22 | Vol 19 No 1 Januari 2019 yang dilakukan sendiri (munfarid), pada sebagian malam yang akhir, waktu di antara Magrib dan Isya, setelah shalat subuh.15 Jadi kebiasaan lansia mem- baca Al-Qur’an dengan durasi waktu tertentu dan dilakukan pada waktu-waktu terbaik dapat mem- pertahankan kemampuan kognitif lansia dan men- cerminkan sikap positif lansia tersebut. SIMPULAN Kesimpulan dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang signifikan antara durasi membaca Al-Qur`an dengan penurunan fungsi kognitif pada lansia. Implikasi penelitian ini untuk pendidikan keperawatan yaitu sebagai evident base dalam memberikan terapi spiritual (membaca Al-Qur`an) pada lansia. Sedangkan bagi posyandu lansia, pene- litian ini memberikan implikasi sebagai salah satu alternatif kegiatan spiritual dalam upaya pening- katan kesehatan lansia khususnya secara kognitif. Implikasi bagi subyek penelitian (lansia) yaitu seba- gai salah satu contoh aktivitas sederhana yang dapat dilakukan secara rutin sehingga mampu mempertahankan fungsi kognitif dan menghindar- kan dari penyakit cerebrovaskuler pada lansia. DAFTAR PUSTAKA 1. Badan Pusat Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta. Penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta Hasil Survey Penduduk Antarsensus 2015. 2016. Diakses dari https://yogyakarta.bps.go.id/Publikasi/view/id/15 8 diakses pada 6 Mei 2016. 2. Sekretariat Daerah Kabupaten Bantul. Laporan Kinerja Pemerintah Kabupaten Bantul Tahun 2014. 2015. Diakses dari http://setda.bantulkab.go.id/documents/2015050 6121424-laporan-kinerja-bantul-2014.pdf diakses pada 28 Februari 2017. 3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pelayanan dan Peningkatan Kesehatan Usia Lanjut. 2015. Diakses dari http://www.depkes.go.id/article/view/150527000 10/pelayanan-dan-peningkatan-kesehatan-usia- lanjut.html diakses pada 6 Mei 2016. 4. Pranarka K. Penerapan Geriatrik Kedokteran menuju Usia Lanjut. 2006. Diakses dari http://www.univmed.org/wpcontent/uploads/20 11/02/KRISPRANAKA.pdf. diakses pada 10 Mei 2016. 5. Wreksoatmojo BR. Aktifitas Kognitif Mempengaruhi Fungsi Kognitif Lansia di Jakarta. CDK-224, 2015; 42 (1): 7-13. 6. Handayani T, Mitsalina MHN, Nurullya RS. Pesantren Lansia sebagai Upaya Meminimalkan Risiko Penurunan Fungsi Kognitif pada Lansia di Balai Rehabilitasi Sosial Lansia Unit II Pucang Gading Semarang. Jurnal Keperawatan Komunitas, 2013; 1 (1): 1-9. 7. Etsem MB, Julianto V. The Effect of Reciting Holly Qur’an toward Short-term Memory Ability Analyzed Trough the Changing Brain Wave. Jurnal Psikologi, 2011; 38 (1): 17-29. 8. Lestari N. Hubungan Intensitas Membaca Al-Qur’an dengan Fungsi Kognitif Lanjut Usia di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Ciseeng Kabupaten Bogor 2012. Skripsi. UIN Syarif Hidayatulloh. 2012. 9. Purnamasari D. Hubungan antara Kebiasaan Membaca dengan Pemahaman Bacaan Siswa Kelas VIII SMP di Kecamatan Kalasan Sleman. Universitas Negeri Yogyakarta. 2013. 10. Dalman. Ketrampilan Membaca. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2013. 11. Sauderajen. Pengaruh Sindroma Metabolik terhadap Gangguan Fungsi Kognitif. Tesis. Universitas Negeri Semarang. 2010. 12. Pieter H, Namora L. Pengantar Psikologi dalam Keperawatan. Jakarta: Kencana. 2010. 13. Haeroni. Pengaruh Terapi Membaca Al-Qur`an (Surah Ar-Rahman) terhadap Demensia pada Lansia di Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo Ungaran Kabupaten Semarang. Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES Ngudi Waluyo Ungaran. 2014. 14. Kementrian Agama RI. Buku Siswa: Al-Qur’an Hadist Pendekatan Saintifik Kurikulum 2013. Jakarta: Kementrian Agama. 2014. 15. Amana FA. Pengaruh Kebiasaan Membaca Al-Qur’an terhadap Prestasi Belajar Pendidikan Agama Islam Siswa Kelas X di Madrasah Aliyah Negeri 2 Kota Madiun. Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. 2015. Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm ©2019 MMJKK. All rights reserved Vol 19 No 1 Hal 23-26 Januari 2019 Validitas Pemeriksaan Ankle Reflex untuk Deteksi Diabetic Peripheral Neuropathy pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Ankle Reflex Examination Validity as Diabetic Peripheral Neuropathy Detection on Patient of Diabetes Mellitus Type 2 Wizard Eka Putra Azaka1*, Agus Yuwono2, Erida Wydiamala3 1 Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin 2 Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin 3 Bagian Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin DATA OF ARTICLE: Received: 18 Sep 2017 Reviewed: 25 Jan 2018 Revised: 1 Jul 2018 Accepted: 25 Sep 2018 *CORRESPONDENCE: wizard.azaka5@gmail.com DOI: 10.18196/mm.190124 TYPE OF ARTICLE: Research Abstrak: Diabetic Peripheral Neuropathy (DPN) adalah bentuk komplikasi yang paling banyak pada pasien diabetes. Ankle Reflex (AR) merupakan pemeriksaan fisik seder- hana yang dapat digunakan sebagai prosedur deteksi untuk mencegah morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh DPN dengan mengevaluasi fungsi saraf sen- soris dan motoris. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui validitas AR sebagai prosedur deteksi DPN pada pasien diabetes melitus (DM) tipe 2. Penelitian dilakukan di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin. Jenis penelitian ini adalah uji diagnostik dengan pendekatan cross-sectional. Penelitian melibatkan 69 pasien DM tipe 2 di Poliklinik Penyakit Dalam sebagai peserta. Pasien dievaluasi menggunakan skor Diabetic Neuropathy Examination (DNE), Diabetic Neuropathy Symptom (DNS) dan pemeriksaan AR. Data dianalisis menggunakan tabel uji diag- nostik 2x2 dan kurva receiving operating characterictic (ROC). Hasil menunjukkan bahwa AR memiliki nilai sensitivitas 100%, spesifisitas 72,73%, akurasi 82,61%, nilai duga positif 67,57%, nilai duga negatif 100% dan 0.88 area under curve (AUC). Simpulan penelitian ini adalah AR memiliki nilai validitas yang baik dan dapat digunakan sebagai prosedur deteksi DPN yang cepat dan mudah untuk pasien DM tipe 2. Kata Kunci: Validitas; Ankle Reflex; Diabetic Peripheral Neuropathy; Diabetes Melitus Tipe 2 Abstract: Diabetic peripheral neuropathy (DPN) is the most common and troublesome complication which affect diabetic patients. Ankle Reflex (AR) is a simple physical examination which can be used as detection procedure to prevent morbidity and mortality caused by DPN by evaluating both motor and sensory nerves function. This study aimed to discover ankle reflex validity as DPN detection procedure on type 2 diabetes mellitus (DM) patients at RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin. This was a diagnostic test study with cross-sectional design. Subjects were 69 type 2 DM patients at internal medicine clinic. Patients were evaluated by using diabetic neuropathy examination (DNE) score, diabetic neuropathy symptom (DNS) score and AR examination. Data was analyzed by using 2x2 diagnostic test table and receiving operating characteristic (ROC) curve. The result shows that AR had 100% sensitivity, 72,73% specificity, 82,61% accuracy, 67,57% positive predictive value, 100% negative predictive value and 0,88 area under curve (AUC). In conclusion, AR has good validity value and can be used as rapid and simple DPN detection procedure on type 2 DM patients. 24 | 24 | Vol 19 No 1 Januari 2019 Keywords: Validity; Ankle Reflex; Diabetic Peripheral Neuropathy; Type 2 Diabetes Mellitus PENDAHULUAN Diabetic Peripheral Neuropathy (DPN) merupa- kan komplikasi yang paling sering terjadi pada pa- sien Diabetes Melitus (DM) dan bertanggung jawab terhadap 50-75% amputasi non traumatik pada pa- sien DM. Berdasarkan Infodatin tahun 2014, angka prevalensi DPN di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta sebesar 54% dari semua komplikasi DM yang didata.1 Patogenesis terjadinya DPN masih belum dike- tahui secara pasti, namun melibatkan beberapa pro- ses yaitu adanya kerusakan endotel pembuluh da- rah, aktivasi jalur poliol, Advanced Glycation End Products (AGEs) dan aktivasi jalur Protein Kinase C (PKC).2,3 Kerusakan saraf yang terjadi pada DPN da- pat bergejala nyeri, sensasi seperti tertusuk, terba- kar di malam hari yang melibatkan kerusakan sera- but saraf berdiameter kecil atau justru hilangnya refleks miotatik, sensasi getar, raba halus yang si- metris berjalan dari distal ke proksimal dan bergan- tung pada panjang neuron (lebih utama di kaki) yang melibatkan kerusakan serabut saraf berdiame- ter besar khususnya serabut saraf sensoris jenis Aα.4,5 Hal yang perlu diperhatikan dari DPN adalah terbentuknya ulkus yang tidak disadari oleh pasien yang meningkatkan risiko infeksi bahkan amputasi terutama di ekstremitas bawah. Oleh karena itu, perlu dilakukan deteksi pada DPN agar pasien me- ngetahui kondisi yang dialaminya sehingga dapat mencegah kerusakan yang lebih parah melalui upaya-upaya perawatan dan pengobatan. Menurut konsensus San Antonio, tidak ada pemeriksaan ba- ku emas yang ditetapkan namun direkomendasikan setidaknya melakukan satu dari lima metode, yaitu sistem penilaian skor gejala, sistem penilaian skor pemeriksaan fisik, Quantitive Sensory Testing (QST), tes fungsi otonom kardiovaskuler dan elektro- diagnosis.6 Terdapat pemeriksaan fisik yang mudah dila- kukan untuk mendiagnosis DPN yaitu Ankle Reflex (AR). Ankle reflex dapat menurun bahkan hilang di awal terjadinya DPN. Hal ini dikarenakan kerusakan serabut saraf sensoris jenis Aα yang merupakan se- rabut sensoris pada kumparan otot. Reseptor kum- paran otot rangka dapat dirangsang melalui ketuk- an pada tendon dan kemudian impuls akan dilanjut- kan menuju ganglion dorsalis medula spinalis dan bersinaps dengan neuron eksitatorik yang akan me- lanjutkan impuls menuju neuron motorik sampai pa- da otot rangka. Kerusakan neuron pada tahap lebih lanjut akan merusak neuron motorik, namun keru- sakan serabut saraf sensoris lebih dulu terjadi se- hingga dapat dideteksi sebelum DPN semakin parah.5 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui validitas AR sebagai prosedur deteksi DPN pada pasien DM tipe 2 di RSUD di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin BAHAN DAN CARA Penelitian ini adalah penelitian uji diagnostik dengan menggunakan desain cross-sectional. Varia- bel terikat penelitian ini adalah jumlah pasien yang terdeteksi positif atau negatif Diabetic Peripheral Neuropathy (DPN), sedangkan variabel bebas adalah Ankle Reflex (AR). Sampel yang diambil adalah pasien DM tipe 2 di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin pada bulan Juli hingga Agustus 2016. Kriteria inklusi penelitian ini adalah telah terdiagnosis DM tipe 2, berusia kurang dari 65 tahun dan bersedia menjadi subjek penelitian. Kriteria eksklusi penelitian ini adalah jika subjek dalam penggunaan obat-obatan kemoterapi kanker dan antiretroviral, pecandu alko- hol, terdiagnosis stroke oleh dokter spesialis saraf, menderita Hernia Nukleus Pulposus (HNP), terdapat riwayat fraktur ekstremitas bawah, subjek dengan indeks massa tubuh (IMT) ≥ 25, terdiagnosis lesi Upper Motor Neuron (UMN) oleh dokter spesialis saraf, terdiagnosis lesi saraf perifer lain oleh dokter spesialis saraf, hasil penilaian skor Diabetic Neuro- pathy Examination (DNE) ≤ 3, skor Diabetic Neuro- pathy Symptoms (DNS) ≥ 1, dan menderita neuropati etiologi spesifik non DM berdasarkan diagnosis dokter spesialis saraf. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah garpu tala 128 Hz, jarum, palu refleks, lembar kuesioner DNS dan Tabel DNE. Lembar informed consent digunakan sebagai bukti persetujuan pasien sebagai subyek penelitian. Setiap pasien yang me- menuhi kriteria inklusi dan eksklusi akan diberikan penjelasan tujuan, manfaat penelitian, prosedur pe- meriksaan DNS, DNE dan pemeriksaan AR, kemudi- an pasien diminta menandatangani informed con- sent sebagai bukti bahwa pasien menyetujui untuk menjadi subyek penelitian. Setelah tahap persetuju- an partisipan, penelitian dilanjutkan dengan peme- riksaan DNE dan DNS sebagai pemeriksaan baku emas dan pemeriksaan AR. Analisis data dilakukan dengan tabel uji diag- nostik 2x2 kemudian data diinput ke dalam aplikasi SPSS untuk mendapatkan Area Under Curve (AUC) pada kurva receiver operating characteristic (ROC). Nilai AUC menggambarkan nilai validitas. Validitas sangat baik jika AUC 90-100%, validitas baik jika AUC 80-89,99%, validitas cukup jika AUC 70-79,99%, | 25 24 | Vol 19 No 1 Januari 2019 Keywords: Validity; Ankle Reflex; Diabetic Peripheral Neuropathy; Type 2 Diabetes Mellitus PENDAHULUAN Diabetic Peripheral Neuropathy (DPN) merupa- kan komplikasi yang paling sering terjadi pada pa- sien Diabetes Melitus (DM) dan bertanggung jawab terhadap 50-75% amputasi non traumatik pada pa- sien DM. Berdasarkan Infodatin tahun 2014, angka prevalensi DPN di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta sebesar 54% dari semua komplikasi DM yang didata.1 Patogenesis terjadinya DPN masih belum dike- tahui secara pasti, namun melibatkan beberapa pro- ses yaitu adanya kerusakan endotel pembuluh da- rah, aktivasi jalur poliol, Advanced Glycation End Products (AGEs) dan aktivasi jalur Protein Kinase C (PKC).2,3 Kerusakan saraf yang terjadi pada DPN da- pat bergejala nyeri, sensasi seperti tertusuk, terba- kar di malam hari yang melibatkan kerusakan sera- but saraf berdiameter kecil atau justru hilangnya refleks miotatik, sensasi getar, raba halus yang si- metris berjalan dari distal ke proksimal dan bergan- tung pada panjang neuron (lebih utama di kaki) yang melibatkan kerusakan serabut saraf berdiame- ter besar khususnya serabut saraf sensoris jenis Aα.4,5 Hal yang perlu diperhatikan dari DPN adalah terbentuknya ulkus yang tidak disadari oleh pasien yang meningkatkan risiko infeksi bahkan amputasi terutama di ekstremitas bawah. Oleh karena itu, perlu dilakukan deteksi pada DPN agar pasien me- ngetahui kondisi yang dialaminya sehingga dapat mencegah kerusakan yang lebih parah melalui upaya-upaya perawatan dan pengobatan. Menurut konsensus San Antonio, tidak ada pemeriksaan ba- ku emas yang ditetapkan namun direkomendasikan setidaknya melakukan satu dari lima metode, yaitu sistem penilaian skor gejala, sistem penilaian skor pemeriksaan fisik, Quantitive Sensory Testing (QST), tes fungsi otonom kardiovaskuler dan elektro- diagnosis.6 Terdapat pemeriksaan fisik yang mudah dila- kukan untuk mendiagnosis DPN yaitu Ankle Reflex (AR). Ankle reflex dapat menurun bahkan hilang di awal terjadinya DPN. Hal ini dikarenakan kerusakan serabut saraf sensoris jenis Aα yang merupakan se- rabut sensoris pada kumparan otot. Reseptor kum- paran otot rangka dapat dirangsang melalui ketuk- an pada tendon dan kemudian impuls akan dilanjut- kan menuju ganglion dorsalis medula spinalis dan bersinaps dengan neuron eksitatorik yang akan me- lanjutkan impuls menuju neuron motorik sampai pa- da otot rangka. Kerusakan neuron pada tahap lebih lanjut akan merusak neuron motorik, namun keru- sakan serabut saraf sensoris lebih dulu terjadi se- hingga dapat dideteksi sebelum DPN semakin parah.5 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui validitas AR sebagai prosedur deteksi DPN pada pasien DM tipe 2 di RSUD di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin BAHAN DAN CARA Penelitian ini adalah penelitian uji diagnostik dengan menggunakan desain cross-sectional. Varia- bel terikat penelitian ini adalah jumlah pasien yang terdeteksi positif atau negatif Diabetic Peripheral Neuropathy (DPN), sedangkan variabel bebas adalah Ankle Reflex (AR). Sampel yang diambil adalah pasien DM tipe 2 di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin pada bulan Juli hingga Agustus 2016. Kriteria inklusi penelitian ini adalah telah terdiagnosis DM tipe 2, berusia kurang dari 65 tahun dan bersedia menjadi subjek penelitian. Kriteria eksklusi penelitian ini adalah jika subjek dalam penggunaan obat-obatan kemoterapi kanker dan antiretroviral, pecandu alko- hol, terdiagnosis stroke oleh dokter spesialis saraf, menderita Hernia Nukleus Pulposus (HNP), terdapat riwayat fraktur ekstremitas bawah, subjek dengan indeks massa tubuh (IMT) ≥ 25, terdiagnosis lesi Upper Motor Neuron (UMN) oleh dokter spesialis saraf, terdiagnosis lesi saraf perifer lain oleh dokter spesialis saraf, hasil penilaian skor Diabetic Neuro- pathy Examination (DNE) ≤ 3, skor Diabetic Neuro- pathy Symptoms (DNS) ≥ 1, dan menderita neuropati etiologi spesifik non DM berdasarkan diagnosis dokter spesialis saraf. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah garpu tala 128 Hz, jarum, palu refleks, lembar kuesioner DNS dan Tabel DNE. Lembar informed consent digunakan sebagai bukti persetujuan pasien sebagai subyek penelitian. Setiap pasien yang me- menuhi kriteria inklusi dan eksklusi akan diberikan penjelasan tujuan, manfaat penelitian, prosedur pe- meriksaan DNS, DNE dan pemeriksaan AR, kemudi- an pasien diminta menandatangani informed con- sent sebagai bukti bahwa pasien menyetujui untuk menjadi subyek penelitian. Setelah tahap persetuju- an partisipan, penelitian dilanjutkan dengan peme- riksaan DNE dan DNS sebagai pemeriksaan baku emas dan pemeriksaan AR. Analisis data dilakukan dengan tabel uji diag- nostik 2x2 kemudian data diinput ke dalam aplikasi SPSS untuk mendapatkan Area Under Curve (AUC) pada kurva receiver operating characteristic (ROC). Nilai AUC menggambarkan nilai validitas. Validitas sangat baik jika AUC 90-100%, validitas baik jika AUC 80-89,99%, validitas cukup jika AUC 70-79,99%, | 25 validitas buruk jika AUC 60-69,99% dan validitas sangat buruk jika AUC kurang dari 60%.7 HASIL Tabel 1. Hasil Penelitian Validitas AR sebagai Deteksi DPN pada Pasien DM Tipe 2 Tinjauan di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin. Hasil Analisis Positif benar (a) 25 Positif semu (b) 12 Negatif semu (c) 0 Negatif benar (d) 32 Sensitivitas 100% Spesifisitas 72,73% 1-spesifisitas 0,277 AUC 0,88 Prevalensi 36,23% Akurasi 82,61% Nilai duga positif 67,57% Nilai duga negatif 100% Hasil analisis kurva ROC untuk mengetahui AUC pemeriksaan AR dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Area Under Curve Validitas AR sebagai Deteksi DPN pada Pasien DM Tipe 2 di RSUD Dr. H. Moch Ansari Saleh Banjarmasin Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan, prevalensi penderita DPN pada penelitian ini adalah sebesar 36,23%, yaitu 25 pasien menderita DPN dari 69 pasien menurut pemeriksaan baku emas pada penelitian ini. Hasil lain menunjukkan bahwa terda- pat 32 pasien yang tidak menderita DPN menurut pemeriksaan baku emas dan AR. Terdapat 12 pasien menderita DPN menurut hasil pemeriksaan AR teta- pi tidak menurut pemeriksaan baku emas. Penghitungan menggunakan tabel 2x2 yang kemudian dianalisis menggunakan kurva ROC pada aplikasi SPSS, diperoleh hasil bahwa AR memiliki sensitivitas sebesar 100%, spesifisitas 72,73%, nilai duga positif 67,57%, nilai duga negatif 100%, akurasi 82,61%, dan AUC 0,88. DISKUSI Nilai sensitivitas 100% berarti bahwa seluruh penderita DPN dengan hasil positif menurut peme- riksaan baku emas dapat terdeteksi oleh AR. Ankle reflex memiliki spesifisitas sebesar 72,3%, hal ini berarti bahwa terdapat 72,73% proporsi orang tanpa DPN dengan hasil negatif menurut pemeriksaan baku emas menunjukkan hasil pemeriksaan AR positif. Nilai prediksi positif sebesar 67,57% berarti bahwa apabila hasil pemeriksaan AR didapatkan negatif maka pasien memiliki kemungkinan sebesar 67,75% untuk menderita DPN berdasarkan pemerik- saan baku emas penelitian ini. Nilai duga negatif sebesar 100% berarti bahwa jika pemeriksaan AR didapatkan positif pada pasien, maka pasien tidak memiliki kemungkinan untuk menderita DPN ber- dasarkan pemeriksaan baku emas penelitian ini. Nilai akurasi sebesar 82,61% berarti bahwa pemerik- saan AR mampu mendeteksi DPN dengan benar dari seluruh subjek penelitian sebesar 82,61% berdasar- kan pemeriksaan baku emas. Nilai AUC 0,88 (IK 95%: berarti bila pemeriksaan AR dilakukan pada 100 pasien maka akan memberikan kesimpulan yang benar dalam menentukan ada tidaknya DPN pada 88 pasien. Nilai AUC 0,88 tergolong nilai validitas kategori baik. Nilai AUC didapatkan dengan menghi- tung luas daerah trapesium pada grafik ROC, dengan nilai maksimal satu. Tingginya nilai sensitivitas pada penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Jayaprakash et al. (2011),8 dan Shehab et al. (2012),9 dengan nilai senstivitas berturut-turut 91,5% dan 90,7%. Menurut Bowditch et al. (1996),10 hilangnya AR meningkat seiring bertambahnya usia. Rentang usia subjek penelitian yang dilakukan adalah 30-63 tahun, dengan proporsi hilangya AR sebanyak 5% pada usia kurang dari 60 tahun dan sekitar 30% pada usia lebih dari atau sama dengan 60 tahun. Hal ini dapat meningkatkan nilai sensitivitas dan menurunkan nilai spesifisitas AR. Hilangnya AR pada pasien DM dengan komplikasi DPN disebabkan oleh kerusakan pada serabut saraf jenis Aα yang merupakan jenis serabut saraf yang menghantarkan impuls pada lengkung reflex. Hal ini akan menyebabkan ganggu- an hantaran impuls yang mempersarafi lengkung refleks achilles. 26 | 26 | Vol 19 No 1 Januari 2019 Penelitian ini memiliki keterbatasan yang dapat mempengaruhi hasil penelitian yaitu pengalaman pemeriksa. Menurut Bharati et al. (2011),11 terdapat perbedaan hasil pemeriksaan AR sebagai prosedur deteksi DPN yang dilakukan oleh mahasiswa kedok- teran dan klinisi yang berpengalaman. Pemeriksaan baku emas yang digunakan pada penelitian ini berupa kuesioner dan pemeriksaan fisik, sehingga dapat dipengaruhi oleh subjektivitas pasien dan sangat bergantung pada gejala yang muncul pada pasien sehingga tidak dapat mendeteksi DPN tanpa gejala. Menurut Perkins dan Vera (2003),12 menunjuk- kan bahwa pemeriksaan Nerve Conduction Study (NCS) merupakan pemeriksaan terbaik untuk men- deteksi DPN menurut American Academy of Neuro- logy (AAN) karena dapat memberikan informasi lebih banyak untuk diagnosis DPN dan dapat mendiagnosis DPN meskipun belum ada gejala yang muncul.12 SIMPULAN Ankle Reflex memiliki nilai validitas yang baik dan dapat digunakan sebagai prosedur deteksi DPN pada pasien DM tipe 2. Diharapkan dapat menggunakan pemeriksaan baku emas yang lebih baik seperti NCS agar dapat mendeteksi pasien DM tipe 2 yang mengalami DPN tanpa gejala. Penelitian serupa selanjutya diharap- kan dapat memuat tujuan tambahan untuk mengetahui prevalensi DPN di RSUD yang ada di Banjarmasin. DAFTAR PUSTAKA 1. Kementerian Kesehatan RI. Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Jakarta: Kemeterian Kesehatan RI. 2014. 2. Ametov AS, Barinov A, Dyck PJ, Hermann R, Kozlova N, Litchy WJ, et al. The Sensory Symptoms of Diabetic Polyneuropathy are Im- proved with Alpha Lipoic Acid: The Sydney rial. Diabetes care, 2003; 26 (3): 770-776. 3. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing. 2014. 4. Sadeli HA. Nyeri Neuropati Diabetika. Dalam: Meilala L, Suryamiharja, Wirawan, Sadeli HA, Amir D. Editor. Nyeri Neuropatik. Yogyakarta: Medigama Press. 2008. P.77-90. 5. Alexandra H, Cristopher HG. Diagnosis and Treatment of Pain in Small Fiber Neuropathy. Curr Pain Headache Rep, 2011; 15 (3): 193-200. 6. Meijer JW, Bosma E, Lefrant JD. Clinical Diagnosis of Diabetic Polyneuropathy with the Diabetic Neuropathy Symptom and Diabetic Neuropathy Examination Scores. Diabetes Care, 2003; 26 (3): 697-701. 7. Sopiyudin DM. Penelitian Diagnostik Dasar-dasar Teoretis dan Aplikasi dengan Program SPSS dan Stata. Seri Evidence Based Medicine 5. Jakarta: Penerbit Salemba Medika. 2009. 8. Jayaprakash P, Anil B, Shobhit B, Pinaki D, Anantharaman R, Shanmugasundar G, et al. Validation of Beside Methods in Evaluation of Diabetic Peripheral Neuropathy. Indian J Med Res, 2011; 133 (6): 645-649. 9. Shehab DK, Al-Jarallah KF, Abraham M, Mojiminiyi OA, Al-Mohamedy H, Abdella NA. Back to Basics: Ankle Reflex in the Evaluation of Peripheral Neuropathy in Type 2 Diabetes Mellitus. QJM, 2012; 105 (4): 315-320. 10. Bowditch MG, Sanderson P, Livesey JP. The Significance of an Absent Ankle Reflex. J Bone Joint Surg, 1996; 78 (2): 276-279. 11. Bharati T, Saima A, Ashish J, Vikas K. The Diagnostic Sensitivity, Specificity and Reproducibility of the Clinical Physical Examination Signs in Patients of Diabetes Mellitus for Making Diagnosis of Peripheral Neuropathy. J Endocrinol Metab, 2011; 1 (1): 21-26. 12. Perkins BA, Vera B. Diabetic Neuropathy: A Review Emphasizing Diagnostic Methods. Clin Neurophysiol, 2003; 114 (7): 1167-1175.