29 Mutiara Medika Vol. 17 No. 1: 29-35, Januari 2017 Karakteristik Central Serous Chorioretinopathy di Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Tahun 2016 Characteristics of Central Serous Chorioretinopathy at the National Eye Center, Cicendo Eye Hospital 2016 Ahmad Ikliluddin Bagian Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Email: ahmadiqlil@gmail.com Abstrak Central serous chorioretinopathy (CSC) merupakan penyakit pada retina yang ditandai oleh terjadinya ablasi serosa dari lapisan neurosensori retina yang diakibatkan oleh gangguan pada lapisan retinal pigmen epithelium (RPE). CSC kebanyakan terjadi pada usia pertengahan dan lebih sering terjadi pada pria dibanding wanita. Gejala utama adalah penglihatan kabur, biasanya terjadi pada satu mata dan dirasakan pasien sebagai bayangan hitam yang menghalangi penglihatan yang berhubungan dengan mikropsia atau metamorfsia. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan gambaran mengenai karakteristik pasien yang terdiagnosis CSC dan jenis terapi yang diberikan di Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo, pada periode Januari 2016 – Desember 2016. Penelitian dilakukan menggunakan metode deskriptif dengan desain hospital based study. Populasi penelitian ini adalah semua pasien berobat di poli mata Rumah Sakit Mata Cicendo selama periode penelitian. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang diperoleh dari status pasien yang terdiagnosis CSC. Karakteristik pasien CSC yang didapatkan paling banyak adalah laki-laki (71,97%), usia 40-49 tahun (43,18%), dengan visus awal saat kedatangan pada rentang 0,4 logMAR - 0,1 logMAR (53,57%). Keterlibatan mata terbanyak bersifat unilateral (93,93%), dengan rerata ketebalan subfovea sentralis saat kedatangan adalah 402,33µm. Kata kunci: Central serous chorioretinopathy, ablasi serosa, optical coherrence tomography, OCT angiog- raphy enhanced-depth imaging Abstract Central serous chorioretinopathy (CSC) is a disease of the retina characterized by serous detach- ment of the retinal neurosensory caused by impairment of the retinal pigment epithelium (RPE). CSC mostly occurs in middle age and more common in men than women. The main symptom is blurred vision, usually occurring unilateral and perceived as a black shadow that blocks vision associated with micropsia or metamorphsia. The purpose of this study was to obtain the characteristics of patients diagnosed with CSC and the type of therapy at Cicendo Eye Hospital, at January 2016 - December 2016. The study was conducted using descriptive method with the design of hospital based study. The population of this study were all patients treated at Cicendo Eye Hospital during the study period. The data collected were second- ary data obtained from the medical record of patients diagnosed with CSC. The most common character- istics of CSC patients were men (71.97%), 40-49 years of age (43.18%), with initial visual acuity at arrival was 0.4 logMAR - 0.1 logMAR (53.57 %). Most eye involvement was unilateral (93.93%), with mean central subfoveal thickness at arrival is 402.33¼m Key words: Central serous chorioretinopathy, serous detachment, optical coherrence tomography, angiog- raphy OCT, enhanced-depth imaging ARTIKEL PENELITIAN Mutiara Medika Vol. 17 No. 1: 29-35, Januari 2017 30 Ahmad Ikliluddin, Karakteristik Central Serous Chorioretinopathy (CSC) PENDAHULUAN Central serous chorioretinopathy (CSC) pertama kali disebutkan oleh Albrecht von Graefe sebagai central recurrent retinitis pada tahun 1866.1 CSC merupakan salah satu penyakit chorioretina yang dicirikan oleh terjadinya serous detachment dari lapisan neurosensori retina dan/atau lapisan retinal pigment epithelium (RPE).2 Central serous chorioretinopathy pada umum- nya bersifat idiopatik, namun dapat pula berkaitan dengan tingginya kadar kortikosteroid endogen maupun eksogen. CSC paling banyak mengenai laki- laki usia muda hingga usia pertengahan.3 Sebagian besar kasus CSC merupakan kasus yang self-limit- ing dengan resolusi spontan dan prognosis visual yang baik. Kegagalan mencapai resolusi spontan pada umumnya ditangani dengan memberikan la- ser fotokoagulasi yang diarahkan secara fokal pada daerah retina yang mengalami kebocoran RPE. Beberapa pasien mengalami CSC persisten maupun rekuren, yang dapat berkembang ke arah perubahan RPE yang lebih luas dan terbentuknya neovasku- larisasi subretina, yang pada akhirnya akan menye- babkan penurunan penglihatan yang progresif.4,5 Secara klinis, CSC akan memberikan gambaran berupa terangkatnya area makula dengan tampilan menyerupai kubah, yang dapat terlihat jelas dengan menggunakan pemeriksaan penunjang seperti Op- tical Coherence Tomography (OCT) makula. Hal ini dapat memunculkan beberapa diagnosis banding yang serupa dengan kasus ini. Pengetahuan menge- nai karakteristik pasien CSC sangat diperlukan agar dapat menegakkan diagnosis kasus ini dengan tepat. Selain itu, diperlukan juga pemahaman mengenai pilihan terapi yang dapat diberikan pada kasus ini agar didapatkan hasil terapi yang optimal. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai karakteristik pasien yang terdiagnosis CSC dan jenis terapi yang diberikan di Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo, pada periode Januari 2016 – Desember 2016. BAHAN DAN CARA Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif dengan melakukan telaah rekam medis pasien CSC di Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo dari Januari 2016 sampai Desember 2016. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah seluruh pasien yang terdiagnosis CSC selama periode Januari 2016 sampai Desember 2016. Kriteria eks- klusi pada penelitian ini adalah pasien dengan diag- nosis banding kelainan makula selain CSC. Data pemeriksaan meliputi tajam penglihatan yang dicatat dalam LogMAR, pemeriksaan fundus- kopi indirek untuk menilai kondisi makula, serta pemeriksaan penunjang berupa OCT makula, OCT angiografi, maupun Fundus Fluorescein Angiografi (FFA). Data yang dikumpulkan meliputi data demografi pasien, usia, jenis kelamin, tajam penglihatan saat kedatangan dan saat follow up 1 bulan, gambaran OCT makula dan OCT angiografi, serta terapi yang didapatkan pasien. Data yang didapat kemudian di- paparkan secara deskriptif terhadap seluruh variabel dan ditampilkan dalam bentuk tabel. HASIL Selama periode penelitian yang dimulai dari Januari 2016 – Desember 2016, didapatkan 132 pasien (140 mata) dengan diagnosis CSC di RS Mata Cicendo Bandung. Didapatkan 95 pasien laki-laki 31 Mutiara Medika Vol. 17 No. 1: 29-35, Januari 2017 (71,97%) dan 37 pasien perempuan (28,03%). Usia pasien berkisar antara 12 - 60 tahun dengan rerata usia pasien adalah 40,51 tahun dengan rentang usia terbanyak pada usia 40-49 tahun sebanyak 57 pasien (43,18%) (Tabel 1). Visus pasien saat kunjungan pertama yang terbanyak adalah pada rentang 0.4 – 0.1 logMAR sebanyak 75 (53,57%) mata, kemudian 0.9 – 0.5 logMAR sebanyak 57 (40,71%) mata, dan 1.50 – 1.0 logMAR sebanyak 8 (5,71%) mata. Total 132 pasien yang didiagnosis CSC selama periode penelitian, didapatkan 124 (93,93%) kasus bersifat unilateral dan 8 (6,06%) kasus bersifat bi- lateral. Pada kunjungan pertama pasien CSC ke RS Mata Cicendo selama periode penelitian, pemerik- saan OCT makula dilakukan pada 98 (74,24%) pasien. Rerata ketebalan subfovea sentralis adalah 402,33 µm. Selanjutnya didapatkan 46 (34,84%) pasien yang menjalani follow up 1 bulan dan dilakukan pemeriksaan OCT makula. Rerata ketebalan fovea sentralis pada follow up 1 bulan adalah 255,5µm. Pada 20 pasien CSC unilateral dan 2 pasien CSC bilateral dilakukan pemeriksaan ketebalan khoroid menggunakan OCT angiografi dengan mode enhanced depth imaging (EDI). Didapatkan rerata ketebalan khoroid pada mata dengan CSC sebesar 405µm dan pada fellow eye nya sebesar 322,5µm. Sebanyak 48 pasien (52 mata) menjalani follow up 1 bulan. Visus pasien saat follow up 1 bulan yang terbanyak adalah pada rentang 0.4 logMAR – 0.1 logMAR sebanyak 46 (88,46%) mata, kemudian 0.9 logMAR – 0.5 logMAR sebanyak 6 (11,54%) mata. Pada Tabel 6. didapatkan gambaran mengenai tatalaksana pasien CSC selama periode penelitian. Tatalaksana terbanyak adalah dengan observasi dan pemberian medikamentosa, yang diberikan pada 89 (43,93%) pasien. Medikamentosa yang diberikan dapat berupa kombinasi dari tetes mata artificial tears, tetes mata natrium diklofenak, tablet natrium diklofenak, tablet spironolakton dan tablet roboransia. Tabel 1. Karakteristik Pasien Variabel Jumlah Persentase (%) Jenis Kelamin Laki – laki Perempuan 95 37 71,97 28,03 Usia (tahun) 10-19 20-29 30-39 40-49 50-59 60-69 2 4 53 57 14 2 1,51 3,03 40,15 43,18 10,60 1,51 Visus (LogMAR) LP – 1/300 1.50 – 1.0 0.9 – 0.5 0.4 – 0.1 0 8 57 75 0 5,71 40,71 53,57 Tabel 2. Lateralitas Mata yang Terlibat Lateralitas Jumlah Persentase (%) Unilateral Bilateral 124 8 93,93 6,06 Tabel 3. Rerata Ketebalan Subfovea Sentralis pada Mata yang Terkena CSC Waktu Jumlah CFT (µm) Saat kedatangan H+1 bulan 98 46 402,33 255,5 Tabel 4. Rerata Ketebalan Khoroid pada Pasien CSC Keterangan Jumlah Rerata tebal khoroid Mata dengan CSC Fellow eye 24 20 405 322,5 Tabel 5. Visus Saat Follow Up 1 Bulan Visus (UCVA) Jumlah Persentase (%) (LogMAR) LP – 1/300 1.50 – 1.0 0.9 – 0.5 0.4 – 0.1 0 0 6 46 0 0 11,54 88,46 32 Ahmad Ikliluddin, Karakteristik Central Serous Chorioretinopathy (CSC) Tatalaksana selanjutnya adalah dengan laser fotokoagulasi fokal pada area leakage sesuai hasil FFA pada 25 (18,93%) pasien. Kemudian didapatkan juga tatalaksana dengan pemberian injeksi intravitreal anti-vegf pada 18 (13,63%) pasien. DISKUSI Central serous chorioretinopathy merupakan suatu penyakit pada retina yang ditandai dengan terjadinya ablasi serosa pada lapisan neurosensori retina sebagai akibat dari adanya satu atau lebih lesi pada retinal pigment epithelium (RPE).2 Secara epidemiologi, CSC lebih banyak terjadi pada laki- laki dibanding perempuan, dengan rasio sekitar 6:1. Usia saat terjadinya onset biasanya berkisar 30 – 50 tahun.6 Hal ini sesuai dengan karakteristik yang didapatkan pada penelitian ini, dimana pada penelitian ini didapatkan jumlah pasien laki-laki lebih banyak dari perempuan dengan rasio berkisar 2,5:1, dan usia terbanyak ada pada rentang 40 – 49 tahun serta 30 – 39 tahun. Gejala yang umum dirasakan pasien CSC meliputi skotoma sentral, metamorfopsia, microp- sia, diskromatopsia, serta pandangan kabur. Saat kedatangan pertama, pada umumnya keterlibatan mata yang terjadi adalah unilateral, namun dapat juga terjadi bilateral terutama pada kasus yang kronis maupun yang berkaitan dengan peningkatan kadar kortikosteroid endogen maupun eksogen. Pada penelitian ini, sebagian besar merupakan kasus yang unilateral yang didapatkan pada 124 pasien, dibandingkan dengan kasus yang bilateral yang didapatkan pada 8 pasien. Visus awal pada penelitian ini sebagian besar berada pada rentang 0.4 logMAR – 0.1 logMAR sebanyak 73 (53,57%) mata dan kemudian pada rentang 0.9 logMAR – 0.5 logMAR sebanyak 57 (40,71%) mata. Penegakan diagnosis CSC dapat didukung oleh pemeriksaan penunjang berupa imaging dengan menggunakan fundus fluorescein angiography (FFA), indocyanine green angiography (ICGA), optical co- herence tomography (OCT), fundus autofluorescence (FAF), serta pemeriksaan fungsional retina dan makula yang dapat berupa multifocal electroretin- ography (mfERG), dan microperimetry. Pada pemeriksaan FFA, umumnya didapatkan pola leakage yang khas berupa ink blot maupun smoke stack. Pola smoke stack lebih jarang terjadi, hanya terdapat pada 10-15% pasien dengan CSC. Pada kasus CSC dimana didapatkan juga pigment epithelial detachment (PED), pola FFA yang terben- tuk dapat berupa pooling pada bagian sub-RPE.7 Pada pemeriksaan OCT, akan didapatkan gambaran penumpukan cairan sub-retina secara jelas. OCT dapat pula memberikan gambaran yang jelas pada kejadian CSC yang disertai PED. Dari pemeriksaan OCT bisa didapatkan penilaian secara kuantitatif mengenai ketebalan fovea sentralis sehingga dapat digunakan sebagai sarana evaluasi perkembangan penyakit pada CSC.8,9 Tabel 6. Tatalaksana CSC Visus post operasi Jumlah Persentase (%) Observasi dan medikamentosa (kombinasi) : Artificial tears Na-diklofenak e.d Na-diklofenak tab Spironolakton tab Roboransia tab Laser fotokoagulasi fokal Injeksi intravitreal anti- vegf 89 58 65 45 33 112 25 18 67,42 43,93 49,24 34,09 25,00 84,84 18,93 13,63 33 Mutiara Medika Vol. 17 No. 1: 29-35, Januari 2017 Pada penelitian ini, sebanyak 98 pasien dengan diagnosis CSC dilakukan pemeriksaan OCT makula saat kunjungan pertama ke RS Mata Cicendo. Didapatkan rerata ketebalan fovea sentralis sebesar 402,33µm. Selanjutnya, sebanyak 48 pasien (52 mata) datang kembali untuk melakukan follow up pada satu bulan setelah kunjungan pertama. Dari 48 pasien ini, dilakukan pemeriksaan OCT ulang pada 46 pasien. Didapatkan rerata ketebalan fovea sentralis pada follow up satu bulan sebesar 255,5µm. Didapatkan kesan penurunan rerata ketebalan fovea sentralis saat follow up satu bulan dibandingkan dengan saat kunjungan pertama. Visus pasien yang didapatkan saat follow up satu bulan sebagian besar berada pada rentang 0.4 logMAR – 0.1 logMAR sebanyak 46 (88,46%) mata dan kemudian pada rentang 0.9 logMAR – 0.5 logMAR sebanyak 6 (11,54%) mata. Didapatkan kesan penambahan persentase pasien yang meng- alami perbaikan visus saat follow up satu bulan dibandingkan dengan saat kunjungan pertama. Faktor risiko yang diketahui pada kejadian CSC diantaranya adalah kadar glukokortikoid tubuh, predisposisi genetik, kepribadian tipe A, kehamilan, penyakit kardiovaskular dan hipertensi, penggunaan antibiotik, transplantasi organ maupun sumsum tulang, dan infeksi saluran nafas atas.10,11,12 Sebagian besar faktor risiko tersebut pada akhirnya akan memicu terjadinya peningkatan kadar steroid dalam tubuh. Peningkatan kadar steroid tubuh ini diduga akan menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah khoroid, yang pada akhirnya dapat menyebabkan peningkatan ketebalan khoroid. Dengan demikian, secara teori meskipun CSC hanya dijumpai pada satu mata seorang pasien, proses perubahan ketebalan khoroid tetap akan terjadi pada kedua matanya.13 Central serous chorioretinopathy merupakan penyakit yang bersifat self-limiting-. Sebagian besar kasus dapat mengalami resolusi spontan dengan melakukan observasi pada perjalanan penyakitnya. Meskipun demikian, sehubungan dengan adanya keterkaitan antara peningkatan kadar kortikosteroid endogen dan eksogen pada kasus CSC, maka perlu dilakukan anamnesis mendalam pada pasien CSC mengenai kemungkinan pemakaian kortikosteroid sebagai pengobatan jangka panjang pada pasien tersebut. Pada CSC yang berkaitan dengan tingginya kadar kortikosteroid, penghentian penggunaan ste- roid dapat mempercepat resolusi dari ablasi serosa pada 90% kasus.14 Laser fotokoagulasi dapat dipertimbangkan untuk dilakukan secara fokal pada area dengan gambaran leakage pada hasil FFA pasien CSC. Penggunaan laser fotokoagulasi diketahui dapat mempercepat resolusi dari ablasi serosa lapisan neurosensori retina pada CSC.3,15,16 Penggunaan anti-vegf pada terapi CSC juga sudah dikembangkan. Beberapa penelitian telah menunjukkan terjadinya perbaikan secara anatomi dan fungsional dengan pemberian injeksi intravitreal anti-vegf ranibizumab maupun bevacizumab. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat keterlibatan VEGF pada proses leakage yang terjadi pada kasus CSC.17,18,19 Pada penelitian ini, sebanyak 89 (67,42%) pasien mendapat terapi observasi dengan diberikan kombinasi obat-obatan yang dapat berupa tetes mata artificial tears, tetes mata natrium diklofenak, natrium diklofenak oral, spironolakton oral, maupun 34 Ahmad Ikliluddin, Karakteristik Central Serous Chorioretinopathy (CSC) roboransia oral. Sebanyak 25 (18,93%) pasien men- dapatkan laser fotokoagulasi fokal pada area leak- age berdasar hasil FFA, dan sebanyak 18 (13,63%) pasien mendapat terapi berupa injeksi intravitreal anti-vegf. SIMPULAN Sebagian besar kasus CSC di RS mengalami resolusi spontan dengan dilakukan observasi terha- dap perjalanan penyakitnya. Pemeriksaan penunjang dengan OCT makula dapat membantu menunjukkan ketebalan subfovea sentralis, sedangkan OCT angiografi dapat menun- jukkan ketebalan khoroid yang terjadi pada CSC. Pada kejadian CSC yang kronis maupun reku- ren, dapat dipertimbangkan pemberian laser fotoko- agulasi pada area leakage dari hasil FFA. Pemberian anti-vegf merupakan salah satu opsi yang dapat dipertimbangkan pada tatalaksana CSC mengingat terdapat dugaan keterlibatan VEGF pada proses leakage yang terjadi pada CSC. Perlu dilakukan penelitian secara lebih terstruk- tur dalam pengumpulan data dan pemeriksaan penunjang supaya didapatkan data yang lebih lengkap dan akurat. Diperlukan penelitian analitik observasional lebih lanjut untuk menilai perbandingan efikasi antara masing-masing metode terapi yang dapat diberikan pada kasus CSC. DAFTAR PUSTAKA 1. Von Graefe A. Ueber Central Recidivierende Re- tinitis. Graefes Arch Clin Exp Ophthalmol 1866; 12: 211-5 2. Maria Wang, Inger Munch, Pascal W Hasler, Christian Prunte, Michael Larsen. Central Se- rous Chorioretinopathy. Acta Ophthalmol 2008; 86; 126-45 3. Ross A, Ross AH, Mohammed Q. Review and Update of Central Serous Chorioretinopathy. Curr Opin Ophthalmol 2011; 22 (3): 166-73 4. Wang MS, Sander B, Larsen M. Retinal Atro- phy in Idiopathic Central Serous Chorioretino- pathy. Am J Ophthamol 2002; 133: 787-793 5. Piccolino FC, de la Longrais RR, Ravera G, Eandi CM, Ventre L, Abdollahi A. The Foveal Photoreceptor Layer and Visual Acuity Loss in Central Serous Chorioretinopathy. Am J Ophthalmol 2005; 139: 87-99 6. David T Liu, Andrew C Fok, Waiman Chan, Timo- thy Y Lai, Dennis S Lam. Central Serous Chorio- retinopathy. Retina 2013; 72: 1291-1303 7. Bujarborua D, Nagpal PN, Deka M. Smokestack Leak in Central Serous Chorioretinopathy. Grae- fes Aerch Clin Exp Ophthalmol 2010; 248: 339- 51 8. Huang D, Swanson EA, Lin CP, Schuman JS, Stinson WG, Chang W, et al. Optical Coher- ence Tomography. Science 1991; 254: 1178-81 9. Hee MR, Puliafito CA, Wong C, Reichel E, Duker JS, Schuman JS, et al. Optical Cohe- rence Tomography of Central Serous Chorioreti- nopathy. Am J Ophthalmol 1995; 120: 65-74 10. Nicholson B, Noble J, Forooghian F, Meyerle C. Central serous Chorioretinopathy: Update on Pathophysiology and Treatment. Surv Ophthal- mol 2013; 58: 103-26 11. Errera MH, Kohly RP, Cruz L. Pregnancy Asso- ciated Retinal Diseases and Their Management. Surv Ophthalmol 2013; 58; 127-42 12. Eom Y, Oh J, Kim SW, Huh K. Systemic Fac- tors Associated with Central Serous Chorioreti- nopathy in Koreans. Korean J Ophthalmol 2012; 26: 260-4 35 Mutiara Medika Vol. 17 No. 1: 29-35, Januari 2017 13. Aamir A, Bisma I, Hina K, Maha A. Choroidal Thickness in Both Eyes of Patients with Unilat- eral Central Serous Chorioretinopathy. Adv Ophthalmol Vis Syst 2016; 4: 1-5 14. Yanuzzi LA. Central Serous Chorioretinopathy: A Personal Perspective. Am J Ophthalmol 2010; 149: 361-3 15. Aggio FB, Roisman L, Melo GB, Lavinsky D, Cardillo JA, Farah ME. Clinical Factors Related to Visual Outcome in Central Serous Chorioreti- nopathy. Retina 2010; 30: 1128-34 16. Gass JD. Pathogenesis of Disciform Detach- ment of the Neuroepithelium. Am J Ophthalmol 1976; 63: 1-139 17. Bae SH, Heo JW, Kim TW, Lee JY, Song SJ, Park TK, et al. Randomized Pilot Study of Low- Fluence Photo Dinamic Therapy Versus Intravitreal Ranibizumab for Chronic Central Serous Chorioretinopathy. Am J Ophthalmol 2011; 152: 784-92 18. Schaal KB, Hoeh AE, Scheuerle A, Schuett F, Dithmar S. Intravitreal Bevacizumab for Treat- ment of Chronic Central Serous Chorio- retinopathy. Eur J Ophthalmol 2009; 19: 613-7 19. Lim SJ, Roh MI, Kwon OW. Intrav itreal Bevacizumab Injection for Central Serous Chorioretinopathy. Retina 2010; 39: 100-16