75 Vulvodinia, Diagnosis dan Penatalaksanaan Vulvodinia, Diagnose and Management Devi Artami Susetiati Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakartaa Email: dephieart@yahoo.com Ala Abstract Vulvodynia is often described as discomfort or burning pain in the vulvar area, occurring in the absence of visible pathology or a specific, clinically identifiable disorder. The aim of this this article is to give more information about vulvodinia, diagnose and management with literature study method. The diagnosis of vulvodynia is made after taking a careful history, ruling out infectious or dermatologic abnormalities, and eliciting pain in response to light pressure on the labia, introitus, or hymenal remnants. Several treatment options have been used, although the evidence for many of these treatments is incomplete. Treatments include oral medications that decrease nerve hypersensitivity (e.g., tricyclic antidepressants, selective serotonin reuptake inhibitors, anticonvulsants), pelvic floor biofeedback, cognitive behavioral therapy, local treatments, and (rarely) surgery. Most women experience substantial improvement when one or more treatments are used. It can be concluded that vulvodinia’s management until right now has not been standardized yet because of its etiology. Keywords : diagnose, management, vulvodinia, Abstrak Vulvodinia merupakan rasa tidak nyaman pada vulva, kebanyakan pasien merasa nyeri terbakar, stinging, iritasi, dan lecet pada daerah tersebut, keluhan berlangsung kronik tanpa disertai gambaran klinis yang spesifik atau gangguan neurologis. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan tentang vulvodinia, diagnosis dan penatalaksanaannya dengan metode studi pustaka. Diagnosis vulvodinia ditegakkan berdasarkan anamnesis yang teliti dengan menyingkirkan infeksi atau kelainan kulit dan pemeriksaan rasa nyeri terhadap rangsang tekanan ringan pada labia, introitus, atau sisa-sisa himen. Beberapa pilihan terapi telah digunakan meskipun belum cukup terbukti efektivitasnya. Terapi oral dengan menggunakan obat-obatan yang dapat menurunkan hipersensitivitas saraf (misal antidepresan trisiklik, selective serotonin reuptake inhibitors, antikonvulsan), pelvic floor biofeedback, cognitive behavioral therapy, terapi lokal, dan yang jarang dilakukan adalah terapi bedah. Kebanyakan wanita penderita vulvodinia mengalami perbaikan yang berarti ketika menggunakan salah satu atau kombinasi terapi. Disimpulkan bahwa sampai saat ini belum ada standarisasi terapi vulvodinia, hal ini karena vulvodinia merupakan suatu penyakit dengan berbagai kemungkinan etiologi yang belum pasti. Kata kunci : diagnosis, manajemen, vulvodinia Mutiara Medika Vol. 10 No. 1:75-79, Januari 2010 76 Pendahuluan Vulvodinia menurut International Society for the Study of Vulvovaginal Disease (ISSVD) merupakan rasa tidak nyaman pada vulva, kebanyakan pasien merasa nyeri terbakar, stinging, iritasi, dan lecet pada daerah tersebut, keluhan berlangsung kronik tanpa disertai gambaran klinis yang spesifik atau gangguan neurologis.1-6 Dahulu vulvodinia mempunyai sebutan sindrom vulvar vestibulitis. Akan tetapi karena adanya akhiran –itis ini maka istilah sindrom vulvar vestibulitis tidak lagi dipergunakan oleh ISSVD.1,2,3,4,5,6 Gatal bukan merupakan gejala vulvodinia. Seringkali hanya ditemukan eritem pada vulva. Sehingga jika ditemukan rasa gatal pada vulva, vulvodinia dapat disingkirkan. Vulvodinia tidak disebabkan oleh infeksi (kandidiasis, herpes), inflamasi (liken planus, kelainan imunobulosa), neoplasia (Paget’s disease, karsinoma sel skuamosa), atau kelainan neurologis. ISSVD mengklasifikasikan vulvodinia menjadi nyeri lokal dan generalisata. Kedua kategori ini selanjutnya dibagi menjadi nyeri yang terprovokasi, spontan, dan campuran.1,2,3,4,5,6 Rasa nyeri pada vulva ini berkisar dari ringan sampai berat hingga sangat mengganggu. Diagnosis tergantung pada riwayat penyakit, tidak ditemukannya infeksi atau kelainan dermatologis lainnya. Kebanyakan wanita akan merasa nyeri apabila disentuh ringan dengan lidi kapas pada vulva, introitus vagina, atau selaput dara. Nyeri biasanya muncul selama dan setelah berhubungan seksual. Faktor- faktor lain yang dapat mencetuskan nyeri seperti celana yang ketat, naik sepeda, insersi tampon, duduk lama, atau sentuhan oleh pasangannya. Beberapa wanita dapat merasakan nyeri secara spontan tanpa pencetus. Sedangkan faktor-faktor yang dapat meredakan nyeri yaitu pemakaian celana yang longgar, tidak memakai celana dalam, kompres es, atau berbaring.3 Vulvodinia jarang dijumpai. Prevalensi vulvodinia sampai sekarang masih belum banyak diketahui. Di Amerika Serikat diperkirakan sebanyak 200.000 perempuan menderita vulvodinia atau sekitar 15- 20% dari seluruh populasi perempuan.1,2,3 Perempuan dengan vulvodinia kebanyakan merupakan perempuan usia reproduktif (umur 21-50 tahun, rata-rata berumur 32 tahun), bangsa berkulit putih, dan nulipara. Perempuan Amerika latin 80% berisiko menderita nyeri vulva kronik daripada bangsa Caucasian dan Afrika-Amerika.2,3,7 Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan tentang vulvodinia, diagnosis dan penatalaksanaannya dengan metode studi pustaka. Diskusi Vulva merupakan bagian luar genitalia perempuan. Tepi luar dan dalam vulva disebut labium mayus dan labium minus. Vestibulum mengelilingi pintu masuk vulva dan uretra. Muara kelenjar Skene dan Bartholin berada didalam vestibulum.8 Etiologi vulvodinia masih belum diketahui. Dahulu vulvodinia dianggap murni merupakan penyakit psikosomatik saja.1,9 Vulvodinia bukan merupakan infeksi menular seksual.3 Penelitian terakhir mengajukan beberapa kemungkinan penyebab vulvodinia seperti abnormalitas embriologis, faktor hormonal, faktor genetik yang berhubungan dengan kerentanan terhadap inflamasi vestibular kronik, peningkatan densitas serabut saraf C-afferent nosiseptor pada mukosa vestibular, peningkatan sel mast pada mukosa vestibular, spasme otot dinding pelvis, dan faktor psikologis atau disfungsi seksual.2,4,10,11 Faktor psikologis seperti kekerasan seksual di masa kecil mempunyai kecenderungan lebih besar untuk menderita vulvodinia.9 Riwayat infeksi genital sebelumnya, riwayat pembedahan pada daerah vulva, dan riwayat melahirkan dapat meningkatkan risiko vulvodinia.7 Anamnesis mengenai lama dan onset nyeri, faktor-faktor yang dapat mencetuskan atau menghilangkan nyeri, terapi yang pernah dilakukan, riwayat alergi, riwayat terapi bedah, dan riwayat seksual diperlukan dalam menegakkan diagnosis vulvodinia. Pada vulva perlu dilakukan pemeriksaan fisik untuk mencari apakah terdapat inflamasi, indurasi, ekskoriasi, Devi Artami Susetiati, Vulvodinia, Diagnosis dan .... 77 fisura, ulserasi, likenifikasi, hipopigmentasi, hiperpigmentasi, skar, atau perubahan bentuk vulva. Apabila ditemukan gambaran klinis seperti tersebut di atas maka diagnosis vulvodinia dapat disingkirkan.2 Pemeriksaan dengan menggunakan lidi kapas untuk menentukan lokasi nyeri dan menggolongkan rasa nyeri menjadi ringan, sedang, berat atau tidak nyeri. Tekanan lidi kapas akan menyebabkan rasa nyeri pada hampir semua perempuan dengan vulvodinia. Lokasi yang perlu dipalpasi dengan menggunakan lidi kapas yaitu labium mayus, labium minus, sulkus intralabial, perineum, klitoris, dan vestibulum vulva. Daerah yang paling sering terjadi peningkatan sensitivitas yaitu introitus posterior dan bagian posterior sisa hymen.2,3,4 Apabila nyeri hanya terasa pada vestibulum posterior maka hal ini merupakan indikasi adanya hipertonus muskulus levator ani.2 Pemeriksaan vagina dengan pH, pemeriksaan jamur untuk mencari infeksi kandida vulvovaginal, dan pengecatan gram sesuai dengan indikasi. Pada vulvodinia dapat juga ditemukan kandidiasis, sehingga perlu diberikan anti jamur. Meskipun begitu eliminasi kandida atau pemberian anti jamur saja tidak dapat mengurangi gejala-gejala vulvodinia.3,4,7 Selain pemeriksaan di atas, maka perlu dilakukan palpasi pada uretra dan kandung kemih untuk menyingkirkan adanya interstitial cystitis; lalu pemeriksaan uterus, adneksa, dan septum rektovaginal untuk memeriksa apakah terdapat massa, skar, atau endometriosis. Terakhir perlu dilakukan palpasi pada spina ischiaka untuk mengetahui adanya neuropati pudendal atau pudendal nerve entrapment.2 Masheb dkk telah menguji kriteria Friedrich untuk menegakkan diagnosis vulvodinia. Eduard Friedrich pada tahun 1987 mengajukan tiga kriteria subyektif dan obyektif yaitu (1) nyeri sentuhan pada vestibulum atau pintu masuk vagina, rasa nyeri ini berdasarkan pemeriksaan dengan menggunakan spekulum; (2) nyeri tekan lokal menggunakan lidi kapas pada vestibulum vulva; serta (3) gambaran klinis hanya hanya terbatas eritema pada vestibulum dengan derajat eritema yang bervariasi, termasuk tidak ditemukannya gambaran klinis masuk ke dalam kriteria inklusi vulvodinia. Diagnosis vulvodinia dapat ditegakan apabila terdapat dua kriteria Friedrich.12,13 Penatalaksanaan vulvodinia sebaiknya tidak hanya penderita saja yang memperoleh terapi akan tetapi perlu pendekatan terhadap pasangan seksualnya. Anamnesis penderita apakah terdapat kemungkinan-kemungkinan faktor psikologis. Selanjutnya penderita diajak untuk merencanakan terapi. Penderita dan pasangan seksual diberikan tanggung jawab bersama untuk keberhasilan terapi.14 Pasien perlu diberikan edukasi untuk mengurangi rasa nyeri seperti pemakaian celana dalam yang terbuat dari 100% katun dan tidak menggunakan celana dalam sewaktu tidur di malam hari.2 Hindari penggunaan sabun keras yang dapat menimbulkan iritasi, pembalut, pantyliners, atau vaginal douching.2,14 Gunakan pembalut yang tidak berwarna, tidak berparfum, serta terbuat dari katun. Lubrikasi yang kurang sewaktu berhubungan seksual dapat mencetuskan rasa sakit oleh karena itu diperlukan lubrikan. Sebaiknya dipilih lubrikan yang tidak mengandung propilen glikol yang bisa menyebabkan alergi atau iritasi.2 Setelah penanganan non medikasi dilakukan, dapat dipertimbangkan pemberian terapi topikal. Terapi topikal yang paling banyak diresepkan adalah salep lidokain 5%. Salep ini dioleskan seperlunya bila terasa nyeri atau 30 menit sebelum berhubungan seksual.2,3,4 EMLA (eutectic mixture of local anesthesia) merupakan kombinasi lidokain dan prilokain. Cara penggunaan EMLA sama dengan salep lidokain.2,4 Apabila penderita menggunakan anestesi topikal, pasangan seksual sebaiknya menghindari seks oral.2 Terapi topikal yang lain yaitu estradiol vaginal cream 0,01% intravagina atau topikal, capsaicin, atropin, kombinasi topikal amitriptilin 2% dengan baclofen 2% dalam basis air, testosteron, nitrogliserin, doxepin, dan gabapentin.2,4 Mutiara Medika Vol. 10 No. 1:75-79, Januari 2010 78 Terapi oral lini pertama yaitu antidepresan trisiklik seperti amitriptilin, nortriptilin, imipramin, paroxetine, dan desipramin. Mekanisme kerja obat ini diperkirakan melalui penghambatan reuptake transmitter norepinefrin dan serotonin, meskipun kemungkinan sebenarnya disebabkan oleh efek antikolinergik. Dosis awal amitriptilin 5-25 mg malam hari (5-10 mg untuk pasien lansia) dengan peningkatan dosis 10- 25 mg/minggu. Dosis maksimal 150 mg malam hari. Sebaiknya obat diminum 2 jam sebelum tidur.2,15 Obat antidepresan golongan lain yang mempunyai kelas terbaru selective norepinephrine reuptake inhibitors yaitu venlafaxine. Dosis awal diberikan 37,5 mg, dapat ditingkatkan sampai 225 mg / hari.15 Obat antikonvulsan seperti gabapentin dan karbamazepin pernah digunakan sebagai terapi vulvodinia. Gabapentin dimulai dengan dosis 300 mg/hari selama 3 hari, meningkat menjadi 2x300 mg/hari selama 3 hari kemudian 3x300 mg/hari. Dosis maksimal yang diperbolehkan 3600 mg dalam sehari.2,3,4 Dosis karbamazepin untuk nyeri 2x200-400 mg sehari, dengan dosis maksimal 1200 mg/hari.4 Terapi oral lain yang masih kontroversial yaitu pemberian diet rendah oksalat dengan suplementasi kalsium sitrat. Oksalat merupakan bahan iritan dan diperkirakan adanya kandungan oksalat yang tinggi didalam urin dapat menyebabkan nyeri pada vulva. Bukti-bukti yang menyokong keberhasilan terapi ini sedang diperdebatkan para ahli.4 Selain terapi topikal dan oral di atas, dapat diberikan injeksi intralesional dengan menggunakan triamsinolon asetonid 0,01% dan bupivakain. Dosis tidak boleh melebihi 40 mg/bulan. Injeksi intralesional yang lain seperti interferon-alpha (IFN-α) pernah dilaporkan sebagai terapi vulvodinia. Perbaikan jangka lama dengan menggunakan IFN- α sangat bervariasi.2,4 Baru-baru ini dikembangkan penggunaan botulinum toxin A (Botox) sebagai terapi vulvodinia. Botox merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh organisme gram positif anaerob, Clostridium botulinum. Efek injeksi Botox melalui penurunan hipertonus otot dinding pelvis karena adanya paralisis otot. Efek yang kedua melalui terikatnya neurotoksin pada terminal sinaptik kolinergik dari neuromuskular junction dan menghambat pelepasan asetilkolin.11 Apabila pasien telah gagal mencoba berbagai terapi di atas maka bedah merupakan pilihan terapi terakhir. Akan tetapi terapi ini sebaiknya dilakukan pada penderita vulvodinia yang mengeluh nyeri berat yang sangat mengganggu kualitas hidup. Terapi bedah dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu eksisi lokal, vestibulektomi total, serta perineoplasti.3,4 Biofeedback dan terapi fisik umum digunakan sebagai terapi vulvodinia. Kedua terapi ini efektif untuk menurunkan dan menormalkan hipertonus muskulus levator ani, meningkatkan kekuatan dinding pelvis, serta meningkatkan elastisitas vulvovaginal.2,3,4 Selain terapi di atas, penderita perlu diberikan cognitive behavioral therapy. Penderita vulvodinia umumnya mempunyai pengalaman hidup yang tidak menyenangkan seperti perceraian orang tua, dipecat dari pekerjaan, berkabung, kekerasan di dalam keluarga, dan lain-lain. Terapi ini telah terbukti berhasil mengobati vulvodinia.16 Meskipun begitu terapi vulvodinia diperlukan kombinasi antara terapi medikasi dengan terapi psikologis serta kerjasama antara dokter, sexual therapists, psikolog, dan terapi pasangan penderita vulvodinia. Kesimpulan Sampai saat ini belum ada standarisasi terapi vulvodinia. Hal ini karena vulvodinia merupakan suatu penyakit dengan berbagai kemungkinan etiologi yang belum pasti. Oleh karena itu perlu dilakukan pendekatan terapi yang komprehensif tidak hanya terapi medikasi saja akan tetapi perlu pendekatan secara psikologis dan dari aspek seksual pasien. Devi Artami Susetiati, Vulvodinia, Diagnosis dan .... 79 Daftar Pustaka 1. Torgerson R.R., Edwards L. 2008. Diseases and Disorders of The Female Genitalia. In Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 7 ed: 675-83. 2. Goldstein A.T., Burrows L. 2008. Vulvodynia. J Sex Med. 5:5–15. 3. Reed B.D. 2006. Vulvodynia: Diagnosis and Management. Am. Fam. Physician. 73:1231-38. 4. Haefner H.K., Collins M.E., Davis G.D., Edwards L., Foster D.C., Hartmann E.H., et al. 2005. The Vulvodynia Guideline. J. Lower Genital Tract Disease. 9:40-51. 5. Mroczkowski T.F., et al. 1998. Vulvodynia-a Dermatovenereologist’s Perspective. Int J. Dermatol. 37:567-69. 6. Byth J.L. 1998. Understanding Vulvodynia. Australia. J. Dermatol. 98;39:139-50. 7. Smart O.C., MacLean A.B. 2003. Vulvodynia. Curr. Opin. Obstet. Gynecol. 15:497-500. 8. Anonym. 2008. National Vulvodynia Association. www.nva.org. Diakses pada tanggal 16 Juni 2008. 9. Leppert P., Turner M. 2003. Vulvodynia: Toward Understanding a Pain Syndrome. Proceedings from the Workshop. April 14-15, 2003. 10. Tympanidis P., Terenghi G., Dowd P. 2003. Increased Innervation of The Vulval Vestibule in Patients with Vulvodynia. Br J. of Dermatol. 148:1021- 27. 11. Yoon H., Chung W.S., Shim B.S. 2007. Botulinum toxin A for the management of Vulvodynia. Int. J. Impot. Res.19:84- 87. 12. Masheb R.M., Lozano C., Richman S., Minkin M.J., Kerns R.D. 2004. On The Reliability and Validity of Physician Ratings for Vulvodynia and The Discriminant Validity of its Subtypes. Pain Medicine. 5:349-58. 13. Arnold L.D., Bachmann G.A. 2006. Idiopathic Vulvodynia. In: Farage MA, Maibach HI. The Vulva, Anatomy, Physiology, and Pathology. New York, Informa Health Care. 85-97. 14. Schultz W.W., Basson R., Binik Y., et al. 2005. Women’s Sexual Pain and Its Management. J Sex Med. 2:301-16. 15. Reed B.D., Caron A.M., Gorenflo D.W., Haefner H.K.. 2006. Treatment of Vulvodynia with Tricyclic Antidepressants: Efficacy and Associated Factors. J. Low. Genit. Tract. Dis. 10:245-51. 16. Plante A.F., Kamm M.A. 2008. Life Events in Patients with Vulvodynia. BJOG. 115:509-14. Mutiara Medika Vol. 10 No. 1:75-79, Januari 2010