ln. sudirman pl, muliarta im. 2017. edukasi ergonomi menurunkan keluhan muskuloskeletal dan memperbaiki konsistensi postur tubuh pada mahasiswa pspdg universitas udayana. bali dental journal 2017 juli-des; 1(2): 47-53. 19. ozaras n. differential diagnosis in upper back pain. journal of rheum dis and treat 2015 february; 1(1); 4663. 20. siangsukon c 2013. relationship between low back pain and sleep quality. novel physiotherapis. vol 3(4): july 2020. https://doi.org/10.4172/2165-7025.1000168 21. dinar a. analysis of ergonomic risk factors in relation musculoskeletal disorders symptom in office workers [thesis]. depok; fakultas kesehatan masyarakat universitas indonesia; 2018. https://doi.org/10.18502/kls.v4i5.2536 22. jalajuwita rn, indriati p. hubungan posisi kerja dengan keluhan musculoskeletal pada unit pengelasan pt. x bekasi. the indonesian journal of occup safety and health. 2015 jan-jun; 4(1): 33-42. http://dx.doi.org/10.20473/ijosh.v4i1.2015.33-42 23. daika nefri. correlation between working posture and musculoskeletal disorder complaints suffered by the fishermen in tanjung village, sumenep district. the indonesian journal of occup safety and health. 2019 dec ;8(3): 258-64. http://dx.doi.org/10.20473/ijosh.v8i3.2019.258-264 24. hossain md. prevalance of work related muskuloskeletal disorders (wmsds) and ergonomic risk assessment among readymade garment workers of bangladesh. grant school of public health. brac university. bangladesh. 2018 https://doi.org/10.1371/journal.pone.0200122 https://dx.doi.org/10.2991/ahsr.k.200311.034 https://dx.doi.org/10.2991/ahsr.k.200311.034 https://doi.org/10.38165/jk.v9i1.75 http://dx.doi.org/10.20473/ijosh.v8i1.2019.1-10 https://doi.org/10.1371/journal.pone.0200122 http://dx.doi.org/10.18502/kls.v4i5.2536 http://dx.doi.org/10.20473/ijosh.v4i1.2015.33-42 http://dx.doi.org/10.20473/ijosh.v8i3.2019.258-264 https://doi.org/10.1371/journal.pone.0200122 103 mutiara medika vol. 10 no. 2: 103-109, juli 2010 perbedaan kadar endotelin-1 pada penderita hipertensi stadium 1, 2 dan bukan penderita hipertensi the difference of endothelin-1 levels in hypertension stage 1, 2 and non hypertension person agus widiyatmoko bagian ilmu penyakit dalam, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta email : aguswidi@gmail.com abstract hypertension is a risk factor of cardiovascular disease. endothelin-1 is a strong vasoconstrictor and related with angiotensin ii in the arteria pressure regulation. this regulation influence in pathologic condition such as hypertension, congestive heart failure and cronic renal failure. the aim of this study is to compare the levels of endothelin-1 between the patient of hypertension stage 1; stage 2 and no hypertension person. the design of this study is cross sectional. subjects were resident in the territory of district health center 2 mlati, sleman, diy, men and women, aged 18-75 years. hypertension stage 1, stage 2 and no hypertension groups were determined according to joint national committee (jnc) 7 criteria. research subjects used randomly with stratification, fasting at least 8 hours before blood samples were taken for examination to measure the level of endothelin-1. there are 43 patients with hypertension stage 1, 54 patients with hypertension stage 2 and 54 non hypertension person. the difference of endothelin-1 level among groups were analyzed by anova. this research shows that the increasing levels of endothelin-1 is in a row with increasing of blood pressure in hypertension stage 1 and 2; and the increasing more clear and meaningful in the 50-75 year age of group. key words : endothelin-1, hypertension, joint national committee (jnc) 7 criteria abstrak hipertensi merupakan faktor risiko penyakit jantung. endotelin-1 adalah vasokonstriktor kuat dan berkaitan dengan angiotensin ii dalam pengaturan tekanan arteria. pengaturan ini berpengaruh terhadap kondisi patologis seperti hipertensi, gagal jantung kongesti dan gagal ginjal kronis. tujuan penelitian ini adalah ingin membandingkan kadar endotelin-1 antara penderita hipertensi stadium 1; stadium 2, dan bukan penderita hipertensi. rancangan penelitian ini adalah cross sectional. subjek adalah penduduk di wilayah kabupaten puskesmas 2 mlati, sleman, diy, pria dan wanita, usia 18-75 tahun. hipertensi stadium 1, stadium 2 dan bukan penderita hipertensi ditentukan menurut kriteria jnc 7. subyek penelitian diambil secara acak dengan stratifikasi, puasa minimal 8 jam sebelum sampel darah diambil untuk pemeriksaan kadar endotelin-1. ada 43 pasien dengan hipertensi stadium 1, 54 pasien dengan hipertensi stadium 2 dan 54 orang non hipertensi. perbedaan kadar endotelin-1 antar kelompok dianalisis dengan anova. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar endotelin-1 maka semakin meningkat tekanan darah pada hipertensi tahap 1 dan 2; dan peningkatan usia lebih jelas dan berarti pada kelompok usia 50-75 tahun. kata kunci : endotelin-1, hipertensi, kriteria joint national committee (jnc) 7 agus widiyatmoko, perbedaan kadar endotelin-1 ... 104 pendahuluan hipertensi adalah penyakit yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah diastolik lebih atau sama dengan 90 mmhg atau tekanan darah sistolik lebih atau sama dengan 140 mmhg.1 hipertensi merupakan penyakit yang mengkhawatirkan dan sekaligus memberikan harapan. hipertensi menjadi faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskular dan menjadi masalah kesehatan dunia. hal ini terjadi karena prevalensi penyakit hipertensi yang cukup tinggi, yaitu mendekati 26% pada orang dewasa.2 di amerika serikat, prevalensi hipertensi meningkat dari 50 juta pada tahun 1990 menjadi 65 juta orang pada tahun 2000. hipertensi ditemukan 1 diantara 3 orang dewasa di amerika serikat.3 prevalensi hipertensi di indonesia berdasarkan dari survei kesehatan rumah tangga (skrt) 1995 adalah 8.3%. survei faktor risiko penyakit kardiovaskular (pkv) oleh proyek who di jakarta, menunjukkan angka prevalensi hipertensi dengan tekanan darah 160/90 masing-masing pada pria adalah 13,6% (1988), 16,5% (1993), dan 12,1% (2000). pada wanita, angka prevalensi mencapai 16% (1988), 17% (1993), dan 12,2% (2000).4 hipertensi esensial merupakan 90% penyebab kasus hipertensi. patofisiologi terjadinya hipertensi esensial dipengaruhi oleh beberapa faktor. faktor tersebut meliputi peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis, produksi berlebihan dari hormon yang menyebabkan retensi natrium, diet tinggi natrium dalam jangka panjang, diet kalium dan kalsium yang tidak adekuat, meningkatnya sekresi renin yang menyebabkan peningkatan angiotensin ii dan aldosteron. faktor lain adalah defisiensi vasodilator seperti prostasiklin, nitric oxide (no) dan protein natriuretik. peningkatan ekspresi sistim kallikrein – kinin yang berpengaruh terhadap tonus vaskular, adanya resistensi vaskular, diabetes mellitus, resistensi insulin, obesitas, peningkatan aktivitas growth factors vaskular, peningkatan reseptor adrenergik, dan peningkatan transport ion seluler juga berperan dalam patofisiologi hipertensi esensial.5 konsep baru patofisiologi hipertensi menunjukkan adanya abnormalitas pada struktur dan fungsi vaskular. konsep ini antara lain adalah terjadinya disfungsi endotel, peningkatan stres oksidatif, perubahan bentuk vaskular, dan menurunnya compliance vaskular. 5 endothelin-1 adalah sebuah peptida yang dihasilkan oleh sel endothel pembuluh darah dan sel otot polos pembuluh darah, memiliki kemampuan sebagai vasokonstriktor yang kuat. endotelin adalah protein yang terdiri dari 21 rantai asam amino dan diproduksi oleh berbagai sel. 6 sebagian besar (75%) hasil sekresi endotelin-1 akan bekerja di sel otot polos pembuluh darah. endotelin-1 akan menempel pada reseptor khusus sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah. 6 beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara endotelin-1 dengan sistem angiotensin ii. hubungan antara endotelin-1 dan angiotensin ii berperan dalam regulasi tekanan arteri. regulasi tekanan arteri berperan dalam berbagai kondisi, baik fisiologis maupun patologis. kondisi patologis yang dipengaruhi oleh regulasi tekanan arteri adalah hipertensi, gagal jantung kongestif dan penyakit ginjal kronik.7 angiotensin ii mempengaruhi fungsi ginjal dan kardiovaskular lewat jalur vasokonstriksi ginjal, retensi natrium, mitogenik, dan aksi pro oksidan7. beberapa studi mendapatkan aksi angiotensin ii ini berhubungan dengan faktor lain seperti endotelin. hal ini didukung dengan studi yang mendapatkan efek penurunan tekanan darah pada penderita hipertensi yang disebabkan oleh angiotensin ii dengan terapi antagonis reseptor endotelin. 8,9 peran endotelin-1 pada patofisiologi hipertensi memicu timbulnya terapi yang baru untuk hipertensi. penghambat konversi enzim endotelin-1 atau inhibitor endothelin converting enzyme (ece) saat ini mulai banyak diteliti. penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kadar endotelin-1 pada pasien hipertensi stadium 1, stadium 2 dan bukan hipertensi. 105 mutiara medika vol. 10 no. 2: 103-109, juli 2010 bahan dan cara penelitian dilakukan dengan rancangan penelitian cross sectional atau studi potong lintang. penelitian dilakukan di komunitas wilayah kerja puskesmas mlati 2 kecamatan mlati, kabupaten sleman, proponsi daerah istimewa yogyakarta. dipilih 3 desa dari 5 desa yang berada di wilayah kecamatan sleman (wilayah kerja puskesmas mlati 2). masing-masing desa dipilih 3 dusun. waktu penelitian juli 2007 sampai jumlah sampel terpenuhi. subyek penelitian adalah warga di wilayah penelitian tersebut, laki-laki dan perempuan, yang berusia antara 18 hingga 75 tahun. kelompok hipertensi stadium 1 adalah penderita hipertensi stadium 1 yang sesuai dengan kriteria joint national committee (jnc) 7. kelompok hipertensi stadium 2 adalah penderita hipertensi stadium 2 yang sesuai dengan kriteria jnc 7. kelompok tidak hipertensi adalah individu yang tidak menderita hipertensi sesuai kriteria jnc 7. subyek penelitian diambil secara acak dengan stratifikasi. kriteria inklusi subyek penelitian sebagai kasus ini adalah semua penderita hipertensi yang terdiagnosis sesuai kriteria hipertensi jnc 7, yaitu tekanan darah sistolik lebih dari atau sama dengan 140 mmhg dan atau tekanan darah diastolik lebih dari atau sama dengan 90 mmhg untuk hipertensi stadium i dan tekanan darah sistolik lebih dari atau sama dengan 160 mmhg dan atau tekanan darah diastolik lebih dari atau sama dengan 100 mmhg untuk hipertensi stadium 2. kelompok tidak hipertensi adalah subyek penelitian dengan tekanan darah sistolik kurang dari 140 mmhg dan tekanan darah diastolik kurang dari 90 mmhg. bertempat tinggal di daerah penelitian. berpuasa minimal 8 jam sebelum diambil sampel darah guna pemeriksaan laboratorium. semua subyek penelitian setuju mengikuti penelitian. penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan sehingga tidak diberikan kriteria eksklusi. semua subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi akan diikutsertakan dalam penelitian. hasil penelitian ini akan disajikan dalam bentuk rerata dan simpangan baku, sedangkan perbedaan rerata kadar endotelin-1 antara kelompok hipertensi stadium 1, hipertensi stadium 2 dan bukan penderita hipertensi dianalisis dengan anova dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05). hasil penelitian ini diawali dengan pengukuran tekanan darah dan pengisian kuesioner tentang riwayat hipertensi dan terapi anti hipertensi yang dipakai. didapatkan data 2.206 kepala keluarga pada 9 dusun yang termasuk dalam daerah penelitian. terdapat 7.356 subyek yang diukur tekanan darah dan mengisi kuesioner. subyek penelitian kemudian diacak terstratifikasi berdasarkan kelompok hipertensi stadium 1 dan 2 serta normal dan terstratifikasi berdasarkan dusun. berdasarkan penghitungan sampel diperlukan 48 sampel per kelompok dan ditambah 10% kemungkinan tidak hadir saat pengambilan sampel maka tiap kelompok dibutuhkan 48/0,9 sama dengan 53,3 atau dibulatkan 54 subyek. pada saat pengambilan sampel didapatkan 43 subyek yang dikelompokkan pada hipertensi stadium 1, 54 subyek kelompok hipertensi stadium 2 dan 54 subyek kelompok tidak hipertensi. pada kelompok hipertensi stage 1 hanya didapatkan 43 subyek, dikarenakan subyek terpilih yang seharusnya datang saat pengambilan sampel, tidak dapat datang karena ada kepentingan lain. semua subyek dikumpulkan pada waktu yang sama dan telah berpuasa minimal 8 jam sebelum pemeriksaan sampel darah untuk pengukuran kadar endotelin-1. karakteristik dasar subyek penelitian dapat dilihat pada tabel 1. dari data pada tabel 1. didapatkan adanya perbedaan umur yang bermakna secara statistik, dimana kelompok yang tidak hipertensi rerata umurnya lebih muda yaitu 37,8±13,4 tahun (p<0,001). hal ini menunjukkan bahwa umur memiliki pengaruh pada penelitian ini, sehingga perlu dikelompokkan berdasarkan umur. agus widiyatmoko, perbedaan kadar endotelin-1 ... 106 tabel 1. karakteristik dasar subyek penelitian variabel kelompok hipertensi stadium 1 (n=43) kelompok hipertensi stadium 2 (n=54) kelompok tidak hipertensi (n=54) p jenis kelamin laki-laki (%) perempuan (%) 55,8 44,2 40,7 59,3 61,1 38,9 0.09 umur (tahun) 55,2±13,9 58,9±11,7 39,8±11,4 <0.001* tinggi badan (cm) 155,2±7,8 152,4±9,2 158±8,4 0,04* berat badan (kg) 56,5±13,3 53,2±11,9 52,7±11,6 0,28 gula darah puasa 90,2±26,3 93,9±26,4 81,9±11,6 0,03* kreatinin 0,96±0,2 0,91±0,2 0,88±0,2 0,2 tekanan darah 142.8±7.9 90.6±5.8 172.9±14.6 103.6±11.7 114.4±11.5 74.4 ± 8.02 <0.001* endothelin-1 0.7±0.2 pg/ml 0.9±0.3 pg/ml 0.7±0.2 pg/ml 0.064 keterangan: * secara statistik bermakna (p<0,05) subyek penelitian dikelompokkan pada umur 50 – 75 tahun dan didapatkan hasil seperti pada tabel 2 dibawah ini. pada tabel 2 tampak bahwa tidak didapatkan adanya perbedaan umur pada ketiga kelompok dan didapatkan perbedaan yang bermakna untuk kadar et-1 (endothelin-1) antar ketiga kelompok. kelompok hipertensi stadium 2 memiliki kadar et-1 yang lebih tinggi dibandingkan subyek normal dan hipertensi stadium 1. data yang terdapat pada tabel 2. menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna untuk jenis kelamin. dilakukan analisa regresi logistik untuk melihat hubungan antara kategori tekanan darah dengan jenis kelamin dan didapatkan lakilaki memiliki resiko 1,4 kali untuk terjadi hipertensi (p=0,024; 95% ik 0,027 – 0,77). namun tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara kadar et-1 dengan jenis kelamin (p=0,71). sistolik diastolik 107 mutiara medika vol. 10 no. 2: 103-109, juli 2010 tabel 2. karakteristik kelompok umur 50 – 75 tahun variabel kelompok hipertensi stadium 1 (n=31) kelompok hipertensi stadium 2 (n=41) kelompok tidak hipertensi (n=10) p jenis kelamin laki-laki (%) perempuan (%) 56,7 43,3 37,5 63,5 80 20 0,03* umur (tahun) 62,1±9.2 63,8±8,7 61,5±10,1 0,659 tinggi badan (cm) 153,8±6,9 150,9±9,4 157,4±7,1 0,074 berat badan (kg) 53,9±10,6 51,7±11,2 51,7±13,2 0,69 gula darah puasa 91,7±29,4 95,7±28,5 83,6±8,2 0,47 kreatinin 0,98±0,2 0,89±0,2 0,94±0,2 0,28 tekanan darah sistolik diastolik 142,2±8,2 87,8±5,5 168,8±17,2 102,3±10,3 122±7,9 73 ± 6,7 <0,001 <0,001 endothelin-1 0.8±0.2 0.95±0.3 0.7±0.2 0,042* keterangan: * secara statistik bermakna (p<0,05) diskusi endothelin-1 adalah hormon yang memiliki kemampuan vasokonstriksi yang kuat. peranan et-1 pada hipertensi terutama karena adanya efek vasokonstriksi ini. pada penelitian ini didapatkan tidak ada perbedaan bermakna secara statistik untuk kadar et-1 pada semua umur. namun hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh adanya perbedaan umur, dimana pada kelompok tidak hipertensi umurnya jauh lebih muda dan bermakna secara statistik. hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh van guilder et al. pada tahun 2007,10 dimana kadar et-1 didapatkan lebih tinggi pada subyek yang memiliki rerata umur 62±2 tahun. pada penelitian ini setelah dilakukan penyesuaian umur antara 50 – 75 tahun didapatkan adanya perbedaan kadar et-1 yang bermakna antar ketiga kelompok dan didapatkan kadar et-1 lebih tinggi pada kelompok hipertensi stadium 2. pada penelitian ini didapatkan adanya perbedaan jenis kelamin antara ketiga kelompok setelah disesuaikan dengan umur. namun setelah dianalisa dengan regresi logistik tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dan kadar endotelin-1. hal ini menunjukkan jenis kelamin tidak mempengaruhi kadar et-1, karena kadar et-1 hanya dipengaruhi oleh beberapa hal seperti adanya hipoksia, iskemia, dan shear stress. 6 hasil penelitian yang lain adalah adanya peningkatan kadar et-1 seiring dengan peningkatan tekanan darah. kadar et-1 didapatkan lebih tinggi pada hipertensi stadium 2. hal ini juga terjadi pada kondisi semua subyek yang diperiksa. pada kelompok hipertensi stadium 2 didapatkan kadar et-1 memiliki kecenderungan lebih tinggi dibandingkan hipertensi stadium 1 dan subyek tidak hipertensi. hal ini sesuai dengan penelitian oleh schiffrin et al. (1997) yang menunjukkan bahwa pada penderita agus widiyatmoko, perbedaan kadar endotelin-1 ... 108 hipertensi stadium 2 menurut kriteria jnc 7, kadar plasma et-1 lebih tinggi daripada subyek normal atau hipertensi ringan.11 hasil penelitian ini secara umum mendukung hasil penelitian lain tentang et-1 dengan hipertensi. penelitian oleh letizia et al. (1997) menunjukkan kadar et-1 lebih tinggi pada subyek hipertensi dengan high renin (9.9 ± 3.8pg/ml) dibanding hipertensi low renin (8.5 ± 2.8 pg/ml) dan normal (7.7 ± 1.7 pg/ml) (p<0,001).12 penelitian lain oleh taddei et al. pada tahun 1999 menunjukkan bahwa pada penderita hipertensi kadar et-1 meningkat dan terdapat respon vasodilatasi yang lebih baik dengan pemberian et receptor blocker.13 namun demikian, penelitian ini memiliki beberapa kekurangan. pada penelitian ini faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kadar et-1 belum dikendalikan dengan baik. beberapa kondisi dapat mempengaruhi kadar et-1, seperti gagal jantung kongestif, gagal ginjal kronis, diabetes mellitus, dislipidemia dan inflamasi akut.6,14 selain itu, faktor umur yang telah disinggung di atas juga akan mempengaruhi hasil. sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui secara lebih teliti peranan endotelin-1 terhadap terjadinya hipertensi. penelitian tersebut harus dapat mengendalikan faktorfaktor yang berpengaruh terhadap ekspresi endotelin-1. terapi anti hipertensi yang dapat mempengaruhi tekanan darah subyek penelitian, pada penelitian ini tidak dianalisa secara khusus. sehingga hal ini dapat menjadi salah faktor perancu hasil penelitian. adanya beberapa kelemahan penelitian disebabkan karena penelitian ini adalah penelitian pendahuluan yang akan ditindaklanjuti dengan beberapa penelitian tentang hipertensi pada komunitas. kesimpulan penelitian ini menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan kadar endotelin-1 seiring dengan peningkatan tekanan darah yang dinyatakan dengan hipertensi stadium 1 dan 2. terjadi peningkatan kadar endotelin-1 pada hipertensi stadium 2 dibandingkan hipertensi stadium 1 dan tidak hipertensi tampak lebih jelas dan bermakna pada kelompok usia 50 – 75 tahun. daftar pustaka chobanian, a.v., bakris, g.l., black, 1. h.r., cushman, w.c., green, l.a., izzo, j.l. jr., et al. 2003. joint national committee on prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure, national heart, lung, and blood institute, national high blood pressure education program coordinating committee. seventh report of the joint national committee on prevention, detection, evaluation and treatment of high blood pressure. hypertension. 42:1206 –1252. kearney, p.m. , whelton, m. and 2. reynolds, k. 2004. worldwide prevalence of hypertension: a systematic review. j hypertens: 22: 11 – 9 fields, l.e., burt, v.l., and cutler, j.a. 3. 2004. the burden of adult hypertension in the united states 1999 to 2000. a rising tide. hypertension: 44: 398 – 404 departemen kesehatan ri. 2006. 4. profil kesehatan indonesia tahun 2006. depkes ri. 45 – 47. oparil, s., zaman, a.m., and 5. calhoun, d.a. 2003. pathogenesis of hypertension. ann intern med. 139:761-76 levin, e.r. 1995. endothelins. 6. n. engl. j .med. vol. 333 no. 6: 356 363 reckelhoff, j.f. and romero, j.c. 2003. 7. role of oxidative stress in angiotensininduced hypertension. am. j .physiol. regul. integr. comp physiol. 284: r893–r912 ballew, j.r. and fink, g.d. 2001. role 8. of eta receptors in experimental ang ii-induced hypertension in rats. am j physiol regul integr comp physiol 281: r150–r154 alexander, b.t.; cockrell k.l.; rinewalt 9. a.n.; herrington j.n.; and granger j.p. 109 mutiara medika vol. 10 no. 2: 103-109, juli 2010 2001. enhanced renal expression of preproendothelin mrna during chronic angiotensin ii hypertension. am. j. physiol. regul. integr .comp. physiol. 280: r1388–r1392, 2001. van guilder, gp., westby, cm., greiner, 10. jj., stauffer, bl., desouza, ca. 2007. endothelin-1 vasoconstrictor tone increases with age in healthy men but can be reduced by regular aerobic exercise. hypertension. 50:403 schiffrin, e. l. 1999. role of endothelin-1 11. in hypertension. hypertension 34(2), 876–881. letizia, c., cerci, s., detoma, g., 12. d’ambrosio, c., de ciochis, a., coassins, et al. 1997. high plasma endothelin-1 levels in hypertensive patients with low rennin essential hypertension. j. hum. hypertens. 11(7):447-451 taddei, s., virdis, a., ghiadoni, l., 13. sudano, i., notari, m., salvetti, a. 1999. vasoconstriction to endogenous endothelial is increased in the peripheral circulation patients with essential hypertension. circulation. 100:16801683. cardillo, c., campia, u., kilcoyne, c. 14. m., bryant, m. b., and panza, j. a. 2002. improved endotheliumdependent vasodilation after blockade of endothelin receptors in patients with essential hypertension. circulation 105, 452– 456. 167 mutiara medika vol. 10 no. 2: 167-171, juli 2010 pengaruh penambahan pati garut (maranta arundinecea l) pada alginat terhadap stabilitas dimensi hasil cetakan the effect of starch main page (maranta arundinecea l) in alginate dimensions on the stability of matter results lelly yustri anita1, purwanto agustiono2 1program studi kedokteran gigi universitas muhammadiyah yogyakarta, 2departemen dental biomaterial fakultas kedokteran gigi universitas gajah mada email : lelly_dentist@yahoo.com abstract the number of dentist year after year will always increase. it will equal with the using of alginate. polysaccharides in arrowroot starch have a similar characteristic with sodium alginate. therefore, it is the reason that both of the material could be mixed. the characteristic of amylose and amylopectin of arrowroot starch could tight the water, so the dimensions of impression will stabile from shrinkage. this study is to find the outcome of arrowroot starch influence dimension stability of alginate impression. this study using 60 sample that divided into 4 groups (100% alginate as control, alginate add by 45%, 50%, and 55% of arrowroot starch). samples and control were manipulated with 17.5ml of aquadest. after it was set, it was measured by electric sliding calipers 0,001mm for 0, 30, and 60 minute covered by wet cotton after incubated 25oc and humidity is 96%. it can be concluded that arrowroot starch influence the diameter stability (p=0,000), but not for its height (p=0,251). alginate: arrowroot starch = 50%: 50% is the group which has the best dimensional stability (diameter), because they have no much either shrinkage or imbibitions (p=0,000). key words : alginate, maranta arundinecea, dimensional stability. abstrak jumlah dokter gigi selalu meningkat dari tahun ke tahun. hal tersebut akan sebanding dengan penggunaan alginat. polisakarda pada pati garut memiliki karakteristik yang sama dengan sodium alginat, hal tersebut menandakan bahwa kedua bahan tersebut dapat dicampur. karakteristik amilosa dan amilopektin dalam pati garut dapat mengikat air sehingga dimensi hasil cetakan dapat stabil dari pengkerutan. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pati garut pada alginat terhadap dimensi hasil cetakan alginat. penelitian ini mengunakan 60 sampel yang dibagi menjadi 4 kelompok (alginat 100% sebagai kontrol, kelompok perlakuan, yaitu alginat yang ditambahkan pati garut sebesar 45%, 50%, dan 55%). sampel dan kontrol dimanipulasi dengan 17,5 ml akuades. setelah sampel mengalami setting, hasil cetakan diukur dengan menggunakan sliding caliper elektrik dengan ketelitian 0,01mm pada menit ke 0, 30, dan 60 yang ditutup dengan kapas basah dan dimasukkan ke dalam inkubator memmert 25oc dan kelembaban 96%. hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan pati garut berpengaruh terhadap stabilitas diameter hasil cetakan (p=0,000), akan tetapi tidak berpengaruh terhadap stabilitas tinggi hasil cetakan (p=0,251). kelompok sampel dengan penambahan pati garut sebesar 50% merupakan kelompok yang memiliki stabilitas dimensi yang paling baik karena tidak banyak terjadi perubahan dimensi, baik karena pengkerutan maupun imbibisi (p=0,000). kata kunci : alginat, maranta arundinecea, stabilitas dimensi lelly yustri anita, purwanto agustiono, pengaruh penambahan pati ... 168 penambahan pati garut pada alginat terhadap stabilitas dimensi hasil cetakan. bahan dan cara penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratories dengan desain true eksperimental post test with control group secara invitro. bahan yang digunakan adalah alginat merk aroma fine df iii normal set dan pati garut merk pohon garut produksi muntilan. sampel dicetak pada cincin plastik dengan ukuran diameter x tinggi adalah 3,2x 2,2 cm yang diletakkan pada plat kaca. jumlah sampel 60 buah dan dibagi dalam 4 kelompok sampel dengan masing-masing sampel berjumlah 5 buah. alat yang digunakan adalah neraca analitik merk mettler toledo dengan ketelitian 0,001 gram, fluorsifer merk bbs 250 mesh, batang akrilik, higrometer merk herma, jangka sorong merk krisbow dengan ketelitian 0.01mm, stopwatch, dan inkubator memmert. tahap persiapan dilakukan penimbangan massa alginat dan pati garut dengan menggunakan neraca analitik. kelompok kontrol adalah alginat 100% (7,5gr) yang dimanipulsi dengan 17,5ml akuades (kelompok a). kelompok perlakuan berturut-turut adalah (pati garut: alginat) b, 45%:55% (3,375gr : 4,125 gr), c 50% : 50 (3,75gr : 3,75gr), d 55%:45% (4,125gr:3,125gr), dilanjutkan dengan mencampur kedua bahan (alginat dan pati garut) sesuai dengan kelompok sampelnya kemudian dimanipulasi dengan 17.5ml aquades selama 30 detik. setting time diukur dengan menggunakan batang resin akrilik yang dimasukkan ke dalam sampel setiap 10 detik. setting telah selesai jika tidak ada lagi adonan yang menempel pada batang akrilik. tahap pengukuran dilakukan dengan mengukur diameter dan tinggi sampel yang telah setting dengan jangka sorong pada menit ke 0, dilanjutkan dengan menutup sampel dengan kapas basah dan menyimpan dalam inkubator pda suhu 25oc pada kelembaban 96% (perlakuan 1). pada menit ke 30, sampel diukur kembali, mendapatkan perlakun yang sama dengan perlakuan 1. perlakuan serupa juga diberikan pada menit ke 60. pendahuluan data pdgi menyebutkan bahwa jumlah dokter gigi yang terdaftar per februari 2009 adalah sekitar 19.000 dokter gigi,2 hal tersebut mengakibatkan permintaan alginat sebagai bahan cetak kedokteran gigi meningkat. oleh sebab itu, muncul gagasan untuk mengaplikasikan suatu bahan yang berasal dari tanaman yang mudah didapatkan di indonesia untuk dapat menjadi bahan campuran alginat, sehingga diharapkan dapat membantu mengurangi kuantitas impor alginat. alginat terbuat dari alga (ganggang laut) yang biasanya digunakan dalam industri agar-agar. alginat tersusun dari senyawa-senyawa yang memiliki fungsi tertentu, kekenyalan alginat dihasilkan oleh senyawa sodium alginat dan berfungsi membuat bahan cetakan dapat larut dalam air.2 fungsi serupa dimiliki oleh garut yang memiliki kadar lemak rendah, sehingga sifat hidrofobiknya menjadi rendah dan memudahkan penyatuan molekul pati garut dengan air.3 garut (maranta arundinaceae l.) mengandung pati yang terdiri dari amilosa dan amilopektin dalam jumlah yang cukup besar, yaitu 23,5%.2 kadar amilosa dan amilopektin yang cukup besar dengan karakteristiknya yang mirip dengan sodium alginat, memungkinkan untuk dilakukan penambahan pati garut ke dalam alginat. sifat hidrofilik amilosa dan amilopektin analog dengan sodium alginat. keduanya akan mengalami proses gelasi jika bereaksi dengan air.4 reaksi yang terjadi pada pati garut hampir sama dengan reaksi gelasi pada alginat, tidak akan menyebabkan suatu penolakan reaksi pada alginat. hal tersebut menjadi dasar bahwa pati garut dapat dicampur dengan alginat dalam proses gelasi. dimensi bahan cetak akan mempengaruhi hasil cetakan positifnya. stabilitas dimensi bahan cetak harus terus dijaga agar hasil cetakan positif memiliki bentuk dan ukuran yang sama dengan bentuk serta ukuran asli gigi dan jaringan lunak yang dicetaknya. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh 169 mutiara medika vol. 10 no. 2: 167-171, juli 2010 sampel c (penambahan pati garut sebesar 50%) yang dibandingkan dengan kelompok a (kelompok kontrol), yaitu p=0,000. diskusi telah dilakukan penelitian tentang pengaruh penambahan pati garut pada alginat terhadap stabilitas dimensi hasil cetakan. uji statistika one way anava didahului dengan uji normalitas. hasil uji normalitas, baik data diameter maupun tinggi adalah normal (p=0,000). hal tersebut berarti bahwa data tersebar adalah sama (kemungkinan bias yang menyebabkan data tidak tersebar rata pada seluruh kelompok sampel dapat dihindari). uji statistik dilanjutkan dengan uji homogenitas, hasil uji homogenitas adalah normal (diameter p=0,700 dan tinggi, p=0,321) yang berarti tidak ada data yang memiliki nilai ekstrim (rata-rata pengukurannya tidak berbeda jauh). hasil uji one way anava menunjukkan bahwa penambahan pati garut pada alginat berpengaruh signifikan terhadap stabilitas dimensi yang meliputi perubahan dimensi pada variabel diameter. hal tersebut sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh penambahan pati garut pada alginat terhadap stabilitas dimensi hasil cetakan. tabel 1. rata-rata diameter dan tinggi hasil cetakan (x±sd) setelah diberikan perlakuan penambahan pati garut ke dalam alginat kelompok rata-rata diameter (mm) rata-rata tinggi (mm) a (kontrol) 32,9000 ±0,31505 21,6880 ±0,49417 b (+ 45% pati) 31,9636 ±0,33865 21,8957 ±0,54940 c (+ 50% pati) 31,7138 ±0,36898 21,5225 ±0,61996 d (+ 55% pati) 32,0293 ±0,27981 21,7913 ±0,39206 tabel 2. rekapitulasi hasil uji statistika data diameter dan tinggi hasil cetakan normalitas (p) homogenitas (p) signifikansi one way anava diameter 0.200 0.700 0.000* tinggi 0.200 0.321 0.251 keterangan = *signifikan hasil telah dilakukan penelitian tentang pengaruh penambahan pati garut ke dalam alginat terhadap stabilitas dimensi hasil cetakan. dari hasil uji data penelitian didapatkan hasil seperti terlihat pada tabel 1. uji statistika dengan menggunakan aplikasi spss 15.0 menggunakan one way anava, yang sebelumnya perlu dilakukan uji normalitas. uji normalitas, didapatkan hasil p=0,200 baik untuk data diameter maupun data tinggi hasil cetakan (normal). uji berikutnya adalah uji homogenitas. homogenitas untuk variabel diameter adalah p=0,700 (normal), dan homogenitas untuk variabel tinggi adalah p= 0,321(normal). berdasarkan hasil uji normalitas dan homogenitas yang memperlihatkan bahwa data tersebut normal, maka dapat dilanjutkan uji one way anava. pada uji one way anava, nilai signifikansi (p) pada data diameter adalah 0,000 (p<0,05), signifikan, sedangkan nilai p pada data tinggi hasil cetakan adalah 0,251 (p>0,05), yang berarti, perlakuan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tinggi sampel. hasil uji post hoc-lsd, diketahui bahwa dua kelompok sampel yang memiliki pengaruh paling signifikan terhadap diameter hasil cetakan adalah kelompok lelly yustri anita, purwanto agustiono, pengaruh penambahan pati ... 170 berdasarkan hasil uji one way anava, penambahan pati garut pada alginat berpengaruh secara sigifikan terhadap stabilitas diameter, tetapi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap stabilitas tinggi hasil cetakan. dengan kata lain, perubahan dimensi lebih banyak terjadi pada tinggi hasil cetakan daripada diameter hasil cetakan. hal ini dimungkinkan karena penutupan hasil cetakan dengan menggunakan kapas basah menutupi seluruh permukaan atas dan bawah (diameter) hasil cetakan, sedangkan untuk bagian samping (tinggi), masih ada celah yang tidak tertutup oleh kapas basah, sehingga permukaan tinggi hasil cetakan masih dapat terpapar oleh pengaruh suhu ruang penyimpanan. hal tersebut akan mempermudah terjadinya perubahan dimensi, terutama karena pengkerutan. berdasarkan hasil uji post hoclsd0,05 diketahui bahwa kelompok sampel yang memiliki pengaruh paling besar terhadap stabilitas dimensi hasil cetakan alginat adalah kelompok sampel dengan penambahan massa pati garut sebesar 50% yang dibandingkan dengan kelompok kontrol, sedangkan uji lsd0,05 antar kelompok perlakuan menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari penambahan massa pati garut pada alginat yang dibandingkan antar kelompok perlakuan. alginat memiliki komposisi filler sebagai salah satu penyusunnya. filler tersebut akan membuat massa hasil cetakan alginat semakin padat. semakin sedikit filler yang terkandung di dalam alginat, maka hasil cetakan akan semakin lembek, karena filler yang berfungsi memadatkan gel tidak adekuat untuk memberi bentuk padat pada hasil cetakan6. alginat murni yang digunakan sebagai kontrol memiliki jumlah filler dan komponen lain yang lebih banyak dibandingkan dengan kelompok sampel lain, sehingga hasil cetakannya akan lebih getas di bandingkan dengan kelompok sampel lain, selain itu pati garut yang mengandung amilosa dan amilopektin sebesar 23%4 bersifat hidrofilik, sehingga cenderung akan lebih mudah menarik air dari lingkungannya yang basah. hal tersebut menjadikan hasil cetakan alginat yang ditambahkan pati garut akan menjadi lebih lembek, selain karena komponen alginatnya berkurang, juga dikarenakan oleh kecenderungannya menarik air, sehingga hasil cetakan yang ditambahkan pati garut tidak lebih cepat mengalami pengkerutan bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. perubahan dimensi hasil cetakan dapat terjadi karena pengkerutan oleh evaporasi dan sineris, akan tetapi dapat pula dikarenakan oleh imbibisi, sehingga hasil cetakan menjadi mengembang5. pada hasil uji lsd0,05 diketahui bahwa penambahan pati garut pada alginat sebesar 50% merupakan persentase yang memiliki stabilitas terbesar atau tidak banyak terjadi perubahan dimensi. hal ini dimungkinan karena pada persentase 45%, hasil cetakan masih memiliki kecenderungan untuk mengkerut karena persentase alginat lebih banyak daripada pati garut, sedangkan penambahan pati garut sebesar 55% memiliki kecenderungan untuk mengembang karena persentase pati garut yang mudah menarik dan mengikat air sehingga menyebabkan hasil cetakan akan mengembang, sehingga terjadi perubahan dimensi. kesimpulan penambahan pati garut berpengaruh secara signifikan terhadap stabilitas diameter hasil cetakan, akan tetapi tidak berpengaruh terhadap stabilitas tinggi hasil cetakan alginat. penambahan pati garut sebesar 50% pada alginat merupakan persentase penambahan pati garut yang paling sedikit menimbulkan perubahan dimensi atau dengan kata lain merupakan kelompok yang paling berpengaruh terhadap stabilitas dimensi hasil cetakan alginat. daftar pustaka pdgi. 2009. informasi tentang pdgi 1. diakses tgl 10 september 2011 dari http//www.pdgi-online.com. anwar, e., yusmarlina, d., rahmat, h., & 2. kosasih. 2006. fosforilasi pregelatinasi pati garut (maranta arundinaceae l.) sebagai matriks tablet lepas terkendali teofilin. majalah farmasi indonesia. 17 171 mutiara medika vol. 10 no. 2: 167-171, juli 2010 (1). hal. 37 – 44. van noort, r. 2006. 3. introduction of dental materials. 2nd ed. china : mosby. p. 181-190 srichuwong, s., sunarti, tc., mishima, 4. t., isonoa, n., hisamatsu, m. 2005. starches from different botanical sources ii: contribution of starch structure to swelling and pasting properties. carbohydrate polymers 62, page 25–34 anwar, e., yusmarlina, d., rahmat, h., & 5. kosasih. 2006. fosforilasi pregelatinasi pati garut (maranta arundinaceae l.) sebagai matriks tablet lepas terkendali teofilin. majalah farmasi indonesia, 17 (1), hal. 37 – 44. mccabe, j.f., walls, a.w.g. 2008. 6. applied dental materials. 9th ed. singapore. p. 137-162. yunani setyandriana, neuropati optik toksik akut 136 neuropati optik toksik akut acute toxic optic neuropathy yunani setyandriana bagian ilmu penyakit mata fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta abstract the aim of the study was to report a case of acute toxic optic neuropathy. a case report of a 29 years old female with acute visual loss in both eyes. there was history of taking multiple drugs about 4 days while in the hospital. we performed visual acuities examination, light projection, color perception, funduscopy, and visual field examinations. the visual acuities were 1/300 on both eyes with bad color perceptions, the other examination were normal. visual field examination was performed on the third day when the visual acuities were improved, showing severe depression on the both eyes and diagnosed acute toxic optic neuropathy. she is given neurotropic injection once daily, neutotropic tablet twice daily, and acetazolamide tablet 3 times daily. retrobulber dexamethason injection on second day for 5 days, and continued with dexamethason tablet 1mg four times daily. the patients was consulted to neurology, ent, internist, and oral medicine department. the visual acuity became better 3/60 in the both eyes on the third days, on the seventh days on the right eye 5/60 and the left eye 4/60. one week later, the visual acuity became 6/12 on the right eye and 6/15 on the left eye, but there was color deficiency in both eyes. visual field examination of both eyes showed improvement to be moderate depression. the treatment was continued and dexamethason was tapering off. follow up in one month the visual acuity improved to be 6/7.5 on the right eye and 6/8.5 on the left eye, although there was still green color blind with one eye. visual field showed mild depression. concluded a case of acute toxic optic neuropathy treated with steroid injection and orally, and neurotropic agents, there was a good result although not fully recovery. key words : acute toxic optic neuropathy, visual loss, visual field defect abstrak tujuan penulisan makalah ini adalah untuk melaporkan laporan kasus yaitu neuropati optic toksik akut. dilaporkan kasus seorang wanita 29 tahun buta mendadak kedua matanya. empat hari sebelum datang ke rumah sakit minum beberapa obat. dilakukan pemeriksaan visus, proyeksi cahaya, persepsi warna, funduskopi, dan lapang pandang. visus kedua mata 1/300 dengan persepsi warna buruk, pemeriksaan lain normal. pemeriksaan lapang pandang dilakukan hari ke-3 saat visusnya mulai membaik. hasilnya menunjukkan depresi berat kedua mata dan didiagnosis neuropati optic toksik akut. diberikan terapi neurotropik injeksi sekali sehari, neurotropik tablet 2x sehari, dan asetazolamide tablet 3x sehari. dexamethason injeksi retrobulber diberikan hari kedua selama 5 hari, dilanjutkan dengan dexamethason tablet 1mg 4x sehari. pasien dikonsulkan ke neurologi, tht, penyakit dalam, dan dokter gigi. visus hari ketiga membaik menjadi 3/60 pada kedua mata, hari ke137 mutiara medika edisi khusus vol. 9 no. 2: 136 140, oktober 2009 7 menjadi 5/60 mata kanan dan 4/60 mata kiri, namun didapatkan buta warna pada kedua mata. seminggu kemudian visus membaik menjadi 6/12 mata kanan dan 6/15 mata kiri. lapang pandang menunjukkan depresi sedang. terapi diteruskan dengan dexamethason tablet diturunkan dosisnya. follow up 1 bulan kemudian menunjukkan perbaikan dengan visus 6/7.5 mata kanan dan 6/8.5 mata kiri, namun masih terdapat buta warna hijau. pemeriksaan lapang pandang menunjukkan depresi ringan. disimpulkan bahwa kasus neuropati optic toksik akut diterapi dengan steroid injeksi dan oral serta obat neurotropik, didapatkan perbaikan kondisi meskipun tidak sempurna. kata kunci: buta, defek lapang pandang, neuropati optik toksik akut pendahuluan neuropati optic toksik akut merupakan neuropati optic yang ditandai dengan kehilangan penglihatan akut, diskromatopsia berat, dan defek lapang pandang akibat dari paparan zat-zat toksik.1,2 zat-zat toksin penyebab neuropati optik dapat berupa obat atau zat-zat nutrisi.3 gejala awal neuropati optic toksik meliputi hilangnya penglihatan yang simetris, bilateral, tanpa disertai nyeri yang progresif, dan tidak ditemukan tanda-tanda oftalmologi yang jelas. sebagian besar kasus menunjukkan tidak ada kelainan pada pemeriksaan oftalmologi. hasil pemeriksaan lapang pandang biasanya menunjukkan skotoma sentrosekal yang simetris.2,3,4 penelitian epidemiologi yang dilakukan oleh philen di kuba menjumpai 123 kasus neuropati optic di kuba. gambaran klinis yang mencolok adalah hilangnya tajam penglihatan yang subakut, disertai oleh penciutan lapang pandang, berkurangnya persepsi warna, dan diskus optic yang pucat. penelitian oleh bourne menunjukkan bahwa angka prevalensi neuropati neuropati optic pada anak sekolah di tanzania adalah 1%(95%ci: 0,5%1,4%).5 diagnosis neuropati optic toksik akut ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan oftalmologis yang mendukung, dan harus ditunjang oleh riwayat pemakaian atau paparan zat-zat toksin. diagnosis banding yang harus dipertimbangkan adalah neuropati optic akibat lesi infiltrative, kompresi, proses demielinisasi, dan herediter.4 pemeriksaan laboratorium dan radiologis dapat digunakan untuk penegakan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding kausatif.6 penatalaksanaan utama neuropati adalah penghentian paparan zat toksik. pelacakan penyebab sangat membantu dalam terapi karena beberapa zat toksik memiliki anti dotumnya.6 pemberian multivitamin dan diet yang seimbang juga dianjurkan.3 prognosisnya bervariasi mulai dari pulih sempurna sampai hilangnya penglihatan permanen.2,4 pada kasuskasus awal yang segera ditangani, prognosis penglihatan dapat pulih sempurna walaupun lambat.3 pada kasuskasus yang lanjut yang telah disertai perubahan diskus optikus (atrofi papil) maka proknosisnya lebih buruk.4 seorang perempuan, usia 29 tahun, alamat aspol gemoh butuh, temanggung, datang ke rs dengan keluhan kedua mata tidak dapat melihat. riwayat penyakit kirakira 10 hari yang lalu pasien terkena influenza, 3 hari kemudian diperiksakan ke dokter umum dan diberi 9 macam obat. 2 hari kemudian pada waktu bangun tidur kedua mata kabur dan akhirnya tidak dapat melihat sama sekali. pemeriksaan status generalis didapatkan keadaan umum cukup baik, gizi cukup, kesadaran baik. tekanan darah 110/ 90 mmhg, nadi 68 kali/menit, respirasi 16 kali/ menit, berat badan 41 kg, suhu 36,5 derajat celcius. cor dan pulmo dalam batas normal, hepar dan lien tak teraba. pada pemeriksaan status oftalmologis mata kanan dan kiri yunani setyandriana, neuropati optik toksik akut 138 didapatkan visus 1/300, proyeksi sinar baik, persepsi warna merah/hijau baik, palpebra tenang, konjungtiva tenang, kornea jernih, kamera okuli anterior dalam dan jernih, pupil bulat sentral dengan diameter 4 mm reflek direk dan indirek (+), lensa jernih, fundus media jernih, papil berbatas tegas a/v 2/3 c/d 0,3, makula reflek cemerlang, retina dalam batas normal, tekanan bola mata normal, gerakan bola mata bebas. pemeriksaan kampus visi belum dapat dilakukan karena pasien merasa pusing. pemeriksaan darah didapatkan hgb: 12,7 g/dl, wbc: 4,90 x103/ml, neutrofil: 37,1%, limfosit: 44,1%, monosit: 15,5%, eosinofil: 2,9%, basofil: 0,4%, plt: 312x103/ml, ked: 54 mm/jam, gdn: 83 mg/dl. pemeriksaan urin ph: 6.0, bj: 1.025, protein: +, glukosa , urobilin +, bilirubin -. diagnosis: ods neuritopati toksik akut. pemeriksaan foto thorax didapatkan bronchitis dengan besar cor normal. foto sinus paranasal didapatkan mukosal reaksi sinus maksilaris bilateral dan hipertrofi choncha media cavum nasi sinistra. foto pelvis pa tak ada kelainan, foto opg didapatkan caries, missing, sisa radiks, dan tumpatan. konsultasi ke bagian gigi disimpulkan kebersihan mulut kurang, didapatka caries dan radix, yang kemudian dilakukan cabut dan tambal gigi. konsultasi ke bagian saraf didapatkan simpulan lesi nervus ii o.k neuropati belum dapat disingkirkan, dan disarankan diberi roboransia saraf (methycobaltò 2x500mg). dari bagian tht disimpulkan ada sinusitis maksilaris bilateral e.c. odontogen, disarankan diberi terapi amoxicilin 3x500mg, metronidazol 3x500mg, dan efedrin 3x1 tablet selama 2 minggu. dari bagian penyakit dalam disimpulkan observasi batuk lama, disarankan diberi terapi amoxicilin 3x500mg. terapi yang diberikan adalah neurobion injeksi 1x5000, neurobion 2x1 tablet, kalmetasonò inj retrobulber 1x1amp (5 hari) dilanjutkan peroral 4x2tablet ditappering tiap 1 minggu, asetazolamid 3x250mg, kcl 1x125mg, methylcobalt 2x500mg, enico 1x1 capsul, dan antalgin tablet kalau perlu. hari ke-3 setelah terapi pada pemeriksaan didapatkan visus mata kanan dan kiri 3/60, proyeksi sinar baik, persepsi warna merah/hijau baik, kampus visi ditemukan adanya depresi umum berat. terapi dilanjutkan, hari ke-6 kalmetasonò inj retrobulber 1x1amp dihentikan dan dilanjutkan peroral 4x2tablet selama 7 hari dievaluasi. hari ke-7 pasien diperbolehkan pulang dengan visus mata kanan 5/60 dan mata kiri 4/60, terapi diteruskan, nerobion injeksi 1x5000 dihentikan. satu minggu kemudian pasien kontrol di poliklinik mata dengan hasil pemeriksaan pada mata kanan visus 6/12 mata kiri 6/15, proyeksi sinar baik, pemeriksaan ischihara didapatkan buta warna pada pembacaan dengan 1 mata, dengan 2 mata baik. kampus visi didapatkan hasil depresi umum sedang pada kedua mata, kesan sangat mambaik. terapi dilanjutkan, kalmetasonò ditappering, kontrol kembali 1 bulan. satu bulan kemudian pasien kontrol dengan hasil pemeriksaan visus mata kanan 6/7,5 dan mata kiri 6/8,5, proyeksi sinar baik, pemeriksaan ischihara didapatkan buta warna hijau pada pembacaan dengan 1 mata, kampus visi didapatkan depresi ringan, membaik. terapi dilanjutkan, kalmetasonò ditappering, kontrol kembali ke dokter setempat. diskusi pada kasus ini gejala awal yang dikeluhkan penderita adalah kedua mata tidak dapat melihat mendadak 2 hari setelah mendapatkan pengobatan 9 macam obat. perlangsungan penyakit pada neuropati optic toksik dapat bersifat akut, subakut, ataupun krinik tergantung jenis zat toksiknya, dan pada kasus ini bersifat akut.7 visus penderita pada awal pemeriksaan adalah 1/300 pada kedua mata. penurunan visus pada kasus-kasus optic neuropati dapat berfariasi, namun kebutaan total atau hanya proyeksi sinar/ persepsi warna sangat jarang ditemukan 139 mutiara medika edisi khusus vol. 9 no. 2: 136 140, oktober 2009 pada kasus-kasus neuropati optic toksik (methanol). penurunan visus yang bilateral dan simetris mendukung diagnosis neuropati optic toksik, walaupun pada beberapa kasus awal bersifat asimetris. hasil pemeriksaan oftalmologis tidak menunjukkan adanya kelainan. pupil bulat, sentral dengan diameter 4mm, reflex direk dan indirek baik, fundus media jernih dengan papil berbatas tegas a/v 2/3 cd 0,3, macula reflek cemerlang, retina normal. defek pupl aferen sangat jarang dijumpai pada penderita neuropati optic toksik. hal ini disebabkan penurunan tajam penglihatan yang bilateral dan simetris. respon cahaya pupil akan terganggu pada kasus-kasus dengan tajam penglihatan buruk sampai buta.7 pemeriksaan lapang pandang dilakukan pada hari ketiga dengan hasil depresi berat pada kedua mata. defek lapang pandang merupakan hal yang sering terjadi pada penderita dengan toksik atau nutrisional optic neuropati. kelainan lapang pandang yang sering terjadi adalah skotoma sesosentral, sementara itu penyempitan lapang pandang perifer jarang ditemukan.2,8 pemeriksaan fundus menunjukkan papil saraf optic dalam batas normal. pada tahap-tahap awal gambaran diskus seringkali normal atau sedikit hiperemis. pembengkakan diskus hanya dijumpai pada sedikit kasus. pada kasus yang tidak ditangani dengan baik dan sudah lanjut, sering dijumpai atrofi optic. pemeriksaan elektrofisiologi merupakan hal yang penting pada kasus-kasus neuropati optic toksik. pemeriksaan elektrofisiologi yang dianjurkan ada;ak elektroretinogram (erg) dan visual evoked potensial (evp), tetapi pada kasus ini tidak kami kerjakan karena keterbatasan sarana.7 penderita kami konsulkan ke neurologi, tht, penyakit dalam, dan gigi mulut. hasil yang didapatkan dari keempat bagian tersebut menunjukkan tidak adanya kelainan. hal ini membantu dalam menyingkirkan diagnosis lain, sehingga kemungkinan penurunan tajam penglihatan karena kompresi dan neoplasma pada saraf optic dapat dikesampingkan. terapi yang diberikan adalah obat neurotropik, asetazolamide, dan kortikosteroid injeksi yang diteruskan dengan pemberian secara oral. pemakaian kortikosteroid pada penderita neuritis optik masih menjadi perdebatan dalam mempengaruhi perbaikan tajam penglihatan, namun hanya untuk menekan peradangan dan mengurangi rasa sakit. pada penelitian pemberian kortikosteroid secara intravena pada penderita neuritis optic yang kemudian dievaluasi dalam 1 tahun, didapatkan hasil perbaikan tajam penglihatan dengan cepat dan mendekati sempurna pada semua pasien yang mendapat terapi tersebut lalu dilanjutkan peroral. 9,10 pada kasus ini diberikan kortikosteroid dipertimbangkan atas dasar penurunan visus yang berat dan salah satu indikasi indikasi pemberian steroid adalah bila terjadi peradangan saraf optic dan terjadi penurunan visus yang sedang sampai berat. respon pemberian steroid pada kasus ini baik, dengan menunjukkan perbaikan visus pada hari ketiga, dan hampir normal pada satu bulan setelah serangan awal, yang umumnya penderita dapat merasakan perbaikan visus pada minggu keempat sampai kelima setelah serangan.3 atrofi optic merupakan perkembangan selanjutnya dari defek bagi serabut saraf yang mengalami degenerasi akibat neuritis optic, terutama jika terjadi kekambuhan bukanlah merupakan proses peradangan melainkan lebih ke suatu proses degenerasi saraf optic dengan terjadinya defek penglihatan warna dan lapang pandang.3 pada penderita didapatkan buta warna pada pemeriksaan satu mata, dengan dua mata tidak menunjukkan adanya buta warna, dan terjadi depresi umum pada pemeriksaan lapang pandang, yang membaik setelah mendapatkan terapi. yunani setyandriana, neuropati optik toksik akut 140 kesimpulan telah dilaporkan satu kasus neuropati optic toksik akut pada wanita dewasa 29 tahun. diagnosis ditegakkan atas dasar anamnesis dan gambaran klinik yang spesifik pada pemeriksaan neurooftalmologi. penatalaksanaan meliputi pemberian medikamentosa neurotropik, asetazolamide, dan kortikosteroid injeksi yang diteruskan dengan pemberian peroral. visus penderita membaik, 6/7.5 pada mata kanan dan 6/8.5 pada mata kiri, meskipun masih terdapat gangguan penglihatan warna hijau. didapatkan perbaikan pada penderita, meskipun tidak sempurna sesempurna keadaan sebelumnya. pemberian medikamentosa yang berlebihan dapat menyebabkan banyak efek samping termasuk toksisitas pada nervus optikus, sehingga harus hati-hati dalam pemberian dan pemilihan obat. daftar pustaka 1. kline lb, bajandas fj. neuroophthalmology review manual, 5th ed. slack incorporated, usa. 2001. 2. bruce j. lecture notes on ophthalmology. 9th ed. blackwell science ltd. english, 2003:151-53. 3. kanski jj. clinical ophthalmology. 3th edition. london: butterworthheinemann, 1994:14:457. 4. newman sa. basic and clinical science course section 5 neuroophthalmology. san francisco, california, 2003;4:166-68. 5. bern c, philen rm, freeman d, et al. epidemic optic neuropathy in cubaclinical characterization and risk factors. the new england journal of medicine 1995;2:1176-82. 6. albert dm, jakobiec fa. principles and practice of ophthalmology, vol 4. wb saunders company, 1994;205:25992603. 7. miller nr, newman nj. the essentials: walsh and hoyt’s clinical neuroophthalmology 5 th ed, lippincott williams and wilkins, pensylvania, usa, 1999;10:290-302. 8. chris h. disorders of the visual pathway: from the optic disc to the visual cortex; http.www.optometry.co.uk. 9. berck rw. optic neuritis treatment trial one year follow up result. arch ophthalmology j, 1993;111:773-5. 10. farris. bilateral post infectious optic neuritis and antravenous therapy in children. ophthalmology j, 1990;97:339-45. 83 mutiara medika vol. 7 no. 2:83-87, juli 2007 gambaran rekam medik gigi sebagai posisi sentral bagi dokter gigi di yogyakarta description of dental record as the central position among dentists in yogyakarta iwan dewanto program studi kedokteran gigi, fakultas kedokteranuniversitas muhammadiyah yogyakarta abstrak permasalahan dan kendala utama dari pelaksanaan rekam medis pada pelayanan kesehatan adalah dokter dan dokter gigi tidak menyadari sepenuhnya manfaat dan kegunaan rekam medis pada sarana pelayanan kesehatan. akibatnya, rekam medis seringkali dibuat tidak lengkap, tidak jelas dan tidak tepat waktu. desain penelitian ini adalah cross-sectional dengan bentuk survey. cara pengambilan sampel dilakukan secara acak dengan limitasi sampel yaitu dokter gigi praktek swasta mandiri di wilayah kota yogyakarta, dengan masa pengalaman buka praktek dokter gigi 0 sampai dengan 10 tahun. cara penelitan sampel menggunakan teknik observasional dengan instrumen checklist yang diisi oleh surveyor. data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. subyek penelitian adalah 40 dokter gigi praktek sore di kota yogyakarta. seorang dokter gigi tidak menggunakan rekam medik pada saat praktek swasta mandiri. terdapat 12 dokter gigi (30%) yang menggunakan media buku sebagai rekam medik dan 19 dokter gigi (47,5%) yang menggunakan rekam medis sederhana, yaitu hanya berisi data pasien dan terapi. standar rekam medis nasional yang mengharuskan menulis odontogram (gambar skema gigi dengan penomoran khusus sesuai fdi world dental federation) hanya dilakukan oleh 2 dokter gigi (5%). hasil penelitian ini menunjukkan masih banyak rekam medis dokter gigi yang harus diperbaiki sesuai dengan standar yang berlaku. hal ini menggambarkan rentannya profesi kedokteran gigi di bidang regulasi hukum di indonesia. kata kunci : dokter gigi, posisi sentral, rekam medik gigi abstract the main problem and obstacle of the implementation of medical/ dental record in the health care services is that medical doctors and dentists do not have sufficient understanding about the importance and functions of medical/ dental records in health care facilities. consequently, health care providers often write incomplete, unclear and untimely medical/ dental records. this research was a cross sectional study done in a survey. the sampling method used was a random sampling with sample limitation i.e. independent private-practicing dentists in yogyakarta with practice length of 0-10 years. research instrument used in this research was a checklist completed by a surveyor. data collected was analyzed descriptively. research subjects were 40 independent private-practicing dentists in yogyakarta. one dentist did not use dental record in his private practice. there were 12 dentists (30%) who used books as media for dental record and 19 dentists (47.5%) us/ed simple dental record iwan dewanto, gambaran rekam medik ............ 84 consisting of patient data and treatment. national standard of medical record, which obliges writing odontogram (teeth diagram with special numbering in accordance to fdi world dental federation) was only done by 2 dentists (5%). the findings revealed that the writing of dental record needed to be improved in accordance with the prevailing standard. this shows the vulnerability of dental profession in the field of law regulation in indonesia. keywords : central position, dental record, dentist pendahuluan salah satu unsur utama dalam sistem pelayanan kesehatan yang prima adalah tersedianya pelayanan medis oleh dokter dan dokter gigi dengan kualitasnya yang terpelihara sesuai dengan amanah undang-undang nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran. dalam penyelenggaraan praktik kedokteran, setiap dokter dan dokter gigi wajib mengacu pada standar, pedoman dan prosedur yang berlaku sehingga masyarakat mendapat pelayanan medis secara profesional dan aman.1 sebagai salah satu fungsi pengaturan dalam uu praktik kedokteran yang dimaksud adalah pengaturan tentang rekam medis yaitu pada pasal 46 dan pasal 47. dalam permenkes no. 749a/menkes/ xii/89 tentang rekam medis disebutkan behwa: pengertian rekam medis adalah: berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksian, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan.2 permasalahan dan kendala utama pada pelaksanaan rekam medis adalah dokter dan dokter gigi tidak menyadari sepenuhnya manfaat dan kegunaan rekam medis, baik pada sarana pelayanan kesehatan maupun pada praktik perorangan, akibatnya rekam medis dibuat tidak lengkap, tidak jelas dan tidak tepat waktu. saat ini telah ada pedoman rekam medis yang diterbitkan oleh departemen kesehatan ri, namun pedoman tersebut hanya mengatur rekam medis rumah sakit. 1. wilayah indonesia yang luas dan sering dilanda bencana. rekam medis dibuat oleh dokter gigi berperan dalam proses identifikasi korban. berdasarkan pengalaman di lapangan, identifikasi korban mati massal menggunakan gigigeligi mempunyai kontribusi yang tinggi dalam menentukan identitas seseorang3. contoh kasus kecelakaan pesawat garuda di bandara adisucipto yogyakarta tahun 2007, rekam medik dokter gigi merupakan satu-satunya alat untuk mengidentifikasi korban. 56% kasus bom bali tahun 2002 dan 60 % pada kecelakaan lalu lintas di situbondo oktober 2003, identifikasi korban di identifikasi melalui pemeriksaan gigigeliginya. 2. posisi sentral rekam medik sebagai gambaran “ tingkat kualitas proses pelayanan medis” yang dilakukan oleh drg.3 3. amanat uu praktek kedokteran no. 29 tahun 2004 dan profesi, sehingga merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh drg.4 4. posisi sentral rekam medis sebagai alat bukti yang selalu digunakan dalam suatu kasus hukum yang ada, khususnya tuduhan kasus malpraktek. gugatan hukum / tuntutan yang terjadi pada statu kasus, maka “ rekam medik sebagai bahan bukti ( bukan alat bukti ) yang akurat, untuk melihat ada atau tidak adanya malpraktek, yang meliputi kelalaian / standar profesi / resiko medis / hak persetujuan pasien / dasar pembenaran hukum”5 5. sebagai media komunikasi di antara tenaga kesehatan dalam melaksanakan perawatan, dan dapat juga berfungsi sebagai referensi perawatan penyakit yang menghubungkan antara teori dan praktek.6 resiko dan dampak dari tidak dilaksanakannnya rekam medis berakibat sanksi berat atau membuat citra yang buruk pada profesi dokter gigi di indonesia. kondisi di indonesia diperlukan 85 mutiara medika vol. 7 no. 2:83-87, juli 2007 keseragaman dalam penulisan nomenklatur gigi maupun kejelasan catatan tindakan perawatan untuk mendukung kemanfaatan diatas. departemen kesehatan telah mengeluarkan standar nasional rekam medik kedokteran gigi pada tahun 2004 agar dapat dilaksanakan oleh seluruk tenaga medis drg di wilyahnya masing-masing.5 yogyakarta dengan jumlah penduduk : 3.333.913 jiwa (2006), terbagi dalam 5 kabupaten / kota mempunyai organisasi profesi tingkat wilayah propinsi (pengurus wilayah pdgi diy) yang aktif. organisasi pdgi tingkat propinsi diy juga terbagi dalm 5 cabang, yaitu cabang kota, bantul, kulon progo, gunung kidul dan sleman. jumlah drg umum (general dentist) adalah 542 drg dan jumlah drg spesialisnya 92 drg. kondisi tersebut memperlihatkan perbandingan pelayanan drg di yogyakarta adalah 1 : 5258, atau 1 orang drg dapat memberikan pelayanan pada 5258 pasien, jauh lebih baik dari skala perhitungan nasional, yaitu 1 drg untuk memberikan layanan kepada 23,500. perbandingan ini tidak dapat menjadi patokan layanan, karena jumlah drg diatas tersebar tidak merata. daerah kota merupakan daerah paling banyak dokter giginya, yaitu sebanyak 182 drg, kemudian dilanjutkan kabupaten sleman di urutan kedua sebanyak 168 drg. dari jumlah tersebut, tidak semua drg tersebut membuka praktek swasta mandiri. data untuk jumlah drg praktek swasta di masingmasing dinas kesehatan kabupaten/kota menunjukkan hanya setengah sampai tigaperempatnya saja yang melaksanakan praktek swasta mandiri. cabang kota yogyakarta mempunyai jumlah drg praktek swasta mandiri lebih banyak akan dipilih sebagai tempat penelitian rekam medis drg di wilayah yogyakarta.7 penelitian tentang rekam medis di bidang kedokteran gigi, mempunyai tujuan untuk memperoleh gambaran pelaksanaan rekam medis di drg praktek swasta di kota yogyakarta, sehingga dapat dilakukan perbaikan dan pelatihan rekam medis drg yang sesuai kebutuhan di daerah perkotaan. diharapkan dengan perbaikan dalam hal rekam medis drg, maka ke depan akan terlihat gambaran pelayanan kedokteran gigi di yogyakarta pada khususnya. korelasi hubungan antara asisten dan dokter gigi yang bekerja dalam teamwork, dapat memperlihatkan kendala yang ada dalam pelaksanaan rekam medis. bahan dan cara desain penelitian ini adalah deskriptif observasional, dengan rancangan survey sampel. cara pengambilan sampel dilakukan secara random dengan limitasi sampel yaitu drg praktek swasta mandiri di wilayah kota yogyakarta, dengan masa pengalaman buka praktek drg 0 sampai dengan 10 tahun. cara penelitan sampel menggunakan teknik observasional dengan instrumen checklist yang diisi oleh surveyor. penatalaksanaan kalibrasi surveyor dilakukan satu kali sebelum pelaksanaan survey. penelitian rekam medis drg di kota yogyakarta dilaksanakan pada bulan nopember 2006 sampai dengan januari 2007 di wilayah kota yogyakarta. jumlah populasi drg di wilayah tersebut menurut data dari konsil kedokteran indonesia tahun 2006 adalah 182 drg dan menurut data dinas kesehatan kota sebanyak 98 tempat drg melakukan praktek swasta mandiri baik berkelompok maupun individu. jumlah sampel yang dipilih sebanyak 40 sampel. hasil jumlah sampel 40 drg praktek sore di kota yogyakarta, hanya terdapat 1 drg yang tidak menggunakan rekam medik pada saat praktek swasta mandiri. dokter gigi menggunakan media buku sebagai rekam medik terdapat 12 drg (30%), dengan bentuk pengisian sebagai berikut: 2 drg hanya mencatat identitas pasien dan 10 drg mencatat identitas dan terapi perawatan yang telah dilakukan di dalam buku tersebut. pasien tidak mempunyai nomor rekam medis sendiri-sendiri, sehingga setiap kali kedatangan selalu dicatat identitas baru dan perawatannya pada kunjungan hari itu. dokter gigi yang menggunakan rekam medis sederhana, yaitu hanya berisi data pasien dan terapi perawatan merupakan iwan dewanto, gambaran rekam medik ............ 86 hasil yang paling banyak ditemui, yaitu sebesar 19 drg (47,5%). standar rekam medis nasional yang mengharuskan menulis odontogram (gambar skema gigi dengan penomoran khusus sesuai fdi )hanya dilakukan oleh 2 drg atau 5%, dan bentuk odontogram untuk 2 drg tersebut juga jarang diisi. perkembangan teknologi juga sudah dilaksanakan oleh dokter gigi, ditunjukkan dengan rekam medik elektronik yang digunakan terpadu dengan sistem informasi manajemen , telah dilakukan oleh 6 drg. tabel. 1 1 2 1 0 1 9 2 6 0 2 4 6 8 1 0 1 2 1 4 1 6 1 8 2 0 buku identitas buku identitas terapi rm sederhana rm odontogram rm sim tdk ada rm perhitungan untuk nilai modus terlihat 19 dokter gigi menggunakan rekam medis sederhana, tanpa adanya gambaran odontogram. sebagai sarana penunjang dalam hal rekam medis, penelitian ini juga menghitung teamwork drg dengan asistennya. hasil yang didapat adalah dokter gigi yang bekerja tanpa bantuan asisten sebanyak 12 orang, yang menggunakan 1 orang asisten untuk membantu tugas drg sebanyak 22 orang dan yang mempunyai 2 asisten sebanyak 6 orang. perhitungan nilai modus 22 drg mempunyai 1 asisten. tabel.2. 12 22 6 0 5 10 15 20 25 tdk ada asisten 1 asisten 2 asisten diskusi peran rekam medis di bidang dokter gigi sangat vital, namun dari hasil penelitian yang dilakukan di kota yogyakarta masih menunjukkan bahwa penggunaan rekam medis masih belum optimal. odontogram atau gambaran skema gigi-geligi pasien dapat dikatakan jarang dilaksanakan (5%), walaupun hal tersebut sudah dijadikan standar nasional dalam penulisan rekam medis di bidang kedokteran gigi. kepedulian dokter gigi terhadap rekam medis di kota yogyakarta masih perlu ditingkatkan, mengingat rekam medis mempunyai posisi sentral yang sangat berguna bagi dokter gigi dan orang lain dalam hal ini lebih ditujukan kepada pasien. isi dari rekam medis merupakan hak dan milik pasien, drg hanya menyimpannya dalam bentuk tertulis. pasien berhak meminta hasil isi rekam 87 mutiara medika vol. 7 no. 2:83-87, juli 2007 dilakukannya di ruang praktek gambaran kejadian ini menunjukkan rentannya profesi kedokteran gigi di bidang regulasi hukum yang berjalan di indonesia. saran penelitian ini hanya sebagai gambaran agar dapat dilakukan penelitian lebih lanjut yang lebih detail lagi, yang dapat dilaksanakan oleh organisasi profesi (pdgi) di daerah/cabang masing-masing. gambaran hasil penelitian ini merupakan saran dan kritikan bagi dokter gigi pada khususnya dan organisasi profesi dokter gigi pada umumnya, agar lebih memberikan perhatian terhadap kualitas dan kewajiban yang harus dilaksanakan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. daftar pustaka 1. konsil kedokteran indonesia, (2006), standar kompetensi profesi kedokteran gigi, jakarta. 2. hanafiah, jusuf m dan amir amri, (1999), etika kedokteran dan hukum kesehatan, edisi 3, egc, jakarta 3. interpol disaster victim identification guide (2002), interpol dvi standing committee lyon france. 4. konsil kedokteran indonesia, (2006), manual rekam medis, jakarta. 5. departemen kesehatan ri, (2004), standar nasional rekam medik kedokteran gigi, dirjend. pelayanan medik., jakarta 6. dahlan sofwan, (2005), hukum kesehatan; rambu-rambu bagi profesi dokter, edisi 3, badan penerbit universitas diponegoro, semarang. 7. anonim, profil kesehatan kesehatan propinsi diy,( 2006 ), dinas kesehatan propinsi diy 8. konsil kedokteran indonesia, (2006),buku kemitraan, jakarta. 9. konsil kedokteran indonesia, (2006), penyelenggaraan praktek kedokteran yang baik, jakarta. 10. anonim, (2002), kode etik kedokteran gigi, pengurus besar persatuan doketr gigi indonesia, jakarta. medisnya untuk mengetahui catatan pelayanan yang telah diberikan. isi rekam medis adalah hak pasien, sehingga memudahkan pasien bila nanti akan berobat ke dokter lain ataupun memerlukan perawatan untuk penyakit yang lain.8 korelasi antara hubungan asisten dan dokter gigi yang bekerja dalam teamwork, dapat terlihat dengan hasil jumlah dokter gigi yang menggunakan asisten (70%) dan yang tidak menggunakan (30%). keterbatasan tenaga mungkin menjadi kendala dokter gigi untuk membuat rekam medis yang sesuai dengan standar nasional. hal ini sangat memungkinkan, karena tugas dan pekerjaan dokter gigi sangat padat apabila sedang memberikan perawatan kepada pasien. bantuan dari asisten akan lebih membantu dokter gigi dalam mengisi rekam medis, dan yang perlu diperhatikan adalah pengisian perawatan yang dilakukan harus selalu diisi oleh dokter gigi yang memberikan perawatan dan harus disertai paraf.9 penatalaksanaan rekam medis dokter gigi perlu mendapatkan sorotan khusus oleh organisasi profesi, agar anggotanya membuat dan mengisi rekam medis sesuai standar nasional yang telah dibakukan dan telah ada peraturan perundang-undangannya. pelanggaran dari peraturan tersebut telah menjadi perbuatan melanggar hukum, yang membuat dokter gigi dapat dikenakan sanksi.10 disisi lain kebutuhan akan rekam medis di indonesia membantu apabila terjadi bencana atau kecelakaan yang membutuhkan identifikasi korban. gambaran mutu pelayanan dokter gigi, dapat dilihat dan di evaluasi apabila rekam medis telah dilakukan dengan sesuai standar nasional. kesimpulan peran rekam medis di bidang dokter gigi sangat vital, namun dari hasil penelitian yang dilakukan di kota yogyakarta masih menunjukkan bahwa penggunaan rekam medis masih belum dilakukan secara benar dan optimal. dokter gigi masih memilih menggunakan rekam medis sederhana sebagai pencatatan pelayanannya, tanpa ditulis prosedur pemeriksaan yang telah laelia dwi a, kesehatan gigi anak autis ............ 104 kesehatan gigi anak autis autis’s health teeth laelia dwi anggraini program studi kedokteran gigi fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta abstract autism is a development disturbance in children, which includes communication, interaction and behavior. autistic children suffer more serious mouth disease because disability to brush their teeth. the main problem in handling autistic children is building a good communication and giving attention in health teeth. good cooperation from parents, autistic child, and their dentist is a key success for the teeth care of autistic children. this paper explains about autism including its etiology, diagnosis, therapy and how to handle the mouth and teeth health of autistic children. key words: autism, cooperation, teeth health abstrak autis adalah gangguan perkembangan pada anak yang meliputi komunikasi, interaksi dan kebiasaan. anak autis mempunyai gangguan kesehatan mulut yang serius, disebabkan ketidakmampuannya menyikat gigi. masalah utama menangani anak autis adalah membangun komunikasi dan memberi perhatian pada kesehatan giginya. kerjasama yang baik antara orang tua, anak autis dan dokter giginya adalah kunci kesuksesan perawatan gigi anak autis. makalah ini menerangkan tentang autis meliputi etiologi, diagnosis, terapi dan bagaimana menangani kesehatan gigi dan mulut anak autis. kata kunci : autis, kerjasama, kesehatan gigi pendahuluan autisme merupakan gangguan perkembangan fungsi otak yang mencakup bidang sosial dan afeksi, komunikasi verbal (bahasa) dan non verbal, imajinasi, fleksibilitas, lingkup interest (minat), kognisi dan atensi. autisme merup akan suatu kelainan dengan ciri perkembangan yang terlambat atau yang abnormal dari hubungan sosial dan bahasa. gejala penting lainnya ialah tidak suka dengan perubahan, perilaku motorik yang aneh, kedekatan yang tidak biasa dengan benda tertentu dan reaksi emosional yang mendadak1. autism spectrum disorder (asd) adalah suatu sindroma gangguan perkembangan anak yang sangat kompleks mulai dari ringan sampai berat yang disertai sindroma lainnya seperti gangguan sensoris, mental retardasi, atau kejangkejang. kelainan ini sama halnya dengan kelainan atau penyakit sindroma lain yang sering ditemukan pada anak 2. berdasar waktu munculnya gangguan, autisme dibedakan menjadi 2, ialah autisme yang terjadi sejak bayi, bisa terdeteksi usia bayi 6 bulan dan autisme regresif, biasa terjadi ketika anak usia 1,52 tahun, ditandai dengan regresi atau kemunduran kembali 3. makalah ini menerangkan tentang autis meliputi etiologi, diagnosis, terapi dan bagaimana menangani kesehatan gigi dan mulut anak autis 105 mutiara medika vol. 7 no. 2:104-108, juli 2007 etiologi autisme hingga saat ini belum jelas penyebabnya. dari berbagai penelitian klinis hingga saat ini masih belum terungkap dengan pasti penyebab penyebab autisme. secara ilmiah dibuktikan bahwa autisme adalah suatu kelainan/penyakit yang disebabkan multifaktorial, dengan banyak ditemukan kelainan pada tubuh penderita., salah satunya manifestasi alergi. pengaruh alergi makanan ke otak tersebut adalah sebagai salah satu pemicu memperberat penyakit autisme4. autisme adalah familial (2% pada saudara kandung). abnormalitas kromoson, terutama fragile x, ikut berperan pada sebagian kecil kasus. ada pengaruh kondisi fisik saat hamil dan melahirkan, yang mencakup rubella, sifilis, fenilketonuria, dan tuberus sklerosis. faktor paska natal yang ikut berperan mencakup infatile spasme, epilepsi mioklonik, meningitis dan ensefalitis. pada sekitar 10-30% anak autism, dapat diidentifikasi faktor penyebabnya1. faktor penyebab anak autisme antara lain faktor genetik, faktor imunologik, faktor perinatal, faktor biokimia, dan faktor psikodinamika. adanya disfungsi metallothionein atau ketidakmampuan tubuh untuk mengikat logam berat sehingga berakibat menimbulkan keracunan logam, sebagai contoh tingginya kandungan merkuri dalam tubuh2. epidemiologi sebelum tahun 1980, autisme adalah suatu kondisi yang jarang ditemui. sampai sekitar tahun 1980, jenis autisme bawaan lahir maupun regresi mempunyai frekuensi yang hampir sama, 50-60% sudah ada kelainan sejak bayi, dan 40-50% normal pada saat lahir kemudian terjadi regresi pada umur 12-24 bulan. pada saat itu,frekuensi autisme diperkirakan 2-5 per 10.000 anak. frekuensi autisme meningkat 10 kali lipat pada tahun 1995. peningkatan jumlah autisme bawaan mencapai 3-4 kali lipat, dan autisme regresif 10 kali lipat5. prevalensi autism spectrum disorder (asd) atau autism adalah 1: 500 anak2. pada pria lebih sering dijumpai daripada wanita dengan perbandingan 4:11. diagnosis gejala autisme dapat timbul pada usia dini, kurang dari 1 tahun, dengan gejala awal bermanifestasi sebagai tidak dijumpainya perilaku perkembangan yang lazim serta gejala patologi awal. pada anak usia dini, autisme, retardasi mental, atau variasi perkembangan normal sulit dibedakan. gejala dan tanda yang tidak semestinya dan aneh, harus diperhatikan dengan cermat. intervensi harus segera dilakukan, jangan ditunda hanya untuk menunggu diagnosa pasti6. keluhan orang tua merupakan tanda awal diagnosis ditegakkan. orang tua anak autis sering telah mencurigai ada ketidakberesan dalam perkembangan anaknya. orang tua umumnya membandingkan anaknya dengan anak tetangga, anak saudaranya yang sebaya, atau membandingkan dengan keadaan anaknya yang lain. keluhan dalam bidang komunikasi, antara lain anak tidak berrespon bila dipanggil namanya, perkembangan bahasa terlambat, tampaknya seolah-olah tuli serta tidak mampu menyatakan apa yang dikehendaki. keluhan dalam bidang sosial, anak tidak tersenyum di lingkungannya. seolah dalam dunia tersendiri, tidak tertarik pada anak lain, memilih bermain sendiri. kontak pandang atau mata buruk. keluhan masalah perilaku, anak suka mengamuk, tidak tahu memainkan mainan, jalan jinjit. sangat peka atau tertarik pada tekstur atau bunyi tertentu. hiperaktif, tidak kooperatif atau melawan. suka membariskan mainan atau barang. pola geraknya ganjil1. untuk menegakkan diagnosis autisme diperlukan serangkaian tes yang dilakukan oleh berbagai bidang disiplin ilmu seperti halnya kasus sindroma lainnya2. umumnya diagnosis ditegakkan secara klinis. dsm iv mengemukakan kriteria untuk menegakkan diagnosis autisme (terlampir pada tabel). gejala autisme dapat dibagi atas gejala gangguan perilaku, gangguan intelektual, dan dapat pula disertai gangguan fisik. laelia dwi a, kesehatan gigi anak autis ............ 106 gangguan perilaku yang mencolok ialah interaksi dan hubungan yang abnormal terhadap lingkungan atau sosial, kurang menunjukkan respon, tidak menikmati sentuhan fisik dan menghindari kontak mata. anak tidak mau bermain dengan anak lain, kurang sadar terhadap perasaan orang lain. komunikasi bahasa abnormal, echolalia (mengulang kata seperti burung beo), neologisme (mengulang kata-kata baru). komunikasi nonverbal seperti isyarat melalui gerak-gerik tubuh (gesture ) kurang. bermain imajinatif, seperti pengemudi mobil balap. perilaku motorik aneh seperti berputar-putar, jalan jinjit, bertepuk tangan, diulang tanpa sebab jelas. mempunyai ritual stereotip , bila diganggu marah atau menantang1. terapi gangguan autisme dapat dikurangi dengan mengenali secara cermat gejala alergi dan mengidentifikasi secara tepat penyebabnya. intinya adalah menghindari makanan penyebabnya, sehingga mencegah atau meminimalisir gangguan perilaku pada penderita autisme4. terapi lainnya berupa terapi biomedis, seperti mengubah pola makan, membersihkan usus dari jamur dan kuman, meningkatkan daya tahan tubuh, dan detoksifikasi logam beracun. saat ini pun banyak dikembangkan terapi herbal untuk pasien autisme. selain itu, terapi psikologi diperlukan untuk mendampingi anak ini memperoleh kemandirian diri sendiri, seperti toilet training, terapi musik, dll. terapi psikofarmaka juga perlu dilakukan. saat ini pula dikembangkan terapi oksigen hiperbarik untuk meningkatkan konsentrasi oksigen pada tubuh. prognosis anak autis akan terus berkembang seiring perkembangan umurnya. pendampingan keluarga dan edukasi sangat penting dalam menjadikan mereka bisa hidup mandiri. prognosis anak ini umumnya buruk. sebagian besar anak tidak dapat berdikari pada usia dewasa, namun kira-kira 15% dapat berdikari dan memperoleh pekerjaan. prognosis ini terkait intelegensi dan perilaku 1. diskusi kesehatan gigi anak autis umumnya buruk. laporan kasus menunjukkan bahwa rata-rata anak autis mempunyai karies gigi dan penyakit periodontal3. kesehatan gigi dan mulut penderita autisme sama seperti orang normal, ditemukan adanya penyakit periodontal dan karies gigi. hal ini diperparah ketidakmampuannya menyikat gigi secara baik dan benar, disebabkan gangguan konsentrasi dan interaksi anak sehingga sulit menerima instruksi cara menyikat gigi2. adapun tindakan preventif yang dapat dilakukan adalah melatih dengan telaten pada anak autisme, bagaimana cara menyikat gigi yang baik dan benar, tentunya dengan melibatkan orang tua atau pengasuhnya. pada kondisi anak yang tidak memungkinkan menyikat gigi sendiri, pertolongan orang tua, pengasuh atau guru sekolahnya sangat diperlukan. inilah segitiga kerjasama yang diperlukan, ialah antara orang tua-anak autismedokter gigi yang merawatnya. biasanya anak autis ketakutan melihat dokternya. pendekatan bertahap (teknik desensitisasi) maupun teknik tsd ( tell-show-do ) memungkinkan membangun kepercayaan dokter gigi dengan pasien autisme. kesabaran dan keahlian khusus, mutlak diperlukan. komunikasi verbal dan non verbal dimodifikasikan dalam membujuk anak 2. kekurangan dan keterbatasan yang ada pada penderita autisme merupakan hambatan untuk dapat memelihara kesehatan dan kebersihan gigi dan mulutnya dengan baik. koordinasi gerakan lidah yang tidak teratur menyebabkan makanan sering ditahan di dalam mulut dan tidak langsung ditelan. pola telan ini diperparah dengan kebiasaan mengkonsumsi makanan yang kariogenik sehingga resiko karies lebih tinggi pada anak autisme 3. kerjasama seorang dokter gigi dengan dokter anak atau psikolog, atau disiplin ilmu lain yang terkait sangat 107 mutiara medika vol. 7 no. 2:104-108, juli 2007 diperlukan sehingga hasil akhir yang diinginkan dapat tercapai dengan sebaikbaiknya. penanganan secara holistic dan comprehensive diperlukan dalam menunjang perawatan gigi secara total care. kesimpulan berdasar uraian di atas, disimpulkan bahwa perawatan gigi anak autis dapat dilakukan melalui kerjasama yang baik antara orang tua, anak autis dan dokter giginya. penanganan dianjurkan secara holistic dan comprehensif , untuk menunjang perawatan gigi secara paripurna. saran adapun hal-hal yang disarankan : 1. dokter gigi diharapkan mau menangani pasien anak autis, walaupun terasa sulit, tetapi pendekatan yang baik ditunjang kesabaran, sangat dibutuhkan 2. perawatan dilakukan secara bertahap, mulailah dengan kasus sederhana terlebih dahulu, supaya pasien autis ‘believe’ dengan dokter giginya. daftar pustaka 1. lumbantobing, 2001, anak dengan mental terbelakang, balai penerbit fkui, jakarta. 2. heriandi s, 2005, perawatan kesehatan gigi dan mulut anak autism, seminar autism update, prokids terapi center, jakarta. 3. lasmi dn, susi i, laelia da, jacinta pp, jeane t, c. endang s, dan vj gambar 1. salah satu anak autis di slb khusus seturan, yk soedarsono, 2005, penanganan kesehatan mulut anak autis, majalah kedokteran gigi, ed. khusus pin ikga i, surabaya. 4. judarwanto w, 2005, alergi makanan dan autisme, seminar autism update, prokids terapi center, jakarta. 5. budhiman m, 2005, penatalaksanaan biomedik pada gangguan spektrum autisme, seminar autism update, prokids terapi center, jakarta. 6. purboyo s, 2005, skrining dan metode diagnostik autisme dini pada anak usia dini, seminar autism up date, prokids terapi center, jakarta. lampiran : tabel kriteria dsm iv bagi kelianan autistik a. didapatkan jumlah total 6 (atau lebih) item dari (1),(2), dan (3), dengan sekurangnya 2 dari (1) dan masingmasing satu dari (2) dan (3). (1) gangguan kualitatif interaksi sosial, bermanifestasi pada sekurangnya dua dari hal berikut: (a) gangguan yang nyata dalam perilaku nonverbal multipel, seperti menatap mata, ekspresi wajah, sikap badan dan jestur (isyarat) untuk berinteraksi sosial laelia dwi a, kesehatan gigi anak autis ............ 108 (b) gagal mengembangkan hubungan antar sebaya sesuai dengan tingkat perkembangannya (c) kurang spontanitas membagi kegembiraan, kesenangan, interes atau perolehan (misalnya kurang menyatakan, membawakan atau menunjukkan obyek yang menarik) (2) gangguan kualitatif dalam berkomunikasi, sebagaimana yang terlihat pada sekurangnya satu dari hal berikut : (a) terlambat, at au sama sekali tidak ada, perkembangan bahasa lisan (tidak disertai upaya untuk mengkompensasinya dengan cara komunikasi alternatif, sebagai isyarat atau mimik) (b) pada individu yang bicaranya memadai, terdapat gangguan yang nyata dalam kemampuan untuk (c) memulai atau memperetahankan konversasi dengan orang lain. (d) penggunaan bahasa secara stereotif atau berulang-ulang (yang itu-itu saja) atau bahasa idiosinkratik (e) kurang ragam bermain yang memadai atau bermain sosial imitatif sesuai dengan tingkat perkembangannya (3) pola yang terbatas, berulang dan stereotip dari perilaku, interes, dan aktivitas sebagai yang bermanifestasi pada sekurangnya satu dari hal berikut : (a) terp aku perhatiannya pada satu atau lebih pola interest yang stereotip dan terbatas yang abnormal intensitas atau fokusnya (b) tamp ak menempel secara tidak fleksibel pada rutinitas atau ritual yang spesifik, tidak ada fungsinya (c) perilaku motorik yang aneh, stereotip dan berulang (misalnya mengelepak atau memilin tangan atau jari, atau gerak seluruh badan yang kompleks) (d) perhatiannya secara persisten dipenuhi atau melekat pada bagian suatu obyek b. terlambat atau fungsi yang abnormal dari – sekurangnya satu dari bidang berikut – yang bermula sebelum usia 3 tahun, yaitu : (1) interaksi sosial, (2) bahasa yang digunakan pada komunikasi sosial, (3) permainan simbolik dan majinatif. 101 mutiara medika edisi khusus vol. 9 no. 2: 101 107, oktober 2009 perbedaan tingkat depresi antara lansia yang memiliki keluarga dengan lansia yang tidak memiliki keluarga the difference of depression level between geriatric who have family and elderly who don’t have family kusbaryanto1, richy narulita2 1bagian ilmu kesehatan masyarakat fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta; 2 fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta abstract depression is a mental disorder that usually found in geriatric patient. depression in geriatric is not a part of normal aging process. depression usually happens in accordance with physical disease. because of that, the sign and symptom are usually vague and overlaped unsystematically. prevalence of depression in geriatric who live in hospital and elderly hostels is 10 times more than who live with their family. geriatric who have depression will find difficulty doing their daily activities. the support of the family will decrease the prevalence of depression in geriatric. the purpose of this research is to know the difference of depression level between geriatric who have family and geriatric who don’t have family. this research is non experimental with cross sectional design. the sample of this research are 30 responders fulfilling inclusion and exclusion criterion. this sample consists of 15 geriatric who have family and 15 geriatric who don’t have family in panti sosial trisna wredha kasongan bantul yogyakarta. the instrument used in this research is geriatric depression scale (gds) for measuring the level of depression in geriatric. the results of this research shows that there is no significant difference in the levels of depression between geriatric who have family and geriatric who don’t have family in panti sosial trisna wredha kasongan bantul yogyakarta (p=0,75). key words : depression, elderly, family abstrak depresi merupakan gangguan mental yang sering ditemui pada geriatri. depresi pada lansia bukan merupakan bagian dari proses penuaan yang normal. depresi sering komorbid dengan penyakit fisik, oleh karena itu gejala dan keluhan sering tersamar dan tumpang tindih. prevalensi depresi pada geriatri yang tinggal di rumah sakit dan panti jompo sepuluh kali lebih banyak daripada yang tinggal bersama keluarga. lansia yang mengalami depresi akan mengakibatkan kesulitan dalam melakukan aktivitas hidup sehari-hari. dukungan keluarga akan menurunkan angka kejadian depresi pada lansia. penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran perbedaan tingkat depresi antara geriatri yang memiliki keluarga dengan geriatri yang tidak memiliki keluarga. penelitian ini bersifat non eksperimental dengan pendekatan cross sectional. responden dalam penelitian ini sebanyak 30 subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. responden terdiri dari 15 lansia yang memiliki keluarga dan 15 lansia yang tidak memiliki keluarga di panti sosial trisna wredha kasongan bantul yogyakarta. instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah geriatric depression scale (gds) untuk mengukur derajat depresi pada lansia. kusbaryanto, richy narulita, perbedaan tingkat depresi .............................. 102 hasil uji statistik menggunakan t-test menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara tingkat depresi pada lansia yang memiliki keluarga dengan lansia yang tidak memiliki keluarga di panti sosial trisna wredha kasongan bantul yogyakarta (p=0,75). kata kunci: depresi, keluarga, lansia pendahuluan peningkatan jumlah lanjut usia (lansia) yang cepat akan menimbulkan permasalahan yang komplek dan memberikan dampak pada berbagai aspek kehidupan serta berpengaruh terhadap kelompok penduduk lainnya. pada aspek kesehatan, peningkatan jumlah tersebut akan menimbulkan masalah, baik masalah fungsional maupun psikologi. masalah psikologi yang lazim dan praktis ada pada lansia adalah demensia dan depresi.1 masalah psikiatri yang umum terjadi pada lansia yaitu depresi (42%); skizofrenia (22%); dan gangguan bipolar (13%). depresi merupakan gangguan mood yang paling sering terjadi pada lansia dan 15% dari penduduk yang berusia 65 tahun atau lebih menderita depresi. keadaan depresi sering terlupakan jika tidak diperhatikan dengan seksama karena orang yang usia lanjut sering tidak mengeluhkan perasaan depresinya.2 kaplan dan sadock mengungkapkan bahwa gejala depresi ditemukan pada 25% dari semua penduduk komunitas lanjut usia dan pasien rumah perawatan, dalam hal ini depresi tidak hanya disebabkan oleh faktor usia saja tetapi disebabkan juga oleh faktor lain seperti kehilangan anggota keluarga dan penyakit kronik yang diderita.3 depresi adalah suatu perasaan sedih yang sangat mendalam, yang bisa terjadi setelah kehilangan seseorang atau mengalami peristiwa menyedihkan lainnya, tetapi tidak sebanding dengan peristiwa tersebut, kesedihan terus-menerus dirasakan melebihi waktu yang normal. suatu episode depresi biasanya berlangsung selama enam sampai sembilan bulan, tetapi pada 15-20% penderita bisa berlangsung sampai dua tahun atau lebih. episode depresi cenderung berulang sebanyak beberapa kali. 4 scott menyatakan bahwa depresi hendaknya diterapi seperti penyakit kronik pada umumnya. hal ini disebabkan karena tingginya angka kejadian bunuh diri pada lansia yang depresi. 5 psikologi terapi keluarga, terapi obat, dan ect (electro convulsive teraphy) efektif digunakan untuk penatalaksanaan pasien lansia yang mengalami depresi. selain itu juga terapi keagamaan/ibadah dapat menurunkan terjadinya depresi.6 penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran perbedaan tingkat depresi antara geriatri yang memiliki keluarga dengan geriatri yang tidak memiliki keluarga. bahan dan cara desain penelitian adalah non experimental dengan pendekatan cross sectional yaitu pengukuran variablevariabelnya dilakukan dalam satu kali.7 penelitian ini dilaksanakan pada bulan juli agustus 2007 di panti sosial trisna wredha unit budi luhur kasongan, bantul, yogyakarta. populasi penelitian adalah semua lansia yang ada atau tinggal di panti tersebut sejumlah 79 orang. cara pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah non probability sampling berupa purposive sampling sebanyak 30 responden lansia. variabel bebas dalam penelitian ini adalah ada atau tidak adanya keluarga, sedangkan variabel terikatnya adalah tingkat depresi pada lansia. data yang dikumpulkan untuk variabel bebas adalah ada atau tidak adanya 103 mutiara medika edisi khusus vol. 9 no. 2: 101 107, oktober 2009 keluarga yang merupakan data primer dengan menggunakan teknik wawancara secara langsung kepada sampel. sedangkan data yang dikumpulkan untuk variabel terikat adalah tingkat depresi berupa data primer dengan menggunakan kuesioner “skala depresi geriatrik” yang diisi oleh lansia. teknik pengolahan data untuk variabel bebas yang berupa ada atau tidak adanya keluarga dilakukan dengan melakukan wawancara secara langsung dengan kategori jawaban ya dan tidak. sedangkan untuk variabel terikat, data dikumpulkan dari kuesioner yang terdiri dari 30 item, dengan rentang jawaban: apabila jawaban benar = 1 dan apabila salah = 0. hasil dari data yang diperoleh, dianalisis dengan menggunakan scorring berdasarkan depression geriaric scale dengan rentang 20 – 30 = depresi berat, 10 – 19 = depresi ringan, 0 – 9 = non depresi. dalam penelitian ini, data variabel bebas adalah skala nominal dan variabel tergantung skala numerik (skala interval) oleh karena itu analisis statistic digunakan uji hipotesis t-test dengan program_spss for windows release 14.7 hasil hasil penelitian menunjukkan bahwa di panti wredha unit budi luhur kasongan, bantul, yogyakarta, dari 30 lansia subyek penelitian, 15 orang (50%) berusia 60 – 74 tahun, 14 orang (46.67%) berusia 75 – 90 tahun dan sebanyak 1 orang (3.33%) berusia >90 tahun. sedangkan untuk jenis kelamin, sebagian besar adalah wanita yakni sebanyak 23 orang (76.67%) dan untuk laki – laki sebanyak 7 orang (23.33%). sebagian besar lansia mempunyai riwayat pekerjaan sebagai pedagang atau wiraswasta sebanyak 12 orang (40%). sebanyak 60% responden adalah janda dan 66.67% responden mempunyai pendidikan sd/sr. tabel 1. tingkat depresi pada lansia bulan juli 2007 tabel 2. hubungan dukungan keluarga dengan tingkat depresi pada lansia tingkat depresi jumlah persen (%) non depresi depresi ringan depresi berat 14 15 1 46.67 50 3.33 jumlah 30 100 non depresi depresi ringan depresi berat total tingkat depresi dukungan keluarga f % f % f % f % ada 7 23.33 8 26.67 15 50 tidak ada 7 23.33 7 23.33 1 3.33 15 50 total 14 46.67 15 50 1 3.33 30 100 kusbaryanto, richy narulita, perbedaan tingkat depresi .............................. 104 diskusi karakteristik responden berdasarkan umur antara 60 – 74 tahun sebanyak 50%, umur 75 – 90 tahun sebanyak 46,67%, dan umur >90 tahun sebanyak 3,33%. berdasarkan jenis kelamin, tampak bahwa wanita lebih banyak (76,67%) dari pada pria (23,33%). lansia pria yang mengalami depresi ringan sebanyak lima orang (71,43%) dan yang tidak mengalami depresi sebanyak dua orang (28,58%), sedangkan perempuan yang mengalami depresi berat sebanyak satu orang (4,35%), depresi ringan sebanyak 10 orang (43,48%), dan yang tidak mengalami depresi sebanyak 12 orang (52,17). prevalensi depresi pada wanita biasanya dua kali lebih besar daripada pria. hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan hormonal, efek kelahiran, perbedaan stresor psikososial bagi wanita dan bagi pria, dan model perilaku tentang keputusasaan yang dipelajari.3 riwayat pekerjaan pada penelitian ini menunjukkan bahwa responden dengan riwayat pekerjaan wiraswasta/dagang adalah 40%. responden dengan riwayat pekerjaan wiraswasta/dagang mempunyai kecenderungan yang lebih besar untuk mengalami depresi. berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang mengalami depresi berat 3,33%, depresi ringan 23,33%, dan yang tidak mengalami depresi 13,33%. hawari menyatakan bahwa orang yang mempunyai jabatan adalah orang yang mempunyai kekuasaan, wewenang, dan kekuatan (power) dan orang yang kehilangan jabatan adalah orang yang kehilangan kekuasaan dan kekuatan (powerless); artinya sesuatu yang dimiliki dan dicintai kini telah tiada (loss of love object). dampak dari loss of love object ini adalah terganggunya keseimbangan mental emosional dengan munculnya berbagai keluhan fisik (somatik), kecemasan, dan depresi. keluhan–keluhan tersebut disertai dengan perubahan sikap dan perilaku yang disebut sindrom pasca kuasa (post power syndrome). 8 hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa 60% responden adalah janda dimana 33,33% dari mereka tidak mengalami depresi, 23,33% mengalami depresi ringan, dan 3,33% mengalami depresi berat. sedangkan responden yang masih memiliki pasangan hidup sebanyak 13,33% terdiri dari 3,33% tidak mengalami depresi dan 6,67% mengalami depresi ringan. jumlah responden yang tidak pernah menikah sebanyak 16,67% dengan 3,33% responden tidak mengalami depresi dan 13,33% mengalami depresi ringan. responden yang berstatus duda sebanyak 13,33% ini terdiri dari responden yang mengalami depresi ringan dan yang tidak mengalami depresi dalam jumlah yang sama. pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi pada orang yang tidak memiliki hubungan interpersonal yang erat, atau yang bercerai atau berpisah. gangguan depresif lebih sering pada orang yang bercerai dan hidup sendirian daripada orang yang menikah, tetapi perbedaan tersebut mungkin mencerminkan onset awal dan percekcokan perkawinan yang diakibatkannya yang karakteristik untuk gangguan tersebut.3 hasil penelitian juga menjelaskan bahwa sebagian besar responden mempunyai riwayat pendidikan sd atau sr (sekolah rakyat) yaitu sebanyak 66,67%. kaplan dan sadock menyatakan bahwa gangguan depresi lebih sering terjadi pada orang yang mempunyai riwayat pendidikan rendah daripada orang yang mempunyai riwayat pendidikan lebih tinggi, hal ini kemungkinan mencerminkan usia onset yang relatif awal untuk gangguan tersebut.3 tingkat depresi pada tabel 1. termasuk dalam kategori depresi ringan sebanyak 50%. keadaan ini sebagian besar disebabkan oleh stressor psikososial, penyakit yang diderita, dan status perkawinan. gangguan depresi yang terjadi pada lansia yang tinggal di panti sosial trisna wredha disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: kehilangan pasangan hidup, mempunyai penyakit fisik yang serius disertai disabilitas, stres lingkungan, dan 105 mutiara medika edisi khusus vol. 9 no. 2: 101 107, oktober 2009 merasa terisolasi. lansia yang mengalami depresi ringan yaitu lansia yang merasa takut akan kekambuhan penyakitnya, merasa hidupnya kosong, kesepian, dan merasa dirinya tidak berarti bagi keluarganya. lingkungan panti merupakan tempat yang memungkinkan untuk munculnya berbagai stressor psikososial, yang mungkin akan menambah stressor lama yang dibawa oleh lansia sebelum mereka masuk panti. perbedaan latar belakang kehidupan yang meliputi perbedaan dalam tingkat pendidikan, status perkawinan, keadaan sosioekonomi dan budaya, agama, ras, dan genetik merupakan multifaktor yang bisa mempengaruhi, memicu, dan meningkatkan kondisi depresi dan reaksi emosional individu terhadap berbagai masalah kehidupan. berbagai faktor yang berbeda tersebut akan menyebabkan tingkat depresi yang dialami oleh individu tersebut berbeda pula. pada lansia, stres lingkungan yang sering menyebabkan depresi dan kemampuan beradaptasi yang sudah menurun menyebabkan depresi lebih mudah terjadi pada lansia dan prognosisnya seringkali tidak sebaik pada usia muda.9 usia bukan merupakan faktor risiko terjadinya depresi, namun kehilangan pasangan hidup atau menderita penyakit kronik merupakan faktor yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap terjadinya depresi. lansia yang mengalami kehilangan misalnya kehilangan pasangan hidup,setelah operasi pengangkatan payudara; tinggal seorang diri; memiliki penyakit penyerta misalnya: darah tinggi, stroke, gangguan daya ingat; dan adanya interaksi obat berisiko mengalami depresi. proses terjdinya depresi pada lansia dihubungkan dengan perubahan pada sistem biologis saraf.6 tabel 2 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat depresi yang signifikan antara lansia yang memiliki keluarga dengan lansia yang tidak memiliki keluarga di panti sosial trisna wredha. hal ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:1). perbedaan dalam latar belakang kehidupan yang meliputi perbedaan tingkat pendidikan, status perkawinan, keadaan sosioekonomi dan budaya, agama, ras, dan genetik sehingga kerentanan terhadap timbulnya depresi juga berbeda; 2). dukungan keluarga yang diberikan kepada responden yang memiliki keluarga sangat kurang baik dari segi kualitas maupun kuantitas. kunjungan keluarga maksimal satu kali dalam seminggu dan dalam setiap kunjungan hanya berlangsung kurang dari satu jam. hal ini menyebabkan lansia merasa kecewa karena waktu kunjungan yang singkat itu tidak dapat menghapus rasa rindu mereka; 3). responden yang memiliki keluarga akan berpikir bahwa keluarga mereka sudah tidak mau merawat mereka lagi sehingga mere ditempatkan di panti oleh keluarga mereka. hal ini akan menyebabkan mereka merasa tidak berarti lagi bagi keluarga mereka; 4). lingkungan panti dengan segala aktivitasnya menyebabkan baik responden yang memiliki keluarga maupun tidak akan merasakan adanya kebersamaan. hal ini menyebabkan responden yang tidak memiliki keluarga merasakan adanya teman yang menggantikan keluarga mereka. faktor–faktor tersebut menyebabkan tingkat depresi antara responden yang memiliki keluarga dengan responden yang memiliki keluarga tidak mempunyai perbedaan yang bermakna. meskipun responden yang memiliki keluarga mendapatkan dukungan dari keluarga mereka namun terkadang hal itu justru dapat memicu terjadinya depresi. sama halnya dengan responden yamg tidak memiliki keluarga, meskipun mereka tidak mendapatkan dukungan dari keluarga mereka namun lingkungan panti sudah dapat menghilangkan sebagian dari rasa kesepian yang mereka alami. hidup bersama di panti membuat para lansia tersebut merasa memiliki teman yang senasib dan sepenanggungan. di panti, setiap lansia diperlakukan sama, tidak ada yang mendapat perhatian dan perlakuan yang lebih baik dari yang lain. mereka harus melaksanakan dan berpartisipasi dalam kusbaryanto, richy narulita, perbedaan tingkat depresi .............................. 106 semua kegiatan yang diselenggarakan oleh pihak panti kecuali jika kondisi memang tidak memungkinkan misalnya sakit. lingkungan panti tersebut akan menimbulkan rasa kebersamaan di antara para lansia sehingga merupakan suatu hal yang wajar jika tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap tingkat depresi antara lansia yang memiliki keluarga dengan lansia yang tidak memiliki keluarga. nasrun mengungkapkan bahwa terapi psikologi untuk lansia yang mengalami depresi adalah terapi keluarga. hal ini disebabkan karena sebagian besar masalah keluarga yang berperan dalam timbulnya gangguan depresi sehingga dukungan keluarga sangat penting bagi lansia. proses penuaan mengubah dinamika keluarga. terdapat perubahan posisi dari dominan menjadi dependen pada lansia. tujuan dari terapi keluarga adalah untuk meredakan perasaan putus asa dan frustasi.10 lansia juga kurang mendapat dukungan penghargaan dari keluarga padahal mereka sangat membutuhkan dukungan tersebut misalnya ketika lansia berprestasi dalam kegiatan di panti. stressor psikologi akan semakin bertambah apabila lansia membutuhkan dukungan penghargaan namun keluarga tidak memberikan dukungan tersebut dengan alasan keluarga tidak tahu apa yang diinginkan oleh lansia. hal ini akan memicu terjadinya depresi pada lansia. lansia terkadang bertingkah seperti anak-anak. mereka sangat berharap kedatangan keluarganya dan terkadang tidak menginginkan keluarganya pulang. perangainya pun berubah–ubah, kadang gembira kadang susah/sedih.11 dukungan emosional juga kurang diberikan pada lansia, jika keluarga mengunjungi lansia di panti dan lansia dalam keadaan sehat, maka keluarga merasa bahwa lansia dalam keadaan baik tanpa melihat sisi psikologis dari lansia tersebut. sebenarnya lansia ingin bercerita kepada keluarganya, namun kesempatan itu tidak diberikan oleh keluarga sehingga hal ini akan membuat lansia merasa dikucilkan dan tidak diperhatikan. perasaan ini akan memicu depresi pada lansia yang merasa hidupnya kosong dan tidak berharga lagi. dari hasil penelitian menunjukkan bahwa lansia yang tidak memiliki keluarga tidak mengalami depresi yang lebih berat. hal ini disebabkan karena mereka merasa panti adalah suatu tempat yang menyenangkan dan banyak teman, mereka sudah pasrah dengan sisa hidupnya dan siap bila suatu saat allah swt memanggilnya. mayoritas dari mereka adalah yang mempunyai uang pensiun sendiri sehingga mereka merasa bahwa dirinya masih berguna untuk dirinya maupun orang lain yang ada di panti. pada lansia permasalahan psikologi terutama muncul bila lansia tidak berhasil menemukan jalan keluar masalah yang timbul sebagai akibat dari proses menua. rasa tersisih, tidak dibutuhkan, ketidak ikhlasan menerima kenyataan baru seperti penyakit yang tidak kunjung sembuh, kematian pasangan merupakan sebagian kecil dari semua stressor yang harus dihadapi oleh lansia. depresi adalah permasalahan yang makin memberatkan kehidupan lansia. dukungan keluarga juga sangat penting dalam mengatasi depresi karena keluarga merupakan orang terdekat yakni ada ikatan hubungan.12 kesimpulan tingkat depresi antara lansia yang memiliki keluarga dengan lansia yang tidak memiliki keluarga di panti sosial trisna wredha tidak memiliki perbedaan yang signifikan. tingkat depresi pada lansia sebagian termasuk dalam kategori depresi ringan. daftar pustaka 1. gallo, j., reichel, w., et al. (1998). gerontologi. jakarta: egc. 2. krack, d. dan yang, t. (1992). depression in senior citizens found to diminish ability to plan and control. [versi elektronik]. diakses pada 107 mutiara medika edisi khusus vol. 9 no. 2: 101 107, oktober 2009 tanggal 20 april 2007, dari http:// www.senior journal. com. 3. kaplan, h.i. dan sadock, b. j. (1997). sinopsis psikiatri. jilid i. jakarta: binarupa aksara. 4. medicastore. (2007). penyakit manikdepresif. [versi elektronik]. diakses pada tanggal 23 april 2007, dari http: // www.medicastore.com. 5. scott j, paykel e, morriss r, et al. terapi kognitif-perilaku untuk berat dan berulang gangguan bipolar: acak controlled trial. br j psychiatry. 2006; 188:313-320. abstrak 6. aagp. (2007). depression: a serious but treatable illness. [versi elektronik]. diakses pada tanggal 18 april 2007, dari http://www.aagpgpa.org. 7. sastroasmoro, ismael. (2002). dasardasar metodologi penelitian klinis edisi kedua. jakarta: cv sagung seto. 8. hawari, d. (2002). manajemen stres, cemas, dan depresi. jakarta: gaya baru. 9. darmojo, r. dan martono, (2004). geriatri: ilmu kesehatan usia lanjut. 10. nasrun, 2000 gangguan psikiatri pada usia lanjut, nasrun diakses dari http:/ /repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/ c83fbd2a14bd3413dd9ea3254aef7c88ae 6458c4.pdf,2000 11. oswari. (1997). menyongsong usia lanjut dengan bugar dan bahagia. jakarta: pustaka sinar harapan. 12. amir, n. (1998). hpa pada pasien depresi. majalah psikiatri indonesia, xxxii (1): 75 – 89. mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 22 no 2 page 144-148, july 2022 endoscopic evaluation of swallowing in patient with tetanus followed by myasthenia gravis as its complication muyassaroh2*, rachma purnama sari1, rery budiarti2 1department of otorhinolaryngology-head and neck surgery, faculty of medicine, universitas diponegoro, jl. prof. sudarto, tembalang, tembalang, semarang, central java, indonesia 2department of otorhinolaryngology-head and neck surgery, dr. kariadi hospitals centre, jl. dr. sutomo no.16, randusari, south semarang, semarang, central java, indonesia date of article: received: 07 july 2021 reviewed: 17 jan 2022 revised: 07 feb 2022 accepted: 18 march 2022 correspondence: muyassaroh@rskariadi.co.id doi: 10.18196/mmjkk.v21i2.12221 type of article: case report abstract: flexible endoscopic evaluation of swallowing (fees) provides direct visualization of the pharynx and larynx immediately before and after a swallow in a patient with dysphagia. dysphagia is the difficulty in swallowing solid or liquid food. it is a symptom of an underlying disease like tetanus and myasthenia gravis. this case report showed the important role of fees in patients with dysphagia due to tetanus followed by myasthenia gravis as its complication. a 58-year-old man had complaints of severe difficulty in swallowing followed by complaints of fever and whole body seizures, which supported the diagnosis of tetanus. in the course of the disease, symptoms and the results of supporting examinations indicated the presence of myasthenia gravis. comprehensive management had done with colleagues in internal medicine, neurology and medical rehabilitation. that condition improved and the complaints disappeared after one month. it can be concluded that fees played an important role in diagnosing dysphagia. it could identify the modification of food consistencies and therapeutic maneuvers to prevent an aspiration for a patient with dysphagia as the early symptom of tetanus which caused neurotransmitter damage that broke muscle nerve junctions. it is also one of the predisposing factors for autoimmune conditions in myasthenia gravis. correct diagnosis and comprehensive management give a better improvement for the disease. keywords: dysphagia; fees; myasthenia gravis; tetanus introduction flexible endoscopic evaluation of swallowing (fees) is a diagnostic tool in otolaryngology that provides direct visualization of the pharynx and larynx immediately before and after a swallow.1,2 dysphagia is a difficulty in swallowing food, whether it is solid, liquid, or both.3 dysphagia is not a disease but a symptom caused by an underlying disease. for individuals who demonstrate abnormal swallowing, modified consistencies and therapeutic maneuvers may be performed at the end of the examination. dysphagia is often an early pathognomonic sign of tetanus and myasthenia gravis.2,4 based on the data, out of 106 patients with tetanus, 46% suffered from dysphagia, and 93% had trismus. in turkey, out of 37 patients with tetanus, 78% had dysphagia as an initial symptom, and 92% had trismus.5,6 tetanus is caused by an exotoxin produced by clostridium tetani that causes damage to neurotransmitters and the neuromuscular junction7,8 this exotoxin interferes with the release of neurotransmitters that inhibits the inhibitor impulse in strong muscle contraction and spasms, including swallowing muscles.9,10 clinical symptoms are characterized by periodic muscle spasms without impaired consciousness and can be a fatal condition. deficiency of immunity in tetanus patients can lead to autoimmune diseases. this condition can predispose to myasthenia gravis. myasthenia gravis is an autoimmune disorder characterized | 145 vol 22 no 2 july 2022 by an abnormal and progressive weakness in the skeletal muscles used continuously and accompanied by fatigue during activity and experiencing improvement after resting. one of the muscles affected is the chewing and swallowing muscles which cause dysphagia.11 this paper aims to report a case of the role of fees in patients with dysphagia, which is an early symptom of tetanus followed by myasthenia gravis complications. cases this case reported a 58-year-old man working as a carpenter. he came to the emergency room of rsdk with the main complaint of difficult swallowing for 20 days before he was admitted to the hospital. the patient could not swallow saliva, drinking water and solid food and liquid. a few days later, the complaint was followed by fever, stiffness and pain in most of the body when the patient moved and was stimulated by light. that complaint was felt for the first time. complaints of hoarseness, shortness of breath and a lump in the throat were denied. physical examination showed that the body was weak. there were no open wounds or scars, drooling, subfebrile, and tonic seizures when the patient was asked to move and was given light stimulation. oromotor, nose and ears examinations were within normal limits. the swallowing test found that the patient immediately vomited his food and choked. laboratory tests showed leukocytosis and a normal chest x -ray. the working diagnosis of the patient was dysphagia with suspect tetanus. the consultation results from internist college, the diagnosis, in this case, was in accordance with grade ii tetanus. initial therapy was given, including a dose of human tetanus immunoglobulin intramuscular and metronidazole intravenously for 500 mg/8 hours. anticonvulsant therapy was intravenous bolus 10 mg diazepam and paracetamol 500 mg/8 hours. the researchers inserted nasogastric tubes on patients for dietetic purposes. panoramic x-rays revealed several carious teeth and roots, which the dental and oral surgery colleagues thought to be a port de entrée of tetanus. after one week of hospitalization, the patient experienced a fever-free seizure but still experienced difficulty swallowing and a hoarse voice throughout the day, which worsened in the afternoon and evening, without shortness of breath. the evaluation results with flexible endoscopy (fees) identified pharyngeal phase dysphagia (the bolus cannot be swallowed), which showed a spasm in the laterolateral wall of the pharynx. the researchers consulted to colleagues in physical medicine and rehabilitation for swallowing and speech therapy, and then the patient obtained a 6series exercise schedule gradually adjusting to the patient's ability. figure 1. fees results: a. cavum oris; b. good oromotor function; c. velopharynx is good; d. spasm of the lateral wall of the pharynx; e. the residue is at a pure consistency; f. food penetration at puree consistency. 146 | figure 2. fees results in 3 days after the first examination: an a-e motor examination of the oral cavity, oromotor function within normal limits of the oral cavity; f. the spasm of the lateral pharyngeal wall was reduced compared to the previous examination; g. swallow food of pure consistency; h. less residue on pure consistency; i. no food penetration was found in liquid to solid consistency after the patient swallowed several times. the results of consultation with neurology colleagues with repetitive nerve stimulation (rns) examination found a wave image that supports the diagnosis of myasthenia gravis. the patient planned an anti-achr immunological examination, but due to payment coverage constraints, it could not be done. therefore, the patient was given pyridostigmine therapy (mestinone) 60 mg/12 hours. the patient experienced improvement after 2 days of administration of mestinone. it is the basis for the diagnosis of myasthenia gravis in the patient. the patient continued to experience improvement in both swallowing and motor activity. the patient showed improvement after 22 days of hospitalization. the patient was able to eat porridge and drink a little. patients were allowed outpatient care after 23 days of treatment with oral mestinone at a dose determined by the neurology colleague. there were no complaints at the follow-up visit; the result of fees still showed mild dysphagia. there was a reduced spasm in the lateral pharyngeal wall. there was food residue, but it slowly disappeared when the patient swallowed repeatedly. the swallowing process was better with the head down (chin tuck). one month after hospitalization, the patient could eat and drink well. discussion dysphagia is a subjective or objective complaint related to difficulty swallowing, choking cough or difficulty chewing food and secretions. dysphagia is not a disease but a symptom caused by an underlying disease such as neuromuscular disorders that play a role in the swallowing process. it is caused by blockages in the oral cavity, pharynx and esophagus, and the possibility of severe emotional disturbances. 12 dysphagia is divided based on the cause into motoric, mechanical dysphagia and emotional disorders. meanwhile, based on its location, dysphagia is divided into the oral phase, pharyngeal phase, and esophageal phase.3 diagnosis of dysphagia is based on history, physical examination and diagnostic testing. one of the diagnostic tools for evaluating swallowing is flexible endoscopic evaluation of swallowing (fees) with sensory testing. fees is a study that directly visualizes the pharynx and larynx immediately before and after swallowing. the equipment required to perform fees includes a flexible endoscope, viewing monitor, recording equipment and commercially available food testing materials. technologic advances and equipment miniaturization allow the study to be performed in the clinic or at the bedside in a hospital or nursing home setting. a solo practitioner can perform the examination, but it is easier to have an assistant available to help feed the patient. fees provides information about swallow initiation, penetration, aspiration, and the presence of pharyngeal residue. advantages of fees include its portability, relatively low cost, lack of radiation exposure, and the ability to evaluate various food substances and assess for pooling of saliva, laryngeal inflammation, neoplasm, and vocal fold function.3 dysphagia is one of the early signs in patients with tetanus and myasthenia gravis, so patients often come to the ent clinic first. fees examination for evaluation of the ingestion process is by providing 6 food consistencies such as thin liquid, puree, gastric rice/ soft food, havermouth, and biscuits. all food consistencies except biscuits are colored green or blue for better visualization on inspection. the results of | 147 vol 22 no 2 july 2022 the fees examination, in this case, showed a spasm in the lateral pharyngeal muscles so that the patient could not swallow the bolus. it might be caused by neurogenic oropharyngeal dysphagia. the diagnosis, in this case, was dysphagia et causa tetanus grade ii according to the modified tetanus degrees criteria from ablett's classification: grade 1 (mild): mild trismus, general spasticity (opisthotonus, stiff neck), no respiratory disturbances, no spasms, no dysphagia or mild dysphagia, no seizure; grade ii (moderate): moderate trismus, obvious rigidity/stiffness, mild to moderate brief spasms, moderate respiratory distress with a respiratory rate of more than 30 x/ minute, mild dysphagia; grade iii (severe): severe trismus, generalized spasticity: spastic muscles, spontaneous seizures, prolonged reflex spasms, a respiratory rate more than 40x/minute, apneic attacks, severe dysphagia and tachycardia more than 120; grade iv (very severe): grade iii coupled with severe autonomic disorders involving the cardiovascular system. severe hypertension with tachycardia alternates with hypotension and bradycardia, which may persist.10 clinical symptoms of tetanus are almost always related to the action of exotoxins (tetanospasmin) at the ganglion synapses of the spinal cord junction, neuromuscular junction and autonomic nerves.13 typically, clinical tetanus is due to the toxin tetanospasmin, which interferes with the release of neurotransmitters and inhibits impulse inhibitors that result in strong muscle contraction and muscle spasms. 9,10 the management is given an injection of human immunoglobulin tetanus 3000-6000 iu followed by antibiotic therapy of metronidazole for 10 days. supportive therapy like anticonvulsant and analgesia is given. ensuring airway and fulfilling nutritional intake should be considered.10,14 the patient, in this case, experienced an improvement shown by the absence of spasms or muscle spasms. however, he still had symptoms of dysphagia, hoarseness and fatigue at night. it indicated a suspicion of myasthenia gravis. myasthenia gravis is diagnosed based on history and clinical symptoms. supporting diagnostic to confirm myasthenia included the tensile test (edrophonium chloride), pyridostigmine test (neostigmine, mestinon), kinin test, immunological examinations, antistriated muscle (anti-sm) antibody, antistriational antibodies, anti-acetylcholine receptor antibody (anti-achr antibody), and examination using electrodiagnostic single-fiber electromyography or repetitive nerve stimulation (rns). in this case, an rns electrodiagnostic examination and a prostigmine test were performed, supporting the diagnosis of myasthenia gravis.15,16 patient was planned for immunological examination for anti-achr antibody, but he was constrained by insurability of funding. anticholinesterase (acetylcholinesterase inhibitors) and immunomodulation therapy are the main management of myasthenia gravis. anticholinesterase is usually used in mild myasthenia gravis. meanwhile, routine immunomodulation therapy is necessary for patients with generalized myasthenia gravis. 17,18 immunosuppressive and immunomodulating therapy, combined with antibiotics and ventilation support, can inhibit mortality and reduce morbidity in patients with myasthenia gravis. this treatment can be considered to restore muscle strength quickly and precisely, which has a slower onset but has a longer effect to prevent a recurrence.19,20 evaluation of swallowing after clinical improvement in post administration of mestinone showed reduced spasm in the lateral pharyngeal wall. the patient could swallow even though there was still food residue. however, the residue would slowly disappear if the patient swallowed repeatedly. conclusion based on the result of this study, it can be concluded that fees had been played an important role in diagnosing dysphagia. furthermore, it could identify the modification of food consistencies and therapeutic maneuvers to prevent an aspiration for a patient with dysphagia as the early symptom of tetanus which caused neurotransmitter damage that broke muscle nerve junctions. it was one of the predisposing factors for autoimmune conditions in myasthenia gravis. conflict of interest the authors declare no conflict of interest. references 1. ambika rs, datta b, manjula bv, warawantkar uv, thomas am. fiberoptic endoscopic evaluation of swallow (fees) in intensive care unit patients post extubation. indian j. otolaryngol head neck surg. 2019; 71(2): 266-270. https://doi.org/10.1007/s12070-018-1275-x https://doi.org/10.1007/s12070-018-1275-x 148 | 2. kuhn m, belafsky p. functional assessment of swallowing. in: johnson j, rosen c, eds. bailey’s head and neck surgery otolaryngology. fifth. philadelphia: lippincott williams and wilkins; 2014:825–837. 3. mezoff ea. dysphagia. pediatr rev. 2012;33(11):518–520. https://doi.org/10.1542/pir.33.11.518 4. smith l. upper digestive tract anatomy and physiology. in: johnson j, rose c, eds. bailey’s head and neck surgery otolaryngology. fifth. philadelphia: lippincott williams and wilkins; 2014:817–824. 5. fusetti s, ghirotto c, ferronato g. a case of cephalic tetanus in a developed country. int j immunopathol pharmacol. 2013;26(1):273–277. https://doi.org/10.1177/039463201302600131 6. shin mc, nonaka k, wakita m, et al. effects of tetanus toxin on spontaneous and evoked transmitter release at inhibitory and excitatory synapses in the rat sdcn neurons. toxicon. 2012;59(3):385–392. https://doi.org/10.1016/j.toxicon.2011.12.009 7. j ch, d pr. a review : myasthenia gravis and related disorders: pathology and molecular pathogenesis. biochim biophys acta. 2015;1852:651–657. https://doi.org/10.1016/j.bbadis.2014.11.022 8. hassel b. tetanus: pathophysiology, treatment, and the possibility of using botulinum toxin against tetanusinduced rigidity and spasms. toxins (basel). 2013;5(1):73–83. https://doi.org/10.3390/toxins5010073 9. kolegium ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok bedah kepala dan leher. disfagia orofaringeal. modul perhati-kl2015. 10. setiyohadi bsa, alwi i, simadibrata m, setiati s. tetanus. dalam: ed 4th . jakarta : fk universitas indonesia2008.p:1799-807. in: ilmu penyakit dalam. 4th ed. jakarta: fk universitas indonesia; 2008:1799– 1807. 11. julianti e, madiadipoera t, anggraeni r, purwanto b, ratunanda s. peningkatan functional oral intake scale dan 1kualitas hidup pada miastenia gravis pasca rehabilitasi menelan. orli. 2016;46. https://doi.org/10.32637/orli.v46i1.150 12. chilukuri p, odufalu f, hachem c. dysphagia. mo med. 2018;115(3):206 – 210. 13. dong m, masuyer g, stenmark p. botulinum and tetanus neurotoxins. annu rev biochem. 2019;88:811– 837. https://doi.org/10.1146/annurev-biochem-013118-111654 14. hinfey pb, co autor ripper j. tetanus. available from: http://emedicine.medscape.com/article/229594overview. update on 2016 june 16th. 15. melzer n, ruck t, fuhr p, et al. clinical features, pathogenesis, and treatment of myasthenia gravis: a supplement to the guidelines of the german neurological society. j neurol. 2016;263(8):1473–1494. https://doi.org/10.1007/s00415-016-8045-z 16. jayam trouth a, dabi a, solieman n, kurukumbi m, kalyanam j. myasthenia gravis: a review. autoimmune dis. 2012;1(1). https://doi.org/10.1155/2012/874680 17. goldenberg, william. myasthenia gravis. 20 januari 2012. available from http://emedicine.medscape.com/article/1171206-overview, 09 december 2014. 18. sanders db, wolfe gi, narayanaswarni p. a review : developing treatment guidelines for myasthenia gravis. ann n y acad sci. 2018:95–110. https://doi.org/10.1111/nyas.13537 19. narayanaswami p, sanders db, wolfe g, et al. international consensus guidance for management of myasthenia gravis: 2020 update. neurology. 2021;96(3):114–122. https://doi.org/10.1212/wnl.0000000000011124 20. farmakidis c, pasnoor m, dimachkie mm, barohn rj. treatment of myasthenia gravis. neurol clin. 2018;36(2):311–337. https://doi.org/10.1016/j.ncl.2018.01.011 https://doi.org/10.1542/pir.33.11.518 https://doi.org/10.1177/039463201302600131 https://doi.org/10.1016/j.toxicon.2011.12.009 https://doi.org/10.1016/j.bbadis.2014.11.022 https://doi.org/10.3390/toxins5010073 https://doi.org/10.32637/orli.v46i1.150 https://doi.org/10.1146/annurev-biochem-013118-111654 http://emedicine.medscape.com/article/229594-overview http://emedicine.medscape.com/article/229594-overview https://doi.org/10.1007/s00415-016-8045-z https://doi.org/10.1155/2012/874680 http://emedicine.medscape.com/article/1171206-overview https://doi.org/10.1111/nyas.13537 https://doi.org/10.1212/wnl.0000000000011124 https://doi.org/10.1016/j.ncl.2018.01.011 89 mutiara medika edisi khusus vol. 8 no. 2: 89 95, oktober 2008 efikasi binahong (anredera cordifolia (tenore) steenis) terhadap kadar alkaline phosphatase efficacy binahong (anredera cordifolia (tenore) steenis) leaf to alkaline phosphatase level 1salmah orbayinah, 2adhita kartyanto 1bagian biokimia fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta, 2fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta abstract role of binahong (anredera cordifolia (ten.) steenis) leaves as hepatoprotector and antioxidant was identified on ccl4 – induced white rats. unrandomized control trial method was used in this study. ten male wistar white rats with 200 – 250 gr of body weight were divided into two groups. group i as a control group was treated with standard food and 1 ml aquadest orally for 12 days. group ii as a treatment group was given standar food and daily single dose pretreatment of binahong (anredera cordifolia (ten.) steenis) leaves juice 289,8 mg/200 gr of body weight for 12 days. carbon tetrachloride (1 ml/kg body weight, i.p.) injected into rats in the day 13th to induce liver cells damage. alp test used alp kit reagent had been done twice, 1st day and 14th day. the result shows mean of alp level before and after treatment in control group were 95,94+1,52 and 110,15+1,07; in treatment group were 92,65+3,05 and 92,91+0,68. paired t-test shown significant difference before and after treatment (p<0,05). independent t test shown a significant difference alp increasing between two group, while alp serum level in treatment group lower than control group. this study proved that binahong (anredera cordifolia (ten.) steenis) leafs juice 289,8 ml / 200gr body weight each day could decrease hepatotoxicity effect of carbon tetrachloride by maintain normal level of alp in white rats wistar strain. keywords: antioxidant, alkaline phosphatase level, anredera cordifolia (ten.) steenis, carbon tetrachloride abstrak manfaat daun anredera cordifolia (ten.) stenis sebagai hepatoprotektor dan antioksidan diteliti pada tikus putih induksi ccl4. unrandomized control trial digunakan pada penelitian ini. sepuluh tikus putih galur wistar (rattus norvegicus) jantan dengan berat badan 200-250 g dibagi menjadi dua kelompok. kelompok kontrol diberi perlakuan dengan diberi pakan standar dan 1 ml aquadest setiap hari selama 12 hari. kelompok perlakuan diberi pakan standar ditambah jus daun binahong dosis tunggal sebesar 329,21 mg diberikan lewat oral setiap hari selama 12 hari. karbon tetraklorida (1 ml/kg berat badan, i.p.) disuntikkan ke tikus pada hari ke 13 untuk menginduksi kerusakan sel hepar. alp test dilakukan dua kali, pada hari pertama dan hari ke-14. salmah orbayinah, adhita kartyanto, efikasi binahong .............................. 90 hasil penelitian menunjukkan rata-rata kadar alp serum pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah perlakuan adalah 95,94+1,52 iu/l dan 110,15+1,07 iu/l; pada kelompok perlakuan adalah 92,65+3,05 iu/l dan 92,91+0,68 iu/l. paired t-test menunjukkan perbedaan signifikan sebelum dan sesudah perlakuan (p<0,05). independent t-test menunjukkan perbedaan signifikan (p<0,05) peningkatan alp sebelum dan sesudah perlakuan pada kedua kelompok dimana kadar alp pada kelompok perlakuan lebih rendah daripada kelompok kontrol. disimpulkan bahwa pemberian jus daun binahong (anredera cordifolia (ten.) steenis) 329,21 mg setiap hari dapat meningkatkan efek hepatoprotektif dengan menjaga kadar normal alp pada tikus putih galur wistar kata kunci: anredera cordifolia (ten.) steenis, alp pendahuluan hepar memiliki peranan penting dalam fungsi fisiologis tubuh. metabolisme karbohidrat, protein, lipid, biotransformasi senyawa endogen maupun eksogen terjadi di hepar. demikian pula proses detoksifikasi obat atau senyawa beracun lainnya dilakukan oleh hepar.1 adanya peningkatan enzim-enzim hepar seperti sgot, sgpt, mda, dan alp merupakan indikator gangguan hepar. alp(alkaline phosphatase) adalah enzim hidrolase yang bertanggung jawab untuk membuang kelompok fosfat dari berbagai jenis molekul seperti nukleotida, protein, dan alkaloid. alp pada manusia terdapat di seluruh jaringan tubuh namun terkonsentrasi di hepar, kantung empedu, ginjal, tulang, dan plasenta2 . peningkatan alp secara bermakna dapat dilihat pada penyakit-penyakit seperti: kolestasis, kolesistitis, kolangitis, sirosis hepatis, hepatitis, perlemakan hepar, tumor hepar, dan intoksikasi obat3. penyakit akibat gangguan hepar dapat diobati tidak hanya dengan obatobatan kimia namun dapat juga diobati dengan pengobatan herbal. pengobatan herbal disebut juga phytotherapy atau terapi botani. world health organization (who) memperkirakan bahwa empat milyar orang (80% dari populasi penduduk dunia) menggunakan pengobatan herbal4. bahan kimia yang terkandung di dalam tanamanlah yang memberikan khasiat pengobatan. salah satunya adalah binahong (anredera cordifolia (ten.) steenis) yang dipercaya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit, baik ringan maupun berat. kandungan vitamin c dan flavonoid dalam daun binahong (anredera cordifolia (ten.) steenis) berfungsi sebagai antioksidan sehingga dapat digunakan untuk melawan radikal bebas 5. selain itu binahong (anredera cordifolia (ten.) steenis) juga memiliki khasiat anti inflamasi dan antiulkus6. tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan manfaat daun binahong (anredera cordifolia (ten.) steenis) sebagai agen hepatoprotektor dengan cara mencegah kenaikan kadar enzim alkaline phosphatase (alp). bahan dan cara subjek penelitian ini adalah tikus putih (rattus norvegicus) strain wistar diperoleh dari pau pasca sarjana universitas gajah mada yogyakarta. teknik pengambilan sampel menggunakan random sampling dimana setiap tikus putih memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi subjek penelitian, setelah subjek diambil, subjek diseleksi lagi berdasarkan kriteria yang ditetapkan. subjek yang diteliti memiliki kriteria sebagai berikut usia sekitar 2 bulan, berat badan antara 200 – 250 gram, jenis kelamin laki-laki, sehat dilihat dari aktivitas geraknya 91 mutiara medika edisi khusus vol. 8 no. 2: 89 95, oktober 2008 jumlah sampel dalam populasi adalah 10 ekor, dibagi menjadi 2 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor subjek. perlakuan yang diberikan kepada subjek antara lain kelompok kontrol negatif hanya diberi air putih dan makanan biasa tanpa pemberian jus daun binahong (anredera cordifolia (ten.) steenis) selama 12 hari, kelompok sampel diberi jus daun binahong (anredera cordifolia (ten.) steenis) selama 12 hari penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental dengan pendekatan unrandomized control trial yang dilakukan di pau pasca sarjana universitas gajah mada yogyakarta. metode yang digunakan adalah metode tes kinetik kolorimetrik, metode standar yang dioptimalkan berdasarkan dgkc (german society of clinical chemistry). bahan penelitian adalah reagen kit dyasis berupa r1: diethanolamine ph 9,8 1,0 mol/l, magnesium klorida 0,5 mmol/l, r2: p-nitrofenilfosfat 10mmol/l, sampel darah, daun binahong (anredera cordifolia (ten.) steenis), karbon tetraklorida (ccl4). alat penelitian adalah blender, sonde, pipet, sentrifuge, micro hematocrite tube, spektrofotometer, seperangkat alat gelas, incubator . cara kerja penelitian adalah sebagai berikut : 1) darah diambil sebanyak 1,5 ml kemudian disentrifuge sehingga serum dan sel darah terpisah, 2) serum dicampur dengan reagen 1 sebanyak 1000 μl dan diinkubasi selama kurang lebih satu menit, 3) hasil campuran reagen 1 dengan serum dicampur dengan 250 μl reagen 2, dan 4) hasilnya dibaca absorbansinya setelah 1 menit, kemudian dibaca lagi pada menit ke 2, 3, 4. jalannya penelitian adalah sebagai berikut : 1) subjek penelitian diseleksi sesuai dengan kriteria. 2) darah subjek diambil sebanyak 1,5 ml kemudian diperiksa kadar alpnya dengan dibaca menggunakan tes kolorimetri untuk melihat kadar alp normal pada hewan uji. 3) subjek penelitian dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok kontrol negatif dan kelompok sampel. 4) pada kelompok sampel diberi jus daun binahong (anredera cordifolia (ten.) steenis) mulai dari hari ke-1 sampai hari ke-12, dan pada kelompok kontrol negatif diberi air putih. 5) induksi karbon tetra klorida (ccl4) pada semua subjek penelitian di hari ke-13 sebagai agen hepatotoksik. 6) dua puluh empat jam setelah induksi, darah tiap subjek penelitian diambil dan dibandingkan untuk dilihat perubahan kadar alpnya setelah induksi karbon tetraklorida (ccl4) antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. data hasil pengukuran kadar alp dianalisis dengan uji paired t test dilanjutkan uji independent t test untuk mengetahui kebermaknaan perbedaan kadar alp antar kelompok sebelum dan sesudah pemberian daun binahong (anredera cordifolia (ten.) steenis). hasil setelah subjek dipilih, berat badan awal dan kadar alp masing masing subjek diukur. pengukuran berat badan bertujuan untuk memenuhi kriteria inklusi dan untuk menghitung dosis jus binahong (anredera cordifolia(ten.)steenis). sedangkan pengukuran kadar alp awal bertujuan untuk mengetahui standar normal alp. dari pengukuran berat badan awal didapatkan rata-rata berat badan kelompok perlakuan adalah 227,2 gram maka dosis jus binahong (anredera cordifolia(ten.)steenis) yang diberikan ke sampel adalah 329,21 mg/hari. setelah subjek diberi perlakuan selama 12 hari, pengukuran berat badan ke dua dilakukan untuk menentukan dosis induksi karbon tetraklorida (ccl4). dosis induksi ccl4 yang dipakai adalah 1ml/kgbb dua puluh empat jam setelah induksi, dilakukan pengukuran kadar alp. kemudian hasil pengukuran yang telah didapatkan diuji dengan menggunakan uji statistik paired – t test untuk mengetahui kebermaknaan inter kelompok dan dilanjutkan dengan uji independent – t test untuk mengetahui kebermaknaan antar kelompok. salmah orbayinah, adhita kartyanto, efikasi binahong .............................. 92 tabel 1. independent t-test kadar alp sebelum dan sesudah pada kelompok kontrol dan perlakuan gambar 1. grafik perbandingan kadar alp sebelum dan sesudah diberi perlakuan tabel 2. paired t-test kadar alp pada kelompok kontrol dan perlakuan tabel 3. independent t-test efek hepatotoksik pada kelompok kontrol dan perlakuan variabel sebelum sesudah uji statistik p value kontrol perlakuan 95,94+1,52 92,65+3,05 110,15+1,07 92,91+0,68 paired t test paired t test <0,001 <0,001 variabel kontrol perlakuan uji statistik p value alp sebelum alp sesudah alp selisih 95,94+1,52 92,65+3,05 14,21+2,36 110,15+1,07 92,91+0,68 0,22+3,43 independent t test independent t test independent t-test 0,063 <0,001 <0,001 80 85 90 95 100 105 110 115 sebelum sesudah kontrol perlakuan variabel kontrol (%) perlakuan (%) uji statistik p value efek hepatotoksik 14,84+2,72 0,33+3,58 independent t-test <0,001 93 mutiara medika edisi khusus vol. 8 no. 2: 89 95, oktober 2008 gambar 2. grafik perbandingan efek hepatotoksik untuk menganalisis kebermaknaan data kelompok sampel pada digunakan uji paired-t test dengan interval kepercayaan 95% (ik 95%) diperoleh hasil p=0,000 (p<0,05) artinya terdapat perbedaan rerata alp yang bermakna sebelum dan sesudah diberi perlakuan. dari data selisih pemeriksaan sebelum dan sesudah dianalisis menggunakan uji independent t-test untuk melihat kebermaknaan data antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan, didapatkan varians data kedua kelompok sama, dan nilai p<0,001. karena nilai p<0,05 maka diambil kesimpulan terdapat perbedaan peningkatan kadar alp yang bermakna antara kelompok kontrol dengan kelompok sampel, dimana peningkatan kadar alp kelompok perlakuan lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol. diskusi pemberian dosis jus binahong (anredera cordifolia(ten.)steenis) berdasarkan kandungan antioksidan dalam jus binahong yaitu asam askorbat. ccl4 digunakan sebagai model eksperimental untuk merusak hepar. mekanisme kerja ccl 4 sebagai agen penginduksi hepatotoksisitas diduga dengan bioaktivasi triklorometil radikal dan triklorometil peroksi 0 2 4 6 8 10 12 14 16 efek hepatotoksik control treatment radikal. telah diketahui bahwa ccl 4 diaktivasi oleh sistem sitokrom p450. metabolit initialnya adalah triklorometil radikal bebas (ccl3•) yang dipercaya dapat menginisiasi substansi biokimia yang dapat menyebabkan terjadinya nekrosis hepar. triklorometil radikal dapat membentuk ikatan kovalen dengan protein dan lipid, berikatan dengan o 2 membentuk triklorometil peroksi radikal atau atom hidrogen abstrak untuk membentuk kloroform. sebagai respon dari cedera hepatoseluler yang diinisiasi biotransformasi ccl4 menjadi radikal reaktif, sel kupffer di hepar yang sudah teraktivasi merespon dengan melepaskan reactive oxygen species (ros) dan agen bioaktif lainnya dalam jumlah besar.7 mekanisme hepatoprotektif daun binahong diduga sebagai berikut : 1) proses detoksifikasi yang terjadi di hati pada sitokrom p-450 akan menghasilkan metabolit radikal triklorometil (ccl3•). senyawa tersebut sangat reaktif dan akan menyebabkan polyunsaturated fatty acid (pufa) yang merupakan bagian dari membran sel akan diserang oleh senyawa radikal tersebut sehingga akan menghasilkan serangkaian reaksi rantai. reaksi rantai tersebut akan menghasilkan produk yang stabil yaitu malondialdehida (mda) dan juga akan menyebabkan kerusakan membran sel. 2) peroksidasi lipid tersebut dapat menyebabkan salmah orbayinah, adhita kartyanto, efikasi binahong .............................. 94 kerusakan membran sehingga akan terjadi kebocoran membran. kebocoran membran ini mengakibatkan enzim yang berada dalam sel akan keluar menuju peredaran darah.8 alp banyak terdapat dalam sel hati. kerusakan sel hati akan berakibat keluarnya alp menuju peredaran darah. telah diketahui bahwa tiap 100 gram daun binahong mengandung 59 mg vitamin c5. vitamin c merupakan antioksidan yang sangat poten meredam radikal bebas yang terbentuk sehingga mengurangi peroksidasi lipid dan kerusakan membran bilayer9. vitamin c, atau sering disebut asam askorbat, adalah suatu vitamin yang larut air dan memiliki sifat antioksidan. vitamin c dapat menetralisir radikal bebas dengan berubah menjadi radikal askorbat (ï%asc-). namun, radikal ini sangat stabil karena memiliki resonance structure. pada induksi ccl 4, vitamin c bekerja pada tahap metobolisme oleh sitokrom p450. ccl4 dimetabolisme oleh sitokrom p450 dan pada prosesnya kehilangan satu buah elektron sehingga terbentuk radikal triklorometil (ccl3 ï%) dan ion klorida (cl-). vitamin c akan mendonorkan satu buah elektron sehingga tidak akan terbentuk radikal triklorometil yang selanjutnya tidak akan terjadi reaksi rantai sehingga kerusakan jaringan dapat dihindari. . vitamin c bersifat hidrofilik dan berfungsi baik dalam lingkungan air. sebagai zat penyapu radikal bebas, vitamin c dapat langsung bereaksi dengan peroksidasi dan anion hidroksil serta berbagai hidroperoksida lipid.10 binahong (anredera cordifolia (ten.) steenis), memiliki kandungan antioksidan golongan polifenol, salah satunya adalah flavonoid. flavonoid diketahui memiliki kemampuan mengubah atau mereduksi radikal bebas dan juga sebagai antiradikal bebas.11 flavonoid merupakan antioksidan yang bekerja dengan efektif karena kemampuannya dalam menetralkan radikal asam lemak dan radikal oksigen. 12 mekanisme aksi antioksidan flavonoid adalah dengan menekan pembentukan reactive oxygen species (ros) misalnya dengan inhibisi enzimatik, menetralkan ros, dan memberikan proteksi terhadap system pertahanan antioksidan tubuh. ros adalah molekul yang sangat kecil dan sangat reaktif karena memiliki elektron tidak berpasangan. ros dapat meningkat bila terjadi stres oksidatif. 13 flavonoid memenuhi sebagian besar kriteria yang dibutuhkan untuk beraksi sebagai antioksidan. oleh karena itu, flavonoid memiliki pengaruh ganda yaitu menghambat enzim yang bertanggung jawab atas produksi anion superoksida dan menghambat enzim yang termasuk dalam generasi ros seperti cyclooxigenase, lypoxigenase, microsomal monoxygenase, dll.14 dengan demikian, tidak akan terbentuk metabolit reaktif yang dapat berikatan dengan makromolekul jaringan sehingga kerusakan jaringan dapat dihindari. kesimpulan penelitian ini membuktikan bahwa daun binahong (anredera cordifolia (ten.) steenis) mempunyai efek hepatoprotektif. pemberian jus daun binahong (anredera cordifolia (ten.) steenis) sekali sehari selama 12 hari dengan dosis 329,21 mg/ ekor/hari ditambah 1 ml air yang dibuat tiap hari terbukti dapat mengurangi efek hepatotoksik oleh ccl4 dengan menjaga kadar normal alkaline phosphatase. daftar pustaka 1. wyngaarden, j.b (1982). the text book of medicine vol 1. philadhelphia: w. b. saunders co. 2. sidhaye, aniket r. (2005). alkaline phosphatase. medline plus. diakses 16 april 2007, dari http://www.nlm.nih.gov/ medlineplus/ency/article/003470.htm 3. wikipedia, the free encyclopedia. (2007).alkaline phosphatase. diakses 12 april 2007, dari http:// e n . w i k i p e d i a . o r g / w i k i / alkaline_phosphatase 4. icbs, inc. (2007). herbal medicine. diakses 12 april2007, dari http:// www.holisticonline.com/herbal-med/ hol_herb-intro.htm 95 mutiara medika edisi khusus vol. 8 no. 2: 89 95, oktober 2008 5. sato, t, m. nagata, et al. (2002). evaluation of antioxydant activity of indigenous vegetables from south and south east asia. jircas: taiwan 6. flora of north america. (2004). anredera in flora of north america. diakses 20 april 2007, dari http:// w w w . e f l o r a s . o r g / florataxon.aspx?flora_id=1&taxon_ id=101968 7. tirkey, naveen dan sangeeta pilkhwal, et al.(2005). hesperidin, a citrus bioflavonoid, decreases the oxidative stress produced by carbon tetrachloride in rat liver and kidney. bmc pharmacology. diakses dari http:/ /www.biomedcentral.com/1471-2210/ 5/2 8. hidajati, nove, soetjipto, anwar ma’aruf. (2003). peranan antioksidan bawang putih (allium sativum) sebagai hepatoprotektor. jurnal penelitian medika eksakta. diakses dari http:// www.journal.unair.ac.id/login/jurnal/filer /j.%20penelit.%20med.%20eksakta% 204-1%20april%202003%20[05].pdf 9. frei, b . 1989. ascorbat is an outstanding antioxidant in human blood plasma . proc natl acad sci usa, 1989;86 : 6377-81 10. marks, db. (1996). biokimia kedoktran dasar, sebuah pendekatan klinis . egc: jakarta 11. hamid, achmad fuad. (2003). aktivitas anti-radikal bebas dpph fraksi metanol fagraea auriculata dan fagraea ceilanica. majalah farmasi airlangga. diakses tanggal 15 november 2007, dari http:// www.journal.unair.ac.id /login/jurnal/ filer/mfa-3-1-08.pdf 12. lachman, j., d. pronek, et al. (2003). total polyphenol and main flavonoid antioxidants in different onion (allium cepa l.) varieties. youth and sports of the czech republic. diakses tanggal 16 november 2007, dari http:// w w w . c a z v. c z / 2 0 0 3 / h s 4 _ 0 3 / 4 lachman.pdf 13. reactive oxygen species. (2007). wikipedia the free encyclopedia. diakses tanggal 15 november 2007,dari http://en.wikipedia.org/wiki/ reactive_ oxygen_species 14. chauhan, gaurav. (2003). phenoxyl radical: flavonoids. university of iowa. diakses tanggal 16 november 2007, dari http://www.healthcare.uiowa.edu/ corefacilities/esr/education/2003/1/ chauhang-paper-1.pdf 111 mutiara medika vol. 13 no. 2: 111-117, mei 2013 gambaran darah rutin dan kualitas hidup domain fisik penderita gagal ginjal kronik terminal routine blood examination result and the psychological domain of who quality of life on patients of end stage renal disease nurkamila1, titiek hidayati 2* 1program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta 2bagian ilmu kesehatan masyarakat, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta *email: hidayatifkumy@yahoo.co.id abstrak gagal ginjal kronik terminal (ggkt) merupakan kerusakan ginjal yang progresif. gambaran darah rutin (angka leukosit, kadar hemoglobin, angka trombosit) merupakan pemeriksaan untuk mengetahui fungsi ginjal karena menggambarkan estimated glomerular filtration rate (egfr), konsentrasi dan kandungan darah serta kreatinin. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil pemeriksaan darah rutin dan kualitas hidup domain fisik penderita gagal ginjal terminal. rancangan penelitian ini adalah case control. subjek penelitian adalah 27 pasien ggkt rsud panembahan senopati bantul yogyakarta (kelompok kasus) dan 54 pasien non ggkt (kelompok kontrol). kelompok kasus adalah pasien gagal ginjal kronis di rsud panembahan senopati bantul yang merupakan wni dan menjalani terapi hemodialisis sejak bulan februari-april 2012. data diperoleh dengan melihat rekam medis pasien, pengisian kuesioner dan pengambilan sampel darah. analisis bivariat dan multivariat dilakukan dengan perhitungan uji kai kuadrat dan uji regresi logistik untuk perhitungan secara statistik hubungan jenis kelamin, usia, al, hb, dan at dengan kualitas hidup doman fisik pasien. hasil analisis bivariat dan multivariat menunjukkan nilai signifikansi pada al (p= 0,016; b=-1.498) dan hb (p=0,010; b=-1.679) dengan kualitas hidup domain fisik baik dan buruk pasien ggkt. disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara angka leukosit (al) dan kadar hemoglobin (hb) dengan kualitas hidup domain fisik penderita ggkt. kata kunci: gagal ginjal kronik terminal, kualitas hidup, leukosit, hemoglobin, trombosit abstract end stage renal disease (esrd) is a progressive kidney damage. routine blood examination feature (white blood count, hemoglobin and platelet count) is kind of examination used to investigate the kidney function because it describes the egfr (estimated glomerular filtration rate, the concentration and the content of blood, as well as the amount of creatinine. this study aims to determine the routine blood tests with physical domains of quality of life people with terminal renal failure. this research’s design is case control. the subjects are the patients from rsud panembahan senopati bantul yogyakarta, 27 esrd patients (case group) and 54 nonesrd patients (control group). data collected from patients medical record, questionnaire, and obtaining the blood sample. bivariate and multivariate data analysis was performed and calculated with chi square test and logistic regression to statistically calculate the sex, age, white blood count, hemoglobin and platelet count with patient’s physical domain of quality of life. the bivariate and multivariate data analysis show significant result on wbc (p= 0,016; b=-1.498) and hb (p=0,010; b=-1.679). the study suggests a significant relation between wbc and amount of blood hemoglobin with physical domain of quality of life on end stage renal disease. key words: end stage renal disease, quality of life, white blood, hemoglobin, platelet artikel penelitian 112 nurkamila, gambaran darah rutin dan kualitas hidup domain fisik ... pendahuluan gagal ginjal kronik (ggk) merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat, serta berlangsung dalam beberapa tahun. gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak massa nefron ginjal, sebagian besar penyakit ini merupakan penyakit parenkim ginjal difus dan bilateral.1 penyakit ini disebabkan oleh etiologi yang banyak dan beragam sehingga menyebabkan penurunan fungsi ginjal secara progresif.2 gagal ginjal kronis yang berkelanjutan, akan berproses menjadi gagal ginjal kronis terminal (end stage chronic kidney failure) dengan gfr <15 ml/menit/1, 73m2. pasien yang telah mendapatkan perawatan dialisis dan transplantasi ginjal juga termasuk dalam kategori gagal ginjal kronis terminal.3 besarnya insidensi dan prevalensi gagal ginjal kronik terminal di indonesia diperkirakan sebesar 100-150 dan 200-250 orang tiap 1 juta penduduk pertahun5. tingginya insidensi ini menandakan dibutuhkannya cara yang sangat baik untuk mendeteksi gagal ginjal, salah satunya dengan tes darah untuk mengukur fungsi ginjal dan tes urin untuk memeriksa kerusakan ginjal,4 sedangkan preventif lainnya antara lain adalah skrining dan melakukan profilaksis, vaksinasi, serta melakukan pemeriksaan darah termasuk pengaturan lipid dan gula darah. semua hal tersebut dapat mengurangi mortalitas, morbiditas, dan penurunan kualitas hidup dari gagal ginjal itu sendiri.5 penghitungan darah rutin/complete blood count (cbc) bertujuan untuk menghitung komponen darah, beberapa diantaranya adalah jumlah hemoglobin, angka leukosit dan angka trombosit/ platelet. ketiga komponen darah tersebut memiliki hubungan dengan penyakit gagal ginjal kronis.6 penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil pemeriksaan darah rutin dan kualitas hidup domain fisik penderita gagal ginjal terminal. bahan dan cara penelitian observasional analitik dengan desain case control yang bertujuan untuk mengetahui perbandingan gambaran darah rutin dengan kualitas hidup domain fisik baik dan buruk pasien gagal ginjal terminal. populasi penelitian ini adalah masyarakat yogyakarta yang telah didiagnosis gagal ginjal kronis dan tengah menjalani terapi hemodialisis, sedangkan sampel yang diambil untuk penelitian ini adalah semua populasi yang memenuhi kriteria inklusi. kriteria inklusi adalah warga negara indonesia yang bersedia berpartisipasi dalam penelitian, bersikap kooperatif, dan merupakan pasien ggk yang menjalani terapi hemodialisis selama 1-3 bulan terakhir, sedangkan kriteria eksklusi adalah pasien ggk yang telah melakukan transplantasi ginjal dan memiliki kelainan kongenital. kelompok kasus dalam penelitian ini adalah pasien yang telah didiagnosis ggk/ggkt yang sedang menjalani hemodialisis selama 1-3 bulan terakhir di rumah sakit yang telah disebutkan di atas, merupakan suku bangsa indonesia, beralamat di diy, bersikap kooperatif dan bersedia menjadi sampel untuk penelitian. kelompok kontrol adalah sampel penelitan yang diambil setelah menemukan kelompok case, dengan kriteria berusia ±5 tahun dengan kelompok kasus, dirawat di rs yang sama dengan sebab yang bukan penyakit ginjal dan penyakit degeneratif lainnya (gangguan kardiovaskular, diabetes mellitus). jumlah sampel penelitian diambil secara 113 mutiara medika vol. 13 no. 2: 111-117, mei 2013 purposif, disesuaikan dengan jumlah pasien yang dirawat di rsud panembahan senopati bantul dari tanggal 1 april-31 mei 2012. jumlah sampel penelitian yang didapat berjumlah 27 sampel kelompok kasus dan 54 orang sampel kelompok kontrol. variabel dependen/terikat dalam penelitian ini adalah kejadian ggkt dan kualitas hidup penderita ggkt. variabel independen dalam penelitian ini adalah kebiasaan atau pola hidup (lifestyle) dan gambaran darah rutin instrumen penelitian ini adalah data rekam medik pasien yang didiagnosis gagal ginjal kronik dan sedang menjalani terapi hemodialisis selama 1-3 bulan terakhir di periode 1 februari-30 april 2012, data hasil pemeriksaan laboratorium sampel darah yang diambil dari sampel penelitian yang memenuhi kriteria, dan kuesioner whoqol (world health organisation-quality of life) untuk kualitas hidup responden (whoqol-bref). penelitian ini dilaksanakan di unit hemodialisis rsud panembahan senopati bantul yogyakarta dalam waktu 2 bulan dari bulan april-mei 2012. pelaksanaannya diawali dengan pengambilan data primer melalui wawancara dan menggunakan kuesioner meliputi identitas responden, riwayat hipertensi, riwayat penyakit diabetes, kualitas hidup pasien dan data lain yang berkaitan dengan variabel penelitian. selain itu dilakukan pula pengambilan data primer melalui pemeriksaan laboratorium darah responden. pengambilan darah dilakukan oleh petugas rumah sakit sebanyak 5 ml, dimasukkan ke dalam tabung yang sudah diberi label kode tabung, nama, jenis kelamin dan umur responden, lalu dikirimkan ke laboratorium untuk dilakukan pemeriksaan. hasil penelitian ditabulasi dan dilakukan penghitungan statistik. kemudian uji tingkat korelasinya dilakukan dengan bantuan salah satu program komputer. hasil tabel 1. merupakan hasil analisis univariate yang memperlihatkan bahwa jumlah responden berjenis kelamin laki-laki berjumlah 61,7%. sebagian besar responden berusia 46 tahun ke atas (74%), dan berpendidikan smp ke bawah (55.6%). berdasarkan tempat tinggal, diketahui bahwa 58% responden berasal dari kabupaten bantul, diikuti responden dari kabupaten sleman, berasal kota yogyakarta, wonosari, gunung kidul dan kulon progo. pada tabel 2. diketahui bahwa rerata angka leukosit darah responden kelompok penderita gagal ginjal kronis terminal adalah 13,5 x 109 /l, rerata kadar hemoglobin 9,4 g/dl, dan rerata angka trombosit 223 x 109 /l, sedangkan pada responden kelompok bukan penderita gagal ginjal kronis terminal adalah 9 x 109 /l, rerata kadar hemoglobin 13,4 g/dl, dan rerata angka trombosit 266 x 109 /l. gambaran responden dengan penyakit gagal ginjal kronik terminal dengan kualitas hidup masing-masing domain penilaian dapat dilihat pada tabel 3. responden dengan penyakit gagal ginjal kronik terminal mengalami kualitas hidup yang buruk pada domain fisik (92,6 %) dan psikologi (88,9 %), sedangkan responden bukan penderita penyakit gagal ginjal kronis terminal memiliki kualitas hidup yang buruk pada domain psikologi (66,7%). hasil analisis bivariat antara kualitas hidup domain fisik dengan jenis kelamin, usia, al, hb, 114 nurkamila, gambaran darah rutin dan kualitas hidup domain fisik ... dan at dapat dilihat pada tabel 4. tabel 4. menunjukkan bahwa penderita ggkt yang berjenis kelamin laki-laki memiliki risiko untuk mempunyai kualitas hidup buruk lebih tinggi daripada perempuan, namun hasil tersebut tidak bermakna secara statistik (or = 1,178; p = 0,725; ci = 0,473-2,939). penderita ggkt yang lebih muda memiliki risiko lebih kecil untuk memiliki kualitas hidup buruk dibandingkan dengan penderita ggkt yang berusia lebih tua (or = 1,8; p = 0,3; ci = 0,46-7,121). responden dengan angka leukosit tinggi memiliki risiko untuk mempunyai kualitas hidup buruk lebih tinggi daripada responden dengan angka leukosit normal (or = 9,9; p = 0,00; ci = 3,531-28,129). reponden dengan dengan kadar hemoglobin rendah memiliki risiko untuk mempunyai kualitas hidup buruk lebih tinggi daripada responden dengan angka kadar hemoglobin normal (or = 11,9; p = 0,00; ci = 3,91936,402). pada tabel 4. dapat diketahui pula bahwa responden dengan angka trombosit normal memiliki risiko untuk mempunyai kualitas hidup buruk lebih tinggi daripada responden dengan angka tabel 1. karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin, tempat tinggal, tingkat pendidikan dan umur dengan persentase jumlah penderita dan non penderita ggkt di rsud panembahan senopati bantul bulan april-mei 2012 no karakteristik subjek penderita ggkt bukan penderita ggkt total 1 jenis kelamin laki-laki 16 (59,3 %) 34 (63, %) 50 (61,7%) perempuan 11 (40,7 %) 20 (37,0 %) 31 (38,3%) total 27 (100 %) 54 (100 %) 81 (100 %) 2 tempat tinggal bantul 17 (63,0 %) 30 (55.6 %) 47 (58 %) gunung kidul 1 (3,47%) 1 (1,9 %) 2 (2.5 %) kulon progo 2 (7,4 %) 0 (0 %) 2 (2,5 %) sleman 4 (14,8%) 15 (27,8 %) 19 (23,5 %) wonosari 1 (3,7 %) 1 (1,9 %) 2 (2,5 %) kota yogyakarta 2 (7,4 %) 7 (13 %) 9 (11,1 %) total 27 (100%) 54 (100 %) 81 (100%) 3 umur 16-25 tahun 0 (0%) 1 9(1.9%) 1 (1.2%) 26-35 tahun 2 (7.4%) 4 (7.4%) 6 (7.4%) 36-45 tahun 5 (18.5%) 9 (16.7%) 14 (17.3%) 46-55 tahun 8 (29.6%) 16 (29.6%) 24 (29.6%) 56-65 tahun 12 (44.4%) 24 (44.4%) 36 (44.4%) total 27 (100%) 54 (100%) 81(100%) 4 pendidikan tidak sekolah 3 (11.1%) 8 (14.8%) 11 (13.6%) tamat sd 6 (22.2%) 17 (31.5%) 23 (28.4%) tamat smp 2 (7.4%) 9 (16.7%) 11 (13.6%) tamat sma 8 (29.6%) 9 (16.7%) 17 (21.0%) diploma/akademi 5 (18.5%) 5 (9.3%) 10 (12.3%) s1/s2/s3 3 (11.1%) 6 (11.1%) 9 (11.1%) total 27 (100%) 54 (100%) 81(100%) tabel 2 gambaran rerata al, hb dan trombosit darah responden berdasarkan kelompok (kasus dan kontrol) kelompok sampel al (x 109 /l) hb g /dl at (x 109 /l) kasus mean±sd 13,548±3,7119 9,456±2,7827 223±78,05 median 13,200 8,200 216 n 27 27 27 maximum 24,9 15 392 minimum 4,8 6,4 75 kontrol mean±sd 9,028±3,6423 13,459±1,7583 266,037±65,4955 median 7,950 13,800 267 n 54 54 54 maximum 23,1 16,5 399 minimum 5,1 7 80 115 mutiara medika vol. 13 no. 2: 111-117, mei 2013 trombosit tinggi, namun tidak bermakna (or = 4,96; p = 0,29; ci = 0,493-50,00). karakteristik yang menurut analisis bivariat berhubungan secara signifikan dianalisis secara multivariat. tabel 5 menunjukkan bahwa faktor al dan kadar hb semuanya berpengaruh terhadap kualitas hidup responden dan semuanya bermakna secara statistik, baik pada angka leukosit (p= 0,016) dan kadar hemoglobin (p= 0,010). hasil uji multivariat yang dilakukan, faktor yang paling tinggi pengaruhnya adalah kadar hemoglobin (b=-1.679). tabel 3. kualitas hidup responden penderita ggkt dan bukan penderita ggkt dengan persentase jumlah penderita dan non penderita ggkt di rsud panembahan senopati bantul bulan april-mei 2012 no karakteristik subjek penderita ggkt bukan penderita ggkt total 1 kualitas hidup domain fisik kualitas hidup baik 2 (7,4 %) 47 (87 %) 49 (60,5 %) kualitas hidup buruk 25 (92,6 %) 7 (13 %) 32 (39,5 %) total 27 (100 %) 54 (100 %) 81 (100 %) 2 kualitas hidup domain psikologi kualitas hidup baik 3 (11,1%) 18 (33,3%) 21 (25,9 %) kualitas hidup buruk 24 (88,9%) 36 (66,7 %) 60 (74,1 %) total 27 (100 %) 54 (100 %) 81 (100 %) 3 kualitas hidup domain sosial kualitas hidup baik 26 (96,3 %) 48 (88,9 %) 74 (91,4 %) kualitas hidup buruk 1 (3,7 %) 6 (11,1 %) 7 (8,6 %) total 27 (100 %) 54 (100 %) 81 (100 %) 4 kualitas hidup domain lingkungan kualitas hidup baik 25 (92,6 %) 49 (90,7 %) 74 (91,4 %) kualitas hidup buruk 2 (7,4 %) 5 (9,3 %) 7 (8,6 %) total 27 (100 %) 54 (100 %) 81 (100 %) tabel 4. analisis bivariat perbandingan variabel jenis kelamin, usia, al, hb dan at dengan kualitas hidup domain fisik responden penelitian di rsud panembahan senopati bantul yogyakarta karakterisitik kualitas hidup total or ci p buruk baik n % n % n % jenis kelamin laki-laki 19 59,4 % 31 63,3 % 50 61,7 % 1,178 0,473-2,939 0,725 perempuan 13 40,6 % 18 36,7 % 31 38,3 % total 49 100 % 32 100 % 81 100 % usia 16-45 3 17,6 % 18 28,1% 21 25,9 % 1,8 0,468-7,121 0,381 > 45 14 82,4 % 46 71,9 % 60 74,1 % total 17 100 % 64 100 % 81 100 % angka leukosit tinggi 23 71.9% 10 20.4% 33 40.7% 9,967 3,531-28,129 0.001 normal 9 28.1% 39 79.6% 48 59.3% total 49 100 % 32 100 % 81 100 % kadar hemoglobin rendah 20 62.5% 6 12.2% 26 32.1% 11,944 3,919-36,402 0,001 normal 12 37.5% 43 87.8% 55 67.9% total 49 100 % 32 100 % 81 100 % angka trombosit rendah 3 9.4% 1 2.0% 4 4.9% 4,966 0,493-50,007 0,295 normal 29 90.6% 48 98.0% 77 95.1% total 49 100 % 32 100 % 81 100 % tabel 5. analisis multivariat gambaran perbandingan al dan kadar hb dengan kualitas hidup domain fisik baik dan buruk penderita ggkt di rsud panembahan senopati bantul yogyakarta variabel b s e p pr 95% ci konstanta 1,501 0,504 0,003 4.484 angka leukosit -1.489 0.617 0.016 0.226 0.067-0.756 kadar hemoglobin -1.679 0.653 0.010 0.187 0.052-0,671 116 nurkamila, gambaran darah rutin dan kualitas hidup domain fisik ... diskusi hasil penelitian di atas menunjukan penderita ggkt dengan jumlah al tinggi mempunyai risiko untuk memiliki kualitas hidup lebih buruk. leukosit sangat penting sebagai pertahanan tubuh primer. pada gagal ginjal kronis, hipertensi merupakan salah satu penyebab kerusakan pembuluh darah, terutama pada endotelium, yang secara kronis akan berujung pada kerusakan organ. infiltrasi endotelium yang permeabel oleh leukosit akan mengaktifkan cascade inflamasi, termasuk di dalamnya leukosit, sitokin, kemokin dan zat inflamasi lainnya. pada gagal ginjal kronis hipertensi merupakan salah satu penyebab kerusakan pembuluh darah, terutama pada endotelium, yang secara kronis akan berujung pada kerusakan organ. infiltrasi endotelium yang permeabel oleh leukosit akan mengaktifkan cascade inflamasi, termasuk di dalamnya leukosit, sitokin, kemokin, dan zat inflamasi lainnya.7 hasil penelitian juga menunjukkan penderita ggkt dengan kadar hemoglobin (hb) rendah mempunyai risiko untuk memiliki kualitas hidup lebih buruk. anemia pada penderita gagal ginjal disebabkan oleh menurunnya sisntesis eritropoietin yang 90% nya dihasilkan oleh sel fibroblas interstisial atau sel interstisial tipe 1 pada ginjal. gangguan produksi eritrosit ini juga akan menyebabkan menurunnya ketahanan eritrosit sehingga menyebabkan cenderung terjadinya perdarahan.8 anemia merupakan penyebab penurunan fungsi fisik dan gangguan mental pada pasien ggk. penelitian menunjukkan bahwa usaha penyembuhan anemia akan meningkatkan fungsi kognitif, fusngsi seksual, kesejahteraan secara umum, dan kualitas hidup.9 hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara jumlah trombosit dengan kualitas hidup penderita ggkt di rsud panembahan senopati bantul, namun tidak bermakna secara statistik. terjadinya trombositopenia pada pasien ggk masih merupakan kontroversial, karena jumlah trombosit bervariasi dan sangat tergantung pada etiopatogenesis penyakit ginjal itu sendiri. trombosit memiliki peran besar dalam gangguan hemostatis pada ggk. namun, kecenderungan untuk mengalami perdarahan pada pasien ggk tidak bergantung pada jumlah platelet, namun lebih kepada status fungsionalnya.10 meskipun angka trombosit (at) dijadikan salah satu skrining utama untuk mendeteksi adanya gangguan haemostasis trombosit, namun at tidak bisa dijadikan parameter absolut pada kasus ggk. masa perdarahan (bleeding time) direkomendasikan sebagai tes fungsi trombosit yang paling baik karena menunjukkan abnormalitas trombosit baik secara kuantitatif maupun kualitatif.11 simpulan penderita ggkt yang memiliki angka leukosit tinggi (> 4-10x109 /l) memiliki risiko untuk mempunyai kualitas hidup lebih buruk dibandingkan dengan penderita ggkt dengan angka leukosit normal, dan hasilnya bermakna secara statistik. penderita ggkt yang memiliki kadar hemoglobin rendah (perempuan 11,5-15,5 g /dl; laki-laki 13,517,5 g/dl) memiliki risiko untuk mempunyai kualitas hidup lebih buruk dibandingkan dengan penderita ggkt dengan kadar hemoglobin normal, dan hasilnya bermakna secara statistik. penderita ggkt yang memiliki angka trombosit rendah (<140-400 117 mutiara medika vol. 13 no. 2: 111-117, mei 2013 x 109/l) memiliki risiko untuk mempunyai kualitas hidup lebih buruk dibandingkan dengan penderita ggkt dengan angka trombosit normal, namun hasilnya tidak bermakna secara statistik. daftar pustaka 1. price, sa. & wilson, lm. patofisiologi (vol. 2 edisi 6). jakarta: buku kedokteran ecg. 2006. 2. moro o salifu, kenneth e otah & ese otah. (2011, maret 29). medscape references: drugs, disease and procedures. diakses tanggal 16 april, 2012, dari medscape: http:// emedicine.medscape.com/article/284555overview#showall 3. national kidney foundation. 2002. nkf kdoqi guidelines. diakses tanggal 2 maret, 2012, dari http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/ guidelines_ckd/p4_class_ g1.htm 4. center of diesease control and preventive. national chronic kidney disease fact sheet: general information and national. atlanta: department of health and human services. 2010. 5. choudhury d, luna-salazar c. preventive health care in chronic kidney disease and end-stage renal disease. nat clin pract nephrol, 2008; 4 (4): 194-206. 6. aronoff, g. (2005, july). dipetik april 2012, 16, dari american association of kidney patients: http://www.aakp.org/newsletters/kb-themagazine/ask-the-doctor/cbc-test/ 7. göqœz, m. chronic kidney disease. croatia: intech medical university of sout h carolina. 2012. 8. arora, p. (2012, maret 28). chronic kidney disease. di peti k desember 22, 2012, dari medscape reference: http://emedi ci ne. medscape.com/article/238798-overv iew# showall 9. drüeke tb, locatelli f, clyne n, eckardt ku, macdougall ic, tsakiris d., et al. normalization of hemoglobin level in patients with chronic kidney disease and anemia. n engl j med, 2006; 355 (20): 2071-84. 10. boccardo p, remuzzi g, galbusera m. platelet dysfunction on renal failure. semin thromb hemost. 2004; 30 (5): 579-89. 11. islam, n,. jahan, ss., badrudduza, s. & hossain, z. evaluation of primary screening test for platelet homeostasis in patients with chronic kidney disease. bangladesh journal of medicine, 2012; 21 (2): 55-57. 23 mutiara medika edisi khusus vol. 7 no.1: 23 28, april 2007 daya antibakteri infusa daun mahkota dewa (phaleria macrocarpa) terhadap staphylococcus aureus dan eschericia coli the antibacterial activity of mahkota dewa leaf infusion against staphylococcus aureus and eschericia coli lilis suryani1, selly stepriyani 2 1bagian mikrobiologi fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta, 2fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta abstract mahkota dewa (phaleria macrocarpa) from the little that is known as the mahkota dewa of efficacy in treating various diseases, among others: pain heart, kidney, hypertension, heart disease, diabetes, rheumatism, arthritis and bacterial infectious diseases such as acne, eczema secondary infections, dysentery , cough, and fever. part of this plant is the most widely used is the leaves, and processing techniques become more advanced with the various forms of packaging that facilitates the use by the public. product packaging can be a form of instant, ingredients, capsules, and ointments. mahkota dewa effective as analgesic, antibacterial, and antihistamines. this research was conducted to determine the antibacterial infusion god petals of various pathogens such as staphylococcus aureus and escherichia coli. design of research is an experimental laboratory. antibacterial activity is determined by applying the mic (minimum inhibitory concentration) and mbc (minimum bacterisid concentration) by tube dilution method. the bacteria test including staphylococcus aureus atcc 25933 and escherichia coli strain atcc 25922. the results showed that mahkota dewa infusion has antibacterial activity against staphylococcus aureus with mic 3,125 gr % and mbc 6.25 gr %. mahkota dewa leaf infusion does not have the antibacterial activity against eschericia coli with mic and mbc more than 25 g%. key words : phaleria macrocarpa, antibacterial, staphylococcus aureus, escherichia coli abstrak mahkota dewa (phaleria macrocarpa) mulai banyak dikenal orang seiring dengan khasiat mahkota dewa dalam mengobati berbagai penyakit antara lain: sakit liver, ginjal, hipertensi, jantung, kencing manis, asam urat, rematik dan penyakit-penyakit infeksi bakterial seperti: jerawat, infeksi sekunder pada eksim, disentri, batuk, dan demam. bagian dari tanaman ini yang paling banyak digunakan adalah daunnya, dan teknik pengolahannya pun semakin maju dengan berbagai bentuk kemasan yang mempermudah pemakaian oleh masyarakat. kemasan produk dapat berupa bentuk instan, racikan, kapsul, dan minyak gosok. daun mahkota dewa berkhasiat sebagai obat analgesik, antibakteri, dan antihistamin. penelitian ini dilakukan untuk mengetahui daya antibakteri infusa daun mahkota dewa terhadap berbagai kuman patogen seperti staphylococcus aureus dan escherichia coli. lilis suryani, selly stepriyani, daya bakteri infusa daun mahkota dewa .............................. 24 pendahuluan bertahun-tahun yang lalu, tidak banyak orang yang mengenal tanaman mahkota dewa sebagai tanaman yang berkhasiat. tanaman yang mempunyai nama latin phaleria macrocarpa karena buahnya yang besar ini, hanya dianggap sebagai sarang ular, apalagi tanaman ini termasuk tanaman perdu dan buahnya pun sangat pahit. habitat asli tanaman mahkota dewa di papua sehingga disebut juga phaleria papuana. tidak diketahui bagaimana caranya, tetapi, di keraton mangkunegara solo dan keraton yogyakarta tanaman mahkota dewa ternyata sudah dikenal sebagai tanaman yang berkhasiat untuk keperluan pengobatan.1 saat ini, mahkota dewa mulai banyak dikenal orang seiring maraknya perbincangan orang mengenai khasiat mahkota dewa dalam mengobati berbagai penyakit antara lain: sakit liver, ginjal, hipertensi, jantung, kencing manis, asam urat, rematik dan penyakit-penyakit infeksi bakterial seperti: jerawat, infeksi sekunder pada eksim, disentri, batuk, dan demam. meluasnya informasi tentang khasiat tanaman mahkota dewa ini sebenarnya tidak lepas dari gencarnya promosi dan pemasaran tanaman mahkota dewa oleh pengobatan-pengobatan alternatif yang saat ini makin menjamur. bagian dari tanaman ini yang paling banyak digunakan adalah daunnya, dan tehnik pengolahannya pun semakin maju dengan berbagai bentuk desain penelitian adalah eksperimental laboratorium. aktivitas antibakteri ditentukan dengan menghitung khm (kadar hambat minimal) dan kbm (kadar bunuh minimal) dengan metode seri pengenceran tabung (tube dilution method). bakteri uji yang digunakan meliputi staphylococcus aureus atcc 25933 dan escherichia coli strain atcc 25922. hasil penelitian menunjukkan bahwa infusa daun mahkota dewa memiliki daya antibakteri terhadap staphylococcus aureus dengan khm 3,125 gram% dan kbm 6,25 gram%. infusa daun mahkota dewa tidak memiliki daya antibakteri terhadap eschericia coli dengan khm lebih besar dari 25 gram%. dapat disimpulkan bahwa infusa daun mahkota dewa bersifat bakterida terhadap bakteri staphylococcus aureus. kata kunci : mahkota dewa, daya antibakteri, staphylococcus aureus, escherichia coli kemasan yang mempermudah pemakaian oleh masyarakat. kemasan produk dapat berupa bentuk instan, racikan, kapsul, dan minyak gosok.2 daun mahkota dewa berkhasiat sebagai obat analgesik, antibakteri, dan antihistamin.3 sehubungan dengan indikasi bahwa daun mahkota dewa memiliki daya antibakteri, maka perlu dilakukan penelitian tentang daya antibakteri infusa daun mahkota dewa dalam menghambat pertumbuhan bakteri patogen staphylococcus aureus dan eschericia coli. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya antibakteri infusa daun mahkota dewa terhadap bakteri patogen staphylococcus aureus dan eschericia coli. bahan dan cara penelitian ini menggunakan infusa mahkota dewa, media agar darah, media mac conkey agar, brain heart infusion (bhi) untuk pembiakan bakteri, muller hinton agar, aquadest steril dan pengencer dan larutan nacl fisiologis. alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : oven memmert, incubator memmert, timbangan sartorius bp 160 p, autoklaf jerico je-350a, waterbath, kapas, lampu spiritus, cawan petri berdiameter 10 cm, tabung reaksi, rak tabung reaksi, kolf erlenmeyer, pipet ukur, thermometer, ose steril, laminar air flow. 25 mutiara medika edisi khusus vol. 7 no.1: 23 28, april 2007 bakteri uji dalam penelitian ini digunakan suspensi escherichia coli strain atcc 25922, staphylococcus aureus strain atcc 25933. pembuatan infusa daun mahkota dewa dengan cara daun mahkota dewa dikeringkan kemudian digiling hingga berbentuk serbuk. serbuk tersebut ditimbang sebanyak 50 gram selanjutnya diacampur dengan akuades 100 ml, sehingga diperoleh konsentrasi 50% b/v (4). larutan tersebut selanjutnya dipanaskan dalam panci infus pada suhu 90°c . setelah itu cairan dikeluarkan dan dibiarkan agak dingin, kemudian disaring dengan kain flannel steril sehingga bahan dan air infusa terpisah. infusa ini kemudian ditampung dalam labu erlemeyer steril dan ditutup rapat. bila volume infusa yang dihasilkan kurang dari 100 ml, ditambah akuades steril hingga volume sampai 100 ml. selanjutnya larutan infusa daun mahkota dewa tersebut disaring dengan menggunakan filter bakteri. pemeriksaan sterilitas infusa daun mahkota dewa dengan cara infusa yang diperoleh setelah di saring dengan filter bakteri, diuji lagi sterilitasnya dengan cara diteteskan sebanyak 5 ml ke dalam tabung perbenihan cair muller hinton. hasilnya dibaca setelah diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37°c. jika tidak terjadi kekeruhan pada tabung perbenihan berarti infusa dinyatakan steril. penyiapan bakteri uji dengan cara koloni escherichia coli strain atcc 25922, staphylococcus aureus strain atcc 25933. disubkultur pada lempeng agar mueller hinton selama 24 jam pada suhu 37°c. koloni yang tumbuh dipilih 5 koloni yang baik, dengan ose steril diinokulasikan pada 5 ml media cair bhi, lalu diinkubasikan selama 2 jam pada suhu 37°c sampai terlihat pertumbuhan bakteri. suspensi tersebut diencerkan lagi dengan larutan garam fisiologis steril sampai kekeruhan sesuai dengan standar brown iii (diduga mengandung kuman 198 cfu/ml) dan selanjutnya diencerkan lagi menjadi 106 cfu/ml. penentuan kadar hambat minimal infusa daun mahkota dewa dengan metode seri pengenceran tabung (macro broth dilution). disediakan 12 tabung volume 5 ml steril. kedalam tabung-tabung tersebut dimasukkan 1 ml akuades steril, kecuali tabung ke-1 dan tabung ke-11. selanjutnya dimasukkan pula 1 ml sediaan infusa dengan konsentrasi 50 gr% pada tabung ke1 dan ke-2. tabung ke-2 digojog sampai homogen, diambil 1 ml dengan pipet steril dan dimasukkan ke dalam tabung ke-3. tabung ke-3 digojog sampai homogen, diambil 1 ml kemudian dimasukkan ke tabung nomor 4. demikian seterusnya, sehingga diperoleh pengenceran secara serial menjadi setengah konsentrasi mulamula. bakteri uji dengan konsentrasi 106 cfu/ml dimasukkan masing-masing 1 ml ke dalam tabung ke-1 sampai tabung ke10 dan tabung ke-12. tabung ke-11 hanya mengandung sisa pengenceran infusa daun mahkota dewa sebagai kontrol sterilitas bahan uji (kontrol negatif), sedangkan tabung ke-12 sebagai kontrol pertumbuhan bakteri (kontrol positif). deretan seri pengenceran tabung yang berisi infusa tersebut kemudian diinkubasikan pada 37°c selama 24 jam. kadar hambat mnimal akan ditunjukkan dengan tidak terjadi kekeruhan dengan konsentrasi terendah pada deetan tabung yang memperlihatkan bening pertama. untuk meyakinkan apakah bakteri sudah benar-benar mati atau belum, diambil 1 ose larutan jernih dari tabung-tabung yang mulai tidak menujukkan adanya pertumbuhan bakteri. kemudian ditanam ke medium nutrien agar, diinkubasika selama 24 jam pada suhu 37°c. kadar bunuh minimal ditunjukkan dengan tidak adanya pertumbuhan koloni bakteri pada medium nutrien agar dengan konsentrasi terendah. lilis suryani, selly stepriyani, daya bakteri infusa daun mahkota dewa .............................. 26 hasil dari hasil penelitian yang meliputi penentuan kadar hambat minimal dan kadar bunuh minimal infusa daun mahkota dewa terhadap staphylococcus aureus dan eschericia coli diperoleh hasil sebagai berikut. kadar hambat minimal ( khm ) diperoleh dengan mengamati tabung subkultur yang tidak menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri ( jernih ) dengan konsentrasi terendah. kadar bunuh minimal (kbm) diperoleh dengan mengamati tidak adanya pertumbuhan bakteri pada media agar nutrien dan media mac conkey, yang diinokulasi dengan larutan yang diambil dari tabung-tabung jernih pada penentuan kadar hambat minimal. tabel 2. hasil penentuan kbm infusa daun mahkota dewa terhadap eschericia coli dan staphylococcus aureus tabel 1 dan tabel 2 diatas, dapat dilihat bahwa khm infusa daun mahkota dewa terhadap staphylococcus aureus sebesar 3,125 gram % dan kadar bunuh minimalnya sebesar 6,25 gram %. hal ini membuktikan bahwa infusa daun mahkota dewa memiliki daya antibakteri terhadap staphylococcus aureus . khm dan kbm infusa daun mahkota dewa terhadap escherichia coli ternyata > 25 gram %. hal ini membuktikan bahwa infusa daun mahkota dewa tidak memiliki daya antibakteri terhadap escherichia coli . tabel 1. rerata hasil penentuan khm infusa daun mahkota dewa terhadap staphylococcus aureus dan eschericia coli kadar hambat minimal infusa daun mahkota dewa (gram %) pemeriksaan ke staphylococcus aureus eschericia coli 1 3,125 > 25 2 3,125 >25 rerata 3,125 >25 kadar bunuh minimal infusa daun mahkota dewa (gram %) pemeriksaan ke staphylococcus aureus eschericia coli 1 6,25 > 25 2 6,25 >25 rerata 6,25 >25 27 mutiara medika edisi khusus vol. 7 no.1: 23 28, april 2007 diskusi adanya daya antibakteri infusa daun mahkota dewa terhadap staphylococcus aureus disebabkan karena daun mahkota dewa mengandung zat aktif yang berperan sebagai zat antibakteri. salah satu kandungan kimia yang terdapat pada daun mahkota dewa adalah polifenol yang diduga mempunyai fungsi sebagai zat antibakteri.2 flavonoid merupakan senyawa golongan fenolik berinteraksi dengan sel bakteri melalui mekanisme adsorpsi, yang melibatkan ikatan hidrogen dengan gugus fenol. pada kadar rendah terbentuk kompleks protein yang terdapat pada dinding sel bakteri dengan fenol yang ikatannya lemah dan segera mengalami peruraian, diikuti penetrasi fenol kedalam sel dan menyebabkan presipitasi serta denaturasi protein plasma. pada kadar tinggi fenol mempengaruhi permeabilitas membran sel sehingga menimbulkan kebocoran dan kehilangan senyawa intraseluler.5 khm infusa daun mahkota dewa eschericia coli lebih besar daripada staphylococcus aureus. hal ini disebabkan karena eschericia coli termasuk bakteri gram negatif dan staphylococcus aureus adalah bakteri gram positif. pada bakteri gram negatif membran luarnya terdiri atas lipopolisakarida yang tebal, lipopolisakarida ini bersifat hidrofilik dan sebagai sawar untuk melindungi seluruh dinding sel. pada bakteri gram negatif, flavonoid harus dapat menembus membran luar dan ruang periplasmik kemudian berinteraksi dengan protein pengikat pada membran sitoplasma untuk menghambat pembentukan peptidoglikan dan mengaktivasi autolisin akibatnya dinding sel sukar ditembus oleh flavonoid sehingga dibutuhkan kadar yang lebih tinggi untuk menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif. pada bakteri gram positif dinding selnya hanya terdiri atas lapisan peptidoglikan, sehingga flavonoid agak mudah menembus dinding sel dibandingkan pada bakteri gram negatif dan kadar yang dibutuhkan untuk menghambat bakteri gram positif lebih kecil.6 pada dinding sel bakteri staphylococcus aureus mengandung komponen yang terdiri dari peptidoglikan, asam teikhoat, asam teikhuronat dan polisakarida, dimana asam teikhoat dan asam teikhuronat yang terikat secara kimiawi kepada peptidoglikan. peptidoglikan meliputi 50 % dari seluruh dinding sel bakteri gram positif, sedangkan pada bakteri gram negatif hanya 2 % sampai 10 % mengandung peptidoglikan pada dinding sel bakterinya. peptidoglikan mempunyai ikatan b-1,4 glikosidat antara asam n-asetil glukosamin yang dapat dipecahkan oleh enzim bakteriolitik lisosom, peptidoglikan mengandung asam diaminopimelat, suatu asam amino unik dan khas yang terdapat pada dinding selnya. diduga peptidoglikan merupakan tempat bekerjanya zat aktif antibakteri infusa daun mahkota dewa, sehingga dengan kadar infusa daun mahkota dewa sedikit saja sudah dapat menghambat pertumbuhan staphylococcus aureus.7 besarnya khm e. coli disebabkan dinding sel eschericia coli yang terdiri dari sedikit peptidoglikan, lipoprotein, selaput luar dan lipopolisakarida, dimana selaput luar dari dinding sel eschericia coli merupakan selaput ganda fosfolipid yang sebagian besar dari fosfolipid bagian luar diganti dengan molekul lipopolisakarida. lipopolisakarida akan menolak zat hidrofilik. namun lipopolisakarida memilik celah (porin) untuk difusi pasif zat dengan berat molekul kecil, dan sukar dilewati antibiotik dengan berat molekul besar atau dengan kata lain selaput luar mempunyai sifat permeabilitas tehadap zat terlarut bermolekul rendah sehingga zat aktif yang ada dalam infusa daun mahkota dewa tidak dapat masuk kedalam sel bakteri. disamping itu juga selaput ganda fosfolipid melindungi dari kebocoran protein periplasma yang terdiri dari peptidoglikan terhidrasi, protein pengikat, enzim hidrolitik dan oligosakarida yang apabila terjadi kebocoran dapat diikat oleh zat antibakteri infusa daun mahkota dewa dan zat antibakteri akan masuk kedalam sel bakteri oleh karena itu dibutuhkan kadar yang lebih banyak untuk merusak selaput ganda lilis suryani, selly stepriyani, daya bakteri infusa daun mahkota dewa .............................. 28 fosfolipid. dinding sel staphylococcus aureus tidak mempunyai selaput ganda fosfolipid pada dinding selnya dan zat antibakteri dapat langsung berinteraksi dengan dinding sel bakteri sehingga dibutuhkan kadar yang lebih rendah untuk menghambat pertumbuhan staphylococcus aureus. kesimpulan infusa daun mahkota dewa memiliki daya antibakteri terhadap staphylococcus aureus dengan khm 6,25 gram% dan kbm 3,125 gram%. infusa daun mahkota dewa tidak memiliki daya antibakteri terhadap eschericia coli atau khm lebih besar dari 25 gram%. ucapan terima kasih penulis mengucapkan terima kasih kepada lp3 umy yang telah membiayai penelitian ini. daftar pustaka 1. anonim , 2002, mahkota dewa, www.suaramerdeka.com 2. harmanto, ning, 2001, mahkota dewaobat pusaka para dewa, agro media pustaka, jakarta 3. harmanto, ning, 2003, menaklukkan penyakit bersama mahkota dewa, agro media pustaka, jakarta 4. departemen kesehatan, 1999, inventaris tanaman obat indonesia, edisi v, badan litbang kesehatan , bakti husada , jakarta 5. siswandono dan soekarjo b, (1995), kimia medisinal, airlangga university, surabaya 6. mutschler, e., 1991, dinamika obat, diterjemahkan oleh mathilda b, widiarto & anna setiadi ranti, edisi v, penerbit itb, bandung, 664-7 7. ernest, j., 1996, mikrobiologi kedokteran, edisi 20, egc, jakarta mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 22 no 2 page 89-95, july 2022 interrelation between handwashing and the severity of covid-19: a non-representative cross-sectional study nabila putri firdalina1, riry ambarsarie2*, utari hartati suryani3, dessy triana4, nikki aldi massardi5 1 medical program, faculty of medicine and health sciences, universitas bengkulu, kandang limun, muara bangka hulu, bengkulu, indonesia 2 department of medical education, faculty of medicine and health sciences, universitas bengkulu, kandang limun, muara bangka hulu, bengkulu, indonesia 3department of microbiology faculty of medicine and health sciences, universitas bengkulu, kandang limun, muara bangka hulu, bengkulu, indonesia 4department of parasitology, faculty of medicine and health sciences, universitas bengkulu, kandang limun, muara bangka hulu, bengkulu, indonesia 5department of pathology anatomy, faculty of medicine and health sciences, universitas bengkulu, kandang limun, muara bangka hulu, bengkulu, indonesia date of article: received: 15 march 2022 reviewed: 12 june 2022 revised: 19 june 2022 accepted: 27 june 2022 *correspondence: riryambarsary@gmail.com doi: 10.18196/mmjkk.v22i2.14248 type of article: research abstract: corona virus disease 2019 (covid-19) pandemic remains a global issue, including in indonesia. handwashing using soap can reduce the viral load of the sars-cov-2 virus and prevent coinfection, which can worsen symptoms in covid-19 patients. this study aims to determine the relationship between knowledge, attitudes, and handwashing behavior to the severity of covid-19. research using a cross-sectional and retrospective approach was conducted from july to december 2020 in bengkulu province. about 107 respondents had been confirmed positive for covid-19 with the rt-pcr test, aged 17-60 years, and were willing to participate. knowledge, attitudes, and behaviors were assessed using validated questionnaires and data on the severity of disease obtained from epidemiological forms. the collected data were then analyzed using chi-square statistical tests. 107 respondents had already filled in the questionnaires. the chisquare test showed no significant association between knowledge (p 0.081), attitude (p 0.216), and behavior (p 0.136) of handwashing to the severity of covid-19. a good level of knowledge, attitudes and behaviors about handwashing using soap did not adequately affect the severity of covid-19 patients. the good level of knowledge, attitude, and practice of hwus were not significant enough to affect the severity of the covid-19 disease. keywords: knowledge; attitude; behavior; hwus; severity of covid-19 introduction severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (sars-cov-2) caused by coronavirus 2019 (covid-19) was first identified in china as a new type of coronavirus. the virus spreads massively from human to human in a short and sustained time. due to the rapid spread around the world, on march 11, 2020 the world health organization (who) designated covid-19 as a pandemic.1 the number of cases reported in indonesia cumulatively as of october 17, 2021, amounted to 4.23 million cases with 142,952 deaths. the percentage of deaths in indonesia (3.38%) is still high compared to the world average (2.04%). the death rate also ranke d indonesia the second highest in asia.2 death of covid-19 patients usually occurs in patients with severe disease severity. covid-19 patients are declared seriously ill if they have clinical manifestations of severe acute respiratory tract infection and are said to be critically ill if there is clinical acute respiratory distress syndrome (ards).3 the incidence of coinfection due to viruses, bacteria, or fungi is often associated with worsening conditions of covid-19 patients and increased mortality incidence. coinfection is also associated with a higher frequency of patients entering 90 | vol 22 no 2 july 2022 the intensive care unit (icu) room. the most common causes of coinfection in bacteria are pneumonia-causing bacteria such as klebsiella pneumoniae (9.9%), streptococcus pneumoniae (8.2%), and staphylococcus aureus (7.7%). the most coinfection-causing viruses are influenza type a (22.3%), influenza type b (3.8%), and respiratory syncytial virus (3.8%), while the most coinfection-causing mushrooms are aspergillus.4 common symptoms of covid-19 patients are fever, fatigue, and dry cough. some patients may experience aches and pains, loss of smell, missing tasting, conjunctivitis, headache, stuffy nose, runny nose, diarrhea, sore throat, and skin rash.3 the overall percentage of cases with mild to critical symptoms is divided into 40% of patients experiencing mild pain, 40% of patients experiencing moderate pain, including pneumonia, 15% of patients experiencing severe pain, and 5% of others in critically ill. the criteria for clinical symptoms in covid-19 patients are divided into asymptomatic (asymptomatic), mild pain, moderate pain, severe pain and critical illness.5 prevention of the occurrence of coinfection can be done by washing hands with soap. when a person washes his hands using soap, the content of surfactants that are hydrophilic/lipophilic can facilitate the flushing of microorganisms in hand.6 the active content of soap can also damage lipid membranes or viral capsules so that it can inactivate the virus.7 hand washing using soap can reduce the incidence of acute respiratory tract infection by 20% and diarrhea by 30%, which means washing hands with soap can prevent the incidence of infection.8 hand washing using soap can be done in several conditions such as after contact with a sick person, before preparing food, before and after eating, before and after handling wounds, after using a toilet, after coughing or sneezing using the hands, and after throwing and or tackling garbage.9 during the covid-19 pandemic, hand washing was also done before and after holding the eyes, nose, mouth, holding a mask, venturing from crowded places, and holding surfaces that are often touched by others, for example, door handles, tables, supermarket baskets, screens / atm buttons.10 hand washing using soap behavior in the community in bengkulu province is still relatively low, as evidenced by data from basic health research in 2018 as the province with the highest incidence of diarrhea in indonesia.11 the knowledge, attitudes, and behavior of hand washing using soap in the community need to be measured, especially in the covid-19 pandemic, to at least give an idea of the extent of clean and healthy living behaviors of the people in bengkulu province. based on the description above, research linking knowledge, attitudes, and behaviors of hand washing using soap to the severity of covid-19 patients' disease is still uncertain. in indonesia, researchers have not found similar studies, so more research on this issue needs to be conducted. this study aims to determine the relationship between knowledge, attitudes, and behavior of hand washing using soap to the severity of covid19 patients' disease. material and method participation and procedure a cross-sectional and retrospective study approach was conducted among individuals aged 17-60 years. the surveys were conducted from july to december 2020, immediately after indonesia's government's implementation of large-scale social distancing, including bengkulu province. a semi-structured questionnaire was designed for the google survey tool (google forms). the generated link was shared personally with respondents who had been confirmed positive for covid-19 with a positive rt-pcr test result and were willing to participate in this study. the investigators’ decision to collect the data using online approaches was predicated on maintaining large-scale social distance in bengkulu. initially, 112 potential respondents provided written informed consent online. 107 respondents completed the entire survey, generating a response rate of 95.5%. the inclusion criteria to participate in the study were those confirmed positive for covid-19 with a positive rt-pcr test result, aged 17-60 years, and voluntary participation. measures semi-structured and self-reported questionnaires contained informed consent and questions regarding knowledge, attitude, practice and severity of the disease. knowledge, attitude and practice to assess the respondents' level of knowledge, attitude and practice, 30 questions (including 10 for knowledge, 10 for attitude and 10 for practice) were included. the survey questions were adapted from world health organization (who) tools for hand hygiene surveys7. after completing the initial draft of the survey, the questionnaire was validated and adopted as follows; firstly, the questionnaire was sent to three academic experts knowledgeable in the area. after coordination and consensus of all experts’ opinions, the final questionnaire was drafted and underwent pilot testing in 30 individuals to confirm the reliability of the | 91 questionnaire. the data from the pilot study were loaded into spss version 25 and subjected to reliability coefficient analysis. regarding the pilot data, cronbach’s alpha coefficient of the knowledge, attitude, and practice were 0.60, 0.43, and 0.74, respectively, and overall, cronbach’s alpha of kap questions was 0.73, indicating acceptable internal consistency. in terms of field data, cronbach’s alpha coefficient of the knowledge, attitude, and practice were 0.60, 0.20, and 0.63, respectively, and overall, cronbach’s alpha of kap questions was 0.60. the knowledge section consisted of 10 items, and each question had a possible response of “yes”, “no,” and “do not know” (e.g., is handwashing using soap and running water effective in preventing the transmission of covid-19?). the correct answer (yes) was coded as 1, while the wrong answer (no/do not know) was coded as 0. the total score ranged from 0–10, with an overall greater score indicating more accurate knowledge. a cut-off level of ≥ 6 was set for more accurate knowledge. the attitude section consisted of 10 items, and the response of each item was indicated on a 4-point likert scale as follows 1 (“strongly disagree”), 2 (“disagree”), 3 (“agree”), and 4 (“strongly agree”) (e.g., after covering the mouth and nose when coughing or sneezing, a person needs to wash hands immediately). the total score was calculated by summating the raw scores of the ten questions ranging from 0 to 20, with an overall greater score indicating more positive attitudes towards handwashing using soap. a cut-off level of ≥ 26 was set for more positive attitudes toward handwashing using soap. the practice section included 10 items of practice measures responding to the handwashing using soap in the covid-19 era, and each item was responded as “yes”, “no”, and “sometimes” (e.g., do you wash your hands before entering a store or public place?). practice items’ total scores ranged from 0–20, with an overall greater score indicating more frequent practices towards handwashing using soap. a cut-off level of ≥ 11 was set for more frequent practices. the severity of covid-19 patients in bengkulu province was recorded from july to december 2020. classification severity of covid-19 was based on the clinical massiveness of patients, namely: asymptomatic (asymptomatic patients), mildly ill (patients did not show specific symptoms such as flu), moderate pain (mild pneumonia), severe pain (severe pneumonia / severe ari), and critically ill (ards). the data included primary data collected directly through questionnaires disseminated online and secondary data obtained from bengkulu provincial health office documents in the form of epidemiological investigation forms. statistical analysis the data analysis was performed using microsoft excel 2019 and spss version 23.0. microsoft excel was used for editing, sorting, and coding. the excel file was then imported into spss software. descriptive statistics (frequencies, percentages, means, standard deviations) and first-order analyses (i.e., chi-square tests) were performed. ethical considerations the study was conducted based on the institutional research ethics and the declaration of helsinki. formal ethical approval was granted by the health research ethics committee of the faculty of medicine and health sciences, university of bengkulu, number: 266/un30.14.9/lt/2020. the consent form documented the study's aims, nature, and procedure. anonymity and confidentially were strictly maintained. result this study showed the frequency distribution of knowledge levels, attitudes, and behaviors of hwus and the characteristics of 107 respondents. respondents consisted of 51 (47.7%) females and 56 (52.3%) males. on average, respondents were 46-40 years (34.6%). the majority of respondents had good levels of knowledge (71%), attitudes (80.4%), and behavior (92.5%) of hwus. it found that the degree of severity of the most diseases was asymptomatic at 63 (58.9%) respondents and the degree of severity of the least severe disease was 5 (4.7%) respondents. in addition, there were also 34 (31.8%) respondents with comorbidities. the characteristics of respondents in this study are displayed in table 1. 92 | vol 22 no 2 july 2022 table 1. overview of hand washing knowledge level, attitudes, behaviors and characteristics of respondents category frequency percentage (%) knowledge level of hwus good 76 71.0 poor 31 29.0 attitude level of hwus positive 86 80.4 negative 21 19.6 behavior level of hwus active 99 92.5 passive 8 7.5 age distribution 17-25 years 22 20.6 26-35 years 15 14 36-45 years 33 30.8 46-60 years 37 34.6 severity of disease asymptomatic 63 58.9 mild 26 24.3 moderate 13 12.1 severe 5 4.7 critically ill 0 0 comorbidity with 34 31,8 without 73 68,2 table 2. the relationship between handwashing knowledge and the severity of covid-19 knowledge of hwus the severity of covid-19 patients asymptomatic mild moderate severe n % n % n % n % total p good 50 79.37 17 65.38 7 53.85 2 40.00 76 poor 13 20.63 9 34.62 6 46.15 3 60.00 31 0.081 total 63 100.00 26 100.00 13 100.00 5 100.00 107 based on table 2, there is no significant association between hwus knowledge levels and the severity of covid-19 patients' disease. the study results from the chi-square test obtained a p-value of 0.081, indicating that a person's knowledge of hwus did not affect the severity of the disease in covid-19 patients. table 3. the relationship between handwashing attitude and the severity of covid-19 patients attitudes of hwus the severity of covid-19 patients' disease asymptomatic mild moderate severe n % n % n % n % total p positive 51 80.95 17 80.95 13 72.22 5 100.00 86 0.216 negative 12 19.05 4 19.05 5 27.78 0 0.00 21 total 63 100.00 21 100.00 18 100.00 5 100.00 107 based on table 3, a p-value of 0.216 indicates that the level of a person's attitude regarding hwus does not affect the severity of the disease in covid-19 patients. moreover, most respondents had a positive attitude related to hwus, but among them were respondents with severe disease. based on table 4, a p-value of 0.136 indicates that the level of a person's behavior regarding hwus does not affect the severity of the disease in covid-19 patients. | 93 table 4. the relationship between handwashing behavior and the severity of covid-19 practice of hwus the severity of covid-19 patients' disease asymptomatic mild moderate severe n % n % n % n % total p positive 59 93.65 25 96.15 10 76.92 4 80.00 98 0.136 negative 4 6.35 1 3.85 3 23.08 1 20.00 9 total 63 100.00 26 100.00 13 100.00 5 100.00 107 discussion this study selected respondents at the productive age of 17-60 years. the results of this study showed that the age group of respondents was in the age range of 36-45 years, as many as 33 people and the age range of 46-60 years, as many as 37 people. it is in line with the data released by the covid-19 task force (2021) that the age group of the majority of covid-19 positive cases in indonesia is the productive age consisting of the age group of 31-45 years, with a total of 29%, 19-30 years with a total of 25%, and 46-59 years with a total of 22%.12 the severity of the disease due to sars-cov-2 infection in the respondents was asymptomatic for 58.9% (63 people), mildly ill for 24.3% (26 people), moderately ill for 12.1% (13 people), and severely ill for 4.7% (5 people), and severe pain for 4.7% (5 people). based on the ministry of health (2020), the severity of patients will be more severe if they show clinical symptoms of pneumonia, such as tightness to ards. washing hands with soap can prevent respiratory tract infections such as pneumonia.8 most respondents had a good level of knowledge (71%), attitude (80.4%), and behavior (92.5%) of hwus. knowledge is important in shaping health behaviors, especially hand washing. knowledge-based behavior will last longer than behavior that is not based on knowledge13. most of the respondents in this study supported health attitudes and behaviors and were already aware that hwus attitudes and behaviors are important in lowering the incidence of infectious diseases. subsequent data on the study showed that 80.4% (86%) of respondents had a positive attitude, and 92.5% (99 people) behaved actively. it indicated that most of the respondents in this study supported health attitudes and behaviors and were already aware that hwus attitudes and behaviors are important in lowering the incidence of infectious diseases. however, an attitude cannot be easily realized since it requires factors such as the availability of hand washing facilities, reinforcing factors in the form of invitations to others or health rules, as well as knowledge influenced by experience, mass media, and educational institutions, emotions, and many more.10 level of knowledge, attitudes, and behaviors are often associated with the incidence of an infection14. a proper handwashing activity using soap can significantly decrease exposure to infectious disease-causing organisms15. the results of this study showed that a person with a good level of knowledge, attitude, and behavior of hwus was not effective enough in preventing severe disease severity in covid-19 patients if infected in the future. a person with good hwus knowledge, such as knowing how to wash hands properly and how long it takes, accompanied by a good hwus attitude such as diligently using a hand sanitizer, routine hand washing with soap before eating, always washing hands after getting out of the crowd, and others do not guarantee that they can turn their illness level into mild when infected with severe sars-cov-2. hand washing using soap activities may affect the severity of covid-19 disease, as previous theories were linked to virulence and coinfection factors. however, the effect is not statistically significant due to the multifactorial degree of severity of covid-19 disease. in addition, retrospective research designs with crosssectional studies may affect the answers from respondent questionnaires, where after exposure to covid19, respondents will become more careful and diligent in washing their hands. it also explains that when the health protocol campaign during the covid-19 pandemic is not enough only by inviting people to wash hands with soap16, it is also necessary to implement other health protocols consisting of 5m, namely wearing masks, washing hands with soap and running water, maintaining distance, staying away from crowds, and limiting mobilization and interaction and 3t, namely testing, tracing, and treatment. in addition, the community needs to vaccinate against covid-19.17 in addition to vaccines, many other factors, such as age, can affect the severity of covid-19 patients' disease. perrotta et al. (2020) stated that the old age group is a cluster of high risk of severe symptoms. 18 it is because there has been an aging process in the elderly. aging causes a decrease in the number of cilia in the respiratory tract, a decrease in the size of the airway/collapse, and an increase in the nasal cavity volume. 94 | vol 22 no 2 july 2022 therefore, it can lower respiratory resistance in the nasal cavity, which affects the pathophysiology of covid19 disease. in addition, aging can lead to immunosenescence or decreased immune system. older patients with a good state of immunity may experience mild asymptomatic-pain symptoms, as found in this study. it occurred because the response of individual immunity to disease can vary in addition to age factors. the immune response is influenced by genetic factors, nutritional factors before and during illness, certain drugs such as immunosuppressants, comorbid factors, stress factors, lifestyles, etc. in patients with certain immune system conditions, such as having low antibody levels due to failure to produce a productive anti-viral immune response or an excessive (uncontrolled) immune response will lead to worsening of symptoms of covid-19.19 excessive immune responses such as cytokine storm states are known to play a role in the occurrence of respiratory distress of covid-19 patients who experience respiratory distress and ards including to the degree of severe pain and pain critical.20 hand washing using soap is only one aspect assessed in this study, especially from the generator factor. in terms of generator, agent, and environment, many aspects cannot be controlled only by washing hands with soap. furthermore, there is also still a lot more to note. hand washing with soap should be done with other behavior modifications. washing hands will not benefit us if it is the only thing carried out. thus, it is necessary to modify other behaviors that have been campaigned by the government, namely 5m, which consists of washing hands with soap, maintaining distance, avoiding crowds, wearing masks, and reducing mobility. in addition, the public also needs to vaccinate, participate in screening for the diagnosis of covid19, not delay if sick, and participate in quarantine if infected so as not to harm others. by seeing the fact that indonesia is a multi-ethnic country with vastly different economic income, education levels and traditions, it is expected that the levels of knowledge, attitude, and prevention will also markedly differ in the population. although good kap was present in a sizeable proportion of the sample, likely, population sectors that have no access to the internet or live in regions with a less likely fast escalation of transmission may also display reduced kap when standard education and dissemination initiatives are promulgated and implemented. furthermore, it is highly probable that large clusters of people will become less informed and adoptive of prevention practices on covid-19. it can be seen from most of the respondents with a good level of knowledge, attitude and practices, but at the same time, they also have a history of the severity of covid-19. conclusion a good level of knowledge, attitudes and behaviors toward handwashing using soap did not adequately affect the severity of covid-19 patients. the good level of knowledge, attitude, and practice of hwus was not significant enough to affect the severity of covid-19 disease, so it was necessary to tighten other health protocols such as maintaining immunity, vaccination, and the application of 5m and 3t. conflict of interest the authors declare no conflict of interest. references 1. world health organization. weekly epidemiological update. 2020 [cited 2020 nov 19]. available from: https://www.who.int/publications/m/item/weekly-epidemiological-update---10-november-2020. 2. zheng, z., peng, f., xu, b., zhao, j., liu, h., peng, j., et al. risk factors of critical & mortal covid-19 cases: a systematic literature review and meta-analysis. the journal of infection. 2020. 81(2): e16–e25. https://doi.org/10.1016/j.jinf.2020.04.021 3. who. who director-general’s remarks at the media briefing on 2019-ncov on 11 february 2020. https://www.who.int/dg/speeches/detail/who-director-general-s-remarks-at-the-media-briefing-on-2019-ncovon-11-february-2020. accessed 20 may 2020 4. langford bj, so m, raybardhan s, leung v, westwood d, macfadden dr, soucy jpr. bacterial co-infection and secondary infection in patients with covid-19: a living rapid review and meta-analysis. clinical microbiology and infection: the official publication of the european society of clinical microbiology and infectious diseases, 2020; 26(12): 1622–1629. https://doi.org/10.1016/j.cmi.2020.07.016. 5. htun, y. m., win, t. t., aung, a., latt, t. z., phyo, y. n., tun, t. m., htun, n. s., tun, k. m., & htun, k. a. initial presenting symptoms, comorbidities and severity of covid-19 patients during the second wave of the epidemic in myanmar. tropical medicine and health, 2021; 49(1). https://doi.org/10.1186/s41182-02100353-9 https://www.who.int/publications/m/item/weekly-epidemiological-update---10-november-2020 https://doi.org/10.1016/j.jinf.2020.04.021 https://www.who.int/dg/speeches/detail/who-director-general-s-remarks-at-the-media-briefing-on-2019-ncov-on-11-february-2020.%20accessed%2020%20may%202020 https://www.who.int/dg/speeches/detail/who-director-general-s-remarks-at-the-media-briefing-on-2019-ncov-on-11-february-2020.%20accessed%2020%20may%202020 https://doi.org/10.1016/j.cmi.2020.07.016 https://doi.org/10.1186/s41182-021-00353-9 https://doi.org/10.1186/s41182-021-00353-9 | 95 6. covid-19. infection prevention and control during health care when coronavirus disease (covid-19) is suspected or confirmed. https://www.who.int/publications/i/item/who-2019-ncov-ipc-2020.4. accessed 3 jul 2020. 7. who., 2009. who guidelines on hand hygiene in health care: first global patient safety challenge clean care is safer care. geneva: world health organization. retrieved from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/nbk144046/ 8. rabie, t., curtis, v. handwashing and risk of respiratory infections: a quantitative systematic review. tropical medicine & international health : tm & ih, 2006a; 11(3): 258–267. https://doi.org/10.1111/j.13653156.2006.01568.x 9. unicef. everything you need to know about washing your hands to protect against coronavirus (covid19)|unicef. https://www.unicef.org/coronavirus/everything-you-need-know-about-washing-your-handsprotect-against-coronavirus-covid-19. accessed 28 may 2020. 10. alzyood m, jackson d, aveyard h, brooke j. covid-19 reinforces the importance of handwashing. journal of clinical nursing, 2020; 29(15-16): 2760–2761. https://doi.org/10.1111/jocn.15313. 11. dinas kesehatan provinsi bengkulu, 2018. perkembangan kasus diare provinsi bengkulu. https://covid19.bengkuluprov.go.id/databengkulu/filepdf/234 12. satgas covid-19. analisis data covid-19 indonesia 17 october 2021. 2021. 13. hand hygiene and infection control survey preand peri-h1n1-2009. pandemic: knowledge and perceptions of final year medical students in singapore: pubmed. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/21808958/. accessed 2 jul 2020. 14. lau ll, hung n, go dj, ferma j, choi m, dodd w, wei x. knowledge, attitudes and practices of covid19 among income-poor households in the philippines: a cross-sectional study. j. glob. health 2020; 10, 011007. https://doi.org/10.7189/jogh.10.011007 15. world health organization (who). guide to local production: who-recommended handrub formulations (who, 2010). 16. wong, j. s. w. & lee, j. k. f. the common missed handwashing instances and areas after 15 years of handhygiene education. j. environ. public health 2019, 5928924. https://doi.org/10.1155/2019/5928924 17. kemenkes ri. pedoman pencegahan dan pengendalian covid-19. vol. 20, kementrian kesehatan ri. 2020. 1–214 p. 18. perrotta f, corbi g, mazzeo g, boccia m, aronne l, d’agnano v, et al. covid-19 and the elderly: insights into pathogenesis and clinical decision-making. aging clin exp res. 2020;32(8):1599–608. https://doi.org/10.1007/s40520-020-01631-y 19. brodin p. immune determinants of covid-19 disease presentation and severity. nat med [internet]. 2021;27(1):28–33. available from: https://doi.org/10.1038/s41591-020-01202-8 20. huang c, wang y, li x, ren l, zhao j, hu yi, et al. clinical features of patients infected with 2019 novel coronavirus in wuhan, china. lancet. 2020. 395: 497-506 https://doi.org/10.1016/s0140-6736(20)30183-5 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/nbk144046/ https://doi.org/10.1111/j.1365-3156.2006.01568.x https://doi.org/10.1111/j.1365-3156.2006.01568.x https://www.unicef.org/coronavirus/everything-you-need-know-about-washing-your-hands-protect-against-coronavirus-covid-19 https://www.unicef.org/coronavirus/everything-you-need-know-about-washing-your-hands-protect-against-coronavirus-covid-19 https://doi.org/10.1111/jocn.15313 https://covid19.bengkuluprov.go.id/databengkulu/filepdf/234 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/21808958/ https://doi.org/10.7189/jogh.10.011007 https://doi.org/10.1155/2019/5928924 https://doi.org/10.1007/s40520-020-01631-y https://doi.org/10.1038/s41591-020-01202-8 https://doi.org/10.1016/s0140-6736(20)30183-5 90 fitri arofiati, psychosocial aspects of ... psychosocial aspects of childbearing aspek psikososial kesiapan ibu akan kehamilan dan melahirkan fitri arofiati program studi ilmu keperawatan, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta email : fitri_72@yahoo.com abstrak salah satu isu nasional dalam bidang kesehatan adalah tindakan pencegahan terhadap masalah yang berhubungan dengan kesehatan ibu dan anak. aspek psikososial merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesiapan ibu akan kehamilan dan kelahiran (mempunyai anggota keluarga baru). kehamilan dan kelahiran merupakan kejadian yang berhubungan dengan pengalaman manusia secara bio-psiko-sosial dan budaya. respon ibu terhadap kehamilan dan kelahiran berbeda-beda, dipengaruhi oleh umur, kesehatan, status sosial ekonomi dan latar belakang budaya. individu ibu dan keluarga sangat membutuhkan informasi yang cukup agar dapat mempersiapkan dengan baik proses kehamilan, kelahiran (kehadiran anggota keluarga yang baru). kata kunci: aspek psikososial, kesiapan ibu akan kehamilan dan melahirkan, keperawatan abstract one of the health care national issues is the preventive of the problems related with maternal-child. psychosocial aspect is one factor that will involve the readiness of mother to her pregnancy and childbirth (the readiness of having new family member).pregnancy and childbirth or childbearing is the event which is closely related with some experiences of human being: bio-psycho-social and cultural. every mother would has different response to the event of pregnancy and childbirth, depends on the age, health status, socio-economical level, and cultural background. mother as an individual and family needs enough information for the readiness of pregnancy and childbirth (the readiness of having new family member). keywords: psychosocial aspects, childbearing, nursing introduction maternal – newborn and child health nursing are expanding areas as a result of the broadening scope of practice within the nursing profession and the recognized need for better preventive and restorative care in this area. the importance of this need is reflected in the fact that many of the year 2010 health goal for the nation focus on this areas of nursing.1 pregnancy and childbirth are events that touch nearly every aspect of the human experience: biological, psychological, social, and cultural. individual responses to childbearing on each of these levels may be quite different depending on the age, health, socioeconomic status, and cultural background of the women and her family. these differences result in a wide range of individual and family needs for information and assistance during the childbearing.2 pregnancy and childbirth have important social, psychological, and cultural meanings in any society. these meanings vary, even among groups in the 91 mutiara medika vol. 10 no. 1:90-95, januari 2010 same society, and must be sensitive to and knowledgeable about the psychosocial and cultural nature of the childbearing experience in order to deliver effective and human care to childbearing families. this paper aims to describe the social aspects of childbearing, psychological aspects of childbearing, psychological readiness for childbearing and the impact of childbearing on adult roles. discussion psychosocial aspect of childbearing. pregnancy and childbearing have specific social significance, and decisions about childbearing may be regarded as of major importance or of little consequence depending on that significance. the larger social context and recognize the social factors that influence reproductive behavior and decisions about pregnancy and birth must be understood.3 social factors influencing childbearing decisions. pregnancy usually marks a person’s entry to the parental role and, as such, has life long implications. however, people do not always make a clear, conscious decision for pregnancy or parenthood. often, the decision to risk pregnancy is based more on emotional responses in a particular situation than on rational thought and a life plan. many factors determine whether a person behaves in ways that risk pregnancy, consciously chooses to have a child, or chooses to remain childfree. among these factors are: a). the availability of contraceptive options: the contraception’s have to a large extent created the opportunity for decision making about childbearing. in realistic term, throughout most of human history, parenthood (more particurlary, motherhood) couldn’t be chosen; 4 b). contemporary male and female roles: the nature of socially acceptable sex roles plays a large part in decisions about childbearing. parenthood may be more in evidence in women than the men, since women tend to be socialized throughout life in nurturing functions and with the expectation of motherhood. men are socialized primarily toward a productive occupational career and only secondarily toward future fatherhood. even though sex roles still reflect an orientation toward parenthood, there are now competing social roles, especially for women.4 women tend to primarily responsible for management of the home and for doing or arranging for child care, even when they are also employed outside the home; c). peer, partner, and family influences. peer pressure often influences a teenager to initiate asexual activity that may lead to a pregnancy in adolescence. in couple relationship, pressure to become pregnant may be used as a way to test or force a partner into commitment, and also pressure from family which continues to be the basic societal unit serving to perpetuate the species and socialize the young;3 d). sociocultural influences: socioeconomic status, usually described in terms of occupation, education, and income, reflects values and lifestyles that directly affect decisions about procreation. more couples are deferring marriage until their middle or late twenties and delaying the first birth for several years after marriage.5 some will delay pregnancy until adequate financial resources are available, while others feel that if they waited to be financially secure before starting a family, they would never star one; e). motivations for childbearing: some motivations can be classified as healthy ones. some may be aware of desire to share a part of them selves with the world or to leave a legacy for the future. others may feel childbearing is part of the adventure or challenge of life, a pathway toward achieving their own potential. for others, parenthood is a desirable status, one that permits them to share experiences with parents, peers, and siblings. some may feel incomplete as adult members of society without children. these motivations are more common among adolescents and reflect their psychosocial immaturity, may include having child to save a faltering relationship, to provide a source of affection and security, to replace a loss (such as miscarriage, death of a significant other, or some personal failure), or may to prove sexual ability or fertility, to escape an unhappy home life or work situation.6 92 fitri arofiati, psychosocial aspects of ... psychological aspects of childbearing: a). individual development and parenthood: parenthood is a major transition point in the lives of adult men and women, and particularly for adolescents who become parents. the timing of parenthood affects the timing of other life events. parenthood also affects one’s self-concept and values, and changes one’s interest and one’s ability to pursue some directions in life, profoundly alters relationships with other family members and especially with the mate; b). the childbearing family: the family is the fundamental unit of all human societies, and all are organized with the family as the unit responsible for reproduction and socialization of young. 1 the definitions of family used by social scientists: 1). a social system made up of two or more interdependent persons that remains united over time and that mediates individual needs with demands of the large society; 2). a group of interacting and interdependent personalities; 3). a group of individuals related by blood, marriage, or adoption, residing in the same household, sharing a common history, and interacting with each other on the basis of their roles in the group. as it adapts to pregnancy, the family must accomplish certain developmental tasks in preparation for birth and childbearing. 7 tasks of childbearing family are: 1). physical maintenance : a healthy family provides food, shelter, clothing, and health care for its members; 2). socialization of family members : involves preparing children to live in the community and to interact with people outside of the family; 3). allocation of resources : determining which family needs will be met and their order of priority is allocation of resources; 4). maintenance of order : includes opening in effective means of communication among family members, establishing family values, and enforcing common regulations for all family members; 5). division of labor :fulfill certain roles, such as family provider, caregiver, and home manager; 6). reproduction, recruitment, and release of family member : often not great deal of thought is given to this tasks; who lives in a family often happens more by changing circumstances than by true choice; 7). placement of members into the larger society ; consists of selecting community activities, such as school, religious affiliation, or a political group, that correlate with the family beliefs and values; 8). maintenance of motivation : a sense of pride in the family group, when created, helps members defend the family against threats and serve as support people to each other during crises. family life cycle. families, like individuals, pass through predictable developmental stages.8 to assess whether a family using stage-appropriate health promotion activities, it is helpful to first determine the family’s developmental stages. stage 1. are marriage and the family. during this first stage of family development, members work to achieve three tasks: establish a mutually satisfying relationship, learn to relate well to their families of orientation, if applicable, engage in reproductive life planning. this includes not only adjusting to each other in terms of routines (e.g., sleeping, eating, and housecleaning) but also sexual and economic aspects. stage 2. is the early childbearing family. it is a further developmental step to change from being able to care for a well baby to caring for an ill one. one way of determining whether a parent has made this change is to ask what the new parent has tried to do solve a childrearing or health problem. an important nursing role during this period is health education about wellchild care and how to integrate a new member into a family. stage 3. is the family with preschool children. children in this age demand a great deal of time because their imagination is at such a peak, and safety considerations such as unintentional injuries (accidents) become a major health concern. stage 4. is the family with schoolage children. parents of school-age children have the important responsibility of preparing their children to be able to function in a complex world while at the same time maintaining their own satisfying marriage 93 mutiara medika vol. 10 no. 1:90-95, januari 2010 relationship. important nursing concern during this family stage are monitoring children’s health in terms of immunization, dental care, and health care assessment; monitoring child safety related to home or automobile accidents; and encouraging a meaningful school experience that will make learning a life time concern, not to be abandoned after a more 12 years. stage 5. is the family with adolescent children. now the family must loosen family ties to allow adolescents more freedom and prepare them for life on their own. as technology advances at a rapid rate, the gape between generation increases; life with their parents were young was very different from what it is for their teenagers.8 this makes stage five a trying stage for both children and adults. if there is a “generation gap” between the parent and an adolescent, the adolescent may not be able to talk to the parents about their problem, particularly those of a controversial nature such as sexual responsibility. stage 6. is the launching center family. the stage at which children leave to establish their own household is the most difficult stage because it appears to represent the breaking up of the family. parental roles changes from those of mother or father to once-removed support people or guideposts.3 the stage may represent a loss of self-esteem for parent, who fell themselves being replaced by other people in their children’s lives. stage 7. is the family of middle years. when a family return to a two partner nuclear unit, as it was before childbearing, the partner may view this stage either as the prime time of their lives (an opportunity to travel, economic, independence, and time to spend on hobbies) or as a period of gradual decline (lacking the constant activity and stimulation of children in the home, finding life boring without them or experiencing an “empty nest” syndrome). stage 8. is the family in retirement or older age. families at this stage are not apt to suffer from chronic and disabling conditions than younger ones are.9 they are not having children, and can offer a great deal of support and advice to young adult that are just beginning their families. changing pattern of family life. family life has changed significantly due to many complex and interrelated factors, such as the increased mobility of families, an increase in the number of families in which both parents work outside the house (dualearner families), an increase in the number of one-parent families, and an increase in shared childbearing responsibilities.9 mobility patterns. population movement has an important influence on the quality of family life. during the 20th century, vast numbers of rural families moved to urban communities, and many urban families moved to the suburbs.1 families of immigrants or migrant farm workers can have difficulty finding consistent health care because of their constant movement. ensuring their access to health care may require both increased culturally sensitive health education and community innovative measures.3 poverty. poverty places children and families at risk for variety of health problems. a pregnant women living in poverty is less likely to received prenatal care or be able to afford important prenatal vitamins.5 poverty allows acute illness to become chronic, forces families to live in dangerous neighborhoods, and because of the high stress level always present, may increase the incidence of intimate partner abuse. reduced government aid programs. current legislation aimed at reducing the duration of government assistance to families and encouraging people receiving such assistance to begin or return to work was designed to stimulate parental productivity. health care providers can be instrumental in helping families secure, benefits such as food stamps or funding of the women, infant, and children special supplement food program.9 families can be referred to free or scaled payment health care program so they can obtain despite their limited financial resources. the homeless families. many homeless families are headed by a woman, and an increasing number are headed by pregnant and parenting adolescents. the frequency of drug and alcohol abuse and severe psychiatric problems is greater 94 fitri arofiati, psychosocial aspects of ... among homeless families.5 many mothers in homeless families were physically abused as children and have been battered by an intimate partner. at least half of homeless children are younger than 5 years of age, because of decreased environmental stimulation and lack of exposure to normal play activities. they often lack support people, so they may need a health care provider to serve in this capacity to promote a healthier lifestyle or during times of stress such as illness. 2 increasing number of one-parent families. one-parent families are increasing in number because of high divorce rate and the number of women having children outside of marriage. an increasing number of children are being raised by male or gay/lesbian single parents.3 nurses can be instrumental in helping single parents strengthen their parenting skills and can provide a second opinion on a course of action or care to prevent parenting responsibility. increasing divorce rate. divorce is rarely easy for the people involved, because they are so emotionally involved and their perceptions of their roles are changing so drastically, parent may be unable to give their children the support they need during a divorce.3 children react in different ways to divorce, depending on their age and understanding of what is happening and the explanations that parents give them. decreasing family size. although small families mean fewer child are requirements for parents, this also limits the parent’s experience in childrearing, so the amount of childrearing counseling time per parent may increase. dual parent employment. as many as 60 % of women of childbearing age work at a full-time job outside the home today, and as many as 90 % work at least part-time.5 the implication of this trend for health care providers is that care facilities must schedule appointments at times when parents are free to come. dual-parent employment has increased the number of children attending day care centers or after school programs. increased family responsibility for health monitoring. in the past, parents relied on health care providers to monitor their children’s health, and they accepted advice about health care without asking questions or expressing opinions. today, most of parents take an active role to monitoring their children’s health and participating in planning and goal setting. increased abuse in families. an alarming statistic is that incidence and report of domestic abuse (both child and intimate partner) is increasing yearly. this is apparently related to both an increased stress level in the population as a whole and better reporting of abuse. psychosocial readiness for childbearing. psychosocial readiness for childbearing is defined as the ability to cope with the demands and complete the tasks of pregnancy, childbirth, and parenthood.7 a person might be said to have achieved psychosocial readiness for childbearing if he or she has the following characteristics: a). the capacity to establish and maintain intimate relationships; b). the ability to give to and care for another human being; c). the ability to learn and to adjust pattern of daily life; c). the ability to communicate effectively with others; d). an established sexual identification the impact of childbearing on adult roles. pregnancy and childbirth signal the acquisition of the new role for man and woman involved, is the role of father and mother of a particular child. roles are developed through meaningful interactions with others. people also learn and develop roles in relation to other in similar or complementary roles. the paired or complementary roles are patterned to mesh so that interactions between the role partners are satisfying and meaningful.9 taking new roles is both cognitive and emotional process, especially true the parent role, since it is enacted within the intimate and important context of the spousal couple and the family unit, and the transition involves both emotional and physical change. childbearing and women’s roles. pregnancy and childbirth have significant psychological and physical affects on women. these changes are irreversible. childbearing has major social implications for women as well. childbearing creates profound changes in women’s roles within 95 mutiara medika vol. 10 no. 1:90-95, januari 2010 the home. women are likely to report more overall change in their personal lives after the first birth than do their partners, even if she employed outside the home.5 the women’s movement has focused on this issue, referring to the “superwomen syndrome “it is true that women need time for physical restoration and to establish the mother-infant relationship, this period of primary childcare responsibility sometimes delays the man’s skill development in that area and further contributes to be pattern in which women assume major childcare and home management responsibilities after the first birth. childbearing and men’s roles. childbearing also causes changes in men’s roles, although the changes are usually not as apparent as those experienced by their partners. they experience childbearing as if they were “one step removed”, at least in the biological sense. fatherhood has always introduced important changes in men’s lives, and more attention is now being paid to the experience of fatherhood than ever before. childbearing and the couple relationship. childbearing also has a profound effect on the couple as a unit. depending on how the pregnancy is viewed, it can signal the initiation into full family status for the couple, or the beginning of hard times, stress, and unmet emotional needs. communication patterns were affected by this situation, in role behaviors and each partner’s sense of self, as well as by such practical issues as the mother’s and infant’s physical status and fatigue level. early and delayed childbearing. early childbearing is among adolescents younger than 18 years old and delayed childbearing usually defined as postponement of the first birth until age 30 or later, that have unique psychological and developmental consequences for both mother and father. 4 both types of childbearing are also sometimes associated with adverse health outcomes for mother and child.9 conclusion individual responses to childbearing are varying and involved by bio-psychosocio-cultural aspects in life and would impact on how to percept it. the social factors impacting childbearing decision are the availability of contraceptive options, contemporary male and female roles, peer, partner, and family influences, socio-cultural influences, and motivations for childbearing. the psychological aspects of childbearing are individual development and parenthood which is including the childbearing family, family life cycle which are changing pattern of family life such as mobility patterns, poverty, reduced government aid programs, the homeless families, increasing number of one-parent families, increasing divorce rate, decreasing family size, dual parent employment, increased family responsibility for health monitoring, and increased abuse in families. reference 1. anonim. 2008. the world health report 2005 – make every mother and child count. diakses pada tanggal 20 juli 2008 dari www.who.com 2. gordon, j. 2002. handbook for clinical gynecologic endocrinology and infertility, mosby comp. 3. mark mather. 2008. children in immigrant families chart new path. diakses pada tanggal 21 juli 2008 dari www.prb.org 4. the american college of obstetricians and gynecologists compendium, 2004. 5. pillitteri, adele, s., 2003. maternal and child health nursing, w.b. saunders, 2003 6. burroughs, a., 1997. maternity nursing : an introductory text, w.b. saunders co.,7th edition. usa. 7. littleton, lynna y. and engebretson, j. s., 2002. maternal, neonatal and women’s health nursing, lippincot. 8. anonim. 2008. progress toward the millenium development goals. diakses pada tanggal 20 juli 2008 dari www. unicef.org 9. ricc. and kyle. 2008. maternity and pediatric nursing. diakses pada tanggal 21 juli 2008 dari www.emedicine.com asti widuri, otitis media supuratif kronik maligna dengan tetanus......................... 60 otitis media supuratif kronik maligna dengan tetanus unsafe chronic suppurative otitis media with tetanus asti widuri bagian telinga hidung tenggor ok fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta abstract the chronic otitis media is a chronic middle ear infection followed by producing discharge continuously or intermittently, the perforated tympanic membrane and normally with hearing disorder. it is divided into two types, there are 1) the safe type, the infection limited to mucous membrane, normally does not affect the bone, seldom inducing dangerous complication and without cholesteatoma. 2) the unsafe type, the infection passed throught periosteum and often inducing dangerous intra and extracranial complications. tetanus is an infectious disease that caused by exotoxin produced by clostridium tetani, the symptom is increasing tonus and skeleton muscle spasm. the spasm begin from masseter muscle and could spreading to all of the body. respiratory muscle spasm can caused mortality in tetanus infection. during more or less four decades of the antibiotic era, during this era there are many benefit found, including therapy in serious injury that tetanus not become as threatening. but in slighted little injur y such as dental infection, ulcer diabetic, intravena tool user, and middle ear infection there were as risk factors of tetanus infection. unsafe chronic suppurative otitis media that happen erosion bone process can produced anaerobic condition and become a risk factor on clostridium tetani growth. a case of the chronic suppurative otitis media unsafe type with abcess retroauricular and tetanus infection treated by ent and internal department dr. sardjito hospital was reported. after sufficient therapy, the tetanus infection was cured and the patient prepared for radical mastoidectomy operation to eradication the focal infection and the risk factor to tetanus infection. keywords : tetanus infection, unsafe type of the chronic suppurative otitis media, anaerob condition. abstrak otitis media kronik (omk) adalah infeksi telinga tengah yang berlangsung lebih dari dua bulan ditandai dengan keluarnya cairan mukopurulen secara terus-menerus, perforasi membran timpani dan penurunan pendengaran, dibagi menjadi dua jenis yaitu 1) tipe benigna, jika infeksi terbatas pada mukosa tidak mengenai tulang, jarang menimbulkan komplikasi dan tanpa kolesteatom.2) tipe maligna, jika infeksi menyebabkan erosi tulang (adanya kolesteatom) dapat menimbulkan komplikasi ekstrakranial maupun intrakranial. tetanus adalah suatu penyakit infeksi kuman clostridium tetani yang mengeluarkan eksotoksin, ditandai dengan meningkatnya tonus dan spasme otot rangka. gejala kaku dan kejang otot rangka, biasanya pertama kali mengenai otot-otot-rahang dan leher kemudian menyebar ke seluruh tubuh. kematian biasanya disebabkan karena spasme pada otot-otot pernafasan. selama lebih dari 4 dekade era antibiotik tetanus bukan merupakan ancaman pada trauma besar, tetapi 61 mutiara medika vol. 8 no. 1:60-66, januari 2008 pada luka kecil yang terabaikan seperti infeksi gigi, ulkus diabetik, pemakai alat-alat intravena dan infeksi telinga tengah merupakan faktor risiko infeksi tetanus. pendahuluan tetanus adalah suatu penyakit yang ditandai dengan meningkatnya tonus dan spasme otot rangka yang disebabkan oleh kuman clostridium tetani. gejala neurologis yang timbul diakibatkan oleh eksotoksin kuman, yang menyebabkan rasa kaku dan kejang otot rangka, biasanya pertama kali mengenai otot-otot-rahang dan leher kemudian menyebar ke seluruh tubuh.1 tetanus masih merupakan masalah kesehatan di negara-negara berkembang, dengan jumlah kasus sekitar 1 juta pertahun. penelitian terkini menekankan pentingnya penanganan penyakit yang tepat dan cepat, karena walaupun mortalitasnya tinggi akan tetapi bisa dicegah. tetanus dapat terjadi pada populasi tertentu misalnya kelompok geriatri dan kelompok pecandu obat intravena. 2 selain itu tetanus juga sering terjadi pada neonatus disebabkan karena proses pemotongan umbilicus yang tidak steril. dengan kemajuan penggunaan antibiotika, luka yang besar pada tubuh tidak lagi menjadi ancaman untuk infeksi tetanus, akan tetapi luka kecil yang kadang-kadang terabaikan misalnya infeksi gigi, luka lama pada penderita dm, penggunaan alat intravena dan infeksi telinga tengah dapat menjadi pintu masuknya infeksi tetanus.3 otitis media suppurative kronik tipe maligna yang biasanya dijumpai kolesteatom, dapat menyebabkan proses erosi pada tulang dan dapat menimbulkan komplikasi intrakranial dan ekstrakranial yang berbahaya. proses resorbsi tulang yang terjadi karena peningkatan inflamasi dengan jaringan granulasi yang terletak diantara matriks kolesteatom dan permukaan tulang tergantung pada aktivitas enzimatik mononuklear , histiocyte-like cell dan letak yang berdekatan dengan tulang. tekanan mekanik dan pembesaran kolesteaton dapat menginduksi osteoklas untuk erosi tulang dengan memproduksi asam dan protease dibawah batasnya, selain itu tekanan tersebut bisa menyebabkan keadaan anoksia yang merupakan lingkungan anaerob sehingga merupakan media yang cocok untuk perkembangan bakteri anaerob.4 kuman clostridium tetani yang dapat membentuk spora yang tahan terhadap panas dan desinfektan bisa menyebar dan ditemukan pada tanah, debu, kotoran manusia dan binatang, kebun yang dipupuk dengan kotoran binatang5. jika penderita omc sering mengkorekkorek telinga dengan sesuatu yang tidak steril maka spora dapat ikut masuk ke dalam telinga tengah karena biasanya pada penderita omc gendang telinga telah perforasi, bila telinga tengah dalam keadaan anaerob spora dapat berubah dan memperbanyak diri serta mengeluakan eksotoksin sehingga timbul gejala klinis. kasus otitis media supuratif kronik masih merupakan 10 besar penyakit telinga di indonesia yang merupakan kompetensi dokter umum untuk melakukan penatalaksanaan di puskesmas, hanya pada keadaan timbulnya komplikasi seperti timbulnya kolesteatom yang bersifat bahaya, maupun dengan infeksi sekunder seperti tetanus ini yang memerlukan otitis media kronik tipe maligna yang disertai proses erosi pada tulang dapat menimbulkan suasana anaerob dan merupakan faktor risiko untuk pertumbuhan bakteri clostridium tetani. telah dilaporkan sebuah kasus tetanus pada pasien otitis media supuratif kronik tipe maligna dengan abses retroauricular, dilakukan perawatan bersama dari bagian tht dengan bagian upd dan dilakukan operasi mastoidektomi dengan tujuan untuk pembersihan fokal infeksi dan menghilangkan faktor risiko terjadinya infeksi tetanus. kata kunci: infeksi tetanus, kondisi anaerob, otitis media supuratif kronik tipe maligna asti widuri, otitis media supuratif kronik maligna dengan tetanus......................... 62 tindakan rujukan ke rumah sakit yang memiliki tenaga spesialis yang lengkap. tujuan penulisan kasus ini adalah untuk memberikan wawasan tentang salah satu kasus otitis media supuratif yang memerlukan tindakan rujukan sehingga dokter umum yang mendapatkan kasus tersebut mampu mendiagnosa dengan benar dan melakukan tindakan rujukan tepat waktu sehingga dapat menyelamatkan pasien dari kematian. kekerapan insidensi tetanus di negara maju cukup rendah di inggris 6 kasus pertahun, amerika serikat 35 kasus pada tahun 2000, akan tetapi pada negara-negara berkembang kasus tetanus masih menduduki urutan nomor 2 klb setelah campak dan menyebabkan mortalitas tertinggi. 6 di rumah sakit dr . sardjito yogyakarta terdapat 18 kasus pada tahun 2000, dan 20 kasus setiap tahun dari tahun 2001 sampai 2003 dan di bagian tht terdapat 5 kasus pada tahun 2003.7 patogenesis clostridium tetani merupakan suatu basilus gram positif yang bersifat obligat anaerob, tidak berkapsul dan dapat membentuk spora yang apabila masuk dalam tubuh dapat bertahan dalam jaringan normal untuk beberapa bulan sampai beberapa tahun. dalam keadaan anaerob, spora segera berubah dan memperbanyak diri. basilus dewasa akan menghasilkan tetanolisin dan tetanospasmin yang didistribusikan melalui aliran limfe dan pembuluh darah ke ujung akhiran saraf. tet anospasmin akan memasuki system saraf perifer pada myoneural junction kemudian berjalan centripetal/retrogad menuju neuron dari susunan saraf pusat. panjangnya saraf perifer menentukan cepatnya penyebaran neurotoksin menuju susunan saraf pusat. tet anospasmin memblokade zat inhibitor (gaba-ergic dan glycinergic) aferen sinaps pada motor neuron di medulla spinalis dan batang otak. neuron yang berikatan dengan toksin menjadi tidak dapat lagi mengeluarkan neurotransmiter. otitis media kronik tipe maligna otitis media kronik (omk) adalah keadaan infeksi telinga tengah yang berlangsung lebih dari dua bulan ditandai dengan keluarnya discharge mukopurulen secara terus-menerus, dibagi menjadi tipe benigna dan tipe maligna. beberapa tanda klinis yang dapat digunakan sebagai patokan untuk menentukan omk tipe maligna (tipe tulang atau tipe bahaya) adalah adanya perforasi yang terletak di marginal atau di atik dengan sekret berupa nanah dan berbau khas, ditemukannya kolesteatom atau jaringan granulasi yang berasal dari telinga tengah. pada stadium lanjut dapat juga ditemukan abses atau fistel retroaurikuler. untuk lebih menegakkan diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan rontgen mastoid, akan tampak tanda-tanda mastoiditis dan bayangan kolesteatom.4 diagnosis penegakan diagnosis tetanus berdasarkan pada anamnesis dan temuan klinis saat pemeriksaan fisik. pengenalan tanda dan gejala secara dini merupakan factor yang sangat esensial dalam penegakan diagnosis. gejala yang paling sering adalah trismus, disfagia dan kekakuan otot at au sp asme. tes laboratorium biasanya untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit lain, kultur c. tetani hanya positif pada kurang lebih 30 % kasus dan memerlukan waktu yang lama sehingga kurang berguna dalam menegakkan diagnosis.8 tes diagnostik sederhana adalah tes spatula yaitu dengan cara memasukkan spatula menyentuh orofarings. pada keadaan normal menyebabkan refleks muntah dan pasien berusaha mengeluarkan spatula. pada pasien tetanus terjadi refleks spasme dari maseter yang menyebabkan pasien menggigit spatula. tes ini mempunyai sensitivitas 94 % dan spesifitas 100 %. 9 63 mutiara medika vol. 8 no. 1:60-66, januari 2008 penatalaksanaan tujuan dari pengobatan tetanus adalah mengeliminasi sumber toksin, menetralkan toksinyang belum berikatan (dalam darah / limfe), mencegah spasme, memonitor kondisi pasien dan memberikan bantuan terutama bantuan pernafasan. pasien ditempatkan pada ruangan yang sunyi dan gelap di ruang perawatan intensif, yang mempunyai peralatan untuk memonitor system kardiopulmonal, perlu pemeliharaan jalan nafas dan perawatan sumber infeksi.1,9 pasien yang datang dengan keluhan trismus, disfagia, kaku leher harus dipikirkan kemungkinan tetanus meskipun tidak ada luka yang terlihat sebagai sumber infeksi. alur untuk penanganan kasus tetanus adalah:1 kelu han utama : • sulit men elan, • sulit membu ka mulut, • nyeri/ka ku leh er anamnesis: inkuba si, on se t pemeriksaa n fisik: umur,ta nda vital,status tht, tes sp atu la abses p erito nsiler/parafaring s abses alveo la r dislokasi man dibula keracuna n strycnin re aksi obathipoka lsemia me ningitis rab ies tentukan sta dium stadiu m i sta dium ii stadiu m iii an titoksin, se datif, an tibiotik, be rsih kan sumber infeksi observa si ketat kon sul an estesi d an upd stadium i + tracheosto mi profilaksis pasan g ngt stadium ii + pe rawa ta n d i icu denga n ven tilasi mekanik sembuh menin ggal program p encegah an skema 1 : alur pen ata laksan aan kasus tetanus1 asti widuri, otitis media supuratif kronik maligna dengan tetanus......................... 64 laporan kasus dilaporkan sebuah kasus dengan identitas tn. t/30 tahun/laki-laki/alamat banyumas (bms). pada anamnesa didapatkan bahwa penderita 1 bulan sebelum masuk rs mengeluh keluar cairan dari telinga kanan, cairannya kental, berbau tidak enak, terus menerus, pendengaran telinga kanan berkurang, sakit pada daerah telinga, sakit kepala tapi tidak ada keluhan penurunan penglihatan. penderita sudah berobat ke dokter umum dan diberikan obat tetes telinga yang jenisnya tidak diingat oleh penderita. penderita tidak merasa wajahnya lebih miring ke salah satu sisi. saat ini penderita tidak mengeluhkan kelainan di hidung maupun di tenggorok. 1 mg sebelum masuk rs penderita mengeluh sulit membuka mulut, sulit menelan, leher dan belakang telinga terasa kaku, kemudian penderita berobat ke rs bms dan dirawat inap selama 5 hari, setelah merasa membaik penderita pulang atas permintaan sendiri. dua hari sebelum masuk rs penderita sulit membuka mulut, sulit menelan, timbul bengkak di belakang telinga dan sempat kejang, penderita berobat kembali ke rs bms dan langsung dirujuk ke rs sardjito. riwayat penyakit dahulu : sejak masih kanak-kanak penderita sering mengeluh keluar cairan dari telinga kanan sampai saat ini kambuh-kambuhan, dan sering mengkorek-korek telinga dengan lidi kapas. riwayat alergi disangkal, riwayat penyakit kencing manis disangkal. riwayat penyakit keluarga : sakit serupa disangkal, penyakit kencing manis disangkal. pemeriksaan fisik : keadaan umum sedang, kompos mentis, gizi cukup. tanda-tanda vital : tekanan darah : 110/70 mmhg, nadi 84 kali/menit, pernafasan 20 kali/menit, suhu 36,50 c. mulut trismus (+), rhisus sardonicus (+). pemeriksaan status lokalis : aurikula kanan tampak hiperemi dan sakit bila digerakkan dan belakang telinga bengkak 5x4x3 cm, nyeri tekan (+) fluktuatif (+), serta liang telinga tampak penuh dengan cairan mukopurulen yang berbau tidak enak, dinding kanal tampak mengalami hiperemi. membrana timpani kemungkinan perforasi total karena dengan sondasi pada kavum timpani penuh dengan granuloma. sedangkan telinga kiri tidak tampak adanya kelainan. pada pemeriksaan rinoskopi anterior didapatkan dalam batas normal, demikian juga pada pemeriksaan orofaring masih dalam batas normal. pemeriksaan laringoskopi indirek maupun rinoskopi posterior tidak dapat dilakukan karena pasien sulit membuka mulu. pemeriksaan tambahan : laboratorium : didapatkan kenaikan lekosit (19.000), hemoglobin 11,laboratorium lain normal. ct–scan kep ala : tampak sof t tissue swelling di ekstrakranial regio temporoparietooccipitalis dextra dengan gambaran abses subkutis dibawahnya. gambaran mastoiditis granulomatosa terutama dextra dengan destruksi dinding mastoid dextra. hasil konsultasi : unit penyakit dalam : ass. tetanus grade i, rawat bersama. terapi yang diberikan : perawat an di ruang isolasi, diet cair, injeksi pp 1.5 juta unit / 6 jam, ats 5000 u iv& im dan medikamentosa. bagian gilut : didapatkan gangren pulpa p2 kanan dan m1 kiri bisa sebagai fokal infeksi kemudian dilakukan pencabutan pada tgl 22 -3-05. diagnosa : tet anus grade i, omc maligna dengan abses retroauricula. follow up : tanggal 21/3-05 dilakukan pencabutan gigi p2 kanan dan m1 kiri oleh bagian gilut. tanggal 23/3-05 dilakukan insisi pada retroaurikula dan pengeluaran pus dan pemasangan drain, pemeriksaan kultur dan sensitivitas dari pus. tanggal 28/3-03 operasi mastoidektomi radikal, didapatkan jelli perforasi, granuloma kanal dibersihkan sampai kavum timpani, didapat 2 kapas, tulang mastoid hancur, tegmen timp ani 65 mutiara medika vol. 8 no. 1:60-66, januari 2008 berlubang, epitimpani dibersihkan dari granuloma dan tulang-tulang pendengaran telah rusak, kecuali stapes. follow up post operasi : tanggal 30/3-05 hasil kultur : pseudomonas aeruginosa sensitif terhadap ciprofloksasin, terapi diganti ciprofloxacin 2 x 500 mg, metronidazol 3 x 500 mg dan tradosik 2 x 1 tab tanggal 2/4-05 penderita pulang dari rumah sakit pada hari ke lima setelah operasi. penyembuhan post mastoidektomi terjadi setelah hari ke-20. diskusi komplikasi otitis media supuratife kronik dibagi menjadi 2 yaitu ke intracranial misalnya abses ekstradural, abses subdural, tromboplebitis sinus sigmoid, meningitis, abses otak, hydrocephalus dan ke tulang temporal misalnya paralysis nervus facialis, infeksi labirin. 1 proses terjadinya komplikasi biasanya karena kolesteatom yang mendestruksi organ disekitarnya sehingga terjadi penyebaran infeksi ke jaringan lain disekitarnya. 4 pada kasus ini kondisi kavum timpani yang bersifat anaerob juga memungkinkan terjadinya perkembangan spora tetanus yang tersebar dimana-mana dan dapat masuk ke telinga tengah karena kebiasaan pasien mengkorek-korek telinga/ membersihkan telinga yang basah karena dischargre dengan benda-benda yang terkontaminasi oleh kuman tersebut. 3 dengan kemajuan terapi antibiotika maka luka-luka yang besar tidak lagi menjadi ancaman infeksi tetanus, sebaliknya lukaluka yang terabaikan misalnya infeksi gigi, luka lama pada dm, pemakaian alat-alat intravena dan infeksi telinga tengah sering menjadi fokal infeksi tetanus, pada infeksi telinga tengah ini dapat terjadi tetanus cephalic yang terjadi karena infeksi sekunder dari luka di kepala atau telinga tengah dengan gejala kelumpuhan saraf cranial paling sering nervus facialis, dan berkembang menjadi tetanus generalisata. pada kasus ini tidak ditemukan gejala kelumpuhan nervus facialis kemungkinan karena dekatnya sumber infeksi sehingga dengan waktu singkat telah menjadi tetanus generalisata.5,6 angka kematian tetanus di amerika serikat hanya 11% dimana prognosis akan membaik bila dilakukan pengawasan dan oksigenasi yang baik.8 sedangkan di bagian tht pada tahun 2003 angka kematian 40 % kemungkinan disebabkan karena ratarata berusia tua.7 dari kelima penderita tetanus yang dirawat di bagian tht rs dr. sardjito tidak ada yang memiliki luka di luar tetapi karena fokal infeksi dari gigi, dari seluruh kasus juga tidak dijumpai infeksi pada telinga tengah. 7 oleh karena infeksi telinga tengah terutama tipe tulang atau maligna dimungkinkan menjadi faktor predisposisi terjadinya infeksi tetanus yang bisa berakibat fatal selain komplikasi intracranial maka perlu penanganan yang tepat dalam mengeradikasi sumber infeksi dengan operasi mastoidektomi. disamping itu karena angka kejadian penyakit tetanus di indonesia masih tinggi maka masih diperlukan program pencegahan dengan cara imunisasi. penyembuhan luka post operasi terjadi setelah 20 hari, dan dalam masa penyembuhan tersebut tidak pernah lagi didapatkan lagi gejala-gejala tetanus. hal ini menunjukkan bahwa penatalaksanaan pada pasien ini telah berhasil.9 kesimpulan telah dilaporkan sebuah kasus tetanus pada pasien omsk tipe maligna dengan abses temporal dan dapat dilakukan perawatan bersama dengan bagian upd dan dilakukan pembersihan fokal infeksi dengan cara operatif. daftar pustaka 1. sugiharta ma. tet anus, aspek klinis di bidang ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. referat. universit as gadjahmada, 2004. asti widuri, otitis media supuratif kronik maligna dengan tetanus......................... 66 2. hsu ss, groleau g. tetanus in the emergency department: a current review. j emerg med 2001; 20: 357-365. 3. aydin, caylan r, bektas b, koksal i. otolaryngology aspect of tetanus. eur arch otorhinolaryngol 2003; 260: 52-56. 4. thomsen j, bretlan p, kristensen hk. bone resorbtion in chronic otitis media. acta otolaryngol 1975; 79: 290-298. 5. wakim n, henderson so. tetanus. top emerg med 2003; 25: 256-261. 6. dire dj. tetanus emedicine 2002; july: 1-8. 7. data. bagian rekam medik rumah sakit dr. sardjito 2004. 8. khajehdehi p, rezaian gr. tetanus in the elderly. isit different from that in younger age groups? gerontol 1998; 44: 172-175. 9. djaafar za. kelainan telinga tengah. dalam buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. soepardi ea, iskandar n editors. edisi 5. fkui 2001:49-63. siti aminah tri susila estri, pemilihan terapi pada kutil genital 134 pendahuluan kutil genital (kg) atau genital wart atau venereal wart adalah infeksi human papilloma virus (hpv) yang terjadi pada daerah genital.1 manifestasi kg adalah pemilihan terapi pada kutil genital the choice of therapy in genital warts siti aminah tri susila estri bagian ilmu kesehatan kulit dan kelamin fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta abstract genital warts (gc) is one of the most common stds and associated with cervical cancer or genital cancer. this paper will explain the various treatment modalities and how to vote on the gc. gc could be spontaneous resolution, making it one of the treatment options and treatment will be given if clinically visible or enlarged lesions. treatment modality of gc are grouped into 3, antitumor (cytotoxic and physical ablative), immunomodulatory and antiviral. election of treatment modalities is influenced by various factors, like the number, size and place of the lesion, the shape of the lesion, patient preference, cost, side effects, physician experience and specific conditions of patient such as pregnancy, children and immunocompromised patients. key words : antiviral, cytotoxic, genital warts, immunomodulatory, therapy abstrak kutil genital (kg) merupakan salah satu pms yang paling sering terjadi dan berhubungan dengan kanker servik atau kanker genital. tulisan ini akan menjelaskan berbagai modalitas dan cara pemilihan terapi pada kutil genital. kg dapat mengalami resolusi spontan, sehingga salah satu pilihan terapi dengan membiarkan dan terapi hanya diberikan jika secara klinis tampak atau lesi membesar. modalitas terapi kg dikelompokkan menjadi 3, yaitu preparat antitumor (sitotoksik dan ablatif fisik), dan imunomodulator dan antivirus. pemilihan terapi kg dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: jumlah, ukuran dan tempat lesi, bentuk lesi, kesukaan pasien, biaya, efek samping dan pengalaman dokter serta kondisi khusus pasien seperti kehamilan, anak-anak dan penderita imunokompromais. kata kunci: antivirus, imunomodulator, kutil genital, sitotoksik, terapi proliferasi selular pada daerah perigenital eksterna (penis, scrotum, atau vulva), pubis, region perineal dan lipat paha.2 human papilloma virus yang sudah teridentifikasi sampai sekarang lebih dari 100 tipe, 35 tipe diantaranya menginfeksi epitel genital.1-2 135 mutiara medika edisi khusus vol. 7 no. 2: 134 142, oktober 2007 sekitar 20 tipe bersifat onkogenik karena berhubungan dengan kanker serviks.2-3 kutil genital merupakan salah satu pms yang paling sering terjadi di seluruh dunia, dengan insidensi antara 0,6-1,2% pada umur 20-24 tahun.4 insidensi kg di amerika serikat sekitar 1% dan lebih dari 75% kelompok seksual aktif mempunyai respon antibodi terhadap virus ini. 2 prevalensi kg di eropa bervariasi antara 0,6-3%, dengan infeksi subklinis 10-20% dari pasangan seksual aktif.5 penanganan kg dengan berbagai modalitas terapi sudah diterapkan, tetapi semua tetap menimbulkan rekurensi setelah initial clearance. berdasar penelitian menunjukkan terapi kg belum dapat menghambat infeksi, tetapi hanya mengurangi dan menghilangkan gejala penyakit. kg sendiri dapat mengalami resolusi spontan, sehingga salah satu pilihan terapi dengan membiarkan dan terapi hanya diberikan jika secara klinis tampak atau lesi membesar.3 berbagai modalitas terapi, yang dipakai langsung oleh penderita maupun diaplikasikan oleh petugas, memberikan clearance rates dan recurrence rates yang bervariasi. karena itu penatalaksanaan kg ditujukan untuk membersihkan kg secara simtomatis dengan efek samping sekecil mungkin dan untuk mencegah penularan maupun rekurensi.2 pada makalah ini akan dibahas tentang cara pemilihan terapi untuk kg dan faktor-faktor yang mempengaruhi, sehingga diharapkan mampu menambah pemahaman dalam menangani pasien kg. infeksi hpv. hpv merupakan virus dna, tidak mempunyai envelope, termasuk golongan papovaviridae family dan berbentuk icosahedral. genome hpv terdiri atas dna double-stranded dan mengandung 6 early genes (e1, e2, e4, e5, e6, e7), 2 late genes (l1, l2) dan noncoding region.6 early genes mengkode protein yang bertanggungjawab terhadap replikasi dna virus, diekspresikan sebelum late genes dan tidak termasuk partikel yang infeksius. late genes mengkode protein yang menyusun capsid virus yang membungkus virion atau partikel virus dan bagian yang infeksius.7 hpv masuk ke kulit melalui mikroabrasi dan menginfeksi sel basal. siklus hidup hpv berkaitan dengan diferensiasi keratinosit baik pada fase produktif atau non-produktif. fase nonproduktif meliputi pembentukan genome viral dalam jumlah sedikit sesuai dengan tingkat pembelahan sel basal. fase produktif mengikuti proses diferensiasi keratinosit dan virus mengalami replikasi dalam jumlah besar, mengekspresikan late gen serta menghasilkan viral progeny.8 protein hpv menstimulasi proliferasi sel sehingga terjadi peningkatan jumlah sel dari lapisan basal, dan menghambat diferensiasi terminal sehingga terbentuk hiperplasia lapisan spinosus bahkan pertumbuhan yang abnormal.8 gambaran klinis infeksi hpv tampak 3 minggu – 8 bulan setelah infeksi, sedangkan transformasi malignansi membutuhkan waktu beberapa tahun sampai 1 dekade.7 gambaran klinis. manifestasi klinis kg maliputi kg yang simtomatis (tampak secara klinis), subklinis atau asimtomatis. kg yang simtomatis meliputi beberapa bentuk klinis, yaitu kondiloma akuminata: classic spiky warts with the acuminate, lobular: permukaan seperti bunga kol, keratotik: kutil dengan permukaan horny dan menebal seperti kutil pada kulit, popular: berukuran kecil, dome-shaped dan permukaan halus, kutil datar atau flat: papul atap datar dengan permukaan hampir sama dengan kulit sekitar.2 infeksi subklinis dapat berupa lesi flat acetowhite yang terlihat dengan kolposkopi setelah ditetesi dengan larutan asam asetat, atau lesi squamous intraepithelials (sil) pada pemeriksaan dengan mikroskop.1 infeksi subklinis atau asimtomatis dapat juga terjadi apabila ditemukan dna hpv dari spesimen genital, tanpa disertai gambaran klinis atau mikroskopis.1 modalitas terapi. terapi untuk kg dikelompokkan berdasar jenis terapi dan cara aplikasi. berdasar jenis terapi, terapi kg dibagi menjadi 3, yaitu preparat antitumor (sitotoksik dan ablatif fisik), antivirus dan imunomodulator.2,7 antitumor terdiri atas preparat sitotoksik, yaitu obat siti aminah tri susila estri, pemilihan terapi pada kutil genital 136 yang merusak jaringan yang terinfeksi melalui efek kimia atau antiproliferatif, misalnya podofilin, podofilox, tca (trichloroacetic acid), 5-fu (5-fluorouracil), retinoid dan bleomycin, dan terapi ablative fisik atau bedah bertujuan untuk menghilangkan atau merusak jaringan terinfeksi secara fisik, misalnya dengan eksisi dengan gunting, cold steel surgery, cryotherapy, bedah listrik dan laser.2 imunomodulator terdiri atas imiquimod dan 5-fu, sedangkan sebagai antivirus adalah cidofovir dan vaksin hpv.6 berdasar cara aplikasi dibagi menjadi preparat yang dapat diaplikasikan oleh penderita dan preparat atau terapi yang hanya boleh diberikan oleh petugas kesehatan. preparat yang dapat diaplikasikan oleh penderita adalah podofilox dan imiquimod serta krim 5-fu, krim cidofovir; sedangkan preparat lain harus diaplikasikan oleh petugas kesehatan.9 berikut ini akan dibahas berbagai modalitas terapi yang tersebut di atas. podofilin. larutan podofilin merupakan resin tumbuhan yang menyebabkan reaksi inflamasi sehingga terjadi nekrosis keratinosit dan menurunkan mitosis sel dengan cara. konsentrasi podofilin antara 10-25%. larutan podofilin dioleskan langsung pada lesi oleh petugas kesehatan sebanyak maksimal 0,5 ml atau daerah yang diolesi kurang dari 10 cm2, 14 jam kemudian dicuci dengan air bersih. aplikasi podofilin 1 kali per minggu selama 4-6 minggu. apabila setelah 6 minggu tidak tampak perbaikan, terapi harus beralih ke preparat yang lain.2,3 efek samping akibat pemakaian podifilin terjadi lokal: iritasi kulit lokal, dan efek sistemik meliputi supresi sumsum tulang, disfungsi hepar, defek neurologi, halusinasi, psikosis, mual, muntah, diare dan nyeri abdominal akut. larutan ini juga mengandung flavenoid, quercetin dan kaempherol yang bersifat mutagenik, sehingga wanita usia subur harus menggunakan kontrasepsi selama pemakaian podofilin.6 tingkat rekurensi pemakaian podofilin sebesar 23-70% dengan clearance rate 30-77%.2,3,6 larutan ini tidak boleh diaplikasikan pada mukosa serviks, vagina atau kanalis anal,9 serta bayi dan anak-anak.2 podofilox. podofilox atau podofilotoksin merupakan zat aktif resin podofilin. preparat ini tersedia dalam bentuk krim, larutan atau gel dengan konsentrasi 0,5%. cara pemakaian dengan cotton bud dioleskan pada lesi 2 kali sehari selama 3 hari berturut-turut diikuti 4 hari tanpa pengolesan. siklus ini dapat diulang 4-6 kali. efek samping yang sering ditemukan meliputi inflamasi lokal. preparat ini juga tidak boleh diaplikasikan pada wanita hamil. aplikasi podofilox paling banyak 0,5 ml per hari dengan luas lesi maksimal 4-10 cm2.2 tingkat rekurensi pemakaian podofilox sebesar 12-60% dengan clearance rate sebesar 45-83%.2,3,6 preparat ini tidak direkomendasikan untuk lesi di perianal, rectal, uretra atau vagina.9 trichloroacetic acid (tca). larutan tca menyebabkan destruksi jaringan dengan cara nekrosis dan koagulasi jaringan superfisial. aplikasi tca dengan konsentrasi 80-90% sekali seminggu. tca tidak mengalami absorpsi sistemik, sehingga efek samping meliputi rasa nyeri pada tempat aplikasi, iritasi jaringan sekitar lesi, ulserasi dan pembentukan skar. tingkat rekurensi pemakaian tca sebesar 35-55% dengan clearance rate sebesar 70-81%.2,3,6 tca dapat digunakan pada wanita hamil.2 terapi bedah atau ablatif fisik. terapi bedah atau ablative fisik untuk menghilangkan jaringan terinfeksi meliputi berbagai cara, yaitu bedah listrik dengan elektrokauterisasi dan elektrofulgurasi, cryotherapy, laser, dan cold steel surgery. modalitas terapi ini dapat digunakan sebagai monoterapi atau kombinasi dengan terapi lain, seperti preparat sitotoksik atau imunomodulator.2 terapi bedah listrik menggunakan tenaga elektrik frekuensi tinggi untuk merusak jaringan terinfeksi dengan elektrokauterisasi. terapi ini digunakan untuk kg berukuran kecil dan jumlah sedikit.2 efek samping yang sering mengikuti terapi bedah untuk kg adalah nyeri, perdarahan, skar dan infeksi bakteri.6 tingkat rekurensi pemakaian bedah listrik 137 mutiara medika edisi khusus vol. 7 no. 2: 134 142, oktober 2007 sebesar 9-51% dengan clearance rate 6494%.2,3,6 cryotherapy menyebabkan kerusakan jaringan melalui pembentukan kristal es ekstra dan intraseluler, disrupsi membran sel dan perubahan sirkulasi pada kulit. modalitas terapi yang pernah dipakai yaitu nitrogen cair atau nitrous oxide. cryotherapy tidak menyebabkan keterlibatan sistemik, sehingga sesuai untuk wanita hamil. terapi ini sering tidak sesuai untuk lesi luas dan efek lokal yang sering terjadi adalah nekrosis, nyeri, pembentukan bula, edem dan hipopigmentasi. pemakaian cryotherapy pada anak tidak dianjurkan. cryotherapy tunggal mempunyai clearance rate sebesar 54-88% dengan tingkat rekurensi 21-40%.2,3 laser sering digunakan untuk terapi kg pada anorektal, penis dan uretra lakilaki serta mukosa serviks dan vagina.2 laser hanya menyebabkan kerusakan lokal, sehingga dapat digunakan untuk lesi yang luas dan berat dengan tambahan anestesi lokal. terapi ini sesuai untuk lesi kg kecil yang tersebar pada kulit normal, dengan risiko infeksi sekunder kecil, waktu penyembuhan lebih cepat dan dapat digunakan untuk wanita hamil. efek samping yang sering ditimbulkan oleh laser adalah nyeri lokal, pruritus, edem dan gangguan pigmentasi yang menghilang beberapa hari setelah terapi serta pembentukan skar.2 laser co2 memproduksi energi sinar yang diabsorpsi oleh air sehingga terjadi kerusakan termal pada jaringan. tingkat rekurensi pemakaian bedah laser monoterapi sebesar 4-38% dengan clearance rate 40-100%.2,3,6 pembentukan skar ditemukan pada 28% pasien paska terapi dengan laser co2.2 pulsed dye laser yang menyebabkan kerusakan mikrovaskuler selektif pada jaringan terinfeksi pernah dilaporkan keberhasilannya pada anak berusia 3 tahun.10 terapi bedah lain adalah dengan cold steel surgery, yaitu eksisi dengan scalpel, gunting atau kuretase. keberhasilan terapi ini tinggi, dengan clearance rate antara 36-100% dan tingkat rekurensi antara 8-65%. terapi ini sesuai untuk lesi luas dan dapat digunakan pada wanita hamil. efek samping yang sering terjadi meliputi nyeri, perdarahan dan risiko infeksi serta pembentukan skar.2 imiquimod. imiquimod merupakan imunomodulator yang mempunyai aktivitas antiviral dan antitumor. preparat ini mampu menginduksi pembentukan dan pelepasan sitokin, seperti tnf (tumor necrosis factor), interferon-a (ifa) dan interleukin (il), sehingga menarik sel-sel imun menuju lesi target. imiquiomod tersedia dalam bentuk krim dengan konsentrasi 5%, diaplikasikan 3 kali seminggu pada malam hari (6-10 jam) selama maksimal 16 minggu. 2,6 keberhasilan terapi ini cukup tinggi, dengan clearance rate pada minggu ke-16 antara 35-62% dan tingkat rekurensi antara 13-19% pada minggu ke-12.2,11 pada aplikasi imiquiomod 2% sekali atau 2 kali sehari selama 3-5 hari mempunyai clearance rate antara 70-83% dan tingkat rekurensi antara 4-19% pada minggu ke11-14.12 5-fluorouracil (5-fu). preparat 5fu merupakan bahan kemoterapi antimetabolit yang menghambat pertumbuhan sel melalui hambatan sintesis dna dan rna dan imunomodulasi. bentuk sediaan 5-fu adalah krim dengan konsentrasi 5%. krim 5-fu diaplikasikan 1 sampai 3 kali seminggu selama beberapa minggu sampai lesi bersih, dan 3-10 jam setelah aplikasi dilakukan pencucian dengan air. ferenzy (1981) menganjurkan pemakaian 5-fu pada ka vagina dan terapi maintenance pada penderita imunokompromais, tetapi tidak pada lesi yang luas.2 keberhasilan terapi ini tidak tinggi, dengan clearance rate antara 4452% dan tingkat rekurensi antara 7-25%. terapi ini tidak mempunyai efek sistemik, tetapi bersifat teratogenik, sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil. efek samping yang sering terjadi adalah inflamasi lokal, erosi, dan mukositis. 2,3,6 photodinamic therapy. photodynamic therapy (pdt) merupakan terapi sinar untuk mengaktivasi zat fotosensitizer yang sebelumnya siti aminah tri susila estri, pemilihan terapi pada kutil genital 138 diaplikasikan pada lesi, sehingga terjadi pelepasan ros (reactive oxygen species). hal ini menyebabkan kerusakan jaringan dan mengaktifkan imunitas jaringan sekitar lesi.13 penelitian uji klinis pdt pada 164 penderita ka di uretra memberikan clearance rate sampai 33-95% dengan rekurensi hanya 5-11% setelah 6-24 bulan pengobatan.14,15 zat fotosensitizer yang dipakai adalah 5-aminolaevulinic acid (ala), dan sinar yang diberikan mempunyai panjang gelombang 630 nm dengan iradiasi 37 j/cm pada 68mw atau 100 mj/cm pada 100mw. 14,15 efek samping pdt meliputi rasa panas dan perih selama paparan sinar dan miksi setelah 1-2 hari terapi serta edem.14 interferons (if). interferon mempunyai efek antineoplastik, antiviral dan imunomodulator. preparat ini diberikan dalam bentuk injeksi intralesi, topical atau sistemik (oral, subkkutan, intramuskuler). pemberian if-a monoterapi memberikan clearance rate antara 19-62% untuk injeksi intralesi, topical 33-90% dan pemberian sistemik 7-52%. dengan dan tingkat rekurensi antara 7-25%. pemberian if-b mempunyai clearance rate sebanding dengan if-a . 2 berbagai studi lain menunjukkan clearance rate dan tingkat rekurensi if sebanding dengan plasebo.16 if memberikan efek samping yang besar, ditemukan pada sekitar 70% pasien, berupa flu-like symptoms dan inflamasi lokal.2 retinoids. retinoid mempunyai efek antioksidan dan keratolitik. berbagai penelitian menunjukkan isotretinoin oral mempunyai clearance rate dan tingkat rekurensi yang sangat bervariasi, yaitu antara 0-75% dan 10%, sehingga secara umum tidak direkomendasikan untuk kg.2,17 penelitian klinik dengan etretinat oral pada kg anak memberikan clearance rate 80% dan tingkat rekurensi 20%.18 efek samping retinoid oral bervariasi, yaitu eritem, kulit kering, fotosensitivitas, nyeri kepala, nyeri muskuloskeletal dan abnormalitas fungsi hati serta teratogenik.2 bleomycin. bleomycin mempunyai efek antibiotik dan antineoplastik serta menginduksi nekrose jaringan terinfeksi. bleomycin diberikan secara injeksi intralesi dengan interval 2-3 minggu. untuk mencapai clearance membutuhkan waktu antara 1-4 kali injeksi. penelitian yang menguji preparat ini masih sedikit dan dalam bentuk clinical trial. figuora dkk (1980)18 mengaplikasikan bleomycin pada 10 pasien dengan ka dan memberikan clearance rate sebesar 70%.2 efek samping preparat ini meliputi nyeri pada tempat injeksi, nekrosis kulit lokal dan fenomena rynaud.19 vaksin hpv. vaksin hpv meliputi vaksin profilaksis untuk mencegah penyakit hpv dan vaksin terapi untuk meningkatkan imunitas inang terhadap infeksi hpv. pembuatan vaksin hpv bertujuan menginduksi imunitas seluler terhadap protein hpv tertentu. penelitian plasebokontrol vaksin hpv-16 3 kali pemberian selama 3 bulan, menunjukkan kejadian infeksi hpv setiap tahun sebesar 3,8% pada kelompok plasebo dan 0% kelompok vaksin.20 tulisan ini akan menjelaskan berbagai modalitas dan cara pemilihan terapi pada kutil genital. diskusi kutil genital yang tidak diobati dapat mengalami resolusi spontan, tetap sama ukurannya selama beberapa waktu atau semakin membesar, karena itu tujuan terapi pada kg adalah menghilangkan gejala kutil (pertumbuhan lesi). terapi kg selama ini mampu mengurangi jumlah dna hpv pada jaringan sehingga diharapkan dapat mengurangi infektivitas, namun ternyata tidak mampu mengurangi insidensi kanker serviks maupun genital dan transmisi hpv.9 modalitas terapi pada kg sangat bervariasi dan pemilihan terapi dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: jumlah, ukuran dan tempat lesi, bentuk lesi, kesukaan pasien, biaya, efek samping dan pengalaman dokter.9 preparat terapi kg yang ideal adalah mempunyai efek antiviral dan imunomodulator, dapat diaplikasikan sendiri oleh penderita, efek samping lokal ringan, tanpa efek sistemik, aman, efektif dengan tingkat rekurensi rendah.6 139 mutiara medika edisi khusus vol. 7 no. 2: 134 142, oktober 2007 berbagai cara pemilihan terapi diajukan oleh beberapa penulis, diantaranya oleh kodner dan nasraty (2004)21 berdasar berdasar national terwork of std/ hiv prevention training centers, genital hpv infections tahun 2003, terapi pada kg diberikan apabila secara klinis tampak, karena kg dapat mengalami resolusi spontan pada 10-30% kasus. pilihan pertama kg adalah podofiloks atau krim imiquimod 5% yang diaplikasikan sendiri oleh penderita; atau terapi yang diaplikasikan oleh petugas, meliputi: cryotherapy, podofilin, tca atau tindakan eksisi. terapi alternatif adalah bedah laser, if atau 5-fu. modalitas terapi lain belum direkomendasikan. kg serviks diterapi sesuai dengan hasil pemeriksaan sitopatologi, jika belum ada tanda keganasan lesi dievaluasi 3 bulan atau diterapi dengan cryotherapy atau tca, jika ditemukan tanda keganasan dianjurkan eksisi, kg vagina: cryotherapy atau tca, kg uretra: cryotherapy, podofilox, imiquimod atau podofilin, kg anal: cryotherapy, tca atau bedah eksisi. 21 berdasar biaya yang diperlukan untuk mencapai tujuan terapi yaitu clearance, modalitas terapi yang paling murah sampai mahal yang digunakan di amerika serikat adalah sebagai berikut: bedah eksisi, podofilox, cryotherapy, laser, imiquimod, tca, podofilin, dan interferon.22 berikut ini adalah berbagai modalitas terapi yang dapat digunakan pada penderita dengan kondisi khusus: pada bentuk, ukuran dan jumlah lesi, dengan skema sebagai berikut: kutil genital ukuran, jumlah, lokasi, bentuk lesi lesi < 10, luas 0,5-1 cm2 lesi >10, luas >1 cm2 lesi hiperkeratinisasi, d lesi > 1 cm lesi di vagina, anus, serviks pasien: podofilox, imiquimod dokter: podofilin, tca, laser, cryotherapy, eksisi (jika kg yang tidak respon dg terapi awal) kg nonkeratinisasi, lembab: pasien: podofilox, imiquimod dokter: podofilin, tca kg keratinisasi, kering: cryotherapy, eksisi, terapi bedah lain terapi primer: bedah eksisi. imiquimod sebelum eksisi (untuk mengurangi besar lesi) cryotherapy dg nitrogen cair, tca siti aminah tri susila estri, pemilihan terapi pada kutil genital 140 modalitas terapi pada wanita hamil ditujukan untuk mengurangi paparan janin terhadap virus dengan cara mengurangi jumlah dan ukuran lesi pada waktu melahirkan, 9 selain itu tidak boleh mempunyai efek teratogenik yang bisa menyebabkan kecacatan pada janin.2,9 pemberian terapi untuk kg pada anak-anak harus lebih hati-hati, mengingat kg pada anak lebih dari 50% mengalami resolusi spontan. modalitas terapi pada anak-anak harus mempertimbangkan berbagai faktor, seperti: umur, kemungkinan efek samping, ukuran dan kerjasama pasien dan orangtua. modalitas terapi pada anakanak seharusnya mudah, sederhana cara pemberiannya, tidak menimbulkan rasa nyeri atau efek samping ringan, dan mempunyai clearance rate tinggi dengan tingkat rekurensi rendah. modalitas terapi yang dapat diberikan pada anak-anak adalah podofilin, podofilox, tca, cryotherapy atau eksisi dengan anestesi umum.23 berdasar penelitian uji klinis podofilin pada anak-anak memberikan clearance rate sampai 98%. uji klinis dengan gel podofilox 0,5% memberikan perbaikan lesi pada 88% dari 17 penderita, dan krim imiquimod 5% memberikan perbaikan lesi pada 75% dari 8 penderita. terapi lain yang dapat diberikan untuk anakanak adalah imiquimod, cryosurgery dengan nitrogen cair dan laser co2 dengan clearance rate mencapai 97%.23,24 franco (2000) 25 meneliti 4 anak dengan ka kondisi penderita terapi yang dianjurkan terapi yang tidak boleh diberikan wanita hamil tca, cold steel surgery, cryotherapy, bedah listrik, dan laser co2 podofilin, podofilox, 5-fu, retinoid, bleomycin, imiquimod dan if anak-anak podofilin, podofilox, imiquimod, cryosurgery dengan nitrogen cair dan laser co2 penderita imunokompromais pilihan pertama: imiquimod, cidofovir terapi lain: preparat sitotoksik, ablative fisik berukuran besar dengan terapi simetidine 30-40 mg/kgbb/hari terbagi dalam 3 dosis selama 3 bulan. lesi tampak bersih setelah 24 bulan terapi.25 tubuh penderita imunokompromais tidak mampu mendeteksi dan melawan agen infeksius dalam tubuh, karena itu insidensi kg lebih tinggi, infeksi oleh beberapa tipe virus hpv sekaligus, viral load lebih tinggi dan cenderung resisten terhadap berbagai terapi.2 hal ini akan mempengaruhi perjalanan infeksi dan hasil terapi yang diberikan. clearance rate krim podofilox 0,5% pada penderita infeksi hiv hanya 7% dibandingkan orang sehat 45%.2,26 penelitian kontrol-plasebo pemakaian gel cidofovir 1% pada penderita imunokompeten memberikan clearance rate 47% pada kelompok terapi dan 0% pada control.27 pemberian cidofovir topical 1% dikombinasikan dengan bedah eksisi pada penderita dengan infeksi hiv memberikan clearance rate 100% dan rekurensi 27%.27 efek samping cidofovir meliputi inflamasi, erosi, rasa panas dan hiperpigmentasi paska inflamasi. 28 pemberian krim imiquimod 5% pada penderita infeksi memberikan clearance rate 11% pada kelompok terapi dan 6% pada kelompok plasebo. 2 berbagai penelitian di atas menunjukkan bahwa terapi imunomodulator lebih efektif daripada preparat sitotoksik maupun ablatif fisik untuk kg pada penderita imunokompromais.2 141 mutiara medika edisi khusus vol. 7 no. 2: 134 142, oktober 2007 kesimpulan kutil genital merupakan salah satu pms yang paling sering terjadi dan berhubungan dengan kanker servik atau kanker genital. kg sendiri dapat mengalami resolusi spontan, sehingga salah satu pilihan terapi dengan membiarkan dan terapi hanya diberikan jika secara klinis tampak atau lesi membesar. modalitas terapi kg dikelompokkan menjadi 3, yaitu preparat antitumor (sitotoksik dan ablatif fisik), dan imunomodulator dan antivirus. pemilihan terapi kg dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: jumlah, ukuran dan tempat lesi, bentuk lesi, kesukaan pasien, biaya, efek samping dan pengalaman dokter serta kondisi khusus pasien seperti kehamilan, anak-anak dan penderita imunokompromais. daftar pustaka 1. koutsky la, kiviat nb,. genital human papilloma virus, holmes kk, mardh pa, sparling pf, dkk., sexually transmitted diseases, 3rd ed, 1999, mcgraw-hill, singapore: 347-360. 2. ting pt, dytoc mt,. therapy of external anogenital warts and moluscum contagiosum: a literature review, dermatol therapy, 2004; 17: 68-101. 3. wiley dj, douglas j, beutner k, dkk,. external genital warts: diagnosis, treatment, and prevention, cid, 2002; 35: s210-s224. 4. lacey cjn, goodall rl, tennvall gr, dkk., randomized controlled trial and economic evaluation of podophilloxin solution, podophyllotoxin cream and podophyllin in the treatment of genital warts, sex transm infect, 2003; 79:270-275. 5. persson g, andersson k, krantz i. symptomatic genital papillomavirus infection in a community – incidence and clinical picture. acta obstet gynecol scand 1996; 75: 287–290. (abstrak). 6. severson j, evans ty, lee p, dkk,. human papilloma virus infections: epidemiology, pathogenesis and therapy, j cutan med surg, 2001; 5:4360. 7. lowy dr, androphy ej,. warts, dalam freedberg i.m., eisen a.z., wolff k., austen k.f.. dermatology in general medicine, 5th ed.. new york, mc grawhill inc.: 2484-2495. 8. sanclamente g, gill dk, human papilloma virus, molecular biology and pathogenesis, j eur acad dermatol venereol, 2002: 16: 231-240. 9. kodner cm, nasraty s,. management of genital warts, am fam physicians, 2004; 70: 2335-2342. 10. tuncel a, gorgu m, ayhan m, dkk. treatment of anogenital warts by pulsed dye laser, dermatol surg, 2002; 28: 350-352. 11. fife kh, ferenzy a, douglas jm, dkk,. treatment of external genital warts in men using imiquimod 5% cream applied three times a week, once daily, twice daily or three times a day, sex transm dis, 2001; 28: 226-231. 12. syed ta, hadi sm, qureshi za, dkk,. treatment of external genital warts in men with imiquimod 2% in cream: a placebo-controlled , double blind study, j infect dis, 2000; 41: 148-151. 13. stanley m, chapter 17: genital hpv infectionscurrent and prospective therapies, j natl cancer inst monograf, 2003; 31: 117-124. 14. wang xl, wang hw, xu sz dkk,. topical ala-pdt therapy for the treatment of urethral condyloma accuminata, br j dermatol, 2004; 151: 880-885. 15. herzinger t, wienecke r, weisenseel p, dkk,. pdt of genital condyloma in men, clin expr dermatol, 2005; 31: 5153. 16. keay s, teng n, eisenberg, dkk,. topical interferon for treating condyloma accuminata in women, j infect dis, 1988: 158: 9340939. (abstrak) 17. olsen ea, kelly ff, volmer rt, dkk,. comparative study of systemic interferon alfa and isotretinoin in the treatment of resistant condyloma accuminata, j am acad dermatol, 1989; 20: 1023-1030. 18. gelmetti c, cerri d schiuma aa, menni s, treatment of extensive warts with etritinate: a clinical trial in 20 children, siti aminah tri susila estri, pemilihan terapi pada kutil genital 142 pedriatr dermatol, 1987: 4: 254-258 (abstrak). 19. gibbs s, harvey i, sterling j, dkk,. local treatments for cutaneous warts: systemic review, british medical journal, 2002; 325: 461. 20. koutsky la, ault ka, wheeler cm, dkk,. a controlled trial of hpv type 16 vaccine, n engl j med, 2002; 347: 1645-1651. 21. anonim, genital human papilloma virus infection, national terwork of std/hiv prevention training centers, genital hpv infections, 2003, 1-20. 22. alam m, stiller m,. direct medical costs for surgical and medical treatment of condyloma accuminata, arch dermatol, 2001; 137: 337-341 (abstrak). 23. robinson aj, watkeys jem,. genital warts in children: problems of management, j of clin forensic med, 1999; 6: 151-155. 24. johnson pj, mirzai th, bentz ml,. carbon dioxide laser ablation of anogenital condyloma acuminata in pediatric patients, ann plast surg. 1997 dec;39(6):578-82 (abstrak) 25. franco i,. oral cimetidine for the management of genital and perigenital warts in children, j urol. 2000 sep;164(3 pt 2):1074-5 (abstrak). 26. kilewo cd, urassa wk, pallangyo k, dkk,. response to podophillotoxin treatment of genital warts in relation to hiv-1 infection among patients in dar es salaam, tanzania, int j std aids, 1995; 6: 114-116 (abstrak). 27. snoeck r, bossens m, paarent d, dkk,. phase ii double-blind, placebocontrolled study of the safety and efficacy of cidofovir topical gel for the treatment hpv infection, cid, 2001; 33: 597-602. 28. calista d,. topical cidofovir for severe cutaneous hpv and moluscum contagiosum infection in patients with hiv/aids. a pilot study. j eur acad dermato venereol, 2000; 14: 484-488. lilis suryani, yoni astuti, uji kadar hambatan ............ 7 uji kadar hambatan minimal ekstrak batang siwak (salvadora persica) terhadap staphylococcus aureus secara in vitro the minimal inhibitory concentration of extract siwak (salvadora persica) against staphylococcus aureus in vitro lilis suryani1 dan yoni astuti2 1bagian mikrobiologi fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta, 2bagian biokimia fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta abstract siwak or miswak is a part of salvadora persica plant . siwak is a special plant. siwak was appreciated by our prophet muhammad saw. siwak have many name. in arab is weel famaous as arak or ayurak siwak contained trimetilamin (tma), which was a hidrofil substrat and its has function as floatation agent, prevent deposit of particle and debris in oral cavity, especially in between thr teeth. besides, it has also antibacterial activity. this research is an experimental laboratory examination carried out to know the antimicroorganism activity of extract siwak against staphylococcus aureus. the antimicroorganism activity of siwak has been tested by the determination of the minimal inhibitory concentration (mic) and minimal bactericidal concentration (mbc) using the tube dilution method. the result of this study shows that the mic and the mbc of siwak against staphylococcus aureus atcc 25923 and wild strain each is about 6,25gr% and 12,5 gr%. it is concluced that siwak has indeed an antimicroorganism (bactericide) activity against staphylococcus aureus. key words : mbc, mic, siwak (salvadora persica), staphylococcus aureus abstrak siwak atau miswak merupakan bagian dari batang tumbuhan salvadora persica. siwak termasuk tanaman istimewa. ia dihargai tinggi oleh nabi muhammad saw. ujudnya seperti semak belukar namun kaya dengan sebutan. di arab dikenal dengan nama arak atau ayurak. siwak mengandung trimetilamin (tma). zat ini mudah larut dalam air dan berfungsi sebagai zat apung (floatation agent) sehingga mampu mencegah endapan (deposit) partikel dan sisa makanan di rongga mulut khususnya ruang antara gigi. selain itu, juga potensial sebagai antibakteri. penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik yang bertujuan untuk mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak batang siwak (salvadora persica) terhadap staphylococcus aureus. aktivitas antimikroba ditunjukkan dengan melihat kadar hambatan minimal (khm) dan kadar bakterisidal minimal (kbm) ekstrak batang siwak (salvadora persica) terhadap mikroba tersebut dengan metode pengenceran tabung (tube dilution methode). hasil penelitian ini menunjukkan bahwa khm terhadap staphylococcus aureus atcc 25923 dan wild strain 6,25 gr%, kbm sebesar 12,5 gr%. disimpulkan bahwa ekstrak batang siwak (salvadora persica) memiliki aktivitas antimikroba terhadap staphylococcus aurius yang bersifat bakterisidal. kata kunci : kbm, khm, siwak (salvadora persica), staphylococcus aureus mutiara medika vol. 7 no. 1: 7-12, januari 2007 8 pendahuluan sabda nabi muhammad saw yang lain “bila kamu membersihkan mulutmu berarti kamu menghormati allah, dan saya diperintahkan allah untuk bersiwak karena allah telah mewahyukan kepada saya” (hadits riwayat ahmad vi/47,62,124. annasa’i no.5 dan bukhari menyebutkannya secara ta’liq dalam bab as-siwak ar-ruthbu wa al-yabisu li ash-shaim ii/682). siwak adalah tanaman yang digunakan untuk menyikat gigi. jenisnya ada dua khususnya yang berkhasiat untuk obat gigi yakni salvadora persica dan s. oleoides. siwak termasuk tanaman istimewa. ia dihargai tinggi oleh nabi muhammad saw. ujudnya seperti semak belukar namun kaya dengan sebutan. di arab dikenal dengan nama arak atau ayurak. di persia, sebutannya menjadi darakht-i-miswak atau darakht-i-shori , di tepi teluk persia dinamai chuch. orang india menyebutnya pilu atau jhal dan orang tamil dengan ooghai-puttai. ahli botani menamainya tooth-brush tree (pohon sikat gigi) sedangkan para penulis eropa menganggapnya sebagai mustard tree of scripture (tanaman obat di dalam injil)1. secara geografis, habitatnya terbentang luas, mulai dari afrika tengah, abesinia, mesir, tanzania, senegal, sudan hingga sepanjang pantai arab, persia, india dan sri lanka. siwak mengandung trimetilamin (tma). zat ini mudah larut dalam air dan berfungsi sebagai zat apung (floatation agent) sehingga mampu mencegah endapan (deposit) partikel dan sisa makanan di rongga mulut khususnya ruang antara gigi. selain itu, juga potensial sebagai antibakteri1. siwak juga mengandung salvadorine, sejenis zat alkaloid yang terdapat pada kulit akar yang sudah dikeringkan, klorida, fluorida untuk mencegah karies (zat ini sering ditambahkan pada pasta gigi komersial ), silika yang dapat memutihkan gigi dan sulfur untuk melenyapkan plak gigi, vitamin c yang khasiatnya untuk mengobati sariawan dan resin untuk melindungi email gigi2. uji klinis pernah dilaksanakan oleh m. ragaii el-mostehy dkk pada pasien di unit periodontology di dental centre, kuwait. ia membagi pasiennya menjadi empat kelompok yang terdiri atas 15 orang. kelompok pertama disuruh menggunakan ranting siwak untuk membersihkan giginya, kelompok kedua dengan bubuk siwak (pasta), yang ketiga diberi kanji (starch) dan yang keempat diberi pasta gigi komersial biasa. setelah beberapa minggu, terbukti bahwa persentase plak terbanyak terjadi pada kelompok ketiga, yang diberi 50 gram kanji. dan dari sisi persentase gingivitis, jumlah penderita kelompok kedua (serbuk/ pasta siwak) paling sedikit. karies pada gigi merupakan adhesi antar glikoprotein pada cairan ludah dengan dekstran yang dihasilkan oleh kuman. kuman yang berpotensi menimbulkan plaque antara lain streptococcus mutans dan streptococcus viridans3. penelitian ini mencoba menguji khasiat antibakteri siwak terhadap bakteri pathogen lain yang sering menyebabkan infeksi yakni staphylococcus aureus. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan siwak dalam menghambat/ membunuh mikroba pathogen staphylococcus aureus. bahan dan cara bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ialah sebagai berikut medium: agar darah, nutrien agar, brain heart infusion cair, larutan nacl fisiologis, larutan aquades steril, batang siwak alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini ialah cawan petri diameter 10 cm, tabung reaksi, rak tabung reaksi, lampu spiritus, oese, pipet ukur, glassfirm, erlemeyer, autoklaf jericho je-350a, oven memmert, laminar air flow nuare tipe ii, inkubator memmert, timbangan sartorius bp 160p, kapas, kain flanel. kuman penguji yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari strain murni staphylococcus aureus atcc 25923, sebagai pembanding juga digunakan strain lokal (wild strain). lilis suryani, yoni astuti, uji kadar hambatan ............ 9 pembuatan ekstrak batang siwak adalah sebagai berikut, batang siwak yang bersih dan sudah dibebaskan dari sisa air cucian dan dijemur di bawah sinar matahari selama beberapa hari. kemudian dibuat serbuk dengan cara digiling 4. cara pembuatan ekstrak batang siwak dengan konsentrasi 50 gr% adalah dengan melarutkan 50 gr simplisia dalam wadah steril dengan akuades steril 100 ml. ekstrak batang siwak yang diperoleh setelah disaring dengan filter kuman diuji kesterilannya dengan cara diteteskan sebanyak 5 ml larutan kedalam 2 tabung perbenihan yang mengandung brain heart infusion cair. kemudian diinkubasi pada suhu 37°c selama 24 jam. jika tidak terjadi kekeruhan pada tabung perbenihan maka ekstrak dinyatakan steril. kuman uji yang digunakan berupa strain staphylococcus aureus. kuman di subkultur dalam lempeng agar darah selama 24 jam pada 37°c. koloni yang tumbuh dipilih 4-5 koloni dengan menggunakan oese steril, diinokulasikan pada 2 ml media cair bhi, lalu diinkubasikan pada 37°c selama 2-5 jam sampai pertumbuhan kuman tampak. kemudian dibuat suspensi kuman dengan cara diencerkan dengan larutan nacl fisiologis steril sampai kekeruhan sama dengan suspensi larutan standar brown iii yang diidentikkan dengan konsentrasi kuman sebesar 108 cfu/ml. selanjutnya kuman tersebut diencerkan lagi dengan medium cair bhi sehingga konsentrasi kuman menjadi 106 cfu/ml . penentuan kadar hambatan minimal ekstrak batang siwak dengan metode seri pengenceran tabung (macro broth dilution) : disediakan 90 tabung volume 5 ml steril untuk 3 seri pengenceran dengan 3 kali pengulangan, dimana setiap seri pengenceran dalam satu ulangan menggunakan 10 buah tabung. untuk setiap satu seri pengenceran disediakan 10 tabung, ke dalam tabung ke-2 sampai tabung ke-9 dimasukkan 1 ml aquades steril. selanjutnya dimasukkan 1 ml ekstrak siwak ke dalam tabung ke-1 dan ke-2, sehingga tabung ke-1 berisi larutan dengan konsentrasi 50 gr% dan tabung ke-2 berisi larutan dengan konsetrasi 25 gram%. kemudian dilakukan pengenceran secara seri dari tabung ke-2 sampai dengan tabung ke-9, dengan cara memindahkan 1 ml larutan pada tabung ke-2 ke dalam tabung ke-3. tabung ke-3 dicampur sampai homogen diambil 1 ml kemudian dipindahkan ke tabung nomor 4. demikian seterusnya sampai tabung ke-9 dipindahkan ke tabung ke-10. dengan demikian tabung dari nomor 1 sampai dengan tabung ke-9 memiliki konsentrasi sebagai berikut. tabung ke-1 50 gr% tabung ke-2 25 gr%, ke-3 12,5 gr%, ke-4 6,25 gr%, tabung ke-5 3,125 gr%, tabung ke-6 1,563 gr%, ke-7 0,783 gr%, tabung ke-8 0,391 gr%, ke-9 0,195 gr%. tabung ke-10 berisi sisa pengenceran sebagai kontrol sterilitas ekstrak (kontrol negatif). ke dalam tabung ke-1 sampai tabung ke-9 selanjutnya diisi masing-masing 1 ml larutan brain hearth infusion cair yang berisi suspensi kuman uji dengan konsetrasi 106 cfu/ml. volume akhir dari tabung ke-1 sampai tabung ke-9 sebesar 2 ml. maka konsentrasi akhir dari ekstrak batang siwak adalah sebagai berikut. tabung ke-1 25 gr%, ke-2 12,5 gr%, ke-3 6,25 gr%, tabung ke-4 3,125 gr%, tabung ke-5 1,563 gr%, ke-6 0,781 gr%, tabung ke-7 0,391 gr%, ke-8 0,195 gr%, ke-9 0,098 gr%. selanjutnya seluruh tabung dari nomor 1 sampai nomor 9 diinkubasikan pada suhu 37° c, selama 24 jam. sebagai kontrol sterilitas bahan dan kontrol pertumbuhan kuman, juga ikut diinkubasikan tabung ke-10 dan tabung yang hanya berisi suspensi kuman uji (kontrol +). diamati ada tidaknya pertumbuhan mikroba dengan cara membandingkan kontrol positif. kadar hambatan minimal diperoleh dengan mengamati tabung subkultur yang tidak menunjukkan adanya pertumbuhan mikroba pada konsetrasi terendah. tabung-tabung yang tidak memperlihatkan pertumbuhan mikroba selanjutnya ditanam pada media nutrien agar. kemudian diinkubasikan pada 37°c selama 24 jam. kadar bakterisidal minimal akan ditunjukkan dengan tidak adanya pertumbuhan mikroba pada media nutrien agar dengan konsentrasi terendah. mutiara medika vol. 7 no. 1: 7-12, januari 2007 10 pada tabel 1 dapat dilihat bahwa ekstrak batang siwak dapat meghambat dan membunuh kuman s. aureus baik strain murni maupun strain lokal. hal ini membuktikan bahwa ekstrak batang siwak memiliki daya antimikroba terhadap s. aureus yang bersifat bakterisidal. diskusi pada penelitian ini membuktikan bahwa batang siwak ( salvadora persisca) mengandung senyawa yang bersifat bakterisidal terhadap staphylococcus aureus siwak mengandung bahan antiseptik dan deterjen5. senyawa kimia yang ditemukan pada siwak antara lain : tannin dan siningirin yang berfungsi sebagai astringent, alkaloid yang dapat mencegah karies gigi, sulfa 4,73 %, vitamin c dan sistosterol, glukotrapeolin yang memberi rasa dan aroma khas serta mampu menghambat pertumbuhan bakteri mulut pathogen6. hasil penelitian al-lafi dan ababneh (1995) menunjukkan bahwa ekstrak kayu siwak mampu menghambat beberapa bakteri rongga mulut aerob dan anaerob. ekstrak kayu siwak yang dijadikan cairan untuk berkumur efektif untuk mencegah plaque dan mampu menghambat bakteri batang negatif gram7. efektivitas ekstrak siwak 50% sebanding dengan chlorhexidine 0,2% dalam melindungi lapisan dentin gigi manusia terhadap timbulnya plak8. staphylococcus aureus termasuk golongan bakteri positif gram. dinding sel bakteri positif gram umumnya terdiri atas lapisan peptidoglikan yang sangat tebal yaitu mencapai 20 sampai 40 lapis peptidoglikan atau mukopeptida dan tebalnya mencapai 0,02 mm sampai 0,06 mm. lapisan peptidoglikan ini berhubungan dengan membran sitoplasma9. pada permukaan bakteri positif gram terdapat banyak polisakarida, antara lain asam lipoteikoat, asam teikoat, dan polisakarida netral lainnya. polimer polisakarida ini berikatan secara kovalen dengan peptidoglikan 10. pada staphylococcus aureus juga terdapat lapisan luar protein seperti protein a11. asam teikoat terdapat pada bakteri positif gram dan disebut sebagai wall associated teichoic acid 12. kesimpulan siwak (salvadora persisca) memiliki kemampuan menghambat dan membunuh terhadap staphylococcus aureus sebesar 6,25 gr% dan kemampuan antibakteri siwak (salvadora persisca) terhadap staphylococcus aureus bersifat bakterisida. h a s i l rerata kadar hambatan minimal dan kadar bakterisidal minimal ekstrak batang siwak (salvadora persica) terhadap staphylococcus aureus dapat dilihat pada tabel 1. konsentrasi ekstrak batang siwak (salvadora persica) yang dibutuhkan untuk menghambat staphylococcus aureus atcc 25923 dan wild strain sebesar 6,25 gr%. tabel 1. kadar hambatan minimal ( khm) dan kadar bakterisidal minimal ( kbm ) ekstrak batang siwak terhadap staphylococcus aureus. no. spesies mikroba khm ( gr%) kbm (gr%) 1 staphylococcus aureus atcc 25923 6,25 12,5 2 staphylococcus aureus (wild strain) 6,25 12,5 lilis suryani, yoni astuti, uji kadar hambatan ............ 11 s a r a n umat islam sebaiknya mengikuti cara yang dilakukan rosulullah. dalam diri beliau sudah ada suri tauladan, sebagaimana pembuktian kali ini tentang manfaat batang siwak terbukti mempunyai kemampuan membunuh terhadap kuman patogen staphylococcus aureus. apa yang dilakukan rosulullah tentang kesehatan ternyata secara telaah /penelitian medis terbukti kebenarannya. daftar pustaka 1. cahyana,gh, 2006, siwak, http:// www.siwak 2. arafa, h, 2004. siwak and dental hygiene, http://www.siwak. 3. brooks,gf, butel,js, morse,sa 2004 jawetz, melnick, & adelberg’s medical mycrobiology. 23thed.mcgraw-hill companies,inc. appleton and lange, norwalk, california. 4. departemen kesehatan ri, 1985 cara pembuatan simplisia, direktorat 5. al-lafi ,t; ababneh ,h, 1995 the effect of the extract of the miswak (chewing stisk) used in jordan and the middle east on oral bacteria. research journal. university of wales college of medicine, dental school, periodontology department. cardiff. uk. 6. al-dakheel,n.a, 2004 in priority which of the balance scale is heavier siwak or toothbrush and toothpaste. http:// www. sewak. 7. almas,k, 2003 the effect of salvadora persica ectract (miswak) and chlorhexidine gluconate on human dentin. the journal of the contemporary dental practise, 3(3). 8. schlessinger,d; schaechter,m, 1989 biologycal of infection agents. dalam: schaechter ,m; medolf,g; schlessinger,d; mechanism of microbial diseases.1sted. williams & wilkins. sydney. 9. joklik; willet; amos; 1992 zinsser microbiology. 18thed. appleton-centurycroft, new york. 10. ramakrishnan,t; ramananda,g, 1986 bacterial physiology, dalam: abraham,i; braude; charles,e; davis; joshua fierer, infection disease and medical microbiology, 2nd ed. wb saunder. hongkong. 11. taussig,mj; 1986 processes in pathology and microbiology. 2nd ed. blackwell scientific publications. melbourne. 12. gazi,m.i; lambourne,a; chagla,a.h, 1987 the antiplaque effect of toothpaste containing salvadora persica compared chlorhexidine gluconate. medline journal. clinical prentive dentistry, lippincott co, philadelphia. mutiara medika vol. 7 no. 1: 7-12, januari 2007 12 lampiran tabel 1.kadar hambatan minimal (khm) dan kadar bakterisidal minimal (kbm) siwak (salvadora persica) terhadap staphylococcus aureus atcc 25923 tabel 2.kadar hambatan minimal (khm) dan kadar bakterisidal minimal (kbm) siwak (salvadora persica) terhadap staphylococcus aureus (wild strains) no khm (gr%) kbm (gr%) 1 6,25 12,5 2 6,25 12,5 3 6,25 12,5 rerata 6,25 12,5 no khm (gr%) kbm (gr%) 1 6,25 12,5 2 6,25 12,5 3 6,25 12,5 rerata 6,25 12,5 189 mutiara medika vol. 10 no. 2: 189-195, juli 2010 ektasia kornea pasca lasik corneal ectasia after lasik nur shani meida bagian ilmu penyakit mata program studi pendidikan dokter fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta email : nurshani_meida@yahoo.com abstract the objective of this paper to know prevention and management corneal ectasia after lasik corneal ectasia after lasik are weakening of cornea caused by central stromal laser or creation of the flap after lasik surgery. this conditions are feared complication of refractive surgeon. corneal ectasia after lasik will happen several months until several years after lasik. incidence of corneal ectasia is still unknown, about 1 over 100.000. diagnosis of corneal ectasia was established by slitlamp appearance of corneal thinning, with progresif miop, progresif irreguler astigmat and refractive error cannot be corrected. risk factors of corneal ectasia are family history, young age, corneal thickness lower than 500 micron, corneal asymmetri, abnormal topography, keratoconus and low residual stromal bed. the therapeutic options for corneal ectasia are rigid gas permiable (rgp) contact lenses, eye drops for decreased intraocular pressure, corneal collagen crosslinking – riboflavin (c3-r), intacs implantation, and in the advanced stages, lamellar keratoplasty. a complete ophthalmologic examinations before surgery and findings the risks factors are important to prevent corneal ectasia after lasik. the prognosis of corneal ectasia after lasik was good. key words : lasik, corneal ectasia, risk factor, therapeutic, prognosis abstrak tujuan penulisan makalah ini untuk mengetahui pencegahan dan pengelolaan ektasia kornea pasca lasik. ektasia kornea pasca lasik adalah kelemahan kornea akibat ablasi stroma sentral atau pembuatan flap kornea sesudah operasi lasik. kondisi ini merupakan komplikasi yang paling ditakuti ahli bedah refraktif. kejadian ektasia kornea pasca lasik dapat terjadi beberapa bulan sampai beberapa tahun pasca lasik. insidensinya tidak diketahui, diduga sekitar 1 per 100.000. penegakan diagnosis dilakukan dengan menggunakan slitlamp tampak kornea menipis dan menonjol disertai gejala miop progresif, astigmat irreguler yang meningkat dan kelainan refraksi yang tidak dapat dikoreksi. beberapa faktor risiko ektasia kornea antara lain riwayat keluarga, umur muda, miop tinggi, ketebalan kornea kurang dari 500 mikron, asimetri kornea, abnormal topografi, keratokonus dan rendahnya residual bed. beberapa pilihan terapi yang dilakukan yaitu pemakaian lensa kontak rgp, pemakaian obat penurun tekanan intraokuler, pemberian c3-r, implantasi intacs dan tahap lanjut dengan lamellar keratoplasti. pemeriksaan pre operatif yang lengkap dan penemuan faktor risiko merupakan hal yang penting untuk menghindari terjadinya ektasia kornea pasca lasik. prognosis pasien ektasia kornea pasca lasik adalah baik. kata kunci : lasik, ektasia kornea, faktor risiko, terapi, prognosis nur shani meida, ektasia kornea pasca ... 190 104 mata) bahwa terdapat komplikasi lasik sebanyak 1 mata mengalami buttonhole, 1 mengalami flap berkerut, dan 1 mata mengalami keratitis lamellaris.1 sementara ini terapi ektasia kornea pasca lasik yang sering digunakan adalah pemakaian lensa kontak rgp, pemberian c3-r (corneal collagen cross linkingriboflavin), pemasangan intacs (intracorneal ring segments) dan pada tahap lanjut sering dilakukan lamellar keratoplasti.7 aspek yang penting untuk menghindari terjadinya ektasia kornea pasca lasik adalah pemeriksaan pre operatif yang teliti dan menemukan faktor risiko terjadinya ektasia kornea.8,9 tujuan penulisan makalah ini untuk mengetahui pencegahan dan pengelolaan ektasia kornea pasca lasik. diskusi teknik lasik pertama kali dilakukan oleh pallikaris tahun 1990. laser excimer yang digunakan mampu menghasilkan hasil optis yang lebih baik karena laser excimer mengablasi jaringan dalam ketepatan submikron dan laser ini tidak menyebabkan deformasi jaringan selama proses pemahatan refraktif. selain itu kita bisa mendapatkan zona optis yang lebih luas. lasik dikerjakan pertama tama dengan membuat flap kornea dengan mkrokeratom yang mampu berhenti sesaat sebelum flap terputus. selanjutnya laser akan melakukan keratomileusis. setelah proses keratomileusis selesai, flap dipasang kembali ke kornea. karena sifat dehidrasi relative kornea maka flap seperti tersedot dan menempel ke stroma di bawahnya. reposisi flap secara tepat ke tempat semula menjadi syarat untuk mencegah distorsi dan mengurangi astigmatisma ireguler. bila dibandingkan prk yang hanya bisa diterapkan pada miop < -9 d, maka prosedur lasik dapat diterima secara luas dan populer. lasik dapat mengatasi miop > -10 d, hipermetrop hingga + 4 d dan astigmat hingga -6 d. lasik juga dapat memperbaiki segi kosmetik, aman efektif dan stabil. pemulihan fungsi penglihatan cepat dan tidak menimbulkan rasa sakit. pendahuluan kelainan refraksi merupakan masalah penglihatan yang paling sering dijumpai di seluruh dunia. berbagai macam cara dilakukan untuk menangani masalah tersebut. salahsatu caranya dengan bedah refraktif. pada dekade akhir ini, teknik bedah refraktif semakin berkembang. teknik bedah refraktif yang sering dilakukan adalah lasik (laser assisted in situ keratomileusis). teknik operasi lasik memberikan hasil yang memuaskan, tetapi ada beberapa komplikasi yang dapat terjadi antara lain terjadinya flap incomplete, adanya stria pada flap, defek epitel, keratitis lamellar difus, hazy kornea, terlipatnya flap, flap lepas, adanya debris interface, sindrom sahara, epitelial in growth, infeksi, mata kering, underkoreksi overkoreksi dan ektasi kornea.1 ektasia kornea adalah salah satu komplikasi yang paling ditakuti ahli bedah refraktif. selama 5 tahun terakhir ini prevalensi ektasia kornea semakin meningkat. sesudah dilakukan operasi lasik, struktur kornea menjadi lemah akibat ablasi stroma sentral dan pembuatan flap kornea. struktur yang lemah ini menyebabkan tidak stabilnya kekuatan mekanik kornea dan dapat menyebabkan ektasia kornea.2 kasus ektasia kornea lebih sering terjadi pada lasik daripada prk (photo refractive keratectomy).3 sebuah penelitian melaporkan dari follow up selama 2-5 tahun (rata-rata 3,6 tahun) pada pasien miop 4-8 dioptri, dari 148 mata (37 pasien) terdapat 1 mata yang mengalami ektasia kornea. penghitungan skore risiko akan membantu memprediksi terjadinya ektasia kornea post lasik.4 penelitian yang dilakukan pada 9700 mata yang dilakukan lasik, tidak ada yang berkembang menjadi ektasi kornea selama 2 tahun, hanya 7 mata yang memiliki factor risiko multiple tanpa ektasia dan hanya 3 mata dengan keadaan topografi pre operatif yang abnormal.5 penelitian lain yang dilakukan pada 25 orang (46 mata), dilaporkan tidak ada komplikasi pasca lasik (aman), dan lasik dikatakan efektif, memberikan kosmetik dan visus yang baik.6 suhardjo pada tahun 2006 melaporkan pada pasien paska lasik selama bulan juli-desember 2006 (pada 55 orang 191 mutiara medika vol. 10 no. 2: 189-195, juli 2010 dop pada akhir operasi. pasien dilarang mengusap atau menggosok mata paska operasi lasik. follow up paska operasi dilakukan pada saat 1 hari, 1 minggu, 1 bulan, 2 bulan dan 3 bulan paska operasi. pada saat follow up ditanyakan keluhan subyektif seperti rasa sensasi benda asing, glare, halo, stabilitas refraksi, under dan over koreksi dan kondisi flap.6 ektasia kornea. ektasia kornea adalah kelemahan kornea akibat ablasi stroma sentral atau pembuatan flap kornea pada saat operasi lasik. sesudah dilakukan operasi lasik, struktur kornea menjadi lemah. struktur yang lemah ini menyebabkan tidak stabilnya kekuatan mekanik kornea dan dapat menyebabkan ektasia kornea.2,7 pada pemeriksaan morfologi, permukaan kornea anterior banyak berubah, epitel menjadi lepas dan membrana bowman robek. bagian endotel kornea tidak banyak mengalami perubahan.13 kejadian ektasia kornea bisa 1 bulan sampai beberapa tahun pasca lasik.12 ada yang melaporkan kejadian ektasia kornea 6 bulan paska lasik, 32 bulan post lasik dan 4 tahun paska lasik.14,15,16 pada tahun 1997, terdapat kasus ektasia kornea (pasien 76 tahun) dengan penurunan visus beberapa tahun kemudian. kornea tampak mulai menonjol, kurvatura kornea menyebabkan distorsi visual. pasien ini diterapi dengan menggunakan lensa kontak dan memberikan hasil yang baik. insidensi ektasia kornea tidak diketahui dengan jelas.17. menurut samaniego (2009) sekitar 1 dibanding 80.000 sampai 100.000. adanya mesin-mesin lasik yang baru dapat membantu menurunkan ektasia kornea paska lasik. mesin lasik yang baru bisa menemukan forme frusta keratokonus dan subklinik keratokonus. 7 insidensi ektasia kornea paska lasik sekitar 1 dari 2000, dan mungkin hal ini masih salah karena kurangnya follow up jangka panjang. diduga bisa terjadi ektasia kornea yang sifatnya muncul lambat beberapa tahun pasca lasik.18 adanya ektasia kornea bisa diketahui dengan melihat gejala seperti miop progresif, anamnesis yang harus dilakukan sebelum operasi adalah harapan sejauh mana, pekerjaan, aktivitas, dan riwayat medis. menurut suharjo (2007) pemeriksaan yang diperlukan sebelumnya adalah pemeriksaan visus, pemeriksaan refraksi, segmen anterior mata, segmen posterior mata, lapang pandang, retinometri, tonometri, schimmer test, pupilometri, pakimetri, keratometri, topografi kornea (orbscan) dan pemeriksaan aberasi (wavefront). selanjutnya masukkan data dalam treatment planning, data disimpan di disket dan dimasukkan di mesin laser.10 terdapat beberapa indikasi dan kontraindikasi lasik. indikasi lasik yaitu kelainan refraksi miop 1-12 , hipermetrop 2-6 d, astigmat 2-7 d atau presbiop dan stabil selama 1 tahun, usia lebih dari 18 tahun, ketebalan kornea lebih dari 500 mikron, kornea tidak terlalu flat dan tidak terlalu melengkung (41-47 d). beberapa kontra indikasi lasik yaitu adanya keratokonus, hzo, keratitis herpes simpleks, distrofi kornea, dry eye, penyakit mata aktif, gangguan autoimun dan ketebalan kornea < 500 mikron serta keratometri > dari 47 d. beberapa kontra indikasi relatif lasik :yaitu epitel kornea rapuh, rima palpebra terlalu sempit, mata kecil dan cekung, neovaskularisasi kornea, ablasi retina dan adanya pterigium.6,7,11,12 prosedur teknik operasi lasik dimulai dengan meminta pasien tidur terlentang kemudian diberi tetes anestesi local (xilokain). selanjutnya dilakukan pembuatan flap kornea dengan menggunakan mikrokeratom (pada ketebalan kornea 120140 mikron), hansatome (120-160 mikron) atau ammadeus (140 mikron). flap dibuka dengan spatula dan daerah kornea ditembak dengan sinar laser sesuai treatment planner. paska penembakan dengan sinar laser kornea dibasahi dengan bss dengan tujuan menghilangkan debris yang timbul setelah laser. flap kornea kemudian ditutup kembali dan diratakan dengan sponge selama 3 menit sampai kering dan melekat erat. tetes mata antibiotik sebaiknya diberikan paska operasi lasik. mata ditutup kembali, pasien dimohon mengedip beberapa kali agar flap tidak bergeser dan pasien dimohon istirahat selama 30 menit. mata ditutup dengan nur shani meida, ektasia kornea pasca ... 192 ada kata aman tentang batas minimal rsb untuk mencegah terjadinya ektasia kornea.15,17 rsb 250 mikron tidak menjamin melindungi terjadinya ektasia kornea.24 rsb 300 mikron masih bisa menimbulkan ektasia kornea.23 strategi skrining penting untuk mencegah terjadinya ektasia kornea. pemeriksaan keratometri dan pakimetri penting untuk skrining ektasia kornea.8,9,16 pemeriksaan dapat dilakukan dengan menggunakan mesin orbscan (bausch and lomb) untuk melihat permukaan posterior dan men cek k reading, serta mesin pentacam (oculus) untuk men cek adanya keratokonus atau subklinik keratokonus. placido dan video keratografi juga dapat digunakan untuk skrining ektasia kornea.7 prof joo dari korea membuat check list untuk mendeteksi adanya forme frusta keratokonus, yaitu : 1) ultrasound pakimetri > 475 mikron, 2) rsb > 300 mikron, 3) elevasi posterior < 50 mikron, 4) sferis posterior < 50 mikrons, 5) 1,21 < ratio anterior /posterior < 1,27, 6) irregularitas (3mm) < 1,5 d, 7) irregularitas (5 mm) < 2,0 d, 8) pakimetri sentral ke perifer < 20 mikron, 9) sim k (maks) < 47 d, 10) variasi astigmat kedua mata < 1 d, 11) bowtie simetri. 7 prof joo merekomendasikan jika menemukan kelainan paling banyak 1 item kerjakan lasik, 2 item kerjakan epilasik dan 3 item atau lebih jangan melakukan ablasi.7 dalam hal mencegah terjadinya ektasia kornea, tidak diperbolehkan melakukan lasik dengan ketebalan kornea < 500 mikron, tidak meninggalkan stroma sekurang-kurangnya 250 mikron, tidak melakukan ablasi lebih dari 130 mikron, tidak melakukan pendataran kornea di bawah 34 d (miop) dan tidak melakukan cekungan kornea di atas 48 d (hipermetrop).1 reinstein pada tahun 2006 menyarankan pemilihan mikrokeratom, laser dan pakimetri dengan precisi yang tinggi dapat mencegah terjadinya ektasia kornea. terdapat mesin baru yaitu new intra lase machine yang dapat membuat flap yang uniform dengan ketebalan yang sama dan menyisakan ketebalan rsb yang cukup. sejak adanya mesin baru ini insidensi ektasia kornea menjadi menurun.7 astigmat irregular yang meningkat dan kelainan refraksi yang tidak dapat dikoreksi. selain itu dapat dilihat dengan menggunakan slit lamp bahwa kornea tampak menonjol ke depan.2,19 pada pemeriksaan dengan slit lamp tampak kornea tipis dan menonjol serta kornea bagian posterior tampak curam.2 penyebab ektasia kornea tidak diketahui.4 kemungkinan penyebabnya antara lain laser terlalu banyak selama lasik, flap terlalu dalam dan kornea terlalu tipis.20 faktor risiko dan pencegahan. kemungkinan kejadian ektasia kornea meningkat dengan adanya faktor risiko pre operasi, namun begitu ektasia kornea tetap dapat terjadi walaupun tidak ada faktor risiko pre operasi.21 beberapa faktor risiko ektasia kornea antara lain adanya riwayat keluarga, umur muda (< 25 tahun), miop yang tinggi, ketebalan kornea < 500 mikron, asimetri kornea, abnormal topografi kornea, keratokonus dan rendahnya residual stromal bed.1,7,8,18,22 laser ablasi sebesar 15 mikron digunakan untuk merubah 1 dioptri. pasien dengan miop -6 dioptri akan mengalami ablasi jaringan 90 mikron. jika pasien punya ketebalan kornea 540 mikron, operator membuat flap 160 mikron, jaringan di bawah flap tinggal 290 mikron. mata dengan miop tinggi membutuhkan laser ablasi yang lebih banyak dan menjadi predisposisi perubahan kornea bagian anterior.23 penipisan kornea juga bisa berhubungan dengan pemakaian lensa kontak dalam jangka lama, dry eye dan umur tua.1 pengetahuan tentang residual stromal bed (rsb) sangat penting untuk mencegah terjadinya ektasia kornea post lasik. setelah operator mengetahui banyak hal tentang residual stromal bed, kejadian ektasia kornea menjadi menurun. graham barret dari australia merekomendasikan sekurang-kurangnya rsb 200 mikron untuk mencegah ektasia kornea. batas ini selanjutnya meningkat menjadi 250 mikron dan terakhir yang direkomendasikan adalah 300 mikron. batas atas miop -12 d.7 beberapa catatan medis melaporkan rsb 250 mikron tidak cukup untuk menjaga biomekanik kornea menjadi stabil.18 tidak 193 mutiara medika vol. 10 no. 2: 189-195, juli 2010 kali sehari. pasien kembali sesudah 1-2 hari untuk pengambilan lensa kontak. penelitian yang dilakukan pada 9 mata pasien yang berumur 35 tahun, hasilnya astigmat menjadi menurun, pakimetri menurun dan endotel tidak berubah.25 intacs digunakan sebagai alternatif terapi ektasia kornea. intacs aman dan efisien. intacs yang diimplantasikan dapat meningkatkan keteraturan topografi kornea dan meningkatkan visus yang tidak dapat dikoreksi. keuntungan utama penggunaan intacs adalah kejernihan kornea bagian zona optic tetap terjaga.2,12 prosedur pemasangan intacs dimulai dengan pemberian anestesi topical (propakain 0,5%). selanjutnya buat insisi dengan pisau diamond setebal 70% ketebalan kornea. buat insisi radal 0,9 mm dan masuk ke dalam intrastroma. diseksi intra stroma dilakukan searah jarum jam dan berlawanan arah dengan jarum jam. ring dimasukkan di dalam stroma, cuci kornea dengan bss kemudian jahit kornea dengan benang nilon 10,0. terapi post operasi diberikan tetes antibiotik dan steroid tiap hari selama 1 minggu (tobramicin dan prednisolon asetat 1%). jahitan kornea diambil 2 minggu setelah operasi.2,27 jika beberapa alternatif terapi di atas tidak berhasil, maka diperlukan operasi transplantasi kornea. operasi ini dilakukan pada kasus-kasus yang berat. pada zaman dulu dilakukan operasi penetrating keratoplasti, tetapi ternyata banyak komplikasinya seperti rejeksi, induksi astigmat, cistoid makular edema, ablasi retina, endoftalmitis dsb. untuk mencegah komplikasi tersebut dilakukan metode lamellar keratoplasti. keuntungan lamellar keratoplasti terdapat lebih sedikit komplikasi dan jarang terjadi rejeksi . sebuah laporan kasus seorang laki-laki umur 38 tahun dengan ektasia kornea post lasik, dilakukan operasi lamellar keratoplasti, hasilnya visus membaik.28 prosedur operasinya dengan cara eksisi lapisan stroma superficial, dilakukan diseksi dengan udara, viskoelastik atau air. lapisan yang ditinggalkan berupa membran desmet dan endotel. perlu dilakukan monitor kelainan refraksi, topografi dan pakimetri.1,7,11,18 tata kelola ektasia kornea. tidak ada terapi khusus ektasia kornea. terapi yang sering dilakukan adalah pemakaian lensa kontak keras (rigid gas permiable), penggunaan obat-obat penurun tekanan intra okuler (timolol), pemakaian c3-r (corneal collagen cross linkingriboflavin), pemasangan intacs dan pada tahap langsung dengan keratoplasti. c3-r merupakan terapi non invasif berupa tetes mata yang mengandung riboflavin yang kerjanya diaktivasi oleh sinar ultraviolet. riboflavin yang teraktivasi masuk ke kornea dan jaringan kornea menjadi kuat dan bentuknya menjadi stabil. c3-r efektif meningkatkan stabilitas kornea dan menurunkan progresivitas ektasia kornea. zat ini tampak aman berdasar pengukuran sel endotel dan potensial toksisitas paparan ultraviolet. tujuan pemakaian c3-r adalah meningkatkan kekuatan kornea dan menghentikan ektasia kornea dengan cara membentuk ikatan kovalen antara serabut kolagen. riboflavin yang diaplikasikan secara topikal sebagai fotomediator. setelah cahaya ultraviolet a diabsorbsi, riboflavin meningkatkan pembentukan radikal bebas dan menyebabkan kenaikan ikatan kovalen antar serabut kolagen. kekuatan menjadi meningkat dan lebih meningkat 4-5 kali pada orang muda. efek maksimal 300 mikron di kornea anterior. meskipun ultraviolet a menyebabkan apoptosis keratosit dan kerusakan macula, dosis 3 mw/cm2 dikatakan aman. riboflavin mempunyai target di stroma. tidak diperlukan pengangkatan epitel untuk menfasilitasi riboflavin masuk ke stroma. tetes riboflavin (0,1% dalam 20% dextran) diaplikasi 5 menit dengan interval selama 30 menit. pasien perlu tidur terlentang, kemudian ditetes c3-r dan disinari dengan sinar ultraviolet. evaluasi pemeriksaan dengan menggunakan slit lamp untuk mencek bahwa kornea tercat kuning. paparan sinar ultraviolet yang tinggi dapat merusak endotel jika tebal kornea < 400 um. ketebalan kornea diukur berseri. menggunakan sistem iluminasi c3-r menghantarkan ultraviolet pada 370 nm dengan irradiance 3mw/cm2. setelah terapi dengan c3-r mata perlu ditutup lensa kontak dan diberi terapi tetes levofloxacin. 4 nur shani meida, ektasia kornea pasca ... 194 daftar pustaka suhardjo. 2006. 1. beberapa penyulit bedah lasik, epilasik dan prk di rs mata dr yap, dalam seminar oftamologi regional, fakultas kedokteran ugm, yogyakarta. kymonis, d., charalambos, s., kounis, 2. g., astyrakakis, n., kalyvianaki, m.i., pallikaris, i.g. 2003 management of post-lasik corneal ectasiawith intacs insert, arch.ophthalmol. 121(3) : 322326. andrew, i. and tratter, w.b. 2000. 3. corneal ectasia after laser vision correction, int. ophthalmol. clin. refractive surgery. tabbara, k.f., kotb, a.a. 2006. risk 4. factor for corneal ectasia after lasik, ophthalmol. 113(9) : 1618-22. binder, p.s., richard, l., lindstrom, 5. m.d., doyle, s.d., yaon, r. 2005. keratokonus and corneal ectasia after lasik, j. refract. surg. 21(6). gunawan, arliani, maria, t.h. 2007. 6. keberhasilan bedah lasik di rs mata yap, dalam seminar oftalmologi regional, fakultas kedokteran ugm, yogyakarta. samaniego, c.r. 2009. the spectra of 7. ectasia, eye world asia pacific. 5(1) : 8-13. nordan, l.t. 2007. is corneal thickness 8. a risk factor for post lasik ectasia?, cataract and refractive surgery. www. crstoday.com. trattler, w.b. 2007. the “500 um rule”, 9. j. cataract and refract. surg. 2. suhardjo. 2007. 10. ilmu kesehatan mata. bagian ilmu penyakit mata fakultas kedokteran universitas gadjah mada yogyakarta. karmel, m. 2008. 11. the thick and thin of ectasia, eyenet magazine. garg, a., pallikaris, i. 2006. 12. mastering the techniques of corneal refractive surgery. jaypee brothers medical publisher new delhi. kim, h., song, i.k., joo, k. 2006. 13. keratectasia after laser in situ keratomileusis. clinicopathological prognosis. prognosis pasien ektasia kornea pasca lasik yang mendapat terapi adalah baik. kymionis pada tahun 2003 melakukan penelitian pada 10 mata (7 pasien) ektasia paska lasik, yang terdiri dari 2 laki-laki dan 5 wanita berusia 33-46 tahun, dan mendapat terapi pemasangan intacs serta di follow up selama 6-24 bulan, hasilnya visus membaik rata-rata 1-2 baris. visus pasien sebelum terapi rata-rata 20/100 atau kurang, dan setelah dilakukan terapi sebanyak 90% menjadi 20/40 atau lebih.2 suatu penelitian yang dilakukan pada 13 pasien keratokonus pasca lasik setelah dipasang implant visusnya mengalami peningkatan 1 baris dan astigmat menjadi menurun 2,29 d. sebanyak 4 mata yang dilakukan intralamellar keratoplasti juga menunjukkan visus yang membaik mencapai 4 baris snellen dan astigmat menjadi menurun 1,82 d.26 randleman pada tahun 2003 melaporkan pasien ektasia kornea pasca lasik yang mendapat terapi lensa kontaks rgp mengalami perbaikan visus 20/30 atau lebih dan hanya 10% yang menjalani penetrating keratoplasti.22 daya pada tahun 2008 melakukan penelitian pada 9 mata pasien yang mengalami ektasia pasca lasik (berumur sekitar 35 tahun) dan mendapat terapi c3-r, hasilnya astigmat menjadi menurun dan pakimetri menurun.25 kesimpulan ektasia kornea adalah salahsatu komplikasi lasik yang paling ditakuti. berbagai macam terapi dilakukan seperti pemakaian lensa kontak, penggunaan obat penurun tekanan intraokuler, pemberian c3-r, implantasi intacs dan pada tahap lanjut sering dilakukan lamellar keratoplasti. pemeriksaan pre operatif yang teliti dan menemukan faktor risiko merupakan hal yang penting untuk menghindari terjadinya ektasia kornea post lasik. prognosis pasien ektasia kornea paska lasik yang mendapatkan terapi adalah baik. 195 mutiara medika vol. 10 no. 2: 189-195, juli 2010 case report. ophthalmol. 220(1) : 5864 kamiya, kazutaka , kazunori, 14. tokunaga, takaho, tetsuro. 2004. structural analysis of the cornea using scanning-slit corneal topography in eyes undergoing excimer laser refractive surgery. cornea. 23:59-64. piccoli, p.m., gomes, a.a., picolli, f.v. 15. 2003. corneal ectasia detected 32 months after lasik for correction of myopia and asymmetric astigmatism. j. cataract refract surg. 29(6):1222-5. sonal, s., tuli, m.d., , sandhya, i. 2007. 16. delayed ectasia following lasik with no risk factors: is a 300-µm stromal bed enough?. j cataract refract surg. 23(6) :620-622. patrick, i.c., o keefe, m. 2007. 17. long-term results of laser in situ keratomileusis for high myopia: risk for ectasia. j cataract refract surg. 33. meghpara, b., nakamura, h., macsai, 18. m. 2008. keratectasia after laser in situ keratomileusis : a histopathologic and immunohistochemical. arch ophhalmol. 126(12) : 1655-63. binder, p.s. 2007. analysis of ectasia 19. after laser in situ keratomileusis : risk factor. j. cataract refract. surg. 8. fda website. 2006. 20. ectasia after lasik. ectasia refractive source. klein, s.r., epstein, r.j., randleman, 21. r.j., stulting, r.d. 2006. corneal ectasia after laser in situ keratomileusis in patients without apparent preoperative risk factors. cornea. 25(4) : 388403. randleman, j.b., russel, b., ward, 22. m.a. 2003. thompson kp, stulting rd, risk factors and prognosis for corneal ectasia after lasik. ophthalmol. 110(2) : 267-75. miyata, k., tokunaga, t., nakahara, m., 23. ohtani, s., nejima, r., kiuchi, t., kaji, y. 2004. residual bed thickness and corneal forward shift after laser in situ keratomileusis. j. cataract refract surg. 30(5) : 1067-72. ou, r.j., shaw, e.l., glasgow, b.j. 24. 2002. keratectasia after laser in siu keratomileusis (lasik) : evaluation of the calculated residual stromal bed thickness. am j. ophthalmol. 134(5) : 771-3. daya, s.m. 2008. 25. corneal collagen crosslingking help post lasik ectasia, ophthalmolgy times, europe. tan, b.u., purcell, t.l., torres, l.f. 26. 2006. new surgical approaches to the management keratoconus and post lasik ectasia, trans am ophthalmol soc.; 104 : 212-220. patel, n., mearza, a., ostron, c.k., 27. chow, j. 2003. corneal ectasia following deep lamelar keratoplasty. j. ophthalmol. 87(6) : 799-800. 61 mutiara medika vol. 7 no. 2:61-68, juli 2007 pengaruh konsumsi fastfood terhadap obesitas anak sekolah dasar the influence of fast food consumption on obesity in elementary school children erwin santosa bagian ilmu kesehatan anak, fakultas kedokteran universitas ` muhammadiyah yogyakarta abstrak obesitas adalah kelebihan akumulasi lemak dalam tubuh manusia. banyak faktor yang mempengaruhi obesitas antara lain frekuensi konsumsi fast food yang berlebihan, asupan makanan jajanan, status sosial ekonomi, aktifitas fisik dan perilaku aktivitas fisik yang tidak banyak bergerak sehari-hari. prevalensi obesitas meningkat dari tahun ke tahun baik di negara maju maupun negara berkembang termasuk indonesia, yang disebabkan oleh adanya perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan. pola makan di kota-kota besar telah bergeser dari pola makan tradisional ke pola makan barat yang dapat menimbulkan mutu gizi yang tidak seimbang. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh konsumsi fast food terhadap obesitas anak sd. penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan rancangan penelitian case control.. lokasi penelitian di sdn 1 sleman dan dilaksanakan pada bulan mei 2007. populasi penelitian ini adalah sejumlah siswa kelas 5 yang bersekolah di sdn 1 sleman. alat ukur penelitian berupa kuesioner sebagai pedoman untuk wawancara. data dianalisis dengan uji chi-square. hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna (p e” 0,05) pada umur (p = 0.666), jenis kelamin (p = 0,464), merasa gemuk (p = 0,536), takut gemuk (p = 0,079), serta usaha mengurangi konsumsi fast food (p = 1,00) untuk mencegah obesitas. perbedaan yang bermakna (p d” 0,05) didiapatkan pada konsumsi fast food (p = 0,002), aktivitas fisik (p = 0,014), aktivitas diam (p = 0,021), dan tingkat pendapatan keluarga (p = 0,026). terdapat perbedaan yang bermakna untuk tingkat konsumsi fast food, aktivitas fisik, aktivitas diam dan tingkat pendapatan keluarga, sedangkan untuk umur, jenis kelamin, dan variabel lain tidak terdapat perbedaan yang bermakna kata kunci : anak sekolah dasar, fast food, obesitas abstrack obesity is an excessive accumulation of fat inside human body. may factors influence obesity namely high frequency of fast food consumption, snacks intake, social economic status, physical activities and sedentary lifestyle. obesity prevalence has been increasing ever y year in developed and developing countries including indonesia; this is influenced by the change of lifestyle and eating habits. dietary consumption in big cities has shifted from traditional to western pattern, which can cause imbalance quality of nutrients. this research aimed to identifying the influence of fast food consumption and other related factors on obesity in elementary school children. this research was an analytic observational study using case control research design. research location was in sekolah dasar negeri sdn 1 sleman; and it was conducted in june 2007. research subjects were 30 fifth-grade students in sdn 1 sleman. research tool used was a questionnaire as an interview guide. data was analyzed using chi-square test. dr. h erwin santosa, sp.a, m.kes, pengaruh konsumsi fastfood........ 62 the research results showed no significant differences (p e” 0.5) on age (p = 0.666), sex (p = 0.464), fat self-perception (p = 0.536), fear of being fat (p = 0.079), and effort to decrease fast food consumption to prevent obesity (p = 1.00). significant differences (p = 0.05) were found in fast-food consumption (p = 0.002), physical activities (p = 0.014), sedentary lifestyle (p = 0.021) and family income (p = 0.026). there were significant differences in fast food consumption, physical activities, sedentary lifestyle and family income; meanwhile, age, sex, and other factors showed no significant differences. key words: elementary school children, fast food, obesity pendahuluan peningkatan kemakmuran di indonesia diikuti juga oleh perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan. pola makan, terutama dikota-kota besar, bergeser dari pola makan tradisional ke pola makan barat berupa makanan cepat saji yang dapat menimbulkan mutu gizi yang tidak seimbang yang akhirnya dapat mengakibatkan tubuh kelebihan lemak (obesitas).1 di negara dengan keadaan sosial ekonomi yang telah maju, obesitas menjadi masalah yang penting. di negara yang sedang berkembang, misalnya indonesia, penyakit infeksi dan kurang gizi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama. masalah obesitas belum mendapatkan perhatian yang serius karena prevalensinya yang masih rendah bila dibandingkan dengan masalah penyakit infeksi dan kurang gizi. akan tetapi p ada tahun-tahun terakhir ini, kejadian obesitas diantara anak-anak dari keluarga dengan keadaan social ekonomi yang baik makin bertambah.2 oleh karena itu, masalah obesitas sudah mulai mendapat perhatian lebih banyak. masalah obesitas sudah mulai terlihat terutama di kot a-kota besar. survei imt pada 27 ibukota provinsi di indonesia menunjukkan prevalensi obesitas sebesar 6,8 % pada laki-laki dewasa dan 13,5 % pada perempuan dewasa. sedangkan menurut susenas 1999, prevalensi obesitas pada balita sebesar 5,2 %.3 prevalensi obesitas di amerika serikat sebesar 11,1 % dan di rusia sebesar 6 %. di amerika serikat terdap at peningkatan angka obesitas yang sangat cepat antara tahun 1963-1980 pada kelompok umur 6-11 tahun sebesar 98 % sedangkan peningkatannya pada kelompok umur 12-17 tahun sebesar 64 %.4.5tujuan penelitan ini adalah untuk mengetahui pengaruh konsumsi fast food terhadap obesitas pada anak bahan dan cara penelitian ini dilaksanakan di salah satu sekolah dasar di yogyakarta, yaitu sd negeri 1 sleman dengan pertimbangan lokasi yang terjangkau oleh peneliti. penelitian yang dilaksanakan pada bulan mei 2007 ini merupakan penelitian analitik observasional dengan pendekatan disain case control study . populasi penelitian ini adalah sejumlah siswa kelas 5 di sd negeri 1 sleman, yogyakarta yaitu dari 44 siswa hanya 30 siswa yang terdata oleh peneliti variabel tergantung disini: obesitas , variabel bebas adalah: konsumsi fast food, variasi jenis, dan jumlah fast food yang dikonsumsi.variabel pengganggu seperti status sosial ekonomi orang tua.variabel demografi masing-masing subjek penelitian dikendalikan berdasarkan matching atau melalui uji statistik yang relevan. berat badan di timbang dengan timbangan injak dengan tingkat ketelitian 0,5 kg. tinggi badan diukur dengan menggunakan mikrotoise yang berskala 0-2 cm dengan ketelitian 0,1 cm. dan kuesioner yang mencakup pertanyaan sesuai data yang diperlukan . data yang telah terkumpul diolah dengan menggunakan program komputer . pengolahan data dilakukan dengan menggunakan computer dengan program 63 mutiara medika vol. 7 no. 2:61-68, juli 2007 spss versi 12.0 for windows. pengolahan data melalui proses pemasukan data, tabulasi data dan pengediten dat a. analisis data diperoleh dengan menggunakan uji statistic chi-square untuk uji beda dan regresi logistic berganda untuk uji multivarian. tabel 1 : prevalensi obesitas anak sd berdasarkan umur x² = 0,186 df = 1 p = 0,666 or = 1,6 dari 30 siswa yang didata terdiri dari 23 siswa dengan umur d” 10 tahun, terdapat sebanyak 5 (16,7%) siswa yang mengalami obesitas dan 18 (60%) siswa yang tidak mengalami obesitas dengan rerata 76,7%. sedangkan, siswa yang berumur e” 10 tahun ada 7 siswa, yang mengalami obesitas hanya 1 (3,3%) siswa dan yang tidak mengalami obesitas sebanyak 6 (20%) siswa dengan rerata 23,3%. dari tabel di atas dapat dilihat dari hasil x² d” 3,84 (c tabel untuk df = 1) maka tidak ada hubungan antara umur dengan kejadian obesitas. anak dengan umur d” 10 tahun resiko obesitasnya meningkat 1,6 kali lebih besar dari anak dengan umur e” 10 tahun. dan dari hasil tabel di atas tidak terdapat perbedaan yang bermakna (pe”0,05). tabel 2 : prevalensi obesitas anak sd berdasarkan jenis kelamin. x² = 0,536 df = 1 p = 0,464 or = 2 dari 30 siswa terdiri 16 siswa perempuan dan 14 siswa laki-laki.tabel di atas menunjukkan siswa perempuan yang mengalami obesitas ada 4 (13,3%) dan yang tidak mengalami obesitas ada sebanyak 12 (40%) dengan rerata 53,3%. sedangkan untuk laki-laki yang mengalami obesitas ada 2 (6,7%) dan yang tidak mengalami obesitas ada 12 (40%) dengan rerata 46,7%. tabel di atas menunjukkan x² d” 3,84 (c tabel untuk df = 1) maka tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian obesitas. hasil or menunjukkan bahwa anak perempuan resiko obesitasnya meningkat 2 kali lipat dibandingkan anak laki-laki. dan dari hasil didapat bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p e” 0,05). obes itas non obesitas total umur n % n % n % ≤ 10 tahun ≥ 10 tahun 5 1 16,7 3,3 18 6 60,0 20,0 23 7 76,7 23,3 total 6 20,0 24 80,0 30 100,0 obesitas non obesitas t otal jenis kelamin n % n % n % perempuan laki-laki 4 2 13,3 6,7 12 12 40 40 16 14 53,3 46,7 total 6 20,0 24 80,0 30 100,0 dr. h erwin santosa, sp.a, m.kes, pengaruh konsumsi fastfood........ 64 dari hasil tabel di atas ternyata bahwa banyaknya siswa yang mengkonsumsi fast food dengan tingkat yang paling rendah ada 9 (30,0%) siswa, tidak terdapat siswa yang mengalami obesitas, dan ada 9 (30,0%) siswa yang tidak mengalami obesitas. dari tingkat konsumsi fast food yang sedang terdapat sebanyak 13 (43,3%) siswa,dengan siswa yang mengalami obesitas hanya 1 (3,3%) siswa dan yang tidak mengalami obesitas terdapat sebanyak 12 (40,0%) siswa. tingkat konsumsi fast food yang tinggi terdapat 8 (26,7%) siswa, yang mengalami obesitas terdapat 5 (16,7%) siswa dan 3 (10.0%) siswa yang tidak mengalami obesit as. tabel di atas juga menunjukkan bahwa x ² e” 5,99 (c tabel untuk df = 2) berarti bahwa terdapat hubungan antara konsumsi fast food dengan kejadian obesitas dan terdapat perbedaan yang bermakna (p d” 0,05). tabel 3 : hubungan obesitas dengan tingkat konsumsi fastfood x² = 8,571 df = 2 p = 0,014 tabel di atas menunjukkan bahwa banyaknya siswa dengan tingkat aktivitas fisiknya yang paling rendah ada 7 (23,3%) siswa, terdapat 4 (13,3%) siswa yang mengalami obesitas, dan ada 3 (10,0%) siswa yang tidak mengalami obesitas. dari tingkat aktifitas fisiknya sedang terdapat sebanyak 14 (46,7%) siswa,dengan siswa yang mengalami obesitas ada 2 (6,7%) siswa dan yang tidak mengalami obesitas terdapat sebanyak 12 (40,0%) siswa. tingkat aktifitas fisiknya tinggi terdapat 9 (30,0%) siswa, tidak terdapat siswa yang mengalami obesitas dan 9 (30,0%) siswa yang tidak mengalami obesit as. tabel di atas juga menunjukkan bahwa x ² e” 5,99 (c tabel untuk df = 2) berarti bahwa terdapat hubungan antara tingkat aktivitas fisik dengan kejadian obesitas dan terdapat perbedaan yang bermakna (pd”0,05). tabel 4 : hubungan obesitas dengan tingkat aktivitas fisik. obesitas non obesitas total t ingkat konsumsi fast food n % n % n % rendah sedang tinggi 0 1 5 0,0 3,3 16,7 9 12 3 30,0 40,0 10,0 9 13 8 30,0 43,3 26,7 total 6 20,0 24 80,0 30 100,0 x² = 12,512 df = 2 p = 0,002 obesitas non obesitas total n % n % n % rendah sedang t inggi 4 2 0 13,3 6,7 0,0 3 12 9 10,0 40,0 30,0 7 14 9 23,3 46,7 30,0 total 6 20,0 24 80,0 30 100,0 65 mutiara medika vol. 7 no. 2:61-68, juli 2007 tabel 6 : hubungan obesitas dengan tingkat pendapatan keluarga x² = 7,273 df = 2 p = 0,026 dari hasil tabel di atas menunjukkan terdapat bahwa banyak siswa dengan tingkat pendapatan keluarga yang paling rendah ada 8 (26,7%) siswa, tidak terdapat siswa yang mengalami obesitas, dan ada 8 (26,7%) siswa yang tidak mengalami obesitas. dari tingkat pendapatan keluarga sedang terdapat sebanyak 11 (36,7%) siswa, yang mengalami obesitas hanya 1 (3,3%) siswa dan yang tidak mengalami obesitas terdapat sebanyak 10 (33,3%) siswa. tingkat pendap atan keluarga yang tinggi terdapat 11 (36,7%) siswa, yang mengalami obesitas terdapat 5 (16,7%) siswa dan 6 (20.0%) siswa yang tidak mengalami obesitas. tabel di atas juga menunjukkan bahwa x ² e” 5,99 (c tabel untuk df = 2) berarti bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendapatan keluarga dengan kejadian obesitas dan terdapat perbedaan yang bermakna (pd”0,05). hasil tabel di atas menunjukkan banyaknya siswa dengan tingkat aktivitas diam yang paling rendah ada 13 (43,3%) siswa, tidak terdapat siswa yang mengalami obesitas, dan ada 13 (43,3%) siswa yang tidak mengalami obesitas. dari tingkat aktifitas diamnya sedang terdapat 6 (20,0%) siswa,dengan siswa yang mengalami obesitas ada 1 (3,3%) siswa dan yang tidak mengalami obesitas terdapat sebanyak 5 (16,7%) siswa. tingkat aktifitas diam tinggi terdapat 11 (36,7%) siswa, terdapat 5 (16,7) siswa yang mengalami obesitas dan 6 (20,0%) siswa yang tidak mengalami obesitas. tabel di atas juga menunjukkan bahwa x ² e” 5,99 (c tabel untuk df = 2) berarti bahwa terdapat hubungan antara tingkat aktivitas diam dengan kejadian obesitas dan terdapat perbedaan yang bermakna (p d” 0,05). tabel 5 : hubungan obesitas dengan tingkat aktivitas diam (nonton tv, main komputer main game) tingkat aktivitas diam obesitas non obesitas t otal n % n % n % rendah sedang tinggi 0 1 5 0,0 3,3 16,7 13 5 6 43,3 16,7 20,0 13 6 11 43,3 20,0 36,7 t otal 6 20,0 24 80,0 30 100,0 x² = 7,746 df = 2 p = 0,021 obesitas non obesitas total t ingkat pendapatan keluarga n % n % n % rendah sedang tinggi 0 1 5 0,0 3,3 16,7 8 10 6 26,7 33,3 20,0 8 11 11 26,7 36,7 36,7 total 6 20,0 24 80,0 30 100,0 dr. h erwin santosa, sp.a, m.kes, pengaruh konsumsi fastfood........ 66 tabel di atas menunjukkan bahwa terdapat 12 (40,0%) siswa yang takut gemuk, ada 2 (6,7%) siswa yang mengalami obesitas dan 10 (33,3%) siswa yang tidak mengalami obesitas. sedangkan, bagi siswa yang tidak takut gemuk terdapat 18 (60,0%), didapatkan 4 (13,3%) siswa yang mengalami obesitas dan ada 14 (46,7%) siswa tidak mengalami obesitas. hasil dari x² d” 3,84 (c tabel untuk df = 1) berarti bahwa tidak terdapat hubungan antara perasaan takut gemuk seseorang terhadap kejadian obesitas. hasil p e” 0,05 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna. hasil or menunjukkan bahwa anak-anak yang mempunyai perasaan takut gemuk dapat meningkatkan 1,4 kali lipat kejadian obesitas seseorang dibandingkan anakanak yang memang tidak takut akan kegemukan. tabel 9 : hubungan obesitas dengan perasaan “berusaha mengurangi makanan fast food” x² = 0,00 df = 1 p = 1,00 or = 1,00 tabel di atas menunjukkan bahwa terdapat 8 (26,7) siswa yang merasa gemuk, ada 1 (3,3%) siswa yang memang obesitas dan 7 (23,3%) siswa yang tidak mengalami obesitas. sedangkan, bagi siswa yang tidak merasa kegemukan terdapat 22 (73,3%), didapatkan 5 (16,7%) siswa yang mengalami obesitas dan ada 17 (56,7%) siswa tidak mengalami obesitas. hasil dari x² d” 3,84 (c tabel untuk df = 1) berarti bahwa tidak terdapat hubungan antara perasaan gemuk seseorang terhadap kejadian obesitas. hasil p e” 0,05 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna. dan hasil or menunjukkan bahwa tidak berpengaruhnya antara perasaan gemuk maupun tidak terhadap kejadian obesitas seseorang. x² = 0,384 df = 1 p = 0,536 or = 0,48 tabel 7 : hubungan obesitas dengan perasaan ”merasa gemuk” ( psikologi ) obesitas non obesitas total merasa kegemukan n % n % n % ya t idak 1 5 3,3 16,7 7 17 23,3 56,7 8 22 26,7 73,3 total 6 20,0 24 80,0 30 100,0 tabel 8 : hubungan obesitas dengan perasaan ”takut gemuk” ( psikologi ) obesitas non obesitas total takut gemuk n % n % n % ya tidak 2 4 6,7 13,3 10 14 33,3 46,7 12 18 40,0 60,0 total 6 20 24 80,0 30 100,0 x² = 0,139 df = 1 p = 0,709 or = 0,7 obesitas non obesitas total berusaha mengurangi makanan fastfood n % n % n % ya t idak 1 5 3,3 16,7 4 20 13,3 66,7 5 25 16,7 83,3 total 6 20,0 24 80,0 30 100 67 mutiara medika vol. 7 no. 2:61-68, juli 2007 tabel di atas menunjukkan bahwa terdapat 5 (16,7%%) siswa yang berusaha mengurangi makanan fast food, hanya 1 (3,3%) siswa yang mengalami obesitas dan 5 (16,7%) siswa yang tidak mengalami obesitas. sedangkan, bagi siswa yang tidak berusaha mengurangi makanan fast foodnya terdapat 25 (83,3%), didapatkan 5 (16,7%) siswa yang mengalami obesitas dan ada 20 (66,7%) siswa tidak mengalami obesitas. hasil dari x² d” 3,84 (c tabel untuk df = 1) berarti bahwa tidak terdapat hubungan antara usaha untuk mengurangi makanan fast food seseorang terhadap kejadian obesitas. hasil p e” 0,05 menunjukkan bahwa sama sekali tidak terdapat perbedaan yang bermakna. hasil or menunjukkan bahwa anak-anak yang tidak punya usaha untuk mengurangi makanan fast foodnya dapat meningkatkan 1 kali lipat kejadian obesitas seseorang dibandingkan anak-anak yang memang takut akan kegemukan. pembahasan berdasarkan karakteristik responden dan analisa data di atas, maka dapat disajikan pembahasan sebagai berikut : prevalensi obesitas dari tahun ke tahun cenderung meningkat. pada penelitian ini didapatkan prevalensi obesitas pada siswa kelas v sdn 1 di kabupaten sleman yogyakarta ( tabel i ) sebesar 76,7% untuk siswa yang kurang dari 10 tahun dan 23,3% untuk siswa yang umurnya lebih dari 10 tahun. hasil juga didapatkan prevalensi obesitasnya untuk siswa perempuan 53,3% dan siswa laki-laki 46,7%. beberapa penelitian sebelumnya antara lain di jakarta 1987, pada anak umur 6-18 tahun kejadian obesitas adalah 6,7% terdiri dari anak perempuan 3,1% dan anak laki-laki 10,2%. pada anak sekolah umur 612 tahun, obesitas ditemukan sekitar 0-4%. dari sini terlihat bahwa di yogyakarta pada tahun 1995 setelah penelitian di jakarta ada kecenderungan meningkatnya prevalensi obesitas dibandingkan sebelumnya. kecenderungan meningkatnya obesitas ini terjadi karena beberapa faktor antara lain, semakin meningkatnya keadaan sosial ekonomi masyarakat, sehingga mampu mengkonsumsi makanan dengan kandungan kalori tinggi seperti hamburger, pizza, ayam goreng, kentang goreng, sebagai fast food yang lebih banyak mengandung protein, lemak, gula dan garam akan tetapi miskin serat. 6 juga tersedianya makanan ringan atau berbagai jenis makanan camilan, yang pada waktu sekarang ini banyak menjamur terutama di kota-kot a besar. 7 seperti juga yang dilihat dari perilaku menonton tv yang berlebihan ( tabel v ), sehingga mengurangi penggunaan energi, apalagi kalau menonton tv sambil makan, tidak terasa menyebabkan pemasukan kalori cukup tinggi. meningkatnya obesitas juga dipengaruhi ketidaktahuan orang tua, yaitu merasa bangga kalau mempunyai anak yang gemuk, sehingga obesitas dianggap bukan suatu kelainan, ini menyebabkan tidak adanya keinginan orang tua untuk berkonsultasi dengan dokter mengenai keadaan obesitas anaknya. padahal, seperti diuraikan sebelumnya, obesitas pada anakanak biasanya akan berlanjut menjadi obesitas pada masa dewasa. dan komplikasi yang terjadi akibat dari obesitas cukup banyak, sehingga pencegahan obesitas lebih baik dilakukan seawal mungkin.8 mengenai tingkat pendapatan keluarga ( tabel vi ), terdapat masingmasing 36,7% bagi tingkat pendapatan keluarganya tinggi maupun bagi tingkat pendapatan keluarganya yang sedang dan 26,7% bagi siswa dengan tingkat pendapatan keluarganya rendah. ternyata pada penelitian kali ini yang menghabiskan uang jajan justru persentasenya lebih kecil tejadinya obesitas dibandingkan dengan apa yang menghabiskan sebagian uangnya atau tidak menentu dalam hal ini terdapat perbedaan yang bermakna (pd”0,05). mengapa yang menghabiskan uang jajan justru menunjukkan persentase lebih kecil untuk terjadinya obesitas dan secara statistik berbeda bermakna bahwa jajan tidak mempengaruhi kejadian obesitas? hal ini karena makanan jajan ternyata lebih bergizi seimbang dibandingkan beberapa dr. h erwin santosa, sp.a, m.kes, pengaruh konsumsi fastfood........ 68 jenis fast food. selain itu lebih murah, alami dan sesuai dengan kondisi sosial ekonomi indonesia, sehingga lebih mudah diterima oleh masyarakat banyak. mengenai makanan yang dikenal sebagai fast food, terdapat 30% siswa dengan tingkat konsumsi fast food nya rendah, 43,3% sedang, dan 26,7% yang tingkat konsumsi fast food nya tinggi.yang berarti ada hubungan yang bermakna antara konsumsi fast food dengan kejadian obesitas (pd”0,05). ini berarti pernah makan fast food mempunyai kemaknaan untuk terjadinya obesitas. ini karena fast food merupakan makanan dengan kandungan kalori, lemak, dan gula yang tinggi. kesimpulan beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah terdapat perbedaan yang bermakna pada tingkat konsumsi fast food, aktivitas fisik, aktivitas diam juga pada tingkat pendapatan keluarga. untuk umur, jenis kelamin, sert a dari segi psikologi dari siswa yang merasa gemuk, takut gemuk maupun yang berusaha untuk mengurangi makanan fast food tidak terdapat perbedaan yang signifikan.. saran berdasar kesimpulan di atas, diberikan saran yaitu antara lain: perlu ada penelitian lebih lanjut mengenai hubungan kejadian obesitas dengan konsumsi fast food pada anak sd. perlu antisipasi lebih lanjut tentang kejadian obesitas pada murid sekolah dasar, sehingga obesitas pada anak bisa dicegah atau diterapi dengan baik dan tidak berlanjut menjadi obesitas di masa dewasa. perlu himbauan pada anak sd untuk mengurangi frekuensi mengkonsumsi fast food, jajanan lain yang rendah nutrisi dengan mengganti makanan berserat seperti sayuran/buah-buahan. perlu penelitian dengan sampel yang lebih besar dan wilayah yang tercakup luas serta perlu pengamatan frekuensi konsumsi fast food, jajanan,asupan makanan,aktivitas fisik dalam waktu yang lama (penelitian retrospectif). daftar pustaka 1. ginanjar, genis. klinik sehat: kegemukan dan obesitas . http:// us.click.yahoo.com/a.zma/fpqlaa/ hwkmaa/4t wo 1b/tm. tanggal akses 5 desember 2005. 2. huriyati, emy. 2003. aktivit as fisik remaja di kot a yogyakart a dan kabupaten bantul serta peran aktivitas fisik menyumbang terhadap kejadian obesitas. tesis. yogyakarta. 3. nurkhalida, raden endah. 2005. beberapa faktor yang berperan terhadap kejadian obesitas pada siswa sltp yos sudarso kerawang jawa barat. tesis. yogyakarta. 4. padmiatri ida ayu eka, hadi hamam. konsumsi fast food sebagai factor resiko obesitas pada anak sd . available from url: hiperlink http:// w w w. t e m p o . c o . i d / m e d i k a / o n l i n e / tmp.online.old/art-3.htm. 5. ross and pate. 1987.childhood obesity . http;/www.en.wikipedia.org/wiki/ obesity. tanggal akses 5 desember 2005. 6. soedibyo,soepardi., meilany, tinuk (2006). factors influencing obesity on school-aged children. journal medika indonesia., 15 (1), 43-54. 7. soetjiningsih. 1995. tumbuh kembang anak. jakarta; egc. 8. usman, itawahyuni. 2005. perbedaan sosial ekonomi dan status gizi orang tua pada anak obesitas dan tidak obesitas di sd lempuyangwangi,yogyakarta.skripsiyogyakarta 153 mutiara medika vol. 10 no. 2: 153 159, juli 2010 pengaruh penyuluhan terhadap tingkat pengetahuan remaja tentang aspek kesehatan, sosial dan hukum aborsi pada siswa smu n 6 yogyakarta the influence of elucidation to adolescent’s knowledge to health, social and legal aspects of abortion in high school students of smu n 6 yogyakarta teranggono1, fitri murniati 2, martiana suciningtyas 2 1program studi pendidikan dokter fakultas kedokteran universitas gadjahmada; 2bagian ilmu kedokteran forensik dan medikolegal program studi pendidikan dokter fakultas kedokteran universitas gadjahmada e-mail: artanti_forensik@yahoo.com abstract the majority of world’s constituent is adolescent in which period there is a growth of physical, sexual and social behavior. at that time if they don’t get right information and direction they will get loss in free sex environment, unwanted pregnancy and doing abortion. the objective of this study is to know the adolescent’s average level of knowledge about various aspects of abortion; health, social and legal, before and after getting counseling. the research method use was pretest and post test experimental study. the respondents consisted of 61 smu n 6 yogyakarta students, 17 male and 44 female. the data was analyzed descriptively by using test of normality and statiscally by using wilcoxon test. the result showed that the students knowledge concerning aspects of abortion: health (0,85), social (0,45) and legal (1,04) were increasing approximate to maximal. it is concluded that the students elucidation concerning abortion has positive effect. key words: adolescent students, abortion aspects, elucidation abstrak komposisi sebagian besar dunia adalah remaja. pada masa remaja terjadi pertumbuhan fisik, seksual, dan prilaku sosial, jika tidak mendapatkan pengetahuan dan arahan menyebabkan remaja terjerumus dalam perilaku seks bebas, kehamilan yang tidak dikehendaki, dan melakukan tindakan aborsi. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengetahuan remaja tentang aspek kesehatan, sosial, dan hukum aborsi sebelum dan sesudah penyuluhan di smu negeri 6 yogyakarta. penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan rancangan pretest posttest. jumlah responden adalah 61 siswa, laki-laki 17 dan perempuan 44 orang. data dianalisis secara deskriptif menggunakan test of normality dan secara analitik menggunakan uji wilcoxon. hasil penelitian ini menunjukkan terdapat peningkatan rerata pengetahuan siswa mengenai aspek kesehatan (0,85), sosial (0,45) dan hukum (1,04) aborsi, yang mendekati nilai maksimal. disimpulkan bahwa penyuluhan terhadap siswa tentang aborsi berpengaruh positif. kata kunci : siswa remaja, aspek aborsi, penyuluhan teranggono, fitri murniati, martiana suciningtyas, pengaruh penyuluhan terhadap ... 154 pendahuluan pengetahuan (knowledge) merupakan hasil dari mengetahui, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. pengindraan terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, rasa bau dan raba. sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.1 menurut notoadmodjo pengetahuan yang mencakup didalamnya domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yakni : tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. 1 melalui pendidikan maka seseorang akan mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun media massa, semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan yang didapat tentang kesehatan.2 remaja dalam arti adolescence (bahasa inggris) berasal dari bahasa latin addescere artinya pertumbuhan ke arah kematangan, bukan hanya fisik tapi juga kematangan sosial psikologis.3 menurut wong 4 menyebutkan bahwa masa remaja adalah individu yang berusia 11-20 tahun. dalam tumbuh kembangnya menuju dewasa berdasarkan kematangan psikososial dan seksual, akan melewati tahapan perkembangan yaitu: masa remaja awal, masa remaja pertengahan, dan masa remaja akhir. pada masa remaja menengah anak laki-laki sudah mengalami mimpi basah sedangkan anak perempuan sudah mengalami haid. pada masa ini gairah seksual remaja sudah mencapai puncak sehingga mereka mempunyai kecenderungan mempergunakan kesempatan untuk melakukan sentuhan fisik. mereka tidak jarang melakukan pertemuan untuk bercumbu bahkan mencari kesempatan untuk melakukan hubungan seksual. pada masa remaja akhir mereka sudah mengalami perkembangan fisik yang penuh. sudah seperti orang dewasa.4 remaja yang sudah berkembang kematangan seksualnya, jika kurang mendapatkan pengarahan dari guru atau orang tua, mudah terjebak dalam masalah. masalah tersebut muncul apabila remaja tidak dapat mengendalikan perilaku seksualnya. oleh karena itu seorang remaja agar dapat tumbuh dan berkembang fisik dan seksual dengan baik memerlukan perlindungan dari berbagai macam hal yang dapat mengganggu pertumbuhannya. namun di zaman globalisasi ini banyak sekali ancaman dan godaan yang harus dihadapi para remaja. berbagai macam informasi dan tayangan baik melalui internet, mass media, televisi, telepon seluler dan media tayang lainnya mudah didapatkannya. namun sayangnya banyak informasi dan tayangan yang belum tentu baik untuk remaja seperti pornografi, kekerasan, seks bebas dan sebagainya mudah mereka dapatkan. informasi tersebut mudah diserap dan ditiru oleh remaja, salah satunya melakukan hubungan seks yang belum waktunya tanpa mengetahui konsekuensi yang harus ditanggungnya. pada mulanya, remaja berpacaran biasa namun setelah cukup lama berpacaran mereka melakukan hubungan seks bebas. ketika hubungan mereka membuahkan janin dalam kandungan timbul masalah baru, karena mereka belum menikah dan masih dalam masa sekolah atau kuliah. selain itu rasa takut dan malu jika kehamilannya diketahui orang tua atau orang lain, maka ditempuh jalan aborsi untuk memecahkan masalah tersebut. menurut who sekitar 50 juta kehamilan dari 75 kehamilan yang tidak diinginkan di dunia akan berakhir dengan aborsi disengaja dan 20 juta diantaranya dilakukan secara tidak aman.5 di asia tenggara, who memperkirakan ada 4,2 juta aborsi dilakukan pertahun, 750.000-1,5 juta dilakukan di indonesia, 2.500 diantaranya berakhir dengan kematian.6 berbicara mengenai aborsi akan menimbulkan berbagai tanggapan dan penilaian yang berbeda-beda pada masingmasing individu karena adanya perbedaan pengetahuan dari diri mereka sehingga sikap yang ditimbulkannya pun berbeda. aborsi berasal dari kata abortus yang artinya gugur kandungan/keguguran 3. menurut fact about abortion, info kit on women’s health oleh institude for social,studies and action (1991), 155 mutiara medika vol. 10 no. 2: 153 159, juli 2010 tabel 1. karakteristik responden penelitian no karakteristik responden total (%) 1 jenis kelamin laki-laki perempuan 17 44 27,9% 72,1% 2 umur 15tahun 16tahun 17tahun 5 44 12 8,2% 72,1% 19,7% 3 sumber informasi abortus media elektronik media cetak sekolah teman orang tua 27 44,26% 42 68,85% 49 80,33% 30 49,18% 26 42,62% hasil dalam istilah kesehatan aborsi didefinisikan sebagai penghentian kehamilan setelah tertanamnya telur (ovum) yang telah dibuahi dalam rahim (uterus)sebelum usia janin (fetus) mencapai 20 minggu. klasifikasi aborsi dapat dibagi menjadi 7 : 1). abortus spontan atau alamiah adalah abortus yang berlangsung tanpa tindakan apapun; dan 2). abortus provokatus atau abortus buatan. pengakhiran kehamilan usia kandungan < 28 minggu yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun pelaksana aborsi seperti dokter, dukun, dan bidan. abortus provokatus dapat dibagi menjadi dua, yaitu a). abortus provokatus terapetikus yaitu aborsi yang dilakukan untuk menyelamatkan nyawa ibu dengan syaratsyarat tertentu dan b). abortus provokatus kriminalis adalah abortus yang dilakukan tanpa adanya indikasi medik, ilegal yang merupakan tindak kejahatan dan dilarang di indonesia (diatur dalam pasal 15 ayat 2 undang-undang republik indonesia nomor 23 tahun 1992). penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penyuluhan terhadap pengetahuan remaja tentang aspek kesehatan, sosial, dan hukum aborsi di smu negeri 6 yogyakarta. bahan dan cara penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan rancangan pretest posttest. penelitian ini dilakukan di smu negeri 6 yogyakarta yang dilaksanakan pada bulan september sampai november 2008. populasi target penelitian adalah siswa smu n 6 yogyakarta. dalam hal ini subjeknya adalah siswa smu negeri 6 yogyakarta, berusia antara 15-17 tahun dan duduk di bangku kelas ii ips yang memenuhi kriteria inklusi. setiap item pertanyaan diberi skor 1 untuk responden yang menjawab “ya” dan skor “0” untuk responden yang menjawab “tidak”. data dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui gambaran pengetahuan dari masing-masing variabel (aspek kesehatan aborsi, aspek sosial aborsi, dan aspek hukum aborsi) dan gambaran pengetahuan siswa dapat dikatakan baik bila nilai mean mendekati nilai maksimal. secara analitik dengan menggunakan uji wilcoxon untuk mengetahui perbedaan rerata pengetahuan remaja terhadap aspek kesehatan, sosial dan hukum aborsi sebelum dan sesudah penyuluhan. teranggono, fitri murniati, martiana suciningtyas, pengaruh penyuluhan terhadap ... 156 tabel 2. variabel pengetahuan remaja terhadap aspek kesehatan aborsi no pertanyaan pre-test post-test ya (n) tidak (n) ya (n) tidak (n) 1 saya mengetahui tentang aborsi 61 0 61 0 3 aborsi adalah tindakan penghentian kehamilan atau pembunuhan janin sebelum waktu kelahiran 58 3 61 0 6 aborsi dapat terjadi tanpa disengaja (alamiah)dan dapat disengaja 38 23 57 4 8 tindakan aborsi yang disengaja untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil merupakan abortus provocatus medicinalis 48 13 61 0 9 abortus provokatus medicinalis dilakukan atas indikasi medis,dilakukan oleh dokter dan ditempat sarana pelayanan kesehatan 53 8 59 2 11 aborsi yang disengaja tanpa memperhatikan kesehatan dan keselamatan jiwa ibu hamil merupakan abortus provokatus criminalis 47 24 57 4 distribusi karakteristik responden penelitian berjumlah 61 siswa, terdiri dari laki-laki 17 (27,9%) orang dan perempuan 44 (72,9%) orang. usia didominasi 16 tahun (72,1%), 17 tahun (19,7) dan 15 tahun(8,2%). siswa mendapatkan sumber informasi tentang aborsi terbanyak dari sekolah 80,33%, disusul media cetak 68,85%, teman 49,18%, media elektronik 44,26% dan orang tua 42,62% (lihat tabel 1). data mengenai pengetahuan remaja terhadap aspek kesehatan aborsi didapatkan hasil pre test : nilai minimal 2, maksimal 6, mean 4,97, median 5, standar deviasi 1,21, dan test of normality dengan shapiro wilk menunjukkan data tidak terdistribusi dengan normal yaitu p< 0,05 (p= 0,000). sedangkan hasil posttest : nilai minimal 3, maksimal 6, mean 5,82, median 6, standar deviasi 0,50, dan test of normality dengan shapiro wilk menunjukkan data tidak normal p< 0,05 (p=0,000) sebagaimana terlihat pada tabel 2. data mengenai pengetahuan remaja terhadap aspek sosial aborsi didapatkan hasil pre test : nilai minimal 4, maksimal 7, mean 6,44, median 7, standar deviasi 0,79, dan test of normality menggunakan shapiro wilk menunjukkan data tidak terdistribusi dengan normal p<0,05 (p=0,000). sedangkan hasil post test didapatkan nilai minimal 6, maksimal 7, mean 6,89, median 7, standar deviasi 0,32, dan test of normality dengan shapiro wilk menunjukkan data tidak terdistribusi dengan normal p<0,05 (p=0,000) sebagaimana terlihat pada tabel 3. 157 mutiara medika vol. 10 no. 2: 153 159, juli 2010 tabel 3. variabel pengetahuan remaja terhadap aspek hukum aborsi no pertanyaan pre-test post-test y a (n) tidak (n) ya (n) tidak (n) 4 aborsi diatur dalam pasal 15 uu no.23 tahun 1992 tentang kesehatan 33 28 61 0 5 aborsi diatur dalam kitab undangundang hukum pidana 52 9 59 2 7 semua jenis aborsi (alamiah dan disengaja) dilarang oleh norma hukum, agama dan norma sosial 43 18 43 18 10 abortus provocatus medicinalis diperbolehkan oleh hukum 41 20 58 3 12 hukum melarang abortus provokatus criminalis dengan sanksi pidana karena dapat membahayakan ibu dan janinnya 53 8 60 1 tabel 4. variabel pengetahuan responden terhadap aspek sosial aborsi no pertanyaan pre-test post-test y a (n) tidak (n) ya (n) tidak (n) 13 kehamilan yang tidak dikehendaki merupakan sebab terjadinya abortus provocatus criminalis 49 12 60 1 14 kehamilan yang tidak dikehendaki biasanya terjadi karena pergaulan bebas/perilaku seks bebas 61 0 61 0 15 aborsi pada remaja mempunyai dampak psikologis, medis, hukum, agama dan sosial 60 1 61 0 16 aborsi dapat mempengaruhi kesehatan bahkan dapat mengakibatkan kematian pada ibu hamil 60 1 59 2 17 banyak remaja melakukan aborsi karena kurang pengetahuan kesehatan reproduksi dan norma-norma dalam masyarakat 54 7 61 0 18 video porno dan sejenisnya mempengaruhi terjadinya abortus provocatus kriminalis pada remaja 47 14 59 2 19 remaja yang mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki memerlukan pertolongan psikologis, medis dan hukum. 58 3 61 0 teranggono, fitri murniati, martiana suciningtyas, pengaruh penyuluhan terhadap ... 158 tabel 5. gambaran pengetahuan responden kategori pengetahuan pretest post-test peningkatan nilai meanmean nilai max mean nilai max aspek kesehatan aborsi 4,97 6 5,82 6 0,85 aspek sosial aborsi 6,44 7 6,89 7 0,45 aspek hukum aborsi 3,57 5 4,61 5 1,04 data pengetahuan remaja mengenai aspek hukum aborsi didapatkan hasil pre test : nilai minimal 0, maksimal 5, mean 3,57, median 4, standar deviasi 1,29 dan test of normality menggunakan shapiro wilk menunjukkan data tidak terdistribusi dengan normal p<0,05 (p=0,000). sedangkan hasil post test didapatkan nilai minimal 3, maksimal 5, mean 4,61, median 5, standar deviasi 0,53, dan test of normality dengan shapiro wilk menunjukkan data tidak terdistribusi dengan normal p<0,05 (p=0,000) sebagaimana terlihat pada tabel 4. tabel 5. menunjukkan adanya peningkatan yang cukup bermakna pada nilai mean pengetahuan siswa terutama terkait dengan pengetahuan tentang aspek hukum aborsi yang mendekati nilai maksimal. hal ini menunjukkan gambaran pengetahuan responden sudah baik. dilakukan uji wilcoxon untuk mengetahui perbedaan rerata pengetahuan remaja terhadap aspek kesehatan aborsi, aspek sosial aborsi, dan aspek hukum aborsi. uji ini menunjukkan ada perbedaan rerata pengetahuan remaja terhadap aspek kesehatan, sosial, dan hukum aborsi yaitu : 10 remaja dengan hasil pengetahuan lebih rendah daripada sebelum penyuluhan, 6 orang tetap atau sama hasilnya, dan 45 orang mempunyai pengetahuan yang lebih baik dari sebelum penyuluhan dengan signifikansi 0,000 (p< 0,05). dengan demikian disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pengetahuan yang bermakna antara sebelum penyuluhan dengan sesudah penyuluhan. diskusi karakteristik populasi pada penelitian ini adalah sebagai berikut: siswa perempuan (72,1%) lebih banyak dibandingkan lakilaki (27,9%) dan berusia antara 15 sampai 17 tahun. populasi ini sangat rawan untuk terjadi kasus aborsi, karena usia yang sangat subur namun belum cukup umur dan kematangan mental pisikologis untuk melakukan pernikahan. dalam hal ini, perempuan akan menjadi kelompok yang berisiko menderita kerugian lebih besar daripada laki-laki baik dari aspek kesehatan, sosial maupun hukum. kementerian negara dan pemberdayaan perempuan melaporkan bahwa 19 sampai 20 juta perempuan setiap tahunnya melakukan aborsi dan 97% dilakukan di negara yang berkembang. di indonesia 2,6 juta kasus setiap tahunnya, dimana sebanyak 700.000 pelakunya adalah remaja perempuan berumur dibawah 20 tahun.8 survey who tahun 2006 menyebutkan aborsi mengakibatkan kematian 68.000 perempuan, jutaan terluka dan cacat permanen. hal ini tentunya menjadi masalah besar bagi pemerintah indonesia dan sangat memperhatinkan karena negara indonesia dikenal dengan negara yang ramah dan beragama. penelitian yang dilakukan oleh armiwulan (2004)9, bahwa ada hubungan negatif antara pengetahuan tentang aborsi dengan tingkat aborsi. hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pengetahuan seseorang terhadap aborsi maka semakin rendah tingkat terjadinya aborsi. 159 mutiara medika vol. 10 no. 2: 153 159, juli 2010 hasil penelitian yang dilakukan dengan perhitungan statistik yaitu uji wilcoxon, diperoleh perbedaan pengetahuan remaja terhadap aspek kesehatan, sosial, dan hukum aborsi yang bermakna antara sebelum dan sesudah penyuluhan dengan nilai signifikansi 0,000 (p<0,05). terdapat data yang menunjukkan bahwa 45 siswa pengetahuannya lebih baik sesudah penyuluhan, 6 siswa tetap sama sebelum dan sesudah penyuluhan, dan 10 siswa yang masih kurang sesudah penyuluhan. hal ini menunjukkan penyuluhan bisa menjadi media untuk meningkatkan pengetahuan. kesimpulan terdapat peningkatan nilai rerata 1. pengetahuan siswa tentang aspek kesehatan aborsi (0,85), aspek sosial aborsi (0,45) dan aspek hukum aborsi (1,04) yang mendekati nilai maksimal. ada perbedaan rerata pengetahuan 2. remaja terhadap aspek kesehatan, sosial, dan hukum aborsi sebelum dan sesudah penyuluhan (p=0,000). terdapat 45 siswa (73, 77%) 3. pengetahuannya lebih baik sesudah penyuluhan, 6 siswa (9, 83%) berpengetahuan sama sebelum dan sesudah penyuluhan, dan 10 (16, 39%) siswa yang masih kurang pengetahuan sesudah penyuluhan aborsi. daftar pustaka 1. notoatdmojo, s., 2003. pendidikan dan perilaku kesehatan.rineka cipta. jakarta. 2. mantra, i. b. 1994. psikologi remaja. sagung seto. jakarta. 3. sarwono, w.s., 2003. pergeseran norma perilaku seksual kaum remaja, cv. rajawali. jakarta. 4. wong, l. d. 2004. keperawatan pediatrik. edisi iv. egc. jakarta. 5. who. 2002. safe abortion: technical and policy guidance for health system. geneva 6. wiyono, w. 2000. dampak kesehatan aborsi tidak aman. simposium masalah aborsi. jakarta 7. moechtar, r.1998. sinopsis obstetri: obstetri fisiologi, obstetri patologi. edisi 2. egc. jakarta. 8. ritonga, a. 2006. tiap tahun 700.000 remaja lakukan aborsi. the lancet. edisi oktober. 2006. 9. armiwulan. 2004. aborsi. simposium masalah aborsi di indonesia. jakarta hastoro pintadi, penggunaan fiber reinforced composite ............ 27 penggunaan fiber reinforced composite sebagai resin bonded prosthesis pada gigi anterior resin bonded prosthesis with fiber reinforced composite to replace anterior teeth hastoro pintadi program studi kedokteran gigi fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta abstract resin bonded prosthesis is a fixed bridge which replace a space where one or two teeth have been lost or extracted, by using acid etched technique and resin bonding. the main goals in selecting a resin bonded prosthesis were to preserve tooth structure, maintain esthetics and lower patient fees while providing restorations that had the potential for long-term service. this case report discuss about fiber reinforced composite used as a main material for resin bonded prosthesis to replace incivus lateralis maxillary that has lost the successfullness of this treatment depend on the case selection and the retention. key words : resin bonded prosthesis, acid etched, fiber reinforced composite abstrak resin bonded prosthesis merupakan gigi tiruan cekat yang menggantikan satu atau dua gigi yang hilang dengan menggunakan teknik etsa asam dan ikatan resin. tujuan utama pemilihan resin bonded prosthesis adalah untuk mendapatkan restorasi jangka panjang yang mampu menjaga struktur gigi penyangga, mendapatkan estetik yang baik, dengan biaya rendah. laporan kasus ini membahas mengenai fiber reinforced composite sebagai bahan resin bonded prosthesis untuk menggantikan gigi incisivus lateralis kiri atas yang telah hilang. keberhasilan perawatan ini tergantung pada seleksi kasus dan retensi yang dihasilkan. kata kunci : resin bonded prosthesis, etsa asam, fiber reinforced composite pendahuluan ilmu mahkota dan jembatan adalah bagian dari ilmu prostodonsia yang digolongkan dalam ilmu pembuatan gigi tiruan cekat. ilmu mahkota dan jembatan adalah ilmu pengetahuan dan ketrampilan untuk mengganti satu atau lebih dari satu gigi yang hilang dengan suatu gigi tiruan yang dilekatkan secara tetap pada gigi asli yang masih ada. gigi tiruan cekat tidak hanya mengganti gigi yang hilang tetapi harus memulihkan dan menjamin terpeliharanya semua fungsi dari gigi dan mencegah kerusakan selanjutnya1. awal diperkenalkan pemasangan gigi tiruan cekat secara konservasi dengan menggunakan etsa asam dan ikatan resin adalah di university of maryland pada tahun 19802. maryland bridge dikenal sebagai gigi tiruan cekat dengan ikatan resin pada bagian retainer3. mutiara medika vol. 7 no. 1: 27-32, januari 2007 28 pembuatan gigi tiruan yang umum adalah dengan gigi tiruan lepasan atau gigi tiruan cekat konvensional. hal ini masih sering kurang menguntungkan, pada gigi tiruan lepasan dirasakan kurang nyaman serta meningkatkan resiko penimbunan plak. pada pembuatan gigi tiruan cekat secara konvensional pada umumnya diperlukan ketrampilan untuk preparasi gigi, banyak dilakukan pengurangan jaringan gigi dan membutuhkan waktu yang lebih lama serta beaya yang labih mahal. dibanding keduanya resin bonded prosthesis merupakan suatu alternatif pilihan untuk mengatasi kehilangan sedikit gigi, karena lebih efisien, tidak mahal, tidak melakukan pengurangan jaringan gigi terlalu banyak dan mudah memasangnya4. akhir-akhir ini banyak dikembangkan gigi tiruan cekat dengan menggunakan ikatan komposit resin pada retainer logam3. pendekatan secara konservasi semakin populer dengan penggunaan teknik etsa asam pada pembuatan gigi tiruan cekat. ikatan resin pada gigi tiruan cekat telah dikenal secara luas di lingkungan kedokteran gigi dan demikian pula beberapa metode retensi dengan bermacam disain untuk membuat ikatan resin pada gigi tiruan cekat5. perkembangan penggunaan dengan resin bonded prosthesis di indonesia berlangsung agak lambat, ini disebabkan oleh kurangnya ketrampilan klinik operator dengan akibat hasil pengalaman klinik yang kurang, dan tidak terlalu banyak dokumen ilmiah serta tenaga laboratorium teknik gigi yang kurang menguasai teknik pembuatannya6. beberapa teknik sistem bonding permukaan metal yang sering mengalami kegagalan atau diperlukan penyemenan kembali. menggunakan kerangka logam pada umumnya membutuhkan beaya yang relatif lebih tinggi7. fiber reinforcement diperkenalkan sekitar tahun 1960, tetapi mulai berkembang secara luas sekitar 19928. komposit sudah banyak digunakan secara luas sebagai bahan restorasi gigi, sedangkan composite reinforced fiber jarang digunakan dalam kedokteran gigi, meskipun sudah banyak digunakan luas didalam industri, tetapi material fiber reinforced composite untuk restorasi gigi masih terbatas, literatur mengenai studi klinis penggunaan material ini masih jarang. beberapa tulisan yang sudah banyak mengenai penggunaan fiber reinforced dengan beberapa jenis resin sedangkan dengan komposit masih sedikit9. berdasarkan uraian tersebut timbul permasalahan sebagai berikut, apakah fiber reinforced composite dapat digunakan sebagai alternatf resin bonded prosthesis dengan preparasi minimal pada gigi anterior? tujuan laporan kasus ini adalah, untuk mengetahui fiber reinforced composite dapat menjadi alternatif pembuatan gigi tiruan cekat dengan sistem resin bonded prosthesis dengan preparasi minimal. laporan kasus seorang penderita mahasiswa, berumur 23 tahun datang di poliklinik gigi dengan keluhan gigi 22 hilang telah dicabut. penderita merasa malu giginya ompong, penderita merasa rendah diri bila bergaul dengan teman-temannya. penderita ingin gigi 22 yang hilang dibuatkan gigi tiruan yang cekat sehingga penderita lebih percaya diri. pemeriksaan obyektif menunjukkan gigi 22 telah hilang dengan penutupan gusi sudah sempurna. pemeriksaan gigi 21 dan 23 masih sehat, sehingga memenuhi syarat sebagai gigi penyangga. pemeriksaan radiografi menunjukkan tidak ada sisa akar yang tertinggal pada bekas pencabutan serta saluran akar gigi 21 dan 23 cukup sehat sebagai gigi penyangga. dari hasil pemeriksaan obyektif dan radiografi gigi 22 telah hilang, dengan penutupan gusi sudah sempurna. rencana perawatan dibuatkan gigi tiruan jenis resin bonded prosthesis menggunakan fiber reinforced composite dengan gigi penyangga gigi 21 dan 23, dengan pontik gigi 22. hastoro pintadi, penggunaan fiber reinforced composite ............ 29 bahan dan cara alat yang digunakan adalah kaca mulut untuk memeriksa gigi serta jaringan sekitar, eskavator untuk membersihkan kotoran yang menempel pada pada gigi. bur dgunakan untuk membuat preparasi sedemikian rupa untuk memberikan retensi yang maksimal. roentgen foto digunakan untuk melihat kondisi gigi serta jaringan pendukung gigi. aquades untuk membersihkan email, bahan cetak untuk membuat model, sedangkan untuk melekatkan digunakan etsa asam dan bahan bonding serta sementasi. pada kasus ini prognosis baik, karena: 1. penderita cukup kooperatif dan komunikatif 2. kebersihan mulut baik 3. jaringan pendukung baik 4. tidak ada kerot ( bruxism) pada kunjungan pertama dilakukan pemeriksaan subyektif dan obyektif serta pemeriksaan rontgen foto terhadap pasien. dilakukan dhe dan scalling dan polishing. kemudian dilakukan pencetakan model studi untuk mempelajari keadaan gigi pasien serta menentukan disain preparasi gigi penyangga. menentukan gigi penyangga dan pontik. gigi penyangga adalah gigi 21 dan 23 dan pontik adalah gigi 22. pada kunjungan kedua dilakukan preparasi pada permukaan palatal dari gigi –gigi 21 dan 23. dengan tahapan sebagai berikut: 1. pemasangan cotton roll pada daerah lipatan mukosa dengan gusi pada sekitar daerah gigi yang akan dipreparasi. 2. menentukan batas preparasi email yang akan dikerjakan 3. batas preparasi adalah seluas mungkin pada permukaan palatal atau lingual dengan batas tepi gusi dan incical minimal 1 mm menggunakan round bur. 4. pada bagian proksimal dipreparasi dengan batas tepi dari permukaan fasial minimal 1,5 mm menggunakan fissure bur. 5. kedalaman preparasi kurang lebih 1mm. pada kunjungan ini dilakukan preparasi pada gigi abutmen yaitu gigi incisivus sentralis kiri atas dan gigi caninus kiri atas pada permukaan palatal. batasbatas preparasi dilakukan sesuai dengan disain pada studi model. pada gigi caninus kiri atas pada sebelah palatal, preparasi bagian cingulum menggunakan round bur dan bagian sepertiga servikal dengan fissure round end. kemudian dengan inverted bur kita preparasi cingulum rest. preparasi proksimal berupa groove yang sejajar dan mengecil ke arah servikal dengan panjang 3 mm dan kedalaman kurang dari 1 mm dengan fissure bur yang kecil. preparasi pada gigi incisivus sentralis kiri atas pada permukaan palatal dengan round bur, pada daerah incisal harus berjarak 1-1,5 mm agar tidak membayang pada lapisan incisal, dengan kedalaman kurang lebih 1 mm permukaan email. dengan fissure bur kecil pada sebelah proksimal di buat groove, bagian sayap ini harus berjarak 1-1,5 mm dari tepi gigi abutmen dengan inverted bur pada bagian servikal dipreparasi dengan batas 1 mm dari gingival crest untuk mencegah terakumulasinya plak. pontik berfungsi sebagai pengganti gigi yang hilang disain pontik seperti pada gigi tiruan cekat konvensional disesuaikan dengan letak dan residual ridge yang ada. setelah preparasi selesai daerah email gigi dibersihkan dengan air dan dikeringkan. kemudian dilakukan pencetakan model kerja dengan double impression untuk mendapat cetakan yang akurat. membuat disain pada model kerja sesuai dengan batas preparasi yang telah dikerjakan. kemudian proses pembuatan fiber reinforced composite dilakukan di laboratorium dan pemilihan warna sudah kita sesuaikan dengan gigi yang asli. kunjungan ketiga, melakukan uji pengepasan fiber reinforced composite pada pasien apakah sudah pas atau masih ada yang perlu dibetulkan. pemasangan fiber reinforced composite dengan semen resin komposit harus sekali jadi, tidak seperti pada gigi tiruan cekat konvensional yang bisa diulang. sebelum dilakukan penyemenan harus dilihat oklusi, batas tepi mutiara medika vol. 7 no. 1: 27-32, januari 2007 30 serta ketebalan fiber reinforced composite. proses pemasangan dilakukan dengan tahapan yaitu dilakukan pengetsaan dengan asam fosfat gel 37 % pada permukaan email yang dipreparasi selama 15 detik, disemprot air, lalu dikeringkan. kemudian semen bonding dengan penyinaran selama 20 detik. fiber reinforced composite disiapkan sudah dalam keadaan bersih dan kering. pengadukan semen dengan menggunakan plastis instrumen diatas paper pad, dioleskan pada permukaan bagian dalam protesa, kemudian dilakukan penyinaran dengan light curing selama 40 detik pada seluruh permukaan dan batas tepi. sisa semen dibersihkan dengan eskavator. kemudian dilakukan pengecekan oklusi. pada kunjungan keempat, dilakukan evaluasi setelah 12 bulan pemasangan dengan melihat resin bonded prosthesis dengan bahan fiber reinforced composite masih menempel kuat pada gigi penyangga dengan melakukan pengamatan dan pemeriksaan menggunakan sonde meliputi seluruh permukaan serta batas tepi protesa yang menempel pada gigi. hasil hasil kontrol setelah 12 bulan pemasanangan , dilakukan pengamatan klinis. hasil pengamatan klinis menunjukan bahwa resin bonded prosthesis dengan bahan fiber reinforced composite masih melekat pada gigi penyangga cukup kuat. hal ini dapat diperiksa dengan menggunakan ujung sonde (explorer) yang diletakkan pada sekeliling batas tepi resin bonded prosthesis dengan bahan fiber reinforced composite, tidak ada bagian semen yang mengalami celah serta tidak ada bagian resin bonded prosthesis dengan bahan fiber reinforced composite yang mengalami kerusakan atau pecah. diskusi menurut wood 10, suatu resin bonded prosthesis dengan bahan fiber reinforced composite dapat dikategorikan melekat dengan baik pada gigi penyangga apabila tidak terjadi celah pada bagian sementasi. hal ini dapat diperiksa dengan menggunakan sonde pada seluruh permukaan tepi yang berikatan dengan email. jika terjadi celah, perawatan yang dilakukan adalah dengan sementasi ulang atau menutup cela dengan sementasi yang tergantung dengan luas celah yang terjadi. resin bonded prosthesis dengan bahan fiber reinforced composite masih melekat kuat pada gigi, mampu menutup seluruh permukaan resin bonded prosthesis dengan bahan fiber reinforced composite ,tanpa menimbulkan kebocoran celah. pada kasus kehilangan satu gigi dapat dibuatkan gigi tiruan cekat jenis resin bonded prosthesis dengan gigi sebelahnya masih cukup sehat untuk gigi abutmen. dengan ruang yang ada dan sisa residual ridge yang baik akan menentukan jenis pontik yang paling sesuai dengan kasus ini yaitu ridge lap pada sisi anterior sehingga terlihat lebih natural. dengan pasien masih muda serta kebersihan mulut yang baik akan mendukung keberhasilan perawatan ini, hal ini didapat dari email yang dipreparasi serta yang di etsa untuk retensi cukup luas dan pemeliharaan kebersihan mulut pasien akan terjaga. penempatan sayap fiber reinforced composite pada gigi abutmen terbebas dari oklusi antagonis, hal ini untuk menghindari tekanan berlebihan terutama tekanan horizontal atau lateral . preparasi dilakukan pada pembuatan resin bonded prosthesis dengan fiber reinforced composite ini bertujuan untuk menambah retensi di samping retensi yang didapatkan dari ikatan resin. preparasi bentuk groove yang mengecil ke arah servikal untuk retensi terhadap gerakan ke servikal dan lateral sedangkan pada daerah cingulum di bentuk sedikit undercut untuk ke arah incisal, sehingga seluruh gerakan atatu pergeseran sudah di beri retensi. hasil pengamatan dengan pengamatan mobilitas gigi tidak terjadi mobilitas gigi. hal ini dapat dipahami bahwa pada perlekatan resin bonded prosthesis dengan bahan fiber reinforced composite yang melekat pada kedua gigi penyangga akan menambah kekuatan terhadap terjadinya gerakan ataupun gaya yang terjadi secara horizontal. hastoro pintadi, penggunaan fiber reinforced composite ............ 31 pasien merasa senang karena penampilannya pulih kembali dam merasa giginya lebih kuat kembali. penderita dapat beradaptasi dengan baik terhadap pemakaian resin bonded prosthesis dengan bahan fiber reinforced composite serta tidak ada kelluhan tehadaprasa sakit dan traumatik. hal ini sesuai dengn pendapat fraundthaller11. dengan preparasi yang minimal penderita tidak akan merasa sakit. resin bonded prosthesis dengan bahan fiber reinforced composite memiliki warna yang dapat sesuai dengan warna gigi sehingga pasien merasa lebih percaya diri karena gigi tiruannya seperti gigi asli. pemilihan warna digunakan shade guide (vita zahnfahbrik universal), warna yang dihasilkan lebih natural karena tidak ada unsur logam pada sisi dalam gigi tiruan. perlekatan fiber reinforced composite dengan semen serta semen dengan email berikatan secara kimiawi, karena fiber reinforced composite juga terdiri dari bahan komposit. batas tepi dari sayap fiber reinforced composite tidak begitu jelas, hal memberikan keuntungan seolah-olah bukan gigi tiruan karena warna hampir menyerupai gigi asli. pasien dianjurkan untuk selalu menjaga kebersihan mulut serta membersihkan sisa makanan dengan hati-hati hal ini perlu oleh karena daerah interdental tidak tertutup rapat semua, yang memberikan peluang sisa makanan terselip. kesimpulan pemakaian resin bonded prosthesis dengsn bahan fiber reinforced compoite dapat mengembalikan fungsi gigi. pada kasus hilangnya satu atau dua gigi perawatan dengan resin bonded prosthesis dengan bahan fiber reinforced composite dapat dikerjakan asal jaringan pendukungnya masih baik. dengan preparasi email yang tidak terlalu banyak dapat dibuatkan protesa gigi permanen dengan ikatan resin. keberhasilan pembuatan resin boded prosthesis tergantung selektif kasus pada pasien disamping retensi yang diperoleh dari preparasi, bahan bonding ,etsa , serta sementasi. saran diharapkan dengan hasil laporan kasus ini dapat menambah sumber kekayaan ilmiah dan dapat dilakukan pengembangan untuk kasus kasus yang melibatkan seluruh gigi sehingga akan memberikan alternatif perawatan penggantian gigi baik itu gigi anterior maupun posterior dengan tetap memperhatikan aspek retensi dan estetik yang memadai. daftar pustaka 1. martanto,p., 1985, ilmu mahkota dan jembatan ed.2, ikapi, bandung, hal. 1 2. burgess, j.o.,mcartney, j.g., 1989, anterior retainer design for resinbonded acid-etched fixed partial dentures, j.prosthet. dent. , 61:433436 3. malone,w.f.p.,maroso,d.j.,morgano, s.m., 1995, resin bonded retainers (maryland bridge), j. dent. res.,26 :319-227 4. shuman, i.e., 2000, replacemet of a tooth with a fiber-reinforced direct bonded restoration, gen. dent. 48(3): 314-318 5. simon,j.f.,gartrell,r.g.,grogono,a., .1992 , improve retention of acid etched fixed partial dentures : a longitudinal study , j. prosthet. dent., 68 : 611-616 6. hadijono, b.s., 1998, alternatif perawatan kehilangan gigi dengan resin bonded prosthesis, kumpulan makalah ilmiah fkg ui, hal. 1-6. 7. vallittu, p. k., 2000, resin-bonded, glass fiber-reinforced composite fixed partial dentures: a clinical study, j. prosthet. dent. 84(4):413-418 8. freilich, m.a., karmaker, a.c., burstone, c.j., goldberg, a.j., 1997, flexure strength of fiber-reinforced composites designed for prosthodontic application, j. dent. res. 76: 138 9. altieri, j.v., burstone, c.j., goldberg, a.j., patel, a.p., 1994, longitudinal clinical evaluation of fiber-reinforced composite fixed partial dentures: a pilot study, j. prosthet. dent. 71:16 mutiara medika vol. 7 no. 1: 27-32, januari 2007 32 10. wood, m.w., thomson,v.p., romberg,e., morisson,g.v., 1996, resin bonded fixed partial dentures. i. proposed standardized criteria for evaluation, j. prosthet. dent., 76 :363367 11. freudenthaler, j.w., 2001, bond strength of fiber-reinforced composite bars for orthodontic attachment, am j orthod dentofacial orthop. 120:648-653 68 perbedaan skor kecerdasan emosi dan kecemasan siswa kelas akselerasi dan kelas reguler the differences of emotional intelegence and anxiety score between acceleration and reguler students warih andan puspitosari bagian ilmu kedokteran jiwa program studi pendidikan dokter fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta email: warih_ap@yahoo.com abstract acceleration is designed for students with extraordinary capabilities. they are expected to graduate earlier, but on the other side the full schedules and minimum social interactions would bring negative consequences, such as low emotional quotient and hight level of anxiety. it’s said that success determined by 20% of iq and the rest by emotional quotient (eq). the aims of this research is identify the difference of emotional quotient score and anxiety score between acceleration students and regular students in muhammadiyah 1 highschool in yogyakarta. this is a cross-sectional analytic descriptive study. it’s conducted at muhammadiyah 1 highschool in yogyakarta on august–october 2008. the study took two populations. sample taken were all of acceleration students 45 and regular students. instruments used include baron emotional quotient inventory-yv, taylor manifest anxiety scale (tmas) data were analyzed with independent t-test there is significant difference of anxiety score but no significant difference of eq score between acceleration students and regular students (p=0,024, p=0,646). conclusions this research are : (1)acceleration students have higher score of anxiety than regular students. (2)there is no significant difference of eq score between acceleration students and regular students. key words : anxiety, emotional intelegent, high school students abstrak program kelas akselerasi diperuntukkan bagi siswa yang memiliki kemampuan luar biasa, agar bisa menyelesaikan studi lebih cepat dan mengembangkan kemampuannya secara optimal. padatnya kegiatan dan terbatasnya interaksi serta kesempatan bersosialisasi dikhawatirkan akan berdampak buruk pada siswa, dintaranya adalah rendahnya kecerdasan emosi dan tingginya tingkat kecemasan. rendahnya kecerdasan emosi dan tingginya tingkat kecemasan justru akan menurunkan produktifitas siswa. kesuksesan seseorang lebih 80% ditentukan oleh kecerdasan emosinya. tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi perbedaan skor kecerdasan emosi dan kecemasan antara siswa kelas akselerasi dan siswa kelas regular di smu muhammadiyah 1 yogyakarta. penelitian ini merupakan penelitian cross sectional deskriptif analitik. penelitian dilakukan di smu muhammadiyah 1 yogyakarta pada bulan agustus–oktober 2008. populasi penelitian adalah siswa kelas akselerasi dan siswa kelas regular. jumlah sampel untuk kelas akselerasi 45 siswa dan kelas reguler 58 orang. instrumen penelitian yang digunakan adalah kuestioner kecerdasan emosi baron emotional quotient inventory-yv, kuestioner kecemasan taylor manifest anxiety scale (tmas). data dianalisis dengan independent t-test. terdapat warih andan puspitosari, perbedaan skor kecerdasan ... 69 perbedaan yang bermakna secara statistik antara skor kecemasan siswa kelas akselerasi dan regular dengan p=0,024. tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara skor kecerdasan emosi siswa kelas akselerasi dan regular dengan p=0,646. kesimpulan dari penelitian ini adalah : 1) skor kecemasan siswa kelas akselerasi lebih tinggi dibanding siswa kelas regular, 2) tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara skor kecerdasan emosi siswa kelas akselerasi dan regular kata kunci : kecemasan, kecerdasan emosi, siswa smu pendahuluan berbagai upaya terus dilaksanakan untuk menyempurnakan sistem pendidikan di indonesia. konsep accelerated learning (percepatan belajar) merupakan sebuah terobosan untuk menerapkan sistem pendidikan yang memberikan perhatian lebih khusus kepada para siswa dengan kecerdasan luar biasa. di indonesia diaplikasikan dengan membuka program kelas akselerasi. dasar pemikirannya adalah bahwa peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan luar biasa berhak mendapat perhatian dan pelajaran lebih khusus agar dapat dipacu perkembangan prestasinya dan bakatnya, sesuai undangundang ri nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional.1 penyelenggaraan program kelas akselerasi tersebut mengundang banyak pendapat pro dan kontra terutama dari para pakar pendidikan. benarkah penyelenggaraan kelas akselerasi dapat menjawab tantangan zaman tentang kebutuhan sumber daya manusia yang berkualitas yang akan membawa bangsa ini makin maju?2 kelas akselerasi harus didasarkan paradigma bahwa anak harus berkembang secara optimal segala aspek secara alamiah, tidak cukup hanya aspek pengetahuan saja, tetapi juga aspek emosional dan sosial.3 materi yang padat dengan waktu yang singkat, mengharuskan siswa belajar keras secara intelektual dan dikhawatirkan siswa memiliki sedikit kesempatan untuk mengembangkan aspek-aspek kecerdasan lain dalam dirinya karena kesuksesan tidak hanya ditentukan dari satu aspek kecerdasan saja dalam diri manusia. para ahli psikologi sepakat bahwa kecerdasan intelektual (iq) hanya menyumbang 20% faktor-faktor yang menentukan keberhasilan, dan 80% sisanya berasal dari kecerdasan emosi. 4,5,6 kecerdasan emosi (emotional intelligence) dapat dipelajari dan dikembangkan sepanjang hidup seseorang, berbeda dengan kecerdasan intelektual (intelectual quotient) yang dianggap takdir dan faktor bawaan (genetik) yang tak mungkin diubah oleh pengalaman hidup. 4,7 individu yang memiliki kecerdasan emosi lebih mampu mengendalikan diri dan mampu memotivasi diri, mengelola emosi dengan tepat sehingga nyaman dengan diri sendiri, orang lain dan lingkungan sosialnya. kompetensi kecerdasan emosi sangat diperlukan untuk manajemen emosi dan agar bisa mengelola stress tanpa rasa takut. orang yang tidak memiliki kompetensi kecerdasan emosi akan menghadapi peningkatan sejumlah risiko psikistrik seperti gangguan mood dan kecemasan, gangguan makan dan penyalahgunaan zat.4 kecerdasan emosi dikembangkan dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. ketiganya berperan dalam pembentukan nilai, sikap dan perilaku individu. lingkungan sekolah merupakan salah satu wadah bagi individu dalam mengembangkan kecerdasan emosinya. di sisi lain, berbagai permasalahan yang didapatkan siswa di sekolah bisa menjadi stressor, yang pada taraf tertentu akan memunculkan reaksi emosi berupa kecemasan. siswa-siswa kelas akselerasi tidak memiliki kesempatan luas untuk belajar mengembangkan aspek afektif, karena padatnya pelajaran, banyaknya pekerjaan rumah, kemampuan mutiara medika vol. 10 no. 1:68-74, januari 2010 70 intelektual teman-teman sekelas yang rata rata pandai, membuat iklim kerja sama mereka menjadi terbatas.2 faktor-faktor tersebut juga menjadi stressor bagi siswa kelas akselerasi sehingga jika berlanjut terus akan menyebabkan terjadinya kecemasan. apalagi dengan kesepakatan bahwa siswa kelas akselerasi akan dikembalikan ke kelas regular jika tidak mampu mempertahankan prestasinya. hidup dalam stres kronik dapat menimbulkan tingkat emosi negatif yang tinggi, seperti kecemasan, kesedihan dan kemarahan. konsep meta kecerdasan menyebutkan integrasi tiga kecerdasan yaitu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual. ketiganya harus berkembang secara sinergis sebagai kecerdasan pribadi individu. kecerdasan spiritual adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi secara efektif, ketiganya sangat berkaitan erat satu sama lain. bahkan kecerdasan spiritual adalah merupakan kecerdasan tertinggi pada manusia.8,9 orang yang sukses adalah orang yang dapat mengoptimalkan ketiga kecerdasan tersebut. hampir semua anak bersekolah sehingga sekolah merupakan tempat untuk mengajari anak dengan pelajaran dasar dalam kehidupan. kemampuan emosional juga perlu ditumbuhkan di sekolah, maka guru harus berperan di dalamnya. walaupun latar belakang bidang pendidikan yang pernah dipelajari individu banyak berperan dalam pembentukan kecerdasan emosi, namun pada dasarnya individu tersebut memperoleh pengetahuan mengenai berbagai hal yang terbesar adalah melalui proses belajar di sekolah.10 di sisi lain, berbagai permasalahan yang didapatkan siswa di sekolah bisa menjadi stressor, yang pada taraf tertentu akan memunculkan reaksi emosi berupa kecemasan. pengamat pendidikan dan para orangtua mengeluh bahwa siswa-siswa kelas akselerasi tidak memiliki kesempatan luas untuk belajar mengembangkan aspek afektif. hal ini disebabkan karena padatnya materi/ pelajaran yang harus mereka terima, banyaknya pekerjaan rumah yang harus mereka selesaikan, ditunjang kemampuan intelektual yang mereka miliki dan temanteman sekelas yang rata-rata pandai, membuat iklim kerja sama mereka menjadi terbatas. berbeda dengan siswa kelas reguler yang mempunyai waktu lebih banyak untuk berinteraksi, meskipun bisa saja mereka mempunyai perasaan inferior (kalah, rendah diri) sebagai dampak dari penyelenggaraan metode ini. 2 faktor-faktor tersebut juga menjadi stressor bagi siswa kelas akselerasi sehingga jika berlanjut terus akan menyebabkan terjadinya kecemasan. apalagi dengan kesepakatan bahwa siswa kelas akselerasi akan dikembalikan ke kelas regular jika tidak mampu mempertahankan prestasinya. hal ini menyebabkan siswa harus berusaha keras agar dapat mengikuti program ini secara maksimal. tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi perbedaan skor kecerdasan emosi dan kecemasan antara siswa kelas akselerasi dan siswa kelas reguler. bahan dan cara penelitian ini menggunakan desain potong-lintang (cross-sectional), diskriptif analitik. populasi penelitian adalah siswa kelas akselerasi dan siswa kelas reguler di smu muhammadiyah 1 yogyakarta. pada kelas akselerasi seluruh populasi diambil sebagai sampel dalam penelitian mengingat jumlah siswa kelas akselerasi hanya 45 siswa. pada kelas regular pemilihan subyek dilakukan secara acak sederhana sejumlah hitung sampel 58 siswa. subyek adalah siswa kelas 1 dan 2 mengingat siswa kelas akselerasi saat ini adalah siswa tahun pertama dan kedua. kriteria inklusi subyek penelitian adalah 1) siswa aktif pada smu muhammadiyah 1 yogyakarta; 2) bersedia mengisi informed consent. kriteria eksklusi adalah 1)mempunyai riwayat gangguan jiwa berat; 2) pernah/sedang mengkonsumsi narkotika, psikotropika dan zat adiktif; 3) tidak mengerjakan instrumen dengan lengkap; 4) pengerjaan instrumen melebihi waktu yang ditentukan, yaitu 60 menit untuk seluruh instrumen; 5) tidak kooperatif; 6) jumlah skor ketidakkonsisten jawaban warih andan puspitosari, perbedaan skor kecerdasan ... 71 baron emotional quotient inventory-youth version ≥ 10. variabel tergantung dalam penelitian ini adalah skor kecemasan dan skor kecerdasan emosi. variabel bebas dalam penelitian ini adalah kelas akselerasi dan kelas regular. skor kecemasan diukur menggunakan instrumen taylor manifest anxiety scale (tmas), kecerdasan emosi dengan intstrumen kecerdasan emosi baron emotional quotient inventory-yv. analisis data dengan uji univariat untuk uji homogenitas karakter subyek penelitian. perbedaan kecemasan dan kecerdasan emosi antara kedua kelompok subyek digunakan independent t-test, mann whitney test. hasil penelitian dilaksanakan pada bulan agustus-oktober 2008 di smu muhammadiyah 1 yogyakarta dengan jumlah subyek 97 siswa terdiri dari 45 siswa kelas akselerasi dan 52 siswa kelas reguler. dilakukan uji homogenitas variabelvariabel bebas pada kedua kelompok dan didapatkan nilai p>0,05 untuk semua jenis variabel bebas. dengan demikian bisa dikatakan bahwa kedua kelompok subyek tidak ada perbedaan yang bermakna untuk semua variabel bebasnya atau bisa dikatakan homogin. rerata skor kecemasan pada kelas akselerasi lebih tinggi daripada rerata skor kecemasan kelas regular dengan perbedaan 2,1790. siswa kelas akselerasi memiliki skor kecemasan 24,04 + 4,28 sedangkan siswa kelas reguler skornya 21,86 + 5,80. sebelum dilakukan analisis untuk melihat perbedaan skor kecemasan dan kecerdasan emosi, lebih dulu dilakukan uji normalitas dengan kolmogorov-smirnov test. variabel kecemasan memiliki nilai p<0,05 yang artinya data kecemasan tidak terdistribusi normal sehingga analisis yang digunakan adalah mann whitney test. hasil perhitungan dengan menggunakan mann whitney test menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna secara statistik antara kelompok kelas akselerasi dan kelas regular dengan p value = 0,024 dan 95% ci adalah 0,022-0,028. rerata skor kecerdasan emosi pada kelas akselerasi lebih tinggi daripada rerata kecerdasan emosi kelas regular dengan perbedaan skor 1,2975. hal ini menunjukkan bahwa skor kecerdasan emosi kelas akselerasi lebih tinggi daripada skor kecerdasan emosi kelas regular. uji normalitas data kecerdasan emosi memiliki p>0,05 yang artinya data kecerdasan emosi terdistribusi secara normal sehingga analisis yang digunakan adalah independent t-test. setelah dilakukan perhitungan dengan menggunakan independent t test, hasil menunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna secara statistik antara kelompok kelas akselerasi dan kelas regular dengan p value = 0,646 dan confidence interval 95% : -4, 29745 – 6,89232. diskusi terdapat perbedaan skor kecemasan siswa kelas akselerasi dan reguler, dimana kelas akselerasi memiliki skor kecemasan yang lebih tinggi, hal ini disebabkan karena siswa-siswa kelas akselerasi memiliki waktu yang lebih singkat untuk menyelesaikan semua mata pelajaran sehingga membuat beban belajar menjadi sangat tinggi. mata pelajaran yang diselesaikan selama 3 tahun bagi siswa kelas reguler, harus diselesaikan siswa kelas akselerasi selama 2 tahun. siswa kelas akselerasi dituntut untuk selalu bisa mempertahankan prestasinya, karena ada aturan untuk mengembalikan siswa ke kelas reguler jika dinilai siswa tidak dapat mempertahankan prestasinya. evaluasi atau ulangan harian serta evaluasi akhir semester memiliki jarak yang pendek sehingga siswa menjadi sering menghadapi kondisi ulangan atau ujian. faktor-faktor tersebut menjadi stresor bagi siswa kelas akselerasi sehingga jika berlanjut terus akan menyebabkan terjadinya kecemasan. sesuai dengan teori yang disampaikan oleh halgin dan whitbourne bahwa salah satu bentuk kecemasan adalah terkait karir di masa depan dan ujian. siswa kelas akselerasi harus membuat keputusan terhadap karirnya lebih dini.11 mutiara medika vol. 10 no. 1:68-74, januari 2010 72 siswa kelas akselerasi seringkali harus berhadapan dengan tuntutan orang tua, guru maupun lingkungan sekitarnya terhadap prestasinya. masyarakat memandang bahwa siswa kelas akselerasi adalah siswa-siswa yang luar biasa sehingga harus memiliki prestasi yang lebih daripada siswa kelas reguler. hal ini bisa menjadi sebuah tekanan dan ancaman bagi siswa yang bisa menimbulkan kecemasan. sebuah penelitian terhadap 299 anak 8-13 tahun, murris et al. menyimpulkan bahwa skor tinggi kecemasan umum dan status kecemasan berhubungan secara bermakna dengan peningkatan persepsi ancaman. siswa yang khawatir tidak dapat menyelesaikan tugasnya secara memuaskan sering mengakhiri dengan perasaan cemas. 12 proteksi yang besar baik dari orang tua maupun guru sering dialami siswa kelas akselerasi karena banyaknya tugas dan pendeknya masa studi. jadwal pelajarannya ketat dan padat untuk bisa menyelesaikan bahan-bahan yang ada. proteksi yang berlebihan menyebabkan siswa menjadi tertekan dan tidak bisa berekspresi secara bebas sesuai usia perkembangannya sehingga bisa menimbulkan kecemasan. hal ini sesuai dengan hasil penelitian turgeon et al. terhadap penderita gangguan cemas dengan 120 kontrol yang menunjukkan bahwa pada kelompok penderita gangguan kecemasan mempunyai orang tua yang lebih protektif. penelitian tersebut menyimpulkan bahwa proteksi diri yang berlebihan dari orang tua merupakan faktor risiko perkembangan gangguan kecemasan. 12 siswa-siswa kelas akselerasi yang memiliki kemampuan luar biasa tersebut diharapkan akan dapat menjadi generasi penerus di masa depan. beberapa studi menunjukkan bahwa kecemasan akan menurunkan produktifitas fungsional seseorang.13 gangguan kecemasan akan mengakibatkan hambatan dalam aktivitas sehari-hari, selalu dihantui rasa cemas, tidak produktif dan tidak dapat menikmati rasa senang.14 dengan demikian kondisi ini dikhawatirkan akan menurunkan prestasinya sebagai generasi unggulan di masa depan. siswa kelas akselerasi memiliki waktu yang lebih singkat untuk menyelesaikan semua mata pelajaran sehingga membuat beban belajar menjadi sangat tinggi. tuntutan untuk mempertahankan prestasinya, seringnya evaluasi atau ulangan, umur yang lebih dini untuk membuat keputusan tentang karir bisa menjadi stresor munculnya kecemasan. salah satu bentuk kecemasan adalah terkait karir di masa depan dan ujian.11 siswa kelas akselerasi seringkali harus berhadapan dengan tuntutan orang tua, guru dan masyarakat yang bisa menjadi sebuah tekanan/ancaman bagi siswa sehingga menimbulkan kecemasan. muris et al. menyimpulkan bahwa skor tinggi kecemasan umum dan status kecemasan berhubungan secara bermakna dengan peningkatan persepsi ancaman. proteksi yang berlebihan menyebabkan siswa menjadi tertekan dan tidak bisa berekspresi secara bebas sesuai usia perkembangannya sehingga bisa menimbulkan kecemasan. hal ini sesuai dengan hasil penelitian turgeon et al. menunjukkan bahwa pada kelompok penderita gangguan kecemasan mempunyai orang tua yang lebih protektif.12 tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara skor kecerdasan emosi kelompok kelas akselerasi dan kelas regular. hasil penelitian ini tidak sesuai dengan asumsi sebagian pakar pendidikan bahwa siswa kelas akselerasi memiliki skor kecerdasan emosi yang lebih rendah. kecerdasan emosi adalah suatu dimensi kecerdasan yang bisa dikembangkan sepanjang kehidupan manusia.4,5 kemampuan-kemampuan ini bisa dipelajari seumur hidup, dimana proses belajar paling banyak dialami pada masa kanak-kanak dibandingkan pada masamasa selanjutnya termasuk masa smu.15 sebagian ahli berpendapat bahwa pendidikan didalam keluarga lebih berpengaruh terhadap perkembangan anak termasuk perkembangan emosinya.16 rumah adalah lembaga yang paling dominan dalam proses belajar anak dan orangtualah yang menjadi pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. orangtua merupakan guru pertama (non formal) karena hingga warih andan puspitosari, perbedaan skor kecerdasan ... 73 menginjak masa remaja, anak-anak lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah.17 interaksi yang pertama kali dan yang paling lama dialami adalah interaksi di dalam keluarga bagi perkembangan fisik, intelektual, emosional dan sosial. pengembangan kecerdasan emosi di sekolah mungkin memiliki porsi yang lebih sedikit dibandingkan dalam lingkungan keluarga karena waktu interaksi di sekolah jauh lebih sedikit dibandingkan interaksi siswa dalam keluarga atau lingkungan masyarakatnya. keluarga adalah tempat anak mengalami proses tumbuh kembang secara fisik, emosi, sosial, moral, spiritual dan intelektual. melalui kehidupan keluarga seorang anak akan belajar mengenal dirinya sendiri maupun orang lain dan kemudian lingkungan sekitarnya. anak yang berasal dari keluarga dengan ego tinggi, tidak mempunyai kepedulian terhadap anggota keluarga yang lain, akan menghasilkan remaja yang sosial skillnya berkembang jelek.18 kemungkinan penyebab lainnya, tidak adanya perbedaan skor kecerdasan emosi tersebut adalah adanya tes psikologik yang dilakukan pada saat seleksi memasuki kelas akselerasi. smu muhammadiyah 1 secara rutin melakukan tes ini dalam seleksi siswa kelas akselerasi, sehingga pertimbangannya bukan semata-mata skor kecerdasan intelektualnya saja. sejak awal calon siswa kelas akselerasi dinilai kemampuannya untuk kecerdasan yang multipel sebagai pertimbangan. test ini sering menjadi kendala di wilayah-wilayah yang tidak memiliki psikolog atau psikiater. kesimpulan 1. siswa kelas akselerasi memiliki skor kecemasan yang lebih tinggi daripada siswa kelas regular. 2. tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara skor kecerdasan emosi siswa kelas akselerasi dan siswa kelas regular. daftar pustaka 1. rachman, a., latifah, u. 2001. mengenal lebih dekat tentang program akselerasi, majalah penabur, no. 2 tahun xxvii : 1 – 6 2. mujiran, p. 2006. persoalan kelas akselerasi. http://www.suaramerdeka. com/harian-/0403/29/kha1.htmaaa 3. sutopo, h. 31 mei 2002 kelas akselerasi bisa perkosa perkembangan anak didik, harian kompas. 4. goleman, d. 1999. kecerdasan emosi: mengapa emotional intelligence lebih penting dari intelectual quotient. hermaya t (pent.). jakarta: pt. gramedia pustaka utama. 5. goleman, d. 1999. kecerdasan emosi untuk mencapai puncak prestasi, terjemahan bahasa indonesia, cetakan ketiga, penerbit pt gramedia pustaka utama 6. patton, p., 2002, eqpengembangan sukses lebih bermakna, mitra media publisher 7. cooper, r.k. and ayman, s. 1997. executif emotional quetiont, kecerdasan emosi dalam kepemimpinan dan organisasi. alih bahasa : alex tri, kw. jakarta : gramedia pusat utama 8. agustian, a.g. 2003. rahasia sukses membangkitkan esq power, penerbit arga, jakarta. 9. agustian, a.g. 2005. rahasia sukses membangun kecerdasan emosi dan spiritual, penerbit arga, jakarta. 10. hapsari, i. 2001. perbedaan ke pada mahasiswa eksakta & non eksakta di ugm. skripsi (tidak diterbitkan). 2001. fakultas psikologi universitas gajah mada yogyakarta 11. halgin, r.p., and whitbourne. s.k. 1994. abnormal psychology : the human experience of psychology. usa: harcount brace college publiser 12. spielberg, c.d., (ed). 1996. anxiety and behavior. new york: academik press 13. gorman, j.m. 2000. anxiety disorders: introduction and overview, dalam: sadock bj and sadock va. editor: kaplan & sadock’s comprehensive textbook of psychiatry, 7thed. lippincott williams & wilkins. 14. iskandar, y. 1996. diagnosis dan pengobatan gangguan anxietas, buku mutiara medika vol. 10 no. 1:68-74, januari 2010 74 pegangan dokter, yayasan dharma graha, jakarta 15. kaplan, h.i., sadock, b.j., grebb, j.a. 1996. synopsis of psychiatry, seventh edition, lippincott williams & wilkins. 16. ekowarni, e. 1993. kenakalan remaja : suatu tinjauan psikologi perkembangan. buletin psikologi, ii (2), desember 1994. yogyakarta. fakultas psikologi ugm. 17. adiningsih, n.u. 2001. pembelajaran anak oleh orangtua. dalam media indonesia, 2 mei 2001. jakarta 18. henry b.r., nanette m.h., michael h.b., thomas g. jan/feb 2001; the relation of ld and gender with emotional intelligence in college students journal of learning disabilities; 34, 1; health & medical complete pg. 66 warih andan puspitosari, perbedaan skor kecerdasan ... wiwik kusumawati dan sri tasminatun, efek pemberian madu sebagai profilaksis ........................ 24 efek pemberian madu sebagai profilaksis pada ulkus lambung tikus putih (rattus norvegicus) diinduksi aspirin the effect of honey treatment as prophylaxis on gastric ulcer of rattus norvegicus induced by aspirin wiwik kusumawati1, sri tasminatun2 bagian farmakologi, fakultas kedokteran, universitas muhammadiyah yogyakarta abstract honey is widely used to cure many disorders including digesting system disorder, but the scientifical evidence remains lacking. one of the most recurring digesting system disorders is gastric ulcer. this research is aimed therefore at figuring out the effect of honey on aspirin induced gastric ulcer on rat. the subject consist of 30 rats wistar strain, classified into 5 groups, 2 control such as positive control group exposed to cimetidine and negative control group exposed to amylum and 3 treatment groups. treatment group is treated with honey in 3 levels of dosages, which are 30 ml/day, 45 ml/day and 60 ml/day given orally for 2 days then left for 48 hours without meal. aspirin 150 mg/kg bw is given as ulcer induction. all the subjects are then decapitated. the gasters are later examined and the ulcers appearing on the gaster are calculated using modified ralph method. the observation result is then analyzed and statistically tested using kruskal wallis and man whitney test, with reliability level of 95%. the result shows that the score of group exposed to amylum (9,08 ± 4,43) is significantly different from group exposed to cimetidin (1,42 ± 1,11) but is not significantly different from group exposed to honey treatment, sequenced from the smallest dosage to the highest (3,75 ± 4,78; 6,50 ± 4,43; 4,58 ± 2,94). meanwhile, the group exposed to honey with 30 ml/day dosage shows ulcer score of 3,75± 4,78 which is slightly different from that group exposed to cimetidin 1,42 ± 1,11. key word : gastric ulcer, honey, prophylaxis abstrak madu banyak digunakan untuk mengatasi berbagai gangguan atau penyakit termasuk gangguan pada saluran pencernaan. salah satu gangguan pencernaan yang bersifat kronis dan kumat-kumatan antara lain adalah ulkus lambung. penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek profilaksis madu pada ulkus lambung tikus yang ditimbulkan olah aspirin. penelitian dilakukan pada 30 ekor tikus putih jantan galur wistar yang dibagi menjadi 5 kelompok terdiri dari 2 kelompok kontrol dan 3 kelompok perlakuan. kelompok kontrol terdiri dari kelompok kontrol positif diberikan cimetidin dan kontrol negatif diberikan amilum. kelompok perlakuan diberikan madu dalam 3 peringkat dosis yaitu 30 ml/hari, 45 ml/hari dan 60 ml/hari. bahan uji diberikan selama 2 hari secara oral, selanjutnya dipuasakan selama 48 jam. ulkus lambung diinduksi dengan pemberian aspirin 150 mg/kgbb. hewan uji didekapitasi dan lambung diperiksa, dihitung jumlah ulkus dan perdarahan menurut cara ralph yang dimodifikasi. hasil pengamatan dianalisis dengan uji statistik nonparametrik kruskal wallis dengan taraf kepercayaan 95 % dilanjutkan dengan uji man whitney test. 25 mutiara medika vol. 8 no. 1:24-29, januari 2008 hasil penelitian menunjukkan perbedaan skor ulkus yang bermakna antar kelompok. didapatkan skor ulkus kelompok amilum (9,08 ± 4,43) berbeda bermakna dengan kelompok cimetidin (1,42 ± 1,11) tetapi tidak berbeda bermakna dengan kelompok madu sesuai urutan dosis terkecil (3,75 ± 4,78 ; 6,50 ± 4,43 ; 4,58 ± 2,94) namun demikian kelompok madu dosis 30 ml/hari menunjukkan skor ulkus 3,75± 4,78 tidak berbeda signifikan dengan cimetidin 1,42 ± 1,11. kata kunci : madu, profilaksis, ulkus pendahuluan ulkus lambung atau gastric ulcer atau yang dikenal dengan istilah tukak lambung disebabkan oleh tiga hal yaitu adanya infeksi bakteri helycobacter pyloricum , ketidakseimbangan faktor agresif (asam lambung dan pepsin) dan defensif (mucus, bikarbonat) dan terakhir akibat efek samping obat analgesik antiinflamasi golongan nonsteroid.1 beberapa golongan obat digunakan untuk mengatasi ulkus yang disebabkan oleh ketiga faktor tersebut, seperti antacid, obat antisekretori (cimetidin, omeprazole,piranzepin), sitoprotektif (sukralfat, bismuth compound dan misoprostol) dan lain-lain, sehingga pada pengobatan ulkus lambung juga dimungkinkan penggunaan kombinasi obat antiulkus tergantung kondisi pasien dan penyakitnya.2 madu merupakan bahan makanan yang istimewa karena rasa, nilai gizi dan khasiatnya yang tinggi3 yang dihasilkan oleh lebah. lebah madu menghasilkan madu yang dibuat dari nektar pada musim tumbuhan berbunga. madu yang mempunyai nilai gizi tersebut ternyata mengandung banyak komponen antara lain yang paling dominan gula sederhana (monosakarida dan disakarida) dan gula kompleks (poli sakarida), selain itu madu juga mengandung enzim untuk mencerna gula, vitamin, dan mineral.4 analisis dengan thin layer chromatography (tlc), polyacrilamide gel electrophoresis (page) dan high performance liquid chromatography (hplc) madu juga mengandung 7 derivat tetrasiklin, asam lemak, lemak, amylase dan asam ascorbat. 5 pengaruh madu pada proses penyembuhan berbagai jenis penyakit telah banyak diketahui demikian pula pada lambung, tetapi penelitian yang dilakukan tentang efek madu khusus pada ulkus lambung masih sangat terbatas. dari hadits nabi riwayat bukhori dijelaskan ketika seorang datang ke rasululloh menanyakan obat untuk saudaranya yang sakit perut dijawab oleh rasululloh bahwa obatnya adalah madu, dan orang tersebut menanyakan sampai 3x dan jawaban rasululloh sama yaitu bahwa madu itulah obat untuk sakit perut. allah swt berfirman dalam al qur’an surat an nahl : 68-69 yang artinya “tuhanmu telah mewahyukan kepada lebah : buatlah rumah diatas bukit dan diatas pohon kayu dan pada apa-apa yang mereka jadikan atap. kemudian makanlah bermacam-macam buah-buahan dan laluilah jalan tuhanmu dengan mudah. keluar dari dalam perutnya madu yang berlain-lainan warnanya, untuk menyembuhkan penyakit manusia. sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda (atas kekuasaan allah) bagi kaum yang memikirkannya”.6 wahdan menyatakan bahwa madu mempunyai aktifitas sebagai antibakteri.7 senyawa yang berperan sebagai antibakteri adalah hidrogen peroksida, flavonoid dan asam fenolat yang terdapat dalam madu. menurut penelitian vardi tentang pengaruh madu pada pengobatan luka infeksi pasca operasi neonatus menunjukkan bahwa pemberian madu secara topikal menyembuhkan luka infeksi pasca operasi neonatus yang gagal dengan pengobatan konservatif (antibiotik). 8 penelitian yang ada dilakukan oleh swayeh menunjukkan bahwa madu mempunyai efek protektif pada lambung yang melibatkan prostaglandin.9 mekanisme kerja madu pada proses penyembuhan penyakit perut dalam penelitian ini ulkus lambung belum diketahui wiwik kusumawati dan sri tasminatun, efek pemberian madu sebagai profilaksis ........................ 26 secara pasti. penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek profilaksis madu pada ulkus lambung tikus yang ditimbulkan olah aspirin. apabila dalam penelitian ini terbukti bahwa madu mempunyai efek profilaksis maka madu akan dapat digunakan sebagai alternatif mencegah ulkus lambung. permasalahan penelitian ini adalah mengetahui apakah madu mempunyai efek profilaksis pada ulkus lambung tikus yang ditimbulkan oleh aspirin. tujuan penelitian ini untuk mengetahui efek profilaksis madu pada ulkus lambung tikus. bahan dan cara penelitian ini merupakan penelitian eksperimental, dengan subyek penelitian adalah tigapuluh ekor tikus putih (rattus norvegicus) galur wistar jantan berumur 3 bulan dengan berat 180 – 220 gram, dipelihara dalam kandang khusus dengan pakan dan kondisi kandang yang sama. tikus putih dibagi menjadi 5 kelompok secara acak. pada 3 kelompok perlakuan masing-masing diberi madu dengan dosis : kelompok ii setara 30 ml/ hari pada manusia , kelompok iii setara dengan 45 ml/hari pada manusia dan kelompok iv setara dengan 60 ml/hari pada manusia (terbagi dalam 3 dosis pemberian). kelompok i diberi larutan amilum yang merupakan kontrol negatif dan pada kelompok v diberi cimetidin 2,04 mg/kgbb/hari sebagai kontrol positif madu untuk penelitian diperiksa kadar air, kadar abu dan kadar glukosa. madu harus memenuhi syarat standar nasional indonesia madu (sni madu). sebelum diberikan kepada hewan uji, madu murni diencerkan dengan akuades sesuai dengan dosis yang diberikan dan volume maksimal yang dapat diberikan secara peroral. tikus diberi perlakuan sesuai kelompoknya selama 2 hari, kemudian dipuasakan tanpa makan, tetapi tetap diberi minum selama 48 jam. tikus diberi suspensi aspirin oral dengan dosis 150 mg/ kg bb untuk menginduksi ulkus lambung dan dibiarkan 5 jam tanpa makan dan minum. tikus dikorbankan dengan cara dekapitasi dan lambung diambil, dibersihkan dan diperiksa secara makroskopis untuk pemeriksaan adanya ulkus. jumlah ulkus lambung dihitung dan dinilai menurut best et al., (1984) yang dimodifikasi.10,11 tabel 1. penghitungan skor ulkus lambung menurut best et al. (1984) yang dimodifikasi analisis hasil uji efek profilaksis dilakukan dengan cara membandingkan skor lesi (ulkus, fisur dan perdarahan)10,11 dengan analisis statistik non parametrik kruskal wallis taraf kepercayaan 95 % dilanjutkan dengan uji man whitney test. hasil telah dilakukan penelitian efek madu sebagai profilaksis pada ulkus lambung tikus yang ditimbulkan oleh aspirin. aspirin merupakan golongan analgetik antiinflamasi non steroid (ains) yang mempunyai sifat asam dan mempunyai efek samping mengiritasi mukosa lambung. iritasi terjadi secara langsung dan sistemik, karena selain sifat obatnya yang asam, aspirin juga menghambat sintesis prostaglandin yang berperan pada sintesa mukosa lambung.12,13 pada penelitian ini ulkus lambung tikus ditimbulkan oleh aspirin dengan dosis 150 mg/kgbb, diberikan pada uraian skor ulkus panjang > 10 m m 5 ulkus panjang < 10 m m 2 ulkus diam eter 1-2 mm 1 ulkus diam eter <1 mm 0,5 pendarahan 1 27 mutiara medika vol. 8 no. 1:24-29, januari 2008 tikus yang telah dipuasakan selama 48 jam secara per oral. pada penelitian digunakan 3 dosis madu yang setara dengan dosis pada manusia 30 ml/hari,45 ml/hari dan 60 ml/hari. sebagai kontrol negatif, tikus diberi amilum, sedangkan sebagai kontrol positif, tikus diberi cimetidin 24 mg/kgbb. hasil pemeriksaan madu meliputi kadar air, kadar abu dan glukosa dapat dilihat pada tabel 2. hasil pemeriksaan kimia madu menunjukkan kadar air,kadar abu dan glukosa madu percobaan memenuhi syarat standar nasional indonesia madu. madu yang akan diberikan kepada tikus diencerkan terlebih dahulu dengan akuades agar lebih mudah diberikan melalui sonde oral dan diberikan segera setelah diencerkan. penambahan air pada madu dan dibiarkan dalam waktu yang lama akan menyebabkan terjadinya fermentasi, dan mengubah komposisi madu4. tabel 2. hasil pemeriksaan kimiawi madu pemeriksaan hasil syarat kadar air 18,09 % maks 22 % (sni 01-3545-1994) kadar abu 0,22 % maks 0,5 % (sni 01-3545-1994) glukosa 63,39 % min 60 % (sni 01-3545-1994) pemeriksaan skor ulkus menunjukkan adanya penurunan pada kelompok yang diberi madu dibanding dengan kelompok kontrol negatif yang diberi amilum. skor ulkus masing-masing kelompok dapat dilihat pada tabel 3. rerata skor ulkus dapat dilihat pada gambar 1. untuk mengetahui perbedaan antara semua kelompok perlakuan dilakukan analisis statistik nonparametrik kruskal wallis taraf kepercayaan 95 %. untuk mengetahui perbedaan antara dua kelompok perlakuan, analisis statistik kemudian dilanjutkan dengan man whitney test. tabel 3. skor ulkus tikus tiap kelompok. tikus ke dosis (setara manusia) 1 2 3 4 5 6 rerata madu 30 ml/hari 8 11,5 1 0,5 0,5 1 3,75± 4,78 madu 45 ml/hari 13 7 3,5 10 1 4,5 6,50± 4,43 madu 60 ml/hari 1 4 2,5 9 4 7 4,58 ± 2,94 amilum 13, 5 3 7 8 15 8 9,08 ± 4,43 cimetidin 0,5 3 1,5 2,5 0,5 0,5 1,42 ± 1,11 9.08 0 5 10 skor ulkus madu 30 madu 45 madu 60 am ilum cim etidin gambar 1. skor ulkus tiap kelompok wiwik kusumawati dan sri tasminatun, efek pemberian madu sebagai profilaksis ........................ 28 hasil analisis statistik nonparametrik kruskal wallis menunjukkan perbedaan skor ulkus yang bermakna antar kelompok. setelah dilanjutkan dengan analisis man whitney test, perbedaan bermakna terjadi antara kelompok kontol negatif amilum dengan kelompok kontrol positif cimetidin. kelompok perlakuan ketiga dosis madu dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif amilum didapatkan hasil skor ulkus yang tidak berbeda secara signifikan. namun demikian analisis man whitney test menunjukkan kelompok perlakuan madu dosis setara 30 ml/hari menunjukkan skor ulkus 3,75± 4,78 tidak berbeda secara signifikan dengan kelompok cimetidin 1,42 ± 1,11. diskusi secara umum rerata skor masingmasing kelompok nampak berbeda, tetapi mempunyai simpangan deviasi yang cukup besar. hal ini disebabkan oleh besarnya pengaruh faktor individu hewan percobaan, seperti nafsu makan hewan percobaan setelah diulkuskan. meskipun secara statistik tidak bermakna, bila dilihat perbedaan rata-rata skor ulkus antara kelompok kontrol amilum (9,08 ± 4,43) dengan kelompok perlakuan madu (3,75± 4,78 ; 6,50± 4,43 ; 4,58± 2,94) menunjukkan rata –rata skor yang lebih kecil pada kelompok perlakuan madu dibanding kelompok amilum. jumlah skor ulkus yang paling kecil justru dihasilkan oleh pemberian madu dengan dosis paling rendah yaitu setara 30 ml/hari hal ini sesuai dengan penelitian swayeh yang menyatakan bahwa madu mempunyai efek protektif pada lambung yang melibatkan prostaglandin10. prostaglandin diketahui mempunyai efek sitoprotektif pada lambung dan ginjal. prostaglandin meningkatkan aliran darah ke mukosa lambung dan mengurangi sekresi asam lambung 5, sehingga analog prostaglandin seperti misoprostol dapat digunakan sebagai salah satu obat anti ulkus peptikum. penelitian subrahmanyam et al., 2003 menunjukkan madu yang digunakan pada kulit yang terluka dapat mempercepat penyembuhan luka, regenerasi dan remodeling yang penting untuk pertumbuhan jaringan pada daerah luka14. pada ulkus lambung penelitian ini juga terdapat perlukaan sel epitel lambung, sehingga pemberian madu dapat mengurangi jumlah fisur dan perdarahan. dosis madu yang lebih besar ternyata tidak setara dengan kenaikan efek madu sebagai profilaksis, tetapi justru menghasilkan skor ulkus lebih besar dibanding dosis terendah. dosis yang berlebihan mungkin dapat menyebabkan tidak tercapainya dosis efektif terapi. selain itu di dalam madu terkandung polisakarida. semakin besar dosis madu digunakan berarti kandungan polisakaridanya juga semakin besar sehingga dapat mengganggu absorbsi zat aktif dari madu itu sendiri. madu mempunyai ph yang rendah yaitu 3,2 4,5 14, sehingga penggunaan madu pada volume besar justru dapat mengubah ph lambung menjadi semakin asam dan mengiritasi mukosa lambung.hal ini justru akan menambah skor ulkus. untuk menimbulkan efek profilaksis maka dianjurkan penggunaan madu tidak lebih dari 30 ml/ hari sehingga dapat tercapai dosis efektif. kesimpulan madu dosis setara 30 ml/hari, 45 ml/ hari dan 60 ml/ hari dapat menurunkan skor ulkus pada tikus. madu dosis setara 30 ml/ hari memberikan efek profilaksis paling baik, dibandingkan dengan efek cimetidin tidak berbeda secara signifikan. saran perlu dilakukan penelitian lebih lanjut efek madu sebagai profilaksis pada ulkus lambung dengan waktu pemberian dan dosis berbeda serta dilakukan analisis histologi lambung untuk mengetahui perubahan pada tingkat seluler . ucapan terimakasih peneliti mengucapkan terimakasih kepada lp3 universitas muhammadiyah yogyakarta yang telah memberikan dana penelitian. ucapan terimakasih juga peneliti sampaikan kepada prof. dr. ngatidjan, 29 mutiara medika vol. 8 no. 1:24-29, januari 2008 msc, sp fk yang telah memberikan bimbingan dan pada semua pihak yang telah memberikan bantuan selama penelitian. daftar pustaka 1. garcia, g. (1992). gastrointestinal disorders dalam melmon and morell‘s. clinical pharmacology basic principles in therapeutics. pp. 219-232. 3ed., mc graw hill. inc. 2. simadibrata,r.1993. tukak peptik (ulkus peptikum) dalam ilmu penyakit dalam. jilid ii. balai penerbit fk ui jakarta. 3. winarno, f.g. 1982. madu teknologi, khasiat dan analisa. 1 st ed. ghalia indonesia. jakarta. 4. sihombing,d.t.h. 1997. ilmu ternak lebah madu. gadjah mada university press. yogyakarta. 5. nzeako b c dan hamdi j, 2000 , antimicrobial potential of honey on some microbial isolates, medical sciences, 2, 75"79 sultan qaboos university http:// www.squ.edu.om/mj/archive/oct_00/ honey/ 4 juli 2005 6. junus,m. 1996. tarjamah al qur’an al karim,. q. s. an nahl . pt al maarif bandung 7. wahdan,h.a. 1998. causes of the antimicrobial activity of honey. infection 26 (1): 26 – 31 8. vardi, a., barzilay, z., linder, n., cohen, h.a., paret, g., barzilai, a. 1998. local application of honey for treatment of or tratment of neonatal postoerative wound infection. acta-paediatic 87 (4) : 429432. 9. swayeh,oa.,ali,at. 1998. effect of ablation of capsaicin-sensitive neurons on gastric protection by honey and sucralfate. hepatogastroenterology 45(19) : 297 – 302 10. best,r.,lewis,d.a.,nasser,n. 1984. the anti-ulcerogenic activity of the unripe plantain banana (musa species). br.j. pharmac. 82, 107 –116 11. ngatidjan, pramono,s., chandrasari,s., 1995. efek pisang klutuk (musa brachycarpa back) pada ulkus lambung yang ditimbulkan oleh pemberian salisilat. konggres ikafi ix. makasar. ujung pandang 12. arif,a.,sjamsudin,u. 1997. obat lokal dalam farmakologi dan terapi. farmakologi dan terapi. bagian farmakologi fakultas kedokteran ui jakarta. 13. neal, mj.,1997. nonsteroidal antiinflammatory drugs (nsaids) dalam medical pharmacology at a glance. blackwell science ltd. london. 14. subrahmanyam m., hemmady a.r., pawar s.g., 2003, multidrug-resistant isolated from infected burns sensitive to honey, annals of burns and fire disasters – 16 (4), http:// www.medbc.com/annals/review/vol_16/ num_4/text/ vol16n4p192.asp 4 juli 2005 sri sumaryani, pelepasan tali pusat dan omphalithis kajian terhadap perawatan dengan asi ................ 42 pelepasan tali pusat dan omphalithis kajian terhadap perawatan dengan air susu ibu, alkohol 70% dan teknik kering terbuka umbilical cord separation and omphalitis a review on umbilical cord care using breast milk, alcohol 70% and dry open technique. sri sumaryani program studi ilmu keperawatan, fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta abstract this study used ‘comparative study’ to identify the different duration of umbilical cord separation, between umbilical cord care by using breast milk, alcohol 70%, and dry open care. population of this study are healthy infants who were delivered spontaniously at sakina idaman hospital, pku muhammadiyah kota gede hospital, queen latifa hospital yogyakarta. a total sample of 93 newborn were taken by quota sampling. the result of the study shown that the average duration of umbilical core separation with breast milk care 5,32 days, alcohol 70% 6,87 days, and dry care is 6,65 days. there is significant different in duration of umbilical cord separation between breast milk care and with alcohol 70% care (p=0,001), but there is no significant different in duration of umbilical cord separation between alcohol 70% care and dry care (p=1,000). in another hand there is no significant different of the omphalitis incidens between three group (p=1,000). conclusion of this study shown that the duration of umbilical cord separation with breast milk is significanly faster than alcohol 70% and dry care. keywords: alcohol 70%, breast milk, care, omphalitis, open-dry care, time of separation, umbilical cord abstrak penelitian ini merupakan penelitian ‘comparative study’ yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan waktu pelepasan tali pusat dan kejadian omphalitis pada perawatan tali pusat dengan asi, alkohol 70%, dan perawatan kering terbuka. populasi penelitian adalah bayi sehat yang lahir secara spontan di rb sakina idaman, rs pku muhammadiyah kota gede, dan rb queen latifa. sampel dalam penelitian ini adalah 93 bayi baru lahir. pengambilan sampel dilakukan dengan quota sampling. hasil penelitian menunjukkan rerata waktu pelepasan tali pusat yang dirawat dengan asi 5.32, alkohol 70% 6,87 hari, sedangkan kering terbuka 6,65. waktu pelepasan tali pusat yang dirawat dengan alkohol 70% tidak ada perbedaan yang bermakna bila dibandingkan dengan kering terbuka (p=1,000) dan tidak ada perbedaan yang bermakna kejadian infeksi lokal tali pusat atau omphalitis antara perawatan tali pusat dengan asi, alkohol 70% maupun kering terbuka (p=1,000). kesimpulan penelitian ini adalah waktu pelepasan tali pusat yang dirawat dengan asi secara signifikan lebih cepat bila dibandingkan tali pusat yang dirawat dengan alkohol 70% maupun kering terbuka (p=0,001). kata kunci: alkohol 70%, asi, kering terbuka, omphalitis perawatan, tali pusat, waktu lepas 43 mutiara medika vol. 9 no. 1:42-49, januari 2009 pendahuluan berdasarkan survey demografi dan kesehatan indonesia (sdki) 2002/2003 bahwa kematian neonatal mencapai 20/ 1000 kelahiran hidup. penyebab utama kematian bayi di indonesia adalah penyakit infeksi yang salah satunya adalah infeksi tali pusat. 1 infeksi yang disebabkan kurangnya perawatan tali pusat menyebabkan angka kematian bayi masih tinggi. di indonesia masih belum ada standar dalam perawatan tali pusat yang tepat, mudah, efektif, dan efisien. berbagai metode perawatan tali pusat telah dilaksanakan di indonesia akan tetapi belum ada penelitian yang membandingkan efektivitas beberapa metode perawatan tali pusat terhadap waktu pelepasan tali pusat dan kejadian omphalitis. oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk meneliti lebih detail perbedaan waktu pelepasan tali pusat dan kejadian omphalitis pada perawatan tali pusat dengan asi, alkohol 70%, dan kering terbuka. bahan dan cara penelitian menggunakan desain “comparative study” untuk membandingkan waktu pelepasan tali pusat dan kejadian infeksi lokal tali pusat atau omphalitis antara perawatan tali pusat yang menggunakan asi, alkohol 70%, dan kering terbuka. populasi dalam penelitian ini adalah bayi baru lahir di rumah bersalin queen latifa, rs pku muhammadiyah kotagede, dan rumah bersalin sakina idaman yang lahir pada bulan juni 2006. sampel dalam penelitian ini adalah bayi baru lahir yang menjalani perawatan tali pusat dan memenuhi kriteria inklusi: bayi baru lahir cukup bulan, sehat, lahir spontan, berat lahir antara 2500 4000 gram, mendapat persetujuan orang tua. sampel dalam penelitian ini berjumlah 93 responden. tempat penelitian adalah rumah bersalin queen latifa, rs pku muhammadiyah kotagede, dan rumah bersalin sakina idaman yogyakarta. analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis univariat untuk distribusi frekuensi dan bivariat dengan uji anova. hasil data demografi seluruh responden yang diikutkan dalam penelitian menunjukkan karakteristik demografi dan data klinis yang serupa, disajikan dalam tabel 1. tabel 1. distribusi frekuensi responden menurut karakteristik pada ibu post partum dan bayi baru lahir di rb sakina idaman, rb queen latifa dan rs pku muhammadiyah kota gede bulan juni 2006 n=93 perawata n tali pusat dengan asi (n=31) perawata n tali pusat dengan alkohol 70% (n=31) perawatan tali pusat dengan kering terbuka (n=31) total karakteristik demografi f % f % f % f % 1. ibu post partum a. umur ibu (tahun) < 20 tahun 20 – 35 tahun > 35 tahun 0 27 4 0 87,1 12,9 0 28 3 0 90,3 9,7 2 26 3 6,5 83,9 9,7 2 81 10 2,2 87 10,8 sri sumaryani, pelepasan tali pusat dan omphalithis kajian terhadap perawatan dengan asi ................ 44 tabel 2. rerata waktu pelepasan tali pusat pada perawatan tali pusat dengan asi, alkohol 70%, dan kering terbuka di rb sakina idaman, rb queen latifa dan rs pku muhammadiyah kota gede pada bulan juni 2006 n=93 variabel mean sd se 95% ci 1. waktu pelepasan tali pusat dengan asi 2. waktu pelepasan tali pusat dengan alkohol 70% 3. waktu pelepasan tali pusat dengan kering terbuka 5.32 6,87 6,65 1.35 1,48 1,17 0,24 0,27 0,21 4.83 – 5.82 6.33 – 7.41 6.22 – 7.07 hasil penelitian waktu pelepasan tali pusat pada perawatan tali pusat dengan asi, alkohol 70%, dan teknik kering terbuka digambarkan dalam tabel 2: perawata n tali pusat dengan asi (n=31) perawata n tali pusat dengan alkohol 70% (n=31) perawatan tali pusat dengan kering terbuka (n=31) total karakteristik demografi f % f % f % f % b. pekerjaan ibu: wiraswasta pns irt c. pendidikan ibu: sd/sederajat sltp/sederajat slta/sederajat diii/sederajat pt 2. bayi baru lahir a. jenis kelamin laki-laki perempuan b. berat lahir < 3000 gram 3000 – 3500 > 3500 15 1 15 1 0 13 4 13 20 11 7 22 2 48.4 3.2 48.4 3.2 0 41.9 12.9 41.9 64.5 35.5 22,6 71,0 6,5 14 2 15 0 1 19 5 6 15 16 11 15 5 45.2 6.5 48.4 0 3.2 61.3 16.1 19.4 48.4 51.6 35,5 48,4 16,1 11 2 18 0 1 23 5 2 16 15 9 21 1 35.5 6.5 58.1 0 3.2 74.2 16.1 6.5 51.6 48.4 29,0 67,7 3,2 40 5 48 1 2 55 14 21 51 42 27 58 8 43 5,4 51,6 10,8 21,5 59,1 15 22,6 54,8 45,2 29 62,4 8,6 45 mutiara medika vol. 9 no. 1:42-49, januari 2009 tabel 2 menunjukkan bahwa rerata waktu pelepasan tali pusat pada perawatan tali pusat dengan asi adalah 5.32 hari. rerata waktu pelepasan tali pusat pada perawatan tali pusat dengan alkohol adalah 6.87 hari. rerata waktu pelepasan tali pusat pada perawatan tali pusat dengan kering terbuka adalah 6.65 hari. hasil analisis dengan anova pada ketiga variabel menunjukkan bahwa perawatan tali pusat dengan asi mempunyai waktu pelepasan tali pusat paling cepat dengan mean 5,32 hari dengan nilai p = 0.000. hasil analisis dapat dilihat dari tabel 3. tabel 3. perbandingan rerata waktu pelepasan tali pusat pada perawatan tali pusat dengan asi, alkohol 70%, dan kering terbuka di rb sakina idaman, rb queen latifa dan rs pku muhammadiyah kota gede pada bulan juni 2006 n=93 variabel mean sd 95 % ci p value waktu pelepasan tali pusat a. asi b. alkohol 70% c. kering terbuka 5.32 6.87 6.65 1.35 1.48 1.17 4.83 – 5.82 6.33 – 7.41 6.22 – 7.07 0.000 hasil analisis dengan uji anova pada ketiga variabel menunjukkan adanya perbedaan waktu pelepasan tali pusat. hasil penelitian ini menunjukkan waktu pelepasan tali pusat pada kelompok asi mempunyai perbedaan yang signifikan dibanding kelompok alkohol 70% dengan beda mean 1.55 hari (p = 0.000) sedangkan bila dibandingkan dengan kelompok kering terbuka, beda mean 1.32 hari (p = 0.001). waktu pelepasan tali pusat pada kelompok alkohol 70% tidak mempunyai perbedaan yang signifikan dibanding kelompok kering terbuka (uji anova, p = 1.000). hasil analisis dapat dilihat dari tabel 4. tabel 4. perbedaan selisih rerata waktu pelepasan tali pusat pada perawatan tali pusat dengan asi, alkohol 70% dan kering terbuka di rb sakina idaman, rb queen latifa dan rs pku muhammadiyah kota gede pada bulan juni 2006 n=93 variabel mean δ mean p value waktu pelepasan tali pusat a. asi alkohol 70% b. asi kering terbuka c. alkohol 70% kering terbuka 5,32 6,87 5,32 6,65 6,87 6,65 1,55 1,32 0,23 0.000 0.001 1.000 sri sumaryani, pelepasan tali pusat dan omphalithis kajian terhadap perawatan dengan asi ................ 46 hasil uji fisher ’s exact, kasus omphalitis pada perawatan tali pusat dengan asi, alkohol 70%, dan kering terbuka memperlihatkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara perawatan ketiga kelompok tersebut dengan nilai p = 1,000. hasil analisis dapat dilihat dalam tabel 5. tabel 5. kejadian omphalitis ringan pada perawatan tali pusat dengan alkohol 70% dan kering terbuka di rb sakina idaman, rb queen latifa dan rs pku muhammadiyah kota gede pada bulan juni 2006 n=93 tidak omphalitis omphalitis ringan total variabel f % f % f % or 95%ci pvalue alkohol 70% kering terbuka 30 29 96,8 93,5 1 2 3,2 6,5 31 31 100 100 2,06 0,178-24,07 1,000 diskusi hasil penelitian ini menunjukkan rerata waktu pelepasan tali pusat kelompok asi adalah 5,32 hari, alkohol 70% 6,87 hari, dan kering terbuka 6,65 hari, sehingga hasil ini menunjukkan perbedaan bermakna antara ketiga intervensi keperawatan tersebut, dan perawatan tali pusat dengan asi adalah tercepat waktu pelepasan tali pusatnya. waktu pelepasan tali pusat ratarata terjadi antara 5 – 15 hari setelah lahir.3 hasil penelitian di indonesia terkait dengan asi yang mendukung hasil penelitian ini dilaporkan oleh widowati pada tahun 2003. menyebutkan waktu pelepasan tali pusat yang dirawat dengan kolostrum mempunyai mean waktu 133,5 jam atau 5,56 hari, sedangkan kelompok alkohol 188,0 jam atau 7,83 hari (p = 0,003) yang berarti waktu pelepasan tali pusat kelompok kolostrum secara signifikan lebih cepat dibanding kelompok alkohol.4 kandungan gizi yang sangat baik di dalam asi, berupa laktosa, protein, lemak, mineral, dan vitamin di dalam asi memiliki efek secara langsung ke dalam sel. asi mengandung protein cukup tinggi. protein yang terdapat dalam asi akan berikatan dengan protein dalam tali pusat sehingga membentuk reaksi imun dan terjadi proses apoptosis. pembelahan dan pertumbuhan sel dibawah pengendalian genetik sel juga dapat mengalami kematian dibawah kendali genetik. proses ini disebut apoptosis atau proses kematian sel secara terprogram. gen dalam sel tersebut memainkan peranan aktif pada kehancuran sel. asumsi peneliti, protein dalam asi yang cukup tinggi dimana pada asi kolostrum mencapai 4,1 g%, asi transisi mencapai 1,6 g% berperan dalam proses perbaikan sel – sel yang rusak, mempercepat proses penyembuhan sehingga mampu mempercepat waktu pelepasan tali pusat. hasil penelitian di indonesia terkait dengan perawatan tali pusat yang menggunakan alkohol dan mendukung hasil penelitian ini dilakukan oleh oembaran pada tahun 1999 yang menyebutkan bahwa rerata waktu pelepasan tali pusat yang dirawat dengan alkohol adalah 200,36 jam. hasil ini 34,85 jam lebih lama bila dibanding tali pusat yang dirawat dengan air steril dan 30,06 jam lebih lama bila dibanding tali pusat yang dirawat dengan kassa steril.5 asumsi peneliti, tali pusat yang dirawat dengan alkohol 70% menyebabkan puntung tali pusat dan kulit disekitar tali pusat menjadi lembab sehingga proses pengeringan menjadi lebih lama. hal tersebut akan menyebabkan waktu pelepasan tali pusat menjadi lebih lama. 47 mutiara medika vol. 9 no. 1:42-49, januari 2009 kondisi puntung tali pusat dan kulit di sekitar tali pusat yang lembab memungkinkan bakteri berkoloni di dalamnya. dore, et al. pada tahun 1998 melaporkan hasil yang berbeda dengan penelitian ini bahwa waktu pelepasan tali pusat yang dirawat dengan alkohol 9,8 hari lebih lama bila dibanding tali pusat yang dirawat dengan menggunakan kasa steril saja.6 pendapat yang berbeda dengan hasil penelitian ini dikemukakan oleh lubis pada tahun 2003 yang menyatakan bahwa alkohol mampu mempercepat keringnya tali pusat dan lepasnya tali pusat, namun tidak efektif untuk membatasi kolonisasi bakteri.7 secara keseluruhan, hasil penelitian ini menunjukkan rerata waktu pelepasan kelompok alkohol 70% adalah 1,55 hari lebih lama dibandingkan kelompok asi (p = 0,000), namun tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan waktu pelepasan tali pusat pada perawatan tali pusat dengan kering terbuka karena beda mean hanya 0,23 hari (p = 1,000). resiko infeksi lokal tali pusat atau omphalitis tidak berbeda antara kelompok asi, alkohol 70%, dan kering terbuka (p = 1,000). zupan, garner, dan omari pada tahun 2004; pezzati, et al. pada tahun 2002; golombek, et al. pada tahun 2002; dore, et al. pada tahun 1998, dan widowati pada tahun 2003 melaporkan hasil yang sama bahwa alkohol tidak meningkatkan resiko infeksi tali pusat dibanding antimikroba atau antiseptik yang lain.4,6,8,9 faktor yang mempengaruhi terlambatnya pelepasan tali pusat adalah pemberian antiseptik pada puntung tali pusat, infeksi, dan operasi sesarea 3 sedangkan menurut wilson et al. pada tahun 1985 menyebutkan waktu pelepasan tali pusat yang berbeda dipengaruhi oleh proses pengeringan, infark, kontaminasi bakteri, dan influks granulosit, sedangkan mekanisme proses lepasnya tali pusat belum diketahui secara pasti.10 hasil penelitian juga menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara waktu pelepasan tali pusat pada perawatan tali pusat dengan asi dan alkohol 70 % (p = 0,000) dan dengan kering terbuka (p = 0,001), sedangkan waktu pelepasan tali pusat antara tali pusat yang dirawat dengan alkohol 70% dan kering terbuka tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p = 1,000). hasil hasil penelitian ini menunjukkan adanya kejadian omphalitis ringan pada perawatan tali pusat dengan alkohol 70% sebesar 6,4%, kering terbuka 3,2%, sedangkan perawatan tali pusat dengan asi tidak diketemukan kejadian omphalitis. kejadian omphalitis ringan yang terjadi pada pada perawatan tali pusat dengan alkohol 70% dan kering terbuka tidak berbeda secara bermakna meskipun ada perbedaan proporsi kejadian. bukti secara epidemiologis dan klinis menunjukkan bahwa asi sangat bermanfaat bagi bayi. asi mengandung nutrisi yang lengkap bagi bayi. asi juga memiliki zat anti bakteri karena di dalam asi terkandung faktor – faktor bioaktif yang bekerja sinergis membentuk sistem biologis. bukti ilmiah dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa asi mengandung zat protektif, laktoferin yang bermanfaat untuk menghambat pertumbuhan kuman stafilococcus dan e. coli. keistimewaan lain dari asi adalah mengandung imunoglobulin. imunoglobulin yang terkandung di dalam asi mencakup iga, ige, igm, dan igg yang dapat mencegah masuknya bakteri patogen masuk ke dalam mucosa usus. iga dalam asi meningkatkan kemampuan laktoperoksidase untuk membunuh kuman streptococus. asi juga mengandung imunitas seluler, di mana 90% sel tersebut berupa makrofag yang berfungsi membunuh dan memfagositosis mikroorganisme, membentuk c3 dan c4, lisozim dan laktoferin. sisanya (10%) terdiri dari limfosit b dan t. angka leukosit di dalam kolostrum kira-kira 5000/ml, setara dengan leukosit darah tepi. sri sumaryani, pelepasan tali pusat dan omphalithis kajian terhadap perawatan dengan asi ................ 48 alkohol (ethanol 70%) dapat membunuh hampir 90% bakteri dalam waktu dua menit dan menyebabkan suasana kulit menjadi lembab. apabila dioleskan satu kali saja menggunakan kasa dan membiarkannya menguap, alkohol akan menyebabkan penurunan kolonisasi bakteri tidak lebih 75%. alkohol akan menimbulkan iritasi kulit untuk pemakainan jangka panjang. apabila digunakan pada luka terbuka, alkohol tidak hanya akan menambah kerusakan jaringan tetapi akan membentuk koagulum yang akan meningkatkan pertumbuhan bakteri sehingga tidak direkomendasikan untuk luka terbuka.3 who merekomendasikan perawatan tali pusat dengan cara kering terbuka, namun tidak merekomendasikan perawatan tali pusat dengan menggunakan alkohol. who menilai bahwa alkohol tidak mampu membunuh spora, kurang efektif dalam mengontrol kolonisasi bakteri dan infeksi pada kulit dibandingkan dengan antimikrobial lain dan menyebabkan waktu pelepasan tali pusat lebih panjang.3 hasil penelitian hingga saat ini belum cukup bukti untuk merekomendasikan antimikroba topikal secara rutin pada puntung tali pusat karena masih banyak ditemukannya perbedaan hasil penelitian. hasil sistematik review terhadap 10 uji klinis yang dilakukan oleh zupan & garner (2002) tidak dapat menyimpulkan bahwa penggunaan desinfektan lebih baik dibanding teknik lain dan tidak ada bukti bahwa melakukan perawatan tali pusat tanpa mengoleskan bahan apapun pada tali pusat selain menjaga selain menjaga tetap bersih dan kering merupakan hal yang merugikan *8. zupan & garner (2002) juga menyebutkan bahwa di negara maju perawatan tali pusat secara sederhana dengan menjaga tali pusat tetap bersih dan kering menguntungkan bagi kesehatan, sedangkan di negara miskin pembersihan tali pusat dengan menggunakan desinfektan dapat menurunkan resiko infeksi bakteri.8 kesimpulan hasil penelitian ini memberi penjelasan bahwa perawatan tali pusat dengan menggunakan asi menyebabkan waktu pelepasan menjadi lebih pendek. upaya pelayanan keperawatan maternitas pada area asuhan keperawatan bayi baru lahir khususnya perawatan tali pusat dari segi promotif dengan memberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan bayi baru lahir khususnya perawatan tali pusat, sedangkan segi preventif dengan memberikan asuhan persalinan yang aseptik, pemotongan dan pengikatan tali pusat dengan instrumen yang steril, dan perawatan tali pusat dengan cara yang steril serta pemilihan regimen yang efektif dan efisien. teknik ini dilaksanakan untuk mencegah terjadinya infeksi pada tali pusat dan mempercepat waktu pelepasan tali pusat. saran implikasi hasil penelitian dari segi kuratif dengan memilih regimen yang efektif dan efisien untuk perawatan tali pusat agar tali pusat yang telah mengalami infeksi atau omphalitis dapat disembuhkan, sedangkan implikasi penelitian dari segi rehabilitatif dapat dilakukan dengan memfasilitasi bayi yang sudah mengalami omphalitis supaya dapat segera disembuhkan dan tidak berlanjut pada infeksi yang lebih berat. implikasi hasil penelitian ini terhadap penelitian adalah dapat menjadi salah satu referensi untuk melakukan penelitian lebih lanjut dan lebih kompleks sehingga diperoleh temuan baru yang lebih baik, aplikatif dan mampu memberi kontribusi yang berharga bagi kemajuan keperawatan. daftar pustaka 1. departemen kesehatan republik indonesia.(2002). sdki. http:// www.depkes.go.id, diperoleh 18 mei 2006 2. djaja, s. (2003). penyakit penyebab kematian bayi baru lahir (neonatal) dan sistem pelayanan kesehatan yang berkaitan di indonesia. http:// 49 mutiara medika vol. 9 no. 1:42-49, januari 2009 www.digilib.unikom.ac.id., diperoleh 19 mei 2006 3. who/rht/msm/1998.4. (1998). maternal and newborn health safe motherhood-care of the umbilical cord: a review of the evidence. http:// www.who.int., diperoleh 19 mei 2006 4. widowati,t. (2003). efektivitas dan keamanan kolostrum untuk perawatan tali pusat. tesis. tidak dipublikasikan 5. oembaran, t.d. (1999). pengaruh iodine povidon 10%, alcohol 70%, air steril dan kassa steril terhadap waktu pelepasan tali pusat. bandung: bagian ilmu kesehatan anak fk universitas padjajaran. tesis ppds 1 6. dore, s., buchan, d, coulas, s., hamber, l., stewart, m., cowan, d., et al. (1998). alcohol versus natural drying for newborn cord care (abstract). journal obstetric geonecology neonatal nursing, 27(6), 621 – 627 7. lubis, c.p. (2003). infeksi nosokomial pada neonatus. http:// www.library.usu.ac.id., diperoleh 19 mei 2006 8. zupan, j., garner, p., omari, a.a. (2004). topical umbilical cord care at birth. http://www.rhlibrary.com, diperoleh 19 mei 2006 9. pezzati, m., biagioli, e.c., martelli,e.,gambi,b.,biagiotti,rt., rubaltelli, f.f. (2000). umbilical cord care: the effect of eight different cord care regimens on cord separation time and other outcomes. http:// www.medscape.com., diperoleh 18 mei 2006 10. wilson, c.b., ochs, h.d., almquist, j., dassel, s., mauseth, r., ochs, u.h. (1985). when umbilical cord separation delayed?. journal pediatrics; 107 (2), 292 294 121 mutiara medika vol. 7 no. 2:121-125, juli 2007 kasus depresi berulang pada anak usia sekolah dengan penolakan bersekolah recurrent depression in a school-aged child with refusal of going to school warih andan puspitosari1 dan budi pratiti2 1department of public health, faculty of medicine, muhammadiyah university yogyakarta, 2depar tment of psychiatry, faculty of medicine, gadjah mada university yogyakarta abstract depression in children is often under-recognized because not all children complain of sad feeling. the incidence of depression in prepuberty and adolescence is estimated 1.5–2.5% and 4–5% respectively. the clinical appearance is influenced by the child’s age and psychological experience such as irritability, decrease of school achievement, withdrawal from social or leisure activity, and feeling more of inward signs like depressed, guilty or useless feeling and suicidal ideation. the aim of this paper is to report a case of recur rent child depression with refusal of going to school with method depth-interview towards the child and his family. result of this report case of recurrent depression in a school-aged child with refusal to go to school was reported. a 10-year old boy who was in 5th grade of elementary school refused to go to school for 3 months. clinical appearance showed sad looking, withdrawal, irritability, difficulty to sleep, depressed feeling, and decreased school achievement. the psychosocial stressor was bullying done by his schoolmates. two years prior to the condition when he was in the 3 th grade, the child showed the same clinical appearance with a stressor of mistreatment from his teacher. he was given pharmacotherapy and behavioral therapy. key words : child depression, recur rent, refusal of going to school abstrak berbeda dengan depresi pada orang dewasa, kasus depresi pada anak sering tidak terdiagnosis (underrecognised), karena tidak semua penderita depresi pada anak mengeluh sedih. insiden anak prapubertas diperkirakan 1,5-2,5% dan menjadi 4-5% pada masa remaja. gambaran klinis yang tampak pada anak dipengaruhi oleh usia dan pengalaman psikologis anak, seperti lekas marah (irritable), prestasi sekolah menurun, menyingkir dari kegiatan sosial atau aktivitas yang menyenangkan dan anak merasa murung (inward sign) seperti perasaan yang tertekan, rasa bersalah, rasa tak berharga, dan pikiran bunuh diri, tujuannya adalah melaporkan 1 kasus depresi berulang pada anak dengan masalah penolakan bersekolah, metoda yang digunakan wawancara mendalam terhadap penderita dan keluarga penderita. dilaporkan 1 kasus depresi berulang pada anak usia sekolah dengan masalah penolakan sekolah. seorang anak laki-laki berusia 10 tahun, klas 5 sd, tidak mau sekolah selama 3 bulan. gejala klinis yang ada adalah tampak sedih, tidak mau keluar rumah untuk berinteraksi dengan teman-temannya, mudah marah (irritabel), sulit tidur, merasa tertekan, prestasi belajar menurun, menyakiti diri sendiri. stressor psikososial adalah perlakuan nakal dari teman-temannya dalam bentuk ejekan dan perilaku kasar yang menyakitkan. dua tahun sebelumnya pada saat duduk di kelas 3, warih ap, budi p, kasus depresi berulang ............ 122 anak pernah mengalami hal serupa dengan stressor perlakuan gurunya yang tidak baik. diberikan farmakoterapi dan terapi perilaku pada penderita. kata kunci : berulang, depresianak, menolak bersekolah. pendahuluan depresi merupakan gangguan pada otak (gangguan mental) yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan seseorang seperti perasaan, pola pikir dan perilaku. depresi dengan onset cepat dapat menyebabkan kegagalan dalam pendidikan, penyalahgunaan alkohol dan obat terlarang, bahkan bunuh diri.1 depresi dapat menyebabkan gangguan luas pada fungsi dan penyesuaian pada anak juga remaja, peningkatan resiko penyakit dan hubungan antar pribadi dan berbagai kesulitan psikososial. sayangnya, gangguan-gangguan ini sering kali tak dikenali oleh keluarga dan dokter. tandatanda depresi pada anak dan remaja seringkali dipandang sebagai suasana hati normal yang menunjukkan tahap perkembangan tertentu. 2 berbeda dengan depresi pada orang dewasa, kasus depresi pada anak sering tidak terdiagnosis (underrecognised), karena tidak semua penderita depresi pada anak mengeluh sedih. dari beberapa penelitian, didapatkan hasil depresi terjadi sekitar 1% pada anakanak pra pubertas dan sekitar 3% pada remaja pasca pubertas 1. gambaran klinis yang tampak pada anak dipengaruhi oleh usia dan pengalaman psikologis anak, seperti lekas marah (irritable), prestasi sekolah menurun, menyingkir dari kegiatan sosial atau aktivitas yang menyenangkan, dan anak lebih merasakan murung (inward sign) seperti perasaan yang tertekan, rasa bersalah, rasa tak berharga, dan pikiran bunuh diri. gejala utama yang timbul antara lain efek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi hingga mudah merasa letih dan menurunnya aktivitas. beberapa anak menyangkal kalau dirinya sedang sedih tetapi mengaku merasa down, sedangkan yang lain merasa mudah marah. pada banyak kasus, anak yang mengalami depresi akan merasa tidak ada kesenangan dalam hidup (anhedonia). 3,4,5 secara khas, anak yang mengalami depresi akan memiliki harga diri yang rendah, mereka berpikir bahwa jalan hidup dan kesulitan pada kehidupan sosial merupakan kegagalan, merasa tidak memiliki masa depan, tidak mempunyai harapan dan tidak tertolong untuk berubah menjadi lebih baik. mereka mengeluh kurang konsentrasi, kurangnya perhatian dan kesulitan dalam membuat suatu keputusan. jarang sekali pasien menunjukkan gejala waham dan halusinasi. 3 gejala lain yang dapat muncul antara lain: menarik diri dari kehidupan sosial, perubahan nafsu makan, perubahan pola tidur, sering menangis, kelelahan dan kurang tenaga, adanya keluhan fisik (misal: nyeri perut, nyeri kepala) yang tidak membaik dengan pengobatan, penyalahgunaan alkohol dan obat terlarang serta adanya pikiran tentang kematian atau bunuh diri. 1,2,3,4,5,6,7,8, 9 sebagian besar anak dengan depresi yang signifikan akan mengalami perubahan nyata dalam aktifitas sosial, kurangnya ketertarikan pada sekolah dan prestasi akademik yang buruk, atau perubahan penampilan. 4,10 tujuan dari penulisan ini adalah melaporkan 1 kasus depresi berulang pada anak dengan masalah penolakan sekolah. laporan kasus seorang anak laki-laki, umur 10 tahun, pelajar klas 5 sd, agama islam, suku jawa, dibawa orang tuanya untuk konsultasi karena tidak mau sekolah, sejak 3 bulan yang lalu dengan alasan takut dinakali teman-temannya yang dikenal sebagai gank anak nakal. pasien sering diejek, diambil barang-barangnya (pensil, 123 mutiara medika vol. 7 no. 2:121-125, juli 2007 penggaris, penghapus, dll) serta dipukul sejak 10 bulan yang lalu. namun pasien tidak berani mengadukan pada guru ataupun orang tuanya karena diancam. ketika ada penayangan film smack down, pasien makin sering disakiti, dipukul, dikatakan banci, anak mami, pendek dan ejekan-ejekan lainnya. bersamaan dengan itu guru walikelas yang hubungannya sangat dekat dengan pasien, cuti dan digantikan guru lain. pasien menjadi takut masuk sekolah dengan berbagai alasan, pasien mengeluh sakit perut, pusing sehingga diperiksakan ke puskesm mintadiantar atau ditunggui bahkan sering minta pulang saat tiba di sekolah dan jika tidak dituruti maka pasien akan menyakiti dirinya sendiri dengan membentur-benturkan kepalanya ke tembok, mencakar-cakar tubuhnya sampai berdarah. pasien yang biasanya ceria menjadi pendiam, tidak mau lagi bercanda, jarang tersenyum, pemarah, penakut, tidak berani keluar rumah kecuali bersama orang tua atau saudaranya, jika ada tamu. keinginannya harus dituruti, jika tidak pasien marah-marah, membanting barang-barang yang ada di dekatnya. pasien gelisah, sulit tidur, sering terbangun, mimpi-mimpi buruk. guru menyarankan kepada orang tua pasien untuk berkonsultasi ke poli jiwa. status psikiatri saat pertama kali konsultasi : keadaan umu : tampak seorang anak lakilaki, kecil, murung, kesadaran compos mentis. selama wawancara, pasien lebih banyak diam dan menunduk, kurang kooperatif, kadang tidak mau menjawab pertanyaan yang diberikan oleh pemeriksa, tampak seperti ketakutan, mood disforik, afek appropriate, pembicaraan kurang spontan, suara pelan, halusinasi (-), bentuk pikir : realistis, isi pikir ketakutan berlebihan terhadap perilaku teman-temannya yang nakal, progresi pikir relevan/tidak ada kelainan. pasien adalah anak yang pandai, berprestasi namun manja dan sangat tergantung pada ibunya. setelah mendapat terapi, berupa farmakoterapi antidepresan ssri: fluoxetin 1x20 mg dan kognitif behavior terapi (cbt) serta terapi keluarga, pasien mulai menunjukkan perbaikan gejala. pasien berkurang ketakutannya, sudah mau sekolah namun belum penuh, mau mengikuti kegiatan ekstrakulikuler drumband walaupun hanya sebent ar. pasien mengaku sudah tidak begitu takut pada teman-teman nakalnya, namun sekarang pasien merasa malu dan kesulitan mengejar ketertinggalan pelajarannya. pasien mulai tenang, tidak mudah marah , tidur nyenyak, mau menemui dan bermain lagi bersama teman-temannya. ketika klas 3, pasien pernah mengalami hal yang sama, berupa tidak mau sekolah selama 3 bulan karena ketakutan terhadap kata-kata p. guru yang mengatakan bahwa di sekolah ini ada makhluk halus yang menjadi penunggu. ia akan marah jika murid-murid nakal. jika ada yang nakal maka, alat kelaminnya akan membesar . pasien belum pernah mengalami gangguan jiwa lainnya. diskusi pada kasus di atas, pasien dibawa konsultasi karena tidak mau sekolah, namun setelah digali dari aloanamnesis terhadap orang tua, guru dan temannya serta dilakukan pemeriksaan status mental dan test psikologi, maka didapatkan gejalagejala yang sangat beragam dari depresi pada anak. pasien mengalami kesedihan, kehilangan minat dan kegembiraan, malas beraktivitas, ketakutan, perubahan pola makan dan tidur, mudah marah dan menyakiti diri sendiri, tidak percaya diri, prestasi sekolah menurun, munculnya berbagai keluhan fisik (sakit perut, pusing, dll). pasien mempunyai tipe kepribadian dependent yang merupakan faktor predisposisi terjadinya depresi. pasien anak yang manja dan tergantung pada ibu serta gurunya. sehingga gejala makin memberat dan akhirnya menolak sekolah ketika guru walikelas yang selama ini hubungannya dekat dan menjadi tempat bergantung pasien, ternyata cuti dan digantikan guru lain, sehingga pasien menjadi tidak nyaman. depresi adalah suatu kekacauan mental yang lazim dialami pada anak dan warih ap, budi p, kasus depresi berulang ............ 124 remaja sehingga memerlukan suatu pengobatan yang menyeluruh, multidisiplin untuk mencegah persistensi atau kekambuhan pada masa dewasa. jika diresepkan, antidepresan harus selalu digunakan sebagai kombinasi dengan strategi perawatan lain seperti terapi kognitif tigkah laku, intervensi keluarga, pendidikan keluarga, dan berbagai strategi pencegahan. 9 dilakukan terapi dengan menggunakan farmakoterapi antidepresan ssri: fluoxetin 1x20 mg dan cognitive behavioral therapy (cbt) serta terapi keluarga untuk menangani pasien. setelah dilakukan terapi dan diikuti + 1 bulan, mulai terlihat perbaikan dari gejala-gejala depresinya. terapi kognitif tingkah laku (cbt) adalah satu terapi yang banyak digunakan untuk mengobati depresi. dokter membantu anak untuk mengidentifikasi penyimpanganpenyimpangan kognitif. perawatan kognitif tingkah laku atau cbt (cognitive behavioral therapy) pada depresi melibatkan aplikasi strategi yang spesifik mengarahkan di tiga daerah yang berikut: kognisi, perilaku dan fisiologi. dalam masalah kognitif, pasien diajarkan untuk mengkoreksi pemikiran negatif mereka. dalam masalah tingkah laku, pasien-pasien belajar penjadwalan aktivitas, ketrampilanketrampilan dan hubungan sosial. dalam masalah fisiologis pasien diajarkan teknikteknik relaksasi, meditasi dan membayangkan hal-hal yang menyenangkan untuk menenangkan diri mereka. banyak studi-studi menyelenggarakan menunjukkan bahwa terapi kognitif lebih efektif dibandingkan dengan pengobatan antidepresan trisiklik. studi telah menunjukkan arti penting dan efektivitas dari intervensi keluarga, keikutsertaan keluarga di dalam perawatan, demontrasi orang tua dalam hal kendali positif pada anak, dan menurunkan tingkat stress dalam keluarga.3,9 prognosis dalam kasus ini adalah dubia ad bonam, namun mempunyai tingkat kekambuhan yang tinggi. pada anak dan remaja, tingkat kekambuhan episode depresi pertama adalah 70% dalam lima tahun. suatu penelitian prospektif yang baru-baru ini diterbitkan menemukan bahwa awal onset depresi seringkali menetap, terulang, dan berlanjut hingga dewasa, dan menunjukkan bahwa depresi pada usia muda mungkin merupakan penyakit yang diramalkan akan lebih berat pada saat dewasa. 3 pada pasien ini, depresi yang dialami adalah merupakan depresi yang ke-2, walaupun pada kasus yang pertama anak dapat membaik tanpa harus mendapatkan farmakoterapi dari dokter. sehingga diagnosisnya menjadi gangguan depresi berulang episode kini berat tanpa gejala psikotik. kesimpulan dilaporkan sebuah kasus dengan : 1. diagnosis : gangguan depresi berulang episode kini berat tanpa gejala psikotik. 2. telah diberikan : farmakoterapi antidepresan ssri: fluoxetin 1x20 mg dan cognitive behavioral therapy (cbt) serta terapi keluarga 3. prognosis : dubia ad bonam, n farmakoterapi antidepresan ssri: fluoxetin 1x20 mg dan cognitive behavioral therapy (cbt) serta terapi keluargamun mempunyai tingkat kekambuhan hingga 70 % daftar pustaka 1. attwood, p., et al, 2005, depression in children: identification and management of depression in children and young people in primary, community and secondary care , national institute for health and clinical excellence, http://www.nice.org.uk 2. fassler , d. g., 2007, early-onset depression, national alliance of mental illness, http://www.nami.org 3. anonim, 2001, depression in children and adolescents, national institute of ment al health, http://www.athealth.com 4. sadock b.j. dan sadock v.a., 2003, kaplan and sadock’s synopsis of psychiatry, human sexuallity, williams and wilkins, ninth edition, london. 5. who, 1992, the icd-10 international statistical classification of disease and related health problems, world health organization, geneva. 125 mutiara medika vol. 7 no. 2:121-125, juli 2007 6. grayson, c. e., 2004, depression in children, the cleveland clinic department of psychiatry and psychology, http:// www.medicinenet.com 7. watkins, c. e., 2003, depression in children and adolescent s, http:// www.baltimorepsych.com 8. anonim, 2003, clinical depression – children and adolescents, mental health association of west schester, http:// www.mhawestchester.org 9. anonim, 2007, antidepressant medications for children and adolescents: information for parent and caregivers, national institute of mental health, http://www.nimh.nih.gov 10. anonim, 2007, children & depression, canadian mental health association, http://www.cmha.ca 73 mutiara medika vol. 9 no. 2:73-79, juli 2009 terapi kognitif dan perilaku pada gangguan obsesif kompulsif cognitive and behavior therapy for compulsive obsessive disorder warih andan puspitosari bagian ilmu kedokteran jiwa universitas muhammadiyah yogyakarta abstract the prevalence of obsessive compulsive disorder about 2-3%, mostly happened on male teenagers. the causes are multifactors including biological, behavior and psychosocial factor, so the treatment needs farmacotherapy and psychotherapy. the combination of sri (serotonin reuptake inhibitor) and cognitive behavioral therapy is the first choice to manage obsessive compulsive disorder. the aim of this case report is to reporting the treatment of obsessive compulsive disorder by using the combination of sri and cognitive behavioral therapy. a patient, male, 18th years old was brought by his mother to the psychiatry outpatient department for doing something repeatedly. it was annoyed him and other person. the mental status examination showed that he always thought repeatedly and did something, so that he will felt released. his neurological and psysical status were within normal limite. after he was treated with the combination of sri and cognitive behavioral therapy for 5 sessions, he is getting better. key words : obsessive compulsive disorder, sri (serotonin reuptake inhibitor), behavioral cognitive therapy abstrak prevalensi gangguan obsesif kompulsif berkisar antara 2-3% populasi, pada remaja lebih banyak terjadi pada laki-laki. penyebabnya multifaktorial meliputi faktor biologi, perilaku dan psikososial, sehingga penatalaksanaannya memerlukan farmakoterapi dan psikoterapi. kombinasi antara golongan sri (serotonin reuptake inhibitor) dan terapi kognitif perilaku merupakan pilihan pertama. terapi kognitif perilaku memerlukan sedikitnya 12 sesi pertemuan, berdasarkan pengalaman praktek yang terjadi di indonesia, sulit dilakukan karena terlalu lama, rumit, dan faktor biaya. dicoba modifikasi untuk menyingkat menjadi 5 sesi terapi. tujuan penulisan laporan kasus ini adalah melaporkan hasil penatalaksanaan penderita gangguan obsesif kompulsif dengan menggunakan kombinasi antara golongan sri (serotonin reuptake inhibitor) dan terapi kognitif perilaku modifikasi 5 sesi. seorang pasien, laki-laki, berusia 18 tahun diantar oleh ibunya ke poliklinik jiwa karena sering mengulang-ulang suatu perbuatan, yang sudah mengganggu pasien dan orang lain. pemeriksaan status mental didapatkan adanya pikiran berulang yang mengganggu dan harus dikerjakan agar merasa lega. pada status internus dan status neurologikus belum ditemukan adanya kelainan. setelah dilakukan penatalaksanaan dengan menggunakan kombinasi antara golongan sri (serotonin reuptake inhibitor) dan terapi kognitif perilaku modifikasi 5 sesi, pasien mengalami perbaikan gejala klinis. kata kunci : gangguan obsesif kompulsif, sri (serotonin reuptake inhibitor), terapi kognitif perilaku. warih andan puspitosari, terapi kognitif dan perilaku pada .............................. 74 pendahuluan prevalensi gangguan obsesif kompulsif berkisar antara 2-3% populasi, pada remaja lebih banyak terjadi pada lakilaki. penyebabnya adalah multifaktorial meliputi faktor biologi, faktor perilaku dan faktor psikososial. obsesi adalah pikiran, impuls dan ide yang mengganggu dan berulang yang muncul dengan sendirinya dan tidak dapat dikendalikan, sedangkan kompulsi adalah perilaku atau tindakan mental repetitif dimana seseorang merasa didorong untuk melakukannya dengan tujuan untuk mengurangi ketegangan yang dihasilkan pikiran-pikiran obsesif atau untuk mencegah terjadinya suatu bencana.1 gejala obsesi yang paling banyak terjadi berkaitan dengan pola gejala kontaminasi, keraguan patologis, pikiran mengganggu dan simetri. kekhawatiran tersebut sukar dihindari karena terjadi pada hampir segala aktivitas sehari-hari. 1,2 gejala utama yang ditunjukkan adalah adanya pikiran obsesif dan tindakan kompulsif yang bersifat egodistonik.3 secara klinis aktivitas kompulsi tidak berhubungan secara realistis dengan tujuan yang ada atau jelas berlebihan seperti mengupayakan kesempurnaan dengan melakukannya berulang-ulang yang memakan waktu.1,2,4,5 gangguan obsesif kompulsif merupakan salah satu gangguan yang paling sulit ditangani. walaupun berbagai macam intervensi dapat mengakibatkan perbaikan yang signifikan, kecenderungan obsesif kompulsif biasanya tetap ada hingga satu titik tertentu, walaupun dalam kontrol yang lebih besar dan dengan penampakan yang lebih sedikit dalam gaya hidup pasien.6 gangguan obsesif kompulsif mempunyai perjalanan penyakit yang bervariasi pada individu. sebanyak 20%30% pasien mengalami gejala perbaikan yang bermakna, 40%-50% perbaikan cukup dan 20%-40% mengalami gejala yang memburuk atau menetap. 2,6 pendapat lain menyatakan bahwa dengan terapi kognitif perilaku terdapat hasil yang bermakna pada 85% pasien.6 penatalaksanaan pasien obsesif kompulsif memerlukan farmakoterapi dan psikoterapi. dalam menentukan strategi penatalaksanan obsesif kompulsif harus memperhatikan keparahan penyakit, usia dan faktor lainnya meliputi efficacy, speed, durability, tolerability dan acceptability. dengan mempertimbangkan semua faktor tersebut, kombinasi antara golongan sri (serotonin reuptake inhibitor) dan terapi kognitif perilaku merupakan pilihan pertama. 2,7,8,9 tujuan penulisan laporan kasus ini adalah melaporkan hasil penatalaksanaan penderita gangguan obsesif kompulsif dengan menggunakan kombinasi antara golongan sri (serotonin reuptake inhibitor) dan terapi kognitif perilaku modifikasi 5 sesi. laporan kasus seorang laki-laki, berusia 18 tahun, beragama islam, suku minangkabau, pelajar smu di yogyakarta, diantar oleh ibunya ke poliklinik jiwa karena sering mengulangulang suatu perbuatan, yang dinilai oleh orang tuanya sudah mengganggu diri pasien. kurang lebih 3 bulan sebelum datang ke rs, pasien mulai menunjukkan perubahan perilaku berupa sering mengulang-ulang perbuatan/aktivitas sehari-hari seperti wudhu, sholat, cuci tangan. pada awalnya, gejala pengulangan hanya ringan (tidak terlalu sering), tetapi akhir-akhir ini makin memberat. pada bulan romadhon, pasien berulang-ulang membuang ludah karena khawatir jika ada air yang tertelan dan dapat membatalkan puasanya. saat mandi pasien merasa belum bersih, sehingga mengulang-ulang mengguyur tubuhnya. demikian juga pasien cebok dan cuci tangan berulang-ulang karena khawatir belum bersih. pasien mengulang wudhu berkali-kali karena khawatir wudhunya belum sempurna. saat mengerjakan sholat, pasien mengulang-ulang takbirotul ihram sampai beberapa kali, sehingga sering tertunda untuk memulai sholatnya. hal tersebut dilakukannya, karena ia merasa niat sholatnya belum benar/belum mantap. pasien khawatir sholatnya tidak sah. namun jika pasien sudah berhasil memulai sholatnya, maka pasien akan bisa 75 mutiara medika vol. 9 no. 2:73-79, juli 2009 meneruskan sholatnya sampai selesai, dengan tidak mengulang lagi dan mengabaikan keraguannya. pengulangan kegiatan terebut dilakukan setiap hari, pengulangan dilakukan karena di dalam pikirannya selalu muncul dorongan untuk berbuat demikian. ia menyadari bahwa pikiran/dorongan tersebut berasal dari dirinya sendiri, bukan karena adanya pikiran lain yang menyisipi pikirannya atau karena mendengar suara yang memerintahnya. ia berusaha melawan/mengabaikan pikiran tersebut tetapi tidak bisa. munculnya pengulangan dorongan-dorongan tersebut membuatnya tidak tenang/gelisah dan merasa menderita. jika tidak dilakukan secara berulang-ulang timbul kecemasan / kegelisahan. pengulangan akan menimbulkan perasaan lega, tetapi bukan rasa senang. semua kegiatan yang dilakukan secara berulang tersebut sering menimbulkan dampak/ mengganggu dirinya dan orang lain. pasien belum pernah mengalami gangguan seperti ini sebelumnya dan gangguan jiwa lainnya, tidak didapatkan riwayat panas dan kejang, trauma kepala yang memerlukan perawatan atau keracunan zat. juga tidak ada riwayat penyakit medis lainnya. pasien belum pernah merokok, menggunakan alkohol maupun napza. perkembangan masa kanak-kanak normal. norma nilai-nilai benar-salah dipegangnya cukup kuat. prestasi akademiknya baik, hampir selalu masuk peringkat 5 besar. pasien mempunyai banyak teman dan cukup akrab. pasien rajin mengikuti pengajian yang secara rutin diselenggarakan di sekolahnya. olah raga yang disukainya adalah sepak bola. ia juga akrab dengan adik-adiknya dan lebih mandiri. pasien mengalami mimpi basah saat kelas 1 sltp, dan sudah tertarik dengan lawan jenis, tetapi tidak sampai pacaran. pasien bila mengerjakan sesuatu ingin dilakukan dengan sebaik-baiknya. bila tidak dikerjakan dengan baik (sesuai standarnya), ia merasa tidak puas. ia sangat menyukai kebersihan, juga memegang teguh nilai-nilai norma sosial dan norma agama. saat ini pasien tinggal di sebuah rumah kontrakan di kota yogyakarta, berdekatan dengan sekolahnya, bersama ibu dan ketiga adiknya. ayahnya bekerja di jakarta sebagai karyawan rumah makan milik kakak kandungnya. sebenarnya ibunya ingin agar ayahnya tetap di yogya, membantu warung makan yang dikelola ibunya. hal ini sering menimbulkan konflik pada kedua orang tuanya. secara ekonomi termasuk kurang. pemeriksaan status mental didapatkan bahwa pasien selalu menyatakan adanya pikiran berulang yang mengganggu dan harus dikerjakan agar merasa lega. pada status internus dan status neurologikus belum ditemukan adanya kelainan. pemeriksaan psikologik woodworth’s : eint.emot : 56 / psych obses : 120 / schiz tendenz : 120 /paran tendenz : 40 / depr hypoch : 52 / impuls epil : 74 / instab emos: 104 / antis tendenz : 0. eysenk : n : 17, i : 15, l : 2. hdrs : 6, hrsa : 9, test psikologis : kepribadian : curiga, ragu-ragu, kompulsif, imatur. diagnosis multiaksial : aksis i : campuran pikiran dan tindakan obsesif (f. 42.2) aksis ii : kecenderungan kepribadian anankastik aksis iii : belum ada diagnosis aksis iv : masalah keluarga aksis v : gaf 90-81 (tertinggi dalam 1 tahun terakhir) gaf 60-51 (sekarang) penatalaksanaan : 1. farmakoterapi : fluoxetin dimulai dari dosis 1 x 20 mg (pagi hari) 2. non farmakoterapi : terapi kognitif perilaku modifikasi 5 sesi warih andan puspitosari, terapi kognitif dan perilaku pada .............................. 76 diskusi riwayat perjalanan penyakit ditemukan bahwa dalam kurun waktu 3 bulan pasien sering merasakan adanya pikiran yang berulang kali muncul dan terus menerus ada setiap hari, serta perilaku berulang sebagai respon terhadap pikiran yang selalu muncul tersebut. ia menyadari bahwa pikiran/dorongan tersebut berasal dari dirinya sendiri, ia berusaha melawan/ mengabaikan pikiran tersebut tetapi tidak bisa. munculnya pengulangan dorongandorongan tersebut membuatnya tidak tenang/gelisah dan merasa menderita. bila ia melakukan kegiatan secara berulang, timbul perasaan lega (merasa plong), tetapi bukan rasa senang. semua kegiatan yang dilakukan secara berulang tersebut menimbulkan dampak bagi dirinya. 1,2 berdasarkan riwayat perjalanan penyakit, gejala utama yang ditunjukkan adalah adanya pikiran obsesif dan tindakan kompulsif yang bersifat egodistonik, sehingga diagnosis adalah gangguan obsesif kompulsif. diagnosis aksis i dari kasus ini adalah campuran tindakan dan pikiran obsesional (f. 42.2).3 riwayat kehidupan pribadi pasien, pasien berusaha dengan keras untuk memegang teguh norma agama dan norma-norma sosial. selama ini pasien dikenal sebagai anak yang rajin, teliti, rapi dan selalu ingin melakukan sesuatu secara sempurna. sehingga axis ii adalah gambaran kepribadian anankastik. 3 pada kasus ini diketahui stressornya adalah masalah keluarga yaitu konflik antara ayah dan ibunya terkait masalah pemenuhan ekonomi keluarga. dengan demikian pada aksis iv dapat dimasukkan adanya masalah berkaitan dengan lingkungan sosial.3 aksis v merupakan skala penilaian global terhadap tingkat fungsional pasien selama periode waktu tertentu. pada pasien ini selama satu tahun terakhir terdapat gejala yang minimal, berfungsi baik, cukup puas, tidak lebih dari masalah harian biasa (gaf 70-61), sedangkan pada saat datang berobat terdapat gejala sedang dan disabilitas sedang (gaf 60-51).3 farmako terapi terpilih pada pasien obsesif kompulsif adalah golongan sri, yang meliputi klomipramin dan ssri (selective serotonin reuptake inhibitor) yaitu fluoxetin, paroxetin, sertralin, fluvoxamin. hal tersebut didasarkan pada hipotesis bahwa disregulasi serotonin terlibat dalam pembentukan gejala obsesi dan kompulsi. 8,8,9 jika pasien tidak berespon dengan dosis rata-rata, para ahli merekomendasikan peningkatan secara bertahap ke dosis maksimal dalam jangka watu 4-8 minggu dari awal terapi. jika pasien hanya menunjukkan respon sebagian dengan dosis rata-rata, para ahli menganjurkan peningkatan secara bertahap ke dosis maksimal dalam jangka watu 5-9 minggu dari awal terapi. para ahli mempertimbangkan percobaan terapi yang adekuat selama 8-13 minggu sebelum merubah medikasi atau menambahkan agen yang lain. rekomendasi yang lainnya adalah penggantian ke obat sri yang lain jika tidak ada respon setelah pemberian dosis maksimal selama 4-6 minggu. obat lain yang dapat diberikan sebagai lini ke tiga jika sri saja kurang berhasil adalah venlafaxin, maoi, buspiron, clonazepam, antipsikotik dan ect. 7,8,9 terapi kognitif perilaku memiliki efektifitas yang sama dengan farmakoterapi. efek terapetiknya bisa berlangsung lebih lama setelah penghentian terapi daripada efek terapetik ssri setelah terapi dihentikan. kombinasi antara terapi kognitif perilaku dan medikasi golongan sri (serotonin reuptake inhibitor) merupakan pilihan pertama. walaupun terapi perilaku bisa memiliki efek lama yang terbawa setelah sesi berakhir, ssri kelihatannya harus diberikan secara tak terbatas pada pasien obsesif kompulsif. psikoterapi suportif dapat dilakukan untuk membangkitkan semangat pasien agar dapat beraktifitas dan melakukan penyesuaian sosial. 1,7 terapi kognitif perilaku melibatkan kombinasi antara terapi perilaku dan terapi kognitif. terapi perilaku pada obsesif kompulsif terutama melibatkan paparan 77 mutiara medika vol. 9 no. 2:73-79, juli 2009 (exposure/e) dan pencegahan respon/ritual (response or ritual prevention/rp). exposure berdasarkan pada kenyataan bahwa kecemasan biasanya diturunkan/ dilemahkan setelah paparan dalam waktu yang cukup dengan stimulus yang menakutkan. paparan yang berulang berhubungan dengan penurunan kecemasan, sampai suatu saat setelah paparan yang berulang-ulang pasien tidak begitu takut lagi kontak/terpapar dengan stimulus tertentu yang mencemaskannya. untuk mendapatkan paparan yang adekuat, biasanya perlu untuk membantu pasien mencegah terjadinya ritual atau perilaku menghindar, suatu proses yang dinamakan response or ritual prevention /rp. terapi kognitif yang ditambahkan pada e/rp, ditujukan pada kesalahan estimasi terhadap suatu bahaya atau perasaan tanggung jawab personal yang berlebihan. para ahli mempertimbangkan bahwa e/rp merupakan psikoterapi perilaku yang optimal bagi pasien obsesif kompulsif , sementara terapi kognitif memberikan keuntungan tambahan dengan ditujukan langsung kepada pikiran obsesif dan atau dengan meningkatkan kepatuhan terhadap e/rp. 7 para ahli merekomendasikan permulaan terapi seminggu sekali, dengan sesi individual dan memberikan pekerjaan rumah. para ahli merekomendasikan 1320 sesi sebagai jumlah yang memadai (alternatif lain sebanyak 7-12 sesi), jika diperlukan hasil yang lebih cepat atau pasien obsesif kompulsif dewasa yang sangat parah, dapat dilakukan terapi kognitif perilaku yang intensif yaitu terapi harian 50 menit selama 3 minggu. sebagai terapi lini ke dua dapat dilakukan terapi e/rp dua minggu sekali dengan lama jumlah sesi 2050 (alternatif lain 3-6 sesi dengan melibatkan family therapy). 7 terapi kognitif perilaku memerlukan sedikitnya 12 sesi pertemuan, yang secara sistematis dan terencana, meliputi : assesmen dan diagnosis (sesi 1-2), pendekatan kognitif (sesi 2-3), formulasi status (sesi 3-5), fokus terapi (sesi 4-10), intervensi tingkah laku (sesi 5-7), perubahan core beliefs (sesi 8-11) dan penceghan relapse (sesi 11-12). namun berdasarkan pengalaman praktek yang terjadi di indonesia, jumlah 12 sesi menjadi sangat sulit untuk dilakukan karena beberapa alasan, yaitu terlalu lama sedangkan klien mengharapkan hasil yang dapat segera dirasakan manfaatnya, alasan faktor biaya, terlalu rumit, membosankan karena kemajuan dan perkembangan terapi menjadi sedikit demi sedikit. 11 salah satu alternatif yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut dilakukan oleh seorang terapis di jakarta dengan menyingkat menjadi 5 sesi terapi (modifikasi 5 sesi), yaitu : sesi 1 berupa assesmen dan diagnosis awal, sesi 2 mencari emosi negatif, pikiran otomatis dan keyakinan utama yang berhubungan dengan gangguan, sesi 3 menyusun rencana intervensi, sesi 4 formulasi status, fokus terapi, intervensi tingkah laku lanjutan dan sesi 5 pencegahan relapse. 11 pada gangguan obsesif kompulsif, psikoterapi kognitif akan lebih utama untuk mengurangi gejala. hal ini disebabkan karena kompulsi/perilaku yang dialami penderita adalah karena pikiran obsesifnya, sehingga jika pikiran obsesifnya dapat diperbaiki maka akan diikuti dengan perbaikan gejala kompulsinya.12 keluarga pasien yang mengalami gangguan obsesif kompulsif sering mengalami putus asa dengan perilaku pasien sehingga dalam penatalaksanaan harus mencakup perhatian terhadap keluarga melalui dukungan emosi, penjelasan dan nasehat bagaimana cara menghadapi pasien.2,13 anggota keluarga dapat tanpa disadari berperan dalam timbulnya gejala maupun dalam mengurangi gejala. pada kebanyakan kasus, pendidikan pengenalan kondisi pasien dan cara berespon yang sesuai dapat menolong pasien dalam menghadapi masalahnya. sikap yang harus diusahakan keluarga antara lain mendukung penurunan gejala tetapi tidak mengkritik adanya eksaserbasi gejala yang timbul serta menyadari bahwa terapi yang sedang dijalani pasien membutuhkan proses yang warih andan puspitosari, terapi kognitif dan perilaku pada .............................. 78 bertahap. 13 keluarga hendaknya memperbaiki ekspresi emosinya. tiga ekspresi emosi yang harus dihindari adalah: hostility, criticism, over involvement. 14 pemberian farmakoterapi diawali dengan fluoxetin 1 x 20 mg pada minggu pertama dan dosis dinaikkan menjadi 1 x 40 mg pada minggu ke 2 hingga selama masa follow up. terapi kognitif perilaku dilakukan dengan modifikasi sebanyak 5 sesi pertemuan. 12 pada kunjungan pertama dilakukan assesmen dan diagnosis awal serta kesepakatan untuk melakukan terapi kognitif perilaku sebanyak 5 sesi. sesi 2 mencari emosi negatif, pikiran otomatis dan keyakinan utama yang berhubungan dengan gangguan. pasien selalu merasa ragu-ragu bahwa apa yang dilakukannya kurang sempurna sehingga akan membuatnya selalu muncul pikiran berulang dan diikuti oleh perilaku yang jika tidak dilakukannya akan membuatnya cemas. sesi 3 menyusun rencana intervensi, pasien bersama keluarga membuat berbagai alternative dalam mengatasi masalahnya, ada reward dan punishment dalam kegiatan-kegiatan hariannya yang melibatkan keluarga dan teman terdekatnya. antara lain berusaha untuk tidak tertinggal sholat berjaah sehingga pasien akan berwudhu dan takbiratul ikhrom dengan dibatasi waktu. makan pagi bersama sehingga akan mempersiapkan diri dengan dibatasi waktu. pasien bisa mengurangi pengulanganpengulangan perbuatannya dengan dukungan keluarga dan teman dekatnya. sesi 4 melakukan formulasi alternative dan intervensi tingkah laku lanjutan. pasien meneruskan pencapaian hasil yang telah dicapainya setelah sesi 3, dan pasien makin bisa mengurangi pengulangannya dengan jumlah yang mendekati normal serta terhindar dari kecemasan. sesi 5 fokus pada pencegahan relapse. kesimpulan pemberian farmakoterapi dimulai dengan dosis 1x20 kemudian dinaikkan menjadi 1x40 mg pada minggu ke-2, bersama-sama terapi kognitif perilaku yang dimodifikasi menjadi 5 sesi pada penderita gangguan obsesif kompulsif hasilnya cukup memuaskan. daftar pustaka 1. sadock b.j. and sadock v.a.(eds), 2000, kaplan and sadock’s comprehensive textbook of psychiatry, 7thed, lippincott williams and wilkins, philadelphia. 2. sadock b.j. and sadock v.a. (eds.), 2003, kaplan and sadock’s synopsis of psychiatry, behavioral sciences/ clinical psychiatry, williams and wilkins, 9th ed, london. 3. depkes ri, 1993, pedoman dan penggolongan diagnosis gangguan jiwa edisi ke-iii, jakarta. 4. aldrich c.k., 1966, an introduction to dynamic psychiatry, 1sted, mcgrawhill book company, new york. 5. davidson g.c., neale j. m. dan kring, 2004, gangguan ansietas dalam: psikologi abnormal, pt raja grafindo persada, jakarta. 6. wright j.h., 2006, cognitive behavior therapy: basic priciples and recent advances, the journal of lifelong learning in psychiatry. 7. march j.s., frances a., carpenter d. and kahn d.a., 2007, the expert consensus guideline series: treatment of obsessive-compulsive disorder, ocd guide line.htm. 8. heyman i., cois d. m. dan fineberg n a., 2006, obsessive compulsive disorder, british medical journal. 9. stahl s.m., 2000, essential psychopharmacology : neuroscientific basis and practical applications, 2nd ed, cambridge university press, cambridge. 10. stahl s.m., 2005, essential psychopharmacology : the prescriber’s guide, 1st ed, cambridge university press, cambridge. 11. oemarjoedi a.k., 2003, pendekatan cognitive behavior dalam psikoterapi, creative media, jakarta. 12. soewadi, 2008, psikoterapi dalam kuliah pakar, bagian ilmu kedokteran jiwa fk ugm/rs dr. sardjito yogyakarta 79 mutiara medika vol. 9 no. 2:73-79, juli 2009 13. hewlett w.a., 2000, obsessive compulsive disorder, dalam: current diagnosis and treatment in psychiatry, lange medical book, the mcgraw-hill companies, singapore. 14. soewadi, 2008, terapi keluarga dalam kuliah pakar, bagian ilmu kedokteran jiwa fk ugm/rs dr. sardjito yogyakarta | 86 mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 21 no 2 page 86-94, july 2021 public-private mix implementation and achievements of tuberculosis control program at puskesmas in pekanbaru implementasi public-private mix dan capaian program pengendalian tuberkulosis di puskesmas pekanbaru elda nazriati1*, zulharman1, fifia chandra2, ucha anggiani putri3 1 department of medical education and family medicine, faculty of medicine, universitas riau 2 department of public health and community medicine, faculty of medicine, universitas riau 3 faculty of medicine, universitas riau data of article: received: 08 may 2021 reviewed: 06 june 2021 revised:25 june 2021 accepted: 05 july 2021 *correspondence: eldanazriati@gmail.com doi: 10.18196/mmjkk.v21i2.11731 type of article: research abstract: public-private mix (ppm) is a strategy implemented in countries with a high burden of tuberculosis, including indonesia. this study aims to identify ppm implementation at the puskesmas and the success of the tb control program at the puskesmas that have implemented the ppm strategy. the research was conducted in 2019 in pekanbaru municipality. it was an observational study that collected quantitative and qualitative data. the implementation of ppm was assessed through guided interviews. the success of the tuberculosis control program was assessed through the case notification rate and success rate using secondary data from 2010 to 2017. the results showed that ppm had been implemented in six health centers in pekanbaru. however, there were obstacles such as a lack of human resources, ngos, private clinics, and local governments. the case notification rate and success rate showed an increasing trend after the ppm implementation. however, these indicators had not yet reached the national target. it can be concluded that ppm in pekanbaru had been implemented but needed to be improved at all puskesmas by involving more partnerships and following up on obstacles encountered. furthermore, the tuberculosis control indicator had shown an increasing trend, but it needed to reach the national target. keywords: achievements; public-private mix; tuberculosis abstrak: public private mix (ppm) adalah strategi yang dilaksanakan di negara dengan beban tuberkulosis tinggi termasuk indonesia. perlu dilakukan analisis bagaimana implementasi ppm serta capaian indikator pengendalian tuberkulosis. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi ppm di puskesmas serta keberhasilan program pengendalian tb paru pada puskesmas yang telah menerapkan strategi ppm. penelitian dilakukan tahun 2019 di kota pekanbaru. penelitian ini bersifat observasional yang mengumpulkan data kuantitatif dan kualitatif. implementasi ppm dinilai melalui wawancara terpimpin. keberhasilan program pengendalian tuberkulosis dinilai melalui angka notifikasi kasus dan angka keberhasilan pengobatan menggunakan data sekunder dari tahun 2010 hingga 2017. hasil penelitian menunjukkan ppm telah diterapkan di 6 puskesmas di pekanbaru, namun terdapat kendala seperti kurangnya sumber daya manusia, kurangnya keterlibatan lsm, klinik swasta, dan pemerintah daerah. case notification rate dan succsess rate menunjukkan tren peningkatan setelah penerapan ppm, namun belum mencapai target nasional. dapat disimpulkan bahwa ppm di pekanbaru telah dimplementasikan tetapi perlu ditingkatkan pada seluruh puskesmas dengan melibatkan lebih banyak mitra dan menindaklanjuti hambatan yang dihadapi. indikator pengendalian tuberkulosis sudah menunjukkan tren peningkatan, namun perlu mencapai target nasional kata kunci: capaian; public private mix; tuberkulosis https://doi.org/10.18196/mmjkk.v21i2.11731 87 | vol 21 no 2 july 2021 introduction based on the world health organization (who) reports, indonesia is one of the five countries with the highest tuberculosis (tb) cases.1 in 2017, indonesia had 425,089 tb cases.2 indonesia is a country with a large private health sector that is not yet firmly linked to the national tuberculosis control program (ntp). the overall level of underreporting of detected tb cases was estimated to be 41%.3 one of the targets to be achieved in the sustainable development goals (sdgs) is to end the tuberculosis epidemic. the global prime ministerial conference on end-tb aims to accelerate progress towards the targets set in the sdgs and end-tb through a multisectoral role. the who end-tb strategy calls for close collaboration with affected communities and civil society organizations in planning, implementing, monitoring, and evaluating.3 public private mix (ppm) is a strategy for expanding tb services by involving all health service providers, both private and public, using international standard tb treatment.4 public-private mix is considered relevant to be implemented in countries with high tb burden in asia and africa. the world health organization (who) reports that the contribution of ppm to tb notification between 2012 and 2016 increased by more than 10% in indonesia, bangladesh, india, and the philippines.1 the expansion of the directly observed treatment short-course (dots) strategy with the ppm approach in indonesia has been carried out since 2000. in 2006, indonesia became the first country among countries with a high burden of tb in southeast asia to achieve the millennium development goals (mdgs) target of 70%; the discovery of new cases of acid fast bacilli (afb) was positive and achieved 85% recovery.5 the pekanbaru municipality health office had launched a ppm strategy since 2009, and puskesmas was one of the health service facilities involved. based on the information provided by the pekanbaru city health office, in 2019, there were six puskesmas in pekanbaru that already had a cooperation document (mou) with other health facilities. to get an overview of the success of the ppm strategy, it is necessary to analyze how the ppm implementation in pekanbaru and the achievements of the tb program before and after the implementation of ppm. the success of the tb control program can be assessed using two leading indicators of the national tb control program, namely the case notification rate and the success rate. the number of case notifications collected serially will illustrate increasing or decreasing tb patient findings in a region. the success rate for treatment has a target that must be achieved, namely at least 90%. 6 puskesmas have an essential role in increasing notification at the first level health facility (fktp) as they have the authority to coordinate and foster fktps in their area. (5) as one of the fktps, puskesmas also plays a role in tb treatment without complications.6 ppm is a promising strategy to strengthen global tb care and control but is affected by contextual characteristics in different areas. the scaling-up of ppm should contain essential commonalities, particularly substantial financial support, and continuous material input. additionally, it is essential to improve program governance and training for the health providers involved through integrated collaborative mechanisms.7 this study aims to describe the implementation of ppm in puskesmas and the success of pulmonary tuberculosis control programs at puskesmas, which has implemented ppm strategies in pekanbaru municipality. materials and method this study was an observational study that collected quantitative and qualitative data. quantitative data included the trend of the achievement of the tuberculosis control program at the puskesmas before and after the implementation of the public-private mix, while the qualitative data were a description of the implementation of the public-private mix at the puskesmas. qualitative and quantitative data were taken at the same time. these two data complemented each other to understand the research results. the research was conducted in the city of pekanbaru in 2019. the population of the study was the health centers that had implemented ppm in pekanbaru. the inclusion criteria included puskesmas that already have an mou on ppm implementation and have implemented ppm for at least one year. puskesmas that did not report the achievements of the tb program regularly and were not willing to be interviewed and provided secondary data were included in the exclusion criteria. pekanbaru had 20 health centers, six of which met the inclusion criteria and were taken as research samples. the implementation of ppm at the puskesmas was assessed qualitatively through guided interviews using an interview guide. the interview guidelines contained the roles, constraints, and proposed solutions in implementing ppm. validation guidelines for interviews were conducted with expert judgment. the research informants consisted of doctors at the puskesmas, the head of the puskesmas, the manager of the | 88 puskesmas tb program, and other parties mentioned by the informants. interviews were conducted using a recording device. interview data were transcribed in verbatim form and content analysis was carried out. the achievements of the tb program were assessed quantitatively based on two indicators, namely the case notification rate and the success rate, collected through document searches at the puskesmas and the pekanbaru municipality health office. data included the report on the last period of the tb puskesmas program available at the time of the study. content analysis on qualitative data was carried out by determining keywords, sub-themes, and themes. themes were determined based on research questions, including the roles of various parties in implementing the public-private mix and obstacles and solutions encountered based on interviews with research respondents. validity and reliability were carried out through triangulation of sources and interrater reliability. quantitative data were processed using a computer device to see the achievements of the puskesmas and see the trend of increasing or decreasing before and after the implementation of ppm. trend analysis was carried out using linear regression, which inputted the average achievement of each indicator of the tb program every year, starting in 2010-2017. this study was approved by all authors. this research procedure has ethical clearance from the medical research ethics committee of the faculty of medicine, riau university number 020 / un19.5.1.1.8 / uepkk / 2019. result in 2019, six out of 20 puskesmas in pekanbaru had implemented ppm. the six puskesmas started ppm at various times, some started in 2014, and some started ppm in 2016. the total population served by each puskesmas was 34,995 to 115,333. the number of tb cases in each puskesmas was 23 to 155 cases. informant interviews showed the roles of various parties in tuberculosis ppm, which were listed in table 1. in the implementation of ppm tuberculosis in puskesmas, several obstacles and solutions were proposed based on interviews with informants described in table 2. table 1. roles of various parties in implementing ppm no network member role 1 pekanbaru health office make a policy and form the ppm team conducted training for the phc recommend private clinics to collaborate with phc facilitate cooperation with various parties monitor ppm implementation 2 head of phc sign the mou form the ppm implementation program 3 dots team in phc invite private clinics to socialize tb ppm make an mou and coordinate with private clinics collect data from private clinics in the working area and make reports to the health department office 4 private clinics select tb suspects and refer to phc reported new tb patients to phc carry out tb treatment in the clinic 5 community social health workers conduct patient selection and refer to phc (only in two phc) the local government coordinates with the subordinates for program socialization (if necessary) 89 | vol 21 no 2 july 2021 table 2. constraints and solutions in ppm implementation based on interviews no aspect barriers solutions 1 human resources move to another place or other duties policy from the clinic, phc, and district health officer lack of number ask a peer to help at phc workload lack of training more training conducted 2 external network lack of communication with phc officers increase ppm socialization and ask clinics and independent practice physicians to send patients to phc actively did not refer the patient to phc and did not want to treat tb patients provides tb drug programs in clinics and private practice doctors lack of community participation and local government improve socialization about the role of the community and local government in the implementation of ppm 3 administration patients do not live in the phc work area so that contact screening is difficult to do feedback to phc in the work area where the patient lives to carry out contact investigation figure 1. case notifications rate at puskesmas that has implemented ppm and those who have not implemented ppm the indicators of the success of the tuberculosis control program in this study were case notification and treatment success. figure 1 compares the average case notifications at puskesmas that had implemented ppm and those that had not during 2010-2017. figure 2 shows the trend of the average number of case notifications before and after ppm implementation at six puskesmas in pekanbaru. a comparison of the success rates of tuberculosis treatment at puskesmas that both has and has not implemented ppm is shown in figure 3. the trend of the average success rate of tuberculosis treatment at puskesmas that has implemented ppm is presented in figure 4 0 20 40 60 80 100 120 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 pe r 10 0. 00 0 p op u la ti on tahun ppm non ppm | 90 figure 2. the trend of notification rate before and after implementing ppm at 6 puskesmas in pekanbaru figure 3. comparison of treatment success rates at puskesmas that has implemented ppm and those that have not implemented ppm figure 4. trends in the success rate of treatment before and after the implementation of ppm at 6 puskesmas in pekanbaru r² = 0,6843 r² = 0,8686 0 20 40 60 80 100 120 2 0 0 9 2 0 1 0 2 0 1 1 2 0 1 2 2 0 1 3 2 0 1 4 2 0 1 5 2 0 1 6 2 0 1 7 2 0 1 8 p er 1 00 .0 00 p op u la ti on year before after linear (before) linear (after) 0 20 40 60 80 100 120 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 % year ppm non ppm target r² = 0,1905 r² = 0,8624 0 20 40 60 80 100 120 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 % year before after linear (before) linear (after) 91 | vol 21 no 2 july 2021 discussion the implementation of ppm in pekanbaru began in 2014. the city health office carried out the ppm socialization, followed by a cooperation agreement between the puskesmas and the private sector. some of the parties that play a role in implementing ppm are the city health officer, the head of the puskesmas, the dots team, private clinics, and the community. there are several obstacles in implementing ppm, such as human resources, external networks, and administrative factors. ppm in indonesia has been implemented with district-based ppm (dppm) under the coordination of district / city health offices. the puskesmas is an essential part of the primary service component in dppm as it has the authority to coordinate and foster primary service facilities in its working area. puskesmas plays a role in establishing internal and external networks. the role of the puskesmas in the external network is to coordinate and foster independent medical practices, primary care clinics, pharmacies, and private laboratories in their working areas.5 seven crucial steps in building a ppm partnership consist of preparing a document and gap analysis, sensitizing, socializing, meeting with the institution's board of directors, conducting workshops to select improvement opportunities, signing collaborative agreements, formulating a monitoring plan and evaluating the results.4 the implementation of ppm in six puskesmas in pekanbaru is in line with the strategic guidelines for building public-private cooperation (ppm) to support tuberculosis control, starting with the outreach from the district health office about ppm, suggestions for collaborating with other health facilities in the working area of the puskesmas, a meeting between puskesmas to explain the dots ppm program, discussion of decision making about the type of cooperation to be carried out, the establishment of an mou between puskesmas and private sectors, and the implementation of the mou. ppm is based on two main concepts. first, the public sector negotiates contracts with private health facilities to determine the tasks. second, these intermediary organizations seek individual providers, mediate between the public and private sectors, carry out gathering and engaging with individual providers, notify cases of tb program managers, and coordinate with administrators for free drugs and follow-up.8 this study showed that some of the obstacles faced in implementing ppm include aspects of human resources, external networks, and patients who live outside the working area of the puskesmas. problems in human resources include the number of officers, transfer of officers to other health centers or other tasks, lack of training, and workload. it was consistent with several studies in indonesia9, ethiopia10, and south africa.11 several factors have caused ppm implementation to be not optimal in ende regency, indonesia, namely limited resources, lack of regulations or operational guidelines for ppm implementation, lack of commitment from the government and partners in implementing ppm, and lack of communication and coordination between ppm networks so that the ppm network does not function properly.9 in this regard, the health office is responsible for the ppm network, appoints a ppm coordinator, makes decisions about the formation of the ppm team, prepares and approves tb patient care procedures and ensures procedures are carried out, monitors and evaluates the implementation of dots and other tb program activities, and ensures that the recording system and reporting work. the assessment is used to monitor the achievement of the dots program in health care facilities. the indicator for the progress of ppm is the contribution of the tb case finding rate (cnr) and the success rate of treatment in each health facility. a strong commit ment from stakeholders, both private and government, in implementing ppm is one of the steps to strengthen ppm.6 furthermore, the data showed that private sector participation in control and care is still low; only 15 health facilities out of 183 private clinics in pekanbaru were involved in ppm. therefore, it is necessary to continue to do socialization to improve the quality of ppm. although 47.4% of facilities reported that they did not notify tb cases in zambia, only a quarter of private health facilities could independently report, diagnose, and manage tb cases. more than three-quarters of facilities cannot diagnose or treat tuberculosis cases and refer patients to the public sector. while all private facilities participate in national tb programs either by diagnosing patients or referring them to other facilities for further management, most facilities show no evidence of reporting cases to tb program managers.12 many frontline providers in asia, particularly in africa sub-saharan, are informal, resulting in a low quality of medical care. in these circumstances, the best option is strictly limiting the types of activities allowed by these service providers, training to only a few activities such as symptom screening and referral, and enforcing restrictions with regulations.8 the case notification rate (cnr) found was lower than indonesia's cnr (139 per 100,000 population),13 indicating that many tb cases in pekanbaru have not been detected. the number of case notifications fluctuates every year. however, the average cnr performance after implementing the ppm strategy tends to increase due to improved overall case findings and improved recording and reporting systems. our findings regarding the success of ppm's contribution to tb case detection align with previous | 92 studies in myanmar.14 case notification rate is an indicator that shows the number of new tb sufferers found and recorded among 100,000 people in a region. the number of case notifications collected in series will describe increasing or decreasing case finding in tb patients from year to year in a region, health services involved in dots services, and the number of tb patients not reported by health care facilities.6 furthermore, training of health workers can increase the number of microbiologically confirmed tb patients. in this regard, the partnership in bangladesh significantly increased case notification rates in the project area after implementing the partnership. the increase in the detection of smear-positive tb cases contributes to around 36% of all tb cases in the region.15 puskesmas plays a role in ensuring the coordination of private clinics in their working areas to detect, record, and report tb cases. based on this role, puskesmas that have implemented ppm must be able to increase the number of case notifications. the ppm strategy is considered relevant for countries with a high tb burden in asia and africa. according to a who report, the contribution of ppm to tb notification between 2012 and 2016 increased by more than 10% in indonesia, bangladesh, india, and the philippines. ppm contributes between 5% -56% for tb notifications. moreover, research in myanmar shows that in 2017 ppm contributed 17% to all tb notifications.1 besides, research in yogyakarta, indonesia, explained that the contribution of independent practicing doctors in the notification of tb cases was still low. the involvement of private practitioners has significantly increased tb case detection. interviews in the study indicated that private practitioners felt involved in the medical management of tb patients. however, most did not report tb cases due to ignorance, lack of socialization, and mandatory tb reporting policies.16 meanwhile, data analysis in northern uganda shows an increase in tb case reports in the 10 intervention districts and makes positive trends to achieve national targets.17 in relation to it, house-to-house screening for active tuberculosis and establishing tuberculosis diagnostic clinics closer to home and workplaces can increase the detection of tuberculosis cases in areas where the prevalence of the undiagnosed disease is high.18 in addition, this study showed that the treatment success rate in pekanbaru fluctuated every year. overall, the average success rate of treatment at puskesmas that has implemented the ppm strategy in pekanbaru municipality has not succeeded in achieving the national target of at least 90%. however, the success rate of treatment tends to increase. the achievement of the success rate of treatment has fluctuated and has not yet reached the national target. it was caused by the ineffective implementation of ppm due to various factors such as resources, regulations, communication between health service facilities, etc. treatment success rate represents the percentage of patients who have recovered and underwent complete treatment among the smear-positive pulmonary tb patients recorded.6 treatment success rates in most countries are generally high after the implementation of ppm. it is proved by marked improvements in the treatment outcomes from private services in some countries after engaging in ppm, although some have not reached the target of the national tb program.19 in 2016, the global treatment success rate was 82%. this figure has decreased compared to 2015, where it reached 83%, and in 2016 where it reached 86%. treatment outcomes are still not in line with increasing notification in some countries.1 high or low treatment success rates can be influenced by a variety of factors. the factors can come from the patient, the supervisor swallowing the drug (pmo), and the drug factor. patient factors can occur as the patient does not comply with the drug, moves to another health service facility, and suffer from drug-resistant tb. the monitoring factor for taking medication can occur since there is no pmo or pmo that is not under supervision. drug factors can occur due to disruption of the supply of anti-tuberculosis (oat) drugs. as a result, patients delay or stop treatment, and the quality of oats decreases due to improper storage.20 puskesmas is the first pillar in the ppm strategy. one of the components in the first pillar is the puskesmas to establish a network between the dots service pillars and other pillars in expanding services for tb patients who are resistant to drugs. in external network services, puskesmas also coordinates primary health care facilities in their working areas for tb diagnosis, management and loss to follow-up, logistics, contact investigations, and referral of tb cases. furthermore, the puskesmas works closely with non-governmental organizations (ngos), as well as coordinates volunteers to support patient activities and contact investigations.6 based on the explanation of the research above, the strength of this study includes taking primary data from six health centers that have implemented ppm and making longitudinal observations through secondary data. the analysis was carried out both quantitatively and qualitatively to dig for more profound information. meanwhile, the weakness of this research was the small number of samples with coverage in one city, so that the results cannot be generalized to a broader area. it is necessary to explore further the role of each stakeholder in implementing ppm, conduct intervention studies. assess the achievement of tb control program indicators, and increase ppm's socialization 93 | vol 21 no 2 july 2021 conclusion ppm has been implemented in pekanbaru since 2014. in its implementation, puskesmas has carried out activities following technical guidelines. however, the involvement of private clinics, local government, ngos, and the community was low. some of the obstacles in implementing ppm include lack of human resources, collaboration with external networks, and administrative factors. the tb control program indicators, namely the case notification rate (cnr) and treatment success (sr), increased after ppm implementation but had not yet reached the national target. acknowledgement this research was carried out with the funding of research grants from the faculty of medicine, the university of riau, in 2019. we would like to thank all informants at the puskesmas and the pekanbaru city health office for their support in implementing this research. conflict of interest in the research and article writing process, there was no conflict of interest, either financial or personal, that influenced the results of this study. references 1. world health organization. global tuberculosis report 2017. geneva: world health organization; 2017. licence: cc by-ncsa 3.0 igo. available at ttp://apps.who.int/iris 2. ministry of health indonesia. health indonesia profile 2018 (profil kesehatan indonesia tahun) 2018. jakarta : ministry of health of indonesia. 2019 3. world health organization. global tuberculosis report 2018. geneva:; 2018. licence: cc by-nc-sa 3.0 igo 4. martínez ja, kamp n. strategic guide for building public private mix (ppm) partnerships to support tuberculosis control. mexiko:usaid; 2011 5. challenge tb team. technical instructions application of public private mix based based on district / city( petunjuk teknis penerapan public private mix berbasis kabupaten/kota area binaan challenge tb jakarta: ministry of health. 2018. 6. ministry of health of the republic of indonesia. national guideline for the control of tuberculosis (pedoman nasional pengendalian tuberkulosis). jakarta: ministry of health of indonesia: 2014. 7. lei x , liu q , escobar e , philogene j, zhu h, wanga y, tang s. public–private mix for tuberculosis care and control: a systematic review. international journal of infectious diseases, 2015. 34: 20–32. https://doi.org/10.1016/j.ijid.2015.02.015 8. wells wa, uplekar m and pai m. achieving systemic and scalable private sector engagement in tuberculosis care and prevention in asia. plos med. 2015 (12): 1–10. https://doi.org/10.1371/journal.pmed.1001842 9. tondong pma, mahendradhata yh and ahmad ra. evaluation of the implementation of public private mix for tuberculosis control in ende district east nusa tenggara province year 2012 (evaluasi implementasi public private mix pengendaliantuberkulosis di kabupaten ende provinsi nusa tenggara timur tahun 2012. j. kebijak. kesehat. indones. jkki 2014(3): 37–42. https://doi.org/10.22146/jkki.36356 10. melese m, habte d , girma b, kassie y , negash s, melkeneh k , et.al. use of indicators of standards of care to improve tuberculosis program management in ethiopia. j clin tuberc other mycobact dis. 2018.(10) 17–23. https://doi.org/10.1016/j.jctube.2017.12.001 11. engelbrecht mc, kigozi g, rensburg apjv, rensburg dhcjv. tuberculosis infection control practices in a high-burden metro in south africa : a perpetual bane for efficient primary health care service delivery. afr j prim health care fam med . 2018 may 30; 10(1):e1-e6. http://dx.doi.org/10.4102/phcfm.v10i1.1628 12. chongwe g, kapata n, maboshe m, michelo c. and babaniyi o. a survey to assess the extent of publicprivate mix dots in the management of tuberculosis in zambia. afr j prm health care fam med 2015: 7(1) . http://dx.doi.org/10.4102/phcfm.v7i1.692 13. ministry of health indonesia. indonesia national tb program current status of integrated community based tb service delivery and the global fund work plan to find missing tb cases. 1–39 (2016-2020). cited 2021 maret 23 . available at https://www.who.int/tb/features_archive/indonesia_11apr18 https://doi.org/10.1016/j.ijid.2015.02.015 https://doi.org/10.22146/jkki.36356 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=melese+m&cauthor_id=31768421 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=habte+d&cauthor_id=31768421 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=girma+b&cauthor_id=31768421 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=kassie+y&cauthor_id=31768421 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=negash+s&cauthor_id=31768421 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=melkeneh+k&cauthor_id=31768421 https://doi.org/10.1016/j.jctube.2017.12.001 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=engelbrecht+mc&cauthor_id=29943601 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=kigozi+g&cauthor_id=29943601 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=janse+van+rensburg+ap&cauthor_id=29943601 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=van+rensburg+dhcj&cauthor_id=29943601 http://dx.doi.org/10.20473/ijosh.v8i2.2019.187-196 http://dx.doi.org/10.20473/ijosh.v8i2.2019.187-196 | 94 14. nwe tt, saw s, win ll, mon mm, griensven jv, zhou s, et al. engagement of public and private medical facilities in tuberculosis care in myanmar: contributions and trends over an eight-year period. infect. dis. poverty 2017( 6): 1–7. https://doi.org/10.1186/s40249-017-0337-8 15. ullah anz, huque r, husain a, akter s, islam a, newell jn. effectiveness of involving the private medical sector in the national tb control programme in bangladesh: evidence from mixed methods. bmj open. 2012 (2): 1–8. https://doi.org/10.1136/bmjopen-2012-001534 16. kurniawati a, mahendradhata y, padmawati rs3 acceptability of the tuberculosis (tb) mandatory notification on self private practitioners and private primary clinics at yogyakarta city. jkki 2009; 8(01). 1-9. https://doi.org/10.22146/jkki.37426 17. karamagi s, sensalire s, muhire m, kisamba h, byabagambi j, rahimzai m, et. al. improving tb case notification in northern uganda: evidence of a quality improvement-guided active case finding intervention. bmc health serv. res. 2018. (18):1–12. https://doi.org/10.1186/s12913-018-3786-2 18. mhimbira fa, cuevas le, dacombe r, mkopi a, sinclair d. interventions to increase tuberculosis case detection at primary health care or community-level services. cochrane database of systematic reviews 2017 nov 28; 11(11): cd011432. https://doi.org/10.1002/14651858.cd011432.pub2 19. malmborg r, mann g. and squire s. a systematic assessment of the concept and practice of public-private mix for tuberculosis care and control. int. j. equity health. 2011(10): 49. https://doi.org/10.1186/14759276-10-49 20. indah m. tuberkulosis. infodatin (2018). jakarta. ministry of health indonesia. 2018. available in http://www.pusdatin.kemkes.go.id/ https://doi.org/10.1186/s40249-017-0337-8 https://doi.org/10.1136/bmjopen-2012-001534 https://doi.org/10.22146/jkki.37426 https://bmchealthservres.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12913-018-3786-2#auth-esther-karamagi https://bmchealthservres.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12913-018-3786-2#auth-simon-sensalire https://bmchealthservres.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12913-018-3786-2#auth-martin-muhire https://bmchealthservres.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12913-018-3786-2#auth-herbert-kisamba https://bmchealthservres.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12913-018-3786-2#auth-john-byabagambi https://bmchealthservres.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12913-018-3786-2#auth-mirwais-rahimzai https://doi.org/10.1186/s12913-018-3786-2 https://doi.org/10.1002/14651858.cd011432.pub2 https://dx.doi.org/10.1186%2f1475-9276-10-49 https://dx.doi.org/10.1186%2f1475-9276-10-49 | 144 mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 21 no 2 page 144-148, july 2021 manual vacuum aspiration in iufd 18 weeks aspirasi vakum manual pada iufd 18 minggu ivanna beru brahmana* department of obstetrics and gynecology, medical study program, faculty of medicine and health sciences, universitas muhammadiyah yogyakarta data of article: received: 13 april 2021 reviewed: 3 july 2021 revised: 12 july 2021 accepted: 25 july 2021 *correspondence: ivanna_beru_brahmana@yahoo.com doi: 10.18196/mmjkk.v21i2.10238 type of article: case report abstract: manual vacuum aspiration (mva) is an action to evacuate the uterine cavity up to 14 weeks gestation. in a more extensive pregnancy, it is worried that the action of the mva is less clean so that it will still repeat the action of sharp curettage. this article reports a multigravida aged 42 years old, g5p2a2, intrauterine fetal death (iufd) at 18 weeks, undergoing mva. diagnosis of iufd was performed using ultrasound examination. before mva was done, the patient was previously given 100 μg of misoprostol orally for dilation. this pregnancy was the third pregnancy with a second husband, all of whom had abortions. manual vacuum aspiration had a minimal risk of uterine injury. after mva was conducted, ultrasound examination was repeated to confirm a clean uterine cavity. it had been carried out on an indication of iufd of 18 weeks gestation with the result of a clean uterine cavity and minimal bleeding. furthermore, post-abortion intra-uterine device (paiud) was installed adequately, not causing complaints. based on the result, it can be concluded that mva is effective for evacuation of uterine cavities on 18 weeks gestation. keywords: multigravida; manual vacuum aspiration; intrauterine fetal death abstrak: aspirasi vakum manual (avm) merupakan tindakan untuk evakuasi kavum uteri hingga usia kehamilan 14 minggu. oleh karena pada kehamilan yang lebih besar dikhawatirkan tindakan avm kurang bersih, sehingga masih menimbulkan gejala sisa berupa perdarahan, yang mungkin harus diulang dengan tindakan kuretase tajam. artikel ini menyampaikan case report seorang multigravida berusia 42 tahun, g5p2a2 hamil 18 minggu dengan intra uterine fetal death (iufd), yang menjalani avm untuk evakuasi kavum uteri. diagnosis iufd dengan menggunakan pemeriksaan ultra sono grafi (usg). sebelum tindakan avm diberikan misoprostol 100 µg per oral untuk dilatasi. kehamilan ini adalah kehamilan ketiga dengan suami kedua, yang semuanya abortus. avm berisiko minimal terjadi perlukaan uterus. setelah tindakan avm, bersih tidaknya kavum uteri dievaluasi dengan menggunakan pemeriksaan usg. sudah dilakukan avm atas indikasi iufd usia kehamilan 18 minggu dengan hasil kavum uteri bersih, perdarahan minimal, iud paska abortus (iudpa) yang dipasang terpasang dengan baik, tidak menimbulkan keluhan. aspirasi vakum manual (avm) efektif untuk tindakan evakuasi kavum uteri untuk usia kehamilan 18 minggu. kata kunci : multigravida; aspirasi vakum manual; intra uterine fetal death https://doi.org/10.18196/mmjkk.v21i2.10238 145 | vol 21 no 2 july 2021 introduction manual vacuum aspiration (mva) is an act of evacuation of the uterine cavity by vacuuming instead of being scraped off with a curettage spoon. this vacuuming action is expected not to damage the endometrial layer compared to evacuation using a curettage spoon. the expected long-term effect of vacuuming is no placental adhesions for the subsequent pregnancy. the use of mva reduces the likelihood of symptomatic synechiae occurrences.1 therefore, the risk of the placenta sticking to its insertion, called placenta accreta, is a medical indication that increases the risk of morbidity and mortality in pregnant women. intrauterine fetal death (iufd) is the condition of the death of the fetus in the womb because the fetal heart rate is no longer detected. several factors causing fetal death, in this case, may be due to maternal age over 40 years.2 iufd conditions require immediate evacuation of the uterine cavity. the amount of gestational age of 18 weeks is measured as high as 3 fingers below the center. the amount of gestational age requires proper uterine cavity evacuation. evacuation of the uterine cavity using mva is indicated for the evacuation of the uterine cavity until 14 weeks gestation3 or not more than 12 week’s gestation.4 this paper is a case report about the evacuation of uterine cavities in iufd cases at 18 weeks gestation using mva preceded by administration of 100 μg misoprostol orally for dilation. this case is interesting as the respondents experienced 3x pregnancies, all of which experienced abortions. all three pregnancies were from a marriage with a second husband and had no children born healthy. avm has a minimal risk of injuring the endometrium. avm action was chosen to minimize endometrial injury as the respondent still expected to get pregnant with healthy fetal development. meanwhile, avm is usually done at a gestational age of no more than 12 or 14 weeks.4 mva was firstly described in the 1970s. mva is an action used in the handling of incomplete abortion. this action is widely used in the united states of america (usa), asia, europe, and africa.5 many centers have not applied mva to evacuate the uterine cavity yet. therefore, the use of mva in clinical practice has not mainly been reported.6 england is one of the countries that has not used mva much to manage uterine cavity evacuation. based on that reason, speedie et al. felt the need to promote the use of mva7. mva is an alternative action for the evacuation of the uterine cavity in cases of an incomplete abortion.8 incomplete abortion is a miscarriage of the resultant conception that has not entirely come out of the uterine cavity but is still partly in the uterine cavity.8,9 if an abortion occurs, incompleteness can increase maternal morbidity.9 studies comparing 400μg of sublingual misoprostol with mva showed that misoprostol is analogous to mva as the first line in managing incomplete abortion.9 the advantages of using mva for the evacuation of uterine cavities are that mva is safer, less painful, and more cost-effective than sharp curettage. more importantly, mva has a lower risk of uterine perforation than sharp curettage. mva measures cannot be applied in the operating room merely but can be done in the clinic or emergency room.8 cases the patient was a multigravida aged 42-year-old with 18 weeks gestation presented with iufd. she was in the 3rd p0a2 pregnancy from her second husband. with the first husband, the patient already had two healthy growing children, p2a0. history of obstetrics with a second husband as g3p0a2 included the first and second pregnancy abortion in 2017 and 2018, performed curettage. the third pregnancy underwent an iufd and performed mva. the oral misoprostol 100 g was given previously for dilation, which then appeared to be profuse bleeding. the avm was then performed in the operating room under anesthesia. after the avm procedure was declared clean, the post-abortion intra-uterine device (paiud) was installed to handle the evacuation of the uterine cavity and rest the uterus for at least the next six months. complaints of bleeding had been felt three days before entering the hospital. when more blood came out, the patient went to a midwife before being referred to the hospital emergency installation. doctors after examining the patient, providing therapy: allylestrenol 2x1 and isoxsuprine 3x 1/2 tablet. the patient was discharged. two days later, more and more bleeding occurred about two hours before being admitted to the hospital. the patient no longer felt fetal movements. | 146 figure 1. ultrasound results: a single fetus, spalding sign (+), fhr (-), diagnosed with iufd when vaginal bleeding got worse, it was decided to do an mva emergency action. the patient stopped eating and drinking. the patient's general condition was good, with a high fundus uterine of 3 central lower fingers. during the implementation of the mva, they planned to conduct paiud. after the fetus has been removed with forceps, the bleeding before mva was 200 ml. meanwhile, the fetus & part of the placenta appeared. mva was performed with a 12 cm sondage and anteflexed uterus (af). it lasted for 10 minutes and obtained as much as 50 ml of tissue residue and 50 ml of bleeding. after the mva action was recondensed, uterine depth was 11 cm, and cu-t type paiud was continued. paiud was the most preferred type of contraception (58.6%) after mva compared to other types, namely: pills (16.4%), implants (13.5%), injections (7.9%), and condoms (1, 3%).10 the installation of a paiud was intended to rest the uterus postabortion for at least six months. meanwhile, the tracking phase can be done, within 6 months, to cause abortion and its treatment. the patient would also be psychologically calmer to prepare for the subsequent pregnancy. the contraception was chosen as an iufd because it was non-hormonal, so it did not interfere with menstruation. the patient's fertility returned immediately after the release of the iufd. besides, the iufd was long-term contraception. thus, if within 6 months the patient was not ready to get pregnant again, then the contraceptive still maintained the desire of family planning from the patient. post mva the patient's general condition was still anesthetized, with vital signs: blood pressure 100/70 mmhg, pulse 80x/minute, respiratory 20x/minute, with afebrile temperature. the patient was monitored in the recovery room for three hours. during monitoring in the recovery room, the patient's general condition was good, with good vital signs and no complaints of bleeding. the patient was later moved to the wardroom. at the next day's visit, the general condition of the patient was good. she was allowed to go home. one week later, the patient's general condition was normal, with vital signs of blood pressure 120/80 mmhg, smooth defecation (bowel movements) and urination, no bleeding, no complaints of pain, and no complaints against paiuds that were mounted. ultrasound results showed a clean uterus with visible paiud in situ. figure 2. results of the 7th-day mva ultrasound with paiud in situ the patient came in control, waiting for menstruation. she got her menstruation about two months after mva. her menstruation lasted for 4 days, with a normal amount of blood. there were no complaints about the iufd, no pain during menstruation, and no pain during sexual intercourse. 147 | vol 21 no 2 july 2021 discussion manual vacuum aspiration is the standard measure for evacuation of the uterine cavity in cases of miscarriage in the first trimester.5 in this case report, evacuation of the uterine cavity with mva is carried out at 18 week-gestation. the uterine cavity was much larger than the 12-14 week gestational age, so there was a concern that unclean tissue would occur. the implementation of mva was carried out in the operating room with total intravenous anesthesia (tiva) so that the respondent was calm since previously, she had panicked, experienced bleeding, and repeated abortions. in addition, as the respondent's age was more than 40 years old, the use of tiva was under the supervision of an anesthesiologist. tiva is an anesthetic that is commonly used in cases of uterine cavity evacuation. the parenteral opioid used was pethidine 50 mg. sedation such as intravenous midazolam was also used when it was needed.4 in this case, the bleeding and tissue discharge occurred, with the administration of 100 µg misoprostol first. thus, the diagnosis turned into incomplete abortion. the evacuation of the uterine cavity as an incomplete abortion was performed with mva. the use of a dose of 100 g misoprostol orally was chosen because the respondent experienced bleeding. larger doses of misoprostol (400 g) were chosen either orally or vaginally if cervical ripening was required.11 misoprostol used for the evacuation of the uterine cavity required additional use of mva in 17% of subjects12. the dose of misoprostol in this case report differed from a study comparing the use of misoprostol against mva as a treatment for evacuation of the uterine cavity. the amount of misoprostol used was 600 µg at gestational age less than 13 weeks.13,14 the results were obtained when the control patient experienced a clean uterus with visible paiud in situ one week later. begum et al., reported that mva was recommended in bangladesh for the management of incomplete abortion. it is because the mva procedure is safe, effective, faster, cheaper, minimal pain, shorter hospital stay, and less risk of uterine perforation. thus, the use of mva in incomplete abortion reduced maternal morbidity and mortality.8 in line with the research of odland et al., mva has begun to be practiced in several hospitals in malawi and has even become the leading management of incomplete abortion cases due to the minimal complications it caused.15 in this case, the mva procedure was safe, effective, and faster, only requiring 10 minutes in the process, even though the uterine cavity was quite large due to 18 weeks gestation. at the time of evaluation, the uterine cavity was clear, and paiud was applied. further, blandine et al., reported that mva is effective in managing complications in early pregnancy.9 it serves minimal complications of the incidence of uterine perforation, bleeding, and the remaining tissue after the mva action. mva is a safe, easy-to-do, and costeffective procedure that benefits both patients and health facilities.4,6,9 in this case report, the magnitude of 18 weeks gestation did not become an obstacle to cleaning the uterine cavity using the mva procedure. mva's action is a procedure that is more effective than sharp curettage, which brown et al., mva also conveyed to be cheaper with shorter hospital stays.16 more importantly, mva results in a smaller amount of bleeding, fewer serious complications, aside from being quick and easy to work on, and minimal pain compared to sharp curettage.16 mva can be done more quickly. more minimal pain and a smaller amount of bleeding are also obtained from the statement of odland et al., mva procedure is an evacuation of the uterine cavity in cases of incomplete abortion, up to 14 weeks gestation, and sufficient use of local anesthesia or analgesia.15 in addition, mva can be done in outpatient polyclinics and places with minimal human and equipment resources as it does not require sedation and electrical devices.3,17 it is even possible that mva can be done by trained midwives and nurses.18,19 the who recommends that avm is a safer procedure than dilation and curettage for termination of pregnancy.20 the safety of mva procedures is also conveyed in several scientific publications that have been submitted. in addition, vacuum aspiration manually or electrically is as good as the evacuation of the uterine cavity in cases of the first-trimester miscarriage.21 conclusion manual vacuum aspiration as a procedure for evacuation of the uterine cavity in iufd at 18 weeks gestation, gave good, safe, effective, clean, and fast results in the process of evacuation. the mva procedure could be recommended as an evacuation of uterine cavities in cases of miscarriage with a gestational age of more than 14 weeks. | 148 conflict of interest there is no conflict of interest in this study. references 1. padrón l. manual compared with electric vacuum aspiration for treatment of molar pregnancy. obstet. gynecol. 2018;131(4): 652–659. https://doi.org/10.1097/aog.0000000000002522 2. soewarto s. kematian janin. pt bina pustaka, 2016. 3. odland ml. decrease in use of manual vacuum aspiration in postabortion care in malawi: a cross-sectional study from three public hospitals. plos one 9; 2014: 2008–2012. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0100728 4. azman a, sakri nam, mohd kusni na, mansor nh & zakaria za. manual vacuum aspiration: a safe and effective surgical management of early pregnancy loss. int. j. reprod. contraception, obstet. gynecol. 8, 2256 (2019). https://doi.org/10.18203/2320-1770.ijrcog20192413 5. anozie ob, nwafor ji, ukaegbe ci, esike cu, anozie ro, lawani lo, et al. a 5-year retrospective study on the use of manual vacuum aspiration in the federal teaching hospital abakaliki. open j. obstet gynecol; 2019; 9(2): 142–148. https://doi.org/10.4236/ojog.2019.92015 6. zommere i, umaru a & mulbagal k. should manual vacuum aspiration for miscarriage be the preferred option over a surgical evacuation? eur j. obstet gynecol reprod biol. 2016: 206. 7. speedie j & robson s. the evolution of a one-stop’ out patient manual vacuum aspiration service for termination of pregnancy. bmj sex reprod heal. 2018; 44: 58–60. https://doi.org/10.1136/bmjsrh-2017101806 8. begum s, rashid m & jahan a. clinical study on management of incomplete abortion by manual vacuum aspiration (mva). j enam med coll. 2012; 2(1): 24–28. https://doi.org/10.3329/jemc.v2i1.11918 9. blandine t. oral misoprostol as first-line care for incomplete abortion in burkina faso. int j gynecol obstet. 2012; 119(2): 166–169. https://doi.org/10.1016/j.ijgo.2012.05.036 10. pillai m. introduction of a manual vacuum aspiration service: a model of service within a nhs sexual health service. j fam plan reproduction health care. 2015; 41: 27–32. https://doi.org/10.1136/jfprhc-2013-100700 11. revankar vm. tablet misoprostol as a cervical priming agent prior to surgical abortion. int j reproduction contraception obstet gynecol. 2017; 6(7): 3004. http://dx.doi.org/10.18203/2320-1770.ijrcog20172924 12. ibiyemi kf & adesina kt. ىوتسلما في اييرجين ةبرتج ةيئاوشع مادختسال ءاود لوتسوربوزيلما مفالب ةنراقم ءارجإب طفشال يئاولخا 2019 :43–38 ,19 .يوديال جالعل ضاهجإلا يرغ لمتكلما في ىفشتسم يثالث . 13. nwafor ji. misoprostol versus mva for treatment. niger. jcp. 2020: 638–646. https://doi.org/10.4103/njcp.njcp_379_19 14. ahmed sk, ashraf r & khaloon le. comparison of sublingual misoprostol and manual vacuum aspiration for the treatment of incomplete abortion in first trimester in terms of frequency of decreased haemoglobin levels. jrmc. 2017; 21(3): 208–210. 15. odland ml. the use of manual vacuum aspiration in the treatment of incomplete abortions: a descriptive study from three public hospitals in malawi. int j environ res public health. 2018; 15(2): 370. https://doi.org/10.3390/ijerph15020370 16. brown hc. management of incomplete abortion in south african. bjog an int j obstet gynaecol. 2003; 110(4): 371–377. https://doi.org/10.1046/j.1471-0528.2003.t01-1-02036.x 17. sharma m. manual vacuum aspiration: an out patient alternative for surgical management of miscarriage. obstet gynaecol. 2015; 17(3): 157–161. https://doi.org/10.1111/tog.12198 18. bourret km. midwives’ integration of post abortion manual vacuum aspiration in the democratic republic of congo: a mixed methods case study & positive deviance assessment. bmc health serv res. 2020; 20: 1– 16. https://doi.org/10.1186/s12913-020-05997-7 19. sheldon s & fletcher j. vacuum aspiration for induced abortion could be safely and legally performed by nurses and midwives. j fam plan reprod heal care. 2017; 43(4): 260–264. https://doi.org/10.1136/jfprhc2016-101542 20. pawde aa, ambadkar a & chauhan ar. a study of incomplete abortion following medical method of abortion (mma). j obstet gynecol india. 2016; 66(4): 239–243. https://doi.org/10.1007/s13224-015-0673-1 21. dean g. manual compared with electric vacuum aspiration for abortion at less than 6 weeks of gestation. obstet gynecol. 2015; 125(5): 1121–1129. https://doi.org/10.1097/aog.0000000000000787 https://doi.org/10.1097/aog.0000000000002522 https://doi.org/10.1371/journal.pone.0100728 https://doi.org/10.1371/journal.pone.0100728 http://www.scirp.org/journal/paperinformation.aspx?paperid=90438&#abstract https://www.scirp.org/journal/articles.aspx?searchcode=okechukwu+b.++anozie&searchfield=authors&page=1 https://www.scirp.org/journal/articles.aspx?searchcode=johnbosco+i.++nwafor&searchfield=authors&page=1 https://www.scirp.org/journal/articles.aspx?searchcode=chukwuemeka+i.++ukaegbe&searchfield=authors&page=1 https://www.scirp.org/journal/articles.aspx?searchcode=chidi+u.++esike&searchfield=authors&page=1 https://www.scirp.org/journal/articles.aspx?searchcode=rita+o.++anozie&searchfield=authors&page=1 https://www.scirp.org/journal/articles.aspx?searchcode=lucky+o.++lawani&searchfield=authors&page=1 http://www.scirp.org/journal/paperinformation.aspx?paperid=90438&#abstract https://doi.org/10.3329/jemc.v2i1.11918 https://doi.org/10.1016/j.ijgo.2012.05.036 https://doi.org/10.1136/jfprhc-2013-100700 https://doi.org/10.1016/j.ijgo.2012.05.036 https://doi.org/10.3390/ijerph15020370 https://doi.org/10.1046/j.1471-0528.2003.t01-1-02036.x https://doi.org/10.1111/tog.12198 https://doi.org/10.1186/s12913-020-05997-7 https://dx.doi.org/10.1136%2fjfprhc-2016-101542 https://dx.doi.org/10.1136%2fjfprhc-2016-101542 https://dx.doi.org/10.1007%2fs13224-015-0673-1 https://doi.org/10.1097/aog.0000000000000787 | 29 mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 22 no 1 page 29-37, january 2022 social environment of friends, family, communities, and hiv/aids cases indri lestari1*, dyah wulan sumekar rengganis wardani2, jhons fatriyadi suwandi3, samsul bakri4 1 postgraduate study program,universitas lampung, bandar lampung, indonesia 2 departement of public health and community medicine, faculty of medicine, universitas lampung, bandar lampung, lampung, indonesia 3 departement of parasitology and microbiology, faculty of medicine, universitas lampung, bandar lampung, lampung, indonesia 4 department of forestry, faculty of agriculture, universitas lampung, bandar lampung, lampung, indonesia data of article: received: 07 aug 2021 reviewed: 03 nov 2021 revised: 13 dec 2021 accepted: 04 jan 2022 correspondence: indiesta2786@gmail.com doi: 10.18196/mmjkk.v21i2.12505 type of article: research abstract: control of hiv/aids infection can be done by screening at-risk groups in the social environment to prevent transmission. this study aims to determine the social environment of friends, family, and society’s influence on hiv/aids incidence. the study was conducted in december 2020–january 2021 at six bandar lampung health centers. the 111 respondents were divided into case/reactive and control/non-reactive groups, with a 1:2 ratio (37:74). data were obtained by interview. the independent variables were the social environment of friends, family, and community, while the dependent variable was hiv/aids incidence. the data were analyzed bivariate and multivariate with the binary logistics regression test utilizing minitab 16 application, with ci 90% and α 0.1 significance level. the results showed that friends with hiv’s social environment had p 0.087; friend's education p 0.542; risky behavior from friends p 0.853; friends with risky behavior p 0,172; hiv family social environment p 0.999; family education p 0.999; risky behavior from family p 0.998; families with risky behavior p 0.999; hiv community social environment p 0.999; public education p 0.330; risk behavior from the community p 0.690; community with risky behavior p 0.862. thus, only friends with hiv’s social environment affected hiv/aids incidence. furthermore, having friends with hiv’s social environment will increase the risk of getting hiv/aids. keywords: social environment; friends; hiv/aids; risk factor introduction to reduce hiv aids cases in indonesia in 2030, the ministry of health has arranged the national action planning to prevent and control hiv aids in 2020-2024 as a reference to act. one of the goals is the achievement of three zero. three zero is the condition where there are zero new hiv infections, zero death due to aids, and zero stigma and discrimination due to hiv aids.1 based on the estimated calculation from 2020, there would be 543,100 people infected by hiv/aids. the hiv/aids information system (siha) reported in december 2019 showed that hiv infected 377,564 people. indonesia was placed at fourth-biggest population worldwide, consisting of 17,000 islands. the decentralized government system had been applied in 514 regencies/cities, which spread in 34 provinces. it challenged the government to control hiv aids from geographical and socio-economic aspects. the government’s success in controlling hiv and aids in all regions in indonesia had a positive impact globally.1 based on the report from prevention and controlling on public health service division in bandar lampung city, there was an escalation amount of hiv-aids, in 2015 there were 255 cases, in 2016 there were 324 cases, in 2017 there were 321 cases, and in 2018 there were 340 cases of hiv-aids that had been found. in 2015 – 2019, there were 1,480 cases of hiv-aids in bandar lampung that had been detected. however, these numbers were only the detected numbers reported to public health service in bandar lampung. meanwhile, many cases had not been reported yet for some reason. according to who, hiv/aids is one of https://doi.org/10.18196/mmjkk.v21i2.10882 30 | vol 22 no 1 january 2022 the deadly diseases. based on data from united nations program on hiv and aids (unaids), there were 1.1 million people all over the world had died due to aids, and also about 35 million people had died since hiv/aids pandemic had been found from the first time until the end of the year 2015.1 health degrees are affected by four factors: behavior, environment, health service, and genetics.2 behavior that affected hiv-aids were (free sex, homosexuality, drugs), health service (pre and post counseling test), and social environment (friends, family, and society).3,4 thus, hiv/aids was not a disease caused by genetic factors. there needs to have a social culture to prevent the transmission of hiv/aids, such as gender equality and specific regulation for women.5 the social environment was the place where daily activities happened. the social environment was the defining factor of behavior’s changing in groups or individuals. family, friends and living environments create an individual’s behaviors.3-4 good social environment creates good behavior as an individual’s behavior and personality were created from their living social environment.6-7 there was a relationship between social environment and hiv/aids cases.6 risk friends caused 96.4% of hiv/aids cases while 32.1% were on control. risk families caused 60.7% of hiv/aids cases while 32.1% were on control. risky regional stakeholders caused 60.7% of hiv/aids cases while 39.3% were on control.6 another research in south africa also explained the risk and perception of peer friends on hiv cases, p <0.01.7 although several previous studies have proven that there is an influence of friends, family, and community to form risky behavior that leads to hiv/aid infection, there has not been a comprehensive study of how it relates, especially in bandar lampung. thus, it becomes interesting to identify the effect on the social environment of hiv/aids cases in bandar lampung. this research hypothesized the social environment’s effect of friends, families, and communities on hiv/aids cases in bandar lampung. this research is expected to be able to give an evaluation on preventing and controlling hiv-aids disease program, to give suggestions to achieve the target of 3 zero (zero new hiv infection, zero aids death, zero discrimination) in bandar lampung, offers information about the role of the social environment of friends, families, and communities towards hiv-aids cases, and become a consideration for the following researchers or a public reference regarding the health and environment field. materials and method respondent’s characteristic and research design the design of this research is case control, indicating that there were two groups; case group (positive/reactive hiv/aids) and control group (negative/non-reactive hiv/aids). six public health centers of care and support & treatment (puskesmas pdp) were the research setting. these public health centers could examine hiv and prescribe medicine (simpur, kedaton, pasar ambon, sukabumi, gedong air, and sukaraja public health centers). this research was conducted from january 2021 to february 2021. this research’s respondents were the only respondents examined on hiv/aids at those six public health centers, with positive/reactive results or negative/non-reactive results. research variables variables in this research were independent variables and dependent variables. the dependent variable on this research included hiv/aids cases (reactive and non-reactive). in contrast, independent variables were social environment, which was measured from friends with hiv (yes or no), hiv education from friends (yes or no), friends with risky behavior (yes or no), the effect of risky behavior from friends (yes or no), the social environment of families with hiv (yes or no), hiv education from families (yes or no), families with risky behavior (yes or no), the effect of risky behavior from families (yes or no), the social environment of communities/neighbors with hiv (yes or no), hiv education from communities/neighbors (yes or no), communities/ neighbors with risky behavior (yes or no), and the effect of risky behavior from communities/ neighbors (yes or no). population, sample, and sampling the population in this study were all clients who were tested for hiv-aids at 6 cst service health centers as many as 5,024 people, including msm, female sex workers, transsexuals, pregnant women, and clients with other criteria than those whom health providers initiated either volunteer or to do hiv/aids testing. the samples were clients who were checked for hiv-aids with reactive and non-reactive results. based on the calculation result, the required minimum number of respondents was 33.8 however, the researchers added 10% of respondents, and the total was 37 respondents. the amount of each sample was divided into two groups, case group with reactive result and control group (non-reactive result with risky | 31 behavior and non-reactive result without risky behavior) with a ratio of 1:2. thus, the total of the determined sample was 37:74 or 111 sample.9 the sampling procedure started by determining the setting for sampling, which was only at 6 public health centers with the care, support, and treatment (cst) services. the six public health centers with cst were pasar ambon, sukaraja, sukabumi, gedong air, simpur, and kedaton. the sampling technique in this study was purposive sampling. sampling was taken only to respondents who had been examined on hiv/aids at those six public health centers with positive/reactive results or negative/non-reactive results. the respondent participated in this research voluntarily and obtained information before the interview. the researchers gave souvenirs to respondents as a sign of appreciation. the ethical clearance of this research was obtained from the ethical commission of medical and health research, medical faculty, lampung university. the data were collected using questionnaires with only an initial name to protect resp ondents’ data/sampling privacy. collecting data technique, strength and accuracy the instruments used in collecting the data were questionnaires and interviews. the researchers arranged the questionnaire using the research variable as the reference. equipment used in this research included a questionnaire, stationery, handphone, and laptop with minitab 16 software to analyze variables on this research. the researchers used interviews and questionnaires to collect the data. the instrument of the questionnaire had passed the validity and reliability test. the researchers utilized the product moment coefficient of correlation to test the validity, and the result was all value rcount (corrected item-total correlation) > rtable= 0.2732. it is showed that all question items were valid. the researchers used the alpha formula to test reliability, and the result showed cronbach's alpha of 0.747 or bigger than  0.600. it is shown that the instrument was reliable and could collect the data. data analysis the researchers used univariate analysis to analyze the data, indicating that the researchers should explain and describe the characteristics of each variable in this research. each data category was analyzed to identify the distribution of frequency and percentage. the percentage and variable research scores were presented using qualitative criteria.10 bivariate analysis was carried out to preview the relationship between dependent and independent variables statistically and logistic regression multivariate analysis to identify how big the impact of the independent variable on hiv/aids cases was with software minitab 16 on computer. results the socio-demographic characteristics of the respondents in this study were respondents who had tested hiv/aids with reactive/positive results (cases). they were dominated by women, and the marital status was dominated by single, either unmarried or widowed. the latest education level was dominated by high school level, and they mostly worked as private workers. meanwhile, respondents who had tested for hiv/aids with non-reactive/negative results (controls) were dominated by men. the marital status was dominated by married respondents. the education level was dominated by high school level, and mostly they worked as private workers (table 1). table 1. distribution of social demographic frequency on hiv/aids screening in bandar lampung city variable case control n % n % socio-demographic gender male female 10 27 27 73 43 31 52 42 marital status married unmarried/widowed 14 23 38 62 39 35 53 47 education level junior high school senior high school college 6 22 9 16 60 24 19 36 19 26 48 26 job government employees private employees laborer unemployed 3 26 1 7 8 70 3 19 12 35 5 22 16 47 7 30 32 | vol 22 no 1 january 2022 in this research, based on the findings from univariate variable analysis on the social environment of friends, the respondents who had examined on hiv/aids with reactive/positive results (case group) had more friends with reactive/positive hiv but did not get educated about hiv from friends. they had friends with risky behavior and approached risky behavior influence from friends. their families also had nonreactive/negative hiv and were not educated about hiv from families. they also did not have a family with risky behavior and never got exposed to their influence from families. neighbors/communities with nonreactive/negative hiv were not educated about hiv from neighbors/communities. meanwhile, they had neighbors/communities with risky behaviors and were affected by them. meanwhile, the respondents who had examined hiv/aids with non-reactive/negative (control group) had more friends with non-reactive/negative hiv but did not get educated about hiv from friends. they also did not have friends with risky behavior and never got influenced by friends. with families with non-reactive/negative hiv, the respondents were never exposed to education about hiv from families. without having families with risky behavior, they also never got risky behavior influence from families. besides, from 100% of neighbors with non-reactive/negative hiv, the respondents did not get educated about hiv from neighbors. meanwhile, without neighbors with risky behavior, they also never got risky behavior influence from neighbors (table 2). table 2. frequency distribution of behavior of fsw, msm, transgender, idu, sex worker customers, duration of behavior during hiv/aids examination in bandar lampung city variable case control n % n % social environment of friends friends with hiv hiv (+) 21 57 15 20 hiv (-) 16 43 59 80 education from friend yes 13 35 12 16 no 24 65 62 84 friend with risky behavior yes 29 78 34 46 no 8 22 40 54 risky behavior influence from friend yes 25 68 22 30 no 12 32 52 70 social environment of family family with hiv hiv (+) 3 8 3 4 hiv (-) 34 92 71 96 education from family yes 5 14 0 0 no 32 86 74 100 family with risky behavior yes 4 11 0 0 no 33 89 74 100 risky behavior influence from family yes 1 3 0 0 no 36 97 74 100 social environment of community community with hiv hiv (+) 2 5 0 0 hiv (-) 35 95 74 100 education from community yes 2 5 1 1 no 35 95 73 99 community with risky behavior yes 5 14 3 4 no 32 86 71 96 risky behavior influence from community yes 3 8 1 1 no 34 92 73 99 | 33 the findings of bivariate analysis can be seen in table 3. it showed that the indicator of the social environment of hiv friends affects hiv/aids cases in bandar lampung. the result of this research was odd ratio 3.50 with p 0.087. this finding showed that if another variable was fixed, the client who had been examined on hiv/aids test and whose friends were positive/reactive on hiv had a bigger chance to be infected on hiv/aids with the comparison about 3.50 times higher than clients with non-reactive/negative hiv friends. p 0.087 (or 8.7%) showed the effect of escalation. variable of hiv education from friends had a value of p 0.542; friends with risky behavior had a value of p 0.853; risky behavior influence from friends had a value of p 0.172; the social environment of families with hiv had a value of p 0.999; hiv education from families had a value of p 0.999; families with risky behavior had a value of p 0.998; risk behavior influence from families had a value of p 0.999; the social environment of community/neighbor with hiv had a value of p 0.999; hiv education from community/neighbor had a value of p 0.330; community/neighbor with risky behavior had a value of p = 0.690; risky behavior influence from community/neighbor had a value of p 0.862. all the values did not affect hiv/aids in bandar lampung. this finding was in line with previous research that showed harmonic and positive social environment of families had relation on decreasing the level of sexual transmitted disease risky behavior.11 this finding also showed that families' harmonic and positive social environment decreased risky behavior case numbers. another opinion explained that the social environment was the external factor that indirectly affected someone’s behavior.12 the comparison of the risky sexual practices of street teenagers with parent’s support (38.1%) is more than teenagers without parent’s support (12.3%).13 based on the finding of those research, there was a possibility that the respondents in this research obtained strong support from their family social environment. thus, they did not get exposed to risky behavior. another research showed the strong denial from societies and the environment on people infected by hiv/aids that made some of them hide their status and live silently.14 furthermore, other research supported the findings. it stated that the factor of communities’ knowledge on sexual transmitted infection, hiv/aids knowledge, and access to information about hiv/aids did not affect people in hiv/aids.15 this condition showed that 100% of respondents with non-reactive/negative results did not have neighbors with hiv/aids (table 3). 34 | vol 22 no 1 january 2022 table 3. the influence of social environment of friend, family, and community on hiv/aids cases in bandar lampung city variable group or case control p value 90% ci social environment social environment of friends friends with hiv hiv (+) hiv (-) education from friends yes no friends with risky behavior yes no risky behavior influence from friends yes no 21(58%) 16(21%) 13(52%) 24(28%) 29(46%) 8(17%) 25(53%) 12(19%) 15(42%) 59(79%) 12(48%) 62(72%) 34(54%) 40(83%) 22(47%) 52(81%) 0.087 0.542 0.853 0.172 1.05-11.63 0.52-4.09 0.34-3.82 0.80-10.63 3.50 1.46 1.14 2.92 social environment of family family with hiv hiv (+) hiv (-) education from family yes no family with risky behavior yes no risky behavior influence from family yes no 3(50%) 34(32%) 2(100%) 32(31%) 4(100%) 33(31%) 1(100%) 36(33%) 3(50%) 71(68%) 0(0%) 74(69%) 0(0%) 74(69%) 0(0%) 74(67%) 0.999 0.999 0.998 0.999 0.00 0.00 0.00 0.00 0.001 0.001 0.001 0.001 social environment of community community with hiv hiv (+) hiv (-) education from community yes no community with risky behavior yes no risky behavior influence from community yes no 2(100%) 35(32%) 2(67%) 35(32%) 5(63%) 32(31%) 3(75%) 34(32%) 0(0%) 74(68%) 1(33%) 73(68%) 3(37%) 71(69%) 1(25%) 73(68%) 0.999 0.330 0.690 0.862 0.00 0.32-86.06 0.13-27.74 0.04-55.98 0.001 5.25 1.91 1.47 the result of multivariate analysis has been used as a double logistic regression test as the dependent variable was categorical.16 the result of bivariate selection was two independent variable indicators with p < 0.25 value, indicating that the social environment of friends with reactive/positive hiv and risky behavior influence from friends would continue to the multivariate model. furthermore, the result showed that social environment indicators of hiv friends had or 2.63 with p-value 0.075, and risky behavior influence from friends had or 3.02 with p-value 0.039, influencing hiv/aids cases (table 4). table 4. indicator of logistic regression model on social environment and hiv/aids cases in bandar lampung variable p-value 90% ci odds ratio social environment of hiv friends 0.075* 1.08 – 6.42 2.63 risky behavior influenced by a friend 0.039* 1.25 7.30 3.02 note: * significant/real effect | 35 discussion the analysis results in this research showed that the social environment of friends with positive/reactive hiv (or 2.63 with p-value 0.075) and risky behavior influence from friends (or 3.02 with p 0.039) had the same effect on hiv/aids cases. the findings of this research are in line with the previous research conducted by handayani in 2018, revealing that there was a relationship between friends’ role with hiv/aids case, proven by a p-value of 0.000.5 another research in south africa showed the same relationship between networking friendship characteristics on hiv cases and a p 0.025 value.17 another research in south africa also explained the risk and perception of peer friends that affect hiv cases with a p < 0.01 value.6 peer friends usually had the same age or maturity, and it affected the central factors to shape the teenager’s behavior. peer friends also gave dominant contributions in many aspects and modeled teenagers' sexual behavior with their couple.18 another research showed that peer friends were the central factor to shape teenagers’ behavior, including pre-marital sexual behavior.19 one factor affecting other people’s behavior was behavior from other “special/important” people; thus, people were referred to as role models. people around an individual could affect other people if that person had a strong impression, such as best friends.20 an individual tends to have the same characteristic and behavior as those “important” people.20 there was a relationship between peer friends’ role with hiv/aids prevention, proved by a p-value of 0.000.21 based on the product moment test with a trust level of 95% (α 0.05), the result was p 0.000. it showed the relationship between peer friend sexual behavior with teenager sexual behavior. meanwhile, the r 0.448 value showed that the relationship was pretty close. it indicated that the higher the peer friend’s risky behavior is, the higher the teenager’s risky behavior will be.22 the variable which directly affected the hiv/aids preventing behavior on the result of hypothesis test was from the same sexual worker women (wps) friends’ support about 22.9% on sexual worker women (wps) hiv/aids preventing behavior.23 the result of the research showed that teenagers’ behavior variable was directly affected by peer friends about 32.563% in preventing hiv/aids. this result presented that peer friends’ role influenced teenagers’ behaviors due to daily socialization at a school environment with friends.24 another research also showed peer friends’ role on those infected by hiv aids (odha) stigma with p 0.0001 and or 7.82.25 in other studies, most sexual worker women (wps) in padang also had good preventing behavior around 66 % that can be seen from sexual worker women (wps) friends’ great support on preventing behavior in padang with p 0.027.26 based on enabling factor, only peer friends’ variable affects hiv/aids preventing behavior with p 0.024. on multivariate analysis with logistic regression test, peer friend influenced hiv/aids prevention with p 0.048 and exp (b) 5.600.27 it is in line with research that stated a relationship between peer friends and sexual behavior with or 27.34 value, indicating that negative peer friends had a possibility about 27.34 times higher on sexual behavior than positive ones.28 another test result towards parameter coefficiency between peer friend support and behavior showed a direct effect of about 17.1%, while the indirect effects from peer friend’s knowledge support were 14.46%. support from peer friends positively affected hiv/aids prevention behavior about 2.18 value with t statistic was 2.594 value. t statistic value was on 1.96 critical values. the result of the research showed the positive effect of peer friend’s support. it indicated that positive support from peer friends influenced hiv/aids prevention behavior.29 another research also showed a relationship between peer friend role on pre-marital sexual behavior proved by p 0.004 value.30 based on the above explanation, hiv/aids in bandar lampung had a close relationship to the social environment of friends. to achieve the three zero hiv/aids program’s goals, the mortality rate of hiv/aids should be decreased by abolishing stigma and discrimination on hiv/aids and maximizing effort to pay more attention to the social environment of friend’s indicators. it met the national action planning to prevent and control hiv aids by the ministry of health in 2020-2024. the most influential program’s policy was “fast track initiative 90-90-90”, where the government step by step decided to achieve the target of 90-90-90, starting from the district level. it is in line with the mandate on act number 23 of 2014 about local government and government regulations number 2 of 2018 about minumum service standards, revealing that health service is on government’s matter which is decentralized and compulsory on district and local government’s basic service (30).31 health service for people with hiv was one of 12 minimum service standards in which the quality and basic service should be fulfilled by district government as the ministry of health’s regulation number 4 of 2019 about technical standard of basic quality service fulfilment on minimum service standards in health sector. the effort to achieve 90-90-90 started from the district using the district-based intervention. each district should implement preventing and controlling hiv/aids program and achieve the fixed target. the minimum service standards of preventing and controlling hiv/aids program in the public health office in bandar lampung decided to achieve 100% screening on hiv/aids test target of risky groups from the first 36 | vol 22 no 1 january 2022 level of health service facilities, such as public health service and private clinic. to achieve the target, the first level of health service facilities, such as public health services and private clinics, should focus on hiv/aids screening tests, such as vct mobile action in friend/community and work environment.32 conclusion the social environment of reactive/positive hiv friends and risky behavior increased hiv/aids cases in bandar lampung. therefore, the enhancement of hiv/aids screening tests in the environment of risky behavior friends has to be optimized to identify the findings of hiv/aids cases. acknowledgement the researchers would like to thank dr. edwin rusli, m.km (chief of health service/dinkes in bandar lampung) and dr. hany musliha (chief of public health service kemiling/where i worked) who have permitted me to study. it also goes to dr. jhoni effensyah (chief of public health sukaraja), dr. iiskha sari sandiaty (chief of public health simpur), dr. rini alita (chief of public health service kedaton), drg. ian rahmadi (chief of public health service sukamaju), dr. titin agustin (chief of public health service gedong air), and dr. desma (chief of public health service pasar ambon) who have given me permission to conduct research and collect data at their place to complete this article. in addition, i also would like to thank the postgraduate director of lampung university (prof. dr. ir. ahmad saudi samosir, s.t., m.t.), who has supported me in completing this research. conflict of interest there is no conflict of interest in this research. references 1. kemenkes ri. infodatin hiv aids. kesehatan. 2020;1–8. https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-2020-hiv.pdf 2. wanananda, a. henrik blum. ebers papyrus, 2021; 27(1): 1-3. 3. ningrum saw, sumaryani s. peer education prevents sexual risk behavior among adolescents in rural area. indonesian nursing journal of education and clinic (injec), 2018; 2(2): 193-199. http://dx.doi.org/10.24990/injec.v2i2.172 4. sumaryani s, ningrum s.a.w, prihatiningsih ts, haryanti f, gunadi a. peer education and sexual risk behavior among adolescents: does urban status matter? open access macedonian journal of medical sciences. 2021; 9(t4): 50-54. https://doi.org/10.3889/oamjms.2021.5818 5. anugwom e, anugwom k. socio-cultural factors in the access of women to hiv/aids prevention and treatment services in south-southern nigeria. iran j public health. 2016; 45(6): 754–60. 6. tamara rm. peranan lingkungan sosial terhadap pembentukan sikap peduli lingkungan peserta didik di sma negeri kabupaten cianjur. j geogr gea. 2016; 16(1): 44. https://doi.org/10.17509/gea.v16i1.3467 7. handayani s. hubungan peranan lingkungan terhadap kejadian hiv/aids. j manaj kesehat yayasan rsdr soetomo. 2018; 4(2): 134. https://doi.org/10.29241/jmk.v4i2.115 8. leny p, lemeshow s. solutions manual to accompany sampling of populations methods and applications. new jersey: a john wiley & sons, inc publication; 2009. 9. sugiyono. metode penelitian kombinasi (mixed methods). bandung: alfabeta; 2015. 10. masturoh i, t na. metodologi penelitian kesehatan. badan peng. jakarta: kementerian kesehatan republik indonesia, pusat pendidikan sumber daya kesehatan; 2018. 307 p. 11. department of health and children. the agenda for children’s services: a policy handbook. australia: the stationery office; 2011. 42 p. 12. djoerban z, djauz s. ilmu penyakit dalam. 6th ed. setiati s, alwi i, sudoyo a, k m, setiyohadi b, syam af, editors. jakarta: interna publishing; 2014. 1468 p. 13. rahayu ldp. pengaruh faktor lingkungan sosial terhadap perilaku seksual beresiko pada anak jalanan di kabupaten banyumas tahun 2016. prosiding seminar nasional dan presentasi hasil-hasil penelitian serta pengabdian masyarakat bidang kesehatan in bidan prada: jurnal publikasi kebidanan akbid ylpp purwokerto. 2017. http://dx.doi.org/10.24990/injec.v2i2.172 http://dx.doi.org/10.24990/injec.v2i2.172 https://doi.org/10.3889/oamjms.2021.5818 https://doi.org/10.17509/gea.v16i1.3467 http://dx.doi.org/10.29241/jmk.v4i2.115 | 37 14. butt l, morin j, djoht dr, kes m, peyon i, sos s, et al. stigma and hiv / aids in highlands papua. research collaboration between pusat studi kependudukan–uncen, abepura, papua and university of victoria, canada. 2010; (june): 1–39. 15. shaluhiyah z, musthofa sb, widjanarko b. stigma masyarakat terhadap orang dengan hiv/aids. kesmas natl public heal j. 2015;9(4):333. http://dx.doi.org/10.21109/kesmas.v9i4.740 16. lapau b. metode penelitian kesehatan: metode ilmiah penulisan skripsi, tesis dan disertasi. jakarta: yayasan pustaka obor indonesia; 2015. 464 p. 17. fearon e, wiggins rd, pettifor ae, macphail c, kahn k, selin a, et al. associations between friendship characteristics and hiv and hsv-2 status amongst young south african women in hptn-068: j int aids soc. 2017;20(4). https://doi.org/10.1002/jia2.25029 18. wagner, l. good character is what we look for in a friend: character strengths are positively related to peer acceptance and friendship quality in early adolescents. the journal of early adolescence, 2019;39(6): 864-903. https://doi.org/10.1177/0272431618791286 19. alivernini f, cavicchiolo e, girelli l, lucidi f, biasi v, leone l, cozzolino m, manganelli s. relationships between sociocultural factors (gender, immigrant and socioeconomic background), peer relatedness and positive affect in adolescents. journal of adolescence, 2019;76, 99-108. https://doi.org/10.1016/j.adolescence.2019.08.011 20. sears k. u.s history 101. united states: adams media; 2015. 288 p. 21. manafe la, kandou g, dan posangi j. hubungan antara pengetahuan, sikap, peran guru, media informasi (internet) dan peran teman sebaya dengan tindakan pencegahan hiv / aids pada siswa di sma negeri 4 manado. jikmu, suplemen. 2014;4(4):644–55. 22. suwarni l. monitoring parental dan perilaku teman sebaya terhadap perilaku seksual remaja sma di kota pontianak. j promosi kesehatan indonesia. 2009; 4(2): 127-133–133. https://doi.org/10.14710/jpki.4.2.127-133 23. sri n, and septiawan cg. pengaruh sikap, dukungan teman sesama wanita pekerja seks (wps) dan motivasi terhadap perilaku pencegahan hiv/aids wps. j ilm kebidanan indones. 2019; 9(02): 66–78. https://doi.org/10.33221/jiki.v9i02.253 24. rini as, dan noviyani ep. konfirmasi lima faktor yang berpengaruh terhadap perilaku remaja dalam pencegahan hiv/aids. j ilm kebidanan indones. 2019; 9(04): 138–53. https://doi.org/10.33221/jiki.v9i04.407 25. tianingrum n. stigma terhadap hiv dan aids: bagaimana guru dan teman sebaya berpengaruh. j kesehatan masyarakat khatulistiwa. 2018; 5(1): 22–31. http://dx.doi.org/10.29406/jkmk.v5i1.894 26. yuliza wt, hardisman h, nursal dga. analisis faktor yang berhubungan dengan perilaku pencegahan hiv/aids pada wanita pekerja seksual di kota padang. j kesehatan andalas. 2019; 8(2): 376. https://doi.org/10.25077/jka.v8i2.1015 27. rahman rta, and yuandari, e. faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pencegahan hiv/aids pada remaja. dinamika kesehatan: jurnal kebidanan dan keperawatan, 2014;5(1), 80-93. 28. mesra e, fauziah. pengaruh teman sebaya terhadap perilaku seksual remaja. j ilm bidan. 2016; 1(2): 34–41. 29. rohmah s. pengaruh dukungan teman sebaya, sumber informasi dan pengetahuan terhadap perilaku pencegahan hiv aids di kalangan pelajar smkn kalinyamatan jepara tahun 2016. j midwifery public health. 2019;1(2):1-6. http://dx.doi.org/10.25157/jmph.v1i2.3023 30. darmayanti, lestari ymr. peran teman sebaya terhadap perilaku seksual pra nikah siswa slta kota bukit tinggi. j kesehat masy andalas. 2011;6(1):25–7. https://doi.org/10.24893/jkma.v6i1.84 31. kemenkes ri. rencana aksi nasional pencegahan dan pengendalian hiv aids dan pims di indonesia tahun 2020-2024. kementerian kesehat republik indones. 2020; 1–188. 32. ranti s, hermawan d, prihantika i. strategi dinas kesehatan provinsi lampung dalam menanggulangi penyebaran hiv/aids di provinsi lampung. administrativa: jurnal birokrasi, kebijakan dan pelayanan publik, 2020; 2(2): 161-169. http://dx.doi.org/10.21109/kesmas.v9i4.740 http://dx.doi.org/10.1002/jia2.25029 https://doi.org/10.1177%2f0272431618791286 https://doi.org/10.1016/j.adolescence.2019.08.011 https://doi.org/10.14710/jpki.4.2.127-133 https://doi.org/10.33221/jiki.v9i02.253 https://doi.org/10.33221/jiki.v9i04.407 http://dx.doi.org/10.29406/jkmk.v5i1.894 https://doi.org/10.25077/jka.v8i2.1015 http://dx.doi.org/10.25157/jmph.v1i2.3023 https://doi.org/10.24893/jkma.v6i1.84 1 mutiara medika vol. 8 no. 1:01-08, januari 2008 pengaruh program olahraga umum (senam aerobik) dan khusus (body language dan senam aerobik) terhadap penurunan berat badan the influence of ordinary (aerobic exercise) and special sport program (body language and aerobic exercise) on weight loss nanik sugiarti1, zulkhah noor2 1mahasiswa fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta 2bagian fisiologi fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta abstract overweight is one among several risk factors of many diseases and disrupts the beautiful contour of the body. the aim of this study was to find out the difference of weight loss produced by ordinary (aerobic exercise) and special (body language and aerobic exercise) sport program for weight loss. the design of this study was observational. the subjects divided into 2 groups consisted of women less than forty years old who followed the weight loss program in kartika dewi gym. 25 women followed ordinary program and 11 women followed extraordinary program. respondents filled questioner about subject criteria information and the exercise program that have been doing including exercise duration, intensity and regularity, then measured body weight one month after introduction exercise and one month after core exercise. the statistical analysis was carried out using student ttest. the mean weight loss in ordinary program group was 0,34 kg and in extraordinary program group was 1,32 with p value 0,055. among other variables only exercise duration of ordinary program gave significant value to weight loss with p value 0,007. the conclusion was extra ordinary program was more effective to loss weight than ordinary program. if we want to get maximum weight loss, we should not only do exercise with long duration but also continuously. keyword: aerobic exercise, body language, body weight abstrak kegemukan merupakan faktor resiko penting dari berbagai penyakit an dapat mengurangi keindahan bentuk tubuh. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan penurunan berat badan hasil dari program olahraga umum (senam aerobik) dan khusus (body language dan senam aerobik) untuk penurunan berat badan. desain penelitian ini adalah prospective cohort. subyek penelitian sejumlah 36 terdiri atas perempuan yang berusia kurang dari 40 tahun yang mengikuti program penurunan berat badan di sanggar senam kartika dewi. subyek dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok program olah raga umum dan khusus. semua responden mengisi kuesioner mengenai informasi kriteria subyek dan program latihan yang dijalani meliputi lama, intensitas dan keteraturan latihan, kemudian dilakukan penimbangan berat badan 1 bulan setelah latihan pendahuluan dan 1 bulan setelah latihan inti. analisis statistik yang dipakai yaitu annova satu jalan. rata-rata penurunan berat badan kelompok program umum sebesar 0,34 kg dan program khusus sebesar 1,32 kg dengan nilai p 0,055. lama latihan pada program olahraga umum (senam nanik sugiarti, zulkhah noor, pengaruh program olahraga umum ........................ 2 aerobik) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penurunan berat badan dengan nilai p 0,007, sedangkan intensitas dan keteraturan latihan tidak memberikan pengaruh yang signifikan. kata kunci: berat badan, body language, senam aerobik pendahuluan perubahan gaya hidup (lifestyle) sebagian masyarakat yang mengarah ke pola kehidupan modern. sejalan dengan perubahan tersebut, pola makan pun berubah. makanan tersebut umumnya berkalori tinggi karena mengandung banyak lemak. hal ini menjadi ciri khas pola kehidupan manusia dengan makan makanan berkalori tinggi sedangkan aktivitas fisik semakin berkurang. masukan kalori berlebihan atau penggunaan kalori yang sangat minim merupakan faktor utama terjadinya obesitas. di samping masalah estetik dan berkurangnya rasa percaya diri, obesitas dengan akumulasi lemak visceral ternyata merupakan sumber resiko berbagai penyakit metabolik seperti diabetes melitus, hipertensi, penyakit jantung koroner, stroke dan dislipidemia1 masalah lain yang dapat terjadi pada obesitas adalah sleep apneu syndrome, batu empedu dan osteoarthritis. resiko obesitas di bidang obstetri ginekologi antara lain adanya kelainan haid, infertilitas, fluor albus, gangguan kehamilan dan persalinan, masalah hubungan seksual serta keganasan tertentu. lemak yang berlebihan terutama di daerah intertrigo sering menimbulkan iritasi dan dermatomikosis. di samping itu, pada remaja wanita obesitas sering membawa dampak psikologis seperti rasa bersalah, ketidakpastian, rasa tidak berharga, menarik diri dari pergaulan dan depresi. kompensasi umumnya dilakukan dengan makan berlebihan, demikian seterusnya sehingga timbunan lemak makin bertambah.1 banyak pula yang telah mencoba melakukan diet untuk menurunkan berat badannya.1 olahraga merupakan usaha yang paling baik untuk menurunkan berat badan bila dibanding dengan diet saja. tentunya, tujuan olahraga untuk menurunkan berat badan adalah membakar lemak, maka yang harus dilakukan adalah latihan dengan intensitas rendah dalam jangka waktu lama. dan bentuk olahraga yang paling cocok adalah sistem aerobik karena energi yang didapat berasal dari metabolisme karbohidrat dan lemak.2 olahraga membantu kita mencapai berat badan ideal dengan membakar kalori. tubuh kita memerlukan sejumlah energi tertentu untuk melanjutkan fungsi yang diperlukan demi kelangsungan hidup. jika kita berolahraga, tubuh kita bekerja lebih keras dan memerlukan kalori lebih banyak. bahkan setelah kita berhenti berolahraga tubuh kita terus membakar kalori selama beberapa jam. dengan membakar lebih banyak kalori, dapat mengurangi lemak dan mengubah komposisi tubuh yang lebih sehat. menurunkan lemak tubuh membuat tubuh kita kelihatan lebih baik dan menurunkan resiko obesitas. 3 sebagai contoh olahraga dengan sistem aerobik adalah senam aerobik dan body language. ada dua macam senam aerobik yaitu senam aerobik benturan keras (high impact aerobic dance) dan senam aerobik benturan ringan (low impact aerobic dance). senam aerobik benturan ringan sangat baik bagi pemula dan bagi yang berat badannya berlebih.2 latihan body language sangat bermanfaat untuk membentuk tubuh menjadi ideal juga dapat melangsingkan dan membentuk sikap tubuh. 3 apakah terdapat perbedaan pengaruh kedua jenis olahraga aerobik ini terhadap besar penurunan berat badan belum diketahui. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan besar penurunan berat badan antara program olahraga penurunan berat badan umum (senam aerobik) dan khusus (body language dan senam aerobik). 3 mutiara medika vol. 8 no. 1:01-08, januari 2008 bahan dan cara jenis penelitian ini menggunakan metode pendekatan observasional. data berupa penurunan berat badan adalah selisih berat badan yang diukur satu bulan setelah latihan pendahuluan dan satu bulan setelah latihan inti. populasi dalam penelitian ini adalah semua anggota senam yang berjenis kelamin wanita yang mengikuti program penurunan berat badan di sanggar senam kartika dewi. besarnya populasi adalah 252 anggota program umum dan 77 anggota program khusus. teknik yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah random sampling pada program umum dan total sampling pada program khusus dengan kriteria sebagai berikut: a. anggota wanita berumur kurang dari 40 tahun. b. anggota minimal sudah mengikuti latihan selama 1 bulan. c. anggota dengan intensitas latihan minimal 2 kali seminggu. d. anggota yang mengikuti latihan dengan tujuan untuk menurunkan berat badan. alat dan bahan penelitian yang digunakan adalah timbangan berat badan digital dengan ketelitian mencapai 0,1 kg, kuesioner serta kartu monitoring subjek untuk memantau perubahan berat badan setelah satu bulan latihan inti. pengumpulan data dilakukan dalam 2 tahap. tahap pertama menimbang berat badan subyek lalu dicatat dalam kartu monitoring subyek dan pengisian kuesioner oleh subyek. kuesioner ini memuat informasi kriteria subyek dan pelaksanaan program latihan meliputi lama latihan yang dijalani, intensitas dan keteraturan latihan. tahap kedua, mengukur penurunan berat badan subyek setelah 1 bulan latihan inti. variabel bebas adalah program olahraga penurunan berat badan umum dan sebagai variabel terikat adalah penurunan berat badan (kg) anggota senam setelah 1 bulan penelitian. data penurunan berat badan ditampilkan dalam bentuk rerata±standar deviasi dari masing-masing kelompok. selanjutnya dilakukan uji beda t-tes untuk mengetahui tingkat signifikansi perbedaan penurunan berat badan antara kelompok program olahraga penurunan berat badan umum (senam aerobik) dan khusus (body language dan senam aerobik), juga perbedaan penurunan berat badan karena perbedaan lama latihan yang telah dijalani, intensitas dan keteraturan latihan. hasil keberhasilan penurunan berat badan pada program penurunan berat badan umum ditentukan oleh pola latihan meliputi lama latihan, intensitas latihan dan keteraturan latihan. tabel 1. pengaruh program olahraga penurunan berat badan umum (senam aerobik) terhadap penurunan berat badan penurunan bb (kg) uji beda t-tess program latihan keterangan rata-rata±sd signifikansi waktu latihan ( dalam bulan ) >2 ≤2 -0,02 ± 1,06 1 ,47 ± 1,15 0,007 keteraturan latihan teratur tidak teratur 0,26 ± 1,28 0,53 ± 1,22 0,639 intensitas latihan ( perminggu ) <4 ≥4 0,75 ± 1,05 0,06 ± 1,32 0,179 nanik sugiarti, zulkhah noor, pengaruh program olahraga umum ........................ 4 tabel 1 memperlihatkan pada program olahraga penurunan berat badan umum (senam aerobik), waktu latihan yang telah dijalani lebih dari 2 bulan tidak menyebabkan penurunan berat badan, tetapi rata-rata berat badan responden mengalami kenaikan sebesar 0,02 kg±1,06. responden yang menjalani waktu latihan kurang dari sama dengan 2 bulan, mengalami rata-rata penurunan berat badan sebesar 1,47 kg.±1,15. berdasarkan uji t-test dengan tingkat kepercayaan 95% didapatkan nilai probabilitas tabel (0,007) dari nilai á (0,05) dan p<á, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara waktu latihan yang telah dijalani dengan besarnya penurunan berat badan. tabel 2. pengaruh program olahraga penurunan berat badan khusus (body language dan senam aerobik ) terhadap penurunan berat badan tabel 2 memperlihatkan bahwa, pada program olahraga penurunan berat badan khusus (body language dan senam aerobik), waktu latihan yang telah dijalani lebih dari 2 bulan menyebabkan penurunan berat badan sebesar 0,63 kg±0,55. responden yang menjalani waktu latihan kurang dari sama dengan 2 bulan, mengalami rata-rata penurunan berat badan sebesar 1,58 kg±1,85. berdasarkan uji t-test dengan tingkat kepercayaan 95% didapatkan nilai probabilitas tabel (0,421) dari nilai á (0,05) dan p>á, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara waktu latihan yang telah dijalani dengan besarnya penurunan berat badan. tabel 3. perbandingan penurunan berat badan program umum (senam aerobik) dan program khusus (body language dan senam aerobik) penurunan bb (kg) uji beda t-test senam aerobik body language signifikansi 0,34 ± 1,24 1,32 ± 1,62 0,055 penurunan bb (kg) uji beda t-test program latihan keterangan rata-rata±sd signifikansi waktu latihan ( dalam bulan ) >2 ≤2 0,63 ± 0,55 1 ,58 ± 1,85 0,421 keteraturan teratur 1,38 ± 1,69 0,712 latihan tidak teratur 0,7 ± 0 intensitas latihan ( perminggu ) <4 ≥4 1,5 ± 1 ,87 1,0 ± 1,28 0,648 tabel 3 memperlihatkan secara keseluruhan pengaruh dari program olahraga penurunan berat badan umum (senam aerobik) dan khusus (body language dan senam aerobik), yaitu terjadi rata-rata penurunan berat badan sebesar 0,34 kg±1,24 pada responden program olahraga umum (senam aerobik) dan ratarata penurunan berat badan sebesar 1,32 kg±1,62 pada responden yang mengikuti program olahraga khusus (body language dan senam aerobik). berdasarkan uji t-test dengan tingkat kepercayaan 95% didapatkan nilai probabilitas tabel (0,055) 5 mutiara medika vol. 8 no. 1:01-08, januari 2008 dari nilai á (0,05) dan p> á, maka dapat disimpulkan bahwa hampir terdapat pengaruh yang signifikan antara program olahraga penurunan berat badan terhadap besarnya penurunan berat badan pada kedua program diskusi keberhasilan penurunan berat badan pada program penurunan berat badan umum ditentukan oleh pola latihan meliputi lama latihan, intensitas latihan dan keteraturan latihan. pola latihan, intensitas latihan, dan keteraturan latihan menentukan berapa banyak energi diperlukan dan berapa banyak cadangan makanan yang dibongkar dari simpanan tubuh. tabel 1 memperlihatkan bahwa, pada program olahraga penurunan berat badan umum (senam aerobik), waktu latihan yang telah dijalani lebih dari 2 bulan tidak menyebabkan penurunan berat badan yang signifikan, bahkan sebagian res[onden mengalami peningkatan berat badan sehingga rata-rata berat badan responden kelompok mengalami kenaikan sebesar 0,02 kg±1,06. responden yang menjalani waktu latihan kurang dari sama dengan 2 bulan, mengalami rata-rata penurunan berat badan sebesar 1,47 kg.±1,15. berdasarkan uji t-test dengan tingkat kepercayaan 95% didapatkan nilai probabilitas tabel (0,007) dari nilai á (0,05) dan p<á, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara waktu latihan yang telah dijalani dengan besarnya penurunan berat badan. kelompok yang telah berlatih lebih dari 2 bulan sebaiknya tidak berhenti dalam menjalankan latihannya. karena jika berhenti, dikhawatirkan tidak bisa mempertahankan berat badan yang telah dicapai. kebosanan latihan dapat diatasi dengan melakukan latihan yang variatif. kenaikan berat badan yang terjadi pada kelompok yang telah berlatih lebih dari 2 bulan bisa disebabkan adanya resistensi penurunan berat badan. resistensi ini disebabkan oleh banyak faktor antara lain genetik, akumulasi lemak tubuh dan massa otot. dilaporkan bahwa pada wanita yang overweight dan obesitas resisten terhadap penurunan berat badan sebagai respon dari latihan sebanyak 5 kali perminggu, yang mana para wanita tersebut membakar 440 kkal/sesi. padahal pada penelitian ini, para wanita disarankan berada pada keseimbangan energi negatif sebanyak 200 kcal/hari. resistensi terhadap penurunan berat badan ini merupakan penemuan yang membingungkan dan tidak dapat dijelaskan. untuk menjelaskannya perlu penelitian yang lebih jauh lagi untuk menjelaskan penemuan yang kontradiktif ini.4 olahraga menimbulkan perubahan fisiologis yang cukup besar dalam tubuh. perubahan itu antara lain pembentukan energi yang banyak memicu pengerahan sumber-sumber energi dari perolehan oksigen, aliran darah dan pembongkaran simpanan makanan, sehingga berat badab akan menurun. akan tetapi pembebanan otot pada olahraga akan menyebabkan otot mengalami hipertrofi dengan peningkatan komponen-komponen otot, sehingga masa otot bertambah, dan berat badan meningkat lagi. berdasarkan keteraturan latihan didapatkan hasil kelompok yang latihan secara teratur mengalami rata-rata penurunan berat badan sebesar 0,26 kg±1,28, sedangkan pada kelompok yang melaksanakan latihan secara tidak teratur rata-rata penurunan berat badannya sebesar 0,53 kg±1,22. berdasarkan uji ttes tdengan tingkat kepercayaan 95% didapatkan nilai probabilitas tabel (0,639) dari nilai á (0,05) dan p>á, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara keteraturan latihan dengan besarnya penurunan berat badan. hal ini terjadi, mungkin diakibatkan responden yang latihan teratur tidak dibarengi dengan pengaturan diet yang baik serta intensitas latihan yang kurang. walaupun responden melakukan latihan tidak teratur, tapi intensitas latihannya lebih banyak dan didukung dengan pengaturan diet yang lebih baik. responden yang tidak teratur latihan sering karena datang terlambat sehingga tidak mengikuti senam secara penuh atau kurang dari 1 jam. hal nanik sugiarti, zulkhah noor, pengaruh program olahraga umum ........................ 6 tersebut menyebabkan keteraturan latihan menurun. toleransi masih diberikan pada responden yang senam minimal 2 kali seminggu walaupun dilakukan tidak teratur. sebaiknya responden tidak hanya latihan secara teratur, tetapi juga berlatih secara kontinu untuk mencapai penurunan berat badan yang diinginkan. berdasarkan intensitas latihan, kelompok yang melakukan latihan kurang dari 4 kali seminggu, mengalami rata-rata penurunan berat badan sebesar 0,75 kg±1,05, sedangkan yang berlatih lebih dari sama dengan 4 kali seminggu, mendapatkan rata-rata penurunan berat badan sebesar 0,06 kg±1,32. berdasarkan uji t-tes dengan tingkat kepercayaan 95% didapatkan nilai probabilitas tabel (0,179) dari nilai á (0,05) dan p>á, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara intensitas latihan terhadap besarnya penurunan berat badan. intensitas latihan yang tinggi tidak memberi jaminan akan memperoleh penurunan berat badan yang lebih besar. walaupun intensitas latihan berbeda tetapi latihan harus tetap dijalankan secara kontinu. alangkah baiknya jika ditunjang dengan pengaturan diet sesuai kebutuhan kalori masing-masing. latihan untuk menurunkan lemak tubuh memiliki ciri-ciri: gerak dinamis, melibatkan otot-otot besar tubuh, intensitas latihan sedang, dan dikerjakan secara kontinu dalam jangka waktu yang cukup lama. dengan gerakan tersebut, sumber energi dihasilkan dari pembakaran lemak tubuh.5 tabel 2 memperlihatkan bahwa, pada program olahraga penurunan berat badan khusus (body language dan senam aerobik), waktu latihan yang telah dijalani lebih dari 2 bulan menyebabkan penurunan berat badan sebesar 0,63 kg±0,55. responden yang menjalani waktu latihan kurang dari sama dengan 2 bulan, mengalami rata-rata penurunan berat badan sebesar 1,58 kg±1,85. berdasarkan uji t-test dengan tingkat kepercayaan 95% didapatkan nilai probabilitas tabel (0,421) dari nilai á (0,05) dan p>á, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara waktu latihan yang telah dijalani dengan besarnya penurunan berat badan. hal ini bisa terjadi, mungkin karena responden yang sudah menjalani latihan selama lebih dari 2 bulan sudah merasa bosan dengan latihan yang dijalani, sedangkan pada responden yang latihan kurang dari sama dengan 2 bulan, masih bersemangat untuk menurunkan berat badan dengan diet yang lebih diatur dibandingkan dengan responden yang sudah lebih dari 2 bulan. sehingga, perlu ditambah variasi latihan ataupun variasi gerakan supaya anggota senam tidak merasa jenuh dengan latihan yang diberikan oleh instruktur. selain itu, adanya resistensi penurunan berat badan akibat faktor genetik, akumulasi lemak dan massa otot juga mempengaruhi penurunan berat badan. selanjutnya diharapkan responden tetap mengikuti latihan 3 kali seminggu dengan durasi 60 menit sekali latihan agar tetap mempertahankan berat badan yang telah dicapai. akan lebih baik lagi jika program latihan penurunan berat badan disertai diet rendah lemak, mengurangi makanan 25 % dari biasanya dan menghindari makan larut malam sebelum jam 07.00 malam.5 berdasarkan keteraturan latihan, didapatkan hasil kelompok yang latihan secara teratur, mengalami rata-rata penurunan berat badan sebesar 1,38 kg±1,69, sedangkan pada responden yang menjalankan latihan secara tidak teratur, rata-rata penurunan berat badannya sebesar 0,7 kg±0. berdasarkan uji one way anova dengan tingkat kepercayaan 95% didapatkan nilai probabilitas tabel (0,712) dari nilai á (0,05) dan p>á, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara keteraturan latihan dengan besarnya penurunan berat badan. hasil ini menunjukkan bahwa latihan body language yang dilakukan secara teratur, dapat menurunkan berat badan lebih besar daripada yang dilakukan tidak teratur. selain itu, lebih baik jika latihan body language ini juga dikombinasikan dengan senam aerobik, sehingga memberi hasil yang optimal. 7 mutiara medika vol. 8 no. 1:01-08, januari 2008 berdasarkan intensitas latihan, kelompok yang melakukan latihan kurang dari 4 kali seminggu, mengalami rata-rata penurunan berat badan sebesar 1,5 kg±1,87, sedangkan yang berlatih lebih dari sama dengan 4 kali mendapat rata-rata penurunan berat badan sebesar 1,0 kg±1,28. berdasarkan uji one way anova dengan tingkat kepercayaan 95% didapatkan nilai probabilitas tabel (0,648) dari nilai á (0,05) dan p>á, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara intensitas latihan terhadap besarnya penurunan berat badan. hal tersebut mungkin dikarenakan responden yang berlatih dengan intensitas lebih dari 4 kali seminggu tidak dibarengi dengan gerakan yang sungguh-sungguh saat latihan, sehingga total kalori yang dibakar pun lebih sedikit jika dibandingkan dengan yang latihan kurang dari 4 kali seminggu, tapi melakukan gerakannya dengan sungguh-sungguh tiap kali latihan. sehingga dengan intensitas latihan yang berbeda, diharapkan responden tetap melakukan latihan secara kontinu. penurunan kegemukan di perut sebagai respon dari olahraga konsisten dengan penelitian sebelumnya, yang mana olahraga dengan intensitas sedang berhubungan dengan peningkatan yang signifikan lipolisis di jaringan adiposa subcutaneous abdominal dibandingkan dengan jaringan adiposa pada paha.4 beberapa kesalahan yang sering ditemui adalah peserta yang ingin menurunkan berat badan berlatih sekeraskerasnya agar banyak mengeluarkan keringat dan membakar energi sebanyakbanyaknya atau berlama-lama dalam ruang sauna. hal tersebut tidak efektif dan merugikan kesehatan sebab untuk sementara waktu memang berat badan akan menurun, namun setelah makan dan minum berat badan akan naik kembali. di samping itu pengeluaran keringat yang berlebihan dapat menimbulkan dehidrasi.5 penurunan berat badan secara signifikan dicapai, melalui kombinasi antara olahraga dan diet. walaupun tidak ada perbedaan yang ditemukan berdasarkan durasi dan intensitas latihan yang berbeda pada kelompok wanita yang overweight.6 efektivitas dari program olahraga penurunan berat badan umum dan khusus diketahui dari rata-rata penurunan berat badan responden masing-masing program. tabel 3 memperlihatkan secara keseluruhan pengaruh dari program olahraga penurunan berat badan umum (senam aerobik) dan khusus (body language dan senam aerobik), yaitu terjadi rata-rata penurunan berat badan sebesar 0,34 kg±1,24 pada responden program olahraga umum (senam aerobik) dan ratarata penurunan berat badan sebesar 1,32 kg±1,62 pada responden yang mengikuti program olahraga khusus (body language dan senam aerobik). berdasarkan uji one way anova dengan tingkat kepercayaan 95% didapatkan nilai probabilitas tabel (0,055) dari nilai á (0,05) dan p> á, maka dapat disimpulkan bahwa hampir terdapat pengaruh yang signifikan antara program olahraga penurunan berat badan terhadap besarnya penurunan berat badan pada kedua program hasil tersebut menunjukkan bahwa program olahraga penurunan berat badan hampir memberikan hasil yang signifikan terhadap penurunan berat badan responden. hasil rata-rata penurunan berat badan menunjukkan bahwa program olahraga penurunan berat badan khusus (body language dan senam aerobik) lebih efektif dalam menurunkan berat badan jika dibanding dengan program olahraga penurunan berat badan umum (senam aerobik). latihan body language sangat bermanfaat untuk membentuk tubuh menjadi ideal juga dapat melangsingkan dan membentuk sikap tubuh. sesuai dengan namanya yang berarti bahasa tubuh, maka body language merupakan senam yang bermanfaat bagi pembentukan tubuh. gerakan senam yang dilakukan memberikan dampak menyeluruh bagi bentuk tubuh seperti lengan, dada, perut, paha, panggul, payudara serta bagian tubuh lainnya. jika seseorang mengalami kelebihan berat badan dianjurkan untuk nanik sugiarti, zulkhah noor, pengaruh program olahraga umum ........................ 8 melakukan senam body language minimal tiga kali seminggu dan setiap kali latihan selama satu jam. selain itu juga dianjurkan untuk mengkombinasikannya dengan senam aerobik dua kali setiap minggunya.3 kesimpulan program olahraga penurunan berat badan khusus (body language dan senam aerobik) menurunkan berat badan lebih tinggi dibandingkan program umum (senam aerobik) dengan p=0,055. perbedaan pengaruh waktu latihan yang telah dijalani, intensitas dan keteraturan latihan pada program olahraga penurunan berat badan umum (senam aerobik) dan khusus (body language dan senam aerobik) hampir semuanya tidak memberi pengaruh yang signifikan terhadap penurunan berat badan, hanya waktu latihan yang telah dijalani pada program umum (senam aerobik) memberi pengaruh yang signifikan terhadap penurunan berat badan dengan p=0,007. daftar pustaka 1. rahardja, e.m., 2002. diet dan aktifitas fisik dalam menurunkan berat badan, ebers papyrus., vol.8, no.3, 143-152. 2. sadoso, s.,1990. pengetahuan praktis kesehatan dalam olahraga 2. jakarta: pt gramedia pustaka utama 3. anonim, 2006. untuk sehat dan bugar jangan malas menggerakkan tubuh. buletin info sehat. ed.16 4. ross, r., janssen, i., dawson, j., kungl, a.m., kuk, j.l., wong, s.l., et al., 2004. exercise-induced reduction in obesity and insulin resistance in women: a randomized controlled trial. jama, 12, 787-789. 5. pekik, i., 2004. pedoman praktis berolahraga untuk kebugaran dan kesehatan. yogyakarta: penerbit andi. 6. lee, j.s., kritchevsky, s.b., tylavsky, f.a., harris, t., everhart, j., simonsick, e.m., et al.,2004. weight-loss intention in the well-functioning, communitydwelling elderly: associations with diet quality, physical activity, and weight change. jama, 80 (3),466-474. | 50 mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 22 no 1 page 50-56, january 2022 the role of family function and support to nutritional status in autistic children muhammad khotibuddin1*, riska shellia2 1 department of family medicine and public health, faculty of medicine and health sciences, universitas muhammadiyah yogyakarta, bantul, yogyakarta, indonesia 2 faculty of medicine and health sciences, universitas muhammadiyah yogyakarta, bantul, yogyakarta, indonesia data of article: received: 25 apr 2021 reviewed: 11 oct 2021 revised: 23 jan 2022 accepted: 26 jan 2022 correspondence: muhammad_khotibuddin@yahoo.com doi: 10.18196/mmjkk.v21i2.11598 type of article: research abstract: the role of the family is substantial in determining the nutritional status of children. however, not many studies have revealed this role in autistic children in indonesia. this study aims to assess the role of family function and family support for the nutritional status of autistic children in yogyakarta. this study used a cross-sectional design to observe at least 14 children divided into three groups: autistic-overweight, autisticnormal, and non-autistic-normal. the apgar score measured the family function, while family support was measured by a questionnaire consisting of 5 aspects: information, respect, instrumental, emotional, and social. the difference test between the three groups used the anova test. total family support in the autistic-overweight group (73.17±4.45) was lower than autistic-normal (80.6±3.36) and non-autistic (78.33±3.21). this difference was significant between autistic-overweight and autistic-normal (p 0.022), but not with the non-autistic group. furthermore, there was no difference in family function (apgar score) between the three study groups. there was less family support among autistic-overweight children. keywords: autistic children; family functions; family support; nutritional status introduction in indonesia, the nutritional problem in children with special needs (abk) is alarming. the prevalence of abnormal nutrition in children with special needs was greater than in children of the same age. the prevalence of abnormal nutrition in primary school children in indonesia in 2013 reached 29.2%, while in yogyakarta province, it reached 29.5%.1 the results of a survey on nutritional status in special education schools (slb) in bantul found that 51% of special education school children had problems with nutritional status, which is much higher than the provincial and national averages.2 most of the nutritional problems in children with special needs are dominated by obesity which varies from 16% in jakarta to 42% in pleret, bantul.3 the prevalence of malnutrition in abk is almost the same as a prevalence in same-aged children (8-9%). however, in semarang, the prevalence of undernutrition in autistic children was higher (30%).4 most likely, the cause of the nutritional problem is multifactorial, such as nutritional intake, diseases, socio-demographic status, and family support.5, 6 children with special needs (abk) are likely to be less than 18 years old and have physical, mental, intellectual, and sensory disabilities (uu ri no. 8 of 2016). the prevalence of abk in indonesia is estimated at 5.3% of moderate-severe abk and 0.7% of severe abk.7 the disorder includes the blind, deaf, speech impairment, quadriplegic, mental retardation, autism, and syndrome. around 85% of abk do not go to school and live in communities far from the government’s policies or social security programs. they do not obtain enough attention and protection from their family. the lack of family support occurs due to stigma, isolation, and excessive protection from their family.8 family support is highly necessary for the development and protection of children, especially children with special needs.9, 10 children with special needs have much difficulty in many things, such as eating behavior, leading to malnutrition due to insufficient food intake.11 the existence of family support can affect https://doi.org/10.18196/mmjkk.v21i2.10882 51 | positive eating behavior in children. the eating process in children is a biological requirement and social interaction, respect, and establishing early good eating behavior.12 however, these roles of family support are still far from expectations in abk. several studies showed that family support for abk is still low. the amount of good family support ranges from 54.3% to 56.1%.13,14 the low family support for abk can increase the risk of malnutrition through less energy intake.13 in different circumstances, the increase in obesity in abk has not been widely known with low family support or vice versa. children who spend much time with their fathers have a higher risk of obesity than children who spend much time with their mothers.15 in addition, the researchers suggest that obesity in abk can be associated with low family function (dysfunctional family).16 children with autistic spectrum disorders (autism) have eating problems. there is a relationship between eating behavior, diet quality, social status, communication, and cognitive level on nutritional adequacy. the impact of eating problems on the family can lead children to malnutrition. autistic children often avoid mealtimes, especially when it comes to unfavored smells. frequently, they feel anxious interactions while eating.17 the nutritional status of autistic children in slb negeri semarang shows that the more often the children consume high-fat foods are, the more overweight and obese they will be. the incidence of overweight and obesity in childhood can increase the risk of degenerative diseases in adulthood. therefore, the increase of high-fat consumption in autistic children must be considered.4 otherwise, the higher the protein consumption in autistic children is, the better the prevalence of nutritional status will increase. energy-dense foods accompanied by a lack of physical activity will gain weight. therefore, most autistic children have more body fat, which increases the prevalence of obesity.4 many studies in indonesia have the relationship between nutritional status and family support in abk, but the relationship between family factors (function and support) on nutritional status in abk, especially autistic, is not widely studied. it is interesting to study the relationship between family function and family support with the nutritional status of autistic children in slb, especially in the yogyakarta area. materials and method this research is an observational study with a cross-sectional design. the research population included children with special needs in yogyakarta. they were elementary school students at the slb negeri 1 bantul with a total of 144 students who were divided into classes with mild-moderate abk and severe abk (autistic and others). the sample of this study amounted to 14 children from the severe abk class. in the sample recruitment process, researchers tried to recruit respondents in all classes, but many parents, especially those from the mild-moderate abk class, were not willing to participate in the study since they may have often been asked to be subjects in others previous studies. this study had been reviewed for ethical clearance from the institutional board. the nutritional status was measured by body mass index (bmi) per age by gender (bmi/u). the graphic categorized those into undernutrition, normal, and overweight category. furthermore, the subjects were re-grouping into three groups based on the combination of nutritional status and type of disability. there are autistic-overweight, autistic-normal, and non-autistic-normal groups. the independent variables consisted of (1) demographic-social status, (2) family support, and (3) family function. social demographic status consisted of age, gender, class, economic status, and parental education. family support was measured by an adaptation questionnaire from sidik (2014).18 meanwhile, the family support questionnaire consisted of 5 aspects of family support: information, respect, instrumental, emotional, and social. the family support was categorized into good, moderate, and poor. the family function was measured by the apgar score, including the functions of adaptation, partnership, growth, affection, and resolve. family apgar scores ranged from 0-10. the family function categories were divided into three: functional family (8-10), moderate dysfunction (4-7), and severe dysfunction (0-3). all measurements were taken with the help of enumerators to conduct interviews with parents to measure the children's height and weight. the data from measurement were analyzed using the spss program. the anova test was performed to identify the differences between numerical data in those three groups. results there were 14 children from severe abk class only, which was included in this study. they all had severe disabilities such as autistic disorder and non-autistic severe mental retardation. the characteristics of the subjects can be seen in table 1. those severe abk subjects represented from many variables, including their parents demographic characteristics, children's nutritional status, family support, and family functions. in general, the research subjects were dominated by autistic children (78.6%), male gender (64.3%), and most of the children's parents did not continue their education to college (78.6%). according | 52 vol 22 no 1 january 2022 to the cdc, the nutritional status of children is presented as bmi/u, which is interpreted using the nutritional status criteria. the interpretation shows that if bmi/u is >85th percentile, the child is overweight. otherwise, if the bmi/u is <85th percentile, the child is categorized as normal nutrition. the combination of nutritional status variables and types of disabilities (autistic and non-autistic) resulted in a new group used in the anova analysis to identify differences in family support and function (table 2 and table 3). table 1. characteristics of respondents variables (category) frequency (mean) % parents’ demographics age (mean) 42.36  6.73 gender (1) male 3 21.4 (2) female 11 78.6 education (1) high (s1) 4 28.6 (2) basic (12 years) 10 71.4 incomes (rp) (1) high (>4 million) 4 28.6 (2) medium (>3 million) 3 21.4 (3) less (<3 million) 7 50.0 occupation (1) working 8 57.1 (2) housewife 6 42.9 childrens’ demographics gender (1) male 9 64.3 (2) female 5 35.7 age (mean) 10.99  1.34 types of disability (1) autistic 11 78.6 (2) non-autistic 3 21.4 nutritional status (imt/u) (1) overweight (>85 percentile) 6 42.9 (2) normal (<85 percentile) 8 57.1 autistic-nutritional status (1) autistic-overweight 6 42.86 (2) autistic-normal 5 35.71 (3) non-autistic-normal 3 21.43 family support (1) good (79-104) 6 42.9 (2) enough (53-78) 8 57.1 aspects of family support information (mean) 14.43  2.31 emotional (mean) 22.93  2.23 respect (mean) 12.21  0.97 instrument (mean) 16.29  0.99 social (mean) 11.07  1.98 total supports (mean) 76.93  4.98 family function (1) good (7-10) 9 64.3 (2) less (<7) 5 35.7 apgar score (mean) 7.5  1.70 all bivariate variables were analyzed using spearmen's test. the summary of the test’s results is shown in chart 1. the chart shows that at least two demographic characteristics are related to two aspects of family support. those are the child’s year class with respect aspect, and parent’s age with the aspect of the instrument. it shows that the higher child’s year class had less respect from family (r -0.552; p0.041). on another side, older parents gave more support to the child through the instrument aspect (r 0.647; p 0.012). there is no significant relationship between parents' demographic characteristics and children's nutritional status and family function. the relationship between family function and family support looked highly thigh. the apgar score had a significant relationship with family support, both categorical (r -0.567; p 53 | 0.034) and total support value (r 0.720; p 0.004). in general, the nutritional status of children was related to a family function (r 0.631; p 0.016) and the total value of family support (r -0.559; p 0.038). the group’s category (nutritional status and disability) appeared to be related to family function only (r -0.575; p 0.032) but not related to family support. these results proved a bivariate relationship between the nutritional status of children with special needs (abk), family function, and family support. chart 1. summary of spearman correlation test results between various research variables: the correlation value is followed by the p-value in parentheses the results of the anova analysis of the autistic-overweight, autistic-normal, and non-autistic-normal groups showed differences in family support but not with apgar scores (family function), as shown in table 2. the total family support in the autistic-overweight group was lower than the non-autistic-normal and autistic-normal groups. in the tukey hsd analysis, this difference in support only occurred in the autistic-overweight group and the autistic-normal group, while the non-autistic-normal group had no difference in family support with the two autistic groups. the difference in family support between autisticoverweight and autistic-normal was very likely due to differences in aspects of emotional support, as shown in table 3. this analysis indicated that obesity in autistic children could be influenced by the role of family support, especially emotional support. there was no difference in the family function through apgar score between those three groups. table 2. differences in apgar score (family function), total support and support aspects by category of nutritional status and type of childbirth dependent variables autisticoverweight (n=6) autisticnormal (n=5) non-autisticnormal (n=3) anova (p-value) apgar score (family function) 6.83  1.83 8.0  1.58 8.0  1.73 0.481 total family supports* 73.17  4.45 80.6  3.36 78.33  3.21 0.025 information aspect 13.17  2.14 15.2  2.17 15.67  2.31 0.211 emotional aspect* 21.50  2.26 24.6  1.14 23.0  2.0 0.058 respect aspect 11.67  0.52 12.6  0.89 12.67  1.53 0.197 instrument aspect 16.33  0.82 16.4  0.89 16.0  1.73 0.869 social aspect 10.50  2.59 11.8  1.30 11.0  1.73 0.592 demographic child parent year class age gender education income occupation gender age family supports information emotional respect instrument social total supports child nutritional status obesity normal autistic-overweight autistic-normal non-autistic-normal family functions apgar score good less 0.638 (0.011) 0.575 (0.032) 0.564 (0.036) 0.631 (0.016) | 54 vol 22 no 1 january 2022 table 3. analysis of the differences between the autistic-overweight, autistic-normal, and non-autistic-normal groups from the apgar score (family function), total support, and emotional support aspects variable type of nutritional status and disability mean diff se p-value 95% ci apgar score autisticoverweight autistic-normal -1.16667 1.0461 6 0.525 3.9922 1.6589 non-autisticnormal -1.16667 1.2216 5 0.619 4.4662 2.1328 non-autisticnormal autistic-overweight 1.16667 1.2216 5 0.619 2.1328 4.4662 autistic-normal 0.00000 1.2617 1 1.000 3.4077 3.4077 total family support autisticoverweight autistic-normal -7.43333(*) 2.3430 7 0.022 13.761 6 1.1050 non-autisticnormal -5.16667 2.7361 2 0.188 12.556 5 2.2232 non-autisticnormal autistic-overweight 5.16667 2.7361 2 0.188 2.2232 12.556 5 autistic-normal -2.26667 2.8258 5 0.709 9.8989 5.3656 emotional aspect autisticoverweight autistic-normal -3.10000(*) 1.1357 8 0.048 6.1676 0.0324 non-autisticnormal -1.50000 1.3263 1 0.516 5.0822 2.0822 non-autisticnormal autistic-overweight 1.50000 1.3263 1 0.516 2.0822 5.0822 autistic-normal -1.60000 1.3698 0 0.495 5.2996 2.0996 discussion in this study, most autistic children were dominated by males (64.3%), and the majority of their parents were not highly educated (78.6%). table 1 shows that the overweight among severe abk is 42.9% based on bmi/u >85 percentile. it indicated that obesity is a prominent nutritional problem among autistic children. there was no relationship between the type of disability and the characteristics of children and their parents with the nutritional status of children with autism (chart 1). epidemiological data states that autism in males is higher than in women, with a ratio of 3:1.19. the number of overweights in autistic children also reaches 50%, which is multifactorial, including low parental education.20 the family support for abk is divided into good support (42.9%) and less support (57.1%). none of the study subjects had a poor level of family support. according to sidik's research (2014), the number of adequate family support (45.5%) was greater than the good category (22.7%).18 although most children with special needs received family support at a sufficient or moderate level, most crew members had families that functioned well (64.3%). it showed that a good level of family function does not always encourage good family support. these data explain why the relationship between family function and support is negative (r 0.567; p 0.034). usually, families with autistic children will increase stress on both parents, which causes psychological problems, marital fractures, and family dysfunction.21 on the other hand, parents who are not stressed in caring for autistic children have a level of self-confidence and good perceptions, indicating a need for lower family support.22 chart 1 shows a relationship between family support and family function on the nutritional status of autistic children. however, it cannot be directly linked as a factor that affects the nutritional status of autistic children. it occurred since the nutritional status is influenced by many factors originating from internal and external aspects.23 external factors that affect the nutritional status of children with special needs include (a) socio-economic status, (b) parental education, and (c) parental knowledge. meanwhile, internal factors that affect the nutritional status of children with special needs include (a) pre-natal (pregnancy infection, maternal age); (b) peri-natal (prolonged birth, premature birth, lack of oxygen, breech birth); (c) post-natal (nutrition intake, poisoning, and infection). nutritional status is directly influenced by food intake and physical activity, whereas family parenting influences food intake.24 from this parenting pattern, a relationship can be drawn with family support and function.25 in this study, both intake and physical activity 55 | factors measurements were not carried out so that there was a gap analysis between support factors and family functions with the nutritional status of children with autism. unlike the relationship between family support and family function for autistic children, these two factors can only be observed through the different groups with disabilities, further distinguished by their nutritional status. thus, the differences in family support and family function in groups of children with autism who are autistic-overweight, autisticnormal, and non-autistic-normal as control can be identified. furthermore, total family support is the total value of the five aspects of support: information, respect, instrumental, emotional, and social. in the autistic-overweight group, total family support and all aspects of family support except the instrumental aspect appeared lower than the autistic-normal and nonautistic-normal groups. however, a significant difference was only found in total family support and emotional support. it supports the results of the relationship analysis obtained in chart 1 that the nutritional status of autistic children was related to the total value of family support (r 0.631; p 0.016) and aspects of emotional support (r 0.564; p 0.036). thus, the low level of family support, especially the emotional aspect of the overweight group of autistic children, should be a concern. this study has limitations, as stated in the previous paragraph. this study had a small sample size. many parents were unwilling to become respondents as they were exhausted from being respondents in previous studies from other researchers. in addition, at the time of data collection, the covid-19 pandemic period was ongoing, where all schools underwent distance learning. this situation made it more complicated, and the researchers had to make further efforts to increase samples from other schools. besides, this study did not include and measure the variables of food intake and physical activity as direct causal factors of nutritional status. thus, further research must include these variables in the analysis. conclusion based on the result of this study, it can be concluded that there was a low role of family support in the group of obese autistic children compared to non-autistic and autistic children who were not obese. conflict of interest the authors declare no conflict of interest. references 1. riset kesehatan dasar (riskesdas) tahun 2013. departemen kesehatan republik indonesia, 2013. https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/general/hasil%20riskesdas%202013.pdf 2. ardi s. status gizi anak tunagrahita berdasarkan indeks massa tubuh di slb tunas bhakti pleret. skripsi. yogyakarta: uny, 2015. 3. tamin tz, idris fh, mansyur m, syarif dr. prevalence and determinants of obesity in students with intellectual disability in jakarta. med j indones, 2014; 23(2):106–11. https://doi.org/10.13181/mji.v23i2.688 4. majidah ua, fatimah s. hubungan pola makan dengan status gizi anak autism spectrum disorder (asd) kelas i – vi di slb negeri semarang tahun 2017. jurnal kesehatan masyarakat, 2017, (5): 10. 5. ijarotomi, os. determinants of childhood malnutrition and consequences in developing countries. current nutrition reports. 2013:2(3):129-133. https://doi.org/10.1007/s13668-013-0051-5 6. kerac m, postels dg, mallewa m, alusine jalloh a, voskuijl wp, groce n, et al. the interaction of malnutrition and neurologic disability in africa. semin pediatr neurol. 2014;21(1):42–9. https://doi.org/10.1016/j.spen.2014.01.003 7. pusat data dan informasi (pusdatin). situasi penyandang disabilitas. jakarta: kementerian kesehatan ri, 2014. 8. agus d. program rehabilitasi sosial penyandang disabilitas dan pergeseran paradigma penganganan penyandang disabilitas. pusdatin 2004. jakarta: kementerian kesehatan ri. 9. world health organization (who). early childhood development and disability. geneva; 2012. 10. neely-barnes sl, dia d. families of children with disabilities: a review of literature and recommendations for interventions. j early intensive behav interv. 2008; 5 (3): 93–107. https://doi.org/10.1037/h0100425 11. yousafzai ak, filteau s, wirz s. feeding difficulties in disabled children leads to malnutrition: experience in an indian slum. br j nutr. 2003;90(6):1097-106. https://doi.org/10.1079/bjn2003991 https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/general/hasil%20riskesdas%202013.pdf https://doi.org/10.13181/mji.v23i2.688 https://doi.org/10.13181/mji.v23i2.688 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/24655404/ http://dx.doi.org/10.1037/h0100425 https://doi.org/10.1079/bjn2003991 | 56 vol 22 no 1 january 2022 12. savage js, fisher jo, birch ll. parental influence on eating behavior: conception to adolescence. j law, med ethics. 2008;35(1):22–34. https://doi.org/10.1111/j.1748-720x.2007.00111.x 13. paramashanti ba, rakhman a, endriyani l. dukungan keluarga berhubungan dengan asupan energi anak retardasi mental di slb negeri 01 kabupaten bantul. jnki, 2016;4(3):163-168. http://dx.doi.org/10.21927/jnki.2016.4(3).163-168 14. maulidia w, ernawaty j, damanik srh. hubungan dukungan keluarga terhadap kemandirian anak tunagrahita dalam menghadapi menarche. jom fkp, 2018; 5(2):429-438 15. mcintosh ba, davis g, nayga r, anding j, kubena k, perusquia e, et al. parental time, role strain, and children’s fat intake and obesity-related outcomes. 2006. 16. vasquez-garibay em, gonzalez-rico jl, romero-velarde e, sanchez-talamantes e, navarro-lozano me. and napoles-rodriguez f. considerations on family dynamics and the malnutrition syndrome in mexican children. gac med mex. 2015; 151:732-41 17. johnson c r, turner k, stewart pa., schmidt b, shui a., macklin e, and hyman sl. relationships between feeding problems, behavioral characteristics and nutritional quality in children with asd. journal of autism and developmental disorders, 2014; 44(9), 2175–2184. https://doi.org/10.1007/s10803014-2095-9 18. sidik j. gambaran dukungan keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus di sekolah khusus kota tangerang selatan. skripsi. jakarta: uin syarif hidayatullah, 2014. 19. hodges h, fealko c, soares n. autism spectrum disorder: definition, epidemiology, causes, and clinical evaluation. transl pediatr, 2020 feb; 9(suppl): s55-s66. https://doi.org/10.21037/tp.2019.09.09 20. hill ap, zuckerman ke, and fombonne e. obesity and autism. pediatrics december 2015, 136 (6) 1051-1061; doi: https://doi.org/10.1542/peds.2015-1437 21. gau ssf, chou mc, chiang hl, lee jc, wong cc, chou wj, et al. parental adjustment, marital relationship, and family function in families of children with autism. research in autism spectrum disorders, 2012; 6(1):263-270. https://doi.org/10.1016/j.rasd.2011.05.007 22. arellano a, denne ld, hastings rp, and hughes jc. parenting sense of competence in mothers of children with autism: associations with parental expectations and levels of family support needs. journal of intellectual & developmental disability, 2019: 44(2):212-218. https://doi.org/10.3109/13668250.2017.1350838 23. desiningrum dr. buku ajar: psikologi perkembangan anak. semarang: upt undip press, 2012. 24. pratiwi td, masrul m, dan yerizel e. hubungan pola asuh ibu dengan status gizi balita di wilayah kerja puskesmas belimbing kota padang. jurnal kesehatan andalas, 2016; 5(3):661-665. https://doi.org/10.25077/jka.v5i3.595 25. geroda gb. pola asuh dan dukungan keluarga terhadap proses penyembuhan anak penderita autis di pusat layanan autis kota samarinda tahun 2016. kesmas uwigama: jurnal kesehatan masyarakat, 2018; 2(2):106-111. https://doi.org/10.24903/kujkm.v2i2.317 https://doi.org/10.1111/j.1748-720x.2007.00111.x http://dx.doi.org/10.21927/jnki.2016.4(3).163-168 https://doi.org/10.1007/s10803-014-2095-9 https://doi.org/10.1007/s10803-014-2095-9 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc7082249/#r1 https://doi.org/10.1542/peds.2015-1437 https://doi.org/10.1016/j.rasd.2011.05.007 https://doi.org/10.3109/13668250.2017.1350838 file:///d:/journal%20manager/4.%20mutiara%20medika%20jurnal%20kedokteran%20dan%20kesehatan/2.%20januari%202022/layout/5(3) https://doi.org/10.25077/jka.v5i3.595 https://doi.org/10.25077/jka.v5i3.595 ikhlas muhammad jenie, refleks cardiovascular ............ 43 cardiovascular reflex refleks cardiovascular ikhlas muhammad jenie bagian fisiologi fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta abstrak tekanan darah dan frekuensi denyut jantung merupakan parameter kardiovaskular. pengukurannya dalam praktek kedokteran klinis telah menjadi suatu hal yang wajar dilakukan, sedangkan kepentingannya telah banyak diketahui. pada dasarnya, parameter kardiovaskular tersebut merupakan hasil dari refleks. tulisan ini memaparkan dasar refleks kardiovaskular ditinjau dari pengaturan melalui saraf, tidak ditinjau dari pengaturan oleh secara mekanis dan maupun faktor lokal. refleks kardiovaskular yang dibahas meliputi barorefleks, refleks kardiopulmonar, khemorefleks, refleks kardiovaskular yang disebabkan oleh stimulasi eksteroreseptor, serta interaksi antarrefleks kardiovaskular tersebut. kata kunci : refleks kardiovaskular, barorefleks, tekanan darah, frekuensi denyut jantung abstract it is familiar to measure cardiovascular parameters, such as blood pressure and pulse rate, in health care practice. the importance of such measure in clinical practice is out of question. those cardiovascular parameters, basically, are products of reflex. in this paper, we would like to describe the basic tenets of cardiovascular reflex limited to that governed by autonomic nervous system, but not to that exerted by mechanical and local factors. the cardiovascular reflexes to be discussed are arterial baroreflex, cardiopulmonary baroreflex, cardiovascular reflex of stimulation of peripheral chemoreceptors, cardiovascular reflex associated to stimulation of exteroceptors, and interaction among those reflexes. keywords: cardiovascular reflex, baroreflex, blood pressure, heart rate introduction reflex implies all process develops in an organism in response to stimulation of the receptors with indispensable participation of the central nervous system1. reflex is produced by the activity of certain structures of the nervous system called reflex arc, which can be represented as follows: receptor afferent nerve fibres central nervous system efferent nerve fibres effector. thus, reflex arc of any reflex must include: a) a receptor, a nervous structure able to transform energy coming from specific stimulus into a process of nervous excitation, b) an afferent neuron transmitting impulses from the receptor to the central nervous system, c) a nerve centre with an efferent neuron, d) an efferent nerve fibres extending to certain working organs1. endocrinal glands can involve either as intermediary link or the effector organ. the role of endocrinal gland as the intermediary link in the reflex arc can be shown as follows: receptor afferent nerve fibres central nervous system efferent nerve fibres endocrinal gland that discharges the hormone into the blood effector. thus, stimulation of any receptors mutiara medika vol. 7 no. 1: 43-50, januari 2007 44 may produce a reflex excitation of the nerves that innervates a certain endocrinal gland, which can alter the passage of the hormone of the given gland into the blood. the hormone released by the endocrinal gland will modify the activity of certain effector organs1. the nature of the reflex depends on two aspects: 1) the state of any structure along the reflex arc, 2) the nature and strength of the stimulus over the receptor1. cardiovascular parameters, such as blood pressure, heart rate, cardiac output, total peripheral resistance, basically, are products of reflex. those parameters are actually cardiovascular responses to stimuli. here, we would like to describe the basic tenets of cardiovascular reflex limited to that governed by autonomic nervous system, but not to that exerted by mechanical and local factors. discussion the reflex arc in the cardiovascular system 1. receptors there are two kinds of receptors: interoceptors and exteroceptors. interoceptors are receptors located within the effector organs, which can be stimulated by agents arising within the organism itself, although some time can be stimulated also by external agents. in the cardiovascular system, interoceptors lie in the heart and blood vessels. two kinds of interoceptors here are mechanoreceptors and chemoreceptors, which sensitive to mechanical and chemical stimulus, respectively1. mechanoreceptors in the cardiovascular system are known as baroreceptors since they respond to stretching usually caused by changes in pressure (baro = pressure). high blood baroreceptors, which located in the adventitial layer of the carotid sinus and aortic arch (thus they are known also as arterial baroreceptors), are sensitive to changes in arterial blood pressure2. low pressure baroreceptors, which lies on the walls of the right and left atria near the entrance of the superior and inferior vena cava and pulmonary veins (veno-atrial stretch receptors), on the wall of left ventricles, and in the pulmonary circulation (together known as cardiopulmonary baroreceptors), are sensitive to changes in the blood volume that represented by changes in the central venous pressure, the intra-ventricular pressure, and the pulmonary artery pressure, respectively3. there are also numerous baroreceptors in the vessels of tissues and organs, which continuously maintain tone of blood vessels, responsible for redistribution of the blood among different organs1. baroreceptors in blood vessels of skeletal muscle are stimulated by local pressure and active muscle tension2. peripheral chemoreceptors, which located in the carotid bodies and aortic bodies3, and in small vessels of tissues and organs1, are sensitive to a rise of the partial pressure of co2, concentration of h + ions and k--+ ions in the arterial blood, and a decline in the partial pressure of arterial o2. in the blood vessels of skeletal muscle, they are known as metaboloreceptors that activated by an increase in k+ ions, h2po4 ions and h+ ions during hard muscular works or exercise2. exteroceptors are located outside the cardiovascular system, such as: a) receptors of the skin and mucous membranes of the mouth cavity, upper respiratory tracts, cornea (tactile, thermal, and pain receptors), b) receptors receiving the action of special chemical substances, namely taste and olfactory receptors, c) auditory nerves, d) visual receptors, which stimulated by agents from external environment but can be associated to certain cardiovascular response (conditional reflexes)1. 2 afferent nerve fibers a. the glossopharyngeal nerve (the ixth cranial nerve) through with the impulses from baroreceptors in the carotid sinus and chemoreceptors in the carotid bodies ascend to cardiovascular centre2. ikhlas muhammad jenie, refleks cardiovascular ............ 45 b. the vagus nerve (the xth cranial nerve) through with the impulses from baroreceptors in the aortic arch, venoatrial stretch receptors, the stretch receptors in the pulmonary artery, and chemoreceptors in the aortic bodies is transmitted to cardiovascular centre2. c. the cardiac sympathetic nerves through with the impulses from the stretch receptors in the left ventricle is travelled to cardiovascular centre2. d. small myelinated (group iii) and small unmyelinated nerve fibres (group iv) they carry excitatory input from skeletal muscle2. 3. cardiovascular centre the location of cardiovascular centre is in the medulla oblongata. it consists of: a. sensory centre it is the nucleus tractus solitarius (nts), which located on the dorsomedial part of the medulla, is the site of the synapse for the cardiovascular afferents from the baroreceptors, cardio-pulmonary receptors, arterial chemoreceptors, pulmonary stretch receptors, and muscle receptors as well as from the higher centres, namely the hypothalamus, limbic system, and cerebral cortex. nts evaluates and processes sensory information, which its output is relayed to hypothalamus and cerebellum as well as to various parts of the medulla, e.g. to cardiac-acceleratory centre and cardiacinhibitory centre2. b. cardiac-acceleratorycentre (cac) it has intrinsic activity. however, when nts is stimulated by impulses from peripheral receptors, the cardiacacceleratory centre will be inhibited. cac then will depress the spinal centre of the sympathetic nervous system. in turn, heart rate will be decreased (negatively chronotropic effect) and contractility of cardiac muscle be weakened (negatively inotropic effect). reduced sympathetic tone will cause vasodilatation of most vessels. when nts is inhibited by impulses from peripheral receptors or higher centres, cac will be excited and activate the spinal centre of sympathetic nervous system. as a consequence, heart rate will be increased (positively chronotropic effect) and contractility of the cardiac muscle will be strengthened (positively inotropic effect). sympathetic tone to most vessels will be increased to cause vasoconstriction except in the skeletal muscle, cardiac muscle, liver, and brain. cac will also stimulate adrenal medulla to release circulating epinephrine in the blood4. c. cardiac-inhibitory centre (cic) cic is the nucleus ambiguus of the vagus nerve. when nts is stimulated, cic will be activated, and then will increase vagal tone causing a decrease in heart rate. when nts is inhibited by impulses from peripheral receptors or the higher centres, cic will be depressed to inhibit the vagal tone. in turn, heart rate will be increased (vagal withdrawal) 4. as we note, it exists the influence from higher nervous centre such as hypothalamus and cerebral cortex to the cardiovascular centre. many parts of hypothalamus and cerebral cortex can inhibit or excite cac5. under normal condition, cerebral cortex inhibits cardiovascular reflexes exerted by interoceptors. direct stimulation of the cerebral cortex leads to a decrease in the reflex reaction caused by stimulation of the interoceptors. if the influence of cerebral cortex to the cardiovascular center is blocked, stimulation of interoceptors causes greater changes in cardiovascular reflexes1. 4. efferent nerve fibres the heart receives endings of parasympathetic and sympathetic nerve fibres. the preganglionic parasympathetic nerve to the heart arises in the nucleus ambiguus in the medulla. these fibres are carried by the vagus nerve, whose ganglions are clustered in the heart. the postganglionic fibres of the right vagus nerve are connected chiefly with the sinu-atrial node and atrial muscle. its stimulation leads to a slowing down of heart rate (negatively chronotropic effect). the postganglionic fibres of the left vagus nerve mainly go to the atrio-ventricular node. its excitation depresses conductivity of this node1. mutiara medika vol. 7 no. 1: 43-50, januari 2007 46 acetylcholine released by the postganglionic parasympathetic nerve terminal binds to muscarinic (m 2) receptors in the cell membrane of sinu-atrial node, atrioventricular node, and atrial muscle2. the preganglionic sympathetic nerve to the heart arises in the grey matter of the lateral horns of the spinal cord segments t1 to t5. these preganglionic nerves then enter the sympathetic chain and terminate on the stellate ganglion. the postganglionic sympathetic fibres surround subclavian artery form the so-called loop of vieussens, and enter the rami of the cardiac nerves, where it frequently mixes with the preganglionic parasympathetic fibres of vagus nerves. the postganglionic sympathetic nerve fibres end in the ventricular muscle as well as in the atrial muscle, sinu-atrial node and atrio-ventricular node1. norepinephrine released by the postganglionic sympathetic fibres terminal binds to the 1 adrenergic receptors either in the cell membrane of sinu-atrial and atrioventricular node to increase heart rate (positively chronotropic effect) or in the atrial muscle and ventricular muscle to increase the force of myocardial contraction (positively inotropic effect)2. both sympathetic and parasympathetic systems exert tonic effect to the heart. however, vagal inhibition predominates. it can be seen that, when both systems are blocked, intrinsic heart rate in a young adult at rest turns out to be around 105 beats per minute. during physiological alterations, both systems exhibit reciprocal changes. during hard muscular work, vagal tone decreases whereas sympathetic activity increases, resulting in exercise-induced tachycardia. however, it is the activity of parasympathetic nerve to the heart, not the activity of the sympathetic systems, which accounted for beat-to-beat differences in heart rate because the onset and decay of the effect of acetylcholine is faster than that of norepinephrine2. although both systems seem having antagonistic action to each other, they actually exert synergic actions to the heart. systole retardation caused by stimulation of the vagus nerve provides the ventricular muscle longer time to neutralize the effects of its metabolic products. as a consequence, the next systole will become stronger than before. therefore, the negatively chronotropic effect of vagus nerve will enhance the positively inotropic action of sympathetic nerves1. blood vessels receive three kinds of autonomic vasomotor nerves: a) sympathetic vasoconstrictor nerves, b) parasympathetic vasodilator nerves, c) sympathetic vasodilator nerves. the sympathetic preganglionic neurons are located in the grey matter of the intermediolateral columns of the spinal cord segments t1 to l3. the postganglionic neurons are located in the sympathetic ganglia or more distant ganglia, such as the celiac ganglia, hypogastric ganglia, and the adrenal medulla. in most vessels, they end in the tunica media, but in the veins, they penetrate into the inner part. the sympathetic vasoconstrictor nerves richly innervate small arteries and large arterioles but poorly innervate terminal arterioles. they also innervate most of venous vessels but poorly innervate venous vessels of the splanchnic vasculature and even do not innervate venous vessels of skeletal muscle. norepinephrine released by the terminal fibres binds to adrenergic receptors on the cell membrane of the vascular smooth muscle. 1 adrenoceptors are well distributed over vascular smooth muscle whereas 2 adrenoceptors lie on certain blood vessels, such as on vessels of the skin, and as prejunctional receptors on the sympathetic preganglionic nerve fibres. stimulation of the 1 adrenoceptors elicits vasoconstriction, which increases total peripheral resistance and reduces the blood flow. neurotransmitters other than norepinephrine released by the postganglionic sympathetic vasoconstrictor nerve are neuropeptide y and atp. the sympathetic vasoconstriction nerves are constantly in a state of tonic excitation. therefore, the circular vascular smooth muscle cells are maintained in a certain degree of constriction. if the tone increases, the arterioles would constrict much more. if the tone decreases, the arterioles would reduce the constriction (dilate). moreover, ikhlas muhammad jenie, refleks cardiovascular ............ 47 the activity of the sympathetic vasoconstrictor nerves to each organ is independently regulated. the parasympathetic preganglionic nerve fibres leave the central nervous system in two outflows: the cranial nerves and sacral spinal nerves. within the end organ they synapse with the postganglionic parasympathetic neurons, which send short axons to the arterioles. the arterioles innervated by the vasodilator nerves as well as by the vasoconstrictor nerves are found just in a few tissues: in the salivary glands, exocrine pancreas, gastrointestinal mucosa, genital erectile tissue, cerebral and coronary arteries. acetylcholine released by the postganglionic fibres of the parasympathetic vasodilator nerves causes endotheliumindependent vasodilatation. these fibres also release other vasodilator agents, such as nor-adrenergic nor-cholinergic (nanc) and vasoactive polypeptide (vip). unlike the sympathetic vasoconstrictor nerves, parasympathetic vasodilator nerves are not tonically active. they would be active only when the organ function demand rise in the blood flow 2. the sympathetic vasodilator nerves differ from the sympathetic vasoconstrictor nerves in several aspects as shown by table 1. this system is a part of alerting response to mental stress, fear, danger, or simply anticipation of exercise2. table 1. differential properties of the sympathetic vasoconstrictor and vasodilator nerves2 properties sympathetic vasoconstrictor nerves sympathetic vasodilator nerves main neurotransmitter distribution tone the centre baroreceptor regulation norepinephrine most organ and tissues yes medulla oblongata yes acetylcholine restricted in the skeletal muscle and sweat glands no forebrain no 5. effectors the working organs of the cardiovascular system are the heart and blood vessels. the heart is a pump that generates motive force to move the blood through the vessels, which act as a tube, but not a rigid one6. cardiovascular reflexes 1. cardiovascular reflex to stimulation of high pressure baroreceptors (baroreflex) at the normal level of blood pressure, arterial baroreceptors (arbs) burst at a slow rate. it tonically inhibits resting sympathetic nerve activity. a rise in arterial blood pressure causes vascular distension that stretches the carotid sinus and aortic arch, stimulating arbs at a higher rate3. cellular events can be described as follows: it is the role of mechanoreceptors ion channels on the nerve endings that mediate mechanoelectrical transduction in baroreceptors. opening of this mechanosensitive na+-ca2+ channels allows na+ and ca2+ influx and depolarizing the endings. sufficient depolarization opens voltage-dependent na+ and k+ channels at the spike initiating zone, triggering action potential at frequency related to the magnitude of depolarization7. impulses from the carotid sinus is transmitted to nts in the medulla oblongta through the glossopharyngeal nerve (the ixth cranial nerve), while impulses from aortic arch ascends through the vagus nerve (the xth cranial nerve)2. receiving these impulses, nts in turn stimulate cic and inhibit cac. as cic is stimulated, the vagal tone to the heart is increased and heart rate will drop. whereas, as cac is inhibited, spinal centre of sympathetic nerves is depressed, the sympathetic tone to the heart and blood vessels are decreased, resulting in bradycardia and vasodilatation, which mutiara medika vol. 7 no. 1: 43-50, januari 2007 48 decreases cardiac output and total peripheral resistance, respectively. therefore, these baroreflex will restore high arterial blood pressure back to the normal levels (depressor reflex) 4. when there is a drop in arterial blood pressure, the carotid sinus and aortic arch are less stretched and arbs will be excited at a slower rate3. nts will receive fewer ascending impulses2. in turn, it will excite cac and inhibit cic. as cac is stimulated, the spinal centre of sympathetic nerves is more excited and thus sympathetic tone to the heart and blood vessels are increased. as cic is inhibited, vagal tone to the heart is decreased and heart rate will rise. the overall results are tachycardia and vasoconstriction, which causes an increase in cardiac output and total peripheral resistance, and finally a rise in blood pressure4. arbs provide moment-to-moment negative feedback of blood pressure regulation7. the carotid baroreceptors are sensitive to pulse pressure (the difference between systolic and diastolic blood pressure) as well as to mean arterial blood pressure. the greater the oscillation in blood pressure (meaning the greater the variance in pulse pressure), the greater arbs would be stimulated, thus, the greater would be the depressor reflex. this signalling of pulse pressure is important during orthostasis or postural changes and behavioural stress2. arbs also tonically inhibit the release of vasopressin and angiotensin ii (angii). when blood pressure drops, the decrease in the impulses of arbs evokes increase in the sympathetic activity, which in turn will stimulate the juxtaglomerular cells in the kidneys to release renin. as a consequence, the renin-angiotensin-aldosteron system (raas) is activated. angii will enhance the pressor reflex. in the kidneys, angii and aldosteron cause salt retention. the decrease in the arbs traffic also stimulates the posterior pituitary gland to release arginine vasopressin to the blood to enhance peripheral vasoconstriction and water retention (anti diuresis) as well2. it can be summarized in the below table. table 2. hormonal changes during baroreflexes2 hormones arbs are stimulated arbs are inhibited raas decrease increase vasopressin decrease increase the decrease or increase of abr activity to stimuli is known as baroreceptor sensitivity (brs). brs is defined as changes in the r-r interval (reciprocal of the heart rate) on the electrocardiogram (ecg) plotted as a function of the change in blood pressure during the preceding cardiac cycle. change in brs can be induced by any physiological or pharmacological maneuver. the assessment can be done qualitatively and quantitatively. qualitatively, brs can be measured at bedside by the change in heart rate from baseline during the valsava maneuver for 15 seconds. the heart rate usually increases 10 – 30 bpm by the end of the maneuver. quantitatively, assessment of brs requires continuous monitoring of the ecg and arterial pressure. it can be done by invasive (intra-arterial blood pressure measurement) or non-invasive measurement of arterial blood pressure8. the japanese researcher has invented the new non-invasive diagnosis tool for the quantitative evaluation of brs. the measurement uses ecg and pulse wave monitoring. it observes time series sequence of heart rate changes in corresponding to the blood pressure changes. the time series data is inputted into a personal computer system and is analyzed by special software. the fluctuation of the heart rate variability reflects autonomic nerve function9. brs decreases with age, therefore the result should be compared with the response obtained in normal subjects of comparable age8. ikhlas muhammad jenie, refleks cardiovascular ............ 49 2. cardiovascular reflex to stimulation of low pressure baroreceptors (cardiopulmonary baroreceptors) two types of veno-atrial stretch receptors, a) type a, which discharges during atrial systole, b) type b, which discharges during atrial filling, detect changes in the volume of the blood through changes in the central venous pressure any increase in blood volume will activate type b receptors. the impulses are then transmitted to nts in the medulla through the afferent fibres of the vagus nerves, resulting in tachycardia, natriuresis, and diuresis. the atrial natriuretic peptide, hormone released by atrial muscle, acts as the intermediary link of the natriuresis and diuresis effect. atrial systole stimulates type a receptors. similar to type b receptors, the impulses from type a receptors are then transmitted to nts in the medulla oblongata through vagus nerves. it is followed by inhibition to cardiac and peripheral sympathetic outflow but excitatory to cardiac vagal outflow, resulting in bradycardia and vasodilatation2. the clinical syndrome of vasovagal syncope may occur by this mechanism10. the stimulation of type a veno-atrial stretch receptor is associated with the inhibition of the release of angiotensin ii, catecholamine, and vasopressin2. the mechanoreceptors in the walls of the left ventricle are stimulated during ventricle systole since these receptors are sensitive to changes in the intra ventricular pressure. the reflex responses of their stimulation are bradycardia and vasodilatation2. the stretch receptors in the pulmonary artery are excited by a rise in the pressure of the pulmonary artery. the vessels of the systemic circulation dilate in response to the excitation of these mechanoreceptors and lead to a drop in blood pressure1. the signals from those table 3. physiological and pharmacological maneuvers that modulate arterial baroreflex8 activate deactivate neck pressure phenylephrine angiotensin ii valsava neck suction nitroglycerin amylnitrite nitroprusside cardiopulmonary baroreceptors modify input from arterial baroreceptors. they are sensitive to small changes in cardiac stretch and affect sympathetic discharge during low grade physiological change not detected by arterial baroreceptors10. 3. cardiovascular reflex of stimulation of peripheral chemoreceptors nerve endings in the carotid and aortic bodies are stimulated by hypoxia, hypercapnia, hyperkalemia, and acidosis. the impulses are transmitted to the cardiovascular centre in the medulla through the afferent fibres of the ixth and xth cranial nerves, respectively. it actually causes bradycardia reflex and vasoconstriction of the resistance vessels except in the skin. however, the inspiratory centre in the medulla is stimulated also, which in turn causes an increase in tidal volume and excites the stretch receptor within the lungs. the final result is tachycardia and vasodilatation in most vascular beds2. stimulation of metaboloreceptors in the skeletal muscle by the chemical released during exercise, notably k+ ions, h----2---po4 ions, and h+ ions, will result in tachycardia, increased myocardial contractility and peripheral vasoconstriction, resulting in rise of blood pressure2, known as the exercise pressor reflex11. chemoreflex and baroreflex interact to each other. inputs from arterial baroreceptor may modulate responses to chemoreceptor stimulation. a line of evidences showed that chemoreflex vasoconstriction is enhanced at high levels of baroreceptor stimulation, but is reduced at low levels of baroreceptor stimulation. thus, hypotension will enhance, whereas hypertension will inhibit, vasoconstriction responses to hypoxic hypercapnia mutiara medika vol. 7 no. 1: 43-50, januari 2007 50 (asphyxia). teleologically, this interaction is important to survival fitness. however, inputs from chemoreceptors alter baroreflex function in more complicated ways. both hypocapnia and hypercapnia will result in tachycardia12. 4. cardiovascular reflex of stimulation of exteroceptors stimulation of the exteroceptors causes reflex constriction of the vessels and sometimes also acceleration of the cardiac activity1. cold applied to the skin is followed by constriction of the blood vessels of the skin, especially the arterio-venous anastomoses. sudden load noise or unpleasant sight also could increase blood pressure and elicit tachycardia2. somatic pain is associated with the increase in sympathetic activity (somato-sympathetic reflex) 3. however, severe visceral pain is associated with bradycardia, hypotension and even painting2. conclusion cardiovascular reflexes are part of homeostasis mechanism. arterial baroreflex is response to changes in blood pressure. cardiopulmonary baroreflex is response to small changes in blood volume. cardiovascular reflex of stimulation of peripheral chemoreceptors is response to changes in blood ph and gas partial pressure. cardiovascular reflex associated to stimulation of exteroceptors is conditioned reflex, such as seen in fight and flight mechanism. interactions among these reflexes are seen clinically. all these reflexes are to maintain blood flow to part of body, mainly vital and demanded active organs. references 1. bykov km, konradi g. text book of physiology. 2nd ed. moscow: peace publishers; 1953. 2. levick jr. an introduction to cardiovascular physiology. 3rd ed. london: arnold; 2000. 3. ganong wf. review of medical physiology. 16th ed. norwalk: appleton & lange; 1993. 4. chauduri sk. concise medical physiology. 2nd ed. calcutta: new central book agency; 1993. 5. guyton ac, hall je. text book of medical physiology. 9th ed. philadelphia: w.b. saunders company; 1996. 6. bijlani rl. understanding medical physiology: a text book for medical student. 2nd ed. new delhi: jaypee brothers medical publishers; 1997. 7. chapleau mw. arterial baroreceptors. in: izzo jl, black hk, editors. hypertension primer: the essential of high blood pressure. 2nd ed. maryland: lippincott williams & wilkins; 1999. 8. taylor a. evaluation of aortocarotid baroreflexes. in: izzo jl, black hk, editors. hypertension primer: the essential of high blood pressure. 2nd ed. maryland: lippincott williams & wilkins; 1999. 9. yambe t, yoshizawa m, sugita n, tanaka a, maruayam m, konno s. invention of the new diagnosis tool for the quantitative evaluation of the baroreflex sensitivity. the 21st scientific meeting of the international society of hypertension: abstract cd-rom; 2006. 10. mohanty pk. cardiopulmonary baroreceptors. in: izzo jl, black hk, editors. hypertension primer: the essential of high blood pressure. 2nd ed. maryland: lippincott williams & wilkins; 1999. 11. kluess ha, wood rh. heart rate variability and the exercise pressor reflex during dynamic handgrip exercise and postexercise occlusion. am j med sci 2005; 329(3):117-123. 12. henry ra, i-li lu, beightol la, eckberg dl. interactions between co 2 chemoreflexes and arterial baroreflexes. am j physiol 1998; 274:h2177-h2187. ana majdawati, peningkatan visualisasi appendix .............................. 58 peningkatan visualisasi appendix dengan kombinasi adjuvant teknik pemeriksaan ultrasonografi pada kasus appendicitis the increased visualizing appendixes by combination adjuvant techniques of ultrasonography examination in appendicitis cases ana majdawati bagian radiologi fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta abstract to diagnose the appendicitis not easy, because in the fact we find many false positive appendicitis post surgery. ultrasonography is modality that often choose because it has severe superiority, i.e : non invasif, safety, no radiation effect (safety for pregnant woman and children), cheap, easy, simple and need short time. the weakness ultrasonography is depend on the operator, various appendix location each somebody. the aim of this literature reviews is to resume of various operator-dependent techniques to graded compression ultrasonography that is useful for allowing improved visualization of appendixes. the addition of various operator-dependent techniques to graded compression sonography i.e a posterior manual compression technique, upward graded compression technique, left oblique lateral decubitus position of body, low-frequency convex transducer (especially for obese poeple and gravid woman), the combination of gray scale and color doppler ultrasound can increase diagnostic accuracy of appendicitis (sensitivity, specitivity and accuracy more 99%). the addition of adjuvant technique of dependent operator that have most highly accuracy is a posterior manual compression technique and the lowest is left oblique lateral decubitus position of body . the result of the research find appendicitis appearances in ultrasound that have most highly accuracy are blind ending tubular structure at the transversal or longitudinal section of ultrasound, diameter of wallthichness more 6 mm, non compressible, non peristaltic, vascularity increased around appendixes in color doppler ultrasound examination. key words : diagnosis, adjuvant, appendicitis, usg abstrak penegakan diagnosis appendicitis merupakan hal yang tidak mudah, karena kenyataannya di lapangan masih banyak angka positif palsu appendicitis post operasi. ultrasonografi (usg) merupakan pemeriksaan yang paling sering dipilih sebagai modalitas diagnostik appendicitis karena mempunyai beberapa keunggulan, yaitu: non invasif, aman, efek radiasi tidak ada (aman bagi wanita hamil dan anak-anak), relatif murah dan mudah dilakukan, waktu yang diperlukan singkat. kekurangannya pemeriksaan usg sangat tergantung ketrampilan pemeriksa, lokasi appendix yang bervariasi untuk tiap orang sehingga teknik pemeriksaan usg sangat penting diperhatikan. tujuan literature review ini adalah untuk merangkum berbagai teknik pemeriksaan usg untuk memvisualisasikan appendix sehingga dapat meningkatkan nilai diagnostik appendicitis. 59 mutiara medika edisi khusus vol. 7 no.1: 58 71, april 2007 pendahuluan appendicitis adalah inflamasi akut pada appendix vermiformis yang menyebabkan abdominal pain, anorexia dan abdominal tenderness. appendicitis terjadi karena obstruksi lumen appendix yang dapat disebabkan infeksi, lymphoid hyperplasia, fecalith, benda asing atau cacing. 1,2 appendicitis merupakan penyebab tersering pada acut abdominal pain yang memerlukan intervensi pembedahan baik bersifat elektif maupun emergensi dengan melakukan laparatomi dan appendectomi.3,4 penegakan diagnosis appendicitis merupakan hal yang tidak mudah dilakukan karena tanda klinis, laboratorium dan penunjang radiologi ternyata banyak yang tidak memberikan hasil diagnosis yang akurat setelah dilakukan operasi. berdasar suatu penelitian didapatkan data hasil laparatomi negatif sekitar 10-15% dan angka ini dapat meningkat pada wanita dan anakanak.2 morbiditas dan mortalitas appendicitis berturut turut 0,14% dan 4,6%, dapat meningkat sampai 0,24% dan 6,1% pada appendicitis akut serta 1,7% dan 19% pada appendicitis dengan perforasi akibat diagnosis yang kurang tepat.3,4 penilaian klinik merupakan bagian yang paling penting sebagai evaluasi awal berdasar literatur review ini dapat disimpulkan bahwa teknik graded kompresi dengan adjuvant teknik pemeriksaan usg dependent operator yaitu: teknik manual posterior, teknik kompresi bertahap ke arah atas, teknik perubahan posisi left oblique lateral decubitus, penggunaan transducer konveks frekuensi rendah (terutama untuk orang yang obese dan wanita hamil), kombinasi usg gray scale dengan cdu dapat meningkatkan nilai akurasi diagnostik appendicitis (sensitifitas, spesifisitas dan akurasi hampir 99%). beberapa teknik adjuvant tersebut yang mempunyai nilai diagnostik tertinggi adalah teknik kompresi manual posterior, sedang yang terendah adalah teknik perubahan posisi tubuh (left oblique lateral decubitus). gambaran usg pada appendix yang mengarah appendicitis yang mempunyai akurasi tinggi berdasar beberapa penelitian, adalah: tampak struktur tubular buntu (blind ending) pada potongan longitudinal dan transversal, diameter dinding lebih 6 mm, non compressible, aperistaltik, peningkatan aliran darah pada pemeriksaan cdu di daerah appendix. kata kunci : appendicitis, teknik graded kompressi, teknik adjuvant, akurasi diagnostik pada kasus suspek appendicitis, sedang imaging radiologi merupakan penunjang diagnostik untuk membantu menegakkan diagnosis appendicitis yang penting dilakukan sebelum menentukan tindakan operasi terutama penderita yang gejala klinisnya meragukan. pemeriksaan radiologi yang sekarang dianggap mempunyai akurasi tinggi, bersifat non invasif, relatif murah, tidak mempunyai efek radiasi, aman terutama pada anak-anak dan wanita hamil untuk diagnosis appendicitis adalah pemeriksaan ultrasonografi (usg).3,5,6,7,8 tetapi kenyataannya pemeriksaan usg ini mempunyai beberapa kekurangan karena nilai diagnostiknya sangat dipengaruhi oleh pemeriksa maupun kondisi pasien. beberapa hal yang mempengaruhi nilai diagnostik usg diantaranya: ketrampilan pemeriksa, sulit dilakukan pada pasien dengan abdominal pain yang luas karena kesakitan bila transducer diletakkan pada permukaan abdomen, letak/posisi appendix yang bervariasi pada setiap orang sehingga membutuhkan teknik khusus untuk pemeriksaan usg, pemeriksaan terbatas pada pasien dengan udara usus yang prominent dan pasien obese. 3,5,6,7,8 kekurangan pemeriksaan usg seperti ini menyebabkan nilai diagnostik usg menjadi rendah. ana majdawati, peningkatan visualisasi appendix .............................. 60 beberapa penelitian tahun terakhir ini yaitu pemeriksaan usg dengan beberapa teknik dan kombinasi teknik tambahan (adjuvant) dapat meningkatkan visualisasi appendix, sehingga akurasi pemeriksaan menjadi lebih baik. hasil penelitian tersebut menunjukkan sensitifitas 98,5% , spesifisitas 98,2%, angka prediksi positif 98% dan angka prediksi negatif 98%.9 berdasar beberapa keunggulan usg sebagai alat penunjang diagnostik pada kasus abdominal pain regio kwadran kanan bawah abdomen umumnya dan appendicitis khususnya dan nilai diagnostiknya sangat dipengaruhi oleh ketrampilan teknik pemeriksaan dan kondisi pasien, maka tujuan penulisan makalah ilmiah ini adalah untuk merangkum beberapa jurnal penelitian tentang kombinasi berbagai teknik pemeriksaan ultrasonografi pada berbagai keadaan untuk meningkatkan akurasi diagnostik appendicitis sehingga dapat menmenurunkan angka positif palsu pasca operasi. diskusi appendix, adalah suatu tabung kecil yang buntu berasal dari caecum pada pertemuan tiga taenia coli (bagian distal ileocaecal junction). appendix adalah bagian dari usus besar yang bentuknya seperti cacing dan dalam bahasa latin disebut appendix vermiformis, terletak di regio ossa iliaca dextra pada titik mc bourney atau sepertiga dari garis yang ditarik dari spina iliaca anterior superior dextra ke umbilicus. panjang appendix bervariasi, yaitu dari 8-10 cm (rata-rata 220 cm. 10,11 kedudukan pangkal appendix tetap, sedang ujung appendix dapat berada di paracolica (8,4%, terletak pada sulcus di sisi luar caecum); retrocaecal (63%, terletak di belakang caecum dan mungkin sebagian atau seluruh appendix terletak retroperitoneal); pelvical (33 %, appendix mengarah ke cavum pelvis); preileal, promontorial (1%, ujung appendix mengarah ke promontorium), post ileal (1%) dan subcaecal (2%), (gambar 1).12 gambar 1. posisi appendix pada cavum pelvis12 61 mutiara medika edisi khusus vol. 7 no.1: 58 71, april 2007 appendix merupakan sisa organ vestigial atau struktur yang sebelumnya mempunyai fungsi digestivus kemudian dalam perkembangannya mengalami rudimenter.10, 11 kejadian appendicitis meningkat pada orang yang intake makanannya rendah serat.10 beberapa penyebab obstruksi termasuk hiperplasia lymphoid yang secara sekunder diikuti irritable bowel disease (ibd) atau infeksi (sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda), fecal stasis atau fecalith (sering terjadi pada orang tua), parasit (terutama di negara-negara timur) dan penyebab yang lain, yaitu: benda asing dan neoplasma.10,11 stadium awal appendicitis disebabkan sumbatan pada lumen appendix yang menyebabkan mucosa appendix menjadi oedem, ulserasi mucosa, diapedesis bacterial, akumulasi cairan dan peningkatan tekanan intraluminal appendix mengakibatkan distensi lumen appendix. tekanan intraluminal appendix terus meningkat dapat menyebabkan obstruksi pada aliran limfatik dan aliran vena sehingga perfusi kapiler akan meningkat dan memberikan peluang pada bakteri dan cairan intraluminal invasi ke dinding appendix. inflamasi kemudian meluas ke lapisan submucosa, muscularis dan lapisan serosa (peritoneal). penyebaran transmural oleh bakteri menyebabkan appendicitis akut supuratif. tahap selanjutnya dapat mengakibatkan terjadinya thrombus pada arterial sehingga menghasilkan gangrenous appendicitis., menimbulkan jaringan iskemik yang berlangsung lama dan berkembang menjadi infarct dan selanjutnya perforasi appendiceal. 2,10,11 bentuk eksudat fibropurulent pada permukaan serosa dan meluas sampai peritoneal, dinding usus atau dinding abdomen yang menyebabkan peritonitis lokalisata.10,11 perforasi dapat terlokalisir oleh omentum yang berdekatan atau loop usus halus dan terjadilah phlegmonous atau focal absceso. pada anak-anak omentum belum terbentuk sempurna maka peritonitis lebih sering terjadi.2,10 appendicitis 7% terjadi pada populasi di amerika dan negara-negara eropa dengan insiden 1,1 kasus per 1000 orang per tahun. negara-negara asia dan afrika insidennya lebih rendah karena pola makan yang rendah serat sesuai geografi negaranya. insiden appendicitis pada lakilaki 1,4 kali lebih banyak dibandingkan wanita dan cenderung lebih banyak terjadi pada dasawarsa 2 dan 3 kehidupan dan pada usia geriatri. angka mortalitas secara keseluruhan pada appendicitis berkisar 0,2 – 0,8 % . angka mortalitas meningkat 20% pada penderita usia lebih 70 tahun karena diagnostik dan terapi yang terlambat. terjadi perforasi pada appendicitis meningkat pada penderita usia kurang dari 18 tahun dan pasien lebih tua dari 50 tahun karena diperkirakan terlambatnya diagnosis. gambar 2 menunjukkan risiko perforasi pada appendicitis berdasar umur, yaitu: kurang 10 tahun (50%), 10-50 tahun (10%) dan di atas 50 tahun (30%).2,11,12 gambar 2. risiko perforasi pada appendicitis berdasar umur12 ana majdawati, peningkatan visualisasi appendix .............................. 62 gejala klinis yang paling sering pada kasus appendicitis adalah abdominal pain, yaitu nyeri dirasakan mulai dari daerah periumbilical atau epigastrium dijalarkan ke kwadran abdomen kanan bawah, biasanya disertai mual, muntah dan anorexia. demam bisa terjadi maupun tidak terjadi pada penderita.2,10,11 fisik diagnostik positif pada appendicitis, adalah: nyeri tekan pada daerah mc burney, meningkatnya rasa nyeri bila batuk (dunphy sign). nyeri tekan lepas pada waktu dilakukan palpasi dalam kemudian dilepaskan secara cepat (menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum (blumberg sign)), obturator sign yaitu rasa nyeri bila dilakukan rotasi internal pada paha (appendicitis pelvic) dan psoas sign positif, yaitu rasa nyeri bila dilakukan extensi pada paha (appendicitis retroperitoneal atau retrocaecal).11 laboratorium. akurasi diagnostik hasil pemeriksaan laboratorium terlihat pada tabel 1, jumlah lekosit lebih dari 10.000 (sensitifitas 77%, spesifisitas 63%); crp lebih dari 10 mg/l (sensitifitas 60% dan spesifisitas 68%); peningkatan crp dan wbc (sensitifitas 47% dan spesifisitas 84%).4 tabel 1. uji diagnostik laboratorium pada appendicitis4 ultrasonografi (usg). pemeriksaan usg merupakan pemeriksaan yang non invasif, murah, mudah dikerjakan dan waktu yang diperlukan singkat, paparan radiasi yang diterima minimal/tidak ada sehingga aman bagi wanita hamil dan anak-anak serta potensial untuk pemeriksaan kasus-kasus yang termasuk abdominal pain.2,10 akurasi diagnostik pemeriksaan usg untuk kasus appendicitis sangat tergantung pada berbagai faktor, yaitu: 1. alat usg yang digunakan, mencakup 1.a). macam usg (usg transabdominal, transrectal maupun usg color doppler), 1.b). transducer (transducer linear frekuensi tinggi 5-12 mhz, transducer konveks frekuensi rendah 2-4 mhz untuk 63 mutiara medika edisi khusus vol. 7 no.1: 58 71, april 2007 pasien obese atau posisi appendix yang dalam); 2. ketrampilan pemeriksa, mencakup: 2.a). pengalaman dan pengetahuan yang baik pada pemeriksa tentang appendicitis (pengalaman dan ketrampilan yang kurang pada pemeriksa dapat menurunkan akurasi diagnostik dalam visualisasi appendix); 2.b). teknik pemeriksaan yang digunakan, mencakup: 2.b.1). teknik kompresi bertahap arah anterior.13 2.b.2). teknik kompresi bertahap ke arah atas, 2.b.3). teknik manual posterior, 2.b.4). teknik dengan memposisikan transducer, yaitu diletakkan di daerah yang paling nyeri dirasakan penderita (lokal), transducer diletakkan pada lateroposterior untuk visualisasi appendix yang letaknya dalam di cavum pelvis (deep pelvic, retrocaecal) atau diletakkan suprapubic untuk mempermudah visualisasi appendix dengan jendela akustik kandung kemih yang terisi penuh, 2.b.5). teknik positioning penderita (posisi left oblique lateral decubitus membantu pencitraan appendix retrocaecal), hal ini karena pemutaran pasien dari posisi supinasi ke left oblique lateral decubitus menyebabkan caecum dan ileum terminal berpindah ke medial di depan musculus psoas sehingga kedalaman area coli retrocaecal dan area retroileum di atas musculus psoas akan dikurangi; 3. kondisi/ keadaan pasien, yaitu: 3.a). pasien dengan struktur abdomen kwadran kanan bawah (rql= right quadran low) yang sulit dikompresi , misal pada anak, wanita hamil, obese, pasien dengan nyeri abdomen difus, 3.b). pasien ileus atau dengan udara usus prominen, 3.c). lokasi/posisi appendix (akurasi diagnostik usg menurun pada posisi appendix di area retrocaecal atau true pelvic).5,6,9,15, 16,17 teknik pemeriksaan usg pada kasus appendicitis. pemeriksaan usg untuk appendicitis yang penting adalah, kita harus dapat memvisualisasikan appendix pada penderita sehingga kita dapat mengidentifikasikan apakah appendix tersebut normal atau abnormal. 4 pengalaman operator yang sejalan dengan perlengkapan usg yang canggih membuat frekuensi appendix yang terdeteksi menjadi meningkat.4,6 beberapa hal yang harus diperhatikan pada pemeriksaan usg appendicitis : 1). pemilihan transducer linier frekuensi tinggi 5-7,5 mhz atau 2-4 mhz transducer kurve frekuensi rendah disesuaikan keadaan/kondisi penderita. 2). lakukan pemeriksaan dengan teknik kompresi menggunakan transducer linier resolusi tinggi (> 7,5 mhz). posisi penderita supinasi dan transducer diletakkan pada lokasi/titik pada abdomen yang dirasa paling nyeri (sonography self localization) dan tangan pemeriksa diletakkan di posterior (regio flank atau pinggang) penderita. transducer dikompresikan di daerah rlq secara bertahap dan identifikasi arteri atau vena femoralis, ileum terminal, caecum dan appendix berada di sekitar daerah tersebut.6,9,17 awalnya kita lakukan teknik kompresi bertahap dengan transducer pada dinding anterior abdomen secara pelan tetapi tegas. bila appendix tervisualisasi, diameter dinding appendix diukur secara teliti dengan potongan longitudinal dan transversal. gambaran usg appendix normal terlihat sebagai tabung yang buntu (blind ended tubular) dengan diameter kurang dari 6 milimeter dan tampak adanya peristaltik. bila dilakukan dengan teknik kompresi bertahap (grade compression) appendix tersebut ikut tertekan dan struktur lemak periappendiceal tidak mengalami echogenitas.2,5,6,7 gambaran appendix pada potongan transversal tampak echogenitas yang berbeda dengan lapisanlapisan hipoechoic yang concentric (melingkar), hal ini berhubungan dengan macam-macam lapisan dinding usus. lapisan dinding usus yang tervisualisasi pada usg ada 5 yaitu 1). lapisan dalam tampak hiperechoic yang terletak antara mucosa dan intraluminal pada lapisan paling dalam, 2). lapisan hipoechoic yang merupakan lapisan muscularis mucosa, 3). lapisan tengah hiperechoic yang merupakan submucosa, 4). lapisan diluarnya yang hipoechoic merupakan muscularis propria, 5). lapisan terluar yaitu ana majdawati, peningkatan visualisasi appendix .............................. 64 hiperechoic yang merupakan lapisan serosa (gambar 3). cairan intraluminer tampak central hipoechoic sonoluscen.6,9,18,19 gambar 3. gambar usg appendix normal: a) potongan transversal; (b). potongan longitudinal8 gambaran usg pada appendicitis adalah appendix akan terlihat sebagai blindending tubular structure, non compressible dan tanpa peristaltik, diameter appendix lebih 6 mm (gambar 4). 2 adanya intraluminal fluid (terlihat bila tidak adanya garis dalam lumen usus yang dapat menutupi appendix) dan pada usg doppler adanya aliran darah (hiperemia) menunjukkan adanya inflamasi appendix.3,4 pada penelitian oleh nicholas kessler, et al 2 tanda penting pemeriksaan usg yang paling akurat pada appendicitis adalah 1). diameter > 6 mm (sensitifitas, spesifisitas dan akurasi berturut-turut 98%, 98% dan 97%) ; 2). non compressible (sensitifitas, spesifisitas dan akurasi berturut-turut 96%, 96% dan 96%).4 gambar 4a. potongan transerval teknik kompressi bertahap pada apendicitis akut : tampak penebalan dinding appendix (diameter lebih 6 mm) dengan kumpulan cairan yang terlokulasi dalam lumen appendix b.potongan longitudinal : tampak struktur tubular, non compressible, non peristaltik dengan diameter dinding appendix lebih 6 mm. tampak tepi seperti cincin pada cairan periappendiceal.19 65 mutiara medika edisi khusus vol. 7 no.1: 58 71, april 2007 gambaran usg periappendiceal pada diagnosis appendicitis adalah adanya lemak yang mengelilingi appendix (inflamatory fat changes) terlihat sebagai massa echogenic, caecal wall thickening (penebalan caecum), periileal lymphonodes dan peritoneal fluid (cairan peritoneal). diantara tanda-tanda tersebut yang memiliki akurasi tertinggi adalah adanya lemak yang mengelilingi appendix (83%).4 bila appendix tidak tervisualisasi dengan teknik seperti di atas (disebut teknik graded scanning compression atau teknik kompresi bertahap), maka dilakukan beberapa tambahan pemeriksaan sesuai dengan kondisi pasien, lokasi appendix, transducer yang digunakan. adjuvant atau teknik tambahan yang digunakan disebut teknik dependent operator (added operator dependent technique to graded compression sonography) dengan waktu tambahan yang dibutuhkan sekitar 15 menit.6 beberapa tambahan teknik dependent operator yang dikerjakan, yaitu: 1). teknik kompresi bertahap ke arah atas. hal ini biasanya dilakukan untuk lokasi appendix vermiformis true/false pelvis dengan bagian distal appendix yang bebas, sehingga jarak dengan transducer jauh dan adanya sudut insonansi antara appendix dengan transducer linier frekuensi tinggi. teknik ini dimulai dengan sapuan ke atas dengan tekanan transducer linier frekuensi tinggi untuk bergerak ke atas pada caecum letak rendah dan appendix. derajad kompresi ke atas dari transducer akan menampakkan caecum dan appendix vermiformis di atas musculus psoas atau pada anterior corpus vertebral. 6 2). teknik kompresi manual posterior. caranya yaitu pasien diposisikan supinasi dengan transducer diletakkan di atas permukaan abdomen kwadran kanan bawah dengan teknik kompresi bertahap kemudian ditambahkan dengan cara meletakkan tangan di aspek posterior kwadran kanan bawah pada arah yang berlawanan dengan transducer. teknik ini dapat membuat kekuatan kompresi ekstrinsik pada sisi yang berlawanan dengan abdomen kwadran kanan bawah bagian anterior atau anteromedial menggunakan tangan kiri (gambar 5).7 kompresi dari aspek posterior caecum atau spatium pericaecal dengan atau tanpa pemindahan anteromedial di atas musculus psoas pada abdomen kwadran kanan bawah sistema usus. kekuatan kompresi dan posisi tangan kiri secara dinamik diubah-ubah mengikuti bagian colon yang dicurigai sebagai appendicitis. cara ini dapat meningkatkan spatial resolusi.6,7 teknik ini digunakan pada pasien dengan struktur perut yang hanya dapat dikompresi minimal atau pada pasien obese berotot.6 3) posisi tubuh left oblique lateral decubitus (lold). posisi tubuh lold membantu pencitraan appendix retrocaecal, karena pemutaran pasien dari posisi supinasi ke lold menyebabkan caecum dan ileum terminal berpindah ke medial di depan musculus psoas dan posisi lateral dari area coli retrocaecal dan retroileum (di atas musculus psoas).6 gambar 5 . adjuvan teknik dependent operador (manual posterior)7 ana majdawati, peningkatan visualisasi appendix .............................. 66 4). transducer konveks frekuensi rendah. pemeriksaan dengan transducer frekuensi 2-4 m.hz digunakan untuk pasien obese dan lokasi appendix dalam di pelvis.6 5). pemeriksaan tambahan dengan color doppler usg (cdu). appendicitis positif pada penambahan pemeriksaan dengan usg color doppler, bila adanya depiction dari hipervascularisasi dinding appendix atau pada kwadran kanan bawah bila dibandingkan dengan jaringan normal yang menunjukkan tidak adanya/ jarangnya signal skater color doppler. penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa color doppler usg merupakan teknik yang dapat diandalkan untuk membuktikan bahwa adanya peningkatan aliran darah yang biasanya menyertai proses peradangan seperti appendicitis (gambar 6). 9,18,19. tambahan pemeriksaan usg color doppler pada pemeriksaan appendix dibandingkan hanya menggunakan pemeriksaan usg gray scale dapat meningkatkan spesifisitas dari 92% menjadi 97% dan akurasi dari 90% menjadi 93% untuk diagnosis appendicitis akut pada anak.17 adanya gas atau udara dalam lumen appendix belum tentu menunjukkan adanya inflamasi pada appendix sedang tidak adanya gas dalam lumen appendix membantu untuk konfirmasi adanya appendicitis akut atau inflamasi dinding appendix.8 gambar 6. apendisitis akut.21 (a) scan longitudinal cds dengan peningkatan signal yang menyolok, sesuai gambaran hiperemia difus (b) scan transversal dengan aliran yang nyata di dinding apendiks appendicitis merupakan penyebab akut abdomen yang terbanyak dan appendectomi melalui tindakan bedah paling sering dikerjakan untuk mengatasi kegawatdaruratan appendicitis tersebut. diagnosis appendicitis ditegakkan berdasar gejala klinis, pemeriksaan fisik, laboratorium dan pemeriksaan penunjang yaitu imaging radiologi. bagaimanapun penegakan diagnosis appendicitis ini tidak mudah, bahkan sampai 50% pasien di rumah sakit yang dicurigai appendicitis mempunyai gejala klinik yang tidak jelas, sehingga diperlukan pemeriksaan pendukung yang baik.2, 4, 6 modalitas radiologi dalam penegakan diagnosis appendicitis mempunyai peran yang besar, diantaranya pemeriksaan yang mempunyai akurasi tinggi yaitu ct scan dan usg. akhir-akhir ini pemeriksaan usg untuk memvisualisasikan appendix sangat dibutuhkan, walaupun terdapat beberapa kekurangan, diantaranya pemeriksaan usg 67 mutiara medika edisi khusus vol. 7 no.1: 58 71, april 2007 sangat tergantung ketrampilan pemeriksa (teknik pemeriksaan), lokasi appendix yang sulit dijangkau oleh transducer, kondisi pasien, adanya udara usus yang mengaburkan pemeriksaan dan lain sebagainya.3,9 menurut penelitian puylaert, 1986 modalitas radiologi dapat menurunkan angka appendectomi negatif. angka deteksi pemeriksaan usg pada visualisasi appendix 60-83 %, sensitifitas lebih 90% pada pasien suspek appendicitis. ada beberapa penelitian yang menggunakan modifikasi teknik yang dilakukan puylaert dikombinasi dengan beberapa teknik tambahan (teknik dependent operator pada usg kompresi bertahap), jumlah appendix yang tervisualisasi dari 84% menjadi 98% dan meningkatkan sensitifitas hingga 99%, spesifisitas 99% dan akurasi 99%. penambahan berbagai teknik dependent operator pada graded usg kompresi memungkinkan perbaikan visualisasi appendix normal maupun abnormal.6,7 1. self-localization sebagai tambahan teknik kompressi bertahap sonography self localization dapat mempersingkat waktu pemeriksaan dan mempunyai validitas tambahan bila dilakukan bersamaan dengan teknik kompresi bertahap. waktu yang dibutuhkan untuk teknik kompresi bertahap sekitar 1520 menit. akurasi pemeriksaan usg kompressi bertahap menurut puylaert digabung dengan sonography self localization dapat meningkatkan akurasi diagnostik dari 75% menjadi 86%. 15,17 2. adjuvant teknik kompresi manual posterior teknik kompresi bertahap menurut puylaert di tambah adjuvant teknik kompresi manual posterior menggunakan transducer linier dengan frekuensi 5-7,5 mhz dan pasien diperiksa pada posisi supinasi. teknik kompresi bertahap menurut puylaert dengan melakukan kompresi anterior untuk mengurangi rongga antara tempat yang sakit dengan transducer frekuensi tinggi pada fokus yang dituju. tambahan teknik manual posterior ini sebagai tambahan pemeriksaan untuk memvisualisasikan appendix vermiformis yang bertujuan untuk melakukan kompresi usg bertahap dan membuat kekuatan kompresi ekstrinsik pada sisi yang berlawanan pada abdomen kwadran kanan bawah bagian anterior atau anteromedial menggunakan tangan kiri. cara ini diikuti kompresi dari aspek posterior caecum atau spatium pericaecal dengan atau tanpa pemindahan anteromedial di atas musculus psoas pada kwadran kanan bawah sistema usus. selanjutnya kekuatan kompresi dan posisi tangan kiri secara dinamik diubah-ubah mengikuti bagian colon yang dicurigai sebagai appendicitis. cara ini membantu memperoleh kedalaman yang cukup didapatkan oleh transducer frekuensi tinggi dengan memberikan secara bersamaan kompresi bertahap dari anterior dan posterior yang dapat meningkatkan spatial resolution. cara ini sering disebut teknik kissing effect kompresi reciprocal anterior posterior.6,7 pendekatan usg appendix dengan urutan visualisasi ileum terminale, valvula ileocaecal, polus caecalis dan orificium appendix dengan bentuk tubular (blind ending tubular/saluran buntu), tak ada peristaltik usus dan lokasinya di retroileal atau retrocaecal atau daerah disekitarnya, non compressible. 7 tabel 2 menunjukkan hasil penelitian dengan adjuvant kompresi manual posterior lebih unggul dibandingkan pemeriksaan appendicitis dengan menggunakan teknik kompresi bertahap. teknik adjuvant kompresi manual posterior biasanya digunakan pada pasien obese atau berotot struktur perutnya yang hanya dapat dikompresi minimal.6,7 teknik adjuvant kompresi manual posterior berguna untuk mendeteksi appendix vermiformis dan untuk diagnosis serta menyingkirkan appendicitis akut terutama yang berlokasi retrocaecal atau retrocolica akibat tekanan bagian posterior abdomen kanan bawah ke atas sehingga transducer frekuensi tinggi dapat mencapai rongga retrocolica atau retrocaecal pada tepi anterior rongga psoas dengan meningkatkan resolusi spatial.7 ana majdawati, peningkatan visualisasi appendix .............................. 68 tabel 2. hasil penelitian akurasi diagnostik appendicitis acut sebelum dan sesudah teknik adjuvant kompresi manual posterior6 3. adjuvant posisi left lateral decubitus dengan transducer linier atau konveks akibat pemutaran pasien dari posisi supinasi ke left oblique lateral decubitus, caecum dan ileum terminale berpindah ke medial di depan musculus psoas oleh perubahan postur tersebut dan kedalaman porsi lateral dari area coli retrocaecal akan dikurangi (mengurangi area retroileum di atas m. psoas). cara ini juga dapat menyebabkan pelebaran dinding uterus sehingga cocok untuk pemeriksaan wanita hamil yang dicurigai appendicitis. 4. penggunaan transducer konveks frekuensi rendah (2-4 mhz) cara ini dapat memvisualisasikan appendix pada pasien obese atau pasien dengan lokasi appendix yang dalam di rongga pelvis.6,7 5. adjuvant dengan pemeriksaan color doppler ultrasonografi (cdu) aliran darah di dinding appendix atau massa di kwadran kanan bawah abdomen pada cdu dapat mendukung appendicitis, tetapi tidak adanya aliran tidak dapat secara pasti membedakan appendix normal dengan yang tidak normal. appendicitis dengan pemeriksaan cdu disebut positif bila adanya depiction dan hipervascularisasi dinding appendix atau pada kwadran kanan bawah bila dibanding dengan jaringan normal yang menunjukkan tidak adanya atau jarangnya signal skater color doppler. 16 beberapa penelitian menyebutkan bahwa cdu merupakan teknik yang dapat diandalkan untuk membuktikan adanya peningkatan aliran darah yang biasanya menyertai proses peradangan seperti appendicitis. cdu dapat memperlihatkan hiperperfusi yang dihubungkan dengan appendicitis akut. sensitifitas pemeriksaan usg gray scale dikombinasikan dengan cdu menunjukkan peningkatan sampai 95% bila diinterpretasikan bersama. 6,16 6. adjuvant teknik graded kompresi ke arah atas teknik ini dimulai dengan sapuan ke atas dengan tekanan transducer linier frekuensi tinggi untuk bergerak ke atas caecum letak rendah dan appendix, kompresi bertahap ke atas dari transducer akan menempatkan caecum dan appendix vermiformis di atas m. psoas atau anterior corpus vertebrae. kebiasaan penyapuan ke arah bawah dengan transducer linier 69 mutiara medika edisi khusus vol. 7 no.1: 58 71, april 2007 frekuensi tinggi pada pemeriksaan awal usg graded kompresi dapat menyebabkan batas bawah atau appendix yang berlokasi di false atau true pelvis tertekan lebih ke bawah dan berpindah ke area pelvis yang lebih dalam sehingga menyebabkan deteksi appendix vermiformis lebih sulit. 6 penelitian oleh jong hwa lee, et al diperlihatkan pada tabel 3, 4 , yaitu angka deteksi appendix vermiformis menggunakan graded compression technique dan masing-masing adjuvant operator dependent technique menunjukkan adanya peningkatan angka deteksi visualisasi appendix sebelum dan sesudah adjuvant technique dependent operator. 6 dari penjelasan di atas, teknik adjuvant pemeriksaan usg untuk visualisasi appendix mempunyai akurasi tertinggi adalah teknik kompresi manual posterior dengan angka deteksi 93% (sensitifitas 97%, spesifisitas 99% dan akurasi 98%), sedang yang terendah adalah teknik perubahan posisi left oblique lateral decubitus dengan angka deteksi 90% (sensitifitas 94%, spesifisitas 99% dan akurasi 97%).6 tabel 3-4. perbandingan hasil penelitian antara usg teknik kompresi bertahap dengan usg teknik adjuvant dependent operator6 beberapa hasil penelitian menyebutkan gambaran usg untuk diagnosis appendicitis adalah : 1). diameter dinding appendix > 6 mm (sensitivitas dan spesifisitas 98% dan akurasi 97%); 2) non compressible (sensitifitas, spesifisitas dan akurasi 96%; 3). 3). intraluminal fluid (sensitifitas 53%, spesifisitas 92% dan akurasi 71%); 4). cdu , flow in wall mempunyai sensitifitas 52%, spesifisitas 9% dan akurasi 73% (tabel 5).4 pada penelitian yang lain menyebutkan bahwa adanya gas intraluminal appendix menunjukkan kemungkinan appendicitis dapat disingkirkan, sedang tidak adanya gas dalam lumen appendix menunjukkan adanya appendicitis akut. tanda periappendiceal untuk appendicitis, yaitu 1) perubahan inflamasi lemak (sensitifitas 91%, spesifisitas 76% dan akurasi 83 %); 2). penebalan dinding caecum (sensitifitas ana majdawati, peningkatan visualisasi appendix .............................. 70 75%, spesifisitas 88% dan akurasi 59%); periileal lymphonodes (sensitifitas 32%, spesifisitas 62% dan akurasi 62%.4 tabel 5. hasil penelitian tanda diagnostik pada apendicitis us dan cdu4 kesimpulan penegakan diagnosis appendicitis penting dilakukan untuk mengurangi angka positif palsu dari nyeri abdomen kwadran kanan bawah karena appendicitis. ultrasonografi paling sering dipilih sebagai modalitas diagnostik appendicitis karena mempunyai beberapa keunggulan, yaitu: non invasif, aman, efek radiasi tidak ada (aman bagi wanita hamil dan anak-anak), relatif murah dan mudah dilakukan , waktu yang diperlukan singkat. kekurangannya usg sangat tergantung ketrampilan pemeriksa, lokasi appendix yang bervariasi untuk tiap orang, sehingga teknik pemeriksaan usg untuk appendicitis sangat penting diperhatikan. berdasar literatur review ini dapat disimpulkan bahwa teknik graded kompresi dengan adjuvant beberapa teknik pemeriksaan usg dependent operator yang dapat meningkatkan nilai akurasi diagnostik appendicitis (sensitifitas, spesifisitas dan akurasi hampir 99%) , yaitu: 1. teknik kompresi bertahap (graded compression technique) oleh puylaert (1980) dengan adjuvant technique dependent operator, yaitu: teknik manual posterior, teknik kompresi bertahap ke arah atas, teknik perubahan posisi left oblique lateral decubitus, penggunaan transducer konveks frekuensi rendah (terutama untuk orang yang obese dan wanita hamil), kombinasi usg gray scale dengan cdu. beberapa teknik adjuvant tersebut yang mempunyai nilai diagnostik tertinggi adalah teknik kompresi manual posterior, sedang yang terendah adalah teknik perubahan posisi tubuh (left oblique lateral decubitus) 2. gambaran usg appendix mengarah appendicitis yang mempunyai akurasi tinggi berdasar beberapa penelitian, adalah: struktur tubular buntu (blind ending) pada potongan longitudinal dan transversal, diameter dinding lebih 6 mm, non compressible, aperistaltik, peningkatan aliran darah pada pemeriksaan cdu di daerah appendix. 71 mutiara medika edisi khusus vol. 7 no.1: 58 71, april 2007 daftar pustaka 1. anonim; appendicitis: akute abdomen and surgical gastroenterology, file://f:\.app.htm 2. craig, s, md, 2006; appendicitis akute, www.emedicine 3. jacobs, j.e; 2006; ct and sonography for suspected akute appendicitis: a commentary; ajr 2006: 186: 1094-1096 4. kessler, n; cysteval, c; gallix, b; lesnik, a; blayac, p.m, et al; 2003, appendicitis: evaluation of sensitivity, specificity, and predictive values of us, doppler us, and laboratory findings; radiology 2004; 230: 472 478 5. baldisserotto, m dan marchiori, e; 2000; accuracy of noncompressive sonography of children with appendicitis according to the potential positions of the appendix; ajr 2000; 175: 1387-1392 6. hwa lee, j; ki joeng, y; bo park, j, kang park, j; jeong, a.k, et al; 2005; operator dependent technique for graded compression sonography to detect the appendix and diagnose akute appendicitis; ajr 2005; 184: 9197 7. hwa lee, j; ki jeong, y; hwang ,j.c; ham, s.y; yang, s.o; 2002; graded compression sonography with adjuvant use of a posterior manual compression technique in the sonographic diagnosis of akute appendicitis; ajr 2002; 178: 863-868 8. rettenbacher, t; hollerweger, a; macheiner, p; rettenbacher, l; frass, r, et al; 2000; presence or absence of gas in the appendix: additional criteria to rule out or confirm akute appendicitis evaluation with us; radiology 2000; 214: 183-187 9. anonim; diagnostic ultrasound; http:// www.medscape.com 10. anonim; coloproctology: appendicitis 11. santacroce, l; 2006; appendicitis www.emedicine 12. anonim; vermiform appendix; wikipedia, the free encyclopedia.htm. 13. puylaert, j. b.c.m; 1986; acute appendicitis: us evaluation using graded compression ; radiology 1986; 158:355-360. 14. bergman, r.a, et al , atlas of microscopic anatomy: section 10 digestive system www.anatomyatlases.org 15. lim, k.h; j.lee, w; j.lee, s; namgung, s; lim, j.h; 1996; focal appendicitis confined to the tip diagnosis at us; radiology 1996; 200: 799-801 16. chesbrough, r.m; burkhard, t.k; balsara, z.n; goff, w.b; davis, d.j; 1993; self localization in us of appendicitis: an addition to graded compression; radiology 1993; 187: 349-351 17. quillin,s.p; siegel, m.j; 1994, appendicitis: efficacy of color doppler sonography; radiology 1994 ; 191 : 557-560 18. anonim; diagnostic imaging: ultrasound: technique and accuracy; file://h:\anatomi\appendicitis.htm 19. craig, s, 2006, appendicitis acute, in http:// www. emedicine 20. rettenbacher, t; hollerweger, a; macheiner, p; gritzmann, n; daniaux, m, et al, 2003; ovoid shape of the vermiform appendix: a criterion to exclude akute appendicitis evaluation with us; radiology 2003; 226:95–100 21. shawn p.q, et al, 1994, appendicitis acut, radiology 1994 ; 191 : 557-560 azizah khiriyati, perawatan spiritual dalam keperawatan: sebuah pendekatan sistematik............. 48 perawatan spiritual dalam keperawatan : sebuah pendekatan sistematik spiritual care in nursing : a systematic approach azizah khoiriyati program s tudi ilmu keperawatan fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta abstract spiritual needs, and psychosocial needs are much less tangible than physical needs because they are often abstract, complex and more difficult to measure. spiritual care can be a natural part of total care which fits easily into the nursing process of assessment, nursing diagnosis, planning, implementation and evaluation. placing spiritual need and spiritual care within this framework, has proved to be very helpful, for both philosophical and practical reason. in reality though, nurses are in the best position to deliver this important aspect of nursing care, particularly when caring for the patient with a life-threatening illness. nurses learn early to become good listeners and communicators. by helping patients express their beliefs and by staying with them during the events of their illness, they are providing spiritual care. the challenge for nurses is to embrace holism and a holistic view of life and self and then convey this into caring for others. key words: holistic care, nursing process, spiritual care abstrak kebutuhan spiritual dan psikososial kurang menjadi hal yang prioritas daripada kebutuhan fisik karena kebutuhan tersebut seringkali abstrak, kompleks dan lebih sulit untuk diukur. perawatan spiritual menjadi bagian dari perawatan secara menyeluruh yang cukup mudah diterapkan dalam proses keperawatan dari mulai pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi. kebutuhan dan perawatan spiritual di dalam kerangka kerja proses keperawatan ini telah terbukti sangat membantu baik dari segi filosofis maupun praktis. faktanya, perawat berada dalam posisi terbaik dalam memberikan asuhan keperawatan, terutama ketika merawat klien yang mempunyai penyakit yang mengancam jiwa. perawat belajar sejak dini untuk menjadi komunikator dan pendengar yang baik. dengan membantu klien mengekspresikan kepercayaannya dan berada di dekat klien selama proses penyakitnya maka perawat sedang memberikan perawatan spiritual. tantangan bagi perawat adalah menerapkan pandangan secara menyeluruh pada kehidupan dan dirinya dan kemudian ide ini diterapkan dalam pemberian perawatan pada orang lain. kata kunci: perawatan holistic, proses keperawatan, perawatan spiritual 49 mutiara medika vol. 8 no. 1:48-51, januari 2008 pendahuluan dalam memberikan asuhan keperawatan secara holistik, seorang perawat harus mempertimbangkan berbagai aspek baik aspek fisik, sosial, emosional, kultural maupun spiritual dalam rangka pemenuhan kebutuhan klien. perawat juga harus mempertimbangkan respon pasien terhadap penyakit yang dideritanya dan kemampuan klien dalam pemenuhan kebutuhan perawatan dirinya.1 profesi keperawatan yang terdahulu telah memandang individu secara holistik. meskipun istilah holistic belum ada di dalam literatur keperawatan hingga tahun 1980an oleh roger, parse, neuman dan yang lainnya. kebutuhan akan spirit sebagai hal yang penting untuk tetap terjaganya kesehatan pada semua individu. perawat dapat mengobservasi bahwa kondisi fisik dapat mempengaruhi mind dan spirit. selain itu, kita juga bias memperhatikan jika seseorang mengalami goncangan emosional ataupun spiritual lambat laun bisa memunculkan gejala/gangguan secara fisik. kebutuhan spiritual dan psikososial kurang menjadi hal yang prioritas daripada kebutuhan fisik karena kebutuhan tersebut seringkali abstrak, komplek dan lebih sulit untuk diukur. perawatan spiritual menjadi bagian dari perawatan secara menyeluruh yang cukup mudah diterapkan dalam proses keperawatan dari mulai pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi. kebutuhan dan perawatan spiritual di dalam kerangka kerja proses keperawatan ini telah terbukti sangat membantu baik dari segi filosofis maupun praktis. 2 sebuah studi di amerika menyebutkan bahwa dari beberapa pasien yang telah dikunjungi, 34% mengalami penyakit kronik dan 21% berada dalam kondisi terminal. separuh lebih dari pasien membutuhkan perawatan spiritual mengenai rasa ketakutan atau cemas, koping terhadap nyeri atau gejala fisik yang lain, hubungan dengan orang tuanya atau antar orang tuanya. sejumlah orang tua pasien 60% sampai 80% diperkirakan mempunyai rasa ketakutan atau cemas, mengalami kesulitan dalam menghadapi anaknya yang nyeri, membutuhkan lebih banyak informasi medis tentang penyakit anaknya, bertanya tentang makna dari penderitaan yang dialaminya dan rasa bersalah. banyak perawat menyetujui bahwa perawatan spiritual merupakan hal yang penting tetapi sebagian besar tidak mampu untuk memberikan perawatan spiritual secara tepat. 3 tujuan dari penulisan naskah ini adalah untuk memberikan gambaran tentang perawatan spiritual sebagai pendekatan sistematik dalam memberikan asuhan keperawatan. aplikasi di dalam praktek keperawatan perawatan dan pengkajian spiritual menjadi hal yang sensitif dan seharusnya didasarkan pada hubungan salling percaya diantar klien dan perawat.2 pengkajian yang akurat pada klien sangat penting untuk membantu menentukan intervensi yang yang akan digunakan. pengkajian kebutuhan spiritual seharusnya dilakukan dengan pendekatan secara sistematik dimana perawat melakukan pendekatan pengakajian di semua aspek. pengkajian yang efektif tergantung pada terciptanya hubungan saling percaya dan penghormatan terhadap nilai dan kepercayaan yang ada pada klien. observasi keperawatan meliputi lingkungan disekitar klien, perasaan, kemampuan fungsi tubuh dan observasi data keperawatan. pendekatan holistik untuk melakukan pengkajian spiritual diperlukan untuk lebih memahami kesehatan spiritual klien dan mengidentifikasi kebutuhan spiritualnya. spiritualitas merupakan faktor yang terintegrasi di dalam diri individu. hal ini dipengaruhi oleh proses fisiologis dan psikologis, latar belakang budaya, lingkungan dan faktor yang lain. semua area dari pengkajian keperawatan akan didapatkan data yang diperlukan untuk merumuskan diagnosa keperawatan.5 perawat seharusnya mulai melakukan pengkajian riwayat kesehatan klien dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pandangan klien tentang masalah azizah khiriyati, perawatan spiritual dalam keperawatan: sebuah pendekatan sistematik............. 50 utama yang dihadapi kemudian melangkah ke area yang lebih sensitive sebagai wujud pemahaman dari kondisi klien. pertanyaan langsung berhubungan dengan spiritualitas secara umum yang ditanyakan oleh perawat seharusnya merupakan sebuah pemahaman yang lebih baik dari kondisi klien dan mampu membuat pokok-pokok pertanyaan dalam sebuah format yang tepat disesuaikan dengan bahasa klien dan dengan cara memperhatikan kenyamanan baik dari perawat dank lien. dibawah ini merupakan contoh pengakajian spiritual yang dapat digunakan. respon klien yang ditampakkan dapat menjadi petunjuk untuk menentukan tingkat perkembangan spiritualnya. petunjuk pengkajian spiritual tanyakan pada klien tentang hal-hal dibawah ini: kepercayaan terhadap tuhan pentingnya ibadah pada klien apakah ada perubahan di dalam kepercayaan atau ibadahnya akhir-akhir ini? apakah kepercayaan/agam yang dimiliki memberikan adanya harapan, ketenangan atau rasa bersalah, malu takut atau marah? apakah dengan kondisi sakit berpengaruh terhadap kepercayaan/ibadah apakah cara yang digunakan untuk mengekspresikan perasaan? 3 ada sebuah konsep yang menjelaskan bahwa kebutuhan perawatan spiritual dapat dilihat dari beberapa domain. domain yang pertama yaitu domain fisik, contohnya dengan adanya pengalaman terhadap nyeri dapat menyebabkan individu lebih berfokus pada spiritualitasnya jika berpikir tentang makna penderitaan atau rasa sakit yang dihadapinya. sama halnya dengan harapan, rasa takut, permasalahan yang diakibatkan oleh hubungan di dalam keluarga atau teman sekolah, masalah financial, stigma adat dan perawatan medis merupakan contoh dari pengalaman yang biasa dijumpai dan dapat dihubungkan dengan konsep spiritulitas (bagian dari transcendent concern). 3 fig. 1 a model of spiritual, religious, or other beliefs, activities, and relationships mediating between domains of ordinary experience and transcendent concerns. 51 mutiara medika vol. 8 no. 1:48-51, januari 2008 diagnosa keperawatan menurut nanda nursing diagnosis 20052006 ada 3 diagnosa keperawatan yang berkaitan masalah spiritual yang masingmasing merupakan 1 diagnosa keperawatan aktual, 1 diagnosa risiko dan 1 diagnosa keperawatan wellness atau kesejahteraan. antar lain distress spiritual, risiko distress spiritual dan potensial peningkatan spiritual yang lebih baik.6 hubungan perawat–klien dibangun berdasarkan rasa percaya, proses perawatan, komitmen serta menunjukkan rasa hormat merupakan hal yang penting untuk memberikan intervensi spiritual yang efektif. pengembangan spiritualitas perawat merupakan hal yang penting dalam memberikan perawatan spiritual. untuk memahami spiritualitas klien, perawat harus melakukan pengkajian secara personal perkembangan spiritualitas dirinya. perawat harus mengembangkan identitas spiritualnya supaya lebih sensitif terhadap kebutuhan spiritual klien. hubungan terapeutik terjalin seiring dengan pemberian perawatan spiritual yang tepat.2 . kesimpulan perawat berada dalam posisi terbaik dalam memberikan asuhan keperawatan, terutama ketika merawat klien yang mengalami penyakit yang mengancam jiwa, penyakit kronis dan kondisi terminal. perawat belajar sejak dini untuk menjadi komunikator dan pendengar yang baik. dengan membantu klien mengekspresikan kepercayaannya dan hadir secara fisik di dekat klien selama proses penyakitnya maka perawat sedang memberikan perawatan spiritual. perawatan spiritual pada klien merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dari praktek keperawatan jika kita memandang klien sebagai individu secara komprehensif. oleh karena itu, perawat harus mengembangkan identitas spiritualnya supaya lebih sensitif terhadap kebutuhan spiritual klien. tantangan bagi perawat adalah menerapkan pandangan secara holistik pada kehidupan dan dirinya. selanjutnya, ide ini diterapkan dalam pemberian perawatan pada orang lain secara nyata menggunakan pendekatan yang sistematik dengan menggunakan proses keperawatan mulai dari tahap pengkajian, penentuan diagnosa keperawatan yang tepat, perencanaan, implementasi dan evaluasi yang berkesinambungan. daftar pustaka 1. govier i, 2000, spiritual care in nursing, nursing standard, 14, 17, 32-36 2. hutcison m, 1997, holism and spiritual care in nursing practice , sydney, australia http://members.tripod.com/ ~marg_hutchison/nurse-4.html 3. feudtner c, dkk, spiritual care needs of hospitalized children and their families: a natural survey of pastoral care provider’s perception, pediatrics vol 111 no 1 januari 2003 pp e67-e72 http://pediatrics.aappublications.org/ cgi/content/full/111/1/e67?ck=nck 4. johnson, adaptation and growth psychiatric-mental health nursing 4th ed. (philadelphia: lippincott) http:/ /www.muw.edu/nursing/tupelo/ culture.spirituality.html 5. craven & hirnle, (2000), fundamental of nursing human health and function, lippincott, philadelphia 6. nanda 2005, nursing diagnoses: definition and classifications 20052006, philadelphia, usa mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 23 no 1 page 42-48, january 2023 the factors related to cadres’ competency in integrated health service post during pandemic ferry fadzlul rahman1*, susilo nur aji cokro darsono2, sri sunarti3 1department of public health, universitas muhammadiyah kalimantan timur, kalimantan timur, indonesia 2department of economics, faculty of economics and business, universitas muhammadiyah yogyakarta, indonesia 3department of health science, lincoln university college, kota bharu, malaysia date of article: received: 20 dec 2022 reviewed: 09 jan 2023 revised: 05 feb 2023 accepted: 17 feb 2023 *correspondence: ffr607@umkt.ac.id doi: 10.18196/mmjkk.v22i2.17236 type of article: research abstract: the competence of posyandu (integrated service post) cadres played a crucial role in response to the pandemic. they were responsible for raising awareness about covid-19 and implementing preventive measures. the impact of their competence cannot be overstated and highlights the importance of investing in health worker training. this study aims to determine the factors related to the competence of integrated health service post cadres during the pandemic in the samarinda primary healthcare working area. observational research was employed with stratified random sampling, and primary data was collected from five primary healthcare in samarinda. this study employed three steps to examine the effect of competency cadres: univariate analysis, bivariate analysis using the spearman rank test, and multivariate analysis with multiple linear regression. the bivariate analysis results showed that supervision had a very strong correlation with the cadres’ competency, and social environment had a strong correlation with the cadres’ competency. at the same time, the organization had a moderate correlation with cadres’ competency. the multivariate test results showed that the social environment contributed 0.165 times to the competence of cadres, organizational support contributed 0.211 times in cadre competence, and supervision support contributed 0.652 times to cadre competence. it provides them with the necessary resources, training, and recognition for their work. keywords: competency; social environment; integrated health service post introduction health services are the maintenance or improvement of health status through prevention, diagnosis, therapy, recovery, or healing of diseases, injuries, and other physical and mental disorders.1 high health care is the goal that hospitals and patients always expect. with the development of understanding and standards regarding the quality of health services, it is expected that health services can be encouraged by routine patient safety data for the community.2 integrated health service post, commonly named posyandu, is managed and coordinated from, by, and for the community in the application of health development to empower and facilitate access to essential health services. it strives to enhance the reduction of maternal and infant mortality.3 implementation of the posyandu program by selected health cadres who have received education and training from the community health centers (puskesmas) regarding essential health services.4 the spearhead of posyandu health services is the cadres. the posyandu cadres are the surrounding community and have the will, ability, and time to organize posyandu activities.5,6 the posyandu implementers have contributed to reducing maternal mortality and toddler. the knowledge and skills of cadres need to be improved through coaching so that they can lead posyandu activities according to their abilities. in this case, the role of cadres as implementers of posyandu activities, especially in preparation and implementation, is necessary to improve both through basic training for cadres.3 integrated health service post (posyandu) is a strategic step in developing the quality of human resources. health cadres have a significant role in improving the community's ability to help themselves achieve optimal health status. in addition, the role of cadres is to participate in fostering the community in | 43 the health sector through activities carried out at integrated health service post.7 based on data in 2019, there were 298,058 posyandu, and only 65.42% were active. this figure is still far from the national target of 80%. in 2020, coverage was expected to decrease because, during the pandemic, most of the activities at posyandu were stopped.5 the widespread regulation of large-scale social restrictions is also the cause of the limitation or even the lack of health services at the integrated health service post to avoid crowds because there will be the potential for re-infection.8 the cessation of health services at the integrated health service post impacts pregnant women and children under five prone to the disease.9 as a result, monitoring the growth and development of toddlers is delayed. in improving the quality of health services, cadres must have competence. it is the workability of cadres, including aspects of knowledge, skills, and work attitudes, that follow the expected standardization.10,11 another definition states that competence relates to individual abilities and skills to achieve the expected results. cadre competence is also defined as an individual that can be measured and identified to show the individual's specific behavior and abilities in particular jobs.12 there are several factors related to competence, including social environment, one of the factors supporting individuals in realizing a goal based on behavior. the social environment is reflected in the acceptance of others in individuals who carry out their duties well. to improve the quality of posyandu services to reach all levels of society, improving the service quality of cadres is an important milestone that must be considered.10 it plays an essential role in building knowledge and is the most meaningful contributor to external motivation. humans, as social beings, always tend to need other people to establish relationships. they want to live in groups for self-actualization.13 thus, the benefits of posyandu needs to be strengthened as a means of exchanging opinions and experiences, one of which is external factors that make posyandu activities more comfortable. family support is a process that occurs throughout life and affects the family life cycle stage.14 meanwhile, the organization provides organizational support to the activities of posyandu cadres, namely funds, community support (support system), praise, positions, prizes, etc.10 an individual workforce is expected to have a good relationship with the organization or company. good relationships will help individual performance as they will feel comfortable and safe at work.15 financial support is funds provided by parties to meet health development, especially those managed by primary health care or integrated health service post, which are guided by community cadres. financial support can be a form of appreciation given to cadres that aim to increase enthusiasm or satisfaction so that later it can improve their work competence.16 material and method this study utilized an observational research design with survey data. it was conducted in the city of samarinda. the samples were selected using stratified random sampling technique, and primary data was collected. the sample included posyandu cadres from 5 primary healthcare centers in samarinda. the population in this study was 89 posyandu cadres in the working area of samarinda primary healthcare. the ethical clearance was received from ethical clearance committee no. 345/kepk-stikes-mm/x/2022. the instrument was a questionnaire from aprana john (2012) containing questions used to collect data from respondents.17 in this study, the competency of cadres was measured in three parts: not competent when the value is below 20, competent when the value is between 21 and 40, and extremely competent when the value is between 42 and 60. cadre competency is the knowledge or ability of every employee in a position.10 the social environment is an area for activities or behaviors that foster a sense of self-worth in cadres (selfesteem).18 it was categorized not supportive when it falls below 15, moderately supportive when it falls between 16 and 30, and extremely supportive when it falls between 31 and 45. organizational support is a belief in the workplace that might increase cadres' impressions of how much the organization regards cadres' contributions.19 supervision is an activity carried out by a professional to assist cadres in improving materials, methods, and evaluation by carrying out stimulation.20 it was categorized into 3 parts, namely ‘not supportive’ when it is below 15, less supportive when it is in the 16-30 range, and very supportive when it is at 31-45. the ci used 95%, and the p-value was significant if <0.05. this research employed three steps: univariate analysis, bivariate analysis using the spearman rank test, and multivariate analysis using multiple linear regression. the dependent variable of the multivariate analysis was cadres’ competency, while the independent variables were social environment, organizational support, and supervision. this research used the multiple linear regression model below: 44 | vol 23 no 1 january 2023 comp =  + 1 sev + 2 ogs + 3 spv +  , (1) comp represents the competency of integrated health service cadres, sev denotes social environment, ogs denotes organizational support, spv denotes supervision, and represents the error term. result the cadres who participated in this study lived in the samarinda city area. below is the distribution of socio-demographic characteristics of study subjects, stratified by competency cadres. table 1. subject characteristics competency total not competent competent very competent mean n % mean n % mean n % n % age (year) 40.1 37.4 39.4 gender female 14 15.70% 19 21.30% 56 62.90% 89 100 male 0 0.00% 0 0.00% 0 0.00% 0 0 education level graduated vocational/ bachelor 4 18.20% 6 27.30% 12 54.50% 22 100 high school 3 11.50% 7 26.90% 16 61.50% 26 100 elementary school 2 18.20% 1 9.10% 8 72.70% 11 100 occupation employee 2 7.40% 5 18.50% 20 74.10% 27 100 retired 1 50.00% 0 0.00% 1 50.00% 2 100 unemployed 11 18.30% 14 23.30% 35 58.30% 60 100 based on table 1, out of 89 participants are entirely female. the very competent respondents were at a mean age of 39.4 years, and those who were competent were at a mean age of 37.4 years. 16 respondents who were very competent had a high school education (61.5%), while very competent respondents who were unemployed were 35 (58.3%). table 2. distribution of participant's competency level based on variables variables category competency total not competent competent very competent n % n % n % n % the role of the social environment not supportive 8 53.30% 4 26.70% 3 20.00% 15 100 less supportive 4 19.00% 7 33.30% 10 47.60% 21 100 very supportive 2 3.80% 8 15.10% 43 81.10% 53 100 organizational support not supportive 8 61.50% 4 30.80% 1 7.70% 13 100 less supportive 2 14.30% 4 28.60% 8 57.10% 14 100 very supportive 4 6.50% 11 17.70% 47 75.80% 62 100 supervision less supervised 13 81.30% 0 0.00% 3 18.80% 16 100 quite supervised 0 0.00% 18 94.70% 1 5.30% 19 100 very supervised 1 1.90% 1 1.90% 52 96.30% 54 100 in the social environment variable (see table 2), 43 respondents received a very supportive social environment categorized as competent cadres. 47 respondents had very supportive organizational support categorized as very competent cadres. 52 respondents received very high supervision categorized as very competent cadres. table 3. spearman rank correlation based on cadres’ competency variable p-value r correlation strength social environment <0.001 0.701 strong organizational support <0.001 0.418 moderate supervision <0.001 0.949 very strong | 45 the results of the spearman rank coefficients in table 3 show that social environment has a strong correlation with cadres’ competency (r= 0.701). based on the analysis of the support of the social environment for posyandu cadres, it was revealed that cadres received support from the social environment so that the performance of cadres increased during the pandemic that there was a close relationship between competence and the role of the social environment. the same study's results showed that the role of the social environment of health cadres increased the competence of cadres.21 on the organizational support variable, as a result of the spearman rank coefficient value, it can be seen that the relationship strength between organizational support and cadres’ competency was moderate (r=0.418). the analysis of organizational support for posyandu cadres found that cadres received organizational support to increase cadres performance competence while working during the pandemic. furthermore, the supervision variable had very strong correlation with cadres’ competency (r=0.948). based on the analysis of supervision support for posyandu cadres, it was found that cadres received supervision support. hence, cadres' performance competence increased while working during the pandemic. research results showed a strong relationship between supervision and cadres’ performance competence. this study concludes that the better the quality of supervision is, the better the performance competence of the cadres will be. the direction of a positive relationship with a positive value revealed that the relationship was positive. an increase in the role of the social environment, organizational support, and supervision will also increase the level of competence.22 table 4 shows the correlation relationship (r) value equals 0.875. based on the output, the coefficient of determination (r square) was 0.765, indicating that 76.5% of the dependent variable can explain the independent variables, while other variables outside this model explained 23.5%. table 4. multiple linear regression results stratified by competency cadres based on table 4, the model of multiple linear regression can be written as follow: competence = -0.050 + 0.165 sev + 0.211 ogs + 0.652 spv +  the constant value of -0.050 indicates that when other variables are zero, the dependent variable of cadres’ competency will decrease by 0.050 times. the social environment contributes 0.165 times to the competence of cadres. while organizational support contributed 0.211 times in cadre competence, supervision support contributed 0.652 times in cadre competence. therefore, to increase the dependent variable (cadre performance competence), it is necessary to jointly improve the role of the social environment, organizational support, and supervision support. discussion based on the table above, the results of this study revealed the influence of the role of the social environment, organizational support, and supervision on the performance competence of posyandu cadres. in improving the quality of health services, cadres must have competence. competence means the activity capacity of an integrated health service post candidate, which includes the knowledge, abilities, and actions on duty, following the required standardization.21 another definition states that competence is a matter of individual abilities and skills to achieve the desired goals. cadre competence is also defined as a particular coefficients coefficients collinearity statistics b std. error beta t sig r2 vif cons -0.050 .169 -.290 .768 social environment (sev) .165 .061 .168 2,721 .008 .726 1.378 organizational support (ogs) .211 .062 .206 3.408 .001 .753 1.328 supervision (spv) .652 .058 .675 11.210 .000 .762 1.312 r .875 adjusted r square .757 r square .765 std. error of the estimate .372 a. dependent variable: competency 46 | vol 23 no 1 january 2023 aspect that can be measured and identified to prove individuals' behavior and specific abilities in certain jobs.23 furthermore, the social environment is one of the supporting factors for individuals in realizing a goal based on behavior.18 this social environment is reflected in the acceptance of others in individuals who carry out their duties well, including increased insight in the integrated health service post quality improvement chart to reach the entire population composition. hence, improving the service quality of posyandu candidates becomes a significant pillar that must be observed.24 it indicates that the social area has a positive and significant influence on the competence of cadres. according to pereira, the concept of organizational support describes the interaction of individuals with organizations that specifically identifies how the organization treats its subordinates. perceived organizational support is defined as cadres' perceptions of the extent to which the organization values cadres' contributions and cares about their well-being.25 organizational support is seen as very important for the workers' behavior. this support may take the form of attention from the leadership to their subordinates. it can include adequate facilities and infrastructure to support the performance of their employees.19 organizational support refers to subordinates/cadres' perception of how the organization values contributions, provides support and cares for their welfare.25 moreover, supervision is an effort to assist the development and improvement of the capacity of the supervised party so that they can carry out the assigned tasks or activities efficiently and effectively. besides, supervision is a monitoring and coaching activity carried out on an ongoing basis by supervisors, which considers the problem of service and equipment so that patients or clients always receive quality service.20 this study's findings indicated a correlation between each variable, namely the role of the social environment, organizational support, supervision support, financial support, and family support, and the competency performance of posyandu cadres during the pandemic in the primary healthcare of samarinda city. moreover, the results of this study also revealed that, in general, the independent variables, namely the role of the social environment, organizational support, supervision support, financial support, and family support, affect the performance competence of posyandu cadres. however, when viewed separately, the variables of financial support and family support had no significant effect on the performance competence of posyandu cadres. hence, not all cadres received support from their families. after all, cadres assumed some of them received fewer benefits and, as volunteers, may not receive rewards from related parties. when viewed separately, the independent variables of the role of the social environment, organizational support, and supervision support significantly influenced the performance competence of posyandu cadres. based on the research results obtained from the relationship between the social environment and the performance competence of posyandu cadres, it proved that the social area had a positive and significant influence on the cadres' competence. competence is the power possessed by a person to carry out the profession assigned to him.26 people must be able to carry out their duties and work well well. competence allows a person to fulfill professional-related obligations needed to achieve goals. gigliotti et al. stated that the support obtained by employees from the organization where they work is an internal environmental factor that can affect employee performance.27 mustafa et al. revealed that one of the crucial factors influencing cadres' work behavior is the support from their organizations. 28 vita et al. explained that supervision involves planning, directing, guiding, observing, and encouraging improvement.10 trust and evaluation should always be carried out continuously with patience, fairness, and wisdom so that they can provide good training for cadres, following the abilities and limitations of cadres. conclusion based on the study results, the cadre’s competency was influenced by the social environment, organizational support, and supervision of competence during the pandemic in samarinda primary healthcare. further, to enhance the cadre’s competency, it is crucial to simultaneously improve the role of the social environment, organizational support, and supervisory support. acknowledgement this endeavor would not have been possible without asia university and lincoln university college for their invaluable support. | 47 conflict of interest all authors declare that they have no conflicts of interest. references 1. setiawan a, christiani y. integrated health post for child health (posyandu) as a community-based program in indonesia: an exploratory study. jurnal keperawatan indonesia. 2018;21(3):150-8. https://doi.org/10.7454/jki.v21i3.600 2. futoma j, simons m, panch t, doshi-velez f, celi la. the myth of generalisability in clinical research and machine learning in health care. the lancet digital health. 2020;2(9):e489-e92. https://doi.org/10.1016/s2589-7500(20)30186-2 3. nirwana md, utami ih, utami hn. the cadre of integrated health service post (posyandu) as an agent in the socialization of cervical cancer prevention in malang regency, indonesia: a cultural approach. procedia social and behavioral sciences. 2015;211:681-7. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.11.103 4. mosadeghrad am. healthcare service quality: towards a broad definition. international journal of health care quality assurance. 2013. https://doi.org/10.1108/09526861311311409 5. tumbelaka p, limato r, nasir s, syafruddin d, ormel h, ahmed r. analysis of indonesia’s community health volunteers (kader) as maternal health promoters in the community integrated health service (posyandu) following health promotion training. international journal of community medicine and public health. 2018;5(3):856-63. https://doi.org/10.18203/2394-6040.ijcmph20180462 6. jati hf, darsono snac, hermawan dt, yudhi was, rahman ff. awareness and knowledge assessment of sustainable development goals among university students. jurnal ekonomi & studi pembangunan, 2019, 20.2: 163-175. https://doi.org/10.18196/jesp.20.2.5022 7. pangestuti r, dewi ylr, sulaeman es. contextual factors of posyandu on cadre performance in providing maternal and child health service in surakarta, central java. journal of maternal and child health. 2020;5(1):27-34. https://doi.org/10.26911/thejmch.2020.05.01.04 8. purnama sg, susanna d. attitude to covid-19 prevention with large-scale social restrictions (psbb) in indonesia: partial least squares structural equation modeling. frontiers in public health. 2020;8:570394. https://doi.org/10.3389/fpubh.2020.570394 9. osofsky hj, weems cf, graham ra, osofsky jd, hansel tc, king ls. perceptions of resilience and physical health symptom improvement following post disaster integrated health services. disaster medicine and public health preparedness. 2019;13(2):223-9. https://doi.org/10.1017/dmp.2018.35 10. widyasari v, rahman ff, lin k-h, wang j-y. the effectiveness of health services delivered by community health workers on outcomes related to non-communicable diseases among elderly people in rural areas: a systematic review. iranian journal of public health. 2021;50(6):1088. https://doi.org/10.18502/ijph.v50i6.6408 11. sari fa, wiryaningsih mam. competence and workload of forensic non-medical workers during the covid-19 pandemic. jmmr (jurnal medicoeticolegal dan manajemen rumah sakit). 2022;11(2). https://doi.org/10.18196/jmmr.v11i2.14355 12. romroma ra, suriah nd, syafar m, stang ss. competence of health promotion officers at public health center (puskesmas) in empowering integrated health service post (posyandu) cadres in aru island district. 2020. https://doi.org/10.36348/sjnhc.2020.v03i11.002 13. cook da, artino jr ar. motivation to learn: an overview of contemporary theories. medical education. 2016;50(10):997-1014. https://doi.org/10.1111/medu.13074 14. gómez g, rivas m. reading achievement, resilience, and motivation in contexts of vulnerability: a study of perceived self-efficacy, intrinsic motivation, and family support in chile. reading psychology. 2022:1-22. https://doi.org/10.1080/02702711.2022.2106333 15. stazyk ec, davis rs, liang j. probing the links between workforce diversity, goal clarity, and employee job satisfaction in public sector organizations. administrative sciences. 2021;11(3):77. https://doi.org/10.3390/admsci11030077 16. de crescenzo v, monfort a, felício ja, ribeiro-navarrete s. communication and the role of third-party endorsement in social crowdfunding. the service industries journal. 2022;42(9-10):770-97. https://doi.org/10.1080/02642069.2021.1963437 https://doi.org/10.7454/jki.v21i3.600 https://doi.org/10.1016/s2589-7500(20)30186-2 https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.11.103 https://doi.org/10.1108/09526861311311409 https://doi.org/10.18203/2394-6040.ijcmph20180462 https://doi.org/10.18196/jesp.20.2.5022 https://doi.org/10.26911/thejmch.2020.05.01.04 https://doi.org/10.3389/fpubh.2020.570394 https://doi.org/10.1017/dmp.2018.35 https://doi.org/10.18502/ijph.v50i6.6408 https://doi.org/10.18196/jmmr.v11i2.14355 https://doi.org/10.36348/sjnhc.2020.v03i11.002 https://doi.org/10.1111/medu.13074 https://doi.org/10.1080/02702711.2022.2106333 https://doi.org/10.3390/admsci11030077 https://doi.org/10.1080/02642069.2021.1963437 48 | vol 23 no 1 january 2023 17. john a, nisbett n, barnett i, avula r, menon p. factors influencing the performance of community health workers: a qualitative study of anganwadi workers from bihar, india. plos one. 2020 nov 25;15(11):e0242460. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0242460 18. de kock jh, latham ha, leslie sj, grindle m, munoz s-a, ellis l, et al. a rapid review of the impact of covid-19 on the mental health of healthcare workers: implications for supporting psychological well-being. bmc public health. 2021;21(1):1-18. https://doi.org/10.1186/s12889-020-10070-3 19. saifulina n, carballo‐penela a, ruzo‐sanmartin e. the antecedents of employees' voluntary proenvironmental behavior at work in developing countries: the role of employee affective commitment and organizational support. business strategy & development. 2021;4(3):343-57. https://doi.org/10.1002/bsd2.162 20. gage ad, gotsadze t, seid e, mutasa r, friedman j. the influence of continuous quality improvement on healthcare quality: a mixed-methods study from zimbabwe. social science & medicine. 2022;298:114831. https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2022.114831 21. glenton c, javadi d, perry hb. community health workers at the dawn of a new era: 5. roles and tasks. health research policy and systems. 2021;19(3):1-16. https://doi.org/10.1186/s12961-021-00761-7 22. brown o, kangovi s, wiggins n, alvarado cs. supervision strategies and community health worker effectiveness in health care settings. nam perspectives. 2020;2020. https://doi.org/10.31478/202003c 23. sugiarti n, rusmawati a, yalestyarini ea. the efforts of posyandu cadres in increasing mother's awareness behavior in maintaining baby's development: literature review. open access health scientific journal. 2021;2(1):28-33. https://doi.org/10.55700/oahsj.v2i1.16 24. uzir muh, al halbusi h, thurasamy r, hock rlt, aljaberi ma, hasan n, et al. the effects of service quality, perceived value and trust in home delivery service personnel on customer satisfaction: evidence from a developing country. journal of retailing and consumer services. 2021;63:102721. https://doi.org/10.1016/j.jretconser.2021.102721 25. pereira v, mohiya m. share or hide? investigating positive and negative employee intentions and organizational support in the context of knowledge sharing and hiding. journal of business research. 2021;129:368-81. https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2021.03.011 26. koca gş, erigüç g. the effects of communication skills levels of health professionals on the dimensions of the johari window model. international journal of healthcare management. 2020;13(sup1):434-46. https://doi.org/10.1080/20479700.2019.1596393 27. gigliotti r, vardaman j, marshall dr, gonzalez k. the role of perceived organizational support in individual change readiness. journal of change management. 2019;19(2):86-100. https://doi.org/10.1080/14697017.2018.1459784 28. mustafa nal, sevi̇m e. the effect of paternalist leadership on work engagement: a research on health workers. journal of international health sciences and management. 2020;6(10):90-107. https://doi.org/10.2139/ssrn.3749342 https://doi.org/10.1371/journal.pone.0242460 https://doi.org/10.1186/s12889-020-10070-3 https://doi.org/10.1002/bsd2.162 https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2022.114831 https://doi.org/10.1186/s12961-021-00761-7 https://doi.org/10.31478/202003c https://doi.org/10.55700/oahsj.v2i1.16 https://doi.org/10.1016/j.jretconser.2021.102721 https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2021.03.011 https://doi.org/10.1080/20479700.2019.1596393 https://doi.org/10.1080/14697017.2018.1459784 https://doi.org/10.2139/ssrn.3749342 mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 23 no 2 page 70-77, july 2023 association between personal hygiene and nutritional status in school-age children andromeda1,*, muhammad luthfi rafshanzany2, joseph dharmadi buntoro3 1departement of parasitology, faculty of medicine, pasundan university, west java, indonesia 2faculty of medicine, pasundan university, west java, indonesia 3departement of public health, faculty of medicine, pasundan university, west java, indonesia date of article: received: 08 feb 2023 reviewed: 31 may 2023 revised: 10 jun 2023 accepted: 24 jun 2023 *correspondence: andromeda@unpas.ac.id doi: 10.18196/mmjkk.v23i2.17848 type of article: research abstract: malnutrition is a global health problem often found in children and adolescents. this condition can inhibit growth and development in children. soil transmission helminth (sth) infection absorbs nutrients in the host's digestive system, affecting the host's nutritional status. one of the risk factors for sth infection is poor personal hygiene. this study aims to analyze the association of sth infections and personal hygiene with the nutritional status of elementary school children. this research is a cross-sectional study with primary data conducted in august – september 2022 on 92 children aged 6 – 12 years at neglasari elementary school, cilame village, district bandung. nutritional status was assessed by measuring height and weight to calculate body mass index and then putting it into the who 2007 z-score plotting curve. sth infections were determined by microscopic examination of helminth eggs from feces using the kato-katz method. personal hygiene was assessed through direct interview methods. the results showed that there was no sth infection in all research respondents. the distribution of nutritional status was dominated by normal nutrition, with 66 (71.7%) respondents and the majority had implemented good personal hygiene behavior habits (78 (84.8%) respondents). it can be concluded that there was a significant relationship between personal hygiene and nutritional status in students (p= 0.000). the average score of children who had implemented good personal hygiene was in normal nutritional status. keywords: children; nutritional status; personal hygiene introduction malnutrition is a global health issue that affects children and adolescents in practically every country, including indonesia.1 according to the world health organization (who), 45 million children are predicted to be underdeveloped in 2020, with 149 million children under the age of five having stunting.1,2 the prevalence of stunting in indonesia was relatively high in 2018, at 27.67%, indicating that the country has yet to meet the who objective of less than 20%.3 in children, malnutrition can impede physical growth, cognitive ability, motor function, physiological function, and immune response.4 worm infections, particularly soil-transmitted helminth (sth) infections, are a major cause of impaired nutritional absorption in children.5 according to a study conducted in ethiopia by gosa et al., 2022, only 54 of 273 children infected with sth had normal nutritional status, with the remaining 219 people classified as malnutrition.6 another study in nigeria by cletus et al., 2020 revealed that 42.8% of the 504 fecal samples investigated were proven positive for helminth infections accompanied by nutritional status concerns, with 24.4% experiencing malnutrition, 36% being short, and 20.8% being thin.7 according to these studies, children's nutrition and sth infection have a close and significant relationship. soil-transmitted helminth infection is a neglected tropical disease caused by intestinal nematodes such as ascaris lumbricoides, trichuris trichiura, and hookworm (necator americanus and ancylostoma duodenale).8 sth infection is ubiquitous worldwide, particularly in tropical and subtropical parts of sub-saharan africa, america, and asia, where warm and humid conditions encourage helminth egg and larvae survival.9 sth | 71 infects over 270 million preschool children and 550 million school-age children worldwide.10 according to the indonesia ministry of health, the highest prevalence of sth infection in 2006 was caused by t.trichiura species (24.2%), followed by a. lumbricoides (17.6%) and hookworms (1%).11 worms absorb nutrients from the host to survive, leading to disruptions in nutrition usage in the body through various processes.12 chronic a. lumbricoides infection results in anorexia, nutritional malabsorption, and jejunal mucosal abnormalities. endogenous mucosal damage caused by t. trichiura burrowing the intestinal epithelium causes inefficient iron supplementation, loss of appetite, and anemia. hookworm infection consumes erythrocytes through a proteolytic mechanism that breaks down hemoglobin, resulting in nutritional inadequacies due to increased blood loss and diminished iron reserves in the body.13,14 chronic sth infection causes a decreased growth rate, physical health disorders, decreased activity, weakened cognitive function, and protein energy malnutrition (pem) in children.15,16 socio-economic, dietary status, personal hygiene, and education intensify a person's susceptibility to sth infection. personal hygiene includes washing hands before and after eating, keeping nails clean, and defecating in the toilet or bathroom. the deterioration of personal hygiene is a significant contributor to the occurrence of helminthiasis.17 school children aged 5 to 15 years in developing countries are at a higher risk of developing sth due to their playing habits and direct contact with soil, a breeding ground for worm eggs.12,18 in indonesia, the problem of nutritional status and helminthiasis remains severe and has not been addressed by the government.19,20 based on the data acquired from a school health screening by the health center in cilame village in 2050, children (25.3%) apparently suffered from undernutrition and malnutrition. geographically, cilame village is located in a tropical climatic area surrounded by plantation lands, forestry, and vacant terrain often used as playgrounds for local children. this condition increases the risk of sth infection. according to socioeconomic factors, the majority of the population has a poor level of education and income, which can influence a person’s lack of health concerns. therefore, researchers are interested in analyzing the incidence of soil-transmitted helminth infections, personal hygiene, and nutritional status of children in elementary schools of cilame village, bandung. material and method this research was an analytic observational study with a cross-sectional approach. the sample was measured descriptively to identify the characteristics of the subjects. the independent variables were soiltransmitted helminth infection and personal hygiene. the dependent variable was nutritional status. this study used consecutive sampling with total respondents of 92 children from neglasari elementary school, cilame village, bandung. the inclusion criteria were being registered as a student of neglasari elementary school and being willing to participate in the examination process. samples were taken using simple random sampling. the study was conducted in august – september 2022 by measuring height and weight to calculate body mass index and then entering it into the who 2007 z-score plotting curve to classify nutritional status. to examine soil-transmitted helminth infections, the stool samples were collected using a stool tube and sent to a certified regional health laboratory in bandung (labkesda kota bandung) for microscopic examination of worm eggs using the kato-katz method. the personal hygiene assessment of the respondents was carried out by giving questionnaires through the direct method. the validity of the questionnaire was tested using total correlation items with results > 0.3 and reliability test > 0.7. the research ethics committee of padjadjaran university, bandung, granted permission for this study under the following number: 715/un6.kep/ec/2022. the analysis tool used spss 27. the spearman test was utilized to analyze the correlation between personal hygiene and nutritional status, with a value of p<0.05. result the data obtained from respondents were analyzed descriptively using spss to identify the frequencies and percentages, as shown in table 1. 72 | vol 23 no 2 july 2023 table 1. distribution of respondents based on gender and class level total (n) percentage (%) gender male 39 42.4% female 53 57.6% grade grade i 27 29.3% grade ii 12 13% grade iii 16 17.4% grade iv 8 8.7% grade v 4 4.3% grade vi 25 27.2% according to the table 1, which was conducted on 92 children of neglasari elementary school, cilame village, district bandung, the majority of the research respondents were female, with 53 respondents (57.6%). the majority of the class level was grade i, with a total of 27 children (29.3%). the least number of respondents was grade v, with a total of 4 children (4.3%). table 1. the proportion of sth infections in study respondents total (n) percentage (%) positive 0 0% negative 92 100% table 2 summarizes the microscopic examination of worm eggs using the kato-katz methods obtained from the parasitology laboratory. the findings revealed that no children were positive for sth infection in any samples based on the distribution of respondents' characteristics depending on sth infection status. table 3. the proportion of nutritional status in research respondents total (n) percentage (%) severely thin 5 5.4% thin 15 16.3% normal 66 71.7% overweight 3 3.3% obesity 3 3.3% based on table 3, measuring the body mass index (bmi) and plotting it into the z-score curve showed that the respondents' nutritional conditions were classified into five categories: severe thin, thin, normal, overweight, and obesity. the highest prevalence is children in normal nutritional conditions, with a total of 66 participants (71.7%). | 73 table 4. results of personal hygiene questionnaire responses personal hygiene total (n) percentage (%) playing and contacting with the ground directly yes 24 26.1% seldom 29 31.5% no 39 42.4% washing hands after playing yes 73 79.3% seldom 15 16.3% no 4 4.3% washing hands before eating yes 76 82.6% seldom 14 15.2% no 2 2.2% washing hands after defecation yes 90 97.8% seldom 2 2.2% no 0 0% washing hands with running water yes 70 76.1% seldom 15 16.3% no 7 7.6% washing hands with soap yes 69 75% seldom 17 18.5% no 6 6.5% keeping nails clean yes 68 73.9% seldom 21 22.8% no 3 3.3% cutting nails every 1 week yes 54 58.7% seldom 35 38% no 3 3.3% wearing footwear when playing on the ground yes 81 89% seldom 9 9.9% no 1 1% defecating in toilet yes 92 100% seldom 0 0% no 0 0% table 5. participant distribution based on personal hygiene behavior total (n) percentage (%) personal hygiene good 78 84.8% poor 12 13% bad 2 2.2% table 4 demonstrates the result of a personal hygiene assessment using a questionnaire asked directly to the respondents. the average number of children had implemented good personal hygiene as evidenced by frequent washing of hands before eating and after defecating. besides that, all children have defecated in the toilet. furthermore, based on table 5, it can be concluded that most 78 children (84.8%) had good personal hygiene behavior. 74 | vol 23 no 2 july 2023 the correlation between personal hygienes and nutritional status table 6. distribution of nutritional status with personal hygiene nutritional status personal hygiene total good poor bad frequency % frequency % frequency % frequency % severely thin 2 40 1 20 2 40 5 5.43 thin 10 66.66 5 33.33 0 0 15 16.3 normal 60 90.90 6 9.09 0 0 66 71.74 overweight 3 100 0 0 0 0 3 3.26 obesity 3 100 0 0 0 0 3 3.26 total 78 84.78 12 13.04 2 2.17 92 100 table 6 describes the distribution of children regarding nutritional status with personal hygiene. 66 children were in the category of normal nutritional status, where 90.90% had implemented good personal hygiene behavior. otherwise, severely thin children had poor and bad personal hygiene, with a total of 3 children (60%). table 7. correlation between nutritional status and personal hygiene correlation personal hygiene nutritional status spearman's rho personal hygiene correlation coefficient 1.000 0.379 sig. (2-tailed) . 0.000 n 92 92 nutritional status correlation coefficient 0.379 1.000 sig. (2-tailed) 0.000 . n 92 92 table 7 shows the statistical results using the spearman-rank test to determine the correlation between personal hygiene and nutritional status. according to the results, personal hygiene significantly correlated with nutritional status (p= 0.000). these findings indicated a correlation between personal hygiene and nutritional status among neglasari elementary school students in cilame village, district bandung. discussion personal hygiene with sth infection sth infection was not discovered in all of the study participants. in neglasari cilame village, 78 (84.8%) children in elementary school practiced good personal hygiene. good personal hygiene in children reduced the spread of infections caused by sth, resulting in no children being infected with sth. this study was in line with the previous study conducted by syairul et al., 2021, which revealed no sth infections in all research participants since sibela timur elementary school youngsters practiced good personal hygiene.21 according to zulaikha et al., 2020, good personal hygiene practices such as hand washing and keeping nails clean can prevent the entry of worm egg pollutants from entering the digestive system through the mouth.22 this study was conducted during the covid-19 pandemic. therefore, clean and healthy behavior (phbs) in children and school sanitary conditions were deemed adequate. according to rizqa et al., 2022, environmental sanitation in schools has improved during the pandemic.23 these behaviors and conditions aim to break the covid-19 infection chain while reducing sth infection. furthermore, the indonesian government operated a health program that administered mass deworming drugs (pomp) to elementary school-age children.24 pomp provision allowed children to take anti-worm medications easily. it could impact the findings as no sth infection was discovered in study participants. | 75 sth infection with nutritional status there were 5 people (5.43%) experiencing severe thin conditions and 15 experienced (16.3%) having thin conditions. this finding suggested that sth infection was not the cause of the poor and deficient nutritional status of children in neglasari elementary school. according to liena et al., malnutrition in children can be caused by various factors, including worm infections. furthermore, the pathway from sth infection to producing a decline in nutritional status takes a long time and depends on the severity of the illness.25 according to annida et al., the causative factors of malnutrition are infectious disorders and pattern factors of eating disorders, bad parenting, a lack of proper food intake, and lack of health care.26 research conducted by emmanuel et al. revealed that parasitic infections play an important role in increasing the incidence of malnutrition by disrupting the immune system and changing the balance of macro and micronutrients in the body. sth infection has been demonstrated to modify the nutritional pool by influencing food intake, metabolism, and micronutrient absorption in the intestine. micronutrient deficiencies result from poor nutrient absorption, which is part of malnutrition caused by a lack of essential vitamins and minerals in the body.15 according to the research by mary et al., sth infection was also associated with low food intake, impaired absorption mechanisms, and metabolic alterations that result in poor growth and nutrient loss.27 according to zelleke et al., there was a strong correlation between t.trichiura infection and stunting, as the parasite produced a persistent inflammatory process that resulted in enteropathy, which triggered nutrient absorption problems and intestinal leaks.28 additionally, moderate and severe t. trichiura infections were related to malnutrition, according to solomon et al. mature parasite worms are known to contribute to gastrointestinal blood loss and immunological problems.29 according to a study by abraham et al., intestinal worm infection might directly or indirectly contribute to malnutrition. it occurred due to intestinal worms that induced the pathophysiology of the gastrointestinal tract by secreting substances that inhibit pancreatic enzymes and prevent nutrients from being absorbed in the small intestine. worms also trigger persistent blood loss and intestinal inflammation, which results in malnutrition.30 to more precisely assess this correlation, research participants' feces must be examined in regions where high sth infections are endemic. personal hygiene with nutritional status personal hygiene variables and nutritional status was correlated (p = 0.000). children with severely thin nutritional levels had poor and bad personal hygiene habits. this result was consistent with recent research by pagdya et al. in 2022, which found a substantial association between personal hygiene and the stunting rate. people with poor personal hygiene were more susceptible to infection, reducing nutritional status.31 the habit of not washing hands before eating makes it easier for worm eggs to enter the digestive system orally. according to johana et al., 2020, ascaris and trichuris eggs enter the digestive system orally through contaminated food.32 hookworms enter the body through the skin when someone plays on the ground without wearing shoes.33 furthermore, febriana et al., 2020 determined that adequate personal cleanliness keeps microbial diseases out of the digestive system. however, this study contradicts the findings of lida et al. 2018, revealing no correlation between personal hygiene and nutritional status.34 conclusion most children in neglasari elementary school had good personal hygiene, and none had sth infections; thus, their nutritional status was generally good. it can be concluded that the correlation between nutritional status and personal hygiene was significantly correlated. conflict of interest no conflict of interest. 76 | vol 23 no 2 july 2023 references 1. ayuningtyas d, hapsari d, rachmalina r, amir v, rachmawati r, kusuma d. geographic and socioeconomic disparity in child undernutrition across 514 districts in indonesia. nutrients. 2022 feb 1;14(4). https://doi.org/10.3390/nu14040843 2. world health organization. levels and trends in child malnutrition [internet]. 2020 [cited 2022 may 11]. available from: https://www.who.int/publications/i/item/9789240025257 3. indonesian nutrition status study report (ssgi). kementrian kesehatan indonesia. 2018; 4. papotot gs, rompies r, salendu pm. pengaruh kekurangan nutrisi terhadap perkembangan sistem saraf anak. jurnal biomedik:jbm. 2021 apr 10;13(3):266. https://doi.org/10.35790/jbm.13.3.2021.31830 5. thamaria n. penilaian status gizi pusat pendidikan sumber daya manusia kesehatan badan pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia kesehatan. 2017. 6. geleto ge, kassa t, erko b. epidemiology of soil-transmitted helminthiasis and associated malnutrition among under-fives in conflict affected areas in southern ethiopia. trop med health. 2022 dec 1;50(1). https://doi.org/10.1186/s41182-022-00436-1 7. iboh ci, ogban ei, ekpe nu, uttah fo. soil-transmitted helminth infections and nutritional status in school-aged children in rural and urban areas of cross river state, nigeria [internet]. vol. v, international journal of research and innovation in applied science (ijrias). 2020. available from: http://www.rsisinternational.org 8. djuardi y, lazarus g, stefanie d, fahmida u, ariawan i, supali t. soil-transmitted helminth infection, anemia, and malnutrition among preschool-age children in nangapanda subdistrict, indonesia. plos negl trop dis. 2021 jun 1;15(6). https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0009506 9. kurscheid j, laksono b, park mj, clements aca, sadler r, mccarthy js, et al. epidemiology of soiltransmitted helminth infections in semarang, central java, indonesia. plos negl trop dis. 2020 dec 1;14(12):1–17. https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0008907 10. world health organization. indonesia: communicable disease profile. in: world health organization [internet]. 2016 [cited 2022 dec 11]. available from: https://www.who.int/nmh/countries/idn_en.pdf?ua= 1. 11. peraturan menteri kesehatan republik indonesia. 2017. 12. annisa s, anwar c. the relationship between soil transmitted helminthes (sth) infection and nutritional status in students of state elementary school number (sdn) 200 palembang indonesia [internet]. vol. 2, bioscientia medicina. 2018. https://doi.org/10.32539/bsm.v2i2.39 13. mekonnen z, hassen d, debalke s, tiruneh a, asres y, chelkeba l, et al. soil-transmitted helminth infections and nutritional status of school children in government elementary schools in jimma town, southwestern ethiopia. sage open med. 2020 jan;8:205031212095469. https://doi.org/10.1177/2050312120954696 14. fauziah n, aviani jk, agrianfanny yn, fatimah sn. intestinal parasitic infection and nutritional status in children under five years old: a systematic review. trop med infect dis. 2022 nov 12;7(11):371. https://doi.org/10.3390/tropicalmed7110371 15. mrimi ec, palmeirim ms, minja eg, long kz, keiser j. malnutrition, anemia, micronutrient deficiency and parasitic infections among schoolchildren in rural tanzania. plos negl trop dis. 2022 mar 1;16(3). https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0010261 16. muslim a, lim yal, sofian sm, shaari sa, zain zm. nutritional status, hemoglobin level and their associations with soil-transmitted helminth infections between negritos (indigenous) from the inland jungle village and resettlement at town peripheries. plos one. 2021 jan 1;16(1 january). https://doi.org/10.1371/journal.pone.0245377 17. ni luh gede dian ratna dewi daasl. hubungan perilaku higienitas diri dan sanitasi sekolah dengan infeksi soil transmitted helminths pada siswa kelas iii-vi sekolah dasar negeri no. 5 delod peken tabanan. 2017; 18. pabalan n, singian e, tabangay l, jarjanazi h, boivin mj, ezeamama ae. soil-transmitted helminth infection, loss of education and cognitive impairment in school-aged children: a systematic review and meta-analysis. plos negl trop dis. 2018 jan 1;12(1). https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0005523 19. sulistiani ch, ani ls. gambaran status gizi anak bedasarkan pola makan dan pola asuh di sekolah dasar negeri 3 batur. jurnal medika udayana [internet]. 2020;9(7). available from: https://doi.org/10.24843/mu.2020.v09.i7.p03 20. valerie ic, made sudarmaja i, kadek swastika i. prevalensi dan faktor risiko infeksi soil-transmitted helminth (sth) pada siswa sekolah dasar sd negeri 1 sulangai, desa sulangai, kecamatan petang, kabupaten badung. 2019;8(10). available from: https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum https://doi.org/10.3390/nu14040843 https://www.who.int/publications/i/item/9789240025257 https://doi.org/10.35790/jbm.13.3.2021.31830 https://doi.org/10.1186/s41182-022-00436-1 http://www.rsisinternational.org/ https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0009506 https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0008907 https://www.who.int/nmh/countries/idn_en.pdf?ua=%201 https://doi.org/10.32539/bsm.v2i2.39 https://doi.org/10.1177/2050312120954696 https://doi.org/10.3390/tropicalmed7110371 https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0010261 https://doi.org/10.1371/journal.pone.0245377 https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0005523 https://doi.org/10.24843/mu.2020.v09.i7.p03 https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum | 77 21. tandi alla rukmanawati irul, ari mashuri y, sari y. analisis infeksi soil transmitted helminths (sth), status gizi, dan prestasi belajar siswa sdn sibela timur. smart medical journal. 2021;4(2):2621–0916. 22. rahmawati zr, hermansyah b, efendi e, armiyanti y, nurdian y. association between personal hygiene and incidence of soil-transmitted helminthiasis among workers at widodaren plantation in jember regency. vol. 6, journal of agromedicine and medical sciences. 2020. https://doi.org/10.19184/ams.v6i1.9593 23. ramadhani r, sawitri h, maulina n. hubungan infeksi soil transmitted helminths (sth) dengan status gizi pada siswa/siswi sekolah dasar negeri (sdn) 8 pusong lama kecamatan banda sakti kota lhokseumawe tahun 2022. vol. 1. 2022. https://doi.org/10.29103/jkkmm.v1i4.8284 24. menteri kesehatan republik indonesia. peraturan menteri kesehatan republik indonesia nomor 15 tahun 2017 tentang penanggulangan cacingan. 2017. 25. sofiana l, gustina e, wardani y, ayu sm, diya a, maula n. the correlation between worm infection and nutritional status among elementary school students. vol. 1, epidemiology and society health review| eshr. 2019. https://doi.org/10.26555/eshr.v1i1.933 26. annida dini kamila, ani margawati, nuryanto. hubungan kecacingan dengan status gizi dan prestasi belajar pada anak sekolah dasar kelas iv dan v di kelurahan bandaharjo semarang. journal of nutrition college. 2018; 27. mationg mls, williams gm, tallo vl, olveda rm, aung e, alday p, et al. soil-transmitted helminth infections and nutritional indices among filipino schoolchildren. plos negl trop dis. 2021 dec 1;15(12). https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0010008 28. mekonnen z, hassen d, debalke s, tiruneh a, asres y, chelkeba l, et al. soil-transmitted helminth infections and nutritional status of school children in government elementary schools in jimma town, southwestern ethiopia. sage open med. 2020 jan;8:205031212095469. https://doi.org/10.1177/2050312120954696 29. yeshanew s, bekana t, truneh z, tadege m, abich e, dessie h. soil-transmitted helminthiasis and undernutrition among schoolchildren in mettu town, southwest ethiopia. sci rep. 2022 dec 1;12(1). https://doi.org/10.1038/s41598-022-07669-4 30. degarege a, erko b, negash y, animut a. intestinal helminth infection, anemia, undernutrition and academic performance among school children in northwestern ethiopia. microorganisms. 2022 jul 1;10(7). https://doi.org/10.3390/microorganisms10071353 31. haninda p, rusdi n, kesehatan f, muhammadiyah u, barat s. hubungan personal hygiene dengan kejadian stunting pada balita. vol. 7, human care journal. 2022. https://doi.org/10.32883/hcj.v7i2.1654 32. kurscheid j, laksono b, park mj, clements aca, sadler r, mccarthy js, et al. epidemiology of soiltransmitted helminth infections in semarang, central java, indonesia. plos negl trop dis. 2020 dec 1;14(12):1–17. https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0008907 33. bishop hg, azeez z, momoh sj, abdullahi b, ujah ao, barwa j, et al. risk factors and effect of hookworm infection on anthropometric indices of school childreb in samaru, zaria, nigeria. science world journal [internet]. 2022;17(2). available from: http://www.scienceworldjournal.org 34. risa h, warganegara e, rachmawati e, mutira h. hubungan antara personal hygiene dan status gizi dengan infeksi kecacingan pada siswa sekolah dasar negeri di natar the relation of personal hygiene and nutrition status with helminthiasis on elementary school students in natar. 2018. https://doi.org/10.19184/ams.v6i1.9593 https://doi.org/10.29103/jkkmm.v1i4.8284 https://doi.org/10.26555/eshr.v1i1.933 https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0010008 https://doi.org/10.1177/2050312120954696 https://doi.org/10.1038/s41598-022-07669-4 https://doi.org/10.3390/microorganisms10071353 https://doi.org/10.32883/hcj.v7i2.1654 https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0008907 http://www.scienceworldjournal.org/ 06 muthia isna anindita.pmd 181 mutiara medika vol. 13 no. 3: 181-186, september 2013 buah lycopersicum esculentum mempunyai efek terapi terhadap penurunan jumlah akne vulgaris lycopersicum esculentum fruit have a therapeutic effect to decrease the number of acne vulgaris muthia isna anindita1, siti aminah tri susilo estri2* 1program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadyah yogyakarta 2bagian kulit dan kelamin, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadyah yogyakarta *email: aminah.siti@yahoo.com abstrak akne vulgaris merupakan gangguan folikel pilosebaseus yang menyebabkan komedo, papul dan pustul di daerah wajah. akne vulgaris banyak diderita pada masa pubertas meskipun dapat juga terjadi selain pada masa pubertas. berbagai bahan dan obat banyak dikembangkan untuk mengobati akne vulgaris termasuk tomat. tomat (lycopersicum esculentum) merupakan buah yang sudah dikenal sejak dahulu dan mudah dijumpai. l. esculentum antara lain mengandung tomatin sebagai antiinflamasi dan dapat mengobati jerawat. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian buah tomat (lycopersicum esculentum) terhadap jumlah lesi akne vulgaris. desain penelitian ini eksperimental dengan pembanding atau kontrol tanpa matching atau independen. subyek penelitian adalah mahasiswa berusia 17-23 tahun, sejumlah 11 orang pada kelompok kontrol dan 10 orang pada kelompok perlakuan (masker buah l. esculentum 1 buah/hari). pengambilan data dilakukan dengan menghitung jumlah lesi akne vulgaris yang kemudian dianalisis menggunakan mann whitney. hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan jumlah lesi akne vulgaris sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok kontrol (p=0.230), sedangkan pada kelompok perlakuan terdapat perbedaan yang bermakna (p=0.002). rerata penurunan jumlah lesi pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan pada hari ke 0-30 memperlihatkan terdapat perbedaan yang bermakna (p=0.020). disimpulkan bahwa terdapat efek terapi buah l. esculentum terhadap penurunan jumlah lesi akne vulgaris. kata kunci: buah tomat, lycopersicum esculentum, akne vulgaris abstract acne vulgaris is a pilosebaseus follicle impaired which can cause comedos, papules, and pustules around the face. acne vulgaris can be suffered by puberty although it can impact the other one. there are many materials and medicines which is developed to treat acne vulgaris including tomato. tomato (lycopersicum esculentum) consists of tomatin which has antiinflamation and cures acne vulgaris. purpose of this study is to know the effect of l. esculentum treatment for the number of acne vulgaris lesion. the design of this study is experimental with comparison. the subjects are student and there are 11 subjects in control group and 10 subjects in experimental group (l. esculentum face mask 1 fruit/day). data collection was conducted by counting the number of lesions of acne vulgaris were then analyzed using the mann whitney. the result of the study shows that there is no difference number of acne vulgaris lesions before and after experiment in control group (p=0.230), while in the experimental group there is significant difference number (p=0.002). the average space number of acne vulgaris lesions in control and experimental group 0-30 days shows that there is significant difference number (p=0.020). it was conluded that there is therapy effect of l. esculentum to decrease the number of acne vulgaris lesions. key words: tomato, lycopersicum esculentum, acne vulgaris artikel penelitian 182 muthia isna anindita, buah tomat (lycopersicum esculentum) ... pendahuluan jerawat (akne vulgaris) merupakan salah satu penyakit kulit yang banyak diderita oleh usia remaja dimasa pubertas meskipun tidak menutup kemungkinan dapat juga terjadi selain pada masa pubertas.1 pengertian akne vulgaris adalah penyakit inflamasi kronik multifaktorial pada unit pilosebaseus yang ditandai dengan kelainan kulit berupa komedo, papul, pustul, nodul, dan pseudokista.1 tomat (lycopersicum esculentum) merupakan buah yang sudah dikenal sejak dahulu dan sangat mudah dijumpai.2 dalam buah tomat (lycopersicum esculentum) banyak terkandung zat-zat yang berguna bagi tubuh manusia.3 zat-zat yang terkandung di dalamnya antara lain vitamin c, vitamin a (karoten), berbagai mineral dan lycopene.3 tomat banyak sekali dimanfaatkan dalam industri kecantikan. banyak masker dan pil anti-penuaan yang berbahan dasar tomat. bukan tanpa alasan tomat digunakan sebagai bahan dasar karena pigmen lycopene yang terkandung di dalamnya memang terbukti efektif sebagai antioksidan yang mampu melawan penuaan dini.5 zat lain seperti tomatin di dalam tomat juga sangat bermanfaat sebagai zat antiinflamasi.6 zat ini diyakini mampu menyembuhkan luka dan mengobati jerawat.6 penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian buah tomat (lycopersicum esculentum) terhadap jumlah lesi akne vulgaris. bahan dan cara penelitian ini tergolong penelitian eksperimental desain paralel tanpa matching atau independen karena merupakan suatu perbandingan antarkelompok yang bersifat independen.7 populasi penelitian ini adalah mahasiswa fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadyah yogyakarta tahun 2012 berjumlah 11 orang. teknik pengambilan sampel dengan cara consecutive sampling yaitu subyek yang memenuhi syarat penelitian akan direkrut sampai batas sampel terpenuhi.8 sebelum pengambilan sampel ditentukan kriteria inklusi maupun kriteria eksklusi agar karakteristik sampel tidak menyimpang dari populasinya. mahasiswa perempuan/laki-laki berusia 17-23 tahun, memiliki akne vulgaris derajat ringan sampai sedang menurut lehman et al. (2002),10 kondisi kesehatan umum baik dan tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan pemicu akne vulgaris seperti golongan danazol, mengerti dan memahami prosedur penelitian, bersedia menandatangani formulir persetujuan penelitian dan bersedia menggunakan masker buah tomat satu kali sehari selama 30 hari. penelitian dilakukan di fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan (fkik) universitas muhammadiyah yogyakarta selama kurang lebih satu tahun sampai penelitian ini selesai yaitu bulan maret 2013. variabel bebas yaitu masker buah l. esculentum, variabel terikat yaitu jumlah lesi akne vulgaris, dan variabel pengganggu yaitu kosmetik dan higienitas. alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi informed consent atau formulir persetujuan keikutsertaan dalam penelitian, kuesioner, kartu catatan harian untuk mencatat ketaatan subyek penelitian, buah l. esculentum dengan tingkat kematangan cukup dan ukuran sedang, kaca pembesar, lampu sinar putih dan sabun bayi. penelitian diawali dengan penghitungan jumlah lesi akne vulgaris, baik lesi inflamasi, noninflamasi, maupun lesi total akne vulgaris menurut lehmann et al. (2002),10 dengan kaca pembesar. 183 mutiara medika vol. 13 no. 3: 181-186, september 2013 pemeriksaan melibatkan lima pemeriksa yang dipilih dari mahasiswa fkik umy angkatan 20092010 yang sebelumnya telah dilatih untuk menilai jumlah akne vulgaris oleh dokter spesialis kulit yang telah berpengalaman dalam menangani kasus akne vulgaris. subyek diberikan buah l. esculentum sejumlah 30 buah untuk 30 hari yang diberikan sekitar tiga hari sekali dengan tujuan untuk menghindari adanya pembusukan. cara penggunaan masker buah l. esculentum yaitu wajah dibersihkan dengan sabun bayi kemudian satu buah l. esculentum dipotong tipis dan ditempelkan secara merata pada wajah sebagai masker wajah selama kurang lebih 10-15 menit. dilakukan setiap hari selama satu bulan menjelang tidur, subyek diminta untuk mengisi kartu catatan harian setiap hari selama penelitian berlangsung. penghitungan jumlah lesi akne vulgaris baik lesi inflamasi, noninflamasi, maupun lesi total akne vulgaris dilakukan lagi pada hari ke-31 dengan pemeriksa yang telah dipilih sebelumnya. analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji t berpasangan untuk mengetahui perbedaan jumlah rata-rata akne vulgaris sebelum dan sesudah perlakuan. uji t (independent sample t test) untuk membandingkan perbedaan rata-rata akne vulgaris antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil yaitu seperti yang terlihat pada tabel 1. tabel 1. menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jumlah rerata lesi pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan pada hari 0-15 dan 0-30. tabel 2. menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan jumlah rerata yang signifikan pada hari ke 0-15 dan 0-30 pada kelompok kontrol dan terdapat perbedaan jumlah rerata yang signifikan pada hari ke 0-15 dan 0-30 pada kelompok perlakuan. tabel 3. menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan penurunan jumlah lesi antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan pada hari ke 0-15 dan terdapat perbedaan penurunan jumlah lesi tabel 2. analisis paired sample-t test kelompok kontrol dan perlakuan. hari ke kelompok kontrol kelompok perlakuan rerata jumlah lesi beda jumlah p rerata jumlah lesi beda jumlah p 0 53.0 35.8 15 52.7 1.7 0.568 29.6 6.2 0.004 30 47.2 5.8 0.230 19.8 16 0.002 tabel 3. analisis data independent sample-t test dan mann whitney independent sample-t test (hari ke 0 -15) mann whitney (hari ke 0-30) beda rerata jumlah p beda rerata jumlah p 6.2 0.209 (p>0.05) 16 0.020 (p<0.05) tabel 1. distribusi frekuensi karakteristik responden karakteristik responden kelompok kontrol kelompok perlakuan n % n % jenis kelamin pria 9 81.82 6 54.54 wanita 2 18.18 5 45.45 usia 17-20 3 18.18 1 9.09 21-23 9 81.82 10 90.90 184 muthia isna anindita, buah tomat (lycopersicum esculentum) ... antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan pada hari ke 0-30. diskusi akne vulgaris merupakan gangguan folikel pilosebaseus yang menyebabkan komedo, papul dan pustul yang tempat predileksi utamanya terdapat pada wajah, punggung, bahu, dan dada.11 ada empat faktor utama yang terlibat dalam timbulnya akne vulgaris: meningkatnya produksi sebum, hiperkeratinisasi folikuler, adanya bakteri p. acnes, dan adanya mediator peradangan.12 responden pada penelitian ini memiliki rentang usia antara 17-23 tahun dengan jenis kelamin perempuan dan laki-laki. prevalensi puncak penderita akne vulgaris adalah sekitar usia 14-19 tahun.13 akne vulgaris banyak diderita oleh usia remaja di masa pubertas meskipun tidak menutup kemungkinan dapat juga terjadi selain pada masa pubertas.1 akne vulgaris dapat dijumpai pada usia pubertas hingga 30 tahun karena hormon androgen masih terus meningkat sehingga menyebabkan pembesaran kelenjar sebasea dan meningkatkan produksi sebum.14 semua responden pada penelitian ini memiliki akne vulgaris derajat ringan sampai sedang. isotretionin adalah satu-satunya obat yang dapat mengatasi seluruh penyebab timbulnya akne vulgaris dan menyembuhkan akne vulgaris derajat berat.10 oleh karena itu, peneliti menggunakan responden yang memiliki akne vulgaris derajat ringan sampai derajat berat berdasarkan kriteria lehmann et al. (2002).10 responden pada penelitian ini memiliki keadaan umum yang baik serta tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan pemicu akne vulgaris seperti obat golongan hormonal testosteron (danazol) yaitu steroid, progestins, kontrasepsi oral karena obat tersebut dapat meningkatkan sekresi androgen sehingga dapat meningkatkan produksi sebum dan menyebabkan timbulnya akne vulgaris.15 hasil pada kelompok perlakuan menunjukkan efek terapi buah tomat (lycopersicum esculentum) terhadap jumlah lesi akne vulgaris. hal ini berarti bahwa kandungan antioksidan antara lain vitamin e, vitamin c, vitamin b, vitamin a dan beberapa mineral seperti selenium dapat membantu merawat akne vulgaris, mencegah radikal bebas yang membahayakan kulit dan meningkatkan sistem kekebalan pada kulit yang dapat membantu menghilangkan akne vulgaris.6 perbandingan hasil antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan pada hari ke 0-30 menunjukkan perbedaan penurunan rerata jumlah lesi akne vulgaris selama 30 hari. hal ini berkaitan dengan akne vulgaris membutuhkan waktu yang cukup lama untuk pengobatan dan perawatannya.10 hasil penelitian tersebut sesuai dengan hipotesis penelitian yakni buah l. esculentum mempunyai efek terapi terhadap akne vulgaris dengan menurunkan jumah lesi akne vulgaris derajat ringan sampai sedang. hal ini oleh karena kandungan nutrisi pada tomat diyakini dapat menyempurnakan perawatan yang diberikan oleh dokter terhadap akne vulgaris.4 tomat menyediakan vitamin c dan beta-caroten dalam jumlah yang besar, berbagai macam mineral yang sangat bermanfaat, serta vitamin e dalam jumlah yang cukup baik.3 zat lain seperti tomatin di dalam tomat juga sangat bermanfaat sebagai zat antiinflamasi. zat ini diyakini mampu menyembuhkan luka dan mengobati jerawat. selain itu, terkandung pula natural astringent yang 185 mutiara medika vol. 13 no. 3: 181-186, september 2013 secara otomatis dapat mengancangkan pori-pori serta mengurangi pengeluaran minyak berlebih pada kulit. diet sangat berpengaruh dalam kejadian dan keparahan akne vulgaris karena kandungan nutrisi pada buah tomat dapat memperbaiki struktur kulit dengan sangat baik.4 pada awal penelitian responden terbagi merata dalam kelompok kontrol dan kelompok perlakuan masing-masing sebanyak 11 orang. satu responden pada kelompok perlakuan dinyatakan drop out pada saat penelitian karena mengalami iritasi. iritasi yang terjadi disebabkan oleh karena zat asam yang terkandung pada buah tomat. keasaman pada buah tomat dapat menyebabkan iritasi kulit dan bahkan dapat menyebabkan dermatitis kontak alergi. kontak langsung dengan zat yang bersifat asam dapat menyebabkan gatal dan kemerahan atau eksema pada kulit yang hipersensitif.16 hambatan dalam penelitian ini adalah buah l. esculentum merupakan buah yang mudah mengalami pembusukan sehingga peneliti membagikan buah tomat dengan tingkat kematangan yang berbeda kepada subyek penelitian untuk menghindari adanya pembusukan dikemudian hari. waktu perawatan masker buah l. esculentum yang cukup lama merupakan hambatan kedua dalam penelitian ini sehingga peneliti harus terus memberikan dukungan serta mengingatkan responden untuk mematuhi jalannya penelitian. hambatan ketiga yaitu waktu pemeriksaan penghitungan jumlah lesi akne vulgaris yang cukup sulit untuk diagendakan sehingga peneliti harus memberikan informasi tentang waktu pemeriksaan tiga hari sebelum waktu yang telah ditentukan baik kepada pemeriksa maupun kepada subyek penelitian untuk menghindari adanya penguluran waktu pemeriksaan. kelemahan dalam penelitian ini adalah pertama, tidak dilakukannya pemeriksaan jenis kulit responden sehingga faktor risiko berupa produksi sebum tidak dapat dikendalikan. kelemahan kedua, tidak dipertimbangkannya riwayat keluarga yang menderita akne vulgaris sehingga kemungkinan terjadi hiperkeratinisasi folikuler tidak dapat dihindarkan. ketiga, tidak ada batasan jenis kelamin sehingga tidak mempertimbangkan faktor hormonal yang mempengaruhi timbulnya akne vulgaris. namun ketiga kelemahan tersebut tampaknya tidak berpengaruh terhadap jalannya penelitian karena hasil penelitian sudah mendukung hipotesis. simpulan terdapat efek terapi buah l. esculentum terhadap penurunan jumlah lesi akne vulgaris. perlu penelitian lanjutan tentang kandungan buah tomat (lycopersicum esculentum) yang dihubungkan dengan penyakit kulit seperti eritema dan penuaan dini. daftar pustaka 1. sanjay, r. acne vulgaris treatment: the current scenario. indian j dermatol, 2011; 56(1): 7-10. 2. tugiyono, h. bertanam tomat. jakarta: penebar swadaya. 1997. 3. palozza p, parrone n, catalano a, simone r. tomato lycopene and inflamatory cascade: basic interaction and clinical implication. curr med chem. 2010; 17 (23): 2547-2563. 4. ryan, a. (2011, 12 september). all about acne and nutrition. precision nutrition coaching. diakses 5 april 2012, dari www. precision nutrition.com/all-about-acne-nutrition 186 muthia isna anindita, buah tomat (lycopersicum esculentum) ... 5. stahl w, heinrich u, wiseman s, eichler o, sies h, tronnier h. dietary tomato paste protects against ultraviolet light-induced erythema in humans. the j nutr, 2001; 22: 14491451. 6. ishida, bk., chapman mh. a comparison of carotenoid content and total antioxidant activity in catsup from several commercial sources in the united states. j agric food chem, 2004; 52 (26): 8017-8020. 7. sastroasmoro, s. & ismael, s. dasar-dasar metodologi penelitian klinis. edisi 2. jakarta: sagung seto. 2002. 8. dahlan, ms. besar sampel dan cara pengambilan sampel dalam penelitian kedokteran dan kesehatan. edisi 3. jakarta: salemba medika. 2010. 9. notoatmodjo, s. metodologi penelitian kesehatan. ed. rev. jakarta: rineka cipta. 2010. 10. lehmann hl, robinson ka, andrews js, holloway v, goddman sn. acne therapy: a methodological review. j. am. acad. dermatol, 2002; 47 (2): 231-240 11. truter, i. acne vulgaris. sa pharmaceutical journal, 2009; 76 (3): 12-19 12. fitzpatrick, j.e. & morelli, j.g. dermatology secrets in color. (3rd. ed.). philadelphia, pa: mosby. 2007. 13. adityan, b & thappa dm. 2009. profile of acne vulgaris –a hospital – based study-from south indian. indian j dermatol venereol leprol. 2009; 75 (3): 272-278. 14. gould, dj & harrison pv. prevalence of facial acne vulgaris in late adolescence and in adults. br med j, 1979; 1 (6171): 1109–1110. 15. degitz, k., placzek, m., borelli, c., plewig, g., pathophysiology of acne. journal der deutschen dermatologischen gesellschaft, 2007; 5 (4): 316-323. 16. marks, d. (2011, 26 februari). skin rash from high acidic foods. live strong foundation. diakses 26 februari 2012 dari 17. http://www.livestrong.com/article/313607-skinrash-from-high-acidic-foods/ artikel penelitian mutiara medika vol. 14 no. 1: 100-105, januari 2014 100 perbandingan tingkat kecemasan primigravida dan multigravida dalam menghadapi persalinan di wilayah kerja puskesmas wirobrajan comparison of anxiety level primigravida and multigravida in facing the child birth in wirobrajan primary health centre hidayatul kurniawati1*, alfaina wahyuni2 1bagian farmakologi fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta 2bagian obstetri dan ginekologi fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta *email : kurniawati.hidayatul@gmail.com abstrak kecemasan adalah pengalaman tidak menyenangkan yang terjadi ketika seseorang merasa khawatir atau ketakutan. diperkirakan 2%-4% diantara penduduk di suatu fase dari kehidupannya pernah mengalami kecemasan. sebagai seorang perempuan, kehamilan dan menghadapi persalinan merupakan salah satu fase yang dapat menyebabkan kecemasan. dibandingkan dengan primigravida, multigravida lebih berpengalaman dalam menghadapi persalinan. tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan apakah terdapat perbedaan tingkat kecemasan primigravida dan multigravida dalam menghadapi persalinan. penelitian dilaksanakan di puskesmas wirobrajan yogyakarta. jenis penelitian adalah observasional dengan teknik purposif sampling. tingkat kecemasan berupa data interval yang diukur menggunakan analog anxiety scale (aas). sampel dengan jumlah 30 responden yang memenuhi kriteria inklusi. data dianalisis dengan independent-sample t test. hasil penelitian diperoleh bahwa responden primigravida dengan kecemasan ringan sebanyak 4 responden (13,33%), cemas sedang sebanyak 3 responden (10%), dan cemas berat sebanyak 1 responden (3,34%). untuk responden multigravida hanya mengalami cemas ringan dan cemas sedang masing-masing 1 responden (3,34%). nilai signifikansi (p) 0,05. disimpulkan bahwa primigravida memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan multigravida dalam menghadapi persalinan. kata kunci: kecemasan, persalinan, primigravida, multigravida abstract anxiety is unpleasant experience that happen when someone feel worry or threatening. approximately 2%-4% of population suffers from anxiety in one phase of their life. as a woman, pregnancy and facing the child birth is one phase that can caused anxiety. compare with primigravida, multigravida have more experience in facing the child birth. this research was to know whether there was a differentiation of anxiety level between primigravida and multigravida in facing the child birth. the research was done in wirobrajan primary health care. the study was observational with purposive sampling technique. the anxiety level was interval data that measured using analog anxiety scale (aas). samples with a number of 30 respondents who is appropriate with the inclusion criteria. data was analyzed by independent-sample t test. this research found that primigravida with mild anxious there were 4 respondents (13,33%), 3 respondents (10%) with moderate anxious, and 1 respondent (3,34%) with severe anxious. for multigravida, there were 1 respondent (3,34%) with mild anxious and moderate anxious. the (p) value was 0,05. it can be concluded that anxiety level of primigravida is higher than multigravida in facing the child birth. key words: anxiety, facing the child birth, primigravida, multigravida 101 pendahuluan kecemasan merupakan reaksi emosional terhadap penilaian individu yang subyektif, dipengaruhi oleh alam bawah sadar dan tidak diketahui penyebabnya secara khusus. diperkirakan jumlah mereka yang menderita kecemasan ini baik akut maupun kronik mencapai 5% dari jumlah penduduk, dengan perbandingan antara wanita dan pria 2 dibanding 1.1,2 kecemasan dapat timbul karena berbagai faktor yang menekan kehidupan diantaranya dalam menghadapi proses kehamilan. kebanyakan wanita hamil mengalami perubahan fisik dan emosional yang kompleks, dimana memerlukan adaptasi terhadap penyesuaian pola hidup dan menganggap bahwa kehamilan adalah peristiwa kodrati yang harus dilalui tetapi sebagian lagi menganggap sebagai peristiwa khusus yang menentukan kehidupan selanjutnya. konflik antara keinginan prokreasi, kebanggaan yang ditumbuhkan dari norma-norma sosiokultural dan persoalan dalam kehamilan itu sendiri dapat merupakan pencetus berbagai reaksi psikologis, mulai dari reaksi emosional ringan hingga ke tingkat gangguan jiwa yang berat.3,4 kehamilan yang dialami oleh setiap wanita pasti akan menimbulkan banyak pengaruh, baik fisik maupun psikologis. bagi setiap wanita, kehamilan yang dialaminya secara psikologis memberikan kepercayaan diri bahwa ia telah menjadi wanita sejati. secara sosial, ia akan merasa lebih percaya diri dalam kehidupan bermasyarakat. tetapi di sisi lain kehamilan membawa pengaruh yang tidak bisa begitu saja diabaikan. secara fisik ibu hamil akan merasa letih, lesu, payah dan sebagainya, sedangkan secara psikologis ibu hamil akan dibayangi dan dihantui rasa cemas dan takut akan hal-hal yang mungkin akan terjadi baik pada dirinya sendiri maupun pada bayinya.3,5 memasuki trimester tiga dari umur kehamilan, stres pada ibu hamil akan meningkat kembali. hal itu dapat terjadi dikarenakan kondisi kehamilan semakin membesar dan semakin bertambah dekatnya waktu persalinan. perasaan cemas muncul dikarenakan ibu hamil memikirkan resiko kehamilan, proses melahirkan, dan kondisi bayi yang akan dilahirkan. menghadapi persalinan merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan kecemasan. proses melahirkan bayi tidak selalu somatis sifatnya, tetapi bersifat psikosomatis sebab banyak elemen psikis ikut mempengaruhi kelancaran atau kelambatan proses melahirkan bayi tersebut.3,6,7 ibu yang pernah hamil dan melahirkan (multigravida) sudah berpengalaman dalam menghadapi persalinan, maka mereka lebih bisa memahami dan akan lebih tenang. pada ibu yang belum pernah hamil dan melahirkan (primigravida), persalinan merupakan hal yang asing bagi mereka. apalagi bila mereka pernah mendengar trauma atau kegagalan dalam menghadapi persalinan dapat pula menimbulkan kecemasan.7 kecemasan mudah dinilai melalui 6 gejala psikis, yaitu cemas, tegang, takut, insomnia, kesulitan berkomunikasi atau gangguan intelektual, perasaan depresi atau sedih melalui instrumen analog anxiety scale (aas) yang merupakan modifikasi dari hamilton rating scale for anxiety (hrsa). hrsa merupakan suatu skala anxietas yang 102 standar dan dapat diterima secara internasional.2 tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adakah perbedaan tingkat kecemasan antara primigravida dan multigravida dalam menghadapi persalinan di wilayah kerja puskesmas wirobrajan. bahan dan cara penelitian ini menggunakan metode observasional (non eksperimental) dengan desain cross sectional. penelitian dilaksanakan di wilayah kerja puskesmas wirobrajan yogyakarta. subyek yang diteliti adalah 30 responden meliputi primigravida dan multigravida yang memenuhi kriteria inklusi bisa membaca dan menulis, bersedia menjadi subyek penelitian, dan bertempat tinggal wilayah kerja puskesmas wirobrajan. jenis data yang dikumpulkan adalah data primer yang diperoleh langsung dari responden dengan metode kuesioner dan wawancara langsung kepada responden. kecemasan dinilai menggunakan instrumen analog anxiety scale (aas) yang merupakan modifikasi dari hamilton rating scale for anxiety (hrsa). setelah data diperoleh, dilakukan penggolongan pada tingkat manakah kecemasan dari primigravida dan multigravida berdasarkan skor yang diperoleh. data dianalisa dengan independent-sample t test. hasil karakteristik responden penelitian (15 primigravida dan 15 multigravida) meliputi umur, tingkat pendidikan dan pendapatan dapat dilihat di tabel 1. usia responden terendah adalah 17 tahun dan usia tertinggi adalah 39 tahun. tingkat pendidikan responden sebagian besar adalah sma (16 responden). responden dengan penghasilan rendah sebanyak 12 orang (40%), sedang 10 orang (33,33%) dan tinggi sebanyak 8 orang (26,67%). berdasarkan instrumen analog anxiety scale (aas), didapatkan data mengenai tingkat kecemasan yang disajikan pada tabel 2. primigravida yang tidak cemas sebanyak 7 responden (46,67%), cemas ringan sebanyak 4 responden (26,66%), cemas sedang sebanyak sebanyak 3 responden (20%) dan cemas berat sebanyak 1 responden (6,67%). sebagian besar multigravida tidak mengalami kecemasan yaitu sebanyak 13 responden (86,66%), sedangkan ibu hamil yang mengalami cemas ringan dan cemas sedang masing-masing sebanyak 1 responden (6,67%). pada kelompok primigravida maupun mutigravida dengan tingkat kecemasan panik. tabel 2. tingkat kecemasan primigravida dan multigravida di wilayah kerja puskesmas wirobrajan tingkat kecemasan primigravida multigravida n % n % tidak cemas 7 46,67 13 86,66 cemas ringan 4 26,66 1 6,67 cemas sedang 3 20 1 6,67 cemas berat 1 6,67 0 0 panik 0 0 0 0 tabel 1. karakteristik responden primigravida dan multigravida di wilayah kerja puskesmas wirobrajan karakteristik responden primigravida multigravida n % n % usia <21 tahun 2 13,33 0 0 21 – 30 tahun 11 73,33 9 60 31 – 40 tahun 2 13,33 6 40 tingkat pendidikan smp 3 20 3 20 sma 9 60 7 46,67 pt 3 20 5 33,33 pendapatan rendah 8 53 4 26,67 sedang 5 33 5 33,33 tinggi 2 13 6 40 103 hasil uji analisis dengan independentsample t test didapatkan tingkat kecemasan primigravida dalam menghadapi persalinan di wilayah kerja puskesmas wirobrajan lebih tinggi dibandingkan multigravida dengan nilai p 0,033. diskusi pada penelitian ini didapatkan hasil tingkat kecemasan primigavida di wilayah kerja puskesmas wirobrajan dalam menghadapi persalinan lebih tinggi dibandingkan multigravida. hal tersebut sesuai dengan tingginya angka prevalensi kecemasan primigravida pada beberapa daerah dan negara. kecemasan merupakan kondisi yang biasa muncul pada kehamilan. pada setiap trimester kehamilan terdapat faktor-faktor yang dapat menyebabkan kecemasan.7,8,9 tingkat kecemasan dalam menghadapi kelahiran bayi pada wanita yang hamil untuk pertama kali lebih tinggi daripada wanita yang sudah hamil untuk kedua kalinya. menghadapi kelahiran bayi pada wanita hamil yang kedua atau lebih merupakan pengalaman biasa yang pernah dialami sebelumnya. selain itu, timbulnya kecemasan pada primigravida dipengaruhi oleh perubahan fisik yang terjadi selama kehamilannya. primigravida tidak terbiasa dengan perut yang semakin membesar dan badan yang bertambah gemuk. perubahan fisik tersebut menyebabkan kondisi psikis dan emosi menjadi tidak stabil sehingga menumbuhkan kekhawatiran yang terusmenerus sampai akhir kehamilannya. periode kehamilan dan pasca persalinan sangat mempengaruhi timbulnya gangguan kejiwaan seperti kecemasan maupun gangguan mood.10,11,12 selain faktor tersebut diatas, banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya kecemasan yaitu status pernikahan, status sosial dan ekonomi, usia, tingkat pengetahuan tentang kehamilan dan persalinan serta kepercayaan diri. status pernikahan sangat berhubungan dengan penerimaan ibu terhadap kehamilannya. kehamilan yang terjadi sebelum pernikahan akan menyebabkan seorang wanita merasa bersalah dan mempengaruhi kondisi psikisnya. status sosial dan ekonomi juga sangat mempengaruhi timbulnya kecemasan. kecemasan timbul karena ibu memikirkan biaya persalinan dan pemeliharaan bayi. ibu hamil dengan tingkat ekonomi rendah lebih rentan mengalami kecemasan.5,9,10 hasil penelitian, tingkat penghasilan primigravida paling banyak berpenghasilan rendah yaitu sebanyak 8 responden (53,33%). individu yang cukup umur dan memiliki kematangan kepribadian lebih sukar mengalami gangguan akibat stress. individu yang matur mempunyai daya adaptasi yang besar terhadap stress yang timbul. tingkat kecemasan dengan kehamilan pada ibu usia muda dan secara statistik hubungan ini bermakna.13,14 data penelitian diperoleh 1 responden (3,34%) yang mengalami kecemasan berat. responden tersebut berusia paling muda yaitu 17 tahun. pada kelompok multigravida tidak ada responden yang berusia < 30 tahun. salah satu faktor yang turut mempengaruhi timbulnya kecemasan adalah tingkat pengetahuan mengenai kehamilan dan persalinan. apabila tingkat pengetahuan cukup tinggi, maka ibu hamil akan lebih mudah menerima perubahan yang ada dalam dirinya dan dapat menjalani kehamilan dengan 104 perasaan tenang. tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini kurang bisa memberi gambaran bagaimana tingkat pengetahuan mereka terhadap kehamilan dan persalinan.9,12 rasa percaya diri merupakan kekuatan psikologis atau mental yang dapat membantu mengurangi rasa cemas, kuatir, dan takut selama hamil dan melahirkan. wanita hamil yang kurang percaya diri akan merasa kurang yakin terhadap kemampuan diri sendiri, mudah merasa cemas, tidak tenang dan pesimis dalam menghadapi kelahiran bayi.14,15,16,17 simpulan tingkat kecemasan primigravida lebih tinggi dibandingkan multigravida dalam menghadapi persalinan di wilayah kerja puskesmas wirobrajan. daftar pustaka 1. stuart dan sudden. buku saku keperawatan jiwa. jakarta : egc. 2007. 2. hawari, d. stres, cemas, dan depresi. jakarta: fakultas kedokteran universitas indonesia. 2001. 3. saifuddin, a.b. buku acuan nasional nasional pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. jakarta: yayasan bina pustaka. 2006. 4. frederico gg, helio zj. the hypothalamic-pituitary-adrenal axis in anxiety and panic. psychology & neuroscience, 2010; 3 (1): 3 – 8. 5. sayil, m., gure, a., ucanok, z. first time mothers' anxiety and depressive symptoms across the transition to motherhood: associations with maternal and environmental characteristics. women health. 2006; 44 (3): 61-77. 6. hofbreg k, ward mr. fear of pregnancy and childbirth. postgrad med j, 2003; 79: 505–510. 7. gayathri kv, raddi sa, metgud mc. effectiveness of planned teaching program on knowledge and reducing anxiety about labor among primigravidae in selected hospitals of belgaum, karnataka. south asian federation of obstetrics and gynecology, 2010; (2): 163168. 8. shodiqoh er, syahrul f. perbedaan tingkat kecemasan dalam menghadapi persalinan antara primigravida dan multigravida. jurnal berkala epidemiologi, 2014; 2 (1): 141-150. 9. madhavanprabhakaran gk, souza ms, nairy ks. prevalence of pregnancy anxiety and associated factors. international journal of africa nursing sciences, 2015; 3:1–7. 10. körükcü o, firat mz, kukulu k. relationship between fear of childbirth and anxiety among turkish pregnant women. procedia social and behavioral sciences, 2010; 5: 467–470. 11. karla, h. pregnancy-induced obsessive compulsive disorder: a case report. ann gen psychiatry, 2005; 4(12). 12. lopukhova og, kashshapova ev. fear of childbirth in pregnant women: external and internal factors. psychology in russia: state of the art, 2015; 8(4):114125. 13. jeyanthi i, kavitha p. anxiety and stress among the primigravida and the multigravidaa comparative study. 105 cauvery research journal, 2008; 1 (2): 126-131 14. septiyanti, l. hubungan antara tingkat kecemasan dengan kehamilan pada ibu usia muda di rumah sakit pku muhammadiyah yogyakarta. program s1 keperawatan fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta. yogyakarta : tidak dipublikasikan. 2004. 15. johan ch, bussel v, spitz b, demyttenaere k. anxiety in pregnant and postpartum women. an exploratory study ofthe role of maternal orientations. j affective disorders, 2009; 114: 232-242 16. mulik ms, salunkhe j, salunkhe ah. a study to assess knowledge and effectiveness of structured teaching programme on child birth process among primipara mothers. ijhsr, 2014; 4 (11): 174-178. 17. toohill j, fenwick j, gamble j, creedy dk, buist a, ryding el. psycho-social predictors of childbirth fear in pregnant women: an australian study. open journal of obstetrics and gynecology, 2014; 4: 531-543. http://www.scirp.org/journal/articles.aspx?searchcode=jennifer++fenwick&searchfield=authors&page=1 http://www.scirp.org/journal/articles.aspx?searchcode=jenny++gamble&searchfield=authors&page=1 http://www.scirp.org/journal/articles.aspx?searchcode=debra+k.++creedy&searchfield=authors&page=1 http://www.scirp.org/journal/articles.aspx?searchcode=anne++buist&searchfield=authors&page=1 http://www.scirp.org/journal/articles.aspx?searchcode=elsa+lena++ryding&searchfield=authors&page=1 nina dwi lestari, analisis determinan status gizi ... artikel penelitian 22 analisis determinan status gizi balita di yogyakarta determinant analysis nutritional status children under five years in yogyakarta nina dwi lestari departemen jiwa dan komunitas, program studi ilmu keperawatan, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta email: gavinnaufal@yahoo.com abstrak masalah gizi kurang balita merupakan masalah aktual di wilayah puskesmas sentolo 1. tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi status gizi balita. penelitian bersifat observasional menggunakan cross sectional. responden balita 12-59 bulan sebanyak 155 orang. data determinan status gizi diperoleh melalui kuesioner, sedangkan status gizi ditentukan berdasarkan indeks berat badan/umur. hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara usia balita, riwayat pemberian asi, asupan makanan, persepsi ibu, pola pengasuhan dengan status gizi balita. faktor dominan yang mempengaruhi status gizi adalah asupan makanan. kata kunci:determinan status gizi, balita abstract under nutrition was still a prior problem in sentolo 1 public health center. the objectives of this study were to determine nutritional status in children under five years and related factors. this study was an observational use cross sectional study was conducted with 155 children under five year. data is determinants of nutritional status was assessed using anthropometric measurement. there was a significant association between child’s age, exclusife breastfeeding, child’s dietary intake, caregivers’ practice and mother’s perception with child’s nutritional status and child’s dietary energy intake was the most factor that significant correlated. key words: determinants of nutritional status, child mailto:gavinnaufal@yahoo.com mutiara medika vol. 15 no. 1: 22 29, januari 2015 23 pendahuluan masalah gizi kurang dan gizi buruk pada balita masih menjadi masalah mendasar di dunia. who (2013),1 jumlah penderita kurang gizi di dunia mencapai 104 juta anak. riskesdas (2013),2 prevalensi balita dengan berat kurang (under weight) berdasarkan indikator bb/u adalah berjumlah 19,6% yang terdiri dari 5,7% balita dengan gizi buruk dan 13,9% balita dengan gizi kurang. berdasarkan data dinkes kab. kulon progo (2014),3 jumlah balita gizi kurang adalah sebanyak 10,13% dengan total balita gizi buruk tertinggi di wilayah puskesmas sentolo 1 adalah sebanyak 18 kasus. masalah ini dimungkinkan terjadi karena interaksi dari beberapa faktor diantaranya asupan makanan yang tidak adekuat, pemberian asi yang tidak ekslusif, penyakit infeksi yang diderita balita, pola pengasuhan keluarga, pelayanan kesehatan, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan ibu, persepsi ibu terkait gizi, sosial ekonomi yang rendah dan budaya.4, 5 penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi balita di wilayah puskesmas sentolo 1, kulon progo, yogyakarta. bahan dan cara penelitian observasional dengan desain penelitian cross sectional dengan jumlah responden 155 orang yang terdiri dari balita usia 12-59 bulan beserta keluarganya, yang diambil dengan metode cluster sampling. balita responden berdomisili di wilayah kerja puskesmas sentolo i, kulon progo, yogyakarta. variabel bebas pada penelitian ini adalah usia balita, jenis kelamin, riwayat penyakit infeksi, pendidikan ibu, status perekonomian keluarga, jumlah anggota keluarga, asupan makanan, persepsi ibu terkait status gizi, pola pengasuhan keluarga terkait gizi, pelayanan kesehatan dan budaya. variabel terikat pada penelitian ini adalah status gizi. instrumen pengambilan data variabel terikat menggunakan kuesioner yang dikembangkan peneliti. variabel asupan makanan diukur menggunakan foodrecords selama 2 hari berturut-turut. variabel status gizi diukur berdasarkan indeks antropometri bb/u, dengan klasifikasi status gizi baik: -2 sd s.d +2 sd. status gizi kurang: <-2 sd s.d <-3 sd, status gizi buruk: ≤ -3 sd. status gizi dikelompokkan menjadi gizi baik dan gizi kurang (gizi kurang dan gizi buruk). analisis data meliputi univariat, bivariat dan multivariat. analisis bivariat menggunakan chi square dan analisis multivariat menggunakan regresi logistik berganda. penelitian ini memperhatikan aspek etik dalam pengambilan data meliputi menghargai harkat dan martabat manusia, kemanfaatan, keadilan dan informed consent dan telah lolos kaji etik hasil tabel 3. menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan secara bermakna dengan status gizi balita adalah variabel usia balita, riwayat pemberian asi, asupan makanan, persepsi ibu terkait status gizi balita dan pola pengasuhan keluarga terkait gizi (p value<0,05). berdasarkan analisis menggunakan regresi logistik berganda diperoleh bahwa variabel yang paling dominan mempengaruhi status gizi balita adalah asupan makanan (or=11,927). asupan nina dwi lestari, analisis determinan status gizi ... 24 makanan yang kurang baik berpeluang 11,9 kali lebih besar mendapatkan status gizi kurang dibandingkan dengan asupan makan yang baik. diskusi hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan status gizi balita dengan p value 0,014 (p value <0,05) dengan nilai or sebesar 3,347. balita yang berusia 12-36 bulan berisiko 3,34 kali lebih besar mendapatkan gizi kurang dibandingkan dengan balita yang berusia 37-59 bulan. stanhope dan lancaster (2012),6 menjelaskan bahwa balita memiliki faktor risiko risiko biologi yang meliputi faktor genetik atau fisik yang ikut berperan dalam timbulnya risiko tertentu yang mengancam kesehatan. usia balita yang masih muda menyebabkan sistem kekebalan tubuh yang belum berkembang. hal ini menyebabkan balita lebih mudah terkena masalah nutrisi. hasil analisis hubungan antara jenis kelamin dengan status gizi balita menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan status gizi balita (p value= 0,528). hal ini disebabkan karena tidak adanya perbedaan pandangan nilai yang dianut keluarga terhadap keberadaan seorang anak laki-laki dan perempuan di wilayah ini, sehingga perlakuan keluarga dalam hal pola asuh, pemberian makan, kesempatan mengakses sumber-sumber kesehatan adalah sama untuk anak laki-laki dan perempuan. menurut unicef (2011),7 gender sangat berkaitan dengan nilai (value) terhadap seorang anak. ketidaksetaraan gender terjadi apabila terdapat penilaian yang berbeda antara anak laki-laki dan perempuan dalam suatu komunitas tabel 2. karakteristik keluarga karakteristik keluarga frekuensi prosentase pendidikan ibu rendah 58 37,4% tinggi 97 62,6% total 155 100% status ekonomi = 15 tahun sebesar 18,8 %, kurang makan buah dan sayur sebesar 93,6%, kurang aktifitas fisik pada penduduk >10 tahun sebesar 48,2%. faktor makanan diet yang tidak menyenangkan, kurangnya pemahaman tentang diet, manfaat latihan fisik, usia yang sudah lanjut, keterbatasan fisik, pemahaman yang salah tentang manfaat obat, serta kegagalan mematuhi minum obat karena alasan ekonomi menyebabkan ketidakpatuhan diabetisi dalam penatalaksanaan dm.2 penyuluhan kesehatan pada penderita diabetes mellitus merupakan hal yang penting dalam memonitor gula darah penderita dm dan mencegah komplikasi kronik baik mikroangiopati maupun makroangiopati. komplikasi kronik biasanya terjadi dalam 5 sampai 10 tahun setelah didiagnosis ditegakkan.3 edukasi diabetes merupakan pendidikan mengenai pengetahuan dan ketrampilan bagi pasien diabetes yang bertujuan mengubah perilaku untuk meningkatkan pemahaman klien akan penyakitnya.1 perubahan hasil dari pendidikan kesehatan dalam bentuk pengetahuan dan pemahaman tentang kesehatan, yang diikuti dengan adanya kesadaran yaitu yang positif terhadap kesehatan, yang akhirnya diterapkan dalam tindakan pencegahan komplikasi dm.4 tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh edukasi diabetes terhadap kepatuhan pengaturan diet pada pasien dm tipe 2 di kelurahan wirogunan dan brontokusuman kota yogyakarta. bahan dan cara penelitian ini menggunakan desain penelitian quasi experimental pre – post test without control group design. populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien diabetes mellitus tipe 2 di kelurahan wirogunan dan brontokusuman, yogyakarta. teknik pengambilan sampel dengan purposive sampling. jumlah sampel penelitian ini adalah 41 orang kelompok intervensi dan 41 orang kelompok kontrol, sehingga jumlah total sampel adalah 82 responden. kriteria inklusi responden dalam penelitian ini responden mampu berkomunikasi verbal dan memahami bahasa indonesia, terdiagnosis menderita dm tipe 2 minimal selama 3 tahun. kriteria eksklusi responden dalam penelitian ini adalah pasien berusia kurang dari 30 tahun dan mengalami penurunan kesadaran. penelitian dilakukan pada bulan september 2014 sampai oktober 2014. instrumen penelitian ini menggunakan form meliputi: kuesioner karakteristik responden dan pengaturan diet. penelitian ini menggunakan uji nonparametrik yaitu wilcoxon test dan mann whitney test, peneliti menggunakan dengan signifikasi 0,05. jika p value < 0,05 maka terdapat perbedaan kepatuhan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol. mutiara medika vol. 15 no. 1: 37 41, januari 2015 39 hasil tabel 1. distribusi karakteristik responden diabetes melitus tipe 2 pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol karakteristik kategori kelompok intervensi (n=41) kelompok kontrol (n=41) n % n % jenis kelamin laki-laki perempuan 14 27 34 65,9 19 22 46,3 53,7 usia 35 -45 tahun > 45 tahun 0 41 0 100 1 40 2,4 97,6 tingkat pendidikan sd smp/sma sarjana 16 19 6 39 46,3 14,6 30 6 5 73,2 14,6 12,2 tingkat penghasilan < rp 1.000.000 rp 1.000.000 rp 2.000.000 > rp 2.000.000 19 11 11 46,3 26,8 26,8 31 5 5 75,6 12,2 12,2 indeks massa tubuh gemuk normal kurus 13 20 8 31,7 48,8 19,5 9 27 5 22 65,9 12,2 tabel 2. perbedaan kepatuhan pengaturan diet sebelum dan sesudah diberikan edukasi diabetes pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol n median rerata + s.d p intervensi sebelum edukasi diabetes sesudah edukasi diabetes 41 2,00 1,93 + 0,346 1,54 + 0,505 0,002 kontrol sebelum edukasi diabetes sesudah edukasi diabetes 41 2,00 1,85 + 0,573 1,85 + 0,615 1,000 gambar 1. kepatuhan pengaturan diet responden kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum dan sesudah diberikan edukasi diabetes 32% 49%39% 46% sebelum edukasi sesudah edukasi kelompok intervensi kelompok kontrol tabel 3. perbedaan kepatuhan pengaturan diet pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol n median rerata + s.d p intervensi kontrol 41 41 2,00 2,00 1,54 + 0,505 1,85 + 0,615 0,020 dyah restuning, efektifitas edukasi diabetes dalam ... 40 diskusi prosentase frekuensi karakteristik terbanyak pada kelompok intervensi adalah 27 (65,9%) responden berjenis kelamin perempuan, berusia lebih dari 45 tahun sebanyak 41 (100%) responden, tingkat pendidikan terbanyak adalah smp/sma sejumlah 19 (46,3%) responden. faktor yang berperan menyebabkan resistensi insulin antara lain obesitas, diet tinggi lemak, kurang aktivitas, faktor herediter, usia, dan stress.1 penelitian yang dilakukan azrul azwar yang menyatakan bahwa terdapat variasi prevalensi penyakit dm tipe 2 antara laki-laki dan perempuan.4 belum ditemukan literatur yang mengatakan adanya hubungan antara tingkat pendidikan sebagai salah satu risiko terhadap penyakit dm tipe 2. semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi kesadarannya untuk melakukan upaya preventif terhadap penyakit. tingkat penghasilan terbanyak adalah kurang dari rp1.000.000 sejumlah 19 (46,3%) responden dan berdasarkan prosentase indeks massa tubuh terbanyak adalah normal sejumlah 20 (48,8%) responden. hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan sousa yang menjelaskan bahwa dari 10 orang klien diabetes mellitus m tipe 2 yang berada di pusat perawatan diabetes di amerika serikat, rata-rata berusia antara 53 tahun sampai 60 tahun.5 pada sekitar 55% kasus dm tipe 2 ditemukan pasien dengan obesitas.6 kepatuhan diet merupakan masalah besar yang terjadi pada penderita diabetes mellitus tipe 2 saat ini.5 hal ini disebabkan karena nilai rata-rata kepatuhan terendah pada pengobatan penderita diabetes mellitus tipe 2 yaitu salah satunya adalah kepatuhan diet.7 prinsip perencanaan makanan adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi pasien diabetes dan melakukan modifikasi diet dengan memperhatikan gaya hidup, pola kebiasaan makan, status ekonomi, dan lingkungan. diet merupakan kebiasaan yang paling sulit diubah dan paling rendah tingkat kepatuhannya dalam manajemen diri seorang penderita diabetes mellitus tipe 2.8 kepatuhan diet yang rendah pada penderita diabetes mellitus disebabkan karena pengetahuan yang kurang dan rendahnya informasi yang mereka dapatkan mengenai aturan serta cara mempertahankan diet yang baik. komunikasi petugas kesehatan dengan melalui edukasi diabetes dalam bentuk ceramah dapat meningkatkan kepatuhan pasien diabetes. semakin sering seseorang mendapat penyuluhan, maka semakin baik pula perilakunya. klien diabetes perlu mendapat informasi tentang pengertian tentang dm terutama perencanaan makan.. pengetahuan mengenai manajemen diabetes merupakan komponen yang penting agar pengelolaan diabetes itu bisa berjalan dengan baik. simpulan disimpulkan bahwa edukasi diabetes berpengaruh bermakna terhadap kepatuhan pengaturan diet pada pasien diabetes melitus tipe 2. terdapat perbedaan signifikan kepatuhan pengaturan diet pada kelompok intervensi antara sebelum dan sesudah diberikan edukasi diabetes. terdapat perbedaan signifikan kepatuhan pengaturan diet pada kelompok kontrol antara sebelum dan sesudah diberikan edukasi diabetes. mutiara medika vol. 15 no. 1: 37 41, januari 2015 41 daftar pustaka 1. soegondo, s. penatalaksanaan diabetes melitus terpadu. jakarta: fkui. 2009. 2. purba, c.i. pengalaman ketidakpatuhan pasien terhadap penatalaksanaan diabetes melitus (studi fenomologi dalam konteks asuhan keperawatan di rsupn dr. cipto mangunkusumo jakarta). tesis. fik universitas indonesia. jakarta. 2008. 3. smeltzer, s.c. & bare, b.g. textbook of medical surgical nursing. lippincott william & wilkins: raven publishers. 2005. 4. azwar, a. epidemiologi hipertensi, bagian ilmu kedokteran komunitas fkui, jakarta. 1985 5. sousa, v.d. & zauszniewski, j.a. toward a theory of diabetes self-care management. the journal of theory construction & testing. 2005, 9 (2):61-67. 6. eberhart, m.s. prevalence of overweight and obesity among adults with diagnosed diabetes --united states, 1988--1994 and 1999--2002. morbidity and mortality weekly report (centers for disease control and prevention), 2004; 53 (45): 1066–8. pmid 15549021 7. delamater, a.m. improving patient adherence. clinical diabetes journal. 2006; 24 (2): 71-77 8. tovar, e.g. relationships between psychosocial factors and adherence to diet and exercise in adults with type 2 diabetes: a test of a theoretical model. the university of texas medical branch. 2007. artikel penelitian mutiara medika vol. 15 no. 1: 5764, januari 2015 57 analisis efektivitas terapi dan biaya antara haloperidol kombinasi dengan risperidon kombinasi pada terapi skizofrenia fase akut analysis therapeutic and cost effectiveness of combination therapy between risperidone and haloperidol on acute phase of schizophrenia patients imaniar ranti1*, andi fauziyar octaviany2, sekar kinanti2 1departemen farmakologi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta, yogyakarta, indonesia 2program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta, yogyakarta, indonesia *email: niarranti@gmail.com; imaniarranti@umy.ac.id abstrak skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat dengan perjalanan penyakit terdiri dari fase akut, fase stabilisasi dan fase stabil. pemilihan terapi yang tepat pada fase akut akan mempengaruhi prognosis pasien. penggunaan antipsikotik haloperidol dan risperidon saat ini menjadi pilihan untuk terapi farmakologi skizofrenia. penelitian ini dilakukan untuk mengkaji efektivitas terapi dan biaya antara haloperidol kombinasi dengan risperidon kombinasi pada terapi skizofrenia fase akut. penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain pretest-posttest, non randomised, prospective, dan open label. total sampel 40 pasien skizofrenia fase akut di rsj. ghrasia yogyakarta yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. analisis efektivitas terapi menggunakan nilai panss-ec dan analisis efektivitas biaya menggunakan diagram efektivitas biaya. hasil penelitian nilai panss-ec post-terapi pada uji statistik mann-whitney antara kedua kelompok didapatkan nilai p=0.711 yang bearti tidak terdapat perbedaan efektivitas terapi secara statistik. hasil analisis biaya rata-rata yang dibutuhkan pasien pada kelompok haloperidol kombinasi adalah rp 11.186,95 ± rp 1.163,970, sedangkan kelompok risperidon kombinasi adalah rp 31.191,40 ± rp 8.545,114 yang dengan uji statistik mann-whitney didapatkan nilai p=0.010 yang bearti haloperidol kombinasi lebih cost-effective dibanding risperidon kombinasi. disimpulkan bahwa efektivitas terapi kombinasi haloperidol kombinasi sama dengan risperidon kombinasi, tetapi terapi haloperidol kombinasi lebih cost-effective dibanding risperidon kombinasi. kata kunci: skizofrenia, haloperidol kombinasi, risperidon kombinasi, efektivitas terapi dan biaya abstract schizophrenia is a severe mental disorder that consists of three phase, there are acute phase, stabilization phase and stable phase. selection of appropriate therapy in the acute phase will affect the patient's prognosis. the use of antipsychotic haloperidol and risperidone is a choice for pharmacological treatment of schizophrenia now. this study was conducted to assess the therapeutic and cost effectiveness between haloperidol combination with risperidone combination therapy of acute-phase schizophrenia. this study was an observational study with a pretest-posttest design, non-randomized, prospective, and open label. total sample is 40 acute phase schizophrenia patients in the ghrasia psychiatric hospital yogyakarta, who meet inclusion and exclusion criteria. analysis of therapeutic effectiveness using the panss-ec instrument and cost-effectiveness analysis using diagrams of cost effectiveness. the result of therapeutic effectiveness analysis were no statistically significant differences in panss-ec score post-treatment between two groups (p value = 0.711). the results of the cost-effectiveness analysis of the average cost in the haloperidol combination is rp 11.186,95 ± rp 1.163,970, while the risperidone combination is rp 31.191,40 ± rp 8.545,114. based on the mann-whitney test (p value = 0.010 ), it’s mean significant difference between the cost of haloperidol combination therapy and risperidone combination therapy. concluded that the therapeutic effectiveness of haloperidol combination with risperidone combination is same, but the combination of haloperidol therapy is more cost-effective than risperidone combination. key words: schizophrenia; haloperidol combination therapy; risperidone combination therapy; therapeutic and cost effectiveness mailto:niarranti@gmail.com 58 pendahuluan salah satu gangguan kesehatan mental yang masih tergolong tinggi di indonesia adalah skizofrenia. jumlah penyandang skizofrenia di indonesia diperkirakan tiga sampai lima per 1000 penduduk,1 yang artinya jika penduduk indonesia sekitar 200 juta jiwa, maka diperkirakan sekitar 1 juta jiwa penyandang skizofrenia.2 american psychiatric association (apa) menyatakan bahwa perjalanan penyakit skizofrenia terdiri dari tiga fase yaitu fase akut, fase stabilisasi dan fase stabil,3 sehingga sasaran terapi akan bervariasi tergantung pada fase dan keparahan penyakit.4 keberhasilan terapi pada fase akut memiliki pengaruh terhadap pemilihan talaksana selanjutnya serta prognosis pasien, sehingga diperlukan pemilihan terapi yang tepat pada fase ini. sasaran terapi fase akut adalah mengurangi atau menghilangkan gejala psikotik dan meningkatkan fungsi normal pasien selama 7 hari pertama.5 penatalaksanaan skizofrenia bisa menggunakan terapi farmakologi dan non farmakologi. sesuai algoritma pengobatan, terapi pilihan pertama pada pengobatan fase akut pasien skizofrenia adalah antipsikotik atipikal (klozapin, olanzapin, risperidon).6 hal ini dikarenakan efek samping yang ditimbulkan oleh obat antipsikotik atipikal minimal,7 sedangkan penggunaan antipsikotik tipikal (haloperidol, klorpromazin, flufenazin) memiliki risiko lebih besar terhadap timbulnya gejala ekstrapiramidal.8 akan tetapi terapi haloperidol juga masih banyak digunakan pada pengobatan skizofrenia.9 penelitian lain juga menyebutkan bahwa pemilihan terapi skizofrenia tergantung dari gejala yang muncul, yaitu pengunaan haloperidol dan chlorpromazin sebagai antipsikotik tipikal mampu menghilangkan gejala positif pada pasien skizofrenia, tetapi kurang efektif dalam menghilangkan gejala negative.10 penelitian lain menyebutkan bahwa risperidone dan olanzapine memiliki efektifitas yang baik dalam memperbaiki gejala negative.11 berdasarkan penelitian di rsj grhasia, penggunaan terapi kombinasi lebih sering dibandingkan dengan terapi tunggal.12 hal ini dikarenakan pada penggunaan obat antipsikotik sering menimbulkan efek samping berupa gejala ekstrapiramidal, sehingga diberikan obat triheksifenidil untuk mengatasinya. pola penggunaan triheksifenidil lebih sering diberikan langsung bersama obat antipsikotik sebelum gejala ekstrapiramidal muncul.13 oleh karena itu hingga saat ini penelitian mengenai pemilihan obat antipsikotik terus dilakukan karena belum ada terapi yang benar-benar efektif dalam pengobatan skizofrenia, hal ini menjadi tantangan agar dapat mengoptimalkan hasil pengobatan pasien skizofrenia. masalah skizofrenia juga tidak hanya terbatas dibidang kesehatan, tetapi juga berpengatuh pada bidang ekonomi. di indonesia diketahui satu episode skizofrenia untuk mendapatkan satu kali perawatan dapat menghabiskan biaya total rata-rata sebesar rp 1.817.466.4 di amerika serikat, biaya untuk menangani pasien skizofrenia diperkirakan 30 milyar dolar as setiap tahunnya.14 sinaga (2007) menyebutkan bahwa beban ekonomi yang harus ditanggung oleh penyandang skizofrenia dan keluarganya ternyata cukup besar. hal ini antara lain karena 50% penyandang skizofrenia tidak mampu bekerja, biaya pengobatan dan 59 perawatan yang memerlukan waktu jangka panjang, serta waktu anggota keluarga yang tersita untuk merawat penyandang skizofrenia ternyata mempengaruhi beban ekonomi keluarga.15 oleh karena itu, penanganan yang tepat pada kasus skizofrenia sangatlah penting, dimana pengobatan skizofrenia ini memerlukan pemantauan efektivitas, keamanan pengobatan, serta pertimbangan biaya karena dilakukan dalam jangka waktu yang panjang. penelitian ini bertujuan mengkaji efektivitas penggunaan haloperidol kombinasi dibandingkan risperidon kombinasi pada terapi fase akut skizofrenia, serta mengkaji efektivitas biaya pengobatan penyandang skizofrenia. bahan dan cara penelitian ini menggunakan metode observasional dengan desain pretest-posttest, non-randomised, prospektif, dan open-label. total sampel adalah 40 pasien skizofrenia pada tahap perawatan intensif di rumah sakit psikiatri grhasia yogyakarta. subjek penelitian dibagi menjadi 2 kelompok terapi yaitu kelompok haloperidol kombinasi dan kelompok risperidon kombinasi. adapun kriteria inklusi penelitian ini adalah semua pasien yang didiagnosis dengan skizofrenia dengan gejala psikotik di fase akut. kriteria eksklusi adalah pasien skizofrenia dengan cacat bawaan fisik, fungsi lisan gangguan, dan gangguan mental organik. analisis efektivitas terapi dinilai dengan panss-ec (positive and negative syndrome scale-excited component). panss-ec adalah instrumen yang digunakan untuk menilai gejala positif dan gejala negative pada pasien skizofrenia. panss-ec terdiri dari lima komponen utama yaitu kegembiraan, ketegangan, permusuhan, kerjasama, dan kontrol impuls yang lemah. penilaian panss-ec dimulai dari 1 (tidak ada) sampai dengan 7 (sangat parah); nilai berkisar antara 5 sampai 35. jika nilai ≥ 20 maka bearti pasien memiliki gejala klinis dengan agitasi parah.16 pasien skizofrenia fase akut akan pindah ke fase stabil jika nilai panss-ec ≤ 15. penilaian panss-ec dilakukan pada awal (pre-test) dan akhir (posttest) masa pengobatan. analisis efektivitas biaya dilakukan dengan menggunakan diagram efektivitas biaya. tahapan analisis biaya antara lain mengidentifikasi tingkat efektivitas obat dari literature, mengidentifikasi dan menghitung biaya pengobatan, dan menetapkan posisi pengobatan alternatif pada table efektivitas biaya. farmakoterapi yang diberikan dalam penelitian ini adalah haloperidol dan risperidol yang dikombinasikan dengan klorpromazin dan trihexyphenidyl. hasil hasil penelitian ini didapatkan kelompok usia subjek penelitian terdiri dari kelompok usia 20-39 tahun (20%), 30 – 39 tahun (42.5 %), 4049 tahun (27,5%) dan yang paling sedikit adalah kelompok usia > 50 tahun (10.0%). 60 pada awal penelitian dilakukan penilaian panss-ec pada seluruh subjek penelitian dan didapatkan hasil nilai panss-ec pre-terapi tidak ada perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok (p = 0.155) (tabel 1). perbandingan efektivitas terapi haloperidol kombinasi dengan risperidon kombinasi menunjukkan bahwa rata-rata lamanya fase akut pada subjek penelitian adalah 1-3 hari (tabel 2). hasil analisis efektivitas terapi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa nilai panss-ec post-terapi pada kedua kelompok tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p=0,711) (tabel 3). hasil penelitian perbandingan efektivitas biaya pada penelitian ini menunjukkan kelompok haloperidol mengeluarkan biaya terapi yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok risperidon kombinasi (tabel 4). berdasarkan uji analisis statistik mannwhitney sesuai tabel 4 didapatkan nilai p = 0,010 yang berarti terdapat perbedaan bermakna antara biaya terapi haloperidol kombinasi dengan biaya terapi risperidon kombinasi. bila dibandingkan dengan efektivitas terapi menurut nilai panss-ec pada penelitian ini, efektivitas haloperidol kombinasi sama dengan risperidon kombinasi, sehingga jika dilakukan analisis menggunakan tabel alternatif efektivitas biaya (tabel 5) diperoleh hasil efektivitas biaya terapi haloperidol kombinasi lebih baik jika dibandingkan dengan terapi risperidon kombinasi. tabel 1. tabel analisis efektivitas biaya low cost same cost high cost low effectivity a b c same effectifity d haloperidol combination to risperidon combination e f risperidon combination to haloperidol combination high efferctivity g h i tabel 1.analisis nilai pre-test panss-ec pada kelompok haloperidol kombinasi dan kelompok risperidon kombinasi obat n mean panssec score sig. (2tailed) pre-test risperidon group haloperidol group total 20 20 40 18.18 22.83 0.155 tabel 2. distribusi sampel berdasarkan lama fase akut lama fase akut (hari) frequency percent (%) cumulative percent (%) 1 2 3 8 total 23 9 7 1 40 57.5 22.5 17.5 2.5 100.0 57.5 80.0 97.5 100.0 tabel 3. analisis nilai post-test panss-ec pada kelompok haloperidol kombinasi dan kelompok risperidon kombinasi drugs n mean panss-ec score sig. (2tailed) post-test risperidon group haloperidol group total total 20 20 21.18 19.83 0.711 40 tabel 4. perbandingan biaya kelompok risperidon kombinasi dan kelompok haloperidol kombinasi cost risperidon group haloperidol group sig. statistic statistic mean rp 31.191 rp 11.186 0.010 max rp7.598 rp 3.223 min rp 139.560 rp 18.995 61 diskusi kasus skizofrenia pada penelitian ini banyak dijumpai pada pasien dengan usia 30-39 tahun (42.5 %). hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh vishnu (2011),17 yang menyatakan bahwa prevalensi usia pasien skizofrenia lebih besar kejadiannya pada usia dewasa muda dibandingkan dengan usia tua. hal ini dikarenakan usia 30-39 tahun merupakan usia produktif yang cenderung terkena masalah-masalah yang kompleks, meliputi masalah dengan teman dekat, rekan kerja, pekerjaan yang terlalu berat, ekonomi, dan masalah keluarga. pada tabel 1. menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nilai panss-ec pre-terapi pada kedua kelompok. hal ini bearti semua subjek penelitian ini memiliki tingkat keparahan gejala yang sama pada saat awal sebelum dilakukan terapi pengobatan dengan menggunakan haloperidol kombinasi atau risperidon kombinasi. pada tabel 1. juga menunjukkan rata-rata nilai panss-ec pre-terapi subjek pada kelompok haloperidol kombinasi yaitu 18.18 sedangkan pada kelompok risperidon kombinasi yaitu 20.83. nilai panss-ec tersebut bearti subjek pada penelitian ini masuk ke dalam kategori krisis jiwa akut yang diindikasikan masuk dalam perawatan instensif. hal ini mengacu pada standar penilaian panss-ec sebagai panduan dalam rujukan perawatan sesuai kondisi pasien yang menyebutkan jika hasil pemeriksaan panss-ec >3 per butir panss-ec merupakan kondisi krisis jiwa akut yang diindikasikan masuk kedalam unit perawatan intensif, sedangkan jika hasil pemeriksaan panss-ec ≤ 3 per butir panssec merupakan kondisi psikiatrik tenang dan dapat dipindahkan pada unit perawatan maintanance.18 hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek penelitian mengalami perbaikan gejala setelah mendapatkan terapi pada hari pertama sampai ke-3 fase akut (tabel 2.). hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa sasaran terapi pada fase akut adalah mengurangi atau menghilangkan gejala psikotik dan meningkatkan fungsi normal pasien yang biasanya terjadi selama 7 hari pertama.5 hasil analisis efektivitas terapi pada penelitian ini didapatkan bahwa haloperidol kombinasi memiliki efektifitas terapi yang sama dengan kelompok risperidon kombinasi pada fase akut skizofrenia berdasarkan nilai panssec (tabel 3.). hasil ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh leucht et al (2009),19 dimana hasil metaanalisis yang telah dilakukan menunjukkan bahwa 53% pasien yang mendapat risperidon dengan dosis diatas 6 mg sehari memenuhi kriteria perbaikan dibandingkan dengan 40% pasien yang mendapat antipsikotik konvensional (p < 0,001). pengobatan dengan risperidon juga memberikan hasil 25% lebih baik terhadap simtom positif dan 60% lebih baik terhadap simtom negatif dibandingkan dengan antipsikotik konvensional. hasil metaanalisis tersebut menunjukkan bahwa risperidon memenuhi kriteria perbaikan simtom positif lebih baik dibandingkan dengan antipsikotik konvensional (p < 0,001). berdasarkan mekanisme kerjanya, kedua jenis antipsikotik tersebut diketahui efektif dalam memblok reseptor dopamin tipe 2 (d2) yang spesifik di jalur dopamin mesolimbik. 62 blokade reseptor d2 ini mempunyai efek menurunkan hiperaktifitas sehingga gejala positif dari psikotik dapat menghilang.20 pada penelitian ini ternyata diketahui bahwa gejala positif lebih dominan pada fase akut, sehingga untuk mengurangi gejala positif tersebut yang dibutuhkan adalah blokade reseptor d2. kombinasi dari haloperidol dan klorpromazin sangat sesuai karena cara kerja keduanya sama yaitu memblok reseptor d2, sedangkan risperidon selain memblok reseptor d2 juga memblok reseptor 5 ht-2.20 hal tersebut mungkin saja membuat kedua jenis terapi ini sama-sama efektif untuk pasien skizofrenia fase akut. pada penelitian ini peneliti tidak membedakan pasien skizofrenia fase akut berdasarkan gejala awal yang muncul. hasil analisis efektivitas biaya terapi kombinasi haloperidol lebih baik dibandingkan dengan terapi kombinasi risperidon (tabel 4). berdasarkan tabel 5 diketahui letak efektivitas biaya dari terapi risperidon kombinasi terhadap terapi haloperidol kombinasi berada di kelompok f, sedangkan letak efektivitas biaya dari terapi kombinasi haloperidol terhadap terapi kombinasi risperidon berada di kelompok d, sehingga dapat disimpulkan bahwa analisis efektivitas biaya terapi kombinasi haloperidol lebih baik dibandingkan dengan terapi kombinasi risperidon sesuai dengan diagram efektivitas biaya (p = 0,005). hasil penelitian ini dapat menjadi alternative pemilihan antipsikotik yang efektif dari segi biaya. hal ini menunjang hasil penelitian lain yang menyebutkan bahwa banyak pasien skizofrenia yang mengalami relaps karena faktor ekonomi21 yaitu tidak adanya biaya untuk menebus obat setelah keluar dari rumah sakit jiwa, ketidakpatuhan pasien pada pengobatan, mendapat perlakuan kasar dan pertengkaran yang terus menerus dengan saudara kandung, konflik yang berkepanjangan dengan seseorang, dan emosi (marah) yang diekspresikan secara berlebihan oleh keluarga.22 simpulan disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan effektivitas terapi haloperidol kombinasi dengan risperidon pada terapi fase akut pasien skizofrenia berdasarkan nilai panss-ec, tetapi terapi kombinasi haloperidol memiliki efektivitas biaya yang lebih baik dibandingkan terapi kombinasi risperidon. ucapan terima kasih penulis mengucapkan terima kasih kepada universitas muhammadiyah yogyakarta yang telah memberikan dana melalui hibah penelitian kemitraan. daftar pustaka 1. hawari, d. pendekatan holistik pada gangguan jiwa skizofrenia. jakarta: balai penerbit fkui. 2007. 2. arif, is. skizofrenia. bandung: pt.refika aditama. 2006. 3. reverger, mj. perbandingan performa fungsi pasien skizofrenia yang mendapat terapi tunggal dengan terapi kombinasi antipsikotika di rumah sakit cipto mangunkusumo (periode desember 2011mei 2012). tesis fkui. 2012. 4. melatiani, sutrisna, e., & azizah, t. analisis biaya pada pasien skizofrenia rawat inap di 63 rumah sakit “x” surakarta tahun 2012. karya tulis ilmiah, universitas muhammadiyah surakarta, surakarta. 2013. 5. dipiro, j.t., wells, b.g., schwinghammer, t.l., & dipiro, c.v. pharmacotherapy handbook. (7th ed.). new york: mcgraw-hill medical. 2009. 6. fahrul, m,a., & faustine, i. rasionalitas penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia di instalasi rawat inap jiwa rsd madani provinsi sulawesi tengah periode januari-april 2014. online jurnal of natural science, 2014; 3(2): 18-29. 7. irwan, m., fajriansyah, a., sinuhadji. b., & indrayana, m. penatalaksanaan skizofrenia. riau: fakultas kedokteran riau. 2008. 8. lesmanawati, d.a.s. analisis efektivitas biaya penggunaan terapi antipsikotika pada pasien skizofrenia di instalansi rawat inap rsj grhasia yogyakarta. karya tulis imiah strata dua, universitas gajah mada, yogyakarta. 2012. 9. jarut, yulia maria, fatimawali fatimawali, and weny i. wiyono. tinjauanpenggunaan antipsikotik pada pengobatan skizofrenia di rumah sakit prof. dr. vl ratumuysang manado periode januari 2013-maret 2013. pharmacon, 2013; 2.3 : manad. 10. kay s. r., & singh m. m. the positivenegative distinction in drug free schizophrenia patients. arch gen psychiatry, 1998; 46 (8): 711–718 11. davis j. m., chen n., & glick i. d. a metaanalysis of the efficacy of secondgeneration antipsychotics. arch gen psychiatry, 2003; 60 (6): 553–564 12. perwitasari, d. a. kajian pengunaan atypical antipsychoticc dan conventional antipsychotic pada pasien skizofrenia di rumah sakit grhasia yogyakarta. lembaga penelitian dan pengembangan uad yogyakarta. 2008. 13. wijono, r., nasrun, m. w., & damping, c. e. gambaran dan karakteristik penggunaan triheksifenidil pada pasien yang mendapat terapi antipsikotik. j indon med assoc, 2013; 63 (1): 14-20. 14. nevid, j.s., rathus, s.a. & greene, b. psikologi abnormal. (5th ed.). jakarta: erlangga. 2005. 15. sinaga, br. skizofrenia dan diagnosis banding. jakarta: balai penerbit fkui. 2007. 16. lindenmayer jp, bossie ca, kujawa m, zhu y, canuso cm. dimensions of psychosis in patients with bipolar mania as measured by the positive and negative syndrome scale. psychopathology, 2008; 41 (4): 264–270. 17. vishnu fahlian. the difference of frequency of young age and old age schizophrenia’s patients on may 2010–may 2011 at grhasia hospital yogyakarta. karya tulis ilmiah, universitas islam indonesia. 2011. http://www.academia.edu/6929569 18. montoya, a., valladares, a., lizan, l., san, l., escobar, r., & paz, s. validation of the excited component of the poositive and negative syndrome scale (panss-ec) in a naturalistic sample of 278 patients with acute psychosis and agitation in a psychiatric emergency room. health and qual life outcomes, 2011; 9: 18. 19. leucht, s., komossa, k., rummel-kluge, c., corves, c., hunger, h., schmid, f., davis, j. 64 m. a meta-analysis of head-to-head comparisons of second-generation antipsychotics in the treatment of schizophrenia. am j psychiatry, 2009. 166 (2): 152-163. 20. stahl, s.m. describing an atypical antipsychotic: receptor binding and its role in pathophysiology. prim care companion j clin psychiatry, 2003; 5 (3): 9-13. 21. wu eq, birnbaum hg, shi l, ball de, kessler rc, moulis m, aggarwal j. the economic burden of schizophrenia in the united states in 2002. j clin psychiatry. 2005; 66 (9): 1122-9. 22. amelia, d. r. & anwar, z. relaps pada pasien skizofrenia. jurnal ilmiah psikologi terapan, 2013; 1 (1): 53-65. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=wu%20eq%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=16187769 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=birnbaum%20hg%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=16187769 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=shi%20l%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=16187769 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=ball%20de%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=16187769 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=kessler%20rc%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=16187769 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=moulis%20m%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=16187769 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=aggarwal%20j%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=16187769 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16187769?dopt=abstract 1 mutiara medika vol. 17 no. 1: 1-6, januari 2017 ekstrak buah legundi (vitex trifolia) mampu menghambat pembelahan dan pertumbuhan sel tumor kulit tikus legundi fruit (vitex trifolia) extract potent as proliferative and growth activity inhibitor of skin tumor cells in wistar rats induced benzoalphapyrene humairah medina liza lubis1*, ilham hariaji2 1departemen patologi anatomi, program studi pendidikan dokter fakultas kedokteran universitas muhammadiyah sumatera utara 2 departemen farmakologi dan terapi, program studi pendidikan dokter fakultas kedokteran universitas muhammadiyah sumatera utara, medan, indonesia *email: humairahmedina@umsu.ac.id abstrak dengan perubahan gaya hidup manusia yang tidak sehat, terpapar radiasi sinar ultraviolet, agen fisika dan kimia secara berlebihan, luka yang lama tidak sembuh khususnya luka bakar dan infeksi virus, yang apabila dibiarkan dan tidak diobati bisa berkembang menjadi kanker. pengobatan untuk tumor lebih banyak menggunakan obat-obatan sintetik yang juga dapat menimbulkan komplikasi dan kebanyakan belum menunjukkan hasil yang memuaskan, sehingga banyak penelitian ditujukan pada tanaman tradisional yang banyak tumbuh di indonesia. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi penghambat pembelahan sel dari ekstrak buah legundi (vitex trifolia). penelitian ini adalah studi eksperimental dengan menggunakan tikus wistar yang dibagi dalam 5 kelompok yaitu kelompok kontrol normal (k1), kontrol positif (k2), p1, p2, p3. ekstrak etanol buah v. trifolia dibagi dalam 2 dosis yaitu 0,5g dan 1g/kgbb/hari/oral selama 3 minggu. hasil penelitian berupa 3 slide (60%) adalah tumor ganas (nonkeratinizing squamous cellcarcinoma), 1 slide (20%) adalah lesi atipik dan 1 slide (20%) adalah lesi jinak. setelah pemberian terapi menggunakan buah v. trifolia, kelompok 2, 3, dan 4 yang memiliki lesi tumor mengalami penurunan ukuran (mengecil). disimpulkan bahwa ekstrak etanol buah v. trifolia memiliki kemampuan untuk menginhibisi aktivitas proliferasi dan pertumbuhan dengan dosis pemberian 0,5 g dan 1 gr/hari. kata kunci: tumor kulit, benzoalphapyrene, buah legundi (vitex trifolia), aktivitas proliferasi dan pertumbuhan abstract according to the changes in human lifestyle which tend to unhealthy life, exposure ultraviolet radiation, toxins, and genetics makes the cells who build the skin do the abnormal growth being cancer cells. modern therapies such as surgery, chemotherapy, and radiation have not been satisfying. ide effects are inconvenient and costly, encouraging patients to seek a cheaper alternative therapy, through the use of herbs growing lately. this study aims to test the potential of legundi fruit (vitex trifolia) in inhibiting cell proliferation and growth activity of skin tumors. this is an experimental study. wistar rats used in this study were divided into five groups. ethanolic extracts of vitex trifolia fruit with two doses, 0,5 g and 1g/kg/day/ orally for three weeks after exposure of benzoalphapyrene. three slides (60%) of the control slide that induced of benzoalphyrene are malignant tumors (nonkeratinizing squamous cell carcinoma), one slide (20%) is an atypical lesion, and one slide (20%) is a benign lesion. after treatment of v. trifolia fruit, group 2, 3, and 4 had lesion of skin tumors that decrease of size. ethanolic extract of fruit vitex trifolia able to inhibit proliferation and growth activity at 0,5 g and 1 gr/day doses. key words: skin tumor, benzoalphapyrene, legundi fruit (vitex trifolia), proliferation and growth activity artikel penelitian mutiara medika vol. 17 no. 1: 1-6, januari 2017 2 humairah medina liza lubis, dkk., potensi ekstrak buah legundi (vitex trifolia) pendahuluan penyakit kulit terutama tumor semakin banyak ditemukan di masyarakat. secara umum, timbulnya tumor kulit memiliki faktor risiko yang potensial, antara lain adalah akibat terpapar oleh radiasi sinar ultraviolet secara berlebihan dan luka yang lama tidak sembuh khususnya luka bakar, diantaranya adalah marjolin’s ulcer yang bisa berkembang m enj adi karsi nom a sel skuam osa. 1 fakt or predisposisi genetik termasuk tahi lalat berukuran lebih besar dari 20 mm, infeksi human papilloma virus (hpv), toksin arsenik dan kekurangan beberapa vitamin dan mineral tertentu serta pada perokok berisiko tinggi berkembang menjadi tumor. secara mikroskopik, sel-sel penyusun kulit mengalami pembelahan dan pertumbuhan (proliferasi) yang berlebihan. apabila proliferasi ini berlangsung secara terus menerus maka dapat menimbulkan kanker.2 banyak sekali penelitian yang membuktikan potensi tanaman tradisional untuk pengobatan berbagai penyakit. salah satunya adalah tanaman legundi (v. trifolia) yang mempunyai efek farmakologi antara lain sebagai antibakteri, antifungi, insektisida, antikanker, analgesik, trakeospasmolitik, antialergi maupun antipiretik. beberapa penelitian melaporkan kandungan kimia dari buah maupun daun legundi yaitu senyawa golongan flavonoid (kastisin; 3,6,7-trimetil kuersetagetin; vitexin; artemetin; 5-metil artemetin; 7-desmetil artemetin; luteolin; luteolin-7-o-²-d-glukuronida; luteolin-3-o-²d-glukuronida dan isoorientin), terpenoid, maupun sterol (²-sitosterol dan ²-sitosterol-²-d-glukosida.3,4,5,6 aktivitas sitotoksik ekstrak heksan, diklorometan dan metanol tanaman v. trifolia telah diteliti oleh hernández et al (1999),7 terhadap empat sel tumor manusia yaitu sel karsinoma leher, sel kanker ovarium, sel karsinoma kolon dan sel nasofaringeal manusia. secara umum, ekstrak heksan dan diklorometan mempunyai aktivitas sitotoksik yang memadai, sedangkan efek dari ekstrak metanol adalah rendah. ekstrak diklorometan daun v. trifolia mempunyai aktiv itas paling tinggi, terutama terhadap sel karsinoma kolon dengan harga ed50 kurang dari 1 ¼g/ml. di lain pihak, li et al. (2005),8 berhasil menemukan lima senyawa aktif antikanker diterpen tipe lab dan in vitro dengan metode bioassay-guided separation yaitu (1) viteksilakton, (2) (rel 5s,6r,8r,9r,10s)-6-asetoksi-9-hidroksi-13(14)labden-16,15-olida, (3) rotundifuran, (4) vitetrifolin d dan (5) vitetrifolin e. kelima senyawa tersebut dapat menginduksi apoptosis dan menghambat siklus sel baru pada sel line tsft210 dan k562. lebih lanjut, li et al. (2005),8 mengisolasi enam flavonoid yang diisolasi dari v. trifolia yaitu persikogenin, artemetin, luteolin, penduletin, viteksikarpin dan krisosplenold, yang selanjutnya di uji terhadap proliferasi sel kanker tsft210 tikus. keenam flavonoid menghambat proliferasi sel kanker k562, dan diduga mempunyai mekanisme aksi menginduksi apoptosis pada sel kanker tersebut melalui jalur apoptosis yang diatur oleh mitokondria. penemuan tersebut diperkuat oleh li et al. (2005),8 enam flavonoid yang diisolasi dari v. trifolia yaitu persikogenin, artemetin, luteolin, penduletin, viteksikarpin dan krisosplenol-d.8,9 timbul ketertarikan dari peneliti untuk membuktikan potensi dari buah legundi yang kemungkinan juga mengandung senyawa flavonoid yang berfungsi untuk melindungi tubuh dari bahaya timbulnya tumor. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi penghambat pembelahan sel dari ekstrak buah v. trifolia. 3 mutiara medika vol. 17 no. 1: 1-6, januari 2017 bahan dan cara bahan uji yang digunakan adalah buah v. trifolia yang diperoleh dari daerah tiga binanga tanah karo dan bahan yang digunakan untuk ekstraksi simplisia adalah etanol 70%. bahan uji antikarsinogenesis adalah ekstrak etanol buah v. trifolia, benzoalphapyrene, oleum olivarium sebagai pelarut benzoalphapyrene, dan hematoksilin eosin sebagai pewarna pengecatan histopatologi. hewan uji yang digunakan adalah tikus putih jantan jenis wistar dengan berat 200gr-300gr dan dalam kondisi sehat yang diperoleh dari unit pengelola hewan laboratorium universitas muhammadiyah sumatera utara medan. alat yang digunakan untuk membuat ekstrak etanol buah legundi adalah panic infusa, alat-alat gelas, corong buchner, penangas air, dan timbangan analitik. uji antikarsinogenesis menggunakan 1 gr benzoalphapyrene dilarutkan dalam 100 ml oleum olivarium dan diberikan pada hewan coba dengan dosis 20 mg/kgbb secara subkutan. larutan benzoalphapyrene dalam oleum olivarium selalu dibuat baru, sebelum pemberian terhadap hewan uji. tikus jantan jenis wistar dibagi menjadi 5 kelompok secara random. masing-masing kelompok terdiri dari 6 ekor tikus. k1 (kelompok normal) hanya diberi diet standar tanpa induksi benzoalphapyrene), k2 (kelompok kontrol positif) diberi diet standar, diinduksi benzoalphapyrene pada lapisan subkutan, setelah timbul massa tumor tidak diberi ekstrak buah v. trifolia, dan diterminasi pada minggu ke-3 untuk melihat jenis tumor kulit secara mikroskopik, p1 (perlakuan 1) diberi diet standar, diinduksi benzoalphapyrene pada lapisan subkutan bersamaan dengan pemberian ekstrak buah legundi 0,5g/ kgbb/hari selama 2 minggu secara oral, p2 (perlakuan 2) diberi diet standar, diinduksi benzoalphapyrene pada lapisan subkutan, setelah timbul massa tumor diberi ekstrak buah legundi 0,5g/kgbb/hari selama 2 minggu secara oral dan p3 (perlakuan 3) diberi diet standar, diinduksi benzoalphapyrene pada lapisan subkutan, setelah timbul massa tumor diberi ekstrak buah legundi 1g/kgbb/hari selama 2 minggu secara oral. pada minggu ke-3 dilakukan nekropsi terhadap hewan uji kelompok k2. organ yang diperiksa adalah kulit yang difiksasi dengan buffer formalin. analisis deskriptif dilakukan secara sitologi dan histopatologi. pembuatan preparat jaringan dan pemeriksaan histopatologi dilakukan di laboratorium patologi anatomi fakultas kedokteran universitas sumatera utara. hasil hasil induksi benzoalphapyrene dosis 20 mg/ kg bb sebanyak 10 kali pemberian dengan pengamatan selama 3 minggu setelah pemberian benzoalphapyrene terakhir secara makroskopis terlihat nodul palpable pada kulit tikus dengan konsistensi elastis hingga keras padat. secara mikroskopis berdasarkan analisis histopatologi 3 tikus terdiagnosis sebagai tumor ganas dengan tipe non keratinizing squamous cell carcinoma, 1 slide dengan diagnosis lesi atipik dan 1 slide dengan tumor jinak. munculnya nodul yang teramati secara makroskopis pertama kali terjadi pada tikus perlakuan pada minggu ke-2 setelah pemberian benzoalphapyrene yang terakhir. jumlah nodul hanya satu yang timbul di tempat penyuntikan daerah punggung dengan diameter 52 mm. 4 humairah medina liza lubis, dkk., potensi ekstrak buah legundi (vitex trifolia) pemberian ekstrak etanol buah legundi pada kelompok perlakuan 2, 3 dan 4 menunjukkan pengecilan ukuran dari nodul sebesar 20-30mm bahkan pada 2 slide perlakuan 3 nodul menghilang. uji perbandingan dengan menggunakan uji sampel berpasangan didapatkan ada beda nyata antara k1 dan p1 dengan nilai p=0,003 dan k1 dan p2 dengan nilai 0,005 sedangkan pada k1 dan p3 tidak ada beda nyata dengan nilai p=0,391. perbandingan p1 dan p2 nilai p=0,374 sedangkan p2 dan p3 nilai p=0,015 berarti buah legundi dengan dosis 1 kg/bb lebih efektif dalam menurunkan ukuran tumor dan proliferasi sel tumor dibandingkan dosis 0,5 g/kgbb secara oral. gambar 1. gambaran sitologi salah satu perlakuan dari kelompok k2 teridentifikasi sebagai malignansi. gambar 2. gambaran histopatologi salah satu sampel dari kelompok k2 t erid enti fikasi sebag ai karsinoma sel skuamosa non keratin diskusi secara klinis tumor jinak menunjukkan perilaku yang tidak agresif tetapi akibat paparan sinar ultraviolet, agen fisika dan kimia, virus, merokok, serta genetika (riwayat keluarga) dapat merubah susunan dan struktur sel-selnya.2 pada kelompok tikus kontrol dengan pemberian benzoalphapyrene terlihat pada minggu ke-3 terjadi penurunan nafsu makan yang diikuti penurunan berat badan dan tikus tidak mampu bergerak. hasil penelitian yang dilakukan abdul mun’in menggunakan dimentilbenz(a) antrasen (dmba), umumnya rata-rata berat badan kelompok perlakuan dengan pemberian sari buah merah lebih rendah dari kelompok kontrol dmba serta mulai terjadi penurunan pada sekitar minggu ke-9.8 berdasarkan hasil pemeriksaan pada slide yang mengalami perubahan keganasan jaringan pada nodul yang muncul pada minggu ke-2 terlihat jaringan epidermis mengalami hyperkeratosis dan proliferasi sel pelapis kulit (skuamosa) yang menembus sampai ke lapisan dermis. sel-sel mengalami proses keganasan dapat dilihat dari inti sel membesar yang didiagnosis sebagai karsinoma sel skuamosa.2,10 karsinoma ini diakibatkan oleh mutasi pada gen p53, dimana fungsi gen p53 ini dalam keadaan normal adalah untuk mencegah perbanyakan sel yang secara genetik sudah rusak. bila dna sel dirusak oleh sinar ultraviolet, transkripsi p53 yang normal akan diperbanyak dan selanjutnya menghasilkan transkripsi beberapa gen abnormal yang menyebabkan penghentian siklus sel dari fase g1 menuju s serta perbaikan dna. jika selama penghentian siklus sel dapat dilakukan perbaikan dna, sel tersebut diperbolehkan untuk melanjutkan perkembangannya ke fase s. jika kerusakan dna 5 mutiara medika vol. 17 no. 1: 1-6, januari 2017 tidak dapat diperbaiki akan menimbulkan apoptosis. dengan terjadinya kehilangan p53, kerusakan dna terus menerus tidak dapat diperbaiki, sehingga sel yang membawa gen mutan akan terus membelah, makin lama kerusakan sel menjadi makin parah dan akhirnya mengakibatkan kanker.2 kemungkinan besar proses keganasan ini disebabkan oleh karena induksi benzoalphapyrene. zat ini dapat dijumpai di lingkungan sebagai hasil pirolisis lemak atau sebagai hasil proses pembakaran yang tidak sempurna, seperti pada daging panggang, sate, makanan diasap, asap rokok dan asap kendaraan bermotor. sebagai senyawa karsinogen, benzoalphapyrene dapat menyebabkan mutasi gen yang dimanifestasikan sebagai kerusakan kromosom, yaitu terjadi abrasi atau terbentuk patahan-patahan kromosom.11 secara in vivo, benzoalphapyrene telah terbukti dapat menyebabkan tumor pada setiap percobaan, baik melalui jalur makanan, pernafasan, maupun kontak pada permukaan kulit. inisiasi proses karsinogenik dari benzoalphapyrene bahkan dapat terjadi pada bagian jaringan yang jauh dari titik asal paparannya.11 hasil penelitian menggunakan ekstrak buah legundi terlihat perbaikan sel yang ditunjukkan dengan pengecilan ukuran dari nodul sebesar 20-30mm bahkan pada 2 slide perlakuan 3 nodul menghilang. hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang disimpulkan oleh li et al. (2005),8 dengan cara mengisolasi enam flavonoid yang diisolasi dari v. trifolia yaitu persikogenin, artemetin, luteolin, penduletin, viteksikarpin dan krisosplenol-d, yang selanjutnya di uji terhadap proliferasi sel kanker tsft210 tikus. keenam flavonoid tersebut mampu menghambat proliferasi sel kanker, dengan mekanisme penghambatan siklus sel dan menginduksi apoptosis.8 simpulan ekstrak etanol buah legundi (vitex trifolia) dengan dosis 0,5 g dan 1 gr/kg bb yang diberikan bersamaan dengan induksi benzoalphapyrene maupun setelah timbul massa tumor mampu menghambat pertumbuhan dan pembelahan sel tumor. diperlukan penelitian lebih lanjut dengan berbagai dosis untuk mendapatkan dosis efektif buah legundi yang berkhasiat sebagai penghambat pertumbuhan dan pembelahan sel tumor kulit. ucapan terima kasih ucapan terima kasih diberikan kepada kementrian riset teknologi dan pendidikan tinggi republik indonesia yang telah memberikan hibah penelitian dosen pemula pendanaan tahun 2016. daftar pustaka 1. buljan, m., bulana, v, stanic, s. variation in clinical presentation of basal cell carcinoma. university department of dermatology and venereology zagreb croatia. 2008; 25-30. 2. kumar, v., cotran s. r., robbins l. st. robbins basic pathology. 8th edition. w.b saunders company. philadelphia. pennsylvania. 2007; 307: 1244-46. 3. nair, a.g.r., ramesh, p. and subramanian, s. two unusual flav ones (artemetin and 7desmethyl artemetin) from the leaves of v. trifolia., curr. sci., 1975; 44 (7) : 214–216. 4. vedantham, t.n.c. and subramanian, s.s. non-flavonoid components of v. trifolia.,indian j. pharmacol., 1976; 38 (1) : 13. 6 humairah medina liza lubis, dkk., potensi ekstrak buah legundi (vitex trifolia) 5. ramesh, p., nair, a.g.r. and subramanian, s.s. flavone glycosides of v. trifolia. fitoterapia, lvii 4, 1986; pp. 282–283. 6. zeng, x., fang, z., wu, y., zhang, h. chemical constituents of the fruits of v. trifolia. zhongguo zhong yao za zhi., 1996; 21(3):167-168, 191. 7. herna´ndez, m.m., heraso, c., villarreal, m.l., vargas-arispuro, aranda, e., 1999, biological activities of crude plant extracts from vitex trifolia l. (verbenaceae), j. of ethnopharmacol., 67 : 37–44. 8. li, w.x., cui, c.b., cai, b., yao, x.s. labdanetype diterpenes as new cell cycle inhibitors and apoptosis inducers from v. trifolia, j asian nat prod res., 2005; 7(2) : 95-105. 9. mustanir dan rosnani. 2008. isolasi senyawa bioaktif penolak (repellent) nyamuk dari ekstrak aseton batang tumbuhan legundi (vitex trifolia). bul. littro. vol. xix no. 2 : 174180. 10. junqueira, lc & carneiro, j. basic histology text and atlas (10th ed.). united states of america: the mcgraw-hill companies, inc. 2007. hal:372-378. 11. mahardini, t., renawati., yulistia, a, parameter polycyclic aromatic hydrocarbons (pahs) dalam standarisasi produk pangan. balai besar industri agro deprin, bogor. 124 rizky hermawan saputra, dkk., hubungan kadar ekskresi yodium urin hubungan kadar ekskresi yodium urin ibu menyusui dengan perkembangan bayi usia bawah 2 tahun di daerah endemik gaky relationship the levels of urine iodine excretion in breastfeeding mother with development of baby’s under 2 years in gaky endemic areas rizky hermawan saputra1, zulkhah noor2* 1program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta 2bagian fisiologi, 1program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyahyogyakarta *email: zulkhah@yahoo.com abstrak gangguan akibat kekurangan yodium (gaky) pada bayi berdampak menghambat proses tumbuh kembang. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kadar ekskresi yodium urin (eyu) ibu menyusui dengan perkembangan bayi usia dibawah dua tahun di daerah endemik gaky. penelitian ini bersifat observational dengan desain cross sectional. sampel penelitian adalah 30 ibu menyusui yang memiliki bayi berusia dibawah dua tahun. kadar eyu diukur dengan menggunakan ammonium persulfat dry digestion dan perkembangan bayi dinilai dengan menggunakan kuesioner pra skrining perkembangan (kpsp). kadar median eyu ibu kemudian dikorelasikan dengan status perkembangan bayi, menggunakan uji spearman. hasil menunjukkan bahwa kadar eyu ibu optimal (173,5 ppm). sebanyak sembilan ibu (30%) memiliki status eyu optimal, namun status perkembangan bayi dengan kategori meragukan sebanyak 12 bayi (40%). hasil uji korelasi antara kadar eyu ibu dengan status perkembangan bayi menunjukkan p = 0,428; r = 0,150. disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar eyu ibu menyusui dengan status perkembangan bayi usia dibawah dua tahun. kata kunci: gangguan akibat kekurangan yodium (gaky), ekskresi yodium urin (eyu), perkembangan bayi, iodine induced hypertiroidism (iih) abstract disorders due to iodine deficiency (gaky) in infants have an effect inhibit the growth and development processes. this study aims to determine the relationship of urinary iodine excretion (uie) of breastfeeding mothers with the development of infants aged under two years in the endemic areas of gaky. this research is observational with cross sectional design. the sample was 30 breastfeeding mothers with babies under two years old. urinary iodine excretion levels were measured using dry digestion ammonium persulfate and infant development were assessed using a pre-screening appraisal questionnaire (kpsp). the maternal uie median level was then correlated with the infant’s developmental status, using the spearman test. the results showed that the mother’s uie level was optimal (173,5 ppm). there were nine mothers (30%) had optimal uie status, but infant development status in the dubious category of 12 (40%). result of correlation test between mother uie level with infant development status showed p = 0,428; r = 0.150. it was concluded that there was no significant association between uie of breastfeeding mothers and developmental status of infants aged under two years. key words: iodine deficiency disorder (idd), urine iodine excretion (uie), development of baby, iodine induced hypertiroidism (iih) artikel penelitian mutiara medika vol. 15 no. 2: 124-130, mei 2015 125 mutiara medika vol. 15 no. 2: 124-130, mei 2015 pendahuluan hipotiroid menimbulkan berbagai gangguan kesehatan tubuh karena fungsi hormon tiroid sangat luas meliputi sintesis enzim dan reseptor seluler berbagai organ yang sangat diperlukan dalam proses metabolisme energi, tumbuh kembang organ, dan kerja organ dalam melakukan fungsinya. gangguan akibat kekurang yodium (gaky) adalah gejala yang timbul karena tubuh seseorang kekurangan yodium secara terus menerus dalam jangka waktu yang cukup lama.1 gaky merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang serius mengingat dampaknya sangat besar terhadap kelangsungan hidup dan kualitas sumber daya manusia. pada ibu hamil penderita gaky berat untuk kurun waktu lama (kronik), dampak buruk gaky mulai terjadi pada kehamilan trimester kedua tetapi masih dapat diperbaiki apabila segera mendapat suplemen zat yodium. apabila gaky terjadi pada kehamilan tua (lebih dari trimester kedua), dampak buruknya tidak dapat diperbaiki ,artinya kelainan fisik dan mental yang terjadi pada janin akan menjadi permanen sampai dewasa. dampak buruk pada janin dan bayi dapat berupa keguguran, lahir mati, lahir cacat, kretin/cebol, kelainan psikomotor dan kematian bayi.2 pada anak usia sekolah dan orang dewasa gaky dapat berakibat pembesaran kelenjar gondok, cacat mental dan fisik. berdasarkan data puskesmas srumbung pada tahun 2008, telah terjadi peningkatan kasus hi poti roi d kongenital daripada tahun sebelumnya. kecamatan srumbung merupakan eks endemik berat dan secara turun temurun apabila terjadi defek atau abnormalitas pada kelenjar tiroid dan fungsinya, tentunya suplementasi yodium tidak bisa mempengaruhi kecukupan yodium dalam tubuh dan akan terbuang melalui urin apabila asupannya berlebih. penelitian dilakukan di desa tegalrandu yang terdiri dari dusun ngelo, dusun losari, dusun njengkol, dan dusun tegalrandu, kecamatan srumbung, kabupaten magelang, mengingat bahwa kecamatan srumbung merupakan daerah eks endemik berat. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kadar ekskresi yodium urin (eyu) ibu menyusui dengan perkembangan bayi usia dibawah 2 tahun. bahan dan cara penelitian ini adalah penelitian observasional, data diambil secara cross-sectional. populasi pada penelitian ini adalah ibu menyusui dan bayinya yang berusia dibawah 2 tahun yang menetap di daerah endemik gaky hingga sekarang dan bersedia menjadi responden. sampel sebanyak 30 ibu menyusui dan 30 bayi usia bawah 2 tahun yang berada di desa tegalrandu, kecamatan srumbung, kabupaten magelang. total responden tersebut diambil dari keempat dusun, di dusun ngelo didapatkan 11 ibu menyusui beserta bayinya, di dusun losari didapatkan 5 ibu menyusui beserta bayinya, di dusun njengkol didapatkan 3 ibu menyusui beserta bayinya, dan di dusun tegalrandu didapatkan 11 ibu menyusui beserta bayinya. sebagai kriteria inklusi adalah ibu menyusui dan bayinya yang berusia 0-2 tahun, tinggal menetap di daerah endemik gaky. kriteria eksklusi yaitu terdapat kelainan yang diderita karena cacat, penyakit infeksi, trauma atau keganasan. variabel bebas adalah kadar ekskresi yodium urin ibu menyusui. variabel tergantung adalah pertumbuhan fisik bayi usia bawah 2 tahun yang 126 rizky hermawan saputra, dkk., hubungan kadar ekskresi yodium urin meliputi berat badan, panjang badan dan lingkar kepala. beberapa bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu kuesioner dan form data yang berisi data kriteria responden dan parameter yang akan diukur. alat yang digunakan yaitu timbangan untuk mengukur berat badan, infantometer dan microtoise untuk mengukur panjang badan, kurva pertumbuhan cdc, botol penampung sampel urin pagi, alat dan bahan yang dibutuhkan laboratorium bp gaky untuk pemeriksaan eyu (metode ammonium persulfat dry digestion). penelitian dilakukan di daerah endemik gaky di desa tegalrandu, kecamatan srumbung, kabupaten magelang. penelitian dilakukan pada bulan mei sampai agustus 2011. tahapan penelitian yang dimulai dengan perizinan dilanjutkan survey awal dan sosialisasi penelitian pada pihak-pihak terkait. tahap selanjutnya dilakukan pengisian kuesioner untuk mengetahui kriteria inklusi dan eksklusi responden penelitian, pengukuran antropometri bayi yang meliputi berat badan, panjang badan, dan lingkar kepala. tahapan terakhir yaitu pengambilan sampel urin pagi bagi ibu menyusui. analisis data menggunakan uji korelasi spear-man untuk mengetahui signifikansi hubungan antara ekskresi yodium urin ibu menyusui dengan pertumbuhan fisik bayi. hasil penilaian status yodium suatu daerah dilihat dengan menghitung nilai median eyu. nilai median eyu desa tegalrandu sebesar 173,5 ppm (optimal). akan tetapi apabila dilihat nilai median tiap dusun, didapatkan hasil yaitu kadar eyu di dusun ngelo memiliki nilai median sebesar 178 ppm (optimal), kemudian dusun losari memiliki nilai median sebesar 232 ppm, kondisi berisiko iodine induced hypertyroid (iih). dusun tegalrandu memiliki nilai median sebesar 208 ppm (berisiko iih), sedangkan dusun njengkol memiliki median sebesar 36 ppm (kurang yodium sedang). tabel 1. menunjukkan distribusi frekuensi status yodium urin pada ibu menyusui di wilayah kecamatan srumbung, dimana tidak ditemukan ibu menyusui yang menderita kekurangan yodium berat tetapi masih ditemukan ibu-ibu menyusui yang menderita kekurangan yodium sedang dan kekurangan yodium ringan. hal ini menandakan bahwa kecamatan srumbung sudah terbebas dari kekurangan yodium berat dan sekarang ditemukan status yodium ibu menyusui yang menunjukkan risiko iih dan risiko iih luas. hasil pemeriksaan ekskresi yodium urin (eyu) tidak didapatkan ibu menyusui yang mengalami kekurangan yodium berat. tidak ditemukan bayi usia di bawah dua tahun dengan perkembangan yang sesuai pada ibu menyusui yang mengalami risiko iih luas. terdapat 5 bayi usia di bawah dua tahun yang mempunyai status perkembangan meragukan pada ibu menyusui yang mengalami risiko iih luas dan terdapat tiga bayi usia di bawah dua tahun yang mempunyai kemungkinan penyimpangan status perkembangan pada ibu menyusui dengan status yodium optimum. tabel 1. distrib usi frekuensi status yod ium di kecamatan srumbung no. status yodium n % 1 kurang yodium berat 0 0 2 kurang yodium sedang 3 10 3 kurang yodium ringan 6 20 4 optimal 9 30 5 risiko iih 6 20 6 risiko iih luas 6 20 iih: iodine induced hypertiroidism 127 mutiara medika vol. 15 no. 2: 124-130, mei 2015 tabel 2. menunjukkan hasil analisis hubungan eyu ibu menyusui dengan status perkembangan bayi usia di bawah dua tahun menggunakan uji korelasi spearman. nilai p = 0,428 (p>0,05) menunjukkan bahwa tidak ter-dapat korelasi yang bermakna antara status yo-dium eksresi urin ibu menyusui dengan status perkembangan bayi usia di bawah dua tahun dengan kekuatan korelasi (r) = 0,150 yang menunjukkan korelasinya sangat lemah (0,00-0,199). arah korelasi bersifat positif menunjuk-kan kecenderungan searah yaitu semakin besar nilai tinggi status eyu ibu semakin besar nilai status perkembangan bayi usia kurang dari 2 tahun. diskusi status yodium urin. hasil penelitian menunjukkan nilai median eyu dusun ngelo termasuk dalam kriteria daerah dengan status yodium optimal atau cukup, kemudian dusun losari dan tegalrandu termasuk dalam kriteria daerah kelebihan asupan yodium yang memiliki risiko terhadap iodine induced hypertiroidism (iih) dalam 5-10 tahun. dusun njengkol terma-suk dalam kriteria daerah dengan defisiensi yodium sedang. apabila dilihat secara keselu-ruhan, nilai median daerah pada desa tegalrandu dikategorikan menjadi status yodium op-timal. hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah sangat memperhatikan kecamatan srumbung sebagai daerah eks endemik berat. sebagian besar yodium yang diserap tubuh dapat dilihat di urin karena ekskresi yodium urin menggambarkan asupan yodium harian. secara individu ekskresi yodium dapat berubah tergan-tung konsumsi makanan setiap hari. studi me-nunjukkan secara meyakinkan profil konsentrasi yodium pagi hari atau sewaktu pada anak atau orang dewasa merupakan penilaian adekuat nutrisi yodium pada populasi. sampel urin selama 24 jam sulit di peroleh dan tidak perlu.3 asupan yodium sehari-hari diperoleh dari menu makanan, termasuk dari garam beryodi-um. sebagian kecil yodium akan masuk ke dalam darah dan sebagian besar akan diekskresikan lewat urin sehingga diharapkan eyu mampu melihat yodium yang dikandung di dalam tubuh. merujuk pada penelitian pada kelompok ibu menyusui di kecamatan srumbung, kabupaten magelang, menunjukkan bahwa pola perubahan kandungan yodium asi sama dengan pola perubahan yodium dalam urin dengan koefisien korelasi sebesar 0,96 (sangat kuat) dan diperkirakan kandungan yodium dalam asi sekitar 60% dari kandungan yodium dalam urin.4 eyu adalah indikator terbaik untuk menilai defisiensi yodium. metabolisme yodium dipengaruhi oleh status energi protein, zat gizi besi, vitamin a dan zat gizi mikro lainnya. defisiensi energi protein menghambat metabolisme yodium melalui sistem endokrin yaitu terhadap berat tabel 2. distribusi frekuensi status perkembangan berdasarkan status yodium urin no. status yodium status perkembangan bayi uji korelasi spearman sesuai meragukan kemungkinan penyimpangan n % n % n % 1 kurang yodium berat 0 0% 0 0% 0 0% p = 0.428 r = 0.150 2 kurang yodium sedang 1 3.33% 1 3.33% 1 3.33% 3 kurang yodium ringan 3 10% 2 6.67% 1 3.33% 4 optimum 4 13.33% 2 6.67% 3 10% 5 risiko iih 3 10% 2 6.67% 1 3.33% 6 risiko iih luas 0 0% 5 16.67% 1 3.33% total 11 36,66% 12 40% 7 23.33% 128 rizky hermawan saputra, dkk., hubungan kadar ekskresi yodium urin kelenjar, struktur histologi, dan fungsi kelenjar tiroid walaupun dalam jangka waktu yang lama. sebaliknya, konsumsi yodium yang berlebihan dapat menurunkan pelepasan hormon tiroid (t3 dan t4) sehingga konsentrasi hormon tiroid dalam serum menurun dan menstimulasi tirotropin (tsh).5 penelitian di zaire menyebutkan bahwa penggunaan minyak beryodium sebanyak 480 mg/ml idak menimbulkan iih, tetapi penggunaan garam beryodium mengakibatkan tirotoksikosis dan konsentrasi tsh tertekan (suppressed) sementara konsentrasi t3 dan t4 dalam serum mengalami penurunan atau tetap normal.6 status perkembangan. hasil penelitian status yodium yang dilihat dari kadar ekskresi yodium urin (eiu) ibu yang menyusui anaknya dihubungkan dengan status perkembangan bayi usia di bawah dua tahun menggunakan kpsp di kecamatan srumbung menggunkanan uji korelasi spearman memperlihatkan tidak terdapat korelasi yang bermakna dengan kekuatan korelasi lemah dan arah korelasi positif yang menunjukkan kecenderungan searah. hal ini dikarenakan ekskresi yodium urin (eyu) hanya menunjukkan status gaky saat ini (current status), padahal pertumbuhan dan perkembangan sudah dimulai sejak dalam kandungan. hasil distribusi frekuensi status perkembangan bayi usia dibawah dua tahun yang dihubungkan dengan status yodium urin ekskresi ibu yang menyusui di kecamatan srumbung, menunjukkan bahwa frekuensi bayi usia dibawah dua tahun yang mempunyai status perkembangan meragukan terbanyak terdapat pada ibu menyusui dengan status yodium ekskresi urin terkena risiko iih luas sebanyak lima anak (16.67%), sedangkan frekuensi bayi usia di bawah dua tahun yang mempunyai status kemungkinan mengalami penyimpangan perkembangan terbanyak terdapat pada ibu menyusui dengan status yodium ekskresi urin optimum sebanyak tiga anak (10%). hal ini menunjukkan bahwa status yodium ekskresi urin ibu yang menyusui tidak dapat sepenuhnya mempengaruhi status perkembangan bayi usia di bawah dua tahun yang dinilai dengan menggunakan kuesioner pra skrining perkembangan (kpsp), karena status yodium ekskresi urin ibu menyusui yang berada dalam risiko iih luas menunjukkan bahwa asupan yodium ke dalam tubuh ibu terlalu banyak sehingga dimungkinkan laju metabolisme tubuh dapat terpenuhi dan kelebihan yodium yang berada di dalam tubuh terutama di keluarkan melalui urin dan sedikit melalui feses. pada ibu menyusui dengan status yodium ekskresi urin optimum menunjukkan bahwa asupan yodi um yang cukup sehi ngga untuk proses metaboli sme dan kepentingan dal am tubuh seharusnya dapat terpenuhi. hal tersebut dapat terjadi karena, kemungkinan telah dicurigai terjadi hipotiroid kongenital, karena kecamatan srumbung merupakan eks endemik berat7 yang memungkinkan terjadinya defek atau abnormalitas pada kelenjar tiroid dan fungsinya secara turun temurun, sehingga suplementasi yodium tidak akan menanggulangi kekurangan yodium dalam tubuh, dan sebagian besar yodium akan terbuang melalui urin apabila asupannya berlebih. dapat ditarik kesimpulan bahwa masih banyak faktor yang mempengaruhi status perkembangan bayi usia dibawah dua tahun selain asupan yodium. hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara ekskresi yodium urin ibu menyusui dengan status perkembangan bayi usia dibawah 2 tahun di desa tegalrandu, kecamatan 129 mutiara medika vol. 15 no. 2: 124-130, mei 2015 srumbung sebagai daerah endemik gaky adalah tidak benar atau tidak sesuai dengan hasil penelitian. secara umum perkembangan anak tidaklah lepas dengan pertumbuhan anak, keduanya merupakan proses yang berkesinambungan yang terjadi sejak intrauterine. proses tumbuh kembang anak mempunyai beberapa ciri-ciri, yang pertama adalah perkembangan terjadi karena timbulnya pertumbuhan, misalnya perkembangan intelegensia pada seorang anak akan menyertai pertumbuhan otak dan serabut saraf. yang kedua pertumbuhan dan perkembangan awal menentukan tumbuh kembang tahap berikutnya, misalnya seorang anak tidak akan bisa berjalan sebelum bisa berdiri, dan seorang anak tak akan bisa berdiri sebelum pertumbuhan kaki dan bagian tubuh lain yang terkait dengan fungsi berdiri terhambat. yang ketiga perkembangan mempunyai tahap yang tetap, misal seorang anak tidak mungkin mampu membuat gambar lingkaran sebelum bisa membuat gambar kotak.8 terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak, yakni faktor internal (ras/ etnik, umur, jenis kelamin, genetik dan kelainan kromosom), faktor eksternal yang meliputi faktor prenatal (gizi, mekanis, toksin/ zat kimia, endokrin, radiasi, infeksi, psikologi ibu), faktor persalinan (trauma kepala, asfiksia) dan pascasalin (gi zi, penyakit kroni s/ kelai nan kongeni tal , lingkungan fisis dan kimia, psikologis, endokrin, sosio-ekonomi, lingkungan pengasuhan, stimulasi dan obat-obatan).9 pertumbuhan dan perkembangan mengalami peningkatan yang pesat pada usia dini, yaitu 0-5 tahun (golden age). golden age merupakan masa yang sangat penting untuk memperhatikan tumbuh kembang anak secara cermat agar sedini mungkin dapat terdeteksi apabila ada kelainan. penanganan yang sesuai pada masa golden age dapat meminimalisir kelainan pertumbuhan dan perkembangan anak sehingga kelainan yang bersifat permanen dapat dicegah. di daerah endemik gondok sangat dikhawatirkan terjadi bayi lahir yang kurang atau tidak normal. hipotiroid kongenital merupakan penyakit pada bayi sejak lahir yang disebabkan karena kekurangan hormon tiroid yang dibu-tuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan pada bayi dan anak-anak. akibat kekurangan hormon tiroid pada masa bayi yang tidak segera terdiagnosis dan ditangani dapat menyebabkan keterbelakangan mental dan kretinisme.10 simpulan kadar yodium urin ibu menyusui di desa tegalrandu, kecamatan srumbung, kabupaten magelang menunjukkan hasil yang optimal. tidak ada hubungan antara kadar yodium ekskresi urin ibu menyusui dengan status perkembangan bayi usia dibawah dua tahun. ucapan terima kasih ucapan terima kasih disampaikan kepada lembaga pendidikan, pengembangan dan masyarakat (lp3m) universitas muhammadiyah yogyakarta yang telah memberikan kesempatan, dana, dan fasilitas sehingga penelitian ini dapat dapat dilaksanakan. daftar pustaka 1. depkes. gangguan akibat kurang yodium. diakses 15 nov ember 2011, dari http:// gizi.depkes.go.id/gaky/lb-gaky.pdf 130 rizky hermawan saputra, dkk., hubungan kadar ekskresi yodium urin 2. indriastuti, w. gangguan akibat kurang yodium. 2008. diakses 15 november 2011, dari ht tp :// bl o gsi ez .bl og spo t.c om /20 08/ 01 /gangguan-akibat-kekurangan-yodium-gaky.html 3. who. assesment of iodine deficiency disorder and monitoring their elimination, a guide for programme managers, 2nd edition. 2001. 4. muhilal. perubahan kandungan yodium dalam asi setelah pemberian yodium dosis tinggi per oral pada ibu menyusui. jakarta: balai litbang kesehatan. 2003. 5. pardede, lvh., hardjowasito,w., gross, r., dillon, dhs., totoprajogo, os., yosoprawoto, m., et al. urinary iodine excretion is the most appropriate outcome indicator for iodine deficiency at field conditions at district level. j. nutr; 1998. 128 (7): 1122-1126. 6. budiman, b. risiko menjadi kretin pada bayi yang menderita gangguan neurologik di daerah endemik gaky dalam kurun waktu lima tahun. 2002. diakses pada 22 april 2011 dari h t t p : / / d i g i l i b . l i t b a n g . d e p k e s . g o . i d / go.php?id=jkpkbppk-gdl-res-2002-basuki-1448gaki&q=gaki 7. widodo, u. kelainan kongenital dan hambatan tumbuh kembang anak di kecamatan srumbung, kabupaten magelang. 2004. diakses 15 nov ember 2011, dari http:// ww w. l i t b a n g . d e p k e s . g o . i d / d o wn l o a d / penelusuran/abstrak/abstrak2004.pdf 8. depkes ri. pedoman pelaksanaan, stimulasi, deteksi dan intervensi dini tumbuh kembang anak di tingkat pelayanan kesehatan dasar. jakarta: departemen kesehatan ri. 2010. 9. kusmil, r. pertumbuhan dan perkembangan anak. 2008. diakses 15 november 2011, dari http://www.aqila-putri.rachdian.com/content/ view/23/29/1/1/ 10. chamidah, a.n. deteksi dini gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak. jurnal pendidikan khusus. 2009. 1 (3): 83-93 109 mutiara medika vol. 15 no. 2: 109-115, mei 2015 penerapan nx-quality assurance software pada computed radiography di instalasi rsud dr. margono soekardjo purwokerto (studi kasus analisis penolakan pada computed radiography agfa nx-8700 su1) the aplication of nx-quality assurance software on computed radiography in the radiology department prof. dr. margono soekardjo purwokerto hospital (case study of reject analysis on computed radiography agfa nx-8700 su1) gatot murti wibowo1*, dwi rochmayanti2, regi kusuma rini3 1,2 jurusan teknik radiodiagnostik dan radioterapi poltekkes kemenkes semarang 3 rumah sakit pondok indah puri indah, jakarta *email: wgatotmurti@yahoo.co.id abstrak program reject analysis merupakan bagian dari program quality assurance yang berguna untuk meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit bidang diagnostik. tujuan penelitian ini adalah untuk memaparkan hasil analisis penolakan citra softcopy, menjelaskan faktor penyebab penolakan dan rekomendasi pemecahan masalah untuk mengurangi angka penolakan citra softcopy. jenis penelitian ini kuantitatif analitik dan kualitatif menggunakan metode focus group discussion (fgd). data unduhan yang diperoleh dari nx-quality assurance software kemudian diolah untuk mengetahui persentase penolakan kemudian dirinci berdasarkan penyebab penolakan, jenis pemeriksaan dan kode radiografer selanjutnya dibuat diagram pareto untuk mencari prioritas penolakan dan dibuat diagram fishbone berdasarkan hasil fgd. hasil penelitian menunjukkan total reject rate pada bulan maret 2014 sebesar 3,02%, melampaui batas yang direkomendasikan kemenkes yaitu d” 2%. faktor utama penyebab penolakan adalah faktor positioning (69,69%), jenis pemeriksaan chest (43,94%) dan radiografer mahasiswa (21%-24,24%). solusinya adalah mengadakan briefing rutin setiap hari oleh radiografer secara bergantian kepada mahasiswa praktikan disertai dengan pemberian tips sederhana dalam melakukan pemeriksaan sesuai pengalaman radiografer, mengadakan gladi lapangan terhadap praktikan baru untuk orientasi atau pengenalan alat, meningkatkan keterampilan mahasiswa dengan memberikan shift tambahan terhadap mahasiswa di luar pkl dan membangun komunikasi terhadap pasien serta meningkatkan pengetahuan tentang teknik pemeriksaan. kata kunci: analisis penolakan citra softcopy, nx-quality assurance software, computed radiography, diagram pareto, diagram fishbone abstract the reject analysis program is part of the quality assurance program that is useful for improving the quality of diagnostic hospital services. the purpose of this research is to describe the result of softcopy image rejection analysis, explain the cause of rejection factor and problem solving recommendation to reduce the softcopy image rejection number. this type of research is quantitative analytic and qualitative using focus group discussion method (fgd). the download data obtained from the nx-quality assurance software is then processed to determine the percentage of rejection then specified based on the cause of the rejection, the type of examination and the radiographic code is then made a pareto diagram to seek priority rejection and made a fishbone diagram based on fgd results. the results showed the total reject rate in march 2014 was 3.02%, exceeding the ministry of health’s recommendation that is d” 2%. the main factors causing rejection are positioning factor (69,69%), chest examination type (43,94%) and student radiographer (21% -24,24%). the solution is to hold daily routine briefing by radiographer in turns to the student accompanied by the provision of simple tips in conducting examination according to the experience artikel penelitian mutiara medika vol. 15 no. 2: 109-115, mei 2015 110 gatot murti wibowo, dkk., penerapan nx-quality assurance software pendahuluan seiring dengan perkembangan jaman yang semakin pesat, pada saat ini konvensional radiografi mulai digantikan dengan digital radiografi seperti menggunakan computed radiography. computed radiography adalah suatu sistem atau proses untuk mengubah sistem analog pada konvensional radiografi menjadi digital radiografi.1 citra yang dihasilkan dari computed radiography terdiri dari dua tampilan yaitu dalam bentuk citra digital (softcopy) dan film yang dicetak (hardcopy).2 citra hardcopy yang ditolak dapat dihitung secara langsung karena bukti fisiknya nyata tetapi citra softcopy yang ditolak seringkali diabaikan karena tidak ada bukti fisiknya. analisis terhadap penolakan citra softcopy menjadi aspek penting yang harus dilakukan untuk meningkatkan program manaje-men kualitas.3 instalasi radiologi rsud prof. dr. margono soekarjo purwokerto sudah menerapkan mo-dalitas computed radiography merk agfa type nx-8700 su1 sejak bulan november 2013. angka reject atau penolakan tetap tidak bisa mencapai angka zero walaupun sudah menggunakan modalitas computed radiography karena dengan kemudahan pada penggunaan computed radiography seringkali mahasiswa praktek kerja lapangan (pkl) atau radiografer menjadi kurang teliti pada saat melakukan pemotretan. program reject analysis yang sudah dilakukan di instalasi rsud prof. dr. margono soekarjo purwokerto masih berbasis hardcopy (film roentgen) pada radiografi konvensional dan hardcopy computed radiography tetapi belum diimplementasikan pada softcopy. computed radiography di instalasi radiologi rsud prof. dr. margono purwokerto sudah dilengkapi dengan nx-quality assurance software, dimana pengguna bisa menerima data tentang penolakan terhadap citra softcopy computed radiography secara otomatis namun aplikasinya belum dilaksanakan karena ketidaktahuan pengoperasian. instalasi radiologi rsud prof. dr. margono soekarjo purwokerto belum melaksanakan program reject analisis karena ketidaktahuan radiografer dalam memasukan tiap kategori penyebab penolakan citra softcopy. penyebab penolakan yang diketahui hanya sebatas pada penyebab yang sama seperti pada penyebab penolakan konvensional saja seperti overexpose, underexpose, positioning dan image blur, sedangkan untuk faktor lainnya yang terkait dengan computed radiography seperti mechanical failure, electrical failure dan software failure belum sepenuhnya mengerti karena belum ada prosedur untuk pelaksanaan program reject analysis sedangkan sudah ada regulasi yang mengatur tentang tingkat penolakan dalam radiologi yaitu keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor 129/ menkes/sk/ii-/2008. menurut keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor 129/menkes/ sk-/ii/2008 tentang standar pelayanan minimal of radiographer, conducting a field rehearsal of new practitioners for orientation or introduction of tools, improving student skills by providing additional shifts to students outside the street vendors and build communication to patients as well as improve knowledge of examination key words: reject analysis of softcopy image, nx-quality assurance software, computed radiography, pareto chart, fishbone diagram 111 mutiara medika vol. 15 no. 2: 109-115, mei 2015 rumah sakit menyatakan tingkat penolakan pelayanan radiologi sebesar d” 2%.4 berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk menganalisis lebih dalam mengenai reject analysis citra softcopy pada modalitas computed radiography dengan menggunakan nx-quality assurance software di instalasi radiologi rsud prof. dr. margono soekarjo purwokerto. bahan dan cara jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dan kualitatif. penelitian kuantitatif menggunakan pendekatan survey dengan mengamati jumlah penolakan citra softcopy menggunakan data unduhan dari nx-quality assurance software pada computed radiography agfa nx-8700 su1. penelitian kualitatif menggunakan metode focus group discussion (fgd) dengan mencari akar masalah penyebab penolakan citra dan mencari solusi untuk menekan atau mereduksi angka penolakan. metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu observasi, dokumentasi dan fgd. waktu pengambilan data adalah bulan maret-april 2014. penelitian analisis penolakan citra softcopy pada ­computed radiography (cr) dilakukan di instalasi radiologi rsud prof. dr. margono soekarjo purwokerto. cr di instalasi radiologi rsud prof. dr. margono soekarjo purwokerto yaitu merk agfa tipe nx-8700 su1. instalasi radiologi rsud prof. dr. margono purwokerto memiliki 13 radiografer yang melakukan pemeriksaan radiologi pada saat penelitian dilakukan. setiap radiografer memiliki kode yang berbeda yaitu as, hs, msd, sii, hfd, rtn, gau, idp, dst, agr, ef, az dan sw. hasil dan pembahasan penolakan citra softcopy di instalasi radio-logi rsud prof. dr. margono soekarjo purwo-kerto bulan maret 2014 terlihat pada tabel 1. diagram pareto berdasarkan penyebab penolakan dianalisis menggunakan prinsip 80/20 yang berarti bahwa 80% penolakan disebabkan oleh 20% masalah terbesar, artinya 80% masalah prioritaskan pada penyebab-penyebab yang berada pada kisaran 20%. berdasarkan diagram pareto tersebut, penyebab yang berada pada kisaran 20% adalah faktor positioning. positioning merupakan faktor yang menjadi akar permasalahan atau penyebab utama terjadinya penolakan citra softcopy di instalasi radiologi rsud prof. dr. margono soekarjo purwokerto bulan maret 2014 sehingga perlu ditinjau dengan menggunakan tabel 1. pen olakan citra sof tcop y co mput ed rad iogr aphy berdasarkan fakto r penyeb ab penolakan bulan maret 2014 no penyebab penolakan jumlah ditolak reject rate (%) kumulatif (%) 1 positioning 46 69,69 69,69 2 motion blur 5 7,57 77,26 3 no image 4 6,06 83,32 4 detector artifact(s) 3 4,55 87,87 5 image artifact(s) 3 4,55 92,42 6 under exposed 3 4,55 96,97 7 other artifact(s) 2 3,03 100,00 total 66 100,00 gambar 1. di agram pareto pen olakan citr a so ftco py berdasarkan faktor penyebab penolakan 112 gatot murti wibowo, dkk., penerapan nx-quality assurance software diagram fishbone untuk mengetahui sub-sub permasalahan agar dapat diketahui upaya atau solusi untuk mereduksi penolakan pada faktor positioning. berikut adalah diagram fishbone berdasarkan hasil fgd pada faktor positioning. diagram pareto berdasarkan jenis pemeriksaan dianalisis menggunakan prinsip 80/20 yang berarti bahwa 80% penolakan berdasarkan jenis pemeriksaan disebabkan oleh 20% penolakan pemeriksaan tertinggi, artinya 80% masalah prioritaskan pada jenis pemeriksaan yang berada pada kisaran 20% yaitu pemeriksaan chest. chest merupakan faktor yang menjadi akar permasalahan atau jenis pemeriksaan utama terjadinya penolakan citra softcopy di instalasi radiologi rsud prof. dr. margono soekarjo purwokerto bulan maret tabel 2. pen olakan c itra sof tcop y co mput ed radiography berdasarkan jenis pemeriksaan bulan maret 2014 no jenis pemeriksaan jumlah ditolak reject rate (%) kumulatif (%) 1 chest 29 43,94 43,94 2 cspine 10 15,15 59,09 3 abdomen 9 13,64 72,73 4 lspine 6 9,09 81,82 5 skull 3 4,55 86,37 6 leg 2 3,03 89,4 7 pelvis 2 3,03 92,43 8 shoulder 2 3,03 95,46 9 tspine 2 3,03 98,49 10 foot 1 1,51 100 total 66 100 gambar 2. diagram fishbone penolakan citra softcopy bulan maret 2014 berdasarkan faktor penyebab penolakan menurut hasil fgd gambar 3. diagram pareto penolakan citra softcopy berdasarkan jenis pemeriksaan 113 mutiara medika vol. 15 no. 2: 109-115, mei 2015 2014, sehingga perlu ditinjau dengan menggunakan diagram fishbone. diagram fishbone bertujuan untuk mengetahui sub-sub permasalahan agar dapat diketahui upaya atau solusi untuk mereduksi penolakan pada pemeriksaan chest. berikut adalah diagram fishbone berdasarkan hasil fgd pada pemerik-saan chest. diagram pareto berdasarkan kode radiografer dianalisis menggunakan prinsip 80/20 yang berarti bahwa 80% penolakan disebabkan oleh 20% masalah, artinya 80% masalah prioritaskan pada kode radiografer yang berada pada kisaran 20% yaitu kode radiografer mahasiswa. mahasiswa merupakan faktor yang menjadi akar permasalahan atau kode radiografer utama terjadinya penolakan citra softcopy di instalasi radiologi rsud prof. dr. margono soekarjo purwokerto bulan maret 2014 sehingga perlu ditinjau dengan menggunakan diagram fishbone. diagram fishbone bertujuan untuk mengetahui sub-sub permasalahan agar dapat diketahui upaya atau solusi untuk mereduksi penolakan pada kode radiografer mahasiswa. berikut adalah diagram fishbone berdasarkan hasil fgd pada faktor kode radiografer mahasiswa. tabel 3. pen olakan c itra sof tcop y co mput ed radiography berdasarkan kode radiografer bulan maret 2014 no kode radiografer jumlah ditolak reject rate (%) kumulatif (%) 1 mhsw smg 16 24,24 24,24 2 mhsw pwt 14 21,21 45,45 3 ef 7 10,61 56,06 4 unknown 4 6,06 62,12 5 agr 5 7,57 69,7 6 hfd 5 7,57 77,27 7 rtn 4 6,05 83,32 8 hs 3 4,55 87,87 9 sw 3 4,55 92,42 10 dst 2 3,03 95,45 11 idp 2 3,03 98,48 12 gau 1 1,52 100 total 66 100 gambar 4. diagram fishbone penolakan citra softcopy bulan maret 2014 berdasarkan jenis pemeriksaan menurut hasil fgd 114 gatot murti wibowo, dkk., penerapan nx-quality assurance software gambar 5. diagram pareto penolakan citra softcopy berdasarkan kode radiografer hasil analisis penolakan di instalasi radiologi rsud prof. dr. margono soekarjo purwokerto menghasilkan total reject rate sebesar 3,02%. angka ini telah melebihi dari reject rate yang ditetapkan oleh keputusan menteri kesehatan nomor 129/menkes/sk/ii/2008 tentang standar pelayanan minimal rumah sakit yang menyatakan bahwa tingkat penolakan < 2% (standar nasional) oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk menekan angka penolakan. berdasarkan diagram pareto, yang menjadi penyebab dominan penolakan citra softcopy bulan maret 2014 adalah faktor positioning pada pemeriksaan chest dengan kode pembuat citra mahasiswa. aternatif/rekomendasi untuk menekan angka penolakan citra softcopy menurut hasil fgd kemudian dibuat diagram fishbone berdasarkan penyebab penolakan, jenis pemeriksaan dan kode radiografer pembuat. berdasarkan dari ketiga fishbone pada hasil menunjukkan ada keterkaitan antara ketiga faktor dominan tersebut yang menyangkut masalah positioning, pemeriksaan chest dan kode radiografer mahasiswa. upaya perbaikan prioritas yang direncanakan adalah lebih mengacu kepada positioning karena apabila positioningnya bagus maka gambar atau citra yang dihasilkan juga bagus untuk semua jenis pemeriksaan serta dari sumber daya manusianya terutama terhadap kode radiografer mahasiswa perlu diadakan briefing atau bimbingan terstruktur setiap pagi secara bergantian oleh radiografer, didalamnya diberikan trik-trik sederhana untuk melakukan pemeriksaan sesuai pengalaman radiografer kemudian gladi lapangan untuk orientasi gambar 6. diagram fishbone penolakan citra softcopy bulan maret 2014 berdasarkan kode radiografer mahasiswa menurut hasil fgd 115 mutiara medika vol. 15 no. 2: 109-115, mei 2015 alat dan juga ev aluasi kerja sehingga dapat meningkatkan kualitas dari sumber daya manusianya tersebut. selain itu juga perlu diberikan jam atau shift tambahan kepada mahasiswa di luar pkl untuk meningkatkan skill, jam terbang dan kepercayaan diri mahasiswa ketika dihadapkan dengan berbagai kondisi pasien terutama yang tidak kooperatif. simpulan persentase penolakan citra softcopy computed radiography di instalasi radiologi prof. dr. margono soekarjo purwokerto pada bulan maret 2014 sebesar 3,02%. persentase tersebut telah melampaui batas yang ditetapkan secara nasional.4 faktor penyebab penolakan dominan menurut diagram pareto adalah positioning (69,7%), jenis pemeriksaan dominan adalah chest (43,94%) dan kode radiografer dominan adalah mahasiswa (24,24%). solusi secara menyeluruh adalah mengadakan briefing rutin setiap hari oleh radiografer secara bergantian kepada mahasiswa praktikan disertai dengan pemberian trik-trik sederhana untuk melakukan pemeriksaan sesuai pengalaman radiografer, mengadakan gladi lapangan terhadap mahasiswa praktikan baru untuk orientasi atau pengenalan alat, kemudian meningkatkan keterampilan mahasiswa (memberikan shift tambahan terhadap mahasiswa diluar pkl untuk menambah jam kerja mahasiswa agar terbiasa menghadapi pasien) dan membangun komunikasi terhadap pasien serta meningkatkan pengetahuan tentang teknik pemeriksaan. sebaiknya menunjuk salah satu petugas yang bertanggung jawab terhadap program analisis penolakan kemudian membuat prosedur analisis penolakan citra softcopy. selanjutnya dilakukan program reject analysis menggunakan software secara berkelanjutan dan periodik untuk mencari akar permasalahan dan solusi pemecahan masalah. kemudian meningkatkan keterampilan semua radiografer tentang bagaimana penggunaan software penolakan supaya miscellaneous faktor atau faktor lain-lain bisa dikategorikan ke dalam faktor yang lebih spesifik. daftar pustaka 1. ballinger, pw. dan eugene d.f. merril’s atlas of radiographic positions and radiologic procedures, tenth edition, volume three. saint louis : mosby. 2003. 2. greene, e.r dan jorg wo. computed digital radiography in clinical practice. new york: thieme medical publishers. 1992. 3. papp, j. quality management in the imaging science. third edition. saint louis : mosby. 2006. 4. kmk nomor 129/menkes/sk/ii/2008 tentang standar pelayanan minimal rumah sakit 57 mutiara medika vol. 7 no. 2:57-60, juli 2007 pergerakan gigi dan remodeling tulang maksila regio anterior di akhir perawatan ortodontik teknik begg maloklusi angle klas i dengan insisivus maksila protusif : penelitian deskriptif observasional the tooth movement and bone remodeling of maxillary anterior region at the end of begg technique orthodontic treatment of class i angle malocclusion with protrusive maxillary incisors : descriptive observational study tita ratya utari¹, soehardono² ¹program studi kedokteran gigi, fakultas kedokteran, universitas muhammadiyah yogyakarta, ²depar temen ortodonsia, fakultas kedokteran gigi, universitas gadjah mada abstract basic axiom in the orthodontic treatment is “bone trace tooth movement”, which means that a good orthodontic tooth movement is a tooth movement followed by remodeling of alveolus bone in the same degree (bt ratio 1:1). this study described tooth movement and bone remodeling of maxillary anterior region in the end of stage iii begg technique orthodontic treatment of class i angle malocclusion with protrusive maxillary incisors in adult patients who were treated in orthodontic clinic, faculty of dentistry, gadjah mada university from 1997 to 2005. twenty-two cases fulfilled the criteria of research subjects. cephalogram in the end of treatment was superimposed on the cephalogram of initial treatment for each case. the changes of point a described the amount of labial cortex bone remodeling, whereas the changes of maxillary incisor apex described the amount of tooth movement. the average of point a changes was 1.37 mm and average of incisors apex changes was 2.65 mm (ratio 1:1.93). the results demostrated that there was tooth movement which was greater than bone remodeling. key words: bt ratio, cephalogram, third stage begg technique abstrak aksioma dasar perawatan ortodontik adalah “bone trace tooth movement”, artinya pergerakan gigi ortodontik yang baik adalah pergerakan gigi yang diikuti remodeling tulang alveolus dengan derajat yang sama besar (rasio bt 1:1). penelitian ini mendiskripsikan pergerakan gigi dan remodeling tulang maksila regio anterior di akhir tahap iii perawatan ortodontik teknik begg maloklusi angle klas i dengan insisivus maksila protusif pada pasien dewasa yang dirawat di klinik ortodonsia, fakultas kedokteran gigi, universitas gadjah mada dari tahun 1997 sampai 2005. duapuluh dua kasus memenuhi syarat sebagai subyek penelitian. sefalogram akhir perawatan disuperposisikan pada sefalogram awal perawatan dari setiap kasus. perubahan titik a mendiskripsikan besarnya remodeling tulang korteks labial, sedangkan perubahan apeks insisivus maksila mendiskripsikan besarnya pergerakan gigi. rerata perubahan titik a adalah 1,37 mm dan rerata perubahan apeks insisivus maksila adalah 2,65 mm (rasio 1:1,93). hasil ini menunjukkan bahwa terjadi pergerakan gigi yang lebih tita ratya utari, soehardono, pergerakan gigi dan remodeling ............ 58 pendahuluan pertumbuhan dan perkembangan susunan gigi sering mengalami kelainan oklusi dan estetis. gigi protrusif, berjejal dan tidak teratur sudah menjadi masalah sejak dulu. perawatan ortodontik bertujuan mengatasi masalah tersebut, yaitu memperoleh oklusi gigi ideal serta mencapai dan mempertahankan estetika dan keseimbangan fasial1. dasar perawatan ortodontik adalah fakta bahwa pemberian tekanan yang tepat dapat menggerakkan gigi tanpa mengakibatkan kerusakan pada gigi maupun perlekatannya pada tulang. tekanan yang diaplikasikan pada mahkota akan diteruskan ke akar, ligamen periodontal dan tulang alveolus, akibatnya terbentuk daerah tekanan dan daerah tegangan pada struktur ini. gigi dapat bergerak apabila terjadi resorpsi tulang di daerah tekanan dan supaya gigi tetap melekat, terjadi aposisi tulang di daerah tegangan, ini disebut remodeling. proses ini diikuti dengan remodeling sekunder, yaitu terjadi resorpsi di sumsum tulang alveolus yang mengalami aposisi dan aposisi di sumsum tulang alveolus yang mengalami resorpsi. proses ini mempertahankan ketebalan tulang dan hubungan antara gigi dengan tulang alveolus relatif konstan. soket gigi seperti bergerak sejalan dengan pergerakan gigi pada tulang alveolus, merupakan fenomena adaptasi yang disebutkan hukum wolf, yaitu tulang akan membentuk dan mengurangi massa karena tekanan, untuk mengimbangi tekanan tersebut. 2,3,4 aksioma dasar perawatan ortodontik adalah “bone traces tooth movement”, yang berarti pergerakan gigi ortodontik yang baik adalah pergerakan gigi yang diikuti remodeling tulang dengan derajat yang sama besar5. sehingga berkembang rasio remodeling tulang (bone/b) dengan pergerakan gigi (teeth/t) (rasio bt) 1:16. namun masih diperdebatan apakah perawatan ortodontik bisa mendapatkan hasil sesuai dengan aksioma di atas untuk semua kasus dan teknik perawatan ortodontik gigi bagian anterior7. perawatan ortodontik maloklusi angle klas i dengan protrusi gigi anterior sering dilakukan dengan pencabutan gigi premolar pertama maksila kemudian gigi-gigi anterior diretraksi 8. retraksi dengan anchorage gigi posterior yang optimum memungkinkan gigi-gigi anterior digeser dengan jarak yang besar 9. beberapa peneliti menyatakan bahwa gerakan arah lingual gigi-gigi insisivus maksila yang berlebihan sebaiknya dihindari untuk mencegah kerusakan ireversibel pada korteks yang mengakibatkan gigi kekurangan tulang pendukung. sarikaya menyimpulkan bahwa ada risiko merugikan berupa penipisan tulang alveolus dan kerusakan tepi vertikal alveolar akibat retraksi gigi anterior. resiko ini perlu menjadi perhatian ortodontis, penggunaan gaya yang ringan dan aktivasi jangka panjang akan sangat berguna karena memungkinkan tulang alveolus beradaptasi 7. penggunaan gaya yang ringan m e r u p a k a n k a r a k t e r i s t i k p e r a w a t a n ortodontik alat cekat dengan teknik begg 10. alat cekat teknik begg didisain khusus menggunakan braket dengan slot vertikal dan kawat busur dengan penampang bulat, perlekatan keduanya menghasilkan titik kontak tunggal sehingga kawat busur dap at bergerak bebas t anp a friksi11. prinsip pergerakan gigi pada teknik begg adalah mekanisme gaya diferensial. mekanisme gaya diferensial dengan penggunaan gaya ringan dan kontinyu sangat berguna untuk kontrol gerak gigi secara tipping, bodily dan torquing12 . teknik ini dipergunakan pada sebagian besar perawatan ortodontik alat cekat di k l i n i k b a g i a n o r t o d o n s i a f a k u l t a s kedokteran gigi universitas gadjah mada. penelitian ini mendeskripsikan pergerakan gigi dan remodeling tulang maksila regio anterior di akhir tahap iii perawatan ortodontik teknik begg maloklusi angle klas i dengan insisivus maksila besar dari pada remodeling tulangnya. kata kunci : rasio bt, sefalogram, teknik begg tahap iii. 59 mutiara medika vol. 7 no. 2:57-60, juli 2007 protusif pada pasien dewasa yang dirawat di klinik ortodonsia fakultas kedokteran gigi universitas gadjah mada dari tahun 1997 sampai 2005. bahan dan cara subyek penelitian adalah pasien laki laki dan perempuan dengan maloklusi angle klas i dengan insisivus maksila protrusif yang dirawat di klinik ortodonsia fakultas kedokteran gigi universitas gadjah mada tahun 1997 sampai 2005 yang memenuhi kriteria sebagai berikut: usia 18-30 tahun, dirawat dengan alat cekat teknik begg, perawatan dengan pencabutan keempat premolar pertama atau kedua premolar pertama atas dan mempunyai sefalogram awal dan akhir perawatan. pergerakan gigi dan remodeling tulang maksila regio anterior diketahui dengan mengevaluasi sefalogram awal dan akhir perawatan. sefalogram akhir perawatan disuperposisikan pada sefalogram awal perawatan, kemudian diukur perubahan titik a untuk mendiskripsikan besarnya perubahan tulang korteks labial sedangkan untuk mendiskripsikan besarnya pergerakan gigi diukur perubahan apeks insisivus maksila. penapakan sefalogram menggunakan kertas kalkir 60 gr dan pensil 4h di atas iluminator. ditentukan titik-titik baku, yaitu: titik s (sella tursica), titik n (nasion), titik a (subspinale) dan apeks insisivus maksila. superposisi sefalogram dengan acuan titik s dan garis sn, titik a dan apeks insisivus maksila sebelum dan sesudah perawatan diproyeksikan ke atas tegak lurus garis sn. kemudian diukur jarak sebelum dan sesudah perawatan pada arah horisontal. pengukuran dilakukan tiga kali kemudian dirata-rata. hasil terdapat dua puluh dua kasus memenuhi kriteria sebagai subyek penelitian ini, terdiri dari delapan pria dan empatbelas perempuan. banyak kasus maloklusi angle klas i dengan insisivus masila protusif yang tidak memenuhi kriteria sebagai subyek dalam penelitian ini karena ketidaklengkapan sefalogram. rerata perubahan titik a penelitian ini sebesar 1,37 mm dan rerata perubahan apeks insisivus maksila sebesar 2,65 mm, jadi rasio perubahan titik a dibandingkan perubahan apeksnya adalah 1,37:2,65 atau 1:1,93. diskusi evaluasi hasil perawatan ortodontik dapat dilakukan dengan superposisi sefalogram akhir dan awal perawatan13. superposisi dilakukan dengan acuan titik dan garis atau bidang yang stabil dan tidak terpengaruh oleh perubahan struktur yang lain. titik dan garis acuan yang mudah dideteksi adalah titik s dan garis sn, titik s adalah titik pusat selatursica, sedangkan titik n adalah titik terdepan dari sutura fronto nasalis, jadi garis sn adalah garis dari titik s ke titik n14. perubahan regio apeks incisivus dan titik a dipilih untuk mengukur rasio bt karena lebih mudah diukur dan dilihat perbedaannya pada kedua variabel tersebut. retraksi gigi insisivus atas akan mempengaruhi letak titik a karena titik a terletak di daerah apeks insisivus atas6. penelitian ini mendiskripsikan bahwa terjadi pergerakan gigi yang lebih besar dari pada remodeling tulang maksila regio anterior (1:1,93). vardimon mengevaluasi akhir perawatan ortodontik dengan teknik edgewise6. pada teknik ini ada dua macam gerakan yaitu tipping dan bodily. retraksi dengan gerakan tipping diperoleh rasio perubahan titik a dengan perubahan apeks sebesar 1:2, sedangkan pada retraksi dengan gerakan bodily diperoleh rasio 1:2,35. evaluasi perubahan jaringan keras dan lunak selama tahap iii teknik begg namun dengan titik dan garis acuan yang berbeda dengan penelitian ini maupun penelitian vardimon, memperoleh hasil: apeks bergerak ke posterior 3,5 mm dan titik a bergerak ke posterior 1,72 mm1. pergerakan apeks insisivus maksila ke posterior dalam teknik begg sangat dipengaruhi oleh besarnya torque akar yang dilakukan pada tahap iii. perubahan apeks baru terjadi pada tahap akhir perawatan, sehingga kemungkinan proses remodeling tita ratya utari, soehardono, pergerakan gigi dan remodeling ............ 60 sekunder yang berperan dalam perubahan titik a belum terjadi secara sempurna. ini merupakan alasan utama mengapa tidak diperoleh rasio bt 1:1. penyebab lain yang berpengaruh adalah faktor usia. subyek penelitian ini adalah pasien dewasa yaitu usia 18-30 tahun, pada usia dewasa jumlah sel-sel osteoblas dan osteoklas telah berkurang sehingga remodeling tulang lebih lambat3. proses remodeling tidak berakhir setelah perawatan aktif diakhiri, perubahan jaringan tulang masih akan dijumpai setelah perawatan aktif berakhir sampai beberapa bulan. menurut begg dan kesling, torque apeks gigi insisivus atas ke arah lingual ratarata bergerak lebih cepat dari resorpsi tulang alveolus pada permukaan labial apeks gigi insisivus atas. perubahan tulang rahang, otot bibir dan penampilan wajah secara umum masih berlanjut. titik a bergerak lebih ke posterior daripada saat akhir perawatan aktif akibat resorbsi alveolus maksila pada permukaan labial. sehingga penampilan wajah pasien tampak lebih baik daripada saat alat baru saja dilepas 14. kesimpulan hasil penelitian mengenai rasio perubahan titik “a” dengan perubahan apeks gigi insisivus maksila pada akhir tahap iii perawatan ortodontik dengan teknik begg, dapat disimpulkan bahwa rasio perubahan titik a dan perubahan apeks insisivus maksila pada maloklusi angle klas i dengan protrusif insisivus maksila adalah 1:1,93. daftar pustaka 1. cangialosi, t.j. and meistrell, m.e., 1982, a cephalometric evaluation of hardand soft-tissue changes during the third stage of begg treatment, am. j. orthod., 81:124-129 2. de angelis v, 1970, observation on the response of alveolar bone to orthodontic force, am. j. orthod, 58:284-94 3. gianelly, a., and goldman, h. m., 1971, biologic basis of orthodontics, lea & febiger, philadelphia., 116-38 4. foster, t. d., 1993, buku ajar ortodonsi, edisi iii, penerbit buku kedokteran egc, jakarta, 168-85 5. reitan, k., 1964, effects of force magnitude and direction of tooth movement on different alveolar bone type, angle orthod , 34:244-55 6. vardimon, a.d., oren, e., and benbassat, y., 1998, cortical bone remodelling/tooth movement ratio during maxillary incisor retraction with tip versus torque movement s, am. j. orthod. dentofacial orthop. , 114:520529 7. sarikaya, s., haydar, b., ciger, s., and ariyurek, m., 2002, change in alveolar bone thickness due to retraction of anterior teeth, am. j. orthod. dentofacial orthop., 122:15-26 8. barrer, h.g., buchin, i.d., fogel, m.s., swain, b.f., and ackerman, j.l., 1971, borderline extraction cases: panel discussion. part 5, j. clin. orthod., 5:609-26 9. farrow, a.l., zarinna, k., and azizi, k., 1993, bimaxillary protrusion in black americans—an esthetic evaluation and treatment considerations, am. j. orthod. dentofacial orthop., 104:24050 10. cadman, car, 1975, avademecum for the begg technique: technical principal, am. j. orthod.,67(5):439-512 11. begg, p.r., and kesling, p.c., 1977/a, the differential force method of orthodontic treatment, am. j. orthod., 71(1):1-39 12. kusnoto, h., 1977, penggunaan cephalometri radiografi dalam bidang ortodonti, bagian orthodonti fkg universitas trisakti, jakarta, 3-15 13. jacobson, a. and sadowsky, p. l., 1995, superimposition of cephalometric radiographs, in alexander jacobson (ed) radiography cephalometric from basics to videoimaging, quintessence publishing co. inc.,chicago 14. begg, p.r., and kesling, p.c., 1977/b, begg orthodontic theory and technique, 3 ed., w.b., saunders comp any, philadelphia, 192-93. artikel penelitian mutiara medika vol. 15 no. 1: 16, januari 2015 1 hubungan tanda dan gejala klinis terhadap kejadian syok pada pasien demam berdarah dengue (dbd) di rs pku muhammadiyah gamping daerah istimewa yogyakarta relationship between clinical signs and symptoms with occurance of shock in patients with dengue hemorrhagic fever (dhf) in rs pku muhammadiyah gamping daerah istimewa yogyakarta muhammad kurniawan1*, mohammad juffrie2, bambang udji djoko rianto3 1program studi pendidikan dokter fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta 2smf departemen ilmu kesehatan anak, fk universitas gadjah mada, rsup dr.sardjito 3program studi ilmu kedokteran tropis, universitas gadjah mada *email: wawwf@yahoo.com abstrak infeksi dengue merupakan penyakit endemis di negara-negara beriklim tropis dan subtropis dengan angka morbiditas dan mortalitas tinggi. sindrom syok dengue merupakan manifestasi klinis infeksi dengue yang paling membahayakan, bila tidak mendapat penanganan secara tepat akan menyebabkan kematian. penilaian akurat terhadap risiko syok merupakan kunci penting menuju tatalaksana yang adekuat, mencegah syok, dan perdarahan. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tanda dan gejala yang berhubungan terhadap kejadian syok pada pasien dbd. penelitian ini merupakan jenis penelitian analytic observational dengan desain cross sectional dengan memilih pasien dewasa yang terdiagnosis demam berdarah dengue menurut kriteria who 1997 dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan serologi di rs pku muhammadiyah gamping dari januari-april 2015. analisis bivariat menggunakan uji chi-square. hasil penelitian didapatkan 154 pasien dbd yang memenuhi kriteria dan 17 (11%) diantaranya mengalami kejadian syok. analisis bivariat diperoleh variabel yang mempunyai hubungan signifikan dengan kejadian syok adalah letargi (p=0,001), ascites (p=0,001), efusi pleura (p=0,001), dan hepatomegali (p=0,001). disimpulkan bahwa letargi, ascites, efusi pleura, dan hepatomegali adalah variabel yang berhubungan terhadap kejadian syok. kata kunci: infeksi dengue, syok, tanda dan gejala klinis abstract dengue infection is an endemic disease in countries with tropical and subtropical with high morbidity and mortality. dengue shock syndrome is the most dangerous clinical manifestation of dengue infections, if the patient not receive proper treatment will cause mortality. an accurate assessment of the clinical signs dan symptoms as risk factors of shock is an important key to prevent shock, bleeding, and adequate management. the research to determine clinical signs and symptoms related to shock in patients with dhf. the research methods is analytic observational study with cross sectional design by selecting adult patients diagnosed with dengue hemorrhagic fever, according to who criteria in 1997 and confirmed by serology test at rs pku muhammadiyah gamping from january to april 2015. the bivariate analysis using chi-square test. research showed 154 dengue patients who matched with the criteria and 17 of patients (11%) experiencing shock dengue. from the results of bivariate analysis showed that variables lethargy (p=0,001), ascites (p=0,001), pleural effusion (p=0,001), and hepatomegaly (p=0,001) have a significant relationship with the occurrence of shock. it can be concluded that lethargy, ascites, pleural effusion, and hepatomegaly are variables related to the occurrence of shock. key words: dengue infection, shock, clinical signs and symptoms muhammad kurniawan, hubungan tanda… 2 pendahuluan penyakit demam berdarah dengue (dbd) merupakan salah satu infeksi arboviral yang diderita 2,5 juta masyarakat di dunia dan menjadi salah satu masalah kesehatan yang belum terselesaikan. setiap tahun diperkirakan terjadi infeksi pada 50 sampai 100 juta orang di dunia dengan angka rawat di rumah sakit sebanyak 500.000 kasus dengan spektrum klinis ringan sampai berat.1 berdasarkan data dari direktorat jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan (p2pl) kemenkes ri tahun 2013, provinsi daerah istimewa yogyakarta (diy) termasuk dalam peringkat lima tertinggi dengan insidence rate (ir) dbd sebesar 65,25 tiap 100.000 penduduk.2 walaupun angka morbiditas penyakit dbd cenderung meningkat dari tahun ke tahun, namun sebaliknya angka mortalitas secara nasional cenderung menurun dari 41,4% pada tahun 1968 menjadi 4% pada tahun 1980 dan hanya 1,4% pada tahun 2000. meskipun demikian, angka mortalitas penderita akibat penyakit dbd dengan renjatan atau sindroma syok dengue (ssd) yang disertai dengan perdarahan gastrointestinal hebat yang disertai dengan ensefalopati masih tetap tinggi yaitu berkisar 22,5% sampai 61,5%.2 jumlah kasus dbd di rs pku muhammadiyah gamping selama kurun waktu tahun 2012-2013 mengalami kenaikan. pada tahun 2012 dilaporkan pasien dbd yang dirawat inap di bangsal sebesar 385 dari 3791 pasien (10,10%). pada tahun 2013 mengalami peningkatan menjadi 771 pasien dari 5580 pasien (13,81%). dalam kurun waktu 3 tahun terakhir diagnosis dbd di bangsal rawat inap merupakan kasus infeksi terbesar urutan ketiga setelah diare dan tifus perut klinis.3 diagnosis klinis awal untuk dbd sering sulit, apalagi dalam menilai pasien apakah pada akhirnya akan menjadi syok, oleh karena itu perlu diidentifikasi tanda dan gejala klinis sebagai faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya syok pada dbd.1 penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tanda dan gejala klinis yang berhubungan dengan kejadian syok pada pasien dbd di rs pku muhammadiyah gamping. bahan dan cara jenis penelitian ini adalah analytic observational dengan desain cross sectional dengan memilih pasien infeksi dengue yang terdiagnosis demam berdarah dengue (dbd). penelitian dilakukan dengan melihat paparan yang dialami subyek. populasi pada penelitian ini adalah pasien dbd dewasa yang dirawat di rs pku muhammadiyah gamping selama periode penelitian. sampel dalam penelitian ini adalah semua populasi yang memenuhi kriteria inklusi yaitu pasien dbd derajat i-iv yang ditegakkan diagnosisnya berdasarkan kriteria who 1997 dan pemeriksaan serologi dbd metode rapid serological test (igm dan igg anti dbd). seluruh sampel yang memenuhi kriteria inklusi akan dikeluarkan dari penelitian jika memenuhi salah satu atau lebih dari kriteria eksklusi yaitu pasien yang menderita gizi buruk, penyakit keganasan, keadaan hipoalbuminemia karena sebab lain (sirosis hepatis, sindroma mutiara medika vol. 15 no. 1: 16, januari 2015 3 nefrotik), penyakit kardiovaskular, penyakit infeksi lain, atau mendapat terapi kortikosteroid jangka panjang. variabel bebas dalam penelitian ini adalah tanda dan gejala klinis (mual, muntah, anoreksia, nyeri otot, nyeri perut, ptekie, epistaksis, perdarahan saluran cerna, letargi, ascites, efusi pleura, dan hepatomegali). sedangkan variabel terikatnya adalah kejadian syok pada pasien dbd. data yang diperoleh dilakukan uji normalitas dengan menggunakan uji shapirowilk. diperoleh data berdistribusi normal, sehingga dilakukan analisis bivariat dengan menggunakan uji statistik chi-square. hasil penelitian ini dilakukan dengan mengukur parameter tanda dan gejala klinis (mual, muntah, anoreksia, nyeri otot, nyeri perut, ptekie, epistaksis, perdarahan saluran cerna, letargi, ascites, efusi pleura, dan hepatomegali) pada pasien dbd yang dirawat dari januari hingga april 2015. selama rentang waktu penelitian ditemukan 154 pasien dbd yang dirawat di rawat inap pku muhammadiyah gamping. subyek penelitian dibagi menjadi dua kelompok yaitu pasien dbd dengan syok sejumlah 17 orang (11%) dan pasien dbd tanpa syok sejumlah 137 orang (89%). pasien dbd dengan syok terdiri dari 15 orang (88,2%) laki-laki dan 2 orang (11,8%) perempuan, sedangkan pasien dbd tanpa syok terdiri dari 75 orang (54,7%) laki-laki dan 62 orang (45,3%) perempuan. pasien dbd dengan syok yang berumur <30 tahun sejumlah 11 orang (64,7%) dan yang berumur ≥30 tahun sejumlah 6 orang (35,3%). pada 17 pasien dbd dengan syok 41,2% diantaranya mengalami mual, 29,4% muntah, 35,3% anoreksia, 35,8% nyeri otot, dan 70,6% nyeri perut (tabel 2). sedangkan 29,4% diantaranya mengalami letargi dan munculnya ptekie, 11,8% mengalami epistaksis dan tabel 1. karakteristik dasar penderita dbd di rs pku muhammadiyah gamping variabel dbd dengan syok (n=17) dbd tanpa syok (n=137) jenis kelamin laki-laki perempuan total umur 15-24 tahun > 25 tahun total 15 (88,2%) 2 (11,8%) 17 (100%) 11 (64,7%) 6 (35,3%) 17 (100%) 75 (54,7%) 62 (45,3%) 137 (100%) 79 (57,7%) 58 (42,3%) 137 (100%) tabel 2. gejala klinis pada pasien dbd saat dirawat di rs pku muhammadiyah gamping gejala klinis dbd dengan syok (n=17) dbd tanpa syok (n=137) mual muntah anoreksia nyeri otot nyeri perut 7 (41,2%) 5 (29,4%) 6 (35,3%) 6 (35,8%) 12 (70,6%) 41(29,9%) 40 (29,2%) 43 (31,4%) 71 (51,8%) 69 (50,4%) tabel 3. tanda klinis pada pasien dbd saat dirawat di rs pku muhammadiyah gamping tanda klinis dbd dengan syok (n=17) dbd tanpa syok (n=137) letargi ptekie epistaksis perdarahan sal.cerna efusi pleura ascites hepatomegali 5 (29,4%) 5 (29,4%) 2 (11,8%) 2 (11,8%) 12 (70,6%) 10 (58,8%) 7 (41,2%) 8 (5,8%) 27 (19,7%) 12 (8,8%) 4 (2,9%) 12 (8,8%) 11 (8,0%) 14 (10,2%) muhammad kurniawan, hubungan tanda… 4 perdarahan saluran cerna, 70,6% efusi pleura, 58,8% ascites, dan hepatomegali sebanyak 41,2% (tabel 3). analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antar 2 variabel yaitu variabel dependen dan variabel independen. hasil uji chi-square diperoleh hasil variabel yang mempunyai hubungan signifikan dengan kejadian syok adalah jenis kelamin, letargi, hemokonsentrasi, trombositopenia, infeksi sekunder, ascites, efusi pleura, dan hepatomegali (tabel 4). interpretasi hubungan asosiasi berdasarkan nilai prevalence ratio (pr) adalah sebagai berikut: a. variabel mual, muntah, anoreksia, nyeri perut, letargi, ptekie, epistaksis, perdarahan saluran cerna, efusi pleura, ascites, hepatomegali, adalah merupakan faktor risiko timbulnya kejadian syok pada pasien dbd karena memiliki nilai pr>1. b. variabel nyeri otot faktor proteksi timbulnya kejadian syok pada pasien dbd karena memiliki nilai pr<1. diskusi manifestasi perdarahan seperti epistaksis, perdarahan ginggiva, perdarahan saluran cerna, dan hematuria diperkirakan berhubungan erat dengan trombositopenia, vaskulopati, dan koagulopati. perdarahan dapat terjadi sendiri atau merupakan bagian dari gangguan kaskade pembekuan yang kompleks seperti disseminata intravascular coagullation (dic). beratnya perdarahan bervariasi mulai dari tempat suntikan atau tempat pengambilan darah sampai yang umum seperti ptekie, purpura, ekhimosis, perdarahan usus, hemoptosis atau bahkan tabel 4. hasil analisis bivariat syok tidak syok p pr ci 95% n % n % min mak mual muntah anoreksia nyeri otot nyeri perut letargi ptekie epistaksis perdarahan sal.cerna efusi pleura ascites hepatomegali ya tidak ya tidak ya tidak ya tidak ya tidak ya tidak ya tidak ya tidak ya tidak ya tidak ya tidak ya tidak 7 10 5 12 6 11 6 11 12 5 5 12 5 12 2 15 2 15 12 5 10 7 7 10 41,2 58,8 29,4 70,6 35,3 64,7 35,3 64,7 70,6 29,4 29,4 70,6 29,4 70,6 11,8 88,2 11,8 88,2 70,6 29,4 58,8 41,2 41,2 58,8 41 96 40 97 43 94 71 66 69 68 8 129 27 110 12 125 4 133 12 125 11 126 14 23 29,9 70,1 29,2 70,8 31,4 68,6 51,8 48,2 50,4 49,6 5,8 94,2 19,7 80,3 8,8 91,2 2,9 97,1 8,8 91,2 8,0 92,0 10,2 89,8 0,345 0,895 0,744 0,199 0,115 0,001 0,352 0,684 0,075 0,001 0,001 0,001 1,546 1,009 1,169 0,545 2,163 4,519 1,588 1,333 3,289 13,000 9,048 1,1 -0,597 -1,097 -0,902 -1,656 -0,324 0,224 -0,662 -1,302 -0,589 1,365 1,056 -1,077 1,468 1,116 1,214 0,443 1,867 2,773 1,588 1,878 2,970 3,765 3,348 1,267 total 17 11,04 137 88,96 mutiara medika vol. 15 no. 1: 16, januari 2015 5 multiple organ dysfunction (mod).7 perdarahan saluran cerna merupakan salah satu komplikasi yang ditakutkan. kondisi ini dapat dijelaskan karena perdarahan yang timbul akan memperberat kehilangan volume plasma akibat kebocoran sehingga mempercepat terjadinya syok. pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara perdarahan saluran cerna dengan kejadian syok (p=0,075).5 penelitian lain mendapatkan hasil yang berbeda dan menyatakan bahwa perdarahan merupakan salah satu prognosis terjadinya syok meskipun tidak membedakan asal perdarahan apakah dari mukosa atau dari saluran cerna.5 hepatomegali sebagai salah satu patokan who untuk menegakkan diagnosis dbd dilaporkan sangat bervariasi. penemuan klinis ini tidak secara konsisten ditemukan. beberapa peneliti berpendapat bahwa mungkin hepatomegali berkaitan dengan galur dan serotipe virus. pada penelitian ini juga ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara hepatomegali dengan kejadian syok (p=0,000).5 patofisiologi utama pada dbd dan ssd adalah peningkatan permeabilitas akut, yang menyebabkan keluarnya plasma ke rongga ekstraseluler. kebocoran plasma dapat dibuktikan dengan adanya timbunan cairan dalam rongga pleura, peritoneum dan perikardium, hemokonsentrasi, dan hipoproteinemia. 4 pada penelitian ini ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara efusi pleura dengan kejadian syok (p=0,000). hal ini sesuai dengan penelitian yang diakukan di rs moewardi surakarta yang menyimpulkan bahwa indeks efusi pleura dapat digunakan sebagai prediktor beratnya dbd. nilai indeks efusi pleura ini memiliki sensitivitas yang cukup tinggi sehingga sesuai digunakan untuk uji skrining terhadap terjadinya ssd.9 gejala klinis pada pasien dbd didahului oleh demam disertai gejala yang tidak spesifik seperti anoreksia, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri perut dan nyeri kepala. hal ini terjadi karena sel fagosit mononuklear (monosit, makrofag, histiosit, dan sel kupffer) merupakan tempat terjadinyainfeksi primer virus dengue. selanjutnya virus dengue akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuklear yang telah terinfeksi. kemudian sel tersebut akan menyebar ke usus, hati, limpa, dan sumsum tulang dan akan menimbulkan berbagai gejala klinis.10 pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara mual dan muntah dengan kejadian syok. hal ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh namvongsa (2009) bahwa mual muntah merupakan gejala utama pasien dbd sehingga hampir semua pasien mengalaminya. muntah yang biasanya diawali dengan rasa mual disebabkan oleh virus dengue yang menyebar sampai ke saluran pencernaan. selanjutnya dari saluran pencernaan tersebut mengaktifkan pusat muntah yang berada di medula oblongata melalui jaras aferen nervus vagus. muntah yang terjadi dapat berlanjut dan dapat meningkatkan risiko syok karena dehidrasi sehingga diperlukan terapi anti-emetik.11,12 keluhan nyeri otot atau pegal-pegal terkait dengan virus dengue yang mengganggu semua sel tubuh termasuk pada sel otot yang menyebabkan timbulnya keluhan nyeri otot. hal muhammad kurniawan, hubungan tanda… 6 ini mendukung penelitian kumar et al (2010) yang menggambarkan 64,6% responden mengalami keluhan nyeri otot dan pegal-pegal. 12 simpulan tanda dan gejala klinis yang mempunyai hubungan dengan kejadian syok pada pasien dbd adalah letargi, ascites, efusi pleura, dan hepatomegali. daftar pustaka 1. whitehorn, j., simmons, c.p. the pathogenesis of dengue. j vaccine, 2011; 29 (42): 7221-7228. 2. depkes ri. situasi demam berdarah dengue (dbd) di indonesia. pusdatin departemen kesehatan ri, jakarta. 2014. 3. rumah sakit pku muhammadiyah yogyakarta. rencana strategis pku muhammadiyah yogyakarta unit ii. 2014: 2014-2018. 4. gubler d.j. the global pandemic of dengue/dengue haemorrhagic fever current status and prospects for the future. dengue in singapore. technical monograph series no.2 who. 2008. 5. hadinegoro, s.r. telaah endotoksemia pada perjalanan penyakit demam berdarah dengue: perhatian khusus pada syok, produksi tnf-α, interleukin 6 sebagai faktor prediktor demam berdarah dengue berat [desertasi]. universitas indonesia, jakarta. 2006. 6. meer, v.d., juffrie, m., suharti, c. levels of soluble fas in children with dengue virus infection. crit. care and shock, 2001; 4 (3): 152 – 6. 7. lei, h.y., yeh, t.m., liu, h.s., lin, y.s., chen, s.h., lin, c.c. immunopathogenesis of dengue virus infection. j biomed sci, 2010; 8 (5): 377-88. 8. tantracheewathorn, t., tantracheewathorn, s. risk factors of dengue shock syndrome in children. j med assoc thai, 2007; 90 (2): 272-7. 9. cahyaningrum, j.m.h. indeks efusi pleura sebagai prediktor sindrom syok dengue pada anak di rsud dr . moewardi surakarta. jurnal kedokteran indonesia. 2009. 1:1. 10. soedarmo, s.p. masalah demam berdarah dengue di indonesia. dalam: hadinegoro, s.r., satari, h.i., penyunting. demam berdarah dengue h:1-12. balai penerbit fkui, jakarta. 2010. 11. namvongsa, v. clinical manifestations of dhf/dss and the clinical risk factors for dss in patients in ratchaburi hospital thailand. 2009. diunduh dari http://www.li.mahidol.ac.th. 12. kumar, a., chythra r rao, vinay pandit, seema shetty, chanaveerappa bammigatti, and charmaine minoli samarasinghe. clinical manifestation and trend of dengue cases admitted in a tertiary care hospital, udupi district canada. indian j community med, 2010. 35 (3): 386-90. http://www.li.mahidol.ac.th/ 63 mutiara medika vol. 14 no. 1: 63-74, januari 2014 role model di rumah sakit pendidikan role model in the teaching hospital wiwik kusumawati1*, siti aminah tse 2, seshy tinartayu3 1bagian pendidikan kedokteran dan farmakologi fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta 2koordinator profesi dan bagian kulit kelamin fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta 3bagian kemahasiswaan fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta *email: wiwik_fk_umy@yahoo.com.sg abstrak dosen pembimbing klinik pendidikan dokter tahap profesi di rumah sakit sebagai role model yang baik diperlukan untuk mengajarkan sikap perilaku, skills dan knowledge. studi ini dilakukan untuk merumuskan konsep role model yang diharapkan oleh mahasiswa pendidikan dokter. disain penelitian ini adalah deskriptif, cross sectional dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. metode pengumpulan data dengan kuesioner, wawancara mendalam dengan the general interview guide approach dan observasi dengan insider observer. lokasi penelitian pada 8 rumah sakit pendidikan fkik umy, penentuan sampel secara purposive dengan criterion reference, yaitu mahasiswa yang menjalani stase paling lama di bagian atau mahasiswa di bagian 4 besar pada 8 rs pendidikan. hasil penelitian menunjukkan, 70% dosen pembimbing klinik pada bagian 4 besar 8 rumah sakit pendidikan fkik umy merupakan role model yang baik. berdasarkan kriteria role model dari passi, 98% dosen pembimbing klinik menunjukkan clinical skills yang baik, 93% menunjukkan teaching skills dan personal quality yang baik. terdapat kesesuaian terhadap role model yang diharapkan oleh mahasiswa dari hasil kuesioner, wawancara dan observasi. rumusan role model yang baik menurut mahasiswa, yaitu mempunyai kemampuan mengajar atau teaching skills yang baik antara lain cukup waktu untuk membimbing, mampu berkomunikasi, memotivasi mahasiswa belajar, memberikan feedback, dan memiliki pengetahuan yang luas serta up date. kata kunci: role model, rumah sakit pendidikan, pendidikan tahap profesi, dosen pembimbing klinik abstract in clinical rotation at teaching hospital, the role of clinical teacher as a good role model was needed to teach attitude, skills and knowledge. the aim of this study is to develop concept of role model based on student’s opinions at school of medicine. this study is descriptive, cross sectional using quantitative and qualitative approach. collecting data method conducted by distributing of questionaires, indepth interview by the general interview guide approach and direct observation by insider observer. this study conducted at 8 teaching hospitals of fkik umy. sampling method by purposived and criterion referenced. the respondents was the students who conduct in longest clinical rotation i.e. 4 major departements at 8 teaching hospitals. this study revealed, 70% of clinical teacher in 4 major departements at 8 teaching hospitals is good role model. regarding passi’s criterias of role model, 98% of clinical teacher show good clinical skills, 93% show good teaching skills and personal quality respectively. there is similar result of concept of role model from questionaires, indepth interview and direct observation. based on student’s opinions, a good role model should has good teaching skills such as sufficient of time to assist students, good communication skills, can motivate students, give feedback and has both wide and up date of knowledge. key words: role model, teaching hospital, clinical rotation, clinical teacher artikel penelitian mutiara medika vol. 14 no. 1: 63-74, januari 2014 64 wiwik kusumawati, role model di rumah sakit pendidikan pendahuluan pendidikan dokter terdiri dari tahap sarjana dan tahap profesi yang keduanya merupakan satu kesatuan. pendidikan dokter tahap profesi merupakan inti pendidikan dokter, sehingga institusi pendidikan dokter perlu memberikan perhatian lebih pada tahap tersebut. pendidikan tahap profesi yang melibatkan pasien di rumah sakit perlu memperhatikan sikap dan perilaku (domain afektif) bagi seorang dokter selain kemampuan skills dan kognitif.1 dewasa ini pembelajaran secara formal domain afektif atau professional behavior (pb) sedang mendapatkan perhatian oleh institusi pendidikan dokter. metode pembelajaran pb sangat bervariasi seperti kuliah interaktif, diskusi kelompok atau tutorial, problem based learning, bedside teaching, workshop, konferensi, penugasan dan role model.2 belum ada satu metode yang dinilai efektif dalam proses pem bel aj aran pb, tetapi m enurut sivalingan,3 role model diikuti refleksi mahasiswa merupakan kombinasi metode untuk pencapaian kompetensi pb yang efektif. menurut van luijk (2005),4 ada tiga hal penting dalam proses pembelajaran pb, yaitu: 1) pemberian feedback; 2) kemampuan refleksi; 3) team working. role model menjadi penting dalam proses pembelajaran perilaku atau pb, karena mahasiswa belajar dari yang diamati dalam proses pembelajaran sehari-hari. informasi yang diamati dari model (dosen pembimbing klinik), selanjutnya akan diretensi oleh mahasiswa, diproses (koding) dalam memori dan selanjutnya akan timbul motivasi untuk melakukan perilaku sesuai model yang diamati.5 pendidikan tahap profesi masih menggunakan metode apprenticeship (magang). mahasiswa akan mengamati dan mengikuti interaksi dosen dengan pasien maupun dengan orang lain, sehingga peran pembimbing klinik sebagai role model yang baik sangat diperlukan. menurut passi,2 role model yang baik mempunyai 3 kriteria, yaitu: 1) clinical competence; 2) teaching skills; 3) personal quality. program studi pendidikan dokter fkik umy mempunyai 8 rumah sakit pendidikan sebagai tempat pendidikan, terutama pada tahap profesi. proses pembelajaran dan penilaian sudah terstruktur untuk knowledge dan keterampilan psikomotor, sedangkan untuk proses pembelajaran pb secara formal sedang dalam proses pengembangan. faktor role model dalam hal ini pembimbing klinik pada proses pendidikan tahap profesi di fkik umy selama ini belum pernah dievaluasi serta dirumuskan. studi ini dilakukan untuk merumuskan konsep role model yang baik dari dosen pembimbing klinik menurut mahasiswa pada pendidikan dokter fkik umy. bahan dan cara disain penelitian tentang role model pada pendidikan tahap profesi prodi pendidikan dokter fkik umy ini adalah deskriptif, cross sectional. pendekatan penelitian dilakukan dengan kuantitatif dan kualitatif. pendekatan kuantitatif dilakukan dengan membagikan kuesioner tentang role model, sedangkan pendekatan kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam (indepth interview) dan observasi (direct observation). sampel penelitian yaitu responden mahasiswa dari bagian klinik tertentu ditentukan secara purposive sampling dan criterion reference. dalam proses pembelajaran pb yang erat berkaitan dengan perilaku dan dalam penelitian tentang role model di sini berkaitan dengan waktu, sehingga 65 mutiara medika vol. 14 no. 1: 63-74, januari 2014 bagian klinik yang dipilih adalah bagian empat besar yang memiliki rotasi paling lama dibandingkan dengan bagian klinik yang lain. responden adalah semua mahasiswa yang sedang menjalani stase atau rotasi di bagian 4 besar sejumlah 156. adapun lokasi penelitian ini adalah tujuh rumah sakit pendidikan fkik umy: 1) rsud saras husada purworejo; 2) rsud panem bahan senopati bantul; 3) rsud setjonegoro wonosobo; 4) rsud kota yogyakarta; 5) rsud tidar magel ang; 6) rsud sal ati ga; 7) rsud temanggung; dan 8) rsu pku muhammadiyah yogyakarta. penelitian ini dilakukan dalam 2 tahap yaitu identifikasi role model yang baik dan proses modeling dosen pembimbing klinik. identifikasi role model yang baik dilakukan dengan cara membagikan kuesioner dan wawancara. pembimbing klinik yang dapat berperan sebagai role model yang baik adalah mempunyai clinical competence, teaching skills yang baik serta personal quality yang baik pula.2 kuesioner terbuka dan anonim yang berisi tentang pengertian dan kriteria role model yang baik dibagikan kepada semua responden. responden diminta untuk menyebutkan dengan menuliskan satu atau dua nama dosen pembimbing klnik yang memenuhi kriteria sebagai role model yang baik. identifikasi role model yang baik melalui kuesioner ini, dilanjutkan dengan wawancara mendalam oleh interviewer dengan dua mahasiswa yang dipilih secara acak dari empat bagian besar pada masing-masing rumah sakit pendidikan sebagai triangulasi data. wawancara dilakukan dengan menggunakan the general interview guide approach. sebelum wawancara dilakukan training untuk para interviewer tentang teknik wawancara mendalam. proses modeling dosen pembimbing klinik dilakukan dengan observasi. observasi yang dilakukan secara langsung (direct observation) dalam studi kualitatif, bertujuan mendeskripsikan dalam hal ini seting pembelajaran, situasi, orang-orang termasuk aktivitas yang dilakukannya dan makna dibalik peristiwa yang diamati menurut perspektif observer.6 hasil identifikasi dosen pembimbing klinik sebagai role model yang baik pada 8 rumah sakit, dilanjutkan dengan observasi oleh observer (insider observer) terhadap dosen pembimbing klinik terpilih pada satu rumah sakit tentang performancenya sebagai role model pada waktu proses pembelajaran yang melibatkan mahasiswa dan atau pasien. dosen pembimbing klinik yang bersangkutan tidak diberitahukan bahwa mereka akan diobservasi. sebelum observasi langsung di lapangan, dilakukan training observer terlebih dahulu mengingat observasi membutuhkan keterampilan sebagai observer dan konsentrasi terhadap hal yang akan diamati.6 adapun tugas dan peran observer adalah peran observer, sebagai inlooker observer dan insider. observer sebagai pengamat di dalam seting pembelajaran. lama observasi oleh observer minimal 3 minggu. fokus yang diamati oleh observer adalah performance dosen pembimbing klinik sebagai role model selama interaksi dengan mahasiswa dan atau pasien. selain itu, 1 dosen pembimbing klinik terpilih secara purposive dari 8 dosen sebagai role model yang baik, akan diberikan informed consent bahwa kegiatan pembelajaran akan direkam secara alami66 wiwik kusumawati, role model di rumah sakit pendidikan ah dengan video. hasil rekaman video dapat digunakan sebagai pembelajaran tentang role model. data yang diperoleh dari kuesioner tentang identifikasi role model dianalisis secara kuantitatif menggunakan skoring yang ditentukan secara konsensus oleh tim peneliti. kriteria skoring, yaitu baik (> 75%), cukup (60% sd 75%) dan kurang baik (< 60%). data yang diperoleh dari wawancara mendalam tentang rumusan atau kriteria role model menurut para responden, dibuat dalam bentuk transkrip verbatim, yang selanjutnya akan dianalisis secara kualitatif. demikian pula data yang berasal dari observasi langsung dengan fields notes juga akan dianalisis secara kualitatif. prosedur analisis data kualitatif meliputi describing atau menjelaskan, unitizing atau pemaknaan, kategorisasi, constant comparative method dan connecting categories atau menghubungkan antar kategori.7 hasil kuesioner tertutup dengan 13 item pernyataan tentang role model berdasarkan kriteria passi1 dan kuesioner terbuka untuk identifikasi role model baik dan kurang baik serta alasannya, dibagikan kepada 189 mahasiswa ko-ass 4 besar pada 8 rumah sakit pendidikan fkik umy. kuesioner yang kembali (respon rate) sebesar 156 (82,54%). dari hasil kuesioner terbuka dapat diidentifikasi jumlah role model yang baik dan kurang baik setiap rumah sakit seperti terlihat pada tabel 1. data kuesioner tertutup tentang gambaran performance role model yang baik menurut passi,2 pada setiap rumah sakit pendidikan dapat dilihat pada tabel 2. gambaran performance role model ini tidak termasuk rs pku muhammadiyah yogyakarta karena keterbatasan jumlah pembimbing klinik yang terlibat. sepuluh alasan terbanyak mahasiswa ko-ass memilih role model yang baik terhadap dosen pembimbing klinik bagian 4 besar pada 8 rumah sakit pendidikan dapat dilihat pada tabel 3. hasil wawancara menunjukkan kesan, koas di rumah sakit menyenangkan, baik dan memuaskan karena mereka dapat berinteraksi langsung dengan pasien, mahasiswa merasa diberikan kepercayaan untuk berlatih dalam suasana kekeluargaan dan dapat menjalin kerjasama dengan mitra. adapun rumusan role model yang diharapkan oleh tabel 1. identifikasi role model (rm) berdasarkan kriteria passi2 pada 8 rumah sakit pendidikan fkik umy bagian/rumah sakit jumlah responden (ko-ass) jumlah role model baik jumlah role model kurang baik keterangan i 11 4 2 ii 29 7 (memiliki 3 kriteria rm) dari 9 0 iii 13 2 (memiliki 3 kriteria rm) dari 4 2 1 dosen masuk rm baik dan kurang iv 18 2 (memiliki 3 kriteria rm) dari 7 1 v 32 7 2 1 dosen masuk rm baik dan kurang vi 30 2 (memiliki 3 kriteria rm) dari 3 3 3 dosen masuk rm baik dan kurang vii 15 2 (memiliki 3 kriteria rm) dari 7 4 dosen masuk rm baik dan kurang viii 4 3 (memiliki semua kriteria rm) dari 5 1 usulan perbaikan tanpa menyebutkan dosen jumlah 156 (repon rate 82,54%) 18 memiliki 3 kriteria rm, 28 rm baik 10 rm kurang baik 10 dosen masuk rm baik dan kurang 67 mutiara medika vol. 14 no. 1: 63-74, januari 2014 mahasiswa dari hasil wawancara antara lain, yaitu:1) menyediakan cukup waktu membimbing mahasiswa; 2) mampu memotivasi dan memberikan feedback; 3) memberikan kepercayaan dan kesempatan berlatih; 4) mempunyai pengetahuan luas dan up date; 5) mampu berkomunikasi baik dengan pasien, keluarga, mitra; 6) dapat menjadi contoh; 7) humoris dan friendly. rumusan tentang role model yang diharapkan seperti tersebut di atas, sesuai dengan pernyataan beberapa responden sebagai berikut. “role model...tokoh yang baik dijadikan pembimbing klinik gitu dok? ya, yang pertama jelas, punya waktu yang cukup gitu dok... yang pertama dari segi waktu, waktu cukup, kemudian yang ke 2, betul2 kasih kesempatan sama kita terutama skill atau melakukan apa gitu dok, dan yang ke3 beliau... apa...? jadi kayak kita rs ini, bisa konsul gitu dok, jadi kita dikasih kepercayaan, trus kalo ada apa2 kita bisa konsul ke beliau, jadi harapannya sih bisa seperti itu..” “dapat memberi tauladan yang baik, memiliki akhlak yang baik, memiliki ilmu yang cukup dan dapat mentransfer ilmunya kepada kita…dapat berkomunikasi dengan pasien dengan baik, juga dengan koass, perawat maupun mitra kesehatan lainnya. terus…apa namanya, mampu memberikan kita motivasi untuk belajar dan bersikap lebih baik lagi…” selain itu, menurut mahasiswa role model yang baik dapat memberikan pengaruh meningkatkan semangat dan motivasi belajar, memberikan rasa nyaman, percaya diri dan mandiri dengan melihat perilaku dosen yang dapat dicontoh. menurut mahasiswa, belum dijumpai role model yang ideal seperti rumusan trilogi ki hajar dewantara (ing tabel 2. gambaran performance role model menurut passi2 pada 7 rumah sakit pendidikan fkik umy rumah sakit jml setuju total item setuju clinical skills (poin 1 sd 4)* setuju teaching skills (poin 5 sd 8)* setuju personal quality (poin 9 sd 13)* jumlah % jumlah % jumlah % jumlah % i 139 97 44 100 36 100 52 95 ii 368 99 115 100 114 100 139 100 iii 163 97 52 100 50 89 61 95 iv 242 99 76 100 74 97 92 99 v 361 93 116 97 108 90 137 91 vi 314 100 106 90 99 78 109 76 vii 184 95 58 97 58 97 68 92 rerata 253 97,05% 81 98% 77 93% 94 93% * item kuesioner role model dikembangkan berdasarkan passi (2010) tabel 3. sepuluh alasan mahasiswa (koas) menentukan dokter pembimbing klinis sebagai role model yang baik pada 8 rumah sakit pendidikan fkik umy no alasan memilih dokter pembimbing klinis sebagai role model baik jumlah 1. meluangkan waktu untuk membimbing, share ilmu (memberi feed back kepada mahasiswa) 53 2. memberi contoh yang baik dalam pengelolaan pasien (menjalankan tindakan sesuai protap) 35 3. ilmu pengetahuan di bidangnya luas 31 4. memberi motivasi belajar dan perhatian terhadap koas 30 5. memperhatikan/peduli/empati kepada pasien 21 6. menjelaskan kepada koas/ pasien dengan bahasa yang mudah dimengerti 18 7. sesuai kriteria role model (passi, 2010) 1 18 8. dapat berkomunikasi dengan baik (kepada pasien/koas/teman sejawat/paramedis) 16 9. tepat waktu, disiplin 7 10. memberi kesempatan koas untuk melakukan skills (tindakan klinis/terapi) 6 68 wiwik kusumawati, role model di rumah sakit pendidikan ngarsa sung tulodho, ing madya mangun karsa dan tut wuri handayani), tetapi beberapa dosen pembimbing klinik ada yang mendekati nilai-nilai dalam semboyan tersebut. ki hajar dewantara, sebagai tokoh pendidikan indonesia dengan semboyannya memberikan inspirasi kepada orang tua, pendidik atau dosen untuk memberikan teladan yang baik, memberikan semangat dan membimbing mengarahkan kepada anak didik ketika mereka mendapatkan kesulitan atau berbuat kesalahan. tidak mudah sebagai pendidik atau dosen untuk memenuhi semua kriteria tersebut, tetapi dengan adanya beberapa dosen yang sudah menunjukkan sebagian nilai-nilai yang terkandung dalam semboyan tersebut merupakan hal yang perlu diberikan apresiasi oleh fakultas dan perlu didukung agar dapat meningkatkan perannya sebagai role model yang baik. hampir semua rumah sakit yang digunakan mahasiswa koas belajar adalah rsud. kompleksitas pada pembelajaran tahap profesi seperti kondisi lingkungan pembelajaran di rumah sakit (rsud) yang kadang-kadang tidak optimal seperti ruangan yang terlalu sempit dengan jumlah mahasiswa koas yang banyak, jumlah pasien yang banyak, waktu yang terbatas karena lebih banyak untuk pelayanan, perlu mendapatkan perhatian. hal tersebut dapat berpengaruh terhadap dosen pembimbing klinik untuk berperan sebagai role model yang baik. tuntutan terhadap dosen sebagai pendidik yang baik tidak akan dapat dipenuhi jika fakultas tidak menjaga keseimbangan terhadap tuntutan rumah sakit sendiri terhadap dosen pembimbing klinik atau dokter spesilais untuk memberikan pelayanan kepada pasien. kerja sama yang harmonis antara fakultas dan rumah sakit dalam mengoptimalkan peran dosen sangat penting untuk kelancaran proses pendidikan sekaligus pelayanan. pengaruh role model terhadap pembelajaran dapat dilihat pernyataan salah satu responden mahasiswa sebagai berikut. “dalam hal belajar, dalam bertindak, soalnya kalau misalkan ada dokter yang cuek, ya kita juga untuk belajar juga males…trus setelah misalkan, misalkan dokternya jarang ngasih tentiren atau apa, dalam satu stase itu juga untuk baca buku juga, rasanya berat… rasanya kayak ada perasaan, ‘ngapain?’ sebenarnya untuk kita sendiri, tapi ngapain kita baca buku banyak2 kalo misalkan ternyata gak ada efeknya sama sekali, gak ada feed backnya buat kita dan kita gak tau apa yang kita bacain itu benar atau bagaimana untuk supaya kita lebih memahami apa yang kita baca gitu..” hasil wawancara mendalam ini menunjukkan hasil yang sama dengan data yang didapat dari kuesioner terbuka yaitu role model yang baik dan diharapkan oleh mahasiswa adalah dosen pembimbing klinik yang mempunyai cukup waktu untuk membimbing, mampu berkomunikasi baik, memotivasi mahasiswa untuk belajar, memberikan feedback dan memiliki pengetahuan yang luas serta up date. berdasarkan hasil kuesioner dan wawancara mendalam tentang role model, maka secara purposive ditentukan salah satu role model yang baik pada satu rumah sakit pendidikan untuk diobservasi. tujuan observasi ini adalah untuk mendapatkan data secara detil melalui pengamatan langsung terhadap performance dosen pembimbing klinik 69 mutiara medika vol. 14 no. 1: 63-74, januari 2014 sebagai role model. kegiatan observasi ini sebagai validasi hasil kuesioner dan wawancara sebelumnya. mahasiswa yang dipilih menjadi observer adalah seorang yang mempunyai kemampuan akademik di atas rata-rata, aktif dalam kegiatan pembelajaran dan bersedia secara kontinu untuk mengamati dokter yang terpilih menjadi role model. observasi dilakukan selama 3 minggu saat mahasiswa menjalani stase di bagian dokter role model tersebut bertugas, sehingga tujuan observasi sebagai pengamat di dalam seting pembelajaran dapat tercapai. kriteria dosen yang diobservasi adalah dosen yang menurut mahasiswa dari hasil wawancara dan kuesioner merupakan role model yang baik berdasarkan kriteria passi,1 yaitu memiliki clinical competence, teaching skills dan personal quality yang baik. observasi dilakukan oleh seorang mahasiswa atau koas sebagai insider observer menggunakan field notes. observer yang sudah dilatih mencatat secara deskriptif performance dosen pembimbing klinik pada setiap kegiatan pembelajaran yang melibatkan pasien dan mahasiswa. hasil observasi role model (proses modeling dosen pembimbing klinik) seperti dinyatakan oleh observer sebagai berikut. kegiatan dokter di bangsal yang selalu awal, yaitu jam 08.30-09.30, dibandingkan dokter lain di smf tersebut dan konsisten, melakukan pemeriksaan pasien dengan baik, seperti dituliskan oleh observer sebagai berikut : “sabtu, 08.35, dr. datang ke bangsal seperti biasanya, tetap menjadi dokter yang paling awal untuk visitenya. dr segera memasuki kamar satu demi satu sampai kamar terakhir, pemeriksaan pasien juga dilakukan dengan teliti dan sabar. setelah selesai memeriksa dan menandatangani lembar follow-up pasien, dr segera menuju ke poli....” bentuk pelayanan dokter role model yang baik ke pasien juga menunjukkan kesesuaian dengan hasil kuesioner dan wawancara, yaitu dokter mampu berkomunikasi baik dengan pasien, keluarga, mitra dll. dokter role model memberikan terapi sesuai dengan kondisi pasien, sebagai salah satu bentuk memperhatikan/empati/peduli terhadap kondisi pasien. catatan observer yang menyebutkan kepedulian dokter role model adalah: ” visite dari satu kamar ke kamar yang lainnya. perlakuan pada setiap pasien sama rata. pasien diperlakukan dengan baik dan setiap mengakhiri pemeriksaan selalu berkata ‘yang sabar ya bu/pak’, sambil menepuk bahu pasiennya….” “kamis, 08.45, pasien hari ini berjumlah 10 orang, setiap hari kamis dan minggu adalah jumlah pasien terbanyaknya dr. karena hari rabu dan sabtu adalah jadwal konsulen dr. dr masuk ke dalam bangsal pagi ini dengan bertanya “pasien barunya banyak belum dikonsul semalam”. ada beberapa pasien yang belum sempat dikunsulkan oleh koass jaga semalam. seperti hari-hari biasanya, dr langsung menuju ke kamar pasien satu demi satu. namun untuk pasien baru, dr lebih memberikan waktu ekstra dengan menganamnesis dan memeriksa lebih teliti, kemudian memberikan terapinya (sebelum menentukan terapinya selalu menanyakan “pasien masuk dengan jaminan apa?”). untuk obat-obat yang diluar jamkesmas, dr biasanya tetap memberikannya dengan melihat kondisi pasien dan kebutuhannya. …“ 70 wiwik kusumawati, role model di rumah sakit pendidikan dokter role model juga menunjukkan kemampuan teaching skills yang baik terhadap mahasiswa, seperti terlihat pada catatan observasi observer berikut. “selasa, 09.00, dr memasuki pintu bangsal, total pasien hari ini masih tetap 8. seperti hari-hari sebelumnya, dr mulai memeriksa pasien dari kamar ganjil menuju kamar genap. setiap 1 kamar berisi 4 bed. untuk kamar 1 pasien dr ada 2 pasien. dr memulai dengan anamnesis dan menanyakan kepada koassnya. bagaimana keadaan pasien hari ini, selain itu dr juga menanyakan temuan dari pemeriksaan fisik yang telah koass periksa sebelumnya. setelah itu dr mencocokkan dengan yang diperiksa oleh koassnya. jika ada pemeriksaan yang salah, dr lalu memberikan penjelasan bagaimana benarnya. dr melakukan hal serupa untuk setiap pasiennya, begitu pula dengan koassnya….” diskusi hasil kuesioner tertutup yang terdiri dari 13 item penilaian terhadap kompetensi klinis, kemampuan mengajar dan kualitas personal dosen pembimbing klinik bagian 4 besar, menunjukkan nilai rerata yang tinggi yaitu 97,05%. nilai tertinggi didapatkan pada kompetensi klinis yaitu 98%, sedangkan pada kemampuan mengajar dan kualitas personal masing-masing 93%. hal ini menunjukkan kesesuaian dengan data kuesioner terbuka yang menunjukkan secara umum dosen pembimbing klnik sudah menunjukkan performance yang baik sebagai role model (70%). kemampuan atau kompetensi klinis dosen mendapatkan nilai tertinggi dari mahasiswa dapat diterima karena hal ini merupakan tuntutan dan kebutuhan profesi. pengalaman dalam menghadapi pasien yang lebih lama dan up dating pengetahuan melalui pertemuan ilmiah tahunan dan konggres nasional dari masingmasing ilmu akan semakin menambah kompetensi ini (continuing professional development). personal quality dosen merupakan hal yang bersifat bawaan atau karakter, sehingga tidak mudah dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk perbaikannya. hal ini dikembalikan kepada individu masing-masing, meskipun fakultas dapat mengupayakan antara lain kegiatan spiritual yang dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan personal quality dosen. kemampuan mengajar atau teaching skills dosenlah yang memungkinkan untuk diintervensi oleh fakultas dengan mengadakan clinical teaching secara reguler agar pembelajaran pada tahap profesi lebih optimal. program fakultas yang dikembangkan untuk optimalisasi dosen pembimbing klinik agar menjadi role model yang baik sejalan dengan hasil studi kualitatif yang dilakukan oleh weissmann et al. (2006),8 tentang teaching humanism untuk mahasiswa kedokteran yang dilakukan pada dua belas dosen klinik dari empat fakultas kedokteran. hasil studi ini menyatakan bahwa identifikasi the best practices of effective teacher merupakan langkah pertama bagi institusi kedokteran dalam mengembangkan kurikulum berbasis bukti yang berkaitan dengan teaching etika, value dan humanisme. tampak pada tabel 3. bahwa alasan utama mahasiswa menentukan role model yang baik adalah cukupnya waktu membimbing, pemberian feedback dari dosen, memberikan kesempatan berlatih, memiliki pengetahuan yang luas dan kemampuan motivasi mahasiswa belajar. sebagian besar hal tersebut, berhubungan dengan kemampuan mengajar atau teaching skills dari dosen. 71 mutiara medika vol. 14 no. 1: 63-74, januari 2014 dalam pembelajaran di rumah sakit, mahasiswa mengharapkan bimbingan yang cukup dari dosen, sementara dosen pembimbing klinik mempunyai kewajiban melayani pasien, sehingga masalah waktu menjadi krusial dan perlu diatasi supaya proses pembelajaran dan pelyanan dapat berjalan baik. menurut simbiosis kurikulum9 antara kurikulum, mahasiswa dan pelayanan di rumah sakit merupakan segitiga yang mempunyai panah 2 arah. hal ini berarti kurikulum perlu didesain agar mahasiswa di pelayanan kesehatan dengan dokter spesialis sebagai dosen pembimbing klinik dapat membantu meningkatkan pelayanan kepada pasien, sementara mahasiswa juga mendapatkan kesempatan belajar dan berlatih dengan pasien secara langsung. dosen pembimbing klinik perlu ditingkatkan kemampuan mengajarnya melalui kegiatan clinical teaching agar dapat memberikan bimbingan, motivasi dan feedback kepada mahasiswa dalam waktu yang singkat atau situasi pembelajaran dengan pasien. penilaian dosen pembimbing klinik dengan kuesioner dan bersifat kuantitatif ini selanjutnya akan diverifikasi dengan data kualitatif dari hasil wawancara dengan responden mahasiswa. hasil observasi menunjukkan dokter role model mempunyai integritas yang baik. berdasar wawancara, integritas seorang role model terlihat dari kemampuan memberikan contoh yang baik dalam pengelolaan pasien (menjalankan tindakan sesuai protap). hal ini juga sesuai dengan hasil observasi observer, bahwa dosen sebagai role model yang diamati menunjukkan sikap dan perilaku tanggung jawab yang baik terhadap pasien dan juga tugas mengajar terhadap mahasiswa. sayangnya observasi terhadap dosen sebagai role model masih terbatas jumlahnya, sehingga belum diketahui apakah semua dosen memang mampu berperan menjadi role model yang baik. menurut passi,2 karakteristik role model yang efektif yaitu: 1) clinical competence yang meliputi knowledge, skills, communication dengan pasien dan staf, clinical reasoning, decision making; 2) teaching skills yang meliputi effective communication, feedback, reflection, dan promote student centered learning); 3) personal qualities yang meliputi compassion, honesty, integrity, effective interpersonal relationship, enthusiasm for practice and teaching. role model yang diharapkan mahasiswa berkaitan erat dengan dengan kemampuan mengajar atau teaching skills dari passi.2 hal ini dapat dimengerti karena mahasiswa dengan situasi pembelajaran riil yang melibatkan pasien sangat mengharapkan masukan dosen pembimbing klinik untuk memberikan konfirmasi terhadap pengetahuan dan tindakan yang dilakukan mereka terhadap pasien sudah benar atau belum. untuk meningkatkan peran dokter spesialis yang terbiasa dengan tugas pelayanan ini dapat diberikan clinical teaching secara teratur dan terus menerus oleh fakultas. selain itu, dengan kemajuan sistem informasi, para dosen juga perlu mengupdate pengetahuannya agar tidak didahului oleh mahasiswa yang mungkin lebih aktif untuk mencari informasi melalu internet. personal quality dosen secara umum di mata mahasiswa sudah baik dan hal ini sangat berkaitan dengan karakter individu yang tentunya juga dapat ditingkatkan melalui program pelatihan spiritual seperti esq. 72 wiwik kusumawati, role model di rumah sakit pendidikan pembimbingan dokter role model kepada mahasiswa terbukti sesuai dengan kuesioner atau hasil kuesioner, yaitu dokter menyediakan waktu yang cukup bagi koass atau mahasiswa serta mampu memotivasi dan memberikan feedback kepada mahasiswa. hal ini sesuai dengan jawaban sebagian besar responden terhadap alasan memilih role model yang baik. kedua alasan tersebut disebutkan oleh sebagian besar responden. begitu pula hasil wawancara mendalam dengan mahasiswa menunjukkan alasan yang sama. bahwa role model yang baik adalah yang mampu menyediakan cukup waktu untuk membimbing mahasiswa. dengan menyediakan cukup waktu untuk bimbingan, baik di bangsal atau tempat lain, mahasiswa akan mencapai kompetensi yang diharapkan. hasil studi ini menunjukkan kesamaan pentingnya role modeling dalam pendidikan dokter tahap profesi di rumah sakit seperti studi kualitatif yang dilakukan tentang role modeling oleh egnew & wilson (2011),10 bahwa mengajarkan keterampilan hubungan dokter dengan pasien dilakukan dengan cara yang bervariasi, tidak eksplisit atau jelas dan sangat tergantung pada role modeling. berbagi pengalaman yang dimiliki oleh dosen pembimbing klinik merupakan cara efektif untuk menambah pemahaman mahasiswa tentang relationship skills. hasil rekapitulasi role model (rm) pada 8 rumah sakit pendidikan fkik umy khususnya dosen pembimbing klinik bagian 4 besar, menunjukkan 18 dosen memiliki 3 kriteria sebagai rm menurut passi, 28 dosen sebagai rm yang baik, 10 dosen masih perlu diperbaiki atau kurang baik dan 10 dosen termasuk dalam rm baik dan perlu diperbaiki atau kurang baik. dengan kata lain, dari data kuesioner tertutup ini didapatkan 46 dosen pembimbing klinik menurut penilaian mahasiswa sudah memenuhi kriteria sebagai role model yang baik (70%). sepuluh orang atau 15% dosen yang termasuk role model kurang baik dan sepuluh atau 15% dosen yang termasuk role model baik dan kurang baik. dosen pembimbing klinik dari rs ii menunjukkan semua dosen (9) termasuk kriteria role model yang baik sehinga tidak ada yang termasuk dalam kriteria kurang baik. hal ini disebabkan antara lain lokasi rs yang relatif dekat dengan fkik umy, sehingga memungkinkan kegiatan supervisi dan koordinasi yang lebih intensif dengan pengelola fakultas. selain itu, rs ii merupakan salah satu rs yang dipersiapkan dalam waktu dekat sebagai rs pendidikan yang terakreditasi. demikian pula dengan rs iv menunjukkan hanya 1 dosen yang masih perlu diperbaiki perannya sebagai role model, sedangkan 7 dosen sudah menunjukkan role model yang baik. rs vi menunjukkan 3 dosen merupakan role model yang baik sedangkan 3 dosen kurang baik dan 3 dosen termasuk role model baik dan kurang baik. hal ini menunjukkan kondisi yang masih perlu diperbaiki dari sisi dosen pembimbing klinik sebagai role model yang baik. rs i dan rs iii masing-masing menunjukkan 33% dosennya merupakan role model yang masih perlu diperbaiki performancenya. role model yang kurang baik atau negative role model perlu diidentifikasi dan diatasi segera oleh institusi agar tidak menjadikan barier bagi pengembangan kompetensi mahasiswa, bahkan menyebabkan kebingungan dan demotivasi bagi mahasiswa. 11,12 pendidikan dokter yang terdiri dari 2 tahap, yaitu tahap sarjana atau tahap akademik dan tahap 73 mutiara medika vol. 14 no. 1: 63-74, januari 2014 profesi merupakan satu kesatuan, namun pendidikan tahap profesi di rumah sakit merupakan inti pendidikan dokter yang perlu mendapatkan perhatian lebih dari institusi. kondisi ketidaksesuaian tentang relational skills antara tahap pre klinik dengan perilaku yang diamati oleh mahasiswa pada tahap klinik menyebabkan pembelajaran keterampilan relational skills di klinik membutuhkan fasilitasi dari dosen pembimbing klinik.10 kompetensi yang diajarkan pada pendidikan tahap profesi tidak hanya fokus pada keterampilan atau skills saja, tetapi juga pada profesionalisme. profesionalisme yang akan didapatkan bagi mahasiswa membutuhkan waktu yang panjang selama proses pendidikan. dosen pembimbing klinik perlu memahami hal ini dan diharapkan dapat berperan menjadi role model yang baik dalam proses pembelajaran yang terintegrasi dengan proses pelayanan. dalam mengajarkan profesionalisme, role modeling pada tahap awal kontak klinik berpengaruh terhadap inisiasi profesionalisme, sedangkan critical reflection merupakan faktor paling penting dalam inisiasi profesionalisme. 13 upaya untuk meningkatkan peran dosen sebagai role model dapat dilakukan dengan faculty development seperti clinical teaching, kursus, supervisi yang lebih intensiv secara terus menerus untuk menjalin koordinasi dan informasi yang lebih optimal. namun demikian agar kegiatan pembelajaran di rumah sakit dapat berjalan lebih baik secara menyeluruh tidak cukup dari sisi dosen yang perlu diperbaiki tetapi juga dari sisi mahasiswa, sistem pengelolaan akademik dan administrasi. mahasiswa perlu dipersiapkan lebih baik dalam pengetahuan, keterampilan dan tidak kalah pentingnya sikap perilaku atau professional behavior (pb) dalam menghadapi situasi pembelajaran di rumah sakit yang melibatkan pasien dan keluarga. sistem pengelolaan akademik termasuk reward dan punishment lebih jelas dan dapat ditegakkan secara adil demikian pula terhadap kedisiplinan. untuk administrasi diharapkan dapat diperbaiki, sehingga memberikan motivasi yang lebih baik bagi dosen dan pelaksana di lapangan. hal ini sejalan dengan yang dilakukan oleh brater dalam mengajarkan profesionalisme, perlu dilakukan secara menyeluruh mulai mahasiswa pertama masuk fakultas kedokteran sampai lulus dan semua tahapan proses pendidikan diintervensi dengan nilai-nilai profesionalisme baik di kampus maupun di rumah sakit.14 penilaian terhadap dosen pembimbing klinik sebagai role model yang baik oleh mahasiswa ini tentunya masih menunjukkan subjektivitas, sehingga untuk mengurangi bias pada penilaian subjektif ini, perlu dilakukan metode penilaian yang lain seperti dengan sejawat atau peer, perawat atau para medis bahkan penilaian oleh pasien atau dikenal dengan penilaian 360º, namun penilaian ini membutuhkan sumber daya yang lebih besar. simpulan hasil kuesioner mahasiswa menunjukkan, 70% dosen pembimbing klinik pada bagian 4 besar 8 rumah sakit pendidikan fkik umy merupakan role model yang baik. berdasarkan kriteria role model passi, 98% dosen pembimbing klinik menunjukkan clinical skills yang baik, 93% menunjukkan teaching skills dan personal quality yang baik. role model yang baik dan diharapkan oleh mahasiswa adalah dosen pembimbing klinik yang mempunyai kemampuan mengajar atau teaching skills (cukup waktu untuk membimbing, mampu 74 wiwik kusumawati, role model di rumah sakit pendidikan berkomunikasi, memotivasi mahasiswa belajar, memberikan feedback, dan memiliki pengetahuan yang luas serta up date). daftar pustaka 1. amin z., eng kh., teaching and learning concepts dalam basic in medical education. singapore: world scientific publishing. 2003. 2. passi v., doug m., peile e., thistlethwaite j., johnson n. developing medical professionalism in future doctors: a systematic review. int. j. of medical education, 2010; 1: 19 – 29. 3. sivalingan n. teaching and learning of professionalism in medical school. ann acad med singapore, 2004; 33: 706 – 710. 4. van luijk, s.j. professional behaviour: teaching, assessing and coaching students. maastricht: universitaire pers maastricht. 2005. 5. gredler me. learning and instruction theory into practice 6th ed. new jersey: pearson education, inc. 2009. 6. patton mq. qualitative research & evaluation methods 3ed. london: sage publications, inc. 2002. 7. savitri tp. strategi analisis data kualitatif untuk penelitian pendidikan kedokteran dan profesi kesehatan. jurnal pendidikan kedokteran dan profesi kesehatan indonesia, 2007; 2(1): 31 – 35. 8. weissmann pf., branch wt., gracey cf., haidet p., frankel rm. role modeling humanistic behavior: learning bedside manner from the experts. academic medicine, 2006; 81: 661 – 667. 9. leung wc. competency based medical training: review, bmj, 2002; 325 (7366): 693 – 696. 10. egnew tr., wilson hj. role modeling the doctor-patient relationship in the clinical curriculum. family medicine, 2011; 43 (2): 99 – 105. 11. hilton sr., slotnick hb. proto professionalism: how professionalisation occurs across the continuum of medical education . medical education, 2005; (39): 58 – 65. 12. hutchinson l. educational environment in abc of learning and teaching in medicine. edited by cantillon p., hutchinson l., wood d. london: bmj publishing group ltd. 2003. 13. ponnamperuma g., ker j., davis m. medical professionalism: teaching, learning, and assessment. south east asian journal of medical education inaugural issue, 2007; 42 – 48. 14. brater dc. infusing professionalism into a school of medicine: perspectives from dean. academic medicine, 2007; 82(11): 1094 – 1097. 41 mutiara medika vol. 16 no. 2: 41-45, juli 2016 tekanan darah pada pasien pasca serangan stroke blood pressure in patients with post-attack stroke endrian mulyady justitia waluyo*, firdha risdayanti, nurhidayat program studi ners, sekolah tinggi ilmu kesehatan muhammadiyah ciamis *email: endrian1987@gmail.com abstrak penyakit stroke diakibatkan oleh penyempitan pembuluh darah ke otak banyak disebakan oleh beberapa faktor risiko salah satunya hipertensi. tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran tekanan darah pada pasien stroke di rumah sakit umum daerah kabupaten ciamis tahun 2016. desain penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif. populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien stroke di rsud kabupaten ciamis. pengambilan sampel menggunakan accidental sampling yaitu sebanyak 47 orang yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. hasil penelitian frekuensi tertinggi yaitu bahwa jenis kelamin berhubungan dengan tekanan darah dengan nilai p = 0.000, usia memiliki hubungan dengan tekanan darah dengan p = 0,000, sebanyak 27 orang (57,5%) berkategori tekanan darah tinggi. disimpulkan bahwa jenis kelamin dan usia memiliki hubungan dengan tekanan darah pada pasien pasca stroke, ratarata pasien pasca stroke memiliki tekanan darah yang tinggi. kata kunci: tekanan darah, stroke abstract stroke disease caused by narrowing of the arteries to the brain, caused by the many one of several risk factors of hypertension. the purpose of this study to describe blood pressure in stroke patients in hospitals ciamis regency year 2016. the design of this research use descriptive research. the population in this study were all stroke patients in hospitals ciamis district. sampling using accidental sampling as many as 47 people who fit the criteria of inclusion and exclusion. the highest frequency of research results is that the sexes are associated with blood pressure values p value 0.000, age has a relationship with blood pressure with a p value of 0.000, as many as 27 people (57.5%) categorized as high blood pressure. in conclusion gender and age have a relationship with blood pressure in post-stroke patients, the average post-stroke patients have high blood pressure. keywords: blood pressure, stroke artikel penelitian mutiara medika vol. 16 no. 2: 41-45, juli 2016 42 endrian mulyady justitia waluyo, dkk., tekanan darah pada pasien pendahuluan stroke termasuk salah satu dari sepuluh penyakit penyebab kematian teratas di dunia. berdasarkan laporan terbaru who terdapat 6,7 juta kematian terjadi akibat stroke dari total kematian yang disebabkan penyakit tidak menular.1 profil statistik who yang diperbaharui pada januari 2015, stroke merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan yang utama di indonesia. pada tahun 2012 terdapat 328.500 kematian akibat stroke di indonesia. prevalensi stroke di kabupaten ciamis berdasarkan yang terdiagnosis tenaga kesehatan adalah 9,4% dan yang terdiagnosis tenaga kesehatan dengan gejala adalah 11,8‰. kasus stroke di rsud kabupaten ciamis dari tahun ke tahun jumlahnya terus meningkat dan menempati urutan pertama di antara seluruh kasus sistem persyarafan yaitu pada tahun 2013 sebanyak 604 orang pasien stroke, tahun 2014 sebanyak 688 orang pasien stroke dan tahun 2015 sebanyak 738 orang pasien stroke, sedangkan pada periode bulan januari–maret 2016 diketahui bahwa pasien rawat inap dengan stroke di rsud kabupaten ciamis mengalami peningkatan tiap bulannya dari bulan januari sebanyak 38 orang (30,16%), februari sebanyak 42 orang (32,54%) dan maret sebanyak 47 orang (37,30%).2 penyebab stroke yaitu diakibatkan oleh ischemik pada otak yang diakibatkan oleh faktor risiko yaitu di antaranya hipertensi, perokok, kurangya berolahraga. tetapi hipertensi yang tidak terkontrol lebih berisiko terjadinya stroke berulang yang dapat menyebabkan kematian. tujuan penelitian ini untuk melihat tekanan darah pasien pasca serangan stroke, dan melihat apakah jens kelamin dan usia memiliki hubungan dengan tekanan darah pada pasien pasca stroke. tujuan dalam penelitian ini adalah menggambarkan tekanan darah pada pasien pasca stroke di rsud kabupaten ciamis bahan dan cara jenis penelitian ini adalah deskriptif observasional. variabel penelitian ini adalah variabel tunggal yaitu tekanan darah pada pasien stroke di rsud kabupaten ciamis tahun 2016. hasil ukur tekanan darah kategori rendah <90/60 mmhg, normal <120/ 80 mmhg, darah tinggi > 140/90 mmhg.3 populasi penelitian ini adalah semua pasien stroke di rsud kabupaten ciamis periode bulan maret 2016 sebanyak 47 orang. teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah accidental sampling by accident pada tempat, waktu dan cara yang telah ditentukan. sampel dalam penelitian ini adalah semua pasien stroke di rsud kabupaten ciamis. kriteria inklusi yaitu pasien stroke, bersedia menjadi responden. kriteria eksklusi yaitu pasien stroke yang meninggal dunia. teknik pengumpulan data yaitu dengan cara pemeriksaan kepada responden tetapi sebelumnya responden diminta kesediaanya untuk berpartisipasi dalam penelitian dengan menandatangani informed consent (pernyataan kesediaan menjadi responden). analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis univariate dengan menghitung tabel frekuensi. penelitian dilaksanakan tanpa mengakibatkan penderitaan kepada subjek dan bebas dari risiko. hasil hasil pengumpulan data mengenai gambaran tekanan darah pada pasien stroke di rsud kabupaten ciamis tahun 2016 diperoleh data karakteristik responden pada tabel 1. 43 mutiara medika vol. 16 no. 2: 41-45, juli 2016 tabel 1. distribusi jenis kelamin pasien stroke di rsud kabupaten ciamis jenis kelamin f % laki-laki 24 51,1 perempuan 23 48,9 jumlah 47 100 berdasarkan tabel 1. diketahui bahwa jenis kelamin pasien stroke terbanyak di rsud kabupaten ciamis yaitu laki-laki 24 orang (51,1%) dan frekuensi terendah yaitu kategori perempuan sebanyak 23 orang (48,9%). berdasarkan tabel 2. diketahui bahwa usia pasien stroke di rsud kabupaten ciamis, frekuensi tertinggi yaitu berkategori 45-60 tahun sebanyak 24 orang (51,1%) dan frekuensi terendah yaitu kategori > 60 tahun sebanyak 9 orang (19,1%). berdasarkan tabel 3. diketahui bahwa gambaran tekanan darah pada pasien stroke di rsud kabupaten ciamis tahun 2016, tertinggi sebanyak 27 orang (57,5%) berkategori tekanan darah tinggi dan (> frekuensi 140/90 mmhg) terendah yaitu sebanyak 8 orang (17,0%) berkategori tekanan darah normal. berdasarkan tabel 4. diperoleh bahwa jenis kelamin memliki hubungan dengan tekanan darah pasca stroke dengan nilai p= 0,000 kurang dari alfa () 0,05. untuk usia memiliki hubungan dengan tekanan darah pasca stroke dengan nilai p= 0,000 kurang dari alfa () 0,05. diskusi gambaran karakteristik pasien stroke di rsud kabupaten ciamis tahun 2016 lebih banyak berjenis kelamin laki-laki sebanyak 24 orang (51,1%). hasil ini menunjukkan bahwa jenis kelamin laki-laki lebih banyak mengalami kejadian stroke. hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan asna (asean neurological association) dalam misbach (2011),4 di 28 rumah sakit di seluruh indonesia yang menyatakan bahwa penderita laki-laki lebih tinggi daripada perempuan didukung dengan penelitian yang dilakukan widjaja (2010),5 yang menyatakan bahwa distribusi jenis kelamin pada penderita stroke akut lebih tinggi pada laki-laki (51,4%) dibanding perempuan (48,6%), dimana kriteria inklusinya adalah pasien dengan gejala klinis stroke hingga hari ketujuh sejak onset. menurut national stroke association (2014),6 faktor risiko internal, yang tidak dapat dikontrol atau diubah adalah jenis kelamin. laki-laki lebih sering terkena serangan stroke karena faktor risiko yang cenderung sering mengenai laki-laki yaitu merokok, alkohol dan hipertensi, sehingga insidensi stroke lebih tinggi pada laki-laki. berdasarkan usia pasien stroke di rsud kabupaten ciamis, frekuensi tertinggi yaitu berkategori 45-60 tahun sebanyak 24 orang (51,1%). hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan asna dalam misbach (2011),4 di 28 rumah sakit di tabel 2. distrib usi umur pasien stro ke d i rs ud kabupaten ciamis usia f % <45 tahun 14 29,8 45-60 tahun 24 51,1 > 60 tahun 9 19,1 jumlah 47 100 tabel 3. di stri busi frekuen si tekanan darah pada pasien stro ke d i rs ud k abup aten ciamis tahun 2016 kategori f % tekanan darah rendah 12 25,5 tekanan darah normal 8 17,0 tekanan darah tinggi 27 57,5 jumlah 47 100 tabel 4. hasil uji bivariat umur, jenis kelamin dengan tekanan darah kategori p-value jenis kelamin 0.000 usia 0.000 44 endrian mulyady justitia waluyo, dkk., tekanan darah pada pasien seluruh indonesia, dimana mereka menyebutkan bahwa profil usia stroke terbanyak pada usia 45-64 tahun berjumlah 54,2% dan di atas 65 tahun (33,5%), sedangkan profil usia di bawah 45 tahun juga cukup banyak yaitu 11,8%. hasil penelitian ini juga didukung penelitian yang dilakukan putri (2012),7 dengan total sampel 348 mendapatkan bahwa penderita stroke fase akut terbanyak pada usia pertengahan (45-59 tahun) yaitu 158 orang (45,4%). menurut national stroke association (2014),6 faktor risiko internal, yang tidak dapat dikontrol atau diubah adalah usia dimana risiko stroke meningkat seiring meningkatnya usia. perubahan-perubahan yang menjurus ke aterosklerosis yang merupakan penyebab stroke sudah mulai terjadi setelah manusia dilahirkan. pada usia 30 tahun, lesi aterosclerosis mulai tampak di arteri-arteri intracranial setelah usia 55 tahun, risiko stroke menjadi 2 kali lipat setiap dekadenya. hasil penelitian menunjukkan bahwa tekanan darah pada pasien stroke di rsud kabupaten ciamis tahun 2016, frekuensi tertinggi yaitu sebanyak 27 orang (57,5%) berkategori tekanan darah tinggi (>. hasil140/90 mmhg) penelitian menunjukkan bahwa tekanan darah tinggi merupakan faktor risiko utama terjadinya stroke. semakin tinggi tekanan darah pasien kemungkinan stroke akan semakin besar, karena terjadinya kerusakan pada dinding pembuluh darah sehingga memudahkan terjadinya penyumbatan bahkan pecahnya pembuluh darah di otak. jika serangan stroke terjadi berkalikali, maka kemungkinan untuk sembuh dan bertahan hidup akan semakin kecil. tekanan darah merupakan faktor risiko stroke yang dapat diubah. dengan mengetahui pengaruh tekanan darah terhadap kejadian stroke maka diharapkan dapat mencegah terjadinya stroke dan stroke ulangan. meningkatkan aliran darah otak dan meningkatkan tekanan intrakranial.8 hasil penelitian ini juga menunjukan tekanan darah pada pasien stroke di rsud kabupaten ciamis tahun 2016 sebanyak 8 orang (17,0%) berkategori tekanan darah normal. hal ini menunjukkan tidak ada tingkat tekanan darah untuk dapat dikatakan sebagai penyebab terjadinya stroke karena orang dengan tekanan darah yang normal sekalipun dapat terserang stroke. hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh lipska (2007),9 yang menyatakan bahwa lebih dari 60-80% pasien stroke akut memiliki tekanan darah tinggi, didukung pula oleh international stroke trial dan chinese acute stroke trial yang melaporkan 82% dan 75% pasien memiliki tekanan darah sistolik >140 mmhg pada 48 jam pertama terjadinya stroke akut, sedangkan hipotensi sangat jarang dijumpai, 18% pasien di international stroke trial dan 25% pasien di chinese acute stroke trial didapati tekanan darah sistoliknya d”140 terjadinya stroke.10 peneliti berasumsi bahwa tidak ada tingkat tekanan darah untuk dapat dikatakan sebagai penyebab terjadinya stroke karena orang dengan tekanan darah yang normal sekalipun dapat terserang stroke. tekanan darah tinggi tidak terkontrol dapat menyebabkan kejadian stroke karena dapat menimbulkan terjadinya oklusi aliran darah (stroke iskemik) dan meningkatkan risiko perdarahan otak (stroke hemoragik). hampir 70% kasus stroke hemoragik terjadi pada penderita hipertensi. tekanan darah yang tinggi juga dapat memicu pembentukan 45 mutiara medika vol. 16 no. 2: 41-45, juli 2016 plak aterosklerotik pada pembuluh darah otak, serta menginduksi lintasan lipohialinosis di pembuluh darah ganglia basalis hingga menyebabkan infark lakunar atau perdarahan otak. simpulan gambaran tekanan darah pada pasien stroke di rsud kabupaten ciamis tahun 2016 dari 47 responden, frekuensi tertinggi yaitu sebanyak 27 orang (57,5%) berkategori tekanan darah tinggi, 12 orang (25,5%) berkategori tekanan darah normal dan frekuensi terendah yaitu sebanyak 8 orang (17,0%) berkategori tekanan darah normal. usia dan jenis kelamin memiliki hubungan terhadap tekanan darah ditandai dengan p-value 0,000. daftar pustaka 1 who. global burden of stroke. 2014. diakses dari http://www.who.int/cardiovascular_ diseases/en/cvd_atlas_15_burden_st roke.pdf pada 12 maret 2016. 2 rekam medis rsud kabupaten ciamis 2016 3 smeltzer & bare. keperawatan medikal bedah, edisi ke delapan, vol 8. jakarta: egc. 2012. 4 misbach j. stroke, aspek diagnostik, patofisiologi, manajemen. jakarta: balai penerbit fk ui. 2011. 5 widjaja ac. uji diagnostik pemeriksaan kadar d-dimer plasma pada diagnosis stroke iskemik. 2010. diakses dari eprints.undip.ac.id pada 12 maret 2016. 6 national stroke association. am i having a stroke?. 2014. diakses dari http://www.stroke.org pada 13 maret 2016. 7 putri nm. gambaran tekanan darah pada penderita strole fase akut di rsup h. adam malik medan. skripsi. universitas sumatera utara. 2012. diakses dari repository.usu.ac.id pada 13 maret 2016. 8 sofyan. pengaruh hipertensi terhadap kejadian stroke iskemik dan stroke hemoragik di ruang neurologi di rumah sakit stroke nasional (rssn). 2013. diakses dari from:ttp://repository.usu.ac.id/ handle/123456789/19500 pada 12 maret 2016. 9 lipska k, sylaja pn, sarma ps, thankappan kr, kutty vr, vasan rs, et al. risk factors for acute ischaemic stroke in young adults in south india. j neurol neurosurg psychiatry, 2007; 78 (9): 959–963. 10 kamal ak, itrat a, murtaza m, khan m, rasheed a, ali a, et al. the burden of stroke and transient ischemic attack: a community-based prevalence study. bmc neurology, 2014; 9 (1): 58. artikel penelitian mutiara medika vol. 15 no. 1: 75 83, januari 2015 75 faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian peran sebagai ibu pada perempuan dengan hiv/aids di yogyakarta factors that affect maternal role attainment in women with hiv/aids in yogyakarta nur azizah indriastuti program studi ilmu keperawatan, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta email: azizah_indriastuti@yahoo.com abstrak menjadi seorang ibu merupakan suatu perubahan pada perempuan baik perubahan status maupun peran. adanya infeksi hiv dapat membuat kesulitan dalam perannya sebagai seorang ibu. salah satu faktor yang mempengaruhi pencapaian peran sebagai seorang ibu pada perempuan dengan hiv adalah perempuan dengan hiv/aids mengalami berbagai permasalahan baik masalah fisik, psikososial, emosional maupun spiritual. karena permasalahan tersebut, akibatnya perempuan dengan hiv tidak mendapatkan dukungan sosial yang diperlukan dalam menjalankan perannya sebagai ibu. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian peran sebagai ibu (maternal role attainment) pada perempuan dengan hiv/aids di yogyakarta. jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan rancangan fenomenologi. pengumpulan data dengan wawancara mendalam pada 5 perempuan dengan hiv/aids di lsm victory plus yogyakarta. pengambilan sampel dengan menggunakan purposive sampling. triangulasi dilakukan kepada perawat dan suami partisipan. pada penelitian ini, didapatkan 5 tema yaitu komitmen ibu terhadap anak, dukungan suami, dukungan keluarga, dukungan masyarakat, mekanisme koping adekuat, informasi yang diberikan petugas kesehatan saat memeriksakan kehamilan dan diskriminasi petugas kesehatan. disimpulkan bahwa faktor yang mendukung pencapaian peran ibu pada perempuan dengan hiv/aids meliputi komitmen ibu terhadap anak, dukungan suami, keluarga dan masyarakat, mekanisme koping adekuat serta informasi yang diberikan petugas kesehatan saat memeriksakan kehamilan. faktor yang menghambat pencapaian peran ibu pada perempuan dengan hiv/aids meliputi diskriminasi petugas kesehatan. kata kunci: pencapaian peran sebagai ibu (maternal role attainment), perempuan dengan hiv/aids, lsm victory plus yogyakarta abstract being a mother is a woman of change in both the status or role. hiv infection can makes it difficult for her role as a mother. one of factors that affect achievement role being a mother women with hiv is they have experience various problems both physical, psychological, emotional and spiritual. as a result, women with hiv are not getting the necessary social support in their role as mothers. this study to explore factors that affect maternal role attainment in women with hiv/aids in yogyakarta. it was qualitative research with phenomenology design. data was collected with in-depth interview on 5 women with hiv/aids in lsm victory plus yogyakarta. sample was taken using purposive sampling technique. triangulation is done with the nurse and husband one of a participants. in this study, obtained five themes, namely commitment mother against child, husband support, family support, community support, adequat coping mechanisms, information provided health worker during antenatal and discrimination of health workers. it can be concluded that factors that support mother in women with hiv/aids includes the commitment of the mother to the child, the support of her husband, family and community, adequat coping mechanisms, information from health workers during pregnancy. factors that inhibited mother in women with hiv/aids includes discrimination from health workers. key words: maternal role attainment, women with hiv/aids, lsm victory plus yogyakarta nur azizah indriastuti, faktor-faktor yang mempengaruhi... 76 pendahuluan hiv/aids merupakan salah satu penyakit yang mengkhawatirkan masyarakat karena disamping belum ditemukan obat dan vaksin untuk pencegahan, penyakit ini juga memiliki “window periode” dan fase asimtomatik (tanpa gejala) yang relatif panjang dalam perjalanan penyakitnya. saat ini, penyakit hiv/aids sudah menjadi masalah internasional karena melanda di seluruh negara di dunia.1 penyebaran hiv/aids terjadi di semua propinsi di indonesia termasuk daerah istimewa yogyakarta (diy). berdasarkan data dirjen pp & pl kemenkes ri sejak 1 januari 1987 s.d. 30 september 2014 untuk propinsi di yogyakarta jumlah penderita hiv terdapat 2611 orang, sedangkan penderita aids adalah 916 orang. hal inilah yang menyebabkan di yogyakarta menduduki urutan ke-14 dari 33 propinsi di indonesia.2 jumlah penderita hiv/aids dari tahun ke tahun semakin meningkat sehingga jumlah perempuan yang menderita hiv juga meningkat dari tahun ke tahun. meningkatnya jumlah perempuan dengan hiv/aids tidak hanya terjadi di indonesia namun juga di negara lain di dunia. berdasarkan hasil penelitian jones pada tahun 2004,3 penderita hiv/aids pada perempuan di amerika semakin meningkat dan saat ini infeksi hiv merupakan penyebab kematian ketiga pada perempuan usia 25-44 tahun.4 tingginya kasus hiv/aids pada perempuan dikhawatirkan akan ikut berdampak pula terhadap meningkatnya kasus hiv pada anak-anak yang didapat melalui penularan perinatal atau penularan infeksi yang terjadi pada saat kehamilan/persalinan karena perempuan yang menderita hiv/aids tersebut paling banyak berusia 25-44 tahun dimana pada usia tersebut merupakan usia produktif atau usia subur untuk melahirkan.5 perempuan dengan hiv/aids mengalami berbagai permasalahan baik masalah fisik, psikososial, emosional maupun spiritual. masalah fisik yang terjadi pada perempuan dengan hiv/aids akibat penurunan daya tahan tubuh yang mengakibatkan perempuan tersebut rentan terhadap berbagai penyakit infeksi. selain masalah fisik, perempuan dengan hiv/aids juga mengalami masalah sosial antara lain dikucilkan oleh teman, keluarga maupun masyarakat.6 permasalahan yang terjadi pada perempuan dengan hiv/aids salah satunya adalah karena perempuan mempunyai tugas berat di dalam rumah tangga dalam perannya sebagai ibu yaitu pada saat hamil, melahirkan dan mengasuh anak. selain itu perempuan juga bertugas merawat suami, terlebih jika suaminya sakit karena hiv yang dideritanya. akibatnya perempuan dengan hiv sering tidak mendapatkan dukungan sosial yang diperlukan dalam menjalankan perannya sebagai ibu. adanya permasalahan pada perempuan dengan hiv/aids baik fisik, psikososial, emosional dan spiritual inilah yang menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pencapaian peran sebagai ibu. berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada perempuan dengan hiv/aids di lsm victory plus, ada perempuan yang mengatakan mendapatkan perilaku kasar dari suami, ada yang mengatakan mendapatkan diskriminasi dari petugas kesehatan saat mutiara medika vol. 15 no. 1: 75 83, januari 2015 77 melakukan pemeriksaan dan ada yang merasa tidak bisa menjalankan perannya sebagai seorang ibu karena sakit yang dideritanya. penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian peran ibu (maternal role attainment) pada perempuan dengan hiv/aids di yogyakarta. bahan dan cara metode penelitian yang digunakan dalam studi ini adalah metode kualitatif karena penelitian ini mencoba untuk menggali informasi yang mendalam tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian peran ibu (maternal role attainment) pada perempuan dengan hiv/aids. pendekatan yang digunakan adalah fenomenologis karena digunakan untuk mengenali hubungan, mengidentifikasi serta mengembangkan hubungan yang terkait dari makna fenomena yang diteliti.7 partisipan pada penelitian ini adalah perempuan dengan hiv/aids yang pernah mengalami kehamilan sampai melahirkan di lsm victory plus yogyakarta. pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling. jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah 5 orang. penelitian dilaksanakan pada tanggal 1 juli sampai 31 agustus 2014 di lsm victory plus yogyakarta. instrumen penelitian dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. alat bantu yang digunakan peneliti untuk mendukung pengumpulan data adalah pedoman wawancara mendalam (indepth interview). peneliti juga menggunakan tape recorder untuk merekam proses wawancara mendalam dan catatan lapangan umtuk merangkum semua informasi baik yang didengar dan diamati saat berada di lapangan. pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam. analisis data pada penelitian berdasarkan tahapan dari colaizzi (1978),8 yaitu dengan cara: membuat transkrip, reduksi data dan koding, penyajian data, penarikan kesimpulan dan verifikasi. hasil semua partisipan dalam penelitian ini adalah perempuan yang positif hiv/aids. jumlah partisipan dalam penelitian ini sebanyak 5 orang yang secara sukarela dan memenuhi kriteria sebagai subyek penelitian. tiga orang partisipan adalah ibu rumah tangga, satu orang bekerja sebagai karyawan swasta dan satu lagi sebagai konselor hiv/aids. karakteristik partisipan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1. pada tabel 1. dapat diketahui bahwa setiap partisipan memiliki beberapa karakteristik yang berbeda. baik dari sisi umur, latar belakang pendidikan, pekerjaan, status, faktor risiko dan keikutsertaan dalam ppia. tema yang terbentuk dari hasil analisis data dalam penelitian antara lain atara lain: komitmen ibu terhadap anak. semua partisipan dalam penelitian ini mempunyai komitmen yang bagus terhadap anaknya yaitu pada saat hamil dengan mempertahankan kehamilannya dan menjaga menjaga kehamilannya tetap sehat, melahirkan dan berupaya untuk merawat anaknya dengan baik meskipun partisipan mempunyai status hiv positif namun partisipan tetap berkomitmen nur azizah indriastuti, faktor-faktor yang mempengaruhi... 78 untuk bisa merawat anaknya dengan baik sama seperti ibu-ibu lain yang tidak menderita hiv bahkan ada partisipan yang pada saat hamil sudah single parent sehingga melahirkan anaknya seorang diri. hal ini terungkap dari pernyataan partisipan berikut: p1:“..ya itu awalnya setelah saya tahu hamil saya sudah sepakat sama suami saya kalau nanti bayinya ada kecacatan misal jarinya kurang satu atau apa ya digugurkan saja tapi waktu periksa hamil bayinya malah sehat..” p2: “saya dari unmarried mother waktu itu jadi saya single parent, suami saya tidak mau bertanggung jawab, saya pertahankan kehamilan saya kemudian saya melahirkan seorang diri..” p5: “saya cuma yakin aja kalau saya mampu, saya mau membuktikan bahwa walaupun saya terinfeksi hiv tapi saya mampu seperti orang lain yang ga kena hiv” dukungan suami, keluarga dan masyarakat terhadap ibu. semua partisipan dalam penelitian ini mendapatkan dukungan baik dari suami, keluarga maupun masyarakat sekitar. dukungan yang didapatkan oleh partisipan dalam penelitian ini meliputi dukungan fisik, emosional, finansial maupun moril. hal ini terungkap dari pernyataan partisipan berikut: p1: “kalau suami mendukungnya ya bilang kalau tidak ada bedanya positif sama negatif itu tabel 1: rekapitulasi karakteristik partisipan penelitian karakteristik p1 p2 p3 p4 p5 usia 36 tahun 37 tahun 35 tahun 29 tahun 33 tahun agama islam katolik islam islam katolik pendidikan s1 smu sltp d3 smu status menikah janda menikah menikah janda jumlah anak 1 orang 2 orang 3 orang 2 orang 2 orang umur anak 2 tahun 5 bulan a. anak pertama umur 4 tahun b. anak kedua umur 6 bulan a. anak pertama umur 9 tahun b. anak kedua umur 8 tahun c. anak ketiga umur 2 tahun 2 bulan a. anak pertama umur 7 tahun b. anak kedua umur 5,5 tahun a. anak pertama umur 7 tahun b. anak kedua umur 3 tahun status hiv suami dan anak suami dan anak negatif suami dan anak pertama positif, anak kedua blm dites hiv suami pertama positif, suami kedua negatif, ketiga anak negatif suami positif, kedua anak negatif suami positif,ana k pertama negatif, anak kedua belum tes hiv pekerjaan ibu rumah tangga aktif di lsm ibu rumah tangga ibu rumah tangga karyawan swasta kapan didiagnosis hiv januari 2002 november 2008 tahun 2009 tahun 2006 tahun 2008 ikut program ppia tidak ikut ppia ikut ppia setelah anak pertama positif hiv ikut ppia sebelum hamil anak ketiga ikut ppia sebelum hamil anak kedua ikut ppia sebelum hamil anak kedua faktor risiko pengguna narkoba mantan suami sebagai pelaku seksual berisiko mantan suami pengguna narkoba suami sebagai pelaku seksual berisiko mantan suami sebagai pelaku seksual berisiko mutiara medika vol. 15 no. 1: 75 83, januari 2015 79 malah suami itu mengidolakan saya karena saya walaupun positif tapi tetep masih bisa survive” p1: “soalnya ibu mertua ga berani mandiin jadi mau gimana lagi..paling ibu mertua bantu jagain aja..” p2:“kalau keluarga bentuk dukungannya misalnya saya lagi capek tapi waktunya minum obat obatnya diambilkan oleh keluarga yang lain kemudian ditaruh di cepuk. misalnya pulang kerja kelihatan capek saya disuruh istirahat dulu satu jam tanpa memegang anak-anak dulu” p2: “masyarakat yang dulunya cuek-cuek sekarang malah lebih perhatian. sering ditanyain gitu-gitu, ya lebih mendapatkan dukungan positif beruntungnya..” p3:“kalau suami memberi dukungan dalam bentuk nasehat. misalnya waktu kemarin saya takut kalau tetangga pada tahu terus saya pengen pindah kesini itu suami saya ya bilangin ya sabar dulu nanti kita akan keluar dari kampung nyari kontrakan ya seperti itu” p3: “kalau keluarga ya menasehati saya tidak boleh putus asa, waktu saya sakit membawa ke rumah sakit” p4: “kalau dari suami selain ikut merawat anakanak juga termasuk mengingatkan obat..itu juga termasuk support buat aku” p4: “..tiap hari papahku telpon jadi kalau denger suaraku agak gimana gitu papahku langsung datang kesini anak-anak diajak kerumah papahku biar aku istirahat..” p4: “bentuk dukungannya dari tetangga ya support itu pada dateng kesini ngasih bajubaju perlengkapan bayi sampai bantuan susu..bentuk dukungan yang lain ya ngasih kerjaan..terus tidak membeda-bedakan jadi kalau ada acara apa-apa aku juga diundang..” p5: “kalau orang tua ya cuma dukungan moril aja..” p5: “..kalau tidak ada diskriminasi dari masyarakat ya bentuk dukungan karena saya tidak ada beban” berikut adalah hasil triangulasi data dengan suami salah satu partisipan melalui wawancara: suami: “ya..saya ikut aktif merawat anakanak..apalagi kalau istri saya sedang sakit..saya yang bertugas merawat anak-anak..saya juga selalu mengingatkan istri saya kapan harus minum obat. mekanisme koping ibu adekuat. semua partisipan dalam penelitian ini mempunyai penyelesaian yang baik pada saat menghadapi masalah. hal ini dilakukan partisipan dengan tetap berpikir positif meskipun dirinya dan anaknya positif hiv, melakukan tukar pendapat dengan suami maupun orang tua maupun mendatangkan komisi penanggulangan aids (kpa) untuk memberikan penyuluhan. hal ini terungkap dari pernyataan partisipan berikut: p2: “ya, positif thinkingnya semoga anak kedua negatif sehingga dia bisa menjaga anak saya pertama yang positif..” p3: “..saya berpikir untuk keluar dari kampung tempat tinggal saya makanya saya menikah lagi dengan suami sekarang meskipun sebenarnya dengan suami yang sekarang saya tidak terlalu suka..” p4: “ya sharing..yang pertama sama suami kemudian sama papah..” nur azizah indriastuti, faktor-faktor yang mempengaruhi... 80 p5: “..saya minta tolong kpa untuk memberikan penyuluhan” informasi yang diberikan petugas kesehatan kepada ibu saat memeriksakan kehamilan. pemberi pelayanan kesehatan khususnya perawat berperan secara keseluruhan dalam tahap pencapaian peran ibu. peran ini dilakukan oleh petugas kesehatan dengan memberikan informasi kepada ibu saat ibu melakukan pemeriksaan ke petugas kesehatan. hal ini terungkap dari pernyataan partisipan berikut: p2: “kalau informasi tentang perawatan selama kehamilan tidak ada, hanya di menit terakhir diberi tahu tentang kegunaan profilaksis, bagaimana cara pemberiannya..” p3: “waktu periksa kehamilan dikasih informasi tentang kalau harus dicek cd4 berapa, terus nanti lahirannya begini-begini..boleh menyusui atau tidak..” p4: “..waktu di sardjito aku dikasih informasi sama dr diah rumekti. isinya juga sama kaya yang diomongin suamiku, untuk arv, pemeriksaan cd4, diwanti-wanti soal makanan, terus susunya” diskriminasi petugas kesehatan terhadap ibu. semua partisipan mempunyai pengalaman mendapatkan diskriminasi dari petugas kesehatan. diskriminasi yang diberikan petugas kesehatan bermacam-macam yaitu ada partisipan yang pada saat melakukan pemeriksaan kehamilan diperiksa paling akhir dengan alasan takut menulari bayi yang lain, ada partisipan pada saat setelah persalinan sprei yang digunakan tidak pernah diganti oleh petugas kesehatan sampai ada partisipan yang disuruh untuk steril agar tidak bisa mempunyai anak lagi. hal ini terungkap dari pernyataan partisipan berikut: p2:“..kemarin sempat mendapat diskriminasi di sardjito. karena tahu kalau bayi saya dari orang dengan hiv periksanya paling terakhir katanya takut menulari bayi yang lain” p4: “..selama aku mondok sampai lahiran ga ada petugas kebersihan yang masuk kamar. yang ganti kalau kotor ya suamiku jadi kalau kotor suamiku kesana minta sprei terus diganti sendiri..” p5: “..waktu itu setelah saya melahirkan anak kedua saya saya ditawari untuk steril biar saya ga bisa punya anak lagi karena tahu kalau saya hiv. terus waktu saya operasi sesar ada perawat yang takut untuk ikut membedah saya..” berikut adalah hasil triangulasi data dengan perawat melalui wawancara: perawat: ”kalau dulu sekitar tahun 2000 itu kan kasus hiv/aids masih jarang..kemudian pelatihan-pelatihan atau seminar tentang hiv/aids juga masih jarang sehingga memang banyak perawat yang memberikan diskriminasi kepada pasien dengan hiv/aids karena takut tertular..tapi kalau sekarang kan kasus hiv/aids banyak kemudian pelatihan-pelatihan maupun seminar tentang hiv/aids juga sudah banyak jadi perawat sudah banyak yang paham sehingga sudah tidak merasa takut lagi untuk merawat asalkan dalam merawat pasien dengan hiv/aids tetap mempertahankan apd seperti memakai sarung tangan dll.. ” mutiara medika vol. 15 no. 1: 75 83, januari 2015 81 diskusi komitmen ibu terhadap anak. semua partisipan dalam penelitian ini mempunyai komitmen yang bagus terhadap anaknya yaitu pada saat hamil dengan mempertahankan kehamilannya dan menjaga kehamilannya tetap sehat, melahirkan dan berupaya untuk merawat anaknya dengan baik meskipun partisipan mempunyai status hiv positif namun partisipan tetap berkomitmen untuk bisa merawat anaknya dengan baik sama seperti ibu-ibu lain yang tidak menderita hiv. salah satu faktor yang mendukung pencapaian peran ibu adalah adanya suatu komitmen yang muncul dari dasar hati ibu untuk menjalankan perannya sebagai ibu sehingga yang dilakukan ibu adalah tetap mempertahankan kehamilannya, menjaga kehamilannya tetap sehat dan berupaya untuk merawat anaknya dengan baik seperti ibu ibu lain yang tidak terkena hiv. komitmen dari seorang ibu sangat penting ketika ia akan menjalankan perannya sebagai ibu. adanya integrasi peran yang jelas ke dalam sistem dirinya dengan kesesuaian dirinya dan peran-peran lainnya dan secara emosional komitmen untuk bayi, dirinya sendiri, dan keluarganya menjadi faktor penting dalam mengembangkan dirinya untuk menjalankan perannya sebagai ibu. mercer (1995) dalam mercer (2004),9 menjelaskan bahwa tahap identitas peran seseorang akan tercapai ketika ia mampu mengintegrasikan peran ke dalam sistem dirinya dengan kesesuaian dirinya dan peran-peran lainnya secara emosional berkomitmen untuk bayinya. dukungan dari suami, keluarga dan masyarakat. pada penelitian ini semua partisipan mendapatkan dukungan baik dari suami, keluarga maupun masyarakat. support system yang baik merupakan hal yang penting bagi ibu untuk menjalankan perannya sebagai ibu. dukungan suami, keluarga dan masyarakat menjadi sangat penting karena mempunyai kontribusi pada pencapaian peran ibu. mercer (1995) dalam mercer (2004),9 menjelaskan pencapaian peran ibu dan keterkaitan dengan dukungan suami dan keluarga terletak pada komponen mikrosistem dan mesosistem. mikrosistem merupakan hubungan antara ibu dan pasangan dimana dalam penelitian ini suami mempunyai hubungan yang baik dengan ibu dan mampu memberikan dukungan kepada ibu saat ibu menjalankan perannya sebagai ibu sejak hamil, melahirkan dan merawat anak serta memberikan dukungan kepada ibu dalam menjalani sakit hiv yang dideritanya. ayah atau pasangan ibu berkontribusi pada proses pencapaian peran ibu. interaksi ayah membantu dalam memfasilitasi identitas peran ibu. keluarga masuk ke dalam komponen mesosistem yang secara langsung berpengaruh kepada komponen mikrosistem sehingga ibu mampu mencapai perannya sebagai seorang ibu. ibu hamil yang terdeteksi hiv sangat membutuhkan dukungan dari keluarga. hal ini sesuai dengan penelitian dari dewi et al., (2008),10 terhadap ibu hamil yang terdeteksi hiv dimana seluruh partisipan yang diteliti menyatakan membutuhkan dukungan dari keluarga walaupun dua dari enam partisipan tidak mendapatkan dukungan dari keluarga. sumber dukungan keluarga yang didapatkan nur azizah indriastuti, faktor-faktor yang mempengaruhi... 82 berasal dari suami, ibu, anak, saudara serta keluarga besar lainnya. dukungan yang diperoleh partisipan sangat membantu partisipan dalam mencapai perannya sebagai ibu terutama pada saat merawat anak. hal ini sesuai dengan penelitian pennapa pakdewong et al., (2006),11 pada 263 ibu dengan hiv positif yang tinggal dengan bayi mereka bahwa dukungan sosial memiliki dampak positif langsung terhadap harga diri dimana harga diri dan dukungan sosial tersebut memiliki pengaruh langsung positif yang signifikan terhadap pencapaian peran ibu. mekanisme koping adekuat. perasaan tidak berdaya dan kesedihan menjadi pemicu secara psikologis yang menurunkan kemampuan ibu untuk menjalankan perannya sebagai ibu. mercer, (1995) dalam mercer (2004),9 menyebutkan bahwa pengembangan pencapaian peran ibu (maternal role attainment) sangat dipengaruhi oleh kondisi psikologis maupun perilaku ibu dan bayi. semua partisipan dalam penelitian ini mempunyai penyelesaian yang baik pada saat menghadapi masalah. hal ini dilakukan partisipan dengan tetap berpikir positif meskipun dirinya dan anaknya positif hiv. informasi yang diberikan petugas kesehatan saat ibu memeriksakan kehamilan. pemberi pelayanan kesehatan khususnya perawat berperan secara keseluruhan dalam tahap pencapaian peran ibu. pendidikan saat prenatal baik formal maupun informal membantu ibu untuk mencapai perannya. dalam penelitian ini petugas kesehatan melakukan perannya untuk membantu ibu mencapai perannya dengan memberikan informasi kepada ibu saat ibu melakukan pemeriksaan ke petugas kesehatan. isi informasi terkait bagaimana kondisi kehamilan ibu, bagaimana proses persalinan nanti dan bagaimana memeriksakan bayinya. diskriminasi petugas kesehatan. semua partisipan mempunyai pengalaman mendapatkan diskriminasi dari petugas kesehatan. pengalaman partisipan mendapatkan diskriminasi dari petugas kesehatan ini sesuai dengan penelitian dari sanders et al., (2008),12 bahwa penderita hiv merasa tidak diterima secara sosial, diperlakukan berbeda dalam konteks sosial dan perlakuan dari pemberi pelayanan kesehatan karena merasa takut tertular hiv/aids. simpulan faktor yang mendukung pencapaian peran ibu pada perempuan dengan hiv/aids meliputi komitmen ibu terhadap anak, dukungan suami, keluarga dan masyarakat, mekanisme koping adekuat serta informasi yang diberikan petugas kesehatan saat memeriksakan kehamilan. faktor yang menghambat pencapaian peran ibu pada perempuan dengan hiv/aids meliputi diskriminasi petugas kesehatan. daftar pustaka 1. widoyono. penyakit tropis epidemiologi, penularan, pencegahan dan pemberantasannya. edisi 2. jakarta: penerbit erlangga. 2009. 2. kementerian kesehatan ri. situasi epidemiologi hiv aids di indonesia. jakarta: direktorat jendral pm2pl. 2014. mutiara medika vol. 15 no. 1: 75 83, januari 2015 83 3. jones sg. taking haart: how to support patients with hiv/aids. nursing, 2004; 34 (6): 6-12. 4. gray, jj.. the difficulties of woman living with hiv infection. j psychosocial nursing, 1997; 37 (5): 39-43. 5. muma, rd. hiv: manual untuk tenaga kesehatan. jakarta: egc. 1997. 6. bare, b.g & smeltzer, s.c. buku ajar keperawatan medikal bedah brunner & suddarth. jakarta: egc. 2001. 7. moleong, l.j. metode penelitian kualitatif. edisi revisi. bandung: remaja rosdakaya. 2005. 8. colaizzi, p.f. psychological research as the phenomenologist views it. in r. s. valle & m. king (eds.), existential phenomenological alternatives for psychology (pp. 48-71). new york: plenum. 1978. 9. mercer, r. becoming a mother versus maternal role attainment. nursing scholarship, 2004; 36 (3): 226-232. 10. dewi, yi., setyowati & afiyanti, y. stress dan koping perempuan hamil yang didiagnosis hiv/aids di dki jakarta. j keperawatan indonesia, 2008; 12 (2): 121128. 11. pennapa, p., saipin, k., kobkul, p., margaret, s. m & wannee, k. a structural model of maternal role attainment in thai hiv sero-positive mothers. thai j nursing res, 2006;10 (3): 201-214. 12. sanders. women’s voices: the lived experience of pregnancy and motherhood after diagnosis with hiv. j assoc nurses aids care, 2008; 19 (1): 47-57. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18191768 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18191768 bahan dan cara hasil karakteristik partisipan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1. pada tabel 1. dapat diketahui bahwa setiap partisipan memiliki beberapa karakteristik yang berbeda. baik dari sisi umur, latar belakang pendidikan, pekerjaan, status, faktor ris... 45 mutiara medika edisi khusus vol. 7 no.1: 45 51, april 2007 perbandingan efektivitas bacillus thuringiensis israelensis (bti) terhadap larva aedes aegypti laboratorium dan daerah endemik demam berdarah di yogyakarta the comparison of bacillus thuringiensis israelensis (bti) effectivity against larvae of aedes aegepty in the laboratory and endemic area of dengue trisna dwi susanti1, tri wulandari kesetyaningsih2 1fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta, 2bagian parasitologi fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta abstract until now control the vector mosquito of dengue high fever (dhf) are still using the insecticide chemistry because it is considered the most effective and inexpensive. because of the possibility of resistance to insecticides and pollution of the environment, it is important to consider control measures alternative to more environmentally friendly. bacillus thuringiensis israelensis (bti) has high pathogenicity against mosquito larvae, so the potential to create a handler with experience. larvae of mosquitoes in endemic areas is estimated to have been affected by the bti in nature. the research objective was to compare the effectiveness of bti against larvae of aedes aegypti in the laboratory and from areas endemic dengue this study is the experimental laboratory, using larval ae. aegypti laboratory and endemic areas of dengue fever as the subject. treatment was given by exposing the subject by the bti in a variety concentration. the study consists of 13 groups, 12 groups contain a series of concentrations of bti and the control group without insecticides. each group consisted of 25 larvae 3rd stage included in the glass of 200 ml of media with a series of concentrations of 0.4; 0.6, 0.8, 1, 2, 4, 6, 8, 10 and 20 ppm. observations were made after 24 hours of exposure by counting the number of dead larvae in each cup. data were analyzed using probitt to determine ld50 and ld90 and paired t-test to determine the significance of differences between study groups. the results showed that bti can kill the larvae of aedes aegypti with ld50 1.732 ppm and 21.876 ppm ld90 for laboratory larvae, and 4.769 ppm ld50 and ld90 68.229 ppm for larvae from endemic area. analysis of paired t-test showed p = 0.038, which means there is a significant difference in mortality between the laboratory with endemic areas of larvae after exposure for 24 hours of bti. key words: aedes aegypti, bacillus thuringiensis israelensis, biolarvacide abstrak sampai saat ini pengendalian nyamuk vektor demam berdarah dengue (dbd) masih menggunakan insektisida kimiawi karena dianggap paling efektif dan murah. adanya kemungkinan resistensi terhadap insektisida kimia dan polusi lingkungan, perlu dipertimbangkan cara pengendalian alternatif yang lebih ramah lingkungan. bacillus thuringiensis israelensis (bti) mempunyai patogenitas trisna dwi susanti, tri wulandari k, perbandingan efektivitas bacillus .............................. 46 pendahuluan demam berdarah dengue atau dengue hemorrhagic fever (dhf) adalah penyakit demam akut dengan ciri-ciri demam manifestasi perdarahan, dan bertendensi mengakibatkan renjatan yang dapat menyebabkan kematian.1 virus dengue ditularkan oleh nyamuk aedes aegypti. dbd yang ditularkan oleh aedes masih merupakan masalah kesehatan bagi penduduk indonesia dan penularannya tanpa memandang usia serta jenis kelamin. pengendalian vektor namuk ae. aegypti dengan cara pengasapan maupun penyemprotan belum menurunkan kasus demam berdarah. peenggunaan insektisida kimia secara berulang-ulang dapat menimbulkan resistensi vektor, matinya hean lain yang bukan sasaran dan pencemaran lingkungan. karena itu dicari cara alternatif untuk menanggulangi vektor penyakit. salah satu cara yang mulai banyak diteliti dan potensial serta dipandanga mempunyai prospek yang baik adalah menggunakan bakteri patogen bagi jentik nyamuk bacillus thuringiensis (b. thuringiensis). tinggi terhadap jentik nyamuk sehingga berpotensi sebagai bahan pengendali alami. larva nyamuk di daerah endemik diperkirakan sudah terpapar dengan bti di alam. tujuan penelitian adalah untuk membandingkan efektifitas bti terhadap larva aedes aegypti laboratorium dan dari daerah endemik dbd. penelitian ini bersifat eksperimental laboratorium, menggunakan larva ae. aegypti laboratorium dan daerah endemik dbd sebagai subyek. perlakuan berupa pemaparan subyek dengan bioinsektisida berbagai konsentrasi bti. penelitian terdiri atas 13 kelompok, 12 kelompok berisi rangkaian konsentrasi bti dan satu kelompok kontrol tanpa insektisida. tiap kelompok terdiri atas 25 ekor l3 yang dimasukkan dalam gelas berisi 200 ml media dengan rangkaian konsentrasi berturut-turut 0,4; 0,6; 0,8; 1, 2, 4, 6, 8, 10 dan 20 ppm. pengamatan dilakukan setelah 24 jam pemaparan dengan menghitung jumlah kematian larva pada tiap-tiap gelas. data dianalisis menggunakan uji statistik probitt untuk menentukan ld50 dan ld90 dan paired t-test untuk mengetahui signifikansi perbedaan antar kelompok. hasil penelitian menunjukkan bahwa bti mampu membunuh larva aedes aegypti dengan ld50 1,732 ppm dan ld90 21,876 ppm untuk larva laboratorium, dan ld50 4,769 ppm dan ld90 68,229 ppm untuk larva daerah andemik. analisis paired t-test menunjukkan p=0,038, berarti ada perbedaan signifikan angka kematian antara larva laboratorium dengan larva daerah endemik setelah pemaparan dengan bti selama 24 jam. kata kunci: aedes aegypti, bacillus thuringiensis israelensis (bti), biolarvasida bacillus thuringiensis adalah bakteri gram positif, bakteri yang bertempat tinggal ditanah dari genus bacillus. tambahan pula b. thuringiensis juga terjadi secara natural pada ulat bulu dari beberapa ngengat dan kupu-kupu, pada bagian permukaan dari tumbuh-tumbuhan. bacillus thuringiensis bersifat kosmopolitan, antara lain ditemukan pada tanah.2 bacillus thuringiensis merupakan salah satu bakteri patogen serangga yang sekarang sudah dikembangkan menjadi salah satu bioinsektisida yang potensial. salah satu karakteristik dari b. thuringiensis adalah dapat memproduksi kristal protein di dalam sel bersama-sama dengan spora, pada waktu sel mengalami sporulasi.3 bioinsektisida berbasis bti mempunyai sifat selektif-tidak beracun terhadap hama bukan sasaran atau manusia dan ramah lingkungan karena mudah terurai dan tidak meninggalkan residu yang mencemari lingkungan.4 penelitian tentang bti suah banyak dilakukan, antara lain formulasi bacillus thuringiensis h-14 galur lokal dalam media infus kedelai dan uji patogenesitanya terhadap jentik nyamuk vektor dimana b. 47 mutiara medika edisi khusus vol. 7 no.1: 45 51, april 2007 thuringinsis h-14 dalam media infus kedelai memerlukan konsetrasi yang lebih kecil dari pada hasil yang dilakukan oleh peneliti. berarti hal ini bisa menjadi pertimbangan agar bisa dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perbedaan konsentrasi yang terjadi.5 penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan efektivitas larvasida bacillus thuringiensis terhadap larva ae. aegypti koloni laboratorium dengan larva dari daerah endemik dbd. bahan dan cara dalam penelitian ini di gunakan larva aedes aegypti yang telurnya diambil di daerah endemik db yaitu di daerah sonosewu kecamatan kasihan dan larva kontrol (laboratorium) yang diambil di bpvrp salatiga, kemudian telur ditetaskan di laboratorium menjadi larva aedes aegypti stdium iii. ciri-ciri larva instar iii adalah spinae sudah jelas, sifon lebih gelap, gigi sisir terlihat pada segmen abdomen ke-8 (mardihusodo dkk, 1979).6 alasan pemilihan sampel adalah larva instar iii sudah besar, mudah diidentifikasi, dan aktif makan, sehingga hal ini sesuai dengan bti sebagai racun yang dimakan alat dan bahan yang digunakan adalah telur aedes aegepti didaerah endemik dan di laboratorium, baki perindukan larva, pelet sebagai makanan larva, mangkuk perujian larva, ember hitam kecil, kertas saring untuk menangkap telur, pipet ukur dan gelas ukur, pipet untuk mengambil larva, lensa pembesar, saringan, bacillus thuringiensis israelensis (bti), air ledeng. jalannya penelitian adalah sebagai berikut 1) pemasangan ovitrap/perangkap telur. perangkap telur nyamuk ae. aegypti berupa gelas di cat hitam, diisi air, dilengkapi dengan kertas saring pada sisi dalamnya, diletakkan di luar dan di dalam rumah. seminggu sekali kertas saring diambil dan diganti yang baru. telur kemudian ditetaskan di laboratorium parasitologi fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta dalam baki plastik berisi air, dipelihara sampai instar iii diidentifikasi untuk mengetahui spesiesnya, 2) disiapkan 18 gelas plastik berisi air ledeng. dibagi menjadi dua kelompok yaitu 13 gelas untuk larva daerah endemis dan 13 gelas lagi untuk larva laboratorium. dimana 12 gelas perlakuan berisi bacillus thuringiensis israelensis (bti) dengan konsentrasi masing-masing 0.02 ml, 0.01 ml, 0.009 ml, 0.008 ml, 0.007 ml, 0.006 ml, 0.004 ml, 0.002 ml, 0.001 ml, 0.0008 ml, 0.0006 ml, dan 0.0004 ml dan 1 gelas sebagai kontrol. masing-masing mangkok diisi dengan 25 ekor larva stadium iii yang dipindahkan dari baki perindukan dengan menggunakan pipet, 3) larutan stok formulasi cair b. thuringiensis h-14 dibuat dengan cara menimbang 0.2 ml formulasi cair b. thuringiensis h-14 dan dimasukkan ke dalam beaker glass berukuran 500 ml yang ditambahkan 199,8 ml akuades dan dikocok sampai homogen. dari larutan stok tersebut selanjutnya diambil berturut-turut sebanyak 0.02 ml, 0.01 ml, 0.009 ml, 0.008 ml, 0.007 ml, 0.006 ml, 0.004 ml, 0.002 ml, 0.001 ml, 0.0008 ml, 0.0006 ml, dan 0.0004 ml menggunakan pipet dan dimasukkan ke dalam gelas plastic yang berisi 25 ekor jentik nyamuk instar iii dan berturut-turut dengan jumlah akuades sebanyak199.98 ml, 199.99 ml, 199.991 ml, 199.992 ml, 199.993 ml, 199.994 ml, 199,996 ml, 199.998 ml, 199.999 ml, 199.9992 ml, 199.9994 ml, 199.9996 ml untuk memperoleh konsentrasi akhir yang dibutuhkan yaitu sebanyak 20 ppm, 10 ppm, 9 ppm, 8 ppm, 7 ppm, 6 ppm, 4 ppm, 2 ppm, 1 ppm, 0.8 ppm, 0.6 ppm, dan 0.4 ppm, 4) pengujian dilakukan pada suhu dan kelembaban kamar. selama pengujian larva tidak diberi pelet. pengamatan dilakukan setelah 24 jam dengan menghitung jumlah kematian larva pada tiap-tiap gelas. larva yang tenggelam atau tidak bergerak setelah diganggu dinyatakan mati, 5) percobaan diulang sebanyak 3 kali. teknik analisis data dengan menggunakan uji statistik probit dan paired t-test. trisna dwi susanti, tri wulandari k, perbandingan efektivitas bacillus .............................. 48 hasil jumlah larva yang mati pada kelompok perlakuan dihitung dengan persentase rata-rata larva yang mati pada ketiga replikaci. perbandingan kematian larva ae.aegypti laboratorium dengan larva daerah endemik setelah 24 jam perlakuan dengan bti pada berbagai konsentrasi dapat dilihat pada tabel i. pada gambar 1. di atas terlihat bahwa semakin rendah konsentrasi bti yang diberikan pada masing-masing gelas menyebabkan makin kecil juga jumlah(ratarata) larva yang mati untuk semua kelompok. pada grafik juga terlihat kelompok larva aedes aegypti koloni laboratorium ternyata leih rentan terhadap bti dari pada larva dari daerah endemik, dilihat dari jumlah rata-rata larva mati lebih tinggi pada perlakuan pemberian bti dengan konsentrasi yang sama. hasil yang ditunjukkan pada tabel i dan grafik i tersebut kemudian di analisis dengan analisis probit untuk menentukan ld 50 dan ld 90 dari masing-masing kelompok perlakuan dan analisis paired t test. 0 5 10 15 20 25 20 μ 10 μ 9μ 8μ 7μ 6μ 4μ 2μ 1μ 0.8 μ 0.6 μ 0.4 μ ko ntr ol konsentrasi (ppm) ju m la h la rv a m at i (r at ara ta ) larva laboratorium larva daerah endemic gambar 1. grafik perbandingan kematian larva setelah 24 jam perlakuan dengan bti pada berbagai konsentrasi 49 mutiara medika edisi khusus vol. 7 no.1: 45 51, april 2007 tabel 1. perbandingan kematian larva setelah 24 jam perlakuan dengan bti pada berbagai konsentrasi. tabel 2. hasil analisa probit mengenai efektifitas larvasida bti(bacillus thuringiensis israel) berbagai konsetrasi terhadap larva ae.aegypti laboratorium. ket : m (%) : konsentrasi bacillus thuringiensis israelensis dalam persen ld : lethal dosage (konsentrasi larvasida dalam ppm) jumlah larva yang mati larva laboratorium larva daerah endemik perlakuan (ppm) rata-rata % rata-rata % 20μ 23,67 0,2367 20,3 0,203 10μ 21 0,21 19,6 0,196 9μ 17,66 0,1766 15,6 0.156 8μ 21,33 0,2133 14 0,14 7μ 19 0,19 13,3 0,133 6μ 16,3 0,163 12,3 0,123 4μ 13,6 0,136 6,6 0,036 2μ 14 0,14 6 0,06 1μ 12,3 0,123 9 0,09 0.8μ 7 0,07 7 0,07 0.6μ 7,6 0,076 2,3 0,023 0.4μ 6,6 0,066 4 0,004 kontrol 5 0.05 3,67 0,0367 kisaran batas m (%) ldx (ppm) bawah atas 10 0,137 0,094 0,316 20 0,327 0,174 0,617 30 0,614 0,373 1,010 40 1,050 0,705 1,564 50 1,732 1,243 2,413 60 2,858 2,101 3,886 70 4,886 3,481 6,858 80 9,156 5,938 14,116 90 21,876 11,862 40,344 95 44,902 20,628 97,739 trisna dwi susanti, tri wulandari k, perbandingan efektivitas bacillus .............................. 50 hasil analisis probit pada tabel 2 dan 3 d atas memperlihatkan data ld50 dan ld90 (konsentrasi yang di butuhkan untuk dapat membuat 50% dan 90% larva mati) pada larva ae. aegypti koloni laboratorium dan larva ae. aegypti dari daerah endemik dbd. hasil ini menunjukkan bahwa pada penelitian ini, bti bekerja sebagai larvasida lebih efektiv pada larva laboratorium dengan ld50 dan ld90 yang lebih kecil dibandingkan pada larva daerah endemik. bti pada penelitian ini membutuhkan konsentrasi 1,732ppm untuk mendapatkan kematian larva nyamuk lab sebesar 50% dan konsentrasi yang dibutuhkan untuk membunuh larva sebesar 90% adalah 21,876ppm sedangkan konsentrasi yang di butuhkan pada larva endemik sebesar 50% dan 90% adalah 4,769ppm dan 68,229ppm. selain itu dilakukan juga uji analisis t test, yang didapatkan bahwa ada perbedaan yang signifikan pada efektifitas jumlah konsentrasi yang di gunakan pada larva ae. aegypti laboratorium dengan larva daerah endemik db yang diperikasa, dimana nilai kemaknana sebesar 0,038 (p<0,05). perbedaan konsentrasi tersebut mungkin disebabkan oleh aktifitas patogenesitas yang berbeda di dalam usus tengah jentik. selain itu hubungan antara kistal protein yang dihasilkan dengan jentik seranga sangat spesifik. hal ini didukung pula oleh devidas pada tahun 1992 yang menyatakan bahwa lingkungan usus tengah usus serangga sangat berperan dalam menentukan spesifisitas serangga.7 selain itu ada juga yang melaporkan bahwa tiga faktor yang menentukan potensi delta endotoksin b. thuringiensis adalah asal toksin, kemampuan cairan usus melarutkan kristal protein serta kerentangan serangga sasaran terhadap toksin.8 perilaku kebiasaan makan spesies jentik dan tersedianya toksin di daerah makan larva (larva feeding zone) juga berpengaruh pada efektifitas larvasida yag diuji. hal ini sesuai dengan ae.aegypti karena larva ini mempunyai kebiasaan mengambil makanan di dasar dan di dinding penampungan air (bottom feeders).9 efikasi b. thuringiensis terhadap jentik nyamuk dipengaruhi antara lain oleh faktor-faktor ekologis, biologis dan fisik dapat mempengaruhi daya mematikan b. thuringiensis.10 faktor-faktor seperti instar jentik, makanan, periode pemaparan (expose periode), kualitas air, galur bakteri, perbedaan kepekaan masing-masing jentik nyamuk yang diuji, suhu air dan formulasi, tabel 3. hasil analisa probit mengenai efektifitas larvasida bti(bacillus thuringiensis israel) berbagai konsetrasi terhadap larva ae.aegypti daeah endemik dbd. ket : m (%) : konsentrasi bacillus thuringiensis israeensis dalam persen ld : lethal dosage (konsentrasi larvasida dalam ppm) kisaran batas m (%) ldx(ppm) bawah atas 10 0,333 0,160 0,692 20 0,831 0,496 1,392 30 1,607 1,089 2,371 40 2,821 2,039 3,902 50 4,769 3,446 6,601 60 8,063 5,490 11,840 70 14,153 8,681 23,076 80 27,356 14,456 51,767 90 68,229 28,726 162,056 95 145.097 50,223 419,188 51 mutiara medika edisi khusus vol. 7 no.1: 45 51, april 2007 khususnya tingkat sedimentasi/ pengendapan dilaporkan sangat mempengaruhi daya mematikan b. thuringiensis terhadap jentik nyamuk.11 b. thuringinsis h-14 dalam media infus kedelai memerlukan konsetrasi yang lebih kecil dari pada hasil yang dilakukan oleh peneliti. berarti hal ini bisa menjadi pertimbangan agar bisa dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari faktorfaktor yang berpengaruh terhadap perbedaan konsentrasi yang terjadi.5 b. thuringiensis mempunyai daya insektisida yang spesifik terhadap beberapa famili serangga dalam ordo diptera. hal ini mempunyai arti penting di masa depan sebagai pengendali serangga karena aplikasinya akan sangat memperkecil kerusakan lingkungan dengan memperkecil risiko matinya serangga lain ataupun mikroorganisrne yang bukan sasaran. kesimpulan ada perbedaan yang bermakna pada efekktifitas bti terhadap larva ae. aegypti laboratorium danan larva endemik dbd. konsentrasi yang di butuhkan untuk membunuh larva ae. aegypti laboratorium pada ld50 adalah 1,732ppm dan pada ld90 adalah 21,876. konsentrasi yang di butuhkan untuk membunuh larva ae. aegypti daerah endemik db pada ld50 adalah 4,769ppm dan pada ld 90 adalah 68,229ppm. daftar pustaka 1. gandahusada, s., herry, i., pribadi, w. 2003. parasitologi kedokteran, edisi 3. jakarta: fakultas kedokteran universitas indonesia. bull. 5(3-4): 3947. 2. lee, h.l.1998. isolation and evaluation of two isolates of bacillus thuringiensis for the control of mosquitoes of public health importance in malaysia. mosq. borne. disease 3. ali, a.s.,1994. analisis strain bacillus thuringiensis secara serologi: kumpulan makalah seminar bacillus thuringiensis. jakarta hal 12. 4. balai besar penelitian dan pengembangan bioteknologi dan sumberdaya genetik pertanian. (2007). bacillus thuringiensis, bioinsektisida alternatif (leflet). diakses 1 agustus 2007, dari www.google.com. 5. blondine, ch.p. 2004. formulasi bacillus thuringiensis h-14 galur lokal dalam media infus kedelai dan uji patogenesitanya terhadap jentik nyamuk vektor. jurnal kedokteran yarsi 12(1): 22-28. 6. mardihusodo,s.y., mardhiyah, baidlowi,c.a., 1979. kemampuan menetas telur aedes (stegnomnya) aegypti. laporan penelitian proyek ppt ugm. yogyakarta. 7. devidas, p. 1992. bt mode action: approaches. dalam sem. proc. global management of insectiside resistence in the 90’s. setember, 1517. 8. jaquet, f., hunter. r., luthy. p. 1987. specificity of bacillus thuringiensis deltaendotoksin, appl. environ. micro., 53 (3), 500-504. 9. becker. n., djakaria. s., kaiser. a., zulhasril. o., ludwig. h.w. 1991. efficacy of a new tablet formulation of an asporogeneous starin of bacillus thuringiensis israelensis againts larvae of ae. aegypti, bull. soc. vector. ecol. 16(1): 1-7 10. mulla, m.s., darwazeh, h.a., davidson, e.w., and dulmage, h.t., 1984. efficacy and persistene of the microbial agent b. sphaericus against mosquito larvae in organically enriched habitats., mosq news., 44, 166-173 11. aly, c. 1983. feeding behavior of aedes vexans larvae (diptera, culicidae) and its influence on the effectiveness of bacillus thuringiensis var israelensis, bull.soc.vector ecol., 8(2), 94-100. mutiara medika vol. 7 no. 1: 38-42, januari 2007 38 miswak (salvadora persica) as a cleansing teeth miswak (salvadora persica) sebagai pembersih gigi erlina sih mahanani1, samantha victoria samuel2 1dentistry study programme, faculty of medicine muhammadiyah university of yogyakarta, visiting lecturer in school of dental sciences, health campus, universiti sains malaysia, kelantan, malaysia, 2doctor of dental surgery student, school of dental sciences, universiti sains malaysia abstrak miswak adalah batang kayu dari pohon arak (salvadora persica)yang digunakan untuk membersihkan gigi. menggunakan miswak (bermiswak) sudah sekian lama dianjurkan oleh nabi muhammad saw melalui hadist hadistnya. hal ini masih banyak dilakukan penduduk di arab, timur tengah, india, pakistan, dan kaum muslim pada umumnya. banyak penelitian telah dilakukan untuk mengetahui kelebihan batang kayu ini sehubungan dengan kebersihan dan kesehatan mulut. salvadora persica mengandung trimethylamine, salvadorine, chloride, fluoride, silica, sulphur, minyak mustard, vitamin c, resins and tannin, saponins, flavonoids dan sterol. bahan kimia ini ternyata banyak berpengaruh pada kesehatan gigi dan mulut terbukti dapat mengurangi karies gigi, meningkatkan kesehatan gusi dan status periodontal, memutihkan gigi, menghilangkan karang gigi dan mempunyai efek antimikroba. apalagi bersiwak biasa dilakukan dengan frekuensi minimal 5 kali sehari (sebelum melakukan sholat) dan durasi yang lebih lama. oleh karena itu orang orang yang menggunakan miswak umumnya mempunyai status kesehatan gigi dan mulut yang lebih baik. kata kunci : miswak, salvadora persica, kesehatan gigi dan mulut abstract miswak is a chewing stick that derives from arak tree (salvadora persica) which is used as cleansing teeth. it is used in different part of africa, asia especially in middle east, south of america,2 india, pakistan and mostly of muslim community. this custom was adopted and islamized by prophet muhammad (peace and blessings of allah be upon him/pbuh) because there are several hadith mentioning the benefits of siwak in maintaining oral hygiene. many studies have been done to explore the oral hygiene advantages of this stick. salvadora persica contains trimethylamine, salvadorine, chloride, fluoride, silica, sulphur, mustard oil, vitamin c, resins and traces of tannins, saponins, flavonoids and sterol. actually this chemical composition influence to the oral hygiene. the unique chemicals component, fibers proved the effect to periodontal status, caries, antimicrobial, cleanness, whitening, calculus removal, and so on. furthermore miswak is generally used for a longer period of time and frequency (because it is used at least 5 times a day before praying). so normally the miswak users have higher oral hygiene status. keywords: miswak, salvadora persica, oral hygiene erlina sih mahanani, samantha victoria samuel, miswak ............ 39 introduction naturally we are lover cleanness of our body. since the dawn of time a variety of oral hygiene measures have been performed. this has been verified by various excavations throughout the world where toothpicks, chewing-sticks, twigs, linen strips, birds’ feathers, animal bones and porcupine quills were recovered. those that originated from plants, although primitive, represent a transitional step towards the modern toothbrush. about 17 different plants have been used as natural instruments of oral hygiene.1 the most widely used twig since early times is the siwak or miswak. siwak or miswak was used by babylonians 7000 years ago. it was later used throughout the greek and roman empire and has also been used by ancient egyptians and muslims. it is used in different part of africa, asia especially in middle east, south of america,2 and india, pakistan.3 the use of miswak in a pre-islamic custom, which was adhered to by the ancient arabs to get their teeth white and shiny. this custom was adopted and islamized by prophet muhammad (peace and blessings of allah be upon him/pbuh) around 543 ad.2 the stick is obtained from a plant called salvadora persica. the most common type of chewing stick, miswak, is derived from arak tree (salvadora persica) that grows mainly in saudi arabia but also in other parts of the middle east. salvadora persica is a small tree or shrub with a crooked trunk that is seldom more than one foot in diameter and reaching maximum height of three meters.2 it has scabrous and cracked bark, and is whitish with pendulous branches. the root bark is light brown and the inner surfaces are white. it has an odor like cress, and its taste is warm and pungent.1 the leaves are small, oval, thick and succulent with a strong smell of cress or mustard. the fresh leaves are eaten as salad or are used in traditional medicine for cough, asthma, scurvy, reumathism, piles, and so on.2 the flower are small and fragrant and are used as astimulant and are mildly purgative. miswak is a pencilsized stick 15-20 cm long and diameter 1-1.5 cm that is prepared from the root, stem, twigs or bark. the stick is chewed or tapered at one end until it becomes frayed into abrush.3 miswak is traditional equipment for teeth cleansing, that it still is used of muslim community. actually that chewing stick has advantages as cleansing teeth because it contains several of chemical components. this article is written to help the researchers to explore the ability of salvadora persica in oral hygiene and to proven that the ordered from prophet muhammad (pbuh) consider with modern scientific. discussion in religious background, islam teaches the importance of cleanliness of body as well as our mind. including a basic oral hygiene was introduced by islam. there are several hadith mentioning the benefits of siwak in maintaining oral hygiene; hence, it has been used widely among muslims since the prophet muhammad (pbuh).1 for example prophet muhammad said: “siwak purifies the mouth and pleases allah’ and said: were it not to be a hardship on my community, i would have ordered them to use siwak for every ablution.”2 in this respect, our prophet (pbuh) can be considered among the first dental instructors of proper oral hygiene.1 a variety of chemical components have been identified in salvadora persica. some of recheacher have reported that it contains trimethylamine, salvadorine, chloride, fluoride, silica, sulphur, mustard oil, vitamin c, resins and traces of tannins, saponins, flavonids and sterol.456 in the present study, the sticks from salvadora persica were analyzed for their soluble and total content of fluoride, calcium, phosphorus and silica. results showed that the fluoride released from miswak soaked in water was negligible (0.07 microgram/ml). the leached phosphorus averaged 582 micrograms/ml and 34g/ml, respectively, representing 19.6% and 26.4% of their total content in the sticks. there was a substantial amount of silica in the ashes of miswak. it appears that miswak mutiara medika vol. 7 no. 1: 38-42, januari 2007 40 is probably not particularly active against caries through its fluoride content, but it does act as a brush for removing dental plaque and polishing the teeth.7 besides that, aqueous extract of miswak at concentration of 15% and above has fungi static effect for up to 24 hours. this mycotic effect was probably due to one or more of the root contents which included chlorine, trimethylamine, and alkaloid resin, and sulphur compounds.8 there is evidence that salvadora persica contains antibacterial properties. some other components are astringents, detergents and abrasives. these properties encourage some toothpaste laboratories to incorporate powdered stems and/or root material of salvadora persica in their products. although commercial powders may be highly efficient in plaque removal, their use has been shown in a survey to cause a high incidence of gingivitis. plaque eradication is essential, but it should not be in a manner that creates negative side effects for other tissues.1 antimicrobial effect and plaque reduction of miswak have been provent that it can be effective in removing soft oral deposits. repeated use of siwak during the day produces an unusually high level of oral cleanliness. it has been proven that plaque is formed immediately after eating. after 24 hours, it starts to act on the teeth. however, it can be eliminated through meticulous tooth-brushing.1 batwa et al8 investigate the effect of chewing stick miswak in comparison with toothbrush on plaque removal during experimental conditions and real life use conditions. actually the miswak was as effective as a toothbrush for reducing plaque on buccal teeth surfaces both experimentally and clinically. al-lafi9 reported reduction in plaque in miswak users as well. and regularly show decreased gingival bleeding on probing they were compared with non users miswak. gazi et al reported that plaque and gingivitis were significantly reduced when miswak was used 5 times a day in praying time compare with conventional toothbrush.12 it has also been shown that the chewing stick remove plaque from interproximal sites to virtually the same extent as from other more accessible sites.4 darout et al12 investigate to assess the salivary levels of 25 oral bacteria in relation to periodontal status and experience of caries and to compare the levels of these bacteria between habitual miswak and toothbrush users in adult sudanese subjects. the findings suggest that miswak may have a selective inhibitory effect on the level of certain bacteria in saliva, particularly several oral streptococci species. it has been demonstrated in vitro that the aqueous extracts of miswak have growth inhibitory effects on several oral microorganisms.10 in almas et al research; they tested fresh vs. one-month-old miswak extract for antibacterial activity. and the result is found no different.10 the periodontal status of habitual miswak users had lower gingival bleeding and interproximal bone height than the toothbrush users. and there were no significant differences in plaque score pocket depth between them. the researcher also reported that advanced periodontal disease was very rare among persons over the age of 50 years who used miswak for toothbrush.13 darout et al. reported that the periodontal status of miswak users in a sudanese population was better than that of toothbrush users, suggesting that the efficiency of miswak use for oral hygiene is comparable or slightly better than toothbrush.14 miswak extract contain of chloride and silica, which indicated the miswak chemical component contribute to its mechanical action in dental calculus removal.15 in the salvadora persica, tanin present as well. it also inhibit the action of glucosyl transferase thus reducing plaque and gingivitis.16 freeze-dried extract of miswak was analyzed for antimicrobial components. and it is proven with the results showed a lower caries experience in the miswak users than in the subjects who used a modern toothbrush.10 emsleicit 4 reported for the first erlina sih mahanani, samantha victoria samuel, miswak ............ 41 time less caries in people using chewing sticks than in those using modern toothbrush in sudan., furthermore baghdady and ghose17 compared the caries prevalence between iraqi and sudanese schoolchildren (using who dmft). the result reported that sudanese schoolchildren showed lower caries prevalence due to the use of miswak and their diet. dental caries relatively rare among kenyan primary school children who were using only miswak.18 another research it was found that streptococcus mutans were eliminated in miswak group and were less in chlorhexidine.2 the finding lower caries experience of miswak users can be explained by the cleansing effect of miswak. because when the cleaning procedure is completed, miswak is often left in the mouth for some additional time. it will stimulate saliva secretion and promoting a better cleansing and anti-cariogenic effect.3 miswak has an ability in whitening teeth. study to compare the effectiveness at removing tea and chlorhexidine stain between toothpaste with salvadora persica extract and commercial whitening toothpaste has been done. and the results showed that the whitening toothpaste containing salvadora persica is more effective than the commercially available whitening toothpaste.19 high concentration of chloride in salvadora persica can inhibit calculus formation and help in removing stain from the teeth. furthermore miswak contain silica and sodium bicarbonate (baking soda). silica and sodium bicarbonate act as an abrasive material to remove the stains and giving the teeth whiteness. and thus, it is used as a commercial dentifrice.2 conclusion actually there are many advantage of miswak in oral hygiene. the unique chemicals component, fibers proved the effect to periodontal status, caries, antimicrobial, cleanness, whitening, calculus removal, and so on. furthermore miswak is generally used for a longer period of time and frequency (because it is used at least 5 times a day before praying). acknowledgment: i would like to thank agus kurniawan in universiti technology petronas, perak malaysia for suggestion, discussion, and critical comments when i have been writing this article. hamdan taher universiti sains malaysia library for facility to search the journals. reference 1. arafa h, prophetic medicine: an old prescription for a new era, www.islamonline.net 2. al-sadhan ri and almas k, 1999, miswak (chewing stick): a cultural and scientific heritage, the saudi dental journal; 11: 2, 80-88 3. darout ia, miswak as an alternative to the modern toothbrush in preventing oral diseases, research report, institute of odontology-oral microbiology, faculty dentistry and centre for international health, university of bergen, norway. 4. farooqi mih, srivastava jg (1968). the tooth-brush tree (salvadora persica). quart j crude drug res, 8: 1297-1299 5. ezmirly st, cheny jc, wilson sr (1978). saudi arabian medical plants: salvadora persica. planta medic, 35: 191-192 6. elvin-lewis m (1982). the therapeutic potential of plants used in dental folk medicine. odontostomatol. trop, 5: 107117 7. hattab fn (1997). meswak: the natural toothbrush. j cin dent, 8(5):125-9. 8. batwa m, bergström j, batwa j, alotaibi mf, the effectiveness of chewing stick miswk on plaque removal, saudi dental journal;18 :3:125 abstract 9. al-lafi t, 1988, effectiveness of miswak as a tool for oral hygiene, msc thesis, university of london. 10. al-bagieh nh, idowu a and salako no, 1994, effect of aqueous extract of miswak on the in vitro growth of candida albicans. microbios, 80(323):107-13. 11. almas k, al-bagieh, and akpata es, 1997, in vitro antibacterial effect of freshly mutiara medika vol. 7 no. 1: 38-42, januari 2007 42 cut and 1-month-old miswak extracts, biomedical letters;56;145-9 12. darout ia et al, salivary microbiota levels in relation to periodontal status, experience of caries and miswak use in sudanese adults, 2002, journal of clinical periodontology, vol 29: 5 page 411-420 13. gazi m, saini t, ashri n, lambourne a, 1990, meswak chewing stick versus conventional toothbrush as an oral hygiene aid, clin prev dent;12 :19-23 14. darout ia and skaug n, 2004, comparative oral health status of an adult sudanese population using miswak or toothbrush regularly, saudi dental journal ;( 1):29-38. 15. almas k, al lafi t, 1995, the natural toothbrush, world health forum; 16: 206-10 16. kubota k, et al, 1988, effect of tannic acid on adherence of candida to denture base, j of dental research; 67:abstract 183 17. baghdady vs, and ghoselj, 1979, comparison of the severity of caries attack in permanent first molars in iraqi and sudanese schoolchildren, community dent oral epidemiol;7:3468 18. carl w, and zambon jj, 1993, dental health of the rendille and samburu of the northern frontier district of kenya, ny statedent j;59:35-9 19. samuel sa, mahanani es, and arief em, 2007, the effectiveness of salvadora persica at removing tea and chlorhexidine stain, elective project dds usm, kelantan, malaysia mutiara medika vol. 7 no. 1: 22-26, januari 2007 22 kuretase periapikal pada gigi insisivus lateralis kanan atas dengan nekrosis pulpa, disertai lesi periapikal periapical curretage on the right maxilla incisivus lateralis pulp necrosis, with periapical lesion any setyawati program studi kedokteran gigi fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta abstract the aim of this case report is to inform the treatment of periapical curretage on the right maxilla incisivus lateralis necrotizing pulp with periapical lesion after endodontic treatment. a 22 year-old female patient was referred to conservative dentistry clinic gadjah mada university, who suffered sometimes from painful symptom in her right anterior maxilla after filling . objective examination 12 showed palatinal cavity with deep dentin and after filling on mesial surface, no response to sondasion and vitality test (ce), percussion was positif, palpation, and mobility were negative. radiograph examination indicated the presence of radiolucency on periapical which no limited area, diameter 4 mm and 7 mm. the diagnosis was pulp necrosis with periapical lesion. prognosis was good. there was no extraction. the treatment included root canal treatment, periapical curettage, and restoration using porcelain fused to metal crown with pasif dowel. the result was good, the tooth was painless and the radiolucency developed more opaque. key words : curettage periapical, pulp necrosis, periapical lesion abstrak laporan kasus ini bertujuan untuk merawat lesi periapikal pada gigi insisivus lateralis pada maksila kanan dengan nekrosis pulpa disertai lesi periapikal nekrosis pulpa setelah dilakukan perawatan saluran akar. pasien wanita 22 tahun datang ke klinik konservasi gigi ugm dengan keluhan gigi depan atas kanan bekas tambalan tersebut kadang-kadang terasa sakit. pada pemeriksaan objektif 12 terdapat kavitas di palatinal kedalaman dentin dan terdapat bekas tumpatan pada bagian mesial. sondasi negative dan ce negatif, perkusi positif, palpasi dan mobilitas negatif. pada radiograf terlihat area radiolusen di daerah periapikal, batas tidak tegas, lebar 4 mm dan sepanjang 7 mm. diagnosis kasus ini nekrosis pulpa dengan lesi periapikal. prognosis kasus ini baik. gigi tidak dilakukan pencabutan meskipun terdapat lesi periapikal yang luas. rencana perawatan yaitu perawatan saluran akar, kuretase apeks, dan restorasi mahkota jaket porselin inti pasak pasif. hasil perawatan baik, tidak ada keluhan dan area radiolusenberkurang. kata kunci : kuretase periapikal, lesi periapikal, nekrosis pulpa ani setyawati, kuretase periapikal............ 23 pendahuluan salah satu cara untuk mempertahankan gigi dari tindakan pencabutan adalah melakukan perawatan endodontik. perawatan endodontik secara konvensional dapat dilakukan pada saluran akar gigi yang memungkinkan untuk dilakukan sterilisasi dan pengisian secara hermetis sampai ujung akar melalui jalan masuk pulpa yang dibuat pada gigi tersebut1. gigi non vital adalah keadaan gigi yang pulpanya mati atau nekrosis. nekrosis pulpa dapat disebabkan oleh injuri yang membahayakan pulpa seperti bakteri, trauma dan iritasi2 . iritasi kronis pada pulpa gigi dapat menyebabkan kerusakan lapisan tulang periapikal. apabila rangsangan berlangsung terus menerus maka tubuh akan memperbaiki dengan menambah vaskularisasi dan pembentukan jaringan ikat muda. jaringan ikat ini bersama eksudat peradangan dapat berubah menjadi jaringan granulasi. gigi dengan nekrosis pulpa dapat pula disertai lesi periapikal3. kuretase adalah tindakan bedah endodontik yang bertujuan untuk menghilangkan atau mengeluarkan jaringan patologis disekeliling akar gigi. kuretase periapikal adalah tindakan bedah endodontik yang bertujuan untuk mempertahankan gigi yang mengalami kelainan pulpa dan periapikal agar tetap berada di dalam rongga mulut4. pada kasus ini kuretase periapikal bertujuan untuk merawat lesi periapikal pada gigi nekrosis pulpa yang telah selesai dilakukan perawatan saluran akar. keistimewaan kasus ini adalah gigi tetap dipertahankan meskipun terdapat lesi periapikal yang luas, perawatan berhasil dengan baik karena lesi dapat berkurang sehingga gigi tidak perlu pencabutan dan dapat dilakukan perawatan selanjutnya yaitu restorasi restorasi mahkota jaket porselin inti pasak pasif. laporan kasus seorang pasien wanita umur 22 tahun datang ke klinik konservasi gigi ugm untuk menambalkan gigi depan kanan atas. pada tahun 2002 empat gigi depan atas ditambal dengan 1 kali kunjungan. satu tahun yang lalu (2005) gigi kanan atas bekas tambalan tersebut sering sakit tapi sembuh sendiri. sekarang tidak sakit dan ingin ditambal. pada pemeriksaan objektif didapatkan gigi 12 terdapat kavitas di permukaan palatinal kedalaman dentin dan terdapat bekas tumpatan pada bagian mesial. sondasi negatif, perkusi positif (tidak sakit), palpasi negatif, dan tes vitalitas dengan ce negatif. mobilitas negatif. pemeriksaan radiograf terlihat area radiolusen di daerah periapikal, batas tidak tegas, lebar 4 mm dan sepanjang 7 mm (gambar 1 dan gambar 2). diagnosis kasus ini adalah nekrosis pulpa dengan lesi periapikal. prognosis kasus ini baik karena gigi masih memungkinkan dilakukan perawatan saluran akar, dilanjutkan dengan kuretase apeks, dan restorasi mahkota jaket porselin inti pasak pasif. pasien tidak menderita penyakit sistemik (berdasarkan hasil lab.) sehingga mendukung untuk dilakukan kuretase periapikal. gambar 2. foto 12 sebelum perawatan gambar 1. radiograf 12 sebelum perawatan mutiara medika vol. 7 no. 1: 22-26, januari 2007 24 prosedur perawatan : pada kunjungan pertama 27 februari 2006 dilakukan dilakukan preparasi biomekanis dan sterilisasi saluran akar. pada tanggal kedua 1 maret 2006 dilakukan obturasi saluran akar seperti terlihat pada gambar 3. pada kunjungan ketiga 3 maret 2006, setelah dilakukan pemeriksaan subjektif, objektif dan radiograf dilakukan kuretase periapikal. dilakukan penandatanganan persetujuan pasien untuk dilakukan tindakan bedah setelah diberikan penjelasan kepada pasien. sterilisasi operator, asisten dan pasien, isolasi dan disinfeksi daerah operasi. dilakukan anestesi blok infraorbitalis. desain flap semilunar, dilakukan insisi dengan scalpel, flap dibuka dengan raspatorium (gambar 4). pembukaan tulang kortikal ke apeks dengan round bur sehingga terlihat akar gigi 12. dilakukan kuretase jaringan granulasi (gambar 5) pada daerah periradikuler dan tulang sekitarnya sehingga terlihat jaringan tulang yang sehat, tulang yang runcing dihaluskan. jaringan harus dikelupas dengan hati-hati menggunakan kuret yang tajam. proses ini harus meninggalkan rongga tulang yang bersih. dilakukan irigasi dengan salin. pemberian bone graft untuk membantu proses regenerasi. pengembalian flap dan penjahitan. dilakukan aplikasi periodontal pack. perawatan pasca operasi, instruksi kepada pasien agar menjaga kebersihan mulut, luka bekas operasi tidak boleh diraba, bibir atas tidak boleh ditarik-tarik, makan makanan lunak dahulu, minum obat sesuai petunjuk, kontrol bila ada keluhan seperti bengkak, perdarahan. pemberian obat yaitu antibiotik, analgesik, anti inflamasi, dan obat kumur. kontrol 3 hari kemudian untuk evaluasi hasil perawatan. gambar 5. foto saat dilakukan kuretasegambar 4. foto saat dilakukan operasi gambar 3. radiograf 12 setelah obturasi ani setyawati, kuretase periapikal............ 25 kunjungan ke empat 6 maret 2006, tidak ada keluhan sakit. pemeriksaan objektif tidak ada pembengkakan, periodontal pack tidak terlepas. kunjungan ke lima 11 maret 2006. pada kontrol pasca kuretase apeks ini tidak ada keluhan sakit. periodontal pack dilepas, jahitan terlihat diresorbsi dengan baik. bekas luka operasi mulai sembuh. pada tanggal 24 maret 2006, pada kunjungan ini tidak ada keluhan sakit. pada pemeriksaan objektif terlihat luka operasi telah sembuh. dilakukan pengambilan radiograf, terlihal area radiolusen mulai berkurang dan mengecil (gambar 6). pasien mulai dilakukan restorasi. gambar 6. radiograf 12 terlihat area radilusen berkurang diskusi pada kasus ini kuretase periapikal bertujuan untuk merawat lesi periapikal. kuretase adalah tindakan mengangkat jaringan lunak yang rusak di sekitar apeks. hal ini penting untuk 1) memperoleh akses dan pandangan yang baik ke daerah apeks; 2) membuang jaringan yang terinflamasi; 3) memperkecil perdarahan; 4) memperoleh spesimen untuk pemeriksaan histologis5. pada saat kuretase, terlihat banyak jaringan granulasi. granuloma gigi adalah suatu pertumbuhan jaringan granulasi yang bersambung dengan ligamen periodontal yang disebabkan oleh matinya pulpa dan difusi bakteri beserta toksinnya dari saluran akar ke dalam jaringan periradikuler di sekitarnya melalui foramen apikal dan lateral2. pada kasus ini dilakukan flap berbentuk semilunar dengan pertimbangan area operasi kecil sehingga tidak perlu dilakukan pembukaan flap yang lebar (mukoperiosteal penuh)5. setelah selesai kuretase, dilakukan penutupan flap kembali. pengembalian jaringan pada posisi semula memungkinkan proses penyembuhan yang dimulai dengan proses penyembuhan primer dan penanganan jaringan selama pembedahan baik jaringan lunak (periosteum, gingiva dan mukosa alveolar) serta jaringan keras (dentin, semen, ligament periodontium dan tulang)6. flap dapat melekat dengan baik pada sementum yang bebas dari jaringan granulasi, dan regenerasi tulang akan terjadi dengan baik pada jaringan yang sehat, karena itu kuretase harus menghasilkan jaringan yang benar-benar sehat7. pada kasus ini, pemberian bone graft bertujuan membantu proses regenerasi tulang. graf tulang mempunyai efek utama untuk menstimuli pertumbuhan tulang, dan graf juga diyakini sebagai produsen tulang yang sebenarnya bukan hanya menstimuli pertumbuhan tulang. bahan cangkok tulang (bone graft) berfungsi sebagai : 1) osteokonduksi yaitu bertindak sebagai pola atau kerangka untuk pembentukan tulang baru; 2) osteoinduksi yaitu bertindak sebagai stimulator atau penginduksi pembentukan tulang baru; 3) osteogenesis yaitu sel-sel dalam bahan cangkok secara nyata memproduksi tulang baru8. mutiara medika vol. 7 no. 1: 22-26, januari 2007 26 kesimpulan pada kasus ini kuretase periapikal bertujuan untuk merawat lesi periapikal pada gigi nekrosis pulpa yang telah selesai dilakukan perawatan saluran akar. lesi terlihat mulai sembuh setelah kontrol pada minggu ketiga pasca operasi. perawatan bedah endodontik dapat dilakukan untuk mendukung perawatan endodontik konvensional. bila lesi periapikal yang terjadi luas maka tindakan bedah endodontik dapat dipertimbangkan sehingga gigi tetap dapat dipertahankan tanpa dilakukan pencabutan. daftar pustaka 1. bence, r., 1990, endodontik klinik, ui press, jakarta. 2. grossman, l.i., oliet, s. and del rio, c.e., 1995, ilmu endodontik dalam praktek, egc, jakarta. 3. harty, f.j., 1993, endodonti klinis, penerbit hipokrates, jakarta. 4. grossman, l.i., 1988, endodontics practise, lea & frebiger, philadelphia. 5. walton, r.,e., torabinejad, m., 1998, prinsip dan praktik ilmu endodonsi, egc, jakarta. 6. lekovic, v., kenney, e.b., weinlainder, m., han, t., klokkevold, p., nedic, m., orsini, m., a bone regenerative approach to alveolar ridge maintenance following tooth extraction. report of 10 cases, j. period, 1997, 68 (6): 563-570 7. apaydin, e.s., torabinejad, m., the effect of calcium sulfate on hard-tissue healing after periradicular surgery, j. endod, 2004, 30 (1): 17-20 8. fedi, p.f., vernino, a.r., gray, j.l., 2004, silabus periodonti, ed. 4, egc, jakarta, 94-104, 167-179. 29 mutiara medika vol. 17 no. 1: 29-35, januari 2017 karakteristik central serous chorioretinopathy di pusat mata nasional rumah sakit mata cicendo tahun 2016 characteristics of central serous chorioretinopathy at the national eye center, cicendo eye hospital 2016 ahmad ikliluddin bagian ilmu kesehatan mata, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta email: ahmadiqlil@gmail.com abstrak central serous chorioretinopathy (csc) merupakan penyakit pada retina yang ditandai oleh terjadinya ablasi serosa dari lapisan neurosensori retina yang diakibatkan oleh gangguan pada lapisan retinal pigmen epithelium (rpe). csc kebanyakan terjadi pada usia pertengahan dan lebih sering terjadi pada pria dibanding wanita. gejala utama adalah penglihatan kabur, biasanya terjadi pada satu mata dan dirasakan pasien sebagai bayangan hitam yang menghalangi penglihatan yang berhubungan dengan mikropsia atau metamorfsia. tujuan penelitian ini untuk mendapatkan gambaran mengenai karakteristik pasien yang terdiagnosis csc dan jenis terapi yang diberikan di pusat mata nasional rumah sakit mata cicendo, pada periode januari 2016 – desember 2016. penelitian dilakukan menggunakan metode deskriptif dengan desain hospital based study. populasi penelitian ini adalah semua pasien berobat di poli mata rumah sakit mata cicendo selama periode penelitian. data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang diperoleh dari status pasien yang terdiagnosis csc. karakteristik pasien csc yang didapatkan paling banyak adalah laki-laki (71,97%), usia 40-49 tahun (43,18%), dengan visus awal saat kedatangan pada rentang 0,4 logmar 0,1 logmar (53,57%). keterlibatan mata terbanyak bersifat unilateral (93,93%), dengan rerata ketebalan subfovea sentralis saat kedatangan adalah 402,33µm. kata kunci: central serous chorioretinopathy, ablasi serosa, optical coherrence tomography, oct angiography enhanced-depth imaging abstract central serous chorioretinopathy (csc) is a disease of the retina characterized by serous detachment of the retinal neurosensory caused by impairment of the retinal pigment epithelium (rpe). csc mostly occurs in middle age and more common in men than women. the main symptom is blurred vision, usually occurring unilateral and perceived as a black shadow that blocks vision associated with micropsia or metamorphsia. the purpose of this study was to obtain the characteristics of patients diagnosed with csc and the type of therapy at cicendo eye hospital, at january 2016 december 2016. the study was conducted using descriptive method with the design of hospital based study. the population of this study were all patients treated at cicendo eye hospital during the study period. the data collected were secondary data obtained from the medical record of patients diagnosed with csc. the most common characteristics of csc patients were men (71.97%), 40-49 years of age (43.18%), with initial visual acuity at arrival was 0.4 logmar 0.1 logmar (53.57 %). most eye involvement was unilateral (93.93%), with mean central subfoveal thickness at arrival is 402.33¼m key words: central serous chorioretinopathy, serous detachment, optical coherrence tomography, angiography oct, enhanced-depth imaging artikel penelitian mutiara medika vol. 17 no. 1: 29-35, januari 2017 30 ahmad ikliluddin, karakteristik central serous chorioretinopathy (csc) pendahuluan central serous chorioretinopathy (csc) pertama kali disebutkan oleh albrecht von graefe sebagai central recurrent retinitis pada tahun 1866.1 csc merupakan salah satu penyakit chorioretina yang dicirikan oleh terjadinya serous detachment dari lapisan neurosensori retina dan/atau lapisan retinal pigment epithelium (rpe).2 central serous chorioretinopathy pada umumnya bersifat idiopatik, namun dapat pula berkaitan dengan tingginya kadar kortikosteroid endogen maupun eksogen. csc paling banyak mengenai lakilaki usia muda hingga usia pertengahan.3 sebagian besar kasus csc merupakan kasus yang self-limiting dengan resolusi spontan dan prognosis visual yang baik. kegagalan mencapai resolusi spontan pada umumnya ditangani dengan memberikan laser fotokoagulasi yang diarahkan secara fokal pada daerah retina yang mengalami kebocoran rpe. beberapa pasien mengalami csc persisten maupun rekuren, yang dapat berkembang ke arah perubahan rpe yang lebih luas dan terbentuknya neovaskularisasi subretina, yang pada akhirnya akan menyebabkan penurunan penglihatan yang progresif.4,5 secara klinis, csc akan memberikan gambaran berupa terangkatnya area makula dengan tampilan menyerupai kubah, yang dapat terlihat jelas dengan menggunakan pemeriksaan penunjang seperti optical coherence tomography (oct) makula. hal ini dapat memunculkan beberapa diagnosis banding yang serupa dengan kasus ini. pengetahuan mengenai karakteristik pasien csc sangat diperlukan agar dapat menegakkan diagnosis kasus ini dengan tepat. selain itu, diperlukan juga pemahaman mengenai pilihan terapi yang dapat diberikan pada kasus ini agar didapatkan hasil terapi yang optimal. tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai karakteristik pasien yang terdiagnosis csc dan jenis terapi yang diberikan di pusat mata nasional rumah sakit mata cicendo, pada periode januari 2016 – desember 2016. bahan dan cara penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif dengan melakukan telaah rekam medis pasien csc di pusat mata nasional rumah sakit mata cicendo dari januari 2016 sampai desember 2016. kriteria inklusi pada penelitian ini adalah seluruh pasien yang terdiagnosis csc selama periode januari 2016 sampai desember 2016. kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah pasien dengan diagnosis banding kelainan makula selain csc. data pemeriksaan meliputi tajam penglihatan yang dicatat dalam logmar, pemeriksaan funduskopi indirek untuk menilai kondisi makula, serta pemeriksaan penunjang berupa oct makula, oct angiografi, maupun fundus fluorescein angiografi (ffa). data yang dikumpulkan meliputi data demografi pasien, usia, jenis kelamin, tajam penglihatan saat kedatangan dan saat follow up 1 bulan, gambaran oct makula dan oct angiografi, serta terapi yang didapatkan pasien. data yang didapat kemudian dipaparkan secara deskriptif terhadap seluruh variabel dan ditampilkan dalam bentuk tabel. hasil selama periode penelitian yang dimulai dari januari 2016 – desember 2016, didapatkan 132 pasien (140 mata) dengan diagnosis csc di rs mata cicendo bandung. didapatkan 95 pasien laki-laki 31 mutiara medika vol. 17 no. 1: 29-35, januari 2017 (71,97%) dan 37 pasien perempuan (28,03%). usia pasien berkisar antara 12 60 tahun dengan rerata usia pasien adalah 40,51 tahun dengan rentang usia terbanyak pada usia 40-49 tahun sebanyak 57 pasien (43,18%) (tabel 1). visus pasien saat kunjungan pertama yang terbanyak adalah pada rentang 0.4 – 0.1 logmar sebanyak 75 (53,57%) mata, kemudian 0.9 – 0.5 logmar sebanyak 57 (40,71%) mata, dan 1.50 – 1.0 logmar sebanyak 8 (5,71%) mata. total 132 pasien yang didiagnosis csc selama periode penelitian, didapatkan 124 (93,93%) kasus bersifat unilateral dan 8 (6,06%) kasus bersifat bilateral. pada kunjungan pertama pasien csc ke rs mata cicendo selama periode penelitian, pemeriksaan oct makula dilakukan pada 98 (74,24%) pasien. rerata ketebalan subfovea sentralis adalah 402,33 µm. selanjutnya didapatkan 46 (34,84%) pasien yang menjalani follow up 1 bulan dan dilakukan pemeriksaan oct makula. rerata ketebalan fovea sentralis pada follow up 1 bulan adalah 255,5µm. pada 20 pasien csc unilateral dan 2 pasien csc bilateral dilakukan pemeriksaan ketebalan khoroid menggunakan oct angiografi dengan mode enhanced depth imaging (edi). didapatkan rerata ketebalan khoroid pada mata dengan csc sebesar 405µm dan pada fellow eye nya sebesar 322,5µm. sebanyak 48 pasien (52 mata) menjalani follow up 1 bulan. visus pasien saat follow up 1 bulan yang terbanyak adalah pada rentang 0.4 logmar – 0.1 logmar sebanyak 46 (88,46%) mata, kemudian 0.9 logmar – 0.5 logmar sebanyak 6 (11,54%) mata. pada tabel 6. didapatkan gambaran mengenai tatalaksana pasien csc selama periode penelitian. tatalaksana terbanyak adalah dengan observasi dan pemberian medikamentosa, yang diberikan pada 89 (43,93%) pasien. medikamentosa yang diberikan dapat berupa kombinasi dari tetes mata artificial tears, tetes mata natrium diklofenak, tablet natrium diklofenak, tablet spironolakton dan tablet roboransia. tabel 1. karakteristik pasien variabel jumlah persentase (%) jenis kelamin laki – laki perempuan 95 37 71,97 28,03 usia (tahun) 10-19 20-29 30-39 40-49 50-59 60-69 2 4 53 57 14 2 1,51 3,03 40,15 43,18 10,60 1,51 visus (logmar) lp – 1/300 1.50 – 1.0 0.9 – 0.5 0.4 – 0.1 0 8 57 75 0 5,71 40,71 53,57 tabel 2. lateralitas mata yang terlibat lateralitas jumlah persentase (%) unilateral bilateral 124 8 93,93 6,06 tabel 3. rerata ketebalan subfovea sentralis pada mata yang terkena csc waktu jumlah cft (µm) saat kedatangan h+1 bulan 98 46 402,33 255,5 tabel 4. rerata ketebalan khoroid pada pasien csc keterangan jumlah rerata tebal khoroid mata dengan csc fellow eye 24 20 405 322,5 tabel 5. visus saat follow up 1 bulan visus (ucva) jumlah persentase (%) (logmar) lp – 1/300 1.50 – 1.0 0.9 – 0.5 0.4 – 0.1 0 0 6 46 0 0 11,54 88,46 32 ahmad ikliluddin, karakteristik central serous chorioretinopathy (csc) tatalaksana selanjutnya adalah dengan laser fotokoagulasi fokal pada area leakage sesuai hasil ffa pada 25 (18,93%) pasien. kemudian didapatkan juga tatalaksana dengan pemberian injeksi intravitreal anti-vegf pada 18 (13,63%) pasien. diskusi central serous chorioretinopathy merupakan suatu penyakit pada retina yang ditandai dengan terjadinya ablasi serosa pada lapisan neurosensori retina sebagai akibat dari adanya satu atau lebih lesi pada retinal pigment epithelium (rpe).2 secara epidemiologi, csc lebih banyak terjadi pada lakilaki dibanding perempuan, dengan rasio sekitar 6:1. usia saat terjadinya onset biasanya berkisar 30 – 50 tahun.6 hal ini sesuai dengan karakteristik yang didapatkan pada penelitian ini, dimana pada penelitian ini didapatkan jumlah pasien laki-laki lebih banyak dari perempuan dengan rasio berkisar 2,5:1, dan usia terbanyak ada pada rentang 40 – 49 tahun serta 30 – 39 tahun. gejala yang umum dirasakan pasien csc meliputi skotoma sentral, metamorfopsia, micropsia, diskromatopsia, serta pandangan kabur. saat kedatangan pertama, pada umumnya keterlibatan mata yang terjadi adalah unilateral, namun dapat juga terjadi bilateral terutama pada kasus yang kronis maupun yang berkaitan dengan peningkatan kadar kortikosteroid endogen maupun eksogen. pada penelitian ini, sebagian besar merupakan kasus yang unilateral yang didapatkan pada 124 pasien, dibandingkan dengan kasus yang bilateral yang didapatkan pada 8 pasien. visus awal pada penelitian ini sebagian besar berada pada rentang 0.4 logmar – 0.1 logmar sebanyak 73 (53,57%) mata dan kemudian pada rentang 0.9 logmar – 0.5 logmar sebanyak 57 (40,71%) mata. penegakan diagnosis csc dapat didukung oleh pemeriksaan penunjang berupa imaging dengan menggunakan fundus fluorescein angiography (ffa), indocyanine green angiography (icga), optical coherence tomography (oct), fundus autofluorescence (faf), serta pemeriksaan fungsional retina dan makula yang dapat berupa multifocal electroretinography (mferg), dan microperimetry. pada pemeriksaan ffa, umumnya didapatkan pola leakage yang khas berupa ink blot maupun smoke stack. pola smoke stack lebih jarang terjadi, hanya terdapat pada 10-15% pasien dengan csc. pada kasus csc dimana didapatkan juga pigment epithelial detachment (ped), pola ffa yang terbentuk dapat berupa pooling pada bagian sub-rpe.7 pada pemeriksaan oct, akan didapatkan gambaran penumpukan cairan sub-retina secara jelas. oct dapat pula memberikan gambaran yang jelas pada kejadian csc yang disertai ped. dari pemeriksaan oct bisa didapatkan penilaian secara kuantitatif mengenai ketebalan fovea sentralis sehingga dapat digunakan sebagai sarana evaluasi perkembangan penyakit pada csc.8,9 tabel 6. tatalaksana csc visus post operasi jumlah persentase (%) observasi dan medikamentosa (kombinasi) : artificial tears na-diklofenak e.d na-diklofenak tab spironolakton tab roboransia tab laser fotokoagulasi fokal injeksi intravitreal antivegf 89 58 65 45 33 112 25 18 67,42 43,93 49,24 34,09 25,00 84,84 18,93 13,63 33 mutiara medika vol. 17 no. 1: 29-35, januari 2017 pada penelitian ini, sebanyak 98 pasien dengan diagnosis csc dilakukan pemeriksaan oct makula saat kunjungan pertama ke rs mata cicendo. didapatkan rerata ketebalan fovea sentralis sebesar 402,33µm. selanjutnya, sebanyak 48 pasien (52 mata) datang kembali untuk melakukan follow up pada satu bulan setelah kunjungan pertama. dari 48 pasien ini, dilakukan pemeriksaan oct ulang pada 46 pasien. didapatkan rerata ketebalan fovea sentralis pada follow up satu bulan sebesar 255,5µm. didapatkan kesan penurunan rerata ketebalan fovea sentralis saat follow up satu bulan dibandingkan dengan saat kunjungan pertama. visus pasien yang didapatkan saat follow up satu bulan sebagian besar berada pada rentang 0.4 logmar – 0.1 logmar sebanyak 46 (88,46%) mata dan kemudian pada rentang 0.9 logmar – 0.5 logmar sebanyak 6 (11,54%) mata. didapatkan kesan penambahan persentase pasien yang mengalami perbaikan visus saat follow up satu bulan dibandingkan dengan saat kunjungan pertama. faktor risiko yang diketahui pada kejadian csc diantaranya adalah kadar glukokortikoid tubuh, predisposisi genetik, kepribadian tipe a, kehamilan, penyakit kardiovaskular dan hipertensi, penggunaan antibiotik, transplantasi organ maupun sumsum tulang, dan infeksi saluran nafas atas.10,11,12 sebagian besar faktor risiko tersebut pada akhirnya akan memicu terjadinya peningkatan kadar steroid dalam tubuh. peningkatan kadar steroid tubuh ini diduga akan menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah khoroid, yang pada akhirnya dapat menyebabkan peningkatan ketebalan khoroid. dengan demikian, secara teori meskipun csc hanya dijumpai pada satu mata seorang pasien, proses perubahan ketebalan khoroid tetap akan terjadi pada kedua matanya.13 central serous chorioretinopathy merupakan penyakit yang bersifat self-limiting-. sebagian besar kasus dapat mengalami resolusi spontan dengan melakukan observasi pada perjalanan penyakitnya. meskipun demikian, sehubungan dengan adanya keterkaitan antara peningkatan kadar kortikosteroid endogen dan eksogen pada kasus csc, maka perlu dilakukan anamnesis mendalam pada pasien csc mengenai kemungkinan pemakaian kortikosteroid sebagai pengobatan jangka panjang pada pasien tersebut. pada csc yang berkaitan dengan tingginya kadar kortikosteroid, penghentian penggunaan steroid dapat mempercepat resolusi dari ablasi serosa pada 90% kasus.14 laser fotokoagulasi dapat dipertimbangkan untuk dilakukan secara fokal pada area dengan gambaran leakage pada hasil ffa pasien csc. penggunaan laser fotokoagulasi diketahui dapat mempercepat resolusi dari ablasi serosa lapisan neurosensori retina pada csc.3,15,16 penggunaan anti-vegf pada terapi csc juga sudah dikembangkan. beberapa penelitian telah menunjukkan terjadinya perbaikan secara anatomi dan fungsional dengan pemberian injeksi intravitreal anti-vegf ranibizumab maupun bevacizumab. hal ini menunjukkan bahwa terdapat keterlibatan vegf pada proses leakage yang terjadi pada kasus csc.17,18,19 pada penelitian ini, sebanyak 89 (67,42%) pasien mendapat terapi observasi dengan diberikan kombinasi obat-obatan yang dapat berupa tetes mata artificial tears, tetes mata natrium diklofenak, natrium diklofenak oral, spironolakton oral, maupun 34 ahmad ikliluddin, karakteristik central serous chorioretinopathy (csc) roboransia oral. sebanyak 25 (18,93%) pasien mendapatkan laser fotokoagulasi fokal pada area leakage berdasar hasil ffa, dan sebanyak 18 (13,63%) pasien mendapat terapi berupa injeksi intravitreal anti-vegf. simpulan sebagian besar kasus csc di rs mengalami resolusi spontan dengan dilakukan observasi terhadap perjalanan penyakitnya. pemeriksaan penunjang dengan oct makula dapat membantu menunjukkan ketebalan subfovea sentralis, sedangkan oct angiografi dapat menunjukkan ketebalan khoroid yang terjadi pada csc. pada kejadian csc yang kronis maupun rekuren, dapat dipertimbangkan pemberian laser fotokoagulasi pada area leakage dari hasil ffa. pemberian anti-vegf merupakan salah satu opsi yang dapat dipertimbangkan pada tatalaksana csc mengingat terdapat dugaan keterlibatan vegf pada proses leakage yang terjadi pada csc. perlu dilakukan penelitian secara lebih terstruktur dalam pengumpulan data dan pemeriksaan penunjang supaya didapatkan data yang lebih lengkap dan akurat. diperlukan penelitian analitik observasional lebih lanjut untuk menilai perbandingan efikasi antara masing-masing metode terapi yang dapat diberikan pada kasus csc. daftar pustaka 1. von graefe a. ueber central recidivierende retinitis. graefes arch clin exp ophthalmol 1866; 12: 211-5 2. maria wang, inger munch, pascal w hasler, christian prunte, michael larsen. central serous chorioretinopathy. acta ophthalmol 2008; 86; 126-45 3. ross a, ross ah, mohammed q. review and update of central serous chorioretinopathy. curr opin ophthalmol 2011; 22 (3): 166-73 4. wang ms, sander b, larsen m. retinal atrophy in idiopathic central serous chorioretinopathy. am j ophthamol 2002; 133: 787-793 5. piccolino fc, de la longrais rr, ravera g, eandi cm, ventre l, abdollahi a. the foveal photoreceptor layer and visual acuity loss in central serous chorioretinopathy. am j ophthalmol 2005; 139: 87-99 6. david t liu, andrew c fok, waiman chan, timothy y lai, dennis s lam. central serous chorioretinopathy. retina 2013; 72: 1291-1303 7. bujarborua d, nagpal pn, deka m. smokestack leak in central serous chorioretinopathy. graefes aerch clin exp ophthalmol 2010; 248: 33951 8. huang d, swanson ea, lin cp, schuman js, stinson wg, chang w, et al. optical coherence tomography. science 1991; 254: 1178-81 9. hee mr, puliafito ca, wong c, reichel e, duker js, schuman js, et al. optical coherence tomography of central serous chorioretinopathy. am j ophthalmol 1995; 120: 65-74 10. nicholson b, noble j, forooghian f, meyerle c. central serous chorioretinopathy: update on pathophysiology and treatment. surv ophthalmol 2013; 58: 103-26 11. errera mh, kohly rp, cruz l. pregnancy associated retinal diseases and their management. surv ophthalmol 2013; 58; 127-42 12. eom y, oh j, kim sw, huh k. systemic factors associated with central serous chorioretinopathy in koreans. korean j ophthalmol 2012; 26: 260-4 35 mutiara medika vol. 17 no. 1: 29-35, januari 2017 13. aamir a, bisma i, hina k, maha a. choroidal thickness in both eyes of patients with unilateral central serous chorioretinopathy. adv ophthalmol vis syst 2016; 4: 1-5 14. yanuzzi la. central serous chorioretinopathy: a personal perspective. am j ophthalmol 2010; 149: 361-3 15. aggio fb, roisman l, melo gb, lavinsky d, cardillo ja, farah me. clinical factors related to visual outcome in central serous chorioretinopathy. retina 2010; 30: 1128-34 16. gass jd. pathogenesis of disciform detachment of the neuroepithelium. am j ophthalmol 1976; 63: 1-139 17. bae sh, heo jw, kim tw, lee jy, song sj, park tk, et al. randomized pilot study of lowfluence photo dinamic therapy versus intravitreal ranibizumab for chronic central serous chorioretinopathy. am j ophthalmol 2011; 152: 784-92 18. schaal kb, hoeh ae, scheuerle a, schuett f, dithmar s. intravitreal bevacizumab for treatment of chronic central serous chorioretinopathy. eur j ophthalmol 2009; 19: 613-7 19. lim sj, roh mi, kwon ow. intrav itreal bevacizumab injection for central serous chorioretinopathy. retina 2010; 39: 100-16 titih huriah, efektifitas model community ............ 88 efektifitas model community as partner dalam memberikan asuhan keperawatan komunitas pada kelompok balita dengan gizi buruk di kelurahan pancoran mas, kota depok the effectiveness of community as partner model in caring for under-five children group with poor nutritional status in pancoran mas village, depok city titih huriah bagian keperawatan komunitas psik fk umy abstract the prevalence rate of under-five children with poor nutritional status in indonesia has been increasing. this also happens in depok city, particularly in pancoran mas village, wherein the prevalence rate of under-five children with poor nutritional status in 2005 reached 1.67% or there were 88 under-five children with poor nutritional status among 5249 underfive children. this study aimed to evaluating the effectiveness of the application of community nursing concept and theory in order to improve health services through community nursing care particularly in under-five children group with poor nutritional status in pancoran mas village, depok. this was a quasi experiment research using a non-randomized pretest-posttest control group design. data collection was done using observation, interview, focus group discussion (fgd) dan questionaire. research instruments used included food journal of under-five children within 24 hours, physical examination guideline, interview guideline, fgd guideline and questionaire. the questionaire was developed based on community as a par tner model. research population was 44 mothers who had under-five children with poor nutritional status in pancoran mas village. research sample was 30 mothers who had under-five children with poor nutritional status who fulfilled the inlcusion criteria. primary, seconadry dan tertiar y interventions were done to the 30 mothers within 9 months. evaluation after the implementation of serial community nursing interventions showed that there was an increase in knowledge about nutrition and poor nutrition from 46% to 92%, an increase in attitude from 60% to 96%, and an increase in family skill in meeting the nutrition requirement for under-five children with poor nutritional status from 30% to 85%. furthermore, there was improvement of nutritional status i.e. from 27 under-five children with poor nutritional status, after interventions they improved to 1 child with poor nutritional status, 19 children with low nutritional status and 12 children with good nutritional status; whereas five children with low nutritional status improved to good nutritional status. key words: community as partner model, community nursing care, poor nutritional status, under-five children abstrak angka prevalensi kasus gizi buruk pada balita di indonesia semakin menunjukkan peningkatan. hal ini juga terjadi di kota depok khususnya di kelurahan pancoran mas, di mana angka prevalensi 89 mutiara medika vol. 7 no. 2:88-96, juli 2007 gizi buruk pada balita pada tahun 2005 mencapai 1,67% atau terdapat 88 balita gizi buruk dari 5249 balita. tujuan penelitian ini adalah menilai keefektifan aplikasi teori dan konsep keperawatan komunitas dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan melalui asuhan keperawatan komunitas khususnya pada kelompok balita dengan gizi buruk di kelurahan pancoran mas depok. penelitian ini adalah eksperimen semu atau quasi eksperimental menggunakan desain nonrandomized pretest-posttest control group. pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, focus group discussion (fgd) dan kuesioner. alat yang digunakan adalah catatan makanan balita selama 24 jam, pedoman pemeriksaan fisik, pedoman wawancara, pedoman fgd, dan kuesioner. kuesioner disusun berdasarkan community as a partner model. populasi penelitian adalah 44 ibu yang memiliki balita dengan gizi buruk di kelurahan pancoran mas depok. sampel penelitian adalah 30 ibu yang mempunyai balita dengan gizi buruk yang memenuhi kriteria inklusi. pada 30 ibu tersebut dilakukan intervensi primer, sekunder dan tertier selama 9 bulan. evaluasi setelah pelaksanaan rangkaian kegiatan keperawatan komunitas menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pengetahuan tentang gizi dan gizi buruk dari 46% menjadi 92%, peningkatan sikap dari 60% menjadi 96% dan peningkatan keterampilan keluarga dalam memenuhi kebutuhan gizi pada balita gizi buruk dari 30% menjadi 85%. selain itu, terjadi perbaikan status gizi yaitu dari 27 balita gizi buruk, setelah intervensi menjadi 1 balita gizi buruk, 19 gizi kurang dan 12 gizi baik. sedangkan dari lima balita gizi kurang telah meningkat menjadi gizi baik. kata kunci : anak balita, asuhan keperawatan komunitas, gizi buruk, model community as partner. pendahuluan keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (sdm) yang berkualitas, yaitu sdm yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang prima. salah satu penentu kualitas sumber daya manusia adalah asupan gizi pada usia balita1. salah satu yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah melalui perbaikan sektor ekonomi, namun krisis ekonomi yang melanda indonesia sejak tahun 1997 telah sangat berpengaruh terhadap keadaan gizi penduduk. kelompok usia yang paling terkena dampak dari krisis ekonomi terutama dalam pemenuhan asupan gizi adalah kelompok balita. penelitian yang dilakukan oleh tarigan tahun 2003 mengenai gambaran status gizi anak umur 6-36 bulan sebelum dan saat krisis ekonomi di wilayah jawa tengah menyatakan bahwa anak usia 18-36 bulan merupakan kelompok yang paling terpengaruh dengan kondisi sebelum dan saat krisis ekonomi2. kerentanan balita akan gizi ditunjukkan dengan semakin meningkatnya angka kejadian malnutrisi di dunia. menurut morris (2005), direktur eksekutif world food programme (wfp) pbb, saat ini 300 juta anak di dunia mengalami kelaparan dan 18 ribu anak meninggal setiap harinya dikarenakan malnutrisi 3.morris menambahkan bahwa 40-60% dari anak yang mengalami malnutrisi tersebut, berada di negara miskin dan berkembang. keterangan di atas diperkuat oleh asia child right (2005) yang menyatakan bahwa lebih dari 153 juta anak balita di dunia mengalami malnutrisi4. di indonesia sendiri angka balita dengan gizi kurang dan gizi buruk ternyata tidak berubah atau stagnan selama 10 tahun terakhir. hasil survey departemen kesehatan mengenai masalah gizi pada tahun 2004 didapatkan bahwa masalah gizi masih terjadi di 77,3 persen kabupaten dan 56 persen kota di indonesia. data tersebut juga mengidentifikasi bahwa pada tahun 2003 sebanyak lima juta anak balita (27,5%) kurang gizi dimana 3,5 juta anak (19,2%) diantaranya berada pada tingkat gizi kurang dan 1,5 juta anak (8,3%) mengalami gizi buruk. sementara menurut pengelompokkan prevalensi gizi kurang dari titih huriah, efektifitas model community ............ 90 organisasi kesehatan dunia (who), indonesia tergolong sebagai negara dengan status kekurangan gizi yang tinggi pada tahun 2004 karena 5.119.935 balita dari 17.983.244 balita indonesia (28,47%) termasuk kelompok gizi kurang dan gizi buruk5. menurut data laporan penanganan gizi buruk dinas kesehatan depok tahun 2005, total balita gizi buruk di kota depok tahun 2005 sebesar 0,98% atau sebanyak 1.133 balita dari total 114.980 balita yang disurvey. angka ini menunjukkan bahwa jumlah balita dengan gizi buruk di depok menurun sebesar 8,5% dari tahun 2004 yaitu sebesar 9,5 persen atau sebanyak 9.157 balita dari total 96.391 balita yang disurvey. kepala sub dinas pembinaan kesehatan masyarakat (binkesmas) dinas kesehatan kota depok, karmawati, menyatakan bahwa dari enam kecamatan yang ada di kota depok, terdapat satu kecamatan yang paling banyak terdapat balita gizi buruk, yaitu kecamatan pancoran mas. berdasarkan data mengenai kekurangan gizi mulai dari tingkat global sampai dengan tingkat wilayah kelurahan pancoran mas, terlihat bahwa angka gizi kurang dan gizi buruk pada kelompok usia balita masih sangat tinggi. sedangkan para ahli mengatakan bahwa pada masa balita, proses tumbuh kembang berkembang sangat cepat dan masa balita sering disebut sebagai masa emas (golden age periode)6. upaya penanganan masalah gizi pada balita dinilai kurang efektif karena dalam beberapa tahun terakhir status gizi buruk pada populasi balita relatif stagnan bahkan meningkat. angka prevalensi kasus gizi buruk pada balita di indonesia semakin menunjukkan peningkatan dari 6,3% pada tahun 1998 menjadi 8,8% pada tahun 20067. meskipun saat ini telah banyak bantuan serta program penanganan gizi buruk, kondisikondisi tersebut menunjukkan bahwa indonesia semakin jauh dari pencapaian target millenium development goals (mdgs) untuk menurunkan angka kematian balita. keperawatan komunitas sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melakukan upaya-upaya kesehatan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan. perawat komunitas dapat berperan sebagai pembaharu, pemimpin, kolaborator, konselor, advokat, pendidik, pengelola, peneliti, penemu kasus dan pemberi asuhan keperawatan secara langsung8. peran perawat komunitas dalam menangani masalah gizi sangat penting yaitu perawat komunitas harus mampu memberikan dorongan secara profesional kepada klien agar mereka mampu merubah perilaku dalam pemenuhan gizi dan berusaha memfasilitasi klien dalam merubah dan menghilangkan perilaku yang negatif dalam pemenuhan gizi. salah satu model yang dapat diaplikasikan dalam asuhan keperawatan komunitas adalah model community as partner. model community as partner tidak hanya dapat menyelesaikan masalah saat ini, tetapi juga masalah yang akan datang melalui upaya preventif dan promotif yang terdapat dalam three level prevention9. bahan dan cara penelitian ini adalah eksperimen semu atau quasi eksperimental dengan rancangan non randomized pretest-posttest control group design. metode pengumpulan data yang dilakukan adalah observasi, wawancara, fgd dan kuesioner. alat yang digunakan adalah catatan makanan balita selama 24 jam, pedoman pemeriksaan fisik, pedoman wawancara, pedoman fgd, dan kuesioner. kuesioner disusun berdasarkan model pengkajian yang digunakan yaitu model community as partner 91 mutiara medika vol. 7 no. 2: 88-96, juli 2007 0 20 40 60 80 100 120 okt nop des jan feb mar apr mei juni bulan r a ta -r a ta s ik a p rata-rata tingkat sikap tabel 1. peningkatan sikap peer group ibu-ibu mengenai kebutuhan gizi balita di kelurahan pancoran mas depok, okt 2006-juni 2007 (n = 30) evaluasi peningkatan pengetahuan peningkatan sikap peningkatan keterampilan peningkatan perilaku peningkatan status gizi balita inti komunitas : faktor individu karakteristik dan pengalaman individu pengaruh inter personal delapan sub sis tem : lingkungan fisik dan pengaruh situasional pendidikan politik dan pemerintahan pelayanan kesehatan dan sosial transportasi dan keamanan komunikasi ekonomi rekreasi intervensi primer : pendidikan kesehatan mengenai gizi sehat & seimbang kampanye gizi pembentukan kelp masy peduli gizi lomba penyusunan menu sehat prog pemanfaatan lahan pekarangan intervensi sekunder : pemantauan status gizi balita skrining b alita gizi buruk pembentukan peer group kelg balita gizi buruk intervensi tertier : rujuk balita gizi buruk ke yankes direct care balita gizi buruk pasca rawat rs populasi pada penelitian ini adalah ibu-ibu yang memiliki balita dengan gizi buruk di kelurahan pancoran mas depok yang berjumlah 44 orang. sampel adalah 30 orang ibu yang mempunyai balita dengan gizi buruk yang memenuhi kriteria inklusi. pada 30 orang tersebut dilakukan intervensi primer, sekunder dan tertier selama 9 bulan, sejak oktober 2006 sampai dengan juni 2007. hasil hasil yang didapatkan setelah dilakukan intervensi selama kurang lebih 9 bulan sejak bulan oktober 2006 – juni 2007 adalah telah terbentuk 5 peer group di 5 rw yaitu rw 03, 04, 14, 15 dan 16 dimana anggota peer group adalah ibuibu yang memiliki balita dengan permasalahan gizi terutama gizi kurang dan gizi buruk. kegiatan dilakukan satu bulan sekali untuk setiap peer group sesuai dengan buku modul kegiatan yang telah disusun. b e r d a s a r k a n h a s i l a n a l i s i s terhadap pengetahuan, sikap dan keterampilan masyarakat mengenai pengetahuan dan keterampilan tentang pemenuhan kebutuhan gizi balita dengan g i z i b u r u k , t e r j a d i p e n i n g k a t a n pengetahuan masyarakat mengenai gizi balita dari rata-rata 46% menjadi ratarata 92%%, terjadi peningkatan sikap masyarakat mengenai gizi balita dari rata-rata 60% menjadi 96%, dan terjadi peningkatan praktek masyarakat dalam memenuhi kebutuhan gizi balita dari 30% menjadi 85% titih huriah, efektifitas model community ............ 92 tabel 2. peningkatan keterampilan peer group ibu-ibu mengenai kebutuhan gizi balita di kelurahan pancoran mas depok, okt 2006-juni 2007 (n = 30) 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 okt nop des jan feb mar apr mei juni bulan rata-rata tingkat keterampilan selain peningkatan perilaku masyarakat, indikator keberhasilan asuhan keperawatan komunitas dapat dilihat melalui food record pada kelompok balita gizi buruk, dimana masyarakat yang telah mampu memenuhi kebutuhan gizi balita dari 25% telah meningkat menjadi 75%. hasil analisis hasil food record, teridentifikasi bahwa perubahan yang cukup signifikan terlihat dari konsumsi protein, dimana dari catatan konsumsi makanan sebelumnya hanya s e k i t a r 2 0 % m a s y a r a k a t y a n g memberikan protein yang cukup pada balita (10-15% dari keseluruhan zat gizi). setelah dilakukan intervensi, terlihat bahwa dari 32 keluarga, 29 keluarga telah mencukupi kebutuhan protein dalam konsumsi makanan balita. k e b e r h a s i l a n p e n i n g k a t a n konsumsi makanan balita dapat terlihat dengan adanya peningkatan status gizi balita yaitu dari 27 balita gizi buruk, setelah intervensi menjadi 1 balita gizi buruk, 19 gizi kurang dan 12 gizi baik. sedangkan dari lima balita gizi kurang telah meningkatkan menjadi gizi baik. tabel 3. hasil uji statistik dengan menggunakan ttest one sample mean standar deviasi variabel sebelum sesudah sebelum sesudah peningkatan sd p value pengetahuan 11,78 13,81 1,39 2,61 1,22 0,000 sikap 7,78 10,28 1,61 2,30 0,69 0,000 keterampilan 7,72 12,19 1,94 2,42 0,48 0,000 perilaku 31,19 34,81 3,21 4,24 1,03 0,000 status gizi 0,19 1,06 0,40 0,67 0,27 0,000 hasil diatas menggambarkan bahwa terdapat perbedaan antara v a r i a b e l p e n g e t a h u a n , s i k a p , keterampilan, perilaku dan status gizi balita setelah dilakukan praktik keperawatan komunitas dengan p = 0 . 0 0 0 . 93 mutiara medika vol. 7 no. 2:88-96, juli 2007 hasil diatas menggambarkan bahwa terdapat perbedaan antara variabel pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku dan status gizi balita setelah dilakukan praktik keperawatan komunitas dengan p = 0.000. diskusi masalah yang ditemui pada kelompok balita dengan gizi buruk berdasarkan analisis situasi wilayah adalah belum optimalnya pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan dalam penanganan dan pencegahan masalah gizi buruk pada balita di kelurahan pancoran mas. perencanaan pada program penanganan gizi buruk pada kelompok balita meliputi penetapan tujuan dari setiap program yang akan dilaksanakan, kebijakan yang mendukung pelaksanaan program penanganan gizi buruk pada kelompok balita, dan strategi yang akan dilakukan pada program penanganan gizi buruk pada kelompok balita. salah satu strategi yang dilakukan untuk mengatasi masalah diatas adalah pembentukan peer group . t ujuan pembentukan peer group adalah membentuk suatu wadah untuk meningkatkan perilaku masyarakat dan kesadaran ibu-ibu yang memiliki balita dengan gizi buruk tentang manfaat pelayanan kesehatan dalam meningkatkan kesehatan dan status gizi anak. individu secara alami membentuk kelompok pada setting rumah dan kelompok di masyarakat, yang secara perlahan mempengaruhi kesehatan komunitas secara umum. menggunakan kelompok sebaya sebagai kelompok target merupakan langkah terbaik dalam memberikan pendidikan kesehatan pada mereka yang mempunyai masalah yang sama 1 0. pembentukan peer group merupakan bentuk intervensi yang efektif dimana antar anggota dapat saling memberikan informasi mengenai masalah yang mereka alami. kelompok juga merupakan cara yang efektif untuk masuk dan mengimplementasikan perubahan pada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat11. upaya yang dilakukan dalam merubah perilaku yang kurang sehat dan meningkatkan perilaku sehat pada masyarakat balita dengan gizi buruk yaitu dengan meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam memenuhi kebutuhan gizi. selain itu menyediakan sarana dan pra sarana serta melakukan pendekatan kepada tokoh masyarakat dan kader untuk mencari dukungan dalam merubah perilaku masyarakat, sehingga perlu upaya pembinaan secara terus menerus untuk mempertahankan kondisi yang telah dicapai. intervensi untuk memperbaiki pola makan meliputi perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan. strategi yang dapat digunakan saat melakukan intervensi untuk merubah perilaku pemenuhan kebutuhan gizi yaitu : 1) memperbaiki aksesibilitas informasi mengenai nutrisi, penkes nutrisi dan konseling nutrisi; 2) fokus pada pencegahan penyakit kronik yang berhubungan dengan diet dan bb yang dimulai pada usia balita, 3) mempertahankan program nasional mengenai nutrisi serta 4) membangun dan mempertahankan kerjasama lintas program dan sektoral12. berdasarkan hasil analisis terhadap pengetahuan, sikap dan keterampilan masyarakat mengenai pengetahuan dan keterampilan tentang pemenuhan kebutuhan gizi balita dengan gizi buruk, terjadi peningkatan pengetahuan masyarakat mengenai gizi balita dari ratarata 46% menjadi rata-rata 92%%, terjadi peningkatan sikap masyarakat mengenai gizi balita dari rata-rata 60% menjadi 96%, dan terjadi peningkatan praktek masyarakat dalam memenuhi kebutuhan gizi balita dari 30% menjadi 85%. pengetahuan merupakan faktor yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku seseorang. perilaku yang didasarkan atas pengetahuan akan lebih baik dari pada yang tidak berdasarkan pada pengetahuan, walaupun pengetahuan yang mendasari sikap seseorang masih dipengaruhi oleh banyak faktor lain yang titih huriah, efektifitas model community ............ 94 sangat kompleks sehingga terbentuk perilaku yang nyata13. pengetahuan ibu mengenai pemenuhan kebutuhan gizi akan berpengaruh terhadap hidangan yang disajikan untuk keluarga, dengan pengetahuan yang memadai seorang ibu diharapkan mampu menyediakan makanan yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan gizi anggota keluarganya. semakin rendah pengetahuan gizi ibu maka ia tidak mengetahui bagaimana cara pengolahan, penyajian makanan yang bergizi khususnya untuk anak batita. pengetahuan ibu mengenai gizi akan berpengaruh terhadap mutu makanan yang disajikan untuk anggota keluarga. peningkatan pengetahuan keluarga dari rata-rata 46% menjadi 92% melebihi tujuan yang ingin dicapai yaitu dari 46% menjadi 75% hal ini memperlihatkan keberhasilan implementasi pendidikan kesehatan yang dilaksanakan. hal ini didukung dengan media yang digunakan dalam memberikan pendidikan kesehatan pada masyarakat. perawat komunitas dapat menggunakan berbagai media yang menarik dan sesuai dengan tingkat pendidikan klien sehingga masyarakat lebih mudah menerima informasi yang diberikan11. sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. dimana respon tersebut melibatkan emosi dan perasaan14. manifestasi dari sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. hasil analisis mengenai sikap memperlihatkan bahwa sebagian besar responden telah memiliki sikap yang baik mengenai pemenuhan kebutuhan gizi balita. sikap didasari oleh pengetahuan, apabila pengetahuan baik maka sikap akan baik dan sebaliknya apabila pengetahuan kurang baik maka sikap pun akan menjadi kurang baik13. peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan gizi balita menunjukkan bahwa intervensi yang dilakukan secara berkesinambungan dapat memberi dampak terhadap perilaku masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatan. hal ini sesuai dengan pernyat aan stanhope, bahwa pelayanan keperawatan komunitas bersifat berkelanjutan bukan episodik dan bertanggung jawab penuh terhadap status kesehatan seluruh penduduk11. selain peningkatan perilaku masyarakat, indikator keberhasilan asuhan keperawatan komunitas dapat dilihat melalui food record pada kelompok balita gizi buruk, dimana masyarakat yang telah mampu memenuhi kebutuhan gizi balita dari 25% telah meningkat menjadi 75%. penelitian yang dilakukan oleh john amos tahun 1999, diketahui bahwa konsumsi energi balita mempengaruhi terjadinya kurang energi protein (kep) pada balita dan faktor ini merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi status gizi balita. hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh orisinal tahun 2001 mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi balita di sumatera barat tahun 2001 yang menyatakan bahwa variabel yang berhubungan dengan status gizi balita adalah konsumsi energi perkapita. hasil analisis hasil food record, teridentifikasi bahwa perubahan yang cukup signifikan terlihat dari konsumsi protein, dimana dari catatan konsumsi makanan sebelumnya hanya sekitar 20% masyarakat yang memberikan protein yang cukup pada balita (10-15% dari keseluruhan zat gizi). setelah dilakukan intervensi, terlihat bahwa dari 32 keluarga, 29 keluarga telah mencukupi kebutuhan protein dalam konsumsi makanan balita. penelitian yang dilakukan oleh orisinal tahun 2001 menyatakan bahwa konsumsi protein per kapita berhubungan dengan status gizi balita. dalam penelitian ini, orisinal juga menjelaskan bahwa variabel yang secara bersama-sama mempengaruhi status gizi balita adalah konsumsi protein per kapita, pendapatan per kapita, umur anak dan jenis kelamin anak. penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh andra fikar (2003) mengenai 95 mutiara medika vol. 7 no. 2:88-96, juli 2007 faktor determinan kep anak usia 6 bulan-3 tahun di kota padang, dalam penelitian ini andra membuktikan bahwa variabel yang paling dominan berhubungan dengan kep pada anak umur 6 bulan-3 tahun adalah tingkat konsumsi protein dengan nilai or = 12,6. keberhasilan peningkatan konsumsi makanan balita dapat terlihat dengan adanya peningkatan status gizi balita yaitu dari 27 balita gizi buruk, setelah intervensi menjadi 1 balita gizi buruk, 19 gizi kurang dan 12 gizi baik. sedangkan dari lima balita gizi kurang telah meningkat menjadi gizi baik. salah satu intervensi yang tidak berhasil dilakukan adalah pembentukan pos gizi dan pelaksanaan metode tungku untuk keluarga-keluarga yang mempunyai balita dengan gizi buruk. kedua bentuk implementasi ini sangat membutuhkan peran serta aktif masyarakat. metode tungku dapat digunakan sebagai salah satu cara mencegah kurang gizi yang berkelanjutan, yang mencoba memberdayakan masyarakat dengan secara ketat mengajarkan ibu untuk mengelola sumber daya yang terbatas, menanamkan disiplin pengasuhan, dan mengajarkan cara memberi makan pada anak. kenyataan di lapangan, masyarakat terutama keluarga yang menerima bantuan pmt lebih tergantung pada bantuan yang diberikan oleh puskesmas. pendekatan untuk membantu individu dan keluarga dalam peran aktif mereka terhadap kesehatan harus difokuskan pada pemberdayaan daripada memberikan bantuan secara langsung. intervensi dengan memberikan bantuan langsung pada keluarga atau masyarakat tidak selalu memberikan hasil yang positif. jika masyarakat tidak merasa bahwa kondisi yang mereka alami bukan suatu masalah, menawarkan atau memberikan bantuan secara langsung dapat menyebabkan penolakan. dampak negatif lain adalah masyarakat menjadi tergantung pada bantuan yang diberikan sehingga mereka tidak mempunyai motivasi untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri11. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan : 1. intervensi yang didasari oleh model community as partner yang digunakan dalam memberikan asuhan keperawatan komunitas pada kelompok balita dengan gizi buruk telah mampu mengatasi permasalahan pada kelompok balita dengan gizi buruk. hal ini terlihat dengan peningkatan pengetahuan keluarga mengenai gizi balita dari 46% menjadi 92%, peningkatan sikap 60% menjadi 96%, terjadi peningkatan praktek keluarga dari 30% menjadi 85%. 2. selain indikator peningkatan perilaku, keberhasilan aplikasi integrasi teori dan model community as partner dan health promotion model dalam memberikan asuhan keperawatan komunitas pada kelompok balita dengan gizi buruk dapat dilihat dari peningkatan status gizi balita yaitu dari 27 balita gizi buruk, setelah intervensi menjadi 1 balita gizi buruk, 19 gizi kurang dan 12 gizi baik. sedangkan dari lima balita gizi kurang telah meningkat menjadi gizi baik. saran 1. perlu adanya tindak lanjut kerjasama antara pihak pendidikan, dinas kesehatan dan puskesmas dalam pelaksanaan pelayanan keperawatan komunitas pada kelompok balita gizi buruk, serta asuhan keperawatan komunitas secara berkesinambungan sehingga akan mendukung kemandirian masyarakat, khususnya keluargakeluarga yang mempunyai balita gizi buruk dalam menyelesaikan masalahnya. 2. perlu adanya pengembangan model pengelolaan pelayanan keperawatan komunitas dan model dalam memberikan asuhan keperawatan komunitas yang adekuat dan dapat titih huriah, efektifitas model community ............ 96 dijadikan acuan dalam pemberian asuhan keperawatan komunitas. daftar pustaka 1. peranan gizi pada tumbuh kembang balita, dharmawanto, 2005, http:// www.hellis.org/modules , (diperoleh tanggal 7 januari 2006) 2. tarigan, i. (2003). gambaran st atus gizi anak umur 6-36 bulan sebelum dan saat krisis ekonomi di wilayah jawa tengah. tesis. fakultas kesehatan masyarakat. universitas indonesia. jakarta 3. childrenhealth.(2006).www.care.org/ careswork/health/children 4. unicef (2006). malnutrition death of 5,6 million under fives every year. www.acr.hrschool.org. 5. angka gizi kurang dan gizi buruk berkurang hingga 20%, falah (2007). www.depkes.go.id 6. 50% perkembangan intelektual tumbuh saat balita, moudouw (2003). www.gizi.net/cgi 7. hardiansyah. (1996). status pekerjaan ibu dan pendapatan dalam hubungannya dengan mutu gizi makanan keluarga di daerah perkotaan. media gizi dan keluarga no xx (2) : 8691. 8. helvie, c. (1998). advanced practice nursing in the community . sage publication, inc. usa. 9. anderson & mcfarlane. (2000). community as partner : theory and practice in nursing. third edition. dnlm 10. hitchcock, schubert & thomas. (1999). community health nursing : caring in action . dnlm/dlc 11. stanhope, m., lancaster, j. (2000). community and public health nursing . fifth edition. mosby inc. st louis united states 12. pender, n. j., murdaugh, c., & parsons, m.a. (2006). health promotion in nursing practice, 5th edition. upper saddle river, nj: prentice-hall health, 13. rosmana, d. (2003). hubungan pola asuh gizi anak usia 6-24 bulan di kabupaten serang tahun 2003. tesis. fakultas kesehatan masyarakat. universitas indonesia. 14. notoatmodjo, s. (2003). pendidikan dan perilaku kesehatan . pt rineka cipta.jakarta. 14 retno sumara, tekanan interface pada pasien tirah baring tekanan interface pasien tirah baring (bed rest) setelah diintervensi dengan metode hospital corner bed making interface pressure in patients bedrest after being intervented with hospital corner bed making method retno sumara progran studi keperawatan, fakultas ilmu kesehatan, univesitas muhammadiyah surabaya email: retnosumara@gmail.com abstrak pasien tirah baring jangka lama berisiko mengalami gangguan integritas kulit. gangguan tersebut dapat diakibatkan oleh tekanan yang lama, iritasi kulit atau imobilisasi (bed rest) yang berakibat timbulnya luka dekubitus. pasien tirah baring membutuhkan intervensi yang difokuskan pada life support atau organ support yang membutuhkan observasi intensif. upaya pencegahan luka tekan dilakukan sedini mungkin antara lain dengan pemberian dukungan permukaan (interface pressure). nilai tekanan interface tinggi berisiko timbulnya ulkus tekanan. penelitian ini bertujuan mengidentifikasi tekanan interface pada pasien tirah baring. metode penelitian eksperimental kuasi dengan pre-post test design. jumlah sampel 48 responden terdiri dari 2 kelompok yaitu kelompok perlakuan diintervensi menggunakan metode hospital corner bed making dan kelompok kontrol diintervensi dengan metode bed making tali sudut. kedua kelompok dilakukan evaluasi selama 3 hari. instrumen yang digunakan adalah portable interface pressure sensor: palm q. hasil menunjukkan bahwa perubahan tekanan interface pre dan post pada kelompok kontrol cukup tinggi dan mengalami naik-turun yang bervariatif sehingga lebih berisiko mengalami luka tekan, sedangkan pada kelompok perlakuan cenderung mengalami penurunan dan atau stabil. disimpulkan bahwa tekanan interface pada metode hospital corner bed making tampak lebih rendah daripada metode bed making tali sudut. kata kunci: tirah baring, tekanan interface, hospital corner bed making, luka tekan abstract long-term bed rest patients are at risk of impaired skin integrity. the disorder can be caused by long pressure, skin irritation or immobilization (bed rest) resulting in the occurrence of sores decubitus. bed rest patients need interventions focused on life support or organ support requiring intensive observation. prevention of wound press is done as early as possible, among others by providing surface support (interface pressure). high interfacial pressure values are at risk of pressure ulcers. this study aims to identify the interface pressure in bed rest patients. quasi experimental research method with pre-post test design. the number of samples of 48 respondents consisted of 2 groups of treatment groups intervened using hospital corner bed making method and control group intervened by bed making method of angle rope. both groups were evaluated for 3 days. instrument used is portable interface pressure sensor: palm q. the result shows that the pre and post interface pressure changes in the control group is quite high and experiencing varied ups and downs so that more risk of injury press, while in the treatment group tend to decrease and / or stable. it was concluded that the interface pressure on the method of hospital corner bed making looked lower than the bed making method of the angle rope. key words: bedrest, interface pressure, hospital corner bed making, pressure ulcer artikel penelitian mutiara medika vol. 17 no. 1: 14-21, januari 2017 15 mutiara medika vol. 17 no. 1: 14-21, januari 2017 pendahuluan pemberian asuhan keperawatan pada pasien dengan tirah baring adalah dengan mempertahankan integritas kulit. integritas kulit pada pasien dapat tercapai dengan memberikan perawatan kulit yang terencana dan konsisten. perawatan kulit yang tidak terencana dan tidak konsisten dapat mengakibatkan terjadinya gangguan integritas kulit. pasien dengan tirah baring dalam jangka waktu lama mempunyai risiko gangguan integritas kulit yang diakibatkan oleh tekanan yang lama, iritasi kulit atau imobilisasi (bedrest) dan berdampak akhir timbulnya luka pressure ulcer (dekubitus). intensive care unit (icu) merupakan sebuah unit rumah sakit yang menangani pasien-pasien kritis karena penyakit, trauma atau komplikasi penyakit lain yang memfokuskan diri dalam bidang life support atau organ support yang kerap membutuhkan pemantauan intensif. salah satu bentuk pemantauan intensif invasif pada pasien adalah menjaga integritas kulit agar supaya tidak terjadi komplikasi lebih lanjut. pencegahan pressure ulcer merupakan peran perawat dalam upaya memberikan pelayanan keperawatan perawatan kulit, yaitu perawatan hygiene kulit dan pemberian topikal, pencegahan mekanik dan dukungan permukaan (support surface), yang meliputi penggunaan tempat tidur, pemberian posisi dan kasur terapeutik dan edukasi.1 dukungan permukaan diberikan untuk mengurangi tekanan interface jaringan. tekanan interface disesuaikan dengan kontur tubuh sehingga tekanan yang didistribusikan melalui area permukaan yang lebih besar daripada berkonsentrasi pada situs yang lebih terbatas. perangkat khusus redistribusi tekanan yang dirancang untuk pengelolaan beban jaringan penyebaran tekanan interface, baik dengan cara mekanis atau memvariasikan tekanan pada lokasi yang berbeda di bawah pasien, sehingga berat pasien tersebar di wilayah yang luas.2 tekanan permukaan (pressure interface) adalah gaya per satuan luas yang bertindak tegak lurus antara tubuh dan permukaan dukungan. tekanan merupakan faktor determinant utama terjadinya pressure ulcer/ dekubitus.3 tekanan interfaceyang tinggi merupakan faktor yang signifikan untuk resiko perkembangan luka tekan.4 tekanan permukaan (interface) diukur dengan menempatkan alat pengukur tekanan permukaan (portable interfece pressure sensor) diantara area yang tertekan dengan matras. standart ukuran tekanan interface normal di indonesia adalah < 35 mmhg.4 pencegahan luka tekan sebaiknya lebih berfokus pada upaya mencegah tekanan yang berlebihan.3 pencegahan pressure ulcer dan manajemennya adalah pemilihan distribusi tekanan permukaan dukungan atau pressure interface redistributing yang tepat untuk berbaring di tempat tidur.5 lamanya hari perawatan serta kondisi penyakit akan mengancam terjadinya dekubitus. perawat selama ini melakukan upaya pencegahan dekubitas dengan cara alih baring, tetapi tidak pernah mengukur seberapa besar resiko dekubitas pada pasien tirah baring. berdasarkan hasil studi pendahuluan di rs pku muhammadiyah yogyakarta ruang icu (intensive care unit) dan imc (intermediate care) pada bulan agustus 2013 didapatkan jumlah pasien yang masuk ruang icu/iccu selama bulan mei sampai dengan juli 2013 berjumlah 114 pasien, sedangkan di ruang imc rata-rata 43 pasien/bulan. rata-rata 16 retno sumara, tekanan interface pada pasien tirah baring pasien dirawat di ruang icu/iccu dan ruang imc sekitar 4-5 hari. watts et al, (1998),6 menyatakan 20% dari pasien trauma yang dirawat di rumah sakit lebih dari 2 hari dikembangkan setidaknya satu daerah kerusakan kulit. kerusakan jaringan karena adanya tekanan interface dapat terjadi dalam hitungan jam atau sampai 3 hari. manifestasi awal mungkin perubahan warna kulit yang berkembang menjadi pembentukan blister atau nekrosis. oleh karena itu keadaan tersebut dapat berisiko terhadap berkembangan luka tekan.6 tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi tekanan interface pada pasien dengan tirah baring. bahan dan cara penelitian ini menggunakan metode quasi eksperiment with pre post test design dengan pendekatan deskriptif untuk mengidentifikasi tekanan interface pada pasien bed rest di ruang imc dan iccu rsu pku muhammadiyah yogyakarta pada bulan oktober sampai dengan november 2013. pada penelitian ini terdiri dari 2 kelompok yaitu kelompok perlakuan bedmaking: hospital corner dan kelompok perlakuan bed making tali sudut. kedua kelompok dilakukan pengamatan pada masing-masing metode bed making kemudian dilakukan pengukuran tekanan interface selama 3 hari. kriteria inklusi yaitu: pasien dengan bed rest, bed dan matrass standart icu. kriteria eksklusi yaitu: pasien yang dipindah ruangan atau keluar rumah sakit sebelum 3 hari perlakuan, pasien dengan posisi head up di atas 60°. instrumen yang digunakan adalah portable portable interface pressure sensor: palm q. hasil rata-rata perubahan tekanan interface pre dan post pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di ruang icu/iccu dan ruang imc rumah sakit pku yogyakarta bulan oktober-november tahun 2013 (n=48). berdasarkan gambar 1. rata-rata tekanan interface hari pertama pada kelompok intervensi (metode hospital corner) yang terdiri dari 23 responden didapatkan tekanan interface pre bed gambar 1. rata-rata tekanan interface hari pertama pada kelompok intervensi (metode hospital corner) 17 mutiara medika vol. 17 no. 1: 14-21, januari 2017 making sebesar 21,55 mmhg dan post bed making sebesar 22,35 mmhg.pada hari ke dua pre bed making sebesar 22,41 mm hg dan post bed makingsebesar 21,75 mmhg. pada hari ke tiga pre bed making sebesar 22,21 mmhg dan post bed making sebesar 21,88 mmhg, sedangkan pada kelompok kontrol (metode tali sudut) yang terdiri dari 25 responden pre bed making sebesar 19,60 mmhg dan post bed making sebesar 21,82 mmhg. pada hari ke dua pre bedmaking sebesar 20,13 mmhg dan post bed making sebesar 22,01 mmhg.pada hari ke tiga pre bed making sebesar 20,90 mmhg dan post bed making sebesar 22,02 mmhg. diskusi hasil penelitian ini menunjukkan perubahan tekanan interface pre dan post didapatkan pada kelompok kontrol lebih mengalami perubahan tekanan interface yang cukup bervariatif, sedangkan pada kelompok intervensi cenderung mengalami penurunan dan atau stabil. hal tersebut diatas disebabkan karena metode tali sudut memiliki kekuatan regangan yang lebih besar daripada metode hospital corner bed making, sehingga meningkatkan tekanan interface. bed making tali sudut adalah metode dengan cara membuat simpul atau tali di setiap sisi pada linen, kemudian dengan simpul tersebut dimasukkan ke dalam matras dengan cara ditarik sekuatnya sehingga permukaan matras akan menjadi tegang dan tidak elastis sehingga linen kurang bisa mengikuti lengkungan tubuh. dengan adanya tarikan kuat akan menciptakan suatu tahanan yang menghasilkan tekanan yang besar terhadap tubuh pasien. dapat disimpulkan bahwa tekanan interface pada metode tali sudut lebih besar dibandingkan dengan metode hospital corner bed making. dalam ilmu fisika tekanan berbanding lurus dengan besarnya gaya (f) dan berbanding terbalik dengan luas bidang tekan (p) (hukum pascal). besar tekanan menunjukkan besarnya luas daerah yang menjadi tempat gaya berkumpul. gaya yang bekerja di permukaan yang sempit, tekanan yang dihasilkan gambar 2. metode tekanan interface: (a) metode an occupied bed making dan (b) metode bed making tali sudut (a). (b). 18 retno sumara, tekanan interface pada pasien tirah baring sangat besar. sebaliknya jika gaya yang yang bekerja terkumpul di permukaan yang luas, maka tekanan yang dihasilkan permukaan tidak besar.7 menurut wocn society (2003),8 faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan interface pada jaringan yaitu: kom posi si j ari ngan tubuh, kekakuan permukaan dukungan, geometri (posisi) tubuh yang didukung. toleransi jaringan dipengaruhi oleh kemampuan struktur yang mendasari kulit (misalnya pembuluh darah, cairan interstitial, kolagen) untuk bekerja sama sebagai satu set paralel yang mengirimkan beban dari permukaan jaringan ke bagian dalam kerangka.6 penyusutan kolagen dan serat elastis menyebabkan kulit tipis dan melemahnya elastisitas kulit. hal ini dapat mengakibatkan gesekan (friction) atau geser (shear) sehingga menyebabkan lapisan kulit memisah atau sobek.9 gesekan (friction) dan geser (shear) merupakan komponen integral dari pengaruh tekanan pada klien. pergesekan (friction) terjadi ketika dua permukaan bergerak dengan arah yang berlawanan. pergesekan dapat mengakibatkan abrasi dan merusak permukaan epidermis kulit. mayoritas cedera geser dapat dihilangkan dengan posisi yang tepat karena kebanyakan geseran pada pasien dengan posisi tinggi sehingga pasien meluncur ke bawah, atau diseret di tempat tidur atau kursi seperti terseret linen tempat tidur.3 kedua kekakuan permukaan dukungan. permukaan dukungan bertujuan untuk mengurangi tekanan antar muka dengan memaksimalkan kontak dan mendistribusikan berat badan di wilayah yang luas. berbagai macam produk dukungan permukaan yang tersedia dan beberapa percobaan klinis telah dilakukan seperti bantal untuk mengurangi tekanan, kasur (misalnya, busa, gel, dll), tempat tidur khusus dan sistem penggantian linen.6 berdasarkan hasil didapatkan ruang icu/iccu dan imc menggunakan paramount bed elektrik, sedangkan matras yang digunakan adalah matras yang standart icu/iccu yang dirancang untuk pasien tirah baring/bed rest. mengukur tekanan interface diterapkan secara eksternal yaitu pada lapisan kulit dengan menempatkan alat pengukur tekanan antar muka (pressure pad evaluator) diantara area yang tertekan dengan matras. penelitian telah dilakukan untuk mengukur tekanan interface diukur pada posisi duduk atau posisi telentang (supine).6 hal ini sesuai dengan penelitian keller et al. (2005),10 mengevaluasi dan membandingkan tekanan interface jaringan pada tiga permukaan dukungan berbeda pada pasien trauma. permukaan dukungan menggunakan matras semi soft, matras vacuum dan matras spine board. tekanan interface jaringan di skapula, sakrum, tumit. hasil tekanan interface yang tinggi dan berpotensi iskemik ditemukan pada ketiga dukungan-permukaan, dengan tekanan tertinggi adalah matras spine board (melebihi 170 mmhg). ketiga geometri (posisi) tubuh yang didukung. mengukur tekanan interface diterapkan secara eksternal yai tu pada l api san kul it dengan menempatkan alat pengukur tekanan antar muka (pressure pad evaluator) diantara area yang tertekan dengan matras.11 dalam penelitian ini pasien yang digunakan sebagai responden adalah pasien dengan posisi head up 30° dengan mempertimbangkan tekanan interface yang minimal. hal ini sesuai dengan penelitian defloor t (2000),12 menyatakan posisi berbaring dapat 19 mutiara medika vol. 17 no. 1: 14-21, januari 2017 mempengaruhi tekanan pada kulit orang berbaring di tempat tidur. tekanan dicatat dalam 10 posisi berbaring yang berbeda pada 2 kasur pada 62 responden sehat. hasil penelitian menunjukkan bahwa posisi semi fowler 30° dan posisi tengkurap mempunyai tekanan interface terendah. posisi lateral 30° memiliki tekanan interface lebih rendah dari posisi berbaring dengan sudut 90°. colin (1996),13 menyatakan pasien diposisikan miring sampai 90°, menimbulkan kerusakan suplai oksigen yang dramatis pada area trokanter dibandingkan dengan pasien diposisikan miring dengan 30°. call & baker (2007),14 m engi denti fi kasi perbedaan beban tempat tidur sebelum, selama dan setelah elevasi dari posisi datar (supine) ke posisi fowler. kekuatan mekanik yang mempengaruhi kulit pasien dan jaringan telah diidentif ikasi dan dipengaruhi oleh mekanisme frame tempat tidur terutama ketika bagian head up/knee gatch posisi (posisi fowler) yang digunakan dalam perawatan pasien. hasil menyatakan bahwa pada saat frame dikembalikan kembali ke posisi datar, tekanan interface sedikit lebih tinggi dari pada posisi awal. ilustrasi tersebut membuktikan bahwa ada perbedaan yang jelas antara tekanan yang diberikan oleh masing-masing posisi/frame tempat tidur selama urutan. penelitian matsuo (2011),15 interface pressure digunakan untuk mengelola tekanan eksternal pada tonjolan tulang, berdasarkan ketatnya lembar linen dapat terjadi menyebabkan pressure ulcer. metode bed making diklasifikasikan 1). corner” dimana sudut lembaran yang dilipat dalam dan di bawah dengan cara segitiga, 2). no treatment dimana tidak ada perawatan yang diberikan kepada sudut, 3). tie dimana sudut lembaran yang dilipat dalam dan di bawah bagian belakang kasur dan diikat, dan 4). no sheet dimana hanya digunakan kasur. hasilnya metode “corner” menurunkan area kontak menjadi 0,6 dibandingkan dengan yang lain yang meningkat 1,8 kali dari mip (maximum interface pressure). pada penjelasan tersebut maka tekanan interface pada pasien dengan tirah baring menggunakan metode bed making hospital corner (lipat 90°) lebih efektif dibandingkan dengan metode tali sudut. hal ini dibuktikan dengan tekanan interface yang diobserv asi selama 3 hari berturut-turut tidak mengalami kenaikan yang signifikan dan cenderung stabil. sedangkan pada kelompok metode tali sudut menghasilkan tekanan interface yang cenderung mengalami kenaikan. dengan stabilnya tekanan interface diharapkan tidak akan mengembangkan risiko terjadinya pressure ulcer/dekubitus karenan besarnya tekanan. rekomendasi dari pedoman klinis termasuk individu yang berisiko dan intervensi dini bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan toleransi jaringan untuk mencegah cedera. intervensi perawatan memainkan peran penting dalam pencegahan luka tekanan.16 simpulan metode hospital corner bed making tampak menghasilkan tekanan interface lebih rendah daripada metode bed making tali sudut pada pasien tirah baring (bed rest). bagi peneliti selanjutnya dapat menggali lebih jauh tentang jenis-jenis posisi yang bisa meningkatkan tekanan interface, gesekan (friction) dan geser (shear) yang merupakan komponen integral terhadap tekanan pada klien. 20 retno sumara, tekanan interface pada pasien tirah baring daftar pustaka 1. perry, a.g., potter, p.a. (2005). fundamental of nursing: concepts, process, and practice. (6th ed.). st.louis: mosby 2. epuap, npuap. (2009). pressure ulcer prevention quick reference guide. dikases di http://www.epuap.org/guidelines/ tanggal 22 juni 2013. 3. virani, tazim et al. 2011 . nursing best practice guideline: risk assessment and prevention of pressure ulcers. registered nurses’ association of ontario. diakses di http://rnao.ca/ bpg/guidelines/risk-assessment-and-preventionpressure-ulcers tanggal 07 juli 2013. 4. suriadi, hiromi sanada, et al. (2007). risk factors in the development of pressure ulcers in an intensive care unit in pontianak, indonesia. international wound journal, 4(3), 208 – 215. 5. tissue viability society. (2010). laboratory measurement of the interface pressures applied by active therapy support surfaces. journal of tissue viability. volume 19, 2-6. diakses http:// www.journaloftissueviability.com/ tanggal 25 juni 2013. 6. bryant, ruth a; denise. (2007). acute : chronic wound ; current manajement concepts third edition. philadelphia. elsevier 7. abdullah, mikrajuddin. 2004. ipa fisika 2 . pt. gelora aksara pratama. diakses di http:// books.google.co.id/books tanggal 22 desemcer 2013. 8. wound, ostomy, and continence nurse society. (2003). guideline for management of pressure ulcer, wocn clinical practice guideline series 2. glenview. iii. author. diakses di www. wocn.org/ tanggal 23 oktober 2013. 9. kenneth, wright. 2010. a self help guide pressure ulcers prevention and treatment. mediscript communications inc. diakses pada tanggal 9 desember 2013 . www.dmsystems. com/pdf/puselfhelpguide.pdf . 10. keller et al, 2005. tissue interface pressures on three different support surfaces for trauma patients. injury: international journal of the care of the injured. (36), 946 – 948. diakses di www. elseiver.com tanggal 22 desember 2013. 11. lamberts. (2005). the value of pressure ulcer risk assessment and interface pressure measurements in patients a nursing perspective. j.t.m. weststrate, department of surgery, rotterdam, the netherlands. diakses di repub.eur.nl/res/pub/7208/050425_weststratej.pdf tanggal 33 juni 2013. 12. defloor t. 2000. the effect of position and mattress on interface pressure. applied nursing research : anr. feb ; 13(1): 2 11. diakses http:/ /www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10701278# 21 desember 2013. 13. colin d, et al (1996) . comparison of 90° and30° laterally inclined positions in the prevention of pressure ulcers using transcutaneous oxygen and carbon. adv wound care, 9(3):35-8. http:/ /www.ncbi.nl m.nih.gov /pubmed/8716272 tanggal 28 juni 2013. 14. call, evan; baker, loyal (2007) . how does bed frame design influence tissue interface pressure? a comparison of four different technologies designed for long-term or home care. journal of tissue viability 17, 22-29. diakses http:/ /www.journaloftissueviability.com/ tanggal 25 juni 2013. 21 mutiara medika vol. 17 no. 1: 14-21, januari 2017 15. effects on air mattress pressure redistribution caused by differences in bed making. matsuo junko; sugama junko; okuwa mayumi; konya chizuko; sanada hiromi in21st conference of the european wound management association. ewma 2011. diakses di :http:// ewma.org/fileadmin/user_upload/ewma/pdf/ tanggal 28 juli 2013. 16. joint commission international. (2010). joint commission international nursing sensitive care (nsc) measures. diakses di : http://www. jointcommissioninternational.org/common/ pdfs/jci%20standards/international_library_ of_measures/nsc_measure_details_090810. pdf. tanggal 3 januari 2014. novita kurnia sari, pengaruh pendidikan kesehatan ............ 1 pengaruh pendidikan kesehatan tentang perawatan perineum terhadap kesembuhan luka episiotomi klien post partum di bkia aisyiyah, karangkajen, diy the influence of giving health education of perineum care on episiotomy wound healing on post partum clients at bkia aisyiyah, karangkajen, diy novita kurnia sari bagian keperawatan medikal bedah psik fk umy abstract infection incidental rate which is caused by episiotomy is still high. based on preface study, the high level of infection is caused by lack of treatment. lack of treatment is further triggered by lack of knowledge about episiotomy care. one of interventions which can be done is by giving health education on perineum care. this is an experimental research with the static group comparison design. the design uses 30 respondents of post partum client at bkia aisyiyah, karangkajen, diy, analyzed by chi-square statistical analytic. the result of this research shows that episiotomy wound healing is not influenced by providing health education on perineum care, with the value of significant level: 0.05. this study concludes that giving health education on perineum care does not give significant influence on episiotomy wound care. key words: health education, perineum care, episiotomy, post partum abstrak angka kejadian infeksi akibat tindakan episiotomi masih tinggi. berdasarkan studi pendahuluan, angka infeksi masih tinggi dikarenakan kurangnya perawatan. kurangnya perawatan dimungkinkan karena kurangnya pengetahuan tentang cara merawat luka episiotomi. salah satu intervensi yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan pendidikan tentang perawatan perineum. penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan desain perbandingan kelompok statis. penelitian ini menggunakan 30 responden klien post partum di bkia aisyiyah, karangkajen, diy, dianalisis dengan menggunakan chi-square. secara deskriptif hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan tentang perawatan perineum tidak berpengaruh terhadap kesembuhan luka episiotomi, dengan tingkat signifikansi 0,05. kata kunci: pendidikan kesehatan, perawatan perineum, episiotomi, post partum pendahuluan angka kematian maternal di indonesia mencapai 390 per 100.000 kelahiran hidup dan merupakan angka kematian tertinggi di asean1. perdarahan dan sepsis menjadi angka tertinggi untuk penyebab kematian maternal yaitu 24,8% dan 14,9%2. salah satu penyebab sepsis adalah infeksi perineum yang disebabkan oleh tindaka episiotomi3. salah satu upaya yang ditempuh untuk menurunkan angka kematian maternal adalah program safe maotherhood. dalam safe motherhood disebutkan tentang perawatan post partum dimana komplikasi seperti perdarahan, sepsis dan trauma perineal sering terjadi. perawatan post partum harus benar-benar diperhatikan karena 50% kematian ibu terjadi setelah melahirkan4. mutiara medika vol. 7 no. 1: 1-6, januari 2007 2 berdasarkan studi pendahuluan di bkia aisyiyah karangkajen, diy terhadap tujuh ibu hamil, 54,2% (empat orang) mengungkapkan ketakutan mereka akibat tindakan episiotomi. 71,4% (lima responden) menyatakan keraguannya dalam membersihkan luka episiotomi sendiri tanpa bantuan tenaga kesehatan. menyadari fenomena tersebut, keperawatan telah memberikan penekanan lebih pada peran perawat sebagai pendidik. pendidikan kesehatan sebagai fungsi mandiri dari praktik keperawatan yang bertujuan membantu individu untuk beradaptasi dengan masalah kesehatannya, mencegah komplikasi dan mematuhi program terapi serta belajar untuk memecahkan masalah ketika menghadapi situasi yang baru5. kesembuhan luka episiotomi sangat terantung pada efektifitas penanganan, salah satunya dengan perawatan perineum6. banyak faktor yang mempengaruhi kesembuhan luka episiotomi antara lain pengetahuan, kebersihan diri, gizi dan cara perawatan. faktor pengetahuan dipandang sangat penting karena merupakan hal yang paling mendasar dari perilaku manusia. pengetahuan klien dapat ditingkatkan dengan memberikan pendidikan kesehatan karena dengan pendidikan dapat memberikan pengetahuan baru sehingga derajat kesehatan optimal dapat terpenuhi. bkia aisyiyah karangkajen, diy memberikan pelayanan kesehatan terutama untuk membantu klien dalam mengatasi masalah persalinan, dimana sebagian besar pertolongan persalinan dilakukan tindakan episiotomi untuk memudahkan proses persalinan. fenomena inilah yang membuat peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lanjut apakah ada pengaruh antara pendidikan kesehatan dengan kesembuhan luka episiotomi pada klien post partum di bkia aisyiyah karangkajen, yogyakarta? bahan dan cara penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan menggunakan desain perbandingan kelompok statis dilakukan di bkia aisyiyah karangkajen, diy, menggunakan sampel sebanyak 30 orang, dengan rincian 15 orang sebagai kelompok eksperimen dan 15 orang sebagai kelompok kontrol. cara pemilihan sampel dilakukan dengan teknik purposive random sampling. kelompok eksperimen diberikan pendidikan kesehatan tentang cara perawatan perineum kemudian dilakukan observasi tentang hari kesembuhan luka dan cara perawatannya. instrumen penelitian yang digunakan adalah lembar observasi yang dibuat sendiri oleh peneliti. analisis data menggunakan uji statistik dalam program spss 11.0 for windows, dengan menggunakan tabel distribusi chi-square. kerangka konsep penelitian ini adalah sebagai berikut: insisi nutrisi jumlah partus lama kala ii pengetahuan tentang sembuh perawatan perineum sepsis pendidikan kesehatan kesembuhan luka episiotomi penyakit: dm dan obesitas novita kurnia sari, pengaruh pendidikan kesehatan ............ 3 hasil pada kelompok eksperimen distribusi berdasarkan usia terbesar adalah responden dengan usia 20-30 tahun dan > 30 tahun yaitu 7 responden (47%), sebagian besar adalah multipara yaitu 9 orang (60%), dan sebagian besar dengan persalinan normal yaitu 14 responden (93%) pada kelompok kontrol distribusi berdasarkan usia 20-30 tahun dan > 30 tahun yaitu 7 responden (47%), sebagian besar adalah multipara yaitu 9 orang (60%), dan sebagian besar dengan persalinan normal yaitu 14 responden (93%). tabel 1. karakteristik responden kelompok eksperimen karakteristik responden jumlah % usia <20 th 20-30 th >30 th 1 7 7 6 47 47 status paritas primipara multipara 6 9 40 60 status obstetrik normal dengan tindakan 14 1 93 7 tabel 2. karakteristik responden kelompok kontrol karakteristik responden jumlah % usia <20 th 20-30 th >30 th 2 11 2 13 74 13 status paritas primipara multipara 10 5 67 33 status obstetrik normal dengan tindakan 15 100 tabel 3. analisis bivariat crosstabel frekuensi pemberian pendidikan kesehatan dengan kesembuhan luka episiotomi kesembuhan luka episiotomi sembuh tidak sembuh frekuensi penkes jml % jml % jml % 1x 2x 1 1 6,7 6,7 5 8 33,3 53,3 6 9 40 60 jml 2 13 15 % 13,3 86,7 100 mutiara medika vol. 7 no. 1: 1-6, januari 2007 4 berdasarkan uji chi-square, dimana zhit 0,096 dan ztab 3,841 dengan df :1 dan a: 0,05 maka didapatkan zhit < ztab yang berarti ho diterima dan ha ditolak yaitu tidak ada pengaruh yang signifikan antara frekuensi pendidika kesehatan terhadap kesembuhan luka episiotomi. hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada pengaruh yang signifikan antara pemberian pendidikan kesehatan dengan kesembuhan luka episiotomi. pendidikan kesehatan yang diberikan perawat sebagai bentuk pelayanan keperawatan profesional adalah memunculkan perubahan pada perilaku7. hasil penelitian ini diharapkan dapat merubah pengetahuan responden tentang bagaimana melakukan perawatan pada luka episiotomi. dengan demikian dapat memunculkan perilaku yang dilakukan dengan sadar atas kemauan sendiri untuk melakukan perawatan perineum walaupun klien sudah pulang ke rumah. dari teori yang sudah ada bahwa efek dari dilakukannya perawatan perineum pada luka episiotomi dapat mempercepat kesembuhan luka tersebut. namun, penelitian ini menunjukkan bahwa keberhasilan pendidikan kesehatan dipengaruhi oleh faktor tertentu seperti kesiapan belajar, lingkungan belajar, dan teknik yang digunakan8. kesiapan untuk belajar termasuk didalamnya status fisik dan emosional serta pengalaman terdahulu dalam pembelajaran. begitu pula pada responden penelitian ini yang masih mengalami nyeri akibat tindakan episiotomi yang dijalaninya tidak akan mampu memfokuskan perhatian selain nyeri bila dituntut untuk berkonsentrasi pada materi yang diajarkan9. berdasarkan uji chi-square, dimana zhit 0,096 dan ztab 3,841 dengan df :1 dan a: 0,05 maka didapatkan zhit < ztab yang berarti ho diterima dan ha ditolak yaitu tidak ada pengaruh yang signifikan antara waktu pemberian pendidikan kesehatan terhadap kesembuhan luka episiotomi. perubahan dari pengetahuan, sikap, dan tindakan yang biasa disebut dengan perilaku tidak berlangsung dalam rentang waktu yang sangat cepat. untuk perubahan terhadap pengetahuan mungkin mungkin akan lebih cepat waktunya dibandingkan dengan merubah sikap apalagi merubah tindakan. begitu pula yang terjadi dalam penelitian ini, frekuensi pemberian pendidikan yang hanya satu kali saja mungkin tidak akan cukup untuk merubah perilaku responden secara keseluruhan. hal ini karena dalam jangka lima hari sampai dilakukannya evaluasi kondisi luka episiotomi, responden baru saja sampai pada tahap perubahan sikap yaitu baru saja menyadari bahwa masalah kesehatan yang sedang dialami sekarang ini adalah ancaman bagi kesehatan dirinya. sehingga hasil yang diharapkan dari penelitian ini yaitu kesembuhan luka episiotomi yang lebih cepat belum tercapai karena hal-hal seperti yang telah dijelaskan diatas. tabel 4. analisis bivariat crosstabel waktu pemberian pendidikan kesehatan dengan kesembuhan luka episiotomi kesembuhan luka episiotomi sembuh tidak sembuh waktu penkes jml % jml % jml % 30 menit 60 menit 1 1 6,7 6,7 5 8 33,3 53,3 6 9 40 60 jml 2 13 15 % 13,3 86,7 100 novita kurnia sari, pengaruh pendidikan kesehatan ............ 5 tabel 5. analisis bivariat crosstabel perbandingan kesembuhan luka episiotomi kelompok kontrol dan kelompok eksperimen berdasarkan uji chi-square, dimana zhit 0,240 dan ztab 3,841 dengan df :1 dan a: 0,05 maka didapatkan zhit < ztab yang berarti ho diterima dan ha ditolak. maka dapat disimpulkan bahwa kesembuhan luka antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen tidak ada perbedaan yng signifikan dan tidak bermakna. variabel lain yang harus dikendalikan dalam melakukan penelitian tentang pendidikan kesehatan antara lain usia, jenis kelamin, keadaan sosial ekonomi dan tingkat pengetahuan, pendidikan dan faktor kepatuhan terhadap tindakan terapeutik. sangat penting untuk mengelompokkan usia, hal ini tidak hanya terkait dengan maturasi tetapi juga sudut pandang dari faktor kontekstual seperti bagaimana cara melihat masa lalu dan efeknya di hari kemudian. usia juga dipandang sangat berpengaruh terhadap sikap klien dalam menerima pendidikan kesehatan. jenis kelamin mempunyai pengaruh silang dengan usia dan interaksi sehingga walaupun dalam ukuran sampel yang besar sekalipun perbedaan hasil dari penelitian tentang pendidikan kesehatan dapat terlihat. status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan juga merupakan dua hal yang selalu ditemukan dalam penelitian tentanng pendidikan kesehatan. dengan asumsi bahwa tingkat pendidikan yang tinggi mempengaruhi keberhasilan pendidikan kesehatan menjadi lebih baik pula. faktor kepatuhan klien terhadap program teraputik yang sedang dijalani juga mempengaruhi hasil dari pendidikan kesehatan yang diterimanya. masalah ketidakpatuhan terhadap program terapeutik adalah masalah substansial yang harus diatasi untuk membantu klien berpartisipasi dalam perawatan diri dan untuk mencapai tingkat kesehatan potensial yang maksimal. pada penelitian ini ternyata variabelvariabel penganggu seperti yang telah dijelaskan diatas belum dikendalikan mengingat waktu penelitian yang sangat singkat sehingga hasil dari penelitian ini tidak berpengaruh. kesembuhan luka episiotomi yang diharapkan lebih cepat dari teori ternyata tidak terlihat dalam penelitian ini. menurut brunner dan suddarth, ada dua faktor yang mempengaruhi kesembuhan dari suatu luka yaitu faktor internal dan faktor eksternal5. faktor internal antara lain fase penyembuhan luka dan ketahanan tubuh dalam mengolah sistem imun. untuk hal ini peneliti tidak dapat mengendalikannya. faktor eksternal antara lain nutrisi, cara perawatan yang dilakukan, hygiene yang dilakukan mengingat luka episiotomi ada pada perineum dimana letaknya yang berada diantara saluran kencing, vagina dan anus sedangkan kondisi responden sendiri sedang berada pada masa nifas dan lochia masih keluar.10 kesimpulan berdasarkan hasil analisa data dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa perawatan luka episiotomi dengan benar sangat diperlukan untuk mempercepat kesembuhan luka episiotomi walaupun tidak dapat dibuktikan kemaknaannya secara statistik. kesembuhan luka episiotomi sembuh tidak sembuh kelompok jml % jml % jml % kontrol eksperimen 3 2 10 6,7 12 13 40 43,3 15 15 50 50 jml 2 13 15 % 16,7 83,3 100 mutiara medika vol. 7 no. 1: 1-6, januari 2007 6 saran dengan memperhatikan hasil penelitian, saran yang dapat disampaikan antara lain: 1. untuk ilmu keperawatan agar lebih mengembangkan teori keperawatan henderson bahwa pendidikan kesehatan ini merupakan kebutuhan tiap individu agar derajat kesehatan optimal dapat tercapai. 2. kepada perawat di ruang maternitas agar lebih memperhatikan pendidikan kesehatan tentang perawatan perineum kepada klien sejak awal. 3. untuk klien postpartum agar tetap melakukan perawatan luka episiotomi dengan benar, rutin dan seserng yang dianjurkan agar mempercepat kesembuhan luka dan mengurangi ketidaknyamanan akibat luka episiotomi. 4. kepada peneliti lanjutan agar lebih memperhatikan variabel pengganggu antara lain usia, tingkat pendidikan, jumlah jahitan, nutrisi maupun keterbatasan dalam penelitian ini sebagai bahan masukan dan pertimbangan sehingga terwujud penelitian yang lebih baik dan bermanfaat bagi pengembangan profesi keperawatan. daftar pustaka 1. manuaba, gde ida bagus. (1999). operasi kebidanan kandungan dan keluarga berencana. jakarta. 2. http://www.who.int/reproductive-health/ publications/abstract/maternalmortality/ 1995 3. wignosastro, hanifa. (1994). ilmu bedah kebidanan . yayasan bina prawirohardjo. 4. http://unicef.org/ffi/02 5. brunner, and suddarth. (2001). buku ajar keperawatan medikal bedah. jakarta: egc 6. reeder, sharon j. (1997). maternity nursing: family, newborn, and women health care. philadelphia: lippincot. 7. rankin, sally h., et al. (1996). patient education: issues, principles, practice. philadelphia: lippincot-raven publisher. 8. doak, cecilia conrath. (1996). teaching patient with low lateracy skill. philadelphia: jb. lippincot company. 9. chesnut, mary ann, rn. (1997). maternal-newborn home care manual. philadelphia: jb. lippincot company. 10. pilliteri, adele. (1999). maternal and child health nursing. philadelphia: jb. lippincot company. 109 mutiara medika vol. 7 no. 2:109-120, juli 2007 surveilans penderita talasemia di rsup dr. sardjito yogyakarta tahun 2004 surveillance of thalassemia at dr. sardjito general hospital yogyakarta in 2004 linda rosita departemen patologi klinik, fakultas kedokteran universitas islam indonesia,yogyakarta abstract surveillance based on demography data and laboratory data of patient’s thalassemia needing routine blood transfusion give a contribution in managing the disease in society and increase the service to patient and its family. the aim of this study is to investigate the epidemiology clinical and laboratory aspect of the thalassemia patient needing routine transfusion in rsup dr. sardjito yogyakarta. the study retrospectively, subject are the patient with routine transfusion and have complete laboratory data. data are taken from patient’s thalassemia needed routine transfusion or suspect thalassemia and other variables needed rutinized from their medical records during of 2004. there are 29 subject this study 18% is major thalassemia, age 1-14 year, needing blood transfusion for a lifetime (48%), living outside diy (52%) that is central java of part of south pacitan. family history knew (86%) at patient’s, peripheral blood smear supporting diagnosed by thalassemia (86%), existence of splenomegaly most of all patient’s, test fragilities osmotic (71%) supporting diagnosed thalassemia. haemoglobin rate gyrate 2,7-10g%, there are make-up of amount retikulosit till 4,9%,. pattern of electrophoresis hb there are improvement hb s/d/g till 70mg%, improvement of hb a2 till 86,7mg%, and also the existence of improvement of hb f of father 2,84% and improvement of hb f of mother 1,26%. peripheral blood smear a step aside and usable osmotic fragility test as screening thalassemia after existence of later clinic suspicion can be continued test of electrophoresis hb and analyze the ß gene dna. test electrophoresis hb require to be socialized to doctor to make diagnosed by thalassemia and suspicion to traits thalassemia. keywords : blood transfusion, dr. sardjito general hospital, surveillance, thalassemia abstrak surveilans yang berbasis data demografi dan laboratorium pada pasien talasemia yang memerlukan transfusi darah rutin dapat memberikan kontribusi terhadap penaggulangan penyakit di masyarakat dan meningkatkan mutu pelayanan kepada pasien dan keluarganya. penelitian secara retrospektif observasional, subyek penelitian pasien talasemia menjalani transfusi rutin atau pasien dicurigai klinis talasemia, memiliki data demografi dan data laboratorium lengkap, dirawat di instalasi kesehatan anak (inska) dan unit penyakit dalam (upd) rsup dr. sardjito. kriteria eksklusi jika sampai akhir perawatan diagnosis talasemia belum dapat ditegakkaan terdapat 29 subyek penelitian dengan talasemia mayor (18%), kelompok umur terbanyak 1-14 tahun, memerlukan transfusi darah seumur hidup (48%), berdomisili di luar diy (52%) yaitu jawa tengah bagian selatan hingga pacitan. riwayat keluarga pada pasien diketahui (86%), morfologi linda rosita, surveilans penderita talasemia ............ 110 darah tepi yang mendukung diagnosis talasemia (86%), adanya splenomegali pada hampir semua pasien, tes fragilitas osmotik (71%) mendukung diagnosis talasemia. kadar hemoglobin berkisar 2,7-10g%, peningkatan jumlah retikulosit hingga 4,9%. pola elektroforesis hb terdapat peningkatan pada hb s/d/g hingga 70mg%, peningkatan hb a2 hingga 86,7mg%, adanya peningkatan hb f ayah rata-rata 2,84% dan peningkatan hb f ibu rata-rata 1,26%. morfologi darah tepi dan tes fragilitas osmotik dapat dipakai sebagai skrining talasemia setelah adanya kecurigaan klinis dilanjutkan pemeriksaan elektroforesis hb dan analisis dna gen ß. pemeriksaan elektroforesis hb perlu disosialisasikan kepada klinisi untuk menegakkan diagnosis talasemia dan kecurigaan terhadap traits talasemia. kata kunci : talasemia, surveilans, transfusi darah pendahuluan rumah sakit umum pusat dr sardjito (rsup dr. sardjito) sebagai rumah sakit sebagai rumah sakit tipe a, memiliki filosofi untuk dapat memberikan pelayanan medik dan rujukan medik. pengembangan pelayanan diarahkan untuk memberikan pelayanan purna dibanding pusat pelayanan kesehatan tingkat puskesmas maupun rumah sakit tipe c dan b. pengembangan pelayanan kesehatan dari rsup dr. sardjito sangat diharapkan untuk dapat mengatasi banyak keterbatasan dari yang dimiliki pusat kesehatan lain. misalnya penanganan masalah talasemia yang kompleks. jumlah penderita talasemia yang dirawat inap serta membutuhkan transfusi rutin di rsup dr. sardjito t ahun 2004 adalah 29 orang (data dari instalasi rekam medik rsup dr. sardjito). sehingga diperlukan langkah yang tepat untuk meningkatkan mutu pelayanan terhadap penderita talasemia di rsup dr. sardjito. talasemia merupakan kelainan genetik hematologi yang paling banyak dijumpai.1,2,3,4,5 pada awalnya sebaran talasemia diketahui terdapat di bagian dunia yang membentuk sabuk talasemia yang membentang dari daerah mediterania ke asia tengah, asia selatan, asia tenggara sampai bagian barat melanesia. migrasi penduduk diikuti pula dengan penyebaran penyakit itu, sehingga kini di amerika, eropa ada australia juga dapat dijumpai.1,3 data who 1983 menunjukkan bahwa 240 juta penduduk dunia pembawa bakat (heterozigot) untuk hemoglobinopatia dan sedikitnya 200.000 homozigot yang dilahirkan setiap tahun kira-kira separohnya adalah talasemia.1,4,5 prevalensi dan insidensi talasemia di indonesia cukup tinggi, diperkirakan 3% penduduk indonesia mengemban talasemia ß dan 4% mengemban sifat hemoglobin e.6 hemoglobin e merup akan stigma di asia tenggara termasuk di indonesia. hemoglobin e yang dimaksud disini adalah hbe homozigot. 7 enam sampai sepuluh dari setiap 1000 orang indonesia membawa gen penyakit ini. kalau sepasang dari mereka menikah, satu dari empat anak mereka akan menderita talasemia.3 beberapa penelitian di berbagai daerah di indonesia menunjukan pembawa bakat talasemia b di indonesia berkisar 37,8%. sebaran hbe terdapat pada berbagai populasi di indonesia.1,3 penelitian yang pernah dilakukan di rsup dr. sardjito tahun 1992 oleh lanni menjump ai kasus talasemia b di rsup dr. sardjito adalah mutasi p ada cd 26 (gag—aag) yang lebih dikenal dengan hb e yang mirip dengan populasi thailand dan mutasi pada ivs i nt 5 (g—c) yang mirip dengan populasi melanesia. 6 talasemia merup akan kelainan darah herediter yang paling sering dijumpai, biasanya ditandai oleh berkurang atau tidak ada sama sekali sintesa rantai globin dari molekul hemoglobin. 8,9 kelainan genetik pada talasemia adalah adanya delesi atau mutasi noktah pada gena yang menyandi sintesis polipeptida globin dengan akibat tidak atau kurang terbentuk tetramer penyusun hemoglobin. 2 111 mutiara medika vol. 7 no. 2:109-120, juli 2007 molekul hemoglobin normal adalah tetramer yang terdiri dari 2 rantai a dan 2 rantai non a (b, g dan d). hemoglobin dewasa normal terdiri dari hba ( 2 b 2 ) 9597%, hba 2 (a 2 d 2 ) 2-3% dan hbf (a 2 g 2 ) 2 % .8,9,10 selama janin berada dalam kandungan di kenal juga adanya polipeptida lain misalnya rantai epsilon dan zeta.8 gangguan sintesis globin dapat terjadi pada rantai a (talasemia a) maupun rantai b (tala semia b).8,9,10 gambar 1. struktur molekul hb a sumber: koepke, 1998 talasemia a biasanya disebabkan oleh suatu delesi atau hilangnya gen a yang terletak pada kromosom nomor 16. jenis talasemia ini sering dijumpai pada daerah laut tengah dan sekitarnya.8,9,10 berdasarkan jumlah gen yang mengalami mut asi, maka talasemia a dibagi menjadi : (1) talasemia a heterozigot (genotip : -a/aa ). bila satu gen yang hilang dan hanya sedikit berpengaruh pada fungsi darah, kadar mcv kurang dari normal, tidak ditemukan anemia, elektroforesis hb memberikan pola yang normal. (2) talasemia a homozigot (genotip: -a/-a) dan talasemia a heterozigot (genotip : —/aa) terjadi karena 2 gen a hilang dan mengakibatkan, anemia ringan, ditandai dengan kadar mcv menurun dan terdapat banyak inclusiones bodies pada eritrosit serta pola elektroforesis hb normal.8,9,10 (3) hb h disease (genotip—/-a), terjadi akibat hilangnya 3 gen a dan biasanya ditandai dengan anemia sedang sampai berat, kadar mcv dan mch menurun, pada eritrosit terdapat banyak inclusiones bodies . elektroforesis hb menunjukkan kadar hba2 menurun, kadar hbh dapat mencapai 40% dan kadangkadang terdapat hb bart’s (g4). (4) hb bart’s hydrops fetalis (—/—) disebabkan oleh hilangnya semua gen a dan berakibat fatal, biasanya janin sudah meninggal ketika masih dalam kandungan atau, segera sesudah lahir.8,9,10 penimbunan air terjadi pada jaringan-jaringan tertentu, terutama pada bagian perikardial dan toraks. pada elektroforesis hanya terdapat hb abnormal saja dalam sirkulasi yaitu h b bart’s mencapai 80% dan selebihnya adalah hb portland dan hba. 8,9 linda rosita, surveilans penderita talasemia ............ 112 tabel 1 : gambar hematologi talasemia talasemia β berbeda dengan talasemia α yang disebabkan karena delesi gen, maka talasemia β biasanya disebabkan oleh suatu mutasi titik (noktah) pada beberapa unit nukleotida gen globin β.10 talasemia β sering dijumpai di asia terutama di india dan dataran cina serta asia tenggara termasuk indonesia.5 berdasarkan ada atau tidaknya produk rantai globin β yang dibentuk oleh gen yang mengalami mutasi, talasemia β dibedakan menjadi 2 golongan : (1) talasemia β0; jika sintesis rantai globin -β oleh gen yang mengalami mutasi tidak ada sama sekali. (2) talasemia β+, jika sintesis rantai globin β oleh gen yang mengalami mutasi hanya dalam jumlah sedikit.7, 8, 9 berdasarkan kerusakan gen maka talasemia -β dibagi menjadi 2 golongan : (1) talasemia -β 0 atau talasemia β + homozigot. diakibatkan karena semua gen β mengalami mutasi pada tempat yang sama. bentuk -β0 menunjukkan gejala klinis yang parah dengan anemia sangat berat dan berakibat fatal jika tidak segera mendapat perawatan dan transfusi darah karena hb a tidak dibentuk sama sekali. bentuk β+ secara klinis juga menunjukkan anemia berat dengan kadar hb a yang beredar berkisar antara 5-30 %.8 bentuk homozigot dari kedua talasemia β ini menunjukkan adanya kenaikan kadar hba2 dan hb f yang meningkat. kadar mcv dan mch menurun dan banyak terdapat normoblast dalam sirkulasi. mekanisme meningkatnya kadar hba2 dan hb f adalah sebagai berikut : hba2 tidak terdapat pada bentuk β0 dan terdap at sedikit pada β+.9 (2) talasemia β0 dan talasemia β+ heterozigot . terjadi akibat terjadinya mutasi pada salah satu gen β. biasanya ditandai oleh anemia sangat ringan (pada bentuk β +) dan anemia ringan sampai sedang (pada bentuk β°) tetapi secara klinis tidak tampak. kadar mcv dan mch menurun dan terdapat bercak-bercak (stipling ) yang khas pada eritrositnya, kadar hba2 dan hbf dalam sirkulasi meningkat dan kadar hb a menurun. diagnosis genotip morfologi eri trosit elektroforesi s hb (rasio α/β) anemia harapan hi dup hb. barts hydros fetalis --/-↓ mcv & mch ↑ nrbc hb barts (80 %)† hb portland 0:1 berat fatal hb h --/-α ↓ mcv & mch +++ hbh inclusions‡ hb a hb h (2% 40%) ± hb barts ↓ hb a2 0,40 :1 sedang normal talasemia α minor homozigotα0 / homozigotα+ silentcarri er --/αα -α/-α ↓ mcv & mch ++ hbh inclusions normal 0,77:1 ringan/ti dak ada normal heterozi gott alasemia -α+ -α/αα normal atau ↓ mcv & mch ± hbh inclusions‡ nomal 0,88 : 1 tidak ada normal * genotip normal (αα / αα) normal rasio α/β 1:1 † cord blood sample ‡ modified brillieant cresyl blue hb h inclusion body test 113 mutiara medika vol. 7 no. 2:109-120, juli 2007 secara klinis talasemia dibagi menjadi : (1) talasemia mayor (homozigot dan heterozigot ganda) atau anemia cooley yang ditandai dengan anemia berat. (2) talasemia intermedia yaitu talasemia β dimana keadaan klinis lebih ringan dari talasemia mayor tetapi lebih berat dari talasemia minor dan merupakan bentuk peralihan ant ara talasemia mayor dan talasemia minor. (3) talasemia minor (heterozigot) yang hanya menunjukkan anemia ringan. (4) talasemia minimal bentuk talasemia β yang mana biasanya tidak ditemukan abnormal klinis dan laboratorium. 8, 9 penegakan diagnosis talasemia sedini mungkin menjadi harapan bagi penderita, keluarga serta pengembangan keilmuan khususnya dibidang hematologi.1,2,3,4,5 langkah awal dapat berupa skrining dengan melacak riwayat anemia, dan riwayat keluarga dengan anemia. pemeriksaan fisik dapat terlihat dari konstitusi tubuh, wajah yang khas, pucat serta splenemegali.1,4,5 skrining dan pemeriksaan fisik dapat dikerjakan dokter atau petugas kesehatan di puskesmas atau rumah sakit tipe c. sementara penegakan diagnosis dan konfirmasi talasemia mutlak memerlukan pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan laboratorium rutin (hb, mcv, mch, mchc, morfologi darah tepi dan retikulosit) serta pemeriksaan laboratorium khusus (alkali denaturasi, elektroforesis hb dan analisis dna gen β.2, 7, 8, 9 tabel 2: gambaran hem atologi talasemia β diagnosis jumlah eritrosit morfologi eri trosi t el ektroforesi s hb (rasio α/β) anemi a harapan hidup/th talasemia mayor ↑ ↓mcv& mch ++ stippling +++ nr bc +++ target ↑ hbf bervariasi hba2 ± hba 0-0,3/1 berat 20-30 talasemia i ntermedi a ↑ ↓mcv&mch + stippl ing ± nrbc ++ target normal / ↑ hbf bervariasi hba2 ± hba 0-0,4/1 sedang normal talasemia mi nor ↑ ↓mcv&mch + stippl ing + target normal / ↑ hbf bervariasi hba2 bervariasi hba 0,5/1 ri ngan atau tidak ada normal talasemia mini mal normal normal ri ngan ↓mcv& mch ± stippl ing ±target normal 0,88/1 ti dak ada normal sumber: koe pke, 1 998 linda rosita, surveilans penderita talasemia ............ 114 riwa ya t ri wayat kelua rga umur dar i o nset perkembang an pemeri ksaa n kli nis pucat ikterik splen ome gal i de fo rmi tas tul ang pigmentasi lab oratorium hb , mcv. mch, retikulosit rbc inclusions (dar ah dansumsum tulan g) presipitasi hb h elektroforosis hb abnormal hb ⊕ mencakup anal isi s at p h 6-7 un tu k hbh d an hb ba rt’s peni laian hb a2 dan esti masi f untuk kon firmasi tal asemi a β distribu si intra seluler stru ktur anali sis dari variasi hb dari hb f si nte sis rantai globi n sumber : rodak, 2 002 gambar 2. skema penelusuran talasemia semua pemeriksaan laboratorium di atas tersedia dan dapat dilayani di instalasi patologi klinik rsup dr. sardjito, kecuali analisis dna gen b. lewat pemeriksaan darah, analisa hemoglobin dan dna dapat diketahui apakah seseorang membawa gen talasemia. saat ini di indonesia telah dideteksi 10 mutasi gen talasemia beta yang potensial menyebabkan talasemia mayor.5 serangkaian akibat dari kelainan tersebut dapat menjadi beban medik (burder of illness), beban psikologis dan beban ekonomis. beban medik memunculkan masalah khusus yang berkaitan dengan penyakit itu sendiri beserta terapinya. beban psikologis berkaitan dengan masalah emosional, sosioekonomik, dan yang menyangkut beban bukan hanya penderita tetapi juga orang tua, keluarga dan masyarakat. beban ekonomis berkaitan dengan biaya yang dikeluarkan selama menjalani perawatan medis.1,5 masalah klinis dapat muncul pada penegakan diagnosis serta terapi. sementara talasemia juga dapat menimbulkan masalah komunitas, seperti: pelayanan transfusi seumur hidup, sehingga diperlukan usaha-usaha pengendalian penyakit ini di masyarakat. surveilans atas seluruh pasien talasemia yang memerlukan transfusi darah di rumah sakit dapat memberikan gambaran seutuhnya dari profil hasil pemeriksaan laboratorium. surveilans berdasarkan sasaran tertentu (berdasarkan unit, tempat, dan yang lebih spesifik) lebih mampu meningkatkan mutu pelayanan medik, misal : semua anggota keluarga pasien talasemia diambil darahnya untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium. permasalahan yang muncul adalah belum diketahui profil (data umum dan laboratorium pada pasien talasemia yang menjalani transfusi darah di rsup dr. sardjito yogyakarta. pertanyaan penelitian adalah bagaimana data yang ada pada pasien talasemia yang menjalani transfusi darah di rsup dr. sardjito yogyakarta? tujuan penelitian adalah untuk memperoleh data umum dan laboratorium 115 mutiara medika vol. 7 no. 2:109-120, juli 2007 pada pasien talasemia di rsup dr. sardjito yogyakarta, yang selanjutnya bermanfaat untuk: 1. optimalisasi pelayanan pada inska, khususnya pada penderita talasemia 2. peningkatan mutu pelayanan rsup dr. sardjito untuk penderita talasemia dan keluarga 3. optimalisasi utilisasi/penggunaan alat di instalasi patologi klinik rsup dr. sardjito yaitu elektroforesis hb 4. sosialisasi pemeriksaan elektroforesis hb ke dokter, perawat keluarga maupun pasien 5. melengkapi data demografi tentang penyakit talasemia di rsup dr. sardjito sehingga data tersebut dapat dipergunakan untuk penelitian talasemia secara berkesinambungan bahan dan cara penelitian dilakukan dengan retrospektif observasional menggunakan data rekam medis. waktu penelitian mengambil data dari pasien dengan kucurigaan talasemia serta rekam medik periode tahun 2004 di rsup dr. sardjito yogyakarta. yang selanjutnya disebut sebagai subyek penelitian. kriteria inklusi pada penelitian ini adalah suspek talasemia, memiliki data yang lengkap dan yang menjalani transfusi rutin. kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah jika pada sampai akhir perawatan diagnosis talasemia belum dap at ditegakkan. pelacakan data dimulai dari data klinik adanya kecurigaan atau suspek terhadap talasemia yang dikirim dari instalasi kesehatananak (inska) atau melalui instalasi gawat darurat (igd) dengan kecurigaan terhadap talasemia atau pada pemeriksaan morfologi darah tepi menunjukan gambaran mendukung diagnosis talasemia. apabila ditemukan gambaran yang mendukung talasemia, dilanjutkan dengan pemeriksaan alkali denaturasi dan elektroforesis hemoglobin. data dianalisis secara deskriptif. perbandingan variabel-variabel yang mempengaruhi penegakkan diagnosis talasemia dihitung dengan uji statistik deskriptif. hasil penderita talasemia yang dirawat di rsup dr. sardjito tahun 2004 berjumlah 29 orang. laki laki 11 (38%) dan perempuan 18 (62%), kelompok umur terbesar 1-14 tahun sebanyak 19 (65%) dan domisili hampir sama antara diy 14 (48%) dan luar diy 15 (52%) yaitu sekit ar jawa tengah bagian selatan. penderita talasemia yang memerlukan transfusi rutin (80%) hampir seluruhnya adalah dari penderita talasemia mayor (76%), selengkapnya tampak pada tabel 3. tabel 3. karakteristik subyek penelitian karakteri stik subyek penelitian jumlah % jenis kelamin laki l aki perempuan 11 18 38 62 domisili diy luar d iy 14 15 48 52 umur (tahun) 0 – 1 1 – 14 14 – 25 > 25 5 19 3 2 17 65 10 8 transfusi rutin ya t idak 24 5 80 20 talasemia mayor minor 22 7 76 24 linda rosita, surveilans penderita talasemia ............ 116 tabel 4. gambaran talasemia mayor dan talasemia minor talasemia merupakan penyakit yang diwariskan, maka ada kemungkinan lebih dari satu orang penderita dalam satu keluarga. sembilan belas kasus (86%) ada riwayat keluarga yang menderita penyakit serupa. orang tua yang masing-masing mengemban sifat (traits) talasemia dapat mewariskan penyakit ini pada anaknya. penelitian lanni memperoleh dari 31 pasangan orangtua yang diteliti, 19 pasangan (62%) adalah pasangan trait talasemia b dengan traits hbe dan 12 pasangan (38%) lainnya adalah pasangan trait talasemia b dengan trait talasemia b.6 surveilans p ada kasus talasemia tahun 2004 menunjukkan umur termuda 4 bulan dan umur tertua yang dijumpai 27 tahun. kasus yang termuda adalah penderit a yang didiagnosis talasemia pertama kali, sedang umur tertua sudah sejak berumur 12 tahun terdiagnosis sebagai talasemia. penelitian lanni menunjukkan umur termuda yang dijumpai 2 tahun, dan tertua 12 tahun. survei epidemiologi di banglades tahun 2004 menunjukan rentang umur 0,5-44 tahun pada kasus talasemia.12 tabel 5. perbandingan beberapa parameter talasemia mayor dan talasemia minor talasemia mayor minor temuan n % n % transfusi rutin ya 22 100 2 28 tidak 0 0 5 72 riwayat keluarga ya 19 86 4 57 tidak 3 14 3 43 morfologi darah tepi mendukung 19 86 4 57 tidak mendukung 3 14 3 43 tes fragilitas osmotik (oft) mendukung 15 68 5 71 tidak mendukung 7 32 2 29 splenomegali (sufner) 1-2 8 36 3 58 3-5 11 50 2 28 >5 3 14 1 14 total 22 76 7 24 talasemia mayor minor parameter maksimum minimum maksimum minimum umur (bl=bulan; th=tahun) 19 th 4 bl 27 th 8 th hemoglobin (hb; g%) 9 2,7 10 5,4 hbf 50 0,7 20 0 retikulosit (%) 4,9 0,5 2,9 0,4 splenomegali (sufner) 6 1 7 1 117 mutiara medika vol. 7 no. 2:109-120, juli 2007 tabel 6. profil elektroforesis hemoglobin pada penderita talasemia diskusi penelitian lanni tahun 1993 memperoleh 46 kasus talasemia yang dirawat di rsup dr. sardjito selama 2 tahun. tampaknya kasus talasemia terus ada sepanjang masa. bahkan dapat disebutkan bahwa talasemia adalah penyakit herediter yang terbanyak di dunia, dan terus muncul dari satu generasi ke generasi berikutnya. 11 lebih dari 5% penduduk dunia adalah carrier dan 1 dari 4 berisiko untuk mendapatkan penyakit bawaan tersebut. kelompok anak-anak dari penduduk dunia diperkirakan 60.000 penderita talasemia mayor dan 250.000 kelainan sickle cell dari 2,4 anak-anak yang lahir per 1000 kelahiran.12 penderita talasemia perempuan 18 (62%) lebih banyak dari laki-laki 11 (38%). berdasarkan pewarisan gen talasemia tidak terkait kromosom seks, sehingga dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan. domisili penderita talasemia yang dirawat di rsup dr. sardjito dari diy 14 (48%) dan luar diy 15 (52%) hampir sama. luar diy berasal dari purworejo, banjarnegara, magelang, kebumen, temanggung serta 1 orang berasal dari jawa timur (pacitan). rsup dr. sardjito sesuai dengan filosofinya dapat memberikan pelayanan medik dan rujukan medik yang tidak dapat dilakukan oleh pusat pelayanan kesehatan seperti puskesmas maupun rumah sakit di tingkat daerah. surveilans talasemia tahun 2004 ini diharapkan dapat memberikan informasi t ambahan pihak pengelola rsup dr . sardjito untuk dapat mengembangkan fasilitas kesehatan yang memiliki keunggulan dari pusat pelayanan kesehatan yang ada dibawahnya. ternyata rsup dr. sardjito dirasakan sebagai tempat rujukan di daerah jawa tengah bagian selatan bahkan sampai perbatasan jawa timur. keunggulan yang diharapkan adalah pemeriksaan terhadap talasemia hendaknya sampai pada tingkat molekuler. namun sebagai langkah awal pemeriksaan elektroforesis hb dapat disosialisasikan kepada klinisi. awal tahun 1980 who telah merekomendasi tiap negara untuk membentuk dewan kerja menyelenggarakan survei epidemiologi tentang talasemia sehingga dap at memberikan informasi genetik serta menilai terapi (survival) dan preventif dari bayi yang akan dilahirkan. untuk tujuan tersebut beberapa negara melakukan surveilans talasemia secara rutin dari waktu ke waktu, misal iran, oman dan inggris.12 malaysia telah melaksankan program kontrol talasemia di masyarakat sejak 1984, meliputi diagnosis prenatal dan analisis gen dna.pusat studi khusus tentang talasemia dibentuk tahun 1994 dengan nama pusat kebangsaan pengembangan dan penyelidikan talasemia, sampai pada tingkat molekular genetik.14 jenis talasemia mayor 22 (76%) lebih banyak dari talasemia minor 7 (24%). talasemia dapat menimbulkan masalah klinis dan komunitas. masalah klinis berhubungan dengan penegakan diagnosis dan terapi. masalah komunitas dapat berupa pelayanan transfusi dan pengendalian penyakit di masyarakat. penegakan fraksi hb minimum (mg%) maksimum (mg%) rata-rata hb 4 12.60 7.43 hb a 0 97.90 40.82 hb s/d/g 0 70 10.24 hb a2/c/e 0 86.70 28.11 hb f 0,1 60.62 20.84 hb f ayah 0 23.34 2.84 hb f ibu 0.12 4. 28 1.26 linda rosita, surveilans penderita talasemia ............ 118 diagnosis talasemia di rsup dr. sardjito memiliki keunggulan karena tersedianya pemeriksaan alkali denaturasi (hbf) dan elektroforesis hemoglobin (hba, hba 2 dan hbf). pemeriksaan elektroforesis hemoglobin sudah dimulai sejak pertengahan oktober 2004.rsup dr. sardjito dapat mengembangkan lebih lanjut untuk penegakan diagnosis talasemia sampai pada teknik molekuler yaitu analisis gen dna. analisis dna gen ß diperkenalkan sejak tahun 1981 dan sangat membantu deteksi dini talasemia sejak dalam kandungan pada trimester awal.1 2 diagnosis prenatal rutin telah dilakukan oleh lembaga eijkman bekerjasama dengan departemen kesehatan dengan memberikan konseling genetik dan prosedur diagnosis prenatal bagi masyarakat.5 analisis hb dan dna dapat mengetahui apakah seorang membawa gen penyakit talasemia. saat ini di indonesia telah dideteksi 10 mutasi gen talasemia beta yang potensial menyebabkan talasemia mayor. 5 strategi skrining talasemia dianjurkan dengan prospektif yaitu identifikasi carrier yang dilakukan pada pasangan sebelum mempunyai anak.3 pelayanan transfusi bagi penderita talasemia tahun 2004 dikerjakan pada semua talasemia mayor (100%). hal ini dapat dilihat pada tabel 2. frekuensi transfusi tergantung dari kondisi klinis atau tingkat keparahan yang bervariasi pada masing-masing penderita serta kemampuan sosial ekonomi keluarga.6 talasemia mayor dipastikan memerlukan transfusi seumur hidup.12 morfologi darah tepi (mdt) merupakan langkah awal untuk dapat membantu menegakkan diagnosis pada talasemia setelah ada kecurigaan klinis. gambaran morfologi darah tepi ditemukan anisopoikilositosis, dengan bentuk eritrosit yang bermacam-macam seperti: sel target, mikrosit, basophilic stippling, howel jolly bodies dan tear drops serta hipokromik.7 pada penelitian ini gambaran morfologi darah tepi yang mendukung bila pada kesimpulan pembacaan morfologi darah tepi menuliskan mendukung diagnosis talasemia. morfologi darah tepi yang tidak mendukung pada talasemia mayor (14%) dan p ada talasemia minor (43%). gambaran mdt tersebut karena ditemukan kesan eritrositnya berupa normositik normokromik, maka perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan retikulosit.10 pemeriksaan morfologi darah tepi sangat membantu klinisi untuk menegakkan diagnosis praktis talasemia serta sebagai pertimbangan untuk melanjutkan pemeriksaan penunjang lainnya seperti: alkali denaturasi, fragilitas osmotik, elektroforesis hb, dan analisis dna.2 tes fragilitas osmotik merup akan tes untuk menggambarkan bentuk eritrosit. prinsip tes ini mencampurkan eritrosit pasien dengan larutan nacl dalam berbagai konsentrasi. 2 grafik dari tes fragilitas osmotik p ada talasemia bergeser ke kiri, namun sering kali batas pergeserannya tidak tegas karena adanya bentuk eritrosit fragmentosit. gambaran yang bergeser ke kiri dari grafik tes fragilitas osmotik ada 15 (68%) dari 29 kasus talasemia. tes ini masih dianggap kasar, oleh karena itu tidak tepat dipakai sebagai parameter diagnosis tunggal untuk menegakkan diagnosis talasemia. pembesaran lien hampir semua terjadi p ada talasemia mayor dan talasemia minor. hal ini disebabkan terjadinya ekspansi eritropoesis sehingga terjadi eritropoesis ekstra medular yang akan mengakibatkan pembesaran lien. 10 talasemia mayor yang manefestasi klinis lebih berat, menunjukkan pembesaran lien dengan ukuran lebih besar dibanding talasemia minor. keadaan klinis talasemia mayor lebih berat dari talasemia minor, sehingga pada usia 1 atau 2 tahun sudah tampak dan segera dirujuk ke rumah sakit. sementara itu talasemia minor lebih ringan dan kadangkadang gejala klinis baru tampak setelah anak berusia lebih dari 4 tahun bahkan ada yang baru tampak setelah anak berusia lebih dari 6 tahun.10 119 mutiara medika vol. 7 no. 2:109-120, juli 2007 semakin dini terdeteksi sebagai penderita talasemia maka penanganan akan lebih baik untuk kelanjutan menjalani kehidupan serta adanya usaha-usaha preventif pada kelompok masyarakat tertentu. penelitian surveilans talasemia di inggris sudah dikerjakan rutin 4 tahun sekali dan telah dimulai sejak tahun 1940.13 kadar hemoglobin yang rendah pada penderita talasemia menjadi permasalahan mendasar yang mempengaruhi kehidupan penderita. kasus talasemia yang tidak diketahui dalam waktu lama berakibat anemia sepanjang hidup penderita. talasemia mayor dan minor keduanya menunjukkan adanya anemia. anemia disebabkan karena rantai globin b normal hanya terbentuk sedikit dan abnormal sehingga mempunyai umur yang lebih pendek dari hemoglobin normal. 7 kadar hemoglobin terendah pada talasemia mayor 2,7g% sedang pada talasemia minor 5,4g%. survei epidemiologi di banglades, menunjukkan kadar hemoglobin terendah pada talasemia mayor dan minor adalah 2,9g% dan 3,1g%. kadar hemoglobin pada penderita talasemia dap at bervariasi dan dapat dipengaruhi oleh kondisi klinis pasien serta kemampuan ekonomi keluarga yang berkaitan dengan transfusi darah.6 retikulosit p ada talasemia mayor lebih tinggi dari talasemia minor masing-masing 4,9% dan 2,9%. penelitian di banglades menunjukkan baik pada talasemia mayor dan talasemia minor nilai retikulosit lebih dari 2%. retikulosit meningkat pada talasemia diperkirakan karena sumsum tulang memberikan respon terhadap proses hemolitik 2 profil elektroforesis hemoglobin pada tabel 4 berasal dari 15 penderita dengan klinis kecurigaan talasemia yang telah memeriksakan elektroforesis hemoglobin sejak dimulainya pelayanan terhadap jenis pelayanan tersebut di rsup dr. sardjito pada akhir oktober 2005 hingga 26 april 2005. pemeriksaan elektroforesis hemoglobin di rsup dr. sardjito hanya dapat mengidentifikasi fraksi hemoglobin yaitu hb a, hb s/d/g dan hb f. penelitian yang pernah dilakukan di turki tahun 2002, terhadap penderita talasemia pada populasi asli turki menemukan ada 42 jenis varian abnormal hemoglobin. tiga belas jenis pada rantai alfa dan sisanya pada rantai beta.15 perbandingan hasil hbf pada metode elektroforesis hemoglobin lebih tinggi dari pada metode alkali denaturasi. hal ini dapat disebabkan karena metode elektroforesis hemoglobin memiliki tingkat pemisahan yang lebih baik.8 dari 15 penderita talasemia ada 2 orang tua yang dicurigai traits talasemia dengan kenaikan kadar hb f pada ayah atau ibu yang melebihi 1% serta kenaikan hb a2 baik dari ibu atau dari ayah. meningkatnya kadar hb f (a 2g2 ) karena rantai globin tidak terbentuk dengan normal.10 penelitian sebelumnya membedakan talasemia dan non talasemia dimulai dari ditemukannya mikrositosis kemudian dikembangkan dengan pemeriksaan kadar hb, jumlah eritrosit, mcv serta elektroforesis hb. protokol untuk diagnosis talasemia minor pernah dilaporkan weatherall tahun 1990, yaitu melalui pemeriksaan hb elektroforesis, hb a 2 , dan hb h (inclusion bodies).16 kesimpulan 1. penderita talasemia di rsup dr. sardjito sebagian besar adalah talasemia mayor (76%) yang memerlukan transfusi darah rutin 2. rsup dr. sardjito sebagai rujukan penderita talasemia wilayah yogyakarta dan jawa tengah bagian selatan 3. pemeriksaan morfologi darah tepi dan tes fragilitas osmotik (oft) dapat dipakai sebagai skrining talasemia setelah adanya kecurigaan klinis talasemia 4. pemeriksaan elektroforesis hb perlu disosialisasikan untuk menegakkan diagnosis talasemia dan kecurigaan terhadap traits talasemia saran 1. perlu penelitian lebih lanjut dengan periode rutin tahunan untuk surveilans talasemia di rs. dr. sardjito secara terus menerus. linda rosita, surveilans penderita talasemia ............ 120 2. perlu memperbanyak parameter yang dianalisis pada kasus kecurigaan klinis talasemia, sehingga diharapkan bisa mendapatkan gambaran seutuhnya dari penderita talasemia yang berguna dalam pengelolaan penderita talasemia. 3. banyaknya parameter hematologi yang dianalisis dalam waktu periodik beberapa tahun dapat dikembangkan untuk menentukan indeks talasemia. daftar pustaka 1. sunarto. 1993. talasemia sebagai masalah kesehatan individual dan komonitas. semiloka thalassemia, pau, yogyakarta. 2. bell, a., rodak, bf. hematology, clinical principles and application . w.b. saunders company, philadelphia, pensylvania, 2002: 339-358. 3. wong h. b., 1983. thalassemia as community health in souteast asia. naskah lengkap konggres nasional phtdi, yogyakart a 24 – 26 september 1983. 4. marzuki , s., 2002. harapan baru bagi penderita talasemia, new horizon in thalassemia from gene to the community, phtdi, jakarta. 5. notopuro h., 2004. talasemia dan permasalahannya dari pendekatan biologi molekuler ke aplikasi klinik, pidato pengukuhan guru besar universitas airlangga, surabaya. 6. lanni, f., 1992 . deteksi mut asi gena penderita talasemia ß dengan teknik amplifikasi dna, tesis, pasca sarjana ugm, yogyakarta. 7. sunarto. 1993. diagnostik talasemia dan kepentingannya. majalah cermin dunia kedokteran no 86, jakarta. 8. kjeldsberg, carl r md. practical diagnosis of hematologic disorders . second edition chicago illinois, ascp press, 1995: 143-146. 9. stiene–martin ea., lotspeich–steininger ca., koepke ja. clinical hematology principles, procedures, correlations . second edition philadelphia new york: lippincott :1998; 114-115. 10. hillman, r., ault, ak. hematology in clinical practice: a guide to diagnosis and management, international edition mcgraw-hill, inc.1995: 27-30. 11. howard m, r. haematology an illustrated colour text . churchill livingstone. 1997. 12. seraj, a.u.m et al. an epidemiological study of thalassemia, its quick diagnosis an influence of malaria in chitt agong area of bangladesh . pakistan journal of biological sciences; 2004. 7 (11): 1953-1957. 13. modell b et al. a national register for surveillance of inherited disorders: b thalassemia in the united kingdom . bulletin of the who; 2001. 79: 10061013. 14. george e. diagnosis pranatal talasemia di malaysia . isbn 967-942298-4, from http:// www.penerbit.ukm.my. 15. alt ay c. abnormal hemoglobin in turkey . turk journal haematology;2002; 19(1): 63-74. 16. lafferty j. d et al. the evaluation of variuos mathematical rbc indices of their efficacy in discriminations between thalasemic and non thalasemic. a.j.c.p august 1996 ; 201-205. muhammad a, evaluasi pengembangan model ............ 76 evaluasi pengembangan model praktik keperawatan profesional (mpkp) di rsud djojonegoro, temanggung evaluation of professional nursing practice model development in djojonegoro district hospital, temanggung muhammad afandi bagian manajemen keperawatan program studi ilmu keperawatan fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta abstract professional nursing practice model is a system of structure, process, and values that enable nurses manage nursing care to patients including the environment which support the nursing care. in order to improve the quality of nursing services, the management board of djojonegoro district hospital in temanggung district in cooperation with nursing study program, faculty of medicine, muhammadiyah university of yogyakarta, developed professional nursing practice model (pnpm) based on decree letter of head of management board of djojonegoro district hospital no. 800/019/2006 on establishment of the committee for development of pnpm. the purpose of this research was to describe the implementation of pnpm in dahlia ward of djojonegoro district hospital. it was a cross sectional study using descriptive analysis. research subjects were recruited using a total sampling technique i.e. all nurses in dahlia ward of djojonegoro district hospital. data collection was done using a questionnaire consisting of twelve components of pnpm. the results showed that almost all components had scores above 80%, except for post conference component i.e. 70.8 %. in conclusion, the professional nursing practice model was well implemented in dahlia ward of djojonegoro district hospital. key word: professional nursing practice model abstrak model praktik keperawatan profesional merupakan suatu sistem struktur, proses dan nilai-nilai yang memungkinkan perawat profesional mengatur pemberian asuhan keperawatan termasuk lingkungan untuk menopang pemberian asuhan tersebut. dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan, badan pengelola rumah sakit umum daerah (bp rsud) djojonegoro kabupaten temanggung bekerja sama dengan program studi ilmu keperawatan fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta (psik fk umy) mengembangkan model praktik keperawatan profesional (mpkp) berdasarkan surat keputusan kepala bp rsud djojonegoro kabupaten temanggung nomor 800/019/2006 tentang pembentukan panitia pengembangan mpkp. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pelaksanaan mpkp di ruang dahlia rsud djojonegooro temanggung. penelitian ini adalah penelitian cross sectional dengan analisis deskriptif. subyek penelitian diambil dengan menggunakan total sampling, yaitu seluruh perawat di ruang dahlia rsud djojonegoro. data didapatkan dengan menggunakan kuesioner yang terdiri atas dua belas komponen mpkp. 77 mutiara medika vol. 7 no. 2:76-82, juli 2007 hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan hampir seluruh komponen mpkp di ruang dahlia mencapai nilai di atas 80 %, kecuali pada komponen pelaksanaan post conference yaitu 70,8 %. kesimpulannya pelaksanaan seluruh komponen mpkp di ruang dahlia rsud djojonegoro temanggung telah berjalan dengan baik. kata kunci: model praktik keperawatan profesional pendahuluan profesionalisme keperawatan pada hakekatnya menekankan pada peningkatan mutu pelayanan keperawatan sebagai suatu kewajiban moral profesi untuk melindungi masyarakat terhadap praktik yang tidak profesional. pelayanan keperawatan yang profesional merupakan praktik keperawatan yang dilandasi oleh nilai-nilai profesional, yaitu nilai intelektual, komitmen moral terhadap diri sendiri, tanggung jawab pada profesi dan masyarakat, otonomi, pengendalian tanggung jawab dan tanggung gugat2.6 . sehingga dalam pemberian asuhan keperawatan yang profesional diperlukan sebuah pendekatan manajemen yang memungkinkan diterapkannya metode penugasan yang dapat mendukung penerapan keperawatan yang profesional di rumah sakit. model praktik keperawatan profesional (mpkp) merupakan suatu system ( struktur, proses dan nilai-nilai) yang memungkinkan perawat profesional mengatur pemberian asuhan keperawatan termasuk lingkungan untuk menopang pemberian asuhan tersebut. 1 model praktik keperawatan profesional telah dilaksanakan di beberapa negara, termasuk rumah sakit di indonesia sebagai suatu upaya rumah sakit untuk meningkatkan mutu asuhan keperawatan melalui beberapa kegiatan yang menunjang kegiatan keperawatan profesional dan sistematik 5. dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan (keperawatan) badan pengelola rumah sakit umum daerah (bp rsud) djojonegoro kabup aten temanggung bekerja sama dengan program studi ilmu keperawatan fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta (psik fk umy) mengembangkan model praktik keperawatan profesional (mpkp) berdasarkan surat keputusan kepala bp rsud djojonegoro kabupaten temanggung nomor : 800 / 019 / 2006 tentang pembentukan panitia pengembangan model praktik keperawatan profesional (mpkp). sebagai tindak lanjut dari surat keputusan tersebut maka diadakan wokshop model praktik keperawatan profesional (mpkp) pada t anggal 12 april 2006. dari data menunjukkan bahwa rata-rata pelaksanaan manajemen keperawatan di bp rsud djojonegoro temanggung adalah sebagai berikut: ruang flamboyan 66.15%, ruang cempaka 66.92%, ruang dahlia 61.50%, ruang seruni 72.60%. dari data ini menunjukkan bahwa pemberian pelayanan asuhan keperawatan belum berjalan secara optimal. pemberian asuhan keperawatan secara profesional diharapkan dapat meningkatkan kepuasan klien dan kepuasan perawat yang tinggi secara kuantitatif dan secara kualitatif staf keperawatan lebih memberi perhatian terhadap pekerjaannya. metode mpkp yang digunakan di bp rsud temanggung menggunakan pendekatan modifikasi keperawatan primer, yaitu menggunakan 5 (lima) subsistem yang terdiri dari : nilainilai profesional yang merupakan inti dari mpkp, hubungan antar profesional, sistem pemberian asuhan keperawatan, pendekatan manajemen terutama dalam perubahan pengambilan keputusan dan sistem kompensasi dan penghargaan. nilai-nilai profesional digariskan dalam kode etik keperawatan yaitu hubungan perawat – klien, hubungan perawat dan praktek, hubungan perawat dan masyarakat, muhammad a, evaluasi pengembangan model ............ 78 hubungan perawat dan teman sejawat, hubungan perawat dan profesi.5 dalam model praktik keperawatan profesional digunakan metode modifikasi keperawatan primer, sehingga terdapat satu orang perawat profesional yang disebut perawat primer (pp). proses pemberian asuhan keperawatan, hubungan perawat klien dilakukan secara berkesinambungan sehingga memungkinkan perawat primer bertanggung jawab dan bertanggung gugat atas asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien dibawah tanggung jawabnya. dengan demikian diharapkan hubngan perawat-klien didasarkan pada nilai-nilai profesional yang merupakan inti suatu pelayanan profesional, antara lain penghargaan otonomi klien, melakukan yang baik bagi klien.1,5 model praktik keperawatan profesional (mpkp) adalah suatu sistem (struktur, proses dan nilai-nilai profesional), yang memfasilitasi perawat profesional, mengatur pemberian asuhan keperawatan, termasuk lingkungan tempat asuhan tersebut diberikan. aspek struktur ditetapkan jumlah tenaga keperawatan berdasarkan jumlah klien sesuai dengan derajat ketergantungan klien. penetapan jumlah perawat sesuai kebutuhan klien menjadi hal penting, karena bila jumlah perawat tidak sesuai dengan jumlah tenaga yang dibutuhkan, tidak ada waktu bagi perawat untuk melakukan tindakan keperawatan.1,5 selain jumlah, perlu ditetapkan pula jenis tenaga yaitu pp dan pa, sehingga peran dan fungsi masing-masing tenaga sesuai dengan kemampuan dan terdapat tanggung jawab yang jelas. pada aspek strukltur ditetapkan juga standar renpra, artinya pada setiap ruang rawat sudah tersedia standar renpra berdasarkan diagnosa medik dan atau berdasarkan sistem tubuh.1,5 pada aspek proses ditetapkan penggunaan metode modifikasi keperawatan primer (kombinasi metode tim dan keperawatan primer) lima sub sistem dalam pengembangan mpkp adalah sebagai berikut: 1. nilai-nilai profesional sebagai inti model pada model ini pp dan pa membangun kontrak dengan klien/ keluarga, menjadi partner dalam memberikan asuhan keperawatan. pada pelaksanaan dan evaluasi renpra, pp mempunyai otonomi dan akuntabilitas untuk mempertanggungjawabkan asuhan yang diberikan termasuk tindakan yang dilakukan oleh pa. hal ini berarti pp mempunyai tanggung jawab membina performa pa agar melakukan tindakan berdasarkan nilai-nilai profesional 3.5. nilai-nilai profesional digariskan dalam kode etik keperawatan yaitu hubungan perawat – klien, hubungan perawat dan praktek, hubungan perawat dan masyarakat, hubungan perawat dan teman sejawat, hubungan perawat dan profesi5 2. pendekatan manajemen pada model ini diberlakukan manajemen sdm, yaitu ada garis koordinasi yang jelas ant ara pp dan pa. performa pa dalam satu tim menjadi tanggung jawab pp. dengan demikian, pp adalah seorang manajer asuhan keperawatan. sebagai seorang manajer, pp harus dibekali dengan kemampuan manajemen dan kepemimpinan sehingga pp dapat menjadi manajer yang efektif dan pemimpin yang efektif. 3. metode pemberian asuhan keperawatan metode pemberian asuhan keperawatan yang digunakan adalah modifikasi keperawatan primer ehingga keputusan tentang renpra ditetapkan oleh pp, pp akan mengevaluasi perkembangan klien setiap hari dan membuat modifikasi pada renpra sesuai kebutuhan klien. 4. hubungan profesional hubungan antar profesional dilakukan oleh pp. pp yang paling mengetahui perkembangan kondisi klien sejak awal masuk. sehingga mampu 79 mutiara medika vol. 7 no. 2:76-82, juli 2007 memberi informasi tentang kondisi klien kepada profesional lain khususnya dokter. pemberian informasi yang akurat akan membantu dalam penetapan rencana tindakan medik. 5. sistem kompensasi dan penghargaan5 pp dan timnya berhak atas kompensasi serta penghargaan untuk asuhan keperawatan yang dilakukan sebagai asuhan yang profesional. kompensasi dan penghargaan yang diberikan kepada perawat bukan bagian dari asuhan medis atau kompensasi dan penghargaan berdasarkan prosedur.5 penelitian ini fokus pada empat kriteria subsistem pengembangan mpkp tersebut untuk memudahkan dalam melakukan pencarian data maupun pengolahan data yang akan dilakukan. pemilihan empat kriteria tersebut bukan berarti meminggirkan kriteria yang lain. semua ini demi fokus serta kedalaman dari penelitian ini semata, karena penelitian ini melihat empat kriteria tersebut merupakan kriteria yang signifikan mempengaruhi pengembangan model praktek keperawatan profesional bahan dan cara penelitian ini dilakukan di ruang dahlia bp rsud djojonegoro temanggung, penelitian ini merupakan penelitian evaluations study secara cross sectional. sampel dilakukan dengan cara total sampling. subjek penelitian sebanyak 12 perawat yang bekerja diruang dahlia rsud djojonegoro temanggung. penelitian dilaksanakan sejak juli-agustus 20074. dalam penelitian ini menggunakan kuesioner, dengan jenis kuesioner yang digunakan adalah bentuk closed ended dichotomy question dengan memberikan tanda ( “ ) pada kolom yang telah disediakan4. prosedur penelitian ini terdiri atas pemberian kuesioner kepada responden. kemudian melakukan tabulasi data dengan cara melakukan scoring dan mengubah jenis data bila diperlukan. dari data tersebut kemudian dilakukan dengan analisa deskriptif menggunakan tabel distribusi yang dikonfimasikan dalam bentuk prosentasi dan narasi. hasil penelitian berdasarkan hasil penelitian, diperoleh data jenis kelamin tenaga perawat di ruang dahlia . data secara lengkap disajikan pada tabel 1. tabel 1: distribusi jenis kelamin tenaga keperawatan di ruang dahlia bp rsud djojonegoro temanggung ruang dahlia jenis kelamin n % laki-laki 2 16.7% perempuan 10 83.3% total 12 100% tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah tenaga keperawatan di ruang dahlia mayoritas adalah perempuan yaitu 83,3 %. muhammad a, evaluasi pengembangan model ............ 80 tabel 2: distribusi pendidikan terakhir tenaga keperawatan ruang dahlia bp rsud djojonegoro temanggung ruang dahlia pendidikan n % diii kep./akper 11 91.7% s1 keperawat an 1 8.3% total 12 100% tabel diatas menunjukkan bahwa pendidikan akhir tenaga keperawatan di ruang dahlia masih di dominasi oleh lulusan d iii keperawatan atau akademi keperawatan, yaitu 91,7 %. sedangkan tenaga keperawatan yang sudah mencapai tingkat pendidikan sarjana baru 1 orang yaitu 8,3 %. sedangkan lulusan spk sudah tidak ada di ruang dahlia. tabel 3: distribusi evaluasi pelaksanaan pengembangan model praktek keperawatan profesional (mpkp) di ruang dahlia bp rsud djojonegoro temanggung rata-rata no komponen evaluasi prosentase 1. evaluasi tugas kepala ruang 88.9% 2. evaluasi tugas primary nurse (pn) 92.1% 3. evaluasi tugas assosiet nurse (an) 85.9% 4. evaluasi hubungan profesional staf keperawatan dengan pasien / keluarga di ruang dahlia rs djojonegoro temanggung 93.3% 5. evaluasi hubungan profesional / kemitraan antara staf keperawatan dengan dokter/tim kesehatan lain di ruang dahlia rs djojonegoro temanggung 90.5% 6. evaluasi serah terima tugas jaga (operan) di ruang dahlia rs djojonegoro temanggung 96.9% 7. evaluasi pelaksanaan pre conference di ruang dahlia rs djojonegoro temanggung 80.6% 8. evaluasi pelaksanaan post conference di ruang dahlia rs djojonegoro temanggung 70.8% 9. evaluasi kepuasan karu dalam melakukan mpkp di ruang dahlia rs djojonegoro temanggung 91.7% 10. evaluasi kepuasan primery nursing (pn) dalam melaksanakan mpkp di ruang dahlia rs djojonegoro temanggung 90% 11. evaluasi kepuasan associate nursing (an) dalam melaksanakan mpkp di ruang dahlia rs djojonegoro temanggung 88.9% 12. evaluasi pelaksanaan morning report di ruang dahlia rs djojonegoro temanggung 100% 81 mutiara medika vol. 7 no. 2:76-82, juli 2007 tabel di atas menampilkan hasil evaluasi pelaksanaan pengembangan model praktik keperawatan profesional. dari 12 item yang di evaluasi, semuanya masuk ke dalam kategori baik. hampir seluruh item menunjukkan hasil di atas 80 %. hanya satu item saja, yaitu pelaksanaan post conference yang memiliki nilai di bawah 80 % yaitu 70,8 %. namun angka tersebut sudah masuk ke dalam kategori baik. diskusi penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil pengembangan mpkp sebagai evaluasi. evaluasi pelaksanaan pengembangan model praktek keperawatan profesional (mpkp) di ruang dahlia bp rsud djojonegoro temanggung adalah sebagai berikut: 1. evaluasi tugas kepala ruang, primary nurse (pn), dan assosiet nurse (an) dalam penelitian ini diperoleh hasil evaluasi tugas kepala ruang di ruang mpkp menunjukkan hasil 88.9%, tugas primary nurse 92.1% dan tugas assosiet nurse 85.9%. tugas seorang kepala ruang terdiri dari: mengatur pembagian tugas jaga, mengatur dan mengendalikan seluruh kegiatan administratif diruangan, memantau dan mengevaluasi penampilan kerja, dan merencanakan dan melaksanakan evaluasi mutu asuhan keperawatan5.peran seorang primary nurse adalah membuat perencanaan dan mengevaluasi askep, mengadakan tindakan kolaborasi, memimpin timbang terima, mendelegasikan tugas dan bertanggung jawab pada pasien 3. sedangkan tugas dari assosiet nurse adalah menjalankan intervensi yang telah ditetapkan oleh primary nurse3. dalam hal ini menggambarkan bahwa semua tugas tersebut telah dilakukan dengan baik sesuai tugas dan perannya. sehingga dapat disimpulkan bahwa seorang kepala ruang adalah bertugas administrasi manajerial sedangkan seorang primary nurse bertugas sebagai pelayanan pasien. 2. evaluasi hubungan profesional staf keperawatan dengan pasien / keluarga dan tim kesehatan lain staf keperawatan dalam menjalankan hubungan profesional dengan pasien / keluarga menunjukkan hasil 93.3%, sedangkan hubungan dengan tim kesehatan lain menunjukkan 90.5%. hubungan profesional ini dilakukan oleh primary nurse, karena seorang primary nurse yang paling mengetahui tentang perkembangan kondisi klien sejak awal masuk sehingga mampu memberi data yang adekuat. pemberian informasi yang akurat akan membantu dalam penetapan rencana medik5. sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan profesional ini telah dilakukan dengan baik. 3. evaluasi serah terima tugas jaga (operan), conference (pre&post) hasil penelitian menunjukkan bahwa serah terima tugas jaga (operan jaga) diperoleh hasil 96.9%, sedangkan preconference diperoleh hasil 80.6%, dan post-conference diperoleh hasil 70.8%. seluruh item yang di evaluasi menunjukkan angka di atas 80 %, kecuali item pelaksanaan post conference, yaitu mencapai nilai yang paling rendah dari seluruh item yang ada. hal ini dikarenakan tenaga keperawatan ruang dahlia belum terbiasa. menurut kepala ruang dahlia belum terbentuk pola dan kebiasaan melakukan post conference, dan masih banyak anggapan post conference mengakibatkan mereka harus rela telat pulang kerja. operan jaga meliputi teknik operan, sarana operan, materi operan sekaligus pendokumentasian hasil operan3. conference merupakan pertemuan tim yang dilakukan setiap hari dengan tujuan untuk membahas masalah klien, menetapkan klien yang menjadi tanggungjawab assosiet nurse, membahas rencana tindakan keperawatan, mengidentifikasi tugas assosiet nurse, diskusi dan mengarahkan assosiet nurse5. muhammad a, evaluasi pengembangan model ............ 82 4. evaluasi kepuasan kepala ruang (karu), primery nursing (pn), dan associate nursing (an) dalam melakukan mpkp dalam penelitian ini untuk kepuasan kepala ruang dalam melakukan pengembangan model praktek keperawatan profesional diperoleh hasil 91.7%, sedangkan untuk kepuasan primary nurse diperoleh hasil 90% , dan assosiet nurse diperoleh hasil 88.9%. apabila para pemberi pelayanan sudah mendapatkan kepuasan dalam menjalankan model praktek keperawatan profesional maka akan berdampak pada berbagai aspek terutama profesionalisme dalam memberikan asuhan keperawatan terhadap pasien/keluarga5. 5. evaluasi pelaksanaan morning report pelaksanaan morning report dalam penelitian ini menunjukkan hasil yang diperoleh adalah 100%. hal ini berarti morning report sudah menjadi rutinitas dalam menjalankan model praktek keperawatan profesional. morning report merupakan kegiatan yang menjadi tanggung jawab dari seorang kepala ruang, dimana bertujuan untuk mendiskusikan dan memecahkan masalah, untuk memberi masukan / usulan untuk perbaikan, untuk evaluasi3. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa: 1. secara umum pelaksanaan mpkp di ruang dahlia rsu djojonegoro temanggung berjalan dengan baik. 2. pelaksanaan tugas kepala ruang berjalan dengan baik yaitu 88,9 %. 3. pelaksanaan tugas primary nurse di ruang dahlia berjalan dengan sangat baik yaitu 92,1 %. 4. pelaksanaan tugas associate nurse di ruang dahlia berjalan juga sangat baik yaitu 85,9 % 5. hubungan profesional antara tenaga keperawatan dengan pasien dan keluarga mencapai 93,3 % 6. hubungan kemitraan antara perawat dengan dokter dan tim kesehatan lain berjalan dengan baik yaitu 90,5 % 7. pelaksanaan serah terima operan jaga dilaksanakan oleh perawat ruang dahlia dengan sangat baik sekali yaitu mencapai 96,9 %. 8. pelaksanaan preconference di ruang dahlia mencapai 80,6 % 9. pelaksanaan post conference di ruang dahlia mendapatkan nilai terendah diantara komponen yang lain yaitu hanya mencapai 70,8 % 10. dalam menjalankan tugas nya di ruang dahlia sebagai ruang mpkp, kepala ruang mencapai nilai kepuasan hingga 91,7%,sedangkan primery nursing mencapai nilai kepuasan 90 % 11. para associate nursing mencapai kepuasan 88,9 % 12. pelaksanaan morning report di ruang dahlia tidak pernah tidak dilakukan. daftar pustaka 1. amiyati, l (2005). penerapan mpkp di rscm jakarta, jakarta: makalah tidak dipublikasikan 2. marquis (2000). function nursing management and leadership. philadelpia 3. nursalam (2004). manajemen keperawatan..jakarta: salemba medika 4. nursalam (2001). metodologi dan konsep penelitian keperawatan . jakarta: salemba medika 5. sitorus, r (2005). implementasi mpkp di rumah sakit. jakarta: egc swanburg, r. (2000), nursing management and leadership.jons&barlett.inc. 51 mutiara medika vol. 17 no. 1: 51-61, januari 2017 penatalaksanaan kausatif untuk memperbaiki fungsi ginjal penderita myeloma multiple causative management to improve kidney function on multiple myeloma sufferer prasetio kirmawanto program studi pendidikan profesi dokter, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta email:kirmawanto@umy.ac.id abstrak gangguan fungsi ginjal adalah salah satu komplikasi pada myeloma multiple (mm), suatu keganasan sel plasma. penurunan laju filtrasi glomerulus/glomerulus filtration rate (gfr) terjadi hingga 50% pasien baru terdiagnosa mm dan 9% memerlukan dialysis. gagal ginjal penderita mm disebut ginjal myeloma dengan penyebab kompleks, akibat langsung maupun tidak langsung dari mm serta dari pengobatan keluhan mm. laporan ini memaparkan pengelolaan kasus mm dengan faktor penyulit gangguan fungsi ginjal. lakilaki 48 tahun dengan keluhan utama nyeri punggung sejak satu bulan, didiagnosa mieloma multipel disertai komplikasi ginjal mieloma. kriteria durie dan salmon tingkat penyakit stadium iiib. penatalaksanaan kausatif dengan regimen melphalan dan prednison, khemoterapi konvensional untuk mm. regimen kemoterapi kombinasi tidak dipilih karena pertimbangan gangguan fungsi ginjal. penatalaksanaan penurunan fungsi ginjal dengan memperbaiki status hidrasi, menghentikan pemberian obat nefrotoksik dan pemberian diet cukup protein. terapi pendukung pemberian bonefos untuk memperlambat proses osteolitik. anemia diawal perawatan (hb: 6 g/dl) diperbaiki dengan transfusi packet red cell. pasien dirawat 21 hari, menjalani satu kali khemoterapi terjadi perbaikan fungsi ginjal, diawal perawatan gfr: 18.45 ml/min menjadi 26.72 ml/ min diakhir perawatan. pasien direncanakan khemoterapi 6 seri interval 28 hari. penatalaksanaan kausatif kasus ini memberikan hasil yang baik, keluhan nyeri dirasakan sudah sangat berkurang dan fungsi ginjal relatif membaik. kata kunci: mieloma multipel, ginjal mieloma, durie-salmon, glomerulus filtration rate abstract impaired kidney function is common complication in multiple myeloma (mm), a plasma cell malignancy. glomerulus filtration rate (gfr) reduction in patients diagnosed mm occurs 50% and 9% requiring dialysis. kidney failure in patients with mm called myeloma kidney, with complex cause. it’s may result directly or indirectly from mm and treatment of mm. this report describes management of mm with complications of impaired renal function. a man 48y suffering from backpain for a month with diagnosis: multiple myeloma with renal complications of myeloma. stage iiib according durie and salmon criteria. causative management was done with melphalan and prednisone regimen, conventional chemotherapy for mm. combination chemotherapy regimens were not selected considering renal function impairment. management of decreasing kidney function by improving hydration status; discontinue nephrotoxic drugs and adequate protein diet. bonefos therapy to slow the osteolytic process. anemia at the beginning of treatment (hb: 6 g/ dl) improved by packet red cell transfusion. renal function showed improvement after 21 days treatment and undergoing one chemotherapy. gfr pre-treatment 18:45 ml/min and post-treatment 26.72 ml/min. patient was planned 6 series chemotherapy with 28 days interval. causative management gives good results, where the perceived pain complaints were greatly reduced and kidney function is relatively improved. key words: multiple myeloma, myeloma kidney, durie-salmon, glomerulus filtration rate laporan kasus mutiara medika vol. 17 no. 1: 51-61, januari 2017 52 prasetio kirmawanto, penatalaksanaan kausatif untuk memperbaiki fungsi ginjal pendahuluan mieloma multipel (mm) adalah salah satu keganasan sel plasma, proliferasi sel plasma dalam sumsum tulang tidak terkontrol. penyakit ini ditandai dengan adanya lesi litik tulang, penimbunan sel plasma dalam sumsum tulang dan adanya protein monoklonal dalam serum dan urin.1 manifestasi klinis mm heterogen, bisa karena adanya massa tumor, penurunan sekresi immunoglobulin, gangguan hematopoesis, penyakit osteolitik, hiperkalsemia dan disfungsi ginjal.2 setiap tahunnya sekitar 16,570 kasus baru multipel  terjadi  di amerika  serikat, dengan kematian 11,310 kasus. data insidens seer [surveillance, epidemiologi and end result] dari tahun 1992 sampai 1998, menunjukkan 4.5 per 100,000 per tahun dan pada ras kulit hitam 9.3 per 100,000 per tahun. rasio laki-laki dan wanita adalah 1.3 sampai 1. median umur saat terdiagnosis mieloma adalah 71 tahun. multiple mieloma merupakan 15% dari keganasan hematologi dan 2% dari kanker di amerika serikat. insidensinya meningkat sesuai umur, terutama setelah umur 40 tahun dan tertinggi pada laki-laki. multiple mieloma sekitar 1% dari seluruh keganasan dan 10% dari seluruh keganasan hematologi pada ras kulit putih dan 20% pada ras amerika-afrika. penurunan laju filtrasi glomerulus/glomerulus filtration rate (gfr) terjadi hingga 50% dari pasien yang baru terdiagnosa mm dan 9% diantaranya memerlukan dialisis karena gagal ginjal/renal failure (rf). pasien mm dengan kreatinin serum >2 mg/dl mempunyai prognosis yang lebih buruk, rf pada penderita mm, kondisi ini disebut ginjal mieloma/myeloma kidney.3 penderita mm dengan rf sering tidak diterapi dengan protokol khemoterapi yang agresif atau dosis tinggi karena tingkat toksisitasnya yang sulit diduga. perkembangan regimen polikhemoterapi untuk mm telah meningkatkan harapan hidup jika dibanding khemoterapi konvensional yang hanya 2-3 tahun.4 khemoterapi dosis tinggi (hdt) dan didukung autolog sumsung tulang atau transplantasi sel induk darah bahkan bisa menghasilkan remisi komplit/complete remission (cr). tujuan penulisan laporan kasus ini secara umum adalah memaparkan pengelolaan kasus mm dengan faktor penyulit gangguan fungsi ginjal, dan khususnya pada aspek pengelolaan gangguan fungsi ginjal pada penderita mm. laporan kasus anamnesa. pasien laki-laki dengan inisial m, usia 48 tahun, suku jawa, pendidikan sma datang ke unit gawat darurat rsup dr. sardjito tanggal 13 april 2011 dengan keluhan utama nyeri punggung, dirasakan sejak 1 bulan yang lalu, nyeri dirasakan bila bergerak, pasien sudah berobat ke dokter spesialis saraf, karena keluhan tidak berkurang seminggu kemudian kontrol kembali dan dilakukan pemeriksaan foto rongent dada dan tulang belakang, didapatkan hasil berupa gambaran metastase pada paru dan fraktur kompresi vertebrae thorakal 5, 7 dan 11. karena curiga adanya keganasan kemudian dirujuk ke rs sardjito dan mendapat terapi meloxicam 1x15mg dan ranitidin 2x1 tablet. keluhan saat ini nyeri semakin bertambah bahkan sudah tidak bisa bangun dari tempat tidur, karena nyerinya pasien sering menangis, nyeri ini bernilai 8-9 pada visual analog scale (vas). pasien 53 mutiara medika vol. 17 no. 1: 51-61, januari 2017 juga mengeluh lemas, nafsu makan menurun, terjadi penurunan berat badan sekitar 5 kg dalam 1 bulan. bab normal dan bak kira-kira 4 gelas per hari tetapi lancar dan harus dibantu ke kamar mandi. pasien tidak merasa ada keluhan lain selain keluhan di atas. pasien adalah seorang perokok, mulai merokok sejak umur 12 tahun, dalam sehari menghabiskan 1 bungkus, sudah berhenti merokok sejak 2 bulan yang lalu. menyangkal punya riwayat sakit ginjal, hipertensi atau kencing manis. bekerja sebagai wiraswastawan, jarang berhubungan dengan cat sintetik dan industri pewarnaan. menyangkal riwayat rontgen, riwayat trauma punggung, mengangkat beban berlebihan, pengobatan tbc, kontak dengan zat kimia pestisida jangka lama, operasi dan alergi. pada anamnesis sistem didapatkan keadaan umum lemah, kulit gatal (-), ruam (-) kepala pusing (+), pandangan kabur (-), gangguan pendengaran (), pilek (-), mulut sariawan(-), gusi bengkak (-), sakit dada (+), jantung berdebar-debar (-), sesak napas (-), batuk (-), nyeri perut (-), mual (+), muntah (-), bak berkurang (+), bab dalam batas normal, sakit otot dan persendian (+), nyeri punggung (+), sulit bila berjalan, jika duduk terasa nyeri (+), kejang (-), kelenjar gondok membesar (-), kecemasan (-). pemeriksaan fisik. keadaan umum tampak lemah, gizi cukup dan compos mentis. tanda vital, tekanan darah 130/80 mmhg, denyut nadi 88x/menit, kecepatan nafas 24 x/menit, suhu axilla 36oc. tinggi badan 165 cm, berat badan 55 kg (rbw 84.6%) dengan indeks karnofsky 50%. konjungtiva tampak anemis sklera tidak ikterik, tekanan vena jugular 5+2 cmh2o tidak teraba pembesaran limfonodi leher. dada terlihat simetris dan tidak ada ketinggalan gerak dan retraksi. ictus cordis tak tampak, teraba di spatium intercosta v, 2 cm linea mid clavicula sinistra, kesan konfigurasi jantung tidak membesar, suara jantung 1 dan 2 reguler dan tidak terdengar bising. stem fremitus kanan dan kiri sama, sonor dan terdengar suara vesikuler normal tanpa ada suara tambahan. regio perut terlihat datar, bising usus normal (12x/menit), timpani, tidak ada nyeri tekan dan pembesaran organ hepar dan lien. punggung tidak ada deformitas, ditemukan nyeri gerak dan tekan. pada anggota gerak tidak ditemukan edema, nyeri dan kelemahan. pemeriksaan penunjang. hasil laboratorium darah didapatkan anemia normositik normokromik, peningkatan kadar bun dan kreatinin. perkembangan hasil pemeriksaan laboratorium dapat dilihat pada tabel 1. hasil pemeriksaan apus darah tepi ditemukan gambaran anemia hemolitik disertai proses inflamasi, lekosit kesan granulosit imatur (stab+), kesimpulan hasil penelitian sumsum tulang (bmp): sel plasma 19%, protein bance jones (+), elektroforesis protein: albumin 51.3%, alpha 1 4.5%, alpha 2 13.7%, beta 1 12.1%, gamma 18.4%. hasil pemeriksaan ekg irama sinus denyut jantung 98x/menit. hasil urinalisa ditemukan protein 1+ sedangkan pemeriksaan yang lain dalam batas normal. pasien membawa hasil pemeriksaan radiologis rongent vertebrathoracal yang dilakukan tanggal 9 april 2011, didapatkan gambaran kompresi corpus vertebrae lumbales (vl) 7 dan 11 curiga metastase tulang. spondyloarthrosis vertebrae thoracal (vth) 4-5 dan 5-6. rongent thorax multipel lesi noduler kedua paru sangat mungkin metastase, efusi pleura kiri sedangkan besar jantung normal. hasil pemeriksaan radiologis ulang menunjukkan gambaran yang sama, dari bone survey ditemukan multiple lesi litik bentuk bulat batas tegas di ossa cranii, humerus bilateral, radius et ulna bilateral, 54 prasetio kirmawanto, penatalaksanaan kausatif untuk memperbaiki fungsi ginjal dengan gambaran axial compression vth 5, 7, 11 dan 12 sangat mungkin merupakan mieloma multipel. diagnosis klinis. problem yang ditemukan pada saat pasien mulai dirawat adalah nyeri punggung dan tulang dada, penurunan berat badan, lemas, anemia normositik normokromik, peningkatan bun dan kreatinin, hiperurisemia dan gambaran fraktur patologis dan lesi metastatik pada vertebra. dirawat dengan suatu kesatuan klinis sebagai gambaran khas seorang penderita mieloma multipel dengan gangguan fungsi ginjal. pengelolaan dan perkembangan. problem utama yang membuat pasien datang ke rumah sakit adalah nyeri punggung dan tulang dada, keluhan ini muncul karena adanya fraktur kompresi vth 5, 7, 11 dan 12 serta lesi litik tulang. menurut nps termasuk skala 8-9, secara klinis termasuk nyeri yang berat, pengelolaannya dilakukan rawat bersama dengan bagian neurologi, mendapat terapi ketese 1 ampul bila perlu, mst 3x1 tablet, ultracet 3x1 tablet, actonel 1 tablet tiap minggu dan injeksi ranitidin 1 ampul tiap 12 jam. evaluasi hari ke tiga didapatkan nps 45. setelah hari perawatan ke 5 keluhan nyeri sudah sangat berkurang terapi diganti dengan injeksi tramadol bila perlu. keluhan-keluhan penurunan berat badan dan lemas merupakan tanda subyektif penderita keganasan. ditambah dengan kondisi anemia normositik tabel 1. hasil pemeriksaan laboratorium darah parameter (satuan) tanggal pemeriksaan april mei 13 15 17 20 25 28 1 2 3 hb (g/dl) 6 9.1 10.3 11.2 11.8 9.2 9.5 10.2 10.5 al (x103/ul) 5.8 4.7 4.29 3.71 8.36 6.29 7.2 5.87 6.2 at (x103/ul) 192 181 189 107 164 144 128 116 130 ae (x106/ul) 2.3 3.28 3.5 3.71 3.75 3.15 3.05 3.50 3.75 hct (%) 17.3 19 30.6 34.2 33.6 27.2 27.3 31.2 33 mcv (fl) 83.6 92.4 87.4 92.2 89.8 86.3 89.3 87.6 88 mch (pg) 31.5 29.4 30.2 31.4 31 32.9 31.9 s (%) 56.3 51 37.3 55.5 52 52.3 52.3 l (%) 33.5 29.6 44.2 29.7 34.5 32.8 31.8 m (%) 8.8 13.5 6.9 8 8.7 6.2 7.8 e (%) 0.7 4.7 5.1 3.4 3.7 5.2 5.2 b (%) 0.8 1.2 1.6 1.4 1.1 1.3 1.2 tp (g/dl) 7.5 6.58 5.94 alb (g/dl) 3.5 2.96 2.8 3.51 bun (mg/dl) 19 14.7 15.6 17.6 23.7 21.9 18.1 19.1 creat (mg/dl) 3.81 3.88 3.52 2.84 3.40 3.31 2.68 2.63 au (mg/dl) 8.8 8.5 8.8 7.3 7.2 7.2 cct 18.45 18.11 19.97 24.75 20.67 21.23 26.22 26.72 na (mmol/l) 138 139 139 135 144 k (mmol/l) 3.2 3.1 3.8 3.3 3.8 cl (mmol/l) 104 102 102 99 109 mg (mg/dl) 2.07 ca (mmol/l) 2.6 2.86 2.8 2.9 3.19 2.27 aptt (detik) 27.5 25.3 kontrol 32.6 28.2 ppt (detik) 12.3 12.6 kontrol 13.9 12.4 inr retik (%) 4.0 fe (ug/dl) 84 tibc (ug/dl) 242 ibc (ug/dl) 188 i. sat (%) 34.7 55 mutiara medika vol. 17 no. 1: 51-61, januari 2017 normokromik semakin menambah berat keluhan ini. pasien dikelola dengan diit tktp dan transfusi prc dengan target hb> 10 mg/dl. transfusi prc telah dilakukan sebanyak 2 kali, hingga keluar rumah sakit kadar hb penderita selalu lebih dari 10 mg/dl. peningkatan kadar bun (19 mg/dl) dan kreatinin (3,81 mg/dl) dikelola sebagai renal failure akut dd akut on kronik dengan pengelolaan konservatif keseimbangan cairan dengan target urin outpun 0,5-1 cc/kgbb/jam. diit diawal perawatan menggunakan diet tinggi kalori dan tinggi protein dengan pertimbangan kondisi sindrom para neoplastik. diit kemudian diganti dengan diit tinggi kalori cukup protein (0.6 gr/kgbb/hari). diakhir perawatan kadar kreatini menjadi 2.63 mg/dl. khemoterapi pada kasus ini digunakan regimen melphalan 8 mg/m2 dan prednison 60 mg/m2 selama 5 hari sebanyak 6 seri dengan interval 28 hari. terapi pendukungnya os mendapat bonefos 1 ampul/hari selama 5 hari, sebanyak 6 seri dengan interval 28 hari. diskusi faktor risiko. mieloma multipel (mm) merupakan penyakit yang terjadi akibat proliferasi sel plasma yang tidak terkendali dalam sumsum tulang yang menghasilkan protein abnormal (paraprotein) dalam plasma, khas di sertai l esi osteol iti k, akumulasi sel plasma abnormal (sel myeloma) dalam sumsum tulang dan adanya protein monoklonal dalam serum dan urin.5 insidensinya kira-kira 1% dari seluruh penyakit keganasan dan 10% dari keganasan darah. insidensi penyakit ini di negara barat adalah 3/100.000/tahun, di amerika serikat, insidensi pada orang berkulit hitam hampir dua kali lipat dibandingkan dengan orang berkulit putih.4 sebagian besar mengenai umur 50-70 tahun.2 penyebab penyakit ini sampai sekarang belum diketahui, tidak ada predileksi pekerjaan tertentu. beberapa hal yang berperan untuk terjadinya mm adalah: radiasi, polusi bahan kimia (benzene, insektisida, herbisida), penyakit inflamasi kronis, infeksi human herpes virus 8 (hhv8), dan faktor genetik.2 pada kasus ini pasien adalah seorang laki-laki yang sesuai dengan hasil penelitian epidemiologis yaitu kejadian mm dua per tiga lebih tinggi pada lakilaki dibanding dengan perempuan.6 rata-rata mm terdiagnosis pada usia 65 tahun, insidensi tertinggi terjadi pada dekade ketujuh, 10% pada pasien usia di bawah 50 tahun dan 2% di bawah 40 tahun.7 pada kasus ini pasien berusia 48 tahun, termasuk dalam kelompok usia yang jarang untuk terjadinya mm. faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya mm tidak ditemukan. gambaran klinis. gambaran klinis mm sangat bervariasi, kondisi ini muncul karena adanya tekanan masa tumor, penurunan immunitas, gangguan hematopoesis, osteolitik, hiperkalsemia dan disfungsi ginjal. gejala yang sering ditemukan adalah mudah lelah, nyeri tulang, dan infeksi berulang.2 sebagian gambar 2. foto rongent tampak fraktur dengan lesi litik multiple kesan suatu mm 56 prasetio kirmawanto, penatalaksanaan kausatif untuk memperbaiki fungsi ginjal penderita bersifat asimtomatik, dijumpai secara kebetulan pada saat check up atau pemeriksaan untuk penyakit lain. keluhan-keluhan yang mendorong pasien untuk berobat diantaranya: (1) nyeri tulang, terutama nyeri punggung, (2) gejala anemia berupa lemah, lesu, pucat dan sesak nafas, (3) infeksi, terutama penumokokus pneumonia, (4) perdarahan akibat trombositopenia, (5) gejala gagal ginjal dan hiperkalsemia, polidipsi, poliuri, anoreksia, mual, muntah, konstipasi dan gangguan mental, (6) sindrom hiperviskositas, gangguan penglihatan atau payah jantung, (7) fraktur patologik karena adanya lesi osteolitik, (8) gangguan saraf berupa parestesia atau paraplegia/paraparesa. pada kasus ini keluhan utama yang mendorong pasien berobat adalah nyeri terutama di dada dan tulang belakang. tidak seperti nyeri akibat proses metastase sel kanker yang sering memburuk pada waktu malam, nyeri pada mm dipicu dengan adanya pergerakan.8 keluhan nyeri lokal yang menetap pada mm umumnya menandakan fraktur patologis.9 keluhan nyeri dada terjadi pada 2/3 penderita saat diagnosis. pada kasus mm terjadi peningkatan osteoclast activating factor (il-1², tnf-±) sehingga menimbulkan lesi osteolitik yang mengakibatkan timbulnya nyeri tulang dan penekanan saraf. penderita mm yang baru terdiagnosis didapatkan gambaran abnormal skeletal dari radiologi konvensional berkisar 60%-80%, adanya gambaran lesi litik punched out ditemukan mendekati 60%, osteoporosis, dan fraktur patologis atau fraktur kompresi pada vertebra terjadi pada 20% pasien.9 adanya destruksi tulang oleh lesi litik tulang pada mm disebabkan oleh pertumbuhan sel myeloma yang cepat sehingga menghambat sel pembentuk tulang normal dan berakibat hancurnya tulang.10 manifestasi klinis lain yang muncul pada kasus ini adalah anemia dan trombositopenia. mm menyebabkan penggantian sumsum tulang dan inhibisi langsung terhadap proses hematopoisis, perubahan megaloblastik akan menurunkan produksi vitamin b12 dan asam folat.11 pemeriksaan sumsum tulang mutlak dilakukan pada penderita dengan kemungkinan mm. pemeriksaan sumsum tulang pada 96% pasien umumnya ditemukan lebih dari 10% sel plasma dari seluruh sel berinti.2 pemeriksaan laboratorium pasien mm didapatkan gambaran anemia normositik normokromik 73%, hiperkalsemia 15%, peningkatan serum kreatinin 20%, dan adanya monoclonal spike 93% dengan elektroforesis protein serum imunofiksasi dan 75% pada elektroforesis urin berupa protein monoklonal igg 60% , iga 20%, igd atau nonsekretori 1% dan 15% light chain.4 hiperkalsemia pada pasien mm berhubungan dengan pelepasan faktor-faktor aktivasi dari osteoklas seperti limfotoksin, interleukin 6/il6.8 pemeriksaan elektroforesis protein serum maupun urin bermanfaat untuk membuktikan adanya myeloma protein /m protein.10 pemeriksaan laboratorium penderita ini yang mendukung penegakan diagnosis mm berupa anemia normositik normokromik, hiperkalsemia, peningkatan bun dan kreatinin serum, protein bence jones (+), gambaran elektroforesa protein tidak sesuai kurva monoklonal gammopathy dan pemeriksaan bmp didapatkan adanya sel plasma 19%. diagnosis. diagnosis mm dapat ditegakkan dengan beberapa kriteria: (1) kriteria klinik: a. jika sel plasma sumsum tulang lebih dari 10% dengan malignant looking plasma cell. b. jika sel plasma menunjukkan gambaran mendekati normal, untuk diagnosis diperlukan tambahan: hipergamaglo57 mutiara medika vol. 17 no. 1: 51-61, januari 2017 bulinemia (>2 g/dl) dengan spike pada daerah gamma, protein bance jones positif pada urine, lesi osteolitik pada tulang. (2) wintrobe membuat kriteria diagnosis mm sebagai berikut: a. kriteria sitologik: sumsum tulang: sel plasma/sel mieloma >10%, biopsi sumsum tulang/jaringan lain: plasmacytoma. b. kriteria klinik dan laboratorik terdiri dari: protein mieloma yang dibuktikan secara elektroforesis dalam plasma; protein mieloma yang dibuktikan secara elektroforesis dalam urine; lesi osteolitik; ditemukan sel plasma dari 2 sediaan apus darah tepi. diagnosis tegak jika: a. ia dan ib positif, b. ia atau ib ditambah satu dari ii positif, c. sel plasma/ sel mieloma tulang >30% yang disertai lesi osteolitik. (3) kriteria menurut durie dan salmon; a. kriteria mayor (plasmacytoma pada biopsi jaringan, plasmasitosis pada sumsum tulang dengan sel plasma >30%, spike dari globulin monoklonal pada elektroforesis: igg >35 g/l, iga >20 g/l, ekskresi light chain urine (elektroforesis) >1 g/24 jam tanpa adanya amyloidosis. b. kriteria minor (plasmositosis sumsum tulang dengan sel plasma 10-30%, terdapat spike globulin monoklonal tetapi nilainyakurang dari nilai di atas, lesi osteolitik, igm normal <0.5 g/l, iga <1 g/l atau igg <6 g/l diagnosis ditegakkan jika ditemukan 1 mayor dan 1 minor atau 3 minor positif.5 pada pasien ini memenuhi kriteria diagnostik untuk mm dengan ditemukannya protein plasma >10%, protein bance jones (+), lesi osteolitik. kasus ini tegak dengan diagnosis mm dari anamnesa, gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang yang sesuai dengan kriteria tersebut di atas. gamopati monoklonal adalah suatu kelompok kelainan hematologik yang berasal dari limfosit yang menghasilkan paraprotein (globulin gamma) yang bersifat monoklonal. diagnosis banding untuk gamopati monoklonal adalah: a) gamopati monoklonal yang keganasannya sudah dipastikan (mieloma multiple, plasmacytoma, makroglobulinemia weldenstrom), b) gamopati monoklonal yang keganasannya belum dipastikan (monoclonal gammopathy of underterminated significance (mgus), penyakit heavy chain, primary amyloidosis). frekuensi relatif gamopati monoklonal di negara barat adalah: mgus 63%, mieloma multiple 14%, plasmacytoma 1%, makroglobulinemia waldenstroms’ 1%.5 komplikasi. problem yang sering mengikuti penyakit mieloma multipel adalah: nyeri tulang dan fraktur patologis, hiperkalsemia, disfungsi ginjal, infeksi, depresi sumsum tulang, hiperurisemia, sindroma hiperviskositas dan amilodosis. penurunan fungsi ginjal merupakan kondisi yang mempengaruhi prognosis mm, kondisi ini dikenal dengan ginjal mieloma (myeloma kidney).3 ginjal mieloma. penurunan bersihan kreatinin ditemukan hingga 50% dari kasus baru mm dan sekitar 9% memerlukan dialisis karena kerusakan ginjal yang parah. penyebab utama kelainan ginjal yang terjadi pada penderita mm berupa cast formation (cast nephropathy) dari free light chain dari imunoglobulin monoklonal. penyebab lain yang dapat ditemukan adalah berkurangnya volume cairan tubuh, hiperkalsemia, penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid, angiotensin converting enzyme inhibitors (ace-i) atau angiotensin receptor blockers (arb), infeksi, media kontras intravena, dan hiperurisemia.12 standar emas untuk penegakan diagnostik ginjal mieloma adalah dengan biopsi, dimana akan ditemukan bukti adanya karakteristik cast yang besar, seperti lilin dan berlapis di tubulus distal dan collecting. cast ini tersusun dari monoklonal light chain. adanya pembentukan cast berhubungan 58 prasetio kirmawanto, penatalaksanaan kausatif untuk memperbaiki fungsi ginjal dengan jumlah light chain bebas di dalam urine dan beratnya insufisiensi ginjal.13 pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan biosi ginjal, tetapi dari tidak adanya faktor-faktor predisposisi lain untuk terjadinya gangguan fungsi ginjal selain mm maka diagnosis klinis untuk kasus ini adalah mm dengan gagal ginjal karena ginjal mieloma. terapi renal failure pada pasien myeloma multiple. pada pasien mm baru hampir 50% diantaranya ditemukan penurunan fungsi ginjal dengan derajat yang bervariasi akan tetapi sebagian besar akan terjadi perbaikan dengan manajemen sederhana seperti rehidrasi, koreksi hiperkalsemia dengan bifosfonat, hiperhidrasi dan glukokortikoid atau penghentian obat-obat nefrotoksik seperti nsaid. setengah kasus yang membaik akan dicapai dalam enam minggu. kasus yang tidak mencapai fungsi ginjal normal sebagian besar akan menderita gangguan ginjal ringan hingga sedang, hanya sekitar 1%, membutuhkan terapi pengganti ginjal jangka panjang.3 penatalaksanaan gagal ginjal pada kasus ini adalah rehidarasi dan penghentian obat nsaid dan diet cukup protein. hasil penatalaksanaan ini menunjukkan peningkatan gfr dari 18.45 ml/min pada awal perawatan gfr dan pada akhir perawatan menjadi 26.72 ml/min. terapi penganti plasma (therapeutic plasma exchange/tpe) dapat membuang rantai ringan dari plasma, terapi ini diajukan sebagai metode untuk mencegah gagal ginjal terkait rantai ringan. penelitian retrospektif memberikan kesimpulan bahwa tpe memberikan keuntungan mencegah progresifitas gagal ginjal akut. akan tetapi efikasi terapi ini hanya nyata pada pasien dengan sindrom viskositas.8 terapi mieloma multipel dengan renal failure. melphalan dan prednison merupakan terapi baku emas selama 40 tahun terakhir. pilihan terapi mm mulai meningkat sejak permulaan tahun 2000, saat ini ditemukan kelas terapi baru untuk mm berupa immunomodulator seperti thalidomide dan lenalidomide, dan inhibitor proteosome seperti bortezomid. penggunaan obat ini baik secara tunggal atau kombinasi dengan terapi konvensional dapat meningkatkan respon dan survival rate.4 gangguan fungsi ginjal menjadi pertimbangan khusus pada khemoterapi untuk mm. gagal ginjal merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas penderita mm.2 tiga penelitian menyimpulkan bahwa respon terhadap khemoterapi pada pasien mm dengan gangguan ginjal berkisar 43-50%, sedangkan pada pasien tanpa gangguan ginjal remisi akan terjadi hingga 70%. respon terapi dengan agen alkilating tunggal ditambah prednisolon pada pasien mm dengan rf adalah 24%, sedangkan yang mendapat khemoterapi kombinasi (vad: vincristine, adriamycin dan dexamethasone) mencapai 50%, akan tetapi dari penelitian oleh blade menemukan bahwa harapan hidup keduanya tidak berbeda bermakna, sangat berbeda dengan pasien mm tanpa rf yang mencapi 34.5 bulan. sangat disayangkan bahwa kematian awal/ early mortality rate mencapai 30% dalam dua bulan awal diagnosis tetap ditemukan pada pasien mm dengan rf.11 perhatian khusus pada pasien mm dengan rf yang diterapi dengan melphalan dan prednison memerlukan penyesuaian dosis untuk mencegah keparahan penekanan sumsum tulang, penyesuaian ini berisiko terapi sub-optimal. khemoterapi kombi59 mutiara medika vol. 17 no. 1: 51-61, januari 2017 nasi menghasilkan respon yang lebih cepat dan penurunan produksi protein monoklonal, sehingga mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut. regimen vad dapat diberikan pada pasien rf tanpa penurunan dosis. namun perlu diperhatikan dexamethason meningkatkan risiko infeksi.11 terapi pendukung. bifosfonat. bifosfonat adalah penghambat resorbsi tulang yang poten. penggunaannya pada kasus mm terutama bertujuan untuk mengobati hiperkalsemia. obat ini juga bermanfaat untuk mengendalikan penyakit tulang jangka panjang. dari penelitian multisenter oleh borenson, dibandingkan dengan placebo bifosfonat bermanfaat mengurangi fraktur patologis, nyeri tulang dan memperbaiki kualitas hidup. pada kasus ini pasien mendapat terapi dengan regimen bonefos. pemberian bifosfonat secara oral dapat menyebabkan sakit perut, peradangan dan erosi pada kerongkongan, yang merupakan masalah utama dari pemberian per oral. hal ini dapat dicegah dengan tetap duduk tegak selama 30 sampai 60 menit setelah minum obat. bifosfonat intravena dapat menyebabkan demam dan gejala flu setelah infus pertama, diduga terjadi karena bifosfonat berpotensi mengaktifkan sel  t pada manusia. bifosfonat bila diberikan secara intravena untuk pengobatan kanker dikaitkan dengan kejadian osteonekrosis rahang (onj) pada mandibular, 60% dari kejadian didahului oleh prosedur pembedahan gigi (yang melibatkan tulang), dan disarankan bahwa pengobatan bifosfonat harus ditunda setelah pengobatan gigi.14 studi terbaru melaporkan penggunaan bifosfonat (khusus zoledronate dan alendronate) sebagai faktor risiko untuk fibrilasi atrium pada wanita.15,16,17 respon inflamasi akibat bifosfonat atau fluktuasi kadar kalsium darah diduga sebagai mekanisme terjadinya aritmia. sampai sekarang, bagaimanapun, manfaat bifosfonat, secara umum, lebih besar daripada resiko tersebut, meskipun dalam populasi tertentu yang berisiko tinggi menimbulkan efek samping yang serius dari fibrilasi atrium (seperti pasien dengan gagal jantung, penyakit arteri koroner, atau diabetes).16 terapi pendukung. eritropoetin. eritopoetin efektif untuk anemia karena gagal ginjal, dua penelitian random menyimpulkan bahwa eritopoetin rekombinan aman digunakan pada pasien mm dan menurunkan kebutuhan untuk transfusi. penggunaan eritopoetin pada gagal ginjal adalah setelah tiga bulan pertama setelah diterapi dengan transfusi. epoitin (eritropoietin rekombinan manusia) digunakan pada anemia yang berhubungan dengan defisiensi eritropoetin pada gagal ginjal kronis dan juga untuk menambah darah autolog pada individu normal. efikasi klinis epoetin alfa dan epoetin beta hampir sama. epoetin alfa juga digunakan pada penderita penerima kemoterapi yang mengandung platinum untuk mempersingkat periode anemia.epoetin beta juga digunakan untuk pencegahan anemia pada bayi premature yang berat badannya rendah. faktor lain yang turut berperan menimbulkan anemia pada gagal ginjal kronis seperti besi atau defisiensi folat harus dikoreksi sebelum pengobatan dan dimonitor selama pengobatan. sediaan besi parenteral di anjurkan untuk memperbaiki respon pada penderita yang resisten. keracunan alumunium, infeksi yang bersamaan atau penyakit inflamasi lain juga dapat mengganggu respon terhadap epoetin.18 prognosis. prognosis penderita mm sangat bervariasi, sebagian besar ditentukan oleh tingkat penyakit. durie dan salmon membuat kriteria klasifikasi tingkat penyakit sebagai berikut: (1) sta60 prasetio kirmawanto, penatalaksanaan kausatif untuk memperbaiki fungsi ginjal dium i, memenuhi kriteria: a. foto rontgen normal atau dijumpai lesi osteoltik soliter, b. laboratorium (kadar hb> 10 g/dl, kalsium serum e”12 mg/dl, igg < 5 g/dl atau iga < 3 g/dl dalam serum atau rantai ringan dalam urine <4 g/24 jam). (2) stadium ii, terletak antara stadium i dan iii, tetapi tidak memenuhi secara lengkap kriteria stadium i dan iii. (3) tadium iii, memenuhi satu atau lebih kriteria: a. pada foto rontgen dijumpai lesi osteolitik luas, b. laboratorium (kadar hb < 8.5 g/dl, kalsium serum >12 mg/dl, igg >7 g/dl atau iga >5 g/dl atau rantai ringan dalam urine >12 g/24 jam). subklasifikasi: a: jika kreatinin serum <2 mg/ dl, b: jika kreatinin serum >2 mg/dl. pada kasus ini os memenuhi kriteria mm stadium iiib, tingkat penyakit mempunyai korelasi dengan prognosis, yaitu penderita stadium iiib mempunyai harapan hidup 5 bulan. simpulan pemantauan fungsi ginjal pada pasien mm penting untuk mendeteksi potensi terjadinya gagal ginjal terminal. beberapa hal yang dapat memperburuk fungsi ginjal adalah dehidrasi, infeksi dan penggunaan obat-obat nefro toksik dan kontras. penatalaksanaan penurunan fungsi ginjal pada kasus ini adalah dengan memperbaiki status hidrasi, menghentikan pemberian obat-obat nefrotoksik (nsaid) dan pemberian diet cukup protein, dengan hasil terjadi perbaikan fungsi ginjal. pada awal perawatan gfrnya 18.45 ml/min dan pada akhir perawatan menjadi 26.72 ml/min. penatalaksanaan kausatif pada kasus ini adalah dengan regimen khemoterapi melphalan dan pemberian prednison, khemoterapi konvensional untuk mm. regimen kemoterapi kombinasi tidak dipilih karena pertimbangan adanya gangguan fungsi ginjal pada pasien ini. pasien ini juga mendapat terapi pendukung berupa pemberian bonefos untuk memperlambat proses osteolitik. problem anemia yang diketahui diawal perawatan (hb: 6 g/dl) diperbaiki dengan pemberian transfusi prc, hb di akhir perwatan 10.5 g/dl. pasien pulang setelah dirawat selama 21 hari dengan direncanakan untuk khemoterapi sebanyak 6 seri dengan interval 28 hari. keluhan nyeri dirasakan sudah sangat berkurang dan fungsi ginjal relatif membaik. daftar pustaka 1. hoffbrand av, moss pa., pettit j. multiple myeloma and related disorder. in: essential haematology. australia: blackwell publishing; 2007. p. 216–23. 2. kyle r., rajkumar s. multiple myeloma. n engl j med, 2004; 351: 1860-1873 3. li j, zhou d-b, jiao l, duan mh, zhang w, zhao yq, et al. bortezomib and dexamethasone therapy for newly diagnosed patients with multiple myeloma complicated by renal impairment. clin lymphoma myeloma. 2009; 9 (5): 394–8. 4. katzel ja, hari p, vesole dh. multiple myeloma: charging toward a bright future. ca cancer j clin. 2007; 57 (5): 301–18. 5. bakta s. gamopati monoklonal. in: hematologi klinik ringkas. jakarta: buku kedokteran egc; 2007. p. 220–1. 6. dave s., dunbar c. multiple myeloma. in: bethesda handbook of clinical haematology 2nd edition. griffin, p.r., neal, s.y. new york: 61 mutiara medika vol. 17 no. 1: 51-61, januari 2017 lippincott william and wilkins; 2009. p. 217– 25. 7. rajkumar sv. multiple myeloma: 2011 update on diagnosis, risk-stratification, and management. am j hematol. 2011; 86 (1): 57–65. 8. longo d., anderson k. plasma cell disorders. in: harrison’s principles of internal medicine 16th edition. jean d. usa: mcgraw-hill; 2005. 9. dispenzieri a, lacy m., greipp p. multiple myeloma. in: wintrobe’s clinical haematology 12th edition. john, p.g., john, f., george, m.r., et . philadelphia: lippincott williams & wilkins; 2007. p. 2377–418. 10. lonial s. diagnosis and staging [internet]. multiple myeloma research foundation. 2005 [cited 2017 jan 23]. av ai l abl e f rom : https:// www.themmrf.org/multiple-myeloma/diagnosis/ 11. syahrir m. myeloma multiple dan penyakit gamopati lain. in: buku ajar penyakit dalam edisi kelima jilid ii. aru w sudoyo, bambang setyohadi, idris alwi, marcellius simadibrata,siti setiati. jakarta: interna publishing fk ui; 2009. 12. leung n, rajkumar s., kaplan aa. treatment of renal failure in multiple myeloma. uptodate. 2008; 16 (3). 13. richardson p, hideshima t, anderson k. multiple myeloma and related disorder. in: clinical oncology 3rd edition. martin, d.a., james, o.a., john, e.n., michael, b.k. elsevier, churchill living stone; 2004. p. 2961–9. 14. woo s-b. systematic review: bisphosphonates and osteonecrosis of the jaws. annals of internal medicine. 2006; 144 (10): 753. 15. black dm, delmas pd, eastell r, reid ir, boonen s, cauley ja, et al. once-yearly zoledronic acid for treatment of postmenopausal osteoporosis. new england med. 2007 may 3;356(18):1809–22. 16 heckbert sr, li g, cummings sr, smith nl, psaty bm. use of alendronate and risk of incident atrial fibrillation in women. arch intern med, 2008; 168 (8): 826–31. 17 cummings sr, schwartz av, black dm. alendronate and atrial fibrillation. new england j med, 2007 may 3;356(18):1895–6. 18 departemen kesehatan republik indonesia direktorat jenderal pengawas obat dan makanan. informatorium obat nasional indonesia 2000. jakarta: departemen kesehatan; 2000. 323-324 p. mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm ©2018 mmjkk. all rights reserved vol 18 no 1 hal 13-19 januari 2018 optimasi ekstrak etanol daun sirih merah (piper crocatum) sebagai antibakteri terhadap bakteri staphylococcus aureus the optimization of red betel vine leaf (piper crocatum) ethanol extract as antibacterial against staphylococcus aureus farida juliantina rachmawaty, 1 * masyhananda mahardika akhmad, 2 sheila hikmah pranacipta, 2 zulfa nabila, 2 afivudien muhammad 2 1 departemen mikrobiologi, fakultas kedokteran, universitas islam indonesia 2 fakultas kedokteran, universitas islam indonesia data naskah: masuk: 10 des 2017 direviu: 15 des 2017 direvisi: 27 des 2017 diterima: 10 jan 2018 *korespondensi: farida.juliantina@uii.ac.id atau faridajuli@gmail.ac.id doi: 10.18196/mm.180109 tipe artikel: penelitian abstrak: ekstrak etanol daun sirih merah (piper crocatum) telah diketahui memiliki aktivitas antibakteri. sesuai namanya, bagian bawah daun sirih merah (p. crocatum) berwarna merah sedangkan bagian atas berwarna hijau dengan corak keperakan, namun ternyata daun sirih merah dapat mengalami perubahan warna pada kondisi tertentu. warna daun dapat berubah menjadi hijau semua (tidak ada warna merah dan corak keperakan). di sisi lain aktivitas antibakteri ekstrak akan berfungsi efektif apabila pelarut yang digunakan tepat. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ekstrak daun yang lebih efektif antara yang berwarna merah dan berwarna hijau. tujuan berikutnya untuk mengetahui pelarut yang lebih efektif antara dimetil sulfoxid (dmso) 10%, tween 80 1% dan aquades. penelitian ini menggunakan metode dilusi serial untuk mengetahui kadar hambat minimal (khm) dan kadar bunuh minimal (kbm) ekstrak etanol daun p. crocatum terhadap bakteri staphylococcus aureus pada ekstrak daun berwarna berbeda dan pelarut yang berbeda. konsentrasi yang digunakan yaitu 50%; 25%; 12,5%; 6,25%; 3,13%; 1,56% dan 0,78%. hasil yang diperoleh khm dan kbm daun warna merah 12,5% sedang untuk daun warna hijau 12,5% dan 50%. sedangkan untuk pelarut ekstrak, dmso dapat lebih banyak membunuh bakteri dibanding yang lain. dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol daun p. crocatum warna merah lebih baik dibanding yang berwarna hijau. untuk pengujian pelarut, ekstrak dengan pelarut dmso 10%, lebih efektif dari pada tween 80 1% dan aquades. kata kunci: optimasi; sirih merah (piper crocatum); antibakteri; staphylococcus aureus abstract: red betel vine leaf (piper crocatum) ethanol extract has been known to have an antibacterial activity. as the name implies, the bottom of red betel vine leaf (p. crocatum) is red while the top is green with a silvery pattern, however p. crocatum leaves can experience color changes under certain conditions. the original color is red at the bottom and green with a silvery pattern at the top which can turn into all green (no red colour and silvery pattern). on the other hand the antibacterial activity of the extract will function effectively when the solvent is used appropriately. this study aims to determine the more effective leaf extracts between the red and green. the next goal is to find the more effective solvent between dimethyl sulfoxide (dmso) 10%, tween 80 1%, and aquades. this research uses a serial dilution method to know minimal inhibitor concentration (mic) and minimal bactericidal concentration (mbc) of p. crocatum leaf ethanol extract against staphylococcus aureus bacteria on different colored leaf extract and different solvent. the concentrations used were mailto:farida.juliantina@uii.ac.id mailto:faridajuli@gmail.ac.id 14 | vol 18 no 1 januari 2018 50%; 25%; 12.5%; 6.25%; 3.13%; 1.56% and 0.78%. the result of mic and mbc red leaf is equal at 12,5% and the green leaf is 12,5% & 50%. while dmso solvent extract was more effective for killing bacteria than others. the conclussion is ethanol extract of p. crocatum red leaf is better than the green one. extract with dmso 10% was more effective than tween 80 1% and aquades keywords: optimization; red betel vine (piper crocatum); antibacteria; staphylococcus aureus pendahuluan sirih merah (piper crocatum) merupakan salah satu tanaman obat potensial di indonesia. secara empiris p. crocatum diyakini dapat menyembuhkan penyakit infeksi dan noninfeksi. beberapa tahun terakhir telah banyak dilakukan penelitian mengenai p. crocatum, di antaranya oleh safithri dan fahma (2008), 1 yang melaporkan bahwa ekstrak air p. crocatum dapat menurunkan kadar gula tikus yang diinduksi menjadi diabetes. peneliti lain suratmo (2008), 2 telah meneliti aktivitas antioksidan p. crocatum secara in vitro. rachmawaty et al. (2009), 3 meneliti kemampuan aktivitas antibakteri terhadap staphylococcus aureus (s. aureus) dan escherichia coli (e. coli). rachmawaty et al. (2013), 4 juga telah melakukan penelitian mengenai aktivitas antimikobakterium dan telah melakukan uji toksisitas akut dengan hasil ekstrak etanol daun p. crocatum aman dikonsumsi. sesuai dengan namanya pada bagian bawah daun p. crocatum berwarna merah hati dan bagian atas daun berwarna hijau dengan corak keperakan. daun p. crocatum memiliki aroma yang khas, yakni menyengat dan tajam. hasil kromatografi diketahui daun p. crocatum mengandung flavonoid, senyawa polifenol, tanin, alkaloid dan minyak atsiri. 5 daun p. crocatum juga mengandung saponin. 2 ekstrak etanol daun p. crocatum telah diketahui memiliki aktivitas antibakteri. 3 hal ini disebabkan adanya kandungan alkaloid, flavonoid, tanin, saponin dan minyak atsiri dalam p. crocatum yang diperkirakan berperan sebagai antibakteri. aktivitas senyawasenyawa tersebut dengan mengganggu atau merusak membran sel atau dinding sel bakteri. senyawa tersebut diduga banyak berada di bagian daun yang berwarna merah, 5 namun pada kondisi tertentu daun p. crocatum dapat mengalami perubahan warna. daun yang semula bagian bawahnya berwarna merah dapat berubah menjadi berwarna hijau semua dan corak keperakannya hilang. penelitian sebelumnya juga menunjukkan tingkat kelarutan yang berbeda pada penggunaan pelarut yang berbeda. 2 untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui kondisi ekstrak terbaik yang dapat berfungsi optimal. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas antibakteri daun p. crocatum yang berdaun merah dan yang berdaun hijau terhadap bakteri s. aureus. tujuan berikutnya adalah untuk mengetahui pelarut terbaik antara dimetil sulfoxid (dmso) 10%, tween 80 1% dan aquades pada ekstrak etanol daun p. crocatum. bahan dan cara desain penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium. p. crocatum diperoleh dari tanaman toga di wilayah sleman. daun diambil gambar 1. a) daun p. crocatum yang masih sesuai aslinya, bagian bawah daun berwarna merah (tengah) daun bagian atas berwarna hijau dengan corak keperakan, b) daun p. crocatum yang sudah berubah menjadi berwarna hijau semua a b | 15 dari daun yang sudah cukup tua minimal berusia 1 bulan dari tanaman yang sudah berusia minimal 4 bulan. warna daun akan terlihat hijau tua dengan warna merah hati yang cerah. pada daun yang kurang dari 1 bulan warna daun tampak hijau muda. pada daun yang sudah terlalu tua, warna merah hatinya memudar. daun yang diperoleh disortir, daun yang tidak memenuhi syarat dibuang. pembuatan ekstrak dilakukan dengan metode maserasi, pada setiap percobaan dibutuhkan 2 gram ekstrak. pengujian aktivitas antbakteri dilakukan secara dilusi serial. dengan metode ini dapat diketahui kadar hambat minimal (khm) dan kadar bunuh minimal (kbm) ekstrak etanol daun p. crocatum yang berwarna merah dan dengan daun yang berwarna hijau terhadap s. aureus standar atcc 25923. bakteri diperoleh dari koleksi laboratorium mikrobiologi fakultas kedokteran universitas indonesia. bakteri dari perbenihan 24 jam dibuat suspensi dengan kepadatan 10 8 cfu kemudian diencerkan menjadi 10 6 cfu. fase log yang digunakan selama 4 jam. pengujian dengan menggunakan 11 tabung, 7 tabung untuk perlakuan dan 4 tabung sebagai kontrol. konsentrasi akhir ekstrak yang digunakan yaitu 50%; 25%; 12,5%; 6,25%; 3,13%; 1,56% dan 0,78%. pada setiap perlakuan disertakan 4 kontrol yang terdiri atas kontrol ekstrak, kontrol media, kontrol bakteri dan kontrol antibiotik. antibiotik yang digunakan sebagai kontrol adalah penicilline. inkubasi dilakukan pada suhu 37 o c selama 18-24 jam. konsentrasi terkecil pada tabung yang tetap jernih ditentukan sebagai khm. selanjutnya dilakukan kultur pada agar darah. konsentrasi terkecil pada media yang sama sekali tidak terdapat perkembangbiakan bakteri dinyatakan sebagai kbm. hasil terbaik selanjutnya diuji dengan cara yang sama namun menggunakan pelarut yang berbeda yaitu dmso 10%, tween 80 1% dan aquades. analisis data dilakukan secara diskriptif dengan menggunakan 3 kali hasil konsisten. hasil hasil yang diperoleh, khm ekstrak etanol dari daun p. crocatum yang masih berwarna merah maupun yang berwarna hijau nampak sama yaitu pada konsentrasi 12,5%. namun setelah dikultur pada agar darah, diperoleh kbm ekstrak etanol daun yang masih berwarna merah lebih baik, yaitu pada konsentrasi 12,5%, sedangkan daun yang berwarna hijau pada konsentrasi 50%. pada penilaian khm kesulitan menentukan batasnya karena warna ekstrak pada konsentrasi yang tinggi tampak coklat kehitaman yang cenderung gelap sehingga menyulitkan dalam penilaian. pada penilaian kbm, berdasar ada tidaknya perkembangan bakteri di media agar darah lebih mudah menentukan dan bersifat obyektif. gambar 3. dan gambar 4. serta tabel 1. menun-jukkan bahwa ekstrak daun p. crocatum yang berwarna merah pada konsentrasi ke satu, dua dan tiga gambar 2. uji dilusi serial ekstrak etanol daun p. crocatum, pada daun yang berwarna merah. konsentrasi 1:50%. 2:25%, 3:12,5%, 4:6,25%, 5:3,13%, 6:1,56%, 7:0,78%. ke: kontrol ekstrak, km: kontrol media, kb: kontrol bakteri dan ka: kontrol antibiotik 1 2 3 4 5 6 7 ke k kb ka 16 | vol 18 no 1 januari 2018 gambar 3. hasil kultur pada agar darah, pengujian ekstrak etanol daun p. crocatum dengan daun warna merah terhadap s. aureus. konsentrasi 1:50%. 2:25%, 3:12,5%, 4:6,25%, 5:3,13%, 6:1,56%, 7:0,78%. ke: kontrol ekstrak, km: kontrol media, kb: kontrol bakteri dan ka: kontrol antibiotik gambar 4. hasil kultur pada agar darah, pengujian ekstrak etanol daun p. crocatum dengan daun warna hijau terhadap s. aureus. konsentrasi 1:50%. 2:25%, 3:12,5%, 4:6,25%, 5:3,13%, 6:1,56%, 7:0,78%. ke: kontrol ekstrak, km: kontrol media, kb: kontrol bakteri dan ka: kontrol antibiotik tabel 1. hasil pengujian kadar bunuh minimal (kbm) ekstrak etanol daun p. crocatum yang berdaun merah dan berdaun hijau kadar bahan uji pengujian ekstrak daun warna merah ekstrak daun warna hijau i ii iii i ii iii 50% 25% + + 12,5% + + + 6,25% + + + + + + 3,13% + + + + + + 1,56% + + + + + + 0,78% + + + + + + kontrol ekstrak kontrol media kontrol bakteri + + + + + + kontrol antibiotik keterangan : + menunjukkan ada perkembangbiakan bakteri menunjukkan tidak ada perkembangbiakan bakteri | 17 gambar 5. uji dilusi serial ekstrak etanol daun p. crocatum dengan menggunakan pelarut dmso. konsentrasi 1:50%. 2:25%, 3:12,5%, 4:6,25%, 5:3,13%, 6:1,56%, 7:0,78%. ke: kontrol ekstrak, km: kontrol media, kb: kontrol bakteri dan ka: kontrol antibiotik tabel 2. hasil pengujian kadar bunuh minimal (kbm) ekstrak etanol daun p. crocatum dengan pelarut dmso, tween dan aquades kadar bahan uji pengujian pelarut dmso pelarut tween pelarut aquades i ii iii i ii iii i ii iii 50% + (4) + (4) + (4) + (30) + (5) + (5) + (12) + (4) + (2) 25% + (11) + (30) + (21) + (60) + (22) + (22) + (50) + (67) + (15) 12,5% + + + + + + + + + 6,25% + + + + + + + + + 3,13% + + + + + + + + + 1,56% + + + + + + + + + 0,78% + + + + + + + + + kontrol ekstrak kontrol media kontrol bakteri + + + + + + + + + kontrol antibiotik keterangan : + menunjukkan ada perkembangbiakan bakteri menunjukkan tidak ada perkembangbiakan bakteri angka dalam kurung menunjukkan jumlah koloni yang tumbuh (50%, 25% dan 12,5%) tidak terdapat perkembangbiakan bakteri. konsentrasi di bawahnya (6,25%, 3,13%, 1,56% dan 0,78%) terdapat perkem-bangbiakan bakteri. hasil pengujian ekstrak etanol p. crocatum menunjukkan semua konsentrasi terdapat perkembangbiakan bakteri, namun semakin besar konsentrasi, jumlah koloni bakteri semakin sedikit. ekstrak dengan pelarut dmso menunjukkan jumlah koloni paling sedikit diskusi hasil yang diperoleh, dapat dinyatakan bahwa ekstrak etanol daun p. crocatum yang berwarna merah lebih efektif dari pada ekstrak etanol yang diperoleh dari daun yang berwarna hijau. hal ini diduga kandungan senyawa aktif daun p. crocatum banyak terdapat pada bagian daun yang berwarna merah. daun p. crocatum mengandung alkaloid, flavonoid, tanin, saponin dan minyak atsiri. 1,6 pada 2 3 4 5 6 7 1 ke k kb ka 18 | vol 18 no 1 januari 2018 daun yang sudah hilang warna merahnya dimungkinkan telah berkurang senyawa aktif yang terkandung di dalamnya. hal ini sesuai dengan pernyataan penelitian sebelumnya bahwa tanaman p. crocatum menyukai tempat teduh, berhawa sejuk dan sinar matahari pagi hari. apabila tumbuh di daerah panas, atau terkena paparan sinar matahari secara langsung terus-menerus, batangnya cepat mengering. selain itu, warna merah daunnya menjadi pudar atau berubah. padahal kemungkinan khasiatnya terletak pada senyawa kimia yang terkandung dalam warna merah daunnya. 7 dengan demikian dalam pembuatan ekstrak etanol daun p. crocatum perlu dilakukan penyortiran dengan baik. penyortiran tidak hanya daun yang rusak namun juga daun yang sudah berubah warna. hal ini diharapkan agar kualitas ekstrak dapat terjamin. hasil nilai khm dan kbm yang dilakukan rachmawaty et al. (2009), 3 pada bakteri yang sama menunjukkan pada konsentrasi 25%. sementara penelitian yang dilakukan candrasari et al. (2012), 8 namun dengan menggunakan bakteri atcc yang berbeda menunjukan aktivitas antibakteri pada konsentrasi 20%. hasil penelitian ini lebih baik dari penelitian sebelumnya. pada penelitian yang dilakukan rachmawaty et al. (2009), 3 menggunakan pelarut aquades, sedang pada penelitian ini menggunakan dmso. hal ini sesuai dengan penelitian selanjutnya yang menggunakan tiga pelarut yaitu dmso, tween 80 dan aquades. pada pengujian pelarut untuk ekstrak etanol, pelarut yang digunakan dmso 10%. tween 80 1% dan aquades. hasil diperoleh ekstrak dengan pelarut dmso lebih efektif dari pada tween 80 dan aquades. untuk pelarut aquades dan tween 80 1% tidak menunjukkan perbedaan nyata. hasil pengujian untuk pelarut tidak sebagus pada pengujian daun yang berwarna merah dan hijau. hal ini dimungkinkan karena ekstrak yang digunakan bukan ekstrak baru. dengan demikian perlu mempertimbangkan waktu pembuatan dan pelaksanaan penelitian. aktivitas senyawa yang terkandung di dalam p. crocatum yaitu alkaloid yang mempunyai aktivitas antibakteri, bahkan dapat berfungsi sebagai antibakteri pada methicillin-resictant staphylococcus aureus (mrsa). 9 peneliti lain menyatakan bahwa alkaloid dapat menyebabkan lisis sel atau melalui mekanisme lain dengan menghambat sintesis dna karena dapat melakukan interkalasi. 10 flavonoid dilaporkan banyak memiliki khasiat di antaranya sebagai antibakteri, antivirus, antijamur, antiinflamasi dan beberapa aktivitas lain. 11,12 aktivitas flavonoid sebagai antibakteri telah banyak dilaporkan. 13 mekanisme beberapa golongan flavonoid di antaranya berfungsi sebagai antibakteri dengan cara meningkatkan permeabilitas membran sel. 9 menurut peneliti lain dapat menghambat sintesis dna dan rna atau menghambat aktivitas enzim atpase. 12 tanin berdasar penelitian sebelumnya dilaporkan memiliki aktivitas antibakteri. 14 adapun mekanisme yang diajukan beberapa peneliti, tanin mengganggu membran sel bakteri dan membentuk senyawa kompleks dengan enzim atau substrat sehingga menghambat pertumbuhannya. 15 sementara minyak atsiri daun p. crocatum mengandung linalool yang dapat berfungsi sebagai antibakteri. linalool mengandung gugus fungsi hidroksil (-oh) yang aktif sebagai antibakteri pada umumnya. turunan fenol berinteraksi dengan sel bakteri melalui proses adsorpsi yang melibatkan ikatan hidrogen. pada kadar rendah terbentuk kompleks protein fenol dengan ikatan yang lemah dan segera mengalami peruraian, diikuti penetrasi fenol ke dalam sel dan menyebabkan presipitasi serta denaturasi protein. pada kadar tinggi fenol menyebabkan koagulasi protein dan membran sel mengalami lisis. 16 minyak atsiri dapat berperan sebagai antibakteri dengan cara mengganggu proses terbentuknya membran atau dinding sel sehingga tidak terbentuk atau terbentuk tidak sempurna. 17 demikian beberapa mekanisme senyawa yang terkandung dalam ekstrak etanol daun p. crocatum. simpulan pada penelitian ini disimpulkan bahwa ekstrak etanol daun p. crocatum yang berdaun merah lebih efektif sebagai antibakteri terhadap bakteri s. aureus dibanding yang berwarna hijau. pelarut dmso 10% lebih efektif dibanding aquades dan tween 80 1%. daftar pustaka 1. safithri m, fahma f. potency of piper crocatum decoction as an antihyperglycemia in rat strain sprague dawley. hayati j biosci, 2008; 15 (1): 45. 2. suratmo. aktivitas antioksidan dan antikanker ekstrak daun sirih merah (p. crocatum). tesis. yogyakarta: fakultas mipa universitas gadjah mada. 2008. 3. rachmawaty fj, citra da, nirwani b, nurmasitoh t, bowo et. manfaat sirih merah (piper crocatum) sebagai agen antibakterial terhadap bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. jkki, 2009; 1 (1): 1-10. 4. rachmawaty fj. potensi ekstrak etanol daun sirih merah (piper crocatum) sebagai antimikobakterium. jurnal ilmu kefarmasian indonesia, 2013; 11 (1): 60-65. | 19 5. sudewo b. basmi penyakit dengan sirih merah. surabaya: agromedia. 2005. 6. rachmawaty fj. sirih merah dalam kajian ilmiah. yogyakarta: aswaja pressindo. 2017. 7. manoi f. sirih merah sebagai tanaman multi fungsi. warta puslitbangbun, 2007; 13 (2): 1-2. 8. candrasari a, romas ma, hasbi m, astuti or. uji daya antimikroba ekstrak etanol daun sirih merah (piper crocatum ruiz & pav.) terhadap pertumbuhan staphylococcus aureus atcc 6538, eschericia coli atcc 11229 dan candida albicans atcc 10231 secara in vitro. biomedika, 2012; 4 (1): 9-16. 9. zuo gy, menga fy, haob xy, zhanga yl, wanga gc, xua gl. antibacterial alkaloids from chelidonium majus linn (papaveraceae) against clinical isolates of methicillin-resistant staphylococcus aureus. j pharm pharmaceut sci, 2009; 11 (4): 90-94. 10. karou d, savadogo a, canini a, yameogo s, montesano c, simpore j, et al. antibacterial activity of alkaloids from sida acuta. afr j biotechnol, 2005; 4 (12): 1452-1457. 11. cushnie tp, lamb aj. antimicrobial activity of flavonoids. int j antimicrob agents, 2005; 26 (5): 343-356. 12. shohaib t, shafique m, dhanya n, divakar mc. importance of flavonoides in therapeutics. h.j.d. med, 2011; 3 (1): 1-18. 13. quarenghi mv, tereschuk ml, baigori md, abdala lr. antimicrobial activity of flowers from anthemis cotula. fitoterapia, 2000; 71 (6): 710-712. 14. doss a, mubarack m, dhenabalan r. antibacterial activity of tannin from the leaves of solanum trilobatum linn. indian j sci technol, 2009; 2 (2): 41-43. 15. akiyama h, fujii k, yamasaki o, oono t, iwatsuki t. antibacterial action of several tannins agains staphylococcus aureus. j antimicrob chemother, 2001; 48 (4): 487-491. 16. parwata imoa, dewi pfs. isolasi dan uji aktivitas antibakteri minyak atsiri dari rimpang lengkuas (alpinia galanga l.). jurnal kimia, 2008; 2 (2): 100-104. 17. ajizah a. sensitivitas salmonella typhimurium terhadap ekstrak daun psidium guajava l. bioscientiae, 2004; 1 (1): 31-38. gambar 3. hasil kultur pada agar darah, pengujian ekstrak etanol daun p. crocatum dengan daun warna merah terhadap s. aureus. konsentrasi 1:50%. 2:25%, 3:12,5%, 4:6,25%, 5:3,13%, 6:1,56%, 7:0,78%. ke: kontrol ekstrak, km: kontrol media, kb: kontrol ... gambar 4. hasil kultur pada agar darah, pengujian ekstrak etanol daun p. crocatum dengan daun warna hijau terhadap s. aureus. konsentrasi 1:50%. 2:25%, 3:12,5%, 4:6,25%, 5:3,13%, 6:1,56%, 7:0,78%. ke: kontrol ekstrak, km: kontrol media, kb: kontrol... simpulan 27 mutiara medika vol. 16 no. 1: 27-32, januari 2016 hubungan kadar thyroid stimulating hormone (tsh) darah dengan perkembangan motorik anak usia bawah 2 tahun di daerah endemik gaky correlation between thyroid stimulating hormone level (tsh) and motor development of toddler under 2 years at endemic area of iodine deficiency disorders zulkhah noor1*, arby shafara sekundaputra2 1bagian fisiologi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta 2program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta *email: zulkhah@yahoo.com abstrak salah satu masalah kesehatan di indonesia yang mengganggu tumbuh kembang anak adalah gangguan akibat kekurangan yodium (gaky). dalam perjalanannya pemerintah telah melakukan berbagai macam upaya penanggulangan gaky namun kurang memuaskan. dalam upaya membantu penanggulangan masalah gaky dapat dilakukan dengan skrining dini, salah satunya adalah pemeriksaan thyroid stimulating hormone (tsh) darah. tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan kadar tsh darah dengan perkembangan motorik bayi usia bawah 2 tahun. penelitian ini adalah studi observsional dengan desain cross sectional. subyek penelitian ini adalah 35 bayi usia bawah 2 tahun yang di ambil secara acak di 4 dusun, desa tegalrandu, kecamatan srumbung, kabupaten magelang. pengukuran kadar tsh darah menggunakan metode elisa blood spot. pengukuran perkembangan motorik dilakukan dengan menggunakan tes denver ii. analisis data menggunakan uji korelasi pearson. hasil pengukuran nilai rata-rata kadar tsh darah bayi usia bawah 2 tahun di desa tegalrandu adalah 7,15 µiu/l (optimal: 0,7-34 µiu/l). uji korelasi pearson untuk hubungan tsh darah dengan perkembangan motorik kasar p = 0,021 dan nilai r = -0,389, hubungan tsh darah dengan perkembangan motorik halus p = 0,891 r = 0,024. disimpulkan bahwa terdapat korelasi yang bermakna antara kadar tsh darah dengan perkembangan motorik kasar namun tidak terdapat korelasi yang bermakna antara kadar tsh darah dengan perkembangan motorik halus. kata kunci : gangguan akibat kekurangan yodium, thyroid stimulating hormone, perkembangan motorik abstrak one of the health problems that interfere growth and development of indonesia children is iodine deficiency disorders (idd). for some period of time, the government has made various efforts to prevent idd, but the result is unsatisfying. to support the prevention of idd problems it can be done through early screening, that is by examination of thyroid stimulating hormone (tsh) of blood. the purpose of this research was to determine the relationship between blood tsh level and the motor development of baby under 2 years old. this research was observational study with cross-sectional design. the subjects of this study were 35 babies under 2 years old that taken randomly from 4 districts, tegalrandu village, srumbung sub-district, magelang regency. the measurement of blood tsh levels used elisa method blood spot. the measurement of motor development was done by denver ii test. the data was analyzed by pearson correlation test. the results measurements of the average value stymulating thyroid hormone levels (tsh) blood on babies under 2 years old in the tegalrandu village was 7.15 ¼iu / l (optimal: 0.7 to 34 ¼iu / l). pearson correlation test for tsh blood relationship with gross motor development value is p = 0.021 and r = -0.389, the correlation between blood tsh and the development of fine motor is p = 0.891 r = 0.024. the artikel penelitian mutiara medika vol. 16 no. 1: 27-32, januari 2016 28 zulkhah noor, dkk., hubungan kadar thyroid stimulating hormone pendahuluan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang dapat menghambat tumbuh kembang balita di indonesia adalah gangguan akibat kekurangan yodium (gaky).1 berdasarkan data who tahun 2005, tercatat ada 130 negara di dunia mengalami masalah gaky, sebanyak 48% tinggal di afrika dan 41% di asia tenggara dan sisanya di eropa dan pasifik barat. survey nasional pemetaan gaky, indonesia dikategorikan dalam 21% endemik ringan, 5% endemik sedang dan 7% endemik berat. 2 berbagai upaya pemerintah telah dilakukan dalam penanggulangan gaky ini, upaya-upaya tersebut dapat dikelompokan menjadi kegiatan jangka pendek melalui pemberian suplementasi yodium dan kegiatan jangka panjang dengan pemasyarakatan garam beryodium. semua upaya yang dilakukan pemerintah belum memberikan hasil yang memuaskan. oleh karena itu perlu dilakukan skrining sejak dini, terutama dimulai pada saat bayi baru lahir sampai dengan umur 2 tahun. salah satu skrining yang biasa dilakukan adalah menggunakan pemeriksaan kadar thyroid stimulating hormone (tsh).3 kecamatan srumbung terletak di lereng gunung merapi dengan ketinggian 500-1500 dpl. hal tersebut menandakan bahwa kandungan yodium tanah kurang atau tidak mencukupi kebutuhan untuk pembuatan hormon tiroid karena terbawa erosi. berdasarkan hasil deteksi dan rujukan puskemas srumbung tahun 2008, angka kejadian hipotiroid pada neonatus mencapai 2,08%. keadaan ini menunjukan perlunya dilakukan penelitian pemantauan perkembangan balita di daerah tersebut. bahan dan cara penelitian ini menggunakan metode observasional dan data yang diambil secara cross sectional untuk mengetahui hubungan antara kadar thyroid stimulating hormone (tsh) darah bayi dengan perkembangan bayi usia bawah 2 tahun di daerah endemik gaky. penelitian ini dilakukan pada bulan mei sampai dengan bulan agustus 2012 yang berlokasi di 4 dusun di desa tegalrandu, kecamatan srumbung, kabupaten magelang. populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah bayi yang berusia dibawah 2 tahun di kecamatan srumbung, kabupaten magelang. sampel yang digunakan adalah anak bawah 2 tahun berjumlah 35 orang yang diambil dari 4 dusun berbeda yang masuk dalam kategori inklusi. sebagai kriteria inklusi adalah bayi yang berumur 0 – 2 tahun, lahir dan menetap di daerah endemik gaky, serta mendapat persetujuan dari wali untuk menjadi responden. adapun bayi yang tertidur, menolak untuk dilakukan pemeriksaan dan terdapat infeksi yang dapat mengganggu perkembangan otak dikeluarkan dari sampel penelitian. sebagai variabel bebas adalah kadar thyroid stimulating hormone (tsh), sedang variabel tergantung adalah perkembangan motorik bayi usia bawah conclusion is that there is a significant correlation between blood tsh levels with gross motor development, but no significant correlation between blood tsh levels with the development of fine motor skills. key words : iodine deficiency disorders, thyroid stymulating hormone, motor development 29 mutiara medika vol. 16 no. 1: 27-32, januari 2016 dua tahun. sementara variabel pengganggu adalah faktor genetik, asupan makanan, lingkungan (penatal dan postnatal). dalam pelaksanaannya penelitian ini menggunakan beberapa instrumen antara lain: kuesioner tentang kependudukan, inform konsen, alat pengambil darah (lancet, kapas, dan alkohol), kertas saring tsh, form test denver ii. kegiatan ini diawali dengan sosialisasi mengenai tujuan dari penelitian dan penyuluhan pengetahuan dasar tentang gaky. pengambilan data diawali dengan pemberian kuesioner kepada subyek penelitian guna mendapatkan data yang berhubungan dengan kriteria inklusi dan eksklusi serta data-data yang mendukung penelitian ini. peneliti juga melakukan pengukuran perkembangan bayi usia bawah dua tahun yang meliputi perkembangan motorik kasar dan perkembangan motorik halus. pengukuran perkembangan dilakukan dengan menggunakan grafik denver ii. tahap berikutnya adalah pengambilan darah kapiler menggunakan lancet pada ujung jari anak yang berusia bawah dua tahun, darah yang keluar diletakan pada kertas saring dengan diameter minimal 1 cm. hasil pengambilan sampel darah dikirim ke laboratorium bp gaky magelang untuk dilakukan pengukuran tsh dengan menggunakan metode elisa blood spot. hasil penelitian dianalisis dengan uji korelasi pearson. hasil berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapatkan data rerata tsh bayi usia bawah 2 tahun adalah 7,15 µiu/l, hal tersebut menunjukan bahwa status tsh di daerah tersebut tergolong optimal (0,734 µiu/l).4 perkembangan motorik dibagi menjadi dua segi aspek, yakni aspek perkembangan motorik kasar dan aspek perkembangan motorik halus. kedua parameter ini dianalisis menggunakan uji korelasi pearson dan didapatkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kadar tsh darah dengan perkembangan motorik kasar dengan nilai p = 0,021 (p<0,05) dan nilai r = -0,389 yang menunjukan korelasi yang rendah dan arah korelasinya adalah negatif menunjukan kecenderungan terbalik yaitu semakin besar nilai satu variabel semakim kecil nilai variabel lainnya. hasil pengukuran menunjukan terdapat 5% bayi usia bawah 2 tahun yang mengalami suspek keterlambatan dengan kadar tsh yang tinggi, dan frekuensi terbanyak adalah bayi dengan perkembangan normal dengan status tsh optimum (lihat tabel 1.). sementara pada aspek motorik halus tidak didapatkan hubungan yang signifikan p = 0,891 (p>0,05). pada tabel 2. didapatkan satu bayi yang dicurigai keterlambatan dengan status tsh optimal, tabel 1. distribusi frekuensi perkembangan motorik kasar bayi bawah 2 tahun berdasarkan status tsh no. status tsh status perkembangan motorik kasar uji korelasi pearson normal suspek terlambat tidak dapat dites n % n % n % 1. tinggi 0 0 2 6 0 0 p = 0,021 r = -0,389 2. optimum 25 71 8 23 0 0 3. rendah 0 0 0 0 0 0 total 25 71 10 29 0 0 30 zulkhah noor, dkk., hubungan kadar thyroid stimulating hormone frekuensi terbanyak adalah bayi normal dengan status tsh optimal sebanyak 85,71% (lihat tabel 2.). diskusi status tsh desa tegal randu. penilaian tsh dalam darah berfungsi untuk memprediksi fungsi kelenjar tiroid. tingginya tsh dalam darah mengindikasikan bahwa adaya gangguan fungsi pada kelenjar tiroid, kurangnya sintesis hormon tiroid mengakibatkan kadar tetraiodotironin (t4) dan triiodotironin (t3) bebas dalam darah berkurang sehingga memicu sekresi thyroid stimulating hormone (tsh) dan merangsang kelenjar tiroid untuk menyerap lebih banyak yodium. hal ini menyebabkan kelenjar ini membesar.5 penilaian profil tsh suatu daerah dapat dilihat dengan menghitung nilai rata-rata tsh. nilai ratarata daerah desa tegalrandu menunjukan status optimal. hal ini membuktikan bahwa pemerintah sangat memperhatikan kecamatan srumbung sebagai daerah bekas endemik berat. berdasarkan data kuesioner yang di ambil di 4 dusun antara lain dusun ngelo, dusun losari, dusun njengkol dan dusun tegal randu hanya terdapat 2 bayi yang mendapat supplementasi yodium. hal ini menunjukan desa tegal randu telah terbebas dari daerah endemik gaky. pemberian suplementasi yodium tidak dilakukan secara menyeluruh, namun hanya tertuju pada bayi yang memiliki resiko terjadi hipotiroid. perkembangan motorik bayi bawah 2 tahun desa tegalrandu. proses motoris terjadi atas kerja beberapa bagian tubuh, syaraf dan otak dan juga otot sehingga terjadi gerakan baik gerak reflek atau gerak tak disadari maupun yang disadari. saraf motoris atau dikenal dengan saraf eferen dengan dendrite akan menuju ke otot. jika impuls listrik sampai ke otot, maka ujung akson engeluarkan zat kimia, sehingga otot berkontraksi dan terjadi proses motoris.6 saat anak lahir berat otak sekitar 25% dibanding dewasa dan pada usia 6 bulan beratnya telah mencapai 50% dan saat usia 2 tahun berat otak telah mencapai 75% dari otak dewasa. pertumbuhan otak mencerminkan pertumbuhan ganglion yang menyelubungi dan melindungi saraf serta menyediakan struktur pendukung, mengatur zat gizi dan memperbaiki jaringan sel saraf. beberapa ganglion bertanggun jawab untuk tugas penting myelinisasi, dimana bagian-bagian sel saraf ditutupi oleh sejumlah lapisan lemak. permbungkus tersebut dinamakan myelin. penyekekatan setiap bagian sel saraf membuat sel saraf lebih efisien dlam memancarkan atau mengirim informasi.7 hasil distribusi frekuensi status perkembangan motorik kasar bayi usia bawah dua tahun didapatkan 71% anak dengan perkembangan normal dan 29% anak yang diduga mengalami keterlambatan. frekuensi perkembangan motorik halus adalah sebanyak 92% masih dalam batas normal dan 2% tabel 2. distribusi frekuensi perkembangan motorik halus dengan status tsh bayi usia bawah 2 tahun no. status tsh status perkembangan motorik halus uji korelasi pearson normal suspek terlambat tidak dapat dites n % n % n % 1. tinggi 2 6 0 0 0 0 p = 0,891 r = 0,024 2. optimum 32 91 1 3 0 0 3. rendah 0 0 0 0 0 0 total 34 97 1 3 0 0 31 mutiara medika vol. 16 no. 1: 27-32, januari 2016 diduga mengalami keterlambatan. hal ini membuktikan bahwa status keterlambaan perkembangan anak di desa tegalrandu cukup tinggi insidensinya. status tsh dengan perkembangan motorik. hasil dari penelitian status tsh yang dihubungkan dengan status perkembangan bayi usia bawah dua tahun menggunakan denver ii di kecamatan srumbung menggunakan uji korelasi memperlihatkan terdapat korelasi yang bermakna (p = 0,021) pada aspek motorik kasar dan tidak terdapat korelasi yang bermakna pada aspek motorik halus (p = 0,891). penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adakah hubungan kadar tsh darah dengan perkembangan motorik anak. tsh merupakan hormon yang mutlak diperlukan pada tumbuh kembang anak, karena mempunyai fungsi pada metabolisme protein, karbohidrat dan lemak. demikian pula dengan pertumbuhan dan perkembangan fungsi otak sangat tergantung pada tersedianya hormon ini dalam kadar yang cukup.8 hormon tiroid diperlukan untuk perkembangan otak, terutama pada saat bayi baru lahir. otak tikus pada 10 hari post partum perkembangannya sesuai dengan otak manusia pada saat lahir dan otak tikus pada saat lahir perkembangannya sama dengan otak manusia pada masa kehamilan 5-6 bulan. penelitian terdahulu menunjukan pertumbuhan otak pada tikus yang hipoiroid saat lahir, pertumbuhan otak secara bermakna rusak, tetapi tidak tampak efeknya pada jumlah neuron otak, namun ukuran otak mengecil. apabila diberikan hormon tiroid yang berlebihan pada saat tersebut maka akan meninggkatkan laju proliferasi sel pada otak secara bermakna, terutama pada bagian otak yang mengalami neurogenesis postnatal, hal ini karena fase g1 pada mitosis yang memendek yang menghasilkan kenaikan jumlah sel. namun demikian pemberian hormon tiroid secara berlebihan secara dini, akan menghentikan laju proliferasi sel, sehingga jumlah sel pada saat matur berkurang yang mengakibatkan pertumbuhan otak terhambat. dapat disimpulkan bawha perkembangan neurologis mengikuti tahapan-tahapan pokoknya, dimana hormon tiroid dapat bekerja sebagai stimulasi diferensiasi pada suatu saat dan pada saat yang lain dapat menghentikan lahu proliferasi.9 secara umum perkembangan anak tidaklah lepas dengan pertumbuhan anak, keduanya merupakan proses yang berkesinambungan yang terjadi sejak intrauterin dan terus berlangsung sampai dewasa untuk pertumbuhan. proses tumbuh kembang anak mempunyai beberapa ciri-ciri, yang pertama adalah perkembangan terjadi karena timbulnya pertumbuhan, misalnya perkembangan intelegensia pada seorang anak akan menyertai pertumbuhan otak dan serabut saraf. kedua, pertumbuhan dan perkembangan awal menentukan tumbuh kembang tahap berikutnya, misalnya seorang anak tidak akan bisa berjalan sebelum bisa berdiri, dan seorang anak tak akan bisa berdiri sebelum pertumbuhan kaki dan bagian tubuh lain yang terkait dengan fungsi berdiri terhambat. ketiga, perkembangan mempunyai tahap yang tetap, misal seorang anak tidak mungkin mampu membuat gambar lingkaran sebelum bisa membuat gambar kotak.6 sejalan dengan penelitian sumarmi, dkk (2007) tentang pertumbuhan dan perkembangan anak usia bawah dua tahun di daerah endemik gondok di kabupaten jombang, jawa timur, menunjukan bahwa pola pertumbuhan anak dari ibu penderita gondok dan bukan penderita gondok tidak berbeda, namun per32 zulkhah noor, dkk., hubungan kadar thyroid stimulating hormone kembangan anak dari ibu penderita gondok secara umum lebih baik dari pada anak dari ibu penderita gondok.10 penelitian choudhury (2003) yang berjudul subclinical prenatal iodine deficiency negatively affects infant development in northern china disebutkan bahwa tsh tali pusat memiliki hubungan yang signifikan dengan kognitif namun tidak berkorelasi dengan perkembangan motorik, hal ini mungkin disebabkan karena perbedaan sosiokultural di indonesia dengan di cina. simpulan nilai rata-rata kadar tsh bayi bawah 2 tahun di desa tegalrandu masih dalam batas optimum. terdapat hubungan yang signifikan antara tsh dengan perkembangan motorik kasar namun tidak pada perkembangan motorik halus. perlu penelitian lebih lanjut mengenai berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik bayi di daerah endemik gaky. daftar pustaka 1. djokomoeljarto, r. gangguan akibat kurang iodium. buku ajar ilmu penyakit dalam. jilid iii edisi v: 2009-2015. jakarta: fkui. 2009. 2. depkes. pedoman pelaksanaan stimulasi, deteksi dan intervensi dini tumbuh kembang anak. jakarta. 2010. 3. susanto, r. skrining hipotiroidisme neonatal, hipotiroidisme kongenital, dan hipotiroidisme didapat. semarang: rs. dr. kariadi bagian ilmu kesehatan anak fk undip. 2009. 4. medlineplus. tsh test. 2010, 12 oktoer. http:/ /www.nlm.nih.gov/medlineplus/ ency/article/ 003684.htm, diakses 11 april 2012 5. hetzel, b.s. an overview of the prevention and control of iodine deficiency disorder; in hetzel j.t. dunn and j.b. stanbury (ed) new york: elsevier science plubbisher. 2005. hal.7-29. 6. suhartini, b. tahap perkembangan motorik bayi. yogyakarta: fkik universitas negeri yogyakarta. 2011. 7. hertherington, e.m. & parke, r.d. child psycology : cotemporary view point. 5th ed. usa : mc graw-hill, inc. 1999. 8. soetjiningsih. tumbuh kembang anak. jakarta : egc. 2006. 9. susanto, r. outcome kehamilan dari ibu hipo dan hipertiroid. 2006. semarang: bagian ilmu kesehatan anak fkuniversitas diponegoro/ rs dr. kariadi semarang. 2009. 10. sumarmi, s., puspitasari, n., dwiyanti, e. pertumbuhan dan perkembangan anak usia di bawah dua tahun (baduta) dari ibu penderita gondok. surabaya : universitas airlangga. 2007. 57 mutiara medika vol. 16 no. 2: 57-65, juli 2016 analisis faktor minat lansia datang ke posyandu factor analysis elderly interests come to posyandu dwi retnaningsih1*, tamrin2, dyah restuning3, fitrianingsih4 1, 2, 3 program studi ilmu keperawatan, sekolah tinggi ilmu kesehatan widya husada semarang 4 program studi ners sekolah tinggi ilmu kesehatan widya husada semarang *email: dwiretnaningsih81@yahoo.co.id abstrak posyandu lansia merupakan program pemerintah untuk melayani kesehatan lansia, namun demikian tidak semua lansia memanfaatkan pelayanan ini. kurangnya minat lansia datang ke posyandu menyebabkan pelayanan kesehatan lansia kurang optimal. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan minat lansia datang ke posyandu lansia. jenis penelitian yang digunakan adalah korelatif, dengan desain cross sectional. sampel adalah seluruh lansia yang ada di rw 3 kelurahan cangkiran kecamatan mijen semarang yang berjumlah 43 responden. data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan dianalisis menggunakan uji rank spearman (± = 0,05). sebagian besar responden memiliki pengetahuan kurang 14 (33,33%) lansia menempuh jarak jauh 21 (49,9%) dan kurang mendapat dukungan keluarga 14 (33,32%). berdasarkan analisis bivariat dari tiga variabel yaitu pengetahuan (p-value = 0,049), jarak ( p-value = 0,046) dan dukungan keluarga (p-value = 0,047) terdapat hubungan antara pengetahuan, jarak tempat tinggal dan dukungan keluarga terhadap minat lansia. kata kunci: pengetahuan, jarak tempat tinggal, dukungan keluarga, minat lansia, posyandu lansia abstract posyandu elderly is a government program to serve the health of the elderly. however not all elderly people take advantage of this service. lack of interest in the elderly the elderly come to posyandu cause less than optimal elderly health care. this research aimed to knowing factors associated with elderly interests come to posyandu elderly. the method research is correlative, with cross sectional design. the population of research was all elderly in rw 3 village cangkiran mijen district of semarang amounted to 43 respondents. data were collected using a questionnaire and analysi using spearman rank test (± = 0,05). the majority of respondents lack knowledge 14 (33,33%) elderly over long distances 21 (49,9%) elderly family support lack 14 (33,32%). based on nivariate analysis of thee variables : knowledge (p-value= 0,049), distance (p-value= 0,046), and family support (p-value= 0,047). there was associated between knowledge, the distance of residence, and family support against the interests of the elderly. keywords: knowledge, distance shelter, support family, elderly interests, posyandu erderly artikel penelitian mutiara medika vol. 16 no. 2: 57-65, juli 2016 pendahuluan pembangunan kesehatan di indonesia sudah cukup berhasil, karena dilihat dari sisi angka harapan hidup telah meningkat. meningkatnya angka harapan hidup, menyebabkan meningkatnya jumlah lanjut usia (lansia) di indonesia. hal ini berarti kelompok risiko dalam masyarakat menjadi lebih tinggi, sehingga perlu peningkatan pelayanan kesejahteraan bagi lansia. pelayanan kesejahteraan bagi warga lansia secara umum boleh dikatakan masih merupa58 dwi retnaningsih, dkk., analisis faktor minat lansia kan hal yang baru. hal ini dikarenakan prioritas yang diberikan pada populasi lanjut usia memang baru aja mulai diperhatikan. dibandingkan dengan negara maju, misalnya amerika dan australia, indonesia kurang tanggap dalam hal memberikan kesejahteraan bagi lansia.1 lanjut usia adalah bagian dari proses tumbuh kembang. manusia tidak secara tiba-tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak-anak, dewasa dan akhirnya menjadi tua.2 menurut undang-undang nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia, lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas. indonesia merupakan negara keempat dengan jumlah lansia terbanyak setelah china, india dan amerika. berdasarkan sensus penduduk 2010 jumlah penduduk indonesia 237.641.326 jiwa dan jumlah lanjut usia 18,1 juta jiwa (7,6 % dari total penduduk). pada tahun 2014 jumlah penduduk lanjut usia di indonesia 18,871 juta jiwa dan diperkirakan pada tahun 2025 jumlahnya akan mencapai 36 juta jiwa.3 besarnya populasi lanjut usia serta pertumbuhan yang sangat cepat menimbulkan berbagai permasalahan terutama dari segi kesehatan dan kesejahteraan lansia, sehingga lansia perlu mendapatkan perhatian yang serius dari semua sektor untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mutu lansia. salah satu bentuk perhatian terhadap lansia adalah terlaksananya pelayanan kesehatan pada lanjut usia melalui kelompok posyandu lansia.4 posyandu lansia adalah pos pelayanan terpadu untuk masyarakat lanjut usia yang sudah disepakati, yang digerakkan oleh masyarakat. di posyandu lansia, masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan. posyandu lansia juga merupakan forum komunikasi dalam bentuk peran serta masyarakat dan organisasi sosial dalam penyelenggaraannya, dalam upaya peningkatan kesehatan secara optimal.5 ada berbagai macam pelayanan yang harus dilalui lansia saat datang ke posyandu lansia. pelayanan posyandu lansia ini berbeda dengan posyandu balita yang terdapat sistem 5 meja, pelayanan yang diselenggarakan dalam posyandu lansia tergantung pada mekanisme dan kebijakan pelayanan kesehatan di suatu wilayah kabupaten maupun kota penyelenggara. ada yang menyelenggarakan posyandu lansia sistem 5 meja seperti posyandu balita, ada juga menggunakan sistem pelayanan 7 meja, ada juga hanya menggunakan sistem 3 meja. adapun kegiatan untuk tiap mejanya adalah sebagai berikut: meja i) tempat pendaftaran lansia, pengukuran tinggi badan dan penimbangan berat badan; meja ii) melakukan pencatatan berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh (imt). pelayanan seperti pengobatan sederhana dan rujukan kasus juga dilakukan di meja ii ini; dan meja iii) kegiatan penyuluhan atau konseling dan pelayanan pojok gizi.5 pelayanan kesehatan di posyandu lansia meliputi pemeriksaan kesehatan fisik dan mental emosional yang dicatat dan dipantau dengan kartu menuju sehat (kms) untuk mengetahui lebih awal penyakit yang diderita atau ancaman masalah kesehatan yang di hadapi.5 pemerintah telah merumuskan berbagai peraturan dan perundang-undangan, yang di antaranya seperti tercantum dalam undang-undang dasar no. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, pasal 19 dan peraturan menteri dalam negeri nomor 54 tahun 2007 tentang pembentukan posyandu, disebutkan bahwa kesehatan manusia pada usia lanjut diarahkan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan dan 59 mutiara medika vol. 16 no. 2: 57-65, juli 2016 kemampuannya agar tetap produktif, serta pemerintah membantu penyelenggaraan upaya kesehatan usia lanjut untuk meningkatkan kualitas hidupnya secara optimal. oleh karena ini berbagai upaya dilaksanakan untuk mewujudkan masa tua yang sehat, bahagia, berdaya guna dan produktif.6 fenomena di lapangan menunjukkan fakta yang berbeda, posyandu lansia ternyata hanya ramai pada awal pendirian saja. para lansia tidak semuanya mau mengikuti program yang diselenggarakan oleh pemerintah. faktor yang mempengaruhi perilaku menurut teori lawrence green sebagaimana dikutip dalam notoatmodjo (2010),7 yang termasuk dalam faktor perilaku di antarannya yaitu faktor yang mempengaruhi minat lansia terhadap posyandu lansia, ditentukan oleh tiga faktor utama yaitu, faktor predisposisi (predisposising factor) yang mencangkup pengetahuan atau kognitif, faktor pendukung (enabling factor) yang mencangkup fasilitas sarana kesehatan (jarak posyandu lansia) dan faktor penguat (reinforcing factor) yang mencangkup dukungan keluarga. faktor predisposisi yang mencangkup pengetahuan atau kognitif adalah domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. perilaku yang didasari oleh pengetahuan dan kesadaran akan bersifat langgeng, sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan tidak akan berlangsung lama.7 faktor pendukung yang mencangkup fasilitas sarana kesehatan yaitu jarak posyandu lansia dengan tempat tinggal lansia,7 faktor jarak dan biaya pelayanan kesehatan dengan rumah berpengaruh terhadap perilaku penggunaan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan.8 faktor penguat mencangkup dukungan keluarga yang mempengaruhi minat lansia terhadap posyandu. keluarga juga merupakan tempat dimana individu memulai hubungan interpersonal dengan lingkungannya.8 berdasarkan survei data awal dilakukan di puskesmas mijen terdapat 21 tempat posyandu lansia. posyandu lansia dilaksanakan di masingmasing tempat kader yang ada di 21 posyandu lansia. sesuai data yang ditemukan bahwa ada posyandu yang kunjungan lansianya rendah sekitar 25-30 orang. desa cangkiran termasuk desa yang kunjungan lansianya rendah yang terdiri dari 8 rw dengan 2 posyandu lansia, posyandu lansia rw 3 kunjungan lansianya lebih rendah daripada posyandu lainnya. didapatkan data dari kader lansia bahwa di tahun 2014 dengan jumlah 96 lansia yang datang ke posyandu lansia 23-25 lansia. berdasarkan hasil wawancara pada 20 lansia didapatkan bahwa 8 lansia tidak mengetahui dan 12 lansia mengetahui tentang posyandu lansia, sedangkan jarak rumah lansia ke posyandu lansia didapatkan dari hasil wawancara pada 20 lansia, 15 lansia mengatakan dekat dan 5 lainnya mengatakan jauh dan dukungan keluarga didapatkan hasil wawancara pada 20 lansia, 6 lansia mendapatkan dukungan dari keluarga dan 14 lansia lainnya tidak mendapatkan dukungan dari keluarganya. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan minat lansia datang ke posyandu lansia. bahan dan cara berdasarkan tujuan dan permasalahan yang diteliti, maka rancangan penelitian ini menggunakan metode observasional dengan pendekatan cross sectional. penelitian ini dilaksanakan di rw 3 60 dwi retnaningsih, dkk., analisis faktor minat lansia kelurahan cangkiran kecamatan mijen semarang pada tanggal 13 juni samapi 15 juni tahun 2016. populasi adalah seluruh lansia yang ada di rw 3 kelurahan cangkiran kecamatan mijen semarang yang berjumlah 43 responden. jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 43 responden dengan menggunakan teknik total sampling. data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan dianalisis menggunakan uji rank spearman. hasil tabel 1. menunjukkan bahwa karakteristik responden berdasarkan umur, sebagian besar lansia berumur 60-65 tahun (29 orang; 67,4%), sedangkan yang berumur 66 74 tahun sebanyak 14 orang (32,6%). distribusi berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa responden perempuan lebih banyak (53,5%), dari pada laki-laki (46,5%). distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan menunjukkan bahwa sebagian besar lansia tidak berpendidikan formal yaitu sebanyak 28 orang (65,1%), tingkat sekolah dasar (sd) sebanyak 8 orang (18,6%), sekolah lanjut tingkat pertama (sltp) sebanyak 4 orang (9,3%) dan yang memiliki pendidikan setingkat sekolah lanjut tingkat atas (slta) hanya sebanyak 3 orang (7,0%). tabel 2. distribusi frekuensi responden berdasarkan pengetahuan, jarak tempat tinggal, dukungan keluarga, minat lansia lansia pengetahuan frekuensi (f) persentase (%) baik 20 46,5 cukup 12 27,9 kurang 11 25,6 jarak tempat tinggal jauh 21 48,9 dekat 22 51,1 dukungan keluarga baik 22 51,1 cukup 14 32,6 kurang 7 16,3 minat lansia tinggi 29 67,4 sedang 11 25,6 rendah 3 7,0 jumlah (n) 43 100 meskipun sebagian besar responden tidak berpendidikan formal atau hanya berpendidikan rendah, namun pengetahuan tentang keberadaan posyandu lansia tergolong baik. tabel 2. menunjukkan bahwa pengetahuan responden tentang posyandu kategori baik sebanyak 20 orang (46,5%), sedangkan yang termasuk kategori cukup sebanyak 12 orang (27,9%) dan yang memiliki pengetahuan yang kurang mengenai keberadaan posyandu lansia sebanyak 11 orang (25,6%). aspek jarak tempat tinggal lansia ke posyandu lansia di kelurahan cangkiran kecamatan mijen semarang menunjukkan bahwa 21 orang (48,9%) memiliki tempat tinggal dikategorikan jauh (> 500 meter) dan yang tempat tinggalnya dekat (< 500 meter) dengan posyandu lansia sebanyak 22 orang (51,1%). aspek dukungan keluarga menunjukkan bahwa dukungan keluarga lansia dengan kategori baik sebanyak 22 orang (51,1%), sedangkan dukungan keluarga lansia dengan kategori cukup sebanyak 14 orang (32,6%) dan dukungan keluarga lansia dengan kategori kurang sebanyak 7 orang (16,3%). tabel 1. karakteristik responden berdasarkan umur, jenis kelamin, pendidikan umur frekuensi (f) persentase (%) 60 65 14 32,6 66 74 29 67,4 jenis kelamin laki – laki 20 46,5 perempuan 23 53,5 pendidikan tidak sekolah 28 65,1 sd 8 18,6 sltp 4 9,3 slta 3 7,0 jumlah (n) 43 100 61 mutiara medika vol. 16 no. 2: 57-65, juli 2016 berdasarkan aspek minat lansia untuk mendatangi posyandu, tampak bahwa sebanyak 29 orang (67,4%) lansia memiliki minat yang tinggi, sedangkan kategori sedang sebanyak 11 orang (25,6%) dan hanya 3 orang (7,0%) minat lansia ke posyandu kategori rendah. tabel 3. menunjukkan bahwa pengetahuan lansia yang tergolong baik dan memiliki minat tinggi mendatangi posyandu sebanyak 10 (23,2%), pengetahuan lansia yang tergolong cukup dan memiliki minat tinggi mendatangi posyandu sebanyak 10 (23,2%) lansia dan pengetahuan lansia yang tergolong kurang dan memiliki minat tinggi mendatangi posyandu sebanyak 9 orang. hasil uji korelasi rank spearman untuk mengetahui hubungan pengetahuan lansia terhadap minat lansia mendatangi posyandu, menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan (p = 0,049) dan bersifat negatif dengan koefisien korelasi (r) sebesar -0,302. tabel 4. menunjukkan bahwa jarak tempat tinggal lansia dengan posyandu yang tergolong jauh tetapi memiliki minat mendatangi posyandu tinggi sebanyak 11 orang (25,6%). lansia yang tinggal dekat dengan posyandu dan memiliki minat tinggi untuk mendatangi posyandu sebanyak 18 orang (41,8%). hasil uji rank spearman untuk mengetahui hubungan antara jarak tempat tinggal lansia dengan minat lansia untuk mendatangi posyandu di kelurahan cangkiran kecamatan mijen semarang, menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif dengan nilai p = 0,046 dan koefisien korelasi (r) sebesar -0,305. tabel 5. menunjukkan bahwa dukungan keluarga lansia yang tergolong baik dan memiliki minat tinggi untuk mendatangi posyandu sebanyak 12 (27,9%). lansia yang mendapat dukungan keluarga tergologn cukup dan memiliki minat tinggi untuk mendatagi posyandu sebanyak 11 orang (25,6%). lansia yang kurang mendapatka dukungan keluarga tetapi memiliki minat tinggi untuk mendtangi posyandu sebanyak 6 orang (13,9%). hasil uji rank spearman untuk mengetahui hubungan antara dukungan keluarga terhadap minat lansia untuk mendatangi posyandu di kelurahan cangkiran kecamatan mijen semarang, menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan (p = 0,047) dan bersifat negatif dengan nilai koefisien korelasi sebesar -0,305. diskusi karakteristik responden berdasarkan umur responden posyandu lansia di kelurahan cangkiran kecamatan mijen semarang, sebagian besar restabel 3. hub ungan an tara pen getahuan lan sia terhadap minat lansia pengetahuan minat lansia total tinggi sedang rendah f % f % f % f % baik 10 23,2 8 18,6 2 4,7 20 46,5 cukup 10 23,2 2 4,7 0 0 12 27,9 kurang 9 21,0 1 2,3 1 2,3 11 25,6 total 29 67,4 11 25,6 3 7,0 43 100 r -0,302 p 0,049 tabel 4. hub ungan jarak tempat t ingg al t erhadap minat lansia jarak tempat tinggal minat lansia total tinggi sedang rendah f % f % f % f % jauh 11 25,6 8 18,6 2 4,7 21 48,9 dekat 18 41,8 3 7.0 1 2,3 22 51,1 total 29 67,4 11 25,6 3 7,0 43 100 r -0,305 p velue 0,046 tabel 5. hubungan dukungan keluarga terhadap minat lansia dukungan keluarga minat lansia total tinggi sedang rendah f % f % f % f % baik 12 27,9 7 16,2 3 7,0 22 51,1 cukup 11 25,6 3 7,0 0 0 14 32,6 kurang 6 13,9 1 2,3 0 0 7 16,3 total 29 67,4 11 25,6 3 7,0 43 100 r -0,305 p velue 0,047 62 dwi retnaningsih, dkk., analisis faktor minat lansia ponden yang berumur antara 60-65 yaitu sebanyak 29 orang (67,4%), sedangkan yang umur antara 66 74 sebanyak 14 orang (32,6%) dari keseluruhan jumlah responden. semakin bertambahnya umur lansia maka meningkatkan ketergantungan lansia kepada kaum yang lebih muda yang disebabkan secara alami lansia mengalami perubahan fisik, mental, ekonomi dan psikososialnya, sehingga menyebabkan lansia memerlukan pelayanan seperti posyandu lansia.9 jenis kelamin l ansia perem puan dal am penelitian ini lebih besar yaitu sebanyak 23 orang (53,5%), sedangkan lansia yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 20 orang (46,5%). penelitian yang dilakukan oleh fahrun (2009),10 tentang hubungan jenis kelamin terhadap kunjungan minat lansia ke posyandu menunjukkan tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kunjungan minat lansia (p = 0,725). data yang diperoleh menunjukkan bahwa lansia perempuan cenderung mempunyai perilaku yang lebih baik untuk mendatangi posyandu, namun tidak demikian dengan lansia laki-laki tergolong sedang dan rendah. hal ini diakibatkan oleh perbedaan sikap antara perempuan dan lakilaki. perempuan lebih bersikap tekun dalam mengikuti tindakan terutama yang berkaitan dengan program posyandu lansia. sebaliknya laki-laki lebih cepat bosan ketika mengikuti program dalam posyandu lansia. dengan demikian untuk memperbaiki perilaku lansia untuk berkunjung ke posyandu lansia perlu dilakukan promosi kesehatan, ceramah, penyuluhan dan lain-lain. hasil penelitian tentang distribusi tingkat pendidikan menunjukkan bahwa responden kurang berpendidikan dan tidak bersekolah yaitu sebesar 83,7%. pendidikan paling tinggi adalah slta sebesar 7,0%. penelitian yang dilakukan oleh lisza (2013),11 tentang hubungan antara tingkat pendidikan dengan motivasi lansia berkunjung ke posyandu lansia di desa dadi rej o kecam atan ti rto kabupaten pekalongan menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara tingkat pendidikan dengan minat lansia untuk mendatangi posyandu lansia (p = 0,002) dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,257. hal ini berarti bahwa tingkat pendidikan yang tinggi akan di ikuti minat yang tinggi untuk mendatangi posyandu. meskipun mayoritas tingkat pendidikan lansia pada penelitian ini rendah, namun tingkat pengetahuan lansia tentang posyandu telihat cukup memadai. lansia yang memiliki pengetahuan tergolong baik sebanyak 20 orang (46,5%), pengetahuan lansia kategori cukup sebanyak 12 orang (27,9%) dan pengetahuan lansia kategori kurang sebanyak 11 orang (25,6%). menurut notoatmodjo dalam buku maulana (2009),12 ada 6 tingkatan pengetahuan yaitu tahu, memahami, menerapkan, menganalisa, sintesa dan evaluasi. pengetahuan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor pendidikan, lingkungan sosial, kultur dan pengalaman, sehingga pengetahuan tidak berarti hanya sekedar tahu tetapi juga dilanjutkan dengan memahami, kemudian diterapkan, dianalisis, disintesis dan akhirnya dievaluasi. hasil penelitian dengan 43 lansia di rw 3 kelurahan cangkiran kecamatan mijen semarang menunjukkan bahwa jarak antara tempat tinggal lansia dengan posyandu lansia berkorelasi negatif dengan minat lansia untuk mendatangi posyandu. hal ini berarti bahwa semakin rendah jarak antara 63 mutiara medika vol. 16 no. 2: 57-65, juli 2016 tempat tinggal dengan posyandu (dekat), semakin tinggi minat untuk mendatangi posyandu. penelitian yang dilakukan oleh fahru et al. (2009),10 di kelurahan wonokusumo, kecamatan semampir, surabaya menunjukkan bahwa sebagian besar lansia mempunyai tempat tinggal jauh dari tempat pelaksanaan posyandu lansia (99%) dan lansia yang mempunyai tempat tinggal dekat dari tempat pelaksanaan posyandu lansia lebih sedikit (46,2%). bedasarkan hasil penelitian dengan 43 lansia di rw 3 kelurahan cangkiran kecamatan mijen semarang, bahwa dukungan keluarga lansia kategori baik sebanyak 22 orang (51,1%), dukungan keluarga lansia kategori cukup sebanyak 14 orang (32,6%) dan dukungan keluarga lansia kategori kurang sebanyak 7 orang (16,3%). hal ini didukung oleh hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh handayani dan wahyu (2012),13 yang menunjukkan dari 100 responden yang diteliti ada 60 responden (60%) yang memiliki dukungan rendah. bedasarkan hasil penelitian dengan 43 lansia di rw 3 kelurahan cangkiran kecamatan mijen semarang, bahwa minat lansia ke posyandu kategori tinggi sebanyak 29 orang (67,4%), minat lansia ke posyandu kategori sedang sebanyak 11 orang (25,6%) dan minat lansia ke posyandu kategori rendah sebanyak 3 orang (7,0%). menurut muhibbin (2008),14 secara sederhana, minat (interest) berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh fahrun et al. (2009),10 menunjukkan bahwa terdapat minat lansia yang mempengaruhi motivasi lansia untuk datang ke posyandu lansia. hasil anal isis uji rank spearman untuk hubungan pengetahuan lansia terhadap minat lansia ke posyandu di kelurahan cangkiran kecamatan mijen semarang, didapatkan bahwa nilai koefisien korelasi yaitu -0,302 dan diperoleh hasil p-value = 0,049 d” 0,050, sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan antara pengetahuan lansia terhadap minat lansia datang ke posyandu lansia di kelurahan cangkiran kecamatan mijen semarang. seiring dengan semakin meningkatnya populasi lansia, pemerintah telah merumuskan berbagai kebijakan pelayanan kesehatan usia lanjut ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mutu kehidupan lansia untuk mencapai masa tua bahagia dan berdaya guna dalam kehidupan dan masyarakat sesuai dengan keberadaannya. sebagai wujud nyata pelayanan sosial dan kesehatan pada lansia, pemerintah telah merencanangkan pelayanan pada lansia melalui beberapa jenjang. pelayanan kesehatan ditingkat masyarakat adalah posyandu lansia, pelayanan lansia tingkat dasar adalah pusat kesehatan masyarakat dan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan adalah rumah sakit.15 hasil penelitian dengan menggunakan uji rank spearman untuk hubungan jarak tempat tinggal lansia terhadap minat lansia ke posyandu di kelurahan cangkiran kecamatan mijen semarang, didapatkan bahwa nilai koefisien korelasi yaitu -0,305 dan diperoleh hasil p-value = 0,046 d” 0,050, sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan antara jarak tempat tinggal lansia terhadap minat lansia datang ke posyandu lansia di kelurahan cangkiran kecamatan mijen semarang. jarak adalah ruang sela (panjang atau jauh) antara dua benda atau tempat yaitu antara jarak 64 dwi retnaningsih, dkk., analisis faktor minat lansia rumah dengan posyandu. jangkauan pelayanan posyandu dapat ditingkatkan dengan bantuan pendekatan maupun pemantauan melalui kegiatan posyandu.16 posyandu sebaiknya berada pada tempat yang mudah dijangkau oleh masyarakat dan ditentukan oleh masyarakat sendiri, posyandu dapat dilaksanakan di pos pelayanan yang sudah ada, rumah penduduk, balai desa, balai rt atau di tempat khusus yang dibangun masyarakat.17 hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan uji rank spearman untuk hubungan dukungan keluarga terhadap minat lansia ke posyandu di kelurahan cangkiran kecamatan mijen semarang, didapatkan bahwa nilai koefisien korelasi yaitu 0,305 dan diperoleh hasil p-value = 0,047 d” 0,050, sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan antara dukungan keluarga terhadap minat lansia datang ke posyandu lansia di kelurahan cangkiran kecamatan mijen semarang. keluarga berperan penting bagi lansia dalam mempertahankan kesehatannya. dukungan keluarga juga sangat berperan dalam mendorong minat dan kesedi aan l ansi a untuk mengi kuti kegiatan posyandu lansia. penelitian yang dilakukan oleh kiilo (2015),18 menunjukkan terdapat hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan lansia berkunjung ke kelompok binaan khusus lansia di puskesmas global limboto kabupaten gorontalo dengan nilai p-value 0,007. yosep (2007),19 mengatakan keluarga merupakan tempat dimana individu memulai hubungan interpersonal dengan lingkungannya. keluarga merupakan institusi pendidikan utama bagi individu untuk belajar dan mengembangkan nilai, keyakinan, sikap dan perilaku. keluarga bisa menjadi motivator kuat bagi lansia apabila selalu menyediakan diri untuk mendampingi atau mengantar lansia ke posyandu lansia, mengingatkan lansia jika lupa jadwal posyandu lansia dan berusaha membantu mengatasi segala permasalahan bersama lansia. simpulan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan lansia terhadap minat lansia datang ke posyandu lansia dengan nilai koefisien korelasi yaitu -0,302 dan diperoleh hasil p-value = 0,049 d” 0,050. terdapat hubungan antara jarak tempat tinggal lansia terhadap minat lansia datang ke posyandu lansia dengan nilai koefisien korelasi yaitu -0,305 dan diperoleh hasil p-value = 0,046 d” 0,050. terdapat hubungan antara dukungan keluarga terhadap minat lansia datang ke posyandu lansia dengan nilai koefisien korelasi yaitu -0,305 dan diperoleh hasil p-value = 0,047 d” 0,050. peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian dengan variabel lebih banyak untuk lebih mengetahui faktor yang berhubungan dengan minat lansia dalam mengikuti posyandu lansia serta dapat dijadikan referensi. daftar pustaka 1 nurhayati k. faktor-faktor yang mempengaruhi lansia dalam pemanfaatan pos binaan terpadu (posbindu). ur: naskah asli tidak dipublikasikan. 2012. 2 azizah ml. keperawatan lanjut usia. yogyakarta: graha ilmu. 2011. 3 kemenkes ri. situasi dan analisis lanjut usia. jakarta. 2014. 4 kemenkes ri. menuju tua sehat mandiri dan produktif. jakarta. 2012. 65 mutiara medika vol. 16 no. 2: 57-65, juli 2016 5 sulistiyorini ic. posyandu dan desa siaga. yogyakarta: nuha medika. 2010. 6 abas ff. faktor yang mempengaruhi minat lansia dalam mengikuti posyandu lansia di wilayah pukesmas buko kabupaten boloang mongondow utara. 2015. 7 notoadmodjo s. promosi kesehatan dan ilmu perilaku. jakarta: rineka cipta. 2010. 8 rahmalia n, arneliwati, lestari w. 2014. faktorfaktor yang mempengaruhi minat lansia mengunjungi posyandu lansia. jom psik, 2014; 1 (2): 1-9. 9 maryam. mengenal usia lanjut dan perawatannya. jakarta: salemba medika. 2008. 10 fahrun nr, musrifatul u, uswatun h. faktorfaktor yang mempengaruhi kunjungan lansia di rw vii kelurahan wonokusumo kecamatan semampir surabaya. (skripsi ilmiah). universitas muhammadiyah surabaya. 2009. 11 lisza k. hubungan antara tingkat pengetahuan, tingkat pendidikan dan status pekerjaan dengan motivasi lansia berkunjung ke posyandu lansia di desa dadirejo kecamatan tirto kabupaten pekalongan. sekolah tinggi ilmu kesehatan muhammadiyah pekajangan pekalongan. 2016. 12 maulana hdj. promosi kesehatan. jakarta: egc. 2009. 13 handayani d dan wahyu. 2012. hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan dalam mengikuti posyandu lansia di posyandu lansia jetis desa krajan kecamatan weru kabupaten sukoharjo. gaster, 2012; 9 (1): 4958. 14 muhibbin s. psikologi pendidikan dengan pendekatan baru. bandung: remaja rosdakarya. 2008. 15 effendy n. dasar-dasar keperawatan kesehatan masyarakat. edisi 2. jakarta: egc. 2009. 16 budioro s. lanjut usia dan perawatan gerontik. yogjakarta: nuha medika. 2012. 17 effendy n. perawatan kesehatan masyarakat. jakarta: egc. 2008. 18 kiilo n. hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan lansia berkunjung ke kelompok binaan khusus lansia di puskesmas global limboto kabupaten gorontalo. skripsi. fakultas ilmu-ilmu kesehatan dan keolahragaan. universitas negeri gorontalo. 2015. 19 yosep i. mencegah gangguan jiwa mulai dari keluarga kita. fik unpad. bandung: pt refika aditama. 2007. mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm ©2017 mmjkk. all rights reserved vol 17 no 2 hal 62-66 juli 2017 efektifitas antioksidan ekstrak buah kari (muraya koenigii) terhadap kadar gula darah tikus putih diabetik antioxidant efectivity of extract kari fruit (muraya koenigii) that induced blood sugar levels of diabetic white rats emni purwoningsih 1* dan zulfadly 2 1 departemen biokimia, program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran, universitas muhammadiyah sumatera utara 2 fakultas kedokteran universitas muhammadiyah sumatera utara data naskah: masuk: 3 mar 2017 direviu: 17 apr 2017 direvisi: 15 jun 2017 diterima: 25 jun 2017 *korespondensi: emnipurwoningsih@umsu.ac.id doi: 10.18196/mm.170201 tipe artikel: penelitian abstrak: radikal bebas yang sangat reaktif dan tidak stabil di dalam tubuh dapat menyebabkan kerusakan seluler, jaringan dan mutasi gen. buah kari (muraya koenigii) memiliki konsentrasi antioksidan tertinggi sebesar 322,51 ppm dengan temperatur ekstraksi 70. penelitian ini bertujuan untuk menguji efektifitas antioksidan ekstrak buah m. koenigii terhadap kadar gula darah tikus putih diabetik. penelitian ini adalah true experimental pre and post with control group design. penelitian ini menggunakan tikus wistar, dibagi 5 kelompok masing-masing 5 ekor. kelompok k1 (kontrol negatif) diberi aquades peroral, 1cc , k1 (kontrol positif) pemberian stz secara ip dengan dosis 70 mg/kgbb, single dose, dan kelompok perlakuan (p)stz secara ip dengan dosis 70 mg/kgbb, single dose, kemudian pemberian ekstrak m. koenigii secaraoral sebanyak 1 cc pada hari ke tujuh selama 13 hari. dosis ekstrak buah m. koenigii p1 (0,25 g/kgbb), p2 (0,5 g/kgbb), dan p3 (1g/kgbb). hasil penelitian yang diperoleh adalah ada penurunan kadar gula darah pada kelompok kgd 2 dan kgd 3 jika dibandingkan dengan kgd 1. kesimpulan penelitian ini bahwa pemberian ekstrak buah m. koenigii pada tikus putih jantan yang diinduksi streptozotosin tidak menurunkan kadar gula darah secara signifikan pada berbagai kelompok perlakuan. kata kunci: diabetes melitus, muraya koenigii; fructus; streptozotosin abstract: free radicals are highly reactive and unstable in the body can cause cellular damage, tissue and gene mutations. curry fruit (muraya koenigii) has the highest antioxidant concentration of 322,51 ppm with extraction temperature 70. this research aims to test the effectiveness of antioxidant m. koenigii extract to blood sugar level of diabetic white rat. this research is true experimental pre and post with control group design. this study uses wistar rat, divided into 5 groups of 5 each. the k1 group (negative control) was given aquades peroral, 1cc, k1 (positive control) administration of stz with ip dose 70 mg/kgbb, single dose, and stz treatment group (p) ip with dose 70 mg / kgbb, single dose, then administering m. koenigii extract as much as 1 cc on the seventh day for 13 days. dose of m. koenigii extract fruit p1 (0,25 g/kgbb), p2 (0,5 g / kgbb), and p3 (1g/kgbb). the results of the study showed that there was a decrease in blood glucose levels in the kgd 2 and kgd 3 groups when compared to kgd 1. the conclusion of this study was that the administration of m. koenigii extract in streptozotosin-induced white male rats did not significantly decrease blood sugar levels in various treatment groups. key words: diabetes mellitus; muraya koenigii; fructus; streptozotocin | 63 pendahuluan berdasarkan data dari world health organization (who), angka kematian di dunia yang disebabkan penyakit diabetes sebanyak 1,5 juta kematian pada tahun 2012. lebih dari 80% kematian terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. 1 menurut menteri kesehatan ri, angka kematian akibat penyakit diabetes di indonesia menempati urutan terbesar ketiga setelah strok dan hipertensi. 2 hasil riset kesehatan dasar (riskesdas) tahun 2013 menunjukkan prevalensi diabetes yang terdiangnosis dokter di indonesia sebesar 1,5%. prevalensi diabetes yang terdiagnosis tertinggi terdapat di di yogyakarta (2,6%), dki jakarta (2,5%), sulawesi utara (2,4%), kalimantan timur (2,3%) dan sumatera utara (1,8%). prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter atau gejala tertinggi terdapat di sulawesi tengah (3,7%), sulawesi utara (3,6%), sulawesi selatan (3,4%), nusa tenggara timur (3,3%) dan sumatera utara (2,3%). 3 biasanya penderita diabetes diobati dengan cara pengobatan menggunakan obat-obatan. berbagai jenis obat tersedia saat ini, termasuk insulin eksogen, insulin secretagogues (sulfonylurea dan meglitinides), inhibitor produksi glukosa di hati biguanide , inhibitor absorpsi glukosa α-glucosidase inhibitor), analog amylin dan glp-1, sensitizer kerja insulin (thiazolidinedione) dan dpp-4 inhibitor. 4 indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai obat herbal. salah satu di antara tanaman tersebut adalah pohon kari (muraya koenigii). masyarakat memanfaatkan daun m. koenigii sebagai bumbu masak. daun m. koenigii bisa digunakan sebagai antioksidan dalam diet tinggi lemak karena mereka mengandung antioksidan, tokoferol, beta karoten dan leutin. 5, 6, 7, 8, 9 buah m. koenigii sampai saat ini belum banyak dimanfaatkan. berdasarkan penelitian tembhurne dan sakarkhar (2009), 8 bahwa jus buah m. koenigii dapat digunakan untuk mengatasi penyakit diabetes. 10 sejauh ini belum ditemukan penelitian ekstrak buah m. koenigii sebagai antidiabetes. oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian tentang pemanfaatan ekstrak buah m. koenigii untuk mengatasi penyakit diabetes. pada penelitian sebelumnya, pemberian ekstrak daun m. koenigii telah terbukti dalam menurunkan kadar gula darah puasa tikus. pemberian ekstrak daun m. koenigii sebanyak 200 mg/kgbb dosis tunggal selama 30 hari menurunkan kadar gula darah puasa tikus. 10 pemberian ekstrak daun m. koenigii sebanyak 300 mg/kgbb selama 30 hari menurunkan kadar gula darah puasa tikus. 11 pemberian ekstrak daun m. koenigii sebanyak 100 mg/kgbb, 150 mg/kgbb dan 200 mg/kgbb selama satu minggu dapat menurunkan kadar gula darah puasa tikus. 12 pemberian ekstrak daun m. koenigii sebanyak 50 mg/kgbb dan 100 mg/kgbb perminggu selama 30 hari dapat menurunkan kadar gula darah puasa tikus. 13 pemberian ekstrak daun m. koenigii sebanyak 200 mg/kgbb perhari selama 42 hari dapat menurunkan kadar gula darah puasa tikus. 14 pemberian ekstrak daun m. koenigii sebanyak 300 mg/kgbb dan 500 mg/kgbb selama 13 hari dapat menurunkan kadar gula darah puasa tikus. 15 berdasarkan penelitian-penelitian terhadap ekstrak daun m. koenigii tersebut, peneliti ingin melakukan penelitian dengan menggunakan ekstrak buah m. koenigii dengan dosis 0,25 g/kgbb, 0,5 g/kgbb dan 1 g/kgbb. penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan efektivitas ekstrak buah kari (murraya koenigii. l) untuk menurunkan kadar gula darah tikus jantan yang diinduksi streptozotosin. tujuan tersebut dapat dikembangkan ke dalam dua tujuan khusus yaitu untuk mengetahui efek pemberian ekstrak buah m. koenigii pada kadar 0,25 g/kgbb, 0,5 g/kgbb dan 1 g/kgbb terhadap penurunan kadar gula darah tikus putih jantan yang diinduksi streptozotosin (stz) serta untuk mengetahui derajat penurunan kadar gula darah pada tikus putih jantan dari setiap kelompok perlakuan setelah pemberian ekstrak buah m. koenigii berbagai dosis. bahan dan cara jenis penelitian ini adalah eksperimental pada hewan coba tikus jantan (rattus novergicus l.) galur wistar, berjumlah 25 ekor, dan metode penelitian adalah kadar gula darah (kgd) 1 dan postest with control group design, yang telah memperoleh ijin penelitian dari komisi etik penelitian hewan fmipa usu no. 215/keph-fmipa/2015. kriteria inklusi sampel yaitu: tikus putih jantan (rattus novergicus l.), dewasa (> 3 bulan), dengan berat badan 175g – 200 g, dan selama observasi 7 hari sebelum perlakuan tidak sakit, aktivitas dan tingkah laku normal. penelitian menggunakan 5 (lima) kelompok dengan 5 (lima) kali ulangan dengan pembagian kelompok: k1 : kontrol negatif (aquadest) k2 : kontrol positif (induksi stz 70 mg/kgbb, intraperitoneal, single dose) p1 : perlakuan 1 (induksi stz 70 mg/kgbb, intraperitoneal, single dose + ekstrak buah m. koenigii 0,25 g/kg/hari peroral) 64 | vol 17 no 2 juli 2017 p2 : perlakuan 2 (induksi stz 70 mg/kgbb, intraperitoneal, single dose + ekstrak buah m. koenigii 0,5 g/kg/hari peroral) p3 : perlakuan 3 (induksi stz 70 mg/kgbb, intraperitoneal, single dose + ekstrak buah m. koenigii 1 g/kg/hari peroral). pemberian ekstrak buah m. koenigii diberikan pada hari ke-7 setelah pemberian stz, pemberian ekstrak buah dilakukan selama 13 hari. pemeriksaan kgd dilakukan dengan mengambil darah ekor, pemeriksaan dilakukan tiga kali yaitu: pemeriksaan pertama sebelum pemberian stz (kgd 1), pemeriksaan kedua (kgd 2) dilakukan pada hari ke-6 setelah pemberian stz, sedangkan pemeriksaan kgd 3 dilakukan pada hari ke-14 setelah pemberian ekstrak buah m. koenigii. pemeriksaan kgd dilakukan dengan menggunakan strip tes accu check active. penelitian dilakukan di unit pengelolahan hewan laboratorium (uphl) fakultas kedokteran universitas muhammadiyah sumatera utara. data yang didapat dari pengolahan data kemudian dianalisis dengan uji normalitas, untuk menentukan data berdistribusi normal atau tidak. selanjutnya dilakuan uji tanda beda menggunakan uji anova. 16 hasil hasil pemeriksaan didapatkan perbedaan nilai rerata kadar gula darah. pada kelompok kontrol negatif, rerata kgd 1 dengan kgd 2 mengalami peningkatan sebesar 1.80 mg/dl, kemudian antara kgd 2 dan kgd 3 mengalami peningkatan sebesar 17.20 mg/dl. pada kelompok kontrol positif, rerata kgd antara kgd 1 dengan kgd 2 mengalami peningkatan sebesar 161.20 mg/dl, kemudian antara kgd 2 dan kgd 3 mengalami peningkatan sebesar 16.20 mg/dl. pada kelompok perlakuan satu, rerata kgd antara kgd 1 dengan kgd 2 1 mengalami peningkatan sebesar 272.60 mg/dl, kemudian antara kgd 2 1 dan kgd 2 2 mengalami penurunan sebesar 24.80 mg/dl. pada kelompok perlakuan dua, rerata kgd antara kgd 1 dengan kgd 2 1 mengalami peningkatan sebesar 189 mg/dl, kemudian antara kgd 2 1 dan kgd 2 2 mengalami peningkatan sebesar 26.40 mg/dl. pada kelompok perlakuan tiga, rerata kgd antara kgd 1 dengan kgd 2 1 mengalami peningkatan sebesar 239.80 mg/dl, kemudian antara kgd 2 1 dan kgd 2 2 mengalami peningkatan sebesar 87.20 mg/dl. kontrol negatif. hasil pemeriksaan diperoleh nilai rerata kgd yang paling tinggi sebesar 120.80 mg/dl pada pemeriksaan kgd 2 2 dan yang terendah sebesar 101.80 mg/dl, pada pemeriksaan kgd 1. pada seluruh pemeriksaan didapati nilai p >0.05 (tidak berbeda nyata). pada pemeriksaan (1) kgd 1 dibandingkan dengan (2) pemeriksaan kgd 2 1 tidak didapati peningkatan yang signifikan dengan nilai p >0.05 (tidak berbeda nyata), kemudian pemeriksaan (2) kgd 2 1 dibandingkan dengan pemeriksaan (3) kgd 2 2 tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan dengan nilai p >0.05 (tidak berbeda nyata). kontrol negatif. hasil pemeriksaan diperoleh nilai rerata kgd yang paling tinggi sebesar 298.80 pada pemeriksaan kgd 2 2 dan yang terendah sebesar 121.40 pada pemeriksaan kgd 1. pada seluruh pemeriksaan didapati nilai p <0.05 (berbeda nyata). pada pemeriksaan (1) kgd 1 dibandingkan dengan (2) pemeriksaan kgd 2 1 didapati peningkatan yang signifikan dengan nilai p <0.05 (berbeda nyata), kemudian pemeriksaan (2) kgd 2 1 dibandingkan dengan pemeriksaan (3) kgd 2 2 tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan dengan nilai p >0.05 (tidak berbeda nyata). perlakuan satu. hasil pemeriksaan diperoleh nilai rerata kgd yang paling tinggi sebesar 390 mg/dl, pada pemeriksaan kgd 2 1 dan yang terendah sebesar 117.40 mg/dl, pada pemeriksaan kgd 1. pada seluruh pemeriksaan didapati nilai p <0.05 (berbeda nyata). pada pemeriksaan (1) kgd 1 dibandingkan dengan (2) pemeriksaan kgd 2 1 didapati peningkatan yang signifikan dengan nilai p <0.05 (berbeda nyata), kemudian pemeriksaan (2) kgd 2 1 dibandingkan dengan pemeriksaan (3) kgd 2 2 tidak menunjukkan penurunan yang signifikan dengan nilai p >0.05 (tidak berbeda nyata). perlakuan dua. hasil pemeriksaan diperoleh nilai rerata kgd yang paling tinggi sebesar 336 mg/dl, pada pemeriksaan kgd 2 2 dan yang terendah sebesar 120.60 mg/dl pada pemeriksaan kgd 1. pada seluruh pemeriksaan didapati nilai p <0.05 (berbeda nyata). pada pemeriksaan (1) kgd 1 dibandingkan dengan (2) pemeriksaan kgd 2 1 didapati peningkatan yang signifikan dengan nilai p <0.05 (berbeda nyata), kemudian pemeriksaan (2) kgd 2 1 dibandingkan dengan pemeriksaan (3) kgd 2 2 tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan dengan nilai p >0.05 (tidak berbeda nyata). perlakuan tiga. hasil pemeriksaan diperoleh nilai rerata kgd yang paling tinggi sebesar 441.60 mg/dl, pada pemeriksaan kgd 2 2 dan yang terendah sebesar 114.60 mg/dl pada pemeriksaan kgd 1. pada seluruh pemeriksaan didapati nilai p <0.05 (berbeda nyata). pada pemeriksaan (1) kgd 1 dibandingkan dengan (2) pemeriksaan kgd 2 1 didapati peningkatan yang signifikan dengan nilai p <0.05 (berbeda nyata), kemudian pemeriksaan (2) kgd 2 1 dibandingkan dengan pemeriksaan (3) kgd 2 2 tidak | 65 menunjukkan peningkatan yang signifikan dengan nilai p >0.05 (tidak berbeda nyata). diskusi data penelitian yang diperoleh, setelah dilakukan uji statistik dan diperoleh kadar gula darah puasa tikus pada kelompok kgd 1 dengan kgd 2 dan kgd 1 dengan kgd 3 ditemukan adanya perbedaan, namun pada kelompok kgd 2 dan kgd 3 tidak ditemukan adanya perbedaan. ini berarti bahwa kgd puasa tikus mengalami kenaikan setelah diinjeksi dengan streptozotosin dengan dosis 70 mg/kgbb. hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh el-amin et al. (2013), 16 bahwa pemberian streptozotosin dalam dosis 70 mg/kgbb secara intraperitoneal dapat meningkatkan glukosa puasa tikus lebih dari 200 mg/dl setelah lima hari penyuntikan. setelah 13 hari pemberian ekstrak buah m. koenigii dengan dosis 0.25 g/kgbb sudah ada penurunan kgd meskipun penurunan yang terjadi tidak signifikan. pada pemberian ekstrak buah m. koenigii dengan dosis 0.5 g/kgbb dan 1 g/kgbb tidak dapat menurunkan kgd puasa tikus tetapi kgd puasa tikus terus meningkat dari sebelumnya. hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh thimburne dan sakarkar (2009), 8 yang menyatakan bahwa pemberian jus buah m. koenigii dapat menurunkan kgd mencit yang diinduksi oleh aloksan, karena adanya senyawa antioksidan yang ditemukan dalam buah m. koenigii. 9 hasil penelitian yang dilakukan oleh waghmare et al. (2015), 17 menyatakan bahwa skrining antioksidan buah m. koenigii yang dilakukan secara analisis fitokimia dan in vitro menunjukkan bahwa buah m. koenigii mengandung antioksidan yang besar, berupa flavonoid, yang dapat digunakan sebagai penangkal radikal bebas. pada kelompok perlakuan satu, gula darah tikus mengalami peningkatan setelah diinjeksikan streptozotosin. setelah 13 hari pemberian ekstrak buah m. koenigii 0,25 g/kg/hari peroral gula darah tikus mengalami penurunan walaupun tidak signifikan. hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh el-amin et al. (2013), 16 menyebutkan bahwa pemberian ekstrak dengan dosis 100 mg/kgbb tikus dapat menurunkan kgd tikus. begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh lawal et al. (2008), 11 pemberian ekstrak daun m. koenigii sebanyak 100 mg/kgbb, 150 mg/kgbb dan 200 mg/kgbb selama satu minggu dapat menurunkan kgd puasa tikus. 12 simpulan disimpulkan bahwa pemberian ekstrak buah m. koenigii pada tikus putih jantan dengan dosis 0,25, 0.5 dan 1 g/kgbb yang diinduksi streptozotocin menurunkan kadar gula darah secara tidak signifikan dengan nilai p>0.05. daftar pustaka 1. world health organization. global health estimates: deaths by cause, age, sex and country, 2000-2012. geneva: who. 2014. 2. sedyaningsih er. diabetes penyebab kematian terbesar ketiga di indonesia. 2011. diakses dari http://kesehatanutama.weebly.com/. di akses pada 17 januari 2012. 3. riskesdas. prevalensi diabetes mellitus. badan penelitia dan pengembangan kementerian kesehatan ri. 2013. p. 87-90. 4. lim h. obat-obat yang digunakan untuk hiperglikemua. dalam buku prinsip farmakologi-endokrin-infeksi. edisi 1. softmedia. 2014. p. 101-110. 5. choudhory pr, grag an. variation in essential, traceand toxic elemental contents in murraya koenigii a spice and medicinal herb from different indian states. j food chem, 2007; 104 (4): 1454-1463. 6. khanum f, anilakumar kr, sudarshana kr, viswanathan kr, santhanam k. anticarcinogenic effect of curry leaves in dimenthylhydrazine-treated rats. j plant food hum nutr, 2000; 55 (4): 347-355. 7. ningappa mb, dhanajaya bl, dinesha r, harsha r, srinivas l. antioksidant and free radical scavenging activities of polyphenolenriched curry leaf (murraya koenigii l.) extract. food chem, 2008; 106 (2): 720-728. 8. tembhurne sv, sakarkhar dm. hypoglycemia effects of fruits juice of murraya koenigii (l) in alloxan induced diabetic mice. int j pharm tech res. 2009; 1 (4): 1589-1593. 9. arulselvan p, subiramanian. effect of murraya koenigii leaf extract on carbohydrate metabolism studied streptozotocin induced diabetic rats. int j biol chem, 2007; 1 (1): 21-28. 10. kesari an, kesari s, singh sk, gupta rk, watal g. studies on the glycemic and lipidemic effect of murraya koenigiiin experimental animals. j ethnopharmacol. 2007; 112 (2): 305– 311. 11. lawal ha, atiku mk, khelpai dg, wannang mm. hypoglycaemic and hypolipidaemic effects of the aqueous leaf extract of murraya http://kesehatanutama.weebly.com/ 66 | vol 17 no 2 juli 2017 koenigiiin normal and alloxan–diabetic rats. niger j physiol sci. 2008; 23 (1-2): 37-40. 12. dineshkumar b, mitra a, mahadevappa m. antidiabetic and hypolipidemic effects of mahanimbine (carbazole alkaloid) from murraya koenigii (rutaceae) leaves. int j phytomedicine, 2012; 2 (1): 22-30. 13. jafri sa, rehman ku, qasim m, kalsoom. effect of murraya koenigii, catharanthus roseus and psidium guajava leaves extract on blood glucose in alloxan induced diabetic rats. am j biol life sci, 2014; 2 (1): 1-5. 14. tembhurne sv, sakarkar dm. influence of murraya koenigii on experimental model of diabetes and progression of neuropathic pain. res pharm sci, 2010; 5 (1): 41–47. 15. srinivasan k, ramarao p. animal models in type 2 diabetes research. indian j med res, 2007; 125 (3): 451-472. 16. el-amin m, virk p, elobeid ma, almarhoon zm, hassan zk, omer sa, et al. 2013. anti-diabetic effect of murraya koenigii (l) and olea europea (l) leaf extracts on streptozotocin induced diabetic rats. pak j pharm sci, 2013; 26 (2): 359365. 17. waghmare an, tembhurne sv, sakarkar dm. phytochemical analysis and in vitro antioxidant properties of murraya koenigii (l.) fruits. am j phytomed clin ther, 2015; 3 (5): 403-416. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17496368 siti aminah tse, sunardi radiono, selulitis fasialis ............ 51 selulitis fasialis dengan trombosis sinus kavernosus facial cellulitis with cavernosus sinus thrombosis siti aminah tri susila estri1, sunardi radiono2 1 fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta 2fakultas kedokteran universitas gadjah mada abstract facial cellulitis is a facial bacterial infection that spread progressively with serious complication. this is report a 12 aged-years boys with facial cellulitis and cavernous sinus thrombosis. diagnosed based on the physical examination, erythema and oedema on the right face and palpebra, with pain, opthalmoplegia, pareses of the right n. iii and left n. vi. laboratory examination showed lecocytosis, increasing of c-reactive protein and growth of s. aureus from blood culture. he was treated with ceftriaxone and amycacine intravenously, analgesic and non-steroid anti-inflammation drugs and physiotherapy. pareses of the ocular nerves improved within 3 months by physiotherapy. keywords: facial cellulitis, cavernous sinus thrombosis abstrak selulitis fasialis (sf) merupakan infeksi bakteri pada wajah yang dapat cepat meluas dengan komplikasi serius. tulisan ini melaporkan seorang anak laki-laki 12 tahun dengan selulitis fasialis disertai trombosis sinus kavernosus. diagnosis ditegakkan berdasar gambaran klinis berupa edem dan eritem fasial dan palpebra bagian kanan, teraba hangat dan nyeri tekan, optalmoplegi, parese n. iii kanan dan n. vi kiri, dan hasil pemeriksaan laboratoium yaitu leukositosis, peningkatan c-reactive protein dan dari kultur darah tumbuh s.aureus. penderita diberikan terapi seftriakson dan amikasin intravena, analgetik dan antiinflamasi non-steroid dengan fisioterapi. parese saraf mata membaik setelah 3 bulan fisioterapi. kata kunci: facial cellulitis, cavernous sinus thrombosis pendahuluan selulitis adalah inflamasi akut pada epidermis yang meluas ke jaringan dermis dan subkutis akibat infeksi bakteri.1,2 selulitis fasialis (sf) dapat menyebabkan komplikasi serius, seperti meningitis atau penyebaran selulitis ke daerah mata sehingga terjadi selulitis periorbital (sp) atau selulitis orbitalis (so), diikuti penurunan fungsi penglihatan dan trombosis sinus kavernosus (tsk) bahkan kematian.2-5 selulitis fasialis termasuk pioderma yang jarang terjadi, paling banyak menyerang anak-anak umur 3 bulan sampai 3 tahun.3 selama 4 tahun, ditemukan 52 kasus di melbourne, dengan komplikasi pada 4/34 kasus, terdiri dari proptosis, optalmoplegi, edem konjungtiva dan abses terlokalisir.4 di ibadan ditemukan 90 kasus so selama 5 th, 84% berumur kurang dari 20 tahun, dengan komplikasi empyema 46,8%, panoptalmitis 21,3%, tsk 19,2%, perforasi kornea 10,6% dan meningitis 2,1%.6 di massachusetts ditemukan 297 kasus sp dan 18 kasus so berumur kurang dari 18 th dari th 1980-1998.7 mutiara medika vol. 7 no. 1: 51-56, januari 2007 52 selulitis fasialis dapat disebabkan oleh trauma, luka, dermatosis lain, gangguan pada gigi atau perluasan infeksi dari selulitis bukal, serta sinusitis.3,5 bakteri penyebab selulitis pada anak paling sering adalah group a beta haemolytic streptococci (gabhs) dan s. aureus, sedangkan h. influenza dan s. pneumoniae menjadi penyebab selulitis fasial, bukal atau periorbital pada anak di bawah 5 tahun.1-3 bakteri lain yang pernah ditemukan sebagai penyebab sf adalah e. coli dan p. aeruginosa.1 penanganan sf terpenting adalah diagnosis sedini mungkin dan pemberian antibiotik yang sesuai dengan bakteri penyebab secara agresif.2,3 gambaran klinis tertentu, termasuk lokasi anatomi, riwayat penyakit sebelumnya dan paparan terhadap bakteri penyebab merupakan faktor yang mempengaruhi pemberian antibiotik dan prognosis sf.2 pada makalah ini akan dilaporkan satu kasus sf dengan trombosis sinus kavernosus yang merupakan kasus jarang. penulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan dalam penatalaksanaan penderita sf. kasus seorang anak laki-laki umur 12 tahun, datang dengan keluhan bengkak pada wajah bagian kanan disertai demam.. penderita adalah pelajar sltp dan tinggal di depok, sleman. riwayat penyakit sekarang, penderita mengeluh plenting merah seperti jerawat pada hidung, disertai rasa nyeri selama 8 hari. penderita memecah plenting tersebut dan keluar nanah. dua hari kemudian timbul bengkak dan kemerahan di sekitar hidung dan pipi disertai rasa nyeri. pada waktu datang, wajah bagian kanan, pada hidung, pipi dan kelopak mata tampak bengkak, nyeri, disertai dengan demam dan lemah, namun masih mampu membuka mata kanan dan kiri. riwayat batuk pilek, nyeri waktu menelan, gigi berlubang atau sakit gigi serta sariawan disangkal. pemeriksaan fisik menunjukkan suhu 38,30c, nadi 120 x/menit, respirasi 40 x/menit dan pembesaran limfonodi submandibula dengan nyeri tekan, tidak ada hiperemi pada konjungtiva. bb 33 kg, tb 153 cm. status dermatologi, pada wajah bagian kanan mulai palpebra, pipi dan hidung bagian kanan dan palpebra kiri tampak eritem, edem, batas tidak tegas, nyeri tekan. pada hidung bagian kanan tampak erosi tertutup krusta kecoklatan. diagnosis yang diajukan selulitis fasialis, dengan terapi cefadroksil 2x500 mg, nonflaminr dan gentamisin krim. penderita disarankan melakukan pemeriksaan darah rutin dan kontrol 5 hari kemudian. sehari kemudian penderita datang lagi karena bicara kacau, lesi semakin bengkak dan nyeri, serta makan minum sulit. pemeriksaan fisik menunjukkan mata tampak exoptalmos dan konjungtiva hiperemis, refleks cahaya +/+. status dermatologi menunjukkan lesi semakin edem dan eritem. hasil pemeriksaan darah seperti berikut : siti aminah tse, sunardi radiono, selulitis fasialis ............ 53 hasil pemeriksaan kultur darah tumbuh s. aureus. pemeriksaan ct-scan kepala menunjukkan tidak tampak kelainan. penderita dirawat inap bersama dengan bagian anak dan mata. diagnosis yang diajukan yaitu selulitis fasialis dengan keterlibatan orbital, sepsis dan gangguan mental organik (gmo). terapi yang diberikan diet ngt (nasogaster tube), infus kaen 3a, injeksi ceftriaxone 2 x 1 gr, injeksi amikasin 2x200 mg, parasetamol, kalium diklofenak kalau perlu, haloperidol 1 mg kalau perlu, kompres betadine 1% untuk erosi, dan salep mata gentamisin. penderita diijinkan pulang pada hari ke-10 perawatan. penderita masih mengeluh penglihatan ganda dan belum dapat menutup kelopak mata kanan secara penuh. status dermatologi saat pulang, dahi dan palpebra kanan tampak patch hiperpigmentasi, edem (-), nyeri tekan (-), erosi pada hidung (-), hiperemi konjungtiva berkurang, diagnosis penderita saat pulang parese n.iii kanan dan n.vi kiri, dengan terapi neurobionr dan fisioterapi. gejala diplopia menghilang 3 bulan kemudian. diskusi diagnosis sf ditegakkan berdasar gambaran klinis dan laboratorium. gambaran klinis sf meliputi eritem dan edem dengan batas tidak tegas, teraba hangat dan nyeri tekan serta terjadi pitting edematous.1,3 selulitis fasialis berkembang dengan cepat, biasanya sehari atau 2 hari setelah trauma atau infeksi saluran nafas bagian atas (ispa). 2 pada infeksi stafilokokus, sering terjadi pustulasi pada daerah post trauma.1 gejala sistemik yang menyertai adalah demam, menggigil, iritabilitas dan rasa lemah disertai pembesaran limfonodi regional dengan nyeri tekan atau limfangitis.1,3 pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah kultur dari ulkus atau kulit yang tidak intak di daerah selulitis. pada selulitis jarang disertai bakteriemia, sehingga kultur darah hanya diperlukan pada kasus selulitis dengan limfedema, selulitis bukal atau periorbital, dan penderita yang terpapar air atau air garam sebagai sumber infeksi.2 tabel. hasil pemeriksaan darah selama perawatan. hari 1 perawatan hari 6 perawatan nilai normal (0-14 th) leukosit 20,9 ↑ 17,56 ↑ 5,3-13,5 x 10³/µ l neutrofil 69 ↑ 80,6 ↑ 40-60 % limfosit 20 ↓ 11,1↓ 45-65 % monosit 7 7,2 2-8 % eosinofil 0,7 0,1-6 % basofil 1 0,4 0,0-1,0 % eritrosit 5,3 4,29 4,1-5,5 x 106/µ l hemoglobin 10,5↓ 11,3↓ 12-14 g/dl hematokrit 43,5 35,6↓ 36-44 % trombosit 107 ↓ 299 150-450 bun 20,2 7-18 kreatinin 0,91 0,6-1,3 glukosa sewaktu 99 c-rp 119 <6 mutiara medika vol. 7 no. 1: 51-56, januari 2007 54 pada kasus, terjadi eritem dan edem dengan batas tidak tegas dan nyeri tekan pada dahi, palpebra, pipi dan hidung bagian kanan, serta erosi tertutup krusta kecoklatan pada hidung bagian kiri dengan gejala sistemik demam, menggigil, dan lemah. hal ini menunjukkan gambaran klinis selulitis fasialis dengan keterliban periorbital/ orbital. selulitis di daerah orbital terbagi menjadi 5 tingkat8,9, yaitu 1. edem dan inflamasi preseptal (selulitis preseptal/sp), ditandai oleh edem palpebra di bagian anterior septum orbital, tanpa disertai nyeri tekan atau gejala okuler. 2. selulitis orbital (so), terjadi perluasan infeksi ke posterior melewati septum orbital dengan edem komponen orbital, ditandai dengan proptosis, kemosis, gerakan bola mata terbatas dan atau gangguan penglihatan. 3. abses subperiosteal, merupakan pembentukan abses di daerah antara orbital dan periosteum, ditandai dengan proptosis dan hilangnya fungsi penglihatan. 4. abses orbital, merupakan pembentukan abses di daerah orbital, ditandai dengan optalmoplegi, hilangnya fungsi penglihatan dan proptosis berat. 5. trombosis sinus kavernosus (tsk), merupakan perluasan infeksi orbital ke v. optalmikus superior selanjutnya menuju sinus kavernosus dan orbital bilateral. tsk ditandai dengan edem, eritem, optalmoplegi akibat keterlibatan n. iii, iv dan vi, dan pada tingkat yang lebih lanjut disertai iritasi meningeal, sepsis dan gangguan kesadaran.9 trombosis vena dapat terjadi akibat pembentukan trombus fibrin oleh bakteri, seperti stafilokokus dengan memproduksi koagulase yang menyebabkan pembekuan plasma. 10 berbagai kondisi di atas harus segera diketahui mengingat penanganan sedini mungkin yang tepat akan mencegah perkembangan penyakit lebih berat.8,9,11 pada saat datang pertama kali ke rs, penderita didiagnosis sebagai sf dengan keterlibatan periorbital tanpa disertai infeksi orbital. hal ini berdasar pada gambaran klinis tidak tampak hiperemi pada kedua matanya. infeksi dan inflamasi ternyata berjalan terus dan mengenai daerah orbital, ditandai dengan penderita tampak gelisah dan sulit komunikasi dengan edem palpebra semakin besar, eksoptalmos, konjungtiva hiperemi. hal ini menunjukkan infeksi orbital sudah meluas ke posterior mencapai sinus kavernosus. diagnosis tsk ditegakkan berdasar penemuan klinis, yaitu edem, eritem, optalmoplegi, sepsis dan gangguan kesadaran. pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menegakan diagnosis so adalah darah rutin, penanda infeksi akut,8 kultur dan sensitivitas kuman dari lesi dan darah.9 pemeriksaan ct-scan dikerjakan bila terdapat tanda gangguan nervus sentralis; proptosis, optalmoplegi, gangguan fungsi penglihatan atau edem bilateral berat; pemeriksaan mata tidak dapat dikerjakan; perbaikan klinis tidak tampak dalam 24-36 jam atau demam tetap meningkat dalam 36 jam setelah pemberian antibiotik.9 pada kasus, diagnosis sf dengan sepsis, tsk dan gmo ditegakkan berdasar pada gambaran klinis, pemeriksaan darah rutin (leukositosis), penigkatan crp dan kultur darah tumbuh s. aureus. pemeriksaan ctscan pada kasus tidak mendukung diagnosis. dari berbagai penelitian menunjukkan organisme penyebab sp/so tersering dari kultur darah, sinus paranasal dan abses adalah s. milleri, s. pyogenes, s. pneumoniae, s. aureus, s.epidermidis dan h. influenzae.4,7-9 penderita so boleh dirawat jalan apabila terdapat edem palpebra minimal dan hasil pemeriksaan mata dalam batas normal. penedrita rawat jalan harus diberikan amoksiklav sebagai antibiotik broad spectrum selama 7 hari serta edukasi agar penderita segera periksa kembali apabila terdapat peningkatan edem dalam 24 jam atau gejala sistemik memberat.9 indikasi penderita so untuk dirawat inap adalah edem periorbital, penurunan fungsi penglihatan, refleks cahaya abnormal, proptosis, diplopia atau optalmoplegia, pemeriksaan mata sulit dikerjakan, keadaan umun menurun atau disertai tanda dan gejala gangguan nervus sentral.9 dhariwal dkk. menyarankan semua pasien dengan infeksi post-septal dirawat inap.8 terapi yang siti aminah tse, sunardi radiono, selulitis fasialis ............ 55 diberikan meliputi antibiotik intravena yang sesuai, analgetik kuat, pembedahan bila ditemukan abses atau sinusitis.4,8,9 pada kasus tidak tampak hiperemi konjungtiva atau gangguan fungsi penglihatan pada saat pertama kali datang, sehingga dilakukan rawat jalan dengan terapi cefadroxil, nonflaminr dan krim gentamisin. penyakit tetap memberat dan sehari kemudian datang ke rs dengan diagnosis sf dengan sepsis, tsk dan gmo. terapi yang diberikan adalah rawat inap dengan ceftriaxone dan amikasin intravena, haloperidol, salep gentamicin untuk mata, dan kompres betadine 1% untuk erosi. cefadroxil merupakan antibiotik golongan cephalosporin generasi i yang sensitif terhadap bakteri gram positif termasuk golongan stafilokokus dan streptokokus, tetapi kurang sensitif terhadap bakteri gram negatif seperti golongan haemophillus dan enterokokus, dosis yang diberikan 25 mg/kgbb/hari.9 ceftriaxone adalah cephalosporin generasi iii yang kurang sensitif terhadap bakteri gram positif tetapi lebih sensitif terhadap bakteri gram negatif, dosis untuk anak-anak >12 th 1-2 gr diberikan 1-2 kali sehari tergantung beratnya infeksi.12 amikasin merupakan golongan aminoglikosida yang sensitif terhadap bakteri gram negatif, dengan dosis 15 mg/kgbb/hari 2 kali sehari. pada kasus ini diberikan ceftriaxone intravena yang merupakan salah satu antibiotik broad spectrum. berdasar pemeriksaan kultur darah ditemukan s.aureus yang sensitif terhadap ceftriaxone dan amikasin, sehingga diberikan tambahan amikasin. setelah 10 hari perawatan tampak perbaikan klinis, yaitu tidak tampak lagi edem, eritem, nyeri tekan atau erosi pada hidung, tampak patch hiperpigmentasi pada dahi dan palpebra. pada mata ditemukan gejala diplopia akibat parese n. iii kanan dan vi kiri. hal ini disebabkan penekanan sinus kavernosus pada n. iii dan n.vi yang terletak di bagian lateral. fungsi n. iii yaitu mengatur gerakan bola mata ke atas, bawah, medial dan memutar berlawanan arah jarum jam, sedangkan fungsi n. vi mengatur gerakan bola mata ke lateral.13-14 penatalaksanaan untuk masalah ini dengan fisioterapi dan pemberian roboransi saraf15 dan setelah 3 bulan terapi gejala ini membaik. kesimpulan telah dilaporkan satu kasus selulitis fasialis pada anak laki-laki 12 tahun, dengan trombosis sinus kavernosus. diagnosis ditegakkan berdasar gambaran klinis berupa edem dan eritem fasial dan palpebra bagian kanan, teraba hangat dan nyeri tekan, optalmoplegi, disertai leukositosis, peningkatan crp dan dari kultur darah tumbuh s.aureus. akibat infeksi bakteri ini menyebabkan trombosis vena pada sinus kavernosus sehingga terjadi penekanan n. iii dan vi. penderita diterapi dengan ceftriaxone dan amikacin intravena, analgetik dan antiinflamasi non-steroid, dan tampak perbaikan klinis dengan parese n. iii kanan dan vi kiri. parese membaik setelah 3 bulan fisioterapi. daftar pustaka 1. galen wk, cohen i, rogers m, smith mhd,. bacterial infection, dalam sachner la, hansen rc, pediatric dermatology, 1995, vol. 2, churchilllivingstone, new york, 1169-1175. 2. swartz mn,. cellulitis, n engl med, 2004; 350(9): 904-912. 3. tunessen, ww,. practical aspects of bacterial skin infection in children, ped dermatol, 1985; 2 (4): 255-265. 4. fergusson mp, mcnab aa,. current treatment and outcome in orbital cellulites, australian and new zealand journal of opthalmology, 1999; 27:375379. 5. fisher rg, benjamin dk,. facial cellulites in childhood: a changing spectrum, southern medical journal, 2002; 95(7): 672-674. 6. nwaorgu og, awoben fj, onakoya pa, awobem aa, orbital cellulitis complicating sinusitis: a 15-year review, nigerian journal of surgical research, 2004; 6: 14-16. mutiara medika vol. 7 no. 1: 51-56, januari 2007 56 7. ambati bk, ambati j, azar n, stratton l, schmidt ev,. periorbital and orbital cellulitis before and after the advent of haemophilus influenza type b vaccination, ophthalmology, 2000; 107; 1450-1453. 8. dhariwal dk, kittur ma, farrier jn, a. w. sugar, aw, aird, dw, laws, de,. post-traumatic orbital cellulitis, br j oral maxillofac surg, 2003; 41: 21-28. 9. howe l, jones ns, guidelines for the management of periorbital cellulitis/ abscess, clin otolaryngol, 2004; 29: 725-728. 10. lee pk, weinberg an, swartz mn, johnson ra, pyodermas: staphylococcus aureus, streptococcus and other gram-positive bacteria, freedberg i.m., eisen a.z., wolff k., austen k.f.. dermatology in general medicine, 5th ed.. new york, mc grawhill inc. : 2182-2194.. 11. reis md, freitas jp, coutinho vs, rodrigo fg,. facial and periorbital cellulites with orbital involvement, j eur acad dermatol venereol, 2002; 16: 156158. 12. sadick ns, systemic antibacterial agents, dalam wolverton se, comprehensive dermatologic drug therapy, 2001, wb saunders company, philadelphia, 31-33. 13. anonim,. occulomotor nerve, www.wikipedia.com, diakses 23 april 2006. 14. anonim,. abduscent nerve, www.wikipedia.com, diakses 23 april 2006. 15. sharma r, bessman e, cavernous sinus thrombosis, e-medicine.htm, diakses 23 maret 2006. mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm ©2017 mmjkk. all rights reserved vol 17 no 2 hal 92-95 juli 2017 a case report: papular urticaria caused by flea bites laporan kasus: urtikaria papular akibat gigitan flea rikyanto, 1 muhammad amrullah wahid, 2 frishia dida saraswati, 2 muhammad fajarulhuda, 2 inges prawita sari 2 * 1 dermatologist at department of dermatology, yogyakarta city hospital 2 clinical student, faculty of medicine, muhammadiyah yogyakarta university data naskah: masuk: 09 feb 2017 direviu: 19 mar 2017 direvisi: 20 apr 2017 diterima: 28 jun 2017 *correspondence: ingesprawita@gmail.com doi: article type: case report abstrak: dilaporkan sebuah kasus pada wanita jawa berusia 19 tahun yang tinggal di kecamatan giwangan yogyakarta terdiagnosis dengan urtikaria papular akibat gigitan flea. di indonesia cuaca lebih panas dan lembab sepanjang tahun, memicu musim flea yang rawan mendatangkan gangguan kesehatan. terdapat banyak kasus urtikaria papular dengan penyebab yang tidak diketahui pasti, hal ini membuat kasus ini menarik karena pasien menunjukkan bahwa urtikaria papular dapat disebabkan oleh gigitan flea membawa kemungkinan penyebab atas keluhannya. laporan ini menyoroti pentingnya aspek biologis dan epidemiologi dari flea. kata kunci: negara tropis; aspek biologi; epidemiologi; gigitan serangga abstract: a case reported on 19 years old javanese woman living in giwangan district yogyakarta diagnosed with papular urticaria caused by flea bites. the weather in indonesia is hotter and more humid the entire year, which supports flea growh and makes the area vulnerable to flea-related health problems. there are a lot of papular urticaria cases with unknown exact causes; it makes this case interesting because the patient shows that papular urticaria can be caused by flea bites which become the possible cause of her complaint. this report highlights the importance of the biological and epidemiological aspects from the flea. key words: tropical country; biological aspect; epidemiology; insect bites introduction papular urticaria is described as a chronic allergic disease caused by a cutaneous hypersensitivity reaction following an exposure to ectoparasites, including fleas. 1 fleas are small siphonaptera with jumping movement as the characteristic. 2 they suck blood mainly on mammals but also on birds. out of 3000 species, only a few of them that commonly attack humans. the most common species are the rat flea, human flea and cat flea. their bites can cause irritation, discomfort feeling and loss of blood. 2,3 case report the javanese woman patient was a 19-year-old who lived in giwangan district, yogyakarta. she arrived at the clinic complaining of red rash around both of her lower legs that felt itchy and had been troubling her for at least 2 days. she found small blackish insects on the bedspreads, sheets and mattresses (see figure 1.). figure 1. blackish insects the patient brought to the clinic 10.18196/mm.170206 | 93 figure 2. lesions on the patient’s leg figure 3. microscopic finding of the insect there was no history of medications. she kept no pet but the patient recalled that wild cats had been searching for food inside her house especially her bedroom almost every day. there was no similar symptom found among her family members who live in the same house. she barely cleaned her bed and the hygiene of her room was poor. physical examination revealed typical 1 cm erythematous urticarial papules with microvesicle punctum on several lesions on her lower legs (see figure 2.). we do the microscopic examination with 40 times zooming to identify the blackish insects that brought by the patient. we found 3 mm long, wingless, thick, flattened latero-lateral with long legs enabling them to jump (see figure 3.). ctenocephalides felis, the cat flea, is known by their wingless and lateral-flattened body. the colors range from polished reddish brown to black. various backward pointing bristles help as the insect moves ahead through those host’s hide. fleas are usually 1.5 mm to 4 mm long. they also have mouthparts for piercing and sucking. the antennae is short and embedded under grooves behind unnoticeable eyes. expansive rear legs need aid outlined for bouncing. the cat flea c. felis is originated from africa. although, it may have spread and currently possible to be found around the world. the adult flea is looking for blood 48 hours after developing from those cover. the adult flea typically exists for no less than two or three weeks. its future is often not that long, due to those grooming propensities of the host. then after mating, those female lays dry eggs in the host’s hide. the eggs promptly unstick and tumble under those resting territory underneath the creature, then start the hatching period for about 21 days. eggs will not hatch on the host. 4 based on the anamnesis, physical examination and microscopic findings, we conclude that the diagnosis for the patient was papular urticaria caused by cat flea bites. according to the clinical practical guideline (cpg) from the indonesian ministry of health 2014, the treatment starts by applying moderate to high potency topical corticosteroid twice a day and oral antihistamine once a day for seven days. the symptoms fade after two days. 5, 6 discussion papular urticaria is a common and often distressing disorder in a form of chronic or repetitive papules brought on by an extreme touchiness as a response to the bites of mosquito, fleas, bedbugs and other different insects. individual papule often has a central punctum. the severity is frequently identified with the presence of light salivary alternately contactant proteins found in the host. mild sub-epidermal edemas, extravasation of erythrocytes, interstitial eosinophils, and exocytosis of lymphocytes are the histopathology of papular urticaria. 1 bites and stings from arthropods are generally unavoidable due to the number of offending species and their distribution throughout our environment. fleas or bedbugs bites are usually the cause of papular urticaria, but virtually any arthropod is capable of inducing such a reaction. 7 fleas often reproduce in large numbers where pets and other animals live. the pets are full of flea bites and scratches themselves continuously. their coat becomes rough and the skin can become infected. symptomatic host symptoms are often mistaken for scabies. cat fleas and dog fleas may be hosted by dog tapeworm. 8 dermatitis flea allergy is an expensive and uncomfortable disease for animals and humans. the way to minimize the suffering is early detection and early treatment. 9 the types of reactions triggered by insect bites depend on the previous exposure; recurrent bites can lead to the development of allergic reactions, 94 | vol 17 no 2 juli 2017 which can lead to the release of cutaneous manifestations. moreover, insects often inject various pharmacologically active substances for example hyalurodinase, proteases, histamine and kinins etc., which can cause various nodular reactions. 1 the discomfort feeling is usually different for one person to another. some people often suffer more than others from flea bites. the bites can cause intense itching, often resulting in secondary infection. usually a flea bite has a small red spot where the flea has inserted its mouthparts. there is a red halo with a slight swelling around the spot. because of different reasons, some people do not react to flea bites at all, while others are sensitive and suffer severe allergic reactions. fleas may occur as a vector of several human diseases like plague, typhus and tularemia. 8 in four season countries, the environment is getting hotter and there is an increase humidity in the summer. at that time, pet’s skin problems appear particularly in cats and dogs caused by ectoparasite especially flea, which is why summer season is also called flea season. in indonesia, the weather is hotter and more humid the entire year, which supports flea growh and makes the area vulnerable to flea-related health problems. based on the clinical practical guideline (cpg) from indonesian ministry of health 2014, treatment starts by applying moderate to high potency topical corticosteroid twice a day and oral antihistamine once a day for seven days. 5, 6 a combination of several strategies is usually required for the control of pet flea infestations to be successful. 10 several attempts to reduce or eliminate flea from the environment can be done by targeting the host using environmental insecticides and mechanics. some examples of mechanical precautions are washing pet bedding or bed cloths that are often occupied by pets. cleaning the carpets, furniture cushions, rugs, or other textile products by using a vacuum machine that has a beater bar which can remove fleas as well as their eggs and larvae. even the pupae at the bottom of the carpet can also be removed. the prevention of this case, to avoid contacts with arthropods, apply insect repellent such as diethyltoluamide (deet) to skin, use passive measures such as screens, nets, clothing. conclusion papular urticaria is a common and often distressing disorder caused by a hypersensitivity reaction to the bites of mosquitoes, fleas, bedbugs and other insects which are manifested in the form of chronic or recurrent papules. fleas are small siphonapteran order, with jumping movement as the characteristic. they suck blood mainly on mammals but also on birds. from 3000 species, only a few are commonly known to attack humans. their bites can cause irritation, discomfort feeling and loss of blood. in indonesia, the weather is hotter and more humid the entire year, which supports flea growh and makes the area vulnerable to flearelated health problems. the discomfort feeling is usually different from one person to another. some people often suffer more than others from flea bites. the bites can cause intense itching, often resulting in secondary infection. usually, a flea bite has a small red spot where the flea has inserted its mouthparts. a lot of papular urticaria cases comes with unknown causes, it makes this case interesting because the patient bring the possible cause for her complain. this report highlights the importance of the biological and epidemiological aspects of the flea. references 1. raza n, lodhi ms, ahmed s, dar nr, ali l. a clinical study of papular urticaria. j coll physician surg pak, 2008; 18 (3): 147-150. 2. bitam i, dittmar k, parola p, whiting mf, raoult d. fleas and flea-borne diseases. int j infect dis, 2010; 14 (8): 667-676. 3. blagburn b, dryden mw. biology, treatment and control of flea and thick infestations. vet clin small anim, 2009; 39 (6): 1173-1200. 4. gale e ridge. cat flea (ctenocephalides felis (bouche)). department of entomology. the connecticut agricultural experiment station. 2010. 5. cuéllar a, rodríguez a, halpert e, rojas f, gómez a, rojas a, et al., specific pattern of flea antigen recognition by igg subclass and ige during the progression of papular urticaria caused by flea bite. allergol immunopathol, 2009; 38 (4): 197-202. 6. aisah s, menaldi s, bramono k, indriatmi w. ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi ke-7. jakarta: balai penerbit fkui. 2016. 7. steen c, carbonaro p, schwartz r. arthropods in dermartology. j am acad dermatol, 2004; 50 (6): 19-42. 8. koehler p, pereira r, diclaro j. ii: fleas. department of entomology and nematology. 2010. 9. zentko dc, richman dl. cat flea, ctenocephalides felis (bouché). uf/ifas extension, university of florida: department of entomology and nematology department. 2018. | 95 10. perrins n, hendricks a. recent advances in flea control. in practice. 2007; 29 (4): 202-207. references mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 20 no 1 page 6-9 january 2020 structured physical activity can increase high-density lipoprotein cholesterol levels aktivitas fisik terstruktur dapat meningkatkan kadar kolesterol lipoprotein densitas tinggi hanna kumari dharaindas1*, fatimah eliana taufik2, amir mahmud3, diniwati mukhtar4 1 faculty of medicine, yarsi university, jalan letjen. suprapto kav.13, cempaka putih, central jakarta, jakarta, indonesia. 2 department of internal medicine, faculty of medicine, yarsi university, jalan letjen. suprapto kav.13, cempaka putih, central jakarta, jakarta, indonesia. 3 department of islamic studies, faculty of medicine, yarsi university, jalan letjen. suprapto kav.13, cempaka putih, central jakarta, jakarta, indonesia. 4 department of physiology, faculty of medicine, yarsi university, jalan letjen. suprapto kav.13, cempaka putih, central jakarta, jakarta, indonesia. data of article: received: 4 aug 2019 reviewed: 12 sep 2019 revised: 23 nov 2019 accepted: 25 nov 2019 *correspondence: hannakumari@ymail.com doi: 10.18196/mm.200134 type of article: research abstract: high levels of low-density lipoprotein (ldl) cholesterol and low levels of high-density lipoprotein (hdl) are risk factors for coronary heart disease (chd). early research has proven that physically active people have higher hdl levels, and it is obtained by doing regular physical exercise in both men and women. one of the exercises that have an anti-chd effect is an aerobic exercise. this study aims to identify the effect of structured physical activity on increasing hdl cholesterol. this research is pre-experimental research with one group pretest-posttest design. interventions given were aerobic exercise conducted at least 150 minutes per week and monitored for three months. the population and sample were members of the r and k gymnastics studio in central jakarta, who were 18-60 years old. samples were selected using the purposive sampling method. data was collected by taking the respondent's blood serum and the hdl cholesterol levels examined by enzymatic methods in the laboratory, while the data analysis used paired t-test statistical tests. the results showed an increase in hdl cholesterol levels in 18 out of 25 respondents with the results of the paired t-test p=0.001. the conclution is structured physical activity has significant effect on increasing hdl cholesterol levels among gymnastics members. keywords: aerobics; hdl cholesterol; structured physical activity abstrak: tingginya kadar kolesterol low-density lipoprotein (ldl) dan rendahnya kadar high-density lipoprotein (hdl) merupakan faktor risiko penyakit jantung koroner (pjk). penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa orang yang aktif secara fisik memiliki tingkat hdl yang lebih tinggi, dan itu diperoleh dengan melakukan latihan fisik secara teratur pada pria dan wanita. salah satu latihan yang memiliki efek anti-pjk adalah latihan aerobik. penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh aktivitas fisik terstruktur pada peningkatan kolesterol hdl. penelitian ini adalah penelitian praeksperimental dengan desain satu kelompok pretest-posttest. intervensi yang diberikan adalah latihan aerobik yang dilakukan setidaknya 150 menit per minggu dan dipantau selama tiga bulan. populasi penelitian ini yaitu anggota sanggar senam r dan k di jakarta pusat, berusia 18-60 tahun. sampel dipilih menggunakan metode purposive sampling. data dikumpulkan dengan mengambil serum darah responden dan kadar kolestrol hdl diperiksa dengan metode enzimatik di laboratorium. analisis data menggunakan uji-t berpasangan. hasil penelitian menunjukkan peningkatan kadar kolesterol hdl pada 18 dari 25 responden dengan hasil uji-t berpasangan p=0,001. disimpulkan bahwa ada pengaruh aktivitas fisik terstruktur pada peningkatan kadar kolesterol hdl pada anggota senam. kata kunci: aerobik; kolestrol hdl, aktivitas fisik terstruktur | 7 introduction one of the cardiovascular diseases that always ranks first in indonesia is coronary heart disease. according to the sample registration system survey, the mortality rate for coronary heart disease is 12.9%. the results of basic health research (riskesdas) in 2013 showed that coronary heart disease is in the seventh-highest position of non-communicable diseases in indonesia.1 significant risk factors for chd are such as an increase in serum levels of ldl cholesterol and a lack of hdl cholesterol.2 hdl cholesterol is known as good cholesterol because its high levels in the blood can reduce the risk of heart disease and stroke.3 hdl cholesterol levels of 60 mg/dl or more help reduce the risk of heart disease, while hdl levels below 40 mg/dl can be a major risk factor for heart disease.4 factors that influence the increase and decrease in hdl cholesterol levels are diet, excessive body weight, physical activity, smoking, age, gender, as well as genetics.5,6 regular physical activity can reduce ldl cholesterol, increase hdl cholesterol, and help to lose weight.6 as women and men age, cholesterol levels increase. before the phase of menopause, women have lower levels of total cholesterol than men. after menopause, ldl levels in women tend to rise due to a decrease in estrogen hormone.6 the recommended exercise program to improve physical fitness is cripe (continuous, rhythmical, interval, progressive, and endurance) carried out continuously, rhythmically, intermittently (fast or slow), and gradually to increase freshness and cardiovascular endurance.7 anti-chd exercise is an aerobic exercise that aims to activate a large number of muscles continuously with a weight training that is sufficient to stimulate the lungs, heart, and blood circulation so that enough oxygen is necessary to fulfill the needs. the exercises are, for instance, gymnastics, running, swimming, rowing, jumping rope, and cycling.8 who (2010)9 categorizes physical activity based on age, such as 18 to 64 years old adults at least conduct a moderate physical activity such as aerobics for 150 minutes a week or substantial physical activity for 75 minutes a week. basic health research data (2013)10 shows that jakarta is the highest province with a population that lacks physical activity. it also becomes the factor of jakarta to be selected in this study, especially the cempaka putih and johar baru areas as research locations. it is engaging in identifying the effect of structured physical activity on increasing hdl cholesterol levels in gymnastics members. materials and method this study is an experimental study with one group pretest-postest research design. the research was conducted by giving treatment in the form of structured physical activity such as aerobic exercise for a minimum of 150 minutes per week for three months (12 weeks) in one respondent group without a control group. measurement of respondents' hdl cholesterol levels was carried out by taking blood serum at pre and post-treatment. the blood serum pre-test was taken on october 2428, 2017, and post-test on february 1-6, 2018. the population and sample were members of the r and k gymnastics studios in cempaka putih and johar baru, who were 18-60 years old. samples were selected using a non-probability sampling technique, namely purposive sampling, and later 36 respondents were obtained. inclusion criteria in this study were members of gymnastics who were 18-60 years old. meanwhile, exclusion criteria were those who did not want to participate in this study for three months and pregnant. data collection was carried out by interview and observation to record the frequency of respondents 'physical activity as well as taking blood serum at the beginning and the end of the study to measure respondents' hdl cholesterol levels. the bivariate analysis in this study used a paired t-test with the statistical package for social science (spss) version 25 program. result this research was conducted on two groups of female gymnastics in the r gymnastics studio in cempaka putih and k studio in johar baru, with a total of 36 respondents with an average bmi of 26.03 kg/m2 categorized as obesity in asian category.11 respondents carried out structured physical activity in the form of aerobic exercise for at least 150 minutes every week for three months (12 weeks). the researchers observed the work and physical activity of the patient outside the gymnastics studio by asking the respondent directly and conducting a weekly follow-up to record the respondent's compliance. during the study, four people resigned, and seven people did not fit the inclusion criteria so that the number of samples that could be followed up for three months was 25 people. measurements were taken twice at the beginning and the end of the twelfth week. 8 | vol 20 no 1 january 2020 table 1. the hdl cholesterol levels-based description hdl cholesterol levels (mg/dl) min max mean pre-aerobics 27 62 43.84 post-aerobics 33 76 50.44 table 2. the percentage of respondents who experience an increase and decrease in hdl cholesterol levels hdl cholesterol levels frequency percentage (%) increase decrease 18 7 72% 28% based on the result of blood sample retrieval, it showed an average hdl cholesterol level at the pre-test was 43.84 mg/dl, and the posttest was 50.44 mg/dl. it indicated that there is an average increase in hdl cholesterol levels by 6.6 mg/dl. the result of the statistical test using the spss version 25 program was p<0.05, which indicated p=0.001. discussion based on the result of the research, it reveals that a decrease in hdl cholesterol levels occurred in 7 respondents (28%). meanwhile, the increase in hdl cholesterol levels occurred in 18 respondents (7.2%). the average hdl cholesterol level before the experiment was conducted was 43.84 mg/dl. upon the three-month aerobics at the gym, there was an increase in the average hdl cholesterol level from 43.84-50.44 mg/dl. the result of the paired t statistical test shows that p-value <0.05 is 0.001, indicating that there is an influence of structured physical activity on increasing hdl cholesterol levels. the interview result reveals that the respondents who experienced a decrease in hdl cholesterol levels more frequently consume foods that contain trans-unsaturated fatty acids, such as pastry, chips, fried chicken, and so on. a research report that trans-unsaturated fatty acids can increase ldl cholesterol levels and reduce hdl cholesterol levels.12 in a preliminary study conducted by ali (2013)13 regarding the effect of aerobic exercise on increasing hdl levels, a significant increase in hdl cholesterol levels was revealed, from 44.7 mg/dl to 48 mg/dl after aerobic exercise was conducted. furthermore, osanloo et al. (2012)14 in their study of the effect of combination exercises among aerobic exercise, step exercise, and endurance training on body fat percentage and lipid profile in women who were seated more frequently had elevated levels of hdl cholesterol after 12 weeks of carrying out aerobic exercise, and step exercise. in this case, physical activity can stimulate the activity of the lipoprotein lipase enzyme, which later catalyzes the destruction of the triglycerides in lipoproteins. there is the involvement of the lipoprotein lipase enzyme in spurring an increase in hdl cholesterol levels in the blood after physical activity. in this case, it can be concluded that longterm endurance or aerobic activity causes an increase in lipoprotein lipase. the product of the destruction of triglycerides later enters the blood as a precursor for the formation of hdl cholesterol.15 in terms of the limitation, the final sample size of the study did not reach the initial sample size of 30 due to the respondents’ personal and medical history, and an occupation matter which went beyond the limits of the researcher's ability to prevent it. furthermore, the researchers also did not analyze the respondents' dietary patterns and daily eating habits. conclusion there is an effect of structured physical activity on increasing hdl cholesterol levels among gymnastics members. references 1. ghani, l., susilawati, m. d., & novriani, h. faktor risiko dominan penyakit jantung koroner di indonesia. buletin penelitian kesehatan, 2016; 44(3): 153-164. 2. stefanick, m. l., mackey, s., sheehan, m., ellsworth, n., haskell, w. l., & wood, p. d. effects of diet and exercise in men and postmenopausal women with low levels of hdl cholesterol and high levels of ldl cholesterol. new england journal of medicine, 1998, 339 (1): 1220. 3. centers for disease control and prevention. ldl and hdl: bad and good cholesterol. 2015. retrieved on april, 17th 2017, from https://www.cdc.gov/cholesterol/ldl_hdl.htm. 4. national heart, lungs, and blood institute. heart disease risk factors you can do something about, 2017. retrieved on april, 19th 2017, from https://www.nhlbi.nih.gov/files/docs/resources/h eart/filipino-health manual/session1/moreinfo.pdf 5. miller, m. raising an isolated low hdl-c level: why, how, and when? cleveland clinic journal of medicine, 2003; 70 (6): 553-560. 6. national heart, lung, and blood institute. high blood cholesterol: what you need to know. 2001. | 9 retrieved april, 20th, 2017. from https://www.nhlbi.nih.gov/files/docs/public/hear t/wyntk.pdf 7. sinaga, r. n. diabetes mellitus dan olahraga. jurnal ilmu keolahragaan. 2016; 15 (2): 21-29. 8. roza d. pengaruh latihan fisik terhadap profil lipid wanita usia dewasa. mnm, 2010; 2 (1): 2935. 9. world health organization. global recommendations on physical activity for health. world health organization. 2010. 10. balitbang kemenkes, r. i. riset kesehatan dasar; riskesdas. jakarta: balitbang kemenkes ri, 2013, 110-9. 11. douglas g, nicol f, robertson c. pemeriksaan klinis macleod edisi ketigabelas. london: elsevier. 2014. 12. sartika, r. a. d. pengaruh asam lemak jenuh, tidak jenuh dan asam lemak trans terhadap kesehatan. kesmas: national public health journal, 2008; 2 (4), 154-160. 13. ali, m. a. pengaruh latihan aerobik terhadap peningkatan kadar high density lipoprotein pada atlet aerobic gymnastics. media ilmu keolahragaan indonesia, 2013; 3 (2), 72-77. 14. ossanloo, p., najar, l., & zafari, a. the effects of combined training (aerobic dance, step exercise, and resistance training) on body fat percents and lipid profiles in sedentary females of al_zahra university. european journal of experimental biology, 2012; 2 (5), 1598-1602. 15. rachmat, c., ticoalu, s. h., & wongkar, d. pengaruh senam poco-poco terhadap kadar trigliserida darah. ebiomedik, 2015; 3 (1), 205-210. mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm ©2018 mmjkk. all rights reserved vol 18 no 2 hal 67-70 juli 2018 faktor-faktor yang berhubungan dengan status karies gigi anak usia prasekolah kabupaten sleman tahun 2015 factors associated with dental caries status among preschool children in sleman district 2015 sri utami program studi kedokteran gigi, fakultas kedokteran dan imu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta data of article: received: 11 may 2017 reviewed: 21 may 2017 revised: 06 jul 2017 accepted: 12 jul 2018 *correspondence: sri.utami@umy.ac.id doi: 10.18196/mm.180218 type of article: research abstrak: karies gigi anak merupakan masalah utama di negara-negara sedang berkembang. prevalensi karies gigi anak usia 3-6 tahun di kota yogyakarta mencapai 84,1%. karies gigi merupakan multifactorial desease, antara lain faktor host, agent dan lingkungan mulut. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan ph saliva, plak gigi, frekuensi menyikat gigi dengan status karies gigi anak usia prasekolah. jenis penelitian ini adalah observasional dengan case control study. subyek penelitian adalah 80 anak-anak usia 4-6 tahun di tk wilayah kabupaten sleman. teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. status karies gigi diukur menggunakan indeks def-s, plak gigi diukur menggunakan indeks php-m dan ph saliva diukur menggunakan ph digital meter, serta frekuensi menyikat gigi diukur menggunakan kuesioner. analisis data yang digunakan adalah logistic regression. hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa plak gigi berhubungan dengan status karies gigi dengan or = 4,3 dan p = 0,015, ph saliva dengan or = 6,2 dan p = 0,002 dan frekuensi menyikat gigi dengan or = 6,5 dan p = 0,002. plak gigi, ph saliva dan frekuensi menyikat gigi merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan status karies gigi anak usia prasekolah. frekuensi menyikat gigi merupakan faktor risiko yang paling berperan dalam kejadian karies gigi anak usia prasekolah. kata kunci: : faktor risiko karies; usia prasekolah; indeks def-s abstract: dental caries is a major issue in developing countries. the prevalence of dental caries in children aged 3-6 years in the city of yogyakarta reached 84.1%. dental caries is a multifactorial disease, including the host, agent, and oral environment. the purpose of this study was to determine the association of salivary ph, dental plaque, and tooth brushing frequency with dental caries status among preschool children. this report was observational with case control study. the subjects were 80 children, aged 4-6 years, who attended in kindergarten sleman district. sampling technique used is purposive sampling. the dental caries status and dental plaque were measured using a def-s index and php-m index. the saliva ph was measured using a digital ph meter, and tooth brushing frequency was measured using a questionnaire. data analysis used is the logistic regression. multivariate analysis showed that dental caries in preschool children can be explained by these variables; dental plaque (or=4,3, p=0,015), salivary ph (or=6,2, p=0,002) and toothbrushing frequency (or=6,5, p=0,002). dental plaque, salivary ph, and tooth brushing frequency are risk factors that associated to the dental caries status among preschool children. tooth brushing frequency is the most important risk factor for dental caries status among preschool children. key words: risk factors for childhood caries; preschool children; def-s index 68 | vol 18 no 2 juli 2018 pendahuluan karies gigi adalah penyakit mulut dengan morbiditas serta prevalensi yang sangat tinggi, tidak ada satupun daerah yang bebas dari karies. karies menyerang semua umur, pada tingkatan status sosial ekonomi, jenis kelamin dan semua suku ataupun ras.1 penyakit gigi mulut dapat mengurangi aktivitas pada anak sekolah, pekerja ataupun aktivitas di rumah sehingga menyebabkan seseorang kehilangan jam sekolah serta jam kerja.2 karies gigi lebih sering diderita anak-anak dibandingkan penyakit lainnya seperti penyakit hay fever, bronkhitis kronis serta penyakit asma.3 karies gigi pada anak-anak adalah penyakit yang multifaktorial, disebabkan oleh berbagai determinan dan faktor risiko.1 faktor risiko tersebut meliputi lingkungan keluarga, sosial-ekonomi, budaya, pemanfaatan pelayanan kesehatan gigi, pendidikan, oral hygiene dan faktor lingkungan.4 faktor risiko karies gigi meliputi faktor saliva, faktor diet, faktor fluoride, faktor biofilm dan plak gigi, serta fak-tor modifikasi. kejadian karies dipengaruhi oleh oral hygiene, plak gigi akan terbentuk jika seseorang tidak menjaga kebersihan mulutnya dengan benar.5 saliva merupakan faktor yang berperan dalam proses terjadinya karies. parameter ph saliva berhubungan dengan kejadian karies gigi, ph saliva yang rendah berhubungan dengan tingkat kejadian ka-ries yang tinggi. gigi yang sudah mengalami demineralisasi pada awal proses karies tidak dapat mengalami remineralisasi pada suasana ph saliva yang rendah atau asam.6 studi sebelumnya banyak meneliti tentang faktor tingkat pendidikan yang dihubungkan dengan status kaies gigi anak-anak, hal tersebut sangat berbeda dengan penelitian ini karena selain faktor dari orang tua, juga meneliti faktor risiko dari anak-anak yaitu plak gigi, frekuen-si menyikat gigi dan ph saliva. tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara ph saliva, plak, frekuensi menyi-kat gigi terhadap status karies gigi anak usia prase-kolah. hasil penelitian diharapkan bisa memberikan manfaat bagi pihak sekolah dan para orang tua terkait faktor-faktor risiko karies anak usia prasekolah, sehingga bisa dijadikan dasar penyusunan perencanaan program sekolah yang berkolaborasi dengan orang tua siswa, yang mendukung peningkatan status kesehatan gigi dan mulut para siswa. bahan dan cara jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan desain kasus-kontrol. jumlah subyek penelitian adalah sebesar 80 anak usia 4-6 tahun, 40 anak sebagai kasus dan 40 anak sebagai kontrol. subyek penelitian diambil dengan purposive sampling technique. kriteria inklusi subyek meliputi siswa atau siswi tk di wilayah kabupaten sleman, dalam keadaan sehat dan orangtua bersedia men-jadi responden dan menandatangani informed con-sent, mengijinkan anak nya untuk diperiksa dan seluruh gigi anak merupakan gigi desidui. kriteria eksklusi antara lain pernah dilakukan multiple extraction (lebih dari 4 gigi). instrumen yang digunakan adalah indek def-s dan indek plak o’leary, untuk mengukur status karies gigi dan plak. pengukuran indek def-s dan indek o’leary dilakukan oleh 2 orang examiner. kalibrasi antar examiner dilakukan dengan uji kappa. nilai koefisien kappa pengukuran indeks def-s dan indek plak adalah 100% (p=0,00) dan 78,9% (p=0,001). berdasarkan nilai tersebut dapat dinyatakan bahwa persepsi 2 examiner dalam mengukur indeks def-s dan indeks plak adalah sama.7 hasil pengukuran indeks dmf-s merupakan jumlah permukaan gigi anak yang karies, ditumpat karena karies dan indikasi cabut karena karies. hasil pengukuran indeks plak o’leary merupakan persentase akumulasi plak pada semua permukaan gigi yang diperiksa. pengukuran ph saliva dilakukan dengan teknik unstimulated, dengan melakukan sikat gigi 1 jam sebelum pengambilan saliva. alat ukur ph saliva menggunakan digital ph meter (hanna). variabel frekuensi menyikat gigi anak diukur menggunakan kuesioner yang diisi oleh orangtua anak. skala data variabel pada penelitian adalah kategorik, sehingga analisis yang digunakan adalah uji regresi logistik dengan menghitung nilai odds ratio (or). hasil berdasarkan tabel 1. dapat dilihat bahwa jumlah subyek penelitian yang terbanyak adalah laki-laki, yaitu 43 (58,75%), 22 kasus dan 21 kontrol. umur subyek penelitian terbanyak adalah pada umur 5 tahun (50%). berdasarkan tabel 2. dapat dilihat bahwa hasil analisis uji korelasi spearman menunjukkan bahwa faktor plak gigi (or=2,913, p=0,014), ph saliva (or=2,217, p=0,003) dan frekuensi menyikat gigi (or=3,500, p=0,007) berhubungan dengan status karies gigi anak usia prasekolah. berdasarkan tabel 3. dapat dilihat bahwa hasil analisis uji regresi logistik menunjukkan bahwa faktor plak gigi (or= 4,3, p=0,015), ph saliva (or=6,2, p=0,002) dan frekuensi menyikat gigi (or=6,5, p=0,002) berhubungan dengan status karies gigi anak usia prasekolah. | 69 tabel 1. karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin dan umur karakteristik kasus kontrol jumah n % n % n % jenis kelamin laki-laki 22 54,17 21 53,11 43 58,75 perempuan 18 45,83 19 46,89 37 46,25 jumlah 40 100 40 100 80 100 umur 4 tahun 3 7,50 5 12,50 8 10,00 5 tahun 23 57,50 17 42,50 40 50,00 6 tahun 14 35,00 18 45,00 32 40,00 jumlah 40 100 40 100 80 100 tabel 2. hasil uji korelasi spearman variabel kasus kontrol total or p value n % n % n % plak gigi rendah 11 27,50 21 52,50 32 40,00 2,913 0,014 tinggi 29 72,50 19 47,50 48 60,00 ph saliva rendah 17 42,50 10 25,00 27 33,75 2,217 0,003 tinggi 23 57,50 30 75,00 53 66,25 frekuensi sikat gigi jarang 28 70,00 16 40,00 44 55,00 3,500 0,007 sering 12 30,00 24 60,00 36 45,00 tabel 3. hasil uji regresi logistik variabel β s.e. or sig. 95 % ci plak gigi 1,450 0,595 4,3 0,015 1,328-13,697 ph saliva 1,822 0,601 6,2 0,002 1,905-20,089 frekuensi sikat gigi 1,871 0,618 6,5 0,002 1,933-21,783 diskusi hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa kejadian karies gigi cenderung lebih banyak pada anak laki-laki dibanding anak perempuan dan paling banyak pada usia 5 tahun. hasil uji bivariat dan multivariat menunjukkan bahwa faktor plak gigi, ph saliva dan frekuensi menyikat gigi berhubungan dan merupkan faktor risiko terhadap karies gigi anak. odds ratio untuk faktor plak gigi adalah sebesar 4,3 sehingga dapat dinyatakan bahwa anak dengan indek plak yang tinggi mempunyai risiko 4,3 kali lebih besar untuk menderita karies gigi dibandingkan anak-anak dengan indek plak yang rendah. tingkat kebersihan mulut serta penumpukan plak merupakan faktor risiko kejadian karies gigi anak usia prasekolah. lingkungan yang cocok untuk bak-teri kariogenik berkembang biak adalah pada saat meningkatnya kontak antara plak dengan substrat.8 kontrol diet dapat mengurangi kontak antara substrat dengan plak, sehingga bakteri plak tidak mampu melakukan fermentasi.9 ibu berperan sangat besar di dalam mencegah terjadinya penum-pukan plak dan terjadinya karies gigi pada anak.10 beberapa penelitian mengemukakan bahwa terda-pat hubungan antara indek plak dengan tingkat keparahan karies gigi anak.11 nilai or faktor ph saliva adalah sebesar 6,2 sehingga dapat dinyatakan bahwa anak-anak dengan ph saliva asam mempunyai risiko 6,2 kali lebih besar untuk menderita karies gigi dibandingkan anak-anak dengan ph saliva basa. aliran saliva yang berkurang menyebabkan bakteri kariogenik berkembang biak dengan cepat. parameter saliva seperti flow rate, viskositas, buffer dan ph saliva berhubungan dengan kejadian karies gigi, ph saliva yang rendah berhubungan dengan tingkat kejadian karies yang tinggi. gigi yang sudah mengalami demineralisasi pada awal proses karies tidak dapat mengalami remineralisasi pada suasana ph saliva yang rendah atau asam.7 nilai or untuk faktor frekuensi menyikat gigi adalah sebesar 6,5 sehingga dapat dinyatakan bahwa anak-anak yang jarang menyikat gigi mempu-nyai risiko 6,5 kali lebih besar untuk menderita karies dibandingkan anak-anak yang sering menyikat gigi. 70 | vol 18 no 2 juli 2018 status kebersihan gigi pada anak-anak umumnya lebih buruk dibandingkan dengan status kesehatan gigi orang dewasa, karena anak-anak sangat suka makan makanan manis tetapi kesa-daran untuk menjaga dan memelihara kebersihan mulutnya sangat kurang. cara dan frekuensi menyi-kat gigi yang tidak tepat, serta frekuensi konsumsi karbohidrat adalah faktor risiko karies gigi anak.12 parental coping skill serta self efficacy yang sejalan dengan kondisi sehat merupakan kunci yang berpengaruh terhadap status kesehatan dalam keluarga, terutama pada anak-anak.13 perilaku ibu dalam membimbing dan mengajarkan kebiasaan menyikat gigi pada anak-anak merupakan hal yang sangat penting, yang berhubungan dengan keja-dian karies pada anak usia prasekolah.14 kegiatan menyikat gigi merupakan kegiatan motoric yang dapat diterapka kepada anak, tetapi peran orang tua masih sangat besar di dalam menentukan keberhasilan dalam pemeliharaan kesehatan gigi anak.10 simpulan plak gigi, ph saliva dan frekuensi menyikat gigi merupakan faktor risiko kejadian karies gigi anak. frekuensi menyikat gigi adalah faktor risiko yang paling berperan dalam kejadian karies gigi anak usia prasekolah. kontrol diet dan menyikat gigi dengan benar adalah salah satu cara pencegahan karies gigi pada anak. peran orang tua sangat penting dalam membentuk perilaku kesehatan gigi mulut pada anak-anak. perlunya program promotif dan preventif untuk menurunkan prevalensi ecc dan meningkatkan status kesehatan gigi dan mulut anak, seperti kegiatan sikat gigi bersama dengan aplikasi plak marker; yang melibatkan orang tua siswa. daftar pustaka 1. moses jm, rangeeth bn dan gurunathan d. prevalence of dental caries, socio-economic status and treatment needs among 5 to 15 year old school going children of chidambaran. j clin diagnostic res, 2011; 5 (1): 146-151. 2. petersen pe, bourgeois d, ogawa h, estupinanday s dan ndiaye c. the global burden of oral disease and risk to oral health. bulletin of the world health organization, 2005; 83: 661-669. 3. depoala dp, clakrson jj, gluch ji, roach k dan wang x. update on early childhood caries. the colgate oral care report, 2010; 20 (2): 1-3. 4. borutta a, wagner m dan kneist s. early childhood caries: a multi-factorial disease. ohdmbsc, 2010; 9 (1): 32-38. 5. pretty ia. caries detection and diagnosis: novel technologies. journal of dentistry, 2006; 34: 727739. 6. dawes c. what is tha critical ph and why does a tooth dissolve in acid?. j cand dent assoc, 2003; 69 (11): 722-724. 7. murti, b., (1997), prinsip dan metode riset epidemiologi, gadjah mada university press. 8. zafar s, harnekar sy dan siddiqi a. early childhood caries: etiology, clinical considerations, consequences and management. international dentistry sa, 2006; 11 (4): 24-36. 9. marsh pd. dental plaque as a biofilm: the significance of ph in health and caries. continuing education, 2009; 30 (2): 76-87. 10. riyanti e. pengenalan dan perawatan kesehatan gigi anak sejak dini. seminar sehari kesehatan psikologi anak. 2005. 11. shimizu k, igarashi k dan takahashi n. chairside evaluation of ph lowering activity and lactic acid production of dental plaque: correlation with caries experience and incidence in preschool children. quintessence international, 2008; 30 (2): 151-158. 12. schroth rj, brothwell dj dan moffatt mek. caregiver knowledge and attitudes of preschool oral health and early childhood caries (ecc). int j circumpolar health, 2007; 66 (2): 153-167. 13. finlayson tl, siefert k, ismail al dan sohn w. maternal self efficacy and 1-5 year old children’s brushing habits. community dent oral epidemiol, 2007; 35 (4): 272-281. 14. owen sa, gansky sa, platt lj, weintraub ja, soobader mj, bramlett md, et al. influences on children’s oral health: a conceptual model. pediatrics, 2007; 120 (3): 510-520. 51 mutiara medika vol. 14 no. 1: 51-62, januari 2014 kepatuhan perawat dalam melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus di rumah sakit pku muhammadiyah gombong compliance of nurse in implementing standard operating procedure of peripheral venous catheter insertion in rumah sakit pku muhammadiyah gombong mutiana muspita jeli,1* maria ulfa21,2 program studi manajemen rumah sakit, universitas muhammadiyah yogyakarta *email: mutemj0507@gmail.com abstrak pemasangan infus merupakan prosedur invasif dan merupakan tindakan yang sering dilakukan di rumah sakit (rs), namun hal ini berisiko tinggi terjadinya hospital acquired infection (hais). tindakan pemasangan infus akan berkualitas apabila dalam pelaksanaannya selalu patuh pada standar prosedur operasional (spo) yang telah ditetapkan demi terciptanya pelayanan kesehatan yang bermutu. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kepatuhan perawat dalam melaksanakan spo pemasangan infus di rs pku muhammadiyah gombong. penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan rancangan studi kasus yang hasilnya disajikan secara deskriptif. populasi yakni seluruh perawat rs pku muhammadiyah gombong dengan jumlah sampel 42 responden. data dikumpulkan dengan cara observasi lembar check list spo pemasangan infus rs pku muhammadiyah yogyakarta dan wawancara mendalam. hasil observasi menunjukkan bahwa seluruh perawat tidak patuh (100%) dalam melaksanakan spo pemasangan infus. hasil wawancara mendalam menunjukkan bahwa komitmen, hubungan sosial, kelangkaan, resiprositas, validasi sosial dan otoritas terkait kepatuhan perawat belum terwujud dengan baik dalam hal pelaksanaan spo pemasangan infus. hal ini dapat disebabkan karena kurangnya sosialisasi dan evaluasi spo pemasangan infus. disimpulkan bahwa seluruh perawat tidak patuh dalam melaksanakan spo pemasangan infus di rs pku muhammadiyah gombong. kata kunci: kepatuhan perawat, standar prosedur operasional pemasangan infus abstract peripheral venous catheter insertion is an invasive procedure and frequently used in hospitalized patients but it could increase the risk of hospital acquired infection (hais). peripheral venous catheter insertion would be in best practice if the implementation is based on standard operating procedure (sop) in order to get the best quality of medical services. this research aims to know the compliance of nurse in implementing sop of peripheral venous catheter insertion in rs pku muhammadiyah gombong. this research is a qualitative case study design that the results are presented descriptively. population consisted of all nurses in rs pku muhammadiyah gombong with the number of samples were 42 respondents. data was collected by observating the check list of sop of peripheral venous catheter insertion and in-depth interviews. the result of observation showed that all of nurses do not comply (100%) the sop of peripheral venous catheter insertion. the result of in-depth interviewsshowed that commitment, liking, scarcity, reciprocity, social proof and authority relating compliance in implementing sop of peripheral venous catheter insertion have not been done well in rs pku muhammadiyah gombong. perhaps it is because the lack of socialization and evaluation of sop of peripheral venous catheter insertion. it was concluded that all of nurses do not comply the sop of peripheral venous catheter insertionin rs pku muhammadiyah gombong. key words: compliance of nurse, standard operating procedure of peripheral venous catheter insertion artikel penelitian mutiara medika vol. 14 no. 1: 51-62, januari 2014 52 mutiana muspita jeli, kepatuhan perawat dalam melaksanakan ... pendahuluan pem asangan infus merupakan prosedur inv asif dan merupakan tindakan yang sering dilakukan di rumah sakit. namun, hal ini risiko tinggi terjadinya infeksi nosokomial atau disebut juga hospital acquired infection (hais) yang akan menambah tingginya biaya perawatan dan waktu perawatan. menurut andares (2009),1 tindakan pemasangan infus akan berkualitas apabila dalam pelaksanaannya selalu mengacu pada standar yang telah ditetapkan. pemasangan infus digunakan untuk mengobati berbagai kondisi penderita di semua lingkungan perawatan di rumah sakit dan merupakan salah satu terapi utama. sebanyak 70% pasien yang dilakukan rawat inap mendapatkan terapi cairan infus. akan tetapi, menurut hinlay (2006),2 karena terapi ini diberikan secara terus-menerus dan dalam jangka waktu yang lama tentunya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya komplikasi dari pemasangan infus, salah satunya adalah infeksi. perawat profesional yang bertugas dalam memberikan pelayanan kesehatan tidak terlepas dari kepatuhan perilaku perawat dalam setiap tindakan prosedural yang bersifat invasif seperti halnya pemasangan infus. pemasangan infus dilakukan oleh setiap perawat. semua perawat dituntut memiliki kemampuan dan keterampilan mengenai pemasangan infus yang sesuai standar prosedur operasional (spo). berdasarkan hasil penelitian andares (2009),1 menunjukkan bahwa perawat kurang memperhatikan kesterilan luka pada pemasangan infus. perawat biasanya langsung memasang infus tanpa memperhatikan tersedianya bahan-bahan yang diperlukan dalam prosedur tindakan tersebut, seperti tidak tersedia sarung tangan, kain kasa steril, alkohol, dan pemakaian yang berulang pada selang infus yang tidak steril. hasil penelitian mulyani dkk. (2001),3 yang melakukan penelitian dengan judul tinjauan pelaksanaan standar operasional prosedur (sop) pemasangan infus pada pasien di instalasi gawat darurat (igd) rs pku muhammadiyah gombong menunjukan perawat cenderung tidak patuh pada persiapan alat dan prosedur pemasangan infus yang prinsip. hasil penelitian terhadap 12 perawat pelaksana yang melakukan pemasangan infus, perawat yang tidak patuh sebanyak 12 orang atau 100% dan yang patuh sebanyak 0 atau 0%. hasil penelitian pasaribu (2008),4 yang melakukan analisa pelaksanaan pemasangan infus di ruang rawat inap rumah sakit haji medan menunjukan bahwa pelaksanaan pemasangan infus yang sesuai standar operasional prosedur katagori baik 27 %, sedang 40 % dan buruk 33 %. kepatuhan merupakan bagian dari perilaku individu yang bersangkutan untuk mentaati atau mematuhi sesuatu, sehingga kepatuhan perawat dalam melaksanakan spo pemasangan infus tergantung dari perilaku perawat itu sendiri. kepatuhan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. faktor–faktor yang mempengaruhi kepatuhan berdasarkan penelitian milgram (1963),5 yaitu status lokasi instruksi, tanggung jawab personal, legitimasi dari figur otoritas, status dari figur otoritas, dan kedekatan dengan figur otoritas. menurut carpenito (2000),6 adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan diantaranya adalah pemahaman tentang instruksi, tingkat pendidikan, keyakinan, sikap dan kepribadian, serta dukungan sosial. cialdini dan martin (2004),7 menyebutkan 53 mutiara medika vol. 14 no. 1: 51-62, januari 2014 terdapat enam prinsip dasar dalam hal kepatuhan. hal-hal tersebut yakni komitmen, kelangkaan, hubungan sosial, validasi sosial, resiprositas (timbal balik) dan otoritas. hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti di instalasi gawat darurat rs pku muhammadiyah gombong pada bulan juli 2013, ditemukan perawat yang melaksanakan tindakan pemasangan infus tidak sesuai dengan prosedur tetap. berdasarkan pengamatan terhadap 10 perawat di ruangan, didapatkan 10 orang perawat (100%) yang tidak melakukan spo dalam pemasangan infus. hal ini ditunjukkan dengan perawat yang tidak mencuci tangan dahulu, tidak menggunakan bengkok dan kapas alkohol serta jarum infus yang sudah dipakai diletakkan di tempat yang sama dengan alat-alat yang masih bersih. perawat berpendapat pemasangan infus adalah hal yang sudah biasa dikerjakan. bahkan ketika ditanya masalah protap pemasangan infus mereka sedikit mengetahui isi dari protap tersebut dan ketika diobservasi saat melaksanakan pemasangan infus ternyata ada beberapa kriteria tidak dilaksanakan yang sesuai dengan isi protap, terutama masalah mencuci tangan. oleh karena itu, peneliti perlu untuk melakukan penelitian tentang kepatuhan perawat dalam melaksanakan spo pemasangan infus di rs pku muhammadiyah gombong. bahan dan acara penelitian ini merupakan rancangan studi kasus (case study) kualitatif yang hasilnya disajikan secara deskriptif. penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana kepatuhan perawat dalam melaksanakan spo pemasangan infus di rs pku muhammadiyah gombong. penelitian ini diawali dengan observasi perilaku responden dalam pemasangan infus yang nantinya dibandingkan dengan checklist spo pemasangan infus yang berlaku di rumah sakit kemudian melakukan wawancara mendalam menggunakan pedoman wawancara yang hasilnya dapat melengkapi hasil observasi. hasil observasi dan wawancara mendalam dikumpulkan dan dikelompokkan untuk diolah. data-data hasil observasi disajikan dalam bentuk tabel kemudian dideskripsikan agar mudah dianalisis, sedangkan data hasil wawancara mendalam disajikan dalam bentuk naratif kemudian dideskripsikan. responden penelitian ini sebanyak 42 perawat yang berasal dari instalasi gawat darurat, bangsal inayah dan bangsal barokah. penelitian ini dilaksanakan di rumah sakit pku muhammadiyah gombong pada bulan agustus 2013 sampai oktober 2013. hasil kepatuhan perawat terhadap spo pemasangan infus di rs pku muhammadiyah gombong, diperoleh 42 orang kategori tidak patuh (100%) dari semua responden, adapun deskripsinya disajikan pada tabel 1: tabel 1. deskripsi perawat berdasarkan kepatuhan dalam melaksanakan spo pemasangan infus di rs pku muhammadiyah gombong (n=42) kepatuhan perawat terhadap spo rentang skor total n % patuh 100% 0 0 tidak patuh <100% 42 100 jumlah 42 100 deskripsi perawat berdasarkan kepatuhan dalam menerapkan spo pemasangan infus secara visual dapat digambarkan pada grafik berikut : berdasarkan grafik kepatuhan perawat dalam menerapkan spo pemasangan infus diketahui bahwa ketidakpatuhan perawat terutama berada 54 mutiana muspita jeli, kepatuhan perawat dalam melaksanakan ... pada fase persiapan 9, 11, 16, dan pada fase kerja 1, 9, 12, 16, 17 dan 19. hasil wawancara pasien dapat dilihat pada gambar 3. yang merupakan bagan hasil keseluruhan wawancara mendalam yang telah dilakukan dengan sepuluh orang responden (perawat pelaksana) di rs pku muhammadiyah gombong : gambar 1. grafik kepatuhan perawat dalam melaksanakan spo pemasangan infus gambar 2. grafik penilaian responden dalam melaksanakan spo pemasangan infus 55 mutiara medika vol. 14 no. 1: 51-62, januari 2014 diskusi kepatuhan terhadap standar prosedur operasional pemasangan infus rs pku muhammadiyah gombong. berdasarkan hasil observasi pemasangan infus, diperoleh bahwa sebanyak 100% responden atau perawat tidak melaksanakan pemasangan infus sesuai dengan spo yang berlaku. spo pemasangan infus yang berlaku di rs pku muhammadiyah gombong diterbitkan pada tahun 2010. berdasarkan kebijakan dari rumah sakit, spo tersebut dapat dievaluasi kapan saja tergantung situasi dan kondisi tetapi maksimal setiap 2 tahun sekali. hal tersebut tentu saja tidak dilaksanakan dengan baik karena spo pemasangan infus yang ada di rs sampai penelitian dilakukan masih merupakan spo yang diterbitkan pada tahun 2010. berdasarkan spo pemasangan infus rs pku muhammadiyah gombong (2010),8 terdapat beberapa poin yang tidak sesuai dengan peripheral intravenous catheter guideline (2013).9 poin-poin yang terdapat pada guideline namun tidak terdapat pada spo pemasangan infus rs pku muhammadiyah gombong yakni diantaranya pendokumentasian yang lebih terperinci mengenai tanggal dan jam pemasangan infus, termasuk tipe kateter intravena, lokasi anatomi penusukan, cairan desinfektan/antiseptik yang digunakan dan nama operator. selain itu juga ketersediaan asisten pada saat pemasangan infus untuk menjamin asepsis, penggunaan dressing transparan, steril dan semi-permeable untuk menjaga lokasi insersi kateter intravena dari kontaminasi ekstrinsik, mempermudah gambar 3. bagan hasil keseluruhan wawancara mendalam 56 mutiana muspita jeli, kepatuhan perawat dalam melaksanakan ... observasi berkelanjutan dari lokasi insersi serta membantu menstabilkan dan fiksasi kateter intravena.9 berdasarkan hambatan yang didapatkan dari wawancara mendalam terhadap responden paling banyak kendala yang didapatkan dalam hal kepatuhan adalah kurangnya sosialisasi. sosialisasi yang masih kurang adalah penyebab utama rendahnya tingkat pemahaman perawat tentang spo itu sendiri, yang seharusnya tim manajemen rumah sakit mensosialisasikan pada semua karyawan untuk meningkatkan pengetahuan tentang spo. rumah sakit sebaiknya menyediakan prasarana untuk mendukung sosialisasi tersebut misalnya dengan menyediakan anggaran khusus untuk konsumsi dan memberikan waktu bagi karyawan untuk rapat sosialisasi. carpenito (2000),6 menyebutkan bahwa dalam hal pemahaman tentang instruksi, tentunya tidak seorang pun mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang instruksi yang diberikan padanya. terkadang hal ini disebabkan oleh kurangnya sosialisasi tentang instruksi tersebut, penggunaan istilah-istilah yang tidak umum dalam instruksi dan memberikan banyak instruksi yang harus diingat oleh penerima instruksi. dalam hal pemahaman instruksi tentunya hal tersebut tidak lepas dari tingkat pendidikan. menurut carpenito (2000),6 pendidikan dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif yang diperoleh secara mandiri. semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin tinggi tingkat keinginan untuk memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan. menurut notoatmodjo (2003),10 salah satu faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan adalah pendidikan, sehingga apabila sebagian besar pendidikan perawat sudah cukup tinggi maka ti ngkat pengetahuan sebagian besar dal am kategori baik merupakan suatu kewajaran saja. hasil penelitian menunjukkan 42 responden tidak patuh terhadap spo pemasangan infus dan alasan terbanyak terkait hal tersebut adalah kurangnya sosialisasi. sosialisasi yang kurang dapat dikaitkan dengan masa kerja dari perawat. dari 42 responden tidak semua merupakan perawat tetap rumah sakit. jumlah perawat tetap dari seluruh responden yakni sebanyak 18 orang, sisanya sebanyak 16 orang adalah pegawai kontrak dan 8 orang adalah honorer. hasil penelitian ini mungkin disebabkan oleh karena pada masa kerja yang lebih pendek petugas bisa saja belum mendapatkan sosialisasi terkait tentang spo pemasangan infus sehingga hal tersebut dapat berpengaruh terhadap pemahaman instruksi dan kepatuhan terhadap spo pemasangan infus. bisa juga meskipun petugas tersebut masa kerjanya lama namun pendidikannya rendah akan menyebabkan kinerjanya juga rendah. selain itu mungkin sosialisasi tentang spo pemasangan infus memang jarang dilakukan sehingga perawat baik dengan masa kerja yang pendek maupun yang telah lama tidak hapal dan lupa tentang spo pemasangan infus tersebut. menurut mangkunegara (2006),11 masa kerja yang diekspresikan sebagai pengalaman kerja berpengaruh terhadap produktivitas karyawan. semakin lama masa kerja seorang karyawan maka produktivitasnya akan makin meningkat. pada umumnya karyawan dengan pengalaman kerja yang banyak tidak memerlukan banyak bimbingan dibandingkan dengan karyawan yang pengalaman kerjanya sedikit. 57 mutiara medika vol. 14 no. 1: 51-62, januari 2014 berdasarkan hasil wawancara dengan perawat pelaksana sebagai pelaksana praktik keperawatan didapatkan bahwa sebenarnya salah satu praktik keperawatan yang penting seperti pemasangan infus ini masih terdapat beberapa hal yang perlu dibenahi. untuk komitmen tentang kepatuhan melaksanakan spo pemasangan infus seluruh perawat memiliki komitmen yang rendah. berdasarkan observasi pelaksanaan proses pemasangan infus menurut spo yang telah ditetapkan rs pku muhammadiyah gombong, masih banyak perawat yang tidak hafal spo secara keseluruhan sehingga tidak semua poin yang terdapat di dalam spo dilakukan dengan baik. komitmen memang penting dilakukan karena menurut cialdini dan martin (2004),7 dalam prinsip komitmen atau konsistensi, ketika seseorang telah mengikatkan diri pada suatu posisi atau tindakan, seseorang tersebut akan lebih mudah memenuhi permintaan akan suatu hal yang konsisten dengan posisi atau tindakan sebelumnya dalam hal ini adalah kepatuhan terhadap spo pemasangan infus. namun pada penelitian ini didapatkan bahwa komitmen perawat rendah sehingga hal tersebut secara tidak langsung menyebabkan ketidakpatuhan terhadap spo yang berlaku. komitmen erat kaitannya dengan tanggung jawab. tanggung jawab merupakan sesuatu yang harus atau wajib dilakukan dan dikerjakan. dengan adanya rasa tanggung jawab maka akan dapat meningkatkan kinerja terutama dalam hal ini tindakan pemasangan infus. sebagian perawat mengambil tanggung jawab penuh untuk melaksanakan pemasangan infus dengan baik meskipun sebagian tanggung jawab tersebut ada pada atasan. hal ini sesuai dengan teori milgram (1963),5 yakni aoutomous state dimana seseorang mengambil tanggung jawab penuh atas apa yang dilakukannya. pemberian instruksi atau perintah oleh atasan terkadang menjadi beban bagi pelaksana perintah tersebut sehingga perintah tersebut ada yang tidak dilaksanakan. suatu perintah atau instruksi mungkin tetap dilaksanakan sekedarnya sehingga tidak sesuai dengan apa yang diperintahkan. perawat pelaksana hanya menjalan instruksi saja sehingga merasa tanggung jawab ada di tangan atasan. pada kondisi ini terjadi pengalihan tanggung jawab kepada figur otoritas selaku pemberi perintah. tindakan pemasangan infus telah dilaksanakan perawat, tetapi tindakan tersebut terkadang tidak sesuai dengan spo yang ada di rs. hal ini dimungkinkan ada faktor lain yang mempengaruhi ketidakpatuhan tersebut misalnya pemahaman, kemudahan dan kesederhanaan spo, sosialisasi spo yang kurang atau kebiasaan melakukan yang sudah biasa dilakukan sekalipun itu kurang benar. pemahaman mengenai spo sangat erat kaitannya dengan pengetahuan yang dimiliki oleh perawat. semakin tinggi pengetahuan perawat tentang sebuah spo maka semakin tinggi pemahaman mengenai spo tersebut sehingga dapat meningkatkan kepatuhan. hal tersebut sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh syarif (2012),12 di ruang merak rsup dr. kariadi semarang yang menyebutkan bahwa teradapat hubungan hubungan pengetahuan, sikap, dan motivasi dengan kepatuhan perawat dalam melaksanakan standar operasional prosedur pemasangan infus. dalam hal prosedur pelaksanaan pemasangan infus masih ada perawat yang belum menyesuaikan dengan standar prosedur operasional yang 58 mutiana muspita jeli, kepatuhan perawat dalam melaksanakan ... ada. beberapa perawat juga tidak memberikan salam kepada pasien dan tidak menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan kepada keluarga atau pasien sebelum melakukan tindakan pemasangan infus. begitu juga dengan mencuci tangan sebelum tindakan, perawat langsung melakukan pemasangan infus tanpa mencuci tangan sebelum melakukan tindakan. kesadaran perawat dalam hal mencuci tangan sebelum dan sesudah tindakan serta penggunaan sarung tangan steril sebenarnya sangat tinggi, namun oleh karena adanya berbagai keterbatasan sehingga mereka tidak dapat melaksanakan praktik keperawatan dengan menyeluruh. kepatuhan tampaknya masih merupakan sesuatu yang langka dan masih sulit untuk dilakukan. berdasarkan teori cialdini dan martin (2004),7 dalam prinsip kelangkaan, kita lebih menghargai dan mencoba mengamankan objek yang langka atau berkurang ketersediaannya. oleh karena itu, kita cenderung memenuhi permintaan yang menekankan kelangkaan daripada yang tidak. namun pada kenyataannya hal tersebut tidak berlaku. hal ini dimungkinkan ada faktor lain yang mempengaruhi ketidakpatuhan tersebut dalam hal ini pemasangan infus, misalnya kebiasaan yang sudah sering dilakukan maupun terbatasnya waktu untuk bertindak sehingga spo tidak terlalu diperhatikan. dalam tindakan pemasangan infus, prinsip hubungan sosial, resiprositas (hubungan timbal balik) dan validasi sosial juga tidak kalah penting dan berpengaruh terhadap sebuah kepatuhan. dalam hal ini erat kaitannya dengan dukungan rekan kerja maupun atasan. aspek yang dinilai pada dukungan rekan kerja meliputi komunikasi dan kesediaan rekan kerja serta atasan dalam membantu pelaksanaan pemasangan infus. pada penelitian ini didapatkan semua responden tidak patuh terhadap spo pem asangan i nf us. pada penel i ti an kusumadewi dkk. (2012),13 didapatkan hubungan positif yang rendah antara dukungan sosial peer group dengan kepatuhan terhadap peraturan. rekan kerja yang melaksanakan pemasangan infus dengan baik akan membuat rekan kerja lain ikut menjadi baik. demikian juga sebaliknya, rekan kerja yang cenderung untuk melaksanakan pemasangan infus sekedarnya akan mempengaruhi rekan kerjanya. seseorang cenderung berperilaku sama dengan rekan atau sesama dalam lingkungan sosialnya. hal ini sesuai dengan teori cialdini dan martin (2004),7 tentang prinsip validasi sosial, kita lebih mudah memenuhi permintaan untuk melakukan suatu tindakan jika konsisten dengan apa yang kita percaya orang lain akan melakukannya juga. kita ingin bertingkah laku benar, dan satu cara untuk memenuhinya adalah dengan bertingkah laku dan berpikir seperti orang lain. seseorang cenderung menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. fernald (2007),14 menyebutkan bahwa lingkungan yang tidak patuh akan memudahkan seseorang untuk berbuat ketidakpatuhan sehingga sama dengan lingkungannya meskipun kepatuhan adalah sesuatu yang penting. meskipun rekan kerja tidak mendukung dalam melaksanakan kepatuhan terhadap tindakan pemasangan infus, perawat tetap memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan tindakan tersebut sesuai dengan spo yang ada. dalam prinsip hubungan sosial menurut cialdini dan martin (2004),7 kita lebih mudah memenuhi permintaan untuk melakukan suatu tindak59 mutiara medika vol. 14 no. 1: 51-62, januari 2014 an dari teman atau orang yang kita sukai daripada permintaan orang yang tidak kita kenal, atau kita benci. hal ini mungkin dikarenakan semakin baik kedekatan bawahan dengan figur otoritas ataupun dengan sesama rekan kerja akan memberikan kemudahan dalam berkomunikasi sehingga perintah atau instruksi yang diberikan lebih jelas sehingga kepatuhan dalam dalam melakukan tindakan pemasangan infus pun akan meningkat. hasil penelitian widyaningtyas (2010),15 didapatkan ada hubungan supervisi dengan pelaksanaan pendokumentasian proses keperawatan. kehadiran atasan untuk memberikan arahan dan saran adalah bagian dari supervisi. arahan yang diberikan oleh atasan diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan dalam dokumentasi asuhan keperawatan. dengan kedekatan antara atasan dengan bawahan baik, maka para bawahan akan lebih mungkin memenuhi permintaan, arahan dan saran dari atasan. ketidakpatuhan terhadap spo pemasangan infus tidak lepas dari campur tangan sistem yang berada di rumah sakit. hal ini terkait dengan otoritas dikarenakan tidak adanya sosialisasi pelaksanaan spo yang telah ditetapkan rumah sakit, perawat hanya di himbau untuk membaca secara individu. menurut mcleod (2007),16 seseorang cenderung mematuhi orang lain apabila orang lain tersebut memiliki otoritas yang sah. adanya otoritas yang sah yang dimiliki oleh atasan akan membuat bawahan taat kepada atasan dan perintahnya. jika bawahan menyadari akan otoritas yang sah pimpinannya maka hal itu akan membuat anggota taat terhadap perintah dan aturan yang ada. hasil penelitian puspitawati (2011),17 menyatakan bahwa ada hubungan otoritas yang sah dengan kepatuhan sop pencegahan infeksi luka infus. sebagian besar perawat memberikan penilaian baik terhadap status figur otoritas.meskipun demikian dari yang memberikan penilaian baik tersebut ada yang tidak patuh. hal ini dimungkinkan kredibilitas, integritas, keahlian sebagai seorang perawat profesional kurang ditunjukkan kepada bawahan. kredibilitas sebagai seorang ahli dan integritas akan mendorong kepatuhan dan menegaskan otoritas. kepatuhan perawat dalam penerapan standar pelayanan keperawatan dan spo sebagai salah satu ukuran keberhasilan pelayanan keperawatan dan merupakan sasaran penting dalam manajemen sumber daya manusia. penerapan spo pelayanan keperawatan pada prinsipnya adalah bagian dari kinerja dan perilaku individu dalam bekerja sesuai tugasnya dalam organisasi, dan biasanya berkaitan dengan kepatuhan. kepatuhan perawat adalah perilaku perawat sebagai seorang yang profesional terhadap suatu anjuran, prosedur atau peraturan yang harus dilakukan atau ditaati. dalam tindakan pemasangan infus, kepatuhan perawat diukur berdasarkan spo dari setiap tahap pemasangan infus yakni tahap persiapan, pelaksanaan dan terminasi. pemasangan infus sedapat mungkin sesuai spo yang telah ditentukan. pemasangan selalu dilakukan secara steril karena merupakan tindakan invasif yang dapat menimbulkan infeksi. pencegahan infeksi nosokomial dengan mencuci tangan masih belum semua perawat melakukan dengan baik. hanya beberapa perawat saja yang melakukan cuci tangan dengan air dan sabun setiap kali kontak dengan pasien. berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa pemasangan infus yang dilaksanakan oleh perawat 60 mutiana muspita jeli, kepatuhan perawat dalam melaksanakan ... di ruang igd, bangsal inayah dan bangsal barokah di rs pku muhammadiyah gombong sudah baik dalam beberapa langkah, tetapi masih perlu perbaikan-perbaikan. sosialisasi penggunaan spo rumah sakit khususnya pemasangan infus harus lebih digencarkan serta dukungan dan komitmen manajemen seperti dalam hal penyediaan sarana dan prasarana sehingga kepatuhan dapat ditingkatkan. budaya melaporkan ktd tanpa hukuman dan rahasia juga perlu ditingkatkan untuk mencari solusi sehingga tidak terulang kembali. rumah sakit sebaiknya mengembangkan dan memperbaiki sistem yang ada termasuk di dalamnya peningkatan peran dan partisipasi dari penentu kebijakan dan pelaksana lapangan. dalam hal ini diharapkan ada komunikasi yang efektif antara penentu kebijakan dan pelaksana lapangan dalam menentukan arah prosedur yang akan ditetapkan rumah sakit sehingga dapat berjalan sesuai yang diharapkan dan tidak ada lagi kejadian tidak diharapkan. simpulan disimpulkan bahwa seluruh perawat tidak patuh dalam melaksanakan pemasangan infus berdasarkan spo pemasangan infus di rs pku muhammadiyah gombong. semua perawat memiliki komitmen yang rendah terhadap kepatuhan dalam melaksanakan spo pemasangan infus di igd rumah sakit pku muhammadiyah gombong. hubungan sosial antar perawat di rumah sakit pku muhammadiyah gombong masih belum dilakukan dengan baik. kepatuhan dalam melaksanakan spo pemasangan infus di rumah sakit pku muhammadiyah gombong merupakan hal yang masih langka namun hal tersebut tidak serta merta menyebabkan perawat menjadi semakin patuh. resiprositas (timbal balik) antar perawat maupun terhadap top managementdi rumah sakit pku muhammadiyah gombong belum dilakukan dengan baik. validasi sosial terkait kepatuhan dalam melaksanakan spo pemasangan infus di rumah sakit pku muhammadiyah gombong belum dilakukan oleh seluruh perawat. otoritas terhadap kepatuhan dalam melaksanakan spo pemasangan infus di rum ah saki t pku muhamm adiyah gombong masih belum maksimal, sehingga kepatuhan pelaksanaan spo pemasangan infus juga belum terlaksana dengan baik. rekomendasi dalam hal kepatuhan pelaksanaan spo pemasangan infus di rum ah saki t pku muhamm adiyah gombong yakni sosialisasi spo, memperjelas dan menggalakkan kebijakan tentang sistem pelaporan ktd, dan memberikan pengarahan tentang pentingnya kerjasama dan komunikasi antar tim serta menghi langkan kebiasaan tidak baik dal am bekerja. bagi direksi sdm rumah sakit diharapkan meningkatkan m otiv asi perawat di rs pku muhammadiyah gombong agar timbul kesadaran untuk meningkatkan kepatuhan dalam melaksanakan spo yang berlaku dalam hal ini khususnya spo pemasangan infus, melalui dukungan yaitu pemberian reward bagi perawat yang dapat melaksanakan kepatuhan. bagi manajemen rumah sakit agar membuat media visualisasi seperti misalnya poster agar mempermudah perawat mengingat spo pemasangan infus, menyediakan waktu secara rutin setiap bulan untuk mensosialisasikan pada semua perawat di rs pku muhammadiyah gombong umumnya dan semua perawat di igd dan rawat inap khususnya tentang pemasangan 61 mutiara medika vol. 14 no. 1: 51-62, januari 2014 infus sesuai dengan spo yang berlaku. termasuk di dalamnya meningkatkan mutu pelayanan keperawatan dengan cara komite keperawatan,dan supervisor selalu melakukan observasi atau evaluasi kepatuhan perawat dalam melaksanakan spo pemasangan infus. perlunya meningkatkan komitmen yang tegas terkait kepatuhan penerapan spo pemasangan infus sebagai upaya pencegahan infeksi, termasuk di dalamnya komitmen manajemen untuk menerapkan kebijakan melaporkan tindakan kesalahan tanpa hukuman. perlunya pengkaj ian dan pem baharuan spo tentang pemasangan infus dengan spo yang terbaru. penambahan alat-alat kesehatan dan fasilitas pelayanan sebagai penunjang sehingga kejadian tidak diharapkan tidak muncul saat memberikan pelayanan pada pasien di rumah sakit. bagi perawat agar selalu menerapkan asuhan keperawatan sesuai standar profesi tertinggi dan mengutamakan keselamatan pasien serta saling memberikan dukungan positif antar rekan dalam melaksanakan pekerjaan sehingga mendukung terciptanya kepatuhan dalam melaksanakan spo pemasangan infus. diharapkan bagi perawat agar mempunyai keberanian untuk melaporkan setiap tindakan kesalahan dalam praktik keperawatan. perlunya penelitian lebih lanjut terkait pelaksanaan spo khususnya spo pemasangan infus melalui penambahan beberapa variabel yang berbeda dan terkait dengan pelaksanaan spo pemasangan infus. daftar pustaka 1. andares. analisa hubungan karakteristik perawat dan tingkat kepatuhan perawat dalam pelaksanaan protap pemasangan infus di rumah sakit badrul aini medan, tesis. medan: program pasca sarjana, minat magister kesehatan universitas sumatera utara. 2009. 2. hinlay. 2006. terapi intravena pada pasien di rumah sakit. yogyakarta: nuha medika. 3. mulyani, cokro aminoto & nurlaila. tinjauan pelaksanaan standar operasional prosedur (sop) pemasangan infus pada pasien di instalasi gaw at darurat (igd) rs pku muhammadiyah gombong. 2011. http:// www.menulisproposalpenelitian.com/2011/09/ tinjauan-pelaksanaan-standar.html 4. pasaribu m. analisis pelaksanaan standar operasional prosedur pemasangan infus. jakarta: salemba medika. 2006 5. milgram, s. behavioral study of obedience. j abnormal soc psychol, 1963; 67 (4): 371-378. 6. carpeni to l.j. diagnosa keperaw atan; aplikasi pada praktik klinis, 6th edn. jakarta: egc. 2000. 7. cialdini r, martin. the science of compliance. united states of america: arizona state university. 2004. 8. spo rumah sakit pku muhammadiyah gombong. standar operasional prosedur pemasangan infus. gombong. 2010. 9. department of health, queensland government. guideline for peripheral intravena catheter (pivc). australia. 2013. https://www. health.qld.gov.au/qhpolicy/docs/gdl/qh-gdl321-6-5.pdf 10. notoatmodjo s. pendidikan dan perilaku kesehatan. jakarta: rineka cipta. 2003. 11. mangkunegara. evaluasi kinerja sdm. bandung: refika aditama. 2006. 62 mutiana muspita jeli, kepatuhan perawat dalam melaksanakan ... 12 syarif a. faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan perawat dalam melaksanakan standar operasional prosedur pemasangan infus di ruang merak rsup dr. kariadi semarang. tesis. yogyakarta: program pasca sarjana, minat magister rumah sakit, universitas gajah mada. 2012. 13 kusumadewi, s. hardjajani, t. & priyatama, an. hubungan antara dukungan sosial peer group dan kontrol diri dengan kepatuhan terhadap peraturan pada remaja putri di pondok pesantren modern islam assalam sukoharjo. jurnal ilmiah psikologi candrajiwa, 2012; 1 (2): 1-10. 14 fernald ld. psychology: six perspectives 1st edition. los angeles: sage publications. 2007. 15 widyaningtyas ks. analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan perawat dalam pendokumentasian asuhan keperawatan. tesis. semarang: program pasca sarjana, minat magister keperawatan, universitas diponegoro. 2010. 16 mcleod sa. simply psychology; milgram experiment. 2007. retri ev ed f rom http:// www.simplypsychology.org/milgram.html. 17 puspitawati. faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pelaksanaan sop pemasangan kateter intravena terhadap kejadian phlebitis. tesis, jakarta: program pasca sarjana, minat magister kesehatan, universitas indonesia. 2011. 96 sri winarsih, dkk., efek antibakteri ekstrak daun katuk mutiara medika vol. 15 no. 2: 96-103, mei 2015 efek antibakteri ekstrak daun katuk (sauropus androgynus) terhadap pertumbuhan salmonella typhi secara in vitro antibacterial effect of katuk (sauropus androgynus) leaf extract against salmonella typhi growth in vitro sri winarsih1*, danik agustin purwantiningrum2, anastasia shinta wardhani3 1laboratorium mikrobiologi, fakultas kedokteran, universitas brawijaya 2laboratorium anatomi-histologi, fakultas kedokteran, universitas brawijaya 3program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran, universitas brawijaya *email: wien_mikro@yahoo.com abstrak daun katuk biasa digunakan sebagai obat tradisional terhadap berbagai macam penyakit termasuk mengobati diare. kandungan daun katuk yang diperkirakan berperan sebagai antibakteri adalah saponin, flavonoid dan tannin. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek antibakteri dari ekstrak daun katuk secara in vitro. metode yang digunakan adalah dilusi tabung yang terdiri dari dua tahap yaitu tahap penentuan kadar hambat minimum (khm) dan kadar bunuh minimum (kbm). konsentrasi ekstrak daun katuk yang digunakan adalah 10%, 15%, 20%, 25% dan 30%, sedangkan konsentrasi s. typhi adalah 106 cfu/ml. hasil menunjukkan bahwa khm ekstrak daun katuk terhadap s. typhi sebesar 25% dan kbm nya sebesar 30%. uji anova menunjukkan bahwa ekstrak daun katuk secara signifikan menghambat pertumbuhan s. typhi (p = 0.000). uji korelasi menggunakan regresi menunjukkan terdapat korelasi negatif antara konsentrasi ekstrak daun katuk dengan jumlah koloni s. typhi (p = 0,000; r = 0,800). dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun katuk memiliki efek antibakteri terhadap s. typhi. semakin tinggi kosentrasi ekstrak daun katuk, semakin rendah jumlah koloni. kata kunci: salmonella typhi, sauropus androgynus, antibakteri, in vitro abstract katuk (sauropus androgynus) leaves is used as a traditional medicine against various diseases include diarrhea. the estimated antibacterial substances of katuk leaves are saponin, flavonoid and tannin. the aim of this research is to know antibacterial effect of katuk leaves extract against salmonella typhi in vitro. antibacterial effect is determined by tube dilution method, which consists of two steps, namely the determination of minimum inhibitory concentration (mic) and minimum bactericide concentration (mbc). the concentrations of katuk leaves extracts are 10%, 15%, 20%, 25%, and 30%. the concentration of s. typhi is 106 cfu/ml. the result shows that mic and mbc of the katuk leaves extract are 25% and 30% respectively. anova test shows that katuk leaves extract significantly inhibits the growth of s. typhi (p = 0,000). correlation test by using regression shows that there is a negative correlation between the katuk leaves extract concentration and the amount of s. typhi colony (p= 0,000; r = 0,800). the conclusion is that katuk leaves has antibacterial effect against s. typhi. the higher concentration of katuk leaf extract, the lower the number of colonies key words: salmonella typhi, sauropus androgynus leaves extract, antibacteria, in vitro artikel penelitian 97 mutiara medika vol. 15 no. 2: 96-103, mei 2015 pendahuluan penyakit infeksi menjadi salah satu penyebab kematian terbesar di indonesia. dalam beberapa tahun ini, kebanyakan bakteri gram positif dan gram negatif telah menjadi lebih resisten terhadap antibiotika yang kerap kali digunakan di klinik. beberapa isolat bakteri yang resisten tersebut mengakibatkan kegagalan terapi dalam proses klinik. salah satu bakteri gram negatif yang resisten terhadap antibiotik adalah salmonella typhi. s. typhi menyebabkan demam tifoid dan infeksi saluran cerna lain.1 demam tifoid atau typhus abdominalis adalah suatu infeksi akut yang terjadi pada usus halus, tepatnya di patch of peyer’s, disebabkan oleh kuman gram negatif s. typhi. selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi di dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah.1 demam tifoid masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang terutama di daerah tropis dan subtropis. penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, konsumsi makanan dan air yang terkontaminasi oleh feces dari penderita yang terinfeksi, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.2 besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. data world health organization (who) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit.3 di indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. umur penderita yang terkena di indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.4 teknologi di bidang kedokteran khususnya di bidang antibiotika banyak memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia. selain dampak positif tersebut, timbul pula dampak negatif yang tidak dapat dicegah, misalnya makin meningkatnya kemampuan mikroba penyebab infeksi untuk mempertahankan diri melalui penyesuaian-penyesuaian, sehingga makin sulit untuk diberantas, selain itu, penggunaan preparat atau sediaan antimikroba yang tidak rasional berdampak pada munculnya strain-strain baru yang resisten terhadap anti-mikroba.5 munculnya strainstrain baru bakteri yang resisten terhadap antimikroba berakibat pada peningkatan biaya kesehatan karena dibutuhkan antimikroba generasi baru, selain itu waktu perawatan menjadi lebih lama, ataupun peningkatan angka kesakitan dan angka kematian.6 oleh karena itu, perlu dikembangkan alternatif pengobatan baru yang lebih efektif dan efisien serta dapat menurunkan biaya kesehatan, tanpa melupakan standar mutu pelayanan medis. dalam hal ini, pengobatan dengan memanfaatkan bahan-bahan alamiah dapat menjadi pilihan. obat alami sudah dikenal dan digunakan di seluruh dunia sejak beribu tahun yang lalu. indonesia memiliki keanekaragaman obat tradisional yang dibuat dari bahan-bahan alami bumi indonesia, termasuk tanaman obat. salah satu tanaman yang 98 sri winarsih, dkk., efek antibakteri ekstrak daun katuk berkhasiat obat di indonesia adalah daun katuk (sauropus androgynus).7 daun s. androgynus di indonesia digunakan untuk melancarkan asi (air susu ibu), sebagai obat borok, bisul dan demam. selain itu daun s. androgynus ternyata juga memiliki kemampuan mengobati diare. daun s. an-drogynus mengandung protein, lemak, kalsium, fosfor, besi, vitamin a, b dan c. daun s. an-drogynus juga memiliki kandungan tannin, saponin flavonoid dan alkaloid, sehingga sangat potensial untuk dijadikan bahan pengobatan alami.8 sejauh ini belum ada penelitian dan laporan mengenai uji potensi antimikroba ekstrak daun s. androgynus terhadap bakteri maupun fungi, khususnya s. typhi. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana potensi antimikroba ekstrak daun s. androgynus terhadap s. typhi. ekstrak daun s. androgynus merupakan bentuk sediaan hasil penyaringan bahan aktif dari daun s. androgynus. pada penelitian ini, dipilih metode ekstrak dibandingkan menggunakan metode dekok karena metode ekstrak diharapkan memiliki tingkat efektifitas yang lebih tinggi sebagai antibakteri terhadap s. typhi dibandingkan menggunakan metode dekok. bahan dan cara desain penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimental in vitro dengan menggunakan tube dilution test untuk mengetahui aktivitas ekstrak daun s. androgynus sebagai antibakteri terhadap s. typhi. tube dilution test meliputi dua tahap, yaitu tahap pengujian bahan pada medium broth untuk menentukan khm dan tahap streaking pada media nap untuk mengetahui kbm. pada penelitian ini digunakan sampel berupa isolat s. typhi dengan kepadatan 106 bakteri/cc yang berasal dari darah penderita demam tifoid yang didapatkan dari laboratorium mikrobiologi fakultas kedokteran universitas brawijaya. estimasi jumlah pengulangan. dasar pengulangannya adalah dengan rumus p (n-1) e” 16 (lukito, 1998): 9 di mana n adalah jumlah pengulangan dan p adalah jumlah perlakuan (jumlah isolat + jumlah konsentrasi). penelitian ini menggunakan ekstrak daun s. androgynus sejumlah lima konsentrasi yaitu 10%, 15%, 20%, 25%, 30% dan satu kontrol s. typhi tanpa diberi ekstrak daun katuk (p = 5 + 1 = 6), sehingga didapatkan jumlah pengulangan sebesar 3,667, dibulatkan menjadi empat (4) kali. penelitian ini dilakukan di laboratorium mikrobiologi klinik fakultas kedokteran universitas brawijaya malang pada bulan februari 2009. variabel bebas dalam penelitian ini adalah ekstrak daun s. androgynus dengan konsentrasi 10%, 15%, 20%, 25% dan 30%. konsentrasi tersebut didapatkan melalui eksplorasi (penelitian pendahuluan). variabel tergantung dalam penelitian ini adalah kekeruhan pada tabung yang berisi media pertumbuhan bakteri yang mengandung ekstrak daun s. androgynus dan telah ditanami bakteri uji untuk menentukan kadar hambat minimal (khm) dan jumlah koloni s. typhi pada media agar padat untuk menentukan kadar bunuh minimal (kbm). daun s. androgynus yang digunakan diambil pada musim penghujan berasal dari daerah probolinggo, jawa timur. ekstrak daun s. androgynus adalah kadar atau konsentrasi daun s. androgynus yang telah dikeringkan dengan oven pada 99 mutiara medika vol. 15 no. 2: 96-103, mei 2015 suhu 80ºc selama 45 menit, kemudian dihaluskan, setelah itu dilakukan ekstraksi dingin (maserasi) dengan menggunakan etanol 96%. isolat bakteri s. typhi adalah empat isolat bakteri yang berasal dari darah empat penderita demam tifoid yang diperoleh dari laboratorium mikrobiologi fakultas kedokteran universitas brawijaya malang. kadar hambat minimal (khm) adalah kadar atau konsentrasi minimal larutan ekstrak daun s. androgynus yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri uji (s. typhi), ditandai dengan tidak terdapatnya kekeruhan pada larutan ekstrak daun s. androgynus yang telah diberi bakteri uji tersebut. kadar bunuh minimal (kbm) adalah kadar atau konsentrasi minimal larutan ekstrak daun s. androgynus yang mampu membunuh bakteri uji (s. typhi), ditandai oleh jumlah koloni pada medium agar padat yang telah dilakukan streaking dengan satu ose larutan ekstrak daun s. androgynus yang telah diberi bakteri uji tersebut, dengan jumlah koloni kurang dari 0,1% original inokulum. konsentrasi ekstrak daun s. androgynus yang digunakan pada penelitian ini (10%, 15%, 20%, 25% dan 30%) diperoleh berdasar eksplorasi (penelitian pendahuluan). analisis one way anova digunakan untuk mengetahui apakah ada perbedaan pengaruh dari berbagai konsentrasi ekstrak daun s. androgynus terhadap jumlah koloni bakteri s. typhi. jika uji anova menunjukkan ada perbedaan signifikan, maka uji dilanjutkan dengan analisis post hoc yaitu menggunakan tukey test untuk mengetahui perlakuan mana saja yang menyebabkan jumlah koloni bakteri s. typhi cenderung tidak berbeda dan berbeda nyata. uji regresi korelasi dilakukan untuk menentukan besarnya pengaruh dan arah hubungan antara konsentrasi ekstrak daun s. androgynus terhadap pertumbuhan s. typhi secara in-vitro. besarnya derajat kepercayaan yang dipakai adalah 95% (± = 0,05). hasil identifikasi salmonella typhi. bakteri s. typhi yang digunakan dalam penelitian ini adalah bakteri keterangan: tabung 1 : konsentrasi ekstrak 0% tabung 4 : konsentrasi ekstrak 20% tabung 2 : konsentrasi ekstrak 10% tabung 5 : konsentrasi ekstrak 25% tabung 3 : konsentrasi ekstrak 15% tabung 6 : konsentrasi ekstrak 30% gambar 1. hasil uji dilusi tabung untuk menentukan kadar hambat minimal (khm) 100 sri winarsih, dkk., efek antibakteri ekstrak daun katuk s. typhi yang berasal dari darah penderita demam tifoid yang didapatkan dari laboratorium mikrobiologi fakultas kedokteran universitas brawijaya malang. bakteri tersebut terlebih dahulu diidentifikasi dengan pembiakan koloni pada medium bismuth sulfit agar (bsa), triple sugar iron (tsi) agar slan dan pewarnaan gram. hasilnya didapatkan koloni bakteri s. typhi berbentuk bulat kecil, permukaan cembung, tepi rata, tidak berbau dan didapatkan koloni khas berwarna hitam (black jet colony). pada medium tsi didapatkan hasil berupa alkali/ asam/ gas(+)/ h2s(+) dan dari pemeriksaan mikroskopis didapatkan gambaran bakteri berbentuk batang dan bersifat gram negatif (berwarna merah). hasil pengamatan pertumbuhan salmonella typhi pada tabung. pada penelitian ini terdapat 7 kelompok perlakuan yang terdiri dari 1 kelompok kontrol positif (kontrol bakteri), 1 kelompok kontrol negatif (kontrol bahan) dan 5 kelompok perlakuan yang diberikan ekstrak daun s. androgynus dengan konsentrasi yang berbeda-beda (10%, 15%, 20%, 25% dan 30%). untuk mengetahui kadar hambat minimum (khm) dari ekstrak daun s. androgynus terhadap s. typhi dilakukan pengamatan kekeruhan tiap tabung pada masing-masing kelompok perlakuan pada uji dilusi tabung (gambar 1.). selanjutnya tabung kontrol positif digunakan sebagai acuan untuk menentukan khm, dimana tabung yang lebih jernih (dengan konsentrasi tertinggi) daripada kontrol positif adalah khm dari ekstrak daun s. androgynus terhadap s. typhi, sedangkan untuk menentukan kadar bunuh minimum (kbm), dilakukan penggoresan pada medium nutrient agar plate (nap) dari tabung yang dianggap lebih jernih dari kontrol bakteri. pengamatan ditemukan pada konsentrasi 25% merupakan konsentrasi terkecil yang tidak menunjukkan kekeruhan pada tabung, sehingga dapat disimpulkan bahwa khm penelitian adalah 25%. hasil pengukuran pertumbuhan salmonella typhi pada media nap. setiap tabung hasil kultur pada “tube dillution test”, selain diambil masingmasing satu ose juga diinokulum pada medium padat nap. hasil peng-ukuran pertumbuhan salmonella typhi dari per-benihan media nap dapat dilihat pada tabel 2. jumlah koloni bakteri pada kelompok kontrol dan konsentrasi pengulangan lainnya dapat dihitung. pada kelompok kontrol tidak didapatkan adanya koloni bakteri yang tumbuh. hal ini berarti bahwa larutan ekstrak daun katuk yang digunakan dalam penelitian ini tidak terkontaminasi oleh bakteri apapun. pada konsentrasi ekstrak 0% (kontrol bakteri) diperoleh koloni rata-rata sejumlah 312 koloni, pada konsentrasi ekstrak 10% diperoleh koloni rata-rata sejumlah 254 koloni, pada konsentrasi ekstrak 15% diperoleh koloni rata-rata sejumlah 124 koloni, pada konsentrasi ekstrak 20% diperoleh koloni rata-rata sejumlah 55 koloni, pada konsentrasi ekstrak 25% diperoleh koloni rata-rata sejumlah 10 koloni dan baru pada konsentrasi 30% diperoleh koloni rata-rata tabel 1. hasil pengamatan khm s. typhi pada tabung isolat khm isolat a 25% isolat b 25% isolat c 25% isolat d 25% rerata 25% tabel 2. jumlah koloni s. typhi pada media nap konsentrasi ekstrak daun katuk pengulangan rerata ± sd a b c d 0% 317 306 323 303 312.25 ± 9.36 10% 246 254 279 238 254.25 ± 17.75 15% 125 131 124 117 124.25 ± 5.74 20% 79 83 37 21 55 ± 30.77 25% 23 15 0 0 9.5 ± 11.45 30% 0 0 0 0 0 oi 319 428 286 277 327.5 101 mutiara medika vol. 15 no. 2: 96-103, mei 2015 sejumlah 0 koloni. hasil pengukuran dapat diketahui bahwa tejadi penurunan rata-rata jumlah koloni s. typhi seiring dengan pe-ningkatan konsentrasi ekstrak daun s. andro-gynus dan didapatkan kbm pada konsentrasi 30% karena pada konsentrasi tersebut rerata jumlah koloninya lebih kecil dari 0,1% rerata oi. selain itu tidak menunjukkan adanya pertumbuhan koloni bakteri s. typhi pada konsentrasi 30%. diskusi penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek ekstrak daun s. androgynus sebagai antibakteri terhadap s. typhi secara in vitro. metode yang digunakan adalah metode dilusi tabung dalam dua tahap perbenihan, yaitu yang pertama s. typhi ditumbuhkan dalam media cair mh broth yang dicampur dengan ekstrak daun s. androgynus dan diinkubasi selama 18-24 jam untuk diamati kekeruhannya, untuk menentukan khm. tahap kedua adalah penggoresan (streaking) pada nap kemudian diinkubasi selama 18-24 jam untuk dihitung jumlah koloninya dengan menggunakan (colony counter) “lab-line” untuk menentukan kbm, kemudian hasilnya dianalisis dengan uji statistik. hasil pengamatan pada tabung dapat ditentukan bahwa khm ekstrak daun s. androgynus terhadap s. typhi adalah konsentrasi 25%, selanjutnya dilakukan penggoresan pada nap untuk mengamati pertumbuhan koloni s. typhi, sehingga kbm didapatkan pada konsentrasi 30%. hasil ini diduga disebabkan semakin besar konsentrasi ekstrak yang diberikan semakin besar pula kon-sentrasi bahan aktif yang berpengaruh terhadap pertumbuhan s. typhi, sehingga mengakibatkan pertumbuhan s. typhi menjadi semakin sedikit. diduga bahan aktif yang berperan sebagai antibakteri dalam daun s. androgynus yang diperoleh melalui proses ekstraksi dingin (maserasi) dengan etanol 96% adalah saponin, flavonoid dan tanin. hal ini disebabkan bahan aktif daun s. androgynus yaitu saponin, flavonoid dan tannin sebagai komponen antibakteri s. typhi didapatkan paling tinggi melalui proses ekstraksi dingin (maserasi) dengan etanol 96%. mekanisme antibakteri saponin diperkirakan dengan cara berikatan dengan sterol pada membran sel sehingga terbentuk pori yang mengakibatkan hilangnya integritas membran, sehingga mempengaruhi permeabilitas membran sitoplasma. aktivitas flavonoid kemungkinan disebabkan oleh kemampuannya untuk mengikat adhesin, membentuk kompleks dengan protein ekstraseluler dan terlarut dan juga membentuk kompleks dengan dinding sel bakteri, serta sifat lipofilik flavonoid juga mungkin dapat merusak membran mikroba.10 tannin bekerja dengan cara berikatan pada adhesin faktor pada bakteri dan membentuk kompleks dengan polisakarida pada dinding sel bakteri, sehingga dapat mengambat pertumbuhan bakteri tersebut. 11 analisis dengan uji anova didapatkan signifikansi dengan nilai p = 0.000 (p<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan bermakna efek antibakteri pada pemberian ekstrak daun s. androgynus terhadap jumlah koloni bakteri s. typhi yang dihasilkan pada medium nap. berdasarkan post hoc test (tukey’s test) antara setiap perlakuan menunjukkan terdapat perbedaan bermakna jumlah koloni bakteri s. typhi yang dihasilkan pada medium nap antara berbagai konsentrasi ekstrak daun s. androgynus (p<0.05), namun jumlah koloni bakteri s. typhi antara konsentrasi 20%, 25% dan 30% tidak berbeda signifikan satu sama lain. hal ini disebabkan 102 sri winarsih, dkk., efek antibakteri ekstrak daun katuk adanya faktor pengenceran dari bakteri agar dapat dihitung pada colony counting, sehingga secara analisis statistik (post hoc test) pada konsentrasi 20% dianggap sudah tidak ada pertumbuhan bakteri. analisis dengan uji korelasi diketahui bahwa pemberian ekstrak daun s. androgynus sebagai antibakteri terhadap jumlah koloni bakteri s. typhi yang dihasilkan pada medium nap (r=-0.800, p=0.000) mempunyai hubungan (korelasi) yang signifikan (p<0.05) dengan arah korelasi yang negatif, artinya peningkatan konsentrasi ekstrak daun s. androgynus cenderung akan menurunkan jumlah koloni bakteri s. typhi yang dihasilkan pada medium nap, dibandingkan dengan jumlah koloni bakteri s. typhi pada konsentrasi yang lebih rendah maupun pada kelompok kontrol. berdasarkan hasil analisis regresi pengaruh ekstrak daun s. androgynus terhadap jumlah koloni bakteri s. typhi yang dihasilkan pada medium nap sebesar 64%, sedangkan 36% keragaman jumlah koloni bakteri s. typhi yang dihasilkan pada medium nap tersebut dipengaruhi oleh faktor lain, kemungkinan karena pengaruh lama penyimpanan ekstrak daun s. androgynus serta faktor resistensi dari bakteri. aplikasi klinis dari penelitian ini memang masih memerlukan penelitian lebih lanjut mengenai standarisasi bahan aktif apa saja yang dapat digunakan dan berapa konsentrasi yang efektif sebagai antibakteri. berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka ekstrak daun s. androgynus ini memiliki potensi antimikroba terhadap s. typhi, tetapi tidak diketahui potensi antimikrobanya terhadap famili enterobacteriaceae lainnya sebagai penyebab diare bakterial utama. selain itu masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui batasan dosis yang aman untuk ekstrak daun s. androgynus sebagai antimikroba bagi s. typhi agar dapat digunakan sebagai pengobatan alternatif oleh masyarakat luas. simpulan kadar hambat minimal (khm) ekstrak daun s. androgynus terhadap s. typhi adalah 25%, sedangkan kadar bunuh minimal (kbm) adalah 30%. ekstrak daun s. androgynus memiliki efek antibakteri terhadap s. typhi secara in vitro, dimana semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun s. androgynus, pertumbuhan s. typhi semakin terhambat. perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang (1) pengaruh lama penyimpanan ekstrak daun s. androgynus serta resistensi bakteri s. typhi terhadap potensi antimikrobanya; (2) mengetahui zat-zat aktif apa saja yang terlarut pada ekstrak daun s. androgynus serta persentase zat-zat tersebut; (3) efektifitas daun s. androgynus dengan menggunakan metode selain ekstrak; (4) potensi antimikroba ekstrak daun s. androgynus terhadap famili enterobacteriaceae lainnya; (5) potensi antimikroba ekstrak daun s. androgynus terhadap s. typhi secara in vivo untuk mengetahui batasan dosis yang aman maupun kemungkinan adanya efek samping. daftar pustaka 1 darmowandowo. kajian tentang demam tifoid. 2006. (online), diakses dari http://ummusalma. word press.com/2007/01/22/hello-world/ diakses pada 14 november 2007. 2 simanjuntak, c.h. demam tifoid, epidemiologi dan perkembangan penelitian. cermin dunia kedokteran. no. 83. 2009. 103 mutiara medika vol. 15 no. 2: 96-103, mei 2015 3 who, the diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. geneva: department of vaccines and biologicals. 2003. 4 prasetyo, r. dan v. ismoedijanto. metode diagnostik demam tipoid pada anak. divisi tropik dan penyakit infeksi. bagian/smf ilmu kesehatan anak fk unair. 2009. 5 wahjono h. penggunaan antibiotika secara rasional pada penyakit infeksi. medika. 1994; 25. 6 meers, p. 1994. hospital infection control for nurses 1st ed. london: chapman and hall. p: 163. 7 wikipedia. daun katuk dan vitalitas. 2006. (online), diakses dari http://www. wikipedia nusaindah.tripod.com/files/cdk, 8 diakses pada 13 november 2007. 9 azis sriana, s.r., dan muktiningsih. studi manfaat daun katuk (sauropus androgynus). cermin dunia kedokteran (cdk), 2006; 151: 48-50 10 lukito, h. rancangan penelitian, suatu pengantar. malang: ikip malang. 1998. 11 cowan, mm. plant products as antimicrobial agents, clin microbiol rev, 1999; 12 (4): 565– 571. 12 prakoso, b. pemanfaatan tanaman obat tradisional di indonesia. 2006. (online), diakses dari http://sehatherbal.blogspot.-com/2006_12_01_ archive.html diakses pada 13 november 2007. mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm ©2018 mmjkk. all rights reserved vol 18 no 2 hal 45-48 juli 2018 hubungan tingkat pendidikan dan pekerjaan dengan tingkat pengetahuan mengenai kanker ovarium pada wanita association of education level and occupation with knowledge level of ovarian cancer mitayani purwoko fakultas kedokteran universitas muhammadiyah palembang data naskah: received: 17 mar 2018 reviewed: 18 apr 2018 revised: 09 may 2018 accepted: 10 jun 2018 *korespondensi: mitayani.dr@gmail.com doi: 10.18196/mm.180214 tipe artikel: penelitian abstrak: kanker ovarium adalah tumor ganas yang berasal dari ovarium dengan berbagai tipe histologi yang dapat mengenai semua umur. kanker ovarium menempati posisi ke-3 dari 10 kanker tersering pada wanita. minimnya pengetahuan terhadap kanker sendiri merupakan salah satu penghambat pendeteksian dini kejadian kanker ovarium. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan dan pekerjaan dengan tingkat pengetahuan wanita terkait kanker ovarium.penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional dengan desain cross sectional. populasi penelitian ini adalah penduduk kota palembang yang berjenis kelamin wanita. besar sampel 80 orang diperoleh dengan teknik pengambilan sampel stratified random sampling. data diambil menggunakan instrumen kuesioner mengenai pengetahuan wanita terkait kanker ovarium. data dianalisis dengan uji chi square. hasil penelitian menunjukkan bahwa 80% subjek memiliki pengetahuan yang kurang mengenai kanker ovarium dan 20% memiliki pengetahuan cukup. tidak ada subjek penelitian yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik mengenai kanker ovarium. hubungan tingkat pendidikan dengan tingkat pengetahuan responden mengenai kanker ovarium memiliki nilai r = 8,205 dengan p = 0,038. hubungan pekerjaan dengan tingkat pengetahuan responden mengenai kanker ovarium memiliki nilai r = 3,156 dengan p = 0,093. disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan mengenai kanker ovarium dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. kata kunci: kanker ovarium; pengetahuan kanker; kewaspadaan kanker ovarium abstract: ovarian cancer is a malignant tumor arise from ovarian tissue with various hystologic type that could happens at every age. ovarian cancer was the third most common cancer in female. awareness of ovarian cancer among women may lead to early detection and treatment of ovarian cancer. this study was aimed to find the association between education level and occupation with the level of knowledge about ovarian cancer. this was an observationaldescriptive study with cross sectional design. study population was females in palembang city. sample size was 80 subjects, collected by stratified random sampling technique. questions about awareness of ovarian cancer were administered to all subjects. this study showed that 80% of subjects was having poor knowledge and 20% was having sufficient knowledge about ovarian cancer. no subject had good knowledge of ovarian cancer. this study found an association between education level and knowledge level about ovarian cancer (r = 8,205 p = 0.038) but found no association between occupation and knowledge level (r = 3,156 p = 0.093). conclusion, awareness of ovarian cancer was influenced by education level. 46 | vol 18 no 2 juli 2018 key words: ovarian cancer; knowledge of cancer; awareness of ovarian cancer pendahuluan kanker adalah pertumbuhan jaringan yang ganas yang terdiri dari sel-sel epitelial yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan metastasis. 1 kanker terbanyak pada perempuan adalah kanker serviks, lalu kanker payudara, kanker colon-rektum, kanker paru, kanker ovarium, dan kanker lambung. 2 kanker ovarium adalah tumor ganas yang berasal dari ovarium dengan berbagai tipe histologi yang dapat mengenai semua umur. 3 kanker ovarium menempati posisi ke-3 dari 10 kanker tersering pada wanita. 4 data penderita kanker ovarium di rs cipto mangunkusumo jakarta selama tahun 1996-2001 adalah 218 orang. 5 menurut data kementerian kesehatan ri, jumlah kasus baru kanker ovarium di rs kanker dharmais jakarta pada tahun 2013 adalah 134 kasus dengan jumlah kematian sebesar 46 kasus. 6 terjadinya kanker ovarium sampai sekarang tidak diketahui secara pasti etiologinya. akan tetapi, berdasarkan penelitian yang ada, terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kanker ovarium. faktor risiko tersebut yaitu usia yang produktif dan meningkat pada usia premenopause, indeks masa tubuh (imt) yang berlebih, wanita yang tidak pernah mengalami kehamilan dan jumlah paritas, riwayat pembedahan ginekologi, terapi hormon estrogen, riwayat keluarga dengan kanker, serta konsumsi alkohol dan rokok. selain itu, terdapat penelitian yang menyatakan bahwa faktor risiko kanker ovarium terbagi atas 5 bagian besar yaitu faktor reproduksi (jumlah paritas & kehamilan, laktasi, serta usia menarke dan menopause), hormon eksogen (kontrasepsi hormonal, obat penyubur, dan terapi hormon pengganti), kondisi terkait ginekologi (endometriosis, pid (pelvic inflamematory disease) dan polycystic ovarian syndrome, faktor lingkungan, dan faktor genetik. namun ada yang menyatakan bahwa berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, ditemukan bahwa umur menarke dini, jumlah paritas, riwayat keluarga, dan imt yang overweight memiliki besar risiko yang bermakna terhadap kejadian kanker ovarium. sementara paritas memiliki risiko yang tidak bermakna terhadap kejadian kanker ovarium. 7, 8, 9 kasus kanker yang ditemukan pada sta-dium dini serta mendapat pengobatan yang cepat dan tepat akan memberikan kesembuhan dan hara-pan hidup lebih lama. oleh karena itu, penting dilakukan upaya pencegahan dan deteksi dini kanker. minimnya pengetahuan terhadap kanker sendiri merupakan salah satu penghambat pendeteksian dini kejadian kanker ovarium. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan dan pekerjaan dengan tingkat pengetahuan wanita terkait kanker ovarium. bahan dan cara penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional dengan cross sectional. penelitian telah dilaksanakan pada bulan desember 2016 di kelurahan 14 ulu, kecamatan seberang ulu ii, palembang. populasi penelitian ini adalah penduduk kota palembang yang berjenis kelamin wanita. besar sampel 80 orang diperoleh dengan teknik pengambilan sampel stratified random sampling. data diambil menggunakan instrumen kuesioner yang berisikan pertanyaan mengenai pengetahuan wanita terkait kanker ovarium. setiap pertanyaan telah diberi poin oleh peneliti. pengetahuan dikategorikan baik bila memperoleh skor 76100% dari total nilai, cukup bila 56-75% dari total nilai, serta kurang bila <56% dari total nilai. kuesioner telah melalui uji validitas terlebih dahulu menggunakan software komputer. dalam penelitian ini, pengujian validitas dilakukan terhadap 20 responden. pertanyaan dianggap valid apabila nilai rhitung>rtabel untuk df = 20-2 = 18 dengan nilai =0,05 adalah 0,378. nilai reliabilitas alpha cronbach adalah 0,722. hal ini menunjukkan kuesioner sudah reliabel untuk digunakan dalam penelitian. hubungan antara tingkat pendidikan dan pekerjaan responden terhadap tingkat pengetahuan dianalisis menggunakan uji chi square. tabel 1. hasil uji validitas kuesioner butir rhitung rtabel kriteria 1 0,650 0,378 valid 2 0,519 0,378 valid 3 0,528 0,378 valid 4 0,486 0,378 valid 5 0,845 0,378 valid 6 0,449 0,378 valid 7 0,561 0,378 valid 8 0,618 0,378 valid | 47 hasil kuesioner yang disebarkan memiliki 8 pertanyaan mengenai definisi ovarium, jumlah ovarium yang dimiliki perempuan, lamanya siklus menstruasi, definisi kanker ovarium, faktor risiko kanker ovarium, gejala kanker ovarium, hal yang dapat mencegah timbulnya kanker ovarium, serta hal yang dapat menurunkan risiko terjadinya kanker ovarium. tingkat pendidikan dan pekerjaan responden dirangkum dalam tabel 2. tabel 2. diketahui bahwa lebih dari separuh responden memiliki tingkat pendidikan menengah, yaitu smp atau sma serta sebagian besar adalah ibu rumah tangga. hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat pengetahuan mengenai kanker ovarium di-rangkum dalam tabel 3. tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan responden mengenai kanker ovarium memiliki hubungan yang bermakna (nilai r = 8,205 dengan p = 0,038). hal ini berarti rendahnya tingkat pengetahuan berhubungan dengan rendahnya tingkat pendidikan responden. hubungan antara pekerjaan responden dengan tingkat pengetahuan mengenai kanker ovarium dirangkum dalam tabel 4. pekerjaan dan tingkat pengetahuan respon-den mengenai kanker ovarium tidak memiliki hu-bungan yang bermakna (nilai r = 3,156 dengan p = 0,093). hal ini berarti rendahnya tingkat pengeta-huan tidak dipengaruhi oleh status pekerjaan responden. tabel 2. distribusi tingkat pendidikan dan pekerjaan responden karakteristik jumlah (orang) persentase (%) tingkat pendidikan rendah 26 32,5 tinggi 2 2,5 menengah 52 65,0 pekerjaan ibu rumah tangga 63 78,8 bekerja 17 21,3 tabel 3. hubungan tingkat pendidikan dengan tingkat pengetahuan tingkat pendidikan tingkat pengetahuan total kurang cukup n % n % n % menengah ke bawah 64 82,1 14 17,9 78 100 tinggi 0 0 2 100 2 100 total 64 80 16 20 80 100 tabel 4. hubungan pekerjaan dengan tingkat pengetahuan pekerjaan tingkat pengetahuan total kurang cukup n % n % n % ibu rumah tangga 53 84,1 10 15,9 63 100 bekerja 11 64,7 6 35,3 17 100 total 64 80 16 20 80 100 diskusi sebagian besar subjek penelitian memiliki pengetahuan yang kurang mengenai kanker ovarium. hasil ini sama dengan hasil penelitian pada wanita di colorado, amerika serikat yang menemukan bahwa sebagian besar wanita memiliki kesadaran dan tingkat pengetahuan yang kurang mengenai gejala kanker ovarium. 10 adanya hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan tingkat pengetahuan responden dalam penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan pada ibu-ibu rumah tangga di desa rukoh dimana terdapat korelasi yang tinggi antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi. 11 hasil ini juga sesuai dengan teori yang dikemukakan notoatmodjo bahwa pendidikan akan mempengaruhi kognitif seseorang dalam peningkatan pengetahuan meskipun sebenarnya pengetahuan tidak dibentuk hanya oleh pendidikan saja tetapi ada subbidang lain yang juga akan mempengaruhi pengetahuan seseorang misalnya pengalaman, informasi, keperibadian dan lainnya, sehingga bila pendidikan rendah, maka kemungkinan tingkat pengetahuan juga rendah. 12 rendahnya pengetahuan terkait tingkat pendidikan ini perlu menjadi perhatian serius karena berdasarkan penelitian di swedia, insidensi kanker ovarium pada wanita yang mengenyam pendidikan tinggi (0,74) adalah lebih rendah daripada wanita yang tidak mengenyam pendidikan tinggi (0,98). 13 tidak adanya hubungan yang bermakna antara pekerjaan responden dengan tingkat pengetahuan mengenai kanker ovarium mungkin disebabkan bahwa pengetahuan bisa didapat dengan cara mendengarkan, melihat, merasa, bertukar pikiran dan sebagainya yang merupakan bagian dari pengindraan manusia, sesuai teori notoatmodjo. 12 meskipun ibu rumah tangga kemungkinan tidak sering pergi ke luar rumah namun mereka tetap dapat berinteraksi dengan banyak orang secara langsung maupun melalui media sosial atau media massa 48 | vol 18 no 2 juli 2018 sehingga bisa saja memiliki pengetahuan yang lebih baik daripada ibu yang bekerja. ibu yang bekerja kemungkinan lebih sering pergi ke luar rumah dibandingkan ibu rumah tangga, namun belum tentu berinteraksi dengan orang yang lebih tahu mengenai kanker ovarium sehingga tingkat pengetahuannya juga tidak lebih baik daripada ibu rumah tangga. sebuah hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat risiko yang lebih besar untuk mengalami kanker ovarium tipe epitel pada wanita dengan pekerjaan yang berkaitan dengan mengajar (teaching occupation). 14 hal ini menunjukkan bahwa bahkan wanita yang pekerjaannya sangat dekat dengan membaca dan meningkatkan ilmu pengetahuan pun tetap memiliki risiko untuk menderita kanker ovarium, padahal akses mereka untuk memperoleh pengetahuan semestinya lebih besar daripada wanita yang tidak bekerja ataupun bekerja di bidang yang tidak berkaitan dengan mengajar. simpulan tingkat pengetahuan mengenai kanker ovarium dipengaruhi oleh tingkat pendidikan namun tidak dipengaruhi oleh pekerjaan responden. daftar pustaka 1. dorland wa dan newman. 2011. kamus saku kedokteran dorland.jakarta: egc hal.179. 2. who. 2012. estimate cancer incidence mortality and prevalence world in 2012. (http://www.globocan.iarc.fr, diakses 4 agustus 2016). 3. indrawati m. 2009. bahaya kanker bagi wanita dan pria. pendidikan untuk kehidupan. jakarta, indonesia. 4. kemenkes ri. 2007. pedoman pengendalian penyakit kanker. jakarta, indonesia. 5. sihombing m dan sirait am. angka ketahanan hidup penderita kanker ovarium di rs dr. cipto mangunkusumo jakarta. majalah kedokteran indonesia. 2007;57(10):346-352. 6. pusat data dan informasi kementerian kesehatan ri. 2015. situasi penyakit kanker. jakarta. 7. american cancer society. 2013. what are the risk factor for ovarian cancer?. (http://www.cancer.org, diakses 21 juni 2016). 8. sueblinvong t dan carney me. current understanding of risk factors for ovarian cancer, 2009; 10 (1-2): 67-81 9. fachlevy af, abdullah z dan russeng ss. faktor risiko kanker ovarium di rsup wahidin sudirohusodo makassar. universitas hasanuddin, makasar, indonesia. 2012. http://pasca.unhas.ac.id/jurnal 10. goldstein cl, susman ep, lockwood s, medlin ee dan behbakht k. awareness of symptoms and risk factors of ovarian cancer in a population of women and healthcare providers. clin j oncol nurs, 2015; 19 (2): 206-212. 11. asiah md. hubungan tingkat pendidikan dengan pengetahuan kesehatan reproduksi ibu rumah tangga di desa rukoh kecamatan syiah kuala banda aceh. jurnal biologi edukasi, 2009; 1 (2): 1-4. 12. notoatmodjo s. 2007. promosi kesehatan dan ilmu perilaku. jakarta: pt. rineka cipta. 13. hemminki k dan li x. level of education and the risk of cancer in sweden. cancer epidemiology, biomarkers and prevention. 2003; 12 (8): 796-802. 14. le nd, leung a, brooks-wilson a, gallagher rp, swenerton kd, demers pa, et al. occupational exposure and ovarian cancer risk. cancer causes control. 2014;25(7):829-841. http://www.globocan.iarc.fr/ http://www.cancer.org/ https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19603272 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=leung%20a%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=24728670 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=brooks-wilson%20a%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=24728670 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=gallagher%20rp%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=24728670 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=swenerton%20kd%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=24728670 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=demers%20pa%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=24728670 simpulan 8 ikhlas muhammad jenie, dkk., captopril mencegah stres oksidatif captopril mencegah stres oksidatif pada tikus wistar jantan dengan diet tinggi lemak captopril inhibits formation of ros in high fat diet-induced atherosclerosis in male wistar rats ikhlas muhammad jenie1*, rizki afrian2, barii hafidz pramono2 1bagian fisiologi fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta 2program studi pendidikan dokter fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta *email: ikhlasjenie@yahoo.co.uk abstrak stres oksidatif berperan dalam terjadinya penyakit-penyakit kardiovaskular. stres oksidatif ditandai dengan peningkatan radikal bebas dan penurunan sistem antioksidan. sumber utama radikal bebas pada sirkulasi adalah enzim nad(p)h oksidase. enzim tersebut dimodulasi oleh angiotensin ii. angiotensin ii dihasilkan dari konversi angiotensin i oleh enzim angiotensin converting enzyme (ace). timbul pertanyaan apakah pemberian captopril, suatu penghambat ace, dapat mencegah stres oksidatif. untuk itu dilakukan penelitian pra-eksperimental pada hewan coba dengan rancangan post test only measurement. sebanyak 24 ekor tikus wistar jantan dikelompokkan ke dalam 3 kelompok: kelompok i mendapat diet normal 20g/hr, kelompok ii diet tinggi lemak (10%) 20g/hr dan kelompok iii diet tinggi lemak (10%) 20g/hr dan captopril 50 mg/kgbb/hr. perlakuan diberikan selama 2 bulan. variabel yang diukur adalah berat badan, kadar kolesterol total, kadar hidrogen peroksida (h2o2) dan histopatologi aorta. data dianalisis dengan anova satu arah. berat badan tikus antarkelompok tidak berbeda bermakna pada awal dan akhir perlakuan. kadar kolesterol total antarkelompok berbeda bermakna, dengan kadar kolesterol total pada tikus kelompok iii lebih rendah secara bermakna daripada kelompok i dan ii. kadar h2o2 antarkelompok berbeda bermakna, dengan kadar h2o2) pada tikus kelompok ii lebih tinggi secara bermakna daripada kelompok i dan iii. pada pemeriksaan histopatologi, lesi aterosklerotik ditemukan pada kelompok ii dan iii. disimpulkan bahwa pemberian captopril dapat mencegah stres oksidatif pada tikus wistar jantan dengan diet tinggi lemak. kata kunci: stres oksidatif, radikal bebas, angiotensin ii, captopril, tikus wistar abstract oxidative stress play a role in the cardiovascular diseases. oxidative stress occurs when there is an imbalance between level of ros and antioxidant systems. the main source of ros in vasculature is nad(p)h oxidase, which is modulated by angiotensin ii. to know whether captopril, that inhibits angiotensin converting enzyme, can prevent oxidative stress, we did pre-experimental study in rats with post-test only measurement design. as many as twenty four male wistar rats were divided into 3 groups: group i received normal diet, group ii high fat diet, and group iii high fat diet + captopril 50 mg/kgbw/d, for 2 months. body weight was monitored each week. total cholesterol and h2o2 level were measured in the end of intervention. all rats were then sacrificed using ether and then aorta was taken for histopathology examination. data were analyzed using one way anova. there was no difference in body weight among groups. total cholesterol level was significantly lower in group iii than in group i and ii. the level of h2o2 was significantly higher in group ii than in group i and ii. atherosclerotic lesion was found in group ii and iii. as conclusion, captopril prevents oxidative stress in male wistar rats which received high fat diet. key words: reactive oxygen species, angiotensin ii, captopril, wistar rat. artikel penelitian mutiara medika vol. 16 no. 1: 8-14, januari 2016 9 mutiara medika vol. 16 no. 1: 8-14, januari 2016 pendahuluan aterosklerosis merupakan underlying factor berbagai kejadian kardiovaskular (cardiovascular events), seperti stroke dan sindrom koroner akut. dikatakan bahwa morbiditas dan mortalitas yang diakibatkan oleh penyakit-penyakit kardiovaskular jauh melampaui morbiditas dan mortalitas yang diakibatkan oleh seluruh jenis keganasan.1 hal tersebut menunjukkan pentingnya pencegahan, deteksi, dan penanganan dini aterosklerosis. berbagai hipotesis mengenai pembentukan aterosklerosis telah dikemukakan, mulai dari respons terhadap jejas (the response-to-injury hypothesis), respons terhadap retensi (the response-to-retention theory), hingga yang terbaru yaitu teori oksidasi lipid (oxidative modification hypothesis). teori oksidasi lipid mengatakan bahwa low density lipoprotein natif (native ldl) mengalami proses oksidasi sehingga termodifikasi menjadi ldl teroksidasi (oxidized ldl/ oxldl). oxldl tersebut merupakan ligan bagi scavenger receptor pada makrofag. ikatan oxldl dengan scavenger receptor akan menyebabkan retensi lipid dan terbentuknya sel busa, yaitu makrofag yang mengandung vakuola berisi lemak, sebagai lesi awal aterosklerosis. beberapa bukti mendukung teori oksidasi lipid tersebut, seperti ditemukannya produk oksidasi lemak, asam lemak bebas dan protein pada lesi aterosklerotik, serta keberhasilan deteksi oxldl pada lesi aterosklerotik dengan menggunakan antibodi.1-3 keadaan oksidasi yang berlebihan di dalam tubuh dikenal dengan stres oksidatif, 4 akibat ketidakseimbangan antara jumlah radikal bebas dan antioksidan. seperti diketahui, secara normal tubuh menghasilkan radikal bebas, seperti reactive oxygen species (ros) dan reactive nitrogen-oxygen species (rnos), yang akan diimbangi oleh sistem antioksidan, baik enzimatik maupun non-enzimatik.4 stres oksidatif dapat menimbulkan kerusakan membran dan inti sel.1 senyawa-senyawa yang termasuk sebagai ros dan rnos dapat dilihat pada tabel 1. tabel 1. reactive oxygen species (ros) dan reactive nitrogen-oxygen species (rnos)4 senyawa rumus molekul superoksida o2 hidrogen peroksida h2o2 radikal hidroksil oh. radikal organic ro. r. r-s. radikal peroksil rcoo. asam hiperklorus hocl oksigen singlet o2 nitrit oksida no peroksinitrit onoohasil percobaan in vitro maupun in vivo (kultur sel) diketahui bahwa aktivitas nad(p)h oksidase bertanggungjawab terhadap timbulnya radikal bebas. enzim tersebut dimodulasi oleh angiotensin ii melalui reseptor angiotensin 1 (reseptor at1),5 sehingga timbul pertanyaan apakah blokade pemecahan angiotensin i menjadi angiotensin ii oleh penghambat enzim pengubah angiotensin (angiotensin converting enzyme; ace), yaitu captopril, dapat menghambat timbulnya stres oksidatif dan pembentukan aterosklerosis. bahan dan cara untuk mengetahui apakah pemberian captopril dapat menghambat stres oksidatif, dilakukan suatu penelitian pre-eksperimental pada hewan coba tikus wistar dengan rancangan post-test only measurements. sebanyak 24 tikus putih (rattus novergicus) strain wistar, dipilih dengan kriteria: sehat, kelamin jantan, berat badan 150 – 200 g dan usia 2 bulan, serta sudah mengalami aklimatisasi selama 2 10 ikhlas muhammad jenie, dkk., captopril mencegah stres oksidatif minggu. sampel dikelompokkan secara acak ke dalam tiga kelompok dengan jumlah sampel masing – masing kelompok adalah delapan ekor tikus, yang ditentukan berdasarkan jumlah minimal sampel hewan coba per variabel, yaitu 8-10 ekor hewan coba.6 kelompok i mendapatkan diet normal (br-2) 20 mg/kgbb, kelompok ii mendapatkan diet tinggi lemak (br-2 + lemak babi 10%, dicampur dalam bentuk pellet) 20 mg/kgbb,7 dan kelompok iii mendapatkan diet tinggi lemak 20 mg/kgbb dan captopril 50 mg/kg berat badan tikus per sonde, 8 selama 1 bulan. selanjutnya, 4 ekor tikus masingmasing kelompok diambil untuk pengukuran histopatologi (sacrificed) sehingga tidak dapat melanjutkan untuk perlakuan 2 bulan. dengan demikian, tersisa 4 ekor tikus untuk masing-masing kelompok untuk perlakuan 2 bulan. berat badan tikus diukur pada awal penelitian dan setiap minggu hingga akhir penelitian. sampel darah diambil dari vena pada ekor yang dilakukan pada akhir perlakuan. sampel darah tersebut dimasukkan ke dalam tabung eppendorf yang telah dibubuhi antikoagulan (edta) untuk kemudian dilakukan pemeriksaan kadar kolesterol total dan hidrogen peroksida (h2o2). kadar kolesterol total diukur dengan menggunakan metode spektrofotometri, sementara kadar hidrogen peroksida (h2o2) diukur dengan menggunakan metode ferrous xylenol orange (fox) yang telah dimodifikasi. metode tersebut mengukur absorbansi kompleks xylenol orange dengan metal oksidator, yaitu ion ferri. pembentukan kompleks xylenol orange-ion ferri tergantung keberadaan h2o2.9 setelah pengambilan sampel darah, tikus dimatikan dengan menggunakan eter. pada tikus dilakukan diseksi dinding dada dan abdomen bagian atas untuk dilakukan pengambilan arcus aorta. selanjutnya dilakukan pemeriksaan histopatologi untuk mengetahui apakah terdapat aterosklerosis, dengan pewarnaan hematoxylin-eosin (he). data diolah dengan excel dan dianalisis dengan program spss 14.0. untuk data kuantitatif (berat badan, kadar kolesterol total, kadar h2o2) disajikan sebagai nilai rata-rata ± simpangan baku, sedangkan data kualitatif (lesi aterosklerosis) disajikan sebagai proporsi. perbandingan antarkelompok untuk data kuantitaif dianalisis dengan anova satu jalan, sedangkan untuk data kualitatif secara deskriptif. nilai p < 0,05 ditetapkan sebagai batas kemaknaan untuk uji anova dan post hoc. hasil berat badan. perbandingan perkembangan berat badan antarkelompok tikus dalam 1 dan 2 bulan perlakuan dapat dilihat pada gambar 1 gambar 1. perkembang an berat badan t iku s t i ap kelompok perlakuan keterangan: bw = berat badan (body weight); n (tiap kelompok) = 8 ekor tikus (s.d. 1 bulan perlakuan) dan 4 ekor tikus (s.d. 2 bulan perlakuan). penjelasan mengenai jumlah sampel penelitian tertera pada bagian metode. analisis data menggunakan general linear model (glm) univariate didapatkan berat badan tikus 11 mutiara medika vol. 16 no. 1: 8-14, januari 2016 antarkelompok perlakuan tidak berbeda bermakna pada awal penelitian (p > 0,05). pada 1 bulan perlakuan, terdapat perbedaan bermakna berat badan tikus antarkelompok (p < 0,05). pada akhir perlakuan (akhir bulan ke-2) berat badan tikus percobaan antarkelompok tidak berbeda bermakna (p > 0,05) kadar kolesterol total. pada 1 bul an perlakuan, terdapat perbedaan bermakna kadar kolesterol total antarkelompok (p = 0,001). analisis post hoc menggunakan tes tukey hsd didapatkan perbedaan bermakna kadar kolesterol total antara kelompok i dan iii (227,1 ± 6,6 vs 171,5 ± 26,5 mg/ dl; p = 0,002) dan antara kelompok ii dan iii (226,5 ± 4,3 vs 171,5 ± 26,5 mg/dl; p = 0,002), sedangkan antara kelompok i dan ii tidak terdapat perbedaan bermakna (p = 0,998). pada 2 bulan perlakuan, terdapat perbedaan bermakna kadar kolesterol total antarkelompok (p = 0,001). analisis post hoc didapatkan perbedaan bermakna kadar kolesterol total antara kelompok i dan ii (211,2 ± 4 vs 190,2 ± 7,3 mg/dl; p = 0,001), antara kelompok i dan iii (211,2 ± 4 vs 157,9 ± 2,5 mg/dl; p = 0,0001), dan antara kelompok ii dan iii (p = 0,001). kadar h2o2. pada 1 bulan perlakuan, terdapat perbedaan bermakna kadar h2o2 antarkelompok (p = 0,0001). analisis post hoc menggunakan tes tukey hsd didapatkan perbedaan bermakna kadar kolesterol total antara kelompok i dan ii (10,9 ± 2,7 vs 29,4 ± 3,7 mg/dl; p = 0,0001) dan antara kelompok iii dan ii (10,7 ± 4,9 vs 29,4 ± 3,7 mg/dl; p = 0,0001), sedangkan antara kelompok i dan iii tidak terdapat perbedaan bermakna (p = 0,997). pada 2 bulan perlakuan, terdapat perbedaan bermakna kadar h2o2 antarkelompok (p = 0,001). analisis post hoc didapatkan perbedaan bermakna kadar kolesterol total antara kelompok i dan ii (11,6 ± 5,8 vs 39,8 ± 16,5 mg/dl; p = 0,009) dan antara kelompok iii dan ii (13,8 ± 1,6 vs 39,8 ± 16,5 mg/dl; p = 0,014), sedangkan antara kelompok i dan iii tidak terdapat perbedaan bermakna (p = 0,95). pemeriksaan histopatologi lesi aterosklerosis. pada 1 bulan perlakuan lesi aterosklerosis belum terlihat pada kelompok i dan ii. akan tetapi, pada kelompok iii yang mendapat perlakuan diet tinggi lemak dan captopril, lesi aterosklerosis terlihat pada 1 ekor tikus. pada 2 bulan perlakuan lesi aterosklerosis terlihat pada 1 ekor tikus kelompok ii. pada kelompok i dan iii, tidak ditemukan lesi aterosklerosis. diskusi penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian captopril pada tikus yang mendapat diet tinggi lemak dapat mencegah peningkatan kadar h2o2. telah diketahui bahwa diet tinggi lemak pada tikus akan menyebabkan peningkatan kadar radikal bebas (ros).1 peningkatan produksi ros tersebut disebabkan oleh peningkatan aktivitas nad(p)h oksidase, suatu enzim yang terikat pada membran sel neutrofil. angiotensin ii merupakan modulator utama enzim nad(p)h oksidase. penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian captopril, suatu penghambat enzim pengubah angiotensin, dapat mencegah peningkatan radikal bebas yang diakibatkan oleh diet tinggi lemak. stimulasi nad(p)h oksidase oleh angiotensin ii adalah melalui reseptor at1.10 beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pemberian antagonis reseptor at1, seperti losartan dan ibesartan, juga dapat mencegah kenaikan kadar radikal bebas pada hewan coba yang diberi diet tinggi lemak.11-13 12 ikhlas muhammad jenie, dkk., captopril mencegah stres oksidatif meskipun penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian captopril dapat mencegah peninggian kadar kolesterol total pada tikus yang mendapat diet tinggi lemak, akan tetapi belum dapat ditunjukkan pemberian captopril dapat mencegah pembentukan aterosklerosis pada tikus yang mendapat diet tinggi lemak. penelitian sebelumnya yang dilakukan chobanian et al. (1990),14 pada kelinci hiperlipidemia w atanabe yang mendapat diet tinggi lemak memberikan hasil yang berlawanan, yaitu meskipun pemberian captopril tidak mempengaruhi kadar kolesterol total akan tetapi dapat mengurangi luas lesi aterosklerosis aorta. akhir-akhir ini ditemukan bahwa sumber utama angiotensin ii bukan sistem renin-angitensin-aldosteron (raas) melainkan enzim chimase yang terdapat di dalam sel mast. penelitian ihara et al. (1999),15 menunjukkan bahwa 85,6% total aktivitas angiotensin ii pada aorta manusia sehat disumbangkan oleh enzim chimase. proporsi tersebut meningkat menjadi 93,5% dari total aktivitas angiotensin ii pada aorta yang mengalami aterosklerosis. sementara itu, aktiv itas angiotensin ii yang tergantung penghambat ace menyumbangkan 4,5% dari total aktivitas angiotensin ii pada aorta sehat dan tidak berubah secara bermakna pada aorta yang mengalami aterosklerosis. aktivitas enzim chimase tidak dihambat oleh captopril melainkan oleh chimostatin, suatu penghambat enzim chimase. dengan demikian timbul pertanyaan bagaimana mekanisme captopril di dalam menghambat stres oksidatif dan pembentukan aterosklerosis? captopril menurunkan kadar h2o2 secara tidak langsung melalui peningkatan kadar glutation, suatu enzim antioksidan. penelitian cavanagh et al. (2000),16 menunjukkan bahwa kadar glutation total pada eritrosit mencit yang diberi captopril 50 mg/ kgbb selama 11 minggu secara bermakna lebih tinggi daripada mencit yang mendapat air (kontrol). dikatakan bahwa peningkatan kadar glutation eritrosit penting karena eritrosit merupakan buffer antioksidan bagi jaringan yang mengalami peningkatan h2o2. gl utation, yang kadarnya di dal am eritrosit dipertahankan tinggi oleh captopril, mampu mengubah h2o2 menjadi h2o (air). peningkatan kadar enzim glutation oleh captopril menghambat terjadinya stres oksidatif sehingga menghambat oksidasi ldl. captopril dapat pula menghambat oksidasi ldl secara langsung melalui aktivitas gugus sulfhidril (-sh).17 oleh karena hiperkolesterolemia dapat menyebabkan stres oksidatif1 maka kemampuan captopril mencegah peninggian h2o2 pada penelitian ini dapat pula melalui penghambatan peninggian kadar kolesterol. penelitian ini mempunyai beberapa kelemahan. pertama, tikus wistar jantan yang mendapat diet normal dan tanpa captopril tidak sepenuhnya berhasil sebagai kontrol negatif. kelompok tersebut mempunyai berat badan yang lebih besar dan kadar kolesterol yang lebih tinggi daripada kelompok perlakuan dan kontrol positif. kedua, pengukuran lesi aterosklerotik tidak menggunakan metoda kuantitatif, seperti jumlah sel busa per lapang pandang, namun menggunakan kriteria kualitatif. adapun keterbatasan penelitian ini adalah tidak mengukur kadar senyawa antioksidan, baik enzimatik maupun non-enzimatik. simpulan pemberian captopril mencegah terjadinya stres oksidatif pada tikus jantan strain wistar yang diberi diet tinggi lemak. 13 mutiara medika vol. 16 no. 1: 8-14, januari 2016 ucapan terima kasih penelitian ini dibiayai oleh dana hibah penelitian fkik umy tahun 2009. daftar pustaka 1. stocker r, keaney jr. role of oxidative modification in atherosclerosis. phys rev. 2004; 84:1381-1478. 2. weissberg p. mechanisms modifying atherosclerotic disease: from lipids to vascular biology. atherosclerosis. 1999; 147(suppl 1): s3– s10. 3. taniyama y, griendling kk. reactive oxygen species in the vasculature: molecular and cellular mechanisms. hypertension. 2003; 42:1075-81. 4. smith cm, marks a, lieberman m. basic medical biochemistry. 2nd ed. philadelphia: lippincot williams and wilkins; 2005. 5. sachse a, wolf g. angiotensin ii-induced reactive oxygen species and the kidney. j of am soc of nephrol. 2007; 18:2439-46. 6. goh ym. experimental design and sample size issues in laboratory animal experiments. workshop on the care and use of laboratory animal research. 2008 nov 8-9; surabaya, indonesia. 7. sunarsih es, istiadi h. pengaruh pemberian jus lidah buaya (aloe vera. linn) terhadap kadar hdl dan ldl kolesterol serum tikus hiperlipidemia. jurnal farmakologi sk. 2007; iii(1):352-62. 8. zadelaar s, kleeman r, verschuren l, weij jv, hoorn j, princen hm, et al. mouse models for atherosclerosis and pharmaceutical modifiers. arteriosclerosis, thrombosis, and vascular biology. 2007; 27:1706-21. 9. queval g, hager j, gakiere b, noctor g. why are literature data for h2o2 contents so variable? a discussion of potential difficulties in the quantitative assay of leaf extracts. j of exper botany. 2008; 59(2):135-46. 10. yang bc, phillips mi, mohuczy d, meng h, shen l, mehta p, et al. increased angiotensin ii type 1 receptor expression in hypercholesterolemia atherosclerosis in rabbits. arterioscler thromb vasc biol. 1998; 18:1433-9. 11. hayek t, attias j, coleman r, brodsky s, smith j, breslow jl, et al. the angiotensin-converting enzyme inhibitor, fosinopril, and the angiotensin ii receptor antagonist, losartan, inhibit ldl oxidation and attenuate aterosclerosis independent of lowering blood pressure in apolipoprotein e deficient mice. cardiovascular res. 1999; 44:579-87. 12. strawn wb, chappel mc, dean rh, kivlighn s, ferrario cm. inhibition of early atherogenesis by losartan in monkeys with diet-induced hypertension. circulation. 2000;101:1586-93. 13. navalkar s, parthasarathy s, santanam n, khan bv. irbesartan, an angiotensin type 1 receptor inhibitor, regulates markers of inflammation in patients with premature atherosclerosis. j am coll cardiology. 2001;37:440-4. 14. chobanian av, haudenschild cc, nickerson c, drago r. antiatherogenic effect of captopril in the watanabe heritable hyperlipidemic rabbits. hypertension. 1990 ;15:327-31. 15. ihara m, urata h, kinoshita a, suzumiya j, sasaguri m, kikuchi m, et al. increased chymase-dependent angiotensin ii formation in human atherosclerotic aorta. hypertension. 1999;33:1399-1405. 14 ikhlas muhammad jenie, dkk., captopril mencegah stres oksidatif 16. cavanagh emv, inserra f, ferder l, fraga cg. enalapril and captopril enhance glutathione-dependent antioxidant defenses in mouse tissues. am j physiol regul integr comp physiol. 2000. 278:5572-7. 17. godfrey eg, stewart j, dargie hj, reid jl, dominiczak m, hamilton ca, et al. effects of ace inhibitors on oxidation of human low density lipoprotein. british j of clin pharmacol. 1994;37:63-6 maulidta k w, gambaran karakteristik pasien chf di ... artikel penelitian 54 gambaran karakteristik pasien chf di instalasi rawat jalan rsud tugurejo semarang descriptions of characteristics patients chf outpatient hospital installation in tugurejo semarang maulidta k w akademi keperawatan widya husada semarang email: maoel_leedta@yahoo.co.id abstrak congestive heart failure (chf) merupakan penyebab utama kematian di beberapa negara dan angka kejadiannya setiap tahunnya terus meningkat. hasil riskesdas tahun 2007 menunjukkan chf merupakan penyebab kematian nomor tiga di indonesia setelah stroke dan hipertensi. pada tahun 2010 diperoleh data incidence rate penyakit jantung pada kelompok umur 15 tahun atau lebih sebesar 2,2 %. pada tahun 2013 jumlah penderita chf meningkat sekitar 229.696 orang. tujuan penelitian ini untuk mengetahui karakteristik pasien chf di instalasi rawat jalan rsud tugurejo semarang pada bulan maret-mei 2014. penelitian dilakukan menggunakan penelitian deskriptif dengan desain hospital based study. populasi penelitian ini adalah semua pasien yang berobat di instalasi rawat jalan rsud tugurejo semarang. data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang diperoleh dari status penderita chf di instalasi rawat jalan rsud tugurejo semarang. karakteristik pasien chf di instalasi rawat jalan rsud tugurejo berdasarkan sosiodemografi tertinggi adalah laki 63,30%, lansia awal 40,00%, kawin 90,00%, suku jawa 100,00%, indeks masa tubuh (imt) normal 90,00%, dan penyebab terjadi chf paling banyak adalah hipertensi, dan kardiomiopati sejumlah 70,00%. kata kunci: pasien congestive heart failure (chf), karakteristik, rawat jalan abstract congestive heart failure (chf) is a major cause of death in several countries and it happens every year figure continues to rise. riskesdas chf 2007 shows a third cause of death in indonesia after stroke and hypertension. in 2010 obtained the data incidence rate of heart disease in the age group of 15 years or more at 2.2%. in 2013 the number of patients with chf increased by about 229 696 people. the purpose of this study to determine the characteristics of chf patients in the hospital outpatient installation se tugurejo marang in march-may, 2014. the study was conducted using descriptive research design with hospital-based study. the study population was all patients who seek treatment at hospital outpatient installation tugurejo semarang. the data collected is secondary data obtained from the status of chf patients in the hospital outpatient installation tugurejo semarang. characteristics of chf patients in hospital outpatient installation tugurejo by sociodemographic highest is 63.30% male, early elderly 40.00%, 90.00% married, java rate of 100, 00%, body mass index (bmi) normal 90.00%, and the cause of a chf most is hypertension and cardiomyopathy number of 70.00%. key words: patient congestive heart failure (chf), characteristics, outpatient mutiara medika vol. 15 no. 1: 54 58, januari 2015 55 pendahuluan congestive heart failure (chf) adalah ketidakmampuan jantung memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi jaringan tubuh yang disebabkan kelainan sekunder dari abnormalitas struktur jantung dan atau fungsi (yang diwariskan atau didapat) yang merusak kemampuan ventrikel kiri untuk mengisi atau mengeluarkan darah.1 chf dapat berefek dalam ketidakmampuan pasien untuk melakukan aktivitas sehari-hari. hal ini disebabkan karena adanya kerusakan kontraktilitas ventrikel, peningkatan preload dan afterload yang menyebabkan penurunan curah jantung.2 kondisi tersebut dapat merupakan penyebab kematian apabila tidak segera mendapatkan penanganan. angka kejadian pasien dengan chf mengalami peningkatan setiap tahunnya. menurut american heart association ( aha) penderita chf di amerika serikat pada tahun 2008 sekitar 5,7 juta jiwa, pada tahun 2010 terjadi peningkatan menjadi 6,6 juta jiwa, dan diperkirakan pada tahun 2030 akan bertambah sebanyak 3,3 juta jiwa dari tahun 2010.3 hasil riskesdas tahun 2007 menunjukkan chf merupakan penyebab kematian nomor tiga di indonesia setelah stroke dan hipertensi. pada tahun 2010 diperoleh data incidence rate penyakit jantung pada kelompok umur 15 tahun atau lebih sebesar 2,2 %. pada tahun 2013 jumlah penderita chf meningkat sekitar 229.696 orang.4 rumah sakit tugurejo merupakan salah satu rumah sakit daerah semarang yang belum mempunyai pelayanan spesialis jantung dan pembuluh darah, tetapi kunjungan pasien chf di rawat jalan berkisar antara 20-30 kunjungan setiap bulan. berdasarkan uraian diatas perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui karakteristik penderita chf di instalasi rawat jalan di rsud tugurejo tahun 2014 bahan dan cara penelitian dilakukan menggunakan penelitian deskriptif dengan desain hospital based study. populasi penelitian ini adalah semua pasien yang berobat di instalasi rawat jalan rsud tugurejo semarang. data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang diperoleh dari status penderita chf di instalasi rawat jalan rsud tugurejo semarang. data yang telah dikumpulkan diolah dengan menggunakan komputer melalui program spss, kemudian dianalisa secara deskriptif dengan menggunakan analisa univariat. hasil tabel 1. karakteristik penderita chf di instalasi rawat jalan rsud tugurejo semarang maret – mei 2014 variabel frekuensi prosentase jenis kelamin 19 63,30 laki-laki 11 perempuan 36,70 umur dewasa awal (26 -35) 2 6,70 dewasa akhir (36-45) 4 13,30 lansia awal (46-55) 12 40,00 lansia akhir (56-65) 6 20,00 manula (>66) 6 20,0 status perkawinan kawin 27 90,00 janda 2 6,70 duda 1 3,20 suku bangsa jawa 30 100,00 faktor risiko ht, pjk 19 63,30 ht, pjk & merokok 6 20,00 ht, pjk & dm 5 16.70 penyebab maulidta k w, gambaran karakteristik pasien chf di ... 56 iskhemia kardioiopati 5 16,70 hipertensi 4 13,30 ht & kardiomiopati 21 70,00 imt normal 27 90,00 overweight 3 10,00 jumlah 30 100.00 keterangan : ht : hipertensi pjk : penyakit jantung koroner dm : diabetes melitus diskusi responden laki-laki lebih besar dibandingkan dengan responden perempuan dengan proporsi reponden laki-laki 63,30% sementara perempuan 36,70%. berdasarkan hasil dari beberapa penelitian sejenis karakteristik responden laki-laki lebih banyak dari pada perempuan. hasil penelitian yang sejenis mengungkapkan dari 30 responden 73,30% lakilaki dan 26,70% perempuan.5 penelitian lain tahun 2010 menyimpulkan bahwa laki-laki memiliki kecenderungan lebih cepat terkena gagal jantung bila dibandingkan dengan perempuan.6 hal ini sesuai dengan teori yang mengungkapkan bahwa laki-laki memiliki risiko mengalami penyakit jantung koroner 2-3 kali daripada perempuan sebelum menopause.7 hal ini karena perempuan terlindungi oleh hormon estrogen yang mencegah kerusakan pembuluh darah yang berkembang menjadi proses aterosklerosis. penyakit jantung koroner adalah faktor risiko terjadinya gagal jantung. faktor risiko terjadinya gagal jantung bersifat multifaktorial. beberapa faktor risiko terjadinya gagal jantung adalah bertambahnya usia, hipertensi, hiperlipidemia, kegemukan, diabetes melitus, penyakit jantung koroner, riwayat keluarga, anemia, kardiomiopati, kelainan katup jantung, infark miocard, merokok, drug abuse, alkoholism, dari beberapa faktor di atas hipertensi dan penyakit jantung koroner merupakan faktor risiko tersering terjadinya gagal jantung.8 hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan peneliti bahwa faktor risiko yang paling banyak terjadi pada responden adalah hipertensi dan penyakit jantung koroner 63,30%. berdasarkan penyebab terjadinya gagal jantung terdapat 21 responden (70,00 %) karena iskemia kardiomiopati dan hipertensi. kedua kondisi tersebut menyebabkan penurunan suplai darah ke arteri koroner dan menurunkan atau menghentikan suplai oksigen ke otot jantung. kematian otot jantung akan terjadi segera setelah tidak ada suplai oksigen, yang dapat mengakibatkan gangguan pompa jantung. penyebab lain yang dapat mengakibatkan gagal jantung diantaranya kelainan irama, kelainan katup, dan kelebihan beban jantung.9 di amerika serikat 80,00% kasus gagal jantung disebabkan oleh hipertensi, penyakit jantung koroner atau keduanya.8 seluruh responden bersuku jawa dan 90,00% masih mempunyai pasangan hidup. ras kulit hitam dan hispanic mempunyai risiko mengalami gagal jantung lebih tinggi dari ras lain di dunia. pasangan dan keluarga dapat menjadi sumber suport sistem yang baik bagi penderita gagal jantung. pasangan hidup dapat menjadi pengawas kepatuhan pasien gagal jantung dalam menjalankan management gagal jantung. responden yang paling banyak pada katagori umur lansia awal yaitu sejumlah 12 dari 30 responden. umur merupakan salah satu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi. mutiara medika vol. 15 no. 1: 54 58, januari 2015 57 peningkatan umur akan meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung.7 hal ini berkaitan dengan proses menua yang menyebabkan peningkatan proses aterosklerosis pada pembuluh darah. aterosklerosis menyebabkan terganggunya aliran darah ke organ jantung sehingga terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dengan suplay oksigen. semakin bertambahnya usia seseorang akan semakin berisiko terkena serangan jantung.10 teori yang lain menjelaskan bahwa penderita jantung paling banyak berada pada usia 55-65 tahun.11 proses penuaan yang terjadi pada individu akan dapat menyebabkan proses perubahan intergritas lapisan dinding arteri (aterosklerosis) sehingga aliran darah dan nutrisi jaringan terhambat.7 selain itu akibat aterosklerosis menyebabkan terganggunya perfusi jaringan karena kekakuan arteri yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan vaskuler perifer.7 faktor umur juga dikaitkan dengan kadar kolesterol yang meningkat. peningkatan kolesterol pada laki-laki sampai dengan umur 50 tahun lebih tinggi daripada perempuan sebelum menopause (45-50 tahun) namun setelah menopause kadar kolesterol perempuan meningkat menjadi lebih tinggi daripada lakilaki.12 sebagian besar responden mempunyai imt dalam batas normal yaitu 18,5 -24,9 kg/m2. index masa tubuh >25 kg/m2 meningkatkan risiko seseorang mengalami gagal jantung. penderita gagal jantung yang overweight sebaiknya mengikuti program penurunan berat badan, selain mendapatkan terapi standar. efek obesitas terhadap gagal jantung sampai saat ini belum diketahui dengan jelas.13 simpulan hasil penelitian ini telah mengidentifikasi karakteristik jenis kelamin, umur, status perkawinan, suku bangsa, faktor resiko, penyebab, dan imt. responden sebagian besar laki-laki dari pada perempuan, usia paling banyak di lansia awal. daftar pustaka 1. braunwald. 2007. heart disease (vol. 7). (u. michigan, ed.) w.b. saunders. 2. lilly, l. 2011. pathophysiology of heart disease (5th ed). (l. w. wilkins, ed.) 3. american heart association. 2012. heart disease and stroke statistic. diakses pada tanggal 2 juni 2014 dari http://circ.ahajournals.org/content/125/i/e2/ t29.expansion.html 4. tanuwidjojo s, rifqi s.2003. atherosklerosis from theory to clinical practice, naskah lengkap cardiologyupdate. semarang : badan penerbit universitas diponegoro. 5. cheng, t.y.l.& boey, k.w. 2002. the effectiveness of cardiac rehabilitation program on self-efficacy and exercise tolerance, http://cnr.sagepub.com/cgi/reprint/11/1/10. diperoleh 29 juni 2014 6. kaplan, h.i., sadock, b,j., & sadock, v.a. 2010. synopsis of psychiatry (10 ed.). philadelphia : lippincont williams & wilkins. 7. semeltzer, s.c. & bare, b.g. 2002. keperawatan medikal-bedah brunner & http://circ.ahajournals.org/content/125/i/e2/%20t29.expansion.html http://circ.ahajournals.org/content/125/i/e2/%20t29.expansion.html http://cnr.sagepub.com/cgi/reprint/11/1/10.%20diperoleh%2029%20juni%202014 http://cnr.sagepub.com/cgi/reprint/11/1/10.%20diperoleh%2029%20juni%202014 maulidta k w, gambaran karakteristik pasien chf di ... 58 suddarth, edisi8 , volume 2, jakarta : egc. 8. schub t & cabrera g. 2010. heart failure : diagnosis-an overview. cinahl information system. 9. black mj & hawk jh. 2009. medical surgical nursing, clinical management for positive outcomes 8th ed vol 2. elsevier pte ltd. singapore. 10. nicholson, c. 2007. heart failure a clinical nursing handbook. john wiley & sons, ltd. 11. michael s figueroa md, j. i. 2006. congestive heart failure : diagnosis, pathophysiology, therapy, and implications for respiratory care. (d. enterprises, ed.) respir care, 51(4), 403-412. 12. djohan, t.b.a. 2004. penyakit jantung dan hypertensi http://library.usu.ac.id/download/fk/gizibahri10.pdf diperoleh 3 pebruari 2014. 13. schub e & schub t. 2010. heart failure : prevention. cinahl information system http://library.usu.ac.id/download/fk/gizi-bahri10.pdf%20diperoleh%203%20pebruari%202014 http://library.usu.ac.id/download/fk/gizi-bahri10.pdf%20diperoleh%203%20pebruari%202014 mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 19 no 2 hal 37-42 juli 2019 social demography study of gonorrhea and syphilis at rsud dr. soedono madiun studi sosial demografi gonore dan sifilis di rsud dr. soedono madiun rahajeng musy1, vita widyasari2*, rosmelia3 1 skin and gender smf, rsud dr. soedono madiun 2 universitas islam indonesia 3 department of skin and gender, universitas islam indonesia data of article: received: 16 feb 2017 reviewed: 18 feb 2017 revised: 11 feb 2019 accepted: 23 mar 2019 *correspondence: widyasari.vita@gmail.com doi: 10.18196/mm.190227 type of article: research abstract: an understanding of the socio-demographic characteristics is the first step to conduct preventive and promotive measures to reduce the number of sexually transmitted infections. this study described the socio-demographic characteristics of gonorrhea and syphilis in dr. soedono hospital madiun. a descripttive study with a quantitative approach used secondary data from outpatient medical records. this research was conducted in dr. soedono hospital madiun, east java. the sam-ples used in this study were 61 patients who had been diagnosed with gonorrhea and syphilis in the period from july 2013 june 2016. the data consisted of 50 (82%) medical records with the diagnosis of gonorrhea and 11 (18%) medical records with a diagnosis of syphilis. characteristics of patients/ respondents are the highest age group of 21-30 years, 22 female patients (36.1%), 55 male patients (90.2%), unmarried status 33 people (54.1%), work as private employees 37 people (60.7%), pay without insurance 48 people (78.7%), and live around madiun 52 (86.0%). the socio-demographic factors were dominant in patients with gonorrhea and syphilis in dr. soedono hospital period of 2013-2016 was 21-30 years old, male, unmarried, living as private sector employees, pay without insurance, and madiun origin. keywords: gonorrhea; syphilis; characteristics; demography abstrak: pemahaman akan karakteristik sosial demografi merupakan langkah awal untuk melakukan tindakan preventif dan promotif dalam upaya menekan angka penyakit infeksi menular seksual. penelitian ini bertujuan untuk memaparkan karakteristik sosial demografi gonore dan sifilis di rsud dr. soedono madiun. penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif menggunakan data sekunder yang berasal dari rekam medis rawat jalan. penelitian ini dilakukan di rsud dr. soedono madiun, jawa timur. sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 61 pasien yang telah didiagnosis gonore dan sifilis di rsud dr. soedono madiun periode bulan juli 2013-juni 2016. hasil penelitian menunjukkan dari 61 data yang didapatkan tersebut, 50 (82%) didiagnosis gonore dan 11 (18%) didiagnosis sifi-lis. karakteristik penderita kelompok usia terbanyak 21-30 tahun, yaitu 22 pasien (36.1%), berjenis kelamin laki-laki 55 orang (90.2%), berstatus belum menikah 33 orang (54.1%), pekerjaan sebagai pegawai swasta sebanyak 37 orang (60.7%), membayar tanpa asuransi 48 orang (78.7%), dan berasal dari sekitar madiun 52 orang (86.0%). disimpulkan bahwa faktor sosial demografi yang dominan pada penderita gonore dan sifilis di rsud soedono tahun 2013-2016 adalah usia 21-30 tahun, jenis kelamin laki-laki, belum menikah, berprofesi sebagai pegawai swasta, membayar tanpa asuransi dan asal pasien dari sekitar madiun. kata kunci: gonore; sifilis; karakteristik; demografi mailto:%20widyasari.vita@gmail.com mailto:%20widyasari.vita@gmail.com vol 19 no 2 july 2019 38 | introduction sexually transmitted diseases are infections whose spread comes from sexual contact from person to person. there are various types of sexually transmitted diseases, depending on the causes, including caused by bacteria (n. gonorrhoeae, c. trachomatis, t. pallidum), viruses (hsv, hpv, hiv, herpes b virus, molluscum contagiosum virus), protozoa (trichomonas vaginalis), fungi (candida albicans) and ectoparasites (sarcoptes scabiei). 1 sexually transmitted diseases become a concern in society, especially in developing countries. it was estimated that there are 448 million cases of sexually transmitted diseases because of bacteria in the world in 2005, of which 71 million occurred in the southeast asia region. based on that number, the highest number of infections was trichomoniasis, with a total of 38.6 million cases. ranking second to fourth of the infection cases respectively are gonorrhea (22.7 million), chlamydial infection (6.6 million) and syphilis (2.9 million). 2 the high rate of sexually transmitted infections also has an impact on the financing needed to deal with it. as in the united states, with as many as 19 million cases of sexually transmitted infections, funds are needed around 17 billion us dollars per year for diagnosis, treatment, and education. 3 failure or inadequacy in treating sexually transmitted infections can trigger serious complications such as infertility, ectopic pregnancy, anogenital cancer, and premature death, two whereas sexually transmitted infections are preventable diseases. in dr. soedono hospital in madiun, there are patients with sexually transmitted infections every month, especially gonorrhea and syphilis. as a referral hospital, dr. soedono hospital is expected to provide an overview of the social demographic characteristics of gonorrhea and syphilis in east java. this study aims to describe the social demographic characteristics of gonorrhea and syphilis in dr. soedono hospital, madiun. understanding of the social characteristics of demography is the first step to take preventive and promotive actions to reduce the number of sexually transmitted infections. material and method this study is a descriptive study with a quantitative approach. it used secondary data obtained from the medical records of the patients. this study was conducted in dr. soedono hospital, madiun, east java. the population used in this study were patients diagnosed with gonorrhea (including urethritis, cervicitis, and gonorrhea proctitis) and syphilis period of juli 2013 – juni 2016. the samples were taken based on the results obtained by systematic random sampling using the online application at www.random.org. the variables studied in this study were age, gender, marital status, recent education, occupation, financing, address, sex partner, and a history of previous similar diseases. the instrument used was secondary data (medical records) from dr soedono hospital, in the form of stationery and worksheets made by the researcher. the data obtained were analyzed using ibm spss version 21 data analysis software with descriptive analysis. this research has passed the ethical review by the medical and health ethics committee of the indonesian islamic university medical faculty on november 3, 2016, with number 04 / ka.kom.et / 70 / ke / xi / 2016. result data from 61 patients who met the criteria were obtained from outpatient or inpatient care, randomly selected from 214 medical records, 175 with a diagnosis of gonorrhea and 39 with a diagnosis of syphilis. the 61 data obtained consisted of 50 (82%) medical records with a diagnosis of gonorrhea and 11 (18%) medical records with a diagnosis of syphilis (figure 1). the complete social demographic characteristics of gonorrhea and syphilis patients can be seen in table 1. medical record data obtained in 2013, 2014, 2015, 2016 respectively are 22 (36.1%), 6 (9.8%), 21 (34.4%) and 12 (19.7%). based on the diagnosis, it appears that the highest visit of gonorrhea patients occurred in 2015, that is as many as 20 patients (40 %) of the total of gonorrhea patients. however, it was possible that a similar or higher number can be achieved in 2016 because the number of 9 patients was only counted until mid-year. whereas figure 1. gonorrhea and syphilis in the hospital of dr. soedono madiun in 2013-2016 | 39 for patients with a diagnosis of syphilis, the highest number was in 2013, as many as seven people (63.6 %) and the lowest was in 2014 where there were no syphilis patients at all. nearly all patients (60 medical records or 98.4%) diagnosed with gonorrhea and syphilis were obtained from the skin and genital outpatient cli nics, only one (or 1.6%) medical record data came from the obstetric outpatient and gynecology poly clinic. the patient's age varies, ranging from the youngest age of 16 years, and the oldest age of 63 table 1. demographic social characteristics of gonorrhea and syphilis patients characteristic gonorrhea (%) syphilis (%) total year 2013 15 (68.2) 7 (31.8) 22 2014 6 (100.0) 0 (0.0) 6 2015 20 (95.2) 1 (4.8) 21 2016 9 (75.0) 3 (25.0) 12 gender man 47 (85.5) 8 (14.5) 55 woman 3 (50.0) 3 (50.0) 6 age <21 years old 12 (85.7) 2 (14.3) 14 21-30 years old 17 (73.3) 5 (22.7) 22 31-40 years old 9 (100.0) 0 (0.0) 9 41-50 years old 10 (83.3) 2 (16.7) 12 >50 years old 2 (50.0) 2 (50.0) 4 occupation student 6 (100.0) 0 (0.0) 6 entrepreneur 5 (100.0) 0 (0.0) 5 civil servant 2 (66.7) 1 (33.3) 3 private employees 31 (83.8) 6 (16.2) 37 farmer 2 (50.0) 2 (50.0) 4 jobless 4 (66.7) 2 (33.3) 6 education uneducated 0 (0.0) 1 (100.0) 1 junior high school 1 (50.0) 1 (50.0) 2 high school 3 (75.0) 1 (25.0) 4 college 2 (100.0) 0 (0.0) 2 no information 44 (84.6) 8 (15.4) 52 region madiun regency 15 (75.0) 5 (25.0) 20 madiun city 16 (100.0) 0 (0.0) 16 magetan 11 (68.8) 5 (31.2) 16 ngawi 2 (66.7) 1 (33.3) 3 others 6 (100.0) 0 (0.0) 6 marital status single 27 (81.8) 6 (18.2) 33 married 21 (80.8) 5 (19.2) 26 widowed 2 (100.0) 0 (0.0) 2 financing general 41 (85.4) 7 (14.6) 48 bpjs non pbi 8 (80.0) 2 (20.0) 10 bpjs pbi 1 (33.3) 2 (66.7) 3 similar treatment history yes 16 (80.0) 4 (20.0) 20 no information 34 (82.9) 7 (17.1) 41 religion islam 6 (66.7) 3 (33.3) 9 no information 44 (84.6) 8 (15.4) 52 vol 19 no 2 july 2019 40 | figure 2. map of madiun and surroundings years. of the various age groups, the highest rank was occupied by the age group of 21-30 years, namely 22 patients (36.1%). then, it consecutively followed by age groups of <21 years 14 patients (23%), 41-50 years 12 patients (19.7%), 31-40 years 9 patients (14.8%) and the last, > 50 years 4 patients (6.6%). gonorrhea and syphilis patients are dominated by men, namely 55 people or 90.2%, while women are only five people or 9.8%. more than fifty percent of gonorrhea or syphilis patients (33 people, 54.1%) were unmarried. forty two point six percent or 22 people were married, and the remaining two people, 3.3 percent, were widowed. the patient's last education status cannot be clearly described because 52 people (85.2%) did not have the last education status information on their medical records. of the nine people who had the data; one was out of school (1.6%), two people graduated from junior high school (3.3%), four people graduated from high school (6.6%), and two people graduated from college (3.3%). most of the patients are private employees, as many as 37 people (60.7%). second, to last, the percentage is the only slight different. both are not working, and students are 9.8% (6 people), followed by entrepreneurs with 8.2% (5 people), farmers 6.6% (4 people) and finally civil servants 4.9% (3 people). the majority of financing is used for out of pocket or general patients, without insurance coverage from any party. 78.7% (48 people) use this type of financing. other patients use bpjs insurance, both non-pbi (16.4%, ten people) and pbi (4.9 %, three people). the addresses of patients are mostly from the madiun and surrounding areas, namely madiun regency (32.8%, 20 people), madiun city (26.6%, 16 people) and magetan (26.6%, 16 people). the other minority is from various regions in java, such as bandung, karanganyar, malang, ngawi, pemalang, ponorogo, and wonogiri. it appears on the map of madiun (fig. 2) that the majority of sufferers are from the area around rsud soedono madiun. a history of sexual partners cannot be explored due to limited data. from the data available, sexual history also shows various results. five patients admitted that they had more than one sex partner. there is also a male patient who has samesex sex (msm / men sex with men). also, there is a female patient whose husband as a night club worker. twenty (32.8%) patients with gonorrhea and syphilis treatment admitted to having been ill or treated with similar complaints, the rest of the patients did not have definite, unclear written data, either had never experienced a similar complaint or had no information. discussion diagnosed gonorrhea is around 62 million cases worldwide. 4 gonorrhea is the second most common disease for sexually transmitted infections in the united states and the united kingdom (uk). 4,5 according to the center for disease control and prevention (cdc), 350.062 gonorrhea cases were reported in the united states in 2014. this number has increased by 5.1% since 2013, and 10.5% since 2010. 5 whereas in the uk, 25,525 cases of uncomplicated gonorrhea infection were diagnosed in uk clinics in 2012 and 1905 cases in scotland. this number has continued to decline since 2002 but | 41 suddenly increased significantly in 2008, which was allegedly due to better diagnostic tools. 4 in 2000 and 2001, reported cases of primary and secondary syphilis were 2.1 cases per 100,000 population, the lowest level since reporting began in 1941. however, syphilis cases increase almost every year from 2000-2001. in 2014, a total of 19.999 cases of syphilis were reported, and national syphilis rates increased to 6.3 cases per 100.000 population, the highest level reported since 1994 in the united states. 6,7 in this study, both gonorrhea and syphilis sufferers, the highest age of patients were in the age range of 21-30 years, followed by the age range of fewer than 21 years. this is also in line with various previous studies. the research on gonorrhea sufferers in rsud al-ihsan bandung in 2015 described that the age of young adults 18-24 years, most affected compared to other age ranges, followed by the adult age range (24-40 years). 8 distribution of age of new gonorrhea sufferers division of urj sexually transmitted diseases skin and genital diseases of rsu dr. soetomo surabaya in the 2002-2006 period was not much different from this study, namely the highest age range at the age of 25-44 years, as many as 52.6%, followed by the age range of 18-24 years as much as 41.7%. 9 in bangladesh, the highest age range of patients is 16-25 years (66.66%), ten while the average age of gonorrhea patients in singapore in men is 18 years. 11 adults and young people have a higher risk than other age groups due to a combination of various factors, including habits, biology, and culture. for example, economic capacity, shame about selfexamination, and cultural norms that limit them to protect themselves, such as buying condoms. 12 the majority of male sufferers are in line with various previous studies, as in the study at bandung, 8 surabaya, 9 rome 13 and bangladesh. 10 this male dominance is closely related to homosexual behavior. 14 most gonorrhea and syphilis sufferers are unmarried; this phenomenon is in line with the results of a study, in which 58.33% of patients diagnosed with unmarried gonorrhea in bangladesh. 10 many factors influence this phenomenon, including the tendency to have more than one sex partner, employment status, and also closely related to faith. 15 a history of sexual partners is the most important contribution to gonorrhea patients. risk factors for contracting gonorrhea include new sex partners, sex partners of more than one person, sex partners having sexually transmitted infections, not always using condoms, having sexually transmitted infections, being in isolated environments such as military camps, race and being in a high-risk environment. 5 in the uk, the group most at risk for this disease is men who have sex with men (58%). 4 in this study, a history of sexual partners could not be reported because it was not written. this study has several limitations. the first limitation is that not all patients with a diagnosis of gonorrhea or syphilis come from laboratory results, but only based on clinical diagnosis. second, for some indicators such as education, history of sexual partners, and a history of similar previous illnesses, it is not written entirely and clearly in the medical record, so it cannot be reported. conclusion this study concludes that the dominant social demographic factors in gonorrhea and syphilis patients in rsud soedono in 2013-2016 are men aged 21-30 years, unmarried, have a senior high school education, work as private employees, pay without insurance and from surrounding madiun. the suggestions for further research are patients who are taken as a diagnosis sample of gonorrhea and syphilis need to be derived from laboratory results, not only based on clinical diagnosis. reference 1. who. sexually transmitted infections. 2019. diakses dari https://www.who.int/news-room/factsheets/detail/sexually-transmitted-infections-(stis) 2. who. management of sexually transmitted infections: regional guidelines. 2011. 3. sevgi oa, kevin a. f, lipshutz ja. the new public health and std/hiv prevention personal, public, and health systems approaches. new york: springer; 2013. 4. sherrard j. gonorrhoea. medicine. 2014; 42 (6): 323-326. 5. morgan mk, decker cf. gonorrhea. disease-amonth, 2016; 62 (8): 260-268. 6. sukthankar a. syphilis. medicine, 2014; 42 (7): 394-398. 7. cdc. sexually transmitted diseases surveillance: syphilis. 2014. 8. rahmawati a, djajakusumah ts, hikmawati d. angka kejadian, karakteristik, dan pengobatan penderita gonore di rsud al-ihsan bandung. in: prosiding pendidikan dokter, 2015; 1 (2): 526531. 9. jawas fa, murtiastutik d. penderita gonore di divisi penyakit menular seksual unit rawat jalan ilmu kesehatan kulit dan kelamin rsu dr. soetomo surabaya tahun 2002-2006 (gonorrhea patients in sexually transmitted diseases division, dermato venereology department of dr. soetomo. berk ilmu kesehat kulit kelamin, vol 19 no 2 july 2019 42 | 2008; 20 (3): 217-228. 10. farah a, mh r, rahman o. socio-demographic study of gonorrhoea and syphilis in two medical college hospital and two private chamber in bangladesh. medicine today, 2013; 25 (01): 18-20. 11. boon r, lim t, wong ml, cook ar, brun c, chan rkw. determinants of chlamydia, gonorrhea, and coinfection in heterosexual adolescents attending the national public sexually transmitted infection clinic in singapore. sex transm dis, 2015; 42 (8): 450-456. 12. centers for disease control and prevention. stds in adolescents and young adults. https://www.cdc.gov/std/stats16/adolescents.ht m. published in 2017. accessed september 8, 2018. 13. bjeki m, vlajinac h, sipeti s. characteristics of gonorrhea and syphilis cases among the roma ethnic group in belgrade, serbia. braz j infect dis, 2016; 20 (4): 349-353. 14. putu n, nirmalasari c, adiguna s, made n, puspawati d. prevalensi dan karakteristik infeksi menular seksual di klinik anggrek upt ubud ii pada bulan januari desember 2016. jurnal udayana medika, 2018; 7 (4): 169-175. 15. finer lb, darroch je, singh s. sexual partnership patterns as a behavioral risk factor for sexually transmitted diseases. fam plann perspect, 1999; 31 (5): 228. mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 20 no 1 page 32-37 january 2020 the influence of hypertension and high-density lipoprotein on the diabetic nephropathy patients pengaruh hipertensi dan lipoprotein densitas tinggi pada pasien nefropati diabetik enda silvia putri1*, marniati1, arfah husna1, afriani maifizar2 1program studi ilmu kesehatan masyarakat, fakultas kesehatan masyarakat, universitas teuku umar, jalan alue peunyareng, ujong tanoh darat, mereubo, west aceh, aceh, indonesia. 2program studi sosiologi, fakultas ilmu sosial dan ilmu politik, universitas teuku umar, jalan alue peunyareng, ujong tanoh darat, mereubo, west aceh, aceh, indonesia. data of article: received: 6 sep 2019 reviewed: 6 nov 2019 revised: 9 jan 2020 accepted: 11 jan 2020 *correspondence: endasilviaputri@utu.ac.id doi: 10.18196/mm.200139 type of article: research abstract: diabetes complication of kidney failure begins with poor control of highdensity lipoprotein (hdl) levels causing constriction of efferent arterioles affecting microalbuminuria, which triggers hypertension due to damage to blood vessels, with scarring in the filtration system of the central part of the kidneys. the objective of the research was to analyze the influence of hypertension and hdl on the diabetic nephropathy patients. the study was an observational analytic study with a case-control design. the research sample consisted of 32 sample cases of patients with type ii dm complications of kidney failure, and 32 control samples were dm type ii patients without complications of kidney failure in dr. pirngadi hospital, medan with accidental sampling technique. data were generated by using questionnaires and medical records and analyzed by using the chi-square test, independent t-test, mann-whitney, and multivariate logistic regression to identify the effect of hdl and hypertension with dm type ii complications of kidney failure. the result of multivariate analysis showed hypertension or; 17.845, and hdl or; 7.049. the conclusion showed that the most dominant factor that influenced the incidence of kidney failure complications in dm type ii patients was hypertension at the population attributable risk of 91%. keywords: dm type ii; high-density lipoprotein; hypertension; kidney failure abstrak: diabetes komplikasi gagal ginjal diawali dengan kontrol kadar hdl yang buruk menyebabkan konstriksi arteriol eferen berpengaruh pada mikroalbuminuria yang memicu kejadian hipertensi merupakan akibat dari kerusakan pembuluh darah, dengan jaringan parut pada system filtrasi bagian utama dari ginjal. tujuan penelitian adalah menganalisis pengaruh hipertensi dan hdl pada pasien nefropati diabetik. metode penelitian adalah analitik observasional dengan desain kasus-kontrol, sampel penelitian terdiri dari 32 sampel kasus pasien dm tipe ii komplikasi gagal ginjal, dan 32 sampel kontrol pasien dm tipe ii tanpa komplikasi gagal ginjal di rsud dr. pirngadi, medan dengan teknik accidental sampling. data diperoleh dengan cara menggunakan kuisioner dan rekam medik serta dianalisis dengan menggunakan uji chi-square, independent t-test, mann-whitney, dan multivariat regresi logistik untuk melihat pengaruh hdl dan hipertensi dengan dm tipe ii komplikasi gagal ginjal. hasil penelitian berdasarkan analisis multivariat diperoleh nilai risiko hipertensi or: 17,845, hdl or : 7,049. kesimpulan penelitian ditemukan bahwa faktor yang paling dominan berpengaruh terhadap kasus dm tipe ii komplikasi gagagl ginjal adalah hipertensi dengan diperkuat nilai population attributable risk 91%. kata kunci : dm tipe ii; high-density lipoprotein; hipertensi; gagal ginjal | 33 introduction diabetes mellitus (dm) is a collection of symptoms that arise in a person caused by an increase in blood glucose levels due to a decrease in progressive insulin secretion against the background of insulin resistance.1-5 in 2012, the world health organization (who) noted that in low and middle-income countries, more than 80% of deaths were caused by dm. by 2030, it is predicted that more than two-thirds (70%) of the global population will die from non-communicable diseases such as cancer, heart disease, stroke and dm.6,7 dm is the most common cause of kidney failure that almost 44% of cases exist. although dm can be controlled, this disease can still cause kidney failure. in a serious case, dm causes 28.5% retinopathy and a 60% reduction in lower limbs.8,9according to the 2014 international diabetes federation (idf) data, in indonesia, there was a 5.8% prevalence of dm. in 2013, based on basic health research or known as riskesdas data, dm prevalence in indonesia, based on interviews, diagnosed that it reached 1.5% and increased to 2.1%.10,11 the prevalence of dm in indonesia based on interviews in 2013 was 2.1%. this figure is higher than in 2007, which was 1.1%. a total of 31 provinces (93.9%) showed a significant increase in dm prevalence.4 riskesdas data in 2013 on the prevalence of dm in north sumatra based on interviews diagnosed by doctors was 1.8%. a doctor diagnoses dm with 2.3%. the prevalence of dm patients in north sumatra is almost close to the national average. north sumatra has a prevalence of 5.3% or only 0.4% below the national average, which reached 5.7%. patients who previously have known that they have dm are only 26%. whereas most of those diagnosed with dm about 74% did not know and that they suffered from previous dm.12 based on the preliminary survey conducted at the dr. pirngadi hospital medan, it was found the number of cases of dm with complications of kidney failure in 2012 as many as 20 cases, in 2013 as many as 6 cases, and in 2014 as many as 65 cases. based on the description of the various literature above, it is necessary to research the cases of dm complications of kidney failure in dr. pirngadi hospital medan. based on the background, this study aims to identify the risk factors that affect dm cases of complications of kidney failure in particular to analyze the influence of hypertension and hdl in the incidence of kidney failure complications in dm type ii patients at dr. pirngadi hospital, medan. materials and method the study was an observational analytic study with a case-control design. this study was conducted in dr. pirngadi hospital, medan, in 2015. the population of the case was all patients with type ii dm who had complications of kidney failure and visited the dr. pirngadi hospital, medan, in 2015. the control population was that all type ii dm patients had no complications of kidney failure who visited the dr. pirngadi hospital, medan, in 2015. the population in this study was all type ii dm patients with complications of kidney failure who visited the dr. pirngadi hospital medan with a total of 64 people. case samples were obtained by calculating the sample size using the formula: n1 = n2 = [ 𝑧𝛼 2 +𝑧𝛽√𝑝𝑞 𝑝− 1 2 ] 2 where𝑝 = 𝑂𝑅 1+𝑂𝑅 information : n1 = n2 = sample size α = significance level of 5%, then the value of z=1.96 zα = normal deviation value α 5% = 1.96 zβ = normal deviation value β 20% = 0.842 or = odds ratio p = proportion of risk factors q = 1-p the sample size is based on several variables from previous studies, as shown in table 1. based on the results of the calculation, the maximum sample size of 29 after 10% of exposure is 32 people with dm type ii complications of kidney failure. therefore, the number of samples for the case group was 32 people with dm type ii complications of kidney failure, and the control group was 32 people with dm type ii without complications of kidney failure. the comparison of cases with controls was 1:1 matched by age and gender. the analysis used in this study was bivariate analysis (chi-square test, independent t-test, and mann-whitney test at a 95% degree of confidence) to identify influence variable (hdl and hypertension) to dm type ii complications of kidney failure, multivariate analysis (multiple logistic regression tests at a 95% degree of confidence) to identify higher influence variable (hdl and hypertension) to dm type ii complications of kidney failure, and population attributable risk (par) to identify the percentage of prevention that can be carried out. table 1. sample size based on prior research variables or p n1=n2 n+10% family history exercise practice blood glucose levels systolic blood pressure 6 8 3 14 0.001 0.004 0.0001 0.0001 13 11 29 8 14 12 32 9 34 | vol 20 no 1 january 2020 result table 2. the frequency distribution in dr. pirngadi hospital medan based on the risk factors of type ii diabetes mellitus patients changeable risk factors dm type ii complications of kidney failure case control n % n % average hdl not good 23 71.9 9 28.1 good 9 28.1 23 71.9 total 32 100 32 100 hypertension yes 25 78.1 6 18.8 no 7 21.9 26 81.2 total 32 100 32 100 in the univariate result in table 2, the distribution of the average hdl in the highest hdl case group was not good (≤45mg / dl) with the proportion of 71.9%, while the highest hdl control group is good (>45mg/dl) with the proportion of 71.9%. the highest distribution of hypertension in the case group in those with hypertension was 78.1%, while the highest control group in those who did not have hypertension was 81.2%. in table 3, it can be perceived that the chisquare test results show that the variables that influence the incidence of type ii dm complications failure kidney were average hdl (p=<0.001), hypertension (p=<0.001). table 4 show that the results of different means show that there are significant differences in mean hdl, systolic, and diastolic blood pressure between cases with controls (p<0.05). in table 5, the results of multiple logistic regression tests show hdl averages (p = 0.022), and hypertension (p = 0.002 affect the incidence of type ii dm complications of kidney failure). the most dominant variable affecting the incidence of kidney failure in type ii dm patients in dr. pirngadi hospital, medan, is hypertension with a regression coefficient value of 2.882 and exp b (or) 17.845. table 3. the effect of risk factors on type ii dm complications of kidney failure changeable risk factors dm type ii complications of kidney failure p-value or (95% cl) case control n % n % average hdl levels not good 23 71.9 9 28.1 <0.001 2.55 (1,53-4,24) good 9 28.1 23 71.9 total 32 100 32 100 hipertensi yes 25 78.1 6 18.8 <0.001 4.00 (2,30-6,93) no 7 21.9 26 81.2 total 32 100 32 100 table 4. the differences in mean risk factors that can be changed by type ii dm complications of kidney failure variables mean p-value hdl (mg/dl) case control systolic (mmhg) case control diastolic (mmhg) case control 44.44 70.19 147.78 129.25 86.00 71.97 <0.001 <0.001 <0.001 table 5. the final results of multiple logistic regression tests variables b sig. exp b(or) 95% ci average hdl 1.953 0.022 7.049 1.327 37.433 hypertension 2.882 0.002 17.845 2.975 107.062 konstanta -4.325 0.000 0.013 it indicates that if type ii dm sufferers experience kidney failure 18 times, they are more likely to have hypertension than type ii dm patients who do not experience kidney failure. the percentage correct value was 85.9%, indicating that the average variable hdl, hypertension, diet (diet), and duration of suffering from type ii dm explain the effect on the incidence of type ii dm complications of kidney failure in dr. pirngadi hospital, medan is 85.9%, while the remaining 14.1% is influenced by other factors not included in this research variable. calculating par value (population attributable risk) on the most significantly influential variable with the highest or (odds ratio). hypertension, which is the most influential factor in the incidence of type ii dm complications of kidney failure, was obtained or at 17.845 (95% ci=2.975-107.062) and p at 0.002 statistically significant. therefore, par values were:     91% x100% 1117,8450,64 117,8450,64 par     it indicates that almost 91% of cases with the incidence of type ii dm complications of kidney failure can be prevented by correcting risk factors, namely hypertension, to normal blood pressure. discussion based on the results of the bivariate analysis with independent t-test on systolic blood pressure and mann-whitney test on diastolic blood pressure, there were significant differences in mean systolic | 35 and diastolic blood pressure between type ii dm patients complicating kidney failure (cases) with uncomplicated type ii dm patients kidney failure (control) (p <0.05). the result is in line with the result of the chisquare test where there is a relationship between hypertension and the incidence of type ii dm complications of kidney failure obtained or=4.00 (95% ci=2.30-6.93). it means that type ii dm patients who experience failure kidney have a chance of 4.00 times hypertension compared to type ii dm patients who do not experience kidney failure. in line with the results of multivariate hypertension, the influence of the incidence of type ii dm complicating kidney failure was or=17,845 (95% ci=2,975-107,062), which indicates that type ii dm patients who had kidney failure had a chance of 17,845 times hypertension compared to type ii dm patients who did not experience kidney failure. it is also in line with arsono's research, 2015, in prof. dr. margono soekarjo hospital purwokerto which showed that the analysis of the influence of hypertension with the incidence of type ii dm complications of kidney failure obtained or=14,15. the result indicates that type ii dm patients who experience kidney failure have a chance of 14.15 times hypertension (systolic blood pressure ≥140mmhg) compared to dm patients ii who did not experience kidney failure. furthermore, it statistically explained that there was a significant effect with a value of p <0.05.13 likewise, in the analysis of the influence of hypertension with the incidence of type ii dm complications of kidney failure which obtained or=10.00, it means that type ii dm patients who have kidney failure have a chance of 10.00 times hypertension (diastolic blood pressure ≥90mmhg) compared to type ii dm patients who do not experience kidney failure and it statistically explained that there was a significant effect with a value of p <0.05.13 the results are in line with the research conducted by dewi (2014) stating that the hypertension was influenced by diabetes.14 according to another research by wang (2017), diabetes mellitus and hypertension are major risk factors for chronic kidney injury, accounting with >70% of end-stage kidney disease.15 in this study, we assessed interactions of hypertension and diabetes in causing kidney dysfunction, injury, and the role of endoplasmic reticulum (er) stress. hypertension was induced by aorta constriction (ac) between the renal arteries in 6-month old male goto-kakizaki (gk) type 2 diabetic and control wistar rats. fasting plasma glucose averaged 162±11 and 87±2 mg/dl in gk and wistar rats, respectively. ac produced hypertension in the right kidney (above ac) and near-normal blood pressure (bp) in the left kidney (below ac), with both kidneys exposed to the same levels of glucose, circulating hormones, and neural influences. after 8 wks of ac, bp above the ac (and in the right kidney) increased from 109±1 to 152±5 mmhg in gk rats and from 106±4 to 141±5 mmhg in wistar rats. the diabetic-hypertensive right kidneys in gk-ac rats had much more significant increases in albumin excretion and histological injury compared to left kidneys (diabetes only) of gk rats in the right kidneys (hypertension only) of wistar-ac rats. the increase in er stress and oxidative stress indicators was observed in diabetic-hypertensive kidneys of gk-ac rats. inhibition of er stress with tauroursodeoxycholic acid (tudca) for 6 wks reduced bp (135±4 vs. 151±4 mmhg), albumin excretion, er and oxidative stress, and glomerular injury. meanwhile, it increases gfr in hypertensivediabetic kidneys. these results suggest that diabetes and hypertension interact synergistically to promote kidney dysfunction and injury via er stress.15 having the highest par value of 91% indicates that almost 91% of cases with the incidence of type ii dm complications of kidney failure can be prevented by improving hypertension to have normal blood pressure. furthermore, other research results show that hypertension was one of the many risk factors for diabetes.16 other factors, such as hdl, ldl, triglycerides, can also contribute to the number of diabetes cases. mengyang stated that, based on the results of his research, it could prevent diabetes by controlling these factors.16 the multivariate results of average hdl influence the incidence of type ii dm complications of kidney failure, which obtained or = 7.049 (95% ci=1.327-37,433). it indicates that type ii dm patients who experience kidney failure have a chance of 7.049 times, and the average hdl is not good (≤ 45mg/dl) compared to type ii dm patients who did not experience kidney failure. in line with rodriguez-poncelas’s research conducted in 2013 at the spanish hospital, it revealed the p-value=0.001 (p <0.05), indicating that hdl influences the incidence of type ii dm complications of kidney failure.22 on the other hand, it also showed a par value of 78% indicating that nearly 78% of cases with the incidence of type ii dm complications of kidney failure can be prevented by improving the poor quality of average hdl (≤45mg/dl) to have a good quality (>45mg / dl). 36 | vol 20 no 1 january 2020 moreover, high-density lipoprotein (hdl) has many antioxidant roles.17 the role of antioxidants in hdl is better with the support of the consumption of vegetables and fruit in patients with type 2 diabetes to prevent complications.17 another research obtained results showing that the function of hdl as an anti-inflammatory can work effectively on patients with type 2 dm before the patient has complications.23 however, its function will deteriorate if the condition of type 2 dm patients is with complications.18 the research by nair (2016) in pima indian aims to look at protective factors for type 2 dm in women.19 based on the results of his research, it revealed that 12 of 21 women in pima indian showed a significant relationship between hdl and the incidence of type 2 dm.19 in line with it, another research by gourgari et al. (2019) stated that there are hdl influences on diabetes cases with a pvalue=0.0001.20 it is in line with another research stating that low hdl levels affect the incidence of diabetes with or (6,818, p = 0.002).20,21,24 conclusion based on the results of this study, it can be concluded that there was an influence of hypertension on the incidence of type ii dm complications of kidney failure in dr. pirngadi hospital, medan (or = 17,845 (95% ci = 2,975107,062), and there was an influence of hdl on the incidence of type ii dm complications of kidney failure in dr. pirngadi hospital, medan (or = 7.049 (95% ci = 1.327-37,433). ethical consideration ethical consideration number: 478/v/sp/2015, subject: approval of the usu nursing faculty health research ethics committee, university of north sumatera references 1. waspadji s. komplikasi diabetes tipe 2: pencegahan dan penanganannya. jakarta: badan penerbit fkui; 2014. 2. papadakis m.a, mcphee s.j. current medical diagnosis and treatment. usa: mcgraw hill companies; 2014. 3. davey p. at a glance medicine jakarta: erlangga; 2012. 4. price s.a, wilson l.m. patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit, edisi keenam. jakarta: egc; 2012. 5. rubenstein d, wayne d, bradley j. lecture notes: kedokteran klinis. jakarta: erlangga; 2012. 6. world health organization (who). diabetes. geneva; 2014. https://www.who.int/newsroom/fact-sheets/detail/diabetes 7. kementerian kesehatan republik indonesia. profil kesehatan indonesia tahun 2013. jakarta: kementerian kesehatan republik indonesia. 2012. 8. kern, t. s., berkowitz, b. a., & feldman, e. l. national institute of diabetes and digestive and kidney diseases (niddk) meeting summary: advances toward measuring diabetic retinopathy and neuropathy: from the bench to the clinic and back again (april 4–5, 2007, baltimore, maryland). journal of diabetes and its complications, 2009; 23 (3): 219-223. 9. american diabetes association (ada). statistics about diabetes. america, 2014. https://www.diabetes.org/resources/statistics/stati stics-about-diabetes 10. atlas, d. international diabetes federation. idf diabetes atlas, 7th edn. brussels, belgium: international diabetes federation. 2015. 11. kementerian kesehatan republik indonesia. buletin jendela dan data informasi kesehatan penyakit tidak menular. jakarta, 2012. 12. badan penelitian dan pengembangan kesehatan dasar departemen kesehatanrepublik indonesia. riset kesehatan dasar 2013. jakarta, 2012. 13. arsono, s. diabetes melitus sebagai faktor risiko kejadian gagal ginjal terminal (studi kasus pada pasien rsud prof. dr. margono soekarto purwokerto) (doctoral dissertation, program pascasarjana universitas diponegoro). 2005. 14. dewi, r. p. faktor risiko perilaku yang berhubungan dengan kadar gula darah pada penderita diabetes melitus tipe 2 di rsud kabupaten karanganyar. jurnal kesehatan masyarakat universitas diponegoro, 2013; 2(1), 18824. 15. wang, z., do carmo, j. m., aberdein, n., zhou, x., williams, j. m., da silva, a. a., & hall, j. e. synergistic interaction of hypertension and diabetes in promoting kidney injury and the role of endoplasmic reticulum stress. hypertension, 2017; 69(5), 879-891. 16. hong, m., ling, y., lu, z., liu, y., gu, p., shao, j., ... & li, x. contribution and interaction of the low‐density lipoprotein cholesterol to high‐density lipoprotein cholesterol ratio and triglyceride to diabetes in hypertensive patients: a cross‐sectional study. journal of diabetes investigation, 2019; 10(1), 131-138. 17. daniels, j. a., mulligan, c., mccance, d., woodside, j. v., patterson, c., young, i. s., & mceneny, j. a randomized controlled trial of increasing fruit and vegetable intake and how this influences the carotenoid concentration and | 37 activities of pon-1 and lcat in hdl from subjects with type 2 diabetes. cardiovascular diabetology, 2014; 13(1), 1-9. 18. sun, j. t., liu, y., lu, l., liu, h. j., shen, w. f., yang, k., & zhang, r. y. diabetes-invoked highdensity lipoprotein and its association with coronary artery disease in patients with type 2 diabetes mellitus. the american journal of cardiology, 2016; 118 (11): 1674-1679. 19. nair, a. k., piaggi, p., mclean, n. a., kaur, m., kobes, s., knowler, w. c., ... & baier, l. j. assessment of established hdl-c loci for association with hdl-c levels and type 2 diabetes in pima indians. diabetologia, 2016; 59 (3): 481-491. 20. gourgari, e., ma, j., playford, m. p., mehta, n. n., goldman, r., remaley, a. t., & gordon, s. m. proteomic alterations of hdl in youth with type 1 diabetes and their associations with glycemic control: a case-control study. cardiovascular diabetology, 2019; 18 (1): 43. 21. luo, y., li, j., zhang, j., & xu, y. low hdl cholesterol is correlated to the acute ischemic stroke with diabetes mellitus. lipids in health and disease, 2014; 13 (1): 171. 22. rodriguez-poncelas, a., garre-olmo, j., franchnadal, j., diez-espino, j., mundet-tuduri, x., barrot-de la puente, j., & coll-de tuero, g. prevalence of chronic kidney disease in patients with type 2 diabetes in spain: percedime2 study. bmc nephrology, 2013; 14 (1), 46. 23. mao, j. y., sun, j. t., yang, k., shen, w. f., lu, l., zhang, r. y., ... & liu, y. serum amyloid a enrichment impairs the anti-inflammatory ability of hdl from diabetic nephropathy patients. journal of diabetes and its complications, 2017; 31(10): 1538-1543. 24. luo, c., zhang, y., ding, y., shan, z., chen, s., yu, m., ... & liu, l. nut consumption and risk of type 2 diabetes, cardiovascular disease, and allcause mortality: a systematic review and metaanalysis. the american journal of clinical nutrition, 2014; 100(1): 256-269. 52 yuyun rahayu, dkk., dukungan keluarga dalam kepatuhan terapi dukungan keluarga dalam kepatuhan terapi pada pasien thalasemia di rumah sakit umum daerah kabupaten ciamis tahun 2015 family support in compliance therapy in patients with thalassemia in ciamis district hospital in 2015 yuyun rahayu1*, endrian mulyadi justitia waluyo1, supardi1 1 program studi ners, sekolah tinggi kesehatan muhammadiyah ciamis *e-mail: yuyunr80@yahoo.com abstrak thalasemia merupakan kelainan seumur hidup tetapi dalam kepatuhan melakukan terapinya tidak sesuai dengan jadwal yang diharapkan. hal ini disebabkan karena kurangnya dukungan keluarga dalam melakukan terapi untuk penderita thalasemia sebagai bentuk pengobatan. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran dukungan keluarga dalam kepatuhan terapi pada pasien thalasemia di rsud kabupaten ciamis. penelitian ini adalah deskriptif observasional. responden diambil secara accidental sampling. kuesioner penelitian dalam lembar check list yang diisi langsung oleh responden yang kemudian data dianalisis dengan menggunakan komputerisas. hasil penelitian menunjukan bahwa kemampuan keluarga dalam memberikan dukungan informasional, dukungan emosional, instrumental berkategori tidak mendukung, sedangkan dukungan penilaian berkategori mendukung. disimpulkan bahwa dukungan keluarga dalam kepatuhan terapi pada pasien anak thalasemia belum mampu atau tidak mendukung dalam kepatuhan melakukan terapinya. kata kunci: dukungan keluarga, terapi, thalasemia abstract thalassemia is a lifelong disorder, but in doing therapy compliance is not in accordance with the expected schedule. this is due to lack of family support in therapy for patients with thalassemia as a form of treatment. this study aims to describe family support in therapy adherence in patients with thalassemia in ciamis district hospital. this is a descriptive observational study. respondents were taken by accidental sampling. the questionnaire research in the sheet check list are filled directly by the respondent and then the data were analyzed by using komputerisas. the results showed that the ability of families to provide informational support, emotional support, instrumental category does not support, while support category ratings support. it was concluded that family support treatment adherence in patients with thalassemia children have not been able to or does not support in compliance doing therapy. keywords: family support, therapy, thalassemia artikel penelitian mutiara medika vol. 16 no. 2: 52-56, juli 2016 pendahuluan nikmat sehat adalah impian dan harapan setiap orang, namun ada sebagian orang yang memang tidak diciptakan sempurna seperti anak yang terkena thalasemia. thalasemia merupakan kelainan seumur hidup yang disebabkan oleh kelainan gen autosom resesif, pada gen kromosom ke-16 pada alfa thalasemia dan kromosom ke-11 pada beta thalassemia.1 thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan oleh kegagalan pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang membentuk 53 mutiara medika vol. 16 no. 2: 52-56, juli 2016 hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak terbentuk sempurna. tubuh tidak dapat membentuk sel darah merah yang normal, sehingga sel darah merah mudah rusak atau berumur pendek kurang dari 120 hari dan terjadilah anemia.2 berdasarkan data terakhir dari badan organisasi kesehatan dunia (who) tahun 2007, menyebutkan 250 juta penduduk dunia (4,5%) membawa genetik thalasemia.3 sementara itu, menurut survei demografi kesehatan indonesia jumlah penderita thalasemia hingga tahun 2014 berkisar 6-10% artinya dari setiap 100 orang kelahiran maka 6-10 orang membawa sifat thalassemia.4 sebagai tenaga kesehatan harus menekankan tentang pentingnya tes kesehatan sedini mungkin, akan tetapi apabila sudah menderita thalasemia maka harus mematuhi jadwal terapi yang sudah ditentukan sehingga tidak terjadi komplikasi yang berujung pada kematian. pada tahun 2014 di jawa barat angka kejadian thalasemia cukup tinggi mencapai 1.613 orang, tetapi pasien yang rutin terapi hanya sekitar 750 orang. hal ini disebabkan karena kejadian thalasemia sampai saat ini tidak bisa terkontrol terkait faktor genetik sebagai batu sandungan dan belum maksimalnya tindakan screening untuk thalassemia.5 di wilayah kabupaten ciamis jumlah anak yang menderita thalasemia mengalami peningkatan. pada tahun 2014 jumlah kunjungan penderita thalasemia ke rsud kabupaten ciamis sebanyak 158 orang, hal ini menjelaskan adanya peningkatan jumlah kunjungan yang sebelumnya di tahun 2013 sebanyak 147 orang. data terakhir yang diperoleh dari poliklinik thalasemia di rsud kabupaten ciamis sampai bulan januari 2015 ini pasien thalasemia bertambah 2 orang menjadi 160 orang yang terdiri dari anak usia 0 bulan sampai 18 tahun sebanyak 140 orang dan yang berusia >18 tahun sebanyak 20 orang, tetapi dalam kepatuhan melakukan terapinya tidak sesuai dengan yang diharapkan. hampir 30% (49 orang) pasien thalasemia tidak melakukan kunjungan sesuai jadwal, sehingga pada tahun 2014 terdapat 4 orang pasien anak thalasemia yang meninggal dunia akibat komplikasi karena tidak patuhnya terapi yang seharusnya diberikan untuk menjaga daya tahan tubuh anak thalasemia. beberapa upaya sudah dilakukan seperti memberikan penyuluhan kepada orang tua yang mempunyai anak thalasemia agar patuh dalam membawa anaknya untuk diberikan terapi, tetapi masih ada orang tua yang belum paham dan menyadari pentingnya terapi tersebut sehingga kunjungannya tidak sesuai dengan jadwal. 6 banyak faktor yang menjadi pemicu kurang patuhnya terapi pada anak thalasemia seperti dari faktor dukungan keluarga, faktor ekonomi, faktor pendidikan, faktor akomodasi, serta faktor lingkungan dan sosial. dari beberapa faktor tersebut, faktor dukungan keluarga adalah faktor yang paling penting dan sangat mempengaruhi kepatuhan terapi pada anak thalasemia yang meliputi dukungan informasional, dukungan emosional, dukungan instrumental dan dukungan penilaian. pada masa inilah tenaga kesehatan khususnya perawat mempunyai peran dan fungsi khusus dalam mendampingi keluarga yaitu sebagai advokat keluarga. perawat harus bekerjasama dengan anggota keluarga dalam mengidentifikasi tujuan dan kebutuhan serta merencanakan intervensi untuk permasalahan yang ditemukan dalam perawatan anak dengan thalasemia. memberikan edukasi kesehatan dan pencegahannya juga merupakan fungsi perawat yang tidak dapat dipisahkan dari perannya sebagai advokat keluarga.7 54 yuyun rahayu, dkk., dukungan keluarga dalam kepatuhan terapi dampak yang terjadi pada anak thalasemia akibat kurang patuhnya terapi thalasemia yaitu terjadi pada kondisi fisik, kondisi psikososial serta komplikasi penyakit sehingga berujung pada kematian, sedangkan dampak bagi keluarga lebih cenderung pada waktu dan biaya yang lebih banyak dibutuhkan untuk merawat anak sehingga seringkali menimbulkan masalah ekonomi serta orang tua menjadi merasa bersalah, frustasi, cemas dan depresi terhadap penyakit yang diderita anaknya.8 berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 28 februari 2015 di rsud kabupaten ciamis pada 5 orang tua yang memilki anak thalasemia, didapatkan 2 orang tua anak selalu mematuhi jadwal terapi yang telah ditentukan, sedangkan 3 orang tua anak mengakui bahwa terapinya tidak sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan. hal ini terjadi dikarenakan jarak antara rumah ke rsud kabupaten ciamis cukup jauh sehingga memerlukan waktu dan biaya (ongkos transportasi) yang cukup besar. seharusnya hal tersebut tidak dijadikan kendala karena bila dukungan keluarga yang diberikan sangat besar maka terapi yang diberikan juga akan sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan.6 penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran dukungan keluarga dalam kepatuhan terapi pada pasien thalasemia di rsud kabupaten ciamis. bahan dan cara metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif observasional. populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua orang tua yang mempunyai anak thalasemia yaitu sebanyak 140 orang. metode penarikan sampelnya menggunakan teknik accidental sampling. alat yang digunakan untuk mengumpulkan data yaitu kuesioner dalam lembar check list yang diisi langsung oleh responden. kuesioner dalam penelitian ini berbentuk pernyataan yang disusun berdasarkan jenis dukungan keluarga menurut setiadi (2008),9 dengan poin kuesioner dukungan informasional 8 soal yang bernilai positif, dukungan emosional 7 soal yang terdiri dari 4 soal bernilai positif dan 3 soal bernilai negatif, dukungan instrumental 8 soal yang terdiri dari 6 soal bernilai positif dan 2 soal bernilai negatif serta dukungan penilaian 7 soal yang terdiri dari 4 soal bernilai positif dan 3 soal bernilai negatif, variabel dukungan keluarga diukur dengan skala likert. jawaban setiap item yang digunakan dalam skala likert ini mempunyai gradasi dari pernyataan positif yaitu selalu (sl) diberi nilai 4, kadang-kadang (kd) diberi nilai 3, pernah (p) diberi nilai 2 dan tidak pernah (tp) diberi nilai 1. kemudian sebaliknya untuk pernyataan negatif yaitu selalu (sl) diberi nilai 1, pernah (p) diberi nilai 2, kadang-kadang (kd) diberi nilai 3 serta tidak pernah (tp) diberi nilai 4. kriteria dukungan keluarga dalam kepatuhan terapi pada pasien anak thalasemia: a) mendukung (jika nilai t > mean t), b) tidak mendukung (jika nilai t < mean t). dalam penelitian ini analisis univariat yang digunakan untuk mendeskripsikan atau melihat gambaran dukungan keluarga dalam kepatuhan terapi pada pasien anak thalasemia. hasil berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai dukungan keluarga dalam kepatuhan terapi pada pasien anak thalasemia di rsud kabupaten ciamis tahun 2015 pada tanggal 11-23 mei 2015 dapat dilihat pada tabel 1. 55 mutiara medika vol. 16 no. 2: 52-56, juli 2016 berdasarkan tabel 1. dari 47 responden, frekuensi dukungan informasional keluarga didapatkan hasil terbanyak yaitu kategori tidak mendukung sebanyak 27 responden (57,4%) dan yang mendukung hanya 20 responden (42,6%). berdasarkan tabel 2. bahwa dari 47 responden, frekuensi dukungan emosional keluarga didapatkan hasil terbanyak yaitu kategori tidak mendukung sebanyak 29 responden (61,7%) dan sisanya sebanyak 18 responden (44,7%) dalam kategori mendukung. berdasarkan tabel 3. bahwa dari 47 responden, frekuensi dukungan instrumental keluarga didapatkan hasil penelitian yang menunjukan 22 responden (46,8%) dalam kategori mendukung dan sebanyak 25 responden (53,2%) masuk dalam kategori tidak mendukung. berdasarkan tabel 4. bahwa dari 47 responden, frekuensi dukungan penilaian keluarga didapatkan hasil terbanyak yaitu kategori mendukung sebanyak 32 responden (68,1%) dan yang tidak mendukung sebanyak 15 responden (31,9%). berdasarkan tabel 5. bahwa dari 47 responden, frekuensi dukungan keluarga didapatkan hasil terbanyak yaitu kategori tidak mendukung sebanyak 24 responden (51,1%) dan yang mendukung sebanyak 23 responden (48,9%). diskusi berdasarkan hasil penelitian pada 47 responden, dapat disimpulkan bahwa terdapat 24 responden (51,1%) yang tidak mendukung atau belum mampu memberikan dukungan keluarga baik dukungan informasional, emosional, instrumental maupun penilaian untuk perawatan anak yang menderita thalasemia, sedangkan sebanyak 23 responden (48,9%) dalam kategori mendukung atau sudah mampu memberikan dukungan keluarga terhadap perawatan anak yang menderita thalasemia. dukungan keluarga didefinisikan sebagai informasi verbal atau non verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orangorang yang akrab dengan subjek di dalam lingkungannya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional dan berpengaruh pada tingkah laku penerimanya.3 dukungan keluarga juga dapat menjadi faktor yang tabel 1. distribusi frekuensi dukungan informasional keluarga dalam kepatuhan terapi pada pasien anak t halasemia kategori frekuensi persentase mendukung 20 42,6 % tidak mendukung 27 57,4 % jumlah 47 100 % tabel 2. di stri busi frekuen si duku ngan emo sion al keluarga dalam kepatuhan terapi pada pasien anak t halasemia kategori frekuensi persentase mendukung 18 38,3 % tidak mendukung 29 61,7 % jumlah 47 100 % tabel 3. distribusi frekuensi dukungan instrumental keluarga dalam kepatuhan terapi pada kategori frekuensi persentase mendukung 22 46,8 % tidak mendukung 25 53,2 % jumlah 47 100 % tabel 4. di stri busi frekuen si duku ngan pen ilai an keluarga dalam kepatuhan terapi pada pasien anak t halasemia kategori frekuensi persentase mendukung 32 68,1 % tidak mendukung 15 31,9 % jumlah 47 100 % tabel 5. distribusi frekuensi dukungan keluarga dalam kepatuh an terap i pada pasien an ak t halasemia kategori frekuensi persentase mendukung 23 48,9 % tidak mendukung 24 51,1 % jumlah 47 100 % 56 yuyun rahayu, dkk., dukungan keluarga dalam kepatuhan terapi berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta menentukan program pengobatan yang akan mereka terima.10 dilihat dari analisis kuesioner secara keseluruhan baik dukungan informasional, dukungan emosional, dukungan instrumental maupun dukungan penilaian masih belum maksimal dalam memberikan sikap atau tindakan untuk perawatan dalam kepatuhan terapi pada pasien anak thalasemia. hal ini juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan responden yang mayoritas sampai jenjang pendidikan menengah sehingga kurang mencari dan memahami informasi tentang thalasemia serta tingkat pekerjaan orang tua yang sebagian besar berprofesi sebagai buruh menjadi kendala dalam komunikasi antara orang tua dan anak yang menderita thalasemia. simpulan dukungan keluarga dalam kepatuhan terapi pada pasien anak thalasemia belum mampu atau tidak mendukung dalam kepatuhan melakukan terapinya daftar pustaka 1. champbell. biology: sixth edition, pearson education. san francisco. 2009. 2. herdata. n. h, 2008. thalasemia mayor. welcome & joining pediatric hematology oncology in indonesia. https://ebookfkunsyiah.wordpress.com/ 2008/09/11/mengenal-thalasemia-mayor/ 3. christine. pengertian dukungan keluarga. 2010. diakses dari http://www.google.co.id./search=? hl&q=christine+2010+dukungan+keluarga. pada 22 februari 2015. 4. world health organization (who). control of genetic disease. 2007. diakses pada http:// apps.who.int/gb/ebwha/pdf_fils/eb116_3en.pdf. pada 12 februari 2014. 5. sdki. profil kesehatan indonesia. departemen republik indonesia. 2014. 6. rsud kabupaten ciamis. data pasien anak thalasemia. kabupaten ciamis. 2015. 7. dinas kesehatan jawa barat. profil kesehatan provinsi jawa barat. dinas jawa barat. 2014. 8. anas mn. hubungan antara dukungan keluarga dengan penerimaan diri pasien thalasemia di popti kota bandung. bandung: universitas pasundan. 2013. 9. hockenberry mj & wilson d. essentialis of pediatric nursing. st. louis: mosby. 2009. 10. setiadi. konsep dan proses keperawatan keluarga. surabaya: graha ilmu. 2008. mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm ©2018 mmjkk. all rights reserved vol 18 no 1 hal 34-40 januari 2018 perdarahan pascapersalinan oleh karena retensi plasenta pada p4a0 postpartum spontan, janin besar, dengan hipertensi dalam kehamilan postpartum hemorrhage due to retained placenta on p4a0 post spontaneously delivery, giant baby, and hipertension in pregnancy ivanna beru brahmana bagian obstetri dan ginekologi, program studi kedokteran, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta data naskah: masuk: 07 nov 2017 direviu: 01 des 2017 direvisi: 16 des 2017 diterima: 27 des 2017 *korespondensi: ivanna@umy.ac.id doi: 10.18196/mm.180112 tipe artikel: laporan kasus abstrak: perdarahan pascapersalinan pada seorang ibu melahirkan anak keempat, berusia 41 tahun, dimana ketiga persalinan sebelumnya berjalan lancar tanpa komplikasi. faktor risiko terjadinya perdarahan pascapersalinan yang didapat pada pasien ini berupa: kehamilan yang keempat pada usia ibu lebih dari 40 tahun, janin besar, dan adanya hipertensi dalam kehamilan. hal yang menarik dicermati pada kasus ini adalah: betapapun ketiga persalinan sebelumnya aman lancar, setiap persalinan harus tetap waspada. yang ternyata pada persalinan keempat ini mengalami perdarahan pascapersalinan yang memerlukan penanganan yang cepat sehingga pasien dapat tertolong. kewaspadaan terhadap faktor risiko: kehamilan yang keempat dengan taksiran berat janin besar, adanya hipertensi mengharuskan setiap penolong persalinan untuk siaga terhadap kemungkinan terjadinya perdarahan pascapersalinan. kasus ini menjadi unik dan perlu untuk pembelajaran pada setiap penolong persalinan adalah kewaspadaan terhadap faktor risiko yang ada pada pasien. yang ternyata faktor risiko yang telah disebutkan tadi benar-benar terjadi pada pasien. oleh karenanya dengan mewaspadai faktor risiko, kejadian fatal pada pasien dapat dihindari. saat terjadi perdarahan pascapersalinan, penanganan dilakukan sesuai dengan manajemen penanganan perdarahan pascapersalinan, yaitu meliputi: masase uterus, pemberian uterotonika, dan pemberian transfusi darah untuk mengembalikan kadar hemoglobin yang normal pada pasien. pada pasien ini terjadi perdarahan pascapersalinan hingga membutuhkan transfusi darah sebanyak 1250 ml prc (packed red cell). dengan mencermati faktor risiko dan penanganan yang tepat, pasien bisa pulang dengan keadaan sehat, dan kontrol kembali dalam keadaan baik. kata kunci: perdarahan pascapersalinan, retensi plasenta, postpartum spontan, janin besar, hipertensi dalam kehamilan abstract: a fourty one years old woman delivered the fourth children, got postpartum hemorrhage, where the third delivered before had good condition without complication. the risk factors of postpartum hemorrhage in this patient are: fourth pregnant when the woman is fourty one years old, giant baby, and hypertension in pregnancy. the interesting aspect in this case is although all of delivered before were safe in this patient, we must careful for every delivery. in fact postpartum hemorrhage in this patient happened that need therapy immediately. be care full for all risk factors: fourth pregnancy, a big estimated baby weight, hypertension in pregnancy, make a doctor must be care full about postpartum hemorrhage in this patient. this case is unique and important to learn about must be care full to all risk | 35 factors in this patient. in fact, all risk factors had mentioned before actually happened. if we care about all risk factors, a fatal case can be avoid. when the postpartum hemorrhage was happened, the therapy was appropriate management postpartum hemorrhage were: massage the uterine, uterotonics, and blood transfusion until normally hemoglobin level. in this patient need blood transfusion about 1250 ml prc. by observing all of risk factors and good therapy, the patient become well, and back to control in good healthy. key words: postpartum hemorrhage, retained placenta, post spontaneously delivery, giant baby, hypertension in pregnancy pendahuluan perdarahan masih merupakan penyebab kematian ibu yang tertinggi selain preeklampsia dan infeksi. perdarahan pascapersalinan merupakan perdarahan masif yang berasal dari tempat implanttasi plasenta, adanya robekan jalan lahir dan jaringan sekitarnya dan merupakan salah satu penyebab kematian ibu. perdarahan pascapersalinan yang tidak ditangani dengan baik akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu. 1 perdarahan pascapersalinan didefinisikan sebagai perdarahan yang terjadi pada seorang ibu bersalin yang kehilangan darah lebih dari 500 ml. bahkan dengan penanganan yang tepatpun, sekitar 3% dari persalinan pervaginam bisa mengalami perdarahan pascapersalinan. 2 kepustakaan lain menyebutkan bahwa perdarahan pascapersalinan di negara berkembang bisa terjadi sekitar 4% pada persalinan pervaginam bahkan mencapai 6% pada persalinan secara seksio sesarea. 3 faktor risiko dari perdarahan pascapersalinan antara lain: kala tiga yang memanjang, persalinan yang ketiga atau lebih, episiotomi, janin besar, dan riwayat terjadinya perdarahan pascapersalinan pada kehamilan sebelumnya. 2 waktu rata-rata terjadinya pelepasan plasenta saat persalinan adalah 8-9 menit. lamanya waktu pelepasan plasenta akan meningkatkan risiko terjadinya perdarahan pascapersalinan, bahkan bisa meningkat dua kali lipat bila waktu pelepasan plasenta lebih dari 10 menit. 2 bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak lahir disebut sebagai retensio plasenta. retensi plasenta bisa terjadi sekitar kurang dari 3% persalinan pervaginam. 2 kepustakaan lain menyebutkan bahwa yang disebut retensi plasenta apabila plasenta belum lahir sekitar 15-60 menit setelah bayi lahir, yang paling umum berkisar antara 20-30 menit. 4 kala tiga persalinan yang terjadi lebih dari 18 menit berhubungan dengan terjadinya perdarahan pascapersalinan. bila terjadi lebih dari 30 menit maka perdarahan pascapersalinan akan terjadi 6x lebih besar daripada kala tiga yang terjadi kurang dari 30 menit. 5 magann et al. (2013), 6 menyebutkan bahwa risiko terjadi perdarahan pascapersalinan meliputi plasenta dilahirkan lebih dari 15 menit setelah kelahiran bayi, adanya riwayat retensi plasenta sebelumnya, nulipara, dan persalinan kala satu lama. tujuan yang ingin dicapai dengan dibuatnya laporan kasus ini adalah pentingnya mencermati faktor risiko pada pasien inpartu yang masuk ke kamar bersalin termasuk penatalaksanaan kala tiga persalinan yang baik. kala tiga persalinan adalah waktu yang dihitung sejak lahirnya bayi hingga plasenta terlahirkan. 7 leduc et al. (2009), 8 menyebutkan bahwa perdarahan pascapersalinan terjadi pada 5% dari seluruh persalinan dan berhubungan erat dengan terjadinya kematian ibu. kejadian kematian ibu ini terjadi dalam 4 jam persalinan, yang berarti sebagai konsekuensi dari kala tiga persalinan. 8 laporan kasus ini dipandang menarik dan perlu dicermati bahwa betapapun amannya persalinanpersalinan sebelumnya, namun waspada di setiap persalinan amatlah penting. mencermati faktor risiko yang ada pada pasien pada tiap kasus persalinan yang berbeda sangatlah penting, karena dengan mewaspadai faktor risiko persalinan, sebagai penolong persalinan akan siap menangani perdarahan pascapersalinan yang ternyata terjadi pada pasien tersebut. kepustakaan lain menyebutkan bahwa retensi plasenta merupakan penyebab penting terjadinya perdarahan pascapersalinan dengan insidensi 1:100 hingga 1:200 kelahiran. 9 sosa et al. (2009), 10 menyebut sebagai perdarahan pascapersalinan yang sedang apabila kehilangan darah pascapersalinan sekurang-kurangnya 500 ml dan disebut berat apabila kehilangan darah pascapersalinan sekurang-kurangnya 1000 ml. perdarahan pascapersalinan yang sedang berhubungan dengan retensi plasenta sebesar 33,3%, kehamilan ganda sebesar 20,9%, janin besar sebesar 18,6%, episiotomi sebesar 16,2% dan kebutuhan penjahitan perineum sebesar 15%. sedangkan perdarahan pascapersalinan yang berat berhubungan dengan retensi plasenta sebesar 17,1%, kehamilan ganda sebesar 4,7%, janin besar sebesar 4,9%, induksi persalinan sebesar 3,5%, dan kebutuhan akan penjahitan perineum sebesar 2,5%. 10 laporan kasus seorang perempuan g4p3a0 berusia 41 tahun, dengan usia kehamilan 39 minggu datang ke ugd dengan keluhan kenceng-kenceng teratur sudah 36 | vol 18 no 1 januari 2018 dirasakan, lendir darah sudah keluar, air ketuban belum keluar. riwayat penyakit asma, jantung, hipertensi, diabetes melitus pada pasien tersebut disangkal. tanda vital pasien tersebut adalah: tekanan darah 135/90 mmhg, nadi 80x/menit, respirasi 20x/menit, suhu afebris. didapatkan udema pada kedua tungkai, sedangkan keluhan pusing, kepala berat, mual, muntah, nyeri ulu hati disangkal. riwayat obstetri sebelumnya ketiga anaknya terdahulu semua lahir spontan di bidan dengan berat badan lahir masing-masing sekitar 3000 gram, semua anak saat ini dalam keadaan sehat. pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum ibu baik, kompos mentis, jantung paru dalam keadaan normal. pemeriksaan obstetri didapatkan janin tunggal, presentasi kepala, kepala janin masuk panggul. his positif sedang, denyut jantung janin positif 140/menit teratur. hasil pemeriksaan dalam didapatkan serviks lunak, datar, pembukaan 5 cm, selaput ketuban teraba, presentasi kepala, kepala turun di hodge 1-2, sarung tangan lendir darah didapatkan, tidak didapatkan air ketuban. hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan: kadar hemoglobin 10,4 g/dl, angka lekosit 11.370/ul, angka trombosit 232.000/ul, angka eritrosit 3.720.000/ul, ct 11 menit, bt 4 menit, golongan darah ab, hbsag negatif, hiv negatif dan proteinuria negatif. pasien didiagnosis sebagai hipertensi dalam kehamilan, grandemultigravida hamil aterm dalam persalinan kala i fase aktif. penatalaksanaan pada pasien tersebut berupa: dipasang infus rl 30 tetes/menit, direncanakan partus pervaginam, observasi his, denyut jantung janin dan keluhan pasien, ditunggu evaluasi 2 jam kemudian atau pembukaan lengkap. empat jam kemudian pasien merasa ingin mengejan. keadaan umum pasien baik, kompos mentis, dengan tanda vital yakni: tekanan darah 130/80 mmhg, nadi 80x/menit, respirasi 20x/menit, suhu afebris. his teraba kuat, denyut jantung janin 140/menit teratur. hasil pemeriksaan dalam didapatkan pembukaan lengkap, presentasi kepala, kepala turun di hodge iii, sarung tangan lendir darah positif, air ketuban positif, anus tampak membuka. pasien didiagnosis sebagai kala dua, dilakukan pimpinan persalinan. dua puluh menit kemudian bayi lahir spontan, jenis laki-laki, berat 4130 gram, panjang badan 51cm, apgar score 7/9, dengan air ketuban jernih. dua puluh menit kemudian dengan manajemen aktif kala tiga plasenta belum lahir, terasa plasenta lengket, belum didapatkan tanda-tanda plasenta terlepas. didiagnosis sebagai retensi plasenta, diputuskan untuk dilakukan manual plasenta. dengan manual plasenta, plasenta lahir kesan tidak lengkap, masih teraba sisa-sisa plasenta di dalam endometrium, kesan plasenta lengket, sisa plasenta tidak bisa terlepas dengan manual plasenta. didiagnosis sebagai retensi sisa plasenta. keadaan umum pasien cukup, dengan tekanan darah 95/70 mmhg, nadi 92x/menit, respirasi 20x/menit, suhu afebris. tinggi fundus uteri setinggi pusat, dengan kontraksi uterus baik. didapatkan perdarahan 300 ml. diputuskan dilakukan kuretase atas indikasi retensi sisa plasenta. diguyur cairan ringer laktat 500 ml, pasien dipuasakan, segera menghubungi dokter anestesi, dan dikonseling untuk dilakukan kb pasca persalinan dengan implan. pasien dan keluarga setuju dipasang implan pasca persalinan. informed consent untuk kuretase, pemasangan implan pasca persalinan sudah dilakukan (lihat gambar 1 dan 2). dilakukan kuretase atas indikasi retensi sisa plasenta pada p4a0 post partum spontan, janin besar dengan hipertensi dalam kehamilan. selama kuretase didapatkan sisa plasenta sekitar 100 ml, dengan perdarahan yang berlangsung sebanyak 500 ml. kontrakasi uterus teraba lembek, didiagnosis sebagai perdarahan pascapersalinan dini oleh karena retensi sisa plasenta, pada p4a0 postpartum spontan, janin besar dengan hipertensi dalam kehamilan. dilakukan masase uterus, kompresi bimanual, diberikan uterotonika dengan misoprostol 2 tablet per rektal dan ditambahkan lagi misoprostol 2 tablet per rektal sekitar 15 menit kemudian oleh karena perdarahan masih berlangsung, diberikan injeksi metil ergometrin 1 ampul, dipasang infus 2 jalur dengan jalur 1 berupa larutan ringer laktat 30 tetes/menit, jalur kedua dengan larutan rl + 2 ampul oksitosin 30 tetes/menit. setelah tindakan dengan evaluasi 15 menit kemudian teraba tinggi fundus uteri 2 jari dibawah pusat, kontraksi uterus keras, perdarahan tidak mengalir aktif. keadaan umum pasien baik. masih dilakukan pengawasan post kuretase pada pasien di ruang pemulihan. setelah tindakan kuretase dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin cito, didapatkan kadar hemoglobin 7,5 g/dl. pasien dididagnosis sebagai anemia oleh karena perdarahan pascapersalinan dini oleh karena retensi sisa plasenta, disiapkan transfusi darah prc 750 ml. keadaan umum pasien secara keseluruhan pasca tindakan cukup, dengan tanda vital yakni: tekanan darah 95/60 mmhg, nadi 88x/menit, respirasi 20x/menit dan suhu afebris. pada pasien diawasi keadaan umum, tanda vital, kontraksi uterus, dan kemungkinan perdarahan. masih terpasang infus 2 jalur, dipasang dower kateter untuk mencatat urin output, direncanakan transfusi darah prc 750 ml, diberikan antibiotika, | 37 metil ergometrin tablet 3x1 sebanyak 5 tablet, dan analgetika. dilakukan pengawasan kemungkinan terjadinya alergi transfusi. pada perawatan hari pertama postpartus spontan, post kuretase, post pemasangan implan pasca persalinan, post transfusi darah prc 750 ml, didapatkan keadaan umum pasien baik, kompos mentis, dengan tanda vital yakni: tekanan darah 100/60 mmhg, nadi 80x/menit, respirasi 20x/menit, suhu 36,4 0 c, didapatkan urin sebanyak 500ml/10 jam. hasil cek kadar hemoglobin setelah transfusi darah prc 750 ml adalah 8,8 g/dl. diputuskan lanjut transfusi darah prc 500 ml, dan dower kateter tetap terpasang untuk memantau urin output. pasien boleh mobilisasi, perawatan luka perineum, gambar 1. plasenta lahir dengan manual plasenta gambar 2. retensi sisa plasenta dari tindakan kuretase diet tinggi kalori tinggi protein, dan rawat gabung dengan bayinya. pada perawatan hari kedua, keadaan umum pasien baik, kompos mentis, dengan tanda vital yakni: tekanan darah 120/80 mmhg, nadi 80x/menit, respirasi 20x/menit, suhu 37 0 c, urin dalam urin bag lancar, jernih. pada pasien sedang berjalan transfusi darah prc kantong kelima. penatalaksanaan pada pasien berupa dower kateter dilepas, pasien diminta untuk bisa buang air kecil spontan, diet tinggi kalori tinggi protein, direncanakan cek kadar hemoglobin setelah 6 jam transfusi selesai. pada perawatan hari ketiga keadaan umum pasien baik, kompos mentis, dengan tanda vital yakni: tekanan darah 120/70 mmhg, nadi 80x/menit, respirasi 20x/menit, suhu 36 0 c, buang air kecil lancar, kadar hemoglobin post transfusi darah prc 1250 ml sebesar 10 g/dl, pasien diijinkan pulang dan diminta kontrol tiga hari kemudian. pada saat kontrol setelah pulang mondok keadaan umum pasien baik, kompos mentis, dengan tanda vital yakni: tekanan darah 120/70 mmhg, nadi 80x/menit, respirasi 20x/menit, dan suhu afebris. pasien sudah lancar buang air besar, buang air kecil, dan asi lancar. pemeriksaan jahitan perineum baik dan implan terpasang baik, tidak ada keluhan. pasien diminta untuk kontrol saat nifas selesai sekitar 1 bulan kemudian. pada saat kontrol nifas sekitar 40 hari setelah melahirkan didapatkan kedaan umum pasien baik, kompos mentis, dengan tanda vital yakni: tekanan darah 120/80 mmhg, nadi 80x/menit, respirasi 20x/menit, dan suhu afebris. buang air besar, buang air kecil dan asi lancar, kb implan terpasang baik dan tanpa keluhan bagi pasien. pasien sudah mendapatkan menstruasi kembali yang dimulai sekitar 5 hari sebelum kontrol, dengan jumlah darah menstruasi normal seperti sebelum hamil dan tanpa keluhan. dengan demikian dapat dikatakan bahwa keadaan umum pasien telah pulih hingga nifas berlangsung dengan baik. pasien masuk didiagnosis sebagai hipertensi dalam kehamilan, grandemultigravida hamil aterm dalam persalinan kala i fase aktif. saat plasenta belum lahir spontan setelah 20 menit kelahiran bayi didiagnosis sebagai retensi plasenta. saat plasenta bisa dilahirkan secara manual plasenta, namun didapatkan kesan plasenta tidak lengkap, masih terdapat sisa plasenta terasa lengket di endometrium didiagnosis sebagai retensi sisa plasenta. selama kuretase didapatkan sisa plasenta sekitar 100 ml, dengan perdarahan yang berlangsung sebanyak 500 ml. kontraksi uterus teraba lembek, didiagnosis sebagai perdarahan pascapersalinan dini oleh karena retensi sisa plasenta, 38 | vol 18 no 1 januari 2018 pada p4a0 postpartum spontan, janin besar dengan hipertensi dalam kehamilan. setelah tindakan kuretase dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin cito, didapatkan kadar hemoglobin 7,5 g/dl. pasien didiagnosis sebagai anemia oleh karena perdarahan pascapersalinan dini oleh karena retensi sisa plasenta. pada saat masuk rumah sakit pasien dikelola untuk persalinan pervaginam dengan terpasang infus ringer laktat 30 tetes/menit oleh karena pada pasien memiliki faktor risiko terjadinya perdarahan pascapersalinan. saat plasenta tidak lahir spontan dan terasa lengket maka diputuskan dilakukan manual plasenta. oleh karena dengan manual plasenta, plasenta yang lahir kesan tidak lengkap dan teraba masih ada sisa-sisa plasenta di dalam endometrium, direncanakan untuk kuretase untuk membersihkan kavum uteri. saat terjadi perdarahan pascapersalinan dini dengan kontraksi uterus lembek dilakukan penatalaksanaan perdarahan pascapersalinan dengan masase uterus, kompresi bimanual, dan pemberian uterotonika. saat dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin cito oleh karena terjadi perdarahan pascapersalinan dini dan didapatkan kadar hemoglobin 7,5 g/dl dan didiagnosis sebagai anemia, diterapi dengan pemberian transfusi darah prc 1250 ml, dan kadar hemoglobin akhir didapatkan 10 g/dl. diskusi pada saat seorang ibu inpartu masuk ke dalam kamar bersalin selain dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan obstetri, pemeriksaan penunjang laboratorium, dan kemudian dibuat diagnosis pada pasien, maka mencermati ada tidaknya faktor risiko perdarahan pascapersalinan pada pasien menjadi hal yang sangat penting. hal ini dilakukan oleh karena perdarahan pascapersalinan yang merupakan bagian dari perdarahan dalam kehamilan dan persalinan masih menjadi penyebab 3 besar kematian ibu. perdarahan pascapersalinan didefinisikan sebagai perdarahan yang terjadi pada seorang ibu bersalin yang kehilangan darah lebih dari 500 ml. bahkan dengan penanganan yang tepatpun, sekitar 3% dari persalinan pervaginam bisa mengalami perdarahan pascapersalinan. 2 kepustakaan lain menyebutkan bahwa perdarahan pascapersalinan di negara berkembang bisa terjadi sekitar 4% pada persalinan pervaginam bahkan mencapai 6% pada persalinan secara seksio sesarea. 3 masih tingginya ibu hamil di indonesia menderita anemia dalam kehamilan (46%) serta fasilitas transfusi darah yang masih terbatas menyebabkan perdarahan pascapersalinan bisa mengganggu proses penyembuhan pada masa nifas, proses involusi dan laktasi. 1 faktor risiko dari perdarahan pascapersalinan antara lain: kala tiga yang memanjang, persalinan yang ketiga atau lebih, episiotomi, janin besar, dan riwayat terjadinya perdarahan pascapersalinan pada kehamilan sebelumnya. 2 faktor risiko terjadinya perdarahan pascpersalinan pada pasien ini adalah: kehamilan yang keempat dengan usia ibu lebih dari 40 tahun, janin besar oleh karena berat lahir bayi lebih dari 4000g dan adanya hipertensi dalam kehamilan. selain itu kadar hemoglobin sebesar 10,4 g/dl, merupakan angka yang masih dibawah kadar normal haemoglobin. kadar hemoglobin normal berkisar antara 12-16 g/dl. dengan demikian tampak bahwa pada pasien tersebut didapat faktor risiko terjadinya perdarahan pascapersalinan. masih tingginya ibu hamil di indonesia menderita anemia dalam kehamilan (46%) serta fasilitas transfusi darah yang masih terbatas menyebabkan perdarahan pascapersalinan bisa mengganggu proses penyembuhan pada masa nifas, proses involusi dan laktasi. 1 walaupun ketiga persalinan sebelumnya pada pasien ini terjadi spontan dan ditolong bidan, tanpa mengalami komplikasi apapun, kewaspadaan pada setiap penanganan pasien inpartu merupakan hal yang sangat penting. oleh karena didapatkan faktor risiko terjadinya perdarahan pascapersalinan pada pasien ini sudah dipasang infus (intravena line) pada pasien sejak masuk kamar bersalin. intravena line digunakan untuk pemberian obat uterotonika apabila terjadi perdarahan, selain untuk menjaga hemodinamika ibu bersalin saat terjadi perdarahan pascapersalinan. pemberian uterotonika berupa oksitosin intravena melalui infus sebanyak 20-40 iu dalam 1000 ml cairan infus, dengan tetesan sekitar 150 ml per jam, merupakan salah satu tindakan dalam manajemen aktif kala tiga dalam upaya pencegahan terjadinya perdarahan pascapersalinan. 8 istilah four ts mnemonic yaitu tone, trauma, tissue, dan thrombin, merupakan empat hal penyebab terjadinya perdarahan pascapersalinan. 2 kepustakaan lain menyebutkan bahwa faktor risiko terjadinya perdarahan pascapersalinan termasuk: obesitas pada ibu dan janin besar, adanya riwayat perdarahan antepartum, dan kehamilan ganda. makin meningkatnya usia ibu dan adanya persalinan lama merupakan faktor risiko perdarahan pascapersalinan di zimbabwe. usia ibu bersalin juga relevan menyebabkan terjadinya perdarahan pascapersalinan di inggris. 11 plasenta yang sukar dilepaskan dengan manajemen aktif kala tiga bisa disebabkan oleh adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus. disebut sebagai plasenta akreta bila implantasi menembus desidua basalis dan nitabuch layer, disebut sebagai | 39 plasenta inkreta bila plasenta sampai menembus miometrium dan disebut plasenta perkreta bila villi korialis sampai menembus perimetrium. 1 faktor predisposisi terjadinya plasenta akreta adalah plasenta previa, bekas seksio sesarea, pernah kuret berulang, dan multiparitas. morbiditas pada plasenta akreta menyebabkan perdarahan yang masif dan membutuhkan tindakan operatif dengan mengangkat uterus, yang mana tindakan ini bisa menyebabkan morbiditas intraoperatif dan pascaoperatif pada ibu dengan banyaknya kebutuhan darah untuk transfusi, infeksi intraabdominal, kerusakan pada uretra, dan terbentuknya fistula. 12 bila sebagian kecil dari plasenta masih tertinggal dalam uterus disebut rest placenta dan dapat menimbulkan perdarahan pascapersalinan primer atau sekunder. sisa plasenta bisa diduga bila kala tiga berlangsung tidak lancar, atau setelah melakukan plasenta manual atau menemukan adanya kotiledon yang tidak lengkap pada saat melakukan pemeriksaan plasenta dan masih ada perdarahan dari ostium uteri eksternum pada saat kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan lahir sudah terjahit. kala tiga persalinan yang terjadi lebih dari 18 menit berhubungan dengan terjadinya perdarahan pascapersalinan. bila terjadi lebih dari 30 menit maka perdarahan pascapersalinan akan terjadi 6x lebih besar daripada kala tiga yang terjadi kurang dari 30 menit. 5 magann et al. (2013), 6 menyebutkan bahwa risiko terjadi perdarahan pascapersalinan meliputi plasenta dilahirkan lebih dari 15 menit setelah kelahiran bayi, adanya riwayat retensi plasenta sebelumnya, nulipara, dan persalinan kala satu lama. pada pasien ini 20 menit setelah bayi lahir, plasenta belum lahir, justru terasa seperti lengket, akhirnya plasenta dilahirkan secara manual plasenta. pada saat kala tiga persalinan mengalami gangguan berupa retensi plasenta, dan kemudian plasenta dilahirkan secara manual plasenta, kemungkinan terjadinya retensi sisa plasenta haruslah dipikirkan. apalagi setelah terlihat terjadi perdarahan pascapersalinan. retensi plasenta bisa terjadi sekitar kurang dari 3% persalinan pervaginam. 2 adanya retensi sisa plasenta diperbaiki dengan membersihkan kavum uteri dengan cara kuretase. dalam hal ini dari four ts mnemonic maka tissue berupa adanya retensi plasenta merupakan penyebab terjadinya perdarahan pascapersalinan pada pasien ini. sosa et al. (2009), 10 menyebut sebagai perdarahan pascapersalinan yang sedang apabila kehilangan darah pascapersalinan sekurang-kurangnya 500 ml dan disebut berat apabila kehilangan darah pascapersalinan sekurang-kurangnya 1000 ml. perdarahan pascapersalinan yang sedang berhubungan dengan retensi plasenta sebesar 33,3%, kehamilan ganda sebesar 20,9%, janin besar sebesar 18,6%, episiotomi sebesar 16,2% dan kebutuhan penjahitan perineum sebesar 15%. sedangkan perdarahan pascapersalinan yang berat berhubungan dengan retensi plasenta sebesar 17,1%, kehamilan ganda sebesar 4,7%, janin besar sebesar 4,9%, induksi persalinan sebesar 3,5%, dan kebutuhan akan penjahitan perineum sebesar 2,5%. pada pasien ini terjadi perdarahan pascapersalinan dan membutuhkan 1250 ml darah prc juga berhubungan dengan adanya retensi plasenta dan janin besar. berarti pasien ini mengalami perdarahan pascapersalinan yang berat. dengan memperhatikan volume perdarahan pascapersalinan yang terjadi, diperiksanya kadar hemoglobin cito menjadi hal yang perlu segera dilakukan. kadar hemoglobin didapatkan 7,5 g/dl, dan pada saat kadar hemoglobin dibawah 8 g/dl maka pemberian transfusi darah menjadi hal utama. pemulihan keadaan ibu dianggap baik apabila kadar hemoglobin setidaknya sudah mencapai 10 g/dl. pada pasien ini dilakukan pemberian transfusi darah prc 1250 ml, dan hasil cek kadar hemoglobin akhir didapatkan 10 g/dl. untuk selanjutnya sebagai upaya tidak terjadinya anemia yang berkepanjangan pada pasien ini diharapakan dengan pemberian asupan nutrisi bergizi yang cukup. simpulan dengan mencermati faktor risiko persalinan berupa: persalinan yang keempat, taksiran berat janin besar, adanya hipertensi dalam kehamilan, kejadian fatal pada pasien akibat perdarahan pascapersalinan dapat dihindari. penatalaksanaan kala tiga persalinan yang baik dan penanganan yang cepat dan tepat terhadap kejadian perdarahan pascapersalinan membantu pasien pulih dengan baik dan pulang dalam keadaan baik. daftar pustaka 1. prawirohardjo s. ilmu kebidanan. jakarta: p.t. bina pustaka sarwono prawirohardjo. 2016. 2. anderson j.m. and etches d. prevention and management of postpartum hemorrhage. am fam physician. 2007; 75 (6): 875-882. 3. weisbrod ab, sheppard fr, chernofsky mr, blankenship cl, gage f, wind g, et al. emergent management of postpartum hemorrhage for the general and acute care surgent. world j emerg surg, 2009; 4: 43. 40 | vol 18 no 1 januari 2018 4. smith jr. management of the third stage of labor. medscape. updated: jan 06, 2015. 5. magann ef, evans s, chauhan sp, lanneau g, fisk ad, morrison jc. the length of the third stage of labor and the risk of postpartum hemorrhage. obstet gynecol, 2005; 105 (2): 290-3. 6. magann ef, lutgendorf ma, keiser sd, porter s, siegel er, mckelvey sa, et al. risk factors for a prolonged third stage of labor and postpartum hemorrhage. abstract. south med j, 2013; 106 (2):131-5. 7. maughan k., heim s., galazka s. preventing postpartum hemorrhage: managing the third stage of labor. am fam physician 2006; 73 (6): 1025-8. 8. leduc d, senikas v, lalonde ab. active management of the third stage of labour: prevention and treatment of postpartum hemorrhage. j obstet gynaecol can. 2009; 31 (10): 980-993. 9. urner f., zimmermann r., krafft a. manual removal of the placenta after vaginal delivery: an unsolved problem in obstetrics. j pregnancy, 2014: 1-5. 10. sosa cg, althabe f, belizan jm, buckens p. risk factors for postpartum hemorrhage in vaginal deliveries in a latin-american population. obstet gynecol. 2009; 113 (6); 1313-1319. 11. drife j. management of primary postpartum haemorrhage. br j obstet gynaecol. 1997; 104 (3): 275-277. 12. sentilhes l, ambroselli c, kayem g, provansal m, fernandez h, perrotin f, et al. maternal outcome after conservative treatment of placenta accreta. obstet gynecol. 2010; 115 (3): 526-34. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23380748 26 | mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 21 no 1 page 26-30, january 2021 the duration of reading the qur'an with the stress levels in medical faculty students in palembang durasi membaca al the qur'an dan tingkat stres pada mahasiswa fakultas kedokteran di palembang ahmad ghiffari1, syahrul muhammad2, m. avif ababil3 1department of parasitology, faculty of medicine, university of muhammadiyah palembang, indonesia 2department of public health, faculty of medicine, university of muhammadiyah palembang, indonesia 3faculty of medicine, university of muhammadiyah palembang, indonesia data of article: received: 25 jun 2020 reviewed: 04 sept 2020 revised: 09 des 2020 accepted: 23 feb 2021 *correspondence: ahmad_ghiffari@umpalembang.ac.id doi: 10.18196/mmjkk.v21i1.8488 type of article: research abstract: the level of stress in each education programs differ between medical students and other scholars. students should able to cope to normalize their stress. the study aims to determine the relationship between the duration of reading the qur'an with the level of stress on students. the study design was a cross-sectional study, with a simple random sampling. the collecting data technique was using the depression anxiety stress scale (dass) questionnaires and duration questionnaires followed by the chi-square analysis. the respondents are 90 medical students of universitas muhammadiyah palembang. the results showed that the duration of reading the qur'an among students is poor, and the moderate duration is correlated with a good stress level (p=0.002). concluded that there is a relation to the duration of reading the qur'an with the level of stress in medical students. keywords: depression anxiety stress scale; reading qur’an; correlation; coping mechanism abstrak: tingkat stres pada mahasiswa kedokteran cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan progam pendidikan lainnya. mahasiswa harus mampu mengendalikan tingkat stres, untuk mendapatkan prestasi yang baik. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan intensitas membaca alqur'an dengan tingkat stres pada mahasiswa di fakultas kedokteran universitas muhammadiyah palembang. desain penelitian ini merupakan penelitian cross sectional dengan simple random sampling. teknik pengumpulan data menggunakan kuisioner, yaitu dass dan kuesioner durasi membaca al-qur'an. analisis data yang digunakan adalah chi square. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa intensitas membaca al-qur'an pada mahasiswa di fakultas kedokteran universitas muhammadiyah palembang tergolong kurang baik dengan tingkat stres yang cukup tinggi. didapatkan pula durasi yang moderat dalam membaca al-quran berhubungan dengan tingkat stres yang baik (p = 0.002). disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara durasi membaca al-the qur'an dengan tingkat stres. kata kunci: depression anxiety stress scale; membaca qur’an; korelasi; kendali stres mailto:ahmad_ghiffari@um-palembang.ac.id mailto:ahmad_ghiffari@um-palembang.ac.id vol 21 no. 1 january 2021 27 | introduction students around the globe experience depression, anxiety, and stress academic,1 prevalence estimates that the emotional disorder in medical students is higher than in the general population.2-10 the law students who come from poor families undergoing five years of education are known to suffer many psychological disorders.1 nursing students are known for the difficulty to maintain professinalism due to highstress levels at work,11 various studies among medical students showed high-level stress when compared with other courses in the non-medical.12 mental disorders in college students and doctors are closely related to the safety of patients.3 the duration of medical education programs associated with an increased incidence of depression, anxiety, and stress.1 fatigue is associated with increased physical activity of medical students at the campus.4 fatigue associated with symptoms of depression, and lack of praise for successful events.7 presence in the classroom is not associated with the low incidence of stress in medical students.2 factors related to the occurrence of anxiety are academic achievement, parental education, and cultural background.13 stress in the first year of education is often due to a lack of learning strategies, less sleep on the night before the test, and the low quality of the food consumed during the course.9 coping with religious teaching is known to reduce stress in medical students, also helps in difficult decision-making circumstances, and encourages students to prioritize patients.14 meditation can calm the mind is one way to reduce stress on students.15 meditation with the control of breath and yoga are recommended to improve agility and enhance the professionalism of nursing services.11 mind meditation programs for therapists and healthcare providers reduce stress levels.16 read the holy book of the qur'an by the moslems can get peace.17 eustress is adopted after going through the process of adaptation stress.18 muslims in overcoming the problem and stressful condition is to read the qur'an.19 read verses from the qur'an have a significant positive impact on the physiological and psychological changes when practiced every day regularly and continuously.20 effects on reading the verses of the qur'an are influenced in the duration.17 need to investigate the relationship between the duration of reading the qur'an with the level of stress in medical students in palembang. material and method the study used a cross-sectional research design, with whom respondents were students of the faculty of medicine, universitas muhammadiyah palembang. the sampling technique used simple random sampling, with the instrument of the questionnaire to determine the duration of reading the qur'an and the depression anxiety stress scale (dass) psytoolkit. the duration of reading the qur'an is classified into good and poor, while the dass is categorized into mild, moderate, and severe stress levels. the inclusion criteria were medical students and those who were able to read the qur'an. the exclusion criteria were students who had a history of mental disorders such as bipolar disorder and major depression, students who did not have a good relationship with their parents, students who had problems with their financial conditions, and students who failed in 3 classes. the analysis was the univariate and bivariate chi-square test. univariate determines the characteristics of the subject of gender research, the duration of reading the qur'an, and the level of stress, while the bivariate analysis to determine the relationship between the duration of reading the qur'an and the stress levels. result ninety students participated in the study. the results were the relations of gender with duration reading the qur'an (table 1) and the relation of duration reading the qur'an with stress level (table 2). vol 21 no. 1 january 2021 28 | tabel 1. relations of gender with duration reading the qur'an (na = 90) duration category of reading the qur'an total p-value poor good female 29 41 70 0.000 male 18 2 20 total 47 43 90 the result in table 1 shows a significant relationship between gender and duration of reading the qur'an with the p-value of 0.000 (p <0.05). female seemed to read the quran more with a good duration. table 2. relation of duration reading the qur'an with stress level stress level total p-value mild moderate severe duration category of reading the qur'an poor 14 24 9 47 0.002 good 27 8 8 43 total 41 32 17 90 the result in table 2 concluded a significant relationship between the duration of reading the qur'an with the level of stress with the p-value was 0.002 (p <0.05). good duration of reading the qur'an related to the moderate stress level. discussion our analysis showed that more female students read the qur'an with a good duration. there was no previous study to relate the connection between gender and duration of reading the qur'an, nonetheless, several more females entering the medical faculty seem to affect our result.21 studies on gender to associate with the effect on duration read the qur'an is more to the pregnant woman.22,23 it can not be concluded that gender-related to the level of duration read the qur'an, albeit more studies were on women to further cohere the effect on duration read the qur'an to the health condition. our scrutiny showed that a good duration of reading the qur'an related to moderate stress levels. earlier results display that medical student was in moderate stress.24 a comparable result to senior high school,25 that reading the qur'an can reduce stress with a value of p = 0.007. the duration of reading the qur'an has a relationship to the stress level. the duration in reading the qur'an is unfortunately poor. despite that, it has a relationship to stress level and student learning outcomes.26 a study in islamic studies indicated that half of the students' abilities are still not good in reading the qur'an following tajwid rules.27 it recommends designing effectively and efficiently the qur'an learning. the duration of reading the qur'an should be improved while it has relation for coping the stress and better learning outcomes.26,28 the limitation to the study that the sample size and the analysis curb. the uneven participants who are more women might impair the result. the chi-square test can be miss leading to conclude the findings and a detailed analysis involving more variables should be applied to a vivid outcome. vol 21 no. 1 january 2021 29 | conclusion there is a relationship between the duration of reading the qur'an and the level of stress. the duration of reading the qur'an among medical students is unfortunately poor. it recommends designing an effectively and efficiently qur'an learning, to improve the student's duration on reading the qur'an. acknowledgement thanks to dr. hibsah ridwan, m.sc which help the analysis, and to all students as willing to participate the research. references 1. wai h, chan q, fun c, sun r, wai h, chan q. irrational beliefs, depression, anxiety, and stress among university students in hong kong. j am coll heal. 2020; 0 (0): p. 1–15. https://doi.org/10.1080/07448481.2019.1710516 2. abdulghani hm, alkanhal aa, mahmoud es, ponnamperuma gg, alfaris ea. stress and its effects on medical students: a cross-sectional study at a college of medicine in saudi arabia. j heal popul nutr. 2011; 29 (5): 516–22. https://doi.org/10.3329/jhpn.v29i5.8906 3. shoua-desmarais n, harscher h von, rivera m, felix t, havas n, rodriguez p, et al. first year burnout and coping in one us medical school. acad psychiatry. 2020; https://doi.org/10.1007/s40596-020-01198-w 4. macilwraith p, bennet d. burnout and physical activity in medical students. ir med j. 2018; 111 (3): 707–15. 5. ranasinghe p, wathurapatha ws, mathangasinghe y, ponnamperuma g. emotional intelligence, perceived stress and academic performance of sri lankan medical undergraduates. bmc med educ. 2017; 17 (41): p. 1–7. https://doi.org/10.1186/s12909-017-0884-5 6. shaikh bt, kahloon a, kazmi m, khalid h, nawaz k, khan na, et al. students, stress and coping strategies: a case of pakistani medical school. educ heal. 2004; 17 (3): p. 346–53. https://doi.org/10.1080/13576280400002585 7. haldorsen h, bak nh, dissing a, petersson b. stress and symptoms of depression among medical students at the university of copenhagen. scand j public health. 2014; 42 (september 2013): p. 89–95. https://doi.org/10.1177/1403494813503055 8. loubir d ben, serhier z, diouny s, battas o, agoub m, othmani mb. prevalence of stress in casablanca medical students: a cross-sectional study. pan afr med j. 2014; 19 (149): p. 1–10. https://doi.org/10.11604/pamj.2014.19.149.4010 9. nechita f, nechita d, pirlog m-c, rogoveanu i. stress in medical students. rom j morphol embryol. 2014; 55 (3 suppl): 1263–6. 10. gupta r, singh n, kumar r. longitudinal predictive validity of emotional intelligence on first year medical students perceived stress. bmc med educ. 2017; 17 (139): p. 1–6. 11. van der riet p, levett-jones t, aquino-russell c. the effectiveness of mindfulness meditation for nurses and nursing students: an integrated literature review. nurse educ today. 2018; 65: 201–11. https://doi.org/10.1016/j.nedt.2018.03.018 12. wulandari fe, hadiati t, sarjana w. hubungan antara tingkat stres dengan tingkat insomnia mahasiswa/i angkatan 2012/2013 program studi pendidikan dokter fakultas kedokteran universitas diponegoro. j kedokt diponegoro. 2017; 6 (2): 549–57. https://doi.org/10.35790/ebm.2.1.2014.3696 13. yusoff msb, abdul rahim af, baba aa, ismail sb, mat pa mn, esa ar. prevalence and associated factors of stress, anxiety, and depression among prospective medical students. asian j psychiatr. 2013; 6 (2): 128–33. https://doi.org/10.1016/j.ajp.2012.09.012 14. ray c, wyatt tr. religion and spirituality as a cultural asset in medical students. j relig health. 2018; https://doi.org/10.1007/s10943-017-0553-3 15. huberty j, green j, glissmann c, larkey l, puzia m, lee c. efficacy of the mindfulness meditation mobile app " calm " to reduce stress among college students: randomized controlled trial. jmir mhealth uhealth. 2019; 7 (6): p. 1–17. https://doi.org/10.2196/14273 16. yang e, schamber e, meyer rml, gold ji. happier healers: randomized controlled trial of mobile mindfulness for stress management. j altern complement med. 2018; 24 (5): 505–13. ttps://doi.org/10.1089/acm.2015.0301 https://doi.org/10.1080/07448481.2019.1710516 https://doi.org/10.3329/jhpn.v29i5.8906 https://doi.org/10.1007/s40596-020-01198-w https://doi.org/10.1186/s12909-017-0884-5 https://doi.org/10.1080/13576280400002585 https://doi.org/10.1177/1403494813503055 https://doi.org/10.11604/pamj.2014.19.149.4010 https://doi.org/10.1016/j.nedt.2018.03.018 https://doi.org/10.35790/ebm.2.1.2014.3696 https://doi.org/10.1016/j.ajp.2012.09.012 https://doi.org/10.1007/s10943-017-0553-3 https://doi.org/10.2196/14273 https://doi.org/10.1089/acm.2015.0301 vol 21 no. 1 january 2021 30 | 17. irawati k, madani f. durasi membaca alqur ' an dengan fungsi kognitif pada lansia. mutiara med. 2019; 19 (1): 17–22. 18. kupriyanov r v, sholokhov ma, kupriyanov r, zhdanov r. the eustress concept: problems and outlooks. world j med sci. 2014; 11 (2): 179–85. 19. mukarramah. hubungan aktifitas fisik dan intensitas membaca al-qur'an terhadap fungsi kognitif lanjut usia. makassar: fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan uin alauddin; 2016. 20. khan n, ahmad nb, beg ah, fakheraldin mai, alla ana, nubli m. mental and spiritual relaxation by recitation of the holy quran. in: 2nd international conference on computer research and development, iccrd 2010. 2010. p. 863–7. https://doi.org/10.1109/iccrd.2010.62 21. pinasthika a, findyartini a. hubungan antara jenis kelamin dan asal daerah dengan mekanisme coping mahasiswa tahun pertama program studi pendidikan dokter fkui tahun akademik 2015/2016. perpipki (perhimpunan pengkaji ilmu pendidik kedokt indones. 2018; 6 (1). 22. setiowati w, asnita n. pengaruh terapi murottal al-qur'an surah maryam terhadap tingkat kecemasan pada ibu hamil trimester iii. darur azhar. 2020; 9 (1): 77–83. https://doi.org/10.35890/jkdh.v9i1.148 23. untari mm, rohmah fa. kecemasan ibu hamil ditinjau dari intensitas membaca al-qur'an dan kelompok usia. humanitas (monterey n l). 2016; 13 (1): 13–21. https://doi.org/10.26555/humanitas.v13i1.3834 24. legiran l, azis mz, bellinawati n. faktor risiko stres dan perbedaannya pada mahasiswa berbagai angkatan di fakultas kedokteran universitas muhammadiyah palembang. j kedokt dan kesehat. 2015; 2 (2): 197–202. 25. nugraheni d, mabruri mi, stanislaus s. efektivitas membaca al-qur'an untuk menurunkan stres akademik pada siswa kelas xi sma negeri 1 kebumen. intuisi j psikol ilm. 2018; 10 (1): 59–71. 26. suherman s. pengaruh kemampuan membaca al qur'an terhadap hasil belajar mahasiswa politeknik negeri medan. ansiru. 2017; 1 (2): 1–7. 27. wirdati w, rivauzi a, anwar f, kosasih a. the student's ability to read the qur'an at islamic education program universitas negeri padang (a need assessment study). in: international conference on public administration, policy and governance. 2020. p. 370–6. https://doi.org/10.2991/aebmr.k.200305.221 28. suherman s, lubis maf. hubungan kemampuan membaca alqur'an dengan hasil belajar mahasiswa program studi teknik mesin politeknik negeri medan. studi kasus pada politeknik negeri medan. integritas. 2017; 3 (2): 1–26. https://doi.org/10.1109/iccrd.2010.62 https://doi.org/10.35890/jkdh.v9i1.148 https://doi.org/10.26555/humanitas.v13i1.3834 https://doi.org/10.2991/aebmr.k.200305.221 mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 20 no 2 page 92-97 july 2020 polymorphism of cyp1a1 (ile462val) gene related to uterine myoma in malays ethnicity of south sumatera bella ria astuti1, ferry yusrizal1, legiran1 1 biomedical science program, faculty of medicine, university of sriwijaya. negara bukit besar, jl. srijaya negara, bukit lama, kec. ilir bar. i, kota palembang, sumatera selatan, indonesia 30139 data of article: received: 17 jun 2019 reviewed: 27 sep 2019 revised: 03 jan 2020 accepted: 30 jan 2020 *correspondence: bellariaastuti@gmail.com doi: 10.18196/mm.200249 type of article: research abstract: myoma uteri related to the interaction between genes, hormones, growth factors, cytokines, and environment. myomas are not found before menarche, whereas after menopause only 10% of myomas grow. the development of uterine myoma depends on estrogen. cyp1a1 is one of three members of the cyp1 family that is involved in the metabolism of a large number of xenobiotics. the purpose of this study was to analyze the relationship between the cyp1a1 gene polymorphism (ile462val) and the incidence of uterine myoma in ethnic malays in south sumatera. this research is an observational study with a case control design. the blood samples taken from 35 cases and 35 controls. the data was analyzed using the chi-square test. the results indicate that there is a significant relationship between the use of contraceptives on the incidence of uterine myoma. there is a significant relationship between the cyp1a1 gene polymorphism (ile462val) and the cyp1a1 allele (ile462val) with uterine myoma. it is concluded that there is a polymorphism relationship between the genotype and allele of the cyp1a1 gene (ile462val) and the incidence of uterine myoma in ethnic malays in south sumatera. keywords: polimorphysme, gen cyp1a1 (ile462val), uterine leiomyoma abstrak: mioma uteri adalah penyakit yang berkaitan dengan interaksi antara beberapa gen, hormon, faktor pertumbuhan, sitokin, dan lingkungan. mioma tidak ditemukan sebelum terjadinya menarkhe, sedangkan setelah menopause hanya 10% mioma yang tumbuh. perkembangan mioma uteri bergantung pada estrogen. cyp1a1 merupakan satu dari tiga anggota famili cyp1 yang berperan serta pada metabolisme sejumlah besar xenobiotic. tujuan penelitian ini untuk menganalisis hubungan antara polimorfisme gen cyp1a1 (ile462val) dengan kejadian mioma uteri pada etnis melayu di sumatera selatan. penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan desain case control. sampel penelitian menggunakan sampel darah yang diambil pada 70 sampel yang terdiri dari 35 kasus dan 35 kontrol. distribusi frekuensi hubungan polimorfisme dan sosiodemografi pada mioma uteri antara kasus dan kontrol dianalisis menggunakan uji chisquare. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna pemakaian alat kontrasepsi terhadap kejadian mioma uteri, ada hubungan bermakna antara polimorfisme gen cyp1a1 (ile462val) dan alel cyp1a1 (ile462val) dengan mioma uteri. disimpulkan bahwa terdapat hubungan polimorfisme antara genotipe maupun alel gen cyp1a1 (ile462val) dengan kejadian mioma uteri pada etnis melayu di sumatera selatan. kata kunci: mioma uteri, polimorfisme, gen cyp1a1, alel cyp1a1, etnis melayu introduction uterine myomas are benign tumors in the uterine muscle or myometrium that interact with several genes, hormones, growth factors, cytokines, and the environment.1 myoma incidence is estimated at 20% -40% in the world. this disease does not occur before menarche, and after menopause it is estimated that 10% of this disease is still growing.2 the disease is predicted to reach 20 | 93 30% in women over 35 years. in indonesia, the incidence of uterine myomas is happened to 20-30% women over 35 years. 3 uterine myomas are often asymptomatic, but can cause abdominal discomfort, uterine bleeding, pelvic pain, and infertility. 4 these tumors affect 30% of women of reproductive age.5 uterine myomas as common benign neoplasms of the uterus involve nearly 3040% of women childbearing age. 6 myoma uteri originates from the smooth muscle of the uterus and develops from stimulation of the hormone estrogen. the development of uterine myomas depends on estrogen.4 the number of estrogen receptors in the myoma tissue is above when compared to the muscle tissue in the surrounding uterus so that this disease grows very rapidly in pregnancy or enlarges at reproductive age and decreases in size after menopause or post menopause.7 the results show that the growth and development of uterine myomas is depended on estrogen.8 during pregnancy, uterine myomas can cause a number of problems such as bleeding in the first trimester, placental displacement, preterm labor, and miscarriage.9 uterine myomas are a big problem, but effective therapy has not been obtained, because there is little information about the etiology of myoma itself. this disease does not often cause mortality, but morbidity that can result in abdominal pain, abnormal bleeding, and possibly infertility.10 the cause of uterine myoma is not known certainly, but the effects of hormonal, genetic, and growth factors on myoma growth are known. several theories about meioma uteri are related to the decrease of fertility. the relationship between myoma and low fertility has been reported by two observational surveys.11 it has been shown that 27 40% of those infected with this disease are infertile. the formation of these tumors comes from somatic changes in the muscle tissue cells of the uterus. somatic changes are prone to partial and complete chromosomal mutations. chromosomal aberrations can be found in 23-50% of the results of this disease examination and the overall result (36.6%) is found on chromosome 7 (del (7) (q 21) / q 21 q 32) .12 muscle cells contribute to uterine myoma. there are two estrogen receptors in uterine myomas, namely er-alpha and er-beta.13 the cyp450 cytochrome system is a group of enzymes involved in the biosynthesis of steroid hormones and the activation of metabolic carcinogens. cypia1 is a cyp450 enzyme, the main enzyme involved in the catabolism of estrogen. cyp1a1 is one of three members of the cyp1 family that is involved in the metabolism of a large number of xenobiotics. the polymorphism of the cyp1a1 gene can be found by analyzing pcr-rflp (polymerase chain reaction restriction fragment length polymorphism), so the change in location of g to t is known. ye et al. (2018) 1 proved that there is a risk relationship between uterine leiomyoma and cyp1a1 gene polymorphism, this is the same as the study results obtained by herr, et al (2006). 6 who stated that the polymorphism of the cytochrome p450 1a1 gene in uterine leiomyomas has nothing to do with the polymorphism of the cyp1a1 gene. based on the previous research, it is known that there is a relationship between gen cyp1a1 (ile462val) and leiomyoma uteri, therefore it is necessary to study the relationship between cyp1a1 gene polymorphism (ile462val) and uterine myoma in malays ethnicity in indonesia, especially in south sumatera, which is indonesia's occupied territory. the majority ethnic malay descent. materials and method this analytic observational study used a case control design. this analytical study explored risk factors that are studied with a retrospective approach. this study was approved by the ethics committee of the medical faculty of sriwijaya university and all respondents had signed an informed consent. patients who seek treatment at the obstetrics and gynecology polyclinic rs. dr. mohammad hoesin in palembang and diagnosed with uterine myoma was the population of this analytic study. samples were taken of 35 cases and 35 controls who met the inclusion and exclusion criteria. the inclusion criteria for the case group were classified as malay ethnicity women diagnosed with uterine myoma as evidenced by ultrasound examination and had the results of an anatomical pathology examination, while in the control group, malay ethnic women who were not diagnosed with this disease could be proven by ultrasound. the case and control groups were willing to have blood drawn, signed an informed consent and were 16 to 50 years old, while the exclusion criteria were women with gynecological neoplasm. sample, in the form of 3 ml of blood from patients and healthy volunteers, were collected in a tube containing edta as an anticoagulant. blood from each respondent in this study was stored at 20˚c until dna extraction was performed. dna extraction using a dna extraction kit (promega). 94 | vol 20 no 2 july 2020 the genotype of the cyp1a1 gene (ile462val) was determined by the polymerase chain reaction restriction fragmenth length polymorphism (pcrrflp) method, using forward primer: 5'ctgtctccctctggttacaggaagc-3 'and reverse primer: 5'-ttccacccgttgcagcaggatagcc-3' the polymerase chain reaction process was carried out in the i cycler (biorad) machine. basically, dna amplification using the polymerase chain reaction machine is a bireksional repetitive in vitro dna synthesis through the extension of a pair of oligonucleotide primers that have been designed through the nucleotide sequences of the two amplified dna chains. the dna synthesis process that has been carried out in 35 cycles runs in three stages of reactions that occur at different temperatures, namely the denaturation reaction at 94ºc for 5 minutes, the annealing reaction at 64.7ºc for 30 seconds, and the extension reaction at 72ºc for 30 seconds. before that, the pre-denaturation process was carried out for 5 minutes at a temperature of 94ºc. this denaturation reaction functions to separate the dna double chain into a single dna chain. in this annealing reaction, the two primers attach to the two single dna chains. after that in the extension reaction, the additional extension lasted 72 ºc for 10 minutes. polymerase chain reaction products are electrophoresed on 2% agarose gel to produce ethidium bromide. analysis of the frequency distribution data of the relationship between polymorphism and sociodemographic on uterine myoma between cases and controls using the chi-square test to determine the odds ratio (or) with a confidence limit of 95% and p = <0.05 was considered statistically significant result sociodemographic characteristics both cases and controls are shown in table 1. the results of this study indicate that uterine myoma was found more frequently in women over 35 years in the myoma uterine case group, as many as 25 respondents (71.4%). based on the chi square test, it shows that there is no significant relationship between the age of the respondent and the incidence of uterine myoma (ρ> 0.05). besides, the respondents whose age of menarche less than 10 years in the case group were very few, namely 1 person (2.9%) and none in the control group (0.0%). respondents whose menarche age> 10 years in the case group were 34 people (97.1%) and in the control group, 35 people (100%). based on the chi square test, there was no significant relationship between the age of menarche and the incidence of uterine myoma (ρ> 0.05). there were 19 respondents (54.3%) who gave birth less than 2 times in the case group and 15 (42.9%) in the control group. respondents who gave birth more than 2 times in the case group were 16 people (45.7%) and in the control group were 20 people (57.1%). based on the chi square test, there was no significant relationship between the number of births and the incidence of uterine myoma (ρ> 0.05). the number of respondents who did not use contraception in the case group was 26 people (74.3%) and 12 people in the control group (34.3%), while 23 respondents in the control group used contraception (65 , 7%) and respondents who did not use contraception were 12 people (34.3%). based on the chi square test, it shows that there is a significant relationship between the use of contraceptives to the incidence of uterine myoma (ρ <0.05). in this study, the respondents with nonsmoking partners in the case group were 14 and in the control group 14 people (40.0%), while respondents with smoking partners were 21 (60.0%) and in the case group and in the control group. based on the results of the chi square test, it showed that there was no significant relationship between partners who smoked and the incidence of uterine myoma (ρ> 0.05). in the family history data on the incidence of uterine myoma in the case group were 5 respondents (14.3%) and the control group was 3 (8.6%), while there was no family history of the incidence of uterine myoma in the case group as many as 30 respondents (85, 7%) and the control group was 32 (91.4%). based on the results of the chi square test, it was found that there was no significant relationship between family history and the incidence of uterine myoma (p> 0.05). the measurements of the genetic frequency of respondents with uterine myomas with wild type (tt) characteristics, heterozygous mutants (tc) and homozygous mutants (cc) are shown in table 2. in the case group, uterine myomas with wild type characteristics were the most with 22 people (62.9%), followed by heterozygous mutants (tc) by 11 people (31.4%) and homozygous mutants by 2 people (5.7%). in the control group, uterine myoma with wild type characteristics was the most with 12 people (34.2%), followed by heterozygous mutants (tc) by 15 people (42.9%) and homozygous mutants as many as 8 people (22.9%).  | 95 table 1. frequency distribution and the relationship of the characteristics of research subjects to the incidence of uterine myoma characteristics uterin myoma total case (n=35) % control (n=35) % n (%) p or (95% ci) age <35 years 10 28.6 18 51.4 28 (40.0) 0,088 2.647 (0985-7.113) >35 years 25 71.4 17 48.6 42 (60.0) menarche <10 years 1 2.9 0 0 1 (1.4) 1,000 2.029 (1.597-2.578) >10 years 34 97.1 35 100 69 (98.6) parity <2 19 54.3 15 42.9 34 (48.6) 0,473 0.632 (0.246-1.623) >2 16 45.7 20 57.1 36 (51.4) contraception no 26 74.3 12 34.3 38 (54.3) 0,002* 0.181 (0.064-0.506) yes 9 25.7 23 65.7 32 (45.7) smoking no 14 40.0 14 40.0 28 (40.0) 1,000 1.000 (0.384-2.602) yes 21 60.0 21 60.0 42 (60.0) family history no 30 85.7 32 91.4 62 (88.6) 0,707 1.778 (0.391-8.092) yes 5 14.3 3 8.6 8 (11.4) note:*) based on χ2 chi-square test there is significant relation (p<0,05) table 2. frequency distribution of the cyp1a1 (ile462val) genotype on the incidence of uterine myoma characteristics uterin myoma total case (n=35) % control (n=35) % n(%) tt (wild type) 22 62.9 12 34.2 34 (48.6) tc (mutant heterozygous) 11 31.4 15 42.9 26 (37.1) cc (mutant homozygous) 2 5.7 8 22.9 10 (14.3) total 35 100 35 100 70 (100) note: *) based on χ2 test table 3 frequency distribution of the cyp1a1 ile462val gene allele in cases and controls of uterine myoma allel uterin myoma total case % control % n(%) c 15 21.4 31 44.3 46 (32.9) t 55 78.6 39 55.7 94 (67.1) total 70 0% 70 0% 140 (100) table 4. analysis of the relationship between cyp1a1 genotype polymorphisms (ile462val) and the incidence of uterine myoma. geno type uterin myoma total cs % ctl % p or 95% ci tt 22 62.90 12 34.20 0.028 * 7.3 33 (1.33740.209) tc 11 31.40 15 42.9 cc 2 5.70 8 22.90 total 35 100 35 100 note: *= significant (p<0.05) based on χ2 test the measurement of the allele frequency distribution, based on table 3. t allele in the case group amounted to 55 (78.6%) and 39 controls (5.7%), the c allele in the case group amounted to 15 (21.4%) and control 31 (44.3%). based on the table 4, the analysis of the relationship between the cyp1a1 gene polymorphism (ile462val) and the incidence of uterine myoma showed that the tt genotype in the case group was 22 (62.9%) and 12 in control (34.3%), while the tc genotype in the case group amounted to 11 (31.4%) and control amounted to 15 (42.9%). genotype cc in case group 2 people (5.7%) and control 8 (22.9%). the highest number was found in the tt genotype in the group of cases of uterine myoma. based on the results of statistical analysis using the chi-square test, it was found that there was a significant relationship between the cyp1a1 gene polymorphism (ile462val) and uterine myoma (p <0.05). table 5. analysis of the correlation of cyp1a1 (ile462val) allele polymorphisms to the incidence of uterine myoma. geno type uterin myoma cs % ctl % p or 95% ci t 55 78. 6 39 55.7 0.007* 0.34 3 (0.164 0.720) c 15 21. 4 31 44.3 total 70 100 70 100 note: *= significant (p<0,05) based on χ2 test 96 | vol 20 no 2 july 2020 the analysis of the relationship between the polymorphism of the cyp1a1 gene allele (ile462val) on the incidence of uterine myoma found that the t allele in the case group was 55 (78.6%) and the control was 39 (55.7%), while the c allele in the case group amounted to 15 (21.4%) and control amounted to 31 (44.3%). a higher number was found in the t allele in the case of uterine myoma than the c allele as well as in the control group. the results of statistical analysis using the chi-square test to see the relationship between the cyp1a1 allele (ile462val) and the incidence of uterine myoma showed a significant relationship between the cyp1a1 allele (ile462val) on the incidence of uterine myoma with a value of ρ = 0.007 (or 0.343; 95% ci 0.164 0.720). discussion cyp1a1 is one of three members of the cyp1 family that is involved in the metabolism of a large number of xenobiotics. cyp1a1 is one of the major cytochromes p450 enzymes, examined extensively for its ability to activate compounds that are carcinogenic. cyp1a1 gene polymorphisms, contribute to an increase in the predisposition that causes uterine myoma. cyp1a1 is one of the cyp450 enzymes involved in the catabolism of estrogen. myoma uteri can be found more in the population of women aged over 35 years in the myoma uterine case group. this is in accordance with the results of ye et al (2008), 1 who states that women over 35 years have a high risk in experiencing uterine myoma. likewise, with the results of research conducted by octaviana and pranajaya (2014) 14 stated that the older a person is, the risk of developing myoma uteri increases. uterine myoma more often occurs at the above 10 years in the myoma uterine case group. the results of this study are supported by research which shows that menarche over 10 years of age have a risk of uterine myoma. the age of menarche varies from person to person, especially the age of menarche which is influenced by genetic and external factors, such as stress, diet, chronic disease, and lifestyle. more uterine myomas were found at parity <2 in the uterine myoma case group. nullipara, this incident is easier to find because the secretion of estrogen in pregnant women is completely different from the secretion by the ovaries in nonpregnant women. in pregnant women, almost all of the estrogen produced is estriol. estriol is an estrogen which is relatively weaker than the estradiol secreted against the ovaries. uterine myomas are more common in women who do not use contraception. the results of this study are not in accordance with the research of fahrunniza (2014) 15 who stated that one of the triggers for uterine myoma is the use of the hormones estrogen and progesterone obtained through hormonal contraceptives. the results of this study indicate that the respondents whose husbands smoke showed no relationship with cases of uterine myoma. this is in accordance with the results of research conducted by wise (2016) ,16 who stated that there is no change in the risk of african and american women smoking. although in theory, smoking can increase myoma risk because it can reduce estrogen levels in the body which results in the growth of uterine myomas. the results showed that there was no significant relationship between family history and the incidence of uterine myoma. the results of this study are not in accordance with the research of nida (2014) 15 who states that there is a link between family history and the incidence of uterine myoma. according to the theory, women who have a hereditary history of uterine myoma are 2.5 times more likely to experience myoma than women without this lineage. the identification of the cyp1a1 (ile462val) gene polymorphism in this uterine myoma patient is in accordance with a study conducted by hsieh (2004) which showed that there were genotypes between wild type, heterozygous and homozygous mutants in samples of chinese women. polymorphism of the cyp1a1 gene (ile462val) may be a risk factor for uterine myoma in iranian women. genotype polymorphisms and the cyp1a1 gene allele (ile462val) are associated with the incidence of uterine myoma against ethnic malays in south sumatera. the contribution of cyp1a1 in the development of uterine myoma varies between each population because it is influenced by many things including the presence of the hormone estrogen, and the interaction of genes with environmental factors.18 polymorphisms in the cyp1a1 gene (ile462val) are a risk factor for uterine myoma in chinese, iranian, german women due to any change in enzymatic activity. conclusion there is a polymorphism relationship between the genotype and allele of the cyp1a1 gene (ile462val) and the incidence of uterine myoma in ethnic malays in south sumatera. it is necessary to carry out further research on the  | 97 polymorphism of the cyp1a1 gene (ile462val) against the incidence of uterine myoma that occurs in other populations in indonesia, so that it can be compared to the function of the cyp1a1 gene polymorphism (ile462val) on the incidence of uterine myoma and it is necessary to add incubation to the restriction fragment length polymorphism process. references 1. ye y, cheng x, luo hb, liu l, li yb, and hou yp, cyp1a1 and cyp1b1 genetic polymorphisms and uterine leiomyoma risk in chinese women. j assist reprod genet. 2008 aug; 25(8): 389–394 2. sparic r, mirkovic l, malvasi a, tinelli a. epidemiology of uterine myomas: a review. royan institute international journal of fertility and sterility. 9(4), jan-mar 2016: 424-435. 3. kurniaty r, dan sunarsih. faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian mioma uteri di rsud dr. h abdul moeloek bandar lampung tahun 2016. jurnal kebidanan, 4(3), juli 2018 : 100-105 4. herr d , bettendorf h, denschlag d, keck c, pietrowski d. cytochrome p2a13 and p1a1 gene polymorphisms are associated with the occurrence of uterine leiomyoma. arch gynecol obstet.2006. 274(6): p. 367-371 5. nierth-simpson en, martin mm, chiang tc, melnik li, rhodes lv, muir se, burow me, mclachlan ja: human uterine smooth muscle and leiomyoma cells differ in their rapid 17betaestradiol signaling: implications for proliferation. endocrinology 2009; 150: 2436-2445. 6. salimi s, sajadian m, khodamian m, yazdi a, rezaee s, mohammadpour-gharehbagh a, mokhtari m, and yaghmaie m. combination effect of cytochrome p450 1a1 gene polymorphisms on uterine leiomyoma: a casecontrol study. bosn j basic med sci. 2016 aug; 16(3): 209–214. 7. sparic r, mirkovic l, malvasi a, and tinelli a, epidemiology of uterine myomas: a review. int j fertil steril. 2016 jan-mar; 9(4): 424–435. doi: 10.22074/ijfs.2015.4599 8. lethaby a. and vollenhoven b. fibroids (uterine myomatosis, leiomyomas). clinical evidence, 2011;01:814: p. 1-31. 9. makinen n, vahteristo p, kampjarvi k, arola j, butzow r, and aaltonen la. med12 exon 2 mutations in histopathological uterine leiomyoma variants. eur j hum genet. 2013 nov; 21(11): 1300–130321. doi: 10.1038/ejhg.2013.33 10. purohit p. and vigneswaran k. fibroids and infertility. curr obstet gynecol rep. 2016; 5: 81– 88. 11. marshall lm, goldman mb. a prospective study of reproductive factors and oral contraceptive use in relation to the risk of uterine leiomyomata. fertil steril. 1998;70(3):432–439. 12. kurniasari t. karaketristik mioma uteri di rsud dr. moewardi surakarta periode januari 2009 januari 2010. surakarta. fakultas kedokteran universitas sebelas maret, 2010. 13. jakimiuk aj, bogusiewicz m, tarkowski r, dziduch p, adamiak a, wróbel a, et al. estrogen receptor alpha and beta expression in uterine leiomyomas from premenopausal women. fertil steril. 2004 oct; 82 suppl 3:1244-9. pmid: 15474102. 14. octaviana a. dan pranajaya r. usia dan paritas dengan kejadian mioma uteri. jurnal ilimah keperawatan sai betik. okt, 2014. 10(2):209-214 15. fahrunniza f, astutik h, dan praptono mgh. kejadian mioma uteri pada akseptor hormonal. jurnal informasi kesehatan indonesia (jiki),2015. 1(1):69-75 16. wise la, laughlin-tommaso sk. epidemiology of uterine fibroids: from menarche to menopase. clinical obstetrics and gynecology; 2016:59(1) : 224 17. parker wh. etiology, symptomatology, and diagnosis of uterine myomas. fertil steril. 2007 apr;87(4):725-36. doi: 10.1016/j.fertnstert.2007.01.093 18. hsieh yy, chang cc, tsai fj, lin cc, yeh ls, and peng ct. androgen receptor trinucleotide polymorphism in leiomyoma. j assist reprod genet. 2004;21:453–7. doi:10.1007/s108150048762-6. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=ye%20y%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=18763031 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=cheng%20x%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=18763031 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=luo%20hb%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=18763031 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=liu%20l%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=18763031 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=li%20yb%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=18763031 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=hou%20yp%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=18763031 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc2582125/ https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc2582125/ https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=herr+d&cauthor_id=16835796 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=bettendorf+h&cauthor_id=16835796 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=denschlag+d&cauthor_id=16835796 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=keck+c&cauthor_id=16835796 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=pietrowski+d&cauthor_id=16835796 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=salimi%20s%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=27333216 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=sajadian%20m%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=27333216 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=khodamian%20m%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=27333216 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=yazdi%20a%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=27333216 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=rezaee%20s%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=27333216 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=mohammadpour-gharehbagh%20a%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=27333216 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=mokhtari%20m%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=27333216 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=yaghmaie%20m%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=27333216 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc4978113/ https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=sparic%20r%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=26985330 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=mirkovic%20l%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=26985330 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=malvasi%20a%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=26985330 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=tinelli%20a%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=26985330 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc4793163/ https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc4793163/ https://dx.doi.org/10.22074%2fijfs.2015.4599 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc3798840/ https://dx.doi.org/10.1038%2fejhg.2013.33 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=purohit%20p%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=27217980 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=vigneswaran%20k%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=27217980 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc4859843/ mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 23 no 2 page 78-84, july 2023 relationship between physical activity and eating patterns toward body mass index (bmi) in nursing students syahruramdhani syahruramdhani*, rahmi pratiwi munarji school of nursing, faculty of medicine and health sciences, universitas muhammadiyah yogyakarta, special region of yogyakarta, indonesia date of article: received: 13 nov 2022 reviewed: 01 jul 2023 revised: 05 jul 2023 accepted: 08 jul 2023 *correspondence: syahruramdhani@umy.ac.id doi: 10.18196/mmjkk.v23i2.16809 type of article: research abstract: physical activity and eating patterns affect human health. lack of physical activity and wrong eating patterns will increase bmi, leading to obesity and other diseases. the study aims to determine the relationship between physical activity and eating patterns toward body mass index (bmi) in nursing students. the design of the study was an observational cross-sectional study. the selection of a total of 98 respondents used the technique of a simple random sample collected with the international physical activity questionnaire (ipaq) for physical activity, eating patterns questionnaire, and measurement of bmi with digital weight scales and height meters. the statistical test used was spearman's rank correlation. the results of this study indicated a relationship between physical activity, eating patterns and bmi, with a p-value of 0.004 and 0.003, respectively. to conclude, students had a significant relationship between physical activity and eating patterns on bmi. the nursing curriculum should emphasize the importance and benefits of physical activity and eating habits. keywords: physical activity; eating pattern; body mass index; nursing students introduction physical activity can be defined as any movement in the body by skeletal muscles that requires power and energy.1 regular physical activity positively affects humans, including reducing anxiety and stress. for this reason, physical activity is very significant in humans.2 in addition to having the benefits of physical activity, it also has a negative impact. physical inactivity is the fourth leading cause of death globally, responsible for 6-10% of major non-communicable diseases.3 a sedentary lifestyle is also known as physical inactivities, such as watching television, reading, working with computers, cell phones, etc.4 the data showed that the behavior of less active physical activity at the age of 10 in indonesia reaches 26.1%, while in the special region of yogyakarta, it reaches 20.8%.5 a person's physical activity will affect muscle strength and weight. therefore people who often do physical activity are better at physical fitness than people who rarely or do not. someone with excellent and regular physical activity usually has a standard range of weight values.6 measuring height and weight is the index most often used in evaluating the nutritional status of the community. the most common metric for measuring obesity is body mass index (bmi), a valuable surrogate for adiposity and obesity.7-9 physical activity and bmi are factors that support the balance of the body. the previous research showed that among 107 respondents aged 18-22, the dominant category of physical activity was 41 (38.3%), and the dominant bmi in the overweight category was 27 (25.2%). the study also found a relationship between the body's dynamic balance and gender, with an unbalanced result in women by 29.9% and a balanced one in men by 32.7%.10 numerous epidemiological factors, such as eating habits, physical activity, alcohol use, stress, and family history of chronic health issues like obesity, diabetes, hypertension, diet, and others, have been identified as potential causes of increasing body weight.11 diet influences the quality of human life, especially in the modern era, where many types of food are not necessarily healthy. diet is associated with the quantity | 79 and quality of a meal. the improper diet is one of the risk factors that increase disease, and excessive fat intake causes fat levels in the body to increase, causing weight gain. eating irregularities such as poor eating habits and irregular and hasty schedules can cause problems in the body.12 a study explained that more than half of the participants (65.3%) stated they consumed processed foods daily or more than once daily. according to the survey, 89.3% agreed or strongly agreed that consuming processed meals was terrible. these results showed that many students understand that processed meals are unhealthy. they regularly consume vast amounts as they value comfort and flavor over anything else.13 according to the previous study, most students ate fast food regularly. the findings could be attributed to nursing students spending more time in the nursing faculty receiving theory and practical courses, so they prefer fast food to save time. on the other hand, students believed that unhealthy fast food was less expensive than preparing a healthy meal at home.14–16 as a result, nursing students constitute a significant segment of the population, and their health is linked to societal advancement. they also play an essential role in promoting community health and, despite contradictory research findings, a regional difference in lifestyle. furthermore, there is inconsistency in the nature and magnitude of the relationship between physical activity and eating habits toward bmi among nursing students. due to the scarcity of studies on the relationship between physical activity and eating patterns toward bmi, the current study aims to investigate the relationship between physical activity and eating patterns toward bmi in nursing students. material and method the study was a cross-sectional study conducted at the faculty of medicine and health sciences, universitas muhammadiyah yogyakarta. the sample size was 98 students calculated using n = n/1 + n (d)2. the participants were selected by simple random sampling from the official list of 4th-year nursing students. only students who are domiciled or are currently in yogyakarta were included in this study. furthermore, students diagnosed with renal disease, endocrine disease, or chronic illness were excluded. the data collected in this study used a questionnaire through google forms distributed to all respondents. the following demographic factors were evaluated: gender (male or female), age, amount of physical activity, eating habits, and bmi. the data were analyzed using the spearman rank test to assess the association between variables. a p value of .05 or less was considered statistically significant. the ethical commission of the faculty of medicine and health sciences at universitas muhammadiyah yogyakarta approved this study with the approval number 051/ec-kepk fkik umy/ii/2021. physical activity level the short form of the international physical activity questionnaire (ipaq) was used to gauge the degree of physical activity. the ipaq was developed by who, 1998 and has been validated and advised as an effective technique to quantify physical activity. participants listed their weekly strenuous, moderate, and walking physical activity frequency and duration. walking has a metabolic equivalent of task (met) of 3.3, moderate activity has a met of 4.0, and intense activity has a met of 8.0. the participant may have a high, moderate, or low degree of physical activity. the reliability test result for the validated ipaq questionnaire showed a score of 0.33 (95% cl=0.26-0.39) and a score of 0.33 (95% cl=0.26-0.39). eating pattern this study utilized a diet questionnaire by purnamawati, 2014 that consisted of the type of food and the frequency consumed daily for seven days. this questionnaire has seven questions: staple foods, animal side dishes, vegetable side dishes, vegetables, fruits, drinks, and snacks. the answer includes three times a day, two times a day and once a day. the validation results showed a score of 1.00, and a reliability score indicated the number 0.89. the maximum number of scores is 21, classified into frequent = 76%-100%, average = 53-75% and rarely = <55%. 80 | vol 23 no 2 july 2023 bmi each participant's height and weight were noted to calculate their bmi. weight and height information were used to compute the bmi, measured in kilograms per square meter (kg/m2). an eb 9350 personal scale digital weight and height scale was used for the measurement (gea medical co., ltd). the indonesian ministry of health reported that cut-off points were used to categorize the prevalence of underweight (18.5), normal (18.5-25.0), and overweight (>25.0) conditions. result the study aimed to determine the relationship between physical activity and eating patterns toward bmi in nursing students. ninety-eight nursing students at the faculty of medicine and health sciences, universitas muhammadiyah yogyakarta, have participated. the characteristics of respondents by gender and age were primarily women, with a total of 73 people (74.5%), and the majority was in the age category of 2021 years, with a total of 57 people (58.2%) (table 1). table 1. subject characteristics characteristics total percentage (%) gender male 25 25.5 female 73 74.5 age (years) 20-21 57 58.2 22-23 41 41.8 the majority of physical activities carried out by nursing students were moderate physical activity, with a frequency of 65 people (66.3%); fulfilling their diet is rare, with a frequency of 46 people (46.9%), and the bmi of students is normal (18.5-25.0) with a frequency of 81 people (82.2%) (table 2). table 2. physical activity, eating pattern, and bmi characteristics total percentage (%) physical activity low 30 30.6 moderate 65 66.3 high 3 3.1 eating pattern rare 46 46.9 moderate 45 45.9 frequent 7 7.1 bmi underweight 3 3.1 normal 81 82.2 overweight 14 14.3 the significance value was 0.004 (p <0.05), indicating a significant relationship exists between physical activity and bmi (table 3). it also demonstrated that the correlation coefficient was -0.229, indicating that the relationship's strength level was sufficient, with the direction of the relationship being negative, where the lower the physical activity is, the higher the bmi will be. furthermore, the data showed that the value was 0.003 (p <0.05), indicating that there was a significant relationship between diet and bmi (table 3). it also displayed a correlation coefficient of 0.282, indicating that the level of the strength of the relationship was extreme, with the direction of the relationship being positive, where the higher the diet is, the higher the bmi will be. table 3. spearman's rank test of physical activity, eating pattern, and bmi characteristics p value r physical activity bmi 0.004 0.229 eating pattern bmi 0.003 0.282 | 81 discussion physical activity the result showed that most of the respondents carried out physical activity in the moderate range. in moderate physical activity, many respondents carried out activities for 15 to 30 minutes, ranging from 6 -7 days. the short version of the ipaq questionnaire was filled out based on seven consecutive days of activity. the respondents' physical activity was categorized into light, moderate, and walking.17 the previous study showed that the activities carried out by students on campus were in the form of student activities and lectures, which could take up free time and affect the level of student physical activity. students' physical activity level is also influenced by differences in curriculum and the number of class schedules applied by each class and faculty. the results of the age factor found that it did not have a significant influence as the behavior of physical activity carried out by students was shallow depending on previous habits.18 another study explained differences in the final results of physical activity in each faculty, where students from the faculty of health sciences had lower activity levels than students from the faculty of physical education and sports. physical activity can significantly benefit students, including health and fitness, prolonging life, and others. for this reason, encouragement and motivation are needed so that students tend to carry out routine activities, especially in the current pandemic era, to maintain health.19 similar impediments to physical exercise and a lack of excitement to improve physical activity are reported by nursing students in other studies. due to a lack of time, university obligations, the time of year, and financial constraints, they do not routinely engage in physical activity. universities and clinical settings should think more about providing facilities like football fields, exercise centers, and other amenities to encourage students to be physically active. it was proposed to give physical activity surroundings from which the pupils may profit readily to improve their health conditions and encourage people to exercise regularly.20,21 eating pattern the research showed 46 nursing students had a rare eating pattern (46.9%). observable eating patterns include eating frequency, meal times and consumption levels. a lack of consumption of staple foods, vegetables, vegetable side dishes and fruits causes irregular eating patterns among university students. this study follows the previous research showing that nutritional problems in students and college students will negatively impact decreasing learning concentration. it can cause a decrease in physical fitness, dietary problems, and the emergence of other diseases that can endanger health22. another study revealed that most nursing students did not have good eating habits despite being highly educated. nursing students might benefit from educational programs raising their awareness of nutritious foods and good eating practices.14 this present study is supported by other research revealing that 52 respondents (54.7%) of students had a rare or poor eating pattern, and 50 experienced gastritis. the study's results also demonstrated that the respondent had a frequency of eating <2 times a day.23 according to the indonesian ministry of health, the frequency of eating can be good if daily eating habits include three times the main meals or two times the main meals with a one-time interlude. based on the eating recommendations, consuming 400 grams of vegetables and fruit daily is necessary.1 bmi bmi is commonly used to measure and determine obesity or weight. this bmi measurement only requires two aspects, namely height and weight.24 table 2 shows 81 (82.2%) nursing student respondents had a normal bmi. it is in line with the previous research demonstrating that the bmi of students tends to be normal and leads to thinness caused by lifestyle. students were also found not to pay attention to balancing a good diet with physical activity.25 however, the present study revealed that 14 (14.3%) nursing student respondents were overweight. according to earlier research, 19.8% of nursing students were overweight or obese, with female students being more fat than male students.26 weight and bmi are closely related to age, where as you age, the 82 | vol 23 no 2 july 2023 metabolism in the body decreases, which occurs biologically. with increasing age and less active movement, the muscle mass in the body tends to decrease, which causes a delay in the calorie-burning rate.27 relationship between physical activity and bmi the present study demonstrated that physical activity and bmi among nursing students had a significant link. the findings of this study are consistent with other research revealing a substantial correlation between an individual's bmi and how active they are. it is proven by the frequency of bmi that fewer people are likely to be obese with moderate physical activity than those who rarely do activities. it is because everybody's movement requires energy expenditure.28 the presence of physical activity will prevent an unbalanced increase in bmi. this study's results also align with previous research that explained a significant relationship between physical activity and bmi, where someone less active in activities has the opportunity to gain weight compared to someone who has functional physical activity and good exercise habits.29 lifestyle modifiers such as lack of physical activity, eating out, and excessive intake of high-fat, caloriedense foods are primarily responsible for the increased global prevalence of increased bmi and obesity.30 a high bmi is caused due to lack of balance between energy intake and output. increasing physical activity such as cycling, sweeping, walking, and other activities can reduce the risk of obesity and increase bmi.31 physical education courses are not given as part of the nursing program; they are available as part of undergraduate courses, but enrollment is not required. despite the institution providing students with free access to sports facilities, no students use them. it is important to remember that nursing students are future health advocates whose "physical activity" may damage the validity of the information they will communicate.32 relationship between eating pattern and bmi the present study showed that a significant relationship exists between diet and bmi. the surrounding environment strongly influences diet. teenagers and students prefer salty foods containing sodium and foods with high fat but low vitamin and mineral content, such as fast food and snacks. snacks are usually high in sodium, energy-dense, and fat.22 the relationship between diet and bmi can be caused by several factors, including food consumption habits, knowledge, peers, social media, and family eating habits.33 therefore, it is necessary to monitor diet so that bmi remains normal. the results of this study followed the previous research that showed a meaningful connection between diet and bmi, where excessive eating patterns in students cause weight gain.11 however, the present study contrasts with a prior study, revealing no link between eating habits and bmi among nursing students.14 it might be due to a rise in the percentage of teenagers who follow suggested dietary and physical activity guidelines and a rise in the knowledge of the significance of weight control among nursing students. however, the study has some limitations. the cross-sectional methodology of the study limited the inferences of causation, while the degree to which the results could be extrapolated was restrained. additionally, as this study was based on a questionnaire and self-report, the bias of the results cannot be ignored. furthermore, as the current study was conducted in a single location with just nursing students at a non-governmental university, it is unclear how the results apply to other health disciplines in other contexts. as a result, more research involving students from various disciplines is required. conclusion there was a significant relationship between physical activity and diet on bmi in nursing students with a negative relationship, indicating that the lower the physical activity is, the higher the bmi will be. meanwhile, the relationship between diet and bmi strongly correlated with a positive relationship, indicating that the higher the diet is, the higher the bmi value will be. medical curricula emphasize the importance and benefits of physical activity and eating habits. future research must examine the determinant factors between physical activity, eating patterns, and bmi with a large sample from other areas. | 83 acknowledgement the authors would like to thank the participants in the faculty of medicine and health sciences, universitas muhammadiyah yogyakarta for their kind help and cooperation during the study. conflict of interest no conflict of interest. references 1. p2ptm kemenkes ri. apa definisi aktivitas fisik?. [internet]. 2019). [updated 2019 apr 6; cited 2022 aug 4]. available from: http://p2ptm.kemkes.go.id/infographic-%20p2ptm/obesitas/apa-definisi-aktivitas-fisik 2. abadini d, wuryaningsih ce. determinan aktivitas fisik orang dewasa pekerja kantoran di jakarta tahun 2018. jurnal promosi kesehatan indonesia [internet]. 2018 nov 21;14(1):15. available from: http://dx.doi.org/10.14710/jpki.14.1.15-28 3. murtagh em, nichols l, mohammed ma, holder r, nevill am, murphy mh. the effect of walking on risk factors for cardiovascular disease: an updated systematic review and meta-analysis of randomised control trials. preventive medicine [internet]. 2015 mar;72:34–43. available from: https://doi.org/10.1016/j.ypmed.2014.12.041 4. risdiana n, syahruramdhani, utari r. the correlation between body mass index physical fitness level and systolic blood pressure in late adolescent in school of nursing universitas muhammadiyah yogyakarta. proceedings of the third international conference on sustainable innovation 2019 – health science and nursing (icosihsn 2019) [internet]. 2019; available from: http://dx.doi.org/10.2991/icosihsn-19.2019.40 5. kartika la, afifah e, suryani i. asupan lemak dan aktivitas fisik serta hubungannya dengan kejadian hipertensi pada pasien rawat jalan. jurnal gizi dan dietetik indonesia (indonesian journal of nutrition and dietetics) [internet]. 2017 may 22;4(3):139. available from: http://dx.doi.org/10.21927/ijnd.2016.4(3).139-146 6. putra yw, rizqi as. index massa tubuh (imt) mempengaruhi aktivitas remaja putri smp negeri 1 sumberlawang. gaster [internet]. 2018 feb 27;16(1):105. available from: http://dx.doi.org/10.30787/gaster.v16i1.233 7. neyzi o, bundak r, gökçay g, günöz h, furman a, darendeliler f, et al. reference values for weight, height, head circumference, and body mass index in turkish children. journal of clinical research in pediatric endocrinology [internet]. 2015 dec 3;7(4):280–93. available from: https://doi.org/10.4274/jcrpe.2183 8. mccafferty bj, hill jo, gunn aj. obesity: scope, lifestyle interventions, and medical management. techniques in vascular and interventional radiology [internet]. 2020 mar;23(1):100653. available from: https://doi.org/10.1016/j.tvir.2020.100653 9. p2ptm kemenkes ri. klasifikasi obesitas setelah pengukuran imt. [internet]. 2019. [updated 2018 nov 7; cited 2022 aug 4]. available from: http://p2ptm.kemkes.go.id/infographic-p2ptm/obesitas/klasifikasiobesitas-setelah-pengukuran-imt. 10. habut my, nurmawan ip, wiryanthini ia. hubungan indeks massa tubuh dan aktivitas fisik terhadap keseimbangan dinamis pada mahasiswa fakultas kedokteran universitas udayana. majalah ilmiah fisioterapi indonesia. 2016 may 13;2(1). https://doi.org/10.24843/mifi.2016.v04.i02.p08 11. yousif mm, kaddam la, humeda hs. correlation between physical activity, eating behavior and obesity among sudanese medical students sudan. bmc nutrition [internet]. 2019 feb 6;5(1). available from: https://doi.org/10.1186/s40795-019-0271-1 12. mahmudah s, maryusman t, arini fa, malkan i. hubungan gaya hidup dan pola makan dengan kejadian hipertensi pada lansia di kelurahan sawangan baru kota depok tahun 2015. biomedika [internet]. 2015 aug 3;7(2). available from: https://doi.org/10.23917/biomedika.v7i2.1899 13. abraham s, r. noriega b, shin jy. college students eating habits and knowledge of nutritional requirements. journal of nutrition and human health [internet]. 2018;02(01). available from: https://doi.org/10.35841/nutrition-human-health.2.1.13-17 14. mahmoud mh, taha as. the association between eating habits and body mass index among nursing students. iosr journal of nursing and health science [internet]. 2017 jun;06(03):14–26. available from: http://dx.doi.org/10.9790/1959-0603061426 15. alhazmi a, aziz f, hawash mm. association of bmi, physical activity with academic performance among female students of health colleges of king khalid university, saudi arabia. international journal of http://p2ptm.kemkes.go.id/infographic-%20p2ptm/obesitas/apa-definisi-aktivitas-fisik http://dx.doi.org/10.14710/jpki.14.1.15-28 https://doi.org/10.1016/j.ypmed.2014.12.041 http://dx.doi.org/10.2991/icosihsn-19.2019.40 http://dx.doi.org/10.21927/ijnd.2016.4(3).139-146 http://dx.doi.org/10.30787/gaster.v16i1.233 https://doi.org/10.4274/jcrpe.2183 https://doi.org/10.1016/j.tvir.2020.100653 http://p2ptm.kemkes.go.id/infographic-p2ptm/obesitas/klasifikasi-obesitas-setelah-pengukuran-imt http://p2ptm.kemkes.go.id/infographic-p2ptm/obesitas/klasifikasi-obesitas-setelah-pengukuran-imt https://doi.org/10.24843/mifi.2016.v04.i02.p08 https://doi.org/10.1186/s40795-019-0271-1 https://doi.org/10.23917/biomedika.v7i2.1899 https://doi.org/10.35841/nutrition-human-health.2.1.13-17 http://dx.doi.org/10.9790/1959-0603061426 84 | vol 23 no 2 july 2023 environmental research and public health [internet]. 2021 oct 17;18(20):10912. available from: https://doi.org/10.3390/ijerph182010912 16. aslani a, faraji a, allahverdizadeh b, fathnezhad‐kazemi a. prevalence of obesity and association between body mass index and different aspects of lifestyle in medical sciences students: a cross‐sectional study. nursing open [internet]. 2021 jan 5;8(1):372–9. available from: https://doi.org/10.1002%2fnop2.638 17. wati lr, arifandi md, prastiwi f. hubungan aktifitas fisik dengan derajat dysmenorrhea primer pada remaja. journal of issues in midwifery [internet]. 2017 aug 1;1(2):1–8. available from: https://doi.org/10.21776/ub.joim.2017.001.02.1 18. riskawati yk, prabowo ed, al rasyid h. tingkat aktivitas fisik mahasiswa program studi pendidikan dokter tahun kedua, ketiga, keempat. majalah kesehatan [internet]. 2018 mar 1;5(1):27–32. available from: https://doi.org/10.21776/ub.majalahkesehatan.005.01.4 19. farradika y, umniyatun y, nurmansyah mi, jannah m. perilaku aktivitas fisik dan determinannya pada mahasiswa fakultas ilmu ilmu kesehatan universitas muhammadiyah prof. dr. hamka. arkesmas (arsip kesehatan masyarakat) [internet]. 2019 jun 22;4(1):134–42. available from: https://doi.org/10.22236/arkesmas.v4i1.3548 20. cilar l, preložnik n, štiglic g, vrbnjak d, pajnkihar m. physical activity among nursing students. pielegniarstwo xxi wieku / nursing in the 21st century [internet]. 2017 mar 1;16(1):30–5. available from: https://doi.org/10.1515/pielxxiw-2017-0005 21. khorshtd l, ergin e, zaybak a. the factors that affect the exercise behaviors of nursing students. international journal of caring sciences [internet]. 2020 may 1;13(2):1270. 22. nugroho k, gresty m, masi nm. hubungan aktivitas fisik dan pola makan dengan perubahan indeks massa tubuh pada mahasiswa semester 2 programstudi ilmu keperawatan fakultas kedokteran. vol. 4, e-journal keperawatane-kp. 2016. https://doi.org/10.35790/jkp.v4i2.12918 23. wahyuni sd, rumpiati r, ningsih re. hubungan pola makan dengan kejadian gastritis pada remaja. global health science [internet]. 2017 jun 30;2(2). available from: http://dx.doi.org/10.33846/ghs.v2i2.100 24. prasetio e, sutisyana a, ilahi br. tingkat kebugaran jasmani berdasarkan indeks massa tubuh pada siswa smp negeri 29 bengkulu utara. kinestetik [internet]. 2017 dec 16;1(2). available from: https://doi.org/10.33369/jk.v1i2.3470 25. liana ae, soharno s, panjaitan aa. hubungan antara pengetahuan tentang gizi seimbang dengan indek masa tubuh pada mahasiswa. jurnal kebidanan [internet]. 2018 jan 12;7(2). available from: http://dx.doi.org/10.33486/jk.v7i2.10 26. shakoor j. body mass index and dietary habits among nursing college students living in the university residence in kirkuk city, iraq. international journal of medical and health sciences[internet]. 2017 jul 5;11(5):326-30. available from: https://doi.org/10.5281/zenodo.1131878 27. sikalak w, widajanti l, aruben r, gizi b, masyarakat k, kesehatan f. faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian obesitas pada karyawati perusahaan di bidang telekomunikasi jakarta tahun 2017 [internet]. vol. 5. 2017. available from: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jkm 28. krismawati lde, andayani nln, wahyuni n. the relationship between physical activities and body mass index (bmi) in adolescents aged 16-18 years old in sma negeri 2 denpasar. majalah ilmiah fisioterapi indonesia [internet]. 2019 jun 11;7(1). available from: https://doi.org/10.24843/mifi.2019.v07.i01.p05 29. restuastuti t, ernalia y. hubungan pola makan dan aktivitas fisik terhadap obesitas pada remaja di sma negeri 5 pekanbaru. jom fk vol.3 no.i februari 2016. 30. aliss em, sutaih rh, kamfar hz, alagha ae, marzouki zm. physical activity pattern and its relationship with overweight and obesity in saudi children. international journal of pediatrics and adolescent medicine [internet]. 2020 dec;7(4):181–5. available from: https://doi.org/10.1016/j.ijpam.2020.03.007 31. zamzani m, hadi h, astiti d. aktivitas fisik berhubungan dengan kejadian obesitas pada anak sekolah dasar. jurnal gizi dan dietetik indonesia (indonesian journal of nutrition and dietetics) [internet]. 2017 may 22;4(3):123. available from: http://dx.doi.org/10.21927/ijnd.2016.4(3).123-128 32. waksmańska w, bobiński r, wiczkowski a, pielesz a. physical activity among nursing students measured with the international physical activity questionnaire and their bmi. polish journal of public health [internet]. 2017 sep 1;127(3):122–6. available from: https://doi.org/10.1515/pjph-2017-0026 33. fajriani ep. hubungan indeks massa tubuh (imt) dengan perilaku makan pada remaja di smk negeri 5 pontianak. jurnal proners. 2019;4(1). http://dx.doi.org/10.26418/jpn.v4i1.34376 34. purnamawati, ita. (2014). hubungan permainan video game dengan pola makan dan status gizi anak usia sekolah di sd muhammadiyah condong catur. thesis. universitas muhammadiyah yogyakarta. https://doi.org/10.3390/ijerph182010912 https://doi.org/10.1002%2fnop2.638 https://doi.org/10.21776/ub.joim.2017.001.02.1 https://doi.org/10.21776/ub.majalahkesehatan.005.01.4 https://doi.org/10.22236/arkesmas.v4i1.3548 https://doi.org/10.1515/pielxxiw-2017-0005 https://doi.org/10.35790/jkp.v4i2.12918 http://dx.doi.org/10.33846/ghs.v2i2.100 https://doi.org/10.33369/jk.v1i2.3470 http://dx.doi.org/10.33486/jk.v7i2.10 https://doi.org/10.5281/zenodo.1131878 http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jkm https://doi.org/10.24843/mifi.2019.v07.i01.p05 https://doi.org/10.1016/j.ijpam.2020.03.007 http://dx.doi.org/10.21927/ijnd.2016.4(3).123-128 https://doi.org/10.1515/pjph-2017-0026 http://dx.doi.org/10.26418/jpn.v4i1.34376 32 | mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 21 no 1 page 32-38, january 2021 correlation the density of dermatophagoides sp. in households with the score for allergic rhinitis in jember, east java hubungan kepadatan dermatophagoides sp. di dalam rumah dengan skor rinitis alergi di jember, jawa timur erma sulistyaningsih1, elisa fadia laili2, cholis abrori2 1department of parasitology, faculty of medicine, university of jember. jalan kalimantan 37 kampus bumi tega boto jember 68121 2 faculty of medicine, university of jember, jalan kalimantan 37 kampus bumi tega boto jember 68121 data of article: received: 3 jan 2020 reviewed: 25 jun 2020 revised: 19 nov 2020 accepted: 05 dec 2020 *correspondence: sulistyaningsih.fk@unej.ac.id doi: 10.18196/mmjkk.v21i1.7925 type of article: research abstract: the prevalence of allergic rhinitis (ar) in indonesia is an estimated 24.3% and increasing each year. the majority cause of ar is house dust mites (hdms) allergens, especially dermatophagoides sp. the screening tool to estimate the prevalence and diagnose af in a population setting is the score for allergic rhinitis (sfar) questionnaire. this study aimed to investigate the correlation between the density of dermatophagoides sp. in households and the sfar in jember, east java. the study enrolled 30 housewives as respondents, which were selected by stratified random sampling. respondents were interviewed using the sfar questionnaire. the dust sample from each house of the respondent was collected, the hdms either dermatophagoides sp. or others were identified and the density of dermatophagoides sp. was calculated. data were analyzed using the pearson test. dermatophagoides sp. were found in 21 out of 30 samples and 11 out of 30 respondents had an sfar of ≥ 7. the pearson analysis showed the value of p = 0.555 and r = 0.136. dermatophagoides sp. was the majority of species of hdms, but there was no significant correlation between the density of dermatophagoides sp. in households and the sfar among housewives in jember. keywords: allergic rhinitis; dermatophagoides sp; house dust mites; sfar abstrak: prevalensi rinitis alergi (ar) di indonesia diperkirakan 24,3% dan cenderung meningkat setiap tahun. penyebab ar mayoritas adalah alergen tungau debu rumah (hdm) terutama dermatophagoides sp. alat skrining untuk memperkirakan prevalensi dan mendiagnosis af dalam pepopulasi adalah kuesioner score for allergic rhinitis (sfar). penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kepadatan dermatophagoides sp. di rumah tangga dan sfar di jember, jawa timur. penelitian ini melibatkan 30 ibu rumah tangga sebagai responden yang dipilih secara stratified random sampling. responden diwawancarai menggunakan kuesioner sfar. pengambilan sampel debu dari rumah masingmasing responden. hdms baik dermatophagoides sp. atau yang lainnya diidentifikasi dan selanjutnya kepadatan dermatophagoides sp. dihitung. data dianalisis menggunakan uji pearson. dermatophagoides sp. didapatkan sebanyak 21 dari 30 sampel yang diambil dan 11 diantara 30 responden memiliki sfar ≥ 7. analisis pearson menunjukkan nilai p = 0,555 dan r = 0,136 yang menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi yang bermakna antara kepadatan dermatophagoides sp. dengan sfar ibu rumah tangga di jember. kata kunci: rhinitis alergi, dermatophagoides sp, tungau debu, sfar http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 21 no 1 january 2021 33 | introduction allergic rhinitis (ar) is a symptomatic disease of the nose due to the inflammation of the nose caused by an allergen. it is very common condition in four seasons countries, estimated to affect around one in every five people in the united kingdom. the prevalence of ar in latin america was 5.5-45.1%, europe was 23-30%, africa was 7.2-54.1%, australia was 12-41.3% and south-east asia was 5.5-44.2%.1 the prevalence of ar in indonesia variable, it is estimated 24.3% and tends to increase each year.2 although ar is not commonly a severe complaint, it has a negative impact on patients social lives, the school performance of children, and productivity in the workplace.3 the cause of more than 50% of ar in indonesia is house dust mites (hdm), and dermatophagoides pteronyssinus (der p1), and d. farinae der f1) is the most common hdm allergen.4 the external part of the body, part of the body and feces of dermatophagoides sp. contains der p1 and der f1 allergens which can activate the a and d proteins on the lung surfactant that can inhibit the binding of allergen to ige. the der p1 also can induce the production of proinflammatory cytokines through proteinase-activated receptor 2 (par2) independent in the respiratory tract and stimulate the development of th2, which further activate b cell to produce ige. ige and allergen's binding causes degranulation of mast cells and basophil to release histamine, resulting in the symptoms of ar.5 the symptom of ar includes the runny or stuffy nose, sneezing, red, itchy and watery eyes, and swelling around the eyes. exposure to 100-500 hdm/g of dust or 10 mg der p1/g is a risk factor for an allergic reaction. exposure to 500 hdm/g of dust in a long time results in ige-antibody responses.6,7,8 the prevalence of ra in developed and developing countries tends to increase. however, there is limited assessment available to diagnose, especially in population settings, where there are no objective allergy measurements and no health professionals. the score for allergic rhinitis (sfar) is a quantitative questionnaire developed by experts as a helping tool to diagnose ar. the questionnaire has been validated in three different ways, i.e., diagnosis validation by the medical specialist, internal validation using psychometric methods, and population acceptability methods.9 study in france and six african countries on using the sfar to diagnose ar reported that the sfar gives the same or higher positive predictive value and specificity as the international study of asthma and allergies in childhood (isaac) questionnaire. the study also showed that nonspecialists could use the sfar without performing a physical examination, and the ar diagnosis was nearly matched with the gold standard's diagnosis, confirmed by skin prick test. this questionnaire has eight components, including (1) nasal symptoms in the past year, i.e., sneezing, runny nose and blocked nose; (2) nasal symptoms accompanied with itchy-watery eyes; (3) month of the year that the nasal symptoms occur; (4) triggers of nasal symptoms (pollens and house dust); (5) allergic status; (6) previous diagnosis of allergy; (7) previous positive allergy test; and (8) familial history of allergy. a total score of sfar is 16, and the cutoff value of > 7 can differentiate individuals with and without ar.10,11 there were some studies on the density of house dust mites, allergic rhinitis and its symptoms in association with the attitude and practice,12,13,14 but no study using the sfar questionnaire to measure the allergic rhinitis, especially among housewives. this study aimed to determine the correlation between the density of dermatophagoides sp. in households and the sfar among housewives in jember, east java. material and method study design and ethical clearance the study was a cross-sectional study and was conducted in jember, indonesia. the study's procedure has been approved by the ethical committee of faculty of medicine, university of jember, with reference number 1281/h25.1.11/ke/2019. the sample was chosen by stratified random sampling. we enrolled 30 housewives, which match with inclusion criteria, i.e., 21-34 years old, do not have an outside job, and signed the informed consent after explanation. we excluded women who have a pet such as dogs, cats or birds, and living with a smoking family member. the inclusion criteria for collected house dust were dust from a 1-yearold or older mattress, dust from a mattress that has not been dried in the past week, and dust from a mattress with more than three days of bedsheet replacement. the exclusion criteria were dust from the mattress, which was still wrapped in plastic and made from cotton. data collection we collected dust samples at each house by using a 350 w vacuum cleaner. dust was collected from a mattress in an area of 1 m2 for 2 minutes. the collected dust was placed into a ziplock and labeled with the vol 21 no 1 january 2021 34 | respondent's code and sampling date. this study interviewed a housewife at each house using the sfar questionnaire. dust samples were transported to the laboratory of parasitology, medical faculty, university of jember. each dust sample was weighed and recorded. as much as 0.1 g of dust sample was diluted with distilled water and observed under a stereoscopic microscope. each hdm found was taken using a mite needle and fixed using hoyer's medium on object glass. the fixed hdm was identified using a light microscope based on collof key of identification15 and consulted with the entomologist of the biology department, faculty of mathematics and natural sciences, university of jember. the identification of hdms in this study only reached the genus stage. the density of dermatophagoides sp. were calculated using the following formula.16 hdms density = mass of dust (g) 0.1 × hdms found in 0.1 g of dust statistical analysis the data was analyzed for its normality using shapiro-wilk. data was transformed once before it had a normal distribution. p-value was used to analyze the significant criteria. the correlation test was performed using pearson test result there are 30 respondents involved in this study. the result of the interview showed that all job at the time. the majority of respondents were 25-29 years old women (46.67%), as shown in table 1. table 1. the distribution of respondents’ age age (years) total (n) percentage (%) 20-24 5 16.67 25-29 14 46.67 30-34 11 36.67 table 2. identification of hdms in dust samples, its density and the sfar’s score of respondents code dust mass (g) number of hdm found (n/ 0.1 g of dust) hdm density (n/ g of dust) number of dermatophagoides sp. found (n/0.1 g of dust) dermatophagoides sp. density (n/ g of dust) sfar 01 1.3 13 169 1 13 6 02 0.5 8 40 1 5 0 03 0.8 0 0 0 0 0 04 0.8 5 40 2 16 12 05 3.7 5 185 1 37 6 06 0.9 5 45 2 18 7 07 0.3 7 21 0 0 5 08 0.9 14 126 1 9 11 09 0.9 16 144 3 27 11 10 0.4 4 16 0 0 6 11 0.6 15 90 2 12 12 12 0.8 7 56 1 8 10 13 1.0 3 30 1 10 0 14 0.6 3 18 1 6 2 15 1.1 12 132 3 33 6 16 1.2 4 48 1 12 5 17 0.6 6 36 2 12 12 18 1.0 0 0 0 0 2 vol 21 no 1 january 2021 35 | the hdms identification of dust samples and the sfar of respondents were shown in table 2. hdms were found in 24 out of 30 dust samples, and dermatophagoides sp. were found in 21 out of 24 dust samples with hdms. the density of dermatophagoides sp. were ranged between 0 37 hdm/g of dust, while the average density was 10.17 hdm/g of dust. the identified dermatophagoides sp. were shown in figure 1. the sfar of respondents were in the range of 0-15, none of them had the maximum score. as many as 11 respondents had a score of ≥7, meaning had an ar. figure 1. morphology of dermatophagoides sp. found in the sample (a) female (b) male the data of the density of dermatophagoides sp. were not normally distributed, so the data transformation was performed. data were normally distributed after performing data transformation (p=0.848). the test for linearity showed that the correlation between the two variables was linear (p=0.834). pearson test to determine the correlation between the density of dermatophagoides sp. and the sfar showed p = 0.555 and r = 0.136. the result showed no significant correlation between the density of dermatophagoides sp. in households and the sfar among housewives in jember (table 3). table 3. the result of the statistical analysis density of dermatophagoides sp sfar density of dermatophagoides sp pearson correlation 1 .136 sig. (2-tailed) .555 n 21 21 sfar pearson correlation .136 1 sig. (2-tailed) .555 n 21 30 19 0.7 4 28 1 7 0 20 0.6 0 0 0 0 5 21 0.8 3 24 1 8 0 22 1.0 7 70 3 30 2 23 1.2 3 36 1 12 6 24 0.5 0 0 0 0 5 25 1.1 7 77 0 0 10 26 0.3 6 18 1 3 4 27 0,8 0 0 0 0 7 28 2,1 4 84 1 21 2 29 0,7 0 0 0 0 8 30 0,6 7 42 1 6 15 total 27.8 168 1575 31 305 average 0.93 5.6 52.5 1.03 10.17 5.9 (a) (b) vol 21 no 1 january 2021 36 | discussion in this study, women were chosen as respondents, as reported by previous studies that women have higher experience of ar than men. this might be due to a different perception of health disorders between women and men, so women had a higher intention to seek professional medical assistance than men.2,3,17 all respondents were housewives without an outside job at the time. housewives tended to get more exposure to indoor allergens such as hdm allergens because of their daily activities such as house cleaning and households furnishings.18,19 the majority of respondents were 25-29 years old women (46.67%). the previous study reported that ar’s patients were mostly in productive ages, 20-29 years old, and most ar cases were 18-34 years old. ar was rarely found in a person over 60 years old due to aging process which causes the degradation of the allergen-specific level.20,21,22 houst dust mites were identified in 24 out of 30 dust samples, and dermatophagoides sp. were found in 21 out of 24 dust samples, while the 3 samples were having other hdms but dermatophagoides sp. previous studies showed that pyrogliphidae was a family of which dominated the identified hdms. the most common mites of hdms are dermatophagoides farinae and d. pteronyssinus. the common hdms from other families were blomia tropicalis, tyrophagus putrescentiae, and aleuroglyphhus ovatus.23,24 the density of dermatophagoides sp. were ranged between 0 37 hdm/g of dust, while the average density was 10.17 hdm/g of dust. dust samples were collected from mattresses, where there was an accumulation of human squama on them, which can be used as a food source of hdms. hdms used squama as their food source.25 the density of hdms allergens in households is affected by multiple factors, including the physical environment and the households factors. the physical environment includes latitude, climate, seasonality, rainfall, altitude and distance from the coast. the household factors include the housing design, building age, materials, house orientation, type of furnishings, neighborhood location, ventilation, thermal system, family economic status and the number and behavior of the occupants. our study was conducted in jember, it is an area with the temperature range between 23-31oc and relative humidity >75%. these conditions support the growth and development of hdms.7,23,26 the temperature and relative humidity may increase in slums and densely populated areas.27 the negative finding of hdms in some dust samples possibly be due to the occupants' hygiene behavior. hdms density can be controlled by the way and frequency of the occupants to clean the house.28 our study found a lower average hdms density than the previous studies.24,25 we only calculated dermatophagoides sp. density, instead of all species of hdms. the sfar score showed that 11 out of 30 respondents had a score of ≥7, and none of the respondents had the maximum score. none of the respondents experienced nasal symptoms in certain months, known as seasonal ar,28 causing 1 point reduction of the sfar’s score. in four-season countries, nasal symptoms can appear in certain months when pollen season comes. since indonesia is a two-season country, it is not easy to find seasonal ar. as we know that the sfar was developed in france, a four-seasons country, so its application in indonesia should be modified because the possible different allergens of both countries. the study used the sfar questionnaire to determine the ar. the sfar questionnaire provided better information and more sensitive than the isaac questionnaire, which can not distinguish between ar and infectious rhinitis.10 but, the application of the sfar questionnaire in indonesia should be modified since it was established in france, a developed country, which possibly has different ar management from indonesia. as previous study reported, socio-economic status results in differences in perception, reporting and ar symptoms management.10 indonesia has not yet implemented allergic tests such as skin prick test (spt) or ige serum routinely in ar’s diagnosis algorithm. hence, many ar patients know the disease without knowing the exact allergens of his/her disease. respondents who had a total score of 5 or 6 in this study could get a total score of ≥7 when carried out an allergy test andhad positive results. analysis using the pearson test showed no significant correlation between the density of dermatophagoides sp. in households and the sfar among housewives in jember (p=0.555; r=0.136). ar is a multifactorial disease caused by the interaction between the complex environmental factors and the genetic factor of individual characters rather than a single factor, such as hdms density. each individual has a different level of sensitization and atopic person possesses a complex and subjective immune system. 9,23,29 blomia tropicalis was another species which dominantly found in previous studies. its allergens can crossreact with dermatophagoides sp. allergens, although the incidence reported was relatively low. lepydoglyphus sp., b. tropicalis, b. kulagini, acarus siro, and glycyphagus sp. were found in several indonesia studies. previous studies showed that ar patients were sensitive to some of those species’ allergens. the insignificant correlation between variables could be due to another hdms allergens that affect the ar symptoms as identified by the sfar.22,30,31 some hdms were found to have incomplete body parts, made difficulties in identification process, whether dermatophagoides sp. or other species. eggs, larvas, and vol 21 no 1 january 2021 37 | nymphs were also found in dust samples. however, it was difficult to identify its morphological characteristic as dermatophagoides sp. or other species. therefore, they were not identified in this study. those factors were the limitation of this study which may affect the results. conclusion this study revealed no significant correlation between the density of dermatophagoides sp in households and the sfar score among housewives in jember, east java. acknowledgments the author would like to thank all housewives who consented to participate in this study references 1. european academy of allergy and clinical immunology. global atlas of allergic rhinitis and chronic rhinosinusitis. 2015. zurich: eaaci headquarters. 2. kemenkes ri. riset kesehatan dasar. badan penelitian dan pengembangan kemenkes ri jakarta. 2017. p. 118. 3. bachet c, van cauwenberge p & khaltaev n. allergic rhinitis and its impact on atshma. in collaboration with the world health organization. executive summary of the workshop report, 7-10 december 1999, genewa, switzerland. allergy, 2002; 57: 841-855. https://doi.org/10.1034/j.1398-9995.2002.23625.x 4. habsari jt, aryati & pawarti dr. perbandingan nilai diagnostik ige spesifik tungau debu rumah, metode elisa, dan imunoblot pada rinitis alergi. indonesian j clin pathol med lab. 2016; 22 (2): 119-126. https://doi.org/10.24293/ijcpml.v22i2.1113 5. dullaers m, de bruyne r, ramadani f, gould hj, gevaert p & lambrecht bn. the who, where, and when of ige in allergic airway disease. j allergy clin immunol. 2012; 129 (3): p. 635-645. https://doi.org/10.1016/j.jaci.2011.10.029 6. portnoy j, miller jd, williams pb, chew gl, miller jd, zaitoun f. environmental assessment and exposure control of dust mites: a practice parameter. ann allergy asthma immunol. 2013; 111 (6): p. 465-507. https://doi.org/10.1016/j.anai.2013.09.018 7. natalia d. peranan alergen tungau debu rumah (der p1 dan der p2) dalam reaksi alergi. cdk; 2015; 42 (4): p. 251-255. 8. mantu, b.g., wahongan, g.j. & bernadus, j.b. hubungan kepadatan tungau debu rumah dengan derajat rinitis alergi. ebiomedik. 2016; 4 (1). https://doi.org/10.35790/ebm.4.1.2016.11056 9. annesi-maesano i, didier a., klossek m, chanal i, moreau d. & bousquet j. the score for allergic rhinitis (sfar): a simple and valid assessment method in population studies. allergy: european j allegy and clin. immunol. 2002; 57 (2): 107-114. https://doi.org/10.1034/j.1398-9995.2002.1o3170.x 10. piau jp, massot c, moreau d, ait-khaled n, bouayad z, mohammad y, khaldi f, et al. assessing allergic rhinitis in developing countries. ijtld. 2010; 14 (4): 506-512. 11. ologe fe, adebola so, dunmade ad, adeniji, ka & oyejola ba. symptom score for allergic rhinitis. j otolaryngol head neck surg. 2013 april; 148 (4): 557-563. https://doi.org/10.1177/0194599813477605 12. purba ise, pijoh vd, runtuwene j. survey perilaku masyarakat terhadap populasi tungau debu rumah di kelurahan titiwungen selatan kecamatan sario kota manado. jurnal e-biomedik. 2013 mar; 1 (1): p. 319-324. https://doi.org/10.35790/ebm.1.1.2013.4365 13. mantu bg, wahongan gj, bernadus jb. hubungan kepadatan tungau debu rumah dengan derajat rhinitis alergi. jurnal e-biomedik. 2016 jan; 4 (1). https://doi.org/10.35790/ebm.4.1.2016.11056 14. yolazenia y. harianto h, riady it. gambaran kepadatan tungau debu rumah sebagai pencetus rhinitis alergi pada anak panti asuhan pekanbaru. jurnal ilmu kedokteran. 2019 mar; 13 (1): 23-27. https://doi.org/10.26891/jik.v13i1.2019.23-27 15. collof mj. dust mites. dordrecht: springer netherland; 2009. https://doi.org/10.1071/9780643100497 16. kawulur yc, tuda js, dan wahongan gj. jenis dan kepadatan tungau debu rumah yang ditemukan di kelurahan teling bawah kecamatan wenang kota manado. ebiomedik. 2013; 1 (3): 1081-1084. https://doi.org/10.35790/ebm.1.3.2013.3263 17. rambe ay, fadhlia m, munir d, haryuna, tsh, dan eyanoer pc. hubungan rinitis alergi dan disfungsi tuba eustachius dengan menggunakan timpanometri. orli. 2013; 43 (1): p. 80-89. https://doi.org/10.32637/orli.v43i1.20 18. novitasari, sorisi a, dan wahongan gjp. profil penderita alergi dengan hasil skin prick test tdr positif di poliklinik alergi-imunologi rsup prof. dr. r. d. kandou manado periode 2007-2009. ebiomedik. 2013; 1 (2): p. 1014-1018. https://doi.org/10.35790/ebm.1.2.2013.3254 https://doi.org/10.1034/j.1398-9995.2002.23625.x https://doi.org/10.24293/ijcpml.v22i2.1113 https://doi.org/10.1016/j.jaci.2011.10.029 https://doi.org/10.1016/j.anai.2013.09.018 https://doi.org/10.35790/ebm.4.1.2016.11056 https://doi.org/10.1034/j.1398-9995.2002.1o3170.x https://doi.org/10.1177/0194599813477605 https://doi.org/10.35790/ebm.1.1.2013.4365 https://doi.org/10.35790/ebm.4.1.2016.11056 https://doi.org/10.26891/jik.v13i1.2019.23-27 https://doi.org/10.1071/9780643100497 https://doi.org/10.35790/ebm.1.3.2013.3263 https://doi.org/10.32637/orli.v43i1.20 https://doi.org/10.35790/ebm.1.2.2013.3254 vol 21 no 1 january 2021 38 | 19. reinhard e, palandeng oi, dan pelealu oc. rinitis alergi di poliklinik tht-kl blu rsu prof. dr. rd kandou manado periode januari 2010–desember 2012. e-clinic. 2013; 1 (2). https://doi.org/10.35790/ecl.1.2.2013.3280 20. susanti e, pawarti dr, dan soeprijadi s. hubungan kadar rantes sekret hidung dengan skor gejala total penderita rinitis alergi. orli. 2016; 46 (2): p. 110-120. https://doi.org/10.32637/orli.v46i2.158 21. rahmawati n, suprihati s, dan muyassaroh m. faktor risiko yang mempengaruhi disfungsi tuba eustachius pada penderita rinitis alergi persisten. orli. 2011; 41 (2): 142-146. https://doi.org/10.32637/orli.v41i2.51 22. cazzoletti l, ferrari m, olivieri m, verlato g, antonicelli l, bono r., et al. the gender, age and risk factor distribution differs in self-reported allergic and non-allergic rhinitis: a cross-sectional population-based study. allergy asthma clin immunol. 2015; 11 (1): 36-44. https://doi.org/10.1186/s13223-015-0101-1 23. yu jm, luo qh, sun jl, shi cl, yin j, zhou yl., et al. diversity of house dust mite species in xishuangbanna dai: a tropical rainforest region in southwest china. biomed research international. 2015; p. 1-6. https://doi.org/10.1155/2015/421716 24. ponggalunggu wf, pijoh vd, & wahongan gj. jenis dan kepadatan tungau debu rumah pada beberapa habitat di rumah penderita penyakit alergi. ebiomedik. 2015; 3 (1): p. 254-260. https://doi.org/10.35790/ebm.3.1.2015.6734 25. de breving rfr., tuda jsb & wahongan gjp. tungau debu rumah yang ditemukan di kelurahan perkamil kecamatan paal 2 kota manado. ebiomedik. 2013; 1 (2): p. 859-862. https://doi.org/10.35790/ebm.1.2.2013.5471 26. badan perencanaan pembangunan daerah provinsi jawa timur. potensi dan produk unggulan jawa timur. 2013. surabaya: badan perencanaan pembangunan daerah provinsi jawa timur. 27. badan pusat statistik kabupaten jember. kecamatan sumbersari dalam angka. jember: badan pusat statistik kabupaten jember. 2018. 28. soltani a, azizi k, saleh v & dabaghmanesh t. the fauna and distribution of house dust mites in residential homes of bandar abbas district, southern iran. exp appl acarol. 2011; 54 (3): p. 269-276. https://doi.org/10.1007/s10493-011-9436-6 29. bousquet j, khaltaev n, cruz aa, denburg j, fokkens w, togias a, et al. allergic rhinitis and its impact on asthma (aria) 2008 update (in collaboration with the world health organization, ga2len, and allergen). allergy. 2008; 63 (suppl. 86): p. 8-160. 30. haqi, s.a. 2016. prevalensi dan derajat infestasi tungau debu rumah di asrama mahasiswa [disserattion]. bogor: institut pertanian bogor. 31. sade k, roitman d & kivity s. sensitization to dermatophagoides, blomia tropicalis, and other mites in atopic patients. j asthma. 2010; 47 (8): 849-852. https://doi.org/10.3109/02770903.2010.506683 https://doi.org/10.35790/ecl.1.2.2013.3280 https://doi.org/10.32637/orli.v46i2.158 https://doi.org/10.32637/orli.v41i2.51 https://doi.org/10.1186/s13223-015-0101-1 https://doi.org/10.1155/2015/421716 https://doi.org/10.35790/ebm.3.1.2015.6734 https://doi.org/10.35790/ebm.1.2.2013.5471 https://doi.org/10.1007/s10493-011-9436-6 https://doi.org/10.3109/02770903.2010.506683 mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm ©2018 mmjkk. all rights reserved vol 18 no 2 hal 61-66 juli 2018 penerapan sunnah rosul sebelum tidur meningkatkan kualitas tidur pasien kanker payudara implementation of the prophet’s sunnah before sleeping to improve sleep quality of breast cancer patients diyanah syolihan rinjani putri 1 *, sri nabawiyati nurul makiyah 1 , dewi puspita 1 1 data naskah: *korespondensi: putridiana186@gmail.com doi: 10.18196/mm.180217 type of article: research abstrak: pasien kanker payudara mendapatkan penatalaksanaan kemoterapi. salah satu efek kemoterapi adalah kualitas tidur buruk. seseorang yang mengalami gangguan tidur bisa mengakibatkan kelelahan, depresi dan kecemasan. penerapan sunnah rosul sebelum tidur mempunyai efek positif bagi tubuh. penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas tidur pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi dengan penerapan sunnah rosul sebelum tidur. penelitian ini menggunakan quasi experiment pretest-postest with intervention control group design. sampel sebanyak 26 responden kanker payudara dengan teknik purposive sampling. kriteria inklusi yaitu pasien yang menjalani kemoterapi 1 minggu sekali, mempunyai kualitas tidur buruk, beragama islam, medapatkan kemoterapi adjuvan dan kriteria eksklusinya mempunyai alergi/sensitifitas terhadap suara. penilaian kualitas tidur menggunakan pittsburgh sleep quality index. intervensi yang diberikan penerapan sunnah rosul sebelum tidur selama 7 hari. data kualitas tidur dianalisis menggunakan independent t-test. kualitas tidur kelompok kontrol pretest 9,83 dan posttest 11,83, kualitas tidur kelompok intervensi pretest 12,93 dan posttest 7,00. hasil posttest pada kedua kelompok dengan p value=0,003 menunjukkan terdapat pengaruh penerapan sunnah rosul sebelum tidur. penerapan sunnah rosul sebelum tidur efektif untuk meningkatkan kualitas tidur pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi. kata kunci: kanker payudara; kemoterapi; sunnah rosul; kualitas tidur abstract: most breast cancer patients are suggested to under of chemotherapy. one of the effects of chemotherapy is bad sleep. someone suffering from sleep disorders is potential to suffer from fatigue, depression, and anxiety. the implementation of the prophet’s sunnah before sleeping gives the body a positive effect. the research aims to improve sleep quality of breast cancer patients undergoing chemotherapy with implementation of the prophet’s sunnah before sleeping. the research applied the quasi experiment pretest-posttest with intervention and control group design. the collected samples are 26 breast cancer respondents with purposive sampling technique. the inclusion criteria are patients undergoing chemotherapy one week, have poor sleep quality, moslem, obtain adjuvant chemotherapy and exclusion criteria have allergies / sensitivities to noise. sleep quality was assessed by using the pittsburg sleep quality index. the intervention of the prophet’s sunnah was done before sleeping for 7 days. sleep quality data were analyzed by using the independent t-test. sleep quality controls group pretest 9.83 and posttest 11.83, sleep quality interventions group pretest 12,93 and posttest 7,00. the posttest results of the two groups with p value = 0.003, shows there is an effect of applying the sunnah of the prophet before sleeping. the implementation of the prophet’s sunnah before sleeping was effective to improve sleep quality of breast cancer patients undergoing of chemotherapy. universitas muhammadiyah yogyakarta received: 2 jul 2018 reviewed: 5 jul 2018 revised: 13 jul 2018 accepted: 14 jul 2018 mailto:putridiana186@gmail.com 62 | vol 18 no 2 juli 2018 key words: breast cancer; chemotherapy; prophet’s sunnah; sleep quality pendahuluan menurut american cancer society (acs), terdapat kasus baru 63.410 kanker payudara. 1 penatalaksanaan yang paling sering dilakukan oleh pasien kanker payudara yaitu kemoterapi. pengobatan dengan kemoterapi merupakan suatu terapi yang melelahkan dan mempunyai banyak efek samping yang dialami penderita kanker payudara. 2 efek samping kemoterapi antara lain kelelahan, rambut rontok, anoreksia, insomnia atau gangguan tidur bahkan menyebabkan timbulnya emosi yang negatif seperti terjadinya kecemasan dan depresi. 3 gangguan tidur dapat mempengaruhi kualitas tidur pada pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi sebanyak 63,3% dari 823 pasien mengalami gangguan tidur setelah kemotearpi. 4 tian et al. (2015), 5 menyatakan pasien kanker sebelum mendapatkan terapi mengalami gangguan tidur 52,6% setelah mendapatkan terapi meningkat menjadi 64,5%. seseorang yang telah menjalani kemoterapi mengalami waktu yang lama untuk memulai tidur dan sering terbangun tengah malam dari 21 kali menjadi 29 kali. 6 gangguan tidur bisa mengakibatkan kelelahan, depresi, kecemasan yang lebih besar, mudah tersinggung, sensitivitas nyeri, tremor otot, imunosupresi dan kurang kewaspadaan siang hari. 7 penatalaksanaan gangguan tidur sangat penting untuk dilakukan salah satunya dengan cara terapi nonfarmakologi yang efektif dan aman untuk meningkatkan kualitas tidur yaitu complementary and alternative medicine (cam) pada bagian mindbodt therapy yaitu berdoa. 8 pada ajaran agama islam terdapat sunnah rosul yang dikerjakan sebelum tidur yang di dalamnya terdapat kegiatan yang dilakukan sebelum tidur dan berdoa. 9 hasil penelusuran literatur, penelitian terkait penatalaksanaan gangguan tidur pada pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi menggunakan terapi musik sudah ada, akan tetapi belum ditemukan penatalaksanaan menggunakan pendekatan mind-body therapy yaitu penerapan sunnah rosul sebelum tidur. penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas tidur pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi dengan penerapan sunnah rosul sebelum tidur. bahan dan cara penelitian ini menggunakan quasi eksperiment dengan pretest–posttest with intervention control group design. populasi dalam penelitian adalah seluruh pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi di rumah sakit umum daerah (rsud) temenggung sebanyak 56 orang. pemilihan sampel dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling. kriteria inkulusi pada penelitian ini adalah responden kanker payudara tidak mengalami gangguan pendengaran, bisa membaca dan menulis, beragama islam, usia >18 tahun, menjalani kemoterapi 1 minggu sekali, mendapatkan kemoterapi adjuvan (kemoterapi setelah mendapatkan operasi radikal), berjenis kelamin perempuan yang sedang menjalani kemoterapi, mempunyai kualitas tidur buruk, terdapat keluarga yang tinggal dalam satu rumah dengan responden. kriteria eksklusi yaitu responden tidak mengikuti penelitian sampai akhir, mempunyai alergi/sensitifitas terhadap suara seperti epilepsi. jumlah responden yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 26 orang yang terdiri dari 12 responden kelompok kontrol dan 14 responden kelompok intervensi. penelitian ini dilakukan pada tanggal 28 mei-12 juni 2018 di ruang kemoterapi rsud temanggung. instrumen pertama yang digunakan yaitu kuesioner pittsburgh sleep quality index (psqi) untuk menilai kualitas tidur. penilaian psqi diberikan nilai 0-21. kualitas tidur dikatakan baik bila < 5 dan dikatakan kualitas tidur buruk >5. 10 instrumen kedua yaitu menggunakan instrumen lantunan murottal al-qur’an dengan nilai kalibrasi 65-80db disimpan di mp3 player. inervensi penerapan sunnah rosul sebelum tidur diberikan pada kelompok intervensi berupa kegiatan sebelum tidur terdiri dari mencuci tangan dengan sabun, menyikat gigi, berwudhu masingmasing 1 kali, membersihkan tempat tidur sambil membaca membaca basmallah sebanyak 3 kali. kegiatan berikutnya duduk di samping tempat tidur membaca basmallah dilanjutkan mendengarkan murottal al-qur’an surat al-ihlas, al-falaq, annas dan ayat kursi masing-masing 3 kali putaran selama 8 menit 50 detik. setelah selesai mendengarkan murottal al-qur’an meniupkan ke tangan kemudian diusapakan ke seruruh tubuh sebanyak 3 kali kemudian membaca alhamdulillah. | 63 kegiatan selanjutnya melakukkan dzikir yang terdiri dari subhanallah, alhamdulillah, allahu akbar masing-masing sebayak 33 kali dengan menggunakan tasbih. selanjutnya mengatur posisi tidur miring kanan, membaca do’a sebelum tidur, melapaskan astaghfirullaahal’azihiimi sampai dengan tertidur. intervensi penerapan sunnah rosul sebelum tidur dilakukkan 30 menit menjelang tidur biasa masing-masing responden, dilakukan secara mandiri di rumah masing-masing. peneliti mengingatkan melalui sms/telepon/whatsapp. pengontrolan dilakukan dengan kunjungan rumah dan pertemuan di poli onkologi saat kontrol. analisis data yang digunakan untuk menilai pengaruh pemberian penerapan sunnah rosul sebelum tidur pada pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi menggunakan independen t-test. hasil karakteristik subjek penelitian pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi terdiri dari tingkat pendidikan, lama kemoterapi, penggunaan lampu saat tidur, frekuensi kemoterapi dan usia dapat dilihat pada tabel 1. berdasarkan tabel 1. responden pada kelompok kontrol maupun intervensi mayoritas pendidikannya adalah sd sebanyak 35,7% pada kelompok tabel 1. karakteristik responden kanker payudara yang menjalani kemoterapi di rsud temanggung (n=26) karakteristik kelompok intervensi (n=14) kontrol (n=12) n (%) n (%) tingkat pendidikan tidak sekolah 1 8,3 sd 5 35,7 6 50 smp 4 28,6 3 25 sma 2 14,3 2 16,7 perguruan tinggi 3 21,4 lama kemoterapi < 1 tahun 13 92,9 12 100 1-3 tahun 1 7,1 penggunaan lampu saat tidur ya 8 57,1 9 75 tidak 6 42,9 3 25 karakteristik x + sd kontrol intervensi usia 49,17(7,84) 50,86(7,03) frekuensi kemoterapi 6,83 (4,02) 7,57 (5,15) tabel 2. hasil analisis kualitas tidur pada kedua kelompok kelompok n rata-rata nilai p pretest kontrol 12 9,83 0,017 intervensi 14 12,93 posttest kontrol 12 11,83 0,003 intervensi 14 7,00 intervensi dan 50% ada kelompok kontrol. pada lama kemoterapi kelompok intervensi 92,9% dan kontrol 100% <1 tahun. penggunaan lampu pada saat tidur mayoritas menggunakan lampu saat tidur pada kelompok intervensi 57,1% dan kontrol 75%. usia kelompok intervensi maupun kontrol merupakan lansia awal dengan kisaran pada kelompok intervensi 51 tahun dan kontrol 49 tahun, sedangkan pada frekuensi kemoterapi dengan rata-rata baik kelompok kontrol maupun intervensi sebanyak 7-8 kali. hasil analisis independent sample t-test dapat dilihat pada tabel 2. tabel 2. menunjukkan bahwa hasil pretest pengukuran kualitas tidur pada kelompok inter-vensi dan kontrol mempunyai perbedaan dengan rata-rata pada kelompok kontrol 9,83 dan inter-vensi 12,93 dengan p value=0,017. hasil posttest ke-lompok kontrol 11,83 intervensi 7,00 dengan p value=0,003. tabel 2. diketahui bahwa p value (p< 0,05), sehingga dapat dikatakan bawa pada kelom-pok kontrol mengalami peningkatan nilai kualitas tidur menjadi lebih buruk dan pada kelompok inter-vensi terjadi penurunan nilai. disimpulkan bahwa penerapan sunnah rosul sebelum tidur efektif un-tuk meningkatkan kualitas tidur pasien kanker pa-yudara yang menjalani kemoterapi. diskusi karakteristik demografi. semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi tingkat pengetahuannya. 11 pada penelitian tingkat pendidikan sebagian responden sd, sehingga untuk pengetahuan terkait pencegahan kanker maupun penanganan gangguan tidur sedikit. penatalaksanaan kanker menggunakan kemoterapi pada tahap awal menjalani kemoterapi menjadi faktor utama yang membuat kualitas tidur buruk atau mengalami gangguan tidur. 5 gangguan tidur yang terjadi akibat kemoterapi yaitu pada komponen latensi tidur dan terbangun pada malam hari. 64 | vol 18 no 2 juli 2018 kemoterapi menyebabkan seseorang membutuhkan 34,8 menit untuk mulai tertidur dan terbangun sebanyak 21-29 kali pada malam hari. 12 berbagai hal ini mengakibatkan singkatnya waktu yang dimiliki pasien untuk tidur dan membuat kualitas tidur pasien menjadi buruk. 13 penggunaan lampu yang redup atau mati saat tidur memberikan efek positif terhadap waktu terjaga atau kewaspadaannya menjadi lebih singkat, membuat lebih cepat mengantuk. 14, 15 seseorang yang terpapar cahaya durasi lama (4 dan 6,5 jam) di malam hari membuat tertundanya fase tidur. 16 american cancer society yang menunjukkan bahwa angka kejadian kanker terbanyak pada usia 50-69 tahun, 1 di indonesia prevalensi kejadian kanker terbaru banyak pada usia 45-54 tahun. 17 hal ini sesuai dengan pendapat nurzallah (2015), 18 meningkatnya risiko terjadinya kanker payudara sejalan dengan bertambahnya usia. pada pasien yang menjalani kemoterapi untuk pertama kali maupun seterusnya tetap mengalami gangguan tidur akibat seringnya terbangun tengah malam untuk ke kamar mandi, gelisah atau tidak bisa untuk memulai tidur sebelum atau setelah terbangun pada tengah malamnya. 19 pasien yang telah berulang kali mendapatkan kemoterapi semakin berisiko mengalami gangguan tidur dan insomnia, sehingga perlu diberikan terapi untuk menangani gangguan tidurnya. 5 penerapan sunnah rosul sebelum tidur. hasil penelitian george et al. (2016), 13 nilai penilaian kualitas tidur menggunakan psqi 7,6±4,0 yang menunjukkan bahwa pasien memiliki kualitas tidur buruk. hasil yang sama didapatkan oleh yennursjslingsm et al. (2015), 20 hasil pengukuran kualitas tidur pada pasien kanker dengan kemoterapi 8,0±3,7 di university texsas md anderson cancer center yang dilakukan pada 180 seluruh pasien kanker. dapat dikatakan baik dalam penelitian ini maupun penelitian sebelumnya yang melihat kualitas tidur pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi yang diukur dengan kuesioner yang sama mendepatkan nilai kualitas tidur yang buruk lebih dari 5. pemberian intervensi untuk penatalaksanaan gangguan tidur menggunakan musik efektif dapat meningkatkan kualitas tidur, musik didengarkan selama 20-30 menit dengan 10 kali sesi pertemuan. 21 selain itu pasien-pasien yang diberikan penatalaksanaan gangguan tidur mendengarkan murottal alqur’an efektif meningkatkan kualitas tidur. murottal al-qur’an diberikan selama 15 menit dalam 7 hari. 22 melakukan dzikir efektif untuk meningkatkan kualitas tidur yang dilakukan selama 10-15 menit. 9,23 pasien yang diberikan penatalaksanaan untuk mengurangi gangguan tidurnya akan meningkatkan kualitas tidur semakin membaik, sedangkan yang tidak diberikan penatalksanaan kualitas tidurnya semakin buruk dengan hasil pada kelompok kontrol pretest 16,40 dan posttest 16,80, 24 atau nilai kualitas tidur tidak mengalami penurunan yang signifikan pretest 6,001 dan posttest 5,842. 23 intervensi pemberian terapi murottal merupakan salah satu terapi musik yang memiliki pengaruh positif bagi pendengaran. 25 terapi musik efektif untuk meningkatkan kualitas tidur pada pasien kemoterapi dan radioterapi. 21 murottal merupakan salah satu terapi musik yang memeiliki pengaruh positif bagi pendengaran. 26 terapi murottal al-qur’an dengan tempo yang lambat serta harmonis dapat menurunkan hormonhormon stres, mengaktifkan hormon endorfin alami (serotonin). mekanisme ini dapat memperbaiki sistem kimia tubuh sehingga menurunkan tekanan darah, memperlambat pernafasan, detak jantung, denyut nadi dan aktivitas gelombang otak, 27,28 dan dapat meningkatkan perasaan rileks atau nyaman, mengalihkan perhatian dari rasa takut atau kecemasan, 28 meningkatkan kualitas tidur. 12,28,29,30 melakukan dzikir mengeluarkan hormon beta endorphin yang membuat pelakunya menjadi rileks dan mendapatkan kebahagiaan, 28 selain itu melakukan kegiatan sunnah rosul sebelum tidur dapat meningkatkan kualitas tidur. 9 ilmu kedokteran telah banyak mengungkapkan manfaat dari metode al-qur’an sebagai pengobatan kuratif. di dalam kitab suci al-qur’an surat qs. ar-ra’d, menyatakan al-qur’an diturunkan sebagai penyembuh dan petunjuk bagi orang-oarang yang beriman yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat allah. ingatlah, hanya dengan mengingat allah-lah hati menjadi tentram. (qs. ar-ra’d, 13:28).31 melakukan penerapan sunnah rosul sebelum tidur, dapat memberikan efek positif bagi tubuh. 30 saat mengamalkan kegiatan sunnah rosul muhammad saw, maka yang mengamalkannya akan mendapatkan banyak manfaat selain dari pahala yaitu tidur menjadi lebih optimal. 32 disimpulkan penerapan sunnah rosul sebelum tidur efektif untuk mengatasi keluhan gangguan tidur yang dialami pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi. | 65 simpulan terdapat peningkatan kualitas tidur pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi setelah diberikan intervensi penerapan sunnah rosul sebelum tidur. daftar pustaka 1. american cancer society. cancer facts & figures. the society. 2017. diakses dari https://www.cancer.org/content/dam/cancerorg/research/cancer-facts-and-statistics/breastcancer-facts-and-figures/breast-cancer-facts-andfigures-2017-2018.pdf. diakses pada oktober 2017. 2. charalambous a, kaite cp, charalambous m, tistsi t, kouta c. the effects on anxiety and quality of life of breast cancer patients following completion of the first cycle of chemotherapy. sage open med, 2017; 5. 3. zhang j, zhou y, feng z, xu y, zeng g. longitudinal trends in anxiety, depression and quality of life during different intermittent periods of adjuvant breast cancer chemotherapy. cancer nursing, 2018; 41 (1): 62-68. 4. garland sn, johnson ja, savard j, gehrman p, perlis m, carlson l, campbell t. sleeping well with cancer: a systematic review of cognitive behavioral therapy for insomnia in cancer patients. neuropsychiatr dis treat, 2014; 10: 1113-24. 5. tian j, chen gl, zhang hr. sleep status of cervical cancer patients and predictors of poor sleep quality during adjuvant therapy. support care cancer, 2015; 23 (5): 1401-1408. 6. budhrani ph, lengacher ca, kip k, tofthagen c, jim h. an integrative review of subjective and objective measures of sleep disturbances in breast cancer survivors. clin j oncol nurs, 2015; 19 (2): 185-191. 7. lafçi d, & öztunç g. the effect of music on the sleep quality of breast cancer patients. int j caring sci, 2015; 8 (3): 633-640. 8. ong jc, manber r, segal z, xia y, shapiro s, wyatt jk. a randomized controlled trial of mindfulness meditation for chronic insomnia. sleep, 2014; 37 (9): 1553-1563. 9. al-halaj qmi. pengaruh dzikir menjelang tidur terhadap kualitas tidur lanjut usia di panti sosial tresna wredha budi mulia 01 jakarta timur. skripsi. uin syarif hidayatullah jakarta. 2015. diakses dari http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/12 3456789/25630/1/qoys%20muhammad%20iqba l%20al-halaj%20-%20fkik.pdf. diakses pada oktober 2017. 10. buysse dj, reynolds cf, monk th, berman sr, kupfer dj. the pittsburgh sleep quality index: a new instrument for psychiatric practice and research. psychiatry res, 1989; 28 (2): 193-213. 11. notoatmodjo s. ilmu perilaku kesehatan. jakarta: rineka cipta. 2014. 12. kurniyawan eh. murottal al-quran therapy to increase sleep quality in nursing students. unej e-proceeding, 2018: 7-14. 13. george gc, iwuanyanwu ec, anderson ko, yusuf a, zinner rg, piha‐ paul sa, et al. sleep quality and its association with fatigue, symptom burden and mood in patients with advanced cancer in a clinic for early‐ phase oncology clinical trials. cancer, 2016; 122 (21): 3401-3409. 14. chang am, santhi n, st hilaire m, gronfier c, bradstreet ds, duffy jf, et al. human responses to bright light of different durations. j physiol, 2012; 590 (13): 3103-3112. 15. cho y, ryu sh, lee br, kim kh, lee e, choi j. effects of artificial light at night on human health: a literature review of observational and experimental studies applied to exposure assessment. chronobiol int, 215; 32 (9), 1294-1310. 16. zeitzer jm, ruby nf, fisicaro ra, heller hc. response of the human circadian system to millisecond flashes of light. plos one, 2011; 6 (7): e22078. 17. riset kesehatan dasar (riskesdas). badan penelitian dan pengembangan kesehatan kementerian ri tahun 2013. 2013.diakses dari http://www.depkes.go.id/resources/download/gen eral/hasil%20riskesdas%20 2013.pdf. diakses pada oktober 2017. 18. nurzallah pa. pengaruh pemberian terapi musik klasik mozart terhadap waktu pulih sadar pasien kanker payudara dengan anestesi general di rsud dr. moewardi surakarta. skripsi. universitas muhammadiyah surakarta. 2015. 19. davis mp, goforth hw. long-term and shortterm effects of insomnia in cancer and effective interventions. cancer j, 2014; 20 (5): 330-344. 20. yennurajalingam s, balachandran d, cardozo slp, berg ea, chisholm gb, reddy a, et al. patientreported sleep disturbance in advanced cancer: frequency, predictors and screening performance of the edmonton symptom assessment system sleep item. bmj support palliat care, 2017; 7 (3): 274-280. 21. vinayak s, dehkhoda f, vinayak r. the effect of music therapy on sleep quality of cancer patients https://www.cancer.org/content/dam/cancer-org/research/cancer-facts-and-statistics/breast-cancer-facts-and-figures/breast-cancer-facts-and-figures-2017-2018.pdf https://www.cancer.org/content/dam/cancer-org/research/cancer-facts-and-statistics/breast-cancer-facts-and-figures/breast-cancer-facts-and-figures-2017-2018.pdf https://www.cancer.org/content/dam/cancer-org/research/cancer-facts-and-statistics/breast-cancer-facts-and-figures/breast-cancer-facts-and-figures-2017-2018.pdf https://www.cancer.org/content/dam/cancer-org/research/cancer-facts-and-statistics/breast-cancer-facts-and-figures/breast-cancer-facts-and-figures-2017-2018.pdf http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25630/1/qoys%20muhammad%20iqbal%20al-halaj%20-%20fkik.pdf http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25630/1/qoys%20muhammad%20iqbal%20al-halaj%20-%20fkik.pdf http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25630/1/qoys%20muhammad%20iqbal%20al-halaj%20-%20fkik.pdf 66 | vol 18 no 2 juli 2018 undergoing chemotherapy or radiotherapy: a randomized control trial. j social sci, 2017; 6 (4): 734-743. 22. oktora spd, purnawan i, achiriyati d. pengaruh terapi murottal al qur’an terhadap kualitas tidur lansia di unit rehabilitasi sosial dewanata cilacap. jurnal keperawatan soedirman (the soedirman journal of nursing), 2016; 11 (3): 168-173. 23. reflio r, dewi ap, utomo w. pengaruh terapi al zikir terhadap kualitas tidur lansia. jurnal online mahasiswa program studi ilmu keperawatan universitas riau, 2016; 2 (2): 1418-1425. 24. suryani s, salmiyati s. pengaruh terapi audio murottal surah ar-rahman terhadap tingkat insomnia pada lanjut usia di upt panti wredha budhi dharma ponggalan yogyakarta. doctoral dissertation, universitas' aisyiyah yogyakarta. 2017. 25. li xm, zhou kn, yan h, wang dl, zhang yp. effects of music therapy on anxiety of patients with breast cancer after radical mastectomy: a randomized clinical trial. j adv nurs, 2012; 68 (5): 1145-1155. 26. bunt l, stige b. music therapy: an art beyond words (2nd ed). london: routledge. 2014. 27. altenmüller e, schlaug g. music, brain and health: exploring biological foundations of music’s health effects. music, health, and wellbeing, 2012.p.12-24. 28. haruyama s. the miracle of endhorphin. bandung: mizan pustaka. 2013. 29. maghfirah n. 99 fenomena menakjubkan dalam alquran. jakarta: mizania. 2015. 30. hananta l, benita s, barus j, halim f. gangguan tidur pada pasien kanker payudara di rumah sakit dharmais jakarta. damianus j med, 2014; 13 (2): 84-94. 31. qomari. departement agama republik indonesia alqur’an dan terjemahan 30 juz. solo: pt qomari prima publisher. 2007. 32. irham mi. panduan meraih kebahagiaan menurut alqur’an. jakarta: penerbit hikmah. 2011. simpulan mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 19 no 2 hal 56-63 juli 2019 antioxidant activity from the combination of ethanolic extract of tea leaves (camellia sinensis) and soursop leaves (annona muricata l.) and optimation of the effervescent granule production uji antioksidan kombinasi ekstrak etanolik daun teh (camellia sinensis) dan daun sirsak (annona muricata l.) dan optimasi formulasi sediaan granul effervescent fatma sari masitha1, rifki febriansah1* 1 program studi farmasi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta, yogyakarta data of article: received: 21 feb 2019 reviewed: 16 mar 2019 revised: 21 may 2019 accepted: 23 jun 2019 *correspondence: rifki.febriansah@umy.ac.id doi: 10.18196/mm.190230 type of article: research abstract: soursop leaves (annona muricata l.) and tea leaves (camellia sinensis) are plants that contain flavonoids which are considered to act as antioxidants and can become chemopreventive agents. this study aims to identify the potential of soursop leaves and tea leaves as chemopreventive agents. the first stage of this research was to determine the presence of flavonoids in both of ethanolic extract using tlc method. the second stage is to examine the antioxidant activity of the combination of ethanolic extract of soursop leaves and tea leaves against free radical dpph (1,1-diphenyl-2-pikrihidrazil). docking molecular test of acetogenin and catechin compounds at her-2 and er-α receptors which are biomarkers of breast cancer. furthermore, the optimization of effervescent granule production using moist granulation method is carried out. the result shows that ethanolic extract of soursop leaves and tea leaves contains flavonoid shown with rf value of 0.66 and 0.68, and the comparison of rf 0.66. the combination of both ethanolic extract has very strong antioxidant activity with ic50 value 26,90 μg/ml. the result of molecular docking of acetogenin and catechin compounds at her-2 receptors shows respective docking score of -6.3 kcal/mol and -6.7 kcal/mol while er-α receptors shows a docking score of -6.5 kcal/mol and -7.6 kcal/mol. in addition, the most optimal effervescent granule production is formula four with physical test result such as moisture content of 1.07% with a dissolve time of 45.5 seconds and acidity of 6.18. the result shows that ethanolic extract of soursop leaf (annona muricata l.) and tea leaves (camellia sinensis) have potential activity as chemopreventive agents and can be formulated into effervescent granule production. keywords: annona muricata; camellia sinensis; antioxidant; effervescent granule; molecular docking abstrak: daun sirsak (annona muricata l.) dan daun teh (camellia sinensis) merupa-kan tanaman yang memiliki kandungan senyawa flavonoid yang diduga berperan sebagai antioksidan dan dapat menjadi agen kemopreventif. penelitiaan ini bertujuan untuk mengetahui potensi dari daun sirsak dan daun teh sebagai agen kemopreventif. metode penelitian yang digunakan yaitu eksperimental, serbuk daun sirsak dan daun teh dimaserasi menggunakan etanol 70%. identifikasi golongan senyawa ekstrak menggunakan meto-de klt dengan fase gerak n-butanol : asam asetat : air (7:2:1). uji antioksidan dengan metode dpph (1,1-difenil-2-pikrihidrazil), uji molecular docking senyawa acetogenin dan katekin pada protein reseptor her-2 dan er-α, dan dilakukan optimasi formula mailto:rifki.febriansah@umy.ac.id | 57 sediaan granul effervescent kombinasi ekstrak menggunakan metode granulasi basah. hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun sirsak dan daun teh mengandung senyawa golongan flavonoid ditunjukkan dengan nilai rf yaitu 0,66 dan 0,68 serta pembanding rutin dengan rf 0,66. kombinasi ekstrak etanolik daun sirsak dan daun teh memiliki aktivitas antioksidan yang sangat kuat dengan nilai ic50 sebesar 26,9 µg/ml. hasil uji molecular docking senyawa acetogenin dan katekin pada reseptor her-2 menunjukkan docking score secara berurutan -6,3 dan -6,7 kcal/mol, sedangkan pada reseptor er-α menunjukkan docking score secara berurutan -6,5 dan -7,6 kcal/mol. sediaan granul effervescent yang paling optimal yaitu formula empat dengan hasil uji fisik berupa kadar air 1,07% dengan waktu larut 45,5 detik dan keasaman ph 6,18. hasil uji menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun sirsak dan daun teh berpotensi sebagai agen antioksidan dan dapat diformulasikan menjadi sediaan granul effervescent. kata kunci: annona muricata l.; camellia sinensis; antioksidan; docking molekuler; granul effervescent introduction one of cancers that has the highest incidence rate in indonesia is breast cancer, the new incidence rate of which reaches up to 43.3%. breast cancer is a type of cancer that ranks first in women. it usually attacks women over 50 years of age. in indonesia, according to the cancer registration agency of indonesian pathology specialist association and the indonesian cancer foundation (icf) in 2010, the breast cancer incidence rate in indonesia is 12 out of 100,000 women, and it has risen steadily since 2002. 1 tea leaves (camellia sinensis) have many benefits, the biggest of which is as a powerful antioxidant as it contains catechin compound. catechins are believed to be a powerful antioxidant that can suppress cell proliferation and have a chemo preventive effect. soursop leaves (annona muricata l.) have also been shown to have anticancer effects. the acetogenin compound has been proven to become anticancer and cytotoxic agents. this study aims to identify the potential antioxidant of a combination of camellia sinensis and annona muricata l. leaves and the optimization of its formulation into effervenscent granule production. material and method plant identification. the test materials, camellia sinensis and annona muricata, were identified before they were used for research. plant identification was carried out at the laboratory of faculty of biological pharmacy, universitas gadjah mada, yogyakarta. extraction. the extraction process used maceration method by dissolving simplicia pollen into 70% ethanol with a ratio of pollen : 70% ethanol (1 : 6). the simplicia pollen was soaked into 70% ethanol for 4 days. chemical compounds test. this test was carried out by using tlc method. the mobile phase used is such as nbutanol: acetic acid : water (baa) with a ratio of 7 : 2 : 1 while the stationary phase used is silica gel gf 254 . upon the elution process, the tlc plate was removed from the chamber and dried in an oven within 600 c for 10 minutes. afterwards, the plate was observed under a uv lights with a wavelength of 254 nm and the results and its rf score were examined. furthermore, the colour reagent, ammoniac vapor, was used to detect flavonoids. antioxidant activity test. the dpph standard solution was made by dissolving 15.8 mg of dpph powder into a measuring flask. it was then dissolved into 100 ml of methanol p.a to obtain a concentration of 0.4 mm. the solution was vortexed for 30 seconds and wrapped using aluminium foil. furthermore, vitamin c solution was made by dissolving 5 mg of vitamin c and was put into a 50 ml of measuring flask. methanol was then added up to the limits as the mother liquor. subsequently, series of vitamin c was graded into 0.5 ; 1; 5; 10; 20; 30 µg / ml. subsequently, 20 mg of a combination of ethanoic extract of both soursop leaves and tea leaves was dissolved along with 20 ml of methanol p.a to obtain a concentration of 1000 µg / ml. the series of mother liquor from such combination was graded into 5; 7.5; 10; 15; 20; 30 µg/ml. furthermore, operating time is determined by preparing 35 ml volumetric flasks, and then fill the three volumetric flasks with 1 ml of vitamin c solution with the degree of 3; 4 and 5 µg/ml, respectively. add 1 ml of dpph solution into each volumetric flask and add methanol to the limits. move each solution in the measuring flask into the test tube then vortex for 30 seconds. read the absorbance of the solution at 514 nm every 5 minutes for 45 minutes, and do it within 3-time replication. the maximum wavelength is identified by filling the 10 ml volumetric flask with 1 ml of dpph solution, and adding methanol to the limits. the solution is then moved into a test tube and vortex the solution for 30 seconds. leave the solution during operating time and read the absorption at a wavelength of 200-800 nm. absorbance of dpph solution was measured by filling 2 ml of dpph solution into a 10 ml volumetric flask. add methanol to the limits and leave it during operating time. read absorption at  maximum and do it within 3-time replication. furthermore, the absorbvol 19 no 2 july 2019 58 | ance of vitamin c solution and samples was measured by filling 2 ml of dpph solution into a 10 ml volumetric flask. add 2 ml of vitamin c or sample solution to the series of concentration made and add methanol to the limits. vortex the solution for 30 seconds, and leave it during operating time. read absorption at  maximum and do it within 3-time replication. inhibition concentration 50 (ic50) was calculated by processing sample absorbance data into % antioxidant with the formula as follows: value ic50 can be obtained by entering the value 50 as y in the linear regression equation obtained from the relationship of x = level and y = % antioxidants. molecular docking. in this research, the data of target protein structure was obtained through protein data bank (gdp) by accessing www. rcsb.org. pdb id used was her-2 as the target docking with 3pp0 as protein code and er-α with code 6b0f. then download the file with pdb format. the receptor file and ligand test compound with pdbqt format were put in one folder named vina on local disk c. to run the docking simulation with autodock vina is run by using the command prom. 9 conformations will appear in the folder and the conformation used is the one that has the lower rmsd than 2å. to be able to see the results of docking, it can be visualized using the ds visualizer application. prior to that, convert files that have the pdbqt format into pdb using the open babel application so that it can be visualized using ds visualizer. in the input section, enter the result of docking with pdbqt format, then change the output section to pdb, and do the conversion by pressing conver . the docking results can be visualized using ds visualizer. effervescent granule formulation. extract powder was obtained by putting thick extracts combination of tea leaves and soursop leaves into the oven at 450 c temperature for 72 hours. figure 1. flow chart of effervescent granule process | 59 table 1. the formula of effervescent granule no material formulation (%) f.1 f.2 f.3 f.4 1 extract powder 1,5 1,5 1,5 1,5 2 citric acid 16,4 20,7 14 8 3 tartic acid 11 14 23,5 26 4 na bicarbonate 26 32 32,7 33 5 pvp 1,4 1,4 1,4 1,4 6 sodium benzoate 1 1 1 1 7 saccharin 0,5 0,5 0,5 0,5 8 lactose ad 100 ad 100 ad 100 ad 100 the test of physical effervescent granules includes organoleptic test, water content test, ph analysis, and granule dissolve test. result plant identification. the identification result showed that samples used are tea leaves (camellia sinensis) and soursop leaves (annona muricata l.). extraction. the extraction method used in this study is maceration method. this method was chosen because the compounds in the camellia sinensis’ and annona muricata l.’s simplicia can figure 2. plate tlc before ammoniac evaporation be damaged at high temperatures. the result of the maceration method was to obtain thick extract of camellia sinensis weighing 27.3 grams and annona muricata l. weighing 28.7 grams. thin-layer chromatography. the stationary phase used was plate gf 254 silica gel, while the mobile phase used was nbutanol : acetic acid : water (baa). based on these experiments, the baa mobile phase with a ratio of 7 : 2 : 1 shows the best separation result compared to other comparisons. to detect flavonoids, colour testing was carried out with ammoniac compounds. value rf of each spot can be seen on table 2. antioxidant test with dpph. the antioxidant test was carried out by spectrophotometric methods on several levels. data on the average of absorbance reaction between dpph and vitamin c and dpph in combination with eedt and eeds can be seen in table 3. to get the absorbance of the negative control, read the absorbance of dpph solution. based on the experimental results, it is obtained an average dpph absorbance of 0.7023. the results of calculation of vitamin c inhibition percentage can be seen in table 4 while the inhibition percentage figure 3. plate klt after ammoniac evaporation table 2. the results of klt from an extract combination of tea leaf and soursop leaf spot number rf colour stain before nh3 evaporation colour stain after nh3 evaporation colour uv 254 nm colour uv 254 nm 1 0,66 colourless damping yellow darker damping 2 0,89 colourless damping amber yellow darker damping 3 0,68 colourless damping yellow darker damping 4 0,91 colourless damping amber yellow darker damping 5 0,66 colourless damping yellow darker damping vol 19 no 2 july 2019 60 | table 3. average absorbance of vitamin c no concentration (µg/ml) average absorbance deviation standard 1 0,5 0,641 0,026 2 1 0,638 0,006 3 2 0,625 0,034 4 5 0,557 0,013 5 10 0,402 0,021 6 20 0,189 0,063 7 30 0,055 0,014 of the data of edt and eeds combination can be seen in table 5. linear regression graph which shows the relationship between the concentration and the inhibition percentage of eedt and eeds combination as well as vitamin c can be seen in figure 4 and figure 5. upon obtaining a linear regression equation, ic 50 can be calculated. this value is obtained by converting value y into 50. the result count shows the value of ic 50 vitamin c of 14.20 pg / ml, while the value for the extract combination is 26.9 mg / ml. molecular docking. the proteins tested in this study are her-2 and er-α receptors. the result of the molecular docking test of the two molecules is in table 4. data percentage of vitamin c inhibition no concentration (µg/ml) average absorbance deviation standard 1 0,5 0,641 0,026 2 1 0,638 0,006 3 2 0,625 0,034 4 5 0,557 0,013 5 10 0,402 0,021 6 20 0,189 0,063 7 30 0,055 0,014 table 5. data percentage of eedt and eeds combination no concentration (µg/ml) average absorbance deviation standard 1 5 0,661 0,016 2 7,5 0,598 0,022 3 10 0,532 0,003 4 15 0,488 0,017 5 20 0,476 0,061 6 30 0,298 0,018 7 40 0, 186 0,022 figure 4. linear regression graph of vitamin c the form of docking scores which means the free energy value needed by the ligand to interact with the protein target. rmsd value and docking scores between test compounds and the best valued her2 receptor can be seen in table 6. as for er-α receptor, the rmsd and the bestvalued docking score can be seen in table 7. effervescent granule production. the observations upon the four formulas had less benefitted on flavour and the colour of the granules produced. the four formulas had a less sweet taste. however, it tasted fresh and less bitter when it is drunk. the aroma is quite good as the extract is not table 6. the result of molecular docking tests on the her-2 protein no test compound conformation rmsd value docking score (kcal/mol) 1 acetogenin 4 1.621 6.3 2 catechins 6 1.857 6.7 3 native ligand (03q) 2 1.536 7.0 4 doxorubicin 2 1.619 -7.0 5 5-fu 3 1.620 -5.6 table 7. the result of molecular docking test on er-α receptor no test compound conformation rmsd value docking score (kcal/mol) 1 acethogenin 2 1.623 6.5 2 catechins 5 1.350 7.6 3 native ligand (6b0f) 5 1.436 7.8 4 doxorubicin 4 1.412 6.0 5 5-fu 2 1.791 5.5 consentration (ug/ml) | 61 figure 5. linear regression graph of eedt and eeds combination table 8. the physical test of effervescent granules on each formula no information formula 1 2 3 4 1 water content (%) 1,34 1,73 1,53 1,07 2 ph 5,98 5,81 5,80 6,18 3 dissolve time (seconds) 95 66 97 45,5 figure 6. organoleptic test of effervescent granule smelled. furthermore, the colour of the granules is not identical as the dry brownish green extract is mixed only on the base component that the base component granule turns brownish while the acid component turns white. granule organoleptic examination can be seen in figure 6. the physical test of effervescent granule was conducted to find out that the granules produced had good quality. the results of the examination can be seen in table 8. discussion ethanol extract of tea leaves and soursop leaves produces a yield value of 13.38% and 14.6%, respectively. preliminary tests to identify the content of flavonoids in eedt (tea leaf ethanol extract) and eeds (soursop leaf ethanol extract) were carried out by tlc method. the results of the separation of eedt and eeds compounds can use a solvent in combination with butanol, acetic acid, and water (baa). based on the results of identification using tlc, eedt sample with spot number 1 and 2 which reaches rf 0.66 and 0.89 as well as eeds sample with spot number 3 and 4 which reaches rf 0.68 and 0.91 respectively are hypothesized to contain flavonoids. the four spots experienced a blue damping using uv 254 nm and they were colourless in visible light spectrum prior to ammoniac evaporation. upon ammoniac evaporation on the visible spectrum, the dark yellow in spot 1 and 3 appeared indicating glycoside flavonoid. it aligned with the comparative rf value used, which reaches 0.66 showed in spot 5. the result refers to the previous studies showing that the rf value ranges between 0.625 and 0.75 with the baa mobile phase called quercetin. 5 quercetin, as well as catechins found in tea leaves and soursop leaves, are derivative flavonoids belonging to flavonol. 6 therefore, the routine use of the two as a comparison is appropriate to detect flavonoids. furthermore, spots number 2 and 4 are not included in glycoside flavonoid compound as they have a different and higher rf. it is presumeed that the compound is a type of genistein as it is such a less polar flavonoid. 7 the rf values of the two samples are somewhat identical. it indicates that the flavonoid compounds in the eedt and eeds samples have similar types of compounds. one of action mechanism of chemo preventive agents is through a prevention process. it can be done by using antioxidant compounds that can neutralize the free radicals causing breast cancer. 8 one of the compounds that function as antioxidants in natural material is the flavonoid compound. the flavonoid compounds found in the combination of eedt and eeds will donate protons, one of the free radicals namely element h. it will interact with dpph so that there is a bond that produces a more stable diphenyl picrihydrazine compound. the greater the concentration of the comparative solution between vitamin c and the test solution is, the greater the ability to counteract free radicals will be. it can be seen by the decrease in absorbance value. the higher the concentration is, the more protons will be donated to dpph free radicals. based on the linear regression equation, the ic50 value of the combination of ethanol extract on camellia sinensis and annona muricata l. can be calculated, the value of which reaches 26.90 ug/ml. according to mardawati (2008), the result of the antioxidant test on the combination of ethanol extract of camellia sinensis and annona muricata l. indicates that the activity is categorized as a very powerful antioxidant. 9 consentration (ug/ml) vol 19 no 2 july 2019 62 | the result of molecular docking test on her-2 indicates that the docking scores of acetogenin (-6.3 kcal/mol) and catechin (-6.7 kcal/mol) showed more negative compounds than its comparison of 5-fu (5.6 kcal/mol). however, they showed more positive compounds compared with doxorubicin (-7.0 kcal/ mol). it proves that the acetogenin and catechin compounds with her-2 have better bond stability compared to 5-fu. however, they are less stable compared to doxorubicin and original ligand 03q (7.0 kcal/mol). in addition, the test result on the er-α receptor indicated that the docking score of acetogenin (6.5 kcal/mol) and catechin (-7.6 kcal/mol) showed more negative compounds than its comparison of 5fu (-5.5 kcal/mol) and doxorubicin (-6.0 kcal/mol). it proves that the acetogenin and catechin compounds in the er-α receptor have better bond stability compared to 5-fu and doxorubicin. however, they are more positive than the original ligand 6b0f (-7,8 kcal/mol). it can be interpreted that the energy needed by the two compounds to bind together with the er-α receptor is less than that of 5-fu and doxorubicin, thus the bonds formed are more stable. based on the previous studies, catechins have been shown to have anticancer activity through the mechanism of anti-proliferation and induction of apoptosis cell through triggering protein p53. 10 likewise, the acetogenin compound has anticancer activity through inhibition of cell proliferation, induction program of cell apoptosis, and the increase of expression of p53.11 as for the result of this study, catechin and acetogenin compounds have anticancer activity through an anti-proliferation mechanism with the inhibiting receptor targets of her-2 and er-α, as well as increasing cell apoptosis program through the increase of bad protein expression. to increase the benefits of this research for the community, effervescent granule production was carried out. powder materials basically have poor flowability, including extract powder as it is obtained from plants with high water content. therefore, to improve the flowability, effervescent granules production is carried out by using the moist granulation technique. it is used because they have faster flowablity as well as identical size compared to powder. furthermore, citric and tartric acid functioned in the effervescing process. the component of these acids were hydrolyzed in the water to produce acids that then reacted with sodium bicarbonate to produce carbon dioxide (co2) and water. the combination of citric and tartric acid is commonly carried out to avoid froth production difficulties because the use of single citric acid will produce a sticky mixture and that it is difficult to be produced into granules. on the other hand, the use of single tartaric acid will produce clot vulnerable granules. the factor that can affect the acidity of the effervescent granule is the amount of co2 production when effervescent interacts with water and another result of this reaction is carbonic acid. carbonic acid will experience decomposition and produce h + ion in the solution and that it turns acidic.12 equality of reactions that occur in effervescent production refers to the stoichiometric principle that one molecule of citric acid will react with three molecules of sodium bicarbonate, while tartric acid will react with two molecules of sodium bicarbonate. thus, the reaction equation obtained as a comparison between sodium bicarbonate, citric, and tartric acid in sequence is 53: 28: 19. 13 based on the test results obtained, the water content of the four formulas did not meet the requirements. factors that can affect water content are relative humidity, and the requirement of room's relative humidity (rh) for the effervescent production which is <25% with not more than 200c temperature.14 effervescent granules produced have different physical characteristics in each formula. the result of the physical effervescent granules test showed that formula 4 had the best result among other formulas with ph 6.18, 1,07% water content, and 45.5 seconds of dissolve time. conclusion the combination of ethanoic extracts of camellia sinensis and annona muricata l. is proved to contain flavonoid compounds. it has antioxidant activity based on dpph technique with ic50 values of 26.90 µg/ml which is classified as a strong value. catechin and acetogenin compounds have a high bond affinity in inhibiting her-2 and er-α as evidenced by the docking score on her-2 respectively namely -6.7 kcal/mol and -6.3 kcal/mol. moreover, the docking score on the receptor er-α is -7.6 kcal/ mol and -6.5 kcal/mol respectively. the optimal effervescent granule formulation for the combination of ethanoic extract of camellia sinensis and annona muricata l. is the fourth formula with the test results of 1.07% moisture content test, ph with a value of 6.18, and dissolve time of 45.5 seconds. thank-you note we would like to express our gratitude to the ministry of research and technology republic of indonesia for providing funds for conducting this research. | 63 reference 1. kuzairi k, yulianto t, safitri l. aplikasi metode adams bashforth-moulton (abm) pada model penyakit kanker. j mat mantik, 2016; 2: 14–21. 2. boehm k, borrelli f, ernst e, habacher g, hung sk, milazzo s, et al. 2009. green tea (camellia sinensis) for the prevention of cancer, in: the cochrane collaboration (ed.), cochrane database of systematic reviews. john wiley & sons, ltd, chichester, uk. https://doi.org/10.1002/14651858.cd005004.p ub2 3. liu j, xing j, fei y. green tea (camellia sinensis) and cancer prevention: a systematic review of randomized trials and epidemiological studies. chin med, 2008; 3: 12. 4. adelina r, febriyanti r, aminah s, pramono s. isolasi flavonoid daun murbei (morus alba l.) serta uji aktivitasnya sebagai penurun tekanan darah arteri pada anjing teranestesi. maj farm, 2013; 9: 235–242. 5. suhendi a. isolasi dan identifikasi flavonoid dari daun dewandaru (eugenia uniflora l.). pharmacon j farm indones, 2011; 12: 73–81. 6. neldawati n. analisis nilai absorbansi dalam penentuan kadar flavonoid untuk berbagai jenis daun tanaman obat. pillar phys. 2. 2013. 7. markham kr. cara mengidentifikasi flavonoid, diterjemahkan oleh kosasih padmawinata, 15, penerbit itb, bandung. 1988. 8. zhai s, dai r, friedman f. and vestal r. comparative inhibition of human cytochromes p450 1a1 and 1a2 by flavonoids. drug metabolism and disposition, 1998; 26 (10): 989-9. 9. mardawati e, achyar cs, marta mdh, et al. kajian aktivitas antioksidan ekstrak kulit manggis (garcinia mangostana l) dalam rangka pemanfaatan limbah kulit manggis di kecamatan puspahiang kabupaten tasikmalaya. abstrak. 2008. 10. nurani lh. isolasi dan uji penangkapan radikal bebas dpph oleh isolat-1, fraksi etil asetat, dan ekstrak etanol akar pasak bumi (eurycoma longifolia jack). pharmaciana 3, 2013. 11. rachmawati e, karyono s, suyuti h. efek ekstrak etanolik daun sirsak pada proliferasi dan apoptosis sel hela yang dimediasi oleh p53. j kedokt brawijaya, 2013; 27: 28–33. 12. ansel hc. pengantar bentuk sediaan farmasi, diterjemahkan oleh ibrahim, f., edisi iv, 605-619, jakarta, ui press. 2005. 13. syamsul es, supomo s. formulation of effervescent powder of water extract of bawang tiwai (eleuterine palmifolia) as a healthy drink. maj obat tradis tradit med j, 2014; 19 (3): 113-117 19, 113–117. 14. lee re. effervescent tablets. csc publishing, tablets & capsules. 2000. yuningtyaswari, pengaruh paparan pengharum ... artikel penelitian 84 pengaruh paparan pengharum ruangan cair dan gel terhadap gambaran histologi pulmo pada tikus putih (rattus norvegicus) the comparison of the effect of liquid and gel air freshener exposure on histology of pulmo in white rat (rattus norvegicus) yuningtyaswari1*, asti haryani2 1bagian histologi dan biologi sel, program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta 2program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta *email: yuningtyas_fkumy@yahoo.com abstrak pengharum ruangan adalah produk yang mengandung bahan kimia bertujuan mengurangi bau yang tidak menyenangkan di ruangan tertutup. pengharum ruangan modern tersedia dalam bentuk cair (aerosol) dan gel. pengharum ruangan mengandung zat adiktif dan pelarut seperti 1,4dichlorobenzene yang dapat mempengaruhi fungsi pulmo (paru-paru). tujuan penelitian ini untuk mengkaji pengaruh dan perbedaan paparan pengharum ruangan berbentuk cair dan gel terhadap gambaran histologi pulmo rattus norvegicus. desain penelitian yaitu post-test only control group. post test dilakukan dengan mengamati gambaran histologi pulmo tikus putih setelah pemaparan pengharum ruangan cair dan gel selama 8 jam/hari dalam jangka waktu 15 hari. subyek penelitian ada 18 ekor tikus putih. data diuji dengan menggunakan uji statistik one way anova dilanjutkan dengan post hoc tukey. hasil penelitian didapatkan perubahan gambaran histologi pulmo, terutama alveolus tikus putih berupa penebalan septum interalveolar. analisis data perbandingan antara kelompok kontrol dan perlakuan secara statistik didapatkan p=0,000 artinya terdapat pengaruh dan perubahan bermakna pada pulmo tikus putih yang dipaparkan pengharum ruangan berbentuk cair dan gel. secara histologi terdapat perbedaan gambaran histologi antara kelompok cair dan gel. disimpulkan efek pengharum ruangan pada kelompok gel lebih buruk dibandingkan kelompok cair walaupun secara statistik tidak bermakna. kata kunci: rattus novergicus, histologi pulmo, pengharum ruangan cair dan gel abstract air freshener is a product that contains chemical substance to lose the odor in closed room. modern air freshener available in form of liquid (aerosol) and gel. it contains addictive material and solvent such as 1,4-dichlorobenzene that can influence the function of pulmo. the aims to know the influences and the differences of air freshener exposure in form of liquid and gel towards rattus norvegicus pulmo histological image. research design used post-test only control group design method. post test is conducted by observing pulmo’s rat histological image after gel and liquid air freshener exposure during 8 hours/day in 15 days. research subject is 18 rats. data is analyzed by one way anova and continued by post hoc tukey. the result of the research shows that there’s changing on pulmo histological image especially in the alveolus that is the thickening of the septum alveolar. p value between control group and others group is p=0,000. it means that there’s significant influences and changes in rat’s pulmo that is exposured by gel and liquid air freshener. conclude effects of the gel group is worst than liquid group although statistically there’s no significant differences. key words: rattus novergicus, histology pulmo, liquid and gel air freshener mutiara medika vol. 15 no. 1: 84 90, januari 2015 85 pendahuluan udara adalah suatu campuran gas yang ada di lapisan bumi. akibat perkembangan zaman, kualitas udara bersih menjadi menurun dan berdampak pada pencemaran udara. sumber pencemaran udara menurut tempatnya dibedakan menjadi pencemaran udara bebas (out door) dan pencemaran udara dalam ruangan (in door).1 pencemaran udara dalam ruangan saat ini memberikan kontribusi besar terhadap pencemaran udara secara umum. polusi udara dalam ruangan menyebabkan 1,6 juta kematian akibat pneumonia, penyakit pernapasan kronis dan kanker paru-paru dengan beban penyakit secara keseluruhan melebihi beban dari polusi udara luar lima kali lipat.2 pengharum ruangan adalah produk yang mengandung bahan kimia bertujuan mengurangi bau yang tidak menyenangkan di ruangan tertutup.3 bahaya pengharum ruangan umumnya tergantung pada jenis, bentuk, pewangi dan komponen-komponen kimia aktif yang terkandung di dalamnya serta dipengaruhi oleh lama paparan. pengharum ruangan modern tersedia dalam bentuk cair (aerosol) dan gel. kandungan kimia dari produk pengharum ruangan sebagian besar tidak diungkapkan secara terbuka sehingga sulit untuk menilai apakah aman atau tidak. pada tahap awal akibat paparan bahan kimia individu yang sensitif lebih menunjukkan reaksi negatif daripada individu normal.4 pulmo memiliki faktor risiko terbesar akibat dampak bahan kimia di udara. efek fisiologis mungkin belum terlihat pada individu normal, tetapi mungkin terdapat perubahan struktur seluler organ tubuh yang terpapar oleh bahan kimia tersebut. perubahan struktur seluler yang secara nyata mungkin dirasakan individu jika terpapar pengharum ruangan dalam jangka waktu yang lama. rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimanakah pengaruh dan apakah ada perbedaan pengaruh paparan pengharum ruangan berbentuk cair dan gel terhadap gambaran histologi pulmo rattus norvegicus? tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh dan ada tidaknya perbedaan pengaruh paparan pengharum ruangan berbentuk cair dan gel terhadap gambaran histologi pulmo rattus norvegicus. bahan dan cara desain penelitian ini adalah eksperimental laboratorium dengan rancangan percobaan posttest only control group design. eksperimen menggunakan tikus putih (rattus norvegicus) jantan dengan galur spraque dowley (sd) yang telah berumur 3 bulan dan mempunyai berat badan 150-300 gram. jumlah mencit yang digunakan adalah 18 ekor dengan 6 ekor tiap kelompoknya. ada 3 kelompok yang terdiri dari kelompok (k) atau kontrol (tanpa perlakuan apapun), kelompok (pa) atau cair (diberi paparan pengharum ruangan berbentuk cair) dan kelompok (pb) atau gel (diberi paparan pengharum ruangan berbentuk gel) semua perlakuan dilakukan selama 8 jam/hari dalam jangka waktu 15 hari). hari ke-16 dilakukan pembedahan dan organ pulmo (paru) diambil kemudian dibuat preparat histologi. paparan pengharum ruangan jenis cair dan gel http://artikel-info-kesehatan.blogspot.com/2009/08/pengharum-ruangan-berbahaya-hati-hati.html yuningtyaswari, pengaruh paparan pengharum ... 86 merupakan variabel independent. histologi pulmo tikus putih adalah variabel dependent. variabel terkendali adalah usia, jenis kelamin, berat badan, pola diit, tempat penelitian, waktu pemeriksaan, lama perlakuan, jenis pengharum ruangan. data penelitian bersifat kuantitatif. data dianalisis dengan menggunakan metode statistik one way anova dilanjutkan dengan post hoc tukey. hasil penelitian dilakukan terhadap hewan uji mulai dari aklimasi hewan uji selama 7 hari kemudian diberi perlakuan yang berbeda-beda dari tiap kelompok selama 15 hari. hasil penelitian didapatkan perubahan gambaran histologi pulmo, terutama alveolus tikus putih berupa penebalan septum interalveolar. hasil pengamatan mikroskopik perbesaran 400 kali pada kelompok kontrol (k), kelompok cair (pa) dan kelompok gel (pb) didapatkan gambaran histologi alveoli pulmo tikus putih masing-masing kelompok, yaitu pada kelompok kontrol yang tidak mendapatkan perlakuan apapun didapatkan gambaran histologi alveoli pulmo relatif sama, sedikit hiperemi dan tidak terjadi perdarahan. pada kelompok cair, tikus yang dipaparkan pengharum ruangan berbentuk cair didapatkan gambaran histologi alveolus umumnya septum interalveolar mengalami penebalan ringan sampai sedang, kerusakan gambar 1. histologi alveolus kelompok hewan uji yang tidak dipaparkan pengharum ruangan = 1,767±0,3933 µm y gambar 2. histologi alveolus kelompok hewan uji yang dipaparkan pengharum ruangan berbentuk cair = 7,550 ± 1,8652 µm x y mutiara medika vol. 15 no. 1: 84 90, januari 2015 87 jaringan, dilatasi pembuluh darah dan sedikit infiltrat sel radang berupa sel plasma, limfosit, dan leukosit eosinofil. hal tersebut menunjukkan bahwa jaringan alveoli pulmo tikus putih mengalami inflamasi. pada kelompok gel yang dipaparkan pengharum ruangan berbentuk gel didapatkan gambaran histologi alveolusnya berupa penebalan septum interalveolar sedang sampai berat, alveoli umumnya berisi massa eosinofil kesan transudat, terdapat eritrosit, eksudat, dilatasi pembuluh darah, perdarahan dengan infiltrat sel radang dalam jumlah cukup berupa sel plasma, limfosit, dan leukosit eosinofil. pada tabel 1. dapat dilihat bahwa septum interalveolar yang paling tipis ada pada kelompok kontrol (k) sedangkan yang paling tebal pada kelompok gel (pb). langkah uji one way anova adalah memeriksa syarat anova variabel yaitu >2 kelompok tidak berpasangan, distribusi data harus normal (wajib), variansi data harus sama (wajib). apabila memenuhi syarat maka uji statistik menggunakan one way anova dapat dilakukan. pada uji homogeneity of variances di atas, diperoleh nilai p=0,114. nilai p>0,05 dapat disimpulkan bahwa “tidak ada perbedaan varians antar kelompok data yang dibandingkan” dengan kata lain “varians data adalah sama”. hasil analisis uji anova di atas didapatkan hasil p=0,000 atau p<0,05 yang artinya paling tidak terdapat perbedaan gambaran histologi yang bermakna pada dua kelompok. untuk menentukan kelompok mana yang mengalami perbedaan bermakna dilakukan analisis post hoc tukey. tingkat ketebalan septum interalveolar pada homogeneous subsets uji tukey secara berurutan dari yang tipis hingga yang paling tebal adalah kelompok kontrol (k), kelompok cair (pa), dan kelompok gel (pb). hasil uji one way anova menunjukkan bahwa antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan terdapat perbedaan bermakna p=0,000. akan tetapi, secara statistik pada kelompok cair dan kelompok gel tidak terdapat perbedaan secara bermakna p=0,107. tabel 1. rata-rata ( x ± sd) ketebalan septum interalveolar pulmo hewan uji (µm) kelompok ketebalan septum interalveolar (µm) kelompok kontrol (k) 1,767±0,3933a kelompok cair (pa) 7,550±1,8652b kelompok gel (pb) 9,200±1,2264c a.b.c jika berbeda maka signifikan keterangan : x : rata-rata ketebalan septum interalveolar hewan uji sd : standar deviasi gambar 3. histologi alveolus kelompok hewan uji yang dipaparkan pengharum ruangan berbentuk gel keterangan : x = rata-rata ketebalan septum interalveolar x = sel darah merah y = septum interalveolar = 9,200±1,2264 µm y x yuningtyaswari, pengaruh paparan pengharum ... 88 diskusi hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara kelompok kontrol dan perlakuan dilihat dari uji one way anova yang bernilai p=0,000 (p<0,05). hal tersebut berarti adanya pengaruh paparan pengharum ruangan berbentuk cair dan gel terhadap gambaran histologi pulmo. septum interalveolar pada kelompok perlakuan mengalami penebalan. penebalan septum interalveolar terjadi karena adanya inflamasi (peradangan) di alveolus akibat oleh zat aditif (terpene, limonene, benzyl asetat, linalool, dan sitronellol) dan pelarut (isobutane, acetaldehyde, dan 1,4diclorobenzene) yang terkandung di dalam pengharum ruangan.5 inflamasi ditandai dengan edema jaringan, eksudat, hiperemis jaringan dan terdapat sel mononuklear pada septum interalveolar. hiperemis merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami inflamasi. arteriol tempat terjadinya peradangan berdilatasi sehingga memungkinkan lebih banyak darah mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal. kapilerkapiler yang sebelumnya kosong, atau mungkin hanya sebagian meregang, secara cepat terisi penuh dengan darah.6 aspek yang paling mencolok pada inflamasi adalah edema (pembengkakan) lokal yang dihasilkan oleh cairan dan sel-sel yang berpindah dari aliran darah ke jaringan interstisial. campuran cairan dan sel-sel ini tertimbun di daerah inflamasi disebut eksudat. pada awal perjalanan reaksi peradangan, sebagian besar eksudat adalah cairan kemudian sel-sel darah putih atau leukosit meninggalkan aliran darah dan tertimbun sebagai eksudat. inflamasi juga ditandai dengan adanya sel mononuklear yang terdapat di dalam septum interalveolar.6 pada penelitian ini, reaksi inflamasi pada kelompok perlakuan disebabkan oleh paparan pengharum ruangan yang diberikan pada hewan uji. pengharum ruangan umumnya mengandung zat kimia. tidak ada literatur yang menyebutkan secara jelas dan pasti kandungan kimia yang terdapat di dalam pengharum ruangan berbentuk cair dan gel. literatur hanya menjelaskan kandungan kimia dan zat aktif yang terdapat di dalam pengharum ruangan secara umum. sebuah laporan yang dikeluarkan pada tahun 2005 oleh biro europeen des unions de consommateurs (beuc) menemukan bahwa banyak produk pengharum ruangan memancarkan alergen dan polutan udara beracun termasuk benzene, formaldehyde, terpene, styrene, pthalate dan toluene. pengharum ruangan dapat juga berisi fosfat, pemutih klorin atau ammonia.7 penelitian amerika serikat menemukan pada orang-orang yang berada di ruangan berpengharum dalam darahnya terkandung 1,4dichlorobenzene kimia organik yang menurunkan fungsi pulmo. 1,4-dichlorobenzene adalah turunan benzene yang banyak digunakan pada pengharum ruangan.8 zat kimia masuk ke dalam alveolus melalui jalur inhalasi. inhalasi merupakan jalur pemaparan yang penting bagi zat kimia toksik. inhalasi zat toksik merusak sebagian besar sel pelapis alveoli (sel tipe i dan tipe ii). (junqueira & carneiro, 2007). 9 aerosol berukuran 5-30 mikrometer (µm) akan mengendap terutama di mutiara medika vol. 15 no. 1: 84 90, januari 2015 89 saluran pernapasan bagian atas. jarak atau kedalaman penetrasi akan bertambah seiring penurunan ukuran aerosol dan aerosol yang berukuran 1-5 µm, sebagian besar akan terkumpul di saluran napas bagian bawah. endapan partikel tersebut kemudian akan dibersihkan melalui mekanisme bersihan mukosiliar. aerosol ukuran 1 µm lebih dapat mencapai alveolus. di alveolus aerosol akan diabsorpsi ke dalam sistem darah atau dibersihkan oleh sel-sel imun (makrofag) yang akan menelan partikel tersebut. pemaparan akut dapat menimbulkan peradangan dan penurunan fungsi alveolus. (who, 2006).10 pada kelompok cair yang dipaparkan pengharum ruangan berbentuk cair, umumnya septum interalveolar mengalami penebalan ringan sampai sedang. penebalan septum interalveolarnya tidak merata untuk setiap dinding alveolarnya. pengharum ruangan yang dipaparkan selama 8 jam/hari terus-menerus dalam jangka waktu 15 hari memberikan perubahan bagi alveolus tikus putih. pada pengharum ruangan cair, toksisitas disebabkan adanya penambahan zat pelarut (solvent). kadar toksisitas meningkat pada penggunaan pengharum ruangan cair yang bekerja dengan cara disemprotkan. hal ini dikarenakan pada pengharum ruangan semprot turut pula ditambahkan gas bertekanan (propelant) dan menghasilkan zat kimia berkonsentrasi tinggi (hansen, et al., 2008).11 terbukti bahwa di dalam pengharum ruangan berbentuk cair terdapat zat kimia yang berbahaya bagi alveolus. pada kelompok gel yang dipaparkan pengharum ruangan berbentuk gel, septum interalveolarnya mengalami penebalan sedang sampai berat. penebalan septum interalveolarnya hampir merata di tiap dinding alveolus. ini menunjukkan pengharum ruangan memberikan pengaruh terhadap alveolus. pengharum ruangan berbentuk gel memberikan efek lebih buruk dibandingkan pengharum ruangan berbentuk cair pada alveolus. ini dibuktikan oleh penebalan septum interalveolar pada kelompok gel lebih berat daripada kelompok cair. hasil analisis data tidak terdapat perbedaan secara bermakna antara kelompok cair dan gel. hal ini dapat disebabkan oleh komponenkomponen kimia pengharum ruangan berbentuk cair dan gel hampir sama, konsentrasi bahan kimia antar kedua pengharum tidak sama, pengulangan yang kurang banyak dalam menghitung ketebalan septum interalveolar, waktu pemaparan yang masih dalam tahap akut, dan kandungan zat aktif yang sama. namun, secara mikroskopis antara kelompok cair dan gel terdapat perbedaan bermakna (signifikan). perubahan histologi penebalan septum interalveolar pada kelompok gel lebih berat dan merata dibandingkan kelompok cair yang hanya mengalami penebalan septum interalveolar ringan sampai sedang dan tidak merata. simpulan disimpulkan terdapat pengaruh paparan pengharum ruangan berbentuk cair dan gel terhadap gambaran histologi pulmo rattus norvegicus dan terdapat perbedaan bermakna antara paparan pengharum ruangan berbentuk cair dengan paparan pengharum ruangan berbentuk gel terhadap gambaran histologi yuningtyaswari, pengaruh paparan pengharum ... 90 pulmo rattus norvegicus. pengharum ruangan berbentuk gel memiliki efek yang lebih buruk dibandingkan pengharum ruangan berbentuk gel pada pulmo rattus norvegicus walaupun secara analisis tidak bermakna. diperlukan penelitian lanjut mengenai kandungan berbahaya yang terdapat di dalam pengharum ruangan berbentuk cair dan gel secara umum dan kandungan berbahaya bagi pulmo khususnya. daftar pustaka 1. kastiyowati, i. dampak dan upaya penanggulangan pencemaran udara. 2001. diakses pada 12 april 2011 dari http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp? mnorutisi=8&vnomor=7. 2. who. indoor air pollution and health. 2005. diakses pada 28 maret 2011 dari http://www.who.int/mediacentre/factsheets/f s292/en/. 3. caress, s.m. & steinemann, a.c. prevalence of fragrance sensitivity in the american population. j environ health, 2009; 71 (7): 46-50. 4. yuwielueninet. bahaya pengharum ruangan. 2008. diakses pada tanggal 28 maret 2011 dari http://yuwielueninet.wordpress.com/2008/05 /11/bahaya-pengharum-ruangan/. 5. freed l, wilson d. the science of air fresheners part 1: from the product to the air. 2009. diakses 31 maret 2011 dari http://www.powershow.com/view/1834a6yti5m/the_science_of_air_fresheners_pa rt_1_from_the_product_to_the_air_powerp oint_ppt_presentation 6. price, sylvia a., wilson, lorraine m. patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit (6th ed). jakarta: egc. 2005. 7. european commission, scientific committee on health and environmental risks (scher). opinion on the report: ``emission of chemicals by air fresheners: tests on 74 consumer products sold in europe'' (beuc report january 2005). january 27, 2006. 8. macker, r. chemical in many air fresheners may reduce lung function. 2006. diakses 12 april 2011. http://www.nih.gov/news/pr/jul2006/niehs27.htm. 9. junqueira, lc & carneiro, j. basic histology text and atlas (10th ed.). united states of america: the mcgraw-hill companies, inc. hal: 340-359. 2007. 10. who. hazardous chemicals in human and environmental health (widyastuti p, trans). jakarta: penerbit buku kedokteran egc. 2006. 11. hanson, g.r., venturelli, p.j., & fleckenstein, a.e. drugs and society 10th edition. jones and bartllet publisher: london. hal. 372. 2008. http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?mnorutisi=8&vnomor=7 http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?mnorutisi=8&vnomor=7 http://yuwielueninet.wordpress.com/2008/05/11/bahaya-pengharum-ruangan/ http://yuwielueninet.wordpress.com/2008/05/11/bahaya-pengharum-ruangan/ http://www.nih.gov/news/pr/jul2006/niehs-27.htm http://www.nih.gov/news/pr/jul2006/niehs-27.htm abstrak abstract pendahuluan bahan dan cara hasil diskusi simpulan daftar pustaka 7 mutiara medika vol. 17 no. 1: 7-13, januari 2017 pengaruh durasi perendaman oksidasi madu terhadap perubahan warna gigi in vitro the effect duration of immersion with honey oxidation toward discoloration of tooth in vitro erma sofiani1*, gurnita swasti yudasmara2 1bagian konservasi gigi program studi pendidikan dokter gigi fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta 2program studi pendidikan dokter gigi fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta *email: e_sofiani @yahoo.com abstrak madu merupakan salah satu bahan alternatif yang aman dalam pemutihan gigi. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama perendaman hasil oksidasi madu terhadap perubahan warna enamel gigi. jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratorium secara in vitro. sampel gigi dibagi 5 kelompok masingmasing 5 buah gigi yaitu, kelompok 1 (kontrol negatif): sampel direndam dalam aquadest steril, kelompok 2 (kontrol positif): sampel direndam dalam hidrogen peroksida 3%, kelompok 3: sampel direndam larutan madu selama 30 menit, kelompok 4: sampel direndam larutan madu selama 45 menit dan kelompok 5: sampel direndam larutan madu selama 60 menit. sebelum dilakukan perendaman, larutan madu dilakukan sentrifugasi selama 30 menit dengan kecepatan 500 rpm. pengukuran derajat perubahan warna gigi menggunakan shade guide dan spectrophotometer. analisis data menggunakan uji wilcoxon, kruskallwallis, dan mann-whitney u. hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perubahan warna antara sebelum dan sesudah perendaman pada kelompok 60 menit berdasarkan uji analisis wilcoxon. terdapat pengaruh lama perendaman terhadap perubahan warna pada pengukuran menggunakan shade guide berdasarkan uji analisis kruskal-wallis, namun tidak terdapat pengaruh lama perendaman pada pengukuran menggunakan spectrophotometer. disimpulkan bahwa terdapat perubahan warna gigi setelah 2 minggu perendaman menggunakan hasil oksidasi madu kelengkeng pada kelompok 60 menit. kata kunci: lama perendaman, bleaching, hidrogen peroksida, madu abstract one of the alternative safety materials can be used for bleaching is honey. the aims of this study is determine the effect duration of immersion with honey oxidation toward discoloration of tooth. this research is a experimental research laboratory in vitro. sample divided into 5 groups, consisting 5 pieces of tooth. group 1: samples were soaked in sterile distilled water, group 2: soaked with h2o2 3%, group 3-5: soaked in the solution of honey oxidation for 30 minutes, 45 minutes and 60 minutes. before soaked, honey were centrifuged for 30 minutes with speed of 500 rpm. measurement of degree of color change using shade guide and spectrophotometer. data analyze using wilcoxon test, kruskall-wallis, and mann-whitney u. results showed there is discoloration between before and after soaked in 60 minute group using wilcoxon test, there is effect duration of soaking toward color changes using shade guide, but there is no effect using spectrophotometer based on kruskall wallis test. it was concluded that there was discoloration of the tooth after 2 weeks of immersion using the result of oxidation of kelengkeng’s honey in group 60 minutes. key words: duration of immersion, bleaching, hydrogen peroxide, honey artikel penelitian mutiara medika vol. 17 no. 1: 7-13, januari 2017 8 erma sofiani, dkk., pengaruh waktu perendaman oksidasi madu kelengkeng pendahuluan perubahan warna gigi menyebabkan rasa tidak nyaman ketika berbicara atau tersenyum, karena mereka berkeyakinan bahwa gigi putih mampu membuat orang merasa lebih cantik dan percaya diri.1 pada dasarnya, masalah pewarnaan gigi yang disebabkan oleh stain dapat diatasi dengan berbagai teknik perawatan pemutihan gigi atau disebut juga dengan istilah bleaching.2 bleaching adalah suatu cara pemutihan kembali gigi yang berubah warna sampai mendekati warna gigi asli dengan proses perbaikan secara kimiawi sehingga dapat mengembalikan fungsi estetika.3 bahan bleaching yang biasa digunakan yaitu hidrogen peroksida dengan berbagai konsentrasi namun penggunaannya harus ditangani dengan hatihati karena efek iskemik pada kulit dan membran mukosa menyerupai luka bakar kimiawi.4 banyak faktor yang mempengaruhi proses pem uti han gigi sal ah satunya adalah l am a pemakaian bahan. proses ini akan lebih reaktif dengan memperpanjang waktu reaksi, sehingga lama pemakaian bahan pemutih gigi atau lama perawatan harus tetap dipertimbangkan.5 madu merupakan salah satu bahan alternatif dal am pemutihan gi gi. hasil oksidasi m adu menghasilkan reactive oxygen species (ros), di antaranya hidrogen peroksi da (h2o2) dan superoksida. diketahui bahwa hidrogen peroksida (h2o2) merupakan salah satu bahan yang dapat digunakan untuk bahan pemutih gigi (bleaching).6 dari penelitian 90 jenis madu dikatakan bahwa tingkat rata-rata akumulasi h2o2 terdapat dalam madu konsentrasi 20% setelah 1 jam.7 hidrogen peroksida pada madu hanya aktif 1 jam segera setelah madu didilusi dengan air, setelah itu tidak ada aktivitas yang tersisa lagi. oleh karena itu, madu yang didilusi tidak dapat disimpan dalam jangka waktu yang panjang.8 tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh lama perendaman gigi dengan hasil oksidasi madu selama 30, 45 dan 60 menit terhadap perubahan warna gigi. bahan dan cara jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental murni laboratorium secara in vitro. sampel penelitian yang digunakan adalah gigi manusia dewasa (gigi permanen) pasca ekstraksi, dengan semua elemen gigi anterior yakni incisivus (gigi seri), caninus (gigi taring), serta gigi premolar di rahang atas maupun rahang bawah. semua sampel akan dibagi sama rata untuk dimasukkan ke dalam 5 kelompok uji. masing-masing gigi pasca ekstraksi tiap kelompok sampel diberi nomor urut. kemudian bagian akar diolesi dengan cat kuku warna putih bening hingga bagian servikal dengan tujuan untuk menutup akar sehingga larutan teh hitam tidak berpenetrasi ke dalam tubulus dentin. seluruh gigi pasca ekstrasi direndam dalam larutan teh hitam hingga terjadi perubahan warna dari warna asalnya selama 12 hari yang diganti larutannya setiap 24 jam. tujuan dari perendaman sampel gigi dalam larutan teh hitam ini adalah untuk menimbulkan stain pada masing-masing gigi.3 madu yang dipergunakan adalah madu murni dengan komposisi 100%. sebelum dilakukan penelitian, madu yang dipergunakan tersebut diuji terlebih dahulu oleh bpom agar sesuai dengan standar mutu sni. madu yang telah diuji kemurnian, kualitas, dan kandungannya dilakukan dilusi (peng9 mutiara medika vol. 17 no. 1: 7-13, januari 2017 enceran) menggunakan sentrifugasi. konsentrasi madu 20% didapatkan dari penambahan antara aquadest steril dan sampel madu, kemudian dilakukan sentrifugasi selama 30 menit dengan kecepatan 500 rpm dalam suhu ruangan dan terjauh dari paparan sinar matahari langsung.8 sampel gigi dibagi menjadi 5 kelompok masingmasing terdiri dari 5 buah gigi yaitu, kelompok 1 (kontrol negatif) : sampel direndam dengan aquadest steril selama 60 menit dalam waktu 2 minggu. kelompok 2 (kontrol positif) : sampel direndam dengan hidrogen perok-sida 3% selama 60 menit dalam waktu 2 minggu. kelompok 3 : sampel direndam dalam larutan madu yang telah didilusi dan dilakukan sentrifugasi selama 30 menit dalam waktu 2 minggu. kelompok 4 : sampel direndam dalam larutan madu yang telah di dilusi dan dilakukan sentrifugasi selama 45 menit dalam waktu 2 minggu. kelompok 5 : sampel direndam dalam larutan madu yang telah didilusi dan dilakukan sentrifugasi selama 60 menit dalam waktu 2 minggu. masing-masing kelompok dilakukan pengukuran derajat warna terlebih dahulu menggunakan shade guide dan spectrophotometer. proses perendam-an gigi dilakukan selama 30, 45 dan 60 menit dalam kurun waktu 2 minggu. dasarnya adalah pemakaian home bleaching yang umumnya baru terlihat setelah 2 minggu pengaplikasian. setelah perlakuan masing-masing kelompok uji selesai, sampel dicuci bersih di bawah air mengalir lalu dilanjutkan dengan pengukuran derajat warna gigi. pengukuran derajat perubahan warna gigi menggunakan shade guide dan spectrophotometer. shade guide adalah alat untuk mengukur derajat warna gigi yang terdiri dari a1, a2, a3, a3.5, a4, b1, b2, b3, b4, c1, c2, c3, c4, d2, d3, d4. spectrophotometer merupakan alat yang digunakan untuk mengukur absorbansi dengan cara melewatkan cahaya dengan panjang gelombang tertentu pada suatu obyek kaca atau kuarsa yang disebut kuvet. pengendalian sinar pada spectrophotometer yaitu dengan penambahan lakban hitam yang dilekatkan pada bagian akar gigi karena lakban hitam mempunyai nilai 0 (gelap). penembakan sinar mengenai bagian mahkota gigi. teknik penglihatan perubahan warna dilakukan dengan melakukan penglihatan perubahan warna enamel gigi postekstrasi pada masing-masing perlakuan di bawah sinar halogen di dalam ruangan tertutup dengan sudut 45º. dilakukan sebelum dilakukan perlakuan, setelah dilakukan perendaman dengan larutan teh hitam selama 12 hari dan setelah dilakukan perlakuan pada masing-masing kelompok. perubahan warna yang terjadi dicatat dan perubahan warna dari masing-masing kelompok perlakuan dibandingkan.3 analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wilcoxon test untuk mengetahui perbedaan antara sebelum dan sesudah perendaman menggunakan hasil oksidasi madu kelengkeng serta kruskal-wallis untuk mengetahui pengaruh lama perendaman gigi dengan hasil oksidasi madu kelengkeng terhadap perubahan derajat warna enamel gigi. selanjutnya dilakukan mann-whitney test untuk mengetahui perbedaan tiap kelompok perlakuan. hasil hasil wilcoxon test spectrophotometer pada tabel 1. menunjukkan bahwa kelompok kontrol positif (p=0.138), kontrol negatif (p=0.078), kelompok 30 menit (p=0.498), kelompok 45 menit (p=0.144), kelompok 60 menit (p=0.043). dalam hal ini, pada 10 erma sofiani, dkk., pengaruh waktu perendaman oksidasi madu kelengkeng kelompok 60 menit mempunyai perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah perendaman karena memiliki nilai signifikansi p=0.043 (p<0.05). hasil wilcoxon test dengan shade guide tersebut menunjukkan kelompok kontrol positif (p=0.042), kelompok 30 menit (p=0.655), kelompok 45 menit (p=0.068), kelompok 60 menit (p=0.038). pada kelompok kontrol positif dan 60 menit mempunyai perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah perendaman menggunakan bahan pemutih gigi (p<0.05). pada tabel 3. diperoleh nilai signifikansi p=0.405 (p>0.05) dan pada tabel 4. diperoleh nilai signifikansi p=0.001 (p<0.05), hal ini menunjukkan terdapat pengaruh waktu terhadap perubahan derajat warna email gigi pada pengukuran shade guide namun tidak terdapat pengaruh waktu pada pengukuran menggunakan spectrophotometer. untuk mengetahui perbedaan tiap kelompok perlakuan, maka dilakukan mann-whitney u test. pada mann-whitney u  test  tabel 5. nilai signifikansi kontrol positif dengan kelompok kontrol negatif, 30 menit dan 45 menit memiliki nilai p<0,05, hal ini menunjukkan bahwa kelompok kontrol positif memiliki perbedaan yang signifikan terhadap kelompok tersebut. pada kelompok kontrol positif dengan kelompok 60 menit memiliki nilai p=0,118 (p>0,05). hal ini menunjukan tidak terdapat perbedaan mean di antara kelompok tersebut. hasil penelitian selama 2 minggu didapatkan bahwa kelompok 60 menit mempunyai perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah perendaman karena memiliki nilai signifikansi p=0.043. hal ini menunjukkan bahwa hasil oksidasi madu dengan perendaman selama 60 menit paling efektif digunakan daripada kelompok waktu lainnya. kelompok kontrol positif dengan nilai signifikansi (p=0.138) menunjukkan bahwa kelompok ini tidak signifikan antara sebelum dan sesudah perendaman. hal ini bisa disebabkan karena ketidakseragam dari sampel gigi yang memiliki ketebalan email yang berbeda-beda, jumlah sampel yang sedikit sehingga tidak menunjukkan pengaruh yang terlalu besar pada perhitungan statistik, serta posisi gigi pada saat penembakan spectrophotometer. tabel 1. wilcoxon test spectrofotometer kelompok sig. (2-tailed) sebelum kontrol positif setelah kontrol positif .138 sebelum kontrol negatif setelah kontrol negatif .498 sebelum 30 menit setelah 30 menit .498 sebelum 45 menit setelah 45 menit .144 sebelum 60 menit setelah 60 menit .043 tabel 2. wilcoxon test shade guide kelompok sig. (2-tailed) sebelum kontrol positif setelah kontrol positif .042 sebelum kontrol negatif setelah kontrol negatif 1 sebelum 30 menit setelah 30 menit .655 sebelum 45 menit setelah 45 menit .068 sebelum 60 menit setelah 60 menit .038 tabel 3. kruskal-wallis spectrophotometer selisih chi-square 4.007 df 4 asymp.sig. .405 tabel 4. kruskal-wallis shade guide selisih chi-square 18.890 df 4 asymp.sig. .001 tabel 5. mann-whitney u test shade guide kelompok sig. (2 tailed) kontrol positif kontrol negatif 0,005 30 menit 0,008 45 menit 0,026 60 menit 0,118 kontrol negatif 30 menit 0,136 45 menit 0,019 60 menit 0,005 30 menit 45 menit 0,16 60 menit 0,007 45 menit 60 menit 0,069 11 mutiara medika vol. 17 no. 1: 7-13, januari 2017 berdasarkan uji statistik kruskal-wallis pada pengukuran menggunakan spectrophotometer, diperoleh nilai signifikansi p=0.405 (p>0.05). hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh waktu terhadap perubahan derajat warna enamel gigi. hasil penelitian ini tidak dilakukan multiple comparison test dikarenakan nilai data yang tidak signifikan. berdasarkan uji statistik kruskal-wallis pada hasil pengukuran menggunakan shade guide, menunjukkan bahwa terdapat pengaruh waktu terhadap perubahan derajat warna gigi yang signifikan dengan nilai p=0.001 (p<0.05) antara masing-masing kelompok perlakuan. faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemutihan gigi yaitu konsentrasi hydrogen peroksida, waktu kontak, usia pasien, warna dasar gigi, serta kooperatif pasien. waktu kontak yang lebih lama antara hidrogen peroksida dan permukaan gigi akan menghasilkan perawatan yang lebih adekuat.13 pada mann-whitney u test pengukuran dengan shade guide, dapat dilihat bahwa nilai signifikansi kontrol positif dengan waktu 60 menit memiliki nilai p=0,118 (p>0,05). hal ini menunjukkan tidak terdapat perbedaan mean di antara kelompok tersebut. pada pengukuran tersebut, antara kelompok kontrol positif dan kelompok 60 menit memiliki nilai yang tertinggi dibandingkan dengan kelompok lain, berarti kelompok waktu 60 menit memiliki perbedaan paling sedikit dengan kelompok kontrol positif. diskusi bleaching adalah perawatan pemutihan gigi dengan cara kimiawi menggunakan bahan-bahan pemutih gigi dengan proses oksidasi dimana radikal bebas yang dihasilkan penetrasi ke dalam enamel sehingga terjadi efek pemutihan gigi. pada penelitian ini, prosedur bleaching dilakukan di rumah (home bleaching) dengan pantauan dari dokter gigi. penelitian eksperimental tentang penggunaan bahan kimia yang terkandung dalam bahan bleaching yakni hidrogen peroksida harus ditangani dengan hati-hati karena efek iskemiknya pada kulit dan membran mukosa menyerupai luka bakar kimiawi.4 melihat besarnya biaya dan efek dari penggunakan bahan kimia hidrogen peroksida, membuat peneliti melakukan penelitian tentang bahan bleaching yang lebih aman dan terjangkau yaitu madu. hasil oksidasi madu menghasilkan reactive oxygen species (ros), diantaranya hidrogen peroksida (h2o2) dan superoksida.6 diketahui bahwa hidrogen peroksida (h2o2) merupakan salah satu bahan yang dapat digunakan untuk bahan pemutih gigi (bleaching). madu mengandung glukosa dan enzim glukosa oksidase. dalam kondisi tertentu enzim glukosa oksidase memiliki kemampuan untuk memecah glukosa menjadi hidrogen peroksida, akan tetapi madu itu sendiri tidak memiliki kondisi yang sesuai untuk terjadinya reaksi kimia tersebut. untuk mengaktifkan dan memulai dalam pemecahan glukosa dalam madu, enzim glukosa oksidase membutuhkan ph antara 5,5 hingga 8,0.9 menurut kwakman dan zaat (2012)7 dari penelitian 90 jenis madu dikatakan bahwa tingkat rata-rata akumulasi h2o2 terdapat dalam madu konsentrasi 20% setelah 1 jam. h2o2 pada madu hanya aktif 1 jam segera setelah madu didilusi dengan air, setelah itu tidak ada aktivitas yang tersisa lagi. oleh karena itu, madu yang didilusi tidak dapat disimpan dalam jangka waktu yang panjang.8 h2o2 yang berasal dari madu berbeda dengan h2o2 yang berasal dari bahan kimia. h2o2 dari bahan 12 erma sofiani, dkk., pengaruh waktu perendaman oksidasi madu kelengkeng kimia bersifat mengiritasi jaringan sedangkan h2o2 yang berasal dari madu tidak merusak ataupun mengiritasi jaringan dikarenakan mengandung antioksidan alami dan berbagai enzim yang terkandung dalam madu.10 hidrogen peroksida mempunyai berat molekul rendah dan mampu menembus ke dalam email dan dentin. proses mendasar untuk pemutihan gigi adalah reaksi oksidasi dan reduksi. hidrogen peroksida melepas oksigen yang merusak ikatan dalam rantai protein yang bergabung dengan stain dalam ikatan tunggal.11 selama proses pemutihan gigi, radikal bebas hasil dari reaksi oksidasi berpenetrasi ke matriks organik pada email dan dentin, mencapai pulpa dalam waktu 5-15 menit. radikal bebas ini tidak hanya mengubah warna email dengan menghilangkan stain ekstrinsik, tetapi juga mengubah warna dentin.12 kendala yang dihadapi pada saat pengukuran menggunakan shade guide adalah persepsi warna yang dipengaruhi oleh sumber cahaya, umur gigi, lingkungan, dan subjektifitas klinisi yang melakukan pengukuran.14 faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses pemutihan gigi menjadi efektif pada home bleaching adalah jenis stain, usia pasien, konsentrasi zat aktif, waktu perawatan dan frekuensi.15 secara umum, penetrasi bahan bleaching dengan konsentrasi tinggi lebih cepat daripada konsentrasi rendah. namun, konsentrasi yang lebih rendah bisa mendekati efektivitas konsentrasi yang lebih tinggi dengan memperpanjang waktu perawatan. hal ini pun harus sesuai dengan pengawasan oleh dokter gigi.16 simpulan terdapat pengaruh lama perendaman oksidasi madu kelengkeng terhadap perubahan warna pada pengukuran menggunakan shade guide. tidak terdapat pengaruh lama perendaman oksidasi madu kelengkeng terhadap perubahan warna pada pengukuran menggunakan spectrophotometer. daftar pustaka 1. vanable, e.d. dan lopresti, l.r. using dental material, pearson. prentice hall, new jersey, 80-85. 2004. 2. gladwyn, m. dan bagby, m. clinical apects of dental materials theory, practice, and cases (3rd eds). philadelphia: lippincott william & wilkins. 2009. 3. margaretha j., rianti d., meizarini a. perubahan warna enamel gigi setelah aplikasi pasta buah stroberi dan gel karbamid perosida 10% (effect of strawberry paste and carbamide peroxide gel 10% towards the brightness enamel tooth). material dental journal, 2009; 1 (1): 1620. 4. grossman, l.i., oliet s., del rio carlos e. ilmu endodontik dalam praktek. jakarta: egc. 1995. 5. walton dan torabinejad. prinsip dan praktik ilmu endodonsi. (3th ed.), jakarta: egc. 2008. 6. korayem, ahmad m., khodairy, mohamed m., abdel-aal, abdel-aal a., el-sonbaty, ayman a.m. the protective strategy of antioxidant enzymes against hydrogen peroxide in honey bee (apis mellifera) during two different seasons. j biol earth science, 2012; 2 (2): b93b109. 13 mutiara medika vol. 17 no. 1: 7-13, januari 2017 7. kwakman, p.h.s. dan zaat, s.a.j. antibacterial components of honey. iubmb life, 2012; 64: 48–55. 8. chen, cuilan., campbell, leona t., blair, shona e., carter, dee a. the effect of standard heat and filtration processing procedures on antimicrobial activity and hydrogen peroxide levels in honey. frontiers in microbiology, 2012; 3: article 265. 9. honeymark. the hydrogen peroxide producing capacity of honey. 2009. http://honeymark. articlealley.com/the-hydrogen-peroxide-producing-capacity-of-honey-880552.html 10. boksman, l. current status of tooth whitening: literature review. dent today, 2006; 25 (9): 76-79. 11. suranto, a. terapi madu. jakarta: penebar swadaya. 2007. 12. greenwall, l. tooth whitening in esthetic dentistry. quintessence publisihing co, ltd. 2009. 13. muñoz-viveros dan gerlach. dental esthetics in practice: part 5 tooth whitening. continuing education course, revised, 2011. 14. esan, t.a., bamise, c.t., akeredolu, p.a., helen, o.o., oziegbe, e.o., evaluation of shade matching practices among nigerian dentist. rev clín pesq odontol, 2008; 4 (3): 161-168. 15. american dental association. tooth whitening/ bleaching: treatment considerations for dentists and their patients. ada council on scientific affair. 2010. 16. joiner, a. the bleaching of teeth: a review of the literature. j dentistry, 2006; 34: 412–419. 50 | mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 21 no 1 page 50-58, january 2021 correlation between osteoarthritis knee damage based on ultrasound with kellgren-lawrence classification hubungan antara kerusakan lutut osteoartritis berdasarkan ultrasonografi dengan klasifikasi kellgren-lawrence wensri sevni1*, muhammad ilyas1, mirna muis1, andi alfian z2, faridin3, sri asriyani1 1department of radiology, faculty of medicine, hasanuddin university 2department of public health / family medicine science, faculty of medicine, hasanuddin university 3department of internal medicine faculty of medicine, hasanuddin university data of article: received: 15 oct 2019 reviewed: 25 jun 2020 revised: 10 feb 2021 accepted: 24 feb 2021 *correspondence: wensrisevni9@gmail.com doi: 10.18196/mmjkk.v21i1.7225 type of article: research abstract: the classic standard criteria to diagnose osteoarthritis (oa) of the knee is the conventional radiological imaging. ultrasonography could assess the osteoarthritis early and show invisible joint structures in osteoarthritis. this study aimed to compare the cartilage changes of trochlear femur and osteophytes (femur and tibia) through ultra-sound examination with the radiological imaging in stages to kellgren-lawrence (kl) classification. this is an observational study using cross-sectional design, involved 33 patients with knee oa who underwent conventional photo examination and ultrasonography at dr. wahidin sudirohusodo makassar hospital in the period of june august 2019. spearman's test showed that there is a significant correlation between the stage of oa by kl and the stage of femoral trochlear cartilage damage (p 0.001) with strong correlation (r 0.828). significant correlation is also between the stage of oa and the stage of osteophytes on the femur-lateral condyles both medial and lateral sides (p 0.001) with strong correlation (r 0.823; 0.79; 0.816, and 0.818). it concluded that the higher grade of femoral trochlear cartilage damage will result in the higher the stage of oa. the higher grade of osteophytes in knee joints will also result in the higher the stage of oa. keywords: osteoarthritis; kellgren-lawrence; ultrasound; throchlear femur cartilage; osteophyte condyles femur-tibia abstrak: kriteria standar klasik untuk menegakkan diagnosis osteoartritis (oa) lutut adalah pencitraan radiologis konvensional. ultrasonografi, dapat menilai osteoartritis lebih awal dan menunjukkan struktur sendi yang tidak terlihat pada pasien osteoartritis. penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perubahan tulang rawan trochlear femur dan osteopfit (femur dan tibia) melalui pemeriksaan ultrasonografi dibandingkan dengan pencitraan radiologi konvensional secara bertahap hingga klasifikasi osteoartritis kellgren-lawrence (kl). jenis penelitian observasional dengan metode potong lintang melibatkan 33 partisipan. penelitian ini dilakukan pada pasien oa lutut yang menjalani pemeriksaan foto konvensional dan ultrasonografi lutut di instalasi radiologi sentral rsup dr. wahidin sudirohusodo makassar periode juni-agustus 2019. uji spearman dilakukan dengan hasil nilai p 0,001 (<0,05). hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara stadium oa dengan kl pada stadium kerusakan tulang rawan trochlear femoralis. korelasi yang signifikan juga ditemukan antara stadium osteofit pada femurlateral condyles baik sisi medial maupun lateral dengan stadium osteartritis (p 0,001). kekuatan korelasi kuat yang ditunjukkan dengan nilai r masing-masing 0,823; 0,79; 0,816 dan 0,818. disimpulkan bahwa tingkat kerusakan tulang rawan trochlear femoralis yang lebih tinggi akan menghasilkan tingkat oa yang lebih tinggi. tingkat osteofit yang lebih tinggi pada sendi lutut juga akan menghasilkan stadium oa yang lebih tinggi. kata kunci: osteoarthritis; kellgren-lawrence; ultrasonografi; kartilago femur throchlea; osteofit condyles femur-tibia mailto:wensrisevni9@gmail.com vol 21 no 1 january 2021 51 | introduction arthritis is a general term to describe a joint that experiences pain, stiffness and inflammation. osteoarthritis (oa) is a degenerative disease of the joints, generally occurs at the age above 50 years with the characteristics of the cartilage degradation, bone hypertrophy at the edges (osteophytes), subchondral sclerosis and biochemical and morphological changes in the synovial membrane area and joint capsule. the classic standard criteria for conventional radiological imaging to establish the diagnosis and classify the stage of osteoarthritis of the knee is the kellgren-lawrence (kl) classification system; this system will assess the presence of osteophyte, narrowing joint gap and changes in bone morphology. while the conventional radiological examination is very limited in evaluating soft tissue changes and others changes related to inflammation, ultrasonography, on the other hand, could assess invisible joint structures on conventional photo examinations in osteoarthritis patients.1,2,3,4 this study was conducted to examine cartilage changes of trochlear femur and osteophytes (femur and tibia) through ultrasonography examination. the purpose of this study is to assess the correlation between trochlear of femur and osteophyte condyles femur-tibia damage in stages to kellgren-lawrence classification of osteoarthritis. in this study, it is expected that there is a match between the stages of trochlear of femur cartilage and femoral-tibia osteophyte damage based on ultrasonography with the stages of osteoarthritis according to the kellgren-lawrence classification on conventional radiography. this research is expected to take part in promoting the use of ultrasound in assessing musculoskeletal diseases including in patients with osteoarthritis; ultrasound could also assess the joint structures, in which the conventional photo examination could not.5,6 materials and method this is an observational study using cross-sectional method to examine the correlation between trochlear of femur and osteophyte condyles femur-tibia damage in stages to kellgren-lawrence classification of osteoarthritis in conventional radiological imaging. the minimal number of patients in this study were 32 samples of osteoarthritis patients using consecutive sampling method. the estimated sampling size (n) was calculated using the formula below: 𝑛 = [ 𝑍 ∝ +𝑍𝛽 0.5 1𝑛 1 + 𝑟 1 − 𝑟 ] 2 + 3 type i error = 5 %, null hypothesis zα = 1.64 type ii error = 10 %, then zβ = 1.28 r = 0,5 𝑛 = [ 1.64 + 1.28 0.5 1𝑛 1 + 0.5 1 − 0.5 ] 2 + 3 𝑛 = 32 the study used 33 samples that were diagnosed as patient primary osteoarthritis according to the american college of rheumatology criteria in rheumatology department in wahidin sudirohusodo hospital. these research samples are men and women over 50 years old without any history of trauma. the osteoarthritis patient was taken as an outpatient or inpatient care at dr. wahidin sudirohusodo hospital from june to august 2019 and fulfilled the inclusion criteria. the sample that was diagnosed with primary knee osteoarthritis got their conventional knee photo taken and examined by radiology specialists according to the kellgren-lawrence classification. after that, the sample went through knee ultrasonography examination using a transducer linear with frequency 7-15 mhz in supine position. the results of the conventional imaging and ultrasonography was recorded and examined according to statistic method using spearman correlation test. a. conventional radiography in osteoarthritis patients, conventional radiography of the antero-posterior position performed, where the patient holds the load with both knees in extension. this conventional knee photo was then examined by radiology specialists according to the kellgren-lawrence classification. in the kellgren-lawrence (kl) vol 21 no 1 january 2021 52 | classification system, osteoarthritis is divided into 4 grading.4 the grades 1-2 highlighted the findings of osteophytes while grades 3-4 more focused on the narrowing of the joint gap. figure 1: radiographs of the knee presented in the classification of kl. (a) representative knee radiograph of kl classification grade 1, which demonstrates doubtful narrowing of the joint space with possible osteophyte formation. (b) representative knee radiograph of kl classification grade 2, which demonstrates possible narrowing of the joint space with definite osteophyte formation. (c) representative knee radiograph of kl classification grade 3, which demonstrates definite narrowing of joint space, moderate osteophyte formation, some sclerosis, and possible deformity of bony ends. (d) representative knee radiograph of kl classification grade 4, which demonstrates large osteophyte formation, severe narrowing of the joint space with marked sclerosis, and definite deformity of bone ends.4 b. ultrasonography musculoskeletal ultrasound (usg) examination using a transducer linear with frequency 7-12 mhz. oa knee patients were examined with ultrasound to assess cartilage trochlear of femur and femur-tibia osteophyte condyles on the medial and lateral sides.7,8 on this research, we only use one of the patient's knees according vol 21 no 1 january 2021 53 | to the oa grading value on the conventional photo. trochlear femur cartilage examination is taken in the anterior compartment with the knee fully flexed with transverse transducer position. description of cartilage damage trochlear femur on ultrasonography was divided into 4 grading.9 grade 0; shows the homogeneity of anechoic matrix cartilage with anterior edges and clear posterior. grade 1; indicates the obfuscation or obliteration of cartilage edge. grade 2; shows fatigue accompanied by obliteration of the cartilage edge as well narrowing of the cartilage band. grade 3 if the cartilage band cannot be visualized. an ultrasound examination to assess condyles femur and tibia were taken on the medial and lateral compartments are in the longitudinal transducer position parallel to the cortex femur bone and tibia bones tend to osteophyte findings on ultrasonography divided into 5 grading. grade 0; no osteophytes, femoral condyles and tibia appear regular. grade 1; osteophyte minor, only a small protrusion of the femoral condyles and tibia. grade 2; small osteophytes are prominent on the surface of the condyles femoral and tibia, as well as large osteophytes separated from the surface of the condyles but has an inferior part in the joint space. grade 3; large osteophytes appear with the inferior part in the joint space while the superior part slightly parallel to the femur and tibia. grade 4; osteophytes largely parallel to the femur and tibia as w ell as little or no part in the inferior of joint space.10 figure 3: overview of osteophytes on ultrasound examination 10 results the data analysis consists of descriptive and spearman correlation test. descriptive analysis was conducted to see the number and percentage distribution characteristics for sex, age, body mass index (bmi), stage of oa of the knee by using a conventional photo kl classification, stage of femoral trochlear cartilage, osteophytes stage condyles medial and lateral femur, tibia condyles osteophyte stage medial and lateral knee by ultrasound. the number of patients in this study were 33 samples of osteoarthritis patients. spearman's test was conducted to analyze the correlation between the stages of knee oa based on photographs of conventional (classification kl) with the stages of damage to structures of the knee (cartilage and osteophytes) based on ultrasonography. spearman correlation test results determined that there is a relationship statistically significant if p < 0.05. vol 21 no 1 january 2021 54 | table 1. osteoarthritis patients distribution by age, sex and body mass index characteristics n % σn sex male female 14 19 42.4 57.6 33 age 51-60 61-70 >70 13 13 7 39.4 39.4 21.2 33 bmi normal pre-obese obese 22 8 3 66.7 24.2 9.1 33 source: primary data, description (n): summary table 1 show the distribution of samples by sex. it appears that there are more female oa sufferers than male. there are 19 (57.6%) female sufferer compared to male who recorded 14 sufferer (42.4%). the distribution which is based on the age of patients suffering from oa shows that the high case are in group of 51-50 years and 61-70 years with the same number (39.4%), while the group of > 70 years is lower with only 21.2% cases. the distribution of oa patients based on bmi shows that majority of people with oa have a normal bmi. it looks that there are 22 patients (66.7%) have a normal bmi, pre-obese are 8 patients (24.2%) and only 3 patients (9.1%) are obese. the distribution of oa patients by severity according to conventional radiography is shown in table 2. it shows that the largest oa cases is in grade 2 with 10 patients (30.3%), and the smallest is at grade 3 with 6 patients (18.2%). table 3 illustrates the distribution of the sample based on the stage of damage to the femoral trochlear cartilage by ultrasound. the table shows the patients with grade 2 femoral cartilage damage having the most samples 10 (30.3%) and we could still find a picture of normal cartilage in oa patient samples as many as 6 samples (18.2%). table 2. distribution of oa patients based on severity according to kellgren lawrence classification (conventional radiography) oa stage n % σn first grade 9 27,3 9 second grade 10 30,3 19 third grade 6 18,2 25 fourth grade 8 24,2 33 source: primary data, description (n): summary table 3. distribution of oa patients based on stages of trochlear femur cartilage damage on ultrasonography stages of trochlear femur cartilage damage n % σn normal 6 18.20 6 first grade 8 24.20 14 second grade 10 30.30 24 third grade 9 27.30 33 source: primary data, description (n): summary vol 21 no 1 january 2021 55 | table 4. distribution of oa patients based on osteophyte stages on ultrasonographic examination location osteophyte stage n % medial femoral condyles normal 1st grade 2nd grade 3rd grade 4th grade 3 5 5 4 16 9.10 15.20 15.20 12.10 48.50 lateral femoral condyles normal 1st grade 2nd grade 3rd grade 4th grade 5 5 5 6 12 15.20 15.20 15.20 18.20 36.40 medial tibia condyles normal 1st grade 2nd grade 3rd grade 4th grade 4 7 3 4 15 12.10 21.20 9.10 12.10 45.50 lateral tibia condyles normal 1st grade 2nd grade 3rd grade 4th grade 5 8 3 5 12 15.20 24.20 9.10 15.20 36.40 source: primary data, description (n): summary table 5. correlation between the stage of oa according to the kellgren-lawrence classification with the stage of damage to the throchlear femur cartilage using spearman test stages of femur cartilage damage osteoarthritis stage n p r 1st grade 2nd grade 3rd grade 4th grade normal 5 1 0 0 6 0.001 0.828 first grade 4 3 1 0 8 second grade 0 5 4 1 10 third grade 0 1 1 7 19 source: primary data table 4 illustrates the distribution of samples by the stage of osteophyte. in medial femoral condyles, the grade 4 osteophytes were found with 16 samples (48.5%) while those with normal or without osteophytes in the medial femoral condyles were 3 samples (9.1%). based on the stage of osteophyte at condyles medial of tibia, grade 4 osteophytes were found the highest with 15 samples (45.5%), the lowest number was in grade 2 with 3 samples (9.1%) while those who were still normal or invisible osteophytes in the medial tibia condyles were 4 samples (12.1%). based on the stages of lateral femoral condyles osteophytes, grade 4 osteophytes were found the highest with 12 samples (36.4%) while those who were still normal or not visible osteophytes in the lateral femoral condyles were 5 samples (15.2%). based on the stage of osteophytes lateral tibia condyles, grade 4 osteophytes were found the highest with 12 samples (36.4%) whereas the lowest is in grade 2 with 3 samples (9.1%) while those who were still normal or invisible osteophytes in lateral tibia condyles were 5 samples (15.2%). table 5 shows that there are five samples of patients with osteoarthritis of grade 1 who still has a normal femoral trochlear cartilage while there were 7 samples of grade 4 oa patients who have a stage of cartilage damage grade 3. with the results of the correlation analysis obtained by the p value of 0.001 (<0.05), it could be concluded that there is a significant correlation between the stage of oa by kl with the stage of femoral trochlear cartilage damage and has strong correlation with r value of 0.828. vol 21 no 1 january 2021 56 | table 6. correlation between the stage of oa according to the kellgren-lawrence classification with the stage of osteophytes in the medial femur condyles using spearman test osteophyte stage osteoarthritis stage (n=33) p r normal 0.001 0.823 first grade 0.001 0.79 second grade 0.001 0.816 third grade 0.001 0.818 source: primary data table 6 indicates a significant correlation between the stage of osteophytes on the femur-lateral condyles both medial and lateral sides with a stage of ostearthritis where a p value of 0.001 (<0.05). the correlation is strong with r values of 0.823 (medial condyles femur), 0.79 (medial tibia condyles), 0.816 (lateral condyles femur) and 0.818 (lateral tibial condyles). discussion in the results of the study shown in table 1, it was found that more women suffer from oa compared to men. although women have a smaller prevalence of oa than men when they are under 50 years of age, after the age of 50 years the prevalence increases in women, especially in the knee. this may be caused by the presence of postmenopausal estrogen deficiency after the age of 50 years. this sentence is in line with price and wilson's study which found the herbendens node was 10 times more common in women compared to men.11,12 at the final stage of oa, the symptoms usually receded, in addition to the patient’s old age, many patients with the age above 71 no longer go to health facilities. in the framingham oa study, 13 the prevalence of knee oa were found 1420 subjects with aged 60 years and higher. the prevalence of radiographic oa is increased with each decade of life from 33% among those aged 60-70 to 43.7% among those over 80 years of age. whereas in indonesia the prevalence of oa is quite high at 5% at the age of > 40 years, 30% at age 40 -60 years and 65% at age of above 61. obesity is a risk factor and can make oa worsen. in addition to the effects of excess weight which must be tolerated by the knee in the weight bearing line, active adipose tissue is recognized in active metabolism that contributes to inflammation of the knee. active adipose tissue increases the synthesis of proinflammatory cytokine such as leptin, adiponectin, resistin, interleukin-1 (il-1), il-6, and tumor necrosis factor (tnf). in this study only 3 samples of obese oa patients were obtained 11,14. kellgren-lawrence classification grade ≥ 2 is indicated by the presence of osteophytes and grade ≥ 3 are indicated by narrowing of the joint gap. in several epidemiology studies, there are several different opinions regarding the prevalence of oa grading according to kellgren-lawrence. preliminary studies on caucasian ethnicities in the united states and europe show that the prevalence of oa with kl grade ≥ 2 there are 30-40% whereas in asia a higher prevalence is obtained, which is 60%. then in the johnston study and the national health and nutrition examination survey (nhanes) study reported in africa-america has a radiological prevalence of knee oa that is higher than caucasian. this shows the difference in prevalence is found according to kl grading which prioritizes osteophytes and narrowing of joint gaps. this is influenced by several factors involved in the formation of osteophytes and joint gaps in addition to the differences in subjectivity in assessing osteophytes in conventional radiography.15 the loss of the classic composition of the cartilage is observed in patients with oa may be preceded by a focal process that manifests early on the surface area of the cartilage. the next step will be superficial cartilage fibrillation followed by a change in the composition of the cartilage which will give an idea of the loss of cartilage edge sharpness and reduced cartilage homogeneity on ultrasonographic examination (grade 1). focal lesions on these cartilages will then result in reduced cartilage volume that appears on ultrasonography as a narrowing of the cartilage band (grade 2). the final stage can come to a state where there are no more 57 | cartilages, which in ultrasound examination found cartilage bands that can no longer be visualized (grade 3).16,17,18 the severity of the trochlear cartilage damage is in line with the stages of oa, this has been supported by many past researchers. okano’s research also showed a strong correlation between narrowing of the tibio femoral joint in oa patients by grading cartilage damage using ultrasonography. 9 in this study, the stage of damage to grade 2 cartilage on ultrasonography revealed as 5 cartilage thinning was found in 5 samples in grade 2 oa patients (kl classification). whereas in grade 2 oa according to kl classification, no narrowing of the joints has been found. this can show that cartilage depletion doe s not absolutely reflects the narrowing of the joint gap. the study of malas et al (2014) cit. okano et al (2016), compared us meniscal bulging measurements and radiological kl grade and found a positive correlation. these results suggest that join space narrowing on radiograph may be affected by meniscal involvement and is not equal to cartilage loss 9,16 in this study out of 33 oa patients there were several patients that did not have osteophytes on either side of the condyles femur or the tibia condyles. the formation of osteophytes begins to grow on the medial side of the femur. besides, the medial compartment is a weight bearing point.19,20 the correlation between the stage of oa based on kl classification with the stage of osteophytes, showed that found a significant correlation (p < 0.001) and the strength of the strong correlation with the value (r) were all > 0.7. where the heavier the stage of oa the heavier the stage of osteophytes. some studies also suggest the same thing. serban and okano's research also showed a strong correlation between the stage of oa (kl) and the stage of osteophytes on ultrasonographic examination. 9,16 conclusion there is a significant positive correlation between trochlear femur cartilage damage and the stage of osteophytes on ultrasonographic examination with the stage of oa according to the kl classification on conventional radiography. the higher grade of femoral trochlear cartilage damage will result in the higher the stage of oa. the higher grade of osteophytes in knee joints will also result in the higher the stage of oa. references 1. papdi. rekomendasi ira untuk diagnosis dan penatalaksanaan osteoarthritis. 2014. https://reumatologi.or.id/wp.content/uploads/2020/10/rekomendasi_osteoarthritis_2014.pdf 2. goldring sr and goldring mb. clinical aspects, pathology and pathophysiology of osteoarthritis. j musculoscelet neuronal interact. 2006 oct-dec; 6 (4): p. 376-378 3. 3.vincent kr, conrad bp, fregly bj, vincent hk. the pathophysiology of osteoarthritis: a mechanical perspective on the knee joint. physical medicine & rehabilitation. 2012: (4), s3-s9:p. 1-11 4. kohn md, sassoon aa, fernando nd. classification in brief: kellgren-lawrance classification of osteoarthritis. clin orthop relat res. 2016 aug; 474(8): 1886–1893. doi: 10.1007/s11999-016-4732-4 5. 5.iagnocco a. imaging the joint in osteoarthritis: a place for ultrasound? best pract res clin rheumatol. 2010 feb;24(1):27-38. doi: 10.1016/j.berh.2009.08.012 6. 6.pineda c, hernandez c, angelica p, villaseñor-ovies p. the place of ultrasonography in knee joint osteoarthritis: an update. international journal of clinical rheumatology 6(6):635-642. doi: 10.2217/ijr.11.59 7. alves ti, girish g, brigido mk, jacobson ja. us of the knee: scanning techniques, pitfalls, and pathologic conditions. radiographics. 2016 (36);6:1759-1775. doi.org/10.1148/rg.2016160019 8. 8.pissara ap, madaleno rrd, graca b, cruz f, carvalheiro v, alves c. knee ultrasonography: scanning technique and mri. european society of radiology. 2016; 1-38. doi 10.1594/ecr2016/c-1556 9. okano t, filippucci e, di carlo m, draghessi a, carotti m, salaffi f, et al . ultrasonographic evaluation of joint damage in knee osteoarthritis: feature-specific comparisons with coventional radiography. rheumatology (oxford). 2016 nov; 55 (11): p. 2040-2049. doi: 10.1093/rheumatology/kew304 10. mortada m, zeid a, al-toukhy mae, ezzeldin n, and elgawish m. reliability of a proposed ultrasonographic grading scale for severity of primary knee osteoarthritis. clin med insights arthritis musculoskelet disord. 2016; 9: p. 161–166. doi: 10.4137/cmamd.s38141 11. 11.paul e, haudenschild d, samuel j. kelley’s textbook of rheumatology-9th ed: phatogenesis of osteoarthritis. elsevier, (98). 2013; p.1617-1633 12. plotnikoff r, karunamuni n, lytvyak e, penfold c, schopflocher d, imayama i et al. osteoarthritis prevalence and modifiable factors: a population study. bmc public health. 2015 nov 30;15:1195. doi: 10.1186/s12889-015-2529-0. https://reumatologi.or.id/wp.content/uploads/2020/10/rekomendasi_osteoarthritis_2014.pdf https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=kohn%20md%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=26872913 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=sassoon%20aa%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=26872913 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=fernando%20nd%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=26872913 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc4925407/ https://dx.doi.org/10.1007%2fs11999-016-4732-4 https://www.researchgate.net/scientific-contributions/pablo-villasenor-ovies-2003891289?_sg%5b0%5d=g7y9brmxxzxagd38bkrz1ct4forjjfpl8ztwp5tadoknf0xilxznwlvwndxbopbun0hglci.tcglocbhi6tiwnlimpr2j163u9_9roxi6pjjh5r_o2qakctjhtbxcba1k0g8ct8ciuuj6gxyh07phglxtupe6q&_sg%5b1%5d=pial1a9ipbyhlhkdkz6mkv55ef71qqlpgcfcfoj7jay2omigwhdngxf66zxmxe1yq2prs_c.douwbfsbbhck8uwedlov88rkakrdqlwfakm022gk00c78d_ypwy24538ppey_hjzo1vb_ejms9l8fv_fxqnp5w https://www.researchgate.net/deref/http%3a%2f%2fdx.doi.org%2f10.2217%2fijr.11.59?_sg%5b0%5d=swuxxbgtkneurjaiznvgsrlmmf93gxrlqsuhucdl6sna_i4pvf3fsnfalmokqyfkfy2dkq8zvfxol-ruchyzt_2dnq.qcjjyrrpt7bic8wvg5ujlfnvmrf7c3p2x-wm3bvm-g0ylnrg4sadhxjljxhnf9gxcft3brjxqewkm_brgfq6wa https://doi.org/10.1148/rg.2016160019 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=okano+t&cauthor_id=27558583 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=filippucci+e&cauthor_id=27558583 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=di+carlo+m&cauthor_id=27558583 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=draghessi+a&cauthor_id=27558583 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=carotti+m&cauthor_id=27558583 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=salaffi+f&cauthor_id=27558583 https://doi.org/10.1093/rheumatology/kew304 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=mortada%20m%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=27478389 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=zeid%20a%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=27478389 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=al-toukhy%20ma%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=27478389 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=ezzeldin%20n%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=27478389 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=elgawish%20m%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=27478389 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc4959458/ https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc4959458/ https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc4959458/ https://dx.doi.org/10.4137%2fcmamd.s38141 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=plotnikoff+r&cauthor_id=26619838 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=karunamuni+n&cauthor_id=26619838 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=lytvyak+e&cauthor_id=26619838 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=penfold+c&cauthor_id=26619838 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=schopflocher+d&cauthor_id=26619838 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=imayama+i&cauthor_id=26619838 58 | 13. anderson as and loeser rf. why is osteoarthritis an age related disease?. best pract res clin rheumatol. 2010 feb; 24 (1): p. 15-26. doi: 10.1016/j.berh.2009.08.006 14. ashkavand z, malekinejad h, vishwanath,b. the pathophysiology of osteoarthritis. journal of pharmacy research. january 2013: 7(1):132–138. doi 10.1016/j.jopr.2013.01.008 15. muraki s, tanaka s, yoshimura n. epidemiology of knee osteoarthritis. oa sport medice.london. 2013 nov 26; 1 (3): 21: p. 1-6. http://www.oapublishinglondon.com/images/article/pdf/1405806524.pdf 16. serban o, porojan m, deac m, cozma f, solomon c, lenghel m et al. pain in bilateral knee osteoarthritis-correlations between clinical examination, radiological and ultrasonographical finding. medical ultrasonography september 2016: 18 (3): p. 318-325. 17. podlipská j , koski j m, kaukinen p, h aapea m, tervonen o, et al . s tructure -symptom relationship with w ide -area ultrasoun d scanning of kn ee osteoarthritis. scientific reports, 2 0 17 ( 7):44470. 1-10. doi 10 .1038 /srep4447 0 . 18. poole ar, guilak f, abramson sb. etiopathogenesis of osteoarthritis in moskowitz rw, altman rd, hochberg mc. osteoarthritis. 4th ed. lippincott williams and wilkins, philadelphia. 2007: 27-49. 19. thompshon j. netter’s concise orthopaedic anatomy.leg/knee. second edition. elseiver inc. 2010; p. 297-322 20. wong shj, chiu ky, yan ch. review article: osteophytes. journal of orthopaedic surgery: 2016 (24) 3: 403-10. doi.org/10.1177/1602400327 https://www.researchgate.net/deref/http%3a%2f%2fdx.doi.org%2f10.1016%2fj.jopr.2013.01.008?_sg%5b0%5d=k1-ztythqmiuxl0fravtpbuqpthtdxx3mgeihahx58z1loysc1krvloq0eil4iriaes0thjnwyenafooe-7y-jaz1w.qujiejk4exo0qaglpbvhknwlbcqrsvrjbz9frvzan7ool_jfpvvjpeinwfhu8kyjchqurfyrr77h4rokpbmjla https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1602400327 https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1602400327 https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1602400327 https://doi.org/10.1177%2f1602400327 mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 19 no 2 hal 50-55 juli 2019 life quality of pediatric patient with dengue hemorrhagic fever (dhf) who received crystalloid and colloid fluid treatment in pku muhammadiyah hospital yogyakarta kualitas hidup pasien anak demam berdarah dengue yang diberikan cairan kristaloid dan koloid di rumah sakit pku muhammadiyah bantul yogyakarta chotijatun nasriyah*1, dyah aryani perwitasari1, nurcholid umam kurniawan2,3 1 faculty of pharmacy, universitas ahmad dahlan, yogyakarta 2 the staff of children's health sciences, faculty of medicine, universitas ahmad dahlan, yogyakarta 3 ksm child health sciences pku muhammadiyah hospital bantul, yogyakarta data of article: received: 9 nov 2018 reviewed: 18 dec 2018 revised: 24 jun 2019 accepted: 27 jun 2019 *correspondence: 805.nasri@gmail.com doi: 10.18196/mm.190229 type of article: research abstract: dengue hemorrhagic fever (dhf) in the community can have an impact of panic, death, and reduced age of hope in the family. research on the quality of life of dhf pediatric patient who got the treatment of crystalloid and colloid fluids has never been done before. the purpose of this study was to determine the quality of life of dhf pediatric patients who received crystalloids and colloids with pedsql instruments. the study design was a cohort with block randomization. the inclusion criteria in this study were hospitalized dhf pediatric patients aged one month -18 years from february to may 2018. the exclusion criteria were dhf patients who came with referrals from other hospitals who had received fluid therapy. research data include the length of stay (los) and quality of life score with the pedsql questionnaire. the statistical analysis was using an independent ttest and the mann whitney test. the length of stay for the crystalloid group is five days longer than the colloid group, which is four days. from a total of 48 subjects studied, the score for the physical function of the crystalloid fluid group 84.54 ± 9.90 was higher than the colloid group of 77.58 ± 19.30 (p = 0.125). the emotional functions in the crystalloid group obtained a score of 81.88 ± 12.14 higher than the colloid group, i.e., 79.17 ± 18.5 (p = 0.552). the social function in the crystalloid group had a score of 92.08 ± 8.84 higher than the colloid group of 86.67 ± 13.96 (p = 0.232). the school functions in the crystalloid group had a score of 50.42 ± 33.68 higher than in the colloid group of 37.92 ± 36.62 (p = 0.225). the results of this study showed that the crystalloid group had a higher quality of life score compared to the colloid group, although it was not significant. keywords: quality of life; pediatric; pedsql; crystalloid; colloid abstrak: demam berdarah dengue (dbd) di masyarakat memberi dampak kepanikan, kematian dan berkurang usia harapan. penelitian kualitas hidup anak dbd dengan cairan kristaloid dan koloid belum pernah dilakukan.tujuan penelitian ini untuk mengetahui kualitas hidup anak dbd yang mendapat kristaloid dan koloid dengan instrumen pedsql. rancangan penelitian adalah kohort, pengambilan sampel secara randomisasi blok. kriteria inklusi adalah pasien dbd rawat inap anak umur 1 bulan-18 tahun periode februari – mei 2018. kriteria eksklusi adalah pasien dbd dengan rujukan dari rs lain yang sudah mendapat cairan. data penelitian meliputi lama rawat inap dan skor kualitas hidup dengan kuesioner pedsql. analisis statistik menggunakan independent t test dan mann whitney | 51 test. lama rawat inap kelompok kristaloid adalah 5 hari lebih lama dibanding kelompok koloid yakni 4 hari. dari 48 subyek yang diteliti skor fungsi fisik kelompok kristaloid 84,54±9,90 lebih tinggi dibanding kelompok koloid 77,58±19,30 (p= 0,125). fungsi emosi kelompok kristaloid diperoleh skor 81,88±12,14 lebih tinggi dibanding kelompok koloid 79,17±18,5 (p=0,552). fungsi sosial kelompok kristaloid memiliki skor 92,08±8,84 lebih tinggi dibanding kelompok koloid 86,67±13,96 (p=0,232). fungsi sekolah kelompok kristaloid memiliki skor 50,42±33,68 lebih tinggi dibanding kelompok koloid 37,92±36,62 (p=0,225). hasil penelitian kelompok kristaloid skor kualitas hidupnya lebih tinggi dibanding kelompok koloid, walaupun secara statistik berbeda tidak signifikan. kata kunci: kualitas hidup; pediatrik; pedsql; kristaloid; koloid introduction the dengue hemorrhagic fever patient in indonesia has reached the number of more than 100.000, and among them, more than 1.000 have died. 1 the viral transmission of dengue hemorrhagic fever can be through the bite of an infected female mosquito. 2 the impact of dengue fever in the community for now in addition to being a health problem, also causes social consequences such as panic, death, and makes the age of hope decrease in family members. 3 several attempts have been made to measure the burden of dengue fever. long-term morbidity, mortality, and quality of life are essential metrics for measuring the health burden of chronic and acute diseases. also, age, duration of illness, and severity of the disease were related to the quality of life of patients with dengue hemorrhagic fever. 4 the most important treatment for dhf is the particular emphasis on proper and careful fluid management to overcome the plasma leak caused by the infection. 5 the types of crystalloid and colloidal fluids are the choices used to replace plasma leaks. 6 liquid crystalloid properties that have components similar to blood, which do not cause allergies, are cheap, and are easily obtained making crystalloids become the therapy of choice compared to colloids. 7 also, crystalloid solutions have a molecular size smaller than colloidal solutions then, if, in the same amount of volume, there will be less crystalloid fluid that remains intravascular. 7 however, colloids have advantages, namely if colloids and crystalloids have the same amount of volume, colloids have greater plasma volume (intravascular) expansion and last longer for intravascular space than crystalloid. by these advantages, it is expected that colloids provide better tissue oxygenation and hemodynamics are more stable, as a consequence, plasma leakage can be prevented and maintenance time can be reduced. 8 dhf patients need intensive care at the hospital. 9 hospital care can contribute psychologycal stress on the patients especially pediatric patients because the child is separated from his parents, siblings, and friends, meets the medical staff who care for him, gets painful medical treatments, unfamiliar places, interrupts daily activities and school activities. 9 the quality of one's life is greatly influenced by physical and psychological activities. decreasing physical function and stress can interfere with all aspects of life, one of which is the quality of life. 10 quality of life on health can be defined as a multidimensional assessment that includes physical, psychological, social functions and changes in behavior or development in one's life. 9 to assess the quality of adequate intensive management of an illness, an outcome assessment is needed. this outcome assessment is not only based on mortality outcomes but also includes non-mortality assessments, such as quality of life. 9 so far, researchers have not found an assessment of the quality of life in a pediatric patient with dhf who are treated with crystalloid and colloid fluids. based on the fact mentioned before, this research is carried out. material and method the study was conducted in the pediatric ward of pku muhammadiyah bantul hospital in january june 2018. the design of this study was a cohort; sampling was done by block randomization. the inclusion criteria were hospitalized dhf pediatric patients aged 1 -18 years in the period february may 2018. the exclusion criteria in this study were dhf patients who came with referrals from other hospitals that had received fluids. forty-eight samples met the inclusion criteria. the samples were divided into two groups, namely the group (n = 24) who received colloid fluid (initial gelafusal) and the group (n = 24) who received single crystalloid fluid therapy (ringer lactate). the application of this type of fluid is based on randomization carried out during the study. the old data from hospitalization were seen and recorded from the patient's medical record on the nurse ward. the quality of life of pediatric patients with dhf, was measured using the pedsql 4.0 generic core scales questionnaire, which included four functions, namely physical, emotional, social, and school functions. parents/guardians of patients before interviews and filling out the questionnaires, they need to fill out the informed consent sheet vol 19 no 2 july 2019 52 | first as a form of approval to be the subject of research. the questionnaires were taken a day before the pediatric patients came home from the hospital. the parent/guardian of the patient is asked to fill in the form containing the patient's identity, the name of the parent/guardian, address, and signature. the assessment of the quality of life is calculated starting from physical, emotional, social, and school functions with a generic measurement scale consisting of 23 questions. the questionnaires were asked to the parents/guardians of patients based on five scales, which were marked by the value according to the problem of each item felt by the patient. the scale consists of 0 never; 1 rarely; 2 sometimes; 3 often; 4 almost always. each score received from respondents is transformed to a scale of 0-100 (0 = 100; 1 = 75; 2 = 50; 3 = 25; 4 = 0). the calculation of the total score of 23 question items is the average of all the number of answers to items divided by many items answered from the physical, emotional, social, and school subscales. higher scores indicate a better quality of life. the analysis of length of stay data and results of quality of life scores – to compare the two groups, were carried out with independent t-test and mann whitney test. the independent samples t-test was carried out for data that are generally distributed by showing p-value. at the same time, the mann-whitney test for data that is not normally distributed. based on the results of previous research validation, in this study, researchers also conducted validation and reliability tests related to the pedsql questionnaire against 30 parents/guardians of pediatric patients. the validation and reliability tests apply the four functions/domains that include physical, emotional, social, and school functions using the spss statistical program. the results of each function/domain to test the validity obtained r count value higher than r table (0.361), so the questionnaire was declared valid. as for the reliability test, the correlation value in the cronbach's alpha column was 0.852, which means that it is classified as very strong. thus, it can be concluded that the questionnaire can be declared valid and trusted based on the correlation value of 0.852. result from a total of 48 patients who met the inclusion criteria, divided into two groups; 24 patients with cervical fluid (ringer's lactate) and 24 patients with colloidal fluid (gelafusal). table 1. the majority of the subject was 26 women patients (54.2%) and 22 men patients (45.8%). these two groups have similar age characteristics, i.e., the number of patients with less than or equal to 5 years are more than the number of patients over the age of 5 years. the comparison of length of stay between the crystalloid group and the colloid group can be seen in table 2. the parameters of length of stay were measured using several days as long as the patient received treatment at the hospital. the group of crystalloid fluid therapy has a length of stay of 3 to 8 days with 3 patients were treated for 3 days (12,5%), 6 patients were treated for 4 days (25%), 6 patients were treated for 5 days (25%), 7 patients were treated for 6 days (4,2%), 1 patient was treated for 7 days and 1 patient was treated 8 days (4,2%) whereas in the colloid fluid group it has a length of stay of 3 to 5 days with 5 patients were treated for 3 days (20,8%), 14 patients were treated for 4 days (58,4%) and 5 patients were treated for 5 days (20,8%). table 1. characteristics of dhf pediatric patients with crystalloid and colloid fluids treatment based on gender and age (n = 24) characteristics type of fluid total (%) average ±sd p-value crystalloid n=24 (%) colloid n=24 (%) gender man women 6 (27.3) 18 (69.2) 16 (72.7) 8 (30.8) 22 (45.8) 26 (54.2) 0.564a age < 1 year 1-5 year 6-10 year 11-15 year 17 (48.6) 5 (50) 2 (100) 1 (100) 18 (51.4) 5 (50) 1 (2.0) 35 (72.9) 10 (20.8) 2 (4.2) 4.4±3.3 0.320b achisquare test bmann-whitney test | 53 table 2. frequency of length of stay for pediatric patient with dhf between groups of crystalloid and colloid fluids length of stay in inpatient centre (day) group of crystalloid fluid (n = 24) group of colloid fluids (n = 24) total (n=48) 3 3 (12.5%) 5 (20.8%) 8 (16.7%) 4 6 (25.0%) 14 (58.4%) 20 (41.7%) 5 6 (25.0%) 5 (20.8%) 11 (22.9%) 6 7 (29.1%) 7 (14.6%) 7 1 (4.2%) 1 (2.1%) 8 1(4.2%) 1 (2.1%) total 24 (100%) 24 (100%) 48 (100%) based on table 3., the average length of stay for the colloid fluid group was 4 days, it's shorter than the group of patients who received crystalloid fluid, i.e. 5 days. the results of the independent analysis of the t-test in this study that there were statistically significant differences in the length of stay between the groups of crystalloid fluid and to the colloid fluid group with a value of p = 0.002 (p <0.05). analysis of data related to the assessment of the life quality of children with dengue hemorrhagic fever was carried out using independent sample t test statistics and mann-whitney test. the following is a table of assessment results of the quality of life between the two groups, including 4 functions/ domains. table 4. explains about the assessment of the quality of life of children with dhf who received crystalloid and colloid fluids. the assessment of the four functions of the crystalloid group have a higher physical function (84,54±9,90) compared to the table 3. results of average comparison statistics of length of stay patients with dhf group of crystalloid and colloid fluids liquid type mean±sd p-value kristaloid (n=24) 5,00 ±1,286 0,002a* koloid (n=24) 4,00 ±0,659 aindependent t test *significant p value table 4. statistics results on differences in the life quality in children with dhf in the administration of crystalloid and colloid fluids life quality assessment average value ±sd p-value crystalloid colloid fungsi fisik 84,54±9,90 77,58±19,30 0,125* fungsi emosi 81,88±12,14 79,17±18,51 0,552* fungsi sosial 92,08±8,84 86,67±13,96 0,232** fungsi sekolah 50,42±33,68 37,92±36,62 0.,225* analisis data : * independent samples t test ** mann-whitney test colloid group (77,58±19,30); emotional function of the crystalloid group (81,88±12,14) was higher from the colloid group (79,17±18,51); social function of crystalloid group (92,08±8,84) was higher from the colloid group (86,67±13,96), and school function of crystalloid group (50,42±33,68) was higher from the colloid group (37,92±36,62). discussion the number of patients with dengue hemorrhagic fever (dhf) in table 1. shows that the majority of dhf patients are women, as many as 26 patients (54,2%), while male patients were 22 patients (45,8%). another study conducted by hukom (2013), 11 also showed more women than men with a percentage of 53.2%. from the results of this study, the age was dominated between 1-5 years, with a total of 35 patients (72,9%) from a total of 48 samples. the result was that both women and men under the age of 5 have a greater risk of getting a virus than children over 5 years because children under 5 years have a lower level of immunity. 12 according to the results of research conducted by muliansyah (2015), 13 the majority of patients with dengue hemorrhagic fever were under 15 years old with 44 people (90%). other research in india by saraswathy (2013), 14 showed the majority of patients with dengue hemorrhagic fever aged 1-5 years (57%), followed by children aged 6-12 years (29%). table 3. shows the results of the mean statistic of the length of stay showed significant differences with values (p=0,02). the duration of stay in the crystalloid group was 5 days, longer than the length of stay in the colloid group, which was 4 days. these results were in accordance with the theory that colloidal fluids have the advantage that in the same amount of volume there will be greater plasma volume expansion (intravascular) and last for a long time in the intravascular space compared to crystalloid. with these advantages, it is expected that colloids provide better tissue oxygenation and maintain more stable hemodynamics so that they vol 19 no 2 july 2019 54 | can prevent plasma leakage and reduce maintenance time. 8 based on the previous pedsql research, good score for healthy children were around 83 with the lowest score of 70, while for children with disease the score was between 60 and less than 70. 15 according to the survey results of the pedsql instrument maker, the average results of the total scores for children with healthy conditions were 81.38 ± 15.90. quality of life can be declared normal according to the survey if the total value is more than 65.48 and vice versa has a quality of life of "atrisk" if the total value is less than 65.48. 15 in the average study of the quality of life quality between crystalloid and colloid groups (table 4), each physical function, emotional function and social function show the results ≥ 65.48 which means that the three functions/domains are declared normal. in accordance with a research by thompson and vernon (1992) cited by aji (2004),9 menyatakan bahwa post-treatment physical and psychological problems are more often happen in length of stay for more than 2 weeks, repeated care, and sufferers of chronic diseases. in this study, the duration of the length of stay in dhf children was less than 2 weeks, and the underlying disease is an acute infectious disease so that the results of normal quality of life are still obtained. school function for crystalloid and colloidal groups showed the results of < 65,48, which means both groups are still declared below normal/risky. in line with several studies, one of them was conducted by dwi, krisna and nur (2016), 16 ho explained that physical and school scores in cancer children were significantly lower than healthy children. this was due to conditions that had to be hospitalized in the hospital, giving rise to high absenteeism rates from school. from the assessment of the life quality of dhf children, the crystalloid group has a higher score than the colloid group. it is because the majority of the age in the colloid group is less than 5 years. in line with the research by thomson dan vernon (1992), 9 who viewed from the psychological point of view of post-hospital care children stated that emotional disorders most often occur in children aged 6 months to 6 years. the research by evy (2017), 17 also said that children aged 9-12 years have more mature cognitive development than those below them so that positive self-concepts can be formed. this study expects information or communication by health workers to prevent or control dengue fever especially during the peak season, and for health services to consider using colloid fluids as initial treatment for dhf to reduce the length of stay. conclusion the result of the assessment related to the life quality of children with dengue hemorrhagic fever is that the crystalloid group had a higher score than the colloid group, though statistically, the differences were not significant. all authors declare that there is no potential conflict of interest with research, authorship and or publication of this article. reference 1. kemenkes ri. pusat data dan informasi situasi dbd. pusdatin. jakarta: kemenkes ri. 2016. 2. bruce r. dengue fever/dengue hemorrhagic fever. am j med, 2010; 7 (2): 51-53. 3. kemenkes ri. demam berdarah dengue (dbd). jakarta: kemenkes ri. 2017 apr 25. from: www.kemkes.go.id 4. bach x, giang t, long h, anh t, tung t, binh t, et al. cost-of-illness and the health-related quality of life of patients in the dengue fever outbreak in hanoi in 2017. int j environ, 2018; 15 (6): 1174. 5. cucunawangsih & nata phl. trends of dengue disease epidemiology. virology (auckl), 2017; 8: 16. 6. hung n. fluid management for dengue in children. paediatr int child health, 2012; 32 (suppl 1): 39-42. 7. lisa s. choosing between colloids and crystalloids for iv infusion. nursing times, 2017; 113: 12, 20-23. 8. antonios l. volume resuscitation; the crystalloid vs colloid debate revisited. medscape, 2004; available from:url:http://www.medscape.com/viewarticle /480288 9. fajar a. kualitas hidup anak pasca sindrom syok dengue [tesis]. semarang: fakultas kedokteran universitas diponegoro. 2004. 10. hsien t, li-min wu, shu-hui wen. quality of life and its predictors among children and adolescents with cancer. cancer nursing, 2017; 40 (5): 343–351. 11. andrew h, sarah m, maya m. hubungan nilai hematokrit dan jumlah nilai trombosit pada pasien demam berdarah dengue. jurnal e-biomedik (ebm), 2013; 1 (1): 707-711. 12. devi y, galuh r, andra n. hubungan status gizi, umur dan jenis kelamin dengan derajat infeksi dengue pada anak. jurnal kedokteran muhammadiyah, 2015; 2(1): 24-28. 13. muliansyah, tri b. analisa pola sebaran demam berdarah dengue terhadap penggunaan lahan | 55 dengan pendekatan spasial di kabupaten banggai provinsi sulawesi tengah tahun 2011-2013. journal of information system for public health, 2016; 1(1): 47-54. 14. saraswathy m, sankari k, sakthi g, sripriya d, lakshmi p. incidence of dengue hemorraghic fever in children: a report from melmaruvathur tamilnadu india. jpsi, 2013; 2 (1): 34-36. 15. skar d, varni jw, seid m, burwinkle ts. health status assesment project. data insight report children’s health assessment project, 2002; 10: 111. 16. dwi n, krisna y, nur a. faktor-faktor berhubungan dengan kualitas hidup anak leukemia limfositik akut yang menjalani kemoterapi. jkp, 2016; 4 (1): 5-7. 17. evy s, livana p, yulia s. hubungan konsep diri dengan kualitas hidup anak usia sekolah pada keluarga buruh migran internasional. ijhs, 2017; 1 (2): 21-28. 0 daftar isi.p65 keri pangesti yudi harhari, supriatno, ana medawati, daya hambat ekstrak etanol daun keladi tikus ... 14 daya hambat ekstrak etanol daun keladi tikus (typhonium flagelliforme lodd.) terhadap proliferasi sel kanker lidah manusia (sp-c1) secara in vitro the inhibition of ethanolic extract of typhonium flagelliforme lodd. leaves toward cell proliferation of human tongue cancer cell (sp-c1) in vitro keri pangesti yudi harhari1, supriatno2, ana medawati3 1program studi pendidikan dokter gigi fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta, 2departemen ilmu penyakit mulut fakultas kedokteran gigi universitas gadjah mada, 3departemen biomedis program studi pendidikan dokter gigi fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta email: anamedawati@yahoo.com.sg abstrak keladi tikus (typhonium flagelliforme lodd.) merupakan tanaman yang telah banyak digunakan sebagai obat tradisional oleh masyarakat indonesia. keladi tikus memiliki zat aktif antikanker dalam bentuk triterpenoid, alkaloid, polifenol, ribosome inactivating protein (rip) dan fitol. penelitian ini bertujuan untuk menguji daya hambat ekstrak etanol daun keladi tikus terhadap proliferasi sel kanker lidah manusia (sp-c1). desain penelitian ini adalah eksperimental laboratoris murni. penelitian ini menggunakan biakan sel kanker lidah (sp-c1) yang diinkubasikan dengan ekstrak etanol daun keladi tikus berbagai konsentrasi (25, 50, 75, 100, 125 µg/ml) dengan waktu paparan 24 dan 48 jam, sebagai kontrol negatif digunakan biakan sel dalam media rosswell park memorial institute 1640 (rpmi-1640). uji aktivitas sitotoksik dilakukan dengan metode mtt assay. pemberian ekstrak etanol daun keladi tikus cenderung menurunkan jumlah sel kanker lidah (sp-c1). potensi hambatan proliferasi tertinggi ekstrak etanol daun keladi tikus terjadi pada konsentrasi 125 µg/ml yang menghambat proliferasi sel kanker lidah (sp-c1) sebesar 59% selama waktu 24 jam inkubasi dan sebesar 73% selama 48 jam inkubasi. disimpulkan bahwa ekstrak etanol daun keladi tikus dapat menghambat proliferasi sel kanker lidah manusia (sp-c1). kata kunci: typhonium flagelliforme lodd., proliferasi, sel kanker lidah (sp-c1), mtt assay abstract typhonium flagelliforme lodd. is a traditional plant which used by most indonesian people. it has the active substances of anticancer included triterpenoid, alkaloid, polyphenol, ribosome inactivating protein (rip) and phytol. the aim of the study was to examine the inhibition of ethanolic extract of typhonium flagelliforme leaves toward cell proliferation of human tongue cancer cell (sp-c1). the study design was a pure laboratories experimental. this study used the culture of human oral tongue cancer cell lines (sp-c1) which was incubated by ethanolic extract of typhonium flagelliforme lodd. leaves in various concentrations (25, 50, 75, 100, 125 µg/ml) for 24 and 48 hours, as negative control was carried out by rosswell park memorial institute 1640 (rpmi-1640) medium. cytotoxic effect was evaluated by mtt assay. the result showed that ethanolic extract of typhonium flagelliforme lodd. leaves could suppress the proliferation of sp-c1 cell and the highest potency of proliferation inhibition of typhonium flagelliforme lodd. leaves extract was occurred at 125 µg/ml which inhibited 59% of sp-c1 cell proliferation in 24 hours and 73% in 48 hours. the conclusion of this research was ethanolic extract of typhonium flagelliforme lodd. leaves could inhibit the cell proliferation of human tongue cancer cell (sp-c1). key words: typhonium flagelliforme lodd., proliferation, tongue cancer cell (sp-c1), mtt assay artikel penelitian mutiara medika vol. 11 no. 1: 14-18, januari 2011 15 pendahuluan keladi tikus (typhonium flagelliforme lodd.) merupakan tanaman herbal dari famili araceae yang tumbuh liar di tempat yang lembab.1 tanaman tersebut mudah ditemukan di sepanjang pantai utara pulau jawa. keladi tikus memiliki ciri khas berupa bunga unik yang bentuknya menyerupai ekor tikus. kelopak bunga berbentuk bulat lonjong, berwarna kekuningan, bertangkai dan panjangnya 4-8 cm.2 keladi tikus memiliki berbagai khasiat antara lain anti virus, anti bakteri, anti radang dan anti kanker.3 kandungan tanaman keladi tikus yang memiliki efek anti kanker adalah triterpenoid, alkaloid, polifenol, ribosome inactivating protein (rip) dan fitol.3,4 ekstrak tanaman keladi tikus menghambat aktivitas sel kanker dengan aksi antiproliferasi nonspesifik dan menginduksi apoptosis.5 ekstrak keladi tikus memiliki efek menghambat pertumbuhan sel kanker paru manusia, sel t4-limphoblastoid, kanker rahim, leukemia dan kanker payudara.6 kanker lidah merupakan karsinoma rongga mulut yang sering terjadi. lebih dari setengah jumlah total kanker rongga mulut di belanda adalah kanker lidah.7 sebagian besar kanker lidah merupakan karsinoma sel skuamosa diferensiasi sedang.8 kanker lidah merupakan kanker yang solid dan memiliki kemampuan metastasis yang tinggi.1 metastasis limfogen dapat terjadi pada lebih dari setengah jumlah kasus kanker lidah, sedangkan metastasis kontralateral dan bilateral terjadi melalui pembuluh limfe yang menyeberangi garis median.7 perawatan kanker lidah secara konvensional, seperti pembedahan, radioterapi dan kemoterapi masih merupakan pilihan utama. namun perawatan secara konvensional belum menunjukkan peningkatan lamanya hidup penderita secara signifikan, sehingga dibutuhkan strategi terapi baru yang efektif dan efisien untuk menghambat pertumbuhan sel kanker tanpa menimbulkan efek samping yang besar.9 pada penelitian ini, digunakan ekstrak etanol daun keladi tikus (typhonium flagelliforme lodd.) untuk mengetahui kemampuan hambatan proliferasi sel kanker lidah. penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kemampuan ekstrak etanol daun keladi tikus (typhonium flagelliforme lodd.) dalam menghambat proliferasi sel kanker lidah manusia (sp-c1). bahan dan cara bahan penelitian yang digunakan adalah ekstrak etanol daun keladi tikus (typhonium flagelliforme lodd.). pembuatan ekstrak etanol daun keladi tikus (typhonium flagelliforme lodd.) menggunakan teknik maserasi dan dilakukan di laboratorium penelitian pengujian terpadu (lppt) universitas gadjah mada yogyakarta. ekstrak tersebut dibuat stok 1 gr/ml dan diencerkan menjadi konsentrasi 25, 50, 75, 100 dan 125 µg/ml. sel yang digunakan adalah sel skuamosa karsinoma lidah supri’s clone 1 (sp-c1). uji hambatan proliferasi dilakukan di laboratorium riset terpadu fakultas kedokteran gigi universitas gadjah mada dengan uji mtt. sel kanker lidah manusia sp-c1 yang tumbuh sub-confluent dipanen menggunakan tripsin-edta 0,25%. sel sebanyak 5x103 sel/sumur ditanam pada plat 96 sumuran berisi media roswell park memorial institute 1640 (rpmi-1640) dan fetal bovine serum (fbs) 10%. setelah inkubasi selama 24 jam, dilakukan penambahan ekstrak etanol daun keladi tikus (typhonium flagelliforme) dengan berbagai konsentrasi (0, 25, 50, 75, 100 dan 125 µg/ml). keri pangesti yudi harhari, supriatno, ana medawati, daya hambat ekstrak etanol daun keladi tikus ... 16 jumlah sel dihitung menggunakan biorad microplate reader dengan panjang gelombang 540 nm selama 24 dan 48 jam inkubasi. hasil hasil penelitian mengenai daya hambat ekstrak etanol daun keladi tikus (typhonium flagelliforme) dapat dilihat pada tabel 1. pemberian ekstrak etanol daun keladi tikus pada sel kanker lidah (sp-c1) menunjukkan adanya penurunan jumlah sel. hal tersebut kemungkinan terjadi karena sel mengalami hambatan proliferasi pada regulasi siklus sel. hambatan poliferasi mulai terlihat pada pemberian ekstrak dengan konsentrasi 25 µg/ml dan semakin meningkat pada konsentrai, 50 µg/ml, 75 µg/ml, 100 µg/ml dan 125 µg/ml. hambatan proliferasi sel kanker lidah (sp-c1) pada pemberian ekstrak dengan konsentrasi 25 µg/ml yaitu sebesar 6,7% pada waktu paparan 24 jam dan sebesar 23% pada waktu 48 jam. potensi hambatan proliferasi tertinggi ekstrak etanol daun keladi tikus adalah pada konsentrasi 125 µg/ml yang menghambat proliferasi sel kanker lidah (sp-c1) sebesar 59% pada waktu 24 jam dan sebesar 73% pada waktu 48 jam. 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 24 jam 48 jam 0 25 50 75 100 125 µg/ml waktu ju m la h r er at a p ro lif er as i s el s p -c 1 od 540 * ** ** ** * ** ** ** ** * gambar 1. rerata proliferasi sel sp-c1 setelah perlakuan ekstrak etanol daun keladi tikus (typhonium flagelliforme lodd.) pada berbagai konsentrasi setelah 24 jam dan 48 jam. analisis statistik dilakukan dengan program spss. data dianalisis menggunakan uji normalitas kolmogorov-smirnov, selanjutnya dilakukan uji analisis varian (anava) dua jalur dan lsd dengan nilai signifikansi p<0,05. hasil uji normalitas kolmogorov-smirnov menunjukkan bahwa semua data perlakuan terdistribusi normal (p>0,05). hasil uji anava dua jalur menunjukkan signifikansi p=0,000 (p<0,05), yang berarti bahwa terdapat perbedaan bermakna pada masing-masing kelompok konsentrasi ekstrak terhadap hambatan proliferasi sel kanker lidah (spc1). diskusi keladi tikus merupakan tanaman asli indonesia yang banyak ditemukan di pulau jawa.1 tanaman tersebut sering digunakan dalam ramuan antikanker oleh para terapis tradisional.10 keladi tikus mengandung berbagai zat aktif yang bersifat antikanker, diantaranya triterpenoid, ribosome inactivating protein (rip) dan fitol.3,4 tabel 1. rerata ( + sd) jumlah sel kanker pada lidah (sp-c1) setelah perlakuan dengan ekstrak daun keladi tikus (typhonium flagelliforme lodd.) konsentrasi 24 jam 48 jam kontrol 0.59 ± 0.09 0.69 ± 0.04 25 µg/ml 0.55 ± 0.08 0.53 ± 0.06 50 µg/ml 0.46 ± 0.04 0.44 ± 0.07 75 µg/ml 0.40 ± 0.05 0.35 ± 0.09 100 µg/ml 0.33 ± 0.08 0.28 ± 0.04 125 µg/ml 0.26 ± 0.07 0.19 ± 0.05 mutiara medika vol. 11 no. 1: 14-18, januari 2011 17 hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun typhonium flagelliforme lodd. efektif menghambat pertumbuhan sel kanker lidah (sp-c1). ekstrak daun typhonium flagelliforme pada konsentrasi rendah (25µg/ml) telah dapat menghambat pertumbuhan sel kanker sp-c1 sebesar 6,7% pada hari ke-1 (24 jam) dan sebesar 23,2% pada hari ke-2 (48 jam). hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsentrasi 125 µg/ml merupakan konsentrasi paling efektif dalam menghambat sel kanker sp-c1 terutama pada hari ke-2 (48 jam) yaitu sebesar 73%. kandungan triterpenoid yang terdapat pada ekstrak keladi tikus (typhonium flagelliforme lodd.) bekerja dengan menghambat aktivitas enzim dna topoisomerase serta enzim dna polimerase.11 enzim dna topoisomerase berperan dalam proses replikasi, transkripsi, rekombinasi dna dan proliferasi sel kanker.12 sedangkan enzim dna polimerase berfungsi mengkatalis untaian dna baru pada proses replikasi.13 penghambatan aktivitas enzim enzim dna topoisomerase dan dna polimerase mengakibatkan proses pengikatan antara enzim dan dna terhambat sehingga akan terbentuk protein linked dna breaks (pldb) yang mengakibatkan terjadinya kerusakan dna sel kanker dan selanjutnya berpengaruh terhadap proses didalam sel khususnya proses replikasi sel yang diakhiri dengan kematian sel kanker.11 penghambatan enzim dna topoisomerase dapat menyebabkan hambatan pada fase g1/s.14 ribosom inactivating protein (rip) yang juga terkandung dalam ekstrak typhonium flagelliforme lodd. merupakan protein yang berfungsi memotong rantai dna atau rna sel, sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan protein sel akibatnya proliferasi sel kanker terhambat.15 kandungan lain dari ekstrak typhonium flagelliforme lodd. adalah fitol. mekanisme antikanker dari senyawa fitol dibagi menjadi dua cara, yaitu membunuh sel kanker dengan apoptosis dan sifat antiproliferasi nonspesifik. senyawa fitol dimetabolisme di hati menjadi asam organik fitanat dan pristanat. asam organik tersebut merupakan senyawa pengikat peroxisome proliferator activated receptor gamma yang berfungsi menghambat ekspresi gen penyebab oksidasi asam lemak pada peroksisome dan mitokondria yang akhirnya menjadi sel kanker.16 simpulan ekstrak etanol daun keladi tikus (typhonium flagelliforme lodd.) efektif menghambat proliferasi sel kanker lidah (sp-c1). potensi hambatan proliferasi tertinggi terjadi pada konsentrasi 125 µg/ml. daftar pustaka 1. sudiono j. pemeriksaan patologi untuk diagnosis neoplasma mulut. penerbit buku kedokteran: egc, jakarta, 2008. 2. sudewo b. tanaman obat populer penggempur aneka penyakit. jakarta: agromedia pustaka; 2007. 3. mangan y. solusi sehat mencegah dan mengatasi kanker. pt. agromedia pustaka, jakarta, 2009.p.44-45. 4 mudahar h, widowati l, sundari d. uji aktivitas ekstrak etanol 50% umbi keladi tikus (typhonium flagelliforme) terhadap sel kanker payudara (mcf-7 cell line) secara in vitro. keri pangesti yudi harhari, supriatno, ana medawati, daya hambat ekstrak etanol daun keladi tikus ... 18 puslitbang biomedis dan farmasi, badan penelitian dan pengembangan kesehatan; 2006. 5. choon sl, mas r, nair nk, majid mia, mansor, navaratnam. typhonium flagelliforme inhibits cancer cell growth in vitro and induces apoptosis: an evaluation by the bioactivity guided approach. j of enthophar 2008;118; 14-20. 6. permadi a, membuat kebun tanaman obat. jakarta: pustaka bunda, anggota ikapi; 2008. p.31-32. 7. velde v, bosman f, wargener d. onkologi. rev ed. yogyakarta: panitia kanker rsup dr. sardjito; 1999. 8. tambunan gw. diagnosis dan tatalaksana sepuluh jenis kanker terbanyak di indonesia. jakarta: egc; 1991. 9. supriatno, yuletnawati se. aktivitas antikanker cepharantine pada kanker lidah manusia in vitro (tinjauan proliferasi, invasi dan metastasis sel). majalah kedokteran gigi 2006; 13(2): 141-145. 10. yuhono. keladi tikus (typhonium flagelliforme, lodd) tanaman obat yang berpeluang menyembuhkan kanker. warta penelitian dan pengembangan pertanian 2007;13(1) 11. mizushina y, iida a, ohta k, sugawara f, sakaguchi k. novel triterpenoids inhibits both dna polymerase and dna topoisomerase. biochemical j 2000;350:757-763. 12. andoh t. dna topoisomerases in cancer therapy: present and future. new york: klower academic; 2003.p.15-16. 13. alberts b. bray d. johnson a. lewis j. raff m. roberts k, essential cell biology: an introduction to the molecular biology of the cell. new york: garland publising; 1998.p.193. 14. abdurashidova g, radulescu s, sandoval o, zarariev s, danailov m, demidovich a, et al. functional interactions of dna topoisomerases with a human replication origin. the embo j 2007;26:998-1009. 15. sudjadi, witasari l, sadarum mt, nastity n, sismindari, efek sitotoksik suatu protein seperti ribosome inactivating proteins yang bersifat asam dari daun mirabilis jalapa l. pada sel kanker. majalah farmasi indonesia 2007; 18(1);8-14. 16 mackie jt, atshaves b, payne hr, mcintosh a, schroeder f, kier b. phytol-induced hepatoxicity in mice. toxicol pathol 2009; 000:1-8. bambang edy susyanto, faktor risiko gangguan ... artikel penelitian 30 faktor risiko gangguan pendengaran pada skrining pendengaran bayi baru lahir di rumah sakit pku muhammadiyah yogyakarta hearing impairment risk factors of newborn hearing screening at pku muhammadiyah yogyakarta hospital bambang edy susyanto1*, asti widuri2 1bagian ilmu kesehatan anak, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta 2bagian ilmu kesehatan telinga hidung dan tenggorok, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta *email: bambangedi@gmail.com abstrak jenis ketulian neonatus yang banyak dijumpai adalah sensori. upaya habilitasi hanya dengan memasang alat bantu dengar dan melatih dengan metode audiovisual. habilitasi sangat efektif bila dilakukan pada periode perkembangan bicara anak sekitar usia 9 bulan sampai 3 tahun. untuk itu perlu dideteksi dini adanya ketulian pada neonatus, dan segera dimulai habilitasi pendengaran. penelitian ini untuk mengetahui frekuensi jenis faktor risiko yang potensial penyebab ketulian neonatal. penelitian ini menggunakan rancang penelitian potong lintang, dengan menggunakan alat otoacoustic emission (oae) untuk deteksi ketulian neonatus yang lahir antara bulan januari dan december 2014 di rs pku muhammadiyah. faktor risiko di lihat dalam rekam medik, data dianalisis menggunakan chi-square. faktor risiko ketulian yang paling banyak adalah hiperbilirubin sejumlah 44 (53.0%) kasus, prematuritas sejumlah 30 (36.1%) kasus, ventilasi mekanik sejumlah 27 (32.5%) kasus, dan bblr sejumlah 16 (19.3%). uji statistik chi-square menunjukkan p=0,001 pada risiko bblr. disimpulkan bblr menjadi salah satu risiko gangguan pendengaran pada skrining pendengaran bayi baru lahir. kata kunci: neonatus, tuli sensori, faktor risiko, deteksi dini, oae abstract the most common congenital neonatus hearing loss is sensory disorder. the habilitation is wearing hearing aids, and audiovisual training. effective habilitation if perform at optimal early childhood speech development around 9 month to 3 years old. for this reason need early neonatus hearing detection and habilitation. the aims to know the frequency and potential of neonatal hearing loss risk factors. the method by cross sectional method newborns were tested with oae screening test, between januari 2014 and december 2014 in pku muhammadiyah hospital. from medical report all risk factors data and analyzed by chi-square. most hearing impairment risk factors are hyperbilirubinemia 44 (53.0%) cases, prematurity 30 (36.1%) cases, mechanical ventilation 27 (32.5%) cases, and low birth weight lbw 16 (19.3%) cases. by chi-square shown p=0,001 for low birth weight. lbw as one of risk factor to hearing impairment at newborn hearing screening. key words: neonatus, sensory hearingloss, risk factor, early detection, oae. mutiara medika vol. 15 no. 1: 30 36, januari 2015 31 pendahuluan gangguan pendengaran (ketulian) yang terjadi pada masa neonatus (pre lingual deafness) menyebabkan hambatan perkembangan bicara, berbahasa, kognitif, emosi dan komunikasi sosial. dengan demikian perlu dilakukan deteksi dini ketulian neonatus dan segera menghabilitasi pendengaran secara audiovisual dengan memasang alat bantu dengar mengingat periode optimal perkembangan bicara pada anak usia sembilan bulan sampai tiga tahun. sehubungan dengan hal tesebut diatas perlu dilakukan deteksi dini ketulian pada neonatus sedangkan pelaksanaan lebih efektif bila diketahui dulu faktor risiko sebagai penyebab ketulian neonatus. beberapa faktor risiko yang telah diindikasi penyebab kelutian neonatus antara lain genetik, prematuritas, torch, berat badan lahir rendah dan ikterus neonatorum. the joint committee on infant hearing tahun 2007 merekomendasikan skrining pendengaran neonatus harus dilakukan sebelum usia 3 bulan dan intervensi telah diberikan sebelum usia 6 bulan, dan terutama pada bayi dengan faktor risiko.1 ketulian atau penurunan kemampuan mendengar pada bayi yang menyebabkan ketidakmampuan mendengar dengan atau tanpa alat pengeras suara akan memberikan dampak yang besar pada perkembangan anak. faktor risiko gangguan pendengaran sensori neural antara lain infeksi meningitis, bayi prematur, berat badan lahir rendah, ikterus, maupun bayi dengan perawatan di nicu. deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi memerlukan peranan aktif dari semua bidang tenaga kesehatan dan masyarakat, tetapi dokter spesialis anak dan spesialis telinga hidung tenggorok merupakan ujung tombaknya.2 salah satu faktor risiko gangguan pendengaran adalah bblr. tuli pada bayi baru lahir dapat disebabkan oleh berbagai kondisi antara lain hipoksia dan perkembangan organ yang tidak sempurna. faktor risikonya antara lain adalah kadar bilirubin yang tinggi (jaundice),prematuritas atau bayi berat lahir rendah (bblr), obat-obat ototoksik, ventilasi mekanik yang lama, apgar score rendah dan meningitis.3 who mendefinisikan berat badan lahir rendah (bblr) adalah bayi dengan berat badan lahir kurang dari 2500 gram tanpa memandang usia gestasi. joint committee of infant hearing menyatakan bahwa berat badan lahir < 1500 gram merupakan faktor risiko terjadinya gangguan fungsi pendengaran bayi baru lahir.4 gangguan pendengaran banyak dijumpai pada anak-anak, baik yang disebabkan gangguan sistem saraf pendengaran maupun tuli konduksi akibat serumen, cairan telinga tengah maupun perforasi membran timpani. menurut perkiraan terakhir, 31,5 juta orang di amerika serikat mengalami gangguan pendengaran. sekitar 6 dari setiap seribu bayi baru lahir memiliki beberapa jenis gangguan pendengaran unilateral atau bilateral.1 tujuan penellitian ini adalah untuk mengetahui jenis dan frekuensi faktor risiko ketulian neonatus di rs pku muhammadiyah yogyakarta. bahan dan cara bambang edy susyanto, faktor risiko gangguan ... 32 penelitian ini menggunakan metode cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui faktor risiko terhadap gangguan pendengaran menggunakan oae. subyek dalam penelitian ini adalah bayi baru lahir di bagian kebidanan rs pku muhammadiyah yogyakarta. sebagai sampelnya adalah 83 bayi baru lahir di bagian kebidanan rs pku muhammadiyah yogyakarta dengan kriteria inklusi sehat ataupun dengan factor risiko perawatan nicu, sedangkan kriteria eksklusinya adalah terdapat kelainan congenital (craniofacial) yang menyulitkan pemeriksaan oae. instrumen pada penelitian ini menggunakan data sekunder berupa rekapan hasil pemeriksaan otoacoustic emission (oae) pada pasien bayi baru lahir yang dilakukan secara rutin pada bayi dan rekam medik untuk melihat berbagai faktor risiko. hasil pemeriksaan oae dilakukan pada 83 bayi baru lahir sejumlah 24 bayi normal tanpa faktor risiko dan 59 bayi baru lahir dengan faktor risiko ketulian. dari rekam medik didapatkan faktor risiko antara lain berupa berat bayi baru lahir rendah (bblr), usia kehamilan kurang (prematur), hiperlilirubinemia, mengalami perawatan dengan ventilasi mekanik, apgar skor saat lahir rendah, adanya riwayat infeksi torch pada ibu, sindrom kongenital dan adanya riwayat ketulian pada anggota keluarga, seperti terlihat pada tabel 1. berdasar tabel 1. terlihat jumlah bayi dengan jemis kelamin perempuan lebih banyak yaitu 46 (55.4%) dibanding dengan laki-laki 37 (44.6%), faktor risiko yang diperiksa sebesar 59 (71.1 %) bayi dan tanpa faktor risiko sejumlah 24 (28.9%) bayi, hal ini disebabkan prioritas motivasi pemeriksaan skrining pendengaran hanya pada bayi dengan faktor risiko, sedangkan bayi normal hanya sebatas anjuran. hal ini berbeda dengan standar prosedur di negara maju dimana semua bayi sebelum keluar dari rumah sakit telah dilakukan skrining. faktor risiko ketulian yang paling banyak berdasar data diatas adalah hiperbilirubin sejumlah 44 (53.0%) kasus, prematuritas sejumlah 30 (36.1%) kasus, tabel 1. karakteristik subyek penelitian faktor risiko ketulian pada bayi. karakteristik jumlah (n) prosentase (%) jumlah subyek 83 100.0 faktor risiko negatif positif 24 59 28.9 71.1 kelamin laki-laki perempuan 37 46 44.6 55.4 usia kehamilan matur prematur 53 30 63.9 36.1 berat lahir normal rendah 67 16 80.7 19.3 bilirubin normal hiper 39 44 47.0 53.0 ventilasi ya tidak 56 27 67.5 32.5 riwayat keluarga ya tidak 1 82 1.2 98.8 infeksi torch ya tidak 5 78 6.0 94.0 kongenital ya tidak 5 78 6.0 94.0 mutiara medika vol. 15 no. 1: 30 36, januari 2015 33 ventilasi mekanik sejumlah 27 (32.5%) kasus, bblr sejumlah 16 (19.3%) kasus, infeksi torch dan kelainan congenital masing masing sejumlah 5 (6 %) kasus dan riwayat keluarga sejumlah 1 (1.2 %) kasus. untuk selanjutnya analisis dilakukan pada 4 faktor risiko terbanyak. berdasar peringkat insidensi faktor risiko maka yang pertama dianalisis adalah faktor hiperbilirubinemia dimana pengaruhnya terhadap hasil pemeriksaan oae terlihat pada tabel 2. berdasarkan tabel 2. pada kelompok neonatus lahir dengan hiperbilirubin terdapat 21 kasus hasil pemeriksaan oae refer dan 23 hasil pemeriksaan oae pass. uji chi square digunakan untuk mengetahui pengaruh hiperbilirubin sebagai salah satu faktor risiko terjadinya kerusakan sel rambut luar koklea yang diukur dengan menggunakan oae. hasil analisis uji statistik menunjukkan p=0,392 yang menunjukkan tidak ada hubungan bermaknasecara statistik antara hiperbilirubin dengan hasil pemeriksaan oae. berdasarkan tabel 2. pada kelompok neonatus lahir prematur terdapat 17 kasus hasil pemeriksaan oae refer dan 13 hasil pemeriksaan oae pass. uji chi square digunakan untuk mengetahui prematuritas sebagai salah satu faktor risiko terjadinya kerusakan sel rambut luar koklea yang diukur dengan menggunakan oae. hasil analisis uji statistik menunjukkan p=0,065 yang menunjukkan tidak ada hubungan bermakna secara statistik antara premature dengan hasil pemeriksaan oae. berdasarkan tabel 2. pada kelompok neonatus lahir ventilasi mekanik terdapat 15 kasus hasil pemeriksaan oae refer dan 12 hasil pemeriksaan oae pass. uji chi square digunakan untuk mengetahui ventilasi mekanik sebagai salah satu faktor risiko terjadinya kerusakan sel rambut luar koklea yang diukur dengan menggunakan oae. hasil analisis uji statistik menunjukkan p=0,121 yang menunjukkan tidak ada hubungan bermakna secara statistic antara ventilasi mekanik dengan hasil pemeriksaan oae. berdasarkan tabel 2, pada kelompok neonatus lahir bblr terdapat 6 kasus hasil pemeriksaan oae refer dan 10 hasil pemeriksaan oae pass. uji chi square digunakan untuk mengetahui bblr sebagai salah satu faktor risiko terjadinya kerusakan sel rambut luar koklea yang diukur dengan menggunakan oae. hasil analisis uji statistik menunjukkan p=0,001 yang menunjukkan ada hubungan bermakna secara statistik antara bblr dengan hasil pemeriksaan oae. diskusi pada penelitian ini terdapat 21 bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia yang mengalami tabel. 2. pengaruh hiperbilirubin dengan hasil pemeriksaan oae pass refer p hiperbilirubin normal 24 15 0.392 hiperbilirubin 23 21 prematuritas normal 34 19 0.065 prematur 13 17 ventilasi mekanik tanpa ventilasi 35 21 0.121 ventilasi mekanik 12 15 bblr bb normal 41 26 0.001 bblr 6 10 bambang edy susyanto, faktor risiko gangguan ... 34 gangguan fungsi sel rambut luar koklea dan 23 bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia tanpa gangguan fungsi sel rambut luar koklea. hasil analisis menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik dengan p=0,392 maka berdasarkan analisis tersebut dapat disimpulkan hiperbilirubinemia tidak ada hubungan dengan kejadian gangguan fungsi sel rambut luar koklea. hasil penelitian sesuai dengan da silva and martins (2009),5 yang mendapatkan fungsi sel rambut luar koklea pada bayi dengan hiperbilirubinemia masih baik sedangkan fungsi sarafnya terganggu. penelitian yang dilakukan oysu et al. (2002),6 mendapatkan adanya gangguan fungsi sel rambut luar pada bayi dengan hiperbilirubinemia yang dapat disebabkan adanya gangguan fungsi endokoklear. faktor risiko lain yang didapatkan pada penelitian ini yaitu premature, hasil analisis menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik dengan p=0,065 maka berdasarkan analisis tersebut dapat disimpulkan prematuritas (lahir dengan usia gestasional <37 minggu) tidak ada hubungan dengan kejadian gangguan fungsi sel rambut luar koklea. prematuritas dapat menyebabkan gangguan fungsi sel rambut luar koklea disebabkan oleh belum maturnya organ koklea baik anatomi dan fungsinya. hasil ini berbeda dengan dengan hasil yang dilakukan oleh javiolo gr (2013),7 dimana terdapat perbedaan yang bermakna antara hasil pemeriksaan oae pada neonatus usia <32 minggu dibanding yang cukup bulan. dimana neonatus yang lahir pada usia gestasi <32 minggu mempunyai kemungkinan 8,69 kali untuk mengalami gangguan fungsi sel rambut luar koklea dibanding neonatus yang lahir ≥32 minggu. faktor risiko selanjutnya yang didapatkan pada penelitian ini yaitu ventilasi mekanik, hasil analisis menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik dengan p=0,121 maka berdasarkan analisis tersebut dapat disimpulkan ventilasi mekanik tidak ada hubungan dengan kejadian gangguan fungsi sel rambut luar koklea. hasil penelitian ini berbeda dengan teori yang mengatakan bahwa penggunaan ventilasi mekanik >5 hari merupakan faktor risiko untuk terjadinya gangguan pendengaran pada neonatus, dimana pernafasan dengan ventilasi mekanik, ventilator akan memompakan udara ke paru pada saat inspirasi dan akan memberikan tekanan positif. pada saat ini tekanan intratorakal akan meningkat dan dapat terjadi kenaikan tekanan darah pulmonal. hal ini mengakibatkan darah yang dipompa dari jantung ke paru dan kembali ke jantung akan berkurang menyebabkan penurunan cardiac output jantung. hasil penelitian sesuai dengan kepustakaan bahwa prematuritas dan bblr berisiko mengalami peningkatan gangguan pendengaran sensori neural, yang dapt dideteksi dengan pemeriksaan abr yaitu metode efektif untuk mendeteksi defisit ringan pada konduksi impuls di jaras pendengaran. lebih dari 27% bblr mengalami peningkatan latensi dan interfal abr yang menunjukkan adanya gangguan pendengaran perifer atau sentral.8 insiden gangguan fungsi pendengaran meningkat pada bayi berat badan lahir rendah atau usia ibu yang rendah. semakin bertambah usia ibu atau semakin bertambah berat badan mutiara medika vol. 15 no. 1: 30 36, januari 2015 35 bayi menurunkan kemungkinan terjadinya gangguan fungsi pendengaran.6 hasil penelitian ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh cristobal & oghalai, (2008),9 yang menyatakan prevalensi gagal dalam skrining pendengaran pada bayi bblr secara siknifikan lebih tinggi dibanding bayi berat badan lahir normal, tetapi belum mencerminkan terjadinya gangguan pendengaran sensori neural, hal ini bisa disebabkan terkumpulnya cairan pada telinga tengah sehingga berakibat ketulian konduksi yang membaik beberapa minggu setelah pulang dari rumah sakit. faktor risiko ketulian pada bayi berupa pengaruh obat ototoksik, infeksi cytomegalovirus, hipoksia dan hiperbilirubinemia hanya berguna sebagi kekuatan prediksi gangguan pendengaran, tidak cukup bukti yang menunjukkan signifikansi pengaruh faktor risiko terhadap ketulian congenital pada bayi.10 penelitian di iran melaporkan bahwa gangguan pendengaran pada bayi yang dirawat di nicu lebih tinggi daripada populasi normal, sehingga deteksi dini pada bayi dengan faktor risiko sangat dibutuhkan sebagai preventif dan meningkatkan kualitas hidup.11 simpulan bayi bblr merupakan salah satu risiko gangguan fungsi pendengaran pada skrining pendengaran bayi baru lahir. diperlukan penelitian lebih lanjut dengan mengikut sertakan seluruh faktor risiko yang lain dengan jumlah sampel yang lebih banyak. daftar pustaka 1. anonym. american academy of pediatrics; joint committee on infant hearing. year 2007 position statement: principles and guidelines for early hearing detection and intervention programs. pediatrics, 2007; 120 (4): 898-921. 2. garcia mv, azevedo mf, testa jr. acoustic immitance measures in infants with 226 and 1000 hz probes: correlation with otoacoustic emissions and otoscopic examination. braz j otorhinolaryngol, 2009; 75: 80-89 3. 3. bashirudin, j. newborn hearing screening in six hospital in jakarta and surroundings. maj kedokt indon, 2009; 59 (2): 51-54. 4. perkins, n. early detection and diagnosis of infant hearing impairment dalam cw cummings, pw flint, bh haughey, kt robbins, jr thomas, la harker & ma richardson, eds. philadelphia: otolaryngology: head & neck surgery, mosby, inc. 2005. 5. da silva dpc, martins rhg. analysis of transient otoacoustic emissions and brainstem evoked auditory potentials in neonates with hyperbilirubinemia. braz. j. otorhinolaryngol. 2009; 75 (3): 381-386. 6. oysu c, aslan i, ulubil a, baserer n. incidence of cochlear involvement in hyperbilirubinemic deafness. ann otol rhinol laryngol, 2002; 111 (11): 1021-25. 7. joviolo gr. prematuritas sebagai faktor risiko gangguan fungsi sel rambut luar kokhlea. disertasi bagian ilmu kesehatan tht, universitas gadjah mada, yogyakarta. 2013. bambang edy susyanto, faktor risiko gangguan ... 36 8. reiman m, parkkola r, johansson r, jääskeläinen sk, kujari h, lehtonen l, et al. diffusion tensor imaging of the inferior colliculus and brainstem auditory-evoked potentialisin preterm infant. pediatr radiol, 2009; 39 (8): 804-809. 9. cristobal, r. & oghalai, j.s., hearing loss in children with very low birth weight: current review of epidemiologyand pathophysiology. arch dis child fetal neonatal, 2008; 93 (6): 462-468. 10. karaca ct, oysu c, toros sz. naiboglu n, verim a. is hearing loss in infants associated with risk factors? evaluation of the frequency of risk factors. clin and exp otorhinolaryngol, 2014; 7 (4): 260-263. 11. baradaranfar mh, mehrparvar ah, mostaghaci m, mollasadeghi a, naghshineh e, davari mh. hearing abnormality in neonate intensive care unit (nicu), yazdiran. international journal of pediatrics, 2014; 2 (5): 113-117. 85 mutiara medika vol. 14 no. 1: 85-92, januari 2014 pengaruh leptin terhadap kadar interleukin 6 serum tikus yang diberi pakan tinggi lemak effect of leptin toward interleukin-6 value in the serum of rat which was given high fat diet daniel setiawan1, m. rasjad indra2, soemardini2 1 pendidikan dokter, fakultas kedokteran, universitas brawijaya 2 laboratorium faal, fakultas kedokteran, universitas brawijaya *email: abstrak pada keadaan obesitas, meningkatnya jumlah sel lemak merupakan salah satu penyebab meningkatnya sitokin proinflamasi seperti il-6. obesitas dapat dimulai dengan terjadinya resistensi leptin. penurunan resistensi perifer leptin akan mengembalikan fungsi leptin dalam memecah jaringan lemak sehingga kadar il-6 dalam serum akan turun. dalam penelitian ini leptin eksogen diberikan untuk mengatasi resistensi perifer leptin. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pemberian leptin eksogen dalam jangka pendek dapat mengatasi resistensi perifer leptin. penelitian eksperimental dengan post test only control group design. dua puluh lima tikus jantan dibagi menjadi 5 kelompok yaitu kelompok dengan pakan normal, kelompok dengan pakan tinggi lemak, kelompok pakan tinggi lemak dan pemberian leptin dosis 50 ng/ml; 100 ng/ml; dan 200 ng/ml. tiap kelompok terdiri dari 5 ekor tikus. setelah diberi pakan tinggi lemak enam puluh hari, tikus diberi injeksi leptin intravena sekali sehari selama 3 hari. pada hari ke 3 setelah pemberian leptin, tikus dibedah dan diambil darahnya dari aorta. darah disentrifus, untuk memisahkan serum dengan hematokrit, kemudian diukur kadar il-6 dalam serum. tikus yang diberi pakan tinggi lemak kadar il-6 dalam serum lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang diberi pakan normal. tikus yang diberi pakan tinggi lemak dan pemberian leptin mempunyai kadar il-6 dalam serum yang lebih rendah. disimpulkan bahwa pemberian leptin eksogen dapat mengatasi resistensi leptin sehingga kadar il-6 dalam serum menurun. kata kunci: pakan tinggi lemak, leptin, interleukin 6 abstract in obesity, the increasing amount of fat cells is one among many factors that causes raise in proinflammatory cytokine such as il-6. obesity may begin with leptin resistance. decline in leptin peripheral resistance will return leptin function in breaking down fat tissues hence the serum concentration of il-6 will decrease. in this study, exogenous leptin was given to overcome leptin peripheral resistance. this study aims to investigate whether short course of exogenous leptin administration can overcome leptin peripheral resistance. experimental research with posttest only control group design. twenty five male mouses were divided into 5 groups which are: group with normal diet, high fat diet, high fat diet with 50 ng/ml leptin administration, high fat diet with 100 ng/ml leptin administration, high fat diet with 200 ng/ ml leptin administration. every group consists of 5 mouses. after given high fat diet for 60 days, mouses were given intravenous leptin injection once daily for 3 days. on the 3rd day after leptin administration, mice were resected and blood was taken from the aorta. the blood was centrifuged to separate the serum from the hematocrit, and then concentration of il-6 was measured from the serum. mouses given high fat diet had higher serum il-6 concentration compared with control group. mouses with high fat diet with leptin administration had lower serum il-6 concentration. it can be concluded that exogenous leptin can overcome leptin resistance, thus serum il-6 concentration decreases. key words: high fat diet, leptin, interleukin 6 artikel penelitian mutiara medika vol. 14 no. 1: 85-92, januari 2014 86 hayu sukowati nopitasari, uji knockdown effect ekstrak bunga pendahuluan obesitas dianggap sebagai sinyal pertama dari munculnya kelompok penyakit non infeksi (non communicable diseases) yang sekarang ini banyak terjadi di negara maju maupun negara berkembang. fenomena ini sering diberi nama “new world syndrome” atau sindroma dunia baru dan ini telah menimbulkan beban sosial-ekonomi serta kesehatan masyarakat yang sangat besar di negara-negara berkembang termasuk indonesia.1 strategi yang dapat digunakan dalam terapi obesitas adalah pembatasan intake kalori untuk menurunkan berat badan. akan tetapi hal ini tidak dapat bertahan lama karena munculnya rasa lapar dan menurunnya metabolisme dalam tubuh sehingga berat badan akan naik. pemberian leptin pada orang yang berusaha menurunkan berat badan dapat mengurangi rasa lapar akibatnya kenaikan berat badan dapat dicegah. 2 leptin adalah suatu polipeptida 16 kd yang disekresi oleh jaringan lemak dan dilepaskan dalam sirkulasi.3 leptin berfungsi untuk mengatur cadangan lemak dalam tubuh dan sebagai pengatur keseimbangan energi. pemberian leptin pada hewan menyebabkan penurunan nafsu makan, penurunan berat badan dan peningkatan metabolisme energi. 4 kadar leptin berhubungan dengan jaringan lemak. kadar leptin akan menurun pada saat puasa dan akan meningkat setelah makan. kadar leptin mempengaruhi fungsi patofisiologis termasuk sistem imun, obesitas dan diabetes.5 pada makrofag/ monosit, leptin meningkatkan fungsi fagosit melalui aktivasi fosfolipase juga melalui sekresi il-6 dan sitokin proinflamasi lainnya.6 efek biologi il-6 mengurangi aktivitas lpl pada jaringan lemak dan efeknya adalah penurunan lemak yang terjadi pada orang cachexia karena kanker dan penyakit lain.7 il-6 juga merupakan mediator yang penting untuk beberapa penyakit infeksi dan penyakit autoimun. penyakit yang dipengaruhi oleh il-6 adalah penyakit keradangan sendi, penyakit castleman dan keganasan.8 leptin dapat mengurangi lemak tubuh yang merupakan penghasil il-6 pada percobaan in vivo.9 dimana sepertiga dari konsentrasi il-6 pada sirkulasi diperkirakan berasal dari jaringan lemak. 7 berdasarkan keterangan di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh pemberian leptin eksogen secara singkat terhadap kadar il-6 dalam serum tikus rattus norvegicus. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pemberian leptin eksogen dalam jangka pendek dapat mengatasi resistensi perifer leptin. bahan dan cara penelitian ini merupakan penelitian eksperimental. rancangan eksperimental yang digunakan adalah rancangan eksperimen sederhana (post test control group design) dimana subyek dibagi menjadi 5 kelompok (kelompok kontrol, kelompok pakan tinggi lemak (ptl), kelompok pakan tinggi lemak (ptl) + leptin dosis i, kelompok pakan tinggi lemak (ptl)+ leptin dosis ii, dan kelompok pakan tinggi lemak (ptl) + leptin dosis iii) secara random kemudian setelah 60 hari diberi ptl, tikus diberi leptin eksogen sesuai dosis, secara injeksi intravena setiap hari sekali selama 3 hari, kemudian diobservasi dan dibandingkan efek leptin terhadap kadar il-6 dalam serum. variabel bebas pada penelitian ini adalah pemberian injeksi leptin sedangkan variabel tergantungnya adalah kadar interleukin 6 dalam serum. 87 mutiara medika vol. 14 no. 1: 85-92, januari 2014 penelitian ini dilaksanakan di laboratorium farmakologi dan laboratorium fisiologi fakultas kedokteran universitas brawijaya pada bulan april 2008. alat yang digunakan adalah:­ alat pemeliha­ raan binatang coba (kandang dari kotak plastik, tutup kandang dari anyaman kawat, botol air, rak tempat menaruh kandang), alat pembuat makanan binatang coba (baskom plastik, timbangan, sarung tangan, gelas ukur), alat pengambilan sampel (seperangkat alat bedah, spuit 5 ml, seperangkat tabung reaksi, kapas), alat pemeriksaan serum (elisa reader). bahan yang digunakan adalah: pakan normal, pakan tinggi lemak, leptin, bahan pemeriksaan elisa: serum tikus, antibodi il-6 leptin yang digunakan adalah leptin rekombinan yang diproduksi oleh sigma usa, dengan dosis i 50 ng/ml, dosis ii 100 ng/ml, dosis iii 200 ng/ml dengan 3 x injeksi intravena, pada pukul 12.00-13.00 dengan selang waktu 1 hari pada 3 hari terakhir pemberian pakan tinggi lemak tikus wistar : tikus yang digunakan adalah dari galur wistar dengan jenis kelamin jantan, berumur 2 bulan dan berat badan ± 200 gr, yang diperoleh dari laboratorium farmakologi universitas brawijaya malang ptl adalah pakan tinggi lemak yang dimodifikasi dengan formulasi khusus untuk menimbulkan keadaan obesitas pada hewan coba tikus yang terdiri dari comfeed pars 50 %, tepung terigu 25 %, kolesterol 2,2 %, minyak babi 5 % dan air 17,8 %. pemberian pakan ini dilakukan selama 60 hari (ali, mulyohadi, dkk, 2002). kadar il-6 dalam serum: kadar il-6 dalam serum adalah kadar il-6 yang diukur dengan metode elisa pada setiap kelompok tikus. hasil data peningkatan berat badan tikus. pada penelitian ini didapatkan data karakteristik tikus pada masing-masing kelompok perlakuan seperti tercantum pada tabel 1. jumlah binatang coba pada akhir penelitian pada masing-masing kelompok perlakuan adalah 5 ekor. rata-rata kenaikan berat badan tikus dapat dilihat pada gambar 1. pengukuran kadar il-6 dilakukan pada kelompok perlakuan kontrol negatif; kontrol positif; ptl + leptin dosis 50 ng/ml, ptl + leptin dosis 100 ng/ml; ptl + leptin dosis 200 ng/ml dengan metode elisa. hasil pemeriksaan ditampilkan pada tabel 2. rata-rata kadar il-6 dalam serum pada kelompok kontrol negatif adalah 462,70 pada kelompok kontrol positif adalah 557,60, pada kelompok ptl + leptin dosis 50 ng/ml adalah 498,3, pada kelompok ptl + leptin dosis 100 ng/ml adalah 488,60, sedangkan pada kelompok ptl +leptin dosis 200 tabel 1 : karakteristik berat badan tikus kelompok perlakuan n mean ±sd intake kalori per hari (kalori) berat badan awal (gr) berat badan akhir (gr) kenaikan berat badan (gr) kontrol negatif 5 49,89 + 5,99 245,5 + 48,82 302,2 + 58,91 56,7 + 25,62 kontrol positif 5 53,65 + 5,03 285,18 + 32,14 369,2 + 33,15 84,02 + 9,38 ptl + leptin 50 ng/ml 5 53,93 + 4,66 232,24 + 21,90 360 + 36,08 127,76 + 40,46 ptl + leptin 100 ng/ml 5 54,82 + 6,87 259,8 + 39,54 349,2 + 62,53 109,75 + 59,27 ptl + leptin 200 ng/ml 5 57,54 + 5,31 256,18 + 37,36 362 + 47,26 105,82 + 33,35 88 hayu sukowati nopitasari, uji knockdown effect ekstrak bunga ng/ml adalah 350,25. rata-rata kadar il-6 dalam seum dapat dilihat pada gambar 2. data yang didapatkan dari hasil penelitian pengaruh injeksi leptin terhadap kadar il-6 dalam serum tikus rattus norwegicus yang diberi pakan tinggi lemak dianalisis dengan menggunakan program komputer spss 15,0 for windows. tabel 1. menunjukkan karakteristik tikus dalam percobaan. setelah dianalisa, peningkatan berat badan kelompok tikus yang diberi pakan normal (kontrol negatif) tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan kelompok tikus yang diberi pakan tinggi lemak (kontrol positif, ptl + leptin dosis 50 ng/ml, ptl + leptin dosis 100 ng/ml, ptl + leptin dosis 200 ng/ml. tabel 2. menunjukkan bahwa kelompok tikus yang diberi injeksi leptin memiliki kadar il-6 yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol positif. untuk menguji homogenitas varian digunakan lavene test. hasil out put tampak bahwa data berasal dari populasi yang memiliki varian sama. oleh karena data hasil penelitian memiliki distribusi normal dan varian yang homogen, dapat dilakukan pengujian lebih lanjut. uji selanjutnya adalah uji one-way anova. uji anova (analysis of variance) dilakukan untuk menguji apakah kelima sampel memiliki rata-rata yang sama. hasil tes pada tabel 2. didapatkan nilai rata-rata kadar il-6 dari kelima populasi memang berbeda (p<0,05). dengan demikian terdapat minimal ada dua kelompok yang berbeda signifikan. analisis dilanjutkan dengan post hoc test lsd yang bertujuan untuk mengetahui kelompok mana yang berbeda secara signifikan dari hasil tes anova. pada analisis ini digunakan tukey hsd test. hasil analisa il6 serum dapat diketahui ratarata kadar il-6 serum tertinggi terdapat pada kelompok kontrol positif, dan terendah pada kelompok ptl+leptin 200 ng/ml. kadar il-6 rata-rata gambar 1. rata-rata kenaikan berat badan tikus tabel 2. kadar il-6 serum (ng/ml) kelompok perlakuan kadar il-6 (mean + sd) kontrol (-) 462,70 + 33,16 kontrol (+) 557,60 + 71,57 ptl + leptin dosis 50 ng/ml 498,3 + 15,26 ptl + leptin dosis 100 ng/ml 488,6 + 22,02 ptl + leptin dosis 200 ng/ml 350,25 + 83,13 89 mutiara medika vol. 14 no. 1: 85-92, januari 2014 kelompok kontrol negatif lebih rendah signifikan dengan (p<0,05) daripada kelompok kontrol positif, sehingga dapat disimpulkan terdapat kenaikan kadar il-6 dengan pemberian ptl. pemberian injeksi leptin dosis 50 ng/ml, menyebabkan kadar rata-rata il-6 serum lebih rendah tidak signifikan (p>0,05) daripada kelompok kontrol positif yang hanya diberikan ptl saja, sedangkan pada kelompok ptl + leptin dosis 100 ng/ml, terjadi penurunan kadar rata-rata il-6 serum yang tidak signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol positif. akan tetapi, pada kelompok ptl + leptin dosis 200 ng/ml terjadi penurunan kadar rata-rata il-6 serum yang signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol positif (p<0,05). sementara itu, kelompok pemberian ptl + leptin dosis 100 ng/ml, kadar rata-rata il-6 serum lebih rendah tidak signifikan dibandingkan dengan kelompok pemberian ptl + leptin dosis 50 ng/ml. kelompok pemberian ptl + leptin dosis 200 ng/ml tidak berbeda signifikan dengan kelompok pemberian ptl + leptin dosis 50 ng/ml. kelompok pemberian ptl + leptin dosis 200 ng/ml berbeda signifikan dengan kelompok kontrol negatif dan kelompok dengan pemberian injeksi leptin dosis 50 ng/ml dan 100 ng/ml. untuk melengkapi hasil uji tukey digunakan homogeneous subset yang digunakan untuk mencari grup/ subset mana saja yang memiliki perbedaan rata-rata (mean difference) yang tidak berbeda secara signifikan. kelompok pemberian injeksi leptin dosis 200 ng/ml mempunyai perbedaan kadar il-6 yang signifikan dengan kelompok perlakuan yang lain. kelompok kontrol negatif, kelompok pemberian ptl + leptin dosis 50 ng/ml, dan kelompok pemberian injeksi leptin dosis 100 ng/ml, tidak punya perbedaan yang signifikan satu dengan yang lain, sedangkan kelompok kontrol positif, kelompok pemberian ptl + leptin 50 ng/ml, dan kelompok pemberian ptl + leptin 100 ng/ml tidak mempunyai perbedaan kadar il-6 yang signifikan. diskusi penelitian mengenai efek injeksi leptin terhadap kadar il-6 di dalam serum tikus rattus norvegicus strain wistar merupakan penelitian eksperimental. penelitian ini mengarah pada keadaan obesitas yang disebabkan oleh pemberian pakan tinggi lemak dengan mekanisme resistensi leptin, dimana nilai ambang (treshold) reseptor leptin meningkat terhadap kadar leptin dalam serum. 10 gambar 2. kadar il-6 dalam serum 90 hayu sukowati nopitasari, uji knockdown effect ekstrak bunga pada penelitian ini, dibandingkan kadar il-6 tikus yang diberi pakan normal, pakan tinggi lemak, serta pakan tinggi lemak dengan pemberian leptin. hasil penelitian tampak bahwa kenaikan berat badan tikus yang diberi pakan tinggi lemak cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan tikus yang diberi pakan normal. tampak juga bahwa kenaikan berat badan tikus yang diberi pakan tinggi lemak dan leptin lebih tinggi dibandingkan dengan tikus yang hanya diberi pakan tinggi lemak. hal ini disebabkan nafsu makan tikus yang diberi leptin dan pakan tinggi lemak lebih tinggi dibandingkan tikus yang hanya diberi pakan tinggi lemak. ditambah lagi leptin hanya diberikan selama 3 hari setelah tikus mendapat pakan tinggi lemak selama 60 hari sehingga efek leptin dalam menurunkan berat badan masih belum terlihat. kadar il-6 pada tikus yang diberi pakan tinggi lemak lebih tinggi signifikan dibandingkan dengan tikus dengan pakan normal. hal ini disebabkan pada kelompok kontrol positif terjadi peningkatan jumlah sel lemak, sedangkan sel lemak merupakan salah satu penghasil il-6. sepertiga dari jumlah il-6 yang ada dalam sirkulasi berasal dari sel lemak.7 mengenai monosit darah, obesitas tidak mempengaruhi fungsi monosit dalam produksi sitokin proinflamasi.11 peningkatan produksi il-6 mungkin berkaitan dengan toll like receptor 4 (tlr4). tlr4 diekspresikan di berbagai macam sel seperti makrofag, sel lemak, hati, dan otot bergaris. mekanisme tlr4 adalah sebagai berikut ikatan lps dengan tlr4 menyebabkan adaptor protein myeloid differentiation factor 88 (myd88) mengaktivasi gen yang berhubungan dengan nf-ºb yang mengkode sitokin proinflamasi, seperti tnf-± dan il-6.12 peningkatan kadar il-6 ini bukan disebabkan oleh proses infeksi karena tikus yang digunakan adalah tikus yang sehat. kadar il-6 pada tikus yang diberi ptl dan injeksi leptin (50 ng/ml dan 100 ng/ml) lebih rendah tidak signifikan bila dibandingkan dengan kadar il6 pada tikus yang diberi ptl saja. meskipun tidak signifikan namun penurunan kadar il-6 terjadi seiring dengan besar dosis leptin yang diberikan. hal ini disebabkan pemberian leptin dapat mengatasi resistensi leptin sehingga jumlah sel lemak berkurang dan produksi il-6 juga ikut berkurang. mekanisme leptin dalam mengurangi jumlah sel lemak dapat melalui penurunan uptake glukosa, menghambat sintesis asam lemak, menginduksi sintesis enzim lipolitik, dan meningkatkan oksidasi lemak, stimulasi apoptosis sel lemak.13 selain itu, leptin juga dapat meningkatkan lipolisis pada sel lemak secara langsung. hal ini didukung oleh beberapa fakta, yaitu pertama ekspresi dari reseptor leptin ditemukan pada jaringan lemak dan kedua, pada penelitian in vitro, leptin dapat menghambat enzim lipogenik pada sel lemak muda dan meningkatkan pelepasan gliserol dari sel lemak dewasa.14 tikus yang diberi pakan tinggi lemak dan injeksi leptin dosis 200 ng/ml memiliki kadar il-6 yang terendah dibandingkan dengan semua kelompok, bahkan perbedaannya signifikan. hal ini menunjukkan bahwa dosis 200 ng/ml dapat mengatasi resistensi leptin yang terjadi secara efektif sehingga leptin dapat berfungsi normal. akibatnya jumlah sel lemak dalam tubuh berkurang sehingga produksi il-6 juga berkurang dan kadar il-6 dalam serum menurun. 91 mutiara medika vol. 14 no. 1: 85-92, januari 2014 menurut matarease et al. (2005)6 disebutkan bahwa leptin dapat meningkatkan sekresi sitokin proinflamasi melalui aktivasi makrofag. pada penelitian lain juga disebutkan bahwa pemberian leptin pada subyek dengan defisiensi leptin dapat meningkatkan sitokin proinflamasi sedangkan pada subyek dengan kadar leptin normal atau berlebih tidak mempengaruhi kadar sitokin proinflamasi. dalam penelitian ini terbukti bahwa pemberian leptin pada tikus yang diberi pakan tinggi lemak tidak meningkatkan tetapi malah menurunkan kadar il-6. maka peneliti mengambil kesimpulan bahwa leptin dapat menurunkan kadar sitokin proinflamasi pada obesitas melalui peningkatan aktivitas lipolitik. simpulan pemberian leptin dengan dosis 200 ng/ml dapat menurunkan kadar il-6 dalam serum tikus putih yang diberi ptl (pakan tinggi lemak). daftar pustaka 1. hadi, hamam. beban ganda masalah gizi dan implikasinya terhadap kebijakan pembangunan kesehatan nasional. 2005. http://www. gizi.net/ 2. ahima, rs. revisiting leptin’s role in obesity and weight loss. j clin invest, 2008; 118(7):2380-3. 3. wijaya, a. 1997. leptin, tnf-a dan reseptor adrenergik –b3. prodia diagnostics educational services. 2: 4-5. 4. houseknencht, kl., baile, ca., matteri, rl., and spurlock, me. the biology of leptin: a review. j anim sci, 1998; 76 (5): 1405-20. 5. tang, ch, lu, dy, yang, rs, tsai, hy, kao, mc, fu, wm. and chen, yf. leptin-induced il-6 production is mediated by leptin receptor, insulin receptor substrate-1, phosphatidylinositol 3-kinase, akt, nf-b, and p300 pathway in microglia. j immunol, 2007; 179 (2): 1292-302. 6. matarese, g., mochos, s. dan mantzoros, cs. leptin in immunology. j immunol, 2005; 174 (6): 3137-42. 7. fruhbeck, g., gomez, aj., muruzabal, fj., and burrell, ma. the adipocyte: a model for integration of endocrine and metabolic signaling in energy metabolism regulation. am j physiol endocrinol metab, 2001; 280 (6): e827-47. 8. keller, et., waganat, j., ershler, w.b. molecular and cellular biology of interleukin-6 and its receptor. front biosci, 1996; 1: d340-57. 9. fantuzzi, g. and faggioni r. leptin in the regulation of immunity, inflammation and hematopoiesis. j leukoc biol, 2000; 68 (4): 43746. 10. liu. m. the science creative quarterly, leptin: a piece of obesity pie. issue three. 2004. http:/ /www.scq.ubc.ca/?p=421. 11. sammy b, elena v, steve b, jessica ej, gary pa and margaret jm. unaltered tnf-± production by macrophages and monocytes in diet-induced obesity in the rat. j inflamm (lond), 2005; 2: 2. 12. kim, jk. fat uses a toll-road to connect inflammation and diabetes. cell metab, 2006; 4 (6): 417-9. 92 hayu sukowati nopitasari, uji knockdown effect ekstrak bunga 13. gullicksen, p.s, della-fera, m.a. dan baile, c.a. leptin-induced adipose apoptosis: implications for body weight regulation. apoptosis. 2003; 8 (4): 327-35. 14. wang, my., lee, y. dan unger, rh. novel form of lipolysis induced by leptin. j biol chem, 1999; 274 (25): 17541-4. 143 mutiara medika vol. 13 no. 3: 147-154, september 2013 analisis kandungan vitamin e pada buah borassus flabellifer linn. menggunakan high performance liquid chromatography (hplc) analysis of vitamin e in borassus flabellifer linn. using high performance liquid chromatography (hplc) hari widada laboratorium kimia organik dan kimia analisis, prodi farmasi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta email: hr.widada@gmail.com abstrak vitamin e hanya disintesis di dalam tanaman dan sumber terbanyak adalah tanaman yang menghasilkan minyak, termasuk buah siwalan (borassus flabellifer linn.). siwalan merupakan salah satu tanaman jenis palma yang dapat tumbuh baik di ekosistem pantai dan telah diketahui mempunyai banyak manfaat. penelitian ini bertujuan untuk menetapkan kandungan vitamin e dalam buah siwalan. ekstraksi vitamin e dalam buah siwalan dilakukan dengan ekstraksi kering dan ekstraksi basah untuk membandingkan perolehan kadar vitamin e-nya. ekstrak dianalisis dengan sistem hplc fase normal dengan sistem kolom: c18, fase gerak: etil asetat/ asam asetat/ heksana = 1/1/198, kecepatan alir 2 ml/ menit, detektor uv-vis 295 nm dengan volume injeksi 20,25l. validasi metode analisis untuk menentukan parameter uji kesesuaian sistem, linearitas, limit of quantification, akurasi, presisi dan recovery. hasil ekstraksi buah siwalan diperoleh rendemen ekstrak basah sebesar 0.152% dan rendemen ekstrak kering sebesar 5.77%. parameter validasi metode analisis berturut-turut meliputi uji kesesuaian sistem 1.34%, linearitas r2 0.995, limit of quantification 2.14 ng/ ml, akurasi % difference 6.33%, presisi intra-day 4.39%, inter-day 3.88% dan recovery 3.49%. hasil proses validasi memenuhi kriteria menurut fda (2001). hasil analisis kandungan vitamin e diperoleh kadar rata-rata ekstrak kering sebesar 3.19% ± 0.12% dan ekstrak basah sebesar 4.76% ± 0.17%. kata kunci: vitamin e, siwalan, hplc, validasi, borassus flabellifer linn. abstract vitamin e is only synthesized in plants and is the largest source of oil-producing crops, including fruit palm (borassus flabellifer linn.). siwalan is one type of palm plants that grow well in coastal ecosystems and have been known to have many benefits. this study aims to establish the amount of vitamin e in the palm fruit. the extraction of vitamin e in the palm fruit is done by extraction of dry and wet extraction to compare the acquisition of vitamin e was. extracts were analyzed by normal-phase hplc system with a system of columns: c18, mobile phase: ethyl acetate / acetic acid / hexane = 1/1/198, flow rate of 2 ml / min, uv-vis detector at 295 nm injection volume of 20 ul. validation of analytical methods to determine the parameters of the system suitability test, linearity, limit of quantification, accuracy, precision and recovery. results obtained by extraction of palm fruit extract yield amounted to 0152% wet and dry extract yield of 5.77%. parameter validation of analytical methods respectively include system suitability test 1:34%, 0995 r2 linearity, limit of quantification 2:14 ng / ml, 6:33 difference%% accuracy, precision intra-day 4:39%, 3.88% inter-day and 3:49% recovery. results of the validation process meets the criteria according to the fda (2001). results of the analysis of the content of vitamin e obtained an average level of dry extract of 3:19% ± a 0.12% and amounted to 4.76% wet extract ± 0:17%. key words: vitamin e, siwalan, hplc, validation, borassus flabellifer linn. artikel penelitian mutiara medika vol. 13 no. 3: 143-150, september 2013 144 hari widada, analisis kandungan vitamin e ... pendahuluan vitamin e (tokoferol) adalah vitamin yang larut dalam minyak, bersifat non-toksik dan memegang peranan penting dalam berbagai fungsi fisiologis seperti fungsi reproduksi, sistem imun, fungsi syaraf serta otot. vitamin e juga berperan sebagai antioksidan yang membantu melindungi tubuh dari efek radikal bebas.1 vitamin e secara alami hanya disintesis oleh tanaman dan sumber terbanyak dari vitamin e adalah jenis tanaman yang menghasilkan minyak. semua tanaman tingkat tinggi (kecuali jenis alga) terdapat -tokoferol pada daun dan bagian hijau yang lainnya, sedangkan -tokoferol terdapat dalam kadar yang kecil. secara kimiawi vitamin e dibagi menjadi dua kelas yakni, tokoferol dan tokotrienol, dimana setiap kelas terdiri dari 4 (empat) senyawa yang larut dalam lipida yang disintesis oleh tanaman. keempat senyawa turunan tokoferol dan tokotrienol tersebut dibedakan dengan tanda huruf yunani yaitu, , ,  dan .2 vitamin e (tokoferol dan tokotrienol) dapat dianalisis dengan berbagai metode. pada tahun 1970, aoac (association of official analytical chemists) menampilkan beberapa metode analisis konvensional pada -tokoferol dan -tokoferil asetat yang berbasis pada analisis kolorimetri atau polarimetri dan teknik kromatografi lapis tipis. metode kromatografi gas (gc) menjadi metode yang dikembangkan kemudian untuk menetapkan senyawa tokoferol dan tokotrienol. masalah pada metode gc terletak pada titik didih senyawa tokoferol dan tokotrienol yang tinggi dan berdekatan satu sama lain sehingga menyulitkan pada proses pemisahannya. permasalahan ini dapat diatasi dengan melakukan prosedur derivatisasi sampel dengan mengubah gugus hidroksi tokoferol dan tokotrienol menjadi bentuk trimetilsilil (tms). metode high performance liquid chromatography (hplc) adalah metode yang banyak digunakan untuk menetapkan tokoferol dan tokotrienol dalam sediaan makanan maupun nutrisi lainnya. sensitivitas dan spesifisitas metode hplc lebih tinggi jika dibandingkan dengan menggunakan metode kolorimetri, polarimetri maupun kromatografi gas. disamping itu penyiapan sampel pada metode gc juga relatif lebih sederhana dan efisien.3 indonesia sebagai negara kepulauan dengan sekitar 17.805 buah pulau yang memiliki garis pantai sepanjang lebih dari 80.000 km.4 siwalan atau lontar (borassus flabellifer linn.) adalah salah satu tanaman jenis palma yang dapat tumbuh baik di ekosistem pantai dan telah diketahui mempunyai banyak manfaat. sejauh ini bagian yang banyak dimanfaatkan dari pohon b. flabellifer linn. adalah daun dan nira yang dihasilkan dari proses penyadapan yang diperdagangkan dalam bentuk nira segar maupun diolah menjadi produk gula.5 sementara pada buah yang dimanfaatkan adalah bijinya yang bertekstur seperti gelatin dengan rasa cairan seperti air kelapa.6 buah muda yang rasanya manis dan gurih seperti buah kelapa muda, sehingga dapat digunakan untuk bahan minuman, manisan, buah kaleng, kue dan selai.7 sebagai tanaman jenis palma-palmaan maka buah b. flabellifer linn. diduga mengandung minyak dan senyawa larut minyak. oleh karena itu perlu dilakukan usaha untuk menganalisis kandungan senyawa larut minyak yang terdapat pada daging buah b. flabellifer linn. khususnya kandungan vitamin e-nya. 145 mutiara medika vol. 13 no. 3: 147-154, september 2013 tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kandungan vitamin e dalam daging buah b. flabellifer linn. dan melakukan validasi metode analisis terhadap sistem yang digunakan dengan instrumen hplc. bahan dan cara bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: buah b. flabellifer linn., etanol p.a (merck), heksana p.a (merck), etil asetat p.a (merck), asam asetat p.a. (merck). alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: alat-alat gelas, corong pisah, rotary evaporator (rotavaporr r215), system alat hplc (simadzu® ad30) meliputi; fase gerak (fase normal) 1:1:198 (v/ v/ v) = etil asetat/asam asetat/ heksana, detektor fluoresen (eksitasi 290 nm, emisi 330 nm) atau detektor uv 295 nm, kolom silica 4.6 mm × 25 cm, 5-m (fase normal) penelitian ini menggunakan dua sampel yaitu sampel kering (simplisia) dan sampel segar (daging buah basah). preparasi ekstraksi sampel kering dilakukan dengan cara maserasi. simplisia kering disiapkan dengan memotong tipis (± 0,5 cm) daging buah b. flabellifer linn. yang sudah dikupas dan dicuci bersih. simplisia dihaluskan menggunakan blender dan diayak (disaring untuk menyeragamkan partikel simplisia). masing-masing serbuk simplisia dilarutkan dalam 200 ml n-heksan dalam bejana kaca dan diaduk sampai homogen. proses ini (maserasi) dilakukan selama 5 hari dan digojok setiap pagi, siang dan sore. hari ke-5, dilakukan penyaringan dan remaserasi dengan menambahkan masing-masing 150 ml n-heksan selama 2 hari dengan perlakuan yang sama. pada hari ke-2 remaserasi dilakukan penyaringan. hasil penyaringan (filtrat) maserasi dan remaserasi dicampur dan diuapkan menggunakan vacum rotary evaporator pada suhu 50oc. larutan ekstrak diuapkan kembali menggunakan cawan porselen dengan kipas angin sampai tidak tercium bau pelarut, kemudian dihitung rendemen ekstrak masing-masing bagian. preparasi ekstraksi sampel basah menggunakan metode ekstraksi langsung. daging buah b. flabellifer linn. segar (sampel) sebanyak 750 gram dibagi menjadi tiga bagian, masing-masing 250 gram. ketiga bagian sampel dilarutkan terlebih dahulu menggunakan etanol 70% sebanyak 150 ml selama 24 jam kemudian digojok sampai tercampur rata. masing-masing bagian ditambahkan 350 ml n-heksan dan sesering mungkin digojok. filtrat dipisahkan dari ampas daging buah b. flabellifer linn. menggunakan penyaring. filtrat yang didapat dari masing-masing bagian digojok kembali kemudian dipisahkan dalam corong pisah. bagian fase minyak diambil dan diuapkan menggunakan vacum rotary evaporator dengan suhu 50oc. larutan pekat yang didapat diuapkan kembali menggunakan cawan petri dengan kipas angin sampai tidak tercium bau pelarut sehingga diperoleh ekstrak b. flabellifer linn. dan dihitung rendemen ekstrak masing-masing bagian. ekstrak basah dan ekstrak kering yang didapat dihitung perolehan rendemen dengan menggunakan rumus sebagai berikut: rendemen ekstrak = (1 % susut pengeringan) x b a x 100% keterangan: a = bobot akhir b = bobot sampel (simplisia kering/ basah) * untuk ekstrak basah  (1-susut pengeringan) diabaikan = 1 146 hari widada, analisis kandungan vitamin e ... validasi metode analisis dengan metode hplc dilakukan terhadap beberapa parameter yaitu uji kesesuaian sistem (uks), kurva kalibrasi dan linieritas, penetapan limit of quantification (loq), akurasi, presisi serta recovery. uji kesesuaian sistem, kurva kalibrasi dan linieritas diukur dengan cara membuat seri konsentrasi larutan standar vitamin e 10, 20, 30, 40, 50, 60 ng/ ml. limit of quantification, akurasi, presisi dan recovery diukur pada tiga titik konsentrasi yang merupakan nilai tengah yaitu 15, 35, 55 ng/ ml. penginjeksian sampel masingmasing dilakukan enam kali replikasi. presisi dilakukan untuk pengukuran intra-day (keterulangan) dan inter-day (presisi antara). uji intra-day (repeatibility) dilakukan pada jangka waktu yang singkat untuk melihat presisi pada kondisi percobaan yang sama (berulang) baik orangnya, peralatan, tempat maupun waktunya. analisis hplc kandungan vitamin e (tokoferol dan tokotrienol) dalam komponen minyak buah b. flabellifer linn. dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) setting sistem hplc (tabel 1) sesuai dengan petunjuk, 2) membilas sistem dengan fase gerak selama 10 menit dengan kecepatan alir 1,5 ml/ menit selanjutnya menghubungkan kolom dengan detector, 3) menyetimbangkan kolom dengan fase gerak pada kecepatan alir 1,5 ml/ menit sampai baseline stabil, 4) menginjeksikan sampel (25-100 l) dan 5) analisis menggunakan fase gerak dengan kecepatan alir 1,5 ml/ menit (fase normal). hasil tabel 1. sistem hplc yang digunakan8 untuk validasi metode analisis kandungan vitamin e pada buah b. flabellifer linn. bagian hplc keterangan kolom c18 dimensi kolom 4.6 mm x 25 cm fase gerak etil asetat/asam asetat/hek sana 1:1:198 (v/v/v) kecepatan alir 2 ml/ menit ilusi isokratik detektor uv-vis panjang gelombang 295 nm suhu 40o c volume injeksi 20 µl beberapa sampel hasil pengeringan menggunakan oven suhu 70c selama 24 jam diperoleh hasil pada tabel 1, sedangkan ekstraksi basah sebelum dilakukan penyarian fase minyak menggunakan n-heksan ditambahkan pelarut etanol 70%. ekstrak yang diperoleh dalam penelitian ini berbentuk ekstrak kental dengan nilai hasil rendemen sebagai berikut: tabel 2. berat simplisia setelah pengeringan (70oc selama 24 jam) dan rendemen ekstrak buah b. flabellifer linn. replikasi bobot sampel (gram) rendemen ekstrak (%) sebelum dikeringkan sesudah dikeringkan kering basah 1 250 22,86 4,892 0,113 2 250 21,97 7,632 0,158 3 250 22,34 4,782 0,185 rata-rata 22,39 5,769 7,632 validasi metode analisis kandungan vitamin e dilakukan menggunakan sistem hplc berdasarkan referensi sebagaiman tertuang dalam tabel 1. data luas puncak (area under curve/ auc) kemudian dibuat plot persamaan garis lurus kurva kalibrasi (gambar 2). 147 mutiara medika vol. 13 no. 3: 147-154, september 2013 nilai parameter validasi metode analisis kandungan vitamin e menggunakan metode hplc dibandingkan dengan kriteria validitas menurut standart food and drug administration (fda) (tabel 3). hasil analisis pada ekstrak kering yang diperoleh ditampilkan pada tabel 4. gambar 2. kurva kalibrasi standar vitamin e dalam buah b. flabellifer linn. tabel 3. hasil pengukuran parameter validasi dibandingkan dengan kriteria menurut standart food and drug administration (fda) no jenis pengujian kriteria 9 hasil 1 uji kesesuaian sistem % cv <2% 1.34% 2 kurva kalibrasi dan linearitas nilai korelasi (r)>0.99, loq %error<20% dan titik lain<15% r=0.995 % error=14.71 % 3 limit of quantification (loq) nilai rata-rata %deviasi<15% dan nilai %cv<15% 10.00% 4 akurasi nilai rata-rata % deviasi <15 % dan nilai % cv < 15 % 15 ng/ml= 9.17 % 35 ng/ml= 3.32 % 55 ng/ml= 0.69 % 5 recovery nilai % recovery antara 80-120% 15 ng/ml= 95.14 % 35 ng/ml= 100.70 % 55 ng/ml= 758.00 % 6 presisi intra-day nilai %cv<15 % 15 ng/ml= 9.17 % 35 ng/ml= 3.32 % 55 ng/ml= 0.69 % 7 presisi inter-day nilai %cv<15 % 15 ng/ml= 7.77 % 35 ng/ml= 1.03 % 55 ng/ml= 2.86 % tabel 4. hasil analisis kandungan vitamin e dari ekstrak kering dan ekstrak basah buah b. flabellifer linn. sampel bobot (mg) faktor pengenceran volume (ml) area concentration calculate kadar (% b/ b) kadar ratarata sd % cv ekstrak kering 100 20 10 218 16.303 3.261% 3.19% 0.12% 3.80% 100 20 10 213 15.252 3.050% 100 20 10 218 16.303 3.261% ekstrak basah 100 10 10 373 48.866 4.887% 4.76% 0.17% 3.50% 100 10 10 358 45.714 4.571% 100 10 10 370 48.235 4.824% 148 hari widada, analisis kandungan vitamin e ... diskusi proses ekstraksi dalam penelitian ini menghasilkan rendemen ekstrak yang sangat rendah. permasalahan ini disebabkan oleh karena sebagian besar massa buah b. flabellifer linn. tersusun dari komponen air, sehingga proses pengeringan menyebabkan susut bobot yang sangat besar. pada ekstraksi kering diperoleh konsentrasi rendemen rata-rata sebesar 5.765 %. rendemen yang dihasilkan dari proses ekstraksi basah juga jauh lebih kecil jika dibanding ekstraksi kering karena proses ekstraksi (cair-cair) dilakukan secara langsung dengan pelarut n-heksan untuk menarik komponen larut minyak dalam buah b. flabellifer linn. dari dalam massa cair yang didominasi komponen larut air. kecilnya kandungan komponen minyak menyebabkan rendemen yang dihasilkan juga jauh lebih kecil (rata-rata 0,152%). proses validasi diawali dengan membuat kurva kalibrasi menggunakan senyawa standar vitamin e. kurva kalibrasi diperoleh persamaan regresi y = 4.76 x + 140.4 dengan r2 = 0.995. nilai korelasi 0.995 membuktikan linieritas hasil pengukuran dengan sistem yang sudah didesain. selanjutnya ditentukan nilai parameter validasi dengan membandingkan hasil perhitungannya dengan kriteria standar yang berlaku untuk sediaan farmasi.9 acuan fda digunakan karena vitamin e merupakan kandungan kimia yang disuplementasikan dalam sediaan makanan, minuman, kosmetika maupun obat-obatan. pada uji kesesuaian sistem, fda mempersyaratkan bahwa validitas metode terpenuhi jika nilai % cv < 2 %, dan pada sistem ini didapatkan nilai % cv= 1.34%. linieritas kurva kalibrasi juga terpenuhi dengan nilai r2 > 0.99 yakni dengan r2 = 0.995. penentuan limit of quantification (loq) dilakukan pengukuran menggunakan kadar sampel sebesar 10 ng/ ml, fda mempersyaratkan % cv < 15. hasil perhitungan didapatkan % cv= 10.0% dan nilai loq: 2.14 ng/ ml. penentuan akurasi dan presisi dilakukan dengan menggunakan 3 konsentrasi yang merupakan nilai tengah dari seri konsentrasi pada penentuan kurva kalibrasi, yakni pada konsentrasi 15 ng/ ml, 35 ng/ ml dan 55 ng/ ml. food and drug administration mempersyaratkan validitas pada parameter gambar 3. kromatogram hasil analisis kandungan vitamin e buah b. flabellifer linn. 149 mutiara medika vol. 13 no. 3: 147-154, september 2013 akurasi dan presisi dengan nilai % cv < 15.9 hasil pengukuran berturut-turut diperoleh rata-rata % cv akurasi= 4.39 %, presisi intra-day= 4.39 % dan presisi inter-day: 3.88 %. perolehan kembali (recovery) juga ditetapkan pada 15 ng/ml, 35 ng/ml dan 55 ng/ml. persyaratan yang harus dipenuhi menurut fda adalah nilai % recovery antara 80120%.9 nilai % recovery pada konsentrasi 15 ng/ ml dan 35 ng/ ml memenuhi persyaratan, yakni berturut-turut sebesar 95.14% dan 100.70%, sedangkan pada konsentrasi 55 ng/ml nilai % recovery tidak memenuhi persyaratan yakni sebesar 758.00%. secara umum dari pengukuran parameter validasi diperoleh hasil yang menyatakan bahwa sistem dan metode yang digunakan adalah valid. analisis kandungan vitamin e dalam buah b. flabellifer linn. dengan metode hplc dilakukan menggunakan metode fase nornal karena dalam sistem ini fase diam yang digunakan bersifat polar, sedangkan fase geraknya bersifat non-polar.8 detektor yang digunakan adalah detektor uv karena pada struktur vitamin e terdapat sistem ikatan- (kromofor) yang mengabsorbsi sinar uv pada area panjang gelombang 291.5 nm, sehingga senyawa yang dianalisis kompatibel bagi penggunaan detektor uv.8 analisis kandungan vitamin e dalam buah b. flabellifer linn. dilakukan terhadap ekstrak yang diperoleh dengan cara ekstraksi kering dan ekstraksi basah. hasil analisis pada ekstrak kering diperoleh kadar rata-rata sebesar (3,19 ± 0,12) %, sedangkan analisis terhadap ekstrak yang diperoleh dari ekstraksi basah didapat hasil rata-rata sebesar (4,76 ± 0,17) % (tabel 5). hasil analisis kandungan vitamin e dalam buah b. flabellifer linn. lebih besar jika dibandingkan dengan kandungan vitamin e dalam buah kolang-kaling (arenga pinnata merr.), yaitu 0,92% dari proses ekstraksi kering dan 1,12% dari ekstraksi basah.10 hasil analisis kandungan vitamin e dari ekstraksi basah didapat hasil yang lebih besar kemungkinan disebabkan oleh faktor stabilitas senyawa vitamin e terhadap pengaruh suhu. pemanasan yang dilakukan pada proses pengeringan ekstrak menyebabkan rusaknya kandungan vitamin e dalam sampel. pemanasan dapat mengurangi berbagai fraksi vitamin e dalam kelapa sawit dan minyak kedelai sebagai fungsi dari tingkat pemanasan.11 stabilitas isomer vitamin e bervariasi selama pemanasan, tergantung pada jenis minyak yang digunakan, yang mencerminkan isi pufa (poly-unsaturated fatty acid) dan isomer vitamin e-nya. penelitian yang ada belum memberikan bukti yang memadai tentang perubahan vitamin e, terutama tocotrienol setelah proses pemanasan.11 dalam analisis kandungan vitamin e buah b. flabellifer linn. ini sukar dilakukan pemisahan komponen penyusun dalam campuran vitamin e yaitu tokoferol dan tokotrienol karena keterbatasan sensitifitas dan resolusi dari alat hplc yang digunakan. hasil yang diperoleh adalah kadar vitamin e total. hal ini ditunjukkan dari hasil kromatogram dan data luas puncak yang hanya menunjukkan satu puncak (gambar 3.). metode hplc dengan fase terbalik menggunakan fase gerak methanol:air (97:3 v/v) dan fase diam pentafluorophenyl (diameter butiran: 3 µm, dimensi: 150 mm × 4.6 mm), terbukti memiliki sensitivitas, kecepatan dan pengulangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan hplc fase normal.12 150 hari widada, analisis kandungan vitamin e ... penggunaan pelarut 2-propanol dapat mencegah hilangnya analit dan dengan demikian mengurangi risiko kemungkinan pengukuran kesalahan.12 simpulan dalam buah b. flabellifer linn. terdapat kandungan vitamin e dengan kadar rata-rata; ekstrak kering sebesar 3.19% ± 0.12% dan ekstrak basah sebesar 4.76% ± 0.17%. sistem hplc dengan fase normal dapat digunakan untuk analisis kandungan vitamin e dalam buah b. flabellifer linn. daftar pustaka 1. hillan, j., facts about vitamin e. department of family, youth and community sciences, florida cooperative extension service, institute of food and agricultural sciences, university of florida. 2006. 2. christie, w.w., tocopherols and tocotrienols – structure, composition, biology and analysis, 2011, @ http://lipidlibrary.aocs.org 3. xu, z. analysis of tocopherols and tocotrienols, protocols in food analytical chemistry. 2002, d1.5.1-d1.5.12, john wiley and sons inc. 4. hantoro w.s. low stand sea level and landform changes: climatic changes consequence to epicontinental shelf and fauna migration through indonesian archipelago. in preceeding of: “the environmental and cultural history and dynamics of the australiansoutheast asian region” seminar, melbourne, 2001 december 10-12. 5. mahmud, z. dan amrizal. palma sebagai bahan pangan, pakan dan konservasi. buletin balitka, 1991; (14): 106 – 113. balai penelitian kelapa. manado. 6. nurtama, b. dan i. naomi.. paket industri pembuatan buah lontar (borassus flabellifer linn.) olahan. buletin teknik dan industri pangan, 1996; vii (2): 95-99 7. amalo, p. multiguna, dari akar hingga nira. media indonesia. 21 november 2008. hal 5. 8. sarikaya, b.b. and kalayar, h. quantitative determination of d-tocopherol and quality control studies in sarcopoterium spinosum l. marmara pharmaceutical journal, 2011; 15: 7-10. 9. anonim, guidance for industry; bioanalitical method validation, u.s. department of health and human services food and drug administration center for drug evaluation and research (cder), center for veterinary medicine (cvm), may 2001, p. 4-10. 10. irawan,s. dan widada, h., validasi metode analisis kandungan vitamin e pada buah kolang kaling (arenga pinnata merr.) dengan metode high performance liquid chromatography, skripsi, fkik, umy,hal.12, 2014 11. adam, s.k., nik aziz sulaiman, n.a., top, a.g.m. and jaarin, k., heating reduces vitamin e content in palm and soy oils, malaysian j biochemistry and molecular biology, 2007; 15 (2): 76-79 12. górna[, p., siger, a., czubinski, j., dwiecki, k., seglifa, d., and nogala-kalucka, m. an alternative rp-hplc method for the separation and determination of tocopherol and tocotrienol homologues as butter authenticity markers: a comparative study between two european countries. european j lipid science and technology, 2014; 116 (7): 895–903. artikel penelitian mutiara medika vol. 15 no. 1: 67 74, januari 2015 67 efektifitas pendidikan kesehatan terhadap peningkatan pengetahuan keluarga tentang hipertensi effectiveness of health education on the improvement of knowledge family about hypertension chandra hadi p dosen akademi keperawatan widya husada semarang email : chprasetiya@gmail.com abstrak penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas pendidikan kesehatan terhadap peningkatan pengetahuan keluarga tentang hipertensi di wilayah kerja puskesmas ngaliyan. desain penelitian ini adalah kuasi eksprimen one group pretest-posttest design. jumlah sampel sebanyak 40 keluarga yang diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling dan telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. data penelitian berupa tingkat pengetahuan keluarga tentang hipertensi. analisis data mengunakan analisis bivariat dengan menggunakan uji t dependent. hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah dilakukan penyuluhan terjadi peningkatan pengetahuan keluarga tentang penyakit hipertensi (p value = 0,000). diharapkan bagi tenaga kesehatan khususnya perawat yang ada di wilayah kerja puskesmas ngaliyan diharapkan melakukan kunjungan rumah guna melakukan penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat khususnya keluarga tentang penyakit hipertensi. disimpulkan bahwa pendidikan kesehatan efektif meningkatkan pengetahuan keluarga tentang hipertensi. kata kunci: hipertensi, keluarga, pendidikan kesehatan, perawat abstract this study aims to determine the effectiveness of health education to increase knowledge about family hypertension in puskesmas ngaliyan. the research design is a quasi-experimental onegroup pretest-posttest design. the samples used as many as 40 families were taken using purposive sampling techniques and have met the inclusion and exclusion criteria. data is the level of family knowledge about hypertension. data analysis using bivariate analysis using t test dependent data results showed that after counseling was an increase in family knowledge about hypertension (p value = 0.000). it is expected for health workers, especially nurses in the working area ngaliyan health center is expected to make home visits to conduct outreach to increase public knowledge about the family, especially hypertension. it can be concluded that health education effectively improve family knowledge about hypertension. key words: hypertension, family, health education, nursing chandra hadi p, efektifitas pendidikan kesehatan ... 68 pendahuluan keluarga merupakan sebuah sistem, dimana sebagai sistem keluarga di dalamnya mempunyai anggota, yaitu ayah, ibu dan anak atau semua individu yang tinggal di dalam rumah tangga. anggota keluarga saling berinteraksi, interelasi dan interdependensi untuk mencapai tujuan bersama. keluarga merupakan sistem yang terbuka, sehingga dapat dipengaruhi oleh suprasistemnya, yaitu lingkungan dan mayarakat. sebaliknya, sebagai subsistem dari lingkungan atau masyarakat, keluarga dapat memengaruhi masyarakat (suprasistem). oleh karena itu pentingnya peran dan fungsi keluarga dalam membentuk manusia sebagai anggota masyarakat yang sehat bio-psiko-sosial dan spiritual.1 dalam keluarga tentunya mempunyai berbagai masalah kesehatan salah satunya adalah masalah hipertensi. hipertensi adalah kondisi dimana jika tekanan darah sistole 140 mmhg atau lebih tiggi dan tekanan darah diastole 90 mmhg atau lebih tinggi.2 hipertensi di masyarakat awam dikenal dengan sebutan penyakit darah tinggi namun terkadang penyakit ini tidak diketahui oleh penderitanya sebelum penderita tersebut memeriksakan tekanan darahnya. hipertensi menjadi silent killer karena pada sebagian besar kasus, tidak menunjukkan gejala apapun hingga pada suatu hari hipertensi menjadi stroke dan serangan jantung yang menjadikan penderita meninggal.3 prevalensi hipertensi di seluruh dunia, diperkirakan sekitar 15-20%. hipertensi lebih banyak menyerang orang kulit berwarna daripada orang kulit putih. pada usia setengah baya dan muda, hipertensi ii lebih banyak menyerang pria daripada wanita. pada golongan umur 55-64 tahun, jumlah penderita hipertensi pada pria dan wanita sama banyak. namun, pada usia 65 tahun ke atas, penderita hipertensi wanita lebih banyak daripada pria. hipertensi di asia diperkirakan sudah mencapai 8-18%. penelitian epidemiologi membuktikan bahwa tingginya tekanan arah berhubungan erat dengan angka kejadian penyakit jantung. kejadian prevalensi hipertensi di indonesia telah mencapai 31,7% dari total penduduk dewasa. berdasarkan angka tersebut hanya sekitar 0,4% dari 31,7% kasus yang memium obat hipertensi untuk diet dan pengobatan.4 berdasarkan dari data rencana tingkat program puskesmas mangkang target tentang masalah hipertensi pada tahun 2016 ada berbagai program antara lain: jumlah hasil kasus pemeriksaan fisik dan penunjang pada pasien yang datang dengan keluhan dan dilayani puskesmas target 1004 dan teralisasi 100%, jumlah kasus hasil pemeriksaan fisik dan penunjang dari kelompok potensial yang dilayani puskesmas usia >45 tahun sejumlah 745 terealisasi 100% dan jumlah kasus yang dirujuk 39 dan terealisasi 100%.5 hasil wawancara pendahuluan dengan masyarakat dengan anggota keluarga mengalami hipertensi menunjukkan bahwa masih rendahnya pengetahuan tentang pengobatan dan diet hipertensi sehingga keluarga tidak melakukan apapun untuk mengatasi masalah hipertensi yang diderita oleh anggota keluarganya tersebut. data tersebut menunjukkan rendahnya kesadaran masyarakat dalam pengobatan dan diet hipertensi sehingga mutiara medika vol. 15 no. 1: 67 74, januari 2015 69 diperlukan upaya pendidikan kesehatan di masyarakat khususnya dalam lingkup keluarga. pembentukan perilaku diawali dari kelompok sosial terkecil yaitu keluarga. pencapaian perilaku masyarakat yang sehat harus dimulai di masing-masing keluarga. perilaku seseorang atau masyarakat yang sehat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor baik internal maupun eksternal yang salah satunya dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan.6 pemenuhan pengetahuan masyarakat tentang hipertensi salah satunya dengan pendidikan kesehatan. pendidikan kesehatan adalah upaya untuk mempengaruhi dan atau mempengaruhi orang lain, baik individu, kelompok, atau masyarakat, agar melaksanakan perilaku hidup sehat, sedangkan secara operasional, pendidikan kesehatan merupakan suatu kegiatan untuk memberikan dan atau meningkatkan pengetahuan, sikap dan praktek masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri.7 hipertensi yang terjadi dalam jangka waktu lama dan terus menerus bisa memicu stroke, serangan jantung, gagal jantung dan merupakan penyebab utama gagal ginjal kronik.8 stroke menyerang 36% lansia yang ada di indonesia, khusus untuk stroke haemoragik disebabkan oleh penyakit hipertensi yang tidak terkontrol.9 jumlah kematian karena penyakit jantung koroner yang disebabkan oleh hipertensi yang tidak terkontrol adalah mencapai 42,9%.10 sehingga dapat diketahui bahwa tingginya angka komplikasi adalah akibat dari penanganan hipertensi yang tidak efektif atau tidak terkontrol di rumah. hal ini terkait erat dengan pelaksanaan fungsi perawatan kesehatan di dalam keluarga dalam merawat anggota keluarga yang mengalami hipertensi. pemberian penyuluhan kesehatan dalam upaya meningkatkan pengetahuan dapat dilakukan dengan menggunakan alat bantu promosi kesehatan berupa alat bantu lihat (visual aids), alat bantu dengar (audio aids) dan alat bantu lihat dengar (audio visual aids).6 tujuan utama pendidikan kesehatan adalah agar seseorang mampu menerapkan masalah dan kebutuhan mereka sendiri, mampu memahami apa yg dapat mereka lakukan terhadap masalahnya, dengan sumber daya yg ada pada mereka ditambah dengan dukungan dari luar mampu memutuskan kegiatan yang tepat guna untuk meningkatkan taraf hidup sehat dan kesejahteraan bagi masyarakat.1 bahan dan cara jenis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan desain penelitian quasi experiment with one group, sedangkan desain penelitian menggunakan pre-test and post-test design. adapun lokasi penelitian ini adalah di kelurahan wates wilayah kerja puskemas ngaliyan kota semarang dengan waktu pelaksanaanya bulan april 2014. sampel dalam penelitian ini yaitu keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan penyakit hipertensi dengan jumlah sampel sebanyak 40 responden yang yang memenuhi kriteria inklusi, diantaranya: bersedia menjadi responden, keluarga dengan tipe keluarga inti (nuclear family) dan tipe keluarga besar (extended family), serta ada masalah kesehatan di keluarga. cara pengambilan sampel menggunakan teknik non random sampling chandra hadi p, efektifitas pendidikan kesehatan ... 70 dengan purposive sampling. instrumen yang digunakan adalah kuesioner yang sebelumnya diuji terlebih dahulu validitas dan reliabilitas. kuesioner berisi karakteristik responden dan pertanyaan-pertanyaan tentang masalah penelitian yang berjumlah 15 pertanyaan. analisis data dalam penelitian ini bersifat univariat dan bivariat untuk menguji t dependen. analisis univariat dalam bentuk distribusi frekuensi (%), sedangkan analisis bivariat untuk melihat pengetahuan keluarga terhadap masalah hipertensi sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan kesehatan pada keluarga (p < 0,004). hasil tabel 1. distribusi jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan dan pekerjaan responden variabel n % jenis kelamin laki-laki 25 62,5 perempuan 15 37,5 umur 20-30 5 12,5 30-45 14 35 54-60 21 52,5 pekerjaan swasta/wiraswasta 20 50 pns 3 7,5 tidak bekerja 17 42,5 tingkat pendidikan tidak sekolah 4 10 sd 8 20 smp 17 42,5 sma 9 22,5 diploma/sarjana 2 5 berdasarkan hasil analisis univariat pada tabel 1. diperoleh data bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki (62,5%), sebagian besar umur responden berada pada usia pre-lansia (52,5%), sebagian besar responden bekerja swasta atau wiraswasta (50%) dan sebagian besar responden berpendidikan sekolah menengah pertama (42,5%). tabel 2. merupakan hasil penelitian tentang tingkat kemandirian keluarga sebelum dan sesudah dilakukan pendidikan kesehatan tentang hipertensi. tabel 2. menunjukkan bahwa sebelum dilakukan asuhan keperawatan pada keluarga sebagian besar memiliki tingkat pengetahuan kurang (72,5%) dan setelah dilakukan pendidikan kesehatan pada keluarga tentang penyakit hipertensi secara efektif sebagian besar tingkat pengetahuan keluarga adalah baik (77,5%). tabel 3. menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan pemberian askep keluarga terhadap tingkat kemandirian keluarga dalam mengatasi masalah kesehatan keluarga (p value= 0,000). tabel 3. distribusi frekuensi tingkat pengetahuan keluarga sebelum dan setelah dilakukan pendidikan kesehatan variabel mean sd se p value n tingkat pengetahuan sebelum 2,26 0,803 0,114 0,000 50 tingkat pengetahuan sesudah 3,68 0,513 0,073 tabel 2. distribusi frekuensi tingkat pengetahuan keluarga sebelum dan setelah dilakukan pendidikan kesehatan variabel n % sebelum baik 11 27,5 kurang 29 72,5 jumlah 40 100 sesudah baik 31 77,5 kurang 9 22,5 jumlah 40 100 mutiara medika vol. 15 no. 1: 67 74, januari 2015 71 diskusi pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan kualitas manusia, dengan pendidikan manusia memperoleh pengetahuan dan informasi. semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin berkualitas hidupnya.11 sebagian besar pekerjaan responden adalah swasta yaitu 20 orang (50%). menurut mubarak (2007),1 pekerjaan mempengaruhi pengetahuan. ditinjau dari jenis pekerjaan yang sering berinteraksi dengan orang lain lebih banyak terpapar informasi atau pengetahuan bila dibandingkan dengan orang tanpa ada interaksi dengan orang lain. sebagian besar jenis kelamin responden adalah laki-laki yaitu sebanyak 25 orang (62,5%). sebagian besar usia responden adalah dewasa akhir dan masuk kategori pre lansia 21 orang (52,5%). usia dewasa akhir merupakan masa dimana manusia sudah dianggap telah matang, baik secara fisiologis, psikologis dan kognitif, sehingga usia dewasa akhir merupakan usia yang tepat dalam menganalisis dan menerima sesuatu informasi.12 usia dewasa awal berdasarkan perkembangan psikososialnya merupakan masa dimana seseorang individu mulai membina rumah tangga dan menjadi orang tua. secara kognitif, kebiasaan berpikir rasional meningkat pada usia dewasa awal dan tengah. usia seseorang sangat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menerima informasi dan cara pikir seseorang terhadap informasi yang diperoleh. semakin bertambahnya usia maka akan mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menerima informasi sehingga pola pikir seseorang akan semakin berkembang.13 sebagian besar pendidikan terakhir responden adalah smp artinya mayoritas tingkat pendidikan responden masih rendah. salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah tingkat pendidikan, dimana tingkat pendidikan yang lebih tinggi mempengaruhi persepsi seseorang dalam mengambil keputusan dan bertindak.13 hasil penelitian diperoleh bahwa sebelum dilakukan penyuluhan sebagian besar responden memiliki tingkat pengetahuan yang rendah, hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh kurangnya pengetahuan keluarga tentang berbagai masalah hipertensi yang sedang dialami oleh anggoota keluarga, selain itu juga masih kurangnya pengetahuan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya: tingkat pendidikan kepala keluarga yang masih rendah, usia, jenis kelamin dan kemampuan perawat komunitas yang menjadi penanggung jawab wilayah binaannya. perilaku seseorang atau masyarakat tentang, misalnya kesehatan, ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. di samping itu, ketersediaan fasilitas, sikap dan perilaku para petugas kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku.14 fungsi perawatan kesehatan keluarga bisa tercapai dilihat dari kemampuan keluarga memahami dan melaksanakan lima tugas kesehatan keluarga.15 hal tersebut erat kaitannya dengan peran perawat dalam memberikan penyuluhan kesehatan pada keluarga, sehingga diharapkan perawat melakukan asuhan keperawatan kepada seluruh wilayah binaannya agar dapat mengetahui chandra hadi p, efektifitas pendidikan kesehatan ... 72 masalah yang ada. perilaku itu di dalam tiga domain (ranah/kawasan), meskipun kawasan-kawasan tersebut tidak mempunyai batasan yang jelas dan tegas. pembagian wilayah ini dilakukan untuk kepentingan tujuan pendidikan, yaitu mengembangkan atau meningkatkan ketiga domain perilaku tersebut, yang terdiri dari ranah kognitif (kognitif domain), ranah affektif (affectife domain), dan ranah psikomotor (psicomotor domain).16 pengetahuan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu internal (pendidikan, motivasi dan persepsi) dan eksternal (sosial, budaya dan lingkungan). tingkat pendidikan yang tinggi atau pengalaman hidup yang diperoleh, motivasi yang tinggi untuk meningkatkan kesehatan keluarga, persepsi positif mengenai pelayanan kesehatan, sosial budaya yang baik serta lingkungan sebagai support system yang baik akan mendorong keluarga untuk mengambil keputusan mengenai tindakan kesehatan yang tepat bagi anggota keluarga yang sakit begitu pula sebaliknya.7 di samping peran perawat dalam memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat juga diharapkan kesadaran dari masyarakat itu sendiri untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan untuk mencari informasi namun hal tersebut banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal. kurangnya pemanfaatan fasilitas kesehatan tersebut menjadi salah satu faktor penghambat dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. perilaku kesehatan menjadi tiga domain, yakni pengetahuan kesehatan (health knowledge), sikap terhadap kesehatan (health attitude) dan praktek kesehatan (health practice).17 hal ini berguna untuk mengukur seberapa besar tingkat perilaku kesehatan individu yang menjadi unit analisis penelitian. pengetahuan tentang kesehatan mencakup apa yang diketahui oleh seseorang terhadap caracara memelihara kesehatan, seperti pengetahuan tentang penyakit menular, pengetahuan tentang faktor-faktor yang terkait dan atau mempengaruhi kesehatan, pengetahuan tentang fasilitas pelayanan kesehatan dan pengetahuan untuk menghindari kecelakaan. perilaku kesehatan merupakan segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan, serta tindakannya yang berhubungan dengan kesehatan.18 perilaku kesehatan sebagai perilaku untuk mencegah penyakit pada tahap belum menunjukkan gejala (asymptomatic stage).19 berdasarkan hal tersebut maka diperlukan perubahan perilaku baik dari tenaga kesehatan maupun dari masyarakat. strategi perubahan perilaku adalah dengan memberikan informasi tentang cara menghindari penyakit dan meningkatkan pengetahuan masyarakat. diharapkan dengan pengetahuan yang diperoleh tersebut dapat menimbulkan kesadaran di antara masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan perilaku sehat.7 hasil dari penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan weni utari (2014) yang menyatakan adanya perbedaan tingkat pengetahuan antara keluarga sebelum dan sesudah dilakukan pendidikan kesehatan dengan nilai p value = 0,000 (p < 0,05).20 mutiara medika vol. 15 no. 1: 67 74, januari 2015 73 simpulan disimpulkan bahwa pendidikan kesehatan efektif meningkatkan pengetahuan keluarga tentang hipertensi.. daftar pustaka 1. mubarak, s. ilmu keperawatan komunitas. jakarta: salemba medika. 2006. 2. syamsudin. buku ajar farmakoterapi kardiovaskular dan renal. jakarta: penerbit salemba medika. 2011. 3. nurrahmani. stop diabetes mellitus. yogyakarta : familia. 2012. 4. balitbang kemenkes ri. riset kesehatan dasar; riskesdas. jakarta: balitbang kemenkes ri. 2012. 5. evaluasi manajemen pelayanan puskesmas mangkang tahun 2013. journal penelitian kesehatan suara forikes. 2013; iv (1): 25-32 6. notoatmodjo, s. (2007). promosi kesehatan dan ilmu perilaku. jakarta: rineka cipta. 7. notoatmodjo, soekidjo. 2003. pendidikan dan perilaku kesehatan. rineka cipta. jakarta 8. purnomo, h., 2009, penyakit yang paling mematikan (hipertensi). buana pustaka. jakarta. 9. misbach,j. 2007. pandangan umum mengenai stroke. dalam : rasyid, a. dan soertidewi,l (eds). unit stroke. manajemen stroke secara komprehensif. hal 1-9. balai penerbit universitas indonesia. jakarta. 10. world health organization, who world health organization report 2000, genewa: who, 2001. 11. hurlock, a. promosi kesehatan bayi dan balita. jakarta: salemba medika. 2007. 12. potter, p.a., & perry, a.g. fundamental keperawatan. (ed.7). jakarta: salemba medika. 2005. 13. notoatmodjo, s. kesehatan masyarakat ilmu dan seni. jakarta: rineka cipta. 2007. 14. green, lawrence w., marchel w kreuter. health promoting planning an educational and environmental aproach. second edition. mayfield publishing company: mountain view. 2005. 15. friedman, m.m, bowden, v.r, & jones, e.g. keperawatan keluarga: riset, teori dan praktik (5.ed.). (achir yani.) 2010. 16. bloom, benjamin s., etc. taxonomy of educational objectives: the classification of educational goals, handbook i cognitive domain. new york: longmans, green and co. 1956. 17. becker,m.a., santos, m.c.d. psychological stress and its influence on salivary flow rate, total protein concentration and ig a, ig g, and ig m titers. neuro immuno modulation.. 2010; 17. (6) 18. sarwono, s., sosiologi kesehatan beberapa konsep beserta aplikasinya. gadjah mada university press. yogyakarta. 2007. 19. notoatmodjo, s., & sarwono, s. pengantar ilmu perilaku kesehatan. jakarta: badan penerbit kesehatan masyarakat fakultas kesehatan masyarakat universitas indonesia. 1985. 20. utari. efektifitas pendidikan kesehatan terhadap peningkatan pengetahuan keluarga tentang infeksi saluran pernafasan atas. skripsi tidak chandra hadi p, efektifitas pendidikan kesehatan ... 74 dipublikasikan, universitas riau. 2014. 0 daftar isi.p65 mutiara medika vol. 11 no. 1: 25-30, januari 2011 25 pengaruh senam kebugaran jasmani terhadap fleksibilitas sendi pada wanita usia 45-50 tahun the effect of physical exercise to articulation flexibility in woman 45-50 year old zulkhah noor1, asep nurul huda2 1bagian fisiologi, program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta, 2program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta email: zulkhah@yahoo.com abstrak fleksibilitas sendi adalah kemampuan untuk bergerak bebas tanpa rasa sakit. latihan fisik merupakan upaya untuk melatih tubuh dalam menjaga fleksibilitas sendi. wanita berisiko menderita osteoporosis dan kehilangan fleksibilitas sendi mereka. hal ini berakibat mudahnya cidera dan terbatasnya rentang gerak. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan fleksibilitas sendi wanita usia 45-50 tahun yang melakukan latihan fisik dan tidak. desain penelitian adalah cross sectional. subyek adalah 20 orang wanita usia 45-50 tahun yang melakukan latihan fisik dan tidak. data diperoleh dari kuesioner dan mengukur fleksibilitas sendi secara langsung menggunakan metode sit and reach. fleksibilitas sendi mempunyai nilai e” 10 cm adalah baik, -10 cm hingga 10 cm adalah moderat dan d” 10 cm lebih buruk. perbedaan nilai fleksibilitas sendi dianalisis dengan mann whitney test. hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai fleksibilitas sendi tertinggi wanita usia 45-50 tahun yang melakukan latihan fisik adalah 18 cm, terendah adalah 11 cm, rata-rata adalah 14,3±4.25 cm dan 100% masuk ke kategori baik. fleksibilitas sendi nilai tertinggi wanita usia 45-50 tahun yang tidak melakukan latihan fisik adalah 2 cm, terendah adalah -17 cm, rata-rata -10 ± 7,63 cm, 25% masuk ke moderat kategori dan 75% masuk ke kategori buruk. disimpulkan bahwa nilai fleksibilitas sendi wanita yang melakukan latihan fisik lebih baik secara bermakna daripada wanita yang tidak melakukan latihan fisik (p = 0,0001). kata kunci: latihan fisik, fleksibilitas sendi, wanita premenopause abstract joint flexibility is capability of free movement without pain. physical exercise is an effort to train the body to keep the joint flexibility. woman are risky to suffer osteoporosis and loss their flexibility. it can lead to injury and limited movement capability. the purpose of this study is to know the difference of joint flexibility of 45-50 year old woman between do physical exercise and do not. this study design is cross sectional. the subject is 20 women 45-50 year old in age that do physical exercise and do not. data was obtained from questionnaire and directly measure of the joint flexibility using sit and reach method. flexibility value e” 10 cm is good, -10 cm up to 10 cm is moderate and d” -10 cm is worse. the different flexibility value between do physical exercise and do not do physical exercise group will be analized by mann whitney test. the result showed that the highest joint flexibility value of woman age 45-50 year old that do physical exercise is 18 cm, the lowest is 11 cm, the average is 14,3±4.25 cm and 100% included to the good category. the highest joint flexibility value woman age 45-50 year old that do not do physical exercise is 2 cm, the lowest is -17 cm, the average is -10±7,63 cm, 25% included to the moderate category and 75% included to the worse category. it concluded that joint flexibility value woman that do physical exercise is more better significantly than the woman that do not do physical exercise (p=0,0001). key words: physical exercise, joint flexibility, premenopause woman artikel penelitian zulkhah noor, asep nurul huda, pengaruh senam kebugaran jasmani ... 26 pendahuluan fleksibilitas sendi adalah suatu kemampuan rentang gerak sendi sesuai fungsinya secara maksimum. sendi merupakan perlekatan antara dua atau lebih tulang yang saling berhubungan baik terjadi pergerakan atau tidak antara mereka.1 fleksibilitas sendi sangat bermanfaat akan gerakan tubuh dan mobilitas manusia. senam kebugaran jasmani dapat membantu dalam membangun kekuatan tubuh, meningkatkan fleksibilitas, membantu dalam menjaga berat tubuh ideal, menjaga jantung dan aliran darah, mencegah berbagai macam penyakit,2 sehingga penting dilakukan penelitian pengaruh senam kebugaran jasmani terhadap fleksibilitas sendi wanita paruh baya. wanita yang telah memasuki masa postmenopause berisiko mengalami osteoporosis. pembongkaran kalsium dalam tulang (osteoclast) lebih mudah terjadi pada masa postmenopause.3 kejadian osteoporosis lansia mencapai 32,9% didominasi perempuan.4 osteoporosis lansia merupakan salah satu penyebab penurunan fleksibilitas sendi sehingga membatasi rentang gerak (range of motion/ rom) lansia.5 penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa latihan beban pada lengan bawah yang dilakukan oleh wanita menopause (53-74 tahun) dapat menaikkan kepadatan tulangnya 3.8% setelah lima bulan latihan, tiga kali per minggu dan sekali berlatih 50 menit. cukup banyak teori yang menyebutkan bahwa tulang merespons secara lokal pada tempat yang mendapatkan beban dan terjadi pertumbuhan tulang (osteogenesis). teori lainnya yaitu sel-sel tulang yang terkena tarikan mekanis melalui latihan olahraga akan memicu masuknya ion-ion kalsium ke dalam sel diikuti dengan produksi prostaglandin dan oksida nitrit sehingga aktivitas enzim yang memicu hormon pertumbuhan akan meningkat dan terjadilah remodelling tulang.6 pernyataan di atas mendasari hipotesis bahwa tingkat fleksibilitas sendi wanita paruh baya umur 45-50 tahun yang melakukan senam kebugaran jasmani lebih tinggi dibandingkan wanita yang tidak melakukan senam kebugaran jasmani. penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan fleksibilitas sendi antara wanita yang melakukan senam dan tidak senam. bahan dan cara penelitian ini dilakukan dengan observasi secara cross sectional. responden penelitian sebanyak 20 wanita usia 45-50 tahun yang mengikuti senam kebugaran jasmani dan 20 wanita yang tidak mengikuti senam. responden dikatakan senam jika melakukan minimal 2 kali seminggu dengan durasi 30 menit dan telah mengikuti senam selama lebih dari 3 bulan. seluruh responden harus memiliki body mass indeks (bmi) normal, memiliki gizi cukup, kehamilan maksimal 3 kali, aktivitas tidak berlebihan yang mirip olahraga selain senam seperti jogging atau bersepeda, tidak memiliki riwayat penyakit yang mempengaruhi hasil penelitian, tidak merokok, tidak minum minuman beralkohol, minum teh kurang dari 9 cangkir per hari, minum kopi kurang dari 3 cangkir per hari dan cola kurang 250 ml/hari. penelitian ini dilaksanakan di “wini salon” salon dan sanggar senam yang terdapat di patangpuluhan yogyakarta dan warga kelurahan pelemgurih yogyakarta, dimulai dari bulan november 2008 sampai januari 2009. mutiara medika vol. 11 no. 1: 25-30, januari 2011 27 alat yang dibutuhkan adalah kuesioner, timbangan, pengukur tinggi badan dan fleksometer (pinjam dari fakultas pendidikan olahraga dan kesehatan (fpok) universitas negeri yogyakarta). kuesioner berisi tentang pernyataan responden tentang gizi, aktivitas sehari-hari, kehamilan, riwayat penyakit dan gaya hidup. timbangan dan stadiometer digunakan untuk mengukur berat badan dan tinggi badan sehingga dapat ditentukan nilai bmi responden. fleksometer digunakan untuk menilai fleksibilitas responden. pengukuran fleksibilitas sendi dilakukan dengan metode sit and reach, yaitu responden duduk di lantai dengan kedua kaki diluruskan, telapak kaki menempel pada fleksometer, dan badan tegak kemudian responden merebahkan tubuh kearah lutut sambil telapak tangan mencoba menggapai ujung kaki atau melebihi ujung kaki. pembacaan dilakukan ketika responden sudah membungkuk maksimal atau berhenti pada jarak terbaik yang bisa dilakukannya selama 3 detik (gambar 1.). nilai/skor fleksibilitas yang diperoleh dijenjang secara ordinal yaitu, disebut fleksibilitasnya tinggi jika didapatkan nilai e”10 cm, fleksibilitas sedang jika mendapat nilai -10cm sd 9,9 cm, disebut kurang jika fleksibilitas sendi d” -10 cm. data yang telah diperoleh kemudian dianalisis dengan uji mann whitney. gambar 1. posisi mengukur fleksibilitas dengan menggunakan flexometer. hasil sebelum penelitian, responden telah menyetujui informed consent dan mengisi kuesioner. responden yang dipilih telah sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. penelitian ini dilakukan di rumah responden masing-masing saat responden dalam keadaan rileks. hasil pengukuran fleksibilitas sendi kedua kelompok penelitian disajikan dalam tabel 1. tabel 1. rentang nilai dan rata-rata fleksibilitas sendi. wanita paruh baya yang senam dan tidak senam kelompok wanita n fleksibilitas tertinggi (cm) terendah (cm) rata – rata (cm) senam 20 18 11 14,3 ± 4.25 tidak senam 20 2 -17 -10 ± 7,63 tabel 1. menunjukkan bahwa rata-rata fleksibilitas kelompok wanita senam kebugaran jasmani jauh lebih tinggi (14,3±4.25 cm) dari pada kelompok wanita tidak senam (-10±7,63 cm). distribusi frekuensi nilai fleksibilitas sendi kelompok penelitian ditampilkan dalam tabel 2. tabel 2. menunjukkan bahwa 100% kelompok wanita yang melakukan senam kebugaran jasmani termasuk dalam kriteria baik, sedangkan kelompok wanita yang tidak melakukan senam kebugaran jasmani 75% memiliki nilai fleksibilitas sendi dengan kategori buruk dan 25% kategori sedang. hasil uji mann whitney didapatkan p = 0,0001 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan fleksibilitas sendi yang signifikan antara wanita usia 45-50 tahun yang melakukan senam kebugaran jasmani dengan yang tidak melakukan senam. zulkhah noor, asep nurul huda, pengaruh senam kebugaran jasmani ... 28 tabel 2. distribusi frekuensi fleksibilitas sendi berdasarkan kategori no. kriteria senam tidak senam mann whitney n % n % 1. baik 20 100 0 0 p=0.0001 2. sedang 0 0 5 25 3. buruk 0 0 15 75 diskusi penelitian ini mengkaji secara khusus fleksibilitas sendi wanita paruh baya yang melakukan senam dan tidak melakukan senam. terdapat sedikit perbedaan struktur anatomi sendi dan jaringan ikat antara laki-laki dan perempuan, sehingga wanita memiliki rentang gerak lebih besar dibanding laki-laki. penilaian terhadap sendi tubuh bagian atas (bahu, siku, pergelangan tangan, batang dan leher) menunjukkan bahwa perempuan memiliki rentang gerak lebih besar dibanding laki-laki.7 gerakan memutar, dorsoplantar fleksi sendi tungkai perempuan lebih baik, demikian juga perubahan ukuran otot dan ligamen yang terlibat dalam gerak dorso-plantar fleksi sendi tungkai, wanita lebih baik dibanding laki-laki.8 meskipun demikian, perubahan karena pengaruh usia terlihat lebih nyata.7 penelitian ini menunjukkan bahwa semua wanita paruh baya yang melakukan senam kebugaran jasmani memiliki fleksibilitas sendi yang baik, sedangkan wanita yang tidak melakukan senam kebugaran jasmani memiliki fleksibilitas sendi jelek hingga sedang (p=0.0001). hal ini menunjukkan bahwa senam kebugaran jasmani memiliki pengaruh signifikan terhadap fleksibilitas sendi seseorang. senam membuat otot semakin lentur dan sendi terus terangsang sehingga cairan sinovial pada sendi terus mendapat nutrisi dari aliran darah maka sendi yang sering digerakan memiliki fleksibilitas yang tinggi. gerakan-gerakan yang dilakukan saat senam merupakan rangsangan bagi otot, ligamentum dan sendi yang ada di tubuh. semua gerakan dilakukan secara sistematis sehingga seluruh otot, ligamentum dan sendi pada tubuh terangsang untuk menjaga fleksibilitas sendi responden. hasil penelitian di beberapa wilayah telah membuktikan bahwa fleksibilitas sendi menurun hingga 50% bersama dengan usia kronologis. rentang gerakan abduksi bahu berkurang secara bertahap dan konsisten dengan pertambahan usia. rentang gerak lansia menurun sekitar 25% populasi yang lebih muda. mobilitas tulang belakang mengalami penurunan masing-masing sebesar 20%, 33% dan 50% untuk gerak fleksi anterior, fleksi lateral dan ekstensi. gerakan duduk dan membungkuk (sit and reach) menurun sekitar 30% untuk perempuan usia 70 tahun dibandingkan usia 20 tahun. penurunan bertahap ini terjadi karena penurunan fungsi sel di ligamen tulang rawan, tendon dan otot seiring meningkatnya usia adalah merupakan dasar mekanisme kehilangan fleksibilitas. kolagen, konstituen utama dari jaringan ikat, menjadi padat (dan kaku) dengan penuaan. kondisi tersebut menimbulkan saran agar seseorang melakukan latihan peregangan reguler dan berbagai latihan gerak agar hilangnya fleksibilitas dan rentang gerak dapat diminimalkan.7 penilaian terhadap perbedaan kelenturan sendi pada diri sendiri dapat dilakukan, misalkan dengan memutar lengan dari depan ke belakang atau menggerakkan lengan bawah naik dan turun lebih mudah dari pada membungkuk dan mencoba untuk mencium lutut karena kegiatan menggerakkan tangan seperti di atas sering kita lakukan setiap hari tanpa olahraga atau senam sehingga fleksibilitasnya tetap terjaga, sedangkan membungkuk mutiara medika vol. 11 no. 1: 25-30, januari 2011 29 dan mencium lutut jarang dilakukan dalam kegiatan sehari-hari sehingga fleksibilitas tulang punggung dapat terus menurun. proses ini merupakan fisiologis alami tubuh dalam menghadapi tekanan beban kerja, semakin banyak gerakkan yang dilakukan maka otot, ligamentum dan sendi tersebut juga semakin kuat dan fleksibel, sedangkan jika semakin jarang bergerak maka massa dan kekuatan pada otot, ligamentum dan sendi tersebut akan menurun. wanita usia paruh baya yang tidak melakukan senam memiliki nilai fleksibilitas sedang hingga buruk. kondisi ini setara dengan nilai fleksibilitas sendi wanita lanjut usia. rendahnya nilai fleksibilitas sendi ini diduga karena kekakuan sendi ligamentum, berkurangnya sekresi cairan sendi, maupun kegemukan. akan tetapi ternyata berbagai status nutrisi wanita lanjut usia tidak berkorelasi dengan nilai fleksibilitas sendinya.9 wanita yang telah menopouse sangat beresiko mengalami penurunan fleksibilitas sendi dan masa tulang pada wanita berkurang dengan cepat pada 7 hingga 10 tahun pertama setelah menopause. tingkat masa tulang yang berkurang pada masa menopause enam kali lebih cepat daripada pria. wanita yang memasuki masa menopause, fungsi ovariumnya menurun, sehingga mengurangi produksi hormon yang berpengaruh terhadap siklus remodeling tulang, yaitu estrogen. estrogen memiliki fungsi untuk mempertahankan tingkat remodeling tulang yang normal. estrogen yang menurun menyebabkan siklus remodeling tulang berubah dan pengurangan jaringan tulang dimulai. keadaan ini menyebabkan tingkat reabsorpsi tulang atau pembongkaran tulang menjadi lebih tinggi daripada formasi tulang sehingga berkurangnya masa tulang.10 hasil penelitian ini menunjukkan bahwa senam aerobik dapat mempertahankan bahkan meningkatkan nilai fleksibilitas sendi. senam tai chi yang dilakukan wanita berumur 50 tahun ke atas menunjukkan manfaat dapat meningkatkan fleksibilitas sendi. fleksibilitas sendi meningkat setelah melakukan latihan berbentuk rom selama 6 minggu pada semua gerakan di seluruh persendian, rerata peningkatan fleksibilitas sendi yang tertinggi ada pada sendi pergelangan tangan sebesar 74,27% dan terendah pada siku sebesar 3,2%. latihan berbentuk rom selama 3 minggu sudah dapat meningkatkan fleksibilitas pada sendi bahu, pergelangan tangan dan lutut.5 fleksibilitas sendi dan kemampuan rentang gerak tidak hanya untuk aktivitas kehidupan seharihari, akan tetapi sangat penting untuk mencegah cedera dan performa olahragawan (atlet).8 prestasi renang 50 m gaya kupu-kupu sangat ditentukan oleh kekuatan tarik dan dorong otot-otot lengan, serta fleksibilitas fleksi bahu dan plantar fleksi mata kaki.11 seseorang disarankan untuk melakukan pemanasan sebelum olahraga atau senam. pemanasan biasanya dilakukan dengan lari-lari kecil atau jogging yang kemudian dilakukan peregangan otot, ligamentum dan sendi yang akan merangsang kelenturannya sehingga ketika melakukan gerakan olahraga atau senam berikutnya tidak mengalami spasme otot atau kram dan mengurangi resiko cidera. pemanasan sebelum olahraga secara langsung dapat melatih tubuh kita untuk menjaga fleksibilitasnya. sel-sel tulang yang terkena tarikan mekanis melalui latihan olahraga akan memicu masuknya ion-ion kalsium ke dalam sel diikuti dengan produksi prostaglandin dan oksida nitrit sehingga zulkhah noor, asep nurul huda, pengaruh senam kebugaran jasmani ... 30 aktivitas enzim yang memicu hormon pertumbuhan akan meningkat dan terjadilah remodelling tulang. fleksibilitas sendi sangat penting dijaga oleh semua orang karena merupakan salah satu penyokong tubuh untuk berdiri, untuk bergerak secara bebas dan merupakan pelindung tubuh dalam mengurangi efek dari suatu benturan. kesegaran jasmani yang optimal ditunjukkan sebagai kondisi optimal ketahanan kardiorespirasi, kekuatan otot, dan fleksibilitas sendi.9 simpulan nilai fleksibilitas sendi wanita yang mengikuti senam lebih baik secara bermakna dibandingkan dengan wanita yang tidak senam (p= 0,0001). daftar pustaka 1. snell rs. anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. bagian 1. edisi 3. alih bahasa adji dharma. egc. jakarta. 1997:1-55. 2. laskowski e. olahraga dapat menyembuhkan nyeri otot kronis. diakses dari http//www. medicastore.com/med/artikel.php?id=160&uid= 2006080522081466.249.72.65 diakses pada 12 april 2007. 3. baziad a. menopause dan andropause. ybpsp. jakarta. 2003. 4. fatmah f. osteoporosis dan faktor risikonya pada lansia etnis jawa. media medika indonesiana 2009;43(2):57-67 5. ulliya s, bambang s, wara kbm. pengaruh latihan range of motion terhadap fleksibilitas sendi lutut pada lansia di panti wreda wening wardoyo ungaran. [tesis] fakultas kedokteran universitas diponegoro. 2006. 6. puslitbang depkes. olahraga atasi keropos tulang. 2007. diakses dari http:// dan http:// www. infose-hat/content. php?s_sid=1084 diakses 12 april 2007. 7. kravitz l. stretchinga research retrospective. idea fitness journal 2009;6 (10):34-43, diakses dari 8. kato e, oda t, chino k, kurihara t, nagayoshi t, fukunaga t, et al. musculotendinous factors influencing difference in ankle joint flexibility between women and men. int j of sport and health sci 2005;3:218-225 diakses dari http://www.soc.nii.ac.jp/jspe/index.htm pada 3 februari 2012 9. primana da. fleksibilitas sensi wanita lanjut usia pada berbagai komposisi tubuh. jkm 2003;6(1) 10. rozanah a. kafein dan wanita. republika. 12 oktober 2004. diakses dari http://katid=105& kat_id1=150&kat_id2=204 pada 4 mei 2007 11. setiawan tt. hubungan kekuatan otot dan fleksibilitas sendi dengan prestasi renang 50m gaya kupi-kupu. lembaran ilmu pendidikan juni 2007;36(1) | 1 mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm ©2018 mmjkk. all rights reserved vol 18 no 1 hal 25-33 januari 2018 senyawa alami bawang putih tunggal sebagai inhibitor lpxc bakteri pseudomonas aeruginosa melalui virtual screening natural compound of single clove garlic as an inhibitor lpxc in pseudomonas aeruginosa bacteria through virtual screening nur fitriana 1 , sri rahayu lestari 1* , betty lukiati 1 1 jurusan biologi, fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam, universitas negeri malang data naskah: masuk: 26 nov 2017 direviu: 09 des 2017 direvisi: 18 des 2017 diterima: 25 jan 2017 *korespondensi: srirahayulestari@um.ac.id atau nurfitriana769@gmail.com doi: 10.18196/mm.180111 tipe artikel: penelitian abstrak: pseudomonas aeruginosa merupakan salah satu bakteri gram negatif penyebab infeksi nosokomial yang memiliki resistensi tinggi terhadap berbagai antibiotik karena adanya lipid a, komponen lps bersifat toksik pada inang. sintesis lipid a dimulai dari kdo2-lipid a, difasilitasi oleh enzim lpxc. enzim lpxc merupakan target pengembangan antibiotik karena adanya kofaktor zn2+. bawang putih tunggal merupakan herbal potensial pengganti antibiotik sintetis. alliin, allicin dan ajoene yang terkandung dalam bawang putih tunggal memiliki aktivitas antibakteri. penelitian ini bertujuan memprediksi potensi senyawa organosulfur bawang putih tunggal sebagai agen antibakteri melalui virtual screening menggunakan metode molecular docking. metode yang dilakukan adalah memprediksi potensi senyawa organosulfur menggunakan web server pass dan melakukan docking untuk mengetahui interaksi ligan-protein target. hasil penelitian menunjukkan, senyawa organosulfur berpotensi sebagai antibakteri, antibiotik, dan immunomodulator. aktivitas antibakteri terbaik ditunjukkan oleh senyawa alliin dengan nilai afinitas pengikatan -5,2 kkal/mol. semua senyawa organosulfur memiliki sisi aktif yang sama dengan kontrol (ciprofloxacin dan imipenem) pada enzim lpxc. sisi aktif ditunjukkan dengan adanya residu asam amino (ser295, val182, dan tyr 296) yang berikatan dengan ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik (phe152, phe181, gly85, phe176, ala84, val182, ser180, ile241, leu86, tyr296, ser295 dan met297) antara ligan-protein target. kata kunci: enzim lpxc; infeksi nosokomial; molecular docking; pseudomonas aeruginosa; senyawa organosulfur abstract: pseudomonas aeruginosa is one of gram-negative bacteria causes nosocomial infection that have high resistance against various antibiotics due to lipid a, lps are toxic components on the host. lipid a synthesis starting from kdo2-lipid a, facilitated by the lpxc enzyme. lpxc enzyme is the target development of antibiotics due to cofactors zn 2+ . single bulb garlic is potential herbal successor synthetic antibiotics. alliin, allicin, and ajoene are contained in a single bulb garlic have antibacterial activity. this research aims predict potential of an organosulfur compounds single bulb garlic as antibacterial agents through a virtual screening method using molecular docking. method does is to predict potential organosulfur compounds using web servers pass and the docking ligand-interactions to figure out the target protein. the results showed, organosulfur compounds are potent antibacterial, antibiotic, and immunomodulator. antibacterial activity of alliin compound is shown by the best-value binding affinity-5.2 kcal/mol. organosulfur compounds all have the same active side controls (ciprofloxacin and imipenem) on lpxc enzyme. the active side is shown by the mailto:nurfitriana769@gmail.com 26 | vol 18 no 1 januari 2018 presence of the amino acid residues (ser295, val182, and tyr 296) bonded with hydrogen bonding and hydrophobic interactions (phe152, phe181, gly85, phe176, ala84, val182, ser180, ile241, leu86, tyr296, ser295 and met297) between ligand-protein target. keywords: lpxc enzyme; molecular docking; nosocomial infections; organosulfur compound; pseudomonas aeruginosa pendahuluan infeksi merupakan proses invasi dan multiplikasi berbagai mikroorganisme ke dalam tubuh. infeksi nosokomial merupakan infeksi yang dapat menyerang seseorang selama dan setelah dirawat di rumah sakit. 1 infeksi nosokomial dapat terjadi karena terdapat berbagai faktor risiko, seperti penggunaan steroid, penggunaan antibiotik, penggunaan kateter urin dan kateter vena. 2 infeksi spesifik yang terjadi pada penderita infeksi nosokomial, antara lain infeksi saluran eksresi (urinari), infeksi pada bagian yang mengalami pembedahan (operasi), infeksi peredaran darah, pneumonia, infeksi tulang dan sendi, sistem saraf pusat dan infeksi sistem kardiovaskuler. 3 infeksi nosokomial di indonesia yang disebabkan oleh p. aeruginosa berkisar antara 6-16%. 4 pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri gram negatif, bersifat patogen, memiliki mekanisme resisten bawaan terhadap antibiotik dan disinfektan. 5 resisten tersebut diperoleh karena bakteri ini memiliki struktur lipopolisakarida (lps) yang terdapat pada lapisan terluar sistem membran ganda, 6 dan menyebabkan efek toksik. lipid a merupakan komponen hidrofobik pada lps dan diketahui sangat responsibel terhadap efek toksik pada inang. sintesis lipid a dimulai dengan sintesis kdo2-lipid a, 7,8 terjadi dalam sitoplasma dan difasilitasi oleh sembilan enzim berbeda. 9 lpxc merupakan enzim yang berperan sebagai katalisator dalam proses biosintesis lipid a dan target dalam pengembangan antibiotik. target utama penggunaan antibiotik pengobatan infeksi nosokomial yang disebabkan oleh p. aeruginosa adalah berbagai macam protein dalam sel bakteri, 10 namun saat ini p. aeruginosa memiliki resistensi sangat tinggi terhadap berbagai antibiotik. p. aeruginosa memiliki resistensi dengan kisaran antara 12-19% terhadap antibiotik imipenem di kawasan jakarta dan sekitarnya. 11 penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat menyebabkan berbagai efek samping, antara lain rasa lemas, mual, sakit kepala, bakteri resisten, hingga kematian. 12 pengembangan antibiotik berbahan alami yang minim efek samping merupakan salah satu usaha untuk mengurangi penggunaan antibiotik sintetis yang dapat membahayakan pengguna. bawang putih (allium sativum) tunggal merupakan bahan alami yang secara empirik banyak digunakan oleh masyarakat untuk mengobati infeksi. kandungan senyawa aktif dalam a. sativum tunggal memiliki kadar lebih tinggi dibandingkan a. sativum bersiung banyak. 13, 14 senyawa aktif dengan kadar tinggi dalam minyak a. sativum adalah alliin (411,4 mg/ml), allicin (268,2 mg/ml) dan ajoene yang dapat dibedakan menjadi e-ajoene (101,5 mg/ml) dan z-ajoene (251,4 mg/ml). 13 berdasarkan hal itulah dilakukan penelitian potensi senyawa alliin, allicin, e-ajoene dan z-ajoene sebagai agen antibakteri yang dapat menghambat aktivitas enzim lpxc melalui virtual screening menggunakan metode molecular docking. bahan dan cara penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif menggunakan studi literatur yang relevan, beberapa software dan web server dari program komputasi. penelitian dilakukan pada bulan agustus-november 2017 di jurusan biologi fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam universitas negeri malang. rancangan penelitian dilakukan melalui prediksi potensi keempat senyawa organosulfur dan proses molecular docking antara ligan-protein target. langkah pertama adalah mengambil struktur 3d senyawa alliin, allicin, e-ajoene dan z-ajoene, struktur 3d antibiotik kontrol (imipenem dan ciprofloxacin) dari database pubchem (https:// pubchem.ncbi.nlm.nih.gov) dalam format sybil data files (*.sdf) 15 dan struktur 3d enzim lpxc dari database protein data bank atau pdb (http:// www.rcsb.org) dalam format pdb file (*.pdb). 16 mengambil canonical smile keempat senyawa organosulfur untuk prediksi potensi sebagai agen antibakteri melalui layanan online pass server (http://www.pharmaexpert.ru/passonline/). 17 struktur 3d enzim lpxc yang telah didapatkan disterilisasi menggunakan software pymol (python molecular viewer) untuk menghilangkan kandungan air dan semua ligan yang terdapat pada enzim tersebut. proses selanjutnya adalah melakukan molecular docking untuk mengetahui interaksi masingmasing ligan-protein target. proses molecular docking dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu (1) identifikasi senyawa organosulfur yang berpotensi menghambat aktivitas enzim lpxc menggunakan program autodock vina pada software pyrx 0.8, (2) klarifikasi posisi pengikatan hasil docking keempat senyawa organosulfur serta senyawa kontrol http://www.pharmaexpert.ru/passonline/).17 | 27 dengan enzim lpxc menggunakan software pymol, (3) visualisasi hasil docking keempat senyawa organosulfur serta senyawa kontrol dengan enzim lpxc menggunakan software ligplot + . data yang didapatkan berupa nilai probability activity (pa) potensi keempat senyawa organosulfur (alliin, allicin, e-ajoene dan z-ajoene), nilai afinitas pengikatan, interaksi hidrofobik dan residu asam amino yang terlibat dalam interaksi liganprotein target. kriterian yang digunakan dalam menganalisis data pada setiap parameter berbedabeda. kriteria yang digunakan untuk menentukan nilai pa adalah (1) pa > 0,7, senyawa yang diuji mempunyai bentuk dan aktivitas analog dengan senyawa obat, (2) 0,5 < pa < 0,7, senyawa yang diuji memiliki bentuk yang berbeda dan kemungkinan kecil mununjukkan aktivitas seperti senyawa obat, (3) pa < 0,5, senyawa yang diuji tidak mungkin menunjukkan aktivitas seperti senyawa obat. apabila aktivitas ini tetap diketahui dalam eksperimen, mungkin aktivitas yang sama seperti obat memang ada dalam senyawa. 18 nilai afinitas pengikatan antara ligan-protein target yang digunakan adalah < 0. 19 residu asam amino yang dihubungkan dengan ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik yang terbentuk dibandingkan antara senyawa organosulfur dan senyawa kontrol pada enzim lpxc. hasil potensi senyawa organosulfur dalam a. sativum tunggal. senyawa organosulfur (alliin, allicin, e-ajoene dan z-ajoene) dalam a. sativum tunggal memiliki beberapa potensi yang dapat dike tabel 1. canonical smile senyawa organosulfur dari a. sativum tunggal no. senyawa canonical smile 1. alliin c=ccs(=o)cc(c(=o)o)n 2. allicin c=ccss(=o)cc=c 3. eajoene c=ccssc=ccs(=o)cc=c 4. z-ajoene c=ccssc=ccs(=o)cc=c sumber: pubchem (2017) 15 tahui melalui prediksi menggunakan layanan online pass server. potensi tersebut diprediksi dengan menggunakan canonical smile yang diperoleh dari layanan online pubchem (tabel 1). besarnya potensi keempat senyawa organosulfur diketahui melalui nilai probability activity (pa). berdasarkan hasil prediksi menggunakan layanan online pass server terdapat tiga potensi dari masing-masing senyawa organosulfur yang dapat digunakan sebagai landasan pencarian agen antibakteri. ketiga potensi tersebut yaitu sebagai dengan besaran nilai pa berbeda. nilai pa tertinggi ketiga potensi dari senyawa organosulfur secara berurutan yaitu (1) alliin (0,522) sebagai immunomodulator dan (2) allicin sebagai antibakteri (0,549) dan antibiotic (0,303) (tabel 2). virtual screening. virtual screening dilakukan dengan cara menambatkan struktur 3d semua ligan (keempat senyawa organosulfur dan senyawa eajoene dan ciprofloxacin tidak memiliki residu asam amino. alliin dan z-ajoene memiliki residu asam amino yang sama dengan imipenem, berturut-turut yaitu ser295 dan val182. alliin juga memiliki residu asam amino yang sama dengan allicin yaitu tyr296. interaksi hidrofobik yang dihasilkan dari visualisasi memiliki jumlah yang berbeda di masing-masing senyawa pada enzim lpxc. tabel 2. prediksi potensi senyawa dari a. sativum tunggal senyawa potensi nilai pa alliin antibakteri 0,297 antibiotik 0,166 immunomodulator 0,522 allicin antibakteri 0,549 antibiotik 0,303 immunomodulator 0,364 e-ajoene antibakteri 0,197 antibiotik 0,098 immunomodulator 0,293 z-ajoene antibakteri 0,197 antibiotik 0,098 immunomodulator 0,293 sumber: pass server (2017) 17 28 | vol 18 no 1 januari 2018 gambar 1. struktur 3d senyawa organosulfur dari a. sativum tunggal dan senyawa kontrol. a. alliin; b. allicin; c. eajoene; d. z-ajoene; e. ciprofloxacin; f. imipenem sumber: pubchem (2017) 15 gambar 2. struktur 3d enzim lpxc p. aeruginosa. a sebelum distrerilisasi; b setelah distrerilisasi. sumber: lee dkk (2011) 20 | 29 gambar 3 a. klarifikasi sisi pengikatan senyawa organosulfur dari a. sativum tunggal dan kontrol (ciprofloxacin dan imipenem) pada enzim lpxc; b. visualisasi seluruh senyawa yang digunakan; c. perbesaran klarifikasi sisi pengikatan senyawa organosulfur dari a. sativum tunggal dan kontrol (ciprofloxacin dan imipenem) pada enzim lpxc. c 30 | vol 18 no 1 januari 2018 gambar 4 visualisasi interaksi sisi pengikatan senyawa organosulfur dari bawang putih (alliium sativum) tunggal dan kontrol (ciprofloxacin dan imipenem) pada enzim lpxc. a. ciprofloxacin-lpxc; b. imipenem-lpxc; c. alliin-lpxc; d. allicin-lpxc; e. e-ajoene-lpxc; d. z-ajoene-lpxc. kontrol) pada struktur 3d makromolekul (enzim lpxc). struktur 3d keempat senyawa organosulfur dan senyawa kontrol (ciprofloxacin dan imipenem) diperoleh dari layanan online pubchem (gambar 1). struktur 3d enzim lpxc melalui layanan online rcsb pdb (gambar 2a). struktur 3d enzim lpxc kemudian disterilisasi menggunakan software pymol. proses sterilisasi bertujuan untuk menghilangkan seluruh molekul air dan ligan yang terdapat pada enzim (gambar 2b). proses penambatan menggunakan autodock vina pada software pyrx menunjukkan bahwa senyawa kontrol (ciprofloxacin dan imipenem) memiliki afinitas pengikatan lebih tinggi dibandingkan senyawa organosulfur dari a. sativum tunggal (alliin, allicin, e-ajoene dan z-ajoene) (tabel 3). hasil penambatan selanjutnya diklarifikasi dan divisualisasi menggunakan dua software berbeda yaitu pymol dan ligplot + . klarifikasi menggunakan software pymol bertujuan untuk mengetahui posisi pengikatan seluruh senyawa pada enzim lpxc berdasarkan struktur 3d. visualisasi menggunakan software ligplot + bertujuan mengetahui interaksi antara ligan dengan makromolekul. hasil klarifikasi menunjukkan bahwa keempat senyawa organosulfur dan senyawa kontrol berada dalam satu sisi pengikatan yang sama pada enzim lpxc (gambar 3a). enzim lpxc (gambar 3a) ditunjukkan dengan bentuk permukaan berwarna hijau, sedangkan ligan berbentuk batang dengan warna berbeda. warna ligan yang digunakan yaitu merah (allicin), merah muda (alliin), tosca (eajoene), oranye (z-ajoene), biru (ciprofloxacin) dan kuning (imipenem) (gambar 3b). perbesaran hasil klarifikasi (gambar 3a) menunjukkan dengan sangat jelas sisi pengikatan antara ligan (keempat senyawa organosulfur dan kontrol) pada enzim lpxc (gambar 3c). hasil visualisasi menggunakan software ligplot + berupa residu asam amino, jumlah dan jarak ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik terlihat pada gambar 4. tabel 3. hasil molecular docking senyawa organosulfur dalam a. sativum tunggal dan senyawa kontrol dengan enzim lpxc menggunakan software pyrx senyawa afinitas pengikatan (kkal/mol) ciprofloxacin -7,7 imipenem -6,1 alliin -5,2 e-ajoene -4,8 z-ajoene -4,8 allicin -4,7 e f d a b c | 31 beberapa interaksi hidrofobik yang sama antara senyawa organosulfur dari a. sativum tunggal dengan senyawa kontrol, antara lain phe152, phe181, gly85, phe176, ala84, val182, ser180, ile241, leu86, tyr296, ser295 dan met297. hasil visualisasi menunjukkan dari keenam senyawa, e-ajoene dan ciprofloxacin tidak memiliki ikatan hidrogen. imipenem memiliki jumlah ikatan hidrogen terbanyak dibandingkan alliin, allicin dan z-ajoene dengan jarak yang berbeda-beda. diskusi potensi senyawa organosulfur dalam a. sativum tunggal. prediction of activity spectra for substances (pass) merupakan aplikasi berbasis web, dirancang sebagai alat untuk mengevaluasi potensi biologis molekul organik yang dapat digunakan sebagai obat. pass biasa digunakan untuk memeriksa aktivitas biologis suatu molekul, sebelum dilakukan sintesis kimia dan pengujian biologis. 21 besar potensi senyawa diprediksi berdasarkan perbandingan nilai pa dengan pi (pa: pi atau active, inactive ratio). keakuratan prediksi yaitu sebesar 95% berdasarkan penilaian leave-one-out cross validation (loo cv). 21 hasil prediksi potensi keempat senyawa organosulfur yang diperoleh dapat diinterpretasikan melalui dua kriteria yang telah disebutkan yaitu 0,5 < pa < 0,7 dan pa < 0,5. kandungan senyawa organosulfur dalam a. sativum tunggal memiliki berbagai efek yang menguntungkan, antara lain dapat meningkatkan sistem imun, 22 dan sebagai antimikroba. 23 senyawa organosulfur merupakan salah satu senyawa yang dapat digunakan sebagai immunomodulator. pemberian senyawa organosulfur (alliin, allicin dan ajoene) mampu meningkatkan sistem pertahanan tubuh. pemberian alliin dapat menurunkan fosforilasi extracellular signalregulated kinase 1 dan 2 (erk 1/2) yang terlibat dalam peradangan pada adiposit akibat adanya induksi lps. 24 penelitian yang dilakukan oleh feng et al. (2012), 25 mengungkapkan pemberian allicin dapat mengurangi parasitemia dan meningkatkan kelangsungan hidup tikus balb/c model malaria disebabkan plasmodium yoelii. allicin yang juga merupakan senyawa bioaktif mampu meningkatkan mediator proinflamasi seperti interferon-gamma (ifn-𐑄) dan menstimulasi ekspansi cluster of differentiation 4 + cell (sel cd4 + ) serta makrofag. washiya et al. (2013), 26 juga mengungkapkan pengobatan menggunakan minyak a. sativum yang mengandung zajoene mampu meningkatkan kadar immuneglobulin a (iga). peristiwa tersebut membuktikan bahwa z-ajoene berpotensi menstimulasi sel b atau sekresi interleukin. allicin dan ajoene juga menunjukkan aktivitas sebagai antibiotik untuk melawan bakteri gram positif dan gram negatif yang telah resisten terhadap antibiotik dan efektif melawan bakteri patogen. kedua senyawa organosulfur memiliki efek antimikroba disebabkan oleh beberapa penghambatan pada bermacam sistem enzimatik tiol dependen. 23 aktivitas antimikroba dari allicin karena adanya ikatan s-s dan s-o, akan bereaksi dengan enzim yang memiliki gugus tiol, 23 dan memiliki efek yang kuat terhadap bakteri staphylococcus aureus, diikuti dengan escherichia coli dan p. aeruginosa. 27 ajoene dapat menghambat sistem komunikasi yang digunakan oleh bakteri patogen seperti p. aeruginosa untuk mensinkronisasi ekspresi gen spesifik yang terlibat dalam patogenesis (dikenal dengan quorum sensing atau qs), karena memiliki potensi sebagai obat antipatogenik. 28 virtual screening. virtual screening merupakan penapisan senyawa obat yang dilakukan melalui komputasi dengan metode molecular docking. molekul docking telah menjadi metode komputasi utama untuk memprediksi interaksi ligan-reseptor dan merupakan alat yang penting serta ampuh untuk melakukan perancangan obat secara rasional. 39 masalah utama yang dihadapi dalam metode docking yaitu keakuratan prediksi energi pengikatan. keakuratan energi pengikatan memiliki implikasi besar untuk memprediksi obat baru yang efektif untuk dikembangkan. 30 hasil penelitian menunjukkan alliin memiliki afinitas pengikatan lebih negatif dibandingkan tiga senyawa organosulfur lainnya. afinitas pengikatan tersebut menunjukkan bahwa alliin merupakan senyawa yang juga mampu digunakan sebagai antibakteri. hasil ini tidak sesuai dengan pernyataan ichsan (2009), 31 yang mengungkapkan bahwa alliin merupakan senyawa bersulfur yang belum memiliki aktivitas biologis. kenegatifan yang lebih rendah pada fungsi penilaian melalui proses docking menunjukkan aktivitas interaksi yang lebih baik antara ligan-reseptor. 32 nilai negatif yang lebih besar pada senyawa organosulfur tidak menunjukkan aktivitas kurang baik, karena tiga dari empat senyawa memiliki interaksi beragam dan sama dengan senyawa kontrol. hasil visualisasi menunjukkan terdapat tiga residu asam amino yang sama (ser295, tyr296 dan val182) dihubungkan pada ligan (alliin, allicin, zajoene dan imipenem) dan enzim lpxc dengan jarak ikatan hidrogen berbeda. ketiga residu asam amino yang dihubungkan dengan ikatan hidrogen menunjukkan bahwa senyawa organosulfur dan 32 | vol 18 no 1 januari 2018 kontrol terikat dalam sisi aktif yang sama pada protein. sisi aktif interaksi ligan-reseptor dapat diketahui dengan adanya ikatan hidrogen yang bereaksi dengan residu asam amino pada sisi aktif protein. interaksi ini membuktikan bahwa ligan memiliki peran yang sangat penting dalam menghambat fungsi protein. 33 interaksi hidrofobik juga menentukan adanya interaksi ligan-protein yang terjadi. 34 interaksi hidrofobik merupakan interaksi molekuler lemah yang memiliki peranan penting untuk menstabilkan ligan dalam konformasi terbuka pada struktur protein. 35 jumlah rata-rata atom hidrofobik dalam obat yang dijual di pasaran adalah 16, dengan 1 sampai 2 berupa donor dan 3 sampai 4 berupa akseptor. 36 interaksi hidrofobik dapat meningkatkan afinitas pengikatan antara ligan-reseptor serta meningkatkan aktivitas biologis dari ligan. 37 deskripsi tersebut membuktikan pentingnya interaksi hidrofobik dalam mendesain ligan menjadi senyawa obat. berdasarkan hal itu, maka senyawa organosulfur yang digunakan dalam penelitian dapat dikembangkan menjadi obat karena banyak interaksi hidrofobik yang terlibat dan sama dengan kontrol. interaksi hidrofobik tersebut antara lain phe152, phe181, gly85, phe176, ala84, val182, ser180, ile241, leu86, tyr296, ser295 dan met297. simpulan senyawa organosulfur (alliin, allicin, e-ajoene dan z-ajoene) dalam a. sativum tunggal berpotensi sebagai antibakteri, antibiotik dan immunomodulator yang ditunjukkan dengan besaran nilai pa dan penelitian lain yang telah dilakukan. potensi senyawa organosulfur sebagai agen antibakteri juga ditunjukkan dengan hasil molecular docking liganreseptor, berupa afinitas pengikatan, residu asam amino, ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik. perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang senyawa organosulfur (alliin, allicin, e-ajoene dan zajoene) dalam a. sativum tunggal sebagai agen antibakteri dalam menghambat enzim lpxc. penelitian perlu dilakukan untuk mencari profil protein yang mengalami kerusakan dan tingkat kerusakan yang terjadi pada lps bakteri gram negatif (terutama p. aeuginosa). ucapan terima kasih penelitian ini merupakan penelitian payung dari ibu dr. sri rahayu lestari, m. si yang didanai oleh drpm 2017 dengan nomor kontrak 3.4.8/un32.14/lt/2017. daftar pustaka 1. inweregbu k, dave j, pittard a. nosocomial infection. continuing education in anaesthesia, critical care & pain, 2005; 5 (1): 14-17. 2. ozer b, akkurt co, duran n, onlen y, savas l, turhanoglu s. evaluation of nosocomial infections and risk factors in critically ill patients. med sci monit, 2011; 17 (3): 17-22. 3. horan tc, andrus m, dudeck ma. cdc/nhsn surveillance definition of health care-associated infection and criteria for specific types of infection in the acute care setting. am j infect control, 2008; 36 (5): 309-332. 4. zulkarnain i. buku ajar ilmu penyakit dalam: infeksi nosokomial. edisi 4. jakarta: pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam fakultas kedokteran universitas indonesia. 2006. 5. tamber s, maier e, benz r, hancock rew. characterization of opdh, a pseudomonas aeruginosa porin involved in the uptake of tricarboxylates. j bacteriol, 2007; 189 (3): 929939. 6. madigan mt, martinko jm, stahl da, clark dp. brock: biology of microorganisms. thirteenth edition. us of america: pearson. 2011. 7. raetz crh, whitfield c. lipopolysaccharide endotoxins. annu rev biochem, 2002; 71 (1): 635– 700. 8. doerrler wt. lipid trafficking to the outer membrane of gram-negative bacteria. mol microbiol, 2006; 60 (3): 542-52. 9. wang x, quinn pj. lipopolysaccharide: biosynthetic pathway and structure modification. prog lipid res, 2010; 49 (2): 97-107. 10. phalamthodi sm, gaikwad vj, ghasghase nv, patil ss. antibacterial targets in pseusomonas aeruginosa. int j pharm app, 2011; 2 (3): 159-164. 11. moehario lh, hartono ts, wardoyo eh, tjoa e. trend of antibiotiks susceptibility of multidrugs resistance pseudomonas aeruginosa in jakarta and surrounding areas from 2004 to 2010. afr j microbiol res, 2012; 6 (9): 2222-2229. 12. micek st, lloyd ae, ritchie dj, reichley rm, fraser vj, kollef mh. pseudomonas aeruginosa bloodstream infection: importance of appropriate initial antimicrobial treatment. antimicrob agents and chemother, 2005; 49 (4): 1306-1311. 13. lestari sr, rifa’i m. daily administration of single garlic oil extract in mice as sub-chronic toxicity assesment. the 5th international conference on biological sciences. 2017. 14. yoo m, lee s, lee s, seog h, shin d. validation of high performance liquid chromatography methods for determination of bioactive sulfur | 33 compound in garlic bulbs. food sci. biotechnol, 2010; 19 (6): 1619-1626. 15. pubchem. 2017. databases compound. (online), (https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov, diakses 15 oktober 2017). 16. rcsb. 2017. pdb: protein data bank. (online), (https://www.rcsb.org, diakses 17 oktober 2017). 17. pass server. 2017. way2drug predictive services: understanding chemical-biological interactions. (online), (http://www.pharmaexpert.ru/passonline/, diakses 15 oktober 2017). 18. lagunin a, stepanchikova a, filimonov d, poroikov v. pass: prediction of activity spectra for biologically active substances. bioinformatics applications note, 2000; 16 (8): 747-748. 19. atkovska k, samsonov sa, paszkowski-rogacz m, pisabarro mt. multipose binding in molecular docking. int j mol sci, 2014; 15 (2); 2622-2645. 20. lee cj, liang x, chen x, zeng d, joo sh, chung hs, barb aw, swanson sm, nicholas ra, li y, toone ej, raetz cr, zhou p. species-specific and inhibitor-dependent conformation of lpxc: implications for antibiotic design. chem biol, 2011; 18: 38-47. 21. parasuraman s. prediction of activity spectra for substance. j pharmacol pharmacother, 2011; 2 (1): 52-53. 22. amagase h, petesch bl, matsuura h, kasuga s, itakura y. 2001. intake of garlic and its bioactive compounents. j nutr, 2001; 131 (3s): 955s-962s. 23. rehman f, mairaj s. antimicrobial studies of allicin and ajoene. int j pharm bio sci, 2013; 4 (2): 1095-1105. 24. quintero-fabian s, ortuno-sahagun d, vazquezcarrera m, lopes-roa ri. allicin, a garlic (allium sativum) compound, prevents lps-induced inflammation in 3t3-l1 adpose. mediators inflamm, 2013; 2013 (1): 1-12. 25. feng y, zhu x, wang q. 2012. allicin enhances host pro-inflammatory imune respoonnses and protects against acute murine malaria infection. malar j, 2011; 11 (1): 268. 26. washiya y, nishikiwa t, fujino t. 2013. enhancement of intestinal iga production by ajoene in mice. biosci biotechnol biochem, 2013; 77 (11): 2298-2301. 27. dusica pi, vesna dn, ljubisa bn, mihajlo zs. & ljiljana ps. thermal degradation, antioxidant and antimicrobial activity of the synthesized allicin and allicin incorporated in gel. 2010. hem. ind, 2010; 64 (2): 85-91. 28. jakobsen th, gennip m, phipps rk, shanmugham s, christensen ld, alhede m, et al. ajoene, a sulfur-rich molecule from garlic, inhibits gene controlled by quorum sensing. antimicrob agents chemother, 2012; 56 (5): 23142325. 29. meng xy, zhang hx, mezei m, cui m. molecular docking: a powerful approach for structurebased drug discovery. curr comput aided drug des, 2011; 7 (2): 146-157. 30. elokely km, doerksen rj. docking challenge: protein sampling and molecular docking performance. j chem inf model, 2013; 53 (8): 1934-1945. 31. ichsan bz. efek antibakteri ekstrak bawang putih (allium sativum) terhadap pertumbuhan streptococcus mutans secara in vitro. skripsi tidak diterbitkan. surakarta: fakultas kedokteran universitas sebelas maret. 2009. 32. amudha m, rani s. in silico molecular docking studies on the phytoconstituents of cadaba fruticosa (l.) druce for its fertility activity. asian j pharm clin res, 2016; 9 (2): 48-50. 33. sahoo m, jena l, daf s, kumar s. virtual screening for potential inhibitors of ns3 protein of zika virus. genomics inform, 2016; 14 (3): 104111. 34. sehgal sa, khattak na, mir a. structural, phylogenetic and docking studies of d-amino acid oxidase activator (daoa), a candidate schizophrenia gene. theor biol med model, 2013; 10 (3): 1-13. 35. patil r, das s, stanley a, yadav l, sudhakar a, varma ak. optimized hydrophobic interactions and hydrogen bonding at the target-ligand interface leads the pathways of drug-designing. plos one, 2010; 5 (8): 1-10. 36. davis am, teague sj. hydrogen bonding, hydrophobic interaction and faiilure of the rigid receptor hypothesis. angew chem int ed, 1999; 38 (6): 736-749. 37. qian s, waldron l, choudhary n, klevit re, chazin wj, patterson c. engineering a ubiquitin ligase reveals conformational flexibility required for ubiquitin transfer. j biol chem, 2009; 284 (39): 26797-26802. https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/ https://www.rcsb.org/ http://www.pharmaexpert.ru/passonline/ https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11238796 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24453416 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24453416 mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 19 no 2 hal 43-49 juli 2019 adaptation and validation of safety attitude questionnaire ambulatory (saq-a) in indonesian primary health care facilities adaptasi dan validasi safety attitude questionnaire–ambulatory (saq-a) pada fasilitas pelayanan kesehatan primer di indonesia ngatoiatu rohmani1, ike wuri winahyu sari2 1 department of nursing management, nurse internship program, universitas jenderal achmad yani yogyakarta 2 department of medical-surgical nursing, nursing education, universitas jenderal achmad yani yogyakarta data of article: received: 4 dec 2018 reviewed: 20 mei 2019 revised: 24 jun 2019 accepted: 29 jun 2019 *correspondence: rahmanigp@gmail.com doi: 10.18196/mm.190228 type of article: research abstract: prevention of patient safety incidence needs to be pursued by the management committee of healthcare institutions by changing the behavior of healthcare providers to create a patient safety culture. also, safety culture evaluation needs to be done to assess the implementation of the culture by healthcare providers. for this reason, a valid and reliable instrument is required in order to be accepted and used in indonesia as a tool to measure of safety culture attitude in healthcare facilities. this study aimed to adopt the safety attitude questionnaire – ambulatory (saq-a) instrument to indonesian. the study was carried out in 5 stages, they were: the translation stage, translation result synthesis, back-translated, review of 3 experts to obtain content validity index (cvi) and questionnaires trial which is conducted in 6 puskesmas, i.e., puskesmas pandak i, puskesmas pajangan, puskesmas godean i, puskesmas kalasan, puskesmas tempel i and puskesmas minggir. purposive sampling technique was selected to obtain 30 respondents based on inclusion criteria: she/he works in research location and has experience at least for one month, permanent/ contract employee, and not on sabbatical leave or other permission. data were analyzed using the content validity index (cvi) and alpha cronbach coefficient. the validity test result of the indonesian version of saq-a based on i-cvi and s-cvi was 1.00 with cronbach’s alpha reliability value from the six dimensions in the questionnaire within range of α 0.612 – 0.881. the reliability test result of the full item on the indonesian version of the saq-a questionnaire was α 0,914. it was concluded that the indonesian version of the saq-a questionnaire is a valid and reliable questionnaire which can be used as a tool to measure safety culture attitudes of healthcare providers in primary healthcare facilities. keywords: instrument adaptation; safety culture; safety questionnaire; saq abstrak: pencegahan terjadinya insiden keselamatan pasien perlu diupayakan oleh pihak manajemen pelayanan kesehatan melalui perubahan perilaku petugas kesehatan guna menciptakan budaya keselamatan pasien. evaluasi budaya keselamatan perlu dilakukan untuk menilai tingkat penerapan budaya tersebut oleh petugas kesehatan. untuk itu, dibutuhkan suatu instrumen yang valid dan reliabel agar dapat diterima dan digunakan di indonesia sebagai alat ukur perilaku budaya keselamatan di fasilitas pelayanan kesehatan. penelitian ini bertujuan untuk mengadaptasi instrumen safety attitude questionnaire – ambulatory (saq-a) dalam bahasa indonesia. penelitian dilakukan dalam 5 tahap, yakni: tahap penerjemahan, sintesa hasil terjemahan, back translate, review dari 3 pakar untuk mendapatkan validitas konten dan uji coba kuesioner yang dilakukan di 6 puskesmas yang mailto:%20widyasari.vita@gmail.com vol 19 no 2 july 2019 44 | terdiri dari puskesmas pandak i, puskesmas pajangan, puskesmas godean i, puskesmas kalasan, puskesmas tempel i dan puskesmas minggir. responden berjumlah 30 orang yang dipilih menggunakan teknik purposive sampling dengan kriteria inklusi telah bekerja minimal 1 bulan di lokasi penelitian, merupakan pegawai tetap ataupun kontrak, dan tidak sedang dalam masa cuti atau ijin. analisis data pada penelitian ini menggunakan content validity index (cvi) dan rumus koefisien alpha cronbach. hasil uji validitas kuesioner saq-a versi indonesia berdasarkan i-cvi dan scvi sebesar 1,00 dengan nilai reliabilitas cronbach’s alpha dari 6 dimensi dalam kuesioner tersebut dalam rentang α 0,612 – 0,881. hasil uji reliabilitas seluruh item saq-a versi indonesia sebesar α 0,914. disimpulkan bahwa kuesioner saqa versi indonesia (isaq-a) merupakan kuesioner yang valid dan reliabel untuk mengukur perilaku budaya keselamatan oleh petugas kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan primer. kata kunci: adaptasi instrumen; budaya keselamatan; kuesioner keselamatan; saq introduction safety is one of the important issues and is the center of attention in various professional organizations, including healthcare organizations. patient safety is an important component to assess the quality of healthcare services and as a foundation in providing quality services to clients. lack of attention and concern for patient safety certainly impacts not only patients but also nurses and hospitals as healthcare providers. research from two major hospitals in australia reported that 35.7% of the incidence of medical errors caused by an intravenous drug error caused a decrease in body function resulting in an extension of the day of treatment, surgery, and loss of permanent body function. 1 meanwhile, from the nurses, some nurses who have practiced medical errors experienced post-traumatic stress even years after the incident. 2 in addition, nurses also get sanctions from the institution of nursing staff. the impact of this medical error incident for hospitals is a decrease in public trust in health services and a decrease in interest in the use of hospital services. 3 the efforts to minimize incidents on patient safety need to be carried out by the hospital management, which aims to change employee behavior to create a patient safety culture. the patient safety culture is a combination and incorporation of individual patterns and organizational behavior based on beliefs and values that aim to reduce events that endanger patients in a sustainable manner. 4 safety culture aims to; (1) creating behavioral norms, (2) reducing the incidence of accidents and injuries, (3) ensure that every member of the organization prioritizes patient safety issues, (4) fosters members' interest in sharing ideas and beliefs related to risks, impacts of events and conditions that worsen health, (5) increasing community commitment to primary safety, (6) increasing the ability to design an organization's health and safety program. 4 patient safety culture in a healthcare facility can be known by conducting a series of an evaluation study in a hospital. if a hospital has a high integrity of safety culture, then the hospital staff have prioritized patient safety in that place. improving patient safety culture is the need for health institutions to improve patient safety and improve the competitiveness of health services. 5 research on the culture of patient safety shows that many safety culture assessment instruments are developed in english. 5,6,7,8 one assessment instrument that has been adopted in various languages is the safety attitude questionnaire (saq) developed by sexton in 2006. 9 the initial version of the questionnaire contains 60 questions including 30 core questions that can be used in all clinical settings. furthermore, a short version of saq was developed, which consisted of only 30 core items. the saq questionnaire has several versions that are tailored to the health facilities being assessed. saq-ambulatory version (saq-a) is one of the questionnaires used to evaluate the patient safety culture in the original healthcare order. 10 saq-a was developed by modak et al. (2007), 11 contains 62 items of questions that are almost the same as saq which are divided into 6 domains, namely: 1) climate of cooperation, 2) safety culture scale, 3) perceptions of management, 4) job satisfaction, 5) recognition of stress, 6) process of ambulatory care. confirmatory factor analysis (cfi) and internal consistency show that saq-a has been valid and reliable to be used as the instrument for assessing patient safety culture. research to measure patient safety culture is not found in indonesia. some studies have used saq as an instrument to assess patient safety from health workers in inpatient and outpatient units of a hospital. 12, 13 although the research of emilia (2011) 12 explained that the saq-a instrument had gone through internal reliability before being used and the questionnaire was reliable with the value of job satisfaction (alpha = 0.80), perception of management (alpha = 0.77), safety climate (alpha = 0.67), working conditions (alpha = 0.63), stress recognition (alpha = 0.73), and working climate (alpha = 0, 84), the research did not explain further about the process of adaptation and instrument validation according to the right theory and methodology. an | 45 instrument that can be used in culture, language, and by other countries should need to be translated, adapted and validated through careful planning and the right methodological approach. 14 this study aims to adapt the saq-a instrument to gain reliability and validity in order to be accepted and used in indonesia as an evaluation of the practice of patient safety culture that is useful for improving the quality of healthcare services. material and method the population in this study were healthcare professionals consisting of nurses, doctors, midwives, laboratory staff and pharmacists working at puskesmas pandak i, puskesmas pajangan, puskesmas godean i, puskesmas kalasan, puskesmas tempel i dan puskesmas minggir. the sample was selected using a random sampling technique with inclusion criteria, namely permanent and contract health workers, had worked at least one month at the research location and were not on leave or permission. the number of samples in this study was 30 respondents. the adaptation process of the saq-a instrument is carried out in five stages, namely the translation stage, the synthesis stage of the translation results, the back translate stage, the review stage of the expert committee, and the instrument trial stage. 15 at the translation stage, the original instrument was translated by two people where the first translator was an individual who understood english and the saq-a concept, while the second translator was an individual who did not understand the saq-a construct called naïve translator. in this study, researchers chose a graduate of english literature education who had worked in an englishlanguage educational institution as a naïve translator. in the synthesis stage of the translation results, the translation results from the naïve translator are discussed to determine the core of the two translations. at this stage, the translation results are the sentences that are closest to the description according to the original questionnaire. in the next step, i.e., back-translated, the synthesis of the translation results were then re-translated into english by the language training institute (pusat pelatihan bahasa) at universitas muhammadiyah yogyakarta. at the review stage of the expert committee, the results of the back translate are then submitted for the review process by experts who are considered to understand the saq-a concept to be assessed based on the content of the instrument. the expert committee consists of 3 people (2 lecturers of nursing, faculty of health, universitas jenderal a. yani yogyakarta, one nurse from wates hospital who has experienced more than ten years). each item was evaluated and assessed using four ordinal scales (1 = irrelevant, 2 = slightly relevant, 3 = quite relevant, 4 = very relevant) as a result of the validity test. items with a cvi value of less than 0.78 will be considered for revision. the last stage is the instrument testing phase. testing of assessment instruments was carried out to health workers in 6 puskesmas in the yogyakarta area. the trial was conducted to test the reliability of the indonesian version of the instrument. the reliability test uses the alpha cronbach coefficient formula because the assessment instrument has several answer choices. cronbach's alpha score of less than 0.7 indicates the instrument is not reliable. result the translation results of saq-a in indonesian, which is later translated by the ppb institution did not experience significant changes in the meaning of each item. the indonesian version of saq-a before validity can be seen in table 1. the validity test of the indonesian version of saq-a is the third stage of the adaptation process carried out through content validity based on reviews from experts to evaluate the clarity and relevance of each item in the questionnaire by three experts. these three experts consist of nursing management lecturers of universitas jenderal a. yani yogyakarta, community nursing lecturer universitas jenderal a. yani yogyakarta, and nursing staff at wates hospital, kulon progo, yogyakarta. at first, the results of the item review (s-cvi) by three experts obtained a value of 0.98, which indicates that the instrument cannot be considered valid. for this reason, the researchers attempted to make improvements according to the advice and input of experts to obtain a 1.00 s-cvi value so that the instrument was declared valid in content based on expert consensus. the final value of i-cvi and s-cvi after the revision is 1.00. the indonesian version of the saq-a reliability test was analyzed using cronbach's alpha and categorized by seven domains, namely: climate of cooperation, climate of safety, perceptions related to management, job satisfaction, working conditions, stress recognition, and outpatient care processes (table 2). also, validity tests are presented as a whole in the indonesian version of saq-a shown in table 3. table 2. shows that stress recognition domain is the domain that has the lowest reliability compar vol 19 no 2 july 2019 46 | table 1. results of translation of saq-a before testing validity no item 1 in this office, it is difficult to talk or express opinions if i have a problem with patient care * 2 doctors and nurses work together as a team that can coordinate well 3 disagreement in the office can be resolved appropriately (for example not about what is right but what is best for the benefit of the patient) 4 input from nurses can be well received in this office 5 i have the support i need from other employees to treat patients 6 it's easy for employees in this office to ask when there's something they don't understand 7 i was encouraged by my co-workers to report if there were problems with patient safety that i might encounter 8 the culture in this office makes it easy to learn from other people's mistakes 9 medical errors can be handled appropriately in this office 10 i know the right way to ask directly about patient safety in this office 11 i get the right feedback about my performance 12 i will feel safe if i am treated here as a patient 13 in this office, i find it difficult to discuss mistakes * 14 senior management in this office does a good job 15 management in this office does a good job 16 i was given sufficient and timely information about the events in the hospital that might affect my work 17 the number of employees in this office is sufficient to treat the patients 18 this office is a good place to work 19 i am proud to work in this office 20 i feel that i am part of a large family in this office 21 the moral value in this office is high 22 i like my job 23 this office does a good job in training new employees 24 this office constructively handles doctors and medical workers who have problems 25 all information needed for diagnosis and therapy decisions is routinely available to me 26 the training participants in my major study were adequately supervised 27 when my workload is excessive, my performance is interrupted 28 i tend to make mistakes in tense or unfriendly situations 29 fatigue interferes with my performance during emergencies (for example blue code or heart failure) 30 i can't effectively work when i'm too tired 31 i am satisfied with the referral in my office, currently 32 there is sufficient and timely provision of patient information among the main doctors and specialists 33 medicines are refilled promptly 34 the drug is prescribed appropriately 35 abnormal test results are often lost or missed * table 2. cronbach's alpha test results per domain in the indonesian version of saq-a no aspect/ domain no item/question α value 1 cooperation climate 1-6/ 6 questions 0,869 2 safety climate 7-13/ 7 questions 0,773 3 perception related to management 14-17/ 4 questions 0,684 4 job satisfaction 18-22/ 5 questions 0,881 5 working conditions 23-26/ 4 questions 0,787 6 introduction to stress 27-30/ 4 questions 0,612 7 outpatient care process 3135/ 5 questions 0,649 table 3. cronbach alpha results in all indonesian versions of saq-a cronbach's alpha n of items 0,914 35 ed to other domains (α = 0.612). in addition, there are at least 3 domains with alpha values be-low 0.7, which indicate that the item is considered quite reliable. however, the result of the reliability test | 47 for all items in the indonesian version of the saq-a questionnaire in table 3. shows a very relia-ble value (α = 0.914). discussion the translation results of the indonesian version of saq-a that have been carried out in this study did not change the meaning of the original saq-a. this was proved with no significant changes in the sentence based on the results of the back translation conducted by the language training center in one of the educational institutions. word changes do occur in several words such as the word "physicians" that turn into the word "doctors," the word "personnel" becomes "employees," while the word "colleagues" becomes "coworkers”. the process of adaptation with the back translation method is the most widely used method, which is also combined with the forward and backward translation methods. 9 some countries that use the back translation method in the process of adaptation of the saq instruments include turkey, india, the netherlands, and norway. in line with this study, several other studies also found the word changes in the original version of the saq adaptation process, 9 for example changes in "physiccians" become "doctors" in the adaptation into turkish. 18 . after the translation process, all items in the original version of saq-a were reviewed by 3 experts to obtain validity test scores. the final result of i-cvi and s-cvi based on the 3 experts was 1.00 which proved that the indonesian version of the saq-a instrument was declared valid. if there are only 5 or 3 experts in evaluating content validity, the i-cvi value that must be obtained is at least 1.00. 16 however, if there are more than 6 experts, the i-cvi value is not less than 0.78. the process of obtaining s-cvi values is certainly through a revision process on some items that are considered by experts to be less relevant. there were 2 items of questions with major revisions, namely on statement items 1 and statement items 3. the first item statement 1 was “in this office, it is difficult to talk or express opinions if i have a problem with patient care” became “at the place where i work, it is difficult to talk or express opinions to colleagues and / or the boss when i have problems with patient care”. meanwhile the statement item 3 previously which was “disagreement in the office can be resolved appropriately (for example not about what is right but what is best for the benefit of the patient)” was revised to be "disagreement in the problem of patient care in this unit can be resolved through collective consultation for the benefit of patients". the method of content validity was also carried out by hamid, kar and murad 5 in the process of adaptation of the saq instrument. n the study, seven experts were selected based on convenience sampling to provide a value with 4 likert scales: (1) relevant; (2) irrelevant; (3) relevant but needs a little revision, and (4) is very relevant. the cvi value below 0.8 indicates that the item must be revised. in the process, word changes were also conducted by several researchers, such as adding the word "their" to the question item “senior management of this office is doing a good job” based on cvi values that were below the standard. 5 changes or additions to the words in the original sentence are conducted to make the sentence clearer and easily understood by the respondent according to the language in the country adopting the instrument. this is in line with the process of adaptation of the saq in norwegian and dutch, where the process also uses content validity to avoid misunderstandings in interpreting the meaning of each item in the instrument. 10,17 cronbach's alpha reliability test results showed that the indonesian version of the saq-a questionnaire was reliable enough to measure safety practices in primary health care facilities such as puskesmas, with a range of values α 0,612 – 0,881 (table 2.). in this study, the dimensions of job satisfaction are dimensions with the highest reliability value of 0.881. similar results were also found in the study by haerkens et al. (2016), 17 and kaya et al. (2010), 18 in which in both studies the dimension of job satisfaction have the highest cronbach's alpha reliability value (α 0,77; α 0,84). it is in line with the results of the reliability of the saq-a questionnaire by sexton et al. (2003), 9 which shows that the dimensions of job satisfaction are dimensions that obtain the highest reliability values among the other dimensions with a very reliable category (α 0.86). the high reliability value of job satisfaction proves that health workers at the puskesmas are satisfied with their current work and their workplace environment. the dimension of cooperation climate in the indonesian version of saq-a also gets a high cronbach's alpha value (α 0.869). these results indicate that the dimension of cooperation climate has been very reliable to measure the culture of collaboration among health workers. in the original instrument by sexton et al. (2003), 9 the dimension of cooperation climate also gets high reliability values (α 0,82) after the job satisfaction dimension. however, according to the results of the reliability in the adaptation of saq into malaysian language, it was found that the vol 19 no 2 july 2019 48 | dimension of the cooperation climate had the highest reliability value (α 0.914) compared to other dimensions. 5 this can happen considering the culture and values adopted by the community have differences between one country and another. the reliability results that was low in this study are in the dimensions of stress recognition, outpatient care processes, and perceptions related to management, in which cronbach's alpha results from all three dimensions are <0.70 (see table 1.). his condition is almost similar to the results of the study of haerkens et al. (2016), 17 and gabrani et al. (2015), 19 in which the value of reliability from the stress recognition dimension and managementrelated perceptions is less than 0.70. gabrani et al. (2015), 19 stated that the results of reliability below 0.70 occur because of data missing that can affect the results of reliability. meanwhile the reliability value of the saq questionnaire developed by sexton et al. (2003), 9 showed that there was 1 dimension with an alpha value <0.70 which was in the dimensions of working conditions (α 0.68). this proves that culture, social relations, and values adopted by health workers in a country can influence the value of reliability test results in the same questionnaire in different countries. differences in reliability results between sexton et al. (2003), 9 and this study can be seen from the lowest cronbach’s alpha value, in this study the stress recognition dimension is the dimension with the lowest reliability value among the other dimensions (α 0.612). in this dimension, it consists of 4 statement items that measure health workers' awareness of the stressful conditions when the workload is considered high. it aimed that individuals who are able to recognize the work stress that they experience are expected to be able to overcome so that unexpected events do not occur in the patient's care process. the lowest reliability value indicates that the statement items in that dimension are not yet homogeneous, so the respondent's answers have not been consistent enough. for this reason, revision of statement items can be considered to get a reliability value of> 0.80. overall, the reliability results of the indonesian version of the saq-a questionnaire (isaq-a) based on cronbach's alpha per dimension were lower than that the version of sexton et al. (2003). 9 similar results were experienced in the process of adaptation of saq into albanian and dutch, in which the reliability results have a lower value compared to the original version. 17,19 however, if seen from the value of the overall item reliability, the indonesian version of saq-a (isaq-a) has a very high reliability value which indicates that the questionnaire is very reliable for measuring the safety culture of health workers at the puskesmas (α 0.914) (see table 2). conclusion the validity of the indonesian version of the saq-a questionnaire based on i-cvi and s-cvi was 1.00 with the value of cronbach's alpha reliability of 6 dimensions was in the range α 0.612 0.881. the reliability test result for all indonesian version of saq-a items was α 0.914 which means that the indonesian version of the saq-a questionnaire (isaq-a) was a valid and reliable questionnaire for measuring the safety culture behavior by health workers in primary health care facilities. reference 1. westbrook j, rob m, woods a, parry d. errors in the administration of intravenous medications in hospital and the role of correct procedures and nurse experience. bmj qual saf, 2011; 20 (12): 1027-1034. 2. schelbred a-b, and nord r. nurses’ experiences of drug administration errors. j adv nurs, 2007; 60 (3): 317-324. 3. silviyah a, kapalawi a, dan noor b. penilaian pengelolaan budaya keselamatan pasien di rsud haji makasar. repository universitas hasanudin. 2014. diakses 24 april 2018 http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789 /10965 4. colla j, bracken a, kinney l, & weeks w. measuring patient safety climate: a review of surveys. qual saf health care, 2005; 14 (5): 364366. 5. hamid h, kar c, murad n. adaptation and validation of safety attitude questionnaire (saq) in malaysian healthcare setting. j psikologi malaysia, 2016; 30 (1): 17-29. 6. flin r, burns c, mearns k, yule s, & robertson e. measuring safety climate in health care. qual saf health care, 2006; 15 (2): 109-115. 7. singla a, kitch b, weissman j, & campbell e. assessing patient safety culture: a review and synthesis of the measurement tools. j patient saf, 2006; 2 (3): 105-115. 8. robb g, & seddon m. measuring the safety culture in a hospital setting: a concept whose time has come. j new zeal med assoc, 2010; 123 (1314): 66-76. 9. sexton b, thomas j, & grillo p. the safety attitudes questionnaire guideline for administration. texas: the university of texas. 2003; 10. bondevik g, hofoss d, hansen e, & deilkas e. the safety attitudes questionnaire – ambulatory | 49 version: psychometric properties of the norwegian transalted version for the primary care setting. bmc health serv res, 2014; 14 (1): 139. 11. modak i, sexton j, lux t, helmreich r, & thomas e. measuring safety culture in the ambulatory setting: the safety attitude questionnaire-ambulatory version. j gen intern med, 2007; 22 (1): 1-5. 12. emilia o. sikap mengenai keselamatan pada residen dan perawat di rumah sakit pendidikan. j manajemen pelayanan kesehatan, 2011; 14 (4): 191-196. 13. aini q. the influence of workload and work stress to patient safet attitude on nurses. j biol, agriculture, and healthcare, 2014; 4 (28): 93-101. 14. saosa v, and rojjanasrirat w. translation, adaptation and validation of instruments or scales for use in cross-cultural health care research: a clear and user-friendly guideline. j eval clin pract, 2011; 17 (2): 268-274. 15. beaton e, bombardier c, guillemin f, & ferraz b. guidelines for the process of cross-cultural adaptation of self-report measures. spine, 2000; 25 (24): 3186-3191. 16. polit d, and beck ct. the content validity index: are you sure you know what’s being reported? critics and recommendations. res nurs health, 2006; 29 (5): 489 -497. 17. haerkens m, leeuwen w, sexton b, pickkers p, hoeven j. validation of the dutch language version of the safety attitudes questionnaire (saq-nl). bmc health serv res, 2016; 16 (385): 1-8. 18. kaya s, barsbay s, & karabulut e. the turkish version of the safety attitudes questionnaire: psychometric properties and baseline data. qual saf health care, 2010; 19 (6): 572-577. 19. gabrani a, hoxha a, simaku a, gabrani j. application of the safety attitudes questionnaire (saq) in albanian hospitals: a cross-sectional study. bmj open, 2015; 5: e006528. mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 20 no 1 page 27-31 january 2020 the relationship between anxiety and the level of joint stiffness in colles fracture patients hubungan antara kecemasan dengan derajat kekakuan sendi pada pasien fraktur colles muhammad ariffudin1*, zainab az zahra2 1 department of orthopedic surgery, faculty of medicine and health sciences, universitas muhammadiyah yogyakarta, jalan brawijaya, tamantirto, kasihan, bantul, special region of yogyakarta, indonesia. 2 faculty of medicine and health sciences, universitas muhammadiyah yogyakarta, jalan brawijaya, tamantirto, kasihan, bantul, special region of yogyakarta, indonesia. data of article: received: 13 aug 2019 reviewed: 16 sep 2019 revised: 24 nov 2019 accepted: 11 jan 2020 *correspondence: zainabazzahra3@gmail.com doi: 10.18196/mm.200138 type of article: research abstract: colles fracture is 15% of the whole fracture incidents in adults, and joint stiffness is the most common complication. anxiety is one of a variety of factors strongly associated with an increased risk of disability and pain intensity in patients with musculoskeletal disorders. this study aims to identify the relationship between anxiety and the level of joint stiffness in colles fracture patients. this research is an observational analytic study with a cross-sectional design. data collection was carried out in the physiotherapy of pku muhammadiyah gamping hospital from march to october 2018 by interview using a questionnaire. data were analyzed using the spearman correlation test. the result of the study with 13 respondents showed 9 people (69.2%) did not experience anxiety, one person (7.7%) experienced mild anxiety, one person (7.7%) was in moderate anxiety, and two others were in severe anxiety (15.4%). meanwhile, in terms of the level of joint stiffness, three people (23.1%) were in mild stiffness, three people (23.1%) were in moderate stiffness, six people (46.2%) were in severe stiffness, and one person (7.7%) was in highly severe stiffness. statistical test of the relationship between anxiety and the level of joint stiffness in patients with colles fracture showed no significant correlation (p=0.808). it can be concluded that there was no relationship between anxiety and the level of joint stiffness in fracture patients. keywords: anxiety; colles fracture; joint stiffness abstrak: fraktur colles merupakan 15% dari seluruh kejadian fraktur pada dewasa, dan kekakuan sendi merupakan komplikasi yang paling sering terjadi. kecemasan adalah salah satu dari berbagai faktor yang sangat berkaitan dengan meningkatnya risiko kecacatan dan intensitas nyeri pada pasien dengan kelainan muskuloskeletal. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat kecemasan dengan derajat kekakuan sendi pada pasien fraktur colles. penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan desain cross sectional. pengumpulan data dilakukan di bagian fisioterapi rs pku muhammadiyah gamping pada bulan maret-oktober 2018 dengan cara wawancara menggunakan kuesioner. data dianalisis menggunakan uji korelasi spearman. hasil penelitian dengan responden berjumlah 13 orang, menunjukkan 9 orang (69.2%) tidak mengalami kecemasan, 1 orang (7.7%) mengalami kecemasan ringan, 1 orang (7.7%) sedang dan 2 orang lainnya berat (15.4%). sedangkan derajat kekakuan sendi, 3 orang (23.1%) kekakuan ringan, 3 orang (23.1%) kekakuan sedang, 6 orang (46.2%) kekakuan parah dan 1 (7.7%) orang kekakuan sangat parah. uji statistik hubungan antara tingkat kecemasan dengan derajat kekakuan sendi pada pasien fraktur colles menunjukkan tidak bermakna (p=0.808). disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat kecemasan dan derajat kekakuan sendi pada pasien fraktur. kata kunci: kecemasan; fraktur colles; kekakuan sendi 28 | vol 20 no 1 january 2020 introduction colles fracture or fracture of the distal radius is one of a wide variety of common fractures in the wrist. generally, it often occurs due to a fall in which hands are in a rested state and usually occur in children and the elderly. when someone falls with stretched hands, the hands will go into stiff that can cause the hand to be twisted and pushed the forearm. distal radius fractures are 15% of fracture incidents occurring in adults.1 in america, 1.5% of all emergency incidents at the national hospital ambulatory medical care survey (nhamcs) are fractures on hands and wrists. the incidence rate of ulna radius fractures reaches 44% of all hands and wrists fractures.2,3 colles fractures can cause a variety of complications, namely re-displacement, malunion, weak inferior radio-ulnar joint, joint stiffness, traumatic arthritis on the wrist, rupture of the extensor pollicis longus tendon, and so on. the most common complication is stiffness.4,21,22 in a study conducted at panembahan senopati hospital bantul in 2014, there were 41.2% of emergency patients experiencing severe anxiety.5 in a hadith, which means, "the parable of believers in the attitude of love, mercy, and affection is like a structure of the body; if a part of the body is sick, then the others will have difficulty in falling asleep or feel fever" [hr. muslim]. this hadith indicates that one member of the body can affect the limbs of the other. the data and hadith mentioned urge the researchers to identify the relationship between anxiety and the level of joint stiffness in colles fracture patients undergoing physiotherapy at pku muhammadiyah hospital gamping sleman. this study was conducted to identify the relationship between the psychological state of the patient, especially the anxiety and the level of joint stiffness in patients at post-colles fracture therapy, and that the family and the people closest to the patient can give a positive influence on the prognosis and quality of life of the patients, especially on the level of the wrist stiffness. materials and method this research is an observational analytic study with a cross-sectional approach. it is such an observational since researchers only observed variables and did not give them a treatment. analytic research is research whose results are not only at the level of description. it continues to making inferences carried out by using test statistics to analyze the data obtained. this study used a cross-sectional approach as the research was carried out in one-time data collection to find the relationship between the independent variable and the dependent variable. the population in this study were all colles fracture patients at pku muhammadiyah gamping hospital sleman from march 21, 2018, to october 25, 2018. the sampling technique in this study was total sampling, indicating that the number of samples was equal to the population. the instrument in this study was a questionnaire. to identify the extent to which one's anxiety is mild, moderate, severe, or highly severe, it used a measuring instrument questionnaire modification known as the hamilton rating scale for anxiety (hrs-a) from the draft of hawari (2004).6 this measuring device consisted of 14 groups of symptoms, each of which is listed with more specific symptoms. to identify the level of joint stiffness on whether it is mild, moderate or severe, it used one type of tool measuring questionnaire modifications such as the patient rated wrist evaluation (prwe) which consisted of 15 questions designed to measure pain wrist and inability to carry out daily activities. data from the anxiety questionnaire were a numerical variable. data were analyzed using a spearman correlation test with the statistical product and service solutions (spss) 15.0 application program. result table 1 show that the age of most respondents was in the category of late elderly which was 60 to 69 years old with a total of 9 people (69.2%), while the least age of respondents was in the category of early elderly which was 50 to 59 years old with a total of 1 person (7.7%). in terms of gender, it could be seen that females dominated the respondents with a total of 7 women (53.8%). furthermore, it could be seen that most common occupations were housewives and laborers, with a total of 4 people in each (30.8%), while the least type of work is an entrepreneur with a total of 1 person (7.7%). then the most common cause of fracture is a fall with the number of 8 people (61.5%), while the least cause of the fracture is crashing with a total of 2 people (15.4%). moreover, it can also be perceived that the most common fracture occurred on the left hand with a total of 9 people (69.2%), and the most common duration of physiotherapy is in the category of 1-5 times with a total of 11 people (84.6%). based on the table 2, it can be seen that the most common anxiety level is in the category of no | 29 table 1. respondent characteristics variable f % gender male female total 6 7 13 46.2 53.8 100.0 age early elderly (50-59) late elderly (60-69) elderly (> 70) total 1 9 3 13 7.7 69.2 23.1 100.0 occupation housewife laborer entrepreneur civil servant retired total 4 4 1 2 3 13 30.8 30.8 7.7 15.4 15.4 100.0 causes of fracture fell down slipped crashing total 8 3 2 13 61.5 23.1 15.4 100.0 duration of physiotherapy 1-5 times 6-10 times >10 times total 11 1 1 13 84.6 7.7 7.7 100.0 the hand fracture right left total 4 9 13 30.8 69.2 100.0 anxiety (ham-a score below 14) with a total of 9 people (69.2%), while the least anxiety level is in the category of mild anxiety and moderate anxiety with a total of 1 person at each category (7.7%). based on table 3, it can be seen that the most common level of joint stiffness is in the mild category (prwe score 21-40) and moderate category (prwe score 41-60) with a total of 3 people (23.1%) in each category, while the least common level of joint stiffness is in the highly severe category (prwe score 81-100) with a total of 1 person (7.7%). table 2. the distribution of respondents based on anxiety level variable f % no anxiety (<14) 9 69.2 mild anxiety (14-20) 1 7.7 moderate anxiety (21-27) 1 7.7 severe anxiety (28-41) 2 15.4 total 13 100.0 table 3. the distribution of respondents based on joint stiffness variable f % mild (21-40) 3 23.1 moderate (41-60) 3 23.1 severe (61-80) 6 46.2 highly severe (81-100) 1 7.7 total 13 100 the relationship between anxiety and the level of joint stiffness has a value of -0.075. the result interpreted that there was a close relationship in the direction of the opposite correlation. therefore, it indicates that the heavier the level of anxiety is, the lower the level of joint stiffness will be. this value will be significant if it shows p<0.05. meanwhile, the result of the data is p=0.808, indicating that the value of the relationship between anxiety and the level of joint stiffness is insignificant, or there is no relationship between them. the relationship between the duration of physiotherapy and the level of joint stiffness has a value of -0.721. the result interpreted that there was a profoundly close relationship in the direction of the opposite correlation. it indicated that the longer the physiotherapy is, the lower the level of joint stiffness will be. the value will be significant if it shows p<0.05. meanwhile, the result of the data is p=0.005, so that the value of the relationship between the duration of physiotherapy and the level of joint stiffness is significant. discussion in this study, the anxiety experienced by colles fracture patients was relatively low. out of 13 respondents, only two respondents experienced severe anxiety (15.4%), one respondent experienced moderate anxiety (7.7%), and one respondent experienced mild anxiety (7.7%). meanwhile, more than half of respondents or 9 other respondents did not experience anxiety (69.2%). the result may be due to the respondents’ homogeneous age, such as more than 50 years old. lutfa and maliya (2008)7 state that anxiety disorders can occur at any age. however, it more commonly occurred in young adults due to the tendency of many problems that they might encounter. age maturity influences a person in responding to his situation or his illness against his anxiety.8 in the study of woodrow (2011), 9 it reveals that tolerance to pain increases along with the increase of age; for example, as a person ages, the 30 | vol 20 no 1 january 2020 understanding of pain and efforts to overcome it increases. unlike the level of anxiety, the level of joint stiffness in colles fracture patients is quite high. out of 13 respondents, only three respondents had a mild level of joint stiffness (23.1%), three respondents had a moderate level of joint stiffness (23.1%), six respondents (46.2%) were in a severe level, one respondent was in highly severe level (7.7%). late adults with more multisite stiffness may have an increased risk of disability than those who do not tend joint stiffness after taking into account the severity of pain and the conditions associated with stiffness.10 furthermore, increasing age also causes a decrease in chondrocyte function and that the capacity for remodeling and maintenance reduces. the lack of tissue alteration and renewal leads to the accumulation of advanced glycation end-products (age), which later leads to increased rigidity.11 the results of this study revealed that the relationship between the anxiety and the level of joint stiffness in colles fracture patients undergoing physiotherapy at pku gamping hospital showed the value p=0.808 and r=-0.075. it indicated that there was a deep relationship with the direction of the opposite correlation and the absence of a meaningful relationship between the anxiety and the level of joint stiffness in colles fracture patients. the absence of the relationship is due to various factors, both internal and external factors of the researchers. in the study by erkardius et al., (2013),12 it stated that the factors influencing knee joint contractures in the handling of femoral fractures operatively and non-operatively are lazy behavior experienced by 17 people (44.7%), obedient attitude experienced by two people (5,3%), and lack of knowledge experienced by one person (2.6%). concerning this, another study revealed that the main factors causing the limited motion of the elbow joint are the disorder or limitations of the process of repositioning and immobilization, limited activity in the elbow joint due to pain, immobile elbow joints that will later cause static veins and spasm. the symptoms will then cause a shortage of oxygen and edema and exudation reaction, which ultimately cause limited motion in the joint stiffness.13 in both statements of the two studies, anxiety is not one of the many factors that affect joint contractures. on the contrary, psychological factors such as depression, anxiety, and thoughts of the catastrophic disease are strongly associated with an increased risk of disability and pain intensity in patients with musculoskeletal disorders.12-14 similarly, fear, catastrophe, and depression significantly mediated the relationship between pain and disability (p<0.001).15-17 the effects of fear and depression on pain-related disability that are not related to ordinary physical activity indicated that psychological intervention is likely to be the best treatment choice for these factors.15 symptoms of depression and posttraumatic stress disorder (ptsd) generally occur after musculoskeletal trauma and are strongly associated with disability. coping management, specifically catastrophic thinking (preparation for the worst) and anxiety in responding to pain, are also some disabilities associated with musculoskeletal disease. however, it has not been studied prospectively in musculoskeletal trauma patients.18 this study found a long-standing relationship between the level of joint stiffness and the duration of physiotherapy that showed a value of -0.721. the result interpreted that there was a profound relationship in the direction of the opposite correlation. it indicates that the longer the physiotherapy is, the lower the level of joint stiffness will be. the value will be significant if it shows p<0.05. meanwhile, the results of the data are p=0.005, indicating that the value of the relationship between the duration of physiotherapy and the level of joint stiffness is significant. the result is in line with the research by diong et al. (2016),19 stating that structured exercise produces small improvements in overall mobility after hip fractures. moreover, the research by bruder et al. (2013),20 also stated that interventions carried out by physiotherapists in the rehabilitation of distal radial fractures mainly focus on disorders, including a range of movement, weight training, and mobilization of passive joints to increase range of movement.18,20 conclusion there was no relationship between anxiety and the level of joint stiffness in colles fracture patients. references 1. duncan scott f. m., weiland j. andrew. hand surgery, 1st edition. usa: lippincot and williams; 2004. 2. chung, k. c., & spilson, s. v. the frequency and epidemiology of hand and forearm fractures in the united states. the journal of hand surgery, 2001; 26(5): 908-915. 3. nellans, k. w., kowalski, e., & chung, k. c. the | 31 epidemiology of distal radius fractures. hand clinics, 2012; 28(2): 113-125. 4. turner, r. g., faber, k. j., & athwal, g. s. complications of distal radius fractures. hand clinics, 2010; 26(1): 85-96. 5. furwanti, e., 2014. gambaran tingkat kecemasan pasien di instalasi gawat darurat (igd) rsud panembahan senopati bantul. naskah publ. univ. muhammadiyah yogyakarta. 6. hawari, d. al quran ilmu kedokteran jiwa dan kesehatan jiwa (edisi ketiga). yogyakarta: pt. dana bhakti prima yasa. 2004. 7. lutfa, u. dan maliya, a. faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan pasien dalam tindakan kemoterapi di rumah sakit dr. moewardi surakarta. berita ilmu keperawatan, 2008; 1 (4): 187-192. 8. kusumarjathi, n.k. tingkat kecemasan pasien pra operasi apendiktomi di ruang bima rsud sanjiwani gianyar. gempar: jurnal ilmiah keperawatan. 2009; 2(1). 9. woodrow, p. (2011). intensive care nursing: a framework for practice. new york: routledge. 10. thakral, r., johnson, a. j., specht, s. c., conway, j. d., issa, k., mont, m. a., & herzenberg, j. e. limb-length discrepancy after total hip arthroplasty: novel treatment and proposed algorithm for care. orthopedics, 2014; 37 (2): 101-106. 11. jørgensen, a. e. m., kjær, m., & heinemeier, k. m. the effect of aging and mechanical loading on the metabolism of articular cartilage. the journal of rheumatology, 2017; 44 (4): 410-417. 12. erkadius, e. faktor-faktor yang mempengaruhi kontraktur sendi lutut pada penanganan fraktur femur secara operatif dan non operatif di rs. m. djamil padang. jurnal kesehatan andalas, 2013; 2 (1): 29-33. 13. noastuti, p. penatalaksanaan fisioterapi pada kondisi stiffness elbow post reposisi dislokasi elbow sinistra di rs. panembahan senopati bantul (doctoral dissertation, universitas muhammadiyah surakarta). 2013. 14. golkari, s., teunis, t., ring, d., vranceanu, a.m. changes in depression, health anxiety, and pain catastrophizing between enrollment and 1 month after a radius fracture. psychosomatics, 2015; 56 (6): 652–657. 15. marshall pwm, schabrun s, knox mf. physical activity and the mediating effect of fear, depression, anxiety, and catastrophizing on pain related disability in people with chronic low back pain. plos one. 2017; 12 (7): e0180788. 16. vranceanu, a. m., talaei‐khoei, m., fischerauer, s. f., lee, s. g., & ring, d. pain catastrophizing mediates the effect of psychological inflexibility on pain intensity and upper extremity physical function in patients with upper extremity illness. pain practice, 2017; 17 (1): 129-140. 17. vranceanu, a. m., bachoura, a., weening, a., vrahas, m., smith, r. m., & ring, d. psychological factors predict disability and pain intensity after skeletal trauma. jbjs, 2014; 96 (30): e20. 18. tremayne, a., taylor, n., mcburney, h., & baskus, k. correlation of impairment and activity limitation after wrist fracture. physiotherapy research international, 2002; 7 (2): 90-99. 19. diong, j., allen, n., & sherrington, c. structured exercise improves mobility after hip fracture: a meta-analysis with meta-regression. british journal of sports medicine, 2016; 50 (6): 346-355. 20. bruder, a. m., taylor, n. f., dodd, k. j., & shields, n. physiotherapy intervention practice patterns used in rehabilitation after distal radial fracture. physiotherapy, 2013; 99 (3): 233-240 21. lichtman, d. m., bindra, r. r., boyer, m. i., putnam, m. d., ring, d., slutsky, d. j., ... & turkelson, c. m. (2010). treatment of distal radius fractures. jaaos-journal of the american academy of orthopaedic surgeons, 18(3), 180-189. 22. stephenson, w.h., 1951. some complications of colles’ fracture and their treatment. postgrad. med. j. 1951; 27 (314): 627–632. 116 tri wulandari kesetyaningsih, dkk., pengetahuan tentang penyakit menular seksual, sikap pengetahuan tentang penyakit menular seksual, sikap dan perilaku seks bebas pada siswa sekolah menengah atas islam dan umum di yogyakarta knowledge of sexually transmitted diseases, attitudes toward free sex and free sex behavior in islamic and general high school students in yogyakarta tri wulandari kesetyaningsih,1* ana majdawati,2 sri sundari1 1 bagian parasitologi, fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta 2bagian radiologi fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta *email: kesetyaningsih@umy.ac.id abstrak penyakit menular seksual/pms berkaitan dengan perilaku seksual tidak sehat. siswa sma berusia remaja, memiliki dorongan seksual tinggi. islam mengatur perilaku seksual dalam kitab suci. kurikulum pendidikan agama di sma islam lebih banyak. penelitian ini bertujuan untuk mengungkap perbedaan pengetahuan, sikap dan perilaku seksual antara siswa sma islam dan umum. penelitian ini bersifat survei analitik dengan subyek siswa sma sebanyak 288 orang. skor pengetahuan, sikap dan perilaku diperoleh dari kuesioner dan dianalisis dengan anova untuk mengetahui perbedaan variabel diantara siswa. hasil menunjukkan skor pengetahuan: islam putri 64,56; umum 60,02; islam putra 55,73). ada perbedaan pengetahuan diantara siswa (p= 0,008) tetapi antara islam putra-umum tidak berbeda. sikap: skor islam putri 98,75; umum 93,50; islam putra 92,82. ada perbedaan sikap diantara siswa (p=0,002); tetapi antara islam putra-umum tidak berbeda (p=0,072). perilaku: 13-45% siswa memiliki pacar; 0-2% melakukan koitus (umum 2%, islam putra 1,1%, islam putri 0%). disimpulkan bahwa pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, sikap dan perilaku siswa sma islam putri lebih baik daripada siswa sma umum dan siswa sma islam putra. siswa sma umum lebih banyak berperilaku seksual tidak sehat daripada siswa sma islam putra maupun putri. kata kunci: pengetahuan, sikap, perilaku seksual remaja, pms, islam abstract sexually transmitted diseases are associated with unhealthy sexual behavior. high school (sma) students are teenagers which have a high sex drive. islam regulates sexual behavior in the scriptures. religious education in islamic sma is more than in general. this study aims to reveal differences in knowledge, attitudes and sexual behavior between islamic and general high school students. this research is an analytic survey with the subjects of 288 high school students. score of knowledge, attitude and behavior obtained from questionnaire and analyzed by anova to know the difference of variables among students. the knowledge’s scores are: islamic female 64.56; general 60.02; islamic male 55.73). there is differs among students (p = 0.008) but islamic male-general is no different. attitude’s score are: islamic female 98.75; general 93.50; islamic male 92.82. there is differs among students (p = 0.002) but islamic male-general is no different (p = 0.072). behavior: 13-45% of students have boy/girlfriends; 0-2% did coitus (general 2%, islamic male 1.1% and islamic female 0%). it was concluded that knowledge about reproductive health, attitudes and behavior of female high school students of islam is better than general high school students and high school students of islam. students from general high schools are more sexually unhealthy than male and female students from islamic high school. key words: knowledge, attitude, adolescent sexual behavior, std, islam artikel penelitian mutiara medika vol. 15 no. 2: 116-123, mei 2015 117 mutiara medika vol. 15 no. 2: 116-123, mei 2015 pendahuluan penyakit menular seksual merupakan penyakit yang penularannya melalui hubungan seksual. kejadiannya berkaitan dengan perilaku seksual yang tidak sehat dan tidak bertanggung jawab, seperti seks bebas.1 siswa sekolah menengah atas (sma) rata-rata berusia remaja, yaitu usia yang mulai memiliki kesadaran dan dorongan melakukan aktivitas seksual yang mulai meningkat.1 hal ini menyebabkan siswa sma menjadi golongan yang rentan terkena penyakit ini apabila tidak dilakukan pencegahan. angka dari sdki tahun 2012 menunjukkan bahwa hanya 15% remaja yang tidak pernah memiliki pacar, bahkan 25% remaja telah mulai berpacaran pada usia 12 tahun. memiliki pacar merupakan faktor yang paling mempengaruhi perilaku seksual pranikah (3x lebih besar), dan alasan utama melakukan hubungan seksual pranikah adalah rasa ingin tahu (54%).2 tidak ada satupun agama di dunia yang menghalalkan hubungan seksual di luar pernikahan. dalam islam, masalah perilaku seksual yang sehat telah diatur baik dalam al-qur’an maupun al-hadits. di antaranya dalam qs al israa’: 32 “dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang amat buruk”; hukum-hukum mengenai pergaulan antara laki-laki dan wanita yang bukan ‘mahrom’ (qs an nuur: 30-33); hukum-hukum tentang pergaulan dan perzinahan (qs an nuur: 1-3) dan masih banyak peraturan tentang hubungan laki-laki dengan wanita dan akibatnya baik di dunia maupun di akhirat. sekolah menengah atas islam merupakan lembaga pendidikan bertujuan untuk memberikan pendidikan, pendalaman dan penghayatan nilai-nilai islam, dan penguasaan dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mempersiapkan kader-kader generasi yang berkualitas dan memiliki bekal ilmu agama yang memadai. kurikulum pendidikan di sma islam berdasarkan kurikulum madrasah aliyah (ma) ditambah muatan lokal. kurikulum untuk ma memiliki beban ilmu agama lebih banyak daripada sma umum, yaitu al qur’an, hadits, akidah, akhlak, fikih.3 dengan mempelajari ilmu agama yang lebih, diharapkan siswa ma ataupun sma islam memiliki pemahaman tentang hukum-hukum islam termasuk yang mengatur hubungan laki-laki dengan wanita sehingga memiliki sikap dan perilaku seksual yang lebih baik daripada siswa sma umum. perilaku seksual yang sehat dapat mencegah pms. penelitian ini bertujuan untuk mengungkap perbedaan pengetahuan, sikap dan perilaku yang berkaitan dengan penyakit menular seksual antara siswa sma umum dengan sma islam. diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai pengetahuan, sikap dan perilaku remaja khususnya siswa sma baik yang bermuatan islam maupun yang umum. bahan dan cara penelitian ini bersifat non eksperimental, berupa survai analitik. subyek penelitian adalah siswa kelas 2 sekolah setara sma islam putra dan sma islam putri di yogyakarta mewakili siswa yang mendapatkan pendidikan agama secara formal lebih banyak dan siswa kelas 2 sma umum di yogyakarta mewakili siswa yang mendapatkan pendidikan agama secara formal standar. variabel bebas penelitian ini adalah sma umum dan sma islam putra dan putri, sedangkan variabel tergantungnya adalah pengetahuan, sikap dan perilaku yang berkaitan dengan penyakit menular 118 tri wulandari kesetyaningsih, dkk., pengetahuan tentang penyakit menular seksual, sikap seksual. adapun variabel pengganggu yang diambil sebagai data tambahan adalah pendidikan formal orang tua dan nilai rapor semester terakhir siswa. data skor pengetahuan, sikap dan perilaku didapatkan dari kuesioner yang dalam pengisiannya dilakukan secara tertutup dan dipandu oleh peneliti. data berupa skor pengetahuan, sikap dan perilaku dari kuesioner dianalisis dengan anova untuk menguji signifikansi perbedaan antar kelompok siswa yang diteliti. signifikansi hubungan antara variabel pengganggu dengan variabel tergantung diuji dengan chi-squares. hasil pengetahuan. penelitian ini dilakukan bulan maret 2004, berhasil mengumpulkan 288 responden, masing-masing secara berurutan 100 responden dari sma umum, 100 responden dari sma islam putri dan 88 responden dari sma islam putra. berdasarkan kuesioner, diperoleh data skor pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan penyakit menular seksual (tabel 1). skor pengetahuan dalam penelitian ini dikelompokkan dalam 3 kategori yaitu rendah (0-33), sedang (33,1-66,0), dan tinggi (66,1-100). hasil kategori disajikan pada tabel 2. sikap. penilaian terhadap sikap remaja pada penelitian ini masih sangat terbatas. sikap remaja digambarkan dalam bentuk pandangan responden terhadap beberapa masalah mengenai perilaku seksual yang berkaitan dengan norma agama dan sosial. data ditampilkan pada tabel 3. tabel 1. rata-rata skor pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan penyakit menular seksual pada siswa sekolah menengah atas kategori sekolah n rata-rata skor pengetahuan (± sd) sma islam putra 88 55,73 (± 18,21) sma islam putri 100 64,56 (± 16,43) sma umum 100 60,02 (± 17,75) total 288 60,44 (± 17,72) tabel 2. kategori skor pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan penyakit menular seksual pada siswa sekolah menengah atas kategori skor pengetahuan jenis sekolah mualimin mualimat sma umum rendah (0-33) 13,6% 7% 8% sedang (33,1-66,0) 60,2% 46,0% 62,0% tinggi (66,1-100) 26,1% 47,0% 30,0% tabel 3. persen tase pen dapat si swa seko lah menengah atas mengen ai p eril aku seksual dan meto de penyampaian informasi tentang pengetahuan seksual dan penyakit menular seksual hal jenis sekolah (%) mualimin mualimat sma umum total s ts tt s ts tt s ts tt s ts tt perilaku seksual pembenaran seks dalam ikatan pernikahan 98,9 0 1,1 100 0 0 99 1,0 0 99,3 0,3 0,3 pembenaran seks di luar nikah asal dengan satu pasangan dan jenis kelamin berbeda 6,8 90,9 2,3 0 100 0 10 89 1 5,6 93,4 1 pembenaran seks di luar nikah asal menggunakan kondom 6,8 92 1,1 2 98 0 12 86 2 6,9 92,0 1 metode penyampaian informasi pendidikan formal di sekolah 91,96 8,04 0 94 6 0 97 3 0 94,92 5,68 0 perlu bimbingan orang tua 88,5 11,5 0 98 2 0 83 7 0 89,83 6,83 0 cukup melalui media 21,8 78,2 0 8 82 0 12 88 0 13,9 82,7 0 s: setuju; ts: tidak setuju; tt: tidak tahu 119 mutiara medika vol. 15 no. 2: 116-123, mei 2015 pandangan responden tersebut di atas kemudian diskor agar dapat di analisis secara statistik. masing-masing item diberi skor 25 jika pendapatnya sesuai dengan norma agama dan norma sosial, dan diberi skor 0 jika pendapatnya tidak sesuai dengan norma agama dan sosial. dalam segmen ini, tidak ada responden yang menjawab tidak tahu. dalam penelitian ini juga digali mengenai pendapat remaja siswa sekolah menengah atas mengenai system penyampaian informasi tentang pengetahuan seksual dan penyakit menular yang mereka kehendaki. perilaku. eksplorasi data perilaku yang berkaitan dengan risiko penyakit menular seksual yang dilakukan juga masih sangat terbatas. dari beberapa pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner didapatkan gambaran perilaku seksual remaja khususnya siswa sekolah menengah atas sebagaimana ditampilkan pada tabel 4. data tambahan yang mungkin dapat mendukung adalah nilai rata-rata akademik terakhir, pendidikan orang tua dan jenis kelamin responden, diambil untuk melengkapi data pokok. diskusi pengetahuan. tabel 1. menggambarkan bahwa rata-rata skor pengetahuan siswa sma tentang kesehatan reproduksi dan penyakit menular seksual adalah 60,44 (kategori sedang). skor rata-rata dari tertinggi ke terendah secara berturut-turut adalah sma islam putri (64,56), sma umum (60,02) dan sma islam putra (55,73). hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan remaja khususnya siswa sekolah menengah atas bertingkat sedang (62%) mengenai kesehatan reproduksi dan penyakit menular seksual. hasil ini sedikit lebih rendah daripada penelitian yang dilakukan oleh ramly bandy, et al (1990), cit. media (1995),4 yang mengatakan rata-rata pengetahuan mengenai seksualitas di kalangan pelajar sma di yogyakarta sebesar 74,2% dan hampir sama dengan pelajar di dki jakarta (67,2%). penelitian yang sama di kalangan mahasiswa menunjukkan 91% mahasiswa mempunyai pengetahuan kategori tinggi dan ada hubungan negatif (p=0,002) dengan perilaku seksual pranikah. hubungan negatif berarti semakin tinggi pengetahuan tentang seksual maka semakin rendah perilaku seksual pranikah.5 menurut bhramitasari et al. (2011),6 mahasiswa fakultas kedokteran memiliki pengetahuan kesehatan reproduksi lebih tinggi secara bermakna daripada mahasiswa sosial politik. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan tentang kesehatan reproduksi pada kalangan pelajar sma penting ditingkatkan untuk mencegah terjadinya perilaku seks di luar pernikahan yang pada ujungnya adalah mencegah penyakit menular seksual di kalangan remaja. analisis statistik dengan anova menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan skor pengetahuan tabel 4. perilaku seksual siswa sekolah menengah atas yang berkaitan dengan risiko penyakit menular seksual hal jenis sekolah sma islam pria sma islam wanita sma umum kepemilikan pacar 29,5% 13% 45% perilaku seksual tingkat 1 *) 11,4% 2% 27% perilaku seksual tingkat 2 *) 4,6% 1% 15% perilaku seksual tingkat 3 *) 1,1% 0% 2% perilaku seksual tingkat 3a *) 0% 0% 2% perilaku seksual tingkat 4 *) 0% 0% 2% merasa terkena pms 0% 0% 0% 120 tri wulandari kesetyaningsih, dkk., pengetahuan tentang penyakit menular seksual, sikap di antara tiga kelompok sekolah (p= 0,008) dan uji post hoc menggunakan lsd (least significant difference) menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan skor pengetahuan antara siswa sma islam putri dengan siswa sma islam putra, tetapi tidak ada perbedaan signifikan antara kedua sma islam (putra dan putri) dengan sma umum. hal ini secara umum menggambarkan bahwa tidak ada perbedaan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi antara siswa sma islam dengan sma umum. rendahnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi pada siswa sma islam putra sama halnya dengan hasil survei yang dilakukan oleh situmorang (2003),7 dan skrri (2007) cit supardi et al. (2011).8 menurut supardi et al. (2011),8 rendahnya pengetahuan kesehatan reproduksi pada remaja putra kemungkinan karena mereka enggan menanyakan kepada orang tua atau guru dan media daripada remaja putri, tetapi lebih banyak mendapatkan informasi dari teman sebaya. menurut lestary dan sugiharti (2011),9 remaja putra berisiko 5 kali lebih besar melakukan hubungan seksual di luar nikah daripada remaja putri. hal ini menunjukkan bahwa informasi dari teman sebaya akan merugikan remaja itu sendiri karena kemungkinan bukan informasi yang benar. dengan demikian memberikan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi kepada remaja putra sangat penting dilakukan untuk mencegah perilaku seks yang tidak sehat. penelitian ini tidak membedakan jenis kelamin siswa sma umum. data tambahan berupa nilai rata-rata akademik semester terakhir dan pendidikan orang tua dikorelasikan dengan skor pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan penyakit menular seksual dengan chi squares. hasil analisis menunjukkan tidak ada korelasi antara nilai rata-rata akademik dengan skor pengetahuan tentang kesehatan dan penyakit menular seksual (p=0.098). hal ini kemungkinan karena kesehatan reproduksi merupakan ilmu pengetahuan umum yang dapat diperoleh dari banyak sumber dan juga menunjukkan bahwa untuk memahami pengetahuan ini tidak diperlukan kemampuan akademik. hubungan antara tingkat pendidikan orang tua dengan skor pengetahuan siswa tentang kesehatan reproduksi juga tidak berbeda signifikan (pendidikan ayah p=0,494; pendidikan ibu p=0,754). hal ini memperkuat pendapat bahwa pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dapat diperoleh dari berbagai sumber tidak hanya dari orang tua dan bukan pengetahuan yang membutuhkan kemampuan akademik tertentu untuk memahami. menurut skrri (2007) cit. supardi et al. (2011),8 beberapa sumber informasi tentang kesehatan reproduksi selain orang tua yang banyak menjadi rujukan remaja adalah teman, guru, saudara kandung dan media cetak (buku/majalah/surat kabar). sikap. sikap yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pendapat responden terhadap beberapa masalah yang berkaitan dengan perilaku seksual yang tidak sesuai dengan norma agama dan norma sosial. tabel 3. menunjukkan bahwa skor sikap tertinggi adalah siswa sma islam putri (98,75), diikuti sma umum (93,50) dan terendah adalah siswa sma islam putra (92,82). uji statistik menggunakan anova menunjukkan perbedaan yang signifikan di antara ketiga kelompok (p=0,002) dan uji post hoc dengan lsd menunjukkan ada perbedaan signifikan skor sikap antara siswa sma islam putri dengan siswa sma islam putra (p= 0,002) dan sma umum (p=0,004). tidak ada perbedaan signifikan skor sikap 121 mutiara medika vol. 15 no. 2: 116-123, mei 2015 antara siswa sma islam putra dengan siswa sma umum (p=0,072). hal yang cukup menarik untuk disimak adalah adanya perbedaan hasil uji statistik antara skor pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan penyakit menular seksual dengan skor sikap terhadap perilaku seksual di antara ketiga sekolah. skor pengetahuan siswa sma umum tidak berbeda bermakna dengan siswa sma islam putri, tetapi hal tersebut tidak diikuti dengan signifikansi perbedaan sikap diantara keduanya. secara tidak langsung hal ini menunjukkan bahwa skor pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan penyakit menular seksual pada siswa sma umum tidak diikuti dengan skor sikap terhadap perilaku seksual yang konsisten. beberapa penelitian lain menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan tentang seksualitas dengan sikap terhadap perilaku seksual tidak sehat termasuk melakukan aktivitas seks pra nikah.10, 11 pengetahuan merupakan faktor penting untuk terjadi perubahan sikap seseorang, karena sikap seseorang akan terbentuk melalui proses tahu terlebih dahulu.12 namun menurut knauper et al. (2007),13 terbentuknya sikap tidak hanya melibatkan aspek kognitif saja tetapi juga melibatkan motivasi, emosi dan persepsi. dengan demikian, ketidak konsistenan antara pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan penyakit menular seksual dengan sikap terhadap perilaku seksual pada siswa sma umum kemungkinan menunjukkan bahwa aspek kognitif saja belum mampu membentuk persepsi, motivasi dan emosi untuk mendukung terbentuknya sikap yang konsisten. tabel 3. menunjukkan bahwa secara garis besar dapat ditangkap bahwa mayoritas responden siswa sma setuju bahwa pendidikan seksual diberikan secara formal di sekolah (94,92%) dan perlunya keterlibatan orang tua dalam pendidikan seksual (89,83%). sebagian besar siswa menyatakan tidak setuju apabila pengetahuan tentang seksualitas dan penyakit menular seksual hanya didapatkan melalui media masa baik cetak maupun elektronik. hal yang menarik mengenai pandangan siswa terhadap sistem informasi tentang kesehatan reproduksi dan penyakit menular seksual yang diinginkan adalah bahwa siswa sma islam paling banyak setuju dan merasa cukup mendapatkan informasi dari media massa (21,8%) dan paling banyak tidak setuju adanya bimbingan orang tua dalam pendidikan seksual (11,5%). apabila persentase siswa dengan pendapat ini dihubungkan dengan skor pengetahuan, sikap terhadap perilaku seksual remaja putra, mungkin dapat diajukan perkiraan bahwa informasi tentang kesehatan reproduksi dan penyakit menular seksual dari media massa belum memberikan skor pengetahuan dan sikap yang baik kepada pembaca, khususnya siswa sma, namun hal ini masih harus dibuktikan lebih lanjut. perilaku. tabel 4. menunjukkan bahwa 13-45% responden mempunyai pacar dengan 0-2% diantaranya berperilaku seksual dari tingkat 1 sampai tingkat 4 menurut kategori yang ditentukan oleh peneliti. dari ketiga jenis sekolah, sma umum paling banyak berperilaku seksual berisiko penularan penyakit menular seksual kategori 3 (coitus) yaitu sebanyak 2%, disusul siswa sma islam putra (1,1%) dan tidak siswa sma islam putri yang melakukan (0%). data ini menunjukkan bahwa remaja putra lebih banyak kemungkinan berperilaku seksual yang tidak sehat daripada remaja putri. selain itu juga menunjukkan 122 tri wulandari kesetyaningsih, dkk., pengetahuan tentang penyakit menular seksual, sikap bahwa kemungkinan muatan pelajaran agama di sma islam cukup berpengaruh pada perilaku siswanya, terutama siswa putri. ada beberapa alasan remaja melakukan hubungan seks di luar pernikahan pada remaja, antara lain rasa ingin tahu (40,8%), terjadi begitu saja (28%), pengaruh teman (6,2%) dan alasan lain (25%).8 diperlukan penelitian lebih lanjut dan mendalam untuk dapat mengungkap peranan pelajaran agama di sekolah terhadap pencegahan perilaku seksual tidak sehat di kalangan pelajar sma. simpulan disimpulkan bahwa pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, sikap dan perilaku siswa sma islam putri lebih baik daripada siswa sma umum dan siswa sma islam putra. siswa sma umum lebih banyak berperilaku seksual tidak sehat daripada siswa sma islam putra dan putri. tidak ada hubungan signifikan antara nilai ratarata akademik dan tingkat pendidikan orang tua dengan skor pengetahuan tentang kesehatan reproduksi siswa. daftar pustaka 1. sedyaningsih, er., firdous, u., yatim, f., marjorie, d. dan hollybul, m. prevalensi infeksi menular seksual, faktor risiko dan perilaku di kalangan anak jalanan yang dibina lembaga swadaya masyarakat di jakarta, tahun 2000. penel. kesehatan, 2000; 33 (3): 99-1 10 2. verawati. peran pik remaja menghadapi tingginya trend pacaran dan pengalaman seksual remaja. 2013. diakses april 2014 dari http://sulbar.bkkbn.go.id/viewartikel.aspx? artikelid=134 3. dirjen pendidikan madrasah kemenag ri. silabus dan buku mata pelajaran pai dan bahasa arab kurikulum 2013. 2013. diakses 3 mei 2015 dari http://madrasah.kemenag.go.id/ bahan_pembelajaran.php 4. media,y. pengetahuan, sikap dan perilaku remaja tentang kesehatan reproduksi. media litbangkes, 1995; v (02). 5. ginoni, f.h. hubungan pengetahuan tentang seks dengan intensitas perilaku seksual pranikah pada remaja di organisasi ikatan pelajar mahasiswa maluku utara malang (ipmamum). tugas akhir fakultas psikologi uin malang. 1012. diakses 3 april 2014 dari http:// lib.uin-malang.ac.id/?m od=th_detail &id= 07410048 6. bhramitasari, w., dewantiningrum, j. dan nuggetsiana, a. perbedaan tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi pada remaja mahasiswa fakultas kedokteran dan fakultas ilmu sosial dan ilmu politik universitas diponegoro. program pendidikan sarjana kedokteran fakultas kedokteran, univ ersitas diponegoro, semarang. 2011. 7. situmorang, a. adolescent reproductive health in indonesia. jakarta. 2003. 8. supardi, a., fauzi, y. dan chandra. pengetahuan kesehatan reproduksi remaja pria di provinsi bengkulu rendah. 2011. diakses 2 april 2015 dari https://balatbangbengkulu.files. wordpress.com/2011/02/pbremaja_okey_.pdf 9. lestary, h. dan sugiharti. perilaku berisiko remaja di indonesia menurut survey kesehatan reproduksi remaja indonesia (skkri) tahun 2007. jurnal kesehatan reproduksi, 2011; 1 (3): 136-144. 123 mutiara medika vol. 15 no. 2: 116-123, mei 2015 10. kusumastuti, fad., hubungan antara pengetahuan dengan sikap seksual pranikah remaja. kti. program studi div kebidanan fakultas kedokteran uni v ersi tas sebelas maret, surakarta. 2010. 11. maolinda n., sriati, a. dan maryadi, i. hubungan pengetahuan dengan sikap siswa terhadap pendidikan kesehatan reproduksi remaja di sman margahayu. fik universitas padjajaran, bandung. 2012. 12. suryani, n., rahayuwati,l. dan kosasih, c. hubungan antara pengetahuan tentang pencegahan hiv-aids dengan sikap remaja terhadap pencegahan hiv/aids di smu pasundan bandung. jurnal keperawatan universitas padjajaran, 2006; 8 (xiv). 13. knauper, b., schwarz, n., park, d. and fritsch, a. the perils of interpreting age differences in attitude reports: question order effects decrease with age. journal of ofûcial statistics, 2007; 23 (4): 515–528. 0 daftar isi.p65 yuli sulistiyowati, agnes sri siswati, uji potensi antibakteri sodium ascorbyl phosphate ... 8 uji potensi antibakteri sodium ascorbyl phosphate terhadap propionibacterium acnes in vitro antibacterial potency testing of sodium ascorbyl phosphate against propionibacterium acnes in vitro yuli sulistiyowati1, agnes sri siswati2 1bagian ilmu kesehatan kulit dan kelamin fakultas kedokteran universitas islam indonesia, 2bagian ilmu kesehatan kulit dan kelamin fakultas kedokteran universitas gadjah mada/rsup dr. sardjito yogyakarta email: yulisulis@yahoo.com abstrak akne vulgaris adalah gangguan pada unit pilosebaseus yang sering terjadi pada dewasa muda. propionibacterium acnes adalah bakteri anaerob yang merupakan flora folikel dan berperan penting dalam patogenesis akne. sodium ascorbyl phosphate (sap) merupakan bentuk phosphate ester ascorbic acid yang mudah diserap oleh kulit, sehingga sering digunakan dalam produk kosmetik baik sebagai senyawa tunggal maupun campuran. apabila senyawa ini terbukti mempunyai pengaruh terhadap jumlah koloni p. acnes, maka sap dapat digunakan sebagai salah satu obat alternatif antiakne. tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kadar minimal sap yang dapat menghambat pertumbuhan p. acnes invitro. penelitian dilakukan secara eksperimental lab dengan bahan uji sap yang dibuat dalam konsentrasi 0,5%, 1%, 1,5%, 2%, 2,5 %, 3%, 3,5%, 4%, 4,5 % kadar hambat minimal sap terhadap p. acnes dengan metode dilusi cair. penelitian ini dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali. p. acnes cair di dapatkan dari laboratorium mikrobiologi fk ugm. hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar hambat minimal sap terhadap propionibacterium acnes adalah 2,5 % b/v. dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sap memiliki potensi antibakteri terhadap propionibacterium acnes. kata kunci: akne vulgaris, propionibacterium acnes, sodium ascorbyl phosphate, kadar hambat minimal abstract acne vulgaris, a disorder of the pilosebaceous unit, is seen primarily in adolescents and can arise when an adolescent incurs psychological pressures. propionibacterium acnes, the predominant organism in the follicular flora, is an anaerobic pleomorphic diphtheroid. p acnes has an important role in the pathogenesis of acne. sodium ascorbyl phosphate (sap) is a phosphate ester of ascorbic acid and is easily absorbed by the human skin. sap had been used as an active ingredients in cosmetic products. if it were proved have an antibacterial effect against p. acnes, it could be used as one of the constituents of alternative anti-acne therapy.the aim of this research to determine the minimal inhibitory concentration of sodium ascorbyl phosphate against p. acnes in vitro.this was experimental research with many different concentrations (0,5%, 1%, 1,5%, 2%, 2,5 %, 3%, 3,5%, 4%, 4,5 %) of sodium ascorbyl phosphate were tested against p. acnes with the macro broth dilution method to determine the minimal inhibitory concentration. this study repeated three times. p. acnes was taken from the mycrobiology laboratory in the faculty of medicine of university of gadjah mada. the results of this study the minimal inhibitory concentration of sodium ascorbyl phosphate against p acnes was a concentration of 2,5 % . so it can concluded sap has antibacterial activity against p.acnes. key words: acne vulgaris, propionibacterium acnes, sodium ascorbyl phosphate, minimal inhibitory concentration artikel penelitian mutiara medika vol. 11 no. 1: 8-13, januari 2011 9 pendahuluan akne adalah gangguan pada unit pilosebaseus yang sering terjadi pada dewasa muda dan menimbulkan masalah psikologis pada pasien. akne sebenarnya dapat sembuh sendiri (self limited), namun bila tidak dirawat dengan benar, dapat terjadi infeksi yang akan menimbulkan scar permanen pada wajah.1 patogenesis akne merupakan interaksi antara beberapa faktor yaitu: produksi sebum oleh glandula sebacea, kolonisasi p. acnes pada folikel rambut, hiperkeratinisasi folikular, dan pelepasan mediator-mediator inflamasi di kulit. akne tidak dapat terjadi tanpa sebum yang merupakan sumber nutrisi bagi p. acnes.1,2 propionibacterium acnes merupakan organisme utama pada flora folikel, berupa difetrioid pleomorfik anaerob. p. acnes penting dalam patogenesis akne karena merupakan penghasil enzim lipase folikular, protease, dan hyaluronidase yang memacu timbulnya inflamasi.3 terapi akne ditujukan pada beberapa faktor penyebab di atas, salah satunya adalah antibiotik. penggunaan antibiotik secara luas dapat meningkatkan timbulnya resistensi terhadap p. acnes sehingga perlu dipikirkan mencari zat lain yang efektif membunuh p. acnes. vitamin c dalam bentuk derivatnya yang paling stabil yaitu sodium ascorbyl phosphate memiliki sifat antibakteri dan telah dibuktikan dapat membunuh p. acnes pada konsentrasi 1 % setelah pemaparan selama 8 jam dengan metode time kill study.4 hal ini dapat memberikan harapan baru sebagai pengganti antibiotik, mengingat selama ini vitamin c sering dijadikan bahan campuran kosmetik hanya sebagai pencerah kulit. sodium ascorbyl phosphate (sap) adalah provitamin c (ascorbic acid) yang stabil. pengertian stabil di sini adalah tidak mudah teroksidasi yang tampak dari perubahan warna menjadi coklat.5 ascorbic acid (vitamin c) sudah lama dikenal sebagai salah satu vitamin untuk melindungi kulit. vitamin c intrinsik mudah hilang pada saat kulit terpapar sinar matahari dan stressor eksternal lain di antaranya adalah merokok. sap merupakan bentuk phosphate ester ascorbic acid, esterifikasi ascorbic acid pada posisi 2 melindungi dari reaksi oksidasi. sap berbentuk serbuk putih yang mudah larut dalam air, dan stabil pada ph 7-8. sap paling mudah diserap oleh kulit dibandingkan dengan derivat vitamin c lainnya. sap sering digunakan dalam produk kosmetik dan telah diketahui memiliki kegunaan untuk anti aging dengan menghambat perkembangan radikal bebas dan pencerah kulit dengan menghambat pembentukan melanin. hasil penelitian menunjukkan bahwa emulsi 1% sap mampu menghambat oksidasi sebum sebanyak 30% dan mampu menurunkan jumlah koloni p. acnes setelah diaplikasikan beberapa jam4 dan kombinasi 1% sap dengan vitamin e acetate mampu menghambat oksidasi sebum sebesar 40%. seperti kita ketahui bahwa oksidasi sebum merupakan salah satu faktor dalam proses inflamasi dan keratinisasi folikular sehingga sap dapat digunakan sebagai terapi akne vulgaris.5 sap telah diketahui memiliki efek antibakteri6,7 di antaranya terhadap s. epidermidis dan s. areus serta propionibacterium acnes4. untuk membuktikan potensi antibakteri sap maka dilakukan penelitian untuk mengetahui kadar hambat minimal sap terhadap p. acnes. penelitian kadar hambat miniyuli sulistiyowati, agnes sri siswati, uji potensi antibakteri sodium ascorbyl phosphate ... 10 mal sap terhadap p. acnes dengan metode dilusi cair belum pernah dilakukan. bahan dan cara desain penelitian adalah penelitian eksperimental laboratorium untuk menentukan konsentrasi minimal sap yang dapat menghambat pertumbuhan propionibacterium acnes. bahan uji yang digunakan dalam penelitian adalah sodium ascorbyl phosphate pada beberapa konsentrasi yaitu 0,5%, 1%, 1,5%, 2%, 2.5%, 3%, 3,5%, 4%, 4.5%. p acnes strain standar diperoleh dari laboratorium mikrobiologi fk ugm. kadar hambat minimal didapatkan dengan metode dilusi cair. prinsip metode dilusi cair adalah pengenceran serial bahan uji sehingga diperoleh beberapa konsentrasi. kemudian pada masing-masing konsentrasi bahan uji ditambah suspensi bakteri dalam media. cara pembuatan larutan sap adalah sebagai berikut: 1). serbuk sap dilarutkan dengan aquades untuk membuat konsentrasi sap 100 % b/v; 2). buat larutan sap dengan konsentrasi 1%, 2%, 3%, 4%, 5%, 6%, 7%, 8%, 9%. larutan dibuat 2 kali konsentrasi yang diinginkan karena, pada saat dicampur dengan 1ml bhi+bakteri konsentrasi akan menjadi setengahnya; 3).larutan dengan berbagai konsentrasi tersebut diambil masing-masing 1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. cara pembuatan suspensi bakteri adalah sebagai berikut: 1). bakteri ditanam pada media agar darah dan diinkubasikan pada 370 c selama 4 hari. selanjutnya bakteri ini akan digunakan untuk bahan uji; 2). untuk membuat suspensi bakteri diambil satu ose bakteri dan ditanam pada media bhi ds dan diencerkan dengan aquades hingga terjadi kekeruhan 108 cfu/ml sesuai standar macfarland; 3). dari suspensi bakteri tersebut diencerkan 1/200 dengan nacl fisiologis sehingga didapatkan kekeruhan 106 cfu/ml. jalannya penelitian adalah sebagai berikut: 1). pada tabung reaksi yang telah berisi 1 ml larutan sap berbagai konsentrasi masing-masing ditambahkan 1 ml suspensi bakteri; 2). kontrol positif dibuat dengan aquades ditambah suspensi bakteri (bhi ds +bakteri) dan kontrol negatif dibuat dengan aquades ditambah dengan bhi tanpa bakteri; 3). semua tabung reaksi ditutup dan dimasukkan dalam an aerobic jar untuk membuat suasana an aerob, kemudian diinkubasikan pada suhu 370 c selama 4 hari; 4). percobaan dilakukan pengulangan 3 kali. kadar hambat minimal ditentukan dengan melihat konsentrasi larutan yang mulai jernih dengan konsentrasi terendah. hasil kadar hambat minimal dari sap dari tiga kali ulangan didapatkan hasil 2,5 %. hasil uji antibakteri sap terhadap p. acnes dapat dilihat pada tabel 1. diskusi uji potensi antibakteri digunakan untuk menilai kemampuan suatu bahan dalam menghambat pertumbuhan bakteri secara in vitro. ada 2 metode yang digunakan dalam uji ini yaitu metode dilusi dan metode difusi. pada metode dilusi terdapat dua macam cara yaitu dilusi cair dan dilusi padat. prinsip metode dilusi cair adalah pengenceran terhadap bahan uji sehingga di peroleh beberapa konsentrasi, kemudian masing-masing konsentrasi bahan uji ditammutiara medika vol. 11 no. 1: 8-13, januari 2011 11 bah suspensi bakteri dalam media. metode dilusi padat, tiap konsentrasi bahan uji dicampur dengan media agar, lalu ditanami bakteri kemudian diinkubasi. pada metode ini yang diamati adalah ada tidaknya pertumbuhan bakteri, atau jika mungkin tingkat kesuburan dari pertumbuhan bakteri yaitu dengan cara menghitung jumlah koloninya. cara ini dapat digunakan untuk menentukan kadar hambat minimal (khm) ataupun kadar bunuh minimal (kbm). metode dilusi cair memiliki kelebihan yaitu terciptanya permukaan yang luas sehingga kontak antara bahan uji dan bakteri lebih tinggi, selain itu lebih ekonomis dan lebih mudah pelaksanaannya.9 kelemahannya dengan adanya serial pengenceran maka konsentrasi bahan uji yang diperoleh pada percobaan terbatas hanya pada konsentrasi tertentu saja, sehingga ada kemungkinan daya hambat bakteri sebenarnya dapat diperoleh pada konsentrasi yang lebih rendah. metode difusi. pada metode difusi yang diamati adalah daerah hambatan pertumbuhan bakteri yang disebabkan berdifusinya obat mulai dari titik awal pemberian obat ke daerah sekitarnya. besar kecilnya luas daerah hambatan pertumbuhan bakteri ini sebanding dengan jumlah atau kadar bahan uji yang diberikan. metode ini dilakukan dengan menanam bakteri pada media agar tertentu kemudian di atasnya dibuat sumuran lalu diisi bahan uji dan diinkubasi selama 4 hari (tergantung jenis bakterinya) kemudian dibaca hasilnya. dalam metode ini dikenal dua istilah yaitu zona radikal dan zona irradikal. zona radikal yaitu suatu daerah di sekitar sumuran yang sama sekali tidak ditemukan adanya pertumbuhan bakteri, sedangkan zona irradikal yaitu suatu daerah di sekitar sumuran di mana pertumbuhan bakteri dihambat oleh bahan uji tetapi tidak dimatikan. pada zona irradikal ini akan terlihat adanya pertumbuhan bakteri yang kurang subur atau lebih jarang dibandingkan daerah di luar pengaruh bahan uji tersebut. metode difusi padat sering digunakan untuk menguji potensi antibakteri suatu antibiotik yang dibandingkan dengan antibiotik standarnya yang telah diketahui luas zona radikalnya. dalam penelitian ini digunakan metode dilusi cair, karena larutan sap berwarna jernih sehingga langsung bisa dinilai kadar hambat minimalnya dan pelaksanaannya mudah serta ekonomis. tabel 1. hasil uji antibakteri sodium ascorbyl phosphate terhadap propionibacterium acnes no. tabung konsentrasi sap pertumbuhan p. acnes (ditandai dengan kekeruhan) percobaan i percobaan ii percobaan iii 1 0.5 % + (keruh) + (keruh) + (keruh) 2 1 % + (keruh) + (keruh) + (keruh) 3 1.5 % + (keruh) + (keruh) + (keruh) 4 2 % (jernih) (jernih) + (keruh) 5 2.5 % (jernih) (jernih) + (keruh) 6 3 % (jernih) (jernih) + (keruh) 7 3.5 % (jernih) (jernih) (jernih) 8 4 % (jernih) (jernih) (jernih) 9 4.5 % (jernih) -(jernih) (jernih) 10 kontrol positif + (keruh) +(keruh) + (keruh) 11 kontrol negatif (jernih) -(jernih) (jernih) keterangan : + (keruh) : ada pertumbuhan p. acnes (jernih) : tidak ada pertumbuhan p.acnes yuli sulistiyowati, agnes sri siswati, uji potensi antibakteri sodium ascorbyl phosphate ... 12 sap mampu menghambat p. acnes pada konsentrasi minimal 2,5%. hal ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh klock j et al. (2005)4 dengan hasil sap dapat mengurangi jumlah koloni bakteri setelah diaplikasikan selama 4 dan 8 jam pada konsentrasi 1% dengan metode time kill study. metode ini dilakukan dengan cara bakteri ditanam pada medium kemudian dimasukkan dalam alat untuk membuat suasana an aerob. sap dengan berbagai konsentrasi dimasukkan dalam kultur tersebut, kemudian pada waktu yang telah ditentukan dihitung jumlah koloninya.4 metode ini belum dapat dilakukan di laboratorium mikrobiologi ugm karena keterbatasan alat, sehingga dipilih metode dilusi cair untuk menentukan kadar hambat minimal sap pada penelitian ini. sap memiliki sifat antibakteri 4,5,6, mekanisme aktivitas antibakteri terhadap p. acnes adalah karena adanya phosphatase natural pada membran p. acnes. sifat antioksidatif vitamin c akan menghambat rantai respirasi bakteri. simpulan pada penelitian ini sodium ascorbyl phosphate menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap p. acnes secara in vitro yang ditunjukkan dengan kadar hambat minimal pada konsentrasi 2,5 %. diperlukan penelitian lebih lanjut yang dilakukan secara in vivo untuk mengetahui pengaruh sap terhadap p. acnes untuk terapi akne vulgaris. ucapan terimakasih sodium ascorbyl phosphate (stay c 50 ) pada penelitian ini disediakan oleh pt. ikapharmindo putra. daftar pustaka 1. thiboutot d. regulation of human sebaceous glands. the journal of investigative dermatology 2004;123:1-12 2. pawin, h, beylot c, chivot m, et al., 2004. physiopathology of acne vulgaris : recent data, new understanding of the treatments. eur j dermatol 2004;14:4-12 3. freedberg im, eisen az, wolf k, austen kf, goldsmith la, kats si. fitzpatrick’s dermatology in general medicine. edisi ke-6. volume ke-2. new york: mcgrawhill; 2003. 4. klock j, ikeno h, ohmori k, nishikawa j, vollhardt j, schelmann v. 2005. sodium ascorbyl phosphate shows invitro and invivo efficacy in the prevention and treatment of acne vulgaris. int j of cosmetics sci 2005;27:171-176 5. klock j. sodium ascorbyl phosphate has still unexploited potential in cosmetics. sofw. 2004;130:46-56 6. shibayama h, ueda k, yoshio k, matsuda s, hisama m, miyazawa m. synthesis and characterization of new ascorbic derivatives sodium isostearyl 2-o-l-ascorbyl phosphate. j of oleo science 2005;54:601-608 mutiara medika vol. 11 no. 1: 8-13, januari 2011 13 7. fite a, dykhuizen r, litterick a, golden m, leifert c. effects of ascorbic acid, gluthathione, thiocyanate, and iodide on antimicrobial activity of acidified nitrite. antimicrob agents chemother 2004;48:655-658 8. ristanto. uji bakterisidal, dalam buku petunjuk praktikum mikrobiologi, laboratorium mikrobiologi fakultas kedokteran univ ersitas gadjah mada.1998. 9 lennette eh, balows a, hausler wj, shadomy hj. manual of clinical microbiology. 4th ed. american society for mycrobiology. washington dc. 1985. artikel penelitian mutiara medika vol. 15 no. 1: 1521, januari 2015 15 hasil guna edukasi diabetes menggunakan telemedicine terhadap kepatuhan minum obat diabetes tipe 2 the effectiveness of diabetes education using telemedicine to diabetician type 2 medication compliance denny anggoro prakoso1*, nindy ellena2 1bagian kedokteran keluarga dan kesehatan masyarakat fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta. 2program studi pendidikan dokter fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta *email: denny7_fkumy@yahoo.com abstrak angka insiden dan prevalensi diabetes melitus tipe 2 di berbagai penjuru dunia cenderung mengalami peningkatan. who memprediksi indonesia mengalami kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21.3 juta pada tahun 2030. kepatuhan pengobatan pasien dengan diabetes melitus umumnya rendah. telemedicine dapat digunakan sebagai media edukasi diabetes melalui pesan multimedia. penelitian bertujuan untuk mengetahui hasil guna edukasi diabetes menggunakan telemedicine terhadap kepatuhan minum obat penyandang diabetes melitus tipe 2. desain penelitian ini adalah quasi experiment pretest-post-test with control group design. subjek penelitian adalah 56 pasien diabetes melitus tipe 2 yang terdiri dari 28 pasien kelompok perlakuan dan 28 pasien kelompok kontrol. edukasi diabetes diberikan 8 kali selama 1 bulan. penilaian tingkat kepatuhan minum obat menggunakan morisky medication adherence scales (mmas‐8). uji analisis statistik dengan wilcoxon signed rank test terhadap kepatuhan minum obat sebelum dan sesudah perlakuan, baik pada kelompok perlakuan dan kontrol, diperoleh nilai p = 0,539 pada kelompok perlakuan dan p = 0,071 pada kelompok kontrol. hasil uji beda rerata perubahan kepatuhan pengobatan antar kedua kelompok dengan mann-whitney test diperoleh nilai p = 0,098. edukasi diabetes dengan telemedicine tidak efektif terhadap peningkatan kepatuhan minum obat pada pasien diabetes melitus tipe 2. kata kunci: diabetes melitus, telemedicine, kepatuhan minum obat abstract the incidence and prevalence rate of diabetes mellitus type 2 in various parts of the world tends to increase. who predicts indonesia has increased the number of diabetician from 8.4 million in 2000 to about 21.3 million in 2030. medication compliance in patient with chronic disease especially diabetes mellitus is generally low. telemedicine can be used as a media for diabetes education via multimedia messaging. the study aims to determine the effectiveness of diabetes education using telemedicine to diabetician type 2 medication compliance. this study was quasi experiment with pretest-post-test control group design. the subjects were 56 patients with type 2 diabetes melitus comprising 28 patients in treatment group and 28 patients in control group. diabetes education is given eight times for 1 month. the evaluation of level of medication compliance using morisky medication adherence scales (mmas-8). statistical analysis test by wilcoxon signed rank test against medication compliance, both, before and after treatment, in the treatment and control group, obtained p = 0.539 in the treatment group and p = 0.071 in the control group. test results for mean changes in medication compliance between both groups with mann-whitney test obtained p value = 0.098. diabetes education using telemedicine is not effective to increase medication compliance in patient with diabetes melitus type 2. key words: diabetes melitus, telemedicine, medication compliance denny anggoro prakoso, hasil guna edukasi diabetes... 16 pendahuluan angka insiden dan prevalensi diabetes melitus tipe 2 di berbagai penjuru dunia cenderung mengalami peningkatan. who memprediksi indonesia mengalami kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21.3 juta pada tahun 2030.1,2 orang dengan diabetes melitus memiliki risiko lebih tinggi yang dapat menyebabkan penyakit serius yang mempengaruhi jantung, pembuluh darah, mata, ginjal dan saraf. orang dengan diabetes juga meningkatkan risiko mendapatkan suatu penyakit infeksi.1 diabetes melitus dapat berdampak terhadap berkembangnya berbagai kecacatan dan masalah kesehatan yang mengancam jiwa dibandingkan orang yang tidak menderita diabetes. diabetes melitus akan memberikan dampak terhadap kualitas sumber daya manusia dan peningkatan biaya kesehatan yang cukup besar.3 kadar glukosa darah yang konsisten tinggi dapat menyebabkan komplikasi yang menyerang jantung dan pembuluh darah, mata, ginjal dan saraf. komplikasi diabetes dapat dicegah atau ditunda dengan menjaga kadar glukosa darah, tekanan darah dan kadar kolesterol dalam kadar yang senormal mungkin. pengobatan yang rutin dapat mencegah komplikasi menjadi lebih serius.1 berbagai penelitian justru menunjukkan bahwa kepatuhan pasien pada pengobatan penyakit yang bersifat kronis pada umumnya rendah. penelitian yang melibatkan pasien rawat jalan menunjukkan bahwa lebih dari 70% pasien tidak minum obat sesuai dengan dosis yang seharusnya.4 berbagai cara dapat dilakukan sebagai upaya meningkatkan kepatuhan minum obat pada pasien diabetes melitus tipe 2. salah satu upaya yang dilakukan dengan melakukan edukasi diabetes dengan menggunakan telemedicine. telemedicine adalah penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang digabungkan dengan kepakaran medis untuk memberikan layanan kesehatan, mulai dari konsultasi, diagnosis dan tindakan medis, tanpa terbatas ruang atau dilaksanakan dari jarak jauh. untuk dapat berjalan dengan baik, sistem ini membutuhkan teknologi komunikasi yang memungkinkan transfer data berupa video, suara, dan gambar secara interaktif.5 penelitian ini dilakukan untuk melihat hasil guna apakah edukasi diabetes dengan telemedicine mampu memperbaiki tingkat kepatuhan minum obat pada penyandang diabetes tipe 2. hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap informasi efektivitas salah satu metode edukasi kesehatan. bahan dan cara penelitian ini merupakan penelitian quasi experiment pretest-posttest with control group design. berdasarkan hasil penghitungan julah sampel pada penelitian ini adalah minimal 22 subjek dengan estimasi drop out 20% sehingga jumlah minimal sampel perkelompok 28 subjek . subjek penelitian dibagi dalam 2 kelompok yaitu 28 subjek untuk kelompok perlakuan dan 28 subjek kelompok kontrol. masing-masing subjek dilakukan penilaian tingkat kepatuhan minum obat dengan menggunakan kuesioner morisky medication adherence scales (mmas‐8). mutiara medika vol. 15 no. 1: 15 21, januari 2015 17 penelitian dilakukan di poli penyakit dalam rs pku muhammadiyah yogyakarta. kriteria inklusi subjek penelitian adalah pasien terdiagnosis diabetes melitus tipe 2 yang melakukan kontrol rutin di poli penyakit dalam rs pku muhammadiyah yogyakarta, sedang mengonsumsi obat anti diabetes, tinggal di wilayah yogyakarta, pasien atau anggota keluarga pasien atau orang terdekat yang merawat pasien yang memiliki handphone dengan fasilitas jaringan internet yang memadai dan mampu mengoperasikan fasilitas pesan berbasis internet dengan baik, serta bersedia menjadi subjek penelitian. kriteria eksklusi adalah pasien dengan komplikasi fisik berat atau terminal, pasien dengan gangguan mental berat. apabila subjek penelitian selama proses penelitian putus kontak atau tidak ada respon maka dikeluarkan dari subjek penelitian. alat dan bahan yang digunakan antara lain handphone, laptop, printer, lembar inform consent, kuesioner identitas diri, kuesioner morisky medication adherence scales (mmas‐ 8),6 untuk menilai tingkat kepatuhan minum obat. instrumen mmas-8 yang dikembangkan oleh donald e, morisky yang terdiri dari 8 pertanyaan dan telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas di indonesia.7 pelaksanaan penelitian ini diawali dengan pemilihan pasien sebagai subjek penelitian yang sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. wawancara, pemberian kuesioner identitas diri, serta persetujuan penelitian diberikan kepada masing-masing subjek penelitian yang terpilih. pada awal penelitian kedua kelompok dilakukan pretest menggunakan kuesioner morisky medication adherence scales (mmas‐8). kelompok perlakuan mendapatkan perlakuan berupa pengiriman pesan multimedia berupa video edukasi diabetes yang dikirimkan 2 kali/minggu selama satu bulan. pemantauan subjek penelitian dilakukan dengan pengecekan berupa mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan isi pesan video edukasi yang telah dikirimkan serta meminta umpan balik dari pasien. pada akhir penelitian dilakukan post test dengan menggunakan kuesioner yang sama. penilaian perubahan tingkat kepatuhan minum obat dilakukan pada masing-masing kelompok setelah perlakuan menggunakan paired sample t-test untuk data yang terdistribusi normal atau wilcoxon signed rank test apabila data tidak terdistribusi normal. efektivitas edukasi diabetes dinilai dengan independent t-test untuk data yang terdistribusi normal atau mann whitney test apabila data tidak terdistribusi normal perbedaan dianggap bermakna bila p<0.05 dengan interval kepercayaan 95%. hasil jumlah subjek penelitian yang didapatkan pada penelitian berjumlah 56 pasien dm tipe 2 yang terbagi dalam 2 kelompok yaitu 28 subjek untuk kelompok perlakuan dan 28 subjek untuk kelompok kontrol. semua pasien dapat menyelesaikan penelitian secara lengkap tidak ada drop out. data mengenai karakteristik subjek penelitian (tabel 1), frekuensi tingkat kepatuhan minum obat (tabel 2), perbedaan rerata skor pretest dan posttest (tabel 3), serta uji beda mean perubahan tingkat kepatuhan (tabel 4) ada dibawah ini. denny anggoro prakoso, hasil guna edukasi diabetes... 18 tabel 1. karakteristik subjek penelitian karakteristik perlakuan kontrol p n % n % usia 30-50 tahun 7 25,0 8 28,6 0,657 51-70 tahun 18 64,3 15 53,6 71-90 tahun 3 10,7 5 17,9 jenis kelamin laki-laki 12 42,9 14 50,0 0,592 perempuan 16 57,1 14 50,0 pendidikan sd 2 7,1 3 10,7 0,141 smp 3 10,7 8 28,6 sma 8 28,6 10 35,7 s1 9 32,1 6 21,4 s2 5 17,9 0 s3 1 3,6 1 3,6 pekerjaan ibu rumah tangga 8 28,6 7 25,0 0,219 pegawai swasta 5 17,9 4 14,3 pensiunan 5 17,9 11 39,3 pns 2 7,1 0 polri 1 3,6 3 10,7 wiraswasta 7 25,0 3 10,7 tabel 2. tingkat kepatuhan minum obat subjek penelitian tingkat kepatuhan minum obat frekuensi pretest posttest n % n % perlakuan rendah 10 35,7 6 21,4 sedang 18 64,3 22 78,6 kontrol rendah 11 39,3 13 46,4 sedang 17 60,7 15 53,6 tabel 3. perbedaan rerata pretest dan posttest skor tingkat kepatuhan minum obat subjek penelitian kelompok wilcoxon signed rank test n mean + sd p perlakuan 0,539 pretest 28 2,43 + 1,501 posttest 28 1,89 + 1,031 kontrol 0,071 pretest 28 2,36 + 1,789 posttest 28 2,46 + 1,621 tabel 4. hasil uji beda rerata selisih skor tingkat kepatuhan minum obat pasien diabetes melitus tipe 2 pre-test dan post-test antara kelompok kontrol dan perlakuan kelompok mann-whitney test p value mean rank z perlakuan 31.95 -1.656 0,098 kontrol 25.05 diskusi hasil penelitian berdasarkan usia, subjek penelitian pada kelompok perlakuan dan kontrol mayoritas berusia 51-70 tahun yaitu 18 orang (64,3%) untuk kelompok perlakuan dan 15 orang (53,6%) untuk kelompok kontrol. lanjut usia merupakan populasi yang rentan terhadap gangguan metabolisme karbohidrat yang muncul sebagai diabetes melitus (dm). jumlah lanjut usia di dunia diperkirakan mencapai 450 juta orang (7% dari seluruh penduduk dunia), dan sekitar 50% lansia diperkirakan mengalami intoleransi glukosa.8 karakteristik jenis kelamin didominasi oleh perempuan pada kelompok perlakuan yaitu 16 orang (57,1%) sedangkan untuk kelompok kontrol berimbang antara laki-laki dan perempuan. dalam hal menjaga kesehatan, biasanya kaum perempuan lebih memperhatikan kesehatanya dibandingkan dengan laki-laki. hal ini dikarenakan sifat-sifat dari perempuan yang lebih memperhatikan kesehatan bagi dirinya dibandingkan laki-laki.9 karakteristik pendidikan responden untuk kelompok perlakuan adalah s1 yaitu 9 orang (32,1%) dan untuk kelompok kontrol adalah sma yaitu 10 orang (35,7%). tingkat pendidikan mempengaruhi kepatuhan pasien dalam menjalani terapinya yaitu dengan semakin tingginya tingkat pendidikan seseorang, maka kesadarannya untuk menjaga kesehatan semakin tinggi yang berbanding lurus dengan tingkat kepatuhannya dalam menjalani pengobatan.10 data pekerjaan pada responden pada kelompok perlakuan didominasi oleh ibu rumah tangga yaitu 8 orang (28,6%) sedangkan pada mutiara medika vol. 15 no. 1: 15 21, januari 2015 19 kelompok kontrol didominasi oleh pensiunan yaitu 11 orang (39,3%). berkaitan dengan usia responden yang sebagian besar didominasi oleh lanjut usia dimana sebagian besar dari mereka memang sudah tidak bekerja atau pensiun dari pekerjaannya, begitu pula dengan responden perempuan yang juga didominasi oleh lanjut usia yang kebanyakan dari mereka hanya bekerja di rumah sebagai ibu rumah tangga. diabetes melitus tipe 2 yang diderita subjek penelitian berdampak terhadap berbagai aktivitas fisiknya, dimana aktifitas fisik responden menjadi berkurang dibanding dengan sebelumnya. hasil pre-test responden dari kelompok perlakuan dan kelompok kontrol terhadap tingkat kepatuhan minum obat sebelum diberikan edukasi diabetes diperoleh skor kepatuhan minum obat kelompok perlakuan adalah didominasi tingkat kepatuhan minum obat kategori sedang baik pada kelompok perlakuan sebanyak 18 orang (64,3%) dan kelompok kontrol sebanyak 17 orang (60,7%). mayoritas tingkat kepatuhan minum obat pada pretest kedua kelompok responden berada pada tingkat kepatuhan kategori sedang, kondisi ini mungkin dapat disebabkan pasien merupakan pasien dari poli penyakit dalam yang memang datang rutin kontrol di rs pku muhammadiyah yogyakarta setiap bulannya. setiap pasien sudah secara teratur mendapatkan arahan pengobatan langsung dari dokter yang merawatnya tentang konsumsi minum obat. tingkat kepatuhan minum obat pada kedua kelompok responden dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. faktorfaktor yang mendukung kepatuhan yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. faktor intrinsik adalah faktor yang tidak perlu rangsangan dari luar, berasal dari diri sendiri, seperti motivasi, pendidikan, dan pemahaman terhadap instruksi dari tenaga kesehatan. faktor ekstrinsik adalah faktor yang perlu rangsangan dari luar, yang terdiri dari dukungan sosial dan dukungan dari professional kesehatan.11 hasil post-test dari kelompok perlakuan setelah dilakukan diberikan video edukasi diabetes menggunakan telemedicine didapatkan hasil bahwa tingkat kepatuhan minum obat yang sebelumnya didominasi oleh tingkat kepatuhan kategori sedang sebanyak 18 orang (64,3%) mengalami peningkatan menjadi sebanyak 22 orang (78,6%). subjek penelitian dengan kepatuhan kategori rendah mengalami penurunan menjadi hanya 6 orang (21,4%) dari sebelumnya 10 orang (35,7%). kelompok kontrol yang sebelumnya didominasi oleh tingkat kepatuhan kategori sedang sebanyak 17 orang (60,7%) justru menurun menjadi sebanyak 15 orang (53,6%). subjek penelitian dengan kepatuhan kategori rendah justru meningkat menjadi 13 orang (46,4%) dari sebelumnya 11 orang (39,3%). hasil uji beda rerata perubahan skor tingkat kepatuhan minum obat kelompok perlakuan dengan uji wilcoxon signed rank test menunjukkan perbedaan rerata skor tingkat kepatuhan minum obat pasien diabetes melitus tipe 2 saat pre-test dan post-test pada kelompok perlakuan dengan s nilai pre-test sebesar 2,43 + 1,501 dan nilai post-test sebesar 1,89 + 1,031 dengan nilai p sebesar 0,539. hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa perubahan tingkat kepatuhan minum obat pada kelompok perlakuan tidak bermakna secara statistik. denny anggoro prakoso, hasil guna edukasi diabetes... 20 uji beda mean dengan wilcoxon signed rank test untuk kelompok kontrol didapatkan skor nilai pre-test sebesar 2,36 + 1,789 dan nilai posttest sebesar 2,46 + 1,621 dengan nilai p sebesar 0,071. hasil analisis dapat disimpulkan bahwa juga terdapat perbedaan yang tidak signifikan pada perubahan tingkat kepatuhan minum obat pada kelompok kontrol. uji beda mean rerata perubahan skor tingkat kepatuhan minum obat antara kelompok perlakuan jika dibandingkan dengan kontrol dengan mann whitney test didapatkan nilai rerata kelompok perlakuan sebesar 31,95 sedangkan kelompok kontrol sebesar 25,05 dengan nilai p yaitu sebesar 0,098. hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang tidak signifikan pada rerata selisih perubahan skor tingkat kepatuhan minum obat pada kelompok perlakuan setelah diberikan edukasi diabetes dengan telemedicine dibandingkan dengan kelompok kontrol. terdapat berbagai faktor yang dapat menyebabkan edukasi diabetes dengan telemedicine ini menjadi tidak bermakna terhadap peningkatan kepatuhan minum obat pada pasien diabetes melitus tipe 2, salah satunya diduga berhubungan dengan aspek budaya, dimana pada kebanyakan masyarakat di negara berkembang penggunaan fasilitas kemajuan teknologi informasi khususnya edukasi maupun pengobatan jarak jauh yang lebih dikenal dengan telemedicine masih jarang. selain itu mungkin dapat disebabkan karena kurangnya kepercayaan pasien diabetes pada informasi yang diberikan secara daring.12 faktor lain yang menyebabkan kurang efektifnya edukasi diabetes dengan telemedicine dalam peningkatan kepatuhan minum obat pada pasien diabetes melitus tipe 2 juga bisa akibat adanya suatu proses persepsi pada diri seseorang terhadap informasi yang didapatnya sesuai dengan predisposisi psikologinya, yaitu menerima atau menolak informasi tersebut.13 simpulan edukasi diabetes dengan telemedicine tidak efektif terhadap peningkatan kepatuhan minum obat pada pasien diabetes melitus tipe 2. daftar pustaka 1. international diabetes federation. idf diabetes atlas (7th ed.) 2015. international diabetes federation. 2015. diunduh 18 maret 2015, dari http://www.diabetesatlas.org/ 2. world health organization. global status report on noncommunicable diseases 2014. world health organization. geneva. 2014. diakses 18 maret 2015, dari http://www.who.int/mediacentre/factsheets/f s312/en/ 3. kementerian kesehatan republik indonesia. petunjuk teknis pengukuran faktor risiko diabetes melitus. jakarta. 2010. 4. basuki, e. konseling medik: kunci menuju kepatuhan pasien. majalah kedokteran indonesia, 2009; 59 (2): 55-60. 5. jamil, m., khairan, a. & fuad, a. implementasi aplikasi telemedicine berbasis jejaring sosial dengan pemanfaatan teknologi cloud computing. jurnal edukasi dan penelitian informatika (jepin), 2015; 1 (1): http://www.diabetesatlas.org/ http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs312/en/ http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs312/en/ mutiara medika vol. 15 no. 1: 15 21, januari 2015 21 6. morisky, d.e., green, l.w., levine, d.m. concurrent and predictive validity of a selfreported measure of medication adherence. med care, 1986; 24: 67–74. 7. mulyani, r., andayani, m. t., pramantara, p. d.i. kepatuhan terapi berbasis insulin pada pasien diabetes melitus tipe 2 di poliklinik endokrinologi rsup dr sardjito yogyakarta. jurnal manajemen dan pelayanan farmasi, 2012; 2 (2): 85. 8. kurniawan, i. diabetes melitus tipe 2 pada usia lanjut. maj kedokt indon, 2010. 60 (12): 576-584. 9. departemen kesehatan ri, pedoman teknis penemuan dan tatalaksana penyakit hipertensi, jakarta: direktorat pengendalian penyakit tidak menular. 2013. 10. pradana, i.pa. hubungan karakteristik pasien dengan tingkat kepatuhan dalam menjalani terapi diabetes melitus di puskesmas tembuku 1 kabupaten bangli bali 2015. ism, 2015; 8 (1): 1-5. 11. irwanto, dkk. psikologi umum. pt sramedik: jakarta. 2000. 12. supono, a.r. penerapan teknologi informasi pada dunia kedokteran: peluang dan hambatan penerapan pengobatan jarak jauh berbasis internet di negara berkembang. bandung: informatika. 2006. 13. emilia, o. promosi kesehatan dalam lingkup kesehatan reproduksi. yogyakarta: pustaka cendekia press. 2008. hasil guna edukasi diabetes menggunakan telemedicine terhadap kepatuhan minum obat diabetes tipe 2 187 mutiara medika vol. 13 no. 3: 187-195, september 2013 uji kepekaan mycobacterium sp. terhadap isoniazid (inh) menggunakan metode rasio resistensi secara in vitro sensitivity test of mycobacterium sp. against isoniazid (inh) using in vitro resistance ratio method dwi yuni nur hidayati1, roekistiningsih1, rizna nugrahani2* 1laboratorium mikrobiologi, fakultas kedokteran, universitas brawijaya 2program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran, universitas brawijaya *email: abstrak infeksi mikobakteria termasuk diantara infeksi yang paling sulit disembuhkan dari semua jenis infeksi bakteri. mikobakteria yang patogen utamanya adalah mycobacterium tuberculosis sebagai penyebab tuberkulosis (tb), yang mengakibatkan lebih banyak kematian daripada agen mikroba tunggal lainnya di seluruh dunia. penelitian ini menggunakan mycobacterium sp. yang bermanifestasi klinis tuberkulosis atau mirip tuberkulosis. salah satu usaha untuk mengobati penyakit infeksi akibat mycobacterium sp. yang bermanifestasi klinis penyakit tuberkulosis atau mirip tuberkulosis adalah dengan menggunakan isoniazid. terapi tunggal dengan isoniazid dan kegagalan penggunaan isoniazid ditambah obat lain yang sesuai telah mengakibatkan prevalensi resistensi isoniazid sebesar 10-20% dalam uji klinis di karibia dan asia tenggara. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah bakteri mycobacterium sp. yang berasal dari pasien rssa malang sudah resisten terhadap isoniazid. penelitian bersifat semi kuantitatif untuk mengetahui resistensi mycobacterium sp. terhadap isoniazid dengan menggunakan metode rasio resistensi. dasar dari metode ini adalah membandingkan minimal inhibitory concentration (mic) dari strain mycobacterium sp. dengan mic dari isoniazid untuk m. tuberculosis strain h37rv. hasil penelitian menunjukkan bahwa 40% dari total isolat adalah resisten, 20% adalah intermediate resistant dan 40% adalah sensitif. disimpulkan bahwa telah terjadi resistensi mycobacterium sp. terhadap isoniazid. kata kunci: mycobacterium sp., resisten isoniazid, rasio resistensi abstract mycobacteria’s infection is one of the most difficult cured infection from all over kind of bacteria’s infection. the major pathogen mycobacteria is mycobacterium tuberculosis, agent of tuberculosis (tb) that causes more deaths than other single microbes in the world. this research uses mycobacterium sp. which clinically manifest as tuberculosis or tuberculosis-like disease. one of efforts to cure this infection is by using isoniazid. single dose of isoniazid and failed use of isoniazid plus other suitable drug have resulted prevalence of isoniazid-resistant about 10-20% in clinical test in caribbean and south east asia. this research is aimed to know whether mycobacterium sp. from rssa malang patients has been resistant toward isoniazid.this research uses a semi quasi experimental research to know the resistance of mycobacterium sp. toward isoniazid by using resistance rasio method. this method compares minimal inhibitory concentration (mic) of mycobacterium sp. strain with mic from isoniazid to m. tuberculosis strain h37rv. result of this research indicates that 40% from total isolates are resistant, 20% are intermediate resistant, and 40% are sensitive. the conclusion is mycobacterium sp. has been resistant toward isoniazid. key words: mycobacterium sp., isoniazid-resistant, resistance rasio artikel penelitian 188 dwi yuni nur hidayati, uji kepekaan mycobacterium sp. ... pendahuluan mikobakteria adalah bakteri aerob, berbentuk batang, yang tidak membentuk spora.1 ciri khas genus mycobacterium ialah sukar diwarnai; tetapi bila bahan warna sudah menyerap, bahan warna tersebut tetap dipertahankan dan sukar dilunturkan walaupun dengan alkohol asam. oleh karena itu, bakteri ini disebut bakteri tahan asam atau acid fast bacilli.2 infeksi yang disebabkan oleh mikobakteria termasuk diantara infeksi yang paling sulit disembuhkan dari semua jenis infeksi bakteri.3 terdapat lebih dari 50 spesies mycobacterium, baik yang patogen maupun saprofit.4 mikobakteria yang patogen utamanya adalah mycobacterium tuberculosis, penyebab tuberkulosis, dan mycobacterium leprae, penyebab lepra. mikobakteria atipik seperti m. aviumintracellulare complex dan m. kansasii, bisa menyebabkan penyakit mirip tuberkulosis tetapi mikobakteria patogen ini jarang terjadi pada manusia. mikobakteria yang pertumbuhannya cepat seperti m. chelonei adalah mikobakteria saprofit yang kadang-kadang menyebabkan penyakit, pada orang dengan penurunan fungsi imun.1 mycobacterium tuberculosis adalah penyebab tuberkulosis (tb) yang mengakibatkan lebih banyak kematian pada manusia daripada agen mikroba tunggal lainnya di seluruh dunia. sekitar sepertiga populasi dunia terinfeksi oleh bakteri ini. setiap tahun, diperkirakan 3 juta orang meninggal akibat tb dan muncul 8 juta kasus baru.1 laporan tb dunia oleh who yang terbaru (tahun 2006), masih menempatkan indonesia sebagai penyumbang tb terbesar nomor 3 di dunia setelah india dan cina dengan jumlah kasus baru sekitar 539.000 dan jumlah kematian sekitar 101.000 pertahun. survei kesehatan rumah tangga (skrt) tahun 1995, menempatkan tb sebagai penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan dan merupakan nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi.5 salah satu usaha untuk mengobati penyakit infeksi akibat mycobacterium sp. yang bermanifestasi klinis tuberkulosis atau mirip tuberkulosis ini adalah dengan menggunakan obat seperti isoniazid (inh). terapi obat tunggal dengan isoniazid dan kegagalan penggunaan isoniazid ditambah dengan satu atau dua obat lain yang sesuai telah mengakibatkan prevalensi resistensi isoniazid sebesar 1020% dalam uji klinis di karibia dan asia tenggara.3 resistensi primer terhadap inh di negara sedang berkembang termasuk indonesia mempunyai prosentase tertinggi diantara tuberkulostatika lainnya. hal ini dapat dikarenakan oleh luasnya pemakaian inh sebagai obat yang murah harganya.6 pola resistensi bakteri terhadap obat sangatlah menentukan keberhasilan dalam usaha menyembuhkan penderita dan memberantas penyakit yang disebabkan oleh bakteri itu. untuk mengetahui seberapa besar resistensi bakteri yang timbul baik pada penderita maupun di masyarakat serta untuk membantu para klinisi dan ahli epidemiologi dalam mengatasi masalah resistensi, perlu dilakukan suatu usaha antara lain uji kepekaan bakteri.6 sampai saat ini dikenal beberapa metode uji kepekaan mikrobakteri, beberapa diantaranya adalah metode konsentrasi absolut, metode rasio resistensi dan metode proporsional.7 di indonesia sendiri belum ada kesepakatan tentang metode mana yang lebih sesuai untuk digunakan. pada penelitian ini metode yang akan digunakan adalah rasio resis189 mutiara medika vol. 13 no. 3: 187-195, september 2013 tensi. metode rasio resistensi dan konsentrasi absolut mudah dilaksanakan, akan tetapi untuk pembacaan dan interpretasi hasil uji relatif lebih praktis menggunakan metode rasio resistensi, sedangkan untuk metode proporsional, pelaksanaannya cukup rumit sehingga tidak dikerjakan dalam pemeriksaan rutin setiap hari dan umumnya penggunaan metode ini terbatas dalam penelitian saja. dasar dari metode rasio resistensi adalah membandingkan minimal inhibitory concentration (mic) dari strain mycobacterium sp. dengan mic dari isoniazid untuk m. tuberculosis strain h37rv. metode ini pertama kali dipakai di inggris khususnya untuk mengetahui resistensi m. tuberculosis terhadap streptomisin.6 jika rasio resistensinya sama dengan 2, maka strain tersebut sensitif; rasio resistensi 4 berarti strain tersebut intermediate resistant; rasio resistensi 8 strain tersebut resisten.8 penelitian ini bertujuan untuk mengetahui resistensi mycobacterium sp. terhadap isoniazid dengan menggunakan metode rasio resistensi bahan dan cara penelitian ini adalah penelitian laboratoris untuk mengetahui resistensi mycobacterium sp. terhadap isoniazid dengan menggunakan metode rasio resistensi. jenis penelitian ini adalah semi kuasi eksperimental. sampel penelitian ini adalah mycobacterium sp. yang diisolasi dari sputum pasien dengan bta positif dari rumah sakit dr saiful anwar malang. mycobacterium sp. yang dipakai dalam penelitian ini sebanyak 5 isolat. menyiapkan larutan obat. larutan obat dibuat dengan membuat 10 ml larutan inh dengan konsentrasi 10.000 µg/ml dengan menggunakan rumus: jumlah inh yang diperlukan potensi obat adalah berat zat aktif (dalam mikrogram) yang dikandung per miligram obat jadi tersebut. potensi inh adalah 1.000 µg/mg karena berdasarkan pabrik pemroduksinya inh yang dipakai adalah inh murni. jadi jumlah inh yang diperlukan adalah: kemudian 100 mg dilarutkan ke dalam 10 ml air suling steril, setelah itu ditambahkan air suling sebanyak 9 ml pada 1 ml larutan tersebut, kemudian disaring dengan filter membran dan disimpan pada suhu -700c. menyiapkan media lowenstein-jensen (lj) pada tabung. media yang digunakan untuk melakukan uji resistensi ini adalah lowenstein-jensen (lj) yang telah ditambah dengan oadc enrichment dengan perbandingan 9:1. tabung yang diperlukan sebanyak 35 tabung terdiri dari 5 tabung lj tanpa inh sebagai kontrol dan 30 tabung lj dengan inh berbagai konsentrasi. setiap tabung berisi 10 ml larutan. konsentrasi inh dalam media adalah 0,06 µg/ml; 0,12 µg/ml; 0,25 µg/ml; 0,50 µg/ ml; 1,00 µg/ml dan 2,00 µg/ml. untuk dapat membuat media yang mengandung inh dengan berbagai konsentrasi dilakukan pengenceran, dimulai dari konsentrasi tertinggi yaitu dengan rumus m1xv1= m2xv2 m1: konsentrasi larutan inh v1: volume larutan inh m2: konsentrasi inh dalam media lj v2: v1+volume media lj 190 dwi yuni nur hidayati, uji kepekaan mycobacterium sp. ... konsentrasi 2,00 µg/ml: m1xv1=m2xv2 1000xv1=2,00x100 v1=0,2 ml untuk membuat konsentrasi inh 2,00 µg/ml dengan cara menuang larutan inh konsentrasi 1.000 µg/ ml sebanyak 0,2 ml dan lj sebanyak 99,8 ml ke dalam tabung dan dihomogenkan dengan vortex. untuk membuat konsentrasi inh 1,00 yaitu dengan mengambil larutan inh konsentrasi 2,00 µg/ml sebanyak 50 ml dan dituangkan ke dalam tabung yang telah berisi 50 ml lj, kemudian dihomogenkan dan seterusnya sampai konsentrasi inh 0,06 µg/ml. setelah itu media dituangkan masing-masing 10 ml pada 5 tabung (yang akan diinokulasikan strain bakteri ke dalamnya pada setiap konsentrasi) dan dituangkan juga masing-masing 10 ml pada tabung lj tanpa inh sebanyak 5 tabung kemudian dikukus selama ±30 menit/sampai matang, setelah itu disimpan pada suhu kamar sampai dingin setelah itu disimpan di lemari pendingin sampai akan digunakan. inokulasi bakteri pada media. inokulasi bakteri dilakukan di dalam laminary cabinet dengan cara mengambil satu sengkelit penuh bakteri dari kultur yang akan diperiksa dengan menggunakan sengkelit berdiameter 3 mm dan disuspensikan dalam air suling steril dan dihomogenkan dengan vortex. untuk membuat suspensi bakteri yang lebih homogen ditambahkan beberapa tetes tween 80 10% pada suspensi bakteri kemudian mengambil satu sengkelit penuh suspensi bakteri tersebut dan dikultur merata pada setiap media lj+inh berbagai konsentrasi dan media lj tanpa inh sebagai kontrol setelah itu diinkubasi pada 37°c selama 2 minggu sampai maksimal 8 minggu. pembacaan dan interpretasi hasil uji. pembacaan hasil uji dilakukan dengan cara mengamati pertumbuhan pada masing-masing tabung dan menghitung koloni yang terbentuk setelah itu menentukan mic setiap strain isolat yaitu konsentrasi terendah yang ditumbuhi kurang dari 20 koloni (untuk mic dari inh untuk m. tuberculosis strain h37rv adalah 0,06 µg/ml), setelah itu membandingkan antara mic strain isolat dengan mic dari inh untuk m. tuberculosis strain h37rv. bila rasio resistensinya 2, maka strain tersebut sensitif; rasio resistensinya 4 berarti bakteri tadi intermediate resistant; rasio resistensinya 8 strain tersebut resisten. hasil kultur mycobacterium sp. + isoniazid. kultur mycobacterium sp. + isoniazid yang telah diinkubasikan pada suhu 37°c kemudian diamati jumlah koloninya. pembacaan koloni yang terbentuk bisa dilakukan setelah 2 minggu dari awal inkubasi. diambil waktu 2 minggu karena umumnya koloni baru tabel 1. jumlah koloni pada masing-masing isolat dalam berbagai konsentrasi konsentrasi (µg/ml) 0 0,06 0,125 0,25 0,50 1,0 2,0 isolat 1 diffuse isolat 2 diffuse isolat 3 diffuse isolat 4 diffuse isolat 5 25 29 6 2 diffuse diffuse diffuse diffuse diffuse diffuse diffuse diffuse diffuse diffuse 191 mutiara medika vol. 13 no. 3: 187-195, september 2013 nampak setelah kultur berumur 14 hari. pada penelitian ini pembacaan koloni dilakukan setelah 3 minggu. koloni yang terbentuk bisa berupa diffuse atau tampak jelas bentukan koloninya. untuk koloni yang diffuse menandakan bahwa koloni yang terbentuk adalah >20 koloni dan koloni tampak menyatu dengan media. dari pembacaan koloni tersebut didapatkan hasil untuk masing-masing isolat yang disajikan dalam gambar 1. minimal inhibitory concentration (mic) isolat. metode rasio resistensi berdasarkan pada penentuan minimal inhibitory concentration (mic), maka pembacaan hasil uji juga berdasarkan mic. penentuan suatu isolat resisten atau sensitif terhadap inh dilakukan dengan membandingkan mic dari strain isolat dengan mic dari inh untuk m. tuberculosis strain h37rv. dalam menentukan mic strain isolat harus diperhatikan media dengan konsentrasi obat terendah yang ditumbuhi kurang dari 20 koloni. untuk mic dari inh untuk m. tuberculosis strain h37rv adalah 0,06 mg/ml.6 berdasarkan tabel 1. maka dapat diketahui mic masing-masing isolat yaitu: rasio resistensi. rasio resistensi ditentukan dengan cara membagi mic untuk strain mycobacterium sp dengan mic dari inh untuk m. tuberculosis strain h37rv.6 jika rasio resistensinya sama dengan 2, maka strain tersebut sensitif; rasio resistensinya 4 berarti strain tersebut intermediate resistant; rasio resistensinya 8 strain tersebut resisten,8 sehingga untuk masing-masing isolat didapatkan rasio resistensi seperti pada tabel 3. dapat disimpulkan bahwa dari 5 isolat mycobacterium sp. didapatkan 2 isolat yang resisten terhadap inh yaitu isolat 1 dan 4; 1 isolat yang isolat 1 isolat 2 isolat 3 isolat 4 isolat 5 gambar 1. jumlah koloni pada m asing-masing isolat berturut-turut (kiri ke kanan) dari konsentrasi 0 g/ml; 0,06 g/ml; 0,125 g/ml; 0,25 g/ml; 0,50 g/ ml; 1,0 g/ml; 2,0 g/ml tabel 2. minimal inhibitory concentration (mic) masingmasing isolat isolat 1 2 3 4 5 mic (µg/ml) 0,50 0,125 0,25 1,00 0,125 tabel 3. rasio resistensi masing-masing isolat isolat 1 2 3 4 5 rasio resistensi 8 2 4 16 2 interpretasi resisten sensitif intermediate resistant resisten sensitif 192 dwi yuni nur hidayati, uji kepekaan mycobacterium sp. ... intermediate resistant yaitu isolat 3; dan 2 isolat yang sensitif yaitu isolat 2 dan 5. dengan demikian jika dihitung secara persentase maka 40% dari total isolat adalah resisten, 20% adalah intermediate resistant dan 40% adalah sensitif dan dapat dibuat diagram seperti pada gambar 2. gambar 2. persentase hasil rasio resistensi pada isolat diskusi infeksi yang disebabkan oleh mikobakteria termasuk diantara infeksi yang paling sulit disembuhkan dari semua jenis infeksi bakteri. mikobakteria merupakan organisme-organisme yang lambat berkembangnya, maka mereka relatif resisten (aktivitas yang cenderung tergantung pada seberapa cepat sel-selnya membelah) terhadap antibiotik.3 terdapat lebih dari 50 spesies mycobacterium, baik yang patogen maupun saprofit.4 mikobakteria yang patogen utamanya adalah m. tuberculosis, penyebab tuberkulosis, dan m.leprae, penyebab lepra. mikobakteria atipik seperti m.avium-intracellulare complex dan m.kansasii, bisa menyebabkan penyakit mirip tuberkulosis tetapi mikobakteria patogen ini jarang terjadi pada manusia. mikobakteria yang pertumbuhannya cepat seperti m.chelonei adalah mikobakteria saprofit yang kadang-kadang menyebabkan penyakit, pada orang dengan penurunan fungsi imun. mycobacterium tuberculosis adalah penyebab tuberkulosis (tb) yang mengakibatkan lebih banyak kematian daripada agen mikroba tunggal lainnya di seluruh dunia. sekitar sepertiga populasi dunia terinfeksi oleh bakteri ini. setiap tahun, diperkirakan 3 juta orang meninggal akibat tb dan muncul 8 juta kasus baru.1 hal ini menandakan bahwa infeksi oleh mikobakteria merupakan ancaman serius dalam bidang kesehatan. oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan uji kepekaan terhadap mycobacterium sp. yang bermanifestasi klinis tuberkulosis atau mirip tuberkulosis. selain itu pada penelitian ini tidak secara khusus menyatakan spesies mycobacterium tertentu karena tidak dilakukan identifikasi untuk membedakan spesiesnya. pada penelitian ini digunakan 5 sampel sputum yang diisolasi dari penderita dengan bta positif (mengandung mycobacterium sp.) dari rumah sakit umum dr saiful anwar malang. diambil batasan 5 isolat penderita atas pertimbangan bahwa penelitian ini akan memakan waktu yang lama dikarenakan penelitian ini adalah yang pertama dilakukan di laboratorium mikrobiologi fkub sehingga akan menimbulkan beberapa kendala teknis operasional. harus diakui bahwa tidaklah mudah untuk melakukan penelitian uji kepekaan mikobakteri, karena di indonesia sendiri belum banyak yang melakukan penelitian serupa, sehingga dalam beberapa hal masih menganut pedoman dari luar negeri yang belum tentu sesuai dengan keadaan di indonesia. disini tidak dilakukan pengulangan penelitian berdasarkan pertimbangan serupa. walaupun begitu sebenarnya telah dilakukan beberapa kali percobaan pendahuluan untuk mengetahui kekurangan193 mutiara medika vol. 13 no. 3: 187-195, september 2013 kekurangan yang timbul selama melaksanakan penelitian ini. kendala yang timbul selama percobaan pendahuluan kemungkinan disebabkan kesalahan dalam melakukan prosedur penelitian. kegiatan menumbuhkan mikobakteria memerlukan waktu yang lama, maka pada pemeriksaan tes resistensi, kepekaan mikobakteria yang akan diperiksa secara relatif dibandingkan dengan resistensi kuman tuberkulosis standar yaitu m. tuberculosis strain h37rv.9 dengan adanya situasi tuberkulosis global yang memburuk, uji kepekaan bakteri yang cepat dan dapat dipercaya adalah penting untuk pengelolaan pasien dengan tepat terutama bagi pasien yang resisten banyak obat. pada dasarnya uji kepekaan seharusnya dilakukan pada setiap pasien baru. jika resistensi terhadap terhadap isoniazid, rifampin atau ethambutol terdeteksi, maka obat anti tuberkulosis lainnya juga harus diuji secepatnya. selanjutnya dengan timbulnya resistensi harus dilakukan pengawasan dengan melakukan uji kepekaan ulang pada isolat berikutnya dalam tempo 23 bulan.10 pengelolaan pasien yang terinfeksi oleh tuberkulosis resisten banyak obat, walaupun jumlah mereka sedikit, dapat lebih mahal daripada biaya untuk melakukan uji kepekaan pada isolat awal (pertama kali diambil dari pasien baru) dari semua pasien baru.11 biaya total untuk menguji isolat awal dari sekitar 20.000 pasien yang baru terdiagnosis di amerika setiap tahunnya mencapai paling tidak $1 juta. ini sebanding dengan biaya pengelolaan kurang dari 10 pasien yang resisten banyak obat.12 pada penelitian ini obat yang akan diuji adalah isoniazid. terapi obat tunggal dengan isoniazid dan kegagalan penggunaan isoniazid ditambah dengan satu atau dua obat lain yang sesuai telah mengakibatkan prevalensi resistensi isoniazid sebesar 1020% dalam uji klinis di karibia dan asia tenggara.3 resistensi primer terhadap inh di negara sedang berkembang termasuk indonesia mempunyai prosentase tertinggi diantara tuberkulostatika lainnya. hal ini dapat dikarenakan oleh luasnya pemakaian inh sebagai obat yang murah harganya.6 sebuah penelitian yang dilakukan di kanada melaporkan resistensi m. tuberculosis terhadap isoniazid sebanyak 36% dari total 245 kultur m. tuberculosis pada uji kepekaan menggunakan metode proporsional.13 rancangan penelitian ini adalah semi kuasi eksperimental karena ada perlakuan terhadap sampel, ada kontrol terhadap sampel, dan tidak ada pengulangan penelitian. sampai saat ini dikenal beberapa metode uji kepekaan mikobakteria, beberapa diantaranya adalah metode konsentrasi absolut, metode rasio resistensi, dan metode proporsional.7 di indonesia sendiri belum ada kesepakatan tentang metode mana yang lebih sesuai untuk digunakan. pada penelitian ini metode yang dipilih adalah metode rasio resistensi. metode rasio resistensi dan konsentrasi absolut mudah dilaksanakan, akan tetapi untuk pembacaan dan interpretasi hasil uji, metode rasio resistensi relatif lebih praktis. metode proporsional pelaksanaannya cukup rumit sehingga tidak dikerjakan dalam pemeriksaan rutin setiap hari dan umumnya metode ini dipakai dalam penelitian saja, sedangkan tujuan penelitian ini adalah agar uji kepekaan mikobakteri dapat dipertimbangkan untuk dilakukan secara rutin, tidak hanya berhenti pada tingkat penelitian saja. dasar metode rasio resistensi adalah membandingkan minimal inhibitory concentration (mic) 194 dwi yuni nur hidayati, uji kepekaan mycobacterium sp. ... dari strain isolat m. tuberculosis dengan m. tuberculosis strain h37rv. mic strain isolat dilihat dari media dengan konsentrasi obat terendah yang ditumbuhi kurang dari 20 koloni, sedangkan mic dari inh untuk m. tuberculosis strain h37rv adalah 0,06 mg/ml, menganut pedoman dari inggris.6 jika rasio resistensinya sama dengan 2, maka strain tersebut sensitif; rasio resistensinya 4 berarti strain tersebut intermediate resistant; rasio resistensinya 8 strain tersebut resisten.9 hasil penelitian ini yaitu dari 5 isolat mycobacterium sp. terdapat 2 isolat resisten terhadap inh yaitu isolat 1 dan 4; 1 isolat intermediate resistant yaitu isolat 3; dan 2 isolat sensitif yaitu isolat 2 dan 5. dengan demikian jika dihitung secara persentase maka 40% dari total isolat adalah resisten, 20% adalah intermediate resistant dan 40% adalah sensitif. hal ini membuktikan bahwa telah terdapat resistensi terhadap inh. beberapa faktor dapat menyebabkan terjadinya resistensi mycobacterium sp. terhadap inh ini. antara lain faktor internal dan eksternal. faktor internal berasal dari penderita dan mutasi oleh isoniazid itu sendiri. faktor yang berasal dari penderita dibagi menjadi dua jenis: (1) resistensi primer, timbul pada seseorang yang terinfeksi pertama kali dengan organisme yang resisten, dan (2) resistensi sekunder (resistensi didapat), yang muncul selama pengobatan tuberkulosis akibat tidak adekuatnya regimen atau gagal mengkonsumsi obat yang sesuai.14 mekanisme terjadinya resistensi berhubungan dengan kegagalan obat mencapai bakteri atau bakteri tidak menyerap obat. resistensi terhadap inh telah diasosiasikan dengan mutasi yang menghasilkan overekspresi dari inha, yang mengkode suatu pembawa acyl protein reductase yang tergantung nadh; mutasi atau delesi dari katg; mutasi promotor menghasilkan over-ekspresi dari ahpc, sebuah gen virulence dugaan yang terlibat dalam proteksi sel dari stress oksidatif; dan mutasi pada kasa.3 faktor eksternal berasal dari kemampuan/skill dari peneliti dan instrumen-instrumen yang digunakan dalam melakukan uji ini. skill dari peneliti yang dimaksud adalah pengalaman dan ketrampilan dalam melakukan penelitian serupa, sedangkan dari instrumen antara lain terbatasnya instrumen yang dimiliki oleh laboratorium maupun kualitas standar dari instrumen itu sendiri. bisa pula oleh karena bahan pemeriksaan yang dipakai (sputum penderita) yang tidak diambil atau disimpan dengan cara yang benar maupun prosedur yang salah pada saat penelitian.12 di samping itu, karena belum banyaknya penelitian uji kepekaan mikobakteri yang dilakukan, maka beberapa laboratorium di indonesia masih menggunakan konsentrasi obat yang biasa dipakai oleh negara lain seperti inggris, jepang dan amerika, walaupun konsentrasi tersebut belum tentu sesuai dengan keadaan di indonesia.6 diperlukan uji-uji kepekaan serupa yang mencakup lebih banyak sampel dengan instrumen yang lebih standardize dan memadai khususnya di indonesia agar dapat diketahui dengan pasti epidemiologi terjadinya tuberkulosis resisten obat. serta sebagai alternatif dari penelitian ini adalah dilakukan uji kepekaan khususnya terhadap mycobacterium tuberculosis sebagai penyebab utama tuberkulosis. hal ini dianggap penting mengingat tingginya jumlah kasus tuberkulosis di indonesia dan resiko penularannya yang mudah dari orang ke o195 mutiara medika vol. 13 no. 3: 187-195, september 2013 rang serta untuk menurunkan terjadinya drug/multidrug resistance. selain itu agar dapat memberikan terapi yang tepat pada penderita infeksi oleh mycobacterium sp., sehingga tujuan akhirnya adalah menurunnya angka morbiditas dan mortalitas akibat infeksi mycobacterium sp. terutama di indonesia. simpulan telah terjadi resistensi mycobacterium sp. terhadap isoniazid. daftar pustaka 1. levinson w, jawetz e. medical microbiology and immunology: examina-tion and board review, sixth edition. usa: mc graw-hill. 2002. hal. 134-139. 2. dzen ms, roeki sti ni ngsi h, santoso s, w inarsih s. bakteriologi medik. malang: bayumedia publishing. 2003. hal. 293-312. 3. katzung, bg. farmakologi dasar dan klinik, edisi 8, sjabana d, rahardjo, sastrowardoyo w, hamzah, isbandiati e, uno i, purwaningsih s, 2004. jakarta: salemba medika. 2004. hal. 91-96. 4. brooks gf, butel js, morse sa. jawetz, melnick & adelberg’s medical microbiology, twenty third edition. usa: mc graw-hill. 2004. hal. 319-327. 5. aditama ty, kamso s, basri c, surya a. 2006. tuberkulosis secara global. dalam: pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. edisi kedua. jakarta: departemen kesehatan ri; 2007. 6. sandjaja b. isolasi dan identifikasi mikobakteria. jakarta: widya medika. 1992. hal. 85-91. 7. mitchison, da. drug resistance in tuberculosis. eur respir j. 2005; 25 (2): 376-9. 8. balows a, hausler wj, hermann kl, isenberg hd, shadomy hj. manual of clinical microbiology, fifth edition. usa: american society for microbiology. 1991. hal. 1139. 9. chatim a, bela b, isjah l, lintong m, hutabarat t, warsa uc. penuntun praktikum mikrobiologi kedokteran. jakarta: binarupa aksara. 1991. hal. 32. 10. pfyffer ge. drug-resistant tuberculosis: resistance mechanisms and rapid susceptibility testing. schweiz med wochenschr, 2000; 130 (49): 1909–13. 11. cole st, eisenach kd, mcmurray dn, jacobs wr. tuberculosis and the tubercle bacilli. washington dc: asm press. 2005. hal. 115. 12. heifets lb, cangelosi ga. drug susceptibility testing of mycobacterium tuberculosis: a neglected problem at the turn of the century. int j tuberc lung dis. 1999; 3 (7): 564-81. 13. laszlo a, gill p, handzel v, hodgkin mm., helbecque dm. 1983. conventional and radiometric drug susceptibility testing of mycobacteri um tuberculosi s com plex . j clin microbiol. 1983; 18 (6): 1335–1339. 14. kasper dl, fauci as, longo dl, braunwal e, hauser sl, jameson jl. 2005. harrison’s principles of internal medicine, 16th edition, usa: mc graw-hill. hal. 963. mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 20 no 2 page 85-91 july 2020 knowledge level about thalassemia among high school students in pontianak city, west kalimantan, indonesia aisya rezki noeriman1* iit fitrianingrum2 ita armyanti3 1medical school, faculty of medicine, tanjungpura university. jl. prof. hadari nawaai, pontianak, kalimatan barat, indonesia. 78121 2department of biology and pathobiology, faculty of medicine, tanjungpura university. jl. prof. hadari nawaai, pontianak, kalimatan barat, indonesia. 78121 3department of medical education and bioethics, faculty of medicine, tanjung pura university. jl. prof. hadari nawaai, pontianak, kalimatan barat, indonesia. 78121 data of article: received: 19 feb 2020 reviewed: 20 may 2020 revised: 29 may 2020 accepted: 28 jun 2020 *correspondence: noeriman.aisya@gmail.com doi: 10.18196/mm.200248 type of article: research abstract: thalassemia prevalence in indonesia is still high. genetic screening as an early detection effort for thalassemia is needed as a prevention effort, so knowledge about thalassemia is needed. there is no data related to the knowledge of high school students regarding thalassemia in pontianak city, even though this data is important as initial data to formulate a thalassemia prevention program. this study aims to describe the level of knowledge about thalassemia among high school students. this research is descriptive. the sample was taken as many as 100 people with the propotionated stratified random sampling method based on the population of high school students in each district in pontianak city. the results showed that almost half of the respondents had a low level of knowledge (49%). female students have a good level (27.1%), more than male students (10%). sources of information used are online media (44%), school lessons (17%), health workers (17%), counselor (10%), relatives / friends (6%) and print media (6%). it can be concluded that the knowledge of high school students about thalassemia in pontianak city is still lacking, so it is necessary to increase the dissemination of information about thalassemia through online media information sources. keywords: level of knowledge, thalassemia, high school student. abstrak: prevalensi talasemia di indonesia masih tinggi. penapisan genetik sebagai upaya deteksi awal talasemia diperlukan sebagai upaya prevensi, sehingga dibutuhkan pengetahuan yang baik tentang talasemia. data terkait tingkat pengetahuan siswa sma mengenai talasemia di kota pontianak tidak ada padahal data tersebut penting sebagai data awal untuk merumuskan program prevensi talasemia. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan siswa sma di kota pontianak mengenai talasemia. penelitian ini bersifat deskriptif. sampel diambil sebanyak 100 orang dengan metode propotionated stratified random sampling berdasarkan jumlah populasi siswa sma di tiap kecamatan di kota pontianak. hasil menunjukkan hampir separuh responden memiliki tingkat pengetahuan kurang (49%). siswa perempuan memiliki tingkat pengetahuan baik (27,1%), lebih banyak daripada siswa laki-laki (10%). sumber informasi yang digunakan adalah media daring (44%), pelajaran sekolah (17%), tenaga kesehatan (17%), penyuluh (10%), kerabat/teman (6%) dan media cetak (6%). dapat disimpulkan bahwa pengetahuan siswa sma mengenai talasemia di kota pontianak masih tergolong kurang, sehingga perlu peningkatan penyebaran informasi tentang talasemia melalui sumber informasi media daring. kata kunci: tingkat pengetahuan, talasemia, siswa sma 86 | vol 20 no 2 july 2020 introduction thalassemia is an autosomal recessive genetic disease that cause abnormalities in the process of haemoglobin formation resulting destruction of red blood cells without adequate formation.1,2 indonesia is one of the thalassemia belt country in southeast asia together with thailand and myanmar.2 the thalassemia belt is referring to countries with high prevalence of thalassemia. several studies revealed the prevalence of thalassemia among teenagers. a thalassemia minor screening in jatinangor, stated that 9.3% of all high school student respondents who are willing to participate in screening, are suspected with thalassemia beta minor.3 data from thalassemia foundation and association of thalassemia parents of indonesia showed that there were 669 people (5.8%) of the 12,038 general public examined through thalassemia screening from 20082017 who are carriers of the thalassemia gene.4 data from rsud dr. soedarso pontianak, a referral hospital in west kalimantan province, showed 1429 visits of thalassemia patients as outpatients throughout 2018. public understanding of thalassemia will improve the government program in controlling the new cases of thalassemia in coming year. genetic screening is a thalassemia preventive strategy that can be done by premarital couples to find out the potential thalassemia genes come from the couple. studies in several countries are shown that genetic screening has been put as a mandatory program as part of the national premarital screening program to reduce the rate of carrier marriage.5,6 high school students is a premarital age need to have a good understanding of thalassemia. a good knowledge is positively correlated with a person's attitude to genetic screening as a primary preventative measure against thalassemia. research on the level of thalassemia knowledge has been carried out in several regions in indonesia 7,8 but similar research has never been done in pontianak so that data on the level of knowledge about thalassemia, especially in high school students in pontianak city is not ready. thus, the study on high school students’ knowledge about thalassemia need to be carried out. the purpose of this study was to determine the high school students’ level of knowledge in pontianak city about thalassemia both in general and by gender. besides, it is aimed to find out the source of information used by high school students in pontianak city to obtain information about thalassemia. materials and method this research was a descriptive study conducted from october 2019-january 2020 in pontianak city. a hundred high school students were chosen by using proportionated stratified random sampling method in each district of pontianak. the inclusion criteria were: high school students in pontianak city and willing to involved in the research. the thalassemia sufferers, thalassemia activists and respondents who have main families suffering from thalassemia were excluded. data was collected by using questionnaires. the questionnaire consisted of two types of questions (5 multiple choice questions and 9 true-false questions). for each correct answer was given 1 score, while the wrong answer or not answered was given 0. the total number of each respondent's score was grouped in four categories: excellent (total score 1214), good (total score 9-11), average (total values 68) and poor (0-5). each respondent was given a code from r1-r100 then tabulated data processing was done using microsoft excel and ibm spss applications. the results of data processing were presented in the form of diagrams and graphs. this study has approved by the ethics review division of the faculty of medicine at tanjungpura university on 30 july 2019 by ethical qualification number 5035 / un22.9 / ta.00.03 / 2019. result the characteristics of respondents the research respondents consisted of 52% male and 48% female. the age of respondents ranged from 15-19 years. the respondents are mostly 16 years (41%). the sciences and social sciences majors shared the similar proportion of the rrespondents (50%). the malays ethnicity composed the largest proportion of respondents, followed by the javanese, dayak and bugis. dayak ethnic is the native kalimantan tribe which has the highest population in west kalimantan but only ranks sixth highest (33%) in pontianak.9 bugis is migrants from south sulawesi and rank as fourth largest community in pontianak city and phylogenically related to the makassar tribe which has many hbo mutations.10. the process of acculturation among the ethnicities has been taken place in the city of pontianak through marriages.9  | 87 level of knowledge this study was done to find out the high school students’ level of knowledge about thalassemia in pontianak city. moreover, the gender and the major of learning was used to determine the characteristics. almost half of the respondents had poor level of knowledge with almost one third has average level. in general, most of the respondents have lower level of knowledge on thalassemia (figure 1). female students and natural science basic study have a better understanding (figure 2 and 3). 1. the level of knowledge figure 4. shows that preventive measure was the least understood topic with almost all respondents answered incorrectly. followed by the cause, onset and definition of thalassemia. while, pathophysiology, symptoms and treatment are 3 topics that most of the respondents were understood. most respondents (63%) had never heard of information about thalassemia before, while other respondents (37%) had heard information about thalassemia from various media information detailed in the following diagram. figure 5 shows almost half of the respondents gained their knowledge from the internet, whereas health workers and school were sharing the same proportions. relatives or friends shared the same number as printed media. these results show the opportunity for the usage of social media as an important vehicle in distributing the health promotion material. poor 49% average 29% good 18% excellent 4% figure 2. knowledge level based on gender figure 1. knowledge level of respondents 2 5 12 33 2 13 17 16 0 5 10 15 20 25 30 35 male female 4 17 22 7 1 7 42 0 20 40 60 excellent good average poor natu ral scie nce figure 3. knowledge level based on major study 46 28 41 68 65,5 63 11 54 72 59 32 34,5 37 89 0 20 40 60 80 100 right wrong figure 4. recapitulation of respondents' answers per question topic internet 44% school 17% health workers 17% seminars 10% relatives /friends 6% print media 6% figure 5. source of information (n=47) 88 | vol 20 no 2 july 2020 discussion thalassemia is an autosomal recessive genetic disease that causes the disturbance of the formation of red blood cells in the patient's body.11 this condition requires the patient to undergo routine and long-life treatment such as routine blood transfusion and the administration of iron chelation to prevent complications due to the toxic excess of iron in the blood.12 preventive measure is essential in determining the possibility of any genetical disorder. genetic screening in pregnancy is considered very important to be done for any couple with the possession of thalassemia genes.11 indeed, awareness to genetic screening requires a good understanding of thalassemia.13 this study shows that most respondents have poor knowledge. studies varies in regard to the level of knowledge among teenagers. a study from iran revealed the same results with less than 20% of students have a good level of understanding about thalassemia.14 while, other studies from india shows much better results with most respondents have good understanding.15,16 female respondents have better level of knowledge than male respondents in this study. studies varies in regard to the gender in understanding the issue. research in iran states that female students who have good knowledge of thalassemia are much more than male students.14 study by basu revealed different results by stating male respondents have better knowledge than women.16 this study shows that the respondents from natural science major has better knowledge than the respondents from social science major. the knowledge level of high school students about thalassemia is better for students with majors related to health and applied sciences than students in other majors.17 respondents from natural science major have gained an understanding of the basis of genetic science and related diseases so that they have better level of knowledge than respondents from other majors.15,18 someone who has a background in natural science tends to have an interest in the field of science in choosing reading material or sources of information so that the opportunity to be exposed to information especially in thalassemia is greater.19 this tendency can make respondents from a scientific background have a better level of knowledge. the general knowledge of respondents about thalassemia is good enough on several topics, namely pathophysiology, symptoms and treatment of thalassemia. several other topics such as definition, etiology, onset and prevention are still poorly understood by respondents (figure 4). respondents are difficult to distinguish between thalassemia and hemophilia. hemophilia is a blood clotting disorder which is characterized by severe and chronic bleeding in patients when the injury occured, so it requires special treatment. this disease is a genetic disease.20 the topic of aetiology needs to be emphasized on health promotion related to thalassemia because most respondents consider bacteria and unhealthy lifestyles can cause thalassemia. a lack of understanding of the role of genetics in the thalassemia aetiology has an impact on respondents' understanding of the topic of thalassemia prevention. some of respondents do not know the role of genetic screening as a preventive measure for thalassemia. it is seen that the majority of respondents choose to maintain their diet and have a healthy lifestyle that can prevent the addition of new thalassemia patients. respondents also have lack of understanding on the topic of thalassemia onset. most respondents answered thalassemia suffered since birth, but more than half of respondents assumed that thalassemia could be suffered by someone who was previously normal. although most respondents understand that blood transfusion is the treatment of thalassemia, quite a number of respondents chose the dialysis answer for that question. dialysis or hemodialysis is routine treatment for patients with end-stage renal failure and is not associated with thalassemia.20 most respondents said they had never heard information about thalassemia before, while almost one third stated they had heard. the number of respondents who knew of thalassemia earlier in this study was much lower compared to previous studies in several different countries. research by ebrahim et al. revealed that 53% of respondents had heard information about thalassemia before.21 balcin revealed that more than half of the respondents (57.7%) had heard of thalassemia before, while research in india had a much higher number, as many as 85% of respondents had heard the term disease.22 the low awareness of the term thalassemia in this study shows that thalassemia is a disease that has not been widely discussed in society, but its prevalence is quite high. indonesia is one of the thalassemia belt countries which has a relatively high number of thalassemia sufferers. management of thalassemia which requires lifelong treatment can be a psychological and financial burden on families and countries. preventive program such as genetic counseling is one step that can be taken by the country to reduce the number of thalassemia  | 89 cases.23,24 people awareness on thalassemia as a genetic disease has massive impact to successing the thalassemia preventive program up to 40% of overall program besides increasing public awareness genetic counseling (33%) and premarital screening (27%).25 a person who have a thalassemia gene (carrier thalassemia) are often not known before laboratory tests because they do not experience severe symptoms like thalassemia major patients. anemia is a symptom that can be found in thalassemia carriers and is commonly known by the public.26 knowledge of thalassemia including its severity, causes and symptoms can be the first step to increase public awareness, especially genetic screening students to confirm the thalassemia gene itself. sources of information selected by respondents to gain knowledge about thalassemia are internet, school, health workers, seminars, relatives/friends and print media. information sources used by the public in kolkata are also dominated by health workers (37.38%), electronic media (31.77%) and relatives/friends (29.21%).16 al qahtani said online media or internet are the right method to increase public awareness and knowledge of thalassemia.27 the use of the internet has become very common and often used by people nowadays. a survey conducted by the indonesian internet service providers association stated that teenagers, in range age of 15-19 years are the highest population (91%) who received penetration of internet in 2018.28 the data also states that students are the highest internet user population in indonesia. west kalimantan specifically also has the highest internet user penetration rate (80%) on kalimantan island.28 the internet can be an information sharing platform to increase public awareness and knowledge about thalassemia. audiovisual media can be a good choice to attract the attention of adolescents. audio-visual media such as animated videos are considered more effective in conveying information to students. the use of audiovisual media can stimulate the sense of hearing and vision of students simultaneously so the process of receiving new information can be more effective.29 school and health workers are the second highest source of information chosen by respondents. respondents who are students as well have chosen school and books as the main source of information about thalassemia.15 majors in high school make difference opportunity between natural science and social science students who do not discuss basic genetic science in the curriculum to get exposure of information about thalassemia.18 most respondents who have health-related backgrounds received information from books.30 ahmed said respondents who were not from science or health backgrounds received information mostly from television (36%), friends (32%) and social media (24%).30 school health programs which consist of regular counseling and seminars that include all majors in high school about thalassemia and other genetic diseases can be a step of thalassemia prevention programs in schools. seminars in general can be delivered through conventional methods such as lectures or through group discussion methods that involve extension respondents in the process of delivering information. group discussion is more effective because it can increase students' understanding of new information by up to 50% compared to lecture methods which only produce student understanding of 20%.31 thalassemia education as prevention program should be done as soon as possible to teenagers because education is a major factor in increasing knowledge about thalassemia.22 apart from the adequate results to answer the research question, limitation also appears. since this study aimed at gaining knowledge among teenager and the emerging of internet as one main results, exploration on how social media is influencing their level of knowledge needs to be seek further. the experience and perception of thalassemia survival is also an important part to be investigated to shed some lights in how they survived from this ailment. conclusion it can be concluded thet most of the high school students in pontianak city have poor knowledge of thalassemia. if it is iseen from the gender, female respondents have better knowledge than male. since most of students use internet as a source of information other than conventional, thus preventive program need to consider internet in utilizing the internet. references 1. abbas ak, aster jc, kumar v, robbins sl. robbins basic pathology (10th edition). 2018. philadelphia: elsevier. pp 421-6. 2. menteri kesehatan republik indonesia. keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor hk.01.07/menkes/1/2018 tentang pedoman nasional pelayanan kedokteran tata laksana thalasemia. 2018. 90 | vol 20 no 2 july 2020 jakarta: kementerian kesehatan republik indonesia. 3. alyumnah p, ghozali m, dalimoenthe nz. skrining thalassemia beta minor pada siswa sma di jatinangor. jsk, 2016;1(3):133-8. doi.org/10.24198/jsk.v1i3.10358. 4. kementerian kesehatan republik indonesia. hari thalasemia sedunia 2018: bersama untuk masa depan yang lebih baik, (online, 2018. www.depkes.go.id, accessed 25 march 2019). 5. inati a, zeineh n, isma'eel h, koussa s, gharzuddine w, & taher a. beta-thalassemia: the lebanese experience. clinical and laboratory haematology. 2006:28(4), 217–227. https://doi.org/10.1111/j.13652257.2006.00792.x 6. ashraf s, and bernadette m. iranian national thalassaemia screening programme. bmj 2004; 329 :1134 7. sari nm, wirawan sb, entijayanti fp, afriliani k, deliesya fn, karimah an, dan fadhilah f. beban ganda anemia pada remaja smpn tempuran kabupaten karawang. dharmakarya: jurnal aplikasi ipteks untuk masyarakat. 2018:7(2), 141– 145. doi.org/10.24198/dharmakarya.v7i2.20208 8. pranajaya r, dan nurchairina. faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup anak thalasemia. jurnal keperawatan, 2016: xii(1), 130–139. 9. rachmadhani a. dimensi etnik dalam kerukunan umat beragama di kota pontianak provinsi kalimantan barat. panangkaran jurnal penelitian agama dan masyarakat, 2018;2(1):1-21. doi.org/10.14421/panangkaran.2018.0201-01. 10. gupta ad, nadkarni a, mehta p, goriwale m, ramani m, chaudhary p, et al. phenotypic expression of hbo indonesia in two indian families and its interaction with sickle hemoglobin. indian j pathol microbiol, 2017;60:79-83. doi.org/10.4103/03774929.200030. 11. marcdante kj, kliegman rm. 2015. nelson essentials of pediatrics (7th edition). philadelphia: elsevier. pp148-518. 12. rund d. thalassemia: modern medicine battles an ancient disease. american journal of hematology, 2016;91(1):15-21. doi.org/10.1002/ajh.24231. 13. dewanto jb, tansah h, dewi sp, napitu h, panigoro r, sahiratmadja e. increased knowledge of thalassemia promotes early carrier status examination among medical students. universa medicina, 2016;34(3):220. doi.org/10.18051/univmed.2015.v34.220-228. 14. miri-moghaddam e, motaharitabar em, erfannia e, dashipour a, oushvar m. high school knowledge and attitudes towards thalassemia in southeastern iran. international journal of hematology-oncology and stem cell research, 2014;8(1):24-30. www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc39131 53/#__ffn_sectitle. 15. palash d, srijana m, kamalika d. knowledge and attitude regarding premarital screening of beta thalassemia among the students of selected college of south-24-parganas, west bengal, india. india journal research, 2018;7(10):24-26. doi.org/10.36106/paripex. 16. basu m. a study on knowledge, attitude, and practice about thalassemia among general population in outpatient department at a tertiary care hospital of kolkata. journal of preventive medicine and holistic health, 2015;1(1):5-12. www.researchgate.net/publication/282657666 17. kumar m, valli sm, sharma vl, goel nk, sehgal a. a study regarding awareness among the university students about the disease beta thalassemia. public health open access, 2019;3(2):1-7. doi.org/10.23880/phoa-16000137. 18. tursinawati y, dan fuad w. pengetahuan pengaruhi sikap dan tindakan mahasiswa terhadap program pencegahan thalassemia di indonesia. higeia journal, 2018;2(4):654-62. doi.org/10.15294/higeia.v2i4.25407. 19. harris kl. a background in science: what science means for australian society. australia: university of melbourne. 2012. 20. kasper ld, fauci as, longo dl, braunwald e, hauser sl, jameson jl. harrison's principles of internal medicine (19th edition). 2015. united state: mc graw hill. pp 598-600. 21. ebrahim s, raza az, hussain m, khan a, kumari l, rasheed r, et al. knowledge and beliefs regarding thalassemia in an urban population. cureus, 2019; 11(7). doi.org/10.7759/cureus.5268. 22. balcin yi, ergin a, polat a, atilgan t, uzun u, koyuncu h. thalassemia premarital screening program: public view. what has been done, what needs to be done?. international journal of hematology and oncology, 2014;24(4):247252. doi.org/10.4999/uhod.14569. 23. alhosain a. premarital screening programs in the middle east, from a human right’s perspective. global health care concerns, 2018;15(2):41-45. 24. saffi m, howard n. exploring the effectiveness of mandatory premarital screening and genetic counselling programmes for β-thalassemia in the middle east: a scoping review. public https://doi.org/10.24198/jsk.v1i3.10358 http://www.depkes.go.id/ https://doi.org/10.1111/j.1365-2257.2006.00792.x https://doi.org/10.1111/j.1365-2257.2006.00792.x https://doi.org/10.14421/panangkaran.2018.0201-01 http://dx.doi.org/10.18051/univmed.2015.v34.220-228 https://www.doi.org/10.36106/paripex https://doi.org/10.15294/higeia.v2i4.25407.  | 91 health genomics, 2015;18:193-203. doi.org/10.1159/000430837. 25. karimzaei t, masoudi q, shahrakipour m, navidiyan m, jamalzae aa, bamri az. knowledge, attitude and practice of carrier thalassemia marriage volunteer in prevention of major thalassemia. global journal of health science, 2015;7(5):364-370. doi.org/10.5539/gjhs.v7n5p364. 26. brancaleoni v, di pierro ed, motta i, cappellini md. laboratory diagnosis of thalassemia. international journal of laboratory hematology, 2016;38(1):32-40. doi.org/10.1111/ijlh.12527. 27. alqahtani rs, bedalwi aa, alburkani am, alfahed mm, alhoraibi ra, tarawah am. knowledge and response of the community to premarital screening program (sickle cell anemia/thalassemia); almadinal, saudi arabia. journal of applied hematology, 2018;9(2):59-62. doi.org/10.4103/joah.joah_1_18. 28. asosiasi penyelenggara jasa internet indonesia. 2018. responden survei nasional penetrasi pengguna internet, (online), (https://apjii.or.id/survei2018/. 29. rakhmilla le, susanah s, rohmawaty e, effendi sh. effectiveness of an educational intervention in providing knowledge about the prevention of thalassemia: an effort to reduce new thalassemia cases. asian journal of epidemiology, 2018;11(2):59-64. doi.org/10.3923/aje.2018.59.64 30. ahmed d, zafar h, tauseef k, nawaz mn, ammar m. identification of common ways for thalassemia awareness in medical and nonmedical professional. uk journal of pharmaceutical and biosciences, 2017;5(5):1-5. doi.org/10.20510/ukjpb/5/i5/166548. 31. davis b, summers m. applying dale’s cone of experience to increase learning and retention: a study of student learning in a foundational leadership course. qscience proc, 2015;6. doi.org/10.5339/qproc.2015.elc2014.6. https://doi.org/10.1159/000430837 https://apjii.or.id/survei2018/ 12 | vol 19 no 1 januari 2019 9. james pa, oparil s, carter bl, cushman wc, dennison-himmelfarb d, handler j, et al. 2014 evidence-based guideline for the management of high blood pressure in adults report from the panel members appointed to the eighth joint national committee (jnc 8). jama, 2014; 311 (5): 507-520. 10. murinson m, roth b, grosman e, dicker d, elis a. blood pressure control during hospitalization at the department of medicine. arch clin hypertens, 2015; 1 (1): 001-004. 11. ervin se. hospital management of hypertension: essential and secondary hypertension. hospital medical practice. 2014; 2 (12): 1-14. 12. banegas jr, segura j, ruilope lm, luque m, garcía-robles r, campo c, et al. blood pressure control and physician management of hypertension in hospital hypertension units in spain. hypertension, 2004; 43 (6): 1338-1344. 13. jnc -8. the eight report of the joint national committee. hypertension guidelines: an indepth guide. am j manag care, 2014; 20 (1 spec no.): e8. 14. sedayu b, azmi s, rahmatini. karakteristik pasien hipertensi di bangsal rawat inap smf penyakit dalam rsup dr. m. djamil padang tahun 2013. jurnal kesehatan andalas, 2015; 4 (1): 65-69. 15. chen y, hu s, shen g, wu l, xu w, wang l, et al. antihypertensive treatment among inpatients with hypertension at anhui provincial hospital in china: a cross-sectional study. lat am j pharm, 2012; 31 (2): 298-304. 16. nachiya ram, parimkrisnan s, ramakrishna rao m. study of drug utilization pattern of antihypertensive medications on out-patients and inpatiens in a tertiary care teaching hospital: a cross sectional study. african j pharm pharmacol, 2015; 9 (11): 383-396. 17. potchoo y, goe-akue e, damorou f, massoka b, redah d, guissou ip. effect of antihypertensive drug therapy on the blood pressure control among hypertensive patients attending campus’ teaching hospital of lome, togo, west africa. pharmacology & pharmacy, 2012; 3 (1): 214-223. mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm ©2019 mmjkk. all rights reserved vol 19 no 1 hal 13-16 januari 2019 hubungan antara tingkat pendidikan orang tua dengan kesadaran untuk deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi baru lahir relation between parental education levels and awareness for early detection of hearing disorder in newborns asti widuri1*, bambang edy susyanto2, supriyatiningsih3 1 bagian ilmu tht, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta 2 bagian ilmu anak, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta 3 bagian ilmu kandungan dan kebidanan, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta data of article: received: 04 sep 2018 reviewed: 27 sep 2018 revised: 17 okt 2018 accepted: 21 nov 2018 *correspondence: asti.widuri@umy.ac.id doi: 10.18196/mm.190122 type of article: research abstrak: gangguan pendengaran pada anak-anak di negara yang belum ada program deteksi gangguan pendengaran pada bayi baru lahir diawali dari kecurigaan saat anak terlambat bicara. keterlambatan deteksi tersebut karena kurangnya pengetahuan orang tua terhadap perkembangan bicara dan bahasa sebelum anak berumur 2 tahun. tujuan penelitian ini adalah melihat pengaruh tingkat pendidikan orang tua terhadap sikap/kesadaran tentang deteksi gangguan pendengaran pada bayi baru lahir. penelitian dengan desain potong lintang menilai pendidikan orang tua dan sikap terhadap pemeriksaan deteksi gangguan pendengaran pada bayi baru lahir dilakukan pada orang tua/pasien klinik asri medical centre yogyakarta (amc) bulan juni-juli 2018. hasil penelitian menunjukkan 55 responden, 6 (10,9%) dengan pendidikan sangat tinggi, 42 (76,3%) dengan pendidikan tinggi, dan 7 (12,7%) dengan pendidikan menengah. hasil uji chi-square menunjukkan tidak adanya pengaruh yang bermakna antara skor pendidikan orang tua, pengetahuan tentang tumbuh kembang anak, usia dan jumlah anak terhadap sikap orang tua pada program deteksi gangguan pendengaran pada bayi baru lahir. tingkat pendidikan orang tua tidak berpengaruh pada sikap positif/tertarik pada program deteksi dini pemeriksaan pendengaran, sehingga dibutuhkan kebijakan pemerintah agar deteksi dini gangguan pendengaran berjalan optimal. kata kunci: skrining pendengaran; pendidikan orang tua; bayi baru lahir; perkembangan bicara dan bahasa abstract: hearing loss in children in countries where there is no program for detecting hearing loss in newborns begins with suspicion when the child is late to speak. the late detection because parents have little knowledge to children speech and language development under 2 years old. objective of this study is to determine relation of parent education toward their attitude about newborn hearing screening. a cross-sectional survey study using questionnaire about parental education and their attitude to newborn hearing screening was conducted on a purposive sample of parent and patient of asri medical centre yogyakarta on juni-juli 2018. from the 55 parents, 6 (10,9%) were very high education, 42 (76,3%) were high education, 7 (12,7%) were medium education. chi-square analysis shows that parental education, age, and number of children not significantly correlated with parent care of newborn hearing screening. there are no correlation of parent education with attitude or interest to newborn hearing screening. therefore, there is a need to take government efforts to improve newborn hearing screening. 14 | 2 | vol 19 no 1 januari 2019 keywords: autonomic nervous system; sleep patterns disturbances; standard deviation of all n-n intervals pendahuluan tidur merupakan suatu aktivitas yang dilakukan setiap hari dan menjadi kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi. tidur merupakan keadaan aktif dan berulang yang terjadi pada setiap individu.1 individu memerlukan tidur yang cukup untuk dapat berfungsi secara optimal. pola tidur yang cukup pada orang dewasa adalah 7-8 jam per malam, tidak terkecuali pada orang yang sakit.2 tidur sangat bermanfaat untuk kesehatan tubuh sehingga mereka yang mempunyai jam tidur terbatas dan sering terbangun mempunyai risiko empat kali lebih banyak mengalami serangan jantung.3 hal ini disebabkan karena jantung bekerja lebih berat jika individu kekurangan waktu tidurnya. national sleep foundation (2011),4 melaporkan bahwa di amerika pada tahun 2006 lebih dari 36% dewasa muda usia 18-29 tahun mengalami kesulitan untuk bangun di pagi hari dan mengeluh mengantuk ketika beraktivitas sekurangnya 2 hari dalam seminggu atau lebih. demikian juga yang terjadi pada mahasiswa keperawatan. mahasiswa keperawatan termasuk dalam usia dewasa muda. disamping itu pada tahun 2011,4 juga dilakukan penelitian dan hasilnya meningkat dari 36% pada tahun 2006 menjadi 51% yang mengalami gangguan tidur pada usia 18-29 tahun. pola tidur pada usia dewasa sangatlah berbeda dengan usia lainnya karena pada usia dewasa banyak mengalami perubahan aktivitas sehari-hari, seperti bekerja, ataupun kuliah. keadaan tersebut dapat memicu terjadinya gangguan tidur.5 gangguan pola tidur merupakan gangguan dalam jumlah, kualitas atau waktu tidur pada setiap individu.6 gangguan tidur bukan hanya pada perubahan aktivitas sehari-hari, namun gangguan tidur juga dapat dipengaruhi beberapa faktor yaitu medis (penyakit) dan non-medis (gaya hidup).7 begitu juga mahasiswa keperawatan yang sudah mempunyai perubahan aktifitas seperti kuliah ataupun aktifitas yang lain. sehingga mahasiswa tersebut mempunyai risiko terjadinya gangguan pola tidur. aktivitas yang teratur, gaya hidup yang baik, pola tidur yang cukup merupakan faktor penting untuk dapat meningkatkan kesehatan jantung. kualitas tidur yang buruk dapat menyebabkan kerugian kesehatan yang dapat menimbulkan penyakit jantung.8 gangguan pola tidur dapat meningkatkan risiko penyakit jantung dan menyebabkan kematian jantung secara mendadak. kondisi tersebut diyakini karena adanya ketidakseimbangan sistem saraf otonom dengan meningkatkan dominasi aktivitas simpatis daripada modulasi parasimpatis.8 individu yang memiliki gangguan tidur yang buruk dikaitkan dengan penurunan saraf parasimpatis dan peningkatan saraf simpatis.9 masalah tersebut disebabkan karena kulitas tidur yang buruk pada individu sebagai penyebab utama terjadinya penyakit jantung dan menurunkan heart rate variability (hrv) serta dapat meningkatkan detak jantung. demikian juga pendapat rodriguez-colon et al. (2015),10 pola tidur yang tidak teratur dapat menurunkan hrv. heart rate variability adalah fenomena fisiologis yang mencerminkan indikator yang baik dari kontrol sistem saraf otonom yang berkaitan dengan kesehatan jantung.11 sehingga pada kondisi individu yang memiliki gangguan tidur yang buruk mengalami penurunan aktifitas saraf simpatis, akibatnya terjadi ketidakseimbangan dari fungsi sistem saraf otonom. ketidakseimbangan fungsi sistem saraf otonom dapat diukur dengan menggunakan hrv. fungsi hrv adalah untuk menilai risiko kematian jantung secara mendadak.12 oleh karena itu, nilai hrv yang tinggi merupakan tanda fungsi jantung sehat dan penurunan hrv adalah rentan terhadap kematian jantung secara mendadak.8 pengukuran hrv terdiri dari dua pengukuran yaitu time domain dan frequncy domain. frequency domain terdiri dari low frequency/lf (frekuensi rendah) dan high frequency/hf (frekuensi tinggi). low frequency 0,04 0,15 hz (herz) dari perubahan r-r interval dan dimodulasi oleh aktivitas sistem saraf saraf simpatis, hf 0,15-0,40 hz dari perubahan r-r interval dan dimodulasi oleh aktivitas sistem saraf parasimpatis. time domain terdiri dari standard deviation of all n-n intervals (sdnn) dan root mean square of successive differences (rmssd).12 standard deviation of all n-n intervals merupakan bagian dari hrv yang berperan dalam mengontrol sistem saraf otonom. oleh karena itu nilai sdnn dapat digunakan untuk menilai adanya risiko kematian jantung mendadak melalui variasi dari n-n interval.12 tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara gangguan pola tidur dengan keseimbangan sistem saraf otonom pada dewasa muda. bahan dan cara jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif non eksperimen dengan desain cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara gangguan pola tidur dengan hrv pada dewasa muda. responden pada penelitian ini adalah dewasa muda dengan usia antara 18-29 tahun yang dihitung berdasarkan rumus arikunto (2010),13 14 | vol 19 no 1 januari 2019 key word: hearing screening; parent education; newborn; speech and language develoment pendahuluan ketulian merupakan gangguan sensori yang paling sering terjadi pada manusia termasuk pada bayi yang baru dilahirkan. insidensi ketulian pada bayi baru lahir 0,001% sampai 0,5% dan meningkat pada bayi dengan faktor risiko mencapai 1% 5%.1,2 pengamatan terhadap anak dengan gangguan pendengaran yang terdiagnosis dan dilakukan intervenesi pada 6 bulan pertama kehidupan bayi akan mencegah dampak ketulian sehingga mencapai kemampuan bahasa, kosakata, ekspresi yang lebih baik daripada yang terdeteksi lambat.3 amerika serikat dan beberapa negara lain membuat kebijakan semua bayi baru lahir wajib dilakukan skrining pendengaran secara menyeluruh meskipun bayi tidak memiliki faktor risiko dan disahkan dengan undangundang (joint committee on infant hearing 2007).4 idealnya pemberian intervensi pada anak tuna rungu saat mereka berusia kurang dari 2 tahun. sesuai dengan teori perkembangan bahasa dimana saat tersebut merupakan masa emas untuk perkembangan bicara anak. dilaporkan oleh moeller et al. (2000),5 dimana anak tuna rungu di negara maju pada usia 6 bulan setelah terdeteksi seluruh anak tuna rungu dapat masuk ke program prasekolah yang dilakukan setiap hari dengan rata-rata umur saat masuk berusia 15 bulan. pemeriksaan ottoacoustic emission (oae) sangat sederhana dan tidak infasif dengan memasukkan “probe” di liang telinga. alat oae akan memberikan stimulus suara masuk ke liang telinga dan yang dinilai adalah respon yang muncul dari koklea. hasil pemeriksaan dinyatakan dengan kriteria pass (lulus) atau refer (tidak lulus). hasil pass menunjukkan keadaan koklea baik, sedangkan hasil refer artinya adanya gangguan koklea.5,6,7 deteksi dini gangguan pendengaran masih menjadi tantangan di negara berkembang, kumar (2015),9 melaporkan rata-rata umur (bulan) kecurigaan pertama, diagnosis dan intervensi anak tuna rungu adalah 19,59 bulan, 24,82 bulan dan 29,28 bulan. keterlambatan antara kecurigaan dengan diagnosis adalah 5,23 bulan dan jeda dari diagnosis sampai intervensi 4,46 bulan.8 sebanyak 70,48% anak tuna rungu baru dicurigai setelah berumur 1 tahun lebih dan hanya 1,6% terdiagnosis gangguan pendengaran di bawah 6 bulan. dengan demikian pengetahuan terhadap perkembangan bicara dan bahasa sangat penting bagi orang tua sehingga lebih cepat timbul kecurigaan jika kemampuan anaknya tidak sesuai.9 program skrining ketulian universal pada bayi baru lahir yang ideal di indonesia belum dapat dilaksanakan karena keterbatasan alat automated brain respon (abr) dan oae. selain alat tersebut hanya dimiliki oleh rumah sakit tertentu, terdapat kendala masih relatif tingginya biaya pemeriksaan, tidak semua rumah sakit mempunyai tenaga audiologist maupun dokter spesialis telinga hidung tenggorok, faktor sosial ekonomi masyarakat dan faktor kebijakan pemerintah. bagian tht klinik amc telah menyediakan pelayanan pemeriksaan skrining pendengaran bayi baru lahir dengan alat otoacoustic emission (oae), akan tetapi untuk pemanfaatan sarana ini oleh masyarakat masih kurang. tujuan dari penelitian ini adalah menilai pengetahuan orang tua tentang perkembangan bicara dan bahasa terhadap sikap perlunya pemeriksaan gangguan pendengaran pada bayi baru lahir. bahan dan cara penelitian ini merupakan penelitian observational dengan pendekatan cross-sectional dimana peneliti menggunakan hasil kuesioner untuk menilai variabel bebas yaitu pendidikan orang tua dan variabel tergantung yaitu sikap/kesadaran tentang deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi baru lahir. populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien/orang tua pasien dengan kriteria inklusi orang tua bayi atau anak yang memeriksakan diri di klinik amc dan pasien/ibu hamil di poli kebidanan, dengan kriteria eksklusi pasien yang tidak mau menandatangani persetujuan/informed consent. tingkat pendidikan di kategorikan menengah (sma, d3), tinggi (s1) dan sangat tinggi (s2/s3). tingkat pengetahuan dikategorikan baik jika menjawab dengan benar lebih dari 60% pertanyaan tentang deteksi dini gangguan pendengaran. analisis data menggunakan chi-square untuk mengetahui signifikansi perbedaan antar kelompok tingkat pendidikan sangat tinggi, tinggi, menengah dan rendah. hasil responden penelitian ini diambil dari orang tua yang memiliki bayi dan balita yang memeriksakan anaknya di poli anak dan pasien kebidanan dan kandungan di poli klinik amc yogyakarta selama bulan juni-juli 2018 yang bersedia mengisi kuesioner dengan menanda tangani surat persetujuan/ informed consent. jumlah subyek penelitian ini adalah sebanyak 55 orang, dengan data demografi dan karakteristik umum responden dapat dilihat pada tabel 1. 14 | vol 19 no 1 januari 2019 key word: hearing screening; parent education; newborn; speech and language develoment pendahuluan ketulian merupakan gangguan sensori yang paling sering terjadi pada manusia termasuk pada bayi yang baru dilahirkan. insidensi ketulian pada bayi baru lahir 0,001% sampai 0,5% dan meningkat pada bayi dengan faktor risiko mencapai 1% 5%.1,2 pengamatan terhadap anak dengan gangguan pendengaran yang terdiagnosis dan dilakukan intervenesi pada 6 bulan pertama kehidupan bayi akan mencegah dampak ketulian sehingga mencapai kemampuan bahasa, kosakata, ekspresi yang lebih baik daripada yang terdeteksi lambat.3 amerika serikat dan beberapa negara lain membuat kebijakan semua bayi baru lahir wajib dilakukan skrining pendengaran secara menyeluruh meskipun bayi tidak memiliki faktor risiko dan disahkan dengan undangundang (joint committee on infant hearing 2007).4 idealnya pemberian intervensi pada anak tuna rungu saat mereka berusia kurang dari 2 tahun. sesuai dengan teori perkembangan bahasa dimana saat tersebut merupakan masa emas untuk perkembangan bicara anak. dilaporkan oleh moeller et al. (2000),5 dimana anak tuna rungu di negara maju pada usia 6 bulan setelah terdeteksi seluruh anak tuna rungu dapat masuk ke program prasekolah yang dilakukan setiap hari dengan rata-rata umur saat masuk berusia 15 bulan. pemeriksaan ottoacoustic emission (oae) sangat sederhana dan tidak infasif dengan memasukkan “probe” di liang telinga. alat oae akan memberikan stimulus suara masuk ke liang telinga dan yang dinilai adalah respon yang muncul dari koklea. hasil pemeriksaan dinyatakan dengan kriteria pass (lulus) atau refer (tidak lulus). hasil pass menunjukkan keadaan koklea baik, sedangkan hasil refer artinya adanya gangguan koklea.5,6,7 deteksi dini gangguan pendengaran masih menjadi tantangan di negara berkembang, kumar (2015),9 melaporkan rata-rata umur (bulan) kecurigaan pertama, diagnosis dan intervensi anak tuna rungu adalah 19,59 bulan, 24,82 bulan dan 29,28 bulan. keterlambatan antara kecurigaan dengan diagnosis adalah 5,23 bulan dan jeda dari diagnosis sampai intervensi 4,46 bulan.8 sebanyak 70,48% anak tuna rungu baru dicurigai setelah berumur 1 tahun lebih dan hanya 1,6% terdiagnosis gangguan pendengaran di bawah 6 bulan. dengan demikian pengetahuan terhadap perkembangan bicara dan bahasa sangat penting bagi orang tua sehingga lebih cepat timbul kecurigaan jika kemampuan anaknya tidak sesuai.9 program skrining ketulian universal pada bayi baru lahir yang ideal di indonesia belum dapat dilaksanakan karena keterbatasan alat automated brain respon (abr) dan oae. selain alat tersebut hanya dimiliki oleh rumah sakit tertentu, terdapat kendala masih relatif tingginya biaya pemeriksaan, tidak semua rumah sakit mempunyai tenaga audiologist maupun dokter spesialis telinga hidung tenggorok, faktor sosial ekonomi masyarakat dan faktor kebijakan pemerintah. bagian tht klinik amc telah menyediakan pelayanan pemeriksaan skrining pendengaran bayi baru lahir dengan alat otoacoustic emission (oae), akan tetapi untuk pemanfaatan sarana ini oleh masyarakat masih kurang. tujuan dari penelitian ini adalah menilai pengetahuan orang tua tentang perkembangan bicara dan bahasa terhadap sikap perlunya pemeriksaan gangguan pendengaran pada bayi baru lahir. bahan dan cara penelitian ini merupakan penelitian observational dengan pendekatan cross-sectional dimana peneliti menggunakan hasil kuesioner untuk menilai variabel bebas yaitu pendidikan orang tua dan variabel tergantung yaitu sikap/kesadaran tentang deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi baru lahir. populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien/orang tua pasien dengan kriteria inklusi orang tua bayi atau anak yang memeriksakan diri di klinik amc dan pasien/ibu hamil di poli kebidanan, dengan kriteria eksklusi pasien yang tidak mau menandatangani persetujuan/informed consent. tingkat pendidikan di kategorikan menengah (sma, d3), tinggi (s1) dan sangat tinggi (s2/s3). tingkat pengetahuan dikategorikan baik jika menjawab dengan benar lebih dari 60% pertanyaan tentang deteksi dini gangguan pendengaran. analisis data menggunakan chi-square untuk mengetahui signifikansi perbedaan antar kelompok tingkat pendidikan sangat tinggi, tinggi, menengah dan rendah. hasil responden penelitian ini diambil dari orang tua yang memiliki bayi dan balita yang memeriksakan anaknya di poli anak dan pasien kebidanan dan kandungan di poli klinik amc yogyakarta selama bulan juni-juli 2018 yang bersedia mengisi kuesioner dengan menanda tangani surat persetujuan/ informed consent. jumlah subyek penelitian ini adalah sebanyak 55 orang, dengan data demografi dan karakteristik umum responden dapat dilihat pada tabel 1. 14 | vol 19 no 1 januari 2019 key word: hearing screening; parent education; newborn; speech and language develoment pendahuluan ketulian merupakan gangguan sensori yang paling sering terjadi pada manusia termasuk pada bayi yang baru dilahirkan. insidensi ketulian pada bayi baru lahir 0,001% sampai 0,5% dan meningkat pada bayi dengan faktor risiko mencapai 1% 5%.1,2 pengamatan terhadap anak dengan gangguan pendengaran yang terdiagnosis dan dilakukan intervenesi pada 6 bulan pertama kehidupan bayi akan mencegah dampak ketulian sehingga mencapai kemampuan bahasa, kosakata, ekspresi yang lebih baik daripada yang terdeteksi lambat.3 amerika serikat dan beberapa negara lain membuat kebijakan semua bayi baru lahir wajib dilakukan skrining pendengaran secara menyeluruh meskipun bayi tidak memiliki faktor risiko dan disahkan dengan undangundang (joint committee on infant hearing 2007).4 idealnya pemberian intervensi pada anak tuna rungu saat mereka berusia kurang dari 2 tahun. sesuai dengan teori perkembangan bahasa dimana saat tersebut merupakan masa emas untuk perkembangan bicara anak. dilaporkan oleh moeller et al. (2000),5 dimana anak tuna rungu di negara maju pada usia 6 bulan setelah terdeteksi seluruh anak tuna rungu dapat masuk ke program prasekolah yang dilakukan setiap hari dengan rata-rata umur saat masuk berusia 15 bulan. pemeriksaan ottoacoustic emission (oae) sangat sederhana dan tidak infasif dengan memasukkan “probe” di liang telinga. alat oae akan memberikan stimulus suara masuk ke liang telinga dan yang dinilai adalah respon yang muncul dari koklea. hasil pemeriksaan dinyatakan dengan kriteria pass (lulus) atau refer (tidak lulus). hasil pass menunjukkan keadaan koklea baik, sedangkan hasil refer artinya adanya gangguan koklea.5,6,7 deteksi dini gangguan pendengaran masih menjadi tantangan di negara berkembang, kumar (2015),9 melaporkan rata-rata umur (bulan) kecurigaan pertama, diagnosis dan intervensi anak tuna rungu adalah 19,59 bulan, 24,82 bulan dan 29,28 bulan. keterlambatan antara kecurigaan dengan diagnosis adalah 5,23 bulan dan jeda dari diagnosis sampai intervensi 4,46 bulan.8 sebanyak 70,48% anak tuna rungu baru dicurigai setelah berumur 1 tahun lebih dan hanya 1,6% terdiagnosis gangguan pendengaran di bawah 6 bulan. dengan demikian pengetahuan terhadap perkembangan bicara dan bahasa sangat penting bagi orang tua sehingga lebih cepat timbul kecurigaan jika kemampuan anaknya tidak sesuai.9 program skrining ketulian universal pada bayi baru lahir yang ideal di indonesia belum dapat dilaksanakan karena keterbatasan alat automated brain respon (abr) dan oae. selain alat tersebut hanya dimiliki oleh rumah sakit tertentu, terdapat kendala masih relatif tingginya biaya pemeriksaan, tidak semua rumah sakit mempunyai tenaga audiologist maupun dokter spesialis telinga hidung tenggorok, faktor sosial ekonomi masyarakat dan faktor kebijakan pemerintah. bagian tht klinik amc telah menyediakan pelayanan pemeriksaan skrining pendengaran bayi baru lahir dengan alat otoacoustic emission (oae), akan tetapi untuk pemanfaatan sarana ini oleh masyarakat masih kurang. tujuan dari penelitian ini adalah menilai pengetahuan orang tua tentang perkembangan bicara dan bahasa terhadap sikap perlunya pemeriksaan gangguan pendengaran pada bayi baru lahir. bahan dan cara penelitian ini merupakan penelitian observational dengan pendekatan cross-sectional dimana peneliti menggunakan hasil kuesioner untuk menilai variabel bebas yaitu pendidikan orang tua dan variabel tergantung yaitu sikap/kesadaran tentang deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi baru lahir. populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien/orang tua pasien dengan kriteria inklusi orang tua bayi atau anak yang memeriksakan diri di klinik amc dan pasien/ibu hamil di poli kebidanan, dengan kriteria eksklusi pasien yang tidak mau menandatangani persetujuan/informed consent. tingkat pendidikan di kategorikan menengah (sma, d3), tinggi (s1) dan sangat tinggi (s2/s3). tingkat pengetahuan dikategorikan baik jika menjawab dengan benar lebih dari 60% pertanyaan tentang deteksi dini gangguan pendengaran. analisis data menggunakan chi-square untuk mengetahui signifikansi perbedaan antar kelompok tingkat pendidikan sangat tinggi, tinggi, menengah dan rendah. hasil responden penelitian ini diambil dari orang tua yang memiliki bayi dan balita yang memeriksakan anaknya di poli anak dan pasien kebidanan dan kandungan di poli klinik amc yogyakarta selama bulan juni-juli 2018 yang bersedia mengisi kuesioner dengan menanda tangani surat persetujuan/ informed consent. jumlah subyek penelitian ini adalah sebanyak 55 orang, dengan data demografi dan karakteristik umum responden dapat dilihat pada tabel 1. 14 | vol 19 no 1 januari 2019 key word: hearing screening; parent education; newborn; speech and language develoment pendahuluan ketulian merupakan gangguan sensori yang paling sering terjadi pada manusia termasuk pada bayi yang baru dilahirkan. insidensi ketulian pada bayi baru lahir 0,001% sampai 0,5% dan meningkat pada bayi dengan faktor risiko mencapai 1% 5%.1,2 pengamatan terhadap anak dengan gangguan pendengaran yang terdiagnosis dan dilakukan intervenesi pada 6 bulan pertama kehidupan bayi akan mencegah dampak ketulian sehingga mencapai kemampuan bahasa, kosakata, ekspresi yang lebih baik daripada yang terdeteksi lambat.3 amerika serikat dan beberapa negara lain membuat kebijakan semua bayi baru lahir wajib dilakukan skrining pendengaran secara menyeluruh meskipun bayi tidak memiliki faktor risiko dan disahkan dengan undangundang (joint committee on infant hearing 2007).4 idealnya pemberian intervensi pada anak tuna rungu saat mereka berusia kurang dari 2 tahun. sesuai dengan teori perkembangan bahasa dimana saat tersebut merupakan masa emas untuk perkembangan bicara anak. dilaporkan oleh moeller et al. (2000),5 dimana anak tuna rungu di negara maju pada usia 6 bulan setelah terdeteksi seluruh anak tuna rungu dapat masuk ke program prasekolah yang dilakukan setiap hari dengan rata-rata umur saat masuk berusia 15 bulan. pemeriksaan ottoacoustic emission (oae) sangat sederhana dan tidak infasif dengan memasukkan “probe” di liang telinga. alat oae akan memberikan stimulus suara masuk ke liang telinga dan yang dinilai adalah respon yang muncul dari koklea. hasil pemeriksaan dinyatakan dengan kriteria pass (lulus) atau refer (tidak lulus). hasil pass menunjukkan keadaan koklea baik, sedangkan hasil refer artinya adanya gangguan koklea.5,6,7 deteksi dini gangguan pendengaran masih menjadi tantangan di negara berkembang, kumar (2015),9 melaporkan rata-rata umur (bulan) kecurigaan pertama, diagnosis dan intervensi anak tuna rungu adalah 19,59 bulan, 24,82 bulan dan 29,28 bulan. keterlambatan antara kecurigaan dengan diagnosis adalah 5,23 bulan dan jeda dari diagnosis sampai intervensi 4,46 bulan.8 sebanyak 70,48% anak tuna rungu baru dicurigai setelah berumur 1 tahun lebih dan hanya 1,6% terdiagnosis gangguan pendengaran di bawah 6 bulan. dengan demikian pengetahuan terhadap perkembangan bicara dan bahasa sangat penting bagi orang tua sehingga lebih cepat timbul kecurigaan jika kemampuan anaknya tidak sesuai.9 program skrining ketulian universal pada bayi baru lahir yang ideal di indonesia belum dapat dilaksanakan karena keterbatasan alat automated brain respon (abr) dan oae. selain alat tersebut hanya dimiliki oleh rumah sakit tertentu, terdapat kendala masih relatif tingginya biaya pemeriksaan, tidak semua rumah sakit mempunyai tenaga audiologist maupun dokter spesialis telinga hidung tenggorok, faktor sosial ekonomi masyarakat dan faktor kebijakan pemerintah. bagian tht klinik amc telah menyediakan pelayanan pemeriksaan skrining pendengaran bayi baru lahir dengan alat otoacoustic emission (oae), akan tetapi untuk pemanfaatan sarana ini oleh masyarakat masih kurang. tujuan dari penelitian ini adalah menilai pengetahuan orang tua tentang perkembangan bicara dan bahasa terhadap sikap perlunya pemeriksaan gangguan pendengaran pada bayi baru lahir. bahan dan cara penelitian ini merupakan penelitian observational dengan pendekatan cross-sectional dimana peneliti menggunakan hasil kuesioner untuk menilai variabel bebas yaitu pendidikan orang tua dan variabel tergantung yaitu sikap/kesadaran tentang deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi baru lahir. populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien/orang tua pasien dengan kriteria inklusi orang tua bayi atau anak yang memeriksakan diri di klinik amc dan pasien/ibu hamil di poli kebidanan, dengan kriteria eksklusi pasien yang tidak mau menandatangani persetujuan/informed consent. tingkat pendidikan di kategorikan menengah (sma, d3), tinggi (s1) dan sangat tinggi (s2/s3). tingkat pengetahuan dikategorikan baik jika menjawab dengan benar lebih dari 60% pertanyaan tentang deteksi dini gangguan pendengaran. analisis data menggunakan chi-square untuk mengetahui signifikansi perbedaan antar kelompok tingkat pendidikan sangat tinggi, tinggi, menengah dan rendah. hasil responden penelitian ini diambil dari orang tua yang memiliki bayi dan balita yang memeriksakan anaknya di poli anak dan pasien kebidanan dan kandungan di poli klinik amc yogyakarta selama bulan juni-juli 2018 yang bersedia mengisi kuesioner dengan menanda tangani surat persetujuan/ informed consent. jumlah subyek penelitian ini adalah sebanyak 55 orang, dengan data demografi dan karakteristik umum responden dapat dilihat pada tabel 1. | 15 | 15 berdasarkan tabel 1. dapat dilihat distribusi usia responden terbesar adalah kelompok usia 2030 tahun yaitu sebanyak 38 orang (69,1%) yaitu ibuibu masa reproduksi, sedangkan 1,8 % usia di bawah 20 tahun dan 29,1% usia di atas 30 tahun. tingkat pendidikan ibu yang paling banyak adalah pendidikan tinggi (d3 dan s1) sebanyak 42 orang (76,3%), jumlah anak yang dimiliki ibu paling besar adalah 2 anak, yaitu sebanyak 33 orang (45,8%) dan jumlah balita yang dimiliki ibu paling besar frekuensinya adalah 0 anak, yaitu sebanyak 23 orang (41,8%). hasil kuesioner pengetahuan tentang perkembangan bicara dan bahasa dan sikap terhadap deteksi dini gangguan pendengaran dikategorikan baik jika jawaban benar lebih dari 75% dan kurang jika kurang dari 75%, sebagaimana terlihat pada tabel 2. pada tabel 2. dapat diketahui bahwa sebanyak 38 orang (69,1%) mempunyai pengetahuan tentang perkembangan bicara dan bahasa dengan kategori baik, dan 38 orang (69,1%) mempunyai kesadaran terhadap perlunya deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi baru lahir. kesadaran orang tua terhadap deteksi gangguan pendengaran pada bayi baru lahir dihubungkan dengan faktor-faktor karakteristik seperti pendidikan, usia, jumlah anak, dan tingkat pengetahuannya, didapatkan hasil pengujian uji statistiknya pada tabel 3. tabel 3. menunjukkan bahwa secara keseluruhan tidak ada perbedaan kesadaran deteksi gangguan pendengaran atas faktor usia, pendidikan, jumlah anak dan tingkat pengetahuan terhadap perkembangan bicara dan bahasa secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p > 0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan orang tua tidak berpengaruh pada sikap positif/tertarik pada program deteksi dini pemeriksaan pendengaran. tabel 1. karakteristik subyek penelitian orang tua pasien klinik amc karakteristik subyek frekuensi persentase (%) usia < 20 tahun 1 1,8 20-30 tahun 38 69,1 31-40 tahun 16 29,1 pendidikan menengah (sma) 7 12,7 tinggi d3-s1 42 76,3 sangat tinggi s2-s3 6 10,9 jumlah anak 0 23 41,8 1 22 40 2 7 12,7 3 3 5,5 tabel 2. hasil skor pengetahuan orang tua terhadap perkembangan bicara dan bahasa anak dan kesadaran tentang deteksi dini hasil frekuensi persentase (%) pengetahuan orang tua baik 38 69,1% kurang 17 30,9% kesadaran deteksi baik 38 69,1% kurang 17 30,9% tabel 3. tingkat kemaknaan uji chi-square kesadaran deteksi gangguan pendengaran pada bayi baru lahir menurut karakteristik responden kesadaran deteksi x2 p baik kurang usia 2,181 0,336 < 20 tahun 1 0 20-30 tahun 24 14 31-40 tahun 13 3 pendidikan menengah (sma) 6 1 tinggi d3-s1 27 15 2,833 0,418 sangat tinggi s2-s3 5 1 jumlah anak 0 13 10 1 17 5 3,305 0,347 2 6 1 3 2 1 pengetahuan baik 28 10 1,215 0,270 kurang 10 7 diskusi hasil uji statistik pengaruh tingkat pendidikan orang tua terhadap kesadaran/sikap tentang deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi baru lahir tidak bermakna. salah satu penyebabnya adalah angka prevalensi gangguan pendengaran yang rendah sehingga belum banyak dikenal oleh masyarakat umum. hasil penelitian moeller et al. (2006),5 pada dokter umum juga melaporkan adanya beberapa pendapat yang menyatakan deteksi gangguan pendengaran bahkan membuat kecemasan pada orang tua. hasil survei yang dilakukan pada orang tua pasien di poliklinik anak dan pasien ibu hamil di poliklinik kebidanan amc yogyakarta menunjukkan kesadaran perlunya deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi baru lahir yang baik pada 38 (69,1%) responden, hanya 6 (11%) yang merasa kurang perlu jika bayi mereka normal tanpa faktor risiko. hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan peneliti 14 | vol 19 no 1 januari 2019 key word: hearing screening; parent education; newborn; speech and language develoment pendahuluan ketulian merupakan gangguan sensori yang paling sering terjadi pada manusia termasuk pada bayi yang baru dilahirkan. insidensi ketulian pada bayi baru lahir 0,001% sampai 0,5% dan meningkat pada bayi dengan faktor risiko mencapai 1% 5%.1,2 pengamatan terhadap anak dengan gangguan pendengaran yang terdiagnosis dan dilakukan intervenesi pada 6 bulan pertama kehidupan bayi akan mencegah dampak ketulian sehingga mencapai kemampuan bahasa, kosakata, ekspresi yang lebih baik daripada yang terdeteksi lambat.3 amerika serikat dan beberapa negara lain membuat kebijakan semua bayi baru lahir wajib dilakukan skrining pendengaran secara menyeluruh meskipun bayi tidak memiliki faktor risiko dan disahkan dengan undangundang (joint committee on infant hearing 2007).4 idealnya pemberian intervensi pada anak tuna rungu saat mereka berusia kurang dari 2 tahun. sesuai dengan teori perkembangan bahasa dimana saat tersebut merupakan masa emas untuk perkembangan bicara anak. dilaporkan oleh moeller et al. (2000),5 dimana anak tuna rungu di negara maju pada usia 6 bulan setelah terdeteksi seluruh anak tuna rungu dapat masuk ke program prasekolah yang dilakukan setiap hari dengan rata-rata umur saat masuk berusia 15 bulan. pemeriksaan ottoacoustic emission (oae) sangat sederhana dan tidak infasif dengan memasukkan “probe” di liang telinga. alat oae akan memberikan stimulus suara masuk ke liang telinga dan yang dinilai adalah respon yang muncul dari koklea. hasil pemeriksaan dinyatakan dengan kriteria pass (lulus) atau refer (tidak lulus). hasil pass menunjukkan keadaan koklea baik, sedangkan hasil refer artinya adanya gangguan koklea.5,6,7 deteksi dini gangguan pendengaran masih menjadi tantangan di negara berkembang, kumar (2015),9 melaporkan rata-rata umur (bulan) kecurigaan pertama, diagnosis dan intervensi anak tuna rungu adalah 19,59 bulan, 24,82 bulan dan 29,28 bulan. keterlambatan antara kecurigaan dengan diagnosis adalah 5,23 bulan dan jeda dari diagnosis sampai intervensi 4,46 bulan.8 sebanyak 70,48% anak tuna rungu baru dicurigai setelah berumur 1 tahun lebih dan hanya 1,6% terdiagnosis gangguan pendengaran di bawah 6 bulan. dengan demikian pengetahuan terhadap perkembangan bicara dan bahasa sangat penting bagi orang tua sehingga lebih cepat timbul kecurigaan jika kemampuan anaknya tidak sesuai.9 program skrining ketulian universal pada bayi baru lahir yang ideal di indonesia belum dapat dilaksanakan karena keterbatasan alat automated brain respon (abr) dan oae. selain alat tersebut hanya dimiliki oleh rumah sakit tertentu, terdapat kendala masih relatif tingginya biaya pemeriksaan, tidak semua rumah sakit mempunyai tenaga audiologist maupun dokter spesialis telinga hidung tenggorok, faktor sosial ekonomi masyarakat dan faktor kebijakan pemerintah. bagian tht klinik amc telah menyediakan pelayanan pemeriksaan skrining pendengaran bayi baru lahir dengan alat otoacoustic emission (oae), akan tetapi untuk pemanfaatan sarana ini oleh masyarakat masih kurang. tujuan dari penelitian ini adalah menilai pengetahuan orang tua tentang perkembangan bicara dan bahasa terhadap sikap perlunya pemeriksaan gangguan pendengaran pada bayi baru lahir. bahan dan cara penelitian ini merupakan penelitian observational dengan pendekatan cross-sectional dimana peneliti menggunakan hasil kuesioner untuk menilai variabel bebas yaitu pendidikan orang tua dan variabel tergantung yaitu sikap/kesadaran tentang deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi baru lahir. populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien/orang tua pasien dengan kriteria inklusi orang tua bayi atau anak yang memeriksakan diri di klinik amc dan pasien/ibu hamil di poli kebidanan, dengan kriteria eksklusi pasien yang tidak mau menandatangani persetujuan/informed consent. tingkat pendidikan di kategorikan menengah (sma, d3), tinggi (s1) dan sangat tinggi (s2/s3). tingkat pengetahuan dikategorikan baik jika menjawab dengan benar lebih dari 60% pertanyaan tentang deteksi dini gangguan pendengaran. analisis data menggunakan chi-square untuk mengetahui signifikansi perbedaan antar kelompok tingkat pendidikan sangat tinggi, tinggi, menengah dan rendah. hasil responden penelitian ini diambil dari orang tua yang memiliki bayi dan balita yang memeriksakan anaknya di poli anak dan pasien kebidanan dan kandungan di poli klinik amc yogyakarta selama bulan juni-juli 2018 yang bersedia mengisi kuesioner dengan menanda tangani surat persetujuan/ informed consent. jumlah subyek penelitian ini adalah sebanyak 55 orang, dengan data demografi dan karakteristik umum responden dapat dilihat pada tabel 1. 16 | 16 | vol 19 no 1 januari 2019 an lain tentang kesadaran deteksi dini dengan mengadakan survei melalui email terhadap dokter yang pada pelayanan primer didapatkan kesadaran pentingnya deteksi gangguan pendengaran pada bayi baru lahir sebesar 81,6%, dengan sisanya merasa belum yakin.5 hasil penelitian ini mendekati kesamaan dengan survei yang dilakukan oleh mazlan (2018),10 yang melaporkan kesadaran terhadap program deteksi gangguan pendengaran pada bayi baru lahir pada tenaga medis yang bekerja di rumah sakit sebesar 70%, angka kepedulian tertinggi pada profesi dokter spesialis tht, diikuti dokter spesialis anak, dan menurut pendapat perawat di bagian nicu justru pemeriksaan skrining gangguan pendengaran pada abyi baru lahir menimbulkan kecemasan pada orang tua bayi. pengetahuan yang baik tentang perkembangan bicara dan bahasa didapatkan pada 38 (69,1%) responden. hal ini dinilai masih rendah sehingga perlu upaya untuk memberikan pengetahuan sehingga terjadi perbaikan perilaku positif. tingkat pendidikan tinggi pada 76,3% responden ternyata tidak berkorelasi dengan pengetahuan dan kesadaran deteksi dini. seharusnya semakin seseorang berpendidikan tinggi akan memiliki pengetahuan yang lebih luas dan semakin mudah menerima hal-hal baru dan mudah belajar hal yang baru, tetapi ada kecenderungan seseorang tidak menguasai semua bidang, misalnya tenaga kesehatan lebih cepat mendapatkan pengetahuan sesuai bidangnya.10 penelitian mazlan (2018),10 menyebutkan bahwa responden dokter spesialis tht dengan skor pengetahuan tentang skrining pendengaran tertinggi (74,9%) merupakan dokter yang memiliki dukungan tertinggi terhadap program skrining di rumah sakit tempat bekerja, sedangkan profesi lain yaitu dokter spesialis anak dan perawat nicu memiliki rata-rata skor pengetahuan di bawahnya. hal ini menunjukkan bahwa pada tenaga medispun pengetahuan tentang dekteksi dini masih perlu ditingkatkan, terutama mengenai kapan perlu dilakukan skrining, bagaimana jika hasil skrining “refer”, bagaimana evaluasi selanjutnya, apa pemeriksaan yang dibutuhkan, bagaimana intervensi yang tepat pada diagnosis gangguan pendengaran dan tim medis yang perlu bekerjasama dalam intervensi dini anak dengan gangguan pendengaran. simpulan pendidikan orang tua tidak berpengaruh pada sikap/kesadaran tentang deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi baru lahir. daftar pustaka 1. kanne jt, schaefer l, perkins ja. potential pitfalls of initiating a newborn hearing screening program. arch otolaryngol head neck surg, 1999; 125 (1): 28-32. 2. olusanya bo, neonatal hearing screening and intervention in resource limited settings: an overview. arch dis child, 2012; 97 (7): 654-9. 3. pimperton h, kennedy cr. the impact of early identification of permanent childhood hearing impairment on speech and language outcomes. arch dis child, 2012; 97 (7); 648-653. 4. joint committee on infant hearing. year 2007 position statement: principles and guidelines for early hearing detection and interventions programs. pediatrics, 2007; 120 (4): 898-921. 5. moeller mp, white kr, shisler l. primary care physicians' knowledge, attitudes, and practices related to newborn hearing screening. pediatrics, 2006; 118 (4): 1357-1370. 6. goedert mh, moeller mp, white kr. midwives’ knowledge, attitude, and practice related to newborn hearing screening. j midwifery womens health, 2011; 56 (2): 147-153. 7. paludetti g, ottaviani f, fetoni ar, zuppa aa, tortorolo g. transient evoked otoacustic emissions (teoaes) in newborns: normative data. int j pediatr otorhinolaryngol, 1999; 47 (3): 235-241. 8. shulman s, besculides m, saltzman a, ireys h, white kr, forsman i. evaluation of the universal newborn hearing screening and intervention program. pediatrics, 2010; 126 (suppl1): s19–27. 9. kumar s, kolethekkat aa, kurien m. challenges in the detection and intervention of childhood deafness: experience from a developing country. ijbr, 2015; (6) 01: 40-45 10. mazlan r & min ws. knowledge and attitude of malaysian healthcare professionals toward newborn hearing screening program. malaysian j public health med, 2018; special volume (1): 62-68 83 mutiara medika vol. 15 no. 2: 83-88, mei 2015 proliferasi limfosit mencit balb/c setelah pemberian ubi jalar ungu (ipomoea batatas l.) diinduksi ovalbumin lymphocyte proliferation balb/c mice after the administering of purple sweet potato (ipomoea batatas l.) induced with ovalbumin santin meilandani,1* sri nabawiyati nurul makiyah2* 1program studi kedokteran, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta 2bagian histologi, program studi kedokteran, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta *email: nurul_makiyah@umy.ac.id abstrak kandungan flavonoid dalam ubi jalar ungu (ipomoea batatas l.) berkhasiat sebagai agen antialergi. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol i. batatas l (eeib). terhadap proliferasi limfosit t pada mencit balb/ct6e456rd6 diinduksi ovalbumin. jenis penelitian ini adalah eksperimental post-test only control group design dengan subyek 28 ekor mencit jantan balb/c dibagi 7 kelompok, yaitu kelompok kontrol (k), kontrol negatif diinduksi ovalbumin (kn), 4 kelompok perlakuan eeib dosis 0.21, 0.42, 0.84, 1.65 g/kg bb/hari dan kelompok perlakuan obat anti histamin 0.02mg/20g bb/hari (oah). kelompok kn dan kelompok perlakuan diinduksi ovalbumin pada hari ke-15, hari ke-22 dan hari ke-23 sampai hari ke-28. pada hari ke-29 dilakukan pembedahan, pengambilan organ limpa, dikultur, dan suspensi selnya dan dilakukan uji proliferasi limfosit t dengan metode elisa. data proliferasi limfosit t dianalisis dengan uji one way anova dilanjutkan uji tukey. hasil rerata proliferasi limfosit t tertinggi didapatkan pada kelompok induksi ova (p1) sebesar 0.926 ± 0.145 dan terendah pada kelompok ekstrak etanol ipomoea batatas l. dosis 0.84 g/kg bb/hari sebesar 0.562 ± 0.074. hasil uji one way anova menunjukkan ada beda nyata (p=0.000). disimpulkan bahwa ipomoea batatas l. dapat menurunkan proliferasi limfosit t mencit balb/c dengan dosis efektif 0.84 g/kg bb/hari. kata kunci: ipomoea batatas l., ovalbumin, proliferasi limfosit t, mencit balb/c model alergi abstract flavonoids in purple sweet potato (ipomoea batatas l.) have favorable properties such as antiallergy. this study aimed to determine the effect of etanol extract of ipomoea batatas l (eeib) on proliferation of t lymphocytes in balb/c mice induced ovalbumin. this is an experimental research with post-test only control group design used 28 balb/c mice which is divided into 7 groups: control group (c), negative control with ovalbumin induction (kn), eeib treatment group doses of 0:21, 0:42, 0.84, 1.65 g/kg bb/day and antihistamines drug treatment group dose of 0.02mg/20g bw/day (oah). kn group and treatment group are induced with ovalbumin on day 15th, day 22nd and day 23rd until day 28th. on day 29th, mice are decapited and dissected, their spleen are taken, being cultured, their cells are suspended, and do the proliferation of t lymphocytes tested with elisa. limfosit t proliferation data are analysed with one way anova followed by tukey’s test. the result of the highest proliferation of t lymphocytes is obtained in the ovalbumin induction group (p1) of 0926 ± 0145 and the lowest is in ipomoea batatas l. ethanol extract group dose of 0.84 g/kg bw/day of 0562 ± 0074. one way anova test results showed a significant difference (p = 0.000). it is concluded that ipomoea batatas l. can decrease the t lymphocyte proliferation in balb/c mice with an effective dose of 0.84 g/kg bw/day. key words: ipomoea batatas l., ovalbumin, t lymphocyte proliferation, balb/c mice model of allergic artikel penelitian mutiara medika vol. 15 no. 2: 83-88, mei 2015 84 santin meilandani, dkk., proliferasi limfosit mencit balb/c pendahuluan pada beberapa dekade terakhir terjadi peningkatan insiden atopi dan penyakit alergi, yang dapat mempengaruhi kualitas kesehatan masyarakat di negara maju maupun negara berkembang.1 indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan kekayaan alam melimpah, salah satu komoditas utama karbohidrat setelah padi dan jagung adalah ubi jalar. ubi jalar ungu (ipomoea batatas l.) merupakan salah satu bahan makanan yang memiliki kandungan senyawa antioksidan yang sangat tinggi, sebesar 110,5mg/100g. pigmen antosianin merupakan salah satu golongan flavonoid.2 kandungan flavonoid dalam ubi jalar ungu banyak diteliti memiliki efek yang menguntungkan diantaranya sebagai antialergi, antiinfamasi dan hepatoprotektif.3 proliferasi adalah proses diferensiasi dan pembelahan sel secara mitosis yang merupakan fungsi biologis tubuh. limfosit berperan dalam sistem imun spesifik seluler (sel t) untuk pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraseluler, virus, jamur, parasit dan keganasan.4 respon proliferasi limfosit digunakan untuk menggambarkan fungsi limfosit dan status imun individu.5 tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol ipomoea batatas l. terhadap proliferasi limfosit t pada mencit balb/c diinduksi ovalbumin. bahan dan cara jenis penelitian ini adalah eksperimental dengan post-test only control grup design. subyek penelitian adalah mencit jantan balb/c yang genetik dan sifatnya sama. selama dalam pemeliharaan, mencit diberi pakan standar br i dan minum air mineral. penelitian ini menggunakan 28 ekor mencit balb/c dibagi menjadi 7 kelompok, yaitu kelompok kontrol (k), kelompok kontrol negatif diinduksi ovalbumin (kn), 4 kelompok perlakuan eeib dosis 0.21, 0.42, 0.84, 1.65 g/kg bb/hari (p1-p4), kelompok perlakuan yang diberikan obat anti histamine 0.02mg/20g bb/hari (oah), sebagai variabel bebas adalah ekstrak etanol ipomoea batatas l dosis 0.21, 0.42, 0.84, dan 1.65 g/kg bb/hari selama 28 hari berturut-turut; sedang untuk variabel tergantung adalah kadar proliferasi limfosit t organ limpa yang diukur dengan metode elisa dilakukan melalui perhitungan indeks stimulasi (is) dengan mitogen pha. variabel yang dikendalikan yakni mencit balb/c jantan, umur 2 bulan dan berat badan ± 20 gram, pakan standar br i dan minum air mineral. bahan penelitian ini adalah ubi jalar ungu (ipomea batatas l.), pakan mencit br i, aqua, asam pikrat, akuades, etanol 80%, ovalbumin (ova) merk sigma, al(oh)­3, fexofenadin (antihistamin generasi ke-3), kloroform, bahan untuk tes elisa, alkohol 70%, tissue. alat yang digunakan laminar air flow, sonde oral, spuit injeksi volume 5ml, elisa reader, dan propilen 15 cc. pelaksanaan penelitian diawali dengan pembuatan ekstrak etanol ubi jalar ungu (ipomea batatas l.) dengan metode maserasi berulang kali dan pelarut etanol 80%. selanjutnya setelah dilakukan pengelompokan hewan uji, mencit balb/c jantan diimunisasi pada hari ke-15 dengan 0.15 cc ova dalam al(oh)3/mencit dari 2,5 mg ova yang dilarutkan pada 7,75 ml alumunium hidroksida dan pada hari ke-22 dengan 0,15 cc ova dalam akuades/mencit dari 2,5 mg ova yang dilarutkan pada 10 ml akuades. pada hari ke-23 sampai hari ke-28 mencit dipapar lagi peroral dengan 0,15 cc ova dalam akuades dibuat dari 2,5 mg ova dalam 2,5 ml akuades.6 85 mutiara medika vol. 15 no. 2: 83-88, mei 2015 pada hari ke-29 dilakukan pembedahan mencit balb/c selanjutnya diambil organ limpanya dibuat suspensei sel dan diabsorbansi dengan elisa reader dengan panjang gelombang 595 nm untuk mengetahui jumlah proliferasi limfosit t. analisis data menggunakan uji one way anova dilanjutkan dengan uji tukey. hasil hasil penelitian ini dilakukan untuk mengukur proliferasi limfosit t. pada gambar 1. terlihat pada kelompok kontrol yang tidak diberikan perlakuan memiliki jumlah proliferasi limfosit t terendah yaitu sebesar 0.382 ± 0.139. rata-rata proliferasi limfosit tertinggi terdapat pada kelompok p1 yang diinduksi ova yaitu sebesar 0.926 ± 0.145. kelompok perlakuan yang diberikan ekstrak ipomoea batatas l. memiliki jumlah proliferasi limfosit t yang hampir setara dibandingkan dengan jumlah proliferasi limfosit kelompok kontrol positif yang diberi obat antihistamin. jumlah proliferasi limfosit t pada kelompok perlakuan yang diberikan ekstrak ipomoea batatas l. tertinggi pada kelompok perlakuan p3 dengan dosis ekstrak 0.42 g sebesar 0.639 ± 0.050 diikuti kelompok p5 sebesar 0.601 ± 0.050, kelompok p2 dengan dosis 0.21 g sebesar 0.580 ± 0.059, dan terendah pada kelompok p4 dengan dosis 0.84 g sebesar 0.562 ± 0.074. pada kelompok kontrol positif rata-rata jumlah proliferasi limfosit t adalah sebesar 0.586 ± 0.094. dosis yang efektif dalam menurunkan jumlah indeks stimulasi (is) proliferasi limfosit t adalah ekstrak ipomoea batatas l. 0.84 g/kg/bb yang nilainya hampir mendekati jumlah indeks stimulasi (is) proliferasi limfosit t pada kelompok kontrol sebesar 0.382 ± 0.139 dan lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol positif sebesar 0.586 ± 0.094 . hasil analisis statistika menunjukkan bahwa distribusi data normal sehingga dilanjutkan dengan uji one way anova. data hasil gambar 1. rerata proliferasi limfosit t mencit balb/c model alergi setelah pemberian ekstrak etanol ipomoea batatas l. keterangan : k: kontrol negatif: induksi ovalbumin; eeib: ekstrak etanol ipomoea batatas l.; oah: obat antihistamin 86 santin meilandani, dkk., proliferasi limfosit mencit balb/c uji one way anova dapat dilihat pada tabel 2. pengambilan keputusan atau hipotesis didasarkan pada nilai probabilitas sig <0.05 sehingga ho ditolak, pada hasil penelitian ini terlihat pada tabel 2. bahwa nilai sig .000, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada keenam populasi tidak identik, yang artinya terdapat perbedaan jumlah proliferasi limfosit t dari masing-masing kelompok. pada peneliltian ini pada tabel 1. uji one way anova menunjukkan bahwa nilai p=0.000 yang artinya bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antar kelompok. berdasarkan gambar 1 menunjukkan bahwa jumlah proliferasi limfosit tertinggi ada apa kelompok p1 (diinduksi ova) dengan rata-rata jumlah indeks stimulasi (is) proliferasi limfosit t sebesar 0.926 ± 0.145, hal tersebut dikarenakan pada kelompok ini hanya diberikan sensitisasi ovalbumin saja, selain itu kelompok p1 juga sebagai pembanding dengan kelompok yang diberikan perlakuan ekstrak ipomoea batatas l. dan obat antihistamin. pada gambar 1. data proliferasi limfosit mengalami penurunan pada semua kelompok perlakuan yang diberikan ekstrak ipomoea batatas l. dengan masing-masing dosis dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif dan hampir setara dengan jumlah proliferasi limfosit t pada kelompok kontrol positif yang diberikan obat antihistamin. diskusi ovalbumin merupakan protein alergenik (antigen) dapat mengaktivasi jaringan mesenterium tikus sering digunakan untuk menginduksi reaksi alergi pada pemberian yang berulang.7 reaksi alergi terjadi melalui tahap-tahap aktivasi sel-sel imunokompeten dan aktivasi sel-sel struktural. setelah antigen menjadi komplek antigen, protein sel apc menyajikan antigen kepada sel t cd4+ (cluster of differentiation 4+) dan molekul cd3, saat inilah terjadi pengenalan antigen. selanjutnya sel apc mengeluarkan il-1 (interleukin-1) yang akan merangsang sel t untuk mengeluarkan il-2. il-2 akan mengakibatkan proliferasi sel t.8 peningkatan jumlah proliferasi limfosit t pada mencit balb/c model alergi yang diinduksi ova itulah yang menjadi landasan pada penelitian kali ini sesuai dengan hasil penelitian.9 pada tahun 2006 kumalaningsih dalam penelitiannya menyebutkan bahwa ubi jalar ungu (ipomoea batatas l.) mengandung antosianin 519 mg/100 gr berat basah dan mempunyai stabilitas yang tinggi dibanding antosianin dari sumber lain. antosianin merupakan metabolit sekunder golongan flavonoid dan polifenol.10 efek konsumsi flavonoid antara lain antiinflamasi, antialergi, antimikroba, hepatoprotektif, antivirus, antitrombotik, kardioprotektif, penguatan kapiler, efek antidiabetes, anti kanker dan antineotabel 1. uji one way anova proliferasi limfosit t mencit balb/c (g/ml) model alergi setelah pemberian ekstrak etanol ipomoea batatas l. keterangan: df= degree of freedom; f= nilai f hitung; sig. = significant 87 mutiara medika vol. 15 no. 2: 83-88, mei 2015 plastik, dan lain-lain. flavonoid mengandung zat antioksidan yang melindungi sel terhadap efek kerusakan oleh oksigen reaktif dan juga memberikan aktivitas imunomodulator yang signifikan dan menunjukkan kecenderungan untuk mempengaruhi sejumlah proses inflamasi selular, fungsi kekebalan tubuh, dan transduksi sinyal sel permukaan.11 zat bioaktif yang mempunyai aktivitas antioksidan dan berperan dalam menghambat aktifasi nf-º² adalah senyawa fenolik terutama protocatechuic acid dan flavonoid-antosianin. nf-º² berperan dalam sintesis il-2 yang menyebabkan terjadinya proliferasi limfosit, sehingga ketika nf-º² dihambat maka proliferasi limfosit akan turun.12 data proliferasi limfosit pada kelompok p2 (ekstrak ipomoea batatas l. dosis 0.21 g/kg bb/ hari) sebesar 0.580 ± 0.059, pada kelompok p3 (ekstrak ipomoea batatas l. dosis 0.42 g/kg bb/ hari) sebesar 0.639 ± 0.050 lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok p2 walaupun tetap lebih rendah dibandingkan dnegan kelompok kontrol negatif, pada kelompok p4 (ekstrak ipomoea batatas l. dosis 0.84 g/kg bb/hari) merupakan jumlah proliferasi limfosit t terendah dibandingkan dengan semua kelompok perlakuan maupun kelompok p1 dan hampir setara dengan kelompok kontrol yang tidak diberikan perlakuan apapun. kelompok p5 dengan perlakuan ekstrak ipomoea batatas l. dosis 1.65 g/kg bb/hari juga menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan kelompok p4 namun masih lebih rendah dari jumlah proliferasi limfosit t kelompok p3. pada peneliltian ini dosis efektif ekstrak ipomoea batatas l. adalah 0.84 g/kg bb/hari dengan jumlah proliferasi limfosit t terendah dibandingkan dengan semua kelompok. potensi suatu obat ditunjukkan dengan rentang dosis obat yang menimbulkan efek, makin rendah dosis yang dibutuhkan untuk suatu respon yang diberikan, makin poten obat.13 fexofenadine yang merupakan antihistamin golongan iii dipilih sebagai pembanding kelompok kontrol positif karena mempunyai efek sebagai antialergi dan antiinflamasi yang digunakan oleh para klinisi.14 penelitian ini menunjukkan kurang signifikannya perbedaan jumlah proliferasi antar kelompok yang diberikan perlakuan pemberian ekstrak etanol ipomoea batatas l. , namun cukup signifikan jika kelompok yang diberikan ekstrak etanol ipomoea batatas l. dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif yang hanya diberikan sensitisasi ova. hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian dani (2012), dimana disebutkan bahwa ekstrak umbi teki (cyperus rotundus l) khususnya kandungan flavonoid yang terkandung dalam umbi teki (cyperus rotundus l) dapat menurunkan jumlah sel limfosit pada jaringan granulasi tikus wistar jantan setelah pencabutan gigi dan sesuai dengan penelitian purwaningsih pada tahun 2013 yang menerangkan bahwa antosianin yang merupakan salah satu golongan flavonoid dapat menekan jumlah proliferasi limfosit t. simpulan ekstrak etanol ipomoea batatas l. mampu menurunkan proliferasi limfosit t pada mencit balb/ c model alergi yang diinduksi ovalbumin. pemberian ekstrak etanol ipomoea batatas l. dengan dosis 0.84 g/kg bb mempunyai kemampuan menekan proliferasi limfosit t dengan nilai proliferasi limfosit yang hampir serupa dengan antihistamin generasi ke iii. 88 santin meilandani, dkk., proliferasi limfosit mencit balb/c daftar pustaka 1. fahimi, mukhti, bayu d.s, deasy f, ari, gatot s dan chairul e. asosiasi antara polusi udara dengan ige total serum dan tes faal paru pada polisi lalu lintas. j peny dalam, 2012; 13 (1): 1-9. 2. paramita, od. hubungan rinitis alergik dermatitis atopik dengan ige spesifik pada anak 6-7 tahun. disertasi doctoral universitas diponegoro. 2011 3. pertanian, direktorat jenderal tanaman pangan kementrian. in pedoman teknis pengelolaan produksi ubi jalar dan aneka umbi. jakarta. 2013 4. khasanah, n. pengaruh pemberian ekstrak jintan hitam (nigella sativa) terhadap respon proliferasi limfosit limpa mencit balb/c yang diinfeksi salmonella typhimurium. laporan akhir penelitian karya tulis ilmiah universitas diponegoro. 2009. 5. zakaria, fr, nurahman, e prangdimurti dan tejasari. antioxidant and immunoenhancement activities of ginger (zingiber officinale roscoe) extract and compount in vitro and in vivo mouse and human system. utraceuticals and food 8, 2003: 96-104. 6. makiyah snn, noor z, widodo w, rifa’i m and djati s. ethanol extract of tubers diocora alata l as antiallergic agent on mice balb/c induced with ovalbumin. int j pharma bio sci, 2014; 5 (3): 214-220. 7. hong, s.h., kim, s.r., choi, h.s., ku, j.m., seo, h.s., shi n, y.c., et al. eff ects of hyeonggaeyeongyo-tang in ovalbumin-induced allergic rhinitis model. mediators of inflammation, 2014; 2014: 1-9. 8. pramantara, i., & brathiarta, i. dermatitis kontak akibat kerja pada pekerja garmen. ejurnal medika udayana, 2014; 3 (1): 97-108. 9. kumagai, t., m. iguchi, n. shigeyama, s. okada, t. joh and t.hara. lactobacillus paracasei k71 isolated from sakekasu (sake lees) suppresses serum ige levels in ovalbumin-immunized balb/c mice. food sci. technol.res., 2013; 19 (1): in press. 10. kumalaningsih. antosianin alami. trubus agrisarana. surabaya. 2006. 11. achmad, m. pengaruh senyawa flavonoid ekstrak sarang semut (mymecodia pendans) terhadap hambatan proliferasi dan hambatan angi ogenesi s. di sertasi . uni v ersi tas hasanuddin. 2013 12. watson, r. r., & preedy, v. r. (eds.). bioactive food as dietary interventions for arthritis and related inflammatory diseases. 2013. academic press. 13. syarif a, estuningtyas a, setiawati a, bahry b, suyatna f, dewoto h, et al. farmakologi dan terapi. 5th ed. jakarta: gaya baru; 2007. 14. prasetyo, d.h. & nurwati, i. analisis efek kortikosteroid dosis rendah terhadap kadar pro-adreno-medullin dan il-17 mencit balb/c model sepsis. 2012. diakses dari https:// eprints.uns.ac.id/12567/ 66 rizka fakhriani, dkk., abses septum nasi abses septum nasi nasal septal abscess rizka fakhriani1*, tolkha amiruddin2 1 bagian ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta 2 rumah sakit umum daerah tjitrowardojo purworejo *email: rizkafakhriani@gmail.com abstrak abses septum nasi merupakan kasus yang jarang dijumpai. trauma nasal diketahui sebagai penyebab dari abses septum nasi. penanganan dini dari penyakit ini sangat penting karena dapat menimbulkan komplikasi yang serius. pada makalah ini, kami akan melaporkan kasus anak dengan abses septum nasi dengan kecurigaan traumatik. pasien laki-laki, berusia 9 tahun, datang dengan keluhan hidung tersumbat yang dirasakan sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit (smrs). keluhan disertai nyeri hidung, keluar sekret dan demam. pada pemeriksaan fisik, didapatkan kedua kavum nasi sempit, terdapat pembengkakan septum nasi bilateral dengan permukaan licin, berwarna kemerahan serta terdapat nyeri tekan dan fluktuasi yang konsisten dengan abses septum nasi. tatalaksana yang dilakukan adalah insisi drainase dan pemberian antibiotik. pasien kontrol tujuh hari setelahnya dan pemeriksaannya dalam batas normal. diagnosis dini dan tatalaksana yang tepat sangat penting pada penyakit ini untuk mencegah terjadinya penyebaran infeksi dan komplikasi berat yang dapat menimbulkan gejala sisa. kata kunci: abses septum nasi, trauma hidung, anak abstract nasal septal abscess is uncommon. nasal trauma is known to be a causative factor for development of nasal septal abscess. early intervention is important as it can cause serious complications. in this case, we will present a child with nasal septal abscess with suspicion on trauma. a 9-year-old male was presented with nasal obstruction since 5 days before presentation. the patient also complained nasal pain, secretions, and fever. on physical examination, there were bilateral nasal cavity fullness and nasal septum swelling, consistent with a nasal septal abscess. drainage incision and antibiotic administration were done seven days after interventions, the clinical findings were within normal limit. early diagnosis and management is important to prevent the spread of infection and severe complications which may cause some sequelae. keywords: nasal septal abcess, nasal trauma, children artikel penelitian mutiara medika vol. 16 no. 2: 66-70, juli 2016 pendahuluan abses septum nasi merupakan kasus yang jarang dijumpai.1 insidensi abses septum nasi sebenarnya tidak diktehui. di rusia dilaporkan terdapat 116 anak dengan abses septum nasi selama 6 tahun. di toronto, kanada dilaporkan terdapat 43 kasus abses septum nasi dalam periode waktu 8 tahun.2 trauma nasal diketahui sebagai penyebab dari abses septum nasi , yang menyebabkan terjadinya hematoma dan berakibat pada pembentukan abses.3 pemeriksaan kultur 67 mutiara medika vol. 16 no. 2: 66-70, juli 2016 darah perlu dilakukan untuk mengetahui mikroorganisme penyebab definitif pada penyakit tersebut, sehingga dapat diterapi dengan obat yang sesuai, biasanya dilakukan setelah pembedahan insisi drainase.4 penanganan dini dari penyakit ini sangat penting karena dapat menimbulkan komplikasi yang serius.5 risiko komplikasi yang dapat terjadi akibat abses septum nasi adalah risiko penyebaran infeksi ke daerah sekitar sampai ke intracranial, serta kelainan bentuk hidung dan wajah.6,7 telah dilaporkan beberapa kasus abses septum nasi sebelumnya, baik pada pasien trauma maupun non-trauma. telah dilaporkan kasus anak dengan abses septum nasi dengan kecurigaan traumatik. laporan kasus pasien laki-laki, 9 tahun, datang ke poliklinik tel i nga hi dung tenggorokan (tht) rsud tjitrowardoyo, purworejo dengan keluhan hidung tersumbat yang dirasakan sejak 5 hari smrs. hidung tersumbat dirasakan terus menerus dan semakin memberat. keluhan tidak terpengaruh oleh perubahan posisi. keluhan disertai nyeri hidung, terutama bila disentuh. keluar sekret dari hidung yang hilang timbul, berwarna kuning kental. terdapat keluhan demam yang dirasakan hilang timbul. nyeri wajah tidak ada. keluhan telinga dan tenggorok disangkal. pasien sudah berobat di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) 3 hari smrs akan tetapi keluhan belum membaik. pasien tidak mempunyai riwayat trauma pada hidung, tetapi pasien mempunyai kebiasaan sering mengorek hidung. pasien tidak memiliki riwayat imunosupresif. pada pemeriksaan fisik tht, telinga tidak didapatkan kelainan. pada pemeriksaan rhinoskopi anterior, didapatkan kedua kavum nasi sempit, terdapat pembengkakan septum nasi bilateral dengan permukaan licin, berwarna kemerahan, serta terdapat nyeri tekan dan fluktuasi pada pembengkakan tersebut (gambar 1.). pemeriksaan tenggorok dalam batas normal. berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien didiagnosis dengan abses septum nasi, kemudian dilakukan insisi drainase. pasien masuk kamar operasi dalam keadaan sadar, kemudian identitas disesuaikan. setelah dalam stadium anestesi, dilakukan tindakan aseptik antiseptik dan dipasang duk steril pada medan operasi. dilakukan identifikasi daerah abses, lalu dilakukan insisi pada abses septum nasi dekstra, kemudian diperdalam, keluar pus sebanyak 1 cc (gambar 2.). hal yang gambar 1. tampak pembengkakan pada septum nasi bilateral gambar 2. tampak pus bercampu r darah setelah dilakukan insisi pada septum nasi dekstra 68 rizka fakhriani, dkk., abses septum nasi sama dilakukan pada abses septum nasi sinistra, keluar pus sebanyak 1 cc. dilakukan eksplorasi, abses hanya terbatas pada 1/3 septum anterior. luka dicuci sebersih-bersihnya dengan povidone iodin. dilakukan pemasangan tampon padat anterior dengan salep antibiotik (chloramphenicol) pada kedua kavum nasi, lalu difiksasi dan diplester. pasien kemudian dirawat inap dan diberikan terapi ceftriaxone intravena 2 x 500 mg, metronidazole intravena 3 x 250 mg, ketorolac intravena 3 x 15 mg selama tiga hari. tiga hari setelah insisi drainase, tampon dibuka dan dilakukan pemeriksaan rhinoskopi anterior, ditemukan kedua kav um nasi cukup lapang, pembengkakan septum tidak ada, perdarahan tidak ada dan tampak luka pascainsisi baik. pasien diperbolehkan rawat jalan dengan obat rutin cefadroksil tablet 2 x 250 mg, paracetamol tablet 3 x 250 mg selama tujuh hari. pasien kontrol ke poliklinik tht satu minggu rawat jalan, tidak didapatkan keluhan nyeri dan demam. pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan perubahan bentuk hidung. pemeriksaan rhinoskopi anterior dalam batas normal, luka pasca insisi sudah menutup (gambar 3.). diskusi abses septum nasi didefinisikan sebagai kumpulan pus yang terdapat di antara septum cartilagoneous atau bony dengan mukoperikondrium atau mukoperiosteum.1,5 abses septum nasi cukup jarang dijumpai. studi oleh naik (2010),8 melaporkan bahwa hanya didapatkan 20 kasus abses septum nasi dalam jangka waktu 54 bulan di sebuah rumah sakit di india. trauma nasal telah diketahui sebagai faktor predisposisi dari sebagian besar kasus (75%) abses septum nasi.3 pada umumnya, trauma di mukosa nasal akan menyebabkan hematoma.8 hematoma rawan terhadap infeksi sekunder, terutama staphylococcus aureus.10 progresivitas dari hematoma menjadi purulenta dapat terjadi dalam 3 hari dan dapat menjadi abses dalam 5-7 hari.11 penyebab lainnya adalah operasi nasal, furunkel vestibulum nasi, sinusitis akut, infeksi gigi dan keadaan imunodefisiensi.1,9 pada pasien dengan abses septum nasi, keluhan yang paling sering dijumpai adalah hidung tersumbat (95%), dapat juga dikeluhkan nyeri nasal (50%), nyeri kepala (5%), demam (50%) dan malaise. pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan pembengkakan dari septum nasi yang dapat bersifat unilateral maupun bilateral, fluktuasi dan nyeri tekan.1,3 hidung dapat ditemukan membengkak, eritematous dan nyeri. selain itu, demam dan leukositosis juga dapat dijumpai.1 pasien kasus ini datang dengan keluhan obstruksi nasal, nyeri, keluar sekret dari hidung, disertai demam hilang timbul dan pada pemeriksaan fisik ditemukan pembengkakan septum nasi bilateral, fluktuasi dan terdapat nyeri tekan. penemuan ini sesuai dengan tanda dan gejala yang dijabarkan di literatur. pada pasien ini, abses septum nasi diduga disebabkan oleh kebiasaangambar 3. septum nasi dalam batas normal 69 mutiara medika vol. 16 no. 2: 66-70, juli 2016 pasien yaitu sering mengorek hidung. kasus serupa pernah dilaporkan oleh forde et al. (2012),1 dimana pasien berusia 55 tahun datang dengan obstruksi nasal bilateral, nyeri nasal yang berat dan demam yang tidak membaik dengan antibiotik. pada pemeriksaan fisiknya ditemukan pembengkakan m ukosa nasal septum. kasus lai nnya juga dilaporkan oleh takano et al. (2014),4 dengan keluhan dan penemuan klinis yang serupa, tetapi pada pasien berusia 7 bulan. hanya pernah dilaporkan 1 kasus abses septum nasi pada individu imunokompeten dan non-traumatik, oleh huang et al. (2011).3 pada kasus dengan kecurigaan abses septum nasi, disarankan untuk dilakukan pemeriksaan computed tomography (ct) scan untuk menilai luas abses dan mencari faktor predisposisi yang memungkinkan.1 computed tomography scan disarankan apabila terdapat selulitis fasial atau periorbital, meningismus, gangguan status mental, gejala persisten setelah dilakukan insisi drainase dan keterlambatan diagnosis.5 computed tomography scan juga diindikasikan pada keadan dimana etiologi penyakit tidak jelas, kecurigaan granulomatosis wegener, tuberkulosis, sifilis, sarkoma, limfoma, terutama pada pasien dengan gangguan sistem imun. pada ct scan dapat ditemukan pelebaran dari septum dengan kumpulan cairan pada submukoperikondrial. pemeriksaan darah juga dilakukan untuk menyingkirkan imunodefisiensi sebagai penyebab.1 pada kasus ini, tidak dilakukan pemeriksaan penunjang karena diagnosis telah ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta tidak ditemukan tanda perluasan dari infeksi. tatalaksana abses septum nasi meliputi terapi medikamentosa dan pembedahan.9 tatalaksana definitif pada abses septum nasi adalah insisi dan drainase mukoperikondrial dalam anestesi umum. masih belum ada konsensus mengenai apakah drainase dilakukan bersamaan dengan rekonstruksi. pascaoperasi, disarankan untuk diberikan antibiotik spektrum luas dan dilakukan kultur. terapi antibiotik dilanjutkan hingga 1-2 minggu dan dapat diperpanjang sesuai dengan tingkat keparahan penyakit dan respon terhadap terapi. bakteri yang paling sering ditemukan pada abses septum nasi adalah methicillin susceptible staphylococcus aureus (mssa). bakteri lain yang dapat ditemukan antara lain adalah h. influenzae, beta-hemolytic streptococcus, streptococcus pneumoniae dan bakteri anaerob.9 pada pasien ini, dilakukan tindakan pembedahan yaitu insisi drainase dan tampak pus bercampur darah pada bagian yang bengkak. terapi medikamentosa yang diberikan berupa sefalosporin generasi ketiga (ceftriaxone) sebagai antibiotik spektrum luas dan metronidazole untuk bakteri anaerob. cefadroxil diberikan sebagai antibiotik lanjutan selama satu minggu. ketorolac dan paracetamol diberikan sebagai agen anti nyeri. abses yang tidak ditangani dapat menimbulkan beberapa komplikasi, seperti resorpsi kartilago septum, perforasi septum, saddle nose deformity dan komplikasi intrakranial, meskipun jarang.11 pus yang terkumpul pada rongga septum akan mengganggu suplai darah ke kartilago septum. mikroorganisme dan efek massa dari abses dapat menyebabkan nekrosis kartilago dalam 1-2 hari. hal tersebut akan mengakibatkan terjadinya perforasi septum dan saddle nose deformity.1 keterlambatan dalam diag70 rizka fakhriani, dkk., abses septum nasi nosis dapat berakibat pada komplikasi yang lebih berat dan mengancam nyawa, seperti trombosis sinus kavernous dan meningitis.10 pada pasien ini tidak terjadi komplikasi dan septum nasi berada dalam batas normal pada satu minggu pasca insisi drainase. simpulan diagnosis dini dan tatalaksana yang tepat sangat penti ng untuk m encegah terj adi nya penyebaran infeksi dan komplikasi berat yang dapat menimbulkan gejala sisa. pada kasus ini, telah dilakukan diagnosis dini dan tatalaksana adekuat sehingga didapatkan hasil luaran yang baik. diperlukan konsensus m engenai keperl uan rekonstruksi saat tindakan pembedahan abses septum nasi. daftar pustaka 1. forde r, ashman h, williams ew, williamsjohnson j. idiopathic nasal septal abscess-a case report. west indian med j, 2012; 61 (8): 832–3. 2. alshaikh n, lo s. nasal septal abscess in children: from diagnosis to management and prevention. int j pediatr otorhinolaryngol, 2011; 75 (6): 737–744. 3. huang yc, hung pl, lin hc. nasal septal abscess in an immunocompetent child. pediatr neonatol, 2012; 53 (3): 213–5. 4. takano k, abe a, kakuki t, himi t. a nasal septal abscess in a pediatric patient. j case reports in medicine, 2014; 3 (1): 1-2. 5. nwosu j, nnadede p. nasalseptal hematoma/ abscess: management and outcome an a tertiary hospital of a developing country. patient prefer adherence, 2015; 9 (1): 1017–21. 6. cheng lh, kang bh. nasal septal abscess and facial cellulitis caused by community-acquired methicillin-resistant staphylococcus aureus. j laryngol otol, 2010; 124 (9): 1014-6. 7. debnam jm, gillenwater am, ginsberg le. nasal septal abscess in patients with immunosuppression. am j neuroradiol, 2007; 28 (10): 1878–1879. 8. naik sm. nasal septal abscess: a retrospective study of 20 cases in kvg medical college and hospital, sullia. clin rhinol an int j, 2010; 3 (3): 135–40. 9. jatana kr. delayed presentation of nasal septal abscess in a pediatric patient following infectious mononucleosis and acute bacterial si nusi ti s otorhi nol aryngol ogy. int j otorhinolaryngol, 2017; 4 (1): 1–3. 10. kass ji, ferguson bj. treatment of hematoma of the nasal septum. n engl j med, 2015; 372 (22): e28(1-3). 11. sowerby lj, wright ed. intracranial abscess as a complication of nasal septal abscess. cmaj, 2013; 185 (6): 1. 22 wuriani, dkk., pengaruh perbaikan postur kerja terhadap nyeri pengaruh perbaikan postur kerja terhadap nyeri muskuloskeletal pada perawat di klinik kitamura pontianak the influence of work posture improvement to musculoskeletal pain kitamura clinic pontianak nurses wuriani1*, elsye maria rosa2, mohammad afandi3 1, 3 program studi magister keperawatan, program pascasarjana universitas muhammadiyah yogyakarta 2magister manajemen rumah sakit, program pascasarjana universitas muhammadiyah yogyakarta *email: wureeanshie@yahoo.com abstrak nyeri muskuloskeletal sering terjadi pada perawat yang memiliki beban kerja yang berat seperti terlalu lama berdiri, lama duduk, lama membungkuk, atau beban yang berat untuk diangkat. static streching dan perbaikan postur kerja dapat menurunkan risiko nyeri muskulosketal. penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbaikan postur kerja terhadap nyeri muskuloskeletal pada 15 perawat di klinik kitamura pontianak, yang dipilih secara sampling jenuh. jenis penelitian ini adalah quasi eksperiment pre post test without control group design, data berupa skor nyeri dianalisis dengan nordic body map (nbm) pada pada perawat diklinik kitamura, kemudian memberikan perbaikan postur kerja dengan kursi ergonomi saat merawat luka selama 30 hari berturut-turut, selanjutnya dinilai nordic body map (nbm) kembali menggunakan paired t test. hasil penelitian ini adalah adanya nyeri leher atas 60% menjadi 0%, agak nyeri leher bawah 80% menjadi 40%, nyeri lengan atas kiri 60% menjadi 26,7% nyeri pinggang 46,7% menjadi 0%, agak nyeri lutut kanan 53,3 % menjadi 6,7% dan agak nyeri betis kiri 40% menjadi 6,7% secara bermakna. disimpulkan terdapat pengaruh dari perbaikan postur kerja terhadap penurunan nyeri muskuloskeletal kata kunci: nyeri muskuloskeletal, perawat, perbaikan postur kerja abstract musculoskeletal pain often occurs to nurses with heavy workload such as standing and sitting in long hours, bowing and lifting heaving stuffs. an interventions to reduce muskulosketal pain is by practicing static streching and improving body posture with can be performed by correcting working position using chair. aim this research to analyze the influence of the improvmement of working posture to musculosceletal pain to the nurses in kitamura clinic pontianak. method quasi experiment pre post test without control group design with 15 nurse with random sampling, asses pain score with nordic body map (nbm), and than given improvement of working posture 30 days, and asses pain score with nbm again. alalysis using paired t-test. results the research top neck pains 60 % to 0 %, bottom neck pain 80 % to 40 %, the upper arm left pain 60 % to 26.7 % the waist pain 46,7 % to 0 %, right knee little pain 53,3 % to 6.7 % and my left calf little pain 40 % to 6.7 %. conclusion this research is was a significant influence the improvement of working posture to a reduce musculosceletal pain. key words: improvement of working posture, musculoskeletal pain, nurse artikel penelitian mutiara medika vol. 17 no. 1: 22-28, januari 2017 23 mutiara medika vol. 17 no. 1: 22-28, januari 2017 pendahuluan nyeri terjadi bersama proses penyakit dan merupakan alasan yang paling umum seseorang mencari bantuan perawatan kesehatan, pemeriksaan diagnostik dan proses pengobatan. perawat memberi asuhan keperawatan kepada klien di berbagai situasi dan keadaan, yang memberikan intervensi untuk meningkatkan kenyamanan. samara (2007),¹ mengatakan prevalensi nyeri muskuloskeletal pada perawat sebesar 45,8% dengan rasa nyeri yang meliputi kelainan saraf, tendon, otot, ligamen disekitar muskuloskeletal yang terganggu, contohnya leher, hal ini dapat disebabkan karena posisi postur kerja yang salah dan dalam jangka waktu lama. beberapa nyeri muskuloskeletal yang paling sering terjadi pada perawat adalah myalgia dan low back pai, hal ini terkait dengan pekerjaan perawat yang banyak menggunakan tumpuan pada tulang belakang, seperti aktivitas membungkuk saat memasang infus, merawat luka, mengangkat dan memindahkan pasien dari tempat tidur yang satu ke tempat tidur yang lain, sikap perawat yang mengharuskan berdiri dalam waktu lama, yang memerlukan pengelolaan ketepatan postur kerja. susihono & prasetyo (2012),² menyatakan postur kerja penting dilakukan untuk menjaga kenyamanan pekerja dalam melakukan aktifitas kerja sehingga gangguan pada sistem muskuloskeletal seminimal mungkin terjadi. kisner dan colby (2007),³ menyatakan bahwa streching merupakan penguluran pada otot yang akan membantu meningkatkan fleksibilitas dan mobilitas otot serta memaksimalkan range of motion (rom) dari persendian, terutama static stretching adalah latihan dengan cara melakukan peregangan tanpa gerakan melentuk-lentukkan bagian tubuh yang dilatih. gerakan mulai dari mengulur otot dalam persendian sejauh mungkin, kemudian mempertahankan posisi tersebut selama 20 sampai 30 detik, seperti dikemukakan oleh subarjah (1988).4 selain itu static streching merupakan tindakan yang praktis dan dapat diaplikasikan dengan mudah dan dapat mengatur tulang belakang menuju pemulihan, dapat dilakukan diamana saja dan tanpa media.5 penilaian nyeri yang dilakukan dapat menggunakan nordic body map (nbm). perawatan luka terbanyak di klinik kitamura adalah luka diabetik yang membutuhkan waktu ratarata 1,5 jam setiap pasien, perawat melakukan perawatan rata-rata 7 jam dalam sehari. posisi perawat saat merawat luka kebanyakan membungkuk, berdiri dan jongkok, sehingga perawat bekerja dalam posisi yang tidak baik. hasil survey sementara dengan menggunakan quick ekposure check (qec) didapatkan 100% perawat berisiko mengalami keluhan muskuloskeletal, jika semua perawat mengalami keluhan nyeri muskuloskeletal maka pelayanan kepada pasien akan terganggu, dan pencapaian derajat kesehatan optimal tidak akan tercapai. penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbaikan postur kerja terhadap nyeri muskuloskeletal. bahan dan cara penelitian ini menggunakan jenis quasi eksperiment pre post test without control group design, menilai skor nyeri dengan nbm pada 15 perawat dengan tehnik sampling jenuh, kemudian memberikan perbaikan postur kerja dengan kursi saat merawat luka selama 30 hari berturut-turut, selanjutnya menilai nbm kembali. data dianalisis menggunakan paired t test. 24 wuriani, dkk., pengaruh perbaikan postur kerja terhadap nyeri hasil penelitian ini mencari pengaruh perbaikan postur kerja terhadap nyeri muskuloskeletal pada perawat di klinik kitamura pontianak. berdasarkan tabel 1. didapatkan data bahwa dari 15 responden paling banyak adalah berjenis kelamin laki-laki yaitu berjumlah 11 orang (73,3%). tingkat pendidikan responden paling banyak d iii keperawatan yaitu sebesar 53,3%. status perkawinan lebih banyak yang belum menikah yaitu 60%. berat badan responden 40 – 50 kg (40,0%) dan 51 – 60 kg (40,0%). kebiasaan tidak merokok sebesar 86,7%. tabel 1. karakteristik responden (n = 15) karakteristik frekuensi n=15 % jenis kelamin laki-laki 12 80,0 perempuan 3 20,0 tingkat pendidikan d iii 13 86,6 ners 1 6,7 s.2 1 6,7 status perkawinan menikah 14 93,3 belum menikah 1 6,7 berat badan 40 – 50 kg 4 26,7 51 – 60 kg 8 53,3  61 kg 3 20,0 merokok ya 2 13,3 tidak 13 86,7 sumber: data primer tabel 2. aktivitas dan penyebab nyeri dalam merawat luka pasien di klinik kitamura, pontianak n= 15 kegiatan postur kerja n=15 % nyeri ya 15 100 tidak 0 0 aktivitas penyebab nyeri berdiri lama sekali 3 20,0 membungkuk 9 60,0 jongkok 0 0 duduk lama 1 6,7 kurang istirahat 2 13,3 sumber : data primer berdasarkan tabel 2. tampak bahwa responden yang merasakan nyeri sebesar 100%. aktivitas penyebab nyeri yang dirasakan responden adalah posisi membungkuk sebesar 60%, berdiri lama sekali sebesar 20%. keluhan terbesar dari responden yaitu nyeri pada punggung, pinggang, bokong dan pantat. gambar 1. menjelaskan sebelum dilakukan intervensi perbaikan postur kerja dengan kursi ternyata menunjukan lokasi tubuh yang mengalami nyeri adalah agak nyeri punggung 33,3% setelah intervensi menjadi 20%, nyeri punggung 46,7%, setelah intervensi menjadi 0%. agak nyeri pinggang 46,7% setelah intervensi menjadi 26,7%, agak nyeri bokong dan pantat 33,3% setelah intervensi menjadi 26,7%. berdasarkan tabel 3. maka dapat dijelaskan bahwa perbedaan antara nilai t antara nbm dengan gambar 1. keluhan nyeri punggung, pinggang, bokong dan pantat sebelum dan sesudah perbaikan postur kerja (n=15) 25 mutiara medika vol. 17 no. 1: 22-28, januari 2017 perbaikan postur kerja 5,254 > t tabel (1,753). analisis lebih lanjut nilai p value masing-masing dari kelompok perbaikan postur kerja yaitu 0,000, sehingga ha diterima. dapat diinterpretasikan bahwa ada penurunan nyeri muskuloskeletal setelah dilakukan perbaikan postur kerja pada perawat di klinik kitamura pontianak. diskusi responden penelitian mayoritas laki-laki (73,3%). menurut andini (2015),6 jenis kelamin tidak ada hubungan dengan nyeri muskuloskeletal pada pekerja packing di pt. y gresik, karena jam kerja dan beban kerja tenaga pria dan wanita relatif sama. pada penelitian ini, jenis kelamin responden yang melakukan perawatan luka lebih didominasi oleh lakilaki. kondisi ini menunjukkan bahwa perawat lakilaki lebih menunjukkan keberanian dalam menghadapi kondisi luka yang kronis selain itu perawat laki-laki lebih senang dengan tantangan keberhasilan dalam perawatan luka. tingkat pendidikan responden paling banyak diploma tiga keperawatan yaitu sebesar 53,3%. menurut andini (2015),6 tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap nyeri muskuloskeletal pada pekerja, karena pekerja yang fokus pada kegiatan kerjanya, terkadang tidak memperhatikan postur kerja, waktu kerja dan stresor yang lain, karena berfokus pada pekerjaan yang harus diselesaikan. begitu pula pada perawat yang merawat luka, baik diii keperawatan, s1 maupun s2 keperawatan, sama-sama berfokus pada perawatan luka pasien, tanpa memperhatikan keamanan dan kenyamanan diri sendiri. selain itu syarat minimal untuk dapat memberi pelayanan pada pasien adalah perawat dengan pendidikan diploma. sesuai dengan ketentuan di dalam undang-undang keperawatan no. 36 tahun 2014 yang menjelaskan bahwa perawat mi nimal adal ah berpendidikan diploma ti ga keperawatan. status perkawinan lebih banyak yang belum menikah yaitu 60%. lestari (2014),7 menyatakan bahwa ada hubungan antara status perkawinan dengan nyeri muskuloskeletal pada lansia. berat badan responden paling banyak dengan berat 51 – 60 kg sebesar 40,0%. hastuti (2013),8 menyatakan bahwa tidak ada hubungan peningkatan bb dengan kejadian nyeri punggung bawah pada pasien rawat jalan di poliklinik saraf rsud soedarso pontianak. hasil ini tidak sesuai dengan penelitian suratun dkk (2008),9 yang menyatakan bahwa ketika berat badan bertambah tulang belakang akan tertekan karena menerima beban, sehingga menimbulkan stres mekanis pada punggung bawah. kelebihan berat badan menyebabkan pusat gravitasi terdorong kedepan tubuh dan menyebabkan lordosis lumbalis akan bertambah dan menimbulkan kelelahan pada otot vertebrae.10 pada penelitian ini, berat badan responden didominasi antara 51 – 60 kg sehingga perawat tidak memiliki beban berat. hasil ini sekaligus menjelaskan bahwa kondisi badan yang gemuk atau > 60 kg akan memperberat tubuh seseorang dan menyebabkan perubahan postur tubuh akibat menopang beban yang berat dan berlangsung terus menerus. kebiasaan tidak merokok sebesar 86,7%. kondisi ini menjelaskan bahwa kondisi kesehatan responden didominasi oleh perawat yang tidak tabel. 3. perbed aan nilai nbm s ebel um d an s etel ah dilakukan perbaikan postur kerja variabel n mean±sd min-max t p value pre 15 48,20±8,87 31-63 5,254 0,000 post 15 32,06±5,62 28-48 26 wuriani, dkk., pengaruh perbaikan postur kerja terhadap nyeri merokok. kebiasaan merokok menurunkan kapasitas paru, sehingga mengkonsumsi oksigen berkurang dan berdampak pada penurunan tingkat oksigen pada sel otot, sehingga pembakaran karbohidrat terhambat, terjadi penumpukan asam laktat yang menimbulkan nyeri otot. selain itu nikotin yang ada diperedaran darah akan membuat peredaran darah tidak lancar, sehingga selsel otot akan kekurangan oksigen, fisiologis serupa akan terjadi pada otot tersebut, salah satunya terjadi penumpukan asam laktat dan mengakibatkan rasa kaku, pegal pada otot yang stres akibat posisi kerja yang tidak baik. kol caba dalam perry & potter (2004), 11 menjelaskan bahwa kenyamanan sebagai suatu keadaan telah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yang bersifat indiv idual dan holistik. terpenuhinya kenyamanan dapat menyebabkan perasaan sejahtera pada diri individu tersebut. kenyamanan dan perasaan nyaman adalah penilaian komprehensif seseorang terhadap lingkungannya. teori keperawatan menurut kolcaba dalam perry & potter (2004),11 menyatakan bahwa salah satu yang mempengaruhi kenyamanan individu, dalam hal ini perawat yang merawat luka adalah kenyamanan lingkungan berkenaan dengan kondisi lingkungan dan pengaruh dari luar kepada manusia seperti temperatur, warna, suhu, pencahayaan dan situasi kondisi yang ada ditempat kerja. perawat yang merawat luka dalam penelitian ini berusaha merawat luka dengan ef ektif sehi ngga mengabaikan kenyamanan dirinya, misalnya karena pasien yang ramai dan kondisi luas luka yang besar membuat perawat hanya fokus dengan bagaimana merawat luka dengan baik dan benar dalam waktu singkat, tanpa memperhatikan postur kerjanya. setelah terjadi ketidaknyamanan atau nyeri muskuloskeletal akibat postur kerja yang tidak baik, perawat tidak ada usaha untuk mencegah atau mengurangi nyeri muskuloskeletalnya. analisis data aktivitas penyebab nyeri. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden yang merasakan nyeri sebesar 100% dan aktivitas penyebab nyeri yang dirasakan responden adalah posisi membungkuk sebesar 60%. hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian tinubu et al. (2010),12 yang menyatakan bahwa perawat dalam melakukan prosedur kerjanya berisiko tinggi mengalami nyeri muskuloskeletal. selanjutnya samara (2016),13 menyatakan pekerja yang melakukan pekerjaan dengan posisi statik dalam waktu lama dan posisi tubuh ekstrim akan meningakibatkan nyeri punggung dan leher. menurut suratun dkk. (2008),9 terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya nyeri sistem muskuloskeletal yakni, antara lain faktor biologis (umur, jenis kelamin, dan lain-lain), peregangan otot yang berlebihan, aktivitas berulang, postur kerja tidak alamiah (tidak ergonomis), faktor penyebab sekunder seperti  tekanan,   getaran,  mikroklimat (suhu),  penyebab kombinasi seperti  umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok, kesegaran jasmanai, kekuatan fisik, ukuran tubuh. nyeri dirasakan pada dua kelompok baik kelompok yang menggunakan static stretching maupun perbaikan postur kerja, hasil ini menunjukan bahwa setiap responden yang akan melakukan perawatan luka akan mengalami nyeri pada saat aktivitas perawatan luka. posisi perawat saat merawat luka lebih banyak pada posisi membungkuk, karena ingin lebih mudah mencapai sasaran dalam membersihkan atau merawat luka, sehingga 27 mutiara medika vol. 17 no. 1: 22-28, januari 2017 nyeri pada leher, tulang belakang dan betis tidak dapat dielakkan, karena pada saat posisi membungkuk beban tubuh tertumpu pada otototot, berbeda jika dengan menggunakan kursi, maka beban tubuh akan bertumpu pada kaki kursi. analisis data nbm sebelum dan sesudah perbaikan postur kerja. sebelum dilakukan perbaikan tubuh maka bagian yang dominan nyeri adalah punggung 46,7% dan setelah dilakukan perbaikan postur kerja keluhan tidak dirasakan lagi. hal ini sesuai dengan pernyataan suma’mur (2009),14 posisi tubuh dan cara kerja yang tidak benar atau melebihi kemampuan merupakan salah satu penyebab nyeri punggung bawah. melihat kenyataan tersebut maka sebagai perawat, haruslah menjaga kesehatan, keamanan dan kenyamanan diri sendiri dalam bekerja, karena pekerjaan perawat berulang dan dalam jangka waktu lama. analisis perbedaan nilai nbm sebelum dan setelah dilakukan perbaikan postur kerja. berdasarkan hasil perbedaan nilai t antara nbm dengan perbaikan postur kerja 5,254 > t tabel (1,753). analisis lebih lanjut nilai p value masingmasing dari kelompok perbaikan postur kerja yaitu 0,000, sehingga ha diterima, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa adanya penurunan nyeri muskuloskeletal setelah dilakukan perbaikan postur kerja pada perawat di klinik kitamura pontianak. hasil tersebut menunjukkan bahwa perbaikan postur kerja efektif menurunkan nyeri muskuloskeletal. menurut hinds (2001),15 hampir semua perawat memiliki risiko untuk nyeri muskuloskeletal, kenaikan yang signifikan yang berhubungan dengan stres pekerjaan, bisa dilihat dari cara perawat melakukan prosedur perawatan. selanjutnya pada vanderbilt university’s school of nursing menjadikan body mechanics dan body aligment masuk dalam kurikulum pembelajaran selama 20 jam, bahkan dibuat training program in body mecanics.16 simpulan terdapat nilai penurunan nyeri muskuloskeletal sebelum dan sesudah dilakukan perbaikan postur kerja pada perawat di klinik kitamura pontianak. daftar pustaka 1. samara, d. nyeri muskuloskeletal pada leher pekerja dengan posisi pekerjaan yang statis. universa medicina, 2016; 26(3): 137-142. 2. susihono, w. & prasetyo, w. perbaikan postur kerja untuk mengurangi keluhan muskuloskeletal dengan pendekatan metode owas (studi kasus di ud. rizki ragil jaya–kota cilegon). spektrum industri, 2012; 10 (1).https : // scholar. google.co.id/scholar? q = keluhan + muskuloskeletal & btng = & hl = id & as _ sd t= 0%2c5.diakses pada 13-12-2015. 3. caroline, k. & colby lyn allen. therapeutic exercise foundation and techniques. philadelphia: fa. davis. 2007. 4. subarjah, ha. latihan kondisi fisik. 2012. diunduh dari http://file.upi.edudirektori/fpok/jur._ pend._kesehatan_%26_rekreasi/prodi.ilmu_ keolahragaan/196009181986031herman_ subarjah/latihan_kondisi_fisik.pdf. 5. santi, p.a. the effect of giving stretching exercise to decrease the pain in patients with iskhialgia in latu usadha nursing care clinic. coping ners (community of publishing in nursing), 2013; 1 (1). 6. andini, f. risk factors of low back pain in workers. majority, 2015; 4 (01). 28 wuriani, dkk., pengaruh perbaikan postur kerja terhadap nyeri 7. lestari, s.m. pengaruh stretching terhadap keluhan muskuloskeletal pada perawat. coping ners (community of publishing in nursing), 2014; 2(3). http : //ojs .unud.ac.id/i ndex. php/ coping /article/view/10766 8. hastuti, l.s. pengaruh workplace stretchingexercise terhadap keluhan muskuloskeletal dan kelelahan kerja pada pekerja bagian sewing cv. cahyo nugroho jati (doctoral dissertation, universitas gadjahmada). 2013. http://etd. repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian _detail&sub=penelitian detail & act = view & typ = html & buku_id=63030 & obyek_id=4 9. suratun, heryati, manurung s. & raenah e. dkk. klien gangguan sistem muskuloskeletal . jakarta: egc. 2008. 10. sari, n. perbaikan postur kerja menurunkan keluhan muskuloskeletal dan waktu proses pemahatan di java art stone yogyakarta (doctoral dissertation, uajy). 2014. 11. potter, p.a. & perry, a.g. buku ajar fundamental keperawatan vol.2. jakarta : egc. 2006. 12. tinubu, b.m., mbada, c.e., oyeyemi, a.l. & fabunmi, a.a. work-related musculoskeletal disorders among nurses in ibadan, south west nigeria: a cross sectional survey. bmc musculoskeletal disorders, 2010; 11 (1), 13. samara, d. nyeri muskuloskeletal pada leher pekerja dengan posisi pekerjaan yang statis. universa medicina, 2016; 26 (3): 137-142. 14. suma mur, p.k. hygiene perusahaan dan keselamatan kerja cetakan 13. jakarta: haji asagung. 1996. 15. hinds, r. & harley, j. exploring the experiences of beginning registered nurses entering the acute care setting. contemporary nurse, 2001; 10 (1-2): 110-116. 16. hodgson, m.j., matz, m.w. & nelson, a. patient handling in the veterans health administration: facilitating change in the health care industry. journal of occupational and environmental medicine, 2013; 55 (10): 1230-1237. mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 20 no 2 page 98-103 july 2020 determination of stunting risk factors using spatial interpolation geographically weighted regression kriging in malang henny pramoedyo*1, mudjiono1 , adji achmad rinaldo fernandes1, deby ardianti1, kurniawati septiani1 1, department of statistics, faculty of mathematics and natural sciences, brawijaya university jl. veteran, malang, indonesia. 65145 data of article: received: 02 jan 2020 reviewed: 10 mar 2020 revised: 19 jun 2020 accepted: 30 jun 2020 *correspondence: pramoedyohp@yahoo.com doi: 10.18196/mm.200250 type of article: research abstract: stunting is a condition of toddlers who have less height than their age. the high percentage of stunting is influenced by several factors, namely access to healthy latrines, quality of drinking water, clean living habits, access to health services and exclusive breastfeeding. there is an indication that an area is reported as having high percentage of stunting, then the nearest area has the same condition. this study uses geographically weighted regression kriging spatial interpolation to predict risk factors for stunting by considering the proximity of the region. the data was secondary data obtained from each puskesmas in malang regency, 2019. the observation unit is 24 sub-districts in malang regency. based on the r2 value of the gwr model with a fixed gaussian kernel weight, it is better to use than the weighted gwr rook contiguity model. it is known that in general the factors that influence stunting are access to posyandu, exclusive breastfeeding 1-6 months, quality drinking water and handwashing behavior with soap. prediction of stunting prevalence in map form based on gwr kriging interpolation shows that stunting is high in several districts, namely gedangan, ampel gading, sumbermanjing wetan, and poncokusumo districts keywords: stunting risk factor, gwr, kriging abstrak: stunting merupakan kondisi balita yang memiliki tinggi badan kurang dari usianya. tingginya persentase stunting dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu akses jamban sehat, kualitas air minum, kebiasaan hidup bersih, akses pelayanan kesehatan dan pemberian asi eksklusif. ada indikasi bahwa jika suatu daerah mempunyai persentase stunting yang tinggi, maka daerah terdekatnya cenderung mempunyai kondisi yang sama. penelitian ini menggunakan interpolasi spasial geographically weighted regression kriging untuk memprediksi faktor risiko stunting dengan mempertimbangkan kedekatan wilayah. data penelitian merupakan data sekunder yang diperoleh dari masing-masing puskesmas di kabupaten malang tahun 2019. unit observasi adalah 24 kecamatan di kabupaten malang. berdasarkan nilai r2 model gwr dengan bobot fixed gaussian kernel lebih baik digunakan daripada model rook contiguity dengan bobot gwr. diketahui bahwa secara umum faktor yang mempengaruhi stunting adalah akses ke posyandu, pemberian asi eksklusif 16 bulan, kualitas air minum dan perilaku cuci tangan pakai sabun. prediksi prevalensi stunting dalam bentuk peta berdasarkan gwr kriging interpolasi menunjukkan tingginya stunting di beberapa kabupaten, yaitu kecamatan gedangan, ampel gading, sumbermanjing wetan, dan poncokusumo. kata kunci: faktor risiko stunting, gwr, kriging  | 99 introduction stunting is a condition where toddlers have less length or height if compared to age.1 a toddler stunting including chronic nutritional problems caused by various factors such as social-economy condition, maternal nutrition during pregnancy, pain in infants, and lack of nutrition in infants.2 the implication is that children who are stunted, sufferers of stunting can experience decreased neurodevelopmental and cognitive function and increase the risk of developing chronic disease.3 the stunting problem is a major nutritional problem faced by indonesia. based on riskesdas data, stunting rates in indonesia is 27,67% in 2019. distribusi geografis prevalensi stunting di indonesia menunjukkan bahwa belum ada wilayah di indonesia yang terbebas dari stunting. prevalensi tertinggi di beberapa wilayah di nnt dan sulawesi tengah dan terkecil (< 20%) di dki jakarta.2 there is an assumption that if an area has a high stunting percentage, then the nearest area will experience the same condition. thus, there should be statistical modelling method that involve information location in this research. spatial data is defined as data measurement which contain information location. basic assessment of spatial data is the law as stated by tobler “everything is related to everything else, but near things are more related than distant things”.4,5 geographically weighted regression (gwr) is a point approach technique linear regression model that will be the model weighted regression. weight used in the gwr model can illustrate closeness of relations between regions. accuracy weighting is needed because of weighting value represent the location of the data.6 weights are grouped into two namely distance and area (contiguity).7 model gwr is used to predict the observed value at each observation location, but observations outside the sample cannot be predicted by gwr model.8 to overcomes these problems method kriging can be used. kriging is a technique geostatistics to predict and interpolating data at locations that not sampeled.9 ordinary kriging is used to estimate the value of observation on a specific location by observing the same data same in other location. interpolation of ordinary kriging uses semivariogram,10 semivariogram divided by 2 namely namely experimental semivariogram and theoretical semivariogram. however, based on the model there are three types namely spherical, exponential dan gaussian.11 that method often used in several studies including research about stunting. based on both theory and research, the author interested in researching stunting cases in malang regency by using the spatial interpolation gwr kriging with a weighthing matrix distance and area. the research variables are percentage of stunting, healthy latrines access, quality of drinking water, the habit of using soap hands, posyandu access coverage and exclusive breastfeeding 1-6 months. the result provides information about factors causes stunting and distribution maps of stunting in malang regency so that there should be a suitable policy from policy makers adjusted to each location. the purpose of this research is to find out the factors causes stunting in 24 districts of malang regency with the gwr method and create a prediction map of stunting distribution using kriging method with a distance and areas weighting matrix that can be used as a basis for policy regional determination stunting based on weighting of the analysis. materials and method secondary data about stunting and risk fartors was obtained from each puskesmas in malang regency year 2019. the observation unit was 24 sub-districts in malang regency. from the multiple linear regression analysis 𝑅2 value was 0.22, it has a small value. geographically weighted resression method was used because there was heterogeneity in the data. spatial interpolation gwr kriging using a matrix weighting distance and area stages explained as follows: 1. doing gwr analysis, including a. test spatial assumption namely heterogenity spasial using breusch pagan statistics test. b. determine the weighting distance, i. calculate euclide distance. ii. determine optimum bandwidth. iii. determine the weighting matrix fixed gaussian kernel. c. determine the weighting area (rook contiguity). d. estimates parameter gwr models. e. testing the parameters of gwr models. f. determine of gwr model with the best weighting. 2. doing kriging analysis, including a. prepare a spatial data location map which is a map of the results of digitization contains data attribute information spatial 100 | vol 20 no 2 july 2020 b. to form the models of experiment and theorical semivariogram c. to form the best semivariogram that is exponential model for interpolation stunting with the gwr models. d. make interpolation of contour maps stunting. result the results of the gwr analysis on stunting data and several risk factors are presented sequentially according to the analysis process. modelling gwr with fixed gaussian kernel weighting table 1 shows the value of optimum bandwidth with weighting fixed gaussian is 67905.23. it means that the point inside radius 67905.23 considered influential optimal in forming parameters model. other informations obtained is coefficients determination (𝑅2) value in gwr model is 0.2650504. table 1. summary of estimator result gwr model. bandwidth 67905.23 𝑹𝟐 0.2650504 sse 740.2695 table 2. subdistrict grouping group subdistrict significant variables 1 sumbermanjing wetan, tirtoyudo, ampelgading, poncokusumo access coverage of posyandu 2 donomulyo, kalipare, pagak, bantur, gedangan, dampit, wajak, turen, bululawang, gondanglegi, pagelaran, kepanjen, sumber pucung, kromengan, ngajum, wonosari, wagir, pakisaji, tajinan, tumpang access coverage of posyandu and exclusive breastfeeding 1-6 months. modelling gwr with weighting rook contiguity table 3 shows the result of gwr analysisi with weighting rook contiguity. there are 9 groups which is shown in table 3. table 3. subdistrict grouping group subdistrict significant variables 1 kalipare, pagak, bantul, gedangan, sumbermanjing wetan, tirtoyudo, wajak, pagelaran, kromengan, wonosari, wagir, tajinan, dan tumpang. 2 dampit, poncokusumo, pakisaji the access for drinking water quality 3 donomulyo habit of using soap hands 4 gondanglegi, ngajum exclusive breastfeeding 1-6 months 5 sumberpucung the access of drinking water quality and exclusive breastfeeding 1-6 months 6 kepanjen habit of using soap hands and access coverage of posyandu. 7 turen the access of drinking water quality and exclusive breastfeeding 1-6 months and access coverage of posyandu. 8 bululawang the access of drinking water quality and exclusive breastfeeding 1-6 months, access coverage of posyandu, and habit of using soap hands 9 ampelgading access coverage of posyandu and exclusive breastfeeding 1-6 months  | 101 table 2 shows two significant difference of variables which influence stunting. access coverage of posyandu mostly causes stunting for group 1. different from group 1, not only access coverage of posyandu which causes stunting but also exclusive breastfeeding 1-6 months. group 1 in table 3 shows absence variables that have a significant influence on stunting prevalence. in group 2 only variable access of drinking water quality that influence stunting prevalence. it was found in dampit poncokusumo and pakisaji. group 3 shows habit of using hand soap that influence stunting prevalence in donomulyo. group 4 shows that exclusive breastfeeding 1-6 months has a significant influence on stunting prevalence in the gondanglegi and ngajum. seen in group 5 that the access of drinking water quality and exclusive breastfeeding 1-6 months give significant influence on stunting prevalence in sumberpucung. group 6 shows habit in using hand soaps, and coverage access of posyandu has a significant influence on stunting prevalence in kepanjen. in group 7 it is known that access of drinking water quality, coverage access of posyandu, and exclusive breastfeeding 1-6 months has significant influence on stunting prevalence in turen. group 8 shows access of drinking water quality, habit in using hand soaps, coverage access of posyandu, exclusive breastfeeding 1-6 months gives significant influence on stunting prevelence in bululawang. meanwhile, group 9 shows that coverage access of posyandu and exclusive breastfeeding 1-6 months has an significant influence to the stunting prevalence in ampelgading. comparison gwr method with weighting fixed gaussian kernel and rook contiguity the comparison of gwr with the weighted method of fixed gaussian kernel and rook contiguity is presented in table 4. based on table 4, the 𝑅2 values on gwr model with weighting fixed gaussian kernel bigger compared to weighting rook contiguity. gwr model with weighting fixed gaussian kernel is better to modelling stunting prevalence in malang regency and the interpolation gwr kriging was caried out. table 4. comparison 𝑹𝟐 values on gwr model weighting 𝑅2 fixed gaussian kernel 0.26 rook contiguity 0.000064 interpolation gwr kriging the results of gwr kriging interpolation using exponential semivariogram are presented in the form of a prediction map to make it more informative and useful. based on the prediction map in figure 1, it is estimated that in 2019 the percentage of stunting is high in several areas in malang regency. in figure 1, the high percentage of stunting is indicated by the red areas, namely gedangan, ampel gading, sumbermanjing wetan, and poncokusumo subdistricts. on the contrary, in the regional section the middle namely gondanglegi subdistrict has low percentage of stunting that marked on the map in dark green. the predicted value of stunting prevalence in this place by using kriging gwr interpolation ranging from 14.7% to 16.9%. discussion by using the weighting function fixed gaussian kernel, cv fixed gaussian kernel, cv minimum of 1834.053 and bandwidth minimum of 1834.053 and bandwidth amounted to 67905.23. gwr modeling is done by inserting a weighting with method weighted least square. spatial weighting matrix for each location was used to form gwr model, so that each district has different models. figure 1 prediction map of distribution stunting di malang regency in 2019 map of stunting distribution in malang regency 102 | vol 20 no 2 july 2020 in the gwr model, there is significance testing parameter partially conducted to determine the parameters which has a significant effect with the following hypothesis:12 𝐻0: 𝛽𝑘 = 0 𝐻1: 𝛽𝑘 ≠ 0; 𝑘 = 1,2,3 based on parameter significance testing in gwr model, it can be seen that significant variables are grouped in table 2. in spatial data modeling using the area approach, one of them in this study was used rook contiguity,13 approach sides and angles, for gwr modelling. this weighting is used to determine gwr model parameters on each observation location. after the parameters obtained at each subsequent observation location, then it used significance testing parameters partially to find out the parameter which has a significant influence to stunting prevalence, use weighting rook contiguity with hypothesis as follows. 12 𝐻0: 𝛽𝑘 = 0 𝐻1: 𝛽𝑘 ≠ 0; 𝑘 = 1,2,3 based on significance testing, there were grouping of significance variabels in table 3. table 3 shows that several factors that influence stunting in several areas in malang regency include exclusive breastfeeding 1 6 months, access to drinking water quality, coverage of posyandu and habit in using hand soap. stunting is a growth disorder of children who experience malnutrition, recurrent infections,14 inadequate psychosocial stimulation,15 and genetics.14 undernutrition in children can result from uncovered exclusive breastfeeding for 1-6 months. breast milk is the perfect food for babies, especially those aged 0-6 months because it contains nutrients needed for optimal baby’s growth. 16,17 ease of access to drinking water is related to the availability of clean water facilities and infrastructure. according to rohman and syahrul (2017), 18 the unavailability of clean water facilities and infrastructure will cause infectious diseases, especially infections of the digestive tract because they are related to the provision of healthy and clean food and drinks. in addition, the behavior of washing hands using soap is a part of a clean lifestyle that can prevent the entry of infectious agents, especially gastrointestinal infections. the availability of clean water facilities and infrastructure and the behavior of washing hands using soap are important in preventing the incidence of gastrointestinal infections. digestive tract infections due to viruses, bacteria or parasites will reduce the body's ability to absorb nutrients from food intake so that the body will experience nutritional deficiencies. if this happens to children, it will hinder growth and development. in addition, digestive infections will also reduce appetite, cause vomiting and diarrhea in sufferers so that it will affect metabolism in the body which in turn will result in stunting in children. 19 comparison of analysis results based on weighting distance and area is done for find out the best weighting use 𝑅2 value that presented on table 4. table 4 showed that gwr model with weighting fixed gaussian kernel better to modelling prevalence stunting di malang regency. geographically weighted regression kriging interpolation using the exponential semivariogram method produces a prediction map (figure 1). the forecast map in figure 1 shows that in 2019 the estimated percentage of stunting is high in several districts, namely gedangan, ampel gading, sumbermanjing wetan, and poncokusumo districts. in the middle section of the region, gondanglegi district, the percentage of stunting is quite low. this informed the malang regency government to pay more attention to these districts regarding the prevention of stunting in children. conclusion variable which has a significant influence to the stunting prevalence on the gwr model is coverage access to posyandu, exclusive breastfeeding 1-6 months, quality of drinking water and habit in using hand soaps. gwr model with distance weighting fixed gaussian kernel better to use for modelling stunting data 2019 in malang regency. the predicted results of interpolation gwr kriging with exponential semivariogram show that stunting is high in several districts, namely gedangan, ampel gading, sumbermanjing wetan, and poncokusumo districts. acknowledgement we would like firstly thank to bppm faculty of mathematics and natural sciences, brawijaya university that has funded this research and secondly thank to publick health office malang regency to use his data and to anonymous reviewer to this paper references 1. ministry of health ri. short toddler situation (stunting) di indonesia. jakarta: ministry of health ri. 2019. 2. tnp2k. buku ringkasan stunting. jakarta: tnp2k  | 103 ri. 2019. 3. de onis m, and branca f, “childhood stunting: a global perspective,” matern. child. nutr., 2016: 12(s1):12–26. doi: 10.1111/mcn.12231. 4. anselin l. spatial econometrics: methods and models, vol. 4. dordrecht: springer netherlands, 1988. 5. fotheringham as, brunsdon c, and charlton m. geographically weighted regression: the analysis of spatially varying relationships. john wiley & sons, 2003. 6. yrigoyen cc, rodríguez ig, and otero jv. modeling spatial variations in household disposable income with geographically weighted regression. madrid: instituto l.r. klein, 2006). p. 40 7. anselin l, syabri i, dan kho y. “geoda: an introduction to spatial data analysis,” dalam handbook of applied spatial analysis: software tools, methods and applications. fischer mm and getis a. ed. berlin, heidelberg: springer, 2010, pp. 73–89. 8. jetz w, rahbek c, and lichstein jw. local and global approaches to spatial data analysis in ecology. glob. ecol. biogeogr. 2005: 14 (1): 97–98. doi: 10.1111/j.1466-822x.2004.00129.x. 9. armstrong m. basic linear geostatistics. berlin heidelberg: springer-verlag. 1998. 10. isaaks eh, isaaks aseh, and srivastava rm. applied geostatistics. oxford university press. 1989. 11. setyadi b. variogram models. http://geodesy.gd.itb.ac.id/bsetyadji/wpcontent/ uploads/2007/09/gd4113-4b.pdf. accessed 29 february 2020. 12. lailiyah n, and purhadi. modelling the factors that influince the level of illiteracy of regency in east jawa using gwlr. sains jurnal, 2012:1: 213-218. 13. lesage jp. the theory and practice of spatial econometrics. ohio; university of toledo. 1999. 14. priyono dip, sulistiyani, dan ratnawati ly. determinan kejadian stunting pada anak balita usia 12-36 bulan di wilayah kerja puskesmas randuagung kabupaten lumajang. e-journal pustaka kesehatan. mei 2015: 3(2): 349-355 15. nahar b. effect of food supplementation and psychosocial stimulation on growth and development of severely malnourished children (intervention studies in bangladesh). dissertation. faculty of medicine, uppsala university bangladesh. 2012 16. mawaddah s. hubungan pemberian asi eksklusif dengan kejadian stunting pada balita usia 24-36 bulan. jurnal berkala kesehatan, november 2019: 5(2), 60-66. doi: 10.20527/jbk.v5i2.7340 17. arum p, dan widiyawati a. kandungan gizi asi (air susu ibu) pada berbagai suhu dan lama penyimpanan. jurnal ilmiah inovasi; 2016:16(3): 200-203 18. rohmah n, dan syahrul f. hubungan kebiasaan cuci tangan dan penggunaan jamban sehat dengan kejdian diare balita. j. berk. epidemiol. 2017: 5:95–106 tandang vs, adianta ika, nuryanto ik. hubungan asi eksklusif dan riwayat penyakit infeksi dengan kejadian stunting pada balita di wilayah puskesmas wae nakeng tahun 2018. jurnal riset kesehatan nasional: 2019:3(1);128-133 http://geodesy.gd.itb.ac.id/bsetyadji/wpcontent/uploads/2007/09/gd4113-4b.pdf http://geodesy.gd.itb.ac.id/bsetyadji/wpcontent/uploads/2007/09/gd4113-4b.pdf 36 meiky fredianto, hubungan peningkatan kadar kolesterol hubungan peningkatan kadar kolesterol dengan derajat keparahan osteoarthritis correlation between increased of cholesterol levels and osteoarthritis severity meiky fredianto departemen bedah fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta email: dr_meiky@yahoo.co.id abstrak penelitian ini betujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara kadar kolesterol total dengan tingkat keparahan osteoarthritis (oa) berdasarkan sistem derajat kellgren-lawrence dan skor womac. jenis penelitian ini menggunakan menggunakan metode observasional analitik dengan desain cross sectional study yang dilakukan pada 30 sampel terdiagnosis oa. sampel dilakukan pemeriksaan kadar kolesterol total dan tingkat keparahan oa secara objektif dari gambaran radiologi kerusakan sendi dengan menggunakan derajat kellgren-lawrence dan secara subjektif dari gejala klinis dengan menggunakan skor womac. pada penelitian ini sampel berjumlah 30 orang yang terdiagnosis oa dengan usia lebih dari 40 tahun, didapatkan 8 orang (26,7%) memiliki kadar kolesterol normal, 12 orang (40%) dengan borderline tinggi, dan 10 orang (33,3%) dengan hiperkolsterol. berdasarkan jumlah sampel yang memiliki kadar kolesterol normal, berada pada grade iii dan iv berdasarkan gambaran radiologi kerusakan sendi yaitu 3 orang (37,5%) dengan kategori tingkat keparahan sedang berdasarkan gejala klinis 4 orang (50%). sedangkan kolesterol borderline tinggi berada pada grade ii yaitu 4 orang (33,3%) dengan kategori tingkat keparahan sedang berdasarkan gejala klinis, yaitu 7 orang (58, 3%), sedangkan untuk hiperkoleterol berada pada grade ii yaitu 4 orang (40%) dengan kategori tingkat keparahan ringan dan berat berdasarkan gejala klinis, yaitu 4 orang (40%). kadar kolesterol darah dengan tingkat keparahan oa dilihat dari gambaran radiologi didapatkan nilai p=0,692 dan nilai p=0,280. disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara peningkatan kadar koleterol dengan derajat keparahan oa baik secara objektif dilihat dari gambaran ragiologis maupun secara subjektif dilihat dari skor womac. kata kunci: derajat kellgren lawrence, skor womac, nyeri sendi abstract this study aims to determine whether there is a relationship between total cholesterol levels and osteoarthritis (oa) severity based on kellgren-lawrence grade and womac scores. this study used an analytic observational method with cross sectional study design conducted on 30 samples diagnosed oa. the sample was examined for total cholesterol and oa severity objectively from radiological features of joint damage using kellgren-lawrence grade and subjectively from clinical high borderline, and 10 people (33.3%) with hypercholsterol. based on the number symptoms using womac score. in this study, a sample of 30 people diagnosed with age over 40 years, found 8 people (26.7%) had normal cholesterol levels, 12 people (40%) with of samples that have normal cholesterol levels, are in grade iii and iv based on radiology damage joints that is 3 people (37.5%) with moderate severity category based on clinical symptoms 4 people (50%). while the high borderline cholesterol was in grade ii that was 4 people (33,3%) with moderate severity category based on clinical symptom, that is 7 people (58, 3%), while for the hyperkoleterol was in grade ii that is 4 people (40%) with the category of mild severity and weight based on clinical symptoms, that is 4 people (40%). levels of blood cholesterol with the severity of oa seen from the radiology picture obtained p value = 0.692, and value p = 0.280. it was concluded that there was no correlation between elevated cholesterol levels and the severity of oa either objectively seen from ragiologic images or subjectively seen from womac score. . key words: grade kellgren lawrence, womac scores, joint pain artikel penelitian mutiara medika vol. 17 no. 1: 36-41, januari 2017 37 mutiara medika vol. 17 no. 1: 36-41, januari 2017 pendahuluan osteoarthritis (oa) adalah suatu kelainan pada sendi yang bersifat kronik dan progresif biasanya didapati pada usia pertengahan hingga usia lanjut ditandai dengan adanya kerusakan kartilago yang terletak di persendian tulang. kerusakan kartilago ini dapat disebabkan oleh stres mekanik atau perubahan biokimia pada tubuh.1 osteoarthritis ini bersifat kronik progresif yang berdampak pada sosio ekonomi yang besar baik di negara maju maupun di negara berkembang.2 angka kejadian oa di dunia terbilang cukup tinggi. who memperkirakan 25% orang berusia 65 tahun di dunia menderita oa. sementara di kawasan asia tenggara, jumlah penderita oa mencapai 24 juta jiwa.3 berdasarkan data badan kesehatan dunia (who), penduduk yang mengalami oa di indonesia tercatat 8,1% dari total penduduk. yang kedua adalah kelompok arthritis luar sendi (gangguan pada komponen penunjang sendi). yang ketiga adalah gout arthritis sekitar 6-7 %. sementara penyakit rematoid artritis di indonesia hanya 0,1 % (1 diantara 10005000 orang), sedangkan di negara-negara barat sekitar 3 %.4 perkembangan penelitian menunjukan bahwa oa lebih mengarah pada suatu “kelainan metabolik” dimana beberapa mediator metabolik tertentu berkontribusi dalam menginisiasi dan progresifitas pada proses terjadinya kelainan. salah satu faktor risiko metabolik yang memiliki peranan penting dalam proses tersebut adalah kadar total kolesterol yang tinggi dalam tubuh.5 kelainan metabolik itu sendiri secara umum merupakan suatu kelainan yang terjadi ketika adanya suatu reaksi kimia yang abnormal di dalam tubuh yang mengganggu proses metabolisme normal tubuh.6 etiopatogenesis oa dibagi menjadi 3 stage (tahap), yaitu stage 1, stage 2 dan stage 3. pada stage 1 terjadi kerusakan proteolitik pada matrix cartilago. stage 2 melibatkan fibrilasi dan erosi pada permukaan 2 kartilago dan pada stage 3 produk-produk yang dihasilkan oleh kerusakan kartilago menyebabkan suatu respon inflamasi kronis. tingkat keparahan oa dapat diklasifikasikan berdasarkan gambaran radiologi yang didapat. metode pengklasifikasian yang digunakan secara universal saat ini adalah sistem kellgrenlawrence yang terdiri dari grade i, ii, iii dan iv.7 masyarakat pada umumnya menganggap penyakit pada sendi adalah penyakit sepele karena tidak menimbulkan kematian. padahal, jika tidak segera ditangani penyakit ini dapat membuat anggota tubuh tidak berfungsi dengan normal, mulai dari adanya perubahan struktur anatomi tulang, sulit berjalan, bahkan kecacatan seumur hidup. rasa sakit yang timbul dapat sangat mengganggu dan membatasi kegiatan sehari-hari sehingga dapat mengurangi produktivitas.4 bahan dan cara metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode observasional analitik dengan desain cross sectional study yang dilakukan pada 30 sampel yang terdiagnosis oa. data variabel bebas didapatkan dari hasil pemeriksaan kadar kolesterol total. data variabel terikat yaitu tingkat keparahan oa ditentukan secara objektif dari gambaran radiologi kerusakan sendi dengan menggunakan derajat kellgren-lawrence dan secara subjektif dari gejala klinis dengan menggunakan skor western ontario and mcmaster universities osteoarthritis index (womac). analisis data menggunakan uji korelasi chi-square untuk mengetahui ada tidaknya 38 meiky fredianto, hubungan peningkatan kadar kolesterol hubungan antara kadar kolesterol dengan keparahan oa. hasil penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan kadar kolesterol total dan tingkat keparahan oa secara objektif dari gambaran radiologi kerusakan sendi dengan menggunakan derajat kellgren-lawrence dan secara subjektif dari gejala klinis dengan menggunakan skor womac. jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 30 orang terdiagnosis oa dan memenuhi kriteria inklusi yang didapatkan dari dua rumah sakit yang berbeda yaitu rs pku muhammadiyah unit i dan rsud kota yogyakarta. penelitian dilakukan pada bulan mei 2016 sampai juli 2016. pengambilan data dilakukan dengan mengecek kadar kolesterol darah kemudian dilanjutkan dengan pengambilan foto rontgen sendi lutut dan yang terakhir pengisian kuesioner womac. pada tabel 1. menerangkan bahwa dari 30 subjek penelitian, yang termasuk ke dalam kelompok usia 5059 tahun berjumlah 6 orang atau 20%, 15 orang atau 50% termasuk kedalam kelompok usia 60-69 tahun dan 9 orang atau 30 % termasuk kedalam kelompok usia 70-79 tahun. berdasarkan klasifikasi usia menurut who, kelompok usia lanjut dimulai dari usia 60 tahun. maka pada penelitian ini subjek dengan usia lanjut terdapat sebanyak 24 orang atau 80 %. tabel 2. diketahui bahwa dari 30 total subjek penelitian, 8 orang diantaranya atau 26,7 % memiliki kadar kolesterol normal, 12 orang atau 40 % memiliki kadar kolesterol borderline dan 10 orang atau 33,3 % dengan hiperkolesterol. tabel 3. diketahui bahwa subjek penelitian dengan kadar kolesterol normal paling banyak memiliki tingkat keparahan oa pada grade iii dan grade iv yang dilihat berdasarkan gambaran radiologisnya, yaitu grade iii 37,5 % (3 orang) dan grade iv 37,5% (3 orang), sedangkan subjek penelitian dengan kadar kolesterol borderline dan hyperkolesterol paling banyak memiliki tingkat keparahan oa pada grade ii yaitu sebesar 33,3% (4 orang) untuk subjek dengan kadar kolesterol borderline dan 40 % (4 orang) untuk subjek dengan hyperkolesterol. penelitian dengan hyperkolesterol paling banyak memiliki tingkat keparahan ringan dan berat berdasarkan gejala klinis oa (skor womac), yaitu masing-masing sebanyak 40 % atau 4 orang. tabel 1. karakteristik subjek penelitian berdasarkan usia usia frekuensi presentase 40 – 49 tahun 0 0 % 50 – 59 tahun 6 20 % 60 – 69 tahun 15 50 % 70 – 79 tahun 9 30 % total 30 100 % tabel 3. karakteristik subjek penelitian berdasarkan kadar kolesterol total dan keparahan oa dilihat dari gambaran radiologis (derajat kelgren lawrence) kadar kolesterol derajat kelgren-lawrence grade i grade ii grade iii grade iv normal 0 (0%) 2 (25%) 3 (37,5%) 3 (37,5%) borderline 3 (25%) 4 (33,3%) 3 (30%) 2 (16,7%) hyperkolesterol 1 (10%) 4 (40%) 3 (30%) 2 (20%) tabel 2. karakteristik subjek penelitian berdasarkan kadar kolesterol total kadar kolesterol frekuensi presentasi normal 8 26,7 % borderline high 12 40 % high/hiperkolesterol 10 33,3 % total 30 100 % 39 mutiara medika vol. 17 no. 1: 36-41, januari 2017 tabel 4. karakteristik subjek penelitian berdasarkan kadar kolester ol total dan keparahan oa ber dasarkan dar i gejala kli nis deng an menggunakan skor wom ac kadar kolesterol kategori skor womac total ringan sedang berat normal 3 (37,5%) 4 (50%) 1 (1%) 8 (100%) borderline 4 (33,3%) 7 (58,3%) 1 (8,3%) 12 (100%) hyperkolesterol 4 (40%) 2 (20%) 4 (40%) 10 (100%) tabel 4. diketahui bahwa subjek penelitian dengan kadar kolesterol normal dan borderline paling banyak memiliki tingkat keparahan sedang dilihat berdasarkan gejala klinis oa (skor womac), yaitu 50 % (4 orang) untuk subjek dengan kadar kolesterol sedang dan 58,3 % (7 orang) untuk subjek dengan kadar kolesterol borderline, sedangkan subjek dengan derajat keparahan oa berdasarkan gambaran radiologi dengan menggunakan derajat kellgrenlawrence didapatkan nilai p=0,692 (>0,05) dan nilai p=0,280 (>0,05) untuk derajat keparahan oa berdasarkan gejala klinis dengan menggunakan skor womac, sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara peningkatan kadar kolesterol dengan derajat keparahan oa dilihat dari gambaran radiologis kerusakan sendi maupun berdasarkan gejala klinis atau h0 ditolak. diskusi derajat kellgren-lawrence merupakan klasifikasi derajat keparahan oa berdasarkan gambaran radiologis. gambaran yang di titik beratkan untuk dijadikan penilaian adalah penyempitan sendi, ada tidaknya osteofit, ada tidaknya subkondral sklerosis dan kista subkondral, dengan kata lain yang dijadikan perhatian adalah kondisi dan struktur dari kartilago sendi itu sendiri. womac merupakan salah satu instrumen yang digunakan untuk menentukan derajat keparahan oa dengan menilai derajat nyeri penderita ketika melakukan aktifitas sehari-hari, kekakuan sendi dan keterbatasan fungsi fisik.8 pada penelitian yang telah dilakukan menunjukkan hasil tidak ada hubungan antara peningkatan kadar kolesterol dengan derajat keparahan oa dilihat secara subjektif berdasarkan gejala klinis menggunakan skor womac maupun secara objektif berdasarkan gambaran radiologis dengan derajat kellgrenlawrence. pada percobaan yang dilakukan oleh farnaghi, dkk (2016),9 secara in vitro dengan menggunakan hewan uji coba berupa 2 jenis tikus menyebutkan bahwa peningkatan kadar kolesterol menyebabkan terjadinya stres oksidative dan perubahan degradasi kondrosit yang mengarah pada progresifitas dan keparahan oa. perbedaan hasil tersebut dapat dikarenakan oleh metode penelitian sebelumnya menggunakan metode secara in vitro dimana keadaan sampel penelitian dapat diatur sedemikian rupa sesuai dengan yang diinginkan sehingga dapat memberikan hasil yang positif. pada penelitian ini metode yang dilakukan adalah secara in vivo dengan menggunakan subjek manusia sehingga keadaan pada subjek dapat dipengaruhi oleh berbagai macam hal yang merupakan keadaan yang sesungguhnya terjadi pada subjek di lapangan. hasil yang tidak berhubungan pada penelitian ini juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain riwayat konsumsi obat penurun kolestereol darah, riwayat konsumsi makanan yang mengandung antioksidan dan pengaruh ambang nyeri setiap orang yang berbeda-beda. dalam penelitian ini tidak ditanyakan kepada subjek mengenai riwayat konsumsi obat penurun kolesterol darah, sehingga tidak dapat dibuktikan apakah hal tersebut merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya ketidakterkaitan 40 meiky fredianto, hubungan peningkatan kadar kolesterol antara peningkatan kadar kolesterol total dengan kerusakan sendi lutut dilihat dari gambaran radiologis. konsumsi obat penurun kolesterol dapat mempengaruhi kartilago pada penderita oa. pemeriksaan histologi sendi lutut menunjukan bahwa pemberian atorvastatin pada tikus percobaan menyebabkan penurunan degradasi kartilago yang disebabkan oleh oa dibandingkan dengan hewan uji coba yang tidak diberi atorvastatin.9 faktor riwayat konsumsi makanan juga merupakan salah satu faktor yang cukup sulit untuk dikendalikan pada penelitian ini. seperti yang telah dijelaskan pada teori sbelumnya, kerusakan kartilago dapat disebabkan oleh salah satunya adalah adanya stress oksidatif yang tinggi. stres oksidasi pada tubuh dapat dikurangi dengan adanya antioksidan. salah satu jenis antioksidan yang umum adalah asam askorbat. asam askorbat dapat ditemukan pada makanan yang mengandung vitamin c. pada penelitian dan percobaan in vitro yang dilakukan oleh franaghi, dkk (2016),9 menunjukkan bahwa pemberian mito tempo pada tikus percobaan yang mengalami kerusakan kartilago didapatkan hasil terjadinya pengurangan proteoglikan loss sehingga mengembalikan fungsi normal dari mitokondria sehingga dapat mencegah progresifitas keparahan oa yang disebabkan oleh kadar kolesterol tinggi. mito tempo itu sendiri merupakan antioksidan yang bekerja langsung pada target yaitu mitokondria. pada penelitian ini, penulis tidak dapat mengetahui riwayat subjek secara detail dalam mengkonsumsi makanan yang mengandung antioksidan. hal tersebut dapat menjadi salah satu alasan yang menyebabkan tidak adanya hubungan antara kadar kolesterol dengan keparahan oa dilihat dari gambaran radiologis (derajat kellgren lawrence). tidak adanya hubungan antara kadar kolesterol dengan keparahan oa berdasarkan gejala klinis dengan skor womac dapat disebabkan karena salah satunya adalah ambang nyeri setiap orang yang berbeda. kita ketahui bahwa penilaian skor womac sangat berhubungan sekali dengan nyeri yang dialami penderita oa ketika melakukan aktifitas sehari-hari. ambang nyeri pada setiap orang dapat berbeda karena dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yaitu usia, jenis kelamin, budaya, faktor fisik, faktor psikososial dan faktor lingkungan. dalam penelitian valdes et al. (2016),10 dengan studi cohort, menunjukkan bahwa pasien dengan nyeri sendi kronis yang berhubungan dengan oa dengan gejala penyerta hipertensi dapat mengambil manfaat dari farmakoterapi beta-blocker. terapi antihipertensi diklasifikasikan sebagai golongan blocker baik alpha-adrenergic, beta blocker-adrenergik, angiotensin-converting enzyme inhibitor, angiotensin ii antagonis reseptor, calcium channel blockers, atau diuretik. beta-adrenergik memiliki efek anti-nociceptive yang akan memblok reseptor pada pasien dewasa dengan komorbid osteoarthritis dan hipertensi yang dikaitkan dengan penurunan skor nyeri sendi berdasarkan womac. selain itu juga mengurangi kebutuhan opioid dibandingkan dengan kelas lain dari terapi antihipertensi. pada penelitian ini diketahui bahwa subjek dengan usia lanjut terdapat 24 orang atau 80 % dari total subjek. hal itu dapat menjadi salah satu faktor penyebab tidak adanya hubungan pada penelitian ini terutama yang berkaitan dengan skor womac. 41 mutiara medika vol. 17 no. 1: 36-41, januari 2017 simpulan tidak ada hubungan antara kadar kolesterol dengan derajat keparahan ostheoartritis secara objektif berdasarkan gambaran radiologis dengan derajat kellgren lawrence maupun secara subjektif berdasarkan gejala klinis dengan menggunakan skor womac. diharapkan pada penelitian selanjutnya dapat melibatkan jumlah sampel yang lebih banyak sehingga diharapkan dapat lebih mewakili gambaran dari pasien oa. daftar pustaka 1. srikulmontree, t. ostheoarthritis. american college of rheumatology. 2015. diakses dari http:/ /www.rheum atol ogy.org/i-am -a/pati entcaregiver /diseases-conditions/osteoarthritis. 2. roach, h.i., tilley, s. bone and osteoarthritis. f., bronner & m.c., farach-carson (eds.). london : springer london. 2007: 1-18. 3. yanuarty, m. hubungan antara faktor risiko osteoartritis lutut dengannyeri, disabilitas, dan berat ringannya osteoartritis. karya tulis ilmiah strata satu. semarang: univesitas diponegoro, 2014. 4. nainggolan, o. prevalensi dan determinasi penyaki t rem ati k indonesi a. majalah kedokteran indoesia, 2009; 59 (12): 588-594.. 5. farnaghi, s. hypercholesterolemia is a metabolic risk factor for osteoarthritis. oarsi journal, 2014; 22: s158. 6. metabolic disorders. u. s. national library of medicine. 2012. di akses dari https:// www.nl m .ni h. gov /m edl i nepl us/ metabolicdisorders.html 7. lozada, c. j., talavera, f., goldberg, e., diamond, h. s. osteoarthritis. 2015. di akses 27 apri l 2016 dari https://emedicine. medscape.com/article/330487-overview. 8. yang, kga, raijimakers, njh., verbout, aj, dhert, wja. & saris, dbf. validation of the short-form womac function scale for the evaluation of osteoarthritis of the kee. j bone joint surg br, 2007; 89 (1): 50-6. 9. farnaghi, s., prasadam, i., cai, g., friis, t., du, z., crawford r. et al. 2016. protective effects of mitochondria-targeted antioxidants and statins on cholesterol induced osteoarthritis. faseb j. 2017; 31 (1): 356-367. 10. valdes am, abhishek a, muir k, zhang w, maciewicz ra, doherty m. 2016. beta-blocker use associates with lower prevalence of joint pain and lower opioid requirement in people wi th osteoarthri ti s. arthritis care res (hoboken), 2017; 69 (7): 1076-1081. mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm ©2018 mmjkk. all rights reserved vol 18 no 1 hal 20-24 januari 2018 comparison of immersion time between strawberry (fragaria x ananassa) juice and 35% carbamide peroxide on tooth discoloration perbandingan lama perendaman jus stroberi (fragaria x annanassea) dengan karbamid peroksida 35% pada perubahan warna gigi dinda tri rahmawan 1 , khen swara wijayaningrum 1 , sartika puspita 1 * 1 program studi kedokteran gigi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta data of article: received: 01 dec 2017 reviewed: 18 dec 2017 revised: 02 jan 2017 accepted: 10 jan 2018 *correspondence: sartika.puspita@umy.ac.id doi: 10.18196/mm.180110 type of article: research abstrak: warna gigi adalah salah satu masalah estetika di masyarakat. kondisi ini dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik dan intrinsik. karbamid peroksida 35% adalah bahan yang disetujui oleh american dental association (ada) sebagai pemutih gigi yang aman dan efektif. strawberry (fragaria x annanassea) adalah bahan alami yang mengandung asam elegat sehingga dapat digunakan sebagai pemutih gigi. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan warna gigi setelah perendaman jus f. x annanassea 100% dan karbamid peroksida 35%. metode penelitian ini merupakan eksperimental murni laboratoris. sampel yang digunakan sebanyak 24 gigi premolar pascapencabutan yang telah didiskolorasi menggunakan teh. spesimen dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok pertama dilakukan perendaman jus buah f. x annanassea 100% dan kelompok kedua dilakukan perendaman dengan karbamid peroksida 35%, masing-masing selama 30, 60 dan 90 menit. kemudian warna gigi setelah direndam diukur dengan spektrofotometer dan shade guide untuk menentukan perubahan warna sebelum dan sesudah perlakuan. data dianalisis menggunakan two way anova dan kruskal-wallis. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perendaman jus f. x annanassea 100% dapat membuat gigi menjadi lebih cerah, dengan tingkat kecerahan yang hampir sama dengan menggunakan karbamid peroksida 35%. kesimpulan penelitian ini adalah jus buah f. x annanassea dapat digunakan sebagai bahan alternatif untuk memutihkan gigi. kata kunci: pemutih gigi; buah stroberi (fragaria x annanassea); karbamid peroksida 35%; shade guide; spektrofotometer abstract: tooth color is one of the aesthetic problems in society. this condition is influenced by extrinsic and intrinsic factors. 35% carbamide peroxide is an ingredient approved by the american dental association (ada) as safe and effective tooth whitening. strawberry (fragaria x ananassa) is a natural substance containing ellagic acid that can be used for tooth whitening. the purpose of this study is to determine the tooth discoloration after the immersion of f. x ananassa juice 100% and 35% carbamide peroxide. the method of this research was a pure laboratory experiment. the sample used was 24 premolar postpartum teeth which had been discolored using tea. the specimens were divided into 2 groups, the first group was immersed with f. x ananassa juice 100% and the second group was immersed with 35% carbamide peroxide, respectively for 30, 60, and 90 minutes. the color of the immersed teeth was then measured by a spectrophotometer and a shade guide to determine the color change before and after the treatment. data were analyzed using two way anova and kruskal-wallis test. the results of this study indicated that the immersion of f. x ananassa juice 100% was able to make the teeth become brighter, with the same level of | 21 brightness using 35% carbamide peroxide. the conclusion of this research was f. x ananassa juice can be used as an alternative material for tooth whitening. key words: teeth whitening; strawberry fruit (fragaria x ananassa); 35% carbamide peroxide; shade guide; spectrophotometer introduction the aesthetic is an important thing for the society today. 1 a research shows that 95% of people having tooth discoloration into yellow and even brown feel dissatisfied with their physical appearance. 2 it can be said that tooth discoloration is an important aesthetic problem. tooth discoloration into yellow and even brown can make people feel uncomfortable and lack of confidence. 1 the color of the tooth is influenced by the combination of internal discoloration i.e. dentine and enamel and the external discoloration i.e. the stain on the tooth surface. 2 external discoloration can be caused by substances entering the oral cavity, such as coffee, tea, chocolate, tobacco, mouthwashes, or dental plaque. causes of internal discoloration are due to systemic, metabolic, genetic, and local causes. 3 bleaching is a teeth whitening technique that changes tooth color with chemical improvement process. bleaching material commonly used in dentistry is carbamide peroxide because it is safer and causes fewer side effects. carbamide peroxide with a concentration of 35% is commonly used in inoffice bleaching procedures, 4 i.e. bleaching done in clinics or hospitals by dentists. the mechanism is (o-) react with ca 2+ in hydroxyapatite (ca10(po4)6(oh)2) to form cao, causing the teeth to look whiter. 5 one of the natural ingredients having tooth whitening effect is strawberry fruit (fragaria x ananassa) because it has ellagic acid content. this study was conducted to examine the most effective time for f. x ananassa juice 100% to be able to change tooth discoloration compared with 35% carbamide peroxide. materials and method the design of this research is a pure laboratory experiment conducted in pharmacy laboratory of muhammadiyah university of yogyakarta (umy). the tested sample consisted of 24 premolar postpartum teeth. tooth color measurements before and after the immersion of f. x ananassa juice 100% were done using uv-2401 pc spectrophotometer (shimadzu, japan) at textile engineering laboratory of islamic university of indonesia and using shade guide (vita classical, united states) at dental lab rsgm umy. the experiment began by soaking the postpartum teeth into black tea for 12 days until discoloration occurred on the enamel surface. then, tooth color measurement using a spectrophotometer was done by performing irradiation to the teeth to determine the color value (de*ab) of the teeth. in addition, tooth color measurement using a shade guide (vita classical) was performed as well by matching the color of the specimen teeth with the color code on the shade guide. 5 then, the dental specimen is divided into two groups at random. the first group was immersed with 35% carbamide peroxide per 30 minutes, 60 minutes, and 90 minutes, and the second group was soaked with f. x ananassa juice 100% with the same duration. immersion duration was adjusted with the application of in-office bleaching materials. after being treated, re-measurements were completed using the spectrophotometer and the shade guide. the data were analyzed using two way anova on spectrophotometer measurement data and using the nonparametric test of kruskal-wallis and mann whitney u test on shade guide measurement data. result the measurement data using spectrophotometer were analyzed using two way anova test to compare 1) the type of immersion material (f. x ananassa juice 100% and 35% carbamide peroxide); 2) immersion time (30, 60, and 90 min), and 3) type of material and immersion time to see the significant differences. the result of the test using two way anova in table 1 showed the significance of p>0.05 (0.707) on the comparison of the immersion material type. thus, there was no significant difference between f. x ananassa juice 100% and 35% carbamide peroxide. comparison between immersion time at 30, 60, and 90 minutes showed the significance of p>0.05 (0.523), so it can be concluded that there was no significant difference in immersion time. comparison between material type and immersion time showed the significance of p>0.05 (0.267). hence, there was no difference between material types compared with immersion time. the measurement data using shade guide was ordinal scale, so it was analyzed using kruskal-wallis statistic test to compare: 1) immersion time of f. x ananassa juice 100%; 2) immersion time of 35% 22 | vol 18 no 1 januari 2018 carbamide peroxide; and 3) the type of immersion material to see the significant differences, as seen in table 2. based on kruskal-wallis test, a significant difference of (p<0.05) on the type of immersion material to tooth discoloration was found. therefore, mann-whitney u test was performed to determine the most significant materials for tooth discoloration. the value of tooth discoloration before and after immersion in table 2 showed the significance of 0.135 (p>0.05) for f. x ananassa juice 100% and the significance of 0.099 (p>0.05) for carbamide peroxide which means time/duration of immersion had no effect on tooth discoloration. the result of statistic test comparing tooth discoloration before and after immersion between f. x ananassa juice 100% and 35% carbamide peroxide obtained the significance of 0.001 (p<0.05) which means there was a significant difference between the immersion table 1. summary of two way anova statistics on tooth discoloration compared to material type, immersion time, and material type and immersion time using spectrophotometer dependent variables sig. type tooth discoloration 0.707* time tooth discoloration 0.523* type of time * tooth discoloration 0.267* description: (*) there was no significant difference (p>0.05) table 2. summary of kruskal-wallis statistic test on tooth discoloration after the immersion of f. x ananassa juices and 35% carbamide peroxide using shade guide for 30, 60, and 90 minutes. tooth discoloration sig. immersion time of f. x ananassa juice 100% 0,135 immersion time of 35% carbamide peroxide 0,099 type of immersion material 0,001* description: (*) there was significant differences (p <0.05). table 3. summary of mann-whitney u statistic test on tooth discoloration after the immersion of f. x ananassa juices and 35% carbamide peroxide using shade guide for 30, 60, and 90 minutes type average sig. f. x ananassa juice 100% 11.17 0.353* 35% carbamide peroxide 13.83 description: * there was no significant difference (p> 0.05) of f. x ananassa juice 100% and 35% carbamide peroxide. therefore, the researchers continued to perform mann whitney test to know the most effective material in tooth whitening. based on the mann whitney test table (table 3), the average rank of f. x ananassa 100% was 11.17, while the average rank of carbamide peroxide was 35% higher that is 13.87 with the significance of 0.353 (p>0.05). based on these data, it can be concluded that the tooth whitening process was more effective at 35% carbamide peroxide immersion, but there was no significant difference with f. x ananassa juice 100%. discussion this study used an external bleaching technique performed by immersing dental specimens into f. x ananassa juice 100% and 35% carbamide peroxide for 30 minutes, 60 minutes, and 90 minutes. tooth color measurements were performed using a spectrophotometer and a shade guide. 5 tooth color measurement using the spectrophotometer was done by irradiating the tooth surface which was divided into three coordinate axes i.e. l*, a*, and b*. the sum of the values of l*, a*, and b* is the total value of the color intensity absorbed by the spectrophotometer called de*ab. 6 tooth color measurements using the shade guide was done visually by comparing the color of the dental specimen crown with the available color on a shade guide consisting of 16 different tooth colors. the result of the research by comparing the change value of de*ab data between f. x ananassa juice 100% and 35% carbamide peroxide using spectrophotometer showed no significant differrence. tooth color measurement using shade guide with kruskal-wallis followed by continued test using mann whitney test showed the average value of carbamide peroxide was higher than the average value of f. x ananassa juice 100%, but the value difference showed no significant difference. therefore, it can be concluded that f. x ananassa juice 100% has the bleaching ability which is almost the same as 35% carbamide peroxide because both contain tooth whitening ingredients. carbamide peroxide contains peroxide material, while f. x ananassa has ellagic acid content. the peroxide as an oxidizing agent with free radicals having unpaired electron will be released and then received by the enamel, resulting in the oxidation process. these electrons are oxidized by organic matter which causes tooth discoloration. free radicals from peroxide are perhidroksil and oxygenase. after the formation of perhidroksil in | 23 large quantities, it will react with unsaturated bonds and cause energy absorption in the organic molecule of enamel. the result is smaller organic molecules with lighter colors. 8 the researchers then compared the tooth discoloration after the immersion of f. x ananassa juice 100% and 35% carbamide peroxide at 30, 60, and 90 minutes. there was no significant difference between the color of the teeth after being measured using the spectrophotometer and the shade guide. the absence of tooth discoloration after the 30-minute duration is possible because the experimental teeth have passed the endpoint, a condition in which the teeth in the bleaching process cannot be whiter again. teeth with endpoints may be characterized by more translucent color. 9 tooth discoloration between specimens and the time of immersion of f. x ananassa juice 100% and 35% carbamide peroxide at 30, 60, and 90 minutes showed no significant difference. therefore, it can be concluded that the color of the teeth produced by the immersion of f. x ananassa juice 100% and 35% carbamide peroxide was not different, making f. x ananassa juice as a natural ingredient that can be used as an alternative tooth whitening agent. this is in accordance with previous research conducted by juwita, 2008 cit. hartanto et al. (2012), 10 which stated that the application of f. x ananassa paste within 2 weeks clinically had the same tooth-whitening ability as factory-made tooth whitening. the content of ellagic acid in f. x ananassa can produce free radicals in chromophore chain breakdown to produce an email bleaching comparable to carbamide peroxide. 10 the mechanism of f. x ananassa in tooth whitening has been reported by some researchers, namely by the presence of oxidation reactions. the discoloration of enamel and dentine undergoes an oxidation reaction by a strong oxidizing agent of ellagic acid in f. x ananassa. the ellagic acid destroys the dye molecule with free oxygen released, so the color becomes neutral and causes a bleaching effect. 10 however, this reaction results in unpaired electrons bind to free radicals from both organic and inorganic dental matrices to achieve stability, affecting enamel demineralization and resulting in reduced enamel hardness. 10 hartanto et al. (2012), 10 in their study stated that the enamel color change according to the original color occurred after 3 weeks of f. x ananassa paste appli-cation, whereas the decrease of email hardness occurred after f. x ananassa paste application for 2 weeks. therefore, the effective time in using the paste f. x ananassa as bleaching material was 2 weeks. a lot of research has been done related to natural materials as bleaching agents. nurbaetty et al. (2014) 5 stated that citric acid in lime fruit flesh had the same oh group as the ellagic acid in f. x ananassa. the results of the research concluded that lime with a concentration of 2.5% had a ph of ± 3 which was almost the same as ph of f. x ananassa and in-office teeth whitening. tooth discoloration because of robusta coffee can be removed within 30 minutes based on this study. in addition, sugianti (2014) 9 used rosella (hibiscus sabdariffa) containing bioactive saponins and vitamin c (ascorbic acid) to whiten teeth for 3day immersion. saponins which bound the dyes due to the resulting foamable was able to whiten teeth, while vitamin c function was to damage the dye that stuck to the teeth. the results were the tooth color became neutral and white. based on nuzulya et al.’s (2012) study11, the malic acid contained in apples with juice concentration of 75% was able to whiten the tooth color after experiencing discoloration by coffee. furthermore, syahland and setyawati (2013) 12 examined wine due to its peroxidase enzymes which form hydrogen peroxide from water and oxygen to increase the speed of reducing tooth color. however, grape juice is unable to whiten teeth; both observed using a shade guide and a spectrophotometer. conclusion based on the research, it can be concluded that strawberry (fragaria x ananassa) can be used as an alternative agent for tooth whitening with no significant difference in 30-minute, 60-minute, and 90-minute immersion of f. x ananassa juice. therefore, it can be concluded that in the 30-minute immersion, f. x ananassa juice has been effective in whitening the teeth. the absence of tooth discoloration after being immersed for 30 minutes in f. x ananassa juice 100% or 35% carbamide peroxide is probably due to the endpoint of the tooth color. references 1. istianah i, ekoningtyas ea, benyamin b. perbedaan pengaruh hidrogen peroksida 35% dan karbamid peroksida 35% terhadap microleakage pada resin komposit nanohybrid. odonto dental journal, 2015; 2 (1): 20-24. 2. tin-oo mm, saddki n, hassan n. factors influencing patient satisfaction with dental appearance and treatments they desire to 24 | vol 18 no 1 januari 2018 improve aesthetics. bmc oral health, 2011; 11 (1): 6-11. 3. watts a, addy m. tooth discoloritation and staining: a review of the literature. br dent j, 2001; 190 (6): 309–316. 4. meizarini a. bahan pemutih gigi dengan sertifikat ada/iso (tooth bleaching material with ada/iso certificate). majalah kedokteran gigi, 2005; 38 (2): 73-76. 5. nurbaetty r, merry crd, lestari s. potensi jeruk nipis (citrus aurantifolia) dalam memutihkan email gigi yang mengalami diskolorasi. insisiva dental journal, 2014; 3 (1): 78-83. 6. carey cm. tooth whitening: what we now know. j evid based dent pract, 2014; 14 (70-72): 112. 7. suprastiwi e. penggunaan karbamid peroksida sebagai bahan pemutih gigi. indonesian journal of dentistry, 2005; 12 (3): 139-145. 8. freedman g. contamporary esthetics dentistry. united states: mosby. 2011. p. 399. 9. sugianti n. efek ekstrak rosella (hibiscus sabdarifa) sebagai bahan alternative pemutih gigi alami pada kasus pewarnaan eksternal. insisiva dental journal, 2012; 1 (2): 5-9. 10. hartanto a, rianti d, meizarini a. aplikasi pasta stroberi sebagai material bleaching terhadap perubahan warna dan kekerasan permukaan enamel. jmkg, 2012; 1 (1): 7-14. 11. nuzulya p, effendi c, nugraeni y. pengaruh pemberian jus apel terhadap pemutihan gigi setelah direndam larutan kopi secara in vitro. insisiva dental journal, 2012; 1 (2): 17-19. 12. syahland me, setyawati a. efektifitas penggunaan buah anggur (vitis vinifera l.) sebagai bahan untuk pemutih gigi (bleaching) berdasarkan perbedaan konsentrasi. insisiva dental journal, 2013; 2 (1): 50-56. 104 kanti ratnaningrum, dkk., tingkat pencemaran escherichia coli tingkat pencemaran escherichia coli pada air rumah tangga di wilayah kerja puskesmas mijen, semarang level of pollution of escherichia coli on household water in working area of mijen community health center, semarang kanti ratnaningrum,1* merry tiyas anggraini,2 pujangga puspito yunus dahlan3 1bagian ilmu kedokteran tropis, fakultas kedokteran universitas muhammadiyah semarang 2bagian ilmu kedokteran keluarga, fakultas kedokteran universitas muhammadiyah semarang 3fakultas kedokteran universitas muhammadiyah semarang *email: kantiratna@ymail.com abstrak kurangnya ketersediaan air bersih menimbulkan penyakit gangguan saluran pencernaan seperti diare. sebagian besar bakteri penyebab diare adalah escherichia coli. insidensi diare dinilai masih jauh dari capaian target puskesmas mijen, semarang. sehingga diperlukan penelitian tentang kontaminasi e. coli pada air rumah tangga di wilayah kerja puskesmas. penelitian ini bersifat observasional dengan rancangan cross sectional. sampel ditentukan dengan metode systematic random sampling dengan estimasi proporsi. sampel diambil dari 10 kelurahan yang masuk dalam wilayah kerja. kadar bakteri e. coli dalam air rumah tangga dilakukan di dengan metode most probable number (mpn). terkumpul 36 sampel yang berasal dari 3 jenis sumber air yaitu sumur gali, sumur artesis dan perusahaan air minum (pam). uji laboratorium menunjukkan bahwa 55,6 % sampel air minum telah memenuhi nilai uji bakteriologis e. coli. air berasal dari sumur gali memiliki tingkat kontaminasi paling tinggi (100%) diikuti sumur artesis (34,61%) dan pam bebas dari e. coli (0%). kata kunci: escherichia coli, pencemaran air rumah tangga, diare abstract lack of clean water supply causes gastrointestinal disorders such as diarrhea. most of the bacteria that cause diarrhea are escherichia coli. the incidence of diarrhea is still far from the target of mijen puskesmas, semarang, so research on e. coli contamination on household water in puskesmas work areas is needed. this research was observational with cross sectional design. the sample is determined by systematic random sampling method with estimated proportion. samples were taken from 10 urban villages included in the work area. e. coli bacteria levels in household water are carried out in the most probable number (mpn) method. collected 36 samples derived from 3 types of water sources ie dug wells, artesian wells and drinking water companies (pam). laboratory tests showed that 55.6% of drinking water samples had met the bacteriological test value of e. coli. water derived from dug wells has the highest contamination rate (100%) followed by artesian well (34.61%) and pam free from e. coli (0%). key words: escherichia coli, households water pollution, diarrhea artikel penelitian mutiara medika vol. 15 no. 2: 104-108, mei 2015 105 mutiara medika vol. 15 no. 2: 104-108, mei 2015 pendahuluan air merupakan salah satu zat yag peting dalam kehidupan. air minum yang dapat dikonsumsi harus memenuhi syarat fisik, bakteriologis dan kimia.1 air rumah tangga memenuhi syarat bakteriologis bila tidak mengandung sesuatu bibit penyakit, tidak mengandung bakteri escherichia coli, dan mengandung bakteri saprofitik tidak lebih dari 100/ml air.2 parameter mikrobiologis air rumah tangga yang digunakan sebagai syarat kualitas air minum yang berhubungan dengan kesehatan adalah tidak ditemukannya bakteri escherichia coli pada 100 ml sampel air.3 air yang tercemar sumber pengotoran dapat menyebabkan penyakit termasuk diare.4 tingginya insidensi diare yang melampaui target temuan dan cakupan bidang kesehatan lingkungan dalam hal pengawasan dan pengendalian kualitas air secara kseluruhan masih jauh dari capaian target di wilayah kerja puskesmas mijen, kecamatan mijen, semarang maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang identifikasi adanya bakteri escherichia coli pada air rumah tangga di wilayah kerja puskesmas mijen. bahan dan cara penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain cross sectional. penentuan besaran sampel menggunakan rumus estimasi proporsi sesuai metode systematic random sampling. pengambilan sampel dilakukan pada 10 kelurahan yang masuk dalam wilayah kerja puskesmas mijen, semarang. data penelitian merupakan data primer berupa wawancara menggunakan kuesioner dan sampel air yang merupakan sumber air yang digunakan masyarakat di wilayah kerja puskesmas mijen untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang ditampung di penampungan air bawah tanah, sedangkan penilaian e. coli yang digunakan adalah jumlah bakteri batang gram negatif yang terdapat didalam sampel air rumah tangga di wilayah kerja puskesmas mijen dengan metode mpn (most probable number) yang dibandingkan dengan nilai standar syarat bakteriologis 0 bakteri e. coli dalam 100 ml air. uji laboratorium sampel penelitian dilakukan di laboratorium fakultas kedokteran universitas muhammadiyah semarang. pengambilan sampel dilakukan dengan 1). menggunakan botol yang memiliki tutup ukuran 250 ml yang sudah disterilkan menggunakan autoklaf suhu 121 °c selama 15 menit tekanan 1 atmosfer; 2). mengalirkan air rumah tangga selama ± 30 detik kemudian tutup kran air; 3). memanaskan mulut kran dengan api bunsen; 4) mengalirkan kembali air kedalam botol kaca; 5). memanaskan mulut botol kaca dengan api bunsen dan segera menutup botol kaca yang sudah terisi sampel air dengan rapat; 6). memberikan label dan kode pada botol dilakukan sesaat setelah pengambilan sampel; 7). memasukkan sampel ke dalam water flask yang dilengkapi dry ice untuk menghindari kerusakan sampel selama perjalanan dari lokasi pengambilan sampel sampai ke laboratorium. sampel disimpan di dalam lemari pendingin dengan suhu 4°c dan uji bakteriologis dilakukan paling lambat 72 jam setelah pengambilan sampel. uji bakteriologis dilakukan dilakukan dengan cara inkubasi pada suhu 37oc selama 24 jam dan melalui 3 tahap pengujian meliputi 1) uji praduga menggunakan medium lactose broth (lb) dan mengamati adanya warna kuning keruh dan terbentuknya gelembung gas; 2) uji penegas menggunakan medium briliant green lactose bilebroth (bglb), dilakukan pada sampel tabung lb yang menunjukkan hasil positif (+). uji penegas dikatakan positif jika terdapat warna hijau keruh dan terdapat gelembung gas pada 106 kanti ratnaningrum, dkk., tingkat pencemaran escherichia coli tabung dan 3) uji pelengkap, dilakukan dengan cara inokulasi pada medium eosin methylene blue agar (emba) pada sampel yang menunjukkan positif (+) pada uji penegas. pengamatan adanya e. coli ditandai adanya warna hijau metalik pada medium emba. hasil dari 36 sampel yang dianalisis sebagian besar sumber air rumah tangga yang digunakan berasal dari sumur artesis sebesar 26 sampel (72,3%), sumur gali sebesar 7 sampel (19,4%), dan perusahaan air minum (pam) sebesar 3 sampel (8,3%) (tabel 1.) dari tabel 1. juga tampak bahwa secara keseluruhan 20 (55,6%) sumber air telah memenuhi syarat uji bakteriologis e.coli dan 16 (44,4%) yang tidak memenuhi syarat uji bakteriologis e. coli. dari angka tersebut, sampel air yang berasal dari sumur gali yaitu sebanyak tujuh sampel, ternyata 100% tidak memenuhi syarat uji bakteriologis. dikatakan memenuhi syarat uji bakteriologis e. coli bila tidak ditemukan (0) bakteri e. coli dalam 100 ml air.3 sampel air dari sumur artesis, sebagian besar memenuhi nilai uji bakteriologis e. coli yaitu 17 sampel (65%) dan 9 (34,61%) yang tidak memenuhi syarat uji bakteri e. coli. air yang bersumber dari perusahaan air minum (pam) sebanyak tiga sampel terbukti memenuhi syarat uji bakteriologis e. coli (0%) pada gambar 1. dapat dilihat bahwa kelurahan cangkiran (8,3%) dan pesantrenan (2,7%) merupakan kelurahan yang seluruh sampel airnya memenuhi nilai uji bakteriologis e. coli. pada kelurahan jatisari, kedungpane, mijen, dan tambangan, sebagian sampel air memenuhi nilai uji bakteriologis e. coli (19,4%; 5,5%; 8,3%; dan 8,3%). kelurahan ngadirgo merupakan kelurahan yang sebagian besar sampel airnya tidak memenuhi nilai uji bakteriologis e. coli (8,3%) dan hanya kelurahan wonolopo yang seluruh sampelnya tidak memenuhi nilai uji bakteriologis e. coli (13,8%). tabel 1. sumber air rumah tangga di wilayah kerja puskesmas mijen terhadap uji bakteriologis bakteri e. coli sumber air uji bakteri e. coli total n (%) memenuhi n (%) tidak memenuhi n (%) sumur gali 0 (0) 7 (19,4) 7 (19,4) sumur artesis 17 (47,3) 9 (25,0) 26 (72,3) pam 3 (8,3) 0 (0) 3 (8,3) jumlah 20 (55,6) 16 (44,4) 36 (100) 0 5 10 15 20 8,3 2,7 19,4 5,5 8,3 2,7 2,7 8,33 0 2,7 0 2,7 2,7 2,7 2,7 8,3 0 2,7 13,8 2,7 kelurahan negatif e.coli positi e.coli pe rs en ta se (% ) gambar 1. grafik distribusi sumber air rumah tangga terhadap uji bakteriologis e. coli di wilayah kerja puskesmas m ijen, semarang 107 mutiara medika vol. 15 no. 2: 104-108, mei 2015 diskusi sumur artesis merupakan sumber air rumah tangga terbesar yang digunakan masyarakat di wilayah kerja puskesmas mijen. banyaknya warga yang menggunakan sumur artesis sebagai sumber air minum dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari dikarenakan wilayah kecamatan mijen menjadi wilayah realisasi program penyediaan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat (pamsimas). program ini bertujuan meningkatkan penyediaan air minum, sanitasi, serta meningkatkan nilai dan perilaku hidup sehat dengan membangun/ menyediakan prasarana dan sarana air minum serta sanitasi berbasis masyarakat berkelanjutan. program ini merupakan upaya peningkatan infrastruktur air bersih di kawasan perkotaan semarang yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat. 5 seluruh sampel air rumah tangga yang berasal dari pam memenuhi nilai uji bakteri-ologis bakteri e. coli, dengan kata lain tidak me-ngandung e. coli. hal ini dikarenakan pam menggunakan model penyaringan teknologi tinggi.(1,4) pengolahan air yang digunakan pam melalui beberapa proses seperti intake, koagulasi, flokulasi, sedimentasi, filtrasi, dan chlorinasi. zat disinfektan yang digunakan meliputi gas chlor atau sodium hypochlorit. proses pembubuhan zat disinfektan melalui chlorinasi bertujuan membunuh bakteri yang mungkin ada, baik di reservoir, jaringan pipa distribusi hingga sampai ke pelanggan. perusa-haan air minum juga melakukan kontrol kualitas internal instalasi yang dilakukan tiap minggu secara lengkap meliputi syarat mikrobiologis seperti parameter e. coli dan bakteri koliform. 6 semua sampel air rumah tangga yag berasal dari sumur gali terkontaminasi bakteri e. coli. hal ini dapat terjadi jika jarak sumur gali dekat dengan sumber pengotoran1,4 seperti septic tank, tempat pembuangan air limbah, tempat pembuangan air bekas irigasi.4 kelurahan cangkiran dan pesantrenan merupakan kelurahan dengan sampel air yang tidak terkontaminasi bakteri e. coli. hasil ini mendukung hasil penilaian pengelolaan sumber air minum pamsimas pada tiap kelurahan di kecamatan mijen yang menyatakan bahwa cankiran merupakan 1 dari 3 kelurahan yang mendapat nilai sangat baik terkait pengelolaan sumber air.5 simpulan sebagian besar sumber air rumah tangga di wilayah kerja puskesmas mijen memenuhi nilai uji bakteriologis bakteri e. coli. perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antar sumber air rumah tangga terhadap jumlah e. coli menginagt masih adanya kelurahan yang memiliki sumber air rumah tangga yang belum memenuhi nilai uji bakteriologis sebagai salah satu syarat air yang baik untuk dikonsumsi. daftar pustaka 1. notoatmodjo s. penyediaan air bersih dalam kesehatan masyarakat ilmu dan seni. 2007. jakarta: rieka cipta.. halm. 172-180. 2. entj ang i. ilmu kesehatan masyarakat . bandung: citra aditya bakti, 74-78. 3. kementrian kesehatan republik indonesia. peraturan menteri kesehatan nomor 492 / menkes / per / iv / 2010 tentang persyaratan kualitas air minum. 2010. 4. mubarak wi, chayatin n. ilmu kesehatan masyarakat teori dan aplikasi. 2009. jakarta: salemba medika, 289-309. 108 kanti ratnaningrum, dkk., tingkat pencemaran escherichia coli 5. astuti mt, rahdriawan m. 2013. evaluasi pengelolaan program pamsimas di lingkungan permukiman kecamatan mijen, semarang. jurnal teknik pwk, 2013; 2 (4): 938-947. 6. perusahaan daerah air minum tirto moedal semarang. proses pengolahan air. 2014. http:/ /www.pdamkotasmg.co.id mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm ©2018 mmjkk. all rights reserved vol 18 no 2 hal 41-44 juli 2018 pengaruh supportive-educative system terhadap kualitas hidup pada pasien gagal jantung the effect of supportive-educative system on quality of life in patients with heart failure ditha astuti purnamawati¹*, fitri arofiati², ambar relawati 2 1 bagian keperawatan medikal bedah, sekolah tinggi ilmu keperawatan muhammadiyah pontianak 2 magister keperawatan program pascasarjana universitas muhammadiyah yogyakarta data naskah: received: 21 dec 2017 reviewed: 22 jan 2018 revised: 05 mar 2018 accepted: 05 apr 2018 *korespondensi: ditha_astuti@yahoo.com doi: 10.18196/mm.180213 tipe artikel: penelitian abstrak: gagal jantung adalah fase kronis yang menyebabkan kerusakan fungsional jantung akibat banyaknya gejala yang terjadi, sehingga akan berdampak pada kualitas hidup. gagal jantung memerlukan penatalaksanaan yang tepat dan diharapkan dapat mencegah perburukan penyakit. intervensi yang diberikan dapat berupa terapi farmakologi dan non farmakologi, diantaranya supportive-educative system. sistem ini membantu pasien memperoleh informasi kesehatan, serta dalam pengambilan keputusan. penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh supportiveeducative system terhadap kualitas hidup pasien gagal jantung. penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode quasi eksperiment. rancangan penelitian yang adalah pre-posttest with control group. sebanyak 34 pasien gagal jantung dipilih dengan teknik non probability sampling, dibagi menjadi dua kelompok secara acak, kelompok intervensi diberikan supportive-educative system, kelompok kontrol diberikan program discharge planning yang ada di ruangan, minggu pertama intervensi (pretest) untuk mendapatkan data kualitas hidup, minggu kedua dan ketiga observasi apakah responden melakukan kegiatan yang sudah diajarkan, minggu terakhir evaluasi (post-test) kualitas hidup setelah intervensi. diuji menggunakan wilcoxon test (data berdistribusi tidak normal) dan paired samples test (data berdistribusi normal). hasil uji beda menunjukkan kelompok intervensi lebih berpengaruh dibandingkan dengan kelompok kontrol dengan ρ value sebesar 0,000. terdapat pengaruh pemberian supportive-educative system terhadap kualitas hidup, kualitas hidup pada kelompok intervensi lebih baik daripada kelompok kontrol. kata kunci: supportive-educative system; kualitas hidup; gagal jantung abstract: heart failure is a chronic phase that causes functional damage to the heart due to the many symptoms that occur, so that will affect the quality of life. heart failure requires proper management and is expected to prevent worsening of the disease. the interventions given may include pharmacological and non pharmacological therapies, including supportiveeducative systems. this system helps patients obtain health information, as well as in decision-making. this study aims to identify the influence of supportive-educative system on the quality of life of patients with heart failure. this research is a qualitative research with quasi experiment method. the study design was pre-post test with control group. a total of 34 heart failure patients were selected with non-probability sampling technique, divided into two groups randomly, intervention group was given supportive-educative system, control group was given discharge planning program in room, first week of intervention (pre-test) to get quality data live, second and third weeks of observation whether the respondent is doing the activity already taught, the last week of the post-test quality of life after the intervention. tested using wilcoxon test (abnormally distributed data) and paired samples test (normal distributed 40 | vol 18 no 2 juli 2018 data). different test results showed the intervention group was more influential than the control group with ρ value of 0.000. there is influence of giving supportive-educative system to quality of life, quality of life in intervention group is better than control group. key words: supportive-educative system; quality of life; heart failure pendahuluan gagal jantung merupakan salah satu penyakit tidak menular sebagai penyebab kematian nomor satu setiap tahunya. 1 gagal jantung adalah fase kronis yang dapat menyebabkan kerusakan fungsional jantung akibat banyaknya gejala. banyaknya gejala yang dialami oleh pasien gagal jantung mempengaruhi kesehatanya. 2 prevalensi kasus gagal jantung di indonesia pada tahun 2013 berdasarkan diagnosis dokter/gejala diperkirakan sekitar 530.068 orang. penderita gagal jantung di kalimantan barat prevalensinya mencapai 0,2% berdasarkan diagnosis dokter dan gejala. 1 data rekam medik di rumah sakit umum daerah (rsud) dr. soedarso pontianak tahun 2016, jumlah pasien gagal jantung kongestif sebanyak 646 orang dan selama tiga bulan terakhir menempati posisi pertama dengan kasus terbanyak. perawat berperan penting dalam mencegah memburuknya penyakit akibat gagal janatung. pasien gagal jantung membutuhkan penatalaksanaan yang tepat, yaitu bersifat farmakologis dan non farmakologis. perawat berkepentingan dalam penatalaksanaan non farmakologis, salah satu penatalaksanaan non farmakologis salah satunya berupa supportive educative system. dimana sistem ini membantu pasien dalam memperoleh informasi kesehatan, modifikasi prilaku serta pengambilan keputusan yang berhubungan dengan penyakitnya. menurut etemadifar et al. (2014) 4 bahwa intervensi supportive-educative system merupakan intervensi yang efektif diberikan pada pasien gagal jantung karena intervensi ini bersifat sederhana, murah dan parktis diberikan, serta secara signifikan dapat meningkatkan kemampuan dan kepercayaan diri pasien gagal jantung yaghoubi et al. (2012), 5 menyatakan gagal jantung dapat menyebabkan perawatan di rumah sakit berulang, kualitas hidup yang buruk, serta memendeknya harapan hidup. hal ini sesuai dengan yancy et al. (2013), 6 gagal jantung secara signifikan menurunkan kualitas hidup pasien, yang berkaitan dengan fungsi fisik dan vitalitas, serta kualitas hidup yang tidak ditingkatkan setelah individu keluar dari rumah sakit adalah faktor utama individu dirawat kembali di rs dan kematian. penelitian ini bertujuan mengidentifikasi pengaruh supportive-educative system terhadap kualitas hidup pada pasien gagal jantung. bahan dan cara variabel bebas pada penelitian ini adalah supportive-educative system dan variabel terikat adalah kualitas hidup. jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan metode quasi eksperiment. rancangan penelitian yang digunakan adalah pre-post test with control group. populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien gagal jantung yang dirawat inap di rsud dr. sudarso pontianak pada bulan januari 2018. sampel dalam penelitian ini berjumlah 34 responden yaitu pasien penderita gagal jantung yang dirawat di ruang rawat inap yang telah memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi penelitian. kriteria inklusi berupa pasien yang diagnosis gagal jantung dengan klasifikasi i-ii menurut the new york heart association (nyha), pasien yang bekerja, pengalaman pernah dirawat di rumah sakit dengan gagal jantung minimal satu kali. kriteria ekslusi berupa penderita gagal jantung yang dengan komplikasi (stroke, atrial fibrilasi). 7 pengambilan sampel dengan menggunakan teknik non probably sampling dengan pendekatan consecutive sampling. penelitian ini dilakukan selama empat minggu, minggu pertama dilakukan pretest data demografi responden dan data kualitas hidup sebelum dilakukan intervensi, kemudian dilakukan dilakukan intervensi. kelompok intervensi diberikan perlakuan berupa supportive-educative system dan kelompok kontrol menerima discharge planning yang ada di ruangan berupa berupa informasi jadwal kontrol dan obat-obatan yang diminum. dilakukan observasi apakah responden melakukan kegiatan yang telah diajarkan, observasi dilakukan dengan telpon dan observasi dilakukan atu kali perminggu selama dua minggu pada kedua kelompok. data kualitas hidup pada kelompok intervensi menyatakan salah satunya berdistribusi tidak normal sehingga tetap menggunakan uji wilcoxon, sedangkan kualitas hidup pada kelompok kontrol data berdistribusi normal sehingga menggunakan uji paired sampel t test. | 41 hasil karakteristik responden peneltian berdaarkan usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan pengalaman sakit dapat dilihat pada tabel 1. tabel 1. menunjukkan bahwa karakteristik usia responden terbanyak pada rentang kelompok usia 46–50 tahun yaitu kelompok intervensi dan kelompok kontrol masing-masing sebesar 15 responden (88,2%). jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki pada kelompok intervensi 12 reponsen (70,6%) dan pada kelompok kontrol 13 responden (76,5%). karakteristik tingkat pendidikan terbanya sekolah menengah aatas (sma) yaitu pada kelompok intervensi sebesar 11 responden (64, %) dan pada kelompok kontrol sebesar 12 responden (70,6%). karakteristik pekerjaan terbanyak pada kelompok intervensi terbanyak adalah lainnya 7 responden (41,2%) dan pada kelompok kontrol terbanyak adalah wiraswasta 6 responden (35,3%). data karakteristik pengalaman dirawat di rumah sakit pada kelompok intervensi dan kontrol terbanyak adalah dengan pengalaman sakit satu kali sebesar 31 responden (91,17%) dan pengalaman sakit lebih dari satu kali 3 responden (8,82%). tabel 1. distribusi responden gagal jantung berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan pengalaman sakit (n=34) kelompok intervensi kelompok kontrol f % f % usia (tahun) 33-45 46-58 2 15 11,8 88,2 2 15 11,8 88,2 jenis kelamin laki-laki perempuan 12 5 70,6 29,4 13 4 76,5 23,5 pendidikan sd smp sma perguruan tinggi 1 2 11 3 5,9 11,8 64,7 17,6 2 12 3 11,8 70,6 17,6 pekerjaan pns swasta wiraswasta petani lainnya 4 1 3 2 7 23,5 5,9 17,6 11,8 41,2 2 3 6 5 1 11,8 17,6 35,3 29,4 5,9 pengalaman dirawat di rs dengan gagal jantung 1 ≥ 1 15 2 88,2 11,8 16 1 23,5 1,5 tabel 2. perbedaan kualitas hidup antara sebelum (pre) dan sesudah (post) pemberian supportive-educative system pada kelompok intervensi dan kontrol (n=34) kualitas hidup mean±sd min-maks ρ intervensi sebelum 36,88±3,276 31,00-44,00 0,00* sesudah 30,94±2,221 27,00-36,00 kontrol sebelum 37,18±3,127 31,00-44,00 0,00** sesudah 34,88±2,088 31,00-39,00 *ρ< 0,05 based on wilcoxon test **ρ< 0,05 based on paired samples test tabel 3. perbedaan selisih kualitas hidup antara sebelum dan sesudah kualitas hidup anatara kelompok intervensi dan kontrol (n=34) kualitas hidup n mean sig kelompok intervensi 17 24,47 0,00 kelompok kontrol 17 10,53 ρ< 0,05 based on mann-whitney test berdasarkan tabel 2. dapat diketahui bah-wa berdasarkan uji wilcoxon test didapatkan nilai ρvalue sebesar 0,046. terlihat bahwa ρ-value 0,046 < α (0,05) menunjukkan hubungan bermakna secara signifikan kualitas hidup antara sebelum dan sesudah pemberian supportive-educative system pada kelompok intervensi. berdasarkan tabel 2. diketahui berdasar-kan uji wilcoxon test didapatkan nilai ρ-value sebe-sar 0,00. nilai ρ-value 0,000 < α (0,05) menunjuk-kan hubungan bermakna secara signifikan kualitas hidup antara sebelum dan sesudah pemberian supportive-educative system pada kelompok intervensi. kelompok kontrol berdasarkan uji wilcoxon test didapatkan nilai ρ-value sebesar 0,00. nilai ρvalue 0,000 < α (0,05) menunjukkan hubungan bermakna secara signifikan kualitas hidup antara sebelum dan sesudah pemberian supportive-edu-cative system pada kelompok kontrol. berdasarkan tabel 3. menunjukan bahwa berdasarkan uji mann-whitney test, didapatkan nilai ρ-value sebesar 0,00. nilai ρ-value 0,000 < α (0,05) menunjukan ada perbedaan pengaruh antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol. diskusi berdasarkan hasil penelitian diketahui karakteristik responden berdasarkan usia untuk kelom42 | vol 18 no 2 juli 2018 pok intervensi dan kontrol terbanyak pada kelompok usia 51-60 tahun sebesar 19 responden (55,88%). menurut perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular indonesia (perki) tahun 2015, 7 gagal jantung adalah masalah kesehatan yang terusmenerus dengan bertambahnya usia yang terjadi pada negara maju maupun negara berkembang. riset kesehatan dasar (2013), 8 menyatakan penderita gagal jantung banyak ditemukan pada kelompok umur 54-64 tahun. karena gagal jantung merupakan proses berkeanjutan terhadap penurunan fungsi jantung baik secara struktur atau fungsional terutama pada ventrikel. pemilihan responden dalam penelitian ini dibatasi antara umur 19-60 tahun. lansia akan mengalami fungsi neorologis, serta sensori yang akan berpengaruh dalam penerimaan edukasi. usia berpengaruh terhadap penerimaan informasi, dimana usia yang matang akan mempermudah penerimaan informasi yang yang diterima, hal ini sesuai dengan potter & perry (2010), 9 pada usia 40-65 tahun adalah waktu yang berpengaruh maksimal, menilai sendiri dan membimbing diri sendiri sehingga pada umur tersebut pasien memiliki efikasi diri yang baik, karena tahap ini disebut sebagai tahapan keberhasilan. dengan demikian usia yang matang diharapkan akan berpengaruh dalam memudahkan pemberian supportive-educative pada responden, dalam hal ini adalah edukasi pada responden gagal jantung. berdasarkan hasil penelitian diketahui karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin yaitu pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol terbanyak adalah laki-laki yaitu 13 responden (76,5%). hal ini sesuai dengan penelitian wahyuni & kurnia (2014), 10 bahwa responden gagal jantung yang terbanyak adalah laki-laki yaitu sebesar 25 responden (73,52%), sedangkan perempuan 9 responden (26,47 %). hal ini selaras dengan pudiarifanti et al. (2015), 11 menyatakan kejadian gagal jantung lebih banyak lai-laki daripada perempuan. hal ini berkaitan dengan hormon. hormon estrogen pada perempuan diduga memiliki efek dalam mencegah kejadian gangguan kardiovaskular dengan menurunkan stres oksidatif. karakteristik tingkat pendidikan untuk kelompok intervensi dan kontrol terbanyak adalah sma sebesar 23 responden (67,64%), selanjutnya perguruan tinggi 6 responden (17,64%), sekolah mengeah pertama (smp) sebesar 4 responden (11,74%) dan sekolah dasar (sd) sebesar 1 responden (2,94%). hal ini selaras dengan penelitian djaya & antono (2015), 12 menyatakan bahwa tingkat pendidikan yang berada pada frekuensi tertinggi adalah subjek dengan pendidikan sma atau sederajat (23,9%). semakin tinggi pendidikan yang dimiliki maka semakin mudah menerima informasi yang diberikan. karena seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan mudah menyerap informasi dan memiliki pengetahuan yang lebih baik daripada seseorang yang tingkat pendidikanya lebih rendah. 13 pendidikan berpengaruh terhadap daya tangkap dan kemampuan seseorang memahami pengetahuan yang diperoleh dalam penerimaan informasi, dalam hal ini informasi mengenai gagal jantung, dimana responden yang berpendidikan lebih tinggi maka semakin mudah untuk menerima informasi. tingkat pendidikan juga berpengaruh terhadap upaya seseorang dalam meperoleh sarana kesehatan, mencari pengobatan penyakit yang dideritanya dan mampu memilih serta memutuskan tindakan yang dijalaninya untuk mengatasi masalah kesehatanya. semua responden penelitian sudah bekerja, dengan hasil pada kelompok intervensi dan kontrol terbanyak adalah wiraswasta. gagal jantung terjadi kelemahan fungsional jantung dengan gejala umum adalah kelelahan dan sesak, dengan melakukan aktivitas berlebihan akan semakin mengganggu fungsi jantung. hal ini sesuai dengan klabunde, (2015), 14 aktivitas yang berat yang dilakukan terus menerus dan kurang beristirahat dapat meningkatkan kerja jantung dalam memompa darah keseluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan tubuh dalam melakukan aktivitas. karakteristk responden berdasarkan pengalaman dirawat di rumah sakit untuk karakteristik pengalaman sakit pada kelompok intervensi dan kontrol terbanyak adalah dengan pengalaman dirawat di rumah sakit satu kali yaitu sebesar 31 responden. pengalaman sakit dibatasi oleh peneliti minimal satu kali dengan alasan, pengalaman sakit berhubungan dengan penerimaan pasien terhadap penyakitnya. pengalaman sakit berpengaruh terhadap penerimaan sakit dan menerima edukasi, responden yang didiagnosis pertama kali atau tanpa pengalaman sakit akan mengalami penolakan terhadap sakitnya sehingga hal tersebut akan mempengaruhi responden dalam menerima edukasi. penelitian ini menunjukkan ada pengaruh kualitas hidup sebelum dan sesudah intervensi supportive-educative system pada kelompok intervensi. hal ini selaras dengan hasil penelitian chen (2018), 15 bahwa program rehabilitasi jantung berbasis rumah, dapat meningkatkan kualitas hidup sebe| 43 sar 37%. program yang diberikan berupa mengatur program rehabilitasi individual yang dilakukan di rumah, edukasi diet dan pengelolaan aktivitas sehari-hari selama periode tiga bulan. peningkatan kualitas hidup ini terkait dengan peningkatan toleransi latihan, selain manfaat dari program rahabilitasi jantung itu sendiri dan program rehabilitasi rumah mudah diintegrasikan pada pasien. hal ini sesuai dengan intervensi yang diberikan pada penelitian ini, dimana supportive-educative system berupa edukasi pengenalan penyakit gagal jantung, diet serta aktivitas fisik ketika dirumah. menurut cowie et al. (2017), 16 program perawatan optimal pada gagal jantung yang telah ditetapkan di 45 negara, dirancang untuk mengoptimalkan perawatan pasien ketika di rumah. program ini membantu meningkatkan kesadaran akan perawatan gagal jantung dan menghasilkan data yang berguna mengenai praktik saat ini. hasil awal menunjukkan bahwa program ini optimal dalam meningkatkan pengobatan farmakologis serta berpengaruh dalam meningkatkan kualitas hidup. pada kelompok kontrol menunjukkan ada perbedaan kualitas hidup antara sebelum dan sesudah pemberian supportive-educative. hal ini mungkin dikarenakan kesadaran pasien gagal jantung yang tinggi pengobatan, karena kesadaran akan pentingnya pengobatan tidak hanya dipengaruhi dengan edukasi tetapi keinginan dari pasien untuk melakukan pengobatan dengan teratur. hal ini sesuai dengan chernomordik et al. (2017), 17 pasien dengan gagal jantung yang dengan gejala simtomatik yang tetap, pengobatan teratur, pengobatan intravena dengan dosis rendah menunjukkan peningkatan kualitas hidup. sehingga pasien yang disiplin dalam minum obat, teratur dalam kontrol rawat jalan berpengaruh dalam peningkatan kualitas hidup secara bertahap, tetapi tidak berpengaruh kelangsungan hidup jangka panjang. kelompok kontrol juga menunjukkan peningkatan kualitas hidup sebelum dan sesudah intervensi supportive-educative system tetapi nilainya tetap lebih rendah daripada kelompok intervensi. hal ini juga diperkuat dari nilai selisih kualitas hidup pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol yang menunjukkan bahwa ada perbedaan pengaruh antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol, yaitu intervensi supportive-educative system pada kelompok intervensi lebih berpengaruh dibandingkan dengan kelompok kontrol. menurut teichman & storrow (2015), 18 pendidikan pasien harus dimulai lebih awal setelah masuk dan berlanjut melalui semua tingkat perawatan di rumah sakit. ini memerlukan usaha dari beberapa anggota tim perawatan pasien, termasuk dokter dan perawat. pendidikan seharusnya tidak terbatas pada pasien saja, anggota keluarga atau pengasuh harus disertakan bila memungkinkan. perawatan pasien tidak berakhir saat mereka dipulangkan dari rumah sakit karena pasien kemungkinan akan memerlukan bantuan tambahan dari apoteker, pekerja sosial dan keluarga mereka sendiri. hal ini sesuai menurut penelitian wang et al. (2017), 19 penelitian ini memberikan bukti bahwa selain terapi standar, pasien dengan gagal jantung juga dapat memanfaatkan program promosi pendidikan khusus. program pendidikan khusus dapat berupa strategi pendidikan kesehatan yang dapat memberikan manfaat pada pasien dengan gagal jantung, yaitu program pendidikan manajemen mandiri efektif dalam meningkatkan kualitas hidup dan kepuasan pengobatan dan program asuhan keperawatan pendidikan yang mendukung dapat mengurangi kelelahan dan meningkatkan kualitas hidup. program perawatan diri dapat memperbaiki fungsi jantung dan memperkuat kemampuan dan efisiensi pasien untuk tampil perawatan diri dan program pengelolaan penyakit berbasis rumah dapat memperbaiki status psikologis, termasuk depresi dan kecemasan. simpulan penelitian ini menunjukkan terdapat pengaruh pemberian supportive-educative system terhadap kualitas hidup pasien gagal jantung, kualitas hidup pada kelompok intervensi lebih baik daripada kelompok kontrol. daftar pustaka 1. kementrerian kesehatan republik indonesia. infodatin: situasi kesehatan jantung. pusat data dan informasi kementerian kesehatan ri. 2014. p.1-8. 2. ziaeian b, fonarow gc. epidemiology and aetiology of heart failure. nature reviews. cardiology, 2016; 13 (6): 368. 3. zamanzadeh v, valizadeh l, howard af, jamshidi f. a supportive-educational intervention for heart failure patients in iran: the effect on self-care behaviours. nurs res pract, 2013; 2013 (1): 1-7. 44 | vol 18 no 2 juli 2018 4. etemadifar s, bahrami m, shahriari m, farsani ak. the effectiveness of a supportive educative group intervention on family caregiver burden of patients with heart failure. iran j nurs midwifery res, 2014; 19 (3): 217-23. 5. yaghoubi a, tabrizi js, mirinazhad mm, azami s, naghavi-behzad m, ghojazadeh m. quality of life in cardiovascular patients in iran and factors affecting it: a systemic review. j cardiovasc thorac res, 2012; 4 (4): 95-101. 6. yancy cw, jessup m, bozkurt b, butler j, casey de jr, drazner mh, et al. 2013 accf/aha guideline for the managenet of heart failure. circulation, 2013; 128 (16): 1810-52. 7. perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular indonesia (perki). pedoman tatalaksanan gagal jantung. ed. ketiga. jakarta: centra communications. 2015. 8. riset kesehatan dasar (riskesdas). badan penelitian dan pengembangan kesehatan kementrian kesehatan ri. jakarta: badan litbangkes, depkes ri. 2013. 9. potter pa, perry ag. buku ajar fundamental keperawatan: konsep, proses dan praktik. ed 4, vol 2. terjemahan. 2010. 10. wahyuni a, kurnia os. hubungan self-care dan motivasi dengan kualitas hidup pasien gagal jantung. jurnal keperawatan padjajaran, 2014; 2 (2): 108-115 . 11. pudiarifanti n, pramantara id, ikawati z. faktorfaktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien gagal jantung kronik. jurnal manajemen dan pelayanan farmasi, 2015; 5 (4): 259-266. 12. djaya kh, nasution sa, antono d. gambaran lama rawat dan profil pasien gagal jantung di rumah sakit cipto mangunkusumo. indonesian journal of chest, 2015; 2 (4): 141-150. 13. rini ss, hairitama r. kepatuhan lansia penderita hipertensi dalam pemenuhan diet hipertensi. sorot (jurnal ilmu-ilmu sosial dan ekonomi), 2014; 6 (1): 46-53. 14. klabunde re. konsep fisiologi kardiovaskular. ed. 2. jakarta: egc. 2015. 15. chen yw, wang cy, lai yh, liao yc, wen yk, chang st et al. home-based cardiac rehabilitation improves quality of life, aerobic capacity and readmission rates in patients with chronic heart failure. medicine, 2018; 97 (4): e9629. 16. cowie mr, lopatin ym, saldarriaga c, fonseca c, sim d, magaña ja, et al. the optimize heart failure care program: initial lessons from global implementation. int j cardiol, 2017; 236 (1): 340344. 17. chernomordik f, freimark d, arad m, shechter m, matetzky s, savir y, et al. quality of life and long-term mortality in patients with advanced chronic heart failure treated with intermitten lowdose intravenous intropes in an outpatient setting. esc heart fail, 2017; 4 (2):122-129. 18. teichman sl, maisel as, storrow ab. challenges in acute heart failure clinical management: optimizing care despite incomplete evidence and imperfect drugs. crit pathw cardiol, 2015; 14 (1): 12-24. 19. wang q, dong l, jian z, tang x. effectiveness of a precede-based education intervention on quality of life in elderly patients with chronic heart failure. bmc cardiovasc disord, 2017; 17 (1): 262. simpulan 22 | vol 19 no 1 januari 2019 yang dilakukan sendiri (munfarid), pada sebagian malam yang akhir, waktu di antara magrib dan isya, setelah shalat subuh.15 jadi kebiasaan lansia membaca al-qur’an dengan durasi waktu tertentu dan dilakukan pada waktu-waktu terbaik dapat mempertahankan kemampuan kognitif lansia dan mencerminkan sikap positif lansia tersebut. simpulan kesimpulan dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang signifikan antara durasi membaca al-qur`an dengan penurunan fungsi kognitif pada lansia. implikasi penelitian ini untuk pendidikan keperawatan yaitu sebagai evident base dalam memberikan terapi spiritual (membaca al-qur`an) pada lansia. sedangkan bagi posyandu lansia, penelitian ini memberikan implikasi sebagai salah satu alternatif kegiatan spiritual dalam upaya peningkatan kesehatan lansia khususnya secara kognitif. implikasi bagi subyek penelitian (lansia) yaitu sebagai salah satu contoh aktivitas sederhana yang dapat dilakukan secara rutin sehingga mampu mempertahankan fungsi kognitif dan menghindarkan dari penyakit cerebrovaskuler pada lansia. daftar pustaka 1. badan pusat statistik daerah istimewa yogyakarta. penduduk daerah istimewa yogyakarta hasil survey penduduk antarsensus 2015. 2016. diakses dari https://yogyakarta.bps.go.id/publikasi/view/id/15 8 diakses pada 6 mei 2016. 2. sekretariat daerah kabupaten bantul. laporan kinerja pemerintah kabupaten bantul tahun 2014. 2015. diakses dari http://setda.bantulkab.go.id/documents/2015050 6121424-laporan-kinerja-bantul-2014.pdf diakses pada 28 februari 2017. 3. departemen kesehatan republik indonesia. pelayanan dan peningkatan kesehatan usia lanjut. 2015. diakses dari http://www.depkes.go.id/article/view/150527000 10/pelayanan-dan-peningkatan-kesehatan-usialanjut.html diakses pada 6 mei 2016. 4. pranarka k. penerapan geriatrik kedokteran menuju usia lanjut. 2006. diakses dari http://www.univmed.org/wpcontent/uploads/20 11/02/krispranaka.pdf. diakses pada 10 mei 2016. 5. wreksoatmojo br. aktifitas kognitif mempengaruhi fungsi kognitif lansia di jakarta. cdk-224, 2015; 42 (1): 7-13. 6. handayani t, mitsalina mhn, nurullya rs. pesantren lansia sebagai upaya meminimalkan risiko penurunan fungsi kognitif pada lansia di balai rehabilitasi sosial lansia unit ii pucang gading semarang. jurnal keperawatan komunitas, 2013; 1 (1): 1-9. 7. etsem mb, julianto v. the effect of reciting holly qur’an toward short-term memory ability analyzed trough the changing brain wave. jurnal psikologi, 2011; 38 (1): 17-29. 8. lestari n. hubungan intensitas membaca al-qur’an dengan fungsi kognitif lanjut usia di wilayah kerja puskesmas kecamatan ciseeng kabupaten bogor 2012. skripsi. uin syarif hidayatulloh. 2012. 9. purnamasari d. hubungan antara kebiasaan membaca dengan pemahaman bacaan siswa kelas viii smp di kecamatan kalasan sleman. universitas negeri yogyakarta. 2013. 10. dalman. ketrampilan membaca. jakarta: pt raja grafindo persada. 2013. 11. sauderajen. pengaruh sindroma metabolik terhadap gangguan fungsi kognitif. tesis. universitas negeri semarang. 2010. 12. pieter h, namora l. pengantar psikologi dalam keperawatan. jakarta: kencana. 2010. 13. haeroni. pengaruh terapi membaca al-qur`an (surah ar-rahman) terhadap demensia pada lansia di unit rehabilitasi sosial wening wardoyo ungaran kabupaten semarang. program studi ilmu keperawatan stikes ngudi waluyo ungaran. 2014. 14. kementrian agama ri. buku siswa: al-qur’an hadist pendekatan saintifik kurikulum 2013. jakarta: kementrian agama. 2014. 15. amana fa. pengaruh kebiasaan membaca al-qur’an terhadap prestasi belajar pendidikan agama islam siswa kelas x di madrasah aliyah negeri 2 kota madiun. malang: universitas islam negeri maulana malik ibrahim. 2015. mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm ©2019 mmjkk. all rights reserved vol 19 no 1 hal 23-26 januari 2019 validitas pemeriksaan ankle reflex untuk deteksi diabetic peripheral neuropathy pada pasien diabetes melitus tipe 2 ankle reflex examination validity as diabetic peripheral neuropathy detection on patient of diabetes mellitus type 2 wizard eka putra azaka1*, agus yuwono2, erida wydiamala3 1 program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran, universitas lambung mangkurat, banjarmasin 2 bagian ilmu penyakit dalam, fakultas kedokteran, universitas lambung mangkurat, banjarmasin 3 bagian parasitologi, fakultas kedokteran, universitas lambung mangkurat, banjarmasin data of article: received: 18 sep 2017 reviewed: 25 jan 2018 revised: 1 jul 2018 accepted: 25 sep 2018 *correspondence: wizard.azaka5@gmail.com doi: 10.18196/mm.190124 type of article: research abstrak: diabetic peripheral neuropathy (dpn) adalah bentuk komplikasi yang paling banyak pada pasien diabetes. ankle reflex (ar) merupakan pemeriksaan fisik sederhana yang dapat digunakan sebagai prosedur deteksi untuk mencegah morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh dpn dengan mengevaluasi fungsi saraf sensoris dan motoris. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui validitas ar sebagai prosedur deteksi dpn pada pasien diabetes melitus (dm) tipe 2. penelitian dilakukan di rsud dr. h. moch. ansari saleh banjarmasin. jenis penelitian ini adalah uji diagnostik dengan pendekatan cross-sectional. penelitian melibatkan 69 pasien dm tipe 2 di poliklinik penyakit dalam sebagai peserta. pasien dievaluasi menggunakan skor diabetic neuropathy examination (dne), diabetic neuropathy symptom (dns) dan pemeriksaan ar. data dianalisis menggunakan tabel uji diagnostik 2x2 dan kurva receiving operating characterictic (roc). hasil menunjukkan bahwa ar memiliki nilai sensitivitas 100%, spesifisitas 72,73%, akurasi 82,61%, nilai duga positif 67,57%, nilai duga negatif 100% dan 0.88 area under curve (auc). simpulan penelitian ini adalah ar memiliki nilai validitas yang baik dan dapat digunakan sebagai prosedur deteksi dpn yang cepat dan mudah untuk pasien dm tipe 2. kata kunci: validitas; ankle reflex; diabetic peripheral neuropathy; diabetes melitus tipe 2 abstract: diabetic peripheral neuropathy (dpn) is the most common and troublesome complication which affect diabetic patients. ankle reflex (ar) is a simple physical examination which can be used as detection procedure to prevent morbidity and mortality caused by dpn by evaluating both motor and sensory nerves function. this study aimed to discover ankle reflex validity as dpn detection procedure on type 2 diabetes mellitus (dm) patients at rsud dr. h. moch. ansari saleh banjarmasin. this was a diagnostic test study with cross-sectional design. subjects were 69 type 2 dm patients at internal medicine clinic. patients were evaluated by using diabetic neuropathy examination (dne) score, diabetic neuropathy symptom (dns) score and ar examination. data was analyzed by using 2x2 diagnostic test table and receiving operating characteristic (roc) curve. the result shows that ar had 100% sensitivity, 72,73% specificity, 82,61% accuracy, 67,57% positive predictive value, 100% negative predictive value and 0,88 area under curve (auc). in conclusion, ar has good validity value and can be used as rapid and simple dpn detection procedure on type 2 dm patients. 24 | 24 | vol 19 no 1 januari 2019 keywords: validity; ankle reflex; diabetic peripheral neuropathy; type 2 diabetes mellitus pendahuluan diabetic peripheral neuropathy (dpn) merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada pasien diabetes melitus (dm) dan bertanggung jawab terhadap 50-75% amputasi non traumatik pada pasien dm. berdasarkan infodatin tahun 2014, angka prevalensi dpn di rsupn dr. cipto mangunkusumo jakarta sebesar 54% dari semua komplikasi dm yang didata.1 patogenesis terjadinya dpn masih belum diketahui secara pasti, namun melibatkan beberapa proses yaitu adanya kerusakan endotel pembuluh darah, aktivasi jalur poliol, advanced glycation end products (ages) dan aktivasi jalur protein kinase c (pkc).2,3 kerusakan saraf yang terjadi pada dpn dapat bergejala nyeri, sensasi seperti tertusuk, terbakar di malam hari yang melibatkan kerusakan serabut saraf berdiameter kecil atau justru hilangnya refleks miotatik, sensasi getar, raba halus yang simetris berjalan dari distal ke proksimal dan bergantung pada panjang neuron (lebih utama di kaki) yang melibatkan kerusakan serabut saraf berdiameter besar khususnya serabut saraf sensoris jenis aα.4,5 hal yang perlu diperhatikan dari dpn adalah terbentuknya ulkus yang tidak disadari oleh pasien yang meningkatkan risiko infeksi bahkan amputasi terutama di ekstremitas bawah. oleh karena itu, perlu dilakukan deteksi pada dpn agar pasien mengetahui kondisi yang dialaminya sehingga dapat mencegah kerusakan yang lebih parah melalui upaya-upaya perawatan dan pengobatan. menurut konsensus san antonio, tidak ada pemeriksaan baku emas yang ditetapkan namun direkomendasikan setidaknya melakukan satu dari lima metode, yaitu sistem penilaian skor gejala, sistem penilaian skor pemeriksaan fisik, quantitive sensory testing (qst), tes fungsi otonom kardiovaskuler dan elektrodiagnosis.6 terdapat pemeriksaan fisik yang mudah dilakukan untuk mendiagnosis dpn yaitu ankle reflex (ar). ankle reflex dapat menurun bahkan hilang di awal terjadinya dpn. hal ini dikarenakan kerusakan serabut saraf sensoris jenis aα yang merupakan serabut sensoris pada kumparan otot. reseptor kumparan otot rangka dapat dirangsang melalui ketukan pada tendon dan kemudian impuls akan dilanjutkan menuju ganglion dorsalis medula spinalis dan bersinaps dengan neuron eksitatorik yang akan melanjutkan impuls menuju neuron motorik sampai pada otot rangka. kerusakan neuron pada tahap lebih lanjut akan merusak neuron motorik, namun kerusakan serabut saraf sensoris lebih dulu terjadi sehingga dapat dideteksi sebelum dpn semakin parah.5 tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui validitas ar sebagai prosedur deteksi dpn pada pasien dm tipe 2 di rsud di rsud dr. h. moch. ansari saleh banjarmasin bahan dan cara penelitian ini adalah penelitian uji diagnostik dengan menggunakan desain cross-sectional. variabel terikat penelitian ini adalah jumlah pasien yang terdeteksi positif atau negatif diabetic peripheral neuropathy (dpn), sedangkan variabel bebas adalah ankle reflex (ar). sampel yang diambil adalah pasien dm tipe 2 di rsud dr. h. moch. ansari saleh banjarmasin pada bulan juli hingga agustus 2016. kriteria inklusi penelitian ini adalah telah terdiagnosis dm tipe 2, berusia kurang dari 65 tahun dan bersedia menjadi subjek penelitian. kriteria eksklusi penelitian ini adalah jika subjek dalam penggunaan obat-obatan kemoterapi kanker dan antiretroviral, pecandu alkohol, terdiagnosis stroke oleh dokter spesialis saraf, menderita hernia nukleus pulposus (hnp), terdapat riwayat fraktur ekstremitas bawah, subjek dengan indeks massa tubuh (imt) ≥ 25, terdiagnosis lesi upper motor neuron (umn) oleh dokter spesialis saraf, terdiagnosis lesi saraf perifer lain oleh dokter spesialis saraf, hasil penilaian skor diabetic neuropathy examination (dne) ≤ 3, skor diabetic neuropathy symptoms (dns) ≥ 1, dan menderita neuropati etiologi spesifik non dm berdasarkan diagnosis dokter spesialis saraf. instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah garpu tala 128 hz, jarum, palu refleks, lembar kuesioner dns dan tabel dne. lembar informed consent digunakan sebagai bukti persetujuan pasien sebagai subyek penelitian. setiap pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi akan diberikan penjelasan tujuan, manfaat penelitian, prosedur pemeriksaan dns, dne dan pemeriksaan ar, kemudian pasien diminta menandatangani informed consent sebagai bukti bahwa pasien menyetujui untuk menjadi subyek penelitian. setelah tahap persetujuan partisipan, penelitian dilanjutkan dengan pemeriksaan dne dan dns sebagai pemeriksaan baku emas dan pemeriksaan ar. analisis data dilakukan dengan tabel uji diagnostik 2x2 kemudian data diinput ke dalam aplikasi spss untuk mendapatkan area under curve (auc) pada kurva receiver operating characteristic (roc). nilai auc menggambarkan nilai validitas. validitas sangat baik jika auc 90-100%, validitas baik jika auc 80-89,99%, validitas cukup jika auc 70-79,99%, | 25 24 | vol 19 no 1 januari 2019 keywords: validity; ankle reflex; diabetic peripheral neuropathy; type 2 diabetes mellitus pendahuluan diabetic peripheral neuropathy (dpn) merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada pasien diabetes melitus (dm) dan bertanggung jawab terhadap 50-75% amputasi non traumatik pada pasien dm. berdasarkan infodatin tahun 2014, angka prevalensi dpn di rsupn dr. cipto mangunkusumo jakarta sebesar 54% dari semua komplikasi dm yang didata.1 patogenesis terjadinya dpn masih belum diketahui secara pasti, namun melibatkan beberapa proses yaitu adanya kerusakan endotel pembuluh darah, aktivasi jalur poliol, advanced glycation end products (ages) dan aktivasi jalur protein kinase c (pkc).2,3 kerusakan saraf yang terjadi pada dpn dapat bergejala nyeri, sensasi seperti tertusuk, terbakar di malam hari yang melibatkan kerusakan serabut saraf berdiameter kecil atau justru hilangnya refleks miotatik, sensasi getar, raba halus yang simetris berjalan dari distal ke proksimal dan bergantung pada panjang neuron (lebih utama di kaki) yang melibatkan kerusakan serabut saraf berdiameter besar khususnya serabut saraf sensoris jenis aα.4,5 hal yang perlu diperhatikan dari dpn adalah terbentuknya ulkus yang tidak disadari oleh pasien yang meningkatkan risiko infeksi bahkan amputasi terutama di ekstremitas bawah. oleh karena itu, perlu dilakukan deteksi pada dpn agar pasien mengetahui kondisi yang dialaminya sehingga dapat mencegah kerusakan yang lebih parah melalui upaya-upaya perawatan dan pengobatan. menurut konsensus san antonio, tidak ada pemeriksaan baku emas yang ditetapkan namun direkomendasikan setidaknya melakukan satu dari lima metode, yaitu sistem penilaian skor gejala, sistem penilaian skor pemeriksaan fisik, quantitive sensory testing (qst), tes fungsi otonom kardiovaskuler dan elektrodiagnosis.6 terdapat pemeriksaan fisik yang mudah dilakukan untuk mendiagnosis dpn yaitu ankle reflex (ar). ankle reflex dapat menurun bahkan hilang di awal terjadinya dpn. hal ini dikarenakan kerusakan serabut saraf sensoris jenis aα yang merupakan serabut sensoris pada kumparan otot. reseptor kumparan otot rangka dapat dirangsang melalui ketukan pada tendon dan kemudian impuls akan dilanjutkan menuju ganglion dorsalis medula spinalis dan bersinaps dengan neuron eksitatorik yang akan melanjutkan impuls menuju neuron motorik sampai pada otot rangka. kerusakan neuron pada tahap lebih lanjut akan merusak neuron motorik, namun kerusakan serabut saraf sensoris lebih dulu terjadi sehingga dapat dideteksi sebelum dpn semakin parah.5 tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui validitas ar sebagai prosedur deteksi dpn pada pasien dm tipe 2 di rsud di rsud dr. h. moch. ansari saleh banjarmasin bahan dan cara penelitian ini adalah penelitian uji diagnostik dengan menggunakan desain cross-sectional. variabel terikat penelitian ini adalah jumlah pasien yang terdeteksi positif atau negatif diabetic peripheral neuropathy (dpn), sedangkan variabel bebas adalah ankle reflex (ar). sampel yang diambil adalah pasien dm tipe 2 di rsud dr. h. moch. ansari saleh banjarmasin pada bulan juli hingga agustus 2016. kriteria inklusi penelitian ini adalah telah terdiagnosis dm tipe 2, berusia kurang dari 65 tahun dan bersedia menjadi subjek penelitian. kriteria eksklusi penelitian ini adalah jika subjek dalam penggunaan obat-obatan kemoterapi kanker dan antiretroviral, pecandu alkohol, terdiagnosis stroke oleh dokter spesialis saraf, menderita hernia nukleus pulposus (hnp), terdapat riwayat fraktur ekstremitas bawah, subjek dengan indeks massa tubuh (imt) ≥ 25, terdiagnosis lesi upper motor neuron (umn) oleh dokter spesialis saraf, terdiagnosis lesi saraf perifer lain oleh dokter spesialis saraf, hasil penilaian skor diabetic neuropathy examination (dne) ≤ 3, skor diabetic neuropathy symptoms (dns) ≥ 1, dan menderita neuropati etiologi spesifik non dm berdasarkan diagnosis dokter spesialis saraf. instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah garpu tala 128 hz, jarum, palu refleks, lembar kuesioner dns dan tabel dne. lembar informed consent digunakan sebagai bukti persetujuan pasien sebagai subyek penelitian. setiap pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi akan diberikan penjelasan tujuan, manfaat penelitian, prosedur pemeriksaan dns, dne dan pemeriksaan ar, kemudian pasien diminta menandatangani informed consent sebagai bukti bahwa pasien menyetujui untuk menjadi subyek penelitian. setelah tahap persetujuan partisipan, penelitian dilanjutkan dengan pemeriksaan dne dan dns sebagai pemeriksaan baku emas dan pemeriksaan ar. analisis data dilakukan dengan tabel uji diagnostik 2x2 kemudian data diinput ke dalam aplikasi spss untuk mendapatkan area under curve (auc) pada kurva receiver operating characteristic (roc). nilai auc menggambarkan nilai validitas. validitas sangat baik jika auc 90-100%, validitas baik jika auc 80-89,99%, validitas cukup jika auc 70-79,99%, | 25 validitas buruk jika auc 60-69,99% dan validitas sangat buruk jika auc kurang dari 60%.7 hasil tabel 1. hasil penelitian validitas ar sebagai deteksi dpn pada pasien dm tipe 2 tinjauan di rsud dr. h. moch. ansari saleh banjarmasin. hasil analisis positif benar (a) 25 positif semu (b) 12 negatif semu (c) 0 negatif benar (d) 32 sensitivitas 100% spesifisitas 72,73% 1-spesifisitas 0,277 auc 0,88 prevalensi 36,23% akurasi 82,61% nilai duga positif 67,57% nilai duga negatif 100% hasil analisis kurva roc untuk mengetahui auc pemeriksaan ar dapat dilihat pada gambar 1. gambar 1. area under curve validitas ar sebagai deteksi dpn pada pasien dm tipe 2 di rsud dr. h. moch ansari saleh banjarmasin berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan, prevalensi penderita dpn pada penelitian ini adalah sebesar 36,23%, yaitu 25 pasien menderita dpn dari 69 pasien menurut pemeriksaan baku emas pada penelitian ini. hasil lain menunjukkan bahwa terdapat 32 pasien yang tidak menderita dpn menurut pemeriksaan baku emas dan ar. terdapat 12 pasien menderita dpn menurut hasil pemeriksaan ar teta pi tidak menurut pemeriksaan baku emas. penghitungan menggunakan tabel 2x2 yang kemudian dianalisis menggunakan kurva roc pada aplikasi spss, diperoleh hasil bahwa ar memiliki sensitivitas sebesar 100%, spesifisitas 72,73%, nilai duga positif 67,57%, nilai duga negatif 100%, akurasi 82,61%, dan auc 0,88. diskusi nilai sensitivitas 100% berarti bahwa seluruh penderita dpn dengan hasil positif menurut pemeriksaan baku emas dapat terdeteksi oleh ar. ankle reflex memiliki spesifisitas sebesar 72,3%, hal ini berarti bahwa terdapat 72,73% proporsi orang tanpa dpn dengan hasil negatif menurut pemeriksaan baku emas menunjukkan hasil pemeriksaan ar positif. nilai prediksi positif sebesar 67,57% berarti bahwa apabila hasil pemeriksaan ar didapatkan negatif maka pasien memiliki kemungkinan sebesar 67,75% untuk menderita dpn berdasarkan pemeriksaan baku emas penelitian ini. nilai duga negatif sebesar 100% berarti bahwa jika pemeriksaan ar didapatkan positif pada pasien, maka pasien tidak memiliki kemungkinan untuk menderita dpn berdasarkan pemeriksaan baku emas penelitian ini. nilai akurasi sebesar 82,61% berarti bahwa pemeriksaan ar mampu mendeteksi dpn dengan benar dari seluruh subjek penelitian sebesar 82,61% berdasarkan pemeriksaan baku emas. nilai auc 0,88 (ik 95%: berarti bila pemeriksaan ar dilakukan pada 100 pasien maka akan memberikan kesimpulan yang benar dalam menentukan ada tidaknya dpn pada 88 pasien. nilai auc 0,88 tergolong nilai validitas kategori baik. nilai auc didapatkan dengan menghitung luas daerah trapesium pada grafik roc, dengan nilai maksimal satu. tingginya nilai sensitivitas pada penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian oleh jayaprakash et al. (2011),8 dan shehab et al. (2012),9 dengan nilai senstivitas berturut-turut 91,5% dan 90,7%. menurut bowditch et al. (1996),10 hilangnya ar meningkat seiring bertambahnya usia. rentang usia subjek penelitian yang dilakukan adalah 30-63 tahun, dengan proporsi hilangya ar sebanyak 5% pada usia kurang dari 60 tahun dan sekitar 30% pada usia lebih dari atau sama dengan 60 tahun. hal ini dapat meningkatkan nilai sensitivitas dan menurunkan nilai spesifisitas ar. hilangnya ar pada pasien dm dengan komplikasi dpn disebabkan oleh kerusakan pada serabut saraf jenis aα yang merupakan jenis serabut saraf yang menghantarkan impuls pada lengkung reflex. hal ini akan menyebabkan gangguan hantaran impuls yang mempersarafi lengkung refleks achilles. 26 | 26 | vol 19 no 1 januari 2019 penelitian ini memiliki keterbatasan yang dapat mempengaruhi hasil penelitian yaitu pengalaman pemeriksa. menurut bharati et al. (2011),11 terdapat perbedaan hasil pemeriksaan ar sebagai prosedur deteksi dpn yang dilakukan oleh mahasiswa kedokteran dan klinisi yang berpengalaman. pemeriksaan baku emas yang digunakan pada penelitian ini berupa kuesioner dan pemeriksaan fisik, sehingga dapat dipengaruhi oleh subjektivitas pasien dan sangat bergantung pada gejala yang muncul pada pasien sehingga tidak dapat mendeteksi dpn tanpa gejala. menurut perkins dan vera (2003),12 menunjukkan bahwa pemeriksaan nerve conduction study (ncs) merupakan pemeriksaan terbaik untuk mendeteksi dpn menurut american academy of neurology (aan) karena dapat memberikan informasi lebih banyak untuk diagnosis dpn dan dapat mendiagnosis dpn meskipun belum ada gejala yang muncul.12 simpulan ankle reflex memiliki nilai validitas yang baik dan dapat digunakan sebagai prosedur deteksi dpn pada pasien dm tipe 2. diharapkan dapat menggunakan pemeriksaan baku emas yang lebih baik seperti ncs agar dapat mendeteksi pasien dm tipe 2 yang mengalami dpn tanpa gejala. penelitian serupa selanjutya diharapkan dapat memuat tujuan tambahan untuk mengetahui prevalensi dpn di rsud yang ada di banjarmasin. daftar pustaka 1. kementerian kesehatan ri. infodatin pusat data dan informasi kementerian kesehatan ri. jakarta: kemeterian kesehatan ri. 2014. 2. ametov as, barinov a, dyck pj, hermann r, kozlova n, litchy wj, et al. the sensory symptoms of diabetic polyneuropathy are im proved with alpha lipoic acid: the sydney rial. diabetes care, 2003; 26 (3): 770-776. 3. setiati s, alwi i, sudoyo aw. buku ajar ilmu penyakit dalam jilid ii edisi vi. jakarta: interna publishing. 2014. 4. sadeli ha. nyeri neuropati diabetika. dalam: meilala l, suryamiharja, wirawan, sadeli ha, amir d. editor. nyeri neuropatik. yogyakarta: medigama press. 2008. p.77-90. 5. alexandra h, cristopher hg. diagnosis and treatment of pain in small fiber neuropathy. curr pain headache rep, 2011; 15 (3): 193-200. 6. meijer jw, bosma e, lefrant jd. clinical diagnosis of diabetic polyneuropathy with the diabetic neuropathy symptom and diabetic neuropathy examination scores. diabetes care, 2003; 26 (3): 697-701. 7. sopiyudin dm. penelitian diagnostik dasar-dasar teoretis dan aplikasi dengan program spss dan stata. seri evidence based medicine 5. jakarta: penerbit salemba medika. 2009. 8. jayaprakash p, anil b, shobhit b, pinaki d, anantharaman r, shanmugasundar g, et al. validation of beside methods in evaluation of diabetic peripheral neuropathy. indian j med res, 2011; 133 (6): 645-649. 9. shehab dk, al-jarallah kf, abraham m, mojiminiyi oa, al-mohamedy h, abdella na. back to basics: ankle reflex in the evaluation of peripheral neuropathy in type 2 diabetes mellitus. qjm, 2012; 105 (4): 315-320. 10. bowditch mg, sanderson p, livesey jp. the significance of an absent ankle reflex. j bone joint surg, 1996; 78 (2): 276-279. 11. bharati t, saima a, ashish j, vikas k. the diagnostic sensitivity, specificity and reproducibility of the clinical physical examination signs in patients of diabetes mellitus for making diagnosis of peripheral neuropathy. j endocrinol metab, 2011; 1 (1): 21-26. 12. perkins ba, vera b. diabetic neuropathy: a review emphasizing diagnostic methods. clin neurophysiol, 2003; 114 (7): 1167-1175. mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm ©2017 mmjkk. all rights reserved vol 17 no 2 hal 67-71 juli 2017 aktivitas leukosit pro inflamasi pada kasus penyakit paru obstruktif kronis eksaserbasi akut pro inflamatory leukocyte activity in acute exacerbation of chronic obstructive pulmonary disease juwariyah, 1 adika zhulhi arjana, 2 * ester tri rahayu, 1 linda rosita, 3 rozan muhammad irfan 2 1 laboratorium patologi klinik, rumah sakit umum daerah kebumen 2 fakultas kedokteran, universitas islam indonesia 3 departemen patologi klinik, fakultas kedokteran, universitas islam indonesia data naskah: masuk: 8 mar 2017 direviu: 18 mar 2017 direvisi: 17 jun 2017 diterima: 21 jun 2018 *korespondensi: adika.zhulhi.a@uii.ac.id doi: tipe artikel: penelitian abstrak: penyakit paru obstruktif kronis (ppok) memiliki karateristik adanya restriksi saluran nafas yang kurang reversibel. pada ppok terdapat inflamasi akibat aktifitas sel-sel inflamasi termasuk neutrofil dan eosinofil. restriksi saluran nafas terjadi akibat remodelling dari proses inflamasi yang terjadi. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktifitas sel-sel inflamasi terutama neutrofil dan eosinofil pada ppok eksaserbasi akut dengan membandingkan kadar eosinfil dan netrofil sebelum dan sesudah terapi. penelitian bersifat observasional dengan desain cross sectional. responden penelitian ini adalah pasien penderita ppok yang rawat jalan dan rawat inap di rsud kebumen pada tahun 2016. semua subyek masuk dalam penelitian dengan kriteria eksklusi adalah data tidak lengkap. hasil menunjukkan terdapat 119 pasien yang memenuhi kriteria inklusi sebagai responden. data dari rekam medis menunjukkan bahwa mayoritas penderita adalah laki-laki (84,03 %) dengan rata-rata umur 67 tahun. penyakit penyerta yang ditemukan adalah hipertensi (54,62 %), tuberkulosis (22,69 %) dan congestive heart failure (chf) (6,72 %). pada tanda vital, terdapat kenaikan sistole dan laju nafas. presentase netrofil pada kedua jenis kelamin meningkat dibandingkan normal namun tidak dengan eosinofil. setelah dilakukan rawat inap, terjadi penurunan persentase eosinofil dan neutrofil dibanding sebelum perawatan namun tidak signifikan secara statistik (p= 0,603 vs 0,818). kesimpulan dari penelitian ini adalah adanya peningkatan aktivitas netrofil pada pasien ppok. penurunan aktivitas baik netrofil maupun eosinofil didapatkan ketika pasien rawat inap meskipun tidak bermakna secara statistik. kata kunci: eosinophil; netrofil; penyakit paru obstruktif kronis abstract: chronic obstructive pulmonary disease (copd) has characteristics with their less reversible airway restriction. there is inflammation caused by activity of inflammatory cells including neutrophils and eosinophils in copd. airway restriction caused by remodeling inflammation process. the aim of this study is to know the activity of inflammatory cells especially neutrophils and eosinophils in acute exacerbations of copd patients before and after therapy. this is cross sectional observational study. this study use kebumen district hospital copd outpatient and inpatient throughout 2016 as subjects. all subject include in this study with incomplete data as exclusion criteria. the results of this study showed 119 patients with 84,03 % male as majority, mean age 67 years. comorbid diseases found were hypertension, tuberculosis, and congestive heart failure (54,62 %, 22,69 %, and 6,72 % respectively). there is an increase of systolic and breath rate in vital sign. neutrophil percent 10.18196/mm.170202 68 | vol 17 no 2 juli 2017 tages increased in both sexes but not with eosinophil. there were decline of neutrophils and eosinophils than before treatment, but not statistically significant (p= 0,603 vs 0,818). this study conclude that neutrophil activity increase in copd patients. both neutrophil and eosinophil were decline after therapy but not statistically significant. key words: eosinophil; neutrophil; chronic obstructive pulmonary disease pendahuluan penyakit paru obstruktif kronis (ppok) adalah sekumpulan penyakit paru yang ditandai dengan restriksi saluran nafas yang sifatnya kurang reversibel. penyakit ini mencakup 2 subtipe yaitu emfisema yang ditandai dengan kerusakan jaringan paru dan bronkhitis kronis yang ditandai dengan perubahan struktur dan fungsi bronkhus. berbeda dengan asma yang dipicu oleh kehadiran alergen, ppok dipicu oleh stimulus toksik seperti asap. keberadaan stimulus toksik tersebut bersama dengan adanya infeksi menyebabkan kerentanan pada saluran nafas. 1 kerentanan ini yang mendasari adanya inflamasi pada saluran nafas. sebagaimana yang terjadi pada asma, neutrofil dan eosinofil juga memiliki peranan pada kejadian inflamasi. reaksi inflamasi saluran nafas dipicu oleh aktivitas sel t cd4. sel t cd4 yang aktif kemudian melepaskan kemokin dan sitokin pro inflamasi. kehadiran sitokin pro inflamasi dalam jumlah yang cukup akan merangsang pergerakan neutrofil dan eosinofil ke lokasi jejas saluran nafas. neutrofil yang aktif kemudian mensekresikan matrix metalloproteinase (mmp). sekresi mmp yang berlebihan dengan kehadiran proteinase memicu kerusakan paru. 1 peranan eosinofil dan netrofil pada kejadian ppok tampak pada patofisiologi inflamasi yang terjadi. akan tetapi data yang menunjukkan fakta terutama di indonesia belum ada. eosinofil adalah sel imun yang sifatnya asam pada pengecatan hematoksilin eosin. eosinofil terdapat dalam darah dalam jumlah yang sedikit yaitu 1-3% dari keseluruhan populasi leukosit. eosinofil berperan dalam sistem imun terutama dalam melawan parasit. eosinofil bersifat sitotoksik dan merupakan lini pertahanan tubuh melawan patogen yang tidak dapat dieliminasi dengan fagositosis. mekanisme kerja eosinofil menggunakan opsonisasi dengan dibantu oleh immunoglobulin e (ige), sehingga eosinofil sangat terkait kerjanya dengan ige. 2 eosinofil setelah disintesis dan masuk aliran darah kemudian masuk menginfiltrasi jaringan. pada jaringan inilah eosinofil bekerja melawan patogen. keberadaan patogen akan memicu kenaikan jumlah eosinofil di darah. 3 eosinofil juga berperan dalam proses inflamasi. inflamasi sendiri terjadi dengan perantaraan sel t helper (th). selama ini diyakini sel th2 adalah pemicu terjadinya inflamasi. penelitian terbaru menunjukkan kehadiran sel th17 sebagai sel proinflamasi. sel th17 merupakan sel yang mengaktivasi sel t regulatory (treg) yang sangat berperan dalam kondisi hipersensitifitas. sel th17 yang aktif akan mengekspresikan il-17. interleukin ini bersama dengan interleukin lainnya kemudian menarik sel netrofil dan eosinofil ke lokasi inflamasi. kedua sel tersebut kemudian mensekresikan beberapa kemokin dan sitokin seperti eritropoetin, transforming growth factor (tgf), mmp. 4 penelitian menunjukkan bahwa ada subtipe dari th yang mengekspresikan il-9. subtipe ini disebut dengan th9, dengan sifat kerja yang berbeda dari th17. produk dari sel ini yaitu il-9 memicu terjadinya bronkhus yang hiperresponsif. keberadaan subset ini yang kemudian memicu infiltrasi eosinofil pada mukosa saluran nafas. 5 belum jelas bagaimana eosinofil bisa tertarik oleh il-9. namun studi menunjukkan populasi eosinofil yang banyak pada saluran nafas ketika th9 diaktifasi. 6 eosinofil yang aktif kemudian mengekskresikan eksosom yang berisi lysobisphosphatidic acid (lbpa). eksosom ini yang kemudian menyebabkan terjadinya remodelling pada asma. 7 kondisi pada ppok dimungkinkan sama dengan asma. hal ini didukung dengan temuan angka rekurensi yang tinggi pada pasien yang dilakukan penghentian pemberian kortikosteroid. 8 neutrofil adalah sel leukosit bergranular yang memiliki potensi aktif dalam fagositosis. neutrofil didapatkan di tubuh dalam jumlah yang banyak, (50%-70%) dari populasi leukosit. neutrofil dianggap berperan dalam proses neovaskularisasi saluran nafas. neovaskularisasi tersebut yang mendorong adanya remodelling pada saluran nafas. ditemukannya neutrofil pada saluran nafas diduga berpengaruh terhadap beratnya serangan. 6 berbagai penelitian menunjukkan potensi pengaruh dari eosinofil dan neutrofil pada kasus ppok namun gambaran deskriptif mengenai hal tersebut belum banyak dilakukan khususnya di indonesia. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aktifitas sel-sel inflamasi (neutrofil dan eosinofil) pada ppok eksaserbasi akut melalui pemeriksaan darah pasien. bahan dan cara data yang diambil dalam penelitian ini bersumber pada rekam medis pasien yang masuk di rawat | 69 jalan maupun rawat inap dengan diagnosis ppok di rsud kebumen di tahun 2016. data yang diambil mencakup pemeriksaan fisik oleh dokter dan hasil pemeriksaan laboratorium. seluruh subyek masuk dalam penelitian. kriteria eksklusi adalah apabila terdapat data yang tidak lengkap. data pemeriksaan fisik yang diobservasi meliputi vital sign yaitu tekanan sistole, denyut nadi dan jumlah pernapasan dan penyakit penyerta (komorbid), sedangkan hasil pemeriksaan laboratorium yang diobservasi adalah persentase eosinofil dan netrofil sebelum dan sesudah rawat inap. data persentase eosinofil dan netrofil sebelum dan sesudah rawat inap kemudian dibandingkan secara statistik menggunakan uji t berpasangan. perbedaan persentase eosinofil dan netrofil sebelum dan sesudah rawat inap dianggap bermakna jika memenuhi nilai p < 0,05. hasil subyek yang masuk dalam penelitian ini sejumlah 119 subyek. mayoritas subyek berjenis kelamin pria (84,03%). rerata usia subyek adalah 67 tahun. penyakit yang paling banyak diderita sebagai penyerta adalah hipertensi pada 65 subyek (54,6%) dan diikuti oleh tb pada 27 subyek (22,7%). tanda vital pada pemeriksaan awal menunjukkan normal kecuali terjadi peningkatan sistolik sehingga rerata sistolik subyek adalah 144 mmhg pada saat masuk. subyek yang masuk dalam penelitian juga mayoritas menunjukkan kondisi netrofilia pada saat masuk (tabel 1.). uji t test berpasangan yang dilakukan pada data eosinofil dan netrofil menunjukkan adanya perbedaan rerata yang tidak bermakna secara statistik, namun terjadi penurunan kadar eosinofil dan netrofil setelah dilakukan rawat inap pada subyek. hal ini menunjukkan adanya respon tubuh atas terapi (tabel 2). diskusi hasil penelitian ini menunjukkan mayoritas subyek adalah pria (84%). hal ini sesuai dengan penelitian epidemiologi di jerman pada 2.741 subyek. pria merupakan mayoritas penderita (59%) dengan rerata usia 65 tahun dalam penelitian tersebut. 9 temuan tersebut sesuai dengan karakter subyek dalam penelitian ini dimana rerata usia pada subyek pria adalah 67 tahun dan wanita 63 tahun. kecenderungan ini dimungkinkan karena di indonesia mayoritas perokok adalah pria. adanya kecenderungan merokok ini menjadi faktor risiko pada ppok meskipun terdapat beberapa kasus pada bukan perokok. 10 adanya faktor kekurangan akses pelayanan kesehatan bagi wanita adalah salah satu penyebab rendahnya proporsi. demikian juga adanya labeling pada pria untuk kejadian ppok sehingga dokter kurang waspada dalam penegakan diagnosis penyakit ini pada wanita. 11 sebuah penelitian yang dilakukan untuk melihat permasalahan terapi pada pasien ppok menemukan bahwa pasien wanita memiliki kecenderungan untuk gagal menggunakan terapi inhaler. 12 hal ini mendukung temuan sebelumnya sehingga kepedulian pasien wanita untuk datang ke rs berkurang. penelitian ini menunjukkan bahwa hipertensi merupakan komorbid terbanyak pada ppok. hipertensi sendiri merupakan komorbid yang disepakati untuk ppok. dampak langsungnya belum tabel 1. karakteristik subjek penelitian variabel pria wanita p jenis kelamin 100 (84,03%) 19 (15,97%) usia 67 (44-92) 63 ± 12 0.2763 penyerta ht 54 (45,38%) 11(9,24%) 0.9512 penyerta dm 8 (6,72%) 0 (0%) 0.4373 penyerta chf 4 (3,36%) 4 (3,36%) 0.0263 penyerta tb 25 (21%) 2(1,68%) 0.2792 sistole 144.18 ± 25.71 144.32 ± 27.76 0,9834 nadi 98,93 ± 16,21 99.28 ± 12.66 0.9312 pernafasan 29.69 ± 5.04 29.72 ± 4.6 0.9779 netrofil awal 73.3 (15,1-94,3) 75.058 ± 12.6737 0.2963 eosinofil awal 1,2 (0-59,2) 0,3 (0-8,2) 0.1882 tabel 2. profil neutrofil dan eosinofil leukosit pro inflamasi hari perawatan p masuk (hr-0) hr-1 eosinofil 2,12 ± 2,51 1,85 ± 2,31 0,603 neutrofil 71,8 (54,6-89,1) 68,9 (44,3-91,8) 0,818 70 | vol 17 no 2 juli 2017 difahami namun dicurigai bahwa gangguan pada saluran nafas menyebabkan terganggunya fungsi jantung dan pertukaran oksigen. hal ini mendorong dikeluarkannya mediator inflamasi yang berpengaruh pada remodelling jantung. kondisi tersebut mengakibatkan adanya congestive heart failure (chf) dan respon pembuluh darah sebagai hipertensi. 13 global initiative for chronic obstructive lung disease (gold) sendiri telah mengklasifikasikan hipertensi dan chf sebagai komorbid yang harus dipahami dan dikendalikan oleh klinisi. 14 pada penelitian ini juga dijumpai cukup banyak subyek yang mengalami infeksi tuberkulosis (tb). temuan ini bukanlah hal yang baru namun dalam beberapa dekade terakhir semakin banyak dijumpai ppok dengan komorbid tb. munculnya fenomena ini dicurigai karena adanya kesamaan faktor risiko antara ppok dan tb. timbulnya satu penyakit baik ppok maupun tb dengan perantara faktor risiko secara otomatis akan menjadi faktor risiko juga pada penyakit komorbid lainnya. 15 arah hubungan belum dapat dipastikan manakah penyakit yang mempengaruhi penyakit yang lain namun penelitian menunjukkan adanya skar tb pada pasien ppok eksaserbasi. temuan ini menunjukkan kecenderungan bahwa tb mempengaruhi ppok. 16 pemeriksaan tanda vital pada penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan sistol dan laju pernafasan. temuan ini sangat logis pada pasien ppok eksaserbasi akut karena terjadinya gangguan pernafasan. respon tubuh meningkatkan laju pernafasan sangat relevan. hasil analisis uji t berpasangan antara persentase eosinofil dan netrofil sebelum dan sesudah perawatan menunjukkan adanya penurunan persentase eosinofil dan netrofil setelah perawatan. penurunan ini membuktikan adanya respon imun yang diperantarai eosinofil dan netrofil berhubungan erat dengan kejadian ppok. selain itu penurunan eosinofil dan netrofil juga menunjukkan adanya perbaikan kondisi ppok dengan terapi yang diberikan. 17 penurunan netrofil setelah terapi juga menunjukkan adanya respon kondisi netrofilik pada status eksaserbasi ppok. besarnya kadar penurunan eosinofil dan netrofil dapat menjadi petunjuk fenotipe ppok yang terjadi, apakah termasuk fenotip netrofilik atau eosinofilik. fenotipe yang sesuai akan memiliki kecenderungan penurunan yang lebih lambat, karena respon imun pada fenotip tersebut sangat tinggi. respon imun yang sangat tinggi akan turut memperparah kondisi penyakit. netrofil juga merespon pada kondisi ppok dengan membentuk netrofil extracellular trap (net) yang meningkatkan kejadian remodelling pada saluran nafas. 18 yousef dan alkhiary (2016), 19 menunjukkan bahwa keterlibatan netrofil sebagai salah satu fenotipe ppok akan meningkatkan keparahan eksaserbasi. 19 temuan ini juga didukung dengan pemanfaatan inhibitor netrofil meningkatkan respon terapi pada ppok. 20, 21 penelitian ini menunjukkan adanya respon perbaikan kondisi sel pro inflamasi pada terapi ppok yang ditandai dengan penurunan kadar netrofil dan eosinofil meskipun tidak signifikan secara statistik. hal ini sejalan dengan kecurigaan bahwa sel eosinofil dan netrofil berperan penting dalam patogenesis ppok yang diperantarai adanya remodelling dan respon inflamasi. 22, 23 simpulan terdapat peningkatan aktivitas netrofil pada pasien ppok. penurunan aktivitas baik netrofil maupun eosinophil didapatkan ketika pasien rawat inap meskipun tidak bermakna secara statistik. penelitian dengan sampel lebih besar diperlukan untuk meningkatan validitas data. daftar pustaka 1. kasper dl, fauci as, longo dl, braunwald e, hauser sl, jameson jl. harrison’s principles of internal medicine. 16th ed. new york: the mcgraw-hill companies. 2005. 2. gorczynski r, stanley j. clinical immunology. texas: landes bioscience. 1999. 3. cruse jm, lewis re. illustrated dictionary of immunology (2nd edition). london, uk: taylor & francis. 2003. 4. hoppenot d, malakauskas k, lavinskienė s, bajoriūnienė i, kalinauskaitė v, sakalauskas r. peripheral blood th9 cells and eosinophil apoptosis in asthma patients. medicina (kaunas), 2015; 51 (1): 10–17. 5. saeki m, kaminuma o, nishimura t, kitamura n, mori a, hiroi t. th9 cells elicit eosinophilindependent bronchial hyperresponsiveness in mice. allergol int, 2016; 65 (suppl): s24–s29. 6. lukawska jj, livieratos l, sawyer bm, lee t, o’doherty m, blower pj, et al. imaging inflammation in asthma: real time, differential tracking of human neutrophil and eosinophil migration in allergen challenged, atopic asthmatics in vivo. ebiomedicine, 2014; 1 (2): 173–180. 7. mazzeo c, cañas ja, zafra mp, rojas ma, fernández-nieto m, sanz v, et al. exosome secretion by eosinophils: a possible role in asthma pathogenesis. j allergy clin immunol, 2015; 135 (6): 1603–1613. 8. zeiger rs, schatz m, dalal aa, chen w, sadikova e, suruki ry, et al. blood eosinophil | 71 count and outcomes in severe uncontrolled asthma: a prospective study. j allergy clin immunol pract, 2016; 5 (1): 144-153. 9. karch a, vogelmeier c, welte t, bals r, kauczor hu, biederer j, et al. the german copd cohort cosyconet: aims, methods and descriptive analysis of the study population at baseline. respir med. 2016; 114 (1): 27–37. 10. hagstad s, backman h, bjerg a, ekerljung l, ye x, hedman l, et al. prevalence and risk factors of copd among never-smokers in two areas of sweden occupational exposure to gas, dust or fumes is an important risk factor. respir med, 2015; 109 (11): 1439–1445. 11. jenkins cr, chapman kr, donohue jf, roche n, tsiligianni i, han mk. improving the management of copd in women. chest. 2016; 151 (3): 686-696. 12. melzer ac, ghassemieh bj, gillespie se, lindenauer pk, mcburnie ma, mularski ra, et al. patient characteristics associated with poor inhaler technique among a cohort of patients with copd. respir med, 2017; 123 (1): 124-130. 13. fragoso e, andr s, boleo-tom jp, areias v, munh j, cardoso j. understanding copd: a vision on phenotypes, comorbidities and treatment approach. rev port pneumol. 2016; 22 (2): 101–111. 14. global initiative for chronic obstructive lung disease. global strategy for the diagnosis, management and prevention of chronic obstructive pulmonary disease. 2006. 15. o’toole rf, shukla sd, walters eh. tb meets copd: an emerging global co-morbidity in human lung disease. tuberculosis. 2015; 95 (6): 659–663. 16. gunen h, yakar h. the role of tb in copd. chest, 2016; 150 (4): 856a. 17. mohamed-hussein aar, gamal ew, abd allah ms. value of blood eosinophilia in phenotypedirected corticosteroid therapy of copd exacerbation: final results. egypt j chest dis tuberc, 2016; 66 (1): 221-225. 18. pedersen f, marwitz s, holz o, kirsten a, bahmer t, waschki b, et al. neutrophil extracellular trap formation and extracellular dna in sputum of stable copd patients. respir med, 2015; 109 (10): 1360–1362. 19. yousef am, alkhiary w. role of neutrophil to lymphocyte ratio in prediction of acute exacerbation of chronic obstructive pulmonary disease. egypt j chest dis tuberc, 2016; 66 (1): 1-6. 20. kuna p, jenkins m, o’brien cd, fahy wa. azd. a neutrophil elastase inhibitor, plus ongoing budesonide/ formoterol in patients with copd. respir med, 2012; 106 (4): 531–539. 21. gupta v, khan a, higham a, lemon j, sriskantharajah s, amour a, et al. the effect of phosphatidylinositol-3 kinase inhibition on matrix metalloproteinase-9 and reactive oxygen species release from chronic obstructive pulmonary disease neutrophils. int immunopharmacol, 2016; 35 (1): 155–162. 22. oudijk ejd, gerritsen wbm, nijhuis ehj, kanters d, maesen blp, lammers jwj, et al. expression of priming-associated cellular markers on neutrophils during an exacerbation of copd. respir med, 2006; 100 (10): 1791– 1799. 23. lerner ca, sundar ik, rahman i. mitochondrial redox system, dynamics and dysfunction in lung inflammaging and copd. int j biochem cell biol, 2016; 81 (pt. b): 294–306. diskusi simpulan mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 20 no 1 page 1-5 january 2020  the rationality of antibiotic use on patients of typhoid fever rasionalitas penggunaan antibiotik pada pasien demam tifoid riefki indira hudi1, imaniar ranti2* 1 faculty of medicine and health sciences, universitas muhammadiyah yogyakarta, jalan brawijaya, tamantirto, kasihan, bantul, special region of yogyakarta, indonesia. 2 department of pharmacology, faculty of medicine and health sciences, universitas muhammadiyah yogyakarta, jalan brawijaya, tamantirto, kasihan, bantul, special region of yogyakarta, indonesia. data of article: received: 27 jun 2019 reviewed: 18 jul 2019 revised: 8 nov 2019 accepted: 25 nov 2019 *correspondence: imaniarranti@umy.ac.id doi: 10.18196/mm.200133 type of article: research abstract: typhoid fever is an infectious disease caused by salmonella typhi bacteria. the administration of antibiotics in typhoid fever is needed as a causative therapy to eradicate the bacteria based on the principles of rational therapy to avoid antibiotic resistance. however, there are still a considerable amount of cases of unnecessary antibiotic administration. this study aims to examine the rationality of antibiotic use on patients of typhoid fever. this research is a non-intervention study with descriptive analytic methods. data were retrieved retrospectively by identifying the medical records of patients treated in the x hospital salatiga from january to august 2016 with a purposive sampling method based on the inclusion and exclusion criteria of 67 cases. the data was analyzed by using gyssen criteria based on the standard of typhoid fever service of who 2011. the result showed that the percentage of female typhoid fever patients was higher than the male with the most prolonged 3-day hospitality. the most commonly used antibiotics are ceftriaxone, ciprofloxacin, and cefixime with the result of the rationality analysis of category 0 (55.22 %), category iiia (1.49%), category iiib ( 8.96% ), category iva (17.91%), and category ivc (4.48%). it can be concluded that the rationality of antibiotics used in patients with typhoid fever at x hospital salatiga based on gyssen criteria showed a good result. keywords: antibiotics; gyssen criteria; rationality; typhoid fever abstrak: demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri salmonella typhi. pemberian antibiotik pada demam tifoid diperlukan sebagai terapi kausatif untuk mengeradikasi bakteri penyebab sesuai dengan prinsip terapi rasional untuk menghindari resistensi antibiotik. namun masih banyak kasus pemberian antibiotik yang sebenarnya tidak diperlukan. penelitian ini bertujuan untuk mengkaji rasionalitas penggunaan antibiotik pada pasien demam tifoid. jenis penelitian ini adalah penelitian nonintervensi dengan metode deskriptif analitik. data diambil secara retrospektif dengan melihat rekam medis pasien yang dirawat di rumah sakit x salatiga periode januari – agustus 2016 dengan metode purposive sampling sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 67 kasus. analisis data menggunakan kriteria gyssen sesuai standar pelayanan demam tifoid menurut who 2011. hasil penelitian menunjukkan pasien demam tifoid perempuan lebih banyak daripada laki-laki dengan lama rawat inap terbanyak selama 3 hari. antibiotik yang sering digunakan yaitu ceftriaxone, ciprofloxacin, dan cefixime dengan hasil analisis rasionalitas kategori 0 (55,22%), kategori iiia (1,49%), kategori iiib (8,96%), kategori iva (17,91%), dan kategori ivc (4,48%). disimpulkan bahwa rasionalitas penggunaan antibiotik pada pasien demam tifoid di rumah sakit x salatiga tahun 2016 menurut kriteria gyssen menunjukkan hasil baik. kata kunci: antibiotik; kriteria gyssen; rasionalitas; demam tifoid 2 | vol 20 no 1 january 2020 introduction antibiotics are chemicals that can inhibit growth or kill microorganisms.1 excessive and inappropriate use of antibiotics reaches 20-50% of all antibiotics used in the world. the center for disease control and prevention (cdc) in the united states estimates that around 50 million out of 150 million antibiotics are unnecessary.2 a total of 13% to 37% of all patients hospitalized in developed countries obtain either single or combination antibiotics, while the use in developing countries reaches 30-80%.3 one of the health problems that need to be treated with antibiotics is typhoid fever. typhoid fever is an infectious disease caused by salmonella typhi bacteria. the incidence of typhoid fever is still estimated to be high at around 17 million per year and also is considered to be the cause of 222,000 deaths per year. 4 clinical symptoms of typhoid fever start from the mildest, such as fever and gastrointestinal disorders to severe complications such as seizures, encephalopathy, or intestinal bleeding. therefore, a good treatment of typhoid fever is highly important.5 the administration of antibiotics in typhoid fever is required as a causative therapy to eradicate the bacteria based on the principles of rational therapy. it requires rules and clear instructions in the use of antibiotics on an ongoing basis, as well as a control system to increase the level of rationality of antibiotic use. the rationality of antibiotic use, according to gyssen's criteria, includes precise indications, efficacious, safe, and affordable costs. the rationality in the use of antibiotics can prevent bacterial resistance whose main purpose is to reduce morbidity and mortality due to the use of antibiotics in patients, save treatment costs, shorten hospitality, save hospital operating costs and improve hospital service quality.6 based on the explanation above, it is necessary to examine the level of rationality of antibiotic use in patients of typhoid fever as a process of evaluation and control system of antibiotic use in hospitals. materials and method this research is a non-intervention study with descriptive analytic methods. data were collected retrospectively by identifying the medical records of patients treated in the internal medicine ward of x hospital salatiga with a purposive sampling method. the inclusion criteria for sampling were the medical records of patients diagnosed with typhoid fever from january 2016 to august 2019 with the complete data of antibiotic use, including the type of drug, duration of administration, dose, frequency of administration, and the route of administration. the exclusion criteria of this study were medical records of typhoid fever patients who returned home under self-demand, referenced, or passed away that the administration of antibiotics stopped, or patients with typhoid fever and other infectious diseases. the diagnosis of typhoid fever in this study referred to the diagnosis written by the doctor in the medical record without identifying how the doctor diagnosed. the rationality of antibiotic use was later analyzed descriptively by using gyssen's assessment criteria with the procedure showed in figure 1.7 figure 1. the flow chart of the rationality of antibiotic use based on gyssen's criteria  | 3 result based on the identification of the medical records in this study, 67 medical records fitted the inclusion criteria from january 2016 to august 2019 in the internal medicine ward of x hospital salatiga. the characteristics of the research subject in this study indicated that the prevalence of patients diagnosed with typhoid fever commonly happened more in women than men with the main fever as the main symptom and the gastrointestinal disorders as the additional symptom such as nausea, vomit, and abdominal pain. the fastest duration of treatment for typhoid fever patients in this study was two days and a maximum of seven days with three-day hospitality. the result of the research is shown in the following table. the characteristics of the research subject are shown in table 1. the characteristics of the use of antibiotics in patients of typhoid fever are shown in table 2, and qualitative analysis of the rationality of the use of antibiotics in patients of typhoid fever in the internal medicine ward x hospital salatiga is shown in table 3. based on table 1, the subject was dominated by female as were 39 (58.21%), by age, more than half of the sample (68.66%) were 26-35 years old. the clinical symptoms that most experienced was fever (89.55%) while the most rarely experienced table 1. subject characteristics characteristics total percentage gender male 28 41.79% female 39 58.21% age 26-35 years old 46 68.66% 36-45 years old 21 31.34% clinical symptoms fever 60 89.55% nausea 41 61.19% vomiting 34 50.75% headache 34 50.75% abdominal pain 18 26.87% malaise 11 16.42% myalgia 11 16.42% dysphagia 1 1.49% epistaxis 1 1.49% the duration of hospitalization 2 days 10 14.93% 3 days 25 37.31% 4 days 17 25.37% 5 days 9 13.43% 6 days 1 1.49% 7 days 5 7.46% table 2. the characteristics of the use of antibiotics in patients of typhoid fever characteristics total percentage type of antibiotics ceftriaxone 47 70.15% ciprofloxacin 12 17.91% cefixime 8 11.94% the duration of the administration based on the type of antibiotics ceftriaxone 2 days 7 10.45% 3 days 23 34.33% 4 days 14 20.90% 5 days 2 2.99% 7 days 1 1.49% ciprofloxacin 4 days 2 2.99% 5 days 3 4.48% 6 days 2 2.99% 7 days 5 7.46% cefixime 3 days 1 1.49% 5 days 6 8.96% 7 days 1 1.49% dose ceftriaxone 2 gr 47 70.15% ciprofloxacin 1 gr 12 17.91% cefixime 200mg 8 11.94% administration interval ceftriaxone 1 x 2 gr 28 41.79% 2 x 1 gr 19 28.36% ciprofloxacin 2 x 500mg 12 17.91% cefixime 2 x 100mg 8 11.94% administration route ceftriaxone iv 47 70.15% ciprofloxacin oral 12 17.91% cefixime oral 8 11.94% was dysphagia and epistaxis (1.49%). the duration of hospitalization varid between 2-7 days but most were between 2-4 days. based on table 2, it showed that ceftriaxone is the most widely used antibiotics by 47 (70.15%) samples. the longest duration of the administration was similar in all the types of antibiotics, namely 7 days. based on the dose, ceftriaxone was the highest dose (2 gr) and most widely used. all the types of antibiotics administered two times a day, but ceftriaxone is also given one times a day and intravenous route is the most common used administration route. based on the analysis, which is shown in table 3, it can be identified that the use of antibiotics in patients of typhoid fever in internal medicine ward in the x hospital salatiga has a high number in category 0 by 55.22 %. the effectiveness of antibiotic selection in patients of typhoid fever showed that 17.91 % of cases were in the iva criteria 4 | vol 20 no 1 january 2020 table 3. rationality analysis of antibiotic use in patients of typhoid fever based on gyssen gyssen classification total of antibiotics percentage category 0 37 55.22% category i category iia category iib category iic category iiia 1 1.49% category iiib 6 8.96% category iva 12 17.91% category ivb category ivc 3 4.48% category ivd category v category vi note: 0 : rational use of antibiotics i : inappropriate antibiotic administration period iia : inappropriate antibiotic administration dose iib : inappropriate antibiotic administration interval iic : inappropriate antibiotic administration route iiia : the antibiotic use takes too long iiib : the antibiotic use takes too short iva : there are more effective antibiotics ivb : there are safer antibiotic alternatives ivc : there are cheaper antibiotic alternatives ivd : there are alternative antibiotics with a narrower spectrum v : antibiotic administration without indication vi : incomplete data indicating that there were other more effective antibiotics. the duration of antibiotics in this study showed that 8.96 % of cases shortly received antibiotic therapy (category iiib), while another 1.49% received antibiotics in an overlong period (category iiia). the result also showed that there were 4.48 % cases (3 patients ) receiving more expensive ceftriaxone antibiotics with a patent brand compared to generic ceftriaxone antibiotics (category ivc). discussion the greater number of female patients with a diagnosis of typhoid fever in this study is in line with several preliminary studies. the tendency is caused by the fact that women have a three-time greater risk of becoming a carrier or people who can remove the salmonella typhi bacteria after a three-month infection even without showing apparent clinical symptoms.8,9 however, several other studies are stating that typhoid fever has a 3.8-time higher risk for men due to the habit of drink and food stall consumption and less attention to cleanliness.10,11 in this study, the main complaint found in the medical record data is fever. two to seven days of fever onset characterized by the step-ladder fever in which the temperature continues to rise day to day and get worse at night is one of the typical symptoms of typhoid fever. additional complaints such as nausea, vomiting, malaise also happened frequently to patients of typhoid fever.12,13 the use of antibiotics in typhoid fever in the internal medicine ward of x hospital salatiga has good rationality of 55.22% (category 0) compared to the result of the rationality study of antibiotic use in typhoid fever patients in other hospitals which showed the rationality above and below 50%.14-17 based on the result of this study, it can be seen that there is 17.91 % (12 patients) who previously received antibiotics ciproflaxin and should be halted in the iva category due to other more effective antibiotics (table 3).4,7 it is in line with the result of butler's research (2011)18 stating that antibiotic ceftriaxone is considered more effective with a cure rate of 72% compared to ciprofloxacin, which is only 62%. furthermore, sidabutar (2010)19 also states that the use of ceftriaxone in typhoid fever is faster in reducing the incidence of fever and changing in culture results, and has a low risk of resistance. ceftriaxone is a cephalosporin antibiotic, including cefixime, which in this study was given in 11.94 % of cases of typhoid fever (table 2). the rationality analysis of antibiotic use in terms of cost-effectiveness in this study showed that there were 4.48% of cases (table 3), including in the ivc category, namely cheaper antibiotic options. antibiotics are considered to be expensive if the price is above rp100,000.00 each injection ampoule or each oral antibiotic strip, such as patent antibiotics prescribed to 3 patients in this study.20 the rationality analysis of the duration of antibiotic therapy in this study showed that 1.49% of cases were categorized as iiia with an overlong duration of administration, and 8.96% of cases were categorized as iiib with over concise duration of the administration. the duration of antibiotic administration in the case of infection is recommended to be within 5 to 7 days. it aims to eradicate the bacteria and avoid resistance altogether.5  | 5 conclusion the rationality of the use of antibiotics in patients of typhoid fever in the internal medicine ward of the x hospital salatiga from january 2016 to august 2019 based on gyssen criteria is in a good category that is 55.22%. references 1. dorland, w.a. kamus kedokteran dorland. ed. 28. jakarta: egc. 2012. 2. bisht, r., katiyar a., singh r., and mittal p. antibiotik resistance a global issue of concern. asian journal of pharmaceutical and clinical research, 2009; 2 (2): 34-39. 3. katarnida, s.s.k., murniati d., and katar y. evaluasi penggunaan antibiotik secara kualitatif di rs penyakit infeksi sulianti saroso, jakarta. sari pediatri, 2014; 15 (6): 369-376. 4. who. the role of education in the rational use of medicines. who library cataloguing-in publication data ed. 45. new delhi, india. 2006. 5. kemenkes r.i. pedoman pengendalian demam tifoid. jakarta: kementerian kesehatan republik indonesia. 2006. 6. anggraini ab, opitasari c, and sari qamp. the use of antibiotics in hospitalized adult typhoid patients in an indonesian hospital. health science of indonesia. 2014; 5 (1): 40-43. 7. gyssens, i. c. audits for monitoring the quality of antimicrobial prescriptions. in antibiotic policies (pp. 197-226). springer, boston, ma. 2005. 8. saraswati, n.a., and m. ulfa. karakteristik tersangka demam tifoid pasien rawat inap di rs muhammadiyah palembang tahun 2010. syifa medika, 2012; 3 (1): 1-11. 9. mayasari, d. hubungan respon imun dan stres dengan tingkat kekambuhan demam tifoid pada masyarakat di wilayah puskesmas colomadu karanganyar. berita ilmu keperawatan. 2009; 2 (1): 13-18. 10. pramitasari, o.p. faktor resiko kejadian penyakit demam tifoid pada penderita yang dirawat di rumah sakit umum daerah ungaran, jurnal kesehatan masyarakat. 2013; 2 (1): 1–10. 11. musnelina, l., afdhal, a.f., gani, a. and andayani, p. pola pemberian antibiotika pengobatan demam tifoid anak di rumah sakit fatmawati jakarta tahun 2001-2002. makara kesehatan, 2004; 8 (1): 27–31. 12. soedarmo, s.s.p., garna h., hadinegoro s.r., and satari h.i. buku ajar infeksi pediatri dan tropis. jakarta: badan penerbit idai. 2010. 13. pickering larry k, clearly thomas g. infection of the gastrointestinal tract. in: krugman’s infectious diseases of children. 11th edition. philadelphia. mosby: p.212-218. 2004. 14. hapsari, i.s., and mutmainah, n. evaluasi penggunaan antibiotika pada pasien dewasa demam tifoid di instalasi rawat inap rsud dr moewardi pada tahun 2014. surakarta: fakultas farmasi universitas muhammadiyah surakarta. 2014. 15. kemenkes r.i. pedoman umum penggunaan antibiotik. jakarta: kementerian kesehatan republik indonesia. 2011. 16. ajum, hermina aprilita. evaluasi kerasionalan penggunaan antibiotika pada pasien anak dengan demam tifoid berdasarkan kriteria gyssens di instalasi rawat inap rsud panembahan senopati bantul yogyakarta periode januari-desember 2013. yogyakarta: universitas sanata dharma. 2015. 17. kristyasari, a.w. evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien pediatrik demam tifoid dengan metode gyssens di rsud kota yogyakarta tahun 2016-2017. yogyakarta: universitas sanata dharma. 2019. 18. butler, t. treatment of typhoid fever in the 21st century: promises and shortcomings. new jersey: department of microbiology and immunology, ross university school of medicine. 2011. 19. sidabutar, s. and satari h. i. pilihan terapi empiris demam tifoid pada anak: kloramfenikol atau seftriakson. jurnal sari pediatri. 2010; 11 (6): 434-439. 20. setiawan, s. evaluasi rasionalistas penggunaan antibiotik di rawat inap bagian penyakit dalam rumah sakit umum pku muhammadiyah bantul. yogyakarta: fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta. 2015. 0 daftar isi 11-2.p65 67 mutiara medika vol. 11 no. 2: 67-78, mei 2011 pengaruh durasi pemberian ekstrak etanol pegagan (centella asiatica sp.) terhadap memori spasial tikus putih (rattus norvegicus) pascastres listrik the effect of centella asiatica ethanolic extract’s administration duration on spatial memory in rat (rattus norvegicus) after electric-stress induced dwi cahyani ratna sari1, reza satria pratama2, soedjono aswin1, sri suharmi3 1bagian anatomi, embriologi dan antropologi, fakultas kedokteran universitas gadjah mada 2asisten anatomi, fakultas kedokteran universitas gadjah mada 3farmasi kedokteran, fakultas kedokteran universitas gadjah mada email: ratnasaride@yahoo.co.id abstrak beberapa penelitian telah dilakukan berkaitan dengan kemampuan pegagan sebagai neurotropik dan neuroprotektif. tujuan penelitian ini untuk mengungkapkan pengaruh durasi pemberian ekstrak etanol pegagan dalam peningkatan memori spasial tikus putih pascastres. pada penelitian ini, 21 tikus jantan, usia delapan minggu dibagi dalam tiga kelompok: dua kelompok perlakuan (k1 dan k2) dan satu kelompok kontrol (kn). kelompok perlakuan menerima ekstrak ethanol pegagan sebesar 150 mg/kgbb/ ml secara oral selama empat(k1) dan enam(k2) minggu. kelompok kontrol akan menerima aquades 1 ml selama enam minggu. semua kelompok akan diuji memori dengan menggunakan maze radial delapan lengan selama 12 hari sebelum dan setelah perlakuan. uji stres listrik selama 10 menit dilakukan sebelum perlakuan. hasil penelitian menunjukkan persentase tertinggi ketepatan pemilihan lengan dalam uji maze radial 2 (umr2) untuk kn, k1 dan k2 masing-masing sebesar 23,6%, 44,8% dan 91,71%, dengan rerata persentase masing-masing sebesar 10,24%, 14,12% dan 53,33%. uji mann-whitney menunjukkan bahwa persentase ketepatan pemilihan lengan berbeda secara bermakna antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. kesimpulannya adalah pegagan mampu meningkatkan memori spasial tikus putih pascastres dan pemberian ekstrak etanol pegagan selama enam minggu memberikan efek peningkatan memori yang lebih signifikan dibanding pemberian selama empat minggu. kata kunci: centella asiatica, stres, memori spasial, maze radial abstract previous studies have shown the ability of centella asiatica in enhancing memory by mean of its neurotrophic and neuroprotective effects. the objective of this study was to reveal the effect of centella asiatica ethanolic extract’s administration duration on spatial memory in rat after electric-stress induced. eight weeks male rats (n=21) were devided randomly into three groups, i.e. two treated groups (k1 and k2) and one control group (kn). the rats were induced by 10 minutes electrical shock and given 150 mg/ kgbw oral centella asiatica ethanolic extract daily for four (k1) and six (k2) weeks. control groups received 1 ml aquadest daily. the results showed that the performance which assessed by measuring the percentage of correct-entered arm showed the maximum percentage on the accuracy of right-entering arm in radial arm maze test 2 (umr2) of kn, k1 and k2 are respectively 23,6%, 44,8% and 91,71%, whereas the mean of percentage are 10,24%, 14,12% and 53,33%. mann-whitney test showed that there was significant difference among treated groups and control group (p<0,05). it is concluded that centella asiatica was able to enhance spatial memory and the effect is more prominent in the group with longer period of administration duration of pegagan ethanolic extract. key words: centella asiatica, electrical shock, spatial memory, radial arm maze artikel penelitian 68 dwi cahyani ratna sari, dkk., pengaruh durasi pemberian ekstrak etanol pegagan (centella asiatica sp.) ... pendahuluan tanaman pegagan (centella asiatica sp.) merupakan tanaman herbal yang hidup di daerah beriklim tropis. pegagan hidup liar dan subur di seluruh wilayah indonesia. klasifikasi pegagan secara taksonomi termasuk ke dalam divisi: spermatophyta, sub divisi: angiospermae, kelas: dicotyledenae, sub-kelas: polypetalae, bangsa: umbellales, suku: umbelliferae (apiaceae), genus: centella dan spesies: asiatica1 tanaman pegagan telah lama digunakan sebagai obat tradisional di india, cina dan indonesia karena memiliki banyak sekali khasiat.2 salah satu khasiat pegagan yang paling populer adalah mampu meningkatkan dan memperbaiki daya ingat. berbagai penelitian telah membuktikan pengaruh pegagan terhadap peningkatan maupun perbaikan memori. efek perbaikan memori oleh pegagan tersebut terjadi melalui peran faktor neuroprotektif dan neurotropik yang terkandung dalam pegagan. kandungan senyawa aktif utama pegagan adalah asiatic acid, madecassid acid, asiaticoside dan madecassoside yang merupakan saponin triterpenoid. kandungan saponin triterpenoid yang lain dalam pegagan antara lain oxyasiaticoside, centelloside, brahmoside, brahminoside, thankunoside dan isothankunoside.3 telah banyak literatur yang menguraikan mengenai gangguan memori yang terjadi setelah paparan stres yang berkepanjangan, misalnya pada kasus post traumatic stres disorder.4 penelitian yang dilakukan oleh lupien et al.5 menunjukkan bahwa terjadi penurunan performa memori deklaratif pada kelompok subjek (lansia) yang sebelumnya telah diberikan tugas tertentu yang menginduksi stres (contoh: berbicara di hadapan publik, dll), sedangkan sebaliknya tidak terjadi penurunan memori deklaratif pada kelompok subjek lain yang diberi tugas yang tidak menginduksi stres. hipotesis yang paling dapat menjelaskan hubungan antara stres dan memori tersebut adalah bahwa stres berkepanjangan dapat menimbulkan kerusakan neuron otak khususnya pada bagian formasio hippocampi melalui fenomena intracellular oxidative stres.6 fenomena tersebut mampu menyebabkan gangguan memori seiring dengan kerusakan struktural yang ditimbulkannya pada formasio hippocampi, seperti: atrofi dendrit, rusaknya sinaptik antarneuron, hilangnya neuron piramidal serta berkurangnya eksitabilitas neuron pada regio ca1 hippocampus yang tergantung kalsium.7 fenomena ini diduga kuat difasilitasi oleh hormon glukokortikoid yang meningkat pada keadaan stres berkepanjangan.8 hal ini sangat penting karena formasio hippocampi memegang peranan yang amat krusial dalam proses pembentukan memori baru,9 termasuk didalamnya proses encoding informasi spasial pada bagian girus dentatus dan proses retrieval pada bagian ca1.10 fakta lain menyebutkan bahwa stres akut memfasilitasi terjadinya long-term depression (ltd) pada regio ca1 hippocampus tikus dewasa sehingga dapat menyebabkan gangguan dalam spatial memory retrieval.11 untuk menginduksi stres pada tikus dalam penelitian ini, digunakan uji stres listrik dengan mengunakan alat yang disebut stresor listrik. selain mampu mempengaruhi memori spasial melalui fenomena stres oksidatif intraseluler pada hippocampus, penelitian lain membuktikan bahwa uji stres listrik ini juga mampu menstimulasi percepatan pelepasan 3,4-dihydroxy phenylacetic (dopac) secara signifikan baik pada frontal cortex (sebesar 69 mutiara medika vol. 11 no. 2: 67-78, mei 2011 80%) maupun di nucleus accumbens (sebesar 35%).12 dopac merupakan metabolit primer dari dopamin (da) yang konsentrasinya secara pararel mampu merefleksikan kuantitas da yang disintesis.13 aktivitas da yang berlebih dapat mengganggu fungsi memori kerja spasial oleh korteks mesofrontal pada tikus.14 untuk membuktikan anggapan bahwa tanaman pegagan mampu memperbaiki memori setelah induksi stres, dalam penelitian ini diselidiki kinerja tikus yang dinilai dari proporsi ketepatan masuk lengan dan makan dalam uji maze radial setelah perlakuan berupa pemberian ekstrak etanol pegagan dan induksi stres listrik. bahan dan cara penelitian ini menggunakan hewan coba tikus (rattus norvegicus) jantan sebanyak 21 ekor galur wistar, umur delapan minggu dan berat badan berkisar antara 150-200 gram yang diperoleh dari unit pengembangan hewan penelitian (uphp) universitas gadjah mada yogyakarta. semua hewan coba dipelihara dalam enam kandang plastik yang ditutup kawat masing-masing berisi tiga sampai empat ekor tikus. pakan tikus berupa pellet dan air minum diberikan setiap hari secara ad libitum. penelitian dilakukan di laboratorium anatomi, embriologi, dan antropologi fakultas kedokteran ugm, tahun 2007. bahan penelitian adalah tanaman pegagan pegagan diperoleh dari perkebunan tanaman obat sari jatra, kalibawang, kulonprogo. kemudian tanaman pegagan diditerminasi terlebih dahulu di laboratorium galenika, fakultas farmasi, universitas gadjah mada, untuk memastikan bahwa tanaman tersebut adalah pegagan (centella asiatica sp.). pembuatan ekstrak etanol pegagan dalam penelitian ini menggunakan kaidah maserasi yang tertulis dalam buku farmakope indonesia.15 pertama-tama, pegagan disortir dan dibersihkan dengan cara dicuci. kemudian digunakan almari pengering dengan suhu 50°c untuk mengeringkan pegagan. pegagan yang telah kering digiling di mesin penggiling hingga menjadi serbuk. serbuk pegagan kemudian diayak dengan derajat kehalusan tertentu. serbuk yang telah diayak tersebut dimaserasi dalam larutan etanol 96% selama satu hari. setelah dimaserasi, filtrat dipisahkan dari residu dengan cara filtrasi. untuk mendapatkan ekstrak, filtrat dibiarkan hingga etanol yang tersisa menguap seluruhnya. ekstrak yang didapat kemudian diencerkan agar dapat diberikan secara per oral. dalam penelitian ini, 25 gram serbuk pegagan akan menghasilkan 1,21 gram ekstrak ethanol kental (0,0484 % dari serbuk kering) pada penelitian yang dilakukan oleh soumyanath et al.(2005)16, disebutkan bahwa 300330 mg ekstrak etanol/kgbb/hari efektif dalam proses regenerasi sel saraf otak. berdasarkan dosis tersebut, penelitian ini menggunakan dosis 150 mg/ kgbb/hari per oral selama empat minggu (28 hari) pada k1 dan enam minggu (42 hari) pada k2. pemberian ekstrak etanol pegagan diberikan dengan menggunakan sonde lambung sesuai dosis yang telah ditentukan sebelumya dilarutkan dalam propilen glikol 10%/tikus. dalam penelitian ini terdapat variasi waktu pemberian ekstrak etanol pegagan, yaitu selama 28 hari (empat minggu) dan 42 hari (enam minggu) untuk melihat apakah peningkatan waktu pemberian berkorelasi positif terhadap pengembalian memori pasca stres. 70 dwi cahyani ratna sari, dkk., pengaruh durasi pemberian ekstrak etanol pegagan (centella asiatica sp.) ... sebelum perlakuan uji stres listrik dan pemberian ekstrak etanol pegagan, dilakukan uji radialarm maze pendahuluan selama 12 hari didahului dengan latihan uji maze 3 hari. uji maze radial ini memiliki tujuan untuk mengetahui memori dasar tikus dan untuk mengetahui homogenesitas memori tikus. uji maze pertama selama 12 hari ini selanjutnya disebut umr1 setelah menjalani umr1, subjek diberi stres listrik selama 10 menit/hari untuk menimbulkan efek depresi. selama uji stres listrik, dilakukan pencatatan jumlah lintasan yang dilewati tikus, jumlah feses dan urin yang dikeluarkan tikus. kemudian, subjek diberi ekstrak etanol pegagan dengan cara sonde lambung atau intubasi gastrik dengan dosis 150gr/ kgbb sebanyak 1ml/tikus/hari. tahap selanjutnya adalah post-test selama 12 hari berturut-turut dengan radial-arm maze, selanjutnya disebut umr2. sebelum uji maze dilakukan, tikus dilaparkan dengan cara dipuasakan selama 12 jam. kemudian tikus diletakkan di dalam tabung yang tersedia di tengah maze, tabung tersebut ditutup dengan silinder penutup untuk adaptasi tikus sebelum akhirnya dibuka 10 detik kemudian. tikus dibiarkan bergerak ke segala arah untuk memakan imbalan dalam bentuk pelet yang diletakkan dalam wadah di tiap ujung lengan maze radial. uji maze diakhiri 10 menit kemudian. hasil uji maze selama 12 hari ini dicatat. hewan coba dikelompokkan menjadi 3 kelompok secara acak, yaitu 1 kelompok control (kn) dan 2 kelompok perlakuan (k1 dan k2). dalam kelompok perlakuan, semua tikus diberi ekstrak etanol pegagan dengan dosis 150 mg/kg bb selama empat minggu (k1) dan enam minggu (k2). pada kelompok kontrol (kn), tikus diberi akuades. nilai kinerja tikus diperoleh dari perbandingan jumlah imbalan yang dimakan dengan jumlah total lengan yang dimasuki pada uji maze radial. tikus dianggap masuk lengan apabila tikus melewati lebih dari setengah panjang lengan maze radial. hasil pengamatan dalam 12 hari dicatat. analisis data hasil penelitian ini mengunakan uji kruskal-wallis untuk menguji adanya perbedaan yang signifikan di antara tiga kelompok tikus, kemudian analisis dilanjutkan dengan uji mannwhitney untuk melihat kemaknaan perbedaan antar dua kelompok. hasil ketepatan pemilihan lengan masuk dan makan tersebut dihitung apabila tikus memasuki salah satu lengan dan memakan imbalan yang telah tersedia di ujung lengan. terdapat satu buah imbalan di setiap lengan, dengan demikian, seluruhnya terdapat delapan buah imbalanan dalam maze radial delapan lengan. nilai 100% (seratus persen) diberikan apabila tikus mampu menyelesaikan delapan imbalan dalam delapan lintasan lengan, sedangkan nilai 0% (nol persen) diberikan bila tikus tidak dapat menyelesaikan satupun imbalan dalam waktu 10 menit yang diberikan, sehingga, nilai kinerja tikus dalam maze radial secara kuantitatif berkisar antara 0-100% yang merupakan perbandingan jumlah imbalan yang dimakan dengan jumlah total lengan yang dimasuki. 71 mutiara medika vol. 11 no. 2: 67-78, mei 2011 tabel 1. kinerja tiap-tiap kelompok (%) ketepatan pemilihan lengan masuk dan makan pada 12 hari pengamatan pada umr1 hari ke kelompok kn(%) k1(%) k2(%) 1 12,00 26,71 0,00 2 0,00 3,57 0,00 3 0,00 0,00 65,00 4 0,00 04,71 42,14 5 2,00 14,29 52,75 6 0,00 0,00 35,25 7 0,00 0,00 50,88 8 16,86 0,00 38,5 9 0,00 0,00 42,25 10 36,00 21,43 51,25 11 27,14 49,29 40,13 12 17,71 59,00 26,5 rerata 9,31 14,97 37,05 tabel 2. kinerja tiap-tiap kelompok (%) ketepatan pemilihan lengan masuk dan makan pada 12 hari pengamatan pada umr2 hari ke kelompok kn(%) k1(%) k2(%) 1 0,00 0,00 0,00 2 0,00 0,00 59,43 3 0,00 40,4 28,57 4 17,9 13,8 48,71 5 0,00 0,00 56,86 6 23,6 0,00 57,14 7 21,4 7,2 64,29 8 60 13,2 57,14 9 9,43 20 52,86 10 0,00 44,8 63,86 11 0,00 15,2 59,43 12 0,00 14,8 91,71 rerata 11,03 14,12 53,33 keterangan : kn (kelompok kontrol) : akuades 1 ml/hari k1 (kelompok coba 1) : ekstrak etanol pegagan 150 mg/kgbb selama 4 minggu ( 28 hari) k2 (kelompok coba 2) : ekstrak etanol pegagan 150 mg/kgbb selama 6 minggu ( 42 hari) hasil kinerja ketiga kelompok tikus (kn, k1 dan k2) pada umr 1 dan 2 masing-masing dapat dilihat pada tabel 1 dan 2. selanjutnya, akan ditampilkan hasil uji kruskall wallis pada umr2 serta uji mannwhitney antarkelompok pada umr2 dan perincian hasil uji mann-whitney antarkelompok per hari selama umr2. uji kruskall wallis pada umr2 dilakukan untuk mengetahui perbedaan diantara ketiga kelompok tersebut pada umr2. uji mannwhitney pada umr2 dilakukan untuk mengetahui perbedaan memori spasial tikus antara kelompok perlakuan (k1 dan k2) dan kelompok kontrol (kn). hasil kinerja tikus yang diperoleh pada umr2 akan ditampilkan dalam bentuk grafik. selain itu, akan ditampilkan juga grafik perbandingan hasil antar umr1 dan umr2. pada tabel 2 terlihat bahwa k2 memiliki nilai rerata persentase kinerja tikus sebesar 53,33% dan nilai persentase kinerja tikus harian maksimum sebesar 91,71% yaitu pada hari ke-12, nilai tersebut merupakan nilai rerata dan nilai harian paling tinggi di antara semua kelompok. k2 memiliki nilai harian terendah 0% yaitu pada hari pertama. kn memiliki nilai rerata sebesar 11,03%, nilai ini merupakan nilai rerata terendah diantara semua kelompok, bahkan kn memiliki nilai harian terendah 0% sebanyak tujuh kali yaitu pada hari ke-1,2,3,5,10,11 dan 12. kn memiliki nilai harian tertinggi sebesar 60% pada hari ke-8. k1 memiliki nilai rerata sebesar 14,12% dengan nilai harian tertinggi sebesar 44,8% yaitu pada hari ke-10 dan nilai harian 0% pada hari 1,2,5 dan 6. pada penelitian ini, tidak ada kelompok yang menunjukkan pola perkembangan kinerja (proporsi masuk lengan dan makan) yang teratur. artinya, tidak ada kenaikan nilai kinerja yang tetap tiap harinya. gambaran fluktuasi kinerja tiap kelompok tikus dapat dilihat pada gambar 1. 72 dwi cahyani ratna sari, dkk., pengaruh durasi pemberian ekstrak etanol pegagan (centella asiatica sp.) ... uji kolmogorov-smirnov menunjukkan bahwa persebaran atau distribusi data nilai kinerja tikus pada umr2 dalam penelitian ini adalah tidak normal. hal ini ditunjukkan oleh nilai signifikansi atau probabilitas pada uji kolmogorov smirnov adalah p = 0,000 (p < 0,05) untuk kn, k1 dan k2. uji normalitas shapiro-wilk juga menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05) yang berarti distribusi data tidak normal. hasil uji homogenitas varians (lavene test) menunjukkan nilai p=0,000 (p<0,05). berdasarkan hasil ketiga uji tersebut dapat disimpulkan bahwa uji hipotesis inferensi tidak dapat menggunakan uji paramaterik, melainkan harus menggunakan analisis statistik nonparametrik, dalam hal ini uji kruskal-wallis dan analisis post hoc mann-whitney. uji kruskal-wallis dilakukan untuk mengetahui perbedaan hasil umr2 pada semua kelompok. hasil uji kruskal wallis tersaji pada tabel 2. hasil uji tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan ketepatan pemilihan lengan yang nyata di antara ketiga kelompok tersebut (terdapat minimal satu dari ketiga kelompok tidak identik). hal ini ditunjukkan dengan nilai stastitik hitung lebih besar dari nilai statistik tabel dan nilai signifikansi kurang dari 0,05. diperoleh nilai statistik hitung 75,824 dan nilai statistik tabel 5,991 (75,824>5,991). selain itu, kesimpulan di atas diperjelas oleh nilai signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05). selanjutnya dilakukan uji mann-whitney untuk mengetahui perbedaan nilai kinerja tiap kelompok. hasil uji ini tersaji pada tabel 3, tabel 4 dan tabel 5, disertai dengan rangkuman tabel-tabel tersebut pada tabel 6. data pada tabel 4 menunjukkan terdapat perbedaan yng bermakna antara kn dan 0 20 40 60 80 100 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 hari p ro po rs im as uk m ak an kn(%) k1(%) k2(%) gambar 1. nilai kinerja tikus pada umr2 selama 12 hari tabel 3. hasil uji kruskal-wallis proporsi_masuk_makan chi-square 75,824 df 2 asymp. sig. 0,000 tabel 4. hasil uji mann-whitney antara kn dengan k1 proporsi_masuk_makan mann-whitney u 1976,500 wilcoxon w 5546,500 z -2,766 asymp. sig. (2-tailed) 0,006 73 mutiara medika vol. 11 no. 2: 67-78, mei 2011 k1, dengan nilai signifikansi 0,006 (p<0,05). data pada tabel 5 menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna antara kn dan k2, dengan nilai signifikansi 0,000 (p<0,05). data pada tabel 6 menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna antara k1 dan k2, dengan nilai signifikansi 0,000 (p<0,05) pada tabel 7 terlihat bahwa kinerja pasangan kelompok tikus kn-k1, kn-k2 dan k1-k2 berbeda secara bermakna. hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikansi yang diperoleh secara berturut-turut adalah 0,006; 0,000 dan 0,000 (p<0,05). untuk mengetahui perbedaan antarkelompok secara terperinci, dilakukan uji mann-whitney antarkelompok per hari sebagaimana terlihat pada tabel 8. pada tabel 8 terlihat bahwa pasangan kelompok yang berbeda secara bermakna adalah pasangan kelompok kn-k1 pada hari ke-3,10,11 dan 12. pasangan kelompok kn-k2 berbeda secara bermakna pada hari ke-2,5,7,10, dan 12. pasangan k1-k2 berbeda secara bermakna pada hari ke2,5,6,7,8,9,11 dan 12. setelah diketahui perbandingan antarkelompok dalam ketepatan pemilihan lengan pada umr2, selanjutnya akan diketahui adanya perubahan memori dasar tikus setelah diberi perlakuan dengan menilai kinerja tikus pada umr1 kemudian membandingkannya dengan kinerja tikus pada umr2. rerata ketepatan pemilihan lengan setiap kelompok per hari pada umr1 dapat dilihat pada tabel 1. grafik kinerja kn dalam pemilihan ketepatan lengan pada umr1 dan umr2 dapat dilihat pada gambar 2. dari grafik tersebut diketahui nilai tertinggi yang diperoleh kn pada umr1 adalah 36% pada hari ke-10, sedangkan nilai tertinggi yang dicapai pada umr2 adalah 60% pada hari ke-8. rerata persentase ketepatan pemilihan lengan kn tabel 5. hasil uji mann-whitney antara kn dengan k2 proporsi_masuk_makan mann-whitney u 1272,000 wilcoxon w 4842,000 z -7,743 asymp. sig. (2-tailed) 0,000 tabel 6. hasil uji mann-whitney antara k1 dengan k2 proporsi_masuk_makan mann-whitney u 990,500 wilcoxon w 2820,500 z -6,389 asymp. sig. (2-tailed) 0,000 tabel 7. hasil uji mann-whitney antar kelompok kelompok tikus nilai uji mann-whitney kn-k1 0,006* kn-k2 0,000* k1-k2 0,000* *bermakna (p<0,05) kn (kelompok kontrol): akuades 1 ml/hari k1 (kelompok coba 1): ekstrak etanol pegagan 150 mg/kgbb selama 4 minggu k2 (kelompok coba 2): ekstrak etanol pegagan 150 mg/kgbb selama 6 minggu tabel 8. hasil uji mann-whitney antar kelompok per hari selama 12 hari hari hasil uji mann-whitney kn-k1 kn-k2 k1 -k2 1 1,000 1,000 1,000 2 1,000 0,001* 0,003* 3 0,003* 0,209 0,455 4 1,000 0,082 0,098 5 1,000 0,003* 0,009* 6 0,110 0,138 0,022* 7 0,526 0,046* 0,019* 8 0,144 0,839 0,018* 9 0,413 0,003* 0,027* 10 0,007* 0,001* 0,270 11 0,002* 0,001* 0,004* 12 0,025* 0,001* 0,003* *bermakna (p<0,05) 74 dwi cahyani ratna sari, dkk., pengaruh durasi pemberian ekstrak etanol pegagan (centella asiatica sp.) ... pada umr 2 lebih besar dari umr1, yakni 10,24% dan 9,31%. gambar 4 akan memperlihatkan perbandingan memori kn pada umr1 dan umr2. pada k1 didapatkan nilai tertinggi umr1 sebesar 59% pada hari ke-12, sedangkan pada umr2 didapatkan nilai tertinggi sebesar 44% pada hari ke-10. rerata proporsi k1 pada umr1 justru lebih besar dibanding rerata pada umr2 yaitu 14,67% dan 13,83%. untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 5. grafik kinerja k2 dalam pemilihan ketepatan lengan pada umr1 dan umr2 dapat dilihat pada gambar 4. nilai tertinggi yang diperoleh k2 pada umr1 adalah 65% pada hari ke-3. sedangkan nilai tertinggi yang dicapai pada umr2 adalah 91,71% pada hari ke-12. rerata persentase ketepatan pemilihan lengan kn pada umr 2 lebih besar dari umr1 yakni 53,33% dan 37,05%. gambar 4 di bawah ini akan memperlihatkan perbandingan memori k2 pada umr1 dan umr2. untuk mengetahui perbedaan peningkatan kinerja tikus pada umr2 dibandingkan umr1 dilakukan uji peringkat bertanda wilcoxon pada kn, k1 dan k2. hasil uji tiap kelompok dapat diketahui pada tabel 9. pada tabel 9 terlihat bahwa pada kn, k1 dan k2 terdapat peningkatan memori setelah pemberian perlakuan. namun, peningkatan memori spasial tiap kelompok tidaklah sama. k2 mengalami peningkatan yang paling bermakna dibandingkan k1 dan kn. hal ini terlihat dari nilai statistik hitung k2 yang lebih besar dibandingkan kn dan k1, yaitu secara berurutan: -5,678;-0,330;-0,304. nilai signifikansi 0,00 menunjukkan k2 mengalami peningkatan memori secara signifikan setelah perlakuan, dan nilai signifikansi kn (0,371) serta k1 (0,380) tidak menunjukkan adanya peningkatan yang bermakna. 0 10 20 30 40 50 60 70 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 hari pr op or si m as uk m ak an umr1 umr2 gambar 2. grafik kinerja kn dalam ketepatan pemilihan lengan pada umr1 dan umr2 0 10 20 30 40 50 60 70 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 hari p ro p o rs i m a su k m ak an umr1 umr2 gambar 3. grafik kinerja k1 dalam ketepatan pemilihan lengan pada umr1 dan umr2 0 20 40 60 80 100 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 hari p ro po rs im as uk m ak an umr1 umr2 gambar 4. grafik kinerja k2 dalam ketepatan pemilihan lengan pada umr1 dan umr2 tabel 9. hasil uji peringkat bertanda wilcoxon, pada kn, k1, k2 kn k1 k2 z hitung -0,330 -0,304 -5,678 nilai signifkansi 0,371 0,380 0,00* *bermakna (p<0,05) 75 mutiara medika vol. 11 no. 2: 67-78, mei 2011 diskusi pada gambar 1 terlihat semua grafik kinerja kelompok tikus mengalami fluktuasi, bahkan dari ketiga kelompok tikus yang terlibat dalam penelitian, hanya k2 saja yang menunjukkan kecenderungan peningkatan kinerja yang nyata. walaupun disertai fluktuasi pada hari sebelumnya, grafik k2 mengalami kecenderungan meningkat, peningkatan ini merupakan yang paling baik dari semua kelompok, hal ini didukung oleh hasil uji mannwhitney yang menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara kn dan k2, serta antara k1 dan k2. selain itu, kelompok 2 berhasil mencapai nilai tertinggi dari semua kelompok. peningkatan learning dan memori pada k2 juga tampak pada peningkatan performa k2 pada umr2 dibandingkan pada umr1. peningkatan memori yang berdampak pada membaiknya kinerja k2 mungkin dicapai karena terjadi peningkatan kekuatan sinaptik antar neuron pada hippocampus tikus karena adanya plastisitas neuron terutama pada bagian girus dentatus dan ca1 hippocampus yang berperan dalam informasi spasial.10 k1 mencapai nilai tertingginya pada hari ke10 dan menurun pada hari ke-11 dan ke-12. meskipun terjadi penurunan yang cukup drastis, grafik k1 menunjukkan peningkatan yang gradual dimulai pada hari ke-5 sampai hari ke-10 tanpa disertai fluktuasi yang nyata. hal ini mungkin terjadi karena working memory hanya bertanggungjawab terhadap informasi pada satu kali trial uji maze saja, misalkan informasi tentang lengan mana saja yang telah dimasuki sebelumnya. memori ini akan segera terhapus menjelang uji maze berikutnya, sehingga tikus harus mencoba memasuki maze dan membentuk working memory yang baru lagi, dan dimungkinkan membuat kesalahan-kesalahan baru lagi. working memory ini menurut crusio & scwegler (2005)17sangat berkaitan erat dengan memori spasial. selain itu, terdapat pula reference memory yang berperan dalam keseluruhan uji maze radial17, misalnya informasi bahwa terdapat makanan pada ujung lengan tikus. memori ini akan selalu terpakai dalam setiap uji maze. dimungkinkan selama 24 jam jeda antar uji maze, reference memory pada tikus telah hilang pula, sehingga tikus harus membentuk memori tersebut lagi dari awal. pada kn, nilai tertinggi dicapai pada hari ke-8 dan menurun drastis pada hari-hari terakhir, bahkan mencapai titik terendah, yaitu 0% pada tiga hari terakhir. gambar 1 menunjukkan bahwa kenaikan performa kn tampak pada hari ke-4 sampai ke-8 saja. kinerja kn pada umr2 merupakan yang terburuk dari semua kelompok. hasil ini menunjukkan adanya kemampuan working dan reference memory tikus yang buruk serta rendahnya kemampuan pembelajaran tikus. hal ini terjadi karena efek degradasi memori yang diakibatkan oleh stres listrik. uraian di atas mampu menunjukkan adanya efek perbaikan memori oleh pegagan. hal ini sejalan dengan penelitian-penilitan yang telah dilakukan sebelumnya. penelitian yang dilakukan oleh soumyanath (2005)18 menunjukkan bahwa ekstrak etanol pegagan terbukti mampu mempercepat regenerasi saraf yang rusak dan meningkatkan pertumbuhan neurit dengan mekanisme regenerasi axonal dan perpanjangan neurit. pegagan juga mampu meningkatkan arborisasi dendritik pada neuron ca3 hippocampus tikus dalam masa growth spurt (neonatal) dengan pemberian jus pegagan. arborisasi dendritik tersebut berhubungan dengan 76 dwi cahyani ratna sari, dkk., pengaruh durasi pemberian ekstrak etanol pegagan (centella asiatica sp.) ... peningkatan kemampuan learning and memory tikus.19 arborisasi ini tampak pada peningkatan densitas percabangan dendrit dan kompleksitas dendrit. pemberian jus segar pegagan juga mampu meningkatkan arborisasi dendrit di amygdala pada tikus neonatus, selain itu pegagan juga memberikan efek ansiolitik pada tikus20 dan manusia.21 pemberian pegagan juga mampu meningkatkan biosintesis neurotransmiter yang terlibat dalam proses learning and memory, seperti: asetilkolin, noradrenalin, serotonin dan dopamin.22 nalini et al. (1992)23 telah melaporkan efek perbaikan memori ekstrak air pegagan pada tikus dewasa. efek neurotropik yang dimiliki pegagan ini disebabkan oleh metabolit yang dikandungnya. metabolit yang ditemukan dalam pegagan dan dipercaya memiliki efek neurotropik dan neuroprotektif adalah asiatikosida (as) dan senyawasenyawa turunannya, seperti: asam asietat (aa), asiatikosida 6 (as6) dan sm2. soumyanath (2005)18 mengungkapkan bahwa aa, sebuah senyawa triterpenoid yang ditemukan dalam ekstrak etanol pegagan, menunjukkan aktifitas yang menonjol dalam penelitiannya pada dosis 1 mcg/ml, aa juga terbukti mampu menstimulus perpanjangan neurit. pegagan juga memiliki pengaruh protekif terhadap kematian sel-sel saraf (neuroprotektif). mook-jung (1999)24 mengobservasi efek protektif turunan-turunan asiatikosida terhadap kematian sel saraf yang diinduksi beta-amyloid (aß). dari 28 turunan asiatikosida yang diobservasi, aa, as6 dan sm2 menunjukkan efek neuroprotektif yang paling kuat. protein beta-amyloid (aß) merupakan komponen utama plak ekstraselular pada otak yang terjadi pada penderita alzheimer. asam asietat, asiatikosida6 dan sm2 juga mampu menurunkan angka kematian sel saraf akibat h2o2 dan mengurangi jumlah konsentrasi radikal bebas intraseluler, di antara ketiganya, asam asietat (aa) menunjukkan efek yang paling kuat, sedangkan sm2 mampu mengurangi jumlah apoptosis yang diinduksi starusporine.24 kumar et al. (2002)25 melaporkan bahwa ekstrak air pegagan mampu menurunkan secara signifikan konsentrasi malonaldehid (mda) pada otak disertai dengan peningkatan signifikan konsentrasi antioksidan glutathion tereduksi secara simultan. selain itu, dalam penelitian ini, peningkatan memori yang semakin tampak pada kelompok dengan durasi pemberian ekstrak etanol pegagan yang lebih panjang, yaitu selama enam minggu. hasil yang serupa juga terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh rao et al. (2007)26, dalam penilitian ini dilaporkan bahwa arborisasi dendrit lebih tampak pada kelompok yang menerima jus pegagan dengan dosis 6 ml/kgbb selama enam minggu dibandingkan pada kelompok yang menerima selama empat minggu. selain itu, peningkatan kemampuan learning and memory yang ditunjukkan dengan tmaze dan passive avoidance test pada kelompok yang menerima jus pegagan selama enam minggu lebih memuaskan dibanding kelompok dengan durasi pemberian selama empat minggu dengan dosis yang sama.22 pemberian fraksi triterpenoid total dengan dosis yang kronik terbukti mampu meningkatkan konsentrasi puncak dalam plasma, memperpanjang waktu paruhnya serta meningkatkan area under the curve (auc) 0-24 jam dari senyawa tersebut pada manusia.27 dengan demikian, diduga bahwa semakin panjang durasi pemberian ekstrak etanol pega77 mutiara medika vol. 11 no. 2: 67-78, mei 2011 gan, efek terapetik yang dimunculkan oleh senyawa aktif yang dikandung dalam pegagan tersebut, dalam hal ini senyawa triterpenoid saponin asiatikosida, pun akan semakin nyata. simpulan pemberian ekstrak ethanol pegagan (centella asiatica sp.) dengan dosis 150 mg/kgbb mampu memperbaiki memori spasial tikus pascastres yang dinilai dengan menggunakan ketepatan pemilihan lengan maze radial delapan lengan. selain itu, pemberian ekstrak ethanol pegagan (centella asiatica sp.) selama enam minggu memberikan efek peningkatan memori yang lebih signifikan dibanding pemberian selama empat minggu. daftar pustaka 1. syamsuhidayat, s.s., hutapea, j.r. 1991. inventaris tanaman obat indonesia. jakarta: departemen kesehatan ri. 2. ramasamy i. 2005. agriinfotech, inc. 166 lawrence road, salem nh-usa 03079 ph:603-894-7346, 603-781-9097.available at www.agriinfotech.com. 3. anon. centella asiatica. bangalore, india: natural remedies pvt.ltd. 1997. 4. mas’ud, i. 2003. stres fungsional dapat menjadi salah satu pemicu hilangnya memori? thesis. fakultas kedokteran universitas brawijaya. malang. 5. lupien, s.j., gaudreau, s., tchiteya, b.m., maheu, f., sharma, s., nair, n.p.v., et al. 1997. stres-induced declarative memory impairment in healthy elderly subjects: relationship to cortisol reactivity. j. clin. endocrinol. metab. 82(7):2070-2075. 6. simonian, n.a., coyle, j.t. 1996. oxidative stress in neurodegenerative disorders. ann. review. pharmacol. toxicol. 36:83-106 7. mcewen, b.s., sapolsky, r.m. 1995. stress and cognitive function. curr. opin. neurobiol. 5: 205-16. 8. kerr, d.s., campbell, l.w., thibault, o., landfield, p.w. 1992. hippocampal glucocorticoid receptor activation enhances voltage-dependent ca2+ conductances: relevance to brain aging. proc. natl. acad. sci. usa. 89:852731. 9. scoville, w.b., milner, b. 1957. loss of recent memory after bilateral hippocampal lesions. j. neurol. neurosurg. psych. 20:11–21. 10. poirier, g.l., amin, e., john, p. 2008. qualitatively different hippocampal subfield engagement emerges with mastery of a spatial memory task by rats. the journal of neuroscience. 28(5):1034 –1045. 11. wong, p.t. 2007. hippocampal long-term depression mediates acute stress-induced spatial memory retrieval impairment. pnas 104(27): 11471–11476. 12. fadda, f., melis, m.r., argiolas, a. 1978. effect of electric foot shock on dopamine and 3,4-dihydroxyphenylacetic acid (dopac) in different brain areas of rats. boll. soc. ital. biol. sper. 1978;54(18):1747-50. 13. tissari, a.h., argiolas, a., fadda, f., serra, g., gessa, g.l. 1979. foot-shock stress accelerates non-striatal dopamine synthesis without activating tyrosine hydroxylase. naunynschmiedeberg’s arch. pharmacol. 308:155157. 78 dwi cahyani ratna sari, dkk., pengaruh durasi pemberian ekstrak etanol pegagan (centella asiatica sp.) ... 14. pani, l., porcella, a., gessa, g.l. 2000. the role of stress in the pathophysiology of the dopaminergic system. molecular psychiatry. 5:14-21. 15. anon. farmakope indonesia. jakarta: departermen kesehatan republik indonesia. 1979. 16. soumyanath, a., zhong, y.p., gold, s.a., yu, x., koop, d.r., bourdette, d., gold, b.g. 2005. centella asiatica accelerates nerve regeneration upon oral administration and contains multiple active fractions increasing neurite elongation in-vitro. journal of pharmacy and pharmacology. 57(9):1221-29. 17. rao, k.g.m., rao, s.m., rao, s.g. 2006. centella asiatica (l.) leaf extract treatment during the growth spurt period enhances hippocampal ca3 neuronal dendritic arborization in rats. ecam 3(3):349–357. 18. rao, k.g.m., rao, s.m., rao, s.g. 2007. enhancement of amygdaloid neuronal dendritik arborization by fresh leaf juice of centella asiatica (linn) during growth spurt period in rats. ecam: 1-8. 19 bradwejn, j., zhou, y., koszycki, d., shlik, j. 2000. a double-blind, placebo-controlled study on the effects of gotu kola (centella asiatica) on acoustic startle response in healthy subject. j. clin. psychopharmacol. 20(6): 680-4. 20 rao, k.g.m., rao, s.m., rao, s.g. 2005. centella asiatica (linn) induced behavioral changes during growth spurt period in neonatal rats. neuroanatomy:4:18-23. 21 nalini, k., aroor, a.r., karanth, k.s., rao, a. 1992. effect of centella asiatica fresh leaf aqueous extract on learning and memory and biogenic amine turnover in albino rats. fitoterapia; 63:232–8. 22 mook-jung, i., shin, j.e., yun, s.h., huh, k., koh, j.y., park, h.k., et al. 1999. protective effects of asiaticoside derivates against betaamyloid neurotoxicity. j. neurosci. res. 59(3): 417-25. 23 kumar, m.h.v., gupta, y.k. 2002. effect of different extracts of centella asiatica on cognition and markers of oxidative stress in rats. 79(2): 253-260. 24 berman, a.f. 2003. the 5-minute herb and dietary supplement consult. philadelphia: lippincott williams & wilkins. 15 mutiara medika vol. 16 no. 1: 15-19, januari 2016 korelasi antara tinggi badan dan panjang tungkai bawah perkutan pada mahasiswa ras jawa usia pertumbuhan correlation between height and length of the lower limbs percutan at students ras java age growth hendra pamuji pamukti1, dirwan suryo soularto2* 1 program studi kedokteran, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta 2 departemen forensik, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta *email: dirwansuryo@yahoo.com abstrak teknik pengukuran antropometri dengan pengukuran kerangka yang kering telah lazim digunakan oleh ahli antropologi. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara panjang tungkai bawah perkutan dengan tinggi badan dan menentukan suatu rumus perhitungan tinggi badan pada populasi saat ini. jenis penelitian adalah noneksperimental dengan desain cross sectional. subyek penelitian adalah mahasiswa s1 pendidikan dokter fkik umy berusia 20-22 tahun, ras jawa, tidak cacat pada leher, badan dan anggota gerak bawah. data tinggi badan dan panjang tungkai bawah perkutan diambil dengan cara pengukuran langsung kemudian dianalisis dengan uji korelasi dan regresi. hasil penelitian menunjukkan tinggi badan rata-rata subyek penelitian 163,33 ± 10,78 cm. panjang tungkai bawah perkutan rata-rata adalah 36,76 ± 2,76 cm. rata-rata tinggi badan laki-laki adalah 172,66 ± 6,18 cm. rata-rata tinggi badan perempuan adalah 154,50 cm dengan standar deviasi 4,91 cm. rata-rata panjang tungkai bawah laki-laki adalah 39,11 ± 0,90 cm. rata-rata panjang tungkai bawah perempuan adalah 34,36 cm dengan standar deviasi 1,56 cm. disimpulkan bahwa tingkat korelasi (r) antara tinggi badan dengan panjang tungkai bawah perkutan laki-laki adalah 0,85 dan pada perempuan 0,70 dan pada populasi laki-laki dan perempuan adalah 0,94. kata kunci : tinggi badan, panjang tungkai bawah perkutan, ras jawa abstract anthropometric measurement techniques with dry measurement framework has been commonly used by anthropologists. the purpose of this study was to determine a relationship between height and length of lower leg percutan and determine a formula of height in the current population. this was crosssectional analytical study, the data retrieved from the direct measurement of subjects. the subjects is student medical faculty aged 20-22 years, java race, no defects in the neck, body and limbs down. analysis of corelation and regression showed that the age of the youngest study subjects was 20 years old while the oldest 21 years. the mean age was 20.5 ± 0.5 years. the results for height all gender showed 163.33 ± 10.79 cm. the length of the lower leg percutan is 36.76 ± 2.76 cm. the male height is 172.67 ± 6.18 cm. the female height is 154.50 ± 4.92 cm. the length of male leg is 39.11 ± 0.90 cm. the length of the lower leg of women is 34.36 ± 1.57 cm. the conclusion is level of correlation (r) between height with lower leg percutan length in males was 0.85 and 0.70 in women, while the population of men and women is 0.94. key words: height, lower leg percutan, java race artikel penelitian mutiara medika vol. 16 no. 1: 15-19, januari 2016 16 hendra pamuji p., dkk., korelasi antara tinggi badan dan panjang tungkai bawah pendahuluan banyak bencana alam yang dapat mengakibatkan jatuhnya korban jiwa massal seperti tsunami, gempa bumi, banjir, gunung meletus dan lain-lain. kecelakaan fatal pun dapat mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa. pada tanggal 26 oktober 2010 telah terjadi gunung m eletus di yogyakarta mengakibatkan lebih dari 100 orang meninggal, 26 agutus 2004 terjadi tsunami di aceh mengakibatkan 168.000 orang meninggal, 27 mei 2006 terjadi gempa bumi di yogyakarta mengakibatkan 5.800 orang meninggal dan 4 oktober 2010 terjadi banjir di wasior papua barat mengakibatkan 148 orang meninggal.1 selain itu tingkat kriminalitas saat ini juga semakin meningkat dan modus operasinyapun juga semakin bervariasi. pembunuh seringkali berusaha menghilangkan identitas korban dengan cara memotongmotong tubuh korban dan menaruh bagian-bagian tubuh korban di tempat yang berbeda. selama periode 2007-2008 telah terjadi 20 kasus mutilasi di indonesia.2 petugas medis dan kepolisian sering mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi jenazah korban tersebut karena seringkali jenazah sudah dalam keadaan membusuk, rusak, hangus, terbakar atau hanya ditemukan sebagian potongan tubuhnya saja. teknik pengukuran antropometri dengan pengukuran kerangka yang kering telah lazim digunakan oleh ahli antropologi. kalangan ilmuwan menggunakan pengukuran antropometri untuk menetukan identitas seseorang sejak ratusan tahun yang lalu dalam bidang kesehatan. teknik yang lazim digunakan untuk memperkirakan tinggi badan adalah dengan mengukur panjang tulang anggota gerak bagian bawah. perkiraan tinggi badan ini selanjutnya dapat dicocokkan dengan data-data lain yang dimiliki korban semasa hidupnya. berbagai referensi mengenai pertumbuhan menyatakan bahwa pertumbuhan tinggi badan seseorang dipengaruhi banyak faktor antara lain umur, jenis kelamin dan ras.3 tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara panjang tungkai bawah perkutan dengan ti nggi badan dan menentukan suatu rumus perhitungan tinggi badan pada populasi saat ini. bahan dan cara jenis penelitian adalah noneksperimental dengan desain cross sectional. subyek penelitian adalah mahasiswa s1 pendidikan dokter fkik umy berusia 20-22 tahun, ras jawa, tidak cacat pada leher, badan dan anggota gerak bawah. data tinggi badan dan panjang tungkai bawah perkutan diambil dengan cara pengukuran langsung kemudian dianalisis dengan uji korelasi dan regresi. dalam penelitian ini subyek penelitian yang digunakan adalah manusia hidup laki-laki dan perempuan. subyek diukur tinggi badan, berat badan, panjang tungkai bawah dan diminta mengisi kuisoner. penelitian ini terlebih dahulu dilakukan penilaian kelayakan etik penelitian yang dilakukan oleh komisi etika subjek sebanyak 36 orang dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, masing-masing 18 orang laki-laki dan 18 orang perempuan usia 20-22 tahun. pengambilan data dilakukan di kampus. data diperoleh dari tiap subyek dengan terlebih dahulu mengisi kriteria inklusi, yaitu dengan mengisi blanko identitas, siap untuk dilakukan pengukuran dan menandatangani inform consent. selanjutnya dilakukan pengukuran tinggi badan dan panjang tungkai bawah. 17 mutiara medika vol. 16 no. 1: 15-19, januari 2016 data yang dikumpulkan dari hasil penelitian akan dianalisis korelasi untuk menentukan hubungan antara kedua variabel dan menetukan rumus tinggi badan. hasil subyek terdiri dari 18 orang laki-laki dan 18 orang perempuan. umur termuda subyek penelitian adalah 20 tahun, umur tertua 21 tahun. rerata umur seluruh populasi subyek 20,5 ± 0,5 tahun. hasil pengukuran seluruh populasi sampel tanpa membedakan jenis kelamin menunjukkan tinggi badan rata-rata subyek penelitian 163,33 ± 10,78 cm. panjang tungkai bawah perkutan rata-rata adalah 36,76 ± 2,76 cm. berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya telah ditemukan adanya perbedaan tinggi badan dan korelasinya terhadap tulang panjang yang cukup bermakna antara populasi berdasarkan jenis kelamin. berikut ini adalah hasil uji korelasi pearson antara tinggi badan dengan panjang tungkai bawah perkutan yang menunjukkan keeratan hubungan di antara keduanya. pada tabel 3. dapat kita lihat bahwa secara keseluruhan korelasi antara panjang tungkai bawah perkutan dan tinggi badan pada grup laki-laki lebih kuat dari pada grup perempuan. korelasi panjang tungkai bawah perkutan dan tinggi badan sebelum dipecah dalam dua grup memberikan angka 0,943. namun setelah dianalisis berdasarkan jenis kelamin korelasi panjang tungkai bawah perkutan dan tinggi badan pada kedua jenis kelamin mengalami penurunan nilai yaitu menjadi 0,855 untuk laki-laki dan 0,707 untuk perempuan. standar residual (selisih prediksi tinggi badan dengan tinggi badan sebenarnya yang telah distandarisasi) untuk pengukuran panjang tungkai bawah perkutan dan tinggi badan berada di sekitar garis lurus sehingga dapat dikatakan persyaratan normalitas terpenuhi. sebaran data membentuk arah yang disyaratkan (dari kiri bawah ke kanan atas) m aka persamaan regresi m em enuhi syarat digunakan untuk memprediksi tinggi badan. selanjutnya dengan program komputer hasil uji regresi linier didapatkan koefisien konstanta dan koefisien untuk panjang tungkai bawah perkutan seperti yang tercantum pada tabel 4. selanjutnya diperoleh rumus penghitungan tinggi badan berdasarkan analisis regresi linier antara tinggi badan terhadap panjang tungkai bawah perkutan adalah y = a+bx, dimana y adalah tinggi badan dan x adalah panjang tungkai bawah perkutan. untuk membuktikan dan menentukan tingkat tabel 1. karakteristik subyek penelitian umur laki-laki perempuan n % n % 20 6 33,3 12 66,7 21 12 66,7 6 33,3 22 tabel 2. hasil pengukuran tinggi badan dan panjang tungkai bawah perkutan pengukuran (cm) laki-laki perempuan tinggi badan 172,67 ± 6,18 154,50 ± 4,92 panjang tungkai bawah perkutaneus 39,11 ± 0,90 34,36 ± 1,57 tabel 3. t ingkat korelasi (r) t inggi badan dengan panjang tungkai bawah perkutan korelasi laki-laki (n=18) perempuan (n=18) umum (n=18) (r) sig. (r) sig. (r) sig. tb – ptb 0,85 0,00 0,71 0,001 0,94 0,00 tabel 4. koefisien hasil uji regresi linier pada panjang badan dan panjang tungkai bawah perkutan subyek koefisien (a) koefisien (b) nilai r se laki-laki -57,032 5,873 0,855 3,31 perempuan 78,402 2,215 0,707 3,58 18 hendra pamuji p., dkk., korelasi antara tinggi badan dan panjang tungkai bawah akurasi dari formula regresi yang telah diperoleh dari penelitian maka dilakukan uji t berpasangan terhadap panjang badan sebenarnya dengan panjang badan hasil perhitungan formula regresi. berikut ini adalah tabel hasil analisis statistik uji t berpasangan untuk tingkat kebermaknaan dan rentang interval kepercayaan 95% antara panjang badan sebenarnya dengan panjang badan hasil perhitungan formula regresi. pada tabel 5. dapat kita lihat bahwa panjang badan sebenarnya dengan panjang badan hasil perhitungan rumus peneliti memiliki rentang interval kepercayaan 95% yang sempit. secara keseluruhan semua panjang badan hasil perhitungan rumus tidak beda bermakna dengan panjang badan sebenarnya karena ditunjukkan oleh nilai p yang jauh lebih besar dari 0,05. diskusi pada hasil, dapat kita lihat bahwa secara keseluruhan korelasi antara panjang tungkai bawah perkutan dan tinggi badan pada grup laki-laki lebih kuat dari pada grup perempuan. korelasi panjang tungkai bawah perkutan dan tinggi badan sebelum dipecah dalam dua grup memberikan angka 0,943. namun setelah dianalisis berdasarkan jenis kelamin korelasi panjang tungkai bawah perkutan dan tinggi badan pada kedua jenis kelamin mengalami penurunan nilai yaitu menjadi 0,855 untuk laki-laki dan 0,707 untuk perempuan. standar residual selisih prediksi tinggi badan dengan tinggi badan sebenarnya yang telah distandarisasi) untuk pengukuran panjang tungkai bawah perkutan dan tinggi badan berada di sekitar garis lurus sehingga dapat dikatakan persyaratan normalitabel 5. hasil analisis uji t berpasangan antara panjang badan sebenarnya dengan hasil perhitungan rumus penelitian variabel laki-laki perempuan lower upper .sig lower upper .sig tb sebenarnya – tb rumus peneliti -1.86723 1.24167 .677 -1.71577 1.73910 .989 gambar 1. uji regresi linier tinggi badan terhadap panjang tungkai bawah perkutan 19 mutiara medika vol. 16 no. 1: 15-19, januari 2016 tas terpenuhi. sebaran data membentuk arah yang disyaratkan (dari kiri bawah ke kanan atas) maka persamaan regresi memenuhi syarat digunakan untuk memprediksi tinggi badan. koefisien regresi sebesar (b) menyatakan bahwa setiap peningkatan 1% panjang tungkai bawah akan meningkatkan tinggi badan sebesar b %. sebagai contoh, persamaan regresi untuk panjang tungkai bawah perkutan pada populasi lakilaki adalah y = 5,873x – 57,032, se = 3,31 dengan r = 0,855, dimana y adalah tinggi badan dan x adalah panjang tungkai bawah perkutan. koefisien regresi sebesar 5,873 meyatakan bahwa setiap peningkatan 1% panjang tungkai bawah akan meningkatkan tinggi badan sebesar 5,873% dengan standar error + 3,31cm. arah korelasi positif pada seluruh formula regresi menyatakan semakin besar nilai satu variabel semakin besar pula nilai variabel lainnya. semakin panjang tungkai bawah semakin tinggi tubuh seseorang. nilai se (standar error) pada penelitian ini (3,31 – 3,58 cm ) masih tergolong dapat diterima, karena batas standar error yang dapat diterima adalah 2,5 inchi.4 simpulan tingkat korelasi (r) antara tinggi badan dengan panjang tungkai bawah perkutan pada laki-laki 0,855 dan pada perempuan 0,707 sedangkan pada populasi laki-laki dan perempuan 0,943. formula regresi pada laki-laki y= 57,032 + 5,873 (ptb) dengan nilai se 3,31 dan pada perempuan y= 78,402 + 2,215 (ptb) dengan nilai se 3,58. berdasarkan hasil penelitian diatas disarankan agar adanya penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara tinggi badan dengan panjang tungkai bawah perkutan pada ras jawa dengan jumlah sampel yang lebih besar dan rentang umur yang lebih lebar. perlu juga dilakukan penelitian serupa dengan menggunakan sampel jenazah karena aplikasi rumus estimasi tinggi badan banyak digunakan pada jenazah. daftar pustaka 1. anonim. bencana alam di indonesia, kompas. (2011, 11 januari). 2. anonim. jumlah kasus mutilasi di indonesia, kompas. (2008, 10 november). 3. zaini, n.b. tinggi badan, panjang trunkus, panjang tungkai, indeks trunkus-tinggi, indeks skelik dan hubungan panjang trunkus dan panjang tungkai terhadap tinggi badan pada anak laki-laki dan perempuan usia 1118 tahun di d.i yogyakarta, karya tulis ilmiah strata satu, universitas gadjah mada, yogyakarta. 2006. 4. atmadja, ds. perkiraan tinggi badan berdasarkan panjang tulang panjang pada populasi orang indonesia, majalah kedokteran indonesia, 1991; 41 (1) : 91-96. mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 20 no 1 page 42-44 january 2020 the difference in incidence of scabies between conventional and modern boarding school perbedaan angka kejadian scabies antara pondok pesantren konvensional dan pondok pesantren modern kanti ratnaningrum1,*, amanatun avidah2 1basic clinical science department, medical faculty, universitas muhammadiyah semarang, jalan kedungmundu no.18, kedungmundu, tembalang, semarang city, central java, indonesia. 2medical faculty, universitas muhammadiyah semarang, jalan kedungmundu no.18, kedungmundu, tembalang, semarang city, central java, indonesia. data of article: received: 15 oct 2019 reviewed: 27 nov 2019 revised: 3 des 2019 accepted: 5 jan 2020 *correspondence: kantiratna@unimus.ac.id doi: 10.18196/mm.200141 type of article: research abstract: the prevalence of scabies in children is still high in indonesia, especially in children who live in dormitories such as islamic boarding schools. rise of modern boarding school that is claimed to be better than conventional boarding school makes researchers moved to find out whether there are differences in the occurrence of scabies in conventional boarding school and modern boarding school. this study is a descriptive observational study. the sample used was 95 respondents in each boarding schools that obtained by a simple random sampling technique. research data were collected in the form of questionnaires and examination of the diagnosis of scabies using a dermoscope. the data was analyzed using data tabulation. from 190 respondents, most of the samples were in the age range of 14-16 years (46.8%). scabies occurred in conventional boarding school were 35.3% (46 respondents), and 9.8% (5 respondents) occurred in modern boarding school. it can be concluded that the occurrence of scabies in modern boarding school is less than in conventional boarding school. keywords: scabies; boarding school; conventional; modern abstrak: prevalensi skabies pada anak-anak masih tinggi di indonesia, terutama pada anak-anak yang tinggal di asrama seperti pondok pesantren. bangkitnya pondok pesantren modern yang diklaim lebih baik dari pesantren konvensional membuat peneliti tergerak untuk mengetahui apakah ada perbedaan dalam terjadinya skabies di pondok pesantren konvensional dan pesantren modern. penelitian ini adalah penelitian observasional deskriptif. sampel yang digunakan adalah 95 responden di setiap pesantren yang diperoleh dengan teknik simple random sampling. data penelitian dikumpulkan dalam bentuk kuesioner dan pemeriksaan diagnosis skabies menggunakan dermoscope. data dianalisis menggunakan tabulasi data. dari 190 responden, sebagian besar sampel berada dalam kisaran usia 14-16 tahun (46,8%). skabies yang terjadi di pesantren konvensional sebanyak 35,3% (46 responden), dan 9,8% (5 responden) terjadi di pesantren modern. dapat disimpulkan bahwa angka kejadian scabies di pondok pesantren modern lebih sedikit dibanding dengan pondok pesantren konvensional. kata kunci: skabies; pesantren; konvensional; modern | 43 introduction scabies is a disease caused by arthropod parasitic infection, sarcoptes scabiei var hominis.1 diagnosis of scabies is confirmed by the discovery of sarcoptes scabei mites and is usually accompanied by symptoms of itching at night, and there are tunnels in predilection sites.2 scabies are usually found in residential areas such as in boarding school.3 the prevalence of scabies in boarding school at 43%; 36.3%; 51.6%.4-6 boarding school as private islamic religious education institutions with a boarding system.7 boarding school categories based on characteristics and traditions are conventional boarding school and modern boarding school.8 conventional boarding schools or also called salaf / traditional are places for studying islamic religion without including public education in them, whereas modern boarding schools are places for studying a combination of religious knowledge and general science.7-9 in addition to religious studies, modern islamic boarding school apply the curriculum set by the ministry of religion or ministry of education and culture.7 some previous studies only discussed scabies in 1 islamic boarding school such as saad, khotimah, and ratnasari, studies; minimal information about the category of islamic boarding school that was used as the location of the study; as well as the rise of modern boarding schools which are claimed to be better than conventional boarding schools make researchers moved to find out whether there are differences occurrence of scabies in conventional boarding school and modern boarding school.4-6 materials and method this study is a descriptive observational study, with 95 samples in each study place, a conventional boarding school, and a modern boarding school. the sample obtained using the simple random sampling technique with a numbering system. the research used primary data by examination of scabies diagnosis using a dermoscope. the study conducted at conventional boarding school wasilatul huda, kendal, and modern boarding school selamat, kendal, central java in march-april 2019 with the inclusion criteria of students who are living in boarding school. data analysis using data tabulation. the study has received ethical approval from the health research ethics committee (kepk) medical faculty, universitas muhammadiyah semarang no.029 / ec / fk / 2019. result table 1. characteristics of boarding school students characteristics of samples n ( %) age 11 13 yo 14 – 16 yo >17 yo 36 (18.9) 89 (46.8) 65 (34.2) scabies scabies no scabies 51 (26.8) 139 (73.2) figure 1. graph of differences occurrence of scabies in both of boarding school the study was conducted with 190 samples which consist of 95 samples in each conventional and modern boarding school students in a ratio of 1:1. the distribution of sample characteristics can be seen in table 1. table 1 shown most of the samples in the age range of 14-16 years (46.8%) and 51 samples (26.8%) were scabies. from figure 1, it can be seen that 46 samples scabies (48.4%) from the conventional boarding school and 49 samples do not scabies (51.6%). in modern boarding school, only a small proportion of samples who scabies in 5 samples (5.3%) and most of the samples did not scabies in 5 people (94.7%). discussion range of 14-16 years old is most age samples occurrence scabies. these results are similar to previous studies.9,10 range of 11-15 years old most occurrence of scabies (76.9%).10 the results of this study are slightly different from other studies, which mention 17-25 years old is the most commonly found scabies.11 age is a risk factor for scabies that has an influence on the hygiene of the scabies patients.9 age influences capture and thought patterns. as you get older, you will also develop your catching power and mindset so that your knowledge is better. previous exposure experiences were very instrumental in students mindset.12,13 44 | vol 20 no 1 january 2020 the occurrence of scabies in the conventional boarding school is higher than in the modern boarding school. ihtiaringtyas et al. (2019),10 stated that scabies is a common disease in boarding school and often occurs in boarding schools. this reasonableness attitude can be due to the stigma that was circulating among students and teachers of conventional islamic boarding schools that " if not yet experienced scabies, not a boarding school students." it has caused the omission of scabies mass conditions in a conventional boarding school environment, and no effort was made by the management of the boarding school to prevent disease expansion or comprehensive management so that scabies did not repeatedly occur of students. less knowledge and behavior in the prevention of scabies have a significant relationship to4,14,15, but other studies have different results. the level of knowledge was not related to the occurrence of scabies.16,17 several factors that can increase the risk of scabies include age, skin hygiene, hand hygiene, towel cleanliness, clothing cleanliness, and cleanliness of beds.16 some differences in habits/ lifestyles/ activities contribute to the occurrence of scabies so natural if more scabies found in conventional boarding school students. conclusion there is a difference between the occurrence of scabies in conventional boarding schools and a modern boarding school. the occurrence of scabies is higher in conventional boarding schools than in a modern boarding school. references 1. siregar, r. s. atlas berwarna saripati penyakit kulit: kandidiasis. jakarta: egc. 2005; 45-9. 2. djuanda, a. ilmu penyakit kulit dan kelamin fakultas kedokteran universitas indonesia. jakarta: universitas indonesia. 2007. 3. soemirat, j. kesehatan lingkungan. yogyakarta: gadjah mada university press. 2011. 4. saad, s. pengaruh faktor higiene perorangan terhadap angka kejadian skabies di pondok pesantren annajach magelang (doctoral dissertation, faculty of medicine). 2008. 5. avidah, a., krisnarto, e., & ratnaningrum, k. faktor risiko skabies di pondok pesantren konvensional dan modern. herb-medicine journal, 2019, 2(2), 58-63. 6. ratnasari, a. f., & sungkar, s. prevalensi skabies dan faktor-faktor yang berhubungan di pesantren x, jakarta timur. ejournal kedokteran indonesia. 2014, 2(1), 7-12. 7. hasyim, h. transformasi pendidikan islam (konteks pendidikan pondok pesantren). jurnal pendidikan agama islam-ta’lim, 2015, 13(1), 57-77. 8. muhakamurrohman, a. pesantren: santri, kiai, dan tradisi. ibda: jurnal kajian islam dan budaya, 2014, 12(2), 109-118. 9. dhofir, z. tradisi pesantren ditinjau dari tradisi kyai. yogyakarta: kanisus. 1983. 10. ihtiaringtyas, s., mulyaningsih, b., & umniyati, s. r. faktor risiko penularan penyakit skabies pada santri di pondok pesantren an nawawi berjan kecamatan gebang kabupaten purworejo jawa tengah. balaba: jurnal litbang pengendalian penyakit bersumber binatang banjarnegara, 2019, 15(1), 8390. 11. gustia, r., & anas, e. faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian skabies di wilayah kerja puskesmas lubuk buaya kota padang tahun 2015. jurnal kesehatan andalas, 2018, 7(1), 51-58. 12. muslih, r., korneliani, k., & novianti, s. hubungan personal hygiene dengan kejadian skabies pada santri di pondok pesantren cipasung kabupaten tasikmalaya. tasikmlaya: universitas siliwangi. 2012. 13. ibadurrahmi, h., veronica, s., & nugrohowati, n. faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit skabies pada santri di pondok pesantren qotrun nada cipayung depok februari tahun 2016. jurnal profesi medika: jurnal kedokteran dan kesehatan, 2017, 10(1), 33-45. 14. nur rohmawati, r. hubungan antara faktor pengetahuan dan perilaku dengan kejadian skabies di pondok pesantren al-muayyad surakarta (doctoral dissertation, universitas muhammadiyah surakarta). 2010. 15. rianti, e., & triwinarto, a. efforts to improve management of student health services at islamic boarding schools in indonesia. in 4th international symposium on health research (ishr 2019) (pp. 475477). atlantis press. 2020. 16. avidah, a., krisnarto, e., & ratnaningrum, k. faktor risiko skabies di pondok pesantren konvensional dan modern. herb-medicine journal, 2019, 2(2), 58-63. 17. arifuddin, a., kurniawan, h., & fitriani, f. faktor risiko kejadian scabies di rumah sakit umum anutapura palu (risk factors scabies at general hospital anutapura palu). medika tadulako: jurnal ilmiah kedokteran fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, 2016, 3(3), 40-59. mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 20 no 1 page 10-14 january 2020  structured physical activity did not affect the body fat percentage among gymnastics studio members pengaruh aktivitas fisik terstruktur terhadap persentase lemak tubuh pada anggota sanggar senam erina febriani widiastari1*, fatimah eliana taufik2, diniwati mukhtar3 1 faculty of medicine, yarsi university, jalan letjen. suprapto kav.13, cempaka putih, central jakarta, jakarta, indonesia. 2 department of internal medicine, faculty of medicine, yarsi university, jalan letjen. suprapto kav.13, cempaka putih, central jakarta, jakarta, indonesia. 3 department of physiology, faculty of medicine, yarsi university, jalan letjen. suprapto kav.13, cempaka putih, central jakarta, jakarta, indonesia. data of article: received: 9 mei 2019 reviewed: 25 jun 2019 revised: 9 oct 2019 accepted: 25 nov 2019 *correspondence: erinaerina14@yahoo.com doi: 10.18196/mm.200135 type of article: research abstract: the excess of body fat in the body can be associated with the risk of diabetes, cardiovascular disease, and other metabolic diseases. activities which can reduce the body fat percentage is a structured physical activity. this study aims to identify the effect of the structured physical activity on the decrease in body fat percentage on members of the gymnastics studio. this study used one group of pretest-posttest design. the intervention was an aerobic exercise, conducted for a minimum duration of 150 minutes per week, and followed up for three months. the samples were selected by using purposive sampling and were collected by measuring the respondent's weight with bioelectrical impedance analysis at the beginning and the end of this study. the data were analyzed by using paired sample t-test. the result showed that the average of the body fat percentage on the pre-test was 33.156 %, and on the post-test was 32.920 %. based on the data, there was a decrease in a body fat percentage on pre-test and post-test in 13 out of 25 respondents. the p-value was 0.357, and it can be concluded that the structured physical activity did not have a significant effect on the decrease in body fat percentage. keywords: body fat percentage; female; gymnastic studio; structured physical activity abstrak: kelebihan lemak dalam tubuh dapat dikaitkan dengan risiko diabetes, penyakit kardiovaskular, dan penyakit metabolisme lainnya. aktivitas yang dapat mengurangi persentase lemak tubuh adalah aktivitas fisik terstruktur. penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh aktivitas fisik terstruktur terhadap penurunan persentase lemak tubuh pada anggota sanggar senam. penelitian ini menggunakan desain satu kelompok pretest-posttest. intervensi yang diberikan berupa latihan aerobic yang dilakukan dengan durasi minimum 150 menit per minggu selama tiga bulan. sampel dipilih menggunakan purposive sampling dan dikumpulkan dengan mengukur berat responden dengan analisis impedansi bioelektrik pada awal dan akhir penelitian. data dianalisis menggunakan paired sample t-test. hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata persentase lemak tubuh pada pre-test adalah 33.156%, dan pada post-test adalah 32.920%. berdasarkan data, ada penurunan persentase lemak tubuh pada pre-test dan post-test di 13 dari 25 responden. didapatkan p=0.357, sehingga dapat disimpulkan bahwa aktivitas fisik terstruktur tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penurunan persentase lemak tubuh. kata kunci: persentase lemak tubuh; perempuan; sanggar senam; aktivitas fisik terstruktur  | 11 introduction physical activity is known to play an important role in preventing obesity and the distribution of body fat.1 based on the research by rachmi et al. in 2017,2 referring to the basic health research (riskesdas) data in 2007 and 2010, it showed that the prevalence of 19 to 55-year-old overweight or obese adults increased from 19.8% in 2007 to 23% in 2010, with the highest prevalence in women compared to men in the second year. one of the risk factors of obesity is a lack of physical activities.2 the excess of body fat in organs can be associated with the risk of diseases such as diabetes, cardiovascular disease, and other metabolic diseases.3 the decrease in visceral fat mass has a significant relationship with a risk reduction of coronary heart disease.4 the proportion of the less significant physical activity, in general, is 26.1% based on the data from basic health research (riskedas) in 2013. the criteria for significant physical activity are individuals who perform heavy or moderate physical activity or both. meanwhile, the criteria for less significant physical activity are individuals who do not carry out either moderate or substantial physical activity. the result showed an increase in the number of obese adults with the highest prevalence in women. one risk factor of obesity is a lack of physical activity. dki jakarta is one of the highest provinces with a population with less significant physical activity, with a total of 44.2%.5 an exercise is an inexpensive activity, free from pharmacological elements, and is useful for the transformation of body composition and can reduce cardiometabolic risk. it is such a powerful strategy for fat reduction, especially abdominal visceral fat.6 the recommended exercise program to improve physical fitness is cripe (continuous, rhythmical, interval, progressive, endurance). the 50 to 60-minute perpetual physical exercise was conducted rhythmically within a specified interval by gradually increasing weight training to improve the freshness and endurance of the cardiovascular system.7 several exercises that can be applied in daily life are such as aerobics, cycling, zumba, modern dance, and so on.8 research conducted by irving et al. in 2018,6 showed that physical activity is effective in reducing body fat percentage, fat mass, waist circumference, and abdominal circumference in obese adults. it is interesting to research the effect of structured physical activity on the decrease in the percentage of body fat in gym members. materials and method this research is an experimental study with one group pretest-posttest design. this research was conducted by giving treatment in the form of physical activity in one group of respondents without a control group for three months. measurement of the respondent's body fat percentage was carried out within pre and posttreatment. the population and sample were members of the r and k gymnastics studios in cempaka putih and johar baru, in november 2017 until january 2018. the inclusion criteria in this study included members of the gymnastics studio who were 18-60 years old. meanwhile, the exclusion criteria were those who were not willing to take part in this study for three months and were pregnant. then, the sample was selected using nonprobability sampling, namely purposive sampling, and then 36 respondents were obtained while 11 respondents dropped out. data collection was carried out by conducting interview and observation to record the frequency of respondents' physical activity as well as the habits of the respondents such as a diet program, monday-thursday fasting habits, and exercise habits other than the one examined in this study and physical examination of body weighing to identify the percentage of body fat in the beginning and the end of the study. the method of body weighing was conducted in a way that the respondent was barefoot, looked straight ahead, with the position of the hand holding one part of the weighing tool, and stood upon the weighing tool until it showed the body fat percentage automatically. bivariate analysis in this study used a paired t-test. result this research was conducted on two groups of females at the r gymnastics studio in cempaka putih and k gymnastics in johar baru, with a total of 36 respondents. the respondents carried out a structured physical activity such as aerobics for at least 150 minutes per week for 12 weeks. during the study, four people resigned, and seven people did not fit the inclusion criteria and that the number of samples that could be monitored for three months was 25 people. measurements were taken twice at the beginning and the end of the twelfth week. table 1 showed the respondents’ characteristic. table 2 showed the results of body fat percentage at pre and post treatment and table 3 showed the t-test analysis result. 12 | vol 20 no 1 january 2020 table 1. the respondents’ characteristic characteristic frequency pecentage (%) age (y.o) late adolescent (17-25) early adulthood (26-35) late adulthood (36-45) early elderly (46-55) 5 3 13 4 20 12 52 16 body mass index (kg/m2) underweight (<18.5) normal-weight (18.5-22.9) overweight (23-24.9) obese (≥25) 0 6 6 13 0 24 24 52 table 2. the results of body fat percentage at pre and post treatment body fat percentage classification pre test post test f % f % 20-40 years old underfat (<21) healthy (21-33) overweight (33-39) obese (>39) 41-60 years old underfat (<23) healthy (23-35) overweight (35-40) obese (>40) n 0 10 3 1 0 6 4 1 25 0 40 12 4 0 24 16 4 100 0 9 4 1 0 6 4 1 25 0 36 16 4 0 24 16 4 100 table 3. distribution of t-test analysis result mean (%) ±sd p-value pre-test 33.156 4.86 0.357 post-test 32.920 4.66 based on the results in table 1, it showed that by the age, more than half respondents were early adulthood (52%) and classified as obese (52%). furthermore, table 2 showed that even an increase in the number of respondents who experienced overweight among respondent age 20-40 years old, from 3 to 4. the t-test analysis that shown in table 3 revealed the value of p=0.357 (p>0.05). discussion referring to asian bmi criteria such as normal bmi of 18.5 to 22.9 kg/m2, overweight 23 24.9 kg/m 2, and obese ≥25 kg/m2 .9 the result showed that the respondents were female with a normal bmi category of 24%, overweight by 24%, and obese by 52%. in numeral, it revealed a decrease in body fat percentage of 13 people in which three people did not change, and nine people experienced an increase in body fat percentage. yet, based on the classification on table 2, there is no change in each classification except in overweight age 20-40 years actually increased from 3 to 4. in the group of respondents who intensively underwent the physical activity examined in the study, there is an average reduction in body fat percentage of 0.236%. this decrease was not statistically significant since the result of the bivariate analysis with paired t-test showed p = 0.357, indicating that there was no influence between structured physical activity on the de body fat percentage. the percentage of body fat can be influenced by various factors, such as food intake. the study of lombardo et al., (2017)10 suggested that calorie restriction and exercise can reduce the percentage of fat mass. dietary (food) interventions, in general, can produce a greater energy deficit, and it can accelerate the decrease in body mass rather than only carrying out the exercise without any dietary interventions.11 in contrast, a study found that aerobic exercise three times per week with a hypocaloric diet for changes in body composition revealing that there were no significant differences in fat mass between the group who consumed food before conducting the exercise and the group who did not.12 another study stated that conducting an aerobic exercise for 12 weeks showed a decrease in fat mass of 1.3 kg and a percentage decrease of 1% in the moderate exercise respondent group without dietary intervention. the result indicates that there is no significant effect on fat mass reduction and body fat percentage. the decrease that occurred in the exercise group was not as significant as the diet group or the combination of diet and exercise group.13 in another study of the effects of diet and aerobic exercise for 12 months by comparing the exercise group, the diet group, the combination of exercise and diet group, as well as the control group.11 the result of this study showed that the combination of diet and exercise group and the diet group have a higher percentage of body fat reduction than the exercise group.14 it suggested that diet and exercise interventions for eight weeks decreased body mass index, and increased physical fitness level. however, no significant effect was found on body fat, and diet intake was the most influential variable.1 it explains why this study did not show a significant reduction in body fat percentage. it is because one of the factors affecting the body fat was diet and food intake controls, which were not carried out in this study. based on the result of the interview, all respondents did not have a significant difference in the diet condition. rice and side dishes such as  | 13 chicken, eggs, vegetables, and fruit become their daily food. however, the frequency and portion of the food are undoubtedly different from one person to another. half of the total respondents who experienced a decrease in body fat percentage often underwent monday-thursday fasting every week. in the group that experiences an increase in body fat percentage, most respondents did not undergo monday-thursday fasting and were identified to consume food after the exercise frequently. in this case, fasting plays an important role since, during the fasting activity, our bodies absorb energy sources from fatty acids produced by adipocytes to reduce the percentage of body fat.15 furthermore, another factor is physical activity. physical activity is associated with a lower bmi and a low percentage of body fat. thus, the higher the level of physical activity is, the lower the percentage of body fat will be.16 based on the result of the interview, the group that experienced a decrease in the body fat percentage included workers, housewives, and students. they had more physical activities in their daily life than other respondents, such as playing basketball, doing yoga, and doing gymnastics in the studio more than 150 minutes a week. the group that experienced an increase in the body fat percentage has a profession as housewives who did not carry out other physical activities outside of 150-minute gymnastics in the studio. it indicates that there are differences in the result of the body fat percentage at the beginning and the end of the study due to the different daily physical activities other than aerobics among the respondents. the researchers were unable to limit the daily activities carried out by the respondents during the research. another limitation of the study is the limited sample due to various unavoidable factors from respondents, such as illness or longdistance traveling during the data collection process of the study. conclusion structured physical activity has no significant effect on reducing body fat percentage among gymnastics studio members. references 1. anam, m. s., mexitalia, m., widjanarko, b., pramono, a., susanto, h., & subagio, h. w. pengaruh intervensi diet dan olah raga terhadap indeks massa tubuh, lemak tubuh, dan kesegaran jasmani pada anak obes. sari pediatri, 2016; 12 (1), 36-41. 2. rachmi, c. n., li, m., & baur, l. a. overweight and obesity in indonesia: prevalence and risk factors—a literature review. public health, 2017; 147: 20-29. 3. kwon, h. r., min, k. w., ahn, h. j., seok, h. g., koo, b. k., kim, h. c., & han, k. a. effects of aerobic exercise on abdominal fat, thigh muscle mass and muscle strength in type 2 diabetic subject. korean diabetes journal, 2010; 34 (1): 23-31. 4. tong, t. k., zhang, h., shi, h., liu, y., ai, j., nie, j., & kong, z. comparing time efficiency of sprint vs. high-intensity interval training in reducing abdominal visceral fat in obese young women: a randomized, controlled trial. frontiers in physiology, 2018; 9: 1048. 5. kemenkes, r. i. riset kesehatan dasar 2013. ministry of health republic of indonesia, 2013, 1, 1303. retrivied on september 8th, 2017, from http://www.depkes.go.id/resources/download/gen eral/hasil%20riskesdas%202013.pdf. 6. maillard, f., pereira, b., & boisseau, n. effect of high-intensity interval training on total, abdominal and visceral fat mass: a meta-analysis. sports medicine, 2018; 48 (2): 269-288. 7. sinaga, r. n. diabetes mellitus dan olahraga. jurnal ilmu keolahragaan, 2016; 15 (2): 21-29. 8. schiff, n. t. dampak aktivitas senam aerobik, tari zumba, dan tari jaipong terhadap perubahan kadar lemak tubuh. (doctoral dissertation, universitas pendidikan indonesia). 2014. 9. douglas g, nicol f, robertson c. pemeriksaan klinis macleod. edisi ketigabelas. london: elsevier. 2014. 10. lombardo, m., magarotto, r., marinelli, f., padua, e., caprio, m., annino, g., ... & iellamo, f. ideal reduction of calories for greatest reduction of body fat and maintenance of lean body mass. the journal of aging research and clinical practice, 2017; 1(1):1-6. 11. tomlinson, d. j., erskine, r. m., morse, c. i., & onambélé, g. l. body fat percentage, body mass index, fat mass index and the ageing bone: their singular and combined roles linked to physical activity and diet. nutrients, 2019; 11 (1): 195. 12. schoenfeld, b. j., aragon, a. a., wilborn, c. d., krieger, j. w., & sonmez, g. t. body composition changes associated with fasted versus non-fasted aerobic exercise. journal of the international society of sports nutrition, 2014; 11 (1): 1-7. 13. frimpong, e., dafkin, c., donaldson, j., millen, a. m. e., & meiring, r. m. the effect of home-based low-volume, high-intensity interval training on cardiorespiratory fitness, body composition and cardiometabolic health in women of normal body mass and those with overweight or obesity: protocol 14 | vol 20 no 1 january 2020 for a randomized controlled trial. bmc sports science, medicine and rehabilitation, 2019; 11 (1): 39. 14. foster schubert, k. e., alfano, c. m., duggan, c. r., xiao, l., campbell, k. l., kong, a., ... & mctiernan, a. effect of diet and exercise, alone or combined, on weight and body composition in overweight to obese postmenopausal women. obesity, 2012; 20 (8): 1628-1638. 15. syam, a. f., sobur, c. s., abdullah, m., & makmun, d. ramadan fasting decreases body fat but not protein mass. international journal of endocrinology and metabolism, 2016; 14 (1): e29687. 16. bradbury, k. e., guo, w., cairns, b. j., armstrong, m. e., & key, t. j. association between physicall activity and body fat percentage, with adjustment for bmi: a large cross-sectional analysis of uk biobank. bmj open, 2017; 7 (3): e011843. 0 daftar isi 11-2.p65 101 mutiara medika vol. 11 no. 2: 101-110, mei 2011 pengaruh ekstrak metanol akar pasak bumi (eurycoma longifolia, jack.) terhadap jumlah splenosit mencit diinfeksi listeria monocytogenes the effect of methanol extract of eurycoma longifolia, jack. root on the number of splenocytes of mice infected listeria monocytogenes idiani darmawati1, marsetyawan hnes2, sri herwiyanti2 bagian histologi dan biologi sel, program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, bagian histologi dan biologi sel, fakultas kedokteran, universitas gadjah mada email: idiani_2001@yahoo.co.id abstrak percobaan ini dirancang untuk mempelajari pengaruh ekstrak metanol akar e. longifolia, jack (meel) pada respon imun spesifik dengan penekanan khusus pada jumlah splenoctyes. desain penelitian adalah posttest only control group design. empat puluh delapan tikus betina balb / c yang digunakan di seluruh. empat puluh delapan tikus yang digunakan berpikir studi, dan dibagi menjadi 4 kelompok. kelompok pertama sebagai kontrol hanya menerima aquadest. kelompok ii, iii, dan iv diberikan 100, 200, dan 400 mg / kgbb per hari, masing-masing yang meel diberikan bersama 14 hari. kemudian, pada hari-15, diinfeksi listeria monocytogenes. observasi dilakukan pada hari 0, 3, dan 10 setelah infeksi. jumlah splenocytes layak diukur dengan mtt assay. data dianalisis menggunakan anova satu jalan. hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak metanol e. longifolia, jack pada 200 mg / kg bb per hari sejauh 14 hari dapat meningkatkan persentase splenocytes, dan puncaknya terdeteksi pada hari-0 infeksi, pada kii 11.363% yaitu, pada hari-3 setelah infeksi di kiii, yaitu 10.433% dan pada hari-10 di kiii yaitu 8.907%. uji anova menunjukkan perbedaan bermakna dengan pengecualian kelompok i dengan iv, dan ii dengan iii dan iii dengan iv. disimpulan ekstrak metanol e. longifolia, jack. root mampu meningkatkan persentase splenocytes di balb / c tikus yang terinfeksi dengan l. monocytogenes. kata kunci: eurycoma longifolia, jack., splenosit, mencit balb/c, listeria monocytogenes abstract this experiment was designed to study the influence of methanol extract of e. longifolia, jack (meel) root on spesific immune response with special emphasis on amount of splenoctyes. the research experimental was a post test-only control group design. forty eight female mice balb/c were used throughout. forty eight mice were used throught the studies, and were divided into 4 groups. first group as control received only aquadest. the group ii, iii, and iv were given 100, 200, and 400 mg/ kgbw per day, meel respectively which given along 14 days. then, on day-15, infected with listeria monocytogenes. observation were done on day 0, 3, and 10 after infection. the number of viable splenocytes was measured by mtt assay. the data was analysed using one-way of anova. the results demonstrated that methanol extract of e. longifolia, jack at 200 mg/kg bw per days far 14 days could increase the percentage of splenocytes, and the peak was detected on day-0 infection, at kii viz 11,363%, on day-3 after infection at kiii, viz 10,433 % and on day-10 at kiii viz 8,907%. the anova test indicated stastitical difference with the exception of groups i with iv, and ii with iii and iii with iv. in conclusion the methanol extract of e. longifolia, jack. root is able to increase the percentage of splenocytes in balb/c mice infected with l. monocytogenes. key words: eurycoma longifolia, jack., splenocytes, mice balb/c, listeria monocytogenes artikel penelitian 102 idiani darmawati, dkk., pengaruh ekstrak metanol akar pasak bumi ... pendahuluan indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah dari berbagai jenis tanaman. fenomena masyarakat back to nature menggunakan tanaman obat untuk menjaga kesehatannya maupun untuk mengobati penyakit cenderung meningkat.1,2 sejak dahulu kala, tumbuhan telah biasa dimanfaatkan sebagai obat untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit, dan kemudian diwariskan secara turun-temurun. khasiat tanaman obat pada tubuh melalui bermacam-macam mekanisme. tanaman obat dapat bekerja pada sistem endokrin, kardiovaskuler, maupun sistem imun. tanaman obat yang berperan pada sistem imun, tidak sebagai efektor yang langsung menghadapi penyebab penyakitnya, seperti antibiotik melainkan melalui pengaturan sistem imun, sehingga digolongkan sebagai imunomodulator.3 diantara tanaman yang berkhasiat sebagai obat adalah akar pasak bumi (e. longifolia, jack.) yang secara tradisional digunakan antara lain sebagai tonikum pascapartum, anti mikroba, anti hipertensi, anti inflamasi, antipiretik dan mengobati sakit perut, ulkus, malaria, disentri dan yang paling dikenal adalah sebagai obat kuat (afrodisiak). pasak bumi yang selama ini lebih banyak dikenal sebagai salah satu obat kuat, dalam perkembangannya manfaat yang dapat diperoleh dari pasak bumi semakin luas. penelitian manfaat pasak bumi sebagai obat kuat seperti yang dilakukan oleh nainggolan et al., pada tahun 2005 menemukan bahwa pemberian oral ekstrak pasak bumi dengan dosis 28 mm/kg bb/hari selama 15 hari, dapat menaikkan kadar hormon testosteron dalam serum mencit. penelitian ini membuktikan bahwa akar pasak bumi dapat bermanfaat sebagai obat kuat (afrodisiak).4 berdasarkan hasil penelitian qamariah pada tahun 2002.5, pasak bumi mempunyai potensi yang besar sebagai anti malaria baik secara in vitro maupun in vivo pada mencit. tanaman uji ini bersifat sebagai imunomodulator yang memacu sistem imun hewan uji sehingga mampu menghambat pertumbuhan parasit lebih lanjut. selain itu, ueda et al., pada tahun2002.6 dan kuo pada tahun 2004.7 telah membuktikan efektivitas pasak bumi (e. longifolia, jack.) sebagai anti tumor dan efektivitas ini ternyata berhubungan dengan peningkatan respon imun spesifik dan non spesisifik. bila sistem imun terpapar oleh zat yang dianggap asing, maka ada 2 jenis respon imun yang mungkin terjadi, yaitu respon imun non spesifik yang merupakan respon imun bawaan (innate immunity) karena respon terjadi walaupun sebelumnya tubuh tidak pernah terpapar zat asing dan respon imun spesifik yang merupakan respon imun didapat (acquired immunity) terhadap antigen tertentu karena tubuh sudah pernah terpapar sebelumnya.8 dalam sistem imun non spesifik, makrofag memegang peranan yang cukup penting. induksi infeksi dengan organisme l. monocytogenes telah banyak dijadikan model dalam eksperimen untuk mempelajari infeksi bakteri intraseluler. bakteri ini dapat bertahan hidup di dalam makrofag dan dapat menghindari mekanisme bakterisidal makrofag.9 penelitian ini dilakukan untuk mengkaji pengaruh pemberian ekstrak metanol akar pasak bumi (e. longifolia, jack.) terhadap persentase kenaikan jumlah splenosit mencit galur balb/c betina yang diinfeksi l. monocytogenes secara in vivo setelah 103 mutiara medika vol. 11 no. 2: 101-110, mei 2011 distimulasi ekstrak metanol akar pasak bumi (e. longifolia, jack.). bahan dan cara bahan untuk pembuatan ekstrak metanol akar pasak bumi (e. longifolia, jack.) adalah bahan simplisia akar pasak bumi (e. longifolia, jack.) dan larutan metanol. bahan untuk uji persentase kenaikan jumlah splenosit adalah sel limpa yang telah dikultur, medium tumbuh. hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit galur balb/ c betina yang berumur 6-8 minggu dengan berat berkisar 20-30 gram dari laboratorium mikrobiologi program antar universitas (pau) bioteknologi universitas gadjah mada yogyakarta. mencit dipelihara dalam kandang plastik berukuran 50x30x20 cm, dengan tutup strimin, tiap kandang berisi 12 ekor mencit, diberi makan pellet 529 dan minum secukupnya. bakteri yang digunakan dalam penelitian ini adalah bakteri intraseluler l. monocytogenes yang diperoleh dari laboratorium kesehatan daerah yogyakarta. alat penelitian adalah timbangan analitik (sartorius), blender (national), saringan kain, rotary evaporator (laboratory equipment sydney), water bath, cawan porselen dan alat maserasi digunakan untuk pembuatan ekstrak metanol akar pasak bumi (e. longifolia, jack.). inkubator co2 (nuaire), sentrifuse, mikroplate (nalge nune international, denmark), microplate reader, mikroskop cahaya, kamera, minor set, spuit injeksi 10 cc, laminar airflow hood, timbangan analitik (sartorius), alat gelas, hemositometer, digunakan untuk melakukan uji aktivitas proliferasi limfosit, elisa reader, untuk membaca data aktivitas proliferasi limfosit limpa; pipet, objek gelas; alat ekstraksi yang terdiri dari seperangkat alat soxhlet, rotaevaporator, waterbath dan cawan porselin. tahapan penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut: a) determinasi akar tanaman pasak bumi (e longifolia, jack.). akar tanaman pasak bumi yang diperoleh pada bulan februari 2005 dideterminasi di laboratorium farmakognosi bagian biologi farmasi fakultas farmasi universitas gadjah mada yogyakarta. b) pembuatan ekstrak metanol e. longifolia, jack. pembuatan ekstrak metanol e. longifolia, jack. dilakukan di laboratorium farmakologi dan toksikologi fakultas farmasi ugm. c) penentuan dosis. dosis ekstrak metanol akar pasak bumi (e. longifolia, jack.) yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar 100 mg/ kg bb/hari, 200 mg/kg bb/hari, dan 400 mg/kg bb/ hari yang diberikan selama 14 hari secara peroral. dosis ini telah diuji toksisitasnya oleh satayavivad et al., pada tahun 1998,10 saat diberikan peroral pada mencit (dosis yang lazim digunakan masyarakat kalimantan selatan sebagai suplemen). d) uji respon imun non spesifik. uji respon imun non spesifik akibat pemberian ekstrak metanol akar pasak bumi (e. longifolia, jack.) pada mencit galur balb/c betina dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: i. pengelompokan dan perlakuan awal hewan uji. ii. isolasi dan kultur splenosit. iii. uji aktivitas ekstrak metanol akar pasak bumi pada kultur splenosit dengan menggunakan metode mtt assay. metode mtt assay berdasarkan pada perubahan garam tetrazolium (3,4,5-dimethylthiazol2-yl)-2,5-diphenyltetrazolium bromide) (mtt) menjadi formazan dalam mitokondria sel hidup. konsentrasi formazan yang berwarna ungu dapat ditentukan secara spektrofotometri visibel dan 104 idiani darmawati, dkk., pengaruh ekstrak metanol akar pasak bumi ... berbanding lurus dengan jumlah sel hidup (price et al., dalam anggriati, 2008). kristal formazan berwarna ungu yang terbentuk terlarut dengan adanya penambahan isopropanol asam (100µ 0,04 n hcl dalam isopropanol) atau sds 10% dalam hcl 0,01n. selanjutnya dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 500 nm. intensitas warna ungu yang terbentuk berbanding langsung dengan jumlah sel yang aktif melakukan metabolisme.11 pengolahan data hasil penelitian dianalisis menggunakan rancangan acak lengkap atau complety randomized design (crd) pola faktorial (perlakuan ekstrak pasak bumi x waktu pengamatan/ pengukuran) dengan taraf kepercayaan 95% (p = 0,05). perbedaan antar kelompok perlakuan dan waktu pengamatan/pengukuran diuji dmrt (duncan multiple-range test) sehingga didapatkan kelompok perlakuan dan waktu pengamatan/pengukuran terbaik. data ditampilkan dalam bentuk kurva hubungan dosis ekstrak tanaman dengan persentase kenaikan jumlah splenosit mencit. uji statistik yang digunakan pada penelitian ini adalah uji analisa varian satu jalan (one way anova). uji anova dalam penelitian ini digunakan untuk menguji perbedaan secara keseluruhan rerata persentase kenaikan jumlah splenosit mencit antar berbagai kelompok dalam penelitian tak berpasangan. pada penelitian ini analisis statistik dilakukan dengan menggunakan program komputer spss versi 17,00. hasil perbandingan rerata berat badan dan berat limpa sebelum dan sesudah perlakuan seperti terlihat pada tabel 1, menunjukkan bahwa efek imunostimulansia ekstrak metanol pasak bumi pada mencit galur balb/c betina sebelum infeksi, dimana ekstrak metanol pasak bumi terbukti mampu meningkatkan berat limpa hewan uji pada kelompok perlakuan. kelompok perlakuan yang mendapat 100mg/kg bb/hari ekstrak metanol pasak bumi memiliki berat limpa 2x berat limpa sebelum perlakuan, kelompok yang mendapat 200 mg/kg bb/hari ekstrak metanol pasak bumi memiliki tabel 1. rerata berat badan dan berat limpa sebelum dan sesudah perlakuan kelompok hewan uji sebelum perlakuan sesudah perlakuan berat badan (g) berat limpa(mg) berat badan (g) berat limpa (mg) i 24,37 + 3,63 0,07 + 0,01 30,72 + 0,649 0,105 + 0,154 ii 23,79 + 1,23 0,06 + 0,02 30,89 + 0,028 0,14 + 0,752 iii 25,07 + 4,05 0,15 + 0,31 32,35 + 0,724 0,28 + 0,451 iv 24,05 + 2,34 0,06 + 0,02 33,47 + 1,015 0,119 + 0,033 keterangan: empb = ekstrak metanol akar pasak bumi ki = kelompok akuades (kontrol negatif ) kii = kelompok dosis empb 100 mg/kg bb/hari kiii = kelompok dosis empb 200 mg/kg bb/hari kiv = kelompok dosis empb 400 mg/kg bb/hari tabel 2. rerata hasil pengamatan absorbansi pada empat kelompok hewan uji hari ke kelompok dosis (mg/kg bb/hari ) blangko kontrol empb 100mg empb 200mg empb 400mg 0 0.363 + 0,012 0.385+ 0,011 0.376 + 0,019 0.376 + 0,022 0.346 3 0.390 + 0,008 0.407 + 0,009 0.416+ 0,008 0.395 + 0,027 0.377 10 0.375 + 0,008 0.394 + 0,012 0.395 + 0,018 0.382 + 0,020 0.363 keterangan: empb = ekstrak metanol akar pasak bumi 105 mutiara medika vol. 11 no. 2: 101-110, mei 2011 berat limpa 4x berat limpa sebelum perlakuan. sedangkan kelompok yang mendapatkan 400 mg/ kg bb/hari ekstrak metanol pasak bumi memiliki berat limpa 1,7x berat limpa sebelum perlakuan. pengaruh ekstrak metanol akar pasak bumi terhadap jumlah splenosit mencit galur balb/c betina yang diinfeksi l. monocytogenes. terlihat bahwa rerata absorbansi pada masingmasing kelompok hewan uji tertinggi selalu ditemukan pada hari ke-3 setelah infeksi. hal ini menunjukkan bahwa terjadinya infeksi l. monocytogenes mencapai puncaknya pada hari ke-3 setelah infeksi. sebab, tingkat absorbansi sebanding dengan tingkat infeksi l. monocytogenes. hasil perhitungan persentase kenaikan jumlah splenosit mencit galur balb/c betina pada empat kelompok hewan uji menunjukkan bahwa persentase kenaikan jumlah splenosit tertinggi ditemukan pada kiii hari ke-3 setelah infeksi. sedangkan pada hari ke-0 persentase kenaikan jumlah splenosit tertinggi ditemukan pada kelompok kii. ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak metanol akar pasak bumi dengan dosis 200 mg/kg berat badan mampu menstimulasi persentase kenaikan jumlah splenosit mencit galur balb/c bertina tertinggi pada hari ke-3 setelah infeksi, seperti yang ditunjukkan oleh tabel 3. persentase kenaikan jumlah splenosit mencit galur balb/c betina yang diinfeksi oleh l. monocytogenes dapat pula ditunjukkan oleh gambar 1. histogram berikut ini: tabel 3. persentase kenaikan jumlah splenosit pada empat kelompok hewan uji hari ke kelompok dosis (mg/kg bb/hari) kontrol empb 100mg empb 200mg empb 400mg 0 5.009 + 3,349 11.368 + 3,089 8.767 + 5,425 8.767 + 6,308 3 3.537 + 2,009 8.046+ 2,256 10.433 + 2,026 4.775 + 7,122 10 3.397 + 1,954 8.448+ 3,332 8.907 + 4,946 5.326 + 5,567 keterangan: empb = ekstrak metanol akar pasak bumi p er se nt as e k en ai ka n ju m la h sp le no si t gambar 1. histogram persentase kenaikan jumlah splenosit 106 idiani darmawati, dkk., pengaruh ekstrak metanol akar pasak bumi ... uji beda persentase kenaikan jumlah splenosit mencit galur balb/c betina berdasarkan hari pengamatan pada masing-masing kelompok pengujian. tabel 4 berikut menunjukkan bahwa tidak ditunjukkan adanya beda nyata persentase kenaikan jumlah splenosit diantara hari pengujian pada empat kelompok hewan uji. hal ini menunjukkan tidak adanya pengaruh hari pengujian terhadap peningkatan persentase kenaikan jumlah splenosit pada empat kelompok hewan uji. uji beda persentase kenaikan jumlah splenosit pada empat kelompok hewan uji berdasarkan kelompok dosis. tabel 5. menunjukkan bahwa secara umum terdapat perbedaan persentase kenaikan jumlah splenosit pada empat kelompok hewan uji berdasarkan kelompok dosis, terkecuali pada pengujian ki dan ki, kii dan kiii, serta kiii dan kiv, tidak ditemukan adanya perbedaan signifikan. hal ini menunjukkan bahwa diantara kelompok kontrol dan kelompok dosis 400 mg/kg bb tidak ada pengaruh signifikan terhadap persentase kenaikan jumlah splenosit mencit galur balb/c betina yang diinfeksi l. monocytogenes. hal yang sama juga ditemukan pada uji beda antara kelompok dosis 100 mg/kk bb/hari dan 200 mg/kg bb/hari, serta antara kelompok dosis 200 mg /kg bb/hari dan 400 mg /kg bb/hari ekstrak metanol akar pasak bumi. analisis deskriptif persentase kenaikan jumlah splenosit per hari pengamatan pada empat kelompok dosis. tabel 4. uji beda persentase kenaikan jumlah splenosit berdasarkan hari pengamatan dosis uji beda antar hari t hitung t a/2, n-1 signifikansi keterangan kontrol 0 vs 3 1,028 4,303 0,412 tidak signifikan 0 vs 10 1,356 4,303 0,308 tidak signifikan 3 vs 10 0,534 4,303 0,647 tidak signifikan tidak ada beda nyata empb 100mg 0 vs 3 2,533 4,303 0,127 tidak signifikan 0 vs 10 3,116 4,303 0,089 tidak signifikan 3 vs 10 -0,196 4,303 0,863 tidak signifikan tidak ada beda nyata empb 200mg 0 vs 3 -0,391 4,303 0,733 tidak signifikan 0 vs 10 -0,041 4,303 0,971 tidak signifikan 3 vs 10 0,413 4,303 0,719 tidak signifikan tidak ada beda nyata empb 400mg 0 vs 3 2,928 4,303 0,100 tidak signifikan 0 vs 10 7,826 4,303 0,016 tidak signifikan 3 vs 10 -0,348 4,303 0,761 tidak signifikan tidak ada beda nyata keterangan : signifikan jika t hit > t α/2, n-1 atau sig. < 0,05 empb = ekstrak metanol akar pasak bumi tabel 5. uji beda persentase kenaikan jumlah splenosit pada empat kelompok hewan uji berdasarkan kelompok dosis no uji beda t hitung t a/2, n-1 signifikansi keterangan 1 ki vs kii -9,664 4,303 0,011 signifikan 2 ki vs kiii -5,934 4,303 0,027 signifikan 3 ki vs kiv -3.070 4,303 0,092 tidak signifikan 4 kii vs kiii -0,056 4,303 0,960 tidak signifikan 5 kii vs kiv 14,761 4,303 0,005 signifikan 6 kiii vs kiv 1,864 4,303 0,203 tidak signifikan keterangan : signifikan jika t hit > t α/2, n-1 atau sig. < 0,05. empb = ekstrak metanol akar pasak bumi ki = kelompok akuades (kontrol negatif ) kii = kelompok dosis empb 100 mg/kg bb/hari kiii = kelompok dosis empb 200 mg/kg bb/hari kiv = kelompok dosis empb 400 mg/kg bb/hari 107 mutiara medika vol. 11 no. 2: 101-110, mei 2011 tabel 6 menunjukkan bahwa rerata persentase kenaikan jumlah splenosit mencit galur balb/c betina tertinggi pada hari ke-0 setelah infeksi ditemukan pada kelompok hewan uji yang diberi dosis ekstrak metanol akar pasak bumi 100 mg/kgbb / hari, yaitu sebesar 11,368%. selanjutnya, pada hari ke-3 setelah infeksi rerata persentase kenaikan jumlah splenosit tertinggi ditemukan pada kelompok dosis 200 mg/kg bb/hari, yaitu sebesar 10,433%. demikian juga untuk hari ke-10 pengujian rerata persentase kenaikan jumlah splenosit tertinggi ditemukan pada kelompok dosis 200 mg/kg bb/ hari, yaitu sebesar 8,907%. dengan demikian dapat dikatakan bahwa dosis 200 mg/kgbb/hari merupakan dosis yang paling efektif dalam meningkatkan persentase kenaikan jumlah splenosit te pada hewan uji yang diinfeksi l. monocytogenes karena cenderung ditemukan pada kiii, yaitu kelompok hewan uji yang diberi ekstrak metanol akar pasak bumi dengan dosis 200 mg/kg bb/hari. oleh karena itu, dapat pula dikatakan bahwa efektivitas ekstrak metanol akar pasak bumi dalam meningkatkan jumlah splenosit mencit galur balb/c betina yang diinfeksi oleh l. monocytogenes ditemukan pada dosis 200 mg/kg bb/hari. diskusi salah satu cara untuk mengetahui respon imun dari hospes adalah dengan uji transformasi blast. berbeda dengan uji fagositosis makrofag dan uji sekresi roi oleh makrofag dimana makrofag bertindak sebagai efektor maka uji proliferasi limfosit dengan parameter jumlah splenosit merupakan uji untuk mengetahui respon komponen pengatur pada sistem imun. limfosit t apabila distimulasi oleh antigen akan mengalami aktivasi, kemudian menghasilkan limfokin dan melakukan proliferasi. perbedaan limfokin yang sudah diketahui sebagai hasil dari aktivasi limfosit adalah ifn-γ, il-1, sampai il-13 dan granulocyte macrophage colony stimulating factor (gm_csf).12,13 limfokin-limfokin tersebut berperan penting pada tindak lanjut respon imun berikutnya, baik respon imun seluler maupun respon imun humoral untuk melindungi hospes.14 limfosit yang mengalami stimulasi kemudian mengalami perubahan biokemis maupun morfologis. secara biokemis terjadi pertambahan kecepatan metabolisme oksidatif dan sintesis protein dan rna. setelah 2-4 jam pasca stimulasi protein spesifik (ifn-g) diduga meregulasi proliferasi mulai terdeteksi dalam inti. secara morfologis terjadi perubahan yang disebut transformasi blast dengan tanda-tanda diameter sel bertambah, kromatin menjadi longgar dan terpulas pucat. dalam waktu 8-12 jam perubahan ini sudah dapat dilihat dengan mikroskop cahaya sebagai limfoblas.13 dengan demikian transformasi blast dapat dipakai sebagai petabel 6. hasil uji deskriptif pada empat kelompok hewan uji hari ke dosis (mg/kg bb/hari) ki kii kiii kiv rerata sd rerata sd hari kesd rerata sd 0 5.009 3,349 11,368 3,089 8,767 5,425 8,767 6,308 3 3,537 2,009 8,046 2,256 10,433 2,026 4,775 7,122 10 3,397 1,954 8,448 3,332 8,907 4,946 5,326 5,567 keterangan : empb = ekstrak metanol akar pasak bumi ki = kelompok akuades (kontrol negatif ) kii = kelompok dosis empb 100 mg/kg bb/hari kiii = kelompok dosis empb 200 mg/kg bb/hari kiv = kelompok dosis empb 400 mg/kg bb/hari 108 idiani darmawati, dkk., pengaruh ekstrak metanol akar pasak bumi ... nanda bahwa limfosit terpacu oleh nitrogen atau antigen. dari hasil penelitian diketahui bahwa besarnya persentase kenaikan jumlah splenosit pada masing-masing kelompok hewan uji ternyata sejalan dengan kadar ekstrak metanol akar pasak bumi yang diberikan pada kelompok hewan uji. ini menunjukkan bahwa semakin tinggi empb yang diberikan pada hewan uji, maka stimulasi terhadap persentase kenaikan jumlah splenosit juga semakin meningkat setelah hewan uji diinfeksi dengan l. monocytogenes. namun persentase kenaikan jumlah splenosit hanya terbatas pada kadar empb 200mg/kg bb/hari, sedangkan pada dosis empb 400mg/kg bb/hari, persentase kenaikan jumlah splenosit kembali mengalami penurunan. pada penelitian ini persentase kenaikan jumlah splenosit tertinggi ditemukan pada kelompok hewan uji yang diberi empb 200 mg/kg bb/hari pada hari ke-3 setelah infeksi. hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian khasanah pada tahun 2005.15 yang menunjukkan bahwa peningkatan aktivitas fagositosis makrofag tertinggi ditemukan pada kelompok hewan uji kiii (kelompok dosis 200 mg/kg bb/hari) pada hari ke-3 setelah infeksi. hasil penelitian ini semakin memperkuat hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa empb mampu berfungsi sebagai imunomodulator terhadap infeksi l. monocytogenes berdasarkan terjadinya peningkatan persentase jumlah splenosit. hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pada tahap awal setelah infeksi l. monocytogenes, semua kelompok menunjukkan persentase jumlah splenosit yang semakin meningkat dan mencapai puncak pada hari ke-3 setelah infeksi dan kemudian menurun pada pengamatan hari ke-10 setelah infeksi. hal ini menunjukkan bahwa l. monocytogenes merupakan immonugen yang mampu membangkitkan respon imun seluler alamiah hewan uji.10 persentase kenaikan jumlah splenosit pada semua kelompok perlakuan setelah mengalami peningkatan sampai puncak tertentu, kemudian akan mengalami penurunan. hal ini kemungkinan disebabkan umur sel limpa yang semakin tua sehingga kemampuan proliferasinya berkurang, kemudian sel limpa menjadi tidak aktif dan akhirnya akan mengalami apoptosis. kemungkinan lain adalah berhubungan dengan infeksi l. monocytogenes yang dapat merangsang produksi ifn-γ sehingga sangat mungkin jika peningkatan dan penurunan persentase jumlah splenosit pada penelitian ini antara lain disebabkan oleh peningkatan dan penurunan kadar ifn-γ. hal ini serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh triyono dalam akrom pada tahun 2004,16 yang menunjukkan bahwa aktivitas makrofag sebagai salah satu parameter lain dari respon imunomodulator untuk memfagositosis partikel lateks secara in vitro pada mencit yang diinfeksi dengan p. berghei akan meningkat sampai pada puncak tertentu yang kemudian mengalami penurunan. penelitian tersebut juga memperlihatkan bahwa gambaran aktivitas makrofag yang terjadi adalah sejalan dengan gambaran kadar ifn-γ serum, yaitu pada saat tercapainya puncak aktivitas makrofag ternyata juga terjadi puncak kenaikan kadar ifn-γ serum dan pada saat kadar ifn-γ turun maka aktivitas makrofag juga mengalami penurunan.16 hasil penelitian ini semakin membuktikan bahwa ekstrak metanol akar pasak bumi mampu berfungsi sebagai imunomodulator pada mencit galur balb/c betina yang diinfeksi 109 mutiara medika vol. 11 no. 2: 101-110, mei 2011 l. monocytogenes dengan parameter persentase kenaikan jumlah splenosit. peningkatan sampai puncak tertentu dan setelah itu akan mengalami penurunan kembali. dari sini terlihat bahwa persentase kenaikan jumlah splenosit pada hewan uji hanya bersifat sementara. akibat persentase kenaikan jumlah splenosit yang bersifat sementara tersebut, produksi limfokin tidak bisa optimal, sehingga pengaruhnya terhadap aktivitas sel-sel efektor juga bersifat sementara. 8 hasil penelitian ini juga mendukung penelitian yang telah dilakukan oleh akrom pada tahun 2004,16 yang menemukan bahwa modifikasi respon imun spesifik seluler akibat pemberian ekstrak etanol p. niruri, diantaranya adalah peningkatan proliferasi limfosit t, sehingga produk limfokin mengalami peningkatan dalam mengeliminasi mikroba. akrom pada tahun 2004.16 didalam penelitiannya dijelaskan bahwa uji aktivitas proliferasi limfosit merupakan uji untuk mengetahui respon komponen pengatur pada sistem imun. limfosit t apabila distimulasi oleh antigen akan mengalami aktivasi, kemudian menghasilkan limfokin dan melakukan proliferasi. berbagai limfokin yang sudah diketahui sebagai hasil dari aktivasi limfosit adalah ifn γ, il1, sampai il-13 dan granulocyte macrophage colony stimulating factor (gm-csf).12 limfokinlimfokin tersebut berperan penting pada tindak lanjut respon imun berikutnya, baik respon imun seluler maupun respon imun humoral untuk melindungi hospes.14 semakin tinggi aktivitas proliferasi limfosit semakin banyak produk limfokin yang dihasilkannya. berdasarkan hasil pengamatan di atas, menunjukkan bahwa empb memiliki efek stimulasi pada aktivitas proliferasi limfosit sehingga juga meningkatkan persentase jumlah splenosit. hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis 200 mg/kg bb/hari empb memiliki efek stimulasi optimal dalam meningkatkan persentase jumlah splenosit mencit galur balb/c betina pada hari ke-3 setelah infeksi. adapun persamaan antara p niruri dan pasak bumi adalah keduanya sama-sama mempunyai kandungan senyawa kimia alkaloid, yang diduga memiliki efek sebagai imunostimulansia.17 simpulan ekstrak metanol akar pasak bumi (e. longifolia, jack.) mampu menstimulasi kenaikan persentase jumlah splenosit mencit galur balb/c betina yang diinfeksi l. monocytogenes. ucapan terima kasih dengan selesainya penelitian ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada drs m. ghufron, m.s., prof. dr. drs. mustofa, apt., m.kes., dan universitas muhammadiyah yogyakarta. daftar pustaka 1. soemantri. pengalaman pengembangan fitofarmaka tumbuhan obat di pt. (persero) kimia farma. warta tumbuhan obat indonesia, 1993;2(2): 15. 2. ma’at s. pengujian bioaktivitas tanaman obat sebagai anti kanker. program pascasarjana surabaya: unair; 1999:86. 3. subowo. efek imunomodulator dari tumbuhan obat. warta tumbuhan obat indonesia. 1996; 3(1): 1-4. 4. olwin n. dan simanjutak jw. pengaruh ekstrak etanol pasak bumi (eurycoma longifolia, jack.) terhadap perilaku seksual mencit putih. cermin dunia kedokteran; 2005;146: 55-57. 110 idiani darmawati, dkk., pengaruh ekstrak metanol akar pasak bumi ... 5. qamariah n. aktivitas antiplasmodial in vitro ekstrak air eurycoma longifolia, jack, tinospora tuberculata, beumee, swietenia mahagoni, jacq dan azadirachta indica, a. juss. [unpublished thesis]. yogyakarta: program pascasarjana, ugm; 2002. 6. ueda j, tezuka y, banskota ah, tran q, harimaya y, saiki i, et al. antiproliferative activity of vietnamese medicine plants. biol pharm bull. 2002;25(6):753-60. 7. kuo pc. cytotoxic and antimalarial constituents from the root of eurycoma longifolia, jack. j. bioorg med chem. 2004;12 (3): 537-44. 8. abbas ak, lichtman ah, pober js. immunity to tumors. in: cellular and molecular immunology, edited by abbas ak, lichtman ah, pober js. 4th ed. philadelphia wb saunders co. 2000; p. 382-403. 9. satayavivad j, soonthornchareonnon n, somanabandhu a, thebtaranonth y. toxicological and antimalarial activity of eurycomalactone and eurycoma longifolia, jack. extract in mice. thai j. phytopharmacy. 1998 dec; 5(2):14-27. 10. pudjonarko d, susilaningsih n, dan sukmaningtyas h. pengaruh pemberian minyak ikan kaya omega-3 dan vaksinasi bcg terhadap daya bunuh makrofag (studi experimental pada mencit tua balb/c tua). media med indonesiana. 2004;39(1):11-7. 11. angriati p. uji sitotoksik ekstrak etanol 70% buah kemukus (piper cubeba, l.) terhadap sel hela. [unpublished thesis], universitas muhammadiyah surakarta; 2008; p 22. 12. supargiyono. proteksi terhadap infeksi malaria yang fatal pada mencit dengan vaksin malaria stadium darah. bik jil. xxvi. 1994(3); 125-136. 13. wijayanti ma. peranan makrofag dalam imunitas terhadap infeksi malaria: kajian kemampuan fagositosis dan sekresi reactive oxygen intermediates makrofag peritoneum mencit yang diimunisasi dan tidak diimunisasi in vitro. [unpublished thesis], yogyakarta: program pascasarjana, ugm; 1996. 14. angulo i, fresno m. cytokinesis in the pathogenesis of and protection against malaria, clinical and diagnostic laboratory immunology. 2002;(9)1145-1152. 15. khasanah n. pengaruh pemberian ekstrak metanol pasak bumi (eurycoma longifolia, jack.) pada respon imun seluler terhadap infeksi listeria monocytogenes: kajian aktivitas fagositosis dan sekresi nitric oxide (no) makrofag peritoneal mencit [unpublished thesis]. pascasarjana program studi ilmu kedokteran dasar, yogyakarta: universitas gadjah mada; 2005. 16. akrom. pengaruh pemberian ekastrak metanol herba meniran (p. niruri) terhadap respon imun seluler mencit yang diinfeksi oleh p. berghei : studi imunomodulator fitokimia. [unpublished thesis], yogyakarta: program pascasarjana, ugm; 2004; pp. 19-35. 17. mursito b.. membuat sediaan obat tradisional. dalam : ramuan medisional untuk kesehatan anak. jakarta: pt penerbit penebar swadaya anggota ikapi. 2002; 4-6. 39 | mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 21 no 1 page 39-44, january 2021 comparison of serum interleukin 10 levels between leprosy and non-leprosy population perbandingan kadar interleukin 10 pada penderita kusta bukan penderita kusta adika kodrati1, eddy mart salim1, zen hafy1 1faculty of medicinem, sriwijaya university, palembang data of article: received: 22 april 2019 reviewed: 19 jun 2019 revised: 13 april 2020 accepted: 12 feb 2021 *correspondence: dikafauzi4284@gmail.com doi: 10.18196/mmjkk.v21i1.6514 type of article: research abstract: leprosy is a chronic granulomatous infectious disease that attacks the peripheral nerves, skin, and other organs. the cytokine il-10 can deactivate macrophages, inhibit il-12 production, which also inhibits ifn-ϒ production. il10 directly inhibits cd4+t cells and antigen-presenting cell (apc) function in cells infected with m. leprae. the purpose of this study was to determine the differences in il-10 levels in leprosy patients and non-patients at dr. mohammad hoesin palembang hospital. this study used a case-control design for comparing 2 groups. respondents in this study were 80 people. the case samples were all leprosy patients who were treated at the dr. mohammad hoesin hospital, palembang for the period of january 16 february 16, 2019, while the control group was medical personnel and paramedics who worked at the same hospital. the examination was carried out using the elisa sandwich method. the results showed that there was a significant difference in il-10 levels between leprosy patients and non-leprosy leprosy (p=0.000). the average il-10 level in leprosy patients (13.24 pg/ml) was lower than that in non-patients (40.15 pg/ml). it is concluded that there is a difference in il-10 levels between leprosy patients and non-leprosy patients in leprosy sufferers are lower than non-leprosy persons. keywords: leprosy; interleukin 10 (il-10) abstrak: kusta merupakan penyakit infeksi granulomatosa kronis yang menyerang saraf tepi, kulit dan organ lain. sitokin il-10 memiliki kemampuan menonaktifkan makrofag, menghambat produksi il-17 dan ifn-ϒ. il-10 berfungsi menghambat cd4 + sel t, fungsi antigen presenting cells (apc) dalam sel yang terinfeksi m. leprae. tujuan penelitian mengetahui perbedaan kadar il-10 penderita kusta dan bukan penderita di rsup dr. mohammad hoesin palembang. penelitian ini menggunakan desain case control untuk membandingkan 2 kelompok. responden penelitian sebanyak 80 orang. sampel adalah semua penderita kusta yang berobat di rsup dr mohammad hoesin palembang periode 16 januari-16 febuari 2019, sedangkan kelompok kontrol adalah tenaga medis dan paramedis di rsup dr. mohammad hoesin palembang. pemeriksaan menggunakan metode elisa sandwich. hasil menunjukkan ada perbedaan signifikan kadar il-10 penderita kusta dan bukan penderita kusta (p=0.000). rata-rata kadar il-10 pada penderita kusta (13.24 pg/ml) lebih rendah dibandingkan dengan bukan penderita (40,15 pg/ml). disimpulkan terdapat perbedaan kadar il-10 antara penderita kusta dengan penderita bukan penderita kusta, yaitu pada penderita kusta lebih rendah dibandingkan bukan penderita kusta. kata kunci: kusta; interleukin, interleukin 10 mailto:dikafauzi4284@gmail.com vol 21 no 1 january 2021 40 | introduction morbus hansen (leprosy) is a chronic infection that attacks the peripheral nerves, skin and other organs.1 this disease, if not treated promptly, can also trigger psychosocial disorders due to negative stigma developed in the community. the causative agent of leprosyis spread through droplets.2 the etiology of leprosy, the mycobacterium leprae, is an acid-resistant, gram-positive, rod-shaped, obligate-aerobic bacteria which cannot be cultured on artificial intra cellular media. this microorganism was first discovered by gerhard armauer hansen in 1873.3 according to who data (2016), leprosy cases have increased from 211.973 in 2015 to 214.783 in 2016. as many as 94% of leprosy cases reported in only 14 countries with >1000 new cases annually. southeast asia is the region with the third highest leprosy burden in the world in 2015 with a total of 156.118 cases. in indonesia, leprosy cases were reported to be 17.025 and 17.202 in 2014 and 2015, respectively. interleukin 10 (il-10) is a cytokine that has an opposite role to il-17.4 these cytokines have the ability to deactivate macrophages, inhibit il-12 as well as ifn-ϒ production. in addition, il-10 directly inhibits cd4+ t cells and antigen presenting cells (apc) function in the m. leprae-infected cells.5 in lepromatous leprosy, th2 treg lymphocytes participate in the anti-inflammatory response and produce a number of cytokines, including il 10, which inhibit macrophage activation and facilitate the survival of m. leprae. according to ministry of health data in 2012, categorization of leprosy types is divided based on the ridley jopling and who classification system.6 ridley and jopling divided leprosy into several types, namely tuberculoid type (tt), borderline tuberculoid type (bt), mid-borderline type (bb), borderline lepromatous type (bl), and lepromatous type (ll).7 meanwhile, the who classification system simplified this categorization into paucibacillary (pb) and multibacillary (mb) type.8 the statement also provided similar statement leprosy is classified according to who and ridley-jopling classification system .1 a study conducted at kriplani sucheta hospital, showed that il-10 levels among leprosy patients were higher (59.48 pg/ml) compared to the control group (15.90 pg/ml).9 a similar statement was also expressed, where il-10 levels in leprosy patients were significantly higher (median of 10 pg/ml) compared to healthy controls (median of 2.5 pg/ml) with (p < 0.001).10 a study entitled “correlation of interlukin10 levels with bacterial index in leprosy patients who have received multidrug therapy (mdt) treatment performed demonstrated that il-10 levels were significantly higher among patients diagnosed with mb leprosy (median of 17.5 pg/ml) compared with pb leprosy (median of 13.3 pg/ml).11 the purpose of this study was to investigate the difference in serum il-10 levels between leprosy and healthy population. individuals who met the inclusion criteria for both case and control groups were recruited consecutively. material and methods this observational analytical study was performed using a case-control design which compared the cases group with its matched control group. blood samples were collected from all participants for laboratory assessment. this study included leprosy patients who visited dermatovenereology clinic of dr. mohammad hoesin hospital palembang and healthy medical personnel and families as the case and the control group, respectively. all the participants who met the inclusion criteria were recruited in a consecutive manner. the study was carried out for two months between january-february 2019. the minimum sample size was 80 subjects. mann whitney u test was performed as bivariate analysis to determine the difference between dependent and independent variables with the measurement scale being the ordinal and nominal difference test. vol 21 no 1 january 2021 41 | this study was conducted at a government hospital, after obtaining a research permit from the department of research and development of related institutions from january 16 to february 16, 2019. the minimum 80 samples were achieved by the end of the study period. all patients who met the inclusion criteria underwent comprehensive clinical interview and provided their written informed consent that has previously been approved by ethics committee of sriwijaya university with reference no. 298/ kepkrsmhfkunsri/2018 prior participation in this study. all participants who met the eligibility criteria underwent blood sample collection procedure for further il10 levels examination. the serum was derived from blood taken from the cubital vein using a disposable 3-cc syringe. the blood sample was then put in a red-capped vacutainer tube and was left at room temperature for ± 10 minutes. then the blood sample was transferred to the biomolecular laboratory of sriwijaya university. immediately following clot formation, the blood sample was centrifuged at 2000 rpm for 5 minutes. then the plasma was transferred to an eppendorf tube (rna nuclease free). the plasma was stored at -200c, until the required number of samples was obtained, il-10 examination was carried out using the elisa sandwich method at the biomolecular laboratory of sriwijaya university. results bivariate analysis a bivariate analysis was performed to determine the difference in serum il-10 levels between the case and the control group. for this regard, independent student t test or mann whitney u test was performed accordingly. characteristics of the study population the data showed that the mean age of leprosy and healthy subjects was 35 and 36.5 years, respectively. among leprosy patients, the proportion of males (n=27) was slightly higher than women (n=24). in details of the characteristic of respondents can be seen in table 1. table 1. characteristics of the study population characteristics leprosy group (40) control group (40) p-value age mean (years) 35 36.5 0.584 * age group 18-40 40-60 > 60 24 14 2 26 12 2 0.890 ** sex male female 27 13 16 24 0.014 ** ethnicity malay bataknese javanese bugis chinese 32 1 6 0 1 19 2 15 2 2 0.029 *** education uneducated primary school middle school high school 0 12 3 21 1 6 3 8 0.001 *** vol 21 no 1 january 2021 42 | college undergraduate school post-graduate school 1 3 0 2 18 2 occupation unemployed teacher employee housewife farmer driver laborer physician paramedic 4 1 16 11 1 2 5 0 0 0 0 2 9 5 0 2 18 4 0.001 *** duration of illness 0 5 years 610 years > 10 years 35 4 1 duration of mdt course no treatment pb 0 6 months pb>6 months mb 0 12 months mb> 12 months rom 2 3 0 19 9 7 * = independent t test ** = pearson chi square test *** = kolmogrov smirnov test table 2. comparison in serum il-10 levels between leprosy and control group study group median min max p-value leprosy 13.24 5.59 19.41 0.000 * non-leprosy 40.15 29.41 44.71 * = mann whitney u test table 2 shows that to determine the difference in il-10 levels between leprosy patients and healthy controls, the man whitney test was performed. table 2 shows that p-value of 0.000 indicating a significant difference in il-10 levels between leprosy and control group. the difference in il-10 levels in leprosy and control groups also demonstrated on the figure 10. that serum il-10 levels were lower in leprosy patients (13.24 pg/ml) compared non leprosy (40.15 pg/ml). vol 21 no 1 january 2021 43 | figure 10. serum il-10 levels among leprosy and healthy subject discussion the results of this case-control study showed that serum il-10 levels were lower in the case group (13.24 pg/ml) compared to the control group (40.15 pg/ml). administration of multi drug therapy (mdt) could result in suppression of bacterial index as well as reduced stimulation of specific immune response resulting in reduction of cytokines (including il-10) production among people with leprosy. this theory is supported by the evidence demonstrating that patients with higher bacterial index show higher il-10 levels. the research in 1998 also provided supporting evidence showing a positive correlation between il10 and the bacterial index.12 the study at 2011 showed that, among patients receiving mdt, m. leprae will be eradicated within several months in certain types of leprosy.13 this study showed contradictive results from the previous studies showing that il-10 levels were higher among leprosy patients. the research by madan et al in 20119 who previously conducted similar study at kriplani sucheta hospital showed that il-10 levels were found to be higher (59.48 pg/ml) among leprosy patients compared to healthy controls (15.90 pg/ml). same with research conducted by zenha and his collage which states that there is a decrease in bacterial index in leprosy patients who have received mdt therapy for 12-24 months.14 the study conducted by negera (2018) 15 stated that the use of prednisolone in people with leprosy who experienced a reaction could reduce the antibody to m. leprae. in this case, pprednisolones treatment after 1 month decreased productivity from il-10. vol 21 no 1 january 2021 44 | conclusion it was concluded that il-10 in leprosy patients was significantly lower than il-10 in non-leprosy patients. references 1. lee dj, rea th, modlin rl. leprosy. in: wolff k, goldsmith la, katz si, gilchrest ba, paller as, leffell dj. 2012. editors. fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 8th ed. new york: mc graw hill companies. 2012. 2253-63. 2. sehgal vn, joginder, slit-skin smear in leprosy. int j dermatol 1990; 29 (1): p. 9-16. 3. sandle t. global strategies for elimination of leprosy: a review of current progress. j anc dis prev rem 2013.1: e112. volume 1 • issue 4 • 1000e112j anc dis prev remissn:2329-8731 jadpr, an open access journal. 4. bertholet s, home dj, laughlin em, savlov m, tucakovic i, coler rn,et al, effect of cemotherapy on whole blood cytokine responses mycobacterium tuberculosis antigen in a small cohort of patient with pulmonary tuberculosis. clinical and vaccine immunology. 2011; 18 (8):1378-86 5. emizola fitri, sugiri yani jane, sartono teguh rahayu. kadar interleukin-10 dan interleukin-17 selama 6 bulan terapi antituberkulosis paru serta hubungan dengan keberhasilan terapi. 2015, jurnal respir vol.35:1. 6. kementerian kesehatan ri direktorat jenderalpengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. 2012. pedoman nasional program pengendalian penyakit kusta. 7. jopling w.h. 2011. hand book of leprosy.5 th ed new delhi:cbs. published & distributor. p.1-53, 92100. 8. world health organization. leprocy update 2015: time for action, accountabilityand inclusionno. 35. 2016. p. 405–420. apps. who.int/iris/bitsream/10665/249601/1/ wer9135.pdf. 9. madan, nk, agarwal, kl., chander, r., 2011, serum cytokine profile in leprosy and its correlation with clinico-histopathological profile, lepr rev (2011) 82, 371-382 10. attia eas, abdallah b, khateeb e, saad aa, lotfi ra, abdallah, shennawy de. serum th17 cytokines in leprosy:correlation with circulating cd4+cd25highfoxp3+ t-regs cells, as well asdown regulatory cytokine., arch dermatol res. 2014. 306:793-801, doi 10.1007/s00403-014-1486-2 11. eva krisna sutedja, jono hadi agusni, hartati purbo dharmadji. korelasi kadar interlukin-10 dengan indeks bakteri pada pasien kusta yang telah mendapat pengobatan multidrug therapy (mdt). 2016. vol 28 12. moubasher md, kamel na, zedan hatem, and raheem dea. cytokines in leprosy ii. effect of treatment on serum cytokines in leprosy. internasional journal of dermatology. 1998 13. tomioka h. immunology of leprosy-roles of cytokines in host defense against leprosy bacilli. in: makino m, matsuoka m, goto m, hatano k, editors. leprosy science working toward dignity. 1st ed.kanagawa: tokai university. 2011. p. 72-87. 14. zenha emr, ferreira man, foss nt. use of anti –pgl-1 antibodies to monitor therapy regimes in leprosy patients, braz j med res. 2009: 42 (10): p. 968-972. 15. negera e, tilahun m, bobosha k, lambert sm, walker sl, spencer sj., et al. (2018) the effects of prednisolone treatment on serological responses and lipid profiles in ethiopian leprosy patients with erythema nodosum leprosum reactions; published: december 28, 2018. 10 iwan aflanie.pmd 201 mutiara medika vol. 11 no. 3: 201-206, september 2011 perbandingan korelasi penentuan tinggi badan antara metode pengukuran panjang tibia perkutaneus dan panjang telapak kaki comparison of correlation in determining height between measurement method of tibia percutaneus lenght and foot palm length iwan aflanie bagian forensik dan medikolegal, fakultas kedokteran, universitas lambung mangkurat email: forensia@yahoo.co.id abstrak identifikasi adalah menentukan identitas orang yang masih hidup atau sudah meninggal, berdasarkan temuan khusus yang terdapat pada orang tersebut. penentuan tinggi badan memiliki arti yang penting dalam situasi dimana yang harus diperiksa hanya berupa potongan-potongan atau rangka tubuh, atau hanya sebagian dari tulang. perkiraan tinggi badan bisa diperoleh dengan menggunakan formula regresi. keakuratan dari formula regresi dalam menentukan tinggi badan seseorang dipengaruhi oleh pola dan proporsionalitas antara berbagai macam takaran dari berbagai bagian tubuh. telah diketahui bahwa konsep alometri. hubungan alometri diantara tulang – tulang adalah sistematis tapi tidak pasti. pola penelitian yang digunakan adalah analisis cross sectional. hasil yang dipantau berupa dalam bentuk persamaan regresi dan tingkat korelasi yang koefisien pada kedua bentuk persamaan. hasil analisi penelitian diselesaikan dengan cara membandingkan koefisien korelasi dari metode pengukuran tibia perkutaneus dan metode pengukuran panjang telapak kaki. hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa metode pengukuran panjang tibia perkutaneus memiliki korelasi yang lebih kuat terhadap tinggi tubuh seseorang dibandingkan metode pengukuran panjang telapak kaki. koefisien korelasi (r) pada metode pengukuran tibia perkutaneus senilai 0,756 untuk tibia kanan dan 0,726 tibia kiri, dengan bentuk persamaan regresi y = 68,499 + 2,632x untuk tibia kanan dan y = 71,921 + 2,529x untuk tibia kiri. koefisien korelasi (r) untuk metode pengukuran telapak kaki senilai 0,717 untuk telapak kaki kanandan 0,714 untuk telapak kaki kiri dengan bentuk persamaan regresi y = 73,613 + 3,781x untuk telapak kaki kanan dan y = 74,214 + 3,756x untuk telapak kaki kiri. kata kunci: panjang badan, panjang tibia perkutaneus, panjang telapak kaki abstract identification is stipulating or determining of dead or life person identity, based on distinctive feature founded on people. body height determination has important mean in the situation where which must be checked is body pieces or skeleton, or only part of bones. height estimation can be obtained by using formula of regression. accuracy of regression formula in determining a person height influence by pattern and proporsional between varios measure of part of the body. it is known by allometri concept. the allometri relation between bones are systematic but not exact. research design used is sectional cross analysis. the result observed is in the equation form of regression and level of correlation coefficient from both equation form. analysis of researh result done by comparing coefficient of correlation from tibia percutaneus measurement method and foot palm lenght measurement method. the result of this research showed that tibia percutaneus measurement lenght method has stronger correlation with height compared to measurement method of foot palm lenght. coefficient of correlation (r) of tibia percutaneus measurement method is 0,756 for right tibia and 0,726 for left tibia, with equation form of regression y = 68,499 + 2,632x for right tibia and y = 71,921 + 2,529x for left tibia. coefficient correlation (r) of foot palm lenght measurement method is 0,717 for right foot palm and 0,714 for left foot palm, with equation form of regression y = 73,613 + 3,781x for right foot palm and y = 74,214 + 3,756x for left foot palm. key words: body height, tibia percutaneus lenght, long of palm foot artikel penelitian 202 iwan aflanie, metode pengukuran panjang tibia ... gian yang terpisah-pisah, diperlukan teknik identifikasi yang memadai. pengukuran panjang tulang anggota gerak bagian bawah untuk memperkirakan tinggi badan merupakan teknik yang lazim digunakan.5,6 pada prinsipnya, panjang tulang kaki dan tangan manusia berbanding secara proporsional dengan tinggi badan. sehingga penentuan tinggi badan dapat dilakukan menggunakan rumus regresi, rumus regresi merupakan hasil dari analisis regresi.7 dalam kasus mutilasi tinggi badan dapat ditentukan secara tidak langsung berdasarkan panjang tulang anggota gerak atas dan anggota gerak bagian bawah.8 keakuratan dari sebuah rumus regresi dalam menentukan tinggi badan seseorang dipengaruhi oleh pola dan hubungan yang proporsional antara berbagai ukuran bagian tubuh, yang dikenal dengan konsep allometri. hubungan allometri antar tulang bersifat sistematis namun tidak eksak. pola hubungan ini berbeda antara satu populasi dengan populasi lainnya dan antara satu individu dengan individu lainnya. antara individu dan populasi bisa terdapat hubungan yang sesuai namun juga bisa tidak terdapat hubungan. yang sesuai. rumus regresi untuk tinggi badan biasanya menunjukkan pola yang cenderung menetap dalam polulasi yang memiliki nenek moyang (ras) yang sama.9 dengan melakukan analisis regresi dapat ditentukan bentuk persamaan (rumus) regresi untuk memperkirakan tinggi badan dari pengukuran panjang telapak kaki dan panjang tibia perkutaneus. akurasi dari kedua metode pengukuran tersebut dapat ditentukan dengan membandingkan tingkat korelasinya dengan tinggi badan sebenarnya. pendahuluan kecelakaan hebat yang berakibat fatal sering terjadi seiring dengan kemajuan di bidang transportasi. salah satu bentuk kecelakaan yang fatal adalah terpisahnya bagian-bagian tubuh manusia, seperti pada kasus kecelakaan kereta api. kejadian lain yang menyebabkan terpisahnya bagian-bagian tubuh manusia adalah mutilasi. mutilasi adalah pemotongan jasad manusia yang telah meninggal dunia hingga terpisah satu sama lainnya. kejadian mutilasi ini memiliki kecenderungan meningkat, yang mungkin disebabkan upaya pelaku untuk menghilangkan jejak dan identitas korban.1 penentuan identitas personal dengan tepat sangat penting dalam penyidikan karena adanya kekeliruan dapat berakibat fatal dalam proses peradilan.2 identifikasi adalah penentuan atau penetapan identitas orang hidup ataupun mati, berdasarkan ciri-ciri yang khas yang terdapat pada orang tersebut. identifikasi pada antropologi forensik meliputi penentuan ras, jenis kelamin, umur dan tinggi badan. bila ditinjau dari segi aspek medikolegal penentuan identitas melalui penentuan jenis kelamin dan tinggi badan seseorang memegang peranan yang sangat penting.3 penentuan tinggi badan menjadi penting artinya pada keadaan dimana yang harus diperiksa adalah tubuh yang telah terpotong-potong atau yang didapatkan rangka, atau sebagian tulang saja. pada umumnya perkiraan tinggi badan dapat dipermudah dengan pengertian bahwa tubuh manusia yang diperiksa itu pendek, sedang atau tinggi.4 dengan meningkatnya kejadian dan bencana misalnya kecelakaan yang menyebabkan terpotongnya bagian-bagian tubuh manusia menjadi ba203 mutiara medika vol. 11 no. 3: 201-206, september 2011 bahan dan cara desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional analitik. desain cross sectional analitik dipilih karena setiap subyek (jenazah) hanya diukur satu kali. populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah jenazah ras mongoloid yang ditangani di instalasi kedokteran forensik rs dr. sardjito yogyakarta. kriteria inklusi meliputi jenazah manusia ras mongoloid, laki-laki dan perempuan, usia 25 sampai 55 tahun, tidak memiliki cacat fisik yang dapat mempengaruhi proses pengukuran tinggi badan, panjang telapak kaki dan panjang tibia perkutaneus, ditangani di instalasi forensik rs dr. sardjito yogyakarta dari januari sampai dengan desember 2006, sampai jumlah sampel terpenuhi. kriteria eksklusi meliputi jenazah yang memiliki cacat fisik bawaan maupun didapat, seperti amputasi, luka bakar yang menyebabkan kontraktur, skoliosis, dan jenazah yang telah mengalami pembusukan sehingga menyebabkan tidak dapat dilakukannya pengukuran tinggi badan, panjang tibia perkuteneus dan panjang telapak kaki. subyek penelitian adalah jenazah ras mongoloid yang ditangani di instalasi kedokteran forensik rs dr. sardjito yogyakarta dari januari 2006 sampai desember 2006, yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. penentuan besar sampel dihitung berdasarkan rumus besar sampel untuk dua kelompok berpasangan sebagai berikut: n = (z α + z β) x sd 2 d tingkat kemaknaan yang diharapkan dalam penelitian ini (α) untuk uji 2 arah adalah 0,05 dan power (β) dalam penelitian ini adalah 80%, maka berdasarkan tabel diketahui zα dan zβ dalam penelitian ini masing-masing sebesar 1,960 dan 0,842. berdasarkan kepustakaan diperkirakan simpang baku selisih rerata (s d ) adalah 4 cm dan selisih pengukuran kedua cara yang bermakna adalah 2,5 cm. setelah dilakukan perhitungan didapatkan jumlah sampel minimal yang harus terpenuhi (n) adalah 42 orang. hasil pada periode 1 januari 2006 sampai 16 desember 2006 telah ditangani sebanyak 196 jenazah, 64 diantaranya memenuhi kriteria inklusi penelitian ini. terdiri dari 36 jenazah laki-laki dan 28 jenazah perempuan. umur termuda 25 tahun, sedangkan umur tertua 55 tahun. umur rata-rata 37,8 tahun (sd 9,12). tinggi badan rata-rata subyek penelitian 160,365 cm dengan standar deviasi 7,722 tabel 1. rerata hasil pengukuran tinggi badan, tibia perkutaneus dan telapak kaki no pengukuran x ± sd (cm) kolmogorov-smirnov nilai p 1 panjang badan 160,365 ±7,722 0,989 2 panjang tibia kanan 34,908 ±2,218 0,892 3 panjang tibia kiri 34,978 ±2,216 0,856 4 panjang telapak kaki kanan 22,944 ±1,465 0,923 5 panjang telapak kaki kiri 22,939 ±1,468 0,935 204 iwan aflanie, metode pengukuran panjang tibia ... tabel 3. tingkat signifikansi hubungan antar variabel berdasarkan uji anova pengukuran f hitung tinggi badan tingkat signifikansi panjang tibia kanan 82,815 0,001 panjang tibia kiri 68,906 0,001 panjang telapak kaki kanan 65,744 0,001 panjang telapak kaki kiri 64,469 0,001 cm. panjang tibia kanan rata-rata 34,908 cm dengan standar deviasi 2,218 cm dan panjang tibia kiri rata-rata 34,978 dengan standar deviasi 2,215 cm, tidak terdapat perbedaan bermakna antara hasil pengukuran tibia perkutaneus kanan dan kiri. panjang telapak kaki kanan rata-rata 22,944 dengan standar deviasi 1,465 cm dan panjang telapak kaki kiri rata-rata 22,939 dengan standar deviasi 1,468, tidak terdapat perbedaan bermakna antara hasil pengukuran panjang telapak kaki kanan dan kiri (tabel 1). seluruh data hasil pengukuran dalam penelitian ini tersebar secara normal. hal ini diketahui dari nilai probabilitas dari masing masing kelompok pengukuran yaitu jauh diatas 0,05 berdasarkan uji kolmogorov-smirnov (tabel 1). analisis regresi merupakan uji parametrik, dalam uji ini terdapat tiga syarat yang harus diperhatikan yaitu skala pengukuran variabel harus numerik, sebaran data harus normal dan adanya kesamaan varians. khusus untuk uji kelompok yang berpasangan kesamaan varians tidak menjadi syarat. pada penelitian ini syarat-syarat tersebut terpenuhi, jadi dapat dilakukan analisis regresi. diskusi bentuk persamaan regresi panjang tibia perkutaneus besar hubungan antara varibel tinggi badan dengan panjang tibia perkutaneus yang dihitung berdasarkan koefisien korelasi adalah 0, 756 untuk tibia kanan dan 0,726 untuk tibia kiri. hal ini menunjukkan hubungan yang erat (mendekati 1) antara panjang tibia perkutaneus dengan tinggi badan. arah hubungan yang positif (tidak ada tanda negatif pada angka 0,756 dan angka 0,726) menunjukkan semakin panjang tibia semakin tinggi tubuh seseorang, demikian pula sebaliknya (tabel 2). tingkat signifikansi koefisien korelasi satu sisi (diukur dari probabilitas) menghasilkan angka 0,001 atau praktis 0. oleh karena probabilitas jauh di bawah 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa korelasi panjang tibia perkutaneus dengan tinggi badan sangat nyata (tabel 2). hasil uji anova, didapat f hitung sebesar 82,815 untuk tibia kanan dan 68,906 untuk tibia kiri, dengan signifikansi 0,001. oleh karena probabilitas (nilai p) adalah 0,001 jauh lebih kecil dari 0,05, berarti terdapat korelasi yang bermakna antara dua variabel yang diuji, maka persamaan regresi tabel 2. tingkat korelasi tinggi badan dengan panjang tibia dan telapak kaki pengukuran korelasi pearson (r) tinggi badan tingkat signifikansi (1-tailed) panjang badan panjang tibia kanan 0,756 0,001 panjang tibia kiri 0,726 0,001 panjang telapak kaki kanan 0,717 0,001 panjang telapak kaki kiri 0,714 0,001 205 mutiara medika vol. 11 no. 3: 201-206, september 2011 dapat dipergunakan untuk memprediksi tinggi badan (tabel 3). selanjutnya dengan program komputer didapatkan persamaan regresi untuk tibia kanan adalah: y = 68,499 + 2,632x, dimana y adalah tinggi badan dan x adalah panjang tibia perkutaneus. koefisien regresi sebesar 2,632 menyatakan bahwa setiap peningkatan 1% panjang tibia perkutaneus akan meningkatkan tinggi badan sebesar 2,632%. persamaan regresi untuk tibia kiri adalah: y = 71,921 + 2,529x, dimana y adalah tinggi badan dan x adalah panjang tibia perkutaneus. koefisien regresi sebesar 2,529 menyatakan bahwa setiap peningkatan 1% panjang tibia perkutaneus akan meningkatkan tinggi badan sebesar 2,529%. bentuk persamaan regresi panjang telapak kaki besar hubungan antara varibel tinggi badan dengan panjang telapak kaki yang dihitung berdasarkan koefisien korelasi adalah 0,717 untuk telapak kaki kanan dan 0,714 untuk tibia kiri. hal ini menunjukkan hubungan yang erat (mendekati 1) antara panjang telapak kaki dengan tinggi badan. arah hubungan yang positif (tidak ada tanda negatif pada angka 0,717 dan angka 0,714) menunjukkan semakin panjang telapak kaki semakin tinggi tubuh seseorang, demikian pula sebaliknya (tabel 2). tingkat signifikansi koefisien korelasi satu sisi (diukur dari probabilitas) menghasilkan angka 0,001 atau praktis 0. oleh karena probabilitas jauh di bawah 0,05, maka dapat disimpulkan korelasi panjang telapak kaki dengan tinggi badan sangat nyata (tabel 3). hasil uji anova, didapat f hitung sebesar 65,744 untuk telapak kaki kanan dan 64,469 untuk telapak kaki kiri, dengan signifikansi 0,001. oleh karena probabilitas (nilai p) adalah 0,001 jauh lebih kecil dari 0,05, maka persamaan regresi dapat dipergunakan untuk memprediksi tinggi badan (tabel 3). selanjutnya dengan program komputer didapatkan persamaan regresi untuk telapak kaki kanan adalah: y = 73,613 + 3,781x, dimana y adalah tinggi badan dan x adalah panjang telapak kaki. koefisien regresi sebesar 3,781 menyatakan bahwa setiap peningkatan 1% panjang tibia perkutaneus akan meningkatkan tinggi badan sebesar 3,781%. persamaan regresi untuk telapak kaki kiri adalah: y = 74,214 + 3,756x, dimana y adalah tinggi badan dan x adalah panjang telapak kaki. koefisien regresi sebesar 3,756 menyatakan bahwa setiap peningkatan 1% panjang telapak kaki akan meningkatkan tinggi badan sebesar 3,756%. arah korelasi positif (tanda +) pada kedua bentuk persamaan regresi diatas menyatakan semakin besar nilai satu variabel semakin besar pula nilai variabel lainnya. semakin panjang telapak kaki semakin tinggi pula tubuh seseorang. berdasarkan hasil penelitian di atas tampak bahwa panjang tibia perkutaneus memiliki tingkat korelasi yang lebih kuat terhadap tinggi badan dibandingkan dengan panjang telapak kaki. hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa tulang panjang memiliki korelasi yang lebih tinggi dengan tinggi badan seseorang dibandingkan dengan tulang pendek. simpulan penentuan tinggi badan dengan metode pengukuran panjang tibia perkutaneus dan panjang tela206 iwan aflanie, metode pengukuran panjang tibia ... pak kaki dapat digunakan untuk membantu memprediksi tinggi badan seseorang, dimana pengukuran panjang tibia perkutaneus memiliki korelasi lebih kuat terhadap tinggi badan seseorang dibandingkan dengan pengukuran panjang telapak kaki. diperlukan penelitian lebih lanjut pada tempat dan populasi berbeda untuk mengetahui keterandalan bentuk persamaan regresi yang diperoleh. perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui perbedaan tingkat akurasi antara pengukuran panjang tibia perkutaneus dan telapak kaki pada jenazah dan orang hidup. daftar pustaka 1. kosebardiati, gj. estimasi tinggi dan berat badan berdasarkan ukuran kaki: analisis regresi. bunga rampai ilmu kedokteran forensik dan medikolegal. semarang. 2002; 108. diterbitkan dalam rangka konas iii pdfi. 2. budiyanto a, widiatmaka w, sudiono s, winardi t, mun’im a, sidhi, et al. identifikasi forensik. ilmu kedokteran forensik. ilmu kedokteran forensik fakultas kedokteran universitas indonesia. 1997;197-202. 3. mall g., hubig m, buttner a, kuznik j, penning r, graw m. sex determination and estimation of stature from the long born of arm. national library of medicine. 2001; 117:23-30. 4. idries am. identifikasi. pedoman ilmu kedokteran forensik. bina rupa aksara. 1997; 3252. 5. koshy s, vettivel kg, selvaraj. estimation of length of calcanaeum and talus from their bony markers. forensic sciene international. 2002; 129(3):200-204. 6. ozaslan a, yasar a, ozaslan h, turcu, sermet koc. estimation of stature from body parts. forensic sciene international. 2003;132(1):4045 7. indriati e. penentuan tinggi badan. antropologi forensik. gadjah mada university press, yogyakarta. 2004;78-80. 8. mohanty nk. prediction of height from percutaneous tibial length amongst oriya population. forensic science international. 1998; 98(3):137-141. 9. sorg mh. forensic anthropology. forensic science an introduction to scientific and investigative technique. 2005;99-118. 66 | mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 21 no 1 page 66-70,january 2021 correlation between cup and optic nerve disc ratio with high myopia hubungan rasio cup dan diskus nervus optikus dengan myopia tinggi nur shani meida,1 ahmad ikliluddin,2 yunani setyandriana,3 nadia dina ayu4 1,2,3 department of ophthalmology, medical study program, faculty of medicine and health sciences, universitas muhammadiyah yogyakarta. 4 students of medical study program, faculty of medicine and health sciences, universitas muhammadiyah yogyakarta. data of article: received: 13 april 2020 reviewed: 13 dec 2020 revised: 28 dec 2020 accepted: 20 feb 2021 *correspondence: nurshani_meida@yahoo.com doi: 10.18196/mmjkk.v21i1.8615 type of article: research abstract: high myopia is one of the risk factors for glaucoma, which is often accompanied by abnormalities in the fundus due to excessive stretching. the object of the study is to determine correlation between cup ratio and optic nerve disc with high myopia. this is a non-experimental research, analytic observational with cross-sectional study design. the subjects were patients with myopia with more than – 6.00 diopters at the kebumen eye center clinic and purbowangi gombong hospital. data collection was carried out in january august 2019. the respondents were 30 people, consisting of 14 men (46.7%), 16 women (53.3%), with an average age of 33.07 ± 18.04 years. mean refraction of right eye (od / ocular dextra) were -10.72 ± 4.82 diopters and left eye (os / ocular sinistra) were -10.27 ± 4.52 diopters. the results of the correlation test using spearman test showed that there is no significant correlation (od p 0.115; os p 0.118) between the cup ratio and optic nerve disk with high myopia. it conclude that there is no significant correlation between cup ratio and optic nerve disc with high myopia. keywords: cup and optic nerve disc ratio; high myopia abstrak: miopia tinggi dapat menjadi faktor risiko terjadinya glaukoma dan sering terdapat kelainan fundus akibat peregangan mata yang berlebihan. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara rasio cup dan diskus nervus optikus dengan myopia tinggi. penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental, observasional analitik, dengan rancangan cross-sectional. subjek penelitian adalah pasien high miop lebih dari -6,00 dioptri di klinik kebumen eye centre dan rs purbowangi gombong. data diambil pada bulan januari agustus 2019. pada penelitian ini terkumpul 30 orang responden yang terdiri atas 14 laki laki (46,7%), 16 perempuan (53,3%), dengan rerata umur 33,07 ± 18,04 tahun. rerata refraksi mata kanan (od/ophthalmic dextra) 10,72 ± 4,82 dioptri dan mata kiri (os/ophthalmic sinistra) -10,27 ± 4,52 dioptri. hasil uji korelasi spearman test menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan (od p 0,115; os p 0,118) antara ratio cup dan diskus nervus optikus dengan miopia tinggi. disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara rasio cup dan disk nervus optikus dengan miopia tinggi. kata kunci: rasio cup dan diskus nervus optikus,miopia tinggi vol 21 no 1 january 2021 67 | introduction myopia is a vision problem that is caused by an overly strong accommodation force from the refractory media of the eye or because the axis of the eyeball is too long, causing the focus of the shadows to fall in front of the retina. most types of myopia are due to the axis of the eyeball that is too long (myopia axis). every 1 mm axis lengthening will cause myopia 3 diopters.1 myopia is the most common refractive disorder. the high myopia is a refractive disorder that can be one of the risk factors for glaucoma ( can caused irreversible blindness). in high myopia (more than 6 diopters or extended axis more than 2 mm) often accompanied by abnormalities of the back of the fundus (posterior polus) eyeball due to excessive stretching. some previous studies have shown that the optic nerve papilla with myopia can resemble the optic nerve papilla with glaucoma, especially in terms of the cup ratio and optic nerve disc.1-4 the formulation of the problem in this study is whether there is a relation between cup and optic nerve disc ratio with high myopia for screening incidence of glaucoma in high myopia. the benefit of this study is to see the incidence of glaucoma in high myopia so it can perform the screening of blindness due to glaucoma. materials and method this study is a non-experimental observational analytic method with a cross-sectional study design. the study was conducted at the kebumen eye center clinic and purbowangi gombong hospital, in the period of january to august 2019. the study population was all high myopia patients (more than -6.00 diopters) aged 15-70 years. the sample of the study were all myopia patients which met the inclusion criteria. the patients who had undergone eye / laser eye surgery procedures, patients with opacified refractive media or other eye diseases that affected the retina and optic nerve papilla and female patients who were pregnant will exclude from the study. statistical analysis using the spearman rank correlation test was performed to determine the relationship between cup and the optic nerve disc ratio with high myopia.5 the determination of significance is based on the p value, where if the p value is <0.05, it is interpreted that there is a significant relationship, and vice versa. result there are 30 respondents involved in this study, with criteria of suffering from high myopia> -6.00 diopters. the majority of respondents were > 40 years old (43,3%) as shown in table 1. respondents mean age 33.07 ± 18.04 years old and consisted of 14 men (46.7%) and 16 women (53.3%) as shown in table 2. patients suffer of high myopia with a mean of -10.27 ± 4.52 diopters in the right eye (od / ocular dextra), and mean of -10.72 ± 4.82 diopters in the left eye (os / ocular sinistra) with the frequency distribution of samples as shown in table 3. the majority respondents (86%) have ratio of cup and optic nerve disc is 0.3 and it is normaly. the frequency distribution of ratio cup and optic nerve disc as shown in table 4. table 1. distribution of sample frequencies by age age category frequency precentage < 20 12 40 20 – 40 5 16.7 >40 13 43.3 total 30 100 table 2. the frequency distribution of the sample by gender gender frequency precentage male 14 46.7 female 16 53.3 total 30 100 68 | vol 21 no 1 january 2021 table 3. the frequency distribution of refractive disorders (high myopia) reafractive disorders (diopters) od os -6.00 sd -10.00 20 (66.7%) 21 (70%) -11.00 sd -15.00 5 (16.7%) 4 (13.3%) -16.00 sd -20.00 4 (13.3%) 4 (13.3%) -21.00 sd -30.00 1 (3.3%) 1 (3.3%) total 30 (100%) 30 (100%) table 4. frequency distribution ratio of the cup and the optic nerve disc cup ratio and optic nerve disc (od/os) od os 0.3/0.3 26 (86.7%) 26 (86.7%) 0.4/0.4 2 (6.7%) 2 (6.7%) 0.5/0.5 1 (3.3%) 2 (6.7%) 0.6/0.6 1 (3.3%) 0 (0%) total 30 (100%) 30 (100%) figure 1. female patient, 25 years old , spherical od refraction abnormalities -19.00 d and spherical os -18.00 d with an ods cd ratio of 0.3 / 0.3, images of the crescent myopic fundus and retinal degeneration. figure 2. female patient, 13 years old , spherical od refraction abnormalities -10.5 d, spherical os -9.25 d with a cd ratio of 0.6 / 0.6 suspected glaucoma. the results of the correlation test using the spearman test showed that there was no significant correlation (p > 0.01) between the cup and optic nerve disk ratio with high myopia. therefore, it shows that its has weak correlation strength (r 0.29). discussion high myopia as a risk factor of glaucoma. the fundus (posterior pollus) of the eyeball in high myopia can be found in the expansion of the cup ratio and optic nerve papilla disc, changes in the position and slope of the optic disc, depigmentation around the optic disc, so that it appears thinning sclera and retina, images of myopic crescent, conus myopicus, posterior staphyloma, and myopic degeneration in the optic and retinal nerve papilla, macular degeneration, macular holes, macular bleeding, even retinal detachment, changes in the glassy body in the form of melting resulting in turbidity such as optic nerve and retinal nerve or threads (floaters) felt by the patient.6-8 correlation between cup and optic disc ratio in high myopia still controversial. this study reports that there is no significant relationship between cup of disk ratio and high myopia with weak correlation. this vol 21 no 1 january 2021 69 | shows that it is not automatically that patients suffering from high myopia will have a dilated cup of disk ratio. in this study it that there was a patient with a very high myopia -19.00 d but the cup of disc ratio was still within normal limits. qiu (2013)9 reported that glaucoma were not significanly increased in subject with mild myopia, moderate myopia and severe myopia. the adjusted odds of vertical cup-to-disc ratio greater than or equal to 0,7 were not significantly increased in subject with mild myopia, moderate myopia and severe myopia. the results of this study differ from some previous studies which said that high myopia was a risk factor for glaucoma (with a dilated cup of disc). some literature says that myopia is one of the risk factors for glaucoma. some previous studies have explained that the optic nerve papilla with myopia can resemble the optic nerve papilla with glaucoma, especially in terms of the cup and optic nerve disc ratio.2 other studies report that even mild myop can be a risk factor for glaucoma. suzuki and colleagues (2002) observed that narrow-angle and open-angle glaucoma was found in the correction refraction average of 2.12 diopters. davenport’s research (1999)10 conducted on 1500 glaucoma sufferers found 316 patients had 3 diopters refraction abnormalities. chen (2002)6 found that glaucoma occurred in myopia < 6 diopters. the presumption from friedman (1994)10 that the role of myopia as a risk factor in glaucoma has been investigated but the results cannot yet be explained. perkins and phelps in one study said that myopia eyes were more susceptible to the effects of increased intraocular pressure compared to non-myopia eyes and thus became a risk factor for glaucoma. glaucoma that results from refractive abnormalities is related to the anatomy of the eyeball. in myopia, the patient's eyeballs will increase in length and cause an increase in intraocular pressure (iop).11 a recent study said within high myopia, glaucoma prevalence increased with larger optic disc size beyond a disc area of 3.8 mm2. highly myopia megalodisc had a 3.2 times higher risk for glaucomatous optic nerve neuropathy. increased frequency of glaucomatous optic neuropathy (gon) in axially elongated eyes was associated with the size of the optic disc. gon was detected more frequently in highly miopia with an enlarged optic disc than in high miopia with a normal-sized optic nerve head. in the high myopia (cutt of -8 dopters or an axial length of 26,5 mm), the optic disc area enlarge, the lamina cribosa thus enlarges in area and decreases in thickness.12-14 the clinical diagnosis of glaucomatous changes in the high myopia optic nerve head is difficult due to the marked changes in the optic nerve head appearance by myopia itself. glaucomatous optic nerve damage maybe detected late in the course of the disease.15 conclusion there is no significant relations between cup and optic nerve disc ratio with high myopia acknowledgement thank you to the faculty of medicine and health sciences universitas muhammadiyah yogyakarta who encourage for the publication of this manuscript references 1. hartono. diktat refraksi. yogyakarta: badan penerbit fakultas kedokteran universitas gadjah mada; 2006. 2. leung ck, cheng ack, chong kkl, leung ks, mohamed s, lau csl. optic disc measurements in myopia with optical coherence tomography and confocal scanning laser ophthalmoscopy. invest ophthalmol vis sci. 2007; 48: 3178-3183. 3. iorga re, costin d. high myopia and glaucoma a challenge in diagnosis, review, medical surgical journal. 2018;122 (4). 729-736 4. balitbangkes kemenkes ri. pokok-pokok hasil riskesdas provinsi daerah istimewa yogyakarta. jakarta : lembaga penerbitan badan litbangkes; 2013 5. dahlan s. besar sampel dan cara pengambilan sampel dalam penelitian kedokteran dan kesehatan, salemba medika. jakarta; 2009. p.34-39. 70 | vol 21 no 1 january 2021 6. chen sj, lu p, zhang wf, lu h. high myiopia as a risk factor in primary open angle glaucoma, int. j.ophtalmol. 2012; 5 (6) : 750-753. 7. lee jy, sung kr, hau s, na jh. effect of myopia on the primary open angle glaucoma, invest ophthalmol vis sci. 2015;56 (3): 1775-1781. 8. dimitri t. azar md. american academy of ophthalmology 2015-2016: clinical optics. basic clinical and science course sect.3. section chair; 2013-2014. 9. qiu m, wang sy., singh k, lin sc. association between myopia and glaucoma in united stated population, invest. ophthalmol. vis. sci. 2013; 54 (1) : 830-835. 10. friedman e. 1994. aging changes of the sclera. in: albert dm, jakobiee fa. eds. principles and practice of ophtahalmology. basic sciences. philadelphia: wb saunders co., 1994;726-727 11. bowling, brad. kanki’s clinical ophthalmology; 2015. p. 928. 12. jonas jb, webwe p, nagaoka n, ohno-matsui k.. glaucoma in high myopia and parapapillary delta zone, plos one. 2017; 12 (4), e0175120. 13. nagaoka n, jonas jb, morohoshi k, moriyame m, shimadu n, yoshida t, et al. glaucomatous type optic disc in high myopia, plos one. 2015; 10 (10):e0138825. 14. wang yx, jonas jb. optic nerve anantomy in myopia and glaucoma, including parapapillary zones alpha, beta, gamma and delta: hystology and clinical features. prog retin eye res. 2020 dec 9;100933. doi: 10.1016/j.preteyeres.2020.100933 15. jonas jb, jonas sp, ohno-matsui k. glaucoma in high myopia, update on myopia, (pp.241-255). januari 2020. doi : 10.1007/978-981-13-8491-2 11 mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm ©2018 mmjkk. all rights reserved vol 18 no 2 hal 71-76 juli 2018 the radiology characteristic of pleural thickening lesion: mesothelioma compared to the other pleural diseases karakteristik gambaran radiologi lesi penebalan pleura : mesothelioma dibanding penyakit pleura yang lain ana majdawati department of radiology, faculty of medicine and health science, universitas muhammadiyah yogyakarta data naskah: masuk: 13 jan 2018 direviu: 16 feb 2018 direvisi: 21 apr 2018 diterima: 10 jun 2018 *korespondensi: ana.majdawati@umy.ac.id doi: 10.18196/mm.180219 tipe artikel: laporan kasus abstract: mesothelioma is a malignancy pleural mass characterized by pleural thickening, that difficult to distinguish from other pleural disorders, such as infection, asbestosis, pleural effusion/empyema. this case report is interesting and important because chest x-ray and chest ct have characteristics of pleural abnormalities that can be used as guidelines for the diagnosis of mesothelioma. a 56 years old woman with cough, chest pain and breathlessness since a few days ago, and it was getting worse. in the chest auscultation, vesicular voices weaken in both lungs. in chest x ray finding a thin opacity on both hemithorax. the left sinus costophrenicus was blunt. chest ct finding a pleural thickening in the posterobasal of the chest wall and disseminating to the mediastinum – paraaortic and found an osteodestruction of rib bones. pleural thickening is circumferensial, lobulated, irregular nodular opasities and calsification. the histopathology is malignant epitheloid cell forms a cohesive nest, glandular structure and a lot of micropapillae in accordance with malignant mesothelioma. malignant pleural thickening has lesion characteristic of “irregular nodular opacities” on the periphery with or without pleural effuse in chest x ray and in chest ct shows the form of lesions are circumferential, lobulated, encase lung parenchyma. keywords: pleural thickening; characteristic of lesions; chest x ray; chest ct scan; mesothelioma abstrak: mesothelioma adalah massa pleura maligna yang ditandai oleh penebalan pleura. penebalan pleura ini sulit dibedakan dengan penyakit yang menyebabkan penebalan pleura lainnya, seperti yang disebabkan infeksi, asbestosis, efusi pleura / empiema. laporan kasus ini menarik dan penting karena hasil radiografi toraks dan ct scan toraks menunjukkan karakteristik lesi yang sesuai dengan mesothelioma dan dapat dibedakan dengan karakteristik lesi penebalan pleura pada kasus dengan penyebab yang lain. dilaporkan seorang wanita 56 tahun dengan keluhan batuk, nyeri dada dan sesak napas sejak beberapa hari yang lalu, dan semakin parah. auskultasi dada terdengar suara vesikular melemah di kedua paru, terutama di basal paru. radiografi toraks tampak opasitas tipis pada kedua hemitoraks, sinus costophrenicus kiri tumpul. hasil ct scan toraks, terdapat penebalan pleura di posterobasal dinding dada dan menyebar ke mediastinum termasuk paraaortic. tampak osteodestruksi costa 7.8 kiri posterolateral. penebalan pleura bersifat circumferensial, lobulated, opasitas nodular irreguler, kalsifikasi (+). hasil pemeriksaan histopatologi ditemukan sel epiteloid ganas membentuk sarang kohesif, struktur kelenjar dan banyak mikropapilla sesuai dengan mesothelioma ganas. radiografi toraks menunjukkan penebalan pleura ganas memiliki karakteristik lesi mailto:ana.majdawati@umy.ac.id 72 | vol 18 no 2 juli 2018 "opasitas nodular irregular" pada dinding dada dengan atau tanpa efusi pleura. karakteristik mesothelioma pada ct scan dada menunjukkan lesi dapat bersifat circumferensial, lobulated dan melingkupi paru. kata kunci: penebalan pleura; karakteristik lesi; radiografi toraks; ct scan toraks; mesothelioma introduction the case of mesothelioma is a case that is quite common in mining or industrial environments and the most common age is 40-50 years with a peak age of 70 years. in the united states the incidence of mesothelioma cases is found in many men compared to women with an incidence of 15 cases per million. diagnosis of mesothelioma is not easy, because the course of the disease is long so that the characteristics of radiological lesions both plain radiographs and ct thoracic scans are very important to diagnose this case early.1,2 the mesothelioma is a mass of malignant in pleural, characterized by the pleural thickening that is radiologically difficult to be distinguished from other pleural diseases. the thickening of pleural can be focal and diffuse which is malignant or benign depending on the cause. the mesothelioma is diffuse thickening of the pleural which dissemina-ting in the hemithorax and is malignant and unilateral.1,3 the differential diagnosis of mesothelioma is a thickening of the diffuse benign pleural caused by infection, namely empyema and tuberculosis. in the chest x ray, pleural is non-visualized organ and it becomes visualized when there is thickening. the presence of pleural thickening is commonly in parietal pleural or visceral pleural which can be benign or malignant, and it can be classified based on its morphology, i.e. focal, diffuse and nodular. mesothelioma is a malignant mass in pleural which is the thin tissue lining that covering the lung, chest wall, cardiac and testis.3,4 this case is interesting and important because it has a chest x ray and chest ct finding are clear for mesothelioma cases. this case report aims to determine the characteristics of radiological lesions based on chest x ray and chest ct scan on pleural thickening according to the cause and type of lesion which disseminating. therefore the diagnostic and placement of pleural thickening can be executed immediately to reduce the complications and decrease the morbidity and mortality rates. case report a 56 years old woman with some complaint were cough, chest pain and breathlessness. the patient living near to the asbestos factory and her husband worked there. the patient felt the complaint since a few days ago, and it was getting worse. the patient looked weak and thin, was suffering breathless and chest retraction. in the chest auscultation, vesicular voices weaken in both lungs, especially in the basal. furthermore, the cardiac, abdomen and system of extremities were normal. in chest x ray, it could be seen a thin opacity on both hemithorax. the bronchovascular marking in both lungs was faint/blurred, especially the right side. the sinus costophrenicus of the left lung was blunt, and the bilateral pleural thickening existed in the second side of the hemithorax in laterobasal aspect. moreover, it was found an osteodestruction of rib bones 7.8 left posterolateral. the mediastinum was in the middle, and the size of cardiac was normal (figure 1. and figure 2.). in chest ct scan, there was pleural thickening in the posterobasal of the chest wall and disseminating to the mediastinum-paraaortic (figure 2.) figure 1. the chest x ray of lungs condition: there was a faint opacity in both lungs, sinus costo-phrenicus of left lung was blunt and the pleural thickening existed figure 2. axial ct scan of thorax, soft tissue window | 73 in the axial chest ct scan, there was isodense lesions on the lobulated, classification (+) in posteromedial bilateral chest wall, especially in the left side, which disseminating and infiltrating the rib bones to the posterior and affecting the muscles around the thoracic vertebral bone (m. erector spinae), right posterolateral infiltration of the rib bone to the outside of the chest wall. the isodense lesions were disseminating from the anterior to the mediastinum (retrocardial) and peri-aorta descendens. it can be seen the osteodestruction rib bone 7,8 right and left posterior aspects. sagittal chest ct scan shows the inhomogeneous isodense with the irregular surface, and the classification (+) is wider to the direction of the posterior infiltration bone system of thoracic vertebrae. the thoracic vertebrae bone shows minimum osteodestruction. coronal chest ct scan shows isodense lesions in the form of amorphous, irregular edge is getting wider in chest wall posteromedial aspect. the lesion is getting wider up to medial to the direction of thoracic per vertebrate. the conclusion of chest ct scan: the lesion leads to mesothelioma (pleural mass tend to be malignant) with osteodestruction of costa dan corpus of thoracic vertertebrae 7-10. lesions sampling is conducted by using guiding of chest ct scan. then, the preparation and the examination of histopathology is conducted. the results are malignant epitheloid cell forms a cohesive nest, glandular structure and a lot of micropapillae in accordance with malignant mesothelioma (epitheloid mesothelioma). (a) (b) figure 3. a) axial ct scan, nodular pleural thickening (white arrow), b) sagittal chest ct scan of the soft tissue. it can be seen the irregular in the diaphragm (white arrow) figure 4. coronal chest ct scan with soft tissue condition 74 | vol 18 no 2 juli 2018 figure 5. histopathology (hematoxylin-eosin, 200x) : malignant epithelial cells forms a cohesive nest, glandular structure and a lot of micropapillae in accordance with malignant mesothelioma (epitheloid mesothelioma) a) b) figure 6. a) nodular pleural thickening (white arrow). b) pericardial, pleural thickening, a “shaggy” cardiac silhouette (white arrow) and diaphragm irregularity “ill-defined diaphragmatic contours” (black arrow) (radio graphics 2014; 34:1692–1706) discussion how are the characteristic of the description of radiology in the chest x ray and ct scan in the mesothelioma compared to other pleural disorders (tuberculosis and fungal infections)? several pleura disorders in the chest x ray have some benign or malignant characteristics and are caused by infection or not. the pleura lesion characteristics in the chest x ray are based on their causes. those are malignant mesothelioma signed by the irregular nodular picture which is seen in the chest wall periphery part with or without pleural effusion. pleural effusion in the mesothelioma is usually unilateral, the thickening of pleura is massive and getting wider through the fissure interlobar.4,5,6 mesothelioma encases the lung surface (lung encasement) causing the lung‘s volume decreases “loss of lung volume”, diaphragm elevation, mediastinum and retraction of hemithorax and spatial intercostal in the lesion area. pleural thickening is in the form of nodular (nodular pleural thickening), circumferential and pleural wall thickening is more than 1 cm. pericardial, pleural thickening looked irregular is called by a “shaggy” cardiac silhouette, and the surface of the diaphragm which is looked irregular and non-slippery edges is called by “ill-defined diaphragmatic contours”. pleural thickening in mesothelioma is sometimes accompanied by plaque /classification which looks lined up. the location of the pleural thickening in mesothelioma usually is in the part of lung basal or medio basal hemi | 75 thorax.3,6,7,8,9,10 chest ct scan in the mesothelioma shows more clearly than chest x ray. pleural thickening as well as pleural effusion and pleural classification as well as lymphonodi around hillus or mediastinum look more clearly and can be differentiated. the spread of lesion in the mesothelioma both intrathoracic and extrathoracic, and bone and soft tissue involvement around the lesion can be better assessed.3,8 chest ct scan can assess the mesothelioma in more detail, pleura thickening circumferential (sensitivity 41%, specificity 100%), parietal pleural thickening > 1 cm (sensitivity 36%, specificity 94%), nodularity (sensitivity 51%, specificity 94%) and the involvement of mediastinum pleural (sensitivity 56%, specificity 88%).3 diffuse pleural thickening which is benign is caused by asbestosis, the side effect of radiotherapy and infections (the most frequent is tuberculosis and empyema). asbestos is a particle which is very small (it’s different from the dust particle in general). it can go through lung filtration system and enter the lungs, embedded in the pleura and another area such as interstitium. thus, it causes inflammation and the formation of pleural plaque or “scarring”. pleural thickening in tuberculosis usually occur in the lungs apex and accompanied by fibrosis tissue in the pulmonary parenchyma. the classification is usually in the thickening pleura, and it can happen in the pulmonary parenchyma in the form of calcification nodules.5,6,7,8,9,10 conclusion pleural thickening leading to a malignant and benign lesion on chest x ray and ct scan has a different characteristic. malignant mesothelioma (malignant pleural thickening) has lesion characteristic of “irregular nodular opacities” that can be seen on the periphery with or without pleural effuse. the characteristic of mesothelioma on the chest ct scan shows the lesion in the form of circumferential, lobulated, encase lung parenchyma. the soft tissue mass often occurs on the interlobar fissure of pleural classification, especially on the thoracic wall of the basal aspect. pleural thickening which leads to benign has the characteristic that depends on its causes. pleural thickening caused by the infiltration of asbestos in the lungs and pleura has a description as a scar on the hemithorax wall with its specific location can be anywhere on this wall. asbestosis is the classification of bilateral pleura and diffuse pleural thickening. pleural thickening caused by the infection of tuberculosis has a characteristic of fibrosis tissue with classification and location usually are in the lungs apex. this benign pleural thickening usually involves the lesion in the pulmonary parenchyma accompanied by consolidation with fibroinfiltrate and calcification. ethical consideration tha chest ct scan examination has received approval from the patient and his family contributors radiographers of rs pku muhammadiyah gamping, yogyakarta contributed to data collection. i contributed to analysis of the case and revision of manuscript and approved the final manuscript. references 1. luciano c, francesco a, dario g, nicola s, edoardo p and andrea v. diagnostic imaging and workup of malignant pleural mesothelioma. acta biomed 2017; vol. 88, n. 2: 134-142 doi: 10.23750 2. frank em. mesothelioma: a review. ochsner j. 2012 spring; 12(1): 70–79. 3. downer nj, ali nj, au-yong ith. investigating pleural thickening. bmj, 2013; 346 (jan03 1): e8376–e8376. 4. wang zj, reddy gp, gotway mb, higgins cb, jablons dm, ramaswamy m, et al. malignant pleural mesothelioma: evaluation with ct, mr imaging, and pet. radiographics 2004; 24:105– 119 5. alfudhili km, lynch da, laurent f, ferretti gr, dunet v, beigelman-aubry c. focal pleural thickening mimicking pleural plaques on chest computed tomography: tips and tricks. br j radiol, 2016; 89 (1057): 20150792. 6. nickell lt, lichtenberger jp, khorashadi l, abbott gf, carter bw. multimodality imaging for characterization, classification and staging of malignant pleural mesothelioma. radiographics, 2014; 34 (6): 1692–706. 7. aziz f. radiological findings in a case of advance staged mesothelioma. j thorac dis, 2009; 1 (1): 46-7. 8. great britain, department for work and pensions. diffuse pleural thickening. 2016. at: https://www.gov.uk/government/ publications/diffuse-pleural-thickening-iiac-report. 9. kim yk, kim js, lee kw, yi ca, koo jm, jung sh. multidetector ct findings and differential diagnoses of malignant pleural mesothelioma and metastatic pleural diseases in korea. korean j radiol 2016;17(4):545-553 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc3307510/ https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22263002 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22263002 76 | vol 18 no 2 juli 2018 10. ilsen b, vandenbroucke f, -aubry cb, brussaard c and mey jd. review article comparative interpretation of ct and standard radiography of the pleura. journal of the belgian society of radiology, 100(1): 106, pp. 1–10, doi: http://dx.doi.org/10.5334/jbr-btr.1229 7 mutiara medika edisi khusus vol. 7 no.1: 07 17, april 2007 daya antifungi ekstrak etanol daun beluntas (pluchea indica, l.) terhadap malassezia sp. secara in vitro antifungal activity of the ethanol extract of pluchea indica, l. leaves against malassezia sp. in vitro rengganis krisna putri1, inayati habib2 1fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta, 2bagian mikrobiologi fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta abstract one of herbal medicine candidate which in developing as antifungal is pluchea indica, l. its leaves believed can cure the cough, decrease the fever and also body odor, increase the appetite and also facilitate the digestion. the contain of the leaves are flavonoid, essential oil and saponin that are supposed to have antifungal activity towards malassezia sp. tinea versicolor is an infection in human caused by malassezia, sp. the study aims to determine antifungal activity of the ethanol extract of pluchea indica leaves against malassezia, sp.and compare with ketoconazole as a positive control. the research on antifungal activity of the ethanol extract of pluchea indica leaves against malassezia, sp. has been conducted. an examination towards minimal inhibitory concentrations (mic) and minimal fungicidal concentrations (mfc) is done to determine antifungal activity. mic of ethanol extract of p. indica leaves and ketoconazole were determined by macro-broth dilution method, while mfc were determined by cell culture on sda (sabaroud dextrose agar) plate. first concentration of ethanol extract of p. indica leaves was 25 % and ketoconazole was 50 %. all of the examination were repeated three times. the result shows that both of mic and mfc of the ethanol extract of p. indica leaves are 3,125 %. the mic and mfc of ketoconazole are 6,25 %. in conclusion, the ethanol extract of p. indica leaves has a higher antifungal activity against malassezia, sp. than ketoconazole. key words: pluchea indica, ketoconazole, malassezia, antifungal abstrak obat tradisional yang mungkin dapat dikembangkan sebagai anti jamur adalah beluntas (pluchea indica, l). daun beluntas dipercaya berkhasiat sebagai penurun panas, obat batuk, penghilang bau keringat, menambah nafsu makan (stomakik) dan membantu pencernaan. daunnya mengandung flavonoid, saponin dan minyak atsiri yang diduga memiliki daya antifungi terhadap malassezia, sp.. malassezia, sp.. tinea versikolor adalah infeksi pada manusia yang disebabkan oleh malassezia, sp..tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya daya antifungi ekstrak etanol daun beluntas (p. indica, l.) terhadap malassezia, sp. dan perbandingan daya antifungi ekstrak daun beluntas dan ketokonazole terhadap malassezia, sp. rengganis krisna putri, inayati habib, daya antifungsi ekstrak etanol .............................. 8 pendahuluan indonesia merupakan negara kedua terkaya di dunia dalam hal keanekaragaman hayati dengan 950 spesies diantaranya diketahui memiliki fungsi biofarmaka yaitu potensi sebagai obat, makanan kesehatan, nutraceuticals, baik untuk manusia, hewan maupun tanaman.1 potensi yang besar ini jika tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya tidak akan berfaedah, sehingga harus dipikirkan agar penggunaan tanaman obat disertai pula dengan usaha pelestariannya untuk menunjang penggunaan yang berkelanjutan.1 program pemerintah di bidang kesehatan menekankan bahwa pemeliharaan dan pengembangan pengobatan tradisional harus terus ditingkatkan. usaha pengembangannya dilakukan melalui penggalian dan penelitian yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. hal tersebut harus diikuti dengan usaha budi daya tanaman obat tradisional untuk menjaga kelangsungan hidup tanaman obat tradisional tersebut. selama sepuluh tahun terakhir ini, obat tradisional dan yang berasal dari tumbuhan mendapat perhatian yang semakin meningkat. hal ini antara lain terbukti dengan meningkatnya jumlah industri obat tradisional dan fitofarmaka setiap tahunnya, serta adanya kemauan politik pemerintah melalui kebijakan daya antifungal dikaetahui dengan pengujian terhadap kadar hambat minimal (khm) dan kadar bunuh minimal (kbm) ekstrak daun beluntas terhadap jamur. khm ekstrak daun beluntas diukur dengan menggunakan metode dilusi cair, sedangkan pengukuran kbm dilakukan dengan kultur sel pada media sda (sabaroud dextrose agar). konsentrasi awal ekstrak daun beluntas (p. indica, l.) sebesar 25 % dan ketokonazole sebesar 50 %. semua pengujian dilakukan sebanyak tiga kali pengulangan. hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai khm dan kbm ekstrak daun beluntas (p. indica, l.) keduanya sebesar 3,125 %. ketokonazole mempunyai khm dan kbm keduanya sebesar 6,25 %. kesimpulan penelitian adalah ekstrak daun beluntas (p. indica, l.) mempunyai daya antifungi terhadap malassezia, sp. lebih besar dibandingkan dengan ketokonazole. kata kunci : pluchea indica, ketokonazole, malassezia, daya antifungi departemen kesehatan ri dalam usahausaha yang mendukung perkembangan obat tradisional indonesia.2 pemanfaatan penelitian di bidang kesehatan di indonesia sampai saat ini belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat terutama bagi masyarakat di daerah terpencil. hal ini membawa dampak banyak masyarakat yang menjadikan obat tradisional sebagai suatu alternatif untuk tujuan menjaga kesehatan maupun untuk pengobatan sendiri. obat tradisional adalah ramuan bahan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, hewan dan mineral, sediaan sarian (campuran dari bahan tersebut) yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan.2 obat tradisional telah lama digunakan masyarakat indonesia dan sampai hari ini masih dimanfaatkan pada pengobatan di rumah tangga dengan menggunakan tumbuhan yang ada disekitar rumah. pengobatan dengan obat-obat tradisional dapat digolongkan sebagai teknologi tepat guna karena bahan-bahan yang dipakai terdapat disekitar masyarakat itu sendiri, mudah didapat, murah, serta mudah dalam pengolahan dan pemakaiannya. hal ini didukung oleh tersedianya sumber daya alam yang melimpah di indonesia. serangkaian pencarian dan penggalian untuk obat anti jamur telah banyak dilakukan. salah satu perhatian terhadap obat tradisional yang mungkin dapat dikembangkan sebagai anti jamur adalah beluntas (pluchea indica, l). 9 mutiara medika edisi khusus vol. 7 no.1: 07 17, april 2007 tanaman yang biasa digunakan sebagai pagar hidup ini mempunyai sifat khas berbau langu/baunya khas (sengir) dan berasa getir. tanaman ini bermanfaat menurunkan suhu tubuh untuk mendinginkan tubuh sehingga banyak keringat yang keluar dan suhu tubuh menjadi turun. daun beluntas menurut hasil penelitian mempunyai fungsi antibakteri dan antioksidan serta berpotensi untuk dikembangkan sebagai pengawet makanan dan obat.2 selain itu, daun beluntas juga berkhasiat sebagai obat penurun panas, obat batuk, penghilang bau keringat, menambah nafsu makan (stomakik) dan membantu pencernaan.2 daun dan bunga p. indica mengandung minyak atsiri, saponin, flavonoida dan polivenol, selain itu bunganya juga mengandung alkaloid yang bertindak sebagai antiseptic. dalam ilmu farmasi, flavonoid berfungsi sebagai senyawa aktif antiradang, mengurangi rasa nyeri, antitumor, antivirus hiv, antidiare, antikeracunan hati, anti jamur, antioksidan, mencegah penyempitan pembuluh darah, merangsang kekebalan dan antiborok/ bisul.2 malassezia, sp. adalah jamur ragi lipofilik yang dapat ditemukan pada kulit dan permukaan tubuh manusia dan hewan. jamur ini merupakan flora normal kulit pada tetapi apabila jumlahnya melebihi yang seharusnya dapat menimbulkan infeksi mikosis superfisial maupun sistemik. ada 7 spesies dalam genus malassezia yang telah diidentifikasi berdasarkan molekuler, morfologi dan profil biokimianya, tetapi spesies yang sering dijumpai adalah malassezia furfur. ptyriasis versikolor salah satu infeksi yang ditimbulkan olehnya.3 sehubungan dengan adanya indikasi bahwa daun beluntas (p. indica, l) memiliki daya anti jamur, maka perlu dilakukan penelitian tentang daya antimikotik daun beluntas (p. indica, l). tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya daya antifungi ekstrak etanol daun beluntas (p. indica, l.) terhadap malassezia, sp. dan perbandingan daya antifungi ekstrak daun beluntas dan ketokonazole terhadap malassezia, sp. bahan dan cara jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratorium. penelitian dilaksanakan tahun 2007 di laboratorium mikrobiologi fakultas kedokteran umy. bahan penelitian adalah kultur jamur malassezia, sp. 106 cfu/ml. bahan ini diperoleh dari laboratorium mikrobiologi bagian ilmu kesehatan kulit dan kelamin rs dr. sardjito yogyakarta. alat–alat yang digunakan dalam penelitian adalah inkubator, tabung reaksi, rak tabung reaksi, ose bulat steril, kapas steril sebagai penutup tabung, water-bath, oven, tabung erlenmeyer, tempat kerja (laminar airflow), autoclave untuk sterilisasi, lampu spiritus, petri disk steril, mikropipet, pipet dan timbangan. sedangkan bahan – bahan yang digunakan adalah ekstrak etanol daun beluntas, ketokonazole, malassezia, sp., media cyg broth, arlan i, sabouroud dextrose agar, methanol, nacl fisiologis steril, larutan mc f dan akuades steril. variabel bebas adalah konsentrasi ekstrak etanol daun beluntas dan ketokonazole, sedangkan variabel tergantung adalah pertumbuhan malassezia, sp. kultur malassezia, sp. dibuat dengan cara malassezia, sp. dibiakkan pada media sabouroud dextrose agar kemudian diinkubasi selama 48 jam pada suhu 30-37ºc. pertumbuhan malassezia, sp. dari hasil biakan diambil ± 1 ose malassezia, sp., ditanam pada 2 ml media cyg, dan diinkubasi selama 3-5 jam pada suhu 30-37ºc. suspensi malassezia, sp. dibuat dengan cara menambahkan nacl pada media cyg tersebut hingga kekeruhan sesuai standar mc farland i yakni konsentrasi kuman sebesar 108 cfu/ml. kemudian suspensi tersebut diencerkan sebanyak 100 kali sehingga didapat konsentrasi malassezia, sp. sebesar 106 cfu/ml. pembuatan ekstrak daun beluntas dilakukan oleh staf lembaga penelitian dan pengujian terpadu (lppt) ugm. daun beluntas (pluchea indica, l. less) yang telah dikumpulkan dicuci dengan air mengalir. kemudian daun beluntas rengganis krisna putri, inayati habib, daya antifungsi ekstrak etanol .............................. 10 dikeringkan di almari pengering suhu 45°c selama 24 jam, lalu diserbuk dengan mesin penyerbuk dengan saringan diameter lubang 1 mm. serbuk daun beluntas ditambah etanol 96% diaduk selama 30 menit diamkan 24 jam, disaring. ulangi 3 kali. filtratnya diuapkan dengan vacuum rotary evaporator, pemanas water bath suhu 70°c maka akan diperoleh ekstrak kental. kemudian tuang dalam cawan porselin, keringkan dalam almari pengering suhu 50°c. akhirnya akan didapatkan ekstrak etanol daun beluntas. daun beluntas dengan berat ± 3000 gram diperlukan ethanol sebanyak 2,5 liter sehingga diperoleh ekstrak daun beluntas sebanyak ± 55 gram. ekstrak daun beluntas tersebut merupakan ekstrak dengan konsentrasi 100%. kemudian dilakukan pengenceran menggunakan pbs tween 80 pada suhu dingin, sehingga diperoleh ekstrak daun beluntas dengan konsentrasi 25% yang merupakan konsentrasi awal yang digunakan pada penelitian ini. pengenceran ketokonazole dengan cara menghancurkan 2 mg ketokonazole dalam 100 ml metanol. lakukan pengenceran dengan menambahkan 1 ml aquades steril pada 1 ml ketokonazole dengan konsentrasi 20 ìg/ml. ketokonazole tersebut merupakan konsentrasi awal pada penelitian ini yaitu 50%. uji daya antifungi ekstrak bawang putih dilakukan dengan cara sebagai berikut a) disiapkan 11 tabung steril, beri nomer 111 pada masing – masing tabung, letakkan tabung pada rak tabung, b) dimasukkan 1 ml akuades steril dalam tabung dari no.2 s/ d no.9, c) dimasukkan 1 ml ekstrak daun beluntas 25 % pada tabung no.1. d) ditambahkan 1 ml ekstrak daun beluntas 25 % pada tabung no.2, dicampur sampai homogen. masukkan 1 ml dari larutan tersebut pada tabung no.3, dicampur sampai homogen. setelah itu, ambil 1 ml larutan homogen dari tabung 3 ke tabung no.4. lakukan pengenceran ekstrak daun beluntas dengan cara yang sama sampai tabung no.9, sisa pengenceran dimasukkan dalam tabung no.10, e) ditambahkan pada tabung no.1 s/d no.9 dan tabung no.11 masing-masing 1 ml suspensi malassezia, sp. dengan konsentrasi 106 cfu/ml, f) diinkubasi seluruh tabung selama 48 jam pada suhu 35°c, g) diamati kekeruhan yang terjadi dan tentukan berapa khm-nya, h) khm akan ditunjukkan pada tabung sub kultur yang jernih dengan konsentrasi terendah. i) masing – masing konsentrasi yang dapat menghambat pertumbuhan malassezia, sp. (isi tabung jernih) digoreskan pada media sabouroud dextrose agar dan diinkubasi selama 48 jam pada suhu 35ºc, j) diamati ada tidaknya pertumbuhan malassezia, sp. dan tentukan berapa kbm-nya, k) kbm akan ditunjukkan dengan tidak adanya pertumbuhan jamur pada media nutrient agar dengan konsentrasi terendah, l) dilakukan percobaan diatas sebanyak tiga kali untuk menjaga reliabilitas. keterangan 1) tabung no.10 berisi sisa pengenceran ekstrak daun beluntas sebagai kontrol negatif, 2) tabung no.11 berisi 1 ml suspensi malassezia, sp. dengan konsentrasi 106 cfu/ml sebagai kontrol positif. uji daya antifungi ketokonazole dilakukan dengan cara yang sama dengan uji daya antifungi ekstrak daun beluntas dengan konsentrasi awal ketokonazole sebesar 50% kadar hambat minimal dihitung berdasarkan konsentrasi terendah tabung jernih. kadar bunuh minimal dihitung berdasarkan konsentrasi tabung yang jernih, kemudian sel–sel dikultur pada media sda dan diinkubasi selama 48 jam pada suhu 35oc, dilihat pertumbuhan malassezia, sp.. data dianalisis dan dibahas dengan membandingkan setiap perlakuan. analisis hasil penelitian berupa analisis deskriptif dan bersifat kuantitatif hasil dari penelitian yang meliputi penentuan khm dan kbm dari ekstrak daun beluntas (p. indica,l) terhadap malassezia, sp. secara in vitro, sebagai upaya untuk mengetahui aktivitas antimikrobanya diperoleh hasil sebagai berikut. 11 mutiara medika edisi khusus vol. 7 no.1: 07 17, april 2007 hasil penelitian untuk mengetahui khm diperoleh dengan mengamati tabung subkultur yang tidak menunjukkan adanya pertumbuhan jamur (jernih) pada konsentrasi terendah. dan jika tabung subkultur terlihat keruh maka terjadi pertumbuhan jamur. sedangkan kbm diperoleh dengan mengamati media nutrien agar yang tidak menunjukkan adanya pertumbuhan jamur pada konsentrasi terendah. pertumbuhan malassezia, sp. setelah diberi ekstrak daun beluntas (p. indica,l.) dan diinkubasi selama 48 jam pada suhu 35ºc dapat dilihat pada gambar 1. gambar 1. malassezia, sp. pada tabung serial dilusi ekstrak daun beluntas pada gambar di atas terlihat bahwa tabung subkultur yang jernih terakhir terdapat pada tabung ketiga. khm ekstrak daun beluntas (p. indica,l.) terhadap jamur malassezia, sp., diperoleh dengan melakukan pengulangan sebanyak tiga kali dengan konsentrasi yang berbeda. hasil rata-rata kadar hambat minimal ekstrak daun beluntas (p. indica,l.) terhadap jamur malassezia, sp. dapat dilihat pada tabel 1. tabel 1. rerata kadar hambat minimal ekstrak daun beluntas (p. indica,l.) terhadap jamur malassezia, sp. uji khm ekstrak daun beluntas (p. indica,l.) terhadap malassezia, sp. ( % ) 1 3,125 2 3,125 3 3,125 rerata 3,125 rengganis krisna putri, inayati habib, daya antifungsi ekstrak etanol .............................. 12 dari tabel 1. terlihat bahwa rerata nilai khm ekstrak daun beluntas (p. indica, l.) terhadap malassezia, sp. sebesar 3,125 %, hal ini menunjukkan bahwa ekstrak daun beluntas (p. indica, l.) mampu menghambat pertumbuhan malassezia, sp. pada kadar minimal sebesar 3,125 %. sedangkan kbm diperoleh dengan cara mengamati tidak adanya pertumbuhan jamur pada media sabouroud dextrose agar (sda) dengan konsentrasi terendah. pertumbuhan jamur secara makroskopik malassezia, sp. pada media sda yang diambil dari tabung subkultur jernih setelah pemberian ekstrak daun beluntas (p. indica, l) dan diinkubasi 24 jam pada suhu 35°c dapat dilihat pada gambar 10. pada gambar di atas dapat dilihat bahwa terdapat pertumbuhan jamur malassezia, sp. di tabung subkultur jernih yang keempat. hal ini menandakan bahwa nilai kadar bunuh minimal terdapat pada tabung subkultur ketiga. kadar bunuh minimal ekstrak daun beluntas (p. indica, l.) terhadap jamur malassezia, sp., diperoleh dengan melakukan pengulangan sebanyak tiga kali dengan konsentrasi yang berbeda. hasil rerata kadar bunuh minimal ekstrak daun beluntas (p. indica,l.) terhadap jamur malassezia, sp. dapat dilihat pada tabel 2. tabel 2. kadar bunuh minimal ekstrak daun beluntas (p. indica,l.) terhadap jamur malassezia,sp. uji kbm ekstrak daun beluntas (p. indica,l.) terhadap malassezia, sp. ( % ) 1 3,125 2 3,125 3 3,125 rerata 3,125 gambar 2. pertumbuhan malassezia, sp. pada sabouroud dextrose agar (sda) 13 mutiara medika edisi khusus vol. 7 no.1: 07 17, april 2007 pada tabel 2. di atas terlihat bahwa rerata nilai kbm ekstrak daun beluntas (p. indica, l.) terhadap malassezia, sp. sebesar 3,125 %, hal ini menunjukkkan bahwa ekstrak daun beluntas (p. indica, l.) mampu membunuh pertumbuhan malassezia, sp. pada kadar minimal sebesar 3,125 %. hasil penelitian untuk melihat ada tidaknya pertumbuhan jamur malassezia, sp. setelah diberi ketokonazole sebagai obat pembanding, dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35ºc dapat dilihat pada gambar 11. pada gambar 3. tersebut terlihat bahwa tabung sub kultur yang jernih terakhir terdapat pada tabung ketiga. khm ketokonazole terhadap jamur malassezia, sp., diperoleh dengan melakukan pengulangan sebanyak tiga kali dengan konsentrasi yang berbeda. hasil rerata khm ekstrak daun beluntas (p. indica, l.) terhadap jamur malassezia, sp. dapat dilihat pada tabel 3. dari tabel 3 terlihat bahwa rerata nilai khm ketokonazolee terhadap malassezia, sp. sebesar 6,25 %, hal ini menunjukkan bahwa ketokonazolee mampu menghambat pertumbuhan malassezia, sp. pada kadar minimal sebesar 6,25 %. pengamatan dilanjutkan dengan melihat pertumbuhan jamur malassezia, sp. pada media sabouroud dextrose agar (sda) yang diambil dari tabung subkultur jernih setelah pemberian ketokonazolee dan diinkubasi 24 jam pada suhu 35°c. hasil pengamatan dapat dilihat pada gambar 12. gambar 3. malassezia, sp. pada tabung serial dilusi ketokonazole uji khm ketokonazole terhadap malassezia, sp. ( % ) 1 6,25 2 6,25 3 6,25 rerata 6,25 tabel 3. rerata kadar hambat minimal ketokonazole terhadap jamur malassezia, sp. rengganis krisna putri, inayati habib, daya antifungsi ekstrak etanol .............................. 14 gambar 4. menunjukkan bahwa terdapat pertumbuhan jamur malassezia, sp. di tabung subkultur jernih yang keempat. hal ini menandakan bahwa nilai kbm terdapat pada tabung subkultur ketiga. kadar bunuh minimal ketokonazole terhadap gambar 4. pertumbuhan malassezia, sp. pada media sda jamur malassezia, sp., diperoleh dengan melakukan pengulangan sebanyak tiga kali dengan konsentrasi yang berbeda. hasil rerata kbm ketokonazole terhadap jamur malassezia, sp. dapat dilihat pada tabel 4. tabel 4. rerata kadar bunuh minimal ketokonazole terhadap jamur malassezia,sp. pada tabel 4. terlihat bahwa rerata nilai kbm ketokonazole terhadap malassezia, sp. sebesar 6,25 %, hal ini menunjukkkan bahwa ketokonazole mampu membunuh pertumbuhan malassezia, sp. pada kadar minimal sebesar 6,25 %. diskusi hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun beluntas (p. indica,l.) dengan ekstrak etanol mempunyai daya antimikotik terhadap malassezia, sp. kadar hambat minimal ekstrak daun beluntas (p. indica,l.) terhadap malassezia, sp. sebesar 3,125%. hasil ini diperoleh dari rata-rata konsentrasi ekstrak daun beluntas dalam menghambat malassezia, sp. yang relatif sama. dalam penelitian ini, untuk menentukan khm suatu antimikotik digunakan metode makro broth dilution. makin besar nilai khm suatu antijamur maka potensinya makin kecil dalam menghambat pertumbuhan jamur. dalam menentukan khm dengan makro broth dilution menemui kesulitan karena ekstrak daun beluntas yang keruh sehingga sulit dibedakan apakah kekeruhan itu berasal dari adanya pertumbuhan jamur dalam tabung tersebut atau ekstrak daun beluntasnya yang keruh, sehingga untuk memastikannya dilakukan pengujian menggunakan isolasi pada sabaroud agar. uji kbm ketokonazole terhadap malassezia, sp. ( % ) 1 6,25 2 6,25 3 6,25 rerata 6,25 15 mutiara medika edisi khusus vol. 7 no.1: 07 17, april 2007 kadar bunuh minimal ditentukan dengan melihat koloni pada media sabouroud dextrose agar. nilai rata-rata kbm ekstrak daun beluntas (p. indica,l.) terhadap malassezia, sp. sebesar 3,125%. hal ini menunjukkan bahwa ekstrak daun beluntas mempunyai daya antifungi yang mampu menghambat dan membunuh pertumbuhan jamur dengan kadar minimal yang sama yaitu 3,125 %. pada penelitian yang telah dilakukan oleh herdayanti pada tahun 2005 ditemukan beberapa senyawa kimia yang terdapat dalam ekstrak etanol daun beluntas (p. indica, l) antara lain saponin, flavonoid dan minyak atsiri. 4 penelitian yang serupa juga dilakukan oleh herliyani (2006), yang hasilnya menunjukkan bahwa pada ekstrak etanol daun beluntas (p. indica, l.) terdapat senyawa saponin dan flavonoid tetapi tidak dengan senyawa alkaloid.5 penelitian ini juga membuktikan bahwa ekstrak etanol daun beluntas dapat membunuh candida albicans pada konsentrasi 20 %. hal ini menunjukkan bahwa kadar daya antimikotik daun beluntas terhadap candida albicans jauh lebih besar daripada daya antimikotik daun beluntas terhadap malassezia, sp.. berarti daun beluntas lebih efektif digunakan sebagai fungisidal terhadap candida albicans dibandingkan terhadap malassezia, sp. daun p. indica mengandung minyak atsiri dengan komponen utama, yaitu camphor, α-pinene, benzyl alkohol, benzyl asetate, eugenol, linalool dan δ-cadinol. terpenoid juga diidentifikasi antara lain terdapat 3-(2’,3’-diacetoxy-2’-methylbutyril) cuauhtemone, linaloyl apiosyl glucoside, 9hydroxylinaloyl glucoside, plucheoside a dan b, 6-hydroxydammar-6-en-3-acetate dan dammadienol. selain itu juga terdapat quercetin dan quercetin-3-riboside sebagai komponen flavonoid. minyak atsiri dari daun, didilusi dengan polyethylene glycol menunjukkan aktivitas antimikrobial terhadap bakteri staphyloccocus aureus dan escherichia coli, jamur patogen seperti microsporium gypseum dan candida albicans serta jamur non-patogen pithium ultimum dan xanthomonas campestris.6 saponin merupakan zat yang dapat meningkatkan permeabilitas membran sehingga terjadi hemolisis sel, apabila saponin berinteraksi dengan sel jamur maka dinding sel jamur tersebut akan pecah atau lisis.7 flavonoid merupakan senyawa fenol yang mempunyai kecenderungan utuk mengikat protein jamur, sehingga menghambat aktivitas enzim jamur yang pada akhirnya mengganggu proses metabolisme.7 minyak atsiri mempunyai sifat menghambat dan merusak beberapa proses kehidupan oleh karena itu minyak atsiri pada umumnya bermanfaat sebagai fungisida.8 senyawa fenol pada minyak atsiri dapat mendenaturasi dan mengkoagulasi protein sel jamur sehingga terjadi keabnormalan fungsi protein yang mengakibatkan pertumbuhan sel jamur terhambat (siswandono dan soekardjo, 1995).9 tetapi sampai saat ini masih belum diketahui zat aktif yang terkandung di dalam ekstrak etanol daun beluntas (p. indica, l) yang menunjukkan aktifitas sebagai antifungi paling besar terutama terhadap jamur malassezia, sp. karena itu perlu diadakan penelitian lebih lanjut dan lebih banyak mengenai ekstrak etanol daun beluntas. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai khm ketokonazole sebesar 6,25 %. dan nilai kbm sebesar 6,25 %.. hasil ini menunjukkan bahwa ketokonazole mempunyai aktifitas antifungi atau daya antifungi yang mampu menghambat dan membunuh malassezia sp. penelitian di australia menunjukkan bahwa ketokonazole mampu menghambat 90% koloni malassezia furfur pada konsentrasi 25% dan malassezia sympodialis pada konsentrasi 1,6% dengan menggunakan broth dilution assay. selain itu juga dilakukan pengujian menggunakan agar dilution assay dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa 50% koloni m. furfur dapat dihambat pada konsentrasi 6% dan 90% koloni dapat dihambat pada konsentrasi yang lebih besar yaitu 25%. ketokonazole juga dapat menghambat 50% koloni m. sympodialis pada konsentrasi rengganis krisna putri, inayati habib, daya antifungsi ekstrak etanol .............................. 16 1,6% dan 90% koloni pada konsentrasi 3%.10 ketokonazole adalah obat pertama dari kelompok imidazol dan satu – satunya anggota grup imidazol yang saat ini efektif untuk pengobatan infeksi mikosis sistemik.11 sebagai turunan imidazol, ketokonazole mempunyai aktivitas anti jamur baik sistemik maupun non sistemik,, efektif terhadap candida, coccidiodes immitis, cryptococcus neoformans, h. capsulatum, b.dermatidis, aspergillus, dan sporothrix spp.12 aktivitas anti jamur ketokonazole disebabkan senyawa dapat menimbulkan ketidakteraturan membran sitoplasma jamur. ketokonazole dan komponen membran jamur dapat membentuk interaksi hidrofob, mengubah permeabilitas membran dan fungsi pengangkutan senyawa essential, menyebabkan ketidakseimbangan metabolik sehingga menghambat pertumbuhan atau menimbulkan kematian sel dan juga menghambat biosintesis ergosterol dalam sel jamur.9 struktur ketokonazolee mirip dengan imidazol, dan mengganggu sintesis ergosterol jamur. ergosterol merupakan enzim dan komponen utama membran sel. ketokonazole menghambat enzim sitokrom p450 14-alpha-demethylase (p45014dm). enzim ini terdapat dalam jalur biosintesis sterol yang dapat mengubah lanosterol menjadi ergosterol.13 hasil akhir penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak daun beluntas (p. indica, l.) memiliki nilai khm dan kbm yang lebih kecil daripada ketokonazole. hasil tersebut menunjukkan bahwa daya antifungi ekstrak daun beluntas (p. indica, l.) terhadap malassezia, sp. lebih besar daripada daya antifungi ketokonazole terhadap malassezia, sp.. kesimpulan daya antifungi ekstrak daun beluntas (p. indica, l.) terhadap malassezia, sp. lebih besar daripada daya antifungi ketokonazole terhadap malassezia, sp. daftar pustaka 1. anonim. (2003). abstrak. diakses 3 maret 2007, dari http:// www.lembaga.wima.ac.id/lppm/ppot/ a b s t r a k p e n p p o t w e b biologi.html#abstrakbio 2. depkes ri. (2000). tanaman obat indonesia (jilid i). jakarta : direktorat jendral pengawasan obat dan makanan 3. david, e. (2007, 7 januari). malassezia, spp. doctor fungus, artikel. diakses 2 januari 2008, dari http://www.doctorfungus.org/thefungi/ malassezia1.htm 4. herdayanti, e. (2005). uji aktifitas antifungi ekstrak daun beluntas (pluchea indica, l.) terhadap candida albicans secara in vitro serta profil kromatografinya. skripsi, fakultas farmasi universitas ahmad dahlan, yogyakarta. 5. herliyani, lia. (2006). uji aktifitas antifungi ekstrak etanol daun beluntas (pluchea indica, l.) terhadap pertumbuhan candida albicans profil kromatogramnya. skripsi, fakultas farmasi universitas ahmad dahlan, yogyakarta. 6. valkenberg, j.c.h., praphatsara, n.b. (eds.). (2002). medicinal and poisonous plants 2 : plant resources of south east asia.. bogor, indonesia :prosea foundation, 12(2), pp 782, 441443. 7. robinson, t. (1991). kandungan organik tumbuhan tinggi. diterjemahkan oleh kosasih padmawinata. bandung : penerbit itb 8. guenther. e. (1987). minyak atsiri (jilid i). diterjemahkan oleh ketaren, s. jakarta : ui-press 9. siswandono dan soekardjo, b. (1995). kimia medisinal. surabaya : airlangga press 10. hammer, k.a., carson, c.f., riley, t.v. (2000). in vitro activities of ketoconazole, econazole, miconazole, and melaleuca alternifolia (tea tree) oil against malassezia spesies. 17 mutiara medika edisi khusus vol. 7 no.1: 07 17, april 2007 antimicrobial agents and chemotherapy, 44(2), 467-469. 11. lewis, r.e. (2007). ketoconazole. doctor fungus, artikel. diakses 15 desember 2007, dari http:// www.doctorfungus.org/thedrugs/ ketoconazole.htm 12. ganiswara, s.g., dan nafrialdi. (1995). farmakologi dan terapi (edisi iv). jakarta : bagian farmakologi fk ui 13. wikipedia. (2007). ketokonazolee. wikipedia, the free encyclopedia. diakses 8 mei 2007, dari http:// en.wikipedia.org/wiki/ketokonazolee mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm ©2018 mmjkk. all rights reserved vol 18 no 2 hal 55-60 januari 2018 hubungan faktor genetik dan gaya hidup dengan astigmatisma pada anak relationship between genetic and lifestyle factors with astigmatism in children yunani setyandriana 1* , nur shani meida 1 , ahmad ikliludin 1 , amalia nindya ayuputri 2 1 bagian mata fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta 2 program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta data naskah: received: 10 feb 2018 reviewed: 15 mar 2018 revised: 12 apr 2018 accepted: 19 jun 2018 *korespondensi: dr.nana.spm@gmail.com doi: 10.18196/mm.180216 tipe artikel: penelitian abstrak: astigmatisma merupakan kelainan refraksi akibat bentuk kornea atau lensa yang tidak teratur, yang sering terjadi pada anak usia sekolah. hingga saat ini penyebab astigmatisma belum diketahui walaupun faktor genetik dan gaya hidup diduga berperan. penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara faktor genetik dan gaya hidup dengan astigmatisma pada anak. penelitian dilakukan di rs jih dan pku muhammadiyah gamping, dari bulan januari hingga desember 2016. penelitian ini merupakan penelitian analitik-observasional dengan metode potong lintang. didapatkan sampel sebanyak tujuh puluh enam anak, yang kemudian dilakukan pemeriksaan virus dan mengisi kuesioner tentang faktor genetic dan gaya hidup pasien. data dianalisis menggunakan uji regresi linear berganda. hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara faktor genetik dan gaya hidup dengan astigmatisma pada anak. faktor genetik merupakan faktor yang paling berhubungan dengan astigmatisma pada anak (p=0,003, 95% ci for b=0,52-1,18) dibandingkan dengan faktor gaya hidup yaitu kebiasaan menggunakan gadget (p=0,015, 95% ci for b= 0,50-1,01), kebiasaan membaca (p=0,204, 95% ci for b= -0,49-0,46), dan kebiasaan menonton televisi lebih dari dua jam sehari (p=0,211, 95% ci for b= -0,55-0,25). kata kunci: faktor genetik; gaya hidup; astigmatisma; anak abstract: astigmatism is a refractive error due to irregular shape of cornea or lens, that commonly occurs in school-aged children. the genetic and lifestyle factors are estimated to play a role in astigmatism. the objective of the study was to determine the relationship between genetic and lifestyle factors with astigmatism in children. the study was conducted in jih and pku muhammadiyah gamping hospital, from january to december 2016. it was an analytic-observational cross-sectional study. there were seventy-six children, which then performed a virus examination and filled out a questionnaire about the genetic factors and lifestyle of the patient.. consecutive sampling method was used and data were analyzed using multiple linear regression test. the result showed that there was a relationship between genetic and lifestyle factors with astigmatism in children. genetic factor was highly associated with astigmatism in children (p= 0,003, 95% ci for b= 0,52-1,18) compared to lifestyle factors, such as the habit of using gadget (p= 0,015, 95% ci for b= 0,50-1,01), reading (p= 0,204, 95% ci for b= -0,49-0,46), and watching television more than two hours a day (p= 0.211, 95% ci for b= -0,55-0,25). key words: genetic factors; lifestyle factors; astigmatism; children mailto:dr.nana.spm@gmail.com 56 | vol 18 no 2 juli 2018 pendahuluan pengelihatan adalah salah satu indera yang sangat penting bagi manusia terutama anak-anak, karena 80% informasi kita peroleh melalui indera penglihatan. 1 kelainan refraksi merupakan salah satu kelainan pada mata yang banyak terjadi di kalangan masyarakat. astigmatisma merupakan salah satu dari kelainan refraksi yang umum terjadi di negara-negara seperti indonesia, taiwan dan jepang. prevalensi astigmatisma bekisar antara 30%-77% di indonesia. 2 astigmatisma paling umum terjadi pada anak usia sekolah. 3 menurut wolffsohn et al. (2010), 4 astigmatisma yang tidak terkoreksi dapat menurunkan tajam penglihatan jarak jauh maupun dekat dan kecepatan membaca. jika dibiarkan, astigmatisma bisa menjadi beban bagi penderita yang mengakibatkan penurunan kemandirian dan kualitas hidup. 4 hingga saat ini, penyebab pasti dari astigmatisma belum diketahui, sehingga pencegahannya belum bisa dilakukan. namun demikian, banyak penelitian yang menemukan secara implisit kemungkinan penyebab dari astigmatisma, yaitu faktor genetik dan gaya hidup. sebuah studi keluarga menunjukkan bahwa genetik berperan penting dalam astigmatisma. anak yang memiliki orang tua dengan astigmatisma memiliki risiko dua kali lebih besar daripada anak-anak yang orang tuanya tidak menderita astigmatisma. hubungan genetik dengan astigmatisma mencapai 63%, dengan pengaruh gen dominan hingga 54%. 5 membaca dan aktivitas visual lainnya yang melibatkan tatapan ke bawah dapat mempengaruhi astigmatisma karena mengubah kelengkungan kornea akibat tekanan pada kelopak mata. hal tersebut dapat dilihat dari perubahan topografi kornea. 6 pada penelitian yang dilakukan oleh noor (2012), 7 didapatkan bahwa bermain online game berpengaruh sebesar 11,3% terhadap timbulnya astigmatisma pada anak. risiko astigmatisma meningkat hingga dua kali lebih besar pada kelompok anak yang bermain online game antara dua sampai enam jam per hari atau lebih dari enam jam per hari. penelitian ini diharapkan bias bermanfaat terutama dalam ilmu pengetahuan dan diharapkan dapat memberi informasi kepada masyarakat tentang hubungan antara faktor genetik dan gaya hidup dengan kejadian astigmatisma pada anak-anak. kejadian astigmatisma sangat mungkin berkembang menjadi kelainan mata yang lebih serius, sehingga orang tua lebih waspada dan memperhatikan kesehatan mata anak-anaknya dengan melakukan pemeriksaan secara rutin. penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara faktor genetik dan gaya hidup dengan astigmatisma pada anak. bahan dan cara penelitian ini adalah penelitian analitik-observasional untuk melihat hubungan faktor genetik dan gaya hidup dengan astigmatisma pada anak dengan pendekatan potong lintang. populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah anak-anak astigmatisma berusia antara 5-17 tahun yang memeriksakan diri ke poliklinik mata rumah sakit jogja iinternational hospital (jih) dan rumah sakit umum pembina kesejahteraan umat (pku) muhammadiyah gamping, d.i yogyakarta mulai dari bulan januari hingga desember tahun 2016. didapatkan 76 anak yang menderita astigmatisma. kriteria inklusi adalah anak-anak usia 5-17 tahun baik laki-laki maupun perempuan yang memeriksakan diri ke poliklinik mata rumah sakit jih dan rumah sakit umum pku muhammadiyah gamping, d.i yogyakarta mulai dari bulan januari hingga desember tahun 2016, serta bersedia menjadi subjek pada penelitian ini dengan menandatangani informed consent. adapun anak-anak yang menderita ambliopia (lazy eyes), glaukoma atau katarak juvenil, pernah menjalani prosedur invasif seperti operasi mata, lasik dan lain-lain minimal satu kali seumur hidup, serta pernah mengalami trauma pada kepala atau mata akan dikeluarkan dari penelitian. variabel bebas yaitu riwayat astigmatisma pada keluarga subjek penelitian, kebiasaan menggunakan gadget, kebiasaan membaca dan kebiasaan menonton televisi. lalu sebagai variabel terikat adalah derajat astigmatisma dari setiap anak. bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner, snellen chart, trial lens dan autorefraktometer. penelitian dilakukan di poliklinik mata rumah sakit jih dan rumah sakit umum pku muhammadiyah gamping, d.i yogyakarta mulai dari bulan januari hingga desember tahun 2016. sampel dikumpulkan dari kuesioner dan hasil pemeriksaan mata. pelaksanaannya diawali dengan pembuatan kuesioner sekaligus pengujian validitas dan reliabilitas instrumen, kemudian dilakukan pemeriksaan mata pada setiap anak yang datang ke poliklinik mata rumah sakit jih dan rumah sakit umum pku | 57 muhammadiyah gamping, d.i yogyakarta. apabila karakteristik anak sesuai dengan kriteria inklusi, maka anak tersebut akan dikonfirmasi kesediaannya secara lisan dan tulisan untuk menjadi subjek pada penelitian ini. setelah itu, anak akan menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner didampingi oleh orang tuanya. data hanya diambil satu kali saat anak tersebut memeriksakan diri ke poliklinik mata. pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan hasil kuesioner dan hasil pemeriksaan mata. analisis data menggunakan uji regresi linear berganda untuk mengetahui hubungan antara faktor genetik dan gaya hidup dengan astigmatisma pada anak, dan mengetahui faktor yang lebih berhubungan dengan astigmatisma pada anak. penelitian ini telah dinyatakan lulus uji etik di fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, umy dengan nomor etik 507/ep-fkik-umy/xii/2016. hasil didapatkan 76 penderita astigmatisma pada periode januari sampai desember 2016, dengan jumlah perempuan yang lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. hasil pengamatan mengenai keterlibatan faktor genetik dalam keluarga subjek penelitian ditunjukkan pada tabel 2. dan gambar 1. pada tabel 2. dijelaskan bahwa sejumlah 63 (82,89%) dari 76 anak yang diteliti memiliki riwayat keluarga yang menderita astigmatisma. gambar 1. menunjukkan bahwa ayah adalah anggota keluarga yang paling banyak menderita astigmatisma pada penelitian ini. tabel 1. kejadian astigmatisma menurut jenis kelamin jenis kelamin jumlah (orang) total (%) laki-laki 23 30,26 perempuan 53 69,73 jumlah 76 100 tabel 2. keterlibatan faktor genetik terhadap astigmatisma faktor geentik jumlah (orang) total (%) ya 63 82,89 tidak 13 17,10 jumlah 76 100 gambar 1. anggota keluarga yang menderita astigmatisma tabel 3. klasifikasi derajat astigmatisma subjek penelitian mata klasifikasi derajat astigmatisma (orang) jumlah normal ringan sedang berat n % n % n % n % n % mata kanan (od) 3 3,9 44 57,9 22 28,9 7 9,2 76 100 mata kiri (os) 5 6,6 48 63,2 15 19,7 8 10,5 76 100 tabel 3. menunjukkan bahwa astigmatisma ringan paling banyak diderita oleh anak-anak pada penelitian ini. berdasarkan derajat astigmatisma pada masing-masing mata subjek penelitian, didapatkan bahwa derajat astigmatisma terkecil pada mata kanan (od) adalah 0,25 dioptri sebanyak 16 orang dan derajat astigmatisma terbesar pada mata kanan (od) adalah empat dioptri sebanyak satu orang, sedangkan untuk derajat astigmatisma terkecil pada mata kiri (os) adalah 0,25 dioptri se tabel 4. kebiasaan menonton televisi, menggunakan gadget dan membaca pada penderita astigmatisma kebiasaan jumlah (orang) total (%) menonton televisi ya 34 44,73 tidak 42 55,26 jumlah 76 100 menggunakan gadget ya 65 85,52 tidak 11 14,47 jumlah 76 100 kebiasaan membaca ya 34 44,73 tidak 42 55,26 jumlah 76 100 17 25 38 36 17 12 k a k e k n e n e k a y a h ib u sa u d a r a k a n d u n g p e r e m p u a n s a u d a r a k a n d u n g l a k il a k i 17 58 | vol 18 no 2 juli 2018 tabel 5. hasil analisis hubungan faktor genetik dan gaya hidup dengan astigmatisma pada anak variabel independen p-value 95% ci for b riwayat keluarga yang menderita astigmatisma 0,003 0,52 – 1,18 kebiasaan menggunakan gagdet 0,015 0,50 – 1,01 kebiasaan membaca 0,204 -0,49 – 0,46 kebiasaan menonton televisi 0,211 -0,55 – 0,25 banyak 24 orang dan derajat astigmatisma terbesar pada mata kiri (os) adalah empat dioptri sebanyak satu orang. tabel 4. menunjukkan bahwa berdasarkan kebiasaan menonton televisi, sebanyak 34 anak (44,73%) memiliki kebiasaan menonton televisi dengan intensitas lebih dari dua jam sehari. berdasarkan kebiasaan menggunakan gadget, menunjukkan bahwa sebanyak 65 (85,52%) dari 76 anak memiliki kebiasaan menggunakan gadget lebih dari dua jam sehari. berdasarkan kebiasaan membaca menunjukkan sebanyak 34 anak (44,73%) memiliki kebiasaan membaca dengan intensitas lebih dari dua jam sehari. tabel 5. menunjukkan bahwa riwayat keluarga yang menderita astigmatisma dan kebiasaan menggunakan gadget berhubungan dengan astigmatisma pada anak dengan nilai signifikan bermakna yaitu p-value <0,05, sedangkan kebiasaan membaca dan kebiasaan menonton televisi memiliki p-value >0,05 yang berarti bahwa kebiasaan membaca dan kebiasaan menonton televisi tidak berhubungan secara signifikan bermakna dengan astigmatisma pada anak. berdasarkan nilai koefisien korelasi yang ditunjukkan pada tabel 6. riwayat keluarga yang menderita astigmatisma memiliki korelasi positif yang kuat dengan astigmatisma pada anak. kebiasaan meng tabel 6. hasil analisis kekuatan hubungan faktor genetik dan gaya hidup dengan astigmatisma pada anak variabel independen nilai koefisien korelasi riwayat keluarga yang menderita astigmatisma 0,603 kebiasaan menggunakan gadget 0,599 kebiasaan membaca 0,242 kebiasaan menonton televisi 0,215 gunakan gadget memiliki korelasi positif yang sedang dengan astigmatisma, sedangkan kebiasaan membaca dan menonton televisi memiliki hubungan positif yang lemah dengan astigmatisma pada anak. diskusi berdasarkan hasil analisis data, didapatkan bahwa faktor genetik berupa riwayat astigmatisma dalam keluarga dan gaya hidup yang terdiri dari kebiasaan menggunakan gadget, membaca dan menonton televisi dengan intensitas lebih dari dua jam sehari berhubungan dengan astigmatisma pada anak usia sekolah. faktor genetik dan faktor lingkungan merupakan faktor risiko yang memegang peranan penting pada terjadinya kelainan refraksi. 8 faktor genetik memiliki hubungan positif yang paling kuat dengan astigmatisma pada anak usia sekolah dibandingkan dengan faktor gaya hidup seperti kebiasaan menggunakan gadget, kebiasaan membaca dan kebiasaan menonton televisi. hal ini sesuai dengan penelitian yang menyebutkan bahwa anak yang memiliki orang tua dengan astigmatisma memiliki risiko dua kali lebih besar daripada anak-anak yang orang tuanya tidak menderita astigmatisma. hubungan genetik dengan astigmatisma mencapai 63%, dengan pengaruh gen dominan hingga 54%. 5 clementi et al. dalam read et al. (2007), 6 dapat membuktikan sebuah pola pewarisan single major locus (sml), yaitu sebuah komponen multifaktorial yang diturunkan. selain genetik, faktor lain yang diduga berperan dalam perkembangan astigmatisma pada anak adalah gaya hidup. gaya hidup yang diteliti dalam penelitian ini adalah kebiasaan menggunakan gadget seperti handphone, laptop, komputer, tablet dan lain-lain, kebiasaan membaca serta kebiasaan menonton televisi. faktor gaya hidup pertama yang diteliti adalah kebiasaan menggunakan gadget. hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kebiasaan menggunakan gadget berhubungan positif sedang dengan astigmatisma pada anak. temuan ini sesuai dengan penelitian oleh komariah dan wahyu (2014), 8 yang menyebutkan bahwa faktor lingkungan seperti kebiasaan beraktivitas jarak dekat termasuk membaca, menggunakan komputer dan menggunakan video game me| 59 miliki peran yang besar terhadap terjadinya kelainan refraksi. noor (2012), 7 menyatakan hal serupa bahwa bermain online game berpengaruh sebesar 11,3% terhadap timbulnya astigmatisma pada anak. risiko astigmatisma meningkat hingga dua kali lebih besar pada kelompok anak yang menggunakan online game antara dua sampai enam jam per hari atau lebih dari enam jam per hari. 7 munir (2010), 10 menambahkan, angka kejadian astigmatisma meningkat 86% seiring peningkatan lama penggunaan komputer lebih dari enam jam. penelitian dari komariah dan wahyu (2014), 8 juga menyebutkan bahwa status refraksi astigmatisma diderita oleh siswa dengan lama di depan komputer kurang dari 4 jam setiap kali penggunaan. tekanan pada kelopak mata juga menjadi salah satu kemungkinan penyebab terjadinya astigmatisma pada anak usia sekolah berdasarkan teori yang ada. saat menggunakan gadget seperti handphone, anak biasanya dalam posisi duduk santai, atau berbaring dan menundukkan pandangan. tatapan mata ke bawah dalam waktu yang lama dan dilakukan terus menerus ini dapat mengubah topografi kornea karena otot-otot palpebra yang menekan kornea. 9 gaya hidup lainnya yang diteliti yaitu kebiasaan membaca. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebiasaan membaca memiliki hubungan positif yang lemah dengan astigmatisma pada anak usia sekolah. hal ini dijelaskan lewat prevalensi hiperopia dan astigmatisma yang lebih banyak diderita oleh siswa yang membaca buku selama dua sampai tiga jam. 8 penelitian lain menyatakan bahwa membaca dan aktivitas visual lainnya yang melibatkan tatapan ke bawah dapat mempengaruhi astigmatisma karena mengubah kelengkungan kornea akibat tekanan dari kelopak mata. hal tersebut dapat dilihat dari perubahan topografi kornea. 6 buehren et al. dalam read et al. (2007), 6 menemukan 12 dari 20 subjek penelitian mereka menunjukkan perubahan topografi kornea sentral yang signifikan segera setelah diberikan tugas untuk membaca selama 60 menit. perubahan signifikan juga ditemukan pada kekuatan refraksi kornea dan astigmatisma. penelitian-penelitian tersebut mengindikasikan potensi dari kegiatan visual tertentu untuk menyebabkan perubahan topografi kornea jangka pendek dan mengarah pada astigmatisma. kebiasaan menonton televisi dalam penelitian ini juga memiliki hubungan yang positif namun lemah dengan astigmatisma pada anak usia sekolah. hasil penelitian ini sesuai dengan teori bahwa televisi adalah salah satu perangkat elektronik yang memancarkan sinar biru yang bersifat miopigenik. 8,10 sehingga apabila anak usia sekolah memiliki kebiasaan menonton televisi dengan intensitas yang lama, maka akan terpapar sinar biru dalam intensitas yang cukup untuk menyebabkan miopia, bukan astigmatisma. american optometric association (2015), 11 menyatakan bahwa astigmatisma tidak disebabkan atau diperparah dengan membaca dalam kegelapan, duduk terlalu dekat dengan layar televisi atau menyipitkan mata. secara keseluruhan, faktor genetik dan gaya hidup dapat menjelaskan astigmatisma pada anak sebesar 50,4%. simpulan terdapat hubungan antara faktor genetik dan gaya hidup dengan astigmatisma pada anak usia sekolah. faktor genetik lebih berhubungan dengan astigmatisma pada anak usia sekolah dibandingkan faktor gaya hidup. riwayat keluarga yang menderita astigmatisma berhubungan positif kuat dengan astigmatisma pada anak usia sekolah. kebiasaan menggunakan gadget dengan intensitas lebih dari dua jam sehari berhubungan positif sedang dengan astigmatisma pada anak usia sekolah. saran untuk pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang oftalmologi adalah agar peneliti selanjutnya dapat melanjutkan penelitian mengenai faktor-faktor yang menyebabkan astigmatisma, baik pada anak maupun populasi lainnya, dengan kriteria yang lebih spesifik dan mendalam agar kedepannya didapatkan pemahaman yang lebih menyeluruh mengenai penyebab dari astigmatisma dan cara pencegahannya. saran bagi terutama orang tua dan keluarga terdekat dari anak-anak usia sekolah yaitu 5 sampai 17 tahun, agar lebih peka terhadap riwayat astigmatisma dalam keluarga, dan kebiasaankebiasaan anaknya. sehingga orang tua dapat secara rutin memeriksakan kesehatan mata anaknya untuk mendeteksi sedini mungkin kejadian astigmatisma agar komplikasi dapat dicegah. daftar pustaka 1. wardani r. 2015. diambil kembali dari rs permata cibubur:http://www.rspermatacibubur. 60 | vol 18 no 2 juli 2018 com/kelainan-penglihatanrefraksi-pada-anak/ 2. hashemi h, rezvan f, yekta aa, hashemi m, norouzirad r, khoub mk. the prevalence of astigmatism and its determinants in rural population of iran: the "nooravaran salamat" mobile eye clinic experience. middle east afr j ophthalmology, 2014; 21 (2): 175-181. 3. gupta m. & vats v. profile of astigmatism in school going children at stage level hospital in uttarakhand. international j res med sci, 2016; vol 4 (no 1):156-159. 4. wolffshon js, bhogal g. & shah s. effect of uncorrected astigmatism on vision. jcrs, 2011; 37 (3): 454-460. 5. dirani m, islam a, shekar sn, baird pn, singh k. & prince m. dominant genetic effects on corneal astigmatism: the genes in myopia (gem) twin study. invest ophthalmol vis sci, 2008; 49 (4): 1339-44. 6. read sa, collins mj, carnei lg. a review of asigmatism and its possible genesis. clin exp optom, 2007; 90 (1): 5-19. . 7. noor f. pengaruh intensitas menggunakan game online terhadap kejadian astigmatisma pada mata anak. yogyakarta: fakultas kedokteran universitas muhammadiyah yogyakarta. 2012. http://repository.umy.ac.id/handle/123456789/ 5762?show=full 8. komariah c. & wahyu n. 2014. hubungan status refraksi, dengan kebiasaan membaca, aktivitas di depan komputer, dan status refraksi orang tua pada anak usia sekolah dasar. jurnal kedokteran brawijaya, 2014; 28 (2): 137-140. 9. marasini, s. (2014). pattern of astigmatism in a clinical setting in maldives. departemen of phtalmology, university of ackland. 10. munir j. pengaruh interaksi komputer terhadap progresivitas miopi dan astigmatisme. tesis fk umy. 2010. 11. american optometric association. astigmatism. diambil kembali dari american optometric association. 2015. simpulan mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 20 no 1 page 45-49 january 2020 corticosteroid-induced central serous chorioretinopathy korioretinopati serosa sentral yang diinduksi corticosteroid ade john nursalim*, vera sumual ophthalmology department, prof. dr. r.d. kandou central general hospital, jalan raya tanawangko no.56, malalayang satu barat, malalayang, manado, north sulawesi, indonesia. data of article: received: 28 mei 2019 reviewed: 9 nov 2019 revised: 9 des 2019 accepted: 31 des 2019 *correspondence: dr.adejn@gmail.com doi: 10.18196/mm.200142 type of article: case report abstract: central serous chorioretinopathy (csc) is a condition where there is an accumulation of serous fluid in the retinal pigment epithelium layer. the abnormality in the retinal pigment layer of the eye causes vision loss and serous detachment. csc has a variety of causes, one of which is corticosteroid therapy. this article aims to report a case of a 27-year-old male patient who was diagnosed with csc. the risk factor indicating csc, in this case, was long-term oral and the use of a nasal spray to treat patient’s allergic rhinitis. patients have allergic rhinitis and sneezing. thus, they are administered to consume tablets of 16 mg methylprednisolone three times a day. the patient has a history of using a nasal spray containing 0.05% mometasone furoate monohydrate for ten years in a row. the patient’s visual acuity is 6/6 on his right eye and 6/15 on his left eye. posterior segment examination and optical coherence tomography (oct) were considered effective in identifying the features of patients with csc, and thus both were administered. it was further found that steroid therapy replacement and healthier lifestyle adjustments could sustain the symptoms and improve the patient’s wellbeing. keywords: central serous chorioretinopathy; long term steroid; methylprednisolone; mometasone furoate abstrak: central serous chorioretinopathy (csc) adalah suatu kondisi di mana terdapat akumulasi cairan serosa dalam lapisan epitel pigmen retina yang dapat menyebabkan terlepasnya lapisan neurosensori retina. csc memiliki berbagai penyebab termasuk terapi kortikosteroid. artikel ini ditulis untuk melaporkan seorang pria dengan diagnosis csc. faktor risiko untuk csc dalam kasus ini adalah penggunaan steroid oral dan semprotan nasal jangka panjang karena rinitis alergi. pasien memiliki rinitis alergi dan bersin dan terbiasa menggunakan tablet metilprednisolon 16 mg tiga kali sehari ketika ia merasa alergi. pasien memiliki riwayat menggunakan semprotan hidung yang mengandung 0,05% mometasone furoate monohydrate selama 10 tahun berturut-turut. ketajaman visual pasien masing-masing adalah 6/6 dan 6/15 untuk mata kanan dan kiri dengan beberapa fitur csc dalam pemeriksaan segmen posterior dan optical coherence tomography (oct). penggantian terapi steroid dan modifikasi gaya hidup menurunkan gejala dan kualitas hidup pasien. kata kunci : korioretinopati serosa sentral; methylprednisolone; mometasone furoate; steroid jangka panjang 46 | vol 20 no 1 january 2020 introduction central serous chorioretinopathy (csc) is the fourth most non-surgical retinopathy after agerelated macular degeneration (amd), diabetic retinopathy (dr), and branch retinal vein occlusion (brvo).1 males have a higher prevalence of csc than female according to some literature reports.2-4 central serous chorioretinopathy (csc) is a condition where there is an accumulation of serous fluid in the r etinal pigment epithelium layer, which causes detachment of the retinal neurosensory. csc has a variety of causes and is usually related to several conditions. middle age, type a personality, narcissistic personality, corticosteroid therapy, post vitrectomy surgery, heart, spinal cord and kidney transplant, conditions involving cortisol such as cushing’s disease and pregnancy, hypertension, sleep apnea, smoking, alcohol consumption, antihistamines, asthma to gastroesophageal reflux (gerd) are known to be a risk factor for csc.5 this article aims to report a man with a csc diagnosed with risk factors for long-term oral steroid use. from non-communicable diseases such as cancer, heart disease, stroke and dm.6,7 cases a 27-year-old man came with a complaint of left eye blurred in the last one week. the patient experienced an indistinct vision for two days straight. the decrease in visual acuity in the mentioned patient was accompanied by dizziness when seeing with both eyes. patients had allergic rhinitis and sneezing and were accustomed to using tablets of methylprednisolone 16 mg three times a day when he felt the allergic reactions. this habit has been carried out by patients for about ten years. the patient also had a history of using a nasal spray containing 0.05% mometasone furoate monohydrate, which was used when the patient's nose felt congested. the patient did not have a history of high blood pressure, diabetes, or cholesterol. ophthalmology examination results showed visual acuity of the right eye was 6/6, and the left eye was 6/15. the results of a field examination with confrontation showed no peripheral visual field disturbances in both eyes. the results of the examination with goldman perimetry showed a normal vision in the right eye and a central scotoma in the left eye. intraocular pressure for both eyes was 15. examination using the amsler grid showed metamorphopsia in the left eye vision. the posterior segment examined by using indirect ophthalmoscopy with a 20 d lens in both eyes revealed different images. the posterior segment of the patient's right eye showed within normal limits with a uniform fundus reflex, a clear border of the optic nerve, and vital color with 0.3 cup disc ratio (cdr). the patient's left eye retina showed a picture of minimal edema with a yellowish circle with unclear boundaries with a normal disc appearance (figure 1). the patient was consulted for an examination of optical coherence tomography (oct). oct examination showed subretinal fluid with the 285-micrometer central retinal thickness (figure 2). the patient was diagnosed with right eye emmetropia and central serous left eye chorioretinopathy with allergic rhinitis. the management of this patient was vitamin b6 three times daily and is administered to the ear nose throat and neck (ent) department for further treatment of allergic rhinitis. the patient was also given information regarding the patient's eye disease and steroid use as a risk factor and was advised not to use methylprednisolone tablets without a doctor's prescription. figure 1. fundus photo of the left eye. figure 2. oct examination report | 47 upon the two-month therapy, the patient came back with the left eye’s vision condition to be improved. mometasone furoate monohydrate of 0.05% nasal spray was changed to 0.1% of xylometazoline hcl. on the ophthalmology examination, the patient's right and left eye visual acuity were 6/6. the examination with the amsler grid did not show any metamorphopsia in both eyes. the results of the cross-section with goldman perimetry showed a normal visual condition in both eyes. the posterior segment of both eyes showed a uniform fundus reflex, a clear border of the optic nerve, vital color with cup disc ratio 0.3, as well as retina and macula within normal limits. the results of the left eye oct examination showed normal oct with a macular thickness of 227 micrometers for the left eye. the patient was subsequently diagnosed with right eye emmetropia and the left eye central serous chorioretinopathy with improvement. discussion csc is a retinal disease characterized by an accumulation of subretinal fluid. this buildup of fluid can cause retinal detachment, which ultimately disrupts vision that leads to blindness. choriocapillaris malfunction, choroidal hyperpermeability, and abnormal choroidal thickness are believed to be the main pathologies of csc.6 this patient, a respondent in this study, used mometasone furoate as a nasal spray. it has been a habit for the past 10 years. methylprednisolone and mometasone furoate are derivatives of glucocorticoid hormone, which acts like a hormone produced by the adrenal cortex.7 inhaled glucocorticoids can be absorbed into the body and have a systemic effect. this absorption is influenced by various factors, including corticosteroid particle size, absorption, and metabolism of the drugs consumed.8 inhaled corticosteroids have the potential to be absorbed into the systemic circulation as much as 13 39%.9 corticosteroids are one of the most frequent therapeutic choices in handling allergic cases. on the other hand, the use of corticosteroids results in inhibition of neutrophil attachment to the endothelium, a decrease in chemotaxis from neutrophils and monocytes, and inhibition of phagocytosis and intercellular resistance to microorganisms. other side effects of corticosteroid use include cushing's syndrome, peptic ulcer disease, benign intracranial hypertension, psychosis, glaucoma, posterior subcapsular cataracts, paraplegia, hypertension, diabetic ketoacidosis, hyperglycemia, myopathy, osteoporosis, and also as included in this case report, central serous chorioretinopathy.10-27 although the pathophysiology of csc is still unclear, it is identified that glucocorticoid hormones work by binding to glucocorticoid receptors. this hormone is produced in the adrenal cortex and retinal pigment epithelium. it results in high concentrations of glucocorticoid hormones in the eyeball compared to blood plasma.28 glucocorticoid derivatives in the eye are such as cortisol. a function of the hormone cortisol is such as maintaining homeostasis.29 excessive hormone cortisol results in hyperpermeability of the choroid blood vessels, eventually increasing hydrostatic tissue pressure and ultimately damaging the barrier function of the retinal pigment epithelium. this increase can result in damage to the retinal fragment epithelium, which leads to an accumulation of subretinal fluid.2 this finding is in line with the findings on the examination of the posterior segment of the patient where it revealed an appearance of minimal edema with a yellowish circle with unclear boundaries. further examination performed on this patient was an optical coherence tomography (oct) examination. oct is the latest modality in ophthalmology to examine a retina. this oct shows a cross-section of the retina and is non-invasive, and thus it is safe to use in diagnostic enforcement.30,31 the oct findings in this patient were in the form of subretinal fluid which was a marker of diagnosis of csc.5 the treatment given to these patients was 10mg pyridoxine (vitamin b6) tablet three times a day. this dose is below the daily recommended dose of 1-25 mg. in addition, to function as a nerve protector, pyridoxine is also useful as a placebo effect in patients while waiting for an increase in disease.32 long-term administration of pyridoxine can lead to toxicity of pyridoxine in the skin, digestive tract, and nervous system. thus, vitamin b6 is needed in amino acid metabolism, carbohydrates and lipids. the side effects of pyridoxine can also be neuropathy including, hypoesthesia, paraesthesia, peripheral neuropathy, muscle weakness, disturbances in walking and balance, and other complaints.33-35 csc can lead to blindness, but it can also heal on its own within 3-4 months in some cases.5 therefore, other therapies other than piridoxin are not given to these patients.36 the condition of stress and depression in patients contributes to increased cortisol levels.23 stress that induced csc can occur in any profession, including medical workers. stress management was 48 | vol 20 no 1 january 2020 one of the non-pharmacological management for csc.37 conclusion posterior segment examination and optical coherence tomography were considered effective in identifying the features of patients with csc, and thus, both were administered. it was further revealed that steroid therapy replacement and healthier lifestyle adjustments could sustain the symptoms and improve the patient’s well-being. references 1. wang, m., munch, i. c., hasler, p. w., prünte, c., & larsen, m. central serous chorioretinopathy. acta ophthalmologica. 2008, 86(2), 126-145. 2. liegl, r., & ulbig, m. w. central serous chorioretinopathy. ophthalmologica. 2014, 232(2), 65-76. 3. riaz mt. different patterns of central serous chorio-retinopathy on fundus fluorescein angiography. in islamabad congress of ophthalmology. 2017 apr (vol. 15, no. 2, p. 65). 4. nicholson, b., noble, j., forooghian, f., & meyerle, c. central serous chorioretinopathy: update on pathophysiology and treatment. survey of ophthalmology. 2013, 58(2), 103-126. 5. schachat, a. p., wilkinson, c. p., hinton, d. r., wiedemann, p., freund, k. b., & sarraf, d. ryan's retina e-book. elsevier health sciences. 2017. 6. schubert, h. d., atebara, n. h., kaiser, r. s., martidis, a. a., mccannel, c. a., & zacks, d. n. basic and clinical science course, section 12: retina and vitreous, 2014–2015. san francisco, ca: american academy of ophthalmology. 2014. 7. ciprandi, g., & varricchio, a. the relevance of the mometasone furoate nasal spray in clinical practice. journal of biological regulators and homeostatic agents, 2018, 32(4), 1051-1054. 8. allen, d. b. sense and sensitivity: assessing inhaled corticosteroid effects on the hypothalamicpituitary-adrenal axis. annals of allergy, asthma & immunology, 2002, 89(6), 537-539. 9. harrison, t. w., wisniewski, a., honour, j., & tattersfield, a. e. comparison of the systemic effects of fluticasone propionate and budesonide given by dry powder inhaler in healthy and asthmatic subjects. thorax, 2001, 56(3), 186-191. 10. notay, m., fazel, n., & awasthi, s. cushing syndrome induced by topical corticosteroids for the treatment of lichen sclerosus. journal of pediatric and adolescent gynecology, 2019, 32(1), 83-85. 11. hansen, j. s., & lacourt, p. r. iatrogenic cushing's syndrome in a infant due to prolonged use of topical corticosteroids. case report. revista chilena de pediatria, 2018, 89(3), 368-372. 12. tseng, c. l., chen, y. t., huang, c. j., luo, j. c., peng, y. l., huang, d. f., ... & lee, f. y. short‐ term use of glucocorticoids and risk of peptic ulcer bleeding: a nationwide population‐based case‐ crossover study. alimentary pharmacology & therapeutics, 2015, 42(5), 599-606. 13. reinau, d., schwenkglenks, m., früh, m., signorell, a., blozik, e., & meier, c. r. glucocorticoids and the risk of peptic ulcer bleeding: case–control analysis based on swiss claims data. drug safety, 2018, 41(7), 725-730. 14. chen, j., & wall, m. epidemiology and risk factors for idiopathic intracranial hypertension. international ophthalmology clinics, 2014, 54(1). 15. greer, m., & rangel guerra, r. benign intracranial hypertension (cerebral pseudotumor). medicina universitaria, 2015, 17(66), 2-14. 16. spiegel, d. r., arsani, u., & le, s. a case of a patient with residual symptoms of schizophrenia who relapsed following treatment with the topical corticosteroid, clobetasol: a review of its risk of systemic absorption and possibility of exacerbating psychosis. clinical schizophrenia & related psychoses. 2017. 17. brusini, p., tosoni, c., & zeppieri, m. canaloplasty in corticosteroid-induced glaucoma. preliminary results. journal of clinical medicine, 2018, 7(2), 31. 18. hosoda, y., hayashi, h., & kuriyama, s. posterior subtenon triamcinolone acetonide injection as a primary treatment in eyes with acute vogt– koyanagi–harada disease. british journal of ophthalmology, 2015, 99(9), 1211-1214.. 19. alderaan, k., sekicki, v., magder, l. s., & petri, m. risk factors for cataracts in systemic lupus erythematosus (sle). rheumatology international, 2015, 35(4), 701-708. 20. o’keeffe, d. t., mikhail, m. a., lanzino, g., kallmes, d. f., & weinshenker, b. g. corticosteroid-induced paraplegia—a diagnostic clue for spinal dural arterial venous fistula. jama neurology, 2015, 72(7), 833-834. 21. daniel, e., pistilli, m., kothari, s., khachatryan, n., kaçmaz, r. o., gangaputra, s. s., ... & jabs, d. a. risk of ocular hypertension in adults with noninfectious uveitis. ophthalmology, 2017, 124(8), 1196-1208. 22. anwar, m. a., saleh, a. i., al olabi, r., al shehabi, t. s., & eid, a. h. glucocorticoidinduced fetal origins of adult hypertension: association with epigenetic events. vascular pharmacology, 2016, 82, 41-50. 23. tiwari, a., al-robeh, h., sharma, h., ammari, z., khan, m. s., & jaume, j. c. steroid-induced | 49 diabetic ketoacidosis in a patient with type 2 diabetes mellitus. aace clinical case reports, 2018, 4(2), e131-e133. 24. fathallah, n., slim, r., larif, s., hmouda, h., & salem, c. b. drug-induced hyperglycaemia and diabetes. drug safety, 2015, 38(12), 1153-1168. 25. sun, l. y., & chu, x. l. acute myopathy following intra-muscular injection of compound betamethasone: a case report. medicine, 2017, 96(34). 26. mazziotti, g., formenti, a. m., frara, s., doga, m., & giustina, a. vitamin d and glucocorticoidinduced osteoporosis. in vitamin d in clinical medicine, 2018, 50, 149-160. karger publishers. 27. shah, s. p., desai, c. k., desai, m. k., & dikshit, r. k. steroid-induced central serous retinopathy. indian journal of pharmacology, 2011, 43(5), 607. 28. behar-cohen, f., & zhao, m. corticosteroids and the retina: a role for the mineralocorticoid receptor. current opinion in neurology, 2016, 29(1), 49-54. 29. van den heuvel, m. i., van assen, m. a., glover, v., claes, s., & van den bergh, b. r. associations between maternal psychological distress and salivary cortisol during pregnancy: a mixed-models approach. psychoneuroendocrinology, 2018, 96, 52-60. 30. yeung, l., lima, v. c., garcia, p., landa, g., & rosen, r. b. correlation between spectral domain optical coherence tomography findings and fluorescein angiography patterns in diabetic macular edema. ophthalmology, 2009, 116(6), 11581167. 31. boyd, s., brancato, r., & straatsma, b. optical coherence tomography: atlas and text. jp medical ltd. 2011. 32. dakshinamurti, k., sharma, s. k., & geiger, j. d. neuroprotective actions of pyridoxine. biochimica et biophysica acta (bba)-proteins and proteomics, 2003, 1647(1-2), 225-229. 33. bacharach, r., lowden, m., & ahmed, a. pyridoxine toxicity small fiber neuropathy with dysautonomia: a case report. journal of clinical neuromuscular disease, 2017, 19(1), 43-46. 34. moudgal, r., hosseini, s., colapietro, p., & awosika, o. vitamin b6 toxicity revisited: a case of reversible pyridoxine-associated neuropathy and disequilibrium. (p4. 021). 2018. 35. van hunsel, f., van de koppel, s., van puijenbroek, e., & kant, a. vitamin b 6 in health supplements and neuropathy: case series assessment of spontaneously reported cases. drug safety, 2019, 41(9), 859-869. 36. seth, s., lewis, a. j., & galbally, m. perinatal maternal depression and cortisol function in pregnancy and the postpartum period: a systematic literature review. bmc pregnancy and childbirth, 2016, 16(1), 124. 37. mansour, a. m., & hamam, r. operating room central serous chorioretinopathy. sage open medical case reports, 2017, 5, 2050313x17740052. mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 20 no 1 page 38-41 january 2020 the relationship between knowledge, information sources, family support and implementation of providerinitiated testing and counseling in pregnant woman hubungan antara pengetahuan, sumber informasi, dukungan keluarga dan perilaku pemeriksaan provider-initiated testing and counseling pada ibu hamil uci ciptiasrini* midwifery study program, sekolah tinggi ilmu kesehatan indonesia maju, jalan harapan no.50, lenteng agung, jagakarsa, south jakarta, jakarta, indonesia. data of article: received: 13 sep 2019 reviewed: 1 nov 2019 revised: 1 dec 2019 accepted: 11 jan 2020 *correspondence: uci.stikim@gmail.com doi: 10.18196/mm.200139 type of article: research abstract: the discovery of cases of hiv and aids at the age of under four years old in indonesia indicates that there is still hiv transmission from mother to child. this study aims to identify the relationship between knowledge, information sources, family support, and the implementation of provider-initiated testing and counseling (pitc) examinations in pregnant women. this research was analytic descriptive with a cross-sectional approach conducted in august 2018, with 85 respondents selected by accidental sampling. the population in this study were all pregnant women who visited the community health center. data was collected by giving questionnaires directly to respondents. relationships between variables were tested with chi-square analysis. the results showed that 36 (62.1%) respondents have good behavior and good knowledge, and the chi-square test results obtained pvalue=0.025. thirty (68.2%) respondents have good behavior and have access to information sources and p-value=0.007. thirty-three (67.3%) respondents have good behavior and have family support with the p-value=0.004. it can be concluded that there is a relationship between knowledge, information sources, family support, and the implementation of the pitc examination of pregnant women. keywords: family support; hiv/aids; knowledge; pitc; pregnant woman abstrak: penemuan kasus hiv dan aids pada usia di bawah 4 tahun di indonesia menandakan masih ada penularan hiv dari ibu ke anak. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan, sumber informasi, dukungan keluarga terhadap perilaku pemeriksaan provider-initiated testing and counseling (pitc) pada ibu hamil. penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional dilakukan pada bulan agustus tahun 2018, dengan 85 responden yang dipilih dengan cara accidental sampling. populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu hamil yang melakukan kunjungan ke puskesmas. pengumpulan data dilakukan dengan memberikan kuesioner langsung kepada responden. hubungan antar variabel diuji dengan analisis chi square. hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 36 (62,1%) responden memiliki perilaku baik dan pengetahuan baik dengan hasil uji statistik chi square diperoleh nilai pvalue=0,025. sebanyak 30 (68,2%) responden memiliki perilaku baik dan mendapatkan sumber informasi dengan nilai p-value=0,007. 33 (67,3%) responden memiliki perilaku baik dan mendapat dukungan keluarga dengan p-value=0,004. kesimpulan ada hubungan antara pengetahuan, sumber informasi dan dukungan keluarga terhadap perilaku pemeriksaan pitc ibu hamil. kata kunci: dukungan keluarga; hiv/aids; pengetahuan; pitc; wanita hamil mailto:uci.stikim@gmail.com | 39 introduction hiv / aids is a health problem throughout the world, including in indonesia. since it has been initially discovered until june 2018, hiv / aids has reached 433 (84.2%) of 514 districts/cities in 34 provinces in indonesia. the cumulative number of hiv infections identified by june 2018 was 301,959 people (47% of the estimated total of people with hiv aids in 2018 were 640,443 people), and most were found in the age group of 25-49 years old and 20-24 years old. the provinces with the highest number of hiv infections were dki jakarta (55,099), followed by east java (43,399), west java (31,293), papua (30,699), and central java (24,757).1 pregnant women who have human immunodeficiency virus hiv/aids have the potential to transmit the disease to babies at birth. therefore, it is important to understand the status of hiv/aids in pregnant women to prevent transmission. data from the ministry of health (kemenkes), in 2018, hiv showed that it was only about 13.38% (761,373) of the total number of pregnant women in indonesia, which is equal to 5,291,143 people who have infected hiv / aids. out of the total number of people who underwent the test, 2,955 people were found to be hiv positive. meanwhile, 893 pregnant women received antiretroviral drug therapy to reduce the viral load (vl).2 enforcement of hiv status in pregnant women as early as possible is crucial to prevent hiv transmission in infants because mothers can immediately get antiretroviral (arv) treatment, psychological support, and information about hiv/aids called an hiv screening test through provider-initiated testing and counseling (pitc).3 provider-initiated testing and counseling refers to health care providers with an extensive approach to someone who is vulnerable and at risk of voluntarily conducting a test. the results of this test are needed to find out whether the patient is infected or not.4 depok city health office noted that people with human immunodeficiency virus (hiv) in depok city experienced a sharp increase from year to year. according to the data in depok city health office, in 2014, it found 86 cases of people living with hiv. furthermore, there were 146 cases in 2015 and 278 cases in 2016. every time the public health center (phc) found a patient of hiv / aids, the phc examine the cd4 or white blood cells to identify what percentage of the cells as a measure of the patient's immune system. after that, referrals will be made to the care support and treatment services of depok city general hospital or sentra medika hospital to get antiretroviral (arv) treatment. according to the secretary of the depok city education office, people living with hiv tend to be icebergs.5 based on data obtained from the sukmajaya depok public health center, the total number of pregnant women in the sukmajaya depok public health center working area in 2015 was 1,823 pregnant women. in 2016 it increased into 1,826 pregnant women, 1,864 pregnant women in 2017, and 960 pregnant women in 2018 from january to june. as the data for pregnant women in 2015 showed 589 people who performed pitc, in 2016, 667 pregnant women conducted pitc with the results of four hiv positive people. furthermore, in 2017 922 pregnant women performed the examination and 586 pregnant women in 2018 from the month january to june. it interesting to identify the relationship between knowledge, information sources, social support, and implementation of pitc in pregnant women. materials and method the research is a quantitative analytical survey with a cross-sectional design. the data obtained by distributing valid questionnaires with r table >0.444 to pregnant women who carried out pitc at the sukmajaya depok public health center in 2018. the data collection used an accidental sampling technique and obtained 85 respondents. furthermore, the data is processed using bivariate analysis through the chi-square test. the inclusion criteria of the research include pregnant women in sukmajaya depok public health center who have pitc check-up. meanwhile, the exclusion criteria include inappropriate common characteristics subject of the study from a population target such as illiterate pregnant women who refused to be sampled. the implementation of pitc is a counseling activity and hiv testing suggested by the health services to pregnant women who come to the health service center. there are two types of pitc activities, such as the pitc test initiated by the respondents and the one suggested by the health center. knowledge about pitc check-up is needed by the pregnant women whose process emerges from identifying, understanding, listening, feeling, and thinking. they must understand why she has to undergo the pitc test and also understands the definition and the functions of pitc. any sources have been used for pregnant women to obtain any information about the pitc, for example, newspaper, electronic media, and the information from the health worker. encouragement to 40 | vol 20 no 1 january 2020 pregnant women given by the family to conduct pitc is such emotional support. result table 1. shows that total of 45 (52.9%) pregnant women had the initiative in conducting the pitc examination, 68.2% (58 people) of pregnant women had adequate knowledge, 51.8% (44 people) of them received adequate information about pitc, and 57.6% (49 people) of pregnant women were supported by their families. table 2 showed that p-value in each variable was <0.05, that is o.o25 in the variable of knowledge, 0.007 in the variable of information sources, and o.oo4 in the variable of family support. it indicates that there is a relationship between knowledge, information sources, and family support in the implementation of pitc examinations in pregnant women in the sukmajaya sub-district depok health center in 2018. table 1 distribution and frequency between knowledge, information sources, family support and the implementation of pitc in pregnant women in the sukmajaya sub-district depok health center in 2018 variable f (%) pitc screening initiated by the respondents 45 52.9 suggested by the health center 40 47.1 knowledge adequate knowledge 58 68.2 inadequate knowledge 18 31.8 information sources adequate information 44 51.8 inadequate information 41 48.2 family support supported 49 57.6 unsupported 36 42.4 table 2 the relationship between knowledge, information sources, family support and the implementation of pitc examination in pregnant women in sukmajaya depok health center in 2018 variable pitc screening result p-value or good disatisfac tory f % f % knowledge adequate 36 62.1 22 37.9 0.025 3.273 inadequate 7 38.9 11 61.1 information sources adequate 30 68.1 14 31.8 0.007 3.714 inadequate 45 36.6 26 63.4 family support supported 33 67.3 16 32.7 0.004 4.125 unsupported 12 33.3 24 66.7 discussion the relationship of knowledge and the implementation of pitc examination in pregnant women knowledge is derived from the result of the human senses, or the results to an object through their senses (eyes, nose, ears, etc.). at the time of sensing to produce knowledge, it is greatly influenced by the intensity of attention and perception of the object. most people’s knowledge is obtained through the hearing (ear), and senses of sight (eyes).6 the results of this study showed that 36 respondents (62.1%) had adequate knowledge. it was in line with the result of another research showing that 36 respondents with adequate knowledge conducted pitc check-up (62.1%), and seven respondents with inadequate knowledge conducted pitc (38.9%). the results of the analysis showed there is a relationship between knowledge and pitc in pregnant women with p-value=0.025 (table 2). the researchers' assumption is based on the results that knowledge has an important role in the implementation of pitc examination. if pregnant women lack knowledge, they can hardly understand the implementation of pitc examination. the value odd ratio 3,273 can conclude that pregnant women with the inadequate knowledge showed by the value mentioned above are less likely to understand well on pitc check-up compared to those who have adequate knowledge. the result in line with the research by fatimah (2015),7 that 50 respondents who have adequate knowledge carried out the examination (69.4%), while 21 respondents examined with inadequate knowledge (29.1%). the relationship of information sources and the implementation of pitc examination in pregnant women the need for accurate data or information increases, but the current information system still cannot produce accurate, complete, and timely data. various problems are still encountered in the implementation of health information systems, including the absence of the same perception among health providers, especially organizers for health information systems.8 the results of the study noted that 30 respondents have adequate knowledge and information sources (68.2%), while 14 respondents have inadequate knowledge and information (31.8%). it is in line with the research conducted at mantrijeron and sleman public health centers, which showed that 79.6% of respondents need more information to conduct hiv tests.9 it indicates that the source of information has a vital | 41 role in the implementation of the pitc. if the source of information is inadequate, then it can influence the implementation of pitc itself against pregnant women. the relationship between family support and the implementation of the pitc examination in pregnant women family is the smallest unit of society consisting of a leader and several people who live in the same place and interdependence and that they are likely to provide physical needs and health care. health care and healthy practices (which affect the health status of individual family members) are the most relevant parts of the health care function.10 the results of the study note that 33 respondents have adequate knowledge and family support (67.3%) while 16 respondents have inadequate knowledge and family support (32.7%).11 chi-square analysis resulted in the value of statistical pvalue=0,004, that it denotes that there is a correlation between family encouragement and significant implementation of the pitc for pregnant women. the result of odd ratio is 4,125, it means that pregnant women unsupported by the family had the 4,125 times the opportunity to behave unwell to the pitc compared to the ones who get support from the family. it indicates that family support plays a vital role in identifying if the person obtains emotional support. the results of this study concluded that support from spouse or family members has a significant favorable influence on the willingness of pregnant women to carry out the pitc test. in other words, the better the support from a spouse or family member is, the more the willingness of pregnant women to conduct the pitc test will be.12 in addition, family support has an important role in the implementation of the pitc examination. if it lacks family support, it can influence the implementation of the pitc examination on pregnant women. conclusion there is a relationship between knowledge, information sources, and family support and the implementation of the pitc examination in pregnant women in the sukmajaya depok public health center in 2018. references 1. komisi penanggulangan aids. hari aids sedunia 2014. [internet]. hari aids sedunia, momen stop penularan hiv: saya berani, saya sehat! 2014. [cited 2019 may 23]. from: http://www.aidsindonesia.or.id/news/6152/1/12 /09/2014/hari-aids-sedunia-2014 2. rimawi, b. h., johnson, e., rajakumar, a., tao, s., jiang, y., gillespie, s., ... & chakraborty, r. pharmacokinetics and placental transfer of elvitegravir, dolutegravir, and other antiretrovirals during pregnancy. antimicrobial agents and chemotherapy, 2017, 61(6), e02213-16. 3. kemenkes, r. i. pedoman nasional pencegahan penularan hiv dari ibu ke anak (ppia). edisi kedua. jakarta: kementerian kesehatan. 2012. 4. fikadu, d., dejene, t., assegid, s., & shegaze, m. assessment of utilization of provider initiated hiv testing and counseling and associated factors among adult out patient department patients in wonchi woreda, south west shoa zone, central ethiopia. j infect dis ther, 2016, 4(276), 2332-0877. 5. purwaningsih, s. s., & widayatun, n. f. n. perkembangan hiv dan aids di indonesia: tinjauan sosio demografis. jurnal kependudukan indonesia, 2008, 3(2), 75-95. 6. notoatmodjo, s. promosi kesehatan, teori & aplikasi, ed. revisi 2010. jakarta: penerbit rineka cipta. 2010. 7. fatimah, f., & hati, f. s. (2015). tingkat pengetahuan ibu hamil tentang hiv/aids dengan perilaku pemeriksaan test pitc (provider initiated test and counselling) di puskesmas sleman yogyakarta. jurnal ners dan kebidanan indonesia, 3(1), 48-52. 8. kemenkes. r. i. roadmap sistem informasi kesehatan tahun 2011-2014. jakarta: pusat data dan informasi, kemenkes ri. 2014; (1):1–5. 9. setiyawati, n., & meilani, n. determinan perilaku tes hiv pada ibu hamil. kesmas: national public health journal, 2015, 9(3), 201-206.. 10. antonucci, t. c., berkman, l., börsch-supan, a., carstensen, l. l., fried, l. p., furstenberg, f. f., ... & rother, j. society and the individual at the dawn of the twenty-first century. in handbook of the psychology of aging (pp. 41-62). academic press. 2016. 11. arianty, t. d. perilaku ibu hamil dalam melakukan tes hiv. higeia (journal of public health research and development), 2018, 2(3), 488497. 12. sayuti, s., & mulyarini, p. hubungan pengetahuan ibu hamil tentang hiv/aids, dukungan keluarga, dan kunjungan anc dengan kesediaan ibu untuk melakukan tes pitc di wilayah kerja puskesmas ketawang, kabupaten malang. biomed science, 2019, 6(1), 43-52. mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm ©2018 mmjkk. all rights reserved vol 18 no 1 hal 8-12 januari 2018 gambaran leukosit pro inflamasi pada status asmaticus di rsud kebumen pro inflamatory leukocyte overview in status asthmaticus in kebumen district hospital ester tri rahayu 1 , adika zhulhi arjana 2 *, juwariyah 1 , rahma yuantari 3 , rozan muhammad irfan 2 1 laboratorium patologi klinik, rsud kebumen 2 fakultas kedokteran, universitas islam indonesia 3 departemen patologi klinik, fakultas kedokteran, universitas islam indonesia data naskah: masuk: 23 okt 2017 direviu: 05 nov 2017 direvisi: 01 des 2017 diterima: 30 des 2017 *korespondensi: adika.zhulhi.a@uii.ac.id doi: tipe artikel: penelitian abstrak: asma merupakan kondisi penyempitan jalan nafas yang selama ini hanya dianggap sebagai reaksi hipersensitifitas tipe 1 karena pada kondisi lain juga dapat disebabkan oleh inflamasi dan koagulasi. pada hipersensitifitas tipe 1 terdapat peran neutrofil dan eosinofil dan dalam penelitin ini akan dipetakan fenotip asma berdasarkan aktifitas eosinof dan neutrofil yaitu eosinofilik dan neutrofilik pada serangan akut asma. penelitian dilakukan dengan desain observasional retrospektif terhadap data sekunder pasien asma dewasa, dalam waktu 1 tahun kebelakang dengan sampel sebanyak 91 orang di rsud kebumen. pengambilan data menggunakan data rekam medis. analisis data menggunakan uji anova untuk data terdistribusi normal, dan uji rerata kuskal-wallis untuk data tidak normal. karakteristik subyek sejumlah 91 orang, dengan 31 subyek pria dan rerata umur 38 tahun. delapan puluh empat persen subjek adalah asma derajat ringan, 4 % berat dan sisanya sedang. pada uji rerata eosinofil dan neutrofil, terdapat berbedaan rerata antar derajat serangan namun tidak signifikan secara statistik. subyek asma neutrofilik lebih mendomasi dibandingkan eosinofilik. walaupun begitu, belum dapat diambil kesimpulan hubungan kadar eosinofil dan neutrofil terhadap derajat asma karena belum ada hasil statistik yang signifikan. kata kunci: eosinofil; netrofil; asma; leukosit pro inflamasi abstract: asthma is airway narrowing condition which only considered as type 1 hypersensitivity reactions due to another condition also can be caused by inflammation and coagulation. in type 1 hypersensitivity there is the role of neutrophils and eosinophils, and in this experiment will be mapped to phenotype of asthma based on eosinophil and neutrophil activities on acute attacks of asthma. the study was conducted using cross-sectional design of the adult asthma patients, within one year backward with a sample of 91 subject in kebumen district hospital. retrieving data using medical records. data analyse with anova for normally distributed data, and kuskal-wallis test for abnormal data. characteristics subject of a number of 91 people, with 31 male subjects and a mean age of 38 years. 84% of the subjects with mild asthma, 4% by weight, and the rest are. on average test eosinophils and neutrophils, there is a degree to the difference between the average attack but was not statistically significant. subjects neutrophilic asthma more dominate than eosinophilic. keywords: eosinophil; netrophil; asthma; pro inflamatory leukocyte 10.18196/mm.180108 | 9 pendahuluan asma adalah kondisi penyempitan jalan nafas yang sifatnya reversible. 1 asma terjadi pada 4-5% penduduk amerika serikat. beban sosioekonomi yang terjadi cukup besar untuk pengobatan asma. meskipun telah banyak kemajuan di bidang terapi asma namun angka mortalitas masih cukup tinggi. 2 asma selama ini dianggap sebagai penyakit akibat hipersensitifitas tipe i semata. padahal studi lanjut menunjukkan bahwa asma juga merupakan penyakit yang berhubungan dengan inflamasi dan koagulasi. 3 fakta ini tentu menjadi terobosan dalam perbaikan tata laksana asma. pada hipersensitifitas tipe i belum diketahui secara jelas peran sel pro inflamasi seperti eosinofil dan neutrofil. adanya aktivitas inflamasi yang ditemukan pada asma menjadi pintu gerbang untuk studi ini. meskipun telah didukung oleh fakta ditemukannya sel pro inflamasi pada biopsi jaringan saluran nafas namun gambaran aktivitas kedua sel tersebut dalam darah belum diketahui. 4 diperlukan studi untuk memberikan gambaran jelas kondisi sel eosinofil dan neutrofil pada darah. eosinofil adalah sel imun yang sifatnya asam pada pengecatan hematoxicillin eosin. eosinofil terdapat dalam darah dalam jumlah yang sedikit yaitu 1-3 % dari keseluruhan populasi leukosit. eosinofil berperan dalam sistem imun terutama dalam melawan parasit. 5 eosinofil kadarnya dapat meningkat dalam tubuh. beberapa obat juga memicu kenaikan eosinofil seperti emas, sulfonamid, dan penisilin. 5,6 eosinofil juga ditemukan meningkat pada kasus alergi seperti asma. akan tetapi hal ini tidak terjadi pada asma yang bersifat non eosinofilik. 5 mekanisme kerja eosinofil menggunakan opsonisasi dengan dibantu oleh immunelobulin e (ige). sehingga eosinofil sangat terkait kerjanya dengan ige. 7 eosinofil setelah disintesis dan masuk aliran darah kemudian masuk menginfiltrasi jaringan. 8 eosinofil juga berperan dalam proses inflamasi. inflamasi sendiri terjadi dengan perantaraan sel t helper (th). selama ini diyakini sel th2 adalah pemicu terjadinya inflamasi. penelitian terbaru menunjukkan kehadiran sel th17 sebagai sel prionflamasi. sel th17 merupakan sel yang mengaktivasi sel t regulatory (treg) yang sangat berperan dalam kondisi hipersensitifitas. sel th17 yang aktif akan mengekspresikan il17. interleukin ini bersama dengan interleukin lainnya kemudian menarik sel netrofil dan eosinofil ke lokasi inflamasi. kedua sel tersebut kemudian mensekresikan beberapa kemokin dan sitokin seperti eritropoetin, tgf, matrix metalloproteinase. 9 neutrofil adalah seri leukosit yang merupakan perkembangan dari metamyelosit. neutrofil memiliki 2 jenis bentuk yaitu band dan segment. neutrofil bentuk band merupakan neutrofil yang telah matur namun memiliki aktivitas fagositosis yang lebih rendah dibanding bentuk segment. neutrofil bentuk ini biasanya ada di dalam darah dalam jumlah yang sedikit yaitu 2 % dari populasi leukosit. adapun neutrofil bentuk segment berada dalam darah sekitar 50-70% dari populasi leukosit. neutrofil segment biasanya mengandung 3-5 segmen dan memiliki kromatin yang tersebar di seluruh segmennya. kromatin ini merupakan komponen aktif dari neutronfil dan dapat digunakan sebagai penanda aktivitas neutrophil. 5 neutrofil berperan dalam kekebalan tubuh dengan proses fagositosis. fagositosis adalah proses eliminasi patogen dengan enzim lisozym yang ada dalam sel neutrofil. aksi fagositosis sendiri perlu dirangsang oleh beberapa opsonin meskipun terdapat jenis reseptor tradisional yang dapat memicu proses fagositosis tanpa opsonin. 7 kenaikan jumlahnya disebabkan oleh peningkatan produksi yang bisa dipicu dengan kehadiran patogen khususnya bakteri. 6 selain itu neutrofil juga berperan dalam proses inflamasi dan vaskularisasi. 7 penelitian menunjukkan bahwa ada subtype dari t helper yang mengekspresikan il-9. subtype ini disebut dengan th9, dengan sifat kerja yang berbeda dari th17. produk dari sel ini yaitu il-9 memicu terjadinya bronkhus yang hiperresponsif. keberadaan subset ini yang kemudian memicu infiltrasi eosinofil pada mukosa saluran nafas. 4 belum jelas bagaimana eosinofil bisa tertarik oleh il-9. namun studi menunjukkan populasi eosinofil yang banyak pada saluran nafas ketika th9 diaktifasi. 10 eosinofil yang aktif kemudian mengekskresikan exosome yang berisi lysobisphosphatidic acid (lbpa). exosom ini yang kemudian menyebabkan terjadinya remodelling pada asma. 11 beberapa studi menunjukkan adanya respon eosinofil pada kondisi hipersensitifitas tipe i. eosinofil terbukti bermigrasi ke endotel dan menginfiltrasi mukosa. hal ini yang kemudian menyebabkan adanya inflamasi. 12 peranan eosinofil perlu ditelaah lebih lanjut untuk melihat responnya pada kondisi asma. lebih lanjut hal ini perlu diteliti untuk melihat kondisi eosinofil ketika terjadi serangan asma. neutrofil sendiri peranannya dalam hipersensitifitas baru terdeteksi. hal ini berdasarkan kondisi neovaskularisasi saluran nafas pada asma. neutrofil yang tertarik oleh kehadiran il-17a mengekspresikan il-5 dan mediator lainnya. diduga kehadiran netrofil berhubungan erat dengan beratnya sera 10 | vol 18 no 1 januari 2018 ngan, resistensi obat, dan remodelling saluran nafas yang terjadi. 10, 13 sebuah penelitian menunjukkan bahwa kondisi asma tidak hanya masalah pada saluran nafas namun diduga vaskular ikut terlibat dalam patogenesisnya. ditemukannya agen pro vaskularisasi seperti vegf pada saluran nafas pasien asma adalah bukti hipotesis ini. sebagaimana diketahui pula bahwa eosinofil adalah agen proinflamasi yang juga berperan dalam angiogenesis. 3 eosinofil yang distimulasi oleh il-5 dengan kehadiran patogen membentuk eosinofil extracellular trap (eet). eet berfungsi sebagai pertahanan tubuh melawan patogen. demikian juga halnya pada neutrofil membentuk neutrofil extracellular trap (net) dengan stimulasi oleh toll like receptor (tlr)-4 agonis atau pelepasan komplemen c5a yang juga muncul pada pembentukan eet. kedua trap ini bersifat sitotoksik pada patogen namun juga menyebabkan kerusakan pada jaringan pejamu. 13 namun belum jelas diketahui bagaimanakah karakter eosinofil dan neutrofil dalam darah ketika terjadi serangan akut asma. bahan dan cara data yang diambil dalam penelitian ini adalah data rekam medis mencakup data pemeriksaan fisik oleh dokter dan data laboratorium yang terdapat pada rekam medis di rsud kebumen. pasien yang masuk dirawat jalan maupun rawat inap dengan diagnosa status asmaticus. derajat serangan asma dikelompokkan menjadi ringan sedang, berat, dan mengancam jiwa. pasien dengan derajat serangan asma ringan sedang memiliki gejala berupa masih bisa bicara 1 kalimat, lebih nyaman dengan posisi duduk, peningkatan laju nafas, denyut nadi 100-120 kali/menit, saturasi oksigen 90-95%, nilai pulmonary expiration flow (pef) >50% dari yang diprediksi. derajat serangan berat memiliki gejala berupa masih bisa bicara dalam kata, duduk cenderung membungkuk ke depan, laju nafas >30 kali/menit, menggunakan otot bantu nafas tambahan, denyut nadi > 120 kali/menit, saturasi oksigen <90%, nilai pef <50% dari yang diprediksi. adapun derajat serangan mengancam jiwa adalah apabila pasien mengalami gelisah, bingung, ataupun tidak terdengar suara nafas dalam auskultasi. 14 data yang dikumpulkan diuji dengan uji rerata anova dan uji kruskal-wallis. data dianggap bermakna jika memenuhi nilai p < 0,05. hasil subyek yang terlibat dalam penelitian ini sejumlah 91 subyek. subyek kesemuanya berasal dari pasien rawat inap rsud kebumen. terdapat 31 subyek (34,07%) pria dan 60 subyek wanita (65,93%). mayoritas dari subyek penelitian ini adalah wanita. rerata usia subyek yang masuk dalam penelitian ini adalah 38 tahun. untuk derajat serangan pada saat masuk secara merata pada ketiga derajat. terbanyak adalah derajat ringan sebanyak 84% dan paling sedikit masuk pada derajat berat sebanyak 4%. mayoritas subyek tidak menggunakan reliever secara rutin pada saat serangan (79,12%). penggunaan controller juga tidak banyak, hanya 4 subyek (4,39%) yang menggunakannya. karakteristik subyek selengkapnya ada di tabel 1. karakter status eosinofil pada subyek cukup seragam pada berbagai derajat serangan. hal ini tampak pada uji statistik dengan kruskal wallis menunjukkan nilai p > 0,05. artinya tidak ada perbedaan yang bermakna persentase eosinofil pada berbagai derajat serangan. temuan ini juga tampak pada persentase netrofil, dengan nilai signifikansi 0,79 menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna (lihat tabel 2.). pengelompokan status eosinofil menjadi eosinofilia dan normal dilakukan untuk melihat proporsi kejadian eosinofilia pada berbagai derajat serangan asma. tampak pada tabel 3 bahwa mayoritas tidak terjadi eosinofilia. proporsi cukup besar tampak pada derajat serangan 1 sebanyak 31,7%. secara keseluruhan tidak didapatkan perbedaan yang bermakna ditandai dengan p = 0,83. tabel 1. karakteristik subyek karakteristik n (%) mean ± sd jenis kelamin pria wanita 31 (34,07%) 60 (65,93%) 38,92 ± 18,82 usia derajat serangan ringan sedang berat 77 (84,62%) 10 (10,99%) 4 (4,39%) penggunaan reliever ya tidak 19 (20,88%) 72 (79,12%) penggunaan controller ya tidak 4 (4,39%) 87 (95,60%) | 11 tabel 2. karakteristik eosinofil dan netrofil pada berbagai derajat serangan derajat p ringan sedang berat eosinofil 3,16 ± 2,79 % 2,01 ± 3,05 % 2,42 ± 3,69 % 0,15 netrofil 71,42 ± 14,96 % 70,92 ± 15,21 % 74,13 ± 24,66 % 0,79 tabel 3. karakter netrofilia pada berbagai derajat serangan derajat serangan n (%) total p ringan sedang berat netrofilia 36 (60 %) 5 (55,6 %) 3 (75 %) 60,27 % 0,79 tanpa netrofilia 24 (40 %) 4 (44,4 %) 1 (25 %) 39,73 % tabel 4. karakter eosinofilia pada berbagai derajat serangan derajat serangan n (%) total p ringan sedang berat eosinofilia 19 (31,7 %) 2 (22,2 %) 1 (25 %) 30,14 % 0,83 tanpa eosinofilia 41 (68,3 %) 7 (77,8 %) 3 (75 %) 69,86 % pengelompokan juga dilakukan untuk status netrofilia. hasil penelitian ini menunjukkan karakter yang berbeda dibandingkan eosinofilia. mayoritas subyek pada berbagai derajat serangan menunjukkan kondisi netrofilia. proporsi terbesar ada pada derajat serangan 3 yakni sebesar 75%. akan tetapi setelah dilakukan analisis menunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna (p=0,79) (lihat tabel 4.) diskusi mayoritas subyek dalam penelitian ini adalah wanita (65,93%). hal ini sesuai dengan penelitian lain yang menunjukkan adanya kecenderungan subyek wanita yang mengalami eksaserbasi akut asma. american lung association yang melibatkan sebanyak 1612 subyek juga menemukan subyek wanita yang lebih banyak 63% dibandingkan subyek pria. 15 penelitian berbasis data lainnya yakni national asthma survey juga menemukan proporsi yang lebih tinggi yaitu 69,61% subyek wanita dari total 3060 subyek. penyebab tingginya proporsi ini dimungkinkan karena adanya kepatuhan yang lebih tinggi pada pria dalam pengobatan dibandingkan wanita. selain itu faktor ekonomi juga memiliki peranan cukup besar. 16, 17 rerata usia subyek pada penelitian ini merupakan usia dewasa muda. hal ini juga sesuai dengan banyak penelitian lainnya. 15, 16 hal ini dimungkinkan karena tingkat kepatuhan penderita asma usia dewasa muda lebih rendah dibandingkan usia tua. selain itu faktor merokok juga lebih mempengaruhi penderita asma usia tua. 17 subyek penelitian ini didominasi oleh derajat serangan ringan. hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan di polandia dimana pasien asma yang datang ke ugd didominasi oleh penderita dengan derajat serangan sedang 49,29%. 2 perbedaan ini dimungkinkan karena tingkat pemahaman masyarakat indonesia khususnya lokasi penelitian kebumen yang masih rendah. hal ini nampak dari penggunaan reliever dan controller yang masih sangat rendah pada populasi penelitian. pemahaman yang baik terhadap asma tentu akan membuat jumlah kunjungan pasien ke ugd dengan derajat serangan ringan akan lebih sedikit. karakter eosinofil dan netrofil pada berbagai derajat serangan yang diuji dalam penelitian ini menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna dalam uji rerata. eosinofil sendiri merupakan penanda aktifitas imun melawan parasit dan penyakit alergi. 18 peningkatan eosinofil pada kasus asma berhubungan dengan kerusakan mukosa dan bronkus yang hiperresponsif. secara klinis hal ini nampak dalam beratnya serangan asma. eosinofil mempengaruhi patofisiologi asma dengan cara meningkatkan lepasan mediator inflamasi seperti mbp, cyslts, ros dan sitokin. peningkatan lepasan ini menyebabkan reaksi inflamasi pada asma yang lebih berat (12). mediator yang dilepaskan juga menyebabkan bertahannya eosinofil dari proses apoptosis sehingga semakin meningkatkan jumlahnya. proses ini diperantarai oleh granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (gm-csf) yang dilepaskan oleh trombosit. 19 pada penelitian ini didapatkan bahwa ada perbedaan rerata persentase eosinofil pada berbagai derajat serangan. derajat serangan berat memiliki rerata persentase tertinggi namun uji statistik tidak menunjukkan hasil signifikan. penelitian menunjukkan tingginya kadar eosinofil lebih spesifik pada bilasan saluran nafas dibandingkan pada darah. 13 beberapa penelitian menunjukkan perbe 12 | vol 18 no 1 januari 2018 daan yang signifikan pada berbagai derajat namun bukan temuan yang spesifik sebagai prediktor beratnya serangan. 20 kondisi netrofilia pada subyek dalam penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan reratapada berbagai derajat serangan. netrofil sendiri berperan sebagaimana eosinofil dalam proses hiperreaktifitas bronkus. pasien dengan netrofilia lebih banyak mengalami serangan berat dan ini berhubungan dengan reaktifitas pada metacoline. 20 netrofil juga berperan dalam remodelling vaskular pada kasus asma sehingga berhubungan dengan status kronis pasien asma. 3 secara umum pada subyek penelitian didapatkan karakter asma netrofilik yang dominan pada seluruh subyek (60,23%). karakter asma eosinofilik tidak banyak dijumpai pada subyek penelitian, hanya 30,14 %. temuan perbedaan rerata pada penelitian ini mendukung hipotesis bahwa karakter eosinofilia dan netrofilia berhubungan dengan derajat serangan asma. meskipun demikian belum dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang erat karena tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik. simpulan subyek penelitian ini mayoritas memiliki karakter asma netrofilik, hanya beberapa yang memiliki karakter asma eosinofilik. akan tetapi tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik kadar eosinofil dan netrofil pada berbagai derajat serangan asma. daftar pustaka 1. kasper dl, fauci as, longo dl, braunwald e, hauser sl, jameson jl. harrison’s principles of internal medicine. 16th ed. the mcgraw-hill companies; 2005. 2. panek m, mokros ł, pietras t, kuna p. the epidemiology of asthma and its comorbidities in poland – health problems of patients with severe asthma as evidenced in the province of lodz. respir med. 2016; 112:31–38. 3. harkness lm, ashton aw, burgess jk. asthma is not only an airway disease, but also a vascular disease. pharmacol ther, 2016;148: 17–33. 4. saeki m, kaminuma o, nishimura t, kitamura n, mori a, hiroi t. th9 cells elicit eosinophilindependent bronchial hyperresponsiveness in mice. allergol int. 2016; 65: 24–29. 5. theml h, diem h, haferlach t. color atlas of hematology. thieme. 2004. 1-5. 6. provan d. oxford handbook of clinical haematology. medicine (baltimore), 2009; 98 (6): 920-925. 7. gorczynski r, stanley j. clinical immunology. clinical inmunology. 2013. 8. cruse jm, lewis re. illustrated dictionary of immunology. 2003. 9. hoppenot d, malakauskas k, lavinskienė s, bajoriūnienė i, kalinauskaitė v, sakalauskas r. peripheral blood th9 cells and eosinophil apoptosis in asthma patients. medicina (b aires). 2015; 51 (1): 10–17. 10. lukawska jj, livieratos l, sawyer bm, lee t, o’doherty m, blower pj, et al. imaging inflammation in asthma: real time, differential tracking of human neutrophil and eosinophil migration in allergen challenged, atopic asthmatics in vivo. ebiomedicine. 2014; 1 (2): 173–180. 11. mazzeo c, cañas ja, zafra mp, rojas marco a, fernández-nieto m, sanz v, et al. exosome secretion by eosinophils: a possible role in asthma pathogenesis. j allergy clin immunol, 2015; 135 (6): 1603–1613. 12. athari ss, athari sm. the importance of eosinophil, platelet and dendritic cell in asthma. asian pacific j trop dis, 2014; 4: s41–7. 13. dworski r, simon h-u, hoskins a, yousefi s. eosinophil and neutrophil extracellular dna traps in human allergic asthmatic airways. j allergy clin immunol, 2011 [cited 2016 oct 5]; 127 (5): 1260–1266. 14. global initiative for asthma. pocket guide for asthma management and prevention. 2016. 15. mccallister jw, holbrook jt, wei cy, parsons jp, benninger cg, dixon ae, et al. sex differences in asthma symptom profiles and control in the american lung association asthma clinical research centers. respir med [internet]. 2013; 107 (10): 1491–1500. 16. temprano j, mannino dm. the effect of sex on asthma control from the national asthma survey. j allergy clin immunol [internet]. 2009; 123 (4): 854–860. 17. chaudhuri r, mcsharry c, heaney lg, niven r, brightling ce, menzies-gow an, et al. effects of older age and age of asthma onset on clinical and inflammatory variables in severe refractory asthma. respir med [internet]. 2016; 118: 46–52. 18. mehta ab, hoffbrand av. haematology at a glance. 2014. 19. btech vv. inhibition of eosinophil apoptosis by asthma-relevant cytokines from platelets. j allergy clin immunol, 2015; 136 (4): 1134-1139. 20. fahy j v. eosinophilic and neutrophilic inflammation in asthma: insights from clinical studies. proc am thorac soc, 2009; 6 (3): 256–259. 1 | mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 21 no 1 page 1-6, january 2021 the influence of chewing habits on the degree of impacted cerumen pengaruh kebiasaan mengunyah pada derajat sumbatan cerumen asti widuri universitas muhammadiyah yogyakarta data of article: received: 17 aug 2020 reviewed: 17 dec 2020 revised: 03 feb 2021 accepted: 05 feb 2021 *correspondence: asti.widuri@umy.ac.id doi: 10.18196/mmjkk.v21i1.9576 type of article: research abstract: cerumen was glandular secretions at the outer one-third of the ear mixed with exfoliated squamous epithelium. the jaw's movement keeps the cerumen in the ear canal in a state of balance, so it is clean, protects and lubricates the external auditory canal. impacted cerumen is also caused by excessive production, narrow canal anatomy, viscosity wax, and irritation due to cottontipped swabs habits. this study aims to determine whether chewing habits influence the degree of cerumen obstruction in patients with impacted cerumen. the study was a cross-sectional method in impacted cerumen patients at 17-80 years old in the ent clinic of district hospital wates, kulon progo, yogyakarta, indonesia. risk factors assessed were education, age, gender, chewing habits, and cotton-tipped swabs habits. the data were then analyzed by chi-square test. of 80 respondents with the dominant age range 17-38 years (58.8 %), the number of males was 47 (58.8 %), and females were 33 (41.2 %). the significant risk factors comprised the chewing habit and the use of cotton-tipped swabs. factors affecting the degree of cerumen in patients with impacted cerumen were the chewing habits and cotton-tipped swabs habits. keywords: chewing habits; risk factor; impacted cerumen abstrak: cerumen adalah campuran sekresi kelenjar di liang telinga luar dengan epitel kulit yang terkelupas. gerakan rahang saat mengunyah akan mendorong serumen sehingga jumlahnya seimbang dan berfungsi membersihkan, melindungi dan melumasi saluran telinga luar. tersumbatnya serumen disebabkan produksi berlebih, saluran sempit, kekentalan dan pemakaian cotton bud. tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh kebiasaan mengunyah dengan derajat sumbatan serumen. metode penelitian potong lintang pada pasien sumbatan serumen usia 17 sampai 80 tahun di poliklinik rsud wates kulon progo yogyakarta indonesia. variabel yang dinilai adalah pendidikan, usia, jenis kelamin, kebiasaan mengunyah dan kebiasaan memakai cotton bud, kemudian dianalis dengan uji chi-square. responden sebanyak 80 pasien sumbatan telinga kelompok usia terbanyak 17 sampai 38 tahun (58.8%) jenis kelamin laki-laki 47 (58.8% dan 33 (41.2%) perempuan. faktor risiko yang bermakna adalah kebiasaan mengunyah dan pemakaian cotton bud. faktor yang mempengaruhi derajat sumbatan serumen adalah kebiasaan mengunyah dan pemakaian cotton bud. kata kunci: kebiasaan mengunyah; factor risiko; sumbatan serumen mailto:asti.widuri@umy.ac.id vol 21 no 1 january 2021 2 | introduction cerumen is a natural product of the auditory canal. there are two types of cerumen: 1) dry-type cerumen, the yellowish or gray color in brittle or hard form, and 2) wet type cerumen, which is b r o w n color, slippery, and sticky. the color can turn dark when exposed to free air.1 cerumen can physiologically expel through natural jaw movement when talking and swallowing. cerumen serves as the protection, canal lubricant, and transporting epithelial debris to prevent epidermal dryness. excessive cerumen production can close the external auditory canal called cerumen prop, cerumen obscurant, or impacted cerumen. cerumen impaction is potentially causing a feeling of fullness in the ear, conductive hearing loss, and disturbing view to examine the tympanic membrane.1,2 the process of excessive cerumen is influenced by the form of the narrow and winding ear canal, cerumen viscosity, repeated irritation due to the habit of cleaning the external auditory canal. 2 in the elderly, cerumen tends to become drier due to the apocrine gland's physiological atrophy followed by a reduced component of sweat from the cerumen. moreover, the excessive cerumen build-up for the elderly might not only caused by cerumen but also a pile of epithelial debris. due to the narrowest ear canal in the middle ear, cotton swabs only push the cerumen farther into the isthmus, which is narrow and attached to the tympanic membrane. consequently, the cerumen will be difficult to be moved. 3 on the other hand, chewing is a process of grinding and breaking down food into smaller pieces to become soft enough to swallow. also, it aims to mix the food with saliva to stimulate taste buds. it stimulates the pleasant taste sensation and triggers the saliva secretion, pancreas stomach, and bile to receive the food.4 the chewing process can be involuntary, and most of the processes of chewing a meal are a rhythmic reflection of activation of skeletal muscles in the jaw, lips, cheeks, and tongue as the response of food pressure to the mouth tissues. teeth can produce a greater pressure than needed to chew a meal. for example, molar for adults can produce a crushing force up to 100 kg, which is enough to break hard grains. this force is usually not used. the degree of occlusion is more critical than biting strength in determining the efficiency of chewing.5 additionally, modern people develop fast-eating behavior due to the limitation of getting enough time to eat. as a consequence, the habit of chewing the meal perfectly is ignored. it only increases the risk of cerumen builds up in the ear canal. cerumen prop is commonly found by doctors, becoming comorbid in ent, elderly, and mental retardation patients.5,6 although cerumen prevalence rates have not been widely reported, according to mahardika (2010),7 the incidence of cerumen obscurant in semarang was 22.9% (109 students) of 487 students examined. the symptoms of cerumen impaction, among others, are ear itching, pain, hearing loss, buzzing, dizziness, and an increased risk of infection; in severe cases, it causes deafness, less optimal work, and tympanic membrane perforation.8 the excessive cerumen production can close the external auditory canal, called the cerumen prop, 9 caused by some factors. firstly, the anatomy of the ear canal blocks the passage of the cerumen. secondly, there is obscurant keratosis, an increase in keratin production that causes various symptoms, including necrosis of the cartilage canals, infection, and deafness. the third most common cause is a failure of keratinocyte separation that normally occurs in the outer ear canal as part of skin changes. hard cerumen consists of dominant keratin sheets more than soft waxy liquid.7,10 previous research has reported that the cerumenolytic agents are commonly used to effectively dilute the cerumen and combine with irrigation to remove the impacted cerumen. however, the education to preventing the forming of cerumen with changing chewing habits is limited. another preventive factor of cerumen impacted is to stop the use of cotton buds. macknin (1994)11 reported that the occurrence of cerumen prop was 75% caused by using cotton buds. clinicians should give education focusing on behaviors that promote safe and effective ear hygiene, such as good chewing habits and should not insert foreign bodies into the ear canal, including cotton buds and candles. this current study aimed to determine whether chewing habits influence the degree of cerumen obstruction in patients with impacted cerumen. materials and method the research design was an observational study with a cross-sectional method. the researcher assessed the relationship between the independent variable of chewing habit and the degree of cerumen by otoscopy examination. the research was conducted in district hospital wates, kulon progo, yogyakarta, with the vol 21 no 1 january 2021 3 | research subject of 80 patients diagnosed with a cerumen prop at 17-65 years old. the degree of cerumen prop depended on occlusion ear canal, classified into the grade of 0-4: (0) = there was no cerumen, (1) = 25% cerumen occlusion, (2) = 50% cerumen occlusion, (3) = 75% cerumen occlusion, and (4) = 100% cerumen occlusion. furthermore, it was also categorized into two categories: a thick grade of 3-4 and a thin grade of 0-2. in this research, the sample of cerumen prop was obtained from both the left and right ears.12 the chewing habit was assessed by the amount of mouthfuls each person chewed using a hand counter. it was taken the average of three mouthfuls. during the probandus eating, the researcher paid attention to the way of chewing and measuring the amount of chewing with a hand counter. the chewing habit was divided into two categories: chewing less (<20 times) and good/normal chewing (20-33 times). the data were then analyzed in the normality descriptively and using the chi-square test to analyze risk factors' influence by univariable analysis. the significant limitation was p<0.05, with a confidence interval of 95%. results the respondent’s characteristics can be seen in table 1. the number of the respondents are 80 respondents with the highest number at the age group of 18-38 years old which is as many as 47 people (58.8%). the lowest number is in the age group of 60-80 years old which is as many as eight people (10.0%). the comparison based on gender is 47 men (58.8%) and 33 people women (41.3%). the majority educational background of the respondents is high school, which belongs to 38 respondents (47.5 %) and elementary school which belongs to 11 respondents (13.8%). the effects of the chewing habit with the degree of cerumen prop can be seen in table 2. the result showed that chewing with the category of < 20 chews with the thick cerumen degrees (grades 3 -4) occurred in 20 respondents (25.0%). meanwhile, the chewing habit with the normal category (20-33 times) with a thin degree of cerumen (grade 0-2) occurred in 29 respondents (36.2%). table 1. the general characteristics of the respondents characteristics total percentage gender male 47 58.8% female 33 41.2% age 17-38 years old 47 58.8% 39-59 years old 25 31.2% 60-80 years old 8 10.0% education primary school 11 13.7% junior high school 10 12.5% senior high school 38 47.5% college 21 26.3% vol 21 no 1 january 2021 4 | table 2. the analysis of chewing habit on the cerumen degre of cerumen total x2 p prop. degree habits thick thin n % n % n % < 20times 20 25.0% 13 16.3% 33 41.3% 20-33 times 18 22.5% 29 36.2% 47 58.7% 3.869 0.049 total 38 47.5% 42 52.5% 80 100% table 3. the influence of the habit of cleaning the ears using cotton buds on the degree of cerumen prop. degree of cerumen using cotton bud thick thin total x2 p n % n % n % no 11 13.7% 4 05.0% 15 18.8% yes 27 33.8% 38 47.5% 65 81.2% 4.941 0.026 total 38 47.5% 42 52.5% 80 100% based on the chi-square test (table 3), the significant value of p-value is 0,049 (p<0.05), thus it is proved that the habit of the chewing habit affects the risk of occurrence of cerumen prop. the influence of the habit of using cottonbud as a tool to clean the ear is also reviewed in this study. the patients who clean his ear with cotton buds with the cerumen grade of + (grade 3-4) are 27 people (33.8%). meanwhile, the patients cleaning their ears by using cotton buds with cerumen grade of (grade 02) are 38 people (47.5%). based on the statistical counting, the significance value of p-value is 0.026 (p<0.05). so, it can be said that the habit of cleaning the ears by using cotton buds influences the risk of having cerumen prop. discussion cerumen production is a protective mechanism of the ear canal. however, cerumen should be removed when closed or totally blocked ear canal and causes symptoms, such as hearing loss, pain, tinnitus, and audiovestibular disorders. the results revealed that 80 respondents with cerumen in this research were mostly 1738 years old or in the productive age. this result differs from the previous report that geriatric and mental retardation are the most suffering cerumen prop.5 probably, it was caused by the elderly population that suffered cerumen props who did not go to the doctor because of the asymptomatic of the cerumen symptoms due to their less social activities. the research at primary health care reported that 35% of elderly patients more than 65 years old suffered cerumen prop.13 the previous study also found that almost 40% of the homecare patients had cerumen prop. it was also reported the incidence of cerumen was 10% in children and 57 % in the older patients in the home care but not influenced by using hearing aid.14,15 from otoscopic examination among kindergartens in wuhan, t h e prevalence of cerumen impaction was higher than 10%, and was more prone at children with dry cerumen, so annual examination was recommended.16 the incidence of cerumen prop based on gender was equal for males (47 people or 58.8%) and females (33 people or 41.3%). thus, gender did not influence the occurrence of cerumen prop. it is in accordance with the research by alriyanto (2010),17 which reported that the cerumen incidence was 12.1% in male students and 9.3% in female students. probably, this research result was because there is no difference in the chemical process of forming the cerumen prop in men and women. in this study, the habits, which were as risk factors of cerumen prop, were the chewing habits and lack of awareness to maintain ear hygiene. therefore, the patients and the larger community can prevent and reduce the cerumen incidence by having a healthy lifestyle and avoiding the habit of chewing too fast. because impacted cerumen is composed of abnormal exfoliated keratinocytes correlated with microbial induced neutrophil-mediated inflammation and mold infection, microbial removal is strongly 5 | recommended.10 therefore, this preventive method using boericke alcohol solution and miconazole ointment for the prevention of outer ear infections is recommended to general practitioners with less experience in differentiating pure cerumen from cerumen with fungal infections.18 the cerumen prop can cause hearing loss because it blocks the ear hole and disturbs the visualization of the tympanic membrane. the smaller the diameter of the ear canal, the greater the risk of cerumen prop. the ear canal's diameter has an essential role, and the normal ear canal diameter is about 0.9 cm.5 this chewing level is defined as fast chewing or abnormal, which its frequency is less than 20 times, and normal chewing, which its frequency is about 20-33 times. normal chewing tends to reduce the risk of the forming of cerumen prop. previous research conducted by dharmendra reported that the jaw movement system when chewing helps cleans the ear canal and moves out the cerumen that attaches to the ear canal wall. experts say that chewing food properly also helps increase the number of nutrients get out from the food. conclusion the habits of chewing food and cleaning the ears using cotton buds influences the degree of cerumen prop. acknowledgement the author kindly acknowledged to dr. angga putranto and dr. sunaryanto sp. tht who had provided patient data. conflict of interest the author declared no potential conflicts of interest to the research and publication of this article. references 1. schwartz sr, magit ae, rosenfeld rm, ballachanda bb, hackell jm, krouse hj, et al. clinical practice guideline (update): earwax (cerumen impaction). american academy of otolaryngology—head and neck surgery. 2016: p. 1-25. https://doi.org/10.1177/0194599816671491 2. subha st and raman r. role of impacted cerumen in hearing loss. otorhinolaryngology. 2006; (9) 1: p. 2325. 3. mccarter df, courtney au, and pollart sm. cerumen impaction. am fam physician. 2007; 75: p. 1523-1530. 4. astrand po, and rodahl k. textbook of work physiology-physiological bases of exercise 2 th ed. usa: mcgrawhill book co. 2003 5. lapeña jff, and edward a. external auditory canal dimensions, age and cerumen retention or impaction in persons with down syndrome. annals of otology, rhinology & laryngology 2018: p. 1-5 6. guest jf, greener mj, robinson ac, and smith af. impacted cerumen: composition, production, epidemiology, and management. qjm; 2004: p. 477–808. https://doi.org/10.1093/qjmed/hch082\ 7. mahardika. faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan serumen obsturan (studi kasus pada siswa sd kelas v di kota semarang) 2010. 8. burkhart cn, kruge ma, burkhart cg, and black c. cerumen composition by flash pyrolysis-gas chromatography/mass spectrometry. otol neurotol 2001; 22: 715–22. https://doi.org/10.1097/00129492-20011100000002 9. karlsmose b, lauritzen t, engberg m, and parving a. a randomized controlled trial of screening for adult hearing loss during preventive health checks. br j gen pract 2001; 51: 351–5. 10. zhang s, jin m, zhou g, and zhang y. cerumen impaction was composed of abnormal exfoliation of keratinocytes that was correlated with infection am j otolaryngol. 2020; 41. https://doi.org/10.1016/j.amjoto.2019.102340 11. macknin ml, talo h, and medendorp sv. effect of cotton-tipped swab use on earwax occlusion. clin pediatrics1994; 33: p. 14–18. https://doi.org/10.1177/000992289403300103 12. silverstein h, wycherly bj, and alameda y. a prospective study to evaluate the efficacy of isopropyl alcohol irrigations to prevent cerumen impaction. ear nose throat j. 2012; 91(3): p. 25-8. https://doi.org/10.1177/014556131209100318 13. horton ga, simpson mtw, beyea mm, beyea ja. cerumen management: an updated clinical review and evidence-based approach for primary care physicians. journal of primary care & community health 2020; 11: p. 1–5. https://doi.org/10.1177/2150132720904181 14. manchaiah v, arthur j, williams h. does hearing aid use increase the likelihood of cerumen impaction? j audiol otol 2015; 19 (3): p. 168–71. https://doi.org/10.7874/jao.2015.19.3.168 https://doi.org/10.1177/0194599816671491 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=guest+jf&cauthor_id=15256605 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=greener+mj&cauthor_id=15256605 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=robinson+ac&cauthor_id=15256605 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=smith+af&cauthor_id=15256605 https://doi.org/10.1093/qjmed/hch082/ https://doi.org/10.1097/00129492-200111000-00002 https://doi.org/10.1097/00129492-200111000-00002 https://doi.org/10.1177/000992289403300103 https://doi.org/10.1177/014556131209100318 https://doi.org/10.1177/2150132720904181 https://doi.org/10.7874/jao.2015.19.3.168 6 | 15. roland ps, smith tl, and schwartz sr. clinical practice guideline: cerumen impaction. otolaringol head and neck surg 2008; 139: p. 1-21. https://doi.org/10.1016/j.otohns.2008.06.026 16. ping c, yanling h, youhua w, shufen w, zhinan w, and zhongfang x. epidemiology of cerumen impaction among municipal kindergartens children in wuhan, china. int j pediatr otorhinolaryngol 2017; 100: p. 154–6. https://doi.org/10.1016/j.ijporl.2017.07.006 17. alriyanto cy. pengaruh cerumen obsturan terhadap gangguan pendengaran (studi kasus pada siswa sd kelas v di kota semarang) 2010. 18. kiakojori k, gooran ak, rajabnia r, mahdavi omran s. a study on the effectiveness of boericke alcohol and miconazole ointment for the prevention of outer ear infections after suction clearance. j babol univ med sci. 2015; 17 (4): 29-35 https://doi.org/10.1016/j.otohns.2008.06.026 https://doi.org/10.1016/j.ijporl.2017.07.006 0 daftar isi.p65 mutiara medika vol. 11 no. 1: 55-61, januari 2011 55 efikasi fraksi etanolik akar tempuyung (sonchus arvensis l.) sebagai kemoterapi kanker kolon berdasarkan ekspresi caspase-9 an eficacy effect of ethanolic fraction of tempuyung’s root (sonchus arvensis l.) as colon cancer chemoterapy upon the expresion of caspase-9 brilliana nur rohima1, indwiani astuti2, muhammad ghufron3 1program studi pendidikan dokter fakultas kedokteran universitas gadjah mada, 2bagian farmakologi dan toksikologi fakultas kedokteran universitas gadjah mada, 3bagian histologi fakultas kedokteran universitas gadjah mada email: briliananurrohimah_z@yahoo.com abstrak kanker kolon merupakan salah satu kanker banyak dijumpai. kanker kolon merupakan satu dari 10 kanker primer paling sering di indonesia pada 1988, 1989, dan 1991. berdasarkan perkembangan globalisasi di indonesia diperkirakan insidensi dan prevalensi kanker kolon akan meningkat. apigenin adalah bioflavonoid subkelas flavone yang memiliki potensi terapeutik yang besar, salah satunya adalah memacu apoptosis. apigenin terdapat dalam tempuyung (soncus arvensis l.). tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi fraksi etanolik akar tempuyung (sonchus arvensis l.) untuk kemoterapi kanker kolon melalui ekspresi caspase-9 pada cell line kanker kolon widr. penelitian dilakukan dengan cara sampel tanaman dideterminasi. akar tempuyung difraksinasi dan dilakukan uji sitotoksisitas, kemudian dilakukan uji imunohistokimia pada cell line kanker kolon widr dengan ditambahkan fraksi akar tempuyung ½ ic50, ic50, dan 2 ic50. sebagai kontrol negatif digunakan media kultur dan kontrol positif digunakan fluorouracil dosis 46,56 µg/ml, kemudian dibuat preparat histopatologi. hasil penelitian menunjukkan bahwa determinasi spesies sampel adalah sonchus arvensis l. hasil uji sitotoksisitas ic50 fraksi etanolik akar tempuyung adalah 2865,5 µg/ml. pada penelitian ini tidak dilakukan uji imunohistokimia karena ic50 fraksi etanolik akar tempuyung terlalu besar (e”50 µg/ml). disimpulkan bahwa fraksi etanolik akar tempuyung (sonchus arvensis l.) memiliki potensi yang rendah untuk kemoterapi kanker kolon berdasarkan ekspresi caspase-9 pada cell line kanker kolon widr kata kunci: kanker kolon; apigenin; sonchus arvensis; apoptosis; caspase-9 abstract colon cancer is one of the most common malignant disease. in indonesia, colon cancer became top-ten most frequent and primary cancer in 1988, 1989, and 1991. in fact, with the word globalization which’s used in indonesia may make the incidence and prevalence colon cancer become higher. apigenin is bioflavonoid in the flavone subclass having great therapeutic potential. apigenin can find on tempuyung’s root (soncus arvensis l.). the objective of this research is to know the effect of ethanolic fraction of tempuyung’s root (sonchus arvensis l.) to induce the expresion of caspase-9 in colon cancer cell line widr. the sample was determinated. the tempuyung’s root was fract and cytotoxicity assay was been done. immunohistochemistry assay was done in the widr cell line of colon cancer added with the fraction of tempuyung’s root ½ ic50, ic50, and 2 ic50. for negative control, culture media was used. the positive control’s used fluorouracil 46,56 µg/ml. the last, histopathologic slide was made and the immunopositive cell was calculated in every slide. the result showed that sampel spesies is sonchus arvensis l. the cytotoxicity assay for ic50 ethanolic fraction of tempuyung’s root is 2865,5 µg/ml. in this study, immunohystochemistry is not be done because of the ic50 ethanolic fraction of tempuyung’s root is too big (e”50 µg/ml). the conclusion is the ethanolic fraction of tempuyung’s root (sonchus arvensis l.) have low potention effect to be a colon cancer chemoterapy drug founded upon the expression of caspase-9 in colon cancer cell line widr. key words: colon cancer; apigenin; sonchus arvensis l.; apoptosis; caspase-9 artikel penelitian brilliana nur rohima, indwiani astuti, muhammad ghufron, potensi fraksi etanolik akar tempuyung ... 56 pendahuluan kanker kolon merupakan salah satu kanker yang banyak dijumpai baik pada laki-laki maupun perempuan. diperkirakan di dunia terdapat 1.023.000 kasus baru dengan kematian 529.000 tiap tahunnya.1 di indonesia tidak ada data yang pasti mengenai prevalensi dan insidensi kanker. data ini biasanya didapatkan dari rumah sakit pendidikan dengan angka insidensi diperkirakan minimal 170—190/ 100.000 pasien tiap tahun. kanker kolon merupakan satu dari 10 kanker primer paling sering di indonesia dari tahun 1988, 1989, dan 1991. kejadiannya lebih banyak menimpa laki-laki dari pada perempuan. kanker kolon pada laki-laki selalu menempati urutan ke-9 pada tahun 1988—1991.2 diperkirakan insidensi dan prevalensi kanker kolon di indonesia akan meningkat dengan makin beralihnya pola makan ke makanan yang berlemak dan makin banyaknya penduduk usia tua.3 sebagian besar pasien kanker kolon didiagnosis pada stadium yang masih dapat dioperasi, tetapi ternyata hampir setengah pasien akhirnya meninggal karena kanker tersebut.4 fluorouracil merupakan satu-satunya obat kemoterapi untuk kanker kolon yang paling efektif sebagai first-line drug kemoterapi kanker kolon yang direkomendasikan oleh food and drugs administration (fda),1,4 namun efek samping obat ini relatif banyak,1,5,6 sehingga isu yang sekarang berkembang adalah peningkatan life survival dan kualitas hidup pasien kanker kolon. flavonoid merupakan kelompok dari komponen polifenol yang terdapat pada sayuran dan buah. flavonoid ini memiliki berbagai macam efek biologis, mulai dari penghambatan berbagai macam enzim hingga ikut mempengaruhi berbagai hormon. karena aksinya ini, maka flavonoid memiliki potensi terapeutik yang besar. apigenin merupakan bioflavonoid yang masuk subkelas flavon.7 apigenin telah terbukti memiliki efek terapeutik berbagai kanker, di antaranya kanker kolon, prostat, melanoma, leukemia, ovarian carcinoma, squamous cell carcinoma, kanker tiroid, serta kanker payudara. efek terapeutik ini diperoleh dari berbagai jalur, yaitu menghambat perkembangan kanker, meregulasi siklus sel (dengan pengaktifan p21 melalui jalur independent p53), memacu apoptosis, menghambat invasi sel kanker serta meningkatkan stabilitas p53.8 apigenin dapat menginduksi apoptosis dalam berbagai jalur. apigenin telah terbukti menginduksi apoptosis yang dimediasi oleh tnf alfa pada kanker kolon. dalam pemeriksaan tidak terdapat penurunan ekspresi bcl2 family serta molekul proapoptosis bad dan bax pada kanker kolon dan kanker prostat.8,9 hal ini menunjukkan bahwa terdapat caspase yang diaktifkan melalui jalur ekstrinsik apoptosis.10 apigenin yang merupakan salah satu flavonoid ini terdapat dalam tempuyung (soncus arvensis l.). tanaman ini merupakan salah satu yang digunakan sebagai obat tradisional sebagai jamu tradisional dan sebagai terapi alternatif bagi penderita asam urat. kandungan flavonoidnya sebagian besar adalah apigenin. kandungan flavonoid dalam daun sebanyak 0,1044%, sedangkan dalam akar tanaman sebanyak 0,5%.11 hal ini menjadi alasan pentingnya dilakukan penelitian tentang tempuyung (sonchus arvensis l.) yang telah diketahui mengandung apigenin. apigenin dalam tempuyung (sonchus arvensis l.) digunakan dalam pengobatan kanker kolon dengan mutiara medika vol. 11 no. 1: 55-61, januari 2011 57 meningkatkan ekspresi caspase-9 yang merupakan salah satu protein spesifik pada proses apoptosis. oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi fraksi etanolik akar tempuyung (sonchus arvensis l.) dalam pengembangan obat kemoterapi kanker kolon melalui ekspresi caspase-9 pada cell line kanker kolon widr. bahan dan cara sampel tempuyung yang berasal dari wates, yogyakarta dideterminasi di bagian biologi fakultas farmasi universitas gadjah mada melalui laboratorium penelitian dan pengujian terpadu (lppt) ugm. fraksinasi dilakukan di lppt ugm dengan hasil fraksi etanolik akar tempuyung (sonchus arvensis l.) memiliki kandungan apigenin yang relatif tinggi. penelitian ini bertujuan untuk menemukan ic50 (konsentrasi bahan/obat yang menghambat pertumbuhan sel 50% berdasarkan nilai absorbansi pada hari ke-0 dan ke-3 setelah paparan bahan/ obat).12 cell line kanker kolon widr dalam 96 sumuran dengan densitas 1,5x104 sel/sumuran setelah 24 jam inkubasi, ditambahkan fraksi akar tempuyung dengan berbagai macam konsentrasi yang diikuti inkubasi kembali selama 24 jam. sebelum 4 jam penghentian inkubasi, tiap sumuran ditambahkan mtt 110 µl., dibiarkan dalam ruang gelap lalu dibaca absorbansi (a)-nya dengan elisa. efek sitotoksisitas diekspresikan dalam persentase penghambatan pertumbuhan yang dikalkulasi sebagai berikut: persen hidup = (aexp-acontrol) : (ablank-acontrol) x 100%. 13 cell line kanker kolon widr dengan densitas 3x105 sel/ sumuran diberi fraksi akar tempuyung sebanyak ½ ic50, ic50 dan 2 ic50 yang dibandingkan dengan kontrol positif (fluorouracil 46,56 µg/ml) dan kontrol negatif (media kultur). preparat histopatologi dibuat dengan antibodi anti-caspase-9 di bagian patologi anatomi rsup dr. sardjito yogyakarta dan sel imunopositif dihitung. pengukuran hasil penelitian dilakukan dengan melihat ekspresi caspase-9 pada cell line kanker kolon widr dengan menggunakan mikroskop cahaya. sel yang mengekspresikan caspase-9 memberikan warna coklat, sedangkan yang tidak mengekspresikan akan berwarna biru pada intinya. ekspresi caspase-9 dihitung berdasarkan jumlah sel imunopositif per 500 sel dan dinyatakan dalam satuan persen. hasil hasil determinasi sampel tanaman menunjukkan bahwa spesiesnya adalah sonchus arvensis l. persen hidup dari perlakuan kadar akar tempuyung yang dianalisis dengan regresi linier dan regresi probit digunakan untuk mendapatkan rumus untuk menentukan ic50 fraksi akar tempuyung. rumus tersebut adalah sebagai berikut: y = 5473,966 – 5217,029 x ; dengan y adalah ic50 dan x adalah 50% (0,5) maka ic50 = 5473,966 – (5217,029 x 0,5) ic50 = 2865,5 µg/ml. digunakan analisis regresi probit untuk memperoleh rumus: p = 3,525 – 0,933 x keterangan: p = transformasi persentase menjadi probit (dilihat dalam tabel finney, 1952).14 nilai yang brilliana nur rohima, indwiani astuti, muhammad ghufron, potensi fraksi etanolik akar tempuyung ... 58 digunakan adalah probit 5 yang diperoleh dari transformasi 50%. x = log (konsentrasi fraksi etanolik akar tempuyung dalam g/ml). dalam penelitian ini x adalah log [ic50]. jika nilai-nilai yang telah diketahui dimasukkan ke dalam rumus maka: p = 3,525 – 0,933 x 5 = 3,525 – 0,933 x x = -1,58 ic50 = 2624,7 µg/ml. jumlah ic50 dengan menggunakan analisis regresi probit lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan regresi linier. kemungkinan besar ini disebabkan 5 data dieksklusi dari analisis regresi probit karena lebih dari 100% sehingga dianggap tidak representatif untuk analisis regresi probit. pada penelitian ini digunakan ic50 dari analisis regresi linier yang memperhitungkan semua data. hasil penghitungan uji sitotoksisitas fraksi etanolik akar tempuyung menunjukkan bahwa ic50 akar tempuyung adalah sebesar 2865,5 µg/ml. menurut mans, et al. 2000,15 jumlah ini menunjukkan bahwa akar tempuyung memiliki potensi yang rendah untuk dikembangkan sebagai obat kemoterapi. hal ini disebabkan karena dengan konsentrasi yang sangat besar (e”50 µg/ml) fraksi etanolik akar tempuyung baru dapat menghambat proliferasi cell line kanker kolon widr 50%. diskusi akar tempuyung digunakan sebagian bahan utama pembuatan fraksi etanolik dalam penelitian ini karena akar tempuyung memiliki kandungan flavonoid paling besar dibanding bagian yang lain, yaitu sebesar 0,5%. kandungan flavonoid tempuyung ini sebagian besar adalah apigenin. walaupun demikian, jumlah apigenin yang merupakan zat aktifnya sebenarnya relatif kecil sehingga untuk menghambat proliferasi cell line kanker kolon widr 50% diperlukan konsentrasi yang mencapai 2865,5 µg/ml. pada setiap kelompok perlakuan dihitung jumlah sel yang mengekspresikan caspase-9 aktif. sel kanker kolon widr yang mengekspresikan caspase-9 (sel imunopositif) berwarna coklat pada sitoplasmanya dan yang tidak mengekspresikan caspase-9 (sel imunonegatif) hanya berwarna biru pada intinya karena pengecatan hematoksilin. hal tersebut memperlihatkan bahwa antibodi yang digunakan pada pengecatan ini secara spesifik menandai sel yang mengekspresikan caspase-9. pada setiap preparat histopatologi dihitung jumlah sel yang imunopositif pada 500 sel dan dinyatakan dalam persentase. caspase-9 merupakan inisiator dalam jalur intrinsik apoptosis. caspase-9 aktif dengan munculnya berbagai macam anggota keluarga protein proapoptosis seperti bax, bam, bid dan bim akibat aktivasi p53.16,17 dalam penelitian ini, ekspresi caspase-9 diukur untuk menggambarkan proliferasi sel kanker. tempuyung atau sonchus arvensis l. merupakan tanaman herbal liar menahun yang hidup tersebar di berbagai daerah di indonesia.18 di dalam akarnya, terdapat flavonoid sebanyak 0,5% yang merupakan kandungan paling banyak dibandingkan bagian tanaman lainnya.19 flavonoid ini sebagian besar adalah apigenin yang merupakan zat aktif untuk menginduksi ekspresi caspase-9. fraksinasi akar tempuyung dilakukan sehingga diharapmutiara medika vol. 11 no. 1: 55-61, januari 2011 59 kan sampel yang digunakan mengandung flavonoid dalam jumlah yang relatif banyak. apigenin merupakan bioflavonoid yang termasuk dalam kelas flavone yang memiliki potensi terapeutik.7 menurut penelitian takagaki, et al. pada tahun 2004, ternyata apigenin mampu menginduksi peningkatan ekspresi p21 pada sel dengan mutasi p53 dengan p53-independent pathway.20 selain itu, pada penelitian oleh wang, et al., pada tahun 1999 pada sel hl60 leukemia, apoptosis juga diaktifkan dengan meningkatnya ekspresi sitokrom-c serta aktivasi caspase-9 dan caspase-3 yang diperkirakan melalui caspase-independent pathway.21,22 dalam pemeriksaan juga tidak didapati penurunan ekspresi protein keluarga bcl2 serta molekul proapoptosis bad dan bax pada kanker kolon serta kanker prostat sehingga seharusnya ekspresi caspase-9 aktif juga tidak mengalami penurunan.8,9 dalam penelitian ini walaupun digunakan cell line kanker kolon widr yang mengalami mutasi p53 tetapi ternyata caspase-9 tetap diekspresikan.23 pada cell line kanker kolon widr ekspresi caspase9 lebih tinggi pada sel yang diberi fraksi etanolik akar tempuyung dibandingkan kontrol negatif yang hanya diberi media kultur. hal ini karena walaupun gen p53 mengalami mutasi, tetapi jalur kerja gen ini masih dapat difungsikan. kemungkinan besar caspase-9 dapat bekerja dengan fungsi apigenin dalam mengaktifkan p53-independent pathway dan caspase independent pathway. pada penelitian ini tidak dilakukan uji imunohistokimia karena ic50 fraksi etanolik akar tempuyung yang terlalu besar (e”50 µg/ml). hal ini menunjukkan bahwa akar tempuyung memiliki potensi yang rendah untuk dikembangkan sebagai obat kemoterapi.15 simpulan fraksi etanolik akar tempuyung (sonchus arvensis l.) memiliki potensi yang rendah sebagai obat kemoterapi kanker kolon berdasarkan ekspresi caspase-9 pada cell line kanker kolon widr. saran sebaiknya penelitian selanjutnya mengenai pengaruh akar tempuyung (sonchus arvensis l.) terhadap ekspresi caspase-9 pada cell line kanker kolon widr menggunakan isolasi senyawa aktif flavonoid atau apigenin sehingga hasil yang didapatkan akan lebih representatif untuk dikembangkan sebagai obat kemoterapi. daftar pustaka 1. meyerhardt ja, mayer rj. systemic therapy for colorectal cancer. n engl j med 2005; 352: 476-87. 2. tjindarbumi d, mangunkusumo r. cancer in indonesia, present and future. jpn j clin oncol 2002;32 suppl 1: s17-21. 3. mortensen n. prevention and early detection of colorectal cancer. n engl j med 1997; 336:448. 4. moertel cg. chemotherapy for colorectal cancer. n engl j med 1994;330:1136-1142. 5. katzung bg. basic and clinical pharmacology. 10th edition. san francisco: mc graw hill, 2006. 6. giaccone g, pinedo hm. drug resistance. the oncologist peb 1996;1(1-2):82-87. 7. narayana kr, reddy ms, chaluvadi mr, krishna dr. bioflavonoids classification, pharmacological, biochemical effects and therapeutic potential. indian j of pharm 2001; 33:2-16. brilliana nur rohima, indwiani astuti, muhammad ghufron, potensi fraksi etanolik akar tempuyung ... 60 8. gupta s, afaq f, mukhtar h. involvement of nuclear factor-kappa b, bax and bcl-2 in induction of cell cycle arrest and apoptosis by apigenin in human prostate carcinoma cells. oncogene 2002; 21:3727-3738. 9. farah m, parhar k, moussavi m, eivemark s, salh b. 5-6-dichloro-ribifurano-sylbenzimidazoleand apigenin-induced sensitization of colon cancer cells to tnf-?-mediated apoptosis. am j physiol gastrointest liver physiol 2003;285:919-928. 10. lin jd. the role of apoptosis in autoimmune thyroid disorders and thyroid cancer. bmj 2001;322:1522-1527. 11. sriningsih a, hapsoro w, sumaryono w, wibowo ae, caidir firdayani ks, kartakusuma p. analisa senyawa golongan flavonoid herbal tempuyung (sonchus arvensis l.). (disertasi). universitas gadjah mada; 2002. 12. triest b, pinedo hm, hensbergen y, smid k, telleman f, schoenmakers ps. et al. thymidylate synthase level as the main predictive parameter for sensitivity to 5-fluorouracil, but not for folate-based thymidylate synthase inhibitors, in 13 nonselected colon cancer cell lines. clinical cancer research march 1999;5:643-654. 13. zhang c, wu l, tashiro s, onodera s, ikejima t. oridonin induces apoptosis of hela cells via alternating expression of bcl-2/ bax and activating caspase-3/ icad pathway. acta pharmacol sin may 2004;25(5):691-698. 14. vincent k. probit analysis. [serial online] [cited 2008 november 27]; [8 screens] available from: url: bioone online journal. 15. mans dra, darocha ab, schwartsmann g. anti-cancer drug discovery and development in brazil: targeted plant collection as a rational strategy to acquire candidate anti-cancer compounds. oncologis 2000;3:185-198 16. watson ajm, apoptosis and colorectal cancer. gut 2004;53:1701-1709. 17. kumar v, abbas ak, fausto n. robbins and cotran pathology basic of disease, 7th edition. pennsylvania: elsevier saunders; 2005. 18. lipi, mengenal tanaman obat tempuyung (sonchus arvensis) [serial online] [cited 2007 jul 27]; [1 screen] available from: url: www.iptekda.lipi.go.id/buletin_detail.htm 19. takagaki n. sowa y. oki t. nakanishi r. yogosawa s. sakai t, apigenin induces cell cycle arrest and p21/waf1 expression in a p53-independent pathway. int j oncol. 2005;26:185-189. 20. alonso m. tamasdan c. miller d c. newcomb e w, flavopiridol induces apoptosis in glioma cell lines independent of retinoblastoma and p53 tumor suppressor pathway alterations by a caspase-independent pathway. mol. cancer ther. 2003;2:139-150. 21. anonim, apigenin overview [serial online] [cited 2007 jul 17]; [1 screen] available from: url: http://www.lef.org/abstracts/codex/ apigenin_index.htm 23takagaki n., sowa y., mutiara medika vol. 11 no. 1: 55-61, januari 2011 61 oki t., nakanishi r., yogosawa s., sakai t. 2005. apigenin induces cell cycle arrest and p21/waf1 expression in a p53-independent pathway. intern jl of oncology 2005;26:185189. 22. rodrigues nr, rowan a, smith me, kerr ib, bodmer wf, gannon jv, lane dp. p53 mutation in colorectal cancer. proc natl acad sci usa october 1990;87(19):7555-7559. 33 mutiara medika vol. 16 no. 1: 33-40, januari 2016 tingkat kerusakan mukosa lambung pada tikus model yang dinduksi etanol the extend of gastric mucosal damage in etanol induced model rats sherly usman program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta email: sherlyusman@yahoo.com abstrak gastritis merupakan salah satu gangguan pencernaan yang sering ditemukan dalam masyarakat. kerusakan mukosa lambung dapat diinduksi oleh berbagai faktor salah satunya konsumsi alkohol. alkohol sebagian dikonsumsi oleh penduduk dunia termasuk indonesia. penelitian mengenai kerusakan mukosa lambung, banyak dilakukan dengan menggunakan tikus model yang diinduksi etanol. mekanisme kerusakan mukosa lambung yang diinduksi etanol masih belum sepenuhnya jelas. tujuan penelitian ini untuk mengkaji tingkat kerusakan mukosa lambung pada tikus model yang diinduksi etanol. penelitian ini menggunakan tikus (rattus norvegicus)galur spraque dawley sebanyak 24 ekor dibagi 4 kelompok yaitu kelompok kontrol akuades (ka), kelompok perlakuan dengan etanol terminasi hari pertama (eh1), etanol terminasi hari ke3 (eh3), etanol terminasi hari ke-5 (eh5). semua kelompok dipuasakan dan diinduksi peroral dengan etanol dosis 100% 1ml/200 gr bb. data tingkat kerusakan mukosa lambung didapatkan dari hasil pengamatan makroskopis dan mikroskopis. ulkus dengan perdarahan tampak pada mukosa kelompok etanol terminasi hari pertama dengan tingkat kerusakan mukosa lambung paling berat. disimpulkan bahwa tingkat kerusakan lambung diinduksi etanol paling berat pada awal setelah induksi, kemudian berangsur menurun mengalami perbaikan mukosa. kata kunci: tingkat kerusakan mukosa lambung; etanol, rattus norvegicus abstract gastritis is frequently digestion problem found in society. gastric damage induced with some factors for example alcoholic people. alcoholic people found in indonesian people.the research of gastric damage in the rat models is mostly conducted by ethanol induction. gastric damage induced ethanol by understandable mechanism. this research aim to analyzes the gastric damage level on rat models induced ethanol. rat (rattus norvegicus) spraque dawley strain divided into 4 group: aquades control (ka), treatment groups: first day of terminated ethanol (eh1), third day of terminated ethanol (eh3), fifth day of terminated ethanol (eh5). all groups were being per oral induction, conducted in accordance with 100% ethanol of 1ml/200 gr body weight. the data level of the gastric damage can finding on macroscopic and microscopic observation. ulcus seen in first day induces ethanol group. the gastric damage level of etanol group was most highly in first day after induction. it was concluded that the gastric damage level of etanol was most high in first day of mucosa damage and turn on after it for mucosa healing process. keywords: gastric mucosa damage; etanol, rattus norvegicus artikel penelitian mutiara medika vol. 16 no. 1: 33-40, januari 2016 34 sherly usman, tingkat kerusakan mukosa lambung pendahuluan gastritis merupakan gangguan pencernaan berupa kerusakan mukosa lambung yang memiliki angka kejadian berkisar antara 5%-10% dari populasi penduduk dunia.1 kerusakan mukosa lambung memiliki penyebab yang multifaktorial, selain itu melalui mekanisme yang tidak sepenuhnya dipahami. ketidakseimbangan antara faktor invasif dan faktor defensif disebabkan oleh ulcerogenic agents sehingga memicu kerusakan lambung.2 faktor invasif di antaranya dipicu dari luar yaitu penggunaan obat atau konsumsi alkohol.2 faktor defensif meliputi sekresi mukus-bikarbonat dan prostaglandin.3 penelitian dengan menggunakan tikus model kerusakan lambung sudah banyak dilakukan, terutama dengan bahan induksi berupa etanol.4 pada kenyataannya, alkohol sebagian dikonsumsi oleh penduduk dunia termasuk indonesia. pada penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kerusakan lambung yang diinduksi etanol melalui jalur aktifnya mediator inflamasi tnf-. selain itu memicu penurunan produksi prostaglandin sebagai agen sitoproteksi mukosa lambung. penelitian terdahulu lainnya menunjukkan bahwa kerusakan mukosa lambung yang diinduksi etanol melalui mekanisme yang berbeda. etanol menginduksi kerusakan mukosa lambung melalui produksi radikal bebas sebagai produk metabolisme. salah satu produk radikal bebas salah satunya adalah reactive oxygen species (ros).5 produksi ros yang terakumulasi menyebabkan kegagalan sistem antioksidan endogen.6 selain itu dalam penelitian terdahulu menunjukkan bahwa etanol mempunyai daya penetrasi yang kuat dan cepat ke lapisan mukosa lambung sehingga memicu kerusakan epitel.5 dengan melihat mekanisme kerusakan mukosa yang diinduksi etanol masih belum jelas sepenuhnya, maka penelitian ini mengkaji bagaimanakah tingkat kerusakan lambung pada tikus model ulkus lambung yang diinduksi etanol? penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tingkat kerusakan mukosa lambung pada tikus model kerusakan mukosa lambung yang diinduksi etanol. bahan dan cara penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental dengan menggunakan rancangan penelitian post test only control group. variabel bebas penelitian adalah etanol 100% sebanyak 1 ml/grbb. variabel terikat penelitian adalah tingkat kerusakan mukosa lambung secara makroskopis dan mikroskopis. bahan yang digunakan adalah hematoxylin meyer’s (merck 105174.0500), pbs ph 7 dan etanol 100%. semua tikus diaklimatisasi selama 7 hari dengan diberi pakan dan minum ad libitum. ruangan diatur dengan temperatur 25-30 0c, kelembaban 5060% dan siklus gelap-terang masing-masing 12 jam. tikus sprague dawley jantan sebanyak 24 ekor dikelompokkan menjadi 4 kelompok, masing-masing beranggotakan 6 ekor tikus. pembagian kelompok dapat dilihat pada tabel 1. semua hewan coba diinduksi sesuai pembagian kelompok dengan cara sonde lambung. hewan coba diterminasi dengan menggunakan eter. pengambilan tabel 1. pembagian kelompok hewan coba kelompok perlakuan waktu terminasi ka larutan aquades hari pertama induksi eh1 etanol 100% hari pertama induksi eh3 etanol 100% hari ke-3 induksi eh5 etanol 100% hari ke-5 induksi keterangan: dosis ethanol adalah 1 ml/200grbb 35 mutiara medika vol. 16 no. 1: 33-40, januari 2016 organ lambung dilakukan dengan cara tikus ditelentangkan dan diris dinding abdomennya hingga rongga abdomen terlihat. organ lambung diambil dengan memotong batas corpus-esophagus dan pylorusduodenum. lambung dicuci dengan nacl fisiologis kemudian dibuka pada batas curvatura major. pengamatan kerusakan mukosa lambung secara makroskopis dan mikroskopis. organ lambung yang telah bersih kemudian difiksasi dengan cara dibentangkan di atas parafin padat dengan menggunakan jarum, dan dilakukan pengamatan kerusakan mukosa secara makroskopis. penilaian kerusakan mukosa lambung secara makroskopis dinilai berdasarkan gambaran perubahan warna mukosa, noda ulkus, perdarahan, ulkus yang lebih dalam dan perforasi dengan bantuan kaca pembesar. penilaian menggunakan sistem skor dengan skala 0-5.7 pengamatan dilakukan oleh 2 orang pengamat secara blinded observer. skor dengan kriteria penilaian dapat dilihat pada tabel 2. setelah dilakukan pengamatan tingkat kerusakan mukosa secara makroskopis, kemudian area ulkus di lambung diiris secara horisontal dengan ketebalan ± 1 cm. irisan mukosa kemudian diproses untuk pemeriksaan mikroskopik dengan prosedur paraffin embedding menggunakan pengecatan he. penilaian pengamatan mikroskopis. pengamatan secara mikroskopis dilakukan berdasarkan luas area lesi mukosa dan kedalaman ulkus di mukosa. penilaian pengamatan menggunakan 2 langkah sistem skor yaitu skor persentasi area lesi mukosa dan skor kedalaman lesi mukosa. total skor kerusakan berdasarkan penjumlahan antara skor persentasi area lesi mukosa dengan skor kedalaman ulkus di mukosa berskala 0-6.8 pengamatan dilakukan oleh 2 orang pengamat secara blinded observer. kriteria penilaian antara skor area lesi mukosa dan skor kedalaman ulkus mukosa dapat dilihat pada tabel 3. dan tabel 4. sampel diamati masing-masing 5 lapang pandang pada masing-masing kelompok menggunakan mikroskop perbesaran 100x dan 400x oleh 2 orang pengamat tanpa mengetahui kelompok sampel (blinded observer). data yang menunjukkan tingkat kerusakan mukosa lambung diperoleh dengan metode semikuantitatif berdasarkan rerata skor yang muncul. hasil pengamatan dari 2 orang pengamat secara blinded observers disajikan dalam bentuk rerata. data diuji normalitasnya menggunakan uji shapirowilk. apabila sebaran data normal maka menggunakan analisis uji parametrik dengan two way analysis of variance (two-way anova). apabila sebaran data tabel 2. skor dan kriteria kerusakan mukosa lambung secara m akroskopis skor kriteria 0 normal 1 kemerahan 2 noda ulkus 3 perdarahan 4 ulkus yang disertai perdarahan 5 perforasi tabel 3. skor dan kriteria penilaian area lesi mukosa skor kriteria 0 tidak ada lesi 1 area lesi 1%-10% 2 area lesi 11%-20% 3 area lesi >20% tabel 4. skor dan kriteria penilaian kedalaman ulkus skor kriteria 0 tidak ada perubahan 0,5 erosi pada epitel permukaan mukosa 1 ulkus mencapai lamina propia 2 ulkus mencapai 2/3 atau lebih lapisan mukosa 3 ulkus mencapai keseluruhan lapisan mukosa 36 sherly usman, tingkat kerusakan mukosa lambung tidak normal maka menggunakan uji non parametrik menggunakan uji non parametrik kruskal-wallis. hasil penelitian ini menggunakan 24 ekor tikus, yang dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan yaitu kontrol akuades (ka), etanol terminasi hari pertama (eh1), etanol terminasi hari ke-3 (eh3), etanol terminasi hari ke-5 (eh5). penetapan dosis dan waktu terminasi pada kelompok yang diinduksi etanol sesuai dengan penelitian terdahulu.9 konsentrasi etanol yang digunakan adalah 100%. dosis etanol yang digunakan pada penelitian ini yaitu 1ml/200 gr bb. penilaian kerusakan mukosa lambung meliputi penilaian makroskopis dan mikroskopis. data nilai makroskopis disajikan secara deskriptif. data nilai mikroskopis, diuji normalitasnya dengan uji shapirowilk test, yang menunjukkan bahwa sebaran data tidak normal. oleh karena itu, untuk melihat perbedaan rerata antara kelompok dilakukan uji beda rerata antara semua kelompok perlakuan dengan menggunakan uji kruskall wallis test. penilaian kerusakan mukosa lambung secara makroskopis. penilaian makroskopis kerusakan lambung dilakukan dengan melihat tanda atau karakteristik sesuai tabel 2. dengan rentang nilai 0 untuk penilaian mukosa lambung normal sampai dengan 5 untuk kerusakan paling berat. gambaran makroskopis kerusakan mukosa lambung dapat dilihat pada gambar 1. nilai kerusakan mukosa lambung dapat dilihat pada tabel 5. mukosa lambung normal dengan nilai 0 dapat diamati pada kelompok kontrol (gambar 1a; tabel 5.). kerusakan lambung berupa noda ulkus dengan nilai 2 dapat diamati pada mukosa lambung dari kelompok eh3 dan eh5 (gambar 1c dan 1d, tabel 5.). kerusakan lambung paling berat yang ditemukan pada penelitian ini berupa ulkus disertai perdarahan (nilai 4) ditemukan pada mukosa lambung dari kelompok eh1 (gambar 1b, tabel 5.). penilaian kerusakan mukosa lambung secara mikroskopis. penilaian mikroskopis kerusakan mukosa lambung dilakukan berdasarkan penjumlahan nilai persentase area lesi dan nilai kedalaman ulkus. penilaian ini dilakukan sesuai dengan penelitian terdahulu yang dapat dilihat pada tabel 3. dan tabel 4. kerusakan mukosa lambung dapat berupa erosi maupun ulkus. erosi adalah keadaan terputusnya lapisan epitel mukosa lambung dan ulkus merupakan keadaan terputusnya kontuinitas mukosa lambung (epitel, lamina propia dan muskularis mukosa) yang terkadang dapat mencapai lapisan muskularis. data kerusakan mikroskopis mukosa lambung disajikan dalam bentuk rerata. uji beda rerata antar kelompok perlakuan dengan kruskal wallis test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna pada beberapa kelompok perlakuan dengan nilai p=0,000 (p<0,05). uji mann whitney digunakan sebagai uji lanjutan untuk mengetahui kelompok yang berbeda bermakna dengan nilai p<0,05. gambaran mikroskopis kerusakan mukosa dapat dilihat pada gambar 2. dan nilai rerata kerusakan mukosa dapat dilhat pada tabel 6. tabel 5. nil ai k erusakan m ukosa lamb ung secara m akr osko pi s kelompok modus nilai kerusakan mukosa ka 0 eh1 4 eh3 2 eh5 2 keterangan: nilai 0=normal, 1=kemerahan, 2=noda ulkus, 3=perdarahan, 4= ulkus disertai perdarahan, 5= perforasi 37 mutiara medika vol. 16 no. 1: 33-40, januari 2016 berdasarkan uji mann whitney, nilai kerusakan mikroskopis mukosa lambung antara semua kelompok berbeda bermakna dengan kelompok kontrol (ka) (p<0,05). nilai rerata kerusakan paling rendah sebesar 1,000 ± 0,866 tampak pada kelompok kontrol (ka) (tabel 6.) dengan gambaran erosi (gambar 2a). kerusakan paling berat dapat dilihat pada mukosa lambung kelompok eh1 (gambar 2b) dengan nilai rerata kerusakan paling tinggi yaitu e• 4,000 (tabel 6.) dan bermakna dengan kelompok eh3, eh5 (p<0,05). pada kelompok eh3 dan eh5 tampak gambaran erosi yang lebih berat dari kelompok ka (gambar 2c dan 2d) dengan nilai rerata kerusakan mukosa sebesar 1,833 ± 0,577 (tabel 6.). gambar 1. gambaran makroskopis ulkus lambung. a) kelompok kontrol akuades (ka), b) etanol, terminasi hari ke-1 (eh1), c) etanol, terminasi hari ke-3 (eh3), d) etanol, terminasi hari ke-5. tampak ulkus dengan perdarahan (segitiga) dan noda atau bercak ulkus (tanda panah). tabel 6. nilai mikroskopis kerusakan mukosa lambung kelompok nilai rerata ka 1,000±0,866 b eh1 4,667±0,577 a eh3 1,833±0,577 c eh5 1,833±0,577 c keterangan: kisaran nilai mikroskopis ulkus lambung paling ringan hingga paling berat yaitu 0,5-6. 38 sherly usman, tingkat kerusakan mukosa lambung gambar 2. gambaran mikroskopik kerusakan mukosa lambun g. a) ko ntro l aq uades (k a), b) et anol , termin asi har i ke-1, c) etano l, termin asi hari ke-3 d), et anol, terminasi har i ke-5, tampak erosi mukosa (tan da panah), ulkus pada mukosa (segitiga).he. perbesaran 100x. diskusi kerusakan mukosa lambung disebabkan oleh ketidakseimbangan faktor defensif dan faktor invasif sehingga memicu produksi asam lambung berlebih.2 pada penelitian ini menggunakan model tikus yang diinduksi oleh bahan yang menginduksi kerusakan mukosa lambung yaitu etanol 100%. etanol mampu menginduksi kerusakan mukosa paling berat dibandingkan bahan induksi lainnya, di antaranya indometasin dan asam klorida (hcl). penelitian sebelumnya, pada mukosa lambung yang diinduksi indometasin, tidak terdapat perbedaan bentuk selsel mukosa lambung, sedangkan pada etanol 80% terlihat adanya abnormalitas berupa sel yang mengalami hipertropi. pada perlakuan dengan etanol 80% tampak infiltrasi neutrofil ke dalam sel-sel epitel yang menandakan terjadinya inflamasi.10 penelitian ini menggunakan etanol konsentrasi 100% dengan dosis 1 ml/200gr bb dengan waktu terminasi pada hari pertama (eh1), ke-3 (eh3) dan ke-5 (eh5). penetapan dosis dan waktu terminasi pada kelompok yang diinduksi etanol sesuai dengan penelitian terdahulu.9 pada penelitian ini, gambaran makroskopis mukosa lambung kelompok kontrol (ka) tampak normal, berbeda dengan kelompok lainnya (eh1, eh3 dan eh5). kerusakan mukosa paling berat berupa ulkus disertai perdarahan tampak pada kelompok eh1. kerusakan berupa noda ulkus tampak pada kelompok eh3, eh5. ulkus diduga disebabkan karena inflamasi lokal. proses inflamasi diawali dengan ketidakseimbangan produksi mukus, bikarbonat dan asam lambung sehingga mengiritasi mukosa lambung. selain itu, produksi mukus yang berkurang menyebabkan penetrasi pepsin ke epitel mukosa sehingga terjadi proses proteolitik epitel.11 kerusakan epitel dan akumulasi produksi asam lambung memicu produksi sitokin inflamasi untuk mengaktifkan makrofag. makrofag yang aktif akan memproduksi mcp-1 yang menyebabkan akumulasi makrofag untuk memicu produksi il-1² dan tnf-. hal ini 39 mutiara medika vol. 16 no. 1: 33-40, januari 2016 menyebabkan aktifnya cytokine network yang memicu proses migrasi neutrofil dari sirkulasi ke jaringan inflamasi.12 secara mikroskopis, derajat kerusakan mukosa pada kelompok eh1 nampak lebih berat dan berbeda bermakna (p<0,05) dengan eh3 dan eh5 (tabel 6). hal ini diduga karena telah terjadi proses perbaikan mukosa pada kelompok eh3 dan eh5. proses perbaikan mukosa pada kerusakan mukosa lambung yang diinduksi etanol terjadi mulai hari ke-3. pada penelitian terdahulu dijelaskan bahwa proses perbaikan mukosa dari kerusakan mukosa lambung yang diinduksi asam asetat dan asam lambung terjadi pada hari ke-3 sejak timbulnya kerusakan hingga hari ke-18 dan fase remodeling terjadi pada hari ke18 atau lebih.13,14 proses perbaikan melibatkan peran agen gastroprotektif mukosa yaitu cox-2. dalam keadaan inflamasi, cox-2 akan memicu produksi pg yang berperan untuk proses perbaikan ulkus, angiogenesis dan peningkatan produksi mukus dan bikarbonat.15 angiogenesis merupakan proses regenerasi pembuluh darah yang berperan menyalurkan oksigen dan nutrien untuk perbaikan mikrosirkulasi. kerusakan mukosa lambung yang diinduksi oleh etanol dosis tinggi terjadi pada hari pertama setelah induksi. kerusakan mukosa yang diinduksi etanol terjadi secara cepat, diawali dengan produksi radikal bebas hasil metabolisme dan inflamasi lokal di mukosa. etanol mengalami metabolisme langsung di dalam tubuh sehingga memicu produksi radikal bebas. selain itu, etanol mempunyai sifat penetrasi yang kuat dan mudah masuk ke lapisan mukosa lambung.5 berbagai kerusakan akibat inflamasi lokal di mukosa yang disebabkan karena terganggunya produksi pg dan akumulasi radikal bebas hasil metabolisme menyebabkan ketidakseimbangan antara produksi ros dan antioxidant defence.16 keadaan ini memicu terjadinya stres oksidasi disertai penurunan produksi pg yang menyebabkan aktifnya cox-2 untuk meningkatkan produksi pg.17 simpulan tingkat kerusakan mukosa lambung yang diinduksi etanol mencapai tingkat paling tinggi pada awal munculnya kerusakan, yaitu pada hari ke-1 setelah induksi etanol (eh1). tingkat kerusakan mukosa lambung yang diinduksi etanol menurun pada waktu induksi hari ke-3 (eh3) dan ke-4 (eh4) disebabkan karena terjadi proses perbaikan mukosa. daftar pustaka 1. jain nk, singh n, kannojiya p, garud n, garud a, tonpay sd. pharmacological screening of antiulcer agent: a review. int j pharmaceutical sci res, 2010; 1 (9): 29-37. 2. farzaei mh, khazaei m, abbasabadei z, feyzmahdavi m, mohseni gr. protective effect of tragopogon graminifolius dc against ethanol induced gastric ulcer. iran red crescent med j, 2013; 15 (9): 813-816. 3. srivastava v, mohan g, viswanathswamy ahm. protection of ethanol induced ulcers by sodium cromoglycate in albino rats. indian j pharmaceutical education res, 2010; 46 (1): 29-33. 4. atta ah, soad mn, samar mm. antiulcerogenic effect of some plant extracts. natural product radiance, 2005; 4 (4): 258-263. 5. hajrezaie m, golbabapour s, hassandarvish p, gwaram ns, a hadi ah, ali hm, et al. acute toxicity and gastroprotection studies of a new schiff base derived copper (ii) complex against 40 sherly usman, tingkat kerusakan mukosa lambung ethanol-induced acute gastric lesions in rats. plos one, 2012; 7 (12): 1-11. 6. qader sw, abdulla ma, chua ls, sirat hm, hamdan s. pharmacological mechanisms underlying gastroprotective activities of the fractions obtained from polygonum minus in sprague dawley rats. int j mol sci, 2012; 13 (2): 1481-1496. 7. prusty bk, kiran b, bhargavi v, subudhi sk. anti-ulcer investigation of the different extract of bark of bauhinia variegata linn (caesalpiniaceae) by pyloric ligation & aspirin plus pyloric ligation model. int j pharm biol sci, 2012; 2 (1): 248-262. 8. sibilia v, rindi g, pagani f, rapetti d, locatelli v, torsello a, et al. ghrelin protects against ethanol-induced gastric ulcers in rats: studies on the mechanisms of action. endocrinology, 2002; 144 (1): 353-359. 9. al-qaraghuli ams, abdel wemn, al-ani im, faisal gg. effects of xiang sha yang wei wan on ethanol-induced gastric ulcer in sprague dawley rats: a histological study. int med j malaysia, 2013; 12 (2): 3-10. 10. saputri fc, sari sp, mun’im a. pengembangan metode induksi tukak lambung. majalah ilmu kefarmasian, 2008; 5 (2): 84-90. 11. allen a, flemström g. gastroduodenal mucus bicarbonate barrier: protection against acid and pepsin. am j physiol cell physiol, 2005; 288 (1): 1-19. 12. arakawa t, watanabe t, tanigawa t, tominaga k, fujiwara y, morimoto k. quality of ulcer healing in gastrointestinal tract: its pathophysiology and clinical relevance. world j gastroenterol, 2012; 18 (35): 4811-4822. 13. masayuki t, tsutomu o, nobuyuki s, hiroshi n, minoru s, hiroyasu e. roles of inducible nitric oxide synthase in the development and healing of experimentally induced gastric ulcers. int j exp pathol, 2003; 84 (5): 213-220. 14. halter f, tarnawski as, schmassmann a, peskar bm. cyclooxygenase-2 implications on maintenance of gastric mucosal integrity and ulcer healing: controversial issues and perspectives. gut, 2001; 49 (3): 443– 453. 15. brzozowski t, konturek pc, konturek sj, brzozowska i, pawlik t. role of prostaglandins in gastroprotection and gastric adaptation. j physiol pharmacol, 2005; 56 (5): 33–55. 16. agarwal a, gupta s, sharma rk. role of oxidative stress in female reproduction. reprod biol endocrinol, 2005; 3 (1): 28. 17. unis a, abdelzaher e. sitaglipin impairs healing of experimentally induced gastric ulcers via inhibition of inos and cox-2 expression. am j pharmacol toxicol, 2013; 8 (3): 107-119. vol 20 no 2 page 56-61 july 2020 mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm suweg flour (amorphophallus campanulatus) potential reducing tnf-α levels in model diabetic rats ika setyawati1* 1 department of biochemistry, school of medicine, faculty of medicine and health sciences, universitas muhammadiyah yogyakarta, jl brawijaya, tamantirto, kasihan, bantul, yogyakarta, indonesia data of article: abstract: diabetes mellitus is a disease characterized by hyperglycemia. chronic received: 05 feb 2020 hyperglycemia increases reactive oxygen species (ros) synthesis. oxidative stress on reviewed: 10 mar 2020 fat, muscle, and liver tissue leading to insulin resistance. insulin resistance produces revised: 24 may 2020 several oxidative stress mediators such as tumor necrosis factor-alpha (tnf-α). this accepted: 03 jun 2020 *correspondence: ikasetyawati.dr@umy.ac.id study aims to determine the effect of suweg flour (amorphophallus campanulatus) on tnf-α levels in diabetic rats. this type of research is a laboratory experimental design with a pre-post test control group. the research subjects were 25 rattus norvegicus wistar strains divided into 5 groups, namely normal control, positive control doi: 10.18196/mm.200246 (untreated), standard (glibenclamide 0.09 mg/200 kgbw/day), and treatment groups (suweg flour 1.25 and 2.50 g/day). the treatment was given for 28 days. data were obtained by measuring tnf-α levels using elisa and then analyzed using type of article: paired t-test, anova and tuckey post hoc test. the result showed that there were research significant differences before and after treatment (p <0.001); there were significant differences between all groups (p<0.001); p suweg flour 2.50 1.25 < 0.001; p suweg flour 2.50 – standard = 0.002. it can be concluded that suweg flour can reduce tnf-α in diabetic mice but it is still lower than standard treatment. keywords: amorphophallus campanulatus; tnf-; diabetes mellitus abstrak: diabetes melitus merupakan penyakit yang ditandai dengan hiperglikemia. hiperglikemia kronis meningkatkan sintesis spesies oksigen reaktif (ros). stres oksidatif pada lemak, otot, dan jaringan hati yang menyebabkan resistensi insulin. resistensi insulin menghasilkan beberapa mediator stres oksidatif seperti tumor necrosis factor -alpha (tnf-α). penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tepung suweg (amorphophallus campanulatus) terhadap kadar tnf-α pada tikus diabetes. jenis penelitian adalah eksperimental laboratoris dengan pre-post control group. subjek penelitian adalah 25 strain rattus norvegicus wistar yang terbagi dalam 5 kelompok yaitu kontrol normal, kontrol positif (tanpa perlakuan), standar (glibenclamide 0.09 mg/200 kgbb/hari), dan kelompok perlakuan (tepung suweg 1.25 dan 2.50 g/hari). perlakuan diberikan selama 28 hari. data diperoleh dengan mengukur kadar tnf-α menggunakan elisa kemudian dianalisis menggunakan sample paired t-test anova dan post hoc tuckey. hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan bermakna sebelum dan sesudah perlakuan (p <0,001); ada perbedaan signifikan antara semua kelompok (p <0.001). nilai p tepung suweg 2.50 1.25 <0.001; p tepung suweg 2,50 standar = 0.002. dapat disimpulkan bahwa tepung suweg dapat menurunkan tnf α pada mencit diabetes namun masih lebih rendah daripada perlakuan standar. kata kunci: amorphophallus campanulatus; tnf-α; diabetes mellitus introduction diabetes mellitus (dm) is a group of non communicable and chronic diseases. this disease is often found throughout the world and the number of this case is predicted to increase over time. according to the international diabetes federation (idf) in 2019, the diabetics were estimated at 9.3% http://journal.umy.ac.id/index.php/mm mailto:ikasetyawati.dr@umy.ac.id vol 20 no 2 july 2020 58 | (463 million people) increased to 10.2% (578 million people) in 2030 and 10.9% (700 million people) in 2045.1,2 the prevalence of diabetes mellitus in the world in 2014 was 8.5% with 424 million survivors and it was expected to increase over time.3 diabetes mellitus is a metabolic disease characterized by hyperglycemia (increased blood glucose levels) due to abnormal insulin secretion, insulin action, or both. diabetes mellitus can cause complications such as microvascular and macrovascular complications including coronary artery disease and peripheral arterial disease.4,5 diabetes mellitus is an inflammatory disease caused by the increase of serum cytokine levels such as il-6 il-18, il-1, and tnf-α.6 additionally, hyperglycaemia leads to induct oxidative stress of increase the production of ros, promote lipid peroxidation, loss of function of different cell types such as renal cells.7 hyperglycaemia and oxidative stress activate the immune system and create an inflammatory medium by the activation of the nuclear transcription factors-kappa b (nf-kb), and release of inflammatory cytokines (tnf-α).8 hyperglycemia causes an increase of reactive oxygen species (ros) synthesis.9 it causes oxidative stress, which imbalance between the oxidative and antioxidative systems of cells and tissues. oxidative stress is a major damaging factor as a cause of insulin resistance, dyslipidemia, pancreatic β-cell dysfunction, impaired glucose tolerance and triggers type 2 diabetes mellitus.10 insulin resistance due to the compensatory work function of excessive pancreatic beta cells correlates significantly with elevated levels of tnf-α. tumor necrosis factor-α is an adipocytokine which involved in systemic inflammation secreted by macrophages and the other cells include adipocytes. moreover, tumor necrosis factor-α inhibits insulin transduction and affects glucose metabolism. it will affect the emergence of dm if tnf-α metabolism is disturbed.11,12,13 many compounds can react to ros that occurs in cells and reduce levels of these compounds. one molecule that is considered as an effective reduction of ros levels is antioxidants such as suweg.14 therefore, food intake management is a key factor that can be modified for caring for the dm. materials and method the subjects and materials were 25 wistars, gloves, scales, microtube, test tube racks, microhematocrit pipettes, timers, labels, and spectrophotometers. suweg is mixed into the flour with a disk mill machine and grinding at 1500 rpm with 80 mesh filter. one kilogram of suweg can produce 300-350 grams of flour.15,16 blood samples from orbital veins are put into a tube to be processed into the serum. the tube containing the complete blood samples was placed on the tube rack and let stand for approximately one hour at room temperature until the blood clots. the blood must be clotted before it was centrifuged to avoid hemolysis and the tubes must be centrifuged at 3000 rpm for 10 minutes to obtain the serum. these samples used for estimating the tnf-α levels of estimation was measured by a biochemical analyzer using an enzyme-linked immunosorbent assay (elisa) at the pretest and posttest of the study with fine test elisa kit (catalog number: er1393). blood glucose levels were measured using the god-pap (glucose oxidase-peroxidase aminoantypirin) method with dyasis kit reagen. this study used 25 male white rats (rattus norvegicus) aged between 2 3 months with ± 150 200 g of weight and physical health as the sample. the exclusion criteria were rats that showed a decrease in the physical condition during the adaptation phase. the rats were adapted for 7 days at gedung pusat antar universitas (pau) laboratorium pusat studi pangan dan gizi universitas gajah mada with adequate feeding with standard pellet rats diet, drinking, and lighting at room temperature. this research used experimental laboratory design by using a pre-post test control group. the subjects were 25 white male rats (rattus norvegicus) taken by stratified random sampling and observed in 28 days. the independent variable in this research was suweg flour of various concentrations. the dependent variable was the tnf-α level. the controlled variable was a trial animal with the same strain, sex, weight, age, feed, and individual cage. streptozotocin and na induction were conducted by injecting the intraperitoneal stz 45 mg/kgb and na 110 mg/kgb in 7 or 8 days after the adaptation phase to induct the male rats (rattus norvegicus) that damaged the pancreatic cell-β. the main characteristic of diabetic rats was the extension of hyperglycemia with blood glucose >160 mg/dl rate. the rats were tested for hyperglycemia by measuring their blood glucose concentration in 3 and 7 days following the stz and na injections.17,18 this research involved 25 rats were divided into 5 groups (n = 5) consisting of p1= normal control, p2 = positive control, p3 = standard (diabetic rats + glibenclamide 0.09 mg/200 kgbw/day), p4 = treatment 1 (diabetic rats + suweg flour 1.25 g/day), and p5 = treatment 2 (diabetic rats + suweg flour 2.50 g/day). the treatment is given orally in a daily dose for 28 days. previous research with dosage of boiled | 59 and raw suweg tubers is 10 mg/180 g bw/day (1800 mg/day) 19 and suspension of suweg tuber powder (360, 729 and 1440 mg/kgbw).20 the data was analyzed using spss 15 for windows. data distribution was priorly determined using the shapiro-wilk test. tumor necrosis factor-α (tnf-α) level was analyzed by paired sample t-test. this study was approved by the health research ethics committee with number of 148/ec kepk fkik umy/v/2019. result research subjects were diabetic rats induced by stz and na. diabetic rats can be identified by testing blood glucose levels on 3rd day after induction (table 1). this research showed a significant difference of tnf-α level between pre-treatment and post treatment by suweg flour in rats diabetic model (table 2). the average of tnf-α decrease is shown in table 3. table 3 shows an increase in tnf-α in the normal control and positive control groups, while the standard and treatment groups with suweg flour showed a decrease in tnf-α. table i. the average of blood glucose levels pre treatment group average level of blood glucose (mg/dl) normal control 63.89* positive control 265.03# standard 261.61# suweg flour 1.25 260.00# suweg flour 2.50 258.59# *normal rats #diabetic rats table 2 paired t-test for tnf-α levels in diabetic rats in all study groups group average level of tnf- (pg/ml)  sd p value pretest posttest normal control 6.07 ± 0.22 6.33 ± 0.16 0.025 positive control 14.89 ± 0.52 15.17 ± 0.47 0.010 standard 15.06 ± 0.59 7.81 ± 0.47 <0.001 suweg flour 1.25 14.58 ± 0.51 11.54 ± 0.40 <0.001 suweg flour 2.5 14.85 ± 0.69 8.86 ± 0.22 <0.001 table 3. the average of tnf-α decrease post treatment in all study group group decrease in tnf- (pg/ml) normal control -0.26 positive control -0.28 standard 7.25 suweg flour 1.25 2.96 suweg flour 2.50 5.99 this study also tested the significance of the differences between p3 (standard), p4 (1.25 g / day), and p5 (2.50 g / day) groups using one way anova. previously, the data abnormality test using saphiro wilk showing that the data were normally distributed (table 4). one way anova test showed that there were significant differences among the three groups (p <0.001). furthermore, the post hoc of tuckey test was conducted to determine how significant the differences between groups were. the test results are shown in table 5. table 4. shapiro wilk test on the average of tnf-α level of all study groups group p value pre-test post-test normal control 0.988 0.794 positive control 0.914 0.354 standard 0.287 0.855 suweg flour 1.25 0.301 0.373 suweg flour 2.5 0.095 0.894 table 5. post hoc test results on tnf-α post treatment between group of standart, suweg flour 1.25 and suweg flour 2.50 group group mean difference p value standart suweg flour 1.25 -3.72400* <0.001 suweg flour 2.50 -1.05000* 0.002 suweg flour 1.25 standart 3.72400* <0.001 suweg flour 2.50 2.67400* <0.001 suweg flour 2.50 standart 1.05000* 0.002 suweg flour 1.25 -2.67400* <0.001 * significant (p<0.05) table 5 shows that among the three groups, namely standard, suweg flour 1.25 and suweg flour 2.50, there was a significant difference in the decrease in tnf-α post treatment. however, it appears that the p value between standard suweg flour 2.5 groups is greater (0.002) than between vol 20 no 2 july 2020 60 | standard suweg flour 1.25 (<0.001). meanwhile, the p value between suweg flour 1.25 suweg flour 2.5 was the same as the p value between standard suweg flour 1.25 (p <0.001). this means that suweg flour 2.5 has the ability to reduce tnf-α significantly greater than suweg flour 1.25, although it is still below the ability of standard treatment (p = 0.002). discussion the average score of decrease in tnf-α between the pre-test and post-test of the tested group was showed by p5. it means this test showed a good effect in reducing levels more than the p4 group. also, this test showed that the more total of flour supplied, the lower the tnf-α level (table 3). then, the p3 group showed that the use of glibenclamide was better than the suweg flour in the treatment group. moreover, the glibenclamide was one of the choices of the antidiabetic drugs used for people with dm. this p3 is tested as a reference and comparison of the standardized research method. the average of post-test tnf-α levels was significantly different (p<0.001) with the one way anova test. post hoc test showed that suweg flour 2.50 reduced tnf-α significantly greater than suweg flour 1.25 but still below the standard significantly. the previous research showed that suweg has antioxidants that can reduce oxidative stress in in-vitro studies and has radical scavenging activity which is associated with high phenolic and flavonoid antioxidants.18 this potential activity is shown by the ability of potential protein donors to inhibit free radicals or scavengers. both phenolic and flavonoid have antidiabetic properties and inhibit the fat peroxidation chain and preventing secondary complications of dm.21,22 the phenolics control dm by inhibiting the enzymes α-amylase and α-glucosidase which are involved in hyperglycemia.21 the enzyme inhibition caused the decrease of blood glucose level and affected ros decrease. whereas, flavonoids can regenerate pancreatic β cells and stimulate insulin secretion.23 therefore, the blood glucose level can be decreased by regenerated pancreatic cells of insulin secretion. based on other studies related to the antioxidant activity test of methanol extract suweg which was conducted by in vitro test, methanol extract suweg showed potent antioxidant activity.24 besides, antioxidants can protect biomolecules from the ros effect by reducing oxidative stress conditions in cells characterized by one of tnf-α decreasing levels.25 antioxidants will downregulate nf-kb as a master regulator of inflammation so the level of tnf-α will be decreased. tumor necrosis factor-alpha post-test level in p2 was increased compared to tnf-α pre-test level. it caused by p2 of diabetes mellitus group without suweg flour treatment where insulin deficiency or insulin resistance occurs in dm conditions. thus, the first proinflammatory cytokine production is tnf-α which is reported as reducing insulin-regulated glucose transporter type 4 (glut4). it was found in adipocytes, skeletal muscle and heart muscle.24, 26 acknowledgement this research was supported by research, publication and community service institute of universitas muhammadiyah yogyakarta. conclusion it can be concluded that suweg flour (amorphophallus campanulatus) can reduce tnf-α in diabetic mice but it is still lower than standard treatment. references 1. international diabetes federation. idf diabetes atlas. 8ed. 2017, 8. https://www.idf.org/e-library/epidemiology research/diabetes-atlas/134-idf-diabetes atlas-8th-edition.html 2. saeedi p, petersohn i, salpea p, malanda b, karuranga s, unwin n. 2019.global and region diabetes prevalence estimates for 2019 and projections for 2030 and 2045: results from the international diabetes federation diabetes atlas, 9th edition. diabetes research and clinical practice 157 (2019) 107843: 1-10. 3. roglic g. world health organization (eds.), 2016. global report on diabetes. world health organization, geneva, switzerland. 4. papatheodorou k, papanas n, banach m, papazoglou d, and edmonds m. complications of diabetes 2016. j. diabetes res. 2016, 1–3. 5. setiati s, alwi i, sudoyo wa, simadibrata m, setyohadi b, syam af. ilmu penyakit dalam, vi. ed, 2. interna publishing, jakarta. 2017 6. ingaramo pi, ronco mt, frances de, monti ja, pisani gb, ceballos mp, galleano m, carrillo mc, carnovale ce. tumor necrosis factor alpha pathways develops liver apoptosis in type 1 diabetes mellitus. mol immunol 2011. 48:1397–1407. 7. diaz-flores m, angeles-mejia s, baiza gutman la, medina-navarro r, hernandez saavedra d, ortega-camarillo c, roman http://www.idf.org/e-library/epidemiology| 61 ramos r, cruz m, alarcon-aguilar fj. effect of an aqueous extract of cucurbita ficifolia bouche on the glutathione redox cycle in mice with stz-induced diabetes. j ethnopharmacol. 2012.144:101–108. 8. elmarakby aa, and sullivan jc. relationship between oxidative stress and inflammatory cytokines in diabetic nephropathy. cardiovasc ther. 2012. 30:49–59. 9. faria a, persaud sj. cardiac oxidative stress in diabetes: mechanisms and therapeutic potential. pharmacol. ther. 2017.172, 50–62. 10. tangvarasittichai s. oxidative stress, insulin resistance, dyslipidemia and type 2 diabetes mellitus. world j. diabetes 2015.6, 456. 11. swaroop jj, rajarajeswari d, and naidu jn. association of tnf-α with insulin resistance in type 2 diabetes mellitus. indian j med res. 2012. jan; 135(1): 127-130. 12. moller de. potential role of tnf alpha in the pathogenesis of insulin resistance and type 2 diabetes. ternd endocrinol metab. 2000;11:212-7. 13. aguirre v, uchida t, yenush l, davis r, white mf. the c-jun nh2-terminal kinase promotes insulin resistance during association with insulin receptor substrate-1 and phosphorylation of ser (307) j biol chem. 2000;275:9047-54. 14. noctor g, lelarge-trouverie c, mhamdi a. the metabolomics of oxidative stress. phytochemistry. 2015. 112, 33–53. 15. kunwar a, priyadarsini ki. free radicals, oxidative stress and importance of antioxidants in human health. j med allied sci. 2011; 1(2): 53-60 16. lianah, tyas da, armanda dt, setyawati sm. aplikasi umbi suweg (amorphophallus campanulatus) sebagai alternatif penurun gula darah pada penderita diabetes mellitus. al-hayat j. biol. appl. biol. 2018.1, 12. 17. handayani t. analysis of nutrient and anti nutrient compositions of “suweg” (amorphophallus paeoniifolius) cultivated in java 8. 2019. 18. hasan v, astuti s, susilawati. glicemyc index of oyek and tiwul from arrowroot. jurnal teknologi industri dan hasil pertanian. 2011:16 (1) maret 2011: 34-50. 19. jain sk, rains jl, and croad jl. effect of chromium niacinate and chromium picolinate supplementation on lipid peroxidation, tnf-α, il-6, crp, glycated hemoglobin, triglycerides and cholesterol levels in blood of streptozotocin-treated diabetic rats. free radic biol med. 2007 october 15; 43(8): 1124–1131. 20. pisoschi am, and pop a. the role of antioxidants in the chemistry of oxidative stress: a review. eur. j. med. chem. 2015. 97, 55–74. 21. ansil pn, nitha a, prabha sp, wills pj, jazaira v, and latha ms. protective effect of amorphophallus campanulatus (roxb.) blume.tuber against thioacetamide induced oxidative stress in rats. asian pac. j. trop. med. 2011. 4, 870–877. 22. puspitaningrum i, dan sari ip. efek diet suspensi serbuk umbi suweg (amorphophallus campanulatus (roxb.) bl.) terhadap profil lemak tubuh pada tikus jantan yang diberi diet lemak tinggi. tesis. universitas gadjah mada, yogyakarta. 2012. http://etd.repository.ugm.ac.id/home/detail _pencarian/57642 23. ahmad m, akhtar ms, malik t, gilani ah. hypoglycaemic action of the flavonoid fraction of cuminum nigrum seeds. phytother res. 2000 mar;14(2):103-6. 24. loizzo mr, lecce gd, boselli e, menichini f, and frega ng. inhibitory activity of phenolic compounds from extra virgin olive oils on the enzymes involved in diabetes, obesity and hypertension: bioactivity of olive oil polyphenolic extracts. j. food biochem. 2011. 35, 381–399. 25. hoa nk, norberg a, sillard r, van phan d, thuan nd, dzung dtn, jornvall h, and ostenson cg. the possible mechanisms by which phanoside stimulates insulin secretion from rat islets. j. endocrinol. 2007.192, 389–394. 26. newsholme p, cruzat vf, keane kn, carlessi r, de bittencourt pih. molecular mechanisms of ros production and oxidative stress in diabetes. biochem. j. 2016.473, 4527–4550. 27. msh akash k. rehman, and a liaqat. “tumor necrosis factor-alpha: role in development of insulin resistance and pathogenesis of type 2 diabetes mellitus”. journal of cellular biochemistry, 2018:119 (1): 105–110 https://www.bibliomed.org/?jtt=2231-1696 https://www.bibliomed.org/?jtt=2231-1696 http://etd.repository.ugm.ac.id/home/detail mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 19 no 2 hal 68-73 juli 2019 long-term predictors of disease free survival (dfs) in ovarian cancer sensitive to platinum based chemotherapy prediktor jangka panjang dari disease free survival (dfs) pada kanker ovarium yang sensitif terhadap kemoterapi platinum dita ria selvyana1*, johan kurnianda2 1 division of internal medicine, doctor professional study program, faculty of medicine and health sciences, universitas muhammadiyah yogyakarta 2 division of hematology and medical oncology, department of internal medicine, faculty of medicine universitas gadjah mada/rs.dr.sardjito, yogyakarta data of article: received: 13 feb 2019 reviewed: 27 mar 2019 revised: 16 may 2019 accepted: 21 jun 2019 *correspondence: deetajogja@yahoo.com doi: 10.18196/mm.190232 type of article: case report abstract: until now, there has been progress in the treatment of ovarian cancer, but ovarian carcinoma is still a cause of high mortality. various factors have been known to be associated with a poor prognosis, such as the absence of symptoms, lack of an effective screening tool, diagnosis of the disease that was only detected after an advanced stage, high recurrence of disease resistant to chemotherapy. there are more than 70% of cases detected in advanced stage, with long-term survival of only 15-30%; while those detected in early stages, the survival reaches 90%. the recurrence risk of iiic stage disease is as high as 40% -50%. however, there is a small group of patients who can recover after standard therapy. there is variability in the recurrence-free period and survival, so it is difficult to predict the outcome with certainty. ovarian cancer patients with the same characteristics can show a different prognosis, related to high molecular heterogeneity of tumor genetics. we report a rare case that is a 56-year-old woman who has experienced a 5year free disease after complete remission after standard chemotherapy from stage iiic ovarian cancer. the disease-free period of up to 5 years after therapy may be related to factors that can be predictors of prognosis, such as age at diagnosis, body mass index, physical performance, cancer cell biology, and the success of surgical response and chemotherapy in these patients. keywords: ovarian cancer; prognosis factors; relapse-free period abstrak: telah terdapat kemajuan dalam pengobatan kanker ovarium, namun hingga saat ini karsinoma ovarium masih merupakan penyebab mortalitas yang tinggi. berbagai faktor telah diketahui berkaitan dengan prognosis yang buruk, seperti tidak adanya gejala, kurangnya alat screning yang efektif, diagnosis penyakit yang baru terdeteksi setelah sta-dium lanjut, tingginya rekurensi penyakit yang resisten terhadap kemoterapi. lebih dari 70% kasus datang dengan stadium lanjut, dengan kelangsungan hidup jangka panjang hanya 15–30%; sementara yang terdeteksi pada stadium awal kelangsungan hidupnya mencapai 90%. risiko rekurensi penyakit stadium iiic setinggi 40%-50%. namun terda-pat sekelompok kecil pasien yang dapat sembuh setelah terapi standar. terdapat variabili-tas masa bebas kekambuhan dan kelangsungan hidup sehingga sulit memprediksi hasil seca-ra pasti. pasien kanker ovarium dengan karakteristik yang sama dapat menunjukkan prog-nosis yang berbeda, terkait dengan heterogenitas molekular genetika tumor yang tinggi. berikut kami laporkan kasus yang jarang, wanita 56 tahun yang telah mengalami masa bebas penyakit selama 5 tahun paska remisi komplit setelah kemoterapi standar dari kanker ovarium stadium iiic. masa bebas penyakit hingga 5 tahun setelah terapi | 69 kemungkinan berkaitan dengan faktor yang dapat menjadi prediktor prognosis, seperti umur saat terdiagnosis, indeks massa tubuh, performa fisik, biologi sel kanker, serta keberhasilan dari respon terapi pembedahan dan kemoterapi pada pasien tersebut. kata kunci: kanker ovarium; faktor prognosis; masa bebas kekambuhan introduction although epidemiologically there have been significant developments in the successful management of ovarian carcinomas, the mortality rate caused by the disease is still relatively high. the study conducted by ezzati m. et al. (2014), 1 revealed that this is thought to be caused by the condition of patients who are often diagnosed during the advanced phase, the lack of a method of weaning early disease, the initial condition of asymptomatic disease, as well as recurrence of disease that is resistant to chemotherapy. according to ezzati m. et al. (2014), 1 recurrence rate of ovarian carcinoma after complete remission after the first chemotherapy series can reach 40% 50%, where it is very varied and gives a different prognosis even among individuals having similar clinical symptoms. efforts to predict recurrence of ovarian carcinoma after complete remission is a challenge, due to the high molecular heterogeneity of the disease. therefore, zhang m. et al. (2015), 2 stated studies related to biology of carcinoma cells may be able to predict therapeutic responsiveness and can help predict long-term disease free survival (dfs) rates. the main treatment for ovarian cancer with radical cytoreduction surgery is then followed by adjuvant chemotherapy with a standard regimen of paclitaxel and carboplatin. the rate of response to chemotherapy with a median of progression-free survival (pfs) 15-18 months, and median of overall survival (os) of less than 3 years. platinum free interval is the most important factor in predicting patient response to second-line therapy, divided into platinum-refractory, platinum-resistant, platinum-sensitive partial, and sensitive platinum. 3 here we report a fairly rare case, a 56-year-old woman who has experienced a disease-free period / disease-free survival (dfs) for 5 years after complete remission after standard chemotherapy from stage iiic ovarian cancer. dfs that occurs in patients up to 5 years after therapy may be related to various factors that can be predictors of the patient's prognosis, such as age at diagnosis, body mass index, physical performance, biology of cancer cells, and the success of surgical response and chemotherapy in the patients. cases a 56 years old woman, first came with complaints of abdominal pain in august 2012. ultrasonography (usg) examination revealed a solid and cystic mass in the posterior uterus with a size of 7.5 cm x 7.0 cm. ca 125 marker examination showed a result = 1867, with carcinoembryonic antigen (cea) 0.85. the patient was then planned to undergo a total abdominal hysterectomy (tah), bilateral salpingo oophorectomy (bso) and debulking to undergo a surgical staging procedure. based on surgical staging accompanied by an examination of pathological tissue, a picture of multilocular ovarian cystadenocarcinoma of the papilliferum musinosum, with an image of adenocar figure 1. msct patients with recurrent tumor mass in left adnexa vol 19 no 2 july 2019 70 | -cinoma in ascitic fluid was obtained. the patient was later diagnosed with stage iiic ovarian carcinoma. postoperative examination of ca 125 markers reached 552. the patient then underwent chemotherapy with regimen of paclitaxel 300 mg and 450 mg carboplatin for 6 cycles at intervals of 21 days. the patient completed chemotherapy thoroughly in december 2012. post-chemotherapy evaluation with abdominal ultrasound results in the absence of an abdominal tumor mass, with a normal chest x-ray examination. the ca 125 post chemotherapy result was 5.54. the patient is then determined as complete remission of ovarian carcinoma. quarterly monitoring in 2013 to 2014 did not find any symptoms and signs that lead to carcinoma recurrence. the six-month evaluation until 2016 found no symptoms and signs that lead to carcinoma recurrence. in february 2017, the patient again complained of abdominal pain. an ultrasound examination found a tumor mass of 5.21 cm x 3.58 cm, further examination of multi-slice computed tomography (msct) of the abdomen found a cystic mass in the left adnexa with a size of 5 x 4 cm (figure 1.). examination of ca 125 markers obtained results 31.4. then, the patient is planned to undergo a debulking procedure. post debulking tissue pathology examination showed results in the form of cystadenoma papiliferum serosum. discussion based on the canadian cancer society, there are several factors which determine the prognosis dan survival and possible recurrence of ovarian carcinoma. 4 table 2. explained several prognostic factors such as stadium carcinoma, carcinoma cell findings in peritoneal fluid, the spread of intra-abdominal tumor ca-125 marker concentration, obesity, age of physical performance, tumor type, responsiveness to chemotherapy, immunological factors, and the molecular profile of carcinoma cells. 5 carcinoma stadium when the diagnosed happened is the most important determinant factor which determines the prognosis of the disease. early carcinoma provides a better prognosis when compared to the advanced stadium. according to ezzati m. et al. (2014), 1 related to the prognosis of ovarian carcinoma, concluded that stadium ia ovarian carcinoma having a survival rate in 5 years reached 94% while stadium iv having a survival rate in 5 years reached 18%. in this patient, the stadium at the time of diagnosis was stadium iii c which has table 1. survival of ovarian cancer patients stadium 5-year survival i 90% ia 94% ib 92% ic 85% ii 70% iia 78% iib 73% iic 57% iii 39% iiia 59% iiib 52% iiic 39% iv 17% (canadian cancer statistics, 2017) 4 a prognosis of survival rate in 5 years reaching 39%. 1 according to ezzati m. et al. (2014), 1 the presence of carcinoma cells in ascites or peritoneum washing results indicates a worse prognosis compared to the absence of carcinoma cell. in this patient, ascites formation was found, with ascitic fluid cytology analysis showing the presence of carcinoma cells suggestive of adenocarcinoma. ezzati m. et al. (2014), 1 explain the spread of carcinoma cells to the abdominal and pelvic wall associated with a worse prognosis compared to the absence of the proliferation of carcinoma cells. in this patient, tumor cell infiltration was found in the post-dfs pelvis for five years. the process can occur as a result of the metastasis process or as a result of a process called ovarian remnant syndrome (ors), which occurs as a result of excision of the incomeplete from ovarian carcinoma tissue. according to imai a, matsunami k, takagi h et al. (2014), 6 incidence of ors generally occurs within a median of 12-13 years (range of 2-54 years). the way to differentiate postoperative pelvic/abdominal tumor lesions/chemotherapy ovarian carcinoma is to use tissue histology and fsh concentration. fsh concentrations < 40 miu/ml in patients who got the bso procedure can lead to the diagnosis of ors (in this patient, post-debulking histological tissue examination for the indications of the finding of tumor cell infiltration on the pelvis produced a result in the form of cystadenoma serosum papiliferum). 6 the examination of grade tumor also helps in knowing the prognosis of patients with ovarian carcinoma as a result of this examination, which reflects on the biology of the tumor cells. according to ezzati m. et al. (2014), 1 high-grade tumor tend to have a worse prognosis compared to low-grade tumors. in this patient, no further analysis was carried out related to the degree of differentiation | 71 table 2. prognostic factors of ovarian carcinoma determinant factor conditions with a good prognosis carcinoma stadium early stadium findings and spread of carcinoma cell there are no carcinoma cell findings in ascites and abdominal spread grade tumor low-grade tumor debulking optimal debulking concentration of ca-125 decreased ca-125 concentration after chemotherapy obesity, age, physical performance no obesity, young, good physical performance chemotherapy response complete remission carcinoma cell subtype endometrioid and musinosum immunological factors tumor infiltrating lymphocytes findings molecular profile  xrcc1 deficiency  homologous recombinant deficiency  the increase of expressions of her2, kras and egfr  the decrease of expressions of brca1 and braf (landrum l.m., et al., 2013) 5 of tumor cells. ezzati m. et al. (2014), 1 explained the results of effective therapy from the debulking process also influence the prognosis of patients with ovarian carcinoma. patients with optimal debulking had a significantly higher survival rate compared to the group of patients with suboptimal debulking. furthermore, the size of the remaining tumor cells in the group of patients who got suboptimal debulking also influences the patient's prognosis. residual lesions of <0.5 cm have a survival rate of up to 56 months, while residual lesions of > 0.5 cm have a survival rate of up to 27 months (p <.001). 1 the success of debulking (optimal/suboptimal) can also be predicted by the expression of the p53 gene, where tumors that express that gene tend to be difficult to achieve the optimal debulking of patients who have undergone the optimal debulking operative procedure. 7 decreased concentrations of ca-125, according to ezzati m. et al. (2014), 1 has significant prognostic value. the decrease in ca-125 concentration after chemotherapy showed excellent responsiveness to chemotherapy and be a marker of a better prognosis compared to without changes in ca-125 level after therapeutic action. in this case report, the patient experienced a significant decrease in ca-125 concentration after surgery and chemotherapy. 1 obesity also affects prognosis in patients with ovarian carcinoma. some related studies are diaz es, karlan by, li aj. (2013). 8 they concluded that the risk relative to the aspect of mortality obtained results in the form of 1.5 times higher mortality risk in ovarian carcinoma patients with a body mass index above 35 kg/m 2 compared to the group of patients with a healthy body mass index. these findings are thought to be related to overexpression of the hormone leptin, where leptin is known to increase the progression of some types of carcinomas. in this patient, obesity was not found. the age factors also have a significant effect on the prognosis and recurrence rate of ovarian carcinoma. the ovarian carcinoma that occurs at the age of fewer than 65 years is associated with a median survival time that can reach two years longer, has a good level of tumor cell differentiation, and is less invasive when compared to ovarian carcinoma that occurs over the age of 65 years. also, research conducted by ezzati m., et al. (2014), 1 revealed ovarian carcinoma that occurred at age > 65 years associated with more comorbid diseases and more reduced physical performance. in this patient, the diagnosis of the patient's ovarian carcinoma is established at the age of 56 years. 1 ezzati m. et al. (2014), 1 explains the status of physical performance in patients with ovarian carcinoma adopting the physical performance assessment system from the eastern cooperative oncology group/world health organization. the assessment was carried out by dividing the patient's physical performance into five classification assessments, i.e., 0: asymptomatic, 1: symptomatic but can complete outpatient therapy, 2: symptomatic, spend < 50% in bed during the day, 3: symptomatic, ordain activity > 50% in bed during the day, and 4: spend the whole activity in bed. patients with poor physical performance are associated with more inadequate therapeutic responses and more substantial side effects than those in the group of patients who have functional performance status. this patient has the performance status of equivalent to the value of 1 calibration. according to ezzati m. et al. (2014), 1 responsiveness from chemotherapy is related to the prognosis of the patient. the complete therapeutic response after first cycle chemotherapy is associated with a good prognosis. the patient reaches com vol 19 no 2 july 2019 72 | plete remission after chemotherapy. this result indicates the responsiveness of treatment is adequate and represents a good prognosis. the histological type of carcinoma cells in ovarian carcinomas can represent the prognosis of the disease. this study shows that every kind of histological picture of carcinoma cells correlates with different prognoses. for example, research conducted by prat j. (2012), 9 that high-grade serous tumors have a poor prognosis, whereas the type of musinosum is associated with a good prognosis. nevertheless, the type of musinosum has a reasonably low prevalence, which is 2-4% of all cases of ovarian carcinoma, with the majority of cases (90%) from the type of musinosum which have tumor cell types of low differentiation (low-grade tumor). this finding is related to a good prognosis, relatively small mortality with a five years survival rate that can reach 90%. nevertheless, cases of recurrence or metastasis of the type of musinosum are associated with a poor prognosis and the possibility of metastases occurring in unexpected places such as the bones or lungs. 10 in this patient, the type of carcinoma cell that appears is the type of mucinosum. in addition, patients also experience recurrence of cases of the type of musinosum. the existence of intratumoral lymphocyte t cell findings is a marker of immune cell sensitivity to resistant cell growth, which is a marker of a good prognosis. patients with intra-tumoral lymphocyte t cells have an overall survival (os) value that reaches 2.8 times greater and a growth free survival (pfs) that reaches 3.9 times greater than the control. it also seems to be related to the optimization status of the debulking operative action, where the presence of lymphocyte t cell infiltration combined with the optimal operative work is associated with a good prognosis (figure 2. & figure 3.). 11 in this case report, the patient was not examined for intratumoral t lymphocyte infiltration. figure 2. overall survival values of ovarian carcinomas with and without t cell lymphocyte infiltration and its relation to the optimization of debulking (zhang l, et al., 2003) 11 figure 3. progress free survival value of ovarian carcinoma with and without clilocyte t cell infiltration and its relation to debulking optimization | 73 a series of examinations of carcinoma gene profiles can be used to determine the prognosis of ovarian carcinoma, where the biology of carcinoma cell dna that is damaged after chemotherapy/ radiotherapy can be a marker of the prognosis of ovarian carcinoma. according to ezzati m. et al. (2014), 1 it was found that (x-ray repair crosscomplementing gene 1 (xrcc1) plays a vital role in the process of dna repair after chemotherapy/radiotherapy. the deficiency of expression of these genes is a marker of an excellent therapeutic prognosis. other studies have also found that some gene expression such as increased expression of her2, kras, egfr and decreased expression of the brca1 and braf genes are associated with a good prognosis. in this case report, the patient was not examined for gene profiles then, the impact on disease recurrence is unknown. 1 conclusion various determinants are known to help know the prognosis of ovarian carcinoma. some of these factors include age, obesity, distribution of cancer cells in the pelvic/intra-abdominal cavity, optimization of debulking, decreased ca-125 concentration after chemotherapy, physical performance, type and differentiation of carcinoma cells, intratumoral lymphocyte t cell infiltration, and various specific gene profiles. in this patient, multiple factors were found and were associated with good prognosis and long-term dfs including complete debulking, decreased ca-125 concentration after chemotherapy, age <65 years, no obesity, the excellent physical performance achieved remission complete post-chemotherapy and histopathological subtypes of the musinosum. another parameter that can be done to determine the prognosis and predictors of long-term dfs with cost and easy access to do is by checking the intratumoral lymphocyte t cell infiltration. references 1. ezzati m, abdullah a, sariftrabizi a, hou j, kopf m, stedmen jk, et al. recent advancements in prognostic factors of epithelial ovarian carcinoma. int sch res notices, 2014; 1-10. 2. zhang m, zhuang g, sun x, shen y, zhao a, di w. risk prediction model for epithelial ovarian cancer using molecular markers and clinical characteristics. j ovarian res, 2015; 8 (1): 67. 3. luvero d, milani a, ledermann ja. treatment options in recurrent ovarian cancer: latest evidence and clinical potential. ther adv med oncol, 2014; 6 (5): 229-39. 4. canadian cancer society's advisory committee on cancer statistics. canadian cancer statistics, 2017. toronto. 2017. on: canadian cancer society. read more: http://www.cancer.ca/en/cancerinformation/cancer type/ovarian/statistics/?region=bc#ixzz5rol4vkjj. 5. landruma lm, java j, mathews ca, et al., prognostic factors for stage iii epithelial ovarian cancer treated with intraperitoneal chemotherapy: a gynecologic oncology group study. gynecol oncol. 2013 july; 130(1): 12–18. doi:10.1016/j.ygyno.2013.04.001. 6. imai a, matsunami k, takagi h, ichigo s. malignant neoplasia arising from ovarian remnants following bilateral salpingooophorectomy (review). oncology lett, 2014; 8 (1): 3-6. 7. fader an, rose pg. role of surgery in ovarian carcinoma. j clin oncol, 2007; 25 (20): 2873– 2883. 8. diaz es, karlan by, li aj. obesity-associated adipokines correlate with survival in epithelial ovarian cancer. gynecol oncol, 2013; 129 (2): 353-357. 9. prat j. new insights into ovarian cancer pathology. ann oncol, 2012; 23 (supplement 10): x111–x117. 10. gurung a, hung t, morin j, gilks cb. molecular abnormalities in ovarian carcinoma: clinical, morphological and therapeutic correlates. histopathology, 2013; 62 (1): 59-70. 11. zhang l, conejo-garcia jr, katsaros d, gimotty pa, masobrio m, regnani g. intratumoral t cells, recurrence, and survival in epithelial ovarian cancer. n engl j med, 2003; 348 (3): 20313. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=luvero%20d%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=25342990 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=milani%20a%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=25342990 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=ledermann%20ja%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=25342990 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25342990 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25342990 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25342990 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25342990 http://www.cancer.ca/en/cancer-information/cancer-type/ovarian/statistics/?region=bc#ixzz5rol4vkjj http://www.cancer.ca/en/cancer-information/cancer-type/ovarian/statistics/?region=bc#ixzz5rol4vkjj http://www.cancer.ca/en/cancer-information/cancer-type/ovarian/statistics/?region=bc#ixzz5rol4vkjj https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23240670 mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 20 no 2 page 79-84 july 2020 antioxidant activity potential of red pomegranate (punica granatum l.) peel as herbal tea prima vina resti*1, sri utami2, arsyad3 1faculty of medicine, yarsi university. universitas yarsi kav. 13, jalan letjen suprapto, kota jakarta pusat, daerah khusus ibukota jakarta, indonesia 10510 2departement of biochemistry, faculty of medicine, yarsi university. universitas yarsi kav. 13, jalan letjen suprapto, kota jakarta pusat, daerah khusus ibukota jakarta, indonesia 10510 3departement of islamic studies, faculty of medicine. yarsi university universitas yarsi kav. 13, jalan letjen suprapto, kota jakarta pusat, daerah khusus ibukota jakarta, indonesia 10510 data of article: received: 11 feb 2020 reviewed: 01 mar 2020 revised: 11 jun 2020 accepted: 27 jun 2020 *correspondence: primvir@ymail.com doi: 10.18196/mm.200245 type of article: research abstract: red pomegranate (punica granatum l.) contains punicalagin (elagitanin) which has strong antioxidant activity. this study aims to examine the antioxidant activity of steeping tea from red pomegranate peel. this research is observational with red pomegranate peel as the research object. the red pomegranate peel is processed into simplicia, then some of the simplicia is brewed in boiling water at 100 °c and the other part is made of ethanol extract. steeping tea and ethanol extract at a dose of 1.25; 2.5; 5; 10; and 20 ppm were measured for its antioxidant activity by the 2,2-diphenyl-1-picryl-hydrazyl-hydrate (dpph) method. as a control, ascorbic acid was used. the antioxidant activity is expressed in ic50. data were analyzed by one-way analysis of variance. the results showed that the ic50 of steeping tea was 17.59 ppm, ethanol extract was 9.58 ppm, and ascorbic acid was 2.98 ppm. there was no significant difference in the ic50 between brewed tea, ethanol extract and ascorbic acid (p = 0.05). it was concluded that p. granatum l peel in the form of tea infusion had lower antioxidant activity than the ethanol and ascorbic acid extracts, but statistically all three showed the same strong antioxidant activity. keywords: antioxsidant, dpph, punica granatum l., ethanol extract, ic50, tea. abstrak: buah delima merah (punica granatum l) mengandung punicalagin (elagitanin) yang memiliki aktivitas antioksidan kuat. penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aktivitas antioksidan seduhan teh dari kulit delima merah. penelitian bersifat observasional dengan kulit delima merah sebagai obyek penelitian. kulit delima merah diolah menjadi bentuk simplisia, kemudian sebagian simplisia diseduh dalam air mendidih 100 °c dan sebagian lainnya dibuat ekstrak etanol. seduhan teh dan ekstrak etanol pada dosis 1.25; 2.5; 5; 10; dan 20 ppm diukur aktivitas antioksidannya dengan metode 2,2-diphenyl-1-picryl-hydrazylhydrate (dpph). sebagai kontrol digunakan asam askorbat. aktivitas antioksidan dinyatakan dalam ic50. data dianalisis dengan analisis varians satu jalan. hasil penelitian menunjukkan ic50 seduhan teh sebesar 17.59 ppm, ekstrak etanol sebesar 9.58 ppm, dan asam askorbat sebesar 2.98 ppm. tidak ada perbedaan signifikan ic50 antara seduhan teh, ekstrak etanol dan asam askorbat (p = 0.05). disimpulkan bahwa kulit delima merah dalam bentuk seduhan teh memiliki aktivitas antioksidan lebih rendah daripada ekstrak etanol dan asam askorbat, tetapi secara statistik ketiganya menunjukkan aktivitas antioksidan yang sama kuat. kata kunci: antioksidan, dpph, punica granatum l., ekstrak etanol, ic50, teh introduction as we are getting older, the body’s function and ability to adapt to organs damage will decrease.1 there are two factors which play a role in the aging process namely internal and external factors. internal factors include free radicals, reduced hormones, glycosylation processes, apoptosis, decreased immune system, and genes. 80 | vol 20 no 2 july 2020 external factors are an unhealthy lifestyle, including unhealthy diets, wrong habits, environmental pollution, radiation, ultraviolet (uv) rays, cigarette smoke, and stress.2,3 continuous exposure to uv rays can cause damage to the structure and function of the skin, thereby accelerating the skin aging process. 2,4 one of the most developed theories of aging is the theory of free. this theory explains, an organism gets old because of the accumulated damage by free radicals in the cells over time. free radicals will damage molecules whose electrons are attracted by these free radicals, causing cell damage, impaired cell function, and even cell death. 5 free radicals that cause skin aging come from solar uv radiation. in living cells, solar uv radiation generates free radicals that can cause various chemical photo risks such as photo isomerization and photo oxidation. photo oxidation reactions occur due to the release of reactive oxygen species (ros) in the form of superoxide anions (o2), hydrogen peroxide (h2o2) and hydroxyl radicals (oh) by chromophores that absorb ultraviolet light.6 free radicals can be inhibited by antioxidants. the inhibition process is carried out by reducing the level of free radical reactivity by compounds that acts as an antioxidant.7 red pomegranate (punica granatum l.) is one of the natural antioxidants. red pomegranate is a source of polyphenol antioxidants, especially punicalagin (elagitanin) which has been shown to have strong antioxidant, anti-inflammatory, and anticarcinogenic activity in several studies.8,9 various diseases, that are the target of research to find out the benefits of pomegranate, are various types of inflammatory diseases, antioxidants, degenerative diseases, various types of cancer and the regulation of the fibrosis process.10 pomegranates juice and peel have been shown to have antioxidant and anti-cancer activity.11 tea is a famous beverage among indonesians. the ingredients used to make tea also vary with the respective benefits and advantages. tea products can not only be produced from tea leaves but also from other plants such as red pomegranate (p. granatum l). this study aims to examine the antioxidant activity of steeping tea from p. granatum peels. materials and method this research was an observational study with red pomegranate peel made of tea and ethanol extract. pomegranate peel was dried, cut into small pieces, and crushed to form simplicia. most of the simplicia was brewed with boiling water at 100 ° c to form tea, some of the simplicia was macerated with 70% ethanol and filtered, the filtrate was concentrated, and the red pomegranate peel extract was obtained. steeping tea and ethanol extract dose of 1.25; 2.5; 5; 10; 20 ppm of antioxidant activity was measured by using the dpph method and ascorbic acid was used as a comparison. the antioxidant activity was expressed by the ic50 value. data were analyzed by oneway anava test. making tea from red pomegranate peel. red pomegranate peel powder that has been mashed in a blender, separated between the smooth and the coarse. as much as 33 mg of fine powder, put into a beaker glass, and poured with 33 ml of boiling water at 100 ° c, the mixture was stirred at 900 rpm for 5 minutes, then filtered using filter paper to obtain a stock solution of the simplicia test with a concentration of 1000 ppm. preparation of 70% ethanol extract from pomegranate peel. 105 g of red pomegranate peel powder was put into a 500 ml erlenmeyer flask, then 500 ml of 70% ethanol solvent was added, centrifuged for 6 hours using a shaker, and filtered to obtain the filtrate. 500 ml of ethanol solvent was added back into the erlenmeyer flask containing the residue and left to stand for 24 hours. then done the same way for 3 days. the filtrate was evaporated with a vacuum rotary evaporator at a temperature of 50o c to obtain a thick extract. 13,14 a sample of 10 mg extract was dissolved with methanol up to 10 ml into a 1000 ppm stock solution. preparation of dpph solution. dpph with a concentration of 160 mg / l was prepared by weighing the substance as much as 4.0 mg and dissolving it in 25 ml of methanol. the solution was then stored in a dark room and protected with aluminum foil. preparation of ascorbic acid solution. ascorbic acid was used as a positive control. as much as 11 mg of ascorbic acid and dissolved in 11 ml of methanol to obtain a stock solution of ascorbic acid with a concentration of 1000 ppm. furthermore, 4 ml of ascorbic acid were taken with the respective concentrations of 0 ppm, 1 ppm, 2 ppm, 3 ppm, 4 ppm, and 5 ppm from the stock solution. each tube was added with 1 ml of dpph solution, incubated, then inserted into a 1x1 cm2 cuvette and the antioxidant activity was read on a uv-vis spectrophotometer. measurement of antioxidant activity. measurement of antioxidant activity begun by entering a stock solution of 4 ml of simplicia with a concentration of 0 ppm, 1.25 ppm, 2.5 ppm, 5 ppm,  | 81 10 ppm, and 20 ppm into the tube. each tube was added with 1 ml of dpph solution and incubated for 30 minutes. the antioxidant activity was read by inserting each tube into a 1x1 cm2 cuvette and reading it on a uv-vis spectrophotometer with a wavelength of 517 nm.15 the same treatment was carried out on the ethanol extract of red pomegranate peel with the same concentration. preparation of red pomegranate peel powder. a total of seven red pomegranates were washed with running tap water, peeled, peeled, then cut the red pomegranate peel to a size of 1x1 cm2 so that the weight of the red pomegranate peel was 420 grams. the pieces of red pomegranate peel were dried for 3 days at room temperature to obtain a dry weight of 280 g, then mashed in a blender until they became a powder. the fine powder was separated from the coarse powder. the fine powder of red pomegranate peel was obtained as much as 105 grams. preparation of red pomegranate peel ethanol extract. the extraction of red pomegranate peel was carried out using the maceration method with 70% ethanol. the filtrate obtained was 4,000 ml in each filtering process. filtering was carried out 3 times so that a total of 12,000 ml of brown filtrate was obtained. the filtrate obtained was concentrated using a vacuum rotary evaporator. the ethanol solvent evaporation was carried out at 50 ° c. the results of the evaporation process obtained a weight of 30.434 g of red pomegranate peel ethanol extract so that the yield of red pomegranate peel ethanol extract was 73.14%. determination of percent inhibition of antioxidant activity. starting with the dilution of the test sample with dpph which was carried out in accordance with table 1. all solutions were put into a test tube, then incubated at room temperature for 30 minutes, counting from the addition of the dpph solution. next, measure the absorbance at λ dpph which is 517 nm. the percentage of inhibition of antioxidant activity can be calculated using equation (1). the test was carried out 3 times repetition. % inhibition = (a0 – a1/ a0) x 100% ..........................(1) note: a0 = absorbance blank (methanol) a1 = absorbance of sampel (extract) table 1. simplicia dilution test with dpph concentration (ppm) test simplicia solution (µl) water (µl) dpph 160 ppm (µl) blank 0 4000 1000 1.25 62.5 3937.5 1000 2.5 125 3875 1000 5 250 3750 1000 10 500 3500 1000 20 1000 3000 1000 antioxidant activity test. this test was to measure the antioxidant activity quantitatively by measuring the dpph radical scavenging using a uvvis spectrophotometer. the value of free radical reduction activity was expressed by ic50. the ic50 describes the concentration of the simplicia that can capture 50% free radicals through a linear regression equation. the linear regression equation states the relationship between the concentration of the test compound (x) and % inhibition (y). the regression equation is y = bx + a; where a is the intercept, b is the slope and r2 is the correlation coefficient. the value of r2 is either close to -1 or +1 depending on the slope value obtained.16 thus the ic50 formula can be stated as follows: ic50 = 50−a b ..........................................(2) result the percentage of inhibition in each group is presented in table 2. table 2 shows that the percentage of inhibition of red pomegranate peel tea ranged from 4.12%-35.51% with an average absorbance of 0.503-0.780. the ethanol extract of red pomegranate peel has the percentage of inhibition ranging from 5.16%-94.87% with an average absorbance ranging from 0.047-0.911. it means that the red pomegranate peel ethanol extract has better potential as an antioxidant than the red pomegranate peel tea steeping. table 2. percentage inhibition of steeping tea, ethanol extract of pomegranate peel and ascorbic acid sample concentration (ppm) absorbance in average (nm) percentage inhibition (%) steeping p. granatum peel tea 0 0.780 ± 0.085 1.25 0.747 ± 0.070 4.12 2.5 0.709 ± 0.075 9.06 5 0.664 ± 0.081 14.92 10 0.503 ± 0.064 35.51 20 0.359 ± 0.042 53.98 ethanol extract of p. granatum peel 0 0.911 ± 0.017 1,25 0.864 ± 0.023 5.16 2,5 0.799 ± 0.014 12.26 5 0.626 ± 0.004 31.27 10 0.344 ±0.017 62.26 20 0.047 ± 0.006 94.87 ascorbic acid 0 0.874 ± 0.000 1 0.679 ± 0.012 22.34 82 | vol 20 no 2 july 2020 (positive control) 2 0.582 ± 0.015 33.37 3 0.435 ± 0.026 50.99 4 0.306 ± 0.006 64.95 5 0.179 ± 0.010 79.52 the determination of antioxidant properties based on the ic50 by making a regression equation between the % inhibition value (table 2; y) and the amount of concentration (x). the regression results are shown in figure 2. figure 2. regression result between the % inhibition (y) and the amount of concentration (x) table 3. results of one way anova for the percentage of inhibition variable test sample p % inhibition pomegranate peel tea 0.000 ethanol extract of pomegranate 0.000 ascorbic acid 0.000 table 4. result of duncan test for the percentage of inhibition table 3 shows that there is a significant difference in antioxidant activity between the test samples (p <0.05), and is followed by the duncan test whose results are shown in table 4. in table 4, it appears that each addition in the concentration of the test sample results in a significant difference in the percentage of inhibition. in the form of ethanol extract, red pomegranate peel has an average% inhibition greater than steeping tea at all concentrations, but the greatest is at a concentration of 20 ppm (95.023%). analysis was also carried out to determine the significance of the difference in the ic50 among the test samples. the result of oneway anova showed that there was no significant difference in the ic50 among the test samples (p > 0.05). these results indicate that the antioxidant activity of steeping and red pomegranate peel extract is as great as ascorbic acid. discussion this study proves that the red pomegranate peel both in the tea preparation and in the extract has the same antioxidant activity as ascorbic acid. antioxidants are compounds that can reduce the level of reactivity of a substrate. the mechanism of antioxidant compounds in reducing reactivity includes transfer of hydrogen atoms, transfer of single electrons, and the ability to chelate transition metals.18 antioxidant molecules available naturally are divided into two categories, namely nonenzymatic antioxidants and enzymatic antioxidants. compounds classified as enzymatic antioxidants include superoxide dismutase (sod), glutathione peroxidase, and catalase. in general, compounds classified as non-enzymatic antioxidants include vitamin c, vitamin e, vitamin a, glutathione, and flavonoids.9 the efficacy of red pomegranate is due to the presence of various polyphenol compounds which have very high antioxidant activity.20 many studies have revealed the efficacy of red pomegranate. according to afaq (2006),7 polyphenolic compounds possessed by red pomegranates are punicalagin (elagitanin), which has been shown to have strong antioxidant, antiinflammatory, and anti-carcinogenic activity. apart from being anti-carcinogenic, red pomegranate can also prevent premature aging due to exposure to uv-a and uv-b rays.7 the anti-carcinogenic properties are probably due to the antiproliferative and apoptotic properties of red pomegranate due to the presence of punicalagin which can inhibit peroxidation lipids which are equivalent to synthetic antioxidants.9 other studies have shown that fresh red pomegranate fruit extract and its fermentation can prevent the proliferation of hl-60 leukemia cells.9 concentration (ppm) % inhibition in average steeping red pomegranate peel tea ethanol extract of red pomegranate peel 1.25 4.120e 5.160e 2.5 9.060d 12.263d 5 14.923c 31.276c 10 35.153b 62.600b 20 53.983a 95.023a y = 14,592x + 6,4607 r² = 0,9950 0 100 0 1 2 3 4 5 6 in h ib it io n ( % ) concentration (ppm) ascorbic acid y = 2,6915x + 2,6589 r² = 0,9768 0 50 100 0 5 10 15 20 25 in h ib it io n ( % ) concentration (ppm) brew tea y = 4,8102x + 3,8866 r² = 0,9666 0 50 100 150 0 5 10 15 20 25i n h ib it io n ( % ) concentration (ppm) ethanol extract  | 83 elagitanin contained in red pomegranate can have antioxidant properties. under in vivo physiological conditions, elagitanin will be hydrolyzed to elagic acid. administration of elagic acid to human peel fibroblasts in vitro showed increased expression of collagen type 1 m-rna and could inhibit mmp-1 (matrix metalloproteinase-1), an enzyme that degrades collagen. the process of inhibiting collagen-degrading enzymes can inhibit the effects of premature aging. the effect of inhibiting aging is also due to the presence of anthocyanins. anthocyanins contained in red pomegranate consist of delfinidin-3-glucoside, cyanidin-3-glucoside, delfinidin-3,5-diglucoside, cyanidin-3,5-diglucoside, and pelargonidin. anthocyanins protect collagen through an inhibitory mechanism of phosphorylation of tyrosine kinase, an enzyme inactivation of epidermal growth factor (egf) .21 in this study, it also appears that the red pomegranate peel on the ethanol extract preparation has a higher antioxidant activity than steeping tea. this is due to the level of the punicalagin compound in each sample. the extract sample is a sample that has a better punkalagin purity level than samples derived from processed tea brewed products. this has implications for the effectiveness of punicalagin activity as an antioxidant. the total content of punicalagin derived from pomegranate extract ranged from 98.70-118.60 in the desi, kandhari, and badana varieties.22 in addition, the samples derived from tea brewing had low punicalagin purity, so the activity of punicalagin was less effective in these samples. some of the polyphenol compounds contained in red pomegranates include elagic acid, gallic acid, punicalagin a, and punicalagin b.23 it can be summarized that pomegranate, including its peel, can be used as antioxidants, antiinflammatory, anti-aging and anti-cancer properties. the presentation can be in various forms such as fresh fruit, fermentation, extract or brew.23 conclusion steeping red pomegranate peel tea and red pomegranate peel ethanol extract have the same strong antioxidant activity as ascorbic acid. the ethanol extract of red pomegranate peel has higher antioxidant activity than steeping tea from red pomegranate peel. references 1. suwarni s, setiawan s, syatibi mm. hubungan usia demensia dan kemampuan fungsional pada lansia. j keterapian fis. 2017 may 8;2(1):34– 41. 2. rabe jh, mamelak aj, mcelgunn pjs, morison wl, sauder dn. photoaging: mechanisms and repair. j am acad dermatol. 2006 jul 1;55(1):1–19. 3. pangkahila w. anti aging medicine: memperlambat penuaan, meningkatkan kualitas hidup. jakarta: penerbit buku kompas; 2011. 4. gary j fisher, sewon kang, james varani, zsuzsanna bata-csorgo, yinsheng wan, subhash datta, et al. mechanisms of photoaging and chronological peel aging. arch dematol. 2002;138:1462–70. 5. wahyuningsih ka. astaxanthin memberikan efek proteksi terhadap photoaging. damianus j med. 2011 oct 1;10(3):149-160–160. 6. wahyono p, soetjipto, harjanto, suhariningsih. efek jus buah tomat (lycopersicum pyriforme) terhadap pencegahan fotoaging kulit akibat iradiasi sinar ultraviolet-b. j bina praja. 2011;3(13):169–77. 7. afaq f, mukhtar h. botanical antioxidants in the prevention of photocarcinogenesis and photoaging. exp dermatol. 2006;15(9):678–84. 8. seeram np, adams ls, henning sm, niu y, zhang y, nair mg, et al. in vitro antiproliferative, apoptotic and antioxidant activities of punicalagin, ellagic acid and a total pomegranate tannin extract are enhanced in combination with other polyphenols as found in pomegranate juice. j nutr biochem. 2005 jun 1;16(6):360–7. 9. kawaii s, lansky ep. differentiation-promoting activity of pomegranate (punica granatum) fruit extracts in hl-60 human promyelocytic leukemia cells. j med food. 2004 apr 1;7(1):13–8. 10. jurenka js. therapeutic applications of pomegranate (punica granatum l.): a review. altern med rev j clin ther. 2008 jun;13(2):128– 44. 11. lansky ep, newman ra. punica granatum (pomegranate) and its potential for prevention and treatment of inflammation and cancer. j ethnopharmacol. 2007 jan 19;109(2):177–206. 12. dewata ip, w pas, widarta iwr. pengaruh suhu dan lama penyeduhan terhadap aktivitas antioksidan dan sifat sensoris teh herbal daun alpukat (persea americana mill.). j ilmu dan teknol pangan itepa. 2017 aug 31;6(2):30–9. 13. handayani v, ahmad ar, sudir m. uji aktivitas antioksidan ekstrak metanol bunga dan daun patikala (etlingera elatior (jack) r.m.sm) 84 | vol 20 no 2 july 2020 menggunakan metode dpph. pharm sci res psr. 2016 sep 21;1(2):86-93–93. 14. sutriandi a, maulana it, sadiyah er. pengaruh metode pengeringan terhadap mutu ekstrak biji kara benguk (mucuna pruriens (l.) dc.) yang dihasilkan. pros farm. 2016 aug 11;0(0):710–6. 15. arokiyaraj s, martin s, perinbam k, arockianathan pm, beatrice v. free radical scavenging activity and hptlc fingerprint of pterocarpus santalinus l. an in vitro study. indian j sci technol. 2008: 1(7):1-3 16. nurliyana r, syed zahir i, mustapha suleiman k, aisyah mr, kamarul rahim k. antioxidant study of pulps and peels of dragon fruits: a comparative study. int food res j. 2010;17(2). 17. molyneux p. the use of the stable free radical diphenylpicrylhydrazyl (dpph) for estimating antioxidant. songklanakarin j sci technol sjst. 2004 mar 1;26(2):211–9. 18. santos-sánchez nf, salas-coronado r, villanueva-cañongo c, hernández-carlos b. antioxidant compounds and their antioxidant mechanism. antioxidants [internet]. 2019 mar 22 [cited 2020 sep 21]; available from: https://www.intechopen.com/books/antioxidant s/antioxidant-compounds-and-their-antioxidantmechanism 19. shrivastava a, aggarwal lm, mishra sp, khanna hd, shahi up, pradhan s. free radicals and antioxidants in normal versus cancerous cells — an overview. indian j biochem biophys ijbb. 2019 aug 26;56(1):7-19–19. 20. wiryowidagdo s. kimia dan farmakologi bahan alam. 2nd ed. jakarta: penerbit buku kedokteran egc; 2008. 21. bei r, masuelli l, turriziani m, volti gl, malaguarnera m, galvano f. impaired expression and function of signaling pathway enzymes by anthocyanins: role on cancer prevention and progression. curr enzyme inhib. 2009 dec 1;5(4):184–97. 22. khalil aa, khan mr, shabbir ma, rahman ku. comparison of antioxidative potential and punicalagin content of pomegranate peels. j anim plant sci. 2017;27(2):522–7. 23. singh m, jha a, kumar a, hettiarachchy n, rai ak, sharma d. influence of the solvents on the extraction of major phenolic compounds (punicalagin, ellagic acid and gallic acid) and their antioxidant activities in pomegranate aril. j food sci technol. 2014 sep 1;51(9):2070–7. 12 faza khilwan amna, hubungan penebalan dinding kandung kemih ... hubungan penebalan dinding kandung kemih pada ultrasonografi dengan sedimen urin leukosit pada penderita klinis infeksi kandung kemih the correlation bladder wall thickening on ultrasonography with urine sediment leukocytes in clinical urinary bladder infection patients faza khilwan amna1, ana majdawati2 1program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta, 2bagian radiologi fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta email : asroma>3304@gmail.com abstrak infeksi saluran kemih (isk) merupakan infeksi berupa pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme dalam saluran kemih yang meliputi ginjal sampai kandung kemih,diantaranya sistitis (infeksi kandung kemih). ultrasonografi (usg) dasawarsa terakhir ini merupakan pemeriksaan yang sering digunakan sebagai pilihan penunjang diagnostik pada beberapa kasus yang berhubungan dengan infeksi kandung kemih. sedimen urin leukosit merupakan pemeriksaan semikuantitatif sebagai penunjang diagnosis sistitis dengan acuan kadar sedimen urin leukosit positif. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan penebalan dinding kandung kemih pada pemeriksaan usg dengan sedimen urin leukosit pada penderita dengan klinis sistitis. desain penelitian ini observasional dengan studi cross sectional,menggunakan data sekunder dari catatan rekam medis pasien rs pku muhammadiyah i-ii yogyakarta untuk semua kasus isk periode 1 juli 2010 sampai 31 agustus 2011. data rekam medis yang digunakan adalah subyek penelitian dengan suspek infeksi kandung kemih yang mempunyai hasil laboratorium urin (sedimen urin lekosit) dan tebal dinding kandung kemih potongan transversal dan longitudinal pada pemeriksaan usg. hasil analisis data dengan uji chi square didapatkan nilai p 0,631, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan penebalan dinding kandung kemih pada usg dengan hasil pemeriksaan sedimen urin leukosit. kata kunci: infeksi saluran kemih (isk), sistitis, ultrasonografi, sedimen urin leukosit abstract urinary tract infection (uti) is a form of infection that involve growth and proliferation of microorganisms in the urinary tract includes kidney to the bladder, one type of uti is cystitis (bladder infection). ultrasonography (usg) examination in the last decade is frequently used as a diagnostic support in some cases associated with bladder infection. examination of leukocyte urine sediment is a semiquantitative test that could be supporting a diagnosis of bladder infection with reference levels of urine sediment positive leukocytes. this study aims to determine the relationship between bladder wall thickening on ultrasonography with urine sediment of leukocytes in patients with clinical bladder infection. the study design was observational with cross sectional study using secondary data from the medical records of pku muhammadiyah hospital of yogyakarta i-ii for all cases of urinary tract infection in the period july 1, 2010 until august 31, 2011. medical record data used in this study were research subjects with suspected bladder infection who had a urine laboratory results (urine sediment leucocytes) and bladder wall thickness transverse and longitudinal cuts on ultrasound examination. the results of data analysis with chi-square test p-value obtained 0.631. there is no relationship between the thickening of the bladder on ultrasonography with urine sediment leukocyte. key words: urinary tract infection (uti), bladder infection, ultrasonography, urine sediment leukocytes artikel penelitianartikel penelitian 13 mutiara medika vol. 12 no. 1: 12-18, januari 2012 pendahuluan infeksi saluran kemih (isk) adalah suatu penyakit yang merupakan reaksi inflamasi sel-sel uroepitelium yang melapisi saluran kemih yang dapat mengenai laki-laki maupun perempuan semua umur. infeksi saluran kemih disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, seperti bakteri, jamur, virus, dan parasit. salah satu jenis isk adalah sistitis (infeksi kandung kemih).1,2,3 beberapa pemeriksaan laboratorium untuk mendiagnosis sistitis adalah urinalisis, bakteriologis, uji biokimiawi dan pemeriksaan radiologis.3 diantara sekian banyak pemeriksaan, pemeriksaan urin merupakan pemeriksaan yang paling sering diminta oleh klinisi untuk mendiagnosis sistitis. ultrasonografi (usg) dasawarsa terakhir ini merupakan pemeriksaan yang sering juga digunakan sebagai pilihan penunjang diagnostik pada beberapa kasus yang berhubungan dengan infeksi kandung kemih.4 pemeriksaan urin memegang peranan penting dalam memonitor perjalanan penyakit infeksi saluran kemih. jumlah leukosit yang banyak di dalam urin menandakan adanya suatu infeksi atau radang pada saluran kemih. leukosit di dalam urin dapat dilihat dengan beberapa cara, salah satunya adalah sedimen urin leukosit. sedimen urin leukosit dapat memberi informasi penting bagi klinisi dalam membantu menegakkan diagnosis dan memantau perjalanan penyakit di saluran kemih.5 ultrasonografi cukup baik dalam menilai kondisi kandung kemih. pemeriksaan usg kandung kemih dilakukan dengan mengukur tebal dinding kandung kemih. beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara tebal dinding kandung kemih (bladder wall thickness) dengan beberapa kelainan. kelainan tersebut diantaranya bladder dysfucntion karena neurogenic bladder, obstruksi di luar kandung kemih akibat infiltrasi massa dari organ disekitarnya, kelainan kongenital dan beberapa kasus infeksi pada kandung kemih.6,7,8,9 salah satu menifestasi infeksi traktus urinarius adalah sistitis yang diikuti dengan peradangan pada mukosa dan muskulus detrussor kandung kemih. pada usg, proses infeksi tersebut dapat jelas terlihat dengan adanya perbedaan echostruktur mukosa dengan echostruktur muskulus detrussor. pada pemeriksaan mikroskopis, proses infeksi tersebut dapat menghasilkan sel-sel radang berupa leukosit dalam bentuk sedimen.7 ultrasonografi sering dilakukan untuk menunjang diagnosis infeksi kandung kemih dengan memeriksa ketebalan kandung kemih. pemeriksaan sedimen urin leukosit juga merupakan pemeriksaan yang sering diusulkan untuk menegakkan diagnosis isk bersamaan dengan usg. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan penebalan dinding kandung kemih pada pemeriksaan usg dengan sedimen urin leukosit pada penderita dengan klinis sistitis. bahan dan cara jenis penelitian ini termasuk penelitian non eksperimental. metode yang digunakan adalah observasional dengan studi cross sectional. penelitian ini dilakukan di rs pku muhammadiyah i-ii yogyakarta. subjek penelitian ini adalah 60 pasien dengan gejala klinis infeksi kandung kemih yang memenuhi kriteria inklusi (usia 18-60 tahun, gambaran usg dinding kandung kemih, hasil pemeriksaan urin yang terdapat nilai sedimen urin leukosit, tidak 14 faza khilwan amna, hubungan penebalan dinding kandung kemih ... terdapat massa kandung kemih, tidak terdapat kelainan kongenital kandung kemih, tidak terdapat pembesaran prostat, tidak dalam masa kehamilan, tidak sedang menjalani radioterapi maupun kemoterapi). variabel bebas adalah ukuran penebalan dinding kandung kemih normal pada usg (< 0,5 cm) dan abnormal (> 0,5 cm). variabel tergantung adalah nilai sedimen urin leukosit negatif (normal) dan positif (abnormal). variabel pengganggu antara lain usia, jenis kelamin, pemeriksaan usg (tek0nik, macam transducer, lokasi pengukuran, volume kandung kemih, pengambilan sampel urin dan sterilitas alat & bahan). jenis data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang diperoleh langsung dari data rekam medis pasien klinis infeksi kandung kemih. hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan uji chi square untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara variabel bebas dan variabel tergantung, kemudian dilanjutkan dengan uji korelasi koefisien kontingensi untuk mengetahui kekuatan korelasi (r). hasil penelitian ini dilakukan dalam rentang waktu antara bulan mei sampai november 2011. hasil pengambilan data di instalasi catatan rekam medis rs pku muhammadiyah i-ii yogyakarta untuk semua kasus isk periode 1 juli 2010 sampai 31 agustus 2011 berjumlah 158 kasus (tercatat sebanyak 158 kasus isk). data rekam medis yang digunakan pada penelitian ini adalah subyek penelitian dengan klinis infeksi kandung kemih yang mempunyai nilai sedimen urin leukosit dan pemeriksaan usg dinding kandung kemih. karakteristik data disajikan dalam bentuk distributif dalam tiga kelompok dengan menghitung persentase dalam tiap-tiap kelompok berdasarkan pada usia, jenis kelamin dan gejala klinis isk. karakteristik dasar subyek ditunjukkan dalam tabel 1. tabel 2. menunjukkan bahwa sebanyak 35 subyek (58,4%) memiliki penebalan dinding kandung kemih negatif (d”0,5 cm) dan 25 subyek (41,7%) memiliki penebalan dinding kandung kemih positif (>0,5 cm), sedangkan, 31 subyek (51,7%) memiliki nilai sedimen urin leukosit positif dan 29 subyek (48,4%) memiliki nilai sedimen urin leukosit negatif. berdasarkan dua variabel tersebut, kemudian didapatkan data silang. jumlah subyek dengan penebalan dinding kandung kemih positif dan sedimen tabel 1. karakteristik dasar subyek penelitian variabel jumlah (orang) persen (%) usia remaja (18-20) 3 5 dewasa (21-60) 46 76,66 lanjut usia (> 61) 11 18,33 jenis kelamin laki-laki 33 55 perempuan 27 45 gejala klinis disuria 13 21,67 kencing tidak tuntas 5 8,33 hematuria 2 3,33 anyang-anyangan 3 5 nyeri suprapubik 9 15 disuria & hematuria 5 8,33 disuria & kencing keruh 1 1,67 nyeri suprapubik & subfebris 1 1,67 nyeri suprapubik & kencing panas 1 1,67 kencing panas & anyang-anyangan 1 1,67 keluhan lain 19 31,67 tabel 2. hasil crosstabs berdasar variabel penebalan dinding kandung kemih dan sedimen urin leukosit penebalan dinding kandung kemih sedimen leukosit positif sedimen leukosit negatif total > 0,5 cm (positif) 12 (20%) 13 (21,7%) 25 (41,7%)  0,5 cm (negatif) 19 (31,7 %) 16 (26,7%) 35 (58,4%) total 31 (51,7%) 29 (48,4%) 15 mutiara medika vol. 12 no. 1: 12-18, januari 2012 urin leukosit positif sebanyak 12 subyek (20%), sedangkan penebalan dinding kandung kemih positif dan sedimen urin leukosit negatif sebanyak 13 subyek (21,7%). jumlah subyek dengan penebalan dinding kandung kemih negatif dan sedimen urin leukosit positif sebanyak 19 subyek (31,7%), sedangkan penebalan dinding kandung kemih negatif dan sedimen urin leukosit negatif sebanyak 16 subyek (26,7%). sesuai dengan tujuan penelitian ini untuk menilai hubungan usg kandung kemih dengan hasil pemeriksaan sedimen urin leukosit pada penderita klinis infeksi kandung kemih, maka data yang didapat kemudian dilakukan uji analisis statistik dengan uji chi square untuk menilai adanya kemaknaan hubungan dari dua variabel tersebut. hasil analisis statistik data ditunjukkan dalam tabel 3. hasil analisis data dengan uji chi square yaitu dengan melihat tingkat signifikansi (p), didapatkan bahwa nilai p = 0,631, yang artinya tidak terdapat hubungan antara penebalan dinding kandung kemih pada pemeriksaan usg dengan hasil pemeriksaan sedimen urin leukosit. oleh karena nilai p dari tabel tersebut lebih besar dari 0,05 maka keeratan hubungan antara variabel yang diteliti tidak terdapat hubungan yang signifikan. diskusi infeksi saluran kemih adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh berkembangbiaknya mikroorganisme di saluran kemih. salah satu jenis isk adalah sistitis (infeksi kandung kemih). infeksi kandung kemih merupakan reaksi inflamasi sel-sel urotelium yang melapisi kandung kemih. saat inflamasi mulai timbul, maka akan terjadi respon terhadap struktur permukaan dinding kandung kemih menyebabkan kesulitan dalam berkemih. untuk dapat mengeluarkan urin, kandung kemih harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik kandung kemih berupa hipertrofi otot detrusor. fase penebalan muskulus detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding.10,11 pengukuran penebalan dinding kandung kemih menggunakan usg dilakukan saat fase infeksi memasuki tahap lanjut. adanya penebalan dinding kandung kemih berkaitan dengan respon inflamasi yang bisa dikarenakan infeksi dan non infeksi. inflamasi timbul jika ada suatu agen yang bersifat patogen (misalnya bakteri, debris, jamur dll.) berada dalam kandung kemih. leukosit yang mempunyai aktivitas sebagai penetralisir antigen akan menuju ke daerah yang terinfeksi untuk menetralisir antigennya tersebut. sebagai akibat adanya reaksi radang didalam kandung kemih, maka didalam urin akan muncul berbagai produk leukosit sebagai hasil dari respon inflamasi tersebut. kumpulan dari berbagai macam jenis produk yang terakumulasi di dalam endapan urin disebut sedimen. sedimen memiliki banyak jenis yang bisa dijadikan acuan untuk mempertimbangkan diagnosis infeksi kandung kemih, salah satunya adalah sedimen leukosit.12,13 keberadaan sedimen leukosit, tidak selalu disertai dengan adanya penebalan dinding kandung kemih. sedimen leukosit akan selalu muncul lebih awal dibanding dengan penebalan kandung kemih. hal itu disebabkan karena adanya sedimen leukosit tabel 3. hasil an alisi s ch i sq uar e data hub ung an pen ebal an usg k andu ng k emih den gan pemeriksaansedimen leukosit x2 hitung df p ci pearson chi square 0,231 1 0,631 0,532 1,471 16 faza khilwan amna, hubungan penebalan dinding kandung kemih ... didalam urin merupakan dampak dari reaksi inflamasi, dan reaksi radang akan timbul sebagai respon yang sangat cepat di dalam kandung kemih.12 berbeda dengan sedimen leukosit yang muncul begitu cepat, terjadinya penebalan dinding kandung kemih membutuhkan waktu yang lebih lama. penebalan dinding kandung kemih merupakan akibat adanya reaksi radang yang menyebabkan selsel urotelium mengalami hipertrofi. hipertofi muskulus detrusor merupakan mekanisme klasik dari reaksi radang, yaitu kalor, dolor, rubor, tumor dan fungsiolesa. terjadinya hipertrofi merupakan bagian perjalanan peradangan pada tahap tumor. manifestasi lanjut dari reaksi radang berupa perubahan fungsi dari kandung kemih (fungsiolesa). pada tahap fungsiolesa, fungsi fisiologis kandung kemih tidak berjalan semestinya dan akibatnya fungsi pengosongan kandung kemih akan terganggu.13,14 pada penelitian ini, tidak didapatkan hasil yang signifikan antara usg kandung kemih dengan nilai sedimen urin leukosit. hal ini kemungkinan disebabkan oleh faktor penundaan waktu pemeriksaan urin yang menyebabkan nilai sedimen urin leukosit bisa berubah saat diperiksa.15 penundaan waktu pemeriksaan urin dapat mempengaruhi ada dan tidaknya sedimen lukosit dalam pemeriksaan menggunakan mikroskop. dalam pemeriksaan urin untuk menemukan unsur sedimen, lama waktu maksimal untuk dilakukan pemeriksaan adalah 2 jam. jika dalam pemeriksaan mikroskopik urin melebihi waktu 2 jam, maka hal tersebut dapat menyebabkan lisisnya membran leukosit yang disebabkan oleh keadaan urin yang hipotonik sehingga terjadi proses osmosis yang menyebabkan air urin masuk kedalam membran leukosit. pecahnya leukosit tersebut akan menyebabkan granula azurofilik yang ada di dalam leukosit ikut lisis sehingga enzim leukosit esterase akan muncul dalam pemeriksaan urin.12 penegakan diagnosis infeksi kandung kemih melalui sedimen urin leukosit dapat dilihat dari dua unsur yaitu leukosit gelap dan leukosit pucat. pemeriksaan sedimen dengan pengecatan sternheimer malbin akan memperjelas gambaran unsur sedimen, selain itu dapat membedakan leukosit yang masih intak (leukosit gelap) dan rusak (leukosit pucat). leukosit gelap yaitu leukosit yang masih hidup, dapat menyerap sternheimer malbin, inti ungu, sitoplasma tak tampak bergranula. leukosit pucat yaitu leukosit yang rusak atau mati, warna biru pucat, inti biru sampai tak berwarna. leukosit yang mati disebabkan beberapa faktor antara lain asam, dimakan bakteri atau pada infeksi yang kronis. leukosit gelap berasal dari peradangan traktus urinarius bagian bawah, sedang leukosit pucat berasal dari peradangan traktus urinarius bagian atas.16,17,18 menurut brunzel (2004),12 distribusi leukosit dalam urin sebanding dengan sirkulasi darah perifer. empat sel yang dapat dilihat adalah neutrofil, limfosit, eosinofil dan makrofag/monosit. karena neutrofil dominan dalam darah perifer sehingga sering dijadikan sebagai penanda utama sebagai pemeriksaan mikroskopis. neutrofil bentuknya spherik dengan karakteristik granula sitoplasma dan inti terbelah. neutrofil muncul pada kondisi inflamasi akut. limfosit normal tampak di dalam urin. jenis leukosit ini sulit dideteksi karena jumlahnya yang sedikit. limfosit muncul saat kondisi inflamasi seperti pyelonephritis akut, nephritis akut dan transplanstasi ginjal.12 17 mutiara medika vol. 12 no. 1: 12-18, januari 2012 eosinofil dapat dideteksi dengan pemeriksaan cytocentifuge dan menandakan adanya acute interstitial nephritis (ain) dan isk kronik.10 monosit dan makrofag dapat diamati di dalam sedimen urin. fungsi utama dari makrofag adalah untuk pertahanan melawan mikroorganisme untuk menghilang kan sel mati dan untuk interaksi imunolgi. monosit mempunyai nukleus tunggal yang besar berbentuk oval dan mengandung granula azurofilik.12,18 urin hipotonik dapat menyebabkan leukosit menjadi udem dan berbentuk sferik dan selanjutnya akan lisis dengan cepat sebanyak 50% dalam 2-3 jam dalam temperatur ruangan. pada saat leukosit udem, terjadi pergerakan brownian dari granula sitoplasma refraktil, dan dinamakan sebagai glitter cell. pada urin hipertonik leukosit menjadi kecil dikarenakan air keluar secara osmosis dari dalam sel dan leukosit tidak akan menjadi lisis.5,12,18 simpulan tidak terdapat hubungan antara penebalan dinding kandung kemih pada pemeriksaan usg dengan sedimen urin leukosit pada penderita klinis infeksi kandung kemih. pemeriksaan usg penebalan dinding kandung kemih berguna sebagai penunjang diagnostik untuk mengetahui sejauh mana gangguan miksi terjadi, terutama pada kasus sistitis berulang atau sistitis kronik. perlu dilakukan penelitian lanjutan yang bersifat prospektif dengan pemeriksaan spesimen secara mandiri di laboratorium dan pengendalian sampel penelitian yang lebih spesifik, meliputi jenis kelamin dan rentang umur yang sama, karena terdapat perbedaan mekanisme imuni tas tubuh ketika terj adi proses infl am asi, khususnya di daerah salurah kemih. daftar pustaka 1. kapur, j., & stringer, d.a. diagnostic imaging and intervention: a guide for clinicians. in chiu mc, yap hk (eds). practical paediatric nephrology : an update of current practice. medcom limited, hong kong. 2005. p.15-29 2. aiyegoro, o.a., igbinosa, o.o., ogunmwonyi, i.n., odjadjare, e.e., igbinosa, o.e., okoh, a. incidence of urinary tract infections (uti) among children and adolescents in ile-ife nigeria. afr. j. microbiol. res, 2007 july: 013-019. 3. agus, t. infeksi saluran kemih, buku ajar ilmu penyakit dalam jilid i edisi iv. jakarta: fk ui. 2001. 4. santosa, a., tjahjodjati, r.a., tarmono, a. panduan penatalaksanaan (guidelines) pediatric urology (urologi anak) di indonesia; infeksi saluran kemih. 2005. diakses tanggal 5 april 2011 dari http://www.google.com/url?sa=t&rct= j&q=panduan+penatalaksanaan+%28guidelines% 29+pediatric+urology+%28urologi+anak%29+di+ indonesia%3b++infeksi+saluran+kemih&source= web&cd=1&cad=rja&ved=0ccgqfjaa&url=http%3 a%2f%2fwww.iaui.or.id%2fast%2ffile%2fpediatric_ urology.doc&ei=9shwufhndsnprqf8yocodw &usg=afqjcnerfx0m5kazvbpcwt9 wwt nyne8avw 5. wirawan, r., astrawinata, d. a. w., enny. evaluasi pemeriksaan sedimen urin secara kuantitatif menggunakan sistem shih-yung. jakarta: bagian patologi klinik, fk ui/rsupn dr. ciptomangunkusomo. 2004. 18 faza khilwan amna, hubungan penebalan dinding kandung kemih ... 6. kelly, ce. the relationship between pressure flow studies and ultrasound estimates bladder wall mass. urology journal, 2005; 7 (6): s29s34. 7. jequier s. & rousseau o. 1987. sonographic measurements of the normal bladder wall in children. ajr am j roentgenol. 1987; 149 (3): 563-6. 8. yang jm, huang wc. bladder wall thickness on ultrasonographic cystourethrography: affecting factors and their implications. j ultrasound med. 2003; 22 (8): 777-82. 9. wald, r., bell, c.m., neisenbaum, r., perrone, s., liangos, o., laupacis, a., et al. interobsever reliability of urin sediment interpretation. clin j am soc nephrol, 2009; 4 (3): 567-571. 10. de jong, w. buku ajar ilmu bedah, edisi 2. jakarta: egc. 2004. 11. shortliffe & mccue j.d. urinary tract infection at the age extremes: pediatric and geriatric (abstract). am j med, 2002; 113 (suppl 1a): 55s-66s. 12. brunzel, n.a. fundamentals of urine and body fluid analysis. philadelphia: wb saunders company, 2004. p. 119-263. 13. sorkhi, r.m., nooreddini, h.g., navase, a.r., shafee, h., hadipoor, a. sonographic measurement of bladder wall thickness in healthy children. iranian journal of pediatrics, 2009; 19 (4): 341-6. 14. lim, r. 2009. vesicoureteral reflux and urinary tract infection: evolving practices and current controversies in pediatric imaging. ajr am j roentgenol, 2009; 192 (5): 11971208. 15. rosita, l. pengaruh penundaan waktu terhadap hasil urinalisis. yogyakarta: departemen patologi klinik, fakultas kedokteran universitas islam indonesia. 2008. 16. gandasoebrata, r. urinalisis, dalam: penuntun laboratorium kli nik, cetakan ke-10. jakarta: pt. dian rakyat; 2001. p. 112-263. 17. aulia, d. pemeriksaan dan penilaian kimia urin dengan carik celup. dalam: kumpulan makalah lokakarya aspek praktis urinalisis. pendidikan berkesinambungan patologi klinik. jakarta: fk ui; 2004. p. 23-30. 18. palmer, p.s. panduan pemeriksaan diagnostik usg. who: egc. 2002. mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 20 no 2 page 62-66 july 2020 risk factors of ovarian cancer in pku muhammadiyah teaching hospital yogyakarta supriyatiningsih1,2, alfun dhiya an1, witri andi pratiwi1, ralph j. lelle2, joerg haier3 1obstetrics and gynecology department, faculty of medicine and health sciences, universitas muhammadiyah yogyakarta. jl brawijaya, tamantirto, kasihan, bantul, yogyakarta, indonesia 2geburtshilfe und frauenheilkunde, universitatklinikum muenster/westfaliche wilhelms-university of muenster, germany 3comprehensive cancer centre, hannover medical school, germany data of article: received: 05 feb 2020 reviewed: 20 mar 2020 revised: 18 may 2020 accepted: 20 jun 2020 *correspondence: supriyatiningsih.wenang@unimuenster.de doi: 10.18196/mm.200247 type of article: research abstract: in pku muhammadiyah teaching hospital yogyakarta from 2014 to 2017, ovarian cancer is 5th out of all types cancers diagnosed. recognition and identification of ovarian cancer risk factors are very important to prevent the patient both from morbidity and mortality. the purpose of this study was to estimate the relationship between low parity, infertility, age, and family history with ovarian cancer in this hospital. this study was an observational analytical study with case control design. the sample was medical record of 74 women with ovarian cancer and non ovarian cancer the hospital period april 2014 to september 2017 with inclusion and exclusion criteria. data analysis used chisquare test. the bivariat analysis showed that there is no relationship between low parity with ovarian cancer (p=0.790 or=0.87; 95% ci 0.305-2.466), there is no relation between infertility with ovarian cancer (p=0.104 or=2.48; 95% ci 0.815-7.545), and there is no relation between family history with ovarian cancer (p=0.304 or=3.18; 95% ci 0.315-32.039). but there is a relationship between age with ovarian cancer (p=0.01 or=0.11; 95% ci 0.022-0,510). age is a risk factor of ovarian cancer, while there is no relation between low parity, infertility, and family history with ovarian cancer. keywords: risk factors, ovarian cancer, age. abstrak: di rs pendidikan pku muhammadiyah yogyakarta 2014-2017, kanker ovarium menempati urutan ke-5 dari semua jenis kanker yang terdiagnosis. pengenalan dan identifikasi faktor risiko kanker ovarium sangat penting dilakukan untuk mencegah penderita baik dari morbiditas maupun mortalitas. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan paritas rendah, infertilitas, umur, dan riwayat keluarga dengan kanker ovarium di rs ini. penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan desain case control. sampel adalah rekam medis 74 wanita penderita kanker ovarium dan kanker non ovarium di rs tersebut periode april 2014 sampai september 2017 dengan kriteria inklusi dan eksklusi. analisis data menggunakan uji chi-square. analisis bivariat menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara paritas rendah dengan kanker ovarium (p = 0.790 or = 0.87; ci 95% 0.305-2.466), tidak ada hubungan antara infertilitas dengan kanker ovarium (p = 0.104 or = 2.48; 95% ci 0.815-7.545), dan tidak ada hubungan antara riwayat keluarga dengan kanker ovarium (p = 0.304 or = 3.18; 95% ci 0.315-32.039). tetapi ada hubungan antara umur dengan kanker ovarium (p = 0.01 or = 0.11; 95% ci 0.022-0.510). usia merupakan faktor risiko terjadinya kanker ovarium, sedangkan paritas rendah, infertilitas, dan riwayat keluarga tidak ada hubungan dengan kanker ovarium. kata kunci: faktor risiko, kanker ovarium, usia. introduction cancer is an abnormal cell growth. cancer is formed by an organ or body structure consisting of small cells that will grow up into mass, because the cells have lost the ability to stop growing.1 cancer is a major cause of mortality worldwide. by | 63 2015, cancer causes 8.8 million deaths. the most common cancer causes deaths: lung cancer (1.69 million deaths), liver cancer (788,000 deaths), colorectal cancer (774,000 deaths), stomach cancer (754,000 deaths), and breast cancer (571,000).2 in indonesia, the prevalence of patient with cancer at all ages is 1.4%. yogyakarta province is the province with the highest prevalence of cancer 4.86%, which is much higher than the national rate.3 the next highest prevalence is in central java province of 2.1% and bali province of 2.0%.4 a report from dharmais cancer hospital 2010-2013 showed that breast cancer, cervical cancer, lung cancer, ovarian cancer, rectal cancer, thyroid cancer, colon cancer, hepatoma and nasopharyngeal cancer are the most common cancer in dharmais hospital for four consecutive years. there was also an increase of ovarian cancer incidence reported as many as 113 new cases from a total of 1722 new cases in 2010 (6.56%).4 the indicates that ovarian cancer is ranked 4th after breast cancer, cervical cancer, and lung cancer in the united states. 5 ovarian cancer is the fifth leading cause of death from all types of cancers present in the female reproductive system. in the united states, by 2017 an estimated 22,440 women will be diagnosed with ovarian cancer and 14,080 women will die from ovarian cancer.2,6 medical record data of pku muhammadiyah teaching hospital yogyakarta period 2014 to 2017 showed that ovarian cancer is the fifth highest among all diagnosed cancers. in addition, ovarian cancer is also ranked second highest after breast cancer of all types of cancer in the female reproductive system. ovarian cancer is one of the malignant diseases found in female reproductive organs, which can originate in germ cells, epithelial or granulosa cell cells, but almost always from epithelial cells. ovarian cancer results from the growth of abnormal cells in one or both parts of the ovary.6,7 ovarian cancer is associated with low parity and infertility. although it may be related to other factors, such as the use of talc, the consumption of galactose, and tubal ligation, but which is strongly associated with the incidence of ovarian cancer is the history of reproduction and the duration of the history of reproductive work. early menarche and late menopause increase the risk of ovarian cancer. the risk of ovarian cancer is strongly associated with family history, especially ovarian cancer from epithelial cells accounting for 5% to 10% including malignant.7 ovarian cancer usually does not have a symptom at an early stage, so the patient is usually diagnosed when the cancer was metastasised.8 ovarian cancer that found in the early stages is only about 20%. approximately 94% of patients can survive more than 5 years after diagnosis, when ovarian cancer is diagnosed at an early stage.9 from the data above, the prevalence of ovarian cancer in indonesia is still very high. ovarian cancer is generally without any early-stage symptoms makes most ovarian cancers diagnosed after metastasis. of these phenomena, it requires preventive and promotive efforts in reducing the incidence of ovarian cancer, one of which identifies the risk factors of ovarian cancer. this is what makes researchers interested in conducting research to identify most common risk factors in our teaching hospital. materials and method a case control design was employed in the study that include a total 37 patients with ovarian cancer and 37 patients with non-ovarian cancer for control group. in this study, the data were collected from medical record data both ovarian and non ovarian cancer patients in the hospital of study period of april 2014 to september 2017 which has met the inclusion criteria and exclusion criteria. the inclusion criteria includes women with ovarian cancer and non ovarian cancer, and there are free variable data to be studied. while women with ovarian cancer with complications excluded from this study. the study has been approved by the ethical research committee of the affiliated institution of the first author. statistical package for the social sciences (spss) was used to test the data. univariate analysis was conducted to investigate the characteristics of respondents and chi-square was employed to measure the relation between variabel. result data number of parities, infertility, age, and family history was collected and are shown in table 1. table 1 shows number of parities. most of the samples have parity ≤2 (n=55, 74.3%). and samples having parity> 2 were 19 people (25.7%). more than 75% samples were non infertile. based on age, the number of samples with age ≤40 years were 15 persons (20.3%) and samples with age> 40 years were 59 people (79.7%). this indicates that the sample in this study was dominated by a sample with age> 40 years. this study indicates that the samples in both groups 64 | vol 20 no 2 july 2020 were dominated by samples with no family history of cancer (n=70 people, 94.6%). there is no significant relation between ovarian cancer with low parity as shown in table 2. since there is no meaningful relationship, the value of or does not give the relationship meaning accurately or real. the or score was 0.87 (1 / 0.87 = 1.15) with the meaning of women with > 2 parities having 1.15 times higher incidence of ovarian cancer than women with low parity ≤2. table 3 shows that ovarian cancer is not significantly related with infertility. since there is no meaningful relationship, the value of or does not give the relationship meaning accurately or real. obtained an or value of 2.48 with the meaning of women with infertility has a 2.48 times higher incidence of ovarian cancer than women who did not experience infertility. from table 4 it can see that there is a significant relationship between ovarian cancer and age (p=0.01). obtained an or value of 0.11 (1 / 0.11 = 9.09), meaning that women aged > 40 years have 9.09 times higher chance of ovarian cancer than women aged ≤40. table 5 shows no significant relationship between ovarian cancer and family history. because there is no meaningful relationship, the or does not provide an accurate or real meaning of the relationship. obtained an or value of 3.18 which means that women who have a family history of cancer have 3.18 times higher chance of ovarian cancer than women who have no family history of cancer. table 1. distribution of samples no variable amount percentage 1 total parity ≤2 >2 55 19 74.3% 25.7% 2 infertility yes not 18 56 24.3% 75.7% 3 age ≤40 years old >40 years old 15 59 20.3% 79.7% 4 family history yes not 4 70 5.4% 94.6% table 2. low parity relationship with the incidence of ovarian cancer parity low ovarian cancer or ci(95%) p yes not ≤2 27 28 0.87 0.305-2.466 0.790 >2 10 9 table 3. relationship of infertility with the incidence of ovarian cancer infertility ovarian cancer or ci(95%) p yes not yes 12 6 2.48 0.815-7.545 0.104 not 25 31 table 4. relationship between age and incidence of ovarian cancer age ovarian cancer or ci(95%) p yes not ≤40 years old 2 13 0.11 0.022-0.510 0.01 >40 years old 35 24 table 5. relationship of family history with the incidence of ovarian cancer family history ovarian cancer or ci(95%) p yes not yes 3 1 3.18 0.31532.039 0.304 not 34 36 discussion the statistical results of the bivariate analysis in table 2 show that there is no significant relationship between low parity and the incidence of ovarian cancer. in addition, women who have parity> 2 have 1.15 times higher chance of growing ovarian cancer than women who have low parity ≤2. this is in line with the results of research at rsud dr. h. abdul moeloek bandar lampung in 2015-2016 which shows that there is no relationship between the number of parity and the degree of histopathology of ovarian cancer.10 such condition can be caused chronic irritation in the ovaries of nonpregnant women due to repeated ovulation processes.11 in addition, the theory of incessant ovulation explains that ovulation every month can cause damage to the fallopian and ovarian tissue, so that when ovulation does not occur (anovulation) in pregnancy can have a protective effect.12 the statistical results of the bivariate analysis in table 3 show that there is no significant relationship between infertility and the incidence of ovarian cancer. women with infertility are 2.48 times more likely occurrence of ovarian cancer than women who do not experience infertility. previous studies found various finding. for example, the current study is in line with findings from previous study.14 however, the current findings was contrary with findings from two studies.13 this can be explained by the theory of increased gonadotropin hypothesis which shows that an increase in the | 65 hormone gonadotropin can cause proliferation and transformation of epithelial cells into malignant.13 the current study found a significant relationship between age and the incidence of ovarian cancer. women who are> 40 years old are 9.09 times more likely to develop ovarian cancer than women who are ≤40 years old. this is in line with the results of research at prof. rsup dr. rd. kandou manado period january 2013 december 2015 which showed that ovarian cancer occurs most often in women with age ≥51 years.15 these results are also supported by the results of previous studies which showed that most epithelial ovarian cancer sufferers were among women> 50 years of age.16 this happens because of increasing age in women can cause genetic changes in epithelial cells on the surface of the ovaries.12 but the results were not in line with the results of a study at the abdoel moelok regional general hospital, lampung province in 2015 which stated that there was no relationship between age and the incidence of ovarian cancer. this difference is possible due to differences in age groupings in the study.17 the incidence of ovarian cancer is not significantly related with family history as found in the current study. further, it was found that women who have a family history of cancer are 3.18 times more likely to develop ovarian cancer than women who have no family history of cancer. these results are in line with the results of research at the abdoel moelok regional general hospital, lampung province in 2015 which showed that there was no relationship between family history of cancer and the incidence of ovarian cancer.17 the current finding is also supported by previous study conducted at dr. soetomo hospital in the period march-april 2016 found that 79% of ovarian cancer sufferers had no family history of cancer.16 however this is not in line with the results of previous studies which found that there was a strong relationship between family history and the incidence of ovarian cancer.11 serous ovarian cancer is associated with mutations in the brca1 gene and the brca218 gene. in this study there are some weaknesses that occur due to incomplete medical record data of ovarian cancer patients and patients who do not suffer from ovarian cancer, especially those related to the independent variables studied such as the amount of parity, whether or not infertility, age, and family history of the patient. this affects the inclusion and exclusion criteria of this study. in addition, this also results in a reduced number of samples due to the lack of necessary data. conclusion it can be concluded that there is a significant relationship between age and the incidence of ovarian cancer. other factors such as low parity, infertility, and family history were not significantly related with the incidence of ovarian cancer conflicts of interest no conflicts of interest have been declared by the authors. acknowledgement this research conducted by collaboration between department obstetrics and gynecology faculty of medicine and health sciences, universitas muhammadiyah yogyakarta/pku muhammadiyah teaching hospital yogyakarta, indonesia, university hospital of muenster/westfaliche wilhelms university, germany and comprehensive cancer centre, hannover medical school, germany. references 1. sekeres ma, stern ta. facing cancer: a complete guide for people with cancer, their families, and caregivers. united states: mcgraw-hill. 2004 2. world health organization. 2017. cancer. url:https://www.who.int/healthtopics/cancer#tab=tab_1 3. ministry of health ri. indonesia health profile 2018. jakarta: catalog in publication indonesia ministry of health ri. 2019 4. ranuhardy d, dan sar rm. ilmu penyakit dalam ed. vi. jakarta pusat: internapublishing. 2014 5. american cancer society. key statistics for ovarian cancer. 2017. url https://cancerstatisticscenter.cancer.org/?_ga =2.230993302.882924594.1600401389241747158.1592280546#!/. 6. pusat data dan informasi kementerian kesehatan ri. situasi penyakit kanker. 2015. url:https://pusdatin.kemkes.go.id/article/vie w/15090700004/situasi-penyakit-kanker.html 7. berek js, abaid ln, anderson jn, aubuchon m, baker vn, baram da et al. berek and novaks gynecology. usa: lippincott williams & wilkins. 2007. 8. liwang f, tanto c, hanifat s, dan pradipta ea. kapita selekta kedokteran ed. iv. jakarta: media aesculapius. 2014. https://www.who.int/health-topics/cancer#tab=tab_1 https://www.who.int/health-topics/cancer#tab=tab_1 https://cancerstatisticscenter.cancer.org/?_ga=2.230993302.882924594.1600401389-241747158.1592280546#!/ https://cancerstatisticscenter.cancer.org/?_ga=2.230993302.882924594.1600401389-241747158.1592280546#!/ https://cancerstatisticscenter.cancer.org/?_ga=2.230993302.882924594.1600401389-241747158.1592280546#!/ https://pusdatin.kemkes.go.id/article/view/15090700004/situasi-penyakit-kanker.html https://pusdatin.kemkes.go.id/article/view/15090700004/situasi-penyakit-kanker.html 66 | vol 20 no 2 july 2020 9. das pm, and bast rc. early detection of ovarian cancer. journal biomarkers in medicine. 2008; 2(3): 291-303 10. simamora rpa, hanriko r, sari rdp. hubungan usia, jumlah paritas, dan usia menarche terhadap derajat histopatologi kanker ovarium di rsud dr. h. abdul moeloek bandar lampung tahun 2015-2016. majority, 2018;(7)2:7-13 11. vecchia cl. ovarian cancer: epidemiology and risk factors. european journal of cancer prevention, 2017 jan;26(1):55-62 12. johari ab, siregar fg. insidensi kanker ovarium berdasarkan faktor risiko di rsup haji adam malik tahun 2008-2011. e-jurnal fk usu, 2013; 1 (1): 1-6 13. rasmussen elk, hannibal cg, dehlendorff c, baandrup l, junge j, vang r, et al. parity, infertility, oral contraceptives, and hormone replacement therapy and the risk of ovarian serous borderline tumors: a nationwide casecontrol study. gynecologic oncology journal, 2017; 1(1), 6-11. 14. stentz nc, koelper nc, sammel md, barnhart kt, nicolais l, senapati s, et al. infertility associated with elevations in ovarian cancer biomarkers in later fertility and sterility. september 2017; 108(3):e212-e213. doi: 10.1016/j.fertnstert.2017.07.628 15. gea it, loho mf, wagey fw. gambaran jenis kanker ovarium di rsup prof. dr. r.d. kandou manado periode januari 2013 desember 2015. jurnal e-clinic, 2016; 4(2): 1-5. doi.org/10.35790/ecl.4.2.2016.14374 16. ginting db. gambaran faktor-faktor risiko yang berpengaruh pada terjadinya kanker ovarium tipe epitelial di poli onkologi ginekologi rsud dr. soetomo surabaya periode maret – april 2016. tesis. universitas airlangga. 2016. 17. yanti, desi am, sulistianingsih a. faktor determinant terjadinya kanker ovarium di rumah sakit umum daerah abdoel moelok provinsi lampung 2015. ejournal umm, 2016; 7 (2):79-87. 18. lahmuddin t, maulani h, musa z, dan saleh i. korelasi antara overekspresi p53 dengan derajat histopatologi dan stadium klinis karsinoma ovarium. jurnal kedokteran dan kesehatan, oktober 2015; 2 (3): 267-275 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=das%20pm%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=20477415 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/eutils/elink.fcgi?dbfrom=pubmed&retmode=ref&cmd=prlinks&id=20477415 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/eutils/elink.fcgi?dbfrom=pubmed&retmode=ref&cmd=prlinks&id=20477415 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=dehlendorff+c&cauthor_id=28108026 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?term=baandrup+l&cauthor_id=28108026 https://www.researchgate.net/journal/0015-0282_fertility_and_sterility https://www.researchgate.net/deref/http%3a%2f%2fdx.doi.org%2f10.1016%2fj.fertnstert.2017.07.628 https://doi.org/10.35790/ecl.4.2.2016.14374 0 daftar isi.p65 mutiara medika vol. 11 no. 1: 19-24, januari 2011 19 undergraduate nurse student’s perceptions of being health volunteer during merapi mountain eruption 2010 persepsi menjadi relawan kesehatan mahasiswa ilmu keperawatan selama letusan gunung merapi 2010 erna rochmawati medical surgical nursing, school of nursing, faculty of medicine and health sciences, universitas muhammadiyah yogyakarta email: erna_rho@yahoo.com abstract this current study aimed to investigate undergraduate nurse students’ perceptions and experiences of being health volunteer during mount merapi eruption on 2010. a nonexperimental, descriptive design was used. a total sampling of 26 undergraduate nurse students who become health volunteers during mount. merapi eruption completed self administered questionnaire. the questionnaire which consisted open and closed ended questions was used to measure students’ self awareness and what they have learnt. data were aggregated and analyzed using simple descriptive analysis. result indicated that undergraduate nurse students had internal motivation of being health volunteers during disaster. this study found results of students’ self assessment of their knowledge and skills capability. findings of this study contributes benefits, future impact of being health volunteers. students’ perceptions and experiences during disaster underscores the importance factors in the promotion of disaster management competency in nursing education. key words: health volunteers, nurse students, disaster abstrak penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi dan pengalaman mahasiswa keperawatan saat menjadi relawan kesehatan selama bencana letusan gunung merapi. penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. sampel yang digunakan adalah total sampling yaitu sebanyak 26 mahasiswa keperawatan yang menjadi relawan kesehatan bencana letusan gunung merapi 2010. kuesioner yang terdiri dari pertanyaan terbuka dan tertutup digunakan untuk mengukur persepsi dan pengalaman mahasiswa keperawatan dan apa yang telah mereka pelajari saat menjadi relawan. data dikumpulkan dan dianalisis menggunakan analisis deskriptif sederhana. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki motivasi internal untuk menjadi relawan kesehatan selama bencana. penelitian ini menunjukkan hasil dari evaluasi diri mahasiswa terhadap pengetahuaan dan ketrampilan mereka. hasil penelitian penelitian ini menggambarkan manfaat menjadi relawan kesehatan di masa depan. persepsi pengalaman mahasiswa keperawatan saat menjadi relawan kesehatan selama bencana menggarisbawahi pentingnya peningkatan kompetensi manajemen bencana dalam pendidikan keperawatan. kata kunci: relawan kesehatan, mahasiswa keperawatan, bencana artikel penelitian erna rochmawati, undergraduate nurse student’s perceptions ... 20 introduction international federation of red cross (ifrc, 2009) defines a disaster as “a sudden, calamitous event that seriously disrupts the functioning of a community or society and causes human, material, and economic or environmental losses that exceed the community’s or society’s ability to cope using its own resources”. moreover, from the health care professionals’ point of view, disasters can be defined from effects on people’s health and on health services .1 disaster can be categorised into three based on its origin, including: natural, human induced and mixed (natural and human).2 indonesia is a vulnerable country since it has a great risk of disaster which may caused by natural, human induced or mixed causes. in the past 5 years, many disasters have happened in indonesia including earthquake, tsunami, earthquake and tsunami, flood, landslides and bomb attacks. yogyakarta, one of a province in indonesia has experienced several natural disasters, like earthquake which happened in 2006, and mount merapi eruption which happened in 2006 and 2010. the national disaster management agency (ndma) estimates that 778 disasters have occurred within the past 5 years, with more than 13000 were killed.3 nurses, as a part of health care sectors will be in the front line of any emergency response. in order to prepare health professionals to respond during emergency condition appropriately, various universities have developed competencies for health professionals. in line with this, school of nursing, universitas muhammadiyah yogyakarta have developed competencies for undergraduate nurse student. the competencies include an ability to do initial assessment, ability to do basic life support, and an understanding about disaster management and nursing care plan during emergency condition. 4 in addition, there is also an extracurricular, named nursing care club which focus on the development of practical skills of undergraduate nurse students. along with teaching and learning process, it is expected that undergraduate nurse students have a responsivenes and competency, particularly in emergency condition, such as during disaster. being health volunteers is one of strategies to develop the responsiveness and the competency. little research, however, has investigated nurse students experiences of being health volunteer during disaster. this paper reports on a study that investigated of being health volunteers during mount merapi eruption from the perspective of undergraduate nurse students and explored the attributes required for being a good health volunteer. material and methods this study employed a descriptive design to explore undergraduate nurse student’s perceptions and experiences of being health volunteer during mount merapi eruption, of which there is limited evidence. according to lobiondo – wood and haber (2006),5 a descriptive study is ideal when studying an area where limited research has been undertaken.5 undergraduate nurse students who have been a volunteer during mount merapi eruption were approached in such a way that they had time to consider whether to participate and did not feel pressured into taking part in this study. a package containing a questionnaire and consent form, was administered to participants. participants then could determine whether to participate, or withdraw mutiara medika vol. 11 no. 1: 19-24, januari 2011 21 without prejudice. all data collected was de-identified, coded and securely stored in line with the principles of ethical conduct. participants investigated in this study were all of undergraduate nurse students of universitas muhammadiyah yogyakarta who have been volunteers during mount merapi eruption. a total sampling was applied in this descriptive study. all of the undergraduate nurse studens who have been volunteers were invited to participate in this study. these participants were chosen because they had experiences of being health volunteer during a natural disaster. a questionnaire was developed specifically to address the objectives of the study. open and closed ended questions examined the concepts identified during the literature review. questions which related to perceptions and benefits of being health volunteer were presented in a likert-scale, with ratings from 1 (strongly disagree) to 5 (strongly agree). open-ended questions gave participants the opportunity to expand upon their views. in the questionnaire which administered to the participants, open – ended questions explored participants’ opinion about their experiences and benefits of being health volunteers. in the last section of the questionnaire, participants were asked to make priority about attributes required to be a good health volunteer. the completed self-enumerated questionnaire was administered to all of 26 participants. each completed questionnaire was assigned a unique number to allow accurate tracking with entered data. responses were coded and entered into a spreadsheet program for efficient data handling management and handling. descriptive and frequencies statistics were calculated to analyze the responses. result completed returned questionnaires were 26 (100 %). the questionnaire sought demographic information about the participants, specifically, age, gender, and years of study. frequency statistic were used to analyse distribution. the result was presented in table 1. all of the participants, the majority were between 20 -24 years old, 18 (69, 23%), female, 16 (61.54%), and in their fourth years, 13 (50%). undergraduate nurse students’ perceptions and benefits of being health volunters is presented in table 2. there were 18 questions in the questionnaire which asked about motivation (1), feeling experienced being health volunteers (4), self evaluation of ability being health volunteers (4), evaluation of knowledge and skills owned (4), benefits of being health volunteer (3), and impacts for future (2). table 1. distribution of undegraduate age, gender, and years of study demographic frequency procentage age < 20 8 30.77 20-24 18 69.23 gender male 10 38.46 female 16 61.54 years of study 1 4 15.4 2 4 15.4 3 5 19.2 4 13 50 erna rochmawati, undergraduate nurse student’s perceptions ... 22 communication skills both with clients, 23 (96.2%) and other volunteers, 23 (96.2%). regarding to questions about evaluation of knowledge and skills, 7 (27%) felt uncertain, and the rest felt having sufficient knowldege. most of all participant stated their agreement that being health volunteers give them benefits, including improved organizational skills (100%), improved clinical skills (92.3%), and improved knowledge about disaster managament (100%). considering the benefits they got, all of the participant 26 (100%) stated their willingness to be health volunteer in the future. in the last part of the questionnaire, the participants were asked to prioritise the attributes of being good health volunteers. there were three top table 2. undergraduate nurse students’ perceptions of being health volunteers items strongly agree agree uncertain disagree strongly disagree n % n % n % n % n % motivation internal 6 23 20 77 0 0 0 0 0 0 feeling s experience d for being health volunteers underpressure full of spirit benefit self confidence 0 22 21 12 0 84.6 80.8 46 0 6 5 24 0 16.4 19.2 54 3 0 0 0 11.5 0 0 0 8 0 0 0 30.8 0 0 0 14 0 0 0 53.8 0 0 0 self evaluation of owned ability for being health volunteers feels capable communication with clients communication with other volunteers collaboration with other team 6 9 12 12 23 34.6 46.2 46.2 20 16 13 14 27 61.6 50 53.8 0 1 1 0 0 3.8 3.8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 evaluation of owned knowledge and skills poor knowledge having sufficient knowledge having poor clinical skills knowledge owned can be applied 2 3 5 14 7.7 11.5 19.2 53.8 10 16 13 11 38.5 61.5 50 42.3 3 7 3 1 11.5 27 11.5 3.8 11 0 0 0 42.3 0 0 0 0 0 5 0 0 0 19.3 0 benefits of being health volunteer organizational skills improved clinical skills improved knowledge about disaster management improved 13 10 12 50 38.5 46.2 12 14 14 46.2 53.8 53.8 0 2 0 0 7.7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 impact s for future willingness to learn more willingness to be a health volunteer 25 21 96.2 80.8 0 5 0 19.2 0 0 0 0 1 0 3.8 0 0 0 0 0 all participants agreed that they had internal motivation for being health volunteer, strongly agree (23%), and agree (77%). regarding to questions about feeling the participants experienced being health volunteer, 14 (53.8%) stated their strong disagreement if they felt underpressure, but 3 (11,5%) felt uncertain. all of the participants stated their agreement that they felt full of spirit, and self confidence for being health volunteers. regarding to the benefit of being health volunteers, all of the participatns stated their agreement, 21 (80.8%) strongly agree, and 5 (19.2%) agree. all participants agreed that they had a good collaboration skills, 12 (46.2%) strongly agree and good capability, 20 (76%) agree. most of the participants stated their agreement that they had good mutiara medika vol. 11 no. 1: 19-24, januari 2011 23 priorities of the attribute: empathy, honesty and good team work capability. discussion being health volunteers gives good impression for undergraduate nurse student. this study contributes to what is known about nursing disaster managament, particularly being health volunteers during the disaster. the demographic details of the participants of this study showed that there were some similarities between the participants and nurses in the world. globally, nursing is predominantly female profession. sixteen of 26 participants (61,54%) were female. more females involved in nursing may be resulted from a belief that femalemare more caring to patients and a nurse should be a female. half of the participants were in the fourth years of nursing education. the fourth years undergraduate nurse students have obtain courses about emergency nursing and disaster management. it seems that more knowledge they have obtained, undegraduate nurse student more eager to be health volunteer. most of the participants stated their agreement that they have a good communication skills with clients. the undergraduate nurse students of umy have been taught communication in their first year. communication skills play a crucial roles during emergency condition.6 the participants stated about the benefits they got including improved clinical skills and knowledge about disaster management, and improved organizational skills. being health volunteers enable undergraduate nurse students to learn more not only about the knowledge and practical skills, but also about soft skills. there were top three attributes which required for being good health volunteers, including: honesty, empathy, and good team work skills. it seems that the participants have learned that empathy is needed during delivering support for victims of disasters. emphaty will also shows professionalism of a profession, it is in line with the school of nursing mission which is to produce a professional nurse. the participants also realize that having good team work skills is important, since a good disaster management requires interprofessional collaboration. this study was a simple survey using a selfcompleted questionnaire and a small-scale study involving only undergraduate nurse student studying at a university thus generalizations across the entire population of undergraduate nurse students cannot be made. no other studies similar to the present study were found. therefore, it was difficult to compare and contrast the results of the present study with those of previous studies and the replication of this study to other setting is needed. nevertheless, the results provide some insight into the future of disaster management for undergraduate students, particularly about the effectiveness and benefit, and provide the basis for further research. conclusion in general, being health volunteers give several benefits and all undergraduate nurse students state positive experiences of being health volunteers. additional research could further evaluate the erna rochmawati, undergraduate nurse student’s perceptions ... 24 3. national disaster management agency. accessed at http://dibi.bnpb.go.id/desinventar/ print_result.jsp accessed on 9 december 2009. 4 program studi ilmu keperawatan fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta. buku panduan akademik. universitas muhammadiyah yogyakarta. 2006. 5 lobiondo-wood g, haber j. non experimental designs: nursing research: methods and critical appraisal for evidence-based practice. 6th eds, mosby-elsevier, missouri. 2006. 6 sabri aa, qayyum ma. why medical students should be trained in disaster management: our experience of the kashmir earthquake. plos medicine 2006;9(2):1452-1463. effectiveness of being health volunteer and its applicability in different situtation. in addition, the undergraduate nurse students believed that personal attributes, including honesty, empathy and good team work skills are important for being a good health volunteer during a disaster. reference 1. veenema tg. expanding educational opportunities in disaster response and emergency preparedness for nurses. nursing education perspectives 2006:27(2):93-99. 2. world association for disaster and emergency medicine (wadem). health disaster management: guidelines for evaluation and research in the utstein style. prehospital disaster medicine 2003;17:1-177. 20 | mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 21 no 1 page 35-40, january 2021 relationship between knowledge and using personal protective equipment in tuberculosis ward and polyclinic of hospital x hubungan antara pengetahuan dan penggunaan alat pelindung diri di bangsal dan poliklinik tuberkulosis rumah sakit x ekorini listiowati1, fitria eka rianti2 1universitas muhammadiyah yogyakarta 2program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta data of article: received: 22 april 2019 reviewed: 19 jun 2019 revised: 13 april 2020 accepted: 12 feb 2021 *correspondence: ekorini_santosa@umy.ac.id doi: 10.18196/mmjkk.v21i1.6157 type of article: research abstract: tuberculosis (tb) prevalence in indonesia occupies the 2nd position globally; therefore, it is necessary to prevent tb transmission, including the use of personal protective equipment (ppe) in high-risk individuals. this study aims to determine the relationship between nurses' knowledge and behavior in using ppe to prevent tb transmission in hospitals. this study used a cross-sectional design, with the research subjects of all nurses in the isolation room and the tb polyclinic in a private hospital (x) in yogyakarta. the study was attended by 38 nurses, with a total sampling technique. data were obtained using a questionnaire. the data analysis employed descriptive statistical tests and chi-square. this study’s results indicated that most nurses had good knowledge (31 people; 81.6%) and good behavior (32 people; 84.2%). chi-square analysis revealed a significant relationship between knowledge and nurses' behavior in using ppe (p = 0.000). it was concluded that there was a significant relationship between knowledge and nurses' behavior in using ppe in the tb ward and polyclinic at hospital x. keywords: personal protective equipment; behavior; knowledge; tuberculosis abstrak: prevalensi tuberkulosis (tb) di indonesia menempati posisi ke-2 di dunia, oleh karena itu diperlukan upaya pencegahan penularan tb diantaranya dengan penggunaan alat pelindung diri (apd) pada individu berisiko tinggi. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan perilaku perawat dalam penggunaan apd untuk pencegahan penularan tb di rumah sakit (rs). penelitian ini menggunakan desain cross sectional, dengan subjek penelitian seluruh perawat di ruang isolasi dan poliklinik tb di rs x di yogyakarta. penelitian diikuti oleh 38 perawat, dengan teknik total sampling. data diperoleh dengan menggunakan kuesioner. analisis data menggunakan uji statistik deskriptif dan chi square. hasil penelitian ini menunjukkan sebagian besar perawat memiliki pengetahuan baik (31 orang; 81,6%) dan berperilaku baik (32 orang; 84,2%). analisis chi square menunjukkan ada signifikansi hubungan antara pengetahuan dengan perilaku perawat dalam penggunaan apd (p = 0,000). disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan perilaku perawat dalam penggunaan apd di bangsal dan poliklinik tb di rs x. kata kunci: alat pelindung diri; pengetahuan; perilaku; tuberkulosis vol 21 no 1 january 2021 21 | introduction tuberculosis (tb) is a disease that is transmitted very quickly. tb incidence globally is increasing, and it is the biggest health problem, especially in developing countries. therefore, the word health organization (who) states that tb is a global health emergency.1 one of the targets for achieving the millennium development goals (mdgs) number 6 in 2015 is handling tb and human immunodeficiency virus (hiv). regarding tb infection control and prevention, who recommends four pillars, namely managerial, administrative control, environmental control, and self-protection control.2 according to the who report (2013),1 it was estimated that there were 8.6 million tb cases (2012), of which 1.1 million sufferers (13%) were hiv-positive tb patients. based on these reports, 75% of the population was in the african region. an estimated 450,000 people with multi drugs resistance (tb mdr) tuberculosis in africa and 170,000 of them died.1 most of the deaths in tb patients occurred in men, with an estimated number of 250 people and an estimated 160 people in women.1 many occurred in children; it was estimated that there were 530,000 or 6% of new cases per year, while deaths in children caused by tb were 74,000 or an estimated 8% in 2012. according to data in the yogyakarta health office for 2011-2014,3 there was a slight decrease in tb prevalence in 2013 and 2014. it was recorded that in 2013, there were 243 cases of tb bta (+) and 211 cases in 2014, with the proportion of 60 new cases, 18% for men and 39.82% for women. the data showed that out of 18 community health centers, 8 hospitals, and 2 lung medicine center (bp-4), there was a slight decline in 2014. the cure rate for tb sufferers in the yogyakarta region in 2008 2014 had not reached the national target of 85% yet, even tending to decline from 2011-2014.3 the cure rate in 2011 only reached 79%, it decreased to 72% in 2012, in 2013, it reached 75.9%, and it decreased again in 2014, namely by 75.72%.3 besides, the transmission of the infection occurs through body fluids and blood. a nurse is a profession that is at risk of contracting tb disease. nurses non-compliance in using ppe can increase the risk of disease transmission.4 the research conducted at hospitals in banten province uncovered that non-compliance behaviors that often occurred were the use of masks and hands coons or both in carrying out nursing actions.4 previous research at hospital x exposed that the tb incidence rate was 118 patients from january 2016 until march 2017. if measured by tuberculosis directly observed treatment short-course (tb dots), the achievement rate of tb patients was 0.8%, which reached default, the failure rate was 0.3%, the cure rate was 11.2%, the conversion rate was 32.7%, and the complete treatment rate was 43.5%.6 the high number of tb patients and the low cure rate at hospital x is essential for research related to ppe use, especially by nurses who work in the tb clinic and ward. materials and methods this research is quantitative with an observational analytic design using a cross-sectional design. this study aims to analyze the relationship between nurses’ knowledge level and behavior in using ppe, especially in the tb ward and polyclinic. the research was conducted at a private hospital in yogyakarta (x). in this study, the population and sample were all nurses who worked in the tb isolation room and tb polyclinic. there were 38 respondents involved, with a total sampling technique. the mcq questionnaire sheet was utilized to see nurses' knowledge, while the likert scale questionnaire sheet was employed to see nurses’ behavior. data analysis in this study was carried out using the spss 1.5 program to analyze univariate (descriptive) and bivariate (chi-square). results nurse characteristics. the characteristics of the respondents in this study are presented in table 1. table 1 shows that most respondents were female (65.8%), aged 26-35 years (65.8%), had a tenure of 1-5 years (81.6%), and have a bachelor’s degree (55.3%). knowledge and behavior. based on the results, nurses' knowledge level at hospital x was generally good (31 nurses: 81.6%). specifically (table 2), based on gender, it appeared that 84.6% of male nurses and 80% of female nurses had good knowledge. based on age, the group 17-25 years and 26-35 years were knowledgeable, as much as 83.3% and 80.0%, respectively. based on the tenure, 83.9% of nurses with a work period of 1-5 years had good knowledge. based on education, it appeared that 90% of nurses with a bachelor’s education had good knowledge. relationship between knowledge and behavior of nurses in using ppe. the correlation analysis results using chi-square are displayed in table 3. table 3 reveals that respondents with good knowledge were 81.6%, along with respondents who had good behavior (84.2%). meanwhile, respondents with sufficient vol 21 no 1 january 2021 22 | knowledge (18.4%) were also in line with respondents who had sufficient behavior (15.8%). no respondent s were less knowledgeable or behaved less. the chi-square analysis results showed a significant correlation (p = 0.006), with a strong correlation (r = 0.7553). table 1. characteristics of nurses in tb ward and polyclinic of hospital x year 2017 no characteristics of nurses frequency f % 1 sex male 13 34.2 female 25 65.8 2 age 17-25 year 12 31.6 26-35 year 25 65.8 36-45 year 1 2.6 3 tenure < 1 year 4 10.5 1-5 year 31 81.6 6-10 year 2 5.3 >10 year 1 2.6 4 education diploma 18 44.7 bachelor 20 55.3 source: primary data table 2. characteristics of nurses’ level of knowledge and behavior in the use of ppe in tb ward and polyclinic of hospital x no characteristics knowledge behavior good moderate bad good moderate bad f % f % f % f % f % f % 1 sex male 11 84.6 2 15.4 0 00 12 92.3 1 7.7 0 00 female 20 80 5 20 0 00 20 80 5 20 0 00 2 age 17-25 year 10 83.3 2 16.7 0 00 12 100 0 00 0 00 26-35 year 20 80 5 20 0 00 19 76 6 24 0 00 36-45 year 1 100 0 00 0 00 1 100 0 00 0 00 3 tenure < 1 year 2 50 2 50 0 00 3 75 1 25 0 00 1-5 year 26 83.9 5 16.1 0 00 26 83.9 5 16.1 0 00 6-10 year 2 100 0 00 0 00 2 100 0 00 0 00 >10 year 1 100 0 00 0 00 1 100 0 00 0 00 4 education diploma 13 72.2 5 27.8 0 00 15 83.3 3 16.7 0 00 bachelor 18 90 2 10 0 00 17 85 3 15 0 00 source: primary data vol 21 no 1 january 2021 23 | table 3. the relationship between knowledge and nurse behavior in using ppe in tb ward and polyclinic of hospital x category knowledge behavior chi-square f % f % p correlation coefficient good 31 81.6 32 84.2 0.006 0.7553 moderate 7 18.4 6 15.8 bad 0 00 0 00 source: primary data discussion knowledge about ppe by gender. this study’s results indicated that both male and female nurses had good knowledge about ppe. it is in line with robbins (2014),7 that men and women both have the opportunity to have a good level of knowledge. likewise, with behavior, there is no significant difference between men and women in carrying out work. in psychological theory, women are more willing to fulfill authority than men, but men are more aggressive and have a high chance of success, although this difference is very small.7 nurses who have a high level of knowledge will tend to carry out their duties according to their knowledge and understanding of the actions impact.8 knowledge of nurse ppe by age. the results showed that the highest value of knowledge about ppe was in the age group of 36-45 years. it is in line with research conducted by anawati et al. (2012),9 which verified that respondents aged 30-40 years had a good knowledge level of 55.2%. mature age would affect nurses' knowledge about the use of ppe so that nurses could improve the quality of providing services to patients and increase knowledge. besides, the older a person is, the more his mental development strength increases.10 knowledge of nurses about ppe based on tenure. this study was dominated by nurses with a work period of 1-5 years. if tenure and knowledge level were related, it could be seen from table 2 that the higher the tenure, the higher the percentage of well-informed nurses. the tenure is an individual experience to bring out the ability to work. much experience will increase skills and abilities at work. the work experience of a nurse is very strongly related to his knowledge. nurses who apply their experience well and make learning resources will have good and professional skills and knowledge at work so that nurses can provide quality service to patients.11 according to christensen and kenney (2009),12 the more experience a nurse has, the more knowledge about himself, patient rights, patient needs, ability to explain to patients, and can handle actions under the applicable procedures. knowledge of nurses about ppe based on education. the nurses’ compliance level in using ppe was influenced by the education level. in this study, most (90%) nurses with a bachelor’s education had good knowledge, while 72.2% of nurses with a diploma-3 education also had good knowledge. this study’s results are in accordance with the opinion of rini (2016),11 that nurses who had a higher level of education had a much better level of knowledge because, in the educational process, they would go through a series of learning activities, gaining broad understanding, knowledge, and insight. education is needed by someone to get information about health so that there is an increase in life quality.13 according to notoatmodjo (2014),14 if someone has high knowledge, the easier he is to receive information. ppe use behavior based on gender. the results disclosed that there was no significant difference between the behavior of men and women. for male respondents, 12 people (92.3%) had good behavior, and one person (7.7%) had sufficient behavior. for female respondents, 20 (80%) had good behavior, and 5 (20%) had sufficient behavior. this study's results align with research carried out by apriluana (2016),15 which revealed that there was no significant relationship between gender and the availability of ppe with the behavior of health personnel using ppe in banjarbaru hospital. it signified that the behavior of using ppe on male nurses and women was the same, and it was not related to the availability of ppe. nurse professionalism is vital, regardless of gender differences. however, several studies have shown that the nursing profession is more in demand by women than men because women are considered to have maternal instincts. the number of nurses in several hospitals is also more women. however, currently, for reasons of gender equality, the need for specific skills and dexterity such as in the operating room (ok) and emergency unit (ugd), or because of the development of science, the presence of male nurses is starting to be taken into account.16 ppe use behavior based on age. this study involved 38 nurses who were dominated by nurses aged 26-35 years. analysis of nurses behavior based on age showed that nurses aged 17-25 years had the highest vol 21 no 1 january 2021 24 | percentage of the behavior value of using ppe, and one nurse aged 36-45 years had good behavior. according to nursalam (2011),17 ages play an essential role in determining a person to be more table. the older a person is, the better the level of thinking ability and strength at work. someone more mature will tend to be more trusted because of the maturity of his soul. ppe use behavior based on the working period. in this study, the highest percentage of ppe use behavior values was among nurses with a work period of 6-10 years and >10 years. meanwhile, this research was dominated by nurses who had a work period of 1-5 years. trisno (2010),18 concluded that 18 on 422 workers in a company showed no relationship between years of service and use of ppe and worked accidents (r2 = 0.002; p = 0.813). according to wibowo et al. (2013),16 people who have a more extended working period sometimes decrease productivity due to boredom. the length of work for a person is synonymous with experience; the longer the work period, the more experience increases so that the knowledge increases, 16 but not necessarily followed by better behavior. ppe use behavior based on education. the study demonstrated that the highest percentage of scores was for nurses with a bachelor’s education level. it is consistent with the research conducted by wibowo as et al. (2013),16 that a person with higher education would have better knowledge and professionalism. it also applied to the knowledge and use of ppe. in accordance with wawan and dewi's (2010) statement,19 education could influence a person, including the behavior of life patterns. the higher a person's education, the easier he will be to receive information so that his/her insight will be broader. relationship between knowledge and behavior in the use of ppe. the analysis results using chisquare showed a significant relationship between the level of knowledge and the behavior of nurses in using ppe while on duty in the ward and tuberculosis clinic in hospital x (p = 0.006). this study corroborates the research conducted by zahara et al. (2017),20 that there was a relationship between knowledge (p = 0.001) and behavior (p = 0.006) of nurses with compliance with the use of ppe. however, these results are not consistent with rini's (2016) research,11 that there was no relationship between the level of knowledge and the behavior of using ppe (p = 0.465; α = 0.05). it might be due to other factors influencing standard precautionary behavior, such as supporting facilities that did not comply with standards, the composition of the disinfection fluid used was uncertain, and there was no detailed and specific standard operational procedure (sop). conclusion in general, nurses in the tb ward and polyclinic of hospital x had a good level of knowledge and behavior. no nurse had a less behavioral level in terms of length of work and gender. thus, there was a relationship between the knowledge and behavior of nurses and the use of ppe. references 1. who. global tuberculosis report 2013. world health organization. 2013. https://apps.who.int/iris/handle/10665/91355 2. kemenkes, ri. pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi tuberkulosis di fasilitas pelayanan kesehatan. 2012. https://docplayer.info/33206916-pedoman-pencegahan-dan-pengendalian-infeksituberkulosis-di-fasilitas-pelayanan-k-esehatan.html 3. dinkes provinsi diy. profil kesehatan provinsi d i yogyakarta tahun 2011. 2011. 4. riyanto da. faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan perawat dalam penggunaan alat pelindung diri di rumah sakit sari asih serang provinsi banten. 9 (2016). http://ejournal.stikesborromeus.ac.id/file/58.pdf 5. jamsostek. laporan tahunan 2011. (2011). https://www.bpjsketenagakerjaan.go.id//assets/uploads/laporan_tahunan/02022015_140606_ar%20ja msostek%202011%20lores.pdf 6. prameswari a. the evaluation of directly observed treatment short-course (dots) implementation for tb in hospital x. jmmr (jurnal medicoeticolegal dan manajemen rumah sakit), 7 (2): p. 93-101, august 2018. https://doi.org/10.18196/jmmr.7261 7. robbins sp, judge ta. perilaku organisasi. in perilaku organisasi vol. edisi 16. salemba empat. 2014. 8. notoadmodjo s. promosi kesehatan. rineka cipta. jakarta. 2010. 9. anawati kr, ungaran mpsnw, ungaran dpsnw. hubungan pengetahuan dan sikap dengan kepatuhan perawat dalam penggunaan alat pelindung diri di rumah sakit umum daerah ambarawa. https://doi.org/10.18196/jmmr.7261 vol 21 no 1 january 2021 25 | https://docplayer.info/72343254-hubungan-pengetahuan-dan-sikap-dengan-kepatuhan-perawat-dalampenggunaan-alat-pelindung-diri-di-rumah-sakit-umum-daerah-ambarawa.html (2012). 10. soekanto s. sosiologi suatu pengantar. rajawali pers. 2012. 11. rini mk. gambaran pengetahuan perawat tentang penggunaan alat pelindung diri di bangsal medikal bedah rawat inap rumah sakit pku muhammadiyah gamping sleman. universitas muhammadiyah yogyakarta (2016). http://repository.umy.ac.id/handle/123456789/2926 12. christensen p, kenney jw. proses keperawatan aplikasi model konseptual. egc. 2009. 13. wawan a & dewi m pengetahuan, sikap, dan perilaku manusia cetakan ke ii. nuha medika. 2011. 14. notoatmojo s. promosi kesehatan dan perilaku kesehatan. rineka cipta. 2014. 15. apriluana g, khairiyati l, setyaningrum r. hubungan antara usia, jenis kelamin, lama kerja, pengetahuan, sikap dan ketersediaan alat pelindung diri (apd) dengan perilaku penggunaan apd pada tenaga kesehatan. jurnal publikasi kesehatan masyarakat indonesia (jpkmi), 3(3), p. 82-87. 6. 2016. 16. wibowo as, suryani m. hubungan karakteristik perawat dengan penggunaan sarung tangan pada tindakan invasif di ruang rawat inap rsud dr. soewondo kendal. 9. 2013. http://ejournal.stikestelogorejo.ac.id/index.php/ilmukeperawatan/article/view/157 17. nursalam. manajemen keperawatan: aplikasi dalam praktik keperawatan profesional edisi 3. (salemba medika, 2011). 18. trisno. penderita hiv-aids di jateng 2.922 orang. in suara medika.com. 2010. 19. wawan a, dewi m. teori dan pengukuran pengetahuan, sikap, dan perilaku manusia. nuha medika. 2010. 20. zahara ra, effendi su, khairani n. kepatuhan menggunakan alat pelindung diri (apd) ditinjau dari pengetahuan dan perilaku pada petugas instalasi pemeliharaan sarana dan prasarana rumah sakit (ipsrs). j. sci. n.a 2, p. 153–158. 2017. 0 daftar isi 11-2.p65 118 yuni permatasari istanti, faktor-faktor yang berkontribusi ... faktor-faktor yang berkontribusi terhadap interdialytic weight gains pada pasien chronic kidney diseases yang menjalani hemodialisis factors that contribute to interdialytic weight gains on chronic kidney diseases patients undergoing haemodialysis yuni permatasari istanti program studi magister keperawatan, program pasca sarjana, universitas muhammadiyah yogyakarta jalan lingkar selatan, tamantirto, kasihan, bantul, yogyakarta 55183 email: permata_06@yahoo.com abstrak interdialytic body weight gains (idwg) adalah peningkatan volume cairan yang dimanifestasikan dengan peningkatan berat badan sebagai indikator untuk mengetahui jumlah cairan yang masuk selama periode interdialitik dan kepatuhan pasien terhadap pengaturan cairan pada pasien yang mendapatkan terapi hemodialisis. peningkatan idwg melebihi 5% dari berat badan kering dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi seperti hipertensi, hipotensi intradialisis, gagal jantung kiri, asites, pleural effusion, gagal jantung kongestif, bahkan kematian. berbagai faktor penyebab idwg baik internal (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, rasa haus, stres, self efficacy), maupun eksternal (dukungan keluarga, sosial dan jumlah intake cairan). penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berkontribusi terhadap idwg pada pasien gagal ginjal kronik (ggk) yang menjalani hemodialisis di unit hemodialisis rs pku muhammadiyah yogyakarta. jenis penelitian deskriptif analitik dengan desain cross sectional. responden adalah 48 pasien dari 79 pasien yang menjalani hemodialisis (hd). pengambilan data dengan menggunakan kuesioner. analisis dengan regresi linear sederhana menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara masukan cairan dengan idwg (r=0,541, p-value = 0,000), dan tidak ada hubungan yang signifikan antara umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, rasa haus, dukungan keluarga dan sosial, self efficacy serta stres dengan idwg. disimpulkan bahwa masukan cairan merupakan faktor yang berkontribusi secara signifikan terhadap idwg. kata kunci: interdialytic body weight gains faktor-faktor yang berkontribusi, gagal ginjal kronik, regresi linear sederhana abstract interdialytic body weight gains (idwg) is an increase volume of liquid that is manifested by an increase in body weight as an indicator to determine the amount of fluid intake during the period interdialytic and patients’ adherence to fluid regulation in patients receiving hemodialisis therapy. increased idwg exceed 5% of dry weight can cause various complications such as hypertension, hypotension intradialysis, left heart failure, ascites, pleural effusion, congestive heart failure, even death. various factors cause idwg both internal factors include age, gender, educational level, thirst, stress, self-efficacy, as well as external factors as family, social support and fluid intake. the purpose of this research was to know the factors that contribute idwg on chronic kidney deseases (ckd) patients underwent hemodialisis (hd) in the hemodialisis unit rs pku muhammadiyah yogyakarta. descriptive analytic study with cross sectional design with 48 patient collected from 79 hd patients. analysis with simple linear regression showed significant relationship between fluid intake with idwg (r = 0.541, p-value = 0.000), and no significant relationship between age, sex, educational level, thirst, family and social support, self efficacy and stress with idwg. it was concluded that fluid intake is a significant contributing of idwg. key words: interdialytic weight gains, contributing factors, chronic kidney deseases, simple linear regression artikel penelitian 119 mutiara medika vol. 11 no. 2: 118-130, mei 2011 pendahuluan ginjal merupakan organ vital yang berfungsi menyaring darah dari kelebihan cairan, garam, dan produk sisa untuk menjaga komposisi kimiawi tubuh tetap stabil (price & wilson, 1995).1 chronic kidney diseases (ckd) adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dan tidak dapat pulih kembali karena tubuh tidak mampu memelihara metabolisme dan gagal memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit yang berakibat pada peningkatan ureum (uremia) (smeltzer, et al. 2008).2 gangguan fungsi ginjal ditandai dengan proteinuria, hipertensi dan penurunan laju filtrasi glomerulus (lfg) hingga < 15 ml/menit disertai dengan kondisi klinis pasien yang semakin memburuk.3 apabila lfg < 15 ml/menit, pasien harus mendapatkan terapi pengganti ginjal (tpg) seperti hemodialisis, peritoneal dialysis maupun transplantasi ginjal.4 hemodialisis merupakan suatu proses difusi partikel larut dari suatu kompartemen darah melewati membran semipermeabel.5 tindakan hemodialisis didasarkan pada 2 pilar yaitu pembatasan cairan dan pembuangan produk sisa metabolisme dari darah dengan menggunakan mesin dialysis.6 asupan cairan harian yang dianjurkan pada pasien dibatasi hanya sebanyak “insensible water losses” ditambah jumlah urin.2 namun yang menjadi permasalahan tidak hanya masukan cairan yang dapat meningkatkan berat badan interdialitik namun masukan makanan yang banyak mengandung air seperti gelatin atau soup juga memberikan kontribusi pada total masukan cairan.7 dengan demikian pasien menjadi banyak mengkonsumsi cairan, dan berat badan akan naik sampai jadwal hemodialisis berikutnya.8 pembatasan cairan mempunyai tujuan untuk mengurangi kelebihan cairan pada periode interdialitik. kelebihan cairan dapat menyebabkan edema dan hipertensi, hipertropi ventrikuler kiri, dan juga berhubungan dengan lama hidup pasien.9 tindakan hemodialisis dilakukan untuk menarik cairan pasien sampai mencapai target berat badan kering pasien.8 interdialytic body weight gains (idwg) merupakan peningkatan volume cairan yang dimanifestasikan dengan peningkatan berat badan sebagai dasar untuk mengetahui jumlah cairan yang masuk selama periode interdialitik.10 pasien secara rutin diukur berat badannya sebelum dan sesudah hemodialisis untuk mengetahui kondisi cairan dalam tubuh pasien, kemudian idwg dihitung berdasarkan berat badan kering setelah hemodialisis.8 beberapa penelitian menunjukkan 60%-80% pasien meninggal akibat kelebihan masukan cairan dan makanan pada periode interdialitik,10 sehingga monitoring masukan cairan pada pasien merupakan tindakan utama yang harus diperhatikan oleh perawat.11 banyak faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya idwg, diantaranya adalah faktor dari pasien dan keluarga. beberapa faktor psikososial sangat berhubungan dangan peningkatan idwg seperti faktor demografi, masukan cairan, rasa haus, social support, self efficacy dan stres,10 oleh karena tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berkontribusi terhadap idwg pada pasien yang menjalani hemodialisis. bahan dan cara desain penelitian yang digunakan adalah korelasi dengan rancangan cross sectional. populasi 120 yuni permatasari istanti, faktor-faktor yang berkontribusi ... dalam penelitian ini adalah semua pasien ckd yang menjalani hemodialisis di unit hemodialisis rs pku muhammadiyah yogyakarta pada bulan mei 2009. teknik sampling yang digunakan adalah menggunakan total sampling dengan kriteria inklusi sebagai berikut: sedang menjalani terapi hemodialisis dua kali seminggu sesuai jadwal dengan lama hd 4 jam, dapat ditimbang berat badannya dengan berdiri, kesadaran compos mentis, dapat berkomunikasi secara verbal, dapat membaca dan memahami tulisan sederhana, dan bersedia menjadi responden. kriteria ekslusi adalah: pasien yang menjalani hd bukan karena ckd, dan pasien yang mengalami gangguan jiwa. sampel yang diperoleh dalam penelitian ini adalah 48 responden. instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah kuesioner untuk mendapatkan data demografi, dukungan keluarga dan sosial, self efficacy dan stres. pengukuran rasa haus menggunakan skala visual analogue scale vas dengan skala 0 – 100, dan timbangan berat badan untuk mendapatkan data masukan cairan dan idwg. prosedur pengumpulan data dilakukan selama 2 (dua) kali periode hemodialisis. pada periode i (pertama) hemodialisis dilakukan pengumpulan data demografi dan berat badan setelah hemodialisis. pada saat akan pulang, pasien diberi lembar pencatatan berat badan dan urine output saat pasien di rumah, dan diberikan penjelasan tentang cara pengisian lembar catatan tersebut. pada periode ii (kedua) dilakukan pengumpulan data berat badan pasien dengan menimbang berat badan sebelum hemodialisis, dan pengambilan data tentang dukungan keluarga dan sosial, self efficacy, stres dengan menggunakan kuesioner yang diisi oleh responden. selanjutnya dilakukan pengambilan data rasa haus menggunakan skala vas dengan skala 0-100 dengan menanyakan kepada responden tentang rasa haus tertinggi yang dirasakan responden setelah periode hemodialisis pertama sampai dengan hemodialisis ke dua. analisis statistik yang digunakan meliputi distribusi frekuensi untuk analisis data demografi. uji regresi linear sederhana digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dan dependen. hasil karakteristik responden adalah sebagai berikut: rata-rata umur responden adalah 48.46 tahun (sd=12.42), dengan umur termuda adalah 20 tahun dan umur tertua adalah 70 tahun. jenis kelamin kelompok laki-laki lebih banyak (62.50%). tingkat pendidikan responden sebagian besar mempunyai pendidikan slta (23.10%). masukan cairan. rata-rata masukan cairan responden adalah 1409.92 ml per hari (sd=379.27), dengan masukan cairan terendah 633 ml per hari dan masukan cairan tertinggi 2333 ml per hari. rasa haus. rata-rata rasa haus yang dirasakan responden 52.71 (sd=25.49), dengan rasa haus terendah 0 (tidak haus) dan rasa haus tertinggi 100 (haus berat). dukungan keluarga dan sosial. rata-rata dukungan keluarga dan sosial yang diterima responden adalah 3.77 (sd=1.06), termasuk kategori cukup tinggi. nilai dukungan keluarga dan sosial terendah 1 dan tertinggi 4. 121 mutiara medika vol. 11 no. 2: 118-130, mei 2011 self efficacy. rata-rata self efficacy responden adalah 29.85 (sd=5.26), termasuk kategori cukup tinggi. nilai self efficacy terendah 10 dan tertinggi 39. stres. rata-rata stres responden adalah 34.33 (sd=9.23), termasuk kategori cukup tinggi. nilai stres terendah 11 dan tertinggi 48. interdialytic body weight gains. rata-rata idwg responden adalah 4.00% (sd=1.89) yang terdistribusi normal (p = 0.89). nilai idwg terendah 0% dan tertinggi 8.25%. hubungan antara umur dengan idwg. hasil analisis diketahui bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara umur dengan idwg (r= 0.177, pvalue=0.23). persamaan garis menunjukkan semakin meningkat umur responden maka idwg semakin menurun. besaran koefisien determinan umur adalah 3.10%, berarti umur menentukan 3.10% idwg, sisanya 96.90% ditentukan oleh faktor lain. tabel 1. hubungan antara umur dengan idwg pada pasien ckd di unit hemodialisis rs pku muhamma-diyah yogyakarta mei 2009 (n=48) variabel r r2 persamaan garis p-value umur 0.177 0.031 idwg = 5.299 – 0.27*umur 0.230 706050403020 umur responden 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 ib w g re s po n de n r sq linear = 0.031 gambar 1. hubungan antara umur dengan idwg pada pasien c kd di unit hemod ialisi s rs pku muhammadiyah yogyakarta mei 2009 (n=48) perbedaan antara jenis kelamin dengan idwg. hasil analisis menggambarkan rata-rata idwg pada laki-laki lebih tinggi (4.06%) daripada perempuan. setelah diuji statistik, maka disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin dengan idwg (p-value=0.775, =0.05). tabel 2. perbedaan antara jenis kelamin dengan idwg pada pasien ckd di unit hemodialisis rs pku muhammadiyah yogyakarta mei 2009 (n=48) variabel n rata-rata (%) sd p-value laki-laki perempuan 30 18 4.058 3.890 1.836 2.026 0.775 perbedaan antara tingkat pendidikan dengan idwg. hasil analisis menggambarkan bahwa rata-rata idwg yang paling rendah adalah yang mempunyai pendidikan sltp (3.45%) dan yang paling tinggi adalah pendidikan diii (4.66%). analisis statistik menggambarkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan idwg (p-value=0.753, =0.05). tabel 3. perbedaan antara tingkat pendidikan terhadap idwg pasien ckd di unit hemodialisis rs pku muhammadiyah yogyakarta mei 2009 (n=48) variabel rata -rata (%) sd se f p-value sd sltp slta diii sarjana 4.255 3.446 3.746 4.660 4.083 2. 296 1. 972 1. 598 2. 062 1. 958 0.811 0.697 0.412 0.729 0.652 0. 501 0.753 tabel 4. hubungan antara masukan cairan dengan idwg pada pasien ckd di unit hemodialisis rs pku muha-mmadiyah yogyakarta mei 2009 (n=48) variabel r r2 persamaan garis p-value masukan cairan 0.541 0. 293 idwg = 0.195 + 0.003* masukan cairan 0.000 hubungan antara masukan cairan dengan idwg. hasil analisis menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara masukan cairan dengan idwg (r=0.541, p-value=0.000). arah hubungan adalah positif yang berarti semakin banyak masukan cairan responden maka idwg 122 yuni permatasari istanti, faktor-faktor yang berkontribusi ... juga akan meningkat. besaran koefisien determinan masukan cairan adalah 29.30%, berarti masukan cairan menentukan 29.30% idwg, sisanya 70.,70% ditentukan oleh faktor lain (tabel 4. dan gambar 2.). hubungan rasa haus dengan idwg. hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara rasa haus dengan idwg (r=0.256, p-value = 0.079). persamaan garis menunjukkan bahwa semakin tinggi rasa haus maka idwg semakin meningkat. besaran koefisien determinan rasa haus adalah 6.60%, berarti rasa haus menentukan 6. 60% idwg, sisanya 93.40% ditentukan oleh faktor lain. hubungan dukungan keluarga dan sosial dengan idwg. hasil analisis diketahui bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dan sosial dengan idwg (r=0.082, pvalue=0.581). persamaan garis menunjukkan semakin besar dukungan keluarga dan sosial maka idwg semakin besar. besaran koefisien determinan dukungan keluarga dan sosial adalah 0.70%, berarti dukungan keluarga dan sosial menentukan 0.70% idwg, sisanya ditentukan oleh faktor lain. hubungan antara self efficacy dengan idwg. hasil analisis antara self efficacy dengan idwg pada pasien ckd diketahui bahwa tidak ada 25 0020 0015 0010 0050 0 masukan cairan harian 1 0.0 0 8.0 0 6.0 0 4.0 0 2.0 0 0.0 0 ib w g re sp o nd en r s q l ine ar = 0.2 93 gambar 2. hubungan antara masukan cairan dengan idwg pada pasien ckd di unit hemodialisis rs pku muhammadiyah yogyakarta mei 2009(n=48) tabel 5. hubungan antara rasa haus dengan idwg pada pasien ckd di unit hemo dial isis rs pku muhammadiyah yogyakarta mei 2009 (n=48) variabel r r2 persamaan garis p-value rasa haus 0.256 0.066 idwg = 2.996 + 0. 19* rasa haus 0.079 1008 060402 00 rasa haus responden 1 0.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 ib w g re sp on de n r s q line ar = 0.0 66 gambar 3. hubungan antara rasa haus dengan idwg pada pasien ckd di unit hemodialisis rs pku muhammadiyah yogyakarta mei 2009 (n=48) tabel 6. hubungan antara dukungan keluarga dan sosial dengan idwg pada pasien ckd di unit hemodialisis rs pku muhammadiyah yogyakarta mei 2009 (n=48) variabel r r2 persamaan garis p-value dukungan keluarga dan so sia 0.082 0.007 idwg = 3 .446 + 0.146*dukungan keluarga dan sosial 0.581 54321 dukungan keluarga 1 0.0 0 8.0 0 6.0 0 4.0 0 2.0 0 0.0 0 ib w g re s p o n d e n r s q l ine ar = 0 .0 07 gambar 4. hubungan antara dukungan keluarga dan sosial dengan idw g pada pasi en c kd d i un it hemodi alisis r s pk u m u hammadiy ah yogyakarta bulan mei 2009 (n=48) 123 mutiara medika vol. 11 no. 2: 118-130, mei 2011 hubungan yang signifikan antara self efficacy dengan idwg (r=0.045, p-value=0,760). persamaan garis menunjukkan semakin tinggi self efficacy maka idwg semakin menurun. besaran koefisien determinan self efficacy adalah 0.20%, berarti self efficacy menentukan 0.20% idwg, sisanya 99.80% ditentukan oleh faktor lain. hubungan antara stres dengan idwg. hasil analisis antara stres dengan idwg pada pasien ckd diketahui bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara stres dengan idwg (r=0.179, pvalue=0,222). persamaan garis menunjukkan semakin tinggi stres maka idwg akan semakin menurun. besaran koefisien determinan stres adalah 3.20%, berarti stres menentukan 3.20% idwg, sisanya 96.80% ditentukan oleh faktor lain. diskusi karakteristik responden. hasil penelitian menunjukkan rentang umur responden dalam penelitian ini adalah 20 hingga 70 tahun (n=48 responden) dengan rata-rata 48.46 tahun (sd=12.42). chronic kidney disease merupakan penyakit yang dapat dialami oleh semua umur sesuai dengan etiologinya, akan tetapi tidak semua pasien ckd menjalani hemodialisis. rentang rata-rata umur pasien yang menjalani hemodialisis pada penelitian ini adalah 44.85 – 52.07 tahun. umur tersebut merupakan umur produktif sehingga dengan melakukan hemodialisis diharapkan pasien dapat beraktivitas dengan baik dan dapat meningkatkan kualitas hidupnya. fefendi (2008) 12 menjelaskan bahwa pasien dengan umur produktif merasa terpacu untuk sembuh, mempunyai harapan hidup yang tinggi dan sebagai tulang punggung keluarga. berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh reddan, et al (2005)13 bahwa umur pasien end state renal diseases (esrd) yang menjalani hemodialisis di 8 pusat unit hemodialisis (seattle, wa; dallas, tx; durham, nc; washington, dc; portland, me; and london, ontorio, canada) berada pada rentang umur 18 – 85 tahun dengan rata-rata umur 59.20 tabel 7. hubungan antara self efficacy dengan idwg pada pasien ckd di unit hemo dial isis rs pku muhammadiyah yogyakarta mei 2009 (n=48) variabel r r2 persamaan garis p-value self efficacy 0. 045 0.002 idwg = 4.481 0.016*self efficacy 0.760 40353025201510 self efficacy 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 ib w g re s p o n d e n r sq linear = 0.002 gambar 5. hubungan antara self efficacy dengan idwg pada pasien ckd di unit hemodialisis rs pku muhammadiyah yogyakarta mei 2009(n=48) tabel 8. hubungan antara stres dengan idwg pada pasien ckd di unit hemodialisis rs pku muham-madiyah yogyakarta mei 2009 (n=48) variabel r r2 persamaan garis p-value stres -0.179 0.032 idwg = 5.258 – 0.037* stres 0.222 504 030201 0 stress 10.0 0 8.0 0 6.0 0 4.0 0 2.0 0 0.0 0 ib w g re s p o n d e n r s q lin ear = 0 .032 gambar 6. hubungan stres dengan idwg pada pasien ckd di unit hemodialisis rs pku muham-madiyah yogyakarta mei 2009 (n=48) 124 yuni permatasari istanti, faktor-faktor yang berkontribusi ... tahun. selain itu menurut woerden (2007),14 pasien esrd di inggris yang berumur lebih dari 75 tahun tidak menjalani hemodialisis karena mempertimbangkan kondisi personal, fisik, sosial dan psikososial pasien, sehingga banyak pasien esrd yang berumur tua tidak mendapatkan terapi secara layak. hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara umur dengan idwg dengan nilai r = 0.177 (p-value = 0.230). peningkatan idwg dapat terjadi pada setiap umur, hal ini berhubungan dengan kepatuhan dalam pengaturan masukan cairan. sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh sapri (2004)15, tidak ada pengaruh antara umur pasien dengan kepatuhan dalam mengurangi asupan cairan pada pasien yang menjalani hemodialisis. namun hasil penelitian yang dilakukan oleh kimmel, et al (2000)16 menunjukkan bahwa umur merupakan faktor yang kuat terhadap tingkat kepatuhan pasien. pasien berumur muda mempunyai tingkat kepatuhan yang rendah dibandingkan dengan pasien berumur tua. hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh sapri (2004)15 karena mempunyai persamaan jumlah sampel yang kecil yaitu 51 responden. studi yang dilakukan oleh kimmel, et al (2000)16 menggunakan responden yang cukup banyak (283 orang), lama waktu penelitian yang cukup lama (48.90 bulan), dan karakteristik responden yang berbeda, yaitu pasien esrd dengan diabetes mellitus. penelitian ini menggunakan 48 responden dan dilakukan selama 1 (satu) minggu tanpa mengidentifikasi penyakit penyerta pasien. jenis kelamin. data penelitian menunjukkan jumlah responden laki-laki lebih besar (62.50%) daripada perempuan (37.50%). hal ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh reddan, et al (2005)13 bahwa pasien ckd yang menjalani hemodialisis di 8 pusat unit hemodialisis di seattle (wa), dallas (tx), durham (nc), washington, (dc), portland (me), london, ontorio, canada, 51% dari 227 pasien adalah laki-laki. demikian juga dengan studi yang dilakukan oleh cos (2008)27 kepada 54 responden yang menjalani hemodialisis, 51.90% pasien adalah laki-laki dan 48.10% adalah perempuan. pada penelitian ini, rata-rata idwg pada lakilaki lebih tinggi (4.06%) daripada perempuan (3.89%), namun secara statistik tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan idwg (p-value=0.781, α=0.05). interdialytic body weight gains (idwg) berhubungan dengan perilaku patuh pasien dalam menjalani hemodialisis. baik laki-laki maupun perempuan mempunyai faktor risiko yang sama untuk terjadi peningkatan idwg, hal ini dipengaruhi oleh kepatuhan pasien. selain faktor tingkat kepatuhan, air tubuh total laki-laki membentuk 60% berat badannya, sedangkan air tubuh total perempuan membentuk 50% berat badannya. laki-laki memiliki komposisi tubuh yang berbeda dengan perempuan jaringan otot laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan yang memiliki lebih banyak jaringan lemak. lemak merupakan zat yang bebas air, maka makin sedikitnya lemak akan mengakibatkan makin tinggi persentase air dari berat badan seseorang.1 total air tubuh akan memberikan penambahan berat badan yang meningkat lebih cepat daripada penambahan yang disebabkan oleh kalori. terkait dengan hal tersebut, pada pasien hemodialisis, penambahan berat badan diantara dua waktu dia125 mutiara medika vol. 11 no. 2: 118-130, mei 2011 lisis pada laki-laki lebih tinggi daripada pada perempuan.14 hal ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh brunstrom (1997)17 bahwa perempuan membutuhkan volume air yang lebih sedikit daripada laki-laki untuk menimbulkan efek puas terhadap rasa hausnya. tingkat pendidikan. data penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai pendidikan slta (23.10%), sedangkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa rata-rata idwg terendah terjadi pada responden dengan tingkat pendidikan sltp (3.45%) dan tertinggi pada tingkat pendidikan diii (4,66%). tingkat pendidikan sering dihubungkan dengan pengetahuan. seseorang yang berpendidikan tinggi diasumsikan lebih mudah menyerap informasi sehingga pemberian asuhan keperawatan dapat disesuaikan dengan tingkat pendidikan yang mencerminkan tingkat kemampuan pemahaman dan kemampuan menyerap edukasi self-care. uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan kejadian idwg (p-value=0.808, α=0.05). hal ini menunjukkan bahwa kemampuan melakukan perawatan mandiri selama hemodialisis terutama pengelolaan idwg tidak hanya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. kemungkinan dipengaruhi oleh hasil interaksi antara pengetahuan, sikap dan tindakan pasien terhadap pengelolaan cairan, diet, yang diperoleh melalui pengalaman sendiri atau orang lain dan sumber informasi lain seperti media. studi yang dilakukan oleh barnett (2008)18 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak memberikan perbedaan terhadap kemampuan melakukan perawatan mandiri pada pasien hemodialisis.18 masukan cairan. hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara masukan cairan dengan idwg (r=0.541). rata-rata masukan cairan responden 1409.92 ml per hari (sd=379.26), dengan masukan cairan terendah 633 ml per hari dan masukan cairan tertinggi 2333 ml per hari. interdialytic body weight gain sangat erat kaitannya dengan masukan cairan pasien. pembatasan cairan merupakan salah satu terapi yang diberikan bagi pasien penyakit ginjal tahap akhir untuk pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. jumlah cairan yang ditentukan untuk setiap harinya berbeda bagi setiap pasien tergantung fungsi ginjal, adanya edema dan ke luaran urine pasien. denhaerynck, et al (2007)6 menjelaskan bahwa ketidak patuhan dalam pengaturan cairan akan mengakibatkan idwg yang berlebihan antara 10%-60%, dengan prevalensi kejadian 30%-74%. pengaturan masukan cairan yang baik dapat mencegah idwg yang berlebihan. kapple & massry (2004)19 merekomendasikan tentang masukan cairan ideal yang dikonsumsi pasien setiap harinya adalah 600 ml + urine output + extrarenal waterlosses. enam ratus ml merupakan cairan yang hilang setiap harinya, sedangkan extrarenal waterlosses meliputi diare, muntah dan sekresi nasogastrik. rata-rata masukan cairan harian responden pada penelitian ini cenderung melebihi masukan cairan yang telah direkomendasikan. terdapat beberapa alasan pasien untuk minum, yaitu karena haus dan karena keinginan minum bukan karena haus misalnya karena hubungan sosial. selain itu berdasarkan hasil observasi kelebihan cairan ter126 yuni permatasari istanti, faktor-faktor yang berkontribusi ... jadi karena tidak adanya edukasi dari petugas kesehatan di unit hemodialisis terhadap masukan cairan pasien. seharusnya perawat mempunyai peranan yang sangat penting dalam membantu pasien untuk mengatur masukan cairan sehingga dapat mencegah komplikasi, namun menurut pasien dalam penelitian ini belum pernah diberikan edukasi terkait dengan pengaturan cairan. hal ini kemungkinan karena beban kerja perawat yang cukup tinggi dilihat dari rasio perawat dan jumlah mesin yang menggambarkan jumlah pasien. jumlah perawat 9 orang yang dibagi dalam 3 shift, jumlah mesin hemodialisis 22 buah dengan jumlah pasien 79 orang. rasa haus. hasil analisis menunjukkan bahwa skor rata-rata rasa haus yang dirasakan responden adalah 52.71 (sd=25.494; kategori sedang). skor rasa haus terendah yaitu 0 (tidak haus) dan rasa haus tertinggi 100 (haus berat). rasa haus merupakan bagian dan masalah yang paling berat pada pasien yang menjalani hemodialisis (mistiaen, 2001).20 rasa haus yang berlebihan menyebabkan pasien tidak dapat menahan masukan cairan dan akhirnya kelebihan cairan pada periode interdialitik tidak dapat dihindari. ahmad (2000)21 menjelaskan bahwa salah satu penyebab meningkatnya idwg pada pasien yang menjalani hemodialisis adalah rasa haus yang disebabkan karena kelebihan masukan sodium yang menstimulasi pusat haus. pada saat pengambilan data, ada satu responden yang mengatakan tidak bisa mengurangi masukan sodium, dan beberapa responden tidak mengetahui tentang pembatasan sodium yang harus dilakukan. selain itu sebagian besar responden mengatakan bahwa perasaan haus dipengaruhi oleh cuaca. pada saat penelitian dilakukan, cuaca di yogyakarta tidak terlalu panas, bahkan hampir setiap hari hujan. hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara rasa haus dengan idwg (r=0.256). hasil ini tidak sesuai dengan studi yang dilakukan oleh giovanetti, et al (2004)22 bahwa terdapat hubungan yang positif antara rasa haus dengan idwg. penelitian tersebut menunjukkan bahwa rasa haus dirasakan oleh 86% pasien dengan 34% pasien didapatkan idwg lebih dari 4%. pasien dengan perasaan haus terberat mempunyai idwg 4,1%, dan pasien dengan skor rasa haus paling rendah mempunyai idwg 3,1%. dukungan keluarga dan sosial. hasil penelitian menunjukkan bahwa responden mempunyai dukungan dari keluarga dan sosial yang cukup baik. hal ini ditunjukkan dari 100% responden tinggal bersama keluarga, dan setiap menjalani hemodialisis 83.30% responden diantar oleh keluarga. hasil analisis menunjukkan rata-rata nilai dukungan keluarga yang diterima responden sebesar 3.77 dengan nilai minimal 1 dan nilai maksimal 5. hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dan sosial dengan idwg (r=0.082). tingginya nilai dukungan keluarga tidak berpengaruh terhadap idwg pasien. hasil analisis statistik juga menunjukkan pola yang positif yaitu semakin tinggi dukungan keluarga yang diberikan kepada pasien maka idwg juga semakin tinggi. hasil penelitian ini tidak sesuai dengan studi yang dilakukan oleh untas, et al. (2007) bahwa dukungan keluarga berhubungan erat dengan idwg, sehingga keluar127 mutiara medika vol. 11 no. 2: 118-130, mei 2011 ga diharapkan dapat memberikan dukungan dalam memonitor idwg untuk mencegah komplikasikomplikasi selama menjalani hemodialisis. self efficacy. hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata nilai self efficacy responden adalah 29.85 (sd=5.263; kategori cukup baik). nilai self efficacy terendah 10 dan tertinggi 39. bandura (2000)24 menjelaskan bahwa self efficacy dapat mempengaruhi proses pikir sehingga dapat merubah performance seseorang dalam berbagai bentuk cognitive construction dan inferential thinking. seseorang dengan self efficacy yang tinggi dapat menciptakan situasi yang konstruktif sehingga dapat menilai setiap situasi dan kondisi dengan penilaian yang positif. hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara self efficacy dengan idwg (r = 0.045; p-value = 0.08). hal ini munjukkan bahwa self efficacy hanya berkontribusi sebesar 0.02% terhadap idwg. hasil penelitian ini tidak sesuai dengan studi yang dilakukan oleh takaki, et al. (2003)25 bahwa subyek dengan self efficacy yang tinggi akan mampu mengatur masukan cairan dengan lebih baik. studi yang dilakukan oleh richard (2006)26 menunjukkan bahwa self efficacy merupakan faktor yang penting dalam keberhasilan pasien melakukan perawatan diri selama hemodialisis. pasien perempuan lansia dengan self efficacy yang tinggi mempunyai pengaturan diet yang lebih baik daripada laki-laki muda dengan self efficacy yang rendah. persamaan garis regresi menunjukkan pola hubungan negatif yaitu semakin tinggi self efficacy maka idwg semakin rendah. hal ini sesuai dengan studi yang dikemukakan oleh takaki et al. (2003) dalam richard (2006),26 bahwa subyek dengan self confidence yang tinggi lebih mampu mengatur pembatasan cairan, sehingga dapat mengontrol kenaikan idwg. stres. hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata nilai stres responden adalah 34.33 (sd=9.22). nilai stres terendah adalah 11 dan tertinggi 48. hal ini berarti bahwa rata-rata responden mempunyai tingkat stres yang cukup tinggi. cos (2008)27 menyebutkan bahwa stres yang dialami oleh pasien yang menjalani hemodialisis berhubungan dengan perasaan tergantung dengan mesin hemodialisis, pembatasan aktivitas terutama pembatasan makan dan minum. begitu juga dengan studi yang dilakukan oleh mok and tam (2001)28 bahwa dari 50 responden esrd di hongkong menunjukkan pembatasan cairan merupakan stressor paling banyak dirasakan oleh responden, kemudian diikuti oleh pembatasan makanan, rasa gatal, kelemahan dan biaya pengobatan. stres yang dialami pasien akan mempengaruhi perilaku kesehatannya sehingga pasien cenderung tidak memperhatikan kondisinya dan tidak mematuhi aturan pembatasan cairan, sehingga peningkatan idwg tidak dapat dikendalikan. hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara stres dengan idwg (r=0.179, p-value = 0.000). hal ini dapat diartikan bahwa faktor stres bukan merupakan faktor yang dominan berpengaruh pada peningkatan idwg (3.20%). diskusi mengenai hubungan kedua variabel ini masih berbeda-beda. hasil penelitian ini sama dengan studi yang dilakukan oleh saounatsu (1999)29 bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara emotional response to illness dengan self care management pada pasien ckd, namun berbeda dengan beberapa hasil pe128 yuni permatasari istanti, faktor-faktor yang berkontribusi ... nelitian yang dilakukan oleh kutner, et al (2002).30 penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara depresi dengan ketidak patuhan pasien dalam menjalani hemodialisis dan peritoneal dialysis. menurut everett, et al (2005),31 peristiwa hidup yang besar akan mempengaruhi stres sehari-hari secara langsung, yang akan mempengaruhi idwg. simpulan faktor-faktor yang berhubungan dengan idwg adalah: 1. masukan cairan dengan arah hubungan semakin banyak cairan masuk maka idwg semakin meningkat. 2. rasa haus dengan arah hubungan semakin tinggi rasa haus maka idwg semakin meningkat. 3. self efficacy dengan arah hubungan semakin tinggi self efficacy maka idwg semakin menurun. faktor-faktor yang tidak berhubungan dengan idwg adalah faktor umur, jenis kelamin, dukungan keluarga dan sosial, tingkat pendidikan, dan stress. daftar pustaka 1. price sa and wilson lm. pathophysiology. clinical concepts of disease processes. philadelphia: mosby year book inc; 1995. 2. smeltzer sc, bare bg, hinkle jl and cheever kh. textbook of medical –surgical nursing. 12th ed. wolter kluwer : lippincott william & wilkins; 2008. 3. black jm and hawk jh. medical surgical nursing: clinical management for positive outcome. 7th ed. philadelphia : w.b. saunders company; 2005. 4. wadhwa. chronic renal failure; 2005. diunduh 15 pebruari 2009 dari :http://www.uhmc. sunysb.edu/internalmed/nephro/webpages/ part_g.htm. 17 5. hudak cm and gallo bm. keperawatan kritis: pendekatan holistik. jakarta: egc;1996. 6. denheirynck k, gees sd, manhaeve d, dobbels s, garzoni d and nolte c. prevalence and consecuences of non adherence to hemodialisis regiment. 2007. diunduh 15 februari 2009 dari http://ajcc.aacnjournals.org/cgi/content/full/16/3/222, 7. welch j l, perkins sm, johnsons cs and kraus ma. patterns of interdialytic weight gain during the first year of hemodialisis.2006. diunduh 15 februari 2009 dari http://.nephrologynursing.netceexpire2008article33493499.pdf. 8. jeager j and mehta r. assesment of dry weight in hemodialisis.1999. diunduh 15 pebruari 2009 dari http://www.jasn.asnjournals.orgcgicontentfull11122337. 9. thomas n. renal nursing. london: bailliere tindall; 2003. 10. arnold tl. predicting fluid adherence in hemodialisis patients via the illness perception questionnaire – revised .2007. diunduh tanggal 21 februari 2009 dari http://www.etd.gsu. eduthesesavailableetd11122007020016 unrestrictedarnold_tava_l_200708_phd.pdf. 11. sonnier b. effects of self monitoring and monetery reward on fluid adherence among adult hemodialisis patients.2000. diunduh 15 februari 2009 dari http://www.library.unt. eduthesesopen20003sonnier_bridget_ld issertation.pdf. 129 mutiara medika vol. 11 no. 2: 118-130, mei 2011 12. fefendi. faktor-faktor yang mempengaruhi ketidak patuhan perawatan hemodialisis. 2008. diunduh 15 februari 2009 dari http:// indonesiannursing.com/2008/07/30/faktorfaktor. 13. reddan dn, szczech la, hasselblad v, lowrie eg, lindsay rm, himmelfarb j, et al. interdialytic blood volume monitoring in ambulatory hemodialisis patiens: a randomized trial. j am nephrol. 2005(16):2162-2169 14. worden v. gender, age, and geographical location on of renal replacement therapy.2007. diunduh 24 mei 2009 dari http://www.med scape.com/viewarticle/560158_4. 15. sapri a. faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan dalam mengurangi asupan cairan pada penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di rsud dr. h. abdul moeloek bandar lampung. 2004. diunduh 15 pebruari 2009 dari http://indonesiannursing.com. 16. kimmel pl, varela mp, peterson ra, weihs kl, simmens sj, alleyne s, et al. interdialytic weight gain and survival in hemodialisis patients: effects of duration of esrd and diabetes mellitus. kidney international. 2000; 57(3):1141–1151; doi:10.1046/j.1523-1755 17. brunstrom jm. effects of temperature and volume on measures of mouth dryness, thirst and stomach fullness in males and females.1997. diunduh 18 februari 2009 dari http://www. medscape.com/medline/9268423. 18. barnett m. fluid compliance among patients having haemodialysis: can an educational programmer make a difference? journal of advance nursing; 2008 oxford: feb. 61.300 19. kopple jd and massry sg nutritional management of renal disease (2nd ed.). philadelphia: lippincott williams & wilkins; 2004. 20. mistiaen p.thirst, interdialytic weight gain, and thirst-interventions in hemodialisis patients: a literature review. nephrology journal. 2001; 28(6):601-613 21. ahmad s. interdialytic fluid weight gain is mainly caused by sodium intake. 2000. diunduh 27 mei 2009 dari http://www. homedialysis.org/pros/20080114/. 22. giovannetti s, barsotti g, cupisti a, morelli e, agostini b, posella l, et al. dipsogenic factors operating in chronic uremics on maintenance hemodialisis. nephron.1994;66(4):413-420. 23. untas a, gresham, jl and rayner h. more family support for hemodialisis (hd) patients is associated with better outcomes: the dialysis outcomes and practice patterns study (dopps). j am soc nephrol nov.2007; (18):294a 24. bandura a. self efficacy. 2000. diunduh 3 maret 2009 dari http://www.des.emory.edu/ mfp/effbook4.html. 25. takaki j, nishi t, shimoyama h. inada t, matsuyama n, sasaki t, et al. possible variances ofblood urea nitrogen, serum potassium and phosphorus levels and inter-dialytic weight gain accounted for compliance of hemodialisispatients. journal of psychosomatic research. 2003;55:525-529. 26. richard cj. self care management in adult undergoing hemodialisis, 2006. diunduh 3 maret 2009 dari http://www.hdcn. comanna_ ce334d334d.pdf, 130 yuni permatasari istanti, faktor-faktor yang berkontribusi ... 27. cos ta. stress, coping, and pshycological distress: an examination into the experience of individuals utilizing dialysis for end stage renal diseases. 2008. diunduh 27 mei 2009 dari http://idea.library.drexel.edu/bitstream/1860/ 2826/1/cos_travis.pdf. 28. mok e and tam b. stressors and coping methods among chronic hemodialisis patients in hong kong. j clin nurs; 2001(10):503–511. 29. saounatsou m. relation between response to illness and compliance in haemodialysis patients. edtna/erca journal; 1999:25:32-34 30. kutner ng, zhang r, mcclellan mr, and cole sa. psychosocial predictors of non-compliance in haemodialysis and peritoneal dialysis patients. nephrol dial transplant.2002;17:9399 31. everett, brantley, sletten. johns, and mc. knight. the relation of stress and deppression to interdialytic weight gain to hemodialisis patients. journal of behavioral medicine. 1995; 21:25-30. 0 daftar isi.p65 mutiara medika vol. 11 no. 1: 37-45, januari 2011 37 profesionalisme dan professional behavior mahasiswa program studi pendidikan dokter fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta professionalism and professional behavior student study programme medical education faculty of medicine and health science university muhammadiyah of yogyakarta wiwik kusumawati medical education dan bagian farmakologi program studi pendidikan dokter fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta email: wiwik_fk_umy@yahoo.com.sg abstrak profesionalisme dan professional behavior (pb) merupakan hal penting yang perlu dimiliki oleh seorang dokter dan tercermin dalam praktik sehari-hari ketika berinteraksi dengan pasien dan masyarakat. hal ini sebagai bentuk pertanggungjawaban profesi dalam rangka untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat atau kontrak sosial. studi ini dilakukan untuk mengetahui profesionalisme dan professional behavior (pb) mahasiswa tahap sarjana, profesi dan pre internship menurut persepsi dosen program studi pendidikan dokter fkik umy. kuesioner tertutup dengan 4 skala lickert yang berisi 15 atribut atau nilai profesionalisme dan pb, dibagikan kepada responden dosen tetap (35), dosen pembimbing klinik bagian 4 besar (42) dan dokter pembimbing atau supervisor (16) mahasiswa magang. para responden (anonim) diminta mengisi performance pb mahasiswa tahap sarjana, profesi dan mahasiswa magang. hasil studi menunjukkan nilai atau atribut pb yang masih perlu diperbaiki pada mahasiswa fkik umy tahap sarjana adalah kejujuran terutama dalam ujian, care terhadap orang lain maupun fasilitas belajar dan berbusana muslim dan muslimah yang baik (appearance); tahap profesi adalah disiplin waktu, kompetensi knowledge dan skills, serta tanggung jawab; tahap pre internship adalah disiplin waktu, appearance. disarankan, untuk keberhasilan pembelajaran pb perlu adanya role model yang baik, sistem penilaian yang terus menerus dan lingkungan belajar yang kondusif. perlunya dilakukan faculty development untuk mengoptimalkan peran dosen sebagai role model yang baik. kata kunci: profesionalisme, professional behavior (pb), atribut abstract professionalism and professional behavior (pb) are important factors in establishing trust for medical doctor to fullfill social contract between doctor profession and society. the aim of this study is to know professionalism and professional behavior (pb) of the students in undergraduate, clerkship and pre internship stage in faculty of medicine and health science of muhammadiyah university of yogyakarta. using 4 scale of lickert questionaires consists of 15 item of pb atribute distribute to the responden ie., undergraduate teaching staffs (35), four major department of clinical teachers (42) and supervisors (16) of pre internship students. respondent asked to assess students performance of pb by filling closed questionaires. this study revealed, undergraduate students show lack in honesty (examination), caring and appearance; clerkship students lack in time discipline, clinical competence and responsibility; pre internship students show lack in time discipline and appearance. this research suggest the importance of a good role model, continuous assessment system and learning environment to support teaching learning of pb. faculty development should be developed to increase the rule of teaching staffs as good role model. key words: professionalism, professional behavior (pb), atribute artikel penelitian wiwik kusumawati, profesionalisme dan professional behavior ... 38 pendahuluan profesionalisme dan professional behavior (pb) merupakan istilah yang sekarang ini sedang mendapatkan perhatian, khususnya pendidikan dokter di indonesia sejak ditetapkannya standar kompetensi dokter oleh konsil kedokteran indonesia pada tahun 2006. profesionalisme dan pb terkait erat dengan area 7 standar kompetensi dokter yaitu etika, moral, medikolegal, profesionalisme dan keselamatan pasien. perkembangan profesionalisme di bidang kedokteran diinisiasi oleh american board of internal medicine atau abim sejak 30 tahun yang lalu, melalui physician charter dan konsep ini terus berkembang hingga pada tahun 80an. mulai tahun 90-an hingga sekarang, perkembangan profesionalisme kedokteran lebih fokus pada elemen-elemen profesionalisme, sedangkan tantangan ke depan profesionalisme dan pb di bidang kedokteran terletak pada pengembangan sistem penilaian yang sistematis dan efektif.1 profesionalisme mempunyai pengertian sebagai berikut. “professionalism is a philosophy, a behavioral disposition, and a skill set that results from one of the fundamental relationships in human interaction”. 2 “professionalism is habitual and judicious of communication, cognitive, technical skills, clinical reasoning, emotions, values and reflection in daily practice for benefit of the individu and community”. 3 berdasar pengertian tersebut di atas, profesionalisme merupakan filosofi dan kebiasaan yang mengandung nilai-nilai, perilaku, pengetahuan, dan keterampilan yang perlu diterapkan dalam pelayanan klinis sehari-hari untuk kepentingan pasien dan masyarakat. profesionalisme mengandung ranah kognitif, psikomotor dan afektif atau professional behavior. sikap dan kemampuan profesional ini perlu dimiliki oleh seorang dokter sebagai bentuk tanggung jawab profesinya untuk memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas. salah satu tugas dokter adalah memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. pelayanan pasien yang baik tidak hanya tergantung pada kemampuan kognitif dan psikomotor yang adekuat, tetapi juga membutuhkan professional behavior.4 professional behavior yang merupakan salah satu domain profesionalisme mempunyai beberapa definisi atau pengertian sebagai berikut. “professional behavior in medicine is the manner in which a medical doctor with his or her expertise, response the problem in his or her medical practice reflecting the ability of altruism, honor and integrity, caring and compassion, respect, responsibility and accountability, excellence and scholarship, and leadership; including her or his relationship with colleagues and other health professionals”. 5 “professional behavior refers to observable behavior that reflects professional standards and values. professional behavior is evidenced by words, behavior, appearance and it is essential in establishing a basis of trust between patients and professionals”. 4 berdasar pada beberapa pengertian professional behavior tersebut di atas, professional behavior merupakan behavior yang dapat diamati dari seorang dokter dalam menangani masalah kesehatan pasien dan mencerminkan nilai-nilai profesional yang dapat meningkatkan kepercayaan pasien kepada dokter. hal ini menunjukkan, pb merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari profesionalisme. ibarat sebuah bangunan, kompetensi mutiara medika vol. 11 no. 1: 37-45, januari 2011 39 klinis, etik dan komunikasi merupakan dasar atau fondasi, pb merupakan pilar penyangga dan profesionalisme merupakan atapnya. untuk mendapatkan kepercayaan dari pasien, maka seorang dokter perlu kompeten tidak hanya dalam keilmuan dan keterampilan klinis saja melainkan perlu kompeten dalam sikap perilaku yang menunjukkan etika profesi dalam berinteraksi dengan pasien dan masyarakat. kurikulum pendidikan dokter perlu disesuaikan agar dapat memberikan pengetahuan dasar dan ilmu klinis yang relevan dengan perkembangan kebutuhan serta tuntutan profesi dokter.6 selain itu, profesionalisme kedokteran perlu diajarkan kepada mahasiswa secara formal dan eksplisit untuk menyampaikan nilai-nilai institusi dan menyiapkan mahasiswa kedokteran untuk waktu yang akan datang dalam memenuhi kontrak sosial.5 mahasiswa perlu mengembangkan sikap profesionalismenya selama proses pendidikan, bahkan sejak awal pendidikan. sikap dan behavior mahasiswa selama proses pendidikan dapat menginformasikan sikap dan behavior mereka pada waktu praktik nantinya.7 penilaian terhadap sikap dan behavior mahasiswa tabel 1. penilaian professional behavior dosen terhadap mahasiswa tahap sarjana no nilai atau atribut professional behavior (pb) dan pb islami sts ts s ss lain-lain 1 menurut saya mahasiswa menunjukkan sikap menghormati (respect) terhadap dosen, instruktur, pembimbing praktikum atau tutor 3 29 3 2 menurut saya mahasiswa menunjukkan sikap menghormati (respect) terhadap karyawan, petugas administrasi atau perawat/bidan 3 28 3 1 3 mahasiswa menunjukkan sikap disiplin (commitment) terhadap waktu dan datang tepat waktu dalam kegiatan pembelajaran 17 17 1 4 mahasiswa menunjukkan kerja sama yang baik dalam tim atau kelompok (teamworking) 4 31 5 mahasiswa menunjukkan sikap peduli (care) dan memberikan bantuan atau perhatian sesuai kemampuannya terhadap teman, orang lain atau pasien. 1 6 26 2 6 mahasiswa menunjukkan sikap menjaga dan merawat (care) dengan baik semua fasilitas termasuk alat bantu ajar, manekin, buku perpustakaan, computer, alat laboratorium, dll. 2 19 13 1 7 menurut saya mahasiswa menunjukkan sikap mendahulukan kepentingan bersama, orang lain atau pasien dari pada kepentingan pribadi (altruisme) 17 17 1 8 menurut saya mahasiswa mampu melakukan refleksi, menyadari kekurangan dan berusaha memperbaiki diri dalm pembelajaran (self awareness) 1 16 17 1 9 menurut saya mahasiswa mampu berperan sebagai pembelajar sepanjang hayat (lifelong learner) 1 14 19 1 10 menurut saya mahasiswa mampu berkomunikasi dengan baik, sopan, penuh perhatian (emphaty) terhadap orang lain atau pasien 7 28 11 menurut saya mahasiswa menunjukkan cara berpakaian (appearance) sesuai calon dokter muslim dengan berbusana muslim dan muslimah yang baik 3 12 19 1 12 menurut saya mahasiswa jujur (honesty atau sidiq) dalam kegiatan pembelajaran termasuk dalam ujian tidak melakukan kecurangan 1 23 11 13 menurut saya mahasiswa mampu melakukan tausiyah atau kultum islam dan kesehatan (tabligh) 15 19 1 14 menurut saya mahasiswa menunjukkan kemampuan atau kompetensi pengetahuan dan skills yang baik serta smart dalam menjalankan tugastugasnya (fathanah) 13 22 15 mahasiswa menunjukkan sikap tanggung jawab (responsibility atau amanah) terhadap tugas-tugasnya 7 27 1 keterangan: sts: sangat tidak setuju; ts: tidak setuju: s: setuju; ss: sangat setuju; lain-lain: tidak tahu, tidak bisa menilai atau tidak melihat wiwik kusumawati, profesionalisme dan professional behavior ... 40 selama proses pendidikan, dapat menjamin lulusan yang dihasilkan dapat menunjukkan karakter profesionalisme yang tepat. pemberian materi tentang profesionalisme kepada mahasiswa secara formal dan menilainya secara terus menerus merupakan salah satu cara agar terjadi internalisasi nilai-nilai yang diharapkan. studi ini dilakukan untuk mengetahui profesionalisme dan pb mahasiswa tahap sarjana, profesi dan pre internship menurut persepsi dosen program studi pendidikan dokter fkik umy. bahan dan cara kuesioner yang berisi tentang atribut atau elemen profesionalisme dan professional behavior (pb) dikembangkan berdasarkan referensi, yaitu standar kompetensi dokter yang ditetapkan oleh konsil kedokteran indonesia.8 atribut atau elemen profesionalisme dan professional behavior (pb) yang dikembangkan, yaitu: respect, commitment, responsibility, teamworking, caring, altruism, self awarness, lifelong learner, emphaty, honesty dan appearance. tabel 2. penilaian professional behavior dosen pembimbing klinik bagian empat besar rumah sakit pendidikan terhadap mahasiswa tahap profesi no nilai atau atribut professional behavior (pb) dan pb islami sts ts s ss lain-lain 1 menurut saya mahasiswa menunjukkan sikap menghormati (respect) terhadap dosen, instruktur, pembimbing praktikum atau tutor 2 28 12 2 menurut saya mahasiswa menunjukkan sikap menghormati (respect) terhadap karyawan, petugas administrasi atau perawat/bidan 2 30 10 3 mahasiswa menunjukkan sikap disiplin (commitment) terhadap waktu dan datang tepat waktu dalam kegiatan pembelajaran 10 26 6 4 mahasiswa menunjukkan kerja sama yang baik dalam tim atau kelompok (teamworking ) 3 31 8 5 mahasiswa menunjukkan sikap peduli (care) dan memberikan bantuan atau perhatian sesuai kemampuannya terhadap teman, orang lain atau pasien 6 27 8 1 6 mahasiswa menunjukkan sikap menjaga dan merawat (care) dengan baik semua fasilitas termasuk alat bantu ajar, manekin, buku perpustakaan, computer, alat laboratorium, dll. 2 31 8 1 7 menurut saya mahasiswa menunjukkan sikap mendahulukan kepentingan bersama, orang lain atau pasien dari pada kepentingan pribadi (altruisme) 8 29 5 8 menurut saya mahasiswa mampu melakukan refleksi, menyadari kekurangan dan berusaha memperbaiki diri dalm pembelajaran (self awareness) 8 29 5 9 menurut saya mahasiswa mampu berperan sebagai pembelajar sepanjang hayat (lifelong learner) 11 26 4 1 10 menurut saya mahasiswa mampu berkomunikasi dengan baik, sopan, penuh perhatian (emphaty) terhadap orang lain atau pasien 2 31 9 11 menurut saya mahasiswa menunjukkan cara berpakaian (appearance) sesuai calon dokter muslim dengan berbusana muslim dan muslimah yang baik 31 11 12 menurut saya mahasiswa jujur (honesty atau sidiq) dalam kegiatan pembelajaran termasuk dalam ujian tidak melakukan kecurangan 6 28 5 3 13 menurut saya mahasiswa mampu melakukan tausiyah atau kultum islam dan kesehatan (tabligh) 5 27 3 7 14 menurut saya mahasiswa menunjukkan kemampuan atau kompetensi pengetahuan dan skills yang baik serta smart dalam menjalankan tugas-tugasnya (fathanah) 9 28 5 15 mahasiswa menunjukkan sikap tanggung jawab (responsibility atau amanah) terhadap tugas-tugasnya 7 30 4 1 keterangan: sts: sangat tidak setuju; ts: tidak setuju: s: setuju; ss: sangat setuju; lain-lain: tidak tahu, tidak bisa menilai atau tidak melihat mutiara medika vol. 11 no. 1: 37-45, januari 2011 41 tabel 3. penilaian professional behavior dokter pembimbing (supervisor) terhadap mahasiswa magang (pre internship) no nilai atau atribut professional behavior (pb) dan pb islami sts ts s ss lain-lain 1 menurut saya mahasiswa menunjukkan sikap menghormati (respect) terhadap dosen, instruktur, pembimbing praktikum atau tutor 11 5 2 menurut saya mahasiswa menunjukkan sikap menghormati (respect) terhadap karyawan, petugas administrasi atau perawat/bidan 13 3 3 mahasiswa menunjukkan sikap disiplin (commitment) terhadap waktu dan datang tepat waktu dalam kegiatan pembelajaran 5 9 2 4 mahasiswa menunjukkan kerja sama yang baik dalam tim atau kelompok (teamworking) 1 13 2 5 mahasiswa menunjukkan sikap peduli (care) dan memberikan bantuan atau perhatian sesuai kemampuannya terhadap teman, orang lain atau pasien. 14 2 6 mahasiswa menunjukkan sikap menjaga dan merawat (care) dengan baik semua fasilitas termasuk alat bantu ajar, manekin, buku perpustakaan, computer, alat laboratorium, dll. 11 5 7 menurut saya mahasiswa menunjukkan sikap mendahulukan kepentingan bersama, orang lain atau pasien dari pada kepentingan pribadi (altruisme) 13 3 8 menurut saya mahasiswa mampu melakukan refleksi, menyadari kekurangan dan berusaha memperbaiki diri dalm pembelajaran (self awareness) 14 2 9 menurut saya mahasiswa mampu berperan sebagai pembelajar sepanjang hayat (lifelong learner) 13 3 10 menurut saya mahasiswa mampu berkomunikasi dengan baik, sopan, penuh perhatian (emphaty) terhadap orang lain atau pasien 12 4 11 menurut saya mahasiswa menunjukkan cara berpakaian (appearance) sesuai calon dokter muslim dengan berbusana muslim dan muslimah yang baik 2 12 2 12 menurut saya mahasiswa jujur (honesty atau sidiq) dalam kegiatan pembelajaran termasuk dalam ujian tidak melakukan kecurangan 14 2 13 menurut saya mahasiswa mampu melakukan tausiyah atau kultum islam dan kesehatan (tabligh) 4 10 1 1 14 menurut saya mahasiswa menunjukkan kemampuan atau kompetensi pengetahuan dan skills yang baik serta smart dalam menjalankan tugastugasnya (fathanah) 1 13 2 15 mahasiswa menunjukkan sikap tanggung jawab (responsibility atau amanah) terhadap tugas-tugasnya 14 2 keterangan: sts: sangat tidak setuju; ts: tidak setuju: s: setuju; ss: sangat setuju; lain-lain: tidak tahu, tidak bisa menilai atau tidak melihat kuesioner tertutup dengan 4 skala lickert berisi tentang atribut atau elemen profesionalisme dan professional behavior (pb) tersebut di atas. kuesioner ini kemudian dibagikan kepada 50 responden dosen tetap di kampus, 64 dosen pembimbing klinik bagian 4 besar pada 8 rumah sakit pendidikan fkik umy dan 20 dokter pembimbing atau supervisor mahasiswa magang atau pre internship pada 10 rumah sakit afiliasi. para responden (anonim) diminta mengisi performance pb mahasiswa tahap sarjana, profesi dan mahasiswa magang. hasil kuesioner yang sudah diisi oleh para responden, dikelompokkan sesuai 4 skala lickert. analisis secara deskriptif difokuskan pada item profesionalisme dan pb yang masih kurang. hasil profesionalisme dan professional behavior (pb) mahasiswa kedokteran. studi ini merupakan langkah awal dalam pengembangan profesionalisme dan professional behavior (pb) pada program studi pendidikan dokter fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan univ ersitas muhammadiyah yogyakarta (fkik umy). tujuan studi ini adalah untuk mengetahui profesionalisme dan professional behavior (pb) mahasiswa tahap sarjana, profesi dan pre internship menurut persepsi dosen. kuesioner tertutup dengan empat skala lickert yang berisi tentang 15 item nilai-nilai atau elemenelemen profesionalisme dan professional behavior wiwik kusumawati, profesionalisme dan professional behavior ... 42 (pb) dibagikan kepada dosen tetap di program studi pendidikan dokter fkik umy, dosen pembimbing klinik dan dokter atau supervisor mahasiswa magang atau pre internship di rumah sakit afiliasi. hasil penilaian dosen dan dokter pembimbing klinik serta supervisor dapat dilihat pada tabel 1. lima puluh tiga (53) kuesioner yang dibagikan kepada dosen tahap sarjana, yang dikembalikan (respon rate) sebanyak 35 kuesioner atau 66,04%. pada atribut pb yang dinilai, menunjukkan bahwa mahasiswa baik dalam atribut team working (31), sikap respect (29 dan 28) dan emphaty (28), dan mahasiswa masih kurang dalam menunjukkan sikap kejujuran (honesty) termasuk dalam ujian (11), care baik terhadap teman (26) maupun fasilitas belajar (13), cara berpakaian yang mencerminkan muslim dan muslimah yang baik (20), self awereness (17) dan kemampuan sebagai lifelong learner (19). ada 64 kuesioner yang dibagikan kepada dosen pembimbing klinik, yang mengembalikan kuesioner (respon rate) sebanyak 42 kuesioner atau 65,6%. pada 15 atribut pb yang dinilai, mahasiswa tahap profesi menunjukkan bahwa: team working (39), sikap respect (40), care (35 dan 39), dan mahasiswa masih kurang dalam hal: commitment terhadap waktu atau disiplin waktu dalam kegiatan pembelajaran (32), kompetensi dalam knowledge dan skills (33), sebagai life long learner (30), self awereness (34), dan tanggung jawab atau responsibility terhadap tugas-tugasnya (34). ada 20 kuesioner yang dibagikan kepada dosen pembimbing pre internship, yang mengembalikan kuesioner (respon rate) sebanyak 16 kuesioner atau 80%. pada 15 atribut pb yang dinilai, secara umum mahasiswa pre internship menunjukkan: sikap respect (16), care (16) dan mahasiswa masih kurang dalam disiplin waktu (11), tabligh (11) serta cara berbusana sesuai muslim atau muslimah yang baik atau appearance (14). diskusi ada 15 nilai atau atribut professionalisme dan professional behavior (pb) mahasiswa yang dinilai oleh dosen, mahasiswa pada tahap pre internship menunjukkan pb yang lebih baik dibandingkan dengan mahasiswa tahap sarjana dan profesi. hal ini disebabkan oleh tingkat kematangan mahasiswa semakin bertambah berkaitan dengan peran dan tugas mereka. pada tahap pre internship mahasiswa berlatih lebih mandiri dalam menangani pasien sehingga peran sebagai dokter sudah mulai dirasakan. namun demikian, terlihat kelemahan yang serupa nilai pb pada mahasiswa tahap profesi dan pre internship yaitu commitment atau disiplin waktu pada waktu kegiatan pembelajaran. kelemahan nilai pb yang sama pada mahasiswa tahap pre internship dan sarjana adalah mahasiswa berbusana sesuai muslim dan muslimah yang baik (appearance). hal ini disebabkan antara lain aturan yang mewajibkan berbusana muslim yang baik terdapat pada tahap profesi. pada tahap ini, mahasiswa mulai pembelajaran dengan pasien di rumah sakit. dengan metode apprenticeship (magang) pada tahap profesi ini menumbuhkan kesadaran untuk mematuhi aturan (berbusana) yang berlaku. nilai pb yang perlu diperbaiki pada mahasiswa tahap sarjana berdasarkan penilaian dosen adalah kejujuran terutama pada waktu ujian dan sikap care baik terhadap teman maupun fasilitas belajar, sedangkan pada mahasiswa tahap profesi adalah kompetensi knowledge dan skills serta tanggung mutiara medika vol. 11 no. 1: 37-45, januari 2011 43 jawab terhadap tugas kewajibannya. pada mahasiswa tahap pre internship perlu perbaikan dalam disiplin waktu. disiplin waktu, sikap tanggung jawab dan kejujuran terutama dalam ujian perlu dilatihkan kepada mahasiswa sejak awal pendidikan dokter. agar nilai-nilai pb tersebut dapat menjadi kebiasaan bagi mahasiswa diperlukan kerja sama yang baik antara dosen, mahasiswa dan institusi atau prodi. syarat utama pembelajaran pb adalah pemberian feedback, kemampuan refleksi dan team working.4 nilainilai pb perlu diajarkan secara formal yang diawali dengan aspek knowledge terlebih dahulu, karena aspek kognitif atau knowledge merupakan hal yang mendasar dalam pembelajaran pb untuk menyampaikan rasionalisasi pentingnya nilai pb bagi profesi dokter.9 selain itu, perlu adanya sistem yang mendukung implementasi pembelajaran pb yaitu penilaian secara sistematis dan terus menerus disertai pemberian feedback. kemampuan refleksi juga perlu diberikan kepada mahasiswa dan dilaksanakan secara periodik dalam setiap kegiatan pembelajaran. refleksi memberikan kesempatan kepada mahasiswa memikirkan kemampuan dan nilai pb yang sudah berhasil dicapai dengan baik dan yang belum, dengan pemberian feedback dari dosen, maka kelemahan atau kekurangan dapat diperbaiki secara terus menerus. dengan berjalannya sistem ini secara baik diharapkan dapat menjamin internalisasi nilai-nilai pb yang diharapkan. pembelajaran pb yang berkaitan dengan perilaku tidak bisa dipisahkan dari proses modeling dari model. menurut social cognitive theory dari bandura dengan observational learningnya, kebanyakan orang atau mahasiswa belajar dari yang diamati, sehingga terjadi proses koding pada memorinya selanjutnya ditranslasikan menjadi suatu perilaku. terjadinya perubahan perilaku ini juga dipengaruhi oleh faktor atau karakteristik serta kemampuan kognitif mahasiswanya. hubungan antara orang atau mahasiwa dan perubahan perilaku serta faktor lingkungan yang dikenal dengan reciprocal determinism dapat dilihat pada gambar 1.10,11 b e p gambar 1. reciprocal determinism 10,11 (p: person; e: environment; b: behavior) agar terjadi perubahan perilaku yang diharapkan seperti kejujuran, disiplin waktu, care, dll atau faktor b, perlu diciptakan lingkungan yang mendukung atau faktor e. lingkungan atau environment dapat berupa kurikulum, sistem assessment, proses modeling dll. keberhasilan perubahan perilaku juga dipengaruhi oleh faktor mahasiswa atau p (person), seperti motivasi, kesiapan dalam kegiatan pembelajaran, kemampuan kognitif, dll. perencanaan dan implementasi kurikulum pb secara formal yang mengandung nilai-nilai pb yang diharapkan serta sistem assessment yang adekuat dapat mendukung tercapainya kompetensi pb. proses modeling oleh model menjadi penting sebagai faktor lingkungan. model dapat bersifat life atau langsung dari dosen atau teman maupun simbolik dari film atau video. institusi perlu mengembangkan jenisjenis model tersebut untuk mendukung proses wiwik kusumawati, profesionalisme dan professional behavior ... 44 modeling. pengembangan media ajar yang menarik, sarat dengan nilai-nilai pb (kejujuran, caring, disiplin waktu, responsibility, dll) yang menyentuh secara mendalam di hati mahasiswa dan dipaparkan sesering mungkin dalam setiap kegiatan pembelajaran merupakan salah satu bentuk proses modeling yang tidak sulit diimplementasikan. dosen yang berperan sebagai role model yang baik perlu mempunyai 3 kriteria kemampuan yang baik dalam hal: 1) kompetensi klinis; 2) teaching skills; dan 3) personal quality.12 institusi perlu melakukan faculty development programme untuk mengoptimalkan peran dosen sebagai role model yang baik, karena salah satu fungsi proses modeling oleh model adalah penyampaian informasi yang diharapkan melalui perilaku yang diperankan oleh model tersebut. faculty development melalui kegiatan training atau course lebih difokuskan pada 3 aspek tersebut di atas secara simultan dan disertai pengem bangan rew ard system sebagai motivasi. kekuatan. dengan adanya data tentang performance pb mahasiswa prodi pendidikan dokter fkik umy tahap sarjana, profesi dan pre internship merupakan langkah awal penting untuk memberikan informasi kelemahan pb mahasiswa yang perlu diperbaiki sehingga akhirnya dapat dicapai kompetensi afektif atau pb lulusan dokter yang lebih baik. kelemahan. jumlah subyek penelitian yang diambil masih terbatas. metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat semikuantitatif, penelitian untuk menilai atribut pb selanjutnya perlu dikembangkan dengan metode kualitatif secara mendalam dengan triangulasi data. simpulan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa nilai atau atribut professional behavior yang masih perlu diperbaiki pada mahasiswa fkik umy tahap sarjana adalah kejujuran terutama dalam ujian, care terhadap orang lain maupun fasilitas belajar dan berbusana muslim dan muslimah yang baik (appearance); tahap profesi adalah disiplin waktu, kompetensi knowledge dan skills, serta tanggung jawab; tahap pre internship adalah disiplin waktu, appearance. untuk keberhasilan pembelajaran pb perlu adanya role model yang baik, sistem penilaian yang terus menerus dan lingkungan belajar yang kondusif. perlunya dilakukan faculty development untuk mengoptimalkan peran dosen sebagai role model yang baik. daftar pustaka 1. arnold l. assessing professional behavior: yesterday, today, and tomorrow. acad med 2002;77:502-515. 2. ponnamperuma g, ker j, davis m. medical professionalism: teaching, learning, and assessment. south east asian j of medical education inaugural issue.2007. 3. epstein rm, hundert em. defining and assessing professional competence. jama 2002;287(2):226-235. 4. luijk. teaching and assessment of professional behavior. 2005. 5. aamc. professionalism in medical education: assessment as a tool for implementation. 2002. 6. jha v, bekker hl, duffy srg, roberts t. a systematic review of studies assessing and famutiara medika vol. 11 no. 1: 37-45, januari 2011 45 cilitating affective towards professionalism in medicine. medical education 2007;41:822829. 7. hays r. teaching and learning in clinical settings. radcliffe publishing ltd. 2006. 8. konsil kedokteran indonesia. standar kompetensi dokter. 2006. cetakan i. perpustakaan nasional. jakarta. 9. cruess sr, cruess rl. the cognitive base of professionalism in teaching medical professionalism. editors: cruess sr, cruess rl, steinert y. new york: cambridge university press, 2009. 10. gredler me. learning and instruction theory into practice 6th ed. new jersey: pearson education, inc. 2009. 11. hergenhahn br, olson mh. an introduction to theories of learning. 5th ed. new jersey: prentice hall international inc. 1997. 12. passi v, doug m, peile e, thistlethwaite j, johnson n. developing medical professionalism in future doctors: a systematic review. int j of medical educ 2010;1:19-29. mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm ©2019 mmjkk. all rights reserved vol 19 no 1 hal 32-36 januari 2019 penatalaksanaan akalasia esophagus dengan prosedur pembedahan heller dilanjutkan fundoplikasi management of esophageal achalasia with heller surgery procedure continued by fundoplication nicko rachmanio1*, guntur surya alam2 1 bagian ilmu bedah, fakultas kedokteran, universitas muhammadiyah yogyakarta 2 bagian ilmu bedah anak, rs dr. moewardi, surakarta data of article: received: 07 agust 2018 reviewed: 6 okt 2018 revised: 12 des 2018 accepted: 10 jan 2019 *correspondence: nicko_rachmanio@yahoo.com doi: 10.18196/mm.190126 type of article: case report abstrak: akalasia esophagus merupakan gangguan motilitas esophagus berupa hilangnya gerakan peristaltik dan kegagalan relaksasi dari lower esophageal sphincter. kasus ini tergolong jarang yaitu sebanyak 0,5-1,6% dari seluruh populasi baik di eropa, asia, dan amerika. dilaporkan seorang anak laki-laki usia 14 bulan dengan keluhan sering muntah, berat badan kurang dan sulit naik. pada pemeriksaan radiologis oesophagus maag duodenum (omd) ditemukan pelebaran oesophagus hingga gastrooesophageal junction. dilakukan penatalaksanaan berupa pembedahan dengan prosedur heller dilanjutkan dengan fundoplikasi. pascaoperasi tidak ditemukan lagi keluhan pada pasien. kata kunci: akalasia esophagus; myotomi heller; fundoplikasi abstract: esophageal achalasia is a motility disorder of esophagus characterized by the absence of esophageal peristaltics and incomplete relaxation of lower esophageal sphincter. this case is rare, which is recorded as 0.5-1.6% of all population in europe, asia and america. a 14-month-old boy complaints of frequent vomiting, lack of weight and having difficulty to gain weight. the radiological examination of the esophagus maag duodenum (omd) discovered a dilatation of the esophageal to the gastroesophageal junction. surgical treatment with the heller's procedure is carried out followed by fundoplication. postoperative complaints no longer found in patient. keywords: esophageal achalasia; heller myotomy; fundoplication | 33 mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm ©2019 mmjkk. all rights reserved vol 19 no 1 hal 32-36 januari 2019 penatalaksanaan akalasia esophagus dengan prosedur pembedahan heller dilanjutkan fundoplikasi management of esophageal achalasia with heller surgery procedure continued by fundoplication nicko rachmanio1*, guntur surya alam2 1 bagian ilmu bedah, fakultas kedokteran, universitas muhammadiyah yogyakarta 2 bagian ilmu bedah anak, rs dr. moewardi, surakarta data of article: received: 07 agust 2018 reviewed: 6 okt 2018 revised: 12 des 2018 accepted: 10 jan 2019 *correspondence: nicko_rachmanio@yahoo.com doi: 10.18196/mm.190126 type of article: case report abstrak: akalasia esophagus merupakan gangguan motilitas esophagus berupa hilangnya gerakan peristaltik dan kegagalan relaksasi dari lower esophageal sphincter. kasus ini tergolong jarang yaitu sebanyak 0,5-1,6% dari seluruh populasi baik di eropa, asia, dan amerika. dilaporkan seorang anak laki-laki usia 14 bulan dengan keluhan sering muntah, berat badan kurang dan sulit naik. pada pemeriksaan radiologis oesophagus maag duodenum (omd) ditemukan pelebaran oesophagus hingga gastrooesophageal junction. dilakukan penatalaksanaan berupa pembedahan dengan prosedur heller dilanjutkan dengan fundoplikasi. pascaoperasi tidak ditemukan lagi keluhan pada pasien. kata kunci: akalasia esophagus; myotomi heller; fundoplikasi abstract: esophageal achalasia is a motility disorder of esophagus characterized by the absence of esophageal peristaltics and incomplete relaxation of lower esophageal sphincter. this case is rare, which is recorded as 0.5-1.6% of all population in europe, asia and america. a 14-month-old boy complaints of frequent vomiting, lack of weight and having difficulty to gain weight. the radiological examination of the esophagus maag duodenum (omd) discovered a dilatation of the esophageal to the gastroesophageal junction. surgical treatment with the heller's procedure is carried out followed by fundoplication. postoperative complaints no longer found in patient. keywords: esophageal achalasia; heller myotomy; fundoplication | 33 pendahuluan akalasia esophagus adalah kelainan berupa ketidak mampuan relaksasi katup di daerah gastroesophageal junction sehingga makanan yang ditelan hanya sedikit yang dapat masuk ke dalam lambung. angka kejadian sekitar 1/100.000 per tahunnya dan termasuk kasus yang sangat jarang terjadi. sebanyak 0,5 1,6 % ditemukan di eropa, asia, dan amerika.1 jumlah kasus yang sedikit menjadikan setiap penatalaksaan pasien dengan akalasia esophagus menjadi menarik untuk dipelajari. laporan kasus ini menyajikan penatalaksanaan pasien akalasia esophagus yang meliputi penegakan diagnosis, tindakan operasi yang dilakukan sampai pada hasil yang didapatkan pasca operasi. laporan kasus dilaporkan seorang anak usia 14 bulan, jenis kelamin laki-laki, sejak lahir ibu pasien mengeluhkan bahwa anaknya setiap kali diberi makan muntah, dan telah dibawa berobat ke dokter namun keluhan tidak juga berkurang. berat badan pasien juga sulit naik. riwayat kelahiran lahir spontan, bayi berat lahir cukup (bblc) 3000 gr, cukup bulan, p1a0. pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan pada pasien, kondisi pasien compos mentis (sadar pe nuh), bentuk kepala mesocephal, tidak didapatkan konjungtiva pucat, pemeriksaan jantung dan paru gambar 1. gambaran rontgen thoraks gambar 2. gambaran rontgen oesophagus maag duodenum (omd) normal, abdomen juga tidak didapatkan distensi, tidak teraba massa dan suara bising usus normal. pemeriksaan laboratorium darah pasien didapatkan masih dalam batas normal. berikut hasil pemeriksaan darah rutin pasien dan nilai rujukan normal untuk usia pasien, kadar haemoglobin: 10,5 gram/dl (10-17 gram/dl), ht: 32,2 % (31-45%), angka leukosit: 14,700 sel/mm3 (5700-18.000 sel/mm3), angka trombosit 360.000 sel/mm3 (150.000450.000 sel/mm3), hitung eritrosit 4,2 juta sel/mm3 (3,8-6,1 juta sel/mm3). pada pasien kemudian dilakukan pemeriksaan radiologis rontgen thoraks dan oesophagus maag duodenum (omd), seperti terlihat pada gambar 1. dan gambar 2. pada gambar 1. tidak ditemukan gambaran pneumonia pada paru pasien dan tidak didapatkan gambar 3. dilakukan pembedahan dengan prosedur myotomi heller 34 | 34 | vol 19 no 1 januari 2019 gambar 4. dilakukan prosedur fundoplikasi gambaran udara bebas ataupun pelebaran dari mediastinum. pada gambar 2. terlihat gambaran oesophagus yang melebar dengan bagian distal menyempit, kontras dapat masuk hingga ke dalam lambung. pada pasien kemudian dilakukan tindakan pembedahan dengan prosedur heller dilanjutkan dengan fundoplikasi seperti terlihat pada gambar 3. dan gambar 4. follow up pascaoperasi, pasien mulai diberikan diet cair satu hari pascaoperasi, vital sign stabil normal, tidak muntah, tidak ditemukan demam, nyeri dada, sesak, ataupun emphysema subkutis. diskusi akalasia esophagus merupakan gangguan motilitas dari esophagus, ditandai dengan kegagalan peristaltik dan ketidakmampuan untuk relaksasi pada lower esophageal sphincter (les). beberapa peneliti berpikir bahwa akalasia berhubungan dengan infeksi virus. penelitian terakhir menunjukkan akalasia disebabkan oleh sel saraf dari sistem saraf involunter pada lapisan otot pada esophagus yang dipengaruhi oleh sistem imun pasien sendiri dan secara perlahan mengalami degenerasi dengan alasan yang belum bisa dipahami.2 akalasia dapat dikategorikan menjadi empat berdasarkan diameter dan panjang dari esophagus: diameter < 4 cm adalah grade 1, diameter 4 – 6 cm adalah grade 2, diameter > 6 cm adalah grade 3, dan grade 4 adalah suatu sigmoid oesophagus.3 pada esophagus normal, gelombang peristaltik muncul setiap kali menelan, pada akalasia terdapat defek neuromuskular yang ditandai dengan menurunnya atau hilangnya peristaltik. secara mikroskopik, terlihat adanya degenerasi dari sel ganglion pada pleksus myenterik auerbach’s. kondisi ini analog dengan megakolon. pada keadaan normal terdapat zona oesophagus tekanan tinggi atau les, pada akalasia, les mengalami hipertonik, menghasilkan tekanan sisa menjadi di atas tekanan normal sehingga terjadi relaksasi inkomplit setelah menelan. hal ini menyebabkan obstruksi fungsional dan menghasilkan pemanjangan serta pelebaran dari oesophagus dengan penyempitan pada bagian distal esophagus. pada akalasia esophagus gejala dan tanda yang muncul dapat berupa: 1) disfagia, merupakan gejala yang paling sering muncul, terutama pada saat menelan makanan padat dibandingkan dengan makanan lembut atau cairan. 2) regurgitasi, muncul pada 95% pasien, beberapa pasien belajar untuk menghentikan untuk mengurangi nyeri yang ditimbulkan. 3) nyeri pada dada, muncul pada 40% pasien, terutama setelah makan dan dirasakan seperti nyeri pada bagian retrosternal. hal ini lebih sering dirasakan pada fase awal penyakit muncul. 4) penurunan berat badan. 5) batuk malam hari, jarang dan merupakan tanda dari suatu pneumonia inhalasi.4 pemeriksaan penunjang radiologis yang sebaiknya dilakukan untuk mendiagnosis pasien dengan kecurigaan suatu akalasia esophagus diantaranya: 1) foto polos dada: pada pemeriksaan ini mungkin dapat ditemukan tanda dari pneumonia inhalasi, dilatasi dari esophagus di belakang dari jantung (jarang terlihat pada kenyataannya), udara lambung biasanya terlihat sedikit atau kadang hilang. 2) oesophagus maag duodenum (omd) atau esophagram: pada pemeriksaan ini dapat terlihat oesophagus yang dilatasi dan memanjang dengan gambaran “bird’s beak” menyempit pada bagian kardia. pemanjangan dan pelebaran esophagus menghasilkan kelengkungan yang nantinya menuju pada suatu sigmoid esophagus pada kasus yang ekstrem. 3) esophagoscopy: pada pemeriksaan ditemukan sisa makanan pada esophagus yang melebar dengan disertai oesophagitis. les ditemukan menyempit, namun esophaguscope dapat melalui dengan tekanan yang diperkirakan. pemeriksaan ini seharusnya dilakukan karena dapat menyingkirkan diagnosis banding seperti karsinoma esophagus atau penyakit lainnya. 4) esophageal manometry: merupakan suatu pelajaran penting dalam mendiagnosis akalasia, dapat menunjukkan absennya peristaltik pada esophagus serta tekanan tinggi pada les yang mengalami kegagalan dalam relaksasi pada saat menelan.3 penatalaksanaan pada pasien yang terdiagnosis suatu akalasia esophagus dapat dilakukan dengan tindakan: 1) pelebaran dengan balon: balon dimasukkan ke dalam les dengan endoscopy kemu | 35 34 | vol 19 no 1 januari 2019 gambar 4. dilakukan prosedur fundoplikasi gambaran udara bebas ataupun pelebaran dari mediastinum. pada gambar 2. terlihat gambaran oesophagus yang melebar dengan bagian distal menyempit, kontras dapat masuk hingga ke dalam lambung. pada pasien kemudian dilakukan tindakan pembedahan dengan prosedur heller dilanjutkan dengan fundoplikasi seperti terlihat pada gambar 3. dan gambar 4. follow up pascaoperasi, pasien mulai diberikan diet cair satu hari pascaoperasi, vital sign stabil normal, tidak muntah, tidak ditemukan demam, nyeri dada, sesak, ataupun emphysema subkutis. diskusi akalasia esophagus merupakan gangguan motilitas dari esophagus, ditandai dengan kegagalan peristaltik dan ketidakmampuan untuk relaksasi pada lower esophageal sphincter (les). beberapa peneliti berpikir bahwa akalasia berhubungan dengan infeksi virus. penelitian terakhir menunjukkan akalasia disebabkan oleh sel saraf dari sistem saraf involunter pada lapisan otot pada esophagus yang dipengaruhi oleh sistem imun pasien sendiri dan secara perlahan mengalami degenerasi dengan alasan yang belum bisa dipahami.2 akalasia dapat dikategorikan menjadi empat berdasarkan diameter dan panjang dari esophagus: diameter < 4 cm adalah grade 1, diameter 4 – 6 cm adalah grade 2, diameter > 6 cm adalah grade 3, dan grade 4 adalah suatu sigmoid oesophagus.3 pada esophagus normal, gelombang peristaltik muncul setiap kali menelan, pada akalasia terdapat defek neuromuskular yang ditandai dengan menurunnya atau hilangnya peristaltik. secara mikroskopik, terlihat adanya degenerasi dari sel ganglion pada pleksus myenterik auerbach’s. kondisi ini analog dengan megakolon. pada keadaan normal terdapat zona oesophagus tekanan tinggi atau les, pada akalasia, les mengalami hipertonik, menghasilkan tekanan sisa menjadi di atas tekanan normal sehingga terjadi relaksasi inkomplit setelah menelan. hal ini menyebabkan obstruksi fungsional dan menghasilkan pemanjangan serta pelebaran dari oesophagus dengan penyempitan pada bagian distal esophagus. pada akalasia esophagus gejala dan tanda yang muncul dapat berupa: 1) disfagia, merupakan gejala yang paling sering muncul, terutama pada saat menelan makanan padat dibandingkan dengan makanan lembut atau cairan. 2) regurgitasi, muncul pada 95% pasien, beberapa pasien belajar untuk menghentikan untuk mengurangi nyeri yang ditimbulkan. 3) nyeri pada dada, muncul pada 40% pasien, terutama setelah makan dan dirasakan seperti nyeri pada bagian retrosternal. hal ini lebih sering dirasakan pada fase awal penyakit muncul. 4) penurunan berat badan. 5) batuk malam hari, jarang dan merupakan tanda dari suatu pneumonia inhalasi.4 pemeriksaan penunjang radiologis yang sebaiknya dilakukan untuk mendiagnosis pasien dengan kecurigaan suatu akalasia esophagus diantaranya: 1) foto polos dada: pada pemeriksaan ini mungkin dapat ditemukan tanda dari pneumonia inhalasi, dilatasi dari esophagus di belakang dari jantung (jarang terlihat pada kenyataannya), udara lambung biasanya terlihat sedikit atau kadang hilang. 2) oesophagus maag duodenum (omd) atau esophagram: pada pemeriksaan ini dapat terlihat oesophagus yang dilatasi dan memanjang dengan gambaran “bird’s beak” menyempit pada bagian kardia. pemanjangan dan pelebaran esophagus menghasilkan kelengkungan yang nantinya menuju pada suatu sigmoid esophagus pada kasus yang ekstrem. 3) esophagoscopy: pada pemeriksaan ditemukan sisa makanan pada esophagus yang melebar dengan disertai oesophagitis. les ditemukan menyempit, namun esophaguscope dapat melalui dengan tekanan yang diperkirakan. pemeriksaan ini seharusnya dilakukan karena dapat menyingkirkan diagnosis banding seperti karsinoma esophagus atau penyakit lainnya. 4) esophageal manometry: merupakan suatu pelajaran penting dalam mendiagnosis akalasia, dapat menunjukkan absennya peristaltik pada esophagus serta tekanan tinggi pada les yang mengalami kegagalan dalam relaksasi pada saat menelan.3 penatalaksanaan pada pasien yang terdiagnosis suatu akalasia esophagus dapat dilakukan dengan tindakan: 1) pelebaran dengan balon: balon dimasukkan ke dalam les dengan endoscopy kemu | 35 gambar 5. penampang melintang dari esophagus7 dian dikembangkan. angka kesuksesan adalah 7080% dengan 5% terjadi perforasi, apabila terjadi perforasi maka pembedahan emergensi harus dilakukan untuk menutup perforasi dan melakukan myotomi. lebih dari separuh dari penderita memerlukan lebih dari satu kali pelebaran dengan balon. 2) injeksi botulinum toksin: pada pasien yang tidak dapat dilakukan operasi dengan balon ataupun pembedahan dapat mengambil manfaat dari injeksi botulinum toksin. pada saat diinjeksi dengan jumlah yang sedikit, botox dapat menyebabkan relaksasi dari spasme otot. bekerja dengan cara mencegah saraf untuk melakukan hantaran ke otot untuk kontraksi. presentasi kecil (35%) dari pasien mendapatkan hasil jangka pendek yang baik dengan menggunakan botox. sebagai tambahan, injeksi harus diulang beberapa kali dalam tujuan untuk mendapatkan hasil berupa bebas gejala. 3) pembedahan: pembedahan dilakukan dengan heller myotomi, pada operasi ini otot esophagus pada daerah katup antara esophagus dan lambung diinsisi hingga mencapai submukosa oesophagus.5 komplikasi post operatif bisa terjadi obstruksi berkelanjutan, hal ini disebabkan oleh tidak efektifnya peristaltik pada akalasia esophagus yang panjang atau myotomi yang tidak komplit. myotomi hingga dinding lambung dapat menyebabkan gastroesophagus reflux. ahli bedah memiliki objektifitas untuk melakukan kombinasi heller myotomi dengan fundoplikasi, dikarenakan meningkatnya tekanan di dalam lambung juga dapat menyebabkan tahanan untuk lewatnya isi oesophagus ke dalam lambung.6 seorang penderita akalasia esophagus yang tidak ditangani ataupun yang sudah menjalani terapi bisa mendapatkan komplikasi seperti: 1) akalasia yang tidak ditangani dapat menyebabkan inhalasi dari materi yang terjebak di esophagus serta aspirasi. 2) penatalaksanaan dengan pembedahan dan dilatasi balon dapat menyebabkan perforasi dan gastroesophagal reflux. 3) karsinoma esophagus, antara 2-7% dari pasien mengalami karsinoma, penyakit dalam jangka panjang meningkatkan risiko.5 berikut ini adalah follow up pasien akalasia esophagus pascaoperasi dengan prosedur heller dan fundoplikasi: 1) pasien diberi diet oral dimulai dengan diet cair dan diet halus satu hari pascaoperasi apabila tidak ada keluhan mual. 2) obat anti nyeri diberikan secara injeksi selama 6-12 jam post operatif, selanjutnya dapat menggunakan obat oral. 3) dilakukan pengawasan klinis terjadinya leakage berupa perubahan vital sign yang mengarah ke sepsis, demam, kesulitan bernafas, nyeri dada, ataupun emphysema subkutan. 4) apabila tanda klinis leakage tidak ditemukan, dilakukan pemeriksaan rontgen dengan kontras kontrol 6-7 hari post operatif.5 yano dkk. (2014),8 melaporkan 400 kasus akalasia esophagus dalam kurun waktu antara tahun 1994 s.d tahun 2013 pada satu institusi yang sama dan dilakukan tindakan heller dor (myotomi heller dengan fundoplikasi), didapatkan hasil baik pasien dengan waktu operasi yang berbeda, jumlah kehilangan darah yang berbeda, waktu awal makan yang berbeda, keseluruhan menunjukkan bahwa prosedur operasi ini secara konstan memberikan hasil yang dapat diterima untuk memberikan kesembuhan pada pasien. caldaro dkk. (2015),9 membandingkan dua prosedur pembedahan untuk kasus akalasia esophagus yaitu dengan metode myotomi heller dan fundoplikasi secara laparoskopik dengan endoskopik peroral myotomi untuk mengevaluasi efektivitas, keamanan dan hasil dari kedua prosedur tersebut. evaluasi didapatkan bahwa kedua prosedur memiliki hasil yang sama dan merupakan pilihan yang tepat untuk tatalaksana pasien dengan akalasia esophagus. illiceto dkk. (2016),10 melaporkan suatu laporan kasus seorang laki-laki usia 15 tahun dengan diagnosis akalasia esophagus yang dilakukan tindakan operasi myotomi heller diikuti dengan fundoplikasi menggunakan bantuan robot secara endoskopi. follow up pascaoperasi terhadap pasien menunjukkan bahwa myotomi heller diikuti fundoplikasi merupakan pilihan untuk terapi akalasia esophagus. kemajuan teknologi dengan pendekatan robotik secara endoskopi memberikan kemudahan bagi ahli bedah untuk melakukan prosedur ini. pada laporan kasus ini dilaporkan satu kasus, anak usia 14 bulan dengan keluhan muntah setiap 36 | 36 | vol 19 no 1 januari 2019 habis makan dengan berat badan sulit naik. dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan kontras untuk melihat oesophagus dan lambung, ditemukan gambaran pelebaran diameter esophagus, dengan bagian distal menyempit namun kontras masih bisa masuk ke dalam lambung. pada pasien dilakukan pembedahan myotomi prosedur heller dilanjutkan fundoplikasi. follow up pascaoperasi pasien diberikan diet oral, pasien tidak muntah, tanda vital stabil normal, tidak ada nyeri dada dan sesak, tidak ditemukan juga emphysema subkutis. hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadi leakage atau kebocoran pascaoperasi secara klinis. simpulan esophagus myotomi dengan prosedur heller dilanjutkan dengan fundoplikasi merupakan tindakan pembedahan yang dapat dipilih untuk kasus akalasia esophagus. daftar pustaka 1. duffield ja, hamer pw, heddle r, holloway rhh. incidens of achalasia in south australia based on esophageal manometry findings. j clin gastroenterol hepatol, 2017; 15 (3): 360-5. 2. richter je. achalasia: an update. j neuroenterol motil, 2001; 16 (3): 232-42. 3. vanderpool d, westmoreland mv, fetner e. achalasia: willis or heller? bumc proceedings, 1999; 12 (1): 227-230. 4. ramirez m, patti mg. changes in the diagnosis and treatment of achalasia. j clin transl gastroenterol, 2015; 6 (5): e87. 5. dobrowolsky a, fisichella pm. 2014. the management of esophageal achalasia: from diagnosis to surgical treatment. j gastrointestinal surg, 2014; 66 (1): 23-9. 6. rice tw, mc kelvey aa, richter je, baker me, vaezi mf. a physiologic clinical study of achalasia: should dor fundoplication be added to heller myotomi?. j thorac cardiovasc surg, 2005; 130 (6): 1593-600. 7. aschraft kw. atlas of pediatric surgery. philadephia: w.b saunders comp. 1994. 8. yano f, omura n, tsuboi k, hosino m, yamamoto sr, akimoto s, masuda t, kashiwagi h, yanaga k. the outcomes of 400 laparoscopic heller’s dor operation for esophageal achalasia. j am coll surg, 2014; 219(4): 17. 9. caldaro t, familiari t, romeo ef, gigante g, marchese m, contini acl, abriola gf, cucchiara s, angelis p, torroni f, oglio l, costamagna g. treatment of esopgaheal achalasia in children : today and tomorrow. j pediatr surg, 2015; 50 (5): 726-30. 10. illiceto mt, lisi g, filippone m, marino n, chiessa pl, lombardi g. endoscopic assisted heller extramucosal myotomi with antireflux anterior funduplication (dor) in robotic approach for esophageal achalasia (ea). digestive and liver dissease, 2016; 48 (4): e261-62. mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm vol 20 no 2 page 104-109 july 2020 angioedema in systemic lupus erythematosus (sle) in emergency setting: a case report nur mujaddidah mochtar1, ricky indra alfaray2, detty irawaty3, yelvi levani*4 1 department of anatomy-histology, faculty of medicine, muhammadiyah university of surabaya 2 faculty of medicine, muhammadiyah university of surabaya 3department of internal medicine of siti khodijah sepanjang hospital of sidoarjo 4faculty of medicine, muhammadiyah university of surabaya. data of article: received: 31 nov 2019 reviewed: 10 mar 2020 revised: 09 jun 2020 accepted: 01 jul 2020 *correspondence: yelvilevani@fk.umsurabaya.ac.id doi: 10.18196/mm.200252 type of article: case report abstract: systemic lupus erythematosus (sle) is an autoimmune disease that causes chronic inflammation with its characteristics of the autoantibody formation, attacks nuclear antigen. this disease may damage multisystem organs, its diagnoses, are barely implemented in the emergency department. however, cases of angioedema on sle patient are quite uncommon not only in indonesia but also globally. this article report an interesting case of 20 years old woman who came to the emergency department of siti khodijah sepanjang hospital with a swollen lips for three days. both complaint and examination led to the diagnosis of sle. however, because the incidence rate of angioedema on sle is low, doctors tend to unconsider the appropriate diagnosis management and administration on this breathing problem caused by sle. keywords: systemic lupus erythematosus, angioedema, emergency abstrak: sistemic lupus eritematosus (sle) adalah penyakit autoimun yang menyebabkan peradangan kronis dengan karakteristik pembentukan autoantibodi yang menyerang antigen. penyakit ini dapat merusak organ multisistem, dan diagnosisnya hampir tidak diterapkan di unit gawat darurat. namun, kasus angioedema pada pasien sle sangat jarang tidak hanya di indonesia tetapi juga secara global. artikel ini melaporkan kasus menarik dari wanita berusia 20 tahun yang datang ke unit gawat darurat rumah sakit siti khodijah sepanjang dengan keluhan bibir bengkak selama tiga hari. keluhan dan pemeriksaan mengarah pada diagnosis sle. namun, karena tingkat kejadian angioedema pada sle rendah, dokter cenderung tidak mempertimbangkan manajemen diagnosis yang tepat dan administrasi pada masalah pernapasan yang disebabkan oleh sle ini. kata kunci: sistemik lupus eritematosus, angioedema, gawat darurat introduction systemic lupus erythematosus (sle) is an autoimmune disease that causes chronic inflammation with its characteristic of the autobody formation, attacks nuclear antigen.1 this disease may damage multisystem organs, its diagnoses, are barely implemented in emergency departments.2 the overall sle prevalence in asia pacific is around 4.3-43.5 (per 100.000 populations).3 meanwhile in indonesia, there are reportedly 1.250.000 patients and most of the patients do not know that they suffer from sle. on the other side, the fact shows that almost 50% of indonesian doctors in primary care have insufficient understanding of sle disease.4 the emergency of sle disease is, it may result in multisystem organs failure. in the cardiovascular system, the emergencies are stroke, cardiac tamponade, and myocardial infarction. in | 105 the respiration system, the emergencies are such as pulmonary edema, pulmonary hemorrhage, and respiration distress.5 in the other systems, kidney failure, cerebry and many other diseases may occur in multisystem organs.6 it is very essential for medical staff in emergency department, especially the doctors, to understand this because sle patients have the risk to be treated in emergency department twice as risky as non-sle patients 7 and the mortality rate for sle patients is five times higher than common population.8 the morbidity and mortality rates for sle patients are also quite high.9 angioedema clinics which are physically observable are the swellings on the face, especially on the eyes and lips.10 angioedema can be a life-threatening condition for 15-33% sle patients.11 there shall be systematic and comprehensive handling management to reduce the ratio of mortality and morbidity in sle emergency cases. however, in indonesia, there are no guidelines or journals that explain about its treatment. hence, this article was written in order to explain the comprehensive management for angioedema treatment on sle patients and it was adjusted with the emergency condition handling in indonesian emergency departments as well as its implementation on a found case. cases a 20-years old woman, unmarried, domiciled in sidoarjo, came to the emergency department of siti khodijah sepanjang hospital, along with her family, on october 19, 2018, with a complaint of swollen lips for three days. this was the first time for the patient. the other complaints were that the eyes were swollen, no appetite due to sprue, a little bit coughing and sore throat, fever, the body was weak, limp, and pale. there were also red and itchy rashes on the face and upper limb for three months continuously. the patient complained that the red rashes on the cheek started to feel like a sunburn. the patient also complained that hair started to lose. shortness of breath was denied. several denied multisystem organ disorders were such as disorders on musculoskeletal, such as swelling or pain on the muscles and joints; digestion system disorders such as dysphagia and constipation; disorders on kidney functions such as thicker or red-colored urine and swollen feet; disorders on neuro system such as memory disorder and convulsion; disorders on cardiovascular and pulmonary systems such as bleeding, pain on chest area and out of breath. allergic history to foods, medicines, or any allergen was denied. family medical history for similar diseases and atopic was also denied. physical examination on this patient showed that her body was generally in a weak condition, compos mentis consciousness, blood pressure at 110/70 mmhg, respiratory rate 24 times/minute without any additional breathing sound, oxygen saturation 94%, pulse velocity 82 times/minute and temperature at 36,80c. from the examination on the local area, conjunctiva was pale and dermatological area around the face was found butterfly-shaped malar and discoid rashes at the cheeks and nose, half erythema plaques were hypopigmented, irregular shape, clear edge, white thin scale (squama) on top of it, crust and erosion. multiple ulcers were found on lips and mouth area. there was no disorder on the thorax, abdomen, or limbs, such as swelling or pain on the joints. laryngoscopy has not been done in this patient. supporting examinations that have been carried out at the emergency department are laboratory tests and chest x-rays. laboratory results showed anemia (rbc; 1.75 106/µl; hb: 5.8 g/dl), increased erythrocyte sedimentation rate (hour i: 150; hour ii: 155 mm/hour), leukopenia (1.03 106/µl). the chest x-ray examination was within normal limits. the patient was treated with infusion of ringer lactate: dextrose 5% 2:1 and nasal oxygen 2-3 liters/minute. the drug given was corticosteroids in the form of methylprednisolone 3x125mg, then observation of danger signs, such as asphyxia and improvement of complaints, especially swelling in the mouth and swollen eye. one hour after administration of the drug, the patient's condition gradually improved, seen from a physical examination that showed the good general condition, awareness was compos mentis, blood pressure at 115/70 mmhg, respiration rate was 20 times/minute, oxygen saturation was 98%, pulse rate was 82 times/minute, and the temperature was 36.90c. angioedema in patients seen from swollen lips gradually disappears. laboratory testing when the patient was in an inpatient setting shows a positive ana and anti dsdna examination. skin biopsy examination is taken from erythematous spots in the sun-exposed area. epidermal histopathological features hyfae, budding cells, and sunburn cells appear. based on the anamnesis, physical examination and supporting examination, the working diagnosis is then made as systemic lupus erythematosus with le cutaneous. the patient was treated cooperatively with the internal medicine department of the rheumatology and tropical infection subdivision 106 | vol 20 no 2 july 2020 with a diagnosis of systemic lupus erythematosus. the patient agreed with her case being reported. discussion angioedema is a condition of swelling of the subcutaneous or submucosal layer that occurs in the local area as a result of extravasation of fluid into the interstitial tissue. this can occur in parts of the body that have loose connective tissue such as the lips, periorbital, extremities, genitalia, and even the digestive tract and upper respiratory tract.12 this condition last up to several hours or days but normally does not exceed 72 hours. angioedema is considered dangerous if it occurs in the upper respiratory tract and causes respiratory obstruction such as laryngeal edema and pharyngeal edema. angioedema in sle patients can be categorized as acquired angioedema (aae) and hereditary angioedema (hae). cases of angioedema in sle patients are a rare condition12. comprehensive management of angioedema treatment of sle patients in the emergency department requires a different approach to allergic patients because both have different pathophysiological mechanisms. based on the pathophysiology, angioedema is divided into two namely mast cell mediated and kinin mediated (figure 1).13 mast cell mediated is the most often found in angioedema. the clinical difference, can be found to differentiate the two is that in mast cell mediated, patients are often accompanied by urticaria, sneezing, and itching after exposure to certain allergens, whereas in kinin mediated, patients often do not feel it. at kinin mediated, the most common cause is acquired c1esterase inhibitor protein (c1-inh) deficiency. these deficiencies, both quantitative and qualitative, can occur due to autoantibodies or increased catabolism in c1-inh. this form of angioedema is often found in autoimmune patients or in patients with lymphoproliferative disorder.13 figure 1. division of angioedema pathophysiology13 acei: angiotensin converting enzyme inhibitor; arb: angiotensin ii receptor blocker; c1-inh: c1-esterase inhibitor protein. *: angioedema pathophysiology related to sle figure 2. angioedema pathophysiology due to c1-inh deficiency15 angioedema in sle is often found to be associated with classical pathway-mediated hypocomplementemia (low c3 and c4) and transient low c1-inh antigenic. angioedema that causes transient low c1-inh antigenic or further called a c1 esterase inhibitor (c1-inh) deficiency can be a hereditary-autosomal dominant disease, it can be also called hereditary angioedema (hae) or acquired disease (acquired-without family history) (figure 1). secondary allergic angioedema due to systemic sle can also occur due to c1-inh deficiency, positive antinuclear antibodies, and hypocomplementemia.14 in secondary allergic angioedema, both clinical between mast cellmediated and kinin mediated can appear. c1-inh is a potent inhibitor of the classical pathway for angioedema by inhibiting c1 activation and plasmin activity (figure 2).15 c1-inh deficiency causes an increase in activity of the kinin mediated pathway. activation of c1 is a response to antigenantibody complex (igm, igg subclass igg1, igg2, igg3). activation of c1 triggers c4 to divide into large fragments (c4b) and small fragments (c4a). c4a with c2b ultimately relates to c2 kinin and plasmin which cause angioedema. on the other hand, small fragments of c4 (c4a), small fragments of c3 (c3a), and small fragments of c5 (c5a) are parts of complement that have anaphylatoxin activity. c5a itself is one of the most powerful inflammatory peptides. c5a has strong neutrophil aggregation activity, strong neutrophil chemotaxis activity, and is a very good anaphylactin.16 c5a is capable of causing mast cell degranulation and histamine release which causes allergic manifestations. the end result of the overall complement host system is membrane attack complex (mac) or also called terminal complement complex (tcc).17 the whole process is important to understand so that the doctor understands the clinical manifestations of sle patients accompanied by angioedema with or without clinical allergies. a n g io e d e m a mast cell mediated kinin mediated related to acei or arb c1-inh* deficiency herediter acquaired increased catabolism of c1-inh* antibody of c1-inh | 107 figure 3. the sequence of comprehensive management processes for handling angioedema in patients with sle in the emergency department comprehensive management of angioedema treatment for sle patients in the emergency department begins with emergency handling, then establishment of diagnosis and etiology of angioedema, management of therapy plan and monitoring, as well as management of inpatient or outpatient installations (figure 3). the thing to note is handling the initial emergency due to angioedema. in the event that it is not immediately treated, upper airway obstruction due to edema can cause the patient to die within a few minutes due to hypoxia.10 airway problems can occur to both the upper and lower respiratory tracts.18 other than epiglottitis, laryngitis, vocal cord edema and necrotic tracheitis, angioedema can also occur on the upper respiratory tract.15 the angioedemas were not only found in the form of cutaneous edema on the face, but also on the larynx, genital area or even gastrointestinal area.10 in reported cases, the emergency condition that can be found in patients related to angioedema is the problem of airway and breathing. swollen lips and swollen eyes show signs of angioedema that does not rule out the possibility that it can also occur in the respiratory tract. although the patient did not complain of tightness, the patient had tachypnea (with a respiratory rate of 24 times/minute) and the patient's saturation showed 94%. after the treatment with oxygen and corticosteroid drugs in the form of injection of methylprednisolone dose 375 mg, the patient was evaluated and the development of the condition indicated by changes in the respiratory rate to 20 times/minute and oxygen saturation to 98%. in severe cases where acute upper respiratory problems occur, airway relief measures such as laryngoscopy and administration of high-dose injection steroids such as methylprednisolone 1000 mg can be considered according to the patient's condition19. patients can also be considered to be taken into the intensive care unit (icu) if they have severe complications. the establishment of diagnosis and etiology of angioedema was done after the patient's emergency condition has passed and the patient was considered stable. the diagnosis of sle is based on the american rheumatism association revised criteria for classification of lupus. in indonesia, the indonesian rheumatology association also suggests the use of this diagnostic criteria9. some diagnostic criteria can be established based on history and physical examination, other diagnostic criteria require supporting examinations. this classification consists of 11 criteria where the diagnosis must meet 4 of the 11 criteria that occur simultaneously or with a grace period. the establishment of the etiology of angioedema with suspicion of non-allergic causes can be done after examination of c1-inh measurements and c4 antigens. if both are normal, a diagnosis of angioedema due to c1-inh deficiency can be excluded. if both are low or less than 50%, the diagnosis of angioedema is due to c1-inh deficiency can be concurred. if the diagnosis of c1inh deficiency has been established, the next step is to distinguish whether the deficiency is due to aae or hae. an examination that can be done to distinguish the two is the c1q examination, in which aee patients are decreased to 70% and hae patients are normal.20 if the diagnosis of sle has been established and the diagnosis of c1 deficiency has also been established, thus the diagnosis of the etiology of angioedema due to sle can be established and exclude the diagnosis of etiology of allergic angioedema. however, with the condition of the emergency department, some of the examinations are difficult to do. measurements can be made when the patient is in an inpatient or outpatient installation. therefore, establishing a diagnosis of sle with diagnostic criteria is the most appropriate way to direct the suspected etiology of angioedema due to c1-inh deficiency. in reported patients, the diagnosis of sle is established based on the discovery of malar rash, discoid rash, photosensitivity, and oral ulcers from anamnesis and physical examination. corticosteroids in the form of methylprednisolone iv is immediately given to relieve patient complaints. after administration of the drug, the patient is observed and planned to be hospitalized. one hour after administration of the drug, the patient's condition gradually improved, seen from the results of examination of the patient's vital signs. angioedema in patients seen from swollen lips gradually disappears. this might be due to the steroids that make it possible to reduce angioedema caused by non-histaminergic angioedema.21 in this case, if the cause is proven to be c1-inh deficiency due to an increase in catabolism caused by sle, the recommended therapy is danazol or stanozol which are synthetic steroid and might work on c1-inh.13 the use of 108 | vol 20 no 2 july 2020 synthetic steroids is an effective therapy in most cases with a minimal profile of side effects22. in developed countries, the use of prophylactic therapy is very effective in patients with angioedema due to c1-inh deficiency.23 in severe emergency cases, c1 inhibitor concentrate can be used. other therapeutic options that can be used are frozen plasma and solvent/detergent-treated plasma.24 the three therapies are effective and one of them can be used as the preferred therapy. plasma-derived c1-inhibitor (c1-inh) concentrates currently can also be a prophylactic choice.22 after therapy given, further evaluation should be carried out by putting the patient into the inpatient installation. in the inpatient installation, later evaluations of the patient's clinical improvement can be carried out (eg. anemia) and can be planned for specific laboratory examinations to support enforcement of other diagnostic criteria such as anti-dna; anti-sm; anti-phospholipid antibodies; and positive antinuclear antibodies (ana). examination of c1-inh measurement and c4 antigen to establish c1-inh deficiency can be done.17 conclusion the pathophysiology of angioedema in sle is based on the mechanism of c1-inh deficiency. comprehensive management of angioedema treatment in patients with sle in emergency departments in indonesia can begin from emergency handling, the establishment of sle diagnosis and etiology of angioedema, management of therapy plan and monitoring at the ed, and ends with the management of inpatient or outpatient installations. after the main emergency which is respiratory obstruction has been handled, establishment of the sle diagnosis can be done. doctors can do the diagnosis establishment in the emergency department in indonesia because most of the criteria can be met with anamnesis, physical examination, and supporting examinations available. if the sle diagnosis has been established and the etiologic edema is proven because of the c1-inh deficiency, the treatment options that can be given is c1 inhibitor concentrate, fresh frozen plasma or solvent/detergent-treated plasma. the patient then remains evaluated by being included in the hospital's inpatient installation references 1. manson jj, rahman a. systemic lupus erythematosus. orphanet j rare dis [internet]. 2006 dec 27;1(1):6. doi: 10.1186/1750-1172-1-6 2. rosenbaum e, krebs e, cohen m, tiliakos a, derk c. the spectrum of clinical manifestations, outcome and treatment of pericardial tamponade in patients with systemic lupus erythematosus: a retrospective study and literature review. lupus. 2009 jun 11;18(7):608– 12. doi: 10.1177/0961203308100659 3. jakes rw, bae s-c, louthrenoo w, mok c-c, navarra s v., kwon n. systematic review of the epidemiology of systemic lupus erythematosus in the asia-pacific region: prevalence, incidence, clinical features, and mortality. arthritis care res (hoboken). 2012 feb;64(2):159–68. doi: 10.1002/acr.20683 4. pusat data dan informasi kkri. situasi lupus di indonesia. infodatin. 2017; https://pusdatin.kemkes.go.id/folder/view/01/str ucture-publikasi-pusdatin-info-datin.html 5. urowitz mb, gladman d, ibañez d, bae sc, sanchez-guerrero j, gordon c, et al. atherosclerotic vascular events in a multinational inception cohort of systemic lupus erythematosus. arthritis care res (hoboken). 2010 jun;62(6):881–7. doi: 10.1002/acr.20122 6. fernandes n, gomes g, capela c. presentation of systemic lupus erythematosus (sle) in emergency department: a case report. bmc res notes. 2013;6(1):181. doi: 10.1186/1756-0500-6-181 7. garris c, shah m, farrelly e. the prevalence and burden of systemic lupus erythematosus in a medicare population: retrospective analysis of medicare claims. cost eff resour alloc. 2015 dec 6;13(1):9. doi: 10.1186/s12962-015-0034-z 8. jacobsen, j petersen, s ullman, p j s. mortality and causes of death of 513 danish patients with systemic lupus erythematosus. scand j rheumatol. 1999 jan 12;28(2):75–80. doi: 10.1080/030097499442522 9. association of indonesian rheumatology. rekomendasi perhimpunan reumatologi indonesia untuk diagnosis dan pengelolaan lupus eritematosus sistemik. jakarta: perhimpunan rheumatologi indonesia; 2011. 10. habibagahi z, ruzbeh j, yarmohammadi v, kamali m, rastegar mh. refractory angioedema in a patient with systemic lupus erythematosus. iran j med sci. 2015 jul;40(4):372–5. 11. tekin ze, yener go, yüksel s. acquired angioedema in juvenile systemic lupus erythematosus: case-based review. rheumatol int. 2018 aug 27;38(8):1577–84. doi: 10.1007/s00296-018-4088-z 12. loverde d, files dc, krishnaswamy g. angioedema. crit care med. 2017 apr;45(4):725– 35. doi: 10.1097/ccm.0000000000002281 13. lahiri m, lim ayn. angioedema and systemic lupus erythematosus--a complementary | 109 association? ann acad med singapore. 2007 feb;36(2):142–5. 14. ali si, qayser y, roohi r. subtle angioedema presented systemic lupus erythematosus: a case report. int j case reports images [internet]. 2013;4(11):631. doi: 10.5348/ijcri-2013-11-397-cr-11 15. thong by, thumboo j, howe hs, feng ph. lifethreatening angioedema in systemic lupus erythematosus. lupus. 2001 apr 2;10(4):304–8. doi: 10.1191/096120301680417011 16. frank mm. complement disorders and hereditary angioedema. j allergy clin immunol. 2010 feb;125(2):s262–71. doi: 10.1016/j.jaci.2009.10.063 17. sonnen af-p, henneke p. structural biology of the membrane attack complex. in 2014. p. 83– 116. doi: 10.1007/978-94-017-8881-6_6 18. tselios k, urowitz mb. cardiovascular and pulmonary manifestations of systemic lupus erythematosus. curr rheumatol rev. 2017 dec 26;13(3). doi: 10.2174/1573397113666170704102444 19. keane mp. rare diseases bullet 7: pleuropulmonary manifestations of systemic lupus erythematosus. thorax. 2000 feb 1;55(2):159–66. doi: 10.1136/thorax.55.2.159 20.cicardi m, zanichelli a. acquired angioedema. allergy asthma clin immunol. 2010 jul 28;6(1):14. doi: 10.1186/1710-1492-6-14 21. wong bn, vadas p. angioedema suppressed by a combination of anti-histamine and leukotriene modifier. allergy, asthma clin immunol. 2017 dec 13;13(1):28. doi: 10.1186/s13223-017-0201-1 22. longhurst h, zinser e. prophylactic therapy for hereditary angioedema. immunol allergy clin north am. 2017;37(3):557–70. doi: 10.1016/j.iac.2017.04.003 23. tarzi md, hickey a, förster t, mohammadi m, longhurst hj. an evaluation of tests used for the diagnosis and monitoring of c1 inhibitor deficiency: normal serum c4 does not exclude hereditary angio-oedema. clin exp immunol. 2007 jul 5;149(3):513–6. doi: 10.1111/j.13652249.2007.03438.x 24.longhurst hj. emergency treatment of acute attacks in hereditary angioedema due to c1 inhibitor deficiency: what is the evidence? int j clin pract. 2005 may;59(5):594–9. doi: 10.1111/j.1742-1241.2005.00352.x proporsi dan karakteristik korban dengan pelaku pembunuhan yang ditangani di instalasi kedokteran forensik rsup dr sardjito tahun 2003-2013 the proportion and characterisctics of the victim and the prepetrator in homicide case which handled in forensic department of sardjito hosiptal during 2003-2013 ida bagus gede surya putra pidada1*, kanina sista2 1 bagian ilmu kedokteran forensik dan medikolegal 2 fakultas kedokteran universitas gadjah mada/rsup dr sardjito yogyakarta *email: suryapidada@gmail.com abstrak pembunuhan yang berkaitan dengan kekerasan merupakan masalah global. tingkat pembunuhan di amerika dan afrika selatan empat kali lebih tinggi dari rata-rata global, sedangkan daerah eropa, asia dan ocenia kasus pembunuhan tergolong rendah. ini berarti kasus pembunuhan di indonesia juga lebih rendah dari rata-rata global, walaupun begitu di daerah istimea yogyakarta (diy) kasus pembunuhan meningkat pada tahun 2013 dibandingkan tahun sebelumnya. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran dan karakteristik korban dan pelaku pembunuhan. penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan desain cross sectional. subyek penelitian ini adalah korban pembunuhan yang ditangani di instalasi kedokteran forensik rsup dr sardjito tahun 2003-2013. pada penelitian ini terdapat 339 korban pembunuhan, yang terdiri dari 56,3% korban laki-laki dan 59% berusia dewasa. sebanyak 81,1% dilakukan otopsi, penyebab kematian terbanyak 77,3% karena trauma tumpul, dengan lokasi tersering di kepala yaitu 47,8%, sebanyak 34,2% korban dibunuh dengan cara dipukul dan 38,6% ditemukan luka tangkis pada korban, korban lebih banyak ditemukan di luar rumah (68,4%) dan terdapat perbedaan yang bermakna (p=0,000) pada tempat kejadian perkara antara laki-laki dan perempuan. pelaku lebih banyak dilakukan oleh keluarga korban (11,5%) dengan motif terbanyak karena dendam (10,6%). disimpulkan selama 10 tahun yaitu tahun 2003-2013 didapatkan korban pembunuhan yang ditangani 339 korban, dengan korban laki-laki dan berusia dewasa lebih banyak, penyebab kematian terbanyak karena trauma tumpul di kepala, korban lebih banyak ditemukan di luar rumah, sedangkan pelaku pembunuhan banyak dilakukan oleh keluarga korban dengan motif karena dendam. kata kunci : kasus pembunuhan, korban pembunuhan, karakteristik pembunuhan. abstract homicides related to violence is a global problem. level of homicides in america and southern africa four times higher than the global average, while in europe, asia, and oceania homicide case is low. this means homicides in indonesia is also lower than the global average, nevertheless, in daerah istimewa yogyakarta (diy) homicides increased in 2013 compared to previous years. this study aims to describe characterisctics of victims and perpetrators in murder cases. this research is analytic observational with cross sectional design. the subjects of this study were victims of homicide cases handled in the department of forensic medicine dr. sardjito general hospital in 2003-2013. in this study there were 339 victims of homicide, which comprised 56,3% of male victims and 59% of adult age. a total of 81,1% performed the autopsy, the cause of death was due to blunt trauma (77,3%) with the most common location of the wound in the head (47,8%). 34,2% of victims were killed by being hit and 38,6% of the victims found defence injuries. more victims found dead outside the home (68,4%) and a significant difference (p=0,000) at the crime scene between men and women. most perpetrators are the families of the victims (11,5%) with the highest motives is revenge (10,6%). can be concluded in 2003-2013 there were 339 victims of homicide, with more casualities porportion of men and adults, the most common cause of death was due to blunt trauma to the head, most of them found outside, and the prepetrator is the victim’s family with the highest motive is revenge. key words : homicide, victim of murder, homicide characterisctics pendahuluan pada saat ini pembunuhan yang berkaitan dengan kekerasan merupakan masalah global. menurut world health organization (who) bahwa rata-rata setiap hari 1424 orang meninggal akibat dibunuh. menurut perserikatan bangsa-bangsa bagian narkoba dan kejahatan melaporkan di daily mail 10 april tahun 2014 bahwa tingkat pembunuhan di amerika dan afrika selatan masih tinggi yaitu empat kali lebih tinggi dari rata-rata global sekitar 6,2 korban per 100 ribu orang sedangkan daerah eropa, asia dan ocenia kasus pembuhuhanya tergolong masih rendah. untuk wilayah hukum polda daerah istimewa yogyakarta (diy), kasus pembunuhan meningkat pada tahun 2013 dibandingkan tahun sebelumnya, namun, kepolisian tidak bisa menyimpulkan penyebab meningkatnya kejahatan yang menghilangkan nyawa orang lain. kriminolog masdiono (2011) dalam wafiyyah (2014),1 mengatakan bahwa tingginya tingkat kriminalitas di indonesia disebabkan oleh beberapa faktor seperti kemiskinan, disfungsi norma dan hukum, ketidakharmonisan unsur yang terkait, karakter bangsa yang sudah bergeser, ditambah lagi sistem pendidikan yang tidak mengajarkan nilai-nilai etika, termasuk pendidikan agama hanya menekankan pada aspek kognitif saja. pelaku kriminal sampai korbannya mati, biasanya didasari karena motif dendam, cemburu, perampokan dan pembelaan diri, namun motif yang paling banyak umumnya karena dendam. pelaku kriminal laki-laki umumnya lebih banyak dari perempuan dan modus operandinya lebih canggih dan variatif. pembunuhan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, yang paling umum dengan menggunakan senjata api atau senjata tajam, bisa juga dilakukan dengan bahan peledak seperti bom. menurut penelitian putra (2010),2 di lampung bahwa tindak kriminal dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti motif kejahatan, jenis pekerjaan, jenis kelamin, usia pelaku dan pendidikan terakhir pelaku. karakteristik seorang korban pembunuhan umumnya adalah dekat atau kenal dengan pelakunya, sedangkan karakteristik pelaku pembunuhan tidak mengenal jenis kelamin, namun pelaku pembunuhan yang berjenis kelamin perempuan yang mendasari tindakan pembunuhannya adalah bisa karena merasa ada ketidakadilan gender.3 melihat data kasus pembunuhan di dunia, indonesia dan khususnya daerah istimewa yogyakarta kecendrungannya meningkat setiap tahun. tren atau modus operandi pelaku kejahatan juga nampaknya semakin variatif dan lebih canggih. hal ini tentu menjadi tantangan bagi para penegak hukum dan secara tidak langsung bagi kedokteran forensik untuk membantu proses penegakkan hukum. untuk bisa membantu para penegak hukum bisa menyelesaikan permasalahan tersebut, salah satu langkah awal adalah perlu diketahui gambaran dan karakteristik korban dan pelaku pembunuhannya. oleh karena itu, dilakukan penelitian ini tujuannya adalah untuk memperoleh gambaran dan karakteristik korban dan pelaku pembunuhan yang ditangani di instalasi kedokteran forensik rsup dr sardjito yogyakarta. bahan dan cara penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan desain cross sectional atau potong lintang. penelitian dilakukan di instalasi kedokteran forensik rsup dr sardjito, yogyakarta. data diambil pada bulan april sampai dengan juni tahun 2014. subjek penelitian adalah data visum et repertum korban pembunuhan yang diperiksa di instalasi kedokteran forensik rsup dr sardjito periode tahun 2003-2013 dan data kronologis peristiwa atau laporan penyidikan. kriteria inklusi adalah visum et repertum korban pembunuhan yang diperiksa periode 2003-2013, sedangkan kriteria eksklusi adalah visum et repertumnya yang bukan kasus pembunuhan dan kasus pembunuhan yang visum et repertumnya tidak dapat ditemukan. alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan check list. check list berisikan variabel yang akan diamati, yaitu jumlah kasus pembunuhan, jenis kelamin, usia, jenis pemeriksaan, penyebab kematian, lokasi luka, jenis luka, ada tidaknya luka perlawanan atau tangkisan, hubungan pelaku dengan korban laki-laki dan perempuan, cara korban dibunuh, motif pembunuhan dan perbedaan tempat kejadian perkara antara korban laki-laki dan perempuan. bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah visum et repertum dan lembar kronologis peristiwa atau laporan penyidikan. penelitian ini dilakukan dengan cara mengambil dan mengumpulkan data korban meninggal akibat pembunuhan dari visum et repertum dan pelaku pembunuhan dari lembar kronologis peristiwa di instalasi kedokteran forensik rsup dr sardjito periode tahun 2003-2013. data dipilah menjadi beberapa kelompok, kemudian disajikan dalam bentuk tabel, kemudian dianalisis. hasil jumlah korban pembunuhan yang memenuhi kriteria inklusi dalam penelitian ini sebanyak 339 korban dengan frekuensi korban pertahun yang ditunjukkan dalam gambar 1. gambar 1. frekuensi korban pembunuhan tahun 2003 – 2013 tabel 1. distribusi korban pembunuhan berdasarkan jenis kelamin, usia korban, jenis pemeriksaan, tempat kejadian perkara dan penyebab kematian karakteristik frekuensi persen (%) jenis kelamin laki – laki 191 56,3 perempuan 148 43,7 usia neonatus (0-30 hari) 85 25,1 infant (1-2 tahun) 0 0 young child (2-6 tahun) 6 1,5 child (6-12 tahun) 2 0,6 adolescent (12-18 tahun) 19 5,6 adult (18-64 tahun) 200 59,0 elderly (>64 tahun) 28 8,3 jenis pemeriksaan pemeriksaan luar 64 18,9 pemeriksaan luar dan dalam 275 81,1 tempat kejadian perkara diluar rumah 232 68,4 didalam rumah 107 31,6 penyebab kematian trauma 262 77,3 keracunan 19 5,6 tenggelam 3 0,9 luka bakar 4 1,2 tidak dapat diketahui 51 15,0 tabel 2. distribusi korban pembunuhan berdasarkan lokasi luka, jenis luka, luka tangkis frekuensi persen (%) lokasi luka tidak ada 26 7,7 kepala 162 47,8 leher 52 15,3 dada 17 5,0 perut 7 2,1 anggota gerak 3 0,9 kelamin 2 0,6 kombinasi 22 6,5 tidak dapat dinilai 48 14,2 jenis luka tidak terdapat luka 27 8 memar 70 20,6 patah tulang 84 24,8 luka tusuk 26 7,7 luka iris 13 3,8 luka bacok 9 2,7 luka robek 4 1,2 luka lecet tekan 28 8,3 luka bakar 4 1,2 luka tembak 6 1,8 kombinasi 19 5,6 tidak dapat dinilai 49 14,5 luka tangkis ada 131 38,6 tidak ada 208 61,4 tabel 3. hubungan pelaku dengan korban pembunuhan hubungan pelaku dengan korban frekuensi persen (%) keluarga 39 11,5 kenalan 28 8,3 pacar 6 1,8 tidak diketahui 266 78,5 tabel 4. distribusi korban pembunuhan berdasarkan cara korban dibunuh dan motif pembunuhan frekuensi persen (%) cara korban dibunuh dipukul 116 34,2 dijerat 29 8,6 ditusuk 24 7,1 dibakar 4 1,2 diracun 19 5,6 ditembak 6 1,8 ditenggelamkan 3 0,9 dicekik 9 2,7 dibekap 3 0,9 dibacok 14 4,1 kombinasi 49 14,5 tidak diketahui 63 18,6 motif pembunuhan dendam 36 10,6 pembelaan diri 5 1,5 perampokan 25 7,4 kecemburuan 10 2,9 tidak diketahui 263 77,6 tabel 5. perbedaan tkp berdasarkan jenis kelamin jenis kelamin tempat ditemukan korban or (95% ci) p diluar rumah di dalam rumah n (%) n (%) laki-laki 151 79 40 21 3,123 (1,941-5,042) 0,000 perempuan 81 54,7 67 45,3 diskusi berdasarkan perserikatan bangsa-bangsa, angka pembunuhan global telah menurun meskipun hanya sedikit namun, untuk amerika dan afrika selatan, tingkat pembunuhan masih sangat tinggi. bahkan angka itu empat kali lebih tinggi dari rata-rata global, sekitar 6,2 korban per 100 ribu orang. di indonesia, khususnya di daerah istimewa yogyakarta, berdasarkan data direskrimum polda diy terjadi penurunan angka pembunuhan pada tahun 2011 ke 2012 tetapi kemudian meningkat kembali pada tahun 2013. sejak tahun 2003 hingga tahun 2013 terdapat 368 kasus pembunuhan yang ditangani di instalasi kedokteran forensik rsup dr. sardjito, tetapi hanya 339 kasus pembunuhan yang diambil untuk penelitian ini, hal ini dikarenakan adanya kriteria eksklusi pada penelitian ini. pada tahun 2003, terdapat 11,8% kasus pembunuhan yang kemudian menurun di tahun 2004 (7,1%) tetapi meningkat kembali pada tahun 2005 (13,6%). tren seperti ini terus berulang di tahun-tahun selanjutnya. tahun 2011 terjadi penurunan korban pembunuhan dari 8,3% ke 4,7% pada tahun 2012 tetapi kemudian meningkat tajam menjadi 9,7%. menurut masdiono (2011) dalam wafiyyah (2014),1 tingginya tingkat kriminalitas di indonesia disebabkan oleh beberapa faktor seperti kemiskinan, disfungsi norma dan hukum, ketidakharmonisan unsur yang terkait, karakter bangsa yang sudah bergeser, ditambah lagi sistem pendidikan yang tidak mengajarkan nilai-nilai etika, termasuk pendidikan agama yang hanya menekankan pada aspek kognitif saja. pada tabel 1. dapat terlihat bahwa 56,3% korban pembunuhan adalah laki-laki, proporsi yang hampir sama ditemukan norwegia (58%). di chicago, finlandia, india dan italia proporsi korban laki-laki bervariasi antara 64% dan 73,6%. prevalensi korban laki-laki ditunjukkan dalam banyak studi di seluruh dunia, mungkin terhubung dengan kehadiran laki-laki yang lebih besar dalam kehidupan sosial dan dalam kejahatan terorganisir, tetapi dapat dikaitkan pula dengan sifat biologis yang berbeda yaitu tingginya tingkat testosterone berhubungan dengan perilaku yang lebih agresif.4 kelompok usia yang digunakan pada penelitian adalah kelompok usia berdasarkan who. dari penelitian ini diketahui bahwa korban terbanyak berasal dari kelompok usia dewasa (59%), selanjutnya sebesar 25,1% adalah neonatus (0-30 hari), 8,3% adalah elderly (lansia: > 64 tahun), hasil serupa juga tampak pada penelitian hagelstam dan hakkanen (2006),5 di finlandia dan vij et al. (2010),6 di india selatan. otopsi atau pemeriksaan post-mortem adalah diseksi jenazah. hal ini dilakukan karena berbagai alasan, termasuk pendidikan dan pertimbangan hukum. otopsi dapat mementukan penyebab, cara dan mekanisme kematian.7 pemeriksaan forensik terhadap jenazah meliputi pemeriksaan luar jenazah, tanpa tindakan yang merusak keutuhan jaringan jenazah dan pemeriksaan bedah jenazah menyeluruh dengan membuka rongga tengkorak, leher, dada, perut dan panggul.8 tabel 1. memperlihatkan bahwa pada 81,1% korban pembunuhan dilakukan pemeriksaan luar dan dalam, sedangkan 18,9% sisanya hanya dilakukan pemeriksaan luar jenazah. pada jenazah yang hanya dilakukan pemeriksaan luar jenazah saja, kesimpulan visum et repertum menyebutkan jenis luka atau kelainan yang ditemukan dan jenis kekerasan penyebabnya, sedangkan sebab matinya tidak dapat ditentukan karena tidak dilakukan pemeriksaan bedah jenazah. pada penelitian ini dapat diketahui bahwa 68,4% korban pembunuhan ditemukan di luar rumah, sedangkan 31,6% korban pembunuhan ditemukan di dalam rumah. hasil ini berbeda dengan penelitian kristoffersen et al. (2014),9 di norwegia, hagelstam dan hakkanen (2006),5 di finlandia dan penelitian verzeletti et al. (2013),4 di brescia county, italia dimana korban lebih banyak ditemukan di dalam rumah, masing-masing sebesar 76%, 54% dan 51%. hal ini dimungkinkan karena korban yang berada di luar rumah mendapatkan bantuan lebih sering karena adanya orang yang berlalu lalang.9 tabel 5. memperlihatkan bahwa 79% laki-laki ditemukan di luar rumah dan laki-laki berisiko 3 kali lipat ditemukan terbunuh di luar rumah. hasil ini bermakna secara statistik karena p < 0,05. henderson et al. (2005),10 menyatakan bahwa korban laki-laki lebih sering dibunuh oleh orang tak dikenal yang mungkin ditemui di tempat umum, klab malam atau di jalan. hasil pada tabel 2. serupa dengan hasil didapatkan pada penelitian coelho et al. (2010),11 dimana lokasi luka terbanyak pada kepala, diikuti dengan dada dan leher, serta penelitian vij et al. (2010),6 dimana lokasi luka terbanyak pada kepala (22,4%), tetapi hasil yang berbeda didapati pada verzeletti et al. (2013),4 menunjukkan 28% lokasi luka yang paling mematikan terletak pada dada dan 25% pada kepala. hal ini dapat dikarenakan lokasi tersebut merupakan daerah anatomi terkenal untuk kepentingan vital manusia. hasil pemeriksaan pada tabel 2. dan tabel 4. pada penelitian ini saling berhubungan. jika dikelompokkan, lebih banyak disebabkan oleh kekerasan tumpul dan tajam, sedangkan pada penelitian verzeletti et al. (2013),4 korban laki-laki banyak dibunuh menggunakan senjata api dan benda tajam, diikuti dengan benda tumpul. untuk perempuan menggunakan senjata api, senjata tajam dan asfiksia. perbedaan jenis luka ini dikarenakan oleh ketersediaan senjata tersebut dimana ada hukum yang ketat tentang kepemilikan senjata api atau dapat juga dikarenakan adanya perbedaan budaya. sebanyak 8% korban pada penelitian ini tidak terdapat luka, hal ini dimungkinkan karena korban dibunuh dengan cara diracun yang tidak menimbulkan luka pada bagian luar tubuh korban. terdapat 14,5% korban tidak dapat dinilai jenis lukanya, hal ini dikarenakan kondisi korban yang sudah terjadi pembusukan lanjut, sehingga sulit untuk diketahui jenis luka yang terdapat pada korban. luka tangkis merupakan luka yang terjadi akibat perlawanan korban untuk melindungi diri dan umumnya ditemukan pada tangan, lengan dan bahkan lengan atas, berpotensi melibatkan kedua aspek ekstensor dan fleksor.12 sebanyak 38,6% pada korban pembunuhan pada penelitian ini terdapat tanda dari luka tangkis, hasil ini serupa dengan penelitian hugar et al. (2012),13 dan vij et al. (2010),6 dimana masing-masing terdapat luka tangkis pada korban sebanyak 33% dan 22,47%. korban yang tidak terdapat luka tangkis dapat dimungkinkan karena pembunuhan tidak direncanakan (mendadak) atau dapat karena pelaku lebih dari satu orang.6 pada penelitian hugar et al. (2012),13 menunjukkan kasus dengan luka tangkis terbanyak terdapat pada kelompok usia 20-29 tahun dan tidak adanya luka tangkis pada kelompok usia 0-9 tahun, hal ini dapat dikarenakan ketidakmampuan dan ketidakwaspadaan anak terhadap apa yang terjadi pada mereka. motif yang banyak mendasari terjadinya pembunuhan antara laki-laki dan laki-laki adalah konflik status sosial, kebanggaan dan reputasi, serta konflik atas sumber daya material.14 tabel 4. memperlihatkan bahwa motif pembunuhan disebabkan oleh dendam (10,6%), perampokan (7,4%), pembelaan diri (1,5%) dan kecemburuan (2,9%). hasil ini serupa dengan penelitian lemard dan hemenway (2006),15 dimana motif yang paling banyak adalah karena dendam. di kanada, serran dan firestone (2004),16 dan di finlandia, hakkanen-nyholm et al. (2009),17 pembunuhan pada wanita didasari oleh kecemburuan oleh pasangannya. menurut coelho et al. (2010),11 perampokan menjadi motif yang paling banyak mendasari pembunuhan pada lansia, walaupun beberapa kasus masih belum diketahui motifnya. pada penelitian ini sebanyak 77,6% dari kasus tidak diketahui motif pembunuhannya, hal ini dikarenakan belum adanya informasi atas kematian korban. pada penelitian ini sebanyak 11,5% pelaku berhubungan keluarga dengan korban, 8,3% pelaku adalah kenalan korban, 1,8% pelaku adalah pacar korban, sedangkan 78,5% pelaku tidak diketahui hubungannya dengan korban hal ini dimungkinkan karena pelaku tidak dikenal korban atau pelaku masih belum diketahui. hasil ini sedikit berbeda dengan penelitian hakkanen-nyholm et al. (2009),17 53,8% pelaku merupakan kenalan korban, diikuti dengan pasangan korban, keluarga korban dan orang tidak dikenal, sedangkan pada penelitian kristoffersen et al. (2014),9 di norwegia 21% pembunuhan dilakukan oleh pasangan. simpulan berdasarkan dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat 339 korban pembunuhan dari tahun 2003-2013, dengan proporsi terbanyak laki-laki dan berusia dewasa, 81,1% kasus dilakukan pemeriksaan luar dan dalam, penyebab kematian terbanyak adalah trauma dan jenis lukanya yang terbanyak adalah luka patah tulang dan luka memar, lokasi luka tersering yaitu dibagian kepala., korban tersering dibunuh dengan cara dipukul dan 38,6% korban ditemukan luka tangkis, pelaku didominasi oleh keluarga korban, motif terbanyak karena dendam, korban lebih banyak ditemukan diluar rumah dan terdapat perbedaan yang bermakna pada tempat kejadian perkara antara laki-laki dan perempuan, dimana korban laki-laki lebih banyak di luar rumah daripada di dalam rumah. daftar pustaka 1. wafiyyah y. studi deskriptif tentang pelatihan life skill dalam meningkatkan kemampuan wirausaha budidaya jangkrik pada warga binaan di lembaga pemasyarkatan klas iia jelekong. skripsi. universitas pendidikan indonesia bandung. 2014 2. putra wp. identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tindak kriminal berdasarkan karakteristik pelaku kriminal dengan menggunakan metode pohon kalsifikasi. 2010. diakses dari http://repository.unand.ac.id/7881/ pada tanggal 7 mei 2014 3. rismawati sd. perempuan dan kejahatan pembunuhan dalam konstalasi relasi gender. 2008. diakses dari http://jurnal.umy.ac.id/index.php?journal=mediahukum&page=article&op=view&path[]=1338 pada tanggal 27 april 2007. 4. verzeletti a, russo mc, bin p, liede a, ferrari fd. homicide in brescia county (northern italy): a thirty-year review. j forensic leg med, 2014; 22 (1): 84-89. 5. hagelstam c, hakkanen h. adolescent homicides in finland: offence and offender characteristics. forensic sci int, 2006; 164 (2-3): 110-115. 6. vij a, menon a, menezes rg, kanchan t, rastogi p. a retrospective review of homicides in mangalor, south india. j forensic leg med, 2010; 17 (6): 312-315. 7. mohammed m, kharoshah ma. autopsy in islam and current practice in arab muslim countries. j forensic leg med, 2014; 23 (1): 80-83. 7, budiyanto a, widiatmaka w, purwadianto, a. ilmu kedokteran forensik, edisi pertama. jakarta: bagian kedokteran forensiik fakultas kedokteran universitas indonesia. 1997. 8. kristoffersen s, lilleng pk, maehle bo, morild i. homicides in western norway, 1985 – 2009, time trends, age and gender differences. forensic sci int, 2014; 238 (1): 1-8. 9. henderson jp, morgan se, patel f, triplady me. patterns of non-firearm homicide. j clin forensic med, 2005; 12 (1): 128-132 10. coelho l, ribeiro t, dias r, santos a, magalhaes t. elder homicide in the north of portugal. j forensic leg med, 2010; 17 (7): 383-387. 11. dolinak d, matshes ew, lew eo. forensic pathology. uk: elsevier. 2005. 12. hugar bs, harish s, chandra ypg, praveen s, jayanth sh. study of defence injuries in homicidal deaths – an autopsy study. j forensic leg med, 2012; 19 (4): 207-210. 13. hiraiwa-hasegawa m. homicide by men in japan and its relationship to age, resources and risk taking. evolution human behavior, 2004; 26 (4): 332-343. 14. lemard g, hemenway g. violence in jamaica: an analysis of homicides 1998-2002. injury prevention, 2006; 12 (1): 15-18. 15. serran g, firestone p. intimate partner homicide: a review of the male proprietariness and the self-defense theories. aggression and violent behavior, 2004; 9 (1): 1-15. 16. hakkanen-nyholm h, putkonen h, lindber n, holi m, rovamo t, weizmann-henelius g. gender differences in finnish homicide offence characteristics. forensic sci int, 2009; 186 (1-3): 75-80. frekuensi korban pembunuhan tahun 2003 – 2013 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 40 24 46 31 32 39 25 25 28 16 33 9 perbandingan efikasi obat nyamuk bakar dengan zat aktif metofluthrin dan d-d-allethrin terhadap culex quinquefasciatus the comparison of efficacy mosquito coil containing metofluthrin active substance and d-d-allethrin to culex quinquefasciatus hodijah1, tri wulandari kesetyaningsih2* 1 fakultas kedokteran, universitas muhammadiyah yogyakarta 2 bagian parasitologi fakultas kedokteran, universitas muhammadiyah yogyakarta *email: tri_wulandari@umy.ac.id abstrak penyakit yang ditularkan melalui nyamuk masih banyak di indonesia, termasuk filariasis dan encephalitis yang ditularkan oleh culex quinquefasciatus. upaya pencegahan infeksi dari penyakit tersebut di masyarakat antara lain dengan menggunakan obat nyamuk bakar. kandungan bahan aktif obat nyamuk bakar umumnya adalah kelompok piretroid sintetik antara lain metofluthrin dan d-allethrin. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas obat nyamuk bakar berbahan aktif metofluthrin dan d-allethrin dengan parameter lt50 dan lt90. subyek penelitian nyamuk culex quinquefasciatus diperoleh dari alam. metode penelitian adalah eksperimental laboratorium. nyamuk dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok dengan pemaparan obat nyamuk bakar metofluthrin (perlakuan 1), kelompok dengan pemaparan obat nyamuk bakar d-allethrin (perlakuan 2) dan kelompok tanpa pemaparan (kontrol) dengan replikasi sebanyak 3 kali. hasil pengamatan berupa persentase rata-rata nyamuk uji yang jatuh dianalisis probit berdasarkan jumlah knockdown nyamuk pada tiap 5 menit selama 50 menit pemaparan. hasil analisis menunjukkan lt50 selama 20 menit (metofluthrin) dan 17 menit (d-allethrin) serta lt 90 selama 37 menit (metofluthrin) dan 31 menit (d-allethrin). obat nyamuk bakar dengan zat aktif d-d-allethrin pada penelitian ini menunjukkan lt50 dan lt 90 yang lebih singkat dibandingkan metofluthrin. kata kunci: efikasi metoflutrin, d-allethrin, knockdown, culex quinquefasciatus abstract the mosquito borne diseases are still amount in indonesia such as filariasis and encephalitis that spread by culex quinquefasciatus. the most frequent prevention to avoid infection is to use mosquito coils because they can be purchased easily. the common active substance in mosquito coil is synthetic pyrethroid. there are many kinds of synthetic pyrethroid. some of them are metofluthrin, d-allethrin, transfluthrin, etc. the objectives of research are to know the effectiveness of mosquito coil containing synthetic pyrethroid active substance (metofluthrin and d-allethrin) and compare them with lt50 and lt90 as the parameter. the research uses a laboratorium experimental method. the subject is culex quinquefasciatus which divided into three groups. two treatment groups (group i exposure by mosquito coil containing metofluthrin active substance and group ii exposure by d-allethrin), and one control group without exposure. each group is done three times. the result is average percentage of knockdown mosquito every 5 minutes until 50 minutes exposurement that analyzed by probit analysis. the probit analysis result shows lt50 and lt90 of metofluthrin mosquito coil are 20 and 37 minutes. lt50 and lt90 of d-allethrin mosquito coil are 17 and 31 minutes. it means that d-allethrin mosquito coil has lt50 and lt90 shorter than metofluthrin one. keywords: efficacy metofluthrin, d-allethrin, knockdown, culex quinquefasciatus pendahuluan keadaan geografis indonesia dengan ragam klimatologis, biogeografis, demografis dan faktor lingkungan alam umumnya sangat cocok untuk keberlangsungan daur hidup dan survival banyak spesies nyamuk dengan variasi spesies dan bionomik.1 nyamuk adalah golongan insekta dari ordo diptera yang memiliki reputasi buruk.2 nyamuk merupakan salah satu jenis serangga penghisap darah yang penting dalam bidang kedokteran. jumlah spesies nyamuk sangat banyak dan selalu menimbulkan gangguan pada manusia atau hewan melalui gigitannya baik sepanjang hari atau malam hari.3 penyakit-penyakit yang disebarkan oleh nyamuk di indonesia antara lain malaria, demam berdarah, chikungunya, yellow fever, filariasis limfatik (kaki gajah) dan japanese encephalitis (radang otak jepang).1 culex quinquefasciatus adalah salah satu nyamuk yang penting dalam bidang kedokteran karena berperan sebagai vektor penyakit filarisis.4 walaupun filrariasis tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius, namun dampak psikososialnya lebih dirasakan oleh penderita, karena penderita filariasis sangat mungkin akan menyandang cacat selama hayatnya.5 upaya pemerintah dalam pencegahan dan pemberantasan filariasis adalah dengan memutuskan rantai penularan serta memberikan pelayanan berupa pengobatan dan perawatan penderita untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder dan menekan frekuensi serangan akut.6 pemutusan rantai penularan dapat dilakukan antara lain dengan menghindari atau mengurangi kontak dan gigitan nyamuk c. quinquefasciatus, membunuh nyamuk dewasa, membunuh larva, mengurangi atau menghilangkan tempat perindukan dan mengobati penderita.7 encephalitis juga merupakan penyakit yang dapat disebarkan oleh nyamuk c. quinquefasciatus. penyakit ini biasa menyerang anak-anak usia 5-9 tahun. upaya pencegahan dan pengendalian dapat dilakukan dengan melakukan sosialisasi/penyuluhan kepada masyarakat dalam rangka pemutusan rantai penularan (antara virus, vektor nyamuk dan reservoir) termasuk merelokasi peternakan terutama babi ke wilayah yang tidak padat penduduk.8 teknologi untuk mengendalikan nyamuk sangat sulit dilakukan.1 banyak cara dikembangkan untuk menekan populasi c. quinquefasciatus seperti pemberantasan sarang nyamuk, mengeringkan genangan air serta penggunaan insektisida, sedangkan usaha untuk mengurangi kontak antara lain memakai pakaian yang memadai, memasang kawat kasa pada ventilasi rumah, menggunakan kelambu, memakai zat penolak repellen dan obat nyamuk.2 oleh karena itu kebijakan pemerintah perlu disosialisasikan kepada masyarakat supaya masyarakat mempunyai kemampuan untuk menghindari gigitan nyamuk.1 upaya pemberantasan vektor penular dilaksanakan dengan cara menggunakan insektisida.9 insektisida adalah bahan kimia yang bersifat toksik dan mematikan insekta. insektisida dapat terbuat dari bahan sintetis, bahan tumbuhan seperti fitotoksin dari bahan toksin mikroba seperti dari bakteri thuringiensis var israelensis. insektisida dari bahan sintesis disebut insektisida kimiawi, insektisida nabati berasal dari tumbuhan dan insektisida hayati berasal dari bahan mikroorganisme hidup seperti toksin mikroba.10 insektisida kelompok sintetik piretroid banyak digunakan sebagai bahan aktif insektisida rumah tangga, karena toksisitasnya terhadap serangga cukup tinggi dan relatif tidak berbahaya bagi manusia.11 di masyarakat, upaya untuk memberantas nyamuk antara lain menggunakan insektisida rumah tangga cair semprot (aerosol), obat nyamuk bakar dan elektrik. jenis-jenis insektisida tersebut banyak dijual di toko, pasar maupun pasar swalayan. jenis, kemasan dan berat bersih yang dipasarkan sangat bervariasi. kandungan bahan aktif pada umumnya adalah kelompok sintetik piretroid seperti d-allethrin, prolethrin, d-fenothrin, bio-allethrin, metofluthrin, esbiothrin dan transfluthrin.11 metofluthrin termasuk dalam kelompok agen knockdown, namun memiliki karakteristik unik yang tidak dimiliki oleh piretroid konvensional. karakteristik unik yang paling penting dari metofluthrin adalah tekanan uapnya yang tinggi. tekanan uap metoflutrin adalah > 2 kali dan > 100 kali daripada d-d-allethrin dan permethrin berturut-turut dan menguap pada suhu kamar tanpa pemanasan, sementara piretroid konvensional lainnya memerlukan pemanasan untuk penguapan. karakteristik unik lainnya adalah kemanjurannya yang tinggi terhadap nyamuk yang 28-79 kali lebih efektif daripada d-allethrin. 12 berdasarkan uraian di atas maka dapat diajukan permasalahan apakah ada perbedaan efektivitas antara obat nyamuk bakar berbahan aktif piretroid sintetik metofluthrin dan d-allethrin yang beredar di pasaran terhadap nyamuk dewasa c. quinquefasciatus. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas obat nyamuk bakar berbahan aktif piretroid sintetik dengan parameter lt50 dan lt90. serta membandingkan lt50 dan lt90 antara obat nyamuk bakar berbahan aktif metofluthrin dan d-allethrin. beberapa manfaat yang diharapkan dengan penelitian ini antara lain: penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya bidang entomologi kedokteran dalam kaitannya dengan usaha pemberantasan vektor penyakit, mengetahui tingkat efektivitas obat nyamuk bakar berbahan aktif metofluthrin dan d-allethrin terhadap nyamuk dewasa c. quinquefasciatus dan digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan pada pemilihan obat nyamuk bakar yang akan digunakan. bahan dan cara penelitian ini merupakan uji eksperimental laboratorium. penelitian menggunakan nyamuk yang akan dibagi menjadi 3 kelompok yaitu: —xo — o5-10-15-20-25-30-35-40-45 → o50 r——–—x1 — o5-10-15-20-25-30-35-40-45 → o50 —x2 — o5-10-15-20-25-30-35-40-45 → o50 keterangan: r : pengambilan sampel secara acak xo : kelompok kontrol x1 : kelompok perlakuan 1 dengan pemaparan obat nyamuk bakar berbahan aktif metofluthrin selama 50 menit terhadap nyamuk c. quinquefasciatus x2 : kelompok perlakuan 2 dengan pemaparan obat nyamuk bakar berbahan aktif d-allethrin selama 50 menit terhadap nyamuk c. quinquefasciatus o5-10-15-20-25-30-35-40-45 : observasi dilakukan setiap 5 menit o50 : observasi dihentikan pada setelah 50 menit variabel-variabel dalam penelitian yaitu: variabel bebas adalah obat nyamuk bakar berbahan aktif metofluthrin dan obat nyamuk bakar berbahan aktif d-d-allethrin. variabel tergantung adalah lt50 dan lt90 nyamuk c. quinquefasciatus. variabel tak terkendali adalah variasi biologis nyamuk, variasi genetik nyamuk, suhu kotak kaca, kelembaban kotak kaca. definisi operasional variabel-variabel yaitu: obat nyamuk bakar berbahan aktif metofluthrin 0,005% yang diperoleh di pasaran[footnoteref:1]. obat nyamuk bakar berbahan aktif d-allethrin 0,30% adalah yang juga diperoleh di pasaran[footnoteref:2]. lt50 nyamuk adalah waktu pemaparan yang diperlukan untuk membuat jatuh (knockdown) 50% nyamuk uji. lt90 nyamuk adalah waktu pemaparan yang diperlukan untuk membuat jatuh (knockdown) 90% nyamuk uji. variasi biologis nyamuk adalah sifat biologis nyamuk antara lain ukuran, umur dan jenis kelamin. variasi genetik nyamuk adalah sifat bawaan/genotip nyamuk. suhu kotak kaca adalah derajat celcius dari kondisi udara di dalam kotak kaca. kelembaban kotak kaca adalah kandungan air yang ada di udara dalam kotak kaca. [1: obat nyamuk bakar bermerek tiga roda produksi pt perkasa mostindo utama] [2: obat nyamuk bakar bermerek domestos nomos produksi pt technopia jakarta] alat dan bahan. alat yang digunakan dalam penelitian adalah: sangkar nyamuk, kotak kaca berukuran 100 x 100 x 100 cm3, pencatat waktu, aspirator, kotak penyangga sangkar nyamuk, kipas angin. adapun bahan yang digunakan adalah obat nyamuk bakar dan 60 ekor nyamuk c. quinquefasciatus. tahap pendahuluan. tahap pendahuluan dilakukan untuk menentukan lama pemaparan obat nyamuk bakar dan periode waktu pengamatan. tahap pendahuluan dilakukan dengan cara memasukkan 20 ekor nyamuk ke dalam sangkar kemudian sangkar dimasukkan ke dalam kotak kaca dengan tujuan mempermudah pengamatan. pada uji pendahuluan nyamuk uji dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan tanpa ulangan. pengamatan dihentikan setelah seluruh nyamuk jatuh. seluruh nyamuk uji jatuh setelah 50 menit pemaparan sehingga pada penelitian didapat waktu pemaparan selama 50 menit. interval pengamatan 5 menit diperoleh dengan perhitungan waktu dimana terjadi peningkatan jumlah nyamuk jatuh. pada tiap pergantian obat nyamuk, kotak kaca dibuka selama 30 menit dan menunjukkan bahwa obat nyamuk sebelumnya sudah tidak ada di dalam kotak kaca karena pada perlakuan dengan obat nyamuk bakar selanjutnya tidak ada nyamuk yang jatuh. jalannya penelitian. kotak kaca dibuka dan dipaparkan kipas angin selama 30 menit untuk mengeluarkan udara sisa obat nyamuk sebelumnya. dua puluh ekor nyamuk dipersiapkan di dalam sangkar kemudian dimasukkan ke dalam kotak kaca. pemindahan nyamuk dari sangkar stok ke sangkar perlakuan dilakukan dengan menggunakan aspirator. langkah berikutnya yaitu membakar obat nyamuk yang akan diteliti dan didiamkan hingga bara stabil lalu dimasukkan ke dalam kotak kaca. kotak kaca ditutup rapat segera setelah obat nyamuk bakar diletakkan dengan tujuan asap tidak ada yang keluar. pengamatan dan analisis data. jumlah nyamuk jatuh dihitung setiap 5 menit. percobaan dilakukan selama 50 menit pada tiap kelompok. percobaan diulang 3 kali setelah seluruh obat nyamuk bakar diteliti. hasilnya dicatat dan kemudian dihitung reratanya dan dianalisis menggunakan analisis probit. hasil hasil penelitian pada kelompok kontrol, perlakuan 1 dan perlakuan 2 dapat diperlihatkan pada tabel 1. kelompok perlakuan 1 adalah kelompok nyamuk c. quinquefasciatus yang mendapat paparan obat nyamuk bakar dengan zat aktif metofluthrin. kelompok perlakuan 2 adalah kelompok nyamuk c. quinquefasciatus yang mendapat paparan obat nyamuk bakar dengan zat aktif d-allethrin dan kelompok kontrol adalah kelompok nyamuk c. quinquefasciatus tanpa diberi paparan obat nyamuk bakar. kontrol yang dipakai berupa kontrol negatif. jumlah nyamuk uji yang jatuh pada kelompok perlakuan dihitung dengan persentase rata-rata nyamuk yang jatuh pada ketiga replikasi. hasil pengamatan berupa jumlah nyamuk uji yang jatuh (knockdown) tiap 5 menit pemaparan obat nyamuk bakar yang dihitung dalam bentuk persentase rata-rata dari ketiga replikasi sebagaimana terlihat pada tabel 1. comment by editor: tidak ada tabel sudah dikoreksi tabel 1. rata-rata kematian nyamuk culex quinquefasciatus pada kelompok penelitian setelah pemaparan dengan obat nyamuk bakar mengandung metofluthrin (p1), allethrin (p2), dan tanpa perlakuan (k) lama pemaparan kelompok kontrol kelompok perlakuan 1 kelompok perlakuan 2 sd nyamuk kd (%) sd nyamuk kd (%) sd nyamuk kd (%) 5 menit 0 0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 10 menit 0 0 0,00 1,67 1,53 8,35 1,67 0,58 8,35 15 menit 0 0 0,00 5,67 3,22 28,35 8,33 1,53 41,65 20 menit 0 0 0 11,00 1,00 55,00 12,67 2,08 63,35 25 menit 0 0 0 13,67 0,57 68,35 15,67 0,58 78,35 30 menit 0 0 0 15,33 1,53 76,65 17,00 1,00 85,00 35 menit 0 0 0 18,00 2,00 90,00 18,67 0,71 93,35 40 menit 0 0 0 18,00 2,00 90,00 19,33 0,58 96,65 45 menit 0 0 0 19,00 1,00 95,00 20,00 0,00 100 50 menit 0 0 0 19,67 0,58 98,35 20,00 0,00 100 pada gambar 1. terlihat bahwa persentase knockdown c. quinquefasciatus pada kelompok kontrol sama dengan garis x yang menunjukkan tidak ada nyamuk yang jatuh. pemaparan dengan obat nyamuk bakar dengan zat aktif d-allethrin terlihat pada gambar 1. memiliki persentase knockdown nyamuk lebih besar dengan grafik berada di atas grafik kelompok perlakuan dengan pemaparan obat nyamuk bakar dengan zat aktif metofluthrin. penambahan waktu pemaparan menunjukkan nyamuk yang jatuh bertambah. knockdown nyamuk setelah pemaparan 5 menit sebesar 0% menunjukkan kedua obat nyamuk bakar belum berpengaruh pada nyamuk c. quinquefasciatus pada menit ke 5. comment by editor: tidak ada di hasil sudah dikoreksi gambar 1. grafik persentase knockdown nyamuk c. quinquefasciatus setelah pemaparan obat nyamuk bakar selama 50 menit pada ketiga kelompok penelitian (p1, p2, k) pada pemaparan obat nyamuk bakar dengan zat aktif metofluthrin maupun d-allethrin didapatkan nilai x2 hitung (2,168 untuk metofluthrin dan 1,59 untuk d-allethrin) < x2 tabel (14,1 untuk metofluthrin dan 11,1 untuk d-allethrin). jadi respon nyamuk c. quinquefasciatus terhadap kedua obat nyamuk bakar bersifat homogen yaitu garis regresi yang didapatkan secara bermakna menunjukkan efektivitas kedua obat nyamuk bakar. persamaan garis regresi probit untuk respon terhadap obat nyamuk bakar dengan zat aktif metofluthrin y = -1,07916 + 4,701605x (gambar 2). pada pemaparan dengan obat nyamuk bakar dengan zat aktif d-allethrin, persamaan garis regresi probitnya adalah y = -1,309601 + 5,079198x (gambar 2). kedua persamaan tersebut menghasilkan grafik yang menunjukkan adanya penambahan jumlah nyamuk yang jatuh pada penambahan waktu pemaparan. jumlah nyamuk yang jatuh pada pemaparan dengan obat nyamuk d-allethrin mempunyai penambahan yang lebih pada tiap penambahan waktu dibandingan obat nyamuk bakar metofluthrin. perbandingan efektifitas kedua obat nyamuk bakar tidak menunjukkan perbedaan yang bermakana sebagaimana terlihat pada gambar 2. dimana grafik a (metofluthrin) dan b (d-allethrin) saling berhimpit. garis regresi probit dibuat dengan menghubungkan persentase mortalitas nyamuk uji atau probit y dari perhitungan persamaan dengan waktu pemaparan sebagai absis pada kertas grafik log-probit. gambar 2. merupakan perbandingan efektivitas kedua obat nyamuk bakar berdasarkan lethal time (lt). obat nyamuk bakar dengan zat aktif metofluthrin dengan analisis probit diperoleh lt50 dan lt90 terhadap nyamuk c. quinquefasciatus. lt50 = 19,6335 dengan kisaran batas bawah 18,261 dan batas atas 21,1091 dan lt90 = 36,7802 dengan kisaran batas bawah 33,5519 dan batas atas 40,319. lt50 dan lt90 yang menunjukkan efektifitas d-allethrin yang terkandung dalam obat nyamuk bakar terhadap c. quinquefasciatus sebesar 17,468 untuk lt50 dengan kisaran batas bawah 16,224 dan batas atas 18,8074 serta lt90 = 31,2316 dengan kisaran batas bawah 28,3301 dan batas atas 34,4302. a : y = -1,07916 + 4,701605x b : y = -1,309601 + 5,079198x y : persentase mortalitas atau probit mortalitas x : waktu pemaparan gambar 2. perbandingan garis regresi probit mortalitas nyamuk c. quinquefasciatus yang diuji dengan obat nyamuk bakar dengan zat aktif metofluthrin dan d-allethrin. persentase mortalitas nyamuk c. quinquefasciatus baik pada pemaparan dengan obat nyamuk bakar berbahan aktif metofluthrin maupun d-allethrin menunjukkan hasil 0% setelah 5 menit pemaparan. hal ini menunjukkan bahwa setelah 5 menit pemaparan daya insektisida kedua obat nyamuk bakar belum bekerja. pada tabel 1. dapat dilihat bahwa pada kelompok kontrol persentase knockdown nyamuk 0% yang menunjukkan kondisi kotak kaca bebas dari bahan insektisida. pengamatan terakhir pada menit ke-50, mortalitas nyamuk uji dengan paparan obat nyamuk bakar dengan zat aktif metofluthrin sebesar 98,35%. pada pemaparan dengan obat nyamuk bakar berbahan aktif d-allethrin, mortalitas nyamuk yang didapat telah mencapai 100% sejak menit ke-45. diskusi hasil penelitian menunjukkan bahwa pada penelitian ini, obat nyamuk bakar dengan zat aktif d-allethrin dapat bekerja lebih cepat dengan lt50 dan lt90 yang lebih singkat dibandingkan dengan obat nyamuk bakar berbahan aktif metofluthrin. obat nyamuk bakar dengan zat aktif d-allethrin pada penelitian membutuhkan waktu 16-19 menit untuk mendapatkan knockdown nyamuk uji sebesar 50% dan waktu yang diperlukan untuk mendapatkan nyamuk uji hidup sebesar 10% adalah 28-34 menit. obat nyamuk bakar dengan zat aktif metofluthrin pada penelitian ini membutuhkan waktu 18-21 menit untuk membuat jatuh 50% nyamuk uji dan 34-40 menit untuk membunuh 90% nyamuk uji. hasil yang didapat pada penelitian sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa efektifitas metofluthrin dan d-allethrin sama. perbedaan efektifitas kedua bahan piretroid sintetik ini tidak bermakna seperti terlihat pada gambar perbandingan grafik regresi probit (gambar 2). penelitian serupa pernah dilakukan oleh ujihara et al. (2004),13 yang bertujuan membandingkan efektifitas metofluthrin dengan piretroid sintetik lain menunjukkan bahwa metofluthrin mempunyai efektivitas 40 kali sama besar dengan d-allethrin terhadap c. quinquefasciatus. penelitian lain juga dilakukan oleh pates et al. (2002),14 dengan membandingkan efektifitas antara bioallethrin dengan transfluthrin terhadap c. quinquefasciatus dan menyimpulkan bahwa perbandingan efektifitas antara kedua bahan piretroid tersebut tidak bermakna. simpulan efektifitas obat nyamuk bakar dengan zat aktif metofluthrin terhadap nyamuk dewasa c. quinquefasciatus ditunjukkan dengan lt50 = 20 menit dan lt90 = 37 menit, sedangkan efektifitas obat nyamuk bakar dengan zat aktif d-allethrin terhadap nyamuk dewasa c. quinquefasciatus ditunjukkan dengan lt50 = 17 menit dan lt90 = 31 menit. obat nyamuk bakar dengan zat aktif d-allethrin lebih efektif terhadap nyamuk dewasa c. quinquefasciatus dibandingkan dengan obat nyamuk bakar dengan zat aktif metofluthrin. daftar pustaka 1. juhanudin n, leksono as. distribusi spasial nyamuk diurnal secara ekologi di kabupaten lamongan. jurnal biotropika, 2013; 1 (3): 124-128. 2. soedarto. entomologi kedokteran. jakarta: egc. 1990 3. tarigan l. daya larvasidal ekstrak acorus calamus (dlingo) terhadap larva culex quinquiefasciatus di laboratorium. kti. yogyakarta: universitas gajah mada. 1997. 4. safitri a, risqhi mh, ridha r. identifikasi vektor dan vektor potensial filariasis di kecamatan tanta, kabupaten tabalong. jurnal buski. jurnal epidemiologi dan penyakit bersumber binatang, 2012; 4 (2): 73-79. 5. pusat data dan survelans epidemiologi kemenkes ri. filariasis di indonesia. buletin jendela epidemiologi, 2010; 1 juli: 1-20. 6. dinas kesehatan provinsi jawa tengah. pencapaian program kesehatan menuju jawa tengah sehat. 2004. diakses dari http://www.health-lrc.or.id/profil2004/bab4.htm diakses pada 24 juli 2006. 7. wibisono ya. pengaruh posisi alat obat nyamuk elektrik berbahan aktif pyramin forte terhadap mortalitas aedes aegypti. kti. yogyakarta: universitas gajah mada. 1995. 8. sendow i. dan sjamsul b. 2005. perkembangan japanese encephalitis di indonesia. wartazoa, 2005; 15 (3): 111-118. 9. mardihusodo sj. daya insektisida daun dan biji annona muricata l. terhadap larva nyamuk di laboratorium. berita kedokteran masyarkat, 1992; xxiv (3): 89-94. 10. supriadi. optimasi pemanfaatan beragam jenis pestisida untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman. j litbangpert, 2013; 32 (1): 1-9. 11. raini m. toksikologi insektisida rumah tangga dan pencegahan keracunan. media penelit. dan pengembang. kesehat. 2009; xix (suplemen ii): s27-s33. 12. arugueta tbo, kawada h, sugano m, kubota s, shono y, tsushima k, et al. 2004. comparative insecticidal efficacy of a new pyrethroid, metofluthrin, against colonies of asian culex quinquefasciatus and culex pipiens pallens. medical entomology and zoology, 2004; 55 (issue 4): 289-294. 13. ujihara k, mori t, iwasaki t, sugano m, shono y, matsuo n. metofluthrin: a potent new synthetic pyrethroid with high vapor activity against mosquitoes. biosci biotechnol biochem, 2004; 68 (1): 170-4. 14. pates hv, lines jd, keto aj, miller je. personal protection against mosquitoes in dar es salaam, tanzania, by using a kerosene oil lamp to vaporize transfluhtrin. med vet entomol, 2002; 16 (3): 277-84. 5 0 20 40 60 80 100 120 5101520253035404550 waktu pemaparan (menit) knockdown (%) kontrol (k) metofluthrin (p1) allethrin (p2) 6 | vol 19 no 1 januari 2019 surrogate for lf/hf: a revised investigation. modelling and simulation in engineering, 2012; 2012 (1): 1-8. 18. tobaldini e, nobili l, strada s, casali kr, braghiroli a, montano n. heart rate variability in normal and pathological sleep. front physiol, 2013; 4 (1): 294. 19. stores g. aspects of sleep disorders in children and adolescents. dialogues clinical neuroscience, 2009; 11 (1): 81-90. 20. yukishita t, lee k, kobayashi a. age and sexdependent alterations in heart rate variability: profiling the characteristics of men and women in their 30s. anti-aging medicine, 2010; 7 (8): 9499. 21. zhang j. effect of age and sex on heart rate variability in healthy subjects. journal manipulative physiology therapy 2007; 30 (5): 374-9. 22. michels n, clays e, de buyzere m, huybrechts i, marild s, vanalest b, et al. determinants and reference values of short-term heart rate variability in children. eur j applied physiol, 2013; 113 (6): 1477-88. 23. risdiana n. comparison of root mean square of successive differences (rmssd) among adolescent smokers and nonsmokers in yogyakarta. advanced science letters. 2017; 23 (12): 12660–12664. 24. rozy rmf, risdiana n. hubungan antara gangguan pola tidur dengan heart rate variability. karya tulis ilmiah: universitas muhammadiyah yogyakarta. 2016. mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm ©2019 mmjkk. all rights reserved vol 19 no 1 hal 7-12 januari 2019 pola tatalaksana farmakologis hipertensi pada pasien rawat inap di rs dr soedirman kebumen the pattern of pharmacological hypertension management on inpatient at hospital of dr soedirman kebumen gularso1*, devita ninda2*, fauziyati ana3 1 departemen ilmu penyakit dalam, rumah sakit umum daerah kebumen, fakultas kedokteran, universitas islam indonesia 2 fakultas kedokteran, universitas islam indonesia 3 departemen ilmu penyakit dalam, fakultas kedokteran, universitas islam indonesia data naskah: masuk: 21 feb 2018 direviu: 19 mei 2018 direvisi: 27 sep 2018 diterima: 8 okt 2018 *korespondensi: larso_67@yahoo.com atau ninda.devita@gmail.com doi: 10.18196/mm.190121 tipe artikel: research abstrak: rumah sakit menduduki posisi penting untuk tatalaksana hipertensi. tatalaksana hipertensi yang baik di rumah sakit menyebabkan tekanan darah terkontrol. kenyataan tatalaksana hipertensi di rumah sakit saat ini belum maksimal. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pola tatalaksana farmakologis hipertensi pasien rawat inap di rs dr soedirman kebumen tahun 2015. penelitian ini bersifat non eksperimental deskriptif, menggunakan data rekam medis pasien dengan hipertensi tahun 2015. variabel yang diobservasi meliputi jenis obat antihipertensi, jumlah obat, dosis obat dan capaian terapi. sebanyak 95 pasien hipertensi rawat inap masuk kriteria inklusi. pasien meninggal kurang dari 24 jam setelah rawat inap tidak diikutkan dalam penelitian. golongan calcium channel blocker merupakan obat yang paling sering digunakan secara tunggal maupun kombinasi (70,53%.) sebanyak 46% diberikan kombinasi dua jenis obat. kombinasi tersering yang digunakan adalah angiotensin receptor blocker + calcium channel blocker. hanya 30,53% pasien memenuh target tekanan darah saat pulang. pola tatalaksana hipertensi di rs dr soedirman kebumen belum sesuai dengan jnc viii yaitu pada pemilihan jenis dan jumlah obat berdasar stadium hipertensi. tingkat keberhasilan terapi pada kelompok dengan komorbid sudah baik dibandingkan capaian who tetapi sebaliknya pada kelompok tanpa komorbid. kata kunci: hipertensi; tatalaksana farmakologis; rawat inap abstract: hospital hold an important position for the treatment of hypertension due to various clinical spectrum of patients can be found. management of hypertension in the hospital can cause blood pressure under control after discharge from the hospital. the aim of this study is to analyze pharmacological management of hypertensive patients at dr. sudirman kebumen hospital in 2015. this study is nonexperimental, descriptive, retrospective study using data from medical records from patient with hypertension in 2015. charts were reviewed for types of antihypertensive drugs, the number of antihypertensive drugs and blood pressure control. of 95 subjects included in this study. exclusion criteria was death <24 hours after hospitalization. major of patients were given calcium channel blocker single or in combination (70,53%). 46% patients were given a combination of two types of antihypertensive drugs. the most commonly used drug combination is angiotensin receptor blocker + calcium channel blocker. 30,53% hypertension patient achieved blood pressure goal. hypertension management at dr soedirman hospital kebumen didn’t accordance with jnc viii. 8 | 8 | vol 19 no 1 januari 2019 keywords: hypertension; pharmacological management; hospitalization pendahuluan penderita hipertensi terus meningkat setiap tahunnya dari 600 juta di tahun 1980 menjadi 1 milliar pasien pada tahun 2008.1,2 hipertensi lebih banyak diderita penduduk di negara dengan pendapatan rendah sampai menengah di kawasan afrika, mediterania dan asia tenggara.2 prevalensi hipertensi di indonesia sebesar 26,5%,3 namun hanya 36,8% yang terdiagnosis oleh tenaga kesehatan.3,4 hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik sama dengan atau lebih dari 140 mmhg dan atau diastolik sama dengan atau lebih dari 90 mmhg. hipertensi dapat dibagi menjadi hipertensi esensial dan sekunder. hipertensi esensial tidak berhubungan dengan penyebab lain seperti penyakit ginjal, aldoteronisme, pheokromositma, atau penyebab yang lain. faktor risiko hipertensi terutama di asia antara lain umur, merokok, obesitas, kurangnya akivitas fisik, dislipidemia, genetik maupun diabetes melitus (dm).2,5,6 hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh seperti jantung, otak, ginjal, maupun mata.7 terapi yang tepat dapat menurunkan mortalitas dan komplikasi hipertensi.2 penelitian yang dilakukan lisheng et al. (1998),8 pada populasi lansia menunjukkan terapi antihipertensi dapat menurunkan angka stroke dan gangguan kardiovaskuler. joint national commite (jnc) viii mengeluarkan panduan terbaru tentang terapi hipertensi meliputi target terapi dan pilihan obat antihipertensi.9 rumah sakit menduduki posisi penting untuk tatalaksana pasien hipertensi. pasien rawat inap di rumah sakit memiliki berbagai spektrum klinis berupa pasien dengan hipertensi sejak sebelum masuk rumah sakit dengan komorbid lain, tatalaksana yang tepat saat di rumah sakit oleh petugas kesehatan dapat menyebabkan tekanan darah terkontrol setelah pasien keluar dari rumah sakit. kenyataan tatalaksana hipertensi di rumah sakit saat ini belum maksimal. 10,11,12 penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian pola tatalaksana farmakologis hipertensi pasien rawat inap yang didiagnosis hipertensi di rs dr soedirman kebumen tahun 2015 berdasar jnc viii. bahan dan cara penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimental deskriptif. penelitian dilakukan di rs dr soedirman kebumen pada bulan november 2016. penelitian sudah mendapatkan persetujuan dari komite etik fk uii untuk aspek etika dan telah mendapatkan ijin dari direktur rumah sakit untuk mengambil data-data yang diperlukan. sampel penelitian ini adalah pasien rawat inap dengan diagnosis utama atau diagnosis tambahan hipertensi di rs dr soedirman kebumen tahun 2015 periode 1 januari 2015 – 31 desember 2015. pasien dengan diagnosis hipertensi adalah pasien rawat inap yang didiagnosis dokter rumah sakit sebagai hipertensi baik sebagai diagnosis utama maupun diagnosis tambahan berdasarkan kriteria joint national commite (jnc) viii. pasien hipertensi yang meninggal dalam waktu kurang dari 24 jam setelah rawat inap tidak diikutkan dalam penelitian. jumlah sampel penelitian dihitung dengan menggunakan rumus besar sampel, diperlukan sampel sejumlah 82 pasien. teknik pengambilan sampel menggunakan simple random sampling dengan cara mengambil nomor urut pasien dengan kelipatan 5. variabel-variabel yang dilihat adalah pola pemberian obat antihipertensi yang meliputi jenis obat, jumlah obat, dan luaran tekanan darah saat pasien pulang juga dianalisis. variabel tersebut dibandingkan dengan pedoman dari jnc viii. data semua variabel didapatkan dari rekam medis dan dokumen di rs dr soedirman kebumen. data yang diperoleh diolah dan disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi untuk masing-masing variabel. hasil terdapat sebanyak 123 kasus hipertensi rawat inap di rsud dr soedirman kebumen pada periode januari-desember 2015 . dari 123 kasus tersebut, 95 kasus memenuhi kriteria inklusi untuk menjadi subjek penelitian. karakteristik subyek penelitian bisa dilihat pada tabel 1. subjek penelitian sebanyak 95 pasien dengan sebaran 47 (49,47%) laki-laki dan 48 (50,53%) perempuan. rerata usia subjek penelitian adalah 62,66 tahun (sd 13,67). sebanyak 53 pasien (55,79%) berusia di atas 60 tahun. rerata tekanan darah saat masuk rumah sakit 185±26,5/102,7±16,03 dengan 51,58% terdiagnosis krisis hipertensi menurut kriteria jnc viii. penyakit komorbid terbanyak yang diderita adalah dm tipe ii (17,89%). proporsi jaminan kesehatan yang digunakan antara pasien umum, badan penyelenggara jaminan sosial (bpjs) kelas 1 atau 2, dan bpjs kelas 3 tidak jauh berbeda (27,37% vs 369% vs 38,94%). distribusi jenis obat hipertensi pada pasien dengan hipertensi rawat inap rs dr soedirman kebumen dapa dilihat pada tabel 2. hasil penelitian ini menunjukkan golongan calsium channel blocker (ccb) merupakan obat yang | 9 8 | vol 19 no 1 januari 2019 keywords: hypertension; pharmacological management; hospitalization pendahuluan penderita hipertensi terus meningkat setiap tahunnya dari 600 juta di tahun 1980 menjadi 1 milliar pasien pada tahun 2008.1,2 hipertensi lebih banyak diderita penduduk di negara dengan pendapatan rendah sampai menengah di kawasan afrika, mediterania dan asia tenggara.2 prevalensi hipertensi di indonesia sebesar 26,5%,3 namun hanya 36,8% yang terdiagnosis oleh tenaga kesehatan.3,4 hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik sama dengan atau lebih dari 140 mmhg dan atau diastolik sama dengan atau lebih dari 90 mmhg. hipertensi dapat dibagi menjadi hipertensi esensial dan sekunder. hipertensi esensial tidak berhubungan dengan penyebab lain seperti penyakit ginjal, aldoteronisme, pheokromositma, atau penyebab yang lain. faktor risiko hipertensi terutama di asia antara lain umur, merokok, obesitas, kurangnya akivitas fisik, dislipidemia, genetik maupun diabetes melitus (dm).2,5,6 hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh seperti jantung, otak, ginjal, maupun mata.7 terapi yang tepat dapat menurunkan mortalitas dan komplikasi hipertensi.2 penelitian yang dilakukan lisheng et al. (1998),8 pada populasi lansia menunjukkan terapi antihipertensi dapat menurunkan angka stroke dan gangguan kardiovaskuler. joint national commite (jnc) viii mengeluarkan panduan terbaru tentang terapi hipertensi meliputi target terapi dan pilihan obat antihipertensi.9 rumah sakit menduduki posisi penting untuk tatalaksana pasien hipertensi. pasien rawat inap di rumah sakit memiliki berbagai spektrum klinis berupa pasien dengan hipertensi sejak sebelum masuk rumah sakit dengan komorbid lain, tatalaksana yang tepat saat di rumah sakit oleh petugas kesehatan dapat menyebabkan tekanan darah terkontrol setelah pasien keluar dari rumah sakit. kenyataan tatalaksana hipertensi di rumah sakit saat ini belum maksimal. 10,11,12 penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian pola tatalaksana farmakologis hipertensi pasien rawat inap yang didiagnosis hipertensi di rs dr soedirman kebumen tahun 2015 berdasar jnc viii. bahan dan cara penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimental deskriptif. penelitian dilakukan di rs dr soedirman kebumen pada bulan november 2016. penelitian sudah mendapatkan persetujuan dari komite etik fk uii untuk aspek etika dan telah mendapatkan ijin dari direktur rumah sakit untuk mengambil data-data yang diperlukan. sampel penelitian ini adalah pasien rawat inap dengan diagnosis utama atau diagnosis tambahan hipertensi di rs dr soedirman kebumen tahun 2015 periode 1 januari 2015 – 31 desember 2015. pasien dengan diagnosis hipertensi adalah pasien rawat inap yang didiagnosis dokter rumah sakit sebagai hipertensi baik sebagai diagnosis utama maupun diagnosis tambahan berdasarkan kriteria joint national commite (jnc) viii. pasien hipertensi yang meninggal dalam waktu kurang dari 24 jam setelah rawat inap tidak diikutkan dalam penelitian. jumlah sampel penelitian dihitung dengan menggunakan rumus besar sampel, diperlukan sampel sejumlah 82 pasien. teknik pengambilan sampel menggunakan simple random sampling dengan cara mengambil nomor urut pasien dengan kelipatan 5. variabel-variabel yang dilihat adalah pola pemberian obat antihipertensi yang meliputi jenis obat, jumlah obat, dan luaran tekanan darah saat pasien pulang juga dianalisis. variabel tersebut dibandingkan dengan pedoman dari jnc viii. data semua variabel didapatkan dari rekam medis dan dokumen di rs dr soedirman kebumen. data yang diperoleh diolah dan disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi untuk masing-masing variabel. hasil terdapat sebanyak 123 kasus hipertensi rawat inap di rsud dr soedirman kebumen pada periode januari-desember 2015 . dari 123 kasus tersebut, 95 kasus memenuhi kriteria inklusi untuk menjadi subjek penelitian. karakteristik subyek penelitian bisa dilihat pada tabel 1. subjek penelitian sebanyak 95 pasien dengan sebaran 47 (49,47%) laki-laki dan 48 (50,53%) perempuan. rerata usia subjek penelitian adalah 62,66 tahun (sd 13,67). sebanyak 53 pasien (55,79%) berusia di atas 60 tahun. rerata tekanan darah saat masuk rumah sakit 185±26,5/102,7±16,03 dengan 51,58% terdiagnosis krisis hipertensi menurut kriteria jnc viii. penyakit komorbid terbanyak yang diderita adalah dm tipe ii (17,89%). proporsi jaminan kesehatan yang digunakan antara pasien umum, badan penyelenggara jaminan sosial (bpjs) kelas 1 atau 2, dan bpjs kelas 3 tidak jauh berbeda (27,37% vs 369% vs 38,94%). distribusi jenis obat hipertensi pada pasien dengan hipertensi rawat inap rs dr soedirman kebumen dapa dilihat pada tabel 2. hasil penelitian ini menunjukkan golongan calsium channel blocker (ccb) merupakan obat yang | 9 tabel 1. karakteristik subyek penelitian karakteristik frekuensi persentase jenis kelamin laki-laki 47 49,47% perempuan 48 50,53% usia 62.66±13.67 < 60 tahun 42 44,21% ≥60 tahun 53 55,79% jaminan kesehatan umum 26 27,37% bpjs kelas 1 dan 2 32 33,69% bpjs kelas 3 37 38,94% tekanan darah saat masuk (mmhg) 185±26,5/102,7±16,03 hipertensi stadium i 12 12,63% hipertensi stadium ii 34 35,79% krisis hipertensi 49 51,58% penyakit komorbid dm tipe ii 17 17,89% gagal ginjal akut 8 8,42% gagal ginjal kronik 3 3,16% dislipidemia 6 6,32% stroke 12 12,63% gagal jantung 2 2,11% tirotoksikosis 1 1,05% penyakit jantung koroner 1 1,05% gangguan irama jantung 2 2,11% paling sering digunakan (70,53%), baik diberikan secara tunggal maupun kombinasi. angiotensin receptor blocker (arb) menduduki tempat kedua setelah ccb (57,89%). kelas obat lain yang digunakan adalah angiotensin converting enzym (ace) inhibitor (acei), alpha agonis (aa), beta blocker (bb) dan diuretik (tabel 2). berdasarkan distribusi jenis obat antihipertensi berdasar penyakit komorbid pada tabel 3. ditemukan beberapa penyakit komorbid yang menyertai hipertensi. angiotensin receptor blocker adalah obat yang paling banyak diberikan pada pasien hipertensi dengan penyakit komorbid kecuali dengan tirotoksi kosis baik diberikan secara tunggal ataupunkombi tabel 2. distribusi jenis obat hipertensi pada pasien dengan hipertensi rawat inap rs dr soedirman kebumen kelas obat persentase* ace inhibitor 10,51 angiotensin receptor blocker (arb) 57,89 calcium channel blocker (ccb) 70,53 alpha agonis (aa) 1,05 beta blocker (bb) 4,2 diuretik 7,27 *jumlah dibagi dengan total subjek penelitian tabel 3. distribusi jenis obat antihipertensi berdasar penyakit komorbid komorbid persentase* diabetes melitus (n=17) arb 35,29 ccb 35,29 arb+ccb 17,65 acei+ccb 5,88 arb+ccb+aa 5,88 gagal ginjal akut (n=8) arb 25 acei 12,5 arb+ccb 62,5 gagal ginjal kronik (n=3) arb 33,33 arb+ccb 66,67 dislipidemia (n=6) arb 16,67 ccb 16,67 arb+ccb 50 arb+ccb+acei 16,67 stroke (n=12) arb 8,33 ccb 33,33 arb+ccb 41,67 arb+diuretik 8,33 arb+ccb+diurerik 8,33 tirotoksikosis (n=1) bb 100 gagal jantung (n=2) arb+bb+diuretik 50 arb+ccb+acei 50 penyakit jantung koroner (n=1) arb 100 gangguan irama jantung (n=2) arb 50 arb+ccb 50 *jumlah dibagi total sampel yang memiliki penyakit komorbid tertentu nasi dengan antihipertensi lain. penelitian ini menunjukkan pasien dengan komorbid dm terbanyak diterapi dengan arb atau ccb (keduanya memiliki frekuensi 35,29%), sedangkan pada pasien gagal ginjal kronik diterapi dengan kombinasi arb+ccb (66,67%). berdasarkan distribusi jenis obat antihipertensi berdasar derajat hipertensi menunjukkan bahwa pasien dengan hipertensi stadium i, terapi farmakologis didominasi arb dan ccb yang diberikan sebagai terapi tunggal (masing-masing sebesar 41,67%). hipertensi stadium ii sebagian besar diberikan ccb sebagai obat tunggal (44,12%), sedangkan pada krisis hipertensi sebanyak 48,98% diterapi dengan kombinasi arb+ccb. rerata lama rawat inap pada pasien hipertensi 10 | 10 | vol 19 no 1 januari 2019 tabel 4. distribusi jenis obat antihipertensi berdasarkan derajat hipertensi derajat hipertensi persentase* hipertensi stadium i (n=12) arb 41,67 ccb 41,67 acei 8,33 arb+ccb 16,67 hipertensi stadium ii (n=34) arb 5,88 acei 2,94 ccb 44,12 bb 5,88 arb+ccb 29,41 arb+diuretik 2,94 krisis hipertensi (n=49) arb 6,12 ccb 14,28 acei 6,12 arb+ccb 48,98 arb+diuretik 2,04 acei+diuretik 2,04 acei+ccb 6,12 arb+ccb+diuretik 2,04 arb+ccb+bb 2,04 arb+ccb+aa 2,04 arb+ 2 diuretik 2,04 acei+ccb+bb 2,04 *jumlah dibagi total sampel pada stadium hipertensi tertentu di rs dr soedirman kebumen adalah 3,5 ± 1,7 hari. rerata tekanan darah saat pulang dari rumah sakit 150,06±23,73/86,03±14,22 (tabel 5.). menurut rekomendasi dari jnc viii (2014),13 target pencapaian terapi hipertensi pada populasi umum adalah <140/90 mmhg. pada penelitian ini idapatkan 30,53% pasien memenuhi target tekanan darah saat pulang. beberapa kelompok khusus yang menjadi perhatian khusus sesuai rekomendasi dari jnc viii adalah pasien hipertensi berumur ≥ 60 tahun, pasien hipertensi dengan komorbid dm dan gagal ginjal kronik (ggk). rumah sakit dr soedirman kebumen terdapat sebanyak 43,40% pasien berusia ≥ 60 tahun dapat memenuhi target tekanan darah saat pulang, sedangkan pasien dengan komorbid dm dan gagal ginjal kronik yang dapat memenuhi kriteria tekanan darah saat pulang lebih kecil yaitu hanya 25,53% dan 33,33% berturut-turut untuk pasien dengan komorbid dm dan ggk. diskusi karakteristik sosiodemografi pada penelitian ini didapatkan tidak jauh berbeda antara beberapa kelompok. pada penelitian ini didapatkan penderita hipertensi lebih banyak pada perempuan dibandingkan laki-laki (50,53%). rerata usia subjek penelitian adalah 62.66 tahun (sd 13,67). hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan sedayu (2015),14 di padang panjang, sumatera barat. rata-rata umur penderita hipertensi adalah 62.06 tahun, jenis kelamin perempuan 61,2%.14 penyakit komorbid tersering pada penelitian ini adalah dm tipe ii sebanyak 17,89%. penelitian lain yang dilakukan oleh banegas et al. (2004),12 juga menunjukkan jumlah pasien hipertensi rawat inap dengan dm sejumlah 20,6%. hasil penelitian ini menunjukkan golongan ccb merupakan obat yang paling sering digunakan, baik diberikan secara tunggal maupun kombinasi (70,53%). arb menduduki tempat kedua setelah ccb dengan 57,89%. hal ini sesuai dengan panduan tatalaksana hipertensi dari jnc viii, pilihan antihipertensi pada pasien non kulit hitam baik dengan dm atau tidak meliputi diuretik thiazid, ccb, acei, atau arb.9 penelitian lain yang dilakukan oleh yen et al. (2012),15 memperlihatkan bahwa ccb adalah obat yang paling banyak digunakan pada tabel 5. luaran tekanan darah pada beberapa kelompok kelompok n pencapaian target sistole dan diastole (%) pencapaian target sistole (%) pencapaian target diastole (%) total populasi 95 (rerata 150,06±23,73/ 86,03±14,22) < 140/90 mmhg 30,53 32,63 60 umur < 60 tahun < 140/90 mmhg 42 26,92 38,09 53,66 ≥ 60 tahun < 150/90 mmhg 53 43,40 45,28 81,39 diabetes melitus 17 < 140/90 mmhg 25,53 25,53 70,59 gagal ginjal kronik 3 <140/90 mmhg 33,33 33,33 66,67 | 11 10 | vol 19 no 1 januari 2019 tabel 4. distribusi jenis obat antihipertensi berdasarkan derajat hipertensi derajat hipertensi persentase* hipertensi stadium i (n=12) arb 41,67 ccb 41,67 acei 8,33 arb+ccb 16,67 hipertensi stadium ii (n=34) arb 5,88 acei 2,94 ccb 44,12 bb 5,88 arb+ccb 29,41 arb+diuretik 2,94 krisis hipertensi (n=49) arb 6,12 ccb 14,28 acei 6,12 arb+ccb 48,98 arb+diuretik 2,04 acei+diuretik 2,04 acei+ccb 6,12 arb+ccb+diuretik 2,04 arb+ccb+bb 2,04 arb+ccb+aa 2,04 arb+ 2 diuretik 2,04 acei+ccb+bb 2,04 *jumlah dibagi total sampel pada stadium hipertensi tertentu di rs dr soedirman kebumen adalah 3,5 ± 1,7 hari. rerata tekanan darah saat pulang dari rumah sakit 150,06±23,73/86,03±14,22 (tabel 5.). menurut rekomendasi dari jnc viii (2014),13 target pencapaian terapi hipertensi pada populasi umum adalah <140/90 mmhg. pada penelitian ini idapatkan 30,53% pasien memenuhi target tekanan darah saat pulang. beberapa kelompok khusus yang menjadi perhatian khusus sesuai rekomendasi dari jnc viii adalah pasien hipertensi berumur ≥ 60 tahun, pasien hipertensi dengan komorbid dm dan gagal ginjal kronik (ggk). rumah sakit dr soedirman kebumen terdapat sebanyak 43,40% pasien berusia ≥ 60 tahun dapat memenuhi target tekanan darah saat pulang, sedangkan pasien dengan komorbid dm dan gagal ginjal kronik yang dapat memenuhi kriteria tekanan darah saat pulang lebih kecil yaitu hanya 25,53% dan 33,33% berturut-turut untuk pasien dengan komorbid dm dan ggk. diskusi karakteristik sosiodemografi pada penelitian ini didapatkan tidak jauh berbeda antara beberapa kelompok. pada penelitian ini didapatkan penderita hipertensi lebih banyak pada perempuan dibandingkan laki-laki (50,53%). rerata usia subjek penelitian adalah 62.66 tahun (sd 13,67). hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan sedayu (2015),14 di padang panjang, sumatera barat. rata-rata umur penderita hipertensi adalah 62.06 tahun, jenis kelamin perempuan 61,2%.14 penyakit komorbid tersering pada penelitian ini adalah dm tipe ii sebanyak 17,89%. penelitian lain yang dilakukan oleh banegas et al. (2004),12 juga menunjukkan jumlah pasien hipertensi rawat inap dengan dm sejumlah 20,6%. hasil penelitian ini menunjukkan golongan ccb merupakan obat yang paling sering digunakan, baik diberikan secara tunggal maupun kombinasi (70,53%). arb menduduki tempat kedua setelah ccb dengan 57,89%. hal ini sesuai dengan panduan tatalaksana hipertensi dari jnc viii, pilihan antihipertensi pada pasien non kulit hitam baik dengan dm atau tidak meliputi diuretik thiazid, ccb, acei, atau arb.9 penelitian lain yang dilakukan oleh yen et al. (2012),15 memperlihatkan bahwa ccb adalah obat yang paling banyak digunakan pada tabel 5. luaran tekanan darah pada beberapa kelompok kelompok n pencapaian target sistole dan diastole (%) pencapaian target sistole (%) pencapaian target diastole (%) total populasi 95 (rerata 150,06±23,73/ 86,03±14,22) < 140/90 mmhg 30,53 32,63 60 umur < 60 tahun < 140/90 mmhg 42 26,92 38,09 53,66 ≥ 60 tahun < 150/90 mmhg 53 43,40 45,28 81,39 diabetes melitus 17 < 140/90 mmhg 25,53 25,53 70,59 gagal ginjal kronik 3 <140/90 mmhg 33,33 33,33 66,67 | 11 pasien hipertensi rawat inap tanpa komplikasi57,41%. penelitian yang dilakukan jainaf nachina et al. (2015),16 di india menunjukkan ace inhibitor adalah obat tersering yang diresepkan (45,21%). panduan terapi hipertensi dari jnc viii memfokuskan pada dua penyakit komorbid yaitu dm dan gagal ginjal kronik.9 menurut panduan dari jnc viii, pasien dm dianjurkan menggunakan diuretik tipe thiazid atau ccb,9 sedangkan pasien gagal ginjal kronik dianjurkan dengan acei atau arb.9 sejalan dengan penelitian ini menunjukkan bahwa pasien dengan komorbid dm terbanyak diterapi dengan arb atau ccb (keduanya memiliki frekuensi (35,29%). pada pasien gagal ginjal kronik diterapi dengan kombinasi arb+ccb (66,67%). panduan jnc viii memberikan rekomendasi bahwa pada populasi umum dengan umur sama dengan atau lebih dari 60 tahun, terapi antihipertensi diberikan saat tekanan darah ≥ 150/90 mmhg, sedangkan pada pasien dengan umur kurang dari 60 tahun, terapi farmakologi dimulai saat tekanan darah ≥ 140/90 mmhg. panduan sebelumnya dari jnc viii membagi hipertensi menjadi prehipertensi, hipertensi stadium i, hipertensi stadium ii dan krisis hipertensi.7,9 hipertensi stadium i diterapi dengan satu jenis obat.7 thiazid sebagai pilihan pertama namun dapat dipertimbangkan acei, arb, bb, atau ccb.7 pada penelitian ini, thiazid jarang diberikan, pasien dengan hipertensi stadium i didominasi arb dan ccb yang diberikan sebagai terapi tunggal (keduanya sebesar 41,67%). hipertensi stadium ii disaranan kombinasi dua obat berupa thiazid dengan acei atau arb atau bb atau ccb,7 sedangkan hasil penelitian menunjukkan ketidaksesuaian karena hipertensi stadium ii sebagian besar diberikan ccb sebagai obat tunggal (44,12%). pada krisis hipertensi di rsud dr soedirman sebanyak 48,98% diterapi dengan kombinasi arb + ccb. padahal krisis hipertensi memerlukan penanganan yang cepat.7 obatan parenteral lebih dianjurkan.11 hidralazin dan labetolol adalah obat-obatan parenteral yang sering digunakan untuk penanganan krisis hipertensi.11 ketidaksesuaian ini mungkin dikarenakan ketersediaan obat tersebut terbatas. menurut rekomendasi dari jnc viii (2014),13 target pencapaian terapi hipertensi pada populasi umum adalah <140/90 mmhg. pada penelitian ini didapatkan 30,53% pasien sudah memenuhi target tekanan darah saat pulang. kelompok khusus yang menjadi perhatian dari jnc viii adalah pasien berumur ≥ 60 tahun, komorbid dm dan gagal ginjal kronik. sebanyak 43,40% pasien dengan usia ≥ 60 tahun dapat memenuhi target tekanan darah saat pulang. hasil yang lebih rendah pada pasien dengan komorbid dm dan gagal ginjal kronik (25,53% dan 33,33%). hasil peneltian ini tampak lebih baik untuk pasien dengan komorbid (17,4% vs 25,3 dan 33,33%) tetapi kurang baik pada pasien tanpa komorbid (43,3% vs 46,4%) jika dibandingkan dengan who.12 hal ini mungkin dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, ras, jaminan kesehatan, pemberi pelayanan kesehatan dan penyakit komorbid.17 kondisi sosiodemografi dan pemberi pelayanan kesehatan adalah faktor yang paling mempengaruhi,17 keterbatasan penelitian ini adalah jenis data yang dipakai menggunakan data sekunder rekam medis. data dari rekam medis terkadang tidak lengkap. masalah ini menyebabkan data yang diambil kurang akurat. simpulan pola tatalaksana hipertensi di rs dr soedirman kebumen belum sesuai dengan jnc viii yaitu pada pemilihan jenis dan jumlah obat berdasar stadium hipertensi. tingkat keberhasilan terapi pada kelompok dengan komorbid sudah baik dibandingkan capaian who tetapi sebaliknya pada kelompok tanpa komorbid. diperlukan penelitian lebih lanjut tentang faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas obat antihipertensi pada pasien rawat inap. daftar pustaka 1. who. global status report on noncommunicable diseases 2010. geneva: who. 2011. 2. who. a global brief on hypertension: silent killer, global public health crisis. geneva: who. 2013. 3. riskesdas. riset kesehatan dasar 2013. jakarta: kementrian kesehatan ri. 2013. 4. setiawan z. prevalensi dan determinan hipertensi di pulau jawa tahun 2004. jurnal kesehatan masyarakat nasional, 2006; 1 (2): 57-62. 5. carretero oa, oparil s. essential hypertension. circulation, 2000; 101 (3): 329-335. 6. cheung bmy, cheung tt. challenges in the management of hypertension in asia. eur heart j suppl, 2012; 14 (supplement a): a37–a38. 7. yogiantoro m. hipertensi esensial, dalam buku ajar ilmu penyakit dalam. jakarta: pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam fk ui. 2006. 8. lisheng l, ji guang w, lansheng g, guozhang l, jan as. comparison of active treatment and placebo in older chinese patients with isolated systolic hypertension. j hypertens, 1998; 16 (12): 1823–1829. 12 | 12 | vol 19 no 1 januari 2019 9. james pa, oparil s, carter bl, cushman wc, dennison-himmelfarb d, handler j, et al. 2014 evidence-based guideline for the management of high blood pressure in adults report from the panel members appointed to the eighth joint national committee (jnc 8). jama, 2014; 311 (5): 507-520. 10. murinson m, roth b, grosman e, dicker d, elis a. blood pressure control during hospitalization at the department of medicine. arch clin hypertens, 2015; 1 (1): 001-004. 11. ervin se. hospital management of hypertension: essential and secondary hypertension. hospital medical practice. 2014; 2 (12): 1-14. 12. banegas jr, segura j, ruilope lm, luque m, garcía-robles r, campo c, et al. blood pressure control and physician management of hypertension in hospital hypertension units in spain. hypertension, 2004; 43 (6): 1338-1344. 13. jnc -8. the eight report of the joint national committee. hypertension guidelines: an indepth guide. am j manag care, 2014; 20 (1 spec no.): e8. 14. sedayu b, azmi s, rahmatini. karakteristik pasien hipertensi di bangsal rawat inap smf penyakit dalam rsup dr. m. djamil padang tahun 2013. jurnal kesehatan andalas, 2015; 4 (1): 65-69. 15. chen y, hu s, shen g, wu l, xu w, wang l, et al. antihypertensive treatment among inpatients with hypertension at anhui provincial hospital in china: a cross-sectional study. lat am j pharm, 2012; 31 (2): 298-304. 16. nachiya ram, parimkrisnan s, ramakrishna rao m. study of drug utilization pattern of antihypertensive medications on out-patients and inpatiens in a tertiary care teaching hospital: a cross sectional study. african j pharm pharmacol, 2015; 9 (11): 383-396. 17. potchoo y, goe-akue e, damorou f, massoka b, redah d, guissou ip. effect of antihypertensive drug therapy on the blood pressure control among hypertensive patients attending campus’ teaching hospital of lome, togo, west africa. pharmacology & pharmacy, 2012; 3 (1): 214-223. 1 mutiara medika vol. 12 no. 1: 1-5, januari 2012 hubungan angka neutrofil dengan mortalitas infark miokard akut the relationship between neutrophil count and acute myocardial infarction mortality mugi restiana utami1, adang muhammad gugun2* 1program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta 2bagian patologi klinik, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta *email: adang_patklin@yahoo.com abstrak infark miokard akut (ima) adalah kondisi otot jantung yang tidak mendapatkan cukup darah dan oksigen. jaringan yang mengalami infark dapat menimbulkan reaksi peradangan pada daerah perbatasan antara infark dengan jaringan hidup. neutrofil dengan cepat memasuki daerah yang mati dan mulai melakukan penghancuran. neutrofilia merupakan petanda inflamasi pada kejadian koroner akut dan mempunyai nilai prognostik. belum ada penelitian yang spesifik pada angka neutrofil sebagai prediktor mortalitas infark miokard akut. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan angka neutrofil dengan mortalitas ima. jenis penelitian analitik observasional dengan desain studi kasus kontrol dengan menggunakan rekam medis di rs pku muhammadiyah yogyakarta. subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dikelompokkan menjadi kelompok meninggal dan kelompok yang masih hidup. didapatkan 146 sampel yang dibagi menjadi 2 kelompok, 38 orang dalam kelompok yang meninggal dan 108 orang untuk kelompok yang masih hidup. hasil analisis dengan chi square menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara kelompok yang meninggal maupun yang masih hidup dengan nilai or 1,476 (95% ci 0,65-3,22; p=0,368), sehingga dapat disimpulkan bahwa angka netrofil tidak berhubungan dengan mortalitas ima. kata kunci: infark miokard akut, mortalitas, neutrofilia abstrak acute myocardial infarction (ami) is an insufficiency of oxygen and blood in myocard. infarction can induce inflammation reaction in borderline area of infarct and health tissue. neutrophil enter to infarct area immediately and destroy. neutrophilia is inflammation marker in acute coroner syndrome and have prognostic value. there is no a specific research about neutrophil as predictor of mortality of acute myocardial infarction. the objective research is to ascertain the relationship between neutrophil counts following acute myocardial infarction during hospitalization. an observational analytical research was done on ami patients were hospitalized in the pku muhammadiyah yogyakarta hospital with case control design using medical records. subject who fulfilled inclusion and exclusion criteria were divided into 2 groups, death group and live group. there were 146 samples which were divided into 2 groups, 38 patients in death group and 108 patients in live group. chi square test showed that there is no significance statistically between death group and live group with or 1,44 (95% ci 0,65-3,22; p=0,368). neutrophil count does not related with mortality of ami. key words: acute myocardial infarct, mortality, neutrophilia artikel penelitianartikel penelitian 2 mugi restiana utami, hubungan angka neutrofil dengan mortalitas ... pendahuluan infark miokard akut (ima) adalah suatu kondisi dimana otot jantung tidak mendapatkan cukup darah dan oksigen akibat aterosklerosis pembuluh darah jantung sehingga sel otot jantung mati.1 di indonesia, penyakit kardiovaskular termasuk pjk menempati urutan pertama penyebab seluruh kematian, yaitu mencapai 16% pada survei kesehatan rumah tangga (skrt) tahun 1992. survei kesehatan rumah tangga survei kesehatan nasional (skrt-suskernas) tahun 1995 mencatat peningkatan hingga 18,9%. hasil skrt-suskernas tahun 2001 malah menunjukkan angka 26,4 %.2 infark miokard merupakan proses lanjut dari iskemik miokard dimana terjadi penurunan aliran darah yang menuju miokard. iskemik miokard disebabkan aterosklerosis yang mengawali proses inflamasi kronik dinding arteri dan menyebabkan timbulnya ateroma.3 proses inflamasi menyokong terjadinya ruptur plak serta trombosis.4 selain itu, reaksi inflamasi juga terjadi pada daerah perbatasan antara infark dengan jaringan hidup. neutrofil dan makrofag dengan cepat memasuki daerah yang mati, melakukan penghancuran. sebagai hasil dari penghancuran, terbentuk jaringan parut pada daerah infark.5 oleh karena itu, adanya peningkatan neutronfil merupakan petanda inflamasi pada kejadian koroner akut dan mungkin mempunyai nilai prognostik pada ima. penelitian sebelumnya menunjukkan leukositosis dan neutrofilia relatif pada ima berhubungan dengan kejadian gagal jantung kongestif selama perawatan di rumah sakit.6,7 tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan angka neutrofil dengan mortalitas ima. bahan dan cara jenis penelitian adalah analitik observasional dan desain studi kasus kontrol mengunakan rekam medis. subjek penelitian adalah pasien ima yang dirawat di rs pku muhammadiyah yogyakarta pada periode januari 2006-juli 2009. subjek diseleksi melalui kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. kriteria inklusi terdiri dari subjek yang didiagnosis ima dan melakukan pemeriksaan angka nutrofil, sedangkan kriteria eksklusi terdiri dari subjek yang sedang menderita penyakit berat. subjek dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok kasus dan kontrol. kelompok kasus adalah pasien ima yang meninggal selama masa perawatan di rumah sakit, sedangkan kelompok kontrol adalah pasien yang bertahan hidup selama masa perawatan di rumah sakit. selanjutnya, masingmasing kelompok dikelompokkan lagi sesuai dengan angka neutrofil, yaitu menjadi kelompok neutrofilia jika angka neutrofil relatif >65% atau kelompok tidak neutrofilia jika angka neutrofil relatif <65%. variabel bebas dalam penelitian ini adalah angka neutrofil pasien ima dan variabel terikatnya adalah mortalitas pasien ima. pengolahan dan metode analisa data yang digunakan adalah uji chi square dengan tabel 2x2 antara angka neutrofil dengan mortalitas pasien ima. hasil tabel 1. karakteristik subjek berdasarkan jenis kelamin, umur dan angka neutrofil jenis kelamin n % laki-laki perempuan 95 51 65,07 34,93 umur (tahun) 30-39 40-49 50-59 >60 9 33 40 64 6,16 22,60 27,40 43,84 angka neutrofil netropenia/normal neutrofilia 51 95 34,93 65,07 mortalitas hidup meninggal 108 38 73,97 26,03 total 146 100 3 mutiara medika vol. 12 no. 1: 1-5, januari 2012 tabel 1. menjelaskan bahwa sebagian besar pasien ima berjenis kelamin laki-laki, yaitu sebanyak 95 orang (65,07%). usia yang paling banyak mengalami ima adalah usia lebih dari 60 tahun, yaitu 64 orang (43,84%). pada tabel 2. dapat dilihat pula semakin tua umur seseorang semakin tinggi prevalensi ima. selain itu, sebagian besar pasien ima mengalami neutrofilia, yaitu sebanyak 108 orang (65,07%). sebanyak 38 orang (26,03%) meninggal atau termasuk kelompok kasus dan 108 orang (73,97%) hidup atau selama menjalani perawatan di rs pku muhammadiyah yogyakarta termasuk kelompok kontrol. pada tabel 2. kelompok subjek yang paling banyak mengalami neutrofilia adalah sebanyak 65 orang (44,52%) pada kelompok laki-laki, sedangkan kelompok umur yang banyak mengalami neutrofilia adalah kelompok umur lebih dari 60 tahun, yaitu 48 orang (32,88%). tabel 3. menunjukkan bahwa subjek yang meninggal lebih banyak pada kelompok laki-laki dari pada kelompok perempuan, yaitu sebanyak 22 orang (15,07%). berdasarkan kelompok usianya, kelompok usia lebih dari 60 tahun merupakan kelompok terbanyak yang meninggal, yaitu sebanyak 21 orang (14,39%). subjek yang mengalami neutrofilia lebih banyak yang meninggal dibandingkan kelompok tidak neutrofilia, yaitu sebanyak 27 orang (18,50%). tabel 4. menunjukkan bahwa angka neutrofil responden rata-rata sebesar 68,88% dengan nilai mínimum 7,43% dan maksimum 92,70%. angka 68,88% berada diatas batas normal, yaitu 65%. pada tabel 5. nilai signifikansi menunjukkan angka 0,368 dan didapatkan nilai odd ratio sebesar 1,44 (95% ci 0,65-3,22). oleh karena p> 0,05, maka ho diterima yang berarti tidak ada hubungan antara neutrofilia dengan mortalitas pada pasien ima yang dirawat di rs pku muhammadiyah yogyakarta selama periode januari 2006 juli 2009. diskusi penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik pasien yang mengalami ima terbanyak berjenis ketabel 3. tab ulasi data r espo nden kasus-k ontr ol berdasarkan jenis kelamin, umur dan angka neutrofil jenis kelamin meninggal hidup total n % n % n % laki-laki 22 15,07 73 50,00 95 65,07 perempuan 16 10,96 35 23,97 51 34,93 umur (tahun) 30-39 2 1,37 7 4,79 9 6,16 40-49 7 4,79 26 17,81 33 22,60 50-59 8 5,48 32 21,92 40 27,40 >60 21 14,39 43 29,45 64 43,84 angka neutrofil tidak neutrofilia 11 7,53 40 27,40 51 34,93 neutrofilia 27 18,50 68 46,57 95 65,07 total 38 26,03 98 73,97 146 100 tabel 4. hasil rerata angka neutrofil angka neutrofil min (%) max (%) x (%) 7.43 92,70 68,88 tabel 5. hasil uji chi square angka neutrofil dengan mortalitas ima angka neutrophil status total x2 df p mati hidup neutrofilia 27 68 95 0,809 1 0,368 tidak netrofilia 11 40 51 total 38 108 146 tabel 2. tabulasi data angka neutrofil subjek berdasarkan jenis kelamin dan umur jenis kelamin neutrofilia tidak neutrofilia total n % n % n % laki-laki perempuan 65 30 44,52 20,54 30 21 20,55 14,38 95 51 65,07 34,93 umur (tahun) 30-39 40-49 50-59 >60 5 19 23 48 3,42 13,01 15,75 32,88 4 14 17 16 2,74 9,59 11,64 10,96 9 33 40 64 6,16 22,60 27,40 43,84 total 95 65,07 51 34,93 146 100 4 mugi restiana utami, hubungan angka neutrofil dengan mortalitas ... lamin laki-laki (65,07%) dan terdapat pada rentang umur lebih dari 60 tahun (43,83%). hal ini sesuai dengan data tentang prevalensi ima di yogyakarta, sekitar 75,61% dari seluruh penderita ima adalah laki-laki dan sekitar 43,90% ima terjadi pada kelompok rentang umur lebih dari 60 tahun.8 sebagian besar dari sampel mengalami neutrofilia, baik pada kelompok kasus maupun kelompok kontrol. selain itu, pasien yang mengalami neutrofilia memiliki angka mortalitas yang tinggi. dalam sebuah penelitian prospektif bahwa neutrofilia relatif yang terjadi pada saat pasien masuk ke rumah sakit dengan gejala ima berguna sebagai indikator awal bagi pasien yang beresiko tinggi menderita chf.9 neutrofil merupakan salah satu dari sistem imun non spesifik tubuh.10 neutrofilia pada ima terjadi karena infiltrasi netrofil pada area iskemik miokardium setelah teraktivasi, neutrofil dapat berubah bentuk dan menempel pada endotel.10 neutrofil bermigrasi ke jaringan miokardium dan difasilitasi oleh molekul adhesi yang terdapat pada sel. neutrofil menyebabkan sumbatan pembuluh darah dan melepaskan enzim degradasi dan reactive oxygen species (ros).11 neutropenia dapat terjadi akibat gagalnya menurunkan disfungsi mekanikal, untuk mengurangi aritmia, atau untuk mencegah abnormalitas pembuluh darah setelah terjadi oklusi. selain itu juga dapat berkaitan dengan penggunaan obat antihipertensi yang diberikan pada pasien ima efek neutrofilia dalam meningkatkan mortalitas ima dapat menurun akibat penggunaan ace inhibitor karena memiliki senyawa anti oksidan. namun dalam sebuah penelitian, kejadian gagal jantung terkait dengan neutrofilia sama pada pasien ima yang menggunakan ace inhibitor dan yang tidak menggunakan ace inhibitor.9 kondisi hiperglikemia dapat menurunkan aktivitas neutrofil sehingga dapat meningkatkan kejadian infeksi pada pasien diabetes mellitus. peningkatan glukosa dalam plasma dapat menghambat degranulasi neutrofil sebaik pada opsonisasi.12 meningkatnya mortalitas ima yang meninggal pada kelompok usia yang semakin tua mungkin akibat beberapa faktor yang berhubungan dengan perubahan fisiologis fungsi jantung terkait dengan perubahan usia dalam memberikan respon pada inflamasi miokardium.9 secara deskriptif, proporsi sampel yang meninggal terbesar adalah pada kelompok sampel yang mengalami neutrofilia (18,50%). namun secara statistik menunjukkan nilai yang tidak signifikan, p=0,409>0,05 artinya angka neutrofil tidak berhubungan dengan mortalitas pada kasus ima yang dirawat di rumah sakit pku muhammadiyah yogyakarta periode januari 2006-juli 2009. hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menunjukan bahwa leukositosis hanya memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian gagal jantung daripada kejadian cardiac event lainnya (kematian, aritmia ventrikular, dan syok kardiogenik) (p= 0,001).7 oleh karena itu, angka neutrofil tidak bisa dijadikan sebagai prediktor mortalitas pada ima karena neutrofil hanya menggambarkan respon imun secara umum atau non spesifik. banyak faktor yang mempengaruhi sistem imun nonspesifik seseorang, seperti spesies, keturunan, umur, hormon, suhu, faktor nutrisi, flora normal bakteri, dan stres.10 5 mutiara medika vol. 12 no. 1: 1-5, januari 2012 simpulan tidak ada hubungan yang bermakna antara angka neutrofil dengan mortalitas pada pasien infark miokard akut di rs pku muhammadiyah yogyakarta yang dirawat selama periode januari 2006-juli 2009. daftar pustaka 1. fenton, d.e. 2008. myocardial infarction. diakses pada tanggal 3 april 2009 dari http:// emedicine.medscape.com/article/759321overview 2. yahya, a.f. 2009. terapi penyakit jantung koroner diakses pada tanggal 3 april 2009, dari http://huxleyi.wordpress.com/2009/02/02/ terapi-penyakit-jantung-koroner/ 3. brown, c.t. 2005. penyakit aterosklerotik koroner. dalam h. hartanto, n. susi, p. wulansari, & d.a. mahanani (ed.). patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. jakarta:egc (original work published 2002) 4. van der wal, a.c., becker, a.e., van der loos, c.m., das, p.k. 1994. site of intimal rupture or erosion of thrombosed coronary atherosclerotic plaques in characterized by an inflammatory process irrespectiv e of the dominant plaque morphology. circulation, 89 (1): 36–44 5. wilson, l. m. 2005. penyakit aterosklerotik koroner. dalam h. hartanto, n. susi, p. wulansari, & d.a. mahanani (ed.). patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. jakarta:egc (original work published 2002) 6. kyne, l., hausdorff, j.m., kninght, e., dukas, l., azhar, g., wei, j.y. 2000. neutrophilia and congestive heart failure after acute myocardial infarction. am heart j. 139 (1 pt 1): 94100. 7. setianto, b.y., rochmah, w., nurohman, a. 2003. hubungan angka leukosit pada infark miokard akut dengan kejadian cardiac event selama dirawat di rumah sakit. berkala ilmu kedokteran, 35 (1): 31-37. 8. widowati, i.,k. 2005, april. evaluasi terapi obat pada penanganan pasien infark miokard akut di instalasi rawat inap rsud kota yogyakarta tahun 2005. repository archive center uii. diakses pada 2 april 2009 dari http://rac.uii. ac.id/index.php/ record/view/77516 9. baratawidjaja, k. g. 2004. imunologi dasar. jakarta: balai penerbit fakultas kedokteran universitas indonesia. 10. wei, j.y. 2000. neutrophilia and congestive heart failure after acute mi: discussion. diakses pada tangggal 10 november 2009 dari http://www.m edscape. com/v iewarticle / 409073_4 11. yellon, d.m., hausenloy, d.j. 2007. mechanisms of disease myocardial reperfusion injury. new engl j med, 357 (11): 1121-1135. 12. nader, n. d., sparlin, j. a. 2008. neutrophilia. diakses pada tanggal 5 april 2009 dari http:// emedicine.medscape. com/article/208576overview 150 shabrina & inayati, perbandingan kualitas es batu di warung makan ... perbandingan kualitas es batu di warung makan dengan restoran di diy dengan indikator jumlah bakteri coliform dan escherichia coli terlarut the comparison of quality ice cube at roadside food stalls and restaurant in diy by indicator number of melted coliform and escherichia coli bacteria shabrina ari rahmaniar1, inayati habib2* 1program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta 2bagian mikrobiologi, fakultas kedokteran dan iilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta *email: inaythabib@yahoo.co.id abstrak es merupakan bahan pendingin minuman yang dijual di berbagai tempat warung makan dan restoran, tetapi es yang dikonsumsi tersebut dapat terkontaminasi oleh mikroorganisme patogen seperti coliform dan escherichia coli yang dapat menimbulkan penyakit. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan es batu warung makan dan restoran yang dikonsumsi oleh masyarakat di sekitar lingkungan universitas muhammadiyah yogyakarta dan masyarakat daerah istimewa yogyakarta. penelitian ini merupakan eksperimental laboratorik. jenis penelitian ini adalah survey menggunakan desain cross sectional. pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling sebanyak 20 sampel, terdiri dari 10 sampel es batu warung makan sekitar universitas muhammadiyah yogyakarta dan 10 sampel es batu restoran di daerah istimewa yogyakarta. setiap sampel diperiksa nilai most probable number (mpn) melalui penanaman pada media lactose broth, bglb, mac. conkay, dan pengamatan mikroskopik. data dianalisis menggunakan mann-whitney test. hasil secara deskriptif, es batu di warung makan memiliki jumlah coliform dan escherichia coli lebih tinggi dibandingkan di restoran. total coliform di warung makan dan restoran sebanyak 32.718 /100ml, jumlah coliform di warung makan sebanyak 17.775 /100 ml (54,3 %) dan di restoran sebanyak 14.943 /100ml (45,7%). total escherichia coli di warung makan dan restoran sebanyak 30.150 /100ml, jumlah escherichia coli di warung makan sebanyak 16.439 /100ml (54,5 %) dan di restoran sebanyak 13.711 /100ml (45,5%). hasil secara statistik tidak terdapat perbedaan yang bermakna dengan tingkat signifikansi 0,504 (coliform) dan 0,596 (escherichia coli). kata kunci: kualitas es batu, coliform, escherichia coli, metode most probable number (mpn) abstract ice is material of cold drink which sold in some places of roadside food stalls and restaurant, but it can be contaminated by pathogen microorganism such as coliform and escherichia coli which can be disease. this research has purpose to know the legality of ice cube at roadside food stalls and food restaurant which consumed by community at muhammadiyah university yogyakarta environment and community in daerah istimewa yogyakarta. this research is experiment. the design of research is survey by cross sectional design. the collection of sampel is 20 total sampel consist of 10 sampels of ice cube at roadside food stalls around muhammadiyah university yogyakarta and 10 sampels of ice cube at restaurant daerah istimewa yogyakarta by purposive sampling. mpn is checked in every sampel by growth of lactosa broth media, bglb, mac.conkay and microscopic observation. the data analyze by mann-whitney test. the result of descriptive research shows that ice cube in roadside food stalls has number of coliform and escherichia coli is higher than in restaurant. total of coliform in roadside foods stalls and restaurant are 32.718 /100 ml, total of coliform in roadside food stalls are 17.775 /100ml artikel penelitian 151 mutiara medika vol. 11 no. 3: 150-158, september 2011 (54,3 %) and from restaurant are 14.943 /100 ml (45,7%). total of escherichia coli in roadside foods stalls and restaurant are 30.150 /100 ml, total of escherichia coli in roadside food stalls are 16.439 / 100ml (54,5 %) and from restaurant are 13.711 /100 ml (45,5%). the statistic result don’t have difference significant by level 0,504 for coliform and 0,596 for escherichia coli. key words: quality of ice cube, coliform, escherichia coli, most probable number (mpn) method nyakit keracunan pangan (foodborne disease) pada orang yang mengkonsumsinya.4 coliform telah lama dikenal sebagai indikator sanitasi yang sesuai untuk air, terutama karena mudah dideteksi dan terdapat dalam jumlah yang dapat terhitung, biasanya terdapat pada air yang terpolusi fekal dan sering dihubungkan dengan outbreaks penyakit walaupun umumnya tidak bersifat pathogen.5 escherichia coli adalah bakteri yang hidup di dalam usus manusia. keberadaannya di luar tubuh manusia menjadi indikator sanitasi makanan dan minuman, apakah pernah tercemar oleh kotoran manusia atau tidak.6 escherichia coli terdapat dalam jumlah besar di feses manusia, dan hewan, dan umumnya tidak menyebabkan bahaya. tapi, di bagian lain tubuh escherichia coli dapat menyebabkan penyakit serius, diantaranya infeksi saluran kemih, bacteraemia, dan meningitis. selain  itu keberadaan escherichia coli dapat menjadi indikasi keberadaan patogen enteric yaitu bakteri penyebab infeksi saluran pencernaan.5 escherichia coli juga diketahui sebagai salah satu penyebab utama diare akut yang sering terjadi pada pendatang baru di negara-negara asing tertentu (travelers diarrhea).7 oleh karena itu dilakukan penelitian untuk mengetahui kelayakan es batu warung makan dan restoran yang dikonsumsi oleh masyarakat di sekitar lingkungan universitas muhammadiyah yogyakarta dan masyarakat daerah istimewa yogyakarta. pendahuluan es yang berasal dari air yang dibekukan merupakan bahan pendingin yang biasa dicampurkan pada minuman, biasanya untuk memberikan rasa segar. es biasanya ditemukan di setiap tempat yang menjual minuman dan makanan, dari restoran ternama hingga warung pinggir jalan.1 es yang dikonsumsi manusia atau es sebagai alat untuk mendinginkan makanan dapat terkontaminasi dengan mikroorganisme pathogen dan dapat menjadi wahana untuk infeksi manusia.2 syarat mutu es batu di indonesia diatur dalam standar nasional indonesia (sni) 01-3839-1995, mutu dari es batu tersebut harus memenuhi syaratsyarat air minum sesuai permenkes ri no. 416/ men.kesehatan/per/ix/1990 yaitu tidak boleh terdapat bakteri indikator sanitasi (coliform/escherichia coli) pada es batu tersebut, yang berarti 0 sel coliform per 100 ml. menurut peraturan kepala badan pengawas obat dan makanan (pom) nomor 037267/b/sk/vii/89 bahwa batas maksimum pencemaran dari es batu yaitu mempunyai angka lempeng total bakteri/alt (30°c, 72 jam) 1 x 104 koloni/g dan mempunyai angka partisipasi murni/ apm koliform <3/g.3 keberadaan bakteri indikator sanitasi pada es batu mengindikasikan rendahnya sanitasi dan juga dapat menjadi indikasi adanya bakteri patogen terutama bakteri patogen yang berasal dari fekal yang dapat berbahaya karena dapat menyebabkan pe152 shabrina & inayati, perbandingan kualitas es batu di warung makan ... bahan dan cara penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorik. jenis penelitian ini adalah survey menggunakan desain cross sectional untuk menguji kualitas es batu di warung makan lingkungan universitas muhammadiyah yogyakarta dan di restoran daerah istemewa yogyakarta dengan indikator jumlah bakteri coliform dan escherichia coli terlarut. cara pengambilan sampel dan besar sampel ditentukan dengan cara purposive sampling yaitu proses penarikan sampel secara acak yang didasarkan pada petimbangan dan karakteristik tertentu sebanyak 20 sampel total, 10 sampel dari es batu di warung makan lingkungan universitas muhammadiyah yogyakarta dan 10 sampel dari restoran daerah istimewa yogyakarta. penelitian dilakukan di laboraturium mikrobiologi fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta selama 5 hari pada bulan agustus 2010. sebagai kriteria inklusi adalah es batu dari restoran di daerah istemewa yogyakarta dan warung makan lingkungan universitas muhammadiyah yogyakarta. adapun es batu yang dijual diluar batas area yang terdapat di kriteria inklusi dikeluarkan dari sampel penelitian. variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah es batu warung makan dan es batu restoran sedangkan variabel tergantung adalah jumlah koloni bakteri. sebagai variabel penganggu adalah kontaminasi dari bakteri lain, hal tersebut akan dikendalikan semaksimal mungkin misalnya dengan menjaga kesterilan dari alat dan bahan yang akan digunakan dalam penelitian. pada penelitian ini dilakukan uji kualitas es batu dengan rangkaian tahap penelitian laboratorium yang meliputi uji penduga (presumtive test), tes penguat (confirmed test), pembiakan escherichia coli pada media mac. conkay, pemeriksaan mikroskopik escherichia coli di bawah mikroskop, penghitungan jumlah bakteri coliform dan escherichia coli dengan metode mpn (most probable number). pelaksanaan diawali dengan pengambilan sampel es batu dari warung dan sampel es batu dari restoran, masing-masing sampel 10 buah dan mempersiapkan alat-alat dan bahan-bahan yang steril. penentuan kualitas coliform dengan uji penduga tahap satu (presumtive test) dilakukan dengan 9 tabung (seri 3-3-3). medium yang digunakan adalah kaldu laktosa masing-masing tabung berisi 9 ml kaldu laktosa (lactose broth) dilengkapi dengan tabung durcham dalam posisi terbalik. untuk pengujian yang menggunakan 9 tabung, pada 3 seri tabung pertama diisi 10 ml sampel air, 3 seri tabung kedua diisi dengan 1 ml sampel air, dan 3 seri tabung ketiga diisi dengan 0,1 ml sampel air. semua tabung reaksi kemudian diinkubasi pada inkubator pada suhu 37°c. setelah masa inkubasi 1-2 x 24 jam diamati terbentuknya gas (gelembung udara pada tabung durcham) dan asam (media menjadi keruh). tahap 2 uji penguat (confirmed test) atau uji penentuan kualitas coliform fecal/ escherichia coli, hasil uji dugaan dilakukan dengan uji penguat. pada tabung yang positif terbentuk asam dan gas pada masa inkubasi 1x24 jam, suspensi ditanamkan pada media brilliant green lactose secara aseptik dengan menggunakan pipet steril masing-masing sebanyak 1 ml ke dalam tabung yang positif. menginkubasikan tabung kultur yang sudah diperlakukan pada suhu 44°c selama 18-24 jam. diamati adanya 153 mutiara medika vol. 11 no. 3: 150-158, september 2011 gelembung udara didalam tabung durham. apabila terdapat tabung yang positif mengeluarkan gas, mikroba penghasil gas yang tumbuh pada tabung adalah kelompok mikroba yang mampu memfermentasikan laktosa dan tahan terhadap suhu tinggi (44°c), bakteri ini disebut kelompok bakteri coliform fecal (escherichia coli). analisis dilakukan dengan metode mpn (most probable number) atau jpt (jumlah perkiraan terdekat) dengan menggunakan seri 3-3-3. selanjutnya dilakukan penanaman escherichia coli pada media mac. conkey yang diamati hasil koloninya berupa warnanya, bentuk dan diamernya. lalu dilanjutkan dengan pemeriksaan mikroskopik dengan pengecatan gram dan diamati menggunakan mikroskop. hasil penelitian disajikan dengan tabel dan dibandingkan dengan tabel mpn kemudian dianalisa secara deskriptif dan secara statistik. data jumlah koloni kuman akan dibandingkan dan diolah menggunakan mann-whitney test. hasil gambar 1. presumtif test/uji penduga pada gambar 1. dilakukan presumtif test/uji penduga untuk mengetahui adanya bakteri coliform pada semua sampel es batu. tes ini dilakukan pada media lactose broth. hasilnya terdapat bakteri coliform pada 20 sampel es batu dengan terlihatnya tabung durcham terangkat kepermukaan disebabkan oleh gelembung yang dihasilkan bakteri coliform. gambar 2. confirmed test/uji penguat pada gambar 2. dilakukan confirmed test/uji penguat untuk mengetahui adanya bakteri escherichia coli pada semua sampel es batu. tes ini dilakukan pada media bglb. hasilnya terdapat bakteri escherichia coli pada 20 sampel es batu dengan terlihatnya tabung durcham terangkat kepermukaan disebabkan oleh gelembung yang dihasilkan bakteri escherichia coli. gambar 3. uji identifikasi escherichia coli pada gambar 3. dilakukan uji identifikasi untuk mengidentifikasi adanya bakteri escherichia coli 154 shabrina & inayati, perbandingan kualitas es batu di warung makan ... pada semua sampel es batu. tes ini dilakukan penanaman bakteri escherichia coli pada media mac.conkey untuk diamati koloninya. hasilnya didapatkan gambaran bakteri koloni sedang, berwarna merah bata atau merah tua, metalic, smooth, keping atau sedikit cembung yang merupakan identifikasi khas adanya bakteri escherichia coli. gambar 4. pengamatan mikroskopik escheri-chia coli pada gambar 4. dilakukan pengecetan bakteri escherichia coli pada obyek glass untuk diamati dibawah mikroskop. hasilnya didapatkan gambaran bakteri batang lurus, tidak berspora, tidak berkapsul yang merupakan gambaran mikroskopik dari bakteri escherichia coli. tabel 1. merupakan data hasil penelitian terhadap es batu di warung makan dan es batu di restoran. angka jumlah bakteri coliform dan escherichia coli pada tabel 1. didapatkan dari presumtif test/uji penduga dan confirmed test/uji penguat dengan menggunakan metode mpn yang hasilnya dicocokan dengan menggunakan tabel mpn. pada tabel 1. dapat dilihat perbedaan jumlah coliform dan escherichia coli pada es batu dari warung makan dan restoran. berdasarkan hasil penelitian pada tabel 1. total bakteri coliform pada warung makan dan restoran sebanyak 32.718 per 100 ml, dengan rincian total bakteri coliform pada es batu di warung makan sebanyak 17.775 per 100 ml dan pada es batu di restoran sebanyak 14.943 per 100 ml. hasil tersebut dapat dilihat pada tabel 2 yang menunjukan presentasi jumlah bakteri coliform sebesar 54,3 % pada es batu di warung makan dan 45,7% pada es batu di restoran. hal tersebut menunjukan bahwa es batu di warung makan memiliki jumlah bakteri coliform lebih tinggi dibandingkan dengan es batu di restoran. berdasarkan hasil penelitian pada tabel 1. total bakteri escherichia coli pada warung makan dan restoran sebanyak 30.150 per 100 ml, dengan rincian total bakteri escherichia coli pada es batu di warung makan sebanyak 16.439 per 100 ml dan pada es batu di restoran sebanyak 13.711 per 100 ml. hasil tersebut dapat dilihat pada tabel 2. yang menunjukan presentasi jumlah bakteri escherichia coli sebesar 54,5 % pada es batu di warung makan dan 45,5% pada es batu di restoran. hal tersebut menunjukan bahwa es batu di warung makan memiliki jumlah bakteri escherichia coli lebih tinggi dibandingkan dengan es batu di restoran. tabel 1. jumlah coliform dan escherichia coli dengan metode mpn sumber es batu jumlah /100ml coliform e. coli warung 1777.5±856.385 1643.9±857.480 restoran 1494.3±1008.945 1371.1±1127.099 sumber: data primer tabel 2. per sentase perb edaan banyaknya bakt eri coliform dan escherichia coli pada es batu warung makan dan restoran sumber es batu coliform escherichia coli warung makan 54,3% 54,5% restoran 45,7% 45,5% 155 mutiara medika vol. 11 no. 3: 150-158, september 2011 uji normalitas data didapatkan p<0,05 yang artinya distribusi data tidak normal. karena jumlah sampel hanya 20 maka digunakan uji normalitas data shapiro-wilk. setelah diuji dengan mannwhitney test diperoleh signifikansi untuk coliform sebesar 0,504 (p>0,05) dan signifikansi untuk escherichia coli sebesar 0,596 (p>0,05) disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang sinifikan terhadap jumlah bakteri coliform dan bakteri escherichia coli dalam es batu warung makan lingkungan universitas muhmmadiyah yogyakarta dengan es batu restoran di daerah istemewa yogyakarta. diskusi hasil pemeriksaan laboratorium terhadap es batu warung makan di lingkungan universitas muhammadiyah yogyakarta dan es batu restoran di daerah istemewa yogyakarta adalah tidak memenuhi syarat mutu es batu di indonesia karena dari hasil penelitian menunjukan jumlah bakteri coliform pada es batu di warung makan sebanyak 17.775 per 100 ml (54,3 %) dan pada es batu di restoran sebanyak 14.943 per 100ml (45,7%). jumlah bakteri escherichia coli pada es batu di warung makan sebanyak 16.439 per 100ml (54,5 %) dan pada es batu di restoran sebanyak 13.711 per 100ml (45,5%). hal tersebut tidak sesuai dalam standar nasional indonesia (sni) 01-3839-1995, yaitu mutu dari es batu tersebut harus memenuhi syarat-syarat air minum sesuai permenkes ri no. 416/men. kesehatan/per/ix/1990 yaitu tidak boleh terdapat bakteri indikator sanitasi (coliform/escherichia coli) pada es batu tersebut, yangberarti 0 sel coliform per 100 ml. pada penelitian tentang perbandingan kualitas es pada warung makan dan restoran dengan indikator jumlah bakteri escherichia coli, pernah dilakukan oleh saraswati, et al., (2010). hasil perhitungan jumlah koloni bakteri pada sampel tersebut menggunakan metode spc dari perbandingan antara jumlah tiap titik sampel dengan jumlah keseluruhan cawan pada media nutrien agar (na) secara kuantitatif, didapatkan 24 sampel dari tiga tempat yang berbeda, sebagian besar sampel mengandung escherichia coli, dengan persentase paling tinggi berasal dari pedagang kaki lima di sekitar uai yaitu 98%, kemudian dari food court uai yaitu 87,20%, dan yang paling rendah yaitu 18,40% berasal dari restoran fast food di daerah senayan. perhitungan jumlah koloni pada penelitian saraswati, et al. (2010), berbeda dengan penelitian ini karena pada penelitian ini digunakan 20 sampel es batu dari dua tempat yang berbeda (warung makan dan restoran), menggunakan metode mpn melalui penanaman pada media lactose broth dan bglb untuk menghitung jumlah koloni bakteri pada sampel penelitian. hasil penelitian saraswati, et al. (2010), menunjukan hasil yang sama dengan penelitian ini bahwa es yang selama ini dikonsumsi oleh masyarakat masih memiliki nilai kelayakan konsumsi yang rendah atau jauh dari standar kelayakan yang telah ditetapkan oleh sni yaitu 0 sel escherichia coli per 100 ml air.1 kualitas es yang selama ini dikonsumsi masyarakat di warung makan lingkungan universitas muhammadiyah yogyakarta dan restoran di daerah istemewa yogyakarta masih jauh dari nilai kelayakan konsumsi menurut standar nasional indonesia tabel 3. hasil statistik uji beda dengan mann-whitney test sumber es batu p p koliform e. coli es batu warung makan 0,504 0,596 es batu restaurant 156 shabrina & inayati, perbandingan kualitas es batu di warung makan ... (sni). hasil penelitian menunjukan tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap jumlah bakteri coliform dan bakteri escherichia coli dalam es batu warung makan lingkungan universitas muhammadiyah yogyakarta dengan es batu restoran di daerah istemewa yogyakarta karena ada atau tidaknya bakteri dari es batu tidak hanya dipengaruhi oleh faktor dimana es batu tersebut berasal dan di jual (warung makan dan restoran) tetapi masih banyak beberapa faktor yang menyebabkan tingginya jumlah escherichia coli terlarut dalam minuman atau es batu yang dikonsumsi. faktor faktor tersebut meliputi tidak diperhatikannya tingkat kebersihan dalam pembuatan es, baik dari air yang digunakan sebagai bahan membuat es, wadah atau tempat untuk membuat es, bahkan pembuat es yang juga kurang memperhatikan kebersihan tubuhnya. dilihat dari sumber air, jika air yang digunakan kurang memenuhi standar kelayakan konsumsi, sebaiknya air yang akan digunakan dipanaskan terlebih dahulu sehingga dapat meminimalisasi bakteri atau mikroorganisme lain yang mikroorgan terdapat di air. lingkungan pembuatan es juga mempengaruhi tingkat kebersihan dan cemaran bakteri di air atau es. kurangnya kesadaran, pengetahuan, dan disiplin manusia dalam memperhatikan kebersihan.1 menurut hasil penelitian dari pemerintah hongkong, adanya escherichia coli pada es dapat dikarenakan permukaan pembungkus es telah terkontaminasi saat pengantaran atau penyimpanan es. permukaan pembungkusan yang telah terkontaminasi dapat mencemari es tersebut saat pembungkus dibuka atau saat es dikeluarkan dari plastik pembungkus. selain itu, apabila air yang digunakan untuk es bukanlah air bersih. menurut hasil penelitian, escherichia coli yang terkandung dalam air tidak mati dalam proses pembekuan sehingga saat es tersebut mencair dapat memungkinkan escherichia coli untuk aktif kembali.8 escherichia coli merupakan penghuni normal usus, dan seringkali menyebabkan infeksi. kecepatan berkembang biak bakteri ini berada pada interval 20 menit jika faktor media, derajat keasaman, dan suhu sesuai. selain tersebar di banyak tempat dan kondisi, bakteri ini tahan terhadap suhu, bahkan pada suhu ekstrim sekalipun. suhu yang baik untuk pertumbuhan bakteri ini adalah antara 8°c – 46°c, tetapi suhu optimalnya adalah 37°c. escherichia coli merupakan bagian dari mikrobiota normal saluran pencernaan, escherichia coli dapat berpindah karena adanya kegiatan seperti dari tangan ke mulut atau dengan pemindahan pasif lewat makanan atau minuman. escherichia coli dalam usus besar bersifat patogen jika melebihi jumlah normalnya. strain tertentu dapat menyebabkan peradangan selaput perut dan usus (gastroenteritis). berbagai penelitian, menunjukkan bahwa beberapa strain escherichia coli juga dapat menyebabkan wabah diare atau muntaber, terutama pada anak-anak. berbagai makanan dan minuman yang dikonsumsi tidak lepas dari keberadaan bakteri di dalamnya. namun, jika makanan dan minuman tersebut diolah secara higienis, mungkin bakteri di dalamnya masih memiliki batas toleransi untuk dikonsumsi terutama bakteri patogen penyebab penyakit.1 teknik lain untuk mematikan bakteri adalah dengan dibekukan hingga 0°c. namun, tak semua bakteri mati dalam suhu 0°c, oleh karena itu dimungkinkan sebagian bakteri pada es balok masih mampu bertahan. lalu saat es tersebut mencair dalam suhu ruang, bakteri yang ada akan kembali 157 mutiara medika vol. 11 no. 3: 150-158, september 2011 berkembang biak. pencemaran dapat juga terjadi melalui mata rantai es balok dari produsen ke konsumen.6 kualitas mikrobiologik bahan pangan dipengaruhi oleh mikroorganisme awal, kondisi pengolahan dan pencemaran setelah pengolahan. jumlah dan jenis mikroorganisme tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti lingkungan umum tempat bahan pangan tersebut diperoleh, kualitas mikrobiologik bahan baku/segar, kondisi sanitasi tempat penanganan dan pengolahan, kondisi sanitasi tempat penanganan dan pengolahan.9 jika kualitas sumber air tidak baik, maka mikroorganisme berbahaya dapat muncul dan proses pembekuan tidak dapat menghancurkan mereka . banyak mikroorganisme dapat bertahan hidup di dalam es, meskipun jumlah mereka berkurang secara bertahap seiring berjalannya waktu. ketika es mencair terdapat mikroorganisme lemah yang tersisa tetapi mereka cenderung untuk memulihkan kelangsungan hidup mereka sehingga ketika es mencair ke dalam minuman mereka mungkin dapat bertahan dan ketika es tersebut dikonsumsi mampu menyebabkan infeksi pada pelanggan.8 terdapatnya bakteri pada es batu dikarenakan terdapatnya kontaminasi es batu terhadap berbagai hal. sumber-sumber terkontaminasinya es batu terletak pada pengangkutan, penyimpanan, alatalat, pembersihan, penggunaan tangan, pembungkus dan sumber-sumber lain. pengangkutan dilakukan menggunakan gerobak, motor, sepeda, diseret di atas tanah atau lantai tanpa menggunakan alas maupun pengemas. penyimpanan es batu yang tidak dijaga kebersihannya, mudah kontak dengan tanah, bahkan diletakan tanpa alas. alat-alat yang digunakan dalam mengangkut dan menghancurkan es batu yang tidak terjamin kebersihanya. penggunaaan air mentah untuk mencuci es batu, air yang digunakan untuk mencuci digunakan berulang-ulang. penggunaan tangan yang tidak terjamin kebersihanya sangat berisiko menjadi kontaminan. karung dan pembungkus lain yang tidak terjamin kebersihannya. tidak adanya kemasan menyebabkan mudahnya kontaminasi dari lingkungan (udara, tanah, air).4 simpulan tidak terdapat perbedaan signifikan terhadap jumlah bakteri coliform dan escherichia coli dalam es batu di warung makan lingkungan universitas muhammadiyah yogykarta dengan es batu di restoran di wilayah kota yogyakata. perlu penelitian lebih lanjut tentang cara pemerosesan es batu yang dapat mempengaruhi kualitas bakteriologis sehingga dapat meminimalisasikan adanya bakteri patogen yang telarut dalam es batu serta. daftar pustaka 1. saraswati, a.m., nufadianti, g., samiah, r., setiowati, v. dan elfidasari, d. perbandingan kualitas es di lingkungan universitas al azhar indonesia dengan restoran fast food di daerah senayan dengan indikator jumlah escherichia coli terlarut. skripsi, fakultas sains dan teknologi universitas al azhar indonesia. 2010. 2. falco, jp., dias, a.m.g., correa, e.f. and falco, d.p. microbiological quality of ice used to refrigerate foods. food microbiology, 2002; 19 (4): 269-276. 158 shabrina & inayati, perbandingan kualitas es batu di warung makan ... 3. badan pengawas obat dan makanan republik indonesia. penetapan batas maksimum cemaran mikroba dan kimia dalam makanan. jakarta. 2009. 4. firlieyanti, antung sima. evaluasi bakteri indikator sanitasi di sepanjang rantai distribusi es batu di bogor. bogor: departemen ilmu dan teknologi pangan, fakultas teknologi pertanian, institut pertanian bogor, 2005. 5. who. guidelines for dringking-water quality, 2nd edition. volume 3 surveillance and control of community supplies. geneva. 1997. 6. rahayu, u.s. es balok bukan untuk diminum. 2008. diakses 7 april 2010, dari http://nasional.kompas.com/read/2008/09/23/13543619/ es.balok.bukan.untuk.diminum 7. jay, j.m. modern food microbiology, sixth edition. gatherburg, maryland: aspen publisher, inc. 2000. 8. food and environmental hygiene department (fehd). the microbiological qulity of edible ice from ice manufacturing plants and retail business in hongkong. risk assesment studies, report no.21 pg 1-27. queensway, hong kong. 2005. 9. lukman, d.w. penghitungan jumlah bakteri pada pangan asal hewan. 2009. diakses 7 apri l 2010, dari http://hi gi ene-pangan. blogspot.com/2009_10_04_archive.html 195 mutiara medika vol. 11 no. 3: 195-200, september 2011 aktivitas antiproliferatif ekstrak metanol daun pereskia grandifolia haw terhadap berbagai sel kanker antiproliferative activity of methanol extract of pereskia grandifolia haw leaves against different human cell lines aditya krishar karim1, sismindari2* 1department of biology, faculty of science and mathematic, universitas cenderawasih, papua, 2department of pharmacy, faculty of pharmacy ugm yogyakarta, indonesia. *email: sismindari@yahoo.com abstrak pereskia grandifolia (famili cactaceae) atau biasa dikenal sebagai tanaman tujuh jarum telah banyak dimanfaatkat masyarakat lokal di malaysia dan china untuk mengobati berbagai jenis penyakit seperti diabetes, hipertensi, antikanker, antitumor, antiinflamasi dan antirematik. penelitian ini bertujuan untuk mencari aktivitas antiproliferatif terhadap kultur sel kanker hct-116, c2c12 dan 293a. ekstrasi dilakukan secara maserasi dengan menggunakan metanol. efek antiproliferatif diuji dengan menggunakan reagen wst-1 ((2-(4-iodophenyl)-3-(4-nitro-phenyl)-5-(2,4-disulfophenyl) -2h-tetrazolium monosodium salt) selama 1, 2 dan 4 jam setelah inkubasi selama 72 jam. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak methanol daun p. grandifolia bersifat antiproliferatif terhadap sel kanker kolon hct-116 dengan ic50 yaitu 509,83µg/ml (1 jam), 503,60µg/ml (2 jam), 519,24µg/ml (4 jam) tetapi tidak bersifat antiproliferatif terhadap sel c2c12 dan 293a. hasil ini mengindikasikan bahwa ekstrak methanol daun p. grandifolia bersifat selektif terhadap sel kanker hct-116. kata kunci; pereskian grandifolia, wst-1, hct-116, c2c12, 293a cell line abstract pereskia grandifolia (cactaceae family) commonly known as jarum tujuh bilah. this plant commonly used by the local community in malaysia and chinese for treat a variety of illnesses including diabetes, hypertension, anticancer, antitumor and anti rheumatic. the aim of this study was to investigate antiproliferative activity of methanol extract of p. grandifolia leaves against hct-116, c2c12 and 293a cell line. leaves powder extracted using methanol. antiproliferative activity was determined by cell proliferation reagents wst-1 ((2-(4-iodophenyl)-3-(4-nitro-phenyl)-5-(2,4-disulfophenyl)-2h-tetrazolium mono-sodium salt), test for 1h, 2h, and 4h after incubated for 72h. the result showed that methanol extract of p. grandifolia leaves possessed remarkable antiproliferative activity against hct-116 cell line with ic50 values of ic50 were 509,83µg/ml (1h), 503,60µg/ml (2h), 519,24µg/ml (4h), and had no active to against c2c12 and 293a cell line. the result indicated methanol extract of p. grandifolia leaves exhibit selective antiproliferative activity against hct-116 cell line. key words: pereskian grandifolia, wst-1, hct-116, c2c12, 293a cell line artikel penelitian 196 aditya, aktivitas antiproliferatif ekstrak metanol ... pendahuluan kanker merupakan penyakit kedua terbesar di dunia setelah penyakit kardiovaskuler yang menyebabkan kematian.1,2 insiden kanker di indonesia diperkirakan 100 per 100.000 penduduk per tahun atau sekitar 200.00 populasi per tahun.3 kanker terjadi akibat adanya gangguan fungsi homeostasis atau kegagalan mekanisme pengatur multiplikasi pada organisme multiseluler.4 pengobatan panyakit kanker yang digunakan umumnya bekerja tidak selektif, karena menghambat juga sel normal yang memiliki aktivitas pembelahan sel tinggi seperti sel sumsum tulang, epitel germinativum, mukosa saluran cerna, folikel rambut dan jaringan limfosit.5 tumbuhan merupakan salah satu sumber obat-obatan yang telah banyak dimanfaatkan sebagai obat antikanker, antiimflamasi, antibakteri, antioksidan. masyarakat di dunia telah memanfaatkan tumbuhan dari alam untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit termasuk kanker. akhirakhir ini banyak ditemukan senyawa dari tanaman yang memiliki aktivitas antikanker dengan efek samping yang kecil.6,7 pereskia grandifolia merupakan salah satu tumbuhan tradisional yang telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat di malaysia dan china dalam menyembuhkan berbagai jenis penyakit seperti kanker, tekanan darah tinggi, diabetes dan penyakit yang berhubungan dengan rematik dan inflamasi.8 tumbuhan ini termasuk famili kaktus (cactaceae) yang mungkin satu-satunya memiliki daun sebenarnya dan merupakan genus yang paling primitif, dapat tumbuh dan beradaptasi pada hampir semua iklim kecuali tundra.9 genus pereskia secara umum dikenal sebagai jarum tujuh bilah (malaysia), sedangkan di cina dikenal dengan nama cak sing cam, di indonesia dikenal dengan nama daun tujuh jarum.10,11,12 kaktus diketahui sebagai tumbuhan kering dan dikenal secara umum mampu tumbuh dalam kondisi yang kering, dan merupakan tumbuhan herba atau pohon kecil. famili cactaceae diketahui terdiri dari 1.500-1.800 species.13 doetsch et al.(1980),14 mengisolasi senyawa alkaloid p-methoxy-b-hydroxy phenethylamie, 3methoxityramine dan tyramine dari daun p. grandifolia, sedangkan sahu et al.(1974),15 melaporkan berhasil mengisolasi asam oleonolic dari buah kering dari p. grandifolia. beberapa studi menunjukkan bahwa p. grandifolia mengandung senyawa b-sitosterol, vitamin e, phytone, 2,4-ditert-butylphenol dan campuran yang mengandung 2,4-ditert-butylphenol, methyl palmitate, methyl oleate dan methyl stearate, dan senyawa-senyawa ini memiliki aktivitas sitotoksik terhadap berbagai jenis sel kanker, dan merupakan studi pertama yang melaporkan aktivitas sitotoksik dari p. grandifolia.16 takeiti et al.(2009)17 melaporkan genus lain dari pereskia seperti ekstrak daun p. aculeate banyak mengandung serat alami, mineral (seperti kalsium, magnesium, mangan and zink) dan vitamin a, vitamin c dan asam folat serta banyak mengandung asam amino triptofan. berdasarkan latar belakang di atas maka penelitian ini akan menguji aktivitas antiproliferatif ekstrak metanol daun p. grandifolia terhadap sel kanker hct-116, c2c12 dan 2943a secara in vitro. 197 mutiara medika vol. 11 no. 3: 195-200, september 2011 bahan dan cara persiapan bahan dan ekstraksi bahan tanaman berupa daun p. grandifolia yang tumbuh di sekitar laboratorium lppt, sudah berbunga dan berbuah. tanaman tersebut selanjutnya diidentifikasi di laboratorium taksonomi tumbuhan fakultas biologi ugm sebagai pereskia grandifolia. daun yang telah dikumpulkan dicuci dengan air, dikeringkan, diblender, diayak. serbuk diekstraksi dengan maserasi menggunakan methanol. ekstrak dipekatkan dengan menggunakan evaporator. preparasi kultur sel kanker sel hct-116 diperoleh dari clinical oncology laboratory stock of kawasaki medical school, japan. sel kanker hct-116 ditumbuhkan di medium mccoy’s 5a medium (gibco) yang mengandung 10% v/v fetal bovine serum (fbs) (sigma) dan di tambahkan 1%w/v peni ci lli n-streptom ycin (sigma). untuk sel c2c12 dan 293a diperoleh dari koleksi departement moleculer and developmental biology laboratory, kawasaki medical school, japan. c2c12 di tum buhkan pada m edi um dulbecco’s modified eagle media (dmem, sigma) yang mengandung 10% v/v fetal bovine serum (fbs) (sigma) dan 1% v/v kanamicin (sigma), sedangkan sel 293a ditumbuhkan pada medium komplit yang mengandung 10% fetal bovine serum (fbs), 2mm l glutamine (gibco), amino acids (neaa) (gibco)dan kehadiran 1% w/v of penicilli n-streptom yci n (si gma). kultur sel kanker diinkubasi pada suhu 37oc dengan 5% co2. uji aktivitas antiproliferatif secara in vitro kultur sel dengan kepadatan 4,0x103 sel/ml (100µl) dimasukkan ke dalam sumuran (96 well microplate, nunc-germany) bersama suatu seri konsentrasi kadar uji ekstrak methanol daun p. grandifolia (500, 250, 125, 62.50, 31.25 dan 15.625, 7.8125 µg/ml) dengan dmso 01% sebagai blanko dan sel dalam media sebagai control. kemudian sumuran diinkubasi didalam incubator co2 pada suhu 37oc dengan 5% co2 selama 72 jam. pada akhir masa inkubasi media dihilangkan dengan aspirator, dan selanjutnya ditambahkan medium dan 10 µl reagen wst-1, selanjutnya diinkubasi selama 1, 2 dan 4 jam pada 37oc dengan 5%co2. nilai absorbasi dibaca pada panjang gelombang 450nm menggunakan elisa reader (type varioskan flash (thermo cientific)). persentasi viabilitas sel dihitung dengan cara jumlah sel hidup kontrol dikurangi jumlah sel hidup perlakuan dibagi jumlah sel hidup kontrol dikalikan 100%. data diolah dengan menggunakan program microsoft excel. hasil uji sitotoksik digunakan untuk mengetahui potensi efek sitotoksik dari suatu ekstrak tumbuhan terhadap sel kanker. data yang diperoleh digunakan untuk penghitungan potensi sitotoksik suatu senyawa yaitu berupa nilai inhibition concentration (ic50). hasil uji sitotoksitas dapat diperoleh dosis yang menyebabkan kematian sel sebesar 50% dari populasi sel. semakin kecil ic50 suatu ekstrak maka semakin toksik ekstrak tersebut terhadap sel kanker yang diuji. selain persentase kematian, tingkat toksisitas juga dapat diamati dari morfologi sel dengan menggunakan mikroskop.18 diskusi hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak metanol daun p. grandifolia dengan menggu198 aditya, aktivitas antiproliferatif ekstrak metanol ... nakan uji wst-1 menunjukkan aktivitas antiproliferatif terhadap sel kanker hct-116, dan tidak bersifat antiproliferatif terhadap sel kanker c12c12 dan 293a (gambar 1, 2, dan 3). hasil penelitian ini sama seperti yang di laporkan oleh sri nurestri (2009) yang menunjukkan bahwa ekstrak methanol daun p. grandifolia memiliki sifat sitotoksik terhadap sel kanker kolon hct-116 dengan nilai ic50 53µg/ml dan diklasifikasikan memiliki aktivitas sitotoksik yang sedang. hasil penelitian ini kemungkinan tanaman ini mengandung berbagai senyawa yang memiliki aktivitas penghambatan terhadap pertumbuhan sel tetapi terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit atau bersifat selektif terhadap sel kanker. pada penelitian ini juga terlihat pada pengamatan sel setelah diberikan perlakuan dengan dengan wst-1 terlihat intensitas warna antara kontrol dan perlakuan tampak sama pada sel c2c12 dan 293a. peningkatan warna semakin terang menunjukkan bahwa semakin banyaknya formazan yang terbentuk yang diakibatkan aktifnya enzim dehidrogenase yang dihasilkan dari sel yang hidup. pembentukan formazan diasumsikan berkaitan erat dengan jumlah reaksi metabolis dari sel-sel yang hidup dalam kultur sel.19 beberapa penelitian melaporkan senyawa yang terkandung dalam suatu ekstrak yang berasal dari tanaman sering menunjukkan sifat selektif terhadap jenis sel kanker tertentu. beberapa laporan penelitian menunjukkan aktivitas sitotoksik ekstrak metanol dari pereskia bleo dengan menggunakan uji mtt tidak bersifat v ia bi lit as se l (% ) 0 20 40 60 80 100 120 7.8125 15,625 31.25 62.5 125 250 500 konsentrasi (µg/ml) gambar 3. grafik hubungan viabilitas sel 293a (%) dengan kon sent rasi ekstrak m eth anol dau n p. grandifolia setelah inkubasi 72 jam pada suhu 37oc dengan 5% co2, dan setelah penambahan reagen wst-1 untuk 1 jam (-merah), 2 jam (-biru) dan 4 jam (-coklat). 0 50 100 150 200 250 300 7.8125 15,625 31.25 62.5 125 250 500 konsentrasi (µg/ml) v ia bi lit as se l (% ) gambar 1. grafik hubungan viabilitas sel hct-116 (%) dengan konsentrasi ekstrak methanol daun p. grandifolia setelah inkubasi 72 jam pada suhu 37oc dengan 5% co2, dan setelah penambahan reagen wst-1 untuk 1 jam (-merah), 2 jam (biru) dan 4 jam (-coklat). v ia bi lit as se l( % ) 0 20 40 60 80 100 120 140 7.8125 15,625 31.25 62.5 125 250 500 konsentrasi (µg/ml) gambar 2. grafik hub ungan viabilitas sel c2c12 (%) den gan konsentrasi ekstrak m et hano l p. grandifolia setalah inkubasi 72 jam pada suhu 37oc dengan 5% co2, dan setelah penambahan reagen wst-1 untuk 1 jam (-merah), 2 jam (biru) dan 4 jam (-coklat). 199 mutiara medika vol. 11 no. 3: 195-200, september 2011 sitotoksik terhadap sel kanker payudara (mcf-7) setalah inkubasi selama 72 jam12, hal ini berbeda seperti yang dilaporkan oleh tan et al.(2005)10, pada uji sitotoksik secara in vitro dengan menggunakan methylene blue assay menunjukkan bahwa ekstrak metanol dari p. bleo bersifat sitotoksik terhadap sel kanker payudara yang lain yaitu sel t47d setelah inkubasi selama 72 jam. arkadiusz et al.(2001),20 melaporkan bahwa kuersetin dan dimteilsulfoksida (dmso) merangsang ekpresi gen bcl2 (merupakan suatu protein pengatur proses apoptosis) pada proses miogenesis sel c2c12 sedangkan ana et al.(2007),21 menunjukkan bahwa arsenic trioxide (as2o3) yang memiliki aktivitas antikanker mengurangi jumlah sel hidup sy-5y neuroblastoma dan sel 293 (embryonic kidney). pada penelitian ini terlihat bahwa ekstrak metanol daun p. grandifolia bersifat selektif dan antiproliferatif terhadap sel kanker hct-116, tetapi tidak memiliki aktivitas antiproliferatif terhadap sel kanker c2c12 atau 293a. simpulan ekstrak methanol daun p. grandifolia bersifat antiproliferatif terhadap sel kanker kolon hct-116 dengan ic50 yaitu 509,83µg/ml (1jam), 503,60µg/ ml (2 jam), 519,24µg/ml (4 jam) tetapi tidak bersifat antiproliferatif terhadap sel c2c12 dan 293a. ucapan terima kasih kami mengucapkan terima kasih atas pemberian dana dari dikti melalui program beasiswa sandwich 2010 dan lppt unit iii universitas gadjah mada. kami juga mengucapkan terima kasih untuk prof. tsutomu nohno, ph.d dari department molecular and develomental biology, kawasaki medical school, japan daftar pustaka 1. alan, g.t. progress in cancer care: a rational call to do better. c.a. cancer.j. clin, 2010; 60(1): 7-11. 2. ahmedin, j., rebecca, s., jiaquan, x., & elizabeth, w. 2010. cancer statistics. c.a. cancer. j. clin, 2010; 60(5):277-300. 3. aziz, m.f., andrijono, & saifuddin, a.b. (eds). onkologi dan ginekologi buku acuan nasional. jakarta: yayasan bina pustaka sarwono prawirohardjo. 2006. 4. devita,, v.t., hellman, jr.s., & rosenberg, s.a. (eds). cancer: principle and practise of oncology. 5ed. lippincott-raven. philadelphia. 1997. p121-133;185-215;259-1880. 5. li, thomas s. c. taiwanese native medicinal plants: phytopharmacology and therapeutic values. published by crc press taylor & francis group, broken sound parkway nw. usa.p37. 2006. 6. mcchesney, j.d., sylesh, k.v & john, t.h. plant natural product : back to the future or into extinction. phytochemstry, 2007; 68(14): 2015-2022. 7. xin, g., xifeng, l, yinggang, c., mingqi, l, shixiong, j., & xishan, w. rhein induces apoptosis of hct-116 human colon cancer cells via activation of the intrinsic apoptotic pathway. african j.biotech; 2011.10(61): 13244-13251. 8. goh, k.l. malaysian herbacous plants. milllennium edn. advanco press. malaysia: 2000. 200 aditya, aktivitas antiproliferatif ekstrak metanol ... 9. charles, b., & erika, j.e. investigating pereskia and the earliest divergences in cactaceae. haseltonia. 2008; 14: 46-53. 10. tan, m.l., sulaiman, s.f., najimuddin, n., samian, r.m., & muhammad, t.s. methanolic ex tract of pereskia bleo (kunth) d.c. (cactaceae) nuces apoptosis in breast carcinoma, t47d cell line. j.ethno pharm, 2005; 96(1-2):287-294. 11. sri nurestri, a.m., wahab, n.a., yacob, h., shin, s.k., lai, h.s., serm, l.g., & rahman, n.s.a. cytotoxic activity of pereskia bleo (cactaceae) against human cel l lines. inter.j.cancer.res, 2008; 4(1):20-27. 12. wahab, s.i.a., abdul, a.b., mohan, s.m., alzubairi, a.s., elhassan, m.m., and ibrahim, m.y. research article biological activities of pereskia bleo extracts. inter.j.pharm, 2009; 5(1): 71-75. 13. edwards, e.j., nyffeler, r., & donoghue, m.j. basal cactus phylogeny: implications of pereskia (cactaceae) paraphyly for the transition to the cactus life form. american j. bot, 2005; 92(1):1177-1188. 14. doetsch, p.w., cassady, jm., & mclaughlin, j.l. cactus alkaloid: identification of mescaline and other -phenethylamin in pereskia, pereskiops and islaya by use fluoresecamin conjugate. j. chromatograph a, 1980; 189:79-85. 15. sahu, n.p., banerji, n., & chakravarti, r. n. a new saponin of oleanolic acid from pereskia grandifolia. phytochemistry, 1974;13: 529-530. 16. sri nurestri, a.m., sim, k.s., and norhanom, a.w. phytoche-mical and cytotoxic investigations of pereskia grandifolia haw. (cactaceae) leaves. j. bio. scie, 2009;9(5): 488-493. 17. takeiti, c.y., graziella, c., antonio, g.c., motta, e.m.p., fernanda, p.c.q., & park, k.j. nutritive evaluation of a non-conventional leafy vegetable (pereskia aculeata miller). inter. j.food.scie.nutr, 2009;60(1):148-160. 18. doyle, a., & griffiths, j.b. cell and tissue culture for medical research. john willey and sons, ltd. new york. 2000. 19. francoeur, am. and assalian, a. microcat: a novel cell proliferation and cytotoxicity assay based on wst-1. biochem, 1996; (3):19-25. 20. arkadiusz, o., katarzyna, g., wojciech, k., & tomasz, m. effect of quercetin and dmso on skeletal myogenesis from c2c12 skeletal muscle cells with special reference to pkb/ akt activity, myogenin and bcl-2 expression. basic. appl. myol, 2001;(1): 31-44. 21. ana, m.f., frank, s., & dietrich, b. arsenic trioxide (as2o3) induced calcium signals and cytotoxicity in two human cell lines: sy-5y neuroblastoma and 293 embryonic kidney (hek). toxicol. appli. pharmacol, 2007;220(3): 292–301. 0 daftar isi 11-2.p65 88 ingenida hadning, formulasi dan uji stabilita fisik sediaan oral emulsi ... formulasi dan uji stabilita fisik sediaan oral emulsi virgin coconut oil formulation and physical stability test of virgin coconut oil emulsion oral preparation ingenida hadning bagian fisika farmasi program studi farmasi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta email: adni07@yahoo.com abstrak virgin coconut oil (minyak kelapa murni) sampai saat ini dikonsumsi oleh masyarakat secara oral dalam bentuk minyaknya, sehingga menyebabkan rasa tidak nyaman. oleh karena itu perlu dilakukan modifikasi sediaan minyak kelapa murni menjadi sediaan emulsi yang memiliki penampilan dan stabilita fisik yang baik. pemeriksaan mutu minyak kelapa murni dilakukan sesuai standar yang ditetapkan oleh codex stan 19-1981 (revisi 2-1999). pengembangan formulasi sediaan emulsi minyak kelapa murni dilakukan dengan cara basah menggunakan berbagai emulgator alam dengan berbagai konsentrasi. formula emulsi dengan penampilan fisik yang baik diperoleh menggunakan emulgator pga 20%, kombinasi emulgator xanthan gum dan veegum dengan perbandingan konsentrasi (1:1) sebanyak 2% dan (3:2) sebanyak 2,5%. formula tersebut dievaluasi secara fisik meliputi penentuan tipe emulsi, penentuan berat jenis, uji homogenitas, pengamatan organoleptik, penentuan ph dan viskositas. uji stabilita fisik terhadap ketiga formula emulsi dilakukan menggunakan uji sentrifugasi dan uji freeze thaw. dapat disimpulkan bahwa formula emulsi oral minyak kelapa murni dengan penampilan dan stabilita fisik yang paling baik adalah formula menggunakan emulgator pga 20%. kata kunci: emulsi oral, virgin coconut oil, evaluasi fisik, uji stabilita fisik abstract virgin coconut oil when consumed orally as such which may cause unpleasant after-taste. therefore, in this study virgin coconut oil emulsion with good performance and physical stability was developed. emulsion was prepared by wet gum method using one of various natural emulsifying agent in various concentrations. results showed that the emulsion formulations using acacia of 20 %, combination of xanthan gum and veegum with concentration (1 : 1) as much as 2 % and (3 : 2) as much as 2,5 % as emulsifying agents showed good performances. evaluations of the virgin coconut oil emulsion included emulsion type, density, rheology, homogeneity of the preparation, the organoleptic appearances, the ph and viscosity of the preparation. physical stability of the emulsion formulation was tested by centrifugation and freeze thaw methods. the result showed that the emulsion using emulsifying agent acacia of 20 % had the best performance with the best physical stability. key words: oral emulsion, virgin coconut oil, physical evaluation, physical stability test pendahuluan virgin coconut oil (minyak kelapa murni) merupakan istilah untuk minyak kelapa yang diperoleh melalui pemanasan minimal dan tanpa proses pemurnian kimiawi.1 minyak kelapa murni semakin disukai oleh masyarakat luas karena memiliki banyak manfaat bagi kesehatan diantaranya sebagai artikel penelitian 89 mutiara medika vol. 11 no. 2: 88-100, mei 2011 antivirus, antimikroba, antidiabetes, serta bermanfaat untuk kosmetika seperti pada lotion dan hair conditioner.2 disamping itu minyak kelapa murni memiliki mutu yang lebih baik daripada minyak kelapa lain. minyak kelapa murni memiliki kadar air dan kadar asam lemak bebas yang rendah, berwarna bening, berbau harum, dan dapat disimpan lebih lama, bisa lebih dari 12 bulan. berbeda dengan minyak kelapa biasa atau minyak goreng yang memiliki mutu kurang baik. hal itu ditandai dengan adanya kadar air dan asam lemak bebas yang cukup tinggi, warna agak kecoklatan, cepat menjadi tengik, daya simpannya pun tidak lama hanya sekitar dua bulan saja.1,3 minyak kelapa murni yang berada di pasaran saat ini masih berupa minyak.1 sediaan yang berupa minyak ini tentu menyebabkan ketidaknyamanan bila dikonsumsi secara oral, oleh karena itu perlu dilakukan modifikasi sediaan minyak kelapa murni menjadi sediaan emulsi oral. pemilihan emulsi sebagai bentuk sediaan bertujuan untuk mencampurkan fase air dan minyak, menutupi rasa tidak enak dari zat aktif yang berbentuk minyak atau larut minyak saat diberikan secara oral karena minyak tidak bercampur dengan saliva sehingga susah diencerkan, serta untuk meningkatkan absorpsi minyak dengan ukuran partikel yang halus sehingga akan meningkatkan jumlah dan kecepatan absorpsi dalam usus.4 atas dasar pemikiran tersebut, maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk optimasi formula sediaan emulsi oral minyak kelapa murni tipe minyak dalam air (m/a). tipe emulsi minyak dalam air (m/a) biasanya digunakan pada emulsi obat untuk pemberian oral. formulasi menggunakan emulgator sebagai penstabil emulsi.5 emulgator yang digunakan adalah emulgator alam seperti pga, xanthan gum, veegum, dan kombinasi xanthan gum dengan veegum sehingga lebih aman untuk dikonsumsi secara oral.4,5,6 evaluasi sediaan meliputi pengujian organoleptik, ph, sifat aliran, viskositas, homogenitas, penentuan tipe emulsi. kondisi tekanan seperti uji sentrifugasi dan freeze thaw dilakukan untuk mengevaluasi stabilitas emulsi.4,5,7,8,9 bahan dan cara alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini seperti stirer eurostar digital ika labortechnik, viskometer brookfield ika labortechnik dv-i dan dv-ii, φ 50 ph meter beckman, alat sentrifuga profuge tipe 14 k dan universal 16r, mikroskop sargent welch s-4849-66 dan meiji, mikrometer, refraktometer, dan peralatan gelas yang umum digunakan dalam laboratorium. bahan yang digunakan meliputi minyak kelapa murni yang berasal dari sekolah ilmu dan teknologi hayati itb, pga (gom arab), veegum (magnesium alumunium silikat), xanthan gum, metil paraben, propil paraben, vitamin e asetat, natrium benzoat, manitol, esen cocopandan, vanilin. penelitian diawali dengan melakukan optimasi formulasi meliputi orientasi kecepatan pengadukan emulsi menggunakan stirer serta penentuan jenis dan konsentrasi emulgator sebagai titik kritis pembuatan sediaan emulsi. orientasi kecepatan pengadukan yang akan digunakan dalam pembuatan emulsi dilakukan menggunakan stirer dengan kecepatan 300 rpm, 750 rpm, dan 1200 rpm. formulasi emulsi oral minyak kelapa murni dikembangkan menggunakan emulgator alam pga, xanthan gum, veegum, serta kombinasi xanthan gum dan veegum dengan ber90 ingenida hadning, formulasi dan uji stabilita fisik sediaan oral emulsi ... bagai konsentrasi, kemudian ditentukan jenis dan konsentrasi emulgator yang optimum untuk formula emulsi. optimum di sini berarti sediaan yang dihasilkan stabil (tidak terjadi pemisahan fasa), pertumbuhan mikroorganisme lambat, dan menarik dari segi estetika. pembuatan sediaan emulsi dengan menggunakan emulgator alam ini dilakukan dengan cara basah, yaitu emulgator yang akan digunakan dikembangkan terlebih dulu.4,5,6,7,8 beberapa evaluasi fisik terhadap formula emulsi dengan penampilan fisik yang paling baik dilakukan meliputi pengamatan organoleptik yaitu perubahan bau, warna, dan pertumbuhan jamur; penentuan tipe emulsi menggunakan metode pengenceran dan metilen blue; penentuan ph menggunakan ph meter beckman; penentuan sifat aliran dan viskositas menggunakan viskometer brookfield; penentuan homogenitas; serta uji stabilita fisik menggunakan metode sentrifugasi dan freeze thaw.4,5,7,8,9 hasil pengembangan formulasi sediaan emulsi orientasi kecepatan pengadukan menggunakan stirer. orientasi kecepatan pengadukan pembuatan emulsi menggunakan stirer dilakukan dengan membuat emulsi menggunakan kombinasi emulgator xanthan gum dan veegum dengan berbagai konsentrasi yang diaduk menggunakan stirer berkecepatan 300 rpm, 750 rpm, dan 1200 rpm. sediaan diamati secara fisik meliputi terjadi atau tidaknya pemisahan fasa dan viskositas sediaan. hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada kecepatan pengadukan 300 dan 750 ppm sediaan yang dihasilkan pecah, karena terbentuk tetesan minyak pada permukaan emulsi.7,8 pada kecepatan pengadukan 1200 ppm sediaan yang dihasilkan walaupun pecah namun minyak yang keluar tidak sebanyak pada sediaan dengan kecepatan pengadukan 300 dan 750 ppm, sedangkan pada sediaan yang menggunakan kombinasi emulgator xanthan gum dan veegum dengan perbandingan 1,5 % dan 3 % sediaan tidak pecah. pada orientasi kecepatan pengadukan, waktu pengadukan dilakukan selama 30 menit. orientasi formulasi sediaan emulsi orientasi formulasi sediaan menggunakan emulgator alam pga (gom arab), veegum, xanthan gum, serta kombinasi emulgator xanthan gum dan veegum dengan berbagai konsentrasi. pada sediaan juga ditambahkan pengawet dan antioksidan untuk memperlambat tumbuhnya mikroorganisme dan mencegah oksidasi minyak. sediaan yang dihasilkan diamati penampilan fisik dan kestabilan sediaan yang meliputi organoleptik, ph, viskositas, dan pemisahan fasa. hasil orientasi formulasi sediaan menggunakan emulgator pga, xanthan gum, veegum, serta kombinasi xanthan gum dan veegum dapat dilihat pada tabel 1. formula akhir sediaan emulsi yang dilakukan evaluasi dan uji stabilita fisik emulsi dengan formula 15, 13, 18, 17, dan 4 dibuat sebanyak 150 gram dengan rincian keperluan untuk pengujian pemisahan fasa dengan metode freeze thaw sebanyak 100 gram, pengukuran viskositas dan ph sebanyak 20 gram, untuk pengamatan pada temperatur ruang sebanyak 20 gram, dan sisanya sebanyak 10 gram untuk keperluan evaluasi homogenitas, penentuan tipe emulsi dan pengujian pemisahan fasa dengan metode sentrifugasi. cara yang digunakan untuk 91 mutiara medika vol. 11 no. 2: 88-100, mei 2011 membuat emulsi formula akhir adalah sama dengan cara pembuatan emulsi pada saat orientasi. formula sediaan emulsi yang dilakukan evaluasi dan uji stabilita fisik dapat dilihat pada tabel 2. evaluasi dan uji stabilita fisik sediaan emulsi: pengamatan organoleptik. pengamatan organoleptik dilakukan selama satu bulan terhadap masing-masing sediaan emulsi yang meliputi perubahan bau, warna, dan pertumbuhan jamur. hasil pengamatan menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan warna, bau, maupun pertumbuhan jamur pada semua formula. penentuan tipe emulsi penentuan tipe emulsi dilakukan terhadap sediaan emulsi dengan menggunakan metode pengenceran dan metode zat warna. hasil pengamatan dengan metode pengenceran menunjukkan bahwa semua formula larut dalam air namun tidak larut dalam minyak, serta emulsi berwarna biru saat dilakukan pengujian dengan metode metilen blue. tabel 1. orientasi formula emulsi minyak kelapa murni dengan emulgator pga, xanthan gum, veegum, serta kombinasi xanthan gum dan veegum beserta data ph dan viskositas formula minyak kelapa murni (%b/b) pga (%b/b) xanthan gum (%b/b) veegum (%b/b) ph viskositas (cpoise) pengamatan 1 40 5 4,27 x + 2 40 10 4,63 x + 3 40 15 3,88 0,75 4 40 20 4,00 5,06 5 40 0,5 5,90 x + 6 40 1,5 5,14 x + 7 40 3 5,14 x + 8 40 1 7,23 x + 9 40 3 7,92 x + 10 40 5 7,60 x + 11 40 0,5 1 7,47 x * 12 40 0,5 3 7,71 x * 13 40 1 1 6,71 27000 14 40 1 3 7,08 x * 15 40 1,5 1 6,93 23200 16 40 1,5 3 7,36 31200 17 40 1 1 6,55 36000 18 40 1,5 1 6,78 29000 keterangan : + = terjadi koalesensi; * = terjadi creaming = tidak terjadi koalesensi/creaming x = tidak dilakukan pengukuran karena terjadi koalesensi/creaming tabel 2. formula sediaan emulsi yang dilakukan evaluasi dan uji stabilita fisik komposisi formula (% b/b) 15 13 18 17 4 fasa air pga veegum xanthan gum metil paraben propilparaben na-benzoat manitol esen cocopandan vanilin air suling ad fasa minyak minyak kelapa murni vitamin e asetat 1 1,5 0,17 0,03 150 g 40 0,1 1 1,5 0,17 0,03 150 g 40 0,1 1 1 0,17 0,03 150 g 40 0,1 1 1 0,17 0,03 150 g 40 0,1 20 0,2 20 1 tetes 1 150 g 40 0,1 92 ingenida hadning, formulasi dan uji stabilita fisik sediaan oral emulsi ... evaluasi homogenitas sejumlah kecil sediaan emulsi yang telah jadi dioleskan tipis-tipis pada permukaan kaca objek yang kemudian diamati homogenitas sediaan dengan cara menggeser sediaan pada permukaan kaca objek tersebut dari ujung yang satu ke ujung yang lainnya dengan menggunakan bantuan kaca objek lain. hasil pengamatan homogenitas menunjukkan bahwa semua sediaan homogen. pengukuran ph sediaan ph masing-masing sediaan emulsi diukur pada tiap selang waktu selama satu bulan menggunakan ph meter beckman. hasil pengamatan dapat dilihat pada gambar 1. gambar 1. kurva pengaruh penyimpanan pada suhu ruang terhadap ph sediaan. 0 10 20 30 40 0 10 20 30 waktu (hari) v isk os ita s( cp oi se ) 0 10000 20000 30000 40000 0 10 20 30 waktu (hari) v isk os ita s( cp oi se ) formula 15 formula 13 formula 18 formula 17 formula 4 gambar 2 kurva pengaruh penyimpanan pada suhu ruang terhadap viskositas sediaan 4, 15, 13, 18, dan 17. pengukuran viskositas dan reologi sediaan viskositas masing-masing sediaan emulsi diukur pada tiap selang waktu selama satu bulan menggunakan viskometer brookfield. hasil pengamatan dapat dilihat pada gambar 2. penentuan reologi sediaan dilakukan menggunakan viskometer brookfield dengan cara penentuan viskositas sediaan terhadap peningkatan dan penurunan ppm (putaran per menit) yang diberikan. dibuat kurva rate of shear (ppm) terhadap shearing (viskositas dikali dengan ppm). kurva tersebut dapat dilihat pada gambar 3. uji stabilita fisik pengujian stabilitas fisik terhadap sediaan emulsi yang sudah jadi dilakukan dengan menggunakan dua metode, yakni metode sentrifugasi dan metode freeze thaw. pengamatan uji pemisahan fasa menggunakan metode sentrifugasi menunjukkan bahwa semua sediaan stabil setelah disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm, 3750 rpm, dan 5000 rpm kecuali sediaan 4 yang menunjukkan ketidakstabilan saat disentrifugasi dengan kecepatan 3750 rpm. pengaruh freeze thaw terhadap ukuran globul sediaan 4 dapat dilihat pada tabel 3. diskusi orientasi kecepatan pengadukan bertujuan untuk mengetahui kecepatan pengadukan optimal dalam pembuatan emulsi, karena kecepatan pengadukan merupakan salah satu titik kritis dalam pembuatan emulsi. pengadukan dilakukan untuk memecah globul-globul minyak agar menghasilkan ukuran globul yang lebih kecil, agar lebih mudah terdispersi. ukuran globul yang lebih kecil juga menyebabkan viskositas menjadi meningkat, sehingga kecepatan terjadinya endapan menjadi terham93 mutiara medika vol. 11 no. 2: 88-100, mei 2011 bat. selain itu, globul-globul yang terdispersi harus memiliki ukuran yang seragam untuk menjamin keseragaman dosis. waktu pengadukan harus tepat, tidak boleh terlalu sebentar atau terlalu lama. jika waktu pengadukan terlalu pendek, dikhawatirkan proses emulsifikasi belum sempurna, globul yang terbentuk masih dalam ukuran besar dan emulgator belum melapisi globul secara sempurna sehingga kestabilan emusi akan berkurang (mudah terjadi koalesensi), sedangkan jika waktu pengadukan terlalu lama kemungkinan juga akan menyebabkan terjadi tumbukan antar globul minyak lebih sering yang dapat menyebabkan koelesensi. oleh karena itu selain orientasi kecepatan pengadukan perlu juga dilakukan orientasi waktu pengadukan.4,5,7,8 hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada kecepatan pengadukan 300 dan 750 ppm sediaan yang dihasilkan pecah, karena terbentuk tetesan minyak pada permukaan emulsi.7,8 pada kecepatan pengadukan 1200 ppm sediaan yang dihasilkan walaupun pecah namun minyak yang keluar tidak tabel 3. pengaruh freeze thaw terhadap ukuran globul sediaan 4 temperatur dan siklus ukuran rata-rata globul (µm) 25 ºc (kontrol) 4,595 ± 0,432 4 ºc siklus 1 2,923 ± 0,321 25 ºc (kontrol) 4,514 ± 0,648 45 ºc siklus 1 0,888 ± 0,049 25 ºc (kontrol) 4,070 ± 0,239 4 ºc siklus 2 3,404 ± 0,449 25 ºc (kontrol) 3,219 ± 0,478 45 ºc siklus 2 3,515 ± 0,477 reologi sediaan 13 0 1 2 3 4 5 6 0 50000 100000 150000 shearing stress (dyne/cm2) r at e of s he ar (1 /d et ik ) reologi sediaan 17 0 1 2 3 4 5 6 0 50000 100000 150000 200000 shearing stress (dyne/cm2) r at e of sh ea r (1 /d et ik ) reologi sediaan 4 0 1 2 3 4 5 6 0 50 100 150 200 250 shearing stress (dyne/cm2) r at e of s he ar (1 /d et ik ) gambar 3. penentuan reologi sediaan 94 ingenida hadning, formulasi dan uji stabilita fisik sediaan oral emulsi ... sebanyak pada sediaan dengan kecepatan pengadukan 300 dan 750 ppm, sedangkan pada sediaan yang menggunakan kombinasi emulgator xanthan gum dan veegum dengan perbandingan 1,5% dan 3% sediaan tidak pecah. pada orientasi kecepatan pengadukan, waktu pengadukan dilakukan selama 30 menit. dapat disimpulkan bahwa kecepatan pengadukan 1200 ppm selama 30 menit dapat digunakan dalam pembuatan emulsi ini. pengembangan formulasi emulsi ini dilakukan dengan cara basah. cara basah memiliki keuntungan terutama bila yang digunakan sebagai emulgator adalah bahan yang mengembang seperti kebanyakan koloid hidrofilik. hal tersebut karena pengembangan emulgator dilakukan secara terpisah sehingga pengembangannya akan maksimal. pengembangan emulgator yang tidak maksimal dapat menimbulkan pengembangan terjadi selama penyimpanan, sehingga kemungkinan peningkatan viskositas dan bobot sediaan akan terjadi.4,5,7,8 sebagai emulgator dalam pengembangan formulasi emulsi oral ini digunakan beberapa emulgator alam yaitu pga, veegum, xanthan gum, dan kombinasi xanthan gum dengan veegum.6,12 hasil orientasi formula emulsi minyak kelapa murni menggunakan emulgator pga, xanthan gum, veegum, serta kombinasi xanthan gum dan veegum dapat dilihat pada tabel 1. pga dan xanthan gum merupakan koloid hidrofilik polisakarida yang dapat berfungsi sebagai emulgator dan pengental. koloid hidrofilik berperan sebagai emulgator dengan cara menyelubungi globul minyak dengan lapisan multilayer untuk mencegah globul-globul untuk bersatu kembali. pada umumnya produk dengan emulgator koloid hidrofilik adalah emulsi m/a karena senyawa-senyawa koloid hidrofilik tersebut diadsorpsi pada antar muka minyak-air dan akhirnya terbentuk lapisan hidrofilik di sekitar globul. koloid hidrofilik dapat dianggap sebagai zat aktif permukaan karena berada pada batas antarmuka minyak-air. perbedaannya dengan zat aktif permukaan sintesis adalah tidak menyebabkan menurunnya tegangan permukaan yang bermakna dan membentuk suatu lapisan multimolekular pada antar muka. dengan adanya beberapa gugusan hidrofilik dan hidrofobik, setiap molekul terikat pada beberapa titik pada antar muka minyak-air. efek tambahan yang mendorong emulsinya menjadi stabil adalah kenaikan viskositas yang bermakna dari medium pendispersi (air), sehingga terjadi peningkatan viskositas sediaan emulsi secara signifikan.4,5,7,8,13,14 berdasarkan hubungan antara viskositas dan laju koalesensi berdasarkan hukum stokes, maka peningkatan viskositas emulsi akan dapat mengurangi laju terjadinya koalesensi.hukum stokes : 2 12 gr r atau 2 12 gr r υ adalah kecepatan sedimentasi (cm/s), r adalah jari-jari partikel (cm), ρ1 adalah bobot jenis fasa terdispersi (kg/cm3), ρ2 adalah bobot jenis fasa pendispersi (kg/cm3), g adalah percepatan gravitasi (cm/s2), dan η adalah viskositas cairan (poise). semakin tinggi viskositas dan semakin kecil jarijari globul maka kecepatan pengendapan semakin kecil.4,5,7,8 larutan pga dapat terurai oleh adanya bakteri dan enzim. oleh karena itu untuk menginaktivasi enzim yang ada, larutan pga dipanaskan pada 100ºc dalam waktu singkat.6,12 dalam percobaan dilakukan pemanasan pga pada 100ºc dalam 95 mutiara medika vol. 11 no. 2: 88-100, mei 2011 waktu 5 (lima) menit, diharapkan dalam waktu 5 menit enzim telah terinaktivasi sehingga penguraian pga akibat reaksi-reaksi kimia yang dikatalisis oleh enzim dapat dihindari. pga dikembangkan dengan 2,7 kali air. secara teoritis pga dikembangkan dengan 7 kali air, namun bobot sediaan akan melebihi bobot sediaan yang diinginkan. pga dapat larut dalam 2,7 kali air.6 oleh karena itu agar diperoleh bobot sediaan yang tidak melebihi bobot sediaan yang diinginkan maka pga dikembangkan dengan 2,7 kali air dan disempurnakan pengembangannya selama 2 jam.6 dalam pembuatan emulsi, sediaan dalam matkan distirer selama 15 menit. padahal pada saat orientasi kecepatan pengadukan sediaan distirer selama 30 menit. pengurangan waktu pengadukan ini dilakukan karena sediaan dengan emulgator pga sebelumnya telah digerus dalam mortir hingga terbentuk emulsi yang stabil. pengadukan dengan stirer dilakukan hanya untuk penyempurnaan saja. orientasi formula sediaan emulsi minyak kelapa murni menggunakan emulgator pga dalam konsentrasi 5%, 10%, 15%, dan 20%, sedangkan xanthan gum dalam konsentrasi 0,5%, 1,5%, dan 3%.6 berdasarkan hasil pengamatan diperoleh sediaan dengan penampilan fisik yang baik yaitu sediaan menggunakan emulgator pga 20%. emulsi menggunakan emulgator pga dengan konsentrasi 5% dan 10% terjadi pemisahan fasa, sedangkan sediaan dengan pga 15% pecah beberapa menit setelah emulsi selesai dibuat. begitu juga dengan emulsi menggunakan emulgator xanthan gum dengan konsentrasi sebanyak 0,5%, 1,5% dan 3%, walaupun telah dilakukan pengocokan kembali namun tetap terjadi pemisahan fasa setelah emulsi didiamkan beberapa menit. pada emulsi diduga telah terjadi koalesensi yaitu peristiwa ketidakstabilan emulsi yang dikarenakan tidak hanya oleh energi bebas permukaan tetapi juga karena ketidaksempurnaan pelapisan globul, sehingga terjadi penggabungan globul-globul menjadi lebih besar. ketidaksempurnaan pelapisan globul ini dapat disebabkan antara lain konsentrasi emulgator yang digunakan belum mencukupi untuk menyelimuti globul-globul atau pengembangan emulgator yang belum sempurna sehingga proses pembentukan lapisan multimolekular belum sempurna. faktor lain yang mungkin terjadi adalah sistem emulsi yang terbentuk kurang kental, sehingga globul-globul tidak dapat dipertahankan tetap pada posisinya. akibatnya laju sedimentasi akan meningkat dan diperoleh emulsi yang tidak stabil.4,5,7,8 veegum adalah emulgator jenis partikel padat berbentuk koloid terbagi halus yang teradsorbsi pada permukaan globul terdispersi dan menghalangi bersatunya antar globul. veegum berfungsi sebagai penstabil emulsi dan pengental. partikel-partikel padat terbagi halus yang dibasahi sampai derajat tertentu oleh minyak dan air dapat bekerja sebagai zat pengemulsi. hal ini diakibatkan oleh keadaannya yang pekat pada antarmuka di mana dihasilkan suatu lapisan sekitar tetesan terdispersi, sehingga dapat mencegah terjadinya penggabungan.4,5,7,8 dalam percobaan veegum dikembangkan dalam larutan stok. dengan pembuatan larutan stok diharapkan pengembangan veegum dapat lebih sempurna karena digunakan air yang diperkirakan cukup banyak (20 kali jumlah veegum) untuk proses pengembangan veegum. berdasarkan pengamatan, emulsi menggunakan emulgator veegum dengan konsentrasi 1%, 96 ingenida hadning, formulasi dan uji stabilita fisik sediaan oral emulsi ... 3% dan 5% terjadi pemisahan fasa beberapa menit setelah emulsi selesai dibuat. walaupun telah dilakukan pengocokan kembali, namun tetap terjadi pemisahan fasa. hal ini menunjukkan bahwa emulsi mengalami koalesensi. koalesensi dapat disebabkan antara lain oleh konsentrasi emulgator yang digunakan belum mencukupi untuk menyelimuti globul minyak, sehingga kemungkinan globulglobul untuk bersatu kembali dapat terjadi, emulsi yang terbentuk kurang viskos sehingga globul-globul tidak dapat dipertahankan tetap pada posisinya, dan kualitas veegum yang digunakan tidak baik.4,5,7,8 veegum seharusnya berbentuk kepingan dengan warna putih hingga putih gading6, namun veegum yang terdapat di laboratorium berbentuk kepingan dengan warna putih kusam. kualitas veegum yang tidak baik dapat mempengaruhi kemampuan veegum untuk teradsorbsi pada permukaan globul dan menghalangi globul bersatu. faktor lain adalah pengembangan veegum yang belum sempurna.4,5,7,8 pengembangan veegum dengan diblender selama 15 menit mungkin saja belum mencukupi untuk veegum dapat mengembang sempurna untuk menunjang proses penyelimutan globul yang sempurna. pengembangan formulasi emulsi lainnya menggunakan kombinasi emulgator xanthan gum dan veegum. campuran antara xanthan gum dan veegum dengan rasio antara 1:2 dan 1:9 menghasilkan properti yang optimum, selain itu efek reologi yang sinergis terjadi.6 mekanisme kombinasi xanthan gum dan veegum sebagai emulgator adalah xanthan gum yang merupakan koloid hidrofilik membentuk lapisan multimolekular yang menyelimuti globul, sedangkan veegum berfungsi sebagai penstabil emulsi tersebut dengan teradsorbsi pada permukaan globul terdispersi sehingga menghalangi antar globul bersatu.4,5,7,8 sediaan menggunakan kombinasi emulgator xanthan gum dan veegum dengan konsentrasi 0,5% dan 1% serta 0,5% dan 3% memiliki konsistensi yang baik, mudah dituang, tidak terjadi pemisahan fasa namun sediaan pecah, tampak tetesan minyak pada permukaan sediaan. pada sediaan dengan konsentrasi xanthan gum dan veegum 1,5% dan 3% tidak terjadi pemisahan fasa, tidak pecah namun tidak dapat dituang karena viskositas yang terlalu tinggi. sediaan dengan konsentrasi xanthan gum dan veegum 1% dan 1%, 1% dan 3%, serta 1,5% dan 1% memiliki konsistensi yang baik, mudah dituang, tidak terjadi pemisahan fasa dan tidak pecah, namun sediaan dengan perbandingan konsentrasi xanthan gum dan veegum 1% dan 1% pada hari ke-3 tampak tetesan minyak pada permukaan sediaan sehingga disimpulkan sediaan pecah, sedangkan pada sediaan dengan perbandingan konsentrasi xanthan gum dan veegum 1% dan 1% serta 1,5% dan 1% hal tersebut terjadi pada hari ke-10. pengocokan kembali pada sediaan yang pecah membantu mengembalikan sediaan ke kondisi semula. ketidakstabilan emulsi ini disebut dengan creaming yang terjadi karena adanya energi bebas permukaan, globul-globul saling bergabung kembali sehingga pada emulsi terbentuk lapisan-lapisan dengan kerapatan massa yang berbeda-beda. jika fenomena ini terjadi pada emulsi maka emulsi masih dapat diperbaiki melalui peningkatan viskositas sediaan emulsi dengan penambahan zat peningkat 97 mutiara medika vol. 11 no. 2: 88-100, mei 2011 viskositas dan pengocokan. creaming tersebut juga dapat terjadi karena metode pembuatan emulsi yang kurang tepat sehingga kombinasi emulgator tidak dapat bekerja maksimal.4,5,7,8,15,16 berdasarkan pengamatan sediaan menggunakan kombinasi emulgator xanthan gum dengan veegum menggunakan metode pembuatan di atas (selanjutnya disebut metode pembuatan i), diperoleh sediaan dengan penampilan fisik yang lebih baik dari pada sediaan lainnya yaitu sediaan dengan kombinasi emulgator xanthan gum dengan veegum 1% dan 1% serta 1,5% dan 1%. pada metode pembuatan ii veegum ditambahkan dalam korpus emulsi yang terdiri dari xanthan gum dan minyak, sedangkan pada metode pembuatan i korpus emulsi dibuat dari veegum bersama-sama dengan xanthan gum dan minyak. pada formula 17 dan 18 diperoleh sediaan dengan kualitas yang tidak terlalu baik, sama halnya dengan metode pembuatan i. walaupun tidak terjadi pemisahan fasa, namun sediaan pecah pada hari ke-12. kualitas emulgator yang kurang baik seperti kualitas veegum yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat menjadi penyebab kekuatannya sebagai penstabil emulsi berkurang selain karena pengembangan emulgator yang kurang sempurna. emulsi dengan formula 15, formula 13, formula 18, dan formula 17 dilakukan evaluasi dan uji stabilita dengan strees testing untuk menghasilkan sediaan dengan penampilan fisik yang lebih baik dari formula lainnya.4,5,7,8 evaluasi dan uji stabilita fisik juga dilakukan terhadap emulsi dengan formula 4 (menggunakan emulgator pga 20%). formula sediaan emulsi yang dilakukan evaluasi dan uji stabilita fisik dapat dilihat pada tabel 2. berdasarkan pengamatan pada evaluasi sediaan terhadap masing-masing sediaan dapat disimpulkan bahwa sediaan stabil secara organoleptik karena tidak tampak adanya perubahan bau, warna, dan pertumbuhan jamur.4,5,7,8,11,12 penentuan tipe emulsi dilakukan dengan metode pengenceran dan metode metilen blue.4,5,7,8 berdasarkan pengamatan semua sediaan larut ketika diencerkan dengan air namun tidak larut ketika diencerkan dengan minyak. pada metode metilen blue, terlihat warna biru ketika preparat sediaan dilihat di bawah mikroskop. dapat disimpulkan bahwa tipe emulsi adalah minyak dalam air. uji homogenitas menunjukkan bahwa semua sediaan homogen atau zat aktif minyak kelapa murni terdispersi merata pada seluruh sediaan. hasil pengukuran ph dan viskositas dapat dilihat pada gambar 1 dan gambar 2. pengukuran viskositas sediaan menunjukkan bahwa viskositas sediaan 15 dan 17 meningkat dan cenderung konstan hingga hari ke-15, namun keganjilan terjadi pada sediaan 13, 18, dan 4 yang mengalami kenaikan dan penurunan viskositas tidak beraturan sehingga dicurigai mengalami creaming dimana terbentuk lapisan-lapisan dengan kerapatan massa yang berbeda-beda di dalam emulsi. berdasarkan pengukuran terlihat bahwa ph sediaan 15, 13, 18, dan 17 relatif stabil yaitu berkisar antara 6,5-7,30 dan sekitar 5 untuk sediaan 4. rheogram sediaan dapat dilihat pada gambar 3. rheogram tersebut menunjukkan bahwa formula emulsi 15, 13, 18, 17, dan 4 memiliki aliran tiksotropi. aliran tiksotropik adalah aliran cairan non newton yang sifat alirannya dipengaruhi waktu. tiksotropik didefinisikan sebagai suatu pemulihan 98 ingenida hadning, formulasi dan uji stabilita fisik sediaan oral emulsi ... yang isoterm dan lambat pada pendiaman bahan yang kehilangan konsistensinya karena shearing. apabila tekanan geser dihilangkan, maka sistem kembali ke kondisi semula memerlukan waktu yang berbeda dengan waktu terjadinya kurva naik. kondisi ini disebabkan karena terjadinya perubahan struktur yang tidak segera kembali ke keadaan semula ketika tekanan geser diturunkan.4,5,7,8 pengujian stabilitas fisik sediaan emulsi dilakukan menggunakan metode sentrifugasi dan freeze thaw. sentrifugasi dilakukan dengan kecepatan 3000 dan 5000 ppm selama 30 menit dan kecepatan 3750 ppm selama lima jam dan dicatat pada menit ke berapa mengalami pemisahan fasa. pada uji dengan sentrifugasi, emulsi dikatakan stabil apabila tidak menunjukkan kemunduran setelah dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 2000 sampai 3000 ppm pada temperature kamar.7,8 sentrifugasi pada 3750 ppm dalam suatu radius sentrifugasi 10 cm untuk waktu lima jam setara dengan efek gravitasi selama satu tahun.4 hasil pengamatan menunjukkan bahwa semua emulsi stabil pada uji stabilita menggunakan metode sentrifugasi, kecuali formula 4, dengan sentrifugasi 3750 ppm pada jam ke-2 mengalami pemisahan. namun formula 4 stabil pada sentrifugasi dengan kecepatan 3000 dan 5000 ppm. oleh karena itu dapat dikatakan bahwa formula 4 cukup stabil terhadap uji stabilita menggunakan metode sentrifugasi. pada metode freeze thaw dilakukan perhitungan secara statistik menggunakan analisis rancangan dua kelompok teracak sempurna dengan aras keberartian 0,05 terhadap ukuran globul fasa terdispersi setelah penyimpanan pada temperatur 4ºc dan 45ºc dibandingkan dengan ukuran globul fasa terdispersi pada temperatur ruangan pada hari yang sama sebagai kontrol. freeze thaw dilakukan hingga enam hingga delapan siklus, dengan satu siklusnya adalah penyimpanan pada temperatur 4ºc dan 45ºc dengan lama penyimpanan setiap temperatur dua hingga tiga hari.4,5,7,8 pengaruh freeze thaw terhadap sediaan 15, 13, 18, 17 adalah terjadi pemisahan fasa sejak siklus pertama sehingga pada sediaan 15, 13, 18, 17 tidak dilakukan pengukuran ukuran globul, sedangkan pada formula 4 tidak terjadi pemisahan fasa hingga siklus kedua namun terjadi pemisahan fasa sejak siklus ketiga. pengaruh freeze thaw terhadap ukuran globul sediaan 4 dapat dilihat pada tabel 3. ukuran globul berpengaruh terhadap pemisahan fasa. semakin kecil ukuran globul semakin besar pula energi bebas permukaannya, sehingga kemungkinan terjadinya penggabungan fasa terdispersi menjadi lebih besar yang pada akhirnya berpengaruh pada pemisahan fasa.4,5,7,8 oleh karena itu, pemisahan emulsi 15, 13, 18, 17 mungin saja disebabkan oleh ukuran globul sediaan yang terlalu kecil. ukuran globul yang kecil semakin tahan terhadap tekanan yang diberikan oleh sentrifugasi karena sentrifugasi dipengaruhi oleh gaya gravitasi sehingga globul yang mudah mengendap adalah globul dengan ukuran yang besar, sehingga sediaan 15, 13, 18, 17 tidak mengalami pemisahan fasa menggunakan metode sentrifugasi. sediaan 4 dinyatakan cukup stabil terhadap uji stabilita menggunakan metode sentrifugasi dan freeze thaw. hasil pengamatan secara umum menunjukkan penyimpanan pada temperatur 4ºc dan 45ºc pada siklus ke-2 tidak mempengaruhi ukuran 99 mutiara medika vol. 11 no. 2: 88-100, mei 2011 globul partikel terdispersi, sedangkan pada siklus ke-1 penyimpanan mempengaruhi ukuran globul partikel terdispersi. hasil perhitungan statistik menggunakan analisis rancangan dua kelompok teracak sempurna dengan aras keberartian 0,05 menyatakan bahwa terdapat perbedaan ukuran globul secara bermakna setelah disimpan dalam temperatur 4ºc siklus 1 dan 45ºc siklus 1, serta pada 45ºc siklus 1 dan 4ºc siklus 2. secara umum data ukuran globul menunjukkan hasil yang tidak beraturan. pada penelitian ini, data ukuran globul tidak dapat dijadikan parameter kestabilan fisik krim secara pasti karena cara pengambilan data yang kurang tepat. jumlah globul yang harus dihitung adalah sekitar 300 hingga 500 agar memperoleh perkiraan distribusi ukuran yang baik5, namun akan membutuhkan waktu yang lama, sehingga pada percobaan ini dilakukan pengambilan data kurang lebih 50 globul. simpulan secara umum formula emulsi dengan penampilan fisik yang meliputi warna, rasa, dan viskositas serta stabilita fisik yang paling baik adalah emulsi minyak kelapa murni 40% (b/b) menggunakan emulgator pga 20%. perlu dilakukan uji farmakologi seperti efek anti diabetes emulsi oral minyak kelapa murni dibandingkan dengan minyak kelapa murni. hal ini dilakukan untuk mengetahui adanya perubahan efek akibat modifikasi sediaan menjadi sediaan emulsi. disamping itu perlu juga dilakukan variasi pengawet seperti penambahan nipagin dan nipasol karena emulator alam yang digunakan sangat rentan terhadap pertumbuhan mikroorganisme. daftar pustaka 1. alamsyah an. virgin coconut oil: minyak penakluk aneka penyakit. depok: pt. agromedia pustaka, 2005; 1-104. 2. wibowo s. peran virgin coconut oil untuk kesehatan dan pencegahan komplikasi diabetes, workshop hari kebangkitan teknologi nasional ke-10, kedeputian perkembangan riptek-kementerian negara riset dan teknologi. 2005. 3. sutarmi. taklukkan penyakit dengan virgin coconut oil. jakarta: penebar swadaya, 2005; p.33-47. 4. lachman lha, lieberman, kanig jl. teori dan praktek farmasi industri, ed. 3, jil. 2, terjemahan s. suyatmi. jakarta: ui-press, 1994; p.1029–1088. 5. martin aj, swarbrick, cammarata a. farmasi fisik : dasar-dasar kimia fisik dalam ilmu farmasetik, jil. 2,ed. 3, jakarta: penerbit ui press, 1993; 1035-1120, 1143-1170. 6. rowe rc, paul js, paul jw. handbook of pharmaceutical excipients, 4th ed. london: the pharmaceutical press, 2003; p.1-2, 27-29, 9799, 343-346, 549-550, 691-693. 7. leiberman ha, rieger mm, banker gs. 1988. pharmaceutical dossage forms: disperse system, vol. 1. new york: marcel decker inc., 1988; p.199-240. 8. leiberman ha, rieger mm, banker gs. 1988. pharmaceutical dossage forms: disperse system, vol. 2. new york: marcel decker inc., 1988; p.335-369. 9. direktorat jenderal pengawasan obat dan makanan. farmakope indonesia, ed. 4, 100 ingenida hadning, formulasi dan uji stabilita fisik sediaan oral emulsi ... departemen kesehatan republik indonesia, jakarta, 1995, 6-7, 948-950, 1030-1031. 10. aditiawati p. pengembangan minyak kelapa fermentasi (virgin coconut oil), workshop hari kebangkitan teknologi nasional ke-10, kedeputian perkembangan riptek-kementerian negara riset dan teknologi, jakarta, 2005, 1-3. 11. patel nk, romanowski jm. heterogeneous systems ii : influence of partitioning and molecular interactions on in vitro biologic activity of preservatives ini emulsions. j pharm. sci 1970;59:372-375. 12. wade a, weller pj. handbook of pharmaceutical excipients, 2nd ed., london: the pharmaceutical press, 1994; p.1, 47, 269, 477. 13. king re. 1984, dispensing of medication, 9th ed. pennsylvania: mack publishing company, 1984; p.108-117. 14. lissant kj. 1974, surfactant science series volume 6: emulsions and emulsion technology. new york: marcel dekker inc., 1974; p. 1-123. 15. lund w. 1994, the pharmaceutical codex, 12th ed., london: the pharmaceutical press, 1994, p.32-37. 16. swarbrick j, boylan jc (eds.). encyclopedia of pharmaceutical technology, vol.5. new york: marcel dekker inc., 1992; p.137-157, 169-184. 05 ratna indriawati.pmd 167 mutiara medika vol. 11 no. 3: 167-174, september 2011 pengaruh mengkudu (morinda citrifolia) terhadap hipertensi pada kelompok usia lanjut the effect of mengkudu (morinda citrifolia) in hypertension of elderly group ratna indriawati1*, ibnu sarwo edhie hartono2 1bagian fisiologi fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, 2universitas muhammadiyah yogyakarta, 2program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta *email: r_indriawatiwibowo@yahoo.com abstrak hipertensi merupakan problem kesehatan yang sangat penting di masyarakat indonesia. obat untuk hipertensi semakin berkembang dari tahun ke tahun. penelitian-penelitian untuk menemukan obat dengan efektifitas yang lebih baik dan efek samping seminimal mungkin terus berlanjut. namun di sisi lain secara turun temurun sebenarnya telah dikenal pengobatan tradisional untuk mengatasi hipertensi, salah satunya adalah buah mengkudu (morinda citrifolia). penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh m. citrifolia terhadap hipertensi pada kelompok usia lanjut. penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan penelitian pre test-post test randomized control group design. subjek penelitian berjumlah 30 orang. hasil uji analisis statistik untuk tekanan darah sistolik adalah terdapat penurunan tekanan darah sistolik sebelum dan sesudah minum kapsul ekstrak m. citrifolia yang bermakna secara statistik (p=0,00). demikian juga dengan ekanan darah diastolik terdapat penurunan tekanan darah diastolik sebelum dan sesudah minum kapsul ekstrak m. citrifolia yang bermakna secara statistik (p=0,00). hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik pada lansia yang rutin minum kapsul ekstrak m. citrifolia secara teratur. kata kunci: lanjut usia, m. citrifolia, tekanan darah abstract hypertension is problem a real important health in indonesia public. drug for hypertension increasingly grows from year to year. researchs to find drug with better effectivity and side effects as minimum as possible still going. but on the other side hereditaryly actually has been recognized traditional therapy to overcome hypertension, one of them is is fruit of mengkudu (morinda citrifolia).this research aim to study influence m. citrifolia to hypertension at elderly group.this research is experimental research with research planning of pre test-post test randomized control group design. research subject amounts to 30 people. statistical analysis test result for systolic blood pressure is sig value = 0,00 meaning lower than value significan (p<0,05) mean there is pressure difference of systolic blood pressure before and after consuming extract capsule mengkudu. at category diastolic blood pressure is sig value = 0,00 mean there is difference also at diastolic blood pressure before and after consuming extract capsule m. citrifolia. from result examination of this research is inferential that there is decrease of systolic and diastolic blood pressure at elderly group which is routine consumed extract capsule m. citrifolia regularly. key words : elderly, m. citrifolia, blood pressure artikel penelitian 168 ratna indriawati, pengaruh mengkudu (morinda citrifolia) terhadap hipertensi ... pendahuluan hipertensi merupakan problem kesehatan yang sangat penting di masyarakat indonesia. perubahan pola hidup sehat sangat diutamakan selain pemberian obat dalam mengelola hipertensi. pasien hipertensi akan membutuhkan obat hampir selama sisa hidupnya. obat yang ada selama ini sebagian besar merupakan produk impor, berupa bahan obat maupun obat jadi dan harganya cukup mahal. indonesia mengalami krisis ekonomi sejak 1997, keadaan ini mengakibatkan masyarakat semakin tidak mampu membeli obat impor. banyak masyarakat menggunakan obat tradisional untuk menurunkan tekanan darah tinggi.1 salah satu tanaman obat yang banyak digunakan saat ini sebagai obat tradisional adalah buah mengkudu (morinda citrifolia). sejak lama buah m. citrifolia dikenal dan digunakan sebagai tanaman yang berkhasiat untuk menyembuhkan beberapa penyakit, antara lain penyakit hepar, radang lambung, hipertensi, diabetes, diuretik, obat cacing gelang. hasil penelitian menunjukkan bahwa m. citrifolia dapat menurunkan kadar kolesterol darah, low density lipoprotein (ldl), trigliserida dan peningkatan high density lipoprotein (hdl) serta dapat memperbaiki struktur histologi pembuluh (penebalan tunika media) aorta mencit yang diberikan diet tinggi lemak.2,3 salah satu tanaman obat yang banyak digunakan saat ini sebagai obat tradisional adalah buah m. citrifolia. sejak lama buah m. citrifolia dikenal dan digunakan sebagai tanaman yang berkhasiat untuk menyembuhkan beberapa penyakit, antara lain penyakit hepar, radang lambung, hipertensi, diabetes, diuretik, obat cacing gelang.4 akhir-akhir ini tanaman tersebut mendapat perhatian dunia karena adanya fakta empiris dan kepercayaan serta bukti penelitian ilmiah bahwa m. citrifolia mempunyai berbagai khasiat penyembuhan terhadap berbagai penyakit degeneratif yang sulit disembuhkan seperti kanker, diabetes, tumor dan lain sebagainya. hasil penelitian secara ilmiah dapat dibuktikan bahwa pada semua bagian tanaman m. citrifolia terkandung berbagai senyawa yang berguna dan berkhasiat obat.5 m. citrifolia termasuk ke dalam filum angiospermae, sub filum dicotyledonae, divisi lignosae, famili rubiaceae, genus morinda, species citrifolia. m. citrifolia dalam bahasa inggris dinamakan “indian mulberry” dan nama ilmiahnya morinda citrifolia l. m. citrifolia berperawakan perdu atau bentuk pohon kecil, tingginya 3–8 m, banyak bercabang, kulit batangnya berwarna kekuningan, cabang-cabangnya kaku, kasar tapi mudah patah. 6 daunnya bertangkai, berwarna hijau tua, duduk daun bersilang, berhadapan, bentuknya bulat telur, lebar, sampai berbentuk elips, panjang daun 10 – 40 cm, lebar 5 – 17 cm, helaian daun tebal, mengkilap, tepi daun rata, ujungnya meruncing, pangkal daun menyempit, tulang daun menyirip. bunga berbentuk bonggol, keluar dari ketiak daun. satu bonggol tumbuh lebih dari 90 mahkota bunga berwarna putih, berbentuk tabung seperti terompet yang tumbuh secara bertahap 1 – 3 mahkota bunga setiap 3 hari. bonggol tersebut merupakan bakal buah. buahnya berupa buah buni majemuk, yang berkumpul menjadi satu, bertangkai pendek, bentuk bulat lonjong, panjangnya 5 – 10 cm. 6 permukaan buah tidak rata, terbagi kedalam sel-sel poligonal yang berbintik-bintik dan berkutil. buah muda berwarna hijau, makin tua kulit buah agak menguning, dan buah yang matang berwarna 169 mutiara medika vol. 11 no. 3: 167-174, september 2011 putih menguning, dan transparan. buah yang matang dagingnya lunak berair dan bau busuk. m. citrifolia berkembang biak dengan biji. satu buah banyak terdapat biji dan dapat mengandung lebih dari 300 biji. bentuk biji pipih lonjong, berwarna hitam kecoklatan, kulit biji tidak teratur/tidak rata.7 ekstrak biji m. citrifolia yang larut dalam alkohol dengan konsentrasi 20% dapat menurunkan tekanan darah arteria femoralis pada kelinci. ekstrak tersebut dibanding dengan alpropenol dan dihidroergotamin, efeknya lebih lemah dalam menurunkan tekanan darah pada kelinci. ekstrak alkohol biji m. citrifolia lebih menyerupai kuinidin dalam menurunkan frekuensi denyut jantung dan menghambat kenaikan frekuensi dan denyut jantung.6 perasan daging buah m. citrifolia memberikan perubahan yang sangat berarti pada jantung yaitu menurunkan kekuatan kontraksi otot jantung, dan menaikkan jumlah aliran darah koroner jantung tiap menitnya. secara kualitatif perasan buah m. citrifolia pada pembuluh darah aorta terpisah menunjukkan tendensi penambahan kepekaan terhadap efek adrenalin, serta mampu menghambat efek noradrenalin pada jantung.7 tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah kondisi medis di mana terjadi peningkatan tekanan darah secara kronis (dalam jangka waktu lama). definisi hipertensi tidak berubah sesuai dengan umur: tekanan darah sistolik (tds) ≥ 140 mmhg dan/ atau tekanan darah diastolik (tdd) ≥ 90 mmhg. penyebab hipertensi sekitar 90% tidak di ketahui (hipertensi essensial/primer). hipertensi essensial dini diketahui oleh adanya curah jantung yang meningkat, kemudian menetap dan peningkatan tekanan perifer. sekitar 5-10% kasus merupakan hipertensi sekunder. penyebabnya secara spesifik diketahui, seperti penyakit hipertensi renal, yang terjadi akibat stenosis artei renalis. akibatnya dapat terjadi peningkatan sintesis renin plasma sehingga terjadi aktivasi sistem renin-angiotensin pada ginjal yang menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium serta vasokontriksi pembuluh darah arteriola dan selanjutnya dapat mengakibatkan peningkatan tekanan darah arteri.8 walaupun peningkatan tekanan darah bukan merupakan bagian normal dari ketuaan, insiden hipertensi pada lanjut usia adalah tinggi. setelah umur 69 tahun, prevalensi hipertensi meningkat sampai 50%. national health and nutrition examination survey pada tahun 1988-1991 menemukan prevalensi hipertensi pada kelompok umur 65-74 tahun sebagai berikut: prevalensi keseluruhan 49,6% untuk hipertensi derajat 1 (140-159/90-99 mmhg), 18,2% untuk hipertensi derajat 2 (160-179/ 100-109 mmhg), dan 6.5% untuk hipertensi derajat 3 (>180/110 mmhg). prevalensi hst berturut-turut adalah sekitar 7%, 11%, 18% dan 25% pada kelompok umur 60-69, 70-79, 80-89, dan diatas 90 tahun. hst lebih sering ditemukan pada perempuan dari pada laki-laki. penelitian di rotterdam, belanda ditemukan: dari 7983 penduduk berusia di atas 55 tahun, prevalensi hipertensi (≥160/95 mmhg) meningkat sesuai dengan umur, lebih tinggi pada perempuan (39%) dari pada laki-laki (31%).9,10 apakah m. citrifolia berpengaruh terhadap hipertensi pada kelompok usia lanjut? tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh m. citrifolia terhadap hipertensi pada kelompok usia lanjut. bahan dan cara jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan penelitian pre test-post 170 ratna indriawati, pengaruh mengkudu (morinda citrifolia) terhadap hipertensi ... test randomized control group design. penelitian ini dilakukan di desa dan kecamatan batur, kabupaten banjarnegara, jawa tengah pada bulan juli 2008. subjek dalam penelitian ini berjumlah 30 orang lansia penderita hipertensi yang terdiri dari 15 orang laki-laki dan 15 orang perempuan yang diambil perbedaan tekanan darahnya sebelum minum kapsul yang pertama dan setelah minum kapsul terakhir yaitu setelah hari ke 15. tiap responden diharuskan minum kapsul ekstrak m. citrifolia dengan dosis 2 kapsul sebanyak 2x per hari selama 15 hari secara teratur. tiap kapsul mengandung ekstrak m. citrifolia murni sebanyak 450 mg. jadi pada penelitian ini tiap responden menghabiskan sebanyak 60 kapsul selama 15 hari. ekstrak kapsul m. citrifolia murni didapatkan dengan membeli dalam bentuk jadi dari sebuah perusahaan yang memproduksi dan menjualnya secara bebas di pasaran. kriteria inklusi untuk responden dalam penelitian ini antara lain adalah penderita hipertensi baik laki-laki maupun perempuan, berusia lanjut (>60 tahun), bertempat tinggal di desa batur, banjarnegara, jawa tengah, dan bersedia menjadi probandus atau responden untuk penelitia, sedangkan kriteria eksklusinya antara lain adalah menderita penyakit berat lainnya selain hipertensi, sedang menggunakan obat-obatan terutama obat antihipertensi, dan merokok, minum kopi dan atau meminum minuman keras. variabel dalam penelitian ini adalah mengkudu (morinda citrifolia) sebagai variabel bebas, sedangkan hipertensi pada usia lanjut sebagai variabel tergantung. alat penelitian yang digunakan adalah: sphygmomanometer air raksa untuk mengukur tekanan darah responden atau probandus, stetoskop untuk mendengar bunyi sistolik dan diastolik saat mengukur tekanan darah probandus, surat persetujuan (informed consent) untuk dijadikan sebagai probandus, dan blanko tes yang berisi semua data responden dan digunakan sebagai alat untuk mencatat semua hasil pengukuran tekanan darah responden selama penelitian. sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kapsul ekstrak m. citrifolia murni 450 mg. cara kerja dalam penelitian ini antara lain adalah probandus sebanyak 30 orang ditentukan sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusinya dan probandus yang bersedia untuk diteliti diminta mengisi dan menandatangani surat persetujuan ikut dalam penelitian (informed consent). probandus diminta secara rutin memakan kapsul ekstrak m. citrifolia yang telah disediakan oleh peneliti sebanyak 2 kali sehari yang dimakan satu jam setelah makan pada pagi dan malam hari selama 15 hari. tekanan darah diukur sebanyak 3 kali yaitu sebelum probandus memakan kapsul yang pertama di hari ke-1, pada hari ke-8, dan hari ke-16 setelah probandus menghabiskan kapsul yang ke-30. tekanan darah yang diukur adalah tekanan darah sistolik dan diastolik. pengukuran dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan stetoskop dan sphygmomanometer air raksa. pengukuran tekanan darah dilakukan pada probandus yang berbaring dan diukur dengan memasang manset pada 2/3 lengan kanan atas. hasil pengukuran tekanan darah yang diperoleh dicatat pada blanko tes yang telah disediakan. setelah semua data hasil pengukuran tekanan diperoleh, kemudian data tersebut dianalisis menggunakan paired t-test. 171 mutiara medika vol. 11 no. 3: 167-174, september 2011 hasil karakteristik subyek pada penelitian ini adalah usia terendah 60 tahun dan tertinggi 76 tahun. berat badan terendah adalah 46 kg dan tertinggi 72 kg. tinggi badan terendah adalah 154 cm dan tertinggi 170 cm. tekanan darah sistolik terendah sebelum penelitian adalah 164 mmhg dan tertinggi 212 mmhg. tekanan diastolik terendah sebelum penelitian adalah 96 mmhg dan tertinggi 136 mmhg. responden paling banyak berusia 61 tahun yaitu sebanyak 8 orang lansia (26,7%). hipertensi paling banyak adalah hipertensi sedang (160/100179/109 mmhg), sebanyak 4 orang lansia (13,3%) pada tekanan darah sistolik dan 8 orang lansia (26,7%) pada tekanan darah diastolik. tekanan darah yang akan dibahas dalam penelitian kali ini meliputi tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik sebelum dan sesudah penelitian. tekanan darah sistolik sebelum penelitian berdasarkan klasifikasi hipertensi menurut who-ish tahun 1999, dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan pada 30 orang subyek sebelum penelitian didapatkan prosentase subyek penelitian dengan hipertensi ringan (140-159 mmhg) adalah 0%. prosentase pada subyek penelitian dengan hipertensi sedang (160-179 mmhg) adalah 60%. prosentase pada subyek penelitian dengan hipertensi berat (>180 mmhg) adalah 40%. hasil analisis dengan paired t test menunjukkan adanya penurunan tekanan darah sistolik yang bermakna secara statistik (p<0,05). tekanan darah diastolik sebelum penelitian berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan pada 30 orang subyek sebelum penelitian didapatkan prosentase subyek penelitian dengan hipertensi ringan (90-99 mmhg) adalah 16,7%. prosentase pada subyek penelitian dengan hipertensi sedang (100-109 mmhg) adalah 50%. dan prosentase pada subyek penelitian dengan hipertensi berat (>110 mmhg) adalah 33,3%. hasil analisis dengan paired t test menunjukkan adanya penurunan tekanan darah sistolik yang bermakna secara statistik (p<0,05) pada para responden tekanan darah sistolik setelah penelitian perbandingan tekanan darah sistolik sebelum dan sesudah penelitian dapat dilihat pada tabel 2. berdasarkan tabel 2, distribusi frekuensi tekanan darah sistolik sebelum dan sesudah penelitian di atas, dapat terlihat bahwa telah terjadi pergeseran jumlah penderita hipertensi dari hipertensi tabel 2. distribusi frekuensi tekanan darah sistolik sebelum dan sesudah penelitian. sistolik sebelum sesudah n % n % tekanan darah normal (120 -129) tekanan darah normal tinggi (130 -139) hipertensi ringan (140-159) hipertensi s edang (160-179) hipertensi berat (>180) 16 14 53,3 46,7 17 11 2 56,7 36,6 6,7 tabel 1. karakteristik subyek penelitian karakteristik rentang rerata usia (tahun) berat badan (kg) tinggi badan (cm) indeks massa tubuh (bmi) tekanan darah sistolik (mmhg) tekanan darah diastolik (mmhg) 60-76 46-72 154-170 18,902-24,977 164-212 96-136 68 59 162 21,939 188 116 172 ratna indriawati, pengaruh mengkudu (morinda citrifolia) terhadap hipertensi ... ringan yang sebelumnya tidak ada berubah menjadi 17 orang. kemudian pada hipertensi sedang yang sebelumnya berjumlah 16 orang berbah menjadi 11 orang. pada hipertensi berat yang sebelumnya berjumlah 14 orang berubah menjadi hanya 2 orang. hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran distribusi ke arah membaik (dari hipertensi berat menjadi hipertensi sedang, dan dari hipertensi sedang menjadi hipertensi ringan). tekanan darah diastolik setelah penelitian perbandingan tekanan darah diastolik sebelum dan sesudah penelitian dapat dilihat pada tabel 3. berdasarkan tabel 3. distribusi frekuensi tekanan darah diastolik sebelum dan sesudah penelitian di atas, dapat terlihat bahwa telah terjadi pergeseran jumlah penderita hipertensi dari hipertensi ringan yang sebelumnya berjumlah 5 orang berubah menjadi 12 orang. kemudian pada hipertensi sedang yang sebelumnya berjumlah 19 orang berubah menjadi 14 orang. pada hipertensi berat yang sebelumnya berjumlah 6 orang berubah menjadi hanya 4 orang. hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran distribusi ke arah membaik (dari hipertensi berat menjadi hipertensi sedang, dan dari hipertensi sedang menjadi hipertensi ringan). diskusi hasil penelitian ini menunjukkan adanya penurunan tekanan darah yang bermakna pada lansia yang mengkonsumsi kapsul ekstrak m. citrifolia. tujuan penanganan pasien hipertensi adalah untuk mencegah morbiditas dan mortalitas yang berkaitan dengan tingginya tekanan darah. tekanan darah diharapkan dapat dipertahankan di bawah 140/90 mmhg atau di bawah 130/80 mmhg untuk pasien yang mengalami diabetes dan gagal ginjal. akan tetapi pada penelitian ini belum terlihat bahwa penurunan tekanan darah dapat mencapai di bawah 140/90 mmhg. mungkin hal itu terjadi karena singkatnya masa penelitian yang hanya 15 hari. padahal pengobatan dengan buah m. citrifolia merupakan pengobatan herbal yang biasanya membutuhkan waktu yang lama dan pengobatan yang rutin agar dapat terlihat efek yang diharapkan. atau mungkin disebabkan oleh faktor lain seperti tepatnya dosis yang diberikan dan lain sebagainya. seluruh responden pada penelitian ini tidak ada yang alergi terhadap zat aktif yang ada pada m. citrifolia. tetapi setelah penelitian berakhir dan pengobatan dengan kapsul ekstrak m. citrifolia ini dihentikan, beberapa hari kemudian dilakukan pengukuran tekanan darah lagi terhadap para responden dan didapatkan bahwa tekanan darah mereka menjadi naik kembali. m. citrifolia dapat menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi karena mengandung sejenis fitonutrien, yaitu scopoletin yang berfungsi untuk memperlebar saluran pembuluh darah yang mengalami penyempitan dan melancarkan peredaran darah. hal ini menyebabkan jantung tidak perlu bekerja terlalu keras untuk memompa darah, sehingga tekanan darah menjadi normal.11 tabel 3. distribusi frekuensi tekanan darah diastolik sebelum dan sesudah penelitian. diastolik sebelum sesudah n % n % tekanan darah normal (80-84) tekanan darah normal tinggi (85-89) hipertensi ringan (90-99) hipertensi sedang (100-109) hipertensi berat (>110) 5 19 6 16,7 63,3 20 12 14 4 40 46,7 13,3 173 mutiara medika vol. 11 no. 3: 167-174, september 2011 scopoletin adalah salah satu di antara zat-zat yang terdapat dalam buah m. citrifolia yang dapat mengikat serotonin, salah satu zat kimiawi penting di dalam tubuh manusia.11 serotonin merupakan neurotransmiter yang terlibat dalam transmisi impuls saraf. serotonin selain berfungsi sebagai neurotransmiter juga sebagai pencetus hormon melatonin yang dapat menurunkan tingkat stres. umumnya orang yang lanjut usia juga mengalami stres, kecemasan, dan depresi karena tidak semua orang dapat melakukan adaptasi dengan baik yang disebabkan karena berbagai macam stresor yang terdapat dalam kehidupan mereka, sehingga dapat menimbulkan stres, cemas, dan depresi. stres yang dialami seseorang dapat menimbulkan reaksi pada tubuh baik secara fisiologis maupun psikologis. depresi dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah melalui peningkatan cardiac output dan denyut jantung tanpa pengaruh resistensi perifer total. keadaan stres didapatkan peningkatan kadar katekolamin, kortisol, vasopresin, endorphin dan aldosteron, yang mungkin sebagian menjelaskan mekanisme peningkatan tekanan darah.12,13,14 scopoletin menurunkan tekanan darah tinggi dan normal menjadi rendah (hipotensi yang abnormal). namun demikian, scopoletin yang terdapat dalam buah m. citrifolia dapat berinteraksi sinergis dengan nutraceuticals (makanan yang berfungsi untuk pengobatan) lain untuk mengatur tekanan darah tinggi menjadi normal, tetapi tidak menurunkan tekanan darah yang sudah normal. tidak pernah ditemukan kasus di mana tekanan darah normal turun hingga mengakibatkan tekanan darah rendah (hipotensi).10 hasil penelitian ini menunjukkan adanya penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik yang bermakna secara statistik (p<0,05) pada kelompok usia lanjut yang mengkonsumsi kapsul ekstrak m. citrifolia secara rutin. tekanan darah pada para responden menjadi tinggi kembali ketika pemberian kapsul ekstrak m. citrifolia dihentikan. hasil penelitian yang dilakukan oleh wahyuningtyas, armiati dan supriyono (2012) juga menunjukkan bahwa pemberian ekstrak m. citrifolia pada kelompok usia lebih dari 35 tahun dapat menurunkan tekanan darah yang bermakna secara statistik (p=0,001).15 simpulan terdapat penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik yang bermakna secara statistik pada kelompok usia lanjut yang mengkonsumsi kapsul ekstrak m. citrifolia secara rutin. daftar pustaka 1. supari, f. efek seledri dan kumis kucing terhadap pengendalian tekanan darah selama 24 jam. artikel penelitian. jakarta: fakultas kedokteran universitas indonesia. 2004. 2. sally, e. pengaruh infusa mengkudu terhadap kadar kolesterol total,trigliserida, ldl, dan hdl serum darah mencit (mus musculus) setelah pemberian pakan tinggi lemak. surabaya: skripsi. fkh. unair. 2003. 3. zaini, a.m. pengaruh pemberian infusum mengkudu (morinda citrifolia) terhadap gambaran histopatologi aorta mencit (mus musculus) jantan yang diberi diet tinggi lemak. surabaya: skripsi. fkh unair. 2003. 4. anonim. buah mengkudu (morinda citrifolia l); 2004. diakses dari http://www.asiamaya. com. diakses tanggal 6 agustus 2010. 5. bangun, c.a & sarwono, b. sehat dengan ramuan tradisional, khasiat dan manfaat meng174 ratna indriawati, pengaruh mengkudu (morinda citrifolia) terhadap hipertensi ... kudu. ed. 1. jakarta: agro media pustaka. 2002. 6. djuhariya, e. mengkudu (morinda citrifolia) tanaman obat potensial. balai penelitian rempah dan obat. pengembangan teknologi tro. 2003. 7. sudiarto, djauhariya e., rahardjo m., ma’mun, rudi, t., & hera n. penyiapan bahan tanaman, standarisasi bahan baku, dan formulasi anti diabet mengkudu. laporan hasil penelitian. bogor: balai penelitian tanaman rempah dan obat, 2003. 8. guyton, a.c & hall, j.e. buku ajar fisiologi kedokteran ed. 9. jakarta: egc. 2007. 9. rigaud, a.s & forette, b. hypertension in older adult. j. gerontol a biol sci med sci, 2001; 56(4):m217-25. 10. van rossum, ctm., van de mhen, jcm, hofman, a. mackenbach, jp. & groobee. prevalence, treatmant and control of hypertension by sociodemographic factor among the dutch elderly. hypertension j, 2000; 35(3): 814-21 11. smeltzer, s.c. & bare, b.g. buku ajar keperawatan medical bedah brunner & suddante. edisi 8. jakarta: egc. 2001. 12. farham. buah mengkudu penurun tekanan darah. http://www. griya-herbal.com/mengkudu/; 2010. diakses tanggal 30 maret 2012. 13. hawari, d. sejahtera di usia senja-dimensi psikoreligi pada usia lanjut. jakarta: fkui. 2007. 14. hidayat, a & aziz, a. pengantar konsep dasar keperawatan. jakarta: salemba medika; 2004. 15. wahyuningtyas, y., armiati, y. & supriyono, m. pengaruh pemberian mengkudu terhadap penurunan tekanan darah pada penderita hipertensi di di desa ujungwatu, kecamatan donorojo, kabupaten jepara. ejournal.stikestelogo rejo.ac.id/index.php; 2012. diakses tanggal 16 juli 2012. 0 daftar isi 11-2.p65 131 mutiara medika vol. 11 no. 2: 131-137, mei 2011 hubungan antara tingkat motivasi dengan tingkat partisipasi kader posyandu balita di kelurahan karangsewu galur kulon progo yogyakarta the relationship between motivatinos with participation level of balita posyandu health workers in karangsewu districs, galur, kulon progo yogyakarta afrina rahma zuanita1, muhammad afandi2 1mahasiswa program studi ilmu keperawatan fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta 2bagian keperawatan dasar dan manajemen keperawatan. program studi ilmu keperawatan fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan universitas muhammadiyah yogyakarta. jalan lingkar selatan tamantirto kasihan bantul yogyakarta 55183 email: mohafandi2003@yahoo.com abstrak keberhasilan posyandu (pos pelayanan terpadu) sangat ditentukan oleh kinerja kader, karena kader merupakan penggerak posyandu dan hidup matinya posyandu tergantung aktif tidaknya kader. kader posyandu akan memberikan hasil yang memuaskan bila memiliki motivasi yang baik. seorang kader yang memiliki motivasi dan kemampuan yang baik dalam menjalankan tugasnya akan menghasilkan kinerja yang baik. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara motivasi dengan tingkat partisipasi kader posyandu balita. desain penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan cross sectional dengan analisis data menggunakan uji statistik korelasi spearman’s rank. penelitian ini menggunakan total sampling method diperoleh 80 responden. data diperoleh dengan cara pengisian kuesioner oleh responden. hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara motivasi dengan tingkat partisipasi kader posyandu balita dengan nilai p=0,000 dan nilai korelasi r=0,615. motivasi kader posyandu balita tergolong dalam motivasi tinggi dengan prosentase sebesar 78,8% dan tingkat partisipasi kader posyandu balita juga tergolong tinggi dengan prosentase sebesar 71,3%. disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara motivasi dengan tingkat partisipasi kader posyandu balita di kelurahan karangsewu galur kulon progo yogyakarta. kata kunci: kader, posyandu, motivasi, partisipasi abstract the successful of posyandu was determined by the health workers performance. the health workers are activator of posyandu and the life of posyandu depends on the health workers. health workers will provide satisfaction results if it has a good motivation. health workers who have highly motivation and excellent ability in carrying out their duties will result in good performance. the purpose of this research was to know the relationship between motivations with the level of participation of health workers in posyandu. this research was a descriptive research with cross sectional approach and spearman’s rank corellation data statistic. data were collected by total sampling method as many as 80 samples. the result of research showed that the relationship between motivation with the level of participation of health workers posyandu children with p value was p=0,000 and correlation value was r=0,615. motivation of posyandu health workers include in a high percentage 78,8% and then level of participation of health workers posyandu include in a high percentage 71,3%. conclusion of this research was there is a significant the relationship between motivations with the level of participation of health workers posyandu children with p value was p=0,000. key words: health workers, posyandu, motivation, participation artikel penelitian 132 zuanita & afandi, hubungan antara tingkat motivasi dengan ... pendahuluan kehadiran posyandu di indonesia telah memberikan andil yang cukup besar dalam menurunkan angka kematian ibu dan anak. posyandu juga mempunyai kontribusi yang besar dalam pencapaian tujuan pembangunan kesehatan. dalam hal ini diperlukan upaya untuk meningkatkan pembangunan kesehatan masyarakat yang dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk masyarakat swasta dan madani. salah satu wujud dari pemberdayaan masyarakat tersebut adalah posyandu.1 posyandu merupakan kegiatan nyata yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam upaya pelayanan kesehatan dari-oleh-untuk masyarakat yang dilaksanakan oleh kader. kader yang ditugaskan adalah warga setempat yang telah dilatih puskesmas.2 menurut effendi kegiatan posyandu merupakan kegiatan nyata yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam upaya pelayanan kesehatan dari masyarakat, yang dilaksanakan oleh kader-kader kesehatan yang telah mendapatkan pendidikan dan pelatihan dari puskesmas mengenai pelayanan kesehatan dasar.3 salah satu permasalahan yang berkaitan dengan kader adalah tingginya drop out kader. prosentase kader aktif secara nasional adalah 69,2%, sehingga angka drop out kader sekitar 30,8%. kader drop out adalah mekanisme yang alamiah karena pekerjaan yang didasari sukarela tentu saja secara kesisteman tidak mempunyai ikatan yang kuat.4 menurut profil kesehatan jawa tengah tahun 2003 dalam widiastuti (2007), bahwa pada tahun 2002 jumlah posyandu mengalami penurunan sebanyak 530 posyandu dibandingkan tahun 2001 yaitu dari 46.275 menjadi 45.745. demikian juga dengan jumlah kader aktif yang pada tahun 2002 mengalami penurunan 46.652 kader dibandingkan dengan tahun 2001 yaitu dari 194.552 kader menjadi 147.900 kader.5 berdasarkan penelitian di wilayah yogyakarta terdapat kader yang tidak aktif. dalam penelitian6 di wilayah puskesmas gamping 1 jumlah kader posyandu yang aktif hanya sebesar 70% dari 325 kader posyandu yang ada. pada penelitian7 di wilayah kerja puskesmas mlati 1 kabupaten sleman tingkat keaktifan kader yang tergolong baik hanya 25,71% dan 74,29% tergolong kurang baik. pada penelitian8 di kecamatan wirobrajan jumlah kader posyandu yang ada 339 dan yang aktif hanya 63,4%. penelitian di kecamatan panjatan kabupaten kulon progo di dapatkan kader yang aktif dalam setiap pelaksanaan posyandu sebesar 68,6% dari 35 kader.9 faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi kader adalah faktor masyarakat, faktor tokoh masyarakat, dan faktor petugas puskesmas. ketiga faktor tersebut memiliki hubungan yang erat dalam memotivasi kader agar dapat terus berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan posyandu sehingga apabila salah satu tidak ikut terlibat dalam kegiatan posyandu maka kegiatan posyandu tidak dapat berjalan secara optimal.5 kader posyandu akan memberikan hasil yang memuaskan bila memiliki motivasi yang bagus. motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau dan rela untuk mengerahkan kemampuan, dalam bentuk keahlian atau keterampilan, tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajib133 mutiara medika vol. 11 no. 2: 131-137, mei 2011 annya, dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang telah ditentukan sebelumnya.10 motivasi penting karena dengan motivasi ini diharapkan setiap individu karyawan mau bekerja keras dan antusias untuk menciptakan produktivitas kerja yang tinggi. keberhasilan posyandu ini sangat ditentukan oleh kinerja kader, karena kader merupakan penggerak posyandu dan hidup matinya posyandu tergantung aktif tidaknya kader. tidak jarang karena permasalahan kurangnya perhatian dari kepala desa, ketua tp pkk, maupun petugas puskesmas terhadap kader posyandu membuat posyandu menjadi semakin layu.11 berdasarkan hal tersebut diatas, perlu dilakukan survai lanjut untuk mengetahui hubungan antara tingkat motivasi dan tingkat partisipasi kader posyandu balita di kelurahan karangsewu galur kulon progo yogyakarta. hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengetahui salah satu factor yang mempengaruhi partisipasi kader posyandu terutama yang bersifat intrinsic, sehingga dapat dijadikan pertimbangan dalam upaya optimalisasi peran kader posyandu. bahan dan cara jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan (memaparkan) peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada masa kini dan untuk menjelaskan, memberi suatu nama, situasi, atau fenomena dalam menemukan ide baru.12 metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan cross sectional . penelitian ini menggunakan total sampling method yaitu mengambil semua populasi yang ada yang berjumlah 80 responden. adapun kriteria inklusi adalah kader posyandu balita, tinggal di kelurahan karangsewu, bersedia menjadi responden. dan kriteria ekslusi yaitu bila pengisian kuesioner tidak terbaca. cara mengumpulkan data dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan kuesioner untuk mendapatkan data variabel tingkat motivasi dan tingkat partisipasi kader posyandu. kuesioner ini dapat digunakan sebagai laporan mengenai dirinya sendiri yang dalam pengisiannya diharapkan menggunakan keyakinan sendiri sesuai kata hati sendiri. angket kuesioner diberikan kepada seluruh kader posyandu di kelurahan karangsewu. pada saat pengumpulan data, tingkat motivasi kader dikategorikan sebagai berikut yaitu motivasi kader tinggi bila jumlah skor jawaban 76-100%, motivasi kader sedang bila jumlah skor jawaban 56-75% dan motivasi kader rendah bila jumlah skor jawaban? 56%. sedangkan untuk partisipasi kader, dikategori sebagai berikut yaitu tingkat partisipasi kader tinggi bila jumlah skor jawaban 76-100%, tingkat partisipasi kader sedang bila jumlah skor jawaban 56-75%, dan tingkat partisipasi kader rendah bila jumlah skor jawaban? 56%. analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis bivariat yang bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara dua variabel yang dihubungkan dalam penelitian ini. uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini yaitu uji spearman’s rank. jika hasil analisis yang diperoleh p<0,05 maka berarti terdapat hubungan antara variabel yang diuji dan jika p>0,05 berarti tidak terdapat hubungan antara variabel yang diuji.13 134 zuanita & afandi, hubungan antara tingkat motivasi dengan ... hasil motivasi kader posyandu balita. tabel 1. adalah distribusi frekuensi dari motivasi kader posyandu balita. tabel 1. menunjukkan bahawa dari beberapa aspek yang dinilai dapat diinterprestasikan bahwa aspek menambah pengetahuan/pengalaman yang memiliki presentase tertinggi yaitu 42,5 % dengan jumlah responden sebanyak 34 kader posyandu balita pada motivasi intrinsik dan dukungan keluarga dengan prosentase 41,3% dengan jumlah kader sebanyak 33 kader. pada aspek penghargaan, sebanyak 40 kader posyandu balita (50%) mendapatkan penghargaan yang rendah. tingkat partisipasi kader posyandu balita. tabel 2. adalah distribusi frekuensi tingkat partisipasi kader posyandu balita di kelurahan karangsewu galur kulon progo. tabel 2. menunjukkan bahwa tingkat partisipasi kader meja 4 yang memiliki prosentase tertinggi yaitu 85% dengan jumlah responden sebanyak 17 kader dari 20 kader. hal ini menunjukkan bahwa kader pada meja 4 mempunyai tingkat partisipasi cukup tinggi, disusul kader meja 3 (72, 7%), kader meja 1 (66,7%) dan paling rendah adalah kader meja 2 (60%). kader meja 4 memiliki fungsi sebagai berikut yaitu 1) mengetahui berat badan anak yang naik atau tidak naik, ibu hamil dengan resiko tinggi, dan pus (pasangan usia subur) yang belum mengikuti kb. 2) penyuluhan kesehatan, menjelaskan data kms atau keadaan anak berdasarkan data kenaikan berat badan yang digambarkan dalam grafik kms kepada ibu bayi/ balita dan memberikan penyuluhan kepada setiap ibu dengan mengacu pada data kms anaknya atau hasil pengamatan mengenai masalah yang dialami. 3) pelayanan pmt (pemberian makanan tambahan), oralit, vitamin a, tablet zat besi, pil ulangan dan kondom. 4) memberikan rujukan ke puskesmas. apabila diberikan untuk balita, ibu hamil, dan menyusui berikut ini: a) balita: apabila berat badannya dibawah garis merah (bgm) pada kms, dua kali pemeriksaan berturut-turut berat badannya tidak naik, terlihat sakit (lesu-kurus, busung lapar, diare, rabun mata); b) ibu hamil atau menyusui apabila keadaannya kurus, pucat, bengkak, atau gondokan; dan c) orang sakit. 5) memberikan pelayanan gizi dan kesehatan dasar oleh kader posyandu, misalnya pemberian pil tambah adarh (pil besi), vitamin a, oralit, dan sebagainya. sedangkan untuk meja 1 berfungsi sebagai tempat pendaftaran yaitu untuk mendaftarkan bayi atau balita, ibu hamil, menyusui, dan pasangan usia subur. untuk meja 2 berfungsi sebagai tempat penimbangan balita dan ibu hamil. sedangkan untuk meja 3 berfungsi untuk pengisian kms (kartu menuju sehat). tabel 1. distribusi frekuensi motivasi kader posyandu balita di kelurahan karangsewu galur kulon progo tahun 2011 no aspek yang dinilai tinggi sedang rendah σ % σ % σ % 1 faktor intrinsik a. kepuasan kerja 15 18,8 65 81.3 0 0 b. keinginan menolong orang lain 10 12,5 63 78,8 7 8,8 c. menambah pengetahuan/ pengalaman 34 42,5 44 55,0 2 2,5 2 faktor ekstrinsik a. dukungan keluarga 33 41,3 47 58,8 0 0 b. penghargaan 3 3,8 37 46,3 40 50,0 c. pembinaan/pelatihan 15 18,8 57 71,3 8 10,0 d. interaksi sosial 16 20,0 61 76,3 3 3,8 sumber: data primer 135 mutiara medika vol. 11 no. 2: 131-137, mei 2011 motivasi dan tingkat partisipasi. tabel 3. menunjukkan bahwa kader posyandu balita memiliki motivasi tinggi dengan prosentase 78,8% dengan jumlah responden sebanyak 63 kader posyandu balita. sedangkan tingkat partisipasi memiliki partisipasi tinggi dengan prosentase 71,3% dengan jumlah responden sebanyak 57 kader posyandu balita. bahwa responden dinilai motivasinya baik dari aspek motivasi instrinsik maupun motivasi ekstrinsik. tabel 3. distribusi frekuensi motivasi dan tingkat partisipasi kader posyandu balita di kelurahan karangsewu galur kulon progo tahun 2011 no aspek yang dinilai tinggi sedang σ % σ % 1 motivasi kader 63 78,8 17 21,3 2 partisipasi kader 57 71,3 23 28,8 sumber :data primer berdasarkan uji tabulasi silang pada tabel 4 menunjukkan bahwa kader posyandu balita memiliki motivasi tinggi dengan jumlah responden 63 kader. sedangkan tingkat partisipasi memiliki partisipasi tinggi dengan jumlah responden 57 kader. tabel 4. uji tabulasi silang motivasi dan partisipasi kader posyandu balita di keurahan karangsewu galur kulon progo tahun 2011 partisipasi kader total sedang tinggi motivasi kader sedang 14 3 17 tinggi 9 54 63 total 23 57 80 sumber : data primer tabel 5. menjelaskan tentang hubungan motivasi dengan tingkat partisipasi kader posyandu balita dengan uji statistik spearman rank. tabel 5. uji korelasi spearman rank motivasi dan tingkat partisipasi kader posyandu balita di kelurahan karangsewu galur kulon progo tahun 2011 variabel koefisien korelasi (r) signifikansi (p) motivasi kader 0,615 0,000 tingkat partisipasi kader sumber: data primer diskusi motivasi kader posyandu. berdasarkan penelitian ini pada variabel motivasi terutama motivasi intrinsik yang diteliti, diperoleh beberapa hasil yang menonjol. nilai tertinggi pada faktor intrinsik adalah dari aspek menambah pengetahuan/pengalaman. menurut kuscahyani (2005)14, pengetahuan datang dari pengalaman, informasi yang disampaikan guru, orang tua dan surat kabar. pengalaman yang kurang atau cukup dapat ditingkatkan dengan banyak latihan. penelitian ini menunjukkan bahwa variabel motivasi faktor ekstrinsik yang memiliki nilai tertinggi adalah dari aspek dukungan keluarga. menurut friedman (2003)15, mengatakan dukungan keluarga adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan, menghargai dan menyayangi kita. keluarga juga berfungsi sebagai sistem pendukung bagi anggotanya dan tabel 2. distribusi frekuensi partisipasi kader posyandu balita di kelurahan karangsewu galur kulon progo tahun 2011 karakteristik : keaktifan kader dalam kegiatan posyandu frekuensi persentase (%) a. partisipasi kader meja 1 sedang 6 33,3 tinggi 12 66,7 total 18 100 b. partisipasi kader meja 2 sedang 8 40,0 tinggi 12 60,0 total 20 100 c. partisipasi kader meja 3 sedang 6 27,3 tinggi 16 72,7 total 22 100 d. partisipasi kader meja 4 sedang 3 15,0 tinggi 17 85,0 total 20 100 sumber: data primer 136 zuanita & afandi, hubungan antara tingkat motivasi dengan ... anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung, selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan. tingkat partisipasi kader posyandu balita. berdasarkan penelitian didapatkan bahwa tingkat partisipasi kader posyandu balita di kelurahan karangsewu galur kulon progo memiliki kategori tinggi hal ini ditandai dengan tidak terdapatnya kategori rendah dan diketahui bahwan partisipasi tertinggi (85%) terdapat pada kader meja 4. menurut zulkifli (2003)16, penyelenggaraan posyandu dalam meja 4 yaitu penyuluhan perorangan mengenai balita berdasarkan penimbangan berat badan yang naik/tidak naik, diikuti dengan pemberian makanan tambahan, dan vitamin a dosis tinggi. latifah (2011)17, menyatakan bahwa penyuluhan merupakan sebuah intervensi sosial yang melibatkan penggunaan komunikasi informasi secara sadar untuk membantu masyarakat membentuk pendapat mereka sendiri dan mengambil keputusan dengan baik. penyuluhan merupakan suatu upaya memberikan pelajaran dan pendidikan serta bantuan kepada pribadi atau kelompok masyarakat. upaya tersebut dilakukan guna meningkatkan pengetahuan dan keterampilan agar mereka mampu memahami dirinya dan lingkungannya serta mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi, sehingga dapat mencapai tujuan dan kesejahteraan hidupnya. hubungan tingkat motivasi dan tingkat partisipasi. berdasarkan hasil penelitian, terdapat hubungan antara motivasi dengan tingkat partisipasi kader posyandu balita dengan uji statistik spearman rank pada dua variabel, yaitu tingkat motivasi kader dengan tingkat partisipasi kader dengan nilai p=0,000. nilai r = 0,615 berarti terdapat korelasi yang memiliki keeratan kuat antara dua variabel tersebut. hasil penelitian menunjukkan bahwa kader yang memiliki partisipasi sedang cenderung memiliki motivasi sedang juga, sedangkan kader memiliki partisipasi tinggi juga mempunyai motivasi yang tinggi. hal ini menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan, yang berarti bahwa semakin tinggi motivasi kader posyandu balita semakin tinggi pula partisipasi kader dalam kegiatan posyandu. sebaliknya semakin rendah motivasi kader, semakin rendah pula partisipasinya. simpulan ada hubungan yang signifikan dan bersifat positif antara motivasi dengan tingkat partisipasi kader posyandu di kelurahan karang sewu galur kulon progo yogyakarta. yaitu semakin tinggi tingkat motivasi kader, semakin tinggi tingkat partisipasinya. faktor motivasi intrinsik pada kader terbesar adalah keinginan menambah pengetahuan atau pengalaman, sedangkan factor ektrinsik terbesar adalah dukungan keluarga. daftar pustaka 1. depkes ri. 2004. konsep pengembangan posyandu plus. jakarta. 2. meilani, n., setiyawati, n., estiwidani, d., sumarah. 2009. kebidanan komunitas. yogyakarta: fitramaya. 3. ambarwati, e.n., rismintari, y.s. (2009). asuhan kebidanan komunitas plus contoh askep. yogyakarta: nuha medika. 4. adisasmito, w. 2008. sistem kesehatan. jakarta: pt raja grafindo persada. 5. widiastuti, atin. 2007. faktor-faktor yang berhubungan dengan partisipasi kader dalam 137 mutiara medika vol. 11 no. 2: 131-137, mei 2011 kegiatan posyandu di kelurahan gubug kecamatan gubug kabupaten grobogan tahun 2006. skripsi sarjana jurusan kesehatan masyarakat, universitas negeri semarang. diakses tanggal 10 desember 2010 dari: http:/ /digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/archives/ hashfb98/fd23f7c8.dir/doc.pdf 6. haryanto, s. 2006. hubungan antara tingkat pendidikan, umur dan status pekerja kader dengan keaktifan kader posyandu wilayah kerja puskesmas gamping i kabupaten sleman yogyakarta. skripsi sarjana jurusan gizi, universitas gadjah mada, yogyakarta 7. kusyati, e. 2000. hubungan anatara tingkat pengetahuan kader kesehatan tentang posyandu usila dengan keaktifan dalam kegiatan di wilayah kerja puskesmas mlati 1 kabupaten sleman. skripsi sarjana jurusan ilmu keperawatan, universitas gadjah mada, yogyakarta. 8. suwantiyah, m.,ch.,s. 2001. evaluasi peran kader usaha perbaikan gizi keluarga (upgk) dalam pelaksamaam posyandu hubungan dengan pembinaan gizi balita di kecamatan wirobrajan yogyakarta. skripsi sarjana sain terapan jurusan d-iv perawat pendidik, universitas gadjah mada, yogyakarta. 9. pujilestari, r. 2002. evaluasi kegiatan posyandu purnama di kecamatan panjatan kabupaten kulon progo yogyakarta. skripsi sarjana jurusan ilmu keperawatan, universitas gadjah mada, yogyakarta. 10. siagian, sondang. 2004. teori motivasi dan aplikasinya. jakarta: rineka cipta. 11. depkes ri. 2000. buku kader : telaah kemandirian posyandu. jakarta. 12. nursalam. 2003. konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan. jakarta: salemba medika. 13. dahlan, m.s. 2008. statistik untuk kedokteran dan kesehatan. edisi 3. jakarta: salemba medika 14. kuscahyani, h. 2005. hubungan antara motivasi dan tingkat pengetahuan terhadap kinerja kader kesehatan di wilayah kerja puskesmas godean ii desa sidokarto, godean, sleman yogyakarta. skripsi sarjana jurusan ilmu keperawatan, universitas gadjah mada, yogyakarta. 15. friedman, m. 2003. famili nursing research, theory & practice. fifth edition. prentice hall. 16. zulkifli. 2003. posyandu dan kader kesehatan. fakultas kesehatan masyarakat, universitas sumatra utara. diakses tanggal 25 juli 2010, dari: http://repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/3753/1/fkm-zulkifli1.pdf 17. latifah, l. 2011. usaha kader dalam meningkatkan pemahaman ibu-ibu tentang kesehatan dan gizi anak usia dini: studi deskriptif pada kegiatan posyandu di desa cigugur girang kecamatan parongpong kabupaten bandung barat. skripsi sarjana pendidikan, universitas pendidikan indonesia. diakses tanggal 31 maret 2011 dari: http://repository. upi.edu/operator/upload/s_a0351_060112_chapter4.pdf 24 fitri rizkia putri, pengaruh salep kitosan terhadap penyembuhan ... efektivitas salep kitosan terhadap penyembuhan luka bakar kimia pada rattus norvegicus chitosan oilment effect on chemical wound healing in rattus norvegicus fitri rizkia putri1, sri tasminatun2* 1program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta 2bagian famakologi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah yogyakarta *email: tasmi_a@yahoo.co.id abstrak proses penyembuhan luka adalah satu respon terkoordinasi pada cedera jaringan yang menghasilkan kontraksi jaringan, penutupan luka, dan pemulihan. penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa salep kitosan kadar 2,5% efektif dalam mempercepat penyembuhan luka dan meningkatkan persentase penyembuhan. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek kitosan terhadap gambaran histologis penyembuhan luka bakar kimia pada kulit melaui pengamatan ketebalan epitel dan jumlah fibroblas. studi in vivo, tikus sprague dawley dibagi menjadi enam kelompok, kontrol tanpa perlakuan, kontrol vaselin, kontrol bioplacenton®, salep kitosan dosis 1,25%, 2,5%, dan 5%. punggung tikus diinduksi luka bakar derajat tiga dengan asam sulfat 75%. formula kitosan dioleskan tiap hari sampai kriteria sembuh terkonfirmasi. jaringan kulit yang telah sembuh dibuat preparat histologi dengan pewarnaan he kemudian diukur ketebalan epitel dan jumlah fibroblasnya. data dianalisis dengan anova satu arah, dilanjutkan dengan lsd. hasil penelitian menunjukkan bahwa ketebalan epitel paling tipis dihasilkan oleh salep kitosan 5% (13,31 ± 4,05) dengan nilai signifikansi (p = 0,015). jumlah fibroblas yang paling sedikit dihasilkan oleh salep kitosan 5% (49, 80 ± 6,01 sel) dengan nilai signifikansi (p = 0,000). penelitian ini membuktikan bahwa dosis salep kitosan terbaik adalah 5%. kata kunci: kitosan, luka bakar kimia, penyembuhan, gambaran histologis abstract the process of wound healing is a set of coordinated responses to tissue injury that results in tissue contraction, closure, and restoration. previous study had shown that chitosan ointment 2,5% is effective in promoting wound healing and increasing healing percentage. this experiment has aim to gain the chitosan effect on histological properties in chemical burn healing of skin through epithelial thickness and number of fibroblast observation. in in vivo studies, rats sprague dawley were divided into six groups; control without treatment, vaseline control, bioplacenton® control, chitosan ointment dose 1.25%, 2.5%, and 5%. a third degree burn of the backskin was performed by 75% sulfate acid. chitosan formulations were day repeatedly applied on the burned areas until the final healing process criterias were confirmed. healing tissue was evaluated by histology preparation with he staining then its epithelial thickness and number of fibroblast were measured. the datas were analyzed by one way anova, followed by lsd. the results indicated that the thinnest epithelial thickness was showed on chitosan 5 % (13.31 ± 4.05) with a value of significance (p=0,015). the fewest number of fibroblast is performed on chitosan 5% (49, 80 ± 6.01 cells) with a value of significance (p = 0,000). this study proved the best chitosan ointment dose is 5%. key words: chitosan, chemical burn wound, healing, histologic appearence artikel penelitianartikel penelitian 25 mutiara medika vol. 12 no. 1: 24-30, januari 2012 pendahuluan dalam hal pertahanan tubuh, kulit merupakan pelindung utama yang menghalangi masuknya zatzat kimia, mikroba dan bahan yang bersifat iritatif, toksigenik maupun patogenik juga melindungi tubuh dari cedera benturan. semakin iritatif zat kimiawi tersebut, semakin berat kerusakan yang terjadi.1 berdasarkan data dari departemen kesehatan ri (2008), prevalensi luka bakar di indonesia adalah 2,2%.2 permasalahan yang dihadapi dalam penatalaksanaan luka bakar adalah proses inflamasi berkepanjangan menyebabkan kerapuhan jaringan yang menimbulkan diskonfigurasi struktur jaringan dan berakhir dengan deformitas bentuk dan gangguan fungsi. hal ini dapat dicegah dengan penatalaksaan luka fase awal yang meliputi kehilangan dan atau kerusakan epitel maupun jaringan yang menjadi struktur di bawahnya.3 efisiensi dan efektifitas dari perbaikan jaringan yang terluka menjadi suatu pokok yang ingin selalu dikembangkan agar mencapai kesembuhan sehingga berbagai macam strategi telah digunakan untuk mempercepat dan menyempurnakan proses penyembuhan luka.4 kitosan adalah biopolimer alami yang berasal dari kitin, komponen utama dari kerangka crustacea luar. beberapa penelitian menyatakan kitosan efektif dalam mempercepat penyembuhan luka karena mempunyai sifat spesifik yaitu adanya sifat bioaktif, biokompatibel, anti bakteri, anti jamur dan dapat terbiodegradasi.5 penyembuhan luka adalah suatu bentuk proses usaha untuk memperbaiki kerusakan jaringan yang terjadi secara fisiologi. proses tersebut akan mengalami fase inflamasi, proliferasi, dan maturasi. fibroblas dan epitel memiliki peranan besar dalam penyembuhan luka. proses reepitelisasi adalah proses yang pertama kali tercetus untuk menutupi jaringan luka sehingga mencegah infeksi. fibroblas mencetuskan terbentuknya kolagen yang memperkuat jaringan luka.6 penelitian wardono (2009),7 menunjukan kitosan 2,5 % dapat mempercepat waktu penyembuhan dan meningkatkan persentase penyembuhan luka bakar kimia. karena itu, perlu dilakukan penelitian mikroskopis untuk mengetahui pengaruh pem beri an ki tosan secara topi cal terhadap gambaran histologi penyembuhan luka melalui pengamatan fibroblas dan epitel. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek kitosan terhadap gambaran histologis penyembuhan luka bakar kimia pada kulit melaui pengamatan ketebalan epitel dan jumlah fibroblas. bahan dan cara penelitian ini menggunakan model penelitian in vivo dengan hewan uji. alat yang digunakan adalah cincin pembatas luka bakar (diameter 1,5 cm), alat pencukur rambut, gunting jaringan, pinset bedah, mortir, stamper, stopwatch, mortar, sendok, toples ukuran besar, mistar dan jangka sorong, sarung tangan, masker, kandang tikus, timbangan tikus, timbangan analitik, kamera, dan sungkup anastesi. sedangkan bahan yang digunakan adalah 18 ekor tikus putih (rattus norvegicus) galur spraque dawley berumur 6-8 minggu dengan berat +180-230 gram, asam sulfat 75%, serbuk kitosan murni yang diperoleh dari pt. ultratrend biotech indonesia, vaselin golongan album, bioplacenton®, aether, kapas dan alkohol 70%. penelitian dimulai dengan mengadaptasikan tikus selama 1 minggu sebelum penelitian. bulu pada punggung kanan bawah tikus dicukur hingga 26 fitri rizkia putri, pengaruh salep kitosan terhadap penyembuhan ... bersih. tikus dibagi dalam 6 kelompok yaitu kelompok kontrol negatif tanpa perlakuan, kontrol negatif vaselin, kontrol positif bioplacenton®, perlakuan salep kitosan dosis 1,25%, perlakuan salep kitosan dosis 2,5%, dan perlakuan salep kitosan dosis 5%. pembuatan salep kitosan dilakukan dengan menformulasikan kitosan dengan bahan pembawa vaselin golongan album pada dosis 1,25%, 2,5% dan 5% kemudian salep dicampur sampai homogen. punggung tikus dicukur bersih sehingga memungkinkan untuk dibuat luka bakar kimia berdiameter 15 mm. tikus dianestesi menggunakan aether secara inhalasi menggunakan masker anestesia dan toples besar. penginduksian luka akar kimia dengan diberi tetesan asam sulfat 75% ke dalam cicin pembatas dan ditunggu selama lima menit hingga terbentuk luka derajat tiga. salep kitosan dioleskan tiap hari sampai luka sembuh. tikus yang lukanya telah sembuh didekapitasi, diambil jaringan kulit bekas lukanya kemudian difiksasi dengan formalin 10%. jaringan kulit tersebut kemudian dibuat preparat histologi dengan pengecatan he. setelah mendapat pengecatan, preparat diamati dengan mikroskop cahaya untuk mendapatkan data mikroskopis yaitu ketebalan epitel dan jumlah fibroblas. data ketebalan epitel dan jumlah fibroblas diolah dengan analisis anova satu arah dan dilanjutkan dengan uji lsd. hasil hasil penampakan jaringan kulit yang sudah sembuh ditiap kelompok dengan pengecatan he adalah seperti pada gambar 1. gambar tersebut digunakan untuk menghitung rata-rata jumlah fibroblas. tabel 1. rata-rata jumlah fibroblas pada luka bakar kimia kelompok perlakuan rata-rata jumlah fibroblas kontrol negatif (tanpa perlakuan) 58,93 ± 4.83 sel a kontrol negatif (vaselin) 62,47 ± 4.85 sel c kontrol positif (bioplacenton®) 57,93 ± 4.89 sel a salep chitosan 1,25 % 52,63 ± 7.00 sel b salep chitosan 2,5 % 52,57 ± 6.80 sel b salep chitosan 5 % 49,80 ± 6.01 sel b ket: angka yang diikuti huruf yg berbeda memiliki perbedaan yang signifikan b f e c a d gambar 1. gambaran histologi jumlah fibroblas: a. kontrol negatif (tanpa perlakuan); b. kontrol negatif (basis salep); c. kontrol positif (bioplacenton®); d. salep kitosan 1,25 %; e. salep kitosan 2,5 %; f. salep kitosan 5 %. kelompok salep kitosan 5 % menunjukkan jumlah fibroblas paling sedikit (he, 40x10). 27 mutiara medika vol. 12 no. 1: 24-30, januari 2012 gambar 2. menunjukkan penampakan jaringan kulit yang sudah sembuh ditiap kelompok dengan pengecatan he. gambar tersebut digunakan untuk menghitung rata-rata ketebalan epitel. diskusi penelitian ini menghitung fibroblas di akhir penyembuhan luka, jumlah fibroblas kelompok kitosan 5 % paling sedikit dan berbeda bermakna dibanding kontrol negatif dan kontrol positif. hal ini menunjukkan bahwa proses eliminasi fibroblas terjadi lebih awal dari kelompok kontrol karena kitosan telah mengakselerasi induksi fibroblas lebih cepat di awal fase proliferasi. data tersebut didukung oleh beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa fibroblas mencapai jumlah tertinggi pada hari ke14 setelah terjadi luka kemudian lama kelamaan menurun di hari-hari berikutnya.8 fase awal penyembuhan luka yang biasa disebut juga fase inflamasi, proses ini melibatkan berbagai sitokin, sel darah, matriks ekstraseluler, dan sel parenkim untuk membersihkan jejas, kemudian membangun dasar (scaffolding) secara progresif.9 fase inflamasi merangkai proses biologi yang diawali dengan platelet-induced hemostasis, diikuti oleh influks sel-sel inflamasi dan fibroblas untuk menuju area luka, pembentukan pembuluh darah baru, serta proliferasi sel-sel untuk rekonstitusi jaringan. mekanisme peradangan menghasilkan respon yang menetralisasi dan mengeliminasi antigen seperti bakteri, benda asing atau sel mati. selanjutnya adalah stadium proliferasi, pembentukan jaringan granulasi yang diperankan oleh fibroblas mengambil peranan besar dalam stadium ini, pengkerutan luka dan epitelialisasi hingga menutup b f c e d a gambar 3. gambaran histologi epitel kulit (pipih berlapis): a. kontrol negatif (tanpa perlakuan); b. kontrol negatif (basis salep); c. kontrol positif (bioplacenton®); d. salep kitosan 1,25 %; e. salep kitosan 2,5 %; f. salep kitosan 5 %. kelompok salep kitosan 5 % menunjukkan ketebalan epitel paling tipis (he, 40x10). tabel 2. ratarata ketebalan epitel pada luka bakar kimiawi kelompok perlakuan rata-rata ketebalan epitel kontrol negatif (tanpa perlakuan) 19.13 ± 3.50 µm a,b,c kontrol negatif (vaselin) 17.28 ± 1.24 µm a,c,d kontrol positif (bioplacenton®) 23.00 ± 4.70 µm b salep chitosan 1,25 % 20.67 ± 2.04 µm b,c salep chitosan 2,5 % 13.76 ± 1.06 µm a,d salep chitosan 5 % 13.31 ± 4.05 µm d ket: angka yang diikuti huruf yg berbeda memiliki perbedaan yang signifikan 28 fitri rizkia putri, pengaruh salep kitosan terhadap penyembuhan ... seluruh permukaan luka berlangsung 4 hari 4 minggu.6 pada minggu pertama fibroblas dihasilkan oleh derivat makrofag yaitu sitokin tgf²1, pdgf dan fibroblast growth factor (fgf) untuk memproliferasi dan mensintesa glikosaminoglikan, proteoglikan dan kolagen yang berfungsi untuk merekonstruksi jaringan. penelitian chiba et al. (2006),10 menunjukkan bahwa hewan percobaan yang diberi kitosan memiliki resolusi neovaskularisasi yang lebih memadai, induksi fibroblas yang lebih cepat, dan serat kolagen yang lebih banyak. hal ini didukung dengan penelitian masuoka et al. (2005),11 yang menyatakan bahwa kitosan memiliki kemampuan untuk meningkatkan paruh waktu basic fibroblast growth factor dibanding kelompok kontrol dengan cara melindunginya agar tidak terdegradasi oleh panas atau enzim-enzim yang mungkin merusaknya. basic fibroblast growth factor (bfgf) atau disebut juga fgf-2 adalah salah satu prototipe fibroblast growth factor (fgf) yang memiliki pengaruh amat besar terhadap perkembangan jaringan granulasi, proliferasi fibroblas dan angiogenesis. bfgf diaktifasi dari ecm apabila terjadi kerusakan jaringan seperti luka.12 fibroblas luka memiliki karakteristik unik dibanding fibroblas dalam jaringan normal, tampilannya myofibroblastik dengan ciri-ciri fenotif berupa filamen-filamen kontraktil berlimpah, persimpangan interselular yang rapat dan membran nukleus yang nampak berbeda.13 seperti halnya penelitian sezer (2007),14 epitel yang lebih tipis lebih baik karena pada epitel yang tebal masih terjadi proses stimulasi populasi fibroblas pada daerah luka dan peningkatan sejumlah growth factor atau mediator dengan demikian penyembuhan luka yang lebih sempurna adalah jaringan yang memiliki ketebalan epitel yang paling tipis. diantara kelompok salep kitosan yang terbaik dalam menyembuhkan luka adalah salep kitosan 5% karena memiliki ketebalan epitel yang paling tipis dan perbedaannya signifikan dibanding kontrol negatif. lapisan epitel mengalami puncak ketebalan pada hari ke14 kemudian menipis pada harihari berikutnya.15 peningkatan ketebalan epitel yang mencapai puncaknya di hari ke-14 disebabkan oleh fibroblas yang banyak bermigrasi pada area luka khususnya di hari ke 7-14 dan perlekatan antara kolagen-fibroblas di tepi epitel luka.14 proses tersebut menyebabkan epitel semakin menebal agar lebih kuat dalam mengkerutkan dan menutup luka bersama-sama dengan fibroblas-kolagen. fibroblas mulai meninggalkan area luka bersamaan dengan proses reepitelisasi yang terbentuk sempurna dan aktivasi kolagen yang memulai fase maturasi. fase proses penyembuhan yang terakhir adalah fase maturasi. pada stadium ini, pembentukan pembuluh darah ke daerah luka semakin berkurang, mulai terbentuk serat-serat kolagen, dan luka tampak sebagai jaringan parut berwarna pucat. remodelling unsur parenkim untuk mengembalikan fungsi jaringan dan remodeling unsur jaringan ikat untuk memperoleh ketahanan jaringan yang lebih kuat.9 simpulan kitosan berpengaruhi pada ketebalan epitel dengan dosis terbaik adalah salep kitosan 5 % yang memiliki ketebalan epitel paling tipis (13.31 ± 4.05) dan nilai signifikansi (p=0,015). pengaruh pemberian salep kitosan terhadap penyembuhan luka bakar kimia yang paling signifikan berdasarkan 29 mutiara medika vol. 12 no. 1: 24-30, januari 2012 parameter jumlah fibroblas adalah kelompok salep kitosan 5% dengan jumlah fibroblas sedikit (49,80 ± 6.01) dan nilai signifikansi (p=0,000). diperlukan penelitian sejenis dengan metode observasi per minggu untuk mengetahui progesifitas ketebalan epitel dan fibroblas dari waktu ke waktu. penelitian lebih lanjut diharapkan memberikan pengetahuan tentang ekspresi mediator inflamasi fgf, mmp dan pembentukan matriks ekstraselluler, untuk memperjelas peran kitosan terhadap mediator serta proses tersebut. selain itu, uji sensitifitas kitosan pada kulit manusia sangat baik jika turut diteliti. daftar pustaka 1. sularsito, s.a., & djuanda, s. ilmu penyakit kulit dan kelamin: dermatitis. jakarta: balai penerbit fkui. 2007. 2. departemen kesehatan ri. riset kesehatan dasar (riskesdas) 2007: laporan nasional. jakarta. 2008. 3. moenajat, s.b. luka bakar dan penanganannya. jakarta: balai penerbit fkui. 2003. 4. huttenlocher, a., & horwitz, a.r. wound healing with electric potential. n engl j med. 2007; 356 (3): 303-304. 5. ishihara, m., nakanishi, k., ono, k., sato, m., kikuchi, m., saito, y., et al. photocrosslinkable chitosan as a dressing for wound occlusion and accelerator in healing process. biomaterials., 2002. 23 (3): 833-840. 6. kumar, v., abbas, a., fausto, n. pathologic basic of disease. phil adel pia: el sev i er saunders inc, 2005. 25 – 30. 7 wardono, a. pengaruh kitosan secara topikal terhadap penyembuhan luka bakar kimiawi pada kulit tikus putih (rattus novergicus) terinduksi asam sulfat. kti. program sarjana fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan. universitas muhammadiyah. yogyakarta. 2009. 8. amadeu tp, coulomb b, desmouliere a, costa am. cutaneous wound healing: myofibroblastic differentiation and in vitro models. int j low extrem wounds. 2003; 2 (2): 60-68. 9. bisono, p. luka, trauma, syok dan bencana. dalam: syamsuhidajat r, jong wd ed buku ajar ilmu bedah, jakarta: penerbit buku kedokteran egc. 2009. 10. chiba, y., kamada, a., sugashima, s., taya, k., matsubuchi, s., saito, t., et al. effects of intravenous administration of chitosan oligosaccharide on the wound healing process of oral mucosal injury in mice. ohu university dental journal, 2006; 33 (4): 207-213. 11. masuoka k, ishihara m, asazuma t, hattori h, matsui t, takase b, et al. 2005. the interaction of chitosan with fibroblast growth factor-2 and its protection from inactivation. biomaterials, 2005; 26 (16): 3277-3284. 12. fu x, li x, cheng b, chen w, sheng z. engineered growth factors and cutaneous wound healing success and possible question in the past 10 years. wound rep regen. 2005; 13 (2): 122-130. 13. hosgood, g. small animal paediatric medicine and surgery.usa: butterworth-heinemann. 1998. 14. sezer a. d., hatipolu f., cevher e., ourtan z., ba_ a. l., akbua j. chitosan film containing fucoidan as a wound dressing for dermal burn healing: preparation and in vitro/in vivo evaluation. aaps pharm sci tech. 2007; 8 (2):39. 30 fitri rizkia putri, pengaruh salep kitosan terhadap penyembuhan ... 15 aryenti. pengaruh pemberian getah batang pisang ambon (musa paradisiaca var sapientum lamb) terhadap penyembuhan luka bakar pada kulti tikus putih (rattus norvegicus). tesis. program pasca sarjana fakultas kedokteran universitas gadjah mada. yogyakarta. 2008.