68 Perbedaan Skor Kecerdasan Emosi dan Kecemasan Siswa Kelas Akselerasi dan Kelas Reguler The Differences of Emotional Intelegence and Anxiety Score Between Acceleration and Reguler Students Warih Andan Puspitosari Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Email: warih_ap@yahoo.com Abstract Acceleration is designed for students with extraordinary capabilities. They are expected to graduate earlier, but on the other side the full schedules and minimum social interactions would bring negative consequences, such as low emotional quotient and hight level of anxiety. It’s said that success determined by 20% of IQ and the rest by emotional quotient (EQ). The aims of this research is identify the difference of emotional quotient score and anxiety score between acceleration students and regular students in Muhammadiyah 1 Highschool in Yogyakarta. This is a cross-sectional analytic descriptive study. It’s conducted at Muhammadiyah 1 Highschool in Yogyakarta on August–October 2008. The study took two populations. Sample taken were all of acceleration students 45 and regular students. Instruments used include BarOn Emotional Quotient Inventory-YV, Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS) Data were analyzed with independent t-test There is significant difference of anxiety score but no significant difference of EQ score between acceleration students and regular students (p=0,024, p=0,646). Conclusions this research are : (1)Acceleration students have higher score of anxiety than regular students. (2)There is no significant difference of EQ score between acceleration students and regular students. Key words : anxiety, emotional intelegent, high school students Abstrak Program kelas akselerasi diperuntukkan bagi siswa yang memiliki kemampuan luar biasa, agar bisa menyelesaikan studi lebih cepat dan mengembangkan kemampuannya secara optimal. Padatnya kegiatan dan terbatasnya interaksi serta kesempatan bersosialisasi dikhawatirkan akan berdampak buruk pada siswa, dintaranya adalah rendahnya kecerdasan emosi dan tingginya tingkat kecemasan. Rendahnya kecerdasan emosi dan tingginya tingkat kecemasan justru akan menurunkan produktifitas siswa. Kesuksesan seseorang lebih 80% ditentukan oleh kecerdasan emosinya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi perbedaan skor kecerdasan emosi dan kecemasan antara siswa kelas akselerasi dan siswa kelas regular di SMU Muhammadiyah 1 Yogyakarta. Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional deskriptif analitik. Penelitian dilakukan di SMU Muhammadiyah 1 Yogyakarta pada bulan Agustus–Oktober 2008. Populasi penelitian adalah siswa kelas akselerasi dan siswa kelas regular. Jumlah sampel untuk kelas akselerasi 45 siswa dan kelas reguler 58 orang. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuestioner kecerdasan emosi BarOn Emotional Quotient Inventory-YV, kuestioner kecemasan Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS). Data dianalisis dengan Independent t-Test. Terdapat Warih Andan Puspitosari, Perbedaan Skor Kecerdasan ... 69 perbedaan yang bermakna secara statistik antara skor kecemasan siswa kelas akselerasi dan regular dengan p=0,024. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara skor kecerdasan emosi siswa kelas akselerasi dan regular dengan p=0,646. Kesimpulan dari penelitian ini adalah : 1) Skor kecemasan siswa kelas akselerasi lebih tinggi dibanding siswa kelas regular, 2) Tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara skor kecerdasan emosi siswa kelas akselerasi dan regular Kata kunci : kecemasan, kecerdasan emosi, siswa SMU Pendahuluan Berbagai upaya terus dilaksanakan untuk menyempurnakan sistem pendidikan di Indonesia. Konsep accelerated learning (percepatan belajar) merupakan sebuah terobosan untuk menerapkan sistem pendidikan yang memberikan perhatian lebih khusus kepada para siswa dengan kecerdasan luar biasa. Di Indonesia diaplikasikan dengan membuka program kelas akselerasi. Dasar pemikirannya adalah bahwa peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan luar biasa berhak mendapat perhatian dan pelajaran lebih khusus agar dapat dipacu perkembangan prestasinya dan bakatnya, sesuai Undang- Undang RI nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.1 Penyelenggaraan program kelas akselerasi tersebut mengundang banyak pendapat pro dan kontra terutama dari para pakar pendidikan. Benarkah penyelenggaraan kelas akselerasi dapat menjawab tantangan zaman tentang kebutuhan sumber daya manusia yang berkualitas yang akan membawa bangsa ini makin maju?2 Kelas akselerasi harus didasarkan paradigma bahwa anak harus berkembang secara optimal segala aspek secara alamiah, tidak cukup hanya aspek pengetahuan saja, tetapi juga aspek emosional dan sosial.3 Materi yang padat dengan waktu yang singkat, mengharuskan siswa belajar keras secara intelektual dan dikhawatirkan siswa memiliki sedikit kesempatan untuk mengembangkan aspek-aspek kecerdasan lain dalam dirinya karena kesuksesan tidak hanya ditentukan dari satu aspek kecerdasan saja dalam diri manusia. Para ahli psikologi sepakat bahwa kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% faktor-faktor yang menentukan keberhasilan, dan 80% sisanya berasal dari kecerdasan emosi. 4,5,6 Kecerdasan Emosi (Emotional Intelligence) dapat dipelajari dan dikembangkan sepanjang hidup seseorang, berbeda dengan Kecerdasan Intelektual (Intelectual Quotient) yang dianggap takdir dan faktor bawaan (genetik) yang tak mungkin diubah oleh pengalaman hidup. 4,7 Individu yang memiliki kecerdasan emosi lebih mampu mengendalikan diri dan mampu memotivasi diri, mengelola emosi dengan tepat sehingga nyaman dengan diri sendiri, orang lain dan lingkungan sosialnya. Kompetensi kecerdasan emosi sangat diperlukan untuk manajemen emosi dan agar bisa mengelola stress tanpa rasa takut. Orang yang tidak memiliki kompetensi kecerdasan emosi akan menghadapi peningkatan sejumlah risiko psikistrik seperti gangguan mood dan kecemasan, gangguan makan dan penyalahgunaan zat.4 Kecerdasan emosi dikembangkan dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. Ketiganya berperan dalam pembentukan nilai, sikap dan perilaku individu. Lingkungan sekolah merupakan salah satu wadah bagi individu dalam mengembangkan kecerdasan emosinya. Di sisi lain, berbagai permasalahan yang didapatkan siswa di sekolah bisa menjadi stressor, yang pada taraf tertentu akan memunculkan reaksi emosi berupa kecemasan. Siswa-siswa kelas akselerasi tidak memiliki kesempatan luas untuk belajar mengembangkan aspek afektif, karena padatnya pelajaran, banyaknya pekerjaan rumah, kemampuan Mutiara Medika Vol. 10 No. 1:68-74, Januari 2010 70 intelektual teman-teman sekelas yang rata- rata pandai, membuat iklim kerja sama mereka menjadi terbatas.2 Faktor-faktor tersebut juga menjadi stressor bagi siswa kelas akselerasi sehingga jika berlanjut terus akan menyebabkan terjadinya kecemasan. Apalagi dengan kesepakatan bahwa siswa kelas akselerasi akan dikembalikan ke kelas regular jika tidak mampu mempertahankan prestasinya. Hidup dalam stres kronik dapat menimbulkan tingkat emosi negatif yang tinggi, seperti kecemasan, kesedihan dan kemarahan. Konsep meta kecerdasan menye- butkan integrasi tiga kecerdasan yaitu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual. Ketiganya harus berkembang secara sinergis sebagai kecerdasan pribadi individu. Kecerdasan spiritual adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi secara efektif, ketiganya sangat berkaitan erat satu sama lain. Bahkan kecerdasan spiritual adalah merupakan kecerdasan tertinggi pada manusia.8,9 Orang yang sukses adalah orang yang dapat mengoptimalkan ketiga kecerdasan tersebut. Hampir semua anak bersekolah sehingga sekolah merupakan tempat untuk mengajari anak dengan pelajaran dasar dalam kehidupan. Kemampuan emosional juga perlu ditumbuhkan di sekolah, maka guru harus berperan di dalamnya. Walaupun latar belakang bidang pendidikan yang pernah dipelajari individu banyak berperan dalam pembentukan kecerdasan emosi, namun pada dasarnya individu tersebut memperoleh pengetahuan mengenai berbagai hal yang terbesar adalah melalui proses belajar di sekolah.10 Di sisi lain, berbagai permasalahan yang didapatkan siswa di sekolah bisa menjadi stressor, yang pada taraf tertentu akan memunculkan reaksi emosi berupa kecemasan. Pengamat pendidikan dan para orangtua mengeluh bahwa siswa-siswa kelas akselerasi tidak memiliki kesempatan luas untuk belajar mengembangkan aspek afektif. Hal ini disebabkan karena padatnya materi/ pelajaran yang harus mereka terima, banyaknya pekerjaan rumah yang harus mereka selesaikan, ditunjang kemampuan intelektual yang mereka miliki dan teman- teman sekelas yang rata-rata pandai, membuat iklim kerja sama mereka menjadi terbatas. Berbeda dengan siswa kelas reguler yang mempunyai waktu lebih banyak untuk berinteraksi, meskipun bisa saja mereka mempunyai perasaan inferior (kalah, rendah diri) sebagai dampak dari penyelenggaraan metode ini. 2 Faktor-faktor tersebut juga menjadi stressor bagi siswa kelas akselerasi sehingga jika berlanjut terus akan menyebabkan terjadinya kecemasan. Apalagi dengan kesepakatan bahwa siswa kelas akselerasi akan dikembalikan ke kelas regular jika tidak mampu mempertahankan prestasinya. Hal ini menyebabkan siswa harus berusaha keras agar dapat mengikuti program ini secara maksimal. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi perbedaan skor kecerdasan emosi dan kecemasan antara siswa kelas akselerasi dan siswa kelas reguler. Bahan dan Cara Penelitian ini menggunakan desain potong-lintang (cross-sectional), diskriptif analitik. Populasi penelitian adalah siswa kelas akselerasi dan siswa kelas reguler di SMU Muhammadiyah 1 Yogyakarta. Pada kelas akselerasi seluruh populasi diambil sebagai sampel dalam penelitian mengingat jumlah siswa kelas akselerasi hanya 45 siswa. Pada kelas regular pemilihan subyek dilakukan secara acak sederhana sejumlah hitung sampel 58 siswa. Subyek adalah siswa kelas 1 dan 2 mengingat siswa kelas akselerasi saat ini adalah siswa tahun pertama dan kedua. Kriteria inklusi subyek penelitian adalah 1) siswa aktif pada SMU Muhammadiyah 1 Yogyakarta; 2) bersedia mengisi informed consent. Kriteria eksklusi adalah 1)mempunyai riwayat gangguan jiwa berat; 2) pernah/sedang mengkonsumsi narkotika, psikotropika dan zat adiktif; 3) tidak mengerjakan instrumen dengan lengkap; 4) pengerjaan instrumen melebihi waktu yang ditentukan, yaitu 60 menit untuk seluruh instrumen; 5) tidak kooperatif; 6) jumlah skor ketidakkonsisten jawaban Warih Andan Puspitosari, Perbedaan Skor Kecerdasan ... 71 BarOn Emotional Quotient Inventory-Youth Version ≥ 10. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah skor kecemasan dan skor kecerdasan emosi. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kelas akselerasi dan kelas regular. Skor kecemasan diukur menggunakan instrumen Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS), kecerdasan emosi dengan intstrumen kecerdasan emosi BarOn Emotional Quotient Inventory-YV. Analisis data dengan uji univariat untuk uji homogenitas karakter subyek penelitian. Perbedaan kecemasan dan kecerdasan emosi antara kedua kelompok subyek digunakan Independent t-Test, Mann Whitney Test. Hasil Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus-Oktober 2008 di SMU Muhammadiyah 1 Yogyakarta dengan jumlah subyek 97 siswa terdiri dari 45 siswa kelas akselerasi dan 52 siswa kelas reguler. Dilakukan uji homogenitas variabel- variabel bebas pada kedua kelompok dan didapatkan nilai p>0,05 untuk semua jenis variabel bebas. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa kedua kelompok subyek tidak ada perbedaan yang bermakna untuk semua variabel bebasnya atau bisa dikatakan homogin. Rerata skor kecemasan pada kelas akselerasi lebih tinggi daripada rerata skor kecemasan kelas regular dengan perbedaan 2,1790. Siswa kelas akselerasi memiliki skor kecemasan 24,04 + 4,28 sedangkan siswa kelas reguler skornya 21,86 + 5,80. Sebelum dilakukan analisis untuk melihat perbedaan skor kecemasan dan kecerdasan emosi, lebih dulu dilakukan uji normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov Test. Variabel kecemasan memiliki nilai p<0,05 yang artinya data kecemasan tidak terdistribusi normal sehingga analisis yang digunakan adalah Mann Whitney Test. Hasil perhitungan dengan menggunakan Mann Whitney Test menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna secara statistik antara kelompok kelas akselerasi dan kelas regular dengan p value = 0,024 dan 95% CI adalah 0,022-0,028. Rerata skor kecerdasan emosi pada kelas akselerasi lebih tinggi daripada rerata kecerdasan emosi kelas regular dengan perbedaan skor 1,2975. Hal ini menunjukkan bahwa skor kecerdasan emosi kelas akselerasi lebih tinggi daripada skor kecerdasan emosi kelas regular. Uji normalitas data kecerdasan emosi memiliki p>0,05 yang artinya data kecerdasan emosi terdistribusi secara normal sehingga analisis yang digunakan adalah Independent t-Test. Setelah dilakukan perhitungan dengan menggunakan Independent t test, hasil menunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna secara statistik antara kelompok kelas akselerasi dan kelas regular dengan p value = 0,646 dan Confidence Interval 95% : -4, 29745 – 6,89232. Diskusi Terdapat perbedaan skor kecemasan siswa kelas akselerasi dan reguler, dimana kelas akselerasi memiliki skor kecemasan yang lebih tinggi, hal ini disebabkan karena siswa-siswa kelas akselerasi memiliki waktu yang lebih singkat untuk menyelesaikan semua mata pelajaran sehingga membuat beban belajar menjadi sangat tinggi. Mata pelajaran yang diselesaikan selama 3 tahun bagi siswa kelas reguler, harus diselesaikan siswa kelas akselerasi selama 2 tahun. Siswa kelas akselerasi dituntut untuk selalu bisa mempertahankan prestasinya, karena ada aturan untuk mengembalikan siswa ke kelas reguler jika dinilai siswa tidak dapat mempertahankan prestasinya. Evaluasi atau ulangan harian serta evaluasi akhir semester memiliki jarak yang pendek sehingga siswa menjadi sering menghadapi kondisi ulangan atau ujian. Faktor-faktor tersebut menjadi stresor bagi siswa kelas akselerasi sehingga jika berlanjut terus akan menyebabkan terjadinya kecemasan. Sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Halgin dan Whitbourne bahwa salah satu bentuk kecemasan adalah terkait karir di masa depan dan ujian. Siswa kelas akselerasi harus membuat keputusan terhadap karirnya lebih dini.11 Mutiara Medika Vol. 10 No. 1:68-74, Januari 2010 72 Siswa kelas akselerasi seringkali harus berhadapan dengan tuntutan orang tua, guru maupun lingkungan sekitarnya terhadap prestasinya. Masyarakat memandang bahwa siswa kelas akselerasi adalah siswa-siswa yang luar biasa sehingga harus memiliki prestasi yang lebih daripada siswa kelas reguler. Hal ini bisa menjadi sebuah tekanan dan ancaman bagi siswa yang bisa menimbulkan kecemasan. Sebuah penelitian terhadap 299 anak 8-13 tahun, Murris et al. menyimpulkan bahwa skor tinggi kecemasan umum dan status kecemasan berhubungan secara bermakna dengan peningkatan persepsi ancaman. Siswa yang khawatir tidak dapat menyelesaikan tugasnya secara memuaskan sering mengakhiri dengan perasaan cemas. 12 Proteksi yang besar baik dari orang tua maupun guru sering dialami siswa kelas akselerasi karena banyaknya tugas dan pendeknya masa studi. Jadwal pelajarannya ketat dan padat untuk bisa menyelesaikan bahan-bahan yang ada. Proteksi yang berlebihan menyebabkan siswa menjadi tertekan dan tidak bisa berekspresi secara bebas sesuai usia perkembangannya sehingga bisa menimbulkan kecemasan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Turgeon et al. terhadap penderita gangguan cemas dengan 120 kontrol yang menunjukkan bahwa pada kelompok penderita gangguan kecemasan mempunyai orang tua yang lebih protektif. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa proteksi diri yang berlebihan dari orang tua merupakan faktor risiko perkembangan gangguan kecemasan. 12 Siswa-siswa kelas akselerasi yang memiliki kemampuan luar biasa tersebut diharapkan akan dapat menjadi generasi penerus di masa depan. Beberapa studi menunjukkan bahwa kecemasan akan menurunkan produktifitas fungsional seseorang.13 Gangguan kecemasan akan mengakibatkan hambatan dalam aktivitas sehari-hari, selalu dihantui rasa cemas, tidak produktif dan tidak dapat menikmati rasa senang.14 Dengan demikian kondisi ini dikhawatirkan akan menurunkan prestasinya sebagai generasi unggulan di masa depan. Siswa kelas akselerasi memiliki waktu yang lebih singkat untuk menyelesaikan semua mata pelajaran sehingga membuat beban belajar menjadi sangat tinggi. Tuntutan untuk mempertahankan prestasinya, seringnya evaluasi atau ulangan, umur yang lebih dini untuk membuat keputusan tentang karir bisa menjadi stresor munculnya kecemasan. Salah satu bentuk kecemasan adalah terkait karir di masa depan dan ujian.11 Siswa kelas akselerasi seringkali harus berhadapan dengan tuntutan orang tua, guru dan masyarakat yang bisa menjadi sebuah tekanan/ancaman bagi siswa sehingga menimbulkan kecemasan. Muris et al. menyimpulkan bahwa skor tinggi kecemasan umum dan status kecemasan berhubungan secara bermakna dengan peningkatan persepsi ancaman. Proteksi yang berlebihan menyebabkan siswa menjadi tertekan dan tidak bisa berekspresi secara bebas sesuai usia perkembangannya sehingga bisa menimbulkan kecemasan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Turgeon et al. menunjukkan bahwa pada kelompok penderita gangguan kecemasan mempunyai orang tua yang lebih protektif.12 Tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara skor kecerdasan emosi kelompok kelas akselerasi dan kelas regular. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan asumsi sebagian pakar pendidikan bahwa siswa kelas akselerasi memiliki skor kecerdasan emosi yang lebih rendah. Kecerdasan emosi adalah suatu dimensi kecerdasan yang bisa dikembangkan sepanjang kehidupan manusia.4,5 Kemampuan-kemampuan ini bisa dipelajari seumur hidup, dimana proses belajar paling banyak dialami pada masa kanak-kanak dibandingkan pada masa- masa selanjutnya termasuk masa SMU.15 Sebagian ahli berpendapat bahwa pendidikan didalam keluarga lebih berpengaruh terhadap perkembangan anak termasuk perkembangan emosinya.16 Rumah adalah lembaga yang paling dominan dalam proses belajar anak dan orangtualah yang menjadi pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Orangtua merupakan guru pertama (non formal) karena hingga Warih Andan Puspitosari, Perbedaan Skor Kecerdasan ... 73 menginjak masa remaja, anak-anak lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah.17 Interaksi yang pertama kali dan yang paling lama dialami adalah interaksi di dalam keluarga bagi perkembangan fisik, intelektual, emosional dan sosial. Pengembangan kecerdasan emosi di sekolah mungkin memiliki porsi yang lebih sedikit dibandingkan dalam lingkungan keluarga karena waktu interaksi di sekolah jauh lebih sedikit dibandingkan interaksi siswa dalam keluarga atau lingkungan masyarakatnya. Keluarga adalah tempat anak mengalami proses tumbuh kembang secara fisik, emosi, sosial, moral, spiritual dan intelektual. Melalui kehidupan keluarga seorang anak akan belajar mengenal dirinya sendiri maupun orang lain dan kemudian lingkungan sekitarnya. Anak yang berasal dari keluarga dengan ego tinggi, tidak mempunyai kepedulian terhadap anggota keluarga yang lain, akan menghasilkan remaja yang sosial skillnya berkembang jelek.18 Kemungkinan penyebab lainnya, tidak adanya perbedaan skor kecerdasan emosi tersebut adalah adanya tes psikologik yang dilakukan pada saat seleksi memasuki kelas akselerasi. SMU Muhammadiyah 1 secara rutin melakukan tes ini dalam seleksi siswa kelas akselerasi, sehingga pertimbangannya bukan semata-mata skor kecerdasan intelektualnya saja. Sejak awal calon siswa kelas akselerasi dinilai kemampuannya untuk kecerdasan yang multipel sebagai pertimbangan. Test ini sering menjadi kendala di wilayah-wilayah yang tidak memiliki psikolog atau psikiater. Kesimpulan 1. Siswa kelas akselerasi memiliki skor kecemasan yang lebih tinggi daripada siswa kelas regular. 2. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara skor kecerdasan emosi siswa kelas akselerasi dan siswa kelas regular. Daftar Pustaka 1. Rachman, A., Latifah, U. 2001. Mengenal Lebih Dekat tentang Program Akselerasi, Majalah Penabur, no. 2 tahun XXVII : 1 – 6 2. Mujiran, P. 2006. Persoalan Kelas Akselerasi. http://www.suaramerdeka. com/harian-/0403/29/kha1.htmaaa 3. Sutopo, H. 31 Mei 2002 Kelas Akselerasi Bisa Perkosa Perkembangan Anak Didik, Harian Kompas. 4. Goleman, D. 1999. Kecerdasan Emosi: Mengapa Emotional Intelligence lebih penting dari Intelectual Quotient. Hermaya T (pent.). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 5. Goleman, D. 1999. Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi, Terjemahan Bahasa Indonesia, Cetakan ketiga, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama 6. Patton, P., 2002, EQ- Pengembangan Sukses Lebih Bermakna, Mitra Media Publisher 7. Cooper, R.K. and Ayman, S. 1997. Executif Emotional Quetiont, Kecerdasan Emosi dalam Kepemimpinan dan Organisasi. Alih Bahasa : Alex Tri, KW. Jakarta : Gramedia Pusat Utama 8. Agustian, A.G. 2003. Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power, penerbit Arga, Jakarta. 9. Agustian, A.G. 2005. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual, penerbit Arga, Jakarta. 10. Hapsari, I. 2001. Perbedaan KE pada Mahasiswa Eksakta & Non Eksakta di UGM. Skripsi (tidak diterbitkan). 2001. Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada Yogyakarta 11. Halgin, R.P., and Whitbourne. S.K. 1994. Abnormal Psychology : The Human Experience of Psychology. USA: Harcount Brace College Publiser 12. Spielberg, C.D., (Ed). 1996. Anxiety and Behavior. New York: Academik Press 13. Gorman, J.M. 2000. Anxiety Disorders: Introduction and Overview, dalam: Sadock BJ and Sadock VA. Editor: Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry, 7thEd. Lippincott Williams & Wilkins. 14. Iskandar, Y. 1996. Diagnosis dan Pengobatan Gangguan Anxietas, Buku Mutiara Medika Vol. 10 No. 1:68-74, Januari 2010 74 Pegangan Dokter, Yayasan Dharma Graha, Jakarta 15. Kaplan, H.I., Sadock, B.J., Grebb, J.A. 1996. Synopsis of Psychiatry, Seventh Edition, Lippincott Williams & Wilkins. 16. Ekowarni, E. 1993. Kenakalan Remaja : Suatu Tinjauan Psikologi Perkembangan. Buletin Psikologi, II (2), Desember 1994. Yogyakarta. Fakultas Psikologi UGM. 17. Adiningsih, N.U. 2001. Pembelajaran Anak oleh Orangtua. Dalam Media Indonesia, 2 Mei 2001. Jakarta 18. Henry B.R., Nanette M.H., Michael H.B., Thomas G. Jan/Feb 2001; The relation of LD and gender with emotional intelligence in college students Journal of Learning Disabilities; 34, 1; Health & Medical Complete pg. 66 Warih Andan Puspitosari, Perbedaan Skor Kecerdasan ...