Bambang Edy Susyanto, Faktor Risiko Gangguan ... ARTIKEL PENELITIAN 30 Faktor Risiko Gangguan Pendengaran pada Skrining Pendengaran Bayi Baru Lahir di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Hearing Impairment Risk Factors of Newborn Hearing Screening at PKU Muhammadiyah Yogyakarta Hospital Bambang Edy Susyanto1*, Asti Widuri2 1Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 2Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta *Email: bambangedi@gmail.com Abstrak Jenis ketulian neonatus yang banyak dijumpai adalah sensori. Upaya habilitasi hanya dengan memasang alat bantu dengar dan melatih dengan metode audiovisual. Habilitasi sangat efektif bila dilakukan pada periode perkembangan bicara anak sekitar usia 9 bulan sampai 3 tahun. Untuk itu perlu dideteksi dini adanya ketulian pada neonatus, dan segera dimulai habilitasi pendengaran. Penelitian ini untuk mengetahui frekuensi jenis faktor risiko yang potensial penyebab ketulian neonatal. Penelitian ini menggunakan rancang penelitian potong lintang, dengan menggunakan alat otoacoustic emission (OAE) untuk deteksi ketulian neonatus yang lahir antara bulan Januari dan December 2014 di RS PKU Muhammadiyah. Faktor risiko di lihat dalam rekam medik, data dianalisis menggunakan chi-square. Faktor risiko ketulian yang paling banyak adalah hiperbilirubin sejumlah 44 (53.0%) kasus, prematuritas sejumlah 30 (36.1%) kasus, ventilasi mekanik sejumlah 27 (32.5%) kasus, dan BBLR sejumlah 16 (19.3%). Uji statistik chi-square menunjukkan p=0,001 pada risiko BBLR. Disimpulkan BBLR menjadi salah satu risiko gangguan pendengaran pada skrining pendengaran bayi baru lahir. Kata kunci: neonatus, tuli sensori, faktor risiko, deteksi dini, OAE Abstract The most common congenital neonatus hearing loss is sensory disorder. The habilitation is wearing hearing aids, and audiovisual training. Effective habilitation if perform at optimal early childhood speech development around 9 month to 3 years old. For this reason need early neonatus hearing detection and habilitation. The aims to know the frequency and potential of neonatal hearing loss risk factors. The method by cross sectional method newborns were tested with OAE screening test, between Januari 2014 and December 2014 in PKU Muhammadiyah Hospital. From medical report all risk factors data and analyzed by chi-square. Most hearing impairment risk factors are hyperbilirubinemia 44 (53.0%) cases, prematurity 30 (36.1%) cases, mechanical ventilation 27 (32.5%) cases, and low birth weight LBW 16 (19.3%) cases. By chi-square shown p=0,001 for low birth weight. LBW as one of risk factor to hearing impairment at newborn hearing screening. Key words: neonatus, sensory hearingloss, risk factor, early detection, OAE. Mutiara Medika Vol. 15 No. 1: 30 - 36, Januari 2015 31 PENDAHULUAN Gangguan pendengaran (ketulian) yang terjadi pada masa neonatus (pre lingual deafness) menyebabkan hambatan perkembangan bicara, berbahasa, kognitif, emosi dan komunikasi sosial. Dengan demikian perlu dilakukan deteksi dini ketulian neonatus dan segera menghabilitasi pendengaran secara audiovisual dengan memasang alat bantu dengar mengingat periode optimal perkembangan bicara pada anak usia sembilan bulan sampai tiga tahun. Sehubungan dengan hal tesebut diatas perlu dilakukan deteksi dini ketulian pada neonatus sedangkan pelaksanaan lebih efektif bila diketahui dulu faktor risiko sebagai penyebab ketulian neonatus. Beberapa faktor risiko yang telah diindikasi penyebab kelutian neonatus antara lain genetik, prematuritas, TORCH, berat badan lahir rendah dan ikterus neonatorum. The Joint Committee on Infant Hearing tahun 2007 merekomendasikan skrining pendengaran neonatus harus dilakukan sebelum usia 3 bulan dan intervensi telah diberikan sebelum usia 6 bulan, dan terutama pada bayi dengan faktor risiko.1 Ketulian atau penurunan kemampuan mendengar pada bayi yang menyebabkan ketidakmampuan mendengar dengan atau tanpa alat pengeras suara akan memberikan dampak yang besar pada perkembangan anak. Faktor risiko gangguan pendengaran sensori neural antara lain infeksi meningitis, bayi prematur, berat badan lahir rendah, ikterus, maupun bayi dengan perawatan di NICU. Deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi memerlukan peranan aktif dari semua bidang tenaga kesehatan dan masyarakat, tetapi dokter spesialis anak dan spesialis telinga hidung tenggorok merupakan ujung tombaknya.2 Salah satu faktor risiko gangguan pendengaran adalah BBLR. Tuli pada bayi baru lahir dapat disebabkan oleh berbagai kondisi antara lain hipoksia dan perkembangan organ yang tidak sempurna. Faktor risikonya antara lain adalah kadar bilirubin yang tinggi (jaundice),prematuritas atau bayi berat lahir rendah (BBLR), obat-obat ototoksik, ventilasi mekanik yang lama, apgar score rendah dan meningitis.3 WHO mendefinisikan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat badan lahir kurang dari 2500 gram tanpa memandang usia gestasi. Joint Committee of Infant Hearing menyatakan bahwa berat badan lahir < 1500 gram merupakan faktor risiko terjadinya gangguan fungsi pendengaran bayi baru lahir.4 Gangguan pendengaran banyak dijumpai pada anak-anak, baik yang disebabkan gangguan sistem saraf pendengaran maupun tuli konduksi akibat serumen, cairan telinga tengah maupun perforasi membran timpani. Menurut perkiraan terakhir, 31,5 juta orang di Amerika Serikat mengalami gangguan pendengaran. Sekitar 6 dari setiap seribu bayi baru lahir memiliki beberapa jenis gangguan pendengaran unilateral atau bilateral.1 Tujuan Penellitian ini adalah untuk mengetahui jenis dan frekuensi faktor risiko ketulian neonatus di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. BAHAN DAN CARA Bambang Edy Susyanto, Faktor Risiko Gangguan ... 32 Penelitian ini menggunakan metode cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui faktor risiko terhadap gangguan pendengaran menggunakan OAE. Subyek dalam penelitian ini adalah bayi baru lahir di bagian Kebidanan RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Sebagai sampelnya adalah 83 bayi baru lahir di bagian Kebidanan RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta dengan kriteria inklusi sehat ataupun dengan factor risiko perawatan NICU, sedangkan kriteria eksklusinya adalah terdapat kelainan congenital (craniofacial) yang menyulitkan pemeriksaan OAE. Instrumen pada penelitian ini menggunakan data sekunder berupa rekapan hasil pemeriksaan Otoacoustic Emission (OAE) pada pasien bayi baru lahir yang dilakukan secara rutin pada bayi dan rekam medik untuk melihat berbagai faktor risiko. HASIL Pemeriksaan OAE dilakukan pada 83 bayi baru lahir sejumlah 24 bayi normal tanpa faktor risiko dan 59 bayi baru lahir dengan faktor risiko ketulian. Dari rekam medik didapatkan faktor risiko antara lain berupa berat bayi baru lahir rendah (BBLR), usia kehamilan kurang (prematur), hiperlilirubinemia, mengalami perawatan dengan ventilasi mekanik, APGAR skor saat lahir rendah, adanya riwayat infeksi TORCH pada ibu, sindrom kongenital dan adanya riwayat ketulian pada anggota keluarga, seperti terlihat pada Tabel 1. Berdasar Tabel 1. terlihat jumlah bayi dengan jemis kelamin perempuan lebih banyak yaitu 46 (55.4%) dibanding dengan laki-laki 37 (44.6%), faktor risiko yang diperiksa sebesar 59 (71.1 %) bayi dan tanpa faktor risiko sejumlah 24 (28.9%) bayi, hal ini disebabkan prioritas motivasi pemeriksaan skrining pendengaran hanya pada bayi dengan faktor risiko, sedangkan bayi normal hanya sebatas anjuran. Hal ini berbeda dengan standar prosedur di negara maju dimana semua bayi sebelum keluar dari rumah sakit telah dilakukan skrining. Faktor risiko ketulian yang paling banyak berdasar data diatas adalah hiperbilirubin sejumlah 44 (53.0%) kasus, prematuritas sejumlah 30 (36.1%) kasus, Tabel 1. Karakteristik Subyek Penelitian Faktor Risiko Ketulian pada Bayi. Karakteristik Jumlah (N) Prosentase (%) Jumlah subyek 83 100.0 Faktor Risiko Negatif Positif 24 59 28.9 71.1 Kelamin Laki-laki Perempuan 37 46 44.6 55.4 Usia Kehamilan Matur Prematur 53 30 63.9 36.1 Berat Lahir Normal Rendah 67 16 80.7 19.3 Bilirubin Normal Hiper 39 44 47.0 53.0 Ventilasi Ya Tidak 56 27 67.5 32.5 Riwayat keluarga Ya Tidak 1 82 1.2 98.8 Infeksi TORCH Ya Tidak 5 78 6.0 94.0 Kongenital Ya Tidak 5 78 6.0 94.0 Mutiara Medika Vol. 15 No. 1: 30 - 36, Januari 2015 33 ventilasi mekanik sejumlah 27 (32.5%) kasus, BBLR sejumlah 16 (19.3%) kasus, infeksi TORCH dan kelainan congenital masing masing sejumlah 5 (6 %) kasus dan riwayat keluarga sejumlah 1 (1.2 %) kasus. Untuk selanjutnya analisis dilakukan pada 4 faktor risiko terbanyak. Berdasar peringkat insidensi faktor risiko maka yang pertama dianalisis adalah faktor hiperbilirubinemia dimana pengaruhnya terhadap hasil pemeriksaan OAE terlihat pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2. pada kelompok neonatus lahir dengan hiperbilirubin terdapat 21 kasus hasil pemeriksaan OAE refer dan 23 hasil pemeriksaan OAE pass. Uji Chi Square digunakan untuk mengetahui pengaruh hiperbilirubin sebagai salah satu faktor risiko terjadinya kerusakan sel rambut luar koklea yang diukur dengan menggunakan OAE. Hasil analisis uji statistik menunjukkan p=0,392 yang menunjukkan tidak ada hubungan bermaknasecara statistik antara hiperbilirubin dengan hasil pemeriksaan OAE. Berdasarkan Tabel 2. pada kelompok neonatus lahir prematur terdapat 17 kasus hasil pemeriksaan OAE refer dan 13 hasil pemeriksaan OAE pass. Uji chi square digunakan untuk mengetahui prematuritas sebagai salah satu faktor risiko terjadinya kerusakan sel rambut luar koklea yang diukur dengan menggunakan OAE. Hasil analisis uji statistik menunjukkan p=0,065 yang menunjukkan tidak ada hubungan bermakna secara statistik antara premature dengan hasil pemeriksaan OAE. Berdasarkan Tabel 2. pada kelompok neonatus lahir ventilasi mekanik terdapat 15 kasus hasil pemeriksaan OAE refer dan 12 hasil pemeriksaan OAE pass. Uji chi square digunakan untuk mengetahui ventilasi mekanik sebagai salah satu faktor risiko terjadinya kerusakan sel rambut luar koklea yang diukur dengan menggunakan OAE. Hasil analisis uji statistik menunjukkan p=0,121 yang menunjukkan tidak ada hubungan bermakna secara statistic antara ventilasi mekanik dengan hasil pemeriksaan OAE. Berdasarkan Tabel 2, pada kelompok neonatus lahir BBLR terdapat 6 kasus hasil pemeriksaan OAE refer dan 10 hasil pemeriksaan OAE pass. Uji Chi Square digunakan untuk mengetahui BBLR sebagai salah satu faktor risiko terjadinya kerusakan sel rambut luar koklea yang diukur dengan menggunakan OAE. Hasil analisis uji statistik menunjukkan p=0,001 yang menunjukkan ada hubungan bermakna secara statistik antara BBLR dengan hasil pemeriksaan OAE. DISKUSI Pada penelitian ini terdapat 21 bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia yang mengalami Tabel. 2. Pengaruh Hiperbilirubin dengan Hasil Pemeriksaan OAE Pass Refer p Hiperbilirubin Normal 24 15 0.392 Hiperbilirubin 23 21 Prematuritas Normal 34 19 0.065 Prematur 13 17 Ventilasi Mekanik Tanpa Ventilasi 35 21 0.121 Ventilasi mekanik 12 15 BBLR BB Normal 41 26 0.001 BBLR 6 10 Bambang Edy Susyanto, Faktor Risiko Gangguan ... 34 gangguan fungsi sel rambut luar koklea dan 23 bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia tanpa gangguan fungsi sel rambut luar koklea. Hasil analisis menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik dengan p=0,392 maka berdasarkan analisis tersebut dapat disimpulkan hiperbilirubinemia tidak ada hubungan dengan kejadian gangguan fungsi sel rambut luar koklea. Hasil penelitian sesuai dengan da Silva and Martins (2009),5 yang mendapatkan fungsi sel rambut luar koklea pada bayi dengan hiperbilirubinemia masih baik sedangkan fungsi sarafnya terganggu. Penelitian yang dilakukan Oysu et al. (2002),6 mendapatkan adanya gangguan fungsi sel rambut luar pada bayi dengan hiperbilirubinemia yang dapat disebabkan adanya gangguan fungsi endokoklear. Faktor risiko lain yang didapatkan pada penelitian ini yaitu premature, hasil analisis menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik dengan p=0,065 maka berdasarkan analisis tersebut dapat disimpulkan prematuritas (lahir dengan usia gestasional <37 minggu) tidak ada hubungan dengan kejadian gangguan fungsi sel rambut luar koklea. Prematuritas dapat menyebabkan gangguan fungsi sel rambut luar koklea disebabkan oleh belum maturnya organ koklea baik anatomi dan fungsinya. Hasil ini berbeda dengan dengan hasil yang dilakukan oleh Javiolo GR (2013),7 dimana terdapat perbedaan yang bermakna antara hasil pemeriksaan OAE pada neonatus usia <32 minggu dibanding yang cukup bulan. Dimana neonatus yang lahir pada usia gestasi <32 minggu mempunyai kemungkinan 8,69 kali untuk mengalami gangguan fungsi sel rambut luar koklea dibanding neonatus yang lahir ≥32 minggu. Faktor risiko selanjutnya yang didapatkan pada penelitian ini yaitu ventilasi mekanik, hasil analisis menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik dengan p=0,121 maka berdasarkan analisis tersebut dapat disimpulkan ventilasi mekanik tidak ada hubungan dengan kejadian gangguan fungsi sel rambut luar koklea. Hasil penelitian ini berbeda dengan teori yang mengatakan bahwa penggunaan ventilasi mekanik >5 hari merupakan faktor risiko untuk terjadinya gangguan pendengaran pada neonatus, dimana pernafasan dengan ventilasi mekanik, ventilator akan memompakan udara ke paru pada saat inspirasi dan akan memberikan tekanan positif. Pada saat ini tekanan intratorakal akan meningkat dan dapat terjadi kenaikan tekanan darah pulmonal. Hal ini mengakibatkan darah yang dipompa dari jantung ke paru dan kembali ke jantung akan berkurang menyebabkan penurunan cardiac output jantung. Hasil penelitian sesuai dengan kepustakaan bahwa prematuritas dan BBLR berisiko mengalami peningkatan gangguan pendengaran sensori neural, yang dapt dideteksi dengan pemeriksaan ABR yaitu metode efektif untuk mendeteksi defisit ringan pada konduksi impuls di jaras pendengaran. Lebih dari 27% BBLR mengalami peningkatan latensi dan interfal ABR yang menunjukkan adanya gangguan pendengaran perifer atau sentral.8 Insiden gangguan fungsi pendengaran meningkat pada bayi berat badan lahir rendah atau usia ibu yang rendah. Semakin bertambah usia ibu atau semakin bertambah berat badan Mutiara Medika Vol. 15 No. 1: 30 - 36, Januari 2015 35 bayi menurunkan kemungkinan terjadinya gangguan fungsi pendengaran.6 Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Cristobal & Oghalai, (2008),9 yang menyatakan prevalensi gagal dalam skrining pendengaran pada bayi BBLR secara siknifikan lebih tinggi dibanding bayi berat badan lahir normal, tetapi belum mencerminkan terjadinya gangguan pendengaran sensori neural, hal ini bisa disebabkan terkumpulnya cairan pada telinga tengah sehingga berakibat ketulian konduksi yang membaik beberapa minggu setelah pulang dari rumah sakit. Faktor risiko ketulian pada bayi berupa pengaruh obat ototoksik, infeksi cytomegalovirus, hipoksia dan hiperbilirubinemia hanya berguna sebagi kekuatan prediksi gangguan pendengaran, tidak cukup bukti yang menunjukkan signifikansi pengaruh faktor risiko terhadap ketulian congenital pada bayi.10 Penelitian di Iran melaporkan bahwa gangguan pendengaran pada bayi yang dirawat di NICU lebih tinggi daripada populasi normal, sehingga deteksi dini pada bayi dengan faktor risiko sangat dibutuhkan sebagai preventif dan meningkatkan kualitas hidup.11 SIMPULAN Bayi BBLR merupakan salah satu risiko gangguan fungsi pendengaran pada skrining pendengaran bayi baru lahir. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan mengikut sertakan seluruh faktor risiko yang lain dengan jumlah sampel yang lebih banyak. DAFTAR PUSTAKA 1. Anonym. American Academy of Pediatrics; Joint Committee on Infant Hearing. Year 2007 Position Statement: Principles and Guidelines for Early Hearing Detection and Intervention Programs. Pediatrics, 2007; 120 (4): 898-921. 2. Garcia MV, Azevedo MF, Testa JR. Acoustic Immitance Measures in Infants with 226 and 1000 Hz Probes: Correlation with Otoacoustic Emissions and Otoscopic Examination. Braz J Otorhinolaryngol, 2009; 75: 80-89 3. 3. Bashirudin, J. Newborn Hearing Screening in Six Hospital in Jakarta and Surroundings. Maj Kedokt Indon, 2009; 59 (2): 51-54. 4. Perkins, N. Early Detection and Diagnosis of Infant Hearing Impairment dalam CW Cummings, PW Flint, BH Haughey, KT Robbins, JR Thomas, LA Harker & MA Richardson, eds. Philadelphia: Otolaryngology: head & neck surgery, Mosby, Inc. 2005. 5. da Silva DPC, Martins RHG. Analysis of Transient Otoacoustic Emissions and Brainstem Evoked Auditory Potentials in Neonates with Hyperbilirubinemia. Braz. j. otorhinolaryngol. 2009; 75 (3): 381-386. 6. Oysu C, Aslan I, Ulubil A, Baserer N. Incidence of Cochlear Involvement in Hyperbilirubinemic Deafness. Ann Otol Rhinol Laryngol, 2002; 111 (11): 1021-25. 7. Joviolo GR. Prematuritas sebagai Faktor Risiko Gangguan Fungsi Sel Rambut Luar Kokhlea. Disertasi Bagian Ilmu Kesehatan THT, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2013. Bambang Edy Susyanto, Faktor Risiko Gangguan ... 36 8. Reiman M, Parkkola R, Johansson R, Jääskeläinen SK, Kujari H, Lehtonen L, et al. Diffusion Tensor Imaging of the Inferior Colliculus and Brainstem Auditory-Evoked Potentialisin Preterm Infant. Pediatr Radiol, 2009; 39 (8): 804-809. 9. Cristobal, R. & Oghalai, J.S., Hearing Loss in Children with Very Low Birth Weight: Current Review of Epidemiologyand Pathophysiology. Arch Dis Child Fetal Neonatal, 2008; 93 (6): 462-468. 10. Karaca CT, Oysu C, Toros SZ. Naiboglu N, Verim A. Is Hearing Loss in Infants Associated with Risk Factors? Evaluation of the Frequency of Risk Factors. Clin and Exp Otorhinolaryngol, 2014; 7 (4): 260-263. 11. Baradaranfar MH, Mehrparvar AH, Mostaghaci M, Mollasadeghi A, Naghshineh E, Davari MH. Hearing Abnormality in Neonate Intensive Care Unit (NICU), Yazd- Iran. International Journal of Pediatrics, 2014; 2 (5): 113-117.