12 | Vol 19 No 1 Januari 2019 9. James PA, Oparil S, Carter BL, Cushman WC, Dennison-Himmelfarb D, Handler J, et al. 2014 Evidence-Based Guideline for the Management of High Blood Pressure in Adults Report From the Panel Members Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8). JAMA, 2014; 311 (5): 507-520. 10. Murinson M, Roth B, Grosman E, Dicker D, Elis A. Blood Pressure Control during Hospitalization at the Department of Medicine. Arch Clin Hypertens, 2015; 1 (1): 001-004. 11. Ervin SE. Hospital Management of Hypertension: Essential and Secondary Hypertension. Hospital Medical Practice. 2014; 2 (12): 1-14. 12. Banegas JR, Segura J, Ruilope LM, Luque M, García-Robles R, Campo C, et al. Blood Pressure Control and Physician Management of Hypertension in Hospital Hypertension Units in Spain. Hypertension, 2004; 43 (6): 1338-1344. 13. JNC -8. The Eight Report of the Joint National Committee. Hypertension Guidelines: An In- Depth Guide. Am J Manag Care, 2014; 20 (1 Spec No.): E8. 14. Sedayu B, Azmi S, Rahmatini. Karakteristik Pasien Hipertensi di Bangsal Rawat Inap SMF Penyakit Dalam RSUP DR. M. Djamil Padang Tahun 2013. Jurnal Kesehatan Andalas, 2015; 4 (1): 65-69. 15. Chen Y, Hu S, Shen G, Wu L, Xu W, Wang L, et al. Antihypertensive Treatment among Inpatients with Hypertension at Anhui Provincial Hospital in China: a Cross-Sectional Study. Lat Am J Pharm, 2012; 31 (2): 298-304. 16. Nachiya RAM, Parimkrisnan S, Ramakrishna Rao M. Study of Drug Utilization Pattern of Antihypertensive Medications on Out-patients and Inpatiens in a Tertiary Care Teaching Hospital: A Cross Sectional Study. African J Pharm Pharmacol, 2015; 9 (11): 383-396. 17. Potchoo Y, Goe-Akue E, Damorou F, Massoka B, Redah D, Guissou IP. Effect of Antihypertensive Drug Therapy on the Blood Pressure Control among Hypertensive Patients Attending Campus’ Teaching Hospital of Lome, Togo, West Africa. Pharmacology & Pharmacy, 2012; 3 (1): 214-223. Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm ©2019 MMJKK. All rights reserved Vol 19 No 1 Hal 13-16 Januari 2019 Hubungan antara Tingkat Pendidikan Orang Tua dengan Kesadaran untuk Deteksi Dini Gangguan Pendengaran pada Bayi Baru Lahir Relation between Parental Education Levels and Awareness for Early Detection of Hearing Disorder in Newborns Asti Widuri1*, Bambang Edy Susyanto2, Supriyatiningsih3 1 Bagian Ilmu THT, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 2 Bagian Ilmu Anak, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 3 Bagian Ilmu Kandungan dan Kebidanan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta DATA OF ARTICLE: Received: 04 Sep 2018 Reviewed: 27 Sep 2018 Revised: 17 Okt 2018 Accepted: 21 Nov 2018 *CORRESPONDENCE: asti.widuri@umy.ac.id DOI: 10.18196/mm.190122 TYPE OF ARTICLE: Research Abstrak: Gangguan pendengaran pada anak-anak di negara yang belum ada pro- gram deteksi gangguan pendengaran pada bayi baru lahir diawali dari kecurigaan saat anak terlambat bicara. Keterlambatan deteksi tersebut karena kurangnya penge- tahuan orang tua terhadap perkembangan bicara dan bahasa sebelum anak ber- umur 2 tahun. Tujuan penelitian ini adalah melihat pengaruh tingkat pendidikan orang tua terhadap sikap/kesadaran tentang deteksi gangguan pendengaran pada bayi baru lahir. Penelitian dengan desain potong lintang menilai pendidikan orang tua dan sikap terhadap pemeriksaan deteksi gangguan pendengaran pada bayi baru lahir dilakukan pada orang tua/pasien klinik Asri Medical Centre Yogyakarta (AMC) bulan Juni-Juli 2018. Hasil penelitian menunjukkan 55 responden, 6 (10,9%) dengan pendidikan sangat tinggi, 42 (76,3%) dengan pendidikan tinggi, dan 7 (12,7%) dengan pendidikan menengah. Hasil uji Chi-square menunjukkan tidak adanya pengaruh yang bermakna antara skor pendidikan orang tua, pengeta- huan tentang tumbuh kembang anak, usia dan jumlah anak terhadap sikap orang tua pada program deteksi gangguan pendengaran pada bayi baru lahir. Tingkat pen- didikan orang tua tidak berpengaruh pada sikap positif/tertarik pada program de- teksi dini pemeriksaan pendengaran, sehingga dibutuhkan kebijakan pemerintah agar deteksi dini gangguan pendengaran berjalan optimal. Kata kunci: Skrining Pendengaran; Pendidikan Orang tua; Bayi Baru Lahir; Perkembangan Bicara dan Bahasa Abstract: Hearing loss in children in countries where there is no program for detecting hearing loss in newborns begins with suspicion when the child is late to speak. The late detection because parents have little knowledge to children speech and language development under 2 years old. Objective of this study is to determine relation of parent education toward their attitude about newborn hearing screening. A cross-sectional survey study using questionnaire about parental education and their attitude to newborn hearing screening was conducted on a purposive sample of parent and patient of Asri Medical Centre Yogyakarta on Juni-Juli 2018. From the 55 parents, 6 (10,9%) were very high education, 42 (76,3%) were high education, 7 (12,7%) were medium education. Chi-square analysis shows that parental education, age, and number of children not significantly correlated with parent care of newborn hearing screening. There are no correlation of parent education with attitude or interest to newborn hearing screening. Therefore, there is a need to take government efforts to improve newborn hearing screening. 14 | 2 | Vol 19 No 1 Januari 2019 Keywords: Autonomic Nervous System; Sleep Patterns Disturbances; Standard Deviation of All N-N Intervals PENDAHULUAN Tidur merupakan suatu aktivitas yang dilaku- kan setiap hari dan menjadi kebutuhan dasar manu- sia yang harus dipenuhi. Tidur merupakan keadaan aktif dan berulang yang terjadi pada setiap individu.1 Individu memerlukan tidur yang cukup untuk dapat berfungsi secara optimal. Pola tidur yang cukup pada orang dewasa adalah 7-8 jam per malam, tidak terkecuali pada orang yang sakit.2 Tidur sangat ber- manfaat untuk kesehatan tubuh sehingga mereka yang mempunyai jam tidur terbatas dan sering ter- bangun mempunyai risiko empat kali lebih banyak mengalami serangan jantung.3 Hal ini disebabkan karena jantung bekerja lebih berat jika individu ke- kurangan waktu tidurnya. National Sleep Foundation (2011),4 melaporkan bahwa di Amerika pada tahun 2006 lebih dari 36% dewasa muda usia 18-29 tahun mengalami kesulitan untuk bangun di pagi hari dan mengeluh mengan- tuk ketika beraktivitas sekurangnya 2 hari dalam se- minggu atau lebih. Demikian juga yang terjadi pada mahasiswa keperawatan. Mahasiswa keperawatan termasuk dalam usia dewasa muda. Disamping itu pada tahun 2011,4 juga dilakukan penelitian dan ha- silnya meningkat dari 36% pada tahun 2006 menjadi 51% yang mengalami gangguan tidur pada usia 18-29 tahun. Pola tidur pada usia dewasa sangatlah berbeda dengan usia lainnya karena pada usia dewasa banyak mengalami perubahan aktivitas sehari-hari, seperti bekerja, ataupun kuliah. Keadaan tersebut dapat memicu terjadinya gangguan tidur.5 Ganggu- an pola tidur merupakan gangguan dalam jumlah, kualitas atau waktu tidur pada setiap individu.6 Gangguan tidur bukan hanya pada perubahan aktivi- tas sehari-hari, namun gangguan tidur juga dapat dipengaruhi beberapa faktor yaitu medis (penyakit) dan non-medis (gaya hidup).7 Begitu juga mahasis- wa keperawatan yang sudah mempunyai perubah- an aktifitas seperti kuliah ataupun aktifitas yang lain. Sehingga mahasiswa tersebut mempunyai risi- ko terjadinya gangguan pola tidur. Aktivitas yang teratur, gaya hidup yang baik, pola tidur yang cukup merupakan faktor penting untuk dapat meningkatkan kesehatan jantung. Kualitas tidur yang buruk dapat menyebabkan ke- rugian kesehatan yang dapat menimbulkan penya- kit jantung.8 Gangguan pola tidur dapat meningkat- kan risiko penyakit jantung dan menyebabkan ke- matian jantung secara mendadak. Kondisi tersebut diyakini karena adanya ketidakseimbangan sistem saraf otonom dengan meningkatkan dominasi akti- vitas simpatis daripada modulasi parasimpatis.8 Individu yang memiliki gangguan tidur yang buruk dikaitkan dengan penurunan saraf parasim- patis dan peningkatan saraf simpatis.9 Masalah tersebut disebabkan karena kulitas tidur yang buruk pada individu sebagai penyebab utama terjadinya penyakit jantung dan menurunkan Heart Rate Varia- bility (HRV) serta dapat meningkatkan detak jan- tung. Demikian juga pendapat Rodriguez-colon et al. (2015),10 pola tidur yang tidak teratur dapat menurunkan HRV. Heart Rate Variability adalah fenomena fisio- logis yang mencerminkan indikator yang baik dari kontrol sistem saraf otonom yang berkaitan dengan kesehatan jantung.11 Sehingga pada kondisi individu yang memiliki gangguan tidur yang buruk menga- lami penurunan aktifitas saraf simpatis, akibatnya terjadi ketidakseimbangan dari fungsi sistem saraf otonom. Ketidakseimbangan fungsi sistem saraf otonom dapat diukur dengan menggunakan HRV. Fungsi HRV adalah untuk menilai risiko kematian jantung secara mendadak.12 Oleh karena itu, nilai HRV yang tinggi merupakan tanda fungsi jantung sehat dan penurunan HRV adalah rentan terhadap kematian jantung secara mendadak.8 Pengukuran HRV terdiri dari dua pengukuran yaitu time domain dan frequncy domain. Frequency domain terdiri dari Low Frequency/LF (frekuensi rendah) dan High Frequency/HF (frekuensi tinggi). Low Frequency 0,04 - 0,15 Hz (Herz) dari perubahan R-R interval dan dimodulasi oleh aktivitas sistem saraf saraf simpatis, HF 0,15-0,40 Hz dari perubahan R-R interval dan dimodulasi oleh aktivitas sistem saraf parasimpatis. Time domain terdiri dari Standard Deviation of all N-N intervals (SDNN) dan Root Mean Square of Success- ive Differences (RMSSD).12 Standard Deviation of all N-N intervals merupakan bagian dari HRV yang berperan dalam mengontrol sistem saraf otonom. Oleh karena itu nilai SDNN dapat digunakan untuk menilai adanya risiko kematian jantung mendadak melalui variasi dari N-N interval.12 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara gangguan pola tidur dengan keseimbangan sistem saraf otonom pada dewasa muda. BAHAN DAN CARA Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuan- titatif non eksperimen dengan desain cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara gangguan pola tidur dengan HRV pada dewasa muda. Responden pada penelitian ini adalah dewa- sa muda dengan usia antara 18-29 tahun yang dihitung berdasarkan rumus Arikunto (2010),13 14 | Vol 19 No 1 Januari 2019 Key word: Hearing Screening; Parent Education; Newborn; Speech and Language Develoment PENDAHULUAN Ketulian merupakan gangguan sensori yang paling sering terjadi pada manusia termasuk pada bayi yang baru dilahirkan. Insidensi ketulian pada bayi baru lahir 0,001% sampai 0,5% dan meningkat pada bayi dengan faktor risiko mencapai 1% - 5%.1,2 Pengamatan terhadap anak dengan gangguan pen- dengaran yang terdiagnosis dan dilakukan inter- venesi pada 6 bulan pertama kehidupan bayi akan mencegah dampak ketulian sehingga mencapai ke- mampuan bahasa, kosakata, ekspresi yang lebih baik daripada yang terdeteksi lambat.3 Amerika Seri- kat dan beberapa negara lain membuat kebijakan semua bayi baru lahir wajib dilakukan skrining pen- dengaran secara menyeluruh meskipun bayi tidak memiliki faktor risiko dan disahkan dengan Undang- Undang (Joint Committee on Infant Hearing 2007).4 Idealnya pemberian intervensi pada anak tuna rungu saat mereka berusia kurang dari 2 tahun. Se- suai dengan teori perkembangan bahasa dimana sa- at tersebut merupakan masa emas untuk perkem- bangan bicara anak. Dilaporkan oleh Moeller et al. (2000),5 dimana anak tuna rungu di negara maju pa- da usia 6 bulan setelah terdeteksi seluruh anak tuna rungu dapat masuk ke program prasekolah yang di- lakukan setiap hari dengan rata-rata umur saat masuk berusia 15 bulan. Pemeriksaan Ottoacoustic emission (OAE) sangat sederhana dan tidak infasif dengan mema- sukkan “probe” di liang telinga. Alat OAE akan memberikan stimulus suara masuk ke liang telinga dan yang dinilai adalah respon yang muncul dari koklea. Hasil pemeriksaan dinyatakan dengan krite- ria Pass (lulus) atau Refer (tidak lulus). Hasil Pass menunjukkan keadaan koklea baik, sedangkan hasil Refer artinya adanya gangguan koklea.5,6,7 Deteksi dini gangguan pendengaran masih menjadi tantangan di negara berkembang, Kumar (2015),9 melaporkan rata-rata umur (bulan) kecuri- gaan pertama, diagnosis dan intervensi anak tuna rungu adalah 19,59 bulan, 24,82 bulan dan 29,28 bulan. Keterlambatan antara kecurigaan dengan diagnosis adalah 5,23 bulan dan jeda dari diagnosis sampai intervensi 4,46 bulan.8 Sebanyak 70,48% anak tuna rungu baru dicuri- gai setelah berumur 1 tahun lebih dan hanya 1,6% terdiagnosis gangguan pendengaran di bawah 6 bulan. Dengan demikian pengetahuan terhadap per- kembangan bicara dan bahasa sangat penting bagi orang tua sehingga lebih cepat timbul kecurigaan jika kemampuan anaknya tidak sesuai.9 Program skrining ketulian universal pada bayi baru lahir yang ideal di Indonesia belum dapat dilak- sanakan karena keterbatasan alat automated brain respon (ABR) dan OAE. Selain alat tersebut hanya dimiliki oleh rumah sakit tertentu, terdapat kendala masih relatif tingginya biaya pemeriksaan, tidak semua rumah sakit mempunyai tenaga audiologist maupun dokter spesialis telinga hidung tenggorok, faktor sosial ekonomi masyarakat dan faktor ke- bijakan pemerintah. Bagian THT Klinik AMC telah menyediakan pelayanan pemeriksaan skrining pendengaran bayi baru lahir dengan alat otoacoustic emission (OAE), akan tetapi untuk pemanfaatan sarana ini oleh masyarakat masih kurang. Tujuan dari penelitian ini adalah menilai pengetahuan orang tua tentang per- kembangan bicara dan bahasa terhadap sikap per- lunya pemeriksaan gangguan pendengaran pada bayi baru lahir. BAHAN DAN CARA Penelitian ini merupakan penelitian observa- tional dengan pendekatan cross-sectional dimana peneliti menggunakan hasil kuesioner untuk menilai variabel bebas yaitu pendidikan orang tua dan varia- bel tergantung yaitu sikap/kesadaran tentang de- teksi dini gangguan pendengaran pada bayi baru lahir. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien/orang tua pasien dengan kriteria in- klusi orang tua bayi atau anak yang memeriksakan diri di klinik AMC dan pasien/ibu hamil di poli ke- bidanan, dengan kriteria eksklusi pasien yang tidak mau menandatangani persetujuan/informed con- sent. Tingkat pendidikan di kategorikan menengah (SMA, D3), Tinggi (S1) dan sangat tinggi (S2/S3). Tingkat pengetahuan dikategorikan baik jika men- jawab dengan benar lebih dari 60% pertanyaan ten- tang deteksi dini gangguan pendengaran. Analisis data menggunakan Chi-square untuk mengetahui signifikansi perbedaan antar kelompok tingkat pen- didikan sangat tinggi, tinggi, menengah dan rendah. HASIL Responden penelitian ini diambil dari orang tua yang memiliki bayi dan balita yang memeriksakan anaknya di poli Anak dan pasien kebidanan dan kan- dungan di Poli Klinik AMC Yogyakarta selama bulan Juni-Juli 2018 yang bersedia mengisi kuesioner dengan menanda tangani surat persetujuan/ informed consent. Jumlah subyek penelitian ini adalah sebanyak 55 orang, dengan data demografi dan karakteristik umum responden dapat dilihat pada Tabel 1. 14 | Vol 19 No 1 Januari 2019 Key word: Hearing Screening; Parent Education; Newborn; Speech and Language Develoment PENDAHULUAN Ketulian merupakan gangguan sensori yang paling sering terjadi pada manusia termasuk pada bayi yang baru dilahirkan. Insidensi ketulian pada bayi baru lahir 0,001% sampai 0,5% dan meningkat pada bayi dengan faktor risiko mencapai 1% - 5%.1,2 Pengamatan terhadap anak dengan gangguan pen- dengaran yang terdiagnosis dan dilakukan inter- venesi pada 6 bulan pertama kehidupan bayi akan mencegah dampak ketulian sehingga mencapai ke- mampuan bahasa, kosakata, ekspresi yang lebih baik daripada yang terdeteksi lambat.3 Amerika Seri- kat dan beberapa negara lain membuat kebijakan semua bayi baru lahir wajib dilakukan skrining pen- dengaran secara menyeluruh meskipun bayi tidak memiliki faktor risiko dan disahkan dengan Undang- Undang (Joint Committee on Infant Hearing 2007).4 Idealnya pemberian intervensi pada anak tuna rungu saat mereka berusia kurang dari 2 tahun. Se- suai dengan teori perkembangan bahasa dimana sa- at tersebut merupakan masa emas untuk perkem- bangan bicara anak. Dilaporkan oleh Moeller et al. (2000),5 dimana anak tuna rungu di negara maju pa- da usia 6 bulan setelah terdeteksi seluruh anak tuna rungu dapat masuk ke program prasekolah yang di- lakukan setiap hari dengan rata-rata umur saat masuk berusia 15 bulan. Pemeriksaan Ottoacoustic emission (OAE) sangat sederhana dan tidak infasif dengan mema- sukkan “probe” di liang telinga. Alat OAE akan memberikan stimulus suara masuk ke liang telinga dan yang dinilai adalah respon yang muncul dari koklea. Hasil pemeriksaan dinyatakan dengan krite- ria Pass (lulus) atau Refer (tidak lulus). Hasil Pass menunjukkan keadaan koklea baik, sedangkan hasil Refer artinya adanya gangguan koklea.5,6,7 Deteksi dini gangguan pendengaran masih menjadi tantangan di negara berkembang, Kumar (2015),9 melaporkan rata-rata umur (bulan) kecuri- gaan pertama, diagnosis dan intervensi anak tuna rungu adalah 19,59 bulan, 24,82 bulan dan 29,28 bulan. Keterlambatan antara kecurigaan dengan diagnosis adalah 5,23 bulan dan jeda dari diagnosis sampai intervensi 4,46 bulan.8 Sebanyak 70,48% anak tuna rungu baru dicuri- gai setelah berumur 1 tahun lebih dan hanya 1,6% terdiagnosis gangguan pendengaran di bawah 6 bulan. Dengan demikian pengetahuan terhadap per- kembangan bicara dan bahasa sangat penting bagi orang tua sehingga lebih cepat timbul kecurigaan jika kemampuan anaknya tidak sesuai.9 Program skrining ketulian universal pada bayi baru lahir yang ideal di Indonesia belum dapat dilak- sanakan karena keterbatasan alat automated brain respon (ABR) dan OAE. Selain alat tersebut hanya dimiliki oleh rumah sakit tertentu, terdapat kendala masih relatif tingginya biaya pemeriksaan, tidak semua rumah sakit mempunyai tenaga audiologist maupun dokter spesialis telinga hidung tenggorok, faktor sosial ekonomi masyarakat dan faktor ke- bijakan pemerintah. Bagian THT Klinik AMC telah menyediakan pelayanan pemeriksaan skrining pendengaran bayi baru lahir dengan alat otoacoustic emission (OAE), akan tetapi untuk pemanfaatan sarana ini oleh masyarakat masih kurang. Tujuan dari penelitian ini adalah menilai pengetahuan orang tua tentang per- kembangan bicara dan bahasa terhadap sikap per- lunya pemeriksaan gangguan pendengaran pada bayi baru lahir. BAHAN DAN CARA Penelitian ini merupakan penelitian observa- tional dengan pendekatan cross-sectional dimana peneliti menggunakan hasil kuesioner untuk menilai variabel bebas yaitu pendidikan orang tua dan varia- bel tergantung yaitu sikap/kesadaran tentang de- teksi dini gangguan pendengaran pada bayi baru lahir. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien/orang tua pasien dengan kriteria in- klusi orang tua bayi atau anak yang memeriksakan diri di klinik AMC dan pasien/ibu hamil di poli ke- bidanan, dengan kriteria eksklusi pasien yang tidak mau menandatangani persetujuan/informed con- sent. Tingkat pendidikan di kategorikan menengah (SMA, D3), Tinggi (S1) dan sangat tinggi (S2/S3). Tingkat pengetahuan dikategorikan baik jika men- jawab dengan benar lebih dari 60% pertanyaan ten- tang deteksi dini gangguan pendengaran. Analisis data menggunakan Chi-square untuk mengetahui signifikansi perbedaan antar kelompok tingkat pen- didikan sangat tinggi, tinggi, menengah dan rendah. HASIL Responden penelitian ini diambil dari orang tua yang memiliki bayi dan balita yang memeriksakan anaknya di poli Anak dan pasien kebidanan dan kan- dungan di Poli Klinik AMC Yogyakarta selama bulan Juni-Juli 2018 yang bersedia mengisi kuesioner dengan menanda tangani surat persetujuan/ informed consent. Jumlah subyek penelitian ini adalah sebanyak 55 orang, dengan data demografi dan karakteristik umum responden dapat dilihat pada Tabel 1. 14 | Vol 19 No 1 Januari 2019 Key word: Hearing Screening; Parent Education; Newborn; Speech and Language Develoment PENDAHULUAN Ketulian merupakan gangguan sensori yang paling sering terjadi pada manusia termasuk pada bayi yang baru dilahirkan. Insidensi ketulian pada bayi baru lahir 0,001% sampai 0,5% dan meningkat pada bayi dengan faktor risiko mencapai 1% - 5%.1,2 Pengamatan terhadap anak dengan gangguan pen- dengaran yang terdiagnosis dan dilakukan inter- venesi pada 6 bulan pertama kehidupan bayi akan mencegah dampak ketulian sehingga mencapai ke- mampuan bahasa, kosakata, ekspresi yang lebih baik daripada yang terdeteksi lambat.3 Amerika Seri- kat dan beberapa negara lain membuat kebijakan semua bayi baru lahir wajib dilakukan skrining pen- dengaran secara menyeluruh meskipun bayi tidak memiliki faktor risiko dan disahkan dengan Undang- Undang (Joint Committee on Infant Hearing 2007).4 Idealnya pemberian intervensi pada anak tuna rungu saat mereka berusia kurang dari 2 tahun. Se- suai dengan teori perkembangan bahasa dimana sa- at tersebut merupakan masa emas untuk perkem- bangan bicara anak. Dilaporkan oleh Moeller et al. (2000),5 dimana anak tuna rungu di negara maju pa- da usia 6 bulan setelah terdeteksi seluruh anak tuna rungu dapat masuk ke program prasekolah yang di- lakukan setiap hari dengan rata-rata umur saat masuk berusia 15 bulan. Pemeriksaan Ottoacoustic emission (OAE) sangat sederhana dan tidak infasif dengan mema- sukkan “probe” di liang telinga. Alat OAE akan memberikan stimulus suara masuk ke liang telinga dan yang dinilai adalah respon yang muncul dari koklea. Hasil pemeriksaan dinyatakan dengan krite- ria Pass (lulus) atau Refer (tidak lulus). Hasil Pass menunjukkan keadaan koklea baik, sedangkan hasil Refer artinya adanya gangguan koklea.5,6,7 Deteksi dini gangguan pendengaran masih menjadi tantangan di negara berkembang, Kumar (2015),9 melaporkan rata-rata umur (bulan) kecuri- gaan pertama, diagnosis dan intervensi anak tuna rungu adalah 19,59 bulan, 24,82 bulan dan 29,28 bulan. Keterlambatan antara kecurigaan dengan diagnosis adalah 5,23 bulan dan jeda dari diagnosis sampai intervensi 4,46 bulan.8 Sebanyak 70,48% anak tuna rungu baru dicuri- gai setelah berumur 1 tahun lebih dan hanya 1,6% terdiagnosis gangguan pendengaran di bawah 6 bulan. Dengan demikian pengetahuan terhadap per- kembangan bicara dan bahasa sangat penting bagi orang tua sehingga lebih cepat timbul kecurigaan jika kemampuan anaknya tidak sesuai.9 Program skrining ketulian universal pada bayi baru lahir yang ideal di Indonesia belum dapat dilak- sanakan karena keterbatasan alat automated brain respon (ABR) dan OAE. Selain alat tersebut hanya dimiliki oleh rumah sakit tertentu, terdapat kendala masih relatif tingginya biaya pemeriksaan, tidak semua rumah sakit mempunyai tenaga audiologist maupun dokter spesialis telinga hidung tenggorok, faktor sosial ekonomi masyarakat dan faktor ke- bijakan pemerintah. Bagian THT Klinik AMC telah menyediakan pelayanan pemeriksaan skrining pendengaran bayi baru lahir dengan alat otoacoustic emission (OAE), akan tetapi untuk pemanfaatan sarana ini oleh masyarakat masih kurang. Tujuan dari penelitian ini adalah menilai pengetahuan orang tua tentang per- kembangan bicara dan bahasa terhadap sikap per- lunya pemeriksaan gangguan pendengaran pada bayi baru lahir. BAHAN DAN CARA Penelitian ini merupakan penelitian observa- tional dengan pendekatan cross-sectional dimana peneliti menggunakan hasil kuesioner untuk menilai variabel bebas yaitu pendidikan orang tua dan varia- bel tergantung yaitu sikap/kesadaran tentang de- teksi dini gangguan pendengaran pada bayi baru lahir. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien/orang tua pasien dengan kriteria in- klusi orang tua bayi atau anak yang memeriksakan diri di klinik AMC dan pasien/ibu hamil di poli ke- bidanan, dengan kriteria eksklusi pasien yang tidak mau menandatangani persetujuan/informed con- sent. Tingkat pendidikan di kategorikan menengah (SMA, D3), Tinggi (S1) dan sangat tinggi (S2/S3). Tingkat pengetahuan dikategorikan baik jika men- jawab dengan benar lebih dari 60% pertanyaan ten- tang deteksi dini gangguan pendengaran. Analisis data menggunakan Chi-square untuk mengetahui signifikansi perbedaan antar kelompok tingkat pen- didikan sangat tinggi, tinggi, menengah dan rendah. HASIL Responden penelitian ini diambil dari orang tua yang memiliki bayi dan balita yang memeriksakan anaknya di poli Anak dan pasien kebidanan dan kan- dungan di Poli Klinik AMC Yogyakarta selama bulan Juni-Juli 2018 yang bersedia mengisi kuesioner dengan menanda tangani surat persetujuan/ informed consent. Jumlah subyek penelitian ini adalah sebanyak 55 orang, dengan data demografi dan karakteristik umum responden dapat dilihat pada Tabel 1. 14 | Vol 19 No 1 Januari 2019 Key word: Hearing Screening; Parent Education; Newborn; Speech and Language Develoment PENDAHULUAN Ketulian merupakan gangguan sensori yang paling sering terjadi pada manusia termasuk pada bayi yang baru dilahirkan. Insidensi ketulian pada bayi baru lahir 0,001% sampai 0,5% dan meningkat pada bayi dengan faktor risiko mencapai 1% - 5%.1,2 Pengamatan terhadap anak dengan gangguan pen- dengaran yang terdiagnosis dan dilakukan inter- venesi pada 6 bulan pertama kehidupan bayi akan mencegah dampak ketulian sehingga mencapai ke- mampuan bahasa, kosakata, ekspresi yang lebih baik daripada yang terdeteksi lambat.3 Amerika Seri- kat dan beberapa negara lain membuat kebijakan semua bayi baru lahir wajib dilakukan skrining pen- dengaran secara menyeluruh meskipun bayi tidak memiliki faktor risiko dan disahkan dengan Undang- Undang (Joint Committee on Infant Hearing 2007).4 Idealnya pemberian intervensi pada anak tuna rungu saat mereka berusia kurang dari 2 tahun. Se- suai dengan teori perkembangan bahasa dimana sa- at tersebut merupakan masa emas untuk perkem- bangan bicara anak. Dilaporkan oleh Moeller et al. (2000),5 dimana anak tuna rungu di negara maju pa- da usia 6 bulan setelah terdeteksi seluruh anak tuna rungu dapat masuk ke program prasekolah yang di- lakukan setiap hari dengan rata-rata umur saat masuk berusia 15 bulan. Pemeriksaan Ottoacoustic emission (OAE) sangat sederhana dan tidak infasif dengan mema- sukkan “probe” di liang telinga. Alat OAE akan memberikan stimulus suara masuk ke liang telinga dan yang dinilai adalah respon yang muncul dari koklea. Hasil pemeriksaan dinyatakan dengan krite- ria Pass (lulus) atau Refer (tidak lulus). Hasil Pass menunjukkan keadaan koklea baik, sedangkan hasil Refer artinya adanya gangguan koklea.5,6,7 Deteksi dini gangguan pendengaran masih menjadi tantangan di negara berkembang, Kumar (2015),9 melaporkan rata-rata umur (bulan) kecuri- gaan pertama, diagnosis dan intervensi anak tuna rungu adalah 19,59 bulan, 24,82 bulan dan 29,28 bulan. Keterlambatan antara kecurigaan dengan diagnosis adalah 5,23 bulan dan jeda dari diagnosis sampai intervensi 4,46 bulan.8 Sebanyak 70,48% anak tuna rungu baru dicuri- gai setelah berumur 1 tahun lebih dan hanya 1,6% terdiagnosis gangguan pendengaran di bawah 6 bulan. Dengan demikian pengetahuan terhadap per- kembangan bicara dan bahasa sangat penting bagi orang tua sehingga lebih cepat timbul kecurigaan jika kemampuan anaknya tidak sesuai.9 Program skrining ketulian universal pada bayi baru lahir yang ideal di Indonesia belum dapat dilak- sanakan karena keterbatasan alat automated brain respon (ABR) dan OAE. Selain alat tersebut hanya dimiliki oleh rumah sakit tertentu, terdapat kendala masih relatif tingginya biaya pemeriksaan, tidak semua rumah sakit mempunyai tenaga audiologist maupun dokter spesialis telinga hidung tenggorok, faktor sosial ekonomi masyarakat dan faktor ke- bijakan pemerintah. Bagian THT Klinik AMC telah menyediakan pelayanan pemeriksaan skrining pendengaran bayi baru lahir dengan alat otoacoustic emission (OAE), akan tetapi untuk pemanfaatan sarana ini oleh masyarakat masih kurang. Tujuan dari penelitian ini adalah menilai pengetahuan orang tua tentang per- kembangan bicara dan bahasa terhadap sikap per- lunya pemeriksaan gangguan pendengaran pada bayi baru lahir. BAHAN DAN CARA Penelitian ini merupakan penelitian observa- tional dengan pendekatan cross-sectional dimana peneliti menggunakan hasil kuesioner untuk menilai variabel bebas yaitu pendidikan orang tua dan varia- bel tergantung yaitu sikap/kesadaran tentang de- teksi dini gangguan pendengaran pada bayi baru lahir. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien/orang tua pasien dengan kriteria in- klusi orang tua bayi atau anak yang memeriksakan diri di klinik AMC dan pasien/ibu hamil di poli ke- bidanan, dengan kriteria eksklusi pasien yang tidak mau menandatangani persetujuan/informed con- sent. Tingkat pendidikan di kategorikan menengah (SMA, D3), Tinggi (S1) dan sangat tinggi (S2/S3). Tingkat pengetahuan dikategorikan baik jika men- jawab dengan benar lebih dari 60% pertanyaan ten- tang deteksi dini gangguan pendengaran. Analisis data menggunakan Chi-square untuk mengetahui signifikansi perbedaan antar kelompok tingkat pen- didikan sangat tinggi, tinggi, menengah dan rendah. HASIL Responden penelitian ini diambil dari orang tua yang memiliki bayi dan balita yang memeriksakan anaknya di poli Anak dan pasien kebidanan dan kan- dungan di Poli Klinik AMC Yogyakarta selama bulan Juni-Juli 2018 yang bersedia mengisi kuesioner dengan menanda tangani surat persetujuan/ informed consent. Jumlah subyek penelitian ini adalah sebanyak 55 orang, dengan data demografi dan karakteristik umum responden dapat dilihat pada Tabel 1. | 15 | 15 Berdasarkan Tabel 1. dapat dilihat distribusi usia responden terbesar adalah kelompok usia 20- 30 tahun yaitu sebanyak 38 orang (69,1%) yaitu ibu- ibu masa reproduksi, sedangkan 1,8 % usia di bawah 20 tahun dan 29,1% usia di atas 30 tahun. Tingkat pendidikan ibu yang paling banyak adalah pendidik- an tinggi (D3 dan S1) sebanyak 42 orang (76,3%), jumlah anak yang dimiliki ibu paling besar adalah 2 anak, yaitu sebanyak 33 orang (45,8%) dan jumlah balita yang dimiliki ibu paling besar frekuensinya adalah 0 anak, yaitu sebanyak 23 orang (41,8%). Hasil kuesioner pengetahuan tentang perkem- bangan bicara dan bahasa dan sikap terhadap de- teksi dini gangguan pendengaran dikategorikan baik jika jawaban benar lebih dari 75% dan kurang jika kurang dari 75%, sebagaimana terlihat pada Tabel 2. Pada Tabel 2. dapat diketahui bahwa sebanyak 38 orang (69,1%) mempunyai pengetahuan tentang perkembangan bicara dan bahasa dengan kategori baik, dan 38 orang (69,1%) mempunyai kesadaran terhadap perlunya deteksi dini gangguan pen- dengaran pada bayi baru lahir. Kesadaran orang tua terhadap deteksi gangguan pendengaran pada bayi baru lahir dihubungkan dengan faktor-faktor karak- teristik seperti pendidikan, usia, jumlah anak, dan tingkat pengetahuannya, didapatkan hasil penguji- an uji statistiknya pada Tabel 3. Tabel 3. menunjukkan bahwa secara keseluruh- an tidak ada perbedaan kesadaran deteksi ganggu- an pendengaran atas faktor usia, pendidikan, jum- lah anak dan tingkat pengetahuan terhadap per- kembangan bicara dan bahasa secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p > 0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat pendi- dikan orang tua tidak berpengaruh pada sikap positif/tertarik pada program deteksi dini pemerik- saan pendengaran. Tabel 1. Karakteristik Subyek Penelitian Orang Tua Pasien Klinik AMC Karakteristik Subyek Frekuensi Persentase (%) Usia < 20 tahun 1 1,8 20-30 tahun 38 69,1 31-40 tahun 16 29,1 Pendidikan Menengah (SMA) 7 12,7 Tinggi D3-S1 42 76,3 Sangat Tinggi S2-S3 6 10,9 Jumlah anak 0 23 41,8 1 22 40 2 7 12,7 3 3 5,5 Tabel 2. Hasil Skor Pengetahuan Orang Tua terhadap Perkembangan Bicara dan Bahasa Anak dan Kesadaran tentang Deteksi Dini Hasil Frekuensi Persentase (%) Pengetahuan orang tua Baik 38 69,1% Kurang 17 30,9% Kesadaran Deteksi Baik 38 69,1% Kurang 17 30,9% Tabel 3. Tingkat Kemaknaan Uji Chi-square Kesadaran Deteksi Gangguan Pen- dengaran pada Bayi Baru Lahir Menurut Karakteristik Responden Kesadaran Deteksi X2 p Baik Kurang Usia 2,181 0,336 < 20 tahun 1 0 20-30 tahun 24 14 31-40 tahun 13 3 Pendidikan Menengah (SMA) 6 1 Tinggi D3-S1 27 15 2,833 0,418 Sangat Tinggi S2-S3 5 1 Jumlah anak 0 13 10 1 17 5 3,305 0,347 2 6 1 3 2 1 Pengetahuan Baik 28 10 1,215 0,270 Kurang 10 7 DISKUSI Hasil uji statistik pengaruh tingkat pendidikan orang tua terhadap kesadaran/sikap tentang detek- si dini gangguan pendengaran pada bayi baru lahir tidak bermakna. Salah satu penyebabnya adalah angka prevalensi gangguan pendengaran yang ren- dah sehingga belum banyak dikenal oleh masyara- kat umum. Hasil penelitian Moeller et al. (2006),5 pa- da dokter umum juga melaporkan adanya beberapa pendapat yang menyatakan deteksi gangguan pen- dengaran bahkan membuat kecemasan pada orang tua. Hasil survei yang dilakukan pada orang tua pa- sien di poliklinik anak dan pasien ibu hamil di polik- linik Kebidanan AMC Yogyakarta menunjukkan kesa- daran perlunya deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi baru lahir yang baik pada 38 (69,1%) res- ponden, hanya 6 (11%) yang merasa kurang perlu jika bayi mereka normal tanpa faktor risiko. Hasil peneli- tian ini lebih rendah dibandingkan dengan peneliti- 14 | Vol 19 No 1 Januari 2019 Key word: Hearing Screening; Parent Education; Newborn; Speech and Language Develoment PENDAHULUAN Ketulian merupakan gangguan sensori yang paling sering terjadi pada manusia termasuk pada bayi yang baru dilahirkan. Insidensi ketulian pada bayi baru lahir 0,001% sampai 0,5% dan meningkat pada bayi dengan faktor risiko mencapai 1% - 5%.1,2 Pengamatan terhadap anak dengan gangguan pen- dengaran yang terdiagnosis dan dilakukan inter- venesi pada 6 bulan pertama kehidupan bayi akan mencegah dampak ketulian sehingga mencapai ke- mampuan bahasa, kosakata, ekspresi yang lebih baik daripada yang terdeteksi lambat.3 Amerika Seri- kat dan beberapa negara lain membuat kebijakan semua bayi baru lahir wajib dilakukan skrining pen- dengaran secara menyeluruh meskipun bayi tidak memiliki faktor risiko dan disahkan dengan Undang- Undang (Joint Committee on Infant Hearing 2007).4 Idealnya pemberian intervensi pada anak tuna rungu saat mereka berusia kurang dari 2 tahun. Se- suai dengan teori perkembangan bahasa dimana sa- at tersebut merupakan masa emas untuk perkem- bangan bicara anak. Dilaporkan oleh Moeller et al. (2000),5 dimana anak tuna rungu di negara maju pa- da usia 6 bulan setelah terdeteksi seluruh anak tuna rungu dapat masuk ke program prasekolah yang di- lakukan setiap hari dengan rata-rata umur saat masuk berusia 15 bulan. Pemeriksaan Ottoacoustic emission (OAE) sangat sederhana dan tidak infasif dengan mema- sukkan “probe” di liang telinga. Alat OAE akan memberikan stimulus suara masuk ke liang telinga dan yang dinilai adalah respon yang muncul dari koklea. Hasil pemeriksaan dinyatakan dengan krite- ria Pass (lulus) atau Refer (tidak lulus). Hasil Pass menunjukkan keadaan koklea baik, sedangkan hasil Refer artinya adanya gangguan koklea.5,6,7 Deteksi dini gangguan pendengaran masih menjadi tantangan di negara berkembang, Kumar (2015),9 melaporkan rata-rata umur (bulan) kecuri- gaan pertama, diagnosis dan intervensi anak tuna rungu adalah 19,59 bulan, 24,82 bulan dan 29,28 bulan. Keterlambatan antara kecurigaan dengan diagnosis adalah 5,23 bulan dan jeda dari diagnosis sampai intervensi 4,46 bulan.8 Sebanyak 70,48% anak tuna rungu baru dicuri- gai setelah berumur 1 tahun lebih dan hanya 1,6% terdiagnosis gangguan pendengaran di bawah 6 bulan. Dengan demikian pengetahuan terhadap per- kembangan bicara dan bahasa sangat penting bagi orang tua sehingga lebih cepat timbul kecurigaan jika kemampuan anaknya tidak sesuai.9 Program skrining ketulian universal pada bayi baru lahir yang ideal di Indonesia belum dapat dilak- sanakan karena keterbatasan alat automated brain respon (ABR) dan OAE. Selain alat tersebut hanya dimiliki oleh rumah sakit tertentu, terdapat kendala masih relatif tingginya biaya pemeriksaan, tidak semua rumah sakit mempunyai tenaga audiologist maupun dokter spesialis telinga hidung tenggorok, faktor sosial ekonomi masyarakat dan faktor ke- bijakan pemerintah. Bagian THT Klinik AMC telah menyediakan pelayanan pemeriksaan skrining pendengaran bayi baru lahir dengan alat otoacoustic emission (OAE), akan tetapi untuk pemanfaatan sarana ini oleh masyarakat masih kurang. Tujuan dari penelitian ini adalah menilai pengetahuan orang tua tentang per- kembangan bicara dan bahasa terhadap sikap per- lunya pemeriksaan gangguan pendengaran pada bayi baru lahir. BAHAN DAN CARA Penelitian ini merupakan penelitian observa- tional dengan pendekatan cross-sectional dimana peneliti menggunakan hasil kuesioner untuk menilai variabel bebas yaitu pendidikan orang tua dan varia- bel tergantung yaitu sikap/kesadaran tentang de- teksi dini gangguan pendengaran pada bayi baru lahir. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien/orang tua pasien dengan kriteria in- klusi orang tua bayi atau anak yang memeriksakan diri di klinik AMC dan pasien/ibu hamil di poli ke- bidanan, dengan kriteria eksklusi pasien yang tidak mau menandatangani persetujuan/informed con- sent. Tingkat pendidikan di kategorikan menengah (SMA, D3), Tinggi (S1) dan sangat tinggi (S2/S3). Tingkat pengetahuan dikategorikan baik jika men- jawab dengan benar lebih dari 60% pertanyaan ten- tang deteksi dini gangguan pendengaran. Analisis data menggunakan Chi-square untuk mengetahui signifikansi perbedaan antar kelompok tingkat pen- didikan sangat tinggi, tinggi, menengah dan rendah. HASIL Responden penelitian ini diambil dari orang tua yang memiliki bayi dan balita yang memeriksakan anaknya di poli Anak dan pasien kebidanan dan kan- dungan di Poli Klinik AMC Yogyakarta selama bulan Juni-Juli 2018 yang bersedia mengisi kuesioner dengan menanda tangani surat persetujuan/ informed consent. Jumlah subyek penelitian ini adalah sebanyak 55 orang, dengan data demografi dan karakteristik umum responden dapat dilihat pada Tabel 1. 16 | 16 | Vol 19 No 1 Januari 2019 an lain tentang kesadaran deteksi dini dengan mengadakan survei melalui email terhadap dokter yang pada pelayanan primer didapatkan kesadaran pentingnya deteksi gangguan pendengaran pada bayi baru lahir sebesar 81,6%, dengan sisanya mera- sa belum yakin.5 Hasil penelitian ini mendekati kesamaan dengan survei yang dilakukan oleh Mazlan (2018),10 yang melaporkan kesadaran terhadap program deteksi gangguan pendengaran pada bayi baru lahir pada tenaga medis yang bekerja di rumah sakit se- besar 70%, angka kepedulian tertinggi pada profesi dokter spesialis THT, diikuti dokter spesialis anak, dan menurut pendapat perawat di bagian NICU jus- tru pemeriksaan skrining gangguan pendengaran pada abyi baru lahir menimbulkan kecemasan pada orang tua bayi. Pengetahuan yang baik tentang perkembang- an bicara dan bahasa didapatkan pada 38 (69,1%) responden. Hal ini dinilai masih rendah sehingga perlu upaya untuk memberikan pengetahuan se- hingga terjadi perbaikan perilaku positif. Tingkat pendidikan tinggi pada 76,3% responden ternyata ti- dak berkorelasi dengan pengetahuan dan kesadar- an deteksi dini. Seharusnya semakin seseorang ber- pendidikan tinggi akan memiliki pengetahuan yang lebih luas dan semakin mudah menerima hal-hal ba- ru dan mudah belajar hal yang baru, tetapi ada ke- cenderungan seseorang tidak menguasai semua bidang, misalnya tenaga kesehatan lebih cepat men- dapatkan pengetahuan sesuai bidangnya.10 Penelitian Mazlan (2018),10 menyebutkan bah- wa responden dokter spesialis THT dengan skor pengetahuan tentang skrining pendengaran terting- gi (74,9%) merupakan dokter yang memiliki dukung- an tertinggi terhadap program skrining di rumah sakit tempat bekerja, sedangkan profesi lain yaitu dokter spesialis anak dan perawat NICU memiliki rata-rata skor pengetahuan di bawahnya. Hal ini me- nunjukkan bahwa pada tenaga medispun pengeta- huan tentang dekteksi dini masih perlu ditingkat- kan, terutama mengenai kapan perlu dilakukan skrining, bagaimana jika hasil skrining “refer”, bagaimana evaluasi selanjutnya, apa pemeriksaan yang dibutuhkan, bagaimana intervensi yang tepat pada diagnosis gangguan pendengaran dan tim medis yang perlu bekerjasama dalam intervensi dini anak dengan gangguan pendengaran. SIMPULAN Pendidikan orang tua tidak berpengaruh pada sikap/kesadaran tentang deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi baru lahir. DAFTAR PUSTAKA 1. Kanne JT, Schaefer L, Perkins JA. Potential Pitfalls of Initiating A Newborn Hearing Screening Program. Arch Otolaryngol Head Neck Surg, 1999; 125 (1): 28-32. 2. Olusanya BO, Neonatal Hearing Screening and Intervention in Resource Limited Settings: An Overview. Arch Dis Child, 2012; 97 (7): 654-9. 3. Pimperton H, Kennedy CR. The Impact of Early Identification of Permanent Childhood Hearing Impairment on Speech and Language Outcomes. Arch Dis Child, 2012; 97 (7); 648-653. 4. Joint Committee on Infant Hearing. Year 2007 Position Statement: Principles and Guidelines for Early Hearing Detection and Interventions Programs. Pediatrics, 2007; 120 (4): 898-921. 5. Moeller MP, White KR, Shisler L. Primary Care Physicians' Knowledge, Attitudes, and Practices Related to Newborn Hearing Screening. Pediatrics, 2006; 118 (4): 1357-1370. 6. Goedert MH, Moeller MP, White KR. Midwives’ Knowledge, Attitude, and Practice Related to Newborn Hearing Screening. J Midwifery Womens Health, 2011; 56 (2): 147-153. 7. Paludetti G, Ottaviani F, Fetoni AR, Zuppa AA, Tortorolo G. Transient Evoked Otoacustic Emissions (TEOAEs) in Newborns: Normative Data. Int J Pediatr Otorhinolaryngol, 1999; 47 (3): 235-241. 8. Shulman S, Besculides M, Saltzman A, Ireys H, White KR, Forsman I. Evaluation of the Universal Newborn Hearing Screening and Intervention Program. Pediatrics, 2010; 126 (Suppl1): S19–27. 9. Kumar S, Kolethekkat AA, Kurien M. Challenges in the Detection and Intervention of Childhood Deafness: Experience from A Developing Country. IJBR, 2015; (6) 01: 40-45 10. Mazlan R & Min WS. Knowledge and Attitude of Malaysian Healthcare Professionals toward Newborn Hearing Screening Program. Malaysian J Public Health Med, 2018; Special Volume (1): 62-68