51 Mutiara Medika Vol. 17 No. 1: 51-61, Januari 2017 Penatalaksanaan Kausatif untuk Memperbaiki Fungsi Ginjal Penderita Myeloma Multiple Causative Management to Improve Kidney Function on Multiple Myeloma Sufferer Prasetio Kirmawanto Program Studi Pendidikan Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Email:kirmawanto@umy.ac.id Abstrak Gangguan fungsi ginjal adalah salah satu komplikasi pada myeloma multiple (MM), suatu keganasan sel plasma. Penurunan laju filtrasi glomerulus/Glomerulus Filtration Rate (GFR) terjadi hingga 50% pasien baru terdiagnosa MM dan 9% memerlukan dialysis. Gagal ginjal penderita MM disebut ginjal myeloma dengan penyebab kompleks, akibat langsung maupun tidak langsung dari MM serta dari pengobatan keluhan MM. Laporan ini memaparkan pengelolaan kasus MM dengan faktor penyulit gangguan fungsi ginjal. Laki- laki 48 tahun dengan keluhan utama nyeri punggung sejak satu bulan, didiagnosa mieloma multipel disertai komplikasi ginjal mieloma. Kriteria Durie dan Salmon tingkat penyakit Stadium IIIB. Penatalaksanaan kausatif dengan regimen melphalan dan prednison, khemoterapi konvensional untuk MM. Regimen kemoterapi kombinasi tidak dipilih karena pertimbangan gangguan fungsi ginjal. Penatalaksanaan penurunan fungsi ginjal dengan memperbaiki status hidrasi, menghentikan pemberian obat nefrotoksik dan pemberian diet cukup protein. Terapi pendukung pemberian Bonefos untuk memperlambat proses osteolitik. Anemia diawal perawatan (Hb: 6 g/dL) diperbaiki dengan transfusi Packet Red Cell. Pasien dirawat 21 hari, menjalani satu kali khemoterapi terjadi perbaikan fungsi ginjal, diawal perawatan GFR: 18.45 mL/min menjadi 26.72 mL/ min diakhir perawatan. Pasien direncanakan khemoterapi 6 seri interval 28 hari. Penatalaksanaan kausatif kasus ini memberikan hasil yang baik, keluhan nyeri dirasakan sudah sangat berkurang dan fungsi ginjal relatif membaik. kata kunci: Mieloma multipel, ginjal mieloma, Durie-Salmon, Glomerulus Filtration Rate Abstract Impaired kidney function is common complication in multiple myeloma (MM), a plasma cell malig- nancy. Glomerulus Filtration Rate (GFR) reduction in patients diagnosed MM occurs 50% and 9% requiring dialysis. Kidney failure in patients with MM called myeloma kidney, with complex cause. It’s may result directly or indirectly from MM and treatment of MM. This report describes management of MM with compli- cations of impaired renal function. A man 48y suffering from backpain for a month with diagnosis: multiple myeloma with renal complications of myeloma. Stage IIIB according Durie and Salmon criteria. Causative management was done with melphalan and prednisone regimen, conventional chemotherapy for MM. Com- bination chemotherapy regimens were not selected considering renal function impairment. Management of decreasing kidney function by improving hydration status; discontinue nephrotoxic drugs and adequate protein diet. Bonefos therapy to slow the osteolytic process. Anemia at the beginning of treatment (Hb: 6 g/ dL) improved by Packet Red Cell transfusion. Renal function showed improvement after 21 days treatment and undergoing one chemotherapy. GFR pre-treatment 18:45 mL/min and post-treatment 26.72 mL/min. Patient was planned 6 series chemotherapy with 28 days interval. Causative management gives good results, where the perceived pain complaints were greatly reduced and kidney function is relatively im- proved. Key words: Multiple myeloma, myeloma kidney, Durie-Salmon, Glomerulus Filtration Rate LAPORAN KASUS Mutiara Medika Vol. 17 No. 1: 51-61, Januari 2017 52 Prasetio Kirmawanto, Penatalaksanaan Kausatif untuk Memperbaiki Fungsi Ginjal PENDAHULUAN Mieloma Multipel (MM) adalah salah satu kega- nasan sel plasma, proliferasi sel plasma dalam sum- sum tulang tidak terkontrol. Penyakit ini ditandai de- ngan adanya lesi litik tulang, penimbunan sel plasma dalam sumsum tulang dan adanya protein monoklo- nal dalam serum dan urin.1 Manifestasi klinis MM heterogen, bisa karena adanya massa tumor, penu- runan sekresi immunoglobulin, gangguan hematopo- esis, penyakit osteolitik, hiperkalsemia dan disfungsi ginjal.2 Setiap tahunnya sekitar 16,570 kasus ba- ru multipel  terjadi  di Amerika  Serikat, dengan kematian 11,310 kasus. Data insidens SEER [sur- veillance, epidemiologi and end result] dari tahun 1992 sampai 1998, menunjukkan 4.5 per 100,000 per tahun dan pada ras kulit hitam 9.3 per 100,000 per tahun. Rasio laki-laki dan wanita adalah 1.3 sampai 1. Median umur saat terdiagnosis mieloma adalah 71 tahun. Multiple mieloma merupakan 15% dari keganasan hematologi dan 2% dari kanker di Amerika Serikat. Insidensinya meningkat sesuai umur, terutama setelah umur 40 tahun dan tertinggi pada laki-laki. Multiple mieloma sekitar 1% dari seluruh keganasan dan 10% dari seluruh keganas- an hematologi pada ras kulit putih dan 20% pada ras Amerika-Afrika. Penurunan laju filtrasi glomerulus/Glomerulus Filtration Rate (GFR) terjadi hingga 50% dari pasien yang baru terdiagnosa MM dan 9% diantaranya memerlukan dialisis karena gagal ginjal/renal fail- ure (RF). Pasien MM dengan kreatinin serum >2 mg/dl mempunyai prognosis yang lebih buruk, RF pada penderita MM, kondisi ini disebut ginjal mieloma/myeloma kidney.3 Penderita MM dengan RF sering tidak diterapi dengan protokol khemoterapi yang agresif atau dosis tinggi karena tingkat toksisitasnya yang sulit diduga. Perkembangan regimen polikhemoterapi untuk MM telah meningkatkan harapan hidup jika dibanding khemoterapi konvensional yang hanya 2-3 tahun.4 Khemoterapi dosis tinggi (HDT) dan didukung autolog sumsung tulang atau transplantasi sel induk darah bahkan bisa menghasilkan remisi komplit/complete remission (CR). Tujuan penulisan laporan kasus ini secara umum adalah memaparkan pengelolaan kasus MM dengan faktor penyulit gangguan fungsi ginjal, dan khususnya pada aspek pengelolaan gangguan fungsi ginjal pada penderita MM. LAPORAN KASUS Anamnesa. Pasien laki-laki dengan inisial M, usia 48 tahun, suku Jawa, pendidikan SMA datang ke Unit Gawat Darurat RSUP Dr. Sardjito tanggal 13 April 2011 dengan keluhan utama nyeri punggung, dirasakan sejak 1 bulan yang lalu, nyeri dirasakan bila bergerak, pasien sudah berobat ke dokter spesialis saraf, karena keluhan tidak berkurang seminggu kemudian kontrol kembali dan dilakukan pemeriksaan foto Rongent dada dan tulang belakang, didapatkan hasil berupa gambaran metastase pada paru dan fraktur kompresi vertebrae thorakal 5, 7 dan 11. Karena curiga adanya keganasan kemudian dirujuk ke RS Sardjito dan mendapat terapi meloxicam 1x15mg dan ranitidin 2x1 tablet. Keluhan saat ini nyeri semakin bertambah bahkan sudah tidak bisa bangun dari tempat tidur, karena nyerinya pasien sering menangis, nyeri ini bernilai 8-9 pada visual analog scale (VAS). Pasien 53 Mutiara Medika Vol. 17 No. 1: 51-61, Januari 2017 juga mengeluh lemas, nafsu makan menurun, terjadi penurunan berat badan sekitar 5 Kg dalam 1 bulan. BAB normal dan BAK kira-kira 4 gelas per hari tetapi lancar dan harus dibantu ke kamar mandi. Pasien tidak merasa ada keluhan lain selain keluhan di atas. Pasien adalah seorang perokok, mulai merokok sejak umur 12 tahun, dalam sehari menghabiskan 1 bungkus, sudah berhenti merokok sejak 2 bulan yang lalu. Menyangkal punya riwayat sakit ginjal, hipertensi atau kencing manis. Bekerja sebagai wiraswastawan, jarang berhubungan dengan cat sintetik dan industri pewarnaan. Menyangkal riwayat rontgen, riwayat trauma punggung, mengangkat beban berlebihan, pengobatan TBC, kontak dengan zat kimia pestisida jangka lama, operasi dan alergi. Pada anamnesis sistem didapatkan keadaan umum lemah, kulit gatal (-), ruam (-) kepala pusing (+), pandangan kabur (-), gangguan pendengaran (- ), pilek (-), mulut sariawan(-), gusi bengkak (-), sakit dada (+), jantung berdebar-debar (-), sesak napas (-), batuk (-), nyeri perut (-), mual (+), muntah (-), BAK berkurang (+), BAB dalam batas normal, sakit otot dan persendian (+), nyeri punggung (+), sulit bila berjalan, jika duduk terasa nyeri (+), kejang (-), kelenjar gondok membesar (-), kecemasan (-). Pemeriksaan Fisik. Keadaan umum tampak lemah, gizi cukup dan compos mentis. Tanda vital, tekanan darah 130/80 mmHg, denyut nadi 88x/menit, kecepatan nafas 24 x/menit, suhu axilla 36oC. Tinggi badan 165 cm, berat badan 55 kg (RBW 84.6%) dengan indeks Karnofsky 50%. Konjungtiva tampak anemis sklera tidak ikterik, tekanan vena jugular 5+2 cmH2O tidak teraba pembesaran limfonodi leher. Dada terlihat simetris dan tidak ada ketinggalan gerak dan retraksi. Ictus cordis tak tampak, teraba di spatium intercosta V, 2 cm linea mid clavicula sinistra, kesan konfigurasi jantung tidak membesar, suara jantung 1 dan 2 reguler dan tidak terdengar bising. Stem fremitus kanan dan kiri sama, sonor dan terdengar suara vesikuler normal tanpa ada suara tambahan. Regio perut terlihat datar, bising usus normal (12x/menit), timpani, tidak ada nyeri tekan dan pembesaran organ hepar dan lien. Punggung tidak ada deformitas, ditemukan nyeri gerak dan tekan. Pada anggota gerak tidak ditemukan edema, nyeri dan kelemahan. Pemeriksaan Penunjang. Hasil laboratorium darah didapatkan anemia normositik normokromik, peningkatan kadar BUN dan kreatinin. Perkem- bangan hasil pemeriksaan laboratorium dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil pemeriksaan apus darah tepi ditemukan gambaran anemia hemolitik disertai proses inflamasi, lekosit kesan granulosit imatur (stab+), kesimpulan hasil penelitian sumsum tulang (BMP): sel plasma 19%, protein Bance Jones (+), elektroforesis protein: albumin 51.3%, Alpha 1 4.5%, Alpha 2 13.7%, Beta 1 12.1%, Gamma 18.4%. Hasil pemeriksaan EKG irama sinus denyut jantung 98x/menit. Hasil urinalisa ditemukan protein 1+ sedangkan pemeriksaan yang lain dalam batas normal. Pasien membawa hasil pemeriksaan radiologis Rongent vertebrathoracal yang dilakukan tanggal 9 April 2011, didapatkan gambaran kompresi corpus vertebrae lumbales (Vl) 7 dan 11 curiga metastase tulang. Spondyloarthrosis vertebrae thoracal (Vth) 4-5 dan 5-6. Rongent thorax multipel lesi noduler kedua paru sangat mungkin metastase, efusi pleura kiri sedangkan besar jantung normal. Hasil pemeriksaan radiologis ulang menunjukkan gambaran yang sama, dari bone survey ditemukan multiple lesi litik bentuk bulat batas tegas di ossa cranii, humerus bilateral, radius et ulna bilateral, 54 Prasetio Kirmawanto, Penatalaksanaan Kausatif untuk Memperbaiki Fungsi Ginjal dengan gambaran axial compression Vth 5, 7, 11 dan 12 sangat mungkin merupakan mieloma multipel. Diagnosis Klinis. Problem yang ditemukan pada saat pasien mulai dirawat adalah nyeri punggung dan tulang dada, penurunan berat badan, lemas, anemia normositik normokromik, peningkatan BUN dan kreatinin, hiperurisemia dan gambaran fraktur patologis dan lesi metastatik pada vertebra. Dirawat dengan suatu kesatuan klinis sebagai gambaran khas seorang penderita mieloma multipel dengan gangguan fungsi ginjal. Pengelolaan dan Perkembangan. Problem utama yang membuat pasien datang ke rumah sakit adalah nyeri punggung dan tulang dada, keluhan ini muncul karena adanya fraktur kompresi Vth 5, 7, 11 dan 12 serta lesi litik tulang. Menurut NPS termasuk skala 8-9, secara klinis termasuk nyeri yang berat, pengelolaannya dilakukan rawat bersama dengan bagian neurologi, mendapat terapi ketese 1 ampul bila perlu, MST 3x1 tablet, Ultracet 3x1 tablet, actonel 1 tablet tiap minggu dan injeksi ranitidin 1 ampul tiap 12 jam. Evaluasi hari ke tiga didapatkan NPS 4- 5. setelah hari perawatan ke 5 keluhan nyeri sudah sangat berkurang terapi diganti dengan injeksi tramadol bila perlu. Keluhan-keluhan penurunan berat badan dan le- mas merupakan tanda subyektif penderita keganas- an. Ditambah dengan kondisi anemia normositik Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Darah Parameter (satuan) Tanggal pemeriksaan April Mei 13 15 17 20 25 28 1 2 3 Hb (g/dL) 6 9.1 10.3 11.2 11.8 9.2 9.5 10.2 10.5 AL (x103/uL) 5.8 4.7 4.29 3.71 8.36 6.29 7.2 5.87 6.2 AT (x103/uL) 192 181 189 107 164 144 128 116 130 AE (x106/uL) 2.3 3.28 3.5 3.71 3.75 3.15 3.05 3.50 3.75 HCT (%) 17.3 19 30.6 34.2 33.6 27.2 27.3 31.2 33 MCV (fL) 83.6 92.4 87.4 92.2 89.8 86.3 89.3 87.6 88 MCH (pg) 31.5 29.4 30.2 31.4 31 32.9 31.9 S (%) 56.3 51 37.3 55.5 52 52.3 52.3 L (%) 33.5 29.6 44.2 29.7 34.5 32.8 31.8 M (%) 8.8 13.5 6.9 8 8.7 6.2 7.8 E (%) 0.7 4.7 5.1 3.4 3.7 5.2 5.2 B (%) 0.8 1.2 1.6 1.4 1.1 1.3 1.2 TP (g/dL) 7.5 6.58 5.94 Alb (g/dL) 3.5 2.96 2.8 3.51 BUN (mg/dL) 19 14.7 15.6 17.6 23.7 21.9 18.1 19.1 Creat (mg/dL) 3.81 3.88 3.52 2.84 3.40 3.31 2.68 2.63 AU (mg/dL) 8.8 8.5 8.8 7.3 7.2 7.2 CCT 18.45 18.11 19.97 24.75 20.67 21.23 26.22 26.72 Na (mmol/L) 138 139 139 135 144 K (mmol/L) 3.2 3.1 3.8 3.3 3.8 Cl (mmol/L) 104 102 102 99 109 Mg (mg/dL) 2.07 Ca (mmol/L) 2.6 2.86 2.8 2.9 3.19 2.27 APTT (detik) 27.5 25.3 Kontrol 32.6 28.2 PPT (detik) 12.3 12.6 Kontrol 13.9 12.4 INR Retik (%) 4.0 Fe (ug/dL) 84 TIBC (ug/dL) 242 IBC (ug/dL) 188 I. Sat (%) 34.7 55 Mutiara Medika Vol. 17 No. 1: 51-61, Januari 2017 normokromik semakin menambah berat keluhan ini. Pasien dikelola dengan diit TKTP dan transfusi PRC dengan target HB> 10 mg/dL. Transfusi PRC telah dilakukan sebanyak 2 kali, hingga keluar rumah sakit kadar HB penderita selalu lebih dari 10 mg/dL. Peningkatan kadar BUN (19 mg/dL) dan kreatinin (3,81 mg/dL) dikelola sebagai renal failure akut dd akut on kronik dengan pengelolaan konservatif keseimbangan cairan dengan target urin outpun 0,5-1 cc/kgBB/jam. Diit diawal perawatan menggunakan diet tinggi kalori dan tinggi protein dengan pertimbangan kondisi sindrom para neo- plastik. Diit kemudian diganti dengan diit tinggi kalori cukup protein (0.6 gr/kgBB/hari). Diakhir perawatan kadar kreatini menjadi 2.63 mg/dL. Khemoterapi pada kasus ini digunakan regimen Melphalan 8 mg/m2 dan Prednison 60 mg/m2 selama 5 hari sebanyak 6 seri dengan interval 28 hari. Terapi pendukungnya OS mendapat Bonefos 1 ampul/hari selama 5 hari, sebanyak 6 seri dengan interval 28 hari. DISKUSI Faktor Risiko. Mieloma multipel (MM) merupa- kan penyakit yang terjadi akibat proliferasi sel plasma yang tidak terkendali dalam sumsum tulang yang menghasilkan protein abnormal (paraprotein) dalam plasma, khas di sertai l esi osteol iti k, akumulasi sel plasma abnormal (sel myeloma) dalam sumsum tulang dan adanya protein monoklonal dalam serum dan urin.5 Insidensinya kira-kira 1% dari seluruh penyakit keganasan dan 10% dari keganasan darah. Insidensi penyakit ini di negara barat adalah 3/100.000/tahun, di Amerika Serikat, insidensi pada orang berkulit hitam hampir dua kali lipat dibandingkan dengan orang berkulit putih.4 Sebagian besar mengenai umur 50-70 tahun.2 Penyebab penyakit ini sampai sekarang belum diketahui, tidak ada predileksi pekerjaan tertentu. Beberapa hal yang berperan untuk terjadinya MM adalah: radiasi, polusi bahan kimia (benzene, insekti- sida, herbisida), penyakit inflamasi kronis, infeksi Human Herpes Virus 8 (HHV8), dan faktor genetik.2 Pada kasus ini pasien adalah seorang laki-laki yang sesuai dengan hasil penelitian epidemiologis yaitu kejadian MM dua per tiga lebih tinggi pada laki- laki dibanding dengan perempuan.6 Rata-rata MM terdiagnosis pada usia 65 tahun, insidensi tertinggi terjadi pada dekade ketujuh, 10% pada pasien usia di bawah 50 tahun dan 2% di bawah 40 tahun.7 Pada kasus ini pasien berusia 48 tahun, termasuk dalam kelompok usia yang jarang untuk terjadinya MM. Faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya MM tidak ditemukan. Gambaran Klinis. Gambaran klinis MM sangat bervariasi, kondisi ini muncul karena adanya tekanan masa tumor, penurunan immunitas, gangguan hema- topoesis, osteolitik, hiperkalsemia dan disfungsi gin- jal. Gejala yang sering ditemukan adalah mudah lelah, nyeri tulang, dan infeksi berulang.2 Sebagian Gambar 2. Foto Rongent Tampak Fraktur dengan Lesi Litik Multiple Kesan Suatu MM 56 Prasetio Kirmawanto, Penatalaksanaan Kausatif untuk Memperbaiki Fungsi Ginjal penderita bersifat asimtomatik, dijumpai secara kebetulan pada saat check up atau pemeriksaan untuk penyakit lain. Keluhan-keluhan yang mendo- rong pasien untuk berobat diantaranya: (1) Nyeri tulang, terutama nyeri punggung, (2) Gejala anemia berupa lemah, lesu, pucat dan sesak nafas, (3) Infek- si, terutama penumokokus pneumonia, (4) Perdarah- an akibat trombositopenia, (5) Gejala gagal ginjal dan hiperkalsemia, polidipsi, poliuri, anoreksia, mual, muntah, konstipasi dan gangguan mental, (6) Sin- drom hiperviskositas, gangguan penglihatan atau payah jantung, (7) Fraktur patologik karena adanya lesi osteolitik, (8) Gangguan saraf berupa parestesia atau paraplegia/paraparesa. Pada kasus ini keluhan utama yang mendorong pasien berobat adalah nyeri terutama di dada dan tulang belakang. Tidak seperti nyeri akibat proses metastase sel kanker yang sering memburuk pada waktu malam, nyeri pada MM dipicu dengan adanya pergerakan.8 Keluhan nyeri lokal yang menetap pada MM umumnya me- nandakan fraktur patologis.9 Keluhan nyeri dada terjadi pada 2/3 penderita saat diagnosis. Pada kasus MM terjadi peningkatan osteoclast activating factor (IL-1², TNF-±) sehingga menimbulkan lesi osteolitik yang mengakibatkan timbulnya nyeri tulang dan penekanan saraf. Penderita MM yang baru terdiagnosis didapat- kan gambaran abnormal skeletal dari radiologi kon- vensional berkisar 60%-80%, Adanya gambaran lesi litik punched out ditemukan mendekati 60%, os- teoporosis, dan fraktur patologis atau fraktur kompresi pada vertebra terjadi pada 20% pasien.9 Adanya des- truksi tulang oleh lesi litik tulang pada MM disebabkan oleh pertumbuhan sel myeloma yang cepat sehingga menghambat sel pembentuk tulang normal dan ber- akibat hancurnya tulang.10 Manifestasi klinis lain yang muncul pada kasus ini adalah anemia dan trombositopenia. MM menye- babkan penggantian sumsum tulang dan inhibisi langsung terhadap proses hematopoisis, perubahan megaloblastik akan menurunkan produksi vitamin B12 dan asam folat.11 Pemeriksaan sumsum tulang mutlak dilakukan pada penderita dengan kemungkin- an MM. Pemeriksaan sumsum tulang pada 96% pasien umumnya ditemukan lebih dari 10% sel plasma dari seluruh sel berinti.2 Pemeriksaan laboratorium pasien MM didapat- kan gambaran anemia normositik normokromik 73%, hiperkalsemia 15%, peningkatan serum kreatinin 20%, dan adanya monoclonal spike 93% dengan elektroforesis protein serum imunofiksasi dan 75% pada elektroforesis urin berupa protein monoklonal IgG 60% , IgA 20%, IgD atau nonsekretori 1% dan 15% light chain.4 Hiperkalsemia pada pasien MM berhubungan dengan pelepasan faktor-faktor aktivasi dari osteoklas seperti limfotoksin, interleukin 6/IL- 6.8 Pemeriksaan elektroforesis protein serum mau- pun urin bermanfaat untuk membuktikan adanya myeloma protein /M protein.10 Pemeriksaan laboratorium penderita ini yang mendukung penegakan diagnosis MM berupa ane- mia normositik normokromik, hiperkalsemia, pening- katan BUN dan kreatinin serum, protein Bence Jones (+), gambaran elektroforesa protein tidak sesuai kurva monoklonal gammopathy dan pemeriksaan BMP didapatkan adanya sel plasma 19%. Diagnosis. Diagnosis MM dapat ditegakkan dengan beberapa kriteria: (1) Kriteria klinik: a. jika sel plasma sumsum tulang lebih dari 10% dengan malignant looking plasma cell. b. Jika sel plasma menunjukkan gambaran mendekati normal, untuk diagnosis diperlukan tambahan: hipergamaglo- 57 Mutiara Medika Vol. 17 No. 1: 51-61, Januari 2017 bulinemia (>2 g/dL) dengan spike pada daerah gamma, protein bance jones positif pada urine, Lesi osteolitik pada tulang. (2) Wintrobe membuat kriteria diagnosis MM sebagai berikut: a. kriteria sitologik: Sumsum tulang: sel plasma/sel mieloma >10%, Biopsi sumsum tulang/jaringan lain: plasmacytoma. b. kriteria klinik dan laboratorik terdiri dari: Protein mieloma yang dibuktikan secara elektroforesis dalam plasma; Protein mieloma yang dibuktikan secara elektroforesis dalam urine; Lesi osteolitik; Ditemukan sel plasma dari 2 sediaan apus darah tepi. Diagnosis tegak jika: a. Ia dan Ib positif, b. Ia atau Ib ditambah satu dari II positif, c. sel plasma/ sel mieloma tulang >30% yang disertai lesi osteolitik. (3) kriteria menurut Durie dan Salmon; a. kriteria mayor (plasmacytoma pada biopsi jaringan, plasma- sitosis pada sumsum tulang dengan sel plasma >30%, spike dari globulin monoklonal pada elektro- foresis: IgG >35 g/L, IgA >20 g/L, ekskresi light chain urine (elektroforesis) >1 g/24 jam tanpa adanya amy- loidosis. b. kriteria minor (plasmositosis sumsum tulang dengan sel plasma 10-30%, terdapat spike globulin monoklonal tetapi nilainyakurang dari nilai di atas, Lesi osteolitik, IgM normal <0.5 g/L, IgA <1 g/L atau IgG <6 g/L Diagnosis ditegakkan jika ditemukan 1 mayor dan 1 minor atau 3 minor positif.5 Pada pasien ini memenuhi kriteria diagnostik untuk MM dengan ditemukannya protein plasma >10%, protein Bance Jones (+), lesi osteolitik. Kasus ini tegak dengan diagnosis MM dari anamnesa, gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang yang sesuai dengan kriteria tersebut di atas. Gamopati monoklonal adalah suatu kelompok kelainan hematologik yang berasal dari limfosit yang menghasilkan paraprotein (globulin gamma) yang bersifat monoklonal. Diagnosis banding untuk gamo- pati monoklonal adalah: a) gamopati monoklonal yang keganasannya sudah dipastikan (Mieloma multiple, Plasmacytoma, Makroglobulinemia Wel- denstrom), b) Gamopati monoklonal yang keganas- annya belum dipastikan (Monoclonal gammopathy of underterminated significance (MGUS), Penyakit heavy chain, Primary amyloidosis). Frekuensi relatif gamopati monoklonal di negara barat adalah: MGUS 63%, Mieloma multiple 14%, Plasmacytoma 1%, Makroglobulinemia Waldenstroms’ 1%.5 Komplikasi. Problem yang sering mengikuti penyakit mieloma multipel adalah: nyeri tulang dan fraktur patologis, hiperkalsemia, disfungsi ginjal, infeksi, depresi sumsum tulang, hiperurisemia, sindroma hiperviskositas dan amilodosis. Penurunan fungsi ginjal merupakan kondisi yang mempengaruhi prognosis MM, kondisi ini dikenal dengan ginjal mieloma (myeloma kidney).3 Ginjal Mieloma. Penurunan bersihan kreatinin ditemukan hingga 50% dari kasus baru MM dan sekitar 9% memerlukan dialisis karena kerusakan ginjal yang parah. Penyebab utama kelainan ginjal yang terjadi pada penderita MM berupa cast forma- tion (cast nephropathy) dari free light chain dari imunoglobulin monoklonal. Penyebab lain yang dapat ditemukan adalah berkurangnya volume cairan tubuh, hiperkalsemia, penggunaan obat antiinflamasi non- steroid, angiotensin converting enzyme inhibitors (ACE-I) atau angiotensin receptor blockers (ARB), infeksi, media kontras intravena, dan hiperurisemia.12 Standar emas untuk penegakan diagnostik ginjal mieloma adalah dengan biopsi, dimana akan ditemukan bukti adanya karakteristik cast yang besar, seperti lilin dan berlapis di tubulus distal dan collecting. Cast ini tersusun dari monoklonal light chain. Adanya pembentukan cast berhubungan 58 Prasetio Kirmawanto, Penatalaksanaan Kausatif untuk Memperbaiki Fungsi Ginjal dengan jumlah light chain bebas di dalam urine dan beratnya insufisiensi ginjal.13 Pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan biosi ginjal, tetapi dari tidak adanya faktor-faktor predisposisi lain untuk terjadinya gangguan fungsi ginjal selain MM maka diagnosis klinis untuk kasus ini adalah MM dengan gagal ginjal karena ginjal mieloma. Terapi renal failure pada pasien myeloma multiple. Pada pasien MM baru hampir 50% dianta- ranya ditemukan penurunan fungsi ginjal dengan derajat yang bervariasi akan tetapi sebagian besar akan terjadi perbaikan dengan manajemen seder- hana seperti rehidrasi, koreksi hiperkalsemia dengan bifosfonat, hiperhidrasi dan glukokortikoid atau peng- hentian obat-obat nefrotoksik seperti NSAID. Sete- ngah kasus yang membaik akan dicapai dalam enam minggu. Kasus yang tidak mencapai fungsi ginjal normal sebagian besar akan menderita gangguan ginjal ringan hingga sedang, hanya sekitar 1%, mem- butuhkan terapi pengganti ginjal jangka panjang.3 Penatalaksanaan gagal ginjal pada kasus ini adalah rehidarasi dan penghentian obat NSAID dan diet cukup protein. Hasil penatalaksanaan ini menunjukkan peningkatan GFR dari 18.45 mL/min pada awal perawatan GFR dan pada akhir perawatan menjadi 26.72 mL/min. Terapi penganti plasma (Therapeutic Plasma Exchange/TPE) dapat membuang rantai ringan dari plasma, terapi ini diajukan sebagai metode untuk mencegah gagal ginjal terkait rantai ringan. Penelitian retrospektif memberikan kesimpulan bahwa TPE memberikan keuntungan mencegah progresifitas gagal ginjal akut. Akan tetapi efikasi terapi ini hanya nyata pada pasien dengan sindrom viskositas.8 Terapi Mieloma Multipel dengan Renal Failure. Melphalan dan prednison merupakan terapi baku emas selama 40 tahun terakhir. Pilihan terapi MM mulai meningkat sejak permulaan tahun 2000, saat ini ditemukan kelas terapi baru untuk MM berupa immunomodulator seperti thalidomide dan lenalido- mide, dan inhibitor proteosome seperti bortezomid. Penggunaan obat ini baik secara tunggal atau kombinasi dengan terapi konvensional dapat meningkatkan respon dan survival rate.4 Gangguan fungsi ginjal menjadi pertimbangan khusus pada khemoterapi untuk MM. Gagal ginjal merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas penderita MM.2 Tiga penelitian menyimpulkan bahwa respon terhadap khemoterapi pada pasien MM dengan gang- guan ginjal berkisar 43-50%, sedangkan pada pasien tanpa gangguan ginjal remisi akan terjadi hingga 70%. Respon terapi dengan agen alkilating tunggal ditam- bah prednisolon pada pasien MM dengan RF adalah 24%, sedangkan yang mendapat khemoterapi kom- binasi (VAD: Vincristine, Adriamycin dan Dexam- ethasone) mencapai 50%, akan tetapi dari peneli- tian oleh Blade menemukan bahwa harapan hidup keduanya tidak berbeda bermakna, sangat berbeda dengan pasien MM tanpa RF yang mencapi 34.5 bulan. Sangat disayangkan bahwa kematian awal/ Early Mortality Rate mencapai 30% dalam dua bulan awal diagnosis tetap ditemukan pada pasien MM dengan RF.11 Perhatian khusus pada pasien MM dengan RF yang diterapi dengan melphalan dan prednison memerlukan penyesuaian dosis untuk mencegah keparahan penekanan sumsum tulang, penyesuaian ini berisiko terapi sub-optimal. Khemoterapi kombi- 59 Mutiara Medika Vol. 17 No. 1: 51-61, Januari 2017 nasi menghasilkan respon yang lebih cepat dan penurunan produksi protein monoklonal, sehingga mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut. Regimen VAD dapat diberikan pada pasien RF tanpa penurun- an dosis. Namun perlu diperhatikan dexamethason meningkatkan risiko infeksi.11 Terapi Pendukung. Bifosfonat. Bifosfonat adalah penghambat resorbsi tulang yang poten. Penggunaannya pada kasus MM terutama bertujuan untuk mengobati hiperkalsemia. Obat ini juga ber- manfaat untuk mengendalikan penyakit tulang jangka panjang. Dari penelitian multisenter oleh Borenson, dibandingkan dengan placebo bifosfonat bermanfaat mengurangi fraktur patologis, nyeri tulang dan mem- perbaiki kualitas hidup. Pada kasus ini pasien men- dapat terapi dengan regimen bonefos. Pemberian Bifosfonat secara oral dapat menyebabkan sakit perut, peradangan dan erosi pada kerongkongan, yang merupakan masalah utama dari pemberian per oral. Hal ini dapat dicegah dengan tetap duduk tegak selama 30 sampai 60 menit setelah minum obat. Bifosfonat intravena dapat menyebabkan demam dan gejala flu setelah infus pertama, diduga terjadi karena Bifosfonat berpotensi mengaktifkan sel  T pada manusia. Bifosfonat bila diberikan secara intravena untuk pengobatan kanker dikaitkan dengan kejadian osteonekrosis rahang (ONJ) pada mandibular, 60% dari kejadian didahului oleh prosedur pembedahan gigi (yang melibatkan tulang), dan disarankan bahwa pengobatan bifosfonat harus ditunda setelah peng- obatan gigi.14 Studi terbaru melaporkan penggunaan bifosfonat (khusus zoledronate dan alendronate) sebagai faktor risiko untuk fibrilasi atrium pada wanita.15,16,17 Respon inflamasi akibat bifosfonat atau fluktuasi kadar kalsium darah diduga sebagai mekanisme terjadinya aritmia. Sampai sekarang, bagaimanapun, manfaat bifosfonat, secara umum, lebih besar daripada resiko tersebut, meskipun dalam populasi tertentu yang berisiko tinggi menimbulkan efek samping yang serius dari fibrilasi atrium (seperti pasien dengan gagal jantung, penyakit arteri koroner, atau diabe- tes).16 Terapi Pendukung. Eritropoetin. Eritopoetin efektif untuk anemia karena gagal ginjal, dua penelitian random menyimpulkan bahwa eritopoetin rekombinan aman digunakan pada pasien MM dan menurunkan kebutuhan untuk transfusi. Penggunaan eritopoetin pada gagal ginjal adalah setelah tiga bulan pertama setelah diterapi dengan transfusi. Epoitin (eritropoietin rekombinan manusia) digunakan pada anemia yang berhubungan dengan defisiensi eritropoetin pada gagal ginjal kronis dan juga untuk menambah darah autolog pada individu normal. Efikasi klinis epoetin alfa dan epoetin beta hampir sama. Epoetin alfa juga digunakan pada penderita penerima kemoterapi yang mengandung platinum untuk mempersingkat periode anemia.epoetin beta juga digunakan untuk pencegahan anemia pada bayi premature yang berat badannya rendah. Faktor lain yang turut berperan menimbulkan anemia pada gagal ginjal kronis seperti besi atau defisiensi folat harus dikoreksi sebelum pengobatan dan dimonitor selama pengobatan. Sediaan besi parenteral di anjurkan untuk memperbaiki respon pada penderita yang resisten. Keracunan alumunium, infeksi yang bersa- maan atau penyakit inflamasi lain juga dapat mengganggu respon terhadap epoetin.18 Prognosis. Prognosis penderita MM sangat bervariasi, sebagian besar ditentukan oleh tingkat penyakit. Durie dan Salmon membuat kriteria klasifikasi tingkat penyakit sebagai berikut: (1) Sta- 60 Prasetio Kirmawanto, Penatalaksanaan Kausatif untuk Memperbaiki Fungsi Ginjal dium I, memenuhi kriteria: a. Foto Rontgen normal atau dijumpai lesi osteoltik soliter, b. laboratorium (Kadar HB> 10 g/dL, Kalsium serum e”12 mg/dL, IgG < 5 g/dl atau IgA < 3 g/dL dalam serum atau rantai ringan dalam urine <4 g/24 jam). (2) Stadium II, terletak antara stadium I dan III, tetapi tidak memenuhi secara lengkap kriteria stadium I dan III. (3) Tadium III, memenuhi satu atau lebih kriteria: a. pada foto Rontgen dijumpai lesi osteolitik luas, b. laboratorium (kadar Hb < 8.5 g/dl, kalsium serum >12 mg/dl, IgG >7 g/dl atau IgA >5 g/dl atau rantai ringan dalam urine >12 g/24 jam). Subklasifikasi: A: jika kreatinin serum <2 mg/ dl, B: jika kreatinin serum >2 mg/dl. Pada kasus ini OS memenuhi kriteria MM Sta- dium IIIB, tingkat penyakit mempunyai korelasi dengan prognosis, yaitu penderita stadium IIIB mempunyai harapan hidup 5 bulan. SIMPULAN Pemantauan fungsi ginjal pada pasien MM penting untuk mendeteksi potensi terjadinya gagal ginjal terminal. Beberapa hal yang dapat memper- buruk fungsi ginjal adalah dehidrasi, infeksi dan penggunaan obat-obat nefro toksik dan kontras. Penatalaksanaan penurunan fungsi ginjal pada kasus ini adalah dengan memperbaiki status hidrasi, menghentikan pemberian obat-obat nefrotoksik (NSAID) dan pemberian diet cukup protein, dengan hasil terjadi perbaikan fungsi ginjal. Pada awal perawatan GFRnya 18.45 mL/min dan pada akhir perawatan menjadi 26.72 mL/min. Penatalaksanaan kausatif pada kasus ini adalah dengan regimen khemoterapi Melphalan dan pem- berian prednison, khemoterapi konvensional untuk MM. Regimen kemoterapi kombinasi tidak dipilih karena pertimbangan adanya gangguan fungsi ginjal pada pasien ini. Pasien ini juga mendapat terapi pendukung berupa pemberian Bonefos untuk memperlambat proses osteolitik. Problem anemia yang diketahui diawal perawatan (Hb: 6 g/dL) diperbaiki dengan pemberian transfusi PRC, Hb di akhir perwatan 10.5 g/dL. Pasien pulang setelah dirawat selama 21 hari dengan direncanakan untuk khemoterapi sebanyak 6 seri dengan interval 28 hari. Keluhan nyeri dirasakan sudah sangat berkurang dan fungsi ginjal relatif membaik. DAFTAR PUSTAKA 1. Hoffbrand AV, Moss PA., Pettit J. Multiple My- eloma and Related Disorder. In: Essential Haematology. Australia: Blackwell publishing; 2007. p. 216–23. 2. Kyle R., Rajkumar S. Multiple Myeloma. N Engl J Med, 2004; 351: 1860-1873 3. Li J, Zhou D-B, Jiao L, Duan MH, Zhang W, Zhao YQ, et al. Bortezomib and Dexametha- sone Therapy for Newly Diagnosed Patients with Multiple Myeloma Complicated by Renal Impairment. Clin Lymphoma Myeloma. 2009; 9 (5): 394–8. 4. Katzel JA, Hari P, Vesole DH. Multiple myeloma: Charging toward A Bright Future. CA Cancer J Clin. 2007; 57 (5): 301–18. 5. Bakta S. Gamopati Monoklonal. in: Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2007. p. 220–1. 6. Dave S., Dunbar C. Multiple Myeloma. In: Bethesda Handbook of Clinical Haematology 2nd edition. Griffin, P.R., Neal, S.Y. New York: 61 Mutiara Medika Vol. 17 No. 1: 51-61, Januari 2017 Lippincott William and Wilkins; 2009. p. 217– 25. 7. Rajkumar SV. Multiple Myeloma: 2011 Update on Diagnosis, Risk-Stratification, and Manage- ment. Am J Hematol. 2011; 86 (1): 57–65. 8. Longo D., Anderson K. Plasma Cell Disorders. In: Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th edition. Jean D. USA: McGraw-Hill; 2005. 9. Dispenzieri A, Lacy M., Greipp P. Multiple My- eloma. In: Wintrobe’s clinical Haematology 12th edition. John, P.G., John, F., George, M.R., et . Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. p. 2377–418. 10. Lonial S. Diagnosis and Staging [Internet]. Mul- tiple Myeloma Research Foundation. 2005 [cited 2017 Jan 23]. Av ai l abl e f rom : https:// www.themmrf.org/multiple-myeloma/diagnosis/ 11. Syahrir M. Myeloma Multiple dan Penyakit Gamopati Lain. In: Buku Ajar Penyakit Dalam Edisi kelima jilid II. Aru W Sudoyo, Bambang Setyohadi, Idris Alwi, Marcellius Simadibrata,Siti Setiati. Jakarta: Interna publishing FK UI; 2009. 12. Leung N, Rajkumar S., Kaplan AA. Treatment of Renal Failure in Multiple Myeloma. UpToDate. 2008; 16 (3). 13. Richardson P, Hideshima T, Anderson K. Mul- tiple Myeloma and Related Disorder. In: Clini- cal Oncology 3rd Edition. Martin, D.A., James, O.A., John, E.N., Michael, B.K. Elsevier, Churchill Living Stone; 2004. p. 2961–9. 14. Woo S-B. Systematic Review: Bisphosphonates and Osteonecrosis of the Jaws. Annals of In- ternal Medicine. 2006; 144 (10): 753. 15. Black DM, Delmas PD, Eastell R, Reid IR, Boonen S, Cauley JA, et al. Once-Yearly Zoledronic Acid for Treatment of Postmeno- pausal Osteoporosis. New England Med. 2007 May 3;356(18):1809–22. 16 Heckbert SR, Li G, Cummings SR, Smith NL, Psaty BM. Use of Alendronate and Risk of Inci- dent Atrial Fibrillation in Women. Arch Intern Med, 2008; 168 (8): 826–31. 17 Cummings SR, Schwartz AV, Black DM. Alendronate and Atrial Fibrillation. New England J Med, 2007 May 3;356(18):1895–6. 18 Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan. Informatorium Obat Nasional Indo- nesia 2000. Jakarta: Departemen Kesehatan; 2000. 323-324 p.