Perbandingan Efikasi Obat Nyamuk Bakar dengan Zat Aktif Metofluthrin dan D-D-Allethrin terhadap Culex quinquefasciatus The Comparison of Efficacy Mosquito Coil Containing Metofluthrin Active Substance and D-D-Allethrin to Culex quinquefasciatus Hodijah1, Tri Wulandari Kesetyaningsih2* 1 Fakultas Kedokteran, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 2 Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta *Email: tri_wulandari@umy.ac.id Abstrak Penyakit yang ditularkan melalui nyamuk masih banyak di Indonesia, termasuk filariasis dan encephalitis yang ditularkan oleh Culex quinquefasciatus. Upaya pencegahan infeksi dari penyakit tersebut di masyarakat antara lain dengan menggunakan obat nyamuk bakar. Kandungan bahan aktif obat nyamuk bakar umumnya adalah kelompok piretroid sintetik antara lain metofluthrin dan d-allethrin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas obat nyamuk bakar berbahan aktif metofluthrin dan d-allethrin dengan parameter LT50 dan LT90. Subyek penelitian nyamuk Culex quinquefasciatus diperoleh dari alam. Metode penelitian adalah eksperimental laboratorium. Nyamuk dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok dengan pemaparan obat nyamuk bakar metofluthrin (perlakuan 1), kelompok dengan pemaparan obat nyamuk bakar d-allethrin (perlakuan 2) dan kelompok tanpa pemaparan (kontrol) dengan replikasi sebanyak 3 kali. Hasil pengamatan berupa persentase rata-rata nyamuk uji yang jatuh dianalisis probit berdasarkan jumlah knockdown nyamuk pada tiap 5 menit selama 50 menit pemaparan. Hasil analisis menunjukkan LT50 selama 20 menit (metofluthrin) dan 17 menit (d-allethrin) serta LT 90 selama 37 menit (metofluthrin) dan 31 menit (d-allethrin). Obat nyamuk bakar dengan zat aktif d-d-allethrin pada penelitian ini menunjukkan LT50 dan LT 90 yang lebih singkat dibandingkan metofluthrin. Kata kunci: efikasi metoflutrin, d-allethrin, knockdown, Culex quinquefasciatus Abstract The mosquito borne diseases are still amount in Indonesia such as filariasis and encephalitis that spread by Culex quinquefasciatus. The most frequent prevention to avoid infection is to use mosquito coils because they can be purchased easily. The common active substance in mosquito coil is synthetic pyrethroid. There are many kinds of synthetic pyrethroid. Some of them are metofluthrin, d-allethrin, transfluthrin, etc. The objectives of research are to know the effectiveness of mosquito coil containing synthetic pyrethroid active substance (metofluthrin and d-allethrin) and compare them with LT50 and LT90 as the parameter. The research uses a laboratorium experimental method. The subject is Culex quinquefasciatus which divided into three groups. Two treatment groups (group I exposure by mosquito coil containing metofluthrin active substance and group II exposure by d-allethrin), and one control group without exposure. Each group is done three times. The result is average percentage of knockdown mosquito every 5 minutes until 50 minutes exposurement that analyzed by probit analysis. The probit analysis result shows LT50 and LT90 of metofluthrin mosquito coil are 20 and 37 minutes. LT50 and LT90 of d-allethrin mosquito coil are 17 and 31 minutes. It means that d-allethrin mosquito coil has LT50 and LT90 shorter than metofluthrin one. Keywords: efficacy metofluthrin, d-allethrin, knockdown, Culex quinquefasciatus PENDAHULUAN Keadaan geografis Indonesia dengan ragam klimatologis, biogeografis, demografis dan faktor lingkungan alam umumnya sangat cocok untuk keberlangsungan daur hidup dan survival banyak spesies nyamuk dengan variasi spesies dan bionomik.1 Nyamuk adalah golongan insekta dari Ordo Diptera yang memiliki reputasi buruk.2 Nyamuk merupakan salah satu jenis serangga penghisap darah yang penting dalam bidang kedokteran. Jumlah spesies nyamuk sangat banyak dan selalu menimbulkan gangguan pada manusia atau hewan melalui gigitannya baik sepanjang hari atau malam hari.3 Penyakit-penyakit yang disebarkan oleh nyamuk di Indonesia antara lain malaria, demam berdarah, chikungunya, yellow fever, filariasis limfatik (kaki gajah) dan japanese encephalitis (radang otak jepang).1 Culex quinquefasciatus adalah salah satu nyamuk yang penting dalam bidang kedokteran karena berperan sebagai vektor penyakit filarisis.4 Walaupun filrariasis tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius, namun dampak psikososialnya lebih dirasakan oleh penderita, karena penderita filariasis sangat mungkin akan menyandang cacat selama hayatnya.5 Upaya pemerintah dalam pencegahan dan pemberantasan filariasis adalah dengan memutuskan rantai penularan serta memberikan pelayanan berupa pengobatan dan perawatan penderita untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder dan menekan frekuensi serangan akut.6 Pemutusan rantai penularan dapat dilakukan antara lain dengan menghindari atau mengurangi kontak dan gigitan nyamuk C. quinquefasciatus, membunuh nyamuk dewasa, membunuh larva, mengurangi atau menghilangkan tempat perindukan dan mengobati penderita.7 Encephalitis juga merupakan penyakit yang dapat disebarkan oleh nyamuk C. quinquefasciatus. Penyakit ini biasa menyerang anak-anak usia 5-9 tahun. Upaya pencegahan dan pengendalian dapat dilakukan dengan melakukan sosialisasi/penyuluhan kepada masyarakat dalam rangka pemutusan rantai penularan (antara virus, vektor nyamuk dan reservoir) termasuk merelokasi peternakan terutama babi ke wilayah yang tidak padat penduduk.8 Teknologi untuk mengendalikan nyamuk sangat sulit dilakukan.1 Banyak cara dikembangkan untuk menekan populasi C. quinquefasciatus seperti pemberantasan sarang nyamuk, mengeringkan genangan air serta penggunaan insektisida, sedangkan usaha untuk mengurangi kontak antara lain memakai pakaian yang memadai, memasang kawat kasa pada ventilasi rumah, menggunakan kelambu, memakai zat penolak repellen dan obat nyamuk.2 Oleh karena itu kebijakan pemerintah perlu disosialisasikan kepada masyarakat supaya masyarakat mempunyai kemampuan untuk menghindari gigitan nyamuk.1 Upaya pemberantasan vektor penular dilaksanakan dengan cara menggunakan insektisida.9 Insektisida adalah bahan kimia yang bersifat toksik dan mematikan insekta. Insektisida dapat terbuat dari bahan sintetis, bahan tumbuhan seperti fitotoksin dari bahan toksin mikroba seperti dari bakteri Thuringiensis var israelensis. Insektisida dari bahan sintesis disebut insektisida kimiawi, insektisida nabati berasal dari tumbuhan dan insektisida hayati berasal dari bahan mikroorganisme hidup seperti toksin mikroba.10 Insektisida kelompok sintetik piretroid banyak digunakan sebagai bahan aktif insektisida rumah tangga, karena toksisitasnya terhadap serangga cukup tinggi dan relatif tidak berbahaya bagi manusia.11 Di masyarakat, upaya untuk memberantas nyamuk antara lain menggunakan insektisida rumah tangga cair semprot (aerosol), obat nyamuk bakar dan elektrik. Jenis-jenis insektisida tersebut banyak dijual di toko, pasar maupun pasar swalayan. Jenis, kemasan dan berat bersih yang dipasarkan sangat bervariasi. Kandungan bahan aktif pada umumnya adalah kelompok sintetik piretroid seperti d-allethrin, prolethrin, d-fenothrin, bio-allethrin, metofluthrin, esbiothrin dan transfluthrin.11 Metofluthrin termasuk dalam kelompok agen knockdown, namun memiliki karakteristik unik yang tidak dimiliki oleh piretroid konvensional. Karakteristik unik yang paling penting dari metofluthrin adalah tekanan uapnya yang tinggi. Tekanan uap metoflutrin adalah > 2 kali dan > 100 kali daripada d-d-allethrin dan permethrin berturut-turut dan menguap pada suhu kamar tanpa pemanasan, sementara piretroid konvensional lainnya memerlukan pemanasan untuk penguapan. Karakteristik unik lainnya adalah kemanjurannya yang tinggi terhadap nyamuk yang 28-79 kali lebih efektif daripada d-allethrin. 12 Berdasarkan uraian di atas maka dapat diajukan permasalahan apakah ada perbedaan efektivitas antara obat nyamuk bakar berbahan aktif piretroid sintetik metofluthrin dan d-allethrin yang beredar di pasaran terhadap nyamuk dewasa C. quinquefasciatus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas obat nyamuk bakar berbahan aktif piretroid sintetik dengan parameter LT50 dan LT90. serta membandingkan LT50 dan LT90 antara obat nyamuk bakar berbahan aktif metofluthrin dan d-allethrin. Beberapa manfaat yang diharapkan dengan penelitian ini antara lain: penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya bidang Entomologi Kedokteran dalam kaitannya dengan usaha pemberantasan vektor penyakit, mengetahui tingkat efektivitas obat nyamuk bakar berbahan aktif metofluthrin dan d-allethrin terhadap nyamuk dewasa C. quinquefasciatus dan digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan pada pemilihan obat nyamuk bakar yang akan digunakan. BAHAN DAN CARA Penelitian ini merupakan uji eksperimental laboratorium. Penelitian menggunakan nyamuk yang akan dibagi menjadi 3 kelompok yaitu: —Xo — O5-10-15-20-25-30-35-40-45 → O50 R——–—X1 — O5-10-15-20-25-30-35-40-45 → O50 —X2 — O5-10-15-20-25-30-35-40-45 → O50 Keterangan: R : pengambilan sampel secara acak Xo : kelompok kontrol X1 : kelompok perlakuan 1 dengan pemaparan obat nyamuk bakar berbahan aktif metofluthrin selama 50 menit terhadap nyamuk C. quinquefasciatus X2 : kelompok perlakuan 2 dengan pemaparan obat nyamuk bakar berbahan aktif d-allethrin selama 50 menit terhadap nyamuk C. quinquefasciatus O5-10-15-20-25-30-35-40-45 : observasi dilakukan setiap 5 menit O50 : observasi dihentikan pada setelah 50 menit Variabel-variabel dalam penelitian yaitu: variabel bebas adalah obat nyamuk bakar berbahan aktif metofluthrin dan Obat nyamuk bakar berbahan aktif d-d-allethrin. Variabel tergantung adalah LT50 dan LT90 nyamuk C. quinquefasciatus. Variabel tak terkendali adalah variasi biologis nyamuk, variasi genetik nyamuk, suhu kotak kaca, kelembaban kotak kaca. Definisi operasional variabel-variabel yaitu: obat nyamuk bakar berbahan aktif metofluthrin 0,005% yang diperoleh di pasaran[footnoteRef:1]. Obat nyamuk bakar berbahan aktif d-allethrin 0,30% adalah yang juga diperoleh di pasaran[footnoteRef:2]. LT50 nyamuk adalah waktu pemaparan yang diperlukan untuk membuat jatuh (knockdown) 50% nyamuk uji. LT90 nyamuk adalah waktu pemaparan yang diperlukan untuk membuat jatuh (knockdown) 90% nyamuk uji. Variasi biologis nyamuk adalah sifat biologis nyamuk antara lain ukuran, umur dan jenis kelamin. Variasi genetik nyamuk adalah sifat bawaan/genotip nyamuk. Suhu kotak kaca adalah derajat celcius dari kondisi udara di dalam kotak kaca. Kelembaban kotak kaca adalah kandungan air yang ada di udara dalam kotak kaca. [1: Obat nyamuk bakar bermerek Tiga Roda produksi PT Perkasa Mostindo Utama] [2: Obat nyamuk bakar bermerek Domestos Nomos produksi PT technopia Jakarta] Alat dan bahan. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah: sangkar nyamuk, kotak kaca berukuran 100 x 100 x 100 cm3, pencatat waktu, aspirator, kotak penyangga sangkar nyamuk, kipas angin. Adapun bahan yang digunakan adalah obat nyamuk bakar dan 60 ekor nyamuk C. quinquefasciatus. Tahap pendahuluan. Tahap pendahuluan dilakukan untuk menentukan lama pemaparan obat nyamuk bakar dan periode waktu pengamatan. Tahap pendahuluan dilakukan dengan cara memasukkan 20 ekor nyamuk ke dalam sangkar kemudian sangkar dimasukkan ke dalam kotak kaca dengan tujuan mempermudah pengamatan. Pada uji pendahuluan nyamuk uji dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan tanpa ulangan. Pengamatan dihentikan setelah seluruh nyamuk jatuh. Seluruh nyamuk uji jatuh setelah 50 menit pemaparan sehingga pada penelitian didapat waktu pemaparan selama 50 menit. Interval pengamatan 5 menit diperoleh dengan perhitungan waktu dimana terjadi peningkatan jumlah nyamuk jatuh. Pada tiap pergantian obat nyamuk, kotak kaca dibuka selama 30 menit dan menunjukkan bahwa obat nyamuk sebelumnya sudah tidak ada di dalam kotak kaca karena pada perlakuan dengan obat nyamuk bakar selanjutnya tidak ada nyamuk yang jatuh. Jalannya penelitian. Kotak kaca dibuka dan dipaparkan kipas angin selama 30 menit untuk mengeluarkan udara sisa obat nyamuk sebelumnya. Dua puluh ekor nyamuk dipersiapkan di dalam sangkar kemudian dimasukkan ke dalam kotak kaca. Pemindahan nyamuk dari sangkar stok ke sangkar perlakuan dilakukan dengan menggunakan aspirator. Langkah berikutnya yaitu membakar obat nyamuk yang akan diteliti dan didiamkan hingga bara stabil lalu dimasukkan ke dalam kotak kaca. Kotak kaca ditutup rapat segera setelah obat nyamuk bakar diletakkan dengan tujuan asap tidak ada yang keluar. Pengamatan dan analisis data. Jumlah nyamuk jatuh dihitung setiap 5 menit. Percobaan dilakukan selama 50 menit pada tiap kelompok. Percobaan diulang 3 kali setelah seluruh obat nyamuk bakar diteliti. Hasilnya dicatat dan kemudian dihitung reratanya dan dianalisis menggunakan analisis probit. HASIL Hasil penelitian pada kelompok kontrol, perlakuan 1 dan perlakuan 2 dapat diperlihatkan pada Tabel 1. Kelompok perlakuan 1 adalah kelompok nyamuk C. quinquefasciatus yang mendapat paparan obat nyamuk bakar dengan zat aktif metofluthrin. Kelompok perlakuan 2 adalah kelompok nyamuk C. quinquefasciatus yang mendapat paparan obat nyamuk bakar dengan zat aktif d-allethrin dan kelompok kontrol adalah kelompok nyamuk C. quinquefasciatus tanpa diberi paparan obat nyamuk bakar. Kontrol yang dipakai berupa kontrol negatif. Jumlah nyamuk uji yang jatuh pada kelompok perlakuan dihitung dengan persentase rata-rata nyamuk yang jatuh pada ketiga replikasi. Hasil pengamatan berupa jumlah nyamuk uji yang jatuh (knockdown) tiap 5 menit pemaparan obat nyamuk bakar yang dihitung dalam bentuk persentase rata-rata dari ketiga replikasi sebagaimana terlihat pada Tabel 1. Comment by Editor: Tidak ada tabel sudah dikoreksi Tabel 1. Rata-rata Kematian Nyamuk Culex quinquefasciatus pada Kelompok Penelitian setelah Pemaparan dengan Obat Nyamuk Bakar Mengandung Metofluthrin (P1), Allethrin (P2), dan Tanpa Perlakuan (K) Lama Pemaparan Kelompok Kontrol Kelompok Perlakuan 1 Kelompok Perlakuan 2 SD Nyamuk KD (%) SD Nyamuk KD (%) SD Nyamuk KD (%) 5 menit 0 0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 10 menit 0 0 0,00 1,67 1,53 8,35 1,67 0,58 8,35 15 menit 0 0 0,00 5,67 3,22 28,35 8,33 1,53 41,65 20 menit 0 0 0 11,00 1,00 55,00 12,67 2,08 63,35 25 menit 0 0 0 13,67 0,57 68,35 15,67 0,58 78,35 30 menit 0 0 0 15,33 1,53 76,65 17,00 1,00 85,00 35 menit 0 0 0 18,00 2,00 90,00 18,67 0,71 93,35 40 menit 0 0 0 18,00 2,00 90,00 19,33 0,58 96,65 45 menit 0 0 0 19,00 1,00 95,00 20,00 0,00 100 50 menit 0 0 0 19,67 0,58 98,35 20,00 0,00 100 Pada Gambar 1. terlihat bahwa persentase knockdown C. quinquefasciatus pada kelompok kontrol sama dengan garis X yang menunjukkan tidak ada nyamuk yang jatuh. Pemaparan dengan obat nyamuk bakar dengan zat aktif d-allethrin terlihat pada Gambar 1. memiliki persentase knockdown nyamuk lebih besar dengan grafik berada di atas grafik kelompok perlakuan dengan pemaparan obat nyamuk bakar dengan zat aktif metofluthrin. Penambahan waktu pemaparan menunjukkan nyamuk yang jatuh bertambah. Knockdown nyamuk setelah pemaparan 5 menit sebesar 0% menunjukkan kedua obat nyamuk bakar belum berpengaruh pada nyamuk C. quinquefasciatus pada menit ke 5. Comment by Editor: Tidak ada di hasil sudah dikoreksi Gambar 1. Grafik Persentase Knockdown Nyamuk C. quinquefasciatus setelah Pemaparan Obat Nyamuk Bakar Selama 50 Menit pada Ketiga Kelompok Penelitian (P1, P2, K) Pada pemaparan obat nyamuk bakar dengan zat aktif metofluthrin maupun d-allethrin didapatkan nilai X2 hitung (2,168 untuk metofluthrin dan 1,59 untuk d-allethrin) < X2 tabel (14,1 untuk metofluthrin dan 11,1 untuk d-allethrin). Jadi respon nyamuk C. quinquefasciatus terhadap kedua obat nyamuk bakar bersifat homogen yaitu garis regresi yang didapatkan secara bermakna menunjukkan efektivitas kedua obat nyamuk bakar. Persamaan garis regresi probit untuk respon terhadap obat nyamuk bakar dengan zat aktif metofluthrin Y = -1,07916 + 4,701605X (Gambar 2). Pada pemaparan dengan obat nyamuk bakar dengan zat aktif d-allethrin, persamaan garis regresi probitnya adalah Y = -1,309601 + 5,079198X (Gambar 2). Kedua persamaan tersebut menghasilkan grafik yang menunjukkan adanya penambahan jumlah nyamuk yang jatuh pada penambahan waktu pemaparan. Jumlah nyamuk yang jatuh pada pemaparan dengan obat nyamuk d-allethrin mempunyai penambahan yang lebih pada tiap penambahan waktu dibandingan obat nyamuk bakar metofluthrin. Perbandingan efektifitas kedua obat nyamuk bakar tidak menunjukkan perbedaan yang bermakana sebagaimana terlihat pada Gambar 2. dimana Grafik A (metofluthrin) dan B (d-allethrin) saling berhimpit. Garis regresi probit dibuat dengan menghubungkan persentase mortalitas nyamuk uji atau probit Y dari perhitungan persamaan dengan waktu pemaparan sebagai absis pada kertas grafik log-probit. Gambar 2. merupakan perbandingan efektivitas kedua obat nyamuk bakar berdasarkan lethal time (LT). Obat nyamuk bakar dengan zat aktif metofluthrin dengan analisis probit diperoleh LT50 dan LT90 terhadap nyamuk C. quinquefasciatus. LT50 = 19,6335 dengan kisaran batas bawah 18,261 dan batas atas 21,1091 dan LT90 = 36,7802 dengan kisaran batas bawah 33,5519 dan batas atas 40,319. LT50 dan LT90 yang menunjukkan efektifitas d-allethrin yang terkandung dalam obat nyamuk bakar terhadap C. quinquefasciatus sebesar 17,468 untuk LT50 dengan kisaran batas bawah 16,224 dan batas atas 18,8074 serta LT90 = 31,2316 dengan kisaran batas bawah 28,3301 dan batas atas 34,4302. A : Y = -1,07916 + 4,701605X B : Y = -1,309601 + 5,079198X Y : Persentase mortalitas atau Probit mortalitas X : Waktu pemaparan Gambar 2. Perbandingan Garis Regresi Probit Mortalitas Nyamuk C. quinquefasciatus yang Diuji dengan Obat Nyamuk Bakar dengan Zat Aktif Metofluthrin dan d-Allethrin. Persentase mortalitas nyamuk C. quinquefasciatus baik pada pemaparan dengan obat nyamuk bakar berbahan aktif metofluthrin maupun d-allethrin menunjukkan hasil 0% setelah 5 menit pemaparan. Hal ini menunjukkan bahwa setelah 5 menit pemaparan daya insektisida kedua obat nyamuk bakar belum bekerja. Pada Tabel 1. dapat dilihat bahwa pada kelompok kontrol persentase knockdown nyamuk 0% yang menunjukkan kondisi kotak kaca bebas dari bahan insektisida. Pengamatan terakhir pada menit ke-50, mortalitas nyamuk uji dengan paparan obat nyamuk bakar dengan zat aktif metofluthrin sebesar 98,35%. Pada pemaparan dengan obat nyamuk bakar berbahan aktif d-allethrin, mortalitas nyamuk yang didapat telah mencapai 100% sejak menit ke-45. DISKUSI Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada penelitian ini, obat nyamuk bakar dengan zat aktif d-allethrin dapat bekerja lebih cepat dengan LT50 dan LT90 yang lebih singkat dibandingkan dengan obat nyamuk bakar berbahan aktif metofluthrin. Obat nyamuk bakar dengan zat aktif d-allethrin pada penelitian membutuhkan waktu 16-19 menit untuk mendapatkan knockdown nyamuk uji sebesar 50% dan waktu yang diperlukan untuk mendapatkan nyamuk uji hidup sebesar 10% adalah 28-34 menit. Obat nyamuk bakar dengan zat aktif metofluthrin pada penelitian ini membutuhkan waktu 18-21 menit untuk membuat jatuh 50% nyamuk uji dan 34-40 menit untuk membunuh 90% nyamuk uji. Hasil yang didapat pada penelitian sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa efektifitas metofluthrin dan d-allethrin sama. Perbedaan efektifitas kedua bahan piretroid sintetik ini tidak bermakna seperti terlihat pada gambar perbandingan grafik regresi probit (Gambar 2). Penelitian serupa pernah dilakukan oleh Ujihara et al. (2004),13 yang bertujuan membandingkan efektifitas metofluthrin dengan piretroid sintetik lain menunjukkan bahwa metofluthrin mempunyai efektivitas 40 kali sama besar dengan d-allethrin terhadap C. quinquefasciatus. Penelitian lain juga dilakukan oleh Pates et al. (2002),14 dengan membandingkan efektifitas antara bioallethrin dengan transfluthrin terhadap C. quinquefasciatus dan menyimpulkan bahwa perbandingan efektifitas antara kedua bahan piretroid tersebut tidak bermakna. SIMPULAN Efektifitas obat nyamuk bakar dengan zat aktif metofluthrin terhadap nyamuk dewasa C. quinquefasciatus ditunjukkan dengan LT50 = 20 menit dan LT90 = 37 menit, sedangkan efektifitas obat nyamuk bakar dengan zat aktif d-allethrin terhadap nyamuk dewasa C. quinquefasciatus ditunjukkan dengan LT50 = 17 menit dan LT90 = 31 menit. Obat nyamuk bakar dengan zat aktif d-allethrin lebih efektif terhadap nyamuk dewasa C. quinquefasciatus dibandingkan dengan obat nyamuk bakar dengan zat aktif metofluthrin. DAFTAR PUSTAKA 1. Juhanudin N, Leksono AS. Distribusi Spasial Nyamuk Diurnal Secara Ekologi di Kabupaten Lamongan. Jurnal Biotropika, 2013; 1 (3): 124-128. 2. Soedarto. Entomologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 1990 3. Tarigan L. Daya Larvasidal Ekstrak Acorus calamus (dlingo) terhadap Larva Culex quinquiefasciatus di Laboratorium. KTI. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. 1997. 4. Safitri A, Risqhi MH, Ridha R. Identifikasi Vektor dan Vektor Potensial Filariasis di Kecamatan Tanta, Kabupaten Tabalong. Jurnal Buski. Jurnal Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang, 2012; 4 (2): 73-79. 5. Pusat Data dan Survelans Epidemiologi Kemenkes RI. Filariasis di Indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi, 2010; 1 Juli: 1-20. 6. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Pencapaian Program Kesehatan Menuju Jawa Tengah Sehat. 2004. Diakses dari http://www.health-lrc.or.id/profil2004/bab4.htm Diakses pada 24 Juli 2006. 7. Wibisono YA. Pengaruh Posisi Alat Obat Nyamuk Elektrik Berbahan Aktif Pyramin Forte terhadap Mortalitas Aedes aegypti. KTI. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. 1995. 8. Sendow I. dan Sjamsul B. 2005. Perkembangan Japanese encephalitis di Indonesia. Wartazoa, 2005; 15 (3): 111-118. 9. Mardihusodo SJ. Daya Insektisida Daun dan Biji Annona muricata L. terhadap Larva Nyamuk di Laboratorium. Berita Kedokteran Masyarkat, 1992; XXIV (3): 89-94. 10. Supriadi. Optimasi Pemanfaatan Beragam Jenis Pestisida untuk Mengendalikan Hama dan Penyakit Tanaman. J LitbangPert, 2013; 32 (1): 1-9. 11. Raini M. Toksikologi Insektisida Rumah Tangga dan Pencegahan Keracunan. Media Penelit. dan Pengembang. Kesehat. 2009; XIX (Suplemen II): S27-S33. 12. Arugueta TBO, Kawada H, Sugano M, Kubota S, Shono Y, Tsushima K, et al. 2004. Comparative Insecticidal Efficacy of a New Pyrethroid, Metofluthrin, Against Colonies of Asian Culex quinquefasciatus and Culex pipiens pallens. Medical Entomology and Zoology, 2004; 55 (Issue 4): 289-294. 13. Ujihara K, Mori T, Iwasaki T, Sugano M, Shono Y, Matsuo N. Metofluthrin: A Potent New Synthetic Pyrethroid with High Vapor Activity Against Mosquitoes. Biosci Biotechnol Biochem, 2004; 68 (1): 170-4. 14. Pates HV, Lines JD, Keto AJ, Miller JE. Personal Protection Against Mosquitoes in Dar es Salaam, Tanzania, by Using a Kerosene Oil Lamp to Vaporize Transfluhtrin. Med Vet Entomol, 2002; 16 (3): 277-84. 5 0 20 40 60 80 100 120 5101520253035404550 waktu pemaparan (menit) knockdown (%) kontrol (K) metofluthrin (P1) allethrin (P2)